posted by: Dunia Andromeda
Seorang anak raja Pagarruyung bernama Turanggo berlayar menuju negeri
Bugis mencari isteri. Setelah berhasil mengawini puteri raja
Bugis dari suku Bengguan, dia kembali ke Pagarruyung. Namun terjadi
angin-ribut, mereka terdampar di Luaha Sebua, muara sungai di suatu
pulau kosong. Pulau itu kemudian dinamakan Tanah Hibala yang artinya
‘tanah yang kuat’ dalam bahasa Bugis. Turanggo akhirnya menetap
di pulau itu, dia beranak-pinak hingga pada raja Hibala yang memiliki
dua anak, puteri (kakak) dan putera (adik).
Demikian inti pembuka cerita berjudul Legenda Asal Mulanya
Pulau-Pulau Batu karya Adlan Mufti (1979). Mufti memperoleh
keterangan dari Dahar Alamsyah di pulau Tello tahun 1974. Waktu itu
Alamsyah berumur 60 tahun. Dia adalah keturunan raja Buluaro dari
suku Bengguan (Bekhua). Mufti memperkirakan legenda ini terjadi
sekitar abad 12.
Selanjutnya diceritakan, semenjak lahir kedua anak raja Hibala hidup
terpisah. Sang puteri (tidak diketahui namanya) tinggal di rumah bagian
atas yang dinamakan mahligai, diasuh wanita pengasuh bernama Sikambang,
sedang sang putera bernama Sutan Muaro tinggal bersama orang-tuanya di
rumah bagian bawah.
Setelah meningkat dewasa, ketika Sutan Muaro bermain-main di halaman
rumah, tanpa sengaja dia melihat sang puteri raja itu. Seketika Sutan
Muaro terpesona melihat kecantikan sang puteri. Bergegas dia menemui
ibunya, mengatakan bahwa ada seorang wanita cantik di rumah mereka.
Namun ibunya membantah. Sutan Muaro mencari-cari wanita itu, dia naik ke
mahligai dan bertemu dengannya di sana. Dia menemui ibunya lagi,
mengatakan bahwa wanita itu ada di mahligai. Sutan Muaro mendesak ibunya
agar wanita itu dapat dijadikan isterinya.
Melihat tekad Sutan Muaro, barulah ibunya mengakui bahwa wanita itu
adalah kakaknya sendiri, tidak mungkin dapat dikawininya. Namun Sutan
Muaro tidak menerima keterangan ibunya. Selama ini dia tidak diberi-tahu
wanita itu kakaknya dan belum pernah bergaul selayaknya kakak-adik. Dia
tetap mendesak agar wanita itu dapat dikawininya. Akhirnya hal ini
dilaporkan kepada raja. Raja Hibala terpaksa mengundang rakyatnya rapat.
Sudah terang hadirin rapat tidak menyetujui hasrat Sutan Muaro, belum
pernah terjadi dua orang bersaudara kandung dikawinkan.
Tiba-tiba sang kakak turun dari mahligai dan berkata, “Adik Sutan Muaro!
Di negeri Bugis ada anak paman kita seorang wanita yang serupa sekali
bentuk wajahnya dengan saya, seperti pinang dibelah dua. Pergilah adik
ke negeri Bugis untuk menjumpainya, dan lihatlah mukanya. Ambillah
rambut saya dan cincin saya ini. Sekiranya nanti mukanya tidak serupa
dengan muka saya, rambutnya tidak sebagaimana rambut saya, dan cincin
ini tidak sesuai di jarinya, maka kembalilah kau ke Tanah Hibala, dan
kawinilah saya menjadi isterimu!”
Maka berangkatlah Sutan Muaro ke negeri Bugis. Setelah berlayar
sekitar setahun, dia sampai di negeri pamannya itu. Namun betapa
terkejut hati Sutan Muaro, karena puteri raja Bugis (pamannya) baru saja
ditunangankan dengan anak raja Bayo. Dia tinggal di negeri pamannya
beberapa lama. Mudahlah baginya berkenalan dengan puteri pamannya.
Puteri itu cantik nian, mirip kakaknya, dia jatuh cinta. Beruntung Sutan
Muaro, dia tidak bertepuk sebelah tangan, puteri pamannya membalas
cintanya. Maka pada suatu malam diam-diam dua insan yang saling mencinta
ini, Sutan Muaro dan puteri pamannya, berlayar menuju Tanah Hibala.
Namun mereka dikejar armada raja Bugis dan anak raja Bayo. Dalam sekitar
setahun pengejaran menuju Tanah Hibala itu Tuan Puteri melahirkan anak
laki-laki.
Dekat pulau Tanah Hibala perahu Sutan Muaro terkepung dan
terpaksa bertempur melawan armada pengejar. Dada Sutan Muaro tertembus
anak panah yang dilepas anak raja Bayo. Dalam keadaan terdesak kalah,
Tuan Puteri (istri Sutan Muaro) mengirim anaknya kepada sang kakek (raja
Hibala) lewat seorang awak perahu. Setelah itu Tuan Puteri memohon,
“Sekiranya saya memang manusia yang berasal dari orang bangsawan,
mempunyai derajad yang agung dari orang biasa, jadikanlah seluruh
perahu-perahu di tempat ini menjadi batu”. Sejenak kemudian seluruh
perahu di kawasan itu berubah menjadi batu, dan selanjutnya menjelma
menjadi pulau-pulau.
Perahu yang ditempati tuan puteri dan suaminya Sutan Muaro menjadi pulau
Batu. Perahu yang ditempati ayah Tuan Puteri menjadi pulau Lorang.
Perahu yang ditempati anak raja Bayo menjadi pulau Tello. Perahu yang
membawa perbekalan armada Bugis menjadi pulau Biang. Dan pulau
Mamole, konon berasal dari perahu kiriman raja Hibala yang membawa
perbekalan untuk anaknya Sutan Muaro yang terkepung. Itulah riwayat
terjadinya pulau-pulau yang namanya berasal dari bahasa Bugis.
Elemen Bugis
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh sang
empunya cerita sebagai suatu kejadian yang pernah terjadi, bersifat
keduniawian, terjadi pada masa belum begitu lampau, dan bertempat di
dunia seperti yang kita kenal sekarang. Legenda sering dipandang sebagai
folk history (sejarah kolektif), walaupun sejarah itu mengalami
distorsi karena tidak tertulis (Danandjaja, 1984: 66).
Perkiraan Mufti bahwa legenda di atas terjadi sekitar abad 12 misalnya,
tidak sesuai fakta sejarah. Kerajaan Pagarruyung didirikan oleh
Adityawarman tahun 1339 (Parlindungan, 2007: 120; Muljana, 2007: 16).
Kerajaan ini berpengaruh hingga tahun 1804 (Parlindungan, 2007: 510).
Dengan demikian, anak raja Pagarruyung bernama Turanggo yang disebut
dalam legenda di atas hidup pada abad 14 atau setelahnya. Legenda itu
tentulah terjadi atau diciptakan setelah abad 14.
Menurut Hämmerle (2004), sekitar 250 tahun yang lalu orang Bugis
berlabuh di pulau Simeulue, Nias, dan kepulauan Batu. Di mana mereka
mendapat pulau kosong, di situ mereka memberi nama pulau bersangkutan.
Keterangan ini selaras dengan isi legenda asal-mula pulau-pulau Batu.
Selain itu, keterangan ini menunjukkan kedatangan orang Bugis di
kepulauan Batu pada abad 18 (sekitar tahun 1750), suatu rentang waktu
yang relatif jauh dibanding abad 12 sebagaimana perkiraan Mufti.
Di lain pihak, tahun 1811 Marsden melaporkan perihal kampung Buluaro
yang terletak di tengah pulau Batu. Penghuni kampung ini mayoritas
orang Nias, namun ada juga ras yang mirip orang Makassar
atau Bugis yang berjumlah tidak melebihi seratus orang. Marsden juga
melaporkan cerita kapal (perahu) yang menjelma menjadi batu.
“Upon the same authority also we are told that the island derives its
name of Batu from a large rock resembling the hull of a vessel, which
tradition states to be a petrifaction of that in which the Buluaro
people arrived.” [Dari sumber yang sama juga diceritakan kepada kita
bahwa pulau itu mengambil nama Batu dari sebuah batu besar yang
menyerupai lambung kapal, yang menurut tradisi adalah kapal yang menjadi
batu yang digunakan oleh orang-orang Buluaro tiba.]
Laporan Marsden mengindikasikan cerita bermotif ‘perahu yang menjelma
menjadi batu’ telah beredar sekitar awal abad 19. Dikaitkan dengan
kedatangan orang Bugis di kepulauan Batu pada abad 18, dapat
diperkirakan legenda asal-mula pulau-pulau Batu diciptakan dalam rentang
waktu akhir abad 18 hingga awal abad 19 (sekitar 8-9 generasi yang
lalu).
Dapat pula diketahui, mengacu keterangan Dahar Alamsyah (informan Mufti)
dan laporan Marsden, kolektif (masyarakat) pendukung legenda ini adalah
masyarakat tradisional di kawasan kepulauan Batu. Masyarakat
tersebut, khususnya di kampung Buluaro, berhasil menciptakan sebuah
folklor berbentuk legenda yang eksplisit berisi elemen Bugis. Meski
mengandung unsur pralogis, ‘perahu ajaib’ yang berubah menjadi
batu atau pulau misalnya, legenda ini dapat dianggap sebagai ‘saksi
sejarah’ kedatangan orang Bugis di kawasan kepulauan Batu pada
abad 18.
Folklor (legenda) seperti ini tidak, atau setidaknya belum, ditemukan di
kawasan kepulauan Hinako. Menurut kalangan peneliti, sebagian orang
Nias di pulau Hinako dan sekitarnya juga memiliki leluhur yang berasal
dari Sulawesi (Marsden, 1811; Fries, 1919: 55; Zebua, 1995: 51;
Hämmerle, 2001: 213-24; Danandjaja & Koentjaraningrat, 2004: 41;
Koestoro & Wiradnyana, 2007: 26).
Orang Maruwi
Tahun 1811 Marsden melaporkan bahwa penghuni pulau Hinako adalah ras
yang disebut Maros atau orang Maruwi. Kata ‘maruwi’ lebih umum dikenal
sebagai ‘maru’. Belakangan ‘maru’ menjadi akar nama mado (marga) orang
Nias keturunan Bugis di Hinako. Menurut Fries (1919: 55), mado
tersebut adalah: Maroe Ndroeri, Maroe Ao, Maroe Haŵa, Maroe Lafaoe,
Maroe Abaja, dan Maroe Gadi.
Ketika Hämmerle (2001: 219) mencari informasi tentang suku Bugis di
kepulauan Hinako, tahun 1980 beliau memperoleh keterangan mengenai
mado keturunan Bugis dari informan yang bergelar Raja Kelapa,
seorang keturunan Bugis yang berdomisili di Sirombu. Menurut Raja
Kelapa, mado orang Bugis yang mendiami kepulauan Hinako adalah: Maru
Ndruri, Maru Haŵa, Maru Abaya, Maru Lafao, dan Maru’ao. Kelima mado
tersebut datang ke Hinako sekitar 12 generasi yang lalu (per tahun
1980). Dari keterangan itu Hämmerle memperkirakan kedatangan leluhur
Bugis ke Hinako 13 generasi yang lalu (per tahun 2001) atau sekitar
tahun 1675. Perkiraan ini cukup berharga dalam upaya melacak sejarah
leluhur Bugis di Hinako.
Sejak tahun 1663 seorang bangsawan Bone bernama Arung Palakka
dan pasukannya yang berjumlah 400 orang Bugis dari Bone dan
Soppeng diterima Belanda menjadi serdadu, ditempatkan di perkampungan
Angke di Batavia (Kesuma, 2004: 61; Ricklefs, 2007: 98). Pada tahun 1666
pasukan Arung Palakka membantu Cornelis Speelman menyerbu pasukan
Aceh di Pariaman. Peristiwa tersebut menimbulkan dugaan Kesuma
(2004: 96), ada anggota pasukan Arung Palakka yang tertinggal dan
terdampar hingga ke Hinako.
Jumlah anggota pasukan Arung Palakka agaknya berkurang, mungkin karena
tewas atau tertinggal sebagaimana dugaan Kesuma. Setelah penyerbuan di
Pariaman, 24 Nopember 1666 armada gabungan pasukan Belanda dan pasukan
Arung Palakka berangkat menyerbu Makassar. Kekuatan pasukan Arung
Palakka masih tetap 400 orang, namun angka tersebut genap setelah
ditambah sejumlah anggota pasukan Ambon pimpinan Yonker yang berasal
dari Manipa (Kesuma, 2004: 62).
Jarak waktu antara tahun 1666 (kedatangan pasukan Arung Palakka di
Pariaman) dan tahun 1675 (kedatangan leluhur Bugis di Hinako perkiraan
Hämmerle) relatif dekat. Benarkah leluhur sebagian orang Nias di Hinako
berasal dari anggota pasukan Arung Palakka? Bila benar, mengapa terkesan
mereka berasal dari Maros (orang Maros atau orang Maruwi), bukan dari
Bone dan Soppeng asal pasukan Arung Palakka?
Lepas dari itu, angka tahun ini menunjukkan leluhur Bugis tiba di
Hinako pada abad 17, sekitar satu abad (4 generasi) lebih dulu
ketimbang kedatangan leluhur Bugis di Batu. Meski sama-sama dari
Sulawesi, kelompok mereka tentu berbeda. Boleh jadi, faktor inilah yang
melatarbelakangi ‘cerita lisan’ tentang tiga bersaudara Bugis; anak
pertama tinggal di Hinako, anak kedua tinggal di Sinabang dan anak
bungsu menetap di Batu (Hämmerle, 2001: 214).
Sebagai saudagar, orang Bugis dilaporkan hadir di kawasan pantai barat
Sumatera sekitar awal abad 10 hingga abad 19 (Parlindungan, 2007: 617;
Danandjaja & Koentjaraningrat, 2004: 40-1; Asnan, 2007: 175). Pada
abad 10 misalnya, mereka berintegrasi dengan orang Batak di Natal dan
Muaralabuh membentuk marga Nasution (Parlindungan, 2007: 617). Dalam
rentang waktu yang relatif panjang itu, selain di Hinako dan Batu,
dimungkinkan ada leluhur Bugis lain yang menetap di Nias dan
sekitarnya.
Mado Maru
Dari beberapa sumber diketahui, tidak semua mado ‘maru’ keturunan
leluhur Bugis. Mado Maru Haŵa misalnya, adalah keturunan mado Zebua
bernama Haŵa Dölömbanua (Zebua, 1995:49; Hämmerle, 2001: 222). Atau,
mado Maru Lafao adalah keturunan mado Daeli bernama Gandria (Hämmerle,
2001: 223). Bahkan mado Maru Ndruri yang dipercaya leluhurnya berasal
dari Sulawesi, ada yang mengaku keturunan Hia Ho (Zebua, 1995: 51;
Hämmerle, 2001: 220-1). Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Menurut Hämmerle (2001: 214), di Hinako dulu ada kepercayaan pada Kara
Maru, suatu batu yang melayang-layang di laut dan bersuara, “Ambillah
saya, sembahlah saya.” Barang siapa berkunjung ke Hinako harus menyembah
batu itu, kalau tidak pasti orang itu akan sakit. Berlatar-belakang
kepercayaan ini, kemungkinan besar warga Hinako (dari pelbagai
keturunan) mengambil ‘maru’ sebagai mado mereka. Anggapan ini terkesan
spekulatif. Namun dapat terjadi, karena orang Nias mengenal nama mado
‘belum begitu lama’, ketika diadakan soera pas (semacam KTP) sekitar
tahun 1913-1914 (Zebua, 1996: 7).
Medan penelitian sejarah leluhur Bugis di Hinako dan Batu, serta
di Nias umumnya, masih terbuka lebar. Setidaknya uraian di atas memberi gambaran
kehadiran leluhur Bugis dalam masyarakat Nias. Menurut Kesuma
(2004: 137) filosofi migrasi orang Bugis adalah “Kegisi Monro
Sore’ Lopie’, Kositu Tomallabu Sengereng” [di mana perahu terdampar, di
sanalah kehidupan ditegakkan]. Menyambut ‘kehidupan yang ditegakkan’
oleh para leluhur Bugis di kawasan Nias, Fries (1919: 55) menulis
sebuah kalimat yang bijak, “Ma’oewoera, ba hoelö no tobali Ono Niha
sa’ae”.
Bacaan
1. Asnan, Gusti, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Penerbit Ombak,
2007
2. Danandjaja, James, Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan
lain-lain, Grafiti Pers, 1984
3. Danandjaja, J. & Koentjaraningrat, Penduduk Kepulauan Sebelah
Barat Sumatra, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia, Djambatan, cet. 20, 2004
4. Fries, E., Nias. Amoeata Hoelo Nono Niha, Zendingsdrukkery, 1919
5. Hämmerle, Johannes M., Asal Usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi,
Yayasan Pusaka Nias, 2001
6. Hämmerle, Johannes M., Lingua Nias, Media Warisan No. 38-39 (IV),
April 2004
7. Kesuma, Andi Ima, Migrasi & Orang Bugis, Penerbit Ombak, 2004
8. Koestoro, Lucas Pratanda & Ketut Wiradnyana, Tradisi Megalitik di
Pulau Nias, Balai Arkeologi Medan, 2007
9. Marsden, William, The History of Sumatra (1811), The Project
Gutenberg eBook, 2005
10. Mufti, Adlan, Legende Asal Mulanya Pulau-Pulau Batu, Sinar Indonesia
Baru, Januari 1979
11. Muljana, Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam di Nusantara, LKiS, cet. 4, 2007
12. Parlindungan, Mangaradja Onggang, Pongkinangolngolan Sinambela gelar
Tuanku Rao (1964), LKiS, 2007
13. Ricklefs, M.C, A History of Modern Indonesia (1981), terjemahan:
Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 2007
14. Zebua, Faondragö, Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan
Perkembangannya, Gunungsitoli, 1996
15. Zebua, S., Menelusuri: Sejarah Kebudayaan Ono Niha, Tuhegeo I, 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar