posted by: Dunia Andromeda
BENARKAH
SEKARANG SEHARUSNYA TAHUN 2017 MASEHI ?! DAN BUKAN TAHUN 2012 MASEHI
DENGAN tidak terasa kita sudah berada tahun 2012
Masehi, meskipun tidaklah salah jika ada yang mengatakan bahwa sekarang
(tahun 2012) atau tahun 1390 (Persia), 1432 (Hijriyah),
1933 (Saka), 1944 (Jawa), 1948 (Sunda), 2555 (Buddha), 2562 (Imlek),
2672 (Jepang), atau 5772 (Yahudi).
Jenis-jenis Kalender
Ada
tiga jenis kalender yang dipakai umat manusia. Pertama, kalender solar
(syamsiyah, berdasarkan matahari), yang satu tahunnya adalah
lamanya bumi mengelilingi matahari: 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik
atau 365,2422 hari. Kedua, kalender lunar (qamariyah,
berdasarkan bulan), yang satu tahunnya adalah dua belas kali lamanya
bulan mengelilingi bumi: 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (29,5306 hari =
1 bulan) dikalikan dua belas, menjadi 354 hari 8 jam 48 menit 34 detik
atau 354,3672 hari. Ketiga, kalender lunisolar, yaitu
kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari. Oleh karena kalender
lunar dalam setahun 11 hari lebih cepat dari kalender solar, maka
kalender lunisolar memiliki bulan interkalasi (bulan tambahan, bulan
ke-13) setiap tiga tahun, agar kembali sesuai dengan perjalanan
matahari.
Kalender Masehi, Iran dan Jepang merupakan kalender solar, sedangkan
kalender Hijriyah, Jawa dan Sunda merupakan kalender lunar. Adapun
contoh kalender lunisolar adalah kalender Imlek, Saka, Buddha, dan
Yahudi. Semua kalender tidak ada yang sempurna, sebab jumlah hari dalam
setahun tidak bulat. Untuk memperkecil kesalahan, harus ada
tahun-tahun tertentu menurut perjanjian yang dibuat sehari lebih
panjang (tahun kabisat atau leap year).
Pada kalender solar pergantian hari berlangsung tengah malam (midnight)
dan awal setiap bulan (tanggal satu) tidak tergantung pada posisi
bulan. Adapun pada kalender lunar dan lunisolar pergantian hari terjadi
ketika matahari terbenam (sunset) dan awal setiap bulan adalah
saat konjungsi (Imlek, Saka, dan Buddha) atau saat munculnya hilal
(Hijriyah, Jawa, dan Yahudi).
Kalender Romawi
Kalender Masehi pada hakikatnya adalah kalender Romawi yang bermula
sejak pendirian kota Roma, tujuh setengah abad sebelum Nabi Isa
al-Masih a.s. dilahirkan. Ketika Romulus dan Remus mendirikan kota Roma
tahun 753 SM menurut hitungan kita sekarang, mereka membuat kalender
lunisolar. Awal tahun adalah awal musim semi, dan tahun pembangunan
Roma ditetapkan sebagai tahun 1 AUC (ab urbi condita = “sejak
kota dibangun”).
Nama-nama bulan adalah Martius (Mars, dewa perang), Aprilus (Aprilia,
dewi cinta), Maius (Maya, dewi kesuburan), Junis (Juno, istri dewa
Jupiter), Quintilis (bulan ke-5), Sextilis (bulan ke-6), September
(bulan ke-7), October (bulan ke-8), November (bulan ke-9), December
(bulan ke-10), Januari (Janus, dewa penjaga gerbang langit), dan
Februari (Februalia, dewi kesucian). Masing-masing bulan 30 hari,
kecuali Februari sebagai bulan terakhir hanya 24 atau 25 hari, sehingga
jumlah setahun 354 atau 355 hari. Agar tahun baru tanggal 1 Martius
tetap jatuh pada awal musim semi, setiap tiga tahun disisipkan bulan
interkalasi, Mercedonius, setelah Februari.
Pada tahun 708 AUC (tahun 46 SM, kata kita sekarang), kalender
lunisolar Romawi berubah menjadi kalender solar yang ditiru dari bangsa
Mesir. Masyarakat Mesir purba menyembah dewa matahari dan kehidupan
mereka sangat tergantung pada pasang dan surut Sungai Nil, sehingga
mereka sejak tahun 4236 SM membuat kalender solar untuk menandai musim
banjir, musim tanam dan musim panen. Penguasa Romawi saat itu, Julius
Caesar, bobogohan dengan Cleopatra ratu Mesir. Untuk mengambil
hati kekasihnya, Julius Caesar mengubah kalendernya menjadi kalender
solar. Aneh tapi nyata: kalender berubah gara-gara cinta!
Dengan bantuan Sosigenes, seorang ahli astronomi Yunani di Iskandariah,
awal tahun Romawi serta jumlah hari dalam setiap bulan disesuaikan
dengan kalender Mesir. Tahun baru digeser dari Martius (Maret) menjadi
Januari. Akibatnya, September yang artinya “bulan ke-7” (septem =
tujuh) menjadi bulan ke-9. Nama bulan Quintilis diganti bulan Julius,
diambil dari namanya sendiri. Banyaknya hari dalam sebulan: Januari 31,
Februari 28 atau 29, Martius 31, Aprilus 30, Maius 31, Junis 30,
Julius 31, Sextilis 31, September 30, October 31, November 30, dan
December 31.
Tahun 708 AUC itu ditetapkan oleh Julius Caesar menjadi tahun 1 Julian.
Oleh karena merupakan tahun transisi dari sistem lunar ke sistem
solar, tahun itu ditambah 90 hari: 67 hari diletakkan antara November
dan December, dan 23 hari sesudah Februari. Jadi tahun 1 Julian
berjumlah 445 hari, dan sering dijuluki annus confusionis
(“tahun campur-aduk”).
Kaisar Romawi berikutnya, Octavianus Augustus, ingin juga mengabadikan
namanya dalam kalender. Namanya, Augustus, dipakai mengganti nama bulan
Sextilis. Untunglah kaisar-kaisar selanjutnya tidak memiliki keinginan
serupa, sehingga nama-nama bulan tidak lagi mengalami perubahan.
Tahun Masehi (Anno Domini)
Setelah orang-orang Romawi memeluk agama Nasrani, kalender Julian tetap
digunakan, bahkan makin meluas pemakaiannya di kalangan bangsa-bangsa
Eropa. Pada tahun 572 Julian, seorang pejabat tinggi kepausan di Roma,
Dionisius Exiguus, menetapkan perhitungan tahun Anno Domini
(“Tahun Tuhan”). Berdasarkan perkiraan Dionisius bahwa Nabi Isa al-Masih
a.s. lahir pada tahun 47 Julian, maka tahun 47 Julian ditetapkan
sebagai tahun 1 Anno Domini (AD), dan angka tahun 572 Julian diganti
dengan memundurkannya menjadi 526 AD. Jadi sejak tahun 526 berlakulah
hitungan tahun Anno Domini (AD) yang berlangsung sampai sekarang. Kita
di Indonesia menyebutnya tahun Masehi (M).
Kalender Masehi atau kalender Julian memakai patokan 365,25 hari (365
hari 6 jam) setahun dengan kabisat empat tahun sekali, yaitu yang angka
tahunnya habis dibagi empat. Patokan ini berlebih 11 menit 14 detik
(0,0078 hari) dari yang seharusnya. Akibatnya terjadi kesalahan satu
hari dalam setiap 128 tahun, atau tiga hari dalam 400 tahun. Pada tahun
1582 kesalahan kalender mencapai sepuluh hari. Saat matahari melintasi
khatulistiwa atau awal musim semi (vernal equinox) jatuh pada
11 Maret, padahal seharusnya 21 Maret.
Maka Paus Gregorius XIII membentuk komisi yang dipimpin Christophorus
Clavius dan bertugas mengoreksi kalender berdasarkan naskah Novae
Restituendi Calendarium dari Luigi Giglio (dilatinkan: Aloysius
Lilius), ahli astronomi dari Universitas Perugia. Hasil revisi komisi
itu disahkan Paus Gregorius XIII melalui keputusan yang berjudul Calendarium
Gregorianum. Hari Santo Francis tanggal 4 Oktober 1582 merupakan
hari terakhir kalender Julian. Selanjutnya angka tanggal dilompatkan
sepuluh: Kamis 4 Oktober 1582 harus diikuti oleh Jum’at 15
Oktober 1582.
Untuk memperkecil kesalahan pada masa mendatang, tiga dari empat
sentesimal (tahun peralihan abad) yang selalu kabisat dibuat sebagai
tahun biasa. Jadi 1600 kabisat; 1700, 1800 dan 1900 tahun biasa; 2000
kabisat lagi, dan seterusnya. Sistem Gregorian ini ternyata cukup
akurat, hanya berlebih 0,0003 hari per tahun. Untuk mencapai kesalahan
satu hari diperlukan waktu 3333 tahun. Jadi, kalender Gregorian baru
perlu dikoreksi pada awal abad ke-50!
Pada mulanya yang mengikuti keputusan Paus untuk mengubah kalender
sudah tentu hanyalah negara-negara Eropa yang mayoritas Katolik. Hal
ini pun menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat awam. Banyak
orang yang ketakutan kalau-kalau usianya berkurang sepuluh hari, dan
para pekerja menuntut upah bagi sepuluh hari yang dianggap hilang.
Adapun negara-negara Protestan, Anglikan dan Ortodoks tetap memakai
kalender Julian. Mereka mencurigai jangan-jangan keputusan Paus itu
hanya taktik untuk mengembalikan otoritas Katolik Roma di bidang agama.
Apalagi Paus Gregorius XIII sangat dibenci kaum Protestan, sebab
memprakarsai pembunuhan massal orang Protestan pada Hari Santo
Bartholemeus di Paris tahun 1572.
Menjelang akhir abad ke-17, tahun 1698, seorang ilmuwan Jerman yang
berwibawa saat itu, Prof. Dr. Erhard Weigel, berkirim surat kepada
raja-raja Eropa yang beragama Protestan agar menerima kalender
Gregorian. Weigel menegaskan bahwa pemakaian kalender itu tidaklah
berarti tunduk kepada Paus. Ini masalah ketepatan peredaran benda
langit, kata Weigel, bukan masalah agama.
Maka pada awal abad ke-18 negara-negara Protestan menerima kalender
Gregorian. Inggris negara Anglikan mengikuti pada tahun 1752, dengan
menyatakan tanggal 2 September 1752 langsung disusul oleh 14 September
1752. Hal ini juga berlaku untuk seluruh jajahan Inggris, termasuk
Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada sekarang) yang saat itu belum
merdeka. Akibatnya, George Washington, yang nantinya menjadi presiden
pertama Amerika Serikat, terpaksa mengubah tanggal lahirnya dari 11
Februari 1732 menjadi 22 Februari 1732.
Negara-negara Eropa Timur yang menganut Kristen Ortodoks baru menerima
kalender Gregorian sesudah Perang Dunia Kesatu berakhir. Rusia
memberlakukannya tahun 1918 dengan menyatakan bahwa 31 Januari langsung
disusul 13 Februari. Hari penghapusan kekaisaran Rusia yang
berlangsung tanggal 7 November 1917 (menurut kalender Gregorian) sampai
sekarang masih disebut “Revolusi Oktober”, sebab hari itu di Rusia
masih berlaku kalender Julian tanggal 25 Oktober. Negara Eropa terakhir
yang menerima kalender Gregorian adalah Yunani tahun 1923.
Akan tetapi kalender Julian tetap digunakan oleh Gereja Ortodoks khusus
untuk menentukan Hari Natal. Sampai sekarang mereka merayakan Natal
pada tanggal 7 Januari (25 Desember menurut kalender Julian), dua
minggu lebih lambat daripada umat Kristen lainnya.
Di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, penyebaran kalender
Gregorian dilakukan oleh negara-negara Eropa yang menjajahnya. Di
Indonesia sampai awal abad ke-20 kalender Hijriyah masih dipakai oleh
raja-raja Nusantara. Bahkan raja Karangasem yang beragama Hindu, Ratu
Agung Ngurah, dalam surat-suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda yang beragama Nasrani, Otto van Rees, pada tahun 1894 masih
menggunakan tarikh 1313 Hijriyah.
Kalender Gregorian secara resmi dipakai di seluruh Indonesia mulai tahun
1910 dengan berlakunya Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap,
hukum yang menyeragamkan seluruh rakyat Hindia Belanda. Maka
tercapailah niat Octavianus Augustus yang ingin namanya abadi. Nama
Kaisar Romawi ini senantiasa diucapkan ratusan juta orang Indonesia
setiap tahun, tatkala mereka merayakan hari proklamasi kemerdekaan.
Tahun 2012 ?
Tahun berapakah sekarang? Tahun 2012, jika kita mengikuti perkiraan
Dionisius Exiguus bahwa Nabi Isa al-Masih a.s. lahir tahun 47 Julian.
Kalkulasi ini berdasarkan data Injil Lukas bahwa utusan Allah bagi Bani
Israil itu memulai tugas kerasulan pada tahun ke-15 pemerintahan
Kaisar Tiberius, yang bertahta dari tahun 60 Julian sampai 83 Julian
(14-37 Masehi), sehingga kejadian yang diceritakan Lukas itu
berlangsung tahun 75 Julian (29 Masehi). Oleh karena Lukas pun ternyata
main tebak dengan mengatakan usia Nabi Isa al-Masih saat itu
“kira-kira 30 tahun” (quasi annorum triginta), maka Dionisius
memperkirakan beliau lahir tahun 47 Julian, yang ditetapkannya sebagai
Tahun 1 Anno Domini.
Ternyata perkiraan Dionisius itu tidak tepat! Kenyataannya, baik Injil
Lukas maupun Injil Matius mencatat kelahiran Isa al-Masih pada masa
Raja Herodes di Palestina, yang berarti antara tahun 37 SM dan 4 SM (10
sampai 43 Julian). Lukas juga mengatakan bahwa Isa al-Masih lahir
ketika gubernur Suriah Quirinius, atas perintah Kaisar Augustus
(bertahta 27 SM sampai 14 Masehi), mengadakan sensus penduduk di
Palestina. Sensus ini tentu berlangsung sesudah pengangkatan Quirinius
tahun 6 SM (41 Julian). Dengan demikian utusan
Allah yang mulia itu sangat mungkin lahir tahun 5 SM (42 Julian). Jadi, kalau kita ingin konsekuen menghitung tahun
sejak lahirnya Nabi Isa al-Masih a.s., seharusnya sekarang adalah
tahun 2017 ? (5 SM + 2012 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar