Sabtu, 16 Januari 2010

Wiro Sableng Episode # 143 : Perjanjian Dengan Roh

posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito
EP : PERJANJIAN DENGAN ROH

1

DALAM kegelapan dan dinginnya udara malam, Djaka Tua tambatkan kudanya di batang pohon kelapa. Debur ombak serta deru tiupan angin laut selatan terdengar sambung-menyambung tak berkeputusan. Lelaki berusia lebih setengah abad ini memandang dulu ke arah laut luas sebelum melangkah menuju gundukan batu membentuk bukit terjal setinggi sepuluh tombak dan panjang hampir tigaratus kaki di samping kirinya. Walau sebelumnya cuma satu kali datang ke tempat itu namun Djaka Tua masih ingat jalan yang harus diambil. Di malam gelap tidak mudah menyusuri lamping bukit batu terjal serta licin terkikis angin mengandung garam. Sesekali dia dikejutkan oleh suara kepak sayap kelelawar yang terbang rendah.
Djaka Tua adalah pembantu di rumah seorang pejabat tinggi yang diam di pinggiran Kotaraja. Nama sebenarnya Akik Sukro namun karena sampai usia limapuluh tahun lebih dia belum beristri, teman-teman memanggilnya Djaka Tua. Tidak kawinnya Akik Sukro mungkin karena cacat yang dideritanya sejak kecil yaitu dia memiliki sebuah punuk di belakang leher sehingga tidak ada perempuan yang suka padanya walau sehari-hari dia adalah seorang lelaki baik budi pekerti dan tutur bicaranya.
Langkah Djaka Tua terhenti ketika hidungnya mencium bau kemenyan. Ada rasa merinding namun juga rasa lega karena bau kemenyan itu menandakan tanda orang yang dicarinya berada di dalam goa di lamping bukit sebelah bawah. Untuk mencapai goa yang dikenal dengan nama Goa Girijati itu bukan hal yang mudah. Sekali kaki terpeleset tak ampun lagi Djaka Tua akan jatuh dari lamping bukit batu, ditunggu hamparan batu-batu cadas lancip di bawah sana.
Bau kemenyan semakin santar. Sejarak duapuluh langkah di depannya Djaka Tua melihat satu cegukan di bukit batu. Di dalam cegukan samar-samar ada cahaya tak begitu terang, membersit keluar dari satu lobang besar yang merupakan mulut sebuah goa. Walaupun jaraknya cuma duapuluh langkah namun karena harus berhati-hati maka cukup lama Djaka Tua baru berhasil mencapai cegukan batu dan berdiri di hadapan mulut goa. Di dalam goa Djaka Tua melihat sebuah pedupaan, mengepulkan asap tipis menebar bau kemenyan. Benda merah menyala dalam pedupaan adalah sejenis batu bara langka yang dapat bertahan hidup sampai tujuhratus hari. Dua langkah di belakang pedupaan, duduk bersila seorang lelaki berpakaian dan ikat kepala hitam dengan wajah tertutup rambut panjang awut-awutan, kumis serta jenggot dan cambang bawuk meranggas lebat. Dua kelopak mata yang tertutup tampak merah seolah mata itu ada nyala api di sebelah dalam. Dua tangan bersilang di atas dada. Dari ubun-ubun, telinga kanan dan dua lobang hidung mengepul keluar asap tipis kehitaman.
Untuk beberapa lamanya Djaka Tua tertegun di mulut goa. Enam bulan lalu dia mengantarkan orang itu ke goa. Kini keadaannya jauh berobah, kotor dan angker menggidikkan. Sementara berdiri Djaka Tua menjadi bingung.
Bagaimana cara memberi tahu kehadirannya pada orang yang tengah bersemedi. Tadinya dia hendak berdehem atau batuk-batuk. Namun Djaka Tua sadar, mengganggu dan memutus semedi orang adalah merupakan satu pantangan besar. Agaknya tak ada jalan lain. Dia harus menunggu sampai orang itu menyelesaikan semedinya. Tapi berapa lama dia harus menunggu?
Ternyata tiga hari tiga malam berada di tempat itu, orang di dalam goa jangankan menghentikan semedi, bergerak sedikitpun tidak. Djaka Tua mulai gelisah. Persediaan makanan yang dibawanya hampir habis. Pagi hari keempat bukan saja makanan sudah habis, malah Djaka Tua diserang demam. Tubuhnya menggigil panas dingin. Terhuyung-huyung Djaka Tua bangkit berdiri. Dia mengambil keputusan untuk segera saja meninggalkan tempat itu. Di dalam goa orang yang bersemedi masih tetap tak bergerak, sepasang mata masih terpejam. Tidak mau ambil perduli lagi, Djaka Tua segera melangkah pergi.
Baru menindak dua langkah, sekonyong-konyong dari dalam goa terdengar suara orang berucap. “Anak manusia bernama Djaka Tua, kembali! Cepat datang menghadap di depanku!”
Langkah Djaka Tua tersurut. Dia tahu yang bicara itu adalah orang di dalam goa. Tapi mengapa suaranya berubah besar dan serak. Djaka Tua melihat sepasang mata orang yang bersemedi masih tetap terpicing.
“Matanya masih terpejam. Tapi dia mengenali diriku. Agaknya dia telah mendapatkan satu ilmu kesaktian.”
Begitu pikirnya. “Tumenggung Bandoro Wira Bumi, saya Djaka Tua sudah berada di hadapanmu.”
Ternyata orang yang bersemedi adalah seorang tumenggung, seorang pejabat tinggi Kerajaan.
“Djaka Tua, kau berani mengganggu semediku. Lebih dari itu bukankah kau hanya kuperkenankan datang pada hari tujuh bulan ketujuh? Kau muncul satu purnama lebih cepat!”
Sangat ketakutan Djaka Tua rundukkan diri hingga keningnya menyentuh lantai goa.
“Maafkan saya, Tumenggung. Kalau tidak ada hal yang luar biasa penting saya tidak akan berani datang menemui Tumenggung di tempat ini. Sebenarnya saya disuruh datang jauh hari sebelumnya. Namun saya takut melanggar perintah…”
“Bicara mulutmu seperti anus yang keluarkan kentut!”
maki sang Tumenggung. “Apa saat ini kau tidak melanggar perintah?”
“Maafkan saya Tumenggung.” Djaka Tua membungkuk berulang kali.
Tumenggung Bandoro Wira Bumi tangkap punuk Djaka Tua lalu ditarik ke atas dan dilempar ke dinding goa. Rasa sakit akibat tubuh yang membentur dinding batu bukan apa-apa bagi Djaka Tua dibanding dengan rasa takutnya.
“Katamu ada hal luar biasa penting. Kuharap pentingnya sama dengan harga nyawamu! Kau tahu apa hukuman bagi orang yang berani mengganggu semediku?”
Wajah Djaka Tua jadi pucat. Dengan gagap dia menyahuti. “Tahu, saya tahu sekali Tumenggung…” jawab Djaka Tua. Suaranya kelu seolah lidahnya mendadak menjadi pendek.
“Apa?!” sentak sang Tumenggung dengan dua mata masih terpejam.
“Mati…” jawab Djaka Tua dengan suara serak.
Kepala Tumenggung Bandoro Wira Bumi mengangguk perlahan beberapa kali. Mulut sunggingkan seringai angker.
“Katakan berita luar biasa apa yang hendak kau sampaikan padaku!”
“Mohon maaf Tumenggung. Saya Ingin memberi tahu kabar gembira kalau Nyi Ayu Retno Mantili telah melahirkan seorang bayi perempuan beberapa hari lalu. Tepatnya hari Kemis Pahing, malam hari menjelang ba’dal Isya…”
Kalau ada petir menyambar di depan hidungnya saat itu, tidak demikian terkejutnya Tumenggung Bandoro Wira Bumi ketika mendengar ucapan Djaka Tua. Tubuh bergetar.
Asap biru mengepul keluar dari ubun-ubun, hidung dan telinga. Matanya yang sekian lama terpejam mendadak sontak terbuka membeliak, kelihatan merah menyala laksana ada kobaran api. Mulut yang terkancing terbuka dan satu makian dahsyat keluar, membuat seantero goa batu bergetar.
“Jahanam! Tidaakkkk…!”
Djaka Tua yang dalam keadaan tubuh panas dingin karena demam tersurut kaget. Bukan saja kaget karena teriakan yang begitu keras, tetapi juga kaget melihat Tumenggung marah sekali. Padahal seharusnya dia bergembira kalau dirinya telah dikaruniai seorang puteri oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
“Apa yang terjadi dengan diri Tumenggung? Ilmu apa sebenarnya yang sedang dituntut orang ini? Aku melihat pikirannya seperti sudah berubah.” Ucapan itu muncul dalam hati Djaka Tua.
“Djaka Tua, kau sudah puluhan tahun ikut bersamaku, menjadi pembantu kepercayaan di rumahku. Kau sadar apa yang barusan kau ucapkan? Kau tidak berdusta, tidak sedang menyebar kebohongan?”
Dalam herannya mendengar kata-kata sang Tumenggung, Djaka Tua cepat menjawab.
“Saya sudah menjadi hamba sahaya sejak ayahanda Tumenggung masih hidup. Bagaimana mungkin saya berani berkata dusta, bicara bohong?”
“Ketika aku memilih meninggalkan Retno Mantili enam bulan lalu, dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Dia tidak pernah mengatakan padaku kalau dia tengah mengandung. Bagaimana mungkin kini kau datang membawa berita bahwa perempuan itu telah melahirkan seorang bayi perempuan? Setan mana yang menghamilinya?”
“Maaf Tumenggung kalau saya berani mengatakan bahwa Nyi Retno Mantili adalah seorang gadis desa yang sangat sederhana pikiran serta ilmu pengetahuannya.
Mungkin saja dia tidak tahu kalau dirinya sedang hamil ketika Tumenggung meninggalkannya.”
“Djaka Tua! Kau membawa kabar malapetaka bagi diriku! Sekarang kau ikut aku!”
“I… ikut ke mana, Tumenggung?”
“Menemui Nyai Tumbal Jiwo!”
“Nyai Tumbal Jiwo?! Siapa itu, Tumenggung?”
“Jangan banyak mulut! Jangan banyak tanya! Kau akan lihat sendiri nanti!” teriak Tumenggung Bandoro Wira Bumi.
Sekali tangannya bergerak dia sudah mencekal leher Djaka Tua. Lalu seperti membembeng anak kucing begitulah dia membawa Djaka Tua keluar goa. Manusia biasa, seperti kejadiannya dengan Djaka Tua sewaktu datang tadi, akan mengalami kesulitan dan harus berhati-hati berjalan di lamping bukit batu itu. Tapi sang Tumenggung melangkah cepat bahkan berlari.
Djaka Tua kemudian merasakan tubuhnya berada di atas kuda, dipacu seperti dikejar setan. Dia tidak tahu mau dibawa ke mana. Dia tidak tahu siapa itu Nyai Tumbal Jiwo. Di dalam dirinya yang didera demam panas dingin itu kini semakin menggunung rasa takut.

2

TUMENGGUNG Wira Bumi hentikan kudanya bersamaan dengan mulai turunnya hujan rintik-rintik. Djaka Tua tidak tahu saat itu berada di mana. Siksa yang mendera tubuhnya yang panas dingin karena serangan demam kini bertambah. Sekujur badan terasa sakit, sambungan tulang-belulang seperti bertanggalan. Ketika dia berusaha mengangkat kepala, tiba-tiba Wira Bumi cekal lehernya. Tubuh Djaka Tua terangkat lalu bluk! Lelaki berusia setengah abad itu dilempar dari atas kuda, jatuh bergedebuk di atas tanah. Djaka Tua mengerang. Tulang punggungnya serasa hancur, sakit bukan main.
“Dosa kesalahan apa yang telah aku perbuat hingga menerima azab seperti ini?” keluh perjaka tua itu dalam hati. Dia angkat kepala, memandang berkeliling. Dia melihat gundukan-gundukan tanah, banyak sekali. Walau malam begitu gelap dan rintikan hujan semakin membesar namun Djaka Tua menyadari di mana dia berada saat itu.
Pekuburan! Tengkuknya langsung dingin. Jangan-jangan dia hendak dikubur hidup-hidup di tempat itu.
Tumenggung Wira Bumi melompat turun dari kuda.
Sepasang matanya yang merah memandang garang ke arah pembantunya. Asap kehitaman mengepul dari ubunubun, dua liang telinga serta lobang hidung dan mulutnya.
“Berdiri cepat! Ikuti aku!”
Terhuyung-huyung menahan sakit, dingin dan juga lapar, Djaka Tua berdiri lalu melangkah mengikuti Wira Bumi yang berjalan cepat di depannya. Pada arah yang dituju sang Tumenggung, Djaka Tua melihat sebuah kuburan. Keadaannya berbeda dibanding dengar puluhan kuburan yang bertebaran di tempat itu.
Kuburan yang satu ini onggokan tanahnya lebih padat dan tinggi. Di atas tanah makam merah ada tebaran kembang melati. Sebuah pohon kemboja bercabang tujuh tumbuh di kepala kuburan. Antara pohon kemboja dan bagian atas kuburan menggantung sesaput halimun. Seperti kebanyakan kuburan-kuburan lain, kuburan ini tidak memiliki batu atau papan nisan. Justru pada bagian tanah yang seharusnya ditancap nisan terletak sebuah pedupaan mengepulkan asap bau kemenyan. Asap pedupaan mengepul bergelung ke atas, menembus lapisan halimun, menebar di sela-sela cabang, ranting serta dedaunan pohon kemboja membentuk satu pemandangan yang membuat orang jadi mengkirik.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi Tumenggung Wira Bumi dan Djaka Tua akan sampai di hadapan kuburan mendadak satu bayangan putih berkelebat disertai suara membentak. “Siapa berani mendatangi makam Nyai Tumbal Jiwo malam buta begini tanpa ijinku?!”
Kalau Djaka Tua langsung hentikan langkah, maka Tumenggung Wira Bumi terus saja berjalan sambil balas membentak.
“Kuncen Ki Balang Kerso, apa matamu bertambah buta tidak mengenali diriku?”
Bayangan putih yang kemudian berdiri di hadapan Tumenggung Wira Bumi ternyata adalah seorang kakek berambut putih riap-riapan, memelihara kumis tebal serta janggut putih menjulai dada, pakaiannya pun serba putih. Yang tidak sedap dilihat dari orang tua ini adalah kedua matanya yang gembung besar sehingga kelihatan tetutup buta walau nyatanya dia bisa melihat jelas keadaan di sekitarnya. Ini terbukti dari gerakannya yang berkelebat gesit ketika munculkan diri tadi.
“Ah, sampeyan Tumenggung Wira Bumi rupanya.”
Berucap sang kuncen. Suaranya bergetar seperti orang menahan dingin. “Adalah aneh, sampeyan datang sebelum hari perjanjian.”
Tumenggung Wira Bumi menyeringai. “Dunia ini memang penuh keanehan. Terkadang keanehan itu berakhir pada kematian!”
Kakek serba putih yang jadi penjaga makam tertawa mengekeh. “Aku selalu gembira jika ada orang bicara soal kematian. Siapa tahu aku bakal dapat rejeki besar malam ini. Tambah satu lagi makam yang bakal aku urus! Hik… hik… hik!”
“Kuncen Balang Kerso, sejak lama aku tidak suka dirimu. Jangan membuat aku jadi muak dan muntahkan darah kematian di atas batok kepalamu! Masuklah ke alam roh dan beritahu kalau aku ingin bertemu Nyai.”
“Begitu?” Ki Balang Kerso berkata sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. “Kuharap kau tidak lupa aturan di tempat ini.”
“Kuncen keparat…”
“Huss! Jangan bicara kotor di sini kalau tak mau mulutmu pencong dan jadi bisu sampai kiamat!” Ki Balang Kerso membentak dan mengancam.
“Kuncen sombong! Aku siap mengikuti aturanmu! Dulu aku mengalahkanmu. Rupanya kau belum kapok! Kali ini aku bukan saja akan mempecundangimu sekali lagi, tapi sekaligus memberi pelajaran padamu! Kuburan di tempat ini akan bertambah satu lagi!”
Kuncen Balang Kerso tertawa gelak-gelak. Dua kakinya digeser. Luar biasa sekali. Saat itu juga tubuhnya mengapung dua jengkal ke atas. Dua kaki tidak menginjak tanah lagi!
Kalau Djaka Tua terkesiap melihat sosok Kuncen yang bisa mengapung itu, tidak demikian halnya dengan sang Tumenggung.
“Ilmu kuno Roh Berjalan di Atas Makam! Tololnya kau mau memamerkan di depanku!” ucap Wira Bumi mengejek. Sekali dia mendengus asap hitam mengepul ke wajah sang Kuncen. Karena tidak menduga diserang dengan asap, si penjaga makam sempat gelagapan terbatuk-batuk. Di lain kejap didahului bentakan keras kakek ini berkelebat lenyap. Lalu, bukk… bukkk!
Tubuh besar Tumenggung Wira Bumi terpental hampir satu tombak ke depan, tersungkur di atas sebuah kuburan tua.
Balang Kerso tertawa mengekeh. “Tumenggung, percuma Nyai mengirimmu juga ke Goa Girijati! Ilmu apa yang kau dapat? Ternyata kau masih goblok-goblok juga!”
Walau sempat tertawa dan mengejek namun diam-diam kuncen penjaga makam Nyai Tumbal Jiwo itu merasa kaget. Dua jotosan yang tadi dihantamkannya ke punggung Wira Bumi ternyata tidak mendatangkan cidera sama sekali! Padahal, jangankan tubuh manusia, pohon atau tembok batu saja bisa patah dan jebol!
“Dia sudah memiliki ilmu kesaktian baru. Aku harus berhati-hati…”
“Tua bangka pengecut! Beraninya menyerang dari belakang!” rutuk Tumenggung Wira Bumi.
Kuncen Balang Kerso ganda tertawa. Tubuhnya masih mengapung di udara. “Apa kau lupa kalau roh itu gentayangan di mana-mana. Serangannya pun datang dari mana-mana!”
“Kalau begitu biar kau kujadikan roh gentayangan benaran saat ini juga!”
Habis keluarkan ucapan Wira Bumi meniup ke depan. Asap hitam menggebu ke sekujur kepala dan tubuh kuncen penjaga makam. Sosok sang Tumenggung lenyap. Balang Kerso cepat berkelebat karena dia tahu di balik asap itu akan datang serangan ganas. Betul saja, saat itu juga sang kuncen melihat dua tangan menderu sebat. Dia palangkan satu lengan di depan kepala sementara kaki kanan mencuat deras ke depan, kirimkan satu tendangan.
Balang Kerso terkesiap ketika dua tangan yang menyerangnya tiba-tiba lenyap dan tendangannya hanya mengenai udara kosong. Belum habis rasa terkesiapnya tiba-tiba, bukkk!, kraaakk!
Orang tua berambut putih penjaga makam menjerit. Tubuhnya terpental lima langkah, terbanting jatuh di atas sebuah kuburan. Dua tangan terkulai ke samping tak berdaya. Muka seputih kain kafan, darah mengucur dari sela bibir, nafas megap-megap karena dada yang sesak serta tulang iga yang patah!
“Pukulan Di Balik Asap Roh Mencari Pahala…” ucap kuncen Balang Kerso, mengenali jurus pukulan yang tadi dilancarkan Tumenggung Wira Bumi. “Dia sudah mendapatkan ilmu itu. Untung Nyai masih melindungiku. Kalau tidak aku…” Belum sempat Balang Kerso selesaikan ucapannya tiba-tiba Tumenggung Wira Bumi sudah berada di depannya.
“Saatnya kau berubah jadi roh benaran!” ucap Wira Bumi geram. Lalu tinju kanannya menderu ke arah batok kepala sang kuncen.
“Pukulan Tangan Roh Memberi Rahmat…” Balang Kerso hanya bisa keluarkan ucapan. Dia tak mampu menangkis ataupun mengelak selamatkan kepala. Sesaat lagi kepala kuncen akan hancur dihantam pukulan Wira Bumi, tiba-tiba tanah kuburan bergerak-gerak, lalu desss… desss… desss! Terdengar suara mendesis keras tiga kali berturut-turut. Saat itu juga tanah kuburan terbelah menganga. Didahului dengan kepulan asap merah satu bayangan merah melesat keluar dari dalam liang kubur. Satu suara menggema angker menggidikkan.
“Wira Bumi, jangan bunuh dia! Dia telah menerima pelajarannya!”
Di tempatnya tegak berdiri, Djaka Tua tertegun ngeri dan terduduk di tanah.
Mengenali suara orang, Tumenggung Wira Bumi cepat jatuhkan diri lalu berputar ke arah kuburan. Di situ berdiri satu sosok nenek keriput yang keadaannya serba merah.
Mulai dari muka yang angker keriput sampai rambut yang panjang riap-riapan serta pakaian berupa kain yang diselempangkan di tubuh merah, tinggi tapi agak bungkuk.
“Nyai Tumbal Jiwo, maafkan diriku kalau telah berbuat kesalahan.” Wira Bumi keluarkan ucapan lalu bersujud dan tak berani bangkit.
Si nenek Nyai Tumbal Jiwo berpaling ke arah kuncen Balang Kerso yang saat itu masih tergeletak tak berdaya megap-megap di atas sebuah kuburan. Makhluk yang keluar dari liang lahat ini angkat tangan kirinya. Selarik sinar merah mencuat keluar dari telapak tangan dan menyapu ke seluruh permukaan kepala serta tubuh kuncen.
“Balang Kerso! Cideramu sudah sembuh! Bangun dan pergilah!” si nenek berucap. Ketika mulutnya terbuka kelihatan lidah dan deretan gigi berbentuk caling berwarna merah. Luar biasa! Saat itu juga tubuh Balang Kerso bergerak. Dia bisa bangkit berdiri seolah tidak ada bagian tubuhnya yang cidera. Sebelum tinggalkan tempat itu, kuncen susun sepuluh jari di depan kening, membungkuk sambil berucap. “Terima kasih Nyai… Terima kasih kau telah menyembuhkan diriku.” Sang kuncen lalu bergerak pergi namun dia tidak sungguhan tinggalkan tempat itu melainkan bersembunyi di balik sebatang pohon besar dalam kegelapan malam.
Setelah Balang Kerso berlalu Nyai Tumbal Jiwo alihkan perhatian pada Wira Bumi yang sampai saat itu masih bersujud di tanah.
“Bangun Wira Bumi! Katakan apa urusanmu sampai kau berani muncul sebelum hari perjanjian. Apa kau tidak sadar asap hitam masih mengepul dari batok kepalamu, masih keluar dari dua liang telinga, mulut dan lobang hidungmu? Tanda kau belum menyerap seluruh ilmu kesaktian yang kau semedikan di Goa Girijati karena kau belum merampungkan jumlah hari pertapaanmu!”
“Maaf Nyai, saya mengerti sekali. Namun di luar pengetahuanku satu perkara besar telah terjadi.”
“Hemmm, begitu? Siapa lelaki berpunuk yang menjelepok di tanah itu?” Sang Nyai goyangkan kepala ke arah Djaka Tua.
“Dia pembantuku Nyai. Dia yang memberi tahu tentang terjadinya perkara besar itu.”
“Perkara besar! Katakan padaku apa gerangan adanya perkara besar itu!”
“Mohon maaf dan ampunmu Nyai. Istriku yang ketiga Nyi Retno Mantili telah melahirkan seorang bayi perempuan beberapa hari lalu…”
“Apa?!” Nyai Tumbal Jiwo berteriak keras. Sepasang matanya bersitkan dua larik cahaya merah seperti semburan lidah api. “Kutuk sesuai sumpah akan jatuh atas dirimu Wira Bumi! Kau berlaku fatal! Kau harus membayar mahal untuk kelalaian itu…”
“Aku mengerti Nyai, aku mohon maaf dan ampunmu.”
“Untuk kutuk dan sumpah tidak ada maaf dan pengampunan. Kalau istrimu melahirkan beberapa hari lalu, ketika kau meninggalkannya enam bulan lalu apakah kau tidak tahu kalau dia tengah hamil?”
“Aku benar-benar tidak tahu, Nyai. Kau tahu Nyai, Retno Mantili tubuhnya kecil halus. Aku tidak bisa melihat perubahan pada tubuhnya. Dia tidak menceritakan padaku kalau sedang mengandung. Dia perempuan desa yang bodoh. Usianya belum mencapai enambelas ketika aku menikahinya…”
“Tutup mulutmu Wira Bumi! Dulu kau datang padaku untuk meminta berkah keselamatan, ilmu kesaktian, harta serta kedudukan. Semua permintaanmu aku kabulkan asal kau mau mengangkat sumpah! Sekarang ucapkan kembali sumpahmu itu! Agar liang lahat, langit dan bumi mendengar! Hujan, turunlah lebih besar!”
Mendadak hujan yang tadi rintik-rintik berubah menjadi lebat. Wira Bumi menggigil. Entah karena kedinginan entah karena ketakutan.
Tiba-tiba makhluk serba merah itu hentakkan kakinya ke tanah kuburan. Puluhan bunga melati yang menebar di atas makam melesat ke arah Wira Bumi. Tumenggung menjerit kesakitan ketika bunga-bunga melati itu menancap dan melukai tubuhnya. Empatbelas di kepala, selebihnya menancap di sekujur dada, perut dan paha.
Darah memercik di wajahnya yang kotor serta membasahi pakaian hitam.
“Masih untung aku hanya menancapkan kembang melati itu di permukaan kulitmu! Seharusnya aku masukkan tembus ke dalam benak, dada dan isi perutmu…”
“Maafkan aku Nyai!.”
“Wira Bumi! Sekarang lekas kau ulangi sumpah yang pernah kau ucapkan dulu di tempat ini!”
Tenggorokan Tumenggung Wira Bumi bergerak naik turun. Dia menatap ke arah Nyai Tumbal Jiwo seolah minta dikasihani. Namun si nenek balas menatap dengan delikkan mata, membuat Wira Bumi jadi ciut nyalinya dan segera membuka mulut.
“Aku anak manusia bernama Wira Bumi. Disaksikan roh penghuni kuburan Kebonagung, aku bersumpah. Bilamana salah seorang istriku atau salah seorang saudara kandungku melahirkan seorang bayi, maka musnahlah semua usahaku untuk mendapatkan keselamatan, ilmu kesaktian, harta serta kedudukan. Kecuali jika aku menebus dengan kedua mataku atau aku membunuh bayi itu dengan tanganku sendiri atau melalui seorang suruhan…”
Habis mengucapkan sumpah itu kembali sekujur Wira Bumi menggigil. Dia merasa sangat lemas hingga jatuh berlutut.
“Berdiri!” hardik Nyai Tumbal Jiwo.
Wira Bumi kerahkan tenaga, perlahan-lahan bangkit berdiri.
“Bagus! Otakmu masih belum kering untuk mengingat semua sumpah itu!” Nyai Tumbal Jiwo keluarkan ucapan lalu tertawa panjang. “Sekarang aku tanya padamu anak manusia! Tebusan mana yang akan kau berikan? Dua matamu atau nyawa anakmu?”
“Aku…”
“Kau tak bisa menjawab. Kau bimbang! Aku benci pada manusia munafik sepertimu. Minggat dari hadapanku! Kau akan kehilangan semua yang kau minta!” Nyai Tumbal Jiwo tampak marah dan pelototkan mata merahnya ke arah sang Tumenggung.
“Nyai…, aku… aku tidak mungkin menebus kesalahan dengan menyerahkan kedua mataku…”
“Jadi?!” bentak si nenek. “Bagaimana caramu memenuhi sumpah?”
Hujan tambah lebat. Sesekali kilat menyambar hingga kawasan pekuburan untuk sekejapan mata terang benderang. Di kejauhan terdengar suara raungan anjing.
“Aku, aku memilih membunuh bayi itu, Nyai…”
“Kau akan melakukan dengan tanganmu sendiri atau menyuruh orang lain?!” tanya Nyai Tumbal Jiwo ingin kepastian.
“Aku akan menyuruh orang lain…”
“Orang lain. Hmmm… siapa orangnya?!”
Tumenggung Wira Bumi terdiam. Perlahan-lahan dia putar kepala. Memandang berkeliling mata membentur Djaka Tua. Pembantu yang sejak tadi berada di tempat itu dan mendengar semua pembicaraan jadi tersirap pucat ketika melihat majikannya memandang ke arahnya.
“Dia, dia orangnya yang akan membunuh bayi itu!” kata Wira Bumi sambil tudingkan telunjuk tangan kiri tepat-tepat ke arah Djaka Tua.
Djaka Tua terduduk pucat di tanah. Kagetnya seperti disambar petir.
“Demi Tuhan, demi Gusti Allah, jangan saya Tumenggung. Jangan saya…” kata Djaka Tua sambil jatuhkan diri menyembah berulang kali.
Nyai Tumbal Jiwo tertawa mengekeh.
“Wira Bumi, kau terpaksa mencari orang lain untuk membunuh bayi itu. Pembantu tak berguna ini lebih baik kau habisi saat ini juga.”
“Nyai, apa perintahmu akan aku laksanakan. Djaka Tua, kau tak mengenal budi. Kau layak menerima kematian!”
Wira Bumi melangkah cepat mendekati pembantunya yang masih menyembah-nyembah ketakutan. Bagaimanapun tentu saja Djaka Tua sangat takut menghadapi kematian. Apalagi dibunuh begitu rupa. Ketika Tumenggung Wira Bumi angkat tangan kanan siap untuk menggebuk batok kepalanya, pembantu ini berteriak.
“Ampun Tumenggung, jangan bunuh diriku. Saya akan laksanakan perintahmu. Saya akan bunuh bayi itu…” Habis berucap begitu Djaka Tua menangis keras.
Sreettt!
Nyai Tumbal Jiwo keluarkan sebuah benda dari balik pakaiannya yang berupa selempang kain merah. Benda itu dilemparkan ke hadapan Djaka Tua, menancap di tanah. Ketika Wira Bumi memperhatikan kagetnya bukan alang kepalang. Benda yang menancap di tanah adalah sebilah golok besar bersarung. Golok itu adalah miliknya sendiri yang digantung dan dipajang di dinding kamar tidurnya.
Sungguh aneh. Mengapa tahu-tahu senjata itu bisa berada di tangan Nyai Tumbal Jiwo? Si nenek tertawa panjang.
“Wira Bumi, bagiku tidak ada yang sulit. Kalau mengambil sesuatu yang berada di tempat jauh bisa aku lakukan, mengambil jiwa seseorang sama mudahnya bagiku! Hik… hik… hik!”
Si nenek tiba-tiba hentikan tawa. Dia memandang melotot pada Djaka Tua.
“Dengan golok itu kau harus memancung leher bayi yang dilahirkan Retno Mantili! Selesai kau lakukan letakkan kembali golok di tempat semula, di dinding dalam kamar Tumenggung Wira Bumi. Kelak aku akan datang untuk memeriksa apakah kau telah melakukan tugasmu atau tidak. Kau mengerti manusia berpunuk?!”
“Sa… saya mengerti…” Djaka Tua ketakutan setengah mati.
“Lain dari itu!” kata Nyai Tumbal Jiwo pula. “Sebagai bukti kau harus membawa kutungan kepala bayi itu ke tempat ini, letakkan di atas makam! Kau dengar manusia berpunuk?!”
“Saya dengar…,” jawab Djaka Tua dengan suara menggigil.
“Sekarang ambil golok itu. Tinggalkan tempat ini! Kau harus melakukan tugasmu dalam tiga hari. Paling lambat hari kelima kepala bayi itu sudah ada di sini! Bungkus dengan kain hitam!”
Dengan tangan gemetar Djaka Tua cabut golok dari tanah. Ketika dia memutar diri untuk berlalu si nenek membentak.
“Tunggu!”
Djaka Tua menahan langkah dan berpaling.
“Apakah bayi perempuan yang dilahirkan itu sudah diberi nama oleh ibunya?”
Djaka Tua gelengkan kepala lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Saking takutnya dia lari begitu saja, padahal kudanya yang tadi ditunggangi Tumenggung Wira Bumi ada di dekat sana.
Hanya sesaat setelah Djaka Tua tinggalkan pekuburan Nyai Tumbal Jiwo berkata.
“Wira Bumi, kalau pembantumu sudah melaksanakan tugasnya, untuk menjaga rahasia kau harus menghabisi manusia berpunuk itu. Kau mengerti?” Wira Bumi mengangguk.
“Menurutku kau juga harus menghabisi Retno Mantili!”
Kembali sang Tumenggung anggukkan kepala. Nyai Tumbal Jiwo tertawa lalu berteriak.
“Hujan! Aku tidak memerlukanmu lagi!”
Luar biasa! Keanehan kembali terjadi. Hujan yang turun lebat perlahan-lahan mereda dan akhirnya berhenti sama sekali.
“Wira Bumi, kembalilah ke Goa Girijati. Teruskan tapamu yang masih bersisa satu purnama. Kalau asap hitam tidak lagi mengepul dari ubun-ubun, liang telinga, hidung dan mulutmu itu pertanda kau boleh menyelesaikan tapamu karena ilmu kesaktian yang kau inginkan telah menyatu dalam dirimu. Kau bakal mendapatkan apa yang kau minta. Keselamatan, kesaktian, harta dan jabatan. Mungkin juga seorang istri ditambah beberapa gundik. Hik… hik… hik!”
“Terima kasih Nyai. Aku pergi sekarang…”
“Tidak, aku yang akan pergi lebih dulu.” jawab si nenek lalu tertawa panjang.
Dess… dess… dess!
Terdengar suara mendesis tiga kali. Sosok merah Nyai Tumbal Jiwo berubah jadi asap lalu melesat masuk ke dalam liang lahat. Begitu ujudnya lenyap, tanah kubur yang tadi bertebaran berantakan kini kembali bertaut membentuk gundukan merah! Jauh di dalam perut bumi suara tawa si nenek masih terdengar gaungnya. Asap putih yang tadi menyelimuti pohon kemboja perlahan-lahan sirna. Udara terasa mencucuk dingin.
Tumenggung Wira Bumi usapkan tengkuknya yang basah oleh air hujan. Melangkah cepat ke arah kuda milik Djaka Tua dan menggebrak binatang itu tinggalkan pekuburan Kebonagung.


3

DJAKA Tua sampai di gedung tempat kediaman Nyi Retno Mantili, istri Tumenggung Wira Bumi, keesokan harinya tak lama setelah matahari tenggelam. Begitu sampai dan bertemu dengan Nyi Retno dia langsung jatuhkan diri, menangis keras.
Nyi Retno dan beberapa pelayan tentu saja terheranheran.
“Aki…” begitu Nyi Retno memanggil Djaka Tua, “Apa yang terjadi dengan dirimu? Aku menyuruhmu menemui Tumenggung di Goa Girijati. Apakah sudah kau lakukan? Apa kabar yang kaubawa dari suamiku?”
“Sudah Nyi Retno, sudah…” jawab Djaka Tua. Pembantu ini lalu meratap keras. “Saya tak bisa melakukannya.
Tidak mungkin… Maafkan saya Nyi Retno. Maafkan saya… Ampun Nyi Retno, ampun Tuhan!” Pembantu itu lalu menangis menggerung-gerung.
“Aki, kau ini kenapa?” tanya Nyi Retno semakin heran sementara bayi yang digendongnya tiba-tiba menjerit keras dan menangis. Nyi Retno terpaksa membawa masuk bayinya ke dalam kamar. Sebelum masuk ke kamar, perempuan bertubuh halus ini berkata kepada salah seorang pelayan perempuan. “Aku akan menyusui bayiku di kamar.
Tanyakan pada Aki apa yang terjadi dengan dirinya. Kulihat sekujur tubuhnya bergetar. Jangan-jangan dia kemasukan makhluk halus dari kawasan pantai selatan. Kalau betul cari orang pandai mengobatinya. Selain itu, aku melihat dia seperti menyembunyikan sesuatu di balik kain sarungnya.”
Ketika masuk ke dalam kamar tidur, entah mengapa Nyi Retno Mantili memandang ke salah satu dinding.
Perempuan itu berpikir-pikir lalu unjukkan wajah terkejut.
Dia ingat betul. Di dinding tergantung sebilah golok besar milik Tumenggung. Kini dinding berada dalam keadaan polos. Golok besar lenyap!
“Golok itu… Bagaimana bisa lenyap kalau tidak ada yang mencuri. Siapa pelakunya?” Nyi Retno bertanya-tanya pada diri sendiri.
Karena harus menyusui bayinya dan menunggu sampai bayi perempuan itu tertidur lelap, cukup lama berada dalam kamar baru Nyi Retno keluar. Ketika dia keluar, di bagian gedung sebelah belakang tengah terjadi kehebohan. Pelayan yang datang ke kamar Djaka Tua untuk mengantar minuman jahe panas menemui kamar dalam keadaan kosong.
“Kabur! Pasti dia sudah kabur. Pasti dia yang mencuri golok besar milik Tumenggung yang dipajang di dinding kamar.” Nyi Retno memberi tahu para pelayan. “Ingat ketika tadi aku mengatakan dia seperti menyembunyikan sesuatu di balik kain sarungnya?”
“Aneh, Djaka Tua barusan saja datang. Bagaimana sempat-sempatnya dia masuk ke kamar mencuri golok?
Padahal Nyi Retno hampir selalu berada di kamar,” kata seorang pelayan.
Seorang pelayan lain menyatakan rasa tidak percayanya. “Sulit dipercaya Djaka Tua begitu berani dan lancang mencuri barang milik Tumenggung. Dia sudah puluhan tahun bekerja di sini. Malah sejak ayahanda Kanjeng Tumenggung masih hidup.”
“Kalau kalian tidak percaya, ikut aku. Beberapa di antara kalian pernah masuk kamar tidurku. Tahu di mana golok itu digantung. Lihat sendiri nanti!”
Nyi Retno Mantili mendahului berjalan menuju kamar tidurnya. Begitu pintu dibuka menjeritlah istri ketiga Tumenggung Wira Bumi ini. Bayi perempuan yang ditinggalkannya di atas ranjang dalam keadaan tidur pulas kini sudah tak ada lagi di situ!
“Bayiku!” jerit Nyi Retno. “Anakku diculik orang!”
“Lihat!” Seorang pelayan lelaki berseru menunjuk kedinding kiri. Di situ ada sebuah jendela dalam keadaan terpentang lebar. Nyi Retno langsung melosoh jatuh, terguling pingsan di lantai. Para pelayan berpekikan.
Malam itu juga kejadian di gedung kediaman Tumenggung Wira Bumi segera tersiar ke berbagai penjuru pinggiran Kotaraja. Keesokan harinya berita itu telah sampai di Gedung Kepatihan. Patih Kerajaan segera membentuk kelompok pasukan untuk menyelidik dan melakukan pencarian di dalam Kotaraja, bahkan sampai jauh keluar Kotaraja. Namun jejak si penculik bayi tidak ditemukan.
Djaka Tua yang dicurigai sebagai penculik raib seperti ditelan bumi!
Ketika sang patih berusaha menemui Nyi Retno, perempuan ini berada dalam keadaan terbaring di tempat tidur. Wajahnya pucat. Mata nyalang, hanya sesekali berkedip. Diajak bicara mulutnya tetap terkancing. Tak ada suara yang keluar.
Hari demi hari keadaan Nyi Retno semakin menyedihkan. Dia tidak pernah meninggalkan kamar, tidak pernah turun dari atas ranjang. Rambut, wajah dan tubuhnya kotor karena tidak pernah mandi. Sesekali dia menjerit, kadangkadang meratap panjang dan menangis tersedu-sedu.
Selama itu tidak ada satupun makanan mengisi perutnya. Untuk minum saja dengan susah payah pelayan hanya bisa membasahi bibirnya dengan air. Para pelayan di gedung itu semakin khawatir ketika hari ketujuh Nyi Retno Mantili menunjukkan gejala aneh yaitu suka menyanyi. Kata atau syair apa yang diucapkan dalam nyanyian tidak jelas.
Seseorang mengatakan sudah saatnya kedua orang tua Nyi Retno yang diam di Wonosari diberi tahu keadaan puterinya. Dua orang anggota pasukan Kepatihan yang diperbantukan di gedung kediaman Tumenggung dengan suka rela melakukan tugas itu. Namun sebelum mereka kembali telah terjadi lagi satu hal yang mengggegerkan.
Suatu tengah malam, ketika dua orang pelayan yang menunggui Nyi Retno tertidur karena keletihan, seperti mayat hidup Nyi Retno Mantili turun dari ranjang. Dalam keadaan mata terpejam dia melangkah tanpa suara, membuka pintu kamar.
Keesokan paginya seisi gedung geger. Nyi Retno Mantili lenyap! Usaha untuk mencari sia-sia belaka. Usaha untuk menghubungi Tumenggung Wira Bumi tidak dapat dilakukan karena hanya Djaka Tua yang tahu ke mana perginya sang Tumenggung. Padahal pembantu itu sendiri telah terlebih dulu raib tak tentu rimbanya.
***
Kembali pada malam hari lenyapnya bayi perempuan Nyi Retno Mantili dari gedung kediaman Tumenggung Wira Bumi.
Djaka Tua berlari sambil mendukung bayi yang dibuntalnya dalam kain sarung. Pembantu ini tak tahu mau menuju ke mana. Dia berlari sepembawa kakinya saja.
Dalam dirinya hanya ada satu keinginan yaitu menyelamatkan sang bayi. Demi Tuhan, apapun yang terjadi dia tidak akan membunuh bayi tak berdosa itu.
“Tobat Gusti Allah. Mengapa Tumenggung sampai menuntut ilmu sesat itu. Ke mana aku harus membawa dan menyelamatkan bayi ini? Aku punya saudara tua di Donorojo. Aku harus membawa bayi ini ke sana. Tapi bagaimana kalau makhluk roh bernama Nyai Tumbal Jiwo itu mengetahui. Ya Tuhan, mohon petunjukMu bagaimana aku bisa menyelamatkan bayi ini.” Pembantu ini jadi bingung dan bertambah bingung ketika udara malam berubah buruk. Angin bertiup kencang dan hujan mulai turun. Mula-mula kecil saja namun makin lama bertambah lebat. Bayi dalam gendongan mulai menangis. Dalam bingungnya Djaka Tua berteduh di bawah sebatang pohon.
Namun kerimbunan daun pohon tidak dapat menahan curahan air hujan yang begitu lebat.
“Aku harus mencari tempat berlindung. Kalau sampai kebasahan bayi ini bisa sakit. Tuhan tolong kami…” Kilat menyambar. Untuk sesaat keadaan di tempat itu jadi terang benderang. Walau sekilas, mata Djaka Tua masih sempat melihat satu gundukan tanah berbatu-batu sejarak duabelas langkah di hadapannya. Di samping kiri gundukan tanah ada sebuah lobang besar membentuk goa. Tidak pikir panjang lagi Djaka Tua segera lari masuk ke dalam goa. Selain tinggi ternyata goa itu cukup lapang dan dalam. Djaka Tua duduk bersandar rapat-rapat ke dinding goa sebelah dalam agar tidak terkena tampiasan air hujan.
Walau kini terlepas dari kebasahan air hujan, namun Djaka Tua masih tetap bingung karena bayi yang ada dalam buntalan kain sarung masih terus menangis.
“Mungkin dia haus. Ya Tuhan, akan aku beri minum apa bayi ini?” keluh Djaka Tua sambil menepuk-nepuk bahu si bayi. Tiba-tiba bayi dalam dukungannya memekik keras.
“Cah Ayu, berhentilah menangis. Aku tak tahu harus berbuat bagaimana. Jangan menangis nak. Cep… ceeppp.”
Saat itu entah dari mana datangnya, kabut tipis muncul menutupi setengah ketinggian mulut goa. Memperhatikan keanehan ini mendadak tenggorokan lelaki berpunuk ini seolah tercekik. Mata mendelik dan tubuhnya semakin dirapatkan ke dinding. Walau dalam goa gelap namun Djaka Tua masih bisa melihat cukup jelas bagaimana saat itu muncul satu sosok orang tua berpakaian selempang kain putih. Demikian tingginya orang ini kepalanya tertutup rambut putih hampir menyondak bagian atas goa. Di tangan kiri dia memegang sebatang tongkat kayu putih.
Sepasang matanya walau memandang lembut pada Djaka Tua tapi lelaki ini tetap merasa ketakutan, membuat sekujur tubuhnya jadi menggigil. Semula dia menyangka yang muncul ini nenek angker Nyai Tumbal Jiwo, roh penghuni makam Kebonagung.
“Siapa…?” Tanya Djaka Tua beranikan diri dengan suara bergetar sambil matanya berusaha memperhatikan ke arah belakang orang tua berselempang kain putih. Dia mendengar suara hembusan nafas berat di belakang sana namun dia tidak melihat apa atau siapa yang ada di belakang kakek itu karena pandangannya tetutup kabut.
Sesekali ada kilapan dua titik besar berwarna hijau. Djaka Tua tambah merinding.
“Sahabat dalam goa…” Orang di mulut goa menyapa.
Suaranya halus dan panggilan sahabat membuat Djaka Tua jadi tenteram sedikit. Namun ucapan berikutnya membuat pembantu di gedung Tumenggung Wira Bumi ini menjadi tersirap darahnya. “Serahkan bayi itu padaku.”
“Tidak! Apapun yang terjadi bayi ini tidak akan kuserahkan padamu! Tidak pada siapapun!” Jawab Djaka Tua setengah berteriak.
Orang tua di depan goa tersenyum.
“Kalau kau terus mempertahankan bayi itu, dalam waktu satu hari satu malam dia akan menemui ajal karena kelaparan dan kehausan. Bukankah kau menginginkan dia tetap hidup?”
“Tentu, tentu aku menginginkannya tetap hidup. Itu sebabnya aku melarikan bayi ini. Tapi untuk menyerahkannya padamu, tidak!”
“Maksudmu baik sekali. Tapi mau kau apakan bayi itu? Kau tak mampu merawatnya.”
“Lalu, apa kau mampu? Aku tidak mau menyerahkannya padamu. Aku tidak kenal dirimu. Jangan-jangan kau kawannya Nyai Tumbal Jiwo!”
Kakek berambut putih tertawa.
“Sahabat, dengar baik-baik. Maksud kita berdua samasama luhur. Ingin bayi itu selamat dari kematian akibat ilmu sesat yang sedang dituntut ayahnya…”
“Eh, bagaimana kau tahu?” Djaka Tua heran.
“Sudahlah, Allah akan memberi berkah dan rahmat atas perbuatan baik yang kau lakukan. Aku akan membawa bayi itu, akan merawatnya baik-baik…”
“Akan kaubawa ke mana bayi ini?”
“Ke satu tempat yang baik dan aman. Dia berjodoh denganku. Tidakkah kau perhatikan bahwa saat ini dia tidak menangis lagi?”
Djaka Tua perhatikan bayi dalam bedungan kain sarung. Anak perempuan itu memang tidak menangis lagi bahkan tampak tertidur pulas.
“Bagaimana…?”
Djaka Tua menatap orang tua di hadapannya beberapa lama. Dia kini seperti menyadari orang ini bukan manusia sembarangan. Perlahan-lahan dia berdiri.
“Kalau kau sia-siakan anak ini, biarlah Tuhan akan mengutukmu sampai hari kiamat!” Si orang tua tersenyum lalu menyahuti.
“Tuhan tidak pernah mengutuk hambaNya yang berbuat baik. Yang jahat saja masih diberi petunjuk dan dikasihani.” Ketika orang tua berselempang kain putih mengulurkan tangan, walau masih ada keraguan namun Djaka Tua ulurkan pula tangannya menyerahkan si bayi.
“Apakah anak ini sudah bernama?” Djaka Tua gelengkan kepala.
“Kalau begitu biar kita berdua memberikan nama padanya. Ken Permata. Kau setuju, sahabat?”
“Aku menurut saja. Kurasa nama itu bagus sekali,” kata Djaka Tua pula.
Orang tua berpakaian selempang kain putih tersenyum lalu berkata.
“Sahabat, aku melihat sebilah golok bersarung di balik pakaianmu. Senjata itu tak ada gunanya bagimu. Serahkan padaku…” Djaka Tua terperangah sambil meraba pinggang pakaiannya. “Orang tua ini luar biasa aneh. Apa matanya bisa menembus melihat golok yang tersembunyi di balik bajuku?” Dia coba memperhatikan sepasang mata orang di hadapannya namun karena gelap dia tidak dapat melihat jelas.
“Golok ini milik Tumenggung Wira Bumi. Aku tidak mungkin menyerahkannya padamu…”
“Aku tahu. Dengan senjata itu pula dia diperintahkan untuk menggorok batang leher bayi tak berdosa itu. Betul?” Djaka Tua terdiam.
“Sahabat, senjata itu sudah menjadi senjata terkutuk. Karena merupakan bagian dari perjanjian sesat di hadapan roh. Senjata itu tidak boleh berkeliaran bebas di luaran.”
“Orang tua, kau rupanya tahu banyak kejadian di pemakaman Kebonagung. Siapa kau sebenarnya?” Bertanya Djaka Tua.
“Sudahlah, aku hanya minta kau menyerahkan golok itu padaku. Selama senjata itu ada di tanganmu kau tak bakal merasa tenteram. Selain itu aku khawatir ada yang akan berusaha merampasnya dari tanganmu.” Djaka Tua kembali terdiam. Akhirnya dia mengalah. Tangannya menyelinap ke balik pakaian mengeluarkan golok besar bersarung lalu menyerahkannya pada si orang tua.
“Sebelum aku pergi, harap kamu mau menghadap ke dinding.” Sebenarnya Djaka Tua hendak menanyakan apa maksud kakek itu menyuruhnya menghadap ke dinding.
Namun entah mengapa dia ikut saja permintaan orang.
Begitu Djaka Tua menghadap dinding goa sebelah dalam, si orang tua angkat tangan kirinya yang memegang tongkat kayu putih. Tongkat diusapkan ke punggung Djaka Tua yang ada tonjolannya sambil berucap. “Semoga Tuhan memberikan rahmat dan perlindungan padamu.” Satu cahaya putih keluar dari tongkat yang diusapkan.
Untuk beberapa lamanya Djaka Tua masih tegak berdiri menghadap ke dinding. Lama-lama karena orang tua di belakangnya tidak mengeluarkan ucapan lagi, Djaka Tua palingkan kepala dan berbalik.
Ternyata orang tua berselempang kain putih tadi tak ada lagi di tempat itu. Sementara terheran-heran Djaka Tua merasa tubuhnya menjadi enteng dan dia mampu berdiri tegak. Tak sengaja tangannya mengusap ke punggung.
Astaga! Punuk yang selama limapuluh tahun menempel di punggungnya kini lenyap entah ke mana. Tidak percaya Djaka Tua mengusap berulang kali. Masih tidak percaya dia buka bajunya lalu mengusap punggung. Bagian tubuhnya itu kini memang rata, tak ada lagi tulang dan daging yang menonjol. Akhirnya lelaki itu jatuh berlutut di lantai goa, Mulutnya berulang kali mengucap. “Allah Maha Besar. Terima kasih Tuhan… Terima kasih.” Djaka Tua lalu bersujud syukur di lantai goa.

4

HARI pasar di Imogiri selalu ramai oleh orang yang berbelanja. Seorang lelaki penjual mainan sejak tadi memperhatikan seorang anak perempuan usia belasan tahun yang tegak di depan deretan barang dagangannya. Anak perempuan itu bertubuh kecil. Wajahnya sebenarnya cantik dan pakaian yang dikenakan bukan jenis pakaian orang kebanyakan. Namun sekujur tubuh mulai dari rambut sampai ke ujung kaki yang tidak memakai kasut kelihatan penuh daki sedang pakaian lusuh kotor menebar bau tidak sedap.
“Anak,” pedagang mainan menyapa. “Dari tadi saya lihat anak berdiri memperhatikan ke arah sini. Apakah anak ingin membeli sesuatu? Kalau tidak harap jangan berdiri di depan sini. Kalau anak berdiri di depan dagangan saya, akan menghalangi orang lain yang akan membeli.”
Anak perempuan itu tidak menjawab. Melainkan menatap sayu pada si pedagang mainan lalu tampak air mata menetes membasahi kedua pipinya yang kotor.
Pedagang mainan dan istri yang ada di sebelahnya karuan saja jadi tertegun heran. “Bu-ne, aku menegur baikbaik.
Kenapa dia menangis? Apa salah ucapanku atau kasar suaraku?” bisik si pedagang pada istrinya.
“Kasihan anak perempuan ini. Usianya masih sangat muda tapi keadaannya begini rupa. Aku kira otaknya kurang waras,” jawab sang istri.
Perempuan muda yang menangis usap air matanya. Tiba-tiba dia berkata, “Bapak, Ibu, aku suka bonekaboneka itu…”
Di antara barang mainan yang dijual si pedagang memang terdapat sederetan boneka kayu yang halus dan bagus sekali buatannya. Semua boneka perempuan.
“Kalau anak suka, silahkan pilih yang mana.” Kata pedagang mainan pula.
“Saya tidak punya uang,” jawab anak perempuan itu dengan suara parau menahan tangis.
Setelah berbisik-bisik dengan istrinya lelaki pedagang mainan berkata, “Nak, kau boleh ambil satu boneka. Tak usah membayar.”
Anak perempuan itu menatap tercengang pada suami istri pedagang mainan. “Sungguh?” tanyanya tak percaya.
Suami istri pedagang mainan itu mengangguk.
Anak perempuan itu tercenung lalu tawa lebar menyeruak di bibirnya. Sambil menyanyi-nyanyi kecil dia perhatikan enam buah boneka satu per satu.
“Yang mana ya wajahnya sama dengan anakku?”
Ucapan anak perempuan itu membuat sepasang suami istri jadi saling pandang.
“Nah, aku ambil yang ini saja. Dia mirip anakku. Rambut hitam lebat, mata bagus, bibir mungil, pipi merah, alis kereng. Bapak, Ibu, aku ambil yang ini, boleh?”
“Boleh, ambil saja,” jawab istri pedagang mainan.
“Terima kasih… terima kasih,” kata anak perempuan itu berulang kali sambil membungkuk-bungkuk lalu berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kegirangan. “Gusti Allah akan membalas kebaikan Ibu dan Bapak berdua.”
“Anak, kalau boleh bertanya, apakah situ sudah punya anak?”
“Ssstttt… Jangan keras-keras bertanyanya. Aku memang sudah punya anak. Tapi anakku hilang dicolong orang…”
“Ooo…”
Setelah membungkuk sekali lagi dan layangkan senyum lebar, anak perempuan itu lalu membawa boneka perempuan yang dipilihnya. Dia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi.
Boneka didekapkan ke dada. Sesekali diayun-ayun seperti menggendong bayi benaran. Sepanjang jalan yang dilaluinya semua orang memperhatikan. Ada yang merasa heran, lebih banyak yang merasa iba. Semuda itu sudah menderita penyakit jiwa.
“Kasihan…” kata istri pedagang mainan itu pada suaminya. “Kelihatannya dia seperti anak perempuan baikbaik.
Masih sangat muda. Mungkin lebih muda dari anak perempuan kita. Heran, apa yang membuat dia jadi begitu.
Apa benar dia punya anak dicuri orang?” Tiba-tiba istri pedagang mainan itu melihat sesuatu, “Pak-ne!”
“Ada apa?” sang suami bertanya kaget. “Ada barang kita yang hilang?!”
Istri pedagang mainan melangkah ke depan jejeran barang dagangan. Dia mengambil sesuatu di dekat deretan boneka kayu. Sebuah benda berkilat diperlihatkannya pada suaminya. Melihat benda yang dipegang istrinya karuan saja sang suami jadi terkejut.
“Uang perak! Bagaimana bisa ada di situ? Uang siapa?”
Si pedagang mengambil uang perak dan memperhatikan dengan mata tak berkesip.
“Mana aku ngerti. Wong tahu-tahu sudah ada di sini. Pak, uang ini cukup untuk memborong seluruh dagangan kita.”
“Betul, Bu. Coba periksa. Siapa tahu masih ada lagi.”
“Jangan rakus begitu Pak. Aku punya dugaan. Janganjangan perempuan muda tadi yang meletakkan uang perak ini.”
“Tapi tadi dia bilang tidak punya uang.”
“Dia itu orang aneh. Bisa saja bilang tidak punya uang. Buktinya…”
“Jangan-jangan dia itu malaikat yang menyaru jadi gembel tidak waras.” Kata sang suami lalu cepat-cepat masukkan uang perak itu ke dalam koceknya, takut hilang dan takut berubah jadi daun seperti kejadian aneh yang pernah didengarnya.
***
Perempuan pedagang cita dan kain panjang itu bertubuh gemuk gembrot. Muka bulat berminyak. Hidung besar tapi pesek nyaris sama rata dengan pipi. Matanya yang sudah belok memandang melotot pada anak perempuan bertubuh kecil yang tegak di depannya sambil mengayun-ayun boneka kayu seperti mengayun seorang bayi. Mulut digembungkan lalu dia membentak.
“Jembel bau! Kowe mau apa berdiri di situ! Lekas pergi atau aku guyur dengan air selokan!”
Anak perempuan yang dipanggil jembel bau tersenyum lalu berkata. “Aku ingin kain panjang itu. Untuk gendongan bayiku ini.” Sambil berkata dia terus ayun-ayunkan boneka kayunya seperti mengayun-ayun bayi benaran.
“Kalau mau beli perlihatkan dulu uangmu!” bentak pedagang kain.
“Siapa bilang aku mau beli. Wong aku tidak punya uang. Mau minta…!”
“Perempuan setan! Dasar sinting. Aku jualan, bukan tukang pemberi derma! Menyingkir dari hadapanku!”
Pedagang kain jadi marah. Dia gulung sehelai kain sarung butut lalu kepretkan ke muka orang.
Cepat-cepat anak perempuan bertubuh dan berpakaian kotor rundukkan kepala. Boneka yang dipegangnya didekapkan ke dada. Sambil melangkah mundur dia berkata.
“Biyungku gembrot kau galak sekali. Kalau tidak mau bersedekah ya sudah… Anakku sayang,” anak perempuan itu ciumi wajah boneka. “Orang tidak mau memberi kain bedongan kita harus sabar. Kau jangan cengeng.” Lalu anak perempuan itu melangkah pergi sambil menyanyinyanyi kecil dan peluk bonekanya. “Anakku, jangan menangis. Di dunia ini memang ada orang baik, ada orang jahat. Ada orang pemurah ada orang pelit. Hiii…”
Tak selang berapa lama anak perempuan yang dianggap gembel sinting itu lenyap dari keramaian, pedagang cita bertubuh gemuk berteriak heboh.
“Kainku! Kain panjangku hilang satu! Tadi masih ada di sini!” Perempuan gemuk ini lari sana lari sini lalu mengejar ke arah lenyapnya jembel yang membawa boneka tadi. Namun yang dikejar sudah lenyap entah ke mana.
***
Tengah hari panas begitu, berada di sungai kecil berair dangkal dan jernih terasa nyaman sekali. Yang tidak diduga, pada tikungan sungai berpohon rindang yang selama ini selalu diselimuti kesunyian saat itu terdengar suara nyanyian perempuan.
Tidurlah tidur wahai anakku
Jangan cengeng jangan menangis
Ayahmu sedang pergi jauh
Ibu ingin kau menjadi anak manis.
Tidurlah tidur wahai anakku
Tidur dalam pelukan ibu
Jangan bertanya tentang ayahmu
Karena tak seorangpun tahu
Orang yang menyanyi itu duduk berjuntai di atas sebuah batu di pinggir sungai. Dua kaki dimasukkan ke dalam air yang jernih dan sejuk. Di pangkuannya terlipat sehelai kain panjang yang masih baru. Di atas kain panjang terbaring sebuah boneka anak perempuan mungil.
Sambil bernyanyi orang itu usap-usap kepala boneka sementara air mata mengucur jatuh ke pipi. Dialah perempuan muda yang dianggap masih anak-anak dan dihadiahkan boneka oleh penjual mainan di Pasar Imogiri. Dia pula anak perempuan yang mengambil sehelai kain panjang jualan perempuan gemuk di pasar yang sama. Dan dia bukan lain adalah Nyi Retno Mantili, istri Tumenggung Wira Bumi yang telah berubah ingatan akibat lenyapnya bayi yang baru beberapa hari dilahirkannya.
Satu kali Nyi Retno Mantili hentikan nyanyian.
“Anakku jangan menangis. Ah kau pasti haus. Mari ibu susukan dulu. Ceeppp… Ayo jangan nangis lagi.” Nyi Retno buka dada pakaiannya. Boneka kecil lalu dirapatkan ke dada kiri. Sepertinya dia benar-benar tengah menyusui boneka yang dianggapnya sebagai bayi itu.
Tak lama kemudian kembali nyanyian perempuan malang itu menggema di tikungan sungai. Sesekali terhenti oleh suara isak tangis menyayat hati.
Entah telah berapa puluh kali nyanyian itu dilantunkan diulang-ulang. Seperti tidak menyadari kalau hari telah rembang petang. Cahaya sang surya yang panas garang kini berubah lembut.
Tidurlah tidur wahai anakku
Jangan cengeng jangan menangis
Ayahmu sedang pergi jauh
Ibu ingin kau menjadi anak manis
Ketika Nyi Retno hendak melantunkan bait berikut nyanyiannya, sekonyong-konyong ada suara lain mendahului. Irama nyanyiannya sama namun dua bait terakhir berikut dua bait tambahan berbeda syairnya.
Tidurlah tidur wahai anakku
Tidur dalam pelukan ibu
Jika kau mau ikut bersamaku
Mudah-mudahan panjang umurmu
Selamat perjalanan hidupmu
Karena Yang Maha Pengasih melindungi dirimu
Nyi Retno Mantili keluarkan suara tercekat. Takut akan dirampas orang, boneka kayu diangkat dan didekapkan ke dada. Memandang ke depan Nyi Retno Mantili melihat seorang tua yang wajahnya tertutup janggut putih menjulai panjang, memelihara kumis serta janggut panjang yang juga berwarna putih.
Mula-mula memang Nyi Retno tampak ketakutan.
Namun sesaat kemudian mulutnya menyeruakkan senyum disusul suara tawa.
“Hik… hik… Malaikat dari mana begitu muncul pandai pula bernyanyi.”
Orang tua yang dipanggil malaikat tersenyum sambil usap janggutnya.
“Anak, kau begitu asyik menyanyi. Apakah tidak menyadari kalau sebentar lagi sang surya akan tenggelam, senja akan datang disusul munculnya malam?”
Suara orang tua itu perlahan saja sikap dan air mukanya tenang.
“Kalau sang surya tenggelam memangnya kenapa? Kalau senja datang memangnya kenapa? Tapi kalau malam datang, nah itulah saatnya aku dan bayiku akan mandi di sungai yang jernih sejuk ini. Karena itu aku harap kau segera berlalu dari tempat ini. Tidak pantas seorang lelaki berada di dekat tempat perempuan mandi.”
“Ada tempat mandi yang lebih baik dan lebih terlindung. Kalau kau memang mau mandi, ikutlah bersamaku.”
“Iiihhh! Enak saja kau mau mengajakku mandi! Anakku, ada seorang kakek cabul di tempat ini. Mari kita pergi mencari tempat mandi yang lain di sebelah hilir.” Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili lilitkan kain panjang ke tubuhnya sebelah atas lalu boneka diselipkan di belakang punggung.
“Anak, kalau kau pergi ke hilir sungai, ada bahaya menunggumu di sana…” Si orang tua memberitahu.
“Jangan menakuti diriku dan anakku!” Ujar Nyi Retno.
“Aku tidak menakuti. Justru memberi ingat…”
“Kalau begitu aku akan pergi ke arah hulu sungai.” kata Nyi Retno pula.
“Di arah itu ada bahaya lebih besar menantimu.”
“Ihhh… Biar aku masuk hutan saja kalau begitu,” kata Nyi Retno Mantili lalu melangkah cepat ke arah pepohonan lebat di tepi sungai di sebelah depannya.
Si orang tua kembali tersenyum dan usap janggutnya lalu melangkah ke hadapan Nyi Retno Mantili.
“Anak, kalau kau tak percaya ucapanku, tunggulah barang beberapa lama di tempat ini. Kau akan mengetahui bahwa aku tidak berdusta…”
“Kek, siapa percaya pada dirimu. Pergilah, aku ingin menyanyi menidurkan bayiku.” Lalu Nyi Retno melangkah mondar mandir di tepi sungai sambil melantunkan nyanyian.
Tidurlah tidur wahai anakku
Jangan cengeng jangan menangis
Ayahmu sedang pergi jauh
Ibu ingin kau menjadi anak manis
Tidurlah tidur wahai anakku
Tidur dalam pelukan ibu
Jangan bertanya…
Belum selesai Nyi Retno menyanyikan lagunya tiba-tiba dari arah rimba belantara yang lebat redup terdengar suara berdesir. Daun-daun pepohonan bergesek mengeluarkan suara aneh di telinga. Semak belukar bergoyang-goyang. Di lain saat satu bayangan merah berkelebat. Di lain kejap berdirilah satu sosok angker mengerikan di depan Nyi Retno Mantili. Membuat perempuan muda yang telah kehilangan otak warasnya ini berteriak keras, menunjuknunjuk ke depan.
“Setan merah kesasar dari neraka! Kau mau merampas bayiku! Kau mau menculik bayiku! Pergi… pergiiii!”

5

SOSOK serba merah di depan Nyi Retno Mantili yang bukan lain adalah Nyai Tumbal Jiwo tertawa cekikikan. “Perempuan sinting! Ucapanmu benar sekali. Aku datang dari neraka untuk membawamu pergi ke sana!”
“Iiihhh! Siapa sudi ikut bersamamu!” ucap Nyi Retno.
“Anakku, ayo kita lekas pergi dari tempat ini! Ada setan hantu merah. Iihhh ngerinya!”
“Setan perempuan! Jangan berani beranjak dari tempatmu!” bentak Nyai Tumbal Jiwo. Jari telunjuk tangan kanannya dijentikkan ke arah Nyi Retno. Selarik angin menderu sebat. Inilah totokan jarak jauh yang ganas bernama Jari Pembungkam Roh.
Sebelum angin totokan sampai di tubuh Nyi Retno Mantili, orang tua berambut putih panjang cepat berkelebat menghalangi. Dia angkat tangan kiri, kembangkan telapak tangan. Tangan itu bergetar keras ketika totokan jarak jauh menerpa. Seperti menangkap sesuatu orang tua itu rapatkan jari-jari tangan. Lalu sambil dibuka dia meniupkan tangannya seraya berkata. “Ilmu jahat, kembali ke majikanmu!”
Nyai Tumbal Jiwo berteriak kaget dan marah ketika ilmu totokannya dikembalikan orang.
“Keparat setan alas! Beraninya kau mencampuri urusanku!” Sekali nenek dari alam roh ini kibaskan tangan kanannya, totokan yang membalik menyerang dirinya buyar mengeluarkan suara dess! Membuat dirinya terjajar ke belakang satu langkah. Hal ini terjadi karena sewaktu mengembalikan angin totokan, kakek berambut putih panjang menjulai menyertakan sedikit tenaga dalam.
“Tua bangka jahanam! Wajahmu boleh kau tutup dengan rambut putihmu. Jangan mengira aku tidak mengenal siapa dirimu!”
“Nyai Tumbal Jiwo,” kata kakek berambut putih dan berpakaian selempang kain putih. Suaranya tenang dan perlahan saja. “Kau sudah lama meninggalkan dunia fana. Mengapa masih mau gentayangan seperti ini?”
Rambut merah si nenek yang awut-awutan langsung berjingkrak. Mata merah mendelik seperti bara api. Marahnya bukan main.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas! Aku mau gentayangan ke mana aku suka, apa urusanmu?”
Orang tua yang dipanggil Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Aku hanya mengingatkan. Kalau terlalu lama dalam dunia nyata aku khawatir kau tersesat dan tak bisa kembali ke dalam alam rohmu.”
“Kakek setan! Aku tidak perlu nasihatmu! Kau sendiri yang bermukim di dasar telaga jauh di puncak Gunung Gede mengapa bisa berkeliaran sampai ke sini?!”
“Aku hadir di sini karena memang sengaja menunggu kedatanganmu. Kau telah membuat sengsara perempuan bernama Nyi Retno Mantili ini. Sekarang kau malah punya niat lebih jahat hendak membunuhnya! Setelah mati dan jadi roh gentayangan bukannya kau bertobat malah masih tega-teganya menebar malapetaka.”
Nenek serba merah pencongkan mulut. Lalu dia mendongak sambil umbar tawa cekikikan. “Ah, jadi kau punya maksud hendak menghalangiku! Nyalimu besar sekali!”
Nyai Tumbal Jiwo berdecak beberapa kali, golang-goleng kepala lalu sambung ucapannya. “Aku tanya dulu. Apakah saat ini kau membawa nyawa cadangan? Hik… hik… hik!
Apa kau lupa bahwa kekuatan roh dari alam gaib berada jauh di atas kekuatan alam manusia penghuni dunia serba fana ini?”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Di dunia ini tidak ada yang lebih kuat. Kecuali kekuatan yang dimiliki Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Siapa saja berani menghadapiNya akan hancur lebur. Termasuk kau!”
Nyai Tumbal Jiwo luruskan tubuhnya yang bungkuk lalu tertawa mengekeh. Sepasang mata menyala. Ketika tertawa kelihatan lidah serta giginya yang berwarna merah.
Lalu sambil usap-usap dadanya yang kurus ceper, makhluk dari liang kubur ini berkata.
“Aku pikir-pikir ada baiknya juga perbuatanmu menghadangku di tempat ini. Kau sudah terlalu lama hidup di dunia. Tubuhmu sudah bau tanah. Kalau kau mendesak mencegah apa yang akan aku lakukan, dengan senang hati aku akan menunjukkan jalan ke pintu neraka untukmu!”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa perlahan. Kembali dia mengusap janggut putihnya lalu membungkuk. “Terima kasih kau mau berbaik hati. Aku memang belum tahu jalan menuju pintu neraka. Ada baiknya kau menuntun agar aku tidak tersesat. Ha… ha… ha…” Sambil tertawa Kiai Gede Tapa Pamungkas melirik ke arah Nyi Retno Mantili yang tengah mengayun-ayun boneka kayu sambil menyanyinyanyi kecil. Orang tua ini kibaskan jenggot panjangnya.
“Nyi Retno, jangan ke mana-mana. Tetap di tempatmu!”
ucap sang Kiai. Saat itu juga dari ujung jenggotnya melesat satu cahaya putih. Gerakan Nyi Retno mengayun-ayun boneka mendadak sontak terhenti. Sekujur tubuhnya terselubung kabut putih.
“Aduh anakku, mengapa ibumu jadi tidak bisa bergerak?” seru Nyi Retno. “Hai, jangan kau menangis…”
Sekujur tubuh Nyi Retno yang masih terbungkus kabut putih menjadi kaku tak bisa bergerak namun dia masih bisa keluarkan suara.
Melihat apa yang dilakukan Kiai Gede Tapa Pamungkas Nyai Tumbal Jiwo sunggingkan seringai mengejek.
“Kabut Dewa Pelindung Raga! Kau kira aku tak bisa menembus ilmu picisan itu?! Lihat!”
Sambil membentak Nyai Tumbal Jiwo jentikkan lima jari tangannya ke arah Nyi Retno.
“Mampus kau perempuan sinting!”
Wutt… wutt… wutt… wutt… wutt!
Lima larik sinar merah berkiblat. Melesat deras menghantam tubuh Nyi Retno yang terbungkus kabut putih.
Tarr… tarr… tarr… tarr… tarr!
Lima letusan dahsyat menggelegar di tikungan sungai. Percikan api bertebaran ke udara. Nyi Retno terpekik.
Walau pukulan sakti Lima Jari Akhirat membuat tubuh Nyi Retno Mantili terpental dan masuk ke dalam sungai dangkal, tersandar ke sebuah batu, namun pukulan itu tidak mampu menembus kabut putih yang membungkus hingga perempuan muda malang itu tetap dalam keadaan selamat. Bahkan tubuhnya serta tubuh boneka kayu tidak sedikitpun basah terkena air!
Dua orang sakti itu sama-sama terkejut.
Nyai Tumbal Jiwo telah meyakini ilmu pukulan Lima Jari Akhirat lebih dari duapuluh tahun. Selama ini tidak ada seorang lawanpun bisa selamat dari serangannya. Kalau pun mampu bertahan hidup sekujur tubuhnya akan cacat melepuh seperti terpanggang dan tak akan sembuh seumur hidup. Nenek makhluk dari alam roh ini sudah lama mendengar nama besar Kiai Gede Tapa Pamungkas dan juga tahu kalau kakek sakti dari puncak Gunung Gede ini memiliki ilmu yang disebut Kabut Dewa Pelindung Raga.
Tidak dinyana hari itu dia bertemu dan menyaksikan kehebatan ilmu membentengi diri yang tak sanggup ditembus pukulan Lima Jari Akhirat. Diam-diam si nenek jadi bergeming juga.
Di lain pihak Kiai Gede Tapa Pamungkas juga merasa kaget. Walau serangan lima larik sinar merah si nenek tidak sanggup menembus ilmu Kabut Dewa Pelindung Raga, namun dengan membuat Nyi Retno Mantili terpental sudah cukup bukti bahwa nenek jahat itu tidak bisa dipandang enteng. Nenek jahat ini benar-benar ingin menghabisi perempuan muda malang dan tak berdosa itu.
“Kalau makhluk satu ini dibiarkan terus berkeliaran, bakal celaka rimba persilatan tanah Jawa,” begitu sang Kiai membatin. Maka dia membuat satu kali lompatan dan kini hanya terpisah sepejangkauan tangan dari hadapan si nenek.
Walau nyalinya agak ciut namun Nyai Tumbal Jiwo pandai menyembunyikan. Nenek ini membentak lantang. “Perlu apa kau mendekati diriku! Aku melihat ada maksud mesum dalam matamu! Kau tertarik padaku?!”
Wajah klimis di balik juntaian rambut, kumis dan janggut lebat Kiai Gede Tapa Pamungkas tampak berubah merah mendengar ucapan Nyai Tumbal Jiwo.
“Kiai! Lekas menyingkir dari hadapanku! Tinggalkan tempat ini! Jangan kau berani menyentuh tubuh istri Tumenggung itu. Apalagi berani membawanya! Hari ini aku masih mau memberi pengampunan padamu! Tapi lain waktu jika kau berani unjukkan muka di depanku, aku tak segan-segan merampas jiwamu. Kau akan aku kirim ke alam roh. Di situ kau akan menjadi budak hamba sahayaku! Pergi!”
Nyai Tumbal Jiwo dorongkan dua tangan ke arah si kakek.
Kiai Gede Tapa Pamungkas mendengar ada suara bergemuruh seperti dua batu besar menggelinding deras ke arahnya. Sambaran angin panas menderu membuat tubuh sang Kiai tergontai-gontai.
“Pukulan Angin Roh Pengantar Kematian!” ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas mengenali serangan lawan. Dia pernah mendengar kehebatan pukulan ini. Walau tidak gentar menghadapi namun kakek sakti dari telaga di puncak Gunung Gede ini cepat melesat ke atas sampai satu tombak. Angin pukulan lawan menderu lewat, menghantam tebing sungai di seberang sana hingga terbongkar longsor!
Nyai Tumbal Jiwo terkesiap kaget, tidak menyangka lawan bisa lolos dari serangan mautnya tadi. Dia lebih terkejut lagi ketika merasakan dada kirinya berdenyut.
Ketika dia menunduk memperhatikan, makhluk dari liang kubur ini langsung menjerit. Dia tidak merasakan sama sekali tidak menyadari kapan lawan melancarkan serangan balik. Namun saat itu dada kirinya tahu-tahu kelihatan menggembung merah.
“Tua bangka cabul! Beraninya kau menyentuh aurat terlarangku!” teriak si nenek. Padahal yang diserang dan disentuh Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah bagian bahu kiri di bawah tulang belikat. Namun akibatnya menggembung sampai membengkakkan payudara kiri si nenek yang tadinya rada ceper.
“Jahanam! Lari ke mana kau!” teriak Nyai Tumbal Jiwo.
Dia melompat mengejar ke tepi sungai. Namun terlambat.
Kiai Gede Tapa Pamungkas telah berada jauh di sebelah sana, lari sambil menggendong Nyi Retno Mantili. Seperti berlari di atas tanah, begitulah dia berlari di atas air sungai menuju ke hulu.
“Jahanam pengecut!” maki si nenek. Kemudian dia memperhatikan dada kirinya yang melembung merah. Lalu dia tertawa sendiri. “Sayang, cuma yang kiri yang menjadi besar. Kalau dua-duanya. Hik… hik… hik. Aku akan lebih montok dari perawan.” Terbungkuk-bungkuk Nyai Tumbal Jiwo tinggalkan tempat itu. Sesekali diusapnya dada kirinya yang mendenyut sakit. Mulut keluarkan ucapan. “Kiai Gede Tapa Pamungkas. Aku tidak rela kau buat jadi mainan seperti ini. Kelak aku akan ganti membuatmu jadi barang mainanku! Kalau aku tidak sanggup menembus ilmu kesaktianmu, jangan kau kira aku tidak sanggup menembus imanmu! Hik… hik… hik!”( Mengenai Kiai Gede Tapa Pamungkas, kakek sakti yang diam di dalam telaga di puncak timur Gunung Gede kisahnya dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng episode “Pedang Naga Suci 212” . Sang Kiai adalah guru dari Sinto Weni alias Sinto Gendeng dan Sukat Tandika alias Tua Gila).
Kepada kedua muridnya itu dia mewariskan sebilah senjata berbentuk kapak yakni Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212. Ternyata Sinto Weni bukan cuma mengambil kapak sakti, dia juga membawa serta Pedang Naga Suci 212 dan menyembunyikannya di satu tempat. Pedang ini kemudian dipercayakan dan diserahkan pada Puti Andini. Setelah hancurnya 113 Lorong Kematian dan meninggalnya Puti Andini untuk kedua kali, pedang ditemukan. Pendekar 212 minta agar senjata mustika itu diserahkan pada Sinto Gendeng namun ditolak oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sang Kiai membawa senjata itu kembali ke puncak Gunung Gede.

6

SEJAK pagi angin barat bertiup kencang. Deburan ombak di pantai selatan bergemuruh tiada henti. Di dalam goa Girijati Tumenggung Wira Bumi bersujud di hadapan Nyai Tumbal Jiwo.
“Cukup, sudah saatnya kau harus pergi meninggalkan goa ini. Semua yang kau minta padaku ada yang telah kesampaian dan ada yang bakal menjadi kenyataan. Yang telah kesampaian kini kau memiliki ilmu kesaktian tinggi.
Tidak sembarang orang sanggup mengalahkanmu, yang akan menjadi kenyataan ialah keselamatan, kedudukan atau jabatan serta harta melimpah ruah. Sekarang bangkit dan duduk di hadapanku!”
Tumenggung Wira Bumi segera bangun dari sujudnya lalu duduk bersila di depan makhluk alam roh yang serba merah mulai dari rambut sampai ke kaki. Nenek ini kembangkan tangan kanannya yang sejak tadi digenggam.
Ternyata dalam genggamannya ada tiga helai daun sirih, tujuh kuntum bunga melati dan sebongkah kecil kemenyan.
Setelah bunga melati dan kemenyan dimasukkan ke dalam lipatan tiga helai daun sirih, si nenek menyerahkan lagi pada Tumenggung Wira Bumi. “Malam ini malam Jum’at Legi. Saat yang paling baik dan ampuh untuk menyantap sirih, melati dan kemenyan. Kunyah lumatlumat dan telan!”
Tumenggung Wira Bumi lakukan apa yang diperintahkan Nyai Tumbal Jiwo. Si nenek memperhatikan sambil mulutnya komat-kamit melafalkan sesuatu. Setelah menelan sirih, melati dan kemenyan, Tumenggung Wira Bumi merasa tubuhnya menjadi enteng hangat dan seolah berubah besar. Kepala menyondak langit-langit goa. Tubuh si nenek dilihatnya menjadi kecil.
“Tumenggung, sirih kembang melati dan kemenyan yang barusan kau telan menjadi kunci segala ilmu kesaktian yang telah kau dapatkan. Seumur hidup ilmu itu akan mendekam dalam dirimu.” Setelah diam dan menatap wajah sang Tumenggung beberapa ketika, si nenek berwajah angker merah keriputan melanjutkan ucapan. “Saat ini aku menyampaikan satu kabar buruk padamu. Beberapa waktu lalu aku berhasil menyirap lewat pendengaran dan penglihatan jarak jauh di mana beradanya Nyi Retno Mantili…” Si nenek perhatikan wajah Wira Bumi. Wajah sang Tumenggung sama sekali tidak berubah ketika nama istrinya disebut. “Aku berhasil menemuinya di satu tempat. Maksudku akan kubawa menemuimu untuk kau habisi sesuai sumpahmu tempo hari. Aku ingin urusan satu ini bisa tuntas lebih cepat.
Namun tidak disangka muncul seorang kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dia berhasil menghalangi niatku. Dia kemudian melarikan diri dan istrimu bersamanya. Aku yakin dia menuju puncak Gunung Gede. Setahuku dia diam di sebuah telaga. Urusan dendam kesumat dengan kakek ini biar aku yang membereskan.
Karena aku gagal membunuh, sesuai perjanjian kau tetap harus membunuh istrimu. Kau harus pergi ke puncak Gunung Gede. Kau dan aku kini mengetahui bahwa pembantumu Djaka Tua tidak melaksanakan perintah. Dia tidak membunuh bayi yang dilahirkan Nyi Retno. Di mana dia sekarang berada, juga bayimu tidak diketahui. Seperti ada satu kekuatan melindungi dirinya. Menjadi tugasmu mencari kedua orang itu dan membunuh mereka!”
“Bagaimana dengan golok besar yang harus aku pakai untuk menggorok leher bayi?” tanya Tumenggung Wira Bumi pula.
“Senjata itu raib. Mungkin ada pada Djaka Tua. Kau harus mendapatkan golok itu karena memiliki tuah setelah menjadi bagian dari perjanjianmu! Kau boleh membunuh anak perempuan dan istrimu tanpa mempergunakan golok itu.”
“Semua perintah Nyai akan saya lakukan.” Wira Bumi membungkuk dalam-dalam lalu berdiri.
“Sebelum Kau kembali ke gedung kediamanmu di Kotaraja, kau harus berendam dulu di dalam laut sana sampai matahari tenggelam. Setelah itu baru berangkat ke Kotaraja. Tapi ingat, kau tidak boleh masuk ke dalam gedung kediamanmu sebelum lewat tengah malam. Dan untuk masuk ke dalam gedung, kau harus lewat pintu belakang. Jangan sekali-kali masuk melalui pintu depan.
Kau mengerti, Tumenggung?”
“Aku mengerti Nyai. Terima kasih atas semua petunjukmu. Terima kasih banyak atas semua yang telah kau berikan padaku. Kelak aku akan kembali menemuimu untuk membalas budi baikmu.”
“Kau tak perlu bersusah payah mencariku. Perjanjian antara kita sudah cukup. Namun ada satu hal yang harus kau lakukan sebelum pergi…”
“Aku mengerti. Nyai minta saya berendam dalam air laut..”
Si nenek tersenyum, “Sebelum mandi berendam air laut, kau harus mandi berendam keringat lebih dulu. Hal ini harus kau laksanakan setiap saat aku membutuhkan.” Si nenek hentikan ucapan. Sepasang mata memandang merah berkilat pada Tumenggung Wira Bumi yang bertubuh kekar besar itu.
“Tumenggung, aku minta kau melayaniku sebelum pergi. Puluhan tahun di dalam liang kubur rasanya sungguh menyebalkan.”
Kejut Tumenggung Wira Bumi bukan alang kepalang.
Sama saja dia mendengar suara halilintar di depan mata! Habis berkata si nenek langsung saja buka pakaiannya berupa kain merah yang melilit di tubuh. Tumenggung Wira Bumi melangkah mundur. Wajahnya tampak gelap melihat sosok bugil si nenek. Dia memperhatikan, payudara Nyai Tumbal Jiwo sebelah kiri ternyata sangat besar sedang yang sebelah kanan datar nyaris licin.
“Nyai, hal ini tidak termasuk dalam perjanjian…” Si nenek menyeringai, mata dikedipkan.
“Justru ini adalah patri indah dari perjanjian kita yang aku sebut Perjanjian Dengan Roh.”
“Nyai, aku mohon…”
“Tujuh bulan kau tidak menggauli perempuan. Apa otakmu tidak jadi buntu? Apa dadamu tidak serasa rengkah? Apa urat-urat aliran darahmu serasa tidak terbakar?! Lihat tubuhku, apa kau tidak tertarik?”
“Nyai, aku…”
Si nenek tempelkan tubuhnya ke tubuh Tumenggung Wira Bumi. Dua tangan merangkul erat. Sang Tumenggung merasakan tubuhnya panas bergetar. Dalam penglihatannya si nenek telah berubah menjadi seorang dara secantik bidadari.
Nyai Tumbal Jiwo tertawa panjang ketika Tumenggung Wira Bumi balas memeluk lalu dengan penuh nafsu membaringkannya di lantai goa.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas, giliranmu akan tiba…” Ucap si nenek yang tidak sempat lagi terdengar oleh Tumenggung Wira Bumi akibat nafsu yang telah membakar sekujur tubuhnya.
***
Dua belas purnama setelah bentrokan antara Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan Nyai Tumbal Jiwo. Di tepi sebuah telaga di bagian timur puncak Gunung Gede, Nyi Retno asyik bermain-main dengan boneka kayu yang dalam ketidakwarasannya menganggap sebagai bayi atau anaknya. Sesekali terdengar suaranya tertawa senang.
Lain ketika dia menyanyi-nyanyi kecil. Lalu sesekali dia meratap menangis.
Dari bagian lain pinggiran telaga, Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah mendatangi.
“Nyi Retno aku gembira melihat kau senang sekali pagi ini. Kau tertawa-tawa, kau menyanyi. Apakah kau sudah memberi makan anakmu yang lucu itu?”
“Kiai,” ucap Nyi Retno yang saat itu rambut, tubuh dan pakaiannya kelihatan bersih. Badannya tampak jauh lebih gemuk berisi dibanding pertama kali Kiai Gede Tapa Pamungkas membawanya ke tempat itu setahun lalu.
Kulitnya bersih dan lebih putih. “Untung kau memberi ingat! Pagi ini aku memang belum memberinya makan. Ibu macam apa aku ini. Ah, kasihan anakku…”
Dari sebuah kantong kain yang tergantung di punggungnya Nyi Retno mengeluarkan sendok kayu. “Anak, ayo makan dulu. Makan yang banyak agar kau gemuk dan sehat.” Nyi Retno lalu menggerak-gerakkan tangan kanannya yang memegang sendok seolah tengah mengaduk makanan. Lalu sendok itu didekatkannya ke mulut boneka kayu. Demikian dilakukannya berulang-ulang. “Makan yang banyak. Biar gemuk dan sehat,” katanya setiap kali dia membuat gerakan seperti menyuapi.
Kiai Gede Tapa Pamungkas memperhatikan dengan perasaan haru. Dia mampu memberi kesembuhan pada sosok lahir perempuan yang usianya belum mencapai tujuhbelas tahun itu. Dia mampu mewariskan beberapa ilmu kesaktian. Namun ada satu hal yang sangat dirisaukannya. Walau Nyi Retno nampak patuh dan selalu memperhatikan apa yang diucapkannya, namun dia tak pernah mampu mengembalikan jalan pikiran Nyi Retno Mantili kembali waras seperti semula.
“Nyi Retno, sudah berapa usia anakmu sekarang?” bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Kalau aku tidak salah menghitung sudah satu tahun. Eh, apa iya? Nah, mana tua anakku dengan Kiai?”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Anak, sudah satu tahun kau masih belum memberinya nama…”
Nyi Retno menatap sang Kiai lalu memandang boneka kayu sambil usap-usap kepalanya. Wajahnya tampak sedih. Air mata mengucur membasahi pipi.
“Kiai, aku memang sudah menyiapkan sebuah nama untuk anakku ini. Tapi takut nanti ayahnya tidak setuju. Aku pikir biar ketemu ayahnya dulu. Cuma aku tidak tahu di mana mencari ayah anakku ini.”
“Kalau kau memang sudah punya calon nama, ya sudah disebut saja. Soal apakah ayahnya nanti setuju apa tidak, biar itu urusan nanti. Nyi Retno, siapa nama yang sudah kau siapkan itu?”
“Mmmm… Kemuning.” Jawab Nyi Retno Mantili pula.
“Singkat tapi bagus.”
“Sejak kecil aku suka pohon kemuning. Buahnya bisa dipakai untuk mengkilapkan kuku.”
“Mulai hari ini kita akan memanggil anak itu Kemuning.
Nama bagus, nama bagus…”
Nyi Retno angkat boneka yang dipegangnya tinggi-tinggi lalu menciumnya berulang kali. Lalu dia berpaling pada Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Kiai, kau pernah bilang. Satu ketika aku boleh meninggalkan tempat ini. Kapan? Hari ini, besok, lusa…?”
“Sebetulnya aku tetap ingin kau berada di sini sampai keadaan di luar benar-benar aman bagimu dan puteri kecilmu itu.”
“Aman bagaimana Kiai? Apa masih ada orang jahat yang ingin membunuhku? Nenek rambut merah yang di sungai dulu? Aku tidak takut.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas memandang wajah Nyi Retno penuh kagum. “Ternyata ingatannya ke masa lampau masih cukup jernih. Semoga Tuhan memberi kesembuhan padanya…”
“Kiai, bukankah Kiai telah membekali diriku dengan berbagai ilmu kesaktian? Selain itu ke mana aku pergi bukankah Kiai akan mengikuti, menjagaiku, melindungi anakku. Kau harus menganggap anak ini sebagai cucumu, Kiai!”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil mengusap kepala Nyi Retno orang tua ini berkata. “Tentu saja. Tentu saja anakmu itu sudah kuanggap cucu sendiri. Namun aku tidak mungkin selalu ada bersamamu…”
“Kalau begitu aku boleh pergi sendiri ke mana aku suka. Aduh, senangnya…” Nyi Retno Mantili tertawa girang, berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.
“Belum saatnya Nyi Retno. Tunggulah beberapa lama lagi,” kata Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan hati masgul.
“Kiai, kau jahat! Kau pembohong! Aku benci padamu!” ucap Nyi Retno lalu lari ke dekat pohon.
Si orang tua mendatanginya, membujuk sambil membelai rambutnya. Dia sering mengusap kepala dan membelai rambut Nyi Retno sambil mengerahkan hawa sakti. Maksudnya untuk memberi kesembuhan, agar pikiran Nyi Retno kembali waras. Namun kesembuhan itu tidak kunjung datang.
“Nyi Retno, aku akan masuk ke dalam telaga sebentar. Tunggu di sini.”
“Ya, aku akan tunggu di sini. Anakku mulai rewel. Mungkin dia haus…” Jawab Nyi Retno Mantili.
Begitu si orang tua beranjak dari hadapannya, dia buka pakaiannya di bagian atas lalu dekatkan bibir boneka ke dadanya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah ke arah telaga yang airnya selalu bergemericik seolah mendidih. Sampai di tepi telaga dia tidak berhenti melainkan terus saja berjalan. Luar biasa! Ternyata kakek ini mampu berjalan di atas air! Tepat di tengah telaga tiba-tiba besss! Sosok si orang tua raib ke dalam telaga. Air telaga muncrat sampai setinggi dua tombak. Tak selang berapa lama Kiai Gede Tapa Pamungkas muncul keluar dari dalam telaga. Di tangannya dia membawa sebuah benda bergulung seperti sabuk. Benda ini bukan lain adalah Pedang Naga Suci 212.
Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya, episode berjudul “Kematian Kedua”, senjata sakti ini muncul di atas perut Puti Andini alias Yang Mulia Sri Paduka Ratu yang saat itu telah menemui kematiannya yang kedua. Pendekar 212 Wiro Sableng coba mengambil namun dia kedahuluan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang mendadak muncul di tempat itu. Selaku pemilik pedang dia mengambil senjata tersebut dan menyimpan sampai ada seseorang yang layak memegangnya. Agaknya hari itu Kiai Gede Tapa Pamungkas merasa telah menemukan orang yang cocok untuk diserahi pedang mustika itu. Yaitu Nyi Retno Mantili. Namun darah orang tua ini agak berdesir ketika melihat Nyi Retno Mantili tak ada lagi di bawah pohon di tepi telaga. Hatinya jadi tidak enak. Dia berteriak memanggil berulang kali. Tak ada jawaban. Seluruh kawasan timur puncak Gunung Gede diselidiki. Nyi Retno Mantili raib tanpa bekas.
Kiai Gede Tapa Pamungkas kembali ke telaga. Duduk di bawah pohon di mana Nyi Retno terakhir kali duduk menyusukan anaknya. Gulungan Pedang Naga Suci 212 diletakkan di haribaan.
“Ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri. Dia pasti pergunakan ilmu yang aku ajarkan itu untuk kabur dan menghilang…” Sang Kiai tarik nafas dalam. Lama orang sakti ini tercenung. Kemudian senyum menyeruak di bibirnya. “Kalau benar dia menggunakan ilmu itu untuk menghindari kejaranku, berarti lagi-lagi satu kenyataan bahwa otak dan jalan pikirannya masih memiliki bagianbagian kewajaran.” Kiai Gede Tapa Pamungkas memang sengaja mengajarkan ilmu kesaktian untuk melenyapkan diri itu pada Nyi Retno agar dapat melindungi diri bila sewaktu-waktu ada orang hendak berbuat jahat terhadapnya. Kini ilmu itu justru dipergunakan untuk menyiasati dirinya. Orang tua ini mengusap janggut panjangnya berulang kali sementara rambut putih menjulai menutupi sebagian wajahnya. Wajah itu tampak tersenyum kembali.
“Kalau dia ingat akan ilmu itu lalu mempergunakannya, berarti ada jalan pikiran serta kesadaran dalam benaknya.
Ya Tuhan, lindungilah anak itu ke manapun dia pergi…”
Kiai Gede Tapa Pamungkas pejamkan mata. Belum berapa lama mata itu terpejam mendadak telinganya mendengar suara derap banyak kaki kuda dipacu mendatangi ke arah telaga.

7

WALAU sepasang mata tertutup namun karena memiliki kesaktian tinggi sulit dijajagi, Kiai Gede Tapa Pamungkas dapat menduga berapa orang saja yang datang dan berada di sekitar pohon besar di bawah mana dia duduk bersandar. Lima orang penunggang kuda berada dalam satu kelompok. Orang keenam, juga menunggang kuda berhenti di depan kelompok lima orang. Kiai Gede Tapa Pamungkas terus saja picingkan mata.
“Orang tua, aku sudah tahu kau tidak tidur. Jadi tidak perlu berpura-pura,” satu suara besar dan keras memecah kesunyian di tepi telaga.
Mendengar teguran orang, Kiai Gede Tapa Pamungkas segera maklum kalau yang barusan bicara adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia juga merasakan dari nada suara itu yang bicara berada dalam ketidaksabaran, dan memandang penuh kebencian padanya.
Maka tanpa bergerak dan buka kedua mata, Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.
“Tiada yang sangat memalukan dalam hidup ini selain kepura-puraan. Tamu gagah, berpakaian kebesaran Kerajaan, yang baru datang dari jauh bersama lima pengiring, kadang-kadang beban hati dan pikiran membuat seseorang hanya bisa memejamkan mata. Sebaliknya ada orang yang beban hati dan pikiran yang selalu menghantui dirinya membuat dia tak bisa memicingkan mata. Kedua orang itu tidak menjalankan kepura-puraan. Contohnya kau dan aku saat ini. Tamu gagah dengan hiasan bintang tersemat di belangkon warna biru, jika ucapanku tadi keliru harap jangan diambil hati.”
Penunggang kuda di sebelah depan dan lima pengiring jadi terkesiap dan tatap wajah si orang tua lekat-lekat.
Hatinya berucap, “Sungguh luar biasa. Matanya dalam keadaan terpejam. Tapi tahu kalau aku mengenakan pakaian kebesaran Kerajaan, diantar oleh lima pengawal.
Tahu warna belangkonku. Tahu pula hiasan bintang perak yang tersemat di belangkonku. Tidak bisa tidak. Dia memang orang yang aku cari. Ciri-cirinya sesuai dengan yang dikatakan Nyai.”
“Orang tua, aku senang kau mengetahui aku datang dari jauh, bisa menduga siapa diriku. Apakah engkau yang dipanggil orang dengan nama Kiai Gede Tapa Pamungkas?”
“Tamu dari jauh, jika kau datang untuk mencariku, aku mengucapkan selamat datang di puncak Gunung Gede.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas ambil benda bergulung di atas pangkuannya, buka kedua mata lalu berdiri. Dia kini melihat jelas si penunggang kuda bersama lima pengiringnya. Keadaan mereka tidak berbeda dengan apa yang tadi diucapkannya dengan mata terpejam. Sang Kiai sudah bisa menduga siapa adanya tamu yang datang bersama lima pengawal ini.
Begitu mendengar ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas lelaki bertubuh besar, berpakaian mewah dengan belangkon biru di atas kepala membuat gerakan sangat enteng.
Kalau tadi dia masih berada di punggung kuda maka kini hanya sekejapan mata saja dia sudah berdiri di hadapan sang Kiai. Keluarbiasaan ini tentu saja tidak lepas dari perhatian Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Orang gagah, jarang sekali tamu berkunjung ke tempat ini. Kedatanganmu tentu membawa satu hal penting.
Harap kau suka memberi tahu. Selain itu apakah kau tidak ingin memperkenalkan diri lebih dulu?”
“Namaku Wira Bumi. Aku Bendahara Kerajaan…”
“Ah, tidak sangka hari ini aku mendapat kehormatan dikunjungi seorang petinggi Kerajaan. Kalau aku tidak salah menduga, bukankah jabatan itu belum selang berapa lama dipercayakan pada Yang Mulia?”
Kening Bendahara Wira Bumi yang sebelumnya adalah Tumenggung tampak mengerenyit. Ucapan orang dirasakannya mulai menyinggung, tidak enak. Namun karena punya kepentingan Wira Bumi terpaksa menahan diri dan bertanya. “Orang tua, bagaimana kau tahu kalau aku baru saja memangku jabatan itu?”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Lekuk belangkon biru Yang Mulia masih bagus. Hiasan bintang perak tampak berkilat. Kelepak pakaian Yang Mulia sangat rapi.
Kalau aku salah menduga harap dimaafkan.” Wira Bumi balas tersenyum.
“Sebagai yang punya tempat, kalau memang ada yang hendak dibicarakan, aku mengundang Yang Mulia Bendahara untuk duduk bicara di sawung sebelah sana.”
Wira Bumi perhatikan sebuah bangunan kecil tanpa dinding di pinggir timur telaga yang dikatakan si orang tua.
“Aku lebih suka kita bicara di sini saja.” kata Wira Bumi yang dulu Tumenggung dan kini jabatannya telah naik setingkat Bendahara Kerajaan.
“Dengan senang hati. Katakanlah maksud kedatangan Yang Mulia,” ujar Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
“Aku mencari seorang perempuan. Masih teramat muda. Usianya belum mencapai tujuhbelasan. Namanya Nyi Retno Mantili. Dikabarkan selama ini dia berada di tempat ini bersamamu.”
“Nyi Retno Mantili,” ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas mengulang menyebut nama itu. “Kabar yang didapat Yang Mulia benar sekali adanya. Hanya sayang, saat ini Nyi Retno Mantili sudah tidak ada lagi di sini.”
“Kiai, apa maksudmu dengan ucapan itu?” tanya Wira Bumi. Dia menatap tajam-tajam ke wajah sang Kiai yang sebagian tertutup rambut panjang putih menjulai.
“Aku memberitahu perempuan yang dicari tidak ada lagi di tempat ini.”
Wira Bumi memandang seputar telaga, memperhatikan sawung lalu kembali berpaling pada orang tua di depannya.
Pejabat tinggi Kerajaan ini mulai merasa gusar. “Kiai, aku menaruh curiga kau berdusta padaku.”
“Kedustaan adalah permainan setan. Aku tidak suka dengan setan. Berarti aku tidak berdusta. Nyi Retno Mantili pergi hanya beberapa saat sebelum Yang Mulia dan para pengiring muncul di tempat ini.”
“Dia pergi dengan siapa? Sendirian?”
“Dia pergi bersama Kemuning,” jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Kemuning? Siapa Kemuning?” tanya Wira Bumi dengan muka berubah dan dada bergetar.
“Puterinya yang berumur satu tahun…”
Perubahan dan bahkan rasa terkejut kelihatan tambah jelas pada wajah Wira Bumi.
“Yang Mulia Bendahara, kau tak usah terkejut. Anak satu tahun bernama Kemuning itu hanyalah sebuah boneka kayu yang manis, tapi sangat disayang oleh Nyi Retno seperti anak sungguhan.”
“Kiai, aku merasa kau tengah mempermainkan diriku. Nyi Retno Mantili mempunyai seorang anak perempuan, manusia hidup, bukan boneka kayu!” kata Wira Bumi.
Rahangnya menggembung. Pelipis bergerak-gerak. “Kiai, harap kau mau menceritakan bagaimana Nyi Retno bisa berada di tempat ini.
Dengan tenang dan sambil tersenyum Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata. “Kau bisa muncul di tempat ini, tentu ada yang memberi petunjuk. Apakah masih perlu aku memberi keterangan? Bukankah makhluk roh sesat bernama Nyai Tumbal Jiwo itu yang telah memberi tahu pada Yang Mulia Bendahara?”
Tampang Wira Bumi tampak menjadi merah. Sekali lagi dia memandang ke arah keliling telaga dan sawung.
Kemudian berpaling pada lima pengawal dan memberi perintah. “Periksa sekeliling telaga. Termasuk sawung itu.
Selidiki kalau ada jalan atau tempat rahasia. Jika kalian tidak menemukan apa-apa bakar sawung itu!”
Dua alis Kiai Gede Tapa Pamungkas naik ke atas. Orang tua ini hanya tersenyum mendengar perintah yang diucapkan Wira Bumi. Dia tidak mengatakan sesuatu atau berusaha mencegah. Tenang saja dia memperhatikan lima pengawal sang pejabat tinggi Kerajaan memeriksa kawasan telaga. Orang tua ini masih tetap tak bergerak di tempatnya ketika para pengawal mulai membakar sawung.
Dalam waktu singkat bangunan di tepi telaga yang terbuat dari kayu yang telah lapuk itu lumat tak berbentuk lagi.
“Kasihan, bangunan tempat aku bersembahyang dan memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa kini telah menjadi debu.” Ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas cukup keras dan terdengar oleh Wira Bumi.
Bendahara Kerajaan ini melangkah ke hadapan si orang tua. “Kiai, katakan di mana kau menyembunyikan Nyi Retno dan puterinya!”
“Agaknya Yang Mulia Bendahara tadi kurang mendengar dan memperhatikan. Bukankah aku sudah menerangkan bahwa Nyi Retno Mantili meninggalkan tempat ini bersama puterinya yang boneka itu hanya beberapa ketika sebelum Yang Mulia datang ke tempat ini.”
“Aku tidak perlu keterangan tentang boneka jahanam itu! Aku menanyakan Nyi Retno Mantili dan anak perempuannya!” teriak Wira Bumi.
“Yang Mulia, aku sudah memberi keterangan yang aku tahu. Jangan keliwat memaksa karena aku tidak berdusta…”
“Cukup!” hardik Wira Bumi. Dia berpaling pada lima orang pengawalnya. “Pengawal! Tangkap orang tua ini! Kalau melawan bunuh!”
“Aahh…” Sang Kiai rangkapkan dua tangan di depan dada. “Seorang pejabat tinggi Kerajaan, yang punya kekuasaan, begitu mudahnyakah menyuruh menangkap bahkan membunuh orang tua sepertiku?”
Walau ucapannya menyindir namun wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas dihiasi senyum.
Lima pengawal yang rata-rata bertubuh tinggi besar segera mengepung Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sang Kiai menyambut dengan ucapan, “Aku tahu kalian hanya menjalankan perintah. Karena itu aku tidak akan berlaku kasar.” Habis berkata begitu sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas melesat ke atas hingga orang-orang yang hendak meringkusnya hanya menangkap udara kosong.
Kelima pengawal ini, termasuk Wira Bumi melihat bagaimana tubuh orang tua sakti itu melayang di udara, turun di telaga dan berjalan di permukaan air!
“Tua bangka sombong! Kau kira aku takut dengan peragaan ilmu kesaktianmu itu!” Kata Wira Bumi. Sekali melesat tahu-tahu dia telah berada dan berdiri pula di atas air telaga, menghadang langkah Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Seperti telah diketahui, setelah bersemedi di Goa Girijati untuk mendapatkan ilmu kesaktian dari Nyai Tumbal Jiwo, salah satu ilmu yang diperoleh Wira Bumi adalah ilmu berdiri dan berjalan di atas air yang disebut Kaki Roh Melanglang Air. Kalau ilmu ini dipergunakan untuk berlari, maka kecepatan larinya di atas rata-rata ilmu lari lain yang ada di rimba persilatan ataupun ilmu lari yang disebut Seribu Kaki Menipu Jarak milik seorang sakti berjuluk Si Katai Bisu dan telah lama menemui kematian. (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Rahasia Lukisan Telanjang” ).
Kalau lima pengawal Wira Bumi terkagum-kagum melihat kehebatan pimpinan mereka, tidak demikian halnya dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dengan tenang dan masih penuh hormat dia berkata, “Yang Mulia, tak sengaja kau berdiri tepat di tengah telaga. Tempat itu adalah alur jalanku masuk menuju kediamanku di dalam telaga. Aku mohon kau beranjak dari situ.”
Wira Bumi tertawa. “Kau takut menabrakku, Kiai? Aku tak akan menyingkir dari tempat ini sebelum kau memberi tahu di mana Nyi Retno Mantili dan puterinya kau sembunyikan. Selain itu ada satu persoalan yang harus kau pertanggungjawabkan. Kau telah berlaku kurang ajar terhadap guruku. Kau telah berani meraba aurat terlarangnya!”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum lalu gelenggeleng kepala. “Kalau di darat aku bicara kau tak percaya, mari kita bicara di dalam air. Udara di atas sini agak panas.
Di dalam air suasananya penuh kesejukan,” kata Kiai penghuni telaga di puncak timur Gunung Gede itu.
Wira Bumi sembunyikan rasa terkejutnya mendengar ucapan sang Kiai. Tantangan orang tua itu tak mungkin dilayaninya. Walau dia mampu berdiri dan berjalan di atas air, tapi masuk ke dalam air untuk bicara berlama-lama dia tidak mempunyai ilmu kepandaian karena memang tidak dimiliki dan tidak diajari oleh Nyai Tumbal Jiwo. Karenanya, ketika dua kaki Kiai Gede Tapa Pamungkas meliuk masuk ke dalam air telaga, dengan cepat Wira Bumi melesat di permukaan air. Kaki sebelah kanan menendang ke arah dada si orang tua.
Tendangan kaki Wira Bumi datangnya lebih cepat dari gerak meluncur tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas ke dalam air. Wira Bumi menyeringai karena sesaat lagi tendangannya pasti akan menghancur remuk bahkan bisa membunuh Sang Kiai. Namun dengan tenang lawan dilihatnya angkat tangan kiri. Telapak dikembang ke arah datangnya tendangan. Saat itu juga Wira Bumi merasa ada satu kekuatan dengan daya dorong luar biasa menghan tam ke arah kaki kanannya yang menendang. Bendahara Kerajaan ini berteriak keras ketika merasa kaki kanannya seolah kaku, tak bisa digerakkan lagi! Cepat dia kerahkan hawa sakti. Begitu kepala sang Kiai hampir lenyap dari permukaan air telaga, Wira Bumi menghantam dengan satu tendangan lagi, kali ini dengan kaki kiri.
Serangan Wira Bumi kalah cepat dengan gerakan masuknya sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas ke dalam air.
Tiba-tiba Bendahara Kerajaan ini merasa ada tangan yang mencekal pergelangan kaki kirinya. Sebelum dia bisa membebaskan diri tahu-tahu kakinya dibetot keras sekali.
Tak ampun pejabat tinggi ini amblas masuk ke dalam telaga!
Di dalam air, Wira Bumi berusaha lepaskan kakinya dari cekalan Kiai Gede Tapa Pamungkas sambil tangan kanan melepaskan pukulan sakti bernama Angin Roh Pengantar Kematian. Ilmu ini adalah salah satu dari sekian banyak yang didapat Wira Bumi dari Nyai Tumbal Jiwo. Air telaga menggemuruh seolah ada benda raksasa menggelinding dan berubah panas.
Di bagian bawah air telaga bersibak hebat. Di sebelah atas air muncrat sampai setinggi dua tombak. Untuk beberapa saat telaga dan kawasan seanteronya bergetar seperti digoyang gempa.
“Luar biasa,” ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas dalam hati. “Manusia satu ini telah menguasai ilmu kesaktian perempuan alam roh itu cepat sekali.” Sang Kiai segera dorongkan tangan kanan ke atas sementara tangan kiri masih mencekal pergelangan kaki Wira Bumi. Bendahara Kerajaan ini terkejut besar ketika suara menggelinding membalik ke arahnya. Tubuhnya serta-merta menjadi panas. Selain itu nafasnya mulai megap-megap karena memang dia tidak punya kekuatan atau ilmu bertahan lama dalam air. Tekanan udara panas yang begitu kuat membuat perlahan-lahan darah mulai mengucur dari telinga dan hidung. Pemandangan mata mulai menggelap dan air mulai masuk ke dalam mulut.
“Wira Bumi, ini satu peringatan bagimu. Jika kau masih berani unjukkan diri di kawasan ini atau berani mencelakai Nyi Retno Mantili, aku akan membuat dirimu masuk liang kubur bersatu dengan gurumu Nyai Tumbal Jiwo! Sekarang pergilah!”
Wira Bumi mendengar suara mengiang di telinganya.
Cekalan pada pergelangan kaki kiri lepas. Tubuhnya melesat ke atas permukaan air telaga. Begitulah keadaannya. Kekuatan roh yang sangat ganas dan dahsyat di permukaan bumi pada umumnya tidak punya daya di dalam air.
Setelah keluarkan ancaman Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tak punya niat memperpanjang urusan apalagi niat jahat untuk membunuh segera melepaskan cekalannya di kaki orang. Sosok Wira Bumi yang berada dalam keadaan pingsan naik mengapung ke atas.
Lima orang pengawal berseru kaget ketika tadi melihat sosok atasan mereka lenyap masuk ke dalam air. Tiga di antara mereka yang pandai berenang siap terjun ke dalam telaga. Namun niat itu menjadi batal sewaktu menyaksikan munculnya sosok Wira Bumi yang kemudian mengapung di permukaan air. Sebagian muka dan kepalanya tertutup darah. Tiga pegawal segera mencebur masuk ke dalam air lalu berenang membawa tubuh Wira Bumi yang berada dalam keadaan pingsan di tepi telaga.

8

ATAP tangis menyayat hati yang keluar dari rumah kayu berdinding kajang di pinggir ladang membuat seseorang yang tengah berkelebat laksana terbang hentikan lari. Saat itu hujan turun rintik-rintik. Orang ini tegak membelakangi serumpun pohon bambu, mengena kan baju menyerupai kebaya panjang selutut dan celana ringkas. Baik baju maupun celana sama terbuat dari bahan bagus dan berwarna biru gelap. Sesaat orang ini mendongak ke langit lalu menatap ke arah pintu rumah kayu yang terpentang. Rambut panjang hitam kusut masai menjela sepinggang. Ratapan itu, ada dua orang yang meratap. Dia bisa merasakan. Ada satu malapetaka besar menimpa penghuni rumah kayu.
Sang surya belum lama tenggelam. Udara yang buruk membuat kegelapan yang datang lebih cepat menyelimuti kawasan desa pertanian di mana rumah kayu itu berada.
Memperhatikan ke arah rumah kayu, melihat pintu yang terpentang lebar, orang berpakaian biru segera mendatangi. Langkahnya langsung terhenti ketika dia sampai di ambang pintu rumah.
Seorang gadis kecil berusia sekitar delapan tahun tenggelam dalam pelukan seorang perempuan separuh baya yang menangis menggerung-gerung. Anak perempuan ini nyaris tidak berpakaian dan ada noda darah di kepala, bahu serta perutnya. Sekali memperhatikan saja orang berpakaian serba biru di ambang pintu sudah maklum kalau anak perempuan itu tidak bernyawa lagi.
Di atas sebuah ranjang kayu beralas tikar, terbujur seorang gadis. Lehernya ke bawah tertutup sehelai kain.
Hanya wajahnya yang tersembul kelihatan. Wajah ini penuh tanda siksaan, luka dan noda darah. Seorang lelaki berambut putih memeluki dan meratapi si gadis yang seperti gadis kecil satunya, sudah menjadi mayat.
Jerit tangis suami istri petani di dalam rumah kayu membuat tetangga terdekat datang berlarian. Namun mereka tidak bisa masuk ke dalam rumah karena di pintu terhalang oleh sosok orang berpakaian biru bagus yang ternyata adalah seorang nenek bermuka putih pucat dan tidak satu orangpun mengenal siapa dia adanya.
“Bu-ne Pipit, apa yang terjadi?” seorang tetangga perempuan bertanya sambil ulurkan kepala coba melihat ke dalam rumah.
Perempuan yang ditanya tidak menjawab, terus saja meratapi anak perempuan delapan tahun yang ada dalam pelukannya.
“Suami istri petani, ada kejadian apa di rumah ini?”
Nenek berpakaian biru bagus keluarkan ucapan, ajukan pertanyaan. Suaranya perlahan tapi jelas.
Suami istri petani Kartosumekto kenal baik dengan semua tetangga. Saking dekatnya mereka sampai tahu dan mengenali suara masing-masing. Kali ini mendengar suara orang yang mereka tidak kenal, istri petani angkat wajahnya sedikit, menatap ke arah nenek di ambang pintu lalu menangis kembali. Sang suami, lelaki berambut putih juga angkat kepala, memandang ke arah si nenek. Agak lama dia memandangi sebelum membuka mulut, berucap dengan suara lirih.
“Nenek muka putih, aku tidak kenal kau. Kau bukan penduduk sini. Siapa…?”
“Aku seorang pengelana Hamba Tuhan yang kebetulan lewat di sini. Aku mendengar suara orang meratap. Siapa tahu aku bisa menolong…”
Mendengar ucapan nenek tak dikenal di ambang pintu, suami istri petani menggerung keras. Dalam musibah yang sudah jatuh menimpa apa artinya lagi pertolongan?
Pertolongan macam apapun tidak akan membuat kedua anak gadis yang mereka cintai bisa hidup kembali.
“Tidak mungkin. Semua sudah terjadi. Dua anakku sudah jadi korban!” Kartosumekto berkata setengah berteriak lalu kembali menggerung.
“Tenang, sabarkan hatimu, kuatkan iman. Tawakal kepada Tuhan…”
“Kami petani miskin. Selama ini tidak pernah lupa Tuhan! Tapi mengapa Gusti Allah menjatuhkan percobaan begini berat, yang kami tidak bisa menanggungnya. Apa dosa kesalahan kami?!”
Nenek berpakaian biru berambut awut-awutan tampak terdiam mendengar ratapan si petani. Wajahnya yang putih pucat seperti membeku. “Bapak, tolong ceritakan apa yang terjadi dengan dua anakmu.”
“Mereka diperkosa lalu dibunuh!”
Kepala si nenek terangkat, wajah kaku membesi. Penduduk yang ada di depan rumah tampak kaget dan takut.
“Kau tahu siapa pelakunya?” perempuan tua di ambang pintu ajukan pertanyaan.
“Siapa lagi kalau bukan makhluk bernama Hantu Pemerkosa!”
Semua tetangga yang berada di tempat itu menjadi geger. Wajah mereka tambah menunjukkan rasa takut amat sangat. Terlebih mereka yang punya anak gadis. Satu per satu mereka tinggalkan tempat itu, kembali ke rumah masing-masing.
“Hantu Pemerkosa…” Nenek berpakaian biru mengulang dalam hati. “Ini kali kedua aku mendengar nama itu. Apa benar ada hantu yang bisa memperkosa?”
“Bapak,” si nenek dekati tempat tidur, “Kau melihat perwujudan Hantu Pemerkosa itu?”
Si petani menggeleng. “Ketika aku kembali ke rumah malam ini, dua anak perempuanku sudah tewas. Sebelumnya sudah ada seorang gadis di desa ini yang juga diperkosa dan dibunuh.”
“Kalau makhluk itu dijuluki Hantu Pemerkosa pasti ujudnya mengerikan. Pasti ada yang pernah melihat wajahnya. Aku harus menyelidik sebelum dia lari jauh.”
Kata nenek baju biru muka putih dalam hati.
“Bapak, aku turut berduka atas musibah yang kau alami. Sedikit pemberian ini mungkin bisa membantu meringankan bebanmu.” Si nenek lalu letakkan sekeping uang perak di atas ranjang.
“Nenek, kau… kau ini siapa?” tanya Kartosumekto.
Namun perempuan tua berpakaian bagus biru itu telah berkelebat lenyap. Di luar rumah hujan rintik-rintik mulai berubah menjadi lebat.
***
Pagi itu udara segar dan cerah sekali. Langit nyaris tak berawan. Bahkan sang surya terasa nyaman menyentuh permukaan kulit. Setan Ngompol berjalan mengikuti Wiro sambil mengomel.
“Hampir seratus hari kita malang-melintang kian kemari mencari gadis berambut pirang itu. Jauh-jauh berada di sini sekarang kau ingin kita kembali ke jurang yang ada air terjunnya itu. Mengapa? Bukankah kau sudah menyelidik sampai ke dasar jurang dan kau tidak menemukan manusia atau setan sekalipun di tempat itu.”
“Kek, aku punya perasaan aneh.” jawab Pendekar 212.
“Walau aku sudah masuk ke dasar jurang, menyelidik dengan mempergunakan ilmu Meraga Sukma segala, aku memang tidak menemukan gadis yang kita cari. Namun…”
“Namun apa?” ujar Setan Ngompol dengan mulut dimonyongkan. “Apa kau tidak melihat kemungkinan.
Keterangan serta tanda-tanda yang diberikan Wulan Srindi pada kita mengenai Bidadari Angin Timur bisa saja berlainan dengan kejadian sebenarnya. Melihat bagaimana kecintaannya padamu, keinginannya menjadi murid Dewa Tuak serta perseteruan diam-diam antara dia dan Bidadari Angin Timur, bisa saja Wulan Srindi mengarang cerita.
Siapa tahu Bidadari Angin Timur memang tidak berada di dalam jurang yang ada air terjunnya itu. Dia sengaja membuat cerita untuk menarik perhatianmu. Agar dia bisa dekat denganmu.”
Wiro jadi garuk-garuk kepala mendengar kata-kata si kakek.
“Dengar anak sableng,” Setan Ngompol lanjutkan ucapan. “Aku tidak mau ikut kamu jauh-jauh pergi ke jurang itu kembali.”
“Kalau begitu kita berpisah di sini,” kata Wiro pula yang membuat kakek tukang ngompol itu terdiam sambil pegangi perut menahan kencing.
Melihat orang bimbang Wiro tersenyum. “Sebenarnya kalau ada Ratu Duyung kita bisa meminta bantuannya.”
“Bantuan bagaimana?” tanya Setan Ngompol pula.
“Ilmu Menembus Pandang yang diberikannya padaku, ilmu Meraga Sukma yang aku dapat dari Nyi Roro Manggut tidak mampu menjajagi di mana beradanya Bidadari Angin Timur. Ratu Duyung masih punya dua ilmu lagi yang bisa digunakan untuk mengetahui ada tidaknya orang atau makhluk hidup di dalam jurang itu. Ilmu pertama yakni mengandalkan cermin sakti bulat yang kau sudah pernah melihatnya. Jika dengan cermin sakti itu masih tidak bisa tembus, maka dengan ilmu kedua bernama Menyirap Detak Jantung pasti dia bisa mengetahui ada tidaknya makhluk hidup di dalam jurang.”
“Gadis cantik bermata biru itu…” ucap Setan Ngompol.
“Budinya tinggi, hatinya baik. Aku ingat bagaimana dia pernah memberikan ilmu padaku untuk bisa bertahan lama di dalam air.” Tiba-tiba si kakek hentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya Wiro.
“Kita berdua sudah jadi orang tolol! Kalau memang hanya Ratu Duyung yang mampu membantu, mengapa kita tidak pergi mencarinya di pantai selatan?”
“Hal itu memang ada dalam benakku. Tapi kejadian dia pergi begitu saja dengan berkata dusta padamu bahwa penguasa pantai selatan meminta dia datang, terus terang aku jadi tidak enak hati. Dia punya ganjalan tertentu terhadapku.”
“Di dalam kesulitan begini rupa segala perasaan hati dan ganjalan tidak perlu dipikirkan. Bukankah gurumu Sinto Gendeng pernah mengajarkan ujar-ujar jangan perasaan mengacaukan pikiran? Kau tidak mau minta bantuan gadis alam roh bernama Bunga. Kau tidak suka minta pertolongan Ratu Duyung. Sementara kau tidak mampu melakukan semuanya seorang diri.”
“Pintarnya kau ngomong!” tukas Wiro. “Apakah kau sendiri pernah mengatur jalan pikiran dan perasaanmu? Kalau memang bisa mengapa kau ngompol terusterusan?!”
Setan Ngompol tertawa mengekeh hingga kucurkan air kencing. “Apa hubungan antara pikiran, perasaan dan ngompol! Kalau aku ngompol itu suka-sukaku sendiri.”
Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Pada saat itulah mendadak ada suara orang bernyanyi, suara perempuan.
Kemuning jangan cengeng
Anak kecil jangan menangis
Aku tahu kau haus dan lapar
Sabar jangan menangis
Sebentar lagi pasti ada air
Sebentar lagi pasti ada makanan
Ibu tahu kau rindu pada kakekmu
Ibu tahu kau kangen pada ayahmu
Kemuning sabar jangan menangis
Ayahmu memang jauh
Namun satu saat kita pasti bertemu
Setan Ngompol dan Pendekar 212 Wiro Sableng saling pandang. Si kakek tekap bagian bawah perutnya. Memandang berkeliling dia berkata. “Setahuku kawasan ini tidak ada demit atau jin pelayangan…”
“Jin atau demit mana pandai bernyanyi,” kata Wiro.
“Kalau memang manusia kita belum melihat orangnya.
Suaranya seperti masih anak-anak. Jangan-jangan tuyul perempuan. Aduh aku jadi kepingin kencing!” kata Setan Ngompol sambil cepat-cepat pegangi bagian bawah perutnya. Serr! Kencingnya keburu muncrat!
“Datangnya dari balik pohon besar yang menghadap ke lembah sana,” ucap Wiro. “Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan. Jangan mengganggu orang. Kalau jin dan demit betulan mati kau dicekiknya, Kek!”
“Tunggu, aku penasaran mau lihat bagaimana raut wajahnya, bagaimana sosok dirinya,” kata Setan Ngompol pula. “Ayo kita jalan berputar agar bisa melihat dari samping kanan.”
Wiro terpaksa mengikuti maunya si kakek. Dari balik serumpun semak belukar lebat di samping kanan pohon besar, Setan Ngompol dan Wiro melihat seorang perempuan duduk sambil memangku sebuah boneka. Sementara menyanyi dia usap-usap kepala boneka seperti mengusap anak sungguhan. Perempuan ini begitu mudanya hingga seperti masih anak gadis belasan tahun.
“Wiro,” bisik Setan Ngompol. “Melihat rambut yang awut-awutan kotor tak karuan, baju dekil begitu rupa, wajah penuh debu, kaki tidak berkasut, menyanyi memangku boneka, menurutmu apakah perempuan muda itu waras otaknya?”
“Aku tidak bisa menduga. Kasihan sekali kalau semuda itu otaknya terganggu,” jawab Wiro.
“Wiro! Astaga. Lihat dia membuka bajunya. Dia mendekatkan kepala boneka kayu ke dada. Seperti ibu mau menyusui anak. Oala putihnya…” Habis keluarkan ucapan, serrr! Tidak tahan Setan Ngompol kucurkan air kencing.
Suara Setan Ngompol yang memang agak keras sempat terdengar oleh perempuan muda di bawah pohon yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili.
“Ssshhh, anakku, ada orang,” ucapnya dan cepat-cepat merapatkan baju di sebelah dada lalu bangkit berdiri.
Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba satu sosok hitam tinggi besar mengerikan berkelebat dan tegak di hadapannya. Nyi Retno Mantili terpekik, kaget dan takut namun kemudian tertawa cekikikan.
Di balik semak belukar, Wiro Sableng dalam kejutnya menatap terkesima tak berkesip. Setan Ngompol terkencing-kencing. Tangan kiri menekap aurat sebelah bawah, tangan kanan pegangi lengan Wiro.

9

ORANG tinggi besar yang berdiri di depan Nyi Retno Mantili memiliki wajah mengerikan seperti setan karena penuh cacat bekas guratan luka. Rambut kelabu awut-awutan panjang sepundak. Pakaian sebentuk jubah panjang berwarna kelabu. Dua tangan memakai sarung kain berwarna hitam. Sekujur tubuh orang ini tampak bergetar, sepasang mata memandang berkilat, hembusan nafas memburu panas. Ada gelegak niat jahat terkutuk menguasai dirinya yang saat itu ingin dilampiaskan.
“Kemuning, jangan menangis. Aku tahu kau takut pada setan di depanmu. Aneh siang terang begini rupa ada setan kesasar.” Nyi Retno usap-usap dada boneka kayu lalu meneruskan gerakannya hendak berdiri yang tadi tertahan. Namun si muka setan ulurkan tangan menekan bahu kiri Nyi Retno Mantili.
“Anakku, setan ini rupanya hendak berbuat jahat pada kita.” kata Nyi Retno lalu tertawa cekikikan. Sekali dia goyangkan bahu, tangan kiri yang ada di pundaknya terpental ke atas. Orang di hadapan Nyi Retno tersurut satu langkah, dalam hati merasa terkejut. Sentakan yang dibuat perempuan berotak tidak waras itu mengandung tenaga dalam cukup tinggi.
Ketika orang mundur satu langkah, kesempatan ini dipergunakan Nyi Retno Mantili untuk segera berdiri. Dia tegak dengan tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri memegang boneka kayu, diarahkan pada orang di depannya. Seolah boneka itu adalah senjata atau tameng pelindungnya.
“Kelihatan seperti gila, tapi berbahaya. Di balik debu yang mengotori mukanya ada satu wajah cantik. Hmmm… ada satu kenikmatan aneh luar biasa kalau aku bisa melampiaskan nafsuku yang terpendam selama ini!
Dengan yang sudah-sudah aku tidak mampu. Melihat yang satu ini hasratku menyala luar biasa. Siapa bilang aku kehilangan kejantanan! Kesembuhan telah datang atas diriku.” Sekujur tubuh orang ini kembali bergetar keras.
Hembusan nafasnya semakin kencang dan panas.
“Nama anakmu Kemuning? Nama bagus. Aku terharu mendengar nyanyianmu tadi. Bolehkah aku menggendong anakmu barang sebentar?”
Nyi Retno Mantili tertawa geli. “Ada setan punya perasaan. Mau menggendong anakku. Hik… hik… hik!
Siapa tahu kau setan penculik!” Lalu perempuan ini membentak. “Pergi, jangan berani mendekat!”
Orang bermuka seram malah melangkah mendekati dan ulurkan tangan. Gerakannya seperti hendak mengambil boneka kayu namun tiba-tiba plaakk! Tangannya yang terulur daratkan satu tamparan keras ke pipi Nyi Retno. Perempuan ini terpekik. Tubuhnya melintir lalu terbanting, jatuh terlentang di tanah. Darah mengucur di sudut bibir. Boneka kayu masih ada dalam genggaman tangan kiri. Walau sakit yang diderita bukan alang kepalang namun Nyi Retno malah sunggingkan senyum. Getaran di tubuh orang bertopeng semakin menjadi-jadi.
Dalam pada itu dia merasa heran. Orang lain pasti cidera berat dan pingsan dihajar tamparannya. Namun perempuan tidak waras bertubuh kecil ini ternyata mempunyai daya tahan kuat sekali. Tiba-tiba orang ini menyergap kembali. Tangannya bergerak. Breett! Nyi Retno tak sempat menghindar. Dada pakaiannya robek besar. Auratnya tersingkap. Perempuan ini menjerit keras.
Di balik semak belukar Wiro pegang bahu Setan Ngompol. “Kita tidak bisa tinggal diam. Makhluk jahanam itu jelas hendak memperkosa perempuan gila yang memegang boneka!”
Setan Ngompol yang sibuk pegangi bagian bawah perut sebaliknya berkata. “Tunggu, aku punya firasat jahanam itu tidak bakal mampu melaksanakan niat jahatnya. Selain itu aku melihat ada orang sembunyi di balik pohon besar sana. Kita jangan keluar dulu…”
Orang berwajah setan kembali ulurkan tangan. Kali ini yang diincar adalah pakaian sebelah bawah Nyi Retno.
Rahang menggembung, geraham bergemeletakan. Saat itulah tiba-tiba tubuh Nyi Retno mencelat ke atas dan di lain kejap sungguh luar biasa, dia sudah berdiri di salah satu cabang pohon besar di bawah mana dia duduk sebelumnya.
Kalau Wiro dan Setan Ngompol sama-sama terkesiap melihat kejadian tak terduga itu, lain halnya dengan orang bermuka setan. Nafsu bejat yang menguasai dirinya membuat dia tidak lagi membaca keadaan dan menilai kemampuan orang. Sekali jejakkan kaki ke tanah tubuhnya melesat sebat ke atas pohon. Di atas cabang pohon, Nyi Retno Mantili berseru.
“Kemuning anakku! Ada orang jahat hendak mencelakai ibumu! Apakah kau akan berdiam diri saja?!” Habis berkata begitu Nyi Retno pencet pinggang boneka kayu yang dipegangnya di tangan kiri. Kejap itu juga dari dua mata boneka kayu melesat keluar dua larik cahaya putih. Cepat sekali cahaya ini menyambar ke arah dada orang di bawah pohon. Sesaat lagi akan mencapai sasaran tiba-tiba dua cahaya lenyap. Orang yang diserang tersentak kaget dan ragu bertindak.
Bukkk! Bukkk!
Cahaya yang lenyap ternyata telah berubah menjadi dua pukulan dahsyat menghantam dada orang dengan telak. Inilah ilmu pukulan yang disebut Sepasang Cahaya Batu Kumala yang didapat Nyi Retno dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tak ampun lagi, didahului satu jeritan keras tubuh orang yang tengah melayang ke atas pohon ini terpental ke bawah. Mulut semburkan darah segar. Tubuh jatuh bergedebuk, tertelungkup di tanah.
“Luar biasa!” ucap Wiro.
Setan Ngompol menimpali. “Seumur hidup baru kali ini aku melihat ilmu kesaktian berbentuk cahaya yang berubah menjadi gebukan. Siapa yang bisa menduga!
Astaga! Wiro! Lihat! Perempuan di atas pohon lenyap!”
Murid Sinto Gendeng memandang ke arah cabang pohon. Memang benar, perempuan tidak waras yang memegang boneka tak ada lagi di cabang pohon. Yang kelihatan di sana hanya kabut putih samar-samar. Untuk melenyapkan diri meninggalkan tempat itu dan tidak mungkin dikejar siapapun, Nyi Retno Mantili pergunakan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri yang juga dipelajarinya dari Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak timur.
Tertelungkup di tanah perlahan-lahan si muka setan berambut kelabu bergerak bangun. Tangan kiri bersarung tangan hitam menyeka noda darah di dagu.
“Perempuan edan! Kulumat tubuhmu!” teriaknya marah sekali. Lalu dia melesat ke udara, berjungkir balik satu kali dan akhirnya tegak berdiri di tanah. Tangan kanan diarahkan ke cabang pohon di mana Nyi Retno Mantili tadi berada. Jelas dia hendak melepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun gerakannya tertahan karena orang yang hendak dihantam tak ada lagi di atas pohon sana.
“Perempuan keparat! Lari ke mana kau?!” teriak orang bertopeng sambil memandang berkeliling siap menghantam sekaligus juga ada rasa khawatir kalau dirinya akan dibokong.
“Kau yang keparat!” Satu suara membentak. Suara perempuan.
“Wiro lihat!” ucap Setan Ngompol yang berada bersama Pendekar 212 di balik serumpunan lebat semak belukar.
Dia menunjuk ke cabang pohon di mana Nyi Retno Mantili sebelumnya berada.
Saat itu di atas cabang pohon berdiri seorang nenek berwajah putih angker, berambut hitam sepinggang, berpakaian serba biru. Pandangan matanya menyorot ke arah orang bermuka cacat penuh guratan luka, dua tangan dirangkap di atas dada.
“Perempuan kecil yang memegang boneka tadi telah berubah menjadi seorang nenek angker!” kata Setan Ngompol sementara Pendekar 212 garuk-garuk kepala tapi memperhatikan dengan mata tidak berkesip.
“Kalau memang dia berubah, seharusnya masih memegang boneka. Nenek di atas pohon tidak memegang boneka…” Ucap Wiro kemudian.
“Mungkin sudah dimasukkan dalam saku pakaian, atau disimpan di mana,” jawab Setan Ngompol.
Di atas cabang pohon nenek muka putih tiba-tiba tudingkan telunjuk tangan kiri ke arah si muka setan.
“Kau!” teriaknya. Suara nyaring menggeledek. “Kemarin petang kau berada di desa Kaligesing. Memperkosa seorang gadis kecil serta kakaknya lalu membunuh keduanya! Sebelumnya kau juga telah melakukan perbuatan keji serupa atas diri perempuan di beberapa desa.
Hantu Pemerkosa! Akui perbuatanmu dan aku akan memberikan kematian sedikit lebih nyaman bagimu!”
Mendongak ke atas pohon mula-mula orang yang dituding kelihatan terperangah heran. Namun kemudian dia keluarkan suara tawa bergelak. “Tua bangka di atas pohon! Lagakmu seperti malaikat yang serba tahu apa yang telah aku lakukan! Kau menyebutku Hantu Pemerkosa. Sungguh satu kehormatan besar! Kalau saja kau berusia muda, walau jelek aku masih mau menidurimu! Ha… ha… ha!” Habis tertawa gelak-gelak si muka setan membentak. “Nenek muka putih! Apakah kau jejadian dari perempuan yang tadi membawa boneka?!”
Perempuan tua di atas pohon dongakkan kepala. “Aku bicara lain, kau bicara lain! Aku sudah memberi kesempatan. Sayang kau menyia-nyiakan. Kematian memang harus merupakan akhir mengenaskan bagi manusia bejat sepertimu!”
Dari mulut si nenek kemudian keluar suara raungan keras dan panjang seperti suara lolongan serigala di rimba belantara. Walau saat itu pagi hari dan matahari bersinar terang tak urung Wiro dan Setan Ngompol merasa merinding juga. Sebaliknya si muka setan angkat tangan kanan lalu dipukulkan ke atas pohon. Tiga larik sinar menderu ganas.
Tiga cahaya berkiblat. Di atas pohon suara raungan si nenek lenyap. Tangan kiri dipentang, telapak mengembang diarahkan ke bawah pohon. Tangan kanan bergerak menyingkapkan baju biru di bagian perut. Kelihatan perut putih disertai pusar yang menonjol bodong. Serentak dengan itu lima jari tangan kiri membuat gerakan meremas. Sesaat kemudian selarik sinar biru gelap melesat keluar dari pusar bodong itu, menghantam ke arah tiga larik cahaya pukulan sakti yang dilepaskan orang di bawah pohon.
Bumm! Buumm! Buumm!
Tiga dentuman dahsyat menggelegar. Pohon besar berderak-derak. Tanah bergetar. Di udara lidah api berpercikan. Tiga larik sinar pukulan sakti musnah. Si muka setan menjerit keras. Tubuh terpental dan jatuh punggung terbanting ke tanah. Lengan kirinya putus kena disambar sinar biru yang keluar dari pusar bodong si nenek muka putih di atas pohon.
Sekali lagi perempuan tua itu pentang tangan kirinya.
Ketika dia kembali hendak menyibakkan baju biru di bagian perut tiba-tiba ada suara mengiang masuk ke dalam telinga kirinya.
“Nyi Bodong, di mana kau. Lekas kembali!”
Gerakan nenek muka putih tertahan. “Kiai, saya tengah melakukan satu kebajikan. Menghabisi seorang pemerkosa…”
“Nyi Bodong, perbuatanmu sangat terpuji. Namun aku sudah mengingatkan. Jangan keluar ke mana-mana sebelum kau merampungkan ilmu yang akan aku wariskan!”
“Kiai, aku sudah membuktikan sendiri. Walau belum rampung tapi aku sanggup menghajar si pemerkosa itu…”
“Nyi Bodong, jangan nakal. Turut apa kataku! Lekas kembali! Aku khawatir ada orang mengikuti. Aku merasakan selain kau dan si pemerkosa ada dua orang lain bersembunyi di tempat itu. Mereka mungkin orang baik, tapi bisa juga punya maksud jahat…”
“Dengan ilmu Pusar Pusara yang Kiai berikan, saya tidak takut menghadapi siapapun.”
“Nyi Bodong, dalam rimba persilatan, takabur adalah langkah pertama dari kekalahan. Ingat hal itu baik-baik. Sekarang cepat laksanakan perintah. Bertindak selalu hatihati, penuh waspada. Kalau sampai ada orang yang tahu di mana kau berada semua urusan bisa jadi tak karuan.
Lekas kembali!” suara mengiang kembali memberi perintah pada nenek muka putih yang dipanggil dengan sebutan Nyi Bodong.
“Kiai, saya mohon maafmu. Bukan niat saya untuk berlaku takabur. Saya hanya merasa bangga mendapat kepercayaan Kiai hingga diwarisi ilmu kesaktian. Saya segera kembali.” Nenek muka putih memandang ke bawah pohon.
“Hantu Pemerkosa! Sayang aku ada kepentingan lain.
Kali ini lenganmu yang aku bikin buntung. Lain kali kalau bertemu, batang lehermu yang akan aku tebas!”
Didahului suara tawa cekikikan keras dan panjang nenek di atas pohon melesat lenyap. Di satu tempat ketika dia siap untuk berkelebat ke arah timur, tiba-tiba dua orang muncul di depannya. Si nenek terkesiap kaget. Ingat akan ucapan jarak jauh yang disampaikan sang Kiai. Wajahnya yang putih berubah menjadi merah.
“Dua manusia jelek! Kalian seperti sengaja menghadang. Kalau kalian berani berbuat macam-macam, kalian akan celaka!” Walau jelas membentak pada dua orang yang ada di hadapannya namun si nenek palingkan wajahnya yang merah ke arah lain seolah melecehkan.
Dua orang yang barusan muncul yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dan Setan Ngompol untuk beberapa ketika hanya bisa tertegun melongo.
Sepasang mata si nenek mengerling. Wajahnya yang merah kembali berubah putih. Lalu sekali balikkan diri nenek aneh ini lenyap laksana ditelan bumi.
“Sialan kita dibilang dua manusia jelek!” Setan Ngompol mengumpat. “Kalau bertemu sekali lagi aku yakin bisa merayunya. Akan aku buat dia bertekuk lutut, tergilagila dan memuji aku sebagai kakek ganteng di seantero jagat!”
Wiro tersenyum. “Kek, aku perhatikan gerakannya benar-benar seperti setan. Berkelebat lenyap. Membalik hilang! Apa tadi kau memperhatikan bagaimana muka putih nenek itu berubah merah sewaktu dia melihat kita?”
“Merah berarti jengah. Aih, mungkin saja dia terpesona malu-malu melihat kegantengan diriku!” kata Setan Ngompol lalu tertawa gelak-gelak sambil pegangi bagian bawah perutnya.
“Aku ingin mengejarnya!” kata Wiro. Saat itu seperti ada yang menggerakkan hati sang pendekar.
“Buat apa?!” tanya Setan Ngompol, “Kau tertarik pada pusarnya yang putih bodong? Ha… ha… ha! Jangan membuat aku cemburu! Terus terang kalau bisa dan ada kesempatan aku ingin menghisap pusar itu! Ha… ha… ha!
Pasti sedap dan siapa tahu aku bisa dapat sari ilmunya!
Ha… ha… ha!” Setan Ngompol terpingkal-pingkal dan tentu saja sambil kucurkan air kencing.
“Kek, ikuti aku!” kata Wiro seraya berlari ke tempat di mana orang bermuka setan terkapar dalam keadaan tangan kiri buntung akibat disambar sinar biru yang keluar dari pusar bodong nenek berwajah putih itu.
Namun sosok si muka setan berjubah kelabu tak ada lagi di tempat itu.
“Kabur!” ucap Setan Ngompol.
“Kutungan lengannya juga lenyap. Tadi aku lihat jatuh di sebelah sini.” ujar Wiro. “Aku menaruh curiga…”
“Curiga bagaimana?” tanya Setan Ngompol.
“Ketika orang berjubah kelabu melancarkan serangan ke arah nenek muka putih di atas pohon, pukulan tangan kosongnya melesatkan tiga sinar. Kuning, hitam dan merah. Aku ingat sekali Pangeran Matahari memiliki ilmu pukulan sakti bernama Gerhana Matahari yang memancarkan sinar tiga warna seperti itu. Mungkin…”
“Mungkin saja makhluk seram tadi memang dia,” kata Setan Ngompol. “Tapi suaranya berbeda dengan suara keparat itu. Rambutnya kelabu, lalu wajahnya mengapa bisa cacat mengerikan seperti itu?”
“Ketika rumah kayu di Seratus Tigabelas Lorong Kematian hancur lebur kita tidak menemukan mayat Pangeran Matahari. Aku yakin dia masih hidup. Bangsat secerdik Pangeran Matahari, satu hari dia bisa bertukar sepuluh wajah…”
“Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan? Meneruskan perjalanan ke jurang seperti rencana semula. Atau mengejar manusia muka setan yang disebut Hantu Pemerkosa itu. Atau mencari tahu ke mana kaburnya si nenek yang punya pusar bodong putih berkilat?” Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala.
“Nenek muka putih tadi,” kata Wiro pula. “Menurutmu apakah dia benar berubah bentuk dari perempuan muda yang membawa boneka kayu?”
“Aku punya dugaan begitu,” jawab Setan Ngompol. “Aku lebih suka kita mencarinya daripada kembali ke jurang atau mengejar makhluk muka setan itu.”
Wiro kembali menggaruk kepala. “Jika manusia muka setan berjubah kelabu itu memang Pangeran Matahari, berarti perempuan muda membawa boneka memiliki kepandaian luar biasa. Tidak sembarang orang mampu menghajar sang Pangeran seperti itu. Lalu jika dia memang hendak menghajar Pangeran Matahari mengapa harus berubah ujud menjadi nenek-nenek segala? Perempuan aneh. Ilmunya juga aneh.”
“Nah, kau bingung kan? Juga bingung kita mau menuju ke mana?” Setan Ngompol tertawa. “Sudah ikuti saja aku.”
Lalu kakek ini tarik tangan murid Sinto Gendeng.

10

KITA telusuri dulu apa yang terjadi dengan Wulan Srindi, murid Perguruan Silat Lawu Putih yang telah diperkosa dua orang dari Keraton Kaliningrat yaitu Kuntorando dan Pekik Ireng. Setelah melarikan diri dari Jatilandak yang sebenarnya telah menolongnya, gadis itu lari masuk ke dalam rimba belantara sambil berteriakteriak tiada henti. Peristiwa dahsyat yang menimpa dirinya telah membuat jiwa dan pikiran gadis ini rusak hebat.
Keadaannya tidak beda dengan orang yang terganggu ingatan.
Di satu bagian rimba belantara redup karena ditumbuhi pohon besar berdaun lebat, selagi berlari kencang tanpa arah sambil menjerit tiada henti, tiba-tiba satu tangan panjang aneh seperti belalai gajah menjulai dari atas pohon, menggelung pinggang Wulan Srindi. Saat itu juga suara jeritan si gadis lenyap. Seperti ada yang menarik, tubuh Wulan Srindi melesat ke atas pohon, lalu dibawa berlari dari satu pohon ke pohon lain hingga akhirnya lenyap di antara kelebatan dedaunan. Jatilandak yang berusaha mengejar gadis ini kehilangan arah.
Di atas sebatang pohon, entah dari mana datangnya mendadak muncul seekor ular besar berkulit hijau bermata merah, kepala mendongak, mulut terbuka, meluncur di atas dahan siap mematuk batok kepala Wulan Srindi.
Hanya tinggal dua jengkal kepala ular terpisah dari kepala si gadis sekonyong-konyong ada suara menyembur.
Wusss!
Bau menyengat hidung menghampar. Ular besar mendesis lalu byaaarr! Kepala binatang ini hancur bertaburan. Tubuh ular seberat hampir seratus limapuluh kati ini sesaat bergelung melingkar, bergelantungan di dahan pohon lalu perlahan-lahan merosot ke bawah dan jatuh bergedebuk di tanah. Di atas pohon terdengar suara tawa mengekeh lalu menyusul orang menenggak minuman penuh lahap.
Glukk… glukk… glukk!
Wulan Srindi buka mulut hendak memaki. Tetapi mulut itu tak bisa digerakkan dan tak ada suara yang bisa dikeluarkan. Mata si gadis mendelik besar melihat wajah merah seram orang yang memangku dirinya.
“Cah Ayu, berkulit hitam manis! Kau mau bicara apa? Biar aku buka dulu jalan suaramu” Orang seram meneguk cairan di dalam sebuah kendi. Lalu cairan ini disemburkan ke leher Wulan Srindi. Saat itu juga totokan pada urat besar di leher yang membuat Wulan Srindi tak bisa bicara terbuka musnah. Si muka seram berkulit merah tertawa.
“Nah, sekarang bicaralah sesukamu Cah Ayu!”
Begitu totokan lepas, mulut bisa digerakkan dan jalan suara kembali terbuka langsung Wulan Srindi menghambur ucapan keras dan kasar. “Setan, dedemit, hantu keparat!
Lepaskan! Turunkan tubuhku ke tanah! Beraninya kau memangkuku! Kau mau berbuat apa membawaku ke atas pohon! Kau mau memperkosaku?! Lepaskan! Turunkan aku ke tanah!” Habis berkata begitu Wulan Srindi hendak berteriak namun mulutnya cepat ditekap orang.
Orang yang duduk memangku Wulan Srindi di cabang pohon tertawa mengekeh.
“Kalau saja kejadian ini puluhan tahun lalu ketika aku masih muda remaja, mungkin aku akan tergiur melakukan apa yang kau katakan tadi! Memangku gadis secantikmu, tubuh nyaris bugil, ha… ha… ha siapa tahan!”
“Jahanam! Kalau kau tidak segera melepaskan dan menurunkan aku ke tanah, aku bersumpah menggeragot lehermu, menghisap darahmu!”
“Wah, wah… wah! Kau bukan gadis sejahat itu! Dengar, aku akan membawamu ke satu tempat yang aman. Di situ kau bisa menerangkan apa yang telah terjadi pada dirimu!”
“Setan alas! Siapa sudi ikut denganmu!” teriak Wulan Srindi membuat orang yang memangkunya geleng-geleng kepala.
“Pikiranmu sedang kacau. Aku bisa menduga. Ada satu kejadian dahsyat menimpamu! Tidak ada salahnya kau ikutan minum agar pikiranmu bisa tenang kembali!”
“Setan, kau mau memberikan racun apa padaku?! Tidak apa! Aku lebih baik mati daripada hidup tersiksa seumur-umur!” teriak Wulan Srindi ketika dia melihat sebuah kendi tanah berwarna hitam didekatkan ke mulutnya.
“Aku bukan setan, bukan demit, bukan hantu. Aku adalah iblis! Iblis! Kau dengar?! Ha… ha… ha! Ayo buka mulutmu lebar-lebar. Minum biar banyak!”
Wulan Srindi merasa ada jari-jari tangan menekan lehernya, membuat dia terpaksa membuka mulut. Lalu dari dalam kendi hitam mengucur cairan menebar bau keras menyengat pernafasan. Wulan Srindi merasa mulutnya seperti disengat api ketika cairan itu melewati tenggorokannya. Dia berusaha menyemburkan, berusaha memaki namun semakin banyak cairan panas masuk ke dalam mulut. Dada serasa terbakar, kening mendenyut sakit, pandangan mata sebentar terang sebentar gelap. Bahkan dia merasa sepasang matanya seperti mau melompat keluar. Wajahnya yang berkulit hitam manis kelihatan sangat merah. Dari tenggorokan keluar suara glek, glek, glek sementara dada yang tidak tertutup bergerak naik turun. Dalam keadaan seperti itu, akibat minuman sangat keras yang masuk ke dalam perut akhirnya Wulan Srindi kehilangan ingatan, jatuh pingsan. Orang yang memangkunya tertawa mengekeh. Kendi kosong dibuang, tubuh Wulan Srindi diletakkan di bahu kiri. Sekali berkelebat dia sudah berada di tanah lalu melarikan si gadis ke arah utara.
***
Ketika siuman dari pingsan, Wulan Srindi dapatkan dirinya terbaring di atas ranjang kayu beralaskan tikar jerami. Memandang berkeliling ternyata dia berada dalam sebuah kamar berdinding kayu. Di kaki ranjang, ada seperangkat pakaian terdiri dari baju dan celana panjang berwarna biru pekat. Wulan sadar keadaan dirinya yang nyaris telanjang. Tanpa pikir panjang dia segera ambil pakaian di tepi ranjang dan cepat mengenakannya.
Pakaian itu terdiri dari sehelai celana panjang ringkas serta baju berbentuk kebaya dalam selutut.
Selesai berpakaian Wulan melangkah ke sebuah jendela terbuka di dinding kiri ruangan. Begitu memandang keluar gadis ini melengak kaget. Betapa tidak. Dia dapatkan bangunan di mana dia berada saat itu ternyata terletak di atas satu pohon tinggi dan besar. Tak jauh dari seberang sana ada satu pohon besar. Di pohon itu terdapat pula sebuah bangunan kayu. Wulan melihat ada pintu dan jendela dalam keadaan tertutup.
Wulan sekali lagi memandang seputar ruangan.
Ternyata di situ juga ada sebuah pintu. Cepat-cepat pintu dibukanya dan si gadis keluarkan suara tertahan karena begitu pintu terbuka dia langsung berhadapan dengan tempat kosong. Kalau sebelumnya ada orang tinggal di situ bagaimana dia naik dan turun? Wulan tidak melihat tangga dan alat lain yang bisa dipakai untuk turun ke tanah.
“Gila! Rumah di atas pohon. Bagaimana aku bisa berada di sini?!” Wulan Srindi berpikir. Kemudian malah tertawa dan menjerit. Pikirannya kacau. Dia coba lagi mengingat-ingat. Ada seorang lelaki bermuka seperti dedemit, mencekokkan minuman keras ke dalam mulutnya.
“Makhluk seram yang mengaku iblis itu, di mana dia? Mungkin dalam bangunan di pohon sana? Pasti dia sengaja menyekapku di sini!” Wulan Srindi tegak terdiam.
Memandang ke bawah, tengkuknya terasa gamang. Beberapa saat kemudian air mata meluncur di pipinya. Tiba-tiba gadis ini menjerit, lalu duduk di salah satu sudut rumah kayu menekapi wajah yang kotor dan pucat. Dia menjerit sampai suaranya parau. Begitu dia tak mampu lagi menjerit kini berganti suara tangisnya yang terdengar berkepanjangan menyayat hati.
Wulan Srindi tidak sadar berapa lama dia dalam keadaan seperti itu. Gadis ini baru hentikan tangis ketika mendadak dia mendengar ada orang bersiul-siul diseling tawa bergelak. Wulan berdiri. Melangkah ke pintu, memandang ke bawah. Di antara kerapatan cabang dan ranting serta daun pohon dia melihat seorang bermuka seram seperti setan, bertubuh gemuk pendek melangkah sambil bersiul-siul. Kulit muka dan tubuhnya tampak merah. Sambil berjalan sesekali dia meneguk minuman yang ada dalam kendi hitam. Orang ini mengenakan baju longgar dan celana komprang hitam. Di pinggangnya melilit sebuah ikat pinggang besar digelantungi selusin kendi hitam. Sebagian sudah kosong sebagian lagi masih terisi penuh minuman keras terbuat dari ketan kesukaannya.
Langkahnya aneh, huyung kiri oleng kanan. Terkadang seperti mau terjerembab jatuh ke depan, sesekali seperti mau terjengkang ke belakang. Keadaannya tidak beda dengan orang tengah mabuk berat.
“Dedemit muka merah! Dia yang mencekoki dengan minuman celaka itu! Selagi aku tidak sadar jangan-jangan dia telah melakukan perbuatan keji atas diriku!” ucap Wulan Srindi. “Biar mampus dia sekarang!”
Wulan Srindi meraba pakaiannya. Seperti diketahui sebagai murid Perguruan Lawu Putih dia pernah membekal sejenis senjata rahasia berbentuk bulat berduri, terbuat dari tembaga kuning yang disebut Elmaut Kuning. Meraba sekujur lekuk pakaiannya tentu saja Wulan tidak menemukan lagi senjata rahasia itu. “Sial! Hilang di mana?!” Wulan memaki sendiri. Rahang menggembung. Sepasang mata berkilat tak berkesip ke bawah sana. Tiba-tiba gadis ini angkat tangan kanannya. Didahului jeritan keras tangan itu dihantamkan ke bawah, ke arah orang gemuk pendek yang tengah berjalan sambil bersiul-siul dan sesekali meneguk minuman keras dalam kendi tanah warna hitam. Satu gelombang angin dahsyat menderu dari rumah kayu di atas pohon.
Wusss! Kraak! Braak!
Ranting-ranting pohon berpatahan. Tiga dahan hancur dan dedaunan luruh beterbangan. Wulan Srindi telah melepas satu pukulan mengandung tenaga dalam tinggi disebut Menyapu Bukit Menjebol Lembah.
“Hai! Setan alas dari mana berani membokongku?!”
Teriak si gemuk pendek di bawah pohon. Walau tubuhnya tampak huyung seperti orang mabuk namun begitu ada serangan ganas menyambar tubuh itu meliuk ke depan seperti mau jatuh. Angin pukulan sakti lewat di atas punggung. Si muka merah seram teguk minuman dalam kendi.
Byaarrr!
Tanah di samping kiri orang gemuk pendek berwajah seram merah terbongkar membentuk satu lobang besar berwarna hitam! Orang ini tertawa bergelak lalu sambil meneguk minuman keras dalam kendi sepasang matanya melirik ke atas pohon.
“Hekk!”
Orang berwajah seram ini keluarkan suara tercekik.
“Oala, Cah Ayu! Kau rupanya yang punya pekerjaan nakal! Awas akan aku puntir telingamu! Kalau perlu aku gebuk pantatmu!”
Habis berkata begitu si gemuk berkulit merah ini gantungkan kendi hitam ke pinggang lalu sekali berkelebat tubuhnya melesat ke arah rumah di atas pohon!
Di depan pintu rumah di atas pohon Wulan Srindi menjerit keras lalu tubuhnya melayang ke bawah. Tangan kiri mendekap dada, tangan kanan yang dalam keadaan mengepal diarahkan pada orang gemuk pendek yang melesat dari arah berlawanan. Sesaat lagi pasti akan terjadi tabrakan hebat antara kedua orang itu!
“Oala, anak edan! Apa yang kau lakukan?! Kau mau mati barengan apa?! Ha… ha… ha!”

11

HANYA sepejangkauan lagi dua orang itu akan bertabrakan hebat di udara, tiba-tiba sosok si gemuk muka seram meliuk miring ke kanan. Tangan kirinya secara aneh berubah panjang, menggelung pinggang Wulan Srindi. Berbarengan dengan itu jari-jari tangan kanan menotok urat besar di punggung. Saat itu juga sekujur tubuh Wulan Srindi menjadi kaku. Kini nanya mulutnya saja yang mampu berteriak-teriak.
Sampai di dalam rumah kayu di atas pohon, si gemuk muka merah bercelana komprang hitam lemparkan Wulan Srindi hingga terduduk di sudut ruangan.
“Manusia muka setan! Lepaskan totokan di tubuhku! Aku ingin membunuhmu!”
Orang yang dimaki ambil kendi hitam lalu meneguk isinya dengan lahap sampai berlelehan di dagu dan membasahi baju sementara dua matanya mengawasi Wulan Srindi.
“Kenapa kau ingin membunuhku?!” tanya si gemuk sambil menyeka mulut.
“Sewaktu aku pingsan kau pasti telah mencabuliku!”
Kendi hitam di tangan si gemuk melesat ke depan.
Braakkk! Kendi remuk hancur di dinding hanya satu jengkal di atas kepala Wulan Srindi. Pecahan kendi bertaburan dan minuman keras membasahi rambut, wajah dan sebagian pakaiannya. Si gadis terdiam namun kemudian tertawa cekikikan.
“Edan! Baru sekali ini aku menghadapi orang edan!
Perempuan lagi! Kalau hati tidak kasihan, kalau tidak ingin menolong, perduli setan aku mau mengurusi!”
Wulan Srindi hentikