posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : PETUALANGAN WIRO DINEGERI SAKURA/JEPANG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : PETUALANGAN WIRO DINEGERI SAKURA/JEPANG
ANGIN dari danau Biwa bertiup dingin. Permukaan air danau tampak bergelombang lembut. Desa Hikone yang terletak di tepi danau di selimuti kesunyian walau malam belum sepenuhnya datang karena di timur masih kelihatan sembulan sang surya memancarkan sinar kuning kemerah-merahan.
Sejak beberapa waktu belakangan ini suasana di desa itu memang kurang tenang. Penduduk merasa takut oleh kemunculan sekelompok penjahat pimpinan Numazu yang kabarnya kini berada di sekitar desa.
Karena itu, ketika terdengar derap kaki kuda menebus kesunyian dari arah selatan, penduduk desa yang sedang dilanda ketakutan itu serta mereka mengunci pintu dan memeriksa jendela rumah.
Orang-orang lelaki bersiap-siap dengan senjata masing-masing. Menunggu penuh waspada. Para istri dan anak-anak disembunyikan di tempat yang aman. Lalu beberapa orang lelaki coba mengintai lewat lobang-lobang kecil yang mereka buat di dinding.
Di bawah paduan sinar kuning kemerahan matahari yang hampir tenggelam dan kegelapan malam yang segera datang membawa suasana serba hitam, beberapa penduduk melihat ada tiga orang penunggang kuda bergerak cepat ke arah danau sebelah utara. Di sini terletak sebuah gedung besar milik saudagar muda terkenal dengan nama Yamada. Ketiga orang tadi ternyata bukan rombongan penjahat yang ditakuti itu. Dari pakaian serta topi yang mereka kenakan ketiganya mudah dikenali sebagai prajurit-prajurit shogun.
Begitu ketiga penunggang sampai di pintu gerbang. Empat Orang pengawal cepat bergerak dan menunggu waspada. Karena pintu gerbang tertutup, mereka belum tahu siapa yang datang. Sesaat kemudian terdengar pintu kayu setinggi dua tombak itu diketuk orang dengan gagang senjata.
“Buka pintu! kami utusan keluarga shogun datang untuk menemui saudagar kano Yamada!”.
Setelah tahu siapa yang datang dua orang pengawal segera membuka palang pintu gerbang. Dua lainnya cepat membukakan pintu. Karena pihak yang datang lebih tinggi kedudukannya dari pada pengawal yang ada di gedung itu maka ke empat pengawal menjura dalam-dalam memberi hormat.
“Para tamu silahkan turun dari kuda. Kami akan memberitahukan majikan kami.” Berkata salah seorang pengawal lalu cepat-cepat dia masuk ke dalam gedung sementara tiga kawannya sibuk mencari tambatan bagi ketiga ekor kuda para prajurit shogun itu.
Tak lama kemudian kelihatan lampu terang dinyalakan di salah satu bagian gedung. Setelah itu tampak pengawal yang tadi masuk bergegas keluar lalu memberitahu bahwa saudagar Kano Yamada segera siap menerima mereka.
“Ikuti kami ke ruang tamu,” kata si pengawal. Tiga Prajurit shogun melangkah mengikuti pengawal tadi tanpa bicara barang sepatah pun. Lagak gaya mereka berjalan seolah gedung besar itu milik mereka bertiga.
Mereka harus menunggu cukup lama di ruangan tamu itu. Ini menyebabkan ketiganya menjadi jengkel. Wajah jengkel itu jelas terbaca oleh tuan rumah. Karenanya, begitu berada di ruangan tamu, hartawan Kano Yamada segera meminta maaf.
“Aku kurang enak badan. Mungkin masuk angin, barusan saja selesai di pijat. Harap maklum kalau kalian menunggu agak lama…..”.
“Yamada-san tentu sudah tahu maksud kedatangan kami. Jadi kami merasa tidak perlu banyak bicara.” Yang membuka mulut adalah prajurit berbadan gemuk dan gempal, bermata tak bisa diam, selalu bergerak liar kian ke mari. Dia meneruskan ucapannya.
“Perlu kami beritahu Kiuchi-san saat ini benar-benar habis kesabarannya. Kalau tidak memandang persahabatan antara orang-orang tua kedua belah pihak di masa lalu, bisa-bisa dia berbuat sesuatu yang tidak enak bagi keluarga di sini.”
“Aku tahu, aku tahu ….” jawab Kano Yamada, saudagar muda baru berusia tiga puluhan tahun itu.
Seorang perempuan masuk ke dalam ruangan. Kano Yamada segera berkata, “Chieko, masuklah! Orang perempuan tidak pantas ikut mendengarkan pembicaraan orang laki-laki. Lagi pula ini….”
“Yamada-san, tidak usah menyuruh istrimu pergi. Biarkan dia di ruangan ini agar bisa mendengar semua pembicaraan….”
Saudagar Kano Yamada walaupun tidak senang terpaksa anggukkan kepala.
“Yamada-san, katakan kabar apa yang bisa kami sampaikan pada orang yang mengutus kami?”.
“Kau dan kawan-kawanmu menjalankan tugas dengan baik,” memuji Kano Yamada, sekadar untuk melunakkan hati para prajurit yang ada di hadapannya.
“Sayang sekali aku belum mendapat jalan keluar bagaimana bisa dengan segera membayar semua uang tuan Kiuchi….. Orang-orang dari perusahaan pelayaran tidak bersedia membayar ganti kerugian. Puluhan bal kain sutera serta ratusan barang-barang porselen yang kubeli di Cina tenggelam dalam pelayaran sebelum mencapai pelabuhan Osaka hanya akan jadi barang-barang tak berguna… Padahal dengan hasil penjualan barang-barang itu aku berniat melunasi semua pinjamanku pada Kiuchi-san…..”
“Cerita seperti itu sudah kami dengar dua minggu lalu. Kami datang ke sini bukan untuk mendengar cerita yang sama. Tapi untuk meminta uang majikan kami yang kau pinjam untuk modal dagangan bulan lalu. Sesuai perjanjian kau akan mengembalikan pada awal bulan keempat. Sekarang sudah dua bulan lewat…”
“Apakah sudah kalian sampaikan pada majikan kalian bahwa aku bersedia membayar bunga tinggi untuk keterlambatan pembayaran hutang itu?”
“Tentu saja sudah!”.
“Apa jawab Kiuchi-san?” tanya Kano Yamada. “Dia tidak perlu segala macam bunga. Tapi minta uangnya! Seluruhnya! Kalau tidak, ia akan menyeretmu ke penjara!”
Mendengar ancaman itu, Chieko istri Kano Yamada segera membuka mulut. “Jangan lakukan itu, Saya mohon disampaikan pada majikan kalian agar berbelas hati pada suami Saya. Kami akan meminjam uang dan membayar semua hutang itu…….”
Kano Yamada membalikkan tubuhnya, memandang dengan mata membelalak pada istrinya.
“Chieko! Kau tahu kita sudah mencoba dan tak ada orang mau memberi pinjaman…..” Pada perajurit yang ada di hadapannya Kano Yamada segera berkata. “Maafkan kata-kata istriku tadi…..”
“Jadi kau sudah siap untuk masuk penjara?” tanya si prajurit pula. “Aku sudah meminta waktu untuk menghadap tuan Yasuaki Kiuchi……”
“Dia tidak sudi menerimamu. Kecuali….. ini satu-satunya jalan keluar bagimu. Kau menyerahkan anak perempuanmu yang masih bayi itu untuk di jodohkan dengan puteranya yang juga saat ini masih bayi.”
“Aku tidak bisa melakukan hal itu. Aku sudah katakan alasanku padamu.”
Prajurit di hadapan Kano Yamada menyeringai lalu berkata, “Kau sudah diberi bukan saja kesempatan tapi juga kehormatan! Kurasa tidak ada manusia setololmu di atas dunia ini……”
Mendengar kata-kata itu Kano Yamada menjadi merah mukanya. Dengan suara bergetar menahan marah dia berkata. “Kau kemari untuk menjalankan tugas, bukan untuk menghinaku! Keluar dari gedung ini! Sampaikan pada Kiuchi-san. Aku akan membayar hutangku, kalau perlu dengan darah dan nyawaku! Katakan padanya aku tidak takut dijebloskan dalam penjara atau dikirim ke utara sebagai pekerja paksa tambang di pegunungan Kitami. Apapun yang terjadi aku tidak mungkin menyerahkan puteriku untuk jadi jodoh puteranya!”
“Aku tetap menganggap kau orang paling tolol Yamada-san!” kata si prajurit tadi dengan beraninya lalu memutar tubuh sambil memberi isyarat pada dua kawannya untuk meninggalkan tempat itu.
Namun sebelum dia sempat melangkah Kano Yamada telah menghadang jalannya dan “plak!” satu tamparan mendarat di pipi prajurit itu. Membuatnya terjajar nanar dan ada darah keluar dari sudut bibirnya yang pecah!.
Si prajurit berteriak keras dalam sakit dan marahnya. Dua kawannya ikut membentak. Prajurit yang kena tampar menghunus pedang yang tersisip di pinggangnya. Namun baru saja senjata itu keluar dari sarungnya, Kano Yamada mendahului menyerang. Tangan kanannya melesat ke depan. Pada saat jotosannya mendarat di dada si prajurit dengan telak, tangan kirinya cepat menyambar ke arah pergelangan tangan lawan.
Dalam satu gerakan kilat Kano Yamada yang kidal itu berhasil merampas pedang lalu ujung senjata ini ditekankannya ke bawah dagu orang. Melihat kawan mereka dipreteli begitu rupa, dua perajurit lainnya berteriak marah dan berusaha menyergap.
“Berani kalian mendekat kutembus tenggorokan manusia satu ini!” ancam Kano Yamada.
“Kano! Jangan lakukan itu!” seru Chieko. Tapi sang suami tidak peduli. Dengan tangan kanannya dicampakannya topi yang ada di kepala si prajurit, lalu dijambaknya rambutnya. Ujung pedang di tekankan sedikit hingga prajurit ini meringis kesakitan.
“Jatuhkan senjata kalian!” perintah Kano Yamada pada dua prajurit di hadapannya. Dua prajurit ini tampaknya ragu-ragu. Malah mereka melirik ke arah Chieko. Kano Yamada segera dapat membaca apa yang ada di dalam benak kedua prajurit shogun itu. Maka dia berkata dengan suara keras.
“Berani kalian mendekati istriku, kubunuh kawan kalian ini, aku tidak main-main!”
Kano Yamada kembali tekankan ujung pedang. Kini sedikit lebih keras. Prajurit yang dijambaknya mengeluh tinggi. Kulit dagunya terluka, darah mengalir turun membasahi pedang.
“Turut apa yang dikatakannya! Buang senjata kalian!” teriak si prajurit. Dua kawannya yang sadar tidak bisa berbuat apa-apa akhirnya campakkan pedang masing-masing ke lantai.
“Putar tubuh kalian. Keluar dari ruangan ini!” perintah Kano Yamada selanjutnya. Ketika dua prajurit itu melakukan apa yang dikatakannya, Kano Yamada kemudian menyuruh prajurit di bawah ancamannya untuk melangkah ke arah pintu.
Keluar dari ruangan tamu Kano Yamada terus membawa prajurit itu sampai ke halaman depan gedung. “Naik ke atas kuda masing-masing! Jangan berani berbuat yang aku tidak senang!” Lalu dengan sekuat tenaga Kano Yamada mendorong prajurit itu hingga tersungkur ke tanah.
Malangnya, muka jatuh lebih dulu hingga lecet berkelukur. Beberapa orang pengawal gedung yang ada di situ hanya terkesima menyaksikan apa yang terjadi.
“Kano Yamada! Kau berani menjatuhkan tangan pada prajurit Shogun! Kau akan rasakan pembalasan dari kami!” gertak prajurit yang mukanya babak belur.
Kano Yamada masih tetap di tempatnya sampai tiga perajurit itu lenyap di kejauhan. Setelah mencampakkan pedang di tangan kirinya ke tanah, saudagar ini segera masuk ke dalam gedung.
Chieko Yamada mendatangi. Kedua suami istri ini segera masuk ke dalam kamar.
“Saya mau bicara dengan Kano….” Kata sang istri begitu masuk ke dalam kamar.
“Aku juga! Aku tak suka kau mencampuri urusan ini! Biar aku sendiri yang menyelesaikan urusan hutang piutang dengan Yasuaki Kiuchi.”
“Mana bisa begitu. Kau suamiku. Apa yang menjadi persoalanmu menjadi urusan saya juga.
Kenyataannya sekarang bukan cuma menyangkut urusan hutang piutang. Tapi kini malah merembet pada diri anak kita Hatsuko. Kita harus menemui orang itu.”
“Aku sudah berusaha tapi dia menolak!”
“Kalau begitu biar saya yang menemuinya….” kata Chieko Yamada pula.
Lama Kano Yamada memandangi istrinya itu. Lalu terdengar suaranya bertanya. “Apa yang ada dalam benakmu, Chieko? Aku tak bisa melupakan bagaimana hubunganmu dulu dengan Yasuaki Kiuchi!”
“Kau jangan terlalu bercemburu Kano. Dulu kami memang pernah menjalin hubungan cinta….”
“Dan pernah merencanakan untuk kawin….” sambung Kano Yamada.
“Betul, tapi itu dulu. Kenyataanya lain. Saya tidak kawin dengan dia. Kau kini menjadi suamiku…” potong Chieko.
“Kau menyesal menjadi istriku? Hemmmm…. Yasuaki Kiuchi. Manusia terpandang di negeri ini karena keluarga sangat dekat dengan Shogun yang berkuasa…..”
“Saya tidak suka kau berkata begitu Kano. Sejak saya menjadi istrimu hanya kau satu-satunya laki-laki di hati saya.”
“Mulutmu berucap begitu. Namun hatimu tak pernah bisa melupakan laki-laki itu………”
Chieko Yamada gelengkan kepalanya berulang-ulang. Perempuan ini seperti mau sesenggukan ketika berkata, “Dengar Kano. Saya berharap ada maksud bersih dan baik dari Yasuaki mau menjodohkan anak kita dengan putranya…..”
“Mungkin saja. Karena dia tidak mendapatkan dirimu, lalu hubungan yang terputus disambung kembali dengan menjodohkan Hatsuko dengan putranya….”
“Saya tidak melihat ada yang salahnya hal itu. Hanya saja Hatsuko sudah kita jodohkan dengan putra keluarga Hideo Yukawa……..”
“Seandainya tali perjodohan itu tidak ada, Kau tentu bersedia menjodohkan Hatsuko dengan anak lelaki Kiuchi.”
“Saya tidak mengatakan begitu” Sahut Chieko.
“Lalu apa maksudmu menemui laki-laki itu?”
“Untuk menjernihkan suasana. Siapa tahu dia bisa mengerti keadaan kita yang belum mampu melunasi pinjaman dalam waktu dekat ini. Lalu sekaligus menerangkan bahwa Hatsuko telah kita jodohkan dengan Toshiro, anak keluarga Yukawa.”
Kano Yamada menggeleng. “Tidak,” Katanya. “Aku tidak mengizinkan kau menemui laki-laki itu.
Aku memilih penjara untuk masalah hutang itu. Dan aku memilih mati jika ada orang lain menyentuh anakku, apabila mengambilnya!”
“Kano, kau tahu saat malapetaka telah terjadi atas diri Yasuaki. Pikirannya terganggu, tingkah lakunya tampak aneh sejak dia menderita sakit panas selama dua minggu akibat patukan ular berbisa di hutan Kiso beberapa bulan lalu…..”
“Dia memang tampak aneh. Katakanlah tidak waras. Tapi apakah dia tidak memandang hormat padamu hingga mengancam hendak memenjarakanku dan memaksa mengambil Hatsuko sebagai jodoh puteranya?”
“Itulah sebab saya harus menemuinya. Saya yakin jika saya bisa bicara dengan dia, semua persoalan bisa diselesaikan dengan baik. Saya tidak ingin kehilangan kalian berdua. kau dan Hatsuko…..”
Chieko lalu memeluk suaminya dengan erat-erat. Kano Yamada balas merangkul. Di kamar sebelah terdengar suara bayi menangis. Dua suami istri ini lepaskan pelukannya masing-masing lalu bergegas menuju ke kamar itu. Seorang pelayan tampak mendukung bayi kecil berpipi merah sambil menepuk-nepuk halus punggungnya hingga bayi terdiam dan tidur kembali.
“Biar saya mendukungnya sebentar….” Kata Chieko sambil mengulurkan tangan untuk mengendong puteri kecil anak pertamanya itu. Si bayi segera saja tertidur lelap dalam dukungan sang ibu. Setelah yakin bayinya tidak akan bangun dan menangis lagi, Chieko Yamada membaringkan anak itu di dalam sebuah tempat tidur kecil yang hangat.
Kano Yamada tertegun di ujung tebing. Puluhan kaki di bawahnya membentang laut Jepang yang ganas. Ujung-ujung runcing batu karang menyembul di permukaan laut. Mengerikan. Dia tak bisa lari lagi. Tak mungkin terjun ke laut karena sama saja bunuh diri. Tapi dia juga tidak bisa mencari jalan lain.
Di hadapannya saat itu sepasang harimau kumbang hitam mengerang keras. Gigi-gigi bintang ini menggidikkan. Harimau kumbang yang betina kelihatan berselemotan darah mulutnya. Itu adalah darahnya sendiri. Binatang ini sempat mencakar dadanya dan menerkam bahunya. Si betina ini lebih garang dari si jantan. Pakaian Kano Yamada basah oleh keringat dan darah!
Dada Kano Yamada naik turun. Dia tahu dia tak bakal lolos dari kematian. Tangan kanannya yang basah oleh darah dan keringat terasa licin digagang samurai yang digenggamnya. Pedang itu! Ini satu-satunya tuan penyelamatnya. Kalau dia mampu membunuh dua ekor harimau kumbang itu, sangggupkah dia?
Harimau kumbang betina mengaum keras. Dia sudah mencium darah calon mangsanya. Ini agaknya yang membuatnya jadi lebih beringas. Tiba-tiba binatang ini melompat menerkam. Kano Yamada berteriak keras. Samurai di tangannya menderu ke atas, menyongsong terkaman harimau betina.
Tapi celakanya harimau jantan telah menyergap pula. Walau Kano Yamada berhasil membabatkan senjatanya di pertengahan dada harimau kumbang betina sehingga bintang ini meraung keras dan darah memancur dari dadanya yang terkoyak, serangan harimau kumbang jantan tak dapat dihindari.
Dua cakar kaki depan mengoyak perut dan dadanya. Kano Yamada menjerit setinggi langit. Dalam keadaan mandi darah tubuhnya terpental dari ujung tebing batu, melayang jatuh ke bawah. Ombak laut Jepang berdebur dengan dahsyat. Batu-batu runcing siap menyambut tubuh Kano Yamada.
Lelaki ini berteriak sekali lagi. Lebih keras dan lebih menggidikkan dari teriakan pertamanya tadi.
Kano Yamada terduduk di atas ranjang. Pakaian tidurnya basah oleh keringat. Dadanya terasa sesak dan nafasnya memburu.
“Mengerikan sekali mimpiku….” kata lelaki ini sampai menyeka wajahnya yang basah dengan ujung baju. Dia memandang ke samping. Sesaat dia merasa heran. Chieko tak ada di sampingnya.
Mungkin dia keluar kamar, membuang hajat kecil atau mengambil air minum. Atau ke kamar putri mereka di sebelah. Kano Yamada menunggu sebentar.
“Chieko….” Lelaki ini memanggil, satu kali. Dua kali, Kali yang ketiga dia melompat turun dari atas ranjang rendah itu. Seluruh ruangan diperiksanya. Chieko tidak diketemukan, Kano Yamada masuk ke kamar tidur puterinya. Anak itu dilihatnya tertidur nyenyak dalam ranjang kecilnya sementara pelayan tidur di atas tatami (alas lantai berbentuk kotak-kotak).
“Aneh, ke mana perginya perempuan itu….?” Pikir Kano Yamada sambil melangkah masuk ke dalam kamar tidur kembali. Dia memandang seputar kamar. Baju tebal milik istrinya yang sebelumnya tergantung di sudut kamar ini tidak ada lagi. Hati Kano Yamada berdetak.
“Jangan-jangan….” Setengah berlari lelaki ini keluar dari kamar, terus ke bagian belakang gedung.
Di sini ada sebuah kandang kuda. Ketika kandang diperiksanya, debaran di hati Kano Yamada menjadi semakin keras. Detak jantungnya seolah menggemuruh.
“Chieko….” desisnya. “Dia pasti ke otsu! pasti! Nekad sekali perempuan itu!” Di kandang itu seharusnya ada dua ekor kuda. Miliknya dan milik istrinya. Kuda milik istrinya ternyata tidak ada.
Kano Yamada berteriak memanggil pengawal. Setengah lusin pengawal gedung segera menghambur datang.
“Istriku tak ada dalam gedung! Kudanya juga tidak ada di kandang! Siapa di antara kalian tahu di mana istriku berada?! Atau pergi ke mana dia?! Jangan ada yang berani dusta!”
Pegawal paling depan kelihatan takut-takut mau bicara. Tapi salah seorang kawannya mendorong-dorong punggungnya sambil berbisik. “Lekas katakan saja sebelum Tuan Yamada marah….”
“Hmm… benar rupanya ada yang tidak beres,” kata Kano Yamada dalam hati. Lalu diapun berteriak marah. “Kalau tidak ada yang berani bicara satu persatu aku robek mulut kalian!”
“Tuan,” pengawal paling depan akhirnya berkata juga. “Beberapa waktu lalu nyonya meninggalkan gedung. Dia memerintahkan kami membuka pintu gerbang. Sebelum dia pergi kami sempat bertanya mau ke mana malam-malam begini. Sendirian pula. Istri tuan tidak menjawab, malah memerintahkan agar kami cepat menutup pintu. Dia juga menolak untuk kami kawal. Ketika kami katakan hendak memberitahukan tuan, dia marah besar, Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami melihat sikap nyonya aneh sekali malam ini.”
“Kalian pengawal tidak becus! Tolol! Walau dia melarang tapi kalian punya kewajiban memberitahu!” teriak Kano Yamada. Kaki kanannya dihentakkan hingga tanah yang dipijaknya melesat ke bawah.
Habis membanting kaki begitu, Kano Yamada berkata. “Salah seorang dari kalian lekas siapkan kudaku! Aku harus mencari dan mengejarnya sekarang juga!”
“Kalau begitu biar kami ikut!”
“Aku tidak perlu manusia-manusia tolol seperti kalian!” damprat Kano Yamada, lalu masuk ke dalam untuk berganti pakaian.
Ketika keluar dia telah mengenakan pakaian ringkas. Sebilah Katana (pedang panjang khas Jepang) tergantung di belakang punggungnya. Sesaat kedua kakinya menuruni tangga gedung tiba-tiba udara yang tadinya sunyi tenang berubah. Suara tiupan angin mula-mula terdengar seperti suara seruling lalu berubah menjadi gemuruh yang menakutkan. Pohon-pohon besar yang tumbuh di sekeliling gedung berderik-derik seperti mau tumbang. Daun-daunnya gugur berhamburan.
“Badai!” teriak seorang pengawal sambil berpegangan pada sebuah pilar batu.
“Tuan Yamada sebaiknya jangan pergi dulu!” menasihatkan seorang pengawal.
Kano Yamada mana mau perduli. Terseok-seok karena tubuhnya diterpa angin, lelaki ini melangkah mendekati kudanya yang dipegang dua orang pengawal. Binatang ini meringkik keras beberapa kali. Belum sempat Kano Yamada naik ke punggungnya, tiba-tiba kuda ini menghambur lari.
“Binatang jahanam!” teriak Kano Yamada marah. Dia coba mengejar tapi tubuhnya limbung. Satu putaran angin menghantamnya dengan keras hingga dia tak kuasa bertahan dan terhampar ke tanah.
Dua orang pengawal segera menolongnya dan membawanya masuk ke dalam rumah.
“Tangkap kuda itu. Atau carikan kuda lain!” perintah Kano Yamada pada para pengawal yang ada di sekelilingnya.
Seorang pengawal berusia agak lanjut berkata. “Tuan Yamada lebih baik suka bersabar sedikit. Kuda itu telah menjadi liar Tak mungkin ditangkap. Kalaupun bisa sangat berbahaya bagi tuan menungganginya. Mencari kuda lain sama sulitnya dengan menangkap kuda itu…”
Kano Yamada hendak membentak. Namun akhirnya dia hanya bisa menghenyakkan tubuhnya di atas sebuah kursi kayu. Di luar tiupan angin semakin dahsyat. Badai tambah menggila.
“Chieko! Kamu manusia nekad! Mengapa kau melakukan semua ini!” kata Kano Yamada sambil menutup kedua telapak tangannya ke wajahnya. Terbayang wajah istrinya. Terbayang pula wajah merah Hatsuko putrinya. Lalu muncul tampang Yasuaki Kiuchi. Dengan tangan kanannya entah sadar entah tidak, Kano Yamada tiba-tiba menghantam lengan kursi. “Krakkk!” Lengan kursi itu hancur berantakan. Wajahnya tampak beringas. “Aku harus pergi! Persetan dengan badai! Persetan dengan kuda itu! Aku bisa jalan kaki!”
Kano Yamada melompat ke pintu. “Tuan!” seru dua orang pengawal. Kawannya yang tegak dekat pintu berusaha menghalangi tapi serta merta kena sikut Kano Yamada hingga orang ini mengeluh tinggi dan terbanting ke dinding ruangan.
Dalam gelapnya malam, di bawah badai besar itu Kano Yamada melangkah terhuyung-huyung menahan kencangnya angin yang menyambar dari depan, menghantam dari samping atau dari belakang. Para pengawal yang melihat kejadian itu sesaat hanya bisa berdiri melongo. Namun tiga orang diantara mereka akhirnya memutuskan untuk mengikuti tuan mereka. Salah seorang dari ketiganya berteriak tiada henti, berusaha membujuk sambil mengingatkan.
“Tuan Yamada! Kembali! Terlalu berbahaya menempuh badai seperti ini! Kembali tuan Yamada!”
Kano Yamada tidak perduli. Dia melangkah terus. Badai bertambah dahsyat ketika hujan mulai turun.
“Tuan Yamada! Ingat putrimu Hatsuko,” teriak pengawal satunya. Sesaat langkah Kano Yamada tertahan. Tetapi di lain saat lelaki ini lanjutkan perjalanannya. Kedua tangannya dikepalkan kencang-kencang.
Di dalam gedung kediamannya yang besar dan mewah di kota Otsu, Yasuaki Kiuchi duduk di atas kasur tebal empuk didampingi oleh dua selirnya yang masih muda-muda dan cantik. Kepalanya diletakkan di pangkuan salah satu selir, sementara selir satunya memegang sebuah piala perak berisi sake. Di dekat pembaringan terhidang berbagai macam makanan dan buah-buahan. Lalu sepuluh langkah di hadapannya duduk seorang gadis memetik koto (harpa), sebuah peralatan musik memiliki 13 jalur senar dan diletakkan di lantai.
Antara gadis pemetik koto dengan Yasuaki Kiuchi ada seorang gadis penari yang menari mengikuti irama koto dengan gerakan lemah gemulai. Kimono yang melilit ditubuhnya terbuat dari jenis kain yang demikian tipisnya hingga lekuk tubuh gadis ini membayang dengan jelas. Keadaan Yasuaki Kiuchi yang konon masih saudara sepupu Shogun yang berkuasa pada masa itu tidak beda seperti kaisar kecil saja.
Saat itu dia sudah setengah mabuk karena terlalu banyak meneguk sake. Mukanya yang bulat dan selalu berkeringat kelihatan merah. Sekali-sekali dia menyeringai sambil salah satu tangannya mengusap paha selir yang duduk di sebelahnya. Di luar gedung hujan turun dengan lebat. Badai masih bersabung di wilayah utara. Deru angin terdengar menggidikan.
Ketika sedang asyiknya Yasuaki Kiuchi menikmati tarian masuklah seorang pembantu. Merasa terganggu Yasuaki Kiuchi berteriak marah. Selagi pembantu itu menjura, dia mengambil piala perak berisi sake dari tangan selirnya lalu melemparkannya ke arah si pembantu.
Si pembantu yang tahu gelagat, walau bisa mengelak tapi tak berani melakukan. Kalau dia mengelakkan lemparan piala perak itu sang majikan akan meradang seperti beruang terluka! Maka dia diam saja menunggu sampai terdengar suara “buk!” Piala menghantam dadanya. Dia mengernyit menahan sakit, tak berani berteriak. Diam-diam dia merasa beruntung karena mengetahui bahwa Yasuaki Kiuchi melemparkan tempat minum perak itu tanpa menggunakan tenaga dalam. Kalau sampai dia mengisi piala dengan menggunakan tenaga dalam, niscaya saat itu dia sudah muntah darah dan sekarat!
“Maafkan saya Tuan Kiuchi! Kesalahan dan dosa yang besar mengganggumu. Tapi ada seorang tamu datang dari jauh…”
“Heh…..?” amarah Yasuaki Kiuchi agak mereda oleh rasa heran. Dia mendongak pada selir yang memangku kepalanya lalu membelai pipi perempuan ini.
“Di luar hujan turun lebat. Di utara aku yakin ada badai mengamuk. Lalu tiba-tiba saja di malam buta buruk cuaca begini ada tamu mencariku! Kuharap saja bukan bangsa setan atau roh halus dari gunung hantu!” habis berkata begitu Yasuaki Kiuchi tertawa gelak-gelak lalu meneguk sake langsung dari sebuah guci kecil. Sambil menyeka mulutnya dengan belakang tangan, mata merahnya memandang pada si pembantu. “Kau sudah tahu siapa adanya tamu itu?!”
“Dia seorang perempuan….”
“Apa?!” Yasuaki Kiuchi bangkit dari berbaringannya, duduk di atas kasur, memandang tak berkedip pada si pembantu.
“Tamunya seorang perempuan. Katanya dari desa Hikone. Namanya Nyonya Muda Chieko Yamada…….”
Mendengar keterangan si pembantu langsung saja Yasuaki Kiuchi melompat dari duduknya. “Di mana dia sekarang?”
“Menunggu di ruangan tamu tuan Kiuchi. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup…..”
Yasuaki Kiuchi tidak menunggu sampai si pembantu selesai berucap. Dia bergegas menuju ruangan tamu. Dua selir dan si pembantu mengikuti dari belakang. Gadis pemain koto hentikan petikan dan gadis penari juga ikut berhenti menari.
Begitu membuka pintu dorongan ruangan tamu, Yasuaki Kiuchi tertegun melihat sosok yang ada didalam sana. “Jadi benar kau rupanya Chieko …..” desis Yasuaki Kiuchi. Dia berpaling ke belakang. Pada dua selirnya dia segera berkata “Kalian lekas pergi masuk ke kamar masing-masing!”
Setelah memperhatikan sejenak perempuan muda yang basah kuyup di ruangan itu, salah satu dari dua selir menjadi iri dan cemburu lalu bertanya “Siapakah perempuan itu yang rupanya sangat penting hingga kami berdua disuruh masuk dilupakan begitu saja?”
“Perempuan lancang tidak tahu diri!” bercarut Yasuaki Kiuchi dengan mata membelalak. “Berani kau berkata seperti itu?!” Melihat sikap Yasuaki Kiuchi, dua selir jadi takut dan cepat-cepat mengundurkan diri. Yasuaki berpaling pada si pembantu. “Lekas kau temui pelayan perempuan. Suruh Dia membawa kain pengering dan pakaian penyalin….”
Setelah si pembantu berlalu, Yasuaki Kiuchi masuk ke dalam ruangan. Untuk beberapa lamanya dia melangkah perputar mengelilingi Chieko Yamada yang tegak ditengah ruangan dalam keadaan basah kuyup.
“Chieko, ini bukan mimpi! Kau datang di malam buta ketika cuaca sangat buruk. Berbasah-basah datang dari jauh. Kau perlu mengeringkan badan, berganti pakaian dan berhangat-hangat dengan makanan panas dan minuman keras…”
“Saya berterima kasih atas kebaikanmu itu Kiuchi-San…”
“Panggil aku Yasuaki!”
“Waktu saya hanya sebentar. Saya akan segera pulang jika selesai bicara denganmu….”
“Ini rumahku! Siapa yang berada di dalamnya harus ikut apa yang aku punya mau!” kata Yasuaki Kiuchi pula dengan muka sesaat jadi galak.
Tak lama kemudian seorang pelayan perempuan datang membawa sehelai kain pengering dan pakaian untuk bersalin. “Bantu nyonya Yamada mengeringkan tubuh dan berganti pakaian,” kata Yasuaki Kiuchi pada si pelayan lalu keluar kamar sambil menutup pintu.
Tapi begitu berada di luar kamar, dengan ujung jari kelingkingnya, lelaki ini menusuk dinding yang terbuat dari kertas hingga berlobang. Lewat lobang itu, dia mengintip saat-saat Chieko Yamada membuka pakaiannya yang basah, mengeringkan tubuhnya lalu mengenakan pakaian yang diberikan. Tenggorokan lelaki ini turun naik. Nafasnya memburu. Lidahnya berulang kali dijulurkan untuk membasahi bibirnya.
“Sudah selesai tuan Kiuchi,” kata pelayan begitu keluar dari dalam kamar membawa pakaian basah.
“Kau boleh pergi. Beritahu semua orang agar tidak berada di sekitar sini…” kata Yasuaki Kiuchi pula pada pelayan perempuan itu, lalu masuk ke dalam ruangan di mana Chieko Yamada berada.
Sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada, Yasuaki Kiuchi menatap wajah dan tubuh Chieko tanpa berkedip sampai beberapa lamanya. “Kau datang di malam buta. Dalam cuaca buruk. Seorang diri. Jarang ada perempuan Jepang punya keberanian sepertimu. Apa kau datang mewakili suamimu untuk minta maaf karena telah berani menciderai perajurit Shogun yang aku kirimkan ke tempat kediamanmu? Mengapa dia berlaku pengecut tidak datang sendiri…?”
“Saya datang tidak setahu dia,” menjelaskan Chieko.
“Oh, jadi maumu sendiri? Ini sungguh satu hal luar biasa! Mungkin kau tiba-tiba saja teringat masa mudamu dulu? Ketika kau menjalin cinta denganku. Lalu kau lenyap dan tahu-tahu kawin dengan Kano Yamada. Kau datang untuk minta maaf…?”
“Ada yang lebih penting dari masa lalu Yasuaki,” kata Chieko pula. “Menyangkut hutang suami saya dan maksud hendak menjodohkan puteriku Hatsuko dengan puteramu.”
“Soal hutang suamimu sudah jelas. Dia tidak sanggup membayar. Aku sudah mengatur orang untuk memperkarakannya dan menjebloskannya ke dalam penjara…”
“Jangan lakukan itu Yasuaki. Saya mohon kau suka memberi waktu…”
“Aku tak punya waktu lagi Chieko. Aku merasa suamimu sengaja menipu…”
“Usahanya benar-benar sedang ambruk. Mohon kau mau mengerti…”
“Bagaimana dengan urusan jodoh?” Yasuaki Kiuchi mengalihkan pembicaraan.
Dari dalam saku kimononya dia mengeluarkan sebuah botol pipih berisi minuman keras. Beberapa kali teguk saja minumannya itu ludas masuk ke dalam tenggorokan.
“Terus terang saja aku suka menjadi besan denganmu Yasuaki. Tapi Hatsuko sudah terlanjur diikat jodoh dengan Toshiro, putera keluarga Yukawa…”
Sepasang mata Yasuaki Kiuchi membeliak. Botol pipih yang dipegangnya dibantingkan ke lantai hingga pecah berkeping-keping. “Aku tahu keluarga Yukawa. Keluarga nelayan miskin yang hanya mampu mencari nafkah di danau Biwa! Dengan anak mereka puterimu kau jodohkan! Sungguh memalukan! Menolak ikatan jodoh dengan puteraku sama saja menghina diriku!”
“Yasuaki, harap kau mau mengerti. Kami telah terlanjur menjodohkan Hatsuko dan Toshiro. Kalau saja ikatan itu belum ada tentu saya dan suami merasa senang untuk menjodohkan Hatsuko dengan puteramu…”
“Chieko! Dua kali dengan ini kau menghinaku! Pertama waktu kau meninggalkan aku dan kawin dengan Kano! Kedua sekarang ini. Menolak ikatan jodoh! Padahal kau datang untuk mengemis untuk minta agar aku memberi kelonggaran atas hutang suamimu…”
“Saya tidak mengemis Yasuaki. Kalau kau tidak mau mempertimbangkan, Kano bersedia masuk penjara. Kalau perlu saya sekalian kau jebloskan!”
Yasuaki pandangi wajah Chieko beberapa saat lalu dia tertawa gelak-gelak sampai keluar air mata.
Namun sesaat kemudian dia berubah. Kalau tidak tertawa kini dia mulai sesenggukkan. Mula-mula perlahan lalu meraung keras.
“Yasuaki…” Panggil Chieko. Perempuan ini mulai merasa takut “Penyakit gilanya kumat… Aku harus segera meninggalkan tempat ini. Yang penting aku sudah bicara padanya…”
Pintu ruangan terbuka. Seorang pembantu dan dua orang perajurit Shogun masuk. “Kami mendengar tuan Kiuchi berteriak. Ada apakah? Apakah tuan baik-baik saja?” tanya salah seorang perajurit.
“Keluar!” teriak Yasuaki Kiuchi marah sekali sehingga ketiga orang itu putar tubuh dan tinggalkan ruangan ketakutan. Yasuaki bantingkan pintu dorong dengan keras.
“Aku minta diri…” ujar Chieko.
“Kau mau ke mana?” tanya Yasuaki sambil bersandar ke pintu. “Hikone jauh dari sini anakku menunggu.” Yasuaki Kiuchi menyeringai aneh. Tiba-tiba kimono yang melekat di tubuhnya ditanggalkan. Chieko membuang muka kejurusan lain. “Tanggalkan pakaianmu Chieko…”
Chieko Yamada sepertinya mendengar petir menyambar di telinganya. “Yasuaki, kau sadar apa yang barusan kau katakan?”
“Aku bilang tanggalkan pakaianmu! Layani diriku malam ini! Hanya itu satu-satunya jalan menebus pengkhianatanmu dulu dan pengkhianatanmu kali ini!”
“Kau sakit Yasuaki…! Yasuaki yang aku kenal dulu tidak akan berlaku sekeji ini!”
Yasuaki Kiuchi tertawa mengekeh. “Aku memang sakit! Otakku! Hatiku! Jiwaku! Semua ini kau penyebabnya! Ditambah racun ular yang tidak bisa dikuras bersih dari otakku! Lengkap sudah derita sakitku! Malam ini derita sengsara itu akan kita bagi dua Chieko!”
Seperti seekor singa kelaparan Yasuaki Kiuchi menyergap perempuan itu. Chieko berusaha melawan tapi sia-sia belaka. Menjerit minta tolong pun tak ada gunanya karena tak ada yang berani datang ke tempat itu. “Aku lebih suka kau membunuhku dari pada menerima noda!” kata Chieko dalam keadaan terlentang tak berdaya di lantai, ditindih tubuh berat Yasuaki Kiuchi.
Yasuaki Kiuchi menyeringai. Dua tangannya bergerak merenggut tali kimono Chieko Yamada.
Perempuan itu kembali menjerit tapi suara jeritan semakin lemah lalu dia tak tahu lagi apa yang terjadi dengan dirinya. Di luar hujan menderu tambah lebat. Badai masih terus berkecamuk.
Hujan yang lebat dan badai yang masih menggila, ditambah malam begitu gelap membuat pemandangan mata hanya mampu menembus belasan langkah saja. Seorang pengawal yang berjalan di samping Kano Yamada tiba-tiba berteriak dengan mata melotot memandang ke depan.
“Tuan Yamada! Ada sesuatu mendatangi dari sebelah depan!”
“Aku sudah tahu,” jawab Yamada datar. Dia memang sudah melihat ada sebuah benda mendatangi.
Karena hujan dan badai, dia masih belum dapat memastikan benda apa itu adanya. Namun dua telinganya mulai menangkap suara benda bergerak itu. Air hujan yang membasahi alisnya disekanya dan kedua matanya dibuka lebih lebar.
“Seekor kuda…” desis Kano. Dia mempercepat langkahnya. Mendadak saja hatinya yang sejak meninggalkan Hikone memang sudah gelisah kini menjadi tidak enak berlipat ganda. Sosok yang datang dari depan semakin dekat. Ternyata memang seekor kuda. Kelihatannya tidak berpenunggang.
Kuda sampai di hadapan Kano Yamada. Saudagar muda ini mengangkat tangannya memegang kepala kuda. Binatang ini hentikan langkahnya dan menjilati tangan lelaki itu seolah kenal. “Heh, ini kuda Chieko…” kata Kano dalam hati, ketika dia mengenali binatang itu. Justru pada saat itu pulalah dia melihat sesosok tubuh terbujur melintang diatas pelana. Kimono yang melekat di tubuh itu robek-robek tidak karuan rupa. Agaknya hanya ditutupkan begitu saja. Lalu Kano Yamada melihat rambut tergerai panjang basah kuyup mengucurkan air hujan di bagian bawahnya yang terjuntai. Kano Yamada membungkuk untuk memastikan agar dia bisa melihat wajah perempuan yang terbujur di pelana kuda itu. Lalu terdengar raungannya. “Chieko!!!”
Tiga orang yang menyertai Kano Yamada ikut berseru kaget. “Nyonya muda, apa yang terjadi denganmu?” salah seorang di antara mereka berucap dengan suara gemetar.
Di bawah hujan lebat dan badai yang masih mendera, Kano Yamada dibantu oleh tiga orang tadi turunkan sosok Chieko dari atas kuda. Mereka mencari tempat yang agak terlindung lalu membaringkan perempuan itu di sana.
“Chieko…! Chieko!” teriak Kano Yamada berulang kali. Ditepuknya wajah istrinya itu. Lalu diletakkannya telinga kirinya di atas dada. Deru hujan dan badai keras sekali. Dia tak dapat mendengar apakah jantung istrinya masih berdetak atau tidak.
Kano Yamada masih meletakkan telinganya di dada istrinya. Tiba-tiba matanya membesar. Dia melihat ada cairan merah di bagian perut Chieko yang mengalir ke tanah bersama air hujan. Darah!
Darah itu mengucur keluar dari bagian perut yang ditancapi sebilah tanto!
Raungan Kano Yamada seperti mengalahkan deru hujan dan badai. “Chieko! Apa yang terjadi denganmu?! Chieko!” Kano Yamada peluk tubuh istrinya erat-erat hingga pakaiannya ikut bersimbah darah. Tiga orang pengawal hanya bisa tertegun tak tahu mau berbuat apa.
“Chieko kau barusan dari mana? Siapa yang melakukan ini?! Chieko! Chiekoooooooo…! Jawab Chieko! Jangan diam saja!” Kano Yamada angkat kepalanya ketika dia merasa ada hembusan hawa keluar dari hidung istrinya. “Chieko…kau dengar aku Chieko…”
Dua mata Chieko terbuka. Tapi hanya sedikit lalu tertutup kembali. “Chieko katakan apa yang terjadi! Kau barusan pergi ke mana? Siapa yang melakukan kekejian ini?!”
“Ka… Kano. Bi… biar saya me… menerima nasib buruk ini…” keluar suara Chieko tersendat dan terputus-putus.
“Tidak! Aku harus tahu siapa yang menghinamu! Siapa yang membunuhmu! Bilang Chieko! Kau harus bilang!” Kano Yamada dekap tubuh istrinya erat-erat. Diciuminya wajah yang putih pucat dan basah oleh air hujan itu. “Chieko! Katakan Chieko…” bisik lelaki ini ke telinga istrinya.
“Kiuchi…” bisik Chieko antara terdengar dan tidak. “Yasuaki Kiuchi… Dia memperhinakan diri dan keluarga kita. Dia menodai saya…”
Sekujur tubuh Kano Yamada bergeletar. Darahnya seperti mendidih. Tulang-belulangnya laksana di panggang bara api. “Dia juga yang menusukmu dengan pisau ini…?”
“Tidak …Se setelah dia menodai saya…, sa… saya merasa… tidak ada gu… gunanya lagi hidup ini. Sa… saya merampas senjata itu dari… se… seorang pengawalnya. Saya berusaha melakukan harakiri… Saya… Kano suamiku… Saya mohon kau jaga anak kita Hatsuko baik-baik…”
“Chieko! Chieko…!” Raungan Kano Yamada kembali menggelegar. Diguncangnya tubuh istrinya.
Tubuh itu tak bergerak lagi. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tak ada hawa hangat keluar dari saluran pernafasannya. “Chieko! Jangan mati Chieko! Jangan mati!” teriak Kano Yamada.
Lelaki ini tidak tahu berapa lama dia meratapi jenazah istrinya itu sampai suaranya menjadi serak.
Tiba-tiba seolah sadar dia hentikan ratapannya. Wajahnya kelihatan bengis. Perlahan-lahan dilepaskannya rangkulannya pada tubuh Chieko lalu berdiri. Ketika dia bergerak melangkah, salah seorang pengawal cepat bertanya.
“Tuan Yamada, kau mau kemana…?”
“Otsu! Aku akan membuat perhitungan dengan Yasuaki Kiuchi…” jawab Kano Yamada seraya menekan hulu pedang samurai yang tergantung di pinggangnya.
“Kami ikut dengan tuan!”
Kano Yamada gelengkan kepala. “Kalian kembali ke Hikone. Urus jenazah istriku! Jika dua hari aku tidak kembali, perabukan jenazah itu. Sebagian tebarkan di danau Biwa, sebagian lagi disimpan dalam cupu, letakkan di meja sembahyang rumahku…”
“Tapi tuan Yamada…”
“Srett!” Kano Yamada cabut samurainya. “Aku pergi. Jika aku tidak kembali bawa Hatsuko ke Nara. Dia punya seorang bibi keluarga istriku…” habis berkata begitu Kano Yamada putar tubuhnya lalu melangkah pergi. Sebentar saja bayangannya lenyap dalam kegelapan. Tiga orang pengawal tak bisa mencegah. Dengan hati-hati mereka mengangkat tubuh Chieko lalu meletakkannya di atas pelana.
Hujan telah berhenti. Badai sudah reda. Di antara tiupan angin yang masih bersisa keheningan pagi menyapu kota Otsu. Yasuaki Kiuchi tersentak dari tidurnya ketika sepasang telinganya mendengar suara dentrangan senjata di luar sana. Seorang selir yang menemani Yasuaki Kiuchi malam itu berusaha merangkulnya ketika dia hendak bangkit dan turun dari atas ranjang.
“Pagi masih dingin. Saya masih ingin melayani dan menghangati dirimu…”
“Ada sesuatu terjadi di luar…” jawab Yasuaki Kiuchi seraya menangkap dan menurunkan tangan perempuan yang hendak mengusap bagian bawah perutnya. Lelaki ini cepat-cepat mengenakan kimononya. Dia melangkah ke kamar sebelah. Lewat sebuah jendela yang disibakkan tirainya dia dapat melihat sebagian halaman depan. Dalam keremangan pagi disaksikannya seorang lelaki muda mengenakan kimono kuning bernoda darah dan basah kuyup mengamuk menghajar setengah lusin prajurit yang mengeroyoknya.
Keenam perajurit penjaga gedung itu tak kuasa membendung amukan lawan. Dalam beberapa kali gebrakan saja lima di antara mereka roboh bersimbah darah. Agaknya tamu berkepandaian tinggi itu sengaja tidak mau membunuh prajurit yang keenam. Sambil menekankan ujung samurainya ke dada si perajurit dia berkata. “Suruh keluar Yasuaki Kiuchi! Katakan aku Kano Yamada dari Hikone datang untuk mengambil nyawanya!”
Meskipun diancam kematian tapi orang berseragam prajurit Shogun itu menyeringai buruk dan mengejek. “Yamada, apa kau kira bisa lolos dari sini hidup-hidup?”
“Aku tidak minta kau bicara banyak! Lakukan apa yang aku perintah!” bentak Yamada.
Tapi prajurit di hadapannya malah meludah dan berkata. “Kalau kau punya nyali silahkan cari sendiri majikanku!”
“Kau memang manusia tidak berguna!” bentak Kano Yamada. Samurai di tangan kanannya menusuk ke depan. Prajurit itu hanya keluarkan seruan pendek. Ketika Kano Yamada menarik pedangnya si prajurit langsung roboh. Darah mancur dari perutnya yang ditembus pedang.
Dari balik jendela ruangan di tingkat atas Yasuaki Kiuchi menutupkan tirai kembali. “Kano Yamada…” desis lelaki ini. “Dia pasti sudah mengetahui apa yang terjadi dengan istrinya.” Yasuaki keluar dari dalam ruangan yang terletak di tingkat dua bangunan itu. Dia masuk ke sebuah kamar di mana tersimpan berbagai macam senjata. Dia mengambil sebilah katana. Sebelum menuju ke halaman lebih dulu dia menarik sebuah genta tiga kali berturut-turut. Serta merta dari berbagai jurusan bangunan berhamburan keluar hampir dua puluh orang prajurit.
Pemimpin mereka seorang bertubuh besar, berkumis dan berjanggut meranggas melompat ke hadapan Yasuaki Kiuchi yang tegak di pintu dalam. “Gapo! Ada penjahat di pintu gerbang utara. Tangkap dia hidup-hidup!”
“Kalau memang penjahat mengapa dibiarkan hidup, tuan Kiuchi?” tanya Gapo seraya melintangkan golok besar di tangan kanannya. Pada masa itu rata-rata katana atau pedang samurai adalah senjata yang banyak dipergunakan orang. Namun manusia satu ini agaknya lebih suka mengandalkan golok besar yang dirampasnya dari seorang jago silat Cina yang pernah dipencundanginya.
“Keparat! Lakukan saja apa yang aku perintah! Jangan banyak tanya!” hardik Yasuaki Kiuchi mendelik. Si tinggi besar menjura lalu berkelebat pergi. Yasuaki Kiuchi dorong daun pintu di hadapannya lalu keluar menuju ke depan. Ketika dia sampai di luar, belasan prajurit di bawah pimpinan si tinggi besar tadi telah mengurung dan mengeroyok Kano Yamada.
Walaupun dia seorang pedagang, di masa mudanya Kano Yamada pernah belajar ilmu pedang dari seorang pandai. Samurai di tangan laki-laki yang kalap ini berkesiuran kian kemari. Empat orang perajurit Shogun terkapar di tanah. Dua lagi menjerit lalu roboh. Ketika samurai di tangan Kano Yamada merobohkan prajurit yang ketujuh, dari samping berkelebat sebilah golok besar memukul badan pedang samurai di tangan Kano Yamada. Daya pukul golok itu berat dan terasa sekali sehingga tangan Kano Yamada bergetar keras. Dia cepat membalik dan menghantam dengan senjatanya. Namun kuda-kudanya goyah.
“Tranggg!” Samurai di tangan Kano Yamada terlepas mental. Golok besar tadi datang membalik.
“Brettt!” Pakaian Kano Yamada robek besar di bagian perut. Dagingnya ikut tergores, membentuk luka memanjang. Walau tidak terlalu dalam namun tetap saja mengucurkan darah. Sambil menahan sakit penuh amarah dan nekad Kano Yamada melompati Gapo dengan tangan kosong. Yang diserang balikkan goloknya lalu dengan satu gerakan cepat hantamkan gagang golok ke kening lawan.
Kano Yamada merasa seperti melihat gunung meletus di depan matanya. Pemandangannya serta merta gelap dan kedua kakinya goyah. Tubuhnya tak ampuh lagi jatuh tergelimpangan. Dia berusaha tidak jatuh pingsan. Dia melihat belasan kaki di sekelilingnya. Ujung-ujung senjata. Lalu ada sepasang kaki berkasut bagus melangkah ke arahnya. Dia coba mengangkat kepala.
Pemandangannya berkunang. Dia tak dapat melihat jelas siapa adanya orang itu. Lalu dia mendengar suara-suara bicara di dekatnya.
“Tuan Kiuchi, saya menunggu perintah. Akan diapakan orang ini?!” bertanya Gapo.
“Jebloskan dia ke dalam penjara! Dua hari lagi ada kapal ke utara ke pulau Hokkaido! Angkut dia bersama penjahat dan orang-orang hukuman lainnya! Dia pantas menjadi penghuni tempat kerja paksa di pertambangan Kitami!” Kano Yamada buka kedua matanya. Pemandangannya masih kabur. Tapi dia telah mengenali suara yang barusan bicara. Seperti mendapat satu kekuatan lelaki ini melompat dan berteriak.
“Yasuaki Kiuchi!” Kepala perajurit Shogun angkat tangan kanannya. Siap untuk menghantam muka Kano Yamada dengan gagang goloknya. Tapi Yasuaki Kiuchi angkat tangannya seraya berkata.
“Jangan! Biarkan dia bicara!”
Perlahan-lahan Kano Yamada putar tubuhnya. Dia melihat bayangan orang berdiri di anak tangga.
Dia tak bisa melihat jelas namun dapat memastikan orang itu adalah Yasuaki Kiuchi, orang yang telah dicapnya sebagai manusia iblis!
“Yasuaki keparat! Manusia iblis laknat! Ternyata bukan hanya otakmu saja yang tidak waras! Jiwa dan hatimu juga bejat!”
“Bangsat tidak bermalu!” balas memaki Yasuaki Kiuchi. “Tadinya kehormatan yang diberikan istrimu kuanggap sudah menyelesaikan urusan hutang piutang di antara kita! Tapi detik ini aku mengubah keputusanku…”
“Iblis bajingan! Kau nodai istriku! Dia kembali sudah jadi mayat!”
“Salah sendiri! Dia berlaku tolol! Melakukan harakiri!” jawab Yasuaki Kiuchi lalu tertawa mengekeh.
“Jahanam! Pergilah menghadap Dewa penjaga neraka!” teriak Kano Yamada. Tangan kanannya bergerak sangat cepat hingga tak ada yang sempat berbuat sesuatu. Sebuah senjata rahasia berbentuk bintang melesat ke arah Yasuaki Kiuchi. Karena tidak menyangka Yasuaki tak keburu mengelak. “Tuan Kiuchi! Awas shuriken! (senjata rahasia berbentuk bintang)” Gapo berteriak memberi peringatan.
Tapi tak ada gunanya. Senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh para Ninja itu melesat deras ke arah kepalanya. Yang dituju Kano Yamada adalah tenggorokan orang tapi karena pemandangannya kabur senjata itu hanya menancap di mata kiri Yasuaki Kiuchi!
Jerit saudara sepupu Shogun yang berkuasa ini menggelegar mengerikan. Dua orang prajurit segera melompat berusaha menolongnya. “Yamada jahanam! Seharusnya sudah tadi-tadi kupenggal batang lehermu!” teriak Gapo. Kepala prajurit ini bacokkan golok besarnya ke arah tangan kanan Kano Yamada. “Crassss!” Tangan itu putus tepat di sambungan siku. Untuk kedua kalinya di tempat itu terdengar raungan manusia!
Setelah ditunggu sampai tiga hari Kano Yamada tidak kunjung kembali ke Hikone, sesuai dengan pesan saudagar muda itu pada para pengawalnya di malam penuh bencana, maka keluarga Yukawa memutuskan utuk memperabukan jenazah Chieko Yamada. Sebagian abu jenasah disimpan di dalam gedung kediaman keluarga Yamada dan sebagiannya lagi, seperti yang dimintakan Kano Yamada, ditebarkan di permukaan danau Biwa.
Siang itu Hideo Yukawa tampak berkemas-kemas. Dia membawa serta sebilah samurai yang selama bertahun-tahun hanya tergantung di dinding dalam kamar tidurnya. Kemudian dia masuk ke dalam kamar. Di atas pembaringan dua sosok bayi tergolek pulas. Satu lelaki satunya perempuan.
Yang perempuan adalah Hatsuko Yamada, puteri Kano dan Chieko Yamada yang malang itu. Bayi lelaki adalah putera Hideo Yukawa sendiri. Sejak jenazah Chieko Yamada dibawa pulang oleh tiga orang pengawal, keluarga Yukawa telah membawanya ke tempat kediaman mereka di tepi danau.
Unari, istri Yukawa menjaga dan merawat bayi lelaki yang telah dijodohkan dengan puterinya itu sebaik-baiknya seperti dia merawat anaknya sendiri.
Di samping pembaringan duduk seorang perempuan muda berwajah pucat murung. Kedua matanya tampak merah karena banyak menangis. Dialah Unari, istri Hideo Yukawa. “Aku berangkat ke Otsu sekarang juga. Harap kau menjaga dua anak itu baik-baik.” Kata Hideo Yukawa.
Unari Yukawa mengangguk. “Kalau kau sudah tahu apa yang terjadi dengan Kano Yamada lekas kembali. Sejak beberapa hari ini pasti hati saya selalu tidak enak. Saya sering bermimpi buruk setiap saya memicingkan mata…”
Hideo Yukawa mengangguk. “Aku akan lekas kembali. Kau tak usah kawatir. Aku sudah minta para pengawal di gedung keluarga Yamada untuk melihat-lihat keadaan di sini.”
Unari mengantarkan suaminya sampai di pintu lalu masuk kembali untuk menjaga dua bayi mungil yang masih tertidur pulas itu.
Meninggalnya Chieko Yamada menyebabkan suasana berkabung terasa di seluruh desa Hikone.
Penduduk merasa kehilangan seorang warga mereka yang selama hidupnya banyak memberikan berbagai bantuan. Nelayan yang tinggal di sepanjang tepi danau Biwa telah dibantu pinjaman untuk membeli perahu. Sedang para petani di pedalaman mendapat bantuan uang untuk membeli alat-alat pertanian serta ternak.
Malam itu banyak penduduk desa terutama kaum ibu datang ke rumah keluarga Yukawa. Mereka menemani Unari sampai larut malam. Semuanya merasa pilu melihat bayi Hatsuko dan berganti-ganti mereka mendukung bayi itu sampai akhirnya tertidur nyenyak.
Tak lama setelah satu persatu penduduk desa meninggalkan rumah Unari Yukawa, keadaan di tempat itu menjadi sunyi senyap. Di dalam rumah hanya tinggal satu lampu minyak yang menyala, yaitu di kamar tidur Unari dan dua bayi itu. Di luar rumah tiga orang pengawal kelihatan duduk di bangku kayu, mengobrol sambil berjaga-jaga. Mereka adalah para pengawal yang bekerja di gedung keluarga Yamada. Malam itu, seperti yang diminta Hideo Yukawa, ketiganya berjaga-jaga di rumah itu.
“Majikan kita tuan Yamada tak ada kabar beritanya. Yukawa-san pergi ke Otsu untuk menyelidik.
Bagaimana kalau diapun tidak kembali pula?” Seorang pengawal bicara sambil bersandar dan meluruskan kedua kakinya yang terasa pegal.
“Aku memang punya firasat buruk tuan kita tak akan kembali. Sia-sia melawan kekuasaan Yasuaki Kiuchi…” menyahut kawannya. “Manusia satu itu, mentang-mentang saudaranya Shogun bertindak sewenang-wenang. Malah lebih gila dari Shogun!”
Pengawal ketiga menimpali. “Aku ingin sekali…” Tiba-tiba dia hentikan ucapannya.
“Ada apa?” tanya dua temannya hampir berbarengan. “Aku melihat ada seseorang menyelinap di belakang rumah…” Tiga pengawal itu serta merta bangkit berdiri. Mereka bergegas menuju bagian belakang rumah. Tiba-tiba pengawal di sebelah depan keluarkan keluhan tinggi. Tubuhnya terlipat ke depan. Kedua tangannya memegangi dada di mana menancap sebilah tanto (pisau pendek). Dua kawannya segera memegangi tubuh pengawal itu lalu membaringkannya di tanah. Keduanya segera mencabut senjata.
“Hati-hati, kita menghadapi penyerang gelap berkepandaian tinggi…” kata salah seorang pengawal berbisik pada kawannya. “Pisau pendek itu…” menjawab kawannya. “Aku mengenalinya. Itu pisau prajurit-prajurit Shogun!”
“Aneh, ada apa mereka muncul di sini?” tanya pengawal pertama. Dia memandang ke arah rumah.
Darahnya berdesir. “Jangan-jangan ada yang bermaksud jahat terhadap dua bayi itu! Kau lekas berjaga-jaga di pintu rumah. Aku akan menyelidik ke bagian gelap sebelah sana. Si pembokong pasti bersembunyi di tempat itu!”
Kawan yang disuruh segera berkelebat ke arah rumah. Yang satu lagi bergerak ke tempat gelap di bawah bayang-bayang hitam sebuah pohon besar. Lima langkah lagi dia akan sampai ke semak belukar yang mengitari pohon, tiba-tiba tiga sosok berkelebat keluar dari tempat gelap. Yang dua langsung menyerang si pengawal. Dua pedang berkelebat dalam kegelapan malam. Satu pedang lagi membabat ke atas menangkis. Selagi terdengar suara berdentarangan, sosok ketiga yang tadi keluar dari kegelapan bergerak cepat menuju pintu rumah di mana pengawal kedua berjaga dengan pedang di tangan.
Pengawal ini terkejut sewaktu melihat ada satu sosok manusia tinggi besar tahu-tahu sudah berada di hadapannya. Dia seperti pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi dia tak bisa berpikir lebih lama karena saat itu senjata berupa sebilah golok besar di tangan si tinggi besar membabat dengan deras ke arah tenggorokkannya. Dia cepat menangkis dengan pedangnya.
“Tranggg!” Dua senjata beradu keras di udara. Si pengawal merasa seolah digebuk satu balok besar dan berat hingga lututnya tertekuk dan hampir terhenyak jatuh. Sambil jatuhkan diri dan berguling, pengawal ini berhasil selamatkan diri dari tendangan si tinggi besar. Namun begitu dia berdiri, serangan berikutnya datang menyusul. Tahu bahwa lawan memiliki senjata ampuh dan kekuatan luar biasa, pengawal tadi tak berani menangkis. Maka dia cepat melompat ke samping untuk menghindar sambaran senjata lawan. Namun belum sempat kedua kakinya menginjak tanah kembali, golok si tinggi besar melesat ke depan, menembus telak di lambungnya. Jeritan pengawal ini terdengar jauh sampai ke pelosok desa dan ke tengah danau Biwa. Tubuhnya sesaat tersandar ke pintu.
Dari dalam rumah tiba-tiba terdengar suara perempuan berseru. “Siapa di luar?! Hideo? Kaukah itu?!” Pintu rumah lalu terbuka. Sosok tubuh pengawal yang tengah meregang nyawa dan tersandar di situ langsung roboh tergelimpang. Unari Yukawa menjerit keras. Dia segera menutupkan pintu kembali tapi terhalang oleh sosok mayat si pengawal. Di saat bersamaan si tinggi besar melompat masuk ke dalam rumah.
“Rampok! Rampok!” teriak Unari Yukawa. Orang di hadapannya menyeringai. Tangannya bergerak menjambak rambut perempuan itu. Lalu sekali banting saja Unari Yukawa terkapar jatuh pingsan. Si tinggi besar lalu berkelebat ke arah ruangan yang ada cahaya terang lampu minyak di mana bayi Hatsuko dan bayi Thosiro berada.
Ketika di kejauhan kelihatan nyala lampu-lampu lampion mendatangi, si tinggi besar sudah berkelebat cepat meninggalkan rumah sambil mendukung dua tubuh bayi yang masih merah-merah itu.
Dari pedataran tinggi di tepi danau, Hideo Yukawa siang itu merasa aneh melihat banyak sekali penduduk desa Hikone berada di sekitar rumahnya. Penuh rasa tidak enak lelaki ini memacu kudanya lebih kencang. Begitu sampai di depan rumah dia melihat wajah-wajah penduduk yang memandang rawan sayu ke arahnya. Sesuatu telah terjadi. Dia tidak melihat istrinya. Mungkin berada di dalam rumah.
“Ada apa ramai-ramai di sini?” tanya Hideo Yukawa, begitu melompat turun dari kuda. Dia memandang berkeliling. Matanya membentur sosok pengawal yang terkapar tak jauh dari pintu.
“Mereka? Mereka siapa?”
“Kami tidak tahu. Pagi-pagi buta kami mendengar suara beradunya senjatanya. Lalu suara-suara jeritan. Ketika kami mendatangi dan sampai ke sini kami melihat ada tiga mayat tergelimpang. Istrimu…”
“Unari! Mana istriku?” teriak Hideo Yukawa. “Istrimu selamat. Dia ada di dalam ditemani istri-istri kami. Hanya….”
“Hanya apa…?!” tanya Hideo Yukawa. Karena tak ada yang menjawab, Hideo Yukawa langsung saja menghambur masuk ke dalam rumah. Di satu ruangan di dalam rumah, Unari tampak terbaring di atas kasur tipis dikelilingi oleh beberapa perempuan tetangga. Dua di antaranya tengah merawat luka di keningnya yang membengkak.
“Unari…” Hideo Yukawa jatuhkan diri di samping kasur. Mendengar suara suaminya Unari Yukawa buka kedua matanya. Perempuan ini menjerit menangis keras. Hideo cepat memeluk istrinya. “Tenang Unari… katakan apa yang terjadi…!” bisik Hideo seraya mengelus belakang kepala Unari. “Bayi kita Hideo… Toshiro…”
“Toshiro…?”
“Juga Hatsuko, kedua anak itu diculik orang malam menjelang pagi tadi…” Dari mulut Hideo Yukawa keluar suara menggembor keras. Sekujur tubuhnya bergeletar. “Siapa yang melakukan? Siapa yang menculik Toshiro?! Siapa yang menculik Hatsuko? Siapa?!”
Hideo Yukawa lepaskan rangkulannya di tubuh Unari. Dia berdiri dan melangkah ke pintu. Begitu sampai di luar dia cabut samurai di punggungnya lalu berteriak. “Siapa?! Siapa menculik anak-anak itu?! Akan kugorok lehernya! Akan kucincang tubuhnya!”
Seorang penduduk desa mendekati. “Hideo! Tenang! Jangan kalap. Kita semua akan bantu menyelidik…!”
“Diam!” teriak Hideo Yukawa. Samurai di tangannya berkelebat. Senjata ini menyambar di depan hidung tetangga itu. Kalau dia tidak cepat melompat, entah bagaimana jadinya dengan hidungnya.
Semua orang yang ada di halaman rumah kini menjadi takut dan perlahan-lahan bergerak menjauhi lelaki yang setiap saat bisa saja tiba-tiba mengamuk.
Gapo mengemudikan kereta kuda itu memasuki halaman belakang gedung besar kediaman Yasuaki Kiuchi. Dua orang anak buahnya mengikuti di belakang. Saat itu sang surya baru saja mulai naik.
Udara masih terasa diselimuti kesegaran pagi. Di antara derap suara kaki-kaki kuda, dari dalam kereta terdengar suara tangisan bayi tidak henti-hentinya. Di serambi belakang, Yasuaki Kiuchi tengah menikmati sarapan paginya ketika dilihatnya kereta itu masuk. Dia meneguk koohii (kopi) hangatnya. Seorang pelayan menyodorkan sepiring roti panggang padanya tapi tak diperdulikan.
Pelayan ini memalingkan kepalanya ke arah kereta dan jadi terheran-heran mendengar ada suara tangisan bayi. Beberapa pengawal yang ada di situ juga merasa aneh.
Yasuaki Kiuchi yang mata kirinya buta akibat lemparan senjata rahasia Kano Yamada berdiri dari kursinya. Sesaat dia mengusap mata kirinya yang kini ditutup dengan selembar kulit hitam lalu melangkah ke tangga. Di saat yang sama Gapo sampai di anak tangga teratas. Setelah menjura terlebih dahulu kepala prajurit Shogun ini berkata.
“Tuan Kiuchi. Kita berhasil. Dua bayi itu ada dalam kereta…” Yasuaki Kiuchi tersenyum. Dia menuruni tangga menuju kereta. Gapo yang berjalan mendahului singkapkan kain tebal penutup bagian belakang. Yasuaki Kiuchi buka kedua matanya lebar-lebar. Dua bayi, satu lelaki dan satu perempuan terbaring menangis di atas tumpukan jerami kering. Ketika dia memperhatikan bayi perempuan, dalam hatinya Yasuaki Kiuchi berkata. “Bayi perempuan ini sebetulnya cukup baik untuk jodoh puteraku. Tapi sayang, orang tuanya berlaku bodoh! Dijanjikan madu dan bunga sakura malah membalas dengan racun dan duri berbisa!” Lalu Yasuaki Kiuchi berpaling pada Gapo.
“Bagus Gapo! Kau punya pekerjaan bagus!” kata Yasuaki Kiuchi memuji sambil tepuk-tepuk bahu Gapo. Si tinggi besar ini membungkuk berulang kali. “Tapi tugasmu belum selesai!”
“Saya tahu tuan Kiuchi. Saya siap menjalankan perintah selanjutnya…” kata Gapo pula.
“Saat ini juga kau harus berangkat ke pegunungan Shikoku. Temui datuk gila dunia persilatan si Nenek Muka Neko. Terangkan padanya apa yang aku mau. Lalu serahkan benda ini padanya…”
Dari balik kimononya, Yasuaki Kiuchi keluarkan sebuah benda panjang yang ternyata adalah seuntai besi aneh berwarna hitam yang sudah karatan. Pada kedua ujung rantai sepanjang lima jengkal ini terdapat jepitan berbentuk gelang tebal.
Gapo menerima rantai itu. Menurut taksirannya rantai itu memiliki berat paling tidak sekitar 25 kati.
Tetapi alangkah kagetnya kepala prajurit Shogun ini ketika dipegang ternyata benda itu ringan sekali. Sejak lama sebenarnya Gapo sudah mengetahui kalau Yasuaki Kiuchi menyimpan rantai aneh itu. Sudah sejak lama pula dia ingin memiliki benda ini karena kekuatan aneh yang tersembunyi di dalam rantai karatan itu dapat menjadikan rantai sebagai senjata sakti andalan. Gapo menerima rantai itu dengan tangan gemetar. Pikiran khianat merebak dalam otaknya.
“Kalau tak ada hal-hal lainnya, saya mohon diri,” kata Gapo pula.
“Ada satu hal yang perlu aku beri tahu,” ujar Yasuaki Kiuchi. “Orang-orangku melaporkan bahwa Hideo Yukawa, ayah bayi lelaki itu kemarin terlihat di Otsu. Selidiki apa yang dilakukannya. Kalau kau merasa tidak begitu suka padanya kau boleh membuat perhitungan sendiri!”
“Saya akan selidiki sekembali dari Shikoku,” jawab Gapo. “Apakah saya boleh pergi sekarang?”
Yasuaki Kiuchi mengangguk lalu berkata. “Jangan lupa mampir dulu di tempat si penyamak. Dia punya tugas untuk membalut sekujur tubuh dan kepala bayi itu dengan pembalut kulit. Benda itu kelak yang bakal memungkinkan terjadinya kegegeran besar di negeri Nihon ini!”
“Saya memang akan ke sana. Anak buah saya sudah menunggu di tempat tukang samak kulit itu,” ujar Gapo pula.
“Dan kau sudah tahu Gapo, apa yang harus kau lakukan terhadap orang itu begitu dia selesai membungkus dua bayi dengan pembalut kulit?”
“Saya tahu tuan Kiuchi,” jawab Gapo lalu melintangkan susunan jari tangan kirinya di leher dan membuat gerakan menyembelih.
“Kau boleh pergi sekarang,” kata Yasuaki Kiuchi. “Kembali dari pegunungan Shikoku kau bakal mendapat hadiah besar dariku…”
“Saya tidak mengharapkan hadiah apa-apa darimu tuan Kiuchi. Tapi jika tuan tidak marah, sebenarnya sudah lama saya berhasrat dengan salah seorang selirmu yang tak pernah datang-datang lagi kemari…”
“Heh, selirku yang mana?” tanya Yasuaki Kiuchi sambil usap-usap dagu dan senyum-senyum kecil.
“Maksud saya selir bernama Emiko itu…”
“Emiko… Emiko…?” Tiba-tiba meledaklah tawa Yasuaki Kiuchi. “Aku tidak tahu, rupanya sudah lama kau mengincar selirku yang gemuk tambun itu! Ha…ha…ha! Kau boleh mengambil babi gembrot berminyak itu Gapo! Kau boleh memakainya selama kau suka! Asal saja hidungmu cukup tahan pada bau ketiaknya! Ha…ha…ha!”
“Terima kasih tuan Kiuchi!” kata Gapo lalu membungkuk dalam-dalam.
Pegunungan Shikoku walaupun terletak di sebelah selatan, namun tingkat kedinginannya tidak kalah dengan pegunungan lain yang terletak di sebelah utara. Pagi itu di salah satu puncak pegunungan yang diselimuti salju kelihatan asap mengepul ke udara. Kepulan asap ini ternyata datang dari sebuah perapian yang ada di depan sebuah goa kecil.
Di depan goa duduk seorang nenek mengenakan mantel bulu beruang. Nenek ini memiliki tampang aneh karena wajahnya yang putih keriputan itu menyerupai wajah seekor kucing. Hidungnya kecil, bagian bawahnya ditumbuhi bulu-bulu halus. Mulutnya memiliki barisan gigi-gigi kecil serta lidah pendek merah. Kedua bola matanya berwarna kehijauan, dan di sebelah tengah ada bagian yang berbentuk seperti butiran gandum. Sepasang telinganya juga kecil, mencuat ke atas dan berbulu halus putih. Di udara yang sangat dingin itu setiap hembusan nafas si nenek membuat terjadinya kepulan kabut putih. Hampir setiap saat si nenek bermuka kucing mendongak ke udara sementara kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang menggumpal-gumpal salju membentuk bola sebesar kepalan.
“Hari aneh apa pula ini?” si nenek berkata. “Sedari tadi tak ada seekor burung pun yang lewat. Apa semua burung sudah pada mampus?!”
Baru saja si nenek berkata begitu, tiba-tiba ada seekor kucing mengeong di dekat mulut goa.
Astaga! Ternyata di situ ada dua ekor kucing putih yang sejak tadi duduk di belakang si nenek.
Binatang-binatang ini memiliki bulu yang sangat tebal, berbadan lebih besar dari kucing biasa.
Yang satu ada ikatan pita merah pada lehernya, yang seekor lagi berpita biru.
“Hus! Jangan berisik anak-anak! Nanti benar-benar tak ada burung yang lewat di tempat kita! Kalian berdua akan sengsara kelaparan!”
“Meong…. Meong….!”
“Anak-anak sialan!” si nenek memaki sambil menampar salju di tanah dengan tangan kirinya. Salju muncrat ke atas. Sebagian menghantam muka dua ekor kucing itu. Dua binatang ini mengeong keras lalu melompat ke atas bahu kiri kanan si nenek. Di sini keduanya duduk mendekam, tidak berani bergerak dan juga tidak berani bersuara.
Si nenek kembali mendongak ke langit. Tiba-tiba sepasang mata kucingnya memancarkan sinar.
Lehernya ditinggikan dan hidungnya bergerak-gerak.
“Ada rezeki datang…” kata si nenek muka kucing sambil menyeringai. Kedua tangannya sibuk menggumpal salju hingga berubah menjadi bola kecil sekeras batu. Saat itu tampak seekor burung hitam terbang tinggi di udara. Mulut si nenek kembali menyeringai. Dia tiba-tiba berdiri. Gumpalan bola salju digenggam di tangan kanan. Burung mulai mendekat. Si nenek membuat gerakan meliuk-liuk. Dua kakinya bergeser-geser kian kemari. Dua tangannya bergerak-gerak. Keadaannya saat itu tidak beda seperti seorang tengah menari. Mendadak tubuhnya melesat setinggi sepuluh kaki. Selagi melayang di udara, nenek ini membuat gerakan jungkir balik. Pada saat kepalanya berada di bawah di mana kedua matanya dapat melihat jelas langit di atasnya, dia keluarkan suara mengeong, lalu bola salju di tangan kanannya dilemparkan ke atas tanpa membidik sedikitpun!
Hebatnya, lemparan salju seperti asal-asalan itu tepat menghantam burung hitam yang sedang terbang di udara hingga pecah. Binatang ini langsung melayang jatuh ke tanah pegunungan yang tertutup salju tipis.
“Biru! Lekas kau ambil santapan pagi kita itu!” berkata si nenek muka kucing. Kucing salju berpita biru di bahu kirinya mengeong keras lalu melompat turun, lari dengan cepat ke tempat jatuhnya burung hitam tadi. Tak lama kemudian, kucing salju berbulu putih itu kembali pada majikannya si nenek bermuka putih seperti kucing sambil menggonggong burung hitam besar di mulutnya.
Burung ini diletakkan di hadapan si nenek.
Si nenek tiba-tiba saja unjukkan wajah kesal dan mau menangis. Tapi yang keluar dari mulutnya justru suara tawa mengekeh. “Meong… meong hik… hik.. hik! Nasib kita sialan betul hari ini Menunggu lama dengan perut keroncongan, dapat mangsa ternyata seekor burung pemakan mayat! Biru, putih, kau tahu kita berpantang makan burung nazar!”
“Meong…!Meong…!” dua ekor kucing putih mengeong seolah mengiyakan.
Si nenek membungkuk. Lalu dengan jari telunjuk tangan kirinya disentilnya burung hitam itu.
Sungguh luar biasa. Meski cuma menyentil, burung hitam itu mencelat jauh hingga akhirnya lenyap dari pandangan mata. Si nenek usap-usap kucing putih berpita merah yang masih nangkring di bahunya. “Kita terpaksa mencari ikan di telaga beku. Apa boleh buat. Kemarin ikan, sekarang ikan lagi…. Ayo Merah kau pimpin jalan. Cari bagian telaga berlapis es paling tipis…”
Kucing putih berpita merah di bahu si nenek melompat turun. Binatang itu berlari-lari di sebelah depan. Temannya si biru mengikuti dan di sebelah belakang baru si nenek yang mengenakan mantel dari bulu beruang. Tak berapa lama kucing merah hentikan langkah. Binatang ini mengendus-endus tanah berlapis es keras dan salju di hadapannya lalu melangkah berputar-putar sambil mengeong tiada henti. Hal ini rupanya sudah cukup pertanda bagi si nenek. Sambil berjingkat-jingkat dan senyum-senyum, perempuan tua ini bergerak ke bagian yang tadi diputari kucing berpita merah.
“Hemmm… memang di sini agak tipis lapisan es bekunya. Aku dapat merasakan…!” kata si nenek.
Lalu perlahan-lahan dia berjongkok. Mantel bulunya disingsingkan. Kepalanya didongakkan dan kedua matanya berkedap-kedip. Sesaat kemudian terdengar suara “Serrrrrr…!” Ternyata si nenek enak saja membuang hajat kecil alias kencing di tempat dia jongkok itu.
Selesai kencing si nenek bangkit berdiri lalu melangkah mundur berjingkat-jingkat. Di atas salju, air kencingnya yang hangat tampak mengepul begitu bersentuhan dengan lapisan salju dan lapisan es beku di bawahnya. Bau pesing menebar di tempat itu. Si nenek tertawa cekikikan lalu tekap hidungnya. “Gila tak kusangka kencingku bau sekali… Hik… hik… hik…!”
Air kencing yang hangat itu merembes ke bawah menembus salju dan lapisan es. Sesaat kemudian lapisan es itu kelihatan mencair, membuka bentuk lobang cukup besar. Di bawah lobang tampak genangan air. “Nah, kita tinggal menunggu anak-anak…!”
“Meong! Meong!”
Baru saja dua ekor kucing mengeong begitu, dari dalam lobang tiba-tiba mencelat seekor ikan besar. Lalu seekor lagi. Begitu berturut sampai tiga kali. “Cukup!” si nenek berkata lalu dengan kaki kanannya yang berkuku panjang menggeser tumpukan salju hingga menutupi lobang.
“Anak-anak, kita kembali ke goa. Aku khawatir terlalu lama api pembakar santapan akan mati.” Si nenek membungkuk mengambil seekor dari tiga ikan yang menggelepar-gelepar di atas salju. Dua ekor kucing putih masing-masing menggonggong seekor ikan lalu melangkah mengikuti si nenek.
Harum bau ikan panggang masih menggantung di udara walau ketiga ikan itu sudah amblas masuk ke dalam perut si nenek dan dua ekor kucing peliharaannya. Di depan goa si nenek duduk lonjorkan kaki. Dua ekor kucing duduk di pangkuannya. Sepasang mata si nenek kuyu seperti mengantuk.
Tiba-tiba kedua mata itu nyalang besar. Sepasang telinga kucing si nenek bergerak-gerak.
“Anak-anak kita akan kedatangan tamu. Entah siapa mereka aku tidak tahu…” Berucap si nenek.
“Meong! meong!” Telinga si nenek terus bergerak-gerak. Seolah dia melihat dengan telinganya. Mulutnya kembali bersuara.
“Mereka ada tiga orang. Yang satu membawa kereta berpeluncur besi ditarik beberapa ekor anjing besar. Dua lainnya memakai sepatu seluncur terbuat dari besi… Tapi aneh… Aku seperti mencium ada dua jalan pernafasan lagi di antara ketiga orang itu. Halus hampir tidak bersuara…”
“Meong! Meong!”
Tak lama kemudian si nenek buka kedua matanya. Bersamaan dengan itu di depannya dilihatnya apa yang tadi diucapkannya. Seorang tinggi besar mengenakan kopiah dan mantel bulu tebal mengemudikan kereta es di tarik enam ekor anjing es. Di bagian belakang kereta ini ada sebuah peti besar terbuat dari papan dilapisi seng tebal di sebelah luarnya. Dua orang lelaki bersepatu selancar es tampak di sebelah belakang kereta.
Tak lama kemudian rombongan itu sampai di hadapan si nenek dan dua ekor kucing. Anjing-anjing penarik kereta serta merta menyalak begitu melihat dua ekor kucing. Si biru dan si merah tak kalah beringas. Kedua binatang ini mengeong keras lalu melompat ke atas kereta, siap menyerang.
“Anak-anak, kembali ke sini!” berseru si nenek. Dua ekor kucing es dengan patuh melompat turun dan kembali ke dekat majikan tuanya itu.
“Kami mencari datuk dunia persilatan dikenal dengan panggilan nenek Neko alias nenek kucing. Kami rasa telah menemuinya…”
Si nenek tertawa lebar. Lelaki tinggi besar itu bergidik melihat lidah kecil merah dan barisan gigi-gigi yang tersusun kecil runcing persis gigi-gigi kucing. “Orang tinggi besar, terangkan siapa kalian!”
“Namaku Gapo. Kami datang membawa benda penting dan sangat rahasia…”
“Heh……benda-benda apakah itu?!” tanya si nenek sambil hembuskan nafas panjang hingga terlihat seperti ada asap yang mengepul keluar dari mulutnya.
Gapo mengambil peti besar yang ada di bagian belakang kereta. Peti ini diletakkannya di atas salju di hadapan si nenek lalu penutup peti dibuka. Begitu terbuka, dari dalam peti terdengar suara tangisan bayi. Si nenek sampai terlonjak saking kagetnya. Dua ekor kucing putih mengeong keras.
Si nenek ulurkan kepalanya memandang ke peti.
“Kalau mereka tidak menangis pasti kukira dua ekor anak babi siap panggang!” kata si nenek. “Muka tangan dan kaki serta badan di balut sejenis kulit yang tak lepas sebelum sepuluh tahun. Kalau di lepas sebelum itu, kulit dan dagingnya akan terkoyak!” Si nenek memandang pada Gapo lalu tertawa hingga kedua matanya basah. “Prajurit shogun! Kejahatan biadab macam apa yang kau tunjukkan padaku saat ini? Hik… hik… hik…!”
“Nenek Neko, ini bukan kejahatan atau kebiadapan. Ini justru satu percobaan yang bakal membuat namamu jadi menjulang dalam dunia persilatan!”
“Aku tidak mengerti!” si nenek tersengguk-sengguk.
“Kau ditugasi merawat dua bayi ini!”
“Merawat bayi? Gila! Dua orang pula! Aku tak pernah punya anak. Mana mampu! Bayi-bayi ini perlu susu!”
“Bagaimana kau merawat dan memberi makannya terserah. Dua bayi ini harus kau jadikan dua manusia bonsai yang memiliki kepandaian tinggi!”
“Aneh! Benar-benar gila! Tapi menarik! Tapinya lagi aku tak mau melakukannya!”
“Kalau begitu kau bakal mendapat kesulitan!”
“Aku tak pernah mengenal kesulitan dalam hidup ini!” jawab Nenek Neko.
“Kau berdusta pada dirimu sendiri!” kata Gapo.
“Eh, katakan siapa yang menugaskanmu!” si nenek menatap tajam pada Gapo.
“Yasuaki Kiuchi, saudara sepupu shogun yang tinggal di Otsu…” jawab Gapo.
Mendengar jawaban itu, wajah kucing si nenek mendadak berubah. Dari mulutnya terdengar suara halus seperti kucing mengeong perlahan. “Kalau kau berani menolak, kekasihmu Kamio Shikero tidak akan pernah kau temui lagi seumur hidupmu. Bukankah dia sudah mendapat pengampunan untuk dikembalikan padamu tujuh belas tahun di muka?”
“Katakan di mana dia sekarang? Di penjara mana dia dipendam?” bertanya Nenek Neko dengan suara ririh.
“Mana aku tahu. Kalau pun tahu, tidak akan kukatakan padamu!” jawab Gapo.
Nenek Neko terdiam. Wajah kucingnya tampak murung. Dari sepasang matanya meluncur turun tetesan air mata. Lalu wajah itu menyeringai. Seringai berubah menjadi senyum dan senyum disusul dengan tertawa mengekeh. Mula-mula perlahan kemudian semakin kencang. Tiba-tiba suara tawanya lenyap seperti di renggut setan. “Bayi-bayi ini, anak siapa mereka?”
“Kau tidak perlu banyak tanya. Ini tugas yang harus kau laksanakan!” jawab Gapo. Lalu pada si nenek diserahkannya secarik kertas. Nenek Neko memperhatikan kertas itu sekilas, kemudian dijatuhkannya ke pangkuannya. Gapo memberi isyarat pada dua temannya. Kedua orang ini lalu menurunkan sebuah peti dari belakang kereta es, diletakkan di depan si nenek .
“Peti apa pula ini? Bayi lagi!?!”
“Makanan dan minuman penghangat tubuh,” jawab Gapo.
“Dan ini tambahan hadiah dari majikanku Yasuaki Kiuchi!” lalu Gapo melemparkan sebuah kantong kain berisi uang ke pangkuan si nenek.
“Aku hidup di pegunungan Shikoku ini tidak perlu diberi makanan dan uang! Tak ada gunanya. Aku dan dua ekor kucingku bisa mencari makanan sendiri. Kalian bawa kembali peti berisi makanan dan minuman itu. Uang dalam kantong aku ambil. Bukan untukku, tapi untuk dua bayi yang menderita ini. Jika mereka berumur panjang uang itu mungkin ada gunanya bagi keduanya…”
“Terserah kau mau bilang apa,” kata Gapo puas, lalu dia memberikan tanda pada teman-temannya agar segera meninggalkan tempat itu.
“Kalian mau ke mana?” bertanya si nenek.
“Kembali ke Otsu!” jawab Gapo tanpa menoleh.
“Coba kau ingat, apakah tidak ada sesuatu yang ketinggalan?”
“Eh, apa maksudmu?” tanya Gapo. Dia memutar tubuh dan memandang berkeliling. Dan merasa heran karena memang tidak ada barangnya yang ketinggalan.
“Nek, apa maksudmu dengan pertanyaan tadi?” Gapo mengulang.
“Di atas kertas yang ada di pangkuanku tertulis bahwa kau membawa sebuah rantai. Dengan rantai itu aku ditugaskan mengikat lengan bayi-bayi ini. Aku belum menerima rantainya…”
“Hemmm… itu rupanya,” kata Gapo sambil menyeringai.
“Tuan Yasuaki Kiuchi membatalkan tugas yang satu itu. Dia lupa mencoret tulisan di kertas…
Bukankah begitu teman-teman?” Dua anak buah Gapo mengiyakan.
“Kau berdusta. Kalian berdusta! Serahkan rantai itu padaku! Aku tahu itu bukan benda sembarangan. Aku juga tahu kau ingin mencurinya, mengambilnya secara licik!”
“Dasar nenek sinting! Berani kau menuduhku seperti itu?” bentak Gapo.
“Aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Rantai itu terikat di pinggangmu, tersembunyi di balik kimono dan mantel tebalmu!”
“Tua bangka keparat! Kalau saja kau tidak diberi tugas penting mengurusi dua bayi itu oleh majikanku, saat ini mau rasanya aku merobek mulutmu, memecahkan batok kepalamu!”
“Aku lebih senang jika kau membunuhku detik ini juga!” kata si nenek. Bersamaan dengan itu dua ekor kucing mengeong keras.
“Aku tidak akan membunuhmu! Tapi dua ekor peliharaanmu ini biar kutebas sebagai hukuman kekurangajaranmu!”
Si nenek tertawa perlahan. “Prajurit-prajurit Shogun memang terkenal sombong tapi juga jahat dan culas. Berani kau mendekati dua ekor kucing itu kau akan terima hajaran yang menyakitkan dariku!”
“Aku akan laporkan tingkahmu pada tuan Yasuaki Kiuchi!” mengancam Gapo. Si nenek tertawa.
Sepasang matanya memancarkan sinar aneh ketika dilihatnya Gapo mencabut golok besar dari balik mantel tebalnya lalu melangkah mendekati dua ekor kucing. Dua ekor kucing ini segera mendekam merunduk, memandang galak pada Gapo.
“Wuttt!” Golok besar di tangan Gapo menderu. Bersamaan dengan itu tubuh si nenek yang sejak tadi duduk melunjur tiba-tiba melesat ke udara. Tangan kanannya membeset, bukan memukul tubuh Gapo atau memukul lengannya yang memegang golok, tapi justru dia memukul langsung badan golok yang dipegang kepala prajurit Shogun itu. “Traaakkk!” Golok besar kokoh itu patah dua dan terlepas dari pegangan Gapo. Gapo sendiri terkejut bukan alang kepalang hingga keluarkan seruan keras. Belum lagi seruannya habis si nenek gerakan tangan kanannya yang berkuku panjang. Lalu
“Trakk…! traakk!” Jari-jari tangan kanan Gapo berpatahan. Seruan kaget lelaki ini berubah menjadi jeritan kesakitan setengah mati.
Dua orang anak buahnya yang tadi diam saja kini ikut menyerbu sambil menghunus pedang. Si nenek berkelebat. Tangannya kiri kanan bergerak. “Traaakkkk! Traaakkk!” Tulang lengan kanan dua prajurit yang memegang pedang terdengar patah menggidikkan. Seperti Gapo, keduanya menjerit-jerit kesakitan. Ketiga orang ini lalu bergerak menjauhi. Gapo naik ke atas kereta es dan buru-buru hendak tinggalkan tempat itu. Dua anak buahnya segera meluncur mengikuti. Tapi tahu-tahu si nenek sudah lebih dulu melompat ke atas kereta.
Dia memandang menyeringai pada Gapo. “Aku bisa mematahkan kaki anjing-anjing penarik kereta, juga menghancurkan sepatu besi dua anak buahmu hingga kalian terpaksa pulang jalan kaki ke Otsu. Aku juga bisa mematahkan lagi jari-jari tanganmu sebelah kiri. Tinggal pilih. Atau sebaliknya kau serahkan rantai besi itu sekarang juga!”
“Keparat sialan!” rutuk Gapo. Dari balik mantelnya dikeluarkannya besi hitam karatan yang diterimanya dari Yasuaki Kiuchi, yang memang sebenarnya harus diserahkan pada si nenek. Nenek muka kucing tertawa hik-hik-hik menerima rantai besi itu. Lalu turun dari atas kereta es. Dia masih tegak berdiri sambil tertawa-tawa memperhatikan ketiga orang itu sampai akhirnya mereka lenyap di balik pedataran salju menurun.
Di atas kereta, Gapo memaki tiada henti di antara rintihannya. “Jahanam, tidak kusangka tua bangka keparat itu memiliki koppo (ilmu mematahkan tulang) begitu hebat. Aduh! Apakah tanganku bisa sembuh atau tidak? Tobat sakitnya…!”
Pasar di pusat kota Otsu menjadi ramai ketika dua makhluk aneh itu muncul bergandengan. “Lihat! Ada sepasang manusia katai!” seorang berseru seraya menunjuk.
“Hai! Ada manusia cebol!” seorang lainnya berteriak. “Bukan katai bukan cebol. Tapi manusia-manusia bonsai!”
“Lihat kuku-kuku jarinya. Panjang berkeluk!”
“Mereka pakai mantel bulu! Padahal di sini ada matahari, bukan tempat dingin! Ha… ha… ha!”
Sebentar saja puluhan orang telah mengerubungi apa yang mereka sebut sebagai sepasang manusia katai atau cebol atau bonsai itu. Di tengah kerumunan orang banyak, tegak seorang lelaki yang sosok tubuhnya hanya setinggi pinggul orang biasa. Wajahnya yang seperti anak-anak tampak merah oleh sengatan sinar matahari pagi. Rambutnya hitam dikuncir ke atas. Sekitar mulutnya ada garis-garis hitam dibuat dari sejenis cat hingga mukanya yang lucu itu seperti wajah seekor anak kucing. Dia mengenakan pakaian mantel panjang terbuat dari bulu beruang. Sepasang kakinya memakai kasut tebal terbuat dari kulit. Manusia cebol ini memelihara kuku panjang berkeluk. Pada pergelangan tangan kanannya ada sebuah benda berbentuk gelang tebal terbuat dari besi. Benda ini bersambungan dengan sebuah rantai besi berwarna hitam dan karatan. Bagian tengah rantai ini menjela menyentuh tanah. Setiap dia bergerak atau melangkah, besi yang menyentuh tanah keluarkan suara bergesek tanda benda itu berat sekali. Tapi si cebol ini mampu menggerakkan tangannya kian kemari seolah rantai itu enteng saja.
Ujung lain dari rantai yang juga dicantoli gelang besi bergelung di pergelangan tangan kiri manusia bonsai kedua. Yang satu ini ternyata seorang perempuan. Seperti kawannya, rambutnya dikuncir ke atas. Pipi dan bibirnya merah. Sekitar mulutnya ada garis-garis hitam. Bola matanya yang lucu memandang kian kemari. Dia mengenakan pakaian ringkas warna merah terang, lalu di atas pakaian ini dia memakai mantel bulu beruang. Kedua kakinya mengenakan kasut dari kulit dan kuku-kuku jari tangannya juga panjang berkeluk.
“Orang banyak!” manusia bonsai perempuan berseru. “Mengapa kalian mengerubungi kami?!”
Orang-orang yang mengelilingi dua manusia bonsai bersorak. “Yuumoa! Yuumoa! (lucu)” seru orang banyak. “Kalian berdua yuumoa!”
“Kami berdua Yuumoa?! Apanya yang lucu?!” tanya manusia bonsai perempuan. Orang banyak kembali berseru ramai.
“Anak-anak, kalian berdua ini terlepas dari mana?!” seorang lelaki muda berkepala gundul bertanya membuat orang banyak tertawa ribut.
Sepasang manusia bonsai saling pandang lalu ikut-ikutan tertawa tergelak-gelak. Suara tawa mereka aneh. Yang lelaki waktu tertawa keluarkan suara “Huk…huk…huk!” Sedang yang perempuan tawanya berbunyi “Hik…hik…hik!” Anehnya, sehabis tertawa mereka mengeluarkan suara seperti kucing. Meong… meong!
“Makhluk bonsai aneh!” pemuda gundul berkata lagi. “Muka dicat seperti kucing, kuku panjang-panjang lalu keluarkan suara meong! Tapi kalian bukan kucing kan?”
Orang banyak tertawa gelak-gelak. Si gundul melanjutkan. “Matahari ada di atas kepala kalian, udara di sini panas, tapi begonya kalian pakai mantel bulu segala!”
Manusia bonsai lelaki menunjuk ke arah si gundul yang tadi mengejek. Biasanya orang menunjuk dengan jari telunjuk tapi dia menunjuk dengan jari kelingking. Dan waktu menunjuk jari kelingking kiri itu sengaja digerak-gerakkan. “Hai gundul botak!” Manusia bonsai lelaki berkata dengan suara keras. Tapi tetap saja suaranya seperti suara anak-anak. “Kami ini bukan anak-anak tahu?! Usia kami berdua sudah hampir delapan belas tahun! Kalau ditambah, jadi tiga puluh enam. Betulkah hitunganku?! Huk…huk…huk! Meong!”
“Hik…hik…hik…! Meong!” Ikut tertawa manusia bonsai perempuan.
Orang ramai jadi tertawa riuh rendah. Saat itu semakin banyak orang datang mengerubungi.
Pemuda gundul tak tinggal diam. Dia segera menyahuti ucapan manusia bonsai lelaki tadi.
“Makhluk bonsai! Tidak sangka kau pandai berhitung! Apa kau juga pandai menari?!”
“Gerrrrrrrr!” Orang banyak kembali tertawa.
“Huk…huk…huk! Meong!”
“Hik…hik…hik! Meong!”
“Kalian berdua pasti datang dari daerah pegunungan! Sampai di kota tak mau melepas mantel! Jadi kalian rupanya kucing-kucing pegunungan!” Orang banyak kembali tertawa keras mendengar ucapan si gundul tadi.
Dua manusia bonsai ikut tertawa nyaring. Lalu masih sambil terus menunjuk dengan jari kelingking kiri yang digerak-gerakkan, manusia bonsai lelaki berkata, “Hai gundul botak! Aku dengar yang gundul itu biasanya biksu. Tapi aku tahu kau jelas bukan biksu! Karena baju dan badanmu bau! Huk… huk… huk!”
“Hik… hik… hik…!” manusia bonsai yang perempuan menimpali tawa temannya lalu menjulur-julurkan lidahnya pada pemuda gundul itu. Kemudian sambil memencet hidungnya seolah-olah menahan bau dia berkata, “Sudah gundul dan bau, tonggos lagi! Eh sudah begitu jerawatan pula. Mending jerawat biasa! Tapi jerawat batu! Hik… hik… hikkk!”
“Huk… huk… huk…!”
Langit di atas pasar itu seolah runtuh oleh suara tawa puluhan manusia yang berada di situ ketika mendengar apa yang dikatakan manusia bonsai perempuan. sementara pemuda gundul tadi wajahnya yang memang dipenuhi jerawat besar tampak menjadi sangat merah.
Seorang lelaki gendut yang berjualan daging babi di pasar itu sambil usap-usap perutnya yang melembung berkata, “Manusia cebol perempuan, kalau umurmu memang delapan belas berarti kau sebenarnya seorang gadis. Biar aku memanggilmu dengan sebutan nona cantik. Nah, nona cantik, walau temanku si gundul ini kau bilang tonggos dan jerawatan, tapi apakah kau mau kalau kulamar jadi istrinya?!”
“Gerrrrr!” Orang banyak semakin riuh. Si gundul sendiri keluarkan makian panjang pendek kepada si tukang daging. Tapi suaranya tenggelam tak terdengar oleh riuhnya orang sepasar tertawa.
“Orang di pasar ini rupanya tak ada kerjaan!” kata manusia bonsai lelaki. “Ayo kita pergi dari sini…!” Dia mengajak temannya pergi.
“Hai, kalian mau ke mana? Kalau mau pergi dekat-dekat saja aku bersedia menggendong!” si pedagang babi berseru.
“Kami lapar! Mau cari rumah makan! Di mana rumah makan yang enak di pasar ini?!” ujar manusia bonsai perempuan.
“Ah…!” si gendut usap lagi perutnya. “Kalau mau mencari rumah makan biar aku tunjukkan. Ikuti aku! Tapi kenalkan dulu diriku. Namaku Kukuno!”
“Nama jelek!” cibir manusia bonsai perempuan. “Apa kerjamu?! Jualan apa kau di pasar ini? Kulihat kau membawa pisau besar!”
“Aku pedagang babi…” jawab si gendut Kukuno.
“Pantas tampangmu seperti babi!” kata si bonsai perempuan, yang membuat orang banyak kembali bersorak tawa riuh rendah.
Si gendut Kukuno kelihatan merah mukanya tanda marah. Tapi marahnya ditahan saja. Dia menggerakkan tangan pada kedua manusia bonsai itu seraya berkata, “Kalian lapar. Mau makan enak! Ayo ikuti aku! Ada rumah makan bagus di belakang pasar, harganya murah.”
Begitu sepasang manusia bonsai melangkah mengikuti Kukuno, orang banyak yang ada di situ serta merta pula bergerak menuruti. Mereka tak ubahnya sebuah rombongan panjang yang tengah melakukan arak-arakan. Di belakang pasar ada sebuah tanah lapang kecil. Di ujung lapangan, berdiri sebuah bangunan kayu tak berdinding. Halamannya berpagar bambu. Bau busuk yang dibawa angin menyambar dari arah bangunan ini. Kukuno justru menyeberangi lapangan menuju bangunan. Dua manusia bonsai terus mengikuti. Sebaliknya orang banyak yang sudah tahu bangunan apa itu adanya bertanya-tanya apa sebenarnya yang hendak dilakukan pedagang daging babi itu. pemuda gundul jerawatan yang juga ada dalam rombongan tampak tersenyum-senyum.
Diam-diam dia sudah bisa menduga apa yang hendak dibuat Kukuno.
Si gendut Kukuno membuka pintu pagar lalu masuk ke dalam. Bangunan itu ternyata sebuah kandang babi yang cukup luas. Keadaannya selain sangat kotor juga busuk. Kotoran babi berhamparan di mana-mana. Bau busuk menyengat hidung merambas saluran pernafasan. Beberapa ekor babi jantan berlari-lari liar melihat begitu banyak manusia berada di tempat itu. Beberapa ekor babi betina asyik menyusui anak-anaknya yang masih merah-merah.
“Nah inilah rumah makan paling sedap di pasar Otsu!” kata Kukuno pada dua manusia bonsai yang tegak di sampingnya. “Bangunannya besar dan bagus. Di mana-mana ditaruh wewangian…” Sampai di situ baru mengerti apa sebenarnya yang diperbuat pedagang babi itu. Mereka semua riuh tertawa.
Sebaliknya, walau sadar kalau diri mereka dipermainkan, dua manusia bonsai malah ikut-ikutan tertawa.
“Dan itu…” kata si gendut Kukuno melanjutkan permainannya. Dia menunjuk pada kotoran babi
yang memenuhi kandang. “Itu semua makanan paling sedap. Kalian tinggal memilih. Mau makan tenpura (udang goreng) atau memilih sashimi (irisan ikan mentah) atau mungkin lebih suka yakizakana (ikan panggang)! Ha…ha… ! Silakan ambil sendiri. Makan sepuasnya dan tak usah bayar!”
Orang banyak tertawa tergelak-gelak melihat tingkah Kukuno sewaktu mengucapkan kata-kata tadi.
Sepasang manusia bonsai senyum-senyum dan saling pandang satu sama lain.
Yang laki-laki kedipkan matanya lalu berpaling pada Kukuno. “Sobatku gendut! Kau sangat baik hati pada kami. Telah membawa ke rumah makan yang begini besar dan bagus… Pelayannya cantik-cantik… Makanannya seperti katamu lezat sekali. Lalu kami boleh makan sepuasnya tanpa bayar, Kami benar-benar beruntung hari ini! Huk…huk…huk! Meong!”
“Hik…hik…hik! Kau betul, hari ini kita beruntung sekali!” menimpali manusia bonsai perempuan sambil menutup mulut dan tertawa cekikikan. “Tapi bagaimana kau bisa tahu kalau makanan di rumah makan ini sedap semua? Apa kau pernah mencoba?! Hik…hik…hik! Meong!”
Ditanya seperti itu si gendut Kukuno jadi melengak tak bisa menjawab. “Huk…huk…huk! Ah! Sobat baru kita ini rupanya cuma berdusta!” kata manusia bonsai lelaki.
“Kalau begitu tak ada salahnya kita undang dia makan sama-sama!” ujar manusia bonsai perempuan. “Hik…hik…hik! Meong!”
Lalu sambil memutar-mutar rantai yang mengikat lengan mereka, kedua manusia bonsai ini masuk ke dalam kandang. Tanpa rasa jijik sedikit pun mereka pergunakan tangan kiri untuk meraup kotoran babi yang ada di tanah lalu di dekatkan ke mulut seperti benar-benar mau melahapnya.
Orang banyak jadi tak bergeming melihat.
“Hai! Tunggu dulu!” seru manusia bonsai perempuan. “Kita diundang makan besar di rumah makan ini. Masak kita begitu tidak tahu diri dan tidak tahu sopan. Sobat kita yang mau membayar tidak ditawari? Hik…hik…hik!”
“Huk…huk! Kau betul! Kita telah berlaku kurang ajar pada sobat gendut kita. Ayo kita persilahkan dia makan duluan!” jawab manusia bonsai lelaki. Lalu sebelum Kukuno sadar apa yang akan terjadi, kedua manusia bonsai itu melompat kearahnya. Dua tangan berkelebat ke mulut si gendut.
Dua tumpukan kotoran babi masuk ke dalam mulut itu. Saat itu juga Kukuno berteriak tercekik lalu
“Huekkk…!” Pedagang babi ini terlipat ke depan dan muntah besar!
Orang banyak yang melihat kejadian itu mau tertawa bergelak tapi jadi kecut ketika dua manusia bonsai dengan cepat meraup lagi masing-masing setumpuk kotoran babi. “Sobatku gendut?
Bagaimana rasanya? Sedap bukan…?” kata manusia bonsai perempuan.
“Kalau mau tambah silakan makan lagi. Ini…!” manusia bonsai lelaki melangkah mendekati Kukuno.
Pedagang babi gendut berteriak keras sambil goyang-goyangkan tangan kiri dan tutup mulutnya dengan tangan kanan. “Ah! Sudah kenyang dia rupanya! Huk…,huk…!”
“Hik…hik! Kalau begitu harus kita tawarkan pada yang lain. Masakan kita bersantap enak-enakan sedang di sini banyak para sahabat yang ikut mengantar!”
Orang banyak yang ada di tempat itu sesaat jadi mundur. Mereka tentu saja tidak takut pada dua manusia cebol itu. Tapi kalau sempat mereka dibuat seperti Kukuno, atau paling tidak, tubuh dan pakaian mereka belepotan kotoran babi, siapa mau ambil risiko?
“Huk…huk!”
“Hik…hik!”
Dua manusia bonsai berkelebat kian kemari. Keadaan di tempat itu menjadi ramai kacau balau.
Semua orang berlarian. Namun banyak di antara mereka yang tak sempat menghindar. Akibatnya, pakaian, bahkan tubuh atau muka mereka habis kena diselomoti kotoran babi. Pemuda gundul paling banyak dapat bagian. Wajah sampai kepalanya yang plontos kelihatan tertutup tahi babi.
Beberapa orang yang kebagian kotoran babi tampak marah. Mereka beramai-ramai menyerbu dua manusia bonsai untuk melayangkan tendangan serta jotosan. Sesaat kemudian terjadilah hal yang tidak diduga. Dua manusia bonsai berkelebat kian kemari sambil tertawa hu-hu hi-hi. Siapa saja yang menyerang mereka pasti mendapat balasan tendangan kaki, pukulan atau hantaman rantai besi.
Beberapa orang tersungkur atau terlentang di atas tanah kandang yang penuh kotoran.
“Kalian mundur semua!” tiba-tiba si gendut Kukuno berteriak. Golok besar berbentuk empat persegi yang dipergunakannya untuk memotong daging babi dan sejak tadi terselip di pinggang kini terhunus di tangannya. Semua orang serentak mundur.
“Cincang keduanya Kukuno!”
“Jagal kepala mereka!” teriak yang lain. Kukuno melompat. “Wuttt!” Golok penjagal babi di tangannya melesat. Tapi hanya mengenai tempat kosong karena dua manusia bonsai lebih dulu melompat ke belakang.
Dengan beringas Kukuno lancarkan serangan lagi. Masih gagal. Dia kembali menyerbu. Goloknya bersuitan di udara tapi tak satu pun serangannya mengena. Ketika dengan kalap dia babatkan goloknya ke depan, dua manusia bonsai melompat seolah dengan sengaja menyongsong sambaran golok. Tubuh mereka melesat satu ke kiri satu ke kanan. Bersamaan dengan itu tangan mereka yang terkait rantai hitam karatan menggebrak ke atas.
“Trang!” Golok babi di tangan Kukuno mental patah dua. Selagi si gendut terkesiap kaget. Tahu-tahu dua manusia katai sudah hinggap di bahunya kiri kanan. Rantai besi mereka jeratkan ke leher pedagang daging babi itu hingga matanya mendelik dan lidahnya terjulur keluar!
“Huk…,huk! Meong!”
“Hik…hik! Meong!”
Dua tangan menepuk bahu manusia bonsai lelaki dan perempuan. Lalu di belakang mereka ada orang berkata. “Sobatku! Jika kalian terus mencekik lehernya dengan rantai itu, si gendut ini bakal mati! Kalian bisa susah nantinya!”
Dua manusia bonsai tadinya tidak peduli. Tapi suara orang yang bicara terdengar aneh dialeknya.
Mereka berpaling. Yang perempuan lantas berkata pada temannya. “Ada orang asing berambut gondrong! Suara laki-laki tapi berambut panjang seperti perempuan! Hik… hik… hik! Meong!”
“Mukanya lucu, pakaiannya juga lucu! Huk… huk… huk! Meong!”
Orang yang menegur tertawa lebar. “Lihat! Nafasnya mau keluar dari badan! Mukanya sudah biru! Huk… huk…huk! Meong! Hik… hik…hik! Meong!” orang yang barusan menegur menirukan tawa dan suara meong dua manusia bonsai hingga keduanya jadi tertawa tergelak-gelak.
Manusia bonsai lelaki kemudian berkata. “Gondrong! Siapa bilang kami mau membunuh si gendut ini! Kami justru mau bertanya padanya!” Dengan tangan kirinya manusia bonsai lelaki usap-usap pipi Kukuno yang memang sudah kelihatan membiru. Jeratan pada lehernya dikendorkan sedikit.
Kukuno cepat-cepat menghirup udara segar. “Gendut. aku perlu keterangan darimu. Di mana aku bisa menemukan seseorang bernama Gapo? Turut keterangan dia seorang tentara berkedudukan cukup tinggi…”
Paras Kukuno yang kebiruan tampak berubah. Orang banyak juga terkejut ketika mendengar si manusia bonsai lelaki ini bertanya begitu. Seolah kini ada sesuatu yang ditakuti, mereka bersurut mundur. Kukuno sendiri tampaknya tak mau menjawab. Maka manusia bonsai lelaki kencangkan kembali jeratan lehernya.
“Jang… jangan…” ujar Kukuno. Suaranya mendesis. “Apa… apa hubunganmu dengan orang yang kau tanyakan?”
“Kami membawa pesan untuknya…” yang menjawab manusia bonsai perempuan.
“A… ku tak bisa memberi… tahu…” Jeratan rantai mengencang. Lidah Kukuno terjulur panjang.
Kedua tangannya digoyang-goyangkan. Nafasnya terengah-engah.
“Sekarang kau mau bicara?” tanya manusia bonsai lelaki. Kukuno mengangguk-angguk dengan susah payah. “Nah, ayo bicara!” rantai mengendur, malah setengah dilepas. Kukuno usap-usap lehernya yang kelihatan bertanda merah. Lalu dia mulai bicara.
“Orang yang kalian tanya… Dia salah satu pejabat tinggi di istana Shogun.”
“Kau tahu Shogun banyak istananya. Pejabat bernama Gapo ini berada di istana yang mana?”
“Nara…” jawab Kukuno meringis. “Lepaskan rantai ini…”
Dua manusia bonsai melompat turun ke tanah. Begitu lepas dari jeratan rantai, Kukuno serta merta putar tubuh. Orang banyak bergerak bubar. Salah seorang di antaranya pemuda berkepala gundul tadi. Dia menyelinap di antara orang banyak, melintasi tanah lapang dan lenyap di keramaian.
Di kandang babi itu kini hanya tinggal dua manusia bonsai dan pemuda berambut gondrong berpakaian putih.
“Kalian berdua masih lapar…” tiba-tiba si pemuda bertanya.
“Gaijin ini, mengapa kau masih di sini?” tanya manusia bonsai lelaki.
“Aku ingin berteman dengan kalian. Aku barusan tanya apakah kalian masih lapar?”
“Tentu saja kami lapar!” jawab manusia bonsai perempuan. Dia menyentakkan rantai yang mengikat lengan kirinya. “Ayo kita cari sendiri rumah makan!”
“Tangan dan pakaian kalian kotor begitu! Mana ada rumah makan yang mau menerima?!”
Mendengar ucapan si pemuda asing, dua manusia bonsai perhatikan tangan dan pakaian masing-masing.
“Gaijin, kau betul, kami kotor…”
“Dan bau!” sambung si pemuda. Dua manusia bonsai tertawa hu-hu hi-hi.
“Di dekat sini ada sebuah anak sungai. Dangkal dan jernih. Kalian bisa membersihkan diri di sana…” Habis berkata begitu si pemuda terus saja ngeloyor.
Dua manusia bonsai mengikuti sambil berbisik-bisik. “Gaijin, menurut temanku ini kau orang baik pertama yang pernah kami temui. Siapa namamu? Dari mana asalmu?” bertanya manusia bonsai perempuan.
“Namaku Wiro Sableng. Aku datang dari negeri seribu pulau…” menyahuti si pemuda.
“Seribu pulau? Wah, banyak amat! memangnya ada orang yang pernah menghitung segitu banyak?!” ujar manusia bonsai perempuan lalu tertawa cekikikan.
Si pemuda garuk kepalanya lalu bertanya. “Kalian sendiri punya nama?”
“Aneh kau ini Gaijin…. Setiap manusia tentu punya nama, termasuk kami. Walau cuma punya nama jelek!” jawab manusia bonsai perempuan. “Aku Tsuki dan kawanku ini Taiyo.”
“Kalau tidak salah, Tsuki artinya bulan, dan Taiyo artinya matahari…”
“Kau pandai Hik… hik!” memuji manusia bonsai perempuan bernama Tsuki. “Tadi siapa namamu? Wiro Sa…?”
“Wiro Sableng,” menjelaskan murid Sinto Gendeng.
“Apa ada artinya itu? Wiro apa, Sableng apa?” bertanya lagi Tsuki.
“Wiro kira-kira artinya satria atau perkasa…”
“Wah hebat! Kau seorang perwira perkasa. Tapi berambut panjang seperti perempuan. Hik…hik!” ujar Tsuki.
“Lalu Sableng itu artinya apa?” tanya manusia bonsai, yang melihat pada umurnya merupakan seorang gadis remaja.
Mendengar pertanyaan itu, Wiro jadi garuk-garuk kepala. “Aku tidak tahu mengapa guruku memberi nama begitu. Sableng artinya kichigai…”
“Apa? Kichigai? Sinting alias gila?!” kata Taiyo setengah berseru lalu pemuda cebol ini tertawa tergelak-gelak.
“Kalau begitu kau sama dengan kami dan sensei kami!” kata Tsuki pula.
“Sama bagaimana?” tanya Wiro.
“Kami punya sensei orangnya sinting. Kami murid-muridnya, dengan sendirinya jadi ikut-ikutan sinting alias gila alias sableng! Hik..hik..hik! Meong!”
“Meong!” balas Wiro.
Ketiga orang itu sama-sama tertawa riuh.
Wiro sampai di sebuah tempat ketinggian berbatu-batu. Dia menunjuk ke bawah. “Itu sungainya,” katanya.
Tsuki dan Taiyo memandang ke bawah. Kira-kira dua puluh langkah di bawah sana kelihatan sebuah sungai kecil berair jernih. “Kita mandi!” seru Taiyo.
“Mandi…! Hik, hik… Meong!”
Lalu di luar dugaan Wiro, kedua manusia bonsai itu membuka mantel dan seluruh pakaian di bawah mantel itu hingga keduanya kini bertelanjang bulat. “Gila! Bagaimana ada manusia tidak punya malu seperti mereka ini!” ujar Wiro sambil geleng-geleng kepala. Diperhatikannya bagian bawah perut kedua manusia bonsai itu. Apa yang dilihatnya membuat Wiro membatin. “Keduanya memang bukan anak-anak. Mereka sudah punya rumput Jepang!” Wiro jadi tertawa lebar.
“Hai, kau kenapa tidak buka pakaian?!” Taiyo bertanya enak saja.
“Eh, aku… sudah mandi!” jawab Wiro garuk-garuk kepala.
“Kalau begitu, kau terpaksa kami tinggal!” Dua manusia bonsai itu mengambil pakaian yang barusan mereka buka. Ternyata baik mantel maupun pakaian memiliki kancing-kancing khusus di salah satu sisinya, hingga walau ada rantai yang menghalang, mereka bisa menanggalkannya tanpa kesulitan.
Selagi Wiro tercengang-cengang melihat perbuatan kedua orang itu, Tsuki dan Taiyo keluarkan seruan panjang. Lalu tubuh keduanya melesat ke udara, di lain saat menukik turun ke bawah sambil melemparkan pakaian-pakaian mereka ke tebing sungai. “Byuuur! Byuuur!”
Dua tubuh cebol itu mencebur ke dalam sungai. Lalu terdengar suara pekik-pekik mereka seperti anak-anak penuh gembira bermain di air. “Dua manusia bonsai…” ujar murid Sinto Gendeng yang memperhatikan dari tempat ketinggian. “Mereka kelihatan lucu-lucu. Polos. Di balik kelucuan dan kepolosan itu ada sesuatu yang aneh. Keanehan gila berbahaya! Mereka bisa sangat baik seperti malaikat, tapi juga bisa ganas seperti iblis! Mereka bukan manusia-manusia biasa! Jelas mereka memiliki kepandaian tinggi. Paling tidak, mereka barusan telah memperlihatkan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa! Dan rantai besi karatan itu bukan besi rongsokan. Siapa kedua orang cebol ini sebenarnya…?! Mengapa tangan mereka diikat satu sama lain?”
Tsuki dan Taiyo ternyata bukan cuma mandi sambil bermain. Keduanya juga sibuk mencuci mantel dan pakaian lalu menjemurnya di atas batu-batu di pinggir sungai. Akibatnya, Pendekar 212 terpaksa menunggu lama dan tidak terasa jatuh tertidur. Wiro tidak tahu berapa lama dia pulas di tempat itu dan tersentak bangun ketika Taiyo dan Tsuki mengambil rumput dan mengilik telinganya kiri kanan!
“Kalian ini apa-apaan?! Hampir kutinggal pergi. Mandi saja begitu lama!” Wiro mengumpat.
“Kami bukan cuma mandi. Tapi juga mencuci pakaian lalu menjemur! Enak sekali tidurmu sampai ngorok keras!” kata Tsuki.
Wiro menggeliat lalu berdiri. “Kau bilang barusan mandi, tapi kulihat mukamu dan muka Taiyo masih celemongan. Cat hitam itu masih ada di sekitar muka. Mengapa kalian mencat wajah seperti itu?”
Ketiga orang itu melanjutkan perjalanan sambil ngobrol. “Guru kami yang mengecatnya, kami cuma mengikut. Cat seperti kumis-kumis kucing ini tidak mudah luntur kalau tidak pakai minyak khusus. Minyak itu cuma guru yang memiliki.”
“Gurumu tentunya seorang aneh tapi punya ilmu tinggi. Siapa dia? Tinggal di mana?”
“Dia seorang nenek datuk persilatan di Nihon ini. Siapa namanya kami tidak tahu. Dia dikenal dengan panggilan Nenek Neko. Artinya nenek kucing. Mukanya putih dan memang seperti kucing.
Dia tinggal di pegunungan Shikoku. Sejak masih orok, kami sudah diambilnya jadi murid…”
“Sejak orok? Lalu… Apa kalian sudah tahu siapa orang tua kalian?” tanya Wiro.
Dua wajah manusia bonsai kelihatan murung menjadi sedih. Mereka menggeleng perlahan. “Kalian ini adik kakak, atau kembar, atau bagaimana?”
“Kami tidak tahu, tapi guru menduga kami berdua tidak ada pertalian darah…” menerangkan Tsuki.
“Sungguh aneh diri kalian ini. Kalian tidak tahu siapa diri kalian sebenarnya…”
“Sampai saat ini kami memang tidak tahu siapa diri kami sebenarnya. Siapa orang tua kami. Tapi menurut guru, ada seorang yang mengetahui. Namanya Gapo.”
“Gapo, yang kau tanyakan pada si gendut pedagang babi itu?”
“Betul!” jawab Taiyo. “Menurut guru, dialah yang sekitar tujuh belas tahun lalu mengantarkan kami ke tempat guru di pegunungan Shikoku…. Itu sebabnya kami harus mencari orang bernama Gapo itu. Dulu dia tinggal di Otsu ini. Tapi menurut si gendut itu, Gapo sudah menjadi pejabat tinggi dan tinggal di Nara. Kami akan ke sana…”
“Kelihatannya memang dia yang tahu asal usul kalian. Lalu bagaimana sampai kalian memiliki tubuh katai cebol seperti ini? Apa sejak lahir sudah begini?”
“Menurut guru, waktu Gapo membawa kami ke Shikoku, tubuh kami sudah dibalut dengan sejenis kulit yang tak mungkin dilepas sebelum sepuluh tahun berlalu. Kalau dipaksa membukanya, maka daging di tubuh kami akan ikut koyak terkelupas…”
“Berarti ada seseorang yang sengaja membalut tubuh kalian. Dengan maksud tidak baik tentunya!” kata Wiro pula.
“Semua rahasia kehidupan kami ada pada pejabat di Nara bernama Gapo itu…”
“Turut apa yang aku dengar, Gapo bukan seorang pejabat baik-baik. Sifatnya culas dan hatinya jahat. Dia pemeras rakyat, perampas harta orang lain, perampas anak gadis dan istri orang. Gundiknya tidak terhitung… Kalian harus berhati-hati.”
“Mengapa harus hati-hati? Kami tidak berniat jahat terhadapnya. Hanya ingin mencari keterangan.”
“Aku punya dugaan Gapo ikut bertanggung jawab atas keadaan diri kalian…”
“Kalau itu benar, kami akan bunuh dia!” kata Tsuki pula. Wajahnya yang lucu mendadak berubah menyeramkan. “Tapi kalau Gapo orang jahat, mengapa penguasa tidak menegur atau menghukumnya?”
Wiro tertawa. “Gapo itu kepercayaan dan tangan kanan seorang pejabat tinggi di Kyoto bernama Yasuaki Kiuchi. Orang ini adalah saudara sepupu shogun yang berkuasa di negeri ini! Siapa yang berani menindak Gapo!”
“Yasuaki Kiuchi! Untung kau sebut nama itu! Menurut sensei, orang ini ada sangkut pautnya dengan apa yang dilakukan Gapo!” kata Tsuki setengah berseru.
“Kami juga akan cari manusia satu itu! Membunuhnya jika dia memang punya andil penyebab segala derita lahir batin diri kami ini…” berkata Taiyo.
“Guru juga memberi tugas agar kami mencari seorang bernama Kamio Shikero…” menerangkan Tsuki.
“Siapa orang itu?” tanya Wiro.
“Kekasih guru di masa muda. Sekarang kabarnya dipenjarakan di satu tempat tidak diketahui. Selama ini dirinya yang menjadi ganjalan hingga guru, walaupun berkepandaian tinggi tak berbuat banyak. Yasuaki Kiuchi kabarnya mengancam kalau guru berbuat macam-macam, maka dia tak bakal dapat lagi bertemu dengan Kamio Shikero kekasihnya itu…”
Apa yang terjadi di kandang babi milik pedagang Kukuno tersiar cepat di seluruh Otsu, termasuk di rumah makan Puri Rembulan. Karenanya, tidak mengherankan ketika Tsuki dan Taiyo yang ditemani Wiro datang ke tempat itu, para pelayan segera menolak. Mereka tidak mau terjadi kekacauan.
“Aneh, ada rumah makan menolak tamu!” ujar pendekar 212 jengkel.
“Ani Wiro…” kata Tsuki. Dia memanggil Wiro dengan sebutan “ani” yang berarti kakak, karena sudah merasa dekat dengan sang pendekar walau belum lama saling kenal.
“Mereka menolak karena melihat kami berdua cebol jelek begini. Menghina betul! Tapi tidak apa. Kita berdiri saja di luar sini. Aku bersumpah suatu hari rumah makan ini tak bakal ada pengunjungnya!”
“Eh, apa yang hendak kamu lakukan Tsuki?” tanya Wiro, sementara Taiyo diam anteng-anteng saja.
“Aku akan halangi semua tamu yang datang! Gampang saja bukan? Hik…hik! Meong!” jawab Tsuki lalu tertawa cekikikan. Seorang lelaki separuh baya berpakaian bagus dan berambut kelabu muncul di pintu rumah makan. Dia adalah Susumu, pemilik rumah makan. Sesaat dia menatap pada Wiro lalu memperhatikan dua manusia bonsai.
“Kalian berdua telah membuat keonaran di pasar kota. Aku juga tidak mau kalian berdua macam-macam di tempat ini. Aku harap kalian segera pergi. Bawa serta teman kalian orang asing berambut gondrong ini!”
Tsuki kedip-kedipkan matanya. “Meong! Hik..hik! Tuan berambut kelabu, siapa kau ini?” gadis cebol ini bertanya.
“Aku Susumu, pemilik rumah makan!” Mendadak pendekar 212 tertawa mengakak. Membuat Susumu dan Tsuki serta Taiyo jadi terheran-heran.
“Eh, kenapa kamu tertawa…?” tanya Taiyo.
“Di negeriku, Susumu itu berarti tetek atau payudaramu! Lucu juga nama orang ini!”
Wajah pemilik rumah makan kelihatan merah padam sedang Tsuki dan Taiyo tertawa gelak-gelak
“Kuharap kalian suka pergi. Atau aku akan panggil petugas keamanan untuk mengusir dengan kekerasan…!”
“Sudahlah kawan-kawan. Kita pergi saja. Buat apa lama-lama di tempat ini. Dia punya makanan yang belum tentu enak. Kita punya uang! Cari saja rumah makan lain!” Kata Taiyo. Lalu dari balik mantel bulunya dikeluarkannya dua buah kantong berisi uang yang diterimanya dari Nenek Neko.
Dari dalam dua kantong kain terdengar suara berdering.
“Aku sumpahi rumah makanmu tidak laku!” teriak Tsuki.
Melihat dua kantong uang di tangan Taiyo, pemilik rumah makan jadi berubah pikiran. Sepagi itu belum ada tamu pun yang datang. Dua kantong di tangan si cebol pasti berisi uang banyak sekali.
Apa salahnya menerima mereka? “Hai tunggu dulu!” Susumu berkata cepat ketika ketiga orang itu dilihatnya hendak melangkah pergi. “Jika kalian berjanji tidak membuat keributan di sini, aku sudi mempersilakan kalian istirahat di dalam dan bersantap.”
“Siapa yang mau membuat keributan? Kami ke sini mau cari makan dan bayar!” jawab Taiyo seraya acungkan dua kantong kain di tangannya. Suara dering uang dalam kantong semakin enak terdengar di telinga Susumu.
“Taiyo, orang ini sudah dengar apa yang terjadi di kandang babi! Itu salah si gendut Kukuno dan orang banyak! Mereka menganggap kami ini seperti binatang saja. Masakan kami disuruh makan kotoran babi!” kata Tsuki dengan wajah dicemberutkan.
“Kalian bertiga boleh masuk. Silakan masuk!” kata susumu.
Tsuki, Taiyo dan Wiro saling pandang. Sambil senyum-senyum ketiganya akhirnya masuk ke dalam rumah makan. Mereka sengaja memilih tempat di ruangan tengah yang luas. Semua orang di dalam rumah makan itu jadi sibuk melayani. Tak lama kemudian minuman dan makanan yang dipesan segera dihidangkan. Tsuki dan Taiyo menungging-nungging menciumi makanan yang sedap baunya itu.
“Ayo! Tunggu apa lagi! Ini makan besar namanya!” kata Taiyo. Tiga orang itu segera bersantap sementara Susumu dan beberapa pelayan memperhatikan dari kejauhan. Mereka senyum-senyum geli melihat cara makan manusia cebol itu. Kalau Wiro makan wajar-wajar saja, maka Tsuki dan Taiyo membabat semua makan itu dengan rakus seperti dua orang kelaparan satu minggu bertemu makanan lezat. Dalam waktu sebentar saja semua makanan dan minuman yang ada di hadapan mereka habis amblas!
“Hai! Siapkan lagi makanan sama minumannya! Yang banyak! Jangan kuatir semua kami bayar!” kata Taiyo. Walaupun terheran-heran, Susumu segera memerintah pelayan menyiapkan makanan baru. Tak lama kemudian hidangan datang. Dua manusia bonsai langsung menghantamnya.
Keduanya seperti balapan.
“Ani Wiro, kau tidak makan…?” tanya Tsuki melihat Wiro hanya menjulurkan kaki.
“Aku sudah kenyang,” jawab Pendekar 212. “Ah, tubuhmu saja yang besar tapi perut kecil! Lihat kami, tubuh boleh kecil tapi perut musti besar! Hik…hik…hik! Meong!”
Murid Sinto Gendeng hanya bisa gelengkan kepala. Ketika pesanan kedua itu habis, dia menyangka dua manusia bonsai akan terduduk kekenyangan. Ternyata tidak. Taiyo kembali berteriak minta disiapkan lagi hidangan baru, malah lebih banyak! Pemilik rumah makan dan semua pelayan yang ada di situ, termasuk Wiro sendiri, tentu saja jadi melengak heran. Dua manusia katai makan sebanyak itu. Masuk ke mana semua makanan itu? Dua kali pesanan yang mereka santap tadi yang seharusnya selusin tamu! Wiro sendiri mulai berpikir-pikir jangan-jangan dua manusia bonsai sebangsa makhluk jejadian atau tuyul!
Selagi Tsuki dan Taiyo asyik menyantap hidangan ketiga, tiba-tiba di luar sana lima orang berseragam prajurit kota muncul. Yang sebelah depan begitu melihat Tsuki dan Taiyo segera saja membentak. “Kalian berdua di sini rupanya! Sedang enak-enakan makan!”
Tsuki cuma melirik lalu terus makan tak acuh. Sebaliknya Taiyo teguk minumannya. Sambil menyeka bibirnya dia bertanya. “Kami memang lagi makan. Memangnya kenapa? Mau ikutan? Tapi bayar sendiri! Huk… huk… huk! Meong!”
“Manusia cebol kurang ajar!” teriak prajurit di sebelah depan dengan muka merah padam. Empat kawannya juga tampak marah. “Kami datang untuk menangkap kalian! Tahu?!”
“Mana kami tahu!” jawab Tsuki konyol lalu tertawa tergelak-gelak.
Wiro menengahi dengan bertanya. “Apa salah dua kawanku ini hingga kalian hendak menangkap mereka?”
“Hem… jadi kau kawan kedua monyet katai ini! Bagus! Berarti kau juga kami tangkap! Ikat mereka dan bawa!”
Empat orang prajurit segera maju. Masing-masing membawa segulung tali. Wiro segera bangkit berdiri dan menghadang. “Tunggu dulu. Kau belum memberitahu apa salah kami!”
Dengan beringas prajurit yang ditanya menjawab. “Kau membuat keributan di pasar. Mencederai beberapa orang dan merusak harta orang!”
“Keributan di pasar memang betul. Tapi kami tidak mencederai siapapun. Teman-temanku ini hanya menyuapkan sedikit makanan dan memupuri orang-orang yang berlaku kurang ajar mempermainkan mereka. Juga tidak ada harta orang yang kami rusak!”
“Orang asing! Kau duluan yang aku tangkap!”
“Aku akan mencambukmu sampai seratus kali biar tahu diri!” Habis berkata begitu, prajurit ini ayunkan tangan untuk menggebuk Wiro pada bagian kepalanya. Murid Sinto Gendeng cepat merunduk lalu mundur. Si prajurit menjadi kalap karena hantamannya tadi tak menemui sasaran.
Dia kembali memburu dengan pukulan tangan kosong. Lagi-lagi gagal. “Keparat! Biar kuhabisi saja kau sekarang juga!” teriak prajurit itu marah lalu hunus samurainya. Kali ini Pendekar 212 tak bisa mengelak terus. Begitu pedang membabat di atas kepalanya, murid Sinto Gendeng membuat gerakan berputar. Kaki kirinya mencuat ke atas. “Bukkk!”
Kaki kiri Wiro menghantam rahang kanan prajurit itu dengan telak. Tubuhnya terlempar empat langkah lalu terbanting pingsan ke lantai rumah makan. Mukanya tepat jatuh di atas sebuah piring besar berisi sisa-sisa bumbu cabe.
“Jangan membuat keributan di sini! Jangan membuat keributan di sini!” Yang berteriak adalah
Susumu si pemilik rumah makan. Tapi agaknya tak ada yang peduli pada teriakannya. Sementara itu empat prajurit sudah membuka gulungan tali dan siap mengikat Tsuki dan Taiyo.
“Ani Wiro!” berseru Tsuki. “Kami berdua belum selesai makan. Tak ada waktu untuk melayani empat cecunguk yang mengganggu ini! Tolong kau layani dulu mereka!”
Empat prajurit cepat bergerak hendak mengikat Tsuki dan Taiyo, namun gerakan mereka tertahan.
Satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu empat utas tali itu telah melingkar mengikat tubuh mereka masing-masing mulai dari tangan sampai ke kaki! Karena keempatnya meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan dan tak berhasil, empat prajurit ini akhirnya jatuh bergedebukan di lantai rumah makan. Tentu saja mereka berteriak marah dan memaki habis-habisan.
“Taiyo, aku tidak suka mendengar suara nyanyian mereka!” berkata Tsuki sambil melahap sepotong daging.
“Sama!” jawab Taiyo. Lalu tangan kiri Taiyo dan tangan kanan Tsuki bergerak dua kali. Terdengar suara “Hekkk…!” Empat kali berturut-turut, Teriakan dan caci maki empat prajurit langsung berhenti. Di dalam mulut mereka menyumpal potongan daging campur tulang!
“Ah! Aku sudah kenyang!” kata Taiyo sambil meletakkan guci sake di lantai.
“Aku juga!” kata Tsuki. Taiyo berpaling pada Wiro. “Kita pergi sekarang”
“Ada baiknya sebelum muncul lagi urusan baru!” sahut Wiro. Taiyo lalu melangkah mendekati Susumu. Pada pemilik rumah makan ini dia menyerahkan uang pembayar semua makanan. Menurut Wiro, uang yang dibayarkan itu cukup, malah berlebihan karena salah satu dari mata uang itu terbuat dari emas.
Tapi Susumu tiba-tiba berteriak marah. “Gara-gara kalian rumah makanku jadi rusak. Lalu enak saja kalian membayar semurah ini! Semua hidangan dan minuman yang kalian santap mahal harganya! Serahkan dua buah kantong itu padaku baru lunas!”
Wiro melangkah mendekati pemilik rumah makan itu lalu berkata. “Uang dalam dua kantong itu cukup untuk membeli lima rumah makan seperti milikmu ini! Termasuk lima manusia penipu seperti kau!”
“Pemuda asing berambut gondrong! Jangan ikut campur urusanku! Bukan kau yang membayar!” sentak Susumu.
Pendekar 212 tersenyum lebar. “Silakan kau menyelesaikan urusan dengan mereka,” katanya lalu sambil melangkah ke pintu dia berpaling pada Tsuki dan Taiyo. “Giliran kalian sekarang!”
“Susumu, uang yang kami berikan sudah lebih dari cukup. Lihat berkeliling. Tak ada barangmu yang rusak. Jangan menipu. Jangan tamak!” kata Tsuki. Lalu dia melangkah. Tapi karena Susumu berusaha menghalangi, gadis bonsai itu dorongkan tangan kanannya ke perut pemilik rumah makan itu. Terjadi hal yang hampir tak dapat dipercaya. Tangan begitu kecil dengan dahsyat mampu mendorong tubuh besar Susumu hingga terjajar dan jatuh duduk di atas sebuah nampan berisi sisa-sisa makanan.
“Manusia cebol keparat! Berani kau menjatuhkan tangan kasar kepadaku!” teriak Susumu marah.
Dia bangkit berdiri, menyambar sebilah samurai yang tergantung di dinding lalu membacokannya ke batok kepala Tsuki.
“Meong!” Tsuki dan Taiyo keluarkan suara kucing mengeong. Bersamaan dengan itu keduanya jatuhkan diri berguling di lantai. Rantai besi yang mengikat tangan mereka memukul ke depan, menghantam sepasang kaki Susumu.
Pemilik rumah makan ini berteriak setinggi langit ketika tulang kering kedua kakinya dihajar besi itu. Tubuhnya terlipat ke depan lalu jatuh tersungkur babak belur. Tsuki dan Taiyo tertawa tergelak.
Keduanya melangkah seenaknya menuju pintu. Di situ Pendekar 212 sudah menunggu sambil senyum-senyum menyaksikan apa yang telah dilakukan kedua manusia bonsai itu terhadap si pemilik rumah makan.
Shogun penguasa tunggal di Jepang pada masa itu berkedudukan di Kyoto. Di beberapa kota besar dia memiliki istana, di antaranya yang terdapat di Nara. Sekitar sembilan tahun silam, Yasuaki Kiuchi diberi kedudukan tinggi oleh shogun. Sejak itu dia meninggalkan Otsu, pindah ke Nara.
Gapo, kepala prajuritnya yang setia dan telah mengabdi sekian lama, ikut pindah dan diangkat menjadi salah seorang pejabat tinggi di Nara.
Malam itu Gapo datang ke tempat kediaman Yasuaki Kiuchi. “Tuan Kiuchi, turut perhitunganku bulan ini tepat sekitar tujuh belas tahun silam saya membawa dua orok Yamada dan Yukawa itu ke pegunungan Shikoku. Sesuai pesan kita pada Nenek Neko, dua anak itu akan dilepas guna menjalankan tugas…”
“Perhitunganmu tidak berbeda denganku Gapo,” kata Yasuaki Kiuchi sambil mengusap mata kirinya yang picak.
“Setelah kau mendapat kedudukan sangat tinggi bahkan berkuasa penuh di Nara ini, apakah rencana tempo hari akan tetap dijalankan tuan Kiuchi?”
“Tentu saja! Ada apa dalam otakmu Gapo? Sesudah kau sekarang jadi pejabat tinggi di sini, kau melupakan rencana itu begitu saja? Sudah merasa puas rupanya?!”
“Maafkan saya tuan Yasuaki. Bukan begitu maksud saya.”
“Aku tidak suka mendengar kau mendua hati Gapo! Ingat itu baik-baik! Dulu di Otsu aku jadi orang penting. Sekarang di Nara ini aku jadi orang besar dan berkuasa penuh, kau tetap jadi tangan kananku! Tapi tujuan dan cita-cita hidupku bukan cuma sampai di sini. Apa yang kudapat sekarang hanya sebagai batu loncatan ke kedudukan yang lebih tinggi. Jauh lebih tinggi! Aku ingin menjadi penguasa tunggal di Nihon ini! Beberapa pejabat tinggi di Kyoto sudah kurembuki. Mereka hanya menunggu kapan aku menjalankan rencana. Dan kalau dua anak itu muncul berarti apa yang aku inginkan sudah di depan mata!”
“Saya tetap mengabdi padamu sampai kapan pun juga tuan Kiuchi!” kata Gapo pula.
Di luar ada orang mengetuk pintu. Gapo cepat berdiri. Begitu pintu dibuka, kelihatan seorang pemuda berkepala gundul, bermuka jerawatan. Dia bukan lain adalah pemuda yang pagi tadi kena dikerjai oleh Tsuki dan Taiyo di Otsu. Si gundul ini membungkuk tiga kali di depan Gapo. Gapo bicara sebentar dengan pemuda gundul itu lalu memberitahu pada Yasuaki Kiuchi. “Si botak Takuchi, salah seorang mata-mata kita di Otsu datang untuk melaporkan sesuatu yang penting.”
“Suruh dia menghadapku!” kata Yasuaki Kiuchi.
Takuchi segera diperintahkan masuk. Setelah menjura berulang kali, Takuchi lalu bersimpuh di hadapan Yasuaki Kiuchi. “Saya membawa kabar penting,” kata si gundul ini. Lalu dia menceritakan kemunculan dua manusia bonsai di Otsu. Satu lelaki satunya perempuan. Juga diceritakannya apa yang terjadi di kandang babi milik Kukuno.
Yasuaki Kiuchi berpaling pada Gapo. “Mereka akhirnya muncul Gapo. Rencana kita bakal menjadi kenyataan…” Lalu dia bertanya pada mata-mata berkepala gundul itu. “Ada lagi yang hendak kau terangkan?”
Takuchi mengangguk. “Dua manusia bonsai itu punya seorang kawan. Seorang pemuda asing berambut gondrong. Agaknya dia bukan orang sembarangan. Ada dugaan keras dia memiliki kepandaian tinggi dan aneh-aneh…”
Yasuaki Kiuchi bangkit dari duduknya. “Gapo, kau pernah tahu atau dengar tentang orang asing itu?”
“Memang saya pernah mendengar tuan Kiuchi. Beberapa waktu lalu dia membuat beberapa kali kegegeran di Kyoto. Dia bersahabat dengan murid-murid seorang tokoh silat di Gunung Fuji. Juga mempunyai hubungan baik dengan orang-orang perguruan Emerarudo pimpinan Shigero Momochi.
Bersahabat dengan nenek sakti bernama Teruko…”
“Tunggu!” Memotong Yasuaki Kiuchi. “Apa bukan dia pemuda asing yang mendapat julukan Pendekar Gunung Fuji itu?”
“Saya yakin memang dia tuan Kiuchi,” jawab Gapo.
Yasuaki Kiuchi menggigit bibirnya. “Selama dia tidak tahu rencana kita, kita akan aman. Tetapi sekali dia tahu…”
“Tak mungkin dia tahu. Si Nenek Neko mana berani berbuat macam-macam. Kecuali kalau dia tidak mau lagi melihat kekasihnya yang kita sekap di pertambangan tempat kerja paksa di utara kita keluarkan dari sana hidup-hidup…”
Yasuaki Kiuchi tertawa. “Aku memang tidak punya rencana untuk mengeluarkan Shikero dari sana.
Semua yang kukatakan pada nenek itu bohong belaka. Sekadar untuk menjinakkan dirinya….”
Yasuaki Kiuchi hentikan ucapannya. Dia sadar telah terlalu banyak bicara di depan Takuchi. “Kau bekerja bagus. Kau boleh pergi. Beberapa hari di muka seseorang akan mengantarkan hadiah padamu.”
“Terima kasih tuan Kiuchi. Saya mohon diri. Tapi sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan. Mungkin tidak ada gunanya. Saya pergi saja sekarang…”
“Tunggu dulu! Apa yang hendak kau katakan Takuchi?” tanya Yasuaki Kiuchi. “Sewaktu menghajar pedagang babi di Otsu itu, saya dengar dua manusia bonsai menanyakan tuan Gapo. Mereka ingin tahu di mana tuan Gapo bisa ditemui…”
Paras Yasuaki Kiuchi dan Gapo kontan berubah. “Tukang babi itu memberitahu…?”
Takuchi mengangguk. “Nyawanya terancam. Kukuno akhirnya memberitahu kalau tuan Gapo sekarang berada di Nara, jadi pejabat penting Shogun…”
“Kurang ajar si Kukuno itu! Akan kujagal batang lehernya!” kata Gapo marah sambil mengepalkan kedua tinjunya. Dia memberi isyarat pada Takuchi agar segera meninggalkan tempat itu.
Begitu Takuchi berlalu, Yasuaki Kiuchi berkata. “Dari siapa manusia-manusia bonsai itu tahu namamu?”
“Hanya satu orang yang saya curigai tuan Kiuchi. Si nenek muka kucing Neko!”
“Berarti dua manusia bonsai itu juga sudah tahu rencana kita. Kalau tidak, mengapa mereka mencarimu? Padahal tugas yang aku perintahkan pada si nenek muka kucing itu lain…”
Gapo terdiam. Akhirnya terdengar dia berkata dengan suara bergetar. “Saya khawatir jangan-jangan mereka memang sudah tahu. Kalau begitu izinkan saya pulang dulu. Saya harus mempersiapkan sesuatu untuk mencegah hal-hal yang tidak diingini.”
Yasuaki Kiuchi mengangguk. “Sebelum kau pergi, atur penjagaan di tempat ini. Lipat gandakan kekuatan para pengawal.”
“Akan saya lakukan tuan Kiuchi,” jawab Gapo lalu membungkuk dalam-dalam.
Hutan kecil di tepi jalan yang menghubungkan Nara di Selatan dan Otsu di Utara berada dalam keadaan gelap gulita. Namun di suatu tempat tersembunyi terlihat ada nyala api. Ternyata itu adalah api unggun kecil. Di sekeliling api duduk tiga sosok tubuh. Mereka bukan lain dua sosok bonsai Tsuki dan Taiyo bersama pendekar 212 Wiro Sableng.
Di tangan kiri Taiyo saat itu ada secarik kertas yang sudah sangat lusuh. Di atas tertera panjang tulisan kanji. “Ani, kau bisa membaca tulisan kanji?” tanya Waiyo pada Wiro. Pendekar 212 geleng kepala.
“Kertas ini seumur umur kami…” kata Tsuki. “Di sini tertulis pesan-pesan yang harus dilakukan oleh guru kami Nenek Neko. Siapa pemberi tugas tidak tertera. Tapi menurut guru adalah Yasuaki Kiuchi, saudara Shogun di Kyoto…”
Wiro mulai tertarik penuturan sahabat cebolnya itu. Dia menggeser duduk dekat Taiyo. “Surat ini dibawa oleh orang bernama Gapo…”
“Apa saja tugas guru kalian dalam kertas itu?” tanya Wiro kepada Taiyo.
“Pertama, sensei harus mengikat tangan kami dengan rantai karatan ini. Lalu guru kami harus merawat hingga tujuh belas tahun. Lalu guru wajib mendidik kami dalam kepandaian silat dan ilmu kesaktian. Pada hari kami dibebaskan, kami harus pergi ke Kyoto untuk membunuh Shogun.
Shogun hanya bisa dibunuh dengan rantai hitam yang mengikat tanganku dan tangan Tsuki. Setelah itu kami harus pergi ke danau di tepi desa Biwa. Desa itu bernama Hikone. Di sana kami harus membunuh satu keluarga bernama Yukawa.”
“Selesai? Hanya itu…?” tanya Wiro ketika Taiyo berhenti membaca tulisan di atas kertas lusuh itu.
Taiyo mengangguk. “Itu tugas yang harus dikerjakan guru dan diturunkan kepada kami. Tapi guru meminta kami melupakan segala kentut busuk yang tertera dalam kertas ini. Sebagai gantinya, ia meminta kami mencari orang yang bernama Gapo. Sebab dia satu-satunya pembuka jalan siapa sebenarnya kami ini. Waktu itu kedudukannya adalah sebagai kepala prajurit Shogun, yang bertugas di bawah pemerintah Yasuaki Kiuchi. Guru juga menugaskan kami mencari seorang bernama Shikero, yang kabarnya disekap Yasuaki di suatu tempat dan baru dilepas tujuh belas tahun kemudian, saat kami meninggalkan pegunungan Shikuko…”
“Tugas dari Yasuaki Kiuchi berlainan dengan tugas dari guru kalian. Kalau Gapo orangnya Yasuaki Kiuchi berarti dia juga tahu asal usul kalian. Tapi aku tidak mengerti mengapa kalian harus membunuh sekeluarga Yukawa di Hikone…” ujar Wiro. Dia menatap langit hitam di atasnya. Tidak juga berhasil memecah teka-teki. “Jika saja kakek Segala Tahu ada di tempat ini, pasti dia bisa menolong kita,” kata Wiro.
“Siapa pula orang itu,” tanya Tsuki. “Seorang tua berumur lebih dari delapan puluh tahun. Matanya buta tapi lebih tajam penglihatannya dari kita ini. Dia pandai meramal dan melihat yang bakal terjadi. Sayang dia tidak di sini…” kata Wiro.
Tiba-tiba terdengar suara gemeletak roda kereta ditimpali deru kaki kuda. Kedua cebol itu cepat menginjak-injak perapian. Begitu api padam, tempat menjadi gelap. Ketiganya meninggalkan hutan berlari menuju jalan kecil. “Aku harap yang lewat ini dia,” bisik Taiyo. “Ingat Tsuki, orang ini harus kita dapat hidup-hidup. Jika sampai mati, kita akan kehilangan jejak diri kita. Atau kita akan berhadapan dengan Yasuaki Kiuchi.”
Suara kereta kuda semakin cepat. Dua manusia bonsai berpaling kepada Wiro. “Ani Wiro. Kau sudah siap?” tanya Tsuki. Pendekar 212 menganggukkan kepala sambil acungkan seutas tali. Ujung tali itu dikaitkan dengan ujung pohon yang sudah dipotong lalu ditegakkan dan ditancapkan di ujung sungai.
Batang pohon besar jatuh. Kuda paling depan meringkik. Kedua binatang itu langsung tersungkur begitu lelaki penunggangnya jatuh. Tidak ampun lagi keretanya terbalik. Tiga dari empat pengawal yang berada di belakang tak sempat lagi menghindar dan menabrak bagian belakang kereta.
“Tuan Gapo keluar dari kereta! Ada komplotan rampok menyerang kita,” salah seorang pengawal berteriak sambil melompat dari kuda dan membuka pintu kereta. Seorang bertubuh besar dan gempal keluar dari kereta dengan susah payah. Begitu menginjakkan tanah mulutnya langsung mengumpatkan kata kutukan serapah.
“Bangsat rendah dari mana yang berani merampok kita?!” Tangan kanan Gapo bergerak dan “Wutt” golok besarnya berkelebat. Saat itu dua sosok berkelebat ke udara. Lalu menukik ke arah Gapo. Seseorang berteriak memberi peringatan. Pengawal yang tadi terpental kini melindungi majikannya sambil menyibatkan pedangnya ke atas.
“Meong!Meong!”
“Trang! Trang!” Dua pedang di tangan pengawal itu patah dan mental. Lalu terdengar jeritan kedua.
Ternyata Tsuki dan Taiyo telah mempergunakan jari tangannya yang panjang untuk meremas kedua muka pengawal itu.
Gapo berteriak marah. Bersama dua pengawal, dia hendak menyerang Tsuki dan Taiyo. Tapi justru saat itu keluar suara suitan keras. Tiba-tiba ada puluhan obor mendekat. Lalu jaring raksasa tidak kelihatan seolah jatuh dari langit.
“Tsuki! Taiyo! Awas!” teriak pendekar 212. Tangan kanannya dilibaskan untuk melepas pukulan sakti Benteng Topan Melanda Samudera. Tapi terlambat. Ketika pukulan sampai, jaring sudah menjerat manusia bonsai. Akibatnya, dalam keadaan terjerat, ia juga harus menerima pukulan sakti Wiro.
“Celaka aku menyerang mereka,” seru Wiro dalam hati.
Dua manusia bonsai terguling dalam jeratan jaring tapi keduanya dapat bangkit seperti tidak terjadi apa-apa. “Bret! Bret!” mereka pergunakan kuku untuk melepas jaring yang melilit tubuhnya.
Pukulan pendekar 212 tidak berbekas, murid Sinto Gendeng itu heran.
Saat itu sambil tertawa bergelak, Gapo melompat ke depan jaring. Tangannya melempar bola kecil.
“Dess!” Terdengar letupan halus disusul dengan menggebubunya asap hijau. Tsuki dan Taiyo hilang dibungkus asap. Yang terdengar hanya suara mereka batuk-batuk.
“Kurang ajar,” teriak Wiro. Dia berkelebat ke arah Gapo tapi parasnya jadi berubah. Di sekelilingnya saat itu ada sekitar selusin manusia berseragam perwira balatentara shogun mengurungnya. Enam dari mereka membidikkan panah beracun. Enam lagi menodong dengan ujung samurai berkilat. Tak ada kemungkinan untuk meloloskan diri atau melawan.
“Sial dangkalan!” maki Wiro. Dia angkat tangan kanannya hendak menggaruk kepala, tapi dua buah ujung samurai segera menekan bahunya. Murid Sinto Gendeng meringis kesakitan. Dua liang luka mengucurkan darah membasahi baju putihnya. Lalu sebuah rantai besi dililitkan ke tubuhnya.
Membuat pendekar 212 benar-benar tidak bisa berkutik lagi!
Ketika Tsuki dan Taiyo sadar dari pengaruh asap hijau bola beracun yang dilemparkan Gapo, mereka dapatkan diri tergeletak di sebuah ruangan yang lantai serta dinding dan atapnya terbuat dari batu. Bersama mereka ada enam orang perwira berseragam pasukan Shogun. Di situ juga ada Gapo, manusia yang kini mereka anggap sebagai musuh besar pemegang kunci rahasia kehidupan mereka.
“Ssstt…” berbisik Tsuki. “Kalau mereka mengurung kita di sini apa mereka sangka kita tidak bisa berjibaku membunuh mereka semua…?”
“Aku juga sudah berpikir begitu,” sahut Taiyo. “Tapi lihat di depan sana. Sahabat kita terancam keselamatannya!”
Dua manusia bonsai itu bangkit berdiri. Tsuki usap-usap matanya yang masih terasa perih. Paras gadis bonsai ini jadi berubah dan sekujur tubuhnya terasa tegang. Di hadapan mereka ada sebaris jeruji besi sebesar betis manusia. Di belakang jeruji besi itu ada sebuah ruangan di mana Pendekar 212 Wiro Sableng berada dalam keadaan terikat kedua tangannya dan dikerek hingga sepasang kakinya terjingkat ke atas.
Di atas kepalanya ada dua buah busur lengkap dengan anak panah beracun siap lepas. Tali-tali busur dua buah panah itu tertahan oleh sebuah cantelan besi. Jika Wiro bergerak sedikit saja atau merubah kedudukan kakinya maka cantelan yang menahan tali busur akan lepas. Anak panah pertama akan melesat menghantam batok kepalanya sendiri. Anak panah kedua yang akan lepas dalam waktu bersamaan, akan melesat menghantam dada seorang perempuan tepat pada jantungnya yang terikat pada sebuah tiang besi sejarak enam langkah dari hadapan Wiro.
Wiro tidak dapat melihat paras perempuan itu karena rambutnya yang panjang hitam terjurai ke depan menutupi wajahnya. Perempuan ini mengenakan pakaian warna biru. Bagian atas bajunya robek besar hingga dadanya tersingkap lebar.
“Manusia bernama Gapo!” tiba-tiba Tsuki berteriak. “Aku bersumpah membunuhmu dan semua orang yang ada di sini jika sahabatku itu menemui ajal karena perbuatanmu ini!”
Gapo tertawa bergelak. “Kau mengawatirkan keselamatan kawanmu. Bagaimana dengan calon korban yang perempuan?!”
“Kami tidak mengenal siapa dia! Tapi jika kau melibatkan orang lain untuk tujuan busukmu, aku akan mencincang mayatmu sampai lumat!” Yang menjawab adalah Taiyo.
Gapo terus mengumbar tawa. “Perempuan itu seorang yang sangat berarti bagi sahabatmu si pemuda asing. Jika kalian ingin mereka selamat, hanya ada satu jalan. Kalian harus melakukan sesuatu seperti yang sudah dipesankan dan ditugaskan pada guru kalian si nenek muka kucing!
Kalian punya waktu terbatas. Sampai berapa lama pemuda asing itu sanggup bertahan berjingkat terus. Sekali dia menjejakkan tumitnya rata dengan lantai, cantelan besi akan lepas dan dua anak panah akan merenggut nyawa mereka!”
Tsuki dan Taiyo berteriak-teriak mencaci maki Gapo habis-habisan. Gapo yang kini menjadi pejabat penting di Nara itu kelihatannya seperti tidak acuh. Tapi tiba-tiba kedua tangannya bergerak menghantam. Tsuki dan Taiyo terpekik. Tubuh keduanya terbanting ke dinding batu akibat jotosan kiri kanan Gapo yang mendarat telak di wajah mereka. Tapi seperti tidak merasakan sakit Tsuki dan Taiyo melompat lalu menyerang ke arah Gapo sambil keluarkan suara mengeong keras!
Lima orang perwira Shogun berkelabat menghadang dengan samurai di tangan. Salah seorang dari mereka mengancam. “Berani kalian bergerak sedikit saja, sebuah alat rahasia akan membetot lepas cantelan penahan tali busur! Dua orang di ruangan sana akan menemui ajal dalam sekejapan mata!
Ayo silahkan berbuat konyol!”
“Bangsat!” maki Tsuki.
“Keparat busuk!” teriak Taiyo. Dua manusia bonsai itu tak bisa berbuat apa-apa selain memandang ke arah Wiro dengan penuh tegang.
“Ani Wiro!” seru Tsuki. “Maafkan kami tak dapat menolongmu! Tapi kami bersumpah untuk membunuh habis semua manusia setan di ruangan ini!”
Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa berdiam diri dan tarik nafas dalam. Kalau saja ada yang bisa menotok kedua kakinya, sampai kiamat pun dia sanggup berjingkat. “Paling lama aku bisa bertahan satu setengah hari” membatin Wiro. “Sialan! Selangkangan dan punggungku terasa gatal. Bagaimana aku bisa menggaruk! Kalau sampai tubuh dan kakiku bergerak, tamat riwayatku…”
Wiro memandang ke depan ke arah perempuan yang juga terancam keselamatannya. “Aku merasa seperti mengenali walau tidak melihatnya. Jangan-jangan… Ya Tuhan! Kuharap jangan dia yang ada di tiang itu!”
Dengan sebuah alat, Gapo menaikkan dua buah jeruji besi lalu masuk ke ruangan di mana Wiro berada. “Pemuda asing bergelar Pendekar Gunung Fuji! Nama besarmu tak lama lagi akan terkubur di bumi Nihon! Sayang jauh-jauh datang kau cuma mengantar nyawa. Itu akibat ulahmu yang terlalu suka ikut campur urusan orang lain!”
“Kau manusia paling sialan di dunia ini Gapo! Jenis kadal penjilat yang mau melakukan apa saja demi jabatan!”
Gapo ganda tertawa. Dia melangkah ke hadapan tiang di mana perempuan berpakaian biru tegak terikat. “Srett!” Dia cabut golok besar yang tersisip di pinggangnya. “Aku mau tahu apa kau masih bisa bicara besar dan keras setelah melihat siapa adanya perempuan ini!” kata Gapo pula. Lalu dengan ujung pedangnya disentakkannya rambut panjang menjurai yang menutupi wajah perempuan itu. Begitu parasnya tersingkap terkejutlah murid Sinto Gendeng.
“Akiko Bessho!” teriak Wiro. “Ya Tuhan, memang dia rupanya!”
“Wiro…” ujar gadis berpakaian biru tersendat. Mukanya pucat walau dia berusaha berlaku setenang mungkin. Gapo tertawa bergelak. “Bagus! Jadi kalian sudah saling kenal satu sama lain! Ha… ha… ha!”
“Kenapa kau libatkan gadis yang tidak punya salah apa-apa itu?!” tanya Wiro. Dia berusaha menekan hawa amarah yang menggelegak dalam tubuhnya. Gapo menyeringai. Goloknya disarungkan kembali. (Mengenai gadis bernama Akiko Bessho ini dapat diikuti kisahnya dalam dua serial Wiro Sableng berjudul “Pendekar Gunung Fuji” dan Ninja Merah”).
Saat itu pintu ruangan terbuka. Seorang lelaki berpakaian sangat mewah masuk sambil berkipaskipas.
Di belakangnya ada beberapa orang pengawal berseragam kimono merah. Orang ini hanya memiliki satu mata. Mata kirinya yang agaknya cacat, disembunyikan di balik sehelai kulit tipis warna hitam.
Gapo dan semua perwira shogun yang ada di ruangan itu segera membungkuk dalam-dalam. Wiro maupun dua manusia bonsai sama bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan orang yang baru datang ini. Mereka tidak menunggu lama. Jawaban segera didapat dari ucapan Gapo.
“Tuan Yasuaki Kiuchi, saya telah mengatur semua sesuai dengan petunjuk yang mulia…”
“Yasuaki Kiuchi…” desis Tsuki sambil menyentakkan tangan kirinya sedikit memberi tanda pada Taiyo. “Jadi ini manusianya yang jadi pangkal bahala kesengsaraan kita!”
Yasuaki Kiuchi angguk-anggukkan kepala. Sikapnya pongah. Dia menyeruak di antara jeruji besi yang tadinya dinaikkan ke atas oleh Gapo lalu masuk ke ruangan di mana Wiro dan Akiko Bessho berada. “Jadi ini manusia yang bergelar Pendekar Gunung Fuji itu! Kepalamu berharga ratusan tail emas jika dapat kuserahkan pada kelompok tokoh-tokoh silat golongan hitam di Jepang ini.
Keuntunganku berlipat ganda! Kau bisa kumanfaatkan lebih dulu, lalu mendapatkan imbalan besar itu. Ha… ha… ha!”
“Pejabat busuk! Di mataku kau tak lebih dari seorang pelacur laki-laki! Manusia kadal comberan!”
Tubuh Yasuaki Kiuchi tersentak. Mata kanannya mendelik besar mendengar kata-kata Wiro itu. Dia mengulurkan tangannya meminta golok pada Gapo. Begitu golok dipegang, ujungnya ditempelkan ke pipi Pendekar 212.
“Aku kagum akan keberanianmu, Aku mau lihat apakah kau cukup kuat untuk tidak menjerit!” Lalu dengan ujung golok itu Yasuaki Kiuchi menggores pipi kanan Wiro. Pendekar 212 mengernyit kesakitan. Darah mengucur ke pipi dan berhenti di sudut bibirnya.
Yasuaki hendak menggores sekali lagi. Tapi Gapo buru-buru mendekati dan berbisik. “Jangan terlalu keras, kalau tubuhnya bergerak karena kesakitan, dia dan gadis itu akan menemui ajal. Berarti kita akan kehilangan sandera sebelum rencana berhasil…”
Perlahan-lahan Yasuaki Kiuchi turunkan tangannya yang memegang golok. “Kau betul…” katanya.
“Kita tak perlu cepat-cepat membunuhnya….” Golok diserahkannya pada Gapo kembali lalu dia berpaling ke arah Akiko Bessho yang terikat di tiang. “Hemmm, Dalam keadaan seperti ini pun dia tetap cantik. Aku benar-benar dibuat gila…” Yasuaki Kiuchi lalu melangkah ke hadapan gadis itu dan berkata. “Nona Bessho, permintaanku tempo hari masih berlaku. Aku bersedia memberi pengampunan bagimu jika kau mau kujadikan salah satu gundikku…”
“Manusia iblis budak nafsu!” semprot Akiko Bessho. “Di Nara ini ada seribu pelacur! Kau boleh mengambil semuanya menjadi gundikmu!” Yasuaki Kiuchi tertawa lebar. Tangan kirinya tiba-tiba meluncur ke dada gadis itu, meremas liar kian kemari. “Jahanam rendah!” maki Akiko lalu diludahinya muka lelaki itu. Yasuaki Kiuchi mundur dua langkah. Matanya yang cuma satu memandang membelalak pada si gadis. Semua orang mengira penguasa kota Nara itu akan menjadi marah dan menghajar si gadis habis-habisan. Ternyata tidak. Ia usap ludah yang menempel di mukanya dengan tangan kiri, lalu dijilatnya tangannya.
“Hah, ludahmu pun terasa nikmat…” katanya. Tiba-tiba dia melompat, merangkul tubuh Akiko Bessho, mengecup muka, bibir dan leher gadis itu penuh nafsu. “Manusia jahanam! Keparat busuk…!”
Setelah puas menciumi gadis itu, Yasuaki Kiuchi kembali ke ruangan di balik jeruji besi. Dengan alat rahasianya, Gapo menurunkan dua buah jeruji besi kembali. Yasuaki Kiuchi keluarkan kipasnya. Setelah berkipas-kipas sebentar, dia berkata pada Tsuki dan Taiyo.
“Dua manusia cebol! Dengar baik-baik setiap ucapanku! Melalui gurumu si nenek muka kucing aku memberi tugas agar kalian berdua membunuh shogun di Kyoto dengan Besi hitam yang mengikat lengan kalian satu sama lain, itu satu-satunya senjata yang sanggup membunuh shogun. Kalian tidak punya waktu banyak. Kawan kalian pemuda asing itu kurasa hanya sanggup bertahan satu setengah hari. Mungkin dua hari. Jika dalam dua hari kalian tidak kembali ke sini membawa kepala shogun, berarti pemuda itu dan juga gadis itu akan menemui ajalnya. Kalian berdua bertanggung jawab atas nyawa mereka. Mereka akan aku lepaskan jika kepala shogun kalian serahkan padaku!”
“Enak saja kau ngomong!” teriak Tsuki. “Kenapa kau ingin membunuh shogun?”
“Betul, padahal kau masih saudara sepupunya. Dia juga yang memberi kedudukan tinggi padamu di Nara ini!” menimpali Taiyo.
“Mengapa heran kawan-kawan!” tiba-tiba Wiro berseru. “Manusia jelek itu ingin jadi shogun, tega membunuh saudaranya sendiri! Manusia tidak tahu diri! Mana ada shogun matanya picak! Ha… ha… ha…!”
“Huk… huk… huk…! Meong!” Taiyo tertawa bergelak.
“Hik… hik… hik..! Meong!” ikut tertawa Tsuki.
“Setan alas!” rutuk Yasuaki Kiuchi. “Gapo, lepaskan dua manusia katai sialan itu! Kalian berdua harus kembali ke sini membawa kepala shogun. Paling tidak lusa pagi. Dan ingat, aku benar-benar melepaskan dua sahabatmu itu kalau kau juga sudah membunuh suami istri Yukawa di desa Hikone!”
“Mengapa? Mengapa kami harus membunuh mereka? Kenalpun tidak!” ujar Tsuki.
“Nanti kalian tahu sendiri apa jawabnya!” ujar Yasuaki Kiuchi lalu tinggalkan tempat itu diikuti para pengawalnya.
Ketika Gapo melangkah untuk mengantar, Pendekar 212 berkata. “Gapo, kau telah merampas senjata mustikaku. Kalau kau tidak mengembalikannya atau mengembalikannya dalam keadaan rusak, kau tahu sendiri akibatnya!”
Gapo menyahut dengan dengusan keras dari hidungnya. Sewaktu sampai di pintu luar, Yasuaki Kiuchi berbalik dan bertanya pada Gapo. “Senjata mustika apa yang disebut-sebut pemuda asing itu tadi?”
Dalam hatinya Gapo merutuk. “Kalau pemuda sialan tadi tidak berkata apa-apa, pasti Yasuaki Kiuchi tidak mengetahui perihal senjata mustika itu! Sialan! Mungkin belum jodohku mendapatkannya!”
Dari balik pakaiannya Gapo keluarkan sebuah benda. Mata semua orang yang ada di situ menjadi kesilauan oleh sinar yang keluar dari benda yang dipegang orang kepercayaan Yasuaki Kiuchi itu.
“Kapak bermata dua!” seru Yasuaki dengan mata mendelik hampir tak percaya. “Ini senjata mustika luar biasa! Senjata ini dulu yang pernah dicuri oleh satu kelompok ninja hingga menimbulkan kegegeran di seantero negeri! Gila! Kini senjata itu ada di hadapanku! Senjata ini jauh lebih hebat dari rantai hitam yang mampu membunuh shogun itu!”
Lalu Yasuaki Kiuchi bertanya pada Gapo. “Kalau sekiranya pemuda itu tadi tidak menyebut-nyebut benda ini di hadapanku, apakah kau akan menyerahkannya dengan sukarela?”
Paras Gapo berubah merah. Tapi dia bisa berkilah. “Saya sengaja tidak memberitahu Yang Mulia waktu di ruangan itu. Karena kalau terjadi apa-apa, pemiliknya hanya tahu saya dan tidak akan mengganggu Yang Mulia.”
Yasuaki Kiuchi tersenyum. “Kau memang cerdik Gapo! Aku menghargai kecerdikanmu itu!”
“Terima kasih Yang Mulia,” ujar Gapo seraya membungkuk dalam-dalam.
“Hebat! Rezeki besar tak terduga!” seru Yasuaki Kiuchi gembira sekali. Cepat-cepat senjata yang bukan lain adalah Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro Sableng itu diambilnya.
Tsuki dan Taiyo memperhitungkan, dengan lari cepat mereka menghabiskan sehari semalam untuk bisa sampai ke Kyoto. Tapi keduanya ragu, apakah mungkin waktu yang tersisa bisa untuk membunuh Shogun.
“Tsuki, aku merasa was-was. Memasuki kediaman Shogun saja bukan pekerjaan mudah.
Bagaimana kita bisa membunuh walau kita punya senjata yang katanya bisa membunuhnya. Apalagi badan kita cebol, pasti menarik perhatian orang. Agaknya kita tidak bisa menolong sahabat kita dan gadis itu, kasihan…!”
“Diamlah Taiyo! jangan nyerocos terus. Aku berlari sambil berpikir. Harus ada satu cara untuk menyelesaikan kasus ini. Shogun katanya berkuasa dengan cara sewenang-wenang. Tapi siapa pun orangnya, kita tidak punya hak untuk membunuhnya. Para pendekar samurai di Kyoto paling tidak ada seratus orang! Kita jangan terpengaruh oleh keadaan yang diciptakan oleh manusia jahat Yasuaki dan cecunguknya si Gapo itu.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan,”tanya Taiyo.
“Tunggulah, aku pasti dapat akal, Taiyo! Aku dapat!” teriak Tsuki.
“Katakan padaku!”
“Ingat pelajaran dari sensei? Jika kita lemah dan lawan jauh lebih kuat, jangan hadapi dengan kekerasan. Pergunakan akal, rangkul mereka dan jadikan teman sampai ada kesempatan untuk memukul!”
“Itu ilmu filsafat Tsuki, dalam kenyataan pasti lain lagi,” ujar Taiyo.
Gadis cebol itu menggeleng. “Kita lihat saja nanti. Kau masih menyimpan kertas butut yang diberikan Gapo itu?”
Taiyo mengangguk. “Kalau begitu percepat larimu Taiyo!” kata Tsuki.
Shogun penguasa negeri benar-benar meledak amarahnya ketika seorang perwira penghubung memberitahu ada sepasang cebol ingin menemuinya. “Sepasang cebol ingin menemuiku, mereka gila. Dan kau sebagai perwira lebih gila lagi!”
“Plaak!” Satu tamparan keras membuat perwira itu terpelanting dan mulutnya mengeluarkan darah segar.
“Saya minta maaf Yang Mulia,” kata perwira itu sambil meraba pipinya yang berdarah, mengembung bengkak. “Saya mana berani jika tidak menyangkut keselamatan dan nyawa yang mulia. Sepasang cebol itu mengatakan ada yang hendak membunuh Yang Mulia. Semula saya juga menganggap sepasang manusia bonsai itu juga tidak waras. Saya melarang, empat hulubalang mengepruknya! Eh, keempat pengawal tingkat tinggi itu roboh dalam sekali gebrak saja! Untung keempatnya tidak dibunuh!”
Mendengar penjelasan perwiranya, Shogun yang berparas tinggi, berkumis dan berjanggut putih itu berubah total. Maka diapun berkata. “Perwira bawa masuk kedua bonsai itu dan siapkan selusin pengawal untuk mengikutinya. Aku akan menerimanya di ruang kaca,” ujar Shogun. Sehabis itu shogun segera masuk ke ruangan yang dibelah dua oleh dinding kaca. Keanehan diding ini, meski ada pembatas, kedua orang yang terpisah masih bisa saling melihat dan mendengar, dan lagi, tidak mempan senjata tajam.
Seusai mengantar kedua bonsai, selusin pengawal itu langsung membungkuk dan meninggalkan Shogun yang sudah berada di ruang kaca. Dalam ruang kaca, Shogun menatap tajam ke arah Taiyo dan Tsuki yang tangan kanan dan kiri mereka terikat oleh seuntai rantai karatan. “Rantai itu…” kata Shogun dalam hati dengan nada berdebar.
“Bagaimana bisa berada dan mengikat mereka! Agaknya mereka tidak membual ada yang berusaha membunuhku. Hanya rantai itu yang sanggup mencabut nyawaku!”
“Dua manusia rantai, kalian berani-beraninya menemuiku sampai merobohkan empat perwiraku. Kau memberi tahu pengawal penghubung ada yang hendak membunuhku?”
Taiyo membungkuk “Benar yang Mulia Shogun”
“Bagaimana aku mempercayai kalian? Kalian tidak saja cacat otak, tapi juga cacat jasmani, kalian kurasa tidak waras!”
“Kami tidak berani membantah keadaan kami,” ujar Taiyo. “Kami datang memberi tahu pemimpin negeri kami bahwa nyawanya terancam. Dia hendak dibunuh orang!”
“Kalian tahu siapa pembunuhku?”
Kedua manusia cebol mengangguk. “Kami berdua Yang Mulia!” Mendengar jawaban itu, dua belas pengawal Shogun langsung bergerak berusaha menyergap Taiyo dan Tsuki.
Tapi gerakan mereka berhenti saat melihat Shogun memberi isyarat.
“Manusia cebol, apa permusuhanmu denganku hingga kalian ingin membunuh?”
“Tidak ada Yang Mulia. Kami melaksanakan perintah seseorang yang tertulis dalam pesan guru kami tujuh belas tahun lalu.”
“Siapa yang menyuruh kalian membunuhku?” tanya Shogun bergegas.
“Yang Mulia pasti tahu. Dia ada hubungan darah dengan Yang Mulia. Namanya Yasuaki Kiuchi, orang Yang Mulia beri jabatan tinggi di Nara!”
“Kurang ajar! aku tidak percaya dengan keterangan kalian. Ingat, aku bisa memerintahkan kepala kalian dicincang sekarang juga!”
Taiyo mengeluarkan secarik kertas lusuh berisi pesan-pesan yang ditulis Yasuaki Kiuchi dalam huruf kanji, dan dibawa oleh Gapo kemudian dibawa kepada guru mereka si Nenek Muka Kucing Neko. Lalu Tsuki menceritakan asal-usul mereka sesuai dengan yang mereka dengar dari guru mereka. Tidak lupa menceritakan yang terjadi di Nara saat ini.
“Kalau kami tidak membawa kepala Yang Mulia dan menunjukkan kepada Yasuaki dan Gapo, paling lambat besok pagi, sahabat saya orang asing itu dan gadis Akikio Bessho akan menemui ajal!”
Shogun terdiam lama. “Sulit mempercayai kedua manusia kate ini. Tapi rantai besi ini bukti keras bahwa mereka tidak berdusta. Selama tujuh belas tahun mereka tidak bisa melepaskan diri dari ikatan rantai.”
Karena lama Shogun berdiam diri tidak bicara, maka seorang pengawal kemudian angkat bicara.
“Yang Mulia, apakah kami diizinkan meringkus dan menjagal kedua manusia cebol ini sekarang juga?”
Jawaban yang keluar dari mulut Shogun mengherankan semua orang yang hadir. “Salah seorang dari kalian lekas cari orang yang ahli membuat topeng kulit!”
Akiko Bessho semakin tegang dan cemas luar biasa ketika melihat tubuh Wiro mulai bergetar.
“Wiro! Kuatkan dirimu! Bertahanlah! Kau dan aku tak mau mati konyol di tempat celaka ini!” teriak si gadis.
Murid Sinto Gendeng memandang seperti sudah putus harapan. Suaranya terdengar perlahan.
“Rasanya aku tak sanggup lagi Akiko. Mungkin sudah takdir kita berdua menemui ajal di tempat ini…” Tubuh sang pendekar kembali bergetar. Kedua kakinya sudah tidak terasa kaki lagi. Hilang rasa dan beberapa kali tumitnya hampir bergerak jatuh ke bawah. Sekujur badannya basah oleh keringat.
“Tidak! Jangan putus asa! Bertahanlah Wiro! Kau pasti bisa! Teman-temanmu itu pasti datang!”
“Mereka tidak ingin membunuh shogun! Kau tahu barisan pengawal shogun berlapis-lapis. Di istananya banyak peralatan rahasia. Tsuki dan Taiyo saat ini pasti sudah menemui ajal…”
“Aku tidak mau berpikir seperti itu! Tidak!” teriak Akiko kembali.
Lalu Wiro melihat ada air mata menetes jatuh membasahi pipi gadis itu.
“Kau menangis Akiko…”
“Aku menangis bukan karena takut menghadapi kematian.” jawab Akiko Bessho. “Aku… mungkin bisa puas menghadapi ajal mati bersamamu. Walau aku akan merasa lebih bahagia kalau bisa hidup lebih lama di dekatmu… Mungkin ini cuma sebuah mimpi yang tidak akan terlaksana sampai saat kematian datang. Lagipula aku tak pantas berkata begitu, karena aku ingat Yori. Gadis itu mencintaimu…” (Mengenai siapa adanya gadis bernama Yori, harap baca serial Wiro Sableng berjudul Ninja Merah).
Wiro hanya bisa menelan ludah mendengar semua ucapan Akiko Bessho itu. Tiba-tiba pintu di belakang jeruji besi terbuka. Sosok berpakaian mewah sambil berkipas-kipas masuk. Dia bukan lain adalah Yasuaki Kiuchi penguasa tertinggi di Nara. Dengan matanya yang cuma satu, dia memandang ke arah Wiro lalu pada Akiko Bessho. Sesaat kemudian Gapo muncul di sampingnya.
Lalu menyusul beberapa orang perwira shogun.
“Pemuda asing!” Yasuaki tiba-tiba berkata. “Apa kau masih sanggup bertahan?!” Wiro memutar kepalanya sedikit. Memandang ke arah Yasuaki lalu meludah.
“Keparat! Berani kau menghina Yang Mulia!” teriak Gapo.
Yasuaki Kiuchi sendiri cuma menyeringai buruk. Dipegangnya bahu Gapo lalu berbisik. “Aku tetap mau meniduri gadis itu dulu sebelum dia menemui ajal…”
“Tapi tuan Kiuchi…”
“Aku sudah menyuruh orang untuk memanggil dua pelayan perempuan. Gadis itu harus dimandikan dulu, diberi wewangian dan pakaian bagus, didandani…”
Di luar tiba-tiba ada suara orang berlari. Lalu muncul seorang prajurit. “Yang Mulia, dua orang cebol itu datang. Mereka membawa sebuah kantong kain berlumuran darah!”
Yasuaki Kiuchi dan semua orang yang ada di situ menjadi kaget. Dari luar berkelebat masuk dua sosok tubuh katai. Ternyata memang Tsuki dan Taiyo! Di tangan kirinya Taiyo memegang sebuah kantong kain basah oleh darah dan menebar bau amis.
“Kami datang membawa kepala shogun!” kata Taiyo.
“Tsuki! Taiyo! Kalian berhasil!” seru Wiro.
“Kau dan kawanmu akan selamat Ani Wiro!” ujar Tsuki.
Suasana jadi gempar! Serta merta saja Yasuaki Kiuchi diselubungi berbagai rasa. Gembira, tidak percaya dan juga ngeri. “Aku mau lihat!” katanya.
“Tumpahkan isi kantong itu ke lantai!” perintah Gapo. Beberapa prajurit yang ada di situ bersurut mundur.
Taiyo letakkan kantong berdarah di lantai. Lalu dipegangnya bagian bawahnya dan ditunggingkan.
Sebuah benda yang menyimpratakan darah menggelinding di lantai, berhenti di depan kaki Yasuaki Kiuchi. Benda itu adalah potongan kepala manusia berambut, berkumis dan berjanggut putih. Dari lehernya yang putus masih keluar darah. Bau busuk menghampar di ruangan itu. Yasuaki Kiuchi keluarkan seruan tertahan.
“Tuan Kiuchi…” bisik Gapo. “Ini memang kepala shogun…!”
Mata kanan Yasuaki Kiuchi berputar ke arah rantai besi yang mengikat tangan Tsuki dan Taiyo. Dia melihat ada noda-noda darah pada rantai. “Mereka benar-benar menjagal shogun dengan rantai itu…”
“Kami telah melakukan apa yang diminta. Sekarang kalian harus melepaskan dua orang itu!” kata Taiyo.
Yasuaki Kiuchi dan Gapo saling pandang. Lalu terdengar tawa bergelak keluar dari mulut Yasuaki Kiuchi. “Aku dan para pengawal akan segera berangkat ke Kyoto sekarang juga! Orang-orang kita di sana pasti sudah mengatur segala sesuatunya…”
“Bagaimana dengan manusia-manusia bonsai ini Yang Mulia?” tanya Gapo.
“Mereka masih punya satu tugas. Membunuh suami istri Yukawa di Hikone…” jawab Yasuaki Kiuchi lalu berpaling pada Tsuki dan Taiyo.
“Hikone cukup jauh di utara! Pemuda asing itu tak mungkin bisa bertahan lebih lama!” ujar Taiyo.
“Itu urusan kalian!” jawab Kiuchi seenaknya.
Dari ruangan sebelah tiba-tiba terdengar teriakan Pendekar 212. “Tsuki! Taiyo! manusia-manusia dajal itu tak akan membiarkan kalian hidup! Lekas larikan diri cari selamat. Kami berdua di sini agaknya harus menerima takdir menemui kematian!” Akiko Bessho tercekat dan membeliak besar mendengar teriakan Wiro itu. Sedang Tsuki dan Taiyo tampak bergerak-gerak tenggorokan mereka.
Lalu keluar suara menggembor.
“Kami tidak akan lari Ani Wiro!” seru Taiyo. “Kami memilih mati sama-sama di tempat ini!”
“Hik…hik! Meong! Enaknya mati sama-sama!” kata Tsuki lalu berjingkrak-jingkrak beberapa kali.
Dua manusia bonsai ini melangkah ke hadapan Yasuaki Kiuchi sambil putar-putar rantai besi yang mengikat tangan mereka. Semua orang yang ada di situ sesaat jadi terkesiap ketika melihat bagaimana rantai karatan itu mengeluarkan sinar hitam angker menggidikkan. Gapo hunus golok besarnya. Semua perwira yang ada di situ juga cabut samurai masing-masing. Yasuaki Kiuchi buang kipas di tangan kanannya. Tangannya bergerak ke balik pakaian mewahnya, Di lain kejap satu sinar putih menyilaukan menerangi ruangan itu, membuat redup cahaya angker hitam dari rantai besi itu.
Kapak Maut Naga Geni 212 berada dalam genggaman Yasuaki Kiuchi. Sepasang manusia bonsai jadi tertegun. Walau mereka merasa ngeri melihat senjata itu namun keduanya sudah bertekad sama-sama mati. Tsuki dan Taiyo siap melompat sambil menghantamkan besi hitam berkarat. Tapi pada saat itu pula dari luar melayang tiga sosok tubuh yang kemudian jatuh saling tindih di lantai.
Semua orang keluarkan seruan tertahan. Yang bertumpukan di lantai adalah tiga perwira berpakaian seragam pasukan shogun. Mereka hancur terkoyak-koyak, tak bisa dikenali lagi.
Di saat yang sama terdengar suara kucing mengeong dua kali berturut-turut. Lalu satu sosok berkelebat masuk. “Meong!Meong!”
“Biru!” seru Tsuki.
“Merah!” teriak Taiyo.
“Sensei!” pekik dua manusia boncel bersamaan.
Seorang nenek mengenakan mantel bulu beruang tegak di ruangan itu. Dia bukan lain adalah si nenek muka kucing Nenek Neko, orang yang telah memelihara Tsuki dan Taiyo selama tujuh belas tahun. Di pundaknya kiri kanan ada dua ekor kucing es berbulu putih. Yang satu berkalung pita merah pada lehernya, satunya lagi berpita biru.
“Nenek muka kucing!” bentak Yasuaki Kiuchi keras walau diam-diam hatinya tergetar. “Tadinya aku akan mengirim orang untuk menangkapmu. Kau telah menyalahi tugas yang aku berikan lewat Gapo. Kau layak menerima hukuman!”
Nenek muka kucing menyeringai. “Aku bukan kacungmu, bukan juga budakmu! Mana mungkin aku terus menerus harus patuh pada kekuasaanmu?!”
“Nenek keparat!” bentak Gapo. “Beraninya kau bicara kurang ajar pada Yang Mulia?!”
“Yang Mulia?!” ujar si nenek lalu tertawa cekikikan. Dua muridnya ikut tertawa.
“Yasuaki Kiuchi, tadinya aku mengira kau adalah manusia paling bejat di dunia ini. Ternyata lebih dari itu. Kau iblis paling durjana di muka bumi!”
“Nenek keparat! Apa kau lupa bahwa nyawa kekasihmu Shikero ada di tanganku?!”
Si nenek ganda tertawa. “Tadinya aku memang begitu mendambakan untuk dapat bersama lelaki itu sebelum ajal menjemput. Tapi lama-lama aku merasa jengah sendiri. Sudah tua bangka begini masih saja bercita-cita seperti seorang jaka dan seorang gadis. Kau boleh membunuh Shikero sampai seribu kali! Hik… hik… hik!”
“Jahanam!” teriak Yasuaki Kiuchi.
“Eh kulihat kau memegang senjata luar biasa. Itu pasti bukan milikmu! Biru! Merah! Lekas kalian rampas senjata mustika itu!”
“Meong!”
“Meong!”
Dua ekor kucing di bahu si nenek mengeong keras lalu melesat ke arah Yasuaki Kiuchi. Penguasa tunggal di Nara ini berusaha membabatkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah kedua binatang itu.
Namun si merah dan si biru lebih dulu mencengekeram tangan kanan orang itu. Yasuaki Kiuchi menjerit keras sewaktu tangannya habis koyak-koyak digigit dan dicakar dua ekor kucing. Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari genggamannya. Sebelum senjata itu menyentuh lantai, dua ekor kucing es bergerak cepat sekali, menyambuti gagang senjata mustika dengan mulut mereka.
Di saat yang sama, Gapo ayunkan golok besarnya untuk membacok dua ekor kucing itu. Namun dari samping, Tsuki dan Taiyo tidak dilihatnya melompat ke atas, tahu-tahu rantai besi berkarat itu sudah menggelung lehernya.
Dua ekor kucing membawa Kapak Naga Geni 212 ke arah si nenek muka kucing. Perempuan tua ini membungkuk, cepat mengambil senjata itu. “Senjata luar biasa! Kurasa tak ada duanya di dunia ini!” kata si nenek sambil sipitkan mata tak tahan sinar menyilaukan. Dia memandang ke depan ketika mendengar suara “Kraak!” Gapo dilihatnya tertegak melotot. Lidahnya terjulur keluar. Dari mulutnya keluar darah kental.
“Huk…huk! Meong!”
“Hik… hik! Meong!”
Tsuki dan Taiyo lepaskan jeratan rantai besi. Tubuh tanpa nyawa Gapo langsung roboh tergeletak di lantai. Lima perwira tinggi shogun yang menjadi kaki tangan Yasuaki Kiuchi, yang sudah sama-sama menggenggam samurai, tanpa tunggu lebih lama segera menyerbu dua manusia bonsai. Di depan pintu, si nenek muka kucing masih memandangi Kapak Maut Naga Geni 212 terkagum-kagum.
“Senjata hebat! Luar biasa! Kapan lagi mencobanya kalau tidak sekarang!”
Dari mulut si nenek keluar lengkingan keras seperti kucing mengeong. Tubuhnya berkelebat ke depan. Kapak maut berkiblat mengeluarkan suara menderu dahsyat serta menebar hawa panas luar biasa. Terdengar suara berdentrangan riuh sekali, disusul dengan pekik jerit kematian. Ketika si nenek kembali ke tempat tegaknya semula, di lantai ruangan berkaparan tumpang tindih sosok tubuh lima perwira tinggi tadi. Semua menemui kematian dengan kening terbelah hangus!
“Senjata hebat! Benar-benar luar biasa!” kata si nenek lagi. Lalu dia memandang ke depan.
Sepasang mata kucingnya membentur sosok Yasuaki Kiuchi yang tegak tersandar di sudut ruangan sambil tangan kirinya pegangi tangan kanan yang hancur akibat koyakan gigi dan cakar dua ekor kucing peliharaan si nenek.
“Yang Mulia!” seru si nenek. “Kau bisa memilih kematian yang kau sukai! Kubelah keningmu dengan kapak sakti ini? Atau mampus dikoyak dua ekor kucing peliharaanku? Atau dicekik dengan rantai besi sampai hancur lehermu oleh dua anak manusia yang jadi korban kebuasanmu itu!? Atau mungkin kau lebih suka aku sendiri yang menguliti sekujur tubuhmu!?”
Sesaat Yasuaki Kiuchi terdiam tak menjawab. Tiba-tiba dia melompat menyambar golok milik Gapo yang tercampak di lantai dengan tangan kirinya. Orang ini memang memiliki ilmu memainkan senjata yang hebat dan dia mampu memainkan senjata dengan tangan kanan atau tangan kiri.
Serangan pertama Yasuaki Kuchi hanya mengenai tempat kosong karena si nenek cepat menghindar. Ketika lawan menyerang kedua kalinya, Nenek Neko hantamkan Kapak Naga Geni 212. “Trang!” Golok besar di tangan kiri Yasuaki mental patah dua. Si nenek menyeringai. “Kau rupanya memilih mati dengan kepala terbelah Yang Mulia! Hik… hik…hik!” tangan si Nenek Neko bergerak. Tetapi tiba-tiba di luar sana terdengar suara terompet, menyusul suara orang berteriak.
“Atas nama shogun di Kyoto, hentikan semua pertempuran di dalam sana!”
Lalu tiga orang menerobos masuk. Yasuaki Kiuchi menjadi pucat ketika melihat siapa yang berada di sebelah depan. Seorang tua bertubuh tinggi besar bermata biru dan berkumis kelabu melintang.
Dia adalah kepala balatentara shogun wilayah selatan yang paling ditakuti. Begitu melihat Yasuaki Kiuchi, orang ini keluarkan satu gulungan kertas berwarna merah. Kertas itu dibukanya lalu diperlihatkan kepada Yasuaki. “Aku diperintahkan untuk menangkap dan membawamu ke Kyoto.
Para petinggi di istana shogun telah menyiapkan hukuman pancung untukmu!”
Yasuaki Kiuchi jatuh terhenyak di lantai, Kepala tentara bermata biru itu memberi isyarat pada dua anak buahnya. Yasuaki segera diringkus. Ketika hendak dibawa pergi, Tsuki dan Taiyo cepat menghadang. “Kami minta kau mau menerangkan siapa itu suami istri Yukawa di Hikone…” kata Taiyo.
Yasuaki tidak menjawab. “Kau ingin menjawab pertanyaan orang atau tidak?!” bentak kepala balatentara shogun.
Mata kanan Yasuaki menatap wajah Taiyo sejenak. Lalu dari mulutnya meluncur kata-kata yang membuat Taiyo jadi merinding. “Mereka adalah orang tuamu. Kalau aku tidak salah ingat, kau diberi nama Toshiro…”
“Kau menyuruh kami membunuh orang tuaku sendiri! Sungguh biadab!” Taiyo menggembor keras lalu menyerang.
Kepala balatentara shogun cepat menghalang. “Hukuman untuknya sudah diatur shogun. Jangan berani mengubah!”
Taiyo alias Toshiro tegak tersandar ke dinding. Matanya berkaca-kaca.
Di sebelahnya, Tsuki tegak meneteskan air mata. “Asal usul Taiyo sudah diketahui. Bagaimana nasib diriku…” gadis bonsai ini seolah meratap dalam hati.
Yasuaki melangkah di hadapannya. Tsuki hanya bisa memandang, tak kuasa membuat mulut untuk bertanya. Tiba-tiba Yasuaki Kiuchi hentikan langkah. Dia memandangi paras Tsuki sesaat lalu berkata.
“Nak, namamu sebenarnya adalah Hatsuko, Kedua orang tuamu tadinya juga tinggal di Hikone. Ibumu…” Yasuaki Kiuchi terdiam sejenak. “Ibumu sudah meninggal. Ayahmu bernama Kano Yamada. Dia masih hidup. Ada di tempat kerja paksa di utara… Kalian berdua sebenarnya sudah dijodohkan satu sama lain sejak masih bayi.” Tsuki alias Hatsuko menjerit lirih lalu menangis.
Sebelum melanjutkan langkahnya, Yasuaki berpaling pada potongan kepala manusia yang tergeletak di lantai. Lalu dia menoleh kepada kepala balatentara shogun. “Kau meneriakkan kedatanganmu atas nama shogun. Lalu kepala siapa itu!?”
“Kepala seorang rampok besar yang dipancung lalu diberi bertopeng wajah Yang Mulia Shogun…” jawab kepala balatentara. “Ada lagi yang hendak kau tanyakan?”
“Aku tertipu…” desis Yasuaki lalu bergerak tinggalkan tempat itu.
“Hai! Bagaimana dengan kami?!” teriak Wiro dari ruangan di belakang jeruji besi.
Tsuki dan Taiyo melompat. Keduanya coba menggoyang jeruji-jeruji besi itu. Tapi tidak bergeming sedikit pun. “Hanya Gapo dan Yasuaki yang tahu alat rahasia untuk menaikkan dan menurunkan besi-besi ini!” kata Tsuki alias Hatsuko.
“Celaka! Rupanya kami benar-benar akan menemui ajal di sini!” ujar Wiro.
“Kalian tidak usah khawatir. Kurasa senjatamu ini bisa menjebol tiang-tiang besi itu!” tiba-tiba si nenek Neko berkata sambil melangkah ke arah barisan jalur-jalur besi. Tangan kanannya diangkat. Kapak Maut Naga Geni 212 kelihatan bersinar terang benderang tanda si nenek mengerahkan tenaga dalamnya. Lalu senjata sakti itu dibabatkannya menghantam dua tiang besi sekaligus.
“Trang! Trang!”
“Gila! Benar-benar luar biasa!” seru si nenek. Dua jeruji besi patah berantakan.
“Sekarang bagaimana kalian melepaskan ancaman dua panah beracun itu!” ujar Akiko Bessho begitu Nenek Neko dan dua manusia bonsai masuk ke dalam ruangan. “Sedikit saja cantelan besi itu bergerak, habislah kami berdua!”
Dua manusia bonsai memandang ke arah si nenek seolah minta tolong. “Anak-anak lekas ke mari!” si nenek tiba-tiba berseru. Dua ekor kucing es berbulu putih mengeong dan mendatangi. Si nenek berjongkok dan usap-usap punggung si biru dan si merah. “Kalian lihat dua buah busur dan dua buah anak panah di atas sana…?”
“Meong…!”
“Meong…!”
“Lekas naik ke atas, gigit dan tahan dua anak panah itu. Jangan dilepas sebelum aku beritahu. Ayo lekas lakukan!”
Dua ekor kucing lalu melompat ke atas tiang tempat Wiro diikat. Seperti yang diperintahkan si nenek, binatang-binatang ini menggigit ekor dua anak panah. “Kalian lekas lepaskan ikatan gadis itu. Aku akan melepaskan ikatan anak muda ini!” kata nenek muka kucing kemudian.
Setelah Wiro dan Akiko Bessho diselamatkan dan semua orang keluar dari ruangan itu, si nenek berteriak pada dua ekor kucingnya. “Lepaskan gigitan! Wuttt! Wuttt!” Dua anak panah melesat deras begitu dua ekor kucing lepaskan gigitan mereka. Panah pertama menancap di lantai batu. Panah kedua menembus tiang yang terbuat dari besi! Wiro dan Akiko sama-sama berpandangan dan sama-sama menarik nafas lega.
“Sensei…!” tiba-tiba Tsuki alias Hatsuko berseru. “Senjata di tanganmu itu, mungkinkah bisa menghancur lepas ikatan rantai besi ini?”
Si nenek berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng. “Mungkinkah…?” si nenek ikut bertanya.
“Harus kita coba. Mudah-mudahan bisa.,” jawab Wiro yang saat itu masih keliangan dan terduduk di lantai.
“Kalau begitu biar kau yang melakukan,” kata si nenek pula seraya melemparkan Kapak Maut Naga Geni 212 pada Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat sambut senjata miliknya itu. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Dia meminta dua manusia bonsai tidur sama rata di lantai. Setelah memperhatikan sejenak, Wiro ayunkan senjata sakti itu.
Suara berdentrangan terdengar keras sekali ketika mata kapak menghantam pinggiran japitan besi di tangan kiri Tsuki alias Hatsuko. Bunga api memercik tinggi.
“Aku bebas!” teriak Tsuki lalu melompat berjingkrak-jingkrak kegirangan.
“Hai! Bagaimana aku?!” teriak Taiyo alias Toshiro.
Sekali lagi kapak sakti itu dibacokkan.
“Trangg!”
“Ani Wiro, terima kasih!” seru Taiyo. Tubuhnya melesat ke udara dan berjungkir balik beberapa kali.
Seperti biasanya, udara di puncak pegunungan Shikoku dingin bukan kepalang. Namun semua yang ada di dalam gua itu merasa kehangatan di lubuk hati masing-masing. Nenek muka kucing Neko menghela nafas panjang. “Aku dengar Yasuaki Kiuchi sudah dijatuhi hukuman pancung oleh shogun…”
“Dan kami dengar kekasihmu Shikero atas perintah shogun juga telah dibebaskan dari pertambangan kerja paksa di utara, bersama dengan Kano Yamada, ayah Hatsuko…”
“Kami akan kembali ke Hikone, berkumpul lagi dengan orang tua kami…” kata Toshiro.
“Kau untung, ayah ibumu masih lengkap. Aku cuma punya ayah…” kata Hatsuko.
“Jangan sedih Hatsuko. Orang tua Toshiro akan jadi orang tuamu juga. Malah kau akan punya dua ayah nantinya!” kata Wiro. Hatsuko memandang pada Wiro lalu perlahan-lahan wajahnya memerah.
“Jangan lupa mengundang kami!” menggoda Akiko Bessho. Nenek muka kucing tertawa tergelak gelak.
Wiro memandang ke luar gua. “Matahari sudah tinggi. Orang yang ditunggu bisa saja datang lebih cepat. Sebaiknya kita jangan jadi pengganggu.”
“Kau betul Wiro,” kata Akiko pula. Lalu dia berpaling pada si nenek lalu berkata. “Nek, kami minta diri. Jika umur panjang kita bisa berkumpul lagi sama-sama di tempat ini.”
“Ah, kalian seharusnya tak usah buru-buru pergi. Kalaupun Shikero datang, kalian kurasa tidak akan mengganggu.”
Wiro dan Akiko tersenyum sementara Toshiro dan Hatsuko juga mulai tertawa-tawa. Keempat orang ini berdiri saling berpegangan tangan. Keempatnya saat itu mengenakan kasut kayu untuk meluncur di atas pegunungan salju.
“Kami minta diri Nek,” kata keempat orang itu berbarengan.
Lalu Wiro menyeletuk. “Kuharap kau jangan buru-buru punya anak Nek, biar bisa berpuas-puas berlama-lama!”
“Eh, tidak kusangka mulutmu begitu konyol anak muda! Siapa yang mau punya anak?!” teriak si nenek.
Gua di puncak gunung Shikoku itu laksana mau runtuh oleh tawa empat orang yang ada di hadapan si nenek. Nenek Neko akhirnya mau tak mau ikut-ikutan tertawa, malah paling keras. “Anak muda, kalau kau suka, lain waktu kau boleh datang ke mari. Aku akan mengajarkan satu ilmu yang aku yakin tak ada di negerimu… Kurasa kau berjodoh memiliki ilmu itu.”
“Nenek Neko, kau baik sekali. Ilmu apakah itu?” tanya Wiro.
“Koppo, ilmu mematahkan tulang,” jawab si nenek. “Kau mau lihat?”
“Saya pernah lihat Hatsuko dan Toshiro memperagakannya di Otsu tempo hari…”
“Kau mau lihat lagi?”
“Tentu saja!” jawab Wiro, karena tidak mengira apa yang akan dilakukan si nenek.
“Ulurkan tangan kananmu!” Murid Sinto Gendeng menurut saja. Secepat kilat tangan kanan si nenek bergerak. “Krakk…! Krakk!” Wiro menjerit setinggi langit. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya patah. Patahan tulang mencuat keluar!
“Nek… Apa yang kau lakukan ini?!” teriak Wiro. Sekujur tubuhnya bergetar menahan sakit. Akiko kelihatan pucat. Tapi Toshiro dan Hatsuko tampak tertawa hu-hu hi-hi!
“Kemarikan tanganmu!” kata si nenek.
“Hendak kau patahkan lagi!?” ujar Wiro sambil mengulurkan tangan tapi ragu-ragu.
Begitu tangan sang pendekar terulur, si nenek meremasnya dengan keras. Kembali Wiro menjerit.
Tetapi ketika diperhatikannya, ternyata tangannya sudah utuh seperti semula. Sakitnya pun serta merta lenyap.
“Ilmu sihir!” kata Pendekar 212 pula.
Si nenek menggeleng. “Bukan, yang aku perlihatkan tadi adalah ilmu sungguhan. Yang pertama mematahkan tangan orang. Yang kedua menyembuhkannya. Nah, kau mau memiliki ilmu itu?”
Wiro mengangguk. “Tentu Nek. Tentu saja aku mau, tapi…tapi aku permisi dulu nek…”
“Eh, kau mau ke mana?!” tanya nenek muka kucing.
“Aku, aduh. Sudah tidak tahan! Aku mau kencing!” teriak Wiro lalu menghambur keluar gua.
Toshiro, Hatsuko, Akiko, dan si Nenek Neko tertawa terpingkal-pingkal.
“Aku diam-diam sudah menghitung. Seharian di sini, sudah duapuluh tiga kali dia kencing. Rupanya tidak tahan dingin!” kata si nenek. Lalu semuanya kembali tertawa riuh.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar