posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : KEMBALI KE TANAH JAWA
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 1
Malam hari di satu pekuburan dekat Candi Pawan.Bidadari Angin Timur sesaat masih menatap wajah cantik gadis bermata biru di hadapannya. Setelah itu tanpa bicara dan menunggu lebih lama dia segera berlalu, membuat rasa tidak enak dalam hati orang yang ditinggalkan.
Ratu Duyung menghela nafas dalam. “Kukira sejak pertemuan terakhir hatinya benarbenar polos terhadapku. Agaknya dia masih menyimpan ganjalan…”
Ratu Duyung menghela nafas dalam. “Kukira sejak pertemuan terakhir hatinya benarbenar polos terhadapku. Agaknya dia masih menyimpan ganjalan…”
Sambil berkata sendirian seperti itu Ratu Duyung melirik ke lubang yang terkuak akibat dijebol kaki Bidadari Angin Timur.
Bola mata biru sang Ratu mendadak membesar. Tanah kubur yang kini membentuk lobang itu dilihatnya bergerak-gerak, seolah ada sesuatu yang hidup di bawah permukaannya. Ratu Duyung mengerenyit, bungkukkan badan sedikit. Memperhatikan lebih tajam, tak berkesip. Tiba-tiba satu tangan mencuat keluar dari dalam makam. Ratu Duyung terpekik keras. Nyawanya serasa terbang dan tubuhnya laksana didorong sampai tiga langkah ke belakang.
Tangan yang mencuat dari dalam kubur itu adalah sebuah tangan kiri. Keluar makin panjang, bergerak naik ke atas. Lalu muncul menyeruak sebuah bahu. Bahu ini bergerak pula ke atas, tangan yang menjulur mengapai-gapai. Tanah kuburan mumbul naik ke atas, terbelah menguak. Bersaman dengan itu satu sosok entah masih bernama manusia entah setan melesat keluar dibarengi suara jeritan dahsyat!
Ratu Duyung terpekik, tersurut hampir jatuh duduk di tanah. Dua bola matanya terpentang lebar. Walau diketahui dia adalah seorang gadis sakti berkepandaian tinggi, namun menyaksikan apa yang ada di hadapannya, tengkuknya terasa dingin. Sekujur tubuhnya dijalari rasa takut luar biasa. Tangan kanannya serta merta bergerak ke pinggang, memegang gagang cermin sakti. Bersikap waspada terhadap makhluk aneh mengerikan di atas lubang kuburan.
Di hadapan Ratu Duyung saat itu tegak satu makhluk berujud nenek luar biasa menyeramkan. Dia mengenakan sehelai jubah hijau yang tak pantas lagi disebut pakaian karena tersingkap robek di sana-sini. Selain itu tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki tertutup tanah kuburan. Kulit muka, dada dan perutnya yang tidak tertutup tanah memutih mengelupas. Hidungnya hanya merupakan satu gerumpungan besar. Lalu mata kanannya hanya berbentuk satu rongga lebar, sebagian tersumpal tanah kuburan.
Makhluk ini tidak memiliki tangan kanan alias buntung. Tetapi di keningnya menempel satu potongan tangan yang ternyata adalah kutungan tanan kanannya sendiri!
Ratu Duyung tidak dapat memastikan makhluk apa sebenarnya yang ada di depannya saat itu. Jika manusia, mengapa keadannya seperti itu. Kalau setan apa perlunya mendekam di dalam makam lalu unjukkan diri!
Makhluk yang dua kakinya masih berada sebatas betis di dalam tanah kuburan itu gerakkan tangan kiri untuk membuang tumpukan tanah yang menutupi mata kirinya. Mata yang cuma satu itu lalu bergerak liar jelalatan. Sepertinya dia masih belum melihat atau belum menyadari kalau ada Ratu Duyung tegak dalam gelap, beberapa langkah di hadapannya.
Tiba-tiba makhluk ini menyembur. Membuat Ratu Duyung kembali tersentak kaget dan tekap mulutnya menahan pekik. Rupanya ada tanah yang menyumpal dalam mulut mahkluk di atas kuburan.
“Malam hari … Gelap… Aku berada di mana…?” mahkluk nenek menyeramkan keluarkan suara.
Ratu Duyung merasa nafasnya seolah terhenti. “Astaga, setan ini ternyata bisa bicara… Dia mengucapkan sesuatu. Tidak tahu berada di mana. Aneh…” kata Ratu Duyung tercekat dalam hati.
Tangan kiri mahkluk seram bergerak sekali lagi memebersihkan tanah yang menutupi wajahnya. Semakin tersingkap muka itu, semakin menggidikkan kelihatan gerumpung hidung dan bolongan mata kananya. Lalu dari mulutnya kembali terdengar suara. “Kekasihku… di mana kau…?”
Ratu Duyung melengak dalam kejutnya.
“Kekasihku?” Ratu Duyung berucap dalam hati, ada rasa heran di bawah tindihan rasa takutnya. “Dia mencari kekasihnya?! Setan apa ini? Tangan kanan di atas kening. Aku… Di kubur ini tadi Bidadari Angin Timur kulihat melakukan sesuatu. Apa dia punya ilmu memelihara setan hendak mencelakai diriku? Aku…”
Tiba-tiba untuk pertama kalinya mata kiri mahkluk mengerikan itu membentur sosok Ratu Duyung. Mata itu memancarkan kilatan menggidikkan.
“Kau siapa?!” satu bentakan menyembur dari mulut si nenek muka setan.
“Kau yang siapa?!” Entah bagaimana dalam takutnya Ratu Duyung malah bisa balas menghardik.
“Eh?!” Mahkluk yang dihardik sesaat terdiam. Tapi matanya makin berkilat menyoroti Ratu Duyung. Perlahan-lahan dia keluarkan dua kakinya yang masih menancap di dalam tanah kuburan. Ratu Duyung mengawasi gerakan orang tanpa berkedip. Bukan mustahil makhluk ini tiba-tiba melompatinya, mencekiknya atau menggigit leher dan menghisap darahnya!
Berdiri di tepi kuburan si makhluk seram diam tak bergerak, kembali pandangi Ratu Duyung.
“Matamu sama biru, wajahmu sama cantik. Tapi kau bukan Peri Angsa Putih…”
“Siapa Peri Angsa Putih?!” Ratu Duyung beranikan diri bertanya.
“Kau tidak tahu siapa Peri Angsa Putih… ini adalah aneh. Berarti saat ini aku…” Si nenek muka setan palingkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Matanya yang cuma satu berputar angker lalu menatap ke arah Ratu Duyung.
“Kau sendiri tidak mau memberitahu siapa dirimu. Jangan kira aku tak bisa memaksa. Tapi saat ini aku ingin tahu satu hal! Lekas katakan diamana aku berada?!”
“Kau lihat sendiri, kau berada di kawasan pekuburan. Kau barusan keluar dari dalam makam itu!” Ratu Duyung menjawab.
“Walau mataku cuma satu tapi aku tidak buta!” bentak makhluk di pinggir kubur. “Aku tahu aku berada di pekuburan. Malam hari… Tapi… Katamu aku barusan keluar dari dalam kubur? Hah?! Apa yang terjadi?! Apa aku sudah mati? Kalau sudah mati mengapa bisa hidup lagi?!” Mata kiri si nenek menatap garang.
“Kau jangan menipuku!” membentak si nenek setan.
“Memangnya aku menipu apa?!” sahut Ratu Duyung seraya perlahan-lahan bangkit berdiri. Lalu dia berucap. “Kau yang menipuku dengan ujud anehmu! Kau ini manusia atau setan kuburan atau roh yang tidak diterima alam gaib?!”
Si nenek keluarkan suara menggembor. Dia hendak mendamprat, tapi mendadak ingat seseorang.
“Kekasihku… Dimana kau…” Si nenek kembali memandang berkeliling dengan matanya yang cuma satu. “Tak ada siapa-siapa di tempat ini selain dirimu… Kalau aku masih berada di…”
“Kekasihku?” membatin Ratu Duyung. “Setan bangkai tua ini punya kekasih? Aku harus cepat mengetahui siapa dirinya”.
“Makhluk aneh, tangan di atas kening! Terangkan siapa kau adanya? Setan atau roh yang kesasar atau memang masih bisa kusebut menusia?!”
“Perduli setan semua pertanyaanmu. Aku juga tak kenal dirimu. Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Aku tadi bertanya. Kau tidak menjawab. Jika kau tidak mau memberitahu berarti kau minta celaka!” Si nenek maju satu langkah.
“Makhluk salah kaprah! Jika kau setan atau roh sesat harap kembali ke alammu. Tapi jika kau memang manusia adanya jangan berani mengancam diriku. Segera tinggalkan tempat ini!”
“Kau tidak mau mengancam tapi bicara mengancam! Hik… hik… hik! Walau kau cantik tapi lama-lama aku muak juga melihatmu. Coba kau layani dulu sentilan jariku ini!” Begitu ucapannya berakhir si nenek sentilkan jari telunjuk tangan kirinya.
“Wuttt!”
Selarik sinar hitam menderu ke arah Ratu Duyung.
Untungnya sejak tadi sang Ratu telah berlaku waspada. Begitu sinar hitam berkelebat disertai deru keras, tangan kananya yang telah menggenggam gagang cermin bulat bergerak. Cermin sakti itu sengaja tidak dikeluarkannya dari balik pakaian, hanya diputar menghadap ke arah datangnya serangan sinar hitam.
“Wussss!”
Serangkum cahaya putih berkiblat. Pekuburan itu sesaat menjadi terang benderang. Lalu menggelegar satu letusan keras begitu cahaya putih yang keluar dari cermin sakti beradu dengan sinar hitam sentilan si nenek setan.
Ratu Duyung terjajar surut sampai tiga langkah. Cermin bulatnya bergetar hebat. Tangannya yang menggenggam gagang cermin terasa panas. Dadanya seperti ditindih sesuatu. Cepat dia atur jalan darah dan alirkan hawa sakti ke tangan kanan.
Di depan sana makhluk berujud nenek menyeramkan terpental, keluarkan jeritan keras lalu terhenyak jatuh di atas sebuah kubur, mematahkan papan nisannya yang sudah rapuh. Sekali lagi si nenek menjerit lalu tubuhnya melompat. Di lain saat dia sudah berdiri lagi hanya tujuh langkah dari hadapan Ratu Duyung. Jubah hijaunya mengepulkan asap, hangus di beberapa bagian! Mata kiri si nenek laksana dikobari api, memandang menggidikkan ke arah Ratu Duyung.
Ratu Duyung sendiri saat itu sempat tertegun heran. “Luar biasa. Orang lain bagaimanapun tingkat kesaktiannya pasti akan cidera dihantam cahaya putih cermin saktiku. Makhluk ini hanya hangus pakaiannya. Tadi aku hanya mengerahkan sepertiga tenaga dalam dan hawa sakti. Mungkin aku harus melipat gandakan kekuatan….”
“Matamu sama biru dengan mata Peri Angsa Putih… Cahaya putih ilmu kesaktianmu sama hebatnya dengan pukulan sakti Peri Angsa Putih. Apa hubunganmu dengan Peri itu?!”
“Aku tidak kenal dengan makhluk yang kau sebutkan itu!” jawab Ratu Duyung. Penuh waspada dia lipat gandakan tenaga dalam dan alirkan ke tangan kanan yang memegang gagang cermin bulat sakti.
“Kalau begitu siapa kau sebenarnya?!”
“Nenek setan! Kau yang harus menerangkan siapa dirimu adanya!” bentak Ratu Duyung. Kau pasti peliharaan atau kaki tangan Bidadari Angin Timur yang hendak mencelakai diriku!”
“Bidadari Angin Timur?” Mata kiri si nenek berputar. “Kau menyebut nama yang aku tidak kenal….”
“Kalau begitu lekas terangkan siapa dirimu! Atau aku akan merubah dirimu menjadi jerangkong hitam hangus!” Ratu Duyung sudah salurkan hampir setengah tenaga dalamnya ke tangan kanan yang memegang cermin.
“Mata biru, keberanianmu menantangku luar biasa! Aku sudah puluhan kali menghadapi kematian! Jangan kira aku takut menghadapi dirimu! Sayang, saat ini aku lebih mementingkan mencari kekasihku. Kalau tidak, akupun sanggup membuat wajahmu yang cantik menjadi tengkorak tak berguna, tubuhmu yang bagus menjadi tulang belulang memutih! Kekasihmu akan meratap sampai sejuta sehari! Hik… hik… hik!”
“Aku tidak punya kekasih!” Entah bagaimana ucapan itu tiba-tiba saja meluncur dari mulut Ratu Duyung.
“Kau tidak punya kekasih? Sungguh aneh? Di dunia mana aku sebenarnya saat ini berada? Makhluk apa kau sebenarnya? Aku tua bangka dan buruk menyeramkan saja masih punya kekasih! Tapi kau yang cantik jelita, muda remaja dengan tubuh bagus menggairahkan mengaku tidak punya kekasih! Hik… hik… hik! Sungguh aneh!”
“Tutup mulutmu!” bentak Ratu Duyung yang menjadi jengkel pada diri sendiri karena ketelepasan bicara tadi. Dia melangkah mendekati.
Melihat gerakan orang, si nenek cepat bangkit berdiri.
“Mata biru, aku akan mencari kekasihku. Jika tidak bertemu aku akan mencarimu kembali! Jika kau tidak mau memberi keterangan apa yang kuminta, akan kucabut putus lidahmu! Hik… hik… hik!” Lalu tanpa acuh lagi si nenek putar tubuhnya. Ketika sosoknya membelakangi Ratu Duyung siap hendak menghantam. Tapi dia tidak mau berlaku pengecut. Menyerang orang dari belakang.
“Aku harus menghalangi jangan sampai dia pergi! Aku harus tahu siapa dia adanya!” Saat berucap dalam hati itulah tak sengaja sepasang mata Ratu Duyung yang tajam melihat satu benda aneh di balik daun telinga kanan si nenek. Di belakang daun telinga itu ada satu benda merah, menyerupai daging tumbuh sebesar ujung jari kelingking. Namun Ratu Duyung tidak bisa berpikir lebih lama. Si nenek sudah siap berkelebat pergi.
“Tunggu! Jangan kau berani meninggalkan tempat ini sebelum memberi keterangan!” bentak Ratu Duyung. Lalu dia berkelebat ke hadapan si nenek. Menghadang jalan.
“Mata biru! Kau minta kematian di usia muda!”
Ratu Duyung mendengus. Si nenek menyeringai. Tanpa perdulikan si gadis dia teruskan gerakannya melangkah.
Melihat si nenek begerak hendak meninggalkan tempat itu Ratu Duyung cepat gerakkan tangannya yang memegang gagang cermin sakti.
Untuk kedua kalinya kawasan pekuburan itu terang benderan oleh cahaya putih.
“Wussss!”
“Braaaakkkk… byaaarrr!”
Makam di mana si nenek tadi berada hancur berantakan. Tanah kuburan dan isinya termasuk tulang belulang penghuni yang sudah terkubur belasan tahun berhamburan mental ke udara! Tapi si nenek sendiri saat itu tak ada lagi di tempat itu. Yang terlihat kini hanya kubur menganga, merupakan satu lobang besar akibat hantaman cahaya puttih yang menyembur dari cermin sakti sang Ratu.
Tak jauh dari tempat itu. Di atas sebuah pohon, berdiri di salah satu cabang, tersembunyi di balik kegelapan, sosok nenek berhidung gerumpung, memandang dengan matanya yang cuma satu ke arah Ratu Duyung.
“Kesaktian gadis itu sungguh luar biasa. Terlambat saja tadi aku menyingkir, pasti dia benar-benar membuat diriku menjadi jerangkong hangus!”
BAB 2
Di dalam goa di lamping jurang karang, makhluk tinggi besar berkepala singa merah melangkah mundar mandir. Sesekali dia berpaling, memandang geram ke arah sosok yang terkapar di lantai goa.
“Pangeran jahanam! Mungkin Kitab Wasiat Malaikat memang tidak ada padanya. Tapi Kitab Wasiat Iblis pasti disembuyikan di satu tempat. Dua hari dua malam di pingsan. Kalau dia siuman dan masih tidak mau memberitahu dimana beradanya kitab itu, kurasa percuma membuang waktu. Enam ratus hari aku menunggu, aku tidak mau menghadapi kesia-siaan. Lebih baik kuputuskan menamatkan riwayatnya saja. Kalau tidak dihabisi sekarang-sekarang mungkin menjadi racun malapetaka di kemudian hari…”
Di pintu goa makhluk kepala singa bernama Jolo Pengging dan dalam rimba persilatan Tanah Jawa belakangan ini dikenal dengan julukan Singo Abang memandang ke seantero pinggiran jurang. Dari tenpatnya berada dia bisa melihat kawasan atas jurang dengan jelas. Sebaliknya seseorang yang berada di pinggiran jurang sebelah atas sana sulit untuk melihatnya karena selain goa iu berada dalam satu cekungan dinding karang, juga tersembunyi di balik semak belukar lebat.
Singo Abang ingat kejadian tiga hari sebelumnya. “Rimba persilatan Tanah Jawa semakin kacau. Banyak bermunculan tokoh-tokoh baru… Sepasang Momok Dempet Berkaki Kuda… Kemunculan mereka pasti ada sangkut pautnya dengan kitab-kitab sakti itu. Kalua aku sampai keduluan…” Singo Abang mengeram jika ingat bagaimana tiga hari lalu dia dibuat babak belur oleh Momok Dempet waktu terjadi perkelahian di pinggir jurang sana. (Baca Episode pertama berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa”). “Tiga hari lalu aku juga melihat Pendekar 212 Wiro Sableng di tepi jurang. Memandang ke bawah sini seperti menyelidik. Apakah telah terjadi satu bentrokan antara murid Sinto Gendeng itu dengan Momok Dempet? Kalau Wiro Sableng masih sempat mendekam di pinggir jurang, berarti dia berhasil mempecundangi dua manusia galah jahanam itu. Dua tahun pendekar itu melenyapkan diri. Apa yang dilakukannya? Menambah ilmu kesaktian? Aku benar-benar harus bertindak cepat. Kalau tidak aku hanya akan menghisap jempol butut seumur-umur. Karena Pendekar 212 pasti juga mencari Kitab Wasiat Malaikat itu….”
Singo Abang kembali memperhatikan sosok yang tergelimpang di lantai goa. Hatinya lagi-lagi merutuk. “Sialan! Berapa lama lagi aku harus menunggu sampai dia siuman!”
Singo Abang meludah lalu arahkan lagi pandangannya ke arah atas jurang. Saat itu di belakangnya, tanpa diketahui, salah satu mata orang yang tergeletak di lantai goa perlahan-lahan terbuka, menatap ke arah punggung Singo Abang lalu seringai setan mengejek menyeruak di mukanya yang pencong. Dalam hati dia berkata. “Singo Abang, kau menunggu kesempatan. Aku Pangeran Matahari yang selalu kau panggil dengan sebutan Pangeran Miring juga mengintai kesempatan. Siapa lengah akan mengalami kekalahan. Itu Kelak akan menjadi bagianmu karena pikiran dan hatimu dilanda kekalutan sedang aku tidak! Aku Pangeran Matahari! Siapa bisa mengalahkan aku Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak!” Ketika Singo Abang membalikkan badannya, orang ini cepat pejamkan matanya kembali. Namun seringai masih membayang di wajahnya. Justru hal ini sempat terlihat oleh Singo Abang.
“Pangeran Miring, murid keparat!” bentak Singo Abang gusar. “Aku tahu kau menipuku! Aku tahu kau sebenarnya sudah siuman! Mari kita buktikan!” Rambut merah yang menutupi wajah dan kepala sampai ke tengkuk mengembang berjingkrak.
Kaki kanan makhluk tinggi besar itu bergerak ke arah punggung orang yang tergeletak di hadapannya.
“Bukkk!”
Sosok Pangeran Miring terpental dan brukkk! Menghantam dinding karang. Sosok ini menggeliat beberapa kali lalu terdengar keluhan. Singo Abang jambak rambut gondrong sang Pangeran lalu hempaskan tubuhnya ke dinding hingga terhenyak duduk dengan wajah mengerenyit menahan sakit.
“Kau boleh meneruskan kepura-puraanmu kalau ingin segera mampus!”
“Guru….”
Ucapan Pangeran Miring terputus karena kaki kanan Singo Abang tiba-tiba sekali sudah menempel dan menekan batang lehernya.
“Umurmu hanya tinggal satu gerakan saja! Jika kau tetap tidak mau membuka mulut, memberitahu dimana kau sembunyikan dua benda yang kutanyakan, sekali injakan saja tulang lehermu akan patah! Nyawamu amblas!”
“Gu… guru… Apa yang ingin kau tanyakan…?”
“Jangan berpura-pura tidak tahu!”
“Guru, kalau kau menanyakan tentang Kitab Wasiat Malaikat, aku bersumpah aku tidak memilikinya. Juga tidak tahu dimana beradanya…”
“Bagaimana dengan Kitab Wasiat Iblis? Aku tahu! Semua orang di rimba persilatan tahu kitab itu ada padamu!”
“Kalau kau memang keliwat memaksa, aku… Aku bersedia mengalah…”
“Apa maksudmu dengan ucapan itu?!” tanya Singo Abang dengan mata mendelik.
“Aku… aku sadar kalau aku punya hutang budi dan nyawa padamu. Kalau tidak kau yang menolong diriku, dua tahun lalu aku sudah menjadi bangkai di dasar jurang ini akibat hantaman musuh besarku Pendekar 212 Wiro Sableng…” (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Kiamat Di Pangandaran”).
“Jika kau memang merasa berhutang budi dan nyawa, apa lagi aku sudah memberi ilmu kesaktian padamu. Lalau apa balasamu terhadapku?!”
“Maafkan aku guru, aku akan memeberitahu padamu mengenai Kitab Wasiat Iblis itu…”
Kerenyit di kening Singo Abang lenyap. Rambut di kepalanya yang merah berjingkrak perlahan-lahan bergerak turun. Namun sepasang matanya tetap berkilat mencorong menatap sang murid. Mulutnya beucap. “Aku gembira mendengar kata-katamu. Tetapi jangan kau berani menipu!”
“Kalau murid terbukti menipu, nyawaku jadi imbalannya,” kata Pengeran Miring pula.
Perlahan-lahan Singo Abang tarik kaki kanannya yang dipakai menginjak leher orang. Sang Pangeran menarik nafas lega.
“Tunggu apa lagi! Lekas katakan dimana kitab yang kau sebutkan itu! Aku sudah memeriksa dirimu dan goa itu. Kitab itu tidak aku temukan…”
“Kitab Wasiat Iblis memang tidak ada di goa ini, guru. Aku menyembunyikannya di satu tempat…”
“Dimana?!” tanya Singo Abang menyentak tidak sabaran.
“Sebelum pecah pertempuran hebat para tokoh di Pangandaran dua tahun silam, kitab itu aku sembunyikan di pinggir jurang karang. Di satu lorong sempit. Di bawah sebuah batu besar. Kubungkus dengan daun kayu besi hingga tahan terhadap air dan panas…”
“Kalau begitu, sekarang juga kita keluar dari goa. Naik ke atas jurang! Kau harus segera tunjukkan dan ambil kitab itu…”
“Aku menurut perintah guru. Tapi keadaanku lemah sekali. Mana mungkin aku bisa naik ke atas jurang sana…”
Singo Abang dekati Pangeran Miring. Lalu letakkan tangannya kiri kanan di atas bahu pemuda itu sambil alirkan hawa sakti. Sesaat kemudian dia membuat beberapa totokan di bagian tubuh Pangeran Miring untuk memperlancar aliran darah.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Singo Abang.
“Rasa berat dan pening di kepala hilang. Tubuhku terasa enteng. Ada satu kekuatan baru dalam diriku…” jawab Pangeran Miring. Tapi dalam hati dia berkata. “Makhluk tolol! Rasakan! Kau kena tipuanku! Kini aku memiliki kekuatan berlipat ganda!”
“Kalau begitu kau sudah siap. Ikuti aku! Kita segera naik ke atas jurang!”
Singo Abang keluar dari dalam goa. Pangeran Miring mengikuti. Dengan ilmu kepandaian tinggi yang mereka miliki tidak sulit bagi keduanya untuk naik ke atas jurang yang sangat terjal itu. Sampai di atas sana, di pinggiran jurang Pangeran Miring memandang berkeliling. Di kejauhan terdengar suara deburan ombak sementara angin dari arah laut bertiup cukup kencang.
Singo Abang kembali tidak sabaran. “Dimana Pangeran? Di bagian mana tepi jurang kitab itu kau senbunyikan?!”
Pangeran Miring menunjuk ke arah barat jurang. Di situ tumbuh satu pohon besar. Tak jauh dari pohon ada sederetan batu-batu karang menonjol runcing. Pangeran Miring menunjuk ke arah batu-batu karang itu. Tanpa tunggu lebih lama Singo Abang mendahului lari ke tempat yang ditunjuk. Begitu Pangeran Miring sampi dia segera berkata.
“Aku tidak melihat lorong. Tidak melihat batu besar yang kau katakan!”
“Dari tempatmu berdiri tentu saja tidak kelihatan,” jawab Pangeran Miring. “Letaknya di sebelah bawah sana. Ikuti aku….”
Pangeran Miring lalu melangkah ke kanan, menyusuri tepi jurang. Di satu tempat dia hentikan langkah dan memberi isyarat pada gurunya seraya menunjuk ke depan. Singo Abang mendekat dan memandang ke arah yang ditunjuk. Dia memang melihat satu lorong sempit antara dua batu karang berbentuk tonggak besar. Lorong itu merupakan satu celah sempit sepemasukan tubuh orang berukuran sedang. Sosok sebesar Singo Abang sulit untuk memasuki celah. Di ujung celah terlihat jelas sebuah batu berwarna kelabu kehitaman.
“Guru, harap kau menunggu di sini. Aku akan masuk ke dalam celah…”
“Kau tunjukkan saja tempat pastinya kitab itu kau tanam. Aku akan mengambilnya…”
“Guru, celah itu sempit. Tubuhmu terlalu besar untuk bisa melewatinya…”
“Kalau begitu biar aku hantam dengan pukulan sakti agar celah mmebesar…”
“Jangan lakukan hal itu…” kata Pangeran Miring.
“Mengapa? Kau tak suka aku yang mengambil kitab itu? Kau…’
“Bukan begitu Guru! Kau lihat sendiri. Bagian tanah di sekitar sini agak kering, tidak mempunyai kedudukan keras. Jika dihantam dengan pukulan, celah batu bisa saja terbuka tapi dudukan tanah akan bergeser. Aku kawatir terjadi longsor. Kita berdua bisa celaka…”
Singo Abang pencongkan mulutnya. “Baik, kau saja yang pergi mengambil. Begitu kitab berada di tanganmu lekas kau serahkan padaku!”
“Jangan kawatir guru. Aku akan memberikan kitab yang kau minta itu sebagai balas budi dan hutang nyawaku padamu!” kata Pangeran Miring pula. Dia membuat gerakan seperti hendak memasuki celah batu karang. Tapi sesaat dia hentikan langkah dan berpaling berputar.
“Ada apa?” tanya Singo Abang merasa heran.
“Guru, sebelum aku memasuki celah, apa boleh aku memperlihatkan padamu jurus pukulan sakti yang pernah kau ajarkan padaku. Yakni Dua Singa Berebut Matahari.”
“Gila! Dalam keadaan seperti ini kau hendak melakukan hal itu? Apa maksudmu?!” Singo Abang menjadi curiga.
Pangeran Miring dongakkan kepalanya lalu tertawa panjang membuat Singo Abang menjadi tidak enak dan juga curiga. Saat itu dia berada sangat dekat dengan tepi jurang sementara muridnya berdiri di bagian ketinggian beberapa langkah di hadapannya.
“Hentikan tawamu!” teriak Singo Abang marah.
Pangeran Miring hentikan tawanya. Lalu mulutnya berucap. “Singo Abang, kau mengajarkan jurus pukulan Dua Singa Berebut Matahari padaku! Sekarang pukulan itu akan aku kembalikan padamu!”
“Kurang ajar! Kau hendak berbuat apa?!” Untuk pertama kalinya Singo Abang menyadari kedudukannya yang berbahaya di tepi jurang. Kalau dia diserang, walau sanggup menangkis tapi dua kakinya tak boleh bergeser terlalu jauh ke belakang.
Dua lutut Pangeran Miring menekuk. Tubuhnya mengkerut ke bawah. Tiba-tiba didahului satu bentakan garang tubuhnya yang merunduk melesat ke depan. Dua tangannya yang membentuk kepalan berubah menjadi lebih besar, membeset ke arah dada dan perut Singo Abang! Yang dilancarkan Pangeran Matahari ternyata bukan jurus pukulan Dua Singa Berebut Matahari!
Walau ternyata serangan itu hanya tipuan belaka namun Singo Abang mengetahui kehebatannya. Dia cepat bergerak.
“Jahanam! Kau menipuku! Kau berani menyerangku!” teriak makhluk kepala singa itu marah sekali sampai rambut merahnya berjingkrak kaku. Sambil maju satu langkah untuk menghindari dua kakinya bergeser ke tepi jurang bertanah rapuh dia pukulkan dua tangannya menangkis. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
“Wuuttt… wuuut!”
Tangkisan Singo Abang hanya mengenai tempat kosong.
Pangeran Miring tertawa bergelak. Saat itu tubuhnya tiba-tiba menukik ke bawah. Dua tangannya kembali menghantam. Kali ini Singo Abang tak bisa lagi menangkis atau menghindar karena saat itu tubuhnya masih dalam keadaan terdorong ke depan akbiat tadi menangkis di udara kosong!
“Bukkk! Bukkk!”
Suara dahsyat seperti auman singa menggelegar dari mulut Singo Abang bersama semburan darah. Tubuhnya yang tinggi besar bergoncang keras. Dia kerahkan seluruh daya agar tidak terdorong ke belakang. Tapi tanah rapuh yang dipijaknya bergetar keras lalu longsor. Tak ampun lagi sosok Singo Abang terjungkal ke belakang lalu jatuh masuk ke dalam jurang batu karang! Jeritan maut makhluk berkepala singa ini tenggelam tertindih suara tawa bekakakan Pangeran Miring alias Pangeran Matahari!
Mendadak tawa sang Pangeran lenyap seperti direnggut setan. Dari mulutnya keluar seruan kaget tertahan. Dari dalam jurang dimana barusan Singo Abang terpental jatuh, melesat tiga larik sinar masing-masing berwarna kuning, hitam, dan merah.
“Pukulan Gerhana Matahari!” teriak Pangeran Miring kaget luar biasa. Lalu dia cepat melompat ke belakang. Di depannya pinggiran jurang karang yang terkena hantaman tiga sinar hancur berantakan lalu bergemuruh longsor ke bawah. “Gila! Kalau memang Singo Abang yang melancarkan pukulan itu, bagaimana dia bisa mendapatkannya!” membatin Pangeran Miring dengan wajah berubah. “Berarti selama di dalam goa, diam-diam dia telah mempelajari. Dia mencuri ilmu itu dariku! Tapi bagaimana mungkin?! Edan! Bisa saja dia menenung diriku. Sekarang biar dia tahu rasa! Saat ini tubuhnya pasti sudah remuk hancur di dasar jurang!”
“Pangeran jahanam! Mungkin Kitab Wasiat Malaikat memang tidak ada padanya. Tapi Kitab Wasiat Iblis pasti disembuyikan di satu tempat. Dua hari dua malam di pingsan. Kalau dia siuman dan masih tidak mau memberitahu dimana beradanya kitab itu, kurasa percuma membuang waktu. Enam ratus hari aku menunggu, aku tidak mau menghadapi kesia-siaan. Lebih baik kuputuskan menamatkan riwayatnya saja. Kalau tidak dihabisi sekarang-sekarang mungkin menjadi racun malapetaka di kemudian hari…”
Di pintu goa makhluk kepala singa bernama Jolo Pengging dan dalam rimba persilatan Tanah Jawa belakangan ini dikenal dengan julukan Singo Abang memandang ke seantero pinggiran jurang. Dari tenpatnya berada dia bisa melihat kawasan atas jurang dengan jelas. Sebaliknya seseorang yang berada di pinggiran jurang sebelah atas sana sulit untuk melihatnya karena selain goa iu berada dalam satu cekungan dinding karang, juga tersembunyi di balik semak belukar lebat.
Singo Abang ingat kejadian tiga hari sebelumnya. “Rimba persilatan Tanah Jawa semakin kacau. Banyak bermunculan tokoh-tokoh baru… Sepasang Momok Dempet Berkaki Kuda… Kemunculan mereka pasti ada sangkut pautnya dengan kitab-kitab sakti itu. Kalua aku sampai keduluan…” Singo Abang mengeram jika ingat bagaimana tiga hari lalu dia dibuat babak belur oleh Momok Dempet waktu terjadi perkelahian di pinggir jurang sana. (Baca Episode pertama berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa”). “Tiga hari lalu aku juga melihat Pendekar 212 Wiro Sableng di tepi jurang. Memandang ke bawah sini seperti menyelidik. Apakah telah terjadi satu bentrokan antara murid Sinto Gendeng itu dengan Momok Dempet? Kalau Wiro Sableng masih sempat mendekam di pinggir jurang, berarti dia berhasil mempecundangi dua manusia galah jahanam itu. Dua tahun pendekar itu melenyapkan diri. Apa yang dilakukannya? Menambah ilmu kesaktian? Aku benar-benar harus bertindak cepat. Kalau tidak aku hanya akan menghisap jempol butut seumur-umur. Karena Pendekar 212 pasti juga mencari Kitab Wasiat Malaikat itu….”
Singo Abang kembali memperhatikan sosok yang tergelimpang di lantai goa. Hatinya lagi-lagi merutuk. “Sialan! Berapa lama lagi aku harus menunggu sampai dia siuman!”
Singo Abang meludah lalu arahkan lagi pandangannya ke arah atas jurang. Saat itu di belakangnya, tanpa diketahui, salah satu mata orang yang tergeletak di lantai goa perlahan-lahan terbuka, menatap ke arah punggung Singo Abang lalu seringai setan mengejek menyeruak di mukanya yang pencong. Dalam hati dia berkata. “Singo Abang, kau menunggu kesempatan. Aku Pangeran Matahari yang selalu kau panggil dengan sebutan Pangeran Miring juga mengintai kesempatan. Siapa lengah akan mengalami kekalahan. Itu Kelak akan menjadi bagianmu karena pikiran dan hatimu dilanda kekalutan sedang aku tidak! Aku Pangeran Matahari! Siapa bisa mengalahkan aku Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak!” Ketika Singo Abang membalikkan badannya, orang ini cepat pejamkan matanya kembali. Namun seringai masih membayang di wajahnya. Justru hal ini sempat terlihat oleh Singo Abang.
“Pangeran Miring, murid keparat!” bentak Singo Abang gusar. “Aku tahu kau menipuku! Aku tahu kau sebenarnya sudah siuman! Mari kita buktikan!” Rambut merah yang menutupi wajah dan kepala sampai ke tengkuk mengembang berjingkrak.
Kaki kanan makhluk tinggi besar itu bergerak ke arah punggung orang yang tergeletak di hadapannya.
“Bukkk!”
Sosok Pangeran Miring terpental dan brukkk! Menghantam dinding karang. Sosok ini menggeliat beberapa kali lalu terdengar keluhan. Singo Abang jambak rambut gondrong sang Pangeran lalu hempaskan tubuhnya ke dinding hingga terhenyak duduk dengan wajah mengerenyit menahan sakit.
“Kau boleh meneruskan kepura-puraanmu kalau ingin segera mampus!”
“Guru….”
Ucapan Pangeran Miring terputus karena kaki kanan Singo Abang tiba-tiba sekali sudah menempel dan menekan batang lehernya.
“Umurmu hanya tinggal satu gerakan saja! Jika kau tetap tidak mau membuka mulut, memberitahu dimana kau sembunyikan dua benda yang kutanyakan, sekali injakan saja tulang lehermu akan patah! Nyawamu amblas!”
“Gu… guru… Apa yang ingin kau tanyakan…?”
“Jangan berpura-pura tidak tahu!”
“Guru, kalau kau menanyakan tentang Kitab Wasiat Malaikat, aku bersumpah aku tidak memilikinya. Juga tidak tahu dimana beradanya…”
“Bagaimana dengan Kitab Wasiat Iblis? Aku tahu! Semua orang di rimba persilatan tahu kitab itu ada padamu!”
“Kalau kau memang keliwat memaksa, aku… Aku bersedia mengalah…”
“Apa maksudmu dengan ucapan itu?!” tanya Singo Abang dengan mata mendelik.
“Aku… aku sadar kalau aku punya hutang budi dan nyawa padamu. Kalau tidak kau yang menolong diriku, dua tahun lalu aku sudah menjadi bangkai di dasar jurang ini akibat hantaman musuh besarku Pendekar 212 Wiro Sableng…” (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Kiamat Di Pangandaran”).
“Jika kau memang merasa berhutang budi dan nyawa, apa lagi aku sudah memberi ilmu kesaktian padamu. Lalau apa balasamu terhadapku?!”
“Maafkan aku guru, aku akan memeberitahu padamu mengenai Kitab Wasiat Iblis itu…”
Kerenyit di kening Singo Abang lenyap. Rambut di kepalanya yang merah berjingkrak perlahan-lahan bergerak turun. Namun sepasang matanya tetap berkilat mencorong menatap sang murid. Mulutnya beucap. “Aku gembira mendengar kata-katamu. Tetapi jangan kau berani menipu!”
“Kalau murid terbukti menipu, nyawaku jadi imbalannya,” kata Pengeran Miring pula.
Perlahan-lahan Singo Abang tarik kaki kanannya yang dipakai menginjak leher orang. Sang Pangeran menarik nafas lega.
“Tunggu apa lagi! Lekas katakan dimana kitab yang kau sebutkan itu! Aku sudah memeriksa dirimu dan goa itu. Kitab itu tidak aku temukan…”
“Kitab Wasiat Iblis memang tidak ada di goa ini, guru. Aku menyembunyikannya di satu tempat…”
“Dimana?!” tanya Singo Abang menyentak tidak sabaran.
“Sebelum pecah pertempuran hebat para tokoh di Pangandaran dua tahun silam, kitab itu aku sembunyikan di pinggir jurang karang. Di satu lorong sempit. Di bawah sebuah batu besar. Kubungkus dengan daun kayu besi hingga tahan terhadap air dan panas…”
“Kalau begitu, sekarang juga kita keluar dari goa. Naik ke atas jurang! Kau harus segera tunjukkan dan ambil kitab itu…”
“Aku menurut perintah guru. Tapi keadaanku lemah sekali. Mana mungkin aku bisa naik ke atas jurang sana…”
Singo Abang dekati Pangeran Miring. Lalu letakkan tangannya kiri kanan di atas bahu pemuda itu sambil alirkan hawa sakti. Sesaat kemudian dia membuat beberapa totokan di bagian tubuh Pangeran Miring untuk memperlancar aliran darah.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Singo Abang.
“Rasa berat dan pening di kepala hilang. Tubuhku terasa enteng. Ada satu kekuatan baru dalam diriku…” jawab Pangeran Miring. Tapi dalam hati dia berkata. “Makhluk tolol! Rasakan! Kau kena tipuanku! Kini aku memiliki kekuatan berlipat ganda!”
“Kalau begitu kau sudah siap. Ikuti aku! Kita segera naik ke atas jurang!”
Singo Abang keluar dari dalam goa. Pangeran Miring mengikuti. Dengan ilmu kepandaian tinggi yang mereka miliki tidak sulit bagi keduanya untuk naik ke atas jurang yang sangat terjal itu. Sampai di atas sana, di pinggiran jurang Pangeran Miring memandang berkeliling. Di kejauhan terdengar suara deburan ombak sementara angin dari arah laut bertiup cukup kencang.
Singo Abang kembali tidak sabaran. “Dimana Pangeran? Di bagian mana tepi jurang kitab itu kau senbunyikan?!”
Pangeran Miring menunjuk ke arah barat jurang. Di situ tumbuh satu pohon besar. Tak jauh dari pohon ada sederetan batu-batu karang menonjol runcing. Pangeran Miring menunjuk ke arah batu-batu karang itu. Tanpa tunggu lebih lama Singo Abang mendahului lari ke tempat yang ditunjuk. Begitu Pangeran Miring sampi dia segera berkata.
“Aku tidak melihat lorong. Tidak melihat batu besar yang kau katakan!”
“Dari tempatmu berdiri tentu saja tidak kelihatan,” jawab Pangeran Miring. “Letaknya di sebelah bawah sana. Ikuti aku….”
Pangeran Miring lalu melangkah ke kanan, menyusuri tepi jurang. Di satu tempat dia hentikan langkah dan memberi isyarat pada gurunya seraya menunjuk ke depan. Singo Abang mendekat dan memandang ke arah yang ditunjuk. Dia memang melihat satu lorong sempit antara dua batu karang berbentuk tonggak besar. Lorong itu merupakan satu celah sempit sepemasukan tubuh orang berukuran sedang. Sosok sebesar Singo Abang sulit untuk memasuki celah. Di ujung celah terlihat jelas sebuah batu berwarna kelabu kehitaman.
“Guru, harap kau menunggu di sini. Aku akan masuk ke dalam celah…”
“Kau tunjukkan saja tempat pastinya kitab itu kau tanam. Aku akan mengambilnya…”
“Guru, celah itu sempit. Tubuhmu terlalu besar untuk bisa melewatinya…”
“Kalau begitu biar aku hantam dengan pukulan sakti agar celah mmebesar…”
“Jangan lakukan hal itu…” kata Pangeran Miring.
“Mengapa? Kau tak suka aku yang mengambil kitab itu? Kau…’
“Bukan begitu Guru! Kau lihat sendiri. Bagian tanah di sekitar sini agak kering, tidak mempunyai kedudukan keras. Jika dihantam dengan pukulan, celah batu bisa saja terbuka tapi dudukan tanah akan bergeser. Aku kawatir terjadi longsor. Kita berdua bisa celaka…”
Singo Abang pencongkan mulutnya. “Baik, kau saja yang pergi mengambil. Begitu kitab berada di tanganmu lekas kau serahkan padaku!”
“Jangan kawatir guru. Aku akan memberikan kitab yang kau minta itu sebagai balas budi dan hutang nyawaku padamu!” kata Pangeran Miring pula. Dia membuat gerakan seperti hendak memasuki celah batu karang. Tapi sesaat dia hentikan langkah dan berpaling berputar.
“Ada apa?” tanya Singo Abang merasa heran.
“Guru, sebelum aku memasuki celah, apa boleh aku memperlihatkan padamu jurus pukulan sakti yang pernah kau ajarkan padaku. Yakni Dua Singa Berebut Matahari.”
“Gila! Dalam keadaan seperti ini kau hendak melakukan hal itu? Apa maksudmu?!” Singo Abang menjadi curiga.
Pangeran Miring dongakkan kepalanya lalu tertawa panjang membuat Singo Abang menjadi tidak enak dan juga curiga. Saat itu dia berada sangat dekat dengan tepi jurang sementara muridnya berdiri di bagian ketinggian beberapa langkah di hadapannya.
“Hentikan tawamu!” teriak Singo Abang marah.
Pangeran Miring hentikan tawanya. Lalu mulutnya berucap. “Singo Abang, kau mengajarkan jurus pukulan Dua Singa Berebut Matahari padaku! Sekarang pukulan itu akan aku kembalikan padamu!”
“Kurang ajar! Kau hendak berbuat apa?!” Untuk pertama kalinya Singo Abang menyadari kedudukannya yang berbahaya di tepi jurang. Kalau dia diserang, walau sanggup menangkis tapi dua kakinya tak boleh bergeser terlalu jauh ke belakang.
Dua lutut Pangeran Miring menekuk. Tubuhnya mengkerut ke bawah. Tiba-tiba didahului satu bentakan garang tubuhnya yang merunduk melesat ke depan. Dua tangannya yang membentuk kepalan berubah menjadi lebih besar, membeset ke arah dada dan perut Singo Abang! Yang dilancarkan Pangeran Matahari ternyata bukan jurus pukulan Dua Singa Berebut Matahari!
Walau ternyata serangan itu hanya tipuan belaka namun Singo Abang mengetahui kehebatannya. Dia cepat bergerak.
“Jahanam! Kau menipuku! Kau berani menyerangku!” teriak makhluk kepala singa itu marah sekali sampai rambut merahnya berjingkrak kaku. Sambil maju satu langkah untuk menghindari dua kakinya bergeser ke tepi jurang bertanah rapuh dia pukulkan dua tangannya menangkis. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
“Wuuttt… wuuut!”
Tangkisan Singo Abang hanya mengenai tempat kosong.
Pangeran Miring tertawa bergelak. Saat itu tubuhnya tiba-tiba menukik ke bawah. Dua tangannya kembali menghantam. Kali ini Singo Abang tak bisa lagi menangkis atau menghindar karena saat itu tubuhnya masih dalam keadaan terdorong ke depan akbiat tadi menangkis di udara kosong!
“Bukkk! Bukkk!”
Suara dahsyat seperti auman singa menggelegar dari mulut Singo Abang bersama semburan darah. Tubuhnya yang tinggi besar bergoncang keras. Dia kerahkan seluruh daya agar tidak terdorong ke belakang. Tapi tanah rapuh yang dipijaknya bergetar keras lalu longsor. Tak ampun lagi sosok Singo Abang terjungkal ke belakang lalu jatuh masuk ke dalam jurang batu karang! Jeritan maut makhluk berkepala singa ini tenggelam tertindih suara tawa bekakakan Pangeran Miring alias Pangeran Matahari!
Mendadak tawa sang Pangeran lenyap seperti direnggut setan. Dari mulutnya keluar seruan kaget tertahan. Dari dalam jurang dimana barusan Singo Abang terpental jatuh, melesat tiga larik sinar masing-masing berwarna kuning, hitam, dan merah.
“Pukulan Gerhana Matahari!” teriak Pangeran Miring kaget luar biasa. Lalu dia cepat melompat ke belakang. Di depannya pinggiran jurang karang yang terkena hantaman tiga sinar hancur berantakan lalu bergemuruh longsor ke bawah. “Gila! Kalau memang Singo Abang yang melancarkan pukulan itu, bagaimana dia bisa mendapatkannya!” membatin Pangeran Miring dengan wajah berubah. “Berarti selama di dalam goa, diam-diam dia telah mempelajari. Dia mencuri ilmu itu dariku! Tapi bagaimana mungkin?! Edan! Bisa saja dia menenung diriku. Sekarang biar dia tahu rasa! Saat ini tubuhnya pasti sudah remuk hancur di dasar jurang!”
BAB 3
Suara kecimpung air diseling gelak tawa segar membuat Pangeran Matahari hentikan larinya. Dia memandang ke arah datangnya suara itu.
“Suara tawa perempuan…” kata sang Pangeran dalam hati. “Ratusan hari aku tidak pernah mendengar suara tawa perempuan. Ratusan hari aku tidak pernah melihat wajah dan sosok perempuan, apalagi menyentuhnya…” Sekujur tubuh Pangeran Matahari tiba-tiba menjadi kencang. Darahnya mengalir lebih cepat dan hawa panas merayapi badannya mulai dari ubunubun sampai ke kaki. Di mulutnya menyungging seringai penuh arti. Tidak menunggu lebih lama dia segera berkelebat ke arah datangnya suara kecimpung air dan gelak tawa tadi.
Di balik satu pohon besar, di belakang rerumpunan semak belukar lebat, Pangeran Matahari mendekam tak bergerak, matanya membesar tak berkeseip. Di depan sana, di leguk tanah yang agak menurun, tiga orang gadis tengah bersenda gurau di dalam sebuah telaga kecil berair jernih dan sejuk. Ketiganya berwajah lumayan cantik. Mereka hanya mengenakan kain yang dikemben demikian rupa. Pangeran Matahari menelan ludah melihat punggung, bahu bagian atas serta dada yang putih tersingkap. Tiga gadis itu tinggal di satu desa tak jauh dari situ. Mereka memang sering datang pagi hari ke telaga untuk mencuci. Selesai mencuci mereka mandi membersihkan diri sambil bersenda gurau.
Karena mengira di tempat itu hanya mereka bertiga saja, para gadis di dalam telaga bergurau sampai-sampai melewati batas. Salah seorang dari mereka dengan jahil menarik lepas kemben kawannya hingga tubuh gadis ini tersingkap polos sampai ke pusar. Dua kawannya tertawa bergelak sementara si gadis yang dijahili kelabakan menggapai kain panjangnya. Melihat hal ini Pangeran Matahari tidak tahan lagi. Sekali melompat saja dia sudah berada di tepi telaga, tegak di atas sebuah batu besar.
“Sahabatku, tiga gadis cantik! Apa aku boleh ikut mandi dan bersenda gurau dengan kalian?”
Tiga gadis di dalam telaga tentu saja tersentak kaget. Yang tadi lepas kain panjangnya terpekik keras, untung dia sudah berhasil menangkap ujung kainnya dan cepat-cepat menutupi auratnya yang tersingkap. Tiga gadis itu serentak saling mendekat, memandang ke arah orang di atas batu penuh rasa kejut dan juga takut.
“Rumini,” bisik gadis di ujung kanan. “Kau kenal siapa orang di atas batu itu?”
Rumini, gadis di atas batu gelengkan kepala. Kawan di sebelahnya berkata. “Baru sekali ini aku melihatnya. Agaknya dia tidak tinggal di sekitar desa kita…”
“Kalian tidak menjawab! Berarti aku boleh ikut mandi bersama! Ha… ha… ha…!”
Tanpa menunggu lebih lama Pangeran Matahari langsung ceburkan diri masuk ke dalam telaga.
Tiga gadis menjerit, cepar-cepat jauhkan diri. Salah seorang dari mereka yang bernama Sumirah berteriak.
“Pemuda lancang! Siapa kau! Lekas pergi dari sini!”
“Betul! Kalau kami beritahu pada Kepala Desa. Kau pasti akan dihajar habis-habisan!” ikut berteriak gadis ketiga bernama Ramilah.
Pengeran Matahari mendongak lalu tertawa.
“Aku biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Matahari! Kalian bertiga harus merasa beruntung karena aku yang Pangeran sudi mandi di telaga bersama kalian!”
“Pangeran? Kau seorang Pangeran! Huh!” mendengus Rumini.
“Pangeran tak tahu diuntung!’ menyemprot Sumirah. “Berkaca dulu ke air telaga! Lihat tampangmu! Pakaianmu compang-camping dan bau!”
“Berani mengaku Pangeran!” menyambungi Ramilah, “Pangeran mana ada yang buruk sepertimu! Muka pencong, hidung bengkok, mata mendem! Hik… hik… hik! Otakmu pasti miring mengaku seorang Pangeran!”
Di dalam air, Pangeran Matahari melengak kaget. Tampangnya mengelam. Seumur hidup baru kali ini dia menerima hinaan seperti itu. Dia mengusap wajahnya. Rahangnya menggembung.
“Gadis kurang ajar! Kau berani menghina diriku! Kau korbanku yang pertama!” teriak Pangeran Matahari. Sekali bergerak dia sudah berada di hadapan Ramilah, langsung merangkul gadis ini penuh amarah tapi juga penuh nafsu.
“Pemuda kurang ajar! Lepaskan! Lepaskan!” teriak Ramilah. Dua kakinya melejanglejang dan tangannya dipukulkan ke punggung sang Pangeran ketika Pangeran Matahari memanggul tubuhnya. Dua temannya coba menolong. Sambil menyeringai Pangeran Matahari berkata. “Kalian tunggu di sini. Pada saatnya satu-satu kalian akan mendapat giliran!”
Tangan kiri Pangeran Matahari bergerak cepat dua kali berturut-turut. Saat itu juga Rumini dan Sumirah tertegun kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Yang bisa dilakukan dua gadis ini hanya mengikuti dengan pandangan mata ngeri, apa yang kemudian dilakukan Pangeran Matahari dan apa yag selanjutnya terjadi atas diri kawan mereka.
Sambil tertawa bergelak Pangeran Matahari memanggul tubuh Ramilah ke tepi telaga. Di satu tempat yang rata gadis itu dilemparkannya ke tanah. Sambil menahan sakit Ramilah berusaha bangkit melarikan diri tapi sosok sang Pangeran lebih cepat datang menindihnya. Di dalam telaga Sumirah dan Rumini pejamkan mata tak kuasa menyaksikan kekejian yang dilakukan Pangeran Matahari terhadap kawan mereka. Lebih gneri lagi membayangkan bahwa kekejian itu pasti segera pula akan terjadi atas diri mereka.
Puas melampiaskan nafsu bejatnya atas diri Ramilah, Pangeran Matahari masuk kembali ke dalam telaga. Dia mendekati Rumini. Melepaskan totokan yang membuat kaku serta gagu si gadis. Begitu totokan terlepas Rumini langsung menjerit dan meronta-ronta coba lepaskan diri.
“Jangan! Jangan kau lakukan itu padaku! Lepaskan! Bunuh! Lebih baik aku kau bunuh saja!”
Pangeran Matahari cuma menyeringai. Sambil tepuk-tepuk tubuh gadis di atas panggulannya dia berkata. “Kau ingin mati? Kau ingin aku bunuh? Jangan kawatir! Pangeran Matahari akan memenuhi permintaanmu. Aku akan membunuhmu dalam cara yang paling nikmat! Ha… ha… ha… ha!”
Di tepi telaga, tak jauh dari sosok Ramilah yang tergeletak pingsan, Pangeran Matahari lemparkan tubuh Rumini ke tanah hingga terjengkang terlentang. Belum sempat gadis ini berusaha melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri, Pangeran bejat itu telah menindih tubuhnya. Rumini menjerit panjang. Menjerit dan menjerit. Satu saat jeritannya terhenti. Lalu terdengar satu pekik keras. Setelah itu terdengar suara tangis si gadis menyayat hati.
“Gadis tolol! Kau harus berterima kasih aku tidak membunuhmu!” kata Pangeran Matahari. Sambil menyeringai dia putar tubuhnya, memandang ke arah telaga. Korban ke tiga segera menyusul.
Sumirah menatap dengan mendelik dan wajah pucat pasi ketika Pangeran Matahari melangkah di dalam telaga mendekatinya. Dia ingin menjerit tapi mulutnya terkancing kaku. Begitu Pangeran Matahari melepas totokan di tubuhnya gadis ini langsung meratap.
“Tidak… jangan… jangan lakukan…”
“Kau paling cantik di antara kawan-kawanmu. Aku berjanji tidak akan menyakitimu…”
“Demi Tuhan jangan…. Aku… aku anak Surobendana. Ayahku orang berada. Kalau kau mau melepaskan diriku, aku berjanji akan memintakan apa saja untukmu. Tanah, sawah, ladang, sapi…”
Pangeran Matahari tertawa dan usap kepala Sumirah. “Karena kau gadis baik dan ayahmu orang berada, aku Pangeran Matahari akan memperlakukanmu dengan baik pula!” Lalu sebelum mencapai pinggiran telaga, pemuda terkutuk itu turunkan tubuh Sumirah di atas batu rata. Di tempat ini secara keji dia mengulangi apa yang telah dilakukannya terhadap dua gadis sebelumnya yakni Rumini dan Ramilah.
Tanpa diketahui Pangeran Matahari, seseorang yang sejak tadi mendekam di atas cabang satu pohon besar berdaun lebat tak jauh dari tepi telaga, menyeringai geleng-gelengkan kepala.
“Luar biasa kejam dan kejinya! Apa manusia itu benar seorang pangeran? Pangeran Matahari… Aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu. Tapi kalau tidak keliru dia dikabarkan telah menemui ajal dua tahun silam di Pangandaran. Apa mungkin rohnya bisa gentayangan atau orang lain yang mengaku-aku sebagai Pangeran Matahari? Jika dia memang manusia hidup benaran kurasa aku perlu bersahabat dengannya. Mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk keuntungan diriku. Hemmm…”
Orang di atas pohon memandang lagi ke arah batu di tengah telaga. Dia tersentak kaget. Ternyata Pangeran Matahari tak ada lagi di tempat itu.
“Luar biasa cepat gerakannya. Aku harus mengikuti kemana perginya!”
Orang di atas pohon tidak segera melompat turun ke bawah tetapi dia melesat ke beberapa pohon lain di sekitar situ, baru turun ke tanah untuk mengejar Pangeran Matahari.
“Suara tawa perempuan…” kata sang Pangeran dalam hati. “Ratusan hari aku tidak pernah mendengar suara tawa perempuan. Ratusan hari aku tidak pernah melihat wajah dan sosok perempuan, apalagi menyentuhnya…” Sekujur tubuh Pangeran Matahari tiba-tiba menjadi kencang. Darahnya mengalir lebih cepat dan hawa panas merayapi badannya mulai dari ubunubun sampai ke kaki. Di mulutnya menyungging seringai penuh arti. Tidak menunggu lebih lama dia segera berkelebat ke arah datangnya suara kecimpung air dan gelak tawa tadi.
Di balik satu pohon besar, di belakang rerumpunan semak belukar lebat, Pangeran Matahari mendekam tak bergerak, matanya membesar tak berkeseip. Di depan sana, di leguk tanah yang agak menurun, tiga orang gadis tengah bersenda gurau di dalam sebuah telaga kecil berair jernih dan sejuk. Ketiganya berwajah lumayan cantik. Mereka hanya mengenakan kain yang dikemben demikian rupa. Pangeran Matahari menelan ludah melihat punggung, bahu bagian atas serta dada yang putih tersingkap. Tiga gadis itu tinggal di satu desa tak jauh dari situ. Mereka memang sering datang pagi hari ke telaga untuk mencuci. Selesai mencuci mereka mandi membersihkan diri sambil bersenda gurau.
Karena mengira di tempat itu hanya mereka bertiga saja, para gadis di dalam telaga bergurau sampai-sampai melewati batas. Salah seorang dari mereka dengan jahil menarik lepas kemben kawannya hingga tubuh gadis ini tersingkap polos sampai ke pusar. Dua kawannya tertawa bergelak sementara si gadis yang dijahili kelabakan menggapai kain panjangnya. Melihat hal ini Pangeran Matahari tidak tahan lagi. Sekali melompat saja dia sudah berada di tepi telaga, tegak di atas sebuah batu besar.
“Sahabatku, tiga gadis cantik! Apa aku boleh ikut mandi dan bersenda gurau dengan kalian?”
Tiga gadis di dalam telaga tentu saja tersentak kaget. Yang tadi lepas kain panjangnya terpekik keras, untung dia sudah berhasil menangkap ujung kainnya dan cepat-cepat menutupi auratnya yang tersingkap. Tiga gadis itu serentak saling mendekat, memandang ke arah orang di atas batu penuh rasa kejut dan juga takut.
“Rumini,” bisik gadis di ujung kanan. “Kau kenal siapa orang di atas batu itu?”
Rumini, gadis di atas batu gelengkan kepala. Kawan di sebelahnya berkata. “Baru sekali ini aku melihatnya. Agaknya dia tidak tinggal di sekitar desa kita…”
“Kalian tidak menjawab! Berarti aku boleh ikut mandi bersama! Ha… ha… ha…!”
Tanpa menunggu lebih lama Pangeran Matahari langsung ceburkan diri masuk ke dalam telaga.
Tiga gadis menjerit, cepar-cepat jauhkan diri. Salah seorang dari mereka yang bernama Sumirah berteriak.
“Pemuda lancang! Siapa kau! Lekas pergi dari sini!”
“Betul! Kalau kami beritahu pada Kepala Desa. Kau pasti akan dihajar habis-habisan!” ikut berteriak gadis ketiga bernama Ramilah.
Pengeran Matahari mendongak lalu tertawa.
“Aku biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Matahari! Kalian bertiga harus merasa beruntung karena aku yang Pangeran sudi mandi di telaga bersama kalian!”
“Pangeran? Kau seorang Pangeran! Huh!” mendengus Rumini.
“Pangeran tak tahu diuntung!’ menyemprot Sumirah. “Berkaca dulu ke air telaga! Lihat tampangmu! Pakaianmu compang-camping dan bau!”
“Berani mengaku Pangeran!” menyambungi Ramilah, “Pangeran mana ada yang buruk sepertimu! Muka pencong, hidung bengkok, mata mendem! Hik… hik… hik! Otakmu pasti miring mengaku seorang Pangeran!”
Di dalam air, Pangeran Matahari melengak kaget. Tampangnya mengelam. Seumur hidup baru kali ini dia menerima hinaan seperti itu. Dia mengusap wajahnya. Rahangnya menggembung.
“Gadis kurang ajar! Kau berani menghina diriku! Kau korbanku yang pertama!” teriak Pangeran Matahari. Sekali bergerak dia sudah berada di hadapan Ramilah, langsung merangkul gadis ini penuh amarah tapi juga penuh nafsu.
“Pemuda kurang ajar! Lepaskan! Lepaskan!” teriak Ramilah. Dua kakinya melejanglejang dan tangannya dipukulkan ke punggung sang Pangeran ketika Pangeran Matahari memanggul tubuhnya. Dua temannya coba menolong. Sambil menyeringai Pangeran Matahari berkata. “Kalian tunggu di sini. Pada saatnya satu-satu kalian akan mendapat giliran!”
Tangan kiri Pangeran Matahari bergerak cepat dua kali berturut-turut. Saat itu juga Rumini dan Sumirah tertegun kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Yang bisa dilakukan dua gadis ini hanya mengikuti dengan pandangan mata ngeri, apa yang kemudian dilakukan Pangeran Matahari dan apa yag selanjutnya terjadi atas diri kawan mereka.
Sambil tertawa bergelak Pangeran Matahari memanggul tubuh Ramilah ke tepi telaga. Di satu tempat yang rata gadis itu dilemparkannya ke tanah. Sambil menahan sakit Ramilah berusaha bangkit melarikan diri tapi sosok sang Pangeran lebih cepat datang menindihnya. Di dalam telaga Sumirah dan Rumini pejamkan mata tak kuasa menyaksikan kekejian yang dilakukan Pangeran Matahari terhadap kawan mereka. Lebih gneri lagi membayangkan bahwa kekejian itu pasti segera pula akan terjadi atas diri mereka.
Puas melampiaskan nafsu bejatnya atas diri Ramilah, Pangeran Matahari masuk kembali ke dalam telaga. Dia mendekati Rumini. Melepaskan totokan yang membuat kaku serta gagu si gadis. Begitu totokan terlepas Rumini langsung menjerit dan meronta-ronta coba lepaskan diri.
“Jangan! Jangan kau lakukan itu padaku! Lepaskan! Bunuh! Lebih baik aku kau bunuh saja!”
Pangeran Matahari cuma menyeringai. Sambil tepuk-tepuk tubuh gadis di atas panggulannya dia berkata. “Kau ingin mati? Kau ingin aku bunuh? Jangan kawatir! Pangeran Matahari akan memenuhi permintaanmu. Aku akan membunuhmu dalam cara yang paling nikmat! Ha… ha… ha… ha!”
Di tepi telaga, tak jauh dari sosok Ramilah yang tergeletak pingsan, Pangeran Matahari lemparkan tubuh Rumini ke tanah hingga terjengkang terlentang. Belum sempat gadis ini berusaha melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri, Pangeran bejat itu telah menindih tubuhnya. Rumini menjerit panjang. Menjerit dan menjerit. Satu saat jeritannya terhenti. Lalu terdengar satu pekik keras. Setelah itu terdengar suara tangis si gadis menyayat hati.
“Gadis tolol! Kau harus berterima kasih aku tidak membunuhmu!” kata Pangeran Matahari. Sambil menyeringai dia putar tubuhnya, memandang ke arah telaga. Korban ke tiga segera menyusul.
Sumirah menatap dengan mendelik dan wajah pucat pasi ketika Pangeran Matahari melangkah di dalam telaga mendekatinya. Dia ingin menjerit tapi mulutnya terkancing kaku. Begitu Pangeran Matahari melepas totokan di tubuhnya gadis ini langsung meratap.
“Tidak… jangan… jangan lakukan…”
“Kau paling cantik di antara kawan-kawanmu. Aku berjanji tidak akan menyakitimu…”
“Demi Tuhan jangan…. Aku… aku anak Surobendana. Ayahku orang berada. Kalau kau mau melepaskan diriku, aku berjanji akan memintakan apa saja untukmu. Tanah, sawah, ladang, sapi…”
Pangeran Matahari tertawa dan usap kepala Sumirah. “Karena kau gadis baik dan ayahmu orang berada, aku Pangeran Matahari akan memperlakukanmu dengan baik pula!” Lalu sebelum mencapai pinggiran telaga, pemuda terkutuk itu turunkan tubuh Sumirah di atas batu rata. Di tempat ini secara keji dia mengulangi apa yang telah dilakukannya terhadap dua gadis sebelumnya yakni Rumini dan Ramilah.
Tanpa diketahui Pangeran Matahari, seseorang yang sejak tadi mendekam di atas cabang satu pohon besar berdaun lebat tak jauh dari tepi telaga, menyeringai geleng-gelengkan kepala.
“Luar biasa kejam dan kejinya! Apa manusia itu benar seorang pangeran? Pangeran Matahari… Aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu. Tapi kalau tidak keliru dia dikabarkan telah menemui ajal dua tahun silam di Pangandaran. Apa mungkin rohnya bisa gentayangan atau orang lain yang mengaku-aku sebagai Pangeran Matahari? Jika dia memang manusia hidup benaran kurasa aku perlu bersahabat dengannya. Mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk keuntungan diriku. Hemmm…”
Orang di atas pohon memandang lagi ke arah batu di tengah telaga. Dia tersentak kaget. Ternyata Pangeran Matahari tak ada lagi di tempat itu.
“Luar biasa cepat gerakannya. Aku harus mengikuti kemana perginya!”
Orang di atas pohon tidak segera melompat turun ke bawah tetapi dia melesat ke beberapa pohon lain di sekitar situ, baru turun ke tanah untuk mengejar Pangeran Matahari.
BAB 4
Hari masih sangat pagi. Kegelapan masih membungkus di mana-mana. Abdi Dalem Keraton bernama Samadikun tergopoh-gopoh menuju bagian belakang Keraton. Pada setiap orang yang dipapasinya dia bertanya.
“Dimana Sagito? Cari lekas pemuda itu!”
Salah seorang yang ditanyai balik bertanya. “Ki Samadikun, ada apa, pagi-pagi begini sudah kalang kabut?”
“Perkara besar! Celaka kita semua! Mana Sagito? Bantu aku mecari pemuda itu! Lekas!”
Sagito adalah salah seorang juru timba sumur yang terletak di bagian belakang Keraton.
Suasana ribut-ribut itu membuat berdatangan beberapa pengawal yang tengah bertugas. Mereka juga ikit bertanya-tanya pada Samadikun.
“Air di tempat Sri Baginda bersiram…” jawab Samadikun. Terputus sesaat baru dia menyambung. “Air di tempat Sri Baginda bersiram bau pesing!”
“Bau pesing?” banyak mulut berucap berbarengan.
“Bau kencing! Sri Baginda marah besar karena sudah sempat menyiram tubuhnya pagi ini dengan air itu! Celaka kita semua!”
Para pengawal segera menebar. Tak lama kemudian pemuda bernama Sagito, hanya mengenakan celana hitam komprang, sambil mengucak-ngucak mata digiring ke hadapan sang Abdi Dalem.
“Sagito!” Samadikun menegur dengan bentakan.
“Dalem…” jawab Sagito sambil rapatkan dua tangan ke bawah dan membungkuk.
“Air mandi Sri Baginda. Kau yang selalu menimba dan menyalurkan ke tempat bersiram Sri Baginda lewat talang besar. Dari sumur mana kau timba air itu?”
Sagito merasa heran atas pertanyaan tidak terduga itu. Dia sesaat jadi ternganga, tak segera menjawab dan kembali mengucak mata.
“Sagito! Jangan membuat aku tidak sabar dan menampar mulutmu! Lekas jawab! Dari sumur mana kau timba air untuk Sri Baginda bersiram?”
“Tentu saja dari sumur biasa, Ki Samadikun! Sumur besar yang di sebelah sana…” Lalu dengan jari jempol tangan kanannya sambil membungkuk Sagito menunjuk ke arah sumur besar di bagian belakang Keraton.
“Apa kau tidak tahu kalau air sumur itu bau pesing bau kencing?!” bentak Samadikun.
Terkejut Sagito. Muka tololnya berubah. Kembali dia tercengang melongo. “Sa… saya tidak memperhatikan. Tapi mustahil air sumur itu bau pesing. Selama ini saya selalu menimba, mengambil air bersiram Sri Baginda dari sumur itu…”
“Jangan bicara selama ini! Kau satu-satunya orang kepercayaan untuk mengurus air bersiram Raja. Jika terjadi apa-apa kau harus bertanggung jawab!”
Makin kecut Sagito mendengar kata-kata Abdi Dalem itu. Saking takutnya mukanya tambah pucat dan tak mampu berkata apa-apa karena memang tidak masuk akalnya bagaimana air mandi sang Raja bisa bau pesing.
“Ki Sama…” Sagito akhirnya membuka mulut. “Mungkin sumber bau itu bukan dari air sumur. Mungkin datang dari sumber lain…”
“Kau bisa berkata begitu untuk membela diri. Mari kita sama-sama meyelidik ke sumur!” Abdi Dalem Samadikun memegang tangan si pemuda di bawah bahu sebelah kanan lalu setengah menyeret membawa Sagito ke arah sumur. Beberapa Abdi Dalem dan para pengawal mengikuti. Saat itu hari masih gelap. Walau sumur besar itu tidak seberapa dalam karena sumber airnya memang bagus dan dangkal, namun kegelapan menutupi pemandangan hingga orang tidak dapat melihat dengan jelas bagian dalam sumur.
Sesaat setelah semua orang berdiri di seputar pinggiran sumur, mereka saling pandang satu sama lain. Dari dalam sumur memang tercium bau yang tidak enak. Bau pesing alias bau kencing. Abdi Dalem Samadikun pencongkan hidungnya, kerenyitkan kening.
“Aku mencium bau sesuatu! Untuk memastikan aku minta semua mengendus. Lalu katakan bau apa yang kalian cium!”
Lucu juga. Semua orang yang ada di seputar pinggiran sumur sama-sama mengangkat hidung masing-masing, ada yang sambil termonyong-monyong lalu mengendus.
“Bau apa yang kalian cium?” tanya Samadikun.
“Memang ada bau pesing di dalam sumur ini, Ki!” kata seorang pengawal. Beberapa lainnya mengangguk.
“Sagito?” Sang Abdi Dalem menegur sambil memandang pada pemuda tukang timba.
“Mung… mungkin bau kencing Ki…”
“Mungkin bagaimana?! Semua orang mencium ada bau kencing di dalam sumur ini! Kau masih bisa mengatakan mungkin! Waktu kau menimba air untuk bersiram Sri Baginda dini hari tadi, apa kau tidak mencium bau itu?”
“Maafkan saya Ki. Saya tidak tahu karena saya sedang kejangkitan selesma. Hidung saya mampet ketutupan ingus. Saya tidak bisa membaui apa-apa…”
“Sialan kau!” Samadikun jadi memaki. “Kau dan para pengawal di sini lekas selidiki kenapa sumur ini berbau pesing. Mungkin ada yang sengaja mengencingi. Mungkin ada yang sengaja mengumpulkan air kencing lalu membuangnya ke sumur ini…”
“Ki Samadikun,” salah seorang pengawal menyahuti. “Kalau ada yang sengaja, rasarasanya aku tidak percaya. Siapa orangnya yang berani mati mengencingi sumur sumber air Raja?”
“Kau bisa bicara begitu! Buktinya sumur ini memang bau kencing!”
“Baiknya kita tunggu sampai pagi. Kalau hari sudah terang baru kita memeriksa…” seorang perajurit mengusulkan.
“Terlambat! Saat itu mungkin Sri Baginda tidak bisa menahan amarah lagi. Kita semua bisa celaka. Aku…”
Ucapan Abdi Dalem Samadikun terputus. Dari dalam sumur terdengar suara kecimpung air lalu suara seperti orang mengeluh.
“Kalian mendengar sesuatu?” tanya Samadikun sambil memandang berkeliling lalu memperhatikan ke dalam sumur. Tapi gelap. Dia tidak dapat melihat apa-apa.
“Seperti suara orang…” ujar Sagito yang tertutup hidungnya, tapi tajam telinganya. Lalu pemuda ini berteriak. “Hai! Siapa di dalam sumur?!”
“A… aku…”
Ada suara jawaban. Membuat semua orang yang ada di pinggiran sumur menjadi terkejut. Ada yang kecut hatinya dan bergeak mundur, termasuk sang Abdi Dalem Samadikun.
“Aku siapa?!” Sagito berteriak kembali.
“Tol…”
“Apa?! Namamu Tol?!” lagi-lagi Sagito yang berteriak.
“Bu…”
“Oo, namau Bu? Siapa kau?!”
“Bukan, aku tol… tolong. Aku di dalam sini. Sejak malam tadi. Kakiku tak sanggup lagi menopang. Tol… tolong…”
“Jangan-jangan hantu…” bisik Ki Samadikun.
“Hai! Kau hantu atau setan atau apa?!”
“Aku man… manusia seperti kalian. Aku kecebur dalam sumur ini malam tadi…”
“Gila kurang ajar! Bagaimana kau bisa kecebur ke dalam sumur! Berarti kau masuk kawasan Keraton tanpa izin… “ mendamprat Samadikun.
“Nanti saja aku terangkan. Tolong dulu. Aku tak sanggup lagi bertahan. Aku bisa tenggelam dalam sumur ini. Tolong… lemparkan tali, galah atau apa saja. Tarik aku ke atas. Lekas, tenagaku sudah hampir habis…”
Semua orang jadi saling pandang, sama-sama heran. Sama-sama tidak percaya.
“Tol… tolong…”
Kembali terdengar suara minta tolong dari dalam sumur.
“Cari tambang! Kita akan lihat makhluk dalam sumur itu manusia atau setan!” seorang pengawal berkata.
Sagito memandang berkeliling. Mencari timba besar yang biasa dipakainya untuk mengambil air. Dia melihat timba itu di sudut kiri lengkap dengan tali besarnya. Dengan cepat dia ambil gulungan-gulungan tali lalu ujungnya dilemparkan ke dalam sumur.
“Makhluk di dalam sumur!” teriak seorang pengawal. “Tali sudah dilemparkan. Kalau kau memang manusia pegang ujung tali erat-erat. Kami akan segera menarikmu ke atas!”
Tak ada jawaban.
“Apa kataku! Pasti setan! Dia tidak menyahut! Mungkin sudah gaib!” kata Samadikun.
Tiba-tiba dari dalam sumur ada suara. “Ujung tali sudah kupegang. Lekas tarik…”
Enam orang di pinggir sumur segera menarik tali besar.
“Gila! Makhluk apa ini? Beratnya tidak kira-kira!” kata Samadikun setengah berbisik.
Perlahan-lahan makhluk di dalam sumur tertarik ke atas. Dalam gelap, dari mulut sumur muncul dua tangan kurus kering dilibat tali timba. Lalu kelihatan satu kepala berambut putih kuyup. Kepala itu sampai di atas bibir sumur. Tampak satu wajah seorang tua berkuping lebar. Daun telinga sebelah kanan kelihatan aneh karena terbalik menghadap ke belakang. Dua matanya terpejam. Bau pesing yang hebat memenuhi tempat itu.
Sambil menahan nafas orang-orang di pinggiran sumur mencekal bagian atas lengan orang tua aneh itu lalu mereka tarik dan baringkan menelentang di lantai batu di samping sumur. Orang tua ini mengenakan pakaian compang-camping. Perutnya yang tersingkap kelihatan buncit gembung. Mungkin terlalu banyak minum air sumur. Bau pesing yang santar ternyata menghampar dari tubuhnya.
“Tak bisa kupercaya!” kata Samadikun. Kaki kanannya diletakkan ke perut yang gembung. “Penyusup berani mati! Siapa kau?!”
Dua mata yang terpejam dari orang yang barusan ditarik keluar dari dalam sumur terbuka. Walau cuma sebentar tapi semua orang masih sempat melihat mata itu ternyata jereng. Mulut orang ini terbuka sedikit.
“Aku… aku Setan Nogmpol…”
Menyangka orang mempermainkannya Abdi Dalem Samadikun jadi marah. “Tua bangka kurang ajar bau pesing! Kau berani menyusup ke dalam Keraton. Sudah kami tolong masih bisa bicara mempermainkan!” Saking marahnya Abdi Dalem ini lalu tekan kuat-kuat kaki kanannya yang menginjak perut orang.
“Bruttt!”
“Croottt!”
“Croottt!”
Akibat injakan yang keras itu dari sebelah bawah belakang orang tua itu menghambur angin keras alias kentut yang baunya tidak kepalang tanggung. Lalu dari mulutnya sebelah atas menyembur air sumur yang mengendap dalam perutnya. Dan ini yang paling celaka. Dari bagian bawah perutnya menyemprot air kencing bau. Begitu derasnya hingga muncrat mengenai Abdi Dalem Samadikun, Sagito dan beberapa orang pengawal.
“Tua bangka kurang ajar! Rasakan ini!” Samadikun tendang pantat orang. Dua pengawal ikut menendang hingga orang tua yang tergeletak di pinggir sumur mental terguling-guling.
“Dimana Sagito? Cari lekas pemuda itu!”
Salah seorang yang ditanyai balik bertanya. “Ki Samadikun, ada apa, pagi-pagi begini sudah kalang kabut?”
“Perkara besar! Celaka kita semua! Mana Sagito? Bantu aku mecari pemuda itu! Lekas!”
Sagito adalah salah seorang juru timba sumur yang terletak di bagian belakang Keraton.
Suasana ribut-ribut itu membuat berdatangan beberapa pengawal yang tengah bertugas. Mereka juga ikit bertanya-tanya pada Samadikun.
“Air di tempat Sri Baginda bersiram…” jawab Samadikun. Terputus sesaat baru dia menyambung. “Air di tempat Sri Baginda bersiram bau pesing!”
“Bau pesing?” banyak mulut berucap berbarengan.
“Bau kencing! Sri Baginda marah besar karena sudah sempat menyiram tubuhnya pagi ini dengan air itu! Celaka kita semua!”
Para pengawal segera menebar. Tak lama kemudian pemuda bernama Sagito, hanya mengenakan celana hitam komprang, sambil mengucak-ngucak mata digiring ke hadapan sang Abdi Dalem.
“Sagito!” Samadikun menegur dengan bentakan.
“Dalem…” jawab Sagito sambil rapatkan dua tangan ke bawah dan membungkuk.
“Air mandi Sri Baginda. Kau yang selalu menimba dan menyalurkan ke tempat bersiram Sri Baginda lewat talang besar. Dari sumur mana kau timba air itu?”
Sagito merasa heran atas pertanyaan tidak terduga itu. Dia sesaat jadi ternganga, tak segera menjawab dan kembali mengucak mata.
“Sagito! Jangan membuat aku tidak sabar dan menampar mulutmu! Lekas jawab! Dari sumur mana kau timba air untuk Sri Baginda bersiram?”
“Tentu saja dari sumur biasa, Ki Samadikun! Sumur besar yang di sebelah sana…” Lalu dengan jari jempol tangan kanannya sambil membungkuk Sagito menunjuk ke arah sumur besar di bagian belakang Keraton.
“Apa kau tidak tahu kalau air sumur itu bau pesing bau kencing?!” bentak Samadikun.
Terkejut Sagito. Muka tololnya berubah. Kembali dia tercengang melongo. “Sa… saya tidak memperhatikan. Tapi mustahil air sumur itu bau pesing. Selama ini saya selalu menimba, mengambil air bersiram Sri Baginda dari sumur itu…”
“Jangan bicara selama ini! Kau satu-satunya orang kepercayaan untuk mengurus air bersiram Raja. Jika terjadi apa-apa kau harus bertanggung jawab!”
Makin kecut Sagito mendengar kata-kata Abdi Dalem itu. Saking takutnya mukanya tambah pucat dan tak mampu berkata apa-apa karena memang tidak masuk akalnya bagaimana air mandi sang Raja bisa bau pesing.
“Ki Sama…” Sagito akhirnya membuka mulut. “Mungkin sumber bau itu bukan dari air sumur. Mungkin datang dari sumber lain…”
“Kau bisa berkata begitu untuk membela diri. Mari kita sama-sama meyelidik ke sumur!” Abdi Dalem Samadikun memegang tangan si pemuda di bawah bahu sebelah kanan lalu setengah menyeret membawa Sagito ke arah sumur. Beberapa Abdi Dalem dan para pengawal mengikuti. Saat itu hari masih gelap. Walau sumur besar itu tidak seberapa dalam karena sumber airnya memang bagus dan dangkal, namun kegelapan menutupi pemandangan hingga orang tidak dapat melihat dengan jelas bagian dalam sumur.
Sesaat setelah semua orang berdiri di seputar pinggiran sumur, mereka saling pandang satu sama lain. Dari dalam sumur memang tercium bau yang tidak enak. Bau pesing alias bau kencing. Abdi Dalem Samadikun pencongkan hidungnya, kerenyitkan kening.
“Aku mencium bau sesuatu! Untuk memastikan aku minta semua mengendus. Lalu katakan bau apa yang kalian cium!”
Lucu juga. Semua orang yang ada di seputar pinggiran sumur sama-sama mengangkat hidung masing-masing, ada yang sambil termonyong-monyong lalu mengendus.
“Bau apa yang kalian cium?” tanya Samadikun.
“Memang ada bau pesing di dalam sumur ini, Ki!” kata seorang pengawal. Beberapa lainnya mengangguk.
“Sagito?” Sang Abdi Dalem menegur sambil memandang pada pemuda tukang timba.
“Mung… mungkin bau kencing Ki…”
“Mungkin bagaimana?! Semua orang mencium ada bau kencing di dalam sumur ini! Kau masih bisa mengatakan mungkin! Waktu kau menimba air untuk bersiram Sri Baginda dini hari tadi, apa kau tidak mencium bau itu?”
“Maafkan saya Ki. Saya tidak tahu karena saya sedang kejangkitan selesma. Hidung saya mampet ketutupan ingus. Saya tidak bisa membaui apa-apa…”
“Sialan kau!” Samadikun jadi memaki. “Kau dan para pengawal di sini lekas selidiki kenapa sumur ini berbau pesing. Mungkin ada yang sengaja mengencingi. Mungkin ada yang sengaja mengumpulkan air kencing lalu membuangnya ke sumur ini…”
“Ki Samadikun,” salah seorang pengawal menyahuti. “Kalau ada yang sengaja, rasarasanya aku tidak percaya. Siapa orangnya yang berani mati mengencingi sumur sumber air Raja?”
“Kau bisa bicara begitu! Buktinya sumur ini memang bau kencing!”
“Baiknya kita tunggu sampai pagi. Kalau hari sudah terang baru kita memeriksa…” seorang perajurit mengusulkan.
“Terlambat! Saat itu mungkin Sri Baginda tidak bisa menahan amarah lagi. Kita semua bisa celaka. Aku…”
Ucapan Abdi Dalem Samadikun terputus. Dari dalam sumur terdengar suara kecimpung air lalu suara seperti orang mengeluh.
“Kalian mendengar sesuatu?” tanya Samadikun sambil memandang berkeliling lalu memperhatikan ke dalam sumur. Tapi gelap. Dia tidak dapat melihat apa-apa.
“Seperti suara orang…” ujar Sagito yang tertutup hidungnya, tapi tajam telinganya. Lalu pemuda ini berteriak. “Hai! Siapa di dalam sumur?!”
“A… aku…”
Ada suara jawaban. Membuat semua orang yang ada di pinggiran sumur menjadi terkejut. Ada yang kecut hatinya dan bergeak mundur, termasuk sang Abdi Dalem Samadikun.
“Aku siapa?!” Sagito berteriak kembali.
“Tol…”
“Apa?! Namamu Tol?!” lagi-lagi Sagito yang berteriak.
“Bu…”
“Oo, namau Bu? Siapa kau?!”
“Bukan, aku tol… tolong. Aku di dalam sini. Sejak malam tadi. Kakiku tak sanggup lagi menopang. Tol… tolong…”
“Jangan-jangan hantu…” bisik Ki Samadikun.
“Hai! Kau hantu atau setan atau apa?!”
“Aku man… manusia seperti kalian. Aku kecebur dalam sumur ini malam tadi…”
“Gila kurang ajar! Bagaimana kau bisa kecebur ke dalam sumur! Berarti kau masuk kawasan Keraton tanpa izin… “ mendamprat Samadikun.
“Nanti saja aku terangkan. Tolong dulu. Aku tak sanggup lagi bertahan. Aku bisa tenggelam dalam sumur ini. Tolong… lemparkan tali, galah atau apa saja. Tarik aku ke atas. Lekas, tenagaku sudah hampir habis…”
Semua orang jadi saling pandang, sama-sama heran. Sama-sama tidak percaya.
“Tol… tolong…”
Kembali terdengar suara minta tolong dari dalam sumur.
“Cari tambang! Kita akan lihat makhluk dalam sumur itu manusia atau setan!” seorang pengawal berkata.
Sagito memandang berkeliling. Mencari timba besar yang biasa dipakainya untuk mengambil air. Dia melihat timba itu di sudut kiri lengkap dengan tali besarnya. Dengan cepat dia ambil gulungan-gulungan tali lalu ujungnya dilemparkan ke dalam sumur.
“Makhluk di dalam sumur!” teriak seorang pengawal. “Tali sudah dilemparkan. Kalau kau memang manusia pegang ujung tali erat-erat. Kami akan segera menarikmu ke atas!”
Tak ada jawaban.
“Apa kataku! Pasti setan! Dia tidak menyahut! Mungkin sudah gaib!” kata Samadikun.
Tiba-tiba dari dalam sumur ada suara. “Ujung tali sudah kupegang. Lekas tarik…”
Enam orang di pinggir sumur segera menarik tali besar.
“Gila! Makhluk apa ini? Beratnya tidak kira-kira!” kata Samadikun setengah berbisik.
Perlahan-lahan makhluk di dalam sumur tertarik ke atas. Dalam gelap, dari mulut sumur muncul dua tangan kurus kering dilibat tali timba. Lalu kelihatan satu kepala berambut putih kuyup. Kepala itu sampai di atas bibir sumur. Tampak satu wajah seorang tua berkuping lebar. Daun telinga sebelah kanan kelihatan aneh karena terbalik menghadap ke belakang. Dua matanya terpejam. Bau pesing yang hebat memenuhi tempat itu.
Sambil menahan nafas orang-orang di pinggiran sumur mencekal bagian atas lengan orang tua aneh itu lalu mereka tarik dan baringkan menelentang di lantai batu di samping sumur. Orang tua ini mengenakan pakaian compang-camping. Perutnya yang tersingkap kelihatan buncit gembung. Mungkin terlalu banyak minum air sumur. Bau pesing yang santar ternyata menghampar dari tubuhnya.
“Tak bisa kupercaya!” kata Samadikun. Kaki kanannya diletakkan ke perut yang gembung. “Penyusup berani mati! Siapa kau?!”
Dua mata yang terpejam dari orang yang barusan ditarik keluar dari dalam sumur terbuka. Walau cuma sebentar tapi semua orang masih sempat melihat mata itu ternyata jereng. Mulut orang ini terbuka sedikit.
“Aku… aku Setan Nogmpol…”
Menyangka orang mempermainkannya Abdi Dalem Samadikun jadi marah. “Tua bangka kurang ajar bau pesing! Kau berani menyusup ke dalam Keraton. Sudah kami tolong masih bisa bicara mempermainkan!” Saking marahnya Abdi Dalem ini lalu tekan kuat-kuat kaki kanannya yang menginjak perut orang.
“Bruttt!”
“Croottt!”
“Croottt!”
Akibat injakan yang keras itu dari sebelah bawah belakang orang tua itu menghambur angin keras alias kentut yang baunya tidak kepalang tanggung. Lalu dari mulutnya sebelah atas menyembur air sumur yang mengendap dalam perutnya. Dan ini yang paling celaka. Dari bagian bawah perutnya menyemprot air kencing bau. Begitu derasnya hingga muncrat mengenai Abdi Dalem Samadikun, Sagito dan beberapa orang pengawal.
“Tua bangka kurang ajar! Rasakan ini!” Samadikun tendang pantat orang. Dua pengawal ikut menendang hingga orang tua yang tergeletak di pinggir sumur mental terguling-guling.
BAB 5
Di satu bangunan kayu yang sudah hampir roboh di sebelah timur puncak Gunung
Merapi, Pangeran Matahari duduk di lantai beranda. Tangan kiri menopang kening. Dua matanya terpejam. Di pangkuannya ada satu buntalan berisi pakaian yang barusan diambilnya dari dalam bangunan. Dia pernah tinggal di tempat itu selama belasan tahun. Di situ dia menerima gemblengan dari gurunya yang dalam rimba persilatan Tanah Jawa dikenal dengan nama angker Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Namun kini sang guru hanya tinggal kenangan. Seperti dituturkan dalam Episode berjudul “Kiamat Di Pangandaran” Si Muka Bangkai menemui ajal di tangan Bujang Gila Tapak Sakti.
Pangeran Matahari menghela nafas panjang. Lalu mulutnya berucap perlahan. “Guru, aku bersumpah mencari Bujang Gila Tapak Sakti, menunpahkan darahnya membalas darahmu yang tertimpah, menghabisi nyawanya sebagai imbalan nyawamu yang dicabutnya. Setelah itu aku akan mencari Pendekar 212! Aku akan mencari sekalipun sampai ke lautan neraka! Dia pasti mengira aku sudah lama jadi bangkai di dasar jurang karang Pangandaran. Dia akan melihat kenyataan mengejutkan. Bahwa aku belum mati! Bahwa aku muncul untuk mencabut nyawanya! Aku tidak akan membuat kematian begitu cepat dan enak baginya! Aku Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak akan membuatnya sengsara lebih dulu…”
Pangeran Matahari turunkan tangannya yang menopang kening. Dua matannya yang sejak tadi dipejamkan terbuka, kelihatan merah dan memancarkan sinar menggidikkan. Terbayang wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua tangan Pengeran Matahari langsung mengepal membentuk tinju. Sekujur tubuh bergetar. Keringat memercik di kening.
Dengan tangan kanannya Pangeran Matahari usap wajahnya. Saat itulah seperti terngiang kembali di telinganya ucapan Sumirah, satu dari tiga gadis yang digagahinya di telaga.
“Pangeran tak tahu diuntung! Berkaca dulu ke air telaga! Lihat tampangmu! Pakaianmu compang-camping dan bau!”
Lalu mengiang pula kata-kata menyakitkan yang dilontarkan gadis bernama Ramilah. Yaitu gadis yang diperkosanya pertama kali.
“Berani mengaku Pangeran! Pangeran mana ada yang buruk sepertimu! Muka pencong, hidung bengkok, mata mendem! Hik… hik… hik! Otakmu pasti miring mengaku seorang Pangeran!”
Pangeran Matahari merasakan sekujur tubuhnya mendadak menjadi dingin. Diusapnya mukanya kembali. “Wajahku… mukaku… Apakah… apakah… Ucapan dua gadis itu agaknya bukan cuma sekedar ejekan. Mereka melihat kenyataan. Apa yang terjadi dengan mukaku. Dua tahun di dalam goa karang aku tak pernah menyadari keadaan wajahku… Di lereng sebelah selatan seingatku ada satu telaga kecil. Airnya sangat bening, tidak beriak tidak bergelombang sekalipun angin bertiup. Dulu aku sering ke sana bersunyi diri, bersamadi meningkatkan kemampuan tenaga dalam dan kekuatan hawa sakti yang kudapat dari guru. Aku harus ke sana. Aku harus melihat keadaan wajahku sendiri. Ucapan dua gadis itu bukan cuma sekedar mengejek. Mereka agaknya melihat kenyataan…”
Pangeran Matahari ambil buntalan di pangkuannya. Lalu secepat bisa dilakukan dia berlari menuju lereng selatan Gunung Merapi. Degup jantungnya menggemuruh ketika dia sampai di telaga kecil. Keadaan telaga dan tempat sekitarnya seperti tidak berubah walau sudah ditinggalkannya selama bertahun-tahun. Hanya taburan dedaunan pohon-pohon tampak menebal menutupi tanah.
Pangeran Matahari jatuhkan buntalan ke tanah. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati telaga kecil berair bening seperti kaca. Detak jantungnya berdegup keras pada setiap langkah yang dibuatnya. Satu langkah di tepi telaga dia hentikan gerakan kaki. Perlahan-lahan dia turunkan tubuh ke bawah, berlutut di tanah. Dia bisa melihat kepala dan sebagian tubuhya membayang di air telaga.
Dengan menahan degup jantung yang semakin kencang Pangeran Matahari ulurkan kepalanya, diturunkan demikian rupa hingga hanya berjarak dua jengkal dari atas permukaan air telaga.
Sepasang mata sang Pangeran terpentang lebar. Di sana, di permukaan air telaga, dia bisa melihat wjahnya sendiri. Degup jantungnya seperti meledak di dalam dada. Dari mulutnya keluar raungan panjang mengerikan. Seperti dihantam sesuatu dari bawah, sosok Pangeran Matahari mencelat ke atas. Begitu dua kaki menginjak tanah, seperti orang kemasukan setan pangeran ini mengamuk. Tangan dan kaki menghantam kian kemari. Pohon-pohon patah bertumbangan. Semak belukar rambas terbang berhancuran. Terakhir sekali Pangeran Matahari pukulkan tangannya ke arah telaga. Tiga larik sinar merah, hitam dan kuning menderu menggidikkan.
“Wussss!”
“Byaaarrr!”
Air telaga muncrat ke atas. Tanah, pasir dan bebatuan ikut membumbung ke udara. Asap panas mengepul menutupi pandangan mata. Ketika keadaan terang kembali kelihatanlah satu hal luar biasa. Telaga kecil dengan airnya yang bening bersih seperti kaca kini hanya tinggal satu lobang kering menganga. Pangeran Matahari sendiri saat itu tak ada lagi di tempat itu. Dia lari menuruni gunung seperti dikejar setan. Sepanjang pelarian terbayang kembali wajahnya seperti yang tadi dilihatnya di permukaan air telaga. Hidungnya miring ke kiri. Pipi dan rahang kiri melesak membuat mukanya tampak pencong. Mata kiri terbenam dan di kening kiri ada luka bekas cacat. Dia ingat sekali semua caat itu adalah akibat hantaman Pendekar 212 Wiro Sableng sewaktu terjadi perkelahian di Pangandaran dua tahuan yang silam.
“Jahanam Wiro Sableng!” teriak Pangeran Matahari. “Pembalasanku sejuta lebih kejam dari apa yang telah kau lakukan terhadapku! Kau tak akan bakal lolos dari tanganku! Kalaupun kau sudah mampus di tanganku, rohmu akan kubuat tidak tenteram di alam baka!” Habis berteriak seperti itu sang pangeran hantamkan tangan kanan melepas pukulan sakti bernama Telapak Matahari.
“Wusss!”
Lereng gunung di sebelah sana bergoncang hebat. Hawa panas yang keluar dari pukulan itu menimbulkan nyala api besar. Kebakaran serta merta melanda lereng Gunung Merapi!
Di satu tempat, menjelang mencapai kaki gunung sebelah selatan Pangeran Matahari hentikan lari. Dia tegak bersandar di satu batang pohon besar, memandang ke arah lereng gunung di atasnya, memperhatikan kebakaran yang melanda lereng akibat pukulan Telapak Matahari yang tadi dihantamkannya dalam amarah yang tidak terkendali. Sang Pangeran menghela nafas dalam. Untuk pertama kali dia merasakan tubuhnya letih sekali. Dia campakkan buntalan ke tanah lalu perlahan-lahan jatuhkan diri, duduk di tanah pejamkan mata. Beberapa kali dia usap mukanya dan berulang kali dia mengeluh dalam hati.
“Wajahku… Wajahku…”
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Pangeran Matahari merasa ada sambaran angin di udara di depannya. Dia buka mata lebar-lebar, alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Berlaku waspada. Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan
“Sial…!” Pangeran Matahari memaki sendiri. “Jalan pikiranku sedang mengalami gangguan berat. Aku harus melakukan sesuatu. Jahanam Wiro Sableng!” Pangeran Matahari kepalkan tinju. Dia menjangkau buntalannya dan bergerak bangkit. Tapi mendadak gerakannya tertahan. Di udara sunyi terdengar satu suara.
“Pangeran Matahari, manusia gagah berjuluk Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak! Apa yang meembuatmu dibungkus seribu gundah seribu bingung?!”
Pangeran Matahari dalam kejutnya cepat berdiri. Memandang berkeliling. “Ada suara orang! Suara Laki-laki! Tapi orangnya sendiri tidak kelihatan!” Sang Pangeran memperhatikan pohon besar di atasnya. Tidak kelihatan siapa-siapa. “Aneh, suara itu begitu dekat. Tapi orangnya tidak tampak. Mungkin dedemit belantara Gunung Merapi?”
Pangeran Matahari kembali memperhatikan setiap sudut belantara sekelilingnya. Tetap saja dia tidak melihat siapa-siapa. Maka diapun berseru. “Makhluk yang barusan bicara! Siapa kau?! Mengapa bicara tidak unjukkan diri?!”
“Aku tidak mungkin unjukkan diri Pangeran. Ketahuilah, apa yang aku ucapkan jauh lebih penting dari ujudku…”
“Kalau begitu katakan siapa kau adanya?! Hantu, setan, dedemit?!”
Terdengar suara tertawa parau. “Aku makhluk dari alam akhirat. Makhluk dari alam baka. Aku tidak akan mengatakan siapa diriku. Tapi kau bisa mengira-ngira…”
“Kurang ajar!” maki Pangeran Matahari karena merasa dipermainkan. Otaknya diputar. Namun dia tidak bisa menduga.
“Aku datang untuk menolongmu Pangeran…” kembali terdengar suara tanpa ujud.
“Menolongku?” ujar Pangeran Matahari. “Siapa kau adanya?”
“Sudah kukatakan aku tidak bisa memberitahu. Tapi dulu, di puncak Merapi ini kita pernah dekat. Sedekat daging dengan tulang yang ada di tubuhmu!”
“Kau… Jangan-jangan kau…” Tiba-tiba Pangeran Matahari jatuhkan diri, berlutut di tanah. “Guru, apakah yang datang ini kau, roh mendiang guru yang aku kenal dengan julukan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat alias Setan Muka Pucat?”
Di udara mengema suara tertawa parau. “Sudah kukatakan aku tidak akan menerangkan siapa diriku. Tapi kau boleh menyebutku seperti apa yang kau barusan duga…”
“Guru!” Merasa yang bicara tanpa ujud itu adalah mendiang arwah gurunya Si Muka Bangkai, Pangeran Matahari tundukkan kepala sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.
“Pangeran Matahari, aku akan memberikan dua buah barang padamu. Pergunakan barang itu sesuai kebutuhanmu. Setelah kau menerima pemberianku, berjalanlah dua puluh tombak ke arah kanan. Kau akan menemukan seekor kuda tertambat di bawah satu pohon Waru. Dengan menunggang kuda itu pergilah ke satu lembah, letaknya dekat sekali di timur kaki Gunung Merapi. Di dasar lembah kau akan menemukan serumpunan semak belukar. Di sela-sela semak belukar itu tumbuh pohon sirih hutan. Jika semak belukar kau sibakkan, kau akan melihat sebuah goa. Masuklah ke dalam goa. Di situ kau akan menemukan sorga. Sorga itu bernama Kinasih. Untuk mendapatkan sorga itu kau harus mengaku bernama Bagus Srubud.”
“Sorga…? Sorga bernama Kinasih? Apa maksudmu Guru?”
“Jawaban akan kau temui sendiri di dalam goa itu!” jawab suara tadi. Lalu bersamaan dengan itu melayang dua buah bungkusan dan jatuh tepat di depan kaki Pangeran Matahari. Satu besar, satunya lagi bungkusan kecil. Sang Pangeran tidak bergerak. Tidak segera menyentuh bungkusan itu. Bukan mustahil semua itu hanya jebakan belaka. Dia memandang berkeliling. “Rasanya dia telah lenyap dari tempat ini,” membatin sang Pangeran. Lalu perlahan-lahan dia membungkuk mengambil bungkusan besar. Ketika dibukanya dia terkejut karena di dalam bungkusan itu dia menemukan sehelai pakaian. “Ini bukan pakaian sembarangan. Hanya orang-orang Keraton yang mengenakan pakaian seperti ini. Apa gerangan maksud guru memberikan pakaian bagus ini padaku?” Pangeran Matahari perhatikan pakaiannya sendiri yang lusuh kotor dan compang-camping. Sebelumnya waktu berada di pondok kediaman mendiang gurunya Pangeran Matahari telah mengambil beberapa potong pakaian, namun dia memang belum sempat bersalin. Masih diselimuti perasaan heran Pangeran Matahari mengambil bungkusan kedua yang lebih kecil. Begitu bungkusan dibuka, sesaat sepasang mata sang Pangeran terpentang lebar melihat benda apa yang ditemuinya di dalam bungkusan itu. Kening mengerenyit. Wajah diusap berulang kali. Lalu satu seringai muncul di mulutnya yang pencong.
“Guru! Aku Pangeran Matahari sangat berterima kasih atas semua pemberianmu ini! Aku akan turuti perintahmu. Aku akan segera pergi ke goa di lembah itu!” Habis berkata begitu Pangeran Matahari buka pakaiannya yang lusuh. Tak berapa lama setelah Pangeran Matahari meninggalkan tempat itu, di atas sebuah pohon besar berdaun lebat, seseorang yang sejak tadi mendekam di salah satu cabang pohon tersenyum. Dalam hati dia berkata. “Terbukti ilmu Memecah Udara Memindah Suara yang kumiliki memang ampuh luar biasa. Pendekar kawakan itu tidak mampu mengetahui sumber suara, apa lagi mencari dimana aku sembunyi! Pangeran Matahari, hari ini aku sudah menanam budi padamu. Kelak di kemudian hari aku akan menagih balasan padamu!”
Seperti hembusan angin, dengan satu gerakan cepat orang di atas cabang pohon berkelebat lenyap.
Merapi, Pangeran Matahari duduk di lantai beranda. Tangan kiri menopang kening. Dua matanya terpejam. Di pangkuannya ada satu buntalan berisi pakaian yang barusan diambilnya dari dalam bangunan. Dia pernah tinggal di tempat itu selama belasan tahun. Di situ dia menerima gemblengan dari gurunya yang dalam rimba persilatan Tanah Jawa dikenal dengan nama angker Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Namun kini sang guru hanya tinggal kenangan. Seperti dituturkan dalam Episode berjudul “Kiamat Di Pangandaran” Si Muka Bangkai menemui ajal di tangan Bujang Gila Tapak Sakti.
Pangeran Matahari menghela nafas panjang. Lalu mulutnya berucap perlahan. “Guru, aku bersumpah mencari Bujang Gila Tapak Sakti, menunpahkan darahnya membalas darahmu yang tertimpah, menghabisi nyawanya sebagai imbalan nyawamu yang dicabutnya. Setelah itu aku akan mencari Pendekar 212! Aku akan mencari sekalipun sampai ke lautan neraka! Dia pasti mengira aku sudah lama jadi bangkai di dasar jurang karang Pangandaran. Dia akan melihat kenyataan mengejutkan. Bahwa aku belum mati! Bahwa aku muncul untuk mencabut nyawanya! Aku tidak akan membuat kematian begitu cepat dan enak baginya! Aku Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak akan membuatnya sengsara lebih dulu…”
Pangeran Matahari turunkan tangannya yang menopang kening. Dua matannya yang sejak tadi dipejamkan terbuka, kelihatan merah dan memancarkan sinar menggidikkan. Terbayang wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua tangan Pengeran Matahari langsung mengepal membentuk tinju. Sekujur tubuh bergetar. Keringat memercik di kening.
Dengan tangan kanannya Pangeran Matahari usap wajahnya. Saat itulah seperti terngiang kembali di telinganya ucapan Sumirah, satu dari tiga gadis yang digagahinya di telaga.
“Pangeran tak tahu diuntung! Berkaca dulu ke air telaga! Lihat tampangmu! Pakaianmu compang-camping dan bau!”
Lalu mengiang pula kata-kata menyakitkan yang dilontarkan gadis bernama Ramilah. Yaitu gadis yang diperkosanya pertama kali.
“Berani mengaku Pangeran! Pangeran mana ada yang buruk sepertimu! Muka pencong, hidung bengkok, mata mendem! Hik… hik… hik! Otakmu pasti miring mengaku seorang Pangeran!”
Pangeran Matahari merasakan sekujur tubuhnya mendadak menjadi dingin. Diusapnya mukanya kembali. “Wajahku… mukaku… Apakah… apakah… Ucapan dua gadis itu agaknya bukan cuma sekedar ejekan. Mereka melihat kenyataan. Apa yang terjadi dengan mukaku. Dua tahun di dalam goa karang aku tak pernah menyadari keadaan wajahku… Di lereng sebelah selatan seingatku ada satu telaga kecil. Airnya sangat bening, tidak beriak tidak bergelombang sekalipun angin bertiup. Dulu aku sering ke sana bersunyi diri, bersamadi meningkatkan kemampuan tenaga dalam dan kekuatan hawa sakti yang kudapat dari guru. Aku harus ke sana. Aku harus melihat keadaan wajahku sendiri. Ucapan dua gadis itu bukan cuma sekedar mengejek. Mereka agaknya melihat kenyataan…”
Pangeran Matahari ambil buntalan di pangkuannya. Lalu secepat bisa dilakukan dia berlari menuju lereng selatan Gunung Merapi. Degup jantungnya menggemuruh ketika dia sampai di telaga kecil. Keadaan telaga dan tempat sekitarnya seperti tidak berubah walau sudah ditinggalkannya selama bertahun-tahun. Hanya taburan dedaunan pohon-pohon tampak menebal menutupi tanah.
Pangeran Matahari jatuhkan buntalan ke tanah. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati telaga kecil berair bening seperti kaca. Detak jantungnya berdegup keras pada setiap langkah yang dibuatnya. Satu langkah di tepi telaga dia hentikan gerakan kaki. Perlahan-lahan dia turunkan tubuh ke bawah, berlutut di tanah. Dia bisa melihat kepala dan sebagian tubuhya membayang di air telaga.
Dengan menahan degup jantung yang semakin kencang Pangeran Matahari ulurkan kepalanya, diturunkan demikian rupa hingga hanya berjarak dua jengkal dari atas permukaan air telaga.
Sepasang mata sang Pangeran terpentang lebar. Di sana, di permukaan air telaga, dia bisa melihat wjahnya sendiri. Degup jantungnya seperti meledak di dalam dada. Dari mulutnya keluar raungan panjang mengerikan. Seperti dihantam sesuatu dari bawah, sosok Pangeran Matahari mencelat ke atas. Begitu dua kaki menginjak tanah, seperti orang kemasukan setan pangeran ini mengamuk. Tangan dan kaki menghantam kian kemari. Pohon-pohon patah bertumbangan. Semak belukar rambas terbang berhancuran. Terakhir sekali Pangeran Matahari pukulkan tangannya ke arah telaga. Tiga larik sinar merah, hitam dan kuning menderu menggidikkan.
“Wussss!”
“Byaaarrr!”
Air telaga muncrat ke atas. Tanah, pasir dan bebatuan ikut membumbung ke udara. Asap panas mengepul menutupi pandangan mata. Ketika keadaan terang kembali kelihatanlah satu hal luar biasa. Telaga kecil dengan airnya yang bening bersih seperti kaca kini hanya tinggal satu lobang kering menganga. Pangeran Matahari sendiri saat itu tak ada lagi di tempat itu. Dia lari menuruni gunung seperti dikejar setan. Sepanjang pelarian terbayang kembali wajahnya seperti yang tadi dilihatnya di permukaan air telaga. Hidungnya miring ke kiri. Pipi dan rahang kiri melesak membuat mukanya tampak pencong. Mata kiri terbenam dan di kening kiri ada luka bekas cacat. Dia ingat sekali semua caat itu adalah akibat hantaman Pendekar 212 Wiro Sableng sewaktu terjadi perkelahian di Pangandaran dua tahuan yang silam.
“Jahanam Wiro Sableng!” teriak Pangeran Matahari. “Pembalasanku sejuta lebih kejam dari apa yang telah kau lakukan terhadapku! Kau tak akan bakal lolos dari tanganku! Kalaupun kau sudah mampus di tanganku, rohmu akan kubuat tidak tenteram di alam baka!” Habis berteriak seperti itu sang pangeran hantamkan tangan kanan melepas pukulan sakti bernama Telapak Matahari.
“Wusss!”
Lereng gunung di sebelah sana bergoncang hebat. Hawa panas yang keluar dari pukulan itu menimbulkan nyala api besar. Kebakaran serta merta melanda lereng Gunung Merapi!
Di satu tempat, menjelang mencapai kaki gunung sebelah selatan Pangeran Matahari hentikan lari. Dia tegak bersandar di satu batang pohon besar, memandang ke arah lereng gunung di atasnya, memperhatikan kebakaran yang melanda lereng akibat pukulan Telapak Matahari yang tadi dihantamkannya dalam amarah yang tidak terkendali. Sang Pangeran menghela nafas dalam. Untuk pertama kali dia merasakan tubuhnya letih sekali. Dia campakkan buntalan ke tanah lalu perlahan-lahan jatuhkan diri, duduk di tanah pejamkan mata. Beberapa kali dia usap mukanya dan berulang kali dia mengeluh dalam hati.
“Wajahku… Wajahku…”
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Pangeran Matahari merasa ada sambaran angin di udara di depannya. Dia buka mata lebar-lebar, alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Berlaku waspada. Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan
“Sial…!” Pangeran Matahari memaki sendiri. “Jalan pikiranku sedang mengalami gangguan berat. Aku harus melakukan sesuatu. Jahanam Wiro Sableng!” Pangeran Matahari kepalkan tinju. Dia menjangkau buntalannya dan bergerak bangkit. Tapi mendadak gerakannya tertahan. Di udara sunyi terdengar satu suara.
“Pangeran Matahari, manusia gagah berjuluk Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak! Apa yang meembuatmu dibungkus seribu gundah seribu bingung?!”
Pangeran Matahari dalam kejutnya cepat berdiri. Memandang berkeliling. “Ada suara orang! Suara Laki-laki! Tapi orangnya sendiri tidak kelihatan!” Sang Pangeran memperhatikan pohon besar di atasnya. Tidak kelihatan siapa-siapa. “Aneh, suara itu begitu dekat. Tapi orangnya tidak tampak. Mungkin dedemit belantara Gunung Merapi?”
Pangeran Matahari kembali memperhatikan setiap sudut belantara sekelilingnya. Tetap saja dia tidak melihat siapa-siapa. Maka diapun berseru. “Makhluk yang barusan bicara! Siapa kau?! Mengapa bicara tidak unjukkan diri?!”
“Aku tidak mungkin unjukkan diri Pangeran. Ketahuilah, apa yang aku ucapkan jauh lebih penting dari ujudku…”
“Kalau begitu katakan siapa kau adanya?! Hantu, setan, dedemit?!”
Terdengar suara tertawa parau. “Aku makhluk dari alam akhirat. Makhluk dari alam baka. Aku tidak akan mengatakan siapa diriku. Tapi kau bisa mengira-ngira…”
“Kurang ajar!” maki Pangeran Matahari karena merasa dipermainkan. Otaknya diputar. Namun dia tidak bisa menduga.
“Aku datang untuk menolongmu Pangeran…” kembali terdengar suara tanpa ujud.
“Menolongku?” ujar Pangeran Matahari. “Siapa kau adanya?”
“Sudah kukatakan aku tidak bisa memberitahu. Tapi dulu, di puncak Merapi ini kita pernah dekat. Sedekat daging dengan tulang yang ada di tubuhmu!”
“Kau… Jangan-jangan kau…” Tiba-tiba Pangeran Matahari jatuhkan diri, berlutut di tanah. “Guru, apakah yang datang ini kau, roh mendiang guru yang aku kenal dengan julukan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat alias Setan Muka Pucat?”
Di udara mengema suara tertawa parau. “Sudah kukatakan aku tidak akan menerangkan siapa diriku. Tapi kau boleh menyebutku seperti apa yang kau barusan duga…”
“Guru!” Merasa yang bicara tanpa ujud itu adalah mendiang arwah gurunya Si Muka Bangkai, Pangeran Matahari tundukkan kepala sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.
“Pangeran Matahari, aku akan memberikan dua buah barang padamu. Pergunakan barang itu sesuai kebutuhanmu. Setelah kau menerima pemberianku, berjalanlah dua puluh tombak ke arah kanan. Kau akan menemukan seekor kuda tertambat di bawah satu pohon Waru. Dengan menunggang kuda itu pergilah ke satu lembah, letaknya dekat sekali di timur kaki Gunung Merapi. Di dasar lembah kau akan menemukan serumpunan semak belukar. Di sela-sela semak belukar itu tumbuh pohon sirih hutan. Jika semak belukar kau sibakkan, kau akan melihat sebuah goa. Masuklah ke dalam goa. Di situ kau akan menemukan sorga. Sorga itu bernama Kinasih. Untuk mendapatkan sorga itu kau harus mengaku bernama Bagus Srubud.”
“Sorga…? Sorga bernama Kinasih? Apa maksudmu Guru?”
“Jawaban akan kau temui sendiri di dalam goa itu!” jawab suara tadi. Lalu bersamaan dengan itu melayang dua buah bungkusan dan jatuh tepat di depan kaki Pangeran Matahari. Satu besar, satunya lagi bungkusan kecil. Sang Pangeran tidak bergerak. Tidak segera menyentuh bungkusan itu. Bukan mustahil semua itu hanya jebakan belaka. Dia memandang berkeliling. “Rasanya dia telah lenyap dari tempat ini,” membatin sang Pangeran. Lalu perlahan-lahan dia membungkuk mengambil bungkusan besar. Ketika dibukanya dia terkejut karena di dalam bungkusan itu dia menemukan sehelai pakaian. “Ini bukan pakaian sembarangan. Hanya orang-orang Keraton yang mengenakan pakaian seperti ini. Apa gerangan maksud guru memberikan pakaian bagus ini padaku?” Pangeran Matahari perhatikan pakaiannya sendiri yang lusuh kotor dan compang-camping. Sebelumnya waktu berada di pondok kediaman mendiang gurunya Pangeran Matahari telah mengambil beberapa potong pakaian, namun dia memang belum sempat bersalin. Masih diselimuti perasaan heran Pangeran Matahari mengambil bungkusan kedua yang lebih kecil. Begitu bungkusan dibuka, sesaat sepasang mata sang Pangeran terpentang lebar melihat benda apa yang ditemuinya di dalam bungkusan itu. Kening mengerenyit. Wajah diusap berulang kali. Lalu satu seringai muncul di mulutnya yang pencong.
“Guru! Aku Pangeran Matahari sangat berterima kasih atas semua pemberianmu ini! Aku akan turuti perintahmu. Aku akan segera pergi ke goa di lembah itu!” Habis berkata begitu Pangeran Matahari buka pakaiannya yang lusuh. Tak berapa lama setelah Pangeran Matahari meninggalkan tempat itu, di atas sebuah pohon besar berdaun lebat, seseorang yang sejak tadi mendekam di salah satu cabang pohon tersenyum. Dalam hati dia berkata. “Terbukti ilmu Memecah Udara Memindah Suara yang kumiliki memang ampuh luar biasa. Pendekar kawakan itu tidak mampu mengetahui sumber suara, apa lagi mencari dimana aku sembunyi! Pangeran Matahari, hari ini aku sudah menanam budi padamu. Kelak di kemudian hari aku akan menagih balasan padamu!”
Seperti hembusan angin, dengan satu gerakan cepat orang di atas cabang pohon berkelebat lenyap.
BAB 6
Empat hari sebelum peristiwa aneh yang dialami Pangeran Matahari di kaki Gunung Merapi……
Pagi itu seorang penunggang kuda berhenti di hadapan rumah Raden Mas Sura Kalimarta. Dari pakaiannya yang bagus dan mewah jelas dia adalah seorang petinggi dari Keraton.
Menurut kisah perjalanan hidupnya Sura Kalimarta sejak masih kecil sudah memiliki beberapa kepandaian. Selain pandai dalam hal ukir mengukir, dia juga pandai membuat berbagai macam boneka serta topeng baik dari kayu maupun dari kulit. Keahliannya ini telah menarik perhatian para Petinggi Keraton dan akhirnya sampai kepada Sri Baginda. Karenanya sejak dia berusia dua puluh Sura Kalimarta diangkat menjadi juru ukir Keraton. Setelah mengabdi lebih dari empat puluh tahun, ketika dia berusia enam puluh lima, Sri Baginda menganugerahkan gelar Raden Mas kepada Sura Kalimarta.
Walau semua orang menghormatinya serta dari keahliannya Sura Kalimarta mendapatkan penghasilan lebih dari cukup, rumahnya besar, sawah dan ternaknya banyak, namun semua itu tidak banyak memberikan kebahagiaan padanya. Ketika dia berusia empat puluh tahun, istri yang dicintainya meninggal dunia padahal sampai saat ini mereka masih belum dianugerahi seorang anakpun. Selama dua puluh tahun Sura Kalimarta hidup menyendiri, menyibukkan diri dengan berbagai macam pekerjaan sesuai keahliannya.
Kehidupan sunyi sang ahli ukir dan ahli membuat boneka serta topeng ini rupanya sudah sejak lama dimaklumi oleh Sri Baginda. Pada suatu hari Sri Baginda memanggil Sura Kalimarta ke Kaeraton. Seperti biasa Sura Kalimarta mengira Sri Baginda akan memberi pekerjaan baru padanya atau mungkin ada puteri Keraton yang ingin dibuatkan boneka atau hiasan berupa topeng. Alangkah terkejutnya Sura Kalimarta ketika Sri Baginda memintanya untuk mengambil seseorang sebagai pendamping yakni seorang perempuan baik-baik yang kedua orang tuanya pernah lama menjadi Abdi Dalem.
Di usia setua itu Sura Kalimarta boleh dikatakan tidak pernah lagi memikirkan hidup berumah tangga. Apalagi diketahuinya bahwa calon istri yang hendak dijodohkan Sri Baginda kepadanya belum pernah menikah dan berusia dua puluh delapan tahun, kurang setengah dari usianya.
Sura Kalimarta dengan halus menolak maksud baik Sri Baginda. Sebaliknya Sri Baginda dengan halus pula membujuknya. Akhirnya Sura Kalimarta tak bisa menolak lagi. Ketika untuk pertama kali ahli ukir ini bertemu dengan calon istrinya, ternyata sang calon yang bernama Kinasih itu berwajah ayu dan telah sejak lama menaruh hormat dan kagum pada semua hasil karya Sura Kalimarta. Dengan upacara yang sangat sederhana dan hanya dihadiri para kerabat terdekat serta utusan Sri Baginda akhirnya dilangsungkan pernikahan. Setelah beberapa tahun berumah tangga mereka belum juga dikaruniai anak. Kinasih sangat mengharapkan mendapat seorang putera. Lebih dari itu dia ingin puteranya itu kelak memiliki keahlian seperti Sura Kalimarta. Kinasih tak putus-putusnya meratap menangisi nasib. Baginya seumur hidup hanya sekali kawin. Tetapi sang suami ternyata tidak mampu memberinya turunan, lebih dari itu tidak berkesanggupan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami. Semua derita kepedihan ini hanya bisa dipendam sendiri oleh Kinasih. Namun siapa mengira seperti api dalam sekam suatu ketika akan meledak dalam kejadian yang tidak terduga…..
***
Lelaki berpakaian bagus yang berhenti di depan rumah besar Raden Mas Sura Kalimarta
turun dari kudanya. Di pintu depan dia mengetuk. Tak ada sahutan. Setelah berulang kali mengetuk tak ada yang menjawab akhirnya orang ini membuka pintu. Ternyata tidak dkunci. Dia langsung masuk ke dalam dan menemukan Sura Kalimarta di bagian belakang rumah besar, sibuk menyelesaikan ukiran patung besar Dewi Sri yang memegang seikat padi di tangan kanan dan
dihinggapi seekor burung merpati di tangan kiri.
“Raden Mas Sura Kalimarta, maafkan saya. Saya sudah mengetuk pintu berulang kali. Tapi tak ada jawaban. Jadi saya berlaku lancang langsung masuk ke dalam…”
Orang tua si ahli ukir menghentikan pekerjaannya, mengangkat kepala dan memandang pada tamunya. Sesaat orang tua ini terdiam memandang wajah sang tamu. Dia belum pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi melihat pada pakaian yang dikenakan sang tamu yang menyatakan dia adalah seorang petinggi Keraton maka sambil tersenyum dan meletakkan pahatnya di lantai, Sura Kalimarta berkata.
“Saya yang harus minta maaf. Seorang penting kerabat Keraton datang, saya tidak mendengar ketukan pintunya. Keraton begitu besar. Begitu banyak para petinggi dan para pejabat yang ada di situ. Maafkan saya kalau saya tidak mengenal Raden sebelumnya. Jika saya boleh bertanya Raden ini siapakah namanya?”
“Saya memang salah seorang petinggi Keraton. Tapi harap Raden Mas tidak memanggil saya dengan sebutan Raden. Panggil saja nama saya. Bagus Srubud.”
Sura Kalimarta tersenyum. “Kalau begitu Saudara Bagus Srubud juga tak usah memanggil saya dengan Raden Mas segala. Cukup Ki Sura saja. Ruang tamu ada di sebelah depan. Sebaiknya kita bicara di sana…”
“Tidak usah merepotkan. Kita bisa bicara di sini. Saat ini apakah Ki Sura sendirian di rumah?” bertanya sang tamu.
“Betul sekali. Istri saya sedang ada keperluan menemui seorang kerabat di desa tetangga sejak kemarin. Rencananya baru sore ini akan kembali…” jawab Sura Kalimarta. “Kalau Saudara Bagus suka kita bicara di sini tak jadi apa. Saya ingin bertanya, gerangan maksud apakah kedatangan Saudara Bagus Srubud ke tempat saya ini?”
“Maafkan kalau saya mengganggu pekerjaan Ki Sura. Maksud saya ke sini adalah untuk meminta dibuatkan sesuatu…”
“Apakah ini pesanan dari Keraton atau untuk Saudara Bagus sendiri?”
“Anggap saja dua-duanya,” jawab petinggi Keraton bernama Bagus Srubud itu.
Sura Kalimarta tersenyum dan angguk-anggukkan kepala. Orang tua ini maklum apa maksud ucapan tamunya itu. Dua-duanya. Berarti apapun yang akan dipesan sang tamu adalah sesuatu yang sangat penting. Maka diapun bertanya.
“Sesuatu yang Saudara Bagus minta saya buatkan itu, benda apa kiranya? Ukiran atau mungkin boneka?”
“Saya minta Ki Sura membuatkan sebuah topeng. Terbuat dari getah kayu latek…”
“Maksud Saudara Bagus getah pohon karet?”
Bagus Srubud mengangguk.
“Topeng dari getah pohon karet. Saya pernah mendengar hal itu. Konon topeng getah karet sangat tipis, halus. Nyaris sangat sempurna hingga si pemakai bisa memiliki satu wajah yang orang lain tidak tahu kalau dia sebenarnya memaki topeng. Namun pekerjaan ini merupakan satu hal yang belum pernah saya buat sebelumnya. Saya telah membuat puluhan, mungkin ratusan topeng dari kayu, kertas, daun lontar, daun kayu besi, kulit pohon. Tapi dari getah pohon karet…” Si orang tua geleng-gelengkan kepala dan usap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut liar memutih.
“Tidak akan sulit bagi Ki Sura. Tinggal membuat topeng seukuran dan sebentuk kepala saya, menjadikannya sebagai bahan cetakan, lalu menuangkan getah karet di atasnya…”
Sura Kalimarta tercengang mendengar ucapan tamunya itu. Dalam hati dia membatin. “Petinggi Keraton ini bukan sembarangan. Agaknya dia tahu banyak seluk beluk pembuatan topeng dari getah pohon karet.” Si orang tua anggukkan kepalanya. “Ini satu pengalaman baru yang menarik bagi saya. Saya akan coba membuatnya…”
“Saya butuh paling sedikit tiga buah topeng. Dalam raut yang berlainan tapi dalam ukuran yang sama…”
“Tiga buah topeng. Dalam raut yang berlainan tapi dalam ukuran sama,” mengulang Sura Kalimarta seraya menatap wajah tamunya. “Saya akan lakukan. Tapi saya mohon maaf kalau tidak dapat memenuhi permintaan Saudara Bagus Srubud dengan cepat. Paling tidak saya butuh waktu tiga puluh hari untuk mengerjakannya.”
“Saya ingin Ki Sura menyelesaikannya dalam waktu tiga hari!” kata Bagus Srubud. Nada suaranya lebih memerintah dari pada meminta.
Terkejutlah Sura Kalimarta mendengar ucapan tamunya itu.
“Tidak mungkin, Saudara Bagus. Tiga hari untuk tiga topeng karet tipis yang saya belum pernah membuatnya!”
“Ki Sura pasti mampu jika Ki Sura mau…”
“Saya mau, tapi…” Sura Kalimarta geleng-gelengkan kepalanya. “Selama ini saya memang tidak pernah menampik atau mencari dalih pesanan yang datang dari Keraton. Tapi saya mohon maaf. Membuat topeng karet ini benar-benar satu pekerjaan baru bagi saya.”
“Ki Sura, saya hanya mengulang satu kali saja,” kata Bagus Srubud. “Tiga buah topeng berlainan bentuk dalam ukuran sama. Dalam waktu tiga hari! Jelas?!”
Si orang tua gelengkan kepalanya. “Tidak mungkin Saudara Bagus. Harap Saudara mengerti…”
“Maafkan saya Ki Sura. Saya memang tidak mau mengerti. Ini pesanan dari Keraton. Harap diperhatikan dan dipenuhi.”
“Saya tetap meminta waktu. Mungkin saya bisa mengurangi tujuh hari. Jadi pesanan itu saya selesaikan dalam waktu sekitar tiga minggu.”
Bagus Srubud menggeleng. “Saya bilang tiga hari Ki Sura. Tidak lebih dan tidak kurang!”
“Saudara Bagus, kau lihat sendiri. Waktu datang tadi saya tengah menyelesaikan ukiran patung Dewi Sri. Itu adalah pesanan dari Keraton juga. Untuk penghias ruang tamu baru. Saya tidak mungkin menundanya. Jadi…”
“Saya tidak perduli dengan patung Dewi Sri itu!” potong Bagus Srubud.
“Saudara Bagus, saya mohon kau mau mengerti….”
Petinggi dari Keraton itu menyeringai. “Bukan saya yang harus mengerti Ki Sura. Tetapi engkau…”
“Maksud Saudara Bagus…?”
“Istri Ki Sura, Kinasih, ada di tangan saya. Dia berada dalam keadaan aman dan selamat sampai Ki Sura menyelesaikan pesanan sesuai dengan kemauan saya, bukan kehendak Ki Sura!”
Terkejutlah si orang tua. Wajahnya berubah, sesaat merah lalu berganti pucat. “Kau petinggi Keraton teganya berbuat sejahat itu…”
“Saya akan kembali ke sini bersama istri Ki Sura pada pagi hari ke empat dihitung mulai hari ini. Jika Ki Sura berani melaporkan kejadian ini pada siapapun. Ki Sura tidak akan melihat Kinasih lagi untuk selama-lamanya! Bagi orang setua Ki Sura, tidak mudah mendapatkan istri semuda dan seayu Kinasih. Perempuan itu satu yang sangat berharga dalam kehidupan Ki Sura bukan? Kini semua terserah Ki Sura sendiri…”
Habis berkata begitu Bagus Srubud putar tubuhnya dan tinggalkan si orang tua.
Menggigil tubuh Sura Kalimarta. Lututnya goyah. Orang tua ini jatuh terduduk di lantai. Dia ingin berteriak. Namuh tubuhnya terasa lemas. Yang keluar bukan teriakan, tapi justru kucuran air mata.
“Gusti Allah, bagaimana mungkin ada pejabat tinggi Keraton sekeji Bagus Srubud itu. Kalau aku mengadu pada Sri Baginda pasti dia akan dipancung. Tapi nasib istriku Kinasih mungkin tidak akan tertolong. Kinasih, dimana kau berada saat ini…?”
Pagi itu seorang penunggang kuda berhenti di hadapan rumah Raden Mas Sura Kalimarta. Dari pakaiannya yang bagus dan mewah jelas dia adalah seorang petinggi dari Keraton.
Menurut kisah perjalanan hidupnya Sura Kalimarta sejak masih kecil sudah memiliki beberapa kepandaian. Selain pandai dalam hal ukir mengukir, dia juga pandai membuat berbagai macam boneka serta topeng baik dari kayu maupun dari kulit. Keahliannya ini telah menarik perhatian para Petinggi Keraton dan akhirnya sampai kepada Sri Baginda. Karenanya sejak dia berusia dua puluh Sura Kalimarta diangkat menjadi juru ukir Keraton. Setelah mengabdi lebih dari empat puluh tahun, ketika dia berusia enam puluh lima, Sri Baginda menganugerahkan gelar Raden Mas kepada Sura Kalimarta.
Walau semua orang menghormatinya serta dari keahliannya Sura Kalimarta mendapatkan penghasilan lebih dari cukup, rumahnya besar, sawah dan ternaknya banyak, namun semua itu tidak banyak memberikan kebahagiaan padanya. Ketika dia berusia empat puluh tahun, istri yang dicintainya meninggal dunia padahal sampai saat ini mereka masih belum dianugerahi seorang anakpun. Selama dua puluh tahun Sura Kalimarta hidup menyendiri, menyibukkan diri dengan berbagai macam pekerjaan sesuai keahliannya.
Kehidupan sunyi sang ahli ukir dan ahli membuat boneka serta topeng ini rupanya sudah sejak lama dimaklumi oleh Sri Baginda. Pada suatu hari Sri Baginda memanggil Sura Kalimarta ke Kaeraton. Seperti biasa Sura Kalimarta mengira Sri Baginda akan memberi pekerjaan baru padanya atau mungkin ada puteri Keraton yang ingin dibuatkan boneka atau hiasan berupa topeng. Alangkah terkejutnya Sura Kalimarta ketika Sri Baginda memintanya untuk mengambil seseorang sebagai pendamping yakni seorang perempuan baik-baik yang kedua orang tuanya pernah lama menjadi Abdi Dalem.
Di usia setua itu Sura Kalimarta boleh dikatakan tidak pernah lagi memikirkan hidup berumah tangga. Apalagi diketahuinya bahwa calon istri yang hendak dijodohkan Sri Baginda kepadanya belum pernah menikah dan berusia dua puluh delapan tahun, kurang setengah dari usianya.
Sura Kalimarta dengan halus menolak maksud baik Sri Baginda. Sebaliknya Sri Baginda dengan halus pula membujuknya. Akhirnya Sura Kalimarta tak bisa menolak lagi. Ketika untuk pertama kali ahli ukir ini bertemu dengan calon istrinya, ternyata sang calon yang bernama Kinasih itu berwajah ayu dan telah sejak lama menaruh hormat dan kagum pada semua hasil karya Sura Kalimarta. Dengan upacara yang sangat sederhana dan hanya dihadiri para kerabat terdekat serta utusan Sri Baginda akhirnya dilangsungkan pernikahan. Setelah beberapa tahun berumah tangga mereka belum juga dikaruniai anak. Kinasih sangat mengharapkan mendapat seorang putera. Lebih dari itu dia ingin puteranya itu kelak memiliki keahlian seperti Sura Kalimarta. Kinasih tak putus-putusnya meratap menangisi nasib. Baginya seumur hidup hanya sekali kawin. Tetapi sang suami ternyata tidak mampu memberinya turunan, lebih dari itu tidak berkesanggupan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami. Semua derita kepedihan ini hanya bisa dipendam sendiri oleh Kinasih. Namun siapa mengira seperti api dalam sekam suatu ketika akan meledak dalam kejadian yang tidak terduga…..
***
Lelaki berpakaian bagus yang berhenti di depan rumah besar Raden Mas Sura Kalimarta
turun dari kudanya. Di pintu depan dia mengetuk. Tak ada sahutan. Setelah berulang kali mengetuk tak ada yang menjawab akhirnya orang ini membuka pintu. Ternyata tidak dkunci. Dia langsung masuk ke dalam dan menemukan Sura Kalimarta di bagian belakang rumah besar, sibuk menyelesaikan ukiran patung besar Dewi Sri yang memegang seikat padi di tangan kanan dan
dihinggapi seekor burung merpati di tangan kiri.
“Raden Mas Sura Kalimarta, maafkan saya. Saya sudah mengetuk pintu berulang kali. Tapi tak ada jawaban. Jadi saya berlaku lancang langsung masuk ke dalam…”
Orang tua si ahli ukir menghentikan pekerjaannya, mengangkat kepala dan memandang pada tamunya. Sesaat orang tua ini terdiam memandang wajah sang tamu. Dia belum pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi melihat pada pakaian yang dikenakan sang tamu yang menyatakan dia adalah seorang petinggi Keraton maka sambil tersenyum dan meletakkan pahatnya di lantai, Sura Kalimarta berkata.
“Saya yang harus minta maaf. Seorang penting kerabat Keraton datang, saya tidak mendengar ketukan pintunya. Keraton begitu besar. Begitu banyak para petinggi dan para pejabat yang ada di situ. Maafkan saya kalau saya tidak mengenal Raden sebelumnya. Jika saya boleh bertanya Raden ini siapakah namanya?”
“Saya memang salah seorang petinggi Keraton. Tapi harap Raden Mas tidak memanggil saya dengan sebutan Raden. Panggil saja nama saya. Bagus Srubud.”
Sura Kalimarta tersenyum. “Kalau begitu Saudara Bagus Srubud juga tak usah memanggil saya dengan Raden Mas segala. Cukup Ki Sura saja. Ruang tamu ada di sebelah depan. Sebaiknya kita bicara di sana…”
“Tidak usah merepotkan. Kita bisa bicara di sini. Saat ini apakah Ki Sura sendirian di rumah?” bertanya sang tamu.
“Betul sekali. Istri saya sedang ada keperluan menemui seorang kerabat di desa tetangga sejak kemarin. Rencananya baru sore ini akan kembali…” jawab Sura Kalimarta. “Kalau Saudara Bagus suka kita bicara di sini tak jadi apa. Saya ingin bertanya, gerangan maksud apakah kedatangan Saudara Bagus Srubud ke tempat saya ini?”
“Maafkan kalau saya mengganggu pekerjaan Ki Sura. Maksud saya ke sini adalah untuk meminta dibuatkan sesuatu…”
“Apakah ini pesanan dari Keraton atau untuk Saudara Bagus sendiri?”
“Anggap saja dua-duanya,” jawab petinggi Keraton bernama Bagus Srubud itu.
Sura Kalimarta tersenyum dan angguk-anggukkan kepala. Orang tua ini maklum apa maksud ucapan tamunya itu. Dua-duanya. Berarti apapun yang akan dipesan sang tamu adalah sesuatu yang sangat penting. Maka diapun bertanya.
“Sesuatu yang Saudara Bagus minta saya buatkan itu, benda apa kiranya? Ukiran atau mungkin boneka?”
“Saya minta Ki Sura membuatkan sebuah topeng. Terbuat dari getah kayu latek…”
“Maksud Saudara Bagus getah pohon karet?”
Bagus Srubud mengangguk.
“Topeng dari getah pohon karet. Saya pernah mendengar hal itu. Konon topeng getah karet sangat tipis, halus. Nyaris sangat sempurna hingga si pemakai bisa memiliki satu wajah yang orang lain tidak tahu kalau dia sebenarnya memaki topeng. Namun pekerjaan ini merupakan satu hal yang belum pernah saya buat sebelumnya. Saya telah membuat puluhan, mungkin ratusan topeng dari kayu, kertas, daun lontar, daun kayu besi, kulit pohon. Tapi dari getah pohon karet…” Si orang tua geleng-gelengkan kepala dan usap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut liar memutih.
“Tidak akan sulit bagi Ki Sura. Tinggal membuat topeng seukuran dan sebentuk kepala saya, menjadikannya sebagai bahan cetakan, lalu menuangkan getah karet di atasnya…”
Sura Kalimarta tercengang mendengar ucapan tamunya itu. Dalam hati dia membatin. “Petinggi Keraton ini bukan sembarangan. Agaknya dia tahu banyak seluk beluk pembuatan topeng dari getah pohon karet.” Si orang tua anggukkan kepalanya. “Ini satu pengalaman baru yang menarik bagi saya. Saya akan coba membuatnya…”
“Saya butuh paling sedikit tiga buah topeng. Dalam raut yang berlainan tapi dalam ukuran yang sama…”
“Tiga buah topeng. Dalam raut yang berlainan tapi dalam ukuran sama,” mengulang Sura Kalimarta seraya menatap wajah tamunya. “Saya akan lakukan. Tapi saya mohon maaf kalau tidak dapat memenuhi permintaan Saudara Bagus Srubud dengan cepat. Paling tidak saya butuh waktu tiga puluh hari untuk mengerjakannya.”
“Saya ingin Ki Sura menyelesaikannya dalam waktu tiga hari!” kata Bagus Srubud. Nada suaranya lebih memerintah dari pada meminta.
Terkejutlah Sura Kalimarta mendengar ucapan tamunya itu.
“Tidak mungkin, Saudara Bagus. Tiga hari untuk tiga topeng karet tipis yang saya belum pernah membuatnya!”
“Ki Sura pasti mampu jika Ki Sura mau…”
“Saya mau, tapi…” Sura Kalimarta geleng-gelengkan kepalanya. “Selama ini saya memang tidak pernah menampik atau mencari dalih pesanan yang datang dari Keraton. Tapi saya mohon maaf. Membuat topeng karet ini benar-benar satu pekerjaan baru bagi saya.”
“Ki Sura, saya hanya mengulang satu kali saja,” kata Bagus Srubud. “Tiga buah topeng berlainan bentuk dalam ukuran sama. Dalam waktu tiga hari! Jelas?!”
Si orang tua gelengkan kepalanya. “Tidak mungkin Saudara Bagus. Harap Saudara mengerti…”
“Maafkan saya Ki Sura. Saya memang tidak mau mengerti. Ini pesanan dari Keraton. Harap diperhatikan dan dipenuhi.”
“Saya tetap meminta waktu. Mungkin saya bisa mengurangi tujuh hari. Jadi pesanan itu saya selesaikan dalam waktu sekitar tiga minggu.”
Bagus Srubud menggeleng. “Saya bilang tiga hari Ki Sura. Tidak lebih dan tidak kurang!”
“Saudara Bagus, kau lihat sendiri. Waktu datang tadi saya tengah menyelesaikan ukiran patung Dewi Sri. Itu adalah pesanan dari Keraton juga. Untuk penghias ruang tamu baru. Saya tidak mungkin menundanya. Jadi…”
“Saya tidak perduli dengan patung Dewi Sri itu!” potong Bagus Srubud.
“Saudara Bagus, saya mohon kau mau mengerti….”
Petinggi dari Keraton itu menyeringai. “Bukan saya yang harus mengerti Ki Sura. Tetapi engkau…”
“Maksud Saudara Bagus…?”
“Istri Ki Sura, Kinasih, ada di tangan saya. Dia berada dalam keadaan aman dan selamat sampai Ki Sura menyelesaikan pesanan sesuai dengan kemauan saya, bukan kehendak Ki Sura!”
Terkejutlah si orang tua. Wajahnya berubah, sesaat merah lalu berganti pucat. “Kau petinggi Keraton teganya berbuat sejahat itu…”
“Saya akan kembali ke sini bersama istri Ki Sura pada pagi hari ke empat dihitung mulai hari ini. Jika Ki Sura berani melaporkan kejadian ini pada siapapun. Ki Sura tidak akan melihat Kinasih lagi untuk selama-lamanya! Bagi orang setua Ki Sura, tidak mudah mendapatkan istri semuda dan seayu Kinasih. Perempuan itu satu yang sangat berharga dalam kehidupan Ki Sura bukan? Kini semua terserah Ki Sura sendiri…”
Habis berkata begitu Bagus Srubud putar tubuhnya dan tinggalkan si orang tua.
Menggigil tubuh Sura Kalimarta. Lututnya goyah. Orang tua ini jatuh terduduk di lantai. Dia ingin berteriak. Namuh tubuhnya terasa lemas. Yang keluar bukan teriakan, tapi justru kucuran air mata.
“Gusti Allah, bagaimana mungkin ada pejabat tinggi Keraton sekeji Bagus Srubud itu. Kalau aku mengadu pada Sri Baginda pasti dia akan dipancung. Tapi nasib istriku Kinasih mungkin tidak akan tertolong. Kinasih, dimana kau berada saat ini…?”
BAB 7
Siang hari ke empat setelah kedatangan Bagus Srubud. Hari itu adalah hari perjanjian Sura Kalimarta harus menyerahkan tiga buah topeng pesanan petinggi Keraton tersebut. Ternyata siang itu telah terjadi satu kegemparan di tempat kediamaan sang ahli ukir.
Seorang utusan dari Keraton yang datang ke situ untuk menanyakan pesanan patung Dewi Sri dikejutkan dengan ditemukannya sang ahli ukir telah jadi mayat. Orang tua itu tergeletak mati di ruang tamu secara mengenaskan. Kepalanya pecah. Di dekat mayatnya ada sebuah pentungan kayu berlumuran darah. Agaknya Sura Kalimarta dibantai dengan pentungan itu. Di tangan kanan Sura Kalimarta masih tergenggam sebuah pahat. Mungkin sekali dia masih mengerjakan ukiran patung Dewi Sri ketika maut merenggut nyawanya.
Di rumah besar itu tidak ada orang lain kecuali istri Sura Kalimarta. Tapi perempuan itu tidak ditemukan di sana. Sulit diketahui apa yang sebenarnya terjadi.
Berbagai duga perkiraan segera menebar dari mulut ke mulut. Mulai dari yang masuk akal sampai yang bukan-bukan. Mulai dari yang baik sampai yang berbau fitnah.
Ada yang menduga bahwa seorang perampok menjarah rumah juru ukir itu. Dipergoki oleh pemilik rumah. Perampok membunuh Sura Kalimarta dengan mementung kepalanya. Tapi anehnya mengapa semua barang berharga milik orang tua itu atauapun istrinya ditemui masih ada dalam sebuah lemari?
Dugaan lain si orang tua dibunuh oleh lelaki yang mungkin adalah kekaih gelap istrinya yang jauh lebih muda itu. Keduanya dipergoki oleh Sura Kalimarta tengah berbuat mesum. Untuk menghilangkan jejak Sura Kalimarta dibunuh oleh kekasih istrinya lalu kedua orang itu melarikan diri.
Ada pula yang memperkirakan bahwa Sura Kalimarta dibunuh oleh istrinya sendiri. Setelah itu Kinasih melarikan diri. Mungkin menemui seorang lelaki yang sudah lama berhubungan secara gelap dengannya. Dua dugaan terakhir dibumbuhi dengan keadaan Kinasih yang masih muda sementara suaminya sudah lebih dari enam puluh tahun. Kebahagiaan apa yang mampu diberikan oleh Sura Kalimarta lelaki setengah uzur itu pada seorang istri yang masih muda? Dan sampai berapa lama Kinasih sanggup bertahan diri menjalani hidup tanpa sentuhan hangat seorang suami yang sangat diharap dan ingin dirasakan dalam usianya yang baru mencapai tiga puluh dua tahun itu?
Dua dugaan itu dimentahkan dengan kenyataan ditemukannya perhiasan milik Kinasih di dalam sebuah lemari. Jika perempuan itu memang terlibat dalam pembunuhan suaminya masakan dia akan melarikan diri begitu saja tanapa membawa serta harta kekayaan berupa perhiasan atau uang dan sebagainya.
Dugaan lain menyebutkan bahwa seorang musuh lama Sura Kalimarta muncul untuk membalas dendam lalu menculik Kinasih.
Kematian mengenaskan sang ahli ukir disampaikan kepada Raja. Sri Baginda segera mengirimkan beberapa bawahannya untuk menyelidik. Keadaan mayat Sura Kalimarta diperiksa, begitu juga setiap sudut rumah kediamannya bahkan sampai seputar halaman guna mencari jajagan, apa sebenarnya yang terjadi dan siapa pembunuh oarng tua itu. Di samping itu beberapa orang juga dikirim untuk menyelidik dan mencari Kinasih, istri Sura Kalimarta yang dikabarkan raib itu.
Para petugas yang memeriksa mayat Sura Kalimarta mendapatkan satu temuan yang sangat penting. Ketika mayatnya yang tergeletak menelungkup di lantai diperiksa, orang tua itu masih memegang sebuah pahat. Di lantai batu ada guratan-guratan aneh yang berakhir di ujung pahat. Setelah diperhatikan dan diteliti dengan seksama, para penyelidik dari Keraton akhirnya berhasil mengetahui apa sebenarnya yang tergurat di lantai itu. Ternyata guratan itu adalah tulisan huruf Jawa Kuna yang ditulis demikian buruk dan sulit dibaca. Tulisan itu terdiri dari dua buah kata. Yang pertama berbunyi Bagus, yang berikutnya berbunyi Srubud.
“Bagus Srubud…” kata salah seorang dari empat petugas Keraton yang menyelidik. “Ini nama seseorang…”
“Mungkin orang ini yang membunuh Raden Mas Sura Kalimarta!” ujar petugas ke dua.
Orang ketiga ikut berucap. “Benar… Mungkin sebelum menemui ajal. Raden Mas Sura masih punya daya dan kesempatan untuk menorehkan pahatnya di lantai batu, menulis nama orang yang membunuhnya!”
“Bagus Srubud! Aku tidak pernah mendengar nama itu. Apa kalian ada yang mengenal orang itu?”
Tiga kepala sama digelengkan.
***
Pangeran Matahari memacu kuda tunggangannya lurus ke arah timur. Sesekali salah satu tangannya dipergunakan untuk mengusap wajahnya. Tak selang berapa lama dia sampai di satu bukit kecil yang ternyata adalah bibir sebuah lembah. Memandang ke bawah dia melihat sebuah lembah cukup luas. Setelah memperhatikan keadaan sekitarnya beberapa lama, Pangeran Matahari tinggalkan lembah, turun ke bawah.
Di dasar lembah dia menemukan banyak sekali rerumpunan semak belukar. Namun hanya ada satu semak belukar yang di tengah-tengahnya ditumbuhi pohon sirih hutan.
“Menurut guru…” membatin sang Pangeran, “Di balik semak belukar yang ada pohon sirih hutan ini ada sebuah goa. Lalu di dalam ada sorga… Hemmm… Aku masih harus membuktikan apap sebenarnya arti kata-kata orang tua yang sudah jadi arwah gentayangan itu!”
Pangeran Matahari melompat turun dari kudanya. Dia mendekati semak belukar di hadapannya. Ketika semak belukar didorongnya ke kiri pandangannya membentur dinding batu berlumut yang di sebelah tengahnya ada sebuah lobang setinggi bahu manusia. Sang Pangeran tidak segera masuk ke dalam goa. Dia menunggu sesaat sambil memasang telinga dan memperhatikan keadaan sekitarnya. Bila dirasakannya aman, baru dia melangkahkan kaki. Dengan merunduk dia masuk ke dalam goa.
Di sebelah dalam goa, bagian atasnya ternyata cukup tinggi hingga Pangeran Matahari bisa melangkah tanpa merunduk lagi. Memasuki goa sejarak sepuluh tombak keadaan berubah menggelap karena cahaya dari luar terhalang oleh satu kelokan.
Tiba-tiba dari arah depan ada suara mendesah disusul oleh suara perempuan menegur.
“Bagus. Bagus Srubud, kaukah itu?”
Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Dia ingat ucapan gurunya. “Sorga itu bernama Kinasih. Untuk mendapatkan sorga itu kau harus mengaku bernama Bagus Srubud.”
Pangeran Matahari berpikir sesaat lalu mendehem. “Kinasih…?”
“Suaramu agak berubah Bagus. Kau sakit…?”
“Hemm… Tenggorokanku agak tidak enak,” jawab Pangeran Matahari.
“Kau hanya tegak diam di situ. Mengapa tidak mendekat kemari?”
Dalam gelap Pangeran Matahari buka matanya lebih lebar, memandang ke depan. Sesaat setelah matanya terbiasa dengan kegelapan, walau tidak begitu jelas, tapi apa yang dilihatnya di sebelah sana membuat jantungnya berdegup keras dan darahnya memanas. Di lantai goa, sejarak enam atau tujuh langkah di depannya, terbaring satu sosok putih mulus, nyaris tidak terlindung pakaian. Seonggok pakaian terletak di samping sosok tubuh ini.
“Agaknya inilah sorga yang dimaksudkan guru,” kata Pangeran Matahari dalam hati sambil menyeringai.
“Bagus, jangan diam saja. Lekas kemari. Lepaskan totokan di tubuhku! Kau selalu menotok aku setiap kau meninggalkan goa. Padahal aku sudah berjanji tidak akan melarikan diri…”
Pangeran Matahari maju melangkah. Lalu berlutut di samping sosok tubuh itu. Ternyata perempuan bernama Kinasih itu berparas ayu dan memiliki tubuh elok menggairahkan. Mata Sang pangeran menyelusuri wajah dan tubuh itu sesaat, mencari tahu di bagian mana Kinasih telah ditotok. Setelah diketahuinya segera dia menotok urat besar di leher sebelah kiri. Tubuh Kinasih langsung bergerak bangun dan memeluknya. Tapi tiba-tiba perempuan itu lepaskan pelukannya dan menatap dalam gelap.
“Jangan-jangan dia tahu aku bukan Bagus Srubud,” pikir Pangeran Matahari. “Kurang ajar, siapa sebenarnya Bagus Srubud itu! Dan si jelita berubuh polos ini siapa pula dia sebenarnya?!”
“Bagus, kuharap kau menepati janjimu. Hari ini kau akan membebaskan aku. Aku akan melupakan masa laluku dan menjadi pendamping setiamu untuk selama-lamanya…”
Pangeran Matahari merasa lega dan tersenyum. Gelapnya goa membuat perempuan itu tidak mengenali kalau sebenarnya dia bukan Bagus Srubud. Dia mulai bisa menduga sedikit apaapa yang telah terjadi sebelumnya antara lelaki bernama Bagus Srubud dengan perempuan ini.
“Kita bermalam dulu satu sampai dua hari di tempat ini. Setelah itu baru pergi…”
Mengira Bagus Srubud masih ingin berada lebih lama dengannya di dalam goa itu Kinasih merasa senang juga. Sambil memeluk si pemuda dia berkata.
“Kau barusan dari Kotaraja. Apakah keadaan masih belum aman? Orang-orang masih mencariku…?”
“Betul,” jawab Pangeran Matahari. “Itu sebabnya kita perlu sembunyi lebih lama di goa ini…” Kini Pangeran Matahari menduga jangan-jangan perempuan ini adalah anak atau istri seorang penting di Kotaraja yang main gila dan melarikan diri dengan seorang lelaki bernama Bagus Srubud yang kini perannya tengah dijalankan oleh dirinya sendiri.
Ketika perempuan itu mengambil pakaiannya yang terongok di lantai, Pangeran Matahari menahan tangannya. Lalu merangkulnya. Sebenarnya Kinasih merasakan satu kelainan dalam sikap dan gerak gerik lelaki itu. Tetapi perasaan itu dilupakannya karena mengira setelah berpisah agak lama Bagus Srubud kini menjadi lebih bergairah. Kinasih tidak bisa menipu dirinya, dia sendiri saat itu juga telah diamuk rangsangan.
Seorang utusan dari Keraton yang datang ke situ untuk menanyakan pesanan patung Dewi Sri dikejutkan dengan ditemukannya sang ahli ukir telah jadi mayat. Orang tua itu tergeletak mati di ruang tamu secara mengenaskan. Kepalanya pecah. Di dekat mayatnya ada sebuah pentungan kayu berlumuran darah. Agaknya Sura Kalimarta dibantai dengan pentungan itu. Di tangan kanan Sura Kalimarta masih tergenggam sebuah pahat. Mungkin sekali dia masih mengerjakan ukiran patung Dewi Sri ketika maut merenggut nyawanya.
Di rumah besar itu tidak ada orang lain kecuali istri Sura Kalimarta. Tapi perempuan itu tidak ditemukan di sana. Sulit diketahui apa yang sebenarnya terjadi.
Berbagai duga perkiraan segera menebar dari mulut ke mulut. Mulai dari yang masuk akal sampai yang bukan-bukan. Mulai dari yang baik sampai yang berbau fitnah.
Ada yang menduga bahwa seorang perampok menjarah rumah juru ukir itu. Dipergoki oleh pemilik rumah. Perampok membunuh Sura Kalimarta dengan mementung kepalanya. Tapi anehnya mengapa semua barang berharga milik orang tua itu atauapun istrinya ditemui masih ada dalam sebuah lemari?
Dugaan lain si orang tua dibunuh oleh lelaki yang mungkin adalah kekaih gelap istrinya yang jauh lebih muda itu. Keduanya dipergoki oleh Sura Kalimarta tengah berbuat mesum. Untuk menghilangkan jejak Sura Kalimarta dibunuh oleh kekasih istrinya lalu kedua orang itu melarikan diri.
Ada pula yang memperkirakan bahwa Sura Kalimarta dibunuh oleh istrinya sendiri. Setelah itu Kinasih melarikan diri. Mungkin menemui seorang lelaki yang sudah lama berhubungan secara gelap dengannya. Dua dugaan terakhir dibumbuhi dengan keadaan Kinasih yang masih muda sementara suaminya sudah lebih dari enam puluh tahun. Kebahagiaan apa yang mampu diberikan oleh Sura Kalimarta lelaki setengah uzur itu pada seorang istri yang masih muda? Dan sampai berapa lama Kinasih sanggup bertahan diri menjalani hidup tanpa sentuhan hangat seorang suami yang sangat diharap dan ingin dirasakan dalam usianya yang baru mencapai tiga puluh dua tahun itu?
Dua dugaan itu dimentahkan dengan kenyataan ditemukannya perhiasan milik Kinasih di dalam sebuah lemari. Jika perempuan itu memang terlibat dalam pembunuhan suaminya masakan dia akan melarikan diri begitu saja tanapa membawa serta harta kekayaan berupa perhiasan atau uang dan sebagainya.
Dugaan lain menyebutkan bahwa seorang musuh lama Sura Kalimarta muncul untuk membalas dendam lalu menculik Kinasih.
Kematian mengenaskan sang ahli ukir disampaikan kepada Raja. Sri Baginda segera mengirimkan beberapa bawahannya untuk menyelidik. Keadaan mayat Sura Kalimarta diperiksa, begitu juga setiap sudut rumah kediamannya bahkan sampai seputar halaman guna mencari jajagan, apa sebenarnya yang terjadi dan siapa pembunuh oarng tua itu. Di samping itu beberapa orang juga dikirim untuk menyelidik dan mencari Kinasih, istri Sura Kalimarta yang dikabarkan raib itu.
Para petugas yang memeriksa mayat Sura Kalimarta mendapatkan satu temuan yang sangat penting. Ketika mayatnya yang tergeletak menelungkup di lantai diperiksa, orang tua itu masih memegang sebuah pahat. Di lantai batu ada guratan-guratan aneh yang berakhir di ujung pahat. Setelah diperhatikan dan diteliti dengan seksama, para penyelidik dari Keraton akhirnya berhasil mengetahui apa sebenarnya yang tergurat di lantai itu. Ternyata guratan itu adalah tulisan huruf Jawa Kuna yang ditulis demikian buruk dan sulit dibaca. Tulisan itu terdiri dari dua buah kata. Yang pertama berbunyi Bagus, yang berikutnya berbunyi Srubud.
“Bagus Srubud…” kata salah seorang dari empat petugas Keraton yang menyelidik. “Ini nama seseorang…”
“Mungkin orang ini yang membunuh Raden Mas Sura Kalimarta!” ujar petugas ke dua.
Orang ketiga ikut berucap. “Benar… Mungkin sebelum menemui ajal. Raden Mas Sura masih punya daya dan kesempatan untuk menorehkan pahatnya di lantai batu, menulis nama orang yang membunuhnya!”
“Bagus Srubud! Aku tidak pernah mendengar nama itu. Apa kalian ada yang mengenal orang itu?”
Tiga kepala sama digelengkan.
***
Pangeran Matahari memacu kuda tunggangannya lurus ke arah timur. Sesekali salah satu tangannya dipergunakan untuk mengusap wajahnya. Tak selang berapa lama dia sampai di satu bukit kecil yang ternyata adalah bibir sebuah lembah. Memandang ke bawah dia melihat sebuah lembah cukup luas. Setelah memperhatikan keadaan sekitarnya beberapa lama, Pangeran Matahari tinggalkan lembah, turun ke bawah.
Di dasar lembah dia menemukan banyak sekali rerumpunan semak belukar. Namun hanya ada satu semak belukar yang di tengah-tengahnya ditumbuhi pohon sirih hutan.
“Menurut guru…” membatin sang Pangeran, “Di balik semak belukar yang ada pohon sirih hutan ini ada sebuah goa. Lalu di dalam ada sorga… Hemmm… Aku masih harus membuktikan apap sebenarnya arti kata-kata orang tua yang sudah jadi arwah gentayangan itu!”
Pangeran Matahari melompat turun dari kudanya. Dia mendekati semak belukar di hadapannya. Ketika semak belukar didorongnya ke kiri pandangannya membentur dinding batu berlumut yang di sebelah tengahnya ada sebuah lobang setinggi bahu manusia. Sang Pangeran tidak segera masuk ke dalam goa. Dia menunggu sesaat sambil memasang telinga dan memperhatikan keadaan sekitarnya. Bila dirasakannya aman, baru dia melangkahkan kaki. Dengan merunduk dia masuk ke dalam goa.
Di sebelah dalam goa, bagian atasnya ternyata cukup tinggi hingga Pangeran Matahari bisa melangkah tanpa merunduk lagi. Memasuki goa sejarak sepuluh tombak keadaan berubah menggelap karena cahaya dari luar terhalang oleh satu kelokan.
Tiba-tiba dari arah depan ada suara mendesah disusul oleh suara perempuan menegur.
“Bagus. Bagus Srubud, kaukah itu?”
Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Dia ingat ucapan gurunya. “Sorga itu bernama Kinasih. Untuk mendapatkan sorga itu kau harus mengaku bernama Bagus Srubud.”
Pangeran Matahari berpikir sesaat lalu mendehem. “Kinasih…?”
“Suaramu agak berubah Bagus. Kau sakit…?”
“Hemm… Tenggorokanku agak tidak enak,” jawab Pangeran Matahari.
“Kau hanya tegak diam di situ. Mengapa tidak mendekat kemari?”
Dalam gelap Pangeran Matahari buka matanya lebih lebar, memandang ke depan. Sesaat setelah matanya terbiasa dengan kegelapan, walau tidak begitu jelas, tapi apa yang dilihatnya di sebelah sana membuat jantungnya berdegup keras dan darahnya memanas. Di lantai goa, sejarak enam atau tujuh langkah di depannya, terbaring satu sosok putih mulus, nyaris tidak terlindung pakaian. Seonggok pakaian terletak di samping sosok tubuh ini.
“Agaknya inilah sorga yang dimaksudkan guru,” kata Pangeran Matahari dalam hati sambil menyeringai.
“Bagus, jangan diam saja. Lekas kemari. Lepaskan totokan di tubuhku! Kau selalu menotok aku setiap kau meninggalkan goa. Padahal aku sudah berjanji tidak akan melarikan diri…”
Pangeran Matahari maju melangkah. Lalu berlutut di samping sosok tubuh itu. Ternyata perempuan bernama Kinasih itu berparas ayu dan memiliki tubuh elok menggairahkan. Mata Sang pangeran menyelusuri wajah dan tubuh itu sesaat, mencari tahu di bagian mana Kinasih telah ditotok. Setelah diketahuinya segera dia menotok urat besar di leher sebelah kiri. Tubuh Kinasih langsung bergerak bangun dan memeluknya. Tapi tiba-tiba perempuan itu lepaskan pelukannya dan menatap dalam gelap.
“Jangan-jangan dia tahu aku bukan Bagus Srubud,” pikir Pangeran Matahari. “Kurang ajar, siapa sebenarnya Bagus Srubud itu! Dan si jelita berubuh polos ini siapa pula dia sebenarnya?!”
“Bagus, kuharap kau menepati janjimu. Hari ini kau akan membebaskan aku. Aku akan melupakan masa laluku dan menjadi pendamping setiamu untuk selama-lamanya…”
Pangeran Matahari merasa lega dan tersenyum. Gelapnya goa membuat perempuan itu tidak mengenali kalau sebenarnya dia bukan Bagus Srubud. Dia mulai bisa menduga sedikit apaapa yang telah terjadi sebelumnya antara lelaki bernama Bagus Srubud dengan perempuan ini.
“Kita bermalam dulu satu sampai dua hari di tempat ini. Setelah itu baru pergi…”
Mengira Bagus Srubud masih ingin berada lebih lama dengannya di dalam goa itu Kinasih merasa senang juga. Sambil memeluk si pemuda dia berkata.
“Kau barusan dari Kotaraja. Apakah keadaan masih belum aman? Orang-orang masih mencariku…?”
“Betul,” jawab Pangeran Matahari. “Itu sebabnya kita perlu sembunyi lebih lama di goa ini…” Kini Pangeran Matahari menduga jangan-jangan perempuan ini adalah anak atau istri seorang penting di Kotaraja yang main gila dan melarikan diri dengan seorang lelaki bernama Bagus Srubud yang kini perannya tengah dijalankan oleh dirinya sendiri.
Ketika perempuan itu mengambil pakaiannya yang terongok di lantai, Pangeran Matahari menahan tangannya. Lalu merangkulnya. Sebenarnya Kinasih merasakan satu kelainan dalam sikap dan gerak gerik lelaki itu. Tetapi perasaan itu dilupakannya karena mengira setelah berpisah agak lama Bagus Srubud kini menjadi lebih bergairah. Kinasih tidak bisa menipu dirinya, dia sendiri saat itu juga telah diamuk rangsangan.
BAB 8
Pagi itu Pangeran Matahari telah rapi berpakaian. Seperti pertama kali di masuk ke dalam goa, pakaian yang dikenakannya adalah pakaian kebesaran petinggi Keraton.
“Bagus, apakah hari ini hari yang kau janjikan itu? Kita sama-sama pergi meninggalkan goa?”
Pangeran Matahari mengangguk. “Kenakan pakaianmu. Aku menunggu di luar.”
Saking gembiranya Kinasih memeluk Panegran Matahari tanpa dia tahu apa sebenarnya yang akan terjadi sebentar lagi. Sementara Pangeran Matahari yang dikenalnya sebagai lelaki bernama Bagus Srubud itu melangkah ke luar goa, Kinasih cepat mengenakan pakaian. Ketika kemudia dia keluar dari goa dilihatnya Pangeran Matahari telah duduk di atas seekor kuda. Di depan rerumpunan semak belukar perempuan muda ini tertegun sesaat.
“Ah, di dalam goa aku tidak bisa melihat parasnya dengan jelas. Ternyata dia seorang pemuda berwajah gagah. Tubuhnya kuat. Aku benar-benar bahagia bisa mendapatkannya,. Demi rasa sukaku padanya, apapun yang terjadi akan kuhadapi… Tapi aku tidak pernah menduga kalau dia adalah seorang pejabat Keraton.”
“Kau memperhatikan diriku agak aneh. Ada apakah?” bertanya Pangeran Matahari.
Kinasih melangkah mendekati lelaki itu, letakkan kepalanya di pinggul Pangeran Matahari. Sambil mengusap-usap paha Pangeran Matahari dia berkata. “Aku sangat bahagia hari ini. Satu hal aku tidak menduga. Kau ternyata adalah seorang petinggi Kertaon…”
Pangeran Matahari memandang pada pakaian bagus yang dikenakannya lalu tersenyum.
“Mengingat apa yang kau lakukan, apakah kau tidak takut akan kehilangan jabatanmu Bagus Srubud?”
“Aku tidak pernah merasa takut menghadapi apa dan siapapun…”
Kinasih angkat kepalanya. “Aku senang mendengar ucapanmu itu. Kita pergi sekarang? Kau akan membawaku kemana Bagus?”
“Aku akan pergi sendirian. Aku tak akan membawamu kemana-mana Kinasih…”
Ucapan Pangeran Matahari itu mengejutkan Kinasih. Wajahnya yang cantik mengerenyit.
“Kau tentunya bergurau Bagus…”
“Di dalam goa, ketika memeluk dan menciummu, aku memang suka bergurau. Tapi kali ini tidak.”
“Bagus, apa maksudmu?!” tanya Kinasih.
“Maksudku, aku akan pergi kemana aku suka dan kau juga boleh pergi kemana kau suka.”
“Astaga! Aku benar-benar tidak mengerti…”
“Kau bisa berusaha mengerti setelah aku pergi. Terima kasih untuk kesenangan yang kau berikan padaku selama dua hari ini. Selamat tinggal Kinasih….”
“Kau tidak menepati janji! Kau…”
“Aku tidak pernah berjanji. Kalaupun aku pernah berjanji, aku memang bukan seorang yang suka menepati janji!”
“Bagus Srubud, aneh sekali! Kau tiba-tiba berubah. Atau kau memang sudah berencana menipuku!”
Pangeran Matahari tertawa bergelak. “Aku memang manusia segala akal dan paling licik di dunia ini. Soal tipu menipu bagiku adalah soal kecil!”
“Ya Tuhan! Teganya kau berkata begitu. Teganya kau menipu diriku! Kau culik aku, kau sekap aku di dalam goa. Aku kau jadikan…”
“Apapun yang telah terjadi aku tidak perduli!”
Pangeran Matahari menepuk pinggul kudanya. Binatang itu melompat ke depan hampir menyeret Kinasih kalau perempuan ini tidak cepat melepaskan pegangannya di kaki sang Pangeran.
“Bagus! Tunggu! Bagaimana kalau aku mengandung?!” berteriak Kinasih sambil coba mengejar.
Di atas punggung kudanya Pangeran Matahari hanya menoleh sebentar lalu dengan seringai di wajahnya dia berkata. ”Kalau kau hamil, kurasa itu bukan perbuatanku. Ada orang lain yang melakukan sebelum aku…”
Kinasih terpekik mendengar kata-kata itu. Wajahnya seputih kain kafan. Suaranya bergetar ketika berkata. “Selama ini aku tidak pernah berbuat seperti yang kita lakukan dengan orang lain. Juga tidak dengan suamiku sendiri. Aku…”
Pangeran Matahari tersenyum. Begitu senyumnya lenyap mulutnya berucap. “Aku hanya meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli. Seharusnya kau berterima kasih padaku karena aku telah memberikan kesenangan tambahan selama dua hari padamu. Ha… ha… ha!”
“Kau… katamu kau meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli? Ucapan gila apa ini?!” Kau mau pergi begitu saja sementara aku bakal menghadapi masalah besar. Bagaimana kalau aku mengandung Bagus? Bagaimana…?!”
“Kau membuat aku jengkel Kinasih. Sudahlah! Jika kau nanti benar-benar mengandung dan melahirkan seorang bayi, kau bisa memelihara anak itu. Jika kau tidak sudi memeliharanya, berikan pada orang lain. Jika kau juga tak mau melakukan hal itu, bunuh saja bayimu! Ha… ha… ha Aku tidak perduli kau mau berbuat apa. Karena bayi itu bukan anakku! Bukan darah dagingku!”
Kembali Kinasih terpekik. Sekujur tubuhnya menggigil lunglai. Hampir dia jatuh ke tanah tiba-tiba seperti ada satu kekuatan masuk ke dalam dirinya, perempuahn muda ini lari mengejar ke atas lembah, ke arah perginya Pangeran Matahari. Dia berlari sambil tiada hentinya memanggil-manggil nama Bagus Srubud. Dia baru berhenti berlari ke bagian atas lembah ketika dadanya sesak dan tubuhnya terasa lemas. Kinasih melihat dunia ini seperti berputar. Dua tangannya memegangi dada yang mendadak terasa sakit seperti ditindih batu besar. Perlahanlahan tubuhnya terhuyung ke belakang. Sesaat lagi dia akan terbanting jatuh dan terguling ke dasar lembah, satu tangan kokoh merangkul pingganggnya yang ramping. Lalu dia merasa seperti dilarikan oleh seseorang. Di satu tempat orang ini berhenti dan menurunkannya.
“Bagus… Bagus Srubud?”
Kinasih berucap menyebut nama itu. Tapi ketika dia mendongak, dia tidak melihat wajah Bagus Srubud, melainkan seorang pemuda bertampang gagah, berambut gondrong dan memandang padanya sambil tersenyum polos.
“Aku bukan orang yang barusan namanya kau sebut. Aku kebetulan lewat dan melihatmu hampir terguling ke dasar lembah…”
Kinasih seperti belum sadar dan percaya apa yang dialaminya. Dia memandang berkeliling. “Bagus Srubud…” ucapnya perlahan. Lalu pandangannya ditujukan pada sosok pemuda gondrong di depannya. Setelah itu dia jatuhkan diri, tutupi muka dengan dua tangan dan mulai terisak menangis.
“Walah! Apa ucapanku tadi ada yang salah? Sampai membuat perempuan muda ini menangis?” Si gondrong bicara sendiri sambil garuk-garuk kepala. Dia menunggu. Tapi tangis Kinasih semakin keras. Membuat si gondrong jadi bingung, melangkah mundar-mandir sambil tiada henti menggaruk kepala.
“Dari pada mencari urusan lebih baik aku tinggalkan saja perempuan ini,” kata si gondrong pula dalam hati. Namun memandang wajah yang menangis dan kini tidak lagi ditutupi tangan, hatinya merasa hiba.
“Ah, kasihan juga kalau aku tinggal. Lagi pula wajahnya cantik ayu. Biar kutunggu saja. Kalau sudah capai dia pasti berhenti menangis. Belum pernah kulihat ada perempuan mampu menangis sampai satu hari satu malam!” Si gondrong lalu mendekati sebuah pohon dan duduk bersandar di situ sambil senyum-senyum memperhatikan Kinasih menangis.
Seperti ucapan si gondrong, akhirnya Kinasih berhenti juga menangis. Dengan matanya yang bengkak merah perempuan ini memandang pada pemuda yang duduk di bawah pohon itu.
“Kau siapa? Mana Bagus Srubud…?”
“Aku tidak kenal Bagus Srubud. Juga tidak tahu dia berada di mana. Kau mau menerangkan siapa adanya orang bernama Bagus Srubud itu?”
“Aku…” Kinasih tutup wajahnya dengan dua tangan. “Aku tertipu. Dia… dia menculikku. Membawaku ke goa di lembah di sana. Tutur katanya penuh rayuan. Aku tak bisa bertahan…”
“Waktu aku sampai di lembah ini, aku melihat seorang penunggang kuda lari ke arah sana sementara kau mendaki lembah mengejar. Aku tidak tahu mau berbuat apa. Tapi ketika melihat kau hampir jatuh terguling, aku memutuskan menolongmu, tidak mengejar orang berkuda itu…”
“Dia… penunggang kuda itu Bagus Srubud. Manusia penipu. Jahanam terkutuk. Dia hanya ingin melampiaskan nafsu bejatnya terhadap diriku…”
“Ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu…”
“Aku tidak mungkin menceritakan pada orang lain. Aku malu, benar-benar malu. Aib yang kubuat terlalu besar. Tidak, tidak mungkin kuceritakan padamu. Apalagi aku tidak kenal siapa kau sebenarnya…”
“Kau tak usah malu padaku. Namaku Wiro Sableng. Ceritakan apa yang terjadi. Mungkin aku bisa menolong…”
“Wiro Sableng? Namamu Wiro Sableng…? Kau tahu, sableng itu artinya kurang waras, berotak miring. Kau tidak berotak miring ‘kan?”
Si gondrong Wiro tertawa. “Mungkin cuma sedikit kurang waras, sedikit agak miring.”
“Aku tidak mau bicara pada orang gila!”
Murid Sinto Gendeng menyengir. “Kalau kau tinggal sekitar sini, sebaiknya kau segera saja pulang ke rumah…”
Kinasih menggeleng. “Setelah apa yang terjadi, aku tidak mungkin kembali ke rumah. Aku… aku tinggal di Kotaraja…”
“Kebetulan aku akan ke Kotaraja untuk satu urusan. Aku bisa menemanimu…”
Kinasih menggeleng.
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Aku tahu, kau pasti punya pikiran begini. Orang seperti Bagus Srubud saja yang tadinya kau sukai tidak dapat dipercaya. Apalagi orang sableng seperti diriku.” Wiro bankit berdiri. “Kau berada di tempat aman. Kotaraja tak jauh dari sini. Kau bisa ke sana tanpa pertolongan siapa-siapa…”
“Tunggu!” panggil Kinasih ketika dilihatnya Wiro hendak melangkah pergi. Wiro hentikan langkah, Kinasih menatap sejurus pemuda di hadapannya itu. “Sebenarnya wajahnya tampan, tapi lagaknya konyol tak karuan. Kalau otaknya benar-benar kurang waras aku bisa tambah celaka.” Kinasih berpikir lalu untuk menghilangkan kebimbangan dia bertanya. “Apakah ku bisa kupercaya dan mau menolongku?”
“Perempuan cantik sepertimu seharusnya jangan mudah percaya pada siapa saja. Apa lagi yang namanya laki-laki seperti aku ini! Tapi soal menolong bagaimana aku bisa kalau apa yang terjadi saja ceritanya aku tidak tahu!” jawab Wiro.
“Baik, baik… aku akan ceritakan…”
“Dari permulaan, jangan ada yang kau lupakan.”
Kinasih mengangguk. “Namaku Kinasih. Suamiku adalah…”
“Eh, kau ini sudah bersuami rupanya. Kukira masih gadis perawan!” Wiro memotong sambil senyum dan garuk kepala.
Kata-kata Wiro membuat wajah Kinasih jadi merah. “Jangan bergurau. Jangan memotong ceritaku atau lebih baik aku bungkam saja…”
“Mulutku memang suka ketelepasan. Tapi aku tadi bicara polos. Kau begini muda, cantik. Siapa mengira…”
“Suamiku adalah Raden Mas Sura Kalimarta, seorang juru ukir Keraton. Usianya sudah lanjut, lebih dari enam puluhan. Kami kawin atas kehendak Sri Baginda. Aku memang sejak lama mengagumi kepandaian Sura Kalimarta dan tidak menyangka satu hari akan menjadi istrinya. Sebenarnya kalau Sri Baginda tidak keliwat memaksa, mungkin aku tidak akan menjadi istri orang yang pantas menjadi ayah bahkan kakekku. Selama beberapa tahun kawin kami tidak mempunyai anak…”
“Suamimu mandul…”
Kinasih pelototkan matanya yang merah bengkak habis menangis.
Wiro garuk-garuk kepala. ”Maaf, mulutku usil lagi…”
“Aku tidak tahu suamiku mandul atau tidak. Yang jelas selama kawin sekian tahun dia tidak pernah menggauliku sebagaimana layaknya seorang suami…”
“O… ooo…” Wiro tersenyum ketika dilihatnya Kinasih kembali membesarkan mata.
“Mungkin suamiku sudah terlalu uzur. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dan memperhatikan pekerjaanya. Walau aku menghormati dan mengagumi Raden Mas Sura Kalimarta namun sebagai seorang istri hidupku penuh tekanan batin. Aku berusaha bertahan menebalkan iman, terutama terhadap godaan dari lelaki yang berusaha mendekatiku dan mengajakku berselingkuh. Aku tidak tahu sampai kapan bisa berbuat begitu. Beberapa hari lalu aku menyambangi seorang sahabat yang baru saja melangsungkan perkawinan di sebuah desa tak jauh dari Kotaraja. Waktu pestanya aku tidak berkesempatan datang. Dalam perjalanan pulang turun hujan lebat. Kabarnya terjadi banjir di sebuah kali yang akan dilalui rombongan. Perjalanan kami jadi terhalang. Menjelang malam baru bisa dilanjutkan.”
“Di satu tempat sepi dan gelap tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda menyerang rombongan. Kami mengira dia adalah seorang perampok tunggal berani mati. Kukatakan demikian karena dalam rombongan terdapat beberapa orang berkepandaian tinggi. Salah seorang di antaranya adalah Ki Suryo Tambaksari. Seorang pejabat tinggi di Kotaraja yang bulan depan bakal diangkat menjadi Adipati Klaten. Ternyata perampok tunggal itu punya kepandaian luar biasa. Semua lelaki dalam rombongan berjumlah tujuh orang tewas di tangannya. Perampok itu juga membunuh Ni Alursutri, sahabatku dalam perjalanan. Mayat mereka kemudian dibuang ke dalam jurang. Aneh, mengapa dia susah-susah melakukan hal itu…”
“Karena dia ingin menghilangkan jejak,” menyahuti Wiro.
“Mungkin begitu,” kata Kinasih. “Anehnya lagi si perampok tidak menjarah harta atau uang kami. Ternyata dia mengincar diriku. Dalam malam begitu gelap aku tidak sempat melihat atau mengenali tampang si perampok, selagi aku berusaha melarikan diri, tiba-tiba ada satu tusukan di punggungku. Aku langsung tidak sadarkan diri…”
“Hemmm…” Wiro garuk-garuk kepala. “Itu bukan totokan biasa…” kata murid Sinto Gendeng ini.
“Ketika siuman, kudapati diriku berada dalam sebuah goa bersama perampok itu. Lagilagi aku tidak bisa melihat jelas orang itu karena goa dimana aku disekap gelap. Namun dari bentuk tubuhnya aku bisa menduga dia masih muda dan samar-samar bayangan wajahnya tampak tampan dalam gelap.”
”Pemuda itu mengaku bernama Bagus Srubud. Menurutnya dia menculikku untuk memaksa suamiku. Aku bertanya memaksa apa, tapi dia tidak menjawab. Saat-saat pertama aku sangat membenci dirinya. Tapi sikapnya yang sopan dan tutur bicaranya yang halus membuat lama-lama aku merasa tertarik. Lalu timbul rasa suka. Entah bagaimana aku tak tahu bagaimana menerangkannya, hari-hari berikutnya kami sudah berada dalam hubungan sangat mesra. Aku tidak kuasa menolak semua apa yang dilakukannya. Semua yang selama ini tidak pernah aku dapatkan dari suamiku…” Sampai di situ Kinasih terdiam sejenak, wajahnya yang merah ditutupinya lagi dengan ke dua tangannya. Setelah menahan isak dan diam lagi beberapa lamanya baru dia melanjutkan. “Aku tahu aku telah berbuat salah dan dosa besar. Tapi hatiku terhibur karena Bagus Srubud berjanji tidak akan meninggalkan diriku, akan membawa aku kemana dia pergi. Menurutku ucapannya itu berarti dia akan mengambil aku sebagai istri. Aku sudah bertekad untuk tidak akan kembali lagi ke Kotaraja. Bukan saja karena aku tidak ingin kehilangan pemuda itu, tapi juga karena aku merasa tak layak lagi untuk kembali pada suamiku.”
“Dua hari lalu Bagus kembali ke goa. Aku tidak tahu dia pergi kemana,. Sekali ini sikap dan sentuhannya terhadapku luar biasa. Aku mengira mungkin itu karena dia rindu padaku. Namun ada semacam perasaan aneh yang tak biasa kupecahkan. Lalu pagi tadi terjadi hal yang tidak kuduga sama sekali. Pertama, dari pakaiannya baru kuketahui Bagus Srubud ternyata adalah seorang pejabat tinggi Keraton. Kemudian ini yang membuatku ingin mati saja. Bagus Srubud meninggalkan diriku. Aku tengah mengejarnya ketika kau muncul menolongku…”
Sampai di sini Kinasih tak dapat lagi menahan dirinya. Perempuan ini kembali menangis. “Aku tak tahu mau melakukan apa. Atau mau pergi kemana. Bagus Srubud jahanam! Terkutuk dia selama-lamanya…”
“Aku tidak yakin orang bernama Bagus Srubud itu petinggi Keraton. Kalau dia memang orang Istana kau tidak akan dibiarkannya hidup. Setelah melakukan perbuatan keji itu dia pasti ingin menghilangkan jejak. Tapi untuk menguji, tidak ada salahnya kau melaporkan kejadian ini pada petinggi lainnya di Kotaraja.”
“Itu sama saja degan membuka aibku sendiri,” kata Kinasih dan lalu geleng-gelengkan kepalanya.
“Yang aku takutkan kalau aku menandung. Anakku lahir tanpa ayah. Memalukan sekali. Aibku terlalu besar. Jahanam Bagus Srubud itu malah tega berucap, jika aku tidak mau memelihara bayiku, berikan pada orang lain atau membunuhnya!”
“Coba kau ingat-ingat. Bagaimana ciri-ciri orang bernama Bagus Srubud itu. Tidak pernah aku menemui manusia sekeji itu…” Wiro lalu berpikir, menduga-duga.
“Dia masih muda. Wajahnya tampan. Rambut hitam lebat…”
“Tidak ada tanda-tanda tertentu…?” tanya Wiro.
Kinasih menggeleng. Wiro berpikir lagi. Dia coba mengingat-ingat kejadian malam itu. Ketika pertama kali dia terpesat dan terkapar di bukit karang Teluk Penanjung. Ada orang mendatanginya lalu membalikkan tubuhnya. Malam gelap, dia melihat agak samar-smar. Orang itu bermuka cacat. Raut wajahnya menyerupai Pangeran Matahari. Wajah Bagus Srubud tampan, tak ada cacatnya. Berarti keliru kalau dia menduga bahwa Bagus Srubud adalah Pangeran Matahari. Dua tahun lalu dia menghantam musuh besarnya itu hingga terjungkal dan amblas jatuh ke dalam jurang batu karang. Apakah Pangeran Matahari menemui ajalnya di dasar jurang? Pendekar Kipas Pelangi yang ditemuinya di Teluk Penanjung mengatakan bahwa Pangeran Matahari telah lama menemui ajal. (Baca Episode sebelumnya berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa.”). Namun murid Sinto Gendeng kini mulai meragukan hal itu. “Jangan-jangan bangsat itu masih hidup. Apa mungkin si muka cacat itu rohnya yang gentayangan?”
“Kau seperti melamun. Apa yang kau pikirkan?”
Pertanyaan Kinasih membuat Wiro sadar. Sambil menggaruk kepala dia bertanya. “Apa kau sudah menceritakan semua yang terjadi? Tidak ada yang terlupa? Sesuatu yang kau lupakan tapi bisa menjadi petunjuk?”
Kinasih memandang ke arah kejauhan. Kemudian menggelengkan kepala. “Kurasa semua sudah keceritakan. Kalaupun ada rasanya bukan merupakan petunjuk, malah membuat kepalaku jadi sakit, hatiku panas dan bertambah dendam terhadap Bagus Srubud…”
“Coba kau ceritakan…” kata Wiro.
“Sebelum pergi Bagus Srubud jahanam itu berkata, kalau aku sampai hamil maka itu bukan perbuatannya. Tapi perbuatan orang lain yang melakukannya sebelum dia. Apa tidak gila?!”
“Memang gila tapi juga aneh. Mengapa dia berkata seperti itu…” menyahuti Wiro.
“Ada yang lebih aneh!” kata Kinasih. “Dia berucap kalau dia hanya meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli. Seharusnya aku berterima kasih padanya karena dia memberikan tambahan kesenangan padaku selama dua hari…”
Sepasang mata Pendekar 212 menyipit. Keningnya mengerenyit. Memang aneh. Apa maksudnya dia berkata begitu. Apa mungkin…” Wiro tidak teruskan ucapannya. Telinganya menangkap suara sesuatu. Seperti derap kaki kuda.
“Apa yang harus aku lakukan? Kemana aku harus pergi?”
“Kau harus pulang ke rumahmu di Kotaraja…”
“Tidak mungkin! Aku tidak akan melakukan hal itu…”
Wiro mengangkat tangannya memberi tanda. “Jangan bicara, aku mendengar suara aneh.
Mendatangi ke arah sini…”
Belum lama Pendekar 212 berucap tiba-tiba di arah kanan kelihatan debu mengepul disertai suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian dua sosok tinggi aneh muncul di tempat itu. Kinasih terpekik. Kaget dan takut.
“Kinasih, lari! Lekas tinggalkan tempat ini!” kata Wiro.
Tapi saking takutnya Kinasih malah tidak bisa lari. Sekujur tubuhnya bergeletar menggigil. Lututnya goyah. Seumur hidup belum pernah dia melihat makhluk aneh mengerikan seperti ini.
“Monyet gondrong! Dulu kau boleh lolos dari kematian karena ada yang menolong! Hari ini jangan harap kau bisa selamat!” Satu suara berucap lantang.
Menyusul suara kedua.
“Tapi jika kau mau menjawab beberapa pertanyaan, nyawamu mungkin masih bisa diampuni. Kami hanya akan membuat cacat dirimu seumur-umur. Bukan begitu saudaraku?!”
“Ha… ha… ha! Ucapanmu betul sekali! Biar aku mulai saja dengan pertanyaan pertama! Pendekar 212! Dimana beradanya Kitab Wasiat Malaikat?!”
“Sekarang aku yang gantian bertanya! Pendekar 212! Apakah saat ini kau membawa Kitab Wasiat Dewa?!”
Rahang murid Sinto Gendeng menggembung. “Dua makhluk jahanam ini! Mereka mencari kitab-kitab sakti itu rupanya. Aku sudah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan kesaktian mereka di bukit karang Teluk Penanjung. Aku haru berlaku hati-hati…”
Selagi Wiro berkata dalam hati seperti itu, salah satu dari sosok tinggi di hadapannya berbisik pada sosok di sebelahnya. “Ada perempuan cantik bersama monyet gondrong itu. Kalau sudah dapat keterangan segera saja kita habisi dia. Lalu perempuan itu kita bawa kabur ke pondok di kali Pabelan.”
“Aku setuju sekali,” jawab sosok satunya. “Memang sejak orang-orang Keraton Surakarta mencari-cari kita, kita tidak punya waktu banyak bersenang-senang. Sekarang ada rejeki besar di depan mata, cantik dan mulus! Siapa mau menolak?! Ha… ha… ha!”
“Bagus, apakah hari ini hari yang kau janjikan itu? Kita sama-sama pergi meninggalkan goa?”
Pangeran Matahari mengangguk. “Kenakan pakaianmu. Aku menunggu di luar.”
Saking gembiranya Kinasih memeluk Panegran Matahari tanpa dia tahu apa sebenarnya yang akan terjadi sebentar lagi. Sementara Pangeran Matahari yang dikenalnya sebagai lelaki bernama Bagus Srubud itu melangkah ke luar goa, Kinasih cepat mengenakan pakaian. Ketika kemudia dia keluar dari goa dilihatnya Pangeran Matahari telah duduk di atas seekor kuda. Di depan rerumpunan semak belukar perempuan muda ini tertegun sesaat.
“Ah, di dalam goa aku tidak bisa melihat parasnya dengan jelas. Ternyata dia seorang pemuda berwajah gagah. Tubuhnya kuat. Aku benar-benar bahagia bisa mendapatkannya,. Demi rasa sukaku padanya, apapun yang terjadi akan kuhadapi… Tapi aku tidak pernah menduga kalau dia adalah seorang pejabat Keraton.”
“Kau memperhatikan diriku agak aneh. Ada apakah?” bertanya Pangeran Matahari.
Kinasih melangkah mendekati lelaki itu, letakkan kepalanya di pinggul Pangeran Matahari. Sambil mengusap-usap paha Pangeran Matahari dia berkata. “Aku sangat bahagia hari ini. Satu hal aku tidak menduga. Kau ternyata adalah seorang petinggi Kertaon…”
Pangeran Matahari memandang pada pakaian bagus yang dikenakannya lalu tersenyum.
“Mengingat apa yang kau lakukan, apakah kau tidak takut akan kehilangan jabatanmu Bagus Srubud?”
“Aku tidak pernah merasa takut menghadapi apa dan siapapun…”
Kinasih angkat kepalanya. “Aku senang mendengar ucapanmu itu. Kita pergi sekarang? Kau akan membawaku kemana Bagus?”
“Aku akan pergi sendirian. Aku tak akan membawamu kemana-mana Kinasih…”
Ucapan Pangeran Matahari itu mengejutkan Kinasih. Wajahnya yang cantik mengerenyit.
“Kau tentunya bergurau Bagus…”
“Di dalam goa, ketika memeluk dan menciummu, aku memang suka bergurau. Tapi kali ini tidak.”
“Bagus, apa maksudmu?!” tanya Kinasih.
“Maksudku, aku akan pergi kemana aku suka dan kau juga boleh pergi kemana kau suka.”
“Astaga! Aku benar-benar tidak mengerti…”
“Kau bisa berusaha mengerti setelah aku pergi. Terima kasih untuk kesenangan yang kau berikan padaku selama dua hari ini. Selamat tinggal Kinasih….”
“Kau tidak menepati janji! Kau…”
“Aku tidak pernah berjanji. Kalaupun aku pernah berjanji, aku memang bukan seorang yang suka menepati janji!”
“Bagus Srubud, aneh sekali! Kau tiba-tiba berubah. Atau kau memang sudah berencana menipuku!”
Pangeran Matahari tertawa bergelak. “Aku memang manusia segala akal dan paling licik di dunia ini. Soal tipu menipu bagiku adalah soal kecil!”
“Ya Tuhan! Teganya kau berkata begitu. Teganya kau menipu diriku! Kau culik aku, kau sekap aku di dalam goa. Aku kau jadikan…”
“Apapun yang telah terjadi aku tidak perduli!”
Pangeran Matahari menepuk pinggul kudanya. Binatang itu melompat ke depan hampir menyeret Kinasih kalau perempuan ini tidak cepat melepaskan pegangannya di kaki sang Pangeran.
“Bagus! Tunggu! Bagaimana kalau aku mengandung?!” berteriak Kinasih sambil coba mengejar.
Di atas punggung kudanya Pangeran Matahari hanya menoleh sebentar lalu dengan seringai di wajahnya dia berkata. ”Kalau kau hamil, kurasa itu bukan perbuatanku. Ada orang lain yang melakukan sebelum aku…”
Kinasih terpekik mendengar kata-kata itu. Wajahnya seputih kain kafan. Suaranya bergetar ketika berkata. “Selama ini aku tidak pernah berbuat seperti yang kita lakukan dengan orang lain. Juga tidak dengan suamiku sendiri. Aku…”
Pangeran Matahari tersenyum. Begitu senyumnya lenyap mulutnya berucap. “Aku hanya meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli. Seharusnya kau berterima kasih padaku karena aku telah memberikan kesenangan tambahan selama dua hari padamu. Ha… ha… ha!”
“Kau… katamu kau meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli? Ucapan gila apa ini?!” Kau mau pergi begitu saja sementara aku bakal menghadapi masalah besar. Bagaimana kalau aku mengandung Bagus? Bagaimana…?!”
“Kau membuat aku jengkel Kinasih. Sudahlah! Jika kau nanti benar-benar mengandung dan melahirkan seorang bayi, kau bisa memelihara anak itu. Jika kau tidak sudi memeliharanya, berikan pada orang lain. Jika kau juga tak mau melakukan hal itu, bunuh saja bayimu! Ha… ha… ha Aku tidak perduli kau mau berbuat apa. Karena bayi itu bukan anakku! Bukan darah dagingku!”
Kembali Kinasih terpekik. Sekujur tubuhnya menggigil lunglai. Hampir dia jatuh ke tanah tiba-tiba seperti ada satu kekuatan masuk ke dalam dirinya, perempuahn muda ini lari mengejar ke atas lembah, ke arah perginya Pangeran Matahari. Dia berlari sambil tiada hentinya memanggil-manggil nama Bagus Srubud. Dia baru berhenti berlari ke bagian atas lembah ketika dadanya sesak dan tubuhnya terasa lemas. Kinasih melihat dunia ini seperti berputar. Dua tangannya memegangi dada yang mendadak terasa sakit seperti ditindih batu besar. Perlahanlahan tubuhnya terhuyung ke belakang. Sesaat lagi dia akan terbanting jatuh dan terguling ke dasar lembah, satu tangan kokoh merangkul pingganggnya yang ramping. Lalu dia merasa seperti dilarikan oleh seseorang. Di satu tempat orang ini berhenti dan menurunkannya.
“Bagus… Bagus Srubud?”
Kinasih berucap menyebut nama itu. Tapi ketika dia mendongak, dia tidak melihat wajah Bagus Srubud, melainkan seorang pemuda bertampang gagah, berambut gondrong dan memandang padanya sambil tersenyum polos.
“Aku bukan orang yang barusan namanya kau sebut. Aku kebetulan lewat dan melihatmu hampir terguling ke dasar lembah…”
Kinasih seperti belum sadar dan percaya apa yang dialaminya. Dia memandang berkeliling. “Bagus Srubud…” ucapnya perlahan. Lalu pandangannya ditujukan pada sosok pemuda gondrong di depannya. Setelah itu dia jatuhkan diri, tutupi muka dengan dua tangan dan mulai terisak menangis.
“Walah! Apa ucapanku tadi ada yang salah? Sampai membuat perempuan muda ini menangis?” Si gondrong bicara sendiri sambil garuk-garuk kepala. Dia menunggu. Tapi tangis Kinasih semakin keras. Membuat si gondrong jadi bingung, melangkah mundar-mandir sambil tiada henti menggaruk kepala.
“Dari pada mencari urusan lebih baik aku tinggalkan saja perempuan ini,” kata si gondrong pula dalam hati. Namun memandang wajah yang menangis dan kini tidak lagi ditutupi tangan, hatinya merasa hiba.
“Ah, kasihan juga kalau aku tinggal. Lagi pula wajahnya cantik ayu. Biar kutunggu saja. Kalau sudah capai dia pasti berhenti menangis. Belum pernah kulihat ada perempuan mampu menangis sampai satu hari satu malam!” Si gondrong lalu mendekati sebuah pohon dan duduk bersandar di situ sambil senyum-senyum memperhatikan Kinasih menangis.
Seperti ucapan si gondrong, akhirnya Kinasih berhenti juga menangis. Dengan matanya yang bengkak merah perempuan ini memandang pada pemuda yang duduk di bawah pohon itu.
“Kau siapa? Mana Bagus Srubud…?”
“Aku tidak kenal Bagus Srubud. Juga tidak tahu dia berada di mana. Kau mau menerangkan siapa adanya orang bernama Bagus Srubud itu?”
“Aku…” Kinasih tutup wajahnya dengan dua tangan. “Aku tertipu. Dia… dia menculikku. Membawaku ke goa di lembah di sana. Tutur katanya penuh rayuan. Aku tak bisa bertahan…”
“Waktu aku sampai di lembah ini, aku melihat seorang penunggang kuda lari ke arah sana sementara kau mendaki lembah mengejar. Aku tidak tahu mau berbuat apa. Tapi ketika melihat kau hampir jatuh terguling, aku memutuskan menolongmu, tidak mengejar orang berkuda itu…”
“Dia… penunggang kuda itu Bagus Srubud. Manusia penipu. Jahanam terkutuk. Dia hanya ingin melampiaskan nafsu bejatnya terhadap diriku…”
“Ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu…”
“Aku tidak mungkin menceritakan pada orang lain. Aku malu, benar-benar malu. Aib yang kubuat terlalu besar. Tidak, tidak mungkin kuceritakan padamu. Apalagi aku tidak kenal siapa kau sebenarnya…”
“Kau tak usah malu padaku. Namaku Wiro Sableng. Ceritakan apa yang terjadi. Mungkin aku bisa menolong…”
“Wiro Sableng? Namamu Wiro Sableng…? Kau tahu, sableng itu artinya kurang waras, berotak miring. Kau tidak berotak miring ‘kan?”
Si gondrong Wiro tertawa. “Mungkin cuma sedikit kurang waras, sedikit agak miring.”
“Aku tidak mau bicara pada orang gila!”
Murid Sinto Gendeng menyengir. “Kalau kau tinggal sekitar sini, sebaiknya kau segera saja pulang ke rumah…”
Kinasih menggeleng. “Setelah apa yang terjadi, aku tidak mungkin kembali ke rumah. Aku… aku tinggal di Kotaraja…”
“Kebetulan aku akan ke Kotaraja untuk satu urusan. Aku bisa menemanimu…”
Kinasih menggeleng.
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Aku tahu, kau pasti punya pikiran begini. Orang seperti Bagus Srubud saja yang tadinya kau sukai tidak dapat dipercaya. Apalagi orang sableng seperti diriku.” Wiro bankit berdiri. “Kau berada di tempat aman. Kotaraja tak jauh dari sini. Kau bisa ke sana tanpa pertolongan siapa-siapa…”
“Tunggu!” panggil Kinasih ketika dilihatnya Wiro hendak melangkah pergi. Wiro hentikan langkah, Kinasih menatap sejurus pemuda di hadapannya itu. “Sebenarnya wajahnya tampan, tapi lagaknya konyol tak karuan. Kalau otaknya benar-benar kurang waras aku bisa tambah celaka.” Kinasih berpikir lalu untuk menghilangkan kebimbangan dia bertanya. “Apakah ku bisa kupercaya dan mau menolongku?”
“Perempuan cantik sepertimu seharusnya jangan mudah percaya pada siapa saja. Apa lagi yang namanya laki-laki seperti aku ini! Tapi soal menolong bagaimana aku bisa kalau apa yang terjadi saja ceritanya aku tidak tahu!” jawab Wiro.
“Baik, baik… aku akan ceritakan…”
“Dari permulaan, jangan ada yang kau lupakan.”
Kinasih mengangguk. “Namaku Kinasih. Suamiku adalah…”
“Eh, kau ini sudah bersuami rupanya. Kukira masih gadis perawan!” Wiro memotong sambil senyum dan garuk kepala.
Kata-kata Wiro membuat wajah Kinasih jadi merah. “Jangan bergurau. Jangan memotong ceritaku atau lebih baik aku bungkam saja…”
“Mulutku memang suka ketelepasan. Tapi aku tadi bicara polos. Kau begini muda, cantik. Siapa mengira…”
“Suamiku adalah Raden Mas Sura Kalimarta, seorang juru ukir Keraton. Usianya sudah lanjut, lebih dari enam puluhan. Kami kawin atas kehendak Sri Baginda. Aku memang sejak lama mengagumi kepandaian Sura Kalimarta dan tidak menyangka satu hari akan menjadi istrinya. Sebenarnya kalau Sri Baginda tidak keliwat memaksa, mungkin aku tidak akan menjadi istri orang yang pantas menjadi ayah bahkan kakekku. Selama beberapa tahun kawin kami tidak mempunyai anak…”
“Suamimu mandul…”
Kinasih pelototkan matanya yang merah bengkak habis menangis.
Wiro garuk-garuk kepala. ”Maaf, mulutku usil lagi…”
“Aku tidak tahu suamiku mandul atau tidak. Yang jelas selama kawin sekian tahun dia tidak pernah menggauliku sebagaimana layaknya seorang suami…”
“O… ooo…” Wiro tersenyum ketika dilihatnya Kinasih kembali membesarkan mata.
“Mungkin suamiku sudah terlalu uzur. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dan memperhatikan pekerjaanya. Walau aku menghormati dan mengagumi Raden Mas Sura Kalimarta namun sebagai seorang istri hidupku penuh tekanan batin. Aku berusaha bertahan menebalkan iman, terutama terhadap godaan dari lelaki yang berusaha mendekatiku dan mengajakku berselingkuh. Aku tidak tahu sampai kapan bisa berbuat begitu. Beberapa hari lalu aku menyambangi seorang sahabat yang baru saja melangsungkan perkawinan di sebuah desa tak jauh dari Kotaraja. Waktu pestanya aku tidak berkesempatan datang. Dalam perjalanan pulang turun hujan lebat. Kabarnya terjadi banjir di sebuah kali yang akan dilalui rombongan. Perjalanan kami jadi terhalang. Menjelang malam baru bisa dilanjutkan.”
“Di satu tempat sepi dan gelap tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda menyerang rombongan. Kami mengira dia adalah seorang perampok tunggal berani mati. Kukatakan demikian karena dalam rombongan terdapat beberapa orang berkepandaian tinggi. Salah seorang di antaranya adalah Ki Suryo Tambaksari. Seorang pejabat tinggi di Kotaraja yang bulan depan bakal diangkat menjadi Adipati Klaten. Ternyata perampok tunggal itu punya kepandaian luar biasa. Semua lelaki dalam rombongan berjumlah tujuh orang tewas di tangannya. Perampok itu juga membunuh Ni Alursutri, sahabatku dalam perjalanan. Mayat mereka kemudian dibuang ke dalam jurang. Aneh, mengapa dia susah-susah melakukan hal itu…”
“Karena dia ingin menghilangkan jejak,” menyahuti Wiro.
“Mungkin begitu,” kata Kinasih. “Anehnya lagi si perampok tidak menjarah harta atau uang kami. Ternyata dia mengincar diriku. Dalam malam begitu gelap aku tidak sempat melihat atau mengenali tampang si perampok, selagi aku berusaha melarikan diri, tiba-tiba ada satu tusukan di punggungku. Aku langsung tidak sadarkan diri…”
“Hemmm…” Wiro garuk-garuk kepala. “Itu bukan totokan biasa…” kata murid Sinto Gendeng ini.
“Ketika siuman, kudapati diriku berada dalam sebuah goa bersama perampok itu. Lagilagi aku tidak bisa melihat jelas orang itu karena goa dimana aku disekap gelap. Namun dari bentuk tubuhnya aku bisa menduga dia masih muda dan samar-samar bayangan wajahnya tampak tampan dalam gelap.”
”Pemuda itu mengaku bernama Bagus Srubud. Menurutnya dia menculikku untuk memaksa suamiku. Aku bertanya memaksa apa, tapi dia tidak menjawab. Saat-saat pertama aku sangat membenci dirinya. Tapi sikapnya yang sopan dan tutur bicaranya yang halus membuat lama-lama aku merasa tertarik. Lalu timbul rasa suka. Entah bagaimana aku tak tahu bagaimana menerangkannya, hari-hari berikutnya kami sudah berada dalam hubungan sangat mesra. Aku tidak kuasa menolak semua apa yang dilakukannya. Semua yang selama ini tidak pernah aku dapatkan dari suamiku…” Sampai di situ Kinasih terdiam sejenak, wajahnya yang merah ditutupinya lagi dengan ke dua tangannya. Setelah menahan isak dan diam lagi beberapa lamanya baru dia melanjutkan. “Aku tahu aku telah berbuat salah dan dosa besar. Tapi hatiku terhibur karena Bagus Srubud berjanji tidak akan meninggalkan diriku, akan membawa aku kemana dia pergi. Menurutku ucapannya itu berarti dia akan mengambil aku sebagai istri. Aku sudah bertekad untuk tidak akan kembali lagi ke Kotaraja. Bukan saja karena aku tidak ingin kehilangan pemuda itu, tapi juga karena aku merasa tak layak lagi untuk kembali pada suamiku.”
“Dua hari lalu Bagus kembali ke goa. Aku tidak tahu dia pergi kemana,. Sekali ini sikap dan sentuhannya terhadapku luar biasa. Aku mengira mungkin itu karena dia rindu padaku. Namun ada semacam perasaan aneh yang tak biasa kupecahkan. Lalu pagi tadi terjadi hal yang tidak kuduga sama sekali. Pertama, dari pakaiannya baru kuketahui Bagus Srubud ternyata adalah seorang pejabat tinggi Keraton. Kemudian ini yang membuatku ingin mati saja. Bagus Srubud meninggalkan diriku. Aku tengah mengejarnya ketika kau muncul menolongku…”
Sampai di sini Kinasih tak dapat lagi menahan dirinya. Perempuan ini kembali menangis. “Aku tak tahu mau melakukan apa. Atau mau pergi kemana. Bagus Srubud jahanam! Terkutuk dia selama-lamanya…”
“Aku tidak yakin orang bernama Bagus Srubud itu petinggi Keraton. Kalau dia memang orang Istana kau tidak akan dibiarkannya hidup. Setelah melakukan perbuatan keji itu dia pasti ingin menghilangkan jejak. Tapi untuk menguji, tidak ada salahnya kau melaporkan kejadian ini pada petinggi lainnya di Kotaraja.”
“Itu sama saja degan membuka aibku sendiri,” kata Kinasih dan lalu geleng-gelengkan kepalanya.
“Yang aku takutkan kalau aku menandung. Anakku lahir tanpa ayah. Memalukan sekali. Aibku terlalu besar. Jahanam Bagus Srubud itu malah tega berucap, jika aku tidak mau memelihara bayiku, berikan pada orang lain atau membunuhnya!”
“Coba kau ingat-ingat. Bagaimana ciri-ciri orang bernama Bagus Srubud itu. Tidak pernah aku menemui manusia sekeji itu…” Wiro lalu berpikir, menduga-duga.
“Dia masih muda. Wajahnya tampan. Rambut hitam lebat…”
“Tidak ada tanda-tanda tertentu…?” tanya Wiro.
Kinasih menggeleng. Wiro berpikir lagi. Dia coba mengingat-ingat kejadian malam itu. Ketika pertama kali dia terpesat dan terkapar di bukit karang Teluk Penanjung. Ada orang mendatanginya lalu membalikkan tubuhnya. Malam gelap, dia melihat agak samar-smar. Orang itu bermuka cacat. Raut wajahnya menyerupai Pangeran Matahari. Wajah Bagus Srubud tampan, tak ada cacatnya. Berarti keliru kalau dia menduga bahwa Bagus Srubud adalah Pangeran Matahari. Dua tahun lalu dia menghantam musuh besarnya itu hingga terjungkal dan amblas jatuh ke dalam jurang batu karang. Apakah Pangeran Matahari menemui ajalnya di dasar jurang? Pendekar Kipas Pelangi yang ditemuinya di Teluk Penanjung mengatakan bahwa Pangeran Matahari telah lama menemui ajal. (Baca Episode sebelumnya berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa.”). Namun murid Sinto Gendeng kini mulai meragukan hal itu. “Jangan-jangan bangsat itu masih hidup. Apa mungkin si muka cacat itu rohnya yang gentayangan?”
“Kau seperti melamun. Apa yang kau pikirkan?”
Pertanyaan Kinasih membuat Wiro sadar. Sambil menggaruk kepala dia bertanya. “Apa kau sudah menceritakan semua yang terjadi? Tidak ada yang terlupa? Sesuatu yang kau lupakan tapi bisa menjadi petunjuk?”
Kinasih memandang ke arah kejauhan. Kemudian menggelengkan kepala. “Kurasa semua sudah keceritakan. Kalaupun ada rasanya bukan merupakan petunjuk, malah membuat kepalaku jadi sakit, hatiku panas dan bertambah dendam terhadap Bagus Srubud…”
“Coba kau ceritakan…” kata Wiro.
“Sebelum pergi Bagus Srubud jahanam itu berkata, kalau aku sampai hamil maka itu bukan perbuatannya. Tapi perbuatan orang lain yang melakukannya sebelum dia. Apa tidak gila?!”
“Memang gila tapi juga aneh. Mengapa dia berkata seperti itu…” menyahuti Wiro.
“Ada yang lebih aneh!” kata Kinasih. “Dia berucap kalau dia hanya meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli. Seharusnya aku berterima kasih padanya karena dia memberikan tambahan kesenangan padaku selama dua hari…”
Sepasang mata Pendekar 212 menyipit. Keningnya mengerenyit. Memang aneh. Apa maksudnya dia berkata begitu. Apa mungkin…” Wiro tidak teruskan ucapannya. Telinganya menangkap suara sesuatu. Seperti derap kaki kuda.
“Apa yang harus aku lakukan? Kemana aku harus pergi?”
“Kau harus pulang ke rumahmu di Kotaraja…”
“Tidak mungkin! Aku tidak akan melakukan hal itu…”
Wiro mengangkat tangannya memberi tanda. “Jangan bicara, aku mendengar suara aneh.
Mendatangi ke arah sini…”
Belum lama Pendekar 212 berucap tiba-tiba di arah kanan kelihatan debu mengepul disertai suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian dua sosok tinggi aneh muncul di tempat itu. Kinasih terpekik. Kaget dan takut.
“Kinasih, lari! Lekas tinggalkan tempat ini!” kata Wiro.
Tapi saking takutnya Kinasih malah tidak bisa lari. Sekujur tubuhnya bergeletar menggigil. Lututnya goyah. Seumur hidup belum pernah dia melihat makhluk aneh mengerikan seperti ini.
“Monyet gondrong! Dulu kau boleh lolos dari kematian karena ada yang menolong! Hari ini jangan harap kau bisa selamat!” Satu suara berucap lantang.
Menyusul suara kedua.
“Tapi jika kau mau menjawab beberapa pertanyaan, nyawamu mungkin masih bisa diampuni. Kami hanya akan membuat cacat dirimu seumur-umur. Bukan begitu saudaraku?!”
“Ha… ha… ha! Ucapanmu betul sekali! Biar aku mulai saja dengan pertanyaan pertama! Pendekar 212! Dimana beradanya Kitab Wasiat Malaikat?!”
“Sekarang aku yang gantian bertanya! Pendekar 212! Apakah saat ini kau membawa Kitab Wasiat Dewa?!”
Rahang murid Sinto Gendeng menggembung. “Dua makhluk jahanam ini! Mereka mencari kitab-kitab sakti itu rupanya. Aku sudah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan kesaktian mereka di bukit karang Teluk Penanjung. Aku haru berlaku hati-hati…”
Selagi Wiro berkata dalam hati seperti itu, salah satu dari sosok tinggi di hadapannya berbisik pada sosok di sebelahnya. “Ada perempuan cantik bersama monyet gondrong itu. Kalau sudah dapat keterangan segera saja kita habisi dia. Lalu perempuan itu kita bawa kabur ke pondok di kali Pabelan.”
“Aku setuju sekali,” jawab sosok satunya. “Memang sejak orang-orang Keraton Surakarta mencari-cari kita, kita tidak punya waktu banyak bersenang-senang. Sekarang ada rejeki besar di depan mata, cantik dan mulus! Siapa mau menolak?! Ha… ha… ha!”
BAB 9
Bukit Ampel memang terletak di pedataran yang tidak terlalu tinggi. Namun kawasan ini serigkali diselimuti kabut, terutama mulai menjelang malam. Malam itu, baru saja bulan purnama muncul dari balik awan tebal, kabut telah berarak turun ke puncak bukit.
Di salah satu lereng Bukit Ampel, susana sunyi sepi. Cahaya rembulan yang tidak menembus kabut membuat tempat itu berada dalam keadaan gelap temaram. Di kejauhan sesekali terdengar suara raungan anjing.
Di gelapnya malam, di bawah hembusan angin yang terasa mencucuk dingin satu sosok samar-samar berjalan di balik kabut. Sekeluarnya dari kabut seharusnya sosok ini akan kelihatan lebih jelas. Tapi ternyata tetap saja bentuknya samar. Lalu bila diperhatikan gerakan sepasang kakinya seperti tidak menginjak tanah!
Sosok aneh ini berupa seorang gadis cantik berwajah pucat. Pakaiannya di sebelah atas berupa sehelai kebaya putih dalam. Di bagian bawah dia mengenakan celana panjang juga berwarna putih. Di puncak bukit sosok aneh ini tegak sebentar, memandang berkeliling lalu mendongak ke langit.
“Malam mulai larut. Apakah salah aku menyirap kabar bahwa para gadis gila itu memang telah memilih bukit Ampel ini sebagai tempat pertemuan? Aku akan menunggu. Tapi jika menjelang fajar mereka tidak muncul, tak mungkin begitu berada lebih lama di tempat ini…”
Di kejauhan kembali terdengar suara lolongan anjing. Di langit bulan terlindungg awan. Puncak Bukit Ampel semakin gelap. Apa lagi kabut semakin banyak yang turun.
Tiba-tiba dari sebelah barat puncak bukit berkelebat satu bayangan ungu. Lenyap sebentar ditelan kabut lalu muncul lagi lebih jelas. Ternyata orang ini adalah seorang gadis berpakaian ringkas warna ungu. Sehelai selendang juga berwarna ungu melingkar di lehernya, salah satu ujungnya menjulai di ats dada. Jika diperhatikan ujung selendang yang menjulai, akan kelihatan di situ tertera tiga buah angka yang tak asing lagi : 212. Konon angka itu Pendekar 212 Wiro Sableng sendiri yang mengguratnya sebagai kenang-kenangan.
“Hemmm… Satu sudah muncul…” Sosok samar berpakaian putih berkata sambil sepasang matanya tak berkesip memandang gadis berpakaian ungu itu. Rupanya dia bisa melihat gadis itu sebaliknya si baju ungu tidak melihat dirinya padahal jarak mereka di puncak Bukit Ampel itu hanya terpisah kurang dari lima langkah.
Gadis berpakaian serba ungu ini dalam rimba persilatan dikenal dengan nama Anggini. Dia pernah mendapat julukan Dewi Kerudung Biru namun dia lebih suka memperkenalkan diri dengan nama aslinya (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Keris Tumbal Wilayuda.”)
Seperti diketahui Anggini adalah murid Dewa Tuak. Sejak pertemuan Anggini yang pertama dengan Pendekar 212 Wiro Sableng yang memang sengaja diatur oleh dedengkot persilatan Tanah Jawa itu, sebenarnya Dewa Tuak ingin menjodohkan Anggini dengan Wiro. Anggini sendiri, terlepas dari niat gurunya itu secara diam-diam memang mengasihi Wiro. Beberapa kali dia berusaha mendekati sang Pendekar. Namun tanggapan dari murid Sinto Gendeng walaupun baik dan ramah serta mereka sempat berkawan dekat, sama sekali tidak menjurus pada apa yang diharapkan Anggini.
Setelah bertahan cukup lama akhirnya Anggini menyadari bahwa tidak ada harapan baginya untuk hidup bersama dengan Wiro. Walau hatinya sedih dan sangat berat namun dengan penuh ketabahan Anggini berusaha menjauhkan diri dari Wiro. Terakhir sekali mereka bertemu di Gajahmungkur sewaktu terjadi perang hebat antara para tokoh golongan putih dengan Datuk Lembah Akhirat dan anak buahnya. (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Gerhana Di Gajahmungkur.”)
Anggini kemudian pergi bersama seorang pemuda bernama Panji yang diam-diam mengasihi gadis ini. Mereka berangkat menuju Pulau Andalas untuk memenuhi permintaan tokoh nomor satu di sana yakni Nyanyuk Amber yang ingin mewariskan ilmu silat dan kaktiannya pada sepasang muda-mudi itu. Walau berada jauh di seberang lautan namun Anggini tidak pernah lupa meyirap kabar apa yang terjadi di Tanah Jawa. Dia kemudian mengetahui bahwa sejak dua tahun terakhir Pendekar 212 Wiro Sableng telah lenyap tanpa diketahui kemana perginya. Hasrat Anggini untuk menyelidik apa yang terjadi dengan orang yang dikasihinya itu tak dapat dibendung. Yang paling ditakutinya—walau sadar dia tidak berjodoh dengan Wiro—ialah kalau Wiro tahu-tahu telah melangsungkan perkawinan dengan seseorang tanpa dia mengetahui.
Suatu hari, belum lagi sang surya muncul di ufuk timur, setelah membuat dua pucuk surat, satu untuk Nyanyuk Amber dan satunya lagi untuk Panji, Anggini meninggalkan Pulau Andalas, menyeberang ke Tanah Jawa.
Letih berdiri menunggu, Anggini melangkah mundar-mandir di puncak bukit. Walau hidungnya membaui sesuatu, seperti bau bunga namun Anggini tidak menyadari kalau dia telah berulang kali melewati dekat sekali sosok gadis muka pucat berpakaian serba putih yang juga ada di tempat itu. Sebaliknya setiap Anggini lewat di depannya, gadis berpakaian putih memandang dengan mata membesar. Dalam hati dia berkata. “Aku tahu dia gadis baik. Dia gadis pertama yang mengasihi pemuda itu dengan hati bersih. Aku memang cemburu padanya. Tapi aku tidak mau berseteru dengan dirinya. Karena ku tahu, keduanya tak berjodoh satu sama lain…” Habis membatin seperti itu gadis berpakaian serba putih, cantik tapi berparas pucat ini pergi duduk di atas sebuah batu. Matanya terus saja mengawasi gerak gerik Anggini.
Puncak Bukit Ampel semakin sunyi, angin malam semakin dingin dan kabut semakin menebar. Anggini tiba-tiba palingkan kepala ke arah kiri. Ada suara berkelebat dari arah situ. Sebelumnya gadis berpakaian putih telah lebih dulu menoleh ke arah yang sama. Dari hal ini jelas diketahui bahwa bagaimanapun tingginya ilmu kepandaian murid Dewa Tuak, namun pendengaran gadis samar berpakaian putih jauh lebih tajam.
Sesaat kemudian muncullah seorang gadis berpakaian ringkas biru berbunga-bunga kuning. Walau wajahnya tidak dipoles dengan dandanan namun kecantikannya tetap terlihat mempesona. Pipi dan bibirnya merah segar. Sepasang alisnya sangat tebal dan hitam. Rambutnya yang panjang tergerai lepas, bergerak meliuk tertiup angin. Di punggungnya ada sebuah kantong berisi tujuh buah payung berwarna merah, biru, kuning, putih, hitam dan ungu.
“Dewi Payung Tujuh!” berucap dalam hati gadis berpakaian putih samar. “Setahuku gadis dari Pulau Andalas ini pertama kali datang ke Tanah Jawa untuk menjalankan tugas neneknya yaitu membunuh Wiro dan mencari sebuah kitab sakti. Kitab tidak ditemui, Wiro gagal dibunuhnya malah dia jatuh cinta pada sang Pendekar. Namun dia hanya bertepuk sebelah tangan. Cintanya lalu dialihkan pada seorang pemuda bernama Panji. Ternyata pemuda itu pergi bersama Anggini ke Pulau Andalas. Apakah kini dia telah menjadi seorang gadis patah hati karena kabarnya telah memencilkan diri di satu tempat di pantai selatan? Tapi melihat kepada raut wajahnya yang tetap segar dan ceria, agaknya dia tidak benar-benar terpukul akibat dua kali kehilangan cinta. Lalu apa maksudnya tiba-tiba muncul di tempat ini. Agaknya dia juga telah menerima undangan datang ke sini. Aku kasihan padanya. Tapi harus berhati-hati karena dia kini memiliki sebilah pedang luar biasa saktinya. Yaitu Pedang Naga Suci 212. Kabarnya dia adalah cucu seorang tokoh hebat dari Andalas berjuluk Tua Gila yang juga merupakan guru Pendekar
212. Dia juga pernah menyelamatkan nyawa Wiro sewaktu terluka parah akibat pukulan sakti Tiga Bayangan Setan. Aku tak mau kesalahan tangan terhadap gadis satu ini.” (Baca serail Wiro Sableng berjudul “Wasiat Dewa”, “Pedang Naga Suci 212”, dan “Gerhana Di Gajahmungkur”).
Anggini yang telah mengenal Dewi Payung Tujuh yang aslinya bernama Puti Andini segera datang menyambut.
“Aku senang melihat kau bisa datang…” Anggini membuka pembicaraan.
“Aku lebih gembira melihat kau sudah lebih dulu di sini. Kau datang jauh-jauh dari tanah seberang.” Kata Puti Andini sambil dalam hatinya mengagumi besarnya rasa cinta Anggini terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Gadis ini memandang berkeliling. “Ah, baru kita berdua yang datang. Agaknya kita harus bersabar menunggu para sahabat yang lain.”
“Siapa lagi menurutmu yang akan memenuhi undangan datang ke Bukit Ampel ini?” Puti Andini bertanya.
“Kurasa kita hanya tinggal menunggu dua orang saja. Sahabat Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung,” jawab Anggini. Gadis ini memandang berkeliling lalu berkata. “Aku sejak tadi membaui sesuatu di tempat ini. Apakah kau juga bisa mencium…”
“Ya, aku memang mencium sesuatu,” sahut Puti Andini. “Seperti bau bunga… Tapi di udara berkabut seperti ini apa saja bisa menimbulkan bau aneh.”
Gadis muka pucat berpakaian putih yang tidak terlihat baik oleh Anggini maupun Puti Andini tersenyum kecil mendengar percakapan dua gadis itu.
“Seperti ada angin bertiup dari arah sana…” Puti Andini berkata seraya menunjuk ke arah kegelapan di sebelah sana.
“Aku mencium bau harum semerbak. Agaknya salah satu dari orang yang kita tunggu segera muncul di sini. Dan aku sudah bisa menduga siapa orangnya.”
Baru saja Anggini selesai berucap tiba-tiba dari balik kabut tebal berkelebat satu bayangan biru disertai menebarnya bau sangat harum. Lalu muncullah gadis cantik jelita tinggi semampai berambut pirang sepinggang.
“Sahabat Bidadari Angin Timur!” Anggini dan Puti Andini menyebut nama gadis yang datang hampir berbarengan.
“Kalian sudah lebih dulu sampai rupanya,” kata Bidadari Angin Timur sambil tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya. “Aku gembira kita bisa bertemu dan berkumpul lagi.” Dengan kedua gadis itu Bidadari Angin Timur memang merasa agak dekat. Salah satu sebabnya karena dia tahu bahwa mereka bukan merupakan saingan yang berat dalam mencintai dan mendapatkan cinta dari Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kita tinggal menunggu satu kawan,” kata Anggini. “Aku tahu. Kita tak akan menunggu lama. Sebentar lagi dia pasti akan hadir di sini,” jawab Bidadari Angin Timur seraya memandang berkeliling. Lalu dia menyambung ucapannya tadi. “Tapi jika yang kita tunggu tidak segera datang, untuk tidak membuang waktu lebih baik
kita tinggalkan bukit ini. Kita bicarakan persoalan yang dihadapi di satu tempat lain…”
Puti Andini dan Anggini saling pandang heran. Anggini lantas berucap.
“Mengapa begitu, Bidadari Angin Timur? Mengapa kita harus berpindah tempat? Padahal kesepakatan sebelumnya di bukit ini kita akan bicara tuntas…”
Bidadari Angin Timur tersenyum. ”Nanti aku jelaskan pada kalian. Kalau orang yang kita tunggu memang tidak muncul.”
Sampai saat itu gadis cantik bermuka pucat yang duduk di batu masih tetap di tempatnya. Sepasang matanya tidak lepas-lepas memperhatikan gadis berambut pirang yang baru datang. Dia tahu dibanding dengan Anggini dan Puti Andini, Bidadari Angin Timur merupakan gadis cantik paling banyak mendapat tempat di hati Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Walau Wiro banyak membagi perhatian padanya, tapi apakah gadis satu ini benar-benar mencintai pemuda itu masih belum ada kejelasan. Setahuku dia belum pernah menyatakan rasa cintanya terhadap Wiro. Aku harus banyak memperhatikan gadis satu ini. Dia yang paling berhasrat untuk mendapatkan Wiro walau kadang-kadang di luaran bersikap seperti tidak acuh. Barusan dia mengajak dua gadis lainnya untuk pergi ke tempat lain. Aku tahu alasannya. Dia ingin menghindari pertemuan dengan gadis yang segera akan muncul. Karena gadis itu merupakan saingannya paling berat. Apa lagi beberapa waktu lalu mereka sempat berperang mulut di satu pekuburan. Dia ingin mencuri waktu untuk mendapatkan kesempatan. Si pirang ini selain cantik dan memiliki kepandaian tinggi, dia juga mempunyai otak cerdik…”
Selagi Bidadari Angin Timur, Anggini dan Puti Andini bercakap-cakap, di lereng bukit sebelah timur seorang yang berlari cepat sesaat hentikan larinya. Orang ini mengenakan pakaian panjang ketat berwarna putih, ditaburi manik-manik berwarna merah. Walau malam gelap tapi pakaian yang seolah mencetak bentuk tubuhnya yang bagus itu kelihatan berkilau-kilau. Di atas kepalanya ada satu mahkota kecil terbuat dari kerang berwarna merah. Anting, kalung dan gelang dari kerang juga menjadi perhiasannya. Sepasang mata yang berwarna biru menambah kecantikan dan keanggunannya. Orang yang menghentikan lari dengan tiba-tiba ini adalah Ratu Duyung. Dari balik pakaiannya sang Ratu keluarkan sebuah cermin bulat. Memandang ke dalam cermin sakti itu dia bisa melihat puncak Bukit Ampel.
Mula-mula hanya kegelapan yang terlihat. Ratu Duyung gerakkan cermin saktinya beberapa kali. Sesaat puncak bukit masih tampak menghitam. Kemudian mulai terlihat bayanganbayangan samar. Sang Ratu kerahkan tenaga dalam. Bayangan di cermin tampak menjelas.
“Ada tiga orang di puncak bukit sana…” Ratu Duyung berucap perlahan. “Wajah mereka masih agak samar, Tapi dari potongan tubuh aku bisa menduga siapa saja mereka. Kalau pertemuan nanti berlangsung jujur, aku akan jelaskan pada mereka semua apa yang kuketahui. Tapi kalau ada yang ingin menang sendiri, apalagi mengungkit-ungkit peristiwa lama, biar dia kubikin susah…” Ratu Duyung hendak masukkan cermin sakti kembali ke balik pakaian tapi tibatiba dia melihat sesuatu di sudut kaca sebelah atas.
“Astaga… Mataku hampir terlewat memperhatikan bayangan di bagian atas kaca. Aneh… Tiga gadis itu terlihat jelas. Kalau memang ada empat orang di puncak Bukit Ampel mengapa yang satu ini tidak muncul secara lebih jelas dalam cermin?” Ratu Duyung kembali kerahkan tenaga dalam. Satu cahaya putih berkilau di bagian atas cermin itu. Sang Ratu merasakan getaran halus di jari-jari tangan dan sepanjang lengan kanannya. “Aneh, jangan-jangan dia… Perempuan setan itu! Dendamku masih belum hapus terhadapnya. Dia dulu mencelakai diriku di Puri Pelebur Kutuk! Tapi untuk pastinya biar kuuji dengan ilmu Menyirap Detak Jantung.”
Habis berkata begitu Ratu Duyung simpan cermin saktinya. Dua tangnnya dirangkapkan di depan dada. Telapak tangan kanan dikembangkan, ditempelkan di dada kiri atas, tepat di jurusan atas jantung. Mulutnya dikatup rapat sementara matanya yang berwarna biru setengah dipejamkan.
Sesaat kemudian kelihatan wajah Ratu Duiyung berubah. “Benar dia…” katanya dalam hati. “Aku hanya mendengar tiga detak jantung. Detak jantung orang yang ke empat sama sekali tidak ada! Manusia hidup tidak mungkin tanpa jantungnya berdetak. Mengapa dia bisa muncul di Bukit Ampel. Siapa yang mengundangnya?! Aku harus berhati-hati…”
Di salah satu lereng Bukit Ampel, susana sunyi sepi. Cahaya rembulan yang tidak menembus kabut membuat tempat itu berada dalam keadaan gelap temaram. Di kejauhan sesekali terdengar suara raungan anjing.
Di gelapnya malam, di bawah hembusan angin yang terasa mencucuk dingin satu sosok samar-samar berjalan di balik kabut. Sekeluarnya dari kabut seharusnya sosok ini akan kelihatan lebih jelas. Tapi ternyata tetap saja bentuknya samar. Lalu bila diperhatikan gerakan sepasang kakinya seperti tidak menginjak tanah!
Sosok aneh ini berupa seorang gadis cantik berwajah pucat. Pakaiannya di sebelah atas berupa sehelai kebaya putih dalam. Di bagian bawah dia mengenakan celana panjang juga berwarna putih. Di puncak bukit sosok aneh ini tegak sebentar, memandang berkeliling lalu mendongak ke langit.
“Malam mulai larut. Apakah salah aku menyirap kabar bahwa para gadis gila itu memang telah memilih bukit Ampel ini sebagai tempat pertemuan? Aku akan menunggu. Tapi jika menjelang fajar mereka tidak muncul, tak mungkin begitu berada lebih lama di tempat ini…”
Di kejauhan kembali terdengar suara lolongan anjing. Di langit bulan terlindungg awan. Puncak Bukit Ampel semakin gelap. Apa lagi kabut semakin banyak yang turun.
Tiba-tiba dari sebelah barat puncak bukit berkelebat satu bayangan ungu. Lenyap sebentar ditelan kabut lalu muncul lagi lebih jelas. Ternyata orang ini adalah seorang gadis berpakaian ringkas warna ungu. Sehelai selendang juga berwarna ungu melingkar di lehernya, salah satu ujungnya menjulai di ats dada. Jika diperhatikan ujung selendang yang menjulai, akan kelihatan di situ tertera tiga buah angka yang tak asing lagi : 212. Konon angka itu Pendekar 212 Wiro Sableng sendiri yang mengguratnya sebagai kenang-kenangan.
“Hemmm… Satu sudah muncul…” Sosok samar berpakaian putih berkata sambil sepasang matanya tak berkesip memandang gadis berpakaian ungu itu. Rupanya dia bisa melihat gadis itu sebaliknya si baju ungu tidak melihat dirinya padahal jarak mereka di puncak Bukit Ampel itu hanya terpisah kurang dari lima langkah.
Gadis berpakaian serba ungu ini dalam rimba persilatan dikenal dengan nama Anggini. Dia pernah mendapat julukan Dewi Kerudung Biru namun dia lebih suka memperkenalkan diri dengan nama aslinya (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Keris Tumbal Wilayuda.”)
Seperti diketahui Anggini adalah murid Dewa Tuak. Sejak pertemuan Anggini yang pertama dengan Pendekar 212 Wiro Sableng yang memang sengaja diatur oleh dedengkot persilatan Tanah Jawa itu, sebenarnya Dewa Tuak ingin menjodohkan Anggini dengan Wiro. Anggini sendiri, terlepas dari niat gurunya itu secara diam-diam memang mengasihi Wiro. Beberapa kali dia berusaha mendekati sang Pendekar. Namun tanggapan dari murid Sinto Gendeng walaupun baik dan ramah serta mereka sempat berkawan dekat, sama sekali tidak menjurus pada apa yang diharapkan Anggini.
Setelah bertahan cukup lama akhirnya Anggini menyadari bahwa tidak ada harapan baginya untuk hidup bersama dengan Wiro. Walau hatinya sedih dan sangat berat namun dengan penuh ketabahan Anggini berusaha menjauhkan diri dari Wiro. Terakhir sekali mereka bertemu di Gajahmungkur sewaktu terjadi perang hebat antara para tokoh golongan putih dengan Datuk Lembah Akhirat dan anak buahnya. (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Gerhana Di Gajahmungkur.”)
Anggini kemudian pergi bersama seorang pemuda bernama Panji yang diam-diam mengasihi gadis ini. Mereka berangkat menuju Pulau Andalas untuk memenuhi permintaan tokoh nomor satu di sana yakni Nyanyuk Amber yang ingin mewariskan ilmu silat dan kaktiannya pada sepasang muda-mudi itu. Walau berada jauh di seberang lautan namun Anggini tidak pernah lupa meyirap kabar apa yang terjadi di Tanah Jawa. Dia kemudian mengetahui bahwa sejak dua tahun terakhir Pendekar 212 Wiro Sableng telah lenyap tanpa diketahui kemana perginya. Hasrat Anggini untuk menyelidik apa yang terjadi dengan orang yang dikasihinya itu tak dapat dibendung. Yang paling ditakutinya—walau sadar dia tidak berjodoh dengan Wiro—ialah kalau Wiro tahu-tahu telah melangsungkan perkawinan dengan seseorang tanpa dia mengetahui.
Suatu hari, belum lagi sang surya muncul di ufuk timur, setelah membuat dua pucuk surat, satu untuk Nyanyuk Amber dan satunya lagi untuk Panji, Anggini meninggalkan Pulau Andalas, menyeberang ke Tanah Jawa.
Letih berdiri menunggu, Anggini melangkah mundar-mandir di puncak bukit. Walau hidungnya membaui sesuatu, seperti bau bunga namun Anggini tidak menyadari kalau dia telah berulang kali melewati dekat sekali sosok gadis muka pucat berpakaian serba putih yang juga ada di tempat itu. Sebaliknya setiap Anggini lewat di depannya, gadis berpakaian putih memandang dengan mata membesar. Dalam hati dia berkata. “Aku tahu dia gadis baik. Dia gadis pertama yang mengasihi pemuda itu dengan hati bersih. Aku memang cemburu padanya. Tapi aku tidak mau berseteru dengan dirinya. Karena ku tahu, keduanya tak berjodoh satu sama lain…” Habis membatin seperti itu gadis berpakaian serba putih, cantik tapi berparas pucat ini pergi duduk di atas sebuah batu. Matanya terus saja mengawasi gerak gerik Anggini.
Puncak Bukit Ampel semakin sunyi, angin malam semakin dingin dan kabut semakin menebar. Anggini tiba-tiba palingkan kepala ke arah kiri. Ada suara berkelebat dari arah situ. Sebelumnya gadis berpakaian putih telah lebih dulu menoleh ke arah yang sama. Dari hal ini jelas diketahui bahwa bagaimanapun tingginya ilmu kepandaian murid Dewa Tuak, namun pendengaran gadis samar berpakaian putih jauh lebih tajam.
Sesaat kemudian muncullah seorang gadis berpakaian ringkas biru berbunga-bunga kuning. Walau wajahnya tidak dipoles dengan dandanan namun kecantikannya tetap terlihat mempesona. Pipi dan bibirnya merah segar. Sepasang alisnya sangat tebal dan hitam. Rambutnya yang panjang tergerai lepas, bergerak meliuk tertiup angin. Di punggungnya ada sebuah kantong berisi tujuh buah payung berwarna merah, biru, kuning, putih, hitam dan ungu.
“Dewi Payung Tujuh!” berucap dalam hati gadis berpakaian putih samar. “Setahuku gadis dari Pulau Andalas ini pertama kali datang ke Tanah Jawa untuk menjalankan tugas neneknya yaitu membunuh Wiro dan mencari sebuah kitab sakti. Kitab tidak ditemui, Wiro gagal dibunuhnya malah dia jatuh cinta pada sang Pendekar. Namun dia hanya bertepuk sebelah tangan. Cintanya lalu dialihkan pada seorang pemuda bernama Panji. Ternyata pemuda itu pergi bersama Anggini ke Pulau Andalas. Apakah kini dia telah menjadi seorang gadis patah hati karena kabarnya telah memencilkan diri di satu tempat di pantai selatan? Tapi melihat kepada raut wajahnya yang tetap segar dan ceria, agaknya dia tidak benar-benar terpukul akibat dua kali kehilangan cinta. Lalu apa maksudnya tiba-tiba muncul di tempat ini. Agaknya dia juga telah menerima undangan datang ke sini. Aku kasihan padanya. Tapi harus berhati-hati karena dia kini memiliki sebilah pedang luar biasa saktinya. Yaitu Pedang Naga Suci 212. Kabarnya dia adalah cucu seorang tokoh hebat dari Andalas berjuluk Tua Gila yang juga merupakan guru Pendekar
212. Dia juga pernah menyelamatkan nyawa Wiro sewaktu terluka parah akibat pukulan sakti Tiga Bayangan Setan. Aku tak mau kesalahan tangan terhadap gadis satu ini.” (Baca serail Wiro Sableng berjudul “Wasiat Dewa”, “Pedang Naga Suci 212”, dan “Gerhana Di Gajahmungkur”).
Anggini yang telah mengenal Dewi Payung Tujuh yang aslinya bernama Puti Andini segera datang menyambut.
“Aku senang melihat kau bisa datang…” Anggini membuka pembicaraan.
“Aku lebih gembira melihat kau sudah lebih dulu di sini. Kau datang jauh-jauh dari tanah seberang.” Kata Puti Andini sambil dalam hatinya mengagumi besarnya rasa cinta Anggini terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Gadis ini memandang berkeliling. “Ah, baru kita berdua yang datang. Agaknya kita harus bersabar menunggu para sahabat yang lain.”
“Siapa lagi menurutmu yang akan memenuhi undangan datang ke Bukit Ampel ini?” Puti Andini bertanya.
“Kurasa kita hanya tinggal menunggu dua orang saja. Sahabat Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung,” jawab Anggini. Gadis ini memandang berkeliling lalu berkata. “Aku sejak tadi membaui sesuatu di tempat ini. Apakah kau juga bisa mencium…”
“Ya, aku memang mencium sesuatu,” sahut Puti Andini. “Seperti bau bunga… Tapi di udara berkabut seperti ini apa saja bisa menimbulkan bau aneh.”
Gadis muka pucat berpakaian putih yang tidak terlihat baik oleh Anggini maupun Puti Andini tersenyum kecil mendengar percakapan dua gadis itu.
“Seperti ada angin bertiup dari arah sana…” Puti Andini berkata seraya menunjuk ke arah kegelapan di sebelah sana.
“Aku mencium bau harum semerbak. Agaknya salah satu dari orang yang kita tunggu segera muncul di sini. Dan aku sudah bisa menduga siapa orangnya.”
Baru saja Anggini selesai berucap tiba-tiba dari balik kabut tebal berkelebat satu bayangan biru disertai menebarnya bau sangat harum. Lalu muncullah gadis cantik jelita tinggi semampai berambut pirang sepinggang.
“Sahabat Bidadari Angin Timur!” Anggini dan Puti Andini menyebut nama gadis yang datang hampir berbarengan.
“Kalian sudah lebih dulu sampai rupanya,” kata Bidadari Angin Timur sambil tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya. “Aku gembira kita bisa bertemu dan berkumpul lagi.” Dengan kedua gadis itu Bidadari Angin Timur memang merasa agak dekat. Salah satu sebabnya karena dia tahu bahwa mereka bukan merupakan saingan yang berat dalam mencintai dan mendapatkan cinta dari Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kita tinggal menunggu satu kawan,” kata Anggini. “Aku tahu. Kita tak akan menunggu lama. Sebentar lagi dia pasti akan hadir di sini,” jawab Bidadari Angin Timur seraya memandang berkeliling. Lalu dia menyambung ucapannya tadi. “Tapi jika yang kita tunggu tidak segera datang, untuk tidak membuang waktu lebih baik
kita tinggalkan bukit ini. Kita bicarakan persoalan yang dihadapi di satu tempat lain…”
Puti Andini dan Anggini saling pandang heran. Anggini lantas berucap.
“Mengapa begitu, Bidadari Angin Timur? Mengapa kita harus berpindah tempat? Padahal kesepakatan sebelumnya di bukit ini kita akan bicara tuntas…”
Bidadari Angin Timur tersenyum. ”Nanti aku jelaskan pada kalian. Kalau orang yang kita tunggu memang tidak muncul.”
Sampai saat itu gadis cantik bermuka pucat yang duduk di batu masih tetap di tempatnya. Sepasang matanya tidak lepas-lepas memperhatikan gadis berambut pirang yang baru datang. Dia tahu dibanding dengan Anggini dan Puti Andini, Bidadari Angin Timur merupakan gadis cantik paling banyak mendapat tempat di hati Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Walau Wiro banyak membagi perhatian padanya, tapi apakah gadis satu ini benar-benar mencintai pemuda itu masih belum ada kejelasan. Setahuku dia belum pernah menyatakan rasa cintanya terhadap Wiro. Aku harus banyak memperhatikan gadis satu ini. Dia yang paling berhasrat untuk mendapatkan Wiro walau kadang-kadang di luaran bersikap seperti tidak acuh. Barusan dia mengajak dua gadis lainnya untuk pergi ke tempat lain. Aku tahu alasannya. Dia ingin menghindari pertemuan dengan gadis yang segera akan muncul. Karena gadis itu merupakan saingannya paling berat. Apa lagi beberapa waktu lalu mereka sempat berperang mulut di satu pekuburan. Dia ingin mencuri waktu untuk mendapatkan kesempatan. Si pirang ini selain cantik dan memiliki kepandaian tinggi, dia juga mempunyai otak cerdik…”
Selagi Bidadari Angin Timur, Anggini dan Puti Andini bercakap-cakap, di lereng bukit sebelah timur seorang yang berlari cepat sesaat hentikan larinya. Orang ini mengenakan pakaian panjang ketat berwarna putih, ditaburi manik-manik berwarna merah. Walau malam gelap tapi pakaian yang seolah mencetak bentuk tubuhnya yang bagus itu kelihatan berkilau-kilau. Di atas kepalanya ada satu mahkota kecil terbuat dari kerang berwarna merah. Anting, kalung dan gelang dari kerang juga menjadi perhiasannya. Sepasang mata yang berwarna biru menambah kecantikan dan keanggunannya. Orang yang menghentikan lari dengan tiba-tiba ini adalah Ratu Duyung. Dari balik pakaiannya sang Ratu keluarkan sebuah cermin bulat. Memandang ke dalam cermin sakti itu dia bisa melihat puncak Bukit Ampel.
Mula-mula hanya kegelapan yang terlihat. Ratu Duyung gerakkan cermin saktinya beberapa kali. Sesaat puncak bukit masih tampak menghitam. Kemudian mulai terlihat bayanganbayangan samar. Sang Ratu kerahkan tenaga dalam. Bayangan di cermin tampak menjelas.
“Ada tiga orang di puncak bukit sana…” Ratu Duyung berucap perlahan. “Wajah mereka masih agak samar, Tapi dari potongan tubuh aku bisa menduga siapa saja mereka. Kalau pertemuan nanti berlangsung jujur, aku akan jelaskan pada mereka semua apa yang kuketahui. Tapi kalau ada yang ingin menang sendiri, apalagi mengungkit-ungkit peristiwa lama, biar dia kubikin susah…” Ratu Duyung hendak masukkan cermin sakti kembali ke balik pakaian tapi tibatiba dia melihat sesuatu di sudut kaca sebelah atas.
“Astaga… Mataku hampir terlewat memperhatikan bayangan di bagian atas kaca. Aneh… Tiga gadis itu terlihat jelas. Kalau memang ada empat orang di puncak Bukit Ampel mengapa yang satu ini tidak muncul secara lebih jelas dalam cermin?” Ratu Duyung kembali kerahkan tenaga dalam. Satu cahaya putih berkilau di bagian atas cermin itu. Sang Ratu merasakan getaran halus di jari-jari tangan dan sepanjang lengan kanannya. “Aneh, jangan-jangan dia… Perempuan setan itu! Dendamku masih belum hapus terhadapnya. Dia dulu mencelakai diriku di Puri Pelebur Kutuk! Tapi untuk pastinya biar kuuji dengan ilmu Menyirap Detak Jantung.”
Habis berkata begitu Ratu Duyung simpan cermin saktinya. Dua tangnnya dirangkapkan di depan dada. Telapak tangan kanan dikembangkan, ditempelkan di dada kiri atas, tepat di jurusan atas jantung. Mulutnya dikatup rapat sementara matanya yang berwarna biru setengah dipejamkan.
Sesaat kemudian kelihatan wajah Ratu Duiyung berubah. “Benar dia…” katanya dalam hati. “Aku hanya mendengar tiga detak jantung. Detak jantung orang yang ke empat sama sekali tidak ada! Manusia hidup tidak mungkin tanpa jantungnya berdetak. Mengapa dia bisa muncul di Bukit Ampel. Siapa yang mengundangnya?! Aku harus berhati-hati…”
BAB 10
Bidadari Angin Timur merasakan sambaran angin halus. Serta merta gadis ini melirik ke samping kanan dan berkata. “Orang yang kita tunggu sudah datang!”
Dari balik kabut tebal di arah sebelah kanan menyeruak muncul sosok Ratu Duyung dengan segala keanggunannya. Dia tersenyum sambil menganggukkan kepala pada tiga gadis yang sudah datang lebih dulu.
“Maafkan, aku datang terlambat. Kalian tentu sudah lama menunggu. Aku gembira bisa bertemu dengan kalian,” kata Ratu Duyung. Walau tiga gadis lainnya memiliki kecantikan bukan sembarangan, namun sang ratu memiliki kelebihan yakni cara bicara dan sikap yang anggun. Apalagi tidak seperti yang lain-lainnya, dia mengenakan pakaian mewah, bagus dan ketat mencetak bentuk tubuhnya yang molek serta wajah dirias apik mempesona. Ditambah dengan mahkota kecil di atas kepalanya maka penampilan sang Ratu satu tingkat melebihi tiga gadis lainnya.
Baru saja sang Ratu berucap begitu tiba-tiba tubuhnya kelihatan terhuyung ke depan seperti ada sesuatu yang membenturnya.
“Ratu Duyung, ada apa? Kau kurang sehat…?” bertanya Anggini sambil maju dan memegang lengan Ratu Duyung yang saat itu telah bisa mengimbangi diri.
“Aku hanya sedikit letih. Tak apa-apa. Kita bisa segera langsung membicarakan persoalan yang tengah kita hadapi,” menjawab Ratu Duyung dengan tenang walau wajahnya yang jelita jelas kelihatan berubah. Dalam hati sang Ratu merutuk. “Makhluk salah kaprah! Sekali lagi kau berlaku lancang akan kugempur kau habis-habisan!”
Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Begitu Ratu Duyung muncul di puncak Bukit Ampel sosok samar berpakaian putih serta merta berdiri dari batu yang sejak tadi didudukinya. Wajahnya yang pucat sesaat kelihatan memerah sedang sepasang matanya memandang tak berkesip.
“Hemmm… Akhirnya muncul juga Ratu lacur ini. Sikapnya agung, tetapi dia yang paling bernafsu ingin memiliki Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tidak segan-segan menempuh cara keji sekalipun. Kalau tidak kuhalangi, peristiwa di Puri Pelebur Kutuk dulu itu pasti akan membuat Wiro sengsara seumur hidup dan menjadi budak nafsunya…”
Tanpa bersuara sosok samar itu mendekati Ratu Duyung dari belakang lalu dengan tangan kanannya mendorong bahu kiri sang Ratu hingga gadis jelita bermata biru ini terhuyung-huyung ke depan.
“Kita sudah lengkap semua. Sebaiknya kita mulai pembicaraan.” Berkata Bidadari Angin Timur.
“Aku setuju. Makin cepat selesai berarti makin baik kita memutuskan apa yang akan dilakukan. Kita…“ Belum habis Ratu Duyung berucap kembali tubuhnya terhuyung. Tiga gadis berseru kaget. Puti Andini dan Anggini cepat memegang bahu sang Ratu kiri kanan.
“Ratu kurasa kau dalam keadaan kurang sehat. Sudah dua kali kami lihat kau mau jatuh. Di sana ada batu. Sebaiknya kau duduk saja di batu itu…” Anggini segera hendak membimbing Ratu Duyung ke sebuah batu besar beberapa langkah di depan sana.
“Aku tak kurang suatu apa. Namun agaknya ada satu makhluk kurang ajar bermaksud tidak baik terhadapku, mungkin terhadap kita semua yang ada di sini. Kurang ajar tapi pengecut karena tidak berani menampakkan diri!”
“Ratu, apa maksudmu?” tanya Bidadari Angin Timur sementara Anggini dan Puti Andini memandang heran pada Ratu Duyung.
“Kalian bertiga lebih dulu datang ke puncak bukit ini. Apa tidak mencium bau aneh…?” Ratu Duyung balik bertanya.
Bidadari Angin Timur saling pandang dengan dua gadis lainnya lalu berkata. “Memang sejak tadi kami mencium bau aneh. Tapi kami tidak begitu perduli…”
“Bau itu adalah bau bunga kenanga. Bunga kematian alias bunga mayat! Kemanapun dia pergi, bau itu akan selalu mengikutinya. Itulah bau sosok roh gentayangan makhluk yang pernah lahir di dunia dengan nama Suci. Sering dipanggil dengan nama Bunga. Dia sudah lama menemui kematian secara tidak wajar. Rohnya penasaran ingin kembali ke dunia ini. Tapi tidak bisa! Dia yang tadi mendorongku sampai dua kali!”
Puti Andini yang tidak pernah mengenal siapa adanya Suci atau Bunga tidak menunjukkan sikap apa-apa. Lain halnya dengan Anggini dan Bidadari Angin Timur. Dua gadis ini sama-sama tersurut satu langkah. Bidadari Angin Timur bertanya untuk meyakinkan.
“Ratu Duyung, yang kau maksudkan dengan makhluk roh itu, apakah dia yang pernah dijuluki Dewi Bunga Mayat?!”
“Memang dia!” jawab Ratu Duyung. “Dia ada di sini. Memata-matai pertemuan kita. Memalukan sekali, tidak diundang berani muncul di tempat ini!” Ratu Duyung keluarkan suara mendengus dari hidunnya.
Baru saja Ratu Duyung berucap dan mendengus, tiba-tiba terasa ada getaran aneh di puncak Bukit Ampel. Kabut yang sejak tadi menutupi sebagian bukit itu bergerak menebar. Lalu dibarengi dengan santarnya bau harum menggidikkan satu bayangan putih berkelebat. Di lain kejap satu sosok dara jelita bermuka pucat berpakaian serba putih kelihatan berdiri hanya lima langkah di hadapan Ratu Duyung .Sepasang matanya memandang dingin tak berkedip pada mata biru sang Ratu. Sosok yang muncul ini memang adalah Suci alias Bunga yang pernah dikenal dengan julukan Dewi Bunga Mayat! (Mengenai makhluk roh berparas jelita ini harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Misteri Dewi Bunga Mayat”).
Satu senyum sinis yang ditunjukkan pada Ratu Duyung menyeruak di wajah pucat Suci. “Ratu bermata biru, kau menyembunyikan perasaan hati culas di balik kejelitaan wajahmu!”
Bidadari Angin Timur serta merta sudah bisa menduga kalau di tempat itu akan segera terjadi perang mulut bahkan mungkin adu kekuatan antara Ratu Duyung dengan Suci. Dia hendak menengahi tapi selintas pikiran muncul dalam benak gadis berambut pirang ini. Terus terang dia sendiri tidak begitu suka dengan Ratu Duyung walau sebelumnya mereka pernah berbaik-baik. Apalagi mengingat kejadian di pekuburan beberapa waktu lalu. (Baca Episode pertama berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa”). Setelah memutar otaknya Bidadari Angin Timur memutuskan untuk diam saja. Mungkin dengan berlaku diam akan lebih menguntungkan bagi dirinya.
Mendengar kata-kata Suci itu Ratu Duyung lontarkan seringai tak kalah sinisnya. Dia langsung menyahuti. “Terkadang manusia itu dinilai dari kata dan ucapannya. Sudah muncul tidak diundang, beraninya menuduh orang berhati culas!”
Suci tertawa panjang. “Alam bebas langit terkembang. Apakah ada aturan yang melarang, siapa saja datang ke Bukit Ampel ini?”
“Tidak ada larangan! Sekalipun untuk makhluk salah kaprah seperti dirimu. Tapi jika kehadiran membawa maksud tidak baik, sembunyi-sembunyi lalu hendak mencelakai orang lain, hai! Apakah ada salahnya jika aku dan semua yang ada di sini harus bersikap waspada…?”
Kembali Suci tertawa panjang. “Kau pandai bicara, sengaja melibatkan tiga gadis lainnya itu. Jangan sembunyi di balik ilalang kecantikan wajah dan kepandaian bicara. Semua orang tahu siapa adanya Ratu Duyung! Sungguh hebat! Kau bergabung dengan gadis-gadis jujur untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Aku kawatir jangan-jangan kau sengaja mengelabui mereka untuk mencari keuntungan sendiri. Karena siapa yang lupa bahwa kau pernah mencelakai pendekar itu ketika kau culik dia dan kau sekap di Puri Pelebur Kutuk beberapa waktu lalu?!”
Paras Ratu Duyung menjadi merah. “Kejadian itu sudah lama berlalu. Bahkan Pendekar 212 Wiro Sableng sudah melupakannya. Mengapa kau yang tidak ada sangkut paut dengan urusan orang kini mengungkit-ungkit perkara itu? Untuk membakar hati tiga gadis ini? Aku tidak menculik, apalagi menyekap Pendekar 212. Dia datang dengan kemauan sendiri, dengan niat suci hendak menolongku. Kau saja yang tiba-tiba muncul kalang kabut membawa hati jahat seribu duga! Kau mecelakai beberapa anak buahku, merusak tempat kediamanku. Dan bukankah kau kemudian menculik Wiro! Hai, kalau aku boleh bertanya kau bawa kemana pendekar itu? Ke alam rohmu yang serba gelap pengap itu?! Apa yang kau lakukan di sana terhadapnya?” Habis berkata begitu Ratu Duyung lalu tertawa panjang.
Kali ini muka pucat Suci yang kelihatan berubah merah. Sepasang matanya yang selama ini selalu memandang sedingin es kelihatan seperti dikobari api.
“Ratu Duyung, kau pandai bersilat lidah, memutar balik kenyataan, mencari kambing htam agar dapat menutupi kebejatan diri dan melemparkannya pada orang lain! Wiro memang berhati tulus hendak menolongmu. Tapi kebaikannya kau balas dengan mencelakai dirinya…”
“Siapa bilang aku mencelakai dirinya! Siapa bilang aku mencari kambing hitam. Aku tadi bertanya, apa yang kau lakukan terhadap Wiro di alam rohmu? Bercinta bermesraan? Adakah pantas roh gentayangan bercinta mesra dengan insan penghuni bumi? Hanya makhluk salah kaprah lahir batin dan mencari keuntungan sendiri seperti dirimu yang mampu melakukan perbuatan tidak terpuji itu!”
Melihat perang mulut itu semakin panas, Anggini melangkah maju hendak memisah. Tapi lengannya cepat dipegang oleh Bidadari Angin Timur. “Urusan mereka berdua jangan kita campuri….” bisik Bidadari Angin Timur.
“Jika tidak dicegah urusan kita bisa jadi kacau balau…” menjawab Anggini.
“Biarkan saja. Jika sudah capai mereka akan berhenti sendiri…”
“Mereka tidak akan capai kecuali kalau salah satu dari mereka menemui kematian! Itu yang aku takutkan!” jawab Anggini namun Bidadari Angin Timur masih terus memegangi lengannya hingga Anggini tidak bisa bergerak melangkah.
“Ratu Duyung, kau memang makhluk tidak tahu berterima kasih. Tapi aku tidak heran melihat kelainan dalam perbuatan dan pikiranmu. Bukankah kau makhluk pewaris kutuk laknat yang sebenarnya akan tetap terpendam di dalam kutuk kalau tidak ditolong Wiro?!”
“Kau cemburu aku mendapat pertolongan dari pemuda gagah dan sakti itu? Aku tidak heran kalau Penekar 212 disukai banyak gadis. Tapi kalau roh gentayangan sepertimu ikut-ikutan menyukainya sungguh mengerikan! Apa kau kira kau bisa mendapatkan dirinya dan hidup bersamanya? Belum pernah aku dengar ada roh yang berjodoh lalu kawin dengan manusia! Jadi kau harus tahu diri. Jangan berharap terlalu banyak dengan bermanis diri ke sana kemari sambil menebar ucapan busuk dan melakukan perbuatan tidak terpuji dimana-mana! Lebih bak kau kembali saja ke alammu, jangan pernah lagi memperlihatkan diri di alam manusia!”
Suci memekik keras. “Ratu bejat! Rohmu jauh lebih busuk dari semua roh yang ada di muka bumi ini! Biar aku buktikan dengan mengirimmu ke alam sana!”
Habis berkata begitu Suci alias Dewi Bunga Mayat hentakkan kaki kanannya ke tanah. Dari tanah serta merta membersit satu cahaya merah.
Cahaya ini merambat ke atas memasuki tubuh Suci, terus ke kepala. Begitu cahaya merah memasuki kedua matanya, saat itu juga cahaya itu melesat keluar dan dengan segala kedahsyatan dan keangkerannya berkiblat ke arah Ratu Duyung! Inilah ilmu kesaktian yang disebut Roh Mendera Bumi. Selama ini tidak ada satu manusiapun bisa selamat dari serangan. Jangankan manusia, batu besar sekalipun bisa hangus hancur berkeping-keping!
Pada saat Suci hentakkan kakinya ke tanah dan ada sinar merah melesat ke atas, tiga gadis bertindak cepat. Pertama sekali tentu saja Ratu Duyung. Secepat kilat gadis ini keluarkan cermin saktinya. Sambil melompat ke samping cermin bulat ini diputar demikian rupa sambil mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Selarik sinar putih menghambur menyilaukan di malam gelap, menghantam ke arah Suci.
Suci sendiri saat itu terhuyung ke samping setelah tubuhnya didorong oleh Puti Andini dan Anggini. Ke dua gadis ini berusaha mencegah Suci melancarkan serangan sambil berteriak agar Ratu Duyung jangan balas menyerang.
Dua gelegar dahsyat menggema di puncak Bukit Ampel. Satu lamping batu hancur. Setiap keping hancuran bertebaran di udara, berubah menjadi bara merah mengepulkan asap. Sungguh mengerikan akibat hantaman ilmu Roh Mendera Bumi yang dilancarkan Suci. Di tempat lain serumpun semak belukar dan satu pohon besar tumbang lalu tenggelam dalam kobaran api akibat sapuan sinar putih yang keluar dari cermin sakti Ratu Duyung.
Ratu Duyung tegak tergontai-gontai. Mukanya yang cantik seperti tdak berdarah. Dari sela bibirnya ada cairan merah meleleh jatuh ke dagu.
Walau selamat dari serangan maut Suci namun bentrokan tenaga dalam membuat sang Ratu terluka di sebelah dalam.
Di tempat lain sosok Suci bergulingan di tanah, lalu jatuh tumpang tindih dengan tubuh Anggini dan Puti Andini yang tadi berusaha mencegahnya melepaskan pukulan sekaligus menyelamatkannya dari serangan Ratu Duyung.
“Kalian mencegahku menyerang Ratu keparat itu! Kalian melindunginya! Kalian berserikat jahat dengannya!” Suci berucap setelah mendorong Anggini dan Puti Andini yang ada di sampingnya.
“Sahabat, jangan salah menduga!” kata Anggini. “Kami tidak ingin terjadi pertumpahan darah di antara kita. Maksud kedatangan kami ke bukit ini adalah untuk menjajagi apa yang terjadi dengan diri Pendekar 212 Wiro Sableng. Walau sebelumnya kami tidak menghubungimu, tapi kau telah bersedia datang ke sini. Kami sangat berterima kasih. Berarti apa yang ada di dalam pikiran dan hatimu sama dengan yang ada dalam diri kami. Sahabat Suci, harap kau bersabar diri. Kau sebenarnya bisa membantu banyak menacari Pendekar 212…”
“Siapa sudi membantu Ratu jahanam itu!” bentak Suci.
“Jangan cuma memandang pada dirinya. Harap kau memperhatikan kepentingan kita bersama. Apakah kau tidak ingin melihat kita menemukan Wiro dalam keadaan selamat…?”
Mendengar kata-kata Anggini itu, agak surut amarah Suci. Matanya mendelik memandang ke arah Bidadari Angin Timur. Dalam hati dia berkata.
“Si pirang itu. Dia hanya berdiri tegak, tidak melakukan apa-apa. Dia ingin aku celaka di tangan Ratu Duyung! Aku tahu apa yang ada di otaknya yang cerdik. Kalau salah satu dari kami mengalami celaka, dia akan lebih punya peluang mendapatkan Pendekar 212. Huh, dia mengira begitu!”
“Suci, kurasa kau bisa menerima ucapan sahabat Anggini….” berkata Puti Andini.
Suci anggukkan kepala. “Terima kasih atas semua kebaikan kalian. Aku merasa lebih baik meninggalkan tempat ini…” Di wajah Suci muncul bayangan kesedihan. Dalam hatinya ada satu suara berkata. “Wiro, semua ini aku lakukan karena cinta kasihku padamu. Itu sebabnya aku sulit untuk mencari dan menemukan dirimu. Itu sebabnya aku berusaha memasuki alammu. Tapi rasanya alammu tidak begitu bersahabat dengan diriku. Aku menyadari bahwa tidak akan ada insan yang mau berbagi rasa dengan diriku. Mereka akan mengejek diriku jika mengetahui bagaimana aku sangat mencintaimu. Wiro, kalau saja alam kita tidak berbeda, matipun sudah sejak dulu kulakukan demi untuk mendapatkan dirimu. Wiro, masih terngiang di telingaku ucapanmu waktu mengatakan ketulusan cintamu padaku…” (Baca “Misteri Dewi Bunga Mayat”).
Anggini dan Puti Andini jadi saling pandang terheran-heran ketika bagaimana di sudut mata Suci menggelincir air mata bening. Dua gadis ini serta merta ikut diselimuti kesedihan.
“Kami tidak memintamu pergi,” kata Anggini pula. “Tapi jika kau memutuskan demikian
rasanya itu memang lebih baik.”
“Kalian berdua telah berlaku baik padaku. Aku tidak akan melupakan hal itu. Anggini, Puti…. Kalau saja kalian tahu bagaimana rasanya hidup di alamku yang penuh kegelapan, dimana aku hanya melihat Pendekar 212 Wiro Sableng sabagai satu-satunya pelita penerang jalan, kalian akan memaklumi mengapa aku ingin selalu keluar dari kegelapan itu. Aku tahu, aku tidak akan mungkin mendapatkan pemuda itu. Namun cinta kasih sejati bukan berarti selalu memiliki…”
“Kami mengerti Suci, kami mengerti…” kata Puti Andini seraya menyeka air mata yang berguling di pipi Suci. Dia tidak menyadari kalau saat itu air mata juga menetes jatuh ke pipinya.
“Anggini, sebelum aku pergi maukah kau melakukan sesuatu untukku?”
“Aku akan melakukan apa saja yang dapat kulakukan untukmu Suci,” jawab Angini, murid Dewa Tuak.
Dari balik pakaiannya Suci mengeluarkan sebuah benda berwarna kuning. Ternyata benda itu adalah sekuntum bunga kenanga. Tempat itu segera ditebari bau harumnya bunga.
“Anggini, jika kau bertemu dengan Pendekar 212, berikan bunga kenanga ini padanya…”
“Akan kulakukan. Pesan atau apa yang harus aku katakan padanya?” tanya Anggini sambil pandangi bunga itu sesaat lalu mengambilnya.
“Kau tak usah mengatakan apa-apa. Juga tak ada pesan dariku. Wiro sudah tahu artinya bunga itu…”
“Baik, akan kusampaikan bunga ini pada Pendekar 212.”
“Terima kasih Anggini. Selamat tinggal sahabat-sahabatku…”
“Kami selalu mengharapkan bisa bertemu lagi denganmu Suci,” kata Anggini sambil memegang tangan Suci erat-erat sementara matanya sendiri sudah berkaca-kaca sejak tadi.
Bau harum bunga kenanga merebak di pucak bukit. Suci tersenyum pada dua gadis di depannya, wajah yang tersenyum itu kemudian berubah lagi seperti menjadi asap. Anggini perhatikan tangannya yang tadi memegang lengan Suci. Kini dia hanya memegang udara kosong. Suci telah lenyap.
Anggini dan Puti Andini menghela nafas dalam lalu berpaling ke arah Ratu Duyung yang masih tegak berdiri. Matanya yang biru kelihatan terbuka lebar. Sementara itu Bidadari Angin Timur masih tetap berada di tempatnya semula. Dia baru beranjak ketika dilihatnya Puti Andini dan Anggini melangkah mendekati Ratu Duyung.
“Ratu, ada darah di sela bibirmu. Kau terluka di dalam…” kata Anggini lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan dan menyeka darah yang ada di sudut bibir sang Ratu.
“Terima kasih. Aku memang terluka di dalam tapi tidak apa-apa…” kata Ratu Duyung.
Dari kantong perbekalannya Puti Andini keluarkan satu kantong kain. Dari dalam kantong ini dia mengambil sebutir obat berwarna kuning lalu menyerahkannya pada Rstu Duyung. “Minumlah, sebelum fajar datang mudah-mudahan luka dalammu sudah sembuh.”
“Ah, kau baik sekali. Terima kasih.” Ratu Duyung mengambil obat kuning yang diserahkan lalu tanpa ragu memasukkan obat itu ke dalam mulut dan menelannya. Dia menarik nafas panjang beberapa kali. “Aku merasa lebih baik sekarang. Bagaimana kalau kita mulai membicarakan persoalan yang kita hadapi?”
Dari balik kabut tebal di arah sebelah kanan menyeruak muncul sosok Ratu Duyung dengan segala keanggunannya. Dia tersenyum sambil menganggukkan kepala pada tiga gadis yang sudah datang lebih dulu.
“Maafkan, aku datang terlambat. Kalian tentu sudah lama menunggu. Aku gembira bisa bertemu dengan kalian,” kata Ratu Duyung. Walau tiga gadis lainnya memiliki kecantikan bukan sembarangan, namun sang ratu memiliki kelebihan yakni cara bicara dan sikap yang anggun. Apalagi tidak seperti yang lain-lainnya, dia mengenakan pakaian mewah, bagus dan ketat mencetak bentuk tubuhnya yang molek serta wajah dirias apik mempesona. Ditambah dengan mahkota kecil di atas kepalanya maka penampilan sang Ratu satu tingkat melebihi tiga gadis lainnya.
Baru saja sang Ratu berucap begitu tiba-tiba tubuhnya kelihatan terhuyung ke depan seperti ada sesuatu yang membenturnya.
“Ratu Duyung, ada apa? Kau kurang sehat…?” bertanya Anggini sambil maju dan memegang lengan Ratu Duyung yang saat itu telah bisa mengimbangi diri.
“Aku hanya sedikit letih. Tak apa-apa. Kita bisa segera langsung membicarakan persoalan yang tengah kita hadapi,” menjawab Ratu Duyung dengan tenang walau wajahnya yang jelita jelas kelihatan berubah. Dalam hati sang Ratu merutuk. “Makhluk salah kaprah! Sekali lagi kau berlaku lancang akan kugempur kau habis-habisan!”
Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Begitu Ratu Duyung muncul di puncak Bukit Ampel sosok samar berpakaian putih serta merta berdiri dari batu yang sejak tadi didudukinya. Wajahnya yang pucat sesaat kelihatan memerah sedang sepasang matanya memandang tak berkesip.
“Hemmm… Akhirnya muncul juga Ratu lacur ini. Sikapnya agung, tetapi dia yang paling bernafsu ingin memiliki Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tidak segan-segan menempuh cara keji sekalipun. Kalau tidak kuhalangi, peristiwa di Puri Pelebur Kutuk dulu itu pasti akan membuat Wiro sengsara seumur hidup dan menjadi budak nafsunya…”
Tanpa bersuara sosok samar itu mendekati Ratu Duyung dari belakang lalu dengan tangan kanannya mendorong bahu kiri sang Ratu hingga gadis jelita bermata biru ini terhuyung-huyung ke depan.
“Kita sudah lengkap semua. Sebaiknya kita mulai pembicaraan.” Berkata Bidadari Angin Timur.
“Aku setuju. Makin cepat selesai berarti makin baik kita memutuskan apa yang akan dilakukan. Kita…“ Belum habis Ratu Duyung berucap kembali tubuhnya terhuyung. Tiga gadis berseru kaget. Puti Andini dan Anggini cepat memegang bahu sang Ratu kiri kanan.
“Ratu kurasa kau dalam keadaan kurang sehat. Sudah dua kali kami lihat kau mau jatuh. Di sana ada batu. Sebaiknya kau duduk saja di batu itu…” Anggini segera hendak membimbing Ratu Duyung ke sebuah batu besar beberapa langkah di depan sana.
“Aku tak kurang suatu apa. Namun agaknya ada satu makhluk kurang ajar bermaksud tidak baik terhadapku, mungkin terhadap kita semua yang ada di sini. Kurang ajar tapi pengecut karena tidak berani menampakkan diri!”
“Ratu, apa maksudmu?” tanya Bidadari Angin Timur sementara Anggini dan Puti Andini memandang heran pada Ratu Duyung.
“Kalian bertiga lebih dulu datang ke puncak bukit ini. Apa tidak mencium bau aneh…?” Ratu Duyung balik bertanya.
Bidadari Angin Timur saling pandang dengan dua gadis lainnya lalu berkata. “Memang sejak tadi kami mencium bau aneh. Tapi kami tidak begitu perduli…”
“Bau itu adalah bau bunga kenanga. Bunga kematian alias bunga mayat! Kemanapun dia pergi, bau itu akan selalu mengikutinya. Itulah bau sosok roh gentayangan makhluk yang pernah lahir di dunia dengan nama Suci. Sering dipanggil dengan nama Bunga. Dia sudah lama menemui kematian secara tidak wajar. Rohnya penasaran ingin kembali ke dunia ini. Tapi tidak bisa! Dia yang tadi mendorongku sampai dua kali!”
Puti Andini yang tidak pernah mengenal siapa adanya Suci atau Bunga tidak menunjukkan sikap apa-apa. Lain halnya dengan Anggini dan Bidadari Angin Timur. Dua gadis ini sama-sama tersurut satu langkah. Bidadari Angin Timur bertanya untuk meyakinkan.
“Ratu Duyung, yang kau maksudkan dengan makhluk roh itu, apakah dia yang pernah dijuluki Dewi Bunga Mayat?!”
“Memang dia!” jawab Ratu Duyung. “Dia ada di sini. Memata-matai pertemuan kita. Memalukan sekali, tidak diundang berani muncul di tempat ini!” Ratu Duyung keluarkan suara mendengus dari hidunnya.
Baru saja Ratu Duyung berucap dan mendengus, tiba-tiba terasa ada getaran aneh di puncak Bukit Ampel. Kabut yang sejak tadi menutupi sebagian bukit itu bergerak menebar. Lalu dibarengi dengan santarnya bau harum menggidikkan satu bayangan putih berkelebat. Di lain kejap satu sosok dara jelita bermuka pucat berpakaian serba putih kelihatan berdiri hanya lima langkah di hadapan Ratu Duyung .Sepasang matanya memandang dingin tak berkedip pada mata biru sang Ratu. Sosok yang muncul ini memang adalah Suci alias Bunga yang pernah dikenal dengan julukan Dewi Bunga Mayat! (Mengenai makhluk roh berparas jelita ini harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Misteri Dewi Bunga Mayat”).
Satu senyum sinis yang ditunjukkan pada Ratu Duyung menyeruak di wajah pucat Suci. “Ratu bermata biru, kau menyembunyikan perasaan hati culas di balik kejelitaan wajahmu!”
Bidadari Angin Timur serta merta sudah bisa menduga kalau di tempat itu akan segera terjadi perang mulut bahkan mungkin adu kekuatan antara Ratu Duyung dengan Suci. Dia hendak menengahi tapi selintas pikiran muncul dalam benak gadis berambut pirang ini. Terus terang dia sendiri tidak begitu suka dengan Ratu Duyung walau sebelumnya mereka pernah berbaik-baik. Apalagi mengingat kejadian di pekuburan beberapa waktu lalu. (Baca Episode pertama berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa”). Setelah memutar otaknya Bidadari Angin Timur memutuskan untuk diam saja. Mungkin dengan berlaku diam akan lebih menguntungkan bagi dirinya.
Mendengar kata-kata Suci itu Ratu Duyung lontarkan seringai tak kalah sinisnya. Dia langsung menyahuti. “Terkadang manusia itu dinilai dari kata dan ucapannya. Sudah muncul tidak diundang, beraninya menuduh orang berhati culas!”
Suci tertawa panjang. “Alam bebas langit terkembang. Apakah ada aturan yang melarang, siapa saja datang ke Bukit Ampel ini?”
“Tidak ada larangan! Sekalipun untuk makhluk salah kaprah seperti dirimu. Tapi jika kehadiran membawa maksud tidak baik, sembunyi-sembunyi lalu hendak mencelakai orang lain, hai! Apakah ada salahnya jika aku dan semua yang ada di sini harus bersikap waspada…?”
Kembali Suci tertawa panjang. “Kau pandai bicara, sengaja melibatkan tiga gadis lainnya itu. Jangan sembunyi di balik ilalang kecantikan wajah dan kepandaian bicara. Semua orang tahu siapa adanya Ratu Duyung! Sungguh hebat! Kau bergabung dengan gadis-gadis jujur untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Aku kawatir jangan-jangan kau sengaja mengelabui mereka untuk mencari keuntungan sendiri. Karena siapa yang lupa bahwa kau pernah mencelakai pendekar itu ketika kau culik dia dan kau sekap di Puri Pelebur Kutuk beberapa waktu lalu?!”
Paras Ratu Duyung menjadi merah. “Kejadian itu sudah lama berlalu. Bahkan Pendekar 212 Wiro Sableng sudah melupakannya. Mengapa kau yang tidak ada sangkut paut dengan urusan orang kini mengungkit-ungkit perkara itu? Untuk membakar hati tiga gadis ini? Aku tidak menculik, apalagi menyekap Pendekar 212. Dia datang dengan kemauan sendiri, dengan niat suci hendak menolongku. Kau saja yang tiba-tiba muncul kalang kabut membawa hati jahat seribu duga! Kau mecelakai beberapa anak buahku, merusak tempat kediamanku. Dan bukankah kau kemudian menculik Wiro! Hai, kalau aku boleh bertanya kau bawa kemana pendekar itu? Ke alam rohmu yang serba gelap pengap itu?! Apa yang kau lakukan di sana terhadapnya?” Habis berkata begitu Ratu Duyung lalu tertawa panjang.
Kali ini muka pucat Suci yang kelihatan berubah merah. Sepasang matanya yang selama ini selalu memandang sedingin es kelihatan seperti dikobari api.
“Ratu Duyung, kau pandai bersilat lidah, memutar balik kenyataan, mencari kambing htam agar dapat menutupi kebejatan diri dan melemparkannya pada orang lain! Wiro memang berhati tulus hendak menolongmu. Tapi kebaikannya kau balas dengan mencelakai dirinya…”
“Siapa bilang aku mencelakai dirinya! Siapa bilang aku mencari kambing hitam. Aku tadi bertanya, apa yang kau lakukan terhadap Wiro di alam rohmu? Bercinta bermesraan? Adakah pantas roh gentayangan bercinta mesra dengan insan penghuni bumi? Hanya makhluk salah kaprah lahir batin dan mencari keuntungan sendiri seperti dirimu yang mampu melakukan perbuatan tidak terpuji itu!”
Melihat perang mulut itu semakin panas, Anggini melangkah maju hendak memisah. Tapi lengannya cepat dipegang oleh Bidadari Angin Timur. “Urusan mereka berdua jangan kita campuri….” bisik Bidadari Angin Timur.
“Jika tidak dicegah urusan kita bisa jadi kacau balau…” menjawab Anggini.
“Biarkan saja. Jika sudah capai mereka akan berhenti sendiri…”
“Mereka tidak akan capai kecuali kalau salah satu dari mereka menemui kematian! Itu yang aku takutkan!” jawab Anggini namun Bidadari Angin Timur masih terus memegangi lengannya hingga Anggini tidak bisa bergerak melangkah.
“Ratu Duyung, kau memang makhluk tidak tahu berterima kasih. Tapi aku tidak heran melihat kelainan dalam perbuatan dan pikiranmu. Bukankah kau makhluk pewaris kutuk laknat yang sebenarnya akan tetap terpendam di dalam kutuk kalau tidak ditolong Wiro?!”
“Kau cemburu aku mendapat pertolongan dari pemuda gagah dan sakti itu? Aku tidak heran kalau Penekar 212 disukai banyak gadis. Tapi kalau roh gentayangan sepertimu ikut-ikutan menyukainya sungguh mengerikan! Apa kau kira kau bisa mendapatkan dirinya dan hidup bersamanya? Belum pernah aku dengar ada roh yang berjodoh lalu kawin dengan manusia! Jadi kau harus tahu diri. Jangan berharap terlalu banyak dengan bermanis diri ke sana kemari sambil menebar ucapan busuk dan melakukan perbuatan tidak terpuji dimana-mana! Lebih bak kau kembali saja ke alammu, jangan pernah lagi memperlihatkan diri di alam manusia!”
Suci memekik keras. “Ratu bejat! Rohmu jauh lebih busuk dari semua roh yang ada di muka bumi ini! Biar aku buktikan dengan mengirimmu ke alam sana!”
Habis berkata begitu Suci alias Dewi Bunga Mayat hentakkan kaki kanannya ke tanah. Dari tanah serta merta membersit satu cahaya merah.
Cahaya ini merambat ke atas memasuki tubuh Suci, terus ke kepala. Begitu cahaya merah memasuki kedua matanya, saat itu juga cahaya itu melesat keluar dan dengan segala kedahsyatan dan keangkerannya berkiblat ke arah Ratu Duyung! Inilah ilmu kesaktian yang disebut Roh Mendera Bumi. Selama ini tidak ada satu manusiapun bisa selamat dari serangan. Jangankan manusia, batu besar sekalipun bisa hangus hancur berkeping-keping!
Pada saat Suci hentakkan kakinya ke tanah dan ada sinar merah melesat ke atas, tiga gadis bertindak cepat. Pertama sekali tentu saja Ratu Duyung. Secepat kilat gadis ini keluarkan cermin saktinya. Sambil melompat ke samping cermin bulat ini diputar demikian rupa sambil mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Selarik sinar putih menghambur menyilaukan di malam gelap, menghantam ke arah Suci.
Suci sendiri saat itu terhuyung ke samping setelah tubuhnya didorong oleh Puti Andini dan Anggini. Ke dua gadis ini berusaha mencegah Suci melancarkan serangan sambil berteriak agar Ratu Duyung jangan balas menyerang.
Dua gelegar dahsyat menggema di puncak Bukit Ampel. Satu lamping batu hancur. Setiap keping hancuran bertebaran di udara, berubah menjadi bara merah mengepulkan asap. Sungguh mengerikan akibat hantaman ilmu Roh Mendera Bumi yang dilancarkan Suci. Di tempat lain serumpun semak belukar dan satu pohon besar tumbang lalu tenggelam dalam kobaran api akibat sapuan sinar putih yang keluar dari cermin sakti Ratu Duyung.
Ratu Duyung tegak tergontai-gontai. Mukanya yang cantik seperti tdak berdarah. Dari sela bibirnya ada cairan merah meleleh jatuh ke dagu.
Walau selamat dari serangan maut Suci namun bentrokan tenaga dalam membuat sang Ratu terluka di sebelah dalam.
Di tempat lain sosok Suci bergulingan di tanah, lalu jatuh tumpang tindih dengan tubuh Anggini dan Puti Andini yang tadi berusaha mencegahnya melepaskan pukulan sekaligus menyelamatkannya dari serangan Ratu Duyung.
“Kalian mencegahku menyerang Ratu keparat itu! Kalian melindunginya! Kalian berserikat jahat dengannya!” Suci berucap setelah mendorong Anggini dan Puti Andini yang ada di sampingnya.
“Sahabat, jangan salah menduga!” kata Anggini. “Kami tidak ingin terjadi pertumpahan darah di antara kita. Maksud kedatangan kami ke bukit ini adalah untuk menjajagi apa yang terjadi dengan diri Pendekar 212 Wiro Sableng. Walau sebelumnya kami tidak menghubungimu, tapi kau telah bersedia datang ke sini. Kami sangat berterima kasih. Berarti apa yang ada di dalam pikiran dan hatimu sama dengan yang ada dalam diri kami. Sahabat Suci, harap kau bersabar diri. Kau sebenarnya bisa membantu banyak menacari Pendekar 212…”
“Siapa sudi membantu Ratu jahanam itu!” bentak Suci.
“Jangan cuma memandang pada dirinya. Harap kau memperhatikan kepentingan kita bersama. Apakah kau tidak ingin melihat kita menemukan Wiro dalam keadaan selamat…?”
Mendengar kata-kata Anggini itu, agak surut amarah Suci. Matanya mendelik memandang ke arah Bidadari Angin Timur. Dalam hati dia berkata.
“Si pirang itu. Dia hanya berdiri tegak, tidak melakukan apa-apa. Dia ingin aku celaka di tangan Ratu Duyung! Aku tahu apa yang ada di otaknya yang cerdik. Kalau salah satu dari kami mengalami celaka, dia akan lebih punya peluang mendapatkan Pendekar 212. Huh, dia mengira begitu!”
“Suci, kurasa kau bisa menerima ucapan sahabat Anggini….” berkata Puti Andini.
Suci anggukkan kepala. “Terima kasih atas semua kebaikan kalian. Aku merasa lebih baik meninggalkan tempat ini…” Di wajah Suci muncul bayangan kesedihan. Dalam hatinya ada satu suara berkata. “Wiro, semua ini aku lakukan karena cinta kasihku padamu. Itu sebabnya aku sulit untuk mencari dan menemukan dirimu. Itu sebabnya aku berusaha memasuki alammu. Tapi rasanya alammu tidak begitu bersahabat dengan diriku. Aku menyadari bahwa tidak akan ada insan yang mau berbagi rasa dengan diriku. Mereka akan mengejek diriku jika mengetahui bagaimana aku sangat mencintaimu. Wiro, kalau saja alam kita tidak berbeda, matipun sudah sejak dulu kulakukan demi untuk mendapatkan dirimu. Wiro, masih terngiang di telingaku ucapanmu waktu mengatakan ketulusan cintamu padaku…” (Baca “Misteri Dewi Bunga Mayat”).
Anggini dan Puti Andini jadi saling pandang terheran-heran ketika bagaimana di sudut mata Suci menggelincir air mata bening. Dua gadis ini serta merta ikut diselimuti kesedihan.
“Kami tidak memintamu pergi,” kata Anggini pula. “Tapi jika kau memutuskan demikian
rasanya itu memang lebih baik.”
“Kalian berdua telah berlaku baik padaku. Aku tidak akan melupakan hal itu. Anggini, Puti…. Kalau saja kalian tahu bagaimana rasanya hidup di alamku yang penuh kegelapan, dimana aku hanya melihat Pendekar 212 Wiro Sableng sabagai satu-satunya pelita penerang jalan, kalian akan memaklumi mengapa aku ingin selalu keluar dari kegelapan itu. Aku tahu, aku tidak akan mungkin mendapatkan pemuda itu. Namun cinta kasih sejati bukan berarti selalu memiliki…”
“Kami mengerti Suci, kami mengerti…” kata Puti Andini seraya menyeka air mata yang berguling di pipi Suci. Dia tidak menyadari kalau saat itu air mata juga menetes jatuh ke pipinya.
“Anggini, sebelum aku pergi maukah kau melakukan sesuatu untukku?”
“Aku akan melakukan apa saja yang dapat kulakukan untukmu Suci,” jawab Angini, murid Dewa Tuak.
Dari balik pakaiannya Suci mengeluarkan sebuah benda berwarna kuning. Ternyata benda itu adalah sekuntum bunga kenanga. Tempat itu segera ditebari bau harumnya bunga.
“Anggini, jika kau bertemu dengan Pendekar 212, berikan bunga kenanga ini padanya…”
“Akan kulakukan. Pesan atau apa yang harus aku katakan padanya?” tanya Anggini sambil pandangi bunga itu sesaat lalu mengambilnya.
“Kau tak usah mengatakan apa-apa. Juga tak ada pesan dariku. Wiro sudah tahu artinya bunga itu…”
“Baik, akan kusampaikan bunga ini pada Pendekar 212.”
“Terima kasih Anggini. Selamat tinggal sahabat-sahabatku…”
“Kami selalu mengharapkan bisa bertemu lagi denganmu Suci,” kata Anggini sambil memegang tangan Suci erat-erat sementara matanya sendiri sudah berkaca-kaca sejak tadi.
Bau harum bunga kenanga merebak di pucak bukit. Suci tersenyum pada dua gadis di depannya, wajah yang tersenyum itu kemudian berubah lagi seperti menjadi asap. Anggini perhatikan tangannya yang tadi memegang lengan Suci. Kini dia hanya memegang udara kosong. Suci telah lenyap.
Anggini dan Puti Andini menghela nafas dalam lalu berpaling ke arah Ratu Duyung yang masih tegak berdiri. Matanya yang biru kelihatan terbuka lebar. Sementara itu Bidadari Angin Timur masih tetap berada di tempatnya semula. Dia baru beranjak ketika dilihatnya Puti Andini dan Anggini melangkah mendekati Ratu Duyung.
“Ratu, ada darah di sela bibirmu. Kau terluka di dalam…” kata Anggini lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan dan menyeka darah yang ada di sudut bibir sang Ratu.
“Terima kasih. Aku memang terluka di dalam tapi tidak apa-apa…” kata Ratu Duyung.
Dari kantong perbekalannya Puti Andini keluarkan satu kantong kain. Dari dalam kantong ini dia mengambil sebutir obat berwarna kuning lalu menyerahkannya pada Rstu Duyung. “Minumlah, sebelum fajar datang mudah-mudahan luka dalammu sudah sembuh.”
“Ah, kau baik sekali. Terima kasih.” Ratu Duyung mengambil obat kuning yang diserahkan lalu tanpa ragu memasukkan obat itu ke dalam mulut dan menelannya. Dia menarik nafas panjang beberapa kali. “Aku merasa lebih baik sekarang. Bagaimana kalau kita mulai membicarakan persoalan yang kita hadapi?”
BAB 11
Setalah lebih dulu menatap wajah tiga gadis itu satu persatu baru Bidadari Angin Timur mulai bicara.
“Para sahabat, kita semua tahu apa maksud tujuan pertemuan ini. Kita juga sama menyadari bahwa dasar pertemuan ini adalah membuang jauh-jauh kepentingan pribadi. Kita mempunyai tujuan sama yakni mencari tahu dimana beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Apa yang terjadi dengan dirinya. Selama ini mungkin di antara kita telah mencari jalan sendiri-sendiri untuk mneyelidik. Namun hasilnya nihil. Mungkin jika kita bergabung, membagi jalan pikiran serta mengungkapkan apa yang kita keahui, akan lebih mudah melakukan penyelidikan…”
“Sahabat Bidadari Angin Timur, maafkan kalau aku lancang mulut berani memotong ucapanmu,” berkata Angini.
“Apa yang hendak kau sampaikan Anggini?” tanya Bidadari Angin Timur.
“Terus terang, aku yang berada jauh di Pulau Andalas, juga Puti Andini yang memencilkan diri di pantai selatan, walau diselimuti rasa kekawatiran, namun tidak bisa berbuat banyak dalam melakukan penyelidikan…”
“Aku dan Ratu Duyung rasanya dapat mengerti hal itu. Kami yang ada di Pulau Jawa saja belum bisa mengetahui apa-apa. Apa lagi kalian yang jauh. Namun ada satu temuanku yang perlu aku beritahukan pada kalian. Menurut kabar yang aku dengar dari beberapa tokoh persilatan ternyata diketahui bukan cuma Wiro saja yang lenyap secara aneh. Ada dua orang tidak diketahui rimbanya dalam jangka waktu bersamaan dengan lenyapnya Pendekar 212. Mereka adalah seorang tokoh silat aneh berjuluk Setan Ngompol. Kita semua pernah bertemu dengannya. Orang kedua seorang bocah dikenal dengan nama Naga Kuning. Anak ini juga pernah bertemu dengan kita. Aku berusaha menyelidik lebih jauh. Hasilnya tidak banyak. Diketahui ke tiga orang itu lenyap dalam waktu bersamaan. Diketahui pula ketiganya terlihat bersama-sama sebelum raib entah kemana…” Setelah diam sesaat Bidadari Angin Timur melanjutkan. “Dalam perjalanan ke sini, aku menyirap satu kejadian di Kotaraja. Juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta ditemukan tewas di rumahnya dengan kepala pecah. Istrinya lenyap. Tapi kukira kejadian ini tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang tengah kita selidiki. Karenanya sekarang biar aku langsung saja pada satu kabar yang baru kudengar sejak beberapa hari ini. Kabar itu mengatakan bahwa Pendekar 212 telah menemui kematian sekitar satu tahun lalu…”
Anggini tersentak pucat mendengar keterangan Bidadari Angin Timur itu. Puti Andini keluarkan seruan tertahan sedang Ratu Duyung terdiam dengan mata birunya membelalak besar.
“Kita harus menyelidiki kebenaran kabar itu,” kata Bidadari Angin Timur melanjutkan. “Di balik berita kematian Pendekar 212, menyusul kabar agak aneh. Yang pertama mengatakan Pendekar 212 dimakamkan di pekuburan Banyubiru, tah jauh dari Telaga Rawapening. Kabar kedua menyebut Wiro dikebumikan di satu pekuburan dekat Candi Kopeng…”
“Ini memang aneh,” Ratu Duyung membuka mulut. “Karena kabar yang aku dengar justru Pendekar iu telah dimakamkan di Gunung Gede, tak jauh dari tempat kediaman gurunya Sinto Gendeng.”
“Berarti ada tiga makam yang harus kita selidiki,” kata Anggini pula. “Kita bisa menyelusuri kebenaran kabar itu satu persatu. Candi Kopeng dekat dari sini. Telaga Banyubiru tak berapa jauh di sebelah utara. Untuk menyelidik ke Gunung Gede memang jauh dan butuh waktu…” kata Anggini.
“Kalau begitu kita bisa mulai menyelidik ke pekuburan di Kopeng. Jika kita berangkat sekarang, paling lambat setelah matahari tenggelam kita sudah sampai di sana.” Kata Ratu Duyung lalu memandang pada tiga gadis lainnya menunggu pendapat mereka.
“Aku setuju. Kita berangkat ke Kopeng sekarang.” Bidadari Angin Timur menanggapi ucapan Ratu Duyung. Anggini dan Puti Andini menurut saja.
Ketika tiga gadis hendak bergerak pergi Ratu Duyung berkata. “Tunggu! Ada satu hal yang ingin kuceritakan dan kutanyakan pada sahabat Bidadari Angin Timur.”
Tiga gadis menahan langkah sama membalik. Bidadari Angin Timur menatap sesaat lalu bertanya.
“Ratu Duyung, apa yang hendak kau ceritakan? Aku siap menjawab pertanyaanmu…”
“Bidadari Angin Timur, aku bicara mengenai pertemuan kita beberapa waktu lalu di pekuburan dekat Candi Pawan. Sebelum aku menemuimu, kau telah menjebol sebuah makam. Kau ingat?”
“Aku ingat,” jawab Bidadari Angin Timur. “Memangnya kenapa?”
“Tak lama setelah kau pergi, dari dalam makam itu melesat keluar sosok mengerikan seorang nenek. Kulit muka dan dadanya terkelupas. Hidungnya gerumpung. Matanya cuma satu. Itu belum seberapa. Yang membuat aku benar-benar setengah mati ketakutan, nenek ini buntung tangan kanannya. Dan tangan yang buntung itu menempel melintang di atas keningnya!”
“Ada manusia keluar dari dalam makam. Itu saja sudah sulit dipercaya!” kata Bidadari Angin Timur. “Lalu di keningnya menempel tangan kanannya sendiri! Itu tambah lebih sulit dipercaya!”
“Tapi aku menyaksikan sendiri! Aku berteriak memanggilmu. Tapi kau sudah lenyap. Aku mengira semua itu adalah permainan akal licikmu hendak menakuti diriku…”
“Ratu Duyung, keterlaluan kalau kau menuduh seperti itu!” Bidadari Angin Timur tidak senang.
“Aku tidak menuduhmu. Aku hanya menghubungkan kejadian itu dengan ucapan sebelumnya di atas makam. Ingat, waktu itu kau kudengar berteriak begini.
“Orang di atas makam! Tak ada gunanya kau terus bersembunyi. Lekas keluar! Atau kau ingin kukubur hiduphidup!”
“Ucapan itu hanya pancingan belaka. Karena aku tahu saat itu kau sembunyi tak jauh dari pekuburan dan tengah mengintai gerak-gerikku!” menjelaskan Bidadari Angin Timur.
Ratu Duyung tak berkata apa-apa. Tapi dalam hati dia meragukan kebenaran ucapan gadis berambut pirang itu.
***
Matahari belum lama tenggelam. Tapi awan mendung tebal yang menutupi langit membuat keadaan segera menjadi gelap. Ketika hujan turun rintik-rintik seolah coba membasahi tanah gersang pekuburan Kopeng yang telah sekian lama tidak pernah disentuh air, empat bayangan berkelebat. Yang mendatangi pekuburan itu bukan lain adalah Bidadari Angin Timur dan tiga gadis lainnya.
“Gelap, gerimis, tak ada satu orangpun di sini. Bagaimana kita mencari kuburan Wiro?” berkata Puti Andini.
Ratu Duyung memperhatikan keadaan pekuburan itu sesaat lalu berkata. “Menurut penglihatanku, jumlah makam di pekuburan ini tidak lebih dari tiga puluh. Kita bisa memeriksanya satu persatu. Kalau menyebar, kita bisa mengerjakan lebih cepat!”
“Usul yang baik!” menjawab Bidadari Angin Timur. “Aku akan memeriksa di jurusan ini. Ratu Duyung, kau di sebelah sana, Anggini kau yang di deretan situ dan Puti Andini kau di barisan sebelah kiri depan… Kita harus bekerja cepat sebelum hujan turun lebih lebat!”
Empat gadis cantik itu menebar lalu mulai memeriksa setiap makam yang ada di pekuburan itu. Rata-rata makam di situ merupakan makam tua. Beberapa di antaranya sudah hampir sama rata dengan tanah sekitarnya, tidak memiliki batu atau papan nisan lagi. Yang masih ada papan dan batu nisannya sudah tidak kentara tulisannya.
Tiba-tiba kilat menyambar. Menyusul suara gelegar geluduk. Di ujung kuburan sebelah kanan terdengar pekik Anggini. Tiga gadis lainnya segera berpaling. Semula mereka menduga jeritan Anggini tadi karena terkejut oleh sambaran kilat dan gelegar geluduk. Tapi rupanya tidak. Karena saat itu tampak Anggini tegak di depan sebuah makam. Tangan kanan menutupi mulut sementara tangan kiri menunjuk ke arah makam di depannya. Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini segera melompat ke tempat Anggini. Mereka dapati gadis itu berdiri dalam keadaan tubuh menggigil. Mereka memandang ke arah yang ditunjuk Anggini. Ternyata yang ditunjuk adalah sebuah nisan terbuat dari papan yang sudah lapuk dan menancap miring di kepala makam. Pada papan itu ada sederatan tulisan dalam huruf-huruf Jawa Kuno.
Kilat menyambar. Empat gadis menekap telinga masing-masing meredam hantaman suara geledek. Pada saat tempat itu menadi terang, semua mata para gadis memandang lekat-lekat ke arah papan nisan, coba membaca nama yang tertera agak samar di papan lapuk.
“Ya Tuhan!” pekik Ratu Duyung begitu dia berhasil membaca nama di papan lapuk.
Bidadari Angin Timur keluarkan seruan tertahan, jatuh berlutut di depan makam.
Puti Andini menekap mulutnya dengan ke dua tangan. Lututnya goyah. Gadis ini terduduk di tanah di samping Bidadari Angin Timur.
Wajah empat gadis di depan makam sama pucat. Tengkuk mereka sama terasa dingin. Mereka tidak perdulikan lagi hujan gerimis membasahi diri mereka. Di situ, di papan lapuk yang miring, walau samar tapi masih bisa dibaca. Tertulis dalam huruf Jawa Kuno, nama yang tak asing lagi bagi mereka. Wiro Sableng!
Setelah ke empatnya bisa mengusai diri, satu persatu mereka mulai berpikir jernih. Pertama sekali terdengar Bidadari Angin Timur berucap.
“Aku melihat keanehan. Makam ini papan nisannya sudah sangat lapuk pertanda siapapun yang dimakamkan di sini paling sedikit lebih dari satu tahun. Tapi mengapa tanahnya masih munjung dan berwarna merah?!”
“Kalau makam ini ditumpangi jenazah baru, seharusnya papan nisannya diganti. Yang kita lihat papan nisan tua bertuliskan Wiro Sableng!” Ikut bicara Ratu Duyung.
“Agaknya kita perlu menggali dan melihat isi makam…” ujar Anggini.
“Bagaimana kita melakukan? Kita tidak membawa peralatan!” berkata Puti Andini. Ke empat gadis itu kemudian sama terdiam dan saling pandang.
“Ada orang datang!” tiba-tiba Bidadari Angin Timur memberi tahu.
Di bawah hujan, dalam kegelapan, dari arah timur seorang bercaping melangkah memasuki pekuburan, langsung ke arah empat gadis itu berada. Ternyata dia seorang lelaki separuh baya, berbadan tegap dan berkulit hitam liat.
“Kau siapa?!” bertanya Bidadari Angin Timur.
Yang ditanya balik bertanya. “Aku yang seharusnya bertanya. Empat orang gadis. Malam hari. Hujan gerimis seperti ini. Ada keperluan apa berada di pekuburan?!”
Empat gadis yang sedang bingung itu jadi jengkel. Tapi masih bisa menahan diri.
“Kami perlu bantuan untuk menggali makam ini,” kata Ratu Duyung.
Kagetlah orang bercaping. Dia langsuns buka capingnya dan memandang pada Ratu Duyung lalu pada tiga gadis lainnya.
“Ini aneh…” kata orang itu.
“Apa yang aneh?!” bentak Anggini.
“Tiga hari lalu ada orang datang ke sini. Dia minta aku menggali makam ini. Setelah kugali dia masuk ke dalam kubur. Hanya sebentar lalu keluar lagi. Dia memberiku sejumlah uang. Menyuruh timbun makam kembali. Sebelum pergi dia berpesan agar aku tidak menceritakan kejadian itu pada siapapun. Tapi pada empat gadis secantik kalian, aku tak dapat menyimpan rahasia…”
Orang itu tertawa lebar dan kedip-kedipkan matanya.
“Setan alas ini mulai tak tahu juntrungan…” bisik Anggini pada Ratu Duyung. “Sebelum kutampar lekas katakan padanya bahwa kita juga mau minta bantuannya untuk menggali makam.”
Ratu Duyung mengangguk. “Kami juga akan memberikan uang padamu. Asal kau mau menggali makam ini.”
“Aha! Rejekiku besar! Untuk kalian apapun akan aku lakukan! Tapi aku perlu pulang dulu mengambil peralatan dan minta bantuan seorang teman. Aku tak mungkin menggali makam ini sendirian.”
“Kau tahu siapa yang dikuburkan di makam ini?”
“Namanya tertera di papan butut itu. Siapa orangnya aku tidak tahu…”
“Kau boleh pulang mengambil peralatan dan mencari bantuan temanmu. Lekas kembali…” kata Puti Andini.
Empat gadis itu kemudian menunggu di bawah sebatang pohon besar. “Bagaimana kalau orang tadi tidak kembali lagi?” tanya Anggini.
“Dia pasti kembali. Matanya liar melihat kita! Otaknya pasti kotor!” jawab Bidadari Angin Timur.
Tak lama kemudian lelaki tadi muncul kembali bersama dengan temannya. Tanpa banyak menunggu keduanya segera menggali makam. Empat gadis berdiri memperlihatkan di seputar makam. Cukup lama menanti, akhirnya terdengar suara pacul menyentuh satu benda keras di dasar makam.
“Aku sudah sampai di dasar makam. Aku menemukan tengkorak dan tuilang-tulang manusia!” Terdengar suara si penggali kuburan.
“Lemparkan ke atas!” teriak Ratu Duyung.
Sesaat kemudian dari dalam makam melesat keluar berbagai bentuk tulang-tulang putih berbalut tanah. Mulai dari tulang tangan dan kaki, sampai iga.
“Lemparkan semua! Jangan ada yang ketinggalan!’ teriak Bidadari Angin Timur.
“Ini yang terakhir!”
Dari dalam makam melesat tengkorak kepala manusia. Menggelinding sebentar lalu berhenti tak jauh dari kaki Anggini.
“Lihat!” teriak Anggini sambil menunjuk pada tengkorak kepala manusia itu. Pada kening tengkorak. Dia tersurut kaget. Tiga gadis lainnya keluarkan seruan tertahan. Di kening tengkorak ternyata ada tiga deretan angka. 212! Ratu Duyung memperhatikan.
“Tiga angka pada kening tengkorak ini masih baru. Digurat dengan semacam cat untuk membatik…” memberitahu Ratu Duyung.
“Gila! Aku yakin ini bukan tengkorak kepala Pendekar 212! Setan dari mana punya perbuatan edan seperti ini!” kata Bidadari Angin Timur.
Ratu Duyung mengankat tangan kirinya memberi tanda agar tidak ada yang bicara.
“Ada apa?” Anggini malah bertanya berbisik. Suaranya tercekat.
“Ada sebuah benda menyumpal di dalam mata kiri tengkorak!” jawab Ratu Duyung. Dia mengambil satu patahan kayu. Dengan kayu ini dibersihkannya tanah yang menyumpal sebagian rongga mata kiri itu. Ternyata benda itu adalah segulung kertas. Dengan agak gemetar Ratu Duyung membuka gulungan kertas itu. Di situ tertera sebaris tulisan berbunyi :
“Para sahabat, kita semua tahu apa maksud tujuan pertemuan ini. Kita juga sama menyadari bahwa dasar pertemuan ini adalah membuang jauh-jauh kepentingan pribadi. Kita mempunyai tujuan sama yakni mencari tahu dimana beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Apa yang terjadi dengan dirinya. Selama ini mungkin di antara kita telah mencari jalan sendiri-sendiri untuk mneyelidik. Namun hasilnya nihil. Mungkin jika kita bergabung, membagi jalan pikiran serta mengungkapkan apa yang kita keahui, akan lebih mudah melakukan penyelidikan…”
“Sahabat Bidadari Angin Timur, maafkan kalau aku lancang mulut berani memotong ucapanmu,” berkata Angini.
“Apa yang hendak kau sampaikan Anggini?” tanya Bidadari Angin Timur.
“Terus terang, aku yang berada jauh di Pulau Andalas, juga Puti Andini yang memencilkan diri di pantai selatan, walau diselimuti rasa kekawatiran, namun tidak bisa berbuat banyak dalam melakukan penyelidikan…”
“Aku dan Ratu Duyung rasanya dapat mengerti hal itu. Kami yang ada di Pulau Jawa saja belum bisa mengetahui apa-apa. Apa lagi kalian yang jauh. Namun ada satu temuanku yang perlu aku beritahukan pada kalian. Menurut kabar yang aku dengar dari beberapa tokoh persilatan ternyata diketahui bukan cuma Wiro saja yang lenyap secara aneh. Ada dua orang tidak diketahui rimbanya dalam jangka waktu bersamaan dengan lenyapnya Pendekar 212. Mereka adalah seorang tokoh silat aneh berjuluk Setan Ngompol. Kita semua pernah bertemu dengannya. Orang kedua seorang bocah dikenal dengan nama Naga Kuning. Anak ini juga pernah bertemu dengan kita. Aku berusaha menyelidik lebih jauh. Hasilnya tidak banyak. Diketahui ke tiga orang itu lenyap dalam waktu bersamaan. Diketahui pula ketiganya terlihat bersama-sama sebelum raib entah kemana…” Setelah diam sesaat Bidadari Angin Timur melanjutkan. “Dalam perjalanan ke sini, aku menyirap satu kejadian di Kotaraja. Juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta ditemukan tewas di rumahnya dengan kepala pecah. Istrinya lenyap. Tapi kukira kejadian ini tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang tengah kita selidiki. Karenanya sekarang biar aku langsung saja pada satu kabar yang baru kudengar sejak beberapa hari ini. Kabar itu mengatakan bahwa Pendekar 212 telah menemui kematian sekitar satu tahun lalu…”
Anggini tersentak pucat mendengar keterangan Bidadari Angin Timur itu. Puti Andini keluarkan seruan tertahan sedang Ratu Duyung terdiam dengan mata birunya membelalak besar.
“Kita harus menyelidiki kebenaran kabar itu,” kata Bidadari Angin Timur melanjutkan. “Di balik berita kematian Pendekar 212, menyusul kabar agak aneh. Yang pertama mengatakan Pendekar 212 dimakamkan di pekuburan Banyubiru, tah jauh dari Telaga Rawapening. Kabar kedua menyebut Wiro dikebumikan di satu pekuburan dekat Candi Kopeng…”
“Ini memang aneh,” Ratu Duyung membuka mulut. “Karena kabar yang aku dengar justru Pendekar iu telah dimakamkan di Gunung Gede, tak jauh dari tempat kediaman gurunya Sinto Gendeng.”
“Berarti ada tiga makam yang harus kita selidiki,” kata Anggini pula. “Kita bisa menyelusuri kebenaran kabar itu satu persatu. Candi Kopeng dekat dari sini. Telaga Banyubiru tak berapa jauh di sebelah utara. Untuk menyelidik ke Gunung Gede memang jauh dan butuh waktu…” kata Anggini.
“Kalau begitu kita bisa mulai menyelidik ke pekuburan di Kopeng. Jika kita berangkat sekarang, paling lambat setelah matahari tenggelam kita sudah sampai di sana.” Kata Ratu Duyung lalu memandang pada tiga gadis lainnya menunggu pendapat mereka.
“Aku setuju. Kita berangkat ke Kopeng sekarang.” Bidadari Angin Timur menanggapi ucapan Ratu Duyung. Anggini dan Puti Andini menurut saja.
Ketika tiga gadis hendak bergerak pergi Ratu Duyung berkata. “Tunggu! Ada satu hal yang ingin kuceritakan dan kutanyakan pada sahabat Bidadari Angin Timur.”
Tiga gadis menahan langkah sama membalik. Bidadari Angin Timur menatap sesaat lalu bertanya.
“Ratu Duyung, apa yang hendak kau ceritakan? Aku siap menjawab pertanyaanmu…”
“Bidadari Angin Timur, aku bicara mengenai pertemuan kita beberapa waktu lalu di pekuburan dekat Candi Pawan. Sebelum aku menemuimu, kau telah menjebol sebuah makam. Kau ingat?”
“Aku ingat,” jawab Bidadari Angin Timur. “Memangnya kenapa?”
“Tak lama setelah kau pergi, dari dalam makam itu melesat keluar sosok mengerikan seorang nenek. Kulit muka dan dadanya terkelupas. Hidungnya gerumpung. Matanya cuma satu. Itu belum seberapa. Yang membuat aku benar-benar setengah mati ketakutan, nenek ini buntung tangan kanannya. Dan tangan yang buntung itu menempel melintang di atas keningnya!”
“Ada manusia keluar dari dalam makam. Itu saja sudah sulit dipercaya!” kata Bidadari Angin Timur. “Lalu di keningnya menempel tangan kanannya sendiri! Itu tambah lebih sulit dipercaya!”
“Tapi aku menyaksikan sendiri! Aku berteriak memanggilmu. Tapi kau sudah lenyap. Aku mengira semua itu adalah permainan akal licikmu hendak menakuti diriku…”
“Ratu Duyung, keterlaluan kalau kau menuduh seperti itu!” Bidadari Angin Timur tidak senang.
“Aku tidak menuduhmu. Aku hanya menghubungkan kejadian itu dengan ucapan sebelumnya di atas makam. Ingat, waktu itu kau kudengar berteriak begini.
“Orang di atas makam! Tak ada gunanya kau terus bersembunyi. Lekas keluar! Atau kau ingin kukubur hiduphidup!”
“Ucapan itu hanya pancingan belaka. Karena aku tahu saat itu kau sembunyi tak jauh dari pekuburan dan tengah mengintai gerak-gerikku!” menjelaskan Bidadari Angin Timur.
Ratu Duyung tak berkata apa-apa. Tapi dalam hati dia meragukan kebenaran ucapan gadis berambut pirang itu.
***
Matahari belum lama tenggelam. Tapi awan mendung tebal yang menutupi langit membuat keadaan segera menjadi gelap. Ketika hujan turun rintik-rintik seolah coba membasahi tanah gersang pekuburan Kopeng yang telah sekian lama tidak pernah disentuh air, empat bayangan berkelebat. Yang mendatangi pekuburan itu bukan lain adalah Bidadari Angin Timur dan tiga gadis lainnya.
“Gelap, gerimis, tak ada satu orangpun di sini. Bagaimana kita mencari kuburan Wiro?” berkata Puti Andini.
Ratu Duyung memperhatikan keadaan pekuburan itu sesaat lalu berkata. “Menurut penglihatanku, jumlah makam di pekuburan ini tidak lebih dari tiga puluh. Kita bisa memeriksanya satu persatu. Kalau menyebar, kita bisa mengerjakan lebih cepat!”
“Usul yang baik!” menjawab Bidadari Angin Timur. “Aku akan memeriksa di jurusan ini. Ratu Duyung, kau di sebelah sana, Anggini kau yang di deretan situ dan Puti Andini kau di barisan sebelah kiri depan… Kita harus bekerja cepat sebelum hujan turun lebih lebat!”
Empat gadis cantik itu menebar lalu mulai memeriksa setiap makam yang ada di pekuburan itu. Rata-rata makam di situ merupakan makam tua. Beberapa di antaranya sudah hampir sama rata dengan tanah sekitarnya, tidak memiliki batu atau papan nisan lagi. Yang masih ada papan dan batu nisannya sudah tidak kentara tulisannya.
Tiba-tiba kilat menyambar. Menyusul suara gelegar geluduk. Di ujung kuburan sebelah kanan terdengar pekik Anggini. Tiga gadis lainnya segera berpaling. Semula mereka menduga jeritan Anggini tadi karena terkejut oleh sambaran kilat dan gelegar geluduk. Tapi rupanya tidak. Karena saat itu tampak Anggini tegak di depan sebuah makam. Tangan kanan menutupi mulut sementara tangan kiri menunjuk ke arah makam di depannya. Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini segera melompat ke tempat Anggini. Mereka dapati gadis itu berdiri dalam keadaan tubuh menggigil. Mereka memandang ke arah yang ditunjuk Anggini. Ternyata yang ditunjuk adalah sebuah nisan terbuat dari papan yang sudah lapuk dan menancap miring di kepala makam. Pada papan itu ada sederatan tulisan dalam huruf-huruf Jawa Kuno.
Kilat menyambar. Empat gadis menekap telinga masing-masing meredam hantaman suara geledek. Pada saat tempat itu menadi terang, semua mata para gadis memandang lekat-lekat ke arah papan nisan, coba membaca nama yang tertera agak samar di papan lapuk.
“Ya Tuhan!” pekik Ratu Duyung begitu dia berhasil membaca nama di papan lapuk.
Bidadari Angin Timur keluarkan seruan tertahan, jatuh berlutut di depan makam.
Puti Andini menekap mulutnya dengan ke dua tangan. Lututnya goyah. Gadis ini terduduk di tanah di samping Bidadari Angin Timur.
Wajah empat gadis di depan makam sama pucat. Tengkuk mereka sama terasa dingin. Mereka tidak perdulikan lagi hujan gerimis membasahi diri mereka. Di situ, di papan lapuk yang miring, walau samar tapi masih bisa dibaca. Tertulis dalam huruf Jawa Kuno, nama yang tak asing lagi bagi mereka. Wiro Sableng!
Setelah ke empatnya bisa mengusai diri, satu persatu mereka mulai berpikir jernih. Pertama sekali terdengar Bidadari Angin Timur berucap.
“Aku melihat keanehan. Makam ini papan nisannya sudah sangat lapuk pertanda siapapun yang dimakamkan di sini paling sedikit lebih dari satu tahun. Tapi mengapa tanahnya masih munjung dan berwarna merah?!”
“Kalau makam ini ditumpangi jenazah baru, seharusnya papan nisannya diganti. Yang kita lihat papan nisan tua bertuliskan Wiro Sableng!” Ikut bicara Ratu Duyung.
“Agaknya kita perlu menggali dan melihat isi makam…” ujar Anggini.
“Bagaimana kita melakukan? Kita tidak membawa peralatan!” berkata Puti Andini. Ke empat gadis itu kemudian sama terdiam dan saling pandang.
“Ada orang datang!” tiba-tiba Bidadari Angin Timur memberi tahu.
Di bawah hujan, dalam kegelapan, dari arah timur seorang bercaping melangkah memasuki pekuburan, langsung ke arah empat gadis itu berada. Ternyata dia seorang lelaki separuh baya, berbadan tegap dan berkulit hitam liat.
“Kau siapa?!” bertanya Bidadari Angin Timur.
Yang ditanya balik bertanya. “Aku yang seharusnya bertanya. Empat orang gadis. Malam hari. Hujan gerimis seperti ini. Ada keperluan apa berada di pekuburan?!”
Empat gadis yang sedang bingung itu jadi jengkel. Tapi masih bisa menahan diri.
“Kami perlu bantuan untuk menggali makam ini,” kata Ratu Duyung.
Kagetlah orang bercaping. Dia langsuns buka capingnya dan memandang pada Ratu Duyung lalu pada tiga gadis lainnya.
“Ini aneh…” kata orang itu.
“Apa yang aneh?!” bentak Anggini.
“Tiga hari lalu ada orang datang ke sini. Dia minta aku menggali makam ini. Setelah kugali dia masuk ke dalam kubur. Hanya sebentar lalu keluar lagi. Dia memberiku sejumlah uang. Menyuruh timbun makam kembali. Sebelum pergi dia berpesan agar aku tidak menceritakan kejadian itu pada siapapun. Tapi pada empat gadis secantik kalian, aku tak dapat menyimpan rahasia…”
Orang itu tertawa lebar dan kedip-kedipkan matanya.
“Setan alas ini mulai tak tahu juntrungan…” bisik Anggini pada Ratu Duyung. “Sebelum kutampar lekas katakan padanya bahwa kita juga mau minta bantuannya untuk menggali makam.”
Ratu Duyung mengangguk. “Kami juga akan memberikan uang padamu. Asal kau mau menggali makam ini.”
“Aha! Rejekiku besar! Untuk kalian apapun akan aku lakukan! Tapi aku perlu pulang dulu mengambil peralatan dan minta bantuan seorang teman. Aku tak mungkin menggali makam ini sendirian.”
“Kau tahu siapa yang dikuburkan di makam ini?”
“Namanya tertera di papan butut itu. Siapa orangnya aku tidak tahu…”
“Kau boleh pulang mengambil peralatan dan mencari bantuan temanmu. Lekas kembali…” kata Puti Andini.
Empat gadis itu kemudian menunggu di bawah sebatang pohon besar. “Bagaimana kalau orang tadi tidak kembali lagi?” tanya Anggini.
“Dia pasti kembali. Matanya liar melihat kita! Otaknya pasti kotor!” jawab Bidadari Angin Timur.
Tak lama kemudian lelaki tadi muncul kembali bersama dengan temannya. Tanpa banyak menunggu keduanya segera menggali makam. Empat gadis berdiri memperlihatkan di seputar makam. Cukup lama menanti, akhirnya terdengar suara pacul menyentuh satu benda keras di dasar makam.
“Aku sudah sampai di dasar makam. Aku menemukan tengkorak dan tuilang-tulang manusia!” Terdengar suara si penggali kuburan.
“Lemparkan ke atas!” teriak Ratu Duyung.
Sesaat kemudian dari dalam makam melesat keluar berbagai bentuk tulang-tulang putih berbalut tanah. Mulai dari tulang tangan dan kaki, sampai iga.
“Lemparkan semua! Jangan ada yang ketinggalan!’ teriak Bidadari Angin Timur.
“Ini yang terakhir!”
Dari dalam makam melesat tengkorak kepala manusia. Menggelinding sebentar lalu berhenti tak jauh dari kaki Anggini.
“Lihat!” teriak Anggini sambil menunjuk pada tengkorak kepala manusia itu. Pada kening tengkorak. Dia tersurut kaget. Tiga gadis lainnya keluarkan seruan tertahan. Di kening tengkorak ternyata ada tiga deretan angka. 212! Ratu Duyung memperhatikan.
“Tiga angka pada kening tengkorak ini masih baru. Digurat dengan semacam cat untuk membatik…” memberitahu Ratu Duyung.
“Gila! Aku yakin ini bukan tengkorak kepala Pendekar 212! Setan dari mana punya perbuatan edan seperti ini!” kata Bidadari Angin Timur.
Ratu Duyung mengankat tangan kirinya memberi tanda agar tidak ada yang bicara.
“Ada apa?” Anggini malah bertanya berbisik. Suaranya tercekat.
“Ada sebuah benda menyumpal di dalam mata kiri tengkorak!” jawab Ratu Duyung. Dia mengambil satu patahan kayu. Dengan kayu ini dibersihkannya tanah yang menyumpal sebagian rongga mata kiri itu. Ternyata benda itu adalah segulung kertas. Dengan agak gemetar Ratu Duyung membuka gulungan kertas itu. Di situ tertera sebaris tulisan berbunyi :
“SELAMAT DATANG DI MAKAM SETAN PERTAMA. KALIAN DITUNGGU DI MAKAM SETAN KEDUA.”
“Jahanam kurang ajar! Jika kutemukan manusia yang melakukan ini, akan kupatahkan batang lehernya!” kata Anggini menggeram marah.
Ratu Duyung bangkit berdiri. Sesaat dia menatap pada Bidadari Angin Timur. Ditatap seperti itu gadis berambut pirang ini menjadi gusar.
“Tatapanmu terasa aneh. Membuat aku jadi tidak enak. Apa yang ada di benakmu Ratu Duyung? Agaknya kau menghubungkan diriku dengan kejadian ini dan makhluk nenek-nenek yang keluar dari makam yang tangan kanannya menempel di kening itu?”
“Aku tidak mengatakan sepatah katapun. Mengapa kau punya pikiran seperti itu?!” tukas Ratu Duyung.
“Hujan tambah lebat. Payungku mungkin bisa membantu. Kita harus segera pergi dari sini!” kata Puti Andini yang sengaja ingin menghindari kelanjutan tidak enak. Gadis ini lalu keluarkan empat buah payung dari kantong di punggungnya. Tiga diserahkan pada tiga gadis, satu dipakainya sendiri. Lalu dia memberikan sejumlah uang pada dua penggali makam.
Beberapa langkah setelah meninggalkan makam, tiba-tiba Ratu Duyung hentikan jalannya.
“Ada satu hal penting yang terlupa!’ kata sang Ratu.
“Apa?” tanya Bidadari Angin Timur yang diam-diam mulai kesal melihat sikap Ratu Duyung.
“Kita tidak menanyakan siapa adanya orang yang menyuruh gali makam tiga hari yang lalu itu…”
“Astaga! Kau betul!” ujar Anggini setengah tersentak.
Saat itu Bidadari Angin Timur telah lebih dulu berbalik dan berlari cepat ke arah makam. Yang lain-lainnya segera mengikuti. Sampai di depan makam yang barusan digali, ke empat gadis itu terbelalak, tak bisa bersuara tak sanggup bergerak. Dua penggali kuburan menggeletak tak bernyawa lagi di samping tanah makam yang belum sempat mereka timbun. Sebuah senjata berbentuk tombak pendek menancap di leher.
“Kita belum jauh meninggalkan makam. Bagaimana mereka bisa menemui ajal begitu cepat?” ujar Anggini.
“Siapapun adanya si pembunuh, dia pasti memiliki kepandaian luar biasa tinggi…” berkata Ratu Duyung.
“Yang jadi pertanyaan, mengapa dua orang ini harus menjadi korban pembunuhan begini keji? Apa salah mereka?” ujar Bidadari Angin Timur sambil memandang pada tiga gadis lainnya. Tak ada yang bisa memberi jawaban.
Kilat menyambar. Geluduk menggelegar. Tanah pekuburan bergetar. Empat gadis yang belum habis kagetnya melihat kematian dua penggali kubur keluarkan pekikan keras lalu serempak mereka tinggalkan tempat itu sementara hujan lebat mengguyur turun dan desau angin terdengar mengerikan.
Ratu Duyung bangkit berdiri. Sesaat dia menatap pada Bidadari Angin Timur. Ditatap seperti itu gadis berambut pirang ini menjadi gusar.
“Tatapanmu terasa aneh. Membuat aku jadi tidak enak. Apa yang ada di benakmu Ratu Duyung? Agaknya kau menghubungkan diriku dengan kejadian ini dan makhluk nenek-nenek yang keluar dari makam yang tangan kanannya menempel di kening itu?”
“Aku tidak mengatakan sepatah katapun. Mengapa kau punya pikiran seperti itu?!” tukas Ratu Duyung.
“Hujan tambah lebat. Payungku mungkin bisa membantu. Kita harus segera pergi dari sini!” kata Puti Andini yang sengaja ingin menghindari kelanjutan tidak enak. Gadis ini lalu keluarkan empat buah payung dari kantong di punggungnya. Tiga diserahkan pada tiga gadis, satu dipakainya sendiri. Lalu dia memberikan sejumlah uang pada dua penggali makam.
Beberapa langkah setelah meninggalkan makam, tiba-tiba Ratu Duyung hentikan jalannya.
“Ada satu hal penting yang terlupa!’ kata sang Ratu.
“Apa?” tanya Bidadari Angin Timur yang diam-diam mulai kesal melihat sikap Ratu Duyung.
“Kita tidak menanyakan siapa adanya orang yang menyuruh gali makam tiga hari yang lalu itu…”
“Astaga! Kau betul!” ujar Anggini setengah tersentak.
Saat itu Bidadari Angin Timur telah lebih dulu berbalik dan berlari cepat ke arah makam. Yang lain-lainnya segera mengikuti. Sampai di depan makam yang barusan digali, ke empat gadis itu terbelalak, tak bisa bersuara tak sanggup bergerak. Dua penggali kuburan menggeletak tak bernyawa lagi di samping tanah makam yang belum sempat mereka timbun. Sebuah senjata berbentuk tombak pendek menancap di leher.
“Kita belum jauh meninggalkan makam. Bagaimana mereka bisa menemui ajal begitu cepat?” ujar Anggini.
“Siapapun adanya si pembunuh, dia pasti memiliki kepandaian luar biasa tinggi…” berkata Ratu Duyung.
“Yang jadi pertanyaan, mengapa dua orang ini harus menjadi korban pembunuhan begini keji? Apa salah mereka?” ujar Bidadari Angin Timur sambil memandang pada tiga gadis lainnya. Tak ada yang bisa memberi jawaban.
Kilat menyambar. Geluduk menggelegar. Tanah pekuburan bergetar. Empat gadis yang belum habis kagetnya melihat kematian dua penggali kubur keluarkan pekikan keras lalu serempak mereka tinggalkan tempat itu sementara hujan lebat mengguyur turun dan desau angin terdengar mengerikan.
BAB 12
Dua makhluk kurus kering yang memiliki tubuh satu setengah kali tinggi manusia biasaitu langkahkan kaki-kaki mereka yang berbentuk kaki kuda lengkap dengan ladamnya lalu berhenti sejarak empat langkah dari hadapan Pendekar 212. Wiro perhatikan dua tangan mereka yang dempet satu sama lain. Dia tahu, dua tangan dempet itu jauh lebih berbahaya dari tangantangan mereka yang lain.
“Saudaraku Tunggul Gono,” berkata makhluk di sebelah kiri. “Monyet gondrong itu tidak mau menjawab pertanyaan kita!”
“Rupanya dia sengaja mempercepat kematiannya! Ha… ha…ha!” menyahuti manusia galah di sebelah kanan, bernama Tunggul Gono.
Murid Sinto Gendeng tidak mau berlaku konyol sembrono. Sebelumnya di telah pernah menghadapi dua makhluk ini. Mereka berkepandaian tinggi. Walau keduanya sempat dibikin babak belur kemudian melarikan diri, namun waktu itu Wiro dibantu oleh seorang pendekar muda berjuluk Pendekar Kipas Pelangi. Kini dia sendirian. Menghadapi dua musuh aneh itu dia harus berlaku hai-hati.
“Momok Dempet, kalau Kitab Wasiat Malaikat dan Kitab Wasiat Dewa yang kalian cari, kedua kitab itu tak ada padaku.”
Dua makhluk dempet yang dikenal dengan nama Momok Dempet Berkaki Kuda tertawa bekakakan.
“Kami sudah menduga kau akan berkata seperti itu!” kata Tunggul Gini. “Berarti kini kami tidak perlu repot mengurus nyawamu!” Tunggul Gini berikan tanda dengan jentikkan jarijari tangan kirinya. “Kita hantam saja dia langsung dengan pukulan Sepasang Palu Kematian. Habis perkara!”
Dua manusia jangkung serempak keluarkan bentakan garang. Bersamaan dengan itu tangan mereka yang dempet dipukulkan ke depan.
“Wusss!”
Serangkum angin memancarkan sinar hitam legam menderu dahsyat ke arah Pendekar
212. Kinasih menjerit. Bukan saja karena ketakutan tapi juga kawatir akan keselamatan Wiro. Sebelumnya murid Eyang Sinto Gendeng sudah melihat kehebatan pukulan lawan yang bernama Sepasang Palu Kematian itu. Sambil membentak keras Wiro jatuhkan diri ke tanah, berguling ke kiri dengan cepat. Begitu sinar hitam lewat di atas kepalanya dia hantamkan tangan kanan ke atas melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari dengan mengerahkan tenaga dalam hampir dua pertiga yang dimilikinya.
Sinar hitam pukulan Momok Dempet bertaburan di udara, keluarkan suara dahsyat laksana mau meruntuhkan langit. Taburan-taburan yang berlesatan ke berbagai penjuru ini menghancur dan menghanguskan apa saja yang dibenturnya. Asap mengepul di seputar tempat itu. Gaung menggidikkan menggema sampai ke dasar lembah!
Walau sempat tercekat Wiro tak mau menunggu. Dengan tangan kirinya dia melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang, mengerahkan lebih dari separoh tenaga dalam. Dua serangan yang dilancarkan Wiro tadi adalah pukulan-pukulan sakti yang langka dan dipelajari dari Kitab Wasiat Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.
Momok Dempet keluarkan teriakan seperti kuda meringkik. Keduanya cari selamat dengan sama-sama melesat ke udara sampai setinggi dua tombak.
“Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!” kata Tunggul Gono membisiki saudaranya.Tunggul Gini mengangguk.
Sambil melayang turun dua makhluk dempet ini keluarkan teriakan seperti kuda meringkik. Secara aneh tubuh mereka kelihatan berputar seperti gasing. Dua tangan mengibas laksana baling-baling. Mengeluarkan suara keras dan deru angin amat dahsyat. Jangankan tubuh manusia, pohon atau batu sekalipun akan papas dihantam tangan itu!
Putaran tubuh serta tangan yang dibuat Momok Dempet mengandalkan kecepatan luar biasa.
Pendekar 212 terkejut sekali ketika tiba-tiba sosok dua makhluk itu tahu-tahu telah berada di depannya.
“Breett!”
Baju putih Pendekar 212 robek di bagian bahu kiri. Kalau tadi murid Sinto Gendeng ini tidak cepat menghindar, pasti bahunya sudah amblas putus dimakan serangan lawan! Rasa lega karena selamat di hati Pendekar 212 hanya sesaat. Karena tidak terduga, cepat sekali dua tangan lawan yang berputar berubah menjadi kemplangan kilat, menghantam ke arah pelipis Wiro kiri kanan! Sungguh dahsyat pukulan dan jurus serangan bernama Palu Dan Ladam Membongkar Bumi yang dilancarkan Momok Dempet itu! Selain cepat, gerakannya juga tidak terduga.
Wiro tidak berkesempatan untuk mengindarkan diri. Yang bisa dilakukannya adalah menangkis dua pukulan maut lawan dengan tangan kiri kanan. Untuk menangkis ini Wiro keluarkan seluruh tenaga dalam dan keluarkan jurus yang selama ini hampir tidak pernah dipergunakannya yakni jurus Kipas Sakti Terbuka.
Dua tangan Pendekar 212 menghantam ke atas, melesat ke kiri kanan seperti gerakan kipas terbuka, menangkis dua tangan yang siap menghancurkan kepalanya.
“Bukkk!”
“Bukkk!”
Dua tangan Wiro beradu keras dengan tangan kiri kanan Momok Dempet. Tidak terduga Tunggul Gono yang berada di sebelah kanan tendangkan kaki kanannya ke arah dada Wiro. Pendekar 212 lipat lututnya untuk melidungi diri. Namun saat itu akibat bentrokan lengan tadi Wiro terbanting jatuh punggung ke tanah. Tendangan Tunggul Gono menyerempet paha kirinya sebelah atas lalu melabrak perutnya!
Murid Sinto Gendeng menjerit keras. Perutnya serasa pecah. Dari mulutnya menyembur ludah bercampur darah. Tulang punggungnya seperti hancur. Sementara dua tulang lengannya terasa seolah patah.
Bentrokan tangan membuat dua makhluk dempet terpental jauh. Keduanya menjerit kesakitan. Terjengkang di tanah, untuk beberapa lamanya tak mampu bergerak. Tangan merasa sakit bukan main. Rasa sakit menjalar sampai ke dada, menyesakkan nafas.
“Jahanam! Monyet itu memiliki tenaga dalam luiar biasa!” rutuk Tunggul Gono. “Kalau tidak cepat kita habisi, bisa celaka!” Lalu dia mendahului berdiri. Sepasang matanya laksana dikobari api. Mukanya kelam membesi.
Bagitu berdiri Momok Dempet melihat Wiro terkapar di tanah tidak berdaya. Kesempatan ini tidak disa-siakan mereka. Keduanya segera menyerbu.
Murid Sino Gendeng tahu bahaya besar yang mengancam dirinya. Dia cepat berguling menjauhi lawan sambil tangan kanannya melepas pukulan Benteng Topan Melanda Samudera untuk menghalangi gerakan lawan. Namun karena cidera tangannya cukup parah, apalagi dia tidak mampu mengerahkan seluruh tenaga dalam akibat perutnya yang tadi kena tendangan kaki kuda lawan, pukulan tangan kosong yang dilepaskan Wiro tidak sedahsyat sebagaimana biasanya. Walau dihantam angin deras pukulan Benteng Topan Melanda Samudera yang dilepaskan Wiro, setelah terhuyung sesaat, secara luar biasa Momok Dempet Berkaki Kuda menerobos hantaman angin dan melangkah cepat mendekati Wiro.
“Celaka, kalau keadaan tangan dan tenaga dalamku begini rupa, aku tak mungkin mengeluarkan pukulan Sinar Matahari…” Wiro mengeluh dalam hati sementara dua lawan bertangan dempet itu semakin dekat.
“Tak ada jalan lain, aku harus mengeluarkan Kapak Naga Geni 212!” Wiro gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Tapi alangkah terkejutnya murid Sinto Gendeng ketika tangan yang cidera itu tidak mampu diulurkan untuk menjangkau gagang kapak sakti!
“Benar-benar celaka!” keluh Wiro.
Momok Dempet Berkaki Kuda hanya tinggal tujuh langkah di hadapan Wiro. Dan sang Pendekar dalam keadaan tak berdaya!
Dalam keadaan tegang luar biasa seperti itu mendadak Wiro ingat pada ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang didapatnya dari Luhrembulan. (Baca serial Wiro Sableng di Negeri Latanhasilam Episode berjudul “Istana Kebahagiaan”)
Melihat Wiro tegak tak berdaya sementara dua makhluk dempet mendatangi siap untuk menghabisinya, Kinasih berteriak.
“Wiro! Lari! Selamatkan dirimu!” Kinasih sendiri saat itu siap memutar tubuh dan lari meninggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba dia menyaksikan sesuatu yang sulit dipercaya.
Pada saat Momok Dempet Berkaki Kuda tinggal empat langkah dari hadapannya tiba-tiba Pendekar 212 hantamkan tumit kanannya ke tanah. Rrrrttttt! Tanah terkuak membelah. Momok Dempet terbelalak besar, berteriak kaget ketika melihat belahan tanah bergerak cepat sekali ke arah mereka.
Tunggul Gono, Momok di sebelah kanan melompat. Tunggul Gini ikut melompat namun gerakannya agak terlambat. Kaki kanannya sudah berada di atas, tapi kaki kiri masih menginjak tanah. Dia berusaha mengangkat kaki itu. Terlambat! Tanah yang menganga menyedot kakinya. Tak ampun lagi Tunggul Gini tertarik ke bawah dan menjerit ketakutan setengah mati.
“Jahanam! Ilmu apa ini! Kurang ajar!” seru Tunggul Gono. Ketika menyaksikan kaki kiri saudaranya semakin dalam masuk ke belahan tanah, Tunggul Gono cepat pergunakan kaki kanannya untuk menendang.
Kembali terdengar raungan Tunggul Gini. Lututnya hancur. Kakinya putus. Tunggul Gono cepat menarik tubuh saudaranya. Tunggul Gini selamat walau kakinya sebatas lutut ke bawah putus kemudian lenyap disedot tanah yang terbelah! Secara aneh tanah terbelah itu kembali menutup dengan sendirinya!
Susah payah Tunggul Gono panggul saudaranya di bahu kiri lalu secepat dia bisa berlari, Tunggul Gono kabur dari tempat itu.
Pendekar 212 jatuhkan diri berlutut di tanah. “Luhrembulan, kalau kau tidak memberikan ilmu itu padaku, niscaya tadi aku sudah dihabisi makhluk dempet celaka…” Wiro hendak menggaruk kepala tapi mengerenyit sakit. Tangan kirinya terasa linu. Dia segera atur jalan darah dan pernafasan. Perlahan-lahan dia kerahkan hawa sakti yang ada di perut. Namun belum cukup sempurna di sebelah belakang ada suara orang berlari mendekatinya, Wiro cepat berpaling. Yang datang ternyata Kinasih.
Terhuyung-huyung, dengan berpegangan ke pinggang Kinasih, Pendekar 212 berusaha berdiri. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda di kejauhan.
“Momok Dempet…” pikir Wiro. “Jangan-jangan makhluk jahanam berkaki kuda itu kembali ke sini. Jika mereka berani kembali berarti ada orang lain berkepandaian tinggi ikut bersama keduanya. “Wiro memandang bekeliling. Dia melihat serumpunan semak belukar lebat di sebelah kiri di belakang sederetan pohon-pohon besar. Wiro memberi isyarat pada Kinasih. Kedua orang ini melangkah cepat lalu menyelinap ke balik semak belukar.
Karena tidak tahu siapa yang datang dan bahaya apa yang bakal dihadapi, Wiro segera berjaga-jaga dengan coba mengerahkan pukulan Sinar Matahari di tangan kanan.
Ternyata dia masih belum mampu mengerahkan tenaga dalam akibat perutnya yang masih cidera bekas terkena tendangan Momok Dempet. Dengan dada berdebar dan mata tak berkesip memandang ke depan, Wiro menunggu. Suara derap ladam-ladam kuda itu semakin dekat.
TAMAT
Episode Berikutnya :
ROH DALAM KERATON
Episode Berikutnya :
ROH DALAM KERATON
Tidak ada komentar:
Posting Komentar