posted by: Dunia Andromeda
Penulisan sejarah
tentang Perang Salib sampai hari ini masih menyisakan banyak
pertanyaan yang belum terjawab. Salah satunya tentang peranan kaum
Hashyashyin,
sebuah sekte (ordo) khusus pembunuh dari kelompok Ismailiyah-Qaramithah,
salah
satu cabang dari kelompok Syiah di bawah Dinasti Fathimiyah. Hashyashyin
(Asassins) "guru" bagi Knights Templar
Konon,
Hashyashyin ini merupakan "guru" dari Knights Templar yang dibentuk oleh
Ordo
Sion di tahun 1118 Masehi. Keduanya — Hashyashyin maupun
Templar-memiliki banyak
kemiripan.
Mulai dari struktur organisasi,
pembangkangan terhadap agama (bid'ah)
dan bahkan dianggap agnostik (tidak meyakini agama apapun kecuali
doktrin
pemimpinnya), kepandaiannya dalam berperang, membunuh, serta
keterampilan dalam
hal pengunaan racun, serta adanya ritual-ritual khusus yang penuh dengan
warna
mistis-paganistik.
Bahkan banyak penulis sejarawan modern menganggap
Sekte
Syiah Qaramithah—asal muasal gerakan Assassins — sebagai kelompok
Bolsyewisme-Islam atau cenderung komunistis. Pendiri sekte ini bernama
Hamdan
al-Qarmath, seorang Irak yang gemar pada ilmu-ilmu perbintangan dan
kebatinan,
mirip dengan pengikut Kabbalah (Hitti, History of the Arabs: From the
Earliest
Times to the Present, 2002).Templar sendiri sesungguhnya pengikut
Kabbalah,
walau mereka mengaku sebagai pemeluk Kristen pada awalnya.
Penaklukkan
Jurusalem Oleh Dinasti Fatimiyah.
Sebab itu, banyak sejarawan
Barat yang
menuding di antara kedua sekte khusus pencabut nyawa ini sesungguhnya
terjalin
satu kerjasama dalam bentuk yang tersembunyi. Salah satu yang
memunculkan dugaan
ini adalah Prof. Carole Hillenbrand, Guru Besar Studi Islam dan Bahasa
Arab
University Edinburgh, Skotlandia. Skotlandia sendiri dikenal sebagai
wilayah
basis dari Freemasonry yang lahir di darah ini selepas penumpasan
Templar oleh
Raja Perancis, King Philipe le Bel, yang dibantu Paus Clement V di tahun
1307
M.
Profesor Hillenbrand dalam bukunya "The Crusade, Islamic
Perspective"
(1999) menulis bahwa setahun sebelum pasukan salib gelombang pertama
yang
dikomandani Godfroi de Bouillon tiba di pintu Yerusalem di tahun 1099
dan
merebutnya, Yerusalem diserang oleh pasukan dari Dinasti
Fathimiyah-Syiah yang
berpusat di Mesir dan merebutnya dari tangan kekuasaan Dinasti
Abbasiyyah yang
beraliran Sunni.
Jadi, ketika pasukannya Godfroi tiba di pintu
kota
Yerusalem, kota suci itu sebenarnya telah berada di bawah kekuasaan Bani
Fathimiyah.
Atas kejadian ini, Hillebrand mempertanyakan tidak
adanya
catatan khusus dari para sejarawan Muslim. "Serangan tiba-tiba yang
dilakukan
al-Afdhal (Wazir dari Dinasti Fathimiyah Mesir) ke Yerusalem, dengan
waktu yang
amat tepat, memerlukan penjelasan yang belum diberikan para sarjana
Islam.
Mengapa al-Afdhal melakukan serangan ini? Apakah karena ia telah tahu
lebih dulu
soal rencana para Tentara Salib? Bila demikian, apakah ia merebut
Yerusalem
untuk kepentingan Tentara Salib, yang sebelumnya telah menjalin aliansi
dengannya?" tulis Hillebrand.
Salah satu hipotesis yang
dikemukakan
peraih The King Faisal International Prize for Islamic Studies ini
adalah, bahwa
pasukannya al-Afdhal telah dikhianati oleh Godfroi de Bouillon, karena
sesungguhnya Kaisar Byzantium—Kristen Timur yang bertentangan secara
ideologi
dengan Kristen Barat yang mengirimkan Tentara Salib—telah memberitahu
al-Afdhal
bahwa pasukan Salib Kristen Barat akan segera tiba di Yerusalem.
Pemberitahuan
ini diberikan Kaisar Byzantium tidak lama berselang setelah Konsili
Clermont
usai.
Bisa jadi, demikian Hillebrand, al-Afdhal menginvasi Yerusalem
agar
Godfroi menahan pasukannya dan bisa berbagi kekuasaan, karena al-Afdhal
mengira
Tentara Salib atau 'Bangsa Frank' menurut Hillenbrand bisa dijadikan
sekutu yang
baik menghadapi Muslim Sunni.
Namun yang terjadi tidak demikian.
"Tentara
Salib hendak menguasai Yerusalem untuk dirinya sendiri, " tulisnya.
Lantas di
mana peranan Assassins dalam hal ini?
Peran Tersembunyi
Assassins
Menjelang Perang Salib pertama, dunia Barat dan Timur
masing-masing mengalami perpecahan (schisma) yang hebat. Dunia Barat
setidaknya
menjadi dua kekuatan besar: Kristen Timur yang berpusat di Byzantium dan
Kristen
Barat yang berpusat di Roma. Secara diam-diam, Sekte Gereja Yohanit yang
sesungguhnya agnostik-paganistik menyusup ke Vatikan dan menyusun
kekuatannya.
Di sisi lain Dunia Islam juga terbagi menjadi dua
kekuatan
besar yang juga saling memusuhi yakniKekhalifahan Abbasiyah yang sunni
dan
Kekhalifahan Fathimiyah yang syiah yang berpusat di Mesir.
Carole
Hillenbrand
menulis, "Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, sejak 1092 M, terjadi
rentetan pembersihan semua pemimpin politik terkemuka Dunia Islam dari
Mesir
hingga ke timur. Tahun 1092, seorang menteri terkemuka Dinasti Seljuk
sunni
bernama Nizam al-Mulk terbunuh (belakangan diketahui Assassins-lah yang
melakukan itu). "
Tahun 1092 M Dijuluki Tahun Kematian
Tiga
bulan kemudian, Sultan Maliksyah, sultan ketiga Seljuk yang telah
berkuasa
dengan gemilang selama duapuluh tahun juga meninggal dengan sebab-sebab
yang
mencurigakan. Kuat dugaan ia juga telah diracun Assassins. Tak lama
kemudian,
permaisuri dan cucu-cucunya pun meninggal dengan cara yang tak lazim.
Para
sejarawan Islam memandang tahun 1092 M sebagai "Tahun Kematian".
Apalagi
dengan peristiwa meninggalnya Khalifah Fathimiyah Syiah di Mesir,
al-Muntanshir,
musuh besar Seljuk, yang juga terjadi pada tahun itu. Dua tahun
kemudian, 1094,
Khalifah Abbasiyah alMuqtadhi juga meninggal.
Rentetan perubahan
yang
berjalan amat cepat ini oleh Hillenbrand disamakan dengan terjadinya
Perestroika
di Uni Soviet yang mengakibatkan kehancuran dan perpecahan. Berbagai
sekte dan
negara kecil-kecil memisahkan diri dan menjadi kekuatannya
masing-masing. Dunia
Islam menjelang Konsili Clermont di tahun 1096 sudah berubah menjadi
dunia yang
penuh kekacauan dan anarki.
Asassin Bertugas Menciptakan
Perpecahan Di Kalangan Islam
Hillenbrand mengajukan pertanyaan:
"Momentum ini bagi pasukan Salib sungguh menguntungkan. Apakah saat itu
pasukan
Salib telah diberitahu bahwa saat itu merupakan momentum yang sangat
bagus untuk
menyerang Yerusalem?"
Jika di balik, pertanyaan Hillenbrand
sebenarnya
bisa lebih menukik, seperti: "Adakah kekacauan di Dunia Islam ini telah
diatur?
Assassins bertugas menimbulkan perpecahan di kalangan Islam dengan
melakukan
serangkaian pembunuhan di berbagai dinasti Islam yang kuat, dan di lain
sisi
Ordo Yohanit (Peter The Hermit dan Godfroi de Bouillon sebagai dua
tokohnya) di
saat yang sama menyusup ke Vatikan dan memprovokasi Paus agar
mengobarkan Perang
Salib untuk merebut Yerusalem.
Apalagi sejarah mencatat bahwa
hanya
setahun sebelum pasukan Salib tiba di depan gerbang Yerusalem, kota suci
itu
telah jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah. Adakah ini merupakan
persekongkolan
antara Assassins dengan Ordo Yohanit di mana keduanya memang diketahui
cenderung
kepada ilmu-ilmu ramalan, perbintangan, sihir, dan sebagainya yang
menjurus pada
ajaran Kabbalah.
Dengan kata lain, adalah semua kejadian besar
itu
merupakan hasil konspirasi yang dilakukan Ordo Kabbalah dengan pembagian
kerja:
Assassins bekerja di Dunia Islam, sedangkan Yohanit (Ordo Sion dan
kemudian
Templar) bekerja di Dunia Kristen?
Bukan rahasia umum lagi bila
Assassins
dan Templar di kemudian hari benar-benar melakukan kerjasama. Templar
sering
mengorder Assassins untuk membunuh musuh-musuh politiknya. Salah satu
korban
dari Assassins adalah Richard The Lion Heart. Salahuddin al-Ayyubi
sendiri
pernah menerima terror dari Assassins.
Target
Asassins : Richard The Lion Heart dan Salahuddin
Al-AyyubiSuatu pagi, Salahuddin terbangun dari tidur di dalam
tendanya dan
menemukan sepotong kue yang telah diracun di atas dadanya dengan
tulisan, "Anda
berada dalam kekuasaan kami. " Sejak itu Salahudin makin yakin bahwa dia
tidak
bisa meremehkan Assassins. Dan hal ini terbukti kemudian, setelah
membebaskan
Yerusalem, Salahudin terus melakukan pembebasan hingga ke Benteng
Alamut, markas
besar Assassins di Persia, sebelum akhirnya ke Mesir untuk melakukan
pembersihan
terhadap sekte Syiah.
Sebutan Hashyashyin atau dalam lidah orang
Barat
"Assassins" berasal dari catatan Marcopolo. Pelaut ternama dari Venesia
ini pada
tahun 1271-1272 melintasi daerah Alamut, sebuah benteng besar di atas
karang
yang sangat kuat dan memiliki taman yang sangat indah di dalamnya, di
wilayah
Persia.
Dalam catatannya tentang Benteng Alamut dan aktivitas sekte
Syiah
pimpinan Hasan al-Sabbah, yang diistilahkan oleh Marcopolo sebagai kaum
Assassins, pelaut Italia ini menulis:
"…Beberapa pemuda yang berumur
duabelas
hingga duapuluh tahun yang memiliki semangat tarung yang tinggi, dibawa
masuk ke
dalam taman yang berada di tengah-tengah benteng. Mereka dibawa masuk
bergiliran, sekitar empat, enam, atau sepuluh pemuda. Sebelumnya, mereka
disuguhi minuman keras dan candu yang membuat mereka mabuk berat atu
tertidur
pulas. Baru setelah itu mereka diangkat dan dipindahkan ke dalam
taman.
Ketika bangun, para pemuda itu mendaati dirinya berada di
tengah
taman yang sangat indah. Mereka dikelilingi para gadis-gadis perawan
yang
mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para gadis itu menghibur, merayu,
dan
melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka sungguh-sungguh
dimanjakan.
Para pemuda itu menyangka mereka sedang berada di surga.
Sehingga
ketika Hasan al-Sabbahsebagai pimpinan tertinggi Hashyashyin memberi
tugas atau
perintah kepada mereka maka mereka akan dengan senang hati akan
melaksanakannya.
"Surga" yang sangat indah telah menantikan para
pemuda
tersebut jika tugasnya selesai. "Saat kau kembali, bidadari-bidadariku
akan
membawamu ke surga. Dan jika pun kau mati, kau pun akan pergi juga ke
surga, "
ujarnya.
Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh
Marcopolo,
kelompok ini disebut kaum Hashyashyin.
Old Man of the
Mountain
Freya Stark, seorang wartawati Inggris berdarah campuran
Perancis-Italia, ketika menjabat sebagai Staf Redaksi Bagdad Times di
Bagdad,
Irak, banyak melakukan perjalanan jurnalistiknya. Perempuan yang
menguasai
bahasa Arab dan Parsi ini atas izin Shah Iran di tahun 1930-1931
mengunjungi
sisa-sisa Benteng Alamut di Persia. Stark merupakan perempuan asing
pertama yang
menjejakkan kakinya di wilayah bekas pusat kekuasaan kaum Assassins
ini.
