Kamis, 14 Januari 2010

Wiro Sableng Episode # 127 : Mayat Persembahan

posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito
EP : BADIK SUMPAH DARAH

1

Telaga Malakaji diselimuti kesunyian. Riak air telaga yang tertiup angin bahkan tidak mengeluarkan suara.
Di balik sebatang pohon besar dalam kegelapan, mendekam satu sosok berpakaian gelap. Sejak tadi sepasang mata orang ini memperhatikan ke arah pondok di tepi telaga di seberang sana. Dia melihat ada cahaya pelita suram menerangi bagian dalam pondok berdinding bambu.
Setelah sekian lama berada di balik pohon perlahanlahan orang tadi bergerak keluar. Melangkah cepat menyusuri tepian telaga hingga akhirnya sampai di samping pondok. Dia memeriksa bagian belakang bangunan tempat pembakaran besi. Tak ada bara menyala di tungku pelebur besi.
"Tak mungkin senjata itu ditinggal di luar sini," orang berpakaian gelap berkata dalam hati. "Pasti dibawa ke dalam. Menurut Kakek Sarontang senjata itu saat ini pasti sudah selesai dibuat."
Orang berpakaian geiap melangkah ke pintu pondok. Untuk beberapa lama dia berdiri di depan pintu itu. Di tanah dekat tangga dilihatnya ada sepotong belahan bambu. Diambilnya, lalu dimasukkan ke celah pinggiran pintu, dipergunakan untuk membuka kayu kecil pemalang pintu.
Daun pintu mengeluarkan suara berkereket halus ketika didorong. Sinar terang nyala lampu minyak menyeruak keluar. Orang itu tak segera masuk, berhenti dulu di ambang pintu. Sepasang matanya berputar cepat, memandang memperhatikan keadaan dalam pondok. Cahaya lampu yang menerangi wajahnya memperlihatkan bahwa dia adalah seorang pemuda.
Lampu minyak itu terletak di atas sebuah meja kayu. Berkelap-kelip pertanda minyaknya tinggal sedikit. Di sudut kiri ada sebuah lemari kecil yang bagian atasnya berbentuk rak. Lalu di samping lemari ini, agak terlindung dari cahaya lampu minyak terdapat sebuah balai-balai kayu. Di atas balai-balai itu terbujur sosok seorang berjubah merah, menghadap ke dinding. Walau tidak melihat wajah orang yang tidur tapi pemuda yang barusan masuk sudah tahu siapa adanya orang itu.
Untuk beberapa lamanya pemuda itu masih tegak tak bergerak di ambang pintu. Telinga dipasang seperti berusaha mendengar baik-baik hembusan nafas orang yang tidur. Sesaat kemudian baru dia langkahkan kaki. Yang didekatinya pertama kali adalah meja kecil dimana lampu minyak menyala.
Orang ini sudah sering datang ke pondok itu. Dia tahu betul, di sebelah bawah meja kayu ada sebuah laci. Benda yang dicarinya mungkin disimpan dalam laci itu. Sesaat dia berpaling memperhatikan sosok yang tidur di atas balai-balai kayu. Lalu hati-hati ditariknya laci di bawah meja. Ada beberapa benda di dalam laci meja. Diantaranya dua bilah pisau berkeluk tanpa sarung. Dia memeriksa lagi sambil membungkuk agar bisa melihat lebih jelas. Benda yang dicarinya tak ada di situ.
Perhatiannya kini tertuju pada lemari di samping balai-balai kayu. Tanpa suara dia melangkah mendekati lemari itu. Dalam rak di sebelah atas lemari kosong hanya ada sebuah kendi tua terbuat dari tanah. Dipandanginya pintu penutup lemari.
Dadanya berdebar. Dia tahu, dia pernah beberapa kali melihat lemari itu dibuka. Setiap dibuka lemari mengeluarkan suara berderik keras. Sesaat hatinya meragu. Tapi kalau lemari itu tidak diperiksa, kawatir benda itu benar-benar berada di dalamnya. Apa boleh buat.
Ternyata memang benar. Engsel pintu lemari mengeluarkan suara berderik keras ketika dibuka.
Orang yang membuka menoleh ke arah balai-balai.
Sosok yang tidur tidak bergerak. Dia meneruskan membuka lemari. Gelap. Bagian dalam lemari gelap, dia tak bisa melihat jelas. Terpaksa orang ini mengambil lampu minyak di atas meja, membawanya ke bagian depan lemari. Dia menggerutu dalam hati.
Dalam lemari hanya ada beberapa potong pakaian tua. Yang dicari masih belum ditemukan.
"Jangan-jangan orang tua itu menyimpan benda itu dalam saku jubahnya. Atau mungkin dibawah bantal. Bagaimana aku bisa mengambilnya…" membatin orang di dalam pondok. Lalu hatinya kembali berucap. "Tapi itu bukan kebiasaan Daeng Wattansopeng. Dia tak pernah membawa tidur barang bertuah. Juga tak pernah meletakkan bendabenda seperti itu dibawah bantal. Atau mungkin sekali ini ada pengecualian?"
Orang itu memandang ke arah rak di atas lemari.
Matanya untuk kesekian kalinya membentur kendi tanah di atas rak. Otaknya menduga-duga.
"Kendi tinggi. Lehernya besar. Cukup besar untuk menyimpan benda itu…" Lampu minyak diletakkan di atas rak. Lalu tangannya mengambil kendi tanah. Kendi didekatkan ke telinga kiri.
Diguncang perlahan. Ada suara bergemeletakan.
"Pasti …" desis orang itu. Mulut kendi dijungkirkan dibawah. Telapak tangan kiri menampung. Sebuah benda jatuh ke atas telapak tangan.
"Ah…" Si pemuda keluarkan seruan kecewa.
"Bukan!" Yang keluar dari dalam kendi adalah sepotong lempengan besi berwarna hitam kebirubiruan.
Agak kesal orang itu memasukkan lempengan besi ke dalam kendi. Kendi kemudian dikembalikan ke tempatnya semula. Belum sempat kendi diletakkan di atas rak tiba-tiba di sebelah belakang ada suara menegur.
"Bontolebang, apakah benda ini yang kau cari?"
Saking kagetnya kendi yang hendak diletakkan di atas rak jatuh ke bawah, pecah berkeningan di lantai pondok. Si pemuda cepat membalik. Di depan sana, orang berjubah merah yang tadi terbujur tidur kini dilihatnya duduk di tepi balai-balai kayu.
Menyeringai sambil memegang sebuah benda panjang satu setengah jengkel, memancarkan cahaya hitam kebiru-biruan. Itulah benda yang dicarinya. Badik Sumpah Darah!
Bontolebang, pemuda berpakaian biru gelap yang menyelinap masuk ke dalam pondok hanya bisa tegak tertegun. Mulut terbuka tapi tak ada suara yang mampu keluar.
Perlahan-lahan orang tua berjanggut putih menjela dada yang duduk di tepi balai-balai kayu bangkit berdiri. Dia bergerak mendekati Bontolebang dan berhenti sejarak dua langkah dari hadapan pemuda itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku Bontolebang.
Aku Daeng Wattansopeng bertanya. Apa badik ini yang kau cari?"
Pucatlah wajah si pemuda. Lututnya goyah.
Kalau tidak menguatkan diri saat itu mungkin dia sudah jatuh terduduk. Kepalanya digeleng ke kiri ke kanan.
"Hemmm… jadi kau bukan mencari senjata bertuah ini. Lalu menyelinap masuk ke pondokku, membuka laci meja, memeriksa lemari, memeriksa kendi, kau mencari apa?"
"Astaga, jadi semua apa yang kulakukan dia tahu, dia melihat," kata Bontolebang dalam hati. Kepala si pemuda yang tadi menggeleng kini menganggukangguk.
"Saya… saya disuruh Kakek Sarontang…" Bontolebang berucap terbata-bata.
"Kau disuruh Kakek Sarontang katamu?"
Sepasang mata Daeng Wattansopeng menatap tajam ke dalam mata si pemuda, seolah hendak menembusnya. Dua bola mata Bontolebang berputarputar.
Memandang ke arah lain, tak berani melihat mata orang tua di hadapannya. Si kakek tersenyum.
"Air mukamu pucat, bicaramu gagap. Lututmu bergetar goyah. Kau berdusta," berkata Daeng Wattansopeng. "Katakan hal yang sebenarnya."
"Saya…saya memang mencari badik itu…" Bontolebang akhirnya mengaku.
"Hemmm …" gumam serta senyum bermain di bibir Daeng Wattansopeng.
"Saya, saya memang tidak disuruh Kakek Sarontang.
Saya datang atas kemauan sendiri."
"Bagus, kau sudah bicara hal yang sebenarnya. Aku ingin tahu, mengapa kau menginginkan badik ini?"
"Saya, saya benci pada Kakek Sarontang…"
"Benci?" Daeng Wattansopeng kerenyitkan kening.
Dia sudah sejak lama tahu, selain merupakan cucu, antara pemuda itu dengan sang kakek ada satu hubungan tidak terpuji. Sarontang memperlakukan Bontolebang sebagai kekasih. Daeng Wattansopeng yang menganggap Sarontang sebagai saudara sendiri, sudah berulang kali menegur dan menasihati Sarontang agar menghentikan perbuatan mesum dan maksiat besar itu. Namun Sarontang tak pernah mendengar. Bahkan diketahui Sarontang juga punya kekasih-kekasih lain selain Bontolebang.
"Bontolebang, kenapa kau membenci kakekmu itu?" Bertanya Daeng Wattansopeng. (Baca Episode pertama berjudul "Badik Sumpah Darah)”

"Dia ingkar janji." Menjawab si pemuda.
"Janji apa?"
"Dulu dia pernah berkata. Kalau satu ketika Kakek Daeng Wattansopeng membuat sebilah badik bertuah, maka senjata itu akan dimintakannya dan diberikan pada saya. Ternyata senjata itu akan diberikannya pada orang yang barusan datang dari tanah Jawa."
"Oh, jadi orang dari Tanah Jawa itu sudah sampai di Tanah Bugis ini?"
Bontolebang mengangguk.
Daeng Wattansopeng membelai kumis dan janggut putihnya sesaat lalu berkata.
"Aku tidak keberatan memberikan badik bertuah ini padamu, jika memang senjata sakti ini berjodoh dengan dirimu."
Ada rasa kaget dan heran tapi juga gembira dalam diri Bontolebang. Hal ini kentara dari air mukanya yang langsung berubah.
"Saya, saya… tidak mengerti maksud Kakek…"
Daeng Wattansopeng ulurkan tangannya yang memegang badik tak bergagang.
"Ulurkan tanganmu, terima senjata ini."
Bontolebang merasa ragu.
"Mengapa bimbang? Kau inginkan badik ini bukan? Nah, ambillah!"
Dengan tangan kirinya Daeng Wattansopeng menarik tangan kanan Bontolebang. Telapak tangan dibalikkan ke atas. Lalu badik tak bergagang yang sejak tadi dipegangnya diletakkan di atas telapak tangan kanan, jari-jari digenggamkan. Badik tak bergagang tenggelam dalam genggaman si pemuda.
Hanya sesaat badik tergenggam, tiba-tiba Bontolebang merasakan ada hawa panas luar biasa seolah bara menyala memanggang tangannya. Asap mengepul. Bontolebang mengeluh keras. Tangannya bergetar hebat. Jari-jari terpentang membuka.
Bersamaan dengan itu badik tak bergagang yang barusan dipegangnya melayang ke atas setinggi satu tombak, hampir menyentuh langit-langit pondok. Tibatiba senjata itu melesat, menukik ke bawah, menyambar ke arah dada Bontolebang. Si pemuda berseru kaget. Cepat menyingkir.
"Breeettt!"
Tak urung dada baju birunya tersambar robek.
Keringat dingin memercik di muka Bontolebang yang berubah pucat pasi. Belum habis kaget dan ngerinya tiba-tiba badik tak bergagang kembali menderu. Kali ini melesat mengarah kepalanya.
Bontolebang jatuhkan diri ke lantai pondok.
Terlambat!
"Crasss!"
Daun telinga kiri pemuda itu kucurkan darah.
Badik tak bergagang sempat menyambar daun telinganya lalu melesat lagi ke langit-langit kamar siap untuk kembali menyerang.
Si pemuda cepat jatuhkan diri, berlutut di lantai pondok. Tangan kiri pegangi daun telinga yang luka, tangan kanan diletakkan di atas dada. Sambil membungkuk dia berkata.
"Kakek Daeng Wattansopeng. Saya mengaku salah. Maafkan saya…"
Kakek berjubah merah tersenyum. Dia angkat tangan kanannya. Badik tak bergagang melayang turun, segera dijangkau dengan tangan kanan.
"Badik ini tidak berjodoh denganmu Bontolebang."
"Saya tahu, saya mengerti…" jawab Bontolebang begitu mendengar ucapan Daeng Wattansopeng.
"Nasibmu masih untung Bontolebang. Badik ini masih belum diberi tuba. Kalau sudah bertuba, luka ditelingamu itu bisa membuat umurmu hanya tinggal beberapa kejapan mata saja…"
"Saya mengaku salah. Maafkan dan ampuni saya,"
kata Bontolebang dengan suara bergetar dan tengkuk dingin.
Daeng Wattansopeng duduk di tepi balai-balai kayu.
"Kau boleh meninggalkan tempat ini. Temui Sarontang. Kaiau orang dari tanah Jawa itu memang sudah datang, katakan pada Kakekmu itu agar membawanya ke sini pagi tiga hari dari sekarang.
Sebelum fajar menyingsing. Ingat, tiga hari dari sekarang, pagi hari sebelum fajar menyingsing."
"Perintah Kakek saya lakukan. Saya mohon diri…"
Bontolebang membungkuk dalam lalu berdiri dan cepat-cepat tinggalkan pondok itu. Daeng Wattansopeng benar. Kalau saja tubuh badik tak bergagang itu telah diberi beracun, saat itu dirinya pasti sudah menjadi mayat dengan kulit matang biru. Selain itu Bontolebang maklum, Daeng Wattansopeng memaafkan dirinya semata-mata hanya mengingat dia adalah cucu Kakek Sarontang.
Daeng Wattansopeng dalam setiap sikap dan ucapannya selalu tampak lembut. Tapi pada keadaan tertentu dia bisa bersikap tegas. Kalau saja dia bukan cucu Sarontang bukan mustahil tangan kanannya telah ditabas putus oleh Daeng Wattansopeng dengan badik tak bergagang itu.

2

Tanah Jawa. Hampir dua puluh lima tahun sebelum Badik Sumpah Darah diciptakan oleh Daeng Wattansopeng di Tanah Bugis…
Sejak pagi puncak Gunung Lawu diselimuti awan tebal kelabu. Dimana-mana mendung menggumpal.
Namun kemendungan yang membungkus wajah orang yang duduk bersila di dalam goa itu lebih tebal dan lebih gelap. Entah berapa lama Ki Sulung Kertogomo memandangi wajah itu sampai akhirnya dia membuka mulut berkata.
"Dimas Aryo Probo, memang kehidupan dunia menawarkan banyak kenikmatan. Nikmat harta, nikmat perempuan, nikmat pangkat dan jabatan.
Untuk itu manusia perlu banyak sabar, eling waspada dan lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta, agar tidak terperangkap masuk ke dalam jurang kehancuran. Karena sekali seseorang tercebur masuk jurang tersebut, sukar untuk dapat keluar lagi.
Aku mengerti sulit bagimu untuk melepas begitu saja tahta Keraton Pakubuwon. Kau merasa berhak untuk menduduki tahta itu. Kau merasa terusik sakit hati. Rasa sakit hati menimbulkan dendam. Karena kini tahta dikuasai oleh orang lain. Yang sebenarnya adalah masih keponakanmu sendiri. Kalau saja kau bisa membersihkan hati dan pikiran, bukankah lebih baik bagimu untuk melupakan tahta dan hidup sebagai Pangeran biasa. Dimana mungkin jalan hidupmu akan jauh lebih tenteram dan bahagia…"
"Mana aku bisa tenteram bahagia Kangmas Sulung. Tahta itu dirampas dengan cara membunuh kakakku Raden Pangestu. Lalu aku dihina dengan sebutan Pangeran Comberan. Kalaupun aku bisa melupakan tahta, tapi tidak mungkin bagiku melupakan kematian kakakku serta penghinaan atas diriku. Aku sudah bersumpah untuk menumpas penguasa keji yang bercokol di Keraton Pakubuwon.
Namun diri buruk ini tidak punya kekuasaan, juga tidak punya ilmu kepandaian apa-apa. Si penguasa dikelilingi oleh belasan tokoh silat berkepandaian tinggi. Jika aku berlaku nekad, kepalaku mungkin sudah lebih dulu menggelinding sebelum sempat menginjak tangga Istana. Itu sebabnya aku menemuimu untuk terakhir kali. Karena kau yang punya petunjuk atas apa yang harus aku lakukan.
Kalau aku memang perlu mengarungi lautan ke tanah seberang, jangankan lautan air, lautan apipun akan aku sabung. Aku sangat butuh pertolonganmu Kangmas Sulung."
Ki Sulung Kertogomo, orang tua yang duduk di atas tikar kulit harimau terdiam beberapa lama lalu menghela nafas dalam.
"Dimas Aryo Probo, kalau tekadmu sudah bulat, apa lagi sudah sampai pada mengangkat sumpah, aku merasa bersalah kalau tidak menolongmu. Tapi petunjuk yang aku lihat sungguh berat untuk dilaksanakan…"
"Kangmas Sulung, seperti aku katakan tadi, aku sanggup menyabung nyawa," kata Aryo Probo sang Pangeran. "Katakan saja kemana aku harus pergi, siapa yang harus kutemui."
"Di bekas Kerajaan Blambangan ada beberapa orang sakti. Di tanah Bali ada banyak tokoh utama berkepandaian tinggi. Di tanah Banten juga bertebaran orang-orang hebat. Namun petunjuk mengatakan bahwa Dimas tidak mungkin mempergunakan dan mendapatkan kepandaian dari semua orang-orang itu. Dimas ditentukan untuk harus berjalan jauh, menyeberangi lautan ke satu tempat di arah timur laut. Petunjuk menyatakan tanah itu adalah Tanah Bugis, Tanah Mengkasar, hampir dua bulan perjalanan dari sini, melalui darat dan mengarungi lautan luas."
"Jika petunjuk mengatakan begitu, aku akan melakukan. Tak ada kebimbangan dan keraguan di hatiku Ki Sulung."
"Yang akan jadi masalah bukan cuma jauhnya tempat tujuan, tetapi juga lamanya waktu yang harus Dimas nantikan."
"Maksud Kangmas?" tanya Aryo Probo.
"Dimas harus menunggu selama dua ratus delapan puluh delapan purnama atau hampir dua puluh empat tahun untuk mendapatkan sebilah sakti mandraguna. Hanya dengan senjata sakti itulah Dimas sanggup merebut dan menguasai tahta Pakubuwon."
Terkejutlah Pangeran Aryo Probo mendengar ucapan Ki Sulung Kertogomo itu.
"Konon, menurut petunjuk kemunculan senjata itu akan berbarengan dengan kemunculan seseorang di Tanah Bugis. Dialah kelak yang akan berjodoh mendapatkan senjata itu. Tapi dia hanya bisa memegang senjata tersebut untuk beberapa lama, yaitu sampai niat dan tujuannya tercapai. Setelah itu senjata tersebut akan menjadi milik Dimas, tapi juga hanya untuk waktu tertentu. Setelah itu senjata harus dikembalikan kepada si pembuat."
Termenung Pangeran Aryo Probo mendengar keterangan orang tua yang duduk di atas tikar kulit harimau itu.
"Kangmas Sulung, senjata yang ada dalam petunjuk itu, berupa apakah? Sebilah pedang, keris, golok mungkin?"
"Senjata itu berupa sebilah badik," jawab Ki Sulung Kertogomo.
Kembali Aryo Probo terdiam.
"Dimas Aryo, kalau boleh aku bertanya, berapakah usiamu saat ini?" Ki Sulung Kertogomo ajukan pertanyaan.
"Empat puluh lima tahun," jawab orang yang ditanya.
"Berarti pada saat Dimas Aryo mendapatkan senjata bertuah pembuka jalan untuk mendapatkan tahta Kerajaan Pakubuwon, usia Dimas Aryo akan sekitar tujuh puluh tahun. Di usia setua itu, apakah Dimas masih menginginkan tahta? Lagi pula selama seperempat abad Dimas harus meninggalkan Tanah Jawa ini, harus berada di Tanah Bugis."
Lama Aryo Probo berdiam diri. Ketika akhirnya dia bicara suaranya agak bergetar. "Mungkin itu satusatunya jalan atau takdir yang harus aku terima. Berada di Tanah Jawa ini seolah menginjak bara panas. Aku tidak akan mundur sekalipun harus menunggu seperempat abad. Waktu sekian lama bisa aku pergunakan untuk menimba ilmu kesaktian. Lalu jika kemudian tahta Pakubuwon memang tidak aku dapatkan, paling tidak kelak ada orang lain yang memang pantas dan berhak untuk menguasainya."
Ki Sulung Kertogomo menatap wajah Pangeran Aryo Probo sejenak. Pada wajah dan sepasang mata orang itu dia melihat tekad membara, gelegak dendam yang tak bisa diluluhkan. Maka orang tua inipun berkata. "Baiklah Dimas Aryo. Kalau tekadmu sudah bulat, aku tak berani melarang. Besok pagipagi, sebelum fajar menyingsing datanglah menemuiku. Akan aku katakan padamu Tanah Bugis mana yang harus kau tuju dan siapa yang harus kau temui."
"Terima kasih Kangmas Sulung. Aku minta diri dulu. Besok sebelum fajar aku akan datang kembali."
Kata Pangeran Aryo Probo pula sambil bangkit berdiri.
"Ada satu hal lagi perlu kukatakan Dimas Aryo,"
ujar Ki Sulung Kertogomo. "Jika kelak kau sudah menjejakkan kaki di Tanah Bugis, maka kau harus melenyapkan jati dirimu sebagai orang Jawa. Bahkan kau harus mengganti nama."
"Mengapa begitu Kangmas Sulung?" tanya Aryo Probo.
Begitulah ketentuan yang kulihat dan harus kau jalani, Dimas."
"Kalau memang demikian, aku akan melakukan."
Ki Sulung Kertogomo anggukkan kepala. Dia ikuti kepergian Pangeran itu dengan pandangan matanya. Dalam hati orang tua ini berucap. "Kasihan, aku melihat bukan tahta yang bakal didapatnya tapi satu kehidupan gelap di tepi jurang neraka. Apa lagi selama ini dia diketahui menjalani hidup sesat. Usia hampir setengah abad namun tak pernah menikah.
Hidup bergelimang maksiat dengan sesama jenis.
Apakah pantas orang seperti dia menjadi penguasa Kerajaan? Mudah-mudahan Illahi mau menolong.
Membuat dia membatalkan apa yang menjadi niat di hatinya."
Sesuai petunjuk Ki Sulung Kertogomo, Pangeran Aryo Probo seorang diri meninggalkan Tanah Jawa, berangkat berlayar menuju Tanah Bugis. Perahu tumpangannya berlabuh di Teluk Bantaeng. Hari telah gelap ketika gerobak sapi yang disewanya sampai di ujung satu rimba belantara.
"Saya hanya mengantar sampai di sini," kata kusir gerobak seorang pemuda bertubuh kerempeng berambut lebat hitam. "Jika Bapak berjalan terus dan lurus, pasti akan sampai di telaga. Berdiri di tepi telaga Bapak akan melihat sebuah pondok. Itulah tempat kediaman orang sakti yang Bapak cari."
"Mengapa kau tidak mengantarkan aku sampai ke pondok itu?" tanya Aryo Probo.
Kusir gerobak menggeleng. "Penghuni pondok itu orang tua aneh. Bila dia tidak suka pada seseorang, enak saja dia membunuh orang itu. Tidak jarang dia memasukkan manusia hidup-hidup ke dalam tungku pelebur besi. Dijadikan kayu pembakar!"
"Omong kosong, mana ada manusia sejahat itu."
"Terserah Bapak mau percaya atau tidak. Saya hanya mengantar sampai di sini. Harap Bapak memberikan bayaran sewa gerobak."
Walau agak kesal Aryo Probo turun dari gerobak sapi. Dari dalam buntalan dikeluarkannya sekeping perak dan diserahkannya pada kusir gerobak.
Suara derak roda-roda gerobak lenyap dikejauhan.
Sendirian di dalam gelap sambil memanggul buntalan di bahu kiri Aryo Probo memandang berkeliling. Lelaki ini terkejut dan keluarkan seruan tertahan ketika tibatiba di hadapannya berdiri satu sosok bungkuk sambil mengumbar suara tawa mengekeh.
Orang di hadapan Aryo Probo mengenakan jubah dalam hitam. Di kepalanya bertengger sebuah topi hitam berbentuk tarbus dan di bawah topi ini menjulai panjang rambut kelabu awut-awutan.
Wajahnya yang cekung tak berdaging nyaris menyerupai tengkorak, ditumbuhi janggut dan kumis lebat memutih seperti kapas. Malam begitu gelap namun sepasang mata orang ini seperti mengeluarkan cahaya, terlihat jelas, memandang Aryo Probo berputar turun naik dari atas ke bawah.
Tawa mengekeh terputus. Si jubah hitam luruskan tubuhnya yang bungkuk. Aryo Probo melengak kaget.
Ternyata dalam keadaan lurus sosok orang itu sangat tinggi. Kepala Aryo Probo hanya sampai sebatas dadanya.
"Orang dari seberang di tanah asing. Apakah kau manusianya yang bernama Aryo Probo?"
Tentu saja Aryo Probo menjadi kaget mendengar orang tahu dan menyebut namanya. Dia tidak menjawab, tak berani mengangguk. Hatinya membatin.
"Dia tahu aku orang seberang. Bahkan tahu namaku. Jangan-jangan sudah menguntit sejak dari teluk. Lalu muncul seperti hantu."
Aryo Probo pegang buntalan yang dibawanya erat-erat. Di dalam buntalan itu selain membawa beberapa potong pakaian dia juga membawa kepingan-kepingan perak dan emas sebagai bekal.
Setelah perhatikan orang Aryo Probo bertanya.
"Orang tua berjubah hitam. Kau mengejutkan diriku."
"Begitu? Ha… ha… ha…! Baru melihat manusia kau sudah terkejut. Bagaimana kalau melihat setan!"
"Siapa kau, orang tua? Ada maksud apa muncul seperti sengaja menghadangku."
Si orang tua mendongak lalu kembali keluarkan tawa mengekeh.
"Namaku Pattirobajo. Tapi sudah lama aku tidak memakai nama itu. Di negeri ini aku lebih dikenal dengan julukan Iblis Seribu Nyawa."

3

SEUMUR hidup baru kali ini Aryo Probo mendengar julukan seperti itu. Gelar aneh tak masuk akal tapi menyeramkan.
"Julukan hebat. Apa alasan orang menjuluki kau begitu rupa? Kau pasti cuma punya satu nyawa, tidak seribu."
Si jubah hitam terkekeh panjang dan manggutmanggut.
"Saat ini usiaku sudah mencapai seratus dua puluh tahun lebih! Puluhan kali maut menghadang diriku! Puluhan kali musuh berusaha membunuhku.
Dengan menantang terang-terangan. Dengan ilmu hitam. Tapi aku tidak mati-mati! Aku sudah bosan hidup!"
"Kalau tak ada musuh yang sanggup membunuh.
Kalau kau memang sudah bosan hidup, mengapa tidak bunuh diri saja?!" ujar Pangeran Aryo Probo pula.
Si orang tua terkekeh panjang. Dua tangannya di angkat ke udara. Tahu-tahu entah dari mana datangnya dalam genggaman dua tangannya telah terhunus dua bilah golok pendek yang saking tajamnya memancarkan cahaya berkilau walau dalam gelap.
"Ilmu hitam, orang ini punya ilmu hitam. Kalau tidak dari mana dia tahu-tahu bisa memegang dua bilah golok begitu rupa," kata Arya Probo dalam hati.
"Kau menyuruh aku bunuh diri! Akan aku lakukan ! Lihat!"
Dua tangan yang memegang golok berkelebat.
"Craaaass!"
"Kraaaaaakkk!"
Satu semak belukar rimbun rambas amblas.
Sebatang pohon putus terbabat lalu tumbang. Si jubah hitam ini seolah hendak membuktikan bahwa dua bilah golok yang dipegangnya bukanlah barang mainan. Sambil silangkan sepasang senjata itu di depan dada, dia keluarkan tawa panjang. Lalu dua bilah golok digorokkan ke lehernya kiri kanan.
"Greekk… greeeekkk… greeekkk… greeeekkk."
Dua golok tajam itu laksana menggorok batangan besi.
Aryo Probo membeliak besar menyaksikan kejadian itu.
Si orang tua rubah cara dia memegang gagang golok. Senjata runcing lancip itu kemudian ditusukkannya ke perut berulang kali.
"Duukk… duuuukkkk… duuukkk… tiukkk!"
Dua golok seperti menghunjam pada dinding batu atos!
Kembali Aryo Probo terkesiap.
Orang tua beijubah hitam melompat satu tombak ke udara. Sambil melompat dia bacokkan dua bilah golok ke batok kepalanya.
"Traang… traang… traang… traaaang!"
Golok-golok tajam seolah menghantam bola besi!
Belum puas memperlihatkan bahwa seluruh tubuhnya kebal tak mempan senjata tajam si orang tua tarik ujung rambutnya dengan tangan kiri lalu golok di tangan kanan ditabaskan.
"Tringg….!"
Rambut panjang kelabu tidak putus. Mata golok laksana mambabat kawat baja.
"Kau lihat? Kau saksikan sendiri!" Si orang tua berkata setengah berteriak dan delikkan mata ke arah Aryo Probo. "Dua golok jahanam ini tidak berguna! Tidak mampu membunuhku!" Lalu orang tua yang mengaku bernama Pattirobajo bergelar Iblis Seribu Nyawa bantingkan dua golok ke tanah.
"Bless! Bless!"
Dua golok amblas masuk ke dalam tanah.
Lenyap seolah ditelan bumi!
"Orang tua, senjata tajam tidak mempan, kau tidak cidera apa lagi mati. Itu berarti kau memiliki ilmu kesaktian yang melindungi dirimu hingga tak mempan senjata tajam. Dibacok, ditusuk sampai sejuta kalipun kau akan tetap hidup. Apa anehnya?!"
"Anehnya aku ingin mati tapi tak bisa mati!"
"Buang ilmu kesaktianmu, kau pasti bisa mati hanya dengan tusukan sehelai rumput!"
Iblis Seribu Nyawa menyeringai.
"Aryo Probo, dengar baik-baik. Aku sudah sepuluh tahun lebih menyirap kedatangan dirimu.
Sudah sepuluh tahun lebih aku menunggumu! Luar biasanya kau benar-benar muncul di Tanah Bugis ini! Setelah kau muncul apa aku akan melepaskan dirimu begitu saja?! Kau wakil malaikat maut yang sanggup mengakhiri hidupku!"
"Aneh, bagaimana bisa kejadian seperti itu. Kau menyirap kabar, kau menungguku. Menganggapku wakil malaikat maut!’
"Tak usah mempersoalkan segala macam keanehan. Sarontang, sekarang kau harus ikut aku ke lereng timur Gunung Lompobatang. Jangan barani menolak!"
"Sarontang? Siapa Sarontang?" tanya Aryo Probo sambil memandang ke samping kiri kanan lalu menoleh ke belakang karena mengira ada orang lain di sekitar situ.
"Sarontang. Itu nama barumu! Apa kau tidak ingat pesan Ki Sulung Kertogomo? Bahwa begitu kau menginjakkan kaki di Tanah Bugis kau harus mengganti nama?!"
Kejut heran Aryo Probo bukan kepalang.
"Orang tua, bagaimana kau bisa tahu semua.
Kau kenal dengan Ki Sulung Kertogomo?"
"Orang tua itu telah berpulang sewaktu kau masih mengarungi lautan menuju ke sini…"
"Astaga… Jangan kau berani bergurau. Ki Sulung Kertogomo sudah seperti kakak kandung bagiku!" bentak Aryo Probo.
"Siapa berani bergurau dengan nyawa dan roh manusia? Orang yang kau anggap sebagai kakak itu benar-benar telah meninggal sewaktu kau dalam perjalanan ke sini. Ketika suatu malam aku mencoba masuk ke dalam alam roh gaib, terjadi sambung rasa antara petunjuk yang pernah aku dapatkan dengan roh kakakmu. Aku sempat bertemu dan bertutur sapa dengan Ki Sulung…"
Aryo Probo terdiam. Sulit baginya untuk mempercayai ucapan si orang tua. Dia mengalihkan pembicaraan.
"Urusan apa aku harus ikut bersamamu?"
"Karena hanya engkau satu-satunya manusia yang ditakdirkan bisa membunuh dan mengakhiri hudupku! Aku tahu apa tujuanmu datang ke Tanah Bugis ini…"
"Apa? Coba sebutkan," ucap Aryo Probo ingin menguji.
"Kau ingin menemui kakek yang tinggal di tepi Telaga Mala kaji. Kau ingin menemui Daeng Wattansopeng, kakek sakti pembuat senjata bertuah.
Kau ingin mendapatkan sebilah senjata. Sebilah badik. Badik Sumpah Darah!"
Aryo Probo benar-benar heran. Bagaimana orang ini bisa tahu begitu banyak tentang diri dan perjalanannya?
"Aryo Probo, Pangeran dari Keraton Pakubuwon.
Dengar baik-baik. Badik Sumpah Darah. Itu satu-satunya senjata yang bisa menamatkan riwayatku. Tetapi aku hanya bisa menemui kematian kalau kau yang menikamkan badik itu pada diriku…"
Aryo Probo ternganga, geleng-gelengkan kepala, Tak bisa keluarkan suara.
"Aku tak ingin mati di tempat sembarangan.
Aku ingin mati di tempat ibuku melahirkan diriku. Di tebing batu di lereng timur Gunung Lompobatang.
Aku akan membawamu ke sana agar kau tahu tempatnya. Jika kau sudah mendapatkan Badik Sumpah Darah maka kau harus mendatangi diriku di lereng gunung tempat kediamanku. Membunuhku.
Menghabisi diriku!"
"Bagaimana… Bagaimana kalau sesudah mendapatkan badik itu aku tidak datang ke tempat kediamanmu, tidak membunuhmu?" bertanya Aryo Probo.
Si kakek delikkan mata lalu tertawa mengekeh.
"Itu satu pertanyaan tolol. Lebih tolol jika kau tidak melakukan apa yang aku katakan! Dengar Pangeran, jika kau tidak membunuhku, kau akan ditimpa kualat seumur-umur. Dirimu akan termakan sumpah kutukku. Apa yang menjadi tujuanmu tidak akan kesampaian. Malah kau akan celaka sengsara seumur-umur…"
Aryo Probo tak ingin mau mempercayai ucapan Pattirobajo alias Iblis Seribu Nyawa. Tapi tak urung bulu kuduknya berdiri juga.
"Sekarang kau jangan banyak bicara. Aku akan membawa ke Gunung Lompobatang!"
Habis berkata begitu tiba-tiba si orang tua luruskan tubuhnya. Sosok Iblis Seribu Nyawa berubah jangkung. Tangan kanannya laksana kilat menyambar tengkuk baju Aryo Probo.
"Lepaskan!" teriak Aryo Probo.
Iblis Seribu Nyawa menjawab dengan sunggingan seringai. Aryo Probo hantamkan jotosan keras ke dada si orang tua. Tapi dia menjerit sendiri kesakitan amat sangat seolah barusan memukul batu keras.
Si orang tua tertawa mengekeh. Dengan dua jari tangan kirinya dia tusuk kening Aryo Probo.
Kejap itu juga Pangeran dari Pakubuwon ini mendadak kaku sekujur tubuhnya.
"Iblis Seribu Nyawa, jika kau berani menyakiti diriku, aku bersumpah akan membalas seribu kali lebih hebat!" mengancam Aryo Probo.
Pattirobajo tidak perdulikan ancaman orang.
"Aryo Probo. Kau beri kematian padaku. Sebagai balasan aku akan memberikan satu ilmu kesaktian hebat padamu. Kau cukup membalasnya dengan Mayat Persembahan."
"Mayat persembahan? Apa pula itu? Apa maksudmu?" tanya Aryo Probo.
"Setiap bulan mati kau berkewajiban menyerahkan seorang pemuda, lajang, belum kawin padaku. Pemuda itu harus dalam keadaan mati, tak bernyawa. Bila tiba saatnya kau dapat mewakilkan kewajiban itu pada orang lain. Orang lain itu yang kelak harus menyerahkan mayat seorang pemuda padamu."
Aryo Probo terdiam. Tengkuknya terasa dingin.
"Gila…" katanya kemudian.
Iblis Seribu Nyawa tertawa bergelak. "Sarontang, dunia ini memang dipenuhi seribu satu kegilaan.
Kita harus ikut berlaku gila agar dianggap orang sebagai manusia wajar. Ingat hal itu baik-baik!"

4

SEJAK sore udara di kawasan Telaga Malakaji dipenuhi oleh kelelawar yang beterbangan kian kemari.
Sampai matahari terbenam dan malam datang membawa kegelapan binatang-binatang itu masih berkeliaran. Suara kepak sayap lebar disertai sesekali suara kuikan keras terdengar tak berkeputusan.
Dini hari menjelang datangnya Subuh, di atas balai-balai tidurnya Daeng Wattansopeng terbaring pejamkan mata. Orang tua ini tidak sedang tidur karena getaran bibirnya memberi pertanda bahwa dia tiada henti berzikir menyebut nama Allah. Di tangan kanannya ada seuntai tasbih berwarna hijau.
Tiba-tiba getaran bibir terdiam. Suara hati terhenti.
Sepasang mata yang sejak tadi terpejam membuka nyalang, menatap tajam ke arah langit-langit pondok kayu di atasnya.
Barusan telinganya menangkap suara sesuatu berkelebat halus sekali di atas sana. Daeng Wattangsopeng tahu betul itu bukan suara kepak sayap kelelawar. Orang tua ini seorang berkepandaian tinggi yang kemampuan pendengarannya luar biasa. Dia sanggup mendengar suara gesekan daun di jarak belasan tombak. Jika tadi dia hanya bisa mendengar suara kelebat sangat halus, berarti siapapun adanya mahluk di atas atap maka dia juga memiliki kepandaian hebat.
Perlahan-lahan Daeng Wattansopeng bangun dari tidurnya. Duduk di pinggiran balai-balai kayu. Dua matanya masih terus mengawasi langit-langit pondok.
"Ada orang di atas atap." kata Daeng Wattansopeng dalam hati. "Aneh, seumur hidup baru kali ini aku kedatangan tamu bukan muncul di pintu tapi melayang di atas atap…"
Orang tua ini ingat janjinya dengan Sarontang yang disampaikan lewat Bontolebang. Lalu dia menghitung hari.
‘Tidak mungkin Sarontang datang menyalahi janji. Menurut hitunganku hari ini baru hari kedua sebelum fajar menyingsing. Janjiku, meminta dia datang pada hari ke tiga sebelum fajar. Lagi pula Sarontang tidak akan datang dengan cara seperti ini. Naik ke atas atap. Dan Sarontang datang tidak akan sendirian. Karena sudah diketahui dia akan membawa tamu yang datang dari Tanah Jawa."
Daeng Wattansopeng usap-usap janggut pulih yang menjulai sampai di dadanya. Dia coba menduga-duga siapa gerangan orang yang datang, seperti seekor burung hinggap menjejakkan kaki di atas atap pondok. Berpikir cukup lama, Daeng
Wattansopeng tak bisa menduga siapa adanya orang di atas sana. Dia merasa tidak ada janji dengan orang lain. Cara datang yang aneh membuat si orang tua merasa risau tapi tetap berlaku tenang.
Tasbih di tangan kanan yang sejak tadi dipegangnya dimasukkan ke dalam kantung jubah merah. Dia menatap kembali di atas atap lalu menegur.
Suaranya keras tapi nadanya lembut.
"Tamu di atas atap, silakan turun. Pintu pondok terbuka menerima kedatanganmu."
Setelah ditegur begitu rupa Daeng Wattansopeng mengira orang yang ada di atas atap akan melayang turun dan menuju pintu pondok. Tapi apa yang kemudian terjadi membuat orang tua ini terkejut. Atap pondok di atasnya mendadak jebol besar. Dari jebolan atap melayang turun satu sosok serba putih.
Ketika sosok itu berdiri tegak di lantai pondok, Daeng Wattansopeng dapatkan dirinya berhadapan dengan seorang yang tak dikenal. Orang ini berusia sekitar empat puluhan, bermuka putih, mengenakan pakaian panjang sampai ke kaki berwarna putih.
Kepalanya ditutup sehelai kerudung kain putih tebal yang menjulai menutup sampai ke bagian belakang kepala terus ke punggung. Kerudung putih ini kelihatan agak aneh karena di bagian belakang kepala ada dua buah lobang kecil. Luar biasanya setiap orang ini menghembuskan nafas terasa sambaran angin panas.
"Aku berhadapan dengan seseorang berkepandaian tinggi," membatin Daeng Wattansopeng.
"Melihat pada cara masuk dan gerak-geriknya aku kawatir dia tidak berhati baik. Datang membekal niat buruk."
Setelah pandangi orang di hadapannya sejurus lamanya, Daeng Wattansopeng lalu menegur.
"Kerabat tak dikenal, siapa dirimu adanya.
Mengapa masuk ke pondokku dengan cara merusak? Menjebol atap padahal ada pintu?"
Orang yang ditegur diam saja, menatap tajam ke arah Daeng Wattansopeng. Ketika Daeng Wattansopeng balas menatap terkejutlah orang tua ini. Astaga! Dia baru melihat, baru menyadari!
Manusia tak dikenal di depannya itu memiliki bola mata aneh. Dua bola matanya bukannya bulat tetapi berbentuk segit tiga dan berwarna hijau.
"Luar biasa, harimau jejadianpun matanya tidak seperti ini," membatin Daeng Wattansopeng. Dia mulai berlaku waspada. Agaknya tamu tak dikenal ini benar-benar datang tidak membawa maksud baik.
Mungkin menginginkan senjata sakti yang baru saja selesai dibuatnya!
"Daeng Wattansopeng," tiba-tiba si jubah putih berkerudung aneh berucap. "Aku menyirap kabar bahwa dalam beberapa hari ini kau menunggu kedatangan saudaramu bernama Sarontang yang akan membawa seorang tamu dari Tanah Jawa.
Benar?"
Daeng Wattansopeng tidak segera menjawab.
Tamu tak dikenal ternyata tahu bahwa dia tengah menunggu kedatangan orang. Yakni Sarontang yang akan membawa tamu dari Tanah Jawa.
"Benar," Daeng Wattansopeng akhirnya berikan jawaban.
"Apakah tamu itu seorang pemuda bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"
Kening Daeng Wattansopeng mengerenyit.
Kepalanya digelengkan. "Aku tidak pernah mengenal orang dengan nama dan julukan yang kau sebutkan itu."
Mata berbentuk segitiga menatap tajam dan pancarkan cahaya angker seolah hendak menjajagi apakah Daeng Wattansopeng bicara benar atau dusta. Orang lain dipandang seperti itu mungkin akan tergetar hati dan ciut nyalinya. Tapi Daeng Wattansopeng tetap tenang. Tiba-tiba orang tua ini merasakan ada getaran aneh di lantai pondok. Lalu satu hawa panas menyusup masuk ke telapak kakinya.
Dalam kagetnya orang tua ini cepat kerahkan tenaga dalam. Hawa panas masih terus menjalar naik ke kaki, naik lagi ke paha. Ketika mencapai perut di mana terletak pusat tenaga dalam yang dimiliki Daeng Wattansopeng, hawa panas itu tak mampu menembus.
"Desss!"
Satu letupan halus menggema. Asap putih mengepul-dari balik jubah merah Daeng Wattansopeng. Orang tua ini perhatikan wajah dan sepasang mata orang di hadapannya. Dia maklum, jelas barusan tamu tak dikenal itu tengah menguji kekuatannya dengan cara menghantamkan hawa sakti melalui lantai pondok. Daeng Wattansopeng tengah berpikir apakah dia perlu membalas kelancangan orang. Tiba-tiba seperti tadi kembali dia merasa lantai pondok bergetar. Lalu ada hawa dingin luar biasa merasuk masuk ke telapak kaki kiri. Membuat orang tua ini bergetar sekujur tubuh dan bergemeratakan rahangnya. Hawa dingin mencoba naik ke atas, menenbus pusat tenaga dalam dibagian perut. Wattansopeng kencangkan perutnya, tahan nafas, kerahkan tenaga dalam.
"Desss!"
Seperti tadi terdengar letupan. Dari balik jubah Daeng Wattansopeng mengepul asap kehitaman. Di depan sana lelaki berkerudung putih kelihatan bergoncang tubuhnya lalu tersurut dua langkah.
Dari mulutnya keluar suara bergumam. Lalu ada suara lain seperti memaki halus.
"Aneh, aku mendengar ada dua suara," membatin Daeng Wattansopeng. "Siapa sebenarnya tamu lancang tak diundang ini. Saatnya aku memberi pelajaran."
Kalau orang menjajal dirinya secara diam-diam maka lain halnya dengan Daeng Wattansopeng. Dia tak mau membokong lawan secara pengecut. Sambil letakkan dua telapak tangan di depan dada, sambil membungkuk orang tua ahli pembuat senjata bertuah ini berkata.
"Kerabat tak dikenal, terima kasih kau telah sudi memberi pelajaran padaku. Aku Daeng Wattansopeng ingin belajar lebih jauh padamu."
Habis berkata begitu Daeng Wattansopeng mendongak ke arah atap pondok yang jebol. Dari tempatnya berdiri dia dapat melihat langit gelap kelam di atas sana. Saat itu enam ekor kelelawar besar tengah berkelebat terbang di atas atap. Daeng Wattansopeng kedipkan dua matanya. Bersamaan dengan itu tangan kanannya diturunkan ke bawah, telapak disentakkan ke arah lantai pondok. Enam ekor kelelawar besar yang melewati atap pondok yang jebol, laksana disedot satu kekuatan dahsyat keluarkan suara menguik keras lalu melesat ke bawah. Sayap-sayap mereka berubah seperti tebasan senjata tajam. Kuku-kuku mereka mencakar ganas. Enam binatang ini menyerang orang berkerudung putih dari enam jurusan. Tiga di bagian kepala, tiga di arah badan!
Orang yang mendapat serangan berseru kaget.
Dua kepala didongakkan, tangan kanan dihantamkan.
Dua larik sinar hijau angker melesat dari sepasang matanya. Tiga ekor kelelawar besar yang menyerang bagian kepala hancur berantakan. Asap hijau sesaat menutupi pondok.
"Bukk! Bukkk!"
Dua ekor kelelawar yang menyerang bagian badan remuk, terpelanting dan amblas masuk ke dalam dinding. Kelelawar ke enam satu-satunya yang lolos, sempat menghunjamkan cakarnya ke bagian dada orang berjubah putih.
"Breettt!"
Jubah robek besar. Orang yang diserang keluarkan seruan keras. Tangan kirinya menghantam. Kelelawar menguik dan terkapar di tanah dalam keadaan hancur.
"Terima kasih, kau telah sudi memberi pelajaran padaku," kata Daeng Wattansopeng lalu membungkuk.
Muka putih orang berjubah kelihatan merah kelam membesi. Mulutnya berkomat-kamit keluarkan suara menggerutu. Saat itu secara aneh Daeng Wattansopeng kembali mendengar suara lain. Dia berusaha mencari tahu siapa yang bicara tapi tak berhasil.
"Daeng Wattansopeng, kau merobek pakaianku…."
"Ah, harap maafkan. Bukan aku yang melakukan tapi kelelawar itu," jawab Daeng Wattansopeng sambil tersenyum.
"Aku tidak akan melupakan, aku tidak akan memaafkan."
"Kerabat tak dikenal, kalau cuma jubah yang robek aku bisa menggantinya. Apakah kau bersedia memperbaiki atap pondokku yang telah kau rusak?"
"Aku tak punya waktu untuk memperbaiki atapmu!"
"Hemmm. Kalau begitu harap kau memberi tahu siapa dirimu adanya. Dari logat bicaramu aku bisa menduga kau bukan orang sini. Juga bukan orang dari Tanah Jawa."
"Aku merasa tidak perlu menjawab pertanyaanmu.
Aku akan pergi. Tapi ingat, aku akan kembali lagi untuk memastikan siapa adanya tamu yang datang dari Tanah Jawa bersama Sarontang."
"Tadi kau memberi tahu kalau kau mencari seorang pemuda bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ketahuilah, tamu yang dibawa Sarontang bukan orang yang kau cari. Tapi jika kau mau tahu dan ingin melihat dengan mata kepala sendiri, silahkan datang besok pagi. Hanya kuharap kau datang membawa bahan untuk memperbaiki atapku yang kau rusak. Syukur-syukur kau datang membawa seorang tukang sekalian…." Daeng Wattansopeng berkata sambil sunggingkan senyum mengejek.
Merasa diejek si jubah putih berkata.
"Daeng Wattansopeng. Membuat aku tersurut satu langkah dalam adu kekuatan tadi, jangan mengira ilmu kepandaianmu ada di atasku. Jangan memandang sebelah mata padaku. Kalau orang dari Tanah Jawa itu memang Wiro Sableng adanya, kau harus menyerahkannya padaku. Jika kau berani menolak, bukan cuma pondokmu yang kuhancurkan, tapi juga tubuhmu!"
"Sungguh tak dinyana. Betapa mudahnya kau mencari lantai terjungkat, membuat permusuhan tanpa mau menyadari kesalahan sendiri’ merusak rumah orang! Kau bicara hebat bahkan terlalu takabur. Tapi terlalu pengecut untuk memberi tahu siapa dirimu dan kau datang dari mana!"
"Aku datang dari negeri jauh. Aku jelaskanpun kau tidak bakal mengerti!"
"Kalau begitu katakan saja siapa namamu, juga gelar julukanmu jika kau punya."
"Namaku Lajundai. Aku datang dari Negeri Latanahsilam! Aku berjuluk Hantu Muka Dua. Wiro Sableng adalah musuh besarku. Dia menghancurkan Istana miliki. Membuat aku terpesat ke negeri ini. Di Latanahsilam aku tak berhasil membunuhnya. Mungkin dia ditakdirkan harus mati di negeri sendiri."
"Kalau pemuda bernama Wiro Sableng itu memang musuh besar yang ingin kau habisi, mengapa tidak langsung datang mencarinya ke Tanah Jawa?"
"Aku tidak tahu di mana letak Tanah Jawa. Dari Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun silam, aku terpesat ke Tanah Bugis ini. Mendengar kabar bahwa ada seseorang yang akan datang ke sini, bersama seorang pemuda dari Tanah Jawa, apa salahnya aku menunggu sampai orang itu muncul.
Kalaupun dia bukan Wiro Sableng, masih ada kesempatan untuk bertanya padanya di mana musuh besarku itu berada."
Habis berkata begitu sosok berjubah putih bergerak berputar lalu melesat ke atas atap yang berlubang. Di atas atap dia tidak terus berkelebat pergi melainkan tegak di pinggiran jebolan atap dan berkata.
"Daeng, ingat. Aku akan datang kembali." Saat itu Daeng Wattansopeng ingin sekali menghantam si jubah putih berkerudung dengan pukulan sakti, namun dia berusaha mempersabar diri. Hanya memperhatikan sampai orang di atas sana berkelebat pergi.
"Negeri Latanahsilam…" kata Daeng Wattansopeng perlahan. "Di manakah itu? Tadi waktu sosoknya berputar aku sempat melihat ada dua buah lobang pada kerudung di bagian belakang kepalanya.
Sebelumnya aku mendengar seperti ada suara orang lain. Hantu Muka Dua…. Apakah orang tadi benarbenar memiliki dua buah muka sesuai dengan julukannya?" (Mengenai Hantu Muka Dua harap baca riwayat petualangan Pendekar 212 Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam mulai dari Episode "Bola-Bola Iblis" s/d Episode "Istana Kebahagiaan" terdiri dari 18 episode).

5

SEBELUM sampai pada hari ke tiga, hari perjanjian di mana Sarontang dan Adipati Jatilegowo akan datang ke tempat kediaman Daeng Wattansopeng di Telaga Malakaji, kita kembali dulu pada satu peristiwa yang terjadi di tanah Jawa beberapa waktu lalu.
Dalam Episode berjudul "Senandung Kematian"
dituturkan terjadinya satu pertempuran hidup mati antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Damar Wulung alias Adisaka yang dibantu Pangeran Matahari musuh bebuyutan murid Sinto Gendeng.
Wiro akhirnya berhasil merampas kembali keris pusaka Keraton yakni Keris Naga Kopek yang dicuri Damar Wulung. Senjata mustika sakti itu kemudian diserahkannya pada Sutri Kaliangan, putri Patih Kerajaan.
Sebenarnya Sutri ingin sekali berada lebih lama bersama Wiro. Bukan saja karena diam-diam gadis rupawan ini telah terpikat hatinya pada Pendekar 212, tapi dia juga ingin kepastian bahwa Wiro benarbenar akan mencarikan obat untuk menyembuhkan sakit berat yang diderita ayahnya. Namun Sutri Kaliangan menyaksikan, di tempat itu ada tiga orang gadis cantik yang diketahuinya sama-sama mencintai Wiro. Maka walau dengan berat hati, di samping harus segera menyerahkan keris pusaka Keraton pada Sri Baginda, Sutri Kaliangan terpaksa meninggalkan Pendekar 212.
"Gadis itu, seorang diri kau biarkan membawa senjata pusaka Kerajaan, apakah tidak berbahaya?
Aku kawatir…." Naga Kuning yang tegak di samping Setan Ngompol berkata.
"Seharusnya kau minta aku menemaninya," kata Setan Ngompol. "Aku tak keberatan duduk menunggang kuda bersamanya. Ha… ha… ha!" Setan Ngompol tertawa bergelak lalu cepat tekap bagian bawah perutnya yang siap hendak mengucur.
"Kotaraja tak jauh dari sini. Lagi pula keadaan kurasa sudah cukup aman. Dan Sutri memiliki ilmu pedang yang bisa diandalkan," ujar Wiro pula. Dia memandang pada bocah jabrik, melirik pada nenek bermuka setan yang dikenal dengan julukan Gondorowo Patah Hati.
"Naga Kuning sahabatku, ada beberapa hal penting yang harus aku kerjakan. Tak mungkin kulakukan seorang diri. Aku minta kau dan Setan Ngompol ikut membantu…."
"Kalau memberi pekerjaan jangan yang susahsusah.
Nantiaku sulit kencing!" kata Setan Ngompol. Wiro tersenyum.
"Membantumu boleh-boleh saja. Tapi apa kau tega…." Naga Kuning pegang dan elus-elus tangan Gondorowo Patah Hati hingga si nenek tersipu malu dan cepat tarik tangannya. Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini jadi sama-sama tertawa melihat kelakuan si bocah. "Puluhan tahun aku tak pernah bertemu dengan dia, begitu bertemu kau hendak memisahkan kami dengan memberikan satu pekerjaan."
"Aku tidak bermaksud memisahkan kalian.
Syukur-syukur Nenek Gondorowo Patah Hati mau membantu."
"Katakan pekerjaan apa yang harus kami lakukan?" bertanya Setan Ngompol.
"Pekerjaan mudah, menyirap kabar di mana beradanya bunga melati hitam…."
"Melati hitam?" Setan Ngompol dan Naga Kuning berucap berbarengan.
"Di mana-mana yang namanya kembang melati itu warnanya putih," kata Naga Kuning. "Ini bukan pekerjaan mudah!"
"Mungkin ada kembang melati yang gosong?!"
ujar Setan Ngompol lalu tertawa bergelak. "Ada-ada saja!"
"Kalau urusan kembang seharusnya diurus oleh orang-orang perempuan. Bukan kami orang lakilaki!"
ujar Naga Kuning. Dia melirik pada tiga gadis cantik di depannya. "Wiro, mengapa tidak mereka saja yang kau tugasi menyirap di mana beradanya kembang melati gosong itu?"
Wiro terdiam tapi palingkan wajahnya memandang pada Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini yang juga sama memandang ke arahnya.
"Wiro, jika kau memang ingin kami yang mencari bunga melati hitam itu, kami bersedia saja melakukan…." berkata Ratu Duyung. Anggini mengiyakan sementara Bidadari Angin Timur diam saja.
Pendekar 212 menggaruk kepalanya.
"Sebenarnya ada hal lain yang jadi tanggung jawabku dan perlu kuselidiki. Tapi waktuku sempit dan seperti tadi aku katakan, tak mungkin semua urusan kutangani sendiri. Kalau kalian bertiga sudi menolong…."
"Katakan mengenai apa?" tanya Ratu Duyung.
"Pedang Naga Suci 212. Senjata mustika itu tidak ditemukan pada jenazah Puti Andini.
Seseorang telah mencurinya."
"Pangeran Matahari!" kata tiga gadis serempak.
"Pasti dia yang telah mencuri pedang itu setelah membunuh Puti Andini." (Mengenai kematian Puti Andini harap baca serial Wiro Sableng Episode berjudul "Makam Ke Tiga" dan "Senandung Kematian")’
"Ini urusan sangat berbahaya. Setiap hal yang ada sangkut pautnya dengan pangeran jahanam itu maut tantangannya…."
"Kami bertiga tidak takut. Malah kalau kami bisa membunuh mahluk terkutuk itu rasanya kami sudah berbuat jasa besar untuk rimba persilatan Tanah Jawa ini," kata Anggini murid Dewa Tuak bersemangat.
"Kami bertiga akan menyelidik dan mencari pedang keramat itu," kata Ratu Duyung ikut bersemangat.
Bidadari Angin Timur anggukkan kepala namun dalam hatinya gadis ini mengeluh. "Sekian lama terpisah, tercerai berai oleh berbagai kejadian, setelah bertemu mengapa sampai hati menginginkan perpisahan ini? Aku tahu semua yang kau katakan adalah urusan penting. Tapi apakah tidak ada sedikit waktu luang bagi kita berdua untuk bersepi diri, bercakap-cakap membicarakan hal yang selama ini masih belum sempat saling kita ungkapkan? Lebih dari dua puluh empat purnama kau pergi, sekarang pada saat perjumpaan apakah tak ada sedikit kesempatan dapat kau berikan padaku…."
Wiro mengangguk dan mengucapkan terima kasih berulang kali pada tiga gadis cantik itu tanpa mampu memperhatikan kelainan sikap Bidadari Angin Timur. Lalu dia berpaling, memandang pada Naga Kuning, Setan Ngompol dan Gondorowo Patah Hati.
"Wiro," Setan Ngompol berucap. "Aku pernah muda, juga pernah tua. Bercinta di masa tua jauh nikmatnya dibanding bercinta di masa muda’.
Kuharap kau tidak membebani kakek nenek jelek ini untuk melewati hari-hari bahagia mereka. Biar aku mewakili keduanya menyirap dan mencari bunga melati hitam itu."
Dibilang nenek jelek Gondorowo Patah Hati yang aslinya bernama Ning Intan Lestari pelototkan matanya pada Setan Ngompol hingga kakek satu ini tersurut dan pancarkan air kencing. Tapi Naga Kuning sendiri kelihatan senyum-senyum senang.
Soporti diketahui bocah ini sebenarnya adalah seorang kakek berusia sekitar seratus dua puluh tahun dikenal dengan panggilan Kiai Paus Samudera Biru. Sewaktu muda dia pernah menjalin cinta dengan Ning Intan Lestari namun nasib memisahkan mereka satu sama lain selama puluhan tahun.
Walau Setan Ngompol berucap begitu namun Wiro merasa ragu kakek konyol tukang kencing ini akan benar-benar mau membantunya.
Saat itu tiba-tiba untuk pertama kalinya Gondorowo Patah Hati berkata. "Tiga puluh tahun lalu aku pernah mendengar riwayat tentang bunga melati hitam itu. Bunga itu dikenal dengan nama Melati Tujuh Racun. Kalau tidak terjadi perubahan, walau sangat sulit mungkin aku masih bisa menyelidik di mana bunga itu beradanya. Kalau aku boleh bertanya, untuk apakah bunga melati hitam itu bagimu? kalau aku menemukan, berapa kembang harus kuambil?"
"Saat ini aku belum bisa memberi tahu untuk apa bagiku melati hitam itu. Nek, kau cukup hanya memberi tahu padaku di mana beradanya bunga itu.
Biar nanti aku sendiri yang akan mengambilnya.
Mengenai jumlahnya kalau kau bisa menemukan cukup satu tangkai saja. Nek, kalau kau bisa menolong, aku benar-benar sangat berterima kasih…."
Gondorowo Patah Hati berpaling pada Naga Kuning. Si bocah menghela nafas panjang, bersungut-sungut lalu berkata.
"Orang bercinta seharusnya mencari bunga mawar merah, bukan melati gosong!"
Diiringi gelak tawa tiga gadis cantik Naga Kuning dan Gondorowo Patah Hati segera tinggalkan tempat itu. Setan Ngompol sesaat tegak termangu sambil pegangi bagian bawah perutnya yang basah kuyup.
Akhirnya kakek ini berkelebat pula ke arah lenyapnya Naga Kuning dan Gondorowo Patah Hati.
Setelah orang-orang itu pergi Wiro berpaling pada tiga gadis cantik di hadapannya.
"Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung, Anggini.
Kita terpaksa berpisah di tempat ini. Dalam menyelidik Pedang Naga Suci 212 berlakulah hatihati.
Aku berharap, pada purnama tiga minggu di muka kita bisa bertemu di puncak Bukit Menoreh di selatan Kotaraja…."
"Kau sendiri hendak ke mana dan mau melakukan apa Wiro?" tanya Bidadari Angin Timur.
"Sesuatu yang tak kalah penting dan berbahayanya dengan apa yang akan kalian lakukan.
Sekali lagi hati-hatilah…."
Saat itu ingin sekali Wiro memeluk ke tiga gadis itu satu persatu namun dia sadar hal itu tidak mungkin dilakukan. Dia hanya bisa menatap tiga wajah gadis cantik jelita itu lalu akhirnya tinggalkan tempat itu.
"Aneh," kata Anggini. "Dia tidak memberi tahu untuk apa bunga melati hitam itu."
"Benar, bukankah Wiro telah berjanji pada putri Patih Selo Kaliangan bahwa dia akan mencari obat penyembuh racun ular yang mendekam di tubuh sang patih yang menyebabkan orang ke dua di Kerajaan itu saat ini terbaring sakit dan lumpuh," ikut bicara Ratu Duyung.
"Yang jadi pertanyaan, dari mana Wiro dapat petunjuk bahwa bunga melati hitam itu merupakan obat bagi kesembuhan Patih Kerajaan? Setahuku selama ini dia tidak pernah bertemu orang pandai," ujar Anggini pula sambil memandang pada Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur. Ratu Duyung mengangkat bahu. Sedang Bidadari Angin Timur tak menjawab. Gadis ini palingkan wajah, memandang ke jurusan lain.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" bertanya Ratu Duyung. "Langsung tinggalkan tempat ini menyelidik lenyapnya Pedang Naga Suci 212?"
"Makin cepat kita mulai menyelidik makin baik," menyahuti Anggini.
"Tunggu dulu," kata Bidadari Angin Timur. "Wiro tidak mau memberi tahu apa yang hendak dikerjakannya. Tadi aku memperhatikan. Sewaktu meninggalkan tempat ini tadi, Wiro pergi ke arah yang sama dengan perginya Sutri Kaliangan.
Jangan-jangan sebenarnya dia hendak menyusul gadis itu…."
Jelas ada rasa cemburu terbayang pada ucapan Bidadari Angin Timur.
"Mungkin sebelumnya antara mereka sudah saling janji," kata Ratu Duyung pula yang ikutan jadl cemburu.
Tiga gadis merasa cemburu wajar-wajar saja karena Sutri Kaliangan memiliki wajah jelita dan seorang puteri Patih Kerajaan pula.
"Kita harus menyelidik. Apa sebenarnya yang dilakukan Wiro," kata Bidadari Angin Timur. Dia memberi isyarat pada dua sahabatnya. Ke tiga gadis tinggalkan tempat itu, berkelebat ke arah lenyapnya Sutri Kaliangan dan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Belum lama berlari tiba-tiba Ratu Duyung yang berada di sebelah belakang berkata.
"Kawan-kawan. Ada orang mengikuti kita. Lekas sembunyi!"
Tiga gadis cantik segera menyelinap ke balik serumpun semak belukar lebat. Tak lama kemudian muncul orang yang menguntit. Dada turun naik, nafas memburu dan dua tangan pegangi perut.
"Heran, tiga-tiganya bisa lenyap. Melesat ke langit atau amblas ke dalam tanah? Tidak mungkin… tidak mungkin. Pasti sembunyi sekitar sini! Ha… ha… aku si tua bangka masakan bisa ditipu tiga gadis ingusan!" Sepasang mata belok orang ini memperhatikan ke atas pohon besar. Dia tidak melihat orang-orang yang dicarinya.
Di balik semak belukar Bidadari Angin Timur setengah jengkel berkata. "Huh… tua bangka itu rupanya!" Bersama dua gadis lainnya dia keluar dari balik semak belukar.
"Kakek Setan Ngompol!" tegur Bidadari Angin Timur. Si kakek yang celingukan mencari-cari langsung pancarkan air kencing saking kagetnya.
"Kek! Bukankah sebelumnya kau ikut bersama Naga Kuning dan Gondorowo Patah Hati? Sekarang mengapa menguntit kami dan muncul di sini?"
"Kalian jangan curiga. Tadinya aku memang ikutan sama nenek angker dan bocah konyol itu.
Tapi kupikir-pikir apa untungnya mengikuti dua orang yang sedang mabok cinta. Salah-salah aku bisa jadi ngiler sendiri. Ha… ha… ha." Menjawab Setan Ngompol. Habis tertawa langsung saja kencingnya terpancar hingga tiga gadis berteriak dan cepat menjauh. "Dari pada mengikuti mereka bukankah lebih untung ikut kalian saja?!"
"Untungnya apa?" tanya Bidadari Angin Timur.
"Pertama kalian cantik-cantik! Berarti setiap saat aku melihat pemandangan indah. Kedua…."
"Sudah! Jangan bicara melantur!" tukas Ratu Duyung. "Kawan-kawan, apa kalian sudi jalan bersama kakek ini?"
"Sudi tak sudi asal dia mau menurut apa kata kita ya boleh-boleh saja…." jawab Anggini.
"Aku tahu… aku tahu kalian tak bisa menolak.
Bukan karena aku memaksa tapi karena aku dulu juga pernah muda dan ganteng…."
"Uhhhh!" ucap tiga gadis berbarengan.
"Mata belok, kuping kanan terbalik tak karuan!" kata Bidadari Angin Timur menggoda.
"Tampang keriputan. Badan bau pesing!" Ratu Duyung ikut menggoda.
"Sudah… sudah!" kata Setan Ngompol.
"Bukankah kalian mau mengejar Wiro? Berlamalama di sini nanti kehilangan jejak."
"Eh, bagaimana kau bisa tahu kami hendak mengejar Wiro?" tanya Bidadari Angin Timur curiga.
Setan Ngompol menyeringai. "Apa ada pemuda lain yang pantas kalian kejar? Kalau saja aku masih muda…."
"Uhhhh…!"
"Ha… ha… ha!" Setan Ngompol tertawa bergelak dan kembali terkencing-kencing.
***

6

SEKARANG kita ikuti perjalanan Sutri Kaliangan, putri Patih Kerajaan. Seorang diri gadis ini memacu kudanya menuju Kotaraja. Saat itu hari masih pagi.
Udara terasa segar. Untuk mempercepat sampai ke Kotaraja Sutri sengaja mengambil jalan memotong, melewati sebuah lembah, menembus satu rimba belantara kecil. Sekeluarnya dari rimba itu Kotaraja tak jauh lagi. Namun tak terduga seseorang telah menunggu kemunculannya di tepi rimba.
Orang ini hanya mengenakan sehelai celana komprang hitam. Tangan dan dada ditumbuhi bulu lebat. Kulit muka kebiru-biruan. Sepasang mata berwarna merah. Di sudut bibir mencuat taring.
Masing-masing mata memiliki dua buah alis berwarna merah. Satu di atas satu di bawah mata.
yang paling aneh adalah kepalanya. Mulai dari kening ke atas kepala orang ini berbentuk segi empat, berwarna kelabu kehitaman dan keras atos.
DI atas kepala ada sebuah pendupaan yang selalu mengepulkan asap menebar bau kemenyan. Di pinggangnya tergantung sebuah guci berleher panjang terbuat dari tembaga.
Orang menghadang di tengah jalan, Sutri Kaliangan terpaksa hentikan kudanya. Tunggangan si gadis ini meringkik beberapa kali sambil mengangkat dua kaki depan pertanda binatang ini mencium bahaya mengancam tuannya. Sutri sendiri sudah merasa kalau orang punya niat jahat terhadapnya. Dia melirik pada guci tembaga yang tergantung di pinggang orang.
Dia ingat keterangan Wiro bahwa seorang gadis sahabatnya dari alam roh telah disekap di dalam guci ini. Sutri sedikit agak bingung. Menurut Wiro guci itu terbuat dari perak sedang yang dilihatnya adalah guci tembaga.
Sutri yang sudah kenal siapa adanya si penghadang segera menegur.
"Iblis Kepala Batu Alis Empat! Beberapa lama ini kau menghilang entah ke mana. Tahu-tahu muncul di pinggir rimba belantara. Bukankah tugasmu seharusnya berada di kawasan Istana?"
"Terus-menerus berada di sekitar Istana lama-lama membuat diriku jenuh. Apa salahnya sekali-sekali aku keluyuran dan nasib mujur bertemu gadis secantik dirimu! Ha… ha… ha!"
"Hem…. Cara bicaramu tidak pantas. Apa kau lupa berhadapan dengan puteri seorang Patih Kerajaan yang harus kau hormati? Melihat caramu berdiri di tengah jalan, sikapmu seperti menghadang.
Atau mungkin aku salah menduga?"
Orang yang ditegur menyeringai. Mulutnya komat-kamit. Asap menebar bau kemenyan mengepul dari pendupaan di atas kepalanya yang berbentuk empat persegi.
"Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan!
Dugaanmu tidak keliru! Aku sudah mengikutimu sejak dari air terjun Jurang Mungkung. Sengaja menghadangmu di pinggir rimba belantara ini. Ada satu persoalan yang ingin kubicarakan denganmu!"
"Hemmm. Mengikuti orang lalu menghadang.
Kini berkata ingin bicara. Sungguh perbuatan tidak pantas. Aku dapat membaca dari air mukamu! Kau punya niat tidak baik! Iblis Kepala Batu Alis Empat, hati-hati bicara dan bersikap padaku. Ayahku bisa menjatuhkan hukuman berat atas dirimu! Ingat itu!"
Iblis Kepala Batu tertawa bergelak.
"Ayahmu memang Patih Kerajaan. Tapi saat ini apa yang bisa dilakukannya. Tubuhnya tergolek lumpuh di atas pembaringan. Kau masih ingin mengandalkannya dirinya? Tak lama lagi dia akan dicopot dari jabatannya, digantikan oleh orang lain!"
"Mulutmu lancang, ucapanmu kurang ajar! Lekas menyingkir dari hadapanku!" bentak Sutri Kaliangan.
"Sutri Kaliangan, aku ingin tahu, apa kepentinganmu hingga memberi tahu pada Pendekar 212 tempat kediamanku di Kali Mungkung. Pendekar keparat itu telah menghancurkan tempat kediamanku. Apa kau mengerti kalau kau harus ikut bertanggung jawab atas perbuatannya itu?"
"Bicara soal tanggung jawab memang satu hal yang tidak enak," jawab Sutri Kaliangan sambil pasang air muka sinis. "Karenanya aku juga ingin bertanya, apa kau juga punya rasa tanggung jawab, menculik seorang gadis alam roh dan menyekapnya dalam guci perunggu itu?"
"Ha… ha… ha!" iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh tertawa bergelak.
Asap menggebubu dari dalam pendupaan di atas kepalanya. "Pendekar 212 jelas-jelas musuh Kerajaan.
Buronan yang harus ditangkap hidup atau mati. Bahkan manusia itu telah mencelakai ayahmu, Patih Kerajaan.
Tapi justru aku lihat saat ini kau membelanya!
Sungguh keanehan luar biasa! Tapi mungkin bukan keanehan kalau kau sudah jatuh cinta padanya."
Wajah cantik Sutri Kaliangan serta merta bersemu merah.
"Iblis Kepala Batu. Kepala batu berarti otakmu juga batu! Tidak heran kalau perbuatan dan bicaramu seenaknya! Lekas menyingkir dari hadapanku! Atau kaki-kaki kudaku akan menghancurkan kepala batumu!"
Kembali Iblis Kepala Batu Alis Empat keluarkan tawa bergelak. "Aku menyirap kabar kau pernah diculik pendekar itu. Jangan-jangan ha… ha! Kalian berdua sudah ber ha… ha… ha! Itu sebabnya kau kini ingin membela pemuda itu!"
Merah padam wajah Sutri Kaliangan. Bergetar tubuhnya. Tangan kanannya bergerak, menekan ujung gagang pedang yang tergantung di pinggang.
Iblis Kepala Batu menyeringai. Bukannya menyingkir malah dia rentang dua kaki dan tegak berkacak pinggang.
"Dasar iblis! Bicara kurang ajar! Tak mau menyingkir!
Jangan menyesal kalau kupecahkan kepalamu!"
Puteri Patih Kerajaan itu sentakkan tali kekang kudanya. Binatang tinggi besar itu meringkik keras.
Dua kaki depannya melesat ke atas. Menyambar ke arah kepala orang yang berdiri di depannya.
Sambil menyeringai Iblis Kepala Batu Alis Empat gerakkan dua kakinya. Tubuhnya melesat miring ke atas. Tendangan kuda tunggangan puteri Patih Kerajaan tak mengenai sasaran. Bersamaan dengan itu Iblis Kepala Batu tendangkan kaki kanannya.
"Bukkk! Praaakk!"
Kuda besar meringkik keras. Tubuhnya terlempar satu tombak lalu terguling di tanah, melejang-lejang akhirnya diam, meregang nyawa dengan kepala pecah!
Sutri Kaliangan menjerit keras. Sebelum kudanya tergelimpang di tanah gadis ini telah melompat dari punggung kuda, mencabut pedang lalu dari atas menyerbu Iblis Kepala Batu Alis Empat dengan satu bacokan ganas.
"Traangg!"
Pedang di tangan Sutri Kaliangan menghancurkan pendupaan di atas kepala Iblis Kepala Batu Alis Empat. Kejut dan marah manusia ini bukan alang kepalang. Pendupaan di atas kepalanya itu merupakan salah satu benda penunjang kekuatannya. Tubuh orang ini langsung bergetar karena salah satu kekuatan yang dimilikinya telah musnah. Dia cepat menguasai diri dengan mengerahkan tenaga dalam.
"Keparat jahanam!" gertak Iblis Kepala Batu.
Selama ini dia memang tahu kalau puteri Patih Kerajaan itu memiliki ilmu pedang tapi tidak menyangka begitu hebatnya hingga sanggup menghancurkan pendupaan di atas kepalanya dalam satu jurus saja!
"Sutri Kaliangan! Kau telah menghancurkan pendupaan di atas kepalaku! Orang lain pasti akan kubunuh saat ini juga! Tapi terhadapmu aku masih punya belas kasihan! Aku ampuni selembar nyawamu kalau kau mau menyerahkan Keris Naga Kopek padaku!"
"Apa?!" sentak Sutri Kaliangan. "Jadi senjata pusaka itu rupanya yang jadi incaranmu! Hemmm…. Selama ini kau dikenal sebagai tokoh silat Istana.
kini jelas belangmu. Ternyata kau adalah musuh dalam selimut!"
"Jangan banyak bicara! Aku justru ingin menyelamatkan senjata itu. Banyak orang yang mengincar. Lekas serahkan dan kau akan selamat!"
"Senjata pusaka itu tidak ada padaku! Ada pada Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Aku sudah mengampuni nyawamu! Kau masih berani bicara dusta! Terpaksa aku memisahkan kepala dengan badanmu!"
Habis berkata begitu Iblis Kepala Batu Alis Empat melompat ke depan. Dua tangan bergerak cepat. Sutri babatkan pedangnya.
"Traangg! Traangg!"
Pedang menghantam dua tangan Iblis Kepala Batu. Senjata itu seperti membacok batu atos. Kejut Sutri bukan alang-kepalang. Dia tidak pernah tahu kalau musuh memiliki ilmu kebal dahsyat begitu rupa. Untung pedangnya tidak sampai patah.
"Iblis Kepala Batu! Patih Kerajaan akan menghukummu atas apa yang kau lakukan terhadapku! Lekas pergi dari sini!"
"Ayahmu yang terbaring sakit punya daya apa saat ini? Jangan bicara sombong padaku! Dalam waktu dekat Sri Baginda akan mencopot jabatannya sebagai Patih Kerajaan!" Iblis Kepala Batu Alis Empat mengulang ucapannya tadi. Lalu dia membentak. "Mana Keris Naga Kopek?!"
"Kau ingin keris? Makan dulu pedangku!" jawab Sutri Kaliangan. Didahului teriakan keras si gadis kiblatkan pedangnya. Senjata itu lenyap dari pemandangan yang kelihatan hanya satu cahaya berkilau deru angin menggidikkan. Sutri sengaja mengeluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu pedangnya. Dimulai dengan jurus pertama bernama "Menusuk Puncak Gunung" disusul gebrakan kedua bernama "Menikam Dasar Samudera" lalu diteruskan dengan jurus ketiga bernama "Membelah Rembulan Di Puncak Langit."
Serangan Sutri Kaliangan memang luar biasa ganas. Sesuai dengan nama jurusnya mula-mula senjata itu menusuk ke arah tenggorokan lawan.
Begitu lawan mengelak pedang memburu dengan tikaman ke arah perut. Sekali lagi lawan berkelit pedang mengejar dari bawah ke atas, siap menggorok leher terus membelah dagu sampai kepala.
Orang lain, tidak pada jurus pertama atau kedua, pada jurus ke tiga pasti akan jebol pertahanannya.
Namun yang jadi lawan Sutri Kaliangan saat itu adalah tokoh silat Istana yang menjadi salah satu dedengkot para tokoh rimba persilatan pada masa itu.
Iblis Kepala batu membuat empat kali gebrakan.
Telapak tangan kirinya didorongkan ke depan.
"Desss!"
Sutri Kaliangan menjerit keras. Dadanya laksana dihantam batu besar. Tubuhnya terpental. Pedang terlepas dari genggaman. Ketika terguling di tanah, dari mulutnya kelihatan ada lelehan darah. Si gadis terluka di dalam cukup parah.
"Kau masih belum mau menyerahkan Keris Naga Kopek?! Mau mati sekarang juga?!" bentak Iblis Kepala Batu seraya melangkah mendekati Sutri.
Puteri Patih Kerajaan itu ludahkan darah di mulutnya. Lalu melompat bangkit, tegak terhuyunghuyung, keluarkan ucapan.
"Siapa takut kau bunuh! Lihat tangan!"
Entah gerakan apa yang dilakukan Sutri Kaliangan, tubuh gadis ini tiba-tiba melesat, tangannya sebelah kanan menyambar ke arah mata kiri sebelah bawah Iblis Kepala Batu.
Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh berseru kaget. Dengan cepat dia melompat mundur dan melintangkan telapak tangan kiri melindungi mata kiri.
"Gadis jahanam ini. Apakah dia tahu…."
Iblis’ Kepala Batu tak bisa berpikir dan berucap lebih panjang. Saat itu Sutri Kaliangan kembali menyerbu. Setiap serangan yang dilancarkannya selalu mengarah ke pipi kiri di bawah mata lawan.
"Jahanam! Kalau tidak kuhajar sekarang juga bisa berbahaya. Sepertinya dia tahu… dia tahu!
Mungkin ayahnya yang memberi tahu! Aku harus bertindak cepat!"
Iblis Kepala Batu angkat dua tangannya ke atas.
Mulutnya berkomat-kamit. Ketika dua tangan itu dipukulkan menghantam udara kosong terdengar suara mendesis dua kali berturut-turut. Di lain kejap dua mahluk raksasa entah dari mana datangnya muncul ‘di kiri kanan Iblis Kepala Batu. Dua mahluk ini hanya mengenakan cawat. Memiliki rambut panjang dikepang sampai ke punggung. Mula-mula Sutri hanya samar-samar melihat dua mahluk raksasa ini.Namun ketika iblis Kepala Batu berseru "Ringkus gadis itu!" baru Sutri melihat kemunculan dua mahluk raksasa dahsyat mengerikan itu.
Sebelum dia bisa berbuat apa tahu-tahu dua mahluk itu telah mencekal tangannya kiri kanan.
"Sekap dia dalam Kantong Akhirat!" Iblis Kepala Batu kembali memerintah.
Salah satu dari mahluk raksasa keluarkan sebuah kantong aneh berwarna merah. Begitu dikembangkan, kantong ini langsung melesat siap untuk membungkus sosok Sutri Kaliangan. Si gadis coba berontak lepaskan pegangan dua mahluk raksasa. Tapi sia-sia saja. Sesaat lagi kepalanya akan tenggelam ke dalam kantong merah yang disebut Kantong Akhirat tiba-tiba satu lidah api meyambar dari balik batang pohon besar di ujung rimba belantara.
Dua mahluk besar keluarkan jeritan dahsyat.
Tubuh mereka disabung kobaran api lalu seperti leleh dan akhirnya berubah menjadi asap. Sekali lagi dua mahluk itu menjerit keras lalu lenyap dari pemandangan.
Kejut Iblis Kepala Batu bukan alang kepalang.
"Kurang ajar! Siapa berani mati menyerang jin peliharaanku?!" teriaknya marah. Dia hantamkan tangannya ke arah pohon besar. Selarik angin dahsyat menggebubu.
"Bummmm!" satu ledakan keras menggelegar.
"Kraaakkk!"
Pohon besar berderak patah dan tumbang. Dari balik pohon yang kemudian roboh melesat keluar seorang berpakaian serba putih.
"Jahanam keparat! Kau rupanya!" teriak Iblis Kepala Batu marah. Dia tidak takut pada orang yang barusan muncul ini, malah mendendam setengah mati. Tapi saat itu jika dia punya kesempatan untuk mendapatkan Keris Naga Kopek, mengapa menghabiskan waktu melayani orang itu. Maka tidak pikir panjang lagi Iblis Kepala Batu jentikkan jari telunjuk tangan kirinya.
Sutri Kaliangan merasakan ada angin aneh laksana tusukan jarum menyambar urat besar di leher kirinya. Di lain saat gadis ini dapatkan dirinya tak mampu lagi bergerak maupun bersuara. Iblis Kepala Batu Alis Empat cepat memanggul Sutri dan berkelebat dari tempat itu.
"Mahluk jahanam! Kau mau lari ke mana!" teriak orang berpakaian serba putih yang bukan lain adalah Pendekar 212 adanya segera mengejar. Tapi Iblis Kepala Batu sudah lenyap laksana ditelan bumi.
Wiro memburu sambil kerahkan ilmu "Menembus Pandang" pemberian Ratu Duyung. Dia berhasil melihat sosok Iblis Kepala Batu dan Sutri Kaliangan, namun agak samar-samar, kemudian lenyap.
"Mahluk jahanam! Kau sudah menyekap Bunga, kini melarikan Sutri! Aku bersumpah membunuhmu!"
Murid Sinto Gendeng kerahkan ilmu warisan gurunya yang disebut Kaki Angin. Pohon-pohon di sekitarnya laksana beterbangan. Debu dan pasir bertaburan.

7

BELUM lama Wiro melakukan pengejaran, tiba-tiba di depannya, menghalang di jalan yang hendak dilaluinya, duduk bersila seorang nenek berpakaian aneh, terbuat dari akar dan serat kulit pohon berwarna coklat. Dari mulutnya keluar suara meracau tak berkeputusan. Tak jelas apa yang diracaunya.
Mungkin melafalkan mantera, mungkin juga tengah menyanyi. Yang hebatnya di atas kepala si nenek ada kepulan asap merah berbentuk kerucut terbalik.
Keanehan lain orang tua ini memiliki sepasang mata berbentuk kerucut merah yang bisa bergerak keluar masuk, membuat tampangnya yang sudah seram jadi bertambah angker.
Wiro hentikan larinya. Selain si nenek memang menghalangi jalan, dia juga terkesima karena sepertinya dia mengenali orang tua ini. Garuk-garuk kepala murid Sinto Gendeng berpikir keras, coba mengingat-ingat.
"Astaga!" Pendekar 212 tersurut satu langkah dan pukul jidatnya sendiri. "Kalau memang dia, bagaimana bisa berada di sini?" Wiro berpikir lagi.
Dia ingat. "Tapi mengapa aku harus heran. Beberapa orang tokoh dari Negeri Latanahsilam kabarnya juga sudah berada di Tanah Jawa. Aku malah telah bertemu dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab…." Wiro garuk-garuk kepala bergerak mendekat, lalu jongkok di samping si nenek yang sampai saat itu masih terus meracau, bersikap seolah tidak ada orang lain di tempat itu. Dua bola matanya yang lancip bergerak keluar masuk.
"Nek…." Wiro menggamit bahu kanan si nenek.
"Wusss!" Digamit orang si nenek tak bergerak, tidak melirik. Tapi dari batok kepalanya mengepul keluar asap merah sedang asap merah berbentuk kerucut terbalik yang menggantung di atas kepalanya bergerak ke atas setinggi lima jengkal lalu perlahan-lahan kembali ke tempatnya semula!
Murid Sinto Gendeng garuk kepala.
"Nek," Wiro memanggil lagi. Tapi kali ini tak berani menggamit bahu atau lengan si nenek. Karena orang seperti tidak perduli terus saja meracau maka Wiro lanjutkan ucapannya, bertanya. "Nek, kalau aku tak salah duga, bukankah kau ini tokoh dari negeri Latanahsilam, negeri seribu dua ratus silam?"
Suara meracau lenyap dari mulut si nenek yang ditanya. Berganti dengan suara tawa mengekeh panjang.
"kau masih mengenali diriku. Berarti kau masih ingat budi orang. Kau sendiri bukankah pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang yang dulu pernah tersesat di Negeri Latanahsilam dan memikat habis semua gadis-gadis cantik bahkan para janda muda di negeri itu?"
Wiro undurkan tubuh ke belakang, kerenyitkan kening dan garuk-garuk kepala lalu tertawa lebar.
"Kau bisa saja Nek. Dulu di Negeri Latanahsilam, kalau aku tak sempat mengucapkan terima kasih padamu, maka saat ini aku ingin menyampaikannya.
Banyak budi pertolonganmu kuterima selama tersesat di negeri itu. Nek, aku tak mau kesalahan menduga, kau ini bukankah tokoh bernama Luhniknik, berjuluk Hantu Penjunjung Roh?" Si nenek tertawa kembali.
"Bagus, kau rupanya memang masih ingat diriku."
"Bagaimana, bagaimana kau bisa tersesat ke Tanah Jawa ini Nek?" tanya murid Sinto Gendeng.
"Jangan kau pura-pura tidak tahu…."
"Maksudmu Nek?"
"Waktu Istana Kebahagiaan meledak hancur, semua orang yang ada di dalam Istana gila itu termasuk dirimu melesat ke udara, menembus langit lalu jatuh berhamparan di berbagai kawasan negeri seribu dua ratus tahun mendatang ini."
"Jadi selain kau, siapa lagi yang berada di negeri ini?
Yang aku tahu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab…."
"Banyak… banyak! Hampir semua. Termasuk si jahanam Hantu Muka Dua. Cuma aku tidak tahu mereka berada di mana. Tapi satu ketika mereka pasti muncul satu persatu. Termasuk para gadis cantik yang pasti akan mencarimu. Hik… hik… hik." (Mengenai riwayat Luhniknik yang bergelar Hantu Penjunjung Roh ini serta negeri Latanahsilam harap baca serial petualangan Wiro di negeri Latanahsilam mulai dari Episode "Bola-Bola Iblis" sampai "Istana Kebahagiaan.")
"Nek, aku sebenarnya, aku ingin bicara banyak denganmu. Tapi saat ini aku ada urusan penting.
Bagaimana kalau kita berjanji dua hari di muka di tempat ini?" Habis berkata Wiro hendak bangkit berdiri. Tapi si nenek cepat pegang bahu si pemuda hingga bagaimanapun Wiro mengerahkan tenaga luar dia tak sanggup bergerak. Ketika Wiro hendak kerahkan tenaga dalamnya si nenek berkata.
"Aku tahu, kau tengah mengejar seseorang…."
"Syukur kalau kau sudah tahu. Jadi aku minta diri dulu. Nanti kita bertemu lagi."
Si nenek gelengkan kepala dan pegang lengan Wiro kuat-kuat. "Dengar," katanya. "Aku tak ingin kau mengejar orang itu."
"Apa katamu Nek?!" kejut Wiro. "Orang yang aku kejar adalah mahluk jahat. Berjuluk Iblis Kepala Batu Alis Empat. Dia juga dikenal dengan gelaran Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Dia menyekap seorang gadis dan barusan melarikan lagi seorang gadis…."
"Aku sudah tahu, sudah tahu…."
"Kalau kau tahu mengapa melarang aku mengejarnya?!"
"Aku berjanji akan bantu membebaskan orang yang disekap dan gadis yang diculik. Asalkan kau berjanji tidak mengejarnya…."
"Mengapa kau melarangku, mengapa aku harus berjanji? Bagaimana mungkin kau bisa membantu?
Kalau kau punya niat baik hendak membantu lepaskan tanganku. Mari kita sama-sama mengejarnya!" kata Wiro.
"Anak muda, aku tak ingin terjadi sesuatu dengan orang yang kau kejar…."
"Nek, mulutku bisa berbusa bicara denganmu.
Agaknya kau tidak mengerti apa yang telah terjadi…."
"Aku lebih dari mengerti…."
Wiro kerahkan tenaga dalamnya. Sekali dia menyentakkan tangan, terlepaslah pegangan si nenek. Tapi ketika dia hendak berkelebat pergi si nenek cepat sekali sudah menghadang di depannya.
Sepasang matanya yang berbentuk kerucut merah terjulur keluar, pancarkan cahaya mengerikan.
"Dengar Wiro. Orang yang kau kejar adalah adik kandungku. Waktu aku diberi nama Hantu Penjunjung Roh dia mendapat nama Hantu Pemasung Roh. Belasan tahun silam dia berhasil mendapatkan satu kekuatan hebat hingga mampu melesat keluar dari Negeri Latanahsilam dan tersesat ke Tanah Jawa ini. Karena kejahatan yang dibuatnya dia dijuluki Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Rimba persilatan Tanah Jawa memberikan gelar lain padanya yakni Iblis Kepala Batu Alis Empat. Aku belum lama tersesat ke negeri ini. Aku belum sempat bicara banyak dengan adikku itu. Jika sampai dia menemui ajal sebelum aku bisa bertemu dan bicara dengan dia, aku akan menyesal seumur-umur. Siapa tahu aku bisa membujuknya, melepaskan orang yang disekapnya dalam guci dan melepaskan gadis yang barusan diculiknya…."
"Siapa tahu…." kata Wiro mengulang ucapan si nenek. "Maafkan aku Nek, waktuku sudah terbuang banyak. Aku harus segera mengejar Iblis Kepala Batu."
"Aku terpaksa menghalangimu," kata si nenek pula.
"Nek, di negerimu antara kita tidak ada permusuhan.
Mengapa sesampainya di sini hatimu keras sekali untuk menghalangiku?"
"Bagaimanapun juga aku lebih menyayangi adik kandungku dari pada orang lain…."
"Kau mau berbuat apa Nek?!"
"Terserah maumu! Aku sudah beri peringatan."
Jawab si nenek berjuluk Hantu Penjunjung Roh.
"Kalau begitu…. Apa boleh buat," ujar murid Sinto Gendeng. Secepat kilat dua jari tangan kanannya berkelebat menotok urat besar di leher si nenek. Yang ditotok ganda tertawa dan tahan nafas.
Begitu nafas dilepas kembali maka desss! Totokan di leher serta merta musnah!
Dalam kagetnya melihat kehebatan si nenek murid Sinto Gendeng tanpa sungkan-sungkan lagi segera saja menyerbu Hantu Penjunjung Roh dengan serangan berantai. Sebenarnya serangan ini hanyalah pancingan belaka. Begitu si nenek lengah dia akan pergunakan kesempatan untuk meninggalkan tempat itu. Tapi celakanya si nenek sudah dapat membaca apa yang ada di benak Pendekar 212. Maka dia hadapi serangan Wiro dengan bergerak membuat lingkaran seputar tubuh pemuda itu. Dari sepasang matanya menyembur kilatan cahaya merah menebar panas luar biasa.
Dalam waktu singkat Wiro sudah terkurung serangan lawan. Sadar kalau dia tidak bisa main-main lagi Pendekar 212 segera rubah jurus-jurus ilmu silatnya.
Ilmu silat warisan Tua Gila dipadu dengan ilmu silat ajaran Sinto Gendeng, lalu dipadu lagi dengan ilmu silat yang dipelajarinya dari Kitab Putih Wasiat Dewa.
Hantu Penjunjung Roh jadi bingung sendiri.
Berputar lebih cepat untuk mengurung lawan tapi lawan yang dikurung mendadak lenyap entah ke mana. Ketika dia memutar tubuh tahu-tahu Wiro sudah berada dekat sekali di depannya, bergerak seperti orang mabok. Bagitu diserang sosok pemuda ini lenyap dan dia merasa ada angin menyambar dari samping. Ketika dia memukul ke samping, lawan sudah bergerak ke tempat lain!
"Anak muda! Kau boleh punya ilmu silat aneh!
Jangan harap bisa lolos dari asap mautku!"
Habis berkata begitu Hantu Penjunjung Roh hembuskan nafas panjang. Asap merah berbentuk kerucut terbalik di atas kepalanya serta merta menebar lebar lalu bergerak ke bawah, siap membungkus dan meringkus Pendekar 212. Masih jauh tebaran asap merah itu dari tubuhnya namun Wiro sudah merasa ada getaran hebat yang membuat tenaganya seolah disedot.
Murid Sinto Gendeng cepat jatuhkan diri ke tanah. Semula dia bermaksud hendak menghajar nenek ini dengan satu pukulan sakti, tapi hati kecilnya merasa tidak tega dan malah entah bagaimana di benaknya muncul satu pikiran untuk mempermainkan Hantu Penjunjung Roh.
"Nek, kau pakai celana dalam apa tidak?"
"Jahanam kurang ajar! Apa maksudmu?! Lancang sangat mulutmu!" teriak Hantu Penjunjung Roh. Dia meniup keras-keras. Asap merah menderu lebih cepat ke arah Wiro. Tapi mendadak terdengar suara kreekkk… kreekkk. Bersamaan dengan itu tubuhnya tertarik keras ke bawah. Si nenek menjerit ketika melihat ke bawah,’sebagian pakaiannya yang terbuat dari akar dan kulit pohon telah robek besar. Pinggul dan pahanya sebelah kiri tersingkap, nyaris bugil!
Si nenek kalang kabut menutupi auratnya sambil berteriak, menjerit dan memaki panjang pendek.
"Wahail" Wiro meniru ucapan orang di Negeri Latanahsilam. "Aku sudah menduga. Ternyata benar!
Kau tidak pakai celana Nek! Ha… ha… ha!"
"Pemandangan bagus! Pemandangan bagus!"
tiba-tiba ada orang berseru. "Wiro, serahkan nenek ini padaku. Aku memang sudah lama tidak melihat nenek-nenek bugil! Anak gadis tidak pernah, neneknenekpun jadilah! Ha… ha… ha!"
Pendekar 212 kenali suara orang yang berseru.
Untuk memastikan dia palingkan kepala lalu tertawa lebar. "Sobatku kakek konyol! Rejekimu memang besar! Silahkan menikmati! Ha… ha… ha!" Habis berkata begitu sambil tertawa Wiro segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
Sambil menutupi auratnya Hantu Penjunjung Roh delikkan matanya yang berbentuk kerucut merah.
"Jahanam, dia rupanya!" maki si nenek.
Sepasang matanya menjulur keluar. Kemarahan terhadap Wiro ditumpahkan pada orang yang barusan datang. Tangan kiri dipergunakan untuk memegangi pakaian yang tersingkap, tangan kanan dihantamkan ke depan.
"Wusss!"
Serangkum angin keras menderu. Si kakek yang diserang, bukan lain Setan Ngompol karuan saja jadi kaget. Terkencing-kencing dia melompat selamatkan diri sambil berseru.
"Tidak ada permusuhan, sebelumnya kita bersahabat Hantu Penjunjung Roh, mengapa kau menyerangku?!"
"Tua bangka tukang kencing! Sejak kau kesasar di Latanahsilam bersama pemuda itu mulutmu sudah kurang ajar! Aku tidak pernah merasa bersahabat denganmu!" bentak Hantu Penjunjung Roh.
"Walah! Sialnya diriku! Maksud hati melihat pemandangan bagus, ternyata malah mau digebuk!
Nenek dari negeri Latanahsilam, aku tidak mau berkelahi denganmu. Kalau kau masih penasaran silahkan menghadapi tiga orang anak buahku!"
Setan Ngompol melompat menjauhi si nenek.
Lalu berpaling pada Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini. Sambil rangkapkan dua tangan di depan dada, kepala mendongak ke atas, dengan sikap seperti seorang tuan besar memerintah bawahannya, si kakek berkata.
"Anak-anak, harap kalian beri pelajaran pada nenek jelek itu!"
Hantu Penjunjung Roh palingkan kepala, pandangi tiga gadis. Amarahnya berkurang ketika dia melihat kecantikan wajah Bidadari Angin Timur dan dua kawannya. Malah dia hampir mengira, Ratu Duyung yang bermata biru adalah Peri Angsa Putih dari negeri Latanahsilam.
"Tiga gadis cantik, menjadi anak buah kakek konyol tukang kencing, sulit aku mempercayai,"
membatin Hantu Penjunjung Roh. Dia bertanya pada Bidadari Angin Timur. "Gadis rambut pirang. Apa benar kau dan dua kawanmu anak buah kakek tukang kencing itu?!"
"Mengapa percaya ucapannya! Justru dia adalah kacung pembantu kami!" jawab Bidadari Angin Timur. Lalu tertawa gelak-gelak diikuti Anggini dan Ratu Duyung.
Setan Ngompol terlonjak mendengar ucapan Bidadari Angin Timur. Satu tangan pegangi bagian perutnya, satu lagi garuk-garuk kepala. Mulut bersungut cemberut.
"Nek, kami tidak kenal siapa dirimu. Pakaianmu aneh. Kau ini siapa sebenarnya dan kenapa tadi bertempur melawan Pendekar 212 Wiro Sableng?" Bertanya Ratu Duyung.
Si nenek tidak mau menjawab.
Anggini diam-diam merasa kasihan melihat keadaan pakaian si nenek. Pakaian itu terbuat dari akar dan kulit pepohonan dan robek besar hingga dia kerepotan berusaha menutupi auratnya. Dari kantong perbekalannya gadis ini keluarkan sehelai pakaian.
"Nek, kuharap kau suka mengenakan pakaian ini."
Anggini menyerahkan pakaian itu tapi si nenek tak mau menanggapi. Malah bertanya. "Apa hubungan kalian dengan pemuda bernama Wiro Sableng itu?"
"Kami adalah sahabat-sahabatnya…."
"Hemmm… Ambil saja kembali. Aku tak akan menerima pakaian itu."
"Kami tidak tahu apa silang sengketamu dengan Wiro. Tapi soal pakaian ini tidak ada sangkut pautnya dengan pemuda itu."
Karena si nenek tetap tidak mau menerima pakaian yang diserahkan akhirnya Anggini letakkan pakaian itu di tanah. Dia memberi isyarat pada kawan-kawannya. Bersama Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung Anggini tinggalkan tempat itu.
Setan Ngompol mengikuti kemudian.
Berada sendirian Hantu Penjunjugn Roh tegak termangu pandangi pakaian yang teronggok di tanah. Dia memandang berkeliling. Agaknya pikirannya mulai berubah. Nenek ini melangkah mendekati pakaian itu lalu mengambilnya.
Dikembangkan dan dipandangi penuh rasa kagum lalu diukur dipatut-patutkan ke badan. Dari wajahnya kelihatan terpancar rasa senang.
"Tiga gadis cantik tadi, mereka baik-baik semua.
Menyesal aku bertindak kasar. Apakah semua orang di negeri seribu Hua ratus tahun mendatang ini punya sifat baik? Bagaimana aku mencari jalan keluar urusanku dengan Pendekar 212. Kalau tidak kubantu adikku, pasti pemuda itu akan menghabisinya. Dia memiliki kesaktian luar biasa. Sebenarnya aku sendiri belum tentu bisa menghadapinya. Hantu Pemasung Roh, apa salah kedua orang tua kita hingga kau tersesat ke Tanah Jawa dan jadi orang jahat begitu rupa…."
Si nenek kembali mematut-matut pakaian yang diberikan Anggini ke tubuhnya. Entah karena senang entah karena menduga memang tak ada lagi orang lain di tempat itu, tanpa berlindung ke balik pohon atau semak belukar si nenek tanggalkan pakaiannya yang terbuat dari akar dan kulit pohon.
Saat itulah satu kepala menyembul dari balik batang pohon. "Sahabatku, agaknya kau perlu bantuan bagaimana cara mengenakan pakaian bagus itu?"
Si nenek terkejut dan terpekik. Kalang kabut dia lari ke balik semak belukar. Dari balik semak belukar dia memaki habis-habisan.
"Tua bangka kurang ajar! Beraninya mengintip orang! Aku bersumpah akan mengorek dua biji matamu!"
Di balik pohon Setan Ngompol tertawa terkekeh kekeh. Tentu saja sambil beser.
"Untung cuma dua biji mataku yang hendak kau korek. Bagaimana dengan biji-bijian lainnya?
Apa hendak kau korek juga? Ha… ha… ha!"
Si nenek marah besar mendengar ucapan itu.
Tangan kanannya dihantamkan ke arah pohon. Satu gelombang angin dahsyat menderu.
"Kraakkk! Buuummm!"
Pohon besar patah lalu tumbang menggemuruh.
Tapi Setan Ngompol sudah berkelebat selamatkan diri dan kabur masih tertawa-tawa dan terkencingkencing.
"Aneh nenek satu itu. Mukanya jelek tapi badannya masih bagus. Tidak ada rempelannya.
Tidak rugi tadi aku mengintip! Ha… ha… ha."

8

KEMBALI ke Tanah Bugis.
Hari ke tiga, hari perjanjian, Sebelum fajar menyingsing.
Telaga Malakaji diselimuti kegelapan. Kesunyian mencekam. Hawa dingin menyayat kulit mencucuk tulang.
Daeng Wattansopeng duduk bersila di atas balaibalai kayu. Sepasang mata terpejam. Dua tangan diletakkan di atas lutut. Di hadapannya terbentang sehelai kain hitam empat persegi. Di atas kain hitam itu terletak sebilah badik belum bergagang, didampingi sarungnya.
Desiran angin dingin menerobos masuk dari jebolan atap yang masih belum diperbaiki, menyapu kepala, wajah dan tubuh orang tua ahli pembuat senjata sakti itu. Bukan angin dingin itu yang membuat dia membuka mata tetapi suara yang barusan ditangkapnya. Suara orang berlari cepat, berkelebat di dalam malam gelap.
"Mereka datang…." bisik suara hati Wattansopeng.
Orang tua ini memandang ke arah pintu pondok.
Dengan kesaktian yang dimilikinya, dengan pandangan mata saja dia sanggup membuka kayu palang pengunci pintu. Perlahan-lahan dengan suara berkereketan pintu pondok itu bergerak membuka.
Baru saja daun pintu terpentang lebar, dua sosok berkelebat muncul tapi tak segera masuk.
Yang berdiri di sebelah kanan, berambut biru berminyak, kening diikat lilitan tali, itulah orang tua bernama Sarontang. Orang yang telah dianggap sebagai saudara oleh Daeng Wattansopeng walau banyak perilaku perbuatan Sarontang yang sangat tidak disukai Wattansopeng. Di sebelahnya berdiri seorang lelaki tinggi besar berkumis melintang.
Orangi ini bukan lain Jatilegowo, Adipati Salatiga.
"Saudaraku Daeng Wattansopeng, aku datang memenuhi janji. Bersamaku ikut orang dari Tanah Jawa."
"Kalian berdua sudah kutunggu. Pintu terbuka silahkan masuk." Daeng Wattansopeng berucap.
Sarontang memberi isyarat pada orang di sampingnya lalu mendahului masuk. Sampai di dalam pondok dia memberi tanda pada Jatilegowo.
Adipati Salatiga ini segera membungkuk memberi penghormatan.
"Orang tua, saya menghaturkan banyak terima kasih bahwa kau sudi menerima kedatangan saya.
Lebih dari itu saya juga berterima kasih bahwa kau bersedia membuat dan memberikan sebuah senjata sakti bertuah untuk saya…."
Daeng Wattansopeng angkat kepala, memandang orang yang berdiri di depannya. Air muka orang tua ini berubah kaget ketika menyaksikan wajah Jatilegowo.
Hidung yang seharusnya berada di atas mulut, secara aneh terletak menempel di kening. Untuk beberapa lamanya Daeng Wattansopeng hanya bisa memandang, tak mampu berkata apa-apa. Tidak pernah menyangka kalau orang yang akan menemuinya itu memiliki keadaan wajah seperti itu.
Merasa tidak enak, setelah melirik pada senjata yang terletak di atas kain hitam empat persegi, Jatilegowo segera berkata.
”Orang tua, maafkan kalau keadaan wajah saya tidak sedap untuk dipandang. Justru karena keadaan yang seperti inilah tekad saya semakin kuat datang ke Tanah Bugis ini menemuimu guna meminta tolong….”
Daeng Wattansopeng memandang sebentar pada Sarontang lalu berpaling pada orang yang barusan bicara padanya, bertanya.
”Orang dari tanah seberang, siapa namamu?”
“Saya Jatilegowo….”
“Daeng, orang ini adalah Adipati di Salatiga.” Sarontang menambahkan.
“Jatilegowo, apakah cacat di mukamu itu kau dapat sejak lahir?” tanya Daeng Wattansopeng pula.
Jatilegowo gelengkan kepala.
“Seseorang mencelakai saya,” katanya.
“Aneh, mencelakaimu dengan cara seperti itu.
Baru sekali ini aku melihat kejadian seperti ini.
Apakah ada silang sengketa antara kau dengan orang itu? Atau mungkin dia seorang dukun jahat, seorang penebar guna-guna?”
”Dia seorang pemuda berkepandaian tinggi.
Entah ilmu apa yang dimilikinya hingga mampu menghina mencelakai saya seperti ini.”
”Dalam sengketa itu, apakah kau berada di pihak yang benar?”
”Saya menganggap begitu. Mungkin orang lain menganggap tidak….”
”Siapa nama pemuda berkepandaian tinggi itu?”
tanya Daeng Wattansopeng selanjutnya.
”Namanya Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dia adalah murid seorang nenek sakti dari Gunung Gede….”
Wajah jernih Daeng Wattansopeng berubah.
Orang tua ini elus janggutnya beberapa kali. Melihat perubahan air muka saudara angkatnya itu, Sarontang lantas bertanya.
”Saudaraku, apakah kau mengenal pemuda itu?”
”Aku tak pernah bertemu muka dengan Wiro Sableng. Tapi dengan gurunya, Sinto Gendeng, aku pernah berkenalan. Peristiwanya sekitar lima puluh tahun silam. Sewaktu aku masih muda, mengembara ke Tanah Jawa. Dalam satu pertemuan para tokoh silat di puncak Pegunungan Dieng aku bertemu dengan nenek sakti itu. Saat itu aku ingin menjajal sampai di mana kehebatannya. Bukan untuk menantang tapi sekedar untuk mengetahui setinggi apa ilmu yang telah aku miliki. Sekaligus mencari pelajaran dan pengalaman berguna. Saat itu kami boleh dikatakan masih sama-sama muda. Usia sekitar tiga puluhan. Sinto Gendeng mungkin belum mencapai tiga puluh karena dia beberapa tahun lebih muda dariku.”
Dari dalam saku jubah sebelah kiri Daeng Wattansopeng keluarkan sesuatu. Benda ini ternyata adalah sebuah tusuk konde berkilau, terbuat dari perak murni.
”Memandang tusuk konde ini, seolah terbayang jelas kembali dalam ingatan dan pandangan mataku peristiwa setengah abad yang silam….”
*******
ARENA pertemuan para tokoh rimba persilatan delapan penjuru angin di salah satu puncak pegunungan Dieng lima puluh tahun silam.
Daeng Wattansopeng menjura di hadapan Sinto Gendeng yang memandang padanya sambil senyumsenyum.
Dalam rimba persilatan Sinto terkenal genit.
Banyak pemuda yang terpikat padanya. Sebaliknya dia juga pernah jatuh hati pada beberapa pemuda gagah.
"Sahabatku Sinto, aku sudah lama mendengar nama besarmu. Kehebatanmu tersiar sampai ke tanah kelahiranku di Bugis sana. Kalau kau tidak keberatan ingin 6ekali aku yang bodoh ini minta pelajaran menimba pengalaman darimu…."
"Tanah Bugis tanah bertuah. Banyak tokoh silat ternama berasal dari sana. Salah seorang di antaranya yang aku kenal baik adalah Karaeng Jeneponto."
"Karaeng Jeneponto, dia tokoh terhebat kawasan selatan. Selama bertahun-tahun dia dianggap sebagai pimpinan para tokoh silat Tanah Bugis." Berkata Daeng Wattansopeng.
"Jeneponto orangnya baik. Ilmu tinggi, rendah hati. Suatu ketika dia minta aku bertukar pengalaman.
Kami bersilat selama lima jurus. Jeneponto hebat sekali. Dia sanggup mengambil dua dari lima tusuk konde perak yang ada di kepalaku. Tapi aku sempat menjahilinya. Mendodorkan celana hitamnya hingga dia setengah telanjang. Untung Jeneponto masih pakai celana dalam butut. Kalau tidak. Hik… hik… hik…." Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
Daeng Wattansopeng tersenyum tapi otaknya berpikir. "Ilmu kesaktian dan kepandaian silat Karaeng Jeneponto dua tingkat bahkan mungkin tiga tingkat di atas kepandaianku. Bagaimana mungkin aku barusan berani menantang Sinto Gendeng? Ah, aku mencari penyakit sendiri. Tapi jika aku membatalkan niat, bagaimana aku menyembunyikan rasa malu?"
Saat itu Sinto Gendeng yang masih muda, berkulit hitam manis dan cantik berkata.
"Sahabat Daeng Wattansopeng, benar kau ingin bermain-main denganku barang sejurus dua jurus?"
Sudah terlanjur menantang Daeng Wattansopeng menjawab. "Kalau kau tidak keberatan memberi petunjuk, aku akan sangat berterima kasih Sinto.
Aku tahu tingkat kepandaianku jauh di bawah ketinggian ilmumu. Jadi harap kau jangan menelanjangiku seperti kau lakukan pada Karaeng Jeneponto."
Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Diam-diam dia merasa suka pada tokoh silat dari Tanah Bugis itu.
"Aku tahu diri. Tidak akan mempermalukanmu di depan orang banyak," jawab Sinto Gendeng. Saat itu banyak tokoh silat berkumpul membuat lingkaran besar, ingin menyaksikan jalannya adu kepandaian antara ke dua orang tersebut. "Tapi aku lebih dulu ingin membuat satu perjanjian denganmu." Sambung Sinto Gendeng.
"Perjanjian apa?" tanya Daeng Wattansopeng.
"Jika aku kalah, kau harus mengambil diriku sebagai istrimu."
Tentu saja Daeng Wattansopeng melengak kaget dan ternganga mendengar ucapan Sinto Gendeng.
Tempat itu sesaat diselimuti kesunyian. Kemudian mulai terdengar siulan-siulan. Disusul suara tawa satu persatu. Selanjutnya tempat itu penuh dengan gemuruh suara orang banyak tertawa bergelak.
Salah seorang di antara para tokoh malah berseru.
"Terima saja Daeng! Di Tanah Bugis belum tentu kau menemukan perempuan secantik dan sepandai Sinto Gendeng!"
Daeng Wattansopeng sebelumnya memang sudah mendengar kalau Sinto Gendeng orangnya aneh, bicara suka melantur tak karuan. Tapi dia mana pernah mengira kalau si hitam manis cantik itu begini rupa kelakuannya. Untuk beberapa lamanya Daeng Wattansopeng tak bisa menjawab.
Hanya wajahnya saja yang kelihatan berubah merah.
"Bagaimana? Kau terima perjanjian itu atau tidak?"
"Mungkin… mungkin dia sudah punya istri di kampung!" Seseorang berteriak.
"Tidak! Aku belum beristri!" jawab Daeng Wattansopeng. Lalu dia memaki dirinya sendiri.
Telah berlaku bodoh mengeluarkan ucapan seperti itu.
"Kalau begitu, mengapa tidak mau menerima perjanjian?"
"Punya dua istri juga tidak apa-apa! Siang lain malam lain! Ha… ha… ha!"
"Sinto juga belum pernah kawin! Satu perjaka satu perawan! Tunggu apa lagi!"
Suara tawa kembali menggemuruh di puncak Dieng itu.
"Hai, kau terima perjanjian atau tidak?!" Sinto Gendeng bertanya sambil berkacak pinggang dan kedipkan matanya.
"Aku menerima…." Daeng Wattansopeng tak bisa berkelit akhirnya menjawab. "Namun dengan satu syarat."
"Syarat apa?"
"Kejujuran."
"Heh!" Sinto Gendeng kelihatan heran.
"Kejujuran bagaimana maksudmu, sahabat Daeng Wattansopeng?"
"Kau tidak boleh sengaja mengalah."
Sepasang mata Sinto Gendeng membesar.
Perempuan muda ini lalu tertawa panjang.
"Baik…. Baik, aku tidak akan mengalah. Kau juga bertempur harus sungguh-sungguh."
Maka disaksikan banyak tokoh silat yang ada di tempat itu Sinto Gendeng dan Daeng Wattansopeng menguji kepandaian masing-masing. Dari rencana hanya bertempur lama lama jurus akhirnya berkembang sampai dua belas jurus dan masih terus.
Serangan yang dilancarkan Daeng Wattansopeng deras laksana curahan hujan. Ilmu silat Bugis memang cepat dan ganas gerakannya. Orang lain mungkin sudah sejak tadi kena dihantamnya.
Tetapi setiap dia merasa pukulan atau tendangannya akan mengenai lawan, gerakannya serta merta seperti sengaja ditahan. Orang banyak tertawa dan berseru.
"Daeng Wattan! Pukul saja!"
"Teruskan tendanganmu Daeng!"
"Ah! Dia takut menang! Takut kawin dengan Sinto Gendeng!"
Merasa malu dan tak enak hati mendengar ucapan-ucapan orang Daeng Wattansopeng keluarkan seluruh kepandaian, menyerbu Sinto Gendeng tanpa sungkan-sungkan lagi.
Dalam jurus ke dua puluh satu, dengan gerakan silat bernama Membabat Bumi Menghunjam Langit Daeng Wattansopeng berhasil membobol pertahanan lawan. Kaki kanan menyapu ganas ke arah dua kaki Sinto Gendeng. Jangankan kaki perempuan, batang kelapapun akan hancur tumbang dihantam tendangan itu. Ketika Sinto Gendeng melompat ke atas untuk selamatkan kaki, tangan kanan Daeng Wattansopeng secepat kilat melesat, menjotos masuk ke arah perutnya.
"Bukkk!"
Tubuh Sinto Gendeng terpental sampai satu tombak. Tapi dia tidak tergelimpang jatuh, masih sanggup menjejak tanah dengan dua kaki terpentang kokoh. Wajahnya kelihatan sedikit pucat pertanda menahan sakit.
"Astaga! Aku telah mencelakai orang!" Daeng Wattansopeng menyesal setengah mati. Tapi bukan itu yang ditakutinya. Dia berhasil mengalahkan Sinto Gendeng. Berarti sesuai perjanjian dia harus mengawini perempuan muda itu!
"Celaka aku!" keluh Daeng Wattansopeng.
Untuk beberapa lamanya dia hanya bisa berdiri dengan mulut ternganga dan mata terpentang melotot. Para tokoh yang membentuk lingkaran bersorak riuh!
"Kita bakal pesta besar! Dua tokoh bertemu jodoh!"
"Potong sapi potong kerbau!"
"Pesta tiga hari tiga malam!"
Wajah Daeng Wattansopeng merah seperti saga.
Perjanjian sudah dibuat! Dia mengalahkan Sinto Gendeng! Tak ada cara untuk mengelak. Tak mungkin dia menghindar memenuhi perjanjian. Dia harus mengawini Sinto Gendeng. Dalam kalut kacau hati serta pikirannya dilihatnya Sinto Gendeng melangkah mendekatinya sambil tersenyumsenyum.
Salah satu tangannya yaitu tangan kiri berada di belakang pinggang. Wattansopeng salah tingkah. Makin riuh sorak sorai para tokoh.
Dua langkah di hadapan Daeng Wattansopeng Sinto Gendeng berhenti. Bibirnya mengulum senyum.
"Daeng, aku Sinto Gendeng mengaku kalah…."
"Aku… aku…."
"Daeng! Jangan pura-pura malu!" teriak seorang tokoh silat.
"Kami tahu kau sebenarnya sudah lama suka pada Sinto!" berseru tokoh silat lainnya.
"Daeng, aku mengaku kalah," kata Sinto sekali lagi. "Untuk itu aku akan kembalikan sorbanmu."
Tangan kiri yang sejak tadi berada di balik pinggang bergerak ke depan. Di tangan itu ternyata Sinto Gendeng memegang sorban merah milik Daeng Wattansopeng.
"Astaga!" Daeng Wattansopeng terkejut besar.
Dua tangannya bergerak ke kepala. Sorbannya tak ada lagi. Sorban yang di tangan Sinto Gendeng memang miliknya. Merah padam wajah Daeng Wattansopeng tapi diam-diam hatinya merasa gembira. Ternyata dia tidak benar-benar mengalahkan perempuan cantik hitam manis itu.
Cepat-cepat Daeng Wattansopeng mengambil sorban merahnya.
"Sinto, terima kasih atas petunjuk dan pelajaran yang kau berikan…."
"Ya… ya, lalu bagaimana dengan perjanjian kita?"
Pertanyaan Sinto Gendeng itu membuat Daeng Wattansopeng terkejut. Sinto Gendeng tersenyum.
Dia layangkan pandangan pada para tokoh rimba persilatan yang masih membentuk lingkaran.
"Para sahabat, menurutku aku tidak kalah dan Daeng Wattansopeng tidak menang. Bagaimana menurut kalian."
"Ya…. Bagaimana lagi," kata seorang tokoh dengan nada lesu. "Kelihatannya pertempuran ini sudah diatur. Tak ada yang kalah tak ada yang menang! Sama-sama imbang!"
"Pesta besar batal! Makan besar batal!"
Para tokoh tertawa dan bersorak riuh. Semua mereka merasa senang. Walau tak jadi pesta tapi mereka telah melihat satu pertandingan silat tingkat tinggi yang jarang terjadi. Satu persatu mereka tinggalkan tempat itu dengan hati puas.
Sambil merapikan letak sorban di atas kepalanya, Daeng Wattansopeng mendekati Sinto Gendeng.
Perempuan muda ini senyum-senyum saja didekati begitu rupa. Malah enak saja mulutnya berucap.
"Perjanjian sudah batal. Apa kau berencana membuat perjanjian baru? Mengapa susah-susah.
Mengapa tidak langsung saja melamarku saat ini?"
Wajah Daeng Wattansopeng bersemu merah.
"Sinto, hari ini biar aku mengangkat dirimu sebagai saudara…."
"Saudara?" kening Sinto Gendeng mengerenyit.
Sepasang alisnya naik ke atas. Perempuan muda ini menutup mulut dengan jari-jari tangannya. "Saudara apa? Saudara kandung? Pasti tidak mungkin.
Saudara sepupu, saudara misan…?"
"Saudara lain ayah lain ibu," jawab Daeng Wattansopeng.
Sinto Gendeng angguk-anggukkan kepala.
Tertawa panjang lalu ulurkan tangan. Tidak malu malu dia pegang lengan Daeng Wattansopeng.
"Sinto, kau…. Kalau orang lain melihat…."
"Hueh! Kenapa malu-malu? Sama saudara ‘kan tidak apa-apa saling pegangan tangan?!" ujar Sinto Gendeng pula. Membuat Daeng Wattansopeng salah tingkah. Sinto lepaskan pegangannya.
"Sinto, kalau aku boleh bertanya. Apa nama jurus yang tadi kau pergunakan untuk mengambil sorbanku?"
Sinto Gendeng tertawa. "Daeng, kau masih penasaran rupanya. Baik, aku akan beri tahu. Jurus yang aku pergunakan untuk mengambil sorbanmu bernama Di balik Gunung Memukul Halilintar."
"Di balik Gunung Memukul Halilintar…." Daeng Wattansopeng mengulang nama jurus itu. Lalu wajahnya berubah. Dia memandang tak berkesip pada Sinto Gendeng. "Saudaraku…. Menyimak nama jurus itu, sebenarnya jika kau mau kau tadi bisa memukul pecah kepalaku. Tapi kau tidak melakukan.
Pukulan kau ganti dengan sambaran mengambil sorbanku. Kau… kau sungguh baik hati…."
"Yang benar saja Daeng. Masakan aku mau memukul pecah kepala saudara sendiri. Hik…hik…hik."
"Sinto, ternyata tidak sia-sia aku menyeberang lautan datang ke tempat ini. Hari ini aku mendapat satu pelajaran sangat berharga darimu. Bagaimana aku harus membalas budi baikmu."
Sinto Gendeng tersenyum. "Aku merasa bahagia punya saudara sebaik dirimu. Sayang waktuku tidak banyak. Sebagai tanda persaudaraan dan kenang kenangan, aku menitipkan sesuatu dalam saku jubahmu sebelah kanan. Selamat tinggal Daeng.
Kalau umur sama panjang kita pasti bertemu lagi."
Sinto Gendeng pegang lengan Daeng Wattansopeng.
Daeng Wattansopeng balas mengusap jari-jari tangan perempuan itu. Lalu sekali berkelebat Sinto Gendeng lenyap dari tempat itu. Lama Daeng Wattansopeng tertegun di tempatnya berdiri. Kemudian dia ingat pada ucapan Sinto Gendeng. Cepat dia masukkan tangan ke saku jubah sebelah kanan. Ada sebuah benda dalam saku itu. Ketika dikeluarkannya ternyata sebuah tusuk konde perak.
"Benar-benar di luar langit masih ada langit."
Daeng Wattansopeng geleng-gelengkan kepala. Dia memandang ke arah lenyapnya Sinto Gendeng. "Aku benar-benar tidak tahu. Tidak merasa. Bagaimana dia mampu memasukkan tusuk konde perak ini ke dalam saku jubahku?"

9

SELESAI menutur riwayat pertemuannya dengan Sinto Gendeng, sesaat Daeng Wattansopeng masih pandangi tusuk konde perak pemberian perempuan itu, lalu memasukkannya kembali ke saku jubah.
Mengetahui bahwa Daeng Wattansopeng punya hubungan baik dengan Sinto Gendeng, Jatilegowo jadi tidak enak. Bagaimana mungkin orang ini akan membantunya padahal kedatangannya justru meminta senjata untuk dipakai antara lain menghabisi Pendekar 212, murid Sinto Gendeng sendiri!
"Jatilegowo," tiba-tiba Daeng Wattansopeng menegur. "Melihat tingginya jabatanmu sebagai Adipati di Tanah Jawa, serta jauh dan sulitnya perjalanan ke tempat kediamanku ini, tentunya kau datang ke sini membawa satu masalah besar. Harap kau mau menceritakan apa masalahmu, apa sebabnya kau menginginkan senjata bertuah yang baru aku buat."
Jatilegowo berpaling pada Kakek Sarontang yang berdiri di sebelahnya. Orang tua satu ini maklum apa yang ada dalam pikiran dan hati sang Adipati setelah mengetahui hubungan Daeng Wattansopeng dengan Sinto Gendeng. Maka diapun berkata.
"Tak usah ragu. Jangan bimbang. Jangan jadikan perjalanan jauhmu ini satu kesia-siaan.
Ceritakan semua riwayatmu, jangan ada yang disembunyikan."
Jatilegowo mengangguk. Lalu berikan penuturan.
Mulai dari maksudnya hendak menikahi Nyi Larasati, janda almarhum Adipati Temanggung.
"Niat baik saya ditolak mentah-mentah oleh Nyi Larasati. Saya merasa dihina. Selain itu Sarwo Ladoyo sesepuh Kadipaten Temanggung menyerang saya. Terpaksa saya menjatuhkan tangan keras terhadap orang tua itu. Karena orang-orang Kadipaten Temanggung menunjukkan sikap menantang maka dengan persetujuan Kotaraja saya menyerbu Temanggung. Tapi tak terduga di situ muncul dua orang muda berkepandaian tinggi, menolong orangorang Temanggung. Pemuda pertama bertubuh gendut luar biasa. Dikenal dengan julukan Bujang Gila Tapak Sakti. Yang kedua adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saya dan para perwira Kadipaten Salatiga tidak mampu menghadapi mereka. Dalam keadaan babak belur kami terpaksa mundur. Saya bukan saja dihina dipermalukan tetapi diperlakukan secara keji. Wiro Sableng murid Sinto Gendeng memindah hidung saya ke kening. Dendam saya terhadap Wiro Sableng tidak akan lebur sekalipun kelak tubuh saya tinggal tulang-belulang di dalam kubur. Selain mempecundangi dan menghina serta memperlakukan saya seperti ini, dia juga telah berbuat mesum terhadap salah seorang istri saya." (Baca Episode sebelumnya berjudul "Badik Sumpah Darah").
Terkejutlah Daeng Wattansopeng mendengar ucapan terakhir Jatilegowo itu. Dalam hati dia membatin. "Sinto Gendeng kuketahui memang punya watak aneh. Tidak heran kalau muridnya juga aneh. Sang guru gendeng sang murid sableng.
Tetapi kalau dia sampai berbuat mesum dengan istri orang, ini satu hal yang sulit dipercaya."
Daeng Wattansopeng memandang Jatilegowo lalu berkata.
"Setahuku Sinto Gendeng tidak memiliki ilmu aneh begitu rupa," kata Daeng Wattansopeng pula.
"Berarti sang murid mendapatkan ilmu aneh itu dari orang lain."
"Kakek Daeng Wattansopeng, kini jelas bagimu latar belakang maksud kedatangan saya. Pertama untuk mengambil badik sakti bertuah yang kau janjikan melalui Kakek Sarontang. Kedua, saya berharap dengan kesaktianmu hidung saya yang ada di kening bisa dipindah ke tempat semula di atas bibir."
Daeng Wattansopeng terdiam sejenak, mata dipejam seolah merenung. Kemudian orang tua ini tarik nafas dalam dan berkata.
"Jatilegowo, ketika saudaraku Sarontang minta dibuatkan badik sakti bertuah untukmu, aku tidak pernah menduga latar belakang permintaanmu itu ada sangkut pautnya dengan murid Sinto Gendeng…."
"Saya maklum perasaanmu, Kakek Daeng Wattansopeng. Apakah berarti kau tidak akan menyerahkan badik itu pada saya?" tanya Jatilegowo pula.Sebelum Daeng Wattansopeng menjawab, Sarontang mendahului berucap.
"Adipati Jatilegowo, jangan kau berkawatir terlalu jauh. Saudaraku tak pernah mengecewakan siapapun selama hidupnya."
Daeng Wattansopeng tersenyum kecil.
Dipandanginya badik tak bergagang di atas kain hitam empat persegi. Dalam hati dia berkata.
"Agaknya sekali ini aku membuat senjata bertuah untuk sesuatu yang keliru. Ya Rabbi Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, jika saya salah, ampuni kesalahan saya." Orang tua ini angkat kepalanya, menatap pada Sarontang lalu memandang pada Jatilegowo dan berucap.
"Aku sudah berjanji. Pantang bagiku tidak menepati janji. Sebelum aku mendengar kisahmu, sebenarnya ada syarat-syarat yang harus kau lakukan di atas sumpah, yakni sebelum badik sakti bertuah aku berikan padamu. Kini setelah aku tahu silang sengketamu dengan Wiro Sableng murid Sinto Gendeng yang sudah saling angkat saudara denganku, maka ada satu syarat tambahan lagi yang harus kau terima di atas sumpah."
"Kalau Kakek Daeng Wattansopeng mau mengatakan sekarang, sekarang pula saya akan mengangkat sumpah memenuhi permintaan Kakek. kata Jatilegowo.
"Aku sangat menghargai ucapan dan tindakanmu. Tapi sumpah itu baru boleh kau ucapkan lusa pagi, bersamaan dengan terbitnya matahari di ufuk timur. Sekarang, sebelum fajar menyingsing kau bersama Kakek Sarontang ikuti aku ke rimba Seratus Pohon Tuba. Badik tak bergagang ini perlu dibenamkan selama satu hari satu malam dalam Pohon Tuba, agar racun menyelimutinya luar dalam. Agar kesaktiannya bangkit di atas segala kesaktian. Hingga kelak jangankan tertusuk, tergores sedikit saja lawan akan menemui kematian."
Dengan hati-hati Daeng Wattansopeng melipat kain hitam empat persegi. Badik berikut sarungnya yang terbungkus kain hitam ini dimasukkannya ke saku jubah. Lalu orang tua ini turun dari pembaringan.
Memberi isyarat pada Sarontang dan Jatilegowo untuk mengikutinya.
SANG surya belum muncul. Hari masih gelap ketika ke tiga orang itu sampai di satu rimba belantara. Di bagian rimba sebelah tengah ada satu pedataran tinggi.
Di sini tumbuh seratus buah pohon besar yang disebut Pohon Tuba. Daeng Wattansopeng mendatangi pohon paling besar. Di sini dia melangkah memutari pohon sampai tujuh kali. Sambil memutari pohon dari mulutnya tak putus- putus keluar suara mengucap sesuatu. Di akhir putaran ke tujuh orang tua ini hentikan langkah. Badik tak bergagang dikeluarkan dari dalam saku.
Lipatan kain dibuka, sarung badik diselipkan pada ikat pinggang jubah, kain hitam dipegang dengan tangan kiri sementara badik dipegang dengan tangan kanan. Tangan kiri Daeng Wattansopeng bergerak.
Terdengar suara seperti kepakan sayap burung besar ketika kain hitam empat persegi itu melesat ke udara, menabas daun-daun dan rerantingan lalu lenyap dalam kegelapan.
Daeng Wattansopeng letakkan badik tak bergagang di atas keningnya. Mata dipejamkan, mulut komat-kamit melafatkan sesuatu. Bersamaan dengan itu tangan kanan yang memegang badik perlahan-lahan bergerak. Ujung runcing badik hitam kebiru-biruan ditusukkan ke batang Pohon Tuba.
Sedikit demi sedikit badik itu amblas masuk ke dalam batang pohon hingga akhirnya lenyap sama sekali.
Jatilegowo memperhatikan apa yang tadi dilakukan Daeng Wattansopeng. Diam-diam dia menaruh kagum. Bukan pekerjaan gampang memasukkan sebuah benda hingga amblas ke dalam pohon tanpa bekas. Tidak semua tokoh rimba persilatan sekalipun memiliki tenaga dalam tinggi sanggup melakukan hal seperti itu.
Daeng Wattansopeng berpaling pada dua orang yang ada di belakangnya.
"Kalian berdua carilah tempat yang baik untuk menunggu. Mulai saat ini sampai pagi satu usapan muka aku akan mengheningkan daya dan rasa. Jika kalian tidak suka menunggu di sini, kaliann boleh menunggu di pondok.’
"Daeng, kalau kau tidak keberatan dan memberi izin biar kami menunggu sekitar sini," menjawab Sarontang.
Mendengar jawaban orang, tanpa banyak bicara lagi Daeng Wattansopeng mencari tempat yang baik dan bersih lalu melaksanakan sembahyang sunat dua rakaat. Selesai sembahyang dia duduk bersila di tanah, di bawah Pohon Tuba. Dua tangan diletakkan di atas lutut, wajah dan tubuh dihadapkan ke arah matahari tenggelam.
Menjelang pagi hari kedua, baik Sarontang maupun Jatilegowo tidak memicingkan mata. Mereka memperhatikan sosok Daeng Wattansopeng yang masih duduk bersila tak bergerak, mata terpejam. Di ufuk timur fajar masih belum menyingsing. Keadaan di tempat itu masih gelap. Ketika terdengar hembusan nafas panjang dari hidung Daeng Wattansopeng, Sarontang dan Jatilegowo saling melirik. Lalu perlahan-lahan kelihatan si orang tua membuka sepasang matanya.
Kakek ini yang masih dalam keadaan suci wudhu bangkit berdiri lalu sembahyang sunat dua rakaat. Selesai sembahyang dia melangkah mendekati Pohon Tuba. Sarontang dan Jatilegowo segera berdiri, mengikuti langkah si orang tua tapi menjaga jarak, tidak mau terlalu dekat.
Di hadapan Pohon Tuba Daeng Wattansopeng tundukkan kepala membaca sesuatu. Lalu dua tangannya ditempelkan ke batang pohon, tepat di mana sehari semalam sebelumnya dia memasukkan badik yang dibuatnya ke dalam pohon beracun itu.
Beberapa saat berlalu dalam cekaman kesunyian.
Sarontang dan Jatilegowo menunggu dengan dada berdebar. Tiba-tiba ada cahaya terang kehijauan memancar pada batang Pohon Tuba, tepat pada bagian yang ditempeli dua telapak tangan Daeng Wattansopeng. Lalu ada asap mengepul disertai tebaran bau wangi membuat Sarontang dan Jatilegowo jadi tercekat.

10

TAK SELANG berapa lama terdengar Daeng Wattansopeng mengucap Basmallah lalu dua tangannya yang sejak tadi ditempelkan ke batang pohon perlahan-lahan ditarik ke belakang. Dalam jepitan dua telapak tangan Daeng Wattansopeng saat itu kelihatan badik tak bergagang menyembul keluar dari batang pohon lalu tertarik keluar. Badik yang sebelumnya berwarna hitam kebiruan itu kini berubah warna menjadi hitam kehijauan. Pertanda racun Pohon Tuba telah menyatu dalam tubuh badik.
"Sarontang, berikan padaku gagang dari gading yang sudah kau siapkan untuk hulu senjata ini." Daeng Wattansopeng berkata.
Dari balik pakaiannya Sarontang segera mengeluarkan gagang terbuat dari gading gajah lalu menyerahkannya pada Daeng Wattansopeng.
Hati-hati Daeng Wattansopeng masukkan dan sambungkan gagang gading ke ujung sebelah bawah badik. Ternyata gagang dan badik cocok satu sama lainnya, bersatu kuat membentuk satu senjata mustika sakti yang utuh.
"Badik Sumpah Darah…." bisik Sarontang. Matanya berkilat-kilat.
"Jatilegowo, mendekatlah ke hadapanku,"
terdengar Daeng Wattansopeng berucap. Adipati Salatiga Jatilegowo segera melangkah ke hadapan si orang tua. Wajahnya tegang dan dadanya berdebar.
"Berdoalah pada Yang Maha Kuasa, agar wajahmu diberi kesembuhan. Anggukkan kepalamu jika kau selesai berdoa."
Dalam hati Jatilegowo segera melakukan apa yang dikatakan si orang tua. Selesai berdoa dia anggukkan kepala.
Perlahan-lahan Daeng Wattansopeng angkat tangan kanannya yang memegang badik, didekatkan ke wajah Jatilegowo, ditempelkan pada hidung yang ada di kening.
Jatilegowo merasa ada hawa panas menjalar ke hidung merambas ke keningnya. Dia keluarkan suara mengeluh karena hawa panas seperti melelehkan seluruh wajahnya. Tubuhnya bergetar menahan sakit. Perlahan-lahan hawa panas lenyap, berganti dengan hawa sejuk. Perubahan panas dengan sejuk menimbulkan kepulan asap yang menyelubungi seluruh kepala Jatilegowo. Adipati Salatiga ini merasakan ada sesuatu bergerak di keningnya lalu gerakan serupa terasa di atas bibirnya.
Daeng Wattansopeng meniup. Kepulan asap yang membungkus kepala Jatilegowo lenyap.
Sarontang keluarkan suara tercekat. Matanya menyaksikan seperti tak percaya. Hidung Jatilegowo yang tadinya ada di kening kini telah kembali ke tempatnya semula di atas bibir. Pada kening kelihatan sedikit goresan yang mengeluarkan darah.
Ketika diusap oleh Daeng Wattansopeng dengan badan badik, goresan itu serta-merta lenyap.
Jatilegowo telah melihat pada perubahan air muka Kakek Sarontang. Dadanya berdebar.
Kemudian didengarnya orang tua itu berkata.
"Jatilegowo, Tuhan telah mengabulkan doa pintamu."
Jatilegowo angkat ke dua tangannya, meraba wajah, kening dan bagian atas bibirnya. Dia merasakan hidungnya yang sebelumnya menempel di kening kini telah kembali ke tempat seharusnya di atas bibir.
"Ah…." Lelaki ini keluarkan seruan gembira, langsung jatuhkan diri di hadapan Daeng Wattansopeng.
"Berdirilah Jatilegowo. Bersyukur dan berterima kasih pada Allah. Dia yang telah menolong dirimu…."
"Tapi Kakek Daeng, kalau bukan engkau…."
"Aku hanya hamba Allah, yang dipercayakan jadi kepanjangan tanganNya untuk menolongmu…."
"Kakek Daeng, saya bersyukur, saya berterima kasih," ucap Jatilegowo penuh haru sedang dua matanya kelihatan berlinang. Sarontang berdiri menyaksikan sambil usap-usap dagunya.
"Sarontang mendekat ke mari." Kata Daeng Wattansopeng sambil mengeluarkan sarung badik dari saku jubahnya. Setelah Sarontang berada di hadapannya, berdiri di samping Jatilegowo Daeng Wattansopeng berkata.
"Kalian dengar baik-baik. Sebelum badik bertuah ini aku masukkan ke dalam sarungnya, sebelum senjata mustika sakti ini aku berikan pada kalian.
aku ingatkan kembali pada kalian berdua. Ada janji yang disebut sumpah, harus kalian ingat dan laksanakan. Pertama, senjata bernama Badik Sumpah Darah ini akan kuserahkan padamu Jatilegowo. Kau hanya boleh memilikinya selama tiga purnama. Itu sudah cukup bagimu untuk melakukan apa saja dalam mewujudkan segala niatmu. Mulai dari memperistrikan Nyi Larasati, sampai kau mendapat kekuasaan penuh di Temanggung dan Salatiga. Bilamana semua apa yang kau inginkan itu sudah tercapai, Badik Sumpah Darah harus kau serahkan pada Sarontang. Sarontang juga akan memiliki senjata ini selama tiga purnama.
Waktu yang cukup untuk mewujudkan cita-citamu mendapatkan tahta kerajaan Pakubuwon. Tapi ingat baik-baik akan satu hal. Jangan kalian berani mengganggu Sinto Gendeng ataupun muridnya yang bernama Wiro Sableng…."
"Kakek Daeng, saya…." Jatilegowo memotong ucapan si orang tua.
"Aku tahu, Wiro Sableng adalah musuh besarmu.
Tetapi begitulah bunyi perjanjian yang akan diikat dengan sumpah."
"Jatilegowo," kata Sarontang sambil memegang bahu lelaki itu. "Walau Wiro adalah musuhmu tapi maksud utamamu adalah mendapatkan Nyi Larasati dan kekuasaan di dua Kadipaten. Kau harus mengerti dan menurut apa yang dikatakan Kakek Daeng…."
Jatilegowo akhirnya anggukkan kepala.
Si orang tua melanjutkan ucapannya yang tadi terputus. "Setelah apa yang kalian inginkan tercapai, senjata ini harus kalian kembalikan ke sini, serahkan langsung ke tanganku."
"Kakek Daeng, bagaimana kalau selama waktu yang ditetapkan kami tidak mampu mewujudkan niat…."
Sarontang menyentuh kaki Jatilegowo dengan kakinya, membuat ucapan Adipati itu terputus.
"Jatilegowo, Kakek Daeng Wattansopeng lebih luas penglihatan dan pengalamannya dari pada kita.
Lakukan saja apa yang dikatakannya…."
"Baik kalau begitu. Harap maafkan saya Kakek Daeng," kata Jatilegowo.
"Jika kau sudah menerima janji maka saatnya kita mengikat diri dengan sumpah darah. Majulah lebih dekat."
Jatilegowo dan Sarontang bergerak lebih dekat.
Daeng Wattansopeng tempelkan ujung gagang badik yang agak runcing ke lengan kanan Jatilegowo.
Begitu digores, lengan itu tersayat halus dan kucurkan darah. Hal yang sama kemudian dilakukan Daeng Wattansopeng pada lengan kanan Sarontang.
"Jangan kalian bersihkan darah di lengan kalian.
Pada saatnya darah itu akan lenyap dengan sendirinya."
"Saudaraku Daeng Wattansopeng, ada sesuatu yang hendak aku sampaikan padamu. Sekaligus meminta petunjukmu," berkata Sarontang, kakek berambut biru berminyak.
"Katakanlah, mudah-mudahan aku bisa membantu," jawab Daeng Wattansopeng.
"Pada saat aku menginjakkan kaki pertama kali di Tanah Bugis ini sekitar seperempat abad yang lalu, aku bertemu dengan seorang kakek bernama Pattirobajo, mengaku berjuluk Iblis Seribu Nyawa…."
"Aku tahu banyak riwayat orang itu. Apa yang dimintanya darimu, Sarontang?" tanya Daeng Wattansopeng pula.
"Dia meminta aku untuk membunuhnya dengan Badik Sumpah Darah. Menurut pengakuannya dia sudah terlalu lama hidup dan tidak mati-mati. Katanya, hanya badik bertuah itulah yang bisa menamatkan riwayatnya. Asal saja aku yang menikamkan ketubuhnya. Aku terlanjur berjanji akan memenuhi permintaannya itu. Selama hampir dua puluh lima tahun berada di Tanah Bugis ini aku telah menerima banyak budi dari dia. Antaranya sebuah jimat yang membuat aku memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Aku minta izinmu, sebelum berangkat ke Tanah Jawa bersama Jatilegowo aku akan mampir lebih dulu di lereng timur Gunung Lompobatang untuk memenuhi permintaan Iblis Seribu Nyawa."
Daeng Wattansopeng merenung sejenak lalu berkata. "Membunuh seseorang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah satu dosa besar. Aku menasihatkan agar kau tidak melakukan hal itu, tidak memenuhi permintaan Iblis Seribu Nyawa…."
"Lalu bagaimana dengan budi yang telah aku terima?"
"Anggap saja itu sebagai berkah atau sedekah seseorang padamu yang wajib kau syukuri. Tapi jika kau tidak berkenan, boleh saja kau kembalikan pada si pemberi. Lagi pula setelah dua puluh lima tahun berlalu, apakah Iblis Seribu Nyawa masih hidup?"
"Dia memang masih hidup. Keadaannya separuh lumpuh, tinggal kulit pembalut tulang. Tapi dia tak kunjung menemui ajal," jawab Sarontang.
"Saudaraku, aku tetap menganjurkan agar kau melupakan saja permintaan Iblis Seribu Nyawa.
Ketahuilah Badik Sumpah Darah aku ciptakan bukan untuk membunuh secara sembarangan. Kalian berdua ingat hal itu baik-baik."
Sarontang lalu berdiam diri. Daeng Wattansopeng tidak bisa menerka apakah saudara angkatnya ini akan mengikuti nasihatnya. Dia berpaling pada Jatilegowo lalu berkata.
"Tubuhmu akan kusapu dan kugosok dengan Badik Sumpah Darah agar mendapat kekebalan luar dalam. Berbaringlah di tanah, menelungkup."
Jatilegowo lakukan apa yang diperintahkan si orang tua. Dia berbaring menelungkup di tanah.
Daeng Wattansopeng berjongkok di sampingnya.
Dengan badik telanjang, sambil melafatkan bacaan sakti Daeng Wattansopeng sapu dan usapkan senjata itu ke tubuh belakang Jatilegowo, mulai dari kepala sampai ke ujung kaki.
"Balik, menelentang," kata Daeng Wattansopeng.
Jatilegowo membalikkan badan, kini berbaring menelentang. Seperti tadi dia mengusapkan senjata bertuah itu ke tubuh Jatilegowo mulai dari kepala, bagian muka turun ke dada terus ke perut. Sampai di bawah perut membelok ke kanan mengusap kaki kanan sampai ke ujung bawah lalu naik ke atas pada kaki kiri. Pada saat itulah Sarontang memberikan isyarat kedipan mata ke arah Jatilegowo.
Melihat isyarat ini Jatilegowo tiba-tiba tendangkan kaki kanannya ke dada Daeng Wattansopeng. Di saat yang bersamaan dari samping belakang Sarontang hantamkan tangan kanannya ke tengkuk si orang tua!

11

TENDANGAN kaki kanan Jatilegowo menghancurkan tulang dada Daeng Wattansopeng.
Tubuh orang tua itu terpental ke atas tapi kembali terbanting ke bawah begitu pukulan yang dilepaskan Sarontang mendarat telak di tengkuknya.
"Kraaakk!"
Tulang pangkal leher orang tua itu patah. Dia jadi sulit bernafas. Badik Sumpah Darah terlepas dari genggamannya, jatuh tercampak di tanah. Megapmegap dia berusaha sambil menunjuk ke arah Jatilegowo dan Sarontang.
"Kalian…." darah mengucur dari mulut Daeng Wattansopeng. "Kalian tel… telah berbu… at… dosa bessarr…."
"Jatilegowo, tunggu apa lagi. Lekas habisi dia! Tikam dengan badik!" Sarontang berteriak.
Mendengar teriakan itu Jatilegowo segera mengambil Badik Sumpah Darah yang tergeletak di tanah. Dengan senjata sakti bertuah yang telah mengandung racun hebat ini Jatilegowo kemudian menikam Daeng Wattansopeng tepat di arah jantungnya.
"Ahhhh…."
Daeng Wattansopeng keluarkan keluhan panjang.
Tubuhnya terkapar di tanah. Mata membeliak, wajah menunjukkan rasa tak percaya. Tak percaya kalau dirinya akan menemui kematian oleh sejata buatannya sendiri. Tak percaya kalau yang menikam membunuhnya adalah Jatilegowo kepada siapa senjata itu akan diserahkannya. Hanya sesaat setelah nyawanya melayang, kulit Daeng Wattansopeng mulai dari muka sampai ke kaki kelihatan berwarna hijau.
Jatilegowo dan Sarontang sesaat pandangi mayat Daeng Wattansopeng lalu keduanya sama-sama tertawa bergelak. Selagi Sarontang masih tertawa gelak-gelak Jatilegowo cepat mengambil sarung badik. Badik telanjang bernoda darah dimasukkanya ke dalam sarung itu. Lalu tanpa setahu Sarontang di dalam gelap Jatilegowo membuat satu gerakan cepat.
"Orang tua tolol!" kata Sarontang. "Siapa sudi menelan janji dan sumpahmu!"
"Sekarang kita bisa memiliki senjata sakti mandraguna ini tanpa ada batas waktu!" ucap Jatilegowo. "Sesuai apa yang dikatakan Daeng Wattansopeng, aku pertama kali akan memiliki senjata itu. Jika semua niat dan urusanku selesai akan kuserahkan padamu."
"Memang begitu ucapan Daeng Wattansopeng.
Tapi apakah kau lupa perjanjian di antara kita?" ujar Sarontang lalu tertawa mengekeh dan ulurkan tangannya.
Jatilegowo terdiam mendengar kata-kata Sarontang itu lalu anggukkan kepala dan menjawab perlahan. "Ya, saya ingat."
"Sesuai dengan apa yang pernah aku katakan padamu, mulai saat ini kewajiban untuk menyediakan Mayat Persembahan menjadi tanggung jawabmu.
Sebelum kita berangkat ke Tanah Jawa, kau sudah harus menyerahkan satu mayat pemuda lajang padaku.
Seteiah itu setiap bulan mati, enam kali berturut-turut.
Sampai tujuh kali kau menyerahkan mayat persembahan maka impaslah janjimu. Aku tunggu kau di Gua Nipanipa. Begitu mayat persembahan kau serahkan, aku akan menyerahkan badik ini padamu!
Dan ingat Jatilegowo. Jika mayat persembahan tidak aku serahkan sebelum berangkat ke Tanah Jawa, kutuk dan kualat akan jatuh atas dirimu." Habis berkata begitu Sarontang berkelebat pergi.
"Licik, aku sudah menduga dia akan berbuat licik," kata Jatilegowo. Satu seringai tersungging di mulutnya.
Dia kemudian pandangi sejurus jenazah Daeng Wattansopeng tanpa ada penyesalan di dalam hatinya, lalu tinggalkan tempat itu.
Hanya sesaat setelah lenyapnya Sarontang disusul kepergian Adipati Jatilegowo, dari kerimbunan semak belukar yang dibungkus kegelapan melesat keluar satu sosok berjubah dan berkerudung putih. Orang ini perhatikan mayat Daeng Wattansopeng, melangkah memutari mayat itu sampai dua kali sambil mulutnya berucap perlahan.
Orang yang datang bersama Sarontang itu jelas bukan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ada baiknya aku bersiap-siap mengadakan perjalanan menuju teluk.
Aku hanya tinggal menunggu. Salah satu dari mereka akan menunjukkan jalan ke Tanah Jawa padaku."
Ucapannya berhenti. Langkahnya juga terhenti.
Kembali dia pandangi sosok Daeng Wattansopeng.
sambil menyeringai dia berkata. "Daeng, negerimu memang berbeda dengan negeriku. Di negeriku kepercayaan tidak datang begitu mudah. Di negerimu kepercayaan terlalu mudah diberikan hingga disalahgunakan. Dan terkadang berakhir pada kematian. Buktinya hari ini kau mengalami sendiri."
GOA Nipanipa.
Sarontang bersandar ke dinding, tidur-tidur ayam di mulut goa sebelah dalam. Saat itu sang surya belum lama tenggelam. Tapi udara cepat menjadi gelap karena langit tertutup awan mendung.
Di atas pangkuannya terletak satu kantong perbekalan besar. Di dalam kantong .itu, terbungkus dalam lipatan sehelai kain kasar, Badik Sumpah Darah disimpannya. Rupanya dia sudah siap meninggalkan goa yang telah dihuninya selama hampir dua puluh lima tahun itu. Dia hanya tinggal menunggu kedatangan Jatilegowo membawa mayat persembahan. Sejak pagi tadi dia menunggu, sampai siang berganti malam yang ditunggu belum juga muncul.
Di luar goa angin bertiup kencang. Hujan mulai seharusnya memancarkan sinar hitam kehijauan kelihatan redup.
Sarontang delikkan mata. Tidak percaya. Tangannya bergetar. Tengkuknya mendadak dingin. Matanya semakin membesar seolah mau melompat keluar dari rongganya.
"Palsu…." desis Sarontang. "Badik ini bukan Badik Sumpah Darah. Tapi badik palsu! Jatilegowo jahanam!
Sungguh tolol diriku! Bagaimana dia bisa menipu aku?!
Jahanam! Keparat jahanam!" Saking marahnya Sarontang hantamkan tangan kanan yang memegang badik ke dinding goa. Badik Sumpah Darah palsu patah tiga, sarungnya hancur. Dinding goa pecah berantakan!
"Jatilegowo! Jangan kira kau bisa lari dari tanganku!
Dunia ini sempit. Ke manapun kau pergi akan kukejar!
Aku bersumpah membunuhmu! Jangan kira kau sudah menjadi manusia kebal! Aku tahu di mana kelemahanmu! Kau harus mati ditanganku!"
KETIKA Sarontang sampai di Teluk Bantaeng keesokan sorenya dia melihat banyak orang berkerumun di dermaga kayu. Teluk Bantaeng pada masa itu merupakan salah satu pangkalan perahu barang dan penumpang yang mengarungi jalur pelayaran ke Tanah Jawa. Kerumunan orang di dermaga begitu banyak, tidak seperti biasanya. Di beberapa tempat ada pula kelompok-kelompok orang bercakap-cakap. Sarontang mendekati salahsatu kerumunan orang untuk mencari tahu apa yang terjadi. Ternyata orang-orang itu tengah membicarakan satu peristiwa hebat yang belum lama terjadi.
Belasan perahu besar yang biasa berlayar ke Tanah Jawa telah dirusak oleh seorang tak dikenal.
Ada yang dibakar bagian haluannya. Ada yang dihancurkan bagian dasar tiang-tiang layar. Lalu ada pula yang dihancurkan dilubangi di bagian buritan. Orang yang melakukan perbuatan itu kemudian melarikan diri dengan sebuah perahu layar yang rupanya telah disiapkan. Beberapa anak perahu yang perahunya dirusak coba mengejar tapi tak berhasil karena perahu mereka lebih kecil.
Pada seorang awak perahu yang berdiri di dekatnya Sarontang bertanya bagaimana ciri-ciri orang yang merusak sekian banyak perahu itu.
"Badannya tinggi besar. Kumis lebat. Rambut panjang sebahu…."
"Jatilegowo," kata Sarontang dalam hati.
"Kalian begini banyak, tapi tidak mampu menghalang atau menangkap orang itu…."
Sarontang berucap setengah menyesali setengah mengejek.
"Pak Tua, jumlah kami boleh banyak tapi orang itu mempunyai ilmu kesaktian hebat. Setiap dua tangannya dipukulkan pasti ada korban manusia berkaparan. Atau ada perahu yang hancur! Siapa mau menyabung nyawa melawan manusia berkekuatan seperti setan dia!"
"Pukulan Dua Gunung Meroboh Langit. Aku tahu dia memiliki pukulan sakti itu. Dia telah mempergunakan pukulan itu." Kembali Sarontang berucap dalam hati. Orang tua ini memandang ke arah laut lepas. Dia tahu mengapa Jatilegowo merusak perahu-perahu di dermaga. Agar dirinya tak bisa mengejar. "Jatilegowo, kau mengira telah berlaku cerdik. Memang saat ini aku tidak bisa segera mengejarmu. Tapi kau lupa. Dunia ini begini sempit. Kau mau melarikan diri ke mana? Aku akan mengejarmu dan satu waktu pasti kau akan kutemui!
Kalau tahta Kerajaan Pakubuwon telah berada di tanganku, aku bisa mengerahkan seribu orang untuk mencarimu! Kau akan jadi manusia paling celaka di dunia ini!"
Sarontang terpaksa bermalam di Teluk, menunggu perahu yang datang dari Jawa atau dari pelabuhan lain. Menjelang siang keesokannya baru ada perahu besar yang berlayar ke Jawa. Sarontang menumpang perahu ini tanpa mengetahui bahwa salah seorang penumpang dalam perahu itu adalah seorang lelaki berjubah dan berkerudung putih yang bukan lain adalah Lajundai alias Hantu Muka Dua, dedengkot negeri seribu dua ratus tahun silam yang pernah menyatakan dirinya sebagai raja di raja Negeri Latanahsilam.
Siang Sarontang berlayar ke Jawa, pada malam harinya Iblis Seribu Nyawa yang diam di lereng timur Gunung Lompobatang sebelah timur punya firasat dan merasa kalau Aryo Probo alias Sarontang tidak memenuhi janjinya. Tidak datang ke tempat kediamannya untuk membunuh menghabisi dirinya.
"Aryo Probo, Pangeran Pakubuwon. Aku telah terlanjur memberikan budi baik padamu dan sebagai balasan meminta sedikit pertolongan. Tapi kau ingkari janji. Hampir dua puluh lima tahun aku menunggu.
Kau khianati diriku. Kau kabur ke Tanah Jawa tanpa datang ke sini membawa Badik Sumpah Darah untuk membunuhku. Aku tidak ihlas atas semua itu! Aku akan mencarimu, mengambil kembali semua ilmu kepandaian yang sudah aku ajarkan. Termasuk jimat batu Combong Dewa yang telah aku berikan padamu.
Akan aku ambil kembali bersama-sama jiwamu!
Kalaupun aku tidak kesampaian maksud membunuhmu, kutuk dan sumpahku akan jauh lebih ganas menimpa dirimu!"
Habis berkata begitu Iblis Seribu Nyawa bertepuk dua kali. Dari balik dinding batu tempat kediamannya serta merta keluar dua orang lelaki berkepala botak.
Mengenakan pakaian kelabu gelap berkulit hitam bertubuh tinggi besar. Tampang keduanya garang angker tapi gerak gerik, langkah serta putaran mata mereka kelihatan kaku aneh. Mereka tak ubahnya seperti dua boneka kayu besar.
"Siapkan tandu! Bawa aku ke Teluk. Kita berangkat ke Tanah Jawa hari ini juga!" kata Iblis Seribu Nyawa.
Dua orang hitam anggukkan kepala, lenyap ke balik dinding. Tak lama kemudian muncul lagi membawa sebuah tandu yang pada bagian tangannya ada kursi rendah untuk dudukan dilengkapi bantalan kain tebal.
Ketika muncul kembali, dua lelaki botak itu mengenakan sorban tebal di atas kepala masingmasing.
Iblis Seribu Nyawa naik ke atas tandu, duduk di kursi rendah. Dua orang hitam segera menggotong tandu. Satu di depan satu di belakang. Ternyata mereka tidak memanggul atau memikul tandu itu, melainkan menjunjungnya di atas kepala yang dilapisi dengan sorban tebal!
Di atas tandu Iblis Seribu Nyawa berucap.
"Sarontang, aku tahu hitam busuk keji kehidupanmu selama ini. Puluhan anak muda telah jadi korban nafsu bejatmu! Mereka kemudian kau bunuh, kau jadikan Mayat Persembahan. Sekarang giliran dirimu aku jadikan Mayat Persembahan!"

12

IBLIS Kepala Batu Alis Empat melangkah mengitari kursi batu di mana Sutri Kaliangan didudukkannya dalam keadaan kaku.
"Iblis Keparat, kau bakal mendapat hukuman berat dari Patih Kerajaan. Aku sendiri sudah bersumpah akan membunuhmu!"
Setiap kata-kata itu diucapkan si gadis, Iblis Kepala Batu keluarkan tawa mengekeh.
"Jadi kau tidak mau menyerahkan Keris Naga Kopek dengan tanganmu sendiri! Tidak jadi apa!
Aku malah senang! Aku akan menggerayangi tubuh bagusmu, mencari keris itu dan mengambilnya. Ha… ha… ha…!"
"Jahanam kurang ajar!" hardik Sutri.
Gadis itu terpekik ketika Iblis Kepala Batu melompat ke hadapannya dan memegang ke dua bahunya.
"Pergi! Jangan sentuh!"
"Ha… ha… ha. Di sebelah mana bagian tubuhmu kau sembunyikan Keris Naga Kopek itu?!"
"Iblis jahanam! Pergi! Jangan pegang tubuhku!"
"Kau tak mau memberi tahu. Berarti memang minta dan suka aku gerayangi! Ha… ha… ha!"
"Manusia terkutuk, mendekatlah, aku akan membisikkan sesuatu ke telingamu!" kata Sutri Kaliangan.
"Eh, mengapa kau berubah jadi lembut?"
Mahluk berkepala empat persegi dan memiliki alis empat buah itu merasa heran. Tapi kepalanya dirundukkan juga mendekati wajah si gadis.
Begitu muka Iblis Kepala Batu berada dekat di depannya Sutri Kaliangan ludahi muka itu.
"Gadis liar keparat!" teriak Iblis Kepala Batu.
Tangan kanannya bergerak.
"Plaaakkk!"
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Sutri Kaliangan. Gadis ini terpekik, kepalanya lunglai di sandaran kursi batu. Lelehan darah mengucur keluar dari sudut bibirnya yang pecah.
Iblis Kepala Batu jambak rambut si gadis. "Aku tahu, Keris Naga Kopek kau sembunyikan di balik pakaianmu. Kau tidak mau menyerahkan tidak jadi apa. Nanti aku akan kembali. Akan kugerayangi tubuhmu untuk mengambil keris itu!" Iblis Kepala Batu lalu sentakkan jambakannya hingga bagian belakang kepala Sutri membentur sandaran kursi batu. Tak ampun lagi gadis ini serta merta jatuh pingsan.
Sambil menyeka ludah yang membasahi mukanya Iblis Kepala Batu tinggalkan ruangan itu, melangkah memasuki ruangan lain yang bersebelahan. Agaknya ruangan ini adalah kamar tidur sang iblis. Segala sesuatunya terbuat dari batu. Mulai dari tempat tidur, kursi dan meja. Tempat tidur batu dialasi semacam kasur yang diisi dengan rumput kering.
Di atas meja ada sebilah pelita aneh. Terbuat dari kayu berminyak yang ditancapkan dalam sebuah jambangan batu. Di sebelah pelita kayu itu terletak sebuah guci tembaga berdampingan dengan kendi tanah berisi tuak keras.
Begitu masuk ke dalam ruangan Iblis Kepala Batu langsung menyambar kendi, meneguk isinya hingga mukanya yang biru angker berubah merah seperti udang rebus. Setelah meletakkan kendi setengah kosong di atas meja, Iblis Kepala Batu ambil guci tembaga. "Dewi Bunga Mayat, kau yang juga bernama Suci dan Bunga. Kau dengar suaraku? Aku ingin bicara denganmu!"
Iblis Kepala Batu dekatkan guci tembaga itu ke depan wajahnya. Tak ada suara jawaban."Bunga, gadis alam roh! Ini untuk terakhir kali aku memberi kesempatan. Jika kau tak mau bicara, guci akan kulemparkan ke dalam laut, kau akan kupasung sampai kiamat di dalamnya!"
Masih tak ada jawaban. Iblis Kepala Batu dekatkan guci ke telinga kirinya. Guci lalu digoncang kuat-kuat.
Di dalam guci terdengar suara jeritan-jeritan halus.
Iblis Kepala Batu menyeringai.
"Kau merasa sakit? Ha… ha… ha…. itu belum seberapa. Aku bisa memasukkan asap penyiksa roh ke dalam guci. Kau akan tersiksa hebat, kulitmu akan mengelupas. Darah akan mengucur dari setiap lubang tubuhmu!"
"Mahluk iblis! Aku tidak takut ancamanmu!
Buang aku ke laut! Sekarang juga! Masukkan asap penyiksa roh sekarang juga!" Dari dalam guci keluar suara perempuan, halus seolah datang dari kejauhan. Itulah suara Bunga gadis alam roh yang disekap Iblis Kepala Batu di dalam guci tembaga.
Iblis Kepala Batu terdiam mendengar jawaban Bunga lalu geleng-geleng kepala.
"Dengar, aku akan mengatakan permintaanku padamu satu kali lagi."
"Aku sudah bosan mendengar! Kau mahluk iblis jahat tidak tahu malu!"
"Kau akan kukeluarkan dari dalam guci ini, jika kau bersedia kujadikan gundik peliharaanku!"
"Mulutmu kotor! Otakmu busuk! Hatimu keji!
Siapa sudi jadi peliharaanmu! Buang saja aku ke lautan!"
"Semasa aku hidup di negeri seribu dua ratus tahun silam Latanahsilam, aku mendengar tentang dirimu. Seorang gadis alam roh yang memiliki kecantikan luar biasa. Aku tidak pernah melihat wajahmu. Tapi dalam hatiku timbul niat untuk mencarimu. Aku berusaha keras agar bisa keluar dari negeriku, masuk ke negerimu. Aku berusaha keras selama belasan tahun dan berhasil. AKu berhasil menemuimu. Setelah bertemu apa yang aku niatkan tidak kesampaian karena kau menolak menjadi peliharaanku! Kau harus tahu Bunga, aku tidak bisa hidup dengan manusia biasa. Aku hanya bisa berhubungan dengan mahluk roh sepertimu.
Itu sumpah ilmu kesaktian yang aku miliki sewaktu aku keluar dari alamku memasuki alam yang sekarang."
"Persetan dengan sumpahmu! Kau boleh pergi ke dalam rimba belantara. Kau bisa mencari puluhan bahkan ratusan setan dan jin perempuan di sana yang bisa kau jadikan peliharaanmu!"
"Kau tidak mengerti Bunga. Dengar…."
"Iblis keparat! Pergilah ke neraka! Aku tak mau bicara denganmu lagi!"
"Bunga… Bunga?"
Tak ada jawaban dari dalam guci.
Iblis Kepala Batu Alis Empat menarik nafas panjang, geleng-gelengkan kepala. "Aku tidak tega dan tidak mau melakukan. Tapi kau tak mau mengerti. Aku terpaksa memasukkan asap penyiksa roh ke dalam guci."
Iblis Kepala Batu menunggu sesaat. Dia berharap ada jawaban dari dalam guci. Dia berharap ancamannya akan membuat takut gadis dari alam roh itu. Ternyata tetap saja tak ada suara jawaban dari dalam guci tembaga. Iblis Kepala Batu tumpahkan rasa kesalnya dengan meneguk habis tuak dalam kendi. Mukanya bertambah merah dan darahnya menjadi semakin panas.
"Apa boleh buat…." katanya. "Yang satu ini terpaksa kusiksa sampai dia mau menyerahkan diri.
Untuk sementara biar aku bersenang-senang dulu dengan puteri Patih Kerajaan itu."
Dari balik cawatnya Iblis Kepala Batu keluarkan sebuah tabung berwarna merah, terbuat dari bambu.
Di dalam tabung ini tersimpan sejenis asap beracun yang disebut asap penyiksa roh. Jika asap itu dimasukkan ke dalam guci tembaga di mana Bunga disekap maka gadis dari alam roh itu akan merasakan siksaan yang luar biasa hebatnya.
Iblis Kepala Batu buka sumbat penutup tabung bambu merah. Asap tipis warna merah mengepul keluar. Ketika dia hendak membuka penutup guci tembaga tempat Bunga disekap mendadak dia merasa ada kelainan pada hawa di ruangan di mana saat itu dia berada.
”Aneh, mengapa ruangan ini terasa panas?”
Iblis Kepala Batu sumbat kembali tabung bambu merah, masukkan ke balik cawatnya. Guci tembaga digantungkan kembali di pinggang. Lalu dia bergegas keluar dari dalam ruangan menuju sebuah tangga batu.
******
DALAM mengejar Iblis Kepala Batu Pendekar 212 terus menerapkan ilmu Menembus Pandang.
Beberapa kali dia berhasil melihat sosok orang yang dikejarnya serta tubuh Sutri Kaliangan yang dipanggul di atas bahunya. Namun apa yang dilihatnya berubah samar lalu lenyap. Agaknya tubuh Iblis Kepala Batu memiliki hawa sakti yang bisa membendung kekuatan ilmu yang diterapkan Wiro.
Di satu tempat Wiro melihat orang yang dikejarnya lari menembus satu kawasan ditumbuhi lalang kering setinggi bahu. Baik dengan ilmu Menembus Pandang maupun dengan mata kasar Wiro dapat melihat jelas Iblis Kepala Batu. Tapi pada saat dia mencapai padang lalang, sosok Iblis Kepala Batu lenyap. Wiro terus lari memasuki kerimbunan padang lalang. Di bagian tengah dia hentikan langkah. Memandang berkeliling sambil kembali terapkan ilmu Menembus Pandang.
"Hilang… lenyap. Tak mungkin dia amblas ke dalam tanah. Kalaupun dia punya kesaktian seperti, Sutri pasti tak bisa dibawanya serta." Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. "Lalang, hanya ada lalang di sekitar sini. Tapi apa iyya…?"
Wiro garukkan tangannya ke pingggang mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 lalu keluarkan batu sakti hitam.
"Iblis Kepala Batu! Kau boleh punya ilmu tikus, sembunyi dalam tanah. Aku mau lihat sampai di mana kehebatanmu!" Habis berkata begitu Wiro adukan batu hitam ke mata kapak.
"Wusss!"
Lidah api menderu menyambar lalang kering.
Lalang terbakar. Saat itu juga kawasan itu dilamun api. Asap tebal membumbung ke udara.
IBLIS Kepala Batu mendorong batu besar penutup pintu lorong rahasia bawah tanah yang terletak di ujung tangga. Asap tebal dan hawa panas menerpa dirinya begitu dia keluar dari lobang.
Melihat ke depan dia terkejut. Padang lalang di sebelah sana telah berubah menjadi padang api!
Pantas saja hawa panas mendera masuk sampai ke tempat rahasia di mana dia tadi berada.
"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan!" Iblis Kepala Batu menggeram marah. Sekelompok asap tebal menutup pemandangannya. Dia kerahkan tenaga dalam lalu meniup. Namun begitu asap tersibak menebar dan dia dapat melihat cukup jelas ke depan tiba-tiba satu jotosan melanda dadanya.
"Bukkk!"
Iblis Kepala Batu terpental hampir dua tombak.
Mulutnya keluarkan raung kesakitan. Di hadapannya berdiri berkacak pinggang pemuda berambut gondrong.
"Tikus tanah! Akhirnya keluar juga kau dari persembunyianmu!" Wiro membentak sambil melirik pada guci tembaga yang tergantung di pinggang Iblis Kepala Batu. Dulu dia keliru mengira guci itu terbuat dari perak.
"Pendekar 212 jahanam!" teriak Iblis Kepala Batu. Dia cepat melompat sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong. Bersamaan dengan itu Wiro juga melompat dan hantamkan satu tendangan mengarah kepala.
Terpaksa Iblis Kepala Batu jatuhkan diri ke tanah kembali. Pukulannya yang tadi diarahkan ke depan kini diputar ke atas, mencari sasaran di betis si pemuda.Murid Sinto Gendeng tahu betul kekuatan lawan. Dia tidak berani adu tendangan kaki dengan pukulan tangan. Sambil lipat lututnya ke atas Wiro ganti tendangan dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah. Ini adalah pukulan sakti yang didapatnya dari Kitab "Kitab Putih Wasiat Dewa berintikan "Delapan Sabda Dewa."
Angin laksana topan melabrak ke arah Iblis Kepala Batu. Sambil berteriak keras, dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya lalu kedipkan mata dan bersamaan dengan itu pukulkan dua tangan ke atas.
Dua larik sinar merah melesat keluar dari sepasang mata Iblis Kepala Batu sedang dari dua tangannya menyembur cahaya juga berwarna merah dan lebih besar.
"Bummm! Bummm!"
Dua letusan keras menggelegar. Satu gelombang angin luar biasa derasnya menyambar ke arah kobaran api yang melalap padang lalang. Begitu hebatnya gelombang angin, padang lalang yang terbakar terangkat berserabutan, melayang ke udara dan mati.
Asap mengepul hampir di segala penjuru.
BENTROKAN pukulan sakti berkekuatan tenaga dalam tinggi membuat Iblis Kepala Batu cidera dalam cukup parah. Dada mendenyut sakit, tubuh gontai seolah hilang keseimbangan.
"Pemuda keparat itu. Ilmunya benar-benar tinggi.
Aku tadi melepaskan Sepasang Sinar Pemasung Nyawa dari mata, sekaligus menghantamkan pukulan Dua Iblis Menjebol Tembok Roh. Tidak ada satu tokoh silatpun yang bisa selamat dari serangan itu. Apa dia lebih hebat dari semua tokoh yang pernah kupecundangi?!"
Iblis Kepala Batu Pemasung Roh batuk-batuk.
Dia meludah. Ludahnya ternyata bercampur darah.
"Kalau saja pendupaan di atas kepalaku tidak dihancurkan oleh gadis jahanam itu, mungkin lukaku tidak separah ini," Iblis Kepala Batu merutuk.
Ingat pada Sutri Kaliangan dan sadar saat itu terlalu berbahaya baginya untuk melanjutkan pertempuran melawan Pendekar 212, selagi kepulan asap melindungi dirinya Iblis Kepala Batu cepat melompat masuk ke dalam lobang di dekatnya.
Kejutnya bukan alang kepalang ketika masuk ke ruang bawah tanah. Sutri Kaliangan tidak ada lagi di kursi batu di mana dia didudukkan dalam keadaan tertotok.
"Tidak mungkin gadis itu melarikan diri. Pasti ada seseorang yang menolong! Kurang ajar!" Iblis Kepala Batu memeriksa kamar tidurnya. Kamar itu kosong. Tapi alas tempat tidur batu yakni kain tebal berisi rumput kering tercampak di lantai. Kejut Iblis Kepala Batu bukan kepalang. Dia memeriksa ujung kiri tempat tidur batu.
Sebuah alat rahasia yang berada di ujung kiri tempat tidur telah bergeser dari kedudukan semula.
"Jahanam! Ada yang mempergunakan pintu rahasia!" Iblis Kepala Batu cepat memutar alat rahasia itu. Saat itu juga lapisan batu tempat tidur bergeser ke samping. Sebuah lobang menganga. Di luar sana suara langkah-langkah kaki memasuki ruang bawah tanah semakin jelas. Tidak menunggu lebih lama lagi Iblis Kepala Batu segera masuk ke dalam lobang di lantai ruangan. Tempat tidur batu bergeser kembali menutup lobang.
WIRO terkapar di tanah bekas lalang terbakar. Rasa panas membuat dia tersentak dan cepat melompat bangkit. Tangan kanannya yang tadi melepas pukulan dan bentrokan dengan pukulan lawan terasa bergetar.
Ada rasa ngilu di sekujur tulang lengannya sampai ke bahu. Ketika dia memperhatikan ke depan, Iblis Kepala Batu tidak kelihatan.
"Lari ke mana mahluk keparat itu?" pikir Wiro sambil memandang berkeliling. "Tak mungkin dia kabur tanpa membawa Sutri." Wiro lalu melihat lobang besar di tanah. Dia memeriksa. Ada tangga batu menuju ke bawah. Tanpa pikir panjang dia segera memasuki lobang, menuruni tangga. Di bawah tanah dia hanya menemui dua buah ruang kosong. Iblis Kepala Batu tidak kelihatan. Begitu juga Sutri. Tiba-tiba Wiro mendengar suara menggemuruh. Ruangan di mana dia berada mendadak menjadi gelap dan udara berubah pengap.
"Celaka, apa yang terjadi?!" pikir Wiro.
Lapat-lapat di luar sana dia mendengar suara tawa bergelak Iblis Kepala Batu.
"Pendekar 212! Aku menguburmu hidup-hidup!
Tamat sudah riwayatmu! Ha… ha… ha!"
"Aku terjebak…." desis murid Sinto Gendeng. Dia berusaha tenang. Tapi bagaimana bisa tenang. Dia berada dalam kegelapan. Jari tangan di depan matapun tidak kelihatan. Tengkuknya mulai terasa dingin.

TAMAT
Ke mana lenyapnya Sutri Kaliangan puteri Patih Kerajaan? Masih bisakah Pendekar 212 menyelamatkan Bunga dari sekapan guci maut Iblis Kepala Batu sementara dirinya sendiri terjebak dalam kuburan maut bawah tanah?
Ikuti serial selanjutnya berjudul :
SI CANTIK DALAM GUCI


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...