posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : MALAM JAHANAM DI MATARAM
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : MALAM JAHANAM DI MATARAM
1
PADA MALAM menjelang dini hari itu beberapa orang mendatangi Bukit Batu Hangus dimana Sri Maharaja Mataram berada bersama ratusan orang pengungsi, menyelamatkan diri dari Kotaraja yang tengah dilanda malapetaka.Selagi Raja menunggu kedatangan Pendekar 212 Wiro Sableng yang di kalangan orang-orang Kerajaan disebut dengan nama Kesatria Panggilan, ternyata Sinuhun Muda Ghama Karadipa sampai lebih dulu. Dia datang dengan menyamar sebagai Pendekar 212 Wiro Sableng, membawa batu segi tiga putih palsu dengan niat sebenarnya bukan lain adalah untuk dapat menghabisi Raja Mataram secepat mungkin.
Namun niat jahat tersebut gagal dilaksanakan karena dihalangi oleh Sri Padmi Kameswari yang muncul dalam bentuk seekor anjing betina, bersama anaknya seekor anjing jantan. Kalau sang ibu berhasil menyelamatkan Raja Mataram dari serangan delapan sinar merah yang keluar dari batu segi tiga Putih di tangan Sinuhun Muda, maka anaknya, seekor anjing kecil jantan mampu pula menyelamatkan Ni Gatri.
Seperti diceritakan dalam “Rob Jemputan”, meski Sri Padmi Kameswari berniat jahat terhadapnya, Raja Mataram bukan saja tidak membunuh perempuan itu, malah sewaktu sosok Sri Padmi Kameswari berubah menjadi seekor anjing betina yang bunting besar dan kesulitan dalam melahirkan anaknya, Raja bertindak menolong. Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas.
Ternyata kini Sri Padmi Kameswari muncul kembali dalam ujud anjing betina dan menyelamatkan Raja Mataram dari serangan maut Sinuhun Muda walau dia sendiri menderita cidera cukup parah. Sekujur tubuh melepuh merah dan mengepulkan asap panas.
Sementara itu anaknya, anjing kecil jantan menolong Ni Gatri.
Sinuhun Muda juga batal menghabisi Sri Padmi Kameswari dengan Pukulan Delapan Sukma Merah. Ini terjadi setelah mendapat peringatan dan seorang anak lelaki yang tidak terlihat ujudnya karena muncul dalam bayangan cahaya kuning kemerahan, yang oleh Sinuhun Muda dipanggil dengan nama Sang Junjungan.
Setelah diperingatkan Sinuhun Muda baru menyadari kalau saat itu di leher anjing betina yang hendak dibunuhnya melingkar seuntai kalung emas besar. Emas merupakan benda pantangan bagi Sinuhun Muda Ghama Karadipa, juga bagi nyawa kembarannya yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Sebenarnya hanya sangat sedikit orang yang mengetahui kelemahan dua mahluk bernyawa kembar itu. Ini yang membuat Sinuhun Muda tersentak heran. Bagaimana mungkin Sri Padmi Kameswari yang kini berujud seekor anjing betina itu bisa mengetahui kelemahannya tersebut! Namun Sinuhun Muda saat itu tidak bisa berpikir panjang. Meski dia tidak merasa gentar tapi karena masih banyak urusan besar yang harus diselesaikan maka dia segera harus meninggalkan Bukit Batu Hangus. Dia bermaksud hendak menemui Sang Junjungan. Dia juga berharap nyawa kembarannya yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah bertemu dengan Kesatria Roh Jemputan dan siap dengan rencana semula yaitu membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Pada saat Sinuhun Muda hendak bertindak pergi terjadilah satu kegemparan. Dari dalam gelap seorang perempuan melempar mayat Swara Pancala ke atas sebuah batu besar.
* * *
SRI MAHARAJA Mataram Rakai Kayuwangi melompat ke arah batu di atas mana mayat Swara Pancala tergeletak. Sekujur tubuh penuh puluhan lubang luka dan bergelimang darah.
“Swara Pancala! Hyang Jagat Bathara, mengapa satu lagi orang kepercayaanku harus menemui ajal!”
Baru saja Raja Mataram keluarkan ucapan tiba-tiba ada suara perempuan berteriak.
“Yang Mulia Raja Mataram! Manusia satu itu memang pantas mati! Ketahuilah, dia telah berkhianat terhadap diri Yang Mulia! Dia adalah kaki tangan Sinuhun Muda Gharna Karadipa. Manusia keji penimbul malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram! Pemuda berpakaian dan berikat kepala hijau itu!”
Kegemparan di lereng Bukit Batu Hangus jadi semakin bertambah setelah terdengarnya suara teriakan perempuan tadi. Sinuhun Muda maupun Raja Mataram sama-sama tercekat.
Yang jelas perempuan yang barusan berteriak bukanlah perempuan yang tadi melemparkan mayat Swara Pancala. Berarti ada dua orang perempuan di tempat itu. Dan keduanya sama-sama belum memperlihatkan diri!
Selagi Raja Mataram mengalihkan pandangan ke arah pemuda berpakaian dan berikat kepala hijau yang tadi menyaru sebagai Kesatria Panggilan Pendekar 212 Wiro Sableng, tiba-tiba di dalam gelap ada satu bayangan hijau berkelebat sangat cepat. Bau harum menebar.
Sinuhun Muda merasakan satu tepukan di punggungnya disertai suara perempuan berkata.
“Sinuhun, cepat tinggalkantempat ini! Sebentar lagi keadaan akan sangat tidak menguntungkan bagimu!”
Sinuhun Muda yang sedang terkesiap dan juga marah melihat kematian Swara Pancala tersentak.
“Dewi Ular! Pasti dia yang barusan menepuk punggungku! Jahanam! Aku punya dugaan dia yang membunuh Swara Pancala! Sekarang mengapa dia berbaik-baik terhadapku! Perempuan keparat! Aku akan memecahkan kepalamu Jilka terbukti memang kau yang telah membunuh anak buahku itu!” Sinuhun Muda menggeram marah dalam hati. Lalu dia ingat.
“Perempuan kedua yang tadi berteriak, suaranya seperti suara Ratu Randang Sinuhun Muda membatin.
Walau sebenarnya dia ingin membuktikan dugaan namun tidak menunggu lebih lama lagi Sinuhun Muda segera berkelebat tinggalkan tempat itu ke arah lenyapnya bayangan perempuan yang tadi menepuk punggungnya.
Tak lama setelah berada di kaki bukit sebelah selatan, Sinuhun Muda melihat ada seorang perempuan duduk di atas batu sambil bernyanyi-nyanyi perlahan.
“Swara Pancala! Hyang Jagat Bathara, mengapa satu lagi orang kepercayaanku harus menemui ajal!”
Baru saja Raja Mataram keluarkan ucapan tiba-tiba ada suara perempuan berteriak.
“Yang Mulia Raja Mataram! Manusia satu itu memang pantas mati! Ketahuilah, dia telah berkhianat terhadap diri Yang Mulia! Dia adalah kaki tangan Sinuhun Muda Gharna Karadipa. Manusia keji penimbul malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram! Pemuda berpakaian dan berikat kepala hijau itu!”
Kegemparan di lereng Bukit Batu Hangus jadi semakin bertambah setelah terdengarnya suara teriakan perempuan tadi. Sinuhun Muda maupun Raja Mataram sama-sama tercekat.
Yang jelas perempuan yang barusan berteriak bukanlah perempuan yang tadi melemparkan mayat Swara Pancala. Berarti ada dua orang perempuan di tempat itu. Dan keduanya sama-sama belum memperlihatkan diri!
Selagi Raja Mataram mengalihkan pandangan ke arah pemuda berpakaian dan berikat kepala hijau yang tadi menyaru sebagai Kesatria Panggilan Pendekar 212 Wiro Sableng, tiba-tiba di dalam gelap ada satu bayangan hijau berkelebat sangat cepat. Bau harum menebar.
Sinuhun Muda merasakan satu tepukan di punggungnya disertai suara perempuan berkata.
“Sinuhun, cepat tinggalkantempat ini! Sebentar lagi keadaan akan sangat tidak menguntungkan bagimu!”
Sinuhun Muda yang sedang terkesiap dan juga marah melihat kematian Swara Pancala tersentak.
“Dewi Ular! Pasti dia yang barusan menepuk punggungku! Jahanam! Aku punya dugaan dia yang membunuh Swara Pancala! Sekarang mengapa dia berbaik-baik terhadapku! Perempuan keparat! Aku akan memecahkan kepalamu Jilka terbukti memang kau yang telah membunuh anak buahku itu!” Sinuhun Muda menggeram marah dalam hati. Lalu dia ingat.
“Perempuan kedua yang tadi berteriak, suaranya seperti suara Ratu Randang Sinuhun Muda membatin.
Walau sebenarnya dia ingin membuktikan dugaan namun tidak menunggu lebih lama lagi Sinuhun Muda segera berkelebat tinggalkan tempat itu ke arah lenyapnya bayangan perempuan yang tadi menepuk punggungnya.
Tak lama setelah berada di kaki bukit sebelah selatan, Sinuhun Muda melihat ada seorang perempuan duduk di atas batu sambil bernyanyi-nyanyi perlahan.
2
RAHANG Sinuhun Muda menggembung. Sepuluh jari tangan diremas hingga mengeluarkan suara bergemeletakan.
“Benar-benar mahluk jahanam!
Habis membunuh masih bisa bernyanyi nyanyi!” Sinuhun Muda menyumpah.
Sekejapan saja dia sudah berada di depan perempuan yang duduk di atas batu. Dan ternyata perempuan ini memang Dewi Ular!
Berpakaian sutera hijau, lengkap dengan mahkota perak di atas kepala!
“Perempuan iblis!” Sinuhun Muda langsung mendamprat.
Orang yang dibentak hentikan nyanyian, berpaling ke arah Sinuhun Muda lalu tersenyum. Dia menunjuk ke langit.
“Malam begini indah. Di langit ada rembulan walau setengah lingkaran. Rasanya kurang pantas merusak keindahan dan dengan ucapan kotor bentakan kasar.
Apakah…”
“Tutup mulutmu!” Hardik Sinuhun Muda. Delapan benjolan di kepalanya memancarkan cahaya terang. “Apa matamu buta tidak melihat Bhumi Mataram dilanda malapetaka? Dan aku yang menciptakan malapetaka itu!”
Delapan cahaya merah mulai memancar keluar dari delapan benjolan di kening.
Di atas batu Dewi Ular kembali mengulum senyum.
“Sinuhun, kau kelihatan begitu bangga dan merasa hebat karena telah menimbulkan bencana di Bhumi Mataram. Apa yang sesungguhnya kau cari? Hik … hik.
Sekarang aku melihat kau hendak membunuhku dengan ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit … Apa salahku?!”
“Kurang ajar! Bagaimana perempuan iblis ini tahu nama ilmu yang aku miliki?!” Sinuhun Muda menggeram dalam hati.
“Sinuhun, membunuhku tidak ada untungnya bagi dirimu. Bukankah aku pernah berucap. Kalau kita berdua bisa sating berbagi ilmu atau berbagi cinta.
Bagaimanapun juga bersahabat adalah jauh lebih baik dari saling bermusuhan.”
“Aku tidak tertarik pada ilmu kepandaianmu! Kau tidak punya kemampuan apa-apa. Buktinya kau tidak sanggup membunuh pemuda bernama Wiro Sableng itu!”
“Hari selalu berubah. Hari kemarintidak sama dengan hari ini. Hari ini tidak sama dengan hari besok. Besok tidak sama dengan lusa….”
“Perempuan setan! Mengaku kalau kau yang telah membunuh anak buahku Swara Pancala!” Sinuhun Muda menghardik keras.
Dewi Ular dongakkan kepala ke langit malam yang diterangi bulan setengah lingkaran lalu berkata. “Kalau Sinuhun sudah tahu mengapa mesti bertanya lagi? Lagi pula sebenarnya lelaki itu yang minta dibunuh dan memang harus dibunuh. Seharusnya Sinuhun berterima kasih karena aku telah membunuh seorang musuh dalam selimut. Lebih baik Sinuhun menanyakan bagaimana cara aku membunuhnya!”
Sinuhun Muda tidak dapat lagi menahan amarahnya.
Kaki kanan menendang ke depan, Lima jari kaki memancarkan cahaya merah.
“Braaakkk!”
Batu yang diduduki Dewi Ular hancur membentuk keping-keping menyala merah. Sosok Dewi Ular sendiri telah lebih dulu melesat ke udara selamatkan diri.
Perempuan ini pindah berdiri ke atas batu lain. Lalu tanpa perdulikan kemarahan Sinuhun Muda dia tertawa panjang. Puas tertawa perempuan ini berkata.
“Di dalam gua dibelakang air terjun. Hik…hik… hik.
Sinuhun, dengar ceritaku. Mula-mula Swara Pancala menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhku. Seperti ini…” Dewi Ular memperagakan dengan membuka baju hijaunya di bagian dada. “Lalu dia memeluk menghangatkan tubuhku. Setelah itu dia membuka pakaiannya pula. Lalu dia membuyarkan ilmu penyirap tubuh milik Sinuhun yang membuat diriku kaku tak bisa bergerak. Ketika kami bercumbu dia bicara banyak tentang dirimu. Perihal dua nyawa kembar yang kau miliki. Perihal pantangan Sinuhun yang tidak boleh bersentuhan dengan emas. Ah …. aku ingat. Itu sebabnya Sinuhun meminta mahkota emas kepala ular milikku lalu ditukar dengan mahkota perak bertabur batu permata yang ada di kepalaku saat ini. Sayang Swara Pancala tidak berumur panjang. Takdir menentukan dia mati di tanganku. Oh bukan …. bukan tanganku yang membunuhnya. Tapi Nyi Jeneng Inten, ular hitam kepala putih yang ada dalam perutku. Apa Sinuhun sempat melihat puluhan lubang luka bekas patukan ular di tubuh lelaki itu? Hik … hik! Sinuhun, ini dia ular yang membunuh Swara Pancala. Sinuhun pernah melihat sebelumnya.
Pada pertemuan kita yang pertama …”
Dewi Ular menahan nafas sambil perut digembungkan. Saat itu juga dari perut yang tersingkap, dari arah pusar melesat keluar seekor ular besar hitam berkepala putih. Binatang ini tegakkan kepala lalu mendesis panjang. Dewi Ular usap-usap kepala binatang itu beberapa kali. Setelah mendesis sekali lagi ular hitam kepala putih masuk lenyap ke dalam perut Dewi Ular.
Walau saat itu boleh dikatakan sosok Dewi Ular sebelah depan tersingkap polos namun Sinuhun Muda sama sekali tidak menaruh perhatian. Yang jadi ingatan serta kekawatirannya adalah apa yang tadi dikatakan perempuan dari alam roh delapan ratus tahun mendatang itu.
Terutama perihal Swara Pancala memberi tahu kelemahannya terhadap emas.
“Aku harus segera menemui nyawa kembaranku Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Jika orang luar sudah mengetahui perihal pantangan emas itu, aku berdua harus segera menerapkan ilmu penangkal. Tapi apakah masih ada waktu untuk meminta bantuan Sang Junjungan dan pergi ke Gunung Mahameru?”
Sinuhun Muda menatap ke arah Dewi Ular.
“Aku harus mengambil keputusan! Perempuan iblis ini harus dihabisi sekarang juga! Kalau tidak bisa dibunuh aku harus mampu melemparnya kembali ke alam roh asal kedatangannya!”
“Sinuhun! Apa yang ada di benakmu?” Tiba-tiba Dewi Ular berseru. “Kau hendak membuat tubuhku kaku lagi hingga tidak berdaya? Hik … hik! Kau tidak mampu lagi melakukan. Swara Pancala telah memberi tahu cara menangkal ilmu murahanmu itu! Kalau tidak percaya silahkan mencoba! Hik … hik … hik!”
Tampang Sinuhun Muda tampak berubah. Terlebih ketika dilihatnya Dewi Ular menusukkan telunjuk tangan kiri dan kanan di atas pelipis. Ini memang adalah salah satu cara menangkal ilmu kesaktian yang dimiliki Sinuhun Muda. Dalam keadaan seseorang bersikap seperti itu ilmu kesaktiannya memang tidak akan mampu membuat orang itu menjadi kaku tak berdaya.
“Kurang ajar! Perempuan iblis ini benar-benar telah mengetahui penangkal ilmu Hawa Bumi Menutup Jalan Darah Mencekal Urat. Swara Pancala! Syukur kau sudah mampus! Kalau tidak aku yang akan membongkar otak dalam batok kepalamu! Tapi aku tidak mau percaya kalau tidak membuktikan sendiri! Bisa saja perempuan celaka ini tahu sedikit lalu membual selangit!”
Sinuhun Muda Ghama Karadipa lalu bantingkan kaki kanan. Satu getaran hebat menggerus tanah, menjalar ke arah sepasang kaki Dewi Ular. Namun tinggal dua jengkal hawa aneh itu akan memasuki tubuh Dewi Ular tiba-tiba dess…. desss! Hawa sakti berbalik, menyerang ke arah Sinuhun Muda.
“Jahanam Kurang ajar! Perempuan celaka ini ternyata benar menguasai ilmu penangkal!. Sinuhun Muda, memaki keras. Tubuhnya terpental ke udara sampai satu tombak. Ada hawa aneh membuat pori-pori di sekujur permukaan kulit tubuhnya menguap. Celaka! ilmu yang dilepaskannya untuk membuat Dewi Ular tak berdaya kini menyerang dirinya sendiri! Karenanya begitu melayang turun dia cepat lepaskan dua pukulan tangan kosong ke arah tanah. Dua dentuman keras menggelegar. Tanah terbongkar membentuk dua lobang besar. Sinuhun Muda melayang turun. Jejakkan kaki di tepi lobang. Memang hanya dengan dua pukulan mengandung tenaga dalam tinggi tadi itulah satu satunya cara dia bisa menyelamatkan diri dari serangan ilmu miliknya sendiri!
Ketika Sinuhun Muda berpaling ke arah batu tempat Dewi Ular tadi berdiri dalam keadaan setengah telanjang, ternyata perempuan itu tidak ada lagi di tempat itu.
“Perempuan iblis jahanam! Apa kau kira aku tidak bisa mengejar kemana kau pergi?!”
Sinuhun Muda melompat ke atas batu. Dua telapak tangan di letakkan di bekas Dewi Ular menjejakkan dua kakinya. Mulut komat kamit merapal mantera. Lalu dia berteriak keras.
“Arwah Menebar Racun Kelumpuhan! Lumpuh! Lumpuh”
Bekas injakan kaki Dewi Ular di atas batu yang ditempeli telapak tangan kepulkan asap merah. Asap ini kemudian bergulung dan siap melesat di udara ke arah lenyapnya Dewi Ular. Jika asap merah sampai menyentuh tubuh yang jadi sasaran maka kejap itu juga Dewi Ular akan menjadi lumpuh seperti yang dialami orang-orang di Bhumi Mataram! Namun apa yang dilakukan Sinuhun Muda jadi terganggu dan terhenti ketika dari arah kegelapan di sebelah kiri kaki bukit batu tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling ditimpali tabuhan tambur yang luar biasa keras hingga Sinuhun Muda merasa kedua liang telinganya seperti hendak pecah meledak! Cepat-cepat dia kerahkan tenaga dalam. Begitu rasa sakit di telinga, hilang Sinuhun Muda segera berkelebat ke balik sebuah batu besar, memandang ke lereng bukit. Sepasang mata terpentang lebar. Tak berkesip, tak percaya apa yang disaksikan!
“Kakek … Nenek, mengapa menyiksa diri? Bukannya Eyang berdua telah tentram di alam arwah? Dewa Bathara Agung, saya mohon …”
Suara tambur ditabuh dan suling ditiup semakin menjadi-jadi. Namun sampai saat itu Sinuhun Muda masih belum melihat siapa adanya orang-orang yang menabuh tambur dan meniup suling itu.
“Kalau bukan orang-orang berkepandaian tinggi mustahil suara tambur dan tiupan suling bisa seperti hendak membongkar bumi menembus langit! Aku punya dugaan. Tapi bukankah mereka….”
Merasa tidak enak Sinuhun Muda berniat hendak tinggalkan Bukit Batu Hangus. Namun sepasang mahluk yang melayang di lereng bukit menatap dengan pandangan mata menyorotkan amarah. Lalu dua mahluk ini secara bergantian menggoyang-goyang dua tangan, jari-jemari digerak-gerakkan membentuk isyarat atau tanda-tanda yang hanya bisa dimengerti oleh orang yang mengetahui. Melihat gerakan dua tangan dan sepuluh jari-jemari Itu Sinuhun Muda jadi berubah tampangnya.
Muka yang ditumbuhi kumis, janggut dan cambang bawuk meranggas diusap berulang kali.
“Aku harus segera menemui Sang Junjungan! Dua orang tua ini agaknya tidak berpihak padaku! Eyang berdua kalau kalian sampai mencelakai cucumu ini, aku bersumpah bersama nyawa kembarku akan membongkar dan menghancurkan makam kalian! Mengapa dulu ketika mati kalian dikubur di tanah, tidak dibakar saja! Sekarang kalian muncul hendak mencelakai diriku!”
“Benar-benar mahluk jahanam!
Habis membunuh masih bisa bernyanyi nyanyi!” Sinuhun Muda menyumpah.
Sekejapan saja dia sudah berada di depan perempuan yang duduk di atas batu. Dan ternyata perempuan ini memang Dewi Ular!
Berpakaian sutera hijau, lengkap dengan mahkota perak di atas kepala!
“Perempuan iblis!” Sinuhun Muda langsung mendamprat.
Orang yang dibentak hentikan nyanyian, berpaling ke arah Sinuhun Muda lalu tersenyum. Dia menunjuk ke langit.
“Malam begini indah. Di langit ada rembulan walau setengah lingkaran. Rasanya kurang pantas merusak keindahan dan dengan ucapan kotor bentakan kasar.
Apakah…”
“Tutup mulutmu!” Hardik Sinuhun Muda. Delapan benjolan di kepalanya memancarkan cahaya terang. “Apa matamu buta tidak melihat Bhumi Mataram dilanda malapetaka? Dan aku yang menciptakan malapetaka itu!”
Delapan cahaya merah mulai memancar keluar dari delapan benjolan di kening.
Di atas batu Dewi Ular kembali mengulum senyum.
“Sinuhun, kau kelihatan begitu bangga dan merasa hebat karena telah menimbulkan bencana di Bhumi Mataram. Apa yang sesungguhnya kau cari? Hik … hik.
Sekarang aku melihat kau hendak membunuhku dengan ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit … Apa salahku?!”
“Kurang ajar! Bagaimana perempuan iblis ini tahu nama ilmu yang aku miliki?!” Sinuhun Muda menggeram dalam hati.
“Sinuhun, membunuhku tidak ada untungnya bagi dirimu. Bukankah aku pernah berucap. Kalau kita berdua bisa sating berbagi ilmu atau berbagi cinta.
Bagaimanapun juga bersahabat adalah jauh lebih baik dari saling bermusuhan.”
“Aku tidak tertarik pada ilmu kepandaianmu! Kau tidak punya kemampuan apa-apa. Buktinya kau tidak sanggup membunuh pemuda bernama Wiro Sableng itu!”
“Hari selalu berubah. Hari kemarintidak sama dengan hari ini. Hari ini tidak sama dengan hari besok. Besok tidak sama dengan lusa….”
“Perempuan setan! Mengaku kalau kau yang telah membunuh anak buahku Swara Pancala!” Sinuhun Muda menghardik keras.
Dewi Ular dongakkan kepala ke langit malam yang diterangi bulan setengah lingkaran lalu berkata. “Kalau Sinuhun sudah tahu mengapa mesti bertanya lagi? Lagi pula sebenarnya lelaki itu yang minta dibunuh dan memang harus dibunuh. Seharusnya Sinuhun berterima kasih karena aku telah membunuh seorang musuh dalam selimut. Lebih baik Sinuhun menanyakan bagaimana cara aku membunuhnya!”
Sinuhun Muda tidak dapat lagi menahan amarahnya.
Kaki kanan menendang ke depan, Lima jari kaki memancarkan cahaya merah.
“Braaakkk!”
Batu yang diduduki Dewi Ular hancur membentuk keping-keping menyala merah. Sosok Dewi Ular sendiri telah lebih dulu melesat ke udara selamatkan diri.
Perempuan ini pindah berdiri ke atas batu lain. Lalu tanpa perdulikan kemarahan Sinuhun Muda dia tertawa panjang. Puas tertawa perempuan ini berkata.
“Di dalam gua dibelakang air terjun. Hik…hik… hik.
Sinuhun, dengar ceritaku. Mula-mula Swara Pancala menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhku. Seperti ini…” Dewi Ular memperagakan dengan membuka baju hijaunya di bagian dada. “Lalu dia memeluk menghangatkan tubuhku. Setelah itu dia membuka pakaiannya pula. Lalu dia membuyarkan ilmu penyirap tubuh milik Sinuhun yang membuat diriku kaku tak bisa bergerak. Ketika kami bercumbu dia bicara banyak tentang dirimu. Perihal dua nyawa kembar yang kau miliki. Perihal pantangan Sinuhun yang tidak boleh bersentuhan dengan emas. Ah …. aku ingat. Itu sebabnya Sinuhun meminta mahkota emas kepala ular milikku lalu ditukar dengan mahkota perak bertabur batu permata yang ada di kepalaku saat ini. Sayang Swara Pancala tidak berumur panjang. Takdir menentukan dia mati di tanganku. Oh bukan …. bukan tanganku yang membunuhnya. Tapi Nyi Jeneng Inten, ular hitam kepala putih yang ada dalam perutku. Apa Sinuhun sempat melihat puluhan lubang luka bekas patukan ular di tubuh lelaki itu? Hik … hik! Sinuhun, ini dia ular yang membunuh Swara Pancala. Sinuhun pernah melihat sebelumnya.
Pada pertemuan kita yang pertama …”
Dewi Ular menahan nafas sambil perut digembungkan. Saat itu juga dari perut yang tersingkap, dari arah pusar melesat keluar seekor ular besar hitam berkepala putih. Binatang ini tegakkan kepala lalu mendesis panjang. Dewi Ular usap-usap kepala binatang itu beberapa kali. Setelah mendesis sekali lagi ular hitam kepala putih masuk lenyap ke dalam perut Dewi Ular.
Walau saat itu boleh dikatakan sosok Dewi Ular sebelah depan tersingkap polos namun Sinuhun Muda sama sekali tidak menaruh perhatian. Yang jadi ingatan serta kekawatirannya adalah apa yang tadi dikatakan perempuan dari alam roh delapan ratus tahun mendatang itu.
Terutama perihal Swara Pancala memberi tahu kelemahannya terhadap emas.
“Aku harus segera menemui nyawa kembaranku Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Jika orang luar sudah mengetahui perihal pantangan emas itu, aku berdua harus segera menerapkan ilmu penangkal. Tapi apakah masih ada waktu untuk meminta bantuan Sang Junjungan dan pergi ke Gunung Mahameru?”
Sinuhun Muda menatap ke arah Dewi Ular.
“Aku harus mengambil keputusan! Perempuan iblis ini harus dihabisi sekarang juga! Kalau tidak bisa dibunuh aku harus mampu melemparnya kembali ke alam roh asal kedatangannya!”
“Sinuhun! Apa yang ada di benakmu?” Tiba-tiba Dewi Ular berseru. “Kau hendak membuat tubuhku kaku lagi hingga tidak berdaya? Hik … hik! Kau tidak mampu lagi melakukan. Swara Pancala telah memberi tahu cara menangkal ilmu murahanmu itu! Kalau tidak percaya silahkan mencoba! Hik … hik … hik!”
Tampang Sinuhun Muda tampak berubah. Terlebih ketika dilihatnya Dewi Ular menusukkan telunjuk tangan kiri dan kanan di atas pelipis. Ini memang adalah salah satu cara menangkal ilmu kesaktian yang dimiliki Sinuhun Muda. Dalam keadaan seseorang bersikap seperti itu ilmu kesaktiannya memang tidak akan mampu membuat orang itu menjadi kaku tak berdaya.
“Kurang ajar! Perempuan iblis ini benar-benar telah mengetahui penangkal ilmu Hawa Bumi Menutup Jalan Darah Mencekal Urat. Swara Pancala! Syukur kau sudah mampus! Kalau tidak aku yang akan membongkar otak dalam batok kepalamu! Tapi aku tidak mau percaya kalau tidak membuktikan sendiri! Bisa saja perempuan celaka ini tahu sedikit lalu membual selangit!”
Sinuhun Muda Ghama Karadipa lalu bantingkan kaki kanan. Satu getaran hebat menggerus tanah, menjalar ke arah sepasang kaki Dewi Ular. Namun tinggal dua jengkal hawa aneh itu akan memasuki tubuh Dewi Ular tiba-tiba dess…. desss! Hawa sakti berbalik, menyerang ke arah Sinuhun Muda.
“Jahanam Kurang ajar! Perempuan celaka ini ternyata benar menguasai ilmu penangkal!. Sinuhun Muda, memaki keras. Tubuhnya terpental ke udara sampai satu tombak. Ada hawa aneh membuat pori-pori di sekujur permukaan kulit tubuhnya menguap. Celaka! ilmu yang dilepaskannya untuk membuat Dewi Ular tak berdaya kini menyerang dirinya sendiri! Karenanya begitu melayang turun dia cepat lepaskan dua pukulan tangan kosong ke arah tanah. Dua dentuman keras menggelegar. Tanah terbongkar membentuk dua lobang besar. Sinuhun Muda melayang turun. Jejakkan kaki di tepi lobang. Memang hanya dengan dua pukulan mengandung tenaga dalam tinggi tadi itulah satu satunya cara dia bisa menyelamatkan diri dari serangan ilmu miliknya sendiri!
Ketika Sinuhun Muda berpaling ke arah batu tempat Dewi Ular tadi berdiri dalam keadaan setengah telanjang, ternyata perempuan itu tidak ada lagi di tempat itu.
“Perempuan iblis jahanam! Apa kau kira aku tidak bisa mengejar kemana kau pergi?!”
Sinuhun Muda melompat ke atas batu. Dua telapak tangan di letakkan di bekas Dewi Ular menjejakkan dua kakinya. Mulut komat kamit merapal mantera. Lalu dia berteriak keras.
“Arwah Menebar Racun Kelumpuhan! Lumpuh! Lumpuh”
Bekas injakan kaki Dewi Ular di atas batu yang ditempeli telapak tangan kepulkan asap merah. Asap ini kemudian bergulung dan siap melesat di udara ke arah lenyapnya Dewi Ular. Jika asap merah sampai menyentuh tubuh yang jadi sasaran maka kejap itu juga Dewi Ular akan menjadi lumpuh seperti yang dialami orang-orang di Bhumi Mataram! Namun apa yang dilakukan Sinuhun Muda jadi terganggu dan terhenti ketika dari arah kegelapan di sebelah kiri kaki bukit batu tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling ditimpali tabuhan tambur yang luar biasa keras hingga Sinuhun Muda merasa kedua liang telinganya seperti hendak pecah meledak! Cepat-cepat dia kerahkan tenaga dalam. Begitu rasa sakit di telinga, hilang Sinuhun Muda segera berkelebat ke balik sebuah batu besar, memandang ke lereng bukit. Sepasang mata terpentang lebar. Tak berkesip, tak percaya apa yang disaksikan!
“Kakek … Nenek, mengapa menyiksa diri? Bukannya Eyang berdua telah tentram di alam arwah? Dewa Bathara Agung, saya mohon …”
Suara tambur ditabuh dan suling ditiup semakin menjadi-jadi. Namun sampai saat itu Sinuhun Muda masih belum melihat siapa adanya orang-orang yang menabuh tambur dan meniup suling itu.
“Kalau bukan orang-orang berkepandaian tinggi mustahil suara tambur dan tiupan suling bisa seperti hendak membongkar bumi menembus langit! Aku punya dugaan. Tapi bukankah mereka….”
Merasa tidak enak Sinuhun Muda berniat hendak tinggalkan Bukit Batu Hangus. Namun sepasang mahluk yang melayang di lereng bukit menatap dengan pandangan mata menyorotkan amarah. Lalu dua mahluk ini secara bergantian menggoyang-goyang dua tangan, jari-jemari digerak-gerakkan membentuk isyarat atau tanda-tanda yang hanya bisa dimengerti oleh orang yang mengetahui. Melihat gerakan dua tangan dan sepuluh jari-jemari Itu Sinuhun Muda jadi berubah tampangnya.
Muka yang ditumbuhi kumis, janggut dan cambang bawuk meranggas diusap berulang kali.
“Aku harus segera menemui Sang Junjungan! Dua orang tua ini agaknya tidak berpihak padaku! Eyang berdua kalau kalian sampai mencelakai cucumu ini, aku bersumpah bersama nyawa kembarku akan membongkar dan menghancurkan makam kalian! Mengapa dulu ketika mati kalian dikubur di tanah, tidak dibakar saja! Sekarang kalian muncul hendak mencelakai diriku!”
3
Pendekar 212 Wiro Sableng, hentikan lari dan duduk di atas tumbangan batang kayu.
Kepala digaruk-garuk lalu memandang ke arah Ratu Randang yang masih berlari berputar-putar.
“Ratu Randang, bagaimana ini. Dari tadi sudah tiga kali kita berputar-putar di sini-sini juga!”
“Aku tahu … aku tahu!” Jawab Ratu Randang sambil mengusap dagunya yang keringatan. “Aku rasa sebenarnya kita sudah dekat ke tujuan. Bukit Batu Hangus pasti ada disekitar sini. Tapi ada orang yang menghalangi langkah dan pandangan kita. Pasti Sinuhun Muda sialan itu! Ilmunya dan ilmu nyawa kembarannya memang tinggi dan aneh-aneh. Itu sebabnya orang-orang pandai di Istana tidak berdaya. Itu pula sebabnya aku menyusup pura-pura bercinta dengannya agar bisa mengetahui kelemahannya…”
“Aku mendengar suara orang-orang berteriak. Ado suara perempuan. Sepertinya ada satu kejadian hebat di sekitar sini …” Berkata Wiro.
“Kita memang tidak bisa melihat, mereka, tapi masih mampu mendengar suara. Walau sayup-sayup tadi aku mendengar suara Raja Mataram. Sesuatu telah terjadi dengan Swara Pancala. Orang itu telah menemui ajal. Itu sebabnya tadi aku berteriak. Pengkhianat itu memang pantas mati. Ilmu kesaktian Sinuhun Muda membendung perasaan, menghambat penglihatan serta langkah kita tapi tidak menutup keseluruhan Pendengaran. Satu hal yang aku yakini, sebenarnya kita sudah berada dekat dengan Bukit Batu Hangus.”
Ratu Rundang meneruskan lari satu kali lagi lalu mendudukkan diri di atas batang kayu di samping Wiro.
“Sinuhun Muda. Dia punya ilmu yang disebut Langit Turun Ke Bumi. Pengaruh ilmu itu membuat kita tidak mengetahui jalan yang ditempuh. Itu sebabnya kita hanya berputar putar disini. Aku bisa membuyarkan kekuatan ilmu itu. Tapi aku merasa saat ini Sinuhun Muda tidak hanya menerapkan ilmu kesaktian itu, agaknya dia juga menerapkan ilmu lain yang kalau aku tidak salah bernama Di Bumi Ada Enam Kesesatan. Di Langit Ada Tujuh Kesesatan. Dalam Air Ada Delapan Kesesatan…”
“Panjang amat nama ilmunya. Aku jadi keburu pingin kencing mendengarnya!” Kata Pendekar 212 pula. Lalu dia menambahkan. “Namanya saja ilmu sesat-sesatan.
Jelas sesat. Padahal kesesatan terbanyak ada dalam diri manusta! Bukan cuma enam, tujuh atau delapan. Mungkin ribuan!”
Ratu Randang tertawa mendengar kata-kata sang pendekar.
“Aku pernah membujuk Sinuhun untuk memberikan ilmu penyesat itu padaku. ilmu itu lebih hebat dari yang kumiliki yaitu ilmu bernama Sang Pencipta Berbuat Penuh Kuasa…”
“Ilmu yang tadi bisa menciptakan telaga penyesat itu?” Tanya Wiro.
Ratu Randang mengangguk.
“Kau akhirnya berhasil mendapatkan ilmu sesatsesatan itu dari Sinuhun Muda?”
Ratu Randang mencibir lalu menggeleng, “Kalau begitu kau harus mencoba pada, Sinuhun yang satunya…”
“Mereka sama cerdiknya. Sinuhun Muda menjanjikan ilmu itu baru akan diberikan padaku asal aku bisa mencari tahu dimana letak kelemahan Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi. Aku berpura-pura akan melakukan apa yang dimintanya. Tentu saja aku tidak mau mengkhianati Rajaku. Sementara itu dalam waktu singkat segala sesuatunya berubah.
Terutama sejak kau dan dua orang lainnya itu berada di Bhumi Mataram ini…”
“Kurasa saat berduaan dengan Sinuhun Muda kau kurang hebat mencumbunya hingga dia tidak mau memberikan ilmu sesat-sesat itu. Menurutku dengan kecantikan dan kebagusan tubuhmu kau bisa membuat dia menyembah kakimu…”
“Oh, jadi aku ini cantik dan tubuhku bogus? Hik … hik … hik. Rupanya kau memperhatikan juga. Hik … hik … hik. Aku merasa, kau pasti cemburu kalau aku bilang bercumbu dengan Sinuhun Muda. Nanti aku jelaskan siapa yang sebenarnya bercumbu dengan pemuda keparat itu….”
“Ketika di telaga kau berteriak pada Sinuhun Muda kalau waktu bercinta yang kau berikan padanya bukan tubuhmu tapi tubuh bangkai anjing. Bagaimana kejadiannya?”
“Aku punya ilmu bisa merubah benda hidup atau setengah hidup menyerupai diriku …”
Wiro tertegun lalu cepat-cepat berdiri. Dia memperhatikan bagian belakang tubuh Ratu Randang.
“Saat ini, apakah kau ujud beneran atau jejadian … ?” Bertanya Pendekar 212.
Ratu Randang tertawa.
“Ada apa kau memperhatikan punggungku? Biasanya lelaki lebih suka memperhatikan dada perempuan. Kau terbalik! Hik…hik”
“Aku mau tahu apakah punggungmu ada bolongnya atau tidak. Di negeriku jika perempuan cantik punggungnya geroak berarti dia adalah hantu perempuan yang di sebut Kuntil Anak …”
“Apakah kau lihat punggungku bolong?” Tanya Ratu Randang sambil kedipkan sepasang matanya yang juling bagus.
“Tidak, mungkin belum,” jawab Wiro sambi1 tertawa.
“Mengenai tubuh anjing yang kau berikan pada Sinuhun Muda…”
“Nanti saja aku ceritakan.” Kata Ratu Randang. “Aku ingat sesuatu. Ketika di telaga kau lebih dulu mampu melihat Sinuhun Muda dan Swara Pancala. Katamu kau punya sedikit ilmu. Coba kau pergunakan ilmu itu untuk memperhatikan keadaan sekitar sini. Siapa tahu kau bisa membuat buyar ilmu Sinuhun Muda.”
Wiro mengikuti ape yang dikatakan Ratu Randang.
Tenaga dalam dialirkan ke arah sepasang mata. Ilmu Menembus Pandang diterapkan. Namun sampai tiga kali dicoba dia tidak mampu menembus kegelapan, tidak bisa melihat apa-apa.
“Tidak bisa kutembus…” Wiro memberi tahu.
“Kalau begitu ya sudah. Sekarang ayo duduk lagi di sebelahku…”
Begitu Wiro duduk kembali di atas batang kayu di sampingnya Ratu Randang bertanya. “Sudah, sekarang katakan tinggal berapa?”
“Apanya yang tinggal berapa?” Balik bertanya Wiro.
Ratu Randang menggeser duduknya lebih dekat.
Tiba-tiba perempuan ini merangkul leher song pendekar.
Sesaat kemudian cuuppp …. cuuppp! Dia sudah mengecup bibir Wiro sampai due kali.
Habis mencium Ratu Randang melompat berdiri dan tertawa-tawa geli. “Tinggal empat ratus sembilan puluh enam …. Empat ratus sembilan puluh enam kecupan!
Masih banyak! Hik … hik … hik….”
Wiro geleng-geleng kepala. Belakang telapak tangan kiri di dekatkan ke bibir yang barusan dikecup.
“Hai! Awas kau hapus! Awas kalau kau usap bekas kecupanku!” Kata Ratu Randang pula.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Hanya bisa tertawa cengengesan.
“Aku rasa kau berpura pura sesat. Sebenarnya memang sengaja membawaku ke tempat sunyi ini.
Maksudmu mau…”
Ratu Randang cubit paha Pendekar 212. Tiba-tiba perempuan ini berkata. “Astaga …”
“Eh, ada apa? Mau menciumku lagi?” Tanya Wiro sambil buru-buru menekap mulutnya.
“Tadi kau menyebut-nyebut soal kencing. Aku jadi ingat. Aku pernah mendengar cerita Eyang Dukun Umbut Watukara. Kurasa Eyang Dukun kini berada di Bukit Batu Hangus dalam keadaan lumpuh. Konon ilmu sesat-sesat Sinuhun Muda itu memiliki satu pantangan. Kawasan, yang dilindungi oleh ilmu tidak boleh sampai terkena air kencing manusia. Kalau sampai ada yang kencing ilmu itu akan buyar…”
“Hemm …. Kencing laki-laki atau perempuan?” Tanya Wiro yang mencurigai kalau Ratu Randang hendak mengerjainya.
“Itu tidak aku ketahui. Tapi mengapa tidak kau coba saja? Agar kita bisa sampai ke bukit itu. Aku kawatir kalau terlambat…”
“Bagusnya kau saja yang kencing. Kencing perempuan mancurnya lebih lebar dan baunya lebih mantap!” Kata Wiro pula dengan senyum-senyum.
Ratu Randang terdiam lalu ikutan tersenyum.
“Kau pasti mau melakukannya.”
“Nanti kau mengintip.”
“Husss! Jangan berpikir seperti itu. Ayo kencing saja.
Aku akan berpaling ke tempat gelap sana…” Kata Wiro.
Ratu Randang tampak ragu-ragu.
“Sudah belum?” Tanya Wiro.
“Kau belum membalikkan badan!”
“Ah!” Wiro menahan tawa. Lalu balikkan tubuh, memandang ke arah kegelapan.
Ratu Randang melangkah mendekati satu pohon besar sambil menyingsingkan ke atas bagian bawah pakaiannya. Betisnya yang putih bagus tersingkap.
“Kencingnya biar banyak Ratu!”
Di depan pohon besar Ratu Randang berhenti.
“Kencingnya jongkok! Jangan berdiri seperti laki-laki!”
Wiro kembali keluarkan ucapan sambil senyum-senyum.
Tak lama kemudian terdengar langkah Ratu Randang mendekati.
Wiro berpaling.
“Sudah?” Wiro bertanya sambil tertawa. “Banyak kencingnya? Mengapa aku tidak mendengar suara merdu semburannya?”
Ratu Randang turunkan pakaian yang disingsingkan.
Dengan wajah cemberut dia gelengkan kepala.
“Aku tidak jadi kencing …”
“Wah, kenapa?”
“Tidak mau saja…
“Tidak mau karena apa?”
“Aku takut…”
“Takut sama apa? Takut sama siapa? Apa di dekat pohon besar itu banyak semut rangrang? Atau ada ular atau mungkin kalajengking? Kau takut diantuk?”
Ratu Randang goyangkan bahu. “Aku mendengar kabar. Di kawasan ini banyak gentayangan mahluk halus.
Siapa yang berbuat ulah yang tidak disenangi bisa celaka. Aku kawatir kalau kencing dianggap mengotori tempat kediaman mahluk halus gentayangan. Lalu anuku disumbat dipangpet. Celaka kalau aku tidak bisa kencing seumur umur…”
Wiro tercengang mendengar ucapan Ratu Randang namun kemudian tertawa gelak-gelak.
“Jangan tertawa! Kau saja yang kencing agar kita bisa segera menemui Raja Mataram.”
Wiro menggeliat, senyum-senyum.
“Aku …. Maksudku anuku….”
“Kenapa anumu? Sebelumnya kau menantang mau memperlihatkan cara kencing di depanku. Ayo lakukan sekarang, Atau mungkin kau minta aku yang membuka celanamu? Begitu … ?”
Ratu Randang lalu melangkah mendekati Wiro sambil dua tangan diulurkan ke arah pinggang sang pendekar.
“Eehhh….”
Wiro goyangkan tangan sambil mundur.
“Anu, maksudku bagaimana kalau mahluk halus juga memencet anuku hingga medel dan aku tidak bisa kencing seumur-umur seperti yang tadi kau bilang!” Ratu Randang mencibir.
“Mahluk halus hanya mengincar perempuan. Bukan laki-laki. Ayo kencing cepat!”
“Aduh, bagaimana ini? Aku mana bisa kencing kalau dipaksa!”
Selagi murid Sinto Gendeng kebingungan tiba-tiba terdengar suara orang menabuh tambur dan suara tiupan suling luar biasa keras. Tanah bergetar dan kuping mengiang sakit seperti mau pecah! Wiro dan Ratu Randang cepat menutupkan tangan masing-masing ke telinga.
“Ratu, jangan-jangan kau membawaku ke tempat yang salah. Ada orang pesta hajatan di sekitar sini. Kalau tidak mengapa ada segala suara tambur dan suling…?”
“Mana mungkin! Kalau orang hajatan yang kedengaran pasti suara sinden dan gamelan!” Jawab Ratu Randang. Lalu perempuan ini memberi isyarat dengan gerakan tangan agar Wiro jangan bicara dulu.
Ketika Ratu Randang memandang ke depan, perempuan ini berseru. “Wiro lihat!”
Kepala digaruk-garuk lalu memandang ke arah Ratu Randang yang masih berlari berputar-putar.
“Ratu Randang, bagaimana ini. Dari tadi sudah tiga kali kita berputar-putar di sini-sini juga!”
“Aku tahu … aku tahu!” Jawab Ratu Randang sambil mengusap dagunya yang keringatan. “Aku rasa sebenarnya kita sudah dekat ke tujuan. Bukit Batu Hangus pasti ada disekitar sini. Tapi ada orang yang menghalangi langkah dan pandangan kita. Pasti Sinuhun Muda sialan itu! Ilmunya dan ilmu nyawa kembarannya memang tinggi dan aneh-aneh. Itu sebabnya orang-orang pandai di Istana tidak berdaya. Itu pula sebabnya aku menyusup pura-pura bercinta dengannya agar bisa mengetahui kelemahannya…”
“Aku mendengar suara orang-orang berteriak. Ado suara perempuan. Sepertinya ada satu kejadian hebat di sekitar sini …” Berkata Wiro.
“Kita memang tidak bisa melihat, mereka, tapi masih mampu mendengar suara. Walau sayup-sayup tadi aku mendengar suara Raja Mataram. Sesuatu telah terjadi dengan Swara Pancala. Orang itu telah menemui ajal. Itu sebabnya tadi aku berteriak. Pengkhianat itu memang pantas mati. Ilmu kesaktian Sinuhun Muda membendung perasaan, menghambat penglihatan serta langkah kita tapi tidak menutup keseluruhan Pendengaran. Satu hal yang aku yakini, sebenarnya kita sudah berada dekat dengan Bukit Batu Hangus.”
Ratu Rundang meneruskan lari satu kali lagi lalu mendudukkan diri di atas batang kayu di samping Wiro.
“Sinuhun Muda. Dia punya ilmu yang disebut Langit Turun Ke Bumi. Pengaruh ilmu itu membuat kita tidak mengetahui jalan yang ditempuh. Itu sebabnya kita hanya berputar putar disini. Aku bisa membuyarkan kekuatan ilmu itu. Tapi aku merasa saat ini Sinuhun Muda tidak hanya menerapkan ilmu kesaktian itu, agaknya dia juga menerapkan ilmu lain yang kalau aku tidak salah bernama Di Bumi Ada Enam Kesesatan. Di Langit Ada Tujuh Kesesatan. Dalam Air Ada Delapan Kesesatan…”
“Panjang amat nama ilmunya. Aku jadi keburu pingin kencing mendengarnya!” Kata Pendekar 212 pula. Lalu dia menambahkan. “Namanya saja ilmu sesat-sesatan.
Jelas sesat. Padahal kesesatan terbanyak ada dalam diri manusta! Bukan cuma enam, tujuh atau delapan. Mungkin ribuan!”
Ratu Randang tertawa mendengar kata-kata sang pendekar.
“Aku pernah membujuk Sinuhun untuk memberikan ilmu penyesat itu padaku. ilmu itu lebih hebat dari yang kumiliki yaitu ilmu bernama Sang Pencipta Berbuat Penuh Kuasa…”
“Ilmu yang tadi bisa menciptakan telaga penyesat itu?” Tanya Wiro.
Ratu Randang mengangguk.
“Kau akhirnya berhasil mendapatkan ilmu sesatsesatan itu dari Sinuhun Muda?”
Ratu Randang mencibir lalu menggeleng, “Kalau begitu kau harus mencoba pada, Sinuhun yang satunya…”
“Mereka sama cerdiknya. Sinuhun Muda menjanjikan ilmu itu baru akan diberikan padaku asal aku bisa mencari tahu dimana letak kelemahan Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi. Aku berpura-pura akan melakukan apa yang dimintanya. Tentu saja aku tidak mau mengkhianati Rajaku. Sementara itu dalam waktu singkat segala sesuatunya berubah.
Terutama sejak kau dan dua orang lainnya itu berada di Bhumi Mataram ini…”
“Kurasa saat berduaan dengan Sinuhun Muda kau kurang hebat mencumbunya hingga dia tidak mau memberikan ilmu sesat-sesat itu. Menurutku dengan kecantikan dan kebagusan tubuhmu kau bisa membuat dia menyembah kakimu…”
“Oh, jadi aku ini cantik dan tubuhku bogus? Hik … hik … hik. Rupanya kau memperhatikan juga. Hik … hik … hik. Aku merasa, kau pasti cemburu kalau aku bilang bercumbu dengan Sinuhun Muda. Nanti aku jelaskan siapa yang sebenarnya bercumbu dengan pemuda keparat itu….”
“Ketika di telaga kau berteriak pada Sinuhun Muda kalau waktu bercinta yang kau berikan padanya bukan tubuhmu tapi tubuh bangkai anjing. Bagaimana kejadiannya?”
“Aku punya ilmu bisa merubah benda hidup atau setengah hidup menyerupai diriku …”
Wiro tertegun lalu cepat-cepat berdiri. Dia memperhatikan bagian belakang tubuh Ratu Randang.
“Saat ini, apakah kau ujud beneran atau jejadian … ?” Bertanya Pendekar 212.
Ratu Randang tertawa.
“Ada apa kau memperhatikan punggungku? Biasanya lelaki lebih suka memperhatikan dada perempuan. Kau terbalik! Hik…hik”
“Aku mau tahu apakah punggungmu ada bolongnya atau tidak. Di negeriku jika perempuan cantik punggungnya geroak berarti dia adalah hantu perempuan yang di sebut Kuntil Anak …”
“Apakah kau lihat punggungku bolong?” Tanya Ratu Randang sambil kedipkan sepasang matanya yang juling bagus.
“Tidak, mungkin belum,” jawab Wiro sambi1 tertawa.
“Mengenai tubuh anjing yang kau berikan pada Sinuhun Muda…”
“Nanti saja aku ceritakan.” Kata Ratu Randang. “Aku ingat sesuatu. Ketika di telaga kau lebih dulu mampu melihat Sinuhun Muda dan Swara Pancala. Katamu kau punya sedikit ilmu. Coba kau pergunakan ilmu itu untuk memperhatikan keadaan sekitar sini. Siapa tahu kau bisa membuat buyar ilmu Sinuhun Muda.”
Wiro mengikuti ape yang dikatakan Ratu Randang.
Tenaga dalam dialirkan ke arah sepasang mata. Ilmu Menembus Pandang diterapkan. Namun sampai tiga kali dicoba dia tidak mampu menembus kegelapan, tidak bisa melihat apa-apa.
“Tidak bisa kutembus…” Wiro memberi tahu.
“Kalau begitu ya sudah. Sekarang ayo duduk lagi di sebelahku…”
Begitu Wiro duduk kembali di atas batang kayu di sampingnya Ratu Randang bertanya. “Sudah, sekarang katakan tinggal berapa?”
“Apanya yang tinggal berapa?” Balik bertanya Wiro.
Ratu Randang menggeser duduknya lebih dekat.
Tiba-tiba perempuan ini merangkul leher song pendekar.
Sesaat kemudian cuuppp …. cuuppp! Dia sudah mengecup bibir Wiro sampai due kali.
Habis mencium Ratu Randang melompat berdiri dan tertawa-tawa geli. “Tinggal empat ratus sembilan puluh enam …. Empat ratus sembilan puluh enam kecupan!
Masih banyak! Hik … hik … hik….”
Wiro geleng-geleng kepala. Belakang telapak tangan kiri di dekatkan ke bibir yang barusan dikecup.
“Hai! Awas kau hapus! Awas kalau kau usap bekas kecupanku!” Kata Ratu Randang pula.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Hanya bisa tertawa cengengesan.
“Aku rasa kau berpura pura sesat. Sebenarnya memang sengaja membawaku ke tempat sunyi ini.
Maksudmu mau…”
Ratu Randang cubit paha Pendekar 212. Tiba-tiba perempuan ini berkata. “Astaga …”
“Eh, ada apa? Mau menciumku lagi?” Tanya Wiro sambil buru-buru menekap mulutnya.
“Tadi kau menyebut-nyebut soal kencing. Aku jadi ingat. Aku pernah mendengar cerita Eyang Dukun Umbut Watukara. Kurasa Eyang Dukun kini berada di Bukit Batu Hangus dalam keadaan lumpuh. Konon ilmu sesat-sesat Sinuhun Muda itu memiliki satu pantangan. Kawasan, yang dilindungi oleh ilmu tidak boleh sampai terkena air kencing manusia. Kalau sampai ada yang kencing ilmu itu akan buyar…”
“Hemm …. Kencing laki-laki atau perempuan?” Tanya Wiro yang mencurigai kalau Ratu Randang hendak mengerjainya.
“Itu tidak aku ketahui. Tapi mengapa tidak kau coba saja? Agar kita bisa sampai ke bukit itu. Aku kawatir kalau terlambat…”
“Bagusnya kau saja yang kencing. Kencing perempuan mancurnya lebih lebar dan baunya lebih mantap!” Kata Wiro pula dengan senyum-senyum.
Ratu Randang terdiam lalu ikutan tersenyum.
“Kau pasti mau melakukannya.”
“Nanti kau mengintip.”
“Husss! Jangan berpikir seperti itu. Ayo kencing saja.
Aku akan berpaling ke tempat gelap sana…” Kata Wiro.
Ratu Randang tampak ragu-ragu.
“Sudah belum?” Tanya Wiro.
“Kau belum membalikkan badan!”
“Ah!” Wiro menahan tawa. Lalu balikkan tubuh, memandang ke arah kegelapan.
Ratu Randang melangkah mendekati satu pohon besar sambil menyingsingkan ke atas bagian bawah pakaiannya. Betisnya yang putih bagus tersingkap.
“Kencingnya biar banyak Ratu!”
Di depan pohon besar Ratu Randang berhenti.
“Kencingnya jongkok! Jangan berdiri seperti laki-laki!”
Wiro kembali keluarkan ucapan sambil senyum-senyum.
Tak lama kemudian terdengar langkah Ratu Randang mendekati.
Wiro berpaling.
“Sudah?” Wiro bertanya sambil tertawa. “Banyak kencingnya? Mengapa aku tidak mendengar suara merdu semburannya?”
Ratu Randang turunkan pakaian yang disingsingkan.
Dengan wajah cemberut dia gelengkan kepala.
“Aku tidak jadi kencing …”
“Wah, kenapa?”
“Tidak mau saja…
“Tidak mau karena apa?”
“Aku takut…”
“Takut sama apa? Takut sama siapa? Apa di dekat pohon besar itu banyak semut rangrang? Atau ada ular atau mungkin kalajengking? Kau takut diantuk?”
Ratu Randang goyangkan bahu. “Aku mendengar kabar. Di kawasan ini banyak gentayangan mahluk halus.
Siapa yang berbuat ulah yang tidak disenangi bisa celaka. Aku kawatir kalau kencing dianggap mengotori tempat kediaman mahluk halus gentayangan. Lalu anuku disumbat dipangpet. Celaka kalau aku tidak bisa kencing seumur umur…”
Wiro tercengang mendengar ucapan Ratu Randang namun kemudian tertawa gelak-gelak.
“Jangan tertawa! Kau saja yang kencing agar kita bisa segera menemui Raja Mataram.”
Wiro menggeliat, senyum-senyum.
“Aku …. Maksudku anuku….”
“Kenapa anumu? Sebelumnya kau menantang mau memperlihatkan cara kencing di depanku. Ayo lakukan sekarang, Atau mungkin kau minta aku yang membuka celanamu? Begitu … ?”
Ratu Randang lalu melangkah mendekati Wiro sambil dua tangan diulurkan ke arah pinggang sang pendekar.
“Eehhh….”
Wiro goyangkan tangan sambil mundur.
“Anu, maksudku bagaimana kalau mahluk halus juga memencet anuku hingga medel dan aku tidak bisa kencing seumur-umur seperti yang tadi kau bilang!” Ratu Randang mencibir.
“Mahluk halus hanya mengincar perempuan. Bukan laki-laki. Ayo kencing cepat!”
“Aduh, bagaimana ini? Aku mana bisa kencing kalau dipaksa!”
Selagi murid Sinto Gendeng kebingungan tiba-tiba terdengar suara orang menabuh tambur dan suara tiupan suling luar biasa keras. Tanah bergetar dan kuping mengiang sakit seperti mau pecah! Wiro dan Ratu Randang cepat menutupkan tangan masing-masing ke telinga.
“Ratu, jangan-jangan kau membawaku ke tempat yang salah. Ada orang pesta hajatan di sekitar sini. Kalau tidak mengapa ada segala suara tambur dan suling…?”
“Mana mungkin! Kalau orang hajatan yang kedengaran pasti suara sinden dan gamelan!” Jawab Ratu Randang. Lalu perempuan ini memberi isyarat dengan gerakan tangan agar Wiro jangan bicara dulu.
Ketika Ratu Randang memandang ke depan, perempuan ini berseru. “Wiro lihat!”
4
DALAM kegelapan malam Ratu Randang dan Wiro dapatkan diri mereka berada di lereng sebuah bukit batu. Udara dingin mencucuk jangat, tembus sampai ke tulang, Perlahan-lahan mereka mulai mencium bau busuk.
Memandang berkeliling Ratu Randang berbisik.
“Wiro, apa kataku! Kita sudah berada di Bukit Batu Hangus. Ada satu kekuatan yang membuyarkan sirapan Sinuhun Muda. Lihat ke sana…”
Wiro menatap ke arah yang ditunjuk Ratu Randang. Samar-samar dia melihat bagian lereng yang lain dari bukit dimana mereka berada. Dalam gelap tampak ratusan orang berkaparan. Di samping sebuah batu besar dimana tergeletak sosok manusia berdiri seorang lelaki. Di tanah di sampingnya berbaring seekor anjing betina yang tubuhnya tampak hangus kemerahan, lidah terjulur basah oleh lelehan darah. Lelaki tadi berulang kali membungkuk mengusap kepala anjing betina.
Semakin keras suara tambur dan suling, semakin jelas terlihat pemandangan di lereng bukit. Sepertinya kekuatan hentakan suara tambur dan tiupan suling itulah yang mengendurkan kekuatan ilmu Sinuhun Muda yang membungkus kawasan Bukit Batu Hangus.
Wiro kerahkan ilmu Menembus Pandang. Memperhatikan ke arah batu besar.
“Ratu, aku mengenali orang yang terkapar di atas batu. Seperti yang kau teriaki tadi dia memang Swara Pancala. Lelaki gagah tapi kelihatan letih yang berdiri di samping batu, siapakah dia?”
“Dia Rakai Kayuwangi, Sri Maharaja Mataram. Yang Maha Kuasa melindungi hingga Raja tidak terserang ilmu jahat dua Sinuhun yang melumpuhkan.”
“Seperti yang lain-lain aku lihat ada empat benjolan merah di kening Raja.”
“Tadinya ada delapan benjolan! Itu perbuatan keji Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah. Aku pernah menerangkan padamu. Beberapa waktu lalu ada satu kejadian hebat. Atas kehendak Para Dewa delapan benjolan berkurang menjadi empat.” (Peristiwa yang dimaksudkan Ratu Randang adalah kejadian sewaktu Sri Maharaja Mataram menolong anjing betina perujudan Sri Padmi Kameswari melahirkan anaknya. Atas budi kebajikan sang Raja yang luar biasa besar itu Sri Padmi Kameswari dengan pertolongan Yang Maha Kuasa berhasil menghancurkan empat dari delapan benjolan merah yang ada di kening mereka. Baca serial sebelumnya berjudul “Roh Jemputan”)
“Ratusan orang yang berkaparan di bukit sana. Mereka lumpuh semua. Orang- orang tua, anak-anak. Sungguh mengerikan. Aku tidak tega melihat mereka…”
“Selain lumpuh mereka diserang demam panas. Kelaparan, pasti juga kehausan. Lalu hawa dingin dikala malam seperti ini dan panas terik diwaktu siang. Jika tidak ada pertolongan, begitu siang datang akan banyak yang menemui ajal …”
Wiro meraba tengkuknya yang mendadak terasa dingin. “Seumur hidup baru kali ini aku melihat kejadian seperti ini. Aku tidak habis pikir mengapa ada orangorang jahat yang tega berbuat sekejam dan sekeji ini?
Apa yang mereka inginkan?”
“Setelah melihat beberapa kejadian, walauaku tidak berhasil mencari tahu dari Sinuhun Muda, aku hanya punya satu dugaan. Sinuhun Muda dan nyawa kembarnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah menginginkan tahta Kerajaan. Dia ingin berkuasa dan menjadi Raja “
“Kalau cuma tahta dan kekuasaan mengapa sampai menyengsarakan seluruh rakyat Mataram? Mengapa tidak berlaku jantan. Melakukan perang atau bertarung satu lawan satu?”
“Wiro, kau berpikir menurut asal alammu. Delapan ratus tahun mendatang. Orang-orang di sini berpikir delapan ratus tahun terbelakang. Mereka lebih mengandalkan ilmu kesaktian hitam dari pada kejantanan…”
Wiro hanya bisa mengangguk perlahan Lalu bertanya.
“Siapa sebenarnya dua Sinuhun bernyawa kembar itu?”
“Itulah yang sampai saat ini menjadi satu teka-teki besar. Namun cepat atau lambat kami orang-orang Kerajaan akan mengetahui siapa adanya mereka.”
Wiro memandang ke arah timur Bukit Batu Hangus.
“Aku melihat seorang anak perempuan. Berjalan diantara sekelompok orang tua dan anak-anak yang terbujur di depan cegukan batu bukit. Ada seekor anjing kecil mengikuti kemana dia pergi. Astaga! Ni Gatri! Anak itu yang datang bersamaku. Aku tidak melihat guruku Eyang Sinto Gendeng. Mungkin dia juga berada di sini…”
“Aku meragukan kalau gurumu ada di sini,” menyahuti Ratu Randang.
Wiro meraba batu putih segi tiga yang ada dibalik dada pakaiannya.
“Ratu, saatnya kita segera menemui Raja. Bukankah aku harus memperlihatkan batu segi tiga putih pada beliau. Lalu seperti yang pernah diterangkan oleh Swara Pancala sewaktu datang ke alam asalku, Raja akan bicara denganku melalui anak perempuan bernama Ni Gatri itu,” kata Wiro pula.
“Kita akan segera menemui Raja. Tapi aku ingin kau lebih dulu melihat sesuatu,” jawab Ratu Randang. Lalu dia menunjuk ke arah selatan.
“Perempuan di dalam gelap sana. Lelaki yang bicara membentak-bentak di hadapannya …”
“Dewi Ular dan Sinuhun Muda!”
“Benar sekali. Lihat, mereka berkelahi! Sinuhun Muda agaknya marah besar atas kematian Swara Pancala. Aku mendengar teriakan Dewi Ular, mungkin sewaktu melempar mayat lelaki itu. Berarti Sinuhun tahu kalau Dewi Ular yang telah membunuh anak buahnya.”
Dari tempatnya berada Wiro dan Ratu Randang melihat bagaimana Dewi Ular akhirnya berkelebat pergi.
Sinuhun Muda hendak mengejar tapi tidak jadi. Dia sembunyi di balik batu besar. Menatap ke atas bukit.
“Aku lihat tampang Sinuhun Muda seperti ketakutan,”
Wiro memberi tahu Ratu Randang. “Apa yang dilihatnya?!”
“Suara tambur dan suling agaknya mempengaruhi manusia jahanam itu.”
“Ada sesuatu yang lain,” menyahuti Ratu Randang.
Lalu dia memegang bahu Pendekar 212 dan berkata. “Lihat ke lereng, bukit sebelah kanan.”
Wiro alihkan pandangan ke arah yang dikataken Ratu Randang.
Di lereng bukit tampak satu pemandangan menakjubkan bercampur aneh. Seorang lelaki gemuk pendek bermuka bopeng berjalan mendaki bukit. Di tangan kiri orang ini memegang sebuah tambur. Tangan kanan memukul tambur tiada henti dalam irama yang teratur. Suara tambur yang dipukul bukan saja membahana di udara malam, tapi menggetarkan lereng Bukit Batu Hangus.
Semua orang yang ada di atas bukit termasuk Sri Maharaja Rakai Kayuwangi sama palingkan kepala dan bertanya-tanya dalam hati, ada apa. Apa yang terjadi.
Mereka semua tengah menunggu kedatangan Kesatria Panggilan yang katanya akan menolong menyelamatkan Raja dan rakyat Mataram. Kenapa kini yang muncul suara tambur. Rasa heran itu masih belum berakhir.
Di belakang si gemuk pendek bopeng yang memukul tambur berjalan mengikuti seorang lelaki berbadan tinggi kurus. Wajah penuh dengan bintik-bintik putih. Dia memegang suling dan meniup suling begitu asyik dengan mata sesekali terpejam pejam. Suara suling yang ditiup melengking keras di udara malam yang dingin, mencucuk ke bumi dan menggetar bukit batu. Semua orang yang ada di bukit batu untuk beberapa lama terpaksa menekap telinga masing-masing. Untung saja tangan mereka bebas dari kelumpuhan. Kalau tidak berarti akan bertambah pula penderitaan orang-orang itu. Namun belasan orang yang tidak tahan oleh hebatnya suara tambur dan suling merasakan kepala mereka pening.
Lalu satu demi satu mereka terbaring jatuh dalam keadaan setengah sadar.
Siapakah adanya dua orang aneh itu. Seperti diceritakan dalam serial Mimba Purana Satria Lonceng Dewa (baca “Perawan Sumur Api”, “Arwah Candi Miring”, “Pangeran Bunga Bangkai”, “Dewi Tangan Jarangkong” dst. karangan Bastian Tito) kedua orang ini dikenal dengan name Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik.
Walau mereka sebenarnya adalah orang-orang berkepandaian tinggi namun berpenampilan lugu polos, terkadang lucu dan sesekali bisa konyol menjengkelkan orang.
Hebatnya di depan Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik, saat itu di udara malam yang dingin, tampak seorang kakek dan seorang nenek yang sama-sama mengenakan pakaian selempang kain putih. Mereka melangkah melayang seolah mengikuti alun suara tambur dan suling. Rambut putih disanggul di atas kepala. Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik di sebelah belakang bertindak seperti dua orang pengiring. Di satu tempat hanya beberapa tombak dari beradanya Raja Mataram Rakai Kayuwangi, due kakek nenek berhenti berjalan tapi tubuh masih tetap mengambang di udara malam.
Sepasang mate menatap menyorotkan amarah ke lereng bukit sebelah bawah tempat Sinuhun Muda mengintai di balik batu. Bergantian sepasang kakek nenek aneh ini menggerakkan tangan, membuat Isyarat bahasa yang hanya dimengerti oleh orang yang mengetahui.
Walau Sinuhun Muda tidak mengetahui isyarat apa yang dimaksudkan oleh sepasang kakek nenek yang dipangglinya Eyang itu, namun dia maklum kalau keduanya tengah melontarkan hawa amarah besar.
Karenanya setelah menyumpah-nyumpah sendiri Sinuhun Muda tinggalkan tempat itu. Memutuskan untuk menemui nyawa kembarannya yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Sesaat setelah Sinuhun Muda meninggalkan Bukit Batu Hangus, Sri Maharaja Mataram menjadi terkesiap ketika sepasang kakek nenek berselempang kain putih yang masih melayang di udara memalingkan dirt ke arahnya lalu sama-sama membungkuk memberikan penghormatan. Sementara itu Si Tambur Bopeng hentikan menabuh tambur dan Si Suling Burik turunkan suling yang ditiup.
Rakai Kayuwangi segera pula membungkuk membalas penghormatan orang. Raja Mataram berusaha mendekat namun gerakannya seperti terhalang tembok yang tidak kelihatan. Akhirnya Raja menyapa dari tempatnya berdiri.
“Orang tua berdua, saya yakin kedatangan kalian merupakan rahmat Para Dewa atas diri saya dan rakyat Mataram. Kalau saya boleh tahu siapakah gerangan orang tua berdua adanya?”
Atas pertanyaan Raja, kakek berselempang kain putih segera gerakkan dua tangan dan jari-jarinya!. Setelah itu nenek di sebelahnya bergantian melakukan hal yang sama.
Melihat hat ini semua orang yang ada di situ termasuk Raja Mataram segera maklum kalau sepasang kakek nenek itu tidak bisa bicara alias bisu. Raja mendekati beberapa orang tokoh Istana, bicara dengan Garung Parawata lalu Panglima Pasukan Kerajaan ini berseru menanyakan siapa diantara semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus tahu bahasa tangan dan isyarat orang bisu. Tidak ada seorangpun yang menjawab.
“Yang Mulia, kita harus mencari seorang bisu. Hanya orang bisu Mau gagu yang tahu bahasa isyarat tangan itu…” Berkata Soka Kandawa sambil batuk-batuk. Orang tua ini dialah salah seorang tokoh Istana yang dikenal dengan gelaran Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa yang seperti semua orang yang ada di situ berada dalam keadaan lumpuh serta menderita demam panas.
“Tidak mungkin kita menemukan orang bisu dalam keadaan seperti ini,” jawab Raja Mataram.
Eyang Dukun Umbut Watukura setengah berbisik berkata pada Raja Mataram. “Yang Mulia, saya menduga dua kakek nenek itu bukan dari alam kita. Mereka datang dari alam arwah, alam roh. Lihat, sampai saat ini dua kaki mereka tidak menginjak tanah atau batu bukit…”
Memandang berkeliling Ratu Randang berbisik.
“Wiro, apa kataku! Kita sudah berada di Bukit Batu Hangus. Ada satu kekuatan yang membuyarkan sirapan Sinuhun Muda. Lihat ke sana…”
Wiro menatap ke arah yang ditunjuk Ratu Randang. Samar-samar dia melihat bagian lereng yang lain dari bukit dimana mereka berada. Dalam gelap tampak ratusan orang berkaparan. Di samping sebuah batu besar dimana tergeletak sosok manusia berdiri seorang lelaki. Di tanah di sampingnya berbaring seekor anjing betina yang tubuhnya tampak hangus kemerahan, lidah terjulur basah oleh lelehan darah. Lelaki tadi berulang kali membungkuk mengusap kepala anjing betina.
Semakin keras suara tambur dan suling, semakin jelas terlihat pemandangan di lereng bukit. Sepertinya kekuatan hentakan suara tambur dan tiupan suling itulah yang mengendurkan kekuatan ilmu Sinuhun Muda yang membungkus kawasan Bukit Batu Hangus.
Wiro kerahkan ilmu Menembus Pandang. Memperhatikan ke arah batu besar.
“Ratu, aku mengenali orang yang terkapar di atas batu. Seperti yang kau teriaki tadi dia memang Swara Pancala. Lelaki gagah tapi kelihatan letih yang berdiri di samping batu, siapakah dia?”
“Dia Rakai Kayuwangi, Sri Maharaja Mataram. Yang Maha Kuasa melindungi hingga Raja tidak terserang ilmu jahat dua Sinuhun yang melumpuhkan.”
“Seperti yang lain-lain aku lihat ada empat benjolan merah di kening Raja.”
“Tadinya ada delapan benjolan! Itu perbuatan keji Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah. Aku pernah menerangkan padamu. Beberapa waktu lalu ada satu kejadian hebat. Atas kehendak Para Dewa delapan benjolan berkurang menjadi empat.” (Peristiwa yang dimaksudkan Ratu Randang adalah kejadian sewaktu Sri Maharaja Mataram menolong anjing betina perujudan Sri Padmi Kameswari melahirkan anaknya. Atas budi kebajikan sang Raja yang luar biasa besar itu Sri Padmi Kameswari dengan pertolongan Yang Maha Kuasa berhasil menghancurkan empat dari delapan benjolan merah yang ada di kening mereka. Baca serial sebelumnya berjudul “Roh Jemputan”)
“Ratusan orang yang berkaparan di bukit sana. Mereka lumpuh semua. Orang- orang tua, anak-anak. Sungguh mengerikan. Aku tidak tega melihat mereka…”
“Selain lumpuh mereka diserang demam panas. Kelaparan, pasti juga kehausan. Lalu hawa dingin dikala malam seperti ini dan panas terik diwaktu siang. Jika tidak ada pertolongan, begitu siang datang akan banyak yang menemui ajal …”
Wiro meraba tengkuknya yang mendadak terasa dingin. “Seumur hidup baru kali ini aku melihat kejadian seperti ini. Aku tidak habis pikir mengapa ada orangorang jahat yang tega berbuat sekejam dan sekeji ini?
Apa yang mereka inginkan?”
“Setelah melihat beberapa kejadian, walauaku tidak berhasil mencari tahu dari Sinuhun Muda, aku hanya punya satu dugaan. Sinuhun Muda dan nyawa kembarnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah menginginkan tahta Kerajaan. Dia ingin berkuasa dan menjadi Raja “
“Kalau cuma tahta dan kekuasaan mengapa sampai menyengsarakan seluruh rakyat Mataram? Mengapa tidak berlaku jantan. Melakukan perang atau bertarung satu lawan satu?”
“Wiro, kau berpikir menurut asal alammu. Delapan ratus tahun mendatang. Orang-orang di sini berpikir delapan ratus tahun terbelakang. Mereka lebih mengandalkan ilmu kesaktian hitam dari pada kejantanan…”
Wiro hanya bisa mengangguk perlahan Lalu bertanya.
“Siapa sebenarnya dua Sinuhun bernyawa kembar itu?”
“Itulah yang sampai saat ini menjadi satu teka-teki besar. Namun cepat atau lambat kami orang-orang Kerajaan akan mengetahui siapa adanya mereka.”
Wiro memandang ke arah timur Bukit Batu Hangus.
“Aku melihat seorang anak perempuan. Berjalan diantara sekelompok orang tua dan anak-anak yang terbujur di depan cegukan batu bukit. Ada seekor anjing kecil mengikuti kemana dia pergi. Astaga! Ni Gatri! Anak itu yang datang bersamaku. Aku tidak melihat guruku Eyang Sinto Gendeng. Mungkin dia juga berada di sini…”
“Aku meragukan kalau gurumu ada di sini,” menyahuti Ratu Randang.
Wiro meraba batu putih segi tiga yang ada dibalik dada pakaiannya.
“Ratu, saatnya kita segera menemui Raja. Bukankah aku harus memperlihatkan batu segi tiga putih pada beliau. Lalu seperti yang pernah diterangkan oleh Swara Pancala sewaktu datang ke alam asalku, Raja akan bicara denganku melalui anak perempuan bernama Ni Gatri itu,” kata Wiro pula.
“Kita akan segera menemui Raja. Tapi aku ingin kau lebih dulu melihat sesuatu,” jawab Ratu Randang. Lalu dia menunjuk ke arah selatan.
“Perempuan di dalam gelap sana. Lelaki yang bicara membentak-bentak di hadapannya …”
“Dewi Ular dan Sinuhun Muda!”
“Benar sekali. Lihat, mereka berkelahi! Sinuhun Muda agaknya marah besar atas kematian Swara Pancala. Aku mendengar teriakan Dewi Ular, mungkin sewaktu melempar mayat lelaki itu. Berarti Sinuhun tahu kalau Dewi Ular yang telah membunuh anak buahnya.”
Dari tempatnya berada Wiro dan Ratu Randang melihat bagaimana Dewi Ular akhirnya berkelebat pergi.
Sinuhun Muda hendak mengejar tapi tidak jadi. Dia sembunyi di balik batu besar. Menatap ke atas bukit.
“Aku lihat tampang Sinuhun Muda seperti ketakutan,”
Wiro memberi tahu Ratu Randang. “Apa yang dilihatnya?!”
“Suara tambur dan suling agaknya mempengaruhi manusia jahanam itu.”
“Ada sesuatu yang lain,” menyahuti Ratu Randang.
Lalu dia memegang bahu Pendekar 212 dan berkata. “Lihat ke lereng, bukit sebelah kanan.”
Wiro alihkan pandangan ke arah yang dikataken Ratu Randang.
Di lereng bukit tampak satu pemandangan menakjubkan bercampur aneh. Seorang lelaki gemuk pendek bermuka bopeng berjalan mendaki bukit. Di tangan kiri orang ini memegang sebuah tambur. Tangan kanan memukul tambur tiada henti dalam irama yang teratur. Suara tambur yang dipukul bukan saja membahana di udara malam, tapi menggetarkan lereng Bukit Batu Hangus.
Semua orang yang ada di atas bukit termasuk Sri Maharaja Rakai Kayuwangi sama palingkan kepala dan bertanya-tanya dalam hati, ada apa. Apa yang terjadi.
Mereka semua tengah menunggu kedatangan Kesatria Panggilan yang katanya akan menolong menyelamatkan Raja dan rakyat Mataram. Kenapa kini yang muncul suara tambur. Rasa heran itu masih belum berakhir.
Di belakang si gemuk pendek bopeng yang memukul tambur berjalan mengikuti seorang lelaki berbadan tinggi kurus. Wajah penuh dengan bintik-bintik putih. Dia memegang suling dan meniup suling begitu asyik dengan mata sesekali terpejam pejam. Suara suling yang ditiup melengking keras di udara malam yang dingin, mencucuk ke bumi dan menggetar bukit batu. Semua orang yang ada di bukit batu untuk beberapa lama terpaksa menekap telinga masing-masing. Untung saja tangan mereka bebas dari kelumpuhan. Kalau tidak berarti akan bertambah pula penderitaan orang-orang itu. Namun belasan orang yang tidak tahan oleh hebatnya suara tambur dan suling merasakan kepala mereka pening.
Lalu satu demi satu mereka terbaring jatuh dalam keadaan setengah sadar.
Siapakah adanya dua orang aneh itu. Seperti diceritakan dalam serial Mimba Purana Satria Lonceng Dewa (baca “Perawan Sumur Api”, “Arwah Candi Miring”, “Pangeran Bunga Bangkai”, “Dewi Tangan Jarangkong” dst. karangan Bastian Tito) kedua orang ini dikenal dengan name Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik.
Walau mereka sebenarnya adalah orang-orang berkepandaian tinggi namun berpenampilan lugu polos, terkadang lucu dan sesekali bisa konyol menjengkelkan orang.
Hebatnya di depan Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik, saat itu di udara malam yang dingin, tampak seorang kakek dan seorang nenek yang sama-sama mengenakan pakaian selempang kain putih. Mereka melangkah melayang seolah mengikuti alun suara tambur dan suling. Rambut putih disanggul di atas kepala. Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik di sebelah belakang bertindak seperti dua orang pengiring. Di satu tempat hanya beberapa tombak dari beradanya Raja Mataram Rakai Kayuwangi, due kakek nenek berhenti berjalan tapi tubuh masih tetap mengambang di udara malam.
Sepasang mate menatap menyorotkan amarah ke lereng bukit sebelah bawah tempat Sinuhun Muda mengintai di balik batu. Bergantian sepasang kakek nenek aneh ini menggerakkan tangan, membuat Isyarat bahasa yang hanya dimengerti oleh orang yang mengetahui.
Walau Sinuhun Muda tidak mengetahui isyarat apa yang dimaksudkan oleh sepasang kakek nenek yang dipangglinya Eyang itu, namun dia maklum kalau keduanya tengah melontarkan hawa amarah besar.
Karenanya setelah menyumpah-nyumpah sendiri Sinuhun Muda tinggalkan tempat itu. Memutuskan untuk menemui nyawa kembarannya yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Sesaat setelah Sinuhun Muda meninggalkan Bukit Batu Hangus, Sri Maharaja Mataram menjadi terkesiap ketika sepasang kakek nenek berselempang kain putih yang masih melayang di udara memalingkan dirt ke arahnya lalu sama-sama membungkuk memberikan penghormatan. Sementara itu Si Tambur Bopeng hentikan menabuh tambur dan Si Suling Burik turunkan suling yang ditiup.
Rakai Kayuwangi segera pula membungkuk membalas penghormatan orang. Raja Mataram berusaha mendekat namun gerakannya seperti terhalang tembok yang tidak kelihatan. Akhirnya Raja menyapa dari tempatnya berdiri.
“Orang tua berdua, saya yakin kedatangan kalian merupakan rahmat Para Dewa atas diri saya dan rakyat Mataram. Kalau saya boleh tahu siapakah gerangan orang tua berdua adanya?”
Atas pertanyaan Raja, kakek berselempang kain putih segera gerakkan dua tangan dan jari-jarinya!. Setelah itu nenek di sebelahnya bergantian melakukan hal yang sama.
Melihat hat ini semua orang yang ada di situ termasuk Raja Mataram segera maklum kalau sepasang kakek nenek itu tidak bisa bicara alias bisu. Raja mendekati beberapa orang tokoh Istana, bicara dengan Garung Parawata lalu Panglima Pasukan Kerajaan ini berseru menanyakan siapa diantara semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus tahu bahasa tangan dan isyarat orang bisu. Tidak ada seorangpun yang menjawab.
“Yang Mulia, kita harus mencari seorang bisu. Hanya orang bisu Mau gagu yang tahu bahasa isyarat tangan itu…” Berkata Soka Kandawa sambil batuk-batuk. Orang tua ini dialah salah seorang tokoh Istana yang dikenal dengan gelaran Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa yang seperti semua orang yang ada di situ berada dalam keadaan lumpuh serta menderita demam panas.
“Tidak mungkin kita menemukan orang bisu dalam keadaan seperti ini,” jawab Raja Mataram.
Eyang Dukun Umbut Watukura setengah berbisik berkata pada Raja Mataram. “Yang Mulia, saya menduga dua kakek nenek itu bukan dari alam kita. Mereka datang dari alam arwah, alam roh. Lihat, sampai saat ini dua kaki mereka tidak menginjak tanah atau batu bukit…”
5
RAKAI KAYUWANGI DYAH LOKAPALA terperangah menyadari kebenaran ucapan Eyang Dukun.
“Saya sependapat dengan Eyang Dukun. Mereka tidak mungkin muncul begitu saja. Ini semua pasti kehendak Para Dewa yang hendak menyelamatkan Mataram,” ucap Raja Mataram. Lalu dia mengangkat tangan ke arah dua kakek nenek. “Orang tua berdua, saya tahu kalian datang dengan membawa maksud baik, hendak menyampaikan sesuatu yang baik.
Namun sayang sekali antara kita tidak bisa bertutur kata. Bahasa gerakan tangan orang tua berdua tidak kami ketahui artinya. Kami mohon maaf. Kami mohon petunjuk bagaimana caranya ..”
Belum habis Raja berucap tiba-tiba si nenek berselempang kain putih membalikkan tubuh dan meluruskan jari telunjuk tangan kanannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ditunjuk begitu rupa Wiro yang baru saja datang bersama Ratu Randang tentu saja terkejut. Sementara Raja dan semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus bertanya-tanya siapakah pemuda berambut panjang disamping Ratu Randang, dari atas bukit Ni Gatri berlari mendatangi Wiro sambil berseru, “Kakak!”
Raja dan orang-orang yang ada di Bukit Batu Hangus segera maklum kalau pemuda yang datang bersama Ratu Randang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang mereka sebut sebagai Kesatria Panggilan. Walau dalam keadaan lemah dan sakit hampir semua orang bersorak girang. Banyak pula yang menampungkan tangan mengucapkan doa terima kasih pada Yang Maha Kuasa.
Harapan mereka atas datangnya pertolongan sungguh sangat besar.
Saat itu Sri Maharaja Mataram Ingin segera menemui sang pendekar namun Raja merasa tidak enak kalau meninggalkan kedua orang tua dari alam arwah itu begitu saja. Apa lagi saat itu si nenek tengah menunjuk-nunjuk ke arah Wiro. Sekali menunjuk dia usapkan tangan ke kening, tangan dikepretkan lalu menunjuk lagi dan mengusap lagi, mengepret lagi. Melihat ini Wiro sendiri jadi ikut ikutan mengusap keningnya sambil berpikir pikir apa yang dimaksud si nenek.
“Aku ditunjuk-tunjuk. Memangnya ada apa di jidatku…” pikir Wiro.
Ketika Ni Gatri berdiri di hadapannya Wiro mengusap kepala anak perempuan ini. Di belakang Ni Gatri, anjing jantan kecil yang selalu mengikuti anak perempuan ini, tidak berhenti menyalak. Ni Gatri mendukung binatang ini, membelai tengkuknya agar tidak menyalak lagi. Namun anak anjing ini hanya diam dan tenang sebentar lalu kembali menyalak.
“Wiro, anak anjing terus menyalak. Ada pertanda yang tidak baik,” bisik Ratu Randang.
Pendekar 212 maklum dan anggukkan kepala. “Kita harus waspada. Awasi semua orang yang ada di sini termasuk pemukul tambur dan meniup suling. Juga kakek nenek aneh itu.” Wiro lalu bertanya pada Ni Gatri.
“Kau baik-baik saja Ni Gatri?”
Si anak perempuan mengangguk. Lalu dia menunjuk ke arah nenek berjubah biru, bermuka bundar tak memiliki alis yang duduk di tanah, tersandar pada sebuah batu. Nenek ini bukan lain adalah Rauh Kalidathi.
“Nenek itu yang telah menyelamatkan Gatri ketika ada orang jahat hendak menculik Gatri…” Si anak perempuan memberi tahu.
Wiro hendak bertanya perihal gurunya, Eyang Sinto Gendeng. Namun Ni Gatri mendahului berkata “Kakak, sewaktu tadi ada orang bertanya siapa yang tahu bahasa gerak tangan Isyarat orang bisu sebenarnya Gatri mau menjawab kalau Gatri tahu sedikit bahasa orang bisu. Dulu Gatri punya teman anak lelaki gagu.
Kalau bicara dia memakai bahasa gerakan tangan…”
Mendengar ucapan Ni Gatri Ratu Randang berkata.
“Kalau begitu lekas kita menemui Raja. Aku akan beritahu kalau kau mengerti bahasa gerakan tangan orang bisu.
Nanti kau bisa bicara dalam bahasa isyarat langsung pada sepasang kakek nenek itu…” Ratu Randang cepat pegang lengan Ni Gatri.
Namun Wiro berkata.
“Gatri, kau tadi melihat nenek yang melayang itu menunjuk-nunjuk ke arahku. Lalu dia membuat gerakan tangan mengusap kening dan mengepret beberapa kali.
Kau tahu apa yang dikatakannnya…”
“Kalau tidak salah Gatri mengira, nenek itu hendak memberi tahu bahwa Kakak …”
Belum sempat Ni Gatri menyelesaikan ucapan tibatiba terjadi dua hal hebat. Yang pertama dari lereng bukit sebelah selatan muncul getaran aneh. Ketika dengan cepat getaran menyentuh tubuh Ni Gatri, tak ampun lagi anak ini langsung terhuyung dan rubuh di atas bebatuan.
Wajah pucat, mata nyalang tapi pandangan kosong.
Hal kedua sebelum tubuh Ni Gatri jatuh menyentuh bebatuan, dari langit kelam berkelebat selarik sinar hijau.
Sinar menyapu bagian alas kepala Ni Gatri. Saat itu juga tubuh Ni Gatri yang berada dalam keadaan kaku tak bisa bergerak tak bisa bersuara kini seolah berubah menjadi batu, kulit berubah kehijau-hijauan! Anjing kecil yang ada dalam gendongannya meraung keras lalu melompat.
Turun ke tanah dan berlari berputar putar mengelilingi sosok Ni Gatri.
“Celaka! Apa yang terjadi! Ni Gatri!” Wiro berteriak.
Raja Mataram cepat mendatangi. Namun saat itu anjing betina yang cidera berat perujudan dari Sri Padmi Kameswari berteriak.
“Tahan! Jangan sentuh tubuh anak itu sebelum memiliki benda penangkal. Dia terkena ilmu pembungkam tubuh yang dilepas Sinuhun Muda! Yang Mulia cepat tanggalkan kalung emas di leher saya. Patahkan jadi dua.
Yang pertama Yang Mulia simpan di saku pakaian.
Patahan kedua berikan pada pemuda berambut gondrong yang barusan datang bersama Ratu Randang….”
Sri Maharaja Mataram terkesiap. Ratu Randang tercengang. Anjing betina telah membuka rahasia penangkal atau kelemahan Sinuhun Muda! Wiro sendiri delikkan mata dan nekad hendak memegang tubuh Ni Gatri. Namun begitu tangan diulurkan hendak menyentuh Ni Gatri tiba-tiba dari tubuh anak perempuan itu melesat keluar selarik sinar merah, menyambar ke arah Pendekar 212.Wiro kertakkan rahang, melompat mundur sambil lepaskan pukulan Kincir Padi Berputar. Sambaran sinar merah yang menyerang dalam bentuk garis lurus bukan saja berhasil di tahan namun kemudian dibuntal bergelung membentuk lingkaran berputar seperti kincir padi. Begitu Wiro pukulkan tangannya ke bawah maka ujung lingkaran merah ikut menghunjam ke tanah, amblas masuk ke dalam celah-celah batu bukit dan buummm!
Satu letusan keras menggelegar. Sebagian batu-batu besar yang ada di tempat itu hancur berkeping-keping.
Wiro sendiri jatuh terduduk di tanah. Mukanya tampak pucat. Tubuh bergetar tergontai-gontai. Lengan baju sebelah kanan dikobari api!
Ratu Randang berteriak. Dengan cepat perempuan ini pergunakan ke dua tangannya untuk memadamkan api!
“Wiro …. !”
“Aku tak apa-apa…” Berkata Pendekar 212 sambil berdiri. Tapi keningnya mengernyit tanda dia tengah menahan sakit. Ratu Randang yang masih kawatir robek salah satu bagian lengan baju yang terbakar. Di balik robekan tampak kulit lengan mengelupas kehitamhitaman.
“Sinuhun Muda. Tadi aku lihat dia sudah pergi. Pasti mahluk jahanam itu kembali lagi. Dia menyerang anak perempuan itu dengan ilmu pembungkam Hawa Bumi Menutup Jalan Darah Mencekal Urat. Celaka! Aku tidak mampu memusnahkan ilmu itu. Tapi … Ni Gatri tidak hanya diserang ilmu Sinuhun Muda. Ada ilmu lain yang tadi memancarkan cahaya kehijauan menyerang anak itu hingga tubuhnya berubah sekeras batu!” Berkata Ratu Randang.
“Aku tahu,” jawab Wiro. Dia menatap ke arah Ni Gatri.
Wiro lebih mengawatirkan anak perempuan itu dari dirinya sendiri. Di tanah tempat tubuhnya terkapar anjing betina perujudan Sri Padmi Kameswari kembali berteriak.
“Yang Mulia! Cepat tanggalkan kalung di leher saya!”
Kali ini, tidak menunggu lebih lama Raja Mataram Rakai Kayuwangi segera mendatangi, membuka kalung emas besar yang melingkar di leher anjing betina. Lalu kraakk! Kalung emas yang berbentuk lempengan cukup tebal itu patah dua. Raja Mataram menyimpan satu patahan di dalam saku celananya. Patahan yang lain diberikan kepada Wiro. Begitu Wiro memegang patahan kalung emas saat itu juga cidera di lengan kanannya pupus lenyap!
Sesaat setelah kalung emas besar tanggal dari lehernya tiba-tiba anjing betina yang tergeletak di tanah meraung perlahan. Kepala diangkat, sepasang mata menatap ke arah Raja Mataram lalu jatuh terkulai. Secara aneh tubuh anjing betina ini berubah jadi kepulan asap lalu lenyap dari pemandangan.
“Sri Padmi Kameswari!” Raja berseru. Dia mengusap kepala binatang itu namun si anjing betina sudah tidak bernafas lagi. Anjing kecil tahu kalau ibunya sudah mati menyalak panjang berhiba-hiba lalu menjilati tanah bekas tubuh induknya tadi tergeletak.
Wiro cepat menggendong tubuh Ni Gatri, dibaringkan di atas sebuah batu rata. Raja Mataram keluarkan potongan kalung yang ada padanya. Benda itu kemudian diusapkan di tubuh Ni Gatri, mulai dari kepala, kening, wajah terus turun ke dada dan sampai ke ujung kaki.
Melihat hal ini Wiro keluarkan pula patahan kalung emas yang ada padanya dan melakukan hal yang sama.
“Desss! Desss! Desss!”
Asap merah mengepul keluar dari delapan bagian tubuh Ni Gatri namun anak perempuan ini tetap dalam keadaan diam kaku tidak bergerak tidak bersuara.
“Ilmu Sinuhun Muda sudah musnah…” bisik Ratu Randang pada Wiro. Ilmu satunya masih membungkam anak perempuan itu. Siapa gerangan yang telah menyerangnya…”
Tiba-tiba suara tambur dan tiupan suling kembali terdengar di Bukit Batu Hangus. Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik mulai berjalan menuruni lereng bukit.
Sepasang kakek nenek ikut pula bergerak. Seperti tadi keduanya melangkah melayang dalam udara malam yang dingin. Si nenek kembali menunjuk-nunjuk ke arah Wiro.
Usapkan tangan kanan di atas kening lalu dikepretkan.
Di samping si nenek, kakek arwah bisu berulang kali menggerakkan tangan dari pinggang ke atas Seperti gerakan orang mencabut senjata yang tersisip di pinggang. Lalu kakek ini menunjuk-nunjuk ke arah Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik.
Wiro cepat mengejar. Dia menghampiri si gemuk pendek si Tambur Bopeng.
“Sababat! Nenek alam arwah itu berulang kali menunjuk ke arahku. Mengusap kening lalu tangan dikibaskan. Jika kau tahu apa arti tanda gerakan tangan yang dilakukan nenek itu harap kau mau mengatakan!”
“Tam! Tam! Tam!”
Si Tambur Bopeng lalu membuka mulut.
“Aku Si Tambur Bopeng. Bersama temanku Si Suling Burik kami hanya berlaku sebagai pengantar. Kami tidak tahu apa arti gerakan tangan…”
“Kalian mau memberi tahu siapa adanya dua kakek nenek itu?” Wiro bertanya.
“Sepasang Arwah Bisu!” Berkata Si Tambur Bopeng.
“Sepasang Arwah Bisu!” Menirukan temannya Si Suling Burik.
“Kalian membawa Sepasang Arwah Bisu dari mana, mau di antar dipulangkan kemana? Kalau kami ingin menemui mereka harus mencari dimana?!” Ratu Randang kini yang mengajukan pertanyaan.
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik hentikan langkah sebentar. Keduanya memandang pada Ratu Randang. Lalu kedip kedipkan mata.
“Cantik sekali … Cantik sekali! Ha…ha…ha!” Si Tambur Bopeng lalu kembali tabuh tamburnya dan mulai melangkah lagi menuruni lereng bukit.
“Dadanya bagus … Dadanya montok. Aku bisa melihat celah putihnya. Ha … ha … ha!” Si Suling Burik kini yang bicara lalu tertawa gelak-gelak.
“Matanya juling bagus! Sungguh mempesona!” Si Tambur Bopeng kembali keluarkan ucapan.
“Bukan mempesona. Tapi menggairahkan!” Menyahuti Si Suling Burik. Lalu kedua orang aneh ini tertawa gelakgelak.
“Sialan!” maki Ratu Randang. “Kalian belum menjawab pertanyaanku!”
“Memaki saja suaranya begitu merdu. Apa lagi merayu! Ha … ha … ha!” Si Tambur Bopeng berucap lalu pukul tamburnya.
“Tam! Tam! Tam!”
Si Suling Burik tiup sulingnya kencang. kencang hingga Wiro dan Ratu Randang terpaksa hentikan langkah dan tekap telinga musing-masing.
“Hai jangan pergi! Jawab dulu pertanyaanku! Di mana kami bisa menemui Sepasang Arwah Bisu. Kami butuh keterangannya!”
“Alam arwah begitu luas. Datang dan pergi sulit diketuhui. Sepasang, Arwah Bisu laksana dua buah jarum di tengah padang pasir. Bagaimana kami bisa tahu.
Bagaimana kami bisa menjawab!”
“Kalau begitu kalian saja memberi tahu dimana kami bisa menemui kalian!” Ratu Randang masih berusaha, “Tam! Tam! Tam!”
Si Tambur Bopeng lalu menjawab.
“Kami dua sahabat yang tidak punya juntrungan, berarti tidak punya rumah kediaman. Kalau mau mencari kami dimana banyak mayat disitu kami biasa berkeliaran.
Dunia mayat sejuk dan rukun tenteram tidak seperti dunia manusia yang selalu hidup dalam pertengkaran dan permusuhan, keserakahan, iri dengki, sombong dan kebencian serta kejahatan penuh tipu muslihat!”
Wiro dan Ratu Randang sating berpandangan mendengar ucapan kedua orang itu. Ratu Randang pegang tangan Wiro.
“Sudah, tidak perlu diikuti lagi. Percuma saja. Hidup di Bhumi Mataram tapi tidak mau menolong. Sudah buruk rupa bertingkah pula!”
“Oala! Kita dibilang buruk rupa. Berarti kita ini orangorang jelek ya?” Si Suling Burik berkata.
“Kasihan kita berdua! Ha… ha… ha!” Si Tambur Bopeng menyahuti lalu tertawa mengekeh.
“Ratu, Kau tabu siapa sebenarnya dua kakek nenek dari alam arwah tadi itu?”
Ratu Randang menggeleng.
“Kita akan tanyakan pada para tokoh di Bukit Batu Hangus. Mungkin diantara mereka ada yang bisa memberi jawaban…”
“Aku sempat melihat wajah Sinuhun Muda yang ketakutan ketika menatap ke arah sepasang kakek nenek.”
“Aku juga memperhatikan,” jawab Ratu Randang.
“Kita harus menolong Ni Gatri. Kalau anak itu bisa di sadarkan pasti dia akan memberi tahu apa arti semua gerak tangan Sepasang Arwah Bisu.”
Baru saja Wiro selesai berkata tiba-tiba di lereng bukit sebelah kanan terdengar suara tawa cekikikan.
“Tidak ada yang mampu menolong anak perempuan itu! Kecuali Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Kepadanya semua orang di muka Bhumi Mataram ini harus tunduk!”
“Dewi Ular …!” Bisik Ratu Randang.
“Bukan, bukan Dewi Ular,” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Saya sependapat dengan Eyang Dukun. Mereka tidak mungkin muncul begitu saja. Ini semua pasti kehendak Para Dewa yang hendak menyelamatkan Mataram,” ucap Raja Mataram. Lalu dia mengangkat tangan ke arah dua kakek nenek. “Orang tua berdua, saya tahu kalian datang dengan membawa maksud baik, hendak menyampaikan sesuatu yang baik.
Namun sayang sekali antara kita tidak bisa bertutur kata. Bahasa gerakan tangan orang tua berdua tidak kami ketahui artinya. Kami mohon maaf. Kami mohon petunjuk bagaimana caranya ..”
Belum habis Raja berucap tiba-tiba si nenek berselempang kain putih membalikkan tubuh dan meluruskan jari telunjuk tangan kanannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ditunjuk begitu rupa Wiro yang baru saja datang bersama Ratu Randang tentu saja terkejut. Sementara Raja dan semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus bertanya-tanya siapakah pemuda berambut panjang disamping Ratu Randang, dari atas bukit Ni Gatri berlari mendatangi Wiro sambil berseru, “Kakak!”
Raja dan orang-orang yang ada di Bukit Batu Hangus segera maklum kalau pemuda yang datang bersama Ratu Randang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang mereka sebut sebagai Kesatria Panggilan. Walau dalam keadaan lemah dan sakit hampir semua orang bersorak girang. Banyak pula yang menampungkan tangan mengucapkan doa terima kasih pada Yang Maha Kuasa.
Harapan mereka atas datangnya pertolongan sungguh sangat besar.
Saat itu Sri Maharaja Mataram Ingin segera menemui sang pendekar namun Raja merasa tidak enak kalau meninggalkan kedua orang tua dari alam arwah itu begitu saja. Apa lagi saat itu si nenek tengah menunjuk-nunjuk ke arah Wiro. Sekali menunjuk dia usapkan tangan ke kening, tangan dikepretkan lalu menunjuk lagi dan mengusap lagi, mengepret lagi. Melihat ini Wiro sendiri jadi ikut ikutan mengusap keningnya sambil berpikir pikir apa yang dimaksud si nenek.
“Aku ditunjuk-tunjuk. Memangnya ada apa di jidatku…” pikir Wiro.
Ketika Ni Gatri berdiri di hadapannya Wiro mengusap kepala anak perempuan ini. Di belakang Ni Gatri, anjing jantan kecil yang selalu mengikuti anak perempuan ini, tidak berhenti menyalak. Ni Gatri mendukung binatang ini, membelai tengkuknya agar tidak menyalak lagi. Namun anak anjing ini hanya diam dan tenang sebentar lalu kembali menyalak.
“Wiro, anak anjing terus menyalak. Ada pertanda yang tidak baik,” bisik Ratu Randang.
Pendekar 212 maklum dan anggukkan kepala. “Kita harus waspada. Awasi semua orang yang ada di sini termasuk pemukul tambur dan meniup suling. Juga kakek nenek aneh itu.” Wiro lalu bertanya pada Ni Gatri.
“Kau baik-baik saja Ni Gatri?”
Si anak perempuan mengangguk. Lalu dia menunjuk ke arah nenek berjubah biru, bermuka bundar tak memiliki alis yang duduk di tanah, tersandar pada sebuah batu. Nenek ini bukan lain adalah Rauh Kalidathi.
“Nenek itu yang telah menyelamatkan Gatri ketika ada orang jahat hendak menculik Gatri…” Si anak perempuan memberi tahu.
Wiro hendak bertanya perihal gurunya, Eyang Sinto Gendeng. Namun Ni Gatri mendahului berkata “Kakak, sewaktu tadi ada orang bertanya siapa yang tahu bahasa gerak tangan Isyarat orang bisu sebenarnya Gatri mau menjawab kalau Gatri tahu sedikit bahasa orang bisu. Dulu Gatri punya teman anak lelaki gagu.
Kalau bicara dia memakai bahasa gerakan tangan…”
Mendengar ucapan Ni Gatri Ratu Randang berkata.
“Kalau begitu lekas kita menemui Raja. Aku akan beritahu kalau kau mengerti bahasa gerakan tangan orang bisu.
Nanti kau bisa bicara dalam bahasa isyarat langsung pada sepasang kakek nenek itu…” Ratu Randang cepat pegang lengan Ni Gatri.
Namun Wiro berkata.
“Gatri, kau tadi melihat nenek yang melayang itu menunjuk-nunjuk ke arahku. Lalu dia membuat gerakan tangan mengusap kening dan mengepret beberapa kali.
Kau tahu apa yang dikatakannnya…”
“Kalau tidak salah Gatri mengira, nenek itu hendak memberi tahu bahwa Kakak …”
Belum sempat Ni Gatri menyelesaikan ucapan tibatiba terjadi dua hal hebat. Yang pertama dari lereng bukit sebelah selatan muncul getaran aneh. Ketika dengan cepat getaran menyentuh tubuh Ni Gatri, tak ampun lagi anak ini langsung terhuyung dan rubuh di atas bebatuan.
Wajah pucat, mata nyalang tapi pandangan kosong.
Hal kedua sebelum tubuh Ni Gatri jatuh menyentuh bebatuan, dari langit kelam berkelebat selarik sinar hijau.
Sinar menyapu bagian alas kepala Ni Gatri. Saat itu juga tubuh Ni Gatri yang berada dalam keadaan kaku tak bisa bergerak tak bisa bersuara kini seolah berubah menjadi batu, kulit berubah kehijau-hijauan! Anjing kecil yang ada dalam gendongannya meraung keras lalu melompat.
Turun ke tanah dan berlari berputar putar mengelilingi sosok Ni Gatri.
“Celaka! Apa yang terjadi! Ni Gatri!” Wiro berteriak.
Raja Mataram cepat mendatangi. Namun saat itu anjing betina yang cidera berat perujudan dari Sri Padmi Kameswari berteriak.
“Tahan! Jangan sentuh tubuh anak itu sebelum memiliki benda penangkal. Dia terkena ilmu pembungkam tubuh yang dilepas Sinuhun Muda! Yang Mulia cepat tanggalkan kalung emas di leher saya. Patahkan jadi dua.
Yang pertama Yang Mulia simpan di saku pakaian.
Patahan kedua berikan pada pemuda berambut gondrong yang barusan datang bersama Ratu Randang….”
Sri Maharaja Mataram terkesiap. Ratu Randang tercengang. Anjing betina telah membuka rahasia penangkal atau kelemahan Sinuhun Muda! Wiro sendiri delikkan mata dan nekad hendak memegang tubuh Ni Gatri. Namun begitu tangan diulurkan hendak menyentuh Ni Gatri tiba-tiba dari tubuh anak perempuan itu melesat keluar selarik sinar merah, menyambar ke arah Pendekar 212.Wiro kertakkan rahang, melompat mundur sambil lepaskan pukulan Kincir Padi Berputar. Sambaran sinar merah yang menyerang dalam bentuk garis lurus bukan saja berhasil di tahan namun kemudian dibuntal bergelung membentuk lingkaran berputar seperti kincir padi. Begitu Wiro pukulkan tangannya ke bawah maka ujung lingkaran merah ikut menghunjam ke tanah, amblas masuk ke dalam celah-celah batu bukit dan buummm!
Satu letusan keras menggelegar. Sebagian batu-batu besar yang ada di tempat itu hancur berkeping-keping.
Wiro sendiri jatuh terduduk di tanah. Mukanya tampak pucat. Tubuh bergetar tergontai-gontai. Lengan baju sebelah kanan dikobari api!
Ratu Randang berteriak. Dengan cepat perempuan ini pergunakan ke dua tangannya untuk memadamkan api!
“Wiro …. !”
“Aku tak apa-apa…” Berkata Pendekar 212 sambil berdiri. Tapi keningnya mengernyit tanda dia tengah menahan sakit. Ratu Randang yang masih kawatir robek salah satu bagian lengan baju yang terbakar. Di balik robekan tampak kulit lengan mengelupas kehitamhitaman.
“Sinuhun Muda. Tadi aku lihat dia sudah pergi. Pasti mahluk jahanam itu kembali lagi. Dia menyerang anak perempuan itu dengan ilmu pembungkam Hawa Bumi Menutup Jalan Darah Mencekal Urat. Celaka! Aku tidak mampu memusnahkan ilmu itu. Tapi … Ni Gatri tidak hanya diserang ilmu Sinuhun Muda. Ada ilmu lain yang tadi memancarkan cahaya kehijauan menyerang anak itu hingga tubuhnya berubah sekeras batu!” Berkata Ratu Randang.
“Aku tahu,” jawab Wiro. Dia menatap ke arah Ni Gatri.
Wiro lebih mengawatirkan anak perempuan itu dari dirinya sendiri. Di tanah tempat tubuhnya terkapar anjing betina perujudan Sri Padmi Kameswari kembali berteriak.
“Yang Mulia! Cepat tanggalkan kalung di leher saya!”
Kali ini, tidak menunggu lebih lama Raja Mataram Rakai Kayuwangi segera mendatangi, membuka kalung emas besar yang melingkar di leher anjing betina. Lalu kraakk! Kalung emas yang berbentuk lempengan cukup tebal itu patah dua. Raja Mataram menyimpan satu patahan di dalam saku celananya. Patahan yang lain diberikan kepada Wiro. Begitu Wiro memegang patahan kalung emas saat itu juga cidera di lengan kanannya pupus lenyap!
Sesaat setelah kalung emas besar tanggal dari lehernya tiba-tiba anjing betina yang tergeletak di tanah meraung perlahan. Kepala diangkat, sepasang mata menatap ke arah Raja Mataram lalu jatuh terkulai. Secara aneh tubuh anjing betina ini berubah jadi kepulan asap lalu lenyap dari pemandangan.
“Sri Padmi Kameswari!” Raja berseru. Dia mengusap kepala binatang itu namun si anjing betina sudah tidak bernafas lagi. Anjing kecil tahu kalau ibunya sudah mati menyalak panjang berhiba-hiba lalu menjilati tanah bekas tubuh induknya tadi tergeletak.
Wiro cepat menggendong tubuh Ni Gatri, dibaringkan di atas sebuah batu rata. Raja Mataram keluarkan potongan kalung yang ada padanya. Benda itu kemudian diusapkan di tubuh Ni Gatri, mulai dari kepala, kening, wajah terus turun ke dada dan sampai ke ujung kaki.
Melihat hal ini Wiro keluarkan pula patahan kalung emas yang ada padanya dan melakukan hal yang sama.
“Desss! Desss! Desss!”
Asap merah mengepul keluar dari delapan bagian tubuh Ni Gatri namun anak perempuan ini tetap dalam keadaan diam kaku tidak bergerak tidak bersuara.
“Ilmu Sinuhun Muda sudah musnah…” bisik Ratu Randang pada Wiro. Ilmu satunya masih membungkam anak perempuan itu. Siapa gerangan yang telah menyerangnya…”
Tiba-tiba suara tambur dan tiupan suling kembali terdengar di Bukit Batu Hangus. Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik mulai berjalan menuruni lereng bukit.
Sepasang kakek nenek ikut pula bergerak. Seperti tadi keduanya melangkah melayang dalam udara malam yang dingin. Si nenek kembali menunjuk-nunjuk ke arah Wiro.
Usapkan tangan kanan di atas kening lalu dikepretkan.
Di samping si nenek, kakek arwah bisu berulang kali menggerakkan tangan dari pinggang ke atas Seperti gerakan orang mencabut senjata yang tersisip di pinggang. Lalu kakek ini menunjuk-nunjuk ke arah Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik.
Wiro cepat mengejar. Dia menghampiri si gemuk pendek si Tambur Bopeng.
“Sababat! Nenek alam arwah itu berulang kali menunjuk ke arahku. Mengusap kening lalu tangan dikibaskan. Jika kau tahu apa arti tanda gerakan tangan yang dilakukan nenek itu harap kau mau mengatakan!”
“Tam! Tam! Tam!”
Si Tambur Bopeng lalu membuka mulut.
“Aku Si Tambur Bopeng. Bersama temanku Si Suling Burik kami hanya berlaku sebagai pengantar. Kami tidak tahu apa arti gerakan tangan…”
“Kalian mau memberi tahu siapa adanya dua kakek nenek itu?” Wiro bertanya.
“Sepasang Arwah Bisu!” Berkata Si Tambur Bopeng.
“Sepasang Arwah Bisu!” Menirukan temannya Si Suling Burik.
“Kalian membawa Sepasang Arwah Bisu dari mana, mau di antar dipulangkan kemana? Kalau kami ingin menemui mereka harus mencari dimana?!” Ratu Randang kini yang mengajukan pertanyaan.
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik hentikan langkah sebentar. Keduanya memandang pada Ratu Randang. Lalu kedip kedipkan mata.
“Cantik sekali … Cantik sekali! Ha…ha…ha!” Si Tambur Bopeng lalu kembali tabuh tamburnya dan mulai melangkah lagi menuruni lereng bukit.
“Dadanya bagus … Dadanya montok. Aku bisa melihat celah putihnya. Ha … ha … ha!” Si Suling Burik kini yang bicara lalu tertawa gelak-gelak.
“Matanya juling bagus! Sungguh mempesona!” Si Tambur Bopeng kembali keluarkan ucapan.
“Bukan mempesona. Tapi menggairahkan!” Menyahuti Si Suling Burik. Lalu kedua orang aneh ini tertawa gelakgelak.
“Sialan!” maki Ratu Randang. “Kalian belum menjawab pertanyaanku!”
“Memaki saja suaranya begitu merdu. Apa lagi merayu! Ha … ha … ha!” Si Tambur Bopeng berucap lalu pukul tamburnya.
“Tam! Tam! Tam!”
Si Suling Burik tiup sulingnya kencang. kencang hingga Wiro dan Ratu Randang terpaksa hentikan langkah dan tekap telinga musing-masing.
“Hai jangan pergi! Jawab dulu pertanyaanku! Di mana kami bisa menemui Sepasang Arwah Bisu. Kami butuh keterangannya!”
“Alam arwah begitu luas. Datang dan pergi sulit diketuhui. Sepasang, Arwah Bisu laksana dua buah jarum di tengah padang pasir. Bagaimana kami bisa tahu.
Bagaimana kami bisa menjawab!”
“Kalau begitu kalian saja memberi tahu dimana kami bisa menemui kalian!” Ratu Randang masih berusaha, “Tam! Tam! Tam!”
Si Tambur Bopeng lalu menjawab.
“Kami dua sahabat yang tidak punya juntrungan, berarti tidak punya rumah kediaman. Kalau mau mencari kami dimana banyak mayat disitu kami biasa berkeliaran.
Dunia mayat sejuk dan rukun tenteram tidak seperti dunia manusia yang selalu hidup dalam pertengkaran dan permusuhan, keserakahan, iri dengki, sombong dan kebencian serta kejahatan penuh tipu muslihat!”
Wiro dan Ratu Randang sating berpandangan mendengar ucapan kedua orang itu. Ratu Randang pegang tangan Wiro.
“Sudah, tidak perlu diikuti lagi. Percuma saja. Hidup di Bhumi Mataram tapi tidak mau menolong. Sudah buruk rupa bertingkah pula!”
“Oala! Kita dibilang buruk rupa. Berarti kita ini orangorang jelek ya?” Si Suling Burik berkata.
“Kasihan kita berdua! Ha… ha… ha!” Si Tambur Bopeng menyahuti lalu tertawa mengekeh.
“Ratu, Kau tabu siapa sebenarnya dua kakek nenek dari alam arwah tadi itu?”
Ratu Randang menggeleng.
“Kita akan tanyakan pada para tokoh di Bukit Batu Hangus. Mungkin diantara mereka ada yang bisa memberi jawaban…”
“Aku sempat melihat wajah Sinuhun Muda yang ketakutan ketika menatap ke arah sepasang kakek nenek.”
“Aku juga memperhatikan,” jawab Ratu Randang.
“Kita harus menolong Ni Gatri. Kalau anak itu bisa di sadarkan pasti dia akan memberi tahu apa arti semua gerak tangan Sepasang Arwah Bisu.”
Baru saja Wiro selesai berkata tiba-tiba di lereng bukit sebelah kanan terdengar suara tawa cekikikan.
“Tidak ada yang mampu menolong anak perempuan itu! Kecuali Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Kepadanya semua orang di muka Bhumi Mataram ini harus tunduk!”
“Dewi Ular …!” Bisik Ratu Randang.
“Bukan, bukan Dewi Ular,” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
6
BEGITU pandangan mata Pendekar 212 Wiro Sableng membentur sosok tinggi kurus hitam yang kepalanya ditancapi empat tusuk konde perak, dia langsung berteriak.
“Nek! Eyang Sinto”
Sinto Gendeng berdiri di atas sebuah batu besar, berkacak pinggang. Wajah yang hanya ditutupi kulit tipis dan sorotan mata tampak galak. Mendadak sang murid tersentak heran ketika lebih memperhatikan ternyata Eyang Sinto Gendeng muncul dengan beberapa keanehan.
Di kening nenek kelihatan ada delapan benjolan merah. Lalu tidak tampak tongkat kayu butut yang selalu dibawa kemanamana.
Keanehan ke tiga Wiro tidak mencium bau pesing.
Malah kini dia mencium bau harum begitu santar keluar dari tubuh dan pakaian sang guru!
“Nek!”
Ratu Randang mendekati Pendekar 212 lalu berbisik.
“Aku dengar kau menyebut memanggil Nenek. Nenek siapa?”
“Nenek guruku. Eyang Sinto Gendeng. Dia berdiri di atas batu sana. Bukankah aku pernah bercerita ketika dalang ke Bhumi Mataram aku ditemani guruku dan anak perempuan bernama Ni Gatri.”
Ratu Randang kerenyitkan kening. Mata julingnya menatap ke arah batu besar di seberang sana. Mata diusap beberapa kali lalu sambil geleng kepala perempuan ini berkata.
“Aku belum buta.Yang berdiri di atas batu besar itu bukan seorang nenek. Tapi seorang gadis. Di kepalanya memang ada empat tusuk konde perak. Ngeri juga karena tusuk konde itu sepertinya ditancap. Gadis ini berkulit hitam manis. Wajahnya memang cantik tapi dandanannya seronok. Pupur tebal, alis mata mencong dan bibir berselomotan cairan warna merah!”
“Ratu, kau jangan bergurau. Aku juga tidak buta! Aku sudah bilang guruku seorang nenek-nenek jelek seram.
Dan saat ini sosoknya aku lihat berdiri di atas batu sana.
Cuma satu kelainan yang aku lihat pada dirinya. Biasanya tubuh dan pakaiannya bau pesing. Kini dia wangi sekali…”
“Aku juga mencium bau wangi itu!” menyahuti Ratu Randang. “Kau ingat sewaktu aku bersama si katai Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu Berlumut bertemu dirimu pertama kali di tepi telaga? Waktu itu Raja Dukun mengatakan tidak ada nenek-nenek muncul di Bhumi Mataram. Yang ada seorang gadis cantik berkulit hitam manis yang tubuh serta pakaiannya harum selangit. Di kepalanya ada empat tusuk kundai! Nah, gadis di atas batu itulah orangnya!”
Wiro menggaruk kepala. Mulut melongo.
“Bagaimana ini? Tidak mungkin! Mana mungkin aku punya guru seorang gadis yang mungkin seusiaku. Aku melihat nenek-nenek. Kau melihat gadis. Ada yang tidak beres! Ada yang tidak nyambung! Lalu mengapa ada delapan benjolan aneh di kepalanya….”
“Wiro, aku punya dugaan siapapun perempuan yang berdiri di atas batu dia sudah berada di bawah kekuasaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Delapan benjolan itu tanda yang tidak bisa disangsikan lagi! Jangan-jangan gurumu sudah kena disirap benaknya dengan ilmu yang disebut Delapan Jalur Arwah, Pencuci Otak!”
“Celaka guruku! Celaka Eyang Sinto Gendeng….”
“Eyang Sinto Gendeng … ? Itu berati Sinto gila atau sinting. Hik … hik. Nama aneh. Setahu kabar yang aku dengar dia mengaku bernama Sinto Weni…”
“Itu nama aslinya.” Jawab Wiro.
Sementara itu semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus termasuk Raja Mataram bertanya tanya siapa gerangan adanya gadis cantik berdandan celemongan yang berdiri di atas batu. Kelihatannya gadis itu mengenal Kesatria Panggilan Wiro Sableng. Namun sikapnya jelas kurang bersahabat.
Selagi Wiro kebingungan tiba-tiba terdengar bentakan.
“Anak Setan! Lekas datang ke sini! Siapa perempuan di sampingmu? Rupanya kau sudah punya kekasih baru di negeri ini? Dasar pemuda mata bongsang!”
“Wiro, kau dengar gadis di atas batu itu bicara padamu? Mengapa kau dipanggilnya dengan sebutan Anak Setan? Kau juga disebut pemuda mata bongsang!
Aku dikatakannya kekasih barumu. Aku sih mau-mau dan senang saja. Hik … hik … hik!” Ratu Randang tertawa cekikikan.
“Anak Setan! Apa telingamu tuli tidak mendengar aku menyuruhmu datang ke sini?!”
“Wiro, kalau gadis di atas batu memang gurumu, sebaiknya kau lekas mendatangi. Jangan perdulikan perbedaan penglihatanmu dengan apa yang aku lihat.
Mulut gadis itu seperti ember! Kita berdua bisa dibikin malu!”
Mendengar ucapan Ratu Randang Wiro akhirnya beranjak. Namun sebelum melompat ke atas batu dimana gurunya berdiri diam-diam Wiro selipkan batu segi tiga pipih.
“Ratu, kalau terjadi apa-apa dengan diriku, berikan batu itu pada Raja.”
Ratu Randang jadi merasa tidak enak. Batu cepatcepat dimasukkan ke balik pakaian.
Wiro melompat ke atas batu besar, berdiri di samping sang guru. Sambil membungkuk Wiro menyapa.
“Nek, aku sudah di sini. Anu, bajumu baru, bagus Nek. Kau dapat dari mana? Bau tubuh dan pakaianmu harum sekali Nek, seperti wangi bidadari turun dari kahyangan. Aku …”
Sinto Gendeng delikkan mata.
“Apa?! Semua orang memanggil aku anak gadis cantik! Kau menyebut aku Nenek! Kau mau memberi malu diriku! Dasar murid kurang ajar!”
“Plaakk!”
Satu tamparan melanda keras pipi Wiro hingga sudut bibirnya luka berdarah. Semua orang yang menyaksikan terutama Ratu Randang tentu saja jadi terkejut.
Sambil usap darah di pinggir mulut sementara telinganya masih berdenging saking kerasnya tamparan Wiro bertanya.
“Nek, eh Eyang Sinto, kenapa kau jadi galak begini.
Aku melihat ada delapan benjolan di keningmu. Aku kawatir…”
“Diami” Hardik Sinto Gendeng. “Mau delapan mau seratus benjolan di keningku bukan urusanmu! Sinuhun Merah Penghisap Darah telah memberi ilmu kesaktian padaku! Dan aku tahu kau menempatkan dirimu sebagai musuh Sinuhun Merah Penghisap Darah! Kau bersekutu dengan Raja Mataram.”
“Eyang, sewaktu kita masih berada di alam delapan ratus tahun mendatang kau sudah tahu kalau kita datang ke sini memang untuk menolong serta membela Raja dan rakyat Mataram. Aku heran kalau Eyang tiba-tiba berubah. Apa yang terjadi dengan diri Eyang?”
Sinto Gendeng yang dimata Wiro ujudnya tetap terlihat seperti nenek tiba-tiba ulurkan tangan jambak rambut gondrong sang murid.
“Anak Setan! Kau dengar baik-baik! Yang pantas dibela adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Bukan Raja Mataram! Kau dengar?!”
Hardikan keras Sinto Gendeng terdengar oleh semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus. Membuat mereka jadi terkejut.
“Eyang, mahluk yang namanya Sinuhun Penghisap Arwah justru biang racun semua malapetaka di negeri ini.
Dia pasti telah menyirapmu dengan ilmu hitam. Otakmu sudah dicuci. Eyang harus segera sadar…”
Sinto Gendeng tertawa panjang.
“Kau dari dulu memang anak badung! Tidak mau mendengar apa yang aku bilang! Sekarang mewakili Sinuhun Marah Penghisap Arwah sebaiknya otakmu aku cuci juga!”
Habis berkata begitu Sinto Gendeng arahkan keningnya ke kepala sang murid. Delapan benjolan merah pancarkan cahaya terang.
“Delapan jalur Arwah Pencuci Otak!”
Ratu Randang berteriak begitu menyadari serangan ilmu apa yang hendak dilancarkan Sinto Gendeng terhadap Wiro.
“Wiro! Lekas melompat dari atas batu! Selamatkan dirimu!” Teriak Ratu Randang.
Sementara itu di telinga Sinto Gendeng tiba-tiba mengiang suara memperingatkan.
“Sinto Weni! Jangan kau serang pemuda itu! Dia membekal emas pantangan!”
Namun terlambat. Wiro terlambat melompat selamatkan diri. Sinto Gendeng terlambat mendengar suara ngiangan. Delapan benjolan merah telah keburu menyemburkan delapan larik sinar merah yang langsung menyambar ke arah kening Pendekar 212!
“Nek! Eyang Sinto”
Sinto Gendeng berdiri di atas sebuah batu besar, berkacak pinggang. Wajah yang hanya ditutupi kulit tipis dan sorotan mata tampak galak. Mendadak sang murid tersentak heran ketika lebih memperhatikan ternyata Eyang Sinto Gendeng muncul dengan beberapa keanehan.
Di kening nenek kelihatan ada delapan benjolan merah. Lalu tidak tampak tongkat kayu butut yang selalu dibawa kemanamana.
Keanehan ke tiga Wiro tidak mencium bau pesing.
Malah kini dia mencium bau harum begitu santar keluar dari tubuh dan pakaian sang guru!
“Nek!”
Ratu Randang mendekati Pendekar 212 lalu berbisik.
“Aku dengar kau menyebut memanggil Nenek. Nenek siapa?”
“Nenek guruku. Eyang Sinto Gendeng. Dia berdiri di atas batu sana. Bukankah aku pernah bercerita ketika dalang ke Bhumi Mataram aku ditemani guruku dan anak perempuan bernama Ni Gatri.”
Ratu Randang kerenyitkan kening. Mata julingnya menatap ke arah batu besar di seberang sana. Mata diusap beberapa kali lalu sambil geleng kepala perempuan ini berkata.
“Aku belum buta.Yang berdiri di atas batu besar itu bukan seorang nenek. Tapi seorang gadis. Di kepalanya memang ada empat tusuk konde perak. Ngeri juga karena tusuk konde itu sepertinya ditancap. Gadis ini berkulit hitam manis. Wajahnya memang cantik tapi dandanannya seronok. Pupur tebal, alis mata mencong dan bibir berselomotan cairan warna merah!”
“Ratu, kau jangan bergurau. Aku juga tidak buta! Aku sudah bilang guruku seorang nenek-nenek jelek seram.
Dan saat ini sosoknya aku lihat berdiri di atas batu sana.
Cuma satu kelainan yang aku lihat pada dirinya. Biasanya tubuh dan pakaiannya bau pesing. Kini dia wangi sekali…”
“Aku juga mencium bau wangi itu!” menyahuti Ratu Randang. “Kau ingat sewaktu aku bersama si katai Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu Berlumut bertemu dirimu pertama kali di tepi telaga? Waktu itu Raja Dukun mengatakan tidak ada nenek-nenek muncul di Bhumi Mataram. Yang ada seorang gadis cantik berkulit hitam manis yang tubuh serta pakaiannya harum selangit. Di kepalanya ada empat tusuk kundai! Nah, gadis di atas batu itulah orangnya!”
Wiro menggaruk kepala. Mulut melongo.
“Bagaimana ini? Tidak mungkin! Mana mungkin aku punya guru seorang gadis yang mungkin seusiaku. Aku melihat nenek-nenek. Kau melihat gadis. Ada yang tidak beres! Ada yang tidak nyambung! Lalu mengapa ada delapan benjolan aneh di kepalanya….”
“Wiro, aku punya dugaan siapapun perempuan yang berdiri di atas batu dia sudah berada di bawah kekuasaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Delapan benjolan itu tanda yang tidak bisa disangsikan lagi! Jangan-jangan gurumu sudah kena disirap benaknya dengan ilmu yang disebut Delapan Jalur Arwah, Pencuci Otak!”
“Celaka guruku! Celaka Eyang Sinto Gendeng….”
“Eyang Sinto Gendeng … ? Itu berati Sinto gila atau sinting. Hik … hik. Nama aneh. Setahu kabar yang aku dengar dia mengaku bernama Sinto Weni…”
“Itu nama aslinya.” Jawab Wiro.
Sementara itu semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus termasuk Raja Mataram bertanya tanya siapa gerangan adanya gadis cantik berdandan celemongan yang berdiri di atas batu. Kelihatannya gadis itu mengenal Kesatria Panggilan Wiro Sableng. Namun sikapnya jelas kurang bersahabat.
Selagi Wiro kebingungan tiba-tiba terdengar bentakan.
“Anak Setan! Lekas datang ke sini! Siapa perempuan di sampingmu? Rupanya kau sudah punya kekasih baru di negeri ini? Dasar pemuda mata bongsang!”
“Wiro, kau dengar gadis di atas batu itu bicara padamu? Mengapa kau dipanggilnya dengan sebutan Anak Setan? Kau juga disebut pemuda mata bongsang!
Aku dikatakannya kekasih barumu. Aku sih mau-mau dan senang saja. Hik … hik … hik!” Ratu Randang tertawa cekikikan.
“Anak Setan! Apa telingamu tuli tidak mendengar aku menyuruhmu datang ke sini?!”
“Wiro, kalau gadis di atas batu memang gurumu, sebaiknya kau lekas mendatangi. Jangan perdulikan perbedaan penglihatanmu dengan apa yang aku lihat.
Mulut gadis itu seperti ember! Kita berdua bisa dibikin malu!”
Mendengar ucapan Ratu Randang Wiro akhirnya beranjak. Namun sebelum melompat ke atas batu dimana gurunya berdiri diam-diam Wiro selipkan batu segi tiga pipih.
“Ratu, kalau terjadi apa-apa dengan diriku, berikan batu itu pada Raja.”
Ratu Randang jadi merasa tidak enak. Batu cepatcepat dimasukkan ke balik pakaian.
Wiro melompat ke atas batu besar, berdiri di samping sang guru. Sambil membungkuk Wiro menyapa.
“Nek, aku sudah di sini. Anu, bajumu baru, bagus Nek. Kau dapat dari mana? Bau tubuh dan pakaianmu harum sekali Nek, seperti wangi bidadari turun dari kahyangan. Aku …”
Sinto Gendeng delikkan mata.
“Apa?! Semua orang memanggil aku anak gadis cantik! Kau menyebut aku Nenek! Kau mau memberi malu diriku! Dasar murid kurang ajar!”
“Plaakk!”
Satu tamparan melanda keras pipi Wiro hingga sudut bibirnya luka berdarah. Semua orang yang menyaksikan terutama Ratu Randang tentu saja jadi terkejut.
Sambil usap darah di pinggir mulut sementara telinganya masih berdenging saking kerasnya tamparan Wiro bertanya.
“Nek, eh Eyang Sinto, kenapa kau jadi galak begini.
Aku melihat ada delapan benjolan di keningmu. Aku kawatir…”
“Diami” Hardik Sinto Gendeng. “Mau delapan mau seratus benjolan di keningku bukan urusanmu! Sinuhun Merah Penghisap Darah telah memberi ilmu kesaktian padaku! Dan aku tahu kau menempatkan dirimu sebagai musuh Sinuhun Merah Penghisap Darah! Kau bersekutu dengan Raja Mataram.”
“Eyang, sewaktu kita masih berada di alam delapan ratus tahun mendatang kau sudah tahu kalau kita datang ke sini memang untuk menolong serta membela Raja dan rakyat Mataram. Aku heran kalau Eyang tiba-tiba berubah. Apa yang terjadi dengan diri Eyang?”
Sinto Gendeng yang dimata Wiro ujudnya tetap terlihat seperti nenek tiba-tiba ulurkan tangan jambak rambut gondrong sang murid.
“Anak Setan! Kau dengar baik-baik! Yang pantas dibela adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Bukan Raja Mataram! Kau dengar?!”
Hardikan keras Sinto Gendeng terdengar oleh semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus. Membuat mereka jadi terkejut.
“Eyang, mahluk yang namanya Sinuhun Penghisap Arwah justru biang racun semua malapetaka di negeri ini.
Dia pasti telah menyirapmu dengan ilmu hitam. Otakmu sudah dicuci. Eyang harus segera sadar…”
Sinto Gendeng tertawa panjang.
“Kau dari dulu memang anak badung! Tidak mau mendengar apa yang aku bilang! Sekarang mewakili Sinuhun Marah Penghisap Arwah sebaiknya otakmu aku cuci juga!”
Habis berkata begitu Sinto Gendeng arahkan keningnya ke kepala sang murid. Delapan benjolan merah pancarkan cahaya terang.
“Delapan jalur Arwah Pencuci Otak!”
Ratu Randang berteriak begitu menyadari serangan ilmu apa yang hendak dilancarkan Sinto Gendeng terhadap Wiro.
“Wiro! Lekas melompat dari atas batu! Selamatkan dirimu!” Teriak Ratu Randang.
Sementara itu di telinga Sinto Gendeng tiba-tiba mengiang suara memperingatkan.
“Sinto Weni! Jangan kau serang pemuda itu! Dia membekal emas pantangan!”
Namun terlambat. Wiro terlambat melompat selamatkan diri. Sinto Gendeng terlambat mendengar suara ngiangan. Delapan benjolan merah telah keburu menyemburkan delapan larik sinar merah yang langsung menyambar ke arah kening Pendekar 212!
7
DARI balik pakaian di bagian mana Wiro menyimpan sebagian patahan kalung emas yang diberikan Sri Padmi Kameswari menderu sinar kuning bergemerlap yang dengan cepat membungkus seluruh kepala sang pendekar. Dari bagian bawah dada di atas perut memancar cahaya putih menyilaukan. ltulah cahaya hawa sakti yang keluar dari senjata sakti mandraguna Kapak Maut Naga Geni 212!
“Blaaarrr!”
Delapan larik cahaya merah menghantam kening sang pendekar!
Wiro berteriak keras. Kepalanya laksana meledak. Tubuh terpental dari atas batu lalu jatuh terkapar di atas batu yang lain. Tubuhnya mulai dari dada sampai kepala tidak kelihatan karena tertutup buntalan asap merah.
Ratu Randang terpekik. Lalu menghambur memeluk tubuh Pendekar 212. Kedua tangan mengusap ke dada, terus ke atas ke arah kepala. Perempuan ini merasa lega karena dia masih meraba dada dan kepala Wiro utuh walau ada hawa panas seperti bara. Tadinya dia menyangka tubuh Wiro sudah hancur hanya tinggal bagian perut ke bawah! Semua orang di Bukit Batu Hangus termasuk Sri Maharaja Mataram keluarkan seruan tertahan. Mereka sepertinya tidak memperdulikan apa yang terjadi dengan gadis cantik bertusuk konde empat tapi lebih menaruh kawatir pada Wiro.
Ketika kepulan asap hitam membuntal ke atas dan lenyap dalam kegelapan udara malam menjelang dini hari yang dingin Ratu Randang melihat kepala Pendekar 212 merah seperti saga!
“Dewa Agung, Jagat Bathara!” Teriak Ratu Randang setengah meratap. Dua tangan ditekapkan ke pipi Wiro.
“Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa…” Wiro keluarkan ucapan.
“Jangan bicara! Ada racun jahat dalam tubuhmu!”
“Tidak, tidak ada racun. Kalaupun ada semoga Yang Maha Kuasa melindungi diriku…” Wiro mencoba bangun.
Dibantu oleh Ratu Randang. Saat itu warna merah di kepala dan wajahnya perlahan-lahan mulai memudar dan akhirnya lenyap.
“Guruku …. Eyang Sinto Gendeng, aku kawatir.
Bagaimana keadaannya?”
Ratu Randang jadi marah besar mendengar ucapan Wiro. “Guru atau siapapun iblis perempuan itu! Dia hendak membunuhmu! Paling tidak hendak mencelakaimu hingga menjadi budak Sinuhun Merah Penghisap Arwah seumurumur!
Dan kau masih menanyakan bagaimana keadaannya! Oala betapa setia dan berbaktinya murid yang teraniaya!”
“Guruku tidak sejahat itu! Dia berbuat karena otaknya sudah keracunan. Dia tidak sadar apa yang dilakukannya.
Aku harus menolongnya.”
“Gurumu edan! Kau gila! Sama saja!” teriak Ratu Randang. Lalu dia ambil tangan Wiro dan tempatkan di bagian mana terletak patahan kalung emas. Wiro merasa denyutan sakit di kepalanya perlahan-lahan lenyap.
Penglihatannya yang tadi agak buram kini mulai jelas kembali. Hawa panas jauh berkurang.
Raja Mataram berlari menghampiri Wiro bermaksud hendak menolong. Wiro sendiri saat itu sudah berdiri. Dia memandang ke arah batu besar di atas mana tadi Sinto Gendeng berada. Dia melihat gurunya duduk terjengkang di atas batu. Seluruh tubuh dan pakaian tampak diselimuti jelaga hitam!
Mata mendelik besar. Kepala menggembung dan berdenyut-denyut seperti mau meledak. Dari telinga dan sela bibir darah mengucur.
“Nek! Eyang!” Teriak Wiro begitu melihat keadaan gurunya. “Eyang, maafkan aku!”
“Edan! Kenapa minta maaf segala?!” teriak Ratu Randang. Bukan kau yang menyerang gurumu! Dia dihantam balik oleh serangannya sendiri yang tadi ditujukan padamu karena di tubuhmu ada lempengan kalung emas!”
Wiro tidak perdulikan ucapan Ratu Randang. Dia melompat hendak menolong sang guru. Tapi tiba-tiba si nenek meraung dahsyat lalu kaki kanannya melesat ke atas. “Duukk!”
Tendangan keras berkekuatan tenaga dalam tinggi menghantam dada Pendekar 212 hingga terpental. Selagi Wiro masih melayang di udara dilanda kesakitan luar biasa, dada serasa jebol dan darah mengucur dari sela bibir, Sinto Gendeng bangkit berdiri. Dua tangan dipentang ke atas. Kepala digoyang. Mata dikedipi “Wuuutt! Wuuutt!”
Dari mata Sinto Gendeng berkiblat dua larik cahaya biru menyilaukan hingga seluruh lereng Bukit Batu Hangus menjadi terang benderang. Dua larik sinar ini menyambar laksana kilat ke arah Pendekar 212. Suara derunya menggidikkan bulu roma! Dalam penguasaan dan kendali ilmu hitam Sinuhun Merah Penghisap Darah, diluar sadarnya si nenek benar-benar hendak menghabisi sang murid!
Bukannya bergerak selamatkan diri, Wiro malah tegak tak bergerak. Sikap seperti orang terkesima, mulut berucap menyebut nama ilmu yang dipergunakan Sinto Gendeng untuk menghabisinya! “Sepasang Sinar Inti Roh. Eyang Sinto tidak pernah mau memberikan ilmu itu padaku. Dia hendak membunuhku. Apa salahku ….”
Ketika Sinto Gendeng menyerang pertama kali, dia mempergunakan ilmu dahsyat yang didapat dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Tapi ketika menendang dan menghantamkan serangan Sepasang Sinar Inti Roh, dia mengandalkan ilmu kesaktian yang dimilikinya sendiri!
ilmu kesaktian ini memang tidak diwariskannya kepada sang murid walau Wiro pernah menanyakan. Dan ilmu kesaktian ini tidak bisa ditangkal oleh patahan kalung emas besar masih yang ada pada Wiro!
Ratu Randang cepat dorong Pendekar 212 hingga jatuh ke tanah dan menggelinding di lereng bukit batu.
Sementara dua larik sinar biru menderu di udara malam dengan cepat Ratu Randang selamatkan diri dengan melompat ke kiri sambil lepaskan pukulan bernama Di Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat guna menangkis sambaran dua larik cahaya biru yang luar biasa ganas. Dengan pukulan inilah dalam jarak dekat Ratu Randang memecahkan kepala si katai Raja Dukun Batu Berlumut, dukun kepercayaan Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah.
Ternyata Ratu Randang tidak bertindak sendirian.
Dari jurusan lain Sri Maharaja Mataram, Eyang Dukun Umbut Watukura, Garung Parawata dan Soka Kandawa alias Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa serta beberapa tokoh silat Istana lainnya yang ada di Bukit Batu Hangus ikut melancarkan serangan ke arah dua larik cahaya biru yang keluar dari sepasang mata Sinto Gendeng dan saat itu siap membelah tubuh Kesatria Panggilan alias Wiro Sableng yang adalah muridnya sendiri!
Gabungan pukulan sakti orang-orang di Bukit Batu Hangus yang memancarkan berbagai warna cahaya serta bermacam deru menggidikkan membuat bukit batu bergetar hebat. Meski terluka parah namun Wiro yang melihat apa yang terjadi dan maklum kalau gurunya tidak akan sanggup menghadapi sekian banyak serangan balasan serta merta berteriak.
“Tidak! Jangan! Tahan serangan! Eyang Sinto lekas nienyingkir!”
Namun apa yang sudah diduga akan terjadi tidak dapat dihindarkan. Dentuman dahsyat menggelegar ketika dua cahaya biru bentrokan di udara dengan gabungan cahaya pukulan beberapa orang sakti! Bukit Batu Hangus laksana dilanda gempa. Bebatuan besar longsor menggelinding dari lereng ke kaki bukit menimbulkan suara bergemuruh. Dua larik sinar biru serangan Sinto Gendeng bukan saja musnah berantakan, tapi taburan cahaya berbalik ke arahnya begitu gabungan cahaya pukulan sakti lawan datang menghantam!
“Eyang!”
Wiro kembali berteriak. Dibawah kecamuk pukulan sakti yang laksana badai dia hendak menghambur menolong sang guru namun Ratu Randang lebih cepat memegang lengannya. Perempuan ini lalu menarik Wiro kuat-kuat hingga keduanya jatuh ke tanah dan bergulingan di antara bebatuan.
Hanya sekejapan mata lagi Sinto Gendeng akan dihajar oleh ilmu kesaktiannya sendiri dan cahaya gabungan pukulan sakti orang-orang di Bukit Batu Hangus, tiba-tiba dari atas langit yang diterangi rembulan setengah lingkaran ada cahaya kuning memancar terang dan melayang ke bawah. Jauh di atas langit terdengar genta lonceng membahana tiga kali berturut turut.
Dari dalam cahaya kuning terdengar suara anak kecil.
Kematian bagian semua insan. Nyawa manusia adalah semata milik Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa yang patut dihormati. Mengapa manusia terkadang bertindak mendahului-Nya, membunuh manusia lain seolah dia yang menciptakan dan menghidupkannya?
Jangan membuat sejuta alasan untuk menghalalkan kematian seorang insan. Sungguh besar tanggung jawabnya di dunia dan juga di akhirat.”
Suara anak kecil lenyap. Cahaya kuning melesat ke langit.
Pada saat yang hampir bersamaan satu dentuman dahsyat menggelegar. Separuh lereng Bukit Batu Hangus amblas. Ratusan keping batu sebesar-besar kepala mencelat ke udara yang berubah gelap pekat. Ketika keadaan kembali terang, Wiro berteriak keras.
“Nek! Eyang Sinto!”
Batu di atas mana tadi Sinto Gendeng terkapar tak kelihatan lagi, sudah hancur bertabur ke udara. Di bekas batu besar itu kini menganga sebuah lobang besar.
Tanah berwarna merah tidak beda seperti kubangan tapi isinya bukan air atau lumpur melainkan tanah yang telah berubah menjadi bara panas!
Pendekar 212 menjerit sekali lagi. Melompat dan jatuh berlutut di tepi lobang.
“Eyang, kau sudah mati atau bagaimana?! Eyang Sinto!”
Tangan kanan ditutupkan ke wajah, tangan kiri menggaruk kepala.
Suara Wiro setengah sesenggukan. Ketika ada satu tangan memegang bahunya, perasaan sedih itu berubah menjadi ledakan amarah. Mulut berteriak. Tangan kanan dipentang ke atas. Tangan itu mulai dari ujung jari sampai ke siku serta merta kelihatan berubah seperti perak menyilaukan! Pukulan Sinar Matahari!
“Blaaarrr!”
Delapan larik cahaya merah menghantam kening sang pendekar!
Wiro berteriak keras. Kepalanya laksana meledak. Tubuh terpental dari atas batu lalu jatuh terkapar di atas batu yang lain. Tubuhnya mulai dari dada sampai kepala tidak kelihatan karena tertutup buntalan asap merah.
Ratu Randang terpekik. Lalu menghambur memeluk tubuh Pendekar 212. Kedua tangan mengusap ke dada, terus ke atas ke arah kepala. Perempuan ini merasa lega karena dia masih meraba dada dan kepala Wiro utuh walau ada hawa panas seperti bara. Tadinya dia menyangka tubuh Wiro sudah hancur hanya tinggal bagian perut ke bawah! Semua orang di Bukit Batu Hangus termasuk Sri Maharaja Mataram keluarkan seruan tertahan. Mereka sepertinya tidak memperdulikan apa yang terjadi dengan gadis cantik bertusuk konde empat tapi lebih menaruh kawatir pada Wiro.
Ketika kepulan asap hitam membuntal ke atas dan lenyap dalam kegelapan udara malam menjelang dini hari yang dingin Ratu Randang melihat kepala Pendekar 212 merah seperti saga!
“Dewa Agung, Jagat Bathara!” Teriak Ratu Randang setengah meratap. Dua tangan ditekapkan ke pipi Wiro.
“Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa…” Wiro keluarkan ucapan.
“Jangan bicara! Ada racun jahat dalam tubuhmu!”
“Tidak, tidak ada racun. Kalaupun ada semoga Yang Maha Kuasa melindungi diriku…” Wiro mencoba bangun.
Dibantu oleh Ratu Randang. Saat itu warna merah di kepala dan wajahnya perlahan-lahan mulai memudar dan akhirnya lenyap.
“Guruku …. Eyang Sinto Gendeng, aku kawatir.
Bagaimana keadaannya?”
Ratu Randang jadi marah besar mendengar ucapan Wiro. “Guru atau siapapun iblis perempuan itu! Dia hendak membunuhmu! Paling tidak hendak mencelakaimu hingga menjadi budak Sinuhun Merah Penghisap Arwah seumurumur!
Dan kau masih menanyakan bagaimana keadaannya! Oala betapa setia dan berbaktinya murid yang teraniaya!”
“Guruku tidak sejahat itu! Dia berbuat karena otaknya sudah keracunan. Dia tidak sadar apa yang dilakukannya.
Aku harus menolongnya.”
“Gurumu edan! Kau gila! Sama saja!” teriak Ratu Randang. Lalu dia ambil tangan Wiro dan tempatkan di bagian mana terletak patahan kalung emas. Wiro merasa denyutan sakit di kepalanya perlahan-lahan lenyap.
Penglihatannya yang tadi agak buram kini mulai jelas kembali. Hawa panas jauh berkurang.
Raja Mataram berlari menghampiri Wiro bermaksud hendak menolong. Wiro sendiri saat itu sudah berdiri. Dia memandang ke arah batu besar di atas mana tadi Sinto Gendeng berada. Dia melihat gurunya duduk terjengkang di atas batu. Seluruh tubuh dan pakaian tampak diselimuti jelaga hitam!
Mata mendelik besar. Kepala menggembung dan berdenyut-denyut seperti mau meledak. Dari telinga dan sela bibir darah mengucur.
“Nek! Eyang!” Teriak Wiro begitu melihat keadaan gurunya. “Eyang, maafkan aku!”
“Edan! Kenapa minta maaf segala?!” teriak Ratu Randang. Bukan kau yang menyerang gurumu! Dia dihantam balik oleh serangannya sendiri yang tadi ditujukan padamu karena di tubuhmu ada lempengan kalung emas!”
Wiro tidak perdulikan ucapan Ratu Randang. Dia melompat hendak menolong sang guru. Tapi tiba-tiba si nenek meraung dahsyat lalu kaki kanannya melesat ke atas. “Duukk!”
Tendangan keras berkekuatan tenaga dalam tinggi menghantam dada Pendekar 212 hingga terpental. Selagi Wiro masih melayang di udara dilanda kesakitan luar biasa, dada serasa jebol dan darah mengucur dari sela bibir, Sinto Gendeng bangkit berdiri. Dua tangan dipentang ke atas. Kepala digoyang. Mata dikedipi “Wuuutt! Wuuutt!”
Dari mata Sinto Gendeng berkiblat dua larik cahaya biru menyilaukan hingga seluruh lereng Bukit Batu Hangus menjadi terang benderang. Dua larik sinar ini menyambar laksana kilat ke arah Pendekar 212. Suara derunya menggidikkan bulu roma! Dalam penguasaan dan kendali ilmu hitam Sinuhun Merah Penghisap Darah, diluar sadarnya si nenek benar-benar hendak menghabisi sang murid!
Bukannya bergerak selamatkan diri, Wiro malah tegak tak bergerak. Sikap seperti orang terkesima, mulut berucap menyebut nama ilmu yang dipergunakan Sinto Gendeng untuk menghabisinya! “Sepasang Sinar Inti Roh. Eyang Sinto tidak pernah mau memberikan ilmu itu padaku. Dia hendak membunuhku. Apa salahku ….”
Ketika Sinto Gendeng menyerang pertama kali, dia mempergunakan ilmu dahsyat yang didapat dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Tapi ketika menendang dan menghantamkan serangan Sepasang Sinar Inti Roh, dia mengandalkan ilmu kesaktian yang dimilikinya sendiri!
ilmu kesaktian ini memang tidak diwariskannya kepada sang murid walau Wiro pernah menanyakan. Dan ilmu kesaktian ini tidak bisa ditangkal oleh patahan kalung emas besar masih yang ada pada Wiro!
Ratu Randang cepat dorong Pendekar 212 hingga jatuh ke tanah dan menggelinding di lereng bukit batu.
Sementara dua larik sinar biru menderu di udara malam dengan cepat Ratu Randang selamatkan diri dengan melompat ke kiri sambil lepaskan pukulan bernama Di Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat guna menangkis sambaran dua larik cahaya biru yang luar biasa ganas. Dengan pukulan inilah dalam jarak dekat Ratu Randang memecahkan kepala si katai Raja Dukun Batu Berlumut, dukun kepercayaan Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah.
Ternyata Ratu Randang tidak bertindak sendirian.
Dari jurusan lain Sri Maharaja Mataram, Eyang Dukun Umbut Watukura, Garung Parawata dan Soka Kandawa alias Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa serta beberapa tokoh silat Istana lainnya yang ada di Bukit Batu Hangus ikut melancarkan serangan ke arah dua larik cahaya biru yang keluar dari sepasang mata Sinto Gendeng dan saat itu siap membelah tubuh Kesatria Panggilan alias Wiro Sableng yang adalah muridnya sendiri!
Gabungan pukulan sakti orang-orang di Bukit Batu Hangus yang memancarkan berbagai warna cahaya serta bermacam deru menggidikkan membuat bukit batu bergetar hebat. Meski terluka parah namun Wiro yang melihat apa yang terjadi dan maklum kalau gurunya tidak akan sanggup menghadapi sekian banyak serangan balasan serta merta berteriak.
“Tidak! Jangan! Tahan serangan! Eyang Sinto lekas nienyingkir!”
Namun apa yang sudah diduga akan terjadi tidak dapat dihindarkan. Dentuman dahsyat menggelegar ketika dua cahaya biru bentrokan di udara dengan gabungan cahaya pukulan beberapa orang sakti! Bukit Batu Hangus laksana dilanda gempa. Bebatuan besar longsor menggelinding dari lereng ke kaki bukit menimbulkan suara bergemuruh. Dua larik sinar biru serangan Sinto Gendeng bukan saja musnah berantakan, tapi taburan cahaya berbalik ke arahnya begitu gabungan cahaya pukulan sakti lawan datang menghantam!
“Eyang!”
Wiro kembali berteriak. Dibawah kecamuk pukulan sakti yang laksana badai dia hendak menghambur menolong sang guru namun Ratu Randang lebih cepat memegang lengannya. Perempuan ini lalu menarik Wiro kuat-kuat hingga keduanya jatuh ke tanah dan bergulingan di antara bebatuan.
Hanya sekejapan mata lagi Sinto Gendeng akan dihajar oleh ilmu kesaktiannya sendiri dan cahaya gabungan pukulan sakti orang-orang di Bukit Batu Hangus, tiba-tiba dari atas langit yang diterangi rembulan setengah lingkaran ada cahaya kuning memancar terang dan melayang ke bawah. Jauh di atas langit terdengar genta lonceng membahana tiga kali berturut turut.
Dari dalam cahaya kuning terdengar suara anak kecil.
Kematian bagian semua insan. Nyawa manusia adalah semata milik Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa yang patut dihormati. Mengapa manusia terkadang bertindak mendahului-Nya, membunuh manusia lain seolah dia yang menciptakan dan menghidupkannya?
Jangan membuat sejuta alasan untuk menghalalkan kematian seorang insan. Sungguh besar tanggung jawabnya di dunia dan juga di akhirat.”
Suara anak kecil lenyap. Cahaya kuning melesat ke langit.
Pada saat yang hampir bersamaan satu dentuman dahsyat menggelegar. Separuh lereng Bukit Batu Hangus amblas. Ratusan keping batu sebesar-besar kepala mencelat ke udara yang berubah gelap pekat. Ketika keadaan kembali terang, Wiro berteriak keras.
“Nek! Eyang Sinto!”
Batu di atas mana tadi Sinto Gendeng terkapar tak kelihatan lagi, sudah hancur bertabur ke udara. Di bekas batu besar itu kini menganga sebuah lobang besar.
Tanah berwarna merah tidak beda seperti kubangan tapi isinya bukan air atau lumpur melainkan tanah yang telah berubah menjadi bara panas!
Pendekar 212 menjerit sekali lagi. Melompat dan jatuh berlutut di tepi lobang.
“Eyang, kau sudah mati atau bagaimana?! Eyang Sinto!”
Tangan kanan ditutupkan ke wajah, tangan kiri menggaruk kepala.
Suara Wiro setengah sesenggukan. Ketika ada satu tangan memegang bahunya, perasaan sedih itu berubah menjadi ledakan amarah. Mulut berteriak. Tangan kanan dipentang ke atas. Tangan itu mulai dari ujung jari sampai ke siku serta merta kelihatan berubah seperti perak menyilaukan! Pukulan Sinar Matahari!
8
WIRO balikkan tubuh.
Tangan kanan yang sudah dialiri tenaga dalam dan hawa sakti Pukulan Sinar Matahari siap dihantamkan ke arah orang yang barusan memegang bahunya.
“Wiro! Ini aku! Kau mau membunuhku?!”
Ratu Randang berteriak sambil cepat pergunakan ke dua tangan mencekal lengan kanan Wiro. Namun begitu menyentuh lengan sang pendekar perempuan ini menjerit keras sambil kibas-kibaskan kedua tangannya. Dia laksana memegang sepotong besi panas! Kawatir Wiro akan tetap melepas pukulan sakti, dalam menahan sakit Ratu Randang ganti merangkul pinggang sang pendekar lalu jatuhkan diri ke tanah. Keduanya bergulingan sebentar di lereng bukit sebelum tertahan oleh satu gundukan batu besar.
Wiro berusaha lepaskan diri dari rangkulan Ratu Randang.
“Wiro! Kau mau melakukan apa?!”
“Kalian orang-orang Mataram telah membunuh guruku Eyang Sinto Gendeng!”
Sepasang mata Pendekar 212 membeliak tak berkesip, berkilat kilat laksana dikobari api. Rahang menggembung. Wiro jadi tambah beringas ketika Sri Maharaja Mataram mendatangi dan berdiri di sampingnya.
“Wiro, dengar aku!” Kata Ratu Randang pula sambil menyeka noda darah di sudut bibir dan dagu Wiro. “Tidak ada yang membunuh gurumu! Gurumu tidak mati!”
“Tidak mati?! Mayatnya memang tidak ada! Karena pasti sudah hancur lebur jadi bubuk dihajar sekian banyak pukulan sakti ditambah dua larik cahaya biru yang berbalik menghantam dirinya sendiri.”
“Tidak Wiro. Percaya apa yang aku katakan. Gurumu sekarang pasti berada di satu tempat aman.
Telah diselamatkan oleh Satria Lonceng Dewa Mimba Purana, anak keramat pilihan Para Dewa.” (Mengenai siapa adanya Mimba Purana harap baca serial Satria Lonceng Dewa, Pendekar Bhumi Mataram karangan Bastian Tito)
Pendekar 212 menyeringai.
“Anak keramat pilihan Para Dewa? Aneh kedengarannya. Apakah anak itu yang pernah masuk ke dalam tubuh Ni Gatri dan bicara padaku sewaktu aku tidak mau mengambil batu putih segi tiga dari tangan Mayat Aneh Keempat … ?” (Baca serial sebelumnya Roh Jemputan”)
“Aku mendengar kejadian itu dari Raja Dukun …. “ kata Ratu Randang pula. Diam-diam dia merasa lega karena amarah Wiro kini tampak mengendur dan cahaya putih perak yang membungkus tangan kanan sang pendekar perlahan lahan sirna.
“Kalau di Bhumi Mataram ini memang ada anak keramat yang punya kesaktian hebat, mengapa aku jauhjauh harus didatangkan ke sini? Suruh saja anak keramat itu menghabisi semua mahluk jahat terkutuk yang ada di Bhumi Mataram ini! Yang katanya telah menimbulkan bencana Malam Jahanam! Air banjir merah busuk!
Demam panas! Benjolan …. apa lagi?!”
Sri Maharaja Mataram dan Ratu Randang saling pandang mendengar ucapan Wiro.
“Kesatria Panggilan. Ketahuilah, Satria Lonceng Dewa punya pantangan. Anak keramat itu tidak boleh membunuh mahluk bernyawa. Binatang ataupun manusia…!”
Wiro berdiri, memandang Raja Mataram dan Ratu Randang sejenak lalu sambil tertawa dia berkata.
“Di negeri ini rupanya ada hukum aneh. Seseorang boleh mencelakai bahkan membunuh puluhan sampai ratusan rakyat Mataram. Tapi yang namanya anak keramat yang konon sakti hanya berpangku tangan membiarkan semua itu terjadi dengan berucap : Jangan membuat sejuta alasan untuk menghalalkan kematian seorang insan! Jika itu hukum yang berlaku di negeri ini sampai kiamat mahluk- mahluk jahat akan terus menebar malapetaka seenaknya! Tak ada rasa takut. Soalnya pembunuhan sudah seperti dihalalkan!”
Ratu Randang sampai pucat wajahnya mendengar kata-kata Wiro. Raja Mataram cepat-cepat berkata.
“Kesatria Panggilan. Jangan kau salah menduga.
Tanggung jawab semua kejadian yang ada di Bhumi Mataram tidak di tangan Satria Lonceng Dewa yang bernama Mimba Purana itu. Tapi berada di atas pundakku. Aku tidak malu mengatakan bahwa aku dan semua orang pandai di negeri ini tidak sanggup menumpas mahluk-mahluk jahat itu. Sesuai petunjuk Para Dewa itu sebabnya kami mendatangkanmu ke sini guna dimintakan bantuan. Kuharap kau tidak merasa menyesal atas semua kejadian yang tidak terduga ini.
Kami minta maaf…”
“Yang Mulia, saat ini saya lebih mementingkan mencari guru saya lebih dulu! Jika memang beliau masih hidup bagaimana dan dimana keberadaannya. Kalau sudah menemui ajal maka kewajiban bagi saya mengubur jenazahnya secara layak. Guru saya sebagai manusia bisa saja bersifat dan bertindak jahat. Tapi sebagai seorang murid saya tetap punya kewajiban untuk mengurus jenazahnya. Kalau memang dia masih hidup…”
Habis berkata begitu Wiro melompat ke tempat Ni Gatri tergeletak. Dengan mendukung anak perempuan ini di bahu kirinya dia tinggalkan tempat itu.
Anjing kecil yang kelahirannya ditolong oleh Raja Mataram menyalak panjang lalu melompat ke bahu kanan Pendekar 212,
Raja Mataram terkesiap.
Ratu Randang berteriak sambil coba mengejar.
“Wirol Tunggu!”
Namun sekali berkelebat sang pendekar sudah lenyap di kegelapan lereng timur Bukit Batu Hangus bersama Ni Gatri dan anjing kecil berbulu hitam anak Sri Padmi Kameswari!
“Dewa Agung, bagaimana ini?!” Ratu Randang tampak bingung. Rakai Kayuwangi masih tertegun di tempatnya berdiri.
Ratu Randang lalu keluarkan batu putih segi tiga yang diberikan Wiro padanya. Maksudnya segera hendak diserahkan pada Raja Mataram. Namun Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala berkata.
“Aku tidak memerlukan batu itu lagi. Simpan saja.
Mungkin lebih berarti jika kau yang Memiliki…”
Paras Ratu Randang agak berubah. Dalam hati dia menduga-duga jangan- jangan sang Raja sudah maklum bagaimana hubungannya dengan Pendekar 212 walau baru mengenal belum satu harian!
“Aku yakin pemuda tadi adalah Kesatria Panggilan yang asli. Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng yang berasal dari negeri delapan ratus tahun mendatang.
Sekarang tugasmu adalah mengejar pendekar itu sampai dapat. Jangan berani kembali sebelum kau berhasil mendapatkannya! Dari sikap dan gerak-gerik kalian berdua aku bisa menduga kalau kalian saling menyukai satu sama lain…”
Paras Ratu Randang tampak bersemu merah. Dia tidak ingin Raja Mataram ini bicara lebih banyak lagi tentang dirinya dan Wiro. Maka buru-buru dia berkata.
“Yang Mulia, sesuai perintah saya pergi sekarang.”
“Tunggu. Ada satu hal yang aku ingin tanyakan.
Waktu meninggalkan Kotaraja sebelum bencana Malam Jahanam terjadi, kau mengatakan akan pergi menemui Arwah Ketua di Candi Miring. Apakah kau telah menemuinya?”
“Saya mohon maafmu Yang Mulia. Saya memang belum menemui Arwah Ketua. Saya melakukan satu hal lain yang menurut hemat saya lebih penting. Maafkan kalau saya melangkahi Yang Mulia dan bertindak seorang diri. Saya menjalin hubungan dengan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Saya berhasil membuat dia tertarik dan berpura pura berkhianat pada Yang Mulia. Bersama Raja Dukun Batu Berlumut saya ditugaskan untuk menghadang dan membunuh Kesatria Panggilan. Kemudian tidak terduga saya menemui Kesatria Panggilan selagi dikeroyok oleh Seratus Jin Perut Bumi. Kalau tidak salah saya menghitung dia berhasil membunuh sekitar dua puluh Jin Perut Bumi. Saat saya datang Kesatria Panggilan telah dililit Jin Ketua dengan lidah panjangnya…”
“Ketika aku tersentuh lidah itu, tubuhku seperti terpanggang. Cairan yang di lidah mengandung racun.
Nyawaku hampir melayang kalau tidak ditolong oleh Satria Lonceng Dewa Mimba Purana. Kesatria Panggilan sendiri tidak mengalami cidera? Tidak keracunan?”
“Tidak Yang Mulia. Saya rasa dia memiliki darah kebal racun atau ada ilmu kesaktian yang membendung hawa panas serta racun lidah…”
“Senjata mustika sakti yang konon ada di dalam tubuhnya. Aku rasa senjata itu yang menyelamatkan dirinya.” Kata Raja Mataram pula, Raru Randang lanjutkan ceritanya.
“Saya memerintahkan Jin Ketua untuk tidak membunuh Kesatria Panggilan. Jin Ketua menurut dan tampak takut. Mungkin karena mengetahui kalau saya adalah kekasih Sinuhun Merah. Hik…hik … hik! Saya sendiri kemudian berhasil menghabisi Raja Dukun Batu Berlumut.”
“Aku akan menceritakan pada para tokoh yang ada di sini kalau Raja Dukun Batu Berlumut telah terbunuh.
Mudah-mudahan kematiannya akan mengurangi kekuatan sirap ilmu hitamnya. Sekarang pergilah. Waktu kita semakin sempit. Tak lama lagi fajar akan menyingsing.”
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala melangkah mendekati Ratu Randang. Dia memperhatikan sejenak noda darah di lari-jari perempuan ini. Yaitu darah Pendekar 212 Wiro Sableng yang menempel di tangannya ketika dia menyeka darah itu dari wajah Wiro.
“Ratu, tidak sulit bagimu untuk mencari dan mengejar Kesatria Panggilan. Darahnya masih melekat di tanganmu. Lebih mudah bagimu menjajagi kemana dia pergi. Bukankah kau memiliki ilmu pencari jejak bernama Kaki Mengejar tangan Mencekal”
“Saya tidak akan mempergunakan ilmu itu Yang Mulia.” Menyahuti RatuRandang.
Raja Mataram kerenyitkan kening, tampak heran.
“Lalu? Apa yang akan kau lakukan?” Tanya Rakai Kayuwangi pula.
“Saya akan pergunakan ilmu Tanpa Mata Mengandalkan Penciuman.” Jawab Ratu Randang.
“Astaga! Bukankah itu ilmu kesaktian yang dimiliki mahluk Sinuhun Merah Penghisap Arwah?” Raja bertanya heran dari tidak percaya.
Ratu Randang tersenyum.
“Saya berhasil menyiasati Sinuhun goblok itu. Dia memberikan ilmu itu pada saya.”
Raja pegang keningnya, Dia ingat sesuatu.
“Kalau begitu, sewaktu masih di Istana kau memperlihatkan tanda dun telapak tangan berjari empat di dadamu. Berarti …”
“Itu pertanda dari Sinuhun Merah bahwa dia sangat menantikan kedatanganku”
“Ratu, kau benar-benar luar biasa. Tapi kalau Sinuhun memberikan ilmu kesaktiannya padamu lalu kau memberikan apa padanya?”
“Bangkai anjing! Hik … hik … hik!” Jawab Ratu Randang lalu tertawa panjang cekikikan. Perempuan ini dekatkan tanganya yang bernoda darah Pendekar 212 ke hidung lalu pejamkan mata dan mencium dalam-dalam.
Sekali berkelebat sosok Ratu Randang lenyap kearah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Raja Mataram menarik nafas Panjang. Dia menatap ke arah rembulan setengah lingkaran di langit malam yang semakin mendekati ujungnya. Perlahan-lahan mulutnya berucap.
“Ananda Kesatria Lonceng Dewa, saya merasa sangat perlu bertemu dengan Ananda. Rencana yang tengah dijalankan mendadak menyimpang dari yang diharapkan. Saya benar-benar kawatir ……”
Baru saja Raja Mataram selesai berucap tiba-tiba ada suara mengiang di kedua telinganya. Suara anak kecil laki-laki.
“Yang Mulia Raja Mataram. Jangan ada kekawatiran dalam diri Yang Mulia. Berdoalah bersama semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus. Yang Maha Kuasa pasti akan menolong kita semua.”
“Terima kasih Ananda. Ada satu hal yang terasa mengganjal di hati saya,..”
“Hal apakah itu Yang Mulia?” Tanya suara mengiang.
“Apakah … apakah Ananda mendengar semua ucapan Kesatria Panggilan yang tadi berada di bukit ini?”
“Saya mendengar semua Yang Mulia.”
“Saya mohon maafmu. Mungkin pemuda itu bicara terlalu lancang mengenai diri Ananda. Saya harap Ananda tidak marah.”
Suara mengiang terdengar tertawa.
“Kemarahan jauh dari dalam diri saya wahai Yang Mulia. Mudah-mudahan begitu seterusnya. Justru saya suka pada pemuda itu. Dia bicara polos pertanda hatinya putih. Dia bicara apa adanya, tidak ada yang dikarang tidak ada pula yang disembunyikan. Kita tidak salah memilihnya untuk datang ke Bhumi Mataram. Saya akan menemui Kesatria Panggilan melalui seseorang. Kalau kelak nanti Yang Mulia bertemu lagi dengan Kesatria Panggilan, Yang Mulia tidak perlu meminta pertolongan Kakek Kumara Gandamayana sebagai perantara untuk masuk ke dalam tubuh anak perempuan bernama Ni Gatri.”
“Ananda Mimba Purana, saya merasa sangat lega mendengar semua kata-kata Ananda.”
“Yang Maha Kuasa menciptakan langit, daratan dan lautan begitu luas. Penuh kelegaan. Mengapa kita umat manusia yang diciptakannya tidak bisa berhati lega?”
“Terima kasih Ananda. Terima kasih… Mengenai Kakek Kumara Gandamayana, apakah Ananda mengetahui dimana keberadaannya?”
“Orang yang ditanyakan telah berada di samping Yang Mulia”, Jawab suara mengiang.
Ada suara terpaan angin. Raja Mataram berpaling ke kiri. Betul seperti yang dikatakan suara mengiang. Saat itu di samping Rakai Kayuwangi telah berdiri kakek bersorban dan berjubah kelabu Kumara Gandamayana.
Orang tua ini tersenyum sedikit lalu membungkuk.
“Maafkan kalau saya datang terlambat wahai Yang Mulia. Satria Lonceng Dewa meminta saya mengantarkan gadis dari alam delapan ratus tahun itu ke satu tempat.” Raja terkejut.
“Maksud Kakek gadis bernama Sinto Weni itu?”
“Betul sekali Yang Mulia.”
“Berarti waktu tadi cahaya kuning turun dari langit, Kakek menyertai Satria Lonceng Dewa?”
Kumara Gandamayana mengangguk.
“Kalau begitu sekarang berada dimana gadis itu?” Tanya Raja Mataram pula.
“Mohon maafmu Yang Mulia. Satria Lonceng Dewa berpesan untuk sementara jangan memberi tahu kepada siapapun.”
Rakai Kayuwangi terdiam. Meski hatinya kurang enak mendengar ucapan Kumara Gandamayana namun dengan tersenyum dia berkata.
“Saya Raja Mataram, apa Kakek tidak menaruh rasa percaya, pada, diriku? Kita menghadapi malapetaka ini secara bersama, Mengapa ada sesuatu yang disembunyikan … ?”
Si kakek membungkuk dalam-dalam.
“Mohon maaf Yang Mulia beribu maaf. Saya hanya melakukan apa yang dipesankan Satria Lonceng Dewa.
Tapi terhadap Sri Maharaja mana saya berani menolak permintaan. Gadis cantik bernama Sinto Weni, guru Kesatria panggilan itu berada di…” Lalu Kumara Gandamayana menyebutkan nama satu tempat.
Raja Mataram anggukkan kepala. “Kakek Kumara, mari kita temui para sahabat di atas bukit sana.”
Ketika hendak melangkah pergi Raja Mataram mencium sesuatu. Dia bertanya pada kakek di sebelahnya.
“Kakek Kumara, apa kau barusan mencium bau harum …. ?”
Kumara Gandamayana dongakkan kepala, hirup udara malam dalam-dalam lalu gelengkan kepala.
“Saya tidak mencium bau apa-apa, Yang Mulia.” Raja Mataram memandang berkeliling.
Memperhatikan terutama bagian-bagian lereng bukit yang gelap. Kedua orang itu kemudian melanjutkan melangkah mendaki lereng bukit.
Di balik satu batu besar tak jauh dari tempat dimana Raja dan pembantunya tadi bercakap-cakap, seseorang yang sejak tadi mendekam bersembunyi sunggingkan senyum. Mulut berucap perlahan.
“Mahluk dun nyawa kembar Sinuhun Muda Sinuhun Merah. Aku tahu dimana nenek perot yang kalian lihat sebagai gadis cantik itu berada. Jika kalian mau bersahabat dan menurut apa mauku, aku akan beritahu tempatnya. Tapi kalau tidak silahkan cari sendiri. Dan sampai kiamat kalian tidak bakal menemukan!” Lalu dengan gerakan cepat tanpa suara orang ini segera berkelebat pergi.
Tangan kanan yang sudah dialiri tenaga dalam dan hawa sakti Pukulan Sinar Matahari siap dihantamkan ke arah orang yang barusan memegang bahunya.
“Wiro! Ini aku! Kau mau membunuhku?!”
Ratu Randang berteriak sambil cepat pergunakan ke dua tangan mencekal lengan kanan Wiro. Namun begitu menyentuh lengan sang pendekar perempuan ini menjerit keras sambil kibas-kibaskan kedua tangannya. Dia laksana memegang sepotong besi panas! Kawatir Wiro akan tetap melepas pukulan sakti, dalam menahan sakit Ratu Randang ganti merangkul pinggang sang pendekar lalu jatuhkan diri ke tanah. Keduanya bergulingan sebentar di lereng bukit sebelum tertahan oleh satu gundukan batu besar.
Wiro berusaha lepaskan diri dari rangkulan Ratu Randang.
“Wiro! Kau mau melakukan apa?!”
“Kalian orang-orang Mataram telah membunuh guruku Eyang Sinto Gendeng!”
Sepasang mata Pendekar 212 membeliak tak berkesip, berkilat kilat laksana dikobari api. Rahang menggembung. Wiro jadi tambah beringas ketika Sri Maharaja Mataram mendatangi dan berdiri di sampingnya.
“Wiro, dengar aku!” Kata Ratu Randang pula sambil menyeka noda darah di sudut bibir dan dagu Wiro. “Tidak ada yang membunuh gurumu! Gurumu tidak mati!”
“Tidak mati?! Mayatnya memang tidak ada! Karena pasti sudah hancur lebur jadi bubuk dihajar sekian banyak pukulan sakti ditambah dua larik cahaya biru yang berbalik menghantam dirinya sendiri.”
“Tidak Wiro. Percaya apa yang aku katakan. Gurumu sekarang pasti berada di satu tempat aman.
Telah diselamatkan oleh Satria Lonceng Dewa Mimba Purana, anak keramat pilihan Para Dewa.” (Mengenai siapa adanya Mimba Purana harap baca serial Satria Lonceng Dewa, Pendekar Bhumi Mataram karangan Bastian Tito)
Pendekar 212 menyeringai.
“Anak keramat pilihan Para Dewa? Aneh kedengarannya. Apakah anak itu yang pernah masuk ke dalam tubuh Ni Gatri dan bicara padaku sewaktu aku tidak mau mengambil batu putih segi tiga dari tangan Mayat Aneh Keempat … ?” (Baca serial sebelumnya Roh Jemputan”)
“Aku mendengar kejadian itu dari Raja Dukun …. “ kata Ratu Randang pula. Diam-diam dia merasa lega karena amarah Wiro kini tampak mengendur dan cahaya putih perak yang membungkus tangan kanan sang pendekar perlahan lahan sirna.
“Kalau di Bhumi Mataram ini memang ada anak keramat yang punya kesaktian hebat, mengapa aku jauhjauh harus didatangkan ke sini? Suruh saja anak keramat itu menghabisi semua mahluk jahat terkutuk yang ada di Bhumi Mataram ini! Yang katanya telah menimbulkan bencana Malam Jahanam! Air banjir merah busuk!
Demam panas! Benjolan …. apa lagi?!”
Sri Maharaja Mataram dan Ratu Randang saling pandang mendengar ucapan Wiro.
“Kesatria Panggilan. Ketahuilah, Satria Lonceng Dewa punya pantangan. Anak keramat itu tidak boleh membunuh mahluk bernyawa. Binatang ataupun manusia…!”
Wiro berdiri, memandang Raja Mataram dan Ratu Randang sejenak lalu sambil tertawa dia berkata.
“Di negeri ini rupanya ada hukum aneh. Seseorang boleh mencelakai bahkan membunuh puluhan sampai ratusan rakyat Mataram. Tapi yang namanya anak keramat yang konon sakti hanya berpangku tangan membiarkan semua itu terjadi dengan berucap : Jangan membuat sejuta alasan untuk menghalalkan kematian seorang insan! Jika itu hukum yang berlaku di negeri ini sampai kiamat mahluk- mahluk jahat akan terus menebar malapetaka seenaknya! Tak ada rasa takut. Soalnya pembunuhan sudah seperti dihalalkan!”
Ratu Randang sampai pucat wajahnya mendengar kata-kata Wiro. Raja Mataram cepat-cepat berkata.
“Kesatria Panggilan. Jangan kau salah menduga.
Tanggung jawab semua kejadian yang ada di Bhumi Mataram tidak di tangan Satria Lonceng Dewa yang bernama Mimba Purana itu. Tapi berada di atas pundakku. Aku tidak malu mengatakan bahwa aku dan semua orang pandai di negeri ini tidak sanggup menumpas mahluk-mahluk jahat itu. Sesuai petunjuk Para Dewa itu sebabnya kami mendatangkanmu ke sini guna dimintakan bantuan. Kuharap kau tidak merasa menyesal atas semua kejadian yang tidak terduga ini.
Kami minta maaf…”
“Yang Mulia, saat ini saya lebih mementingkan mencari guru saya lebih dulu! Jika memang beliau masih hidup bagaimana dan dimana keberadaannya. Kalau sudah menemui ajal maka kewajiban bagi saya mengubur jenazahnya secara layak. Guru saya sebagai manusia bisa saja bersifat dan bertindak jahat. Tapi sebagai seorang murid saya tetap punya kewajiban untuk mengurus jenazahnya. Kalau memang dia masih hidup…”
Habis berkata begitu Wiro melompat ke tempat Ni Gatri tergeletak. Dengan mendukung anak perempuan ini di bahu kirinya dia tinggalkan tempat itu.
Anjing kecil yang kelahirannya ditolong oleh Raja Mataram menyalak panjang lalu melompat ke bahu kanan Pendekar 212,
Raja Mataram terkesiap.
Ratu Randang berteriak sambil coba mengejar.
“Wirol Tunggu!”
Namun sekali berkelebat sang pendekar sudah lenyap di kegelapan lereng timur Bukit Batu Hangus bersama Ni Gatri dan anjing kecil berbulu hitam anak Sri Padmi Kameswari!
“Dewa Agung, bagaimana ini?!” Ratu Randang tampak bingung. Rakai Kayuwangi masih tertegun di tempatnya berdiri.
Ratu Randang lalu keluarkan batu putih segi tiga yang diberikan Wiro padanya. Maksudnya segera hendak diserahkan pada Raja Mataram. Namun Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala berkata.
“Aku tidak memerlukan batu itu lagi. Simpan saja.
Mungkin lebih berarti jika kau yang Memiliki…”
Paras Ratu Randang agak berubah. Dalam hati dia menduga-duga jangan- jangan sang Raja sudah maklum bagaimana hubungannya dengan Pendekar 212 walau baru mengenal belum satu harian!
“Aku yakin pemuda tadi adalah Kesatria Panggilan yang asli. Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng yang berasal dari negeri delapan ratus tahun mendatang.
Sekarang tugasmu adalah mengejar pendekar itu sampai dapat. Jangan berani kembali sebelum kau berhasil mendapatkannya! Dari sikap dan gerak-gerik kalian berdua aku bisa menduga kalau kalian saling menyukai satu sama lain…”
Paras Ratu Randang tampak bersemu merah. Dia tidak ingin Raja Mataram ini bicara lebih banyak lagi tentang dirinya dan Wiro. Maka buru-buru dia berkata.
“Yang Mulia, sesuai perintah saya pergi sekarang.”
“Tunggu. Ada satu hal yang aku ingin tanyakan.
Waktu meninggalkan Kotaraja sebelum bencana Malam Jahanam terjadi, kau mengatakan akan pergi menemui Arwah Ketua di Candi Miring. Apakah kau telah menemuinya?”
“Saya mohon maafmu Yang Mulia. Saya memang belum menemui Arwah Ketua. Saya melakukan satu hal lain yang menurut hemat saya lebih penting. Maafkan kalau saya melangkahi Yang Mulia dan bertindak seorang diri. Saya menjalin hubungan dengan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Saya berhasil membuat dia tertarik dan berpura pura berkhianat pada Yang Mulia. Bersama Raja Dukun Batu Berlumut saya ditugaskan untuk menghadang dan membunuh Kesatria Panggilan. Kemudian tidak terduga saya menemui Kesatria Panggilan selagi dikeroyok oleh Seratus Jin Perut Bumi. Kalau tidak salah saya menghitung dia berhasil membunuh sekitar dua puluh Jin Perut Bumi. Saat saya datang Kesatria Panggilan telah dililit Jin Ketua dengan lidah panjangnya…”
“Ketika aku tersentuh lidah itu, tubuhku seperti terpanggang. Cairan yang di lidah mengandung racun.
Nyawaku hampir melayang kalau tidak ditolong oleh Satria Lonceng Dewa Mimba Purana. Kesatria Panggilan sendiri tidak mengalami cidera? Tidak keracunan?”
“Tidak Yang Mulia. Saya rasa dia memiliki darah kebal racun atau ada ilmu kesaktian yang membendung hawa panas serta racun lidah…”
“Senjata mustika sakti yang konon ada di dalam tubuhnya. Aku rasa senjata itu yang menyelamatkan dirinya.” Kata Raja Mataram pula, Raru Randang lanjutkan ceritanya.
“Saya memerintahkan Jin Ketua untuk tidak membunuh Kesatria Panggilan. Jin Ketua menurut dan tampak takut. Mungkin karena mengetahui kalau saya adalah kekasih Sinuhun Merah. Hik…hik … hik! Saya sendiri kemudian berhasil menghabisi Raja Dukun Batu Berlumut.”
“Aku akan menceritakan pada para tokoh yang ada di sini kalau Raja Dukun Batu Berlumut telah terbunuh.
Mudah-mudahan kematiannya akan mengurangi kekuatan sirap ilmu hitamnya. Sekarang pergilah. Waktu kita semakin sempit. Tak lama lagi fajar akan menyingsing.”
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala melangkah mendekati Ratu Randang. Dia memperhatikan sejenak noda darah di lari-jari perempuan ini. Yaitu darah Pendekar 212 Wiro Sableng yang menempel di tangannya ketika dia menyeka darah itu dari wajah Wiro.
“Ratu, tidak sulit bagimu untuk mencari dan mengejar Kesatria Panggilan. Darahnya masih melekat di tanganmu. Lebih mudah bagimu menjajagi kemana dia pergi. Bukankah kau memiliki ilmu pencari jejak bernama Kaki Mengejar tangan Mencekal”
“Saya tidak akan mempergunakan ilmu itu Yang Mulia.” Menyahuti RatuRandang.
Raja Mataram kerenyitkan kening, tampak heran.
“Lalu? Apa yang akan kau lakukan?” Tanya Rakai Kayuwangi pula.
“Saya akan pergunakan ilmu Tanpa Mata Mengandalkan Penciuman.” Jawab Ratu Randang.
“Astaga! Bukankah itu ilmu kesaktian yang dimiliki mahluk Sinuhun Merah Penghisap Arwah?” Raja bertanya heran dari tidak percaya.
Ratu Randang tersenyum.
“Saya berhasil menyiasati Sinuhun goblok itu. Dia memberikan ilmu itu pada saya.”
Raja pegang keningnya, Dia ingat sesuatu.
“Kalau begitu, sewaktu masih di Istana kau memperlihatkan tanda dun telapak tangan berjari empat di dadamu. Berarti …”
“Itu pertanda dari Sinuhun Merah bahwa dia sangat menantikan kedatanganku”
“Ratu, kau benar-benar luar biasa. Tapi kalau Sinuhun memberikan ilmu kesaktiannya padamu lalu kau memberikan apa padanya?”
“Bangkai anjing! Hik … hik … hik!” Jawab Ratu Randang lalu tertawa panjang cekikikan. Perempuan ini dekatkan tanganya yang bernoda darah Pendekar 212 ke hidung lalu pejamkan mata dan mencium dalam-dalam.
Sekali berkelebat sosok Ratu Randang lenyap kearah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Raja Mataram menarik nafas Panjang. Dia menatap ke arah rembulan setengah lingkaran di langit malam yang semakin mendekati ujungnya. Perlahan-lahan mulutnya berucap.
“Ananda Kesatria Lonceng Dewa, saya merasa sangat perlu bertemu dengan Ananda. Rencana yang tengah dijalankan mendadak menyimpang dari yang diharapkan. Saya benar-benar kawatir ……”
Baru saja Raja Mataram selesai berucap tiba-tiba ada suara mengiang di kedua telinganya. Suara anak kecil laki-laki.
“Yang Mulia Raja Mataram. Jangan ada kekawatiran dalam diri Yang Mulia. Berdoalah bersama semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus. Yang Maha Kuasa pasti akan menolong kita semua.”
“Terima kasih Ananda. Ada satu hal yang terasa mengganjal di hati saya,..”
“Hal apakah itu Yang Mulia?” Tanya suara mengiang.
“Apakah … apakah Ananda mendengar semua ucapan Kesatria Panggilan yang tadi berada di bukit ini?”
“Saya mendengar semua Yang Mulia.”
“Saya mohon maafmu. Mungkin pemuda itu bicara terlalu lancang mengenai diri Ananda. Saya harap Ananda tidak marah.”
Suara mengiang terdengar tertawa.
“Kemarahan jauh dari dalam diri saya wahai Yang Mulia. Mudah-mudahan begitu seterusnya. Justru saya suka pada pemuda itu. Dia bicara polos pertanda hatinya putih. Dia bicara apa adanya, tidak ada yang dikarang tidak ada pula yang disembunyikan. Kita tidak salah memilihnya untuk datang ke Bhumi Mataram. Saya akan menemui Kesatria Panggilan melalui seseorang. Kalau kelak nanti Yang Mulia bertemu lagi dengan Kesatria Panggilan, Yang Mulia tidak perlu meminta pertolongan Kakek Kumara Gandamayana sebagai perantara untuk masuk ke dalam tubuh anak perempuan bernama Ni Gatri.”
“Ananda Mimba Purana, saya merasa sangat lega mendengar semua kata-kata Ananda.”
“Yang Maha Kuasa menciptakan langit, daratan dan lautan begitu luas. Penuh kelegaan. Mengapa kita umat manusia yang diciptakannya tidak bisa berhati lega?”
“Terima kasih Ananda. Terima kasih… Mengenai Kakek Kumara Gandamayana, apakah Ananda mengetahui dimana keberadaannya?”
“Orang yang ditanyakan telah berada di samping Yang Mulia”, Jawab suara mengiang.
Ada suara terpaan angin. Raja Mataram berpaling ke kiri. Betul seperti yang dikatakan suara mengiang. Saat itu di samping Rakai Kayuwangi telah berdiri kakek bersorban dan berjubah kelabu Kumara Gandamayana.
Orang tua ini tersenyum sedikit lalu membungkuk.
“Maafkan kalau saya datang terlambat wahai Yang Mulia. Satria Lonceng Dewa meminta saya mengantarkan gadis dari alam delapan ratus tahun itu ke satu tempat.” Raja terkejut.
“Maksud Kakek gadis bernama Sinto Weni itu?”
“Betul sekali Yang Mulia.”
“Berarti waktu tadi cahaya kuning turun dari langit, Kakek menyertai Satria Lonceng Dewa?”
Kumara Gandamayana mengangguk.
“Kalau begitu sekarang berada dimana gadis itu?” Tanya Raja Mataram pula.
“Mohon maafmu Yang Mulia. Satria Lonceng Dewa berpesan untuk sementara jangan memberi tahu kepada siapapun.”
Rakai Kayuwangi terdiam. Meski hatinya kurang enak mendengar ucapan Kumara Gandamayana namun dengan tersenyum dia berkata.
“Saya Raja Mataram, apa Kakek tidak menaruh rasa percaya, pada, diriku? Kita menghadapi malapetaka ini secara bersama, Mengapa ada sesuatu yang disembunyikan … ?”
Si kakek membungkuk dalam-dalam.
“Mohon maaf Yang Mulia beribu maaf. Saya hanya melakukan apa yang dipesankan Satria Lonceng Dewa.
Tapi terhadap Sri Maharaja mana saya berani menolak permintaan. Gadis cantik bernama Sinto Weni, guru Kesatria panggilan itu berada di…” Lalu Kumara Gandamayana menyebutkan nama satu tempat.
Raja Mataram anggukkan kepala. “Kakek Kumara, mari kita temui para sahabat di atas bukit sana.”
Ketika hendak melangkah pergi Raja Mataram mencium sesuatu. Dia bertanya pada kakek di sebelahnya.
“Kakek Kumara, apa kau barusan mencium bau harum …. ?”
Kumara Gandamayana dongakkan kepala, hirup udara malam dalam-dalam lalu gelengkan kepala.
“Saya tidak mencium bau apa-apa, Yang Mulia.” Raja Mataram memandang berkeliling.
Memperhatikan terutama bagian-bagian lereng bukit yang gelap. Kedua orang itu kemudian melanjutkan melangkah mendaki lereng bukit.
Di balik satu batu besar tak jauh dari tempat dimana Raja dan pembantunya tadi bercakap-cakap, seseorang yang sejak tadi mendekam bersembunyi sunggingkan senyum. Mulut berucap perlahan.
“Mahluk dun nyawa kembar Sinuhun Muda Sinuhun Merah. Aku tahu dimana nenek perot yang kalian lihat sebagai gadis cantik itu berada. Jika kalian mau bersahabat dan menurut apa mauku, aku akan beritahu tempatnya. Tapi kalau tidak silahkan cari sendiri. Dan sampai kiamat kalian tidak bakal menemukan!” Lalu dengan gerakan cepat tanpa suara orang ini segera berkelebat pergi.
9
SETELAH cukup lama berlari Wiro menyadari kalau dia lari tanpa tujuan mau pergi kemana.
Sang pendekar hentikan langkah.
Anjing kecil di bahu kanan menyalak perlahan. Sosok Ni Gatri di bahu kiri terasa hangat tapi diam tak bergerak.
Memandang berkeliling Wiro dapatkan dirinya berada dalam satu rimba belantara kecil yang cukup rapat pepohonannya. Hampir semua kulit pohon di sekitar situ tampak berwarna hijau, diselimuti lumut. Di sebelah kanan, tanah hutan kelihatan mendaki membentuk bukit dan dipenuhi batu-batu besar yang juga berwarna hijau karena tertutup lumut.
“Agaknya hutan ini jarang dimasuki orang. Perasaanku tidak enak. Janganjangan aku sudah kesasar. Aku harus segera keluar dari sini.”
Agar tidak tersesat Wiro balik ke arah jalan yang ditempuh sebelumnya. Namun sampai tiga kali dicoba kembali lagi ke tempat semula, di bawah bukit kecil yang banyak batunya.
“Celaka, aku benar-benar tersesat. Hutan aneh….”
Tiba-tiba anak anjing di bahu kanan Wiro menyalak keras berulang kali. Wiro Usap punggung binatang ini.
Tapi anjing berbulu hitam masih terus menyalak.
“Sobat kecil. Kau mau-mauan ikut bersamaku. Ada apa, kau melihat sesuatu saat ini?”
Anjing kecil menggereng halus, jilat bahu pakaian Wiro lalu melompat turun ke tanah. Saat itulah Wiro melihat kalau sebagian dari tanah digenangi cairan merah.
“Malapetaka Malam Jahanam rupanya sampai juga ke sini. Tapi tidak seperti di tempat lain, cairan merah di sini tidak menebar bau busuk.”
Anjing kecil menyalak sekali lagi lalu lari ke arah bukit berbatu-batu.
“Hai! Kau mau kemana! Kalau kau tersesat aku tidak akan mencarimu!”
Seperti tahu kalau orang bicara padanya, anak anjing berhenti berlari. Dia memandang pada Wiro, menyalak sebentar lalu lari lag1 ke atas bukit.
“Mungkin binatang itu tahu jalan keluar dari hutan ini.
Baiknya aku ikuti saja.” Kata Wiro dalam hati.
Ketika Wiro mencapai pertengahan bukit tiba-tiba telinganya menangkap suara perempuan menangis, tidak terlalu keras tapi cukup jelas dan berhiba-hiba. Wiro hentikan langkah. Perasaan yang sejak tadi tidak enak kini berkembang menjadi perasaan bargidik!.
“Perempuan menangis di dalam rimba belantara. Di malam buta menjelang pagi. Jangan-jangan hutan ini dihuni demit perempuan.” Berpikir sampai di situ Wiro memutuskan untuk kembali turun ke kaki bukit. Namun anak anjing malah terus lari ke atas bukit yang bebatuannya semakin banyak dan tambah besar-besar.
Wiro keluarkan suara bersiul. Anjing hitam berhenti, menoleh sebentar, menatap ke arah sang pendekar. Wiro cepat lambaikan tangan memberi tanda agar binatang itu turun dari pertengahan bukit. Namun anjing hitam malah membalikkan badan dan kembali lari ke atas bukit.
“Anjing kecil! Kalau kau mau naik ke atas bukit silahkan saja. Aku memilih turun kembali! Aku harus mencari pertolongan untuk anak perempuan ini!” Wiro berkata lalu balikkan badan, siap menuruni bukit ke arah tadi dia datang. Mendadak di atas bukit, di antara suara tangisan perempuan kini terdengar suara ratapan sedih.
“Wahai insan kepada siapa aku berharap. Langkah lurusmu telah benar. Mengapa mendadak berbalik arah?
Dua Puluh satu hari tersiksa di atas bukit dalam hutan larangan. Ketika sebutir harapan dan setetes budi muncul berharap akan datangnya cahaya pertolongan, mengapa harapan kau pupus begitu saja? Padahal setiap budi ada balasannya. Setiap kebajikan ada pahalanya. Aku telah berkaul siapa saja yang menolong diriku. Jika dia seorang perempuan ….”
Anak anjing hitam tiba-tiba menyalak panjang. Begitu kerasnya hingga Wiro tidak mendengar kelanjutan suara perempuan yang meratap di antara tangisnya. Lalu suara itu kembali berulang. Wahai insan kepada siapa aku berharap …”
Wiro usap punggung dan membelai rambut Ni Gatri.
Dia memandang ke atas bukit. Ke arah batu-batu besar berlapis lumut hijau. Anjing kecil hitam tak kelihatan lagi.
“Hutan larangan …. Perempuan yang menangis menyebut hutan ini hutan larangan. Jangan-jangan dia demit atau jin perempuan yang hendak menjebakku. Atau bisa saja kaki tangan atau ujud samaran mahluk celaka bernama Sinuhun Muda atau Sinuhun Merah Penghisap Arwah!”
Wiro merenung berpikir pikir sejenak. Lalu berbisik ke telinga Ni Gatri karena dia tahu walau dalam keadaan kaku tak mampu bergerak anak itu masih tetap bisa mendengar.
“Ni Gatri, kita tidak akan lama. Kita sudah kepalang tersesat. Ada baiknya kita naik ke atas bukit sebentar.
Melihat siapa perempuan yang barusan bicara. Yang jelas dari suaranya dia bukan guruku Eyang Sinto Gendeng yang menurut penglihatan orang di sini telah berubah menjadi seorang gadis cantik berdandan celemongan!”
Setelah berucap, Wiro tepuk-tepuk punggung Ni Gatri lalu lari ke atas bukit. Dia sengaja kerahkan ilmu lari serta terapkan ilmu meringankan tubuh. Laksana terbang dia melompat dari satu batu ke batu lainnya yang licin berlumut. Tak selang berapa lama Wiro telah berada di atas bukit, berdiri di atas satu batu besar yang paling tinggi dari batu-batu lain di sekitarnya.
Cahaya rembulan setengah lingkaran lumayan terang, Ketika dia memandang ke bawah Wiro melihat sepetak tanah rata. Di tengah tanah rata anjing kecil hitam tampak menggeser-geserkan tubuh pada sebuah batu besar sambil terus-terusan menyalak.
Wiro melompat turun. Begitu dua kaki menginjak tanah dan dia berdiri di sisi lain dari batu besar, kejut murid Sinto Gendeng bukan alang kepalang! Di samping batu, tergeletak sosok seorang gadis yang rambut panjang hitamnya tergerai lepas menutupi tanah.
Sepasang mata tertutup. Dua tangan terkembang ke samping tiada daya. Walau wajah pucat namun kecantikan yang dimilikinya jelas kentara dibawah temaram cahaya rembulan. Di pelipis dan pipi yang kotor terlihat alur air mata. Bibir tampak hijau. Yang membuat Wiro terkesiap adalah ketika menyaksikan bagaimana tubuh gadis itu mulai dari pinggang ke bawah tenggelam dan terhimpit di bawah sebuah batu sangat besar dan berlumut tebal!
Mengetahui ada seseorang berdiri di dekatnya, gadis yang tergeletak di tanah dan ternyata dalam keadaan siuman keluarkan ucapan.
“Terima kasih Yang Maha Kuasa. Terima kasih Dewa Bathara Agung. Setelah dua puluh satu hari tersiksa begini rupa, akhirnya Kau mengirimkan seorang insan ke tempat ini. Tempat yang tidak pernah didatangi dan dijamah manusia. Wahai insan yang datang. Aku juga sangat berterima kasih padamu. Juga pada anjing yang menuntun jalan dan datang bersamamu. Di atas semua kesengsaraan ini aku mohon, tolong singkirkan batu besar yang menghimpit tubuhku dari pinggang ke bawah.
Semoga Yang Maha Kuasa memberi kekuatan dan kemampuan serta berkat atas dirimu…”
Walau tak habis pikir bagaimana bisa ada kejadian yang seperti ini namun Wiro cepat turunkan tubuh Ni Gatri dari bahu dan dibaringkan di atas sebuah batu.
Meskipun kedua niatanya terpejam namun gadis yang terjepit di bawah batu seperti mengetahui lalu berkata.
“Wahai insan, kau membawa satu beban dalam perjalanan. Agaknya ada satu perkara besar yang tengah kau hadapi. Sungguh budimu luhur sekali, masih mau memberi perhatian pada nasib diriku.”
Wire berdiri di depan batu besar, menggaruk kepala berulang kali, mengelilingi batu satu kali lalu kembali berdiri meneliti. Batu dipukul-pukul. Perkiraannya paling tidak batu besar berlumut itu memiliki bobot seribu kati.
Dia berpikir-pikir bagaimana cara menyingkirkan batu besar itu tanpa orang yang terjepit dibawahnya tambah mengalami cidera.
“Kalau aku dorong kawatir batu bergerak lamban.
Tubuh gadis yang terhimpit akan tambah hancur.
Kasihan, agaknya dia akan cacat seumur hidup.”
Wiro perhatikan bagian bawah batu besar. Berpikir lagi. “Kalau dihantam dengan pukulan sakti, salah-salah gadis dibawah batu tubuhnya akan ikut tercabik-cabik.”
Wiro garuk-garuk kepala lagi. Dia membungkuk, berusaha melihat bagian bawah batu. Dia tak dapat melihat tubuh sebelah bawah si gadis yang terhimpit karena sudah amblas masuk ke dalam tanah!
Sang pendekar hentikan langkah.
Anjing kecil di bahu kanan menyalak perlahan. Sosok Ni Gatri di bahu kiri terasa hangat tapi diam tak bergerak.
Memandang berkeliling Wiro dapatkan dirinya berada dalam satu rimba belantara kecil yang cukup rapat pepohonannya. Hampir semua kulit pohon di sekitar situ tampak berwarna hijau, diselimuti lumut. Di sebelah kanan, tanah hutan kelihatan mendaki membentuk bukit dan dipenuhi batu-batu besar yang juga berwarna hijau karena tertutup lumut.
“Agaknya hutan ini jarang dimasuki orang. Perasaanku tidak enak. Janganjangan aku sudah kesasar. Aku harus segera keluar dari sini.”
Agar tidak tersesat Wiro balik ke arah jalan yang ditempuh sebelumnya. Namun sampai tiga kali dicoba kembali lagi ke tempat semula, di bawah bukit kecil yang banyak batunya.
“Celaka, aku benar-benar tersesat. Hutan aneh….”
Tiba-tiba anak anjing di bahu kanan Wiro menyalak keras berulang kali. Wiro Usap punggung binatang ini.
Tapi anjing berbulu hitam masih terus menyalak.
“Sobat kecil. Kau mau-mauan ikut bersamaku. Ada apa, kau melihat sesuatu saat ini?”
Anjing kecil menggereng halus, jilat bahu pakaian Wiro lalu melompat turun ke tanah. Saat itulah Wiro melihat kalau sebagian dari tanah digenangi cairan merah.
“Malapetaka Malam Jahanam rupanya sampai juga ke sini. Tapi tidak seperti di tempat lain, cairan merah di sini tidak menebar bau busuk.”
Anjing kecil menyalak sekali lagi lalu lari ke arah bukit berbatu-batu.
“Hai! Kau mau kemana! Kalau kau tersesat aku tidak akan mencarimu!”
Seperti tahu kalau orang bicara padanya, anak anjing berhenti berlari. Dia memandang pada Wiro, menyalak sebentar lalu lari lag1 ke atas bukit.
“Mungkin binatang itu tahu jalan keluar dari hutan ini.
Baiknya aku ikuti saja.” Kata Wiro dalam hati.
Ketika Wiro mencapai pertengahan bukit tiba-tiba telinganya menangkap suara perempuan menangis, tidak terlalu keras tapi cukup jelas dan berhiba-hiba. Wiro hentikan langkah. Perasaan yang sejak tadi tidak enak kini berkembang menjadi perasaan bargidik!.
“Perempuan menangis di dalam rimba belantara. Di malam buta menjelang pagi. Jangan-jangan hutan ini dihuni demit perempuan.” Berpikir sampai di situ Wiro memutuskan untuk kembali turun ke kaki bukit. Namun anak anjing malah terus lari ke atas bukit yang bebatuannya semakin banyak dan tambah besar-besar.
Wiro keluarkan suara bersiul. Anjing hitam berhenti, menoleh sebentar, menatap ke arah sang pendekar. Wiro cepat lambaikan tangan memberi tanda agar binatang itu turun dari pertengahan bukit. Namun anjing hitam malah membalikkan badan dan kembali lari ke atas bukit.
“Anjing kecil! Kalau kau mau naik ke atas bukit silahkan saja. Aku memilih turun kembali! Aku harus mencari pertolongan untuk anak perempuan ini!” Wiro berkata lalu balikkan badan, siap menuruni bukit ke arah tadi dia datang. Mendadak di atas bukit, di antara suara tangisan perempuan kini terdengar suara ratapan sedih.
“Wahai insan kepada siapa aku berharap. Langkah lurusmu telah benar. Mengapa mendadak berbalik arah?
Dua Puluh satu hari tersiksa di atas bukit dalam hutan larangan. Ketika sebutir harapan dan setetes budi muncul berharap akan datangnya cahaya pertolongan, mengapa harapan kau pupus begitu saja? Padahal setiap budi ada balasannya. Setiap kebajikan ada pahalanya. Aku telah berkaul siapa saja yang menolong diriku. Jika dia seorang perempuan ….”
Anak anjing hitam tiba-tiba menyalak panjang. Begitu kerasnya hingga Wiro tidak mendengar kelanjutan suara perempuan yang meratap di antara tangisnya. Lalu suara itu kembali berulang. Wahai insan kepada siapa aku berharap …”
Wiro usap punggung dan membelai rambut Ni Gatri.
Dia memandang ke atas bukit. Ke arah batu-batu besar berlapis lumut hijau. Anjing kecil hitam tak kelihatan lagi.
“Hutan larangan …. Perempuan yang menangis menyebut hutan ini hutan larangan. Jangan-jangan dia demit atau jin perempuan yang hendak menjebakku. Atau bisa saja kaki tangan atau ujud samaran mahluk celaka bernama Sinuhun Muda atau Sinuhun Merah Penghisap Arwah!”
Wiro merenung berpikir pikir sejenak. Lalu berbisik ke telinga Ni Gatri karena dia tahu walau dalam keadaan kaku tak mampu bergerak anak itu masih tetap bisa mendengar.
“Ni Gatri, kita tidak akan lama. Kita sudah kepalang tersesat. Ada baiknya kita naik ke atas bukit sebentar.
Melihat siapa perempuan yang barusan bicara. Yang jelas dari suaranya dia bukan guruku Eyang Sinto Gendeng yang menurut penglihatan orang di sini telah berubah menjadi seorang gadis cantik berdandan celemongan!”
Setelah berucap, Wiro tepuk-tepuk punggung Ni Gatri lalu lari ke atas bukit. Dia sengaja kerahkan ilmu lari serta terapkan ilmu meringankan tubuh. Laksana terbang dia melompat dari satu batu ke batu lainnya yang licin berlumut. Tak selang berapa lama Wiro telah berada di atas bukit, berdiri di atas satu batu besar yang paling tinggi dari batu-batu lain di sekitarnya.
Cahaya rembulan setengah lingkaran lumayan terang, Ketika dia memandang ke bawah Wiro melihat sepetak tanah rata. Di tengah tanah rata anjing kecil hitam tampak menggeser-geserkan tubuh pada sebuah batu besar sambil terus-terusan menyalak.
Wiro melompat turun. Begitu dua kaki menginjak tanah dan dia berdiri di sisi lain dari batu besar, kejut murid Sinto Gendeng bukan alang kepalang! Di samping batu, tergeletak sosok seorang gadis yang rambut panjang hitamnya tergerai lepas menutupi tanah.
Sepasang mata tertutup. Dua tangan terkembang ke samping tiada daya. Walau wajah pucat namun kecantikan yang dimilikinya jelas kentara dibawah temaram cahaya rembulan. Di pelipis dan pipi yang kotor terlihat alur air mata. Bibir tampak hijau. Yang membuat Wiro terkesiap adalah ketika menyaksikan bagaimana tubuh gadis itu mulai dari pinggang ke bawah tenggelam dan terhimpit di bawah sebuah batu sangat besar dan berlumut tebal!
Mengetahui ada seseorang berdiri di dekatnya, gadis yang tergeletak di tanah dan ternyata dalam keadaan siuman keluarkan ucapan.
“Terima kasih Yang Maha Kuasa. Terima kasih Dewa Bathara Agung. Setelah dua puluh satu hari tersiksa begini rupa, akhirnya Kau mengirimkan seorang insan ke tempat ini. Tempat yang tidak pernah didatangi dan dijamah manusia. Wahai insan yang datang. Aku juga sangat berterima kasih padamu. Juga pada anjing yang menuntun jalan dan datang bersamamu. Di atas semua kesengsaraan ini aku mohon, tolong singkirkan batu besar yang menghimpit tubuhku dari pinggang ke bawah.
Semoga Yang Maha Kuasa memberi kekuatan dan kemampuan serta berkat atas dirimu…”
Walau tak habis pikir bagaimana bisa ada kejadian yang seperti ini namun Wiro cepat turunkan tubuh Ni Gatri dari bahu dan dibaringkan di atas sebuah batu.
Meskipun kedua niatanya terpejam namun gadis yang terjepit di bawah batu seperti mengetahui lalu berkata.
“Wahai insan, kau membawa satu beban dalam perjalanan. Agaknya ada satu perkara besar yang tengah kau hadapi. Sungguh budimu luhur sekali, masih mau memberi perhatian pada nasib diriku.”
Wire berdiri di depan batu besar, menggaruk kepala berulang kali, mengelilingi batu satu kali lalu kembali berdiri meneliti. Batu dipukul-pukul. Perkiraannya paling tidak batu besar berlumut itu memiliki bobot seribu kati.
Dia berpikir-pikir bagaimana cara menyingkirkan batu besar itu tanpa orang yang terjepit dibawahnya tambah mengalami cidera.
“Kalau aku dorong kawatir batu bergerak lamban.
Tubuh gadis yang terhimpit akan tambah hancur.
Kasihan, agaknya dia akan cacat seumur hidup.”
Wiro perhatikan bagian bawah batu besar. Berpikir lagi. “Kalau dihantam dengan pukulan sakti, salah-salah gadis dibawah batu tubuhnya akan ikut tercabik-cabik.”
Wiro garuk-garuk kepala lagi. Dia membungkuk, berusaha melihat bagian bawah batu. Dia tak dapat melihat tubuh sebelah bawah si gadis yang terhimpit karena sudah amblas masuk ke dalam tanah!
10
Pendekar 212 Wiro Sableng berpaling pada gadis yang terhimpit di bawah batu.
Sebenarnya dia merasa heran bagaimana hal ini bisa terjadi.
Namun dia menolong lebih cepat adalah lebih baik dari pada bertanya membuang waktu. Wiro lantas berkata.
“Gadis malang, bertahanlah. Aku akan coba menolongmu melepas dari himpitan batu besar. Tapi jika aku tidak berhasil, mohon aku dimaafkan…”
Tanpa membuka sepasang matanya, gadis di bawah batu menjawab “Aku akan berdoa pada Yang maha Kuasa, untuk keselamatan diriku dan keberhasilan pertolonganmu. Lakukanlah apa yang kau bisa lakukan. Sesungguhnya aku sudah membuat kau…”
Tanpa perhatian yang diucapkan orang Wiro mengangkat tangan memberi tanda agar si gadis di bawah batu berhenti bicara. Lalu dia mundur sampai sejarak tiga langkah dari batu besar. Dua kaki menjejak tanah di samping kanan kepala si gadis. Perlahan-lahan Wiro membuat gerakan setengah berlutut. Kaki kiri di sebelah depan lutut ke atas. Lutut kanan menempel ke tanah. Lalu mulut berucap.
“Gusti Allah, mohon saya diberi kemampuan untuk menolong, Eyang Sinto dimanapun kau berada, bagaimanapun keadaanmu saat ini saya mohon keikhlasanmu. Juga Kakek Tua Gila, saya sangat mengharap bantuanmu. Tanpa pertolonganmu ya Gusti Allah dan dua guru yang saya hormati, sesungguhnya saya tidak punya daya untuk menyelamatkan gadis ini.”
Sambil mengerahkan tenaga dalam penuh dan alirkan hawa sakti perlahan-lahan Wiro angkat tangan kiri. Hanya dalam bilangan sekejapan mata saja tangan kiri itu tampak bergetar dan mulai mengeluarkan hembusan angin, kedengarannya perlahan saja namun bersiur terusmenerus.
Batu besar di depan sana tampak bergoyang dan terangkat sampaisetengah jengkal dari tubuh gadis yang terhimpit. Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Itulah ilmu kesaktian yang tengah dikeluarkan Pendekar 212 yang didapat dari Eyang Sinto Gendeng.
Seandainya Wiro pukulkan tangan kiri ke depan dalam gerakan cepat maka batu besar yang beratnya sekitar seribu kati itu akan terpental. Namun Wiro tidak melakukan hal itu karena dalam kehati-hatiannya dia akan mengandalkan ilmu pukulan kesaktian lain yaitu Dewa Topan Menggusur Gunung yang dipelajari dari Tua Gila, kakek sakti dart pulau Andalas yang semasa muda dikenal dengan nama Sukat Tandika dan merupakan salah seorang kekasih Sinto Gendeng. (Mengenai riwayat lengkap Tua Gila baca serial Wiro Sableng berjudul “Tua Gila Dari Andalas”, “Asmara Darah Tua Gila” sampai “Gerhana Di Gajah Mungkur” terdiri dari 11 Episode)
Begitu melihat batu besar bergetar dan terangkat ke atas Wiro berteriak.
“Tahan!”
Telapak tangan kanan dikembang, lalu secepat kilat dipukulkan kebagian bawah batu besar.
“Dess!”
Batu seberat seribu kati itu mencelat mental ke udara sejauh belasan tombak. Di satu tempat jauh di udara batu meledak dengan mengeluarkan suara berdentum keras.
“Terima kasih Gusti Allah, terima kasih Eyang Sinto.
Terima kasih Kakek Tua Gila!” Wiro mengucap lalu berseru gembira. Sosok gadis yang ditolong tidak tersentuh angin pukulan atau batu. Tidak mengalami cidera sedikitpun. Untuk mengeluarkan bagian bawah tubuh yang berada di dalam tanah murid Sinto Gendeng cepat menarik bahu si gadis. Dentuman pecahnya batu besar di udara tadi telah membuat sepasang matanya yang sejak lama terpejam kini terpentang membuka.
Begitu bagian bawah tubuh si gadis terangkat keluar dari dalam tanah murid Sinto Gendeng tersentak dan berseru kaget. Mata terbelalak, mulut ternganga. Di bawah pakaian yang tersingkap Wiro melihat satu pemandangan yang sulit dipercaya!
Bagian bawah tubuh gadis itu tidak cidera sedikitpun.
Tapi! Ini yang membuat murid Sinto Gendeng sampai keluarkan seruan. Dua paha putih gadis yang barusan ditolongnya saling berdempet rapat satu sama lain, tidak ada celah sedikitpun. Lalu di bawah dua paha yang dempet menyatu itu terlihat hanya satu tempurung lutut.
Selanjutnya di bawah lutut hanya ada satu betis, satu pergelangan kaki dan sebuah kaki lengkap dengan telapak dan lime jari. Namun jari ini sama panjang dan rata hingga tidak jelas apakah itu kaki kanan atau kaki kiri!
“Oaia ! Yang aku tolong ini manusia atau mahluk
jejadian ?” Pikir Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu dia bertanya.
“Sahabat malang, apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa kakimu seperti ini?”
Gadis yang ditanya bungkukkan tubuh, lipat kakinya yang hanya satu lalu berlutut di tanah. Rambut yang panjang hitam disentak ke belakang hingga tergerai di punggung. Wajahnya yang tadi pucat kini tampak berdarah dan kecantikannya kelihatan lebih jelas.
Sepuluh jari disusun di atas kepala lalu dia berkata.
“Kakak berambut panjang, aku sangat berterima kasih padamu. Kau telah menyelamatkan diriku dari azab sengsara himpitan batu. Semoga Yang Maha Kuasa memberi berkah selebar bumi, seluas langit dan seluas lautan padamu.”
“Aku tidak mengharapkan semua ucapan itu, tapi aku berterima kasih atas kata katamu.” Menjawab Wiro.
“Kalau aku boleh tahu bagaimana kejadiannya sampai dirimu dihimpit batu besar. Tubuhmu sedikitpun tidak cidera. Tapi kenapa kakimu seperti itu. Bagaimana kau berjalan? Ape keadaanmu seperti ini akibat himpitan batu atau sejak kau dilahirkan?”
“Aku senang kau bertanya dan aku gembira kau memperhatikan keadaan diriku. Aku telah menjadi korban kutukan ilmu jahat seseorang. Belum puas dengan merubah ujud kedua kakiku, dua puluh satu hari yang lalu, dalam keadaan kaki seperti ini aku dibawa ke tempat ini, lalu tubuhku dihimpit dengan batu besar. Aku tidak ada daya untuk menyelamatkan diri, tidak pernah ada orang yang lewat di sekitar sini. Sampai kau datang.
Kalau bulan di langit sempat mencapai bulat penuh, dan aku masih terhimpit batu besar itu, nyawaku tidak akan tertolong lagi karena konon itu akan berubah menjadi bola api raksasa yang akan membuat lumat leleh seluruh tubuhku.”
“Selama dua puluh satu hari bagaimana kau bisa bertahan hidup tidak makan tidak minum ?” Tanya Wiro pula. “Para Dewa masih menolongku. Untung tanganku cukup panjang hingga aku bisa menggapai batu dan mencungkil lumut. Lumut hijau itu mengandung banyak air. Itu makanan dan minumanku selama dua puluh satu hari ….”
“Gusti Allah maha kuasa…” Ucap Wiro.
“Gusti Allah? Siapa itu Gusti Allah? Raja mana dia ?” tanya si gadis.
Wiro jadi tersenyum.
Perlahan lahan gadis berkaki tunggal berdiri.
Wiro hendak bertanya lagi. Saat itu si gadis telah memalingkan kepala ke arah batu dimana Ni Gatri terbaring dalam keadaan kaku, tak bisa bergerak tak dapat bersuara.
“Gadis di alas batu itu, apamukah?”
“Dia sahabatku…”
Si gadis menatap Wiro cukup lama.
“Logat bicaramu. Kau bukan penduduk di negeri ini.
Kau bukan orang Bhumi Mataram.”
“Kau betul. Aku datang dari negeri jauh.”
“Dari negeri mana ? Kerajaan mana Wiro menggaruk kepala. Lalu menjawab kalau dirinya datang dari alam delapan ratus tahun mendatang.
“Alam delapan ratus tahun mendatang? Sulit aku membayangkan.” Si gadis lalu kembali memandang ke arah Ni Gatri. “Sahabatmu itu, ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya. Die menanggung kesengsaraan yang membuat dia tidak mampu bergerak, tidak sanggup bicara.”
“Bagaimana kau tahu ?” tanya Wiro heran.
Yang ditanya tidak menjawab. Melainkan membuat satu gerakan aneh. Kaki tunggalnya yang menginjak tanah menekuk sedikit lalu saat itu juga tubuhnya laksana bola membal ke udara dan di lain kejap dia sudah berada di dekat batu besar dimana Ni Gatri tergeletak. Wiro cepat-cepat mendatangi!. Ketika dia sampai di samping si gadis berkaki tunggal gadis ini tengah memperhatikan sosok Ni Gatri tanpa berkedip sementara sepuluh jari tangan saling diusap dirangkum-rangkum satu sama lain.
“Mudah-mudahan aku tidak keliru. Anak perempuan sahabatmu ini mengalami dua kali serangan jarak jauh yang hebat. Serangan pertama datang melalui alur tanah, membuat tubuhnya kaku tak bisa bicara tak mampu bergerak. Serangan kedua berupa sinar hijau yang datang dari langit, membuat tubuh anak ini seolah berubah menjadi batu! Serangan pertama telah musnah oleh munculnya satu kekuatan hebat. Namun serangan kedua masih menguasai gadis ini. Lihat saja tubuhnya berwarna kehijauan seperti batu berlumut…”
Wiro terkejut karena dia tahu kalau memang itulah yang dialami Ni Gatri.
“Sahabat, kau tidak melihat kejadiannya. Bagaimana kau bisa mengetahui?” Atas pertanyaan itu gadis berkaki tunggal hanya mengangkat bahu.
Wiro jadi penasaran. Dia bertanya lagi.
“Kau tabu siapa yang melakukan dua perbuatan jahat itu?”
“Aku tidak mungkin menyebut nama. Namun aku tahu, serangan pertama dilakukan oleh seorang yang berasal dari negeri ini. Serangan kedua dilakukan oleh orang lain, berasal dari negeri jauh. Mungkin sama dengan negeri dari mana kau berasal. Katamu negeri delapan ratus tahun mendatang!”
Pendekar 212 luar biasa kaget. Dalam hati dia membatin. “Aku yakin serangan pertama dilakukan oleh mahluk bernama Sinuhun Muda itu. Tapi kalau serangan kedua …. ? Siapa pelakunya? Di Mataram hanya ada tiga orang yang datang dari negeri delapan ratus tahun mendatang. Aku, Ni Gatri yang jadi korban dan Wiro merasa tangkuknya dingin. “Apa mungkin Eyang Sinto yang melakukan? Aku tidak percaya. Tapi lalu siapa lagi ? Atau mungkin mahluk alam roh delapan ratus tahun mendatang yang disebut Kesatria Jemputan itu…”
“Sahabat, bagaimanapun aku harus membalas budi besarmu telah menyelamatkan diriku dari himpitan batu… “
“Dalam menolong aku tidak pernah minta balasan,”
jawab Wiro pula. “Semua langkah dan tindakan manusia sudah ditentukan oleh Gusti Allah.”
“Kau lagi-lagi menyebut nama Gusti Allah. Satu ketika aku ingin kau menjelaskan siapa yang disebut Gusti Allah itu.”
Wiro hanya angguk-anggukan kepala.
Dari belakang kepalanya yang tertutup rambut hitam panjang, gadis berkaki tunggal mengeluarkan sebuah benda lalu diserahkan pada Wiro. Ketika Wiro menerima dan memperhatikan ternyata benda itu adalah sekuntum Bunga Matahari yang masih sangat segar.
Sebelum Wiro sempat bertanya untuk apa bunga itu, si gadis di hadapannya telah lebih dulu berkata.
“Pergilah ke Prambanan. Bawa anak perempuan sahabatmu itu. Masuk ke dalam Candi Siwa. Di dalam candi ada sebuah ruangan dimana terdapat patung Loro Jonggrang. Berikan Bunga Matahari itu padanya. Niscaya kau dan anak perempuan itu akan mendapat berkahnya…”
“Terima kasih. Ini kembang bagus. Tapi bagaimana mungkin aku memberikannya pada sebuah patung?
Tangan patung tak mungkin akan mengambilnya seperti manusia hidup. Atau bunga ini aku letakkan di atas batu di kaki patung ?”
Si gadis tersenyum. Dengan suara sabar dia berkata.
“Pergilah ke candi itu. Kau akan melihat kekuasaan Para Dewa yang mengasihi orang-orang yang teraniaya.”
Wiro terdiam. Si gadis menatap ke langit. Dia seperti melihat sesuatu di atas sana. Lalu dia berkata pada Wiro.
“Sahabat, aku harus meninggalkanmu sekarang….”
Sambil berkata gadis itu menggerak-gerakkan dua tangannya membuat tanda atau isyarat. Wiro kaget.
“Astaga ! Kau mempergunakan bahasa tangan, bahasa orang bisu!”
Si gadis terus saja menatap langit dan menggerakgerakkan jari-jari tangan. Begitu gerakan dihentikan, dia berpaling pada Wiro dan berkata.
“Sahabat, kau bicara dengan siapa?”
Si gadis berpaling, menatap Wiro sebentar tapi tidak menjawab. Dua tangan dan sepuluh jari kembali digerakgerakkan.
“Gadis ini. Dia tengah bicara dengan seseorang lewat tanda gerakan tangan,” pikir Pendekar 212. Make Wiro lantas bertanya.
“Kau … Apa hubunganmu dengan dua kakek nenek yang dipanggil dengan sebutan Sepasang Arwah Bisu!”
Gadis berkaki tunggal bukannya menjawab pertanyaan Wiro malah berkata.
“Tadi aku hendak mengatakan sesuatu, tapi selalu terpotong. Ketahuilah, ketika diriku terhimpit di bawah batu besar, dalam doaku kepada Yang Maha Kuasa, aku telah mengucapkan kaul. Jika ada seseorang yang menolong melepaskan diriku dari himpitan batu, jika dia perempuan akan aku angkat sebagai saudara kandung.
Kalau dia seorang lelaki maka kepadanya aku akan mengambilnya sebagai suami, menyerahkan diri dan berbakti sebagai Istri!”
Kejut Pendekar 212 bukan alang kepalang.
“Apa?!” Katanya tergagau.
“Kalau aku pergi sekarang berarti aku akan datang lagi mencarimu. Kalau kita berpisah sekarang berarti akan ada saat kita saling bertemu kembali dan bersatu untuk selama-lamanya. Yang Maha Kuasa telah menjawab doaku. Bukankah itu satu kenyataan, satu berkah rahmat yang agung?”
Lalu gadis itu pegang tangan Wiro yang memegang Bunga matahari. Dengan sangat khusuk dan penuh perasaan dia mencium belakang tangan sang pendekar.
Wiro tak kuasa menarik tangan itu agar tidak sampai dicium. Namun entah mengapa dia tidak mampu. Malah dari tiupan hembusan nafas si gadis dia merasa ada hawa sejuk nyaman masuk ke dalam tangan dan menjalar keseluruh tubuhnya.
“Aku pergi…” ucap si gadis setengah berbisik disertai senyuman. Lalu sekali membalikkan badan, tubuhnya membal ke udara.
“Tunggu! Ini tidak mungkin! Kau belum memberi tahu siapa namamu!” Wiro berseru.
Dalam kegelapan terdengar gema suara jawaban.
“Kalau Yang Kuasa memberikan jalan bagi segala kemungkinan, mengapa kita sepasang insan bisa masih menaruh kebimbangan? Sahabat, kalau kita bertemu lagi, saat itulah kita akan saling memberi tahu nama. Memang kurang pantas rasanya kalau sepasang calon suami istri tidak tahu nama satu sama lainnya.”
Wiro geleng-geleng kepala dan tegak tersandar ke pinggiran batu dimana Ni Gatri terbujur. Kepala digaruk pulang balik. Tiba-tiba anjing hitam kecil yang sejak tadi entah berada dimana tahu-tahun muncul, menyalak pendek dan melompat ke atas bahu. Beberapa lama binatang ini menjilati kedua kaki anak perempuan itu lalu melompat ke bahu kanan Wiro.
Selagi Wiro mengingat-ingat peristiwa yang baru saja dialaminya mendadak dari arah kiri ada suara perempuan berkata.
“Malam penuh berkah. Seorang sahabat telah mendapatkan calon Istri. Wahai, apakah aku masih boleh memberikan empat ratus sembilan puluh enam ciuman yang masih bersisa? Tidakkah sang calon istri akan menaruh rasa cemburu? Tidakkah diriku akan merasa bersalah?”
Walau tahu siapa yang bicara namun tetap saja Wiro melengak kaget.
Sebenarnya dia merasa heran bagaimana hal ini bisa terjadi.
Namun dia menolong lebih cepat adalah lebih baik dari pada bertanya membuang waktu. Wiro lantas berkata.
“Gadis malang, bertahanlah. Aku akan coba menolongmu melepas dari himpitan batu besar. Tapi jika aku tidak berhasil, mohon aku dimaafkan…”
Tanpa membuka sepasang matanya, gadis di bawah batu menjawab “Aku akan berdoa pada Yang maha Kuasa, untuk keselamatan diriku dan keberhasilan pertolonganmu. Lakukanlah apa yang kau bisa lakukan. Sesungguhnya aku sudah membuat kau…”
Tanpa perhatian yang diucapkan orang Wiro mengangkat tangan memberi tanda agar si gadis di bawah batu berhenti bicara. Lalu dia mundur sampai sejarak tiga langkah dari batu besar. Dua kaki menjejak tanah di samping kanan kepala si gadis. Perlahan-lahan Wiro membuat gerakan setengah berlutut. Kaki kiri di sebelah depan lutut ke atas. Lutut kanan menempel ke tanah. Lalu mulut berucap.
“Gusti Allah, mohon saya diberi kemampuan untuk menolong, Eyang Sinto dimanapun kau berada, bagaimanapun keadaanmu saat ini saya mohon keikhlasanmu. Juga Kakek Tua Gila, saya sangat mengharap bantuanmu. Tanpa pertolonganmu ya Gusti Allah dan dua guru yang saya hormati, sesungguhnya saya tidak punya daya untuk menyelamatkan gadis ini.”
Sambil mengerahkan tenaga dalam penuh dan alirkan hawa sakti perlahan-lahan Wiro angkat tangan kiri. Hanya dalam bilangan sekejapan mata saja tangan kiri itu tampak bergetar dan mulai mengeluarkan hembusan angin, kedengarannya perlahan saja namun bersiur terusmenerus.
Batu besar di depan sana tampak bergoyang dan terangkat sampaisetengah jengkal dari tubuh gadis yang terhimpit. Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Itulah ilmu kesaktian yang tengah dikeluarkan Pendekar 212 yang didapat dari Eyang Sinto Gendeng.
Seandainya Wiro pukulkan tangan kiri ke depan dalam gerakan cepat maka batu besar yang beratnya sekitar seribu kati itu akan terpental. Namun Wiro tidak melakukan hal itu karena dalam kehati-hatiannya dia akan mengandalkan ilmu pukulan kesaktian lain yaitu Dewa Topan Menggusur Gunung yang dipelajari dari Tua Gila, kakek sakti dart pulau Andalas yang semasa muda dikenal dengan nama Sukat Tandika dan merupakan salah seorang kekasih Sinto Gendeng. (Mengenai riwayat lengkap Tua Gila baca serial Wiro Sableng berjudul “Tua Gila Dari Andalas”, “Asmara Darah Tua Gila” sampai “Gerhana Di Gajah Mungkur” terdiri dari 11 Episode)
Begitu melihat batu besar bergetar dan terangkat ke atas Wiro berteriak.
“Tahan!”
Telapak tangan kanan dikembang, lalu secepat kilat dipukulkan kebagian bawah batu besar.
“Dess!”
Batu seberat seribu kati itu mencelat mental ke udara sejauh belasan tombak. Di satu tempat jauh di udara batu meledak dengan mengeluarkan suara berdentum keras.
“Terima kasih Gusti Allah, terima kasih Eyang Sinto.
Terima kasih Kakek Tua Gila!” Wiro mengucap lalu berseru gembira. Sosok gadis yang ditolong tidak tersentuh angin pukulan atau batu. Tidak mengalami cidera sedikitpun. Untuk mengeluarkan bagian bawah tubuh yang berada di dalam tanah murid Sinto Gendeng cepat menarik bahu si gadis. Dentuman pecahnya batu besar di udara tadi telah membuat sepasang matanya yang sejak lama terpejam kini terpentang membuka.
Begitu bagian bawah tubuh si gadis terangkat keluar dari dalam tanah murid Sinto Gendeng tersentak dan berseru kaget. Mata terbelalak, mulut ternganga. Di bawah pakaian yang tersingkap Wiro melihat satu pemandangan yang sulit dipercaya!
Bagian bawah tubuh gadis itu tidak cidera sedikitpun.
Tapi! Ini yang membuat murid Sinto Gendeng sampai keluarkan seruan. Dua paha putih gadis yang barusan ditolongnya saling berdempet rapat satu sama lain, tidak ada celah sedikitpun. Lalu di bawah dua paha yang dempet menyatu itu terlihat hanya satu tempurung lutut.
Selanjutnya di bawah lutut hanya ada satu betis, satu pergelangan kaki dan sebuah kaki lengkap dengan telapak dan lime jari. Namun jari ini sama panjang dan rata hingga tidak jelas apakah itu kaki kanan atau kaki kiri!
“Oaia ! Yang aku tolong ini manusia atau mahluk
jejadian ?” Pikir Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu dia bertanya.
“Sahabat malang, apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa kakimu seperti ini?”
Gadis yang ditanya bungkukkan tubuh, lipat kakinya yang hanya satu lalu berlutut di tanah. Rambut yang panjang hitam disentak ke belakang hingga tergerai di punggung. Wajahnya yang tadi pucat kini tampak berdarah dan kecantikannya kelihatan lebih jelas.
Sepuluh jari disusun di atas kepala lalu dia berkata.
“Kakak berambut panjang, aku sangat berterima kasih padamu. Kau telah menyelamatkan diriku dari azab sengsara himpitan batu. Semoga Yang Maha Kuasa memberi berkah selebar bumi, seluas langit dan seluas lautan padamu.”
“Aku tidak mengharapkan semua ucapan itu, tapi aku berterima kasih atas kata katamu.” Menjawab Wiro.
“Kalau aku boleh tahu bagaimana kejadiannya sampai dirimu dihimpit batu besar. Tubuhmu sedikitpun tidak cidera. Tapi kenapa kakimu seperti itu. Bagaimana kau berjalan? Ape keadaanmu seperti ini akibat himpitan batu atau sejak kau dilahirkan?”
“Aku senang kau bertanya dan aku gembira kau memperhatikan keadaan diriku. Aku telah menjadi korban kutukan ilmu jahat seseorang. Belum puas dengan merubah ujud kedua kakiku, dua puluh satu hari yang lalu, dalam keadaan kaki seperti ini aku dibawa ke tempat ini, lalu tubuhku dihimpit dengan batu besar. Aku tidak ada daya untuk menyelamatkan diri, tidak pernah ada orang yang lewat di sekitar sini. Sampai kau datang.
Kalau bulan di langit sempat mencapai bulat penuh, dan aku masih terhimpit batu besar itu, nyawaku tidak akan tertolong lagi karena konon itu akan berubah menjadi bola api raksasa yang akan membuat lumat leleh seluruh tubuhku.”
“Selama dua puluh satu hari bagaimana kau bisa bertahan hidup tidak makan tidak minum ?” Tanya Wiro pula. “Para Dewa masih menolongku. Untung tanganku cukup panjang hingga aku bisa menggapai batu dan mencungkil lumut. Lumut hijau itu mengandung banyak air. Itu makanan dan minumanku selama dua puluh satu hari ….”
“Gusti Allah maha kuasa…” Ucap Wiro.
“Gusti Allah? Siapa itu Gusti Allah? Raja mana dia ?” tanya si gadis.
Wiro jadi tersenyum.
Perlahan lahan gadis berkaki tunggal berdiri.
Wiro hendak bertanya lagi. Saat itu si gadis telah memalingkan kepala ke arah batu dimana Ni Gatri terbaring dalam keadaan kaku, tak bisa bergerak tak dapat bersuara.
“Gadis di alas batu itu, apamukah?”
“Dia sahabatku…”
Si gadis menatap Wiro cukup lama.
“Logat bicaramu. Kau bukan penduduk di negeri ini.
Kau bukan orang Bhumi Mataram.”
“Kau betul. Aku datang dari negeri jauh.”
“Dari negeri mana ? Kerajaan mana Wiro menggaruk kepala. Lalu menjawab kalau dirinya datang dari alam delapan ratus tahun mendatang.
“Alam delapan ratus tahun mendatang? Sulit aku membayangkan.” Si gadis lalu kembali memandang ke arah Ni Gatri. “Sahabatmu itu, ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya. Die menanggung kesengsaraan yang membuat dia tidak mampu bergerak, tidak sanggup bicara.”
“Bagaimana kau tahu ?” tanya Wiro heran.
Yang ditanya tidak menjawab. Melainkan membuat satu gerakan aneh. Kaki tunggalnya yang menginjak tanah menekuk sedikit lalu saat itu juga tubuhnya laksana bola membal ke udara dan di lain kejap dia sudah berada di dekat batu besar dimana Ni Gatri tergeletak. Wiro cepat-cepat mendatangi!. Ketika dia sampai di samping si gadis berkaki tunggal gadis ini tengah memperhatikan sosok Ni Gatri tanpa berkedip sementara sepuluh jari tangan saling diusap dirangkum-rangkum satu sama lain.
“Mudah-mudahan aku tidak keliru. Anak perempuan sahabatmu ini mengalami dua kali serangan jarak jauh yang hebat. Serangan pertama datang melalui alur tanah, membuat tubuhnya kaku tak bisa bicara tak mampu bergerak. Serangan kedua berupa sinar hijau yang datang dari langit, membuat tubuh anak ini seolah berubah menjadi batu! Serangan pertama telah musnah oleh munculnya satu kekuatan hebat. Namun serangan kedua masih menguasai gadis ini. Lihat saja tubuhnya berwarna kehijauan seperti batu berlumut…”
Wiro terkejut karena dia tahu kalau memang itulah yang dialami Ni Gatri.
“Sahabat, kau tidak melihat kejadiannya. Bagaimana kau bisa mengetahui?” Atas pertanyaan itu gadis berkaki tunggal hanya mengangkat bahu.
Wiro jadi penasaran. Dia bertanya lagi.
“Kau tabu siapa yang melakukan dua perbuatan jahat itu?”
“Aku tidak mungkin menyebut nama. Namun aku tahu, serangan pertama dilakukan oleh seorang yang berasal dari negeri ini. Serangan kedua dilakukan oleh orang lain, berasal dari negeri jauh. Mungkin sama dengan negeri dari mana kau berasal. Katamu negeri delapan ratus tahun mendatang!”
Pendekar 212 luar biasa kaget. Dalam hati dia membatin. “Aku yakin serangan pertama dilakukan oleh mahluk bernama Sinuhun Muda itu. Tapi kalau serangan kedua …. ? Siapa pelakunya? Di Mataram hanya ada tiga orang yang datang dari negeri delapan ratus tahun mendatang. Aku, Ni Gatri yang jadi korban dan Wiro merasa tangkuknya dingin. “Apa mungkin Eyang Sinto yang melakukan? Aku tidak percaya. Tapi lalu siapa lagi ? Atau mungkin mahluk alam roh delapan ratus tahun mendatang yang disebut Kesatria Jemputan itu…”
“Sahabat, bagaimanapun aku harus membalas budi besarmu telah menyelamatkan diriku dari himpitan batu… “
“Dalam menolong aku tidak pernah minta balasan,”
jawab Wiro pula. “Semua langkah dan tindakan manusia sudah ditentukan oleh Gusti Allah.”
“Kau lagi-lagi menyebut nama Gusti Allah. Satu ketika aku ingin kau menjelaskan siapa yang disebut Gusti Allah itu.”
Wiro hanya angguk-anggukan kepala.
Dari belakang kepalanya yang tertutup rambut hitam panjang, gadis berkaki tunggal mengeluarkan sebuah benda lalu diserahkan pada Wiro. Ketika Wiro menerima dan memperhatikan ternyata benda itu adalah sekuntum Bunga Matahari yang masih sangat segar.
Sebelum Wiro sempat bertanya untuk apa bunga itu, si gadis di hadapannya telah lebih dulu berkata.
“Pergilah ke Prambanan. Bawa anak perempuan sahabatmu itu. Masuk ke dalam Candi Siwa. Di dalam candi ada sebuah ruangan dimana terdapat patung Loro Jonggrang. Berikan Bunga Matahari itu padanya. Niscaya kau dan anak perempuan itu akan mendapat berkahnya…”
“Terima kasih. Ini kembang bagus. Tapi bagaimana mungkin aku memberikannya pada sebuah patung?
Tangan patung tak mungkin akan mengambilnya seperti manusia hidup. Atau bunga ini aku letakkan di atas batu di kaki patung ?”
Si gadis tersenyum. Dengan suara sabar dia berkata.
“Pergilah ke candi itu. Kau akan melihat kekuasaan Para Dewa yang mengasihi orang-orang yang teraniaya.”
Wiro terdiam. Si gadis menatap ke langit. Dia seperti melihat sesuatu di atas sana. Lalu dia berkata pada Wiro.
“Sahabat, aku harus meninggalkanmu sekarang….”
Sambil berkata gadis itu menggerak-gerakkan dua tangannya membuat tanda atau isyarat. Wiro kaget.
“Astaga ! Kau mempergunakan bahasa tangan, bahasa orang bisu!”
Si gadis terus saja menatap langit dan menggerakgerakkan jari-jari tangan. Begitu gerakan dihentikan, dia berpaling pada Wiro dan berkata.
“Sahabat, kau bicara dengan siapa?”
Si gadis berpaling, menatap Wiro sebentar tapi tidak menjawab. Dua tangan dan sepuluh jari kembali digerakgerakkan.
“Gadis ini. Dia tengah bicara dengan seseorang lewat tanda gerakan tangan,” pikir Pendekar 212. Make Wiro lantas bertanya.
“Kau … Apa hubunganmu dengan dua kakek nenek yang dipanggil dengan sebutan Sepasang Arwah Bisu!”
Gadis berkaki tunggal bukannya menjawab pertanyaan Wiro malah berkata.
“Tadi aku hendak mengatakan sesuatu, tapi selalu terpotong. Ketahuilah, ketika diriku terhimpit di bawah batu besar, dalam doaku kepada Yang Maha Kuasa, aku telah mengucapkan kaul. Jika ada seseorang yang menolong melepaskan diriku dari himpitan batu, jika dia perempuan akan aku angkat sebagai saudara kandung.
Kalau dia seorang lelaki maka kepadanya aku akan mengambilnya sebagai suami, menyerahkan diri dan berbakti sebagai Istri!”
Kejut Pendekar 212 bukan alang kepalang.
“Apa?!” Katanya tergagau.
“Kalau aku pergi sekarang berarti aku akan datang lagi mencarimu. Kalau kita berpisah sekarang berarti akan ada saat kita saling bertemu kembali dan bersatu untuk selama-lamanya. Yang Maha Kuasa telah menjawab doaku. Bukankah itu satu kenyataan, satu berkah rahmat yang agung?”
Lalu gadis itu pegang tangan Wiro yang memegang Bunga matahari. Dengan sangat khusuk dan penuh perasaan dia mencium belakang tangan sang pendekar.
Wiro tak kuasa menarik tangan itu agar tidak sampai dicium. Namun entah mengapa dia tidak mampu. Malah dari tiupan hembusan nafas si gadis dia merasa ada hawa sejuk nyaman masuk ke dalam tangan dan menjalar keseluruh tubuhnya.
“Aku pergi…” ucap si gadis setengah berbisik disertai senyuman. Lalu sekali membalikkan badan, tubuhnya membal ke udara.
“Tunggu! Ini tidak mungkin! Kau belum memberi tahu siapa namamu!” Wiro berseru.
Dalam kegelapan terdengar gema suara jawaban.
“Kalau Yang Kuasa memberikan jalan bagi segala kemungkinan, mengapa kita sepasang insan bisa masih menaruh kebimbangan? Sahabat, kalau kita bertemu lagi, saat itulah kita akan saling memberi tahu nama. Memang kurang pantas rasanya kalau sepasang calon suami istri tidak tahu nama satu sama lainnya.”
Wiro geleng-geleng kepala dan tegak tersandar ke pinggiran batu dimana Ni Gatri terbujur. Kepala digaruk pulang balik. Tiba-tiba anjing hitam kecil yang sejak tadi entah berada dimana tahu-tahun muncul, menyalak pendek dan melompat ke atas bahu. Beberapa lama binatang ini menjilati kedua kaki anak perempuan itu lalu melompat ke bahu kanan Wiro.
Selagi Wiro mengingat-ingat peristiwa yang baru saja dialaminya mendadak dari arah kiri ada suara perempuan berkata.
“Malam penuh berkah. Seorang sahabat telah mendapatkan calon Istri. Wahai, apakah aku masih boleh memberikan empat ratus sembilan puluh enam ciuman yang masih bersisa? Tidakkah sang calon istri akan menaruh rasa cemburu? Tidakkah diriku akan merasa bersalah?”
Walau tahu siapa yang bicara namun tetap saja Wiro melengak kaget.
11
RATU RANDANG berdiri tersenyum di hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng. Sepasang mata yang juling bagus dikedipkan.
“Ratu, apakah kau sudah lama berada tempat ini?” Bertanya Wiro.
“Cukup lama. Aku mendengar semua dengan gadis barkaki satu itu. Sebenarnya aku tidak ingin menguping pembicaraan orang. Namun begitu sampai disini, sepasang kakiku seolah tidak mau beranjak dari balik pohon sana. Maafkan diriku kalau telah berbuat lancang.”
“Tidak apa-apa. Malah aku senang kau mendengar semua pembicaraan.”
“Aku juga senang mengetahui kau secara tak terduga menemukan seorang calon istri”.
“Ratu, maksudku bukan begitu. Aku ke negeri ini bukan untuk mencari istri.”
“Tapi bukankah soal langkah dan jodoh itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Oleh Gusti Allahmu?
Kurasa tak ada pemuda yang menolak mendapat istri seorang gadis cantik.”
Wiro garuk kepala.
“Kau menolak menjadi suami gadis itu karena cacat di tubuhnya?”
Wiro menggeleng. “Orang cacat dan tidak cacat bagiku sama saja. Tapi perkawinan tidak bisa terjadi hanya karena seseorang telah mengucapkan kaul.”
“Lalu mengapa kau tidak terang-terangan mengatakan pada gadis berkaki tunggal itu kalau kau tidak mau menjadi suaminya? Sekarang sudah kepalang dia menganggap dirimu sebagai calon suami.”
“Kuharap saja dia nanti mengerti kalau mengambil suami tidak semudah itu. Kalau aku datang bersama sembilan teman lelaki menolongnya dari himpitan batu, lantas apakah dia harus kawin dengan sepuluh suami sekaligus ?!” Wiro tertawa gelak-gelak. Berhenti tertawa Wiro menatap wajah Ratu Randang. “Atau jangan-jangan kau memang maunya aku kawin dengan gadis tadi.”
Ratu Randang tersenyum tapi membuang muka memandang ke arah lain.
“Ratu, apakah kau kenal dengan gadis itu. Atau pernah melihat dia sebelumnya?” Wiro kemudian bertanya.
Rate Randang menjawab dengan gelengan kepala.
“Tadi aku lihat dia memakai bahasa gerakan tangan.
Bahasa orang bisu. Ketika melakukan hal itu dia menatap ke langit. Agaknya dia tengah bicara dengan seseorang atau beberapa orang yang aku tidak mampu melihat. Mungkinkah gadis itu bicara dengan dua kakek nenek Sepasang Arwah Bisu yang tadi muncul melayang di atas Bukit Batu Hangus?”
“Aku tidak tahu Wiro. Rasanya ada hal lain yang harus segera kau lakukan. Kau ingat Bunga Matahari yang diberikan gadis tadi? Kau ingat apa yang dikatakannya?
Kau harus segera membawa Ni Gatri ke Candi Siwa menemui patung Nyi Loro Jonggrang. Aku yakin paling tidak sebagian dari rahasia yang ada akan segera terjawab. Aku akan mengantarmu ke sana”. Lalu Ratu Randang mengangkat tubuh Ni Gatri yang terbaring di atas batu.
“Ratu, biar aku saja yang memanggul Ni Gatri.” Kata Wiro sambil mendekat dan hendak mengambil sosok Ni Gatri dari gendongan Ratu Randang. Namun perempuan itu bukan menyerahkan Ni Gatri malah dia gelungkan tangan kiri ke leher Wiro lalu berbisik.
“Wiro, aku tidak mau mengatakan. Mungkin hatiku sudah tidak karuan rasa terhadapmu. Kita berpisah hanya sebentar saja. Tapi mengapa hatiku sangat rindu padamu. Aku mengejarmu ke sini. Wiro maafkan kalau aku berucap lancang. Mudah-mudahan gadis berkaki satu itu tidak melihat apa yang aku lakukan ini.” Lalu cuupp. Ratu Randang kecup bibir Pendekar 212 penuh mesra dan lama.
“Ratu, kau bilang kita harus segera ke Candi Siwa,” ucap Wiro agak kelagapan bernafas.
“Aku tahu … aku tahu,” bisik Ratu Randang. Lalu sekali lagi dia mencium mesra sang pendekar. Kemudian sambil, mengulum senyum dan balikkan badan perempuan ini berkata.
“Tinggal empat ratus sembilan puluh empat. Hik … hik. Masih banyak!”
Begitu Ratu Randang berkelebat menuruni bukit, Wiro dengan anjing kecil hitam masih berada di bahu kanannya segera mengikuti. Sambil berlari murid Sinto Gendeng berkata dalam hati.
“Ratu Randang, pengakuanmu bahwa kau mengajarku karena rindu terhadapku kurasa tidak seluruhnya benar. Pasti kau diperintah oleh Raja Mataram.”
* * *
“Ratu, apakah kau sudah lama berada tempat ini?” Bertanya Wiro.
“Cukup lama. Aku mendengar semua dengan gadis barkaki satu itu. Sebenarnya aku tidak ingin menguping pembicaraan orang. Namun begitu sampai disini, sepasang kakiku seolah tidak mau beranjak dari balik pohon sana. Maafkan diriku kalau telah berbuat lancang.”
“Tidak apa-apa. Malah aku senang kau mendengar semua pembicaraan.”
“Aku juga senang mengetahui kau secara tak terduga menemukan seorang calon istri”.
“Ratu, maksudku bukan begitu. Aku ke negeri ini bukan untuk mencari istri.”
“Tapi bukankah soal langkah dan jodoh itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Oleh Gusti Allahmu?
Kurasa tak ada pemuda yang menolak mendapat istri seorang gadis cantik.”
Wiro garuk kepala.
“Kau menolak menjadi suami gadis itu karena cacat di tubuhnya?”
Wiro menggeleng. “Orang cacat dan tidak cacat bagiku sama saja. Tapi perkawinan tidak bisa terjadi hanya karena seseorang telah mengucapkan kaul.”
“Lalu mengapa kau tidak terang-terangan mengatakan pada gadis berkaki tunggal itu kalau kau tidak mau menjadi suaminya? Sekarang sudah kepalang dia menganggap dirimu sebagai calon suami.”
“Kuharap saja dia nanti mengerti kalau mengambil suami tidak semudah itu. Kalau aku datang bersama sembilan teman lelaki menolongnya dari himpitan batu, lantas apakah dia harus kawin dengan sepuluh suami sekaligus ?!” Wiro tertawa gelak-gelak. Berhenti tertawa Wiro menatap wajah Ratu Randang. “Atau jangan-jangan kau memang maunya aku kawin dengan gadis tadi.”
Ratu Randang tersenyum tapi membuang muka memandang ke arah lain.
“Ratu, apakah kau kenal dengan gadis itu. Atau pernah melihat dia sebelumnya?” Wiro kemudian bertanya.
Rate Randang menjawab dengan gelengan kepala.
“Tadi aku lihat dia memakai bahasa gerakan tangan.
Bahasa orang bisu. Ketika melakukan hal itu dia menatap ke langit. Agaknya dia tengah bicara dengan seseorang atau beberapa orang yang aku tidak mampu melihat. Mungkinkah gadis itu bicara dengan dua kakek nenek Sepasang Arwah Bisu yang tadi muncul melayang di atas Bukit Batu Hangus?”
“Aku tidak tahu Wiro. Rasanya ada hal lain yang harus segera kau lakukan. Kau ingat Bunga Matahari yang diberikan gadis tadi? Kau ingat apa yang dikatakannya?
Kau harus segera membawa Ni Gatri ke Candi Siwa menemui patung Nyi Loro Jonggrang. Aku yakin paling tidak sebagian dari rahasia yang ada akan segera terjawab. Aku akan mengantarmu ke sana”. Lalu Ratu Randang mengangkat tubuh Ni Gatri yang terbaring di atas batu.
“Ratu, biar aku saja yang memanggul Ni Gatri.” Kata Wiro sambil mendekat dan hendak mengambil sosok Ni Gatri dari gendongan Ratu Randang. Namun perempuan itu bukan menyerahkan Ni Gatri malah dia gelungkan tangan kiri ke leher Wiro lalu berbisik.
“Wiro, aku tidak mau mengatakan. Mungkin hatiku sudah tidak karuan rasa terhadapmu. Kita berpisah hanya sebentar saja. Tapi mengapa hatiku sangat rindu padamu. Aku mengejarmu ke sini. Wiro maafkan kalau aku berucap lancang. Mudah-mudahan gadis berkaki satu itu tidak melihat apa yang aku lakukan ini.” Lalu cuupp. Ratu Randang kecup bibir Pendekar 212 penuh mesra dan lama.
“Ratu, kau bilang kita harus segera ke Candi Siwa,” ucap Wiro agak kelagapan bernafas.
“Aku tahu … aku tahu,” bisik Ratu Randang. Lalu sekali lagi dia mencium mesra sang pendekar. Kemudian sambil, mengulum senyum dan balikkan badan perempuan ini berkata.
“Tinggal empat ratus sembilan puluh empat. Hik … hik. Masih banyak!”
Begitu Ratu Randang berkelebat menuruni bukit, Wiro dengan anjing kecil hitam masih berada di bahu kanannya segera mengikuti. Sambil berlari murid Sinto Gendeng berkata dalam hati.
“Ratu Randang, pengakuanmu bahwa kau mengajarku karena rindu terhadapku kurasa tidak seluruhnya benar. Pasti kau diperintah oleh Raja Mataram.”
* * *
DI SEBELAH timur sekilas cahaya terang tampak di langit. Pertanda tak lama lagi fajar akan segera menyingsing. Ratu Randang hentikan lari tepat di tangga besar yang menuju ke atas Candi Siwa. Dia menyerahkan tubuh Ni Gatri pada Wiro.
“Kau tidak ikut masuk ke dalam candi ?” tanya Wiro.
“Aku tidak diamanatkan. Aku tidak mau menyalahi apa yang sudah diatur. Pergilah cepat. Sebentar lagi fajar menyingsing. Aku berharap semuanya bisa selesai sebelum sang surya terbit. Aku sangat kawatir. Semoga Par Dewa menolongmu.”
Seolah mengerti kalau dia juga tidak diperlukan ikut masuk ke dalam candi, anjing hitam kecil melompat dari bahu kanan Wiro, turun ke tanah lalu duduk di undakan pertama tangga menuju ke atas candi.
Sambil mendukung Ni Gatri, Wiro menaiki tangga batu. Di dalam candi terdapat beberapa ruangan berisi patung. Akhirnya Wiro menemukan ruangan yang agak temaram tapi bersih dimana terletak sebuah patung perempuan cantik tinggi besar bernama Batari Durga yang lebih dikenal dengan sebutan Loro Jonggrang.
Demikian pandainya para pemahat yang membuat, patung itu seolah- olah hidup dan memandang tersenyum kepada siapa saja yang berada dalam ruangan itu.
Wiro menatap wajah patung sebentar lalu dia meletakkan tubuh Ni Gatri di kaki patung yang menginjak palung seekor Banteng yang konon bernama Nandi dan telah dibunuh oleh Batari Durga karena hendak mencelakai dirinya dan mengacau negeri. Seperti yang diceritakan, dalam serial Satria Lonceng Dewa Mimba Purana, Loro Jonggrang adalah patung yang didatangi Ananthawuri anak perawan Desa Sorogedug untuk diminta pertolongan. Oleh sang patung yang dipanggil dengan sebutan Dewi oleh Ananthawuri, Loro Jonggrang memberikan sebuah jimat berupa sebuah batu sakti bernama Batu Kaladungga. (Baca serial Mimba Purana, Satria Lonceng Dewa karangan Bastian Tito berjudul “Perawan Sumur Api”, “Arwah Candi Miring”, “Pangeran Bunga Bangkai”, “Dewi Tangan Jerangkong” dst.)
Setelah membaringkan Ni Giatri, Wiro luruskan badan. Untuk beberapa lama dia hanya memandangi wajah patung dan menggaruk kepala satu kali.
“Aku harus bicara bagaimana?” Pikir Wiro.
Diluar dugaan, yang membuat Pendeker 212 terkejut tiba-tiba dia mendengar suara perempuan menyapa.
“Orang muda berambut panjang, yang berasal dari negeri terpaut jauh dari masa sekarang, yang datang membawa seorang anak perempuan dalam keadaan kaku tidak bergerak tidak bersuara. Mengapa berlamalama dan seperti bingung. Sebentar lagi fajar akan menyingsing, matahari akan terbit dan malam akan berganti dengan siang. Katakan apa maksud kedatanganmu. Katakan apa yang bisa aku lakukan.”
Wiro tercengang. Bagaimana patung itu bisa mengetahui mengenai dirinya serta keadaan Ni Gatri.
Lebih dari itu baru sekali ini dia melihat ada patung bisa bicara. Akibatnya, patung itu tersenyum ke arahnya. Dan bukan cuma tersenyum. Mulut dan bibir patung yang terbuat dari batu itu jelas-jelas bergerak pertanda patung inilah yang memang barusan bicara padanya! Wiro cepatcepat membungkuk.
“Patung cantik sakti ….”
Mendengar kata-kata Wiro, patung Loro Jonggrang, tertawa.
“Maafkan saya. Saya harus memanggil apa?” Wiro bertanya.
“Kau mau memanggil diriku apa terserah saja.” Patung menjawab.
“Saya….” Wiro menggaruk kepala. “Saya akan memanggilmu Dewi saja. Boleh …?” Sang patung cantik tersenyum.
“Panggilan itu mengingatkan aku pada seorang perawan desa yang pernah datang menemuiku beberapa tahun lalu. Namanya Ananthawuri. Entah dimana dia sekarang. Dia juga memanggilku dengan sebutan Dewi”
“Patung Dewi … Maksudku Dewi Loro Jonggrang, saya bernama Wiro Sableng….”
Sepasang alis mata patung Loro Jonggrang berkerenyit naik.
“Apa? Coba ulangi. Siapa namamu?”
“Nama saya Wiro Sableng…”
“Oohh… Tadi kurasa aku salah mendengar.” Loro Jonggrang tersenyum.
Wiro menggaruk kepala.
“Nama saya memang kedengaran aneh.”
“Banyak orang bernama aneh. Misal Kebo Panaran.
Tapi orang itu bukan kebo atau kerbau benaran. Kau bernama Wiro Sableng. Aku yakin kau juga tidak sableng benaran.”
Wiro tertawa dan menggaruk kepala.
“Dewi, saya datang ke sini, membawa anak perempuan bernama Ni Gatri yang saya anggap adik itu untuk minta pertolonganmu. Sesuatu telah terjadi atas dirinya. Tubuhnya keras seperti batu dan berwarna hijau.
Semua ini terjadi ada hubungannya dengan malapetaka Malam Jahanam yang menimpa Bhumi Mataram.”
Sesaat wajah cantik patung Loro Jonggrang tampak muram.
“Selama dunia terkembang orang-orang jahat selalu berada dimana-mana. Itu sebabnya Para Dewa meminta agar kita berlaku waspada. Wiro, kau datang atas kemauan sendiri atau ada yang menyuruh?”
“Ada seorang sahabat baik yang memberi nasihat.” Jawab Wiro.
“Laki-laki atau perempuan? Adakah dia mempunyai nama ?”
“Perempuan. Maaf, saya tidak menanyakan siapa namanya.”
“Bagaimana aku bisa yakin kalau kau memang datang atas petunjuk perempuan itu?”
Wiro ingat pada Bunga Matahari yang diberikan gadis berkaki tunggal. Dengan cepat bunga itu dikeluarkan lalu diperlihatkan seraya berkata.
“Sahabat itu memberikan Bunga Matahari ini pada saya. Disertai pesan saya harus menyerahkannya pada Dewi”
Mendengar ucapan Wiro tiba-tiba yang membuat Pendekar 212 terkejut setengah mati, tangan kanan patung Loro Jonggrang bergerak. Diulurkan mengambil Bunga Matahari yang dipegang sang pendekar.
Setelah memperhatikan bunga sebentar, Nyi Loro Jonggrang bertanya. “Aku tahu siapa perempuan itu.
Seorang gadis yang terkena tenung guna-guna ilmu hitam. Wiro, sekarang beritahu. Pertolongan apa yang ingin kau dapatkan dariku. Apakah kau percaya aku bisa menolong?”
“Dewi, kalau Yang Maha Kuasa telah menuntun saya datang kesini, berarti Dewilah memang orangnya tempat saya minta tolong.” Wiro menunjuk pada sosok Ni Gatri yang terbaring di lantai ruangan batu.
Loro Jonggrang menatap Ni Gatri agak lama. Lalu perhatiannya kembali pada Bunga Matahari yang dipegang di tangan kanan. Perlahan-lahan bunga di dekatkan ke wajahnya lalu ditiup. Bagian kuning bundar Bunga Matahari berubah menjadi putih berkilau. Loro Jonggrang ulurkan tangan, mengembalikan Bunga Matahari yang telah berubah kepada Wiro.
“Usapkan bagian putih bunga di ubun-ubun, kening, dada, perut dan telapak kaki anak perempuan itu. Mudahmudahan Yang Maha Kuasa menolong menyembuhkannya.”
Wiro cepat mengambil Bunga Matahari dan melakukan apa yang dikatakan Patung Dewi Loro jonggrang. Begitu selesai mengusapkan bagian putih Bunga Matahari di kedua kaki Ni Gatri, tiba-tiba anak perempuan itu mengerang pendek, menggeliat lalu bergerak bangun dan duduk di atas batu. Wajah dan sekujur tubuh yang tadi kehijauan kini kembali ke warna asli. Dua matanya menatap ke arah Wiro tapi tampak pandangannya kosong. Ni Gatri berpaling pada Loro Jonggrang. Anak ini tersenyum namun senyumnya hampa.
“Ni Gatri, kau sudah sembuh?” Ni Gatri mengangguk.
“Ni Gatri, bicaralah. Jangan diam saja.” Kata Wiro.
Anak perempuan itu menggerakkan mulut berulang kali. Tapi tidak ada suara yang keluar. Wajahnya seperti mau menangis.
“Ni Gatri! Kau tidak bisa bicara? Kau bisu ?!” Tanya Wiro.
Yang ditanya mengangguk.
Wiro pejamkan mata. Peluk anak perempuan itu lalu berpaling ke arah patung Loro Jonggrang.
“Wiro, kau tak usah kawatir. Bila besok matahari terbit dan mulai meninggi, anak itu akan bisa bicara dengan sendirinya.”
“Tapi Dewi, Ni Gatri harus bisa bicara sekarang. Ada hal sangat penting yang harus diterangkannya. Kalau dia baru bicara besok, sudah sangat terlambat. Dari keterangan anak ini saya akan melakukan sesuatu…”
“Wiro, aku tidak bisa melangkahi ketentuan yang dibuat Para Dewa. Kalau anak itu tidak bisa bicara sebelum waktunya, aku tidak mungkin membuat dia mampu bicara sekarang juga.”
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.
“Hal sangat penting apa yang harus diterangkan anak itu padamu?”
“Malam tadi ada dua kakek nenek aneh yang konon bernama Sepasang Arwah Bisu. Mereka datang ke Bukit Batu Hangus tempat Raja dan keluarga serta ratusan pengungsi lainnya berada. Sepasang kakek nenek memberi petunjuk dalam bahasa gerak tangan orang bisu. Hanya Ni Gatri yang tahu arti gerak tangan itu.
Namun sebelum sempat bicara dia telah diserang hebat hingga kaku dan tak bisa bersuara.”
“Bahasa gerak tangan orang bisu…” Loro Jonggrang mengulang. Dua tangannya diangkat, sepuluh jari tangan bergerak gerak. Sambil menatap ke arah Ni Gatri, Loro Jonggrang bertanya. “Kau mengerti isyarat-isyarat yang aku buat?” Anak yang ditanya anggukkan kepala.
Mendadak sebagian tubuh patung Loro Jonggrang sebelah atas membuat gerakan membungkuk. Dua tangan yang terus bergerak-gerak memancarkan cahaya putih. Lalu sama sekali tidak diduga oleh Wiro, dua tangan itu dipukulkan ke arahnya.
Sepuluh larik cahaya putih berkiblat dalam ruangan batu. Lima larikan menghantam tepat di kepala sang pendekar. Lima larikan lagi menyapu di kedua tangannya.
Walau Wiro tidak merasakan sakit namun tubuhnya terpental hingga dia jatuh terduduk di lantai ruangan. Ni Gatri terduduk di pangkuannya. Di luar candi terdengar suara anjing kecil menggonggong.
“Dewi, mengapa kau menyerangku…”
“Siapa bilang aku menyerangmu!” jawab Loro Jonggrang sambil mengulum senyum.
“Kau tidak ikut masuk ke dalam candi ?” tanya Wiro.
“Aku tidak diamanatkan. Aku tidak mau menyalahi apa yang sudah diatur. Pergilah cepat. Sebentar lagi fajar menyingsing. Aku berharap semuanya bisa selesai sebelum sang surya terbit. Aku sangat kawatir. Semoga Par Dewa menolongmu.”
Seolah mengerti kalau dia juga tidak diperlukan ikut masuk ke dalam candi, anjing hitam kecil melompat dari bahu kanan Wiro, turun ke tanah lalu duduk di undakan pertama tangga menuju ke atas candi.
Sambil mendukung Ni Gatri, Wiro menaiki tangga batu. Di dalam candi terdapat beberapa ruangan berisi patung. Akhirnya Wiro menemukan ruangan yang agak temaram tapi bersih dimana terletak sebuah patung perempuan cantik tinggi besar bernama Batari Durga yang lebih dikenal dengan sebutan Loro Jonggrang.
Demikian pandainya para pemahat yang membuat, patung itu seolah- olah hidup dan memandang tersenyum kepada siapa saja yang berada dalam ruangan itu.
Wiro menatap wajah patung sebentar lalu dia meletakkan tubuh Ni Gatri di kaki patung yang menginjak palung seekor Banteng yang konon bernama Nandi dan telah dibunuh oleh Batari Durga karena hendak mencelakai dirinya dan mengacau negeri. Seperti yang diceritakan, dalam serial Satria Lonceng Dewa Mimba Purana, Loro Jonggrang adalah patung yang didatangi Ananthawuri anak perawan Desa Sorogedug untuk diminta pertolongan. Oleh sang patung yang dipanggil dengan sebutan Dewi oleh Ananthawuri, Loro Jonggrang memberikan sebuah jimat berupa sebuah batu sakti bernama Batu Kaladungga. (Baca serial Mimba Purana, Satria Lonceng Dewa karangan Bastian Tito berjudul “Perawan Sumur Api”, “Arwah Candi Miring”, “Pangeran Bunga Bangkai”, “Dewi Tangan Jerangkong” dst.)
Setelah membaringkan Ni Giatri, Wiro luruskan badan. Untuk beberapa lama dia hanya memandangi wajah patung dan menggaruk kepala satu kali.
“Aku harus bicara bagaimana?” Pikir Wiro.
Diluar dugaan, yang membuat Pendeker 212 terkejut tiba-tiba dia mendengar suara perempuan menyapa.
“Orang muda berambut panjang, yang berasal dari negeri terpaut jauh dari masa sekarang, yang datang membawa seorang anak perempuan dalam keadaan kaku tidak bergerak tidak bersuara. Mengapa berlamalama dan seperti bingung. Sebentar lagi fajar akan menyingsing, matahari akan terbit dan malam akan berganti dengan siang. Katakan apa maksud kedatanganmu. Katakan apa yang bisa aku lakukan.”
Wiro tercengang. Bagaimana patung itu bisa mengetahui mengenai dirinya serta keadaan Ni Gatri.
Lebih dari itu baru sekali ini dia melihat ada patung bisa bicara. Akibatnya, patung itu tersenyum ke arahnya. Dan bukan cuma tersenyum. Mulut dan bibir patung yang terbuat dari batu itu jelas-jelas bergerak pertanda patung inilah yang memang barusan bicara padanya! Wiro cepatcepat membungkuk.
“Patung cantik sakti ….”
Mendengar kata-kata Wiro, patung Loro Jonggrang, tertawa.
“Maafkan saya. Saya harus memanggil apa?” Wiro bertanya.
“Kau mau memanggil diriku apa terserah saja.” Patung menjawab.
“Saya….” Wiro menggaruk kepala. “Saya akan memanggilmu Dewi saja. Boleh …?” Sang patung cantik tersenyum.
“Panggilan itu mengingatkan aku pada seorang perawan desa yang pernah datang menemuiku beberapa tahun lalu. Namanya Ananthawuri. Entah dimana dia sekarang. Dia juga memanggilku dengan sebutan Dewi”
“Patung Dewi … Maksudku Dewi Loro Jonggrang, saya bernama Wiro Sableng….”
Sepasang alis mata patung Loro Jonggrang berkerenyit naik.
“Apa? Coba ulangi. Siapa namamu?”
“Nama saya Wiro Sableng…”
“Oohh… Tadi kurasa aku salah mendengar.” Loro Jonggrang tersenyum.
Wiro menggaruk kepala.
“Nama saya memang kedengaran aneh.”
“Banyak orang bernama aneh. Misal Kebo Panaran.
Tapi orang itu bukan kebo atau kerbau benaran. Kau bernama Wiro Sableng. Aku yakin kau juga tidak sableng benaran.”
Wiro tertawa dan menggaruk kepala.
“Dewi, saya datang ke sini, membawa anak perempuan bernama Ni Gatri yang saya anggap adik itu untuk minta pertolonganmu. Sesuatu telah terjadi atas dirinya. Tubuhnya keras seperti batu dan berwarna hijau.
Semua ini terjadi ada hubungannya dengan malapetaka Malam Jahanam yang menimpa Bhumi Mataram.”
Sesaat wajah cantik patung Loro Jonggrang tampak muram.
“Selama dunia terkembang orang-orang jahat selalu berada dimana-mana. Itu sebabnya Para Dewa meminta agar kita berlaku waspada. Wiro, kau datang atas kemauan sendiri atau ada yang menyuruh?”
“Ada seorang sahabat baik yang memberi nasihat.” Jawab Wiro.
“Laki-laki atau perempuan? Adakah dia mempunyai nama ?”
“Perempuan. Maaf, saya tidak menanyakan siapa namanya.”
“Bagaimana aku bisa yakin kalau kau memang datang atas petunjuk perempuan itu?”
Wiro ingat pada Bunga Matahari yang diberikan gadis berkaki tunggal. Dengan cepat bunga itu dikeluarkan lalu diperlihatkan seraya berkata.
“Sahabat itu memberikan Bunga Matahari ini pada saya. Disertai pesan saya harus menyerahkannya pada Dewi”
Mendengar ucapan Wiro tiba-tiba yang membuat Pendekar 212 terkejut setengah mati, tangan kanan patung Loro Jonggrang bergerak. Diulurkan mengambil Bunga Matahari yang dipegang sang pendekar.
Setelah memperhatikan bunga sebentar, Nyi Loro Jonggrang bertanya. “Aku tahu siapa perempuan itu.
Seorang gadis yang terkena tenung guna-guna ilmu hitam. Wiro, sekarang beritahu. Pertolongan apa yang ingin kau dapatkan dariku. Apakah kau percaya aku bisa menolong?”
“Dewi, kalau Yang Maha Kuasa telah menuntun saya datang kesini, berarti Dewilah memang orangnya tempat saya minta tolong.” Wiro menunjuk pada sosok Ni Gatri yang terbaring di lantai ruangan batu.
Loro Jonggrang menatap Ni Gatri agak lama. Lalu perhatiannya kembali pada Bunga Matahari yang dipegang di tangan kanan. Perlahan-lahan bunga di dekatkan ke wajahnya lalu ditiup. Bagian kuning bundar Bunga Matahari berubah menjadi putih berkilau. Loro Jonggrang ulurkan tangan, mengembalikan Bunga Matahari yang telah berubah kepada Wiro.
“Usapkan bagian putih bunga di ubun-ubun, kening, dada, perut dan telapak kaki anak perempuan itu. Mudahmudahan Yang Maha Kuasa menolong menyembuhkannya.”
Wiro cepat mengambil Bunga Matahari dan melakukan apa yang dikatakan Patung Dewi Loro jonggrang. Begitu selesai mengusapkan bagian putih Bunga Matahari di kedua kaki Ni Gatri, tiba-tiba anak perempuan itu mengerang pendek, menggeliat lalu bergerak bangun dan duduk di atas batu. Wajah dan sekujur tubuh yang tadi kehijauan kini kembali ke warna asli. Dua matanya menatap ke arah Wiro tapi tampak pandangannya kosong. Ni Gatri berpaling pada Loro Jonggrang. Anak ini tersenyum namun senyumnya hampa.
“Ni Gatri, kau sudah sembuh?” Ni Gatri mengangguk.
“Ni Gatri, bicaralah. Jangan diam saja.” Kata Wiro.
Anak perempuan itu menggerakkan mulut berulang kali. Tapi tidak ada suara yang keluar. Wajahnya seperti mau menangis.
“Ni Gatri! Kau tidak bisa bicara? Kau bisu ?!” Tanya Wiro.
Yang ditanya mengangguk.
Wiro pejamkan mata. Peluk anak perempuan itu lalu berpaling ke arah patung Loro Jonggrang.
“Wiro, kau tak usah kawatir. Bila besok matahari terbit dan mulai meninggi, anak itu akan bisa bicara dengan sendirinya.”
“Tapi Dewi, Ni Gatri harus bisa bicara sekarang. Ada hal sangat penting yang harus diterangkannya. Kalau dia baru bicara besok, sudah sangat terlambat. Dari keterangan anak ini saya akan melakukan sesuatu…”
“Wiro, aku tidak bisa melangkahi ketentuan yang dibuat Para Dewa. Kalau anak itu tidak bisa bicara sebelum waktunya, aku tidak mungkin membuat dia mampu bicara sekarang juga.”
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.
“Hal sangat penting apa yang harus diterangkan anak itu padamu?”
“Malam tadi ada dua kakek nenek aneh yang konon bernama Sepasang Arwah Bisu. Mereka datang ke Bukit Batu Hangus tempat Raja dan keluarga serta ratusan pengungsi lainnya berada. Sepasang kakek nenek memberi petunjuk dalam bahasa gerak tangan orang bisu. Hanya Ni Gatri yang tahu arti gerak tangan itu.
Namun sebelum sempat bicara dia telah diserang hebat hingga kaku dan tak bisa bersuara.”
“Bahasa gerak tangan orang bisu…” Loro Jonggrang mengulang. Dua tangannya diangkat, sepuluh jari tangan bergerak gerak. Sambil menatap ke arah Ni Gatri, Loro Jonggrang bertanya. “Kau mengerti isyarat-isyarat yang aku buat?” Anak yang ditanya anggukkan kepala.
Mendadak sebagian tubuh patung Loro Jonggrang sebelah atas membuat gerakan membungkuk. Dua tangan yang terus bergerak-gerak memancarkan cahaya putih. Lalu sama sekali tidak diduga oleh Wiro, dua tangan itu dipukulkan ke arahnya.
Sepuluh larik cahaya putih berkiblat dalam ruangan batu. Lima larikan menghantam tepat di kepala sang pendekar. Lima larikan lagi menyapu di kedua tangannya.
Walau Wiro tidak merasakan sakit namun tubuhnya terpental hingga dia jatuh terduduk di lantai ruangan. Ni Gatri terduduk di pangkuannya. Di luar candi terdengar suara anjing kecil menggonggong.
“Dewi, mengapa kau menyerangku…”
“Siapa bilang aku menyerangmu!” jawab Loro Jonggrang sambil mengulum senyum.
12
WIRO berdiri. Dua tangan diperhatikan. Kepala yang barusan dihantam lima larik cahaya putih diusap-usap. Kepala dan dua tangannya memang tidak cidera sama sekali.
“Dewi, maafkan kalau saya salah menduga. Tapi sepuluh sinar putih tadi…”
“Wiro, ambil kembali Bunga Matahari yang ada di lantai. Sekarang kau boleh membawa anak perempuan itu meninggalkan candi.
Sesampai di luar jika ada orang bicara atau bertanya padamu jangan dijawab sebelum kau berjalan ke arah timur sejauh empat puluh langkah. Pada langkah yang ke empat puluh lemparkan Bunga Matahari ke udara. Sesuatu akan terjadi.
Semoga Yang Maha Kuasa menolongmu.”
“Dewi, kau memberi tahu maksud sepuluh cahaya Loro Jonggrang tersenyum lalu menjawab.
“Tadi aku hanya memberikan sedikit ilmu padamu.
Agar kau bisa mengerti bahasa isyarat tangan orang bisu dan mampu pula balas bicara dengan membuat gerakan yang sama pada kedua tanganmu.”
Pendekar 212 terkesiap. Dia seperti mau berteriak saking girangnya. Tapi tahu diri sang Wiro buru-buru membungkukkan tubuh mengucap terima kasih berulang kali. Di sampingnya Ni Gatri ikut-ikutan membungkuk namun tidak bisa mengeluarkan suara.
“Dewi, rasa terima kasih kami berdua tidak terhingga.
Kami tidak bisa memba1as budi baikmu…”
“Wiro, jika kalian berdua bahagia, aku juga merasa bahagia. Jika kau bisa menolong Raja dan rakyat Mataram aku sungguh sangat bersyukur…”
“Dewi, apakah saya boleh pergi sekarang?”
Kepala patung Loro Jonggrang mengangguk. Mulut tersenyum.
Wiro membungkuk sekali lagi. Ketika dia melangkah ke pintu dia ingat sesuatu.
“Dewi, apakah saya boleh menjabat tanganmu?”
Wajah patung Loro Jonggrang tampak tercengang.
Namun kemudian kepala patung tampak mengangguk.
Wiro ulurkan tangan. Dalam waktu yang bersamaan Loro Jonggrang juga mengulurkan tangan. Wiro menyalami tangan kanan patung lalu menciumnya penuh hormat.
Astaga! Murid Sinto Gendeng tersentak dia merasakan tangan patung itu tidak beda dengan tangan manusia atau gadis biasa. Halus dan juga harum!
“Dewi, saya minta diri. Harap maafkan kalau ada ucapan dan tindakan saya yang lancang. Saya sangat menghormati dirimu.” Diam-diam Wiro jadi ngeri sendiri.
Sebelum Wiro meninggalkan ruangan patung Loro Jonggrang berkata.
“Wiro kau lupa membawa Bunga Matahari di lantai.”
Wiro terkejut dan cepat berbalik. Seat itu Bunga Matahari yang ada di lantai dekat kepala patung Banteng telah melayang ke udara. Wiro cepat menangkapnya.
“Wiro, satu hal sebelum kau pergi. Jaga baik-baik senjata mustika sakti berbentuk kapak yang ada dalam rongga dadamu. Ada orang jahat yang ingin merampasnya!”
Murid Sinto Gendeng terkejut lalu cepat-cepat membungkuk dan mengucapkan terima kasih.
“Dewi, kalau semua urusan ini sudah selesai, saya akan menyambangimu lagi di sin!. Bolehkah?”
“Aku senang mendengar kata katamu itu Wiro. Kau bisa menemuiku kapan saja. Selagi masih ada di Bhumi Mataram ini. Atau kelak setelah kau sampai dan kembali lagi ke negeri asalmu delapan ratus tahun mendatang.
Aku akan selalu ada di dalam candi yang sama.”
“Di alam delapan ratus tahun mendatang apakah nanti kau juga bisa bicara dan tersenyum seperti saat ini?” Tanya Wiro pula.
Loro Jonggrang tertawa merdu. Kepala diangguk dan mata kiri dikedipkan.
* * *
BEGITU Wiro keluar dari dalam candi bersama Ni Gatri yang kini tidak digendong lagi tapi bisa jalan sendiri, anjing kecil di tangga candi menyalak panjang dan lari berjingkrak-jingkrak seolah senang.“Dewi, maafkan kalau saya salah menduga. Tapi sepuluh sinar putih tadi…”
“Wiro, ambil kembali Bunga Matahari yang ada di lantai. Sekarang kau boleh membawa anak perempuan itu meninggalkan candi.
Sesampai di luar jika ada orang bicara atau bertanya padamu jangan dijawab sebelum kau berjalan ke arah timur sejauh empat puluh langkah. Pada langkah yang ke empat puluh lemparkan Bunga Matahari ke udara. Sesuatu akan terjadi.
Semoga Yang Maha Kuasa menolongmu.”
“Dewi, kau memberi tahu maksud sepuluh cahaya Loro Jonggrang tersenyum lalu menjawab.
“Tadi aku hanya memberikan sedikit ilmu padamu.
Agar kau bisa mengerti bahasa isyarat tangan orang bisu dan mampu pula balas bicara dengan membuat gerakan yang sama pada kedua tanganmu.”
Pendekar 212 terkesiap. Dia seperti mau berteriak saking girangnya. Tapi tahu diri sang Wiro buru-buru membungkukkan tubuh mengucap terima kasih berulang kali. Di sampingnya Ni Gatri ikut-ikutan membungkuk namun tidak bisa mengeluarkan suara.
“Dewi, rasa terima kasih kami berdua tidak terhingga.
Kami tidak bisa memba1as budi baikmu…”
“Wiro, jika kalian berdua bahagia, aku juga merasa bahagia. Jika kau bisa menolong Raja dan rakyat Mataram aku sungguh sangat bersyukur…”
“Dewi, apakah saya boleh pergi sekarang?”
Kepala patung Loro Jonggrang mengangguk. Mulut tersenyum.
Wiro membungkuk sekali lagi. Ketika dia melangkah ke pintu dia ingat sesuatu.
“Dewi, apakah saya boleh menjabat tanganmu?”
Wajah patung Loro Jonggrang tampak tercengang.
Namun kemudian kepala patung tampak mengangguk.
Wiro ulurkan tangan. Dalam waktu yang bersamaan Loro Jonggrang juga mengulurkan tangan. Wiro menyalami tangan kanan patung lalu menciumnya penuh hormat.
Astaga! Murid Sinto Gendeng tersentak dia merasakan tangan patung itu tidak beda dengan tangan manusia atau gadis biasa. Halus dan juga harum!
“Dewi, saya minta diri. Harap maafkan kalau ada ucapan dan tindakan saya yang lancang. Saya sangat menghormati dirimu.” Diam-diam Wiro jadi ngeri sendiri.
Sebelum Wiro meninggalkan ruangan patung Loro Jonggrang berkata.
“Wiro kau lupa membawa Bunga Matahari di lantai.”
Wiro terkejut dan cepat berbalik. Seat itu Bunga Matahari yang ada di lantai dekat kepala patung Banteng telah melayang ke udara. Wiro cepat menangkapnya.
“Wiro, satu hal sebelum kau pergi. Jaga baik-baik senjata mustika sakti berbentuk kapak yang ada dalam rongga dadamu. Ada orang jahat yang ingin merampasnya!”
Murid Sinto Gendeng terkejut lalu cepat-cepat membungkuk dan mengucapkan terima kasih.
“Dewi, kalau semua urusan ini sudah selesai, saya akan menyambangimu lagi di sin!. Bolehkah?”
“Aku senang mendengar kata katamu itu Wiro. Kau bisa menemuiku kapan saja. Selagi masih ada di Bhumi Mataram ini. Atau kelak setelah kau sampai dan kembali lagi ke negeri asalmu delapan ratus tahun mendatang.
Aku akan selalu ada di dalam candi yang sama.”
“Di alam delapan ratus tahun mendatang apakah nanti kau juga bisa bicara dan tersenyum seperti saat ini?” Tanya Wiro pula.
Loro Jonggrang tertawa merdu. Kepala diangguk dan mata kiri dikedipkan.
* * *
Ratu Randang cepat mendatangi di kaki tangga dan bertanya.
“Wiro, kau sudah menemui Nyi Loro Jonggrang? Kau bicara padanya ? Apa yang dikatakannya?”
Wiro tidak menjawab. Pada seat menginjakkan kaki di tanah dia langsung berjalan ke arah timur. Di sebelahnya melangkah Ni Gatri. Karena Wiro tak menjawab Ratu Randang segera mengikutinya dengan perasaan terheran-heran.
“Wiro, aku bertanya. Apakah kau sudah bertemu dengan Nyi Loro Jonggrang? Apakah kau sudah mendapat petunjuk?”
Sesuai pesan Loro Jonggrang, Wiro tetap tidak menjawab dan berjalan terus.
“Wiro! Hai! Kau tuli atau bagaimana! Aku bertanya kau tak mau menjawab. Kau seperti orang mimpi melek berjalan di malam buta ! Hantu mana yang menemanimu ?!”
Wiro tetap diam. Sementara itu sambil melangkah di samping Wiro, Ni Gatri palingkan kepala dan letakkan jari telunjuknya di atas bibir. Melihat isyarat ini Ratu Randang menjadi terkejut.
“Apa ? Kau memberi tahu kalau Wiro sekarang menjadi bisu ?!”
Ni Gatri tidak menjawab karena memang tidak bisa bersuara.
“Astaga! Kau ini diapakan sama Loro Jonggrang?
Atau apa ada setan jahat kesasar didalam candi masuk ke dalam dirimu hingga kau kesambet tidak bisa mendengar tidak bisa bicara ?! Atau mungkin kau bicara dan bertingkah kurang ajar membuat Loro Jonggrang marah !”
Ratu Randang berucap setengah ketakutan dan seperti mau menangis. Ketika dia hendak merangkul pemuda itu tiba-tiba Wiro hentikan langkah. Itulah langkah yang ke empat puluh !
Wiro perhatikan Bunga Matahari di tangan kanan.
Lalu menatap ke langit yang diterangi bulan setengah lingkaran. Tangan kanan bergerak dan dengan kekuatan tenaga luar yang dimiliki Wiro lempar bunga itu tinggitinggi ke udara.
Di udara malam Bunga Matahari pijarkan cahaya putih. Sesaat udara tampak terang. Justru dalam terang itulah mendadak ada delapan larik cahaya merah datang menyambar dart arah selatan!
“Sinuhun Muda!” Teriak Ratu Randang.
Perempuan ini segera pukulkan tangan kanan ke etas, melepas Sang Pencipta Berbuat Penuh Kuasa.
Selarik cahaya putih yang mengembang membentuk kipas terbuka berkiblat, menyambar menghadang delapan larik cahaya merah.
“Blarrrr!”
“Bummm!”
Bentrokan hebat membuat delapan cahaya merah dan cahaya putih berpijar seperti bunga api raksasa.
Menyusul suara dentuman dahsyat yang seperti menggoyang langit malam dan menggetarkan kawasan Prambanan. Bunga Matahari yang tadi dilempar Wiro melayang jatuh ke bawah dan cepat ditangkap Wiro sebelum menyentuh tanah. Anjing kecil menyalak tiada henti.
Ratu Randang terpekik. Tubuhnya terguling di tanah.
Wiro dan Ni Gatri cepat mendatangi perempuan itu. Air muka Ratu Randang tampak pucat . Dd sela bibirnya kelihatan darah meleleh.
“Wiro, dadaku sakit…” Ucap Ratu Randang setengah berbisik.
Wiro jadi bingung. Tapi cuma sebentar.
“Kau tak apa-apa. Mudah-mudahan ini bisa mengobati luka dalammu.”
Wiro usapkan ke dada Ratu Randang Bunga Matahari pemberian gadis berkaki tunggal yang telah diberi kekuatan sakti oleh Loro Jonggrang. Ajaib ! Saat itu juga rasa sakit didada Ratu Randang lenyap. Malah perempuan ini seolah mendapatkan satu kekuatan dahsyat di dalam tubuhnya. Dia hendak mengarahkan sesuatu namun saat itu dari langit malam datang menyapu gulungan cahaya merah, membuntal menghunjam ke tanah dimana Wiro, Ni Gatri, Ratu Randang dan anjing kecil berada.
Dari warna cahaya yang menyerang dan ingat teriakan Ratu Randang tadi Wiro merasa yakin serangan dahsyat itu pasti dilancarkan oleh orang yang sama yakni Sinuhun Muda ! Tidak menunggu lebih lama Wiro segera keluarkan potongan kalung emas yang diberikan Sri Padmi Kameswari. Seperti diketahui emas adalah pantangan bagi diri dan semua ilmu kesaktian yang dimiliki Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Namun saat itu di udara malam tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak.
“Kesatria Panggilan! Kau boleh punya satu gunung emas! Jangan mengira saat ini kau bisa selamat dari seranganku ! He … he … he !”
Anjing kecil meraung panjang. Ni Gatri tercekat. Ratu Randang terkesiap. Ratu Randang berteriak.
“Wiro ! Jangan-jangan mahluk keparat itu telah memiliki ilmu penolak penangkal yang kita miliki. Celaka !
Kita bisa mati semua!”
Hawa panas yang berasal dari gulungan cahaya merah menerpa tiga orang dan anjing kecil yang ada di halaman kawasan candi. Wiro dengan nekad segera siap melepas pukulan Sinar Matahari. Namun terlambat!
Hanya sekejapan lagi semua mereka itu akan disapu lumat dan leleh oleh gulungan cahaya merah yang luar biasa panasnya tiba-tiba!
“Tam! Tam! Tam!”
Di kejauhan terdengar suara, orang menabuh tambur.
Udara malam laksana tercabik cabik. Tanah bergeletar.
Lalu menyusul suara, tiupan suling yang membuncah liang telinga!
Saat itu pula gulungan cahaya merah bergoyang keras. Seperti ada kekuatan dahsyat menghantam dari dalam tanah gulungan cahaya merah terpental ke atas.
Setiap terdengar suara tambur dan suling, gulungan cahaya merah kembali terlempar ke atas hingga akhirnya seolah amblas lenyap di atas langit!
“Suara tambur dan tiupan suling itu! Menolong kita!” Ucap Ratu Randang.
“Dua manusia aneh bernama Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik!” Kata Wiro pula. Semua orang memandang ke arah kejauhan dari mana, datangnya suara tambur dan suling. Namun mereka tidak melihat apa-apa.
Wiro segera hendak terapkan Ilmu Menembus Pandang namun tidak jadi karena tiba-tiba di langit muncul melayang dua kakek nenek berselempang kain putih yang tidak asing lagi!
“Kakek nenek Sepasang Arwah Bisu!” Wiro setengah berseru. “Berarti bukan hanya suara tambur dan suling yang menolong kita.
Tapi kehadiran dua kakek nenek itu juga sangat mempengaruhi orang yang menyerang kita. Ratu, kau ingat bagaimana tampang Sinuhun Muda ketakutan: ketika melihat dua kakek nenek itu di Bukit Batu Hangus?”
Tanpa menunggu jawaban Ratu Randang Wiro melambaikan tangan sambil berteriak.
“Kakek nenek Sepasang Arwah Bisu, kami butuh bantuanmu!”
Dua kakek nenek yang melangkah mengambang di udara tukikkan pandangan kebawah. Ketika melihat Wiro dan kawan-kawan keduanya segera melayang turun namun tidak sampai menjejakkan kaki di tanah.
Dua kakek nenek itu melayang tak jauh dari hadapan Candi Wisnu.
Wiro segera mendatangi. Ratu Randang, dan anjing kecil yang kini digendong oleh Ni Gatri mengikuti dari belakang.
Begitu sampai di hadapan Sepasang Arwah Bisu, Wiro membungkuk hormat. Setelah meluruskan tubuh kembali dengan cepat dia menggerak gerikkan tangan dan sepuluh jari. Lalu tangan kanan diusapkan ke kening dan dikepretkan.
Ratu Randang terkejut. Juga Ni Gatri.
“Hai ! Wiro ! Dari mana kau belajar dan tahu bahasa tangan orang bisu itu ?!” Bertanya Ratu Randang.
“Dari Dewi Loro Jonggrang. Nanti akan aku ceritakan.
Aku menunggu jawaban dua kakek nenek itu. Aku barusan menanyakan pada mereka apa arti gerakan sepuluh jari tangannya dan usapan di kening serta kepretan tangan yang pernah dilakukannya di Bukit Batu Hangus. Nah, mereka tengah bersiap-siap menjawab. Yang akan bicara agaknya si kakek.”
Bukan saja Ratu Randang dan Ni Gatri yang terkejut melihat Wiro mampu melakukan pembicaraan orang bisu dengan bahasa gerakan tangan, sepasang kakek nenek yang melayang di depan Candi Wisnu tampak tercengang dan sesaat keduanya saling pandang lalu sama-sama tersenyum. Si kakek kemudian menunjuk ke arah Wiro dengan telunjuk tangan kanan. Lalu dia mulai menggerak gerakkan sepuluh jari tangan, meletakkan tangan kanan di atas kening lalu seperti sebelumnya yang dilakukan kakek ini kepretkan tangan itu ke bawah.
“Astaga!” Wiro berseru tertahan melihat gerakan si kakek.
“Apa katanya?” Tanya Ratu Randang yang jadi tidak sabaran.
“Kakek itu bilang. Aku datang membawa segudang ilmu. Tetapi mengapa tidak dipergunakan.” Wiro menjelaskan.
“Lalu kening yang diusap dan tangan yang dikepretkan, apa artinya?”
“Si kakek berkata, aku punya ilmu yang bisa membersihkan benjolan di kening. Ratu, harap kau diam dulu. Aku akan bertanya pada mereka.”
Lalu Wiro gerakkan jari-jari tangannya.
Melihat gerakan jari-jari tangan yang dibuat Wiro, Sepasarg Arwah Bisu saling pandang, lalu si nenek menggerakkan tangan memberi jawaban.
“Luar biasa ! Bagaimana mereka tahu ilmu yang aku miliki !”
“Tanyakan siapa mereka sesungguhnya.” Ratu Randang berbisik.
Wiro melakukan apa yang dikatakan Ratu Randang.
Sepuluh jari tangan bergerak lincah. Yang segera dibalas oleh kakek berselempang kain Putih dan langsung diartikan Wiro, diberi tahu pada Ratu Randang.
“Ketika negeri bersimbah darah, orang-orang jahat hendak merebut tahta. Anak dan menantuku menemui ajal di dalam dosa. Satu setunya cucuku yang masih hidup ternyata tidak berbakti pada kami berdua…”
“Tanyakan siapa cucunya yang masih hidup itu !” Bisik Ratu Randang.
Wiro menggerakkan jari-jari kedua tangan.
Di atas sana Sepasang Arwah Bisu sama-sama gelengkan kepala. Si nenek berkata melalui gerakan tangan. Yang diartikan Wiro pada Ratu Randang.
“Kami tidak akan memberi tahu. Karena kami berharap dia masih bisa keluar dari kesesatan…”
Tiba-tiba suara tambur dan suling bergema kembali.
Tak lama kemudian Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik muncul dari balik Candi Wisnu. Sepasang Arwah Bisu memutar tubuh. Seperti sebelumnya mereka siap melangkah mengambang mengikuti kedua orang itu.
“Wiro, kau ingat. Waktu di Bukit Batu Hangus si kakek beberapa kali menunjuk-nunjuk pada penabuh tambur dan suling itu. Lalu tangan kanannya digerakkan ke pinggang, ditayangkan ke atas. Lekas tanyakan pada si kakek sebelum mereka pergi apa arti gerakannya itu!”
“Kek! Tunggu! Jangan pergi dulu!” Wiro berteriak.
Sambil berlari mengikuti gerakan melayang Sepasang Arwah Bisu Wiro gerak-gerakkan tangan ke pinggang lalu dilayangkan ke atas. Sepuluh jari tangan digerakkan terus menerus.
Setelah berdiam diri dan melayang terus, akhirnya si kakek berhenti sebentar lalu menjawab apa yang ditanyakan Wiro melalui isyarat gerakan tangan. Di lain kejap kedua kakek nenek itu lenyap dalam temaram malam.
“Apa katanya?” Ratu Randang bertanya begitu berada di sebelah Wiro.
“Kakek itu memberitahu ada sebuah senjata. Aku kurang jelas apakah sebilah keris atau sebilah pedang.
Jika ingin tahu dimana beradanya senjata itu maka harus mengikuti si penabuh tambur dan meniup seruling.”
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tanya Ratu Randang pula.
“Saat ini kita tidakmungkin mengikuti Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik. Kita harus segera menemui Raja di Bukit Batu Hangus. Sebelum matahari terbit aku harus sudah berhasil melakukan sesuatu…”
“Melakukan sesuatu apa ?” Tanya Ratu Randang ingin tahu.
Wiro tak menjawab. Dia cepat mendukung Ni Gatri.
Memberi tanda pada anak anjing hitam agar naik ke bahunya. Lalu ke tiga orang itu segera berlari cepat laksana terbang menuju Sukit Batu Hangus.
Namun sebelum mencapai tujuan, di tengah jalan tiba-tiba seorang berpakaian dan bermantel hitam, mengenakan ikat kepala kain merah tiba-tiba berkelebat menghadang. Orang ini berdiri di tengah jalan sambil berkacak pinggang lalu tertawa bergelak. Dari sepasang mata dan dari dalam mulut memancar cahaya merah seolah ada kobaran api menggidikkan. Wiro dan juga Ratu Randang punya dugaan orang ini tidak muncul seorang diri. Mungkin ada satu atau dua orang lain yang ikut bersamanya tapi saat itu sengaja bersembunyi.
Mula-mula Wiro tidak mengenali siapa adanya orang ini. Tapi begitu mendekat dan melihat wajah orang lebih jelas, terkejutlah Pendekar 212 !
T A M A T
Siapakah orang yang menghadang Pendekar 212 Wiro Sableng ?
Apakah Wiro mampu menjaga Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya sebelum sempat dipergunakan untuk, menumpas orang-orang jahat di Bhumi Mataram?
Benarkah dua Sinuhun telah memiliki ilmu baru penangkal kelemahan mereka terhadap emas?
Lalu bagaimana dengan Sinto Gendeng? Dimanasebenarnya nenek ini berada?
Ikuti serial berikutnya berjudul :
DEWI KAKI TUNGGAL
Siapakah orang yang menghadang Pendekar 212 Wiro Sableng ?
Apakah Wiro mampu menjaga Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya sebelum sempat dipergunakan untuk, menumpas orang-orang jahat di Bhumi Mataram?
Benarkah dua Sinuhun telah memiliki ilmu baru penangkal kelemahan mereka terhadap emas?
Lalu bagaimana dengan Sinto Gendeng? Dimanasebenarnya nenek ini berada?
Ikuti serial berikutnya berjudul :
DEWI KAKI TUNGGAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar