Pada tahun 897 Saka muncul raja yang bergelar Sang Ratu Sri
Janasadhu Warmadewa. Gelar ini terbaca dalam prasasti Sembiran AII (897 Saka)
(Brandes, 1889 : 46-48 ; Goris, 1954a : 77-79 ; Damais, 1955 : 226). Itulah
satu-satunya prasasti atas nama baginda. Prasasti tersebut kembali mengenai
desa Julah kuno. Menurut prasasti itu, penduduk Julah yang kembali dari
pengungsiannya diizinkan memperbaharui isi prasastinya. Selanjutnya,
ketentuan dalam prasasti itu harus dipatuhi dan jangan diubah-ubah lagi.
Dalam prasasti itu antara lain ditetapkan bahwa jika ada kuil, pekuburan,
pancuran, permandian, prasada, dan jalan raya di wilayah itu mengalami
kerusakan, supaya diperbaiki serta dibiayai secara bergilir oleh penduduk
desa Julah, Indrapura, Buwundalm, dan Hiliran. Jika pertapaan di Dharmakuta
diserang oleh perampok, supaya seluruh penduduk Julah keluar rumah lengkap
dengan senjata untuk menolong pertapaan itu (kapwa ta ya turun tangga saha
sanjata, tulungen to patapan di dharmakuta) (Goris, 1954a : 78-79).
|
Raja Janasadhu Warmadewa diganti oleh Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi
Satu-satunya prasasti sebagai sumber sejarah ratu ini adalah prasasti Gobleg,
Pura Desa II (905 Saka) (Goris, 1954a : 79-80 ; Damais, 1955 : 226-227). Ratu
ini memberi izin kepada penduduk desa Air Tabar, yang merupakan pamong kuil
Indrapura di Bukittunggal di wilayah desa Air Tabar, untuk memperbaharui
prasastinya (mabharin pandaksayan na).
|
Ratu ini tidak menggunakan identitas dinasti Warmadewa. Keadaan ini
mengundang timbulnya sejumlah pendapat. Berdasarkan terpakainya kata Sri
Wijaya dalam gelar sang ratu, P.V. van Stein Callenfels (1924 : 30)
berpendapat bahwa kemungkinan ratu itu berasal dari kerajaan Sriwijaya di
Sumatra. Dengan kata lain, hal itu menunjukkan adanya perluasan kekuasaan
Sriwijaya ke Bali. Pada mulanya, Goris menyetujui pendapat itu.
|
Pada tahun 1950, dalam artikelnya yang berjudul ”De Stamboom van Erlangga”,
J.L. Moens menghubungkan ratu itu dengan kerajaan Jawa Timur (1950 : 138).
Damais secara lebih tegas mengemukakan bahwa ratu itu adalah putri Pu Sindok
yang bernama Sri Isana Tunggawijaya.12 Pendapatnya itu didasarkan pada adanya
jabatan-jabatan wadihati, makudur, dan pangkaja yang disebutkan dalam
prasasti ratu itu, di samping sejumlah jabatan tinggi yang telah lazim di
Bali. Ketiga jabatan itu adalah khas Jawa (1952 : 85-86 ; 1955 : 227).
|
Ratu Sri Wijaya Mahadewi diduga mangkat pada tahun 911 Saka (989). Tampuk
pemerintahan di Bali kemudian dipegang oleh pasangan Sri Gunapriyadharmapatni
dan Sri Dharmodayana Warmadewa.
|
Dalam prasasti Pucangan dikatakan bahwa Gunapriyadharmapatni, yang semula
bernama Mahendradatta, adalah putri Sri Makutawangsawardhana, cucu perempuan
pasangan Sri Isana Tunggawijaya dan Sri Lokapala, atau cicit Pu Sindok.
Mahendradatta kemudian nikah dengannya adalah Udayana, seorang pangeran yang
lahir dari keluarga raja (dinasti) yang masyhur. Dari pasangan itu lahirlah
Erlangga atau Airlangga (Kern, 1917 : 93). Berdasarkan keterangan itu, dapat
diketahui bahwa Mahendradatta adalah seorang putri berasal dari Jawa Timur,
keturunan dinasti Isana. Jika dikaitkan dengan keterangan dalam
prasasti-prasasti Bali tahun 911-923 Saka yang menyatakan bahwa Sri
Gunapriyadarmapatni memerintah bersama-sama dengan suaminya, yaitu Sri
Dharmadoyana Warmadewa, maka dapat diketahui bahwa tokoh terakhir inilah yang
dimaksud dengan Udayana dalam prasasti Pucangan. Lebih lanjut, yang dimaksud
dengan dinasti termasyhur dalam prasasti itu adalah dinasti Warmadewa.
Kendati demikian, masih ada sejumlah pendapat mengenai asal-usul Udayana.
|
Menurut F.D.K. Bosch,, Udayana adalah anak seorang putri Campa atau Kamboja.
Kekacauan yang terjadi di negeri itu, sekitar tahun 970, menyebabkan sang
putri yang dalam keadaan hamil itu melarikan diri ke Jawa dan melahirkan
putranya di sana. Putranya itu adalah Udayana yang kemudian menikah dengan
Mahendradatta (1984 : 554-556 ; 1961 : 96-97). Moens tidak setuju dengan
hipotesis Bosch itu. Dalam artikelnya ”De Stamboom van Erlangga”yang terbit
pada tahun 1950, Moens antara lain mengemukakan bahwa ada dua tokoh historis
Udayana. Pertama, Udayana yang lahir sebagai akibat hubungan inses antara
Isana (Sindok) dengan putri kandungnya (selanjutnya disebut Udayana I).
Kedua, Udayana yanng merupakan putra Udayana I sebagai hasil pernikahannya
dengan Ratnawati (selanjutnya disebut Udayana II). Udayana I tetap hidup di
Jawa Timur dan setelah mangkat, pada tahu 899 Saka dicandikan di Jalatunda.
Udayana II dinikahkan dengan Mahendradatta. Pasangan ini kemudian dinobatkan
sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali. Moens juga mengemukakan bahwa
Mahendradatta sesungguhnya menikah dua kali, pertama kali dengan Dharmawangsa
Teguh di Jawa Timur, melahirkan Airlangga, dan kedua kalinya dengan Udayana
II (1950 : 124).
|
Pada dasarnya, Goris menyetujui pendapat Moens tentang
adanya dua tokoh Udayana, tetapi beliau menambahkan bahwa Airlangga
dilahirkan di Bali pada tahun 913 Saka (991) sebagai hasil, pernikahan
Mahendradatta dengan Udayana yang memerintah di Bali (1948 : 7 ; 1957 : 19).
|
Pendapat Bosch dan Moens di atas perlu ditinjau kembali. Tadi telah
disinggung bahwa dalam prasasti Pucangan, Mahendradatta dikatakan menikah
dengan Udayana, seorang pangeran dari dinasti termasyhur. Tidak perlu
disangsikan lagi bahwa yang dimaksud dengan Udayana itu adalah Sri
Dharmodayana Warmadewa. Lagi pula, seperti telah diketahui, dinasti Warmadewa
memang telah berkuasa di Bali sejak jauh sebelum Sri Dharmodayana Warmadewa,
yaitu sejak tahun 835 Saka (914) dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai cikal
bakalnya. Berdasarkan kenyataan itu, mudah dipahami bahwa penulis prasasti
tidak perlu menegaskan kedinastian serta daerah asal Udayana yang memang
sudah sangat dikenal pada waktu itu. Sebaliknya, sangat sukar dipahami bahwa
seorang asing yang merupakan putra seorang pelarian, dapat diterima dengan
mudah dalam jajaran anggota suatu dinasti, dalam hal ini dinasti Warmadewa.
Lagi pula, penerimaan tanpa reaksi aktif dari anggota dinasti tersebut,
khususnya dari putra mahkota yang mempunyai hak sah atas takhta dan mahkota
kerajaan Bali adalah hal yang mustahil.
|
Pertimbangan-pertimbangan di atas, begitu pula keterangan-keterangan dalam prasasti
Pucangan dan sejumlah prasasti Bali yang dikemukakan sebelumnya, dapat
berfungsi sebagai landasan kuat bagi pendapat yang menyatakan bahwa Udayana,
suami Gunapriyadharmapatni, adalah seorang putra Bali dari dinasti Warmadewa.
Pendapat ini sesuai dengan pendapat Krom (1956 : 119) yang dikemukakan jauh
sebelum muncul pendapat Bosch dan Moens.
Telah dikatakan bahwa praasti-prasasti pasangan ”suami-istri” itu terbit
tahun 911-923 Saka (989-1001). Prasasti-prasasti itu adalah prasasti Bebetin
AI (911 Saka), Serai AII (915 Saka), Buwahan A (916 Saka), Sading A (923
Saka) dan prasasti Tamblingan Pura Endek II (Goris, 1954a : 80-88).
|
Prasasti Bebetin A berkenaan dengan desa (banwa) Bharu. Dikatakan bahwa desa
itu, yang telah disebutkan dalam prasasti Bebetin A (818 Saka), kembali
mengalami perampokan sehingga kondisi sosial ekonominya menjadi sangat lemah.
Pasangan suami- istri itu pun memberikan keringanan dalam sejumlah kewajiban
kepada desa tersebut. Keringanan semacam itu diberikan juga kepada penduduk
di daerah perburuan (anak mabwatthaji di buru). Hal itu dapat diketahui dari
prasasti Serai AII.
|
Isi prasasti Buwahan A sangat menarik perhatian. Pada intinya, prasasti itu
memuat izin pasangan Gunapryadharmapatni dan Udayana kepada desa Bwahan yang
terletak di pesisir Danau Batur untuk lepas dari desa induknya, yakni Kdisan.
Desa Bwahan, yang tampaknya semakin berkembang, diizinkan berpemerintahan
sendiri (sutantra i kawakannya). Segala kewajiban supaya dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
|
Dalam prasasti Sading A dibicarakan tentang desa Bantiran. Dalam prasasti itu
dikatakan bahwa banyak penduduk desa itu terpaksa meninggalkan rumah. Hal itu
disebabkan oleh tamu-tamu yang datang ke desa itu berlaku tidak sopan dan
menimbulkan kekacauan. Setelah keadaan aman, penduduk desa Bantiran disuruh
kembali ke desanya. Hak dan kewajibannya diatur dan mereka diizinkan membuka
lahan untuk memperluas sawah ladangnya.
|
Pada tahun 933 Saka terbit sebuah prasasti atas nama Udayana sendiri, tanpa
permaisurinya, yakni prasasti Batur, Pura Abang A (Goris, 1954a : 88-94 ;
Damais, 1955 : 185). Rupanya Gunapriyadharmapatni mangkat tidak lama sebelum
tahun 933 Saka. Prasasti ini diberikan kepada desa Air Hawang (sekarang desa
Abang) yang terletak di pesisir Danau Batur. Dalam prasasti itu disebutkan
bahwa pada tahun 933 Saka wakil-wakil desa Air Hawang menghadap raja Udayana
dengan perantaraan pejabat Rakryan Asba, yaitu Dyah Manjak. Mereka
menyampaikan bahwa karena kelemahan kondisi desanya, penduduk tidak mampu
memenuhi pembayaran pajak-pajak serta cukai-cukai tertentu dan tidak dapat
ikut bergotong royong atau kerja bakti untuk raja. Lebih lanjut, mereka
memohon pengurangan atau keringanan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban
tersebut.
|
Untuk memeriksa keadaan sebenarnya di lapangan (baca : di desa Air Hawang),
raja mengutus Dang Acarya Bajantika, Dang Acarya Nisita, Dang Acarya
Bhacandra dan Senapati Kuturan, yaitu Dyak Kayop ke desa itu. Hasil temuannya
kemudian didiskusikan, dibahas, atau dianalisis dalam sidang paripurna para
pejabat tinggi kerajaan, bahkan tidak sekali dua kali, tetapi lebih dari itu.
Setelah segala sesuatunya dipertimbangkan, akhirnya raja menyetujui permohonan
wakil-wakil penduduk desa itu. Bagian teks prasasti mengenai proses
persidangan itu berbunyi :
|
“…tuwulwi ta sira kabaih mapupul, malapkna kinabehan, tan pingsan pingrwa,
winantah winalik blah, hana pwantuk ning malapkna, an kasinggihan sapanghyang
nikang anak thani, …” (Goris, 1954a : 89).
|
|
2 komentar:
WAW
"Pengunjung Setia"
hehehe....benar-benar eksotic kan bang zaim ?
terutama poto2nya...
makasih udah berkunjung
Posting Komentar