Stark membuat peta baru yang terperinci atas wilayah
tersebut dan
catatan perjalanannya menjadi sebuah buku yang sangat menarik berjudul
"The
Valley of the Assassins".
Dalam bukunya, Stark menulis tentang latar
belakang
dan perkembangan kelompok Assassins. Stark berpedoman kepada
literatur-literatur
tertua dalam Dunia Islam."Assassins itu sebuah sekte Parsi. Cabang dari
aliran
Syiah Ismailiyah, yang memuliakan Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi
Muhammad,
beserta Imam-Imam turunan dari garis Ali, " demikian Stark (hal.
159).
Asassins dan Komunisme
Aliran Ismailiyah
memisahkan
diri dari aliran-aliran lainnya sepeninggal Imam ke-7, Imam Jafar
al-Shadiq.
Walau mengaku sebagai Syiah dan pengikut Ali, namun berlainan dengan
aliran
lainnya, maka Assassins tidak mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan
sebagainya.
Pandangan 'keagamaan' Assassins juga unik karena lebih condong kepada
Komune
(pada abad ke-20 dikenal sebagai paham Komunisme)—penyamarataan sosial.
Bahkan
di dalam beberapa ritual religinya, Assassins juga melakukan ritus-ritus
yang
kerap ditemukan pada pengikut paganisme-Kabalis. Seperti halnya ritus di
dalam
Taman Alamut yang nyaris serupa dengan ritus pesta seks Caligula atau
Nero di
zaman Romawi.
Tulisan Stark yang dikutip oleh Joesoef Sou'yb
dalam
'Sejarah Daulat Abasiah' Jilid III (Bulan Bintang, 1978) menyatakan,
"Kelompok
Assassins dipimpin oleh sebuah keluarga Persia yang kaya raya namun gila
perang.
Mereka itu menyerahkan hidupnya untuk merongrong dan menghancurkan
secara
berangsur-angsur terhadap segala jenis keimanan Islam dengan suatu
sistem
pentahbisan (inisiasi) secara halus dan pelan-pelan, melalui beberapa
tahap
(marhalah), menusukkan kesangsian-kesangsian terhadap agama Islam,
hingga
kemudian si anggota menjadi seseorang yang mendewa-dewakan pemikiran
bebas dan
bersikap bebas pula (liberal). " (hal. 61)
Paparan Stark di atas
merupakan alat utama pengrusakkan agama-agama samawi yang dilakukan oleh
kaum
Kabbalis. Seperti yang telah diulas dalam banyak sekali literatur,
ketiga agama
samawi yang dirusak oleh kaum Kabbalah ini adalah Yahudi, Nasrani, dan
Islam.
Ke dalam agama Yahudi yang sesungguhnya memiliki Kitab
Taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa a. S., kaum Kabbalah ini menyisipkan
ayat-ayat palsu
sehingga Taurat menjadi rancu dan berantakan. Lantas kaum Kabbalah ini
membuat
satu kitab yang dikatakan sebagai 'titah Tuhan kepada Nabi Musa yang
tidak
tercatat' (seperti halnya Hadits Qudsi di dalam agama Islam, hanya saja
Hadist
Qudsi merupakan sesuatu yang benar berasal dari Allah SWT), yang
disebutnya
sebagai Kitab Talmud. Kitab Talmud ini pun akhirnya menjadi 'lebih suci
dan
tinggi' ketimbang Taurat, sehingga kaum Yahudi ini menjadi kaum yang
dimurkai
Allah SWT.
Ke dalam agama Nasrani, kaum Kabbalah memasukkan seorang
Yahudi
Talmudian bernama Paulus dari Tarsus. Paulus ini yang tidak pernah
bertemu
dengan Yesus karena zaman kehidupannya jauh berbeda, membuat Kitab
Perjanjian
Baru, yang disebutkan sebagai penggenapan Bibel Perjanjian Lama
(Taurat). Ke
dalam Perjanjian Lama pun-seperti halnya Taurat Musa—disisipkan
ayat-ayat palsu
sehingga mustahil untuk kita menemukan mana yang asli dan mana yang
tidak.
Lalu ke dalam agama Islam, kaum Kabbalah ini memasukkan
seorang
Yahudi juga yang berpura-pura sebagai orang Islam bernama Abdullah bin
Saba.
Abdullah bin Saba inilah yang memecah umat Islam ke dalam dua kutub
besar yakni
Sunni dan Syiah, sesuatu yang tidak ada saat Rasulullah SAW masih
hidup.
Sesuatu yang bukan kebetulan, ujar Stark, bahwa keluarga
Persia
tersebut memusatkan aktivitasnya di Mesir atas nama Dinasti Fathimiyah.
Mesir
sejak zaman purba merupakan salah satu pusat berkembangnya ajaran
Kabbalah.
Salah satu tonggak Kabbalah di Mesir Kuno adalah di
masa
kekuasaan para Firaun, yang berkuasa ditopang oleh "Dua Kaki" yakni
Militer dan
Penyihir. Di masa Nabi Musa as., para penyihir ini sebagian ada yang
meninggalkan ajaran Kabbalah dan kembali ke Islam. Namun Dewan Penyihir
Tertinggi (Majelis Ordo Kabbalah) tetap memusuhi Nabi Musa a. S dan
menyusupkan
seorang anggotanya ke dalam umatnya Nabi Musa untuk memalingkan kaumnya
dari
ketauhidan. Al-Qur'an mencatat orang yang disusupkan itu bernama
Samiri.
Di Mesir, cikal bakal Assassins ini menyusup ke semua
lini dan
menguasai posisi-posisi penting. Salah seorang dai Ismailiyah yang
berasal dari
kota Rayy di Persia bernama Hassan al-Sabbah muncul sebagai tokoh di
Mesir.
Hassan al-Sabbah inilah yang kemudian mendirikan sekte Assassins dan
memegang
jabatan sebagai Pemimpin Agung yang pertama dari kelompok tersebut (The
First
Grandmaster of the Assassins).
Kharisma dan kebrutalan Hassan
al-Sabbah
menjadikannya dai yang amat disegani. Ia kemudian menciptakan ideologi
bagi
kelompoknya sendiri, melaksanakan pelatihan-pelatihan militerisme dan
intelijen
secara sembunyi-sembunyi, dan sebagainya.
"Ia menciptakan suatu
penemuannya sendiri, membawa ide baru ke dalam dunia politik pada
masanya itu.
Prinsip pembunuhan yang cuma karena haus darah telah dikembangkannya
menjadi
satu alat politik berasaskan sumpah, " tulis Sou'yb. Dan tentu saja,
proyek-proyek pembunuhan diam-diam terhadap lawan-lawan politik pihak
yang
memesannya telah menjadi ladang usaha yang sangat menguntungkan.
Assassins pun
menangguk keuntungan material yang sangat besar dari usahanya.
The
Secret Garden of Assasins
The Secret Garden atau Taman Rahasia
yang
terletak di tengah Benteng Alamut di Persia, merupakan tempat inisiasi
para
anggota baru yang kisahnya telah dipaparkan di atas. Ritual yang
dilakukan
Assassins di Taman Rahasia tersebut mirip dengan yang dilakukan para
Templar di
Rosslyn Chapel atau di kuil-kuil mereka, yakni berakhir dengan pesta
seks yang
disebutnya sebagai penyatuan suci menuju Tuhan.
Reruntuhan Benteng Alamut, Markas Pembentukan Asassins
Hassan
al-Sabbah merupakan pendiri sekaligus Grandmaster Assassins. Hasan
berasal dari
daratan Persia. Ferdinand Tottle dalam bukunya berjudul Munjid fil Adabi
(1956)
menulis bahwa Hassan dikirim oleh Ibnu Attash di tahun 1072 M ke Mesir
untuk
menemui Khalif al-Muntashir dari Daulah Fathimiyah yang beraliran
Syiah.
Mesir kala itu dikuasai kelompok syiah, di mana Perguruan
Tinggi
Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan ternama kaum Syiah. Hasan menuntut
pendidikan di lembaga tersebut.
Sepuluh tahun kemudian, dalam
usia ke-31,
Hasan kembali ke Persia. Ketika Ibnu Attash wafat, Hassan menggantikan
kedudukannya. Sebelum Hassan kembali ke Persia, Assassins masih menjadi
gerakan
bawah tanah yang belum berani menampakkan diri di atas permukaan. Dan
ketika
Hassan telah kembali, maka Assassins baru menampakkan diri sebagai satu
gerakan
dalam Sekte Syiah Ismailiyah yang beda dengan sekte-sekte
lainnya.
Asassins Aliran Sesat Ciptaan Yahudi
Assassins
sebenarnya bukan hanya beda di permukaan, tapi memiliki perbedaan secara
substansial dan doktrinal. Secara akidah sebenarnya Assassins tidak lagi
bisa
dipandang sebagai bagian dari kaum Muslimin karena mereka tidak
mewajibkan
sholat, zakat, dan puasa, sesuatu yang sangat esensial di dalam
Islam.
Sekembalinya Hassan ke Persia, gerakan Assassins mulai
memperluas
pengaruhnya ke seluruh penjuru Persia dengan merebut wilayah-wilayah
strategis.
Wilayah Iran Utara sampai pesisir Laut Kaspia, yang sejak zaman Romawi
banyak
berdiri kota-kota benteng menjadi sasaran utama. Beberapa kota benteng
yang
kokoh berdiri di antaranya Alamut, Girdkuh, dan Lamiasar berhasil
dikuasai.
Benteng Alamut merupakan benteng terkuat karena berdiri
di atas
puncak pegunungan di mana hanya ada satu jalan untuk keluar dan masuk,
itu pun
sangat sulit dan terjal. Di dalam benteng yang merupakan peninggalan
dari Kaisar
Romawi Trajanus (98-117M) terdapat ruangan-ruangan yang membingungkan
dan sebuah
taman rahasia di tengahnya, di mana tidak setiap orang bisa
mengaksesnya. Oleh
Hassan al-Sabbah, Benteng Alamut digunakan sebagai markas besar kelompok
tersebut.
Dari Alamut inilah kelompok Assassins menyebarkan
terror ke
seluruh lapisan kerajaan, baik dari pihak Syiah maupun lawannya
Sunni-Abasiyah
dan Seljuk. Masa-masa itu dikenal sebagai masa The Great Terror.
Kekuatan
Assassins ini demikian melegenda hingga menjadi pembicaraan kaum Salib
Eropa.
Ditumpas Shalahuddin al-Ayyubi
Selain
Tentara Salib dengan Ksatria Templar dan Hospitaller-nya, pasukan
Shalahuddin
Al-Ayyubi juga harus menghadapi kelompok Assassins. Shalahuddin tidak
bisa
melupakan bagaimana Assassins pernah mengancam dirinya dengan menaruh
kue
beracun di atas dadanya saat dia tengah tertidur.Sebab itu, setelah
membebaskan
Yerusalem dengan mengalahkan Tentara Salib di tahun 1187, Shalahuddin
tidak
berhenti. Panglima pasukan Islam itu terus menyusuri ke utara,
membebaskan
daerah-daerah lainnya hingga mengejar kaum Assassins ke Benteng
Alamut.
Pasca serangan yang dilakukan pasukannya Shalahuddin,
kemudian
pasukannya Mongol, kelompok Assassins menyebar ke berbagai wilayah,
utamanya
Lebanon, Persia, dan Suriah. Bertahun-tahun kemudian, kelompok ini tidak
lagi
terdengar dan istilah "Asassins" telah mengalami perubahan makna menjadi
"Pembunuh Bayaran". Dalam budaya pop, istilah ini diangkat ke dalam
novel-novel
dan layar perak.
Dalam kancah konflik di dunia Arab, anak-keturunan
kelompok
ini dikenal sebagai kaum Druze, suatu kelompok pro-komunis di Lebanon
dan
Suriah. Namun beberapa kelompok kecil masih bertahan hingga kini di
sekitar
wilayah tersebut.
Catatan Yang Hilang
Sampai hari
ini,
sejarawan masih bersilang pendapat soal hubungan antara Sekte Assassins
dengan
Ksatria Templar (dan Ordo Sion tentunya). Carolle Hillebrand dalam
karyanya yang
mendapat penghargaan dari King Faisal termasuk yang percaya bahwa di
bawah
permukaan, di masa sebelum dan sesudah Perang Salib, antara kedua
kelompok ini
sebenarnya terdapat kerjasama yang unik.
Keduanya memiliki
kemiripan di
dalam memahami kitab suci agamanya masing-masing. Baik Templar maupun
Assassins
dituduh telah melakukan heresy atau bid'ah, karena keduanya memahami
kitab
sucinya lebih dari sekadar apa yang tertulis dan meyakini ada
pesan-pesan tidak
tertulis di dalam teks-teksnya. Kalangan sejarawan menyebut mereka
berdua
sebagai kelompok esoteris. Sebab itu, ritual-ritual keagamaan keduanya
pun
mirip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar