posted by: Dunia Andromeda
Sepuluh
gol tercipta ke dalam gawang Andi Muhammad Guntur. Seakan kian
melengkapi penderitaan, Samsidar menerima kartu merah pada menit ketiga
pertandingan, menyusul kartu merah kepada pelatih Aji Santoso, dan
empat kali hukuman penalti yang dijatuhkan wasit Andre El Haddad asal
Libanon. Sejarah juga mencatat, tidak ada tim lain setelah Brighton
& Hove Albion pada Maret 1989 yang menerima empat hukuman penalti
sekaligus pada satu pertandingan.
GOAL.com mencoba merangkum sepuluh hasil pertandingan
terburuk yang pernah dialami Indonesia sepanjang sejarah. Definisi
"terburuk" tidak mesti berarti kekalahan dengan skor besar, tetapi juga
hasil-hasil mengejutkan dan di luar dugaan yang mencegah terwujudnya
mimpi Indonesia untuk berprestasi. Sepuluh pertandingan ini juga
dipilih berdasarkan dampaknya terhadap perkembangan sepakbola tanah air
secara keseluruhan. Dengan demikian, kekalahan 7-1 dari Uruguay,
misalnya, pada laga ujicoba tidak masuk dalam catatan.
Catatan hasil-hasil ini juga tidak dimaksudkan untuk menghujat,
melainkan dilakukan dengan semangat pembelajaran dari pengalaman yang
sudah dialami Indonesia. Sepakbola tidak melulu soal kemenangan, tetapi
juga bagaimana caranya bangkit dari keterpurukan.
1. Mogok di debut regional, vs Thailand 1-1, SEA Games 1977
Untuk kali pertama Indonesia berpartisipasi di pesta olahraga negara
Asia Tenggara, SEA Games. Di cabang sepakbola, Indonesia disematkan
status favorit karena sudah langganan tampil di turnamen antarnegara
seperti Merdeka Games, Piala Raja Thailand, atau Piala Presiden Korea
Selatan. Status favorit kian lantang ketika Indonesia mampu mengalahkan
tuan rumah Malaysia 2-1 pada laga debut SEA Games. Setelah laga itu,
skuad Indonesia menuding kubu tuan rumah menerapkan strategi tidak
sportif dengan jadwal ketat. Puncaknya terjadi ketika di laga
semi-final Indonesia memprotes kepemimpinan wasit Othman Omar, asal
Malaysia, yang dianggap berat sebelah. Pemain Indonesia berkelahi
dengan Thailand dan wasit menghentikan pertandingan pada menit ke-60
pada kedudukan 1-1. Indonesia menolak melanjutkan laga sehingga panitia
memberikan kemenangan kepada Thailand. Indonesia pun melanjutkan protes
dengan mogok bertanding pada pertandingan perebutan medali perunggu
melawan Burma.
2. Super-Mokh membungkam Senayan, vs Malaysia 0-1, SEA Games 1979
Setelah kasus mogok pada partisipasi debut, Indonesia berhasil melaju
ke babak puncak SEA Games 1979 yang digelar di kandang sendiri. Ratusan
ribu pasang mata memadati Senayan berharap Indonesia mampu melengkapi
gelar juara umum dengan medali emas cabang primadona, sepakbola.
Apalagi musuh di laga puncak adalah seteru abadi, Malaysia. Harapan
masyarakat Indonesia musnah di kaki penyerang legendaris Harimau
Malaya, Mokhtar Dahari. Memanfaatkan kecerobohan Ronny Pattinasarany,
pemain berjuluk Super-Mokh itu berhasil membobol gawang Ronny Paslah
pada menit ke-21. Indonesia gagal membalas sepanjang sisa pertandingan
dan rivalitas dua negara tetangga ini pun kian dalam.
3. Raksasa melawan liliput, vs Fiji 3-3, Kualifikasi Piala Dunia 1982
Indonesia tak mampu mengalahkan Fiji, negara seukuran provinsi Nusa
Tenggara Barat, dalam dua pertemuan pada kualifikasi Piala Dunia 1982.
Tergabung di Sub Grup A kualifikasi Piala Dunia 1982 bersama Selandia
Baru, Australia, Taiwan, dan Fiji, Indonesia nyaris saja terhempas
menjadi juru kunci. Hasil buruk dibukukan pada empat laga pertama
ketika dibekuk Selandia Baru 2-0 dan 5-0, kandang dan tandang, menyerah
2-0 dari Australia di Melbourne, dan bermain imbang 0-0 melawan tuan
rumah Fiji. PSSI memutuskan mengganti pelatih Harry Tjong dengan Endang
Witarsa. Di Senayan, dua hari sebelum melawan Fiji, seperti dilansir
Tempo, manajer Syarnoebi Said akan menyuruh pemain Indonesia bersumpah
guna menepis kecurigaan kemungkinan disuap. Di lapangan, Indonesia
sempat unggul 3-1 sebelum akhirnya disamakan 3-3 oleh Fiji hingga
pertandingan berakhir. Beruntung Indonesia selamat dari posisi juru
kunci setelah menaklukkan Australia 1-0 pada laga pamungkas yang sudah
tidak menentukan.
4. Antiklimaks Garuda 1, vs Thailand 0-7, SEA Games 1985
Hanya empat bulan setelah sukses menjuarai Sub Grup B kualifikasi Piala
Dunia 1986 dan hanya kalah dari Korea Selatan yang lolos ke Meksiko,
Indonesia tidak tampil dengan standar yang sama di SEA Games di
Thailand. Padahal Indonesia tampil dengan sisa-sisa skuad Garuda 1 yang
berlatih khusus di Brasil. Bedanya, Bertje Matulapelwa ditunjuk menjadi
pelatih menggantikan Sinyo Aliandoe. Pada partisipasi kali ini,
Indonesia hanya mampu bermain imbang sekali dalam empat pertandingan.
Puncaknya adalah kekalahan telak 7-0 dari tuan rumah Thailand di
semi-final. Usai SEA Games, Bertje tetap dipercaya PSSI menangani
timnas. Seperti diketahui, Bertje kemudian sukses membawa Indonesia
menempati peringkat keempat Asian Games 1986. Kegagalan SEA Games
rupanya menjadi pelecut Indonesia untuk melaju jauh di Asian Games dan
kemudian sukses menjuarai SEA Games 1987 yang digelar di Jakarta.
5. Gol bunuh diri Mursyid Effendy, vs Thailand 2-3, Piala Tiger 1998
Untuk menghindari tuan rumah sekaligus favorit Vietnam di semi-final,
Indonesia dan Thailand "menolak" menang pada pertandingan terakhir
babak penyisihan Grup A. Kedua tim sudah dipastikan lolos ke
semi-final, tetapi hasil imbang saja sudah cukup bagi Thailand untuk
menempati posisi runner-up dan terhindar dari laga melawan Vietnam.
Ketidakseriusan memuncak usai jeda. Indonesia memimpin dua kali sebelum
selalu disamakan Thailand. Puncaknya, pada menit ke-90 Mursyid Effendi
melesakkan bola ke dalam gawang sendiri! Thailand menang 3-2 dan
berhadapan dengan Vietnam di semi-final. Ketua Umum PSSI Azwar Anas
menyambut kepulangan timnas di bandara dan sambil berlinang air mata
menyatakan pengunduran diri karena insiden memalukan itu. Setelahnya,
Mursyid juga mendapat sanksi larangan bermain untuk timnas seumur hidup
oleh FIFA.
6. Antiklimaks di Negeri Tirai Bambu, vs Cina 0-5, Piala Asia 2004
Bersama pelatih Bulgaria yang senantiasa didampingi penerjemah bahasa
Indonesia, Ivan Kolev, membawa Garuda mengejutkan Asia dengan
menundukkan Qatar 2-1 pada laga perdana Grup A Piala Asia 2004. Hasil
tersebut menyebabkan Qatar memecat pelatih Philippe Troussier.
Optimisme pun melambung karena minimal Indonesia membutuhkan satu poin
tambahan melawan Cina dan Bahrain pada dua laga susulan. Nyatanya,
Indonesia tampil lesu pada laga kedua menghadapi tuan rumah Cina. Alex
Pulalo mendapat kartu merah pada menit ke-29 dan Garuda menyerah 5-0.
Pada laga terakhir Indonesia dikalahkan Bahrain 3-1 dan gagal masuk
delapan besar. Kolev kemudian tidak melanjutkan tugas sebagai pelatih
dan digantikan oleh Peter Withe untuk Piala AFF tahun yang sama. Tim
besutan Withe, dengan mengandalkan bintang baru seperti Boaz Solossa
dan Ilham Jayakesuma, tampil mempesona di turnamen tersebut.
7. Blunder Garuda Muda, vs Suriah 0-7, kualifikasi Piala Dunia 2010
Gairah publik meningkat setelah penampilan Indonesia di Piala Asia 2007
yang terbilang memuaskan meski gagal lolos ke babak perempat-final.
Semangat melaju jauh di kualifikasi Piala Dunia pun mengapung ketika
berhadapan dengan Suriah di babak eliminasi. Apa lacur, 9 November,
Indonesia harus mengakui keunggulan tim tamu 4-1. Merasa tak lagi punya
peluang, Indonesia mengirimkan tim U-23 yang disiapkan mengikuti SEA
Games 2007. Kebijakan itu terbukti menjadi blunder. Garuda Muda
menyerah 7-0 di Damaskus dan gagal total di Nakhon Rachasima, Thailand.
Pelatih Ivan Kolev yang dipuja-puja saat Piala Asia pun sontak
kehilangan kepercayaan PSSI dan digantikan dengan Benny Dollo di awal
2008.
8. Tersandung di Bukit Jalil, vs Malaysia 0-3, leg pertama final Piala AFF 2010
Sejengkal lagi perjuangan Indonesia mengakhiri puasa gelar sejak 1991
akan terwujud di Piala AFF 2010. Indonesia selalu menang dalam tiga
pertandingan penyisihan grup dan dua laga semi-final melawan tim
kejutan Filipina. Lawan di laga puncak adalah Malaysia, tim muda yang
ditelan 5-1 pada laga pembuka di Senayan. Dengan segala sorotan dan
eksploitasi terhadap tim asuhan Alfred Riedl, termasuk dengan kegiatan
tim mengikuti pengajian sebelum laga final, Indonesia tersandung di
Bukit Jalil. Malaysia mengejutkan dengan kemenangan 3-0 dan hasil itu
hanya mampu dibalas 2-1 pada laga kedua di Senayan beberapa hari
berselang. Harapan publik untuk berprestasi pun kembali pupus. Enam
bulan setelah turnamen, terjadi pergantian kepemimpinan PSSI dan Riedl
secara kontroversial dipecat untuk digantikan dengan Wim Rijsbergen.
9. Skandal Senayan, vs Yugoslavia Selection 2-3, Laga eksebisi
Almarhum Tony Pogacnik tercenung setiap kali ditanya wartawan tentang
peristiwa memalukan yang terjadi di tengah persiapan Indonesia
menghadapi Asian Games 1962 di negeri sendiri. Persiapan untuk cabang
sepakbola digelar serius dengan menggelar pelatnas dan membentuk dua
tim, Banteng dan Garuda. Sejumlah laga ujicoba digelar, antara lain
menghadapi Torpedo Moskwa dan Yugoslavia Selection. Pada kekalahan 3-2
melawan Yugoslavia Selection disinyalir sejumlah pemain timnas menerima
suap. Pogacnik bahkan sampai berlinang air mata ketika kepolisian
memeriksa dan menahan beberapa pemain atas tuduhan tersebut. Pada
akhirnya, Pogacnik terpaksa membentuk tim yang sama sekali baru. Di
Asian Games, Indonesia gagal terbang tinggi dan tersisih di penyisihan
grup.
10. Tragedi Manama, vs Bahrain 0-10, Kualifikasi Piala Dunia 2014
Terakhir, tentu saja hasil yang baru saja terjadi di pertandingan
terakhir kualifikasi menuju Brasil 2014. Tak lagi punya peluang,
ditambah dengan masalah dualisme kompetisi, PSSI memberangkatkan tim
yang hanya diisi para pemain dari kompetisi legal. Wim Rijsbergen tidak
lagi menjadi pelatih dan Aji Santoso dipercaya menukangi tim. Hasil
buruk rupanya merusak laga debut Aji serta sebagian besar para pemain
di ajang internasional. Kekalahan 10-0 di Manama ini merupakan yang
terbesar dialami Indonesia sepanjang sejarah, melampaui rekor 9-0
ketika dikalahkan Denmark pada 1974.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar