Minggu, 10 Januari 2010

Wiro Sableng Episode # 98 : Rahasia Cinta Tua Gila

posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito
EP : TUA GILA DARI ANDALAS

SATU

Sepasang mata Sabai Nan Rancak memandang tak berkesip pada orang bercadar yang tegak di hadapannya. Dia seolah berusaha menembus cadar untuk melihat wajah orang berpakaian serba kuning itu, untuk mengetahui siapa orang ini adanya.
“Siang telah bergerak menuju petang. Terima kasih kau telah sudi datang memenuhi undangan.” Si cadar kuning berkata.
Sabai Nan Rancak memasang telinganya baik-baik. Sebelumnya dia telah beberapa kali bertemu dengan orang ini dan telah beberapa kali pula mendengar suaranya. Dalam hati Sabai Nan Rancak berkata. “Aku masih belum bisa memastikan apakah orang ini lelaki atau perempuan. Kalau bicara kata-katanya seperti berpantun. Setiap bicara agaknya dia mengerahkan tenaga dalam untuk menutupi suara aslinya. Namun berat dugaanku dia seorang perempuan.”
“Waktuku tidak banyak. Ada beberapa urusan penting menungguku. Jadi kuharap kau segera menjelaskan maksud tujuan pertemuan ini.” Kata Sabai Nan Rancak setelah tadi berusaha menyimak suara orang.
“Sebetulnya ada tiga orang yang kuharapkan datang kemari. Namun orang ke tiga belum menunjukkan diri….”
“Kalau pertemuan ini memang penting, aku bersedia menunggu sampai matahari tenggelam.”
Orang bercadar dan berpakaian serba kuning gelengkan kepala. “Yang ditunggu tak bakal datang. Entah apa sebab penghalang….”
“Kalau begitu percuma aku datang kemari!” ujar Sabai Nan Rancak dengan nada keras menunjukkan sikapnya yang mulai tidak sabaran dan cepat naik darah.
“Setiap kedatangan ada manfaatnya,” jawab si cadar kuning. “Undangan ke tiga tidak datang. Entah apa sebab penghalang. Terakhir kusirap dia berada di sekitar Telaga Gajahmungkur. Lalu lenyap seolah masuk ke dalam kubur. Hanya kita bertiga yang bisa berkumpul. Itu sudah cukup untuk memanjatkan syukur.”
“Kalau memang kita bisa mulai bicara, harap kau suruh orang yang sembunyi di balik pohon besar itu keluar dan datang ke tempat ini!” kata Sabai Nan Rancak. Sejak pertama datang nenek sakti ini memang sudah mengetahui kalau ada orang mendekam di balik pohon besar.
“Saudara di balik pohon harap kau suka datang ke sini. Agar pertemuan dan pembicaraan dimulai lebih dini!” kata si cadar kuning pula.
Dari balik pohon terdengar suara orang mendehem beberapa kali. “Sebetulnya aku malu untuk menemui kalian. Tapi kupikir jauh lebih memalukan kalau terus-terusan sembunyi di balik pohon ini!”
Suaranya masih bergema namun orang yang tadi berada di balik pohon tahu-tahu sudah berada di tempat itu. Duduk mencangkung seenaknya di gundukan tanah tinggi berumput. Kedua tangannya ditutupkan di atas wajahnya.
“Iblis Pemalu!” kata Sabai Nan Rancak setengah berseru karena dia tidak menyangka orang di balik pohon itu ternyata adalah si pendatang baru dalam rimba persilatan yang memperkenalkan diri dengan nama atau julukan Iblis Pemalu. Sebelumnya dia telah pernah bertemu dengan pemuda itu. Terakhir sekali dia malah mengadakan perjalanan bersama menyeberangi lautan dari pulau Andalas menuju tanah Jawa. Yakni setelah dia mendapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan milik Datuk Tinggi Raja Di Langit yang kemudian merubah gelar menjadi Jagal Iblis Makam Setan.
Lalu di sebuah teluk mereka berpisah. Namun karena ada satu perasaan aneh timbul di dalam hatinya, Sabai Nan Rancak secara diam-diam kembali ke teluk. Dia mengintai dan sempat mendengar desah ucapan Iblis Pemalu yang duduk termenung di tepi pantai menghadap ke laut. Desah yang keluar dari lubuk hati Iblis Pemalu membuat Sabai Nan Rancak berdebar. Karena ucapan memelas yang sempat didengar Sabai itu seolah menyatakan adanya hubungan tertentu antara Iblis Pemalu dengan dirinya. (Baca Episode Utusan Dari Akhirat) iblis Pemalu sendiri tampak tenang-tenang saja mencangkung di atas gundukan tanah berumput.
Sabai Nan Rancak berpaling pada orang bercadar di hadapannya. “Karena kau mengundang pemuda ini datang ke mari, apakah ini satu pertanda bahwa dia juga punya sangkut paut dengan urusan kita?”
Si cadar kuning mengangguk.
Sabai Nan Rancak kembali menatap Iblis Pemalu lekat-lekat. Walau tampak tenangtenang saja namun sampai saat itu Iblis Pemalu terus saja menutupi wajahnya dengan dua telapak tangan. “Orang mudai Apakah kau mau menurunkan dua tanganmu hingga aku bisa melihat wajahmu?”
Iblis Pemalu berpaling pada Sabai Nan Rancak. Di antara sela-sela jarinya sepasang matanya menatap tajam pada si nenek. Lalu dia menjawab. “Wajahku buruk. Memalukan. Tampangku buruk. Memalukan! Nah buat apa aku memperlihatkan muka?!”
Walau jengkel mendengar kata-kata Iblis Pemalu namun Sabai Nan Rancak masih bisa menahan diri. Dia alihkan pandangannya pada si cadar kuning. Saat itu debaran aneh seperti yang dirasakannya waktu mendengar desah Iblis Pemalu tempo hari kembali muncul di dadanya. Maka nenek ini bertanya lagi. “Tadi kau mengatakan bahwa sebenarnya ada seorang lagi yang diundang datang ke tempat ini. Tapi tidak datang. Kau bersedia memberi tahu siapa adanya orang itu?”
“Tamu yang diundang tapi tidak datang. Dia berasal dari tanah seberang. Kukenal dengan nama Puti Andini. Berwajah secantik puteri. Berjuluk Dewi Payung Tujuh. Memiliki suara semerdu bulu perindu. Apakah nama dan dirinya berarti sesuatu bagimu?”
Sabai Nan Rancak tersurut dua langkah. Dia tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya. Wajahnya jelas berubah. Semua ini terlihat oleh si cadar kuning. Maka segera saja dia berkata. “Kaki tersurut dua langkah. Wajah berubah serta merta. Apakah ini satu pertanda. Bahwa kau mengenal dirinya. Atau ada sesuatu yang mendekam di dalam dada…?”
Tenggorokan Sabai Nan Rancak tampak turun naik beberapa lama. “Aku tidak akan menjawab sebelum kau lebih dulu mengatakan siapa dirimu dan apa maksud pertemuan ini sebenarnya!”
“Saling bertanya tapi tak saling menjawab. Tentu ada pasal penyebab. Kau tak suka menjawab, aku tak mau berdebat. Siapa diriku pasti akan terjawab. Siapa diri kita pasti akan tersingkap. Mengapa hidup berteka-teki. Kalau kau suka menjawab aku akan menuruti.”
Sepasang mata Sabai Nan Rancak tampak membesar dan rahangnya yang tertutup kulit menggembung. Ini satu pertanda bahwa dia mulai jengkel.
“Orang bercadar, apakah kau tak bisa bicara wajar. Tidak terus-terusan berpantun atau bersyair yang terdengar asing di telingaku!”
Wajah di balik cadar tersenyum. “Manusia dilahirkan menurut kodratnya yang telah ditentukan dan menjadi bagian dirinya. Lingkungan dan perjalanan hidup mempengaruhi dan membentuk pribadinya. Menunjukkan keaslian diri pribadi adalah lebih baik dari pada berpura-pura….”
“Kalau kau berkata begitu, mengapa kau justru menunjukkan sifat berpura-pura. Tidak mau mengatakan siapa dirimu sebenarnya.” Bertanya Sabai Nan Rancak dengan suara gusar.
“Aku tidak berpura-pura. Diri ini tidak bisa mengada-ada. Pada saatnya semua akan terbuka. Tapi apakah pintu bisa terbuka kalau tak ada kunci pelaksana. Nenek Sabai Nan Rancak, justru dirimulah yang menjadi kunci pembuka. Apakah kau sudi menerima?”
“Aku manusia hidup! Bukan benda mati! Bukan sebuah kunci!” Suara Sabai Nan Rancak mengeras. “Kau cari saja kunci yang lain! Aku merasa menyesal datang memenuhi undanganmu. Urusanku banyak yang lebih penting!” Habis berkata begitu Sabai Nan Rancak hendak memutar tubuh. Namun gerakannya tertahan ketika mendengar suara Iblis Pemalu.
“Kalau ada yang mau mendengar biar badan buruk ingin bicara agar aku tidak malu! Kalau ada yang tidak mau mendengar biar aku lebih dulu angkat kaki dari sini supaya tidak malu!”
“Apa yang hendak kau ucapkan?!” tanya Sabai Nan Rancak.
“Aku harap kalian tidak malu mendengarkan!” jawab Iblis Pemalu. Dua tangannya tetap tak beranjak dari menutupi wajahnya. “Setinggi langit tak ada yang lebih tinggi dari akal manusia. Aku tidak malu bilang begitu! Sedalam lautan tidak sedalam rahasia kehidupan! Aku juga tidak malu berkata begitu. Tapi aku merasa malu sekali mengatakan yang ini. Kenapa banyak manusia bertinggi hati berendah budi. Kalau sampai rahasia tidak tersingkap hanya karena bertahan pada keangkuhan pribadi, jangan salahkan jika umat sedarah sedaging saling berbunuh sebelum kiamat!”
“Iblis Pemalu! Ucapanmu aneh tapi tajam! Apa maksudmu?!” hardik Sabai Nan Rancak.
“Apa memalukan bagimu kalau menceritakan apa hubungan dan sangkut paut dirimu dengan gadis bernama Puti Andini itu? Kalau aku jadimu aku tidak akan merasa malu menerangkan.”
Rahang Sabai Nan Rancak kembali menggembung.
“Aku diminta datang ke tempat ini! Tujuan pertemuan ini masih jauh dari jelas. Dia sebagai tuan rumah malah mengajak aku bicara tak karuan! Menutupi siapa dirinya sendiri. Tapi berusaha hendak menelanjangi diriku dengan pertanyaan-pertanyaan yang bukanbukan!”
“Tamu yang diundang memang tidak harus dibuat malu. Tapi tuan rumah yang berniat baik juga kurang pantas dipermalukan. Apa susahnya menjawab pertanyaannya. Apa itu satu hal yang memalukan?”
“Aku jauh lebih tua dari dirinya. Kurasa aku cukup pantas untuk mengetahui siapa dirinya lebih dulu dan apa tujuan sebenarnya pertemuan ini!” jawab Sabai Nan Rancak.
Iblis Pemalu tertawa pendek. “Nenek,” katanya. “Bagaimana kau tahu lebih tua dari orang bercadar dan berpakaian kuning ini? Apa kau pernah melihat wajahnya? Apa kau tidak merasa malu mengatakan sesuatu yang kau sebenarnya tidak yakin?”
Mulut Sabai Nan Rancak tampak memencong dan tenggorokannya turun naik Matanya memandang ke wajah yang tertutup cadar. Dia coba memperhatikan dua tangan orang itu. Tapi terlindung di balik lengan baju yang panjang menjulai. Dia memandang ke bawah. Dua kaki orang ini juga tertutup oleh kaki celana yang gombrang menjela tanah. Dia tak bisa menemukan bukti-bukti bahwa orang berpakaian serba kuning itu lebih tua atau lebih muda dari dirinya.
“Baik!” Tiba-tiba Sabai Nan Rancak membuka mulut. “Aku tidak akan memaksanya menerangkan siapa dirinya. Antara kita berdua adalah sama-sama tamu! Sekarang aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri! Siapa dirimu adanya!”
Saking kagetnya mendengar pertanyaan si nenek, Iblis Pemalu sampai tertegak dari jongkoknya di atas gundukan tanah berumput.

*
* *

DUA

Untuk beberapa lamanya Iblis Pemalu dan Sabai Nan Rancak sama-sama tegak saling melontar pandang. “Ini sungguh aneh. Sungguh memalukan! Kalian berdua saling berdebat, mengapa aku yang kena getah! Jadi korban pertanyaan memalukan!” Iblis Pemalu akhirnya buka suara.
“Jadi seperti manusia bercadar itu kau juga tidak mau memberi tahu siapa dirimu!”
ujar Sabai Nan Rancak seraya dongakkan kepala sedikit dan rangkapkan dua tangan di depan dada.
“Bukan aku malu mengatakan siapa diriku. Bukan aku malu menerangkan asal-usul diriku! Tapi aku tidak mau mendahului tuan rumah! Aku merasa ini belum saatnya. Aku menduga ada orang lain yang lebih patut mengatakannya! Orang itu pasti tidak malu menjelaskan semuanya…. Dia saksi yang punya seribu bukti!”
“Siapa orang yang kau maksud! Apa yang mau dijelaskannya?!” tanya Sabai Nan Rancak dengan suara keras dan mata membelalak.
Iblis Pemalu tidak menjawab pertanyaan si nenek melainkan berpaling pada orang bercadar kuning. Lalu berkata. “Aku yakin kau pun merasa malu menjelaskan. Karena belum saatnya!”
“Kalian ini bicara apa?!” Membentak Sabai Nan Rancak. “Aku diminta datang ke tempat ini. Setelah aku berada di sini kalian bicara tidak karuan! Kalian semua orang-orang gila atau bagaimana? Mungkin sengaja memancing aku datang ke sini dengan maksud jahat tersembunyi?! Jangan berani mempermainkan Sabai Nan Rancak. Aku bisa membunuh kalian semudah aku membalikkan telapak tangan!” Habis berkata begitu si nenek buka kancing mantel hitamnya satu persatu.
“Aku tahu…. Aku tahu! Aku malu, sangat malu! Kau dikenal sebagai nenek sakti dari puncak Singgalang! Malah sekarang kau mengenakan Mantel Sakti. Membekal Mutiara Setan. Walau dua benda sakti itu bukan milikmu! Aku malu! Aku malu!”
Wajah Sabai Nan Rancak berubah kelam. Dia bergerak mendekati Iblis Pemalu. Jarijari tangannya terkepal. Namun orang bercadar cepat menghadang.
“Tidak ada orang yang bicara tak karuan. Jangan merasa dirimu dipermainkan. Siapa pula yang memancing dengan maksud jahat tersembunyi. Juga tak ada orang gila di tempat ini!”
“Aku muak mendengar segala syair dan pantunmu!”
“Aku malu melihat sikapmu!” Menukas Iblis Pemalu. Lalu dia berpaling pada si cadar kuning. “Jika nenek ini tidak sabaran dan tidak mau mengerti katakan saja padanya semua yang kau ketahui tentang dirimu, diriku, dirinya dan diri gadis bernama Puti Andini itu! Tapi agar aku tidak malu, sebelum kau mengatakan biar aku angkat kaki dulu dari tempat ini!”
“Iblis Pemalu, tunggu!” berseru si cadar kuning. “Apapun yang akan aku katakan kau harus tetap di sini!” Lalu dia berpaling pada Sabai Nan Rancak. “Orang bijaksana pandai menahan diri. Orang cerdik tahu membaca pikiran. Kalau kau memaksa diri. Maka kau hanya akan menerima sebagian. Sisanya terpaksa kau telusuri sendiri. Nenek Sabai Nan Rancak, dalam hidupmu apakah kau pernah punya suami?”
Terkejutlah Sabai Nan Rancak mendengar pertanyaan yang tidak tersangka-sangka itu. “Pertanyaan gila apa pula ini?! Urusan pribadiku mengapa kau selidiki!”
“Alam terkembang tapi dunia seolah kelam. Puluhan tahun rahasia mencekam. Apakah manusia masih tetap hendak bertahan. Menyimpan segala tanya hati dan ratap perasaan. Pertemuan ini tidak mengarah diri pribadi. Urusan yang ada menyangkut ikatan diri. Kalau rahasia hendak diungkap, mengapa tak mau diajak mufakat? Seperti kataku tadi kunci semua persoalan ini ada di tanganmu. Kalau tak ada sepotong keterangan pun yang kudapat darimu mana mungkin persoalan bisa diramu….”
Sabai Nan Rancak terdengar menggerendeng panjang pendek. Dia melirik pada Iblis Pemalu dan kembali ingat peristiwa di tanjung tempo hari. Kalau tak mau dikatakan curiga, saat itu sebenarnya si nenek telah menaruh kesan bahwa antara dia dengan iblis Pemalu ada satu hubungan yang sangat dekat tapi keadaan membuatnya terasa begitu jauh. Sabai Nan Rancak terdiam beberapa lamanya. Mulutnya tampak berkomat-kamit.
“Baik, aku akan menjawab. Aku memang pernah punya suami. Tapi manusia itu justru sedang aku cari untuk dibunuh!”
“Soal bunuh membunuh adalah soal kedua. Soal pertama ingin kutanyakan apakah suamimu itu berpunya nama?” Bertanya si cadar kuning.
“Namanya Sukat Tandika!” jawab Sabai Nan Rancak.
Si cadar berpaling pada Iblis Pemalu. Saat itu si pemuda juga memandang ke arahnya.
“Aku malu bicara. Tapi aku harus ikut bertanya. Apakah suamimu itu punya gelar?” Bertanya Iblis Pemalu.
“Jangan sebut bangsat itu suamiku! Kami tidak punya hubungan apa-apa lagi! Aku benar-benar ingin membunuhnya!” Berteriak Sabai Nan Rancak.
“Aku mengerti kalau kau tenggelam dalam perasaan. Namun pertanyaan menunggu jawaban,” kata orang bercadar pula.
“Bangsat tua itu dikenal dengan julukan Tua Gila!” Menerangkan Sabai Nan Rancak.
“Dari hubungan kalian sebagai suami istri apakah kailan berpunya anak?”
“Orang bercadar! Pertanyaanmu sudah keliwatan. Aku tak mau menjawab!”
“Nek, aku malu melihat sikapmu. Bagimu apakah memalukan menjawab pertanyaan orang? Berdebat sampai malam dan sampai pagi lagi tak ada gunanya. Jika urusan mau cepat selesai harap kau jangan berlaku memalukan. Jawab saja pertanyaan orang itu. Kelak kau nanti akan tahu apa tujuannya. Semua bukan untuk kebaikan kita saja. Tapi juga beberapa orang lain yang tidak hadir di tempat ini! Ayo Nek. Bersikaplah bijaksana. Jangan memalukan begitu!”
Sabai Nan Rancak menyeringai buruk. “Enak dan pandainya kau bicara! Kau sendiri apa sudah pernah punya istri? Siapa nama istrimu! Apa kau juga punya anak? Siapa nama anakmu!”
“Aku tidak malu menjawab! Aku belum punya istri. Jadi tidak mungkin punya anak! Kalau aku belum kawin tapi punya anak bukankah memalukan?!”
Sabai Nan Rancak tampak bersungut-sungut mendengar ucapan Iblis Pemalu itu. Dia ingat sesuatu. Waktu di tepi pantai dulu, sebelum berpisah ada satu perasaan aneh yang membuatnya ingin memeluk Iblis Pemalu. Tapi orang itu menampik untuk dipeluk. Sepasang mata si nenek membesar. “Kalau kau tidak punya istri apakah kau punya suami?!”
“Eh…!” Suara Iblis Pemalu tercekat. Tangan kirinya hampir saja diturunkan saking kaget mendengar kata-kata si nenek. Namun dia cepat menguasai diri. Setelah tertawa cekikikan dia berkata. “Sungguh ucapanmu memalukan! Aku seorang laki-laki mana mungkin punyakan suami! Memangnya aku ini manusia banci? Memalukan! Ha… ha… ha!”
Orang bercadar memberi isyarat agar Iblis Pemalu hentikan tawanya. Lalu dia berkata pada Sabai Nan Rancak.
“Nenek Sabai, kuharap kau tidak berkeberatan memberikan jawaban. Dari perkawinanmu dengan Sukat Tandika alias Tua Gila apakah kau punya anak atau tidak harap jelaskan.”
Si nenek meludah ke tanah. Mukanya yang keriputan tampak tambah berkerut.
“Menjijikkan! Betapa bodohnya aku! Aku memang punya anak. Satu. Perempuan. Untung cuma satu!” Sabai Nan Rancak kembali meludah melampiaskan perasaannya.
“Terima kasih kau mau memberi tahu. Siapakah nama anakmu itu. Di mana gerangan dia sekarang?”
“Anak itu sudah meninggal. Mati tak lama setelah dia melahirkan.”
Sepasang mata orang bercadar menatap tajam pada Sabai Nan Rancak. Lalu dia berkata.
“Malangnya nasibmu. Malangnya nasib anakmu! Jika benar anakmu sudah berpulang, di mana letak makamnya gerangan?”
Sabai Nan Rancak tidak segera menjawab. Dia balas menatap lekat-lekat ke arah wajah orang yang tertutup cadar. Pandangannya beradu dengan sepasang mata orang itu. Untuk kesekian kalinya getaran aneh mendebari dada si nenek. “Di mana makam atau kuburnya aku tak pernah tahu….”
“Nenek Sabai. Kau yakin anakmu itu benar-benar sudah mati? Seyakin kau melihat hitam di atas putih?”
Sabai Nan Rancak terdiam sesaat. “Terus terang aku memang tidak pernah mengetahui di mana dia dimakamkan. Tapi yang jelas di Pulau Andalas.”
“Jawabanmu meluncur tegas. Seolah tak ada penyesalan atau pun rasa memelas. Bagaimana mungkin seorang ibu tidak tahu makam anak tercinta?”
Darah Sabai Nan Rancak kembali naik mendengar ucapan orang. Ini kentara dari apa yang dikatakannya. “Urusan diriku dengan kematian anakku apa sangkut pautnya dengan dirimu?!”
“Justru di situlah letak kunci rahasia. Lebih banyak hal nyata yang terungkap lebih cepat rahasia terbuka,” jawab orang bercadar.
“Kau belum menyebutkan siapa nama anakmu itu, Nek! Tak usah malu-malu mengatakan.” Iblis Pemalu membuka mulut.
“Orangnya sudah mati! Perlu apa diberi tahu!” jawab Sabai Nan Rancak jengkel.
“Harimau bisa mati. Belangnya tetap tertinggal.
Manusia boleh mati. Rahasia hidupnya akan terus tertinggal. Terserah orang yang ditinggal. Apakah akan mencari manfaat. Atau mudarat!”
“Katakan saja Nek. Tak usah malu! Aku yakin nama anakmu tidak buruk!” kata Iblis Pemalu pula.
Sabai Nan Rancak dongakkah kepala. Lama dia seolah menatap sesuatu di langit lepas di atas sana. Perlahan-lahan kepalanya ditundukkan. Kini dia seperti memandangi ujung kakinya sendiri. Lehernya yang keriput turun naik. Dadanya berdebar menahan gejolak. Sudah lama sekali dia tidak pernah menyebut nama itu. Kini di saat dia hendak mengatakan seolah dia hendak memuntahkan batu berapi dari dalam mulutnya.
“Nek, kau mau mengatakan atau tidak. Hari semakin sore. Jangan malu. Makin cepat kau mengatakan makin lekas kau terbebas dari tekanan bathin!”
Sabai Nan Rancak palingkan kepalanya ke arah Iblis Pemalu. “Kau benar…” katanya perlahan. “Tekanan bathin telah mendera hidupku selama lebih dari enam puluh tahun. Anakku itu bernama Andam…. Andamsuri….”
Orang bercadar tiba-tiba putar tubuhnya. Kepalanya tertunduk dan sekujur tubuhnya tampak bergetar. Iblis Pemalu mendongak ke langit. Dadanya tampak berguncang-guncang. Dari sela-sela jarinya ada tetesan air mengalir.
“Dia tidak malu menyebutkan nama anaknya! Orang bercadar agaknya sekarang giliranmu menyingkap tabir dirimu sendiri!”
“Nama sudah terucap jelas. Namun perlu bukti tuntas. Nenek Sabai, kami inginkan satu bukti. Bahwa Andamsuri adalah anakmu pasti….”
Baru saja orang bercadar mengucapkan kata-kata itu sekonyong-konyong ada suara lain menjawab.
“Tak ada kepastian di dunia ini! Kecuali maut!”
Lalu sesosok tubuh berkelebat dan tegak lima langkah di hadapan Sabai Nan Rancak. Orang yang barusan datang ini keluarkan suara tawa membahana!
*
* *

TIGA

Datuk Tinggi Raja Di Langit! seru Sabai Nan Rancak dengan suara bergetar lalu bersurut sampai tiga langkah. “Salah! Gelarku sekarang adalah Jagal Iblis Makam Setan! Ha… ha… ha…!”
Walau Sabai Nan Rancak adalah orang yang paling terkejut namun Iblis Pemalu dan orang bercadar kuning tak kalah kaget serta ngerinya.
“Makhluk satu ini pasti muncul meneruskan urusan waktu di pantai, memalukan!” Membathin Iblis Pemalu.
Si cadar kuning walau tampak tenang tak bergerak namun hatinya menjadi tak enak.
“Pertemuan telah kuatur lama. Munculnya makhluk berhala ini akan merusak suasana. Rahasia besar belum sempat tersingkap. Keadaan bakal bertambah gelap!” Begitu si cadar kuning membathin. Dia tidak dapat memastikan apakah sosok di depannya ini manusia atau hantu lembah.
Seperti si cadar kuning, Sabai Nan Rancak juga sangat gelisah. “Kurang ajar. Bagaimana makhluk celaka ini bisa muncul di tempat ini!” ujar Sabai Nan Rancak dalam hati. “Urusan besar masih gelap. Kemunculannya akan membuat perkara jadi kapiran!”
Diam-diam dia menjadi tegang karena sebelumnya dia telah menyaksikan sendiri keganasan sepasang kaki kakek sakti yang pernah menjadi momok nomor satu dalam dunia persilatan di Pulau Andalas itu.
“Makhluk celaka memalukan! Busuknya seperti lobang kakus!” membathin Iblis Pemalu. Dia tekap mukanya erat-erat dengan kedua tangannya sedang dua matanya memandang melotot. Jari-jari kelingking dibengkokkan untuk menutupi lobang hidung. Orang ini berdiri tidak seperti manusia biasa adanya. Kakinya berada di atas sedang yang menjejak tanah adalah dua telapak tangannya. Tubuhnya kurus kering, menebar bau busuk dan terbungkus oleh pakaian penuh robek nyaris hancur. Wajahnya yang seram dengan dua rongga mata terpuruk, taring dan gigi besar mencuat. Wajahnya yang cekung di kedua pipi sebagian tersembunyi di balik kelebatan kumis, janggut, cambang bawuk dan rambut panjang kotor riap-riapan. Yang menambah kengerian pada sosok orang ini adalah sepasang kakinya. Sepasang kaki itu sebatas lutut ke bawah, sampai ke ujung jari-jari kaki berwarna putih menggidikkan karena hanya tinggal tulang tak terlapis daging atau kulit sedikit pun! Dua tulang kaki ini berbentuk sangat pipih hingga tidak beda dengan sepasang pedang bermata luar biasa tajam! (Siapa adanya orang ini harap baca Episode sebelumnya berjudul Jagal Iblis Makam Setan)
“Sabai! Dunia ini terlalu sempit untuk kita berdua!”. Orang yang mengaku berjuluk Jagal Iblis Makam Setan berkata dengan suara keras membahana. Setiap mulutnya terbuka, rambut, janggut serta kumis yang menutupi wajahnya bersibak melambai bergoyanggoyang.
“Karena itu kematian tak terelakkan menjadi bagianmu! Namun sebelum mampus harap kau segera menanggalkan Mantel Sakti, menyerahkannya padaku. Juga mengembalikan sekantong Mutiara Setan milikku! Kau tidak tuli, kau mendengar! Jadi jangan mengumbar berbagai dalih!”
Sabai Nan Rancak tampak tegang sesaat. Begitu dia bisa menguasai diri maka seringai buruk tersungging di mulutnya. Dari hidungnya keluar suara mendengus.
“Makhluk busuk compang-camping! Aku maklum otakmu tidak waras. Jadi tidak salah kalau kau sampai kesasar dan bicara ngacok di tempat ini!”
Jagal Iblis Makam Setan yang dulunya adalah salah seorang tokoh silat golongan hitam di Pulau Andalas dikenal dengan julukan Datuk Tinggi Raja Di Langit tertawa gelakgelak. Sepasang kakinya yang tinggal tulang memutih digoyang-goyang hingga mengeluarkan suara angker bersiuran. (Untuk lebih jelas siapa adanya Datuk Tinggi Raja Di Langit, riwayatnya bisa dibaca dalam serial berjudul Makam Tanpa Nisan)
“Sabai Nan Rancak! Belum mampus kau sudah jadi setan penasaran yang bicara tak karuan! Tadi aku sudah bilang jangan berusaha mencari dalih! Lekas kau serahkan barangbarang milikku! Mantel Sakti dan Mutiara Setan! Atau mungkin kau ingin aku mengambil dua benda itu setelah kau menjadi mayat tak berguna?!”
Si nenek kembali keluarkan suara mendengus. “Kau bukan saja bicara melantur! Tapi juga pembohong dan penipu busuk! Apa kau lupa Mantel Sakti dan Mutiara Setan kau serahkan padaku dengan ikhlas sebagai ganti balas aku mengeluarkan dirimu hingga bebas dari pendaman kuburan batu?! Sekarang kau bukan saja mengungkit-ungkit kisah yang sudah basi tapi juga mengumbar cerita palsu! Aku tidak segan-segan mengembalikan Mantel Saktimu, tapi mungkin kau tak punya kesempatan. Mantel Sakti ini akan menghancurkan tubuhmu yang kurus kering sebelum kau sempat menyentuhnya!”
Habis berkata begitu Sabai Nan Rancak membuat gerakan seperti hendak membuka mantel hitam yang dikenakannya.
“Begitu? Alangkah hebatnya! Ha… ha… ha!” Jagal Iblis Makam Setan tertawa terkekeh. Kakinya kembali digoyang-goyangnya. “Aku mau lihat! Aku mau lihat!”
“Benar-benar memalukan! Semua jangan ada yang berani bergerak!” Tiba-tiba Iblis Pemalu berteriak.
Kepala Jagal Iblis Makam Setan yang tergantung di antara dua tangannya yang menjejak tanah berpaling. “Hemmm…. Pemuda berotak miring! Kau juga ada di sini! Rupanya sudah terniat dalam otak bodohmu akan ikut mampus bersama nenek calon bangkai itu!”
“Memalukan! Tidak tahu apa-apa enak saja bilang aku gila berotak miring! Kau sendiri mungkin lahir kurang hari hingga hidup kaki ke atas kepala ke bawah! Manusia sepertimu ini biasanya lahir tanpa biji! Kalau berak pasti dari mulut bukan dari anus! Memalukan sekali! Hik… hik… hik!”
Merah padam tampang Jagal Iblis Makam Setan. Dari tenggorokannya keluar jeritan melengking. Tubuhnya melesat ke udara. Ketika turun lagi ke tanah maka dia berdiri bagaimana wajarnya yakni dengan dua kaki menginjak tanah! Kini wajahnya terlihat lebih jelas. Seram angker menggidikkan.
“Pemuda anjing! Kau pasti terlahir dari bapak iblis ibu setan!” bentak Jagal Iblis Makam Setan.
Iblis Pemalu keluarkan suara bersiul lalu tertawa gelak-gelak. “Kalau iblis dan setan bisa kawin, sungguh memalukan! Apakah kau pernah melihat setan dan iblis berhubungan badan?! Hik… hik… hik! Kalau kau mampu melihat berarti kau bukan manusia! Tapi anak hantu yang keluar dari pantat setan! Hik… hik… hik!”
“Jahanam! Jaga lehermu!” Teriak Jagal Iblis Makam Setan. Tubuhnya melesat ke udara. Seperti tadi kepalanya kembali berada di sebelah bawah dan dua kaki mengapung di udara. Manusia angker Ini keluarkan satu pekikan dahsyat. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat ke arah Iblis Pemalu. Dua kakinya laksana gunting raksasa berkiblat mengeluarkan cahaya menggidikkan. Membuat gerakan memancung. Yang di arah adalah batang leher Iblis Pemalu. Gerakan serangan ini bukan saja aneh tetapi luar biasa cepatnya.
“Claak!”
“Claak!”
Sambaran sepasang kaki mengeluarkan suara seperti gerakan gunting raksasa. Sabai Nan Rancak terkesiap melihat aneh dan ganasnya serangan Jagal Iblis Makam Setan. Orang bercadar kuning tersentak kaget. Belum pernah dia melihat ada orang yang mempergunakan sepasang tulang-tulang kakinya sebagai dua senjata mengerikan begitu rupa.
“Kalau makhluk jahanam ini tidak dicegah urusan besar bisa sia-sia!” membathin si cadar kuning. Maka dia segera kebutkan lengan baju kuningnya.
“Wuss!”
Sinar kuning menderu ke arah Jagal Iblis Makam Setan, menyambar dari samping. Sabai Nan Rancak tidak tinggal diam. Tenaga dalam sudah disiapkan sejak tadi di tangan kanan.
Begitu melihat orang bergerak maka dia segera menghantam, lepaskan pukulan sakti Kipas Neraka. Selarik sinar merah menyambar ganas dan panas. Setengah jalan sinar ini mengembang seperti kipas hingga ruang serangannya menjadi lebih luas. Selama ini jarang orang bisa selamat menghadapi pukulan sakti ini.
Iblis Pemalu, orang yang mendapat serangan langsung dari Jagal Iblis Makam Setan tentu saja tak tinggal diam. Begitu melihat sepasang kaki yang aneh menggidikkan, keganasan cara menyerang yang mengeluarkan deru angin keras, pemuda ini segera maklum. Leher atau bagian tubuhnya yang lain akan tergunting putus dan nyawanya pasti amblasi
“Memalukan! Iblis menyerang iblis!” seru iblis Pemalu. Kedua kakinya ditekuk. Tubuhnya jatuh punggung di tanah. Dua kaki tinggal tulang berbentuk sepasang pedang yang menggunting lewat di atas tubuhnya.
“Claaakk!”
“Craasss!”
“Kraaakkk!”
Semua mata terbelalak.
Iblis Pemalu yang masih tertelentang di tanah merasakan tengkuknya laksana diguyur es!
Akibat serangannya tidak menemui sasaran, tubuh Jagal Iblis Makam Setan melesat di atas Iblis Pemalu. Sepasang kakinya terus menyambar ke arah pohon yang besar batangnya hampir tiga kali paha manusia.
Dua tulang kaki yang pipih setajam pedang berkelebat dahsyat dalam gerakan menggunting. Batang pohon putus rata laksana disambar petir!
Bagian atasnya tumbang dengan suara menggemuruh! Sabai Nan Rancak dan iblis Pemalu yang sebelumnya sudah pernah menyaksikan keganasan sepasang kaki Jagal Iblis Makam Setan itu masih merasa merinding. Apalagi si cadar kuning.
“Memalukan! Pohon tak bersalah mengapa ditebang!” berteriak Iblis Pemalu. Dia kerahkan tenaga dalamnya ke punggung. Secara aneh tubuhnya naik dalam keadaan seperti berbaring. Lalu tiba-tiba kaki kanannya melesat ke atas, menghantam ke lambung Jagal Iblis Makam Setan. Gerakan pemuda ini luar biasa cepatnya. Jangankan perut manusia, batu besar pun akan hancur kena hantamannya!
Saat itu Jagal Iblis siap memutar tubuh untuk melompat turun ke tanah. Namun hal itu tak bisa dilakukannya. Bukan saja karena dia harus selamatkan diri dari serangan kaki yang bisa menjebol perutnya. Tapi juga karena di saat yang hampir bersamaan serangan si cadar kuning dan Sabai Nan Rancak datang hampir berbarengan! Sinar kuning dan sinar merah menyambar dahsyat dari dua arah!
Jagal Iblis Makam Setan keluarkan suara meraung seperti anjing melolong. Ujung jarijari kaki kirinya ditusukkan ke batang pohon. Lalu kaki kanan bergerak menebas dengan cepat. “Crasss!” Batang pohon putus. Bersamaan dengan itu kaki kiri ikut bergerak melemparkan potongan batang kayu. Potongan batang kayu melesat ke bawah menghantam ke arah Iblis Pemalu!
“Gila memalukan!” teriak Iblis Pemalu ketika melihat potongan batang kayu yang beratnya hampir lima puluh kati itu jatuh tepat di atas kepalanya!
“Memalukan! Kepalaku hendak dibikin rengkah!” kembali Iblis Pemalu berteriak.
Sambil melontarkan tubuhnya ke samping dia hantamkan tangan kanannya ke atas. Tangan kiri terus menutupi wajah. “Wuttt!”
Satu gulungan sinar putih aneh melesat ke atas. Luar biasanya pukulan sakti ini bukan memukul untuk membuat mental atau menghancurkan potongan besar batang pohon. Tapi laksana seutas tali besar sinar itu menggulung kutungan batang pohon. Iblis Pemalu keluarkan suitan keras. Tangan kanannya disentakkan. “Wuuttt!” Batang pohon tertarik keras. Melesat ke samping. Menghantam Jagal Iblis Makam Setan. Di saat yang sama sinar kuning dan sinar merah pukulan sakti yang dilepaskan si cadar kuning serta Sabai Nan Rancak menderu.
Jagal Iblis Makam Setan keluarkan suara seperti anjing melolong. Kedua kaki tulangnya bergerak cepat. Membabat, menusuk dan menggunting. Suara “claakk… claakk…clakkk terdengar tak berkeputusan. Dalam waktu singkat sepasang kaki itu telah membuat hampir enam puluh gerakan! Apa yang terjadi sungguh luar biasa. Batang kayu besar berubah menjadi potongan-potongan kecil puluhan banyaknya. Bertaburan di udara. Lalu terdengar suara orang meniup. Puluhan keping batang kayu melanda ke arah Iblis Pemalu. Bagaimana pun hebat dan cepatnya gerakan pemuda aneh ini tidak mungkin dia sanggup mengelakkan demikian banyak kepingan kayu yang siap menancapi tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki.
*
* *

EMPAT

Iblis Pemalu tekap wajahnya kuat-kuat dengan dua telapak tangan. Sepasang matanya melirik ke kiri lalu ke kanan. Dalam keadaan kritis begitu rupa dia seperti tidak acuh menghadapi bahaya maut. Tapi pemuda ini sebenarnya sudah memperhitungkan.
“Jagal Iblis! Seranganmu boleh juga! Tapi sia-sia! Memalukan! Ada dua sahabat menolong diriku! Lihat saja!”
Habis berseru begitu Iblis Pemalu berjungkir balik di udara. Lalu tubuhnya menukik ke bawah. Saat itulah sinar kuning serangan si cadar kuning dan cahaya merah pukulan sakit Kipas Neraka yang dihantamkan Sabai Nan Rancak sampai.
“Wusss!”
“Wusss!”
Sinar kuning dan cahaya merah beradu dahsyat di udara. Kilatan cahaya api mencuat setinggi lima tombak, menebar mendatar seputar tiga tombak setelah lebih dahulu mengeluarkan suara berdentum laksana gunung meletus. Lembah Merpati seolah lenyap ditelan kobaran api dan kepulan asap. Jagal Iblis Makam Setan melolong keras. Tubuhnya terhempas ke sebatang pohon lalu terpental sejauh tiga tombak dan jatuh menyangsrang di serumpunan semak belukar. Sabai Nan Rancak terpental ke udara. Ketika jatuh ke bawah dia bergerak cepat.
Berusaha mengimbangi diri agar tidak terhempas. Namun gelegar bentrokan dua kekuatan sakti membuat dia seolah kehilangan bobot dan akhirnya terbanting ke tanah tak berapa jauh dari tempat menyangsrangnya Jagal Iblis. Dia cepat bangkit berdiri. “Memalukan! Gila! Betul-betul memalukan!” teriak pemuda itu berulang kali. Dia berdiri satu tangan masih menutupi wajah, satu tangan lagi menepuki pantat celana dan punggung baju hitamnya yang kotor oleh tanah dan debu. Saat itulah baru disadarinya kalau dua keping pecahan pohon menancap di tubuhnya. Satu di lengan kiri, satu lainnya di bahu kiri. Iblis Pemalu cepat gerakkan tangan kanan untuk mencabut kepingan-kepingan kayu itu. Ada bercak darah pada pundak kirinya pertanda cidera.
Ketika dentuman menggelegar dan Lembah Merpati dilanda goncangan hebat, Sabai Nan Rancak merasakan sekujur tubuhnya laksana mau amblas ke dalam tanah. Nenek ini cepat kerahkan tenaga dalam. Namun tak urung lututnya terlipat. Kedua kakinya laksana dibetot ke bawah. Tubuhnya jatuh terduduk. Perempuan tua ini berusaha segera bangkit.
Tapi dia kembali jatuh terduduk. Mukanya tampak merah mengelam. Bukan saja karena marah tapi lebih dari itu oleh rasa malu yang amat sangat. Tadi dia menyaksikan sendiri walau cidera namun begitu jatuh Iblis Pemalu mampu dengan cepat bangkit kembali. Berarti pemuda itu memiliki tingkat kekuatan yang tidak berada di bawahnya. Lalu saat itu dia juga menyaksikan bagaimana orang bercadar kuning sanggup bertahan hingga tidak jatuh atau rubuh ke tanah walau sekujur tubuhnya tampak bergetar dan dia memegangi cadarnya agar tidak terlepas. “Orang berpakaian dan bercadar kuning itu…” ujar Sabai Nan Rancak dalam hati. “Dia benar-benar luar biasa. Sanggup bertahan hingga tidak roboh…. aku harus segera mencari tahu siapa dia sebenarnya! Tapi iblis penghalang satu itu harus kusingkirkan dulu!”
Si nenek berpaling ke arah semak belukar di atas mana Jagal Iblis Makam Setan terpuruk. Terkejutlah Sabai Nan Rancak. Saat itu si kakek iblis berpakaian hancur kumal itu telah berdiri di atas semak belukar. Walau tubuhnya kurus kering namun sulit diterima akal ada orang bisa tegak seperti yang dilakukannya. “Bangsat ini memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa. Tidak heran kalau dia mampu pergunakan sepasang kaki untuk menyerang. Benar-benar berbahaya. Agaknya aku terpaksa mengatur siasat agar urusan besar bisa diselesaikan. Kalau rahasia itu tidak tersingkap rasanya aku akan penasaran sampai ke liang kubur….” ‘
Di atas semak belukar Jagal Iblis Makani Setan umbar tawa mengekeh. “Batang pohon sanggup kutabas. Potongan batang mampu kucacah jadi puluhan keping! Apakah tubuh-tubuh kalian lebih atos dan kuat dari pohon?! Ha… ha… ha!”
Saat itu Sabai Nan Rancak membuat gerakan membuka Mantel Sakti yang dikenakannya. Melihat hal ini si Jagal Iblis semakin keras tawanya. Sambil menuding dengan tangan kiri ke arah si nenek, dia berkata.
“Bagus Sabai! Ternyata kau tidak setolol yang aku duga! Kembalikan Mantel Saktiku secara baik-baik. Juga sekantong Mutiara Setan! Begitu dua benda sakti itu berada di tanganku aku anggap habis semua perkara!”
“Aku membuka mantel bukan untuk menyerahkan padamu! Tapi dengan mantel ini aku akan membunuhmu!” jawab Sabai Nan Rancak dengan seringai mengejek.
Jagal Iblis Makam Setan kembali tertawa. “Kalau begitu kau benar-benar dungui Kau tahu tingginya puncak Singgalang. Dalamnya danau Singkarak! Dan kau hendak menantang semua itu! Ha… ha… ha…! Hari ini aku untung besar. Membunuhmu dan juga dapatkan kembali dua senjata sakti milikku!”
Jagal Iblis melolong keras. Tubuhnya melesat ke udara. Ketika menukik sepasang kakinya berada di sebelah bawah, menyambar ke arah si nenek.
“Claaakkk…. claakkk… clakk!” Dua kaki yang pipih laksana pedang membuat gerakan menggunting.
“Tahan!” Tiba-tiba Sabai Nan Rancak berseru sambil angkat tangan kanannya pertanda bahwa .setiap saat tangan itu serta merta bisa menghantamkan pukulan sakti Kipas Neraka.
Di udara Jagal Iblis membuat gerakan berjungkir balik. Di lain kejap dia tahu-tahu sudah berdiri dua langkah dari hadapan. Sabai Nan Rancak. Dua telapak tangan menjejak tanah sedang sepasang kaki yang berada di atas menyilang di atas pundak kiri kanan si nenek. Sekali tulang kaki berbentuk pedang pipih itu membuat gerakan menggunting, maka tak ampun akan amblaslah leher si nenek terpancung!
Si nenek tegak laksana patung, tak berani bergerak bahkan mungkin juga tak sanggup bernafas lagi. Mukanya yang keriputan sepucat kertas. Tangan kanannya memancarkan sinar merah. Tapi dia tidak membuat gerakan apa-apa untuk melepaskan pukulan Kipas Neraka. Sebabnya jika gerakannya menghantam didahului oleh lawan maka putuslah lehernya!
Iblis Pemalu goleng-golengkan kepala. “Aku malui Benar-benar malu! Dua kaki di atas bahu. Satu nyawa siap melayang!”
Di tempat lain si cadar kuning walaupun tersentak kaget melihat apa yang terjadi di depan matanya dan telah menyiapkan pukulan sakti di kedua tangannya namun tak berani membuat gerakan. Dalam hati dia membathin. “Aku bisa membunuh kakek jahanam itu. Tapi apakah mungkin selamatkan nyawa nenek satunya itu?”
Jagal Iblis Makam Setan tertawa panjang lalu keluarkan suara seperti lolongan anjing. Di langit sang surya mulai menggelincir menuju ufuk tenggelam. Keadaan di lembah redup digantungi ketegangan.
Tiba-tiba Jagal Iblis hentikan tawanya. Lalu dari mulutnya keluar bentakan.
“Sabai! Hari ini kau benar-benar bernasib buruk! Sebelum lehermu kujaga! katakan apa maumu!”
“Aku seorang yang memegang janji. Bagaimana dirimu!” Si nenek ajukan pertanyaan.
“Aku manusia iblis! Mana mungkin mengadakan perjanjian dengan manusia jelek sepertimu?! Ha… ha… ha…!”
“Kalau begitu kau sengaja memilih mampus bersama!” ujar Sabai Nan Rancak dengan suara dan wajah dingin.
“Eh, apa maksudmu?!” hardik Jagal iblis Makam Setan seraya melirik ke tangan kanan Sabai Nan Rancak yang saat itu semakin keras memancarkan cahaya merah. “Maksudku silahkan saja menabas leherku! Tapi apa kau bisa selamat dari pukulan Kipas Neraka di tangan kananku?! Hik… hik… hik!” Si nenek tertawa cekikikan. Kini Jagal Iblis yang jadi tercekat. Keningnya mengerenyit. Dagunya bergerak-gerak. Janggut, kumis dan rambutnya yang terjulai ke tanah bergoyang-goyang.
“Keparat jahanam! Apa kau kira aku takut mati?!”
“Hik… hik… hik! Kalau begitu teruskan niatmu menggunting leherku!” Menantang Sabai Nan Rancak. Tangan kanannya ditarik sejengkal ke belakang. Pertanda nenek ini siap menghantam.
Jagal Iblis Makam Setan keluarkan suara menggerendeng. Namun diam-diam saat itu dia menjadi bimbang. Setelah berpikir cepat maka dia berkata.
“Baik! Katakan apa yang ada dalam benakmu!”
“Aku akan mengembalikan Mantel Sakti dan sekantong Mutiara Setan padamu. Tapi aku punya syarat…. Bagaimana?”
“Hemmm…. Katakan syaratmu!” ujar Jagal Iblis, pula.
“Setelah kau menerima dua benda sakti itu kau tidak boleh mengganggu diriku. Juga dua orang yang ada bersamaku saat ini….”
“Syarat mudah! Aku terima!” jawab Jagal Iblis lalu tertawa gelak-gelak.
“Syaratku belum semua kusebutkan! Jangan tertawa dulu!” ujar Sabai Nan Rancak.
“Hemm…. Kau’ boleh meneruskan. Tapi kalau syaratmu terlalu banyak jangan harap aku mau menerima!”
“Begitu kau dapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan kau harus segera angkat kaki dari tanah Jawa ini. Kembali ke Pulau Andalas!”
“Syarat gila! Aku tidak bisa terima! Aku ingin gentayangan dulu cari pengalaman di tanah Jawa ini! Siapa berahi melarang?!”
“Kalau begitu jangan harap aku akan serahkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan!” jawab Sabai Nan Rancak.
Jagal Iblis tertawa bergelak. Dia melirik ke tangan kanan Sabai Nan Rancak. Si nenek merasa dua kaki yang bersilang di atas pundaknya menekan memberat. Sebelum dia tahu apa yang bakal dilakukan lawan tiba-tiba tangan kiri Jagal Iblis melesat ke atas. Dengan hanya berdiri di atas tangan kanan Jagal Iblis cekal pergelangan tangan kanan Sabai Nan Rancak dengan tangan kirinya hingga tak mungkin bagi si nenek untuk melancarkan serangan Kipas Neraka.
“Aku siap menjagal lehermu Sabai! Apa kau sudah ikhlas mati mengenaskan saat ini juga?!”
Wajah tua keriput Sabai Nan Rancak berubah dan tampak tegang. Pundaknya turun ke bawah. “Bangsat kau Datuk Tinggi!”
“Gelarku Jagal Iblis Makam Setan!” bentak si kakek berkaki tulang.
“Persetan siapa pun nama dan gelarmu! Saat ini aku mengalah. Tapi lain kali jangan harap aku mau memberi ampun padamu! Sebaiknya kita tidak perlu bertemu’ lagi. Karena begitu aku melihatmu aku bersumpah akan membunuhmu!”
Jagal Iblis Makam Setan kembali tertawa bergelak.
“Nenek Sabai! Tindakanmu memalukan sekali!. Jangan serahkan Mantel dan Mutiara Setan itu!” Berteriak Iblis Pemalu ketika dilihatnya si nenek menanggalkan Mantel Sakti dan mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik pakaiannya.
Si cadar kuning ikut tercekat. “Astaga! Apa yang dilakukannya?! Apa tak ada lagi benak di dalam kepala?! Memberikan dua senjata itu sama saja menciptakan dua musuh celaka!” Orang ini segera berlalu. “Sabai! Perbuatanmu salah kaprah! Dunia persilatan akan dilanda bencana!”
“Aku tak ada pilihan lain!” jawab Sabai Nan Rancak dengan suara tercekat. Jagal Iblis Makam Setan menyeringai. “Lemparkan mantel dan kantong kain itu ke tanah, di samping kiriku!”
Sabai Nan Rancak ikuti perintah orang. Mantel Sakti dan kantong kain berisi Mutiara Setan dijatuhkannya ke tanah, satu langkah di samping kiri si kakek
“Aku malu!” teriak Iblis Pemalu. Lalu palingkan muka, menghadap ke jurusan lain sambil terus menutupi wajahnya dengan dua telapak tangan. “Percaya pada Iblis! Percaya pada manusia Setan! Benar-benar memalukan!”
Jagal Iblis pencet lengan kanan si nenek. Lalu berkata. “Aku masih merasakan aliran tenaga dalam. Tangan kananmu masih memancarkan sinar merah! Kau setengah hati atau masih berharap dapat membokongku dengan pukulan Kipas Neraka?”
Si nenek pelototkan matanya. Jagal Iblis balas membelalak. Akhirnya Sabai Nan Rancak terpaksa hentikan aliran tenaga dalam ke tangan kanan. Bersamaan dengan itu sinar merah yang memancar di tangan itu perlahan-lahan meredup dan akhirnya lenyap sama sekali.
“Bagus!” ujar Jagal Iblis. Perlahan-lahan dia turunkan sepasang kakinya yang diletakkan di atas bahu kiri kanan si nenek.
Perlahan-lahan Jagal Iblis turunkan kedua kakinya. Masih mencekal tangan kanan si nenek, dia berjungkir balik hingga kedua kakinya kini menjejak tanah. Sambil menyeringai dia berkata. “Kau boleh pergi sekarang Sabai. Tapi aku punya firasat hidupmu tak bakal lama!”
“Iblis akan kembali ke Iblis. Setan akan kembali menjadi Setan! Itu bagianmu kelak!” sahut Sabai Nan Rancak lalu sentakkan tangan kanannya dari cekalan orang. Sabai Nan Rancak membalik dengan cepat. Dia memberi isyarat pada si cadar kuning dan Iblis Pemalu. “Lekas ikuti aku!” bisiknya.
Iblis Pemalu sesaat meragu. Pemuda ini memandang pada si cadar kuning. Orang yang dipandang goyangkan kepalanya. Ketiga orang itu akhirnya berkelebat meninggalkan Lembah Merpati. Di satu tempat Sabai Nan Rancak hentikan larinya.
“Aku tak punya waktu lama. Kita berpisah di sini….”
“Tapi urusan belum selesai! Rahasia besar masih mengambang. Jangan tinggalkan jurang menghalang. Bicara dulu agar badan tak sansai….” (sansai = menderita) Berkata si cadar kuning.
“Aku malu! Cadar kuning apakah kau tidak malu? Nenek satu ini agaknya tak punya malu!”
“Jangan bicara seperti itu! Aku tahu urusan belum selesai. Rahasia masih mengambang. Aku meminta agar kita bertemu lagi dalam waktu dekat. Meneruskan pembicaraan! Bagaimana? Aku ingin jawab kalian. Cepat!”
“Ada apa dengan dirimu sebenarnya? Kau menyerahkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan begitu saja. Kini meneruskan bicara pun kau tidak sudi. Sungguh tindakan tidak terpuji….”
“Orang bercadar! Aku ingin jawabmu. Apa kau mau mengadakan pertemuan lagi atau tidak? Kalau tidak, perduli setan dengan segala rahasia hidup di antara kita!”
“Kalau itu pintamu! Kita bertemu lagi dua hari di muka di tempat yang sama….” Berucap si cadar kuning.
“Lembah Merpati?!” tanya Sabai Nan Rancak.
“Betul sekali. Oi tempat tadi….”
“Tolol sekali! Orang akan mudah mencari dan menjebak kita di tempat itu!” kata Sabai Nan Rancak pula.
Si cadar kuning gelengkan kepala. “Itulah rahasia hidup. Seseorang tak akan mencari di tempat yang sama: Karena itu tidak pernah akan terduga. Siapa yang akan memperhatikan bunga kuncup?”
Sabai Nan Rancak terdiam. “Kau benar…” katanya perlahan. Nenek ini tiba-tiba palingkan kepalanya ke kiri. “Dia datang! Lekas lari berpencar!”
“Jangan membuat malu menyuruh lari. Dia siapa yang datang?!” Bertanya Iblis Pemalu.
“Jangan banyak tanya! Lari saja! Sekarang! Cepat!” Tidak sabaran si nenek dorongkan tangannya kiri kanan hingga si cadar kuning dan Iblis Pemalu terjajar beberapa langkah. Ketiga orang itu untuk kedua kalinya berkelebat pergi. Namun sekali ini mereka berpencar ke tiga jurusan.
Baru saja Sabai Nan Rancak, iblis Pemalu dan si cadar kuning lenyap dari tempat itu muncullah Datuk Tinggi Raja Di Langit alias Jagal Iblis Makam Setan. Sepasang matanya yang cekung seperti mau melesat keluar. Rahangnya menggembung- dan pelipisnya bergerak-gerak.
“Jahanam…. Berani menipuku!” Si kakek memandang berkeliling. “Sabai! Jangan harap kau bisa kabur jauh! Akan kucincang tubuhmu dengan kedua kakiku!” Apa yang telah terjadi?
Tak lama setelah Sabai Nan Rancak, si cadar kuning dan Iblis Pemalu meninggalkan Lembah Merpati, dengan cepat Jagal Iblis mengambil Mantel Sakti dan kantong berisi senjata rahasia berupa mutiara hitam yang tadi dicampakkan Sabai Nan Rancak di tanah. Begitu memegang mantel hitam kakek ini merasakan ada kelainan. Dia sibakkan rambutnya yang menjulai menutupi wajah lalu memperhatikan mantel hitam itu dengan mata mendelik. Beberapa kali mantel itu dikembangkan dan dibolak-baliknya.
“Enteng…. Mantelku tidak seringan ini…” ujar Jagal Iblis. Kembali Mantel Sakti itu dibolak-baliknya lalu diciumnya berulang kali. Masih kurang percaya dia lalu kerahkan tenaga dalam dan kibaskan mantel hitam ke arah sebatang pohon. Tidak terjadi apa-apa.
“Keparat jahanam! Mantel palsu! Aku kena ditipu!” Teriak Jagal Iblis menggeledek.
Mantel hitam yang dipegangnya dibantingkan ke tanah. Dia keluarkan kantong kain dari balik pakaiannya yang kumal hancur. Isinya dituangkan ke telapak tangan kanan. Sepasang matanya mendelik semakin besar. Lalu kembali terdengar kutuk serapahnya. “Bangsat! Mutiara ini juga palsu!” Sekali dia meremas, butiran-butiran hitam dalam genggamannya hancur luluh. Benda itu ternyata hanyalah butiran-butiran tanah diberi lapisan warna hitam berkilat!
*
* *

LIMA

Kita tinggalkan dulu Jagal Iblis Makam Setan yang berada dalam keadaan marah luar biasa karena ditipu oleh Sabah Nan Rancak. Kita kembali pada Puti Andini yang berada di dasar Telaga Gajahmungkur, di satu tempat aneh penuh rahasia bernama Liang Akhirat.
Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Liang Lahat Gajahmungkur) saat itu atas perintah Kiai Gede Tapa Pamungkas, bocah aneh bernama Naga Kuning terpaksa menyergap Puti Andini dan melemparkannya ke dalam lobang Liang Lahat. Tentu saja Puti Andini tidak tinggal diam. Begitu Naga Kuning Berkelebat ke arahnya dia segera menghantam dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Naga Kuning merasakan satu dorongan angin keras menahan gerakannya hingga sesaat dia terpentang dengan tangan terkembang. Puti Andini tidak memberi kesempatan. Dia terus merangsak ke depan. Tangan kanannya kembali bergerak. Kali ini memukul ke arah si bocah. Yang diarahnya adalah tangan kanan Naga Kuning yang cidera dan diikat dengan secarik kain.
Tapi si anak tidak bodoh. Tubuhnya berkelebat ke samping. Kakinya menjegal ke arah kaki si gadis. “Blukkk!”
Puti Andini jatuh tertelungkup ke lantai ruangan. Gadis ini menggeram marah. Dia cepat melompat bangkit. Namun belum sempat tahu-tahu tengkuk bajunya telah dicekal orang. Dia memukul ke belakang. Tidak kena. Dia berpaling. Ternyata yang mencekalnya adalah anak berpakaian hitam itu. Sulit dipercaya, Naga Kuning yang bertubuh kecil itu sanggup mencekal lalu mengangkat Puti Andini dan menenteng gadis ini menuju lobang besar.
“Maafkan aku. Aku terpaksa melemparmu ke dalam Liang Lahat. Aku hanya menjalankan perintah….” Berucap Naga Kuning setengah berbisik.
“Anak setani Kau mau saja diperintah berbuat keji. Berarti kau sama jahatnya dengan bangsat tua itu!” Sembur Puti Andini. Lalu dia memutar badannya, kedua kakinya ditekankan ke pinggiran Liang Lahat. Salah satu tangan menggapai ke balik punggung Naga Kuning. .
“Kau mau melemparkan aku ke dalam Liang Lahat! Silahkan saja! Tapi aku ingin kau ikut bersamaku!”
Naga Kuning terkesiap kaget. Ketika dia hendak melemparkan si gadis ke dalam Liang Lahat, tangan kanan Puti Andini menggelung tubuhnya dengan keras. Kalau dia teruskan niatnya melempar gadis itu niscaya tubuhnya akan ikut amblas masuk ke dalam Liang Lahat! Selagi anak itu berada dalam keadaan bingung begitu rupa Puti Andini pergunakan tangan kirinya untuk menggebuk. Jotosan tangan kirinya mendarat telak di perut Naga Kuning hingga anak ini mengerluarkan suara seperti orang muntah. Tapi anehnya wajahnya kemudian tampak tersenyum. Lalu terdengar anak ini berbisik. “Ayo pukul lagi. Hantam tubuhku sejadi-jadinya. Cepat lakukan!”
Puti Andini tidak bisa berpikir apa maksud Naga Kuning berkata begitu. Dia kemudian memang menghujani anak ini dengan pukulan tangan kiri. Dua hantaman di kepala. Empat di dada dan dua lagi di perut. Semua itu dilakukannya bukan karena mendengar kata-kata Naga Kuning tapi karena takut kalau dirinya benar-benar dilemparkan masuk ke dalam Liang Lahat dimana tadi dia melihat dua ekor naga raksasa masuk dan menghilang di dalam lobang itu.
Naga Kuning keluarkan keluhan panjang. Sepasang matanya membeliak berputarputar. Anak ini terkulai lalu roboh ke lantai.
“Anak jahat! Silahkan kau masuk ke dalam lobang lebih dulu!” Puti Andini angkat tubuh Naga Kuning lalu melangkah mendekati Liang Lahat. Sesaat lagi tubuh Naga Kuning siap dilemparkannya ke dalam lobang besar itu tiba-tiba satu cahaya menyilaukan berkiblat. Puti Andini terdorong lima langkah. Tubuh Naga Kuning terlepas, dari cekalannya. Dia sendiri kemudian jatuh terduduk di lantai ruangan. Belum sempat bernafas dia dikejutkan oleh melesatnya satu tangan aneh yang sangat panjang. Tangan ini menjambak rambutnya lalu sekali tangan itu bergerak tubuhnya terlempar masuk ke dalam Liang Lahat. Puti Andini menjerit setinggi langit. Cucu Sabai Nan Rancak ini berusaha menggapai pinggiran lobang. Dia berhasil. Jari-jari tangannya mencengkeram tepi batu Liang Lahat. Namun daya lontar lemparan tubuhnya kuat sekali. Pinggiran batu Liang Lahat gompal besar. Tak ampun lagi sosok Puti Andini jatuh masuk ke dalam lobang besar dan gelap. Sekali lagi terdengar jeritan mengerikan gadis itu menggelegar di seantero Liang Akhirat.
Sesaat setelah gema jeritan Puti Andini lenyap ditelan dalamnya Liang Lahat, di atas makam putih sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas rangkapan dua tangan di depan dada, menatap tajam pada anak yang tergeletak di lantai batu pualam.
“Naga Kuning! Jangan berpura-pura pingsan! Sikap perbuatanmu akhir-akhir ini sangat mengecewakan diriku!”
Sosok Naga Kuning tidak bergerak. Tapi mata kiri anak ini terbuka sedikit, melirik ke arah sosok sang Kiai yang konon disebut sebagai setengah manusia setengah roh itu. “Kalau kau tidak mau bangun sendiri mungkin perlu aku meminta bantuan Makhluk Api Liang Neraka?!”
Begitu selesai berucap terdengar suara mendesis keras disusul dengan satu letupan. Ruangan yang tadinya sejuk itu mendadak sontak menjadi sangat panas. Kobaran api aneh menerangi ruangan. Kobaran api ini membentuk sosok makhluk tinggi besar yang bergoyang dan menjilat kian kemari. Melihat makhluk api ini kecutlah Naga Kuning. Anak ini segera bangkit dan duduk bersila sambil rapatkan dua tangan, menghadap ke arah Kiai Gede Tapa Pamungkas. Mukanya benjat-benjut akibat pukulan Puti Andini.
“Maafkan saya Kiai…” kata Naga Kuning seraya merunduk dalam-dalam.
“Wussss!” Sosok aneh bernama Makhluk Api Liang Neraka lenyap. Tempat itu kembali terasa sejuk.
“Naga Kuning! Kau sengaja berpura-pura mengalah! Mengapa kau lakukan itu?!”
“Maafkan saya Kiai. Saya memang salah. Hati saya mengalahkan pikiran. Sanubari saya mengalahkan perintah. Saya tidak tega membunuh gadis itu….”
“Siapa yang menyuruhmu membunuh! Aku hanya memerintahmu melemparkannya ke dalam Liang Lahat!”
“Saya mengerti Kiai. Tapi kita sama tahu masuk ke dalam Liang Lahat sama saja masuk ke dalam liang kematian. Lobang itu seolah tidak memiliki dasar. Di dalam sana ditunggui oleh sepasang naga sakti yang tak ingin diganggu….”
“Apakah kau pernah masuk ke dalam Liang Lahat hingga kau punya kesimpulan seperti itu?”
“Memang saya belum pernah masuk Kiai. Tapi sembilan tokoh yang pernah saya lemparkan ke dalam lobang itu atas perintah Kiai sampai saat ini tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya….”
“Mereka orang-orang tamak berdosa. Mengapa mereka diambil sebagai perbandingan. Apa jawabmu?!”
“Saya mengaku salah Kiai. Saya tidak berani menjawab lagi,” ujar Naga Kuning.
“Kau memiliki ilmu Paus Putih. Yang bisa membuat tubuhmu licin tak sanggup dicekal tak bisa dipegang. Tapi ketika gadis itu tadi hendak melemparkanmu ke dalam Liang Lahat ilmu itu tidak kau keluarkan. Kau seolah pasrah dibunuhnya begitu saja….”
“Saya tidak bisa menjawab Kiai. Saya mengaku salah….”
“Jangan dusta Naga Kuning. Kau menyembunyikan sesuatu di lubuk hatimu!”
“Saya tidak menyembunyikan apa-apa Kiai….” “Kau dusta! Jelas kau dusta! Kau menyukai gadis itu? Kau terpengaruh oleh keputihan tubuhnya yang tersingkap di balik pakaian merahnya yang cabik….”
“Pikiran saya tidak sampai ke situ Kiai. Saya tahu siapa diri saya. Saya hanya tidak tega. Saya merasa kasihan karena sebenarnya gadis itu tidak bersalah. Dia masuk ke tempat terlarang ini atas perintah kakeknya. Perintah itu disertai pula dengan hasrat untuk menolong seorang pendekar yang tengah ditimpa musibah. Pendekar mana konon akan menjadi penyelamat dunia persilatan…. Saya mengaku salah. Saya siap menerima hukuman….”
“Walau aku tidak percaya tapi baiklah. Kau menyangkal menyukai gadis itu. Tapi paling tidak berat dugaanku kau telah memandu gadis itu hingga berhasil masuk ke tempat ini. Menjejakkan kaki di tempat ini bagi orang luar merupakan satu pantangan besar. Maut tantangannya. Apalagi kalau dia sampai mengetahui dan mencari Pedang Naga Suci 212!”
Naga Kuning terdiam mendengar ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas itu. Dalam hatinya bocah yang sesungguhnya berusia lebih dari seratus tahun ini berkata. “Kiai tidak mempercayai. Percuma saja membela diri….” Maka anak ini lantas berucap. “Saya mengaku salah Kiai. Saya siap menerima hukuman.”
“Kau mengakui kesalahan. Bagus! Hukuman memang tak bisa kau hindarkan! Lekas kau berdiri dan tegak di bawah dinding batu setengah lingkaran! Tempelkan tubuhmu bagian belakang ke dinding batu itu!”
Naga Kuning segera berdiri lalu melangkah memutari Liang Lahat hingga akhirnya dia tegak membelakangi dinding batu tinggi setengah lingkaran. Anak ini tempelkan kepala dan badan serta kakinya ke dinding batu ini. Di hadapannya dilihatnya Kiai Gede Tapa Pamungkas mengangkat tangan kanan. Selarik sinar putih menyambar. Terdengar satu letusan keras disertai mengepulnya asap putih. Ketika asap sirna kelihatanlah tubuh Naga Kuning melesak masuk ke dalam dinding batu seolah menempel jadi satu.
“Naga Kuning, kau akan tetap berada di tempat itu sampai ada orang yang menolongmu! Selama seratus tahun tak ada yang menolong berarti seratus tahun kau bakal menerima nasib malang! Aku masih berbelas hati. Walau kau kaku seolah berubah jadi batu tapi kau masih bisa bernafas dan bisa mendengar serta bicara!”
“Saya mengaku salah Kiai. Maafkan saya. Tapi saya tidak menyangka Kiai akan menjatuhkan hukuman begini rupa.” kata Naga Kuning dengan suara perlahan dan bernada sedih penuh penyesalan.
Kiai Gede Tapa Pamungkas tampaknya tidak terpengaruh oleh ucapan Naga Kuning. Dia angkat tangannya sekali lagi. Sinar putih kembali berkiblat. Disusul letusan keras. Kali ini tak ada kepulan asap putih. Tapi ada suara menggemuruh.
“Kiai!” jerit Naga Kuning.
Dinding batu setengah lingkaran secara aneh bergerak turun memasuki Liang Lahat hingga akhirnya lenyap bersama tubuh Naga Kuning.
*
* *

ENAM

Puti Andini merasa ngeri mendengar jeritannya sendiri. Tubuhnya melayang dalam liang sangat gelap. Udara sepanjang lobang tempatnya melayang jatuh menebar hawa aneh membuat nafasnya pengap. Gadis ini pegang! kepalanya erat-erat. Dia tidak tahu akan berapa lama dia melesat jatuh begitu rupa. Namun dasar lobang tak kunjung sampai. Kalaupun akhirnya dia menyentuh dasar lobang pasti dia tidak akan mengetahui lagi karena saat itu juga kepalanya akan hancur dan tubuhnya remuk tak karuan!
Sekujur tubuh gadis ini dibalut hawa dingin. Dia masih terus berteriak sampai suaranya parau dan tenggorokannya sakit. Beberapa kali dia menggerakkan kaki dan tangan, berusaha menggapai sesuatu. Namun dia tak bisa memegang apa-apa. Usahanya agar bisa melayang jatuh dengan kaki ke bawah pun tidak berhasil. Makin jauh masuk ke dalam Liang Lahat makin tak sanggup gadis ini berpikir lagi. Yang bisa dilakukannya hanyalah menjerit dan menjerit parau. Pada puncak rasa takutnya kesadarannya mulai lenyap. Dua tangannya yang diletakkan di atas kepala terkulai ke bawah.
Dalam keadaan seperti itu dia sama sekali tidak mengetahui kalau saat itu jauh di sebelah bawah ada satu titik putih yang lambat laun berubah menjadi cahaya terang. Bersamaan dengan itu dari bawah melesat hawa dan kabut dingin yang secara aneh menahan sosok Puti Andini. Kalau sebelumnya sosok gadis itu jatuh sangat deras, kini tubuh itu seperti mengapung. Masih terus jatuh ke bawah tapi perlahan-lahan. Puti Andini yang berada dalam keadaan setengah sadar baru ingat dirinya ketika hawa dingin sekali membuat sekujur tubuhnya bergeletar. Selain itu ada suara “duk… duk…duk” menghentak aneh membuat badannya ikut tersentak-sentak. Masih dalam keadaan terbaring, pertama sekali yang dilakukan gadis ini adalah memegang kepalanya dengan kedua tangan. Lalu dia bangkit mencoba duduk. Ternyata dia berada di satu tempat ketinggian. Memandang berkeliling dia melihat air.
“Astaga, aku kembali berada dalam air. Masih bisa bernafas seperti biasa. Berarti ilmu menyelam yang diberikan nenek sakti itu masih kumiliki…. Kepalaku tidak pecah. Tubuhku tidak hancur. Berada di mana aku saat ini? Apa masih berada dalam Telaga Gajahmungkur? Aku masih bisa melihat jernih dalam air. Aku masih bisa bernafas seperti di tempat terbuka. Aku….”
Ucapan si gadis terhenti ketika tengkuknya mendadak menjadi dingin. Dalam air di sekelilingnya melayang belasan jerangkong. Manusia yang telah berubah menjadi tulang belulang ini sebagian dalam keadaan bersambung utuh. Namun banyak di antaranya telah tercerai putus. Ada yang tanggal kaki atau tangannya. Ada yang tidak berkepala lagi. Tengkorak-tengkorak kepala manusia melayang-layang dalam air. Namun yang paling mengerikan adalah dua mayat yang masih utuh, berada dalam keadaan kaku. Dua mayat ini adalah yang dilihat Naga Kuning sebelumnya yakni mayat Datuk Bonar alias Iblis Penghujat Jiwa Dari Utara. Satunya lagi mayat seorang nenek bernama Nyi Ulan, dikenai dengan julukan Singa Betina Pedataran Bromo. Dalam Episode Liang Lahat Gajahmungkur dituturkan bahwa dua orang sakti itu berusaha mencari Pedang Naga Suci 212 namun mereka berhasil dicegat oleh sepasang naga besar. Ketika mereka melawan, dua naga serta merta membunuh keduanya.
Tak berani memperhatikan dua sosok mayat itu lebih lama Puti Andini putar kepala ke jurusan lain. Dia melihat pasir putih menghampar di dasar air. Lalu ada suara “duk-duk duk” berkepanjangan dan sesuatu yang membuat tubuhnya terlonjak-lonjak. Telapak tangannya meraba ke bawah. Diusap-usapnya. Terasa sirip-sirip licin mengeluarkan hawa hangat. Gadis ini menoleh ke kiri lalu memandang ke bawah. Langsung saja jeritan keras hendak melesat dari mulutnya. Jantungnya seolah lepas dan nyawanya seperti melayang terbang! Betapakan tidak! Dia baru sadar kalau saat itu dia duduk di atas perut ular naga besar betina yang sebelumnya dilihatnya di Liang Akhirat. Binatang ini tergolek melingkar.
Ekornya di pasir sedang kepalanya jauh di atas menyondak batu-batu hitam runding membentuk langit-langit aneh. Setiap bernafas perut naga raksasa itu berguncang-guncang membuat Puti Andini ikut terguncang-guncang. Lalu suara “duk-duk-duk” tak berkeputusan bukan lain adalah degup jantung sang ular. Binatang aneh ini diam tak bergerak. Sepasang matanya terpejam. Puti Andini ingin segera melompat dari atas perut naga itu. Namun ada rasa khawatir kalau gerakannya akan membuat sang naga yang diperkirakannya tertidur itu menjadi terbangun.
“Celaka…. Apa yang harus aku lakukan. Cepat “atau lambat binatang aneh ini pasti akan bangun. Begitu dia melihatku, pasti diriku akan ditelannya bulat-bulat! Tua Gila! Menyesal aku menuruti perintahmu!”
Si gadis memandang ke samping kanan. Untuk kedua kalinya dia hampir menjerit kalau dua tangannya tidak cepat dipergunakan untuk menutupi mulut. Hanya sepuluh langkah di sampingnya terpentang kepala naga jantan, mendekam di atas gulungan tubuhnya sendiri. Dua matanya yang merah besar memandang menyorot. Mulutnya terbuka lebar memperlihatkan lidah bercabang serta gigi dan taring besar mengerikan. Hembusan nafas binatang ini membuat air bergejolak dan menyambar panas ke arah Puti Andini.
Kepala naga jantan bergerak. Sebagian tubuhnya menggeliat. Dari mulut binatang ini menyambar desisan keras. Membuat air menggelombang. Menghantam Puti Andini hingga gadis ini terpental dan jatuh ke atas pasir putih. Gelombang air membuat naga betina terusik, membuka matanya sebentar lalu menggerakkan tubuhnya bagian bawah dan mengangkat ekornya. Ketika ekor itu diturunkan, tepat menindih tubuh Puti Andini. Ekor yang beratnya hampir seratus kati itu membuat si gadis tak bisa berkutik. Bagaimana pun dia berusaha melepaskan diri tetap saja dia tersepit antara pasir putih dan ekor naga betina!
“Celaka! Apa yang harus aku lakukan?!” Ekor naga betina itu makin lama makin terasa berat. Puti Andini mulai megap-megap. Dia kumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih ada. Di sebelah belakang dua kakinya ditekankan ke pasir. Di depan sepasang tangannya menggaruk pasir putih. Dia kerahkan tenaga agar bisa meloloskan tubuh dari himpitan ekor naga betina. Namun sampai sepuluh jari tangannya menggali pasir sampai membentuk lobang tetap saja gadis ini tak mampu lolos. Sementara itu beberapa potongan tulang belulang manusia dan sebuah tengkorak melayang di sekitar kepalanya.
“Pedang Naga Suci 212…. Aku bukan menemukan senjata sakti itu. Tapi mencari mati sendiri!”
Seolah pasrah Puti Andini akhirnya hanya geletakkan diri menelungkup di pasir. Saat itulah samar-samar dia melihat sebuah benda putih tersembul di antara pasir dalam lobang di sebelah kanan. Ketika disentuh dengan tangan ternyata keras dan licin. Karena mengira hanya sebuah batu putih biasa Puti Andini tidak acuh. Dia kembali berbaring sambil terus mencari akal bagaimana dapat meloloskan diri.
“Kalau kukerahkan tenaga dalam, lalu menghantam dengan pukulan sakti….Mungkin pukulanku tidak mempan. Tidak terasa apa-apa. Tapi siapa tahu binatang ini terbangun, menggerakkan ekornya….” Memikir begitu maka Puti Andini segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Tapi selintas pikiran lain muncul dalam benak gadis ini.
“Kalau ular besar ini tersentak bangun tapi lantas menjadi marah dan menyerang diriku. Tamatlah riwayatku….” Puti Andini batalkan niatnya untuk menyerang naga betina. Kembali dia berbaring tak bergerak. Dua matanya lagi-lagi membentur batu putih di dalam lobang. “Kalau kuambil batu itu, lalu kulempar ke tubuh naga yang menghimpitku. Akibatnya mungkin tidak sehebat jika aku menghantam dengan pukulan sakti. Paling tidak aku harus melakukan sesuatu. Kalau tidak melakukan apa-apa, cepat atau lambat aku akan menemui ajal di bawah tindihan ekor binatang raksasa ini….”
Puti Andini ulurkan tangannya. Ternyata tidak mudah mengambil batu dalam lobang itu. Batu itu seolah bersatu dengan pasir putih di sekitarnya yang telah membeku. Puti Andini berhenti menggali ketika dirasakannya tiba-tiba ada hawa sangat dingin keluar dari dalam lobang.
“Ada yang aneh…” membatin si gadis. Lalu dia kembali meneruskan menggali.
Mendadak naga jantan yang sejak tadi memperhatikannya dari kejauhan, menyorotkan pandangan buas. Sepasang matanya memancarkah sinar merah dan dari mulutnya keluar suara mendesis keras. Gerakan Puti Andini tertahan. “Binatang itu seperti marah. Tapi tak ada sambaran angin, tak ada sambaran gelombang….” Si gadis menunggu sesaat lalu kembali menggali. Untuk mengeluarkan batu dari dasar lobang dia harus menggali bagian pasir di sekitar batu putih, ini tidak mudah karena pasir itu telah membeku dan menyatu dengan batu. Si gadis paksakan diri sampai jari-jari tangannya luka dan berdarah. Namun usahanya tidak sia-sia. Dia akhirnya berhasil mengambil batu putih itu dari dalam lobang.
“Batu aneh…” ujar Puti Andini dalam hati seraya memperhatikan benda di tangan kanannya. Dia coba membersihkan sisa-sisa pasir yang masih melekat pada batu putih itu.
“Batu apa ini…. Bukan kerang bukan pula karang. Enteng sekali. Mungkin bekas rumah siput besar? Dua sisi rata. Sisi lainnya bulat membentuk lingkaran…. Ada hawa dingin keluar dari batu, menjalar masuk ke dalam tanganku….” Puti Andini terus saja membersihkan batu putih yang besarnya hampir dua kepalan itu.
Tiba-tiba naga jantan yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Puti Andini menggerakkan tubuhnya. Mulutnya yang besar membuka lebar. Lidahnya menjulur panjang. Di kejauhan Puti Andini mendengar suara seperti lolongan anjing bersahut-sahutan di malam buta membuat si gadis tercekat kecut. Lalu, saat itulah naga jantan mendesis keras. Gulungan tubuhnya terbuka. Kepalanya naik ke atas lalu menyambar ke arah Puti Andini. Ketika naga jantan mendesis keras, hawa sangat dingin disertai gelombang air yang dahsyat menghantam ke arah Puti Andini. Gadis ini terpekik. Tubuhnya terlempar jauh bersamaan dengan terangkatnya ekor ular naga betina lalu terguling-guling di atas pasir putih. Beberapa jerangkong yang masih utuh hancur cerai berai.
Batu putih yang tadi dipegangnya terlepas. Sesaat batu ini terapung mengambang dalam air. Naga jantan merunduk. Kepalanya menyambar ke arah batu putih. Mulutnya dibuka lebar lalu menyedot keras. Batu putih yang melayang dalam air langsung tertarik ke dalam mulut naga jantan itu. Namun terjadi satu hal tidak terduga. Naga betina yang sejak tadi seperti diam tak bergerak tersentak dari tidurnya akibat dorongan gelombang air. Begitu dua matanya yang merah membuka pandangannya langsung membentur batu putih yang melesat tersedot ke arah mulut naga jantan. Naga betina keluarkan suara menggerang dahsyat. Ekornya disentakkan ke atas. Laksana petir menyambar ekor itu menghantam ke arah kepala naga jantan. Puti Andini walau dalam keadaan cidera akibat hantaman gelombang air tadi masih sempat melihat apa yang terjadi dengan mata membelalak.
*
* *

TUJUH

Hantaman ekor naga betina menimbulkan gelombang air besar luar biasa, mendera ke arah naga jantan. Sesaat naga jantan terkesiap kaget lalu balas menghantam dengan satu semburan yang memancarkan sinar putih dari hidungnya. Tapi gerakannya terlambat karena gelombang air lebih dulu menghantam kepala dan sebagian tubuhnya. Naga jantan terpental ke atas. Kepalanya membentur langit-langit berbatu runcing hingga hancur berkeping-keping. Tanpa perdulikan cidera di kepalanya naga jantan menukik. Dengan nekad binatang ini kembali hendak menyambar batu putih yang melayang jatuh ke dasar telaga. Namun lagi-lagi naga betina gerakkan ekornya. Satu sinar hitam keluar dari ujung ekor lalu menyambar bergulung-gulung ke arah naga jantan. Yang diserang tidak tinggal diam. Keluarkan suara mendengus. Dua larik sinar merah melesat dari sepasang matanya.
Naga betina meraung aneh. Dari tanduk di kepalanya menyembur cairan hijau yang meredam dan memusnahkan serangan lawan. Naga jantan mengkirik kecut lalu meluncur mundur dan jatuhkan diri bergelung di pasir putih. Kepalanya masih terpentang tegak namun sinar merah di kedua matanya telah meredup.
Keanehan yang mengerikan dan memukau Puti Andini tidak hanya sampai di sana. Naga betina memutar kepala, memandang berkeliling. Begitu pandangannya membentur batu putih yang melayang jatuh hampir mencapai dasar telaga, naga betina segera menyambarnya dengan mulutnya. Batu langsung ditelan! Naga jantan yang menyaksikan kejadian itu menggeram tapi tidak berbuat apa-apa.
“Batu putih itu…” kata Puti Andini dalam hati. “Dua naga berkelahi memperebutkannya. Pasti benda itu….”
Si gadis tidak sempat melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba naga betina meluncur ke arahnya. Binatang ini menurunkan kepalanya sedatar dasar telaga. Mulutnya terbuka lebar. Lidahnya yang bercabang diulurkan panjang-panjang.
“Ya Tuhan!” Puti Andini terpekik. Ketika kepala binatang itu hanya tinggal dua tombak dari hadapannya, gadis ini seolah baru menyadari kalau ular besar itu hendak menelannya hidup-hidup. Puti Andini cepat berenang menjauhi, tapi sang naga datang lebih cepat. Tak ada jalan lain. Tangan kanannya yang sudah dialiri tenaga dalam segera dipukulkan ke depan. Memang ada kekuatan sakti yang sanggup dilepaskan oleh cucu Tua Gila dan Sabai Nan Rancak itu. Membuat air telaga menggelombang, pasir putih bertaburan ke atas dan tulang-tulang serta tengkorak manusia berpelantingan kian kemari. Termasuk sosok kaku mayat Datuk Bonar dan Nyi Ulan.
Namun ular naga betina sama sekali tidak bergeming. Malah sebaliknya Puti Andini tersentak kaget ketika dia sadari tangannya yang tadi memukul ke depan tak bisa ditarik lagi. Karena satu sedotan dahsyat membuat tangan itu terpentang lurus- laksana kaku dan bersamaan dengan itu tubuhnya ikut tertarik. Lalu melesat dua benda aneh yang ternyata adalah lidah ular naga betina yang bercabang dua.
Ketika dua belahan lidah hendak melibat tubuh Puti Andini tiba-tiba di atas sana terdengar suara menggemuruh. Sebuah benda meluncur jatuh. Air telaga tersibak laksana dibelah. Lalu satu dinding batu berbentuk setengah lingkaran dan tinggi belasan tombak menghunjam ke dasar telaga. Air muncrat sampai ke langit-langit batu runcing. Pasir putih menggebubu menutupi pemandangan. Udara sangat dingin mencekam. Ketika air kembali tenang, pasir luruh ke dasar telaga dan pemandangan perlahan-lahan jernih, terlihat tubuh Puti Andini melayang-layang dalam air, setengah sadar setengah pingsan. Dalam keadaan seperti itu dia mendengar seseorang berteriak.
“Puti Andini! Keluarkan ilmu silat payung tujuh! Andalkan ilmu meringankan tubuh! Kau bisa menyelamatkan diri dengan ilmu itu!”
Seperti tersentak Puti Andini angkat kepalanya. Dia masih belum bisa melihat siapa yang berteriak. Tapi dia kenali suara orang.
“Itu suara bocah berpakaian hitam yang menceburkan diriku ke dalam Liang Lahat. Dimana dia…. Apa maksudnya?” Si gadis putar otaknya mencerna teriakan tadi. “Anak itu benar. Aku bisa memainkan ilmu silat payung tujuh tanpa payung. Tapi apakah aku bisa keluar dari telaga maut ini?”
Belum sempat dia berpikir lebih lama tiba-tiba naga betina mendesis lalu tukikkan kepalanya ke bawah. Puti Andini segera kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan diri. Tubuhnya melesat ke atas. Kepala naga betina lewat di sampingnya. Mulut yang hendak menelannya menggembor marah. Puti Andini terpental tiga tombak. Gadis ini segera berjungkir balik lalu menghampiri kepala naga dari belakang. Secepat kilat kaki kanannya ditendangkan ke tengkuk naga. Tapi dia mengeluh sendiri. Kesakitan dan terpelanting karena tubuh naga itu ternyata licin. Sambil menggeram naga betina cambukkan ekornya. Puti Andini masih sempat mengelak bahkan kaki kirinya bisa menendang ke pelipis naga. Tapi lagi-lagi tak ada hasilnya karena kembali kakinya terasa sakit. Tubuhnya terjungkir. Naga betina kembali menyerbu. Si gadis mainkan jurus-jurus ilmu silat Payung Tujuh. Tubuhnya melesat kian kemari. Sesaat naga betina seolah tertegun memperhatikan. Tapi tiba-tiba binatang ini melesat ke atas sambil mengibaskan ekornya. Selagi Puti Andini terlempar oleh gelombang air telaga akibat hantaman ekor, di sebelah atas kepala naga betina melesat ke bawah. Kali ini si gadis tidak punya kesempatan lagi untuk selamatkan diri.
“Puti Andini! Pukul tanduk di kepala binatang itu!” Kembali si gadis mendengar teriakan orang. Sang dara berpaling ke kiri. Dia melihat sosok Naga Kuning menempel di bagian bawah dinding batu setengah lingkaran. Dalam kagetnya gadis ini tidak punya kesempatan melakukan apa yang dikatakan si anak. Lidah bercabang naga betina melesat ke depan, melibat tubuh gadis itu. Lalu sekali lidah itu disentakkan ke belakang maka amblaslah sosok Puti Andini lenyap ke dalam mulut naga!
Naga jantan yang menyaksikan kejadian itu kembali menggeram dan angkat kepalanya sedikit tapi seolah takut, tak berani melakukan apa-apa. Naga Kuning pejamkan ke dua matanya. Tidak tega melihat Puti Andini ditelan hidup-hidup oleh naga betina itu. Hatinya geram dan sedih tak bisa menolong. Tubuhnya terpendam laksana disemen sama rata ke bagian bawah dinding Liang Lahat. Seperti diceritakan sebelumnya Kiai Gede Tapa Pamungkas telah menjatuhkan hukuman terhadap Naga Kuning. Menjebloskan anak itu ke dalam batu lalu memasukkannya ke dalam Liang Lahat yang ternyata dasarnya adalah di tempat dimana dua naga raksasa berada.
“Naga betina menelan gadis itu. Tamatlah riwayatnya. Dia tak akan pernah menemukan Pedang Naga Suci 212. Pendekar 212 tidak akan dapat disembuhkan. Rimba persilatan akan kejatuhan bencana besar….” Naga Kuning hendak dongakkan kepalanya ke atas. Tapi tidak bisa karena bagian belakang kepalanya menempel laksana disemen ke dinding batu Liang Lahat. Anak ini hanya bisa melirik ke atas dan menggumam jengkel.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas…. Jika memang ini maumu maka apa yang kau inginkan sebagian telah menjadi kenyataan! Semoga kau merasa puas….”
Baru saja Naga Kuning mengeluarkan rasa kesalnya dalam hati tiba-tiba laksana dihantam gempa yang datang dari dasar telaga, tempat itu bergoncang keras. Dinding batu dimana Naga Kuning dipendam bergetar. Air telaga membentuk gelombang-gelombang besar di beberapa tempat. Dua ekor naga tegakkan kepala lalu keluarkan suara melolong aneh.
“Apa yang terjadi!” pikir Naga Kuning. “Tempat ini seolah siap meledak. Atau mungkin dunia sudah kiamat?”
Di atas sana Naga Kuning melihat petir menyambar sampai empat kali berturut-turut, itu pertanda Kiai Gede Tapa Pamungkas tengah marah besar…” ujar Naga Kuning dalam hati. Lalu samar-samar di sebelah atas dia melihat larikan-larikan air telaga berwarna kuning. Hidungnya membaui sesuatu.
*
* *

DELAPAN

Tak selang berapa lama setelah dinding batu setengah lingkaran amblas ke dalam Liang Lahat dan Naga Kuning yang dipendam menempel ke dinding itu ikut lenyap, Kiai Gede Tapa Pamungkas masih tegak di atas makam besar. Orang tua yang sulit diduga berapa usianya ini dan disebut sebagai setengah manusia setengah roh tegak dengan mata terpejam, kepala mendongak dan tangan rangkap di depan dada.
“Mungkin aku salah berbuat. Tapi bagaimana pun juga hukum harus ditegakkan. Mungkin hukum itu sendiri satu kekeliruan. Tapi tidak berbuat sesuatu adalah lebih jahat dari mengaminkan kesalahan….” Kata-kata itu muncul di lubuk hati sang Kiai.
Kemudian perlahan-lahan Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan kedua tangannya ke atas membuat sikap seperti orang memanjatkan doa. Bersamaan dengan itu sayup-sayup terdengar suara gaungan aneh. Makin lama makin keras. Kabut putih di liang makam tampak turun ke bawah. Dua kali secara aneh kilat menyambar keluar dari dalam liang makam. Lalu ada goncangan keras. Sosok tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas ikut turun, perlahan-lahan masuk ke dalam liang makam. Begitu kepalanya yang berambut putih lenyap maka didahului dengan suara menggemuruh, batu besar penutup liang makam yang berada di sebelah kanan bergeser ke kiri. Sekali lagi petir menyambar keluar. Lalu makam itupun tertutup. Kabut putih lenyap. Suasana di Liang Akhirat sunyi senyap benar-benar seperti di pekuburan.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Sekonyong-konyong ada suara menggemuruh keluar dari perut bumi. Dasar Telaga Gajahmungkur bergoyang keras. Liang Akhirat bergetar hebat. Di luar sana air telaga membentuk gelombang-gelombang besar dan menghantam pintu serta dinding-dinding Liang Akhirat. Beberapa bagian dinding hitam tampak retak dan air merambas masuk ke dalam ruangan. Makam batu putih di tengah ruangan bergoyang-goyang. Liang Lahat yang ada di samping makam mengepulkan asap panas. Satu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Suara gemuruh menambah ngerinya suasana. Lalu dari celah-celah makam dan batu penutup membersit cahaya menyilaukan disertai suara menggelegar. Batu makam yang tadi tertutup bergerak ke kanan. Lalu membuka disertai suara menggaung keras. Kilat menyambar dari dalam liang makam disusui dengan kepulan asap putih. Lalu melesat sesosok tubuh yang bukan lain adalah sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Tidak seperti biasanya wajah orang tua ini tampak sangat pucat. Sikapnya luar biasa gelisah. Sepasang matanya memandang seputar Liang Akhirat. Lalu dia mengerahkan kesaktian untuk menembus dinding dan pintu batu, memandang ke Seantero Telaga Gajahmungkur. Kepalanya seperti disentakkan sewaktu melihat ada bagian air telaga berwarna kuning di sekitar permukaan.
“Malapetaka besar menimpa telaga. Bahaya jatuh atas Liang Akhirat dan Liang Lahat! Ada orang menebar air larangan! Siapa yang punya pekerjaan jahat ini?!” Sang Kiai lalu dongakkan kepala dan mencium udara sekitarnya dalam-dalam. “Jalan pernafasanku membaui sesuatu. Tak salah lagi. Yang kucium adalah air larangan!”
Kiai Gede Tapa Pamungkas kepalkan tangan kanannya. Lalu dihantamkan ke atas. Terjadilah satu hal aneh. Dari tinju kanan sang Kiai melesat keluar cahaya terang benderang laksana kilat menyambar. Cahaya tersebut menembus dinding Liang Akhirat tanpa merusaknya sama sekali. Sampai diluar kilatan petir ini terus melesat menuju permukaan Telaga Gajahmungkur dan menghantam bagian telaga yang airnya berwarna kekuningan. Di atas sana air telaga muncrat sampai beberapa tombak. Salah satu bagian dari tanah tepian telaga laksana meledak, menghamburkan hancuran tanah, bebatuan dan pohon serta semak belukar.
“Manusia-manusia jahat! Siapa kalian yang berani menebar air larangan di kawasan kediamanku?!” Kiai Gede Tapa Pamungkas berseru. Dia jentikkan tangan kirinya. Terdengar suara mendesir. Pintu goa yang terbuat dari batu bergerak membuka. Kiai Gede langsung melesat ke luar. Liang -Akhirat, terus berenang. Demikian cepatnya hingga kurang dari sekejapan mata dia sudah- muncul di permukaan air telaga. Jika ada orang melihat sang Kiai saat itu maka dia akan merasa aneh. Walau barusan jelas keluar dari dalam air namun tubuh, pakaian selempang kain putih, rambut, janggut dan kumisnya sama sekali tidak basah!
Memandang berkeliling dia tidak melihat seorang pun. Orang tua ini kertakkan rahang. “Aku belum melihat orangnya. Tapi aku sudah bisa menduga!” Kiai Gede Tapa Pamungkas menyelam kembali. Dia berenang berputar-putar. Dia tak mencari lama. Di kejauhan di arah timur dia melihat gerakan-gerakan dalam air. Air telaga tampak berwarna kekuningan.
“Ada dua orang di sebelah sana. Yang satu bisa kuterka. Sulit kuduga siapa orang ke dua….” Sang Kiai lalu melesat cepat ke arah dua orang yang berada di telaga sebelah timur itu.
Melihat ada orang mendatangi, dua orang yang berenang saling memberi isyarat. Lalu keduanya cepat melesat ke atas. Kiai Gede Tapa Pamungkas segera mengejar. Ketika dia muncul di permukaan air dua orang tadi dilihatnya tegak di tepi Telaga Gajahmungkur dalam keadaan basah kuyup. Dua-duanya menyeringai buruk walau jelas keduanya tampak menggigil kedinginan.
Kiai Gede Tapa Pamungkas melesat keluar dari dalam air telaga. Sesaat kemudian orang tua ini sudah berdiri tegak di hadapan dua orang itu. Orang tua ini mencium bau pesing yang sangat santar menebar dari sosok dua orang yang tegak di hadapannya itu. Cuping hidungnya sampai kembang kempis karena berusaha menahan nafas dan mengernyit menahan perutnya yang mendadak menjadi mual.
Melihat keadaan sang Kiai seperti itu dua orang tadi tertawa cekikikan. Tapi salah seorang dari mereka yakni nenek-nenek hitam kurus kering yang memegang sebuah kendi tanah berwarna merah sehabis tertawa cepat-cepat membungkuk memberi penghormatan.
“Sinto Weni! Aku sudah menduga kalau kau yang punya pekerjaan! Mengapa kau berlaku jahat terhadap aku, gurumu sendiri?!”
Orang yang ditegur dengan nama Sinto Weni itu bukan lain adalah nenek sakti dari Gunung Gede, guru Pendekar 212 yang lebih dikenal dengan sebutan Sinto Gendeng. Si nenek rapikan barisan lima tusuk kundai yang menancap di kulit kepalanya baru menjawab.
“Kiai harap maafkan diri saya. Saya tidak bermaksud jahat….”
“Di mata dan pikiranmu apa yang kau lakukan tidak jahat. Tapi di mata orang lain termasuk diriku apa yang kau lakukan benar-benar satu kejahatan! Kau menebar air larangan yang menjadi pantangan besar bagi Telaga Gajahmungkur! Kau mengacaukan dan merusak semua pekerjaan yang telah aku mulai sejak puluhan tahun lalu….”
“Kiai, jangan kau bersalah duga. Saya….”
“Sinto Weni! Sejak kau memilih Kapak Naga Geni 212 di puncak Gunung Gede puluhan tahun silam. Sejak kau melarikan Pedang. Naga Suci 212! Aku sudah tahu kalau kau adalah seorang berhati jahat dan culas! Serakah dan juga kejam!”
Sinto Gendeng sampai tersurut mendengar dampratan Kiai Gede Tapa Pamungkas itu. Dia pukul-pukul kepalanya sendiri lalu menjawab. “Kiai, terserah kau mau mengatakan saya ini apa. Saya menerima pasrah. Saya kemari mencari obat untuk murid saya. Pendekar 212 Wiro Sableng yang terkena musibah….”
“Aku sudah tahu musibah apa yang menimpa muridmu! Aku juga tahu siapa dirinya adanya! Pemuda bernafsu kotor! Musibah yang menimpa dirinya sudah lebih dari pantas!”
“Kiai, saya tahu siapa murid saya. Harap kau jangan menghina dirinya! Apapun perbuatannya, salah atau benar akan menjadi tanggung jawab saya dunia akhirat!”
“Ucapanmu hanya menyatakan sifatmu yang congkak!” tukas Kiai Gede Tapa Pamungkas pula. “Puluhan tahun aku menunggumu. Berharap agar kau kembali menyerahkan Kapak Naga Geni 212 yang kau ambil tempo hari. Juga menyerahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!”
*
* *

SEMBILAN

Sinto Gendeng jadi terkesiap mendengar ucapan sang Kiai. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Saya tidak membawa Kapak Naga Geni 212. Pedang Naga Suci 212 juga tidak ada pada saya….”
“Kau pandai bicara mencari dalih!”
“Kiai, saya tidak berdalih. Kapak Naga Geni 212 tidak ada pada saya. Juga saat ini saya menyirap kabar senjata itu tidak berada di tangan murid saya. Pedang Naga Suci 212 secara kurang ajar memang saya ambil waktu puluhan tahun lalu di puncak Gunung Gede itu. Tapi saya punya alasan melarikan senjata mustika itu. Untuk menghindari dunia persilatan dari malapetaka besar. Karena kalau pedang mustika sakti waktu itu sampai jatuh ke tangan Sukat Tandika alias Tua Gila pasti dia akan mempergunakannya untuk maksud jahat! Lagipula saya melarikan Pedang Naga Suci 212 bukan untuk dipakai sendiri tapi saya sembunyikan di satu tempat. Di dasar Telaga Gajahmungkur ini! Kelak siapa yang benarbenar berjodoh dengan senjata itu pasti akan mendapatkannya. Karena mendengar murid saya ditimpa musibah dan konon pedang itu bisa menjadi obat yang mujarab maka itulah saya kembali ke tempat ini untuk mencarinya, untuk pengobat Pendekar 212. Bukan untuk maksud lain….”
“Kau tahu penyakit kutuk yang menimpa muridmu akan lenyap dengan sendirinya setelah seratus hari…. Mengapa bersusah payah mencari Pedang Naga Suci 212 yang bukan milikmu?!”
“Syukur Kiai telah mendengar dan mengetahui musibah yang menimpa murid saya. Kapan akan punahnya musibah kutukan itu tidak saya ketahui. Sementara itu rimba persilatan saat ini tengah dilanda mara bahaya besar. Orang-orang Lembah Akhirat gentayangan ke mana-mana mengadu domba antar sesama tokoh silat golongan putih. Bagaimana kalau celaka lebih dulu datang menimpa murid saya sebelum seratus hari? Kiai….”
“Cukup! Aku tak perlu keterangan panjang lebar!” memotong Kiai Gede Tapa Pamungkas. “Aku perintahkan agar kau segera angkat kaki dari tempat ini! Bawa serta kawanmu kakek-kakek bermata belok jereng! Berkuping lebar, bertampang seperti jurik ini!” Saking marahnya sang Kiai tak bisa lagi mengendalikan kata-katanya.
“Kiai, sekali ini mungkin saya tidak dapat menuruti perintahmu. Saya lebih mementingkan keselamatan muridku si anak setan itu dari pada diriku sendiri. Saya tidak perduli kau akan memukul rengkah batok kepala saya. Atau menanggalkan anggota badan saya satu persatu. Atau mencincang diriku sampai lumat. Murid saya dalam bahaya. Saya wajib menolongnya. Mengenai kawanku ini terserah padanya apa dia mau pergi atau tidak….” Sinto Gendeng lalu berpaling pada kakek yang tegak di sampingnya.
“Kakek bermata jereng! Siapa kau adanya!” Kiai Gede Tapa Pamungkas membentak keras.
Tidak mengira akan dibentak orang, kakek di sebelah Sinto Gendeng sampai terlompat saking kagetnya. Wajahnya sesat pucat dan “serrrrr.” Ada cairan kuning hangat mengalir dari bagian bawah perutnya. Karena dia berdiri dekat sekali ke tepi telaga maka cairan ini terus mengalir dan masuk ke dalam air.
Di dasar telaga lapat-lapat terdengar suara menggemuruh. Kiai Gede Tapa Pamungkas menjadi kalap dan hendak membentak kembali. Tapi Sinto Gendeng mengangkat tangan kirinya dan berkata. “Kiai, sahabatku ini punya kelainan aneh. Kalau tidur seperti anak kecil, suka ngompol! Jika dia berada dalam keadaan terlalu tenang maka dia akan beser tanpa terasa. Kalau dia mendadak kaget kencingnya lebih banyak lagi! Saya harap Kiai jangan membentaknya. Karena berarti makin banyak air kencingnya yang akan masuk ke dalam telaga. Dan makin porak-poranda keadaan di bawah sana. Hik… hik… hik…! Kalau Kiai ingin tahu nama sahabat satu ini dia adalah yang dipanggil orang dengan sebutan Setan Ngompol! Julukannya aneh dan lucu! Hik… hik… hik!”
“Sinto Gendeng! Kau mempergunakan air larangan itu untuk mencelakai diriku dan hendak menghancurkan tempat kediamanku!”
“Maafkan saya Kiai. Kau menyebutnya air larangan. Kami berdua menyebutnya air kencing. Orang beradab dan bersopan santun punya bahasa halus menyebutnya air seni! Tapi apapun namanya tetap bau pesing! Hik… hik… hik!”
“Sinto! Bawa temanmu ini. Lekas angkat kaki dari sini!”
“Maafkan saya Kiai. Saya baru pergi kalau sudah mendapatkan Pedang Naga Suci 212 itu….”
“Kau tak bakal menemukannya. Senjata itu tak ada di sini….”
Sinto Gendeng tertawa lebar. “Saya tahu di mana beradanya pedang itu Kiai. Karena puluhan tahun yang lalu saya yang menyembunyikannya di dasar telaga….”
“Keadaan telaga puluhan tahun lalu telah jauh berbeda saat ini. Pedang sakti itu mungkin sudah tenggelam di dasar telaga. Mungkin sudah dihanyutkan aliran air ke tempat lain. Kau membutuhkan waktu lama dan nasib baik untuk bisa menemukannya….”
“Bagaimanapun sulitnya saya akan tetap mencoba….”
“Sinto Gendeng kau licik dan jahat. Kau tahu pantangan di tempat ini. Itu sebabnya kau pergunakan air kencingmu dan mengajak serta kawanmu si Setan Ngompol ini untuk mencemari air telaga!”
“Maafkan saya Kiai. Saya terpaksa melakukannya. Mungkin sudah saatnya Kiai kembali ke puncak Gunung Gede….”
“Aku tidak perlu nasihatmu. Kau tetap memaksa tidak mau pergi dari tempat ini?”
“Maafkan saya Kiai…” jawab Sinto Gendeng sambil membungkuk dalam.
“Kalau begitu terpaksa aku menurunkan tangan kasar, Sebelum kulakukan aku tanya sekali lagi. Kau tetap tidak mau meninggalkan telaga ini?”
Sinto Gendeng gelengkan kepalanya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas habis kesabarannya. Orang tua ini kembangkan lengannya ke samping. Lalu jari-jari tangannya kiri kanan dijentikkan. Di dasar telaga terdengar suara menggemuruh keras. Lalu di permukaan telaga berkiblat petir dua kali berturut-turut. Air telaga bergolak muncrat setinggi belasan tombak. Sesaat kemudian dua sosok kuning besar mengerikan melesat keluar dari dalam telaga. Yang muncul bukan lain adalah naga jantan dan naga betina bermata merah dan bertanduk hijau.
Dua Kakek nenek sama-sama terkejut mundur. Setan Ngompol langsung beser. Sedang Sinto Gendeng menggigil dan coba menekap perutnya dengan tangan kiri tapi gagal mencegah terkencing. Begitu cairan ini masuk ke dalam telaga, di dasar telaga terdengar suara menggemuruh.
Kiai Gede sekali lagi menjentikkan tangannya kiri kanan. Sepasang naga menggeliat dan keluarkan suara mendesis. Dua binatang ini siap menerkam ke arah dua orang tua di pinggir telaga.
“Kiai! Tahan!” Sinto Gendeng berteriak seraya acungkan tangan kanannya yang memegang kendi tanah warna merah. Teriakan si nenek membuat kaget si Setan Ngompol hingga kembali kakek bermata belok ini kucurkan air seni. “Saya ikhlas dihukum dan menemui kematian di tangan Kiai. Tapi saya tidak ikhlas murid saya menemui ajal karena saya tidak melakukan apa-apa. Lihat Kiai! Kendi ini penuh berisi air kencing saya dan air kencing si Setan Ngompol! Dua naga peliharaan Kiai mungkin bisa membunuh saya. Tapi sebelum nyawa saya putus, saya masih punya kesempatan untuk melemparkan kendi ini ke dalam telaga. Akibatnya Kiai tahu sendiri!”
Kiai Gede Tapa tersurut dua langkah begitu mengetahui bahwa isi kendi yang diacungkan muridnya itu adalah air kencing. Sedikit saja cairan larangan itu mengenai tubuh atau pakaiannya maka dia akan mengalami cidera yang sulit dibayangkan. Selain itu yang paling ditakutkan sang Kiai ialah dia tak akan sanggup meneruskan keadaan dirinya seperti sekarang ini karena kesaktiannya akan menjadi lumpuh.
“Sinto Weni! Kau benar-benar murid kurang ajar! Murtad!” teriak Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan suara menggelegar.
“Aduh! Aku ngompol lagi!” Si Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya. Coba bertahan. Tapi sia-sia saja. Kakek ini kembali terkencing di celana akibat kaget mendengar teriakan sang Kiai tadi.
Walau darahnya mendidih dan ingin sekali menghajar Sinto Gendeng namun Kiai Gede maklum dia tak bisa berbuat apa-apa. Orang tua ini membathin. “Heran, dari mana dia mengetahui pantangan air larangan itu…. Siapa membocorkan rahasia!”
“Bagaimana Kiai..,?” Sinto Gendeng bertanya sambil menyeringai.
Kiai Gede Tapa Pamungkas berusaha menindih amarahnya. Kedua matanya dipejamkan. Tangan kirinya berulang kali mengusapi dadanya.
“Sinto Weni, dengar baik-baik apa yang akan kukatakan,” sang Kiai berucap. “Hari ini kau boleh menikmati kemenanganmu. Tapi hari ini pula pula putus hubungan kita sebagai guru dan murid!”
“Kiai!” seru Sinto Gendeng seraya jatuhkan diri berlutut. “Saya menerima salah namun saya harap Kiai mau mengerti….”.
“Selamat tinggal Sinto Weni. Mulai saat ini aku tak ingin melihat dirimu lagi! Aku akan meninggalkan Telaga Gajahmungkur ini. Tapi aku tidak suka begitu mudah bagimu gentayangan di tempat ini. Sepasang Naga Kembar dan Makhluk Api Liang Neraka akan tetap berjaga-jaga di tempat ini! Mudah-mudahan kau dan kawanmu itu tidak akan menemui ajal di tangan mereka!”
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan tangannya kiri kanan. Dua ekor naga besar mendesis keras lalu selulupkan kepalanya ke dalam air dan lenyap dari pemandangan. Kiai Gede Tapa tidak menunggu lebih lama. Orang tua ini rangkapkan dua tangan di depan dada. Perlahan-lahan tubuhnya masuk lurus ke dalam air, kaki lebih dulu, menyusul badan dan terakhir sekali kepala. Di bekas tempat lenyapnya sang Kiai untuk beberapa ketika tampak kabut putih mengambang di atas permukaan telaga. Sinto Gendeng melirik ke arah telaga. Perlahan-lahan nenek ini bangkit berdiri. Sambil acungkan kendi merah di tangan kanannya dia tertawa cekikikan. Si Setan Ngompol buru-buru tekap bagian bawah perutnya sambil berusaha menahan tawa. Tapi sia-sia. Begitu tawanya meledak, di sebelah bawah dia kembali bocor!.
“Dia tertipu! Dia tertipu! Hik… hik… hik!” Sinto Gendeng tertawa cekikikan sambil acungkan kendi; merah.
“Kiai gurumu itu pasti sudah mulai pikun! Apa dia tidak bisa membedakan bau pesingnya air kencing dengan bau wanginya tuak murni? Ha… ha…ha…!” ujar si Setan Ngompol lalu ikut-ikutan tertawa. Makin keras tawanya makin deras mengucur kencingnya.
“Dia percaya saja waktu kubilang kendi ini berisi air kencingku dan air kencingmu! Padahal isinya tuak harum yang aku dapat dari kawanku si Dewa Tuak! Hik… hik.:. hik!”
“Serahkan kendi itu padaku Sinto! Tenggorokanku jadi kering karena tertawa terus! Kau orang perempuan jangan banyak-banyak meneguk tuak. Bisa mandul! Ha… ha… ha…ha!”
“Diriku memang sudah mandul sejak lahir! Hik… hik… hik!” menyahuti Sinto Gendeng dan tertawa gelak-gelak. Tuak dalam kendi diteguknya satu kali. Walau cuma minum satu teguk namun muka keriputan Sinto Gendeng langsung menjadi merah dan tubuhnya bergetar sedang kedua matanya berkedap-kedip.
“Apa kataku!” ujar Setan Ngompol. “Tuak keras ini minuman lelaki. Bukan minuman nenek-nenek sepertimu. Untung kau tidak sampai terangsang. Bisa-bisa aku kau tarik ke balik pohon! Ha… ha… ha! Lekas kau serahkan padaku kendi itu! Aku perlu minum banyak biar bisa ngompol banyak!”
“Enak saja kau bicara!” kata Sinto Gendeng merengut. Kendi tanah warna merah diserahkannya pada si kakek. “Minum sepuasmu! Selamat menenggak tuak wangi! Selamat ngompol! Hik… hik… hik!”
Setan Ngompol dongakkan kepala lalu mengucurkan tuak dalam kendi ke mulutnya yang dibuka lebar-lebar. “Sialan! Baru kuteguk sedikit sudah habis!” Memaki Setan Ngompol begitu tuak dalam kendi habis dan tak ada lagi yang mengucur ke dalam tenggorokannya. Bibir kendi dijilatinya. Belum puas tiba-tiba kendi tanah itu diremasnya hingga hancur. Lalu “krak… kruk… krak…. kruk!” Kepingan-kepingan pecahan kendi yang masih dilekati sisa-sisa tuak itu dimasukkan ke dalam mulut, dikunyah seolah dia tengah makan kerupuk!
Sinto Gendeng tertawa mengekeh melihat perbuatan si Setan Ngompol itu. Lalu nenek sakti ini berseru. “Kalian berempat yang sembunyi lekas unjukkan diri! Urusanku masih panjang! Jangan membuang waktu!”
Dari balik sebuah batu besar yang dikelilingi semak belukar terdengar suara kaleng rombeng berkerontang bising membuat telinga berdenyut sakit. Air di pinggiran telaga tampak beriak dan membentuk gelombang-gelombang kecil. Sesaat kemudian muncul sosok seorang kakek berpakaian compang-camping penuh tambalan. Di pundaknya ada sebuah buntalan butut. Tangan kiri memegang tongkat yang ujungnya patah. Tangan kanan memegang sebuah kaleng yang digoyang-goyangkan. Sepasang matanya berwarna putih.
“Ah panasnya siang ini! Caping yang hancur belum kuganti! Sialnya nasib tua bangka ini!”
Kakek buta yang membuat suara berisik ini adalah Kakek Segala Tahu salah seorang dedengkot rimba persilatan. Dia keluar dari balik batu digandeng seorang pemuda berpakaian hijau dan memakai anting-anting emas di salah satu telinganya. Dia bukan lain Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo. Di belakang ke dua Orang ini menyusul gadis berwajah cantik mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya panjang tergerai dan sepasang matanya yang berwarna biru menambah pesona kecantikan parasnya. Dialah Ratu Duyung. Lalu di belakang Ratu Duyung sambil garuk-garuk kepala melangkah pemuda gondrong yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Begitu empat orang tersebut berada di hadapan Sinto Gendeng dan Setan Ngompol, si nenek segera berkata.
“Aku dan Setan Ngompol akan menyusup masuk ke dalam telaga. Kuharap kalian berempat tetap menunggu di sini.” Lalu Sinto Gendeng berpaling pada Ratu Duyung.
“Kami perlu bantuanmu sekali lagi. Memberikan sirap kekuatan agar bisa berada lama di bawah air. Aku khawatir sirap yang kau berikan sebelumnya pada kami berdua tidak berlangsung lama. Bisa-bisa kami kakek nenek jelek ini menemui ajal di dasar telaga! Hik…hik… hik!”
Seperti diketahui Ratu Duyung dikenal sebagai salah satu penguasa kawasan laut selatan. Dia memiliki kemampuan untuk berenang, menyelam atau berada di dalam air laut dalam waktu tidak terbatas.
“Saya akan lakukan Nek,” jawab Ratu Duyung. “Tapi daya sirap itu hanya berkekuatan setengah hari. Jadi kau dan kakek ini paling lama hanya bisa bertahan sampai lewat tengah malam nanti.”
“Itu pun sudah cukup,” menjawab Setan Ngompol seraya kedip-kedipkan matanya dan usap bagian bawah perutnya menahan kencing.
Ratu Duyung melangkah mendekati Sinto Gendeng lalu dari belakang gadis ini peluk si nenek. Matanya dipejamkan. Dalam hati dia merapal sesuatu. Mulut Sinto Gendeng berkomat-kamit ketika dia merasakan ada hawa aneh memasuki tubuhnya. Selesai menyirap si nenek dengan kekuatan yang membuatnya mampu masuk ke dalam air untuk jangka waktu lama maka Ratu Duyung mendekati Setan Ngompol.
Belum apa-apa kakek berkuping luar biasa lebar dan bermata jereng ini sudah tertawa cekikikan sambil memegangi bagian bawah perutnya dengan kedua tangan.
“Aku tak sanggup menahan geli. Aku tak sanggup menahan kencing…!” katanya, berulang kali. Begitu Ratu Duyung memeluknya dari belakang kakek ini tertawa keras.
Sekujur tubuhnya bergeletar dan “Ssrrr…. Ssrrrr.” Pakaiannya basah kuyup di sebelah bawah.
“Aku mencium bau pesing! Siapa yang beser! Kau Sinto?!” Bertanya Kakek Segala Tahu lalu goyangkan kaleng rombengnya dua kali.
“Enak saja kau bicara! Bukan aku! Tapi kakek jelek yang tubuhnya tak punya saringan lagi ini!” jawab Sinto Gendeng merengut.
Sebelum pakaiannya ikut terciprat basah Ratu Duyung sudahi pelukannya yang memberi sirap kekuatan pada Setan Ngompol.
Tiba-tiba Pendekar 212 maju mendekati Ratu Duyung. “Ratu, aku ingin menemani dua orang tua ini ke dasar telaga. Harap kau suka memberikan ilmu kuat menyelam itu padaku….”
“Anak setan! Jangan kau kira aku tidak tahu apa maksudmu!” Sinto Gendeng membentak. “Sebenarnya kau cuma ingin dipeluk gadis cantik ini, bukan?!”
Wiro garuk-garuk kepala. “Maksudku bukan begitu Nek. Aku….”
“Kau dan Kakek Segala Tahu serta pemuda satu ini tetap berada di sini. Berjagajaga!” Berkata Setan Ngompol.
“Aku tak mungkin berlama-lama di sini. Aku perlu pergi ke satu tempat menemui seseorang,” ujar Kakek Segala Tahu. “Tapi sebelum pergi, aku punya penglihatan. Ada baiknya kalian mengajak serta anak muda bernama Panji ini.”
Sinto Gendeng mengerling pada Wiro dan Ratu Duyung. Lalu nenek ini mendekati Kakek Segala Tahu dan menarik tangannya. Agak menjauh dari orang-orang itu Sinto Gendeng berkata. “Apa maksudmu menyuruh pemuda itu ikut dengan kami. Agar muridku anak setan itu bisa berdua-dua dengan Ratu Duyung?! Hemmm…. Jangan-jangan kau punya rencana hendak mengatur jodoh muridku! Apa kau tidak tahu kalau anak setan itu kuinginkan kawin dengan Anggini, murid Dewa Tuak?”
Kakek Segala Tahu tertawa lebar. Setelah kerontangkan kalengnya dia berkata. “Aku bukan mak comblang, tukang menjodohkan orang. Soal jodoh ada di tangan Yang Kuasa. Maumu muridmu kawin dengan Anggini. Tapi apa mereka suka satu sama lain? Aku bilang aku hanya melihat sesuatu. Tapi tidak bisa mengatakan panjang lebar pada kalian. Aku cuma menyarankan agar kalian membawa serta pemuda itu.”
“Sinto sebaiknya turuti anjurannya, mungkin kita memerlukan bantuan pemuda ini kelak….”
“Jangan dengarkan kata-kata tua bangka itu. Dia merasa maha segala tahu…. Ayo ikuti aku!”
Tapi mendadak Ratu Duyung melangkah ke belakang Panji dan memeluk pemuda ini, memberikan sirapan kekuatan untuk masuk ke dalam air. Selesai menyirap sang Ratu berkata. “Aku tahu kau punya kekuatan alam untuk berenang dan menyelam lama dan jauh ke dalam laut. Tapi Telaga Gajahmungkur bukan telaga biasa….”
“Terima kasih Ratu. Kau mau memberikan kekuatan hebat padaku,” jawab Panji.
“Sebelumnya aku memang telah masuk ke dalam telaga. Tapi tak sanggup bertahan lama….”
Kakek Segala Tahu kembali kerontangkan kalengnya lalu berkata pada Sinto Gendeng. “Sinto, aku siap pergi sekarang. Tapi jangan lupa pesanku tempo hari. Pada bulan purnama empat belas hari nanti, kita berkumpul lagi di tempat ini!”
Sinto Gendeng menggumam lalu anggukkan kepala.
“Apakah kau tidak mengundang diriku serta?” Si Setan Ngompol bertanya.
“Orang sepertimu buat apa diundang. Hanya akan membuat buruk suasana. Tukang ngompol. Membuat bau pesing menebar di mana-mana!” jawab Kakek Segala Tahu sambil tersenyum pertanda sebenarnya dia juga menginginkan orang tua aneh itu ikut hadir pada malam yang ditentukan.
Si Setan Ngompol tertawa gelak-gelak hingga kembali dia terkencing. “Orang tidak mengundang. Betapa jeleknya nasibku. Padahal pada malam bulan purnama justru kencingku banyak sekali! Ha… ha…ha!”
Kakek Segala Tahu usap-usap rambutnya yang putih.
“Kalian bertiga tunggu apa lagi?!” ujar si kakek. Setelah mengguncang kaleng rombengnya dua kali maka dia pun berkelebat pergi.
Sinto Gendeng sesaat tegak termangu. Dia melirik pada Ratu Duyung lalu seolah tak perduli lagi nenek ini melompat masuk ke dalam telaga. Setan Ngompol menyusul. Panji memandang dulu pada Wiro dan Ratu Duyung baru ikut menceburkan diri ke dalam Telaga Gajahmungkur.
*
* *

SEPULUH

Sebelum melanjutkan bagaimana kejadian Puti Andini yang ditelan naga betina raksasa serta apa yang bakal dilakukan Sinto Gendeng bersama rombongannya di Telaga Gajahmungkur, kita kembali dulu ke Lembah Merpati.
Di atas sebuah pohon besar berdaun rindang, tampak menyelinap seorang nenek berambut putih digulung di atas kepala. Dia mengenakan sebuah mantel berwarna hitam. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke arah lembah di mana saat itu ada seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun yang duduk menjelepok di atas gundukan tanah berumput. Dia seolah tidak memperdulikan keadaan di Lembah Merpati itu. Tidak perduli dengan burung-burung merpati yang berterbangan atau hinggap di sekitarnya. Seolah tidak mendengar suara binatang itu bersahut-sahutan satu sama lain. Dia hanya melihat sesuatu kekosongan di kejauhan.
Nenek di atas pohon yang bukan lain adalah Sabai Nan Rancak masih terus memperhatikan lelaki berambut putih itu. Dalam hati si nenek muncul berbagai tanya dan duga. “Hari perjanjian dan pertemuan saat ini agaknya bakal tidak beres lagi. Tempat ini telah kedahuluan didatangi orang. Siapa adanya kakek berambut putih itu. Wajahnya sayu, sikapnya acuh. Aku melihat dia beberapa kali mengusap matanya yang cekung. Dia seperti menangis…. Kurasa bukan satu kebetulan dia berada di tempat ini. Mungkin ini termasuk apa yang diatur orang bercadar kuning itu? Mungkin seseorang yang juga ada sangkut pautnya dengan rahasia besar kehidupan diriku, Sukat Tandika dan Iblis Pemalu serta orang bercadar itu? Tapi hemmm…. Aku ingat. Waktu bertemu di sini dua hari lalu orang bercadar itu mengatakan bahwa orang yang tidak datang itu adalah Puti Andini, cucuku sendiri.”
Sabai Nan Rancak terus perhatikan lelaki di lembah. “Hemmm, pakaian hijau berenda benang emas yang dikenakan orang itu. Aku pernah melihat orang lain mengenakan pakaian serupa itu. Aku tak bisa mengingat. Otakku penuh dibuncah oleh berbagai persoalan gila? Apalagi baru saja aku menyirap kabar bahwa Sutan Alam Rajo Di Langit lenyap dari Gunung Singgalang. Dikabarkan dia tengah menyeberang ke tanah Jawa Ini. Gerangan apa yang membuatnya datang ke sini. Tentu ada satu perkara besar. Janganjangan dia pergi ke…. Ah! Makin buncah kepalaku! Lelaki di lembah itu. Siapa dia adanya.
Daripada merusak rencana pertemuan dengan Iblis Pemalu dan orang bercadar lebih baik orang ini aku usir lebih dulu!” Memikir sampai di situ Sabai Nan Rancak segera melayang turun dari atas pohon dan tegak tiga langkah tepat di hadapan orang tua berambut putih. Walau ada orang muncul dengan sangat tiba-tiba, apalagi melayang turun dari atas pohon, membuat burung-burung merpati berterbangan tapi lelaki berpakaian bagus hijau yang duduk menjelepok di tanah tidak terkejut atau bergerak sedikit pun. Sepasang matanya masih memandang kosong ke arah kejauhan seolah menembus sosok tubuh Sabai Nan Rancak yang berdiri di hadapannya. Dari matanya yang cekung menggelinding, tetesan air mata ke pipinya yang pucat.
“Aku yakin orang ini tidak buta dan juga tidak tuli! Adalah aneh dia menganggap seolah aku tidak ada di depannya!” Sabai Nan Rancak merasa heran walau dalam hati dia juga merasa geram.
“Rambut putih berpakaian hijau! Siapa kau! Ada keperluan apa berada di Lembah Merpati ini!” Sabai Nan Rancak membentak dengan suara keras dan garang. Hardikannya ini membuat puluhan ekor burung merpati yang ada di sekitar situ melompat terkejut lalu terbang ke udara. Tapi anehnya, orang yang duduk di atas gundukan tanah berumput tetap saja tidak bergerak, tidak berkesip apalagi membuka mulut memberikan jawaban. Putuslah kesabaran Sabai Nan Rancak. Nenek ini angkat kaki kanannya, siap untuk menendang. Yang diarahnya adalah bagian pinggang orang berpakaian hijau. Tapi setengah jalan tendangannya melesat tiba-tiba orang yang duduk di tanah itu angkat tangan kirinya. Satu gelombang angin bergetar di udara membuat kaki kanan Sabai Nan Rancak seolah ditahan satu benda sangat lembut tapi memiliki kekuatan dahsyat hingga tendangannya tak bisa diteruskan. Perlahan-lahan kakinya terdorong dan kembali ke tempat semula, tegak mendampingi kaki kiri!
Kini terbelalaklah Sabai Nan Rancak. Bersamaan dengan rasa terkejutnya maka kecurigaannya bertambah besar. “Astaga! Orang ini memiliki ilmu kapas putih. Kekuatan yang sanggup meredam kekerasan secara lembut tanpa menciderai lawan! Dia dari golongan putih. Tapi jelas dia punya maksud dan tujuan tertentu berada di lembah ini!”
Di hadapannya orang itu tiba-tiba memasukkan tangan kanannya ke balik pakaian hijaunya yang gombrong. Ternyata dari balik pakaian itu dia mengeluarkan sebuah tempat sirih terbuat dari emas yang memantulkan cahaya berkilau-kilau terkena, sinar matahari pagi.
“Dia memiliki tempat sirih terbuat dari emas. Jangan-jangan orang ini seorang hartawan kaya raya atau bangsawan terkemuka. Mungkin pula seorang Tumenggung. Tapi mengapa tampaknya pandir-pandir saja dan seperti kurang ingatan!” Kembali Sabai Nan Rancak membathin.
Di dalam tempat sirih itu terdapat tujuh helai daun sirih yang masih segar. Sejumput tembakau yang menebar bau harum, segumpal kapur putih serta dua bongkah pinang. Dengan tenang orang ini mengambil dua lembar daun sirih, menjumput secuil tembakau, memecah pinang dan mengambil secuil kapur lalu mulai meramu sirih. Semua itu dilakukannya dengan kepala diarahkan ke depan, sepasang mata tetap memandang kosong dan jauh. Sambil meramu sirih orang ini berkata dengan suara perlahan tapi sangat jelas sampainya ke telinga Sabai Nan Rancak.
“Hidup penuh teka-teki. Sengaja aku meninggalkan pulau. Melanggar segala pantangan dan larangan. Hanya untuk mencari anak yang pergi. Entah masih hidup entah sudah mati. Kalau sudah mati dimana kuburnya. Kalau masih hidup dimana tersesatnya….”
Orang itu hentikan ucapannya. Daun sirih dilipatnya dua kali berturut-turut. Kening keriput Sabai Nan Rancak tampak tambah keriput. Mendadak saja dadanya berdebar dan hatinya jadi penuh dengan segala tanya.
“Orang tak dikenal. Pulau apa yang kau tinggalkan. Pantangan dan larangan apa yang kau langgar! Siapa anak yang kau cari! Harap kau suka menjawab pertanyaanku. Kalau tidak menjawab terpaksa aku mengusirmu dari sini saat ini juga! Kalau tidak mau pergi, aku tidak ragu menurunkan tangan keras. Jangan mengira ilmu kapas putih yang kau miliki bisa kau andalkan terlalu banyak! Aku tahu kelemahan ilmu itu!”
Orang yang duduk menjelepok di tanah membuat lipatan terakhir pada daun sirih yang diramunya. Selesai meramu sirih, tempat sirih yang terbuat dari emas itu dimasukkannya kembali ke dalam pakaian hijaunya yang gombrang. Semula Sabai mengira orang ini akan segera menyuapkan sirih ke dalam mulut. Ternyata sirih yang sudah dilipat itu disisipkannya di atas daun telinganya sebelah kiri!
“Orang gila macam apa pula manusia satu ini! Meramu sirih tapi hanya diselipkan di atas kuping!” membathin Sabai Nan Rancak. Lalu dia membentak. “Kau belum menjawab pertanyaanku!”
“Orang bertanya aku pantas menjawab. Karena setiap pertanyaan mustahil tak ada jawabannya. Pulauku adalah pulau Sipatoka. Pulau yang sudah dilupakan orang. Dilupakan karena tak ada yang mau mengingat. Pantang dan larangan yang kulanggar adalah pantang dan larangan seorang pimpinan meninggalkan pulau dan rakyat. Anak yang kucari adalah sang putera mahkota. Disebut dengan nama Datuk Pangeran Rajo Mudo. Pergi menurut kehendak sendiri. Terbujuk oleh dorongan darah muda. Padahal dunia penuh tantangan dan petaka. Padahal ilmu hanya panjang sedepa…”
Sepasang mata Sabai Nan Rancak mendadak membesar dan memancarkan sinar aneh. Mulutnya terkancing rapat. Tapi gemuruh di dadanya bertambah keras. Hatinya kembali berkata. Cara bicara orang ini hampir sama dengari orang bercadar kuning itu. Mungkin sekali ada hubungan antara mereka satu sama lain? Aku tak pernah mendengar ada pulau bernama Sipatoka. Apalagi kerajaan Sipatoka. Dulu memang ada seorang bernama Datuk Sipatoka. Tapi sudah lama mati. Dia mengaku mencari anaknya yang putera mahkota? Memangnya apakah dia ini seorang raja?!”
“Orang yang tegak di depanku. Melihat sikap dan cara bicaramu. Mendengar tutur ucapmu serta melihat air mukamu, kau pastilah seorang pandai bijaksana, luas pengalaman luas pengetahuan. Apakah kau bisa menolong diriku? Mungkin kau pernah mendengar nama anakku. Mungkin juga kau tahu di mana dia berada?”
Sabai Nan Rancak menggeleng perlahan. “Aku tak pernah mendengar nama puteramu itu. Aku juga tidak tahu di mana dia berada.”
“Ah, sayang…. Sungguh sayang. Mungkin jiwanya sudah melayang, mungkin aku akan pulang berhampa tangan. Tapi rasanya lebih baik ikut mati daripada pulang sendirian.” Orang itu menghela nafas dalam beberapa kali sementara air mata makin banyak jatuh ke pipinya.
“Kau sudah memberikan banyak keterangan. Tapi satu hai belum kau katakan. Siapa namamu?” Bertanya Sabai Nan Rancak.
“Aku Rajo Tuo penguasa Kerajaan Sipatoka. Hanya itu yang bisa kuberitahu padamu….”
“Baik, aku tidak memaksa. Kalau kau tak mau bicara lagi harap kau suka meninggalkan Lembah Merpati ini, Dan jangan berani mendekati tempat ini lagi! Silahkan pergi!”
“Ah…. Begini rupanya nasib diri. Belum dapat apa yang dicari sudah disuruh pergi. Tapi aku tak akan meninggalkan Lembah Merpati. Agar kau senang biar aku hanya beranjak sedikit saja dari sini!”
Habis berkata begitu lelaki berambut putih berpakaian hijau bagus ini perlahan-lahan berdiri. Dia melangkah ke arah pohon di mana tadi Sabai Nan Rancak berada. Sesaat dia dongakkan kepala memandang ke atas. Dua kakinya kemudian digeser-geserkan secara aneh ke tanah. Dari mulutnya melesat suara suitan nyaring. Saat itu juga tubuhnya melesat ke udara dan sesaat kemudian dia sudah tegak di cabang pohon.
Sabai Nan Rancak yang memperhatikan apa yang dilakukan orang dalam herannya kembali membathin. “Tadi waktu dia mengeluarkan ilmu kapas putih menahan tendanganku, dia sama sekali bukan mengandalkan tenaga dalam. Barusan waktu melesat ke atas pohon dia juga tidak mengandalkan tenaga dalam atau ilmu meringankan tubuh. Orang ini memiliki ilmu aneh. ada satu kekuatan gaib dalam dirinya!”
Sabai memandang berkeliling sebentar. “Heran, mengapa Iblis Pemalu dan orang bercadar itu masih belum datang?” Lalu kembali dia memandang ke atas pohon.
“Orang di atas pohon. Karena pohon ini masih dalam kawasan Lembah Merpati dan aku tak suka kau berada di lembah maka harap kau segera turun dan pergi dari sini!” Sabai Nan Rancak berteriak.
Mendengar teriakan si nenek, orang di atas pohon gesek-gesekkan telapak kakinya yang tidak berkasut ke cabang pohon. Sesaat tubuhnya seolah mumbul ke atas namun di lain kejap tubuh itu bergerak turun ke bawah. Dia sudah tegak di tanah lembah hanya terpisah sepuluh langkah dari Sabai Nan Rancak.
“Aneh, ilmu apa yang dimiliki orang ini. Bisa naik turun seperti itu…” pikir si nenek.
Lalu karena dilihatnya orang masih belum pergi dari tempat itu maka. dia kembali membentak. “Jangan kau menguji kesabaranku. Aku tidak ada ganjalan apa-apa untuk mencelakai dirimu! Lekas angkat kaki dari sini. Atau kau minta kusingkirkan dengan cara mengeluarkan rohmu lebih dulu dari tubuh!”
Orang yang diancam sepertinya tidak perduli dan tidak takut dengan ancaman Sabai Nan Rancak. Dia menjawab dengan suara perlahan dan tenang.
“Walau aku datang dari pulau terpencil, tapi aku tahu lembah ini adalah tanah Tuhan. Semua milik Tuhan adalah milik dan diperuntukkan ummatNya juga. Karena itu jangan kau merasa punya hak untuk mengusir diriku dari sini….”
“Hemmm…. Rupanya kau pandai juga bicara memakai dalih dan membawa nama Tuhan segala! Apakah Tuhanmu akan menolongmu jika saat ini aku memecahkan kepalamu?!” Bentak Sabai Nan Rancak.
“Setiap orang wajib mengingat Tuhan di mana dan dalam keadaan bagaimana pun juga! Karena itu jangan kau bersikap takabur dan berhati sombong! Kau hendak memecahkan kepalaku Tuhan tak akan melarang. Tapi apakah kau tahu bahwa Tuhan bisa berang?”
Sabai Nan Rancak yang telah kehabisan kesabarannya melompat ke depan. Tangan kanannya dipukulkan ke batok kepala orang. Yang diserang tetap tegak tak bergerak. Malah dia menatap seperti tadi ke arah si nenek yaitu jauh dan kosong. Melihat sikap orang yang seolah menganggap enteng diri dan serangannya Sabai Nan Rancak menjadi tambah garang. Kalau tadi dia hanya mengerahkan sedikit saja tenaga dalamnya maka kini dia menyalurkan hampir separuh kesaktian yang dimilikinya.
Sejengkal lagi gebukan Sabai Nan Rancak akan memecahkan kening orang berambut putih itu, tiba-tiba ada satu gelombang kekuatan aneh keluar dari kepalanya. Membuat tangan kanan si nenek terpental.
“Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki keparat ini!” maki Sabai dalam hati. Kembali dia menghantam. Kali ini dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam. Agaknya sekali ini pukulan maut itu benar-benar akan memecahkan kepala orang dan merenggut nyawanya. Tetapi luar biasanya orang yang diserang malah dengan tenang mengambil sirih yang terselip di telinga kirinya lalu memasukkan sirih itu ke mulut dan perlahan-lahan mulai mengunyah.
“Jahanam kurang ajar! Dia benar-benar menganggap enteng diriku!” Maki Sabai Nan Rancak. Tangan kanannya diayun semakin kencang.
Ketika pukulan hanya tinggal setengah jengkal dari kepala tiba-tiba terdengar pekik Sabai Nan Rancak. Kini bukan saja tangan kanannya yang terpental tapi tubuhnya ikut sempoyongan.- Kalau tidak cepat dia mengimbangi diri pasti akan jatuh terhantar di tanah!
“Kekerasan tidak akan memecahkan persoalan. Mengapa ingin membunuh orang hanya karena merasa seolah kau menguasai seluruh lembah? Di dunia manusia tidak bisa hidup sendiri. Antara satu sama lain ada saling ikatan. Mungkin tali persahabatan. Mungkin jalur ikatan darah. Mungkin juga hubungan budi baik….”
“Jangan bersyair di depanku!” teriak Sabai Nan Rancak marah sekali. Nenek ini melompat berdiri. Dari jarak enam langkah dia pukulkan tangan kanannya. Selarik sinar merah berkiblat ke arah orang berambut putih.
Sekali ini orang yang diserang tidak bisa setenang tadi lagi. Wajahnya jelas memperlihatkan rasa kejut yang amat sangat. Pucat pasi. Dari mulutnya terdengar seruan.
“Pukulan sakti Kipas Neraka!” Orang itu tersurut mundur sampai beberapa langkah.
Agaknya dia menyadari bagaimanapun tingginya ilmu yang. dimilikinya tak bakal sanggup menghadapi pukulan Kipas Neraka. Selain itu sebenarnya ada satu hal yang membuat orang ini tercekat karena adanya satu dugaan berat dalam hatinya membuat dadanya bergemuruh. Walau terkejut mendengar orang mengetahui dan menyebut nama pukulan saktinya tapi Sabai Nan Rancak terus saja menghantam. Sebelum larikan sinar merah angker itu mengembang lebar membentuk kipas tiba-tiba satu seruan keras menggema di seantero Lembah Merpati.
“Nek! Jangan bunuh orang itu! Kau bakal malu seumur-umur! Tahan Nek! Biar urusan terang dulu! Jangan bertindak memalukan!”
Saat itu si nenek sedang geram setengah mati. Walau dia mengenali suara Iblis Pemalu tapi tetap saja dia teruskan serangan Kipas Nerakanya. Tiba-tiba dari samping ada satu bayangan kuning berkelebat. Tubuh Sabai Nan Rancak terdorong. Sinar merah Kipas Neraka berkiblat tapi kini melesat ke arah langit terbuka, menghantam udara kosong walau sempat menghancurkan dan membakar cabangcabang pohon yang terserempet.
Sabai Nan Rancak menjerit keras saking tak dapat menahan luapan amarah yang seolah membakar dirinya. Dia melompat dan berpaling ke samping sambil siap melancarkan serangan Kipas Neraka sekali lagi. Tapi ketika dia memandang ke depan hatinya mendadak menjadi kecut.
*
* *

SEBELAS

Lima langkah dari hadapan Sabai Nan Rancak berlutut di tanah sosok tubuh berpakaian dan bercadar kuning. Tangan kanannya diulurkan demikian rupa dengan telapak terpentang diarahkan pada si nenek.
“Pukulan pemunah Kipas Neraka….” Desis Sabai Nan Rancak. Hatinya kecut karena sebelumnya orang bercadar itu beberapa kali berhasil meredam pukulan saktinya. Si nenek ingat pada Mantel Sakti yang dikenakannya. “Kalau dia sanggup menahan pukulan Kipas Nerakaku, jangan harap dia mampu menghadapi Mantel Sakti ini. Kalau masih belum mempan akan kuhantam sekalian dengan Mutiara Setan!” Lalu si nenek membuat gerakan membuka mantel yang dikenakannya.
“Kekerasan tidak bisa mencari jalan penyelesaian. Membunuh tidak akan mendatangkan keuntungan. Manusia hanya akan mendapat penyesalan. Urusan besar belum sempat diteruskan. Rahasia belum sempat disingkapkan. Mengapa tidak mau menahan hati. Padahal bukankah kita semua ingin mencari keselamatan diri?!”
Sabai Nan Rancak ingin sekali mendamprat marah. Namun ada rasa mengalah muncul di lubuk hatinya. Dia urungkan membuka Mantel Sakti. Sesaat dia melirik pada Iblis Pemalu yang tegak di samping si cadar kuning.
“Kalian telah datang. Apa yang yang sudah diatur bisa segera dibicarakan. Tapi aku tidak suka manusia satu ini berada di Lembah Merpati. Jika kau tak ingin aku mengusirnya maka harap kalian berdua segera melemparkannya ke luar lembah!”
“Memalukan! Itu cara dan tindakan memalukan! Nenek tua, aku tidak akan melakukan apa yang kau katakan!”
“Perduli setan denganmu!” maki Sabai Nan Rancak walau dengan suara perlahan.
Dia berpaling pada si cadar kuning yang saat itu telah tegak dari berlututnya. “Bagaimana dengan kau? Kau juga tidak mau melakukan apa yang aku katakan?!”
Orang bercadar gelengkan kepala. “Orang berpakaian hijau yang hendak kau singkirkan itu justru adalah salah satu orang yang aku minta datang ke Lembah Merpati ini.”
“Tapi bukankah kau dulu menyebut orang lain itu adalah Dewi Payung Tujuh, Puti Andini…” ujar Sabai Nan Rancak tidak mengerti.
“Tidak salah. Namun keadaan berubah. Ada perkembangan baru. Yang perlu diikuti dan dicari tahu….”
“Kepalaku bisa pecah dengan segala urusan gila penuh teka-teki ini! Katakan siapa adanya orang ini!” ucap Sabai Nan Rancak hampir berteriak.
“Dia salah satu tokoh penting dalam urusan kita. Tanpa dia sulit membuka segala rahasia. Kita bersyukur bahwa dia muncul di tanah Jawa. Seolah ini semua memang kehendak Yang Kuasa. Kami bertemu tak sengaja satu hari yang lalu dengannya. Sesuai petunjuk maka kami mengundangnya ke lembah.” Menerangkan orang bercadar.
“Kalau memang kalian yang menyuruhnya datang ke sini aku tidak akan membuat perkara. Tapi dia sengaja merahasiakan diri. Itu sebabnya aku menaruh curiga….”
“Nenek, harap kau tidak marah, kecewa ataupun curiga. Dia bersikap seperti itu karena aku yang meminta. Jangan sampai salah berkata. Sebelum kami berdua tiba di lembah….”
“Hemmmm….” Si nenek hanya bisa bergumam mendengar kata-kata si cadar kuning.
“Sesuai perjanjian kita sudah berkumpul di tempat ini. Apalagi yang ditunggu. Apakah persoalan segera bisa dibicarakan?”
Si cadar kuning berpaling pada Iblis Pemalu. Orang ini anggukkan kepalanya. Sepasang matanya yang terlihat di sela-sela jari dua tangan yang menutupi wajahnya sesaat tampak memancarkan sinar aneh. Sikapnya tidak dapat menyembunyikan rasa tegang. Orang bercadar melirik ke arah lelaki berpakaian hijau mengaku bernama Rajo Tuo penguasa pulau Sipatoka yang nampak tegak dengan sikap tenang walau sebenarnya perasaannya sendiri saat itu campur aduk sulit dikatakan.
“Iblis Pemalu, apakah kau sudah siap melakukan apa yang kita rencanakan?” tanya si cadar kuning pada Iblis Pemalu. “Rahasia besar yang hendak kita ungkapkan jalurnya bermula dari dirimu. Kalau kau merasa malu maka rahasia akan tetap tertutup awan kelabu….”
Iblis Pemalu anggukkan kepala.
“Kalau kau sudah setuju bersudi diri harap segera lakukan rencana suci…” kata orang bercadar pula.
Sabai Nan Rancak yang tidak tahu apa sebenarnya yang telah diatur oleh orang bercadar dan Iblis Pemalu berseru ketika dilihatnya Iblis Pemalu hendak melangkah ke arah pohon besar yang dikelilingi semak belukar lebat.
“Tunggu dulu! Mengapa persoalan tidak dimulai dengan mencari tahu siapa sebenarnya orang berpakaian hijau yang mengaku seorang raja dari pulau Sipatoka ini!”
“Tidak sulit mengikuti apa maumu. Tapi kami berdua telah mengatur rencana agar persoalan tidak rincu. Jika kau tidak sepakat maka rahasia lama akan terungkap….”
Sabai Nan Rancak terdiam sesaat. Akhirnya dia berkata. “Terserah padamulah. Aku hanya mengikut saja. Tapi aku ingatkan semua yang ada di tempat ini. Berlakulah jujur, jangan berbuat culas dan menipu dalam seribu teka-teki hidup ini!”
“Buang rasa curiga. Jauhkan sikap mendua. Kejujuran adalah sifat budi yang paling tinggi. Kebenaran adalah kaidah hidup yang paling suci….” Si cadar kuning goyangkan kepalanya ke arah Iblis Pemalu.
Iblis Pemalu meneruskan langkahnya menuju ke balik pohon besar dan semak belukar. Saat demi saat berlalu. Lembah Merpati diselimuti kesunyian. Sesekali terdengar gemerisik dedaunan yang bergeser oleh tiupan angin. Sesekali terdengar suara menggeru burung merpati atau suara kepakan binatang itu sewaktu melayang terbang. Orang berbaju hijau tampak berdiri diam dan tenang. Si cadar kuning memandang ke arah timur. Berusaha menahan gelora hatinya yang membuat dadanya berdebar keras. Hanya Sabai Nan Rancak yang kelihatan gelisah. Nenek ini melangkah mundar-mandir.
Hatinya bicara sendiri. “Apa yang dilakukan Iblis Pemalu pergi ke balik pohon itu, mendekam di sana berlama-lama. Aku ingat peristiwa waktu di pantai dulu. Aku seolah merasa….”
Terdengar suara semak belukar bergemerisik. Sabai Nan Rancak yang pertama sekali memalingkan kepala. Disusul oleh Rajo Tuo dan si cadar kuning. Dari balik pohon yang dikelilingi semak belukar lebat melangkah keluar seorang perempuan berusia sekitar lima puluhan. Sebagian rambutnya yang disanggul di atas kepala berwarna kelabu. Walau berusia setengah abad tapi wajahnya ayu sekali. Di ujung alisnya sebelah kiri ada sebuah tahi lalat kecil. Kulitnya kuning langsat. Dia mengenakan pakaian ringkas warna biru muda. Walau dia melangkah tenang namun dari air mukanya jelas perempuan ini berusaha menekan perasaan yang menggelora dalam dirinya. Orang ini melangkah dan berdiri di samping si cadar kuning, menghadap ke arah Rajo Tuo dan Sabai Nan Rancak. Di tangan kanannya dia memegang buntalan pakaian hitam lusuh serta segulung benda tipis aneh yang ujungnya ada rambut palsunya; Orang ini mencampakkan pakaian dan gulungan benda tipis itu ke tanah. Sesaat Sabai Nan Rancak perhatikan benda itu dengan mata membelalak. Lalu diangkatnya kepalanya seraya berkata pada si cadar kuning. Suaranya agak bergetar tanda perasaannya kembali bergejolak.
“Tidak pernah kulihat orang ini sebelumnya. Apa dia Iblis Pemalu yang tadi…? Jadi selama ini dia melakukan penyamaran. Berupa seorang pemuda aneh yang selalu menutupi wajah dengan dua tangan. Ternyata dia adalah seorang perempuan berusia setengah abadi Cadar kuning lekas kau terangkan siapa orang ini adanya!”
“Puluhan tahun dia hidup dalam penyamaran. Puluhan tahun dia hidup memendam kegetiran. Puluhan tahun dia menunjukkan sikap aneh seolah kurang ingatan. Rahasia diri dan perjalanan hidupnya selanjutnya biar dia sendiri yang memberi keterangan.” Jawab si cadar kuning seraya berpaling pada orang yang tegak di sampingnya.
Ketika perempuan itu membuka mulut ternyata suaranya berbeda sekali dengan suara Iblis Pemalu. Sesuai keadaan dirinya suaranya kini benar-benar terdengar sebagai suara perempuan.
“Maafkan keadaan diriku. Selama puluhan tahun aku harus hidup bukan sebagai diriku sendiri. Selama berbulan-bulan aku terpaksa hidup dengan menyandang sifat aneh bahkan tidak salah kalau dikatakan sebagai orang kurang waras. Hati ini sebenarnya sudah letih menyamar diri memalsu sikap dan sifat. Namun satu tuntutan besar meminta aku berlaku seperti itu. Hari ini aku bersyukur pada Tuhan bahwa aku bisa lepas dari semua penyamaran itu. Sekitar lima puluh tahun lalu aku dilahirkan di kaki Gunung Singgalang dari rahim seorang perempuan hasil hubungannya dengan seorang kekasih. Ketika aku keluar dari perut ibu dan muncul di perut bumi, ibuku jatuh pingsan. Ternyata kemudian di dalam kandungan ibuku masih ada satu bayi lagi, yakni adik kembarku. Dukun yang menolong melahirkan berjuang mati-matian untuk dapat mengeluarkan adik kembarku sementara ibuku masih berada dalam keadaan pingsan…. Mungkin sudah ada yang mengatur bahwa begitu diriku lahir maka aku akan diserahkan pada seseorang karena konon baik ayah maupun ibuku merasa malu telah melahirkan seorang anak tanpa jalinan hubungan perkawinan. Tapi ternyata setelah aku masih ada satu bayi lagi dalam perut ibuku yakni adik kembarku tadi. Sejak aku masih bayi merah aku sudah dipisahkan dengan adikku oleh satu riwayat hidup yang mungkin sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa bagi kami berdua.
Masih belum bernama, dan mungkin juga wajahku tidak sempat dilihat oleh ibuku sendiri, apalagi ayahku maka aku dibawa orang ke satu tempat yang sangat jauh, dipelihara Oleh sepasang suami istri yang hanya punya satu anak lelaki dan sangat menginginkan seorang anak perempuan. Aku diberi nama Bululani. Adapun anak lelaki kakak angkatku bernama Bululawang, tujuh tahun lebih tua dariku. Sebagai kakak adik walau tidak sedarah sedaging kami hidup rukun di bawah naungan kasih sayang orang tua kami berdua….”
Sampai di situ perempuan berambut kelabu yang menyamar sebagai Iblis Pemalu dan sebenarnya bernama Bululani ini hentikan penuturannya. Kedua matanya dipejamkan. Dia berusaha menahan gejolak dalam dirinya tapi tak dapat. Air mata meleleh keluar dari sudutsudut matanya yang dipejamkan.
“Perasaan yang keluar disertai air mata adalah perasaan paling suci dari seorang anak manusia. Tapi jangan sampai hati naik ke kepala. Jangan sampai perasaan mempengaruhi pikiran. Kuatkan hatimu Bululani. Teruskan penuturanmu….”
Mendengar ucapan orang bercadar, Bululani, perempuan berpakaian ringkas biru muda itu seka ke dua matanya. Sementara itu Sabai Nan Rancak tegak tertunduk. Dalam hati dia berkata. “Perempuan itu menuturkan riwayat dirinya. Namun rasa-rasanya ada sangkut paut dengan diriku. Siapa ayah dan ibunya…?”
Si nenek tak sempat berpikir lebih panjang karena saat itu Bululani telah mulai meneruskan keterangan menyangkut rahasia dirinya.
*
* *

DUA BELAS

Dalam kehidupan kami, orang tua kami tidak membedakan antara aku dengan anak kandungnya. Kami diberikan pendidikan agama yang cukup. Juga berbagai ilmu pengetahuan termasuk ilmu silat serta kesaktian. Beberapa waktu lalu, dalam usia yang sebenarnya tidak muda lagi kakakku Bululawang melakukan perjalanan ke berbagai daerah. Malang tak dapat ditolak, di satu tempat dia tewas menjadi korban pembunuhan. Si pembunuh seperti kabar yang sampai kepadaku adalah seorang pendekar muda bernama Wiro Sableng. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Untuk menuntut balas aku bersikeras meninggalkan rumah guna mencari pembunuh kakakku. Kedua orang tua angkatku melarang. Sebenarnya mereka merasa kasihan padaku karena sampai usiaku lanjut aku masih belum mendapatkan pasangan hidup. Sesungguhnya banyak pemuda yang suka padaku, tapi entah mengapa aku seperti tidak berkeinginan untuk berumah tangga. Walau ayah dan ibuku melarang habis-habisan tapi aku tak bisa ditahan lagi. Suatu malam secara diam-diam aku meninggalkan rumah. Sebenarnya ada satu hal yang membuat mengapa aku menjadi nekad. Beberapa bulan sebelum Bululawang dibunuh, seseorang memberitahu bahwa aku ini sebenarnya adalah anak pungut atau anak angkat. Jadi bukan anak kandung. Semula ingin kutanyakan kebenaran hal itu pada kedua orang tuaku. Namun aku takut mereka tersinggung, atau sedih, atau mungkin juga marah. Maka kebenaran hal itu akhirnya kutanyakan pada Bululawang. Mula-mula dia mengatakan bahwa hal itu adalah dusta dan fitnah belaka.
Akari tetapi sebelum dia pergi, Bululawang sempat bicara denganku. Dia mengatakan bahwa aku memang adalah anak angkat. Namun orang tuanya tidak menganggap diriku sebagai anak angkat. Mereka menganggap aku sama dengan Bululawang yaitu sebagai anak kandungnya sendiri. Bululawang juga berkata begitu. Aku baginya adalah adik kandung sedarah sedaging yang sangat disayanginya. Begitulah, memang aku ingin meninggalkan rumah untuk mencari pembunuh Bululawang. Tapi sekaligus aku juga ingin mencari tahu siapa adanya ke dua orang tuaku. Dimana mereka berada. Apa masih hidup. Kalau sudah meninggal dimana kubur mereka. Sebelum hal itu jelas, bagiku merupakan satu rahasia hidup yang sangat menekan batinku. (Mengenai siapa adanya Bululawang harap, baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia Paku)
Untuk memudahkan diriku dalam perjalanan aku menyamar sebagai Iblis Pemalu. Bersikap aneh seolah-olah gila dan menutupi wajah serta tanganku dengan lapisan kulit. Dalam penyelidikan aku bertemu dengan beberapa tokoh rimba persilatan. Antaranya Pengiring Mayat Muka Hijau, seorang nenek bernama Sika Sure Jelantik dan seorang kakek bermata memberojol besar bernama Datuk Gadang Mentari. Belakangan aku ketahui mereka bertiga bukanlah orang baik-baik. Pengiring Mayat Muka Hijau adalah tangan kanan Datuk Lembah Akhirat yang membunuh dan mengadu domba sesama tokoh silat golongan putih. Datuk Gadang Mentari kudengar kabar adalah kaki tangan seorang sakti dari Gunung Singgalang yang punya urusan dengan murid Dewa Tuak. Katanya adiknya yang bernama Datuk Mangkuto Kamang dibunuh oleh Anggini, murid Dewa Tuak. Belakangan aku ketahui bahwa hal itu hanyalah fitnah orang sakti di puncak Singgalang itu yang untuk tujuan tertentu sengaja menghasut Datuk Gadang Mentari agar bentrokan dengan Dewa Tuak.
Lalu mengenai nenek bernama Sika Sure Jelantik itu, belakangan kuketahui pula bahwa dia adalah salah seorang kekasih ayahku di masa muda dan malah sampai saat ini berusaha mencari ayahku .untuk membunuhnya guna melampiaskan dendam kesumatnya. Si nenek itu kabarnya pernah menyamar jadi seorang dukun dan diam di sebuah pulau kerajaan bernama Sipatoka….”
Orang berpakaian hijau yang sejak tadi berdiri tenang mendengar penuturan Iblis Pemalu alias Bululani tersentak sampai kepalanya terdongak ke atas.
“Perempuan bernama Bululani…” kata orang itu dengan suara bergetar. “Dukun tua yang kau sebutkan itu apakah dia yang pernah memakai nama Dukun Sakti Langit Takambang?”
Bululani berpaling ke arah si baju hijau. Sesaat pandangannya tampak sayu. Lalu perlahan-lahan dia anggukkan kepala. “Betul Rajo Tuo…. Dukun Sakti Langit Takambang berada di pulaumu. Menyamar menjadi dukun sakti kepercayaanmu karena sebenarnya dia mengincar sebuah benda sakti mandraguna….”
“Maksudmu….”
“Rajo Tuo, harap kau tidak menyebut dulu nama barang itu. Karena akan merusak jalannya penuturan Bululani. Harap kau bersabar dulu. Agar semua nanti bisa menahan diri.”
Sampai di situ Sabai Nan Rancak yang sejak tadi berdiam diri membuka mulut.
“Orang bercadar dan kau perempuan bernama Bululani. Agaknya ada sesuatu yang sengaja kalian rahasiakan terhadap diriku! Aku tidak suka cara kalian ini!”
“Rahasia di dalam rahasia. Kalau untuk manfaat bersama. Mengapa tidak ditunda sesaat saja. Agar kita semua tidak kecewa. Semua akan segera nyata. Masalahnya hanya menunggu waktu yang tepat saja…” jawab orang bercadar dengan gaya bahasanya yang selalu berpantun.
“Baik! Aku bisa bersabar tapi tidak terlalu lama.” Jawab Sabai Nan Rancak. “Sekarang aku ingin tahu siapa nama ayah dan ibu yang melahirkanmu! Harap kau segera menjawab pertanyaanku Bululani!”
“Ketika aku dibawa pergi, aku masih bayi. Aku tidak pernah tahu nama ayan dan ibu kandungku. Kedua orang tua angkatku juga tidak pernah memberitahu. Mungkin mereka juga tidak tahu…” menjelaskan Bululani.
“Ini adalah aneh,” kata Sabai Nan Rancak dengan wajah berkerut. “Kalau begitu siapa yang memberitahu semua cerita yang barusan kau tuturkan itu!”
Bululani memandang ke arah orang bercadar.
“Biar aku yang menjawab,” kata si cadar kuning pula. “Apa yang dituturkan Bululani adalah sahih dan benar adanya. Dia tidak berbohong tidak pula berdusta. Cerita itu didengarnya langsung dari seorang tokoh sakti di pulau Andalas. Kelak pada saatnya kita akan menemui orang itu. Tidak akan lama lagi kebenaran rahasia itu akan segera kita ketahui….”
“Walah!” Sabai Nan Rancak goleng-goleng kepala. “Bukankah kita berkumpul di sini untuk Mengungkapkan segala rahasia yang ada. Sekarang mengapa malah menambah rahasia?”
“Harap kau mau bersabar Nek. Ini adalah atas permintaan tokoh silat sakti dari Andalas itu. Kalau semua disingkapkan sekarang mungkin banyak hal yang akan terabai. Paling tidak kau nanti akan menanyakan bukti. Padahal menurut pesan semua kejelasan akan dikatakan sendiri oleh tokoh itu….”
Sabai Nan Rancak keluarkan suara seperti menggerendeng. “aku kenal semua tokoh silat di Pulau Andalas. Katakan saja aku pasti tahu….”
Bululani menggeleng, “Harap maafmu Nek. Biar aku lanjutkan penuturanku….”
Walau tidak senang tapi Sabai Nan Rancak diam saja. Maka Bululani meneruskan keterangannya. “Walau aku tahu Datuk Gadang Mentari, si nenek Sika Sure Jelantik dan Pengiring Mayat Muka Hijau bukan manusia-manusia baik, tapi aku membutuhkan mereka untuk mencari keterangan dimana adanya Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah membunuh kakakku Bululawang. Di satu lembah batu kami akhirnya menemukan pemuda itu yang kebetulan berada bersama Anggini, gadis yang tengah dicari-cari Datuk Gadang Mentari.
Tapi justru saat itu pula aku mendapat penjelasan bahwa sesungguhnya kakakku Bululawang menemui ajal karena ada sangkut paut dengan kejahatan yang dilakukan oleh Dewi Ular. Dikatakan bahwa kakakku menemui ajal di tangan seorang pemuda bernama Sandaka berjuluk Manusia Paku. Sebelum persoalan menjadi lebih jelas suasana di lembah batu kacau balau karena seorang pemuda bernama Panji yang jadi lawan Pendekar 212 melarikan sebuah kain berisi peta penunjuk tempat disembunyikannya Pedang Naga Suci 212.
Sementara rimba persilatan bertambah kacau akibat lenyapnya banyak tokoh silat golongan putih yang ternyata diculik dan dibawa ke Lembah Akhirat, aku beberapa kali bertemu dengan orang bercadar kuning ini. Semula aku menganggapnya sebagai musuh yang punya maksud jahat. Namun dalam beberapa pertemuan aku melihat dia banyak tahu tentang riwayatku. Maka diam-diam aku juga menyelidiki. Pada pertemuan terakhir kami berdua menyadari bahwa sesungguhnya antara kami berdua ada hubungan darah yang sangat dekat. Mungkin dia adalah adik kembarku yang selama puluhan tahun tak pernah kutemukan. Kukatakan mungkin karena kebenaran hal ini harus dibuktikan dengan petunjuk oleh tokoh silat utama dari Pulau Andalas itu….”
“Hemm…” Sabai Nan Rancak bergumam. “Orang bercadar, jadi kau sebenarnya adalah seorang perempuan yang selama ini bersembunyi dibalik baju dan cadar kuningmu.
Usiamu tentu sama dengan usia Bululani. Sekitar setengah abad….” Si nenek berpaling pada Bululani lalu berkata. “Jika kau sudah tahu orang bercadar ini adalah saudara kembarmu, apakah kau sudah tahu siapa namanya?”
“Dia belum mau memberi tahu,” jawab Bululani.
“Berarti dia melakukan kecurangan. Sengaja menyembunyikan sesuatu!” tukas Sabai Nan Rancak. Nenek satu ini kembali menjadi geram.
“Aku tidak melakukan kecurangan. Tidak pula menyembunyikan sesuatu. Aku hanya menunda keterangan. Sesuai petunjuk tokoh yang memberitahu. Biar kejelasan terucap keluar dari mulut orang bukan dariku. Karena diri ini juga tersangkut dalam rahasia yang satu.”
Saking kesalnya Sabai Nan Rancak bantingkan kaki kanannya ke tanah hingga Lembah Merpati terasa bergetar. Burung-burung beterbangan dan di tanah yang bekas dihantam bantingan kaki tadi kelihatan satu lobang besar. Walau kesal kelihatan namun Sabai Nan Rancak diam-diam merasa lega juga. Tadi dia menduga bahwa jangan-jangan ibu Iblis Pemalu atau Bululani adalah dirinya sendiri. Tapi setelah mengetahui bahwa perempuan itu melahirkan sepasang bayi kembar sedang dia hanya melahirkan seorang bayi saja, maka berarti bukan dirinya yang dimaksudkan dalam penuturan Bululani.
“Orang berbaju hijau sekarang giliranmu!”
Si baju hijau yang tegak sambil mengunyah sirih terkejut mendengar kata-kata Bululani itu.
“Giliranku apa? Apa maksudmu?” Dia balik bertanya.
“Rajo Tuo,” kini si cadar kuning yang bicara. “Orang yang mengaku saudara kembarku ini telah menceritakan riwayat dirinya. Sekarang giliranmu untuk menuturkan riwayat dirimu. Bukankah kau meninggalkan tempat kediamanmu karena mencari puteramu? Harap kau menuturkan mulai dari perkawinanmu dengan ibu anakmu itu. Siapa nama istrimu dan bagaimana kau sampai berada di tempat ini….”
Orang berbaju hijau sesaat hanya tegak berdiam diri. Lalu dia menyembur mengeluarkan sirih yang dikunyahnya.
“Aku sudah menceritakan padamu. Sudah menceritakan semua.”
“Padaku, tapi tidak pada nenek ini. Dan hanya sedikit pada saudaraku ini.”
Orang itu memandang dulu pada Sabai Nan Rancak. Lalu dia mulai dengan penuturannya.
“Aku kawin ketika berusia dua puluh enam tahun dan istriku delapan belas. Aku tidak tahu asal-usul istriku. Jangankan diriku, istriku sendiri boleh dikatakan tidak tahu siapa ayah ibunya. Menurut dia ibunya meninggalkan dirinya sejak dia masih kecil. Dia dipelihara oleh satu keluarga miskin yang tak punya anak. Mereka tinggal di satu gubuk kecil, terpencil di kaki gunung Singgalang. Setahun setelah kawin istriku melahirkan seorang bayi perempuan. Keadaannya yang sakit-sakitan ditambah ketidakmampuannya merawat anak yang masih kecil membuat aku menjadi marah. Dia lalu minggat meninggalkan diriku. Sampai saat ini aku tidak pernah mendengar kabar tentang dirinya. Apa masih hidup atau sudah meninggal….”
Orang bercadar melirik pada Sabai Nan Rancak. Dilihatnya si nenek tegak tak bergerak. Kepalanya tertunduk memandangi rerumputan yang tumbuh di tempat itu.
“Rajo Tuo,” menegur orang bercadar. “Bagian terakhir dari ceritamu adalah palsu dan dusta! Aku pernah mengatakan hal itu padamu dalam pertemuan kita sebelumnya. Mengapa kau masih berani bicara dusta?”
Wajah Rajo Tuo tampak berubah. Orang ini sesaat menatap jauh ke depan. Lalu tenggorokannya turun naik dan suara sesenggukan keluar dari mulutnya. !
“Semua salahku…. Semua memang salahku…” katanya setengah meratap sambil menutup wajahnya.
“Pertemuan ini bukan untuk mendengar ratap tangismu! Harap kau suka bicara mengulang cerita. Hanya kejujuran yang akan membebaskan diri dari tekanan bathin yang menghimpit dirimu!” ujar orang bercadar memperingatkan.
Rajo Tuo hapus air matanya. Dia coba menguatkan hati. Lalu mengulangi kembali sebagian ceritanya tadi.
*
* *

TIGA BELAS

Maafkan diriku…. Tadi memang ada ceritaku yang tidak benar. Aku terlalu takut menghadapi hukuman Tuhan. Namun agaknya aku tak mungkin lari dari kenyataan. Aku juga mengerti bahwa hanya dengan kenyataanlah rahasia besar yang menyangkut diri kita semua bisa diungkapkan. Tadi aku ceritakan setelah melahirkan istriku selalu sakit-sakitan. Dia memang sakit tapi bukan sakit jasmani melainkan lebih banyak akibat tekanan bathin karena ulahku. Aku sering meninggalkannya. Terkadang sampai berbulan-bulan. Perbuatanku yang semena-mena itu kulakukan karena aku telah terpikat pada seorang gadis yang diam di sebuah pulau, bernama pulau Sipatoka. Si gadis adalah puteri penguasa pulau yang telah menganggap pulau itu sebagai satu kerajaan kecil. Suatu saat penguasa pulau itu jatuh sakit. Sebelum meninggal dia minta aku mengawini puterinya, sekaligus menyerahkan tahta kerajaan Sipatoka padaku. Sejak aku kawin dan tinggal di pulau aku tak pernah menjenguk anak istriku. Satu ketika aku mengutus seseorang untuk pergi ke kaki Singgalang guna menyelidiki keadaan anak istriku. Ternyata gubuk kediaman mereka kosong. Menurut satu-satunya tetangga ada seorang bernama Malin, mengaku sebagai suruhan, suatu hari datang lalu membawa pergi anak istriku. Aku masih berusaha terus menyelidiki dan mencari orang bernama Malin itu. Tapi di Andalas ada ratusan orang bernama Malin. Anak dan istriku tak pernah kutemukan lagi sampai saat ini…. Tak bisa kupastikan apa mereka masih hidup atau sudah meninggal. Kalau anakku itu masih hidup tentu dia sekarang telah menjadi seorang gadis. Aku kemudian mengarang cerita bahwa istriku telah meninggal dunia karena sakit-sakitan. Ah… aku menyesal. Perbuatan di masa muda hanya menimbulkan derita sengsara di masa tua…. Bagaimana aku menebus segala dosa.” Orang berbaju hijau itu tundukkan kepala dengan wajah amat sedih.
“Ceritamu sudah benar, tapi ada yang belum kau jelaskan. Sebagai seorang Rajo Tua dari kerajaan pulau Sipatoka kau tentunya punya nama. Istrimu tentu juga punya nama dan anak kalian juga tentu punya nama…. Mengapa tidak kau jelaskan siapa-siapa nama mereka?”
Rajo Tuo angkat kepalanya sedikit. Sejurus dia menatap pada orang bercadar lalu melirik pada si nenek. Ada getaran-getaran aneh tiba-tiba dirasakan lelaki berusia 60 tahun ini. “Aku tidak tahu…” katanya dengan suara tersendat. “Apakah anakku itu masih memakai nama yang pernah aku berikan padanya….” Rajo Tuo geleng-gelengkan kepala. Mulutnya kembali terkancing. Air mata membasahi pipinya yang cekung.
“Jangan rahasia disimpan di dalam hati. Sebutkan nama agar kami semua tahu. Tak ada lagi gunanya segala sembunyi. Ini saat paling baik untuk memberitahu.”
“Aku…. Aku memberi nama anak itu Puti Andini….”
Sabai Nan Rancak memekik keras. Mukanya yang penuh keriput kelihatan seputih kertas. Dadanya berguncang hebat. Sepasang kakinya tersurut sampai tiga langkah. Tibatiba nenek ini melompat ke hadapan Rajo Tuo. Membuat lelaki ini kini yang jadi tersurut saking kagetnya.
“Kau mengatakan anakmu itu bernama Puti Andini! Jangan kau berani bicara dusta!” teriak Sabai Nan Rancak.
“Aku…. Aku tidak bicara dusta. Puti Andini memang nama yang kuberikan pada anakku sebelum dia dan ibunya kutinggal pergi!” jawab Rajo Tuo.
“Aku punya seorang cucu perempuan yang juga bernama Puti Andini! Apa ini satu kebetulan nama sama. Atau…. Kubunuh kau jika berani mengarang cerita dusta!”
“Nenek, siapa kau ini sebenarnya hingga marah begini rupa terhadapku?” tanya Rajo Tuo dengan wajah yang kini juga menjadi pucat.
“Nenek, harap kau bisa menahan diri dan perasaan. Biar Rajo Tuo menyelesaikan ceritanya….”
“Tidak!” teriak Sabai Nan Rancak. “Aku harus tahu siapa namamu! Aku harus tahu siapa gelarmu!”
Rajo Tuo tak mau menjawab melainkan memandang pada Iblis Pemalu alias Bululani, lalu pada orang bercadar.
“Rajo Tuo, penuhi permintaannya. Katakan namamu…” kata orang bercadar pula.
“Namaku Sidi Kuniang….” Rajo Tuo mengatakan namanya.
“Sidi Kuniang…” mengulang Sabai Nan Rancak dalam hati. “Tak aku kenal nama itu. Tak pernah kudengar nama ini!” Si nenek berpaling pada orang bercadar lantas berkata, “Aku tak kenal orang ini. Tak pernah mendengar namanya!”
“Rajo Tuo, orang tak kenal namamu. Mengapa tidak memberi tahu siapa gelarmu?” Berkata si cadar kuning.
“Orang tuaku memberi aku gelar Datuk Paduko Intan…” kata orang berbaju hijau dengan suara perlahan. Namun ucapan itu datangnya di telinga Sabai Nan Rancak laksana petir menyambar.
Dia menjerit keras. Dari celah-celah antara kepala dan topi berkeluk yang dikenakannya kelihatan kepulan asap pertanda dapat dibayangkan bagaimana marahnya si nenek.
“Manusia jahanam! Laknat terkutuk! Jadi kau rupanya! Pembunuh anakku! Penyengsara cucuku! Memang sudah lama kau kucari untuk kujadikan bangkai! Mampus kau sekarang juga!”
Habis membentak begitu rupa Sabai Nan Rancak angkat kedua tangannya. Karena dia mengalirkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya maka dua lengannya berubah menjadi merah. Si nenek jelas siap untuk menghantam dengan pukulan maut Kipas Neraka. Dua pukulan sekaligus!
“Nenek siapa kau adanya!” seru Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dengan wajah ketakutan dan melangkah mundur menjauhi si nenek.
“Siapa aku nanti bisa kau tanyakan di neraka!” jawab Sabai Nan Rancak. Dua lengannya ditarik ke belakang.
“Nek! Tahan! Jangan bunuh dia!” teriak Iblis Pemalu alias Bululani yang kini cara bicaranya tidak lagi seperti dulu yakni selalu menyebut-nyebut malu atau memalukan. Kedua wajahnya pun tidak lagi ditutupnya dengan dua telapak tangan.
“Tunggu!” teriak orang bercadar. Dia cepat berkelebat ke hadapan Sabai Nan Rancak.
“Jangan cepat turuti tangan. Tanpa alasan….”
“Aku punya sejuta alasan untuk membunuhnya! Dia adalah menantu yang tak pantas Kusebut sebagai menantu. Manusia laknat terkutuk! Menyia-nyiakan anakku, menyengsarakan cucuku!”
“Kalau kau ingin membunuhnya itu soal gampang. Apalagi kalau kau punya alasan segudang. Tapi kejelasan perlu diungkap. Apa benar dia si menantu laknat….”
“Apa ada sepuluh Datuk Paduko Intan di dunia ini?!” sahut Sabai Nan Rancak pula.
“Aku yakin seribu yakin inilah Datuk Paduko Intan manusia yang telah mencelakai anak cucuku!”
“Harap kau suka bersabar barang sedikit. Agar perbuatan keliru tidak membawa sesal penyakit. Biar aku tanyakan beberapa hal padanya. Kalau dia menjawab tanpa dusta. Maka semua akan jelas dan nyata….” Si cadar kuning memegang lengan Sabai Nan Rancak.
Semula si nenek hendak menyentakkan tangannya yang dipegang malah hendak mendorong si cadar kuning dengan tangannya yang lain. Namun dia tercekat ketika melihat sepasang mata bening orang bercadar basah oleh air mata. Gerakannya ditahannya dan dia hanya mengikut saja ketika dibawa ke samping menjauhi Rajo Tuo Datuk Paduko Intan.
“Kita berada di sini bukan untuk saling membunuh. Menyingkap rahasia hidup adalah lebih utama dari kematian. Jangan memecah buluh. Kalau miangnya akan meracun tubuh!”
Setelah yakin bahwa Sabai Nan Rancak tidak akan menyerang maka si cadar kuning berpaling pada orang berpakaian hijau. “Rajo Tuo Datuk Paduko Intan….” Suara si cadar kuning terdengar aneh di telinga Sabai Nan Rancak. Tidak lagi seperti suaranya sebelumnya.
“Agar jelas bagi kami semua. Agar tidak ada yang salah langkah. Harap kau sudi bicara. Katakan siapa nama istrimu. Juga apakah kau masih ingat siapa nama mertuamu baik yang lelaki ataupun yang perempuan….”
“Sudah kukatakan aku tidak tahu nama kedua mertuaku….”
Si cadar kuning gelengkan kepala. “Tidak Rajo Tuo. Aku yakin kau tahu siapa nama kedua mertuamu. Bukankah kau pernah ditemui oleh seseorang yang datang membawa sebuah benda. Benda itu harus kau sampaikan pada…. Aku yakin kau tahu tapi kau masih berusaha menyembunyikan. Aku tak tahu apa kau punya tujuan….”
Rajo Tuo Datuk Paduko Intan kerenyitkan kening dan usap-usap dagunya sesaat. Lama orang ini terdiam sebelum akhirnya dia berkata. “Orang yang datang menemuiku membawa sebuah benda dalam satu kotak perak. Katanya benda itu harus aku serahkan pada ibu mendiang istriku. Dia memang mengatakan siapa ibu mertuaku itu. Seorang nenek bernama Sabai Nan Rancak. Aku juga diberitahu bahwa Sabai Nan Rancak tengah mencari suaminya, ayah istriku, yang diketahuinya bergelar Tua Gila. Katanya lagi Sabai Nan Rancak mencari Tua Gila untuk membunuh si kakek karena dendam kesumat urusan cinta di masa muda!”
“Apa kataku! Apa kataku!” teriak Sabai Nan Rancak dengan tubuh tampak seperti menggigil dan mata membeliak seolah mau melompat keluar dari rongganya. “Memang dia jahanamnya! Memang manusia satu ini laknatnya! Aku tidak akan pernah mengakuinya sebagai menantu! Keparat!”
Si cadar kuning angkat kedua tangannya. “Nek, aku masih ingin kau menunjukkan kesabaran. Masih ada beberapa hal perlu kejelasan…. Rajo Tuo Datuk Paduko Intan, kau tahu siapa nenek bermantel hitam yang tegak di hadapanmu ini?”
“A… aku tidak tahu. Tapi kini aku bisa menduga….”
“Apa dugaanmu Rajo Tuo?” Yang bertanya adalah Bululani.
“Mungkin dia…dia adalah Sabai Nan Rancak, ibu istriku, ibu mertuaku!”
“Bukan mungkin! Tapi aku memang adalah Sabai Nan Rancak! Dan jangan kau berani menyebut diriku sebagai ibu mertuamu! Jahanam keparat!”
“Rajo Tuo, satu hal lagi harus kau terangkan. Siapa nama istrimu gerangan…. Kalau kau tidak tahu namanya. Tidak pula menyebutkannya. Maka semua . ceritamu tadi hanya dusta belaka!”
“Andam Suri. Namanya Andam Suri….” Rajo Tuo Datuk Paduko Intan lalu tutup wajahnya dengan dua tangan. Tenggorokannya turun naik. Tubuhnya berguncang-guncang tanda dia berusaha keras untuk menahan tangis.
“Manusia jahanam! Kau bukan saja busuk jahat. Tapi juga pengecut! Kau berpurapura menangis agar orang berhiba hati. Apapun yang terjadi aku tetap akan membunuhmu! Orang bercadar harap kau lekas menyingkir!”
“Nenek Sabai, tunggu dulu! Sebagian rahasia memang sudah tersingkap. Tapi harus ada bukti agar dapat menentukan sikap!” kata si cadar kuning pula.
“Pertanyaanku pada orang ini belum selesai. Datuk Paduko Intan, kalau Andam Suri benar istrimu, apakah kau tahu atau mungkin pernah menyirap kabar dimana dia berada saat ini?”
Yang ditanya turunkan tangan. Wajahnya tampak kuyu sedih. Lalu dia gelengkan kepala. “Aku tidak tahu di mana dia berada. Kalau memang masih hidup aku ingin sekali menemuinya dan bersujud minta ampun….”
“Minta ampun! Huh! Alangkah enaknya!” hardik Sabat Nan Rancak. Dia maju dua langkah tapi cepat dihalangi si cadar kuning.
“Nek, setiap manusia tidak terlepas dari kesalahan. Ukuran hukum atas diri seseorang tidak hanya ditakar dari dosa dan kesalahannya belaka. Mungkin ada alasan mengapa dia berbuat begitu. Mungkin ada rangkaian kejadian yang memaksa dirinya melakukan sesuatu. Kita semua harus bertindak bijaksana. Sekali lagi aku meminta. Rahasia memang sudah tersingkap. Tapi bukti perlu dilihat….”
“Bukti apa lagi?!” bentak Sabai Nan Rancak dengan mata membelalak.
“Bukti itu akan kita dapat dan ketahui pada hari empat belas bulan purnama mendatang….”
“Aku ada urusan pada saat itu….”
“Hemmm…. Apakah terpikir olehmu bahwa urusanmu ada sangkut pautnya dengan urusan kita semua. Bukankah seorang sakti berjuluk Kakek Segala Tahu yang memintamu untuk datang ke satu tempat pada bulan purnama empat belas hari?”
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Sabai Nan Rancak.
“Banyak yang kau tahu. Tapi masih lebih banyak yang aku tidak tahu. Karena itu kita akan bertemu lagi pada hari empat belas malam mendatang. Semua bukti harus dicocokkan. Kalau semua bukti tepat. Maka akan gampang menyelesaikan silang sengketa lantai terjungkat. Bisakah aku mengharapkan kesabaranmu lagi Nek? Menunggu sampai hari empat belas, malam bulan purnama penuh?”
“Rasa-rasanya aku sudah tidak bisa menunggu. Tak ada lagi kesabaran dalam diriku! Tapi sekali ini aku terpaksa mengalah…” kata Sabai Nan Rancak dengan suara datar.
“Orang mengalah bukan berarti kalah. Orang mengalah bukan berarti mencari susah. Orang mengalah justru menunjukkan budi luhur dan tinggi. Orang mengalah justru akan mencapai kemenangan pribadi…. aku sangat berterima kasih….”
“Kau boleh saja berkata begitu! Tapi aku punya beberapa pertanyaan untuk Raja geblek ini!”
“Silahkan kau bertanya….”
“Paduko Intan! Kau menuturkan ada orang datang padamu membawa sebuah kotak perak. Orang itu meminta agar kau menyerahkan kotak tersebut pada seorang nenek bernama Sabai Nan Rancak, yaitu diriku sendiri! Kau tahu apa isi kotak perak itu?”
“Sebuah kalung perak sakti bermata hijau bernama Kalung Permata Kejora….”
“Di mana kau simpan kalung itu sekarang?!” tanya Sabai Nan Rancak geregetan.
“Kuserahkan pada seseorang….”
“Kau serahkan pada seseorang?!” ujar si nenek dengan mata melotot. “Siapa orangnya?”
“Seorang sahabat bernama Wiro Sableng,” jawab Rajo Tuo Datuk Paduko Intan.
(Seperti dituturkan dalam Episode pertama Tua Gila Dari Andalas kalung sakti itu diserahkan Datuk Paduko Intan pada Tua Gila untuk diserahkan pada Sabai Nah Rancak. Ketika Datuk Paduko Intan menanyakan namanya, seenaknya saja Tua Gila memberitahu bahwa namanya adalah Wiro Sableng)
Sabai Nan Rancak sampai terlonjak mendengar jawaban Datuk Paduko Intan itu.
“Manusia celaka! Kau benar-benar jahanam! Kalung itu kau serahkan pada musuh besar yang harus kubunuh!” Sabai Nan Rancak melangkah mondar-mandir sambil merepet tak karuan dan banting-banting kaki.
“Kalian semua dengar! Aku harus pergi dari sini! Dan kau!” Si nenek menunjuk tepat-tepat pada Datuk Paduko Intan. “Aku tidak ingin melihat tampangmu lagi! Sekali kau muncul di hadapanku amblas nyawamu!”
“Nek, kau mau ke mana?” tanya Bululani.
“Lama-lama di sini aku bisa mati berdiri!” jawab Sabai Nan Rancak. “Jangan harap aku akan memenuhi, permintaan kalian datang pada pertemuan di Telaga Gajahmungkur pada hari empat belas malam bulan purnama!”
“Nek, jalan yang kau lalui hanya tinggal beberapa depa. Rahasia sudah terungkap hampir semua. Justru hari empat belas malam bulan purnama adalah saat paling menentukan. Apa salahnya kau menyempatkan diri mencari kebaikan….”
“Mencari kebaikan? Buktinya saat ini aku menemui seribu satu macam perkara jahanam! Jangan harap aku akan datang!”
“Nenek Sabai, aku khawatir kau akan menyesal. Bukankah kau sangat ingin menyingkap tabir di mana beradanya anakmu Andam Suri? Bukankah kau ingin mendapatkan Kalung Permata Kejora? Bukankah banyak hal lagi yang sebenarnya ingin kau ketahui…?”
“Kalian semua orang-orang gila. Urusan yang kalian hadapkan padaku sama gilanya dengan diri kalian!”
“Kalau kau ingin pergi dan tak mau datang ke tempat pertemuan bagi kami tidak menjadi apa. Tapi kau akan sangat kecewa. Apalagi kelak orang mungkin akan menyalahkan dirimu. Karena semua urusan ini terjadi akibat ulahmu….”
“Manusia bercadar! Jaga mulutmu!” teriak Sabai Nan Rancak marah.
“Benar apa yang dikatakan orang. Sejak muda kau lebih mendahulukan hati daripada pikiran. Kau menghujat kesalahan orang tanpa menyadari kesalahan sendiri. Bukankah karena menuruti hawa amarah dan perasaan hati sendiri lima puluh tahun lalu kau sampai tega meninggalkan bayi yang kau lahirkan. Bayi yang masih merah! Bahkan kau tak pernah tahu kalau kau punya anak kembar! Kau hanya tahu bahwa anakmu hanya seorang yakni Andam Suri! Sampai saat ini kau seolah patung tak punya perasaan, tak punya hati tak punya pikiran. Apa kau tidak sadar kalau perempuan bernama Bululani yang tegak di hadapanmu ini adalah salah satu dari dua anakmu? Anak kandung darah dagingmu! Tapi kau bertindak acuh seolah dia hanyalah batu! Binatang masih mempunyai rasa kasih sayang terhadap anaknya. Apakah kau lebih nista dari binatang?! Kau hanya pandai melihat kesalahan orang lain! Tapi buta mengukur kesalahan sendiri! Apa kau pernah sadar apa yang telah kau lakukan setelah kau meninggalkan bayimu? Kau hanya mempermomok Tua Gila pada semua orang. Kau sendiri tidak sadar dengan segala perbuatanmu! Kau telah mengotori Gunung Singgalang dengan segala tingkah lakumu! Dalam lupa dirimu kau sampai tidak tahu kalau dirimu telah diperalat orang untuk ikut mengadu domba antara sesama tokoh golongan putih! Membunuh orang-orang tak bersalah! Jangan merasa dirimu sebagai malaikat yang hendak membersihkan rimba persilatan. Kau jauh lebih kotor dari Tua Gila!”
“Orang bercadar, apa maksudmu…?” tanya Sabai Nan Rancak dengan suara bergetar dan muka putih seperti kain kafan.
“Tanyakan pada dirimu sendiri. Karena jawabnya ada dalam lubuk hatimu sendiri!” jawab orang bercadar. Lalu dia memberi isyarat pada Bululani. Sekali berkelebat kedua orang itu lenyap dari tempat itu. Sabai Nan Rancak merasakan tubuhnya lemas. Lututnya gontai. Nenek ini jatuh terduduk. Air mata meluncur deras di kedua pipinya. Dia memandang ke samping. Ternyata Datuk Paduko Intan juga tak ada lagi di tempat itu.
“Ya Tuhan, apa sebenarnya yang tengah terjadi dengan diri tua rapuh ini…?” kata Sabai Nan Rancak seraya gulingkan diri lalu menelungkup di atas rerumputan. Suara tangisnya tenggelam seolah ditelan tanah.
Tiba-tiba dia bangkit terduduk. Memandang ke arah lenyapnya orang bercadar kuning. “Aku membuat satu kesalahan besar. Mengapa aku tidak menanyakan siapa sebenarnya orang berpakaian dan bercadar kuning itu….” Si nenek pukul-pukul keningnya sendiri. Lalu kembali dia berbaring menelungkup dan menangis sejadi-jadinya.
“Tuhan…” kata suara hatinya meratap. “Kalau memang aku ini salah jalan. Kalau memang aku ini orang berdosa, turunkanlah kutuk dan hukumanmu! Hancurkan tubuh tua tak berguna ini!”
*
* *

EMPAT BELAS

Sabai Nan Rancak tidak tahu berapa lama dia menangis menelungkup di rumput seperti itu. Dia baru hentikan tangis, usap kedua matanya ketika dia menyadari bahwa dia tidak lagi seorang diri di Lembah Merpati itu. Si nenek cepat bangkit dan duduk. Hanya tiga langkah di hadapannya dilihatnya duduk seorang kakek berkepala botak, berpakaian putih lusuh. Kakek ini memandang ke arahnya dengan pandangan dan sinar mata sayu.
“Aneh, walau aku tadi tenggelam dalam perasaan mengapa aku sampai tidak mendengar suara langkah kakinya mendatangi. Dia tahu-tahu muncul seolah burung yang melayang terbang lalu hinggap tanpa suara! Aku tak kenal si botak ini. Agaknya dia memiliki kepandaian tinggi.”
“Apakah kehadiranku mengejutkan dirimu?” Kakek botak menegur. Dia tersenyum walau senyuman ini tidak dapat memupus air mukanya yang sayu.
“Kau bukan saja mengejutkan! Tapi juga kurang ajar! Berani mendekati perempuan di tempat sepi seperti ini. Padahal kita tidak saling kenal!”
Kakek botak bermuka sayu kembali tersenyum. “Lembah ini memang sepi dan indah sekali. Itu sebabnya aku tertarik datang ke sini. Tapi aku lebih tertarik setelah melihat dirimu yang tergolek di rumput, menangis sedih dalam keadaan menelungkup. Memang hanya kita berdua di tempat ini dan kita tidak saling kenal. Tapi apakah ada dan masihkah tua bangka seperti kita ini mau melakukan yang bukan-bukan walau hanya kita berdua saja yang ada di tempat ini? Maafkan kalau aku telah mengejutkan dirimu. Di tempat sepi begini berteman adalah lebih baik daripada seorang diri. Walau tidak tahu pangkal sebabnya tapi aku ikut hiba mendengar tangismu tadi. Nenek bertopi seperti tanduk kuda, menurut penglihatanku kau pasti datang dari jauh, dari tanah seberang. Jauh-jauh datang ke sini lalu menangis ini adalah satu hal yang ingin aku ketahui….”
“Hemmmm…. Ternyata selain kurang ajar kau juga lancangi” semprot Sabai Nan Rancak.
“Lancang bagaimana maksudmu Nek?”
“Kita tidak saling kenali Kau datang diam-diam secara kurang ajar. Kini hendak mencampuri urusan orang! Bukankah itu namanya lancang?!”
Si kakek usap-usap kepalanya yang botak. “Menurutmu lancang. Tapi menurutku lain lagi. Karena maksudku bertanya hanyalah dengan niat menolong semata. Siapa tahu, walau tidak kenal aku bisa membantu melepaskan dirimu dari kesedihan yang tengah kau hadapi….”
“Sedih? Siapa bilang aku sedih?!”
“Orang menangis biasanya karena sedih, Bukankah begitu?” ujar si kakek pula.
“Tidak selamanya!”
“Ah, bagaimana kau bisa berkata begitu?”
“Karena aku menangis bukan sebab musabab sedih. Aku menangis karena ingin mati! Kau tadi bilang ingin menolongku! Nah bisakah kau membantuku! Membunuh diri tua bangka keropos ini sampai mati?!”
Kakek botak ternganga lalu geleng-gelengkan kepala. “Kau ini ada-ada saja Nek. Tapi kau tahu, aku suka berbincang-bincang dengan orang seperti m u ini. Mungkin kita bisa membagi pengalaman….”
“Sayang, aku justru tidak suka bicara denganmu! Apalagi membagi pengalaman!” kata Sabai Nan Rancak.
“Kalau begitu dengan berat hati aku terpaksa pergi meminta diri. Namun sebelum pergi maukah kau mendengar beberapa bait nyanyianku…?”
“Ah, rupanya kau adalah seorang kakek pengamen. Maaf saja. Bicaramu saja suaramu tidak enak, apalagi menyanyi!”
Si kakek botak tertawa lebar. “Suaraku memang tidak sedap didengar. Jangankan manusia, tikus pun akan lari mendengar suaraku. Tapi jangan suara yang jadi jaminan. Cobalah kau simak bait-bait dalam nyanyianku. Mungkin bisa sedikit memberi kelegaan di lubuk hatimu….”
Lalu tanpa perduli apakah orang suka atau tidak si kakek dongakkan kepala memandang ke langit di atas Lembah Merpati dan mulai melantunkan nyanyiannya.
Jauh berjalan banyak nan dilihat
Lama hidup banyak nan dirasa
Salah jalan bisa tersesat
Salah hidup bisa celaka

Lama hidup banyak nan dirasa
Segala suka segala duka
Kalau duka berlebihan dari suka
Pertanda diri akan binasa

Salah jalan bisa tersesat
Mengapa tidak kembali ke pangkal jalan
Salah hidup bisa celaka
Mengapa tidak mencari letaknya salah

“Tua bangka botak gila! Aku tak suka mendengar nyanyianmu! Lekas menyingkir dari hadapanku!” membentak Sabai Nan Rancak.
Tapi seolah tidak mendengar ucapan orang, kakek botak terus saja menyanyi.
Kalau dendam membakar hati
Kalau dendam membakar pikiran
Kasih indah di masa muda seolah api
Membakar asmara menjadi ajang kematian
Apakah itu maunya manusia?

Kalau hati berselimut dendam
Kalau darah dibakar amarah
Lautan cinta menjadi padang maut
Padang asmara menjadi neraka kematian
Bisakah kesalahan ditumpahkan pada hanya satu insan?

Tidakkah ada lagi kasih sayang di hati manusia
Tidakkah ada lagi seberkas cahaya kenangan indah
Tidakkah ada lagi kenangan indahnya asmara di hati insan
Apakah hidup hanya dibatasi garis bara api antara
yang benar dan yang salah
Antara yang sengsara dan yang sesat

Kalau kematian memang sudah menjadi niat
Kalau malaikat maut memang sudah terpanggil
Lalu manusia bertindak sebagai pencabut nyawa diri
sendiri dan nyawa orang lain
Alangkah sedihnya nasib dunia
Tangis dan air mata bukan lagi penyejuk hati

Ratap minta pengampunan bukan lagi pelebur amarah
Desah kesedihan tidak lagi dorongan untuk menanyai diri sendiri

Manusia hanya bisa melihat jauh pada diri orang lain
Seolah tidak mampu melihat dekat pada diri sendiri
Manusia ingin melihat kegelapan
Padahal dalam dirinya ada cahaya terang
Mengkaji lubuk hati
Sama hikmahnya dengan menyingkap rahasia diri

Datanglah dendam, Datanglah salah sangka
Datanglah maut, Datanglah kematian
Dekap tubuh tua penuh dosa erat-erat dalam
pelukanmu yang paling ganas
Kematian datangnya hanya sekejap
Sengsara tetap berbekas sampai kiamat
Apakah manusia lupa bahwa Tuhan selalu membuka pintu tobat?

Orang tua berkepala botak itu batuk-batuk beberapa kali. Dia seperti tercekik.
“Ah suaraku memang tidak sedap didengar! Aku jadi malu sendiri! Maafkan kelakuanku yang tidak mengenakkan. Aku minta diri….” Kakek ini membungkuk lalu putar tubuhnya.
“Tunggu!” seru Sabai Nan Rancak. Sepasang matanya memperhatikan orang di hadapannya mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Siapa kau sebenarnya…?” tanya si nenek.
“Kau tak suka padaku. Perlu apa tahu namaku…?”
“Nyanyianmu itu…. Apa maksudmu dengan nyanyian tadi?”
“Ah, nyanyian hanya sekedar paduan kata-kata yang dikeluarkan secara berirama. Kalau suaraku tidak sedap harap maafkan. Kalau aku hanya mengganggumu harap maafkan. Kalau bait-bait dalam nyanyianku menyinggung perasaanmu aku juga minta maaf beribu maaf.”
“Tidak bisa! Aku ingin tanya! Tahu apa kau tentang diriku?!”
“Seperti katamu bukankah kita sebelumnya tidak saling kenal? Jadi apa yang bisa kukatakan tentang dirimu? Sekali lagi harap maafkan diriku!”
Kakek botak itu kembali membungkuk. Lalu berkelebat ke arah lembah sebelah barat.
Sabai Nan Rancak tegak termangu-mangu. Dari mulutnya meluncur kata-kata. “Suaranya tidak sama. Wajahnya tidak serupa. Tapi mengapa hatiku menaruh syak wasangka…? Ah sudahlah! Lebih baik aku juga pergi dari sini! Tapi aku mau pergi ke mana…?”
Sabai Nan Rancak memandang berkeliling. Saat itu hanya berada seorang diri di Lembah Merpati yang sunyi dia merasa betapa sepi dan terpencilnya dirinya di dunia ini. Tak terasa air mata meluncur jatuh ke atas pipinya yang keriput. Tiba-tiba saja si nenek teringat pada cucunya. “Puti Andini… di mana kau berada Nak….” Si nenek memandang lagi berkeliling. Dia menarik nafas berulang kali. “Aku harus mencari cucuku itu….”
*
* *
TAMAT
Episode berikutnya :
WASIAT MALAIKAT


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...