posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
MUSIM panas sekali ini memang gila. Delapan purnama telah berlalu tanpa sekali pun turun hujan. Sungai mengering, danau berubah menjadi lembah tandus.
Pepohonan banyak yang hanya tinggal ranting-ranting meranggas. Sawah sudah sejak lama menjadi pendataran liar yang terdiri dari bongkah-bongkah tanah kering kerontang dan alang-alang.
Di bawah teriknya sinar matahari yang seperti membakar bumi menghanguskan jagat, di sebelah selatan Gunung Karangpandan, di tepi sebuah rimba belantara kelihatan satu pemandangan yang bisa dikatakan luar biasa.
Delapan orang lelaki bertelanjang dada, rata-rata bertubuh tinggi besar dan kokoh, setengah berlari tampak mengusung sebuah tandu. Empat di depan, empat di belakang. Di bagian tengah tandu ada sebuah tempat duduk kayu yang diberi beratap dan dinding serta pintu, semuanya terbuat dari kayu jati hitam.
Karena kayu jatinya merupakan kayu jati paling bagus dan tebal maka keseluruhan tandu itu memiliki berat tidak kurang dari dua ratus kati! Belum lagi kalau di atas tandu itu ada orangnya.
Di samping itu, demikian rapatnya dinding dan pintu tandu, sehingga siapa pun yang ada di dalamnya tidak dapat dilihat dari luar. Meskipun tandu itu demikian beratnya namun kedelapan lelaki yang mengusungnya berjalan cepat setengah berlari.
Sambil bergerak, dari mulut empat orang pengusung di sebelah depan tidak henti-hentinya menyerukan dengan bersemangat kata-kata hitungan “Satu-dua-tiga-empat…! Satu-dua-tiga-empat!” Lalu empat teman mereka di sebelah belakang pada akhir hitungan ke empat menyahuti dengan ucapan “Anjing gila jilat pantat…! Anjing gila jilat pantat!”
Begitu seterusnya sepanjang perjalanan selalu terdengar: “Satu-dua-tiga-empat…!
Anjing gila jilat pantat! Satu-dua-tiga-empat…! Anjing gila jilat pantat!”
Tubuh, muka dan kepala delapan lelaki pengusung tandu tampak basah oleh keringat. Tetapi hebatnya, mereka tidak tampak letih.
Rombongan pengusung tandu aneh itu berangkat sejak fajar menyingsing dari arah Magetan menuju ke Barat. Ke delapan orang pengusung sama sekali tidak mengetahui ke mana sebenarnya tujuan mereka. Pada saat-saat tertentu di lantai tandu yang tertutup itu mereka mendengar suara ketukan. Ada kalanya dua ketukan, atau tiga kali ketukan, kadang-kadang hanya satu kali.
Ketukan-ketukan itu adalah tanda atau petunjuk yang harus mereka ikuti. Satu ketukan berarti jalan terus ke depan. Dua ketukan membelok ke kanan. Kalau terdengar tiga kali ketukan pada lantai tandu berarti mereka harus menikung ke kiri.
Dari dalam tandu juga sesekali keluar asap tipis berwarna putih agak kelabu. Anehnya, setiap asap putih itu keluar, ke delapan orang lelaki pengusung seperti berebutan meninggikan hidung, serentak menghirup asap tersebut. Begitu mereka dapat menghirup asap itu, wajah mereka kelihatan menjadi kemerahan. Rasa letih di sekujur tubuh masing-masing menjadi lenyap!
Di suatu tempat terdengar dua ketukan pada lantai tandu. Delapan pengusung segera membelok ke kanan. Kini mereka memasuki rimba belantara yang sebelumnya hanya mereka susuri sepanjang pinggirnya saja. Dulunya rimba belantara ini tertutup kerimbunan daun-daun pepohonan. Kini sejak dilanda musim kemarau panjang selama delapan bulan, rimba belantara itu hanya tinggal pohon-pohon nyaris tak berdaun, tidak mampu membendung teriknya sinar matahari. Di lantai tandu terdengar suara ketukan satu kali berkepanjangan. Pertanda jalan yang ditempuh adalah lurus ke depan.
Di salah satu bagian hutan, ketukan satu kali-satu kali tiba-tiba berhenti. Lalu berganti dengan ketukan tujuh kali-tujuh kali. Delapan orang lelaki pengusung serta merta berhenti berlari. Suara seruan “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!” langsung sirap. Semuanya memandang berkeliling dengan mata tidak berkesip.
Sebenarnya sejak memasuki rimba belantara tadi mereka diam-diam telah mengetahui ada serombongan orang tengah menguntit mereka. Namun karena tidak mendapat “petunjuk” dari dalam tandu maka mereka tidak berani melakukan sesuatu dan dengan tenang sambil terus mengumandangkan ucapan-ucapan “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”, kedelapannya terus saja berlari.
Kini tujuh ketukan tadi telah mereka dengar. Itulah satu perintah yang berarti mereka harus berhenti berlari karena ada bahaya dan mereka harus menghancurkan bahaya itu Delapan lelaki bertubuh tegap itu tidak menunggu lama. Semak belukar di sekeliling mereka tersibak. Dua belas orang berpakaian merah dan berikat kepala kain merah muncul. Tampang mereka rata-rata angker dan masing-masing mencekal sebilah golok besar.
Seorang dari mereka melangkah maju. Rupanya dia yang menjadi pimpinan dari sebelas kawan-kawannya. Berewok dan kumisnya sangat lebat. “Kalian rombongan dari mana dan mau ke mana!?”
“Kami dari Magetan, dalam perjalanan menuju ke Barat.” Salah seorang dari delapan lelaki pengusung tandu menjawab. Dia adalah yang berada di sebelah kanan depan.
“Barat itu luas. Sebutkan tujuan kalian dengan jelas. Jangan memberi teka-teki padaku!” bentak si berewok ini.
“Kami tidak berteka-teki. Kami bicara apa adanya!” jawab si pengusung di kanan depan. Rupanya dia tidak takut menghadapi rombongan orang-orang angker yang kini mengurungnya di dalam rimba belantara itu. Ketujuh temannya juga tidak menunjukkan rasa khawatir. Sikap mereka tenang tapi sepasang mata masing-masing tidak berkesip mengawasi keadaan sekeliling mereka.
Lalu kawannya di depan kiri menyusuli ucapan itu. “Kami sudah menjawab. Sekarang beri jalan jangan menghalangi!”
Lelaki berewok berpakaian merah sesaat menatap pengusung itu lalu menyeringai. Setelah itu kembali dia membentak. “Turunkan usungan! Aku mau lihat apa yang kalian bawa!”
Yang menjawab kembali adalah pengusung di kiri depan. “Kami tidak membawa barang atau benda berharga. Jadi tidak perlu tandu diturunkan.”
“Hemm… Begitu kau bilang?” orang berpakaian merah dengan berewok lebat kembali menyeringai. “Di rimba belantara Karangkukusan ini aku yang punya kuasa. Aku yang memerintah. Hanya mereka yang ingin cepat mampus boleh unjuk lagak coba-coba membangkang!”
“Kita sesama teman, mengapa harus bicara keras? Apalagi sampai memeriksa isi tandu ini!”
“Kita sesama teman kau bilang! Aku Krincing Wungu tidak pernah punya teman manusia-manusia dogol macammu dan kawan-kawanmu! Turunkan tandu atau kepala kalian kubikin menggelinding satu demi satu!”
“Hah! Rupanya kami berhadapan dengan gembong penjahat rimba Karangkukusan yang terkenal itu!” kata si pengusung di depan sebelah kiri.
Dari dalam tandu tiba-tiba keluar asap putih kelabu. Delapan orang lelaki pengusung tandu meninggikan leher dan menghirup dalam-dalam. Tampang mereka serta merta menjadi merah segar dan mereka seperti mendapat satu kekuatan dan keberanian. Hal ini tidak lepas dari pemandangan dua belas orang berpakaian merah, termasuk pimpinannya yang bernama Krincing Wungu itu.
“Tandu tidak akan kami turunkan! Terserah kau mau berbuat apa! Adalah bodoh kalau kau tidak melihat tingginya Gunung Merapi dan dalamnya Samudra Selatan. Kau mencari penyakit sobat!”
Krincing Wungu mendengus. Dia berpaling pada sebelas anak buahnya lalu goyangkan kepalanya. Melihat isyarat ini sebelas orang lelaki berpakaian merah segera menyerbu ke arah usungan. Sebelas golok besar berkelebat mencari sasaran di tubuh atau kepala delapan orang lelaki pengusung tandu. Dalam keadaan masih memikul beban berat, serangan ganas itu pastilah akan membawa celaka bagi ke delapan orang yang jadi sasaran. Namun apa yang terjadi kemudian sungguh luar biasa. Satu orang lelaki pengusung di bagian depan dan satu lagi di bagian belakang melesat keluar sedang enam lainnya tetap ditempat masing-masing. Lalu tangan dan kaki mereka yang bebas bergerak cepat menyambut serangan.
Dua anggota pengusung yang tadi keluar dari rombongan menyusup dan tahu-tahu sudah berada di belakang sebelas orang yang menyerbu. Keduanya membuat gerakan-gerakan cepat dan ganas.
Kesebelas penyerang itu kini seolah-olah terjepit di tengah-tengah. Lalu terdengar jerit pekik. Enam golok mental ke udara. Empat sosok berpakaian merah roboh dengan kepala pecah. Tiga lainnya menggelepar-gelepar di tanah sambil pegangi batang leher yang remuk lalu tak berkutik lagi, mati dengan mata mencelet.
Sisa penyerang yang tinggal empat dan saat itu tidak lagi memegang senjata karena telah mental atau jatuh. Mereka melompat mundur dengan muka pucat.
Di pihak para pengusung tandu, salah seorang di antara mereka yang di bagian belakang kelihatan masih tegak mengusung tandu tetapi pangkal bahu kirinya luka besar kena hantaman golok.
Darah mengucur deras membasahi dadanya yang telanjang dan juga celana hitamnya. Dari air mukanya jelas orang ini menahan rasa sakit yang amat sangat.
Hebatnya, dalam keadaan luka parah seperti itu dia tetap tegak menahan tandu dengan bahu kanannya. Namun darah yang terlalu banyak keluar membuat orang ini mulai merasa dirinya limbung dan pemandangannya mulai berkunang.
Krincing Wungu sesaat masih tertegak dengan tubuh bergetar dan mata melotot. Dalam hati dia menggeram. “Siapa orang-orang ini sebenarnya? Tujuh anak buahku mereka bunuh dalam sekejapan!” Seberkas asap tiba-tiba keluar dari sela-sela lantai tandu. Menyapu ke arah pengusung yang berada dalam keadaan luka parah tadi.
Orang ini segera menghirup asap itu, kawan-kawannya di sebelah menyebelah ikut menghirup. Begitu hawa dari asap aneh masuk ke saluran pernafasan dan paru-parunya, lalu mengalir dalam saluran pembuluh darahnya, pengusung yang terluka ini merasa ada perubahan dalam dirinya. Rasa sakit hilang sama sekali. Tubuhnya yang tadi lemah kini menjadi segar dan kuat sedang pemandangan matanya yang sebelumnya berkunang kini menjadi pulih dan terang kembali.
Di lantai tandu terdengar suara ketukan satu kali. Itu pertanda bahwa rombongan pengusung harus segera bergerak meninggalkan tempat itu, lurus ke depan.
Rombongan ini segera bergerak. Namun baru maju dua langkah, dari samping didahului suara bentakan garang, Krincing Wungu melompat setinggi dua tombak ke udara. Di lain saat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas tandu.
BEGITU kedua kakinya menginjak atas tandu. Krincing Wungu segera tusukan golok besarnya ke atap itu. Delapan orang pengusung tetap tidak bergerak sedikitpun padahal berat tubuh Krincing Wungu paling tidak sekitar 90 kati!
Sesaat lagi golok Krincing Wungu akan menembus atap tandu, tiba-tiba atap tandu terbuka dan dari dalam tandu melesat sebuah tombak, mencuat langsung menusuk selangkangan Krincing Wungu.
Kepala penjahat hutan Karangkukusan ini meraung keras. Golok besar terlepas dari tangannya. Kedua tangannya kini dipergunakan untuk memegangi bawah perutnya dari bagian mana darah mengucur deras. Sekali lagi Krincing Wungu menjerit. Lalu tubuhnya jatuh ke bawah. Tiga orang anak buahnya berseru tegang.
Mereka serempak melompat ke arah di mana tubuh pimpinan mereka bakal jatuh, berusaha menyahuti tubuh itu agar tidak jatuh ke tanah.
Namun tubuh Krincing Wungu besar dan berat. Tiga anak buahnya tidak sanggup menahan. Keempat penjahat ini akhirnya jatuh terkapar di tanah. Krincing Wungu tampak menggeliat. Dari mulutnya tiada henti terdengar raungan. Suaranya menjadi parau. Tubuhnya berkelojotan beberapa ketika lalu diam tak bergeming lagi.
“Pemimpin!” seru tiga anak buah Krincing Wungu lalu menubruk tubuh pemimpin mereka. Tapi Krincing Wungu sudah jadi mayat.
Di lantai tandu terdengar suara ketukan satu kali. Itu tanda perjalanan harus dilanjutkan, lurus ke muka. Delapan lelaki pengusung tandu mendongak. Kaki mereka bergerak. Tandu itu kembali mereka gotong dan larikan. Dari mulut mereka kembali terdengar suara: “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
Tiga orang anak buah Krincing Wungu perhatikan kepergian rombongan pengusung tandu itu. “Rombongan aneh. Siapa mereka sebenarnya?” berkata salah seorang dari mereka.
“Aku tak bisa menduga. Tapi jangan-jangan…” orang ini tidak meneruskan ucapannya. Wajahnya kelihatan pucat mendadak. Dua temannya tampak ketakutan juga. Dia cepat berdiri seraya berkata, “Kita tidak bisa mengurus semua mayat ini. Jenazah pemimpin saja yang bisa kita bawa dari sini. Bantu aku menggotongnya!”
Masih di dalam rimba belantara Karangkukusan, di arah barat yang bakal dilalui oleh rombongan pengusung tandu tadi kelihatan gerakan-gerakan di balik semak belukar dan di atas beberapa buah pohon besar. Lalu terdengar suara suitan-suitan pendek dari arah kanan. Suitan ini disambut dengan suitan pula dari jurusan kiri.
Ketika suara suitan yang bersahut-sahutan itu lenyap, serumpun keladi hutan berdaun tinggi dan lebar tampak bergoyang. Satu tangan muncul di antara daun-daun keladi itu, menggaruk-garuk satu kepala berambut gondrong. Orang di balik pohon keladi mendongak ke langit.
“Itu bukan suitan biasa. Siapa yang tadi berbalas suitan?” orang yang berambut gondrong ini yang ternyata seorang pemuda bertanya dalam hati. Dia memandang berkeliling. Tidak terlihat gerakan, tidak terlihat apa pun. Dia mendongak lagi. Saat itulah dia melihat sebuah benda panjang menjulai di udara hampir tersamar di antara cabang-cabang pepohonan.
Belum sempat dia menduga benda apa adanya itu tiba-tiba telinganya menangkap seruan-seruan tak berkeputusan di kejauhan di arah selatan. Makin lama seruan-seruan itu semakin keras dan tambah jelas. “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
“Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
“Edan! Dalam rimba belantara begini siapa pula yang berteriak seperti itu! Anjing gila mana yang jilat pantat!” pemuda berambut gondrong di balik pohon keladi besar berkata dalam hati setengah memaki. Tapi diam-diam dia juga merasa heran dan agak was-was.
“Jangan-jangan itu bukan suara manusia. Tapi suara hantu rimba belantara!” katanya lagi dalam hati. Dia memandang ke jurusan datangnya suara-suara seruan ramai itu. Lalu terlihatlah rombongan pengusung tandu yang terdiri dari delapan lelaki bertubuh besar, hanya mengenakan celana hitam panjang sebatas betis.
“Hemm…” si gondrong bergumam. Kedua matanya memperhatikan kaki-kaki delapan orang yang berlari itu. Semuanya menginjak tanah. “Manusia juga adanya mereka. Tapi jelas berkepandaian tinggi. Bukan sembarang orang mampu menggotong tandu kayu jati seberat itu. Malah sambil berseru-seru seperti itu! Dan berlari pula! Gila!” Rombongan pengusung tandu itu lewat di depan si gondrong yang bersembunyi di balik rumpun keladi.
“Siapa adanya orang-orang itu. Apa yang ada di dalam tandu? Harta pusaka, perhiasan, emas berlian, atau seorang putri cantik jelita?”
Tiba-tiba delapan lelaki bertelanjang dada yang menjadi pengusung tandu mendengar suara tujuh ketukan di lantai tandu. Tanda bahaya! Mereka baru saja lolos dari satu bahaya, kini bahaya apa pula yang datang menghadang?
Mereka memandang berkeliling. Saat itulah terdengar suara berdesir. Lalu sebuah jaring raksasa, entah dari mana munculnya, laksana turun dari langit jatuh ke bawah, tepat menimpa rombongan itu. Delapan lelaki pengusung berikut tandu yang diusung kini terkurung dalam jaring besar.
Delapan pengusung berseru kaget. Namun sebagai orang-orang yang telah banyak pengalaman, cepat sekali kemudian mereka menguasai keadaan. Masih dalam keadaan memanggul tandu yang berat, delapan pasang tangan mereka bergerak ke pinggang. Delapan pasang tangan kemudian terpentang ke depan.
Kelihatan setiap orang kini memegang sebilah pisau kecil yang sangat tajam di tangan kiri kanan. Pisau-pisau kecil itu mereka babatkan ke depan untuk memutus jaring. Namun jaring yang menjerat rupanya bukan jaring biasa. Atos tak mempan sayatan pisau! Padahal pisau kecil itu bukan senjata sembarangan. Pernah diuji kesanggupannya menusuk batu!
Delapan lelaki pengusung tandu jadi terperangah dapatkan pisau-pisau mereka tidak sanggup memutus jaring. Sesaat mereka saling pandang. Salah seorang di antara mereka berkata, “Coba dengan pedang asap!”
Delapan orang itu terdengar merapal lalu serentak sama-sama meniup. Dari mulut mereka melesat aneh selarik sinar putih berbentuk pedang panjang.
“Wut… wut… wut… wut… wut… wut… wut… wut…!”
Delapan pedang asap menghantam jaring di delapan bagian. Jaring besar itu bergoyang keras seperti mau ambrol. Tapi ternyata tidak! Benda berbentuk pedang panjang malah tiba-tiba membalik ke arah mereka. Dalam keadaan kaget kembali ke delapan lelaki pengusung tandu meniup. Pedang asap pupus lenyap tidak berbekas!
Di kejauhan terdengar suara ringkikan. Lalu ada suara derap kaki kuda mendatangi. Sebelum itu dari balik semak belukar dan pohon-pohon besar berlompatan hampir dua lusin orang bersenjatakan tombak dan pedang.
Sepuluh di antaranya memegang busur dan membidikkan anak panah ke arah orang-orang yang terjerat itu. Sementara itu dari atas pohon-pohon di sekitar tempat itu berserosoran turun sembilan orang berpakaian serba biru. Begitu sampai di tanah mereka langsung menghunus senjata masing-masing dan menebar mengurung rombongan yang barusan kena jerat. Berada dalam keadaan tak berdaya di bawah jala serta dikurung rapat demikian rupa, delapan orang lelaki pengusung tandu kini tegak tak bergerak. Mata mereka mengawasi para pengurung. Telinga mereka menunggu aba-aba dari dalam tandu namun tanda yang ditunggu tidak kunjung terdengar. Para pengurung sendiri kelihatan tidak bergerak dari tempat masing-masing seakan ada yang ditunggu. Memang benar. Saat itu muncul tiga orang penunggang kuda.
Pemuda gondrong yang mendekam di balik kerapatan semak belukar dan pohon keladi besar mengeryitkan kening. Salah satu di antara tiga penunggang kuda itu, yakni yang berpakaian bagus dan berambut putih dikenalnya sebagai Lawunggeno, Adipati Magetan. Di sebelahnya, seorang kakek berkulit hitam bermata sangat cekung berambut panjang sebahu. Orang tua ini mengenakan baju hitam berbelang-belang putih sehingga pakaiannya seperti bergambar jala atau jaring.
Si gondrong garuk-garuk kepala di tempat persembunyiannya. Otaknya coba mengingat-ingat. “Aku pernah tahu tua bangka berkulit hitam itu. Ah… sialan! Masakan aku lupa. Padahal dua bulan lalu aku melihatnya di pantai selatan. Siapa… Aku ingat! Dia adalah Jala Gandring! Tokoh silat yang dikenal memiliki keahlian dalam soal jebak-menjebak! Punya hubungan dekat dengan pembesar di Kotaraja. Betul, dia memang Jala Gandring!”
Lalu pemuda ini memperhatikan penunggang kuda yang ketiga, yaitu seorang lelaki separuh baya bertampang gagah dan berpembawaan tegang. Di pinggangnya bergelung seuntai rantai besar yang terbuat dari perak berkilat. “Pasti itu senjata andalannya,” pikir si pemuda. Dia coba menduga-duga tapi tidak berhasil mengetahui siapa adanya orang ini.
Setelah menatap orang-orang pengusung tandu yang terperangkap dalam jaring itu beberapa ketika, orang tua berkulit hitam tertawa mengekeh. “Tidak percuma dua tahun aku merancang jala itu. Kini terbukti memang luar biasa. Tak bisa dirobek apalagi dijebol!”
Adipati Lawunggeno majukan kudanya dua langkah lalu berkata dengan suara keras. “Iblis-iblis perusak jagat! Hari ini habis riwayat kalian! Sebelum kusuruh pancung lekas turunkan tandu!”
“Kami tidak layak mengikuti perintah siapa pun kecuali pemimpin kami!” menjawab lelaki pengusung di depan kanan.
Lawunggeno menyeringai. “Kalau begitu aku perintahkan agar pimpinanmu lekas keluar dari tandu!”
“Tandu ini kosong! Kami tidak membawa barang atau manusia!”
“Jangan berani dusta!” bentak orang berikat pinggang rantai perak.
“Siapa yang dusta! Kalian lihat sendiri!” jawab lelaki pengusung tadi.
Lalu dia memberi isyarat kepada kawannya yang berada di sebelah tengah kanan. Orang ini segera ulurkan tangan membuka pintu tandu. Begitu pintu terbuka kelihatanlah bagian dalam tandu. Ternyata memang tandu itu kosong!
Lawunggeno, si rantai perak dan Jala Gandring melengak dan saling pandang.
“Aneh,” bisik Adipati Magetan itu. “Aku berani bersumpah. Aku sendiri melihat iblis terkutuk itu masuk ke dalam tandu sebelum rombongannya meninggalkan Magetan!”
“Mungkin dia menyelinap di tengah jalan,” kata si rantai perak.
“Aneh… Aku tidak bisa percaya hal ini,” berkata Jala Gandring. Matanya yang besar dipelototkan melihat bagian dalam tandu. Tapi di dalam sana memang tidak ada siapa-siapa. Kosong melompong!
Melihat tiga penumpang kuda itu bingung, pengusung yang di tengah menutupkan pintu tandu kembali. Lalu kawannya yang di sebelah depan berkata.
“Kalian sudah melihat sendiri tidak ada apa-apa di dalam tandu. Sekarang izinkan kami pergi!”
“Pergi?!” Adipati Lawunggeno tertawa bergelak. “Kalian memang boleh pergi. Tapi pergi ke neraka! Selama ini kalian jadi kaki tangan Serikat Candu Iblis.
Merusak rakyat dan negeri. Setelah tertangkap begini apakah kami akan membebaskan kalian begitu saja? Enak betul!”
“Kalian salah sangka! Kami bukan orang-orang Serikat Candu Iblis!”
“Siapa percaya pada mulut busuk penipu sepertimu!” bentak Jala Gandring.
“Bunuh mereka! Tinggalkan satu hidup-hidup!” Lawunggeno berteriak lalu memberi isyarat pada sembilan orang berseragam biru. Mereka prajurit-prajurit Kadipaten yang ada di bawah perintahnya dan sengaja mengenakan pakaian seragam biru.
Sembilan orang itu segera melompat sambil menghujamkan senjata masing-masing.
Melihat hal ini Jala Gandring cepat berteriak, “Tunggu! Jangan dekati mereka!”
Namun enam dari sembilan orang berseragam biru sudah terlanjur menyergap ke depan. Senjata mereka berkelebatan menusuk di antara rongga-rongga jaring. Lalu terjadilah hal yang mengejutkan. Enam buah tangan melesat keluar dari dalam jala.
Tiga menangkap lengan yang menusukkan senjata, dua menghantam ke arah dada dan satu ke arah kepala pihak yang menyerang.
Terdengar pekik keras. Dua dari penyerang langsung roboh terbanting ke tanah. Yang pertama pecah kepalanya, yang satu lagi remuk tulang dadanya dan muntahkan darah segar. Sesaat kemudian keduanya meregang nyawa. Di sebelah kiri, orang berpakaian biru ketiga tampak terhuyung-huyung sambil pegangi golok miliknya sendiri yang kini menancap diperutnya. Penyerang ke empat terduduk di tanah. Bahu kanannya luka besar. Darah mengucur membasahi pakaiannya. Sesaat kemudian tubuhnya rebah ke tanah. Empat dari pihak penyerang menemui kematian secara mengejutkan. Dua lainnya sempat melompat mundur menyelamatkan diri.
Paras tiga orang penunggang kuda jadi berubah kaku membesi. Jala Gandring sangat terpukul karena merasa terlambat memberi peringatan. Dia sudah tahu sebelumnya bagaimana kehebatan ilmu orang-orang yang menamakan dirinya Serikat Candu Iblis. Sangat berbahaya kalau diserang dalam jarak pendek. Orang tua ini mengusap dagunya lalu membisikkan sesuatu pada Adipati Magetan. Lawunggeno lalu mendekati sepuluh orang yang tegak dengan busur dengan panah terpentang.
“Ganti panah kalian dengan panah-panah beracun! Bunuh pengusung tandu itu. Yang paling depan sebelah kanan biarkan hidup. Dia pasti pimpinan dari tujuh kawannya!”
Sepuluh orang yang tengah merentang dan membidikkan panah segera turunkan busur masing-masing, lalu mengganti anak panah dengan anak panah baru yang ujungnya terbuat dari besi dan berwarna hitam pekat. Seluruh ujung besi anak panah itu mengandung racun yang amat jahat. Jangankan manusia, seekor gajah pun akan menemui ajalnya dalam beberapa kejapan saja sekali terkena.
“Izinkan aku membereskan mereka,” tiba-tiba lelaki gajah berpembawaan tenang loloskan ikat pinggang peraknya. Tapi sebelum dia bergerak Jala Gandring cepat menghalangi seraya berkata dengan suara perlahan.
“Dimas Barataji, aku tahu kehebatan rantai perakmu. Tetapi kalau senjata itu menjebol jala, aku kawatir delapan manusia iblis itu malah akan punya kesempatan melarikan diri. Seperti usaha kita selama ini akan sia-sia belaka.”
Sebenarnya Jala Gandring tidak yakin kalau senjata orang yang bernama Barataji mengalami nasib seperti empat prajurit Kadipaten Magetan tadi. Hanya saja dia tidak mau Barataji merasa tersinggung kalau hal itu dikatakannya secara terus terang. Barataji angkat bahu kemudian anggukkan kepala.
Adipati Lawunggeno lalu memberi tanda pada sepuluh orang yang telah siap dengan panah beracun. Di dalam jala delapan lelaki bertelanjang dada tampak menatap angker ke arah sepuluh orang itu. Seperti yang diperintahkan Lawunggeno kesepuluh pembidik mengarahkan anak panah mereka pada tujuh orang lelaki pengusung tandu karena yang seorang harus dibiarkan hidup-hidup. Berarti ada satu atau dua orang yang akan menerima sambaran lebih dari satu anak panah!
“Hantam!” teriak Lawunggeno. Dari dalam tandu keluar asap putih. Delapan lelaki pengusung menengadah, meninggikan hidung dan menghirup. Sepuluh panah beracun melesat. Dalam jarak yang begitu dekat kecepatan lesat anak-anak panah itu laksana sambaran kilat!
Delapan lelaki bertelanjang dada bercelana hitam mendengus lalu keluarkan bentakan menggidikkan. Kemudian serentak mereka meniup ke arah datangnya sepuluh anak panah maut.
Enam anak panah mental ke udara. Dua di antaranya hancur dan satu patah.
Bagian ujung besi yang lancip mencelat ke salah seorang yang tadi melepaskan panah. Karena tidak menyangka orang ini tidak sempat menghindar. Mata panah menancap di bahu kirinya. Suara jeritan menggidikkan. Bahunya tampak menghitam.
Warna hitam ini menjalar ke bagian tubuhnya yang lain. Sekali lagi terdengar jeritannya lalu tubuhnya terkapar di tanah!
Walaupun delapan orang lelaki di bawah jala mengeluarkan kepandaian luar biasa, mengandalkan tenaga dalam meniup anak panah beracun, namun hanya empat di antaranya masih lolos. Dua panah beracun sekaligus menancap di dada pengusung tandu di depan kiri. Satu panah menembus leher lelaki di depan kiri dan satu lagi menembus di perut orang ketiga, yaitu yang tegak di bagian kanan tengah.
Ketiganya menjerit keras. Tubuh atas mereka yang tanpa pakaian itu serta merta kelihatan menghitam. Dari dalam tandu kembali tampak asap mengepul keluar.
Tapi sekali ini apa pun kekuatan yang ada dalam asap aneh itu tidak sanggup menyelamatkan nyawa tiga orang lelaki pengusung tandu. Mereka menjerit sekali lagi. Lalu tiba-tiba, ketiganya mencabut panah yang menancap di tubuh masing-masing.
Sebelum meregang nyawa mereka masih sanggup melemparkan panah-panah beracun itu keluar jaring.
Empat batang panah kini berbalik menyerang empat anak buah Lawunggeno.
Luar biasanya, walau anak-anak panah itu hanya dilemparkan dengan tangan telanjang, tetapi daya lesatnya hampir tidak beda seperti dilepas dengan busur! Empat jeritan terdengar dalam rimba belantara itu. Empat sosok anak buah Lawunggeno yang tidak mampu selamatkan diri terguling di tanah. Tubuh mereka kelihatan hitam sampai ke muka!
Di dalam jala tiga orang lelaki pengusung tampak terguling di tanah. Ternyata mereka pun tidak mampu melawan racun jahat panah yang tadi sempat menancap di tubuh mereka. Lima kawan mereka kini mengerahkan kekuatan untuk tetap dapat memanggul tandu. Ini bukan satu pekerjaan mudah, apalagi saat itu mereka tengah menghadapi serangan.
“Kurang ajar! Bakar mereka hidup-hidup!” teriak Lawunggeno marah sekali.
“Itu memang sudah kurencanakan Dimas Adipati,” kata orang tua bermuka hitam bernama Jala Gandring. “Agaknya hanya itu satu-satunya cara memusnahkan manusia-manusia iblis ini!”
“Kumpulkan kayu kering! Tebar di sekitar jala!” perintah Lawunggeno. Maka semua orang yang ada di situ sibuk mencari kayu. Karena saat itu musim kering dengan mudah dan cepat mereka berhasil mengumpulkan kayu lalu ditumpuk mengitari jala.
“Nyalakan api!” teriak Lawunggeno.
Seseorang segera menyalakan api membakar tumpukan kayu kering di tiga bagian. Untuk pertama kalinya para pengusung tandu yang kini hanya tinggal lima orang itu berubah paras mereka.
Jala Gandring tertawa mengekeh. “Kalian mungkin punya seribu kehebatan! Tapi melawan api kalian tidak akan sanggup! Aku melihat bayangan ketakutan pada tampang-tampang kalian! Ha… ha…. Ha…!”
“Kangmas Lawunggeno,” Barataji membuka mulut. “Kalau mereka dibakar, berarti tidak ada yang bakal selamat untuk kita tanyai. Bukankah kau ingin salah seorang dari mereka dibiarkan hidup?”
“Tadinya memang aku menginginkan begitu Dimas. Tapi setelah mereka membunuh orang-orang kita, sekarang aku lebih suka mereka mampus semua!”
Kobaran api tampak semakin membesar. Lima lelaki di dalam jala berteriak teriak. Mereka berusaha meloloskan diri namun sia-sia saja. Semula mereka mengira api akan turut membakar jala sehingga mereka bisa menyusup keluar. Tetapi ternyata api hanya membuat hitam jala, tidak sanggup membakarnya!
Sungguh luar biasa jala ciptaan Jala Gandring ini. Teriakan kelima orang itu semakin keras menggidikkan. Bau daging yang terbakar mulai memenuhi seantero rimba belantara. Lalu satu demi satu kelimanya roboh tergelimpang. Bersamaan dengan itu tandu kayu jati yang berusaha mereka pertahankan agar tetap dapat mereka usung ikut pula roboh berbarengan dengan jatuhnya tubuh mereka ke tanah. Api mulai menjilat kayu tandu yang keras.
Tidak terduga sama sekali, tiba-tiba atap tandu terbuka dengan mengeluarkan suara keras. Bersamaan dengan itu dari dalam tandu membumbung asap tebal yang menebar bau aneh.
“Asap candu iblis!” teriak Jala Gandring seraya menarik kudanya menjauhi tempat itu. “Cepat menyingkir! Tutup penciuman kalian!”
Semua orang segera menyingkir. Bau aneh yang keluar bersama asap itu membuat mereka seperti melayang. Untung semuanya sudah menjauh. Kalau sempat mereka mencium asap itu niscaya mereka akan jatuh pingsan. Keanehan ternyata tidak hanya sampai di situ.
Laksana batu terlempar keluar dari mulut gunung yang meletus, dari dalam tandu kayu yang terbakar melesat keluar satu benda. Meskipun sangat samar-samar karena tertutup oleh ketebalan asap namun semua orang masih sempat melihat serta mengetahui bahwa benda itu adalah sesosok tubuh manusia. Sambil melesat orang ini gerakan kedua tangannya. “Brett!!!”
Jala Gandring terbeliak. Jala buatannya yang sangat kokoh itu ternyata sanggup dibikin robek. Lewat jalan yang kini jebol itu, orang di atas sana loloskan diri dengan cepat.
“Ada orang keluar dari dalam tandu!” seru Barataji.
“Pasti itu Ketua Serikat Candu Iblis!” teriak Jala Gandring.
“Kurung cepat! Jangan sampai dia lolos!” teriak Adipati Lawunggeno.
Barataji loloskan ikat pinggang peraknya. Dia menyentakkan tali kekang kuda.
Binatang ini menghambur ke depan, Barataji sabatkan rantai peraknya ke arah mana tadi dia melihat berkelebatnya bayangan sosok manusia. Sinar putih laksana kilat menyambar menerangi tempat itu, dibarengi oleh suara menggelegar dahsyat. Tapi sasaran yang dihantam telah lenyap!
Penasaran Adipati Lawunggeno ikut menghantam. Dia lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Serangannyapun juga luput, hanya menghantam sebatang pohon kayu kering di depan sana sehingga patah dan tumbang berantakan.
“Iblis perusak! Kau tak bakal lolos dari tanganku!” teriak kakek berkulit hitam Jala Gandring. Mata orang tua berkepandaian tinggi ini memang tak dapat ditipu.
Tubuhnya yang langsing tinggi melesat ke udara. Pada ketinggian dua tombak dia membuat gerakan membalik. Lalu laksana seekor rajawali dia menukik ke bawah dan lenyap di balik kerapatan daun-daun keladi besar yang dikelilingi oleh semak belukar lebat. Sesaat kemudian dari balik pohon keladi terdengar seruan orang tua itu “Adipati Lawunggeno! Aku berhasil menangkap Ketua Serikat Candu Iblis!” Adipati Lawunggeno, Barataji dan belasan orang lainnya segera melompat ke arah pohon keladi.
Apa yang dikatakan Jala Gandring ternyata benar. Di hadapan si orang tua, di antara batang-batang keladi tampak meringkuk di tanah sesosok tubuh dalam keadaan menungging, tak bergerak, tak berdaya, hanya kedua matanya saja yang tampak berputar jelalatan. Rupanya Jala Gandring telah menotok orang ini dengan satu totokan yang amat lihay.
Apa sebenarnya yang telah terjadi?
Ketika ada sosok tubuh melesat keluar dari tandu kayu yang terbakar dan tiga serangan menghantam ke arah sosok tubuh itu susul menyusul, dengan kecepatan luar biasa orang yang diserang membuat gerakan menyusup lalu menghilang ke arah kiri.
Di lain kejap dia sudah mendekam di balik pohon keladi. Pemuda berambut gondrong yang sebelumnya sudah berada di tempat itu tentu saja menjadi terkejut ketika tiba-tiba ada seseorang muncul dekat sekali di sebelahnya, mengeluarkan nafas memburu. Dia berpaling. Pandangannya membentur sosok tubuh aneh. Di sampingnya saat itu ada seorang lelaki pendek sekali, mungkin manusia katai, berpakaian berbentuk jubah hitam penuh dengan hiasan renda-renda yang terbuat dari benang emas. Orang ini memiliki muka berwarna abu-abu aneh. Kepalanya botak plontos. Sepasang matanya sipit sedang daun telinganya sangat lebar.
“Eh, kau ini tuyul atau cucunya tuyul?!” tanya si pemuda. Yang ditanya tersenyum sambil melintangkan jari telunjuknya di atas bibir. “Jangan bicara keras-keras, nanti mereka dengar dan tahu aku di sini!”
“Kau siapa?”
“Aku bukan siapa-siapa!”
“Sialan! Bukan siapa-siapa maksudmu?! Kau pasti orang yang melesat keluar dari dalam tandu kayu. Kau yang disebut sebagai Ketua Serikat Candu Iblis?! Kau tak mungkin lolos dari keputusan mereka. Karena kurasa kau memang orang jahat. Aku akan membantu orang-orang itu meringkusmu!”
“Jangan lakukan itu! Kita memang tidak saling kenal dan tidak bersahabat. Tapi itu bukan berarti kita punya silang sengketa. Dengar, biarkan aku lolos dari tempat ini. Aku titipkan kotak ini padamu!”
Habis berkata begitu lelaki katai berkepala botak itu masukkan sebuah kotak kayu ke balik pinggang pakaian pemuda di hadapannya.
“Eh, apa-apaan ini?!” Si pemuda menolak menerima kotak itu dan berusaha menarik jubah merah orang di sampingnya. Si katai meniup ke depan. Ada asap tipis menyambar wajah pemuda berambut gondrong, membuatnya sesaat menjadi lemas.
Kesempatan ini dipergunakan oleh orang pendek berjubah merah untuk mendorong dada pemuda di depannya hingga terduduk di tanah. Selagi pemuda ini berusaha berdiri tiba-tiba semak belukar di sampingnya terkuak dan satu totokan hebat bersarang di punggungnya hingga dia terdorong keras ke depan dan kaku sekujur tubuhnya. Kepala menekan tanah, pantat menungging ke atas.
Lebih sepuluh orang mengurung tempat itu. Tiga di antaranya adalah Jala
Gandring, Barataji dan Adipati Lawunggeno. “Ha… ha… ha..! Kali ini kau tak bisa lolos lagi Ketua Serikat Candu Iblis!” kata Jala Gandring.
“Hari ini tamat riwayatmu! Manusia perusak ini baiknya kita cincang sekarang juga!” kata Barataji. Dia mengambil sebilah golok dari tangan seorang prajurit Kadipaten yang ada di dekatnya.
“Tunggu dulu!” berkata Lawunggeno. “Aku mau lihat dulu tampang manusia ini!” Lalu dengan tumitnya didorongnya tubuh yang masih berada dalam keadaan kaku dan menungging itu hingga terguling.
“Hemmm… Tidak dinyana sang ketua masih muda belia begini.” Lawunggeno jongkok di hadapan sosok tubuh yang terguling. Dia jambak rambut gondrong si pemuda kuat-kuat lalu membentak.
“Umurmu hanya tinggal beberapa kejapan saja! Sebelum batang lehermu kutebas, lekas katakan siapa kau sebenarnya! Di mana markasmu dan siapa saja yang melindungi Serikat Candu Iblis pimpinanmu!”
“Manusia iblis! Totokanku hanya membuat kau kaku! Kau tidak bisu! Kau bisa bicara!” bentak Jala Gandring.
Si pemuda kembali menyeringai. Barataji hilang sabarnya. Dia menggertak dengan menghantamkan rantai peraknya ke tanah, hanya sejarak dua jengkal dari kepala pemuda yang terguling di tanah. Tubuh pemuda itu terangkat sampai tiga jengkal lalu terbanting kembali ke tanah. Tanah yang tadi dihantam ikat pinggang perak berbentuk rantai itu tampak tenggelam berlobang panjang sedalam hampir dua jengkal. Tanah kering bercampur debu dan pasir muncrat lalu jatuh kembali menutupi si pemuda.
“Kalau dia tak mau bicara tak ada gunanya menghabiskan waktu. Tapi dia tidak boleh mati secara cepat. Terlalu enak baginya! Adipati kau tebas tangan kanannya. Aku akan hancurkan paha kirinya! Dimas Barataji kau boleh mencari sasaranmu sendiri!” kata Jala Gandring pula.
Lalu kaki kanannya diangkat tinggi-tinggi. Tumitnya siap untuk menghancurkan paha kanan pemuda berambut gondrong itu. Adipati Lawunggeno mengangkat tangan kanannya yang memegang golok siap membacok, sedang Barataji sudah memutar rantai peraknya. Sasarannya adalah kaki kiri si pemuda.
Sesaat lagi tiga hantaman akan melabrak tubuh si pemuda, tiba-tiba pemuda itu masih sambil menyeringai dan tenang saja mengeluarkan suara. “Kalian membunuh orang yang salah!”
“Bangsat! Apa maksudmu!” bentak Adipati Lawunggeno. Kaki kanannya ditendangkan ke pinggul pemuda itu hingga orang ini terlempar beberapa langkah.
Pakaiannya di bagian perut tersingkap. Di pinggang celananya kelihatan terselip sebuah kotak kayu.
“Kotak candu iblis!” teriak Lawunggeno, Barataji dan Jala Gandring hampir bersamaan.
Lawunggeno mendahului membungkuk dan menyambar kotak kayu dari pinggang celana di pemuda. “Lihat! Seru sang Adipati sambil menunjuk bagian atas kotak di mana terukir tiga buah hurup besar yaitu SCI.”
“Bukti cukup! Kau masih hendak berdusta. Kotak ini ada tanda tiga hurup singkatan Serikat Candu Iblis!” teriak Lawunggeno.
“Mana aku tahu segala macam huruf atau singkatan!” jawab si pemuda enak saja.
“Buk!” satu tendangan dilayangkan Jala Gandring hingga pemuda itu terpental dan meringkuk kesakitan di depan semak belukar.
“Orang tua, aku tahu siapa kau adanya,” kata pemuda berambut gondrong sambil menahan sakit pada perutnya yang tadi di tendang. “Kau bukan manusia penjahat dan penjilat yang mencari nama dan upah dengan berbuat kebajikan. Kau dan kawan-kawanmu menjatuhkan tuduhan keliru tidak terbukti!”
“Tutup mulut busukmu!” dan “Plakk!!!” tamparan Adipati Lawunggeno mendarat di pipi si pemuda hingga bibirnya mengucurkan darah. “Kotak ini lebih dari suatu bukti!”
Lalu Adipati Magetan itu membuka kotak kayu tersebut. Begitu kotak dibukanya terlihat lapisan benda coklat gelap. Hidungnya di dekatkan dan dia coba mengendus. “Candu!” teriaknya lalu isi kotak itu diperlihatkannya pada Barataji dan Gala Gandring.
“Sudah tertangkap basah berikut barang bukti calon bangkai ini masih terus berdusta!” radang Barataji.
“Kotak ini bukan milikku. Seseorang menyelinapkannya ke pinggangku.”
Lawunggeno dan Barataji serta Jala Gandring tertawa bergerak mendengarkan ucapan si pemuda.
“Kau kira kami ini manusia-manusia pandir yang bisa dikecoh. Di sini tidak ada seorang lain pun kecuali kau!” bentak Lawunggeno.
“Mungkin ada setan yang tiba-tiba muncul dan menyelinapkan kotak ini seperti katanya!” kata Jala Gandring pula, lalu bersama dua orang lainnya kembali dia tertawa gelak-gelak.
“Aku mengerti. Lebih dari enam bulan kita mengejar manusia terkutuk itu. Puluhan bahkan ratusan manusia menjadi korbannya, termasuk kerabat dekat kita. Tapi sekali lagi, izinkan dulu aku menanyainya.”
Adipati Lawunggeno tidak menjawab. Dia membuang muka sementara Barataji hanya bisa tegak berdiam diri.
Jala Gandring melangkah lebih dekat. Sesaat dia memperhatikan sosok tubuh pemuda yang terguling di tanah itu. “Aku tidak yakin bahwa kau benar-benar Pendekar 212, murid nenek sakti dari Gunung Gede itu. Pendekar 212 yang kukenal adalah manusia sakti mandraguna penegak keadilan pembela kebenaran. Sebaliknya kau justru saat ini terbukti sebagai Ketua Serikat Candu Iblis!”
“Aku sudah bilang aku bukan Ketua Serikat Candu Iblis atau serikat apa pun!”
“Kau muncul di dalam tandu yang digotong oleh delapan orang anggota Serikat, kau…”
“Kau juga telah membunuh orang-orangku!” sambung Lawunggeno.
Lawunggeno hendak menendang pemuda itu tapi Jala Gandring cepat mencegah.
“Setahuku, Pendekar 212 selalu membekal sebilah senjata yang dalam dunia persilatan dikenal dengan nama Kapak Maut Naga Geni 212. Bisa kau memperlihatkan padaku senjata mustika itu?” bertanya Jala Gandring.
“Kapak saktiku ada di balik pinggang. Kau bisa memeriksa, tapi kau jangan berani menyentuh apalagi mengambilnya!,”
Mendengar jawaban itu Jala Gandring, Barataji dan Lawunggeno bergerak ke samping kiri. Jala Gandring singkapkan baju si pemuda di belakang. Tampaklah sebilah kapak bermata dua yang memancarkan sinar berkilauan. Pada setiap mata kapak tertera angka 212.
“Hemmm… Dia memang murid Sinto Gendeng. Ah, bagaimana urusan bisa jadi begini? Meski selama ini dia dikenal sebagai seorang pendekar golongan putih tapi… rasanya bukan mustahil kalau dia menempuh jalan sesat karena tergoda oleh keuntungan besar.” Begitu batin jala Gandring mendua dalam keraguan.
Tiba-tiba Lawunggeno ulurkan tangan dan menarik kapak itu dari pinggang si pemuda. Jala Gandring terkejut tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kembalikan senjataku! Kau tidak menghormati perjanjian kita!”
Lawunggeno mendengus. “Perlu apa kau menghormati manusia jahat sepertimu? Manusia penyebar candu perusak kehidupan umat! Senjata ini akan kutahan sampai nanti terbukti kau memang bukan Ketua Serikat Candu Iblis! Atau mungkin dengan senjatamu ini aku akan memenggal-menggal tubuhmu!”
“Anak muda, jika kau memang benar Pendekar 212 coba kau terangkan bagaimana kau bisa muncul disini. Bagaimana kotak candu ini bisa ditanganmu.”
“Dia bisa mengarang seribu jawaban, kakang Jala!” kata Lawunggeno pula.
“Mungkin begitu. Sebaiknya kita dengar dulu keterangannya,” jawab Jala Gandring. Lalu dia berpaling pada si pemuda, “Bicaralah!”
“Orang tua bernama Jala Gandring, kita sesama orang-orang dari dunia persilatan. Apakah pantas kau bicara padaku dalam keadaan aku tertotok dan terguling di tanah seperti ini?!”
“Kau harus bersyukur sampai saat ini masih bisa bernafas!” bentak Lawunggeno.
“Seharusnya sudah sejak tadi-tadi kau kami habisi!”
“Pendekar 212,” kata Jala Gandring. “Kau berada dalam kesulitan besar. Karena itu bicaralah sejujurnya.”
“Aku tak akan bicara sebelum kau melepaskan totokan di tubuhku dan mengembalikan Kapak Naga Geni 212 padaku!”
“Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!” kata Adipati Lawunggeno. Tangan kanannya yang memegang Kapak Maut Naga Geni 212 diayunkan sekuat-kuatnya ke arah kepala pemuda yang masih tergeletak di tanah itu. Jala Gandring tak bisa mencegah, apalagi Barataji. Nyawa si pemuda memang tidak tertolong lagi!
Hanya sekejapan lagi kepala murid Eyang Sinto Gendeng akan terbelah oleh senjata sakti miliknya sendiri, tiba-tiba terjadilah satu hal yang aneh. Secara mendadak Adipati Lawunggeno merasakan bahunya kesemutan. Setelah itu sekujur tangan kanannya menjadi kaku tak bisa digerakkan. Mukanya serta merta menjadi pucat.
“Dimas Lawunggeno. ada apa dengan dirimu?” bertanya Jala Gandring terheran.
“Tangan-tanganku… Aku tak bisa menggerakkannya. Seseorang telah menotokku!” jawab Adipati Magetan itu setengah berteriak.
Jala Gandring dan Barataji memandang berkeliling. “Tidak ada seorang lain pun di sini Dimas. Aku tidak mengerti…” Jala Gandring cepat mendekati Adipati itu.
Ketika dia memegang lengan Lawunggeno, kagetlah dia. Tangan itu seolah-olah telah berubah menjadi sebatang kayu.! Selagi semua orang yang ada di situ kaget heran dan juga ada rasa-rasa ngeri, tiba-tiba tercium bau harum aneh. Bau ini santer sekali, bau bunga Kenanga!
“Aku mencium bau bunga Kenanga…,” bisik Jala Gandring.
“Aku juga,” balas Barataji. “Itu bunga mayat.” Bulu kuduk jago tua ini mendadak jadi merinding.
Terguling di tempatnya Pendekar 212 Wiro Sableng menghirup bau bunga itu dalam-dalam. Dia mulai menduga-duga tapi sulit untuk yakin. “Mungkinkah dia yang sedang menolongku…?” pikir murid Eyang Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling. Tidak tampak orang lain ataupun satu bayangan muncul di tempat itu. Dia berpaling ketika tiba-tiba didengarnya Lawunggeno menjerit. Apa yang terjadi?
Tubuh Adipati Magetan itu tiba-tiba terangkat ke atas lalu terlempar di sebuah pohon. Punggungnya menghantam batang kayu dengan keras. Tulang bahunya sebelah kiri patah. Kapak Naga Geni 212 yang dipegangnya terlepas dan mental lalu menancap pada sebatang pohon di atas kepalanya. Lawunggeno sendiri kemudian melosoh ke tanah, jatuh duduk setengah sadar setengah tidak. Sementara itu bau bunga Kenanga semakin menjadi-jadi.
“Dimas! Apa yang terjadi!?” seru Jala Gandring, lalu melompat mendapatkan Adipati itu. Barataji ikut memburu sementara para anak buah Adipati tampak keheranan melihat keadaan pemimpin mereka. Di antara mereka mulai saling bisik-bisik. “Jangan-jangan rimba belantara ini ada hantunya… Kalau bukan hantu masakan Adipati bisa terlempar seperti itu?”
Lompatan yang dibuat Jala Gandring tidak mencapai Lawunggeno. Dari tempatnya tergeletak, Wiro Sableng samar-samar melihat ada satu sosok bayangan putih memotong gerakan orang tua berkulit hitam itu. Bayangan tadi bukan hanya menghalangi lompatan Jala Gandring, tetapi sekaligus menelikung pinggangnya.
Sesaat kemudian tokoh silat itu dilemparkan dan melayang ke atas sebuah pohon besar yang kering kerontang, tinggal cabang dan rerantingan saja!
Baju hitam belang putih yang dikenakan Jala Gandring terkait pada ujung salah satu cabang pohon. Untuk beberapa saat lamanya orang tua ini tergantung-gantung di udara.
“Kurang ajar! Siapa yang berani melakukan hal ini padaku!?” damprat Jala Gandring dalam hati. Dia tarik pakaiannya kuat-kuat hingga robek besar. Dengan cara begitu dia berhasil melepaskan diri dari kaitan cabang pohon. Dengan mengerahkan kepandaiannya Jala Gandring melayang turun ke tanah.
Tapi di bawah sana rupanya dia sudah “ditunggu orang.” Begitu kedua kakinya menginjak tanah, bayangan putih tadi yang hanya Wiro yang dapat melihatnya kembali menyergapnya. Kali ini dengan melancarkan satu tendangan ke arah tulang kering kaki kiri si orang tua.
“Kraak!!”
Jala Gandring memekik keras. Tubuhnya terbanting jatuh punggung di tanah.
Tulang kaki kiri berderak patah. Dia tak sanggup berdiri lagi, menggeliat dan melejang-lejang di tanah.
Barataji tentu saja menjadi kecut melihat apa yang terjadi atas diri Lawunggeno dan Jala Gandring. Khawatir kalau dirinya pun akan dapat bagian, maka diputar-putarkan rantai peraknya di sekitar tubuhnya. Ikat pinggang yang merupakan senjata andalan Barataji itu menderu-deru memancarkan sinar menyilaukan.
Namun meskipun sudah memagar diri seperti itu nasib Barataji tidak lebih dari kedua orang terdahulu. Rantai besi yang berputar-putar sebat itu tiba-tiba seperti dibetot oleh satu tangan raksasa yang tak kelihatan. Selagi Barataji dilanda keterkejutan dan belum sempat melakukan sesuatu tahu-tahu rantai perak itu sudah menggelung di lehernya. Demikian kencangnya sehingga Barataji tercekik. Lidahnya terjulur dan kedua matanya mendelik!
“Tolong…! Aduh! Jangan…!” teriak Barataji. Dia berusaha melepaskan rantai yang menjerat lehernya namun tak berhasil. Akhirnya orang ini hanya bisa lari sana lari sini sambil berteriak tiada henti hingga kehabisan nafas lalu jatuh menggeletak megap-megap di tanah!
Anak buah Lawunggeno menjadi gempar. Mereka sebenarnya ingin lari dari tempat itu namun takut pada atasan maka mereka berkumpul menjadi satu dan mendekam dekat sebuah pohon besar dengan wajah-wajah yang membayangkan rasa takut amat sangat.
Wiro sendiri saat melihat bayangan putih yang tadi samar-samar kini bergerak laksana berjalan di atas awan menuju ke arahnya. “Kalau bukan dia, celaka aku!” pikir Wiro. “Nasibku akan sama dengan ketiga orang yang berkaparan di sana!”
Makin dekat ke arahnya bayangan putih yang samar-samar itu semakin jelas. Wiro kini melihat satu sosok perempuan berpakaian kebaya panjang dan kain putih. Wajah perempuan ini mula-mula kosong hampa. Perlahan-lahan wajah itu mulai berbentuk. Ketika pada akhirnya wajah itu terlihat jelas, yaitu wajah seorang gadis berparas cantik yang dikenalnya, Wiro merasa lega dan tak dapat lagi menahan dirinya untuk berteriak.
“Suci!”
“Wiro..!” sosok bayangan itu menjawab. Suaranya hanya Wiro saja yang bisa mendengar.
“Suci, kau datang menolongku. Terima kasih Suci!”
Sosok tubuh dan bayangan itu semakin jelas dan akhirnya sempurna seperti manusia adanya. Namun inilah keanehannya, baik suara maupun sosok dan rupa hanya Wiro yang bisa mendengar dan melihat. Orang-orang lain di tempat itu tidak.
Siapakah adanya orang yang muncul secara aneh ini? Manusia atau hantukah dia? Apa hubungannya dengan Pendekar 212?
Seperti yang dituturkan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya, yaitu Dewi Bunga Mayat, seorang gadis bernama Suci telah diracun mati oleh kekasihnya. Sang kekasih kemudian kawin dengan adik tiri Suci. Pengkhianatan dan kematian yang sangat mengenaskan itu telah menyebabkan roh Suci muncul kembali ke dunia secara menggegerkan. Bukan untuk berbuat jahat atau menakuti orang, tetapi justru untuk membasmi manusia-manusia jahat terutama orang-orang sesat dari dunia persilatan. Setiap kemunculannya pasti dibarengi oleh bau bunga Kenanga yang menggidikkan orang-orang jahat.
Dewi Bunga Mayat memiliki senjata aneh yaitu bunga Kenanga. Bunga lembut ini bisa berubah laksana sebuah senjata rahasia sekeras besi. Bunga mayat telah menjadi salah satu senjata rahasia yang paling ditakuti dalam dunia persilatan.
Pada saat penjelmaannya itulah Pendekar 212 bertemu dengan Suci. Keduanya saling bercinta dan sulit untuk berpisah. Namun Suci menyadari bahwa bagaimana pun dunianya dengan dunia Wiro berlainan. Mereka tidak mungkin bersatu. Perpisahan tidak mungkin dihindari. Suci kembali ke alamnya. Wiro mendapatkan sekuntum bunga Kenanga yang tidak pernah layu.
Menurut Suci, bilamana dia ingin bertemu, terutama pada saat-saat mengalami kesulitan atau bahaya besar, Wiro harus menggenggam bunga itu dan membayangkan wajahnya. Maka Suci akan menjelma dan muncul. Selama ini memang murid Sinto Gendeng belum pernah melakukan hal itu.
Suci mengusap punggung Pendekar 212 dengan tangan kirinya. Totokan Jala Gandring yang bersarang di tubuhnya serta merta punah. Wiro cepat berdiri. Sesaat dia tegak berhadap-hadapan dengan penjelmaan roh Dewi Bunga Mayat yang dilihatnya seperti manusia biasa, tidak beda seperti saat dulu dia sering-sering melihatnya. Untuk seketika keduanya saling berpandangan. Kemudian Wiro mengembangkan tangannya. Suci melangkah masuk ke dalam pelukannya. “Aku… aku kangen padamu Suci,” bisik Wiro dan membelai mesra rambut gadis itu.
“Aku juga,” balas Suci. “Tapi kau tak pernah memanggil diriku.”
“Aku ingin tapi aku takut akan membuatmu susah saja…”
“Apakah selama ini kau pernah menyusahkan aku?”
Wiro tersenyum. “Entahlah…,” jawabnya. “Yang jelas saat ini kau telah menyelamatkan aku dari tangan orang-orang yang bertindak seenaknya itu. Kalau terlambat sedikit saja pasti aku sudah menyusulmu ke alammu.” Suci tertawa. Wiro tak tahan lagi. Langsung saja dia mencium kedua pipi, mata dan kening gadis itu.
Semua orang yang ada di tempat itu meskipun dicekam rasa takut dan sakit akibat cedera, tentu saja terheran-heran melihat Pendekar 212 berbicara seorang diri, tertawa dan senyum-senyum, membuat gerakan-gerakan seperti tengah memeluk dan menciumi seseorang.
“Apa yang dilakukan pemuda itu?!” bisik Jala Gandring sambil menahan sakit kakinya yang patah.
“Hantu rimba belantara ini pasti telah masuk ke dalam dirinya!” sahut Lawunggeno.
Di depan sana Wiro mengecup bibir Suci dengan lembut. “Mari kita tinggalkan tempat ini Suci,” bisik Pendekar 212.
“Ya, jangan lupa senjatamu!”
“Tentu!” Wiro lepaskan pelukannya lalu mengambil Kapak Naga Geni 212 yang saat itu masih menancap di batang pohon di mana Adipati Lawunggeno duduk tersandar.
Selagi Wiro mengulurkan tangan untuk mencabut senjata itu tiba-tiba Lawunggeno tampak menggerakkan tangan kanannya. Meninju ke arah bagian bawah perut Pendekar 212. Meskipun dalam keadaan cedera tulang belikat sebelah kirinya, namun pukulan sang Adipati adalah pukulan berbahaya karena ditujukan ke bagian yang terlarang. Sekali jotosan itu mengenai sasarannya Pendekar 212 pasti akan menemui ajal, paling tidak cacat seumur hidup.
Dari tempatnya berdiri Suci dapat melihat apa yang dilakukan Adipati Lawunggeno secara licik itu. Dia berseru memberi peringatan pada Wiro. Sebetulnya Wiro sendiri pun sudah tahu bahaya yang mengancamnya. Dengan cepat dia menggeser tubuhnya ke samping kiri sambil melipat kaki.
“Buukkk!” Lutut kanan Pendekar 212 bersarang di muka Lawunggeno. Hidungnya amblas ke dalam, pipi kirinya remuk. Adipati menjerit. Bersamaan dengan jeritannya itu darah muncrat dari hidung dan mulutnya. Tubuhnya kemudian terkulai lalu roboh ke tanah.
Wiro sisipkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pinggangnya. Sebelum meninggalkan tempat itu dia menghancurkan dulu kotak kayu berisi candu dengan Pukulan Sinar Matahari. Kotak dan isinya leleh dan candu yang ada di dalam kotak itu tak dapat dipergunakan lagi.
Jala Gandring yang tidak dapat menahan kemarahannya ketika melihat Wiro meninggalkan tempat itu, berteriak pada orang-orang Lawunggeno yang bergerombol di dekat sebuah pohon besar.
“Bunuh orang itu! Jangan biarkan dia lolos!”
Tapi tidak satu pun dari mereka berani beranjak dari tempat masing-masing.
Kalau ketiga orang berkepandaian tinggi itu bisa babak belur dihantam oleh orang yang tidak kelihatan, nasib mereka bisa lebih jelek dari itu jika mereka berani melakukan sesuatu.
“Keparat! Kalian semua akan menerima hukuman dan dipecat!” teriak Jala Gandring marah sekali. Dia coba berdiri. Tapi kakinya yang patah terasa sakit sekali.
Mau tak mau terpaksa dia melosoh ke tanah kembali. Dia masih sempat melihat punggung Pendekar 212 di antara dua batang pohon.
Orang tua bermuka hitam itu mengambil sebilah golok yang tergeletak di tanah di sampingnya. Senjata ini secepat kilat dilemparkannya ke arah Wiro. Hanya beberapa jengkal sebelum golok itu mencapai sasarannya, tiba-tiba ada serangkum angin menderu.
Golok yang dilemparkan membalik lalu melesat ke arah pelemparnya. Jala Gandring berteriak tegak. Kalau saja dia tidak cepat jatuhkan diri ke tanah, kepala atau lehernya pasti sudah kena disambar golok itu.
“Pendekar 212! Kau boleh kabur saat ini. Tapi kau tak bakal lolos dari tanganku!” gertak Jala Gandring dengan geram.
Udara di tikungan sungai kecil yang airnya hampir kering sejuk sekali. Pohon-pohon besar yang masih bisa tumbuh cukup subur karena dekat air memiliki dedaunan yang rindang, membuat keadaan sekitar situ teduh dari sengatan sinar matahari musim kemarau panjang. Air sungai yang jernih tampak dangkal. Dasar sungai yang dilapisi batu-batu kecil terlihat dengan jelas. Di kejauhan terdengar suara burung-burung berkicau.
Pendekar 212 Wiro Sableng duduk menyandarkan punggungnya ke batu besar di tepi sungai. Suci membaringkan tubuhnya berbantalkan pangkuan sang pendekar.
“Selama ini kau baik-baik saja Suci…?” tanya Wiro seraya membelai pipi gadis itu. Yang ditanya tersenyum.
“Ditanya kenapa tertawa?”
“Duniaku selalu berada dalam keadaan baik, aman dan tenteram Wiro. Tidak seperti duniamu. Selalu dilanda keonaran, dikotori oleh manusia-manusia jahat.”
“Semua orang menginginkan dunia seperti duniamu itu. Termasuk aku…”
“Kau ingin ikut aku ke sana sekarang?”
“Tentu…” Wiro kemudian sadar apa arti ucapannya itu.
Dia cepat berkata, “Tidak sekarang Suci. Aku masih ingin hidup lebih lama di dunia ini.”
Suci tertawa panjang lalu mencium jari-jari tangan si pemuda.
“Sebetulnya aku ingin kau selalu berada di dekatku…”
“Yaah, aku mengerti perasaanmu Wiro. Tapi kau harus menyadari, dunia kita berbeda. Pertemuan sekali-kali seperti ini sudah merupakan satu hal yang luar biasa…”
“Dunia ini memang aneh. Dan kekuasaan Tuhan juga kurasa aneh,” kata Pendekar 212.
“Kau betul,” sahut Suci. “Kalau tidak dengan kekuasaan-Nya yang Maha Besar mana mungkin aku bisa menemuimu. Mana mungkin kita bisa berdua-dua seperti ini…”
“Dan saling mencintai…” sambung Wiro.
“Kau masih mencintaiku Wiro?” tanya Suci. Matanya yang bening menatap wajah pemuda itu.
Wiro balas menatap sepasang mata yang indah itu, lalu menciumnya seraya berbisik, “Kau tahu aku mencintaimu. Selalu mengingat-ingatmu. Namun setiap kerinduan datang, aku sadari kau tidak ada di sampingku.” Suci memeluk Pendekar 212 erat-erat. Ada air mata mengambang di kedua matanya. “Kau masih menyimpan bunga Kenanga itu, bukan?”
Wiro mengangguk.
“Kau bisa memanggilku setiap saat kau ingini. Sebaliknya sulit bagiku untuk muncul dengan kemauan sendiri jika tidak ada sesuatu hal yang sangat besar dan penting. Seperti kejadian ketika kau terancam bahaya tadi…”
“Aku akan ingat hal itu,…”
“Wiro…”
“Hemmm…”
“Tadi kau bilang mencintaiku. Apakah selama ini tidak ada gadis lain di hatimu?”
Wiro tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dalam hati dia berkata “Rupanya roh bisa juga cemburu!”
“Aku tahu apa yang kau ucapkan di hatimu,” kata Suci tiba-tiba, membuat Pendekar 212 jadi salah tingkah lalu tertawa gelak-gelak.
“Kau belum menjawab pertanyaanku Wiro.”
“Aku… memang banyak bertemu dengan gadis-gadis. Kebanyakan mereka orang-orang dunia persilatan. Sebagian dari mereka adalah sahabat-sahabatku. Tapi yang rasanya mencintai… mereka terlalu tolol kalau mau mencintai pemuda sableng sepertiku ini!”
“Bukan mereka. Tapi bagaimana dengan kau. Apa kau tidak pernah mencintai salah seorang dari mereka?”
“Kalau kujawab pun mungkin kau tak bakal percaya,” ujar Wiro pula.
“Bilang dulu jawabanmu.”
“Aku pernah mencintai seseorang dari mereka. Sampai saat ini aku masih tetap mencintainya. Juga sampai nanti…”
Paras Suci kelihatan berubah. Suaranya bergetar ketika bertanya, “Siapa gadis yang beruntung mendapatkan cintamu itu, Wiro?”
“Orangnya sangat cantik. Melebihi kecantikan seorang bidadari…”
“Siapa orangnya?” tanya suci lagi dengan suara tercekat dan air mukanya tidak mampu menyembunyikan rasa cemburu.
“Saat ini orangnya berada dalam pelukanku. Namanya Suci…” bisik Wiro ke telinga gadis itu.
Suci mengeluarkan desah panjang lalu memeluk Pendekar 212 ke dadanya sekuat yang bisa dilakukannya. Keduanya berangkulan kencang seperti tidak mau dipisahkan lagi…
“Aku harus meninggalkanmu Wiro,” bisik Suci.
“Sekarang?”
Gadis itu mengangguk.
“Secepat itukah?”
“Kita akan bertemu lagi…”
Wiro mengangguk perlahan. “Sebelum kau pergi ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Mungkin kau bisa memberi penjelasan.”
“Tentang apa?”
“Serikat Candu Iblis. Siapa sebenarnya mereka? Aku telah dituduh sebagai ketua komplotan itu. Dalam waktu dekat pasti ketiga orang tadi akan menyebarluaskan berita bohong bahwa akulah ketua Serikat Candu Iblis. Berarti semua petugas kerajaan akan memasukkan aku dalam daftar penjahat, menjadi orang yang dicari-cari dan harus ditangkap hidup atau mati! Gila!”
“Serikat Candu Iblis satu komplotan terkutuk. Mereka mulai bergerak sejak dua, mungkin tiga tahun lalu. Mula-mula secara gelap. Sekarang bahkan berani terang-terangan. Ratusan korban telah masuk dalam perangkapnya, menjadi pemadat keras. Sekali jadi pemadat tidak akan bisa keluar lagi dari perangkap terkutuk itu. Untuk mendapatkan secuil candu mereka harus membayar mahal. Kalau tidak ada uang merampok dan membunuh pun mereka tidak segan. Aku mendapat kabar banyak orang-orang kerajaan yang telah jadi pemadat.
Tapi yang menyedihkan kabarnya ada beberapa di antara mereka yang terlibat sebagai kaki tangan Serikat Candu Iblis. Beberapa bulan yang lalu aku pernah menumpas salah satu kelompok komplotan itu.
Tapi mereka seperti sudah berakar. Satu dibasmi, yang lainnya muncul di mana-mana.”
“Kau sempat melihat orang pendek berkepala botak pakai jubah merah yang keluar dari dalam tandu tadi?” tanya Wiro.
Suci menggeleng.
“Keparat itu yang membuat aku terjebak dan dituduh sebagai sang ketua. Sebelum kabur dia meninggalkan kotak berisi candu. Aku tertangkap tangan pada saat kotak itu ada padaku. Si katai botak itu, apakah dia memang Ketua Serikat Candu Iblis?”
“Mungkin ya mungkin juga bukan. Jaringan kelompok itu luas sekali. Sampai-sampai ke istana. Tapi siapa-siapa pimpinan utamanya masih sulit diketahui.”
“Aku harus menumpas mereka. Kalau tidak bakal tambah banyak orang yang masuk perangkap mereka.”
Suci mengangguk. “Aku akan membantu jika kau perlukan. Mulailah pada sebuah rumah makan dan rumah penginapan besar di perbatasan. Aku sudah lama mencurigai ada apa-apanya di tempat itu. Nah Wiro, sekarang aku harus pergi.”
Wiro mencium muka gadis itu dan memeluk tubuhnya lama sekali baru dilepaskan. “Aku pergi Wiro…”
Pendekar 212 mengangguk. Sosok tubuh Suci perlahan-lahan kelihatan berubah menjadi samar. Pakaiannya melambai-lambai tertiup angin pagi. Wajahnya berubah kosong. Keseluruhan diri gadis itu berubah menjadi bayang-bayang lalu laksana asap membumbung ke udara dan lenyap.
Pendekar 212 menarik nafas dalam. Untuk beberapa lamanya dia masih tegak di tepi sungai itu. “Dunia aneh,” bisik hatinya. “Dan aku bercinta dalam keanehan itu…” Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.
Seperti yang dikatakan Suci, rumah makan di perbatasan sebelah utara itu memang merupakan rumah makan paling besar yang pernah dilihat dan dimasuki Pendekar 212 Wiro Sableng. Pengunjungnya ramai bukan main. Apalagi saat itu tepat tengah hari. Wiro harus menunggu cukup lama baru pesanannya dihidangkan. Ternyata makanannya juga enak.
Selain bangunan besar itu dijadikan rumah makan, di sebelah belakang agak menyamping ke kiri terdapat sebuah bangunan lain yang lebih besar. Inilah tempat penginapan yang terbuat dari kayu dan bertingkat di sebelah atasnya.
Selesai makan Wiro duduk pura-pura terkantuk-kantuk. Tapi sebenarnya matanya tengah meneliti keadaan dan otaknya berpikir-pikir bagaimana dia mulai melakukan penyelidikan.
Seorang pelayan mendatangi. Wiro mengeluarkan sebuah kantong kain. Dia sengaja memperlihatkan kantong berisi banyak uang itu kepada pelayan. “Ini bayaranku, kembalinya kau boleh ambil.”
Si pelayan bukan saja gembira tapi juga hampir tidak percaya. Sisa kembalian yang dihadiahkan tetamu itu hampir sama dengan upah nya bekerja satu bulan di rumah makan itu. Si pelayan membungkuk dan berulang kali mengucapkan terima kasih.
“Kau boleh pergi, biarkan aku duduk dulu di sini. Aku mengantuk kekenyangan.”
“Tentu… tentu! Raden boleh duduk di situ selama Raden suka,” kata si pelayan. Sekali lagi dia membungkuk dan mengucapkan terima kasih.
Ketika dia mengantongi uang kembalian, kebetulan pemilik rumah makan dan penginapan melihatnya. Dia seorang gemuk bermata sipit, berambut dicukur pendek dan bermuka berminyak. Hidungnya sangat merah dan mulutnya kecil. Sepintas tampang orang ini tidak beda dengan muka seekor babi! Namanya Sentiko.
“Siapa yang memberimu hadiah uang kembalian itu?” bertanya Sentiko. Si pelayan menunjuk ke arah Wiro yang duduk di sudut rumah makan dengan setengah terpejam dan kepala terangguk-angguk. “Uangnya satu kantong. Agaknya dia seorang hartawan muda yang kaya raya,” menerangkan si pelayan.
Sentiko memperhatikan tamunya itu sesaat. “Belum pernah dia kulihat sebelumnya. Mungkin dia seorang pedagang keliling. Jika dia memang banyak uang, Hemmm…” Sentiko melangkah menuju meja tempat Wiro Sableng berada. Dia mendehem beberapa kali. Ketika dilihatnya Wiro membuka kedua matanya lebar-lebar, pemilik rumah makan ini cepat membungkuk lalu duduk di kursi di hadapan Pendekar 212.
“Nama saya Sentiko. Saya pemilik rumah makan ini. Saya berterima kasih raden mau makan di sini. Apakah makanan kami cukup enak?”
“Ah..” Wiro garuk-garuk kepalanya. “Hidangan di sini sungguh lezat. Aku sampai mengantuk kekenyangan.”
“Jika raden memang butuh istirahat, di samping ada penginapan,” menawarkan Sentiko.
“Aku dalam perjalanan jauh. Memang perlu istirahat. Mungkin aku perlu menginap barang satu malam…”
Sentiko tertawa lebar. “Saya akan berikan kamar yang paling bagus untuk raden serta pelayanan paling istimewa!”
“Pelayanan paling istimewa?” tanya Wiro seraya keluarkan kantong uangnya.
Dia berpura-pura menghitung uang yang ada dalam kantong itu lalu menyelipkan kantong kembali ke balik pinggangnya. Sepasang mata Sentiko berkilat-kilat melirik kantong uang itu. “Pelayanan macam apa pula itu?”
Sentiko tertawa lebar. “Tergantung raden maunya apa,” katanya. “Bersenang-senang sampai pagi dengan gadis-gadis cantik selangit? Seorang atau dua orang sekaligus? Atau cuma mau dipijat sambil ganti memijat? Atau mungkin raden hanya suka menyaksikan pertunjukan khusus gadis-gadis di atas ranjang?”
“Ah, yang terakhir itu aneh kedengarannya,” kata Wiro.
“Memang aneh. Baru di tempat saya ini ada pertunjukan seperti itu. Raden mau melihat? Saya bisa atur sekarang juga.”
Wiro menguap. “Sebetulnya, tubuhku ini sangat letih. Kalau bermain dengan gadis-gadismu aku pasti tambah ringsek..!”
“Kalau begitu pijat saja raden. Pasti segala keletihan raden akan lenyap.”
“Itu kalau aku tidak terangsang. Kalau aku sampai terangsang, berarti sama saja celakanya. Aku ingin sesuatu yang bisa menyegarkan badan dan pikiran. Mungkin aku hanya perlu tidur saja…”
Sentiko mendekatkan kursinya ke kursi Wiro lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Jika kesegaran pikiran dan tubuh yang raden cari, saya ada obatnya. Kita bicara di tempat lain. Raden mau mengikuti saya?”
“Obat apa yang sampeyan maksudkan?” tanya Wiro.
“Lihat saja nanti. Mari…!”
Wiro berdiri dan melangkah mengikuti orang bertubuh gemuk itu.
DI BAGIAN belakang penginapan terdapat sebuah pintu kayu yang dipalang dengan balok tebal dan digembok dengan dua buah gembok besi besar. Dua orang lelaki bertubuh tinggi kekar, bertampang sangar dan hanya mengenakan sehelai celana hitam berdiri di kiri kanan pintu. Keadaan kedua orang ini mengingatkan Wiro pada delapan orang pengusung tandu yang menemui ajal di hutan Karangkukusan.
“Betul dugaan Suci. Penginapan ini menyembunyikan sesuatu. Sesuatu itu ditangani oleh orang-orang Serikat Candu Iblis. Pasti di sini ada tempat pengisapan candu,” kata Wiro dalam hati.
Dua orang lelaki bertelanjang dada di samping pintu kayu bersikap hormat ketika Sentiko muncul di hadapan mereka. “Buka pintu,” kata pemilik rumah makan dan penginapan itu.
Salah seorang dari lelaki tinggi besar segera mengambil kunci yang digantungkan di pinggangnya. Kawannya memperhatikan Wiro lalu bertanya pada Sentiko. “Siapa dia?”
“Langganan baru,” jawab Sentiko pendek.
Pintu terbuka. “Ikuti saya Raden,” kata pemilik penginapan.
Di balik pintu itu terdapat sebuah lorong papan yang pada ujungnya membelok ke kiri lurus, lalu membelok lagi ke kiri. Pada ujung lorong papan ini terdapat sebuah tangga kayu menuju ke bawah. Wiro mencium bau aneh. Bau madat!
Di bawah tangga terdapat sebuah ruangan besar yang redup dan pengap karena sama sekali tidak ada lubang angin. Lantai, dinding dan atap ruangan terbuat dari batu. Menurut dugaan Wiro, ruangan batu itu berada kira-kira di bawah halaman samping kiri rumah makan. Di sini Wiro menyaksikan pemandangan yang membuat bulu tengkuknya merinding. Satu-satunya penerangan di ruangan batu itu adalah rambasan cahaya yang datang dari lorong papan.
Sekitar seratus orang tampak bergeletakan di lantai ruangan, beralaskan sehelai tikar dan bantal jerami. Semua mereka rata-rata berwajah pucat, bermata dan berpipi cekung. Setiap orang memegang sebuah pipa yang setiap kali mereka sedot sambil memejamkan mata dan menengadah seolah-olah menikmati sesuatu yang luar biasa.
Tidak seorang pun yang mengacuhkan kedatangan Sentiko dan Wiro. Mereka semua asyik dengan pipa candu masing-masing. Selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan mereka mendekam di situ. Minum dan makan sedikit, menghabiskan waktu hanya untuk menghirup candu. Kata orang, sekali orang sudah terjeblos ke tempat seperti itu sulit baginya akan keluar lagi.
Wiro kemudian melihat ada seorang pengawal bercelana hitam di setiap sudut ruangan batu. Masing-masing membekal sebuah pentungan dan sebuah kotak kecil yang digantungkan di pinggang. Mereka duduk di atas sebuah bangku kayu.
“Bagaimana pendapat Raden?” tanya Sentiko pada Wiro Sableng.
“Ini rupanya yang dinamakan surga dunia,” jawab Wiro.
“Raden boleh mencobanya. Secuil pertama tidak dipungut bayaran. Cuilan selanjutnya baru dibayar tapi harus dibayar lebih dahulu sebelum menikmati cuilan pertama.”
“Yang aku pikirkan saat ini justru bukan bersenang-senang mengisap candu, tapi…”
“Tapi apa Raden?”
“Aku tiba-tiba saja punya niat untuk membuka usaha penghisapan candu seperti ini!” kata Wiro pula.
“Saya tahu Raden punya banyak uang. Tapi tidak sembarang orang bisa membuka tempat penghisapan candu seperti ini. Bahayanya besar dan harus ada perlindungan serta kepercayaan dari orang-orang di atas,” menerangkan Sentiko.
“Tempatmu ini sama sekali tidak ada perlindungan. Jika ada apa-apa kau dan anak buahmu pasti kena bekuk secara mudah.”
Sentiko tertawa. “Raden tidak melihat empat pengawal bertelanjang dada yang ada di sudut-sudut ruangan?”
“Mereka memang bertubuh besar tapi kulihat seperti tidak punya kekuatan,” jawab Wiro.
“Kalau aku membuka usaha seperti ini manusia-manusia macam mereka tidak akan kupakai!”
“Raden terlalu menganggap enteng orang,” kata Sentiko dengan air muka kurang senang.
“Dengan tangan kosong mereka sanggup memukul hancur kepala kerbau bahkan menjebol tembok! Atau mungkin Raden punya ilmu yang diandalkan dan hendak menjajal mereka?”
Wiro mengangkat bahu. Pengawal di sudut kanan berdiri dan mendekati mereka.
“Apakah tamu ini sudah siap untuk diberikan satu cuil?” tanya pengawal itu.
“Bagaimana Raden?” Tanya Sentiko. “Terima kasih, niatku semakin keras untuk membuka usaha beginian. Untungnya pasti besar!”
Sentiko tampak kecewa. “Jika Raden tidak mau bersenang-senang di sini tidak apa. Tapi ada aturan yang harus dijalankan…”
“Hem… aturan apakah?” tanya Wiro.
“Pertama Raden harus menjaga kerahasiaan. Tidak boleh menceritakan kepada siapa pun apa yang Raden telah lihat di sini.”
“Kalau hanya aturan itu kau tidak perlu kawatir. Aku tidak akan menceritakan pada siapa pun.”
“Bagus kalau begitu. Sekarang aturan yang kedua. Raden harus membayarkan sejumlah uang karena sudah masuk kemari.”
“Tapi aku tidak menghisap candu,” kata Wiro pula.
“Menghisap atau tidak Raden tetap harus dipungut bayaran. Tidak banyak. Hanya separuh dari apa yang ada dalam kantong uang Raden itu.”
“Separuh uang dalam kantong? Gila! Itu tidak sedikit!”
“Begitu aturan kami agar tidak sembarang orang masuk kemari!” suara Sentiko yang tadi lunak kini berubah keras.
“Aku tidak akan membayar!” Wiro melangkah ke arah tangga. Di depan tangga ternyata telah menghadang seorang pengawal. Sikapnya garang. Pengawal ini menyeringai. “Kalau kau tidak mau membayar, tinggalkan lidahmu padaku!”
Tangannya bergerak dan tahu-tahu dia sudah memegang pisau kecil yang amat tajam. Pisau ini sama dengan pisau delapan pengusung tandu yang dilihat Wiro di hutan Karangkukusan.
“Kalau kalian memaksa dengan kekerasan, kalian akan menyesal!”
Si pengawal kembali menyeringai mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Dia melangkah mendekati Wiro. “Uangmu atau lidahmu!” ancamnya.
Wiro cepat menjauh. Dia telah menyaksikan cara berkelahi orang-orang Serikat Candu Iblis di rimba Karangkukusan. Sekali lawan kena tertangkap pasti celaka. Wiro mundur lagi ketika pengawal di depannya bergerak maju. Tiba-tiba dari belakang ada yang menangkap bahunya. Sebelum dia bisa berbuat apa, tubuhnya sudah dibaringkan ke lantai batu!
Pendekar 212 merasakan tulang belulangnya seperti remuk. Pemandangannya berkunang. Ketika dia coba berdiri satu kaki menginjak lehernya dengan keras.
“Ayo keluarkan lidahmu!” bentak pengawal yang menginjak lehernya demikian keras sehingga lidahnya hampir terjulur. Di sampingnya tiba-tiba Sentiko membungkuk dan menyambar kantong uang yang ada di pinggangnya. Tapi tangannya cepat ditangkap Wiro lalu dipuntir hingga si gemuk ini terpekik kesakitan.
Pengawal yang menginjak lehernya marah besar. “Kau minta mampus!” teriaknya. Kaki kanannya dihujamkan kuat-kuat ke leher Wiro. Saat itu Pendekar 212 telah lebih dahulu menghantamkan tangan kanannya ke tulang kering pengawal yang menginjaknya.
“Kraak!!!”
Pukulan yang disertai tenaga dalam itu mematahkan tulang kaki si pengawal hingga dia menjerit keras. Selagi dia terbungkuk-bungkuk kesakitan, masih dalam keadaan terbaring di lantai batu Wiro hantamkan tumit kirinya keselangkangan pengawal itu. Orang ini meraung kesakitan. Tubuhnya mental lalu jatuh di lantai, menimpa seorang yang sedang merem melek menghisap candu!
Tiga orang pengawal melompat dan langsung menyerbu Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro berkelit dengan cepat sambil mengayunkan satu jotosan ke perut lawan yang terdekat.
“Bukk!!” Jotosan itu tepat menghantam perut. Tapi si pengawal hanya menyeringai. Wiro kerahkan tenaga dalamnya. Dia kembali lancarkan pukulan. Kali ini ke arah batok kepala si pengawal yang sama. Namun tiba-tiba ada dua tangan yang kukuh mencekal tangan kanannya. Selagi dia berusaha melepaskan diri, dua tangan lagi dari samping kiri melesat. Satu menjambak rambut gondrongnya satu lagi mencekal lehernya.
Menyadari bahaya besar ini Wiro cepat membuat gerakan “Kincir padi berputar”. Tangan dan kakinya yang masih bebas menghantam. Dua orang pengawal menjerit kesakitan, lepaskan cekalan mereka dan terhuyung-huyung sambil mundur.
Yang di sebelah kanan tampak pecah mata kirinya. Yang satu lagi pegangi perutnya yang kena tendang. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu muntahkan darah segar.
“Setan alas! Kau berani mengacau di sini!” teriak pengawal ketiga. Tubuhnya paling besar di antara semua pengawal yang bertugas di ruang pengisapan madat itu.
Dia mendekati Wiro dengan tangan terpentang. Tiba-tiba dia meniup ke depan.
Serangkum angin menderu lalu berubah menjadi sebilah pedang. Pedang asap!
Waktu di hutan Karangkukusan beberapa hari yang lalu Wiro telah melihat ilmu kesaktian aneh ini. Karenanya dia tidak merasa terkejut. Namun dia harus berhati-hati. Cepat dia menyingkir selamatkan diri dari tusukan pedang asap. Si pengawal menggeram melihat serangannya luput. Mulutnya dibuka lebar-lebar lalu dia keluarkan suara menggerung. Pedang asap seolah berubah menjadi ular, bergelung ke kiri, menyambar ke arah leher murid Sinto Gendeng!
“Gila!” maki Pendekar 212 dalam hati. Dia rundukkan kepala untuk selamatkan leher tapi dari depan lawannya menyambut dengan satu jotosan.
Penasaran serta ingin menjajaki kehebatan-kehebatan lawan, Pendekar 212 balas menghantam dengan tinju kanan. Dua jotosan saling beradu keras!
Murid Sinto Gendeng keluarkan keluhan keras. Tubuhnya terlempar sampai lima langkah dan jatuh duduk di lantai batu. Ketika diperhatikannya tangan kanannya tampak jari-jarinya menggembung kemerahan!
“Bangsat itu tidak memiliki tenaga dalam tinggi. Tapi dia mempunyai kekuatan aneh luar biasa!” kata Wiro dalam hati. Memandang ke depan dilihatnya si pengawal tersandar ke dinding ruangan. Mukanya mengernyit menahan sakit. Tangan kanannya terkulai. Ketika Sentiko memperhatikan ternyata tangan pengawal itu telah remuk sampai ke pergelangan. Sentiko berpaling pada Wiro.
“Kau telah membunuh seorang pengawal dan mencederai tiga lainnya! Kau bakal menerima hukuman berat! Jangan harap kau bisa lolos!” Sentiko lari ke arah tangga. Namun Wiro cepat menyusul dan memegang leher bajunya.
“Jika kau tidak membawa aku pada pemimpinmu, kupecahkan muka babimu saat ini juga!” gertak Wiro.
Lelaki gemuk itu tampak kecut. Tapi dalam hati dia menyumpah setengah mati. “Ikuti aku,” katanya kemudian. Dia menaiki tangga dan melangkah cepat di sepanjang lorong papan. Di pintu dia mengetuk tiga kali. Tak lama kemudian pintu kayu yang dipalang dan digembok dibukakan dua pengawal dari luar.
“Teman-teman kalian mendapat cedera di dalam sana. Cepat kalian tolong!” berkata Sentiko sebelum dia meninggalkan tempat itu.
Dua pengawal tentu saja keheranan. Mereka hendak bertanya tapi Sentiko sudah berlalu bersama Wiro. Yang satu akhirnya menyuruh kawannya untuk masuk ke dalam. “Coba kau periksa apa sebenarnya yang terjadi.”
Pengawal itu masuk. Tak lama kemudian dia keluar kembali setengah berlari.
“Jakadolok mati! Tiga kawan lainnya cedera berat! Bantu aku menolong mereka!”
SENTIKO membawa Wiro ke dalam sebuah kamar di tingkat atas penginapan.
“Kau tidak membawa aku pada pimpinanmu?” tanya Wiro.
“Sebaiknya kau melupakan saja niat untuk membuka usaha penghisapan candu. Kau telah membunuh seorang di antara kami, mencederai tiga orang lainnya! Apakah pimpinanku akan mengabulkan begitu saja permintaanmu?”
“Kau tak perlu meributkan apakah dia mengabulkan atau tidak! Yang jelas kau harus mengantarkan aku padanya!”
“Jika aku tidak mau?” ujar Sentiko.
Wiro melangkah mendekati pemilik rumah penginapan itu. Baru dua langkah dia maju, tanpa diketahuinya Sentiko menginjak sebuah tombol kayu di bawah meja.
Lantai yang dipijak Wiro tiba-tiba amblas. Tak ampun lagi pemuda ini terperosok ke bawah. Dia ternyata jatuh ke dalam sebuah ruangan batu sedalam empat tombak.
Tidak mungkin baginya untuk dapat melompat setinggi itu.
“Keparat!” teriak Wiro memaki. Di atas lobang Sentiko tertawa mengakak.
Dari dalam lubang Wiro lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah Sentiko yang tegak di pinggir lubang. Lelaki gemuk ini cepat menyingkir begitu dia mendengar ada suara angin menggemuruh dari bawah lubang. Angin pukulan menghantam langit-langit ruangan hingga jebol berantakan.
“Kau boleh mengamuk di dalam lubang itu Raden! Sebentar lagi akan ada mahluk-mahluk lucu yang bakal menemanimu !”
Habis berkata begitu Sentiko melangkah ke sudat kamar. Di sini dia menarik sebuah kawat. Di Dalam lubang Wiro mendengar suara mendesis. Tampak ada celah kecil di dinding lobang sebelah kanan bawah. Lalu lima kepala pipih lebar berwarna hijau kelihatan menjulur! Kepala lima ekor ular sendok!
Pendekar 212 melompat mundur. Tapi di lobang yang sempit itu tidak ada ruangan untuk menghindar. Lima ular sendok melata di lantai lobang. Kepala masing-masing bergerak naik ke atas. Mulut binatang ini terpentang mengerikan.
Wiro segera siapkan Pukulan Sinar Matahari. Tetapi dia sadar. Membunuh kelima ular berbisa itu dengan pukulan sakti di ruangan yang begitu sempit sama saja dengan bunuh diri. Pukulan saktinya akan berbalik menghantam dirinya sendiri.
Menurut gurunya Eyang Sinto Gendeng, dia kebal terhadap segala macam racun.
Apakah itu juga berarti kebal terhadap bisa ular?
***
Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah menghadapi bahaya terancam lima ekor ular sendok berbisa. Kita ikuti rombongan Adipati Magetan yang bergerak menuju Kotaraja. Karena Lawunggeno, Jala Gandring dan Barataji sama-sama menderita cedera, maka rombongan itu tidak bisa bergerak cepat. Satu hari kemudian baru mereka sampai di Kotaraja. Lawunggeno langsung memimpin rombongan menuju gedung Kepatihan.“Astaga, apa yang terjadi dengan diri kalian?!” tanya Patih Sagara Wisamala
ketika melihat kemunculan ketiga orang itu. Tangan kiri Adipati Lawunggeno dilihatnya tergantung dalam kain penyanggah tanda ada bagian bahu atau pangkal lengannya yang patah.
Tapi yang paling menggidikkan ialah mukanya yang seperti hancur. Hidung melesak ke dalam dan kelihatannya dia mengalami kesulitan bernafas. Di samping Adipati Magetan itu tegak orang tua bermuka hitam Jala Gandring, bertopang pada sebuah tongkat. Kaki kirinya dibalut dan diganjal dengan sepotong kayu. Patih Kerajaan berpaling pada Barataji. Leher orang ini tampak bengkak membiru. Seperti Jala dan Lawunggeno, dia pun kelihatan sulit bernafas.
Karena tidak ada satu pun dari ketiga orang itu yang membuka mulut, Patih Sagara Wisamala kembali bertanya, “Orang-orang Serikat Candu Iblis yang menghajar kalian?”
Sentak menarik nafas panjang dan dalam Jala Gandring menjawab. “Kami memang berhasil menjebak rombongan orang-orang Serikat Candu Iblis di hutan Karangkukusan. Pemimpinnya nyaris kami tangkap. Tetapi terjadi satu keanehan. Ada satu mahluk yang tidak kelihatan menolong Ketua Serikat Candu Iblis sehingga dia berhasil lolos.”
“Lolos setelah menghajar kalian lebih dulu?” tanya Patih Kerajaan.
“Bukan dia yang menghajar kami. Tapi mahluk yang tidak kelihatan itu. Mahluk tersebut ternyata menjadi kawan sang ketua.” Barataji yang menjawab.
“Keteranganmu sungguh tidak dapat kupercaya Dimas Barataji. Coba salah satu dari kalian menceritakan apa sesungguhnya yang telah terjadi. Yang lebih penting kalian telah bertemu dengan Ketua Serikat Candu Iblis itu. Apakah kalian mengenal siapa adanya dia?”
“Manusia terkutuk itu ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid nenek sakti bernama Sinto Gendeng dari Gunung Gede!” kata Jala Gandring.
“Pendekar 212 Wiro sableng?! Dia katamu yang jadi Ketua Serikat Candu Iblis?”
Jala Gandring dan Lawunggeno mengangguk sedang Barataji mengiyakan.
“Tidak dapat kupercaya! Sungguh tidak aku duga! Bukankah Pendekar 212 seorang tokoh silat muda yang sangat disegani dan berasal dari golongan putih?
Malah setahuku dia telah berjasa banyak pada kerajaan. Beberapa kali dia pernah ikut membantu menumpas pemberontakan.”
“Kakang Patih, biar saya ceritakan agar jelas bagi kakang Patih,” kata Jala Gandring pula. Lalu dia pun menuturkan apa yang telah terjadi yaitu sejak dia dan rombongannya berhasil menjebak orang-orang Serikat candu Iblis di hutan Karangkukusan sampai akhirnya mereka dibuat babak belur.
“Aneh…” kata patih Sagara Wisamala sambil melangkah mondar-mandir.
“Hutan Karangkukusan memang termasuk salah satu hutan angker di kawasan perbatasan. Tapi jika ada satu mahluk tidak kelihatan menolong Pendekar 212 ini benar-benar tidak masuk akal.”
“Turut penglihatan saya,” kata Jala Gandring pula, “Agaknya antara Pendekar 212 dan mahluk itu sudah saling kenal sebelumnya. Mereka akrab. Besar dugaan saya mahluk itu adalah mahluk perempuan.” “Kuntilanak? Sebangsa peri atau gendaruwo atau penghuni laut selatan? Atau jin peliharaannya?” ujar Patih Kerajaan sambil memandang pada ketiga orang di hadapannya satu persatu.
Lawunggeno batuk-batuk beberapa kali. Dari hidungnya yang cedera masih mengalir darah. Dengan sehelai sapu tangan basah dia menyeka mukanya lalu berkata. Suaranya terdengar sangau akibat hidungnya yang rusak.
“Siapa atau apa pun adanya mahluk itu tidak penting! Lebih penting saat ini ialah menyebarkan pengumuman penangkapan atas diri Pendekar 212 Wiro Sableng. Kita sudah mengetahui kedoknya. Dia bukan lain adalah Ketua Serikat Candu Iblis!”
“Apa yang dikatakan Adipati Lawunggeno betul. Manusia itu harus ditangkap hidup atau mati,” ikut bicara Barataji. “Kerajaan harus mengirimkan surat kepada gurunya di Gunung Gede serta para sesepuh dunia persilatan. Mereka harus ikut bertanggung jawab dan membantu menangkap pemuda itu!”
Pati Sagara Wisamala tercenung sesaat. “Antara jasa dan kejahatan memang tidak dapat dibanding-bandingkan,” katanya. “Walau pemuda itu telah banyak berjasa pada Kerajaan dan dunia persilatan tetapi menjadi orang jahat, menjadi Ketua dari komplotan perusak ummat tidak ada ampunnya. Hari ini juga aku akan mengeluarkan surat penagkapan atas diri Pendekar 212! Berita ini harus diumumkan di seluruh Kerajaan, sampai di pelosok-pelosok!”
Sehari sebelum kedatangan rombongan Jala Gandring ke Keraton, pada suatu malam gelap tanpa bulan, delapan orang lelaki bertubuh kekar hanya mengenakan celana hitam berlari cepat di wilayah selatan luar Kotaraja. Mereka mengusung sebuah tandu. Gerakan mereka laksana hantu malam. Dari mulut mereka selalu terdengar ucapan: “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
Di sebuah persimpangan sunyi rombongan ini membelok ke kiri. Tak lama kemudian mereka memasuki halaman sebuah gedung yang berada dalam keadaan gelap gulita. Hanya ada sebuah lampu minyak menyala dekat tangga depan. Delapan pengusung tandu hentikan ucapan-ucapan mereka.
Lima orang pengawal muncul menyongsong kedatangan orang-orang pemuda tandu itu. Dari pihak yang disongsong, yang bertindak sebagai pemimpin segera berkata: “Beri tahu Raden Haryo Adipuro kalau kami sudah datang.”
“Raden Haryo memang sudah menantikan,” jawab pengawal itu. Dia mengangkat tangannya seperti memberi tanda. Pintu besar gedung kelihatan terbuka.
Delapan lelaki pengusung tandu segera bergerak. Mereka menaiki tangga gedung, terus masuk ke dalam gedung bersama tandu yang mereka usung!
Bagian dalam gedung ternyata berada dalam keadaan gelap. Sebuah lampu minyak terdapat di atas sebuah meja di tengah ruangan. Nyala apinya yang sangat kecil dan redup tidak dapat menerangi seluruh ruangan yang cukup besar. Segala yang ada di tempat itu terlihat seperti bayang-bayang menghitam.
Di sudut kiri ruangan ada sebuah kursi. Di atas kursi ini, dalam kegelapan tampak duduk seorang lelaki berbadan kukuh. Sikapnya tenang tetapi air mukanya menunjukkan rasa khawatir yang coba disembunyikannya.
Delapan lelaki bertelanjang dada menurunkan tandu di tengah ruangan. Bagian depannya sengaja membelakangi nyala lampu minyak di atas meja. Para pengusung kemudian berdiri tak bergerak, empat di samping kiri dan empat lagi di samping kanan tandu. Suasana di ruangan itu sunyi hening seperti di pekuburan. Kesunyian kemudian dipecah oleh suara berkeretekan. Bagian depan tandu yang merupakan sebuah pintu perlahan-lahan terbuka. Di dalam tandu, terbungkus oleh kegelapan kelihatan duduk satu sosok tubuh anak-anak. Tapi ternyata dia adalah seorang laki-laki katai. Menggunakan jubah hitam berumbai-umbai kuning emas. Kepalanya botak dan mukanya berwarna kelabu!
Raden Haryo Adipuro adalah Kepala Pasukan Pengawal Sri baginda, seorang pejabat tinggi Kerajaan yang setingkat dengan Menteri. Namun adalah aneh ketika pintu tandu terbuka, dia segera berdiri dan menjura memberikan hormat pada orang pendek yang duduk di dalam tandu. Setelah menjura dia duduk kembali dengan sikap hormat, menunggu.
“Raden Haryo” orang di dalam tandu terdengar berkata. “Aku datang seperti biasa mengantarkan uang perlindungan.” Lalu dari dalam tandu melesat sebuah kantong. Kantong ini mengeluarkan suara berdering ketika jatuh di atas meja di samping lampu minyak.
Raden Haryo Adipuro memperhatikan kantong itu sesaat. Dilihatnya ada kelainan pada ukuran kantong. Tapi dia diam saja. Tidak berani menanyakan.
Orang di dalam tandu kembali membuka suara. “Jumlah yang aku sampaikan kali ini jauh lebih kecil. Itu satu pertanda bahwa perlindungan yang Raden Haryo berikan terhadap Serikat tidak memadai. Kami kebobolan! Kami sangat kecewa.”
“Ada sesuatu yang terjadi?” tanya Raden Haryo Adipuro.
“Sebelumnya aku sudah memberi bisikan. Aku mencurigai Patih Sagara Wisamala. Dia bisa membahayakan Serikat. Karena itu Raden aku minta untuk menyelidik. Apa yang telah Raden laku kan?”
“Saya telah menyuruh beberapa orang kepercayaan untuk menyelidik…”
“Orang-orang Raden tidak lebih dari kerbau-kerbau tolol!” kata si pendek dalam tandu yang membuat Raden Haryo Adipuro jadi terdiam.
“Beberapa hari lalu orang-orang Patih Sagara menyerang dan menjebak rombonganku di hutan Karangkukusan. Delapan orang anggota Serikat tewas! Tiga dibunuh dengan panah beracun. Lima dibakar hidup-hidup!”
Dalam gelap paras Raden Haryo Adipuro jadi berubah dan memucat.
“Ini adalah kealpaan yang tidak dapat dimaafkan Raden Haryo!”
“Saya… saya mengerti Soltan Ramada,” jawab Kepala Pengawal Istana menyebut nama orang kate yang duduk di dalam tandu. Kepalanya ditundukkan. Dia tak berani menatap mata orang di hadapannya itu.
Lalu dia berkata, “Mohon Soltan Ramada mau memberi tahu siapa pemimpin rombongan yang melakukan penyergapan itu. Saya akan segera mengambil tindakan.”
“Ada tiga orang. Jala Gandring, tokoh silat istana sahabat kental Patih kerajaan. Lalu Adipati Lawunggeno dari Magetan. Yang ketiga Barataji, tokoh silat yang selama ini menjadi guru para prajurit pengawal istana! Jadi orangmu sendiri!”
Paras Raden Haryo berubah. Tiga nama yang disebutkan itu adalah tiga orang tokoh berkepandaian tinggi. “Saya akan menghabiskan mereka! Saya bersumpah!” kata Raden Haryo Adipuro akhirnya.
“Bagus! Karena memang itulah satu-satunya jalan untuk mengampuni kelalaianmu! Sekarang aku minta laporan perkembangan kegiatanmu!”
“Satu tempat penghisapan baru mulai dijalankan di Kotaraja sebelah timur. Dua lainnya di Sleman dan Klaten.”
“Bagaimana dengan orang-orang penting yang jadi sasaran Serikat?”
“Tumenggung Jarot Agasa masuk ke dalam bujukan kita. Salah seorang selir Sri Baginda diam-diam sudah mulai menghisap. Lalu pangeran tua Dipa Alit dan seorang keponakannya juga berhasil dibujuk…”
“Bagus, sekarang tugas utamamu adalah berusaha agar Sri Baginda bisa dibujuk. Kau bisa memperalat gundiknya yang telah jadi pemadat itu atau melalui pangeran Dipa Alit.”
“Saya siap melakukannya Soltan.”
“Aku segera pergi. Ada pertanyaan yang ingin kau ajukan?”
“Tidak. Kecuali permintaan agar jumlah kiriman candu diperbanyak,” jawab Raden Haryo Adipuro.
“Tak usah kau kawatirkan. Itu sudah ada dalam benakku!” jawab si botak muka kelabu yang bernama Soltan Ramada. Tangan kirinya dilambaikan. Pintu tandu tertutup. Delapan lelaki bertelanjang dada segera mengangkat tandu itu lalu mengusungnya keluar gedung. Tak lama kemudian di dalam kegelapan malam kembali terdengar suara mereka. “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
GOA batu itu terletak di kaki selatan Gunung Merapi, tersamar di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar. Suasana sunyi senyap yang sesekali ditandai oleh kicau burung-burung hutan jadi terusik ketika dikejauhan terdengar seruan berkepanjangan. “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat…!”
Makin lama suara itu semakin keras tanda tambah mendekati goa. Tak lama kemudian terlihatlah rombongan yang tak asing lagi. Delapan lelaki bertelanjang dada, hanya mengenakan celana panjang hitam sebetis mengusung sebuah tandu sambil berlari.
Di depan goa rombongan berhenti. Perlahan-lahan tandu diturunkan ke tanah.
Seorang dari delapan pengusung melangkah ke sebuah pohon besar di samping goa.
Dengan kedua tangannya yang kukuh dipeluknya batang pohon itu lalu diputarnya ke kanan. Sesaat kemudian terdengar suara berderik, disusul dengan suara bersiur.
Lalu terjadilah satu keanehan. Rerumputan pohon dan semak belukar yang menutupi mulut goa perlahan-lahan turun ke bawah seolah-olah ditelan bumi. Mulut goa kini kelihatan dengan jelas namun lima langkah ke sebelah dalam menghadang sebuah batu besar.
Tiba-tiba pintu tandu berkereketan dan terpentang lebar. Dari dalam tandu melesat keluar satu sosok pendek berjubah hitam, langsung masuk ke dalam mulut goa.
Di depan batu besar yang menyumpal mulut goa sebelah dalam, orang ini yang bukan lain adalah manusia bernama Soltan Ramada mengetuk batu tiga kali berturut-turut. Ketukan yang disertai pengerahan tenaga dalam itu menggetarkan batu.
Getaran ini menjalar sepanjang lorong goa dan sampai ke sebuah kursi batu yang terletak di suatu ruangan agak ketinggian.
Di atas kursi batu ini duduk seorang lelaki. Baik bentuk tubuh maupun wajahnya yang terlihat samar-samar karena pada pertengahan ruangan, beberapa langkah di depan kursi batu terdapat sebuah tirai berwarna merah dengan garis-garis kuning. Di sebelah bawah ada gambar bulatan setengah lingkaran berwarna merah tua.
Begitu merasakan getaran pada kursi batu yang didudukinya, orang di balik tirai menekan ujung kanan lengan kursi. Bagian ini rupanya merupakan sebuah tombol dari peralatan rahasia. Begitu lengan kursi ditekan, di mulut goa, batu besar yang menutup bergeser ke kiri. Soltan Ramada segera melompat ke dalam goa. Di belakangnya batu besar bergeser kembali, menutup mulut goa.
“Kau membawa kabar baik untukku Soltan?”
Orang yang duduk di atas kursi batu bertanya. Suaranya keras, bergema panjang di dalam goa itu.
“Tentu, tentu Pangeran!” jawab Soltan Ramada. Lalu manusia katai ini jatuhkan dirinya dekat tiga alur tangga batu dan bersujud beberapa lamanya. Kalau tidak disuruh bangkit dia tidak akan terus bersujud seperti itu.
Orang yang disebut dengan panggilan Pangeran menyeringai. “Bangunlah Soltan. Berikan laporanmu!”
Soltan Ramada bangkit dari sujudnya lalu duduk bersila dengan khidmat.
“Sesuai dengan petunjuk Pangeran saya telah berhasil membuat Pendekar 212 menjadi bulan-bulanan pengejaran orang-orang Kerajaan dan orang-orang Persilatan. Kini dia dianggap sebagai Ketua dari Serikat Candu Iblis. Perintah penangkapannya hidup atau mati telah disebarluaskan di seluruh pelosok kerajaan.”
Mendengar keterangan itu orang yang duduk di kursi batu tertawa gelak gelak.
“Kau memang pembantuku paling hebat. Coba ceritakan bagaimana kejadiannya.”
Lalu Soltan menuturkan peristiwa di hutan Karangkukusan.
“Bagus…! Bagus! Delapan korban tak jadi apa. Candu palsu dalam kotak yang kau selipkan di pinggang Pendekar 212! Ha…ha…ha.!”
Soltan Ramada ikut tertawa mengekeh.
“Sekarang aku tidak susah-susah turun tangan sendiri mencari musuh besarku itu. Orang-orang berkepandaian tinggi se-Tanah Jawa ini yang akan mengerjakannya.
Menurut perkiraanku, paling lambat dalam waktu tiga puluh hari manusia sableng itu pasti akan tertangkap! Kalau dia tidak mati dalam perlawanan maka Kerajaan akan menggantungnya sampai mampus! Ha…ha…ha….!”
“Berita lain yang menggembirakan, Pangeran,” kata Soltan Ramada pula.
“Saat ini sudah banyak orang-orang yang dekat dengan Keraton masuk dalam perangkap candu kita. Dua di antaranya adalah selir Sri Baginda dan Pangeran Alit.”
“Hebat! Berarti kita sudah dekat dengan sasaran utama. Yaitu Sri Baginda!”
“Saya sudah perintahkan Raden Haryo Adipuro untuk melakukan hal itu. Rasa-rasanya segala rencana akan berjalan mulus. Katakanlah paling lambat kita harus menunggu tiga purnama…”
“Ya, paling lambat memang sekitar sembilan puluh hari.”
“Kalau Sri Baginda sudah masuk dalam perangkap Serikat Candu Iblis… Ha… ha… ha… ha…! Tanda kerajaan tak lama lagi akan lumpuh dan kita dengan mudah bisa merebut tahta!”
“Tahta memang adalah hak warismu yang sah Pangeran,” kata Soltan Ramada pula.
“Tapi ingat Soltan. Dalam setiap langkah dan tindakan, dalam setiap saat dan waktu semua orang-orang kita, terutama kau, harus berlaku hati-hati. Waspada! Aku merisaukan beberapa orang yang bisa menjadi penghalang. Pertama Patih Sagara Wisamala.”
“Saya memang terus memata-matainya. Dia telah memberikan tugas khusus pada tiga orang tokoh. Jala Gandring. Barataji dan Adipati Lawunggeno.”
“Mereka orang-orang berkepandaian tinggi,” kata Sang Pangeran sambil pangkukan kaki kirinya ke kaki kanan.
“Tidak usah khawatir Pangeran. Saya telah membuat Raden Haryo bersumpah bahwa dia harus membunuh ketiga orang itu. Mereka akan mati dan Raden Haryo saya perintahkan untuk meninggalkan tanda pada setiap pembunuhan. Yaitu SCI, singkatan dari nama serikat kita.”
“Otakmu sungguh luar biasa Soltan! Dari siapa kau mendapatkan kepintaran itu?” tanya sang Pangeran dari balik tirai sambil menyeringai.
“Saya hanya belajar darimu Pangeran!” jawab Soltan Ramada lalu letakkan keningnya di lantai goa, bersujud! Lalu sambil terus menempelkan keningnya di lantai Soltan berkata penuh penjilatan, “Bukankah Pangeran yang ditunjuki orang Pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak?!”
Orang di atas kursi batu tertawa mengakak. “Kau ingat betul sifat-sifatku itu Soltan,” katanya. “Dan aku tahu apa akibat dari perbuatan licikmu itu! Semua orang akan menuduh Pendekar 212-lah yang telah membunuh ketiga orang itu. Bukan begitu?”
“Betul sekali Pangeran!” jawab Soltan Ramada sambil duduk bersila kembali.
“Hemmmm… Soltan, masih ada satu orang lagi yang berbahaya bagi Serikat Candu Iblis kita. Raden Mas Kuntoro Abimanunggal, Kepala Pasukan Kerajaan…”
“Saat ini dia masih berada di luar pulau. Ada kabar dia meneruskan perjalanan ke Tanah Melayu. Dia tidak akan kembali dalam waktu empat atau lima bulan,” kata Soltan Ramada.
Sang Pangeran mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu. Lalu berkata, “Baiklah Soltan, Kau tentu perlu istirahat. Apakah kau akan menemui kekasihmu saat ini?”
“Kalau Pangeran mengizinkan. Sudah satu bulan lebih saya tidak melihatnya…”
Sang Pangeran tertawa lalu menekan ujung lengan kursi sebelah kiri. Terdengar suara menderu perlahan. Satu celah tampak di dinding sebelah kiri dekat lorong menuju keluar.
Soltan Ramada bersujud lebih dahulu, lalu tanpa menunggu lebih lama dia bangkit dan berkelebat ke dalam celah batu. Di belakang celah itu ternyata terdapat sebuah kamar yang bagus sekali. Di bagian tengah ada tempat tidur dari batu yang dialas dengan kasur jerami serta seprai tebal seperti permadani.
Di atas tempat tidur, berdiri satu sosok tubuh perempuan yang luar biasa buntak dan gemuknya. Lehernya tidak kelihatan, karena dagunya seperti telah jadi satu dengan dadanya. Wajahnya merah karena diberi pupur berlebihan. Gincunya tebal bukan kepalang dan alis matanya yang seperti bulan sabit diberi alat penghitam.
Perempuan gemuk ini tegak bertolak pinggang dan tersenyum lebar ketika melihat Soltan Ramada masuk ke dalam kamar batu itu.
“Kanda Ramada!” kata si perempuan dengan suara lembut dan gerakan mulut serta mata penuh genit. “Kalau hari ini Kanda tidak sampai datang, dinda niscaya sudah mati menelan kerinduan…”
“Kekasihku Ramini!” seru Soltan Ramada seraya melompat naik ke atas tempat tidur. “Rindumu adalah rinduku juga!” Berdiri berhadap-hadapan tinggi Soltan Ramada hanya sampai sepusar perempuan gemuk itu. Mendengar ucapan Soltan tadi, perempuan itu tersenyum lebar. Dia menggerakkan bahunya. Pakaian sebentuk jubah tipis yang melekat di tubuhnya jatuh ke bawah. Kini perempuan itu berdiri tanpa mengenakan sepotong pun kain pelindung. Di mata Soltan Ramada, tubuh yang gemuk buntak penuh lemak itu seindah tubuh bidadari. Dia menjerit keras lalu melompat merangkul leher si gemuk.
Dari tempatnya duduk di kursi batu, orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran dapat melihat ke dalam kamar melalui celah yang masih belum ditutupnya.
Dia tertawa-tawa seorang diri.
“Apa yang aku lihat ini? Seekor sapi betina bulat melawan seekor kadal sawah? Ha…ha…ha!” dia menekan ujung lengan kiri kursi batu. Celah di dinding goa menutup kembali.
KOTARAJA menjadi geger ketika dua hari kemudian, yaitu setelah Soltan Ramada menemui Raden Haryo Adipuro, pagi-pagi sekali telah tersebar luas berita mengejutkan kematian tiga orang penting. Mereka adalah Jala Gandring, Lawunggeno dan Barataji.
Jika tiga orang penting menemui kematian secara bersamaan maka hal ini bukanlah suatu peristiwa biasa. Kematian mereka tidak bisa disebut wajar. Dan memang ketiga tokoh itu tewas akibat dibunuh!
Jala Gandring dan Barataji ditemukan mayatnya dalam kamar masing-masing di perumahan khusus untuk tamu-tamu istana, tak berapa jauh dari tembok Istana sebelah timur. Sedang Adipati Lawunggeno ditemukan tewas di rumah adik iparnya di kawasan pusat Kotaraja.
Ketiga orang ini menemui ajal dengan cara yang sama. Sebatang kayu kecil berbentuk sumpit menancap di tenggorokan masing-masing. Leher dan sebagian muka mereka kelihatan membiru tanda kayu maut itu mengandung racun jahat. Pada bagian ujung kayu terdapat bagian berbentuk bulat pipih. Pada bulatan ini tertera tiga huruf SCI yang merupakan singkatan dari Serikat Candu Iblis.
Seperti diketahui ketiga orang yang jadi korban pembunuhan itu memiliki kepandaian silat tinggi serta kesaktian. Jika mereka bisa dibunuh begitu rupa berarti si pembunuh memiliki kepandaian yang sangat luar biasa. Atau mungkin ketiganya dibokong satu demi satu?! Dan siapa pun sang pembunuh, dia adalah anggota Serikat Candu Iblis yang bahkan dengan sengaja berani meninggalkan tanda!
Pagi itu juga Sri Baginda memanggil Patih Sagara Wisamala.
“Kita kebobolan Patih,” kata Sri Baginda.
“Saya mengerti Sri Baginda. Semua karena kelalaian saya,” jawab Patih Sagara Wisamala. “Yang menjadi korban pembunuhan ketiganya adalah orang-orang yang saya percayakan untuk menangani komplotan candu jahat itu.”
“Mereka sekarang secara terang-terangan dan berani meninggalkan tanda dari Serikat mereka,” kata Sri Baginda pula. “Aku merasa dipermalukan. Belum lagi rasa tanggung jawab terhadap orang-orang yang sekarang telah menjadi pemadat. Patih, katakan kalau benar bahwa ada orang-orang penting dalam Istana yang juga telah masuk perangkap jahat menjadi penghisap candu!”
“Hal itu memang menjadi kekhawatiran saya Sri Baginda. Saya akan segera melakukan penyelidikan.” jawab sang Patih. Dia tidak berani mengatakan terus terang bahwa dia memang sudah mendengar kabar kalau ada orang-orang yang dekat dengan Istana telah masuk ke dalam perangkap Serikat Candu Iblis. “Bagaimana dengan Pendekar 212? Masih belum diketahui di mana dia berada?”
“Belum Sri Baginda. Saya telah menambah jumlah mata-mata di seluruh pelosok Kerajaan.”
“Jangan terlalu memperhatikan daerah pelosok. Nyatanya pendekar sesat itu berada di Kotaraja dan sempat membunuh tiga orang kepercayaanmu!”
Ucapan Sri Baginda itu membuat air muka Patih Kerajaan menjadi bersemu merah.
“Kuharap kau bekerjasama dengan Raden Haryo Adipuro. Geledah setiap tempat yang mencurigakan di Kotaraja. Kalau perlu tempat kediaman para pejabat
yang mencurigakan jangan segan-segan digeledah. Aku punya dugaan Serikat Candu
Iblis tidak mungkin berkembang secepat dan seberani itu kalau tidak mempunyai tulang punggung yang mereka andalkan.”
“Petunjuk Sri Baginda akan saya laksanakan. Saya mohon diri…”
“Tunggu! Ada satu hal lagi Patih. Hubungi tokoh-tokoh dunia persilatan. Minta mereka membantu menangkap atau membunuh Pendekar 212. Kita tidak bisa bekerja sendirian. Kita perlu bantuan mereka. Kirimkan utusan khusus menemui Sinto Gendeng. Perintahkan dia menghadapku dalam waktu dekat. Aku ada rencana yang mungkin bisa memaksa muridnya keluar dari persembunyian.”
“Kalau saya boleh tahu Sri Baginda, rencana apakah itu?”
Sri Baginda menatap wajah patihnya itu beberapa saat. Sang Patih jadi merasa tidak enak dipandang seperti itu. Maka dia cepat berkata, “Jika Sri Baginda tidak percaya bahwa saya tidak dapat merahasiakan rencana itu, Sri Baginda tidak perlu mengatakannya pada saya.” Sagara Wisamala menghaturkan sembah hendak berlalu.
“Tunggu Patih! Jangan salah menduga. Aku percaya padamu. Aku akan katakan rencana itu. Tapi jangan sekali-kali kau ceritakan pada siapa pun!”
“Saya berjanji tidak akan membuka rahasia,” kata Sagara Wisamala pula.
“Begitu Sinto Gendeng masuk ke Istana ini, kita akan menangkapnya. Lalu jika dalam waktu sepuluh hari setelah dia ditangkap Pendekar 212 yang Ketua Serikat Candu Iblis itu tidak muncul menyerahkan diri, perempuan tua itu akan kusuruh gantung sampai mati!”
Tersirap darah Patih Sagara Wisamala mendengar ucapan Sri Baginda itu.
Dalam hati dia membatin. “Nenek sakti Sinto Gendeng memang bisa dimintakan pertanggungan jawab atas kejahatan yang dilakukan muridnya. Tapi kalau sampai si nenek digantung, sama saja dengan menantang perang terhadap orang-orang dunia persilatan!”
***
SENTIKO menggeliat beberapa kali lalu turun dari tempat tidur. Setelah meneguk air putih dari dalam sebuah kendi dia naik ke kamar di tingkat atas penginapan. “Keparat bermulut besar itu pasti sudah mampus dilalap lima ekor ular sendok!” berucap Sentiko dalam hati.Pintu kamar dibukanya. Sebelum melihat ke dalam lobang dia membuka semua jendela kamar agar cahaya terang masuk ke dalam. Lalu baru dia melangkah ke tepi lobang dan memandang ke bawah. Dia membayangkan akan melihat sosok tubuh Pendekar 212 terkapar tak bernyawa.
Tetapi alangkah terkejutnya pemilik rumah penginapan dan rumah makan ini ketika yang dilihatnya bukan sosok tubuh atau mayat Wiro, melainkan yang tampak adalah bangkai lima ekor ular sendok bergeletakan menghitam seperti dipanggang!
Apakah yang telah terjadi didalam lobang dimana sebelumnya Pendekar 212 Wiro Sableng terjebak dan terperangkap?
Kita kembali pada saat Wiro berada di dalam lobang dan mengurungkan untuk melepaskan pukulan sinar matahari karena di ruang batu yang sempit itu pukulan sakti tersebut bisa berbalik menghantam dan mencelakai dirinya sendiri.
Pada saat lima ekor ular sendok semakin meninggikan tubuh dan siap mematuk, murid Sinto Gendeng ini tidak terpikir lagi pada Suci atau Dewi Bunga Mayat yang setiap saat bisa membantunya jika dipanggil.
Di saat-saat genting seperti itu hatinya mendua bahwa dirinya juga kebal terhadap bisa ular. Dengan sangat hati-hati agar gerakannya tidak menarik perhatian lima ekor ular, Wiro merapat ke dinding di belakangnya sambil kedua tangannya bergerak ke pinggang.
Yang kiri mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tangan kanan mengeluarkan batu hitam pasangan kapak sakti itu.
Tiba-tiba ular paling kanan bergerak maju. Empat kawannya mendesis dan ikut bergerak. Wiro jatuhkan diri ke lantai lobang batu. Serentak dengan itu batu hitam diadu dan digeserkannya kuat-kuat ke mata kapak. Satu gelombang lidah api melesat ke atas. Inilah salah satu kesaktian yang dimiliki pasangan kapak Naga Geni 212 dan batu hitam warisan Eyang Sinto Gendeng.
Empat ekor ular sendok surutkan kepala ke belakang. Yang satu seperti nekad meneruskan mematuk ke arah muka pendekar 212. Lidah api segera menyambar binatang ini. Tubuhnya langsung terpanggang hangus lalu jatuh ke lantai lobang.
Wiro gosokkan lagi batu saktinya ke mata kapak. Kembali lidah api menyembur. Dua ekor ular sendok jatuh berkaparan dalam keadaan hangus hitam.
Udara di dalam lobang itu menjadi panas bukan kepalang. Wiro merasa dirinya ikut terpanggang.
Dua ekor ular yang masih hidup bersurut mundur, memendekkan badan masing-masing, kelihatannya hendak menyelinap lari lewat celah di bawah dinding.
Wiro tidak mau membiarkan binatang-binatang itu lolos. Sekali lagi kapak mustika dan batu sakti digosokannya. Dua ekor ular sendok bergelepakan di lantai.
Murid Eyang Sinto Gendeng menarik nafas lega. Dadanya turun naik. Hidungnya kembang kempis. Tubuhnya terasa letih sekali seperti kehabisan tenaga dan basah oleh keringat. Salah satu lengan pakaiannya baru disadarinya hangus terbakar.
Pendekar ini melosoh dan menjatuhkan diri ke lantai. Dia berhasil menyelamatkan diri. Namun masih adakah bahaya baru yang bisa keluar dari celah di bawah dinding itu? Sebelum malam tiba dia harus keluar dari dalam lobang celaka itu. Wiro memutar akal sambil memandang berkeliling. Dia harus melakukan sesuatu. Tapi apa dan bagaimana?
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Dia memukul-mukul dinding batu itu dengan tinjunya. Hampir tidak terdengar bunyi keras ataupun gema pertanda dinding lobang itu tebal sekali. Lalu dia coba mengukur-ukur jarak antara satu dinding dengan dinding di depannya dengan kedua tangannya.
“Tolol!” Wiro memaki sendiri. “Mengapa dengan tangan? Aku bukan monyet atau orang utan yang bisa memanjat hanya mengandalkan tangan!”
Dikangkangkannya kedua kakinya. Ternyata kaki kiri dan kaki kanan bisa menempel ke dinding kiri dan kanan lobang. Hatinya berdebar. Jalan lolos dari dalam lobang itu sudah terlihat. Tapi memperhatikan keadaan dinding lobang, murid Eyang Sinto Gendeng kernyitkan kening dan garuk-garuk kepala.
Dinding lobang yang terbuat dari batu itu ditebali oleh lumut. Jika kakinya menginjak, tidak dapat tidak, dia pasti akan tergelincir dan jatuh ke bawah kembali.
Dia memerlukan sesuatu untuk menjadi pegangan.
“Geblek!” Tiba-tiba sang pendekar kembali memaki dirinya sendiri sambil menepuk jidatnya. Dia keluarkan kembali Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pinggangnya. Senjata itu dibacokkannya ke dinding batu di hadapannya. Begitu menancap, gagang kapak terus dipegangnya. Lalu kedua kakinya dikembangkan, diinjakkan pada dinding lobang. Perlahan-lahan tubuhnya diangkat ke atas.
Sekali dicoba gagal, kali kedua gagal. Kali keempat baru dia berhasil menekankan kedua kakinya pada dinding lobang. Begitu mendapat kedudukan yang kukuh tubuhnya berhasil bergerak ke atas. Ketika kepalanya mencapai gagang kapak, Wiro cabut senjata itu dan sebelum tubuhnya terjatuh ke bawah secepatnya mata kapak dibacokkannya ke dinding sebelah atas.
Sesaat dia bergantungan pada gagang senjata ini. Lalu perlahan-lahan tubuhnya beringsut naik ke atas. Mencapai pertengahan lobang ternyata dinding-dinding lobang itu agak menyempit. Karenanya kedudukan kedua kakinya menjadi lebih kuat. Tanpa kesulitan akhirnya Wiro memanjat ke atas dan keluar dari dalam lobang, dengan tubuh serta pakaian basah mandi keringat.
Sentiko masih tertegun bengong di tepi lobang ketika tiba-tiba dari atas langit-langit kamar yang jebol melompat keluar seseorang yang langsung mencekal leher pakaiannya. Sesaat kemudian manusia bertubuh gemuk ini merasakan tubuhnya terangkat. Sebelum dia bisa berbuat apa tubuhnya sudah dilemparkan orang ke dinding!
Dinding ruangan yang terbuat dari kayu hancur berantakan. Sentiko menjerit kesakitan. Badannya yang gemuk menyangsang di jebolan dinding. Selagi dia berusaha meloloskan dirinya, Wiro tarik ke bawah celana yang dikenakan si gemuk ini. Lalu dari atas meja dia menyambar segulung tali.
Ketika Sentiko berhasil lolos dari dinding dan berusaha hendak berdiri matanya mendelik dan dari mulutnya terdengar teriakan keras. Ternyata dengan tali tadi Pendekar 212 telah mengikat anggota rahasia Sentiko, baik yang tunggal maupun yang kembar! Ketika tali dibetot tentu saja pemilik penginapan dan rumah makan yang juga menjalankan tempat pengisapan candu ini menjerit kesakitan setengah mati!
Wiro tarik tali yang dipegangnya. Mau tak mau Sentiko terpaksa mengikuti maju seperti kerbau dicucuk hidung.
“Ampun… jangan! Apa yang kau lakukan ini?!” teriak Sentiko.
“Sakit?” tanya Wiro.
“Sakit! Tentu saja! Wadaw!”
“Dengar babi gemuk!” kata Wiro seraya main-mainkan tali yang dipegangnya.
“Burung perkututmu ini akan kubetot lepas jika kau tidak menjawab apa yang aku tanya!”
“Bangsat! Setan! Adaw…!” Sentiko memaki lalu menjerit ketika Wiro sentakkan tali yang dipegangnya. “Lepaskan tali celaka ini! Bangsat! Atau aku akan berteriak memanggil pengawal!”
“Kalau kau masih sayang pada perkututmu, sebaiknya jangan berbuat macam-macam! Lekas katakan siapa pemimpin Serikat Candu Iblis dan di mana aku bisa menemuinya?” “Demi Tuhan aku tidak tahu!”
“Jangan dusta!” Bentak Wiro sambil membuat gerakan hendak menarik tali keras-keras.
“Jangan ditarik! Ampun!”
“Kalau begitu lekas bicara!”
“Sumpah! Aku tidak tahu siapa pimpinan Serikat Candu Iblis…”
“Lalu siapa yang mengirimkan candu-candu keparat itu padamu?”
“Seorang penghubung. Aku tidak tahu siapa orangnya. Dia selalu datang pada malam hari dan meletakkan kotak kecil berisi candu pada tempat tertentu.”
“Lalu bagaimana caranya dia menerima uang pembayaran candu serta keuntungan hasil perbuatan celakamu pada seratus orang-orang yang kini mendekam di kamar bawah tanah itu?!”
“Aku… Aku memasukkan uang di sebuah kotak. Lalu meletakkannya pada malam hari di satu tempat. Besoknya kotak itu lenyap tanda sudah diambil oleh orang Serikat Candu Iblis.”
“Aku tidak bisa percaya begitu saja keteranganmu. Kau sendiri pasti anggota Serikat itu…”
“Demi tuhan aku…”
“Dalam bahaya dan mau mampus kau menyebut nama Tuhan. Waktu kau menyeret orang-orang itu jadi penghisap madat dan mendapat keuntungan besar, apakah kau juga ingat Tuhan?!”
Dengan geram Wiro sentakkan tali. Kembali Sentiko menjerit setinggi langit.
“Babi gemuk, aku tahu kau tidak mungkin menjalankan pekerjaan terkutuk ini secara bebas kalau tidak ada yang melindungimu. Katakan siapa pelindungmu!”
“Aku… Tidak ada yang melindungi. Serikat Candu Iblis hanya menyediakan enam orang pengawal di tempat ini. Kau sudah melihat mereka kemarin. Bahkan kau telah membunuh seorang di antaranya…!”
“Aku tidak percaya!” seringai Wiro. “Kau berdusta. Mukamu kulihat pucat. Kalau kau tidak mau bilang, kupotes telor kodok dan lontong kumelmu!” Wiro gerakan tangannya yang memegang tali.
“Ampun! Jangan! Aku akan katakan, Aku akan katakan! Tapi lepaskan dulu ikatan tali celaka itu. Aku bisa cacat seumur hidup Aku bisa lemah syahwat…!”
Wiro menyeringai. “Ikatan akan kulepaskan kalau kau sudah mengatakan siapa yang jadi pelindung komplotanmu. Kau dengar?”
“Ya… ya” kata Sentiko sambil membungkuk terhuyung-huyung memperhatikan bagian bawah perutnya. Seolah-olah memeriksa apakah sang burung berikut sarangnya masih tersangkut di sana! Ketika dilihatnya keadaannya masih baik-baik saja walau bentuknya tidak karuan rupa lagi maka dia cepat meneruskan ucapannya.
“Baik akan aku katakan. Orangnya adalah…” Belum sempat Sentiko menyelesaikan ucapannya tiba-tiba sebuah benda melayang dan menancap di pangkal leher lelaki gemuk itu. Sentiko menjerit. Pendekar 212 melompat ke jendela. Pohon di seberang bangunan dilihatnya bergoyang. Seseorang melompat dari atas pohon ke punggung seekor kuda. Wiro lepaskan satu pukulan tangan kosong. Tapi kuda dan penunggangnya sudah lenyap di balik tembok. Pukulan yang dilepaskan Wiro hanya sempat merusak bagian atas tembok hingga runtuh berantakan.
“Kurang ajar!” maki Wiro. Dia lari mendapatkan Sentiko yang saat itu menggeletak di lantai dalam keadaan menelungkup. Sebatang kayu kecil berbentuk sumpit yang ujungnya ada bundaran pipih dengan tulisan SCI menancap di lehernya.
Melihat tengkuk Sentiko yang mulai menghitam Wiro maklum kalau kayu kecil itu mengandung racun keras. Sentiko tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Wiro berusaha menotok jalan darah sekitar kayu yang menancap.
“Dengar, kau tak bakal apa-apa. Aku akan menolongmu. Tapi lekas katakan siapa pelindung komplotanmu. Ayo Sentiko! Lekas bilang…”
Kedua mata sipit lelaki gemuk itu membeliak. Mulutnya membuka.
Ketika Wiro menuruni tangga dari tingkat atas menuju tingkat bawah penginapan dia berpapasan dengan dua orang lelaki yang hanya mengenakan celana hitam. Keduanya adalah dua dari enam pengawal baru yang ditempatkan di situ.
Mereka sejak tadi curiga mendengar suara ribut-ribut di bangunan sebelah atas lalu lari menaiki tangga, berpapasan dengan Wiro yang menuju turun.
“Hai! Jangan lari! Kau pasti…!”
Wiro tidak memberi kesempatan. Dia melompat dari anak tangga yang kesembilan. Kedua kakinya menendang ke depan. Dua anggota Serikat Candu Iblis yang berbadan kekar itu mencelat lalu tergelimpang. Yang satu pecah pelipisnya. Satu lagi hancur mulut dan hidungnya!
SEPERTI setiap kali datang, malam kali ini tidak beda dengan malam-malam sebelumnya. Empat orang pengawal gedung di luar Kotaraja sebelah selatan itu menyongsong kedatangan rombongan pengusung tandu. Pintu gedung dibuka dan tandu lalu digotong ke dalam.
Juga seperti dulu-dulu, ruangan di mana tandu diturunkan berada dalam keadaan suram temaram. Hanya ada satu lampu minyak kecil di atas meja. Empat orang pengusung di kiri dan empat lagi di sebelah kanan. Dengan suara berkereketan pintu tandu terbuka. Raden Haryo Adipuro yang sejak tadi duduk dalam kegelapan berdiri dan menjura memberi hormat pada si katai Soltan Ramada yang duduk di dalam tandu dengan sikap seperti seorang raja diraja.
Tanpa memulai pertemuan itu dengan pembicaraan terlebih dahulu Soltan Ramada langsung melemparkan kantong uang ke atas meja.
“Kantongmu makin lama makin kecil Raden Haryo…”
Raden Haryo tampak seperti hendak membuka mulut. Tapi Soltan Ramada mengangkat tangan dan berkata, “Waktumu untuk bicara akan kuberikan. Sekarang kau dengar dulu apa yang akan aku katakan dan jawab jika aku ada pertanyaan!”
Raden Haryo Adipuro anggukkan kepala.
“Pertama, aku cukup gembira bahwa kau memang membereskan Jala Gandring, Barataji dan Lawunggeno. Tetapi pahala yang kau buat itu terkubur bersama kejadian di perbatasan!”
“Pusat penghisapan candu di sana diobrak-abrik oleh orang tak dikenal. Beberapa orang anggota serikat yang menjadi pelindung dan pengawal dibunuh. Beberapa lainnya cedera berat. Bagaimana ini bisa terjadi!? Kau harus menjawabnya nanti!”
“Hal kedua, orang kita di tempat itu, yakni Sentiko juga tewas. Ada keanehan pada keadaan mayatnya. Kemaluannya dijirat! Gila betul! Tapi itu tidak membuatku risau! Yang perlu diungkapkan ialah bahwa Sentiko mati akibat ditancap sumpit beracun yang ada lambang singkatan Serikat Candu Iblis! Adalah aneh kalau orang Serikat membunuh kawannya sendiri! Hal ketiga…”
Raden Haryo Adipuro tampak berdiri dari kursinya. Terdengar dia berucap memotong kata-kata Soltan Ramada. “Hal ketiga atau keempat atau kelima tidak penting bagiku! Aku ingin bertanya! Apakah kau juga ingin mati dengan kemaluan dijirat seperti yang terjadi dengan Sentiko?!”
“Eh!” Soltan Ramada keluarkan seruan tertahan saking kagetnya mendengar ucapan itu. Dia cepat berdiri. Delapan lelaki pengusung tandu juga terkesiap mendengar kata-kata yang mereka anggap sangat berani, bahkan keterlaluan itu. Salah seorang di antara mereka berbisik pada kawannya. “Kepala Pasukan Pengawal Istana ini ingin cepat mampus rupanya…”
“Suaramu lain Raden Haryo! Sejak tadi sebetulnya aku juga heran melihat tubuhmu yang agak langsingan…”
Raden Haryo Adipuro tertawa bergelak.
“Kurang ajar! Berani kau tertawa seperti itu di depanku?!” bentak Soltan Ramada melompat dari tandu.
Saat itu tiba-tiba ruangan tersebut menjadi terang benderang. Lima puluh orang prajurit Kerajaan, dua puluh di antaranya membawa obor, membanjiri ruangan itu.
Di luar masih ada sekitar seratus orang prajurit lagi mengurung gedung. Si katai ini memandang berkeliling dengan paras berubah. Lalu dia kembali berpaling pada orang di depannya. Saat itu orang ini telah melepaskan ikatan pada rambutnya hingga kini kelihatan rambutnya yang gondrong.
“Kau!” seru Soltan Ramada. “Ternyata kau adalah Ketua Serikat Candu Iblis! Pemimpinku sendiri! Sungguh satu pertemuan yang tidak diduga!” Lalu Soltan Ramada menjura dalam-dalam. Delapan pengusung yang tidak tahu apa-apa ikut-ikutan menjura. Sesaat suasana menjadi senyap di ruangan itu.
Suara tawa seseorang kemudian memecah kesunyian yang mencekam itu.
Orang yang tertawa menyeruak di antara deretan prajurit yang mengurung. Di sampingnya mengapit dua orang perwira tinggi kerajaan. Orang yang barusan tertawa ini bukan lain adalah Patih Sagara Wisamala.
“Soltan Ramada alias Cula Singkir! Enam tahun kau menghilang tahu-tahu muncul lagi menimbulkan malapetaka. Dirimu rupanya tidak pernah kering dari kejahatan! Otakmu cerdik dan licin. Tapi kau tidak bisa menipu diriku dengan begitu cerdik mengatakan bahwa pemuda berambut gondrong ini adalah Ketua Serikat Candu Iblis! Dia adalah Pendekar 212, orang tak bersalah yang hendak kau libatkan dan cemarkan namanya! Dosa dan kejahatanmu sudah lewat takaran! Raden Haryo Adipuro yang jadi kaki tanganmu sudah ditangkap!”
Berubahlah tampang kelabu manusia katai berkepala botak itu. Kedua matanya berputar liar. “Aku masih bisa kabur. Masih bisa lolos…” katanya dalam hati. Matanya melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Hai!” ujar Wiro seraya tersenyum lebar dan angkat tangannya. “Apa saat ini ada lagi kotak candu yang hendak kau berikan padaku?!”
Di balik kulit mukanya yang kelabu, tampang Soltan Ramada alias Cula Singkir mengelam membesi. Dia melangkah mundur menuju tandu. Wiro yang sudah maklum kalau tandu itu memiliki berbagai senjata rahasia maju tiga langkah lalu hantamkan tangan kanannya melepas pukulan sakti “Dewa Topan Menggusur Gunung”.
Tandu kayu jati yang kokoh itu mencelat dan hancur berantakan. Soltan Ramada sendiri kalau tidak cepat menyingkir pasti kena disambar mental. Dengan air muka geram si katai ini berteriak pada delapan lelaki pengusung tandu.
“Bunuh pemuda gondrong itu!” Delapan lelaki bertubuh kekar bergerak maju.
Melihat hal ini Patih Sagara Wisamala cepat memberi perintah pada prajurit-prajurit serta pimpinan mereka. “Habisi mereka semua!”
“Tunggu dulu!” teriak Pendekar 212. “Paman Patih, mohon maafmu. Mengingat saya yang punya hajat, biar saya yang mengurusi tetamu-tetamu terhormat itu! Harap yang lain mengawasi si kate itu. Dia punya banyak akal untuk melarikan diri!”
Lalu Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu saktinya.
Sebelumnya dia telah menyaksikan kalau manusia-manusia pengusung tandu itu tidak sanggup bertahan terhadap api. Sebaliknya, delapan orang pengusung tampaknya seperti menganggap remeh senjata di tangan Wiro. Mereka terus merangsak.
Didahului bentakan nyaring, Wiro adu kapak dengan batu hitam. Lidah api menyembur. Kini baru delapan orang itu kaget dan berusaha menyingkir. Namun tiga orang terlambat. Tubuh mereka segera dilalap api. Ketiganya meraung dan bergulingan di lantai.
Lima temannya dalam marah seperti menjadi kalap. Dengan nekat mereka menyerbu Wiro. Batu dan kapak mengeluarkan suara keras ketika saling beradu. Lidah api yang lebih besar menyambar ke depan. Lima raungan menggema di ruangan itu!
Selagi semua orang seperti terpukau melihat peristiwa dahsyat itu Soltan Ramada alias Cula Singkir pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dia sengaja menyeruak ke dalam barisan pasukan yang mengurung tempat itu. Tubuhnya yang kecil pendek menyusup di antara kaki-kaki prajurit. Lalu dari dalam sakunya dia mengeluarkan benda hitam sebesar ujung jari kelingking. Benda ini dimasukannya ke dalam mulutnya.
Selagi para prajurit itu sibuk berusaha menangkapnya, Soltan Ramada meniup keras-keras. Asap kelabu menggebubu dari mulutnya disertai menyebarnya hawa aneh. Begitu hawa itu terhirup ke dalam pernafasan, lebih dari duapuluh prajurit langsung lemas keliangan. Dua perwira tinggi tertegun sesaat. Mereka hampir ikut roboh kalau Patih Sagara Wisamala tidak menarik keduanya menjauhi asap candu iblis.
“Celaka! Manusia katai itu lenyap!” teriak Patih Sagara. Dia melompat ke pintu depan. Wiro ikut mengejar. Belasan prajurit mengikuti dari belakang. Di luar terjadi kegaduhan karena tidak seorang pun prajurit yang mengurung gedung melihat sosok Soltan Ramada.
“Sialan!” maki Wiro. Sementara Patih Sagara Wisamala terduduk di tangga gedung. Semua orang terdiam seolah-olah habis daya. Kesunyian mencekam di dalam dan di luar gedung. Namun tiba-tiba ada satu suara tertawa cekikikan dari arah persimpangan jalan yang gelap di seberang sana.
“Siapa yang tertawa?” tanya Patih Sagara pada Wiro.
“Tak dapat saya pastikan. Tapi itu suara perempuan!” jawab Wiro. Lalu dia mendahului melompati tangga dan lari ke arah persimpangan. Ketika Patih Sagara mengikuti, semua orang langsung menghambur pula.
DI persimpangan jalan yang tadinya gelap dan kini diterangi oleh sekian banyak obor, kelihatan Soltan Ramada tegak tak bergerak. Di depannya berdiri seorang nenek tinggi kurus. Demikian kurusnya seperti hanya tinggal kulit pembalut tulang. Kulitnya hitam pekat seperti jelaga. Pipi dan kedua matanya cekung. Batok kepalanya ditumbuhi rambut jarang berwarna putih, begitu juga warna alisnya. Lima buah tusuk kundai perak menghiasi kepalanya. Kelima tusuk kundai itu tidak disisipkan disela-sela rambut tapi ditusukan ke kulit kepala!
“Guru! Eyang!” teriak Pendekar 212 ketika dia mengenali bahwa nenek di tengah jalan itu bukan lain adalah Eyang Sinto Gendeng, gurunya sendiri!
Patih Sagara Wisamala terkesiap. Selama ini dia belum pernah bertemu muka dengan si nenek sakti, hanya mendengar nama dan kehebatannya saja. Diam-diam hatinya tergetar juga melihat keangkeran Sinto Gendeng.
Wiro jatuhkan dirinya di depan sang guru. Si nenek memandang padanya.
“Anak sableng!” si nenek memaki. ”Apa yang kau lakukan hingga ada orang mengirim kabar bahwa kau sekarang sudah kaya raya. Jadi pedagang candu kelas kakap! Katanya kau juga sudah jadi Ketua satu komplotan bejat! Apa memang betul begitu?”
“Semua dusta dan fitnah busuk dari orang-orang Serikat Candu Iblis,” jawab Wiro.
“Nenek sakti, muridmu tidak bersalah. Dia memang korban fitnah,” berkata Patih Sagara Wisamala.
Sinto Gendeng melirik pada sang patih. Dia sebenarnya sudah tahu siapa adanya orang yang barusan bicara itu namun dia bersikap acuh saja.
“Ah, kalau begitu percuma saja aku datang jauh-jauh. Orang-orang kerajaan yang tidak bisa mengurus negeri akibatnya aku dan muridku yang jadi korban. Malah aku menyirap kabar bahwa diriku akan dijadikan sandera. Jika kau tidak menyerahkan diri maka aku akan digantung! Busyet!” si nenek cekikikan.
Paras Patih Sagara Wisamala berubah, sebentar marah sebentar pucat. Dalam hati dia bertanya. “Bagaimana nenek ini tahu rencana Sri Baginda itu? Ah, aku benar-benar jadi tidak punya muka.”
“Eyang, bagaimana kau bisa muncul di sini?” bertanya Wiro.
“Tubuh tua keropos ini tidak ubah seperti daun kering,” jawab Sinto Gendeng pula. “Mudah ditiup angin dan melayang ke arah mana saja. Tapi waktu aku sedang melancong makan-makan angin di persimpangan sini, kulihat si kate botak ini berlari seperti orang dikejar setan. Celananya basah. Rupanya dia sudah kencing di celana! Hik…hik… hik!” si nenek tertawa cekikikan.
Patih Sagara Wisamala dan orang-orang yang berada di tempat itu hampir-hampir tak bisa menahan geli mendengar ucapan si nenek dengan gayanya waktu bicara. “Wiro! Kowe tahu siapa adanya kecoak botak ini?!”
“Namanya Soltan Ramada alias Cula Singkir. Dia seorang pentolan penting Serikat Candu Iblis,” menerangkan Wiro.
“Ah..ah…ah! Jadi namanya Sultan bercula!” kata si nenek sengaja salah menyebut nama manusia katai itu. “Karena curiga, begitu kepapasan aku totok tubuhnya. Ternyata dia adalah bangsat yang harus dibekuk!”
“Kami berterima kasih karena kau telah menangkapnya. Jasamu akan kami laporkan kepada Sri Baginda,” kata patih kerajaan.
Si nenek tersenyum. Senyumnya itu justru membuat tampangnya tambah angker. “Hidup hampir seratus tahun, tak pernah aku mencari nama meminta pamrih!” Sinto gendeng berpaling pada muridnya. “Sableng! Kau bangkitlah! Aku bukan orang penting yang patut kau hormati dengan berlutut!” Sinto Gendeng mengangkat tangannya. Wiro merasakan bahunya yang dipegang seperti lengket dan ditarik oleh satu kekuatan dahsyat. Dia ingin menjajal. Dia kerahkan tenaga dalam tubuhnya menjadi seberat seekor gajah. Sinto Gendeng tampak mengerut tampangnya. Dia lipat gandakan tenaganya menarik bahu muridnya.
“Brettt!!!”
Pakaian Wiro robek sedang tubuhnya tetap saja berlutut.
“Anak setan!” maki si nenek perlahan. “Ternyata kau sudah memiliki tenaga dalam luar biasa…”
“Saya tidak punya apa-apa eyang. Masih bodoh seperti dulu,” sahut Wiro.
Si nenek melotot lalu mendongak dan tertawa gelak-gelak. Dia memberi isyarat agar Wiro berdiri. Setelah muridnya berdiri maka Sinto Gendeng lantas berkata. “Aku tidak punya kepentingan lama-lama di tempat ini. Sebelum aku berangkat ada satu pegangan hidup yang hendak kusampaikan dan harus kau ingat baik-baik. Kau mau mendengarnya anak sableng?!”
“Saya mendengar Eyang…”
“Dalam perjalanan hidup seseorang, jika dia berbuat satu kebenaran atau kebaikan, tidak ada orang yang mengingatnya. Tapi bilamana dia berbuat kealpaan atau kesalahan, tidak ada orang yang melupakannya. Nah, kau ingat hal itu baik-baik agar kau hidup mawas diri dan mandiri!”
“Saya akan mengingatnya baik-baik Eyang. Saya mengucapkan terima kasih atas budi baik Eyang menyampaikan pegangan hidup ini.”
“Bagus! Tetaplah mengasah otak. Tapi juga jangan lupa mengasah hati!” habis berkata begitu Sinto Gendeng berkelebat dan di lain saat tubuhnya sudah lenyap dari persimpangan itu.
Untuk beberapa lamanya tempat itu diselimuti kesunyian. Tak ada yang bergerak, tak ada yang bersuara. Akhirnya Patih Sagara Wisamala melangkah mendekati Soltan Ramada.
“Aku tahu kau bukan Ketua Serikat Candu Iblis. Sekarang katakan pada kami siapa pemimpinmu dan tunjukkan di mana markasnya!”
“Aku… aku tidak tahu. Aku tidak pernah bertemu dengannya. Apalagi tahu di mana markasnya…” jawab si kate.
Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah ke hadapan si katai. “Begitu katamu…?” Dia memandang berkeliling lalu berteriak. “Tanggalkan seluruh pakaian kecoak ini! Cari tali! Dia pantas diperlakukan sama seperti si gendut Sentiko!”
Mendengar teriakan Wiro itu lumerlah nyali si katai. Dia segera meratap.
“Jangan… jangan diikat anuku! Akan aku katakan. Aku tidak tahu namanya. Ketua Serikat Candu Iblis menyebut dirinya dengan Pangeran…”
“Pangeran?” ujar Patih Sagara Wisamala.
Wiro sendiri merasakan darahnya berdesir mendengar sebutan Pangeran itu. “jangan-jangan si keparat itu…” katanya dalam hati.
“Betul. Pangeran. Begitu aku memanggilnya. Aku akan tunjukkan tempat kediamannya… Tapi jangan anuku diapa-apakan… Kalian boleh pukul aku sampai babak belur. Tapi anuku itu… jangan…!”
Wiro menyeringai. Dia tarik leher jubah hitam Soltan Ramada. Lalu orang yang masih berada dalam keadaan tertotok ini dilemparkannya ke dalam sebuah gerobak.
Dengan petunjuk Soltan Ramada, pepohonan dan semak belukar yang menutupi mulut goa berhasil disingkirkan. Namun batu besar yang menghalang di sebelah dalam menjadi persoalan karena Soltan tidak tahu bagaimana cara membukanya.
Patih Sagara Wisamala sesaat meragu. Apakah dia terpaksa memperlihatkan kehebatannya membobol batu itu. Bagaimana kalau ternyata kesaktiannya tidak mampu menghancurkan batu. Atau akan dimintanya saja Pendekar 212 untuk melakukannya?
Wiro yang melihat sang patih ragu-ragu segera angkat tangan kanannya.
Kedua kakinya terpentang. Perutnya mengempis. Tangan kanannya bergetar hebat tanda seluruh tenaga dalam yang ada di perut tengah dialirkannya ke tangan.
Perlahan-lahan tangan itu mulai berubah menjadi putih berkilat seperti perak.
Patih Sagara Wisamala memperhatikan tak berkedip. Dia tahu pukulan sakti apa yang hendak dikeluarkan Wiro guna menghantam batu, “Pukulan Sinar Matahari.” Selama ini dia hanya mendengar saja tentang kehebatan pukulan itu. Kini dia akan menyaksikannya sendiri. Orang-orang lainnya yang berjumlah hampir seratus, menunggu dengan tegang.
Pendekar 212 membentak keras. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dipukulkan ke depan. Sinar putih menyilaukan membersit disertai menghamparnya hawa panas luar biasa, membuat semua orang yang ada di situ cepat menjauh.
Terdengar suara berdentum. Batu besar yang menutup mulut goa di sebelah dalam hancur berantakan. Jalan masuk ke dalam goa kini terbuka lebar. Semua orang leletkan lidah. Patih kerajaan sendiri tak habis kagumnya menyaksikan pukulan sakti yang tadi dilepaskan Wiro itu.
Pendekar 212 melompat masuk ke dalam goa. Untuk beberapa lamanya Pukulan Sinar Matahari masih disiapkannya karena khawatir akan menemui hal-hal yang tak terduga di dalam sana. Patih Sagara menyusul masuk sambil menyeret Soltan Ramada. Seluruh ruangan dalam goa diperiksa, termasuk kamar di mana biasanya perempuan gemuk bernama Ramini menunggu kedatangan kekasihnya yaitu Soltan Ramada.
Atas petunjuk Soltan Ramada, semua peralatan rahasia yang ada dalam goa itu diperiksa dan dilumpuhkan. Ternyata goa itu kosong. Tak ada seorang pun ditemui di tempat itu. Tidak juga orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran itu.
“Goa ini kosong! Jangan-jangan kau mengakali kami!” Patih Sagara Wisamala menggeram dan memandang mendelik pada Soltan Ramada. Tangannya bergerak mencekik leher jubah si katai ini.
“Saya tidak berdusta. Sekali ini saya tidak berdusta. Pangeran itu pasti telah melarikan diri…” kata Soltan Ramada dengan suara ketakutan.
“Awas ada benda jatuh!” satu dari dua perwira tinggi Kerajaan yang ada di dalam goa berteriak memberi peringatan. Mengira ada senjata rahasia yang menyerang Wiro dan Patih Sagara siap hendak menghantam. Ternyata yang melayang jatuh adalah sehelai kertas putih yang rupanya sebelumnya memang sengaja ditempelkan di langit-langit goa lalu terlepas dan jatuh ke bawah.
Wiro cepat menangkap kertas itu.
“Ada tulisan di sebelah belakang!” seorang prajurit memberi tahu.
Wiro membalikkan kertas itu. Keningnya mengernyit.
“Sialan keparat!” maki Wiro kemudian. Kertas itu hendak dirobeknya tapi cepat diambil oleh Patih Sagara lalu membaca apa yang tertulis di atas kertas itu.
Pendekar 212!
Jangan kau merasa menang. Bagaimana pun juga aku sempat mempermainkanmu. Dan kau sampai saat ini masih belum bisa menangkapku. Selama siang selalu berganti dengan malam, selama itu pula aku akan tetap menjadi musuh bebuyutanmu. Serikat Candu Iblis boleh musnah. Tetapi Pangeran Matahari tetap tak bisa kau kalahkan! Kita pasti akan bertemu lagi dan kau tetap berada di pihak yang kalah. Ingat hal itu baik-baik. Ha..ha…ha…!
Pangeran Matahari
“Pangeran keparat!” terdengar Pendekar 212 memaki. “Dia rupanya yang jadi biang racun…! Ketua Serikat Candu Iblis! Bangsat! Satu ketika kelak lehernya pasti akan kupuntir!”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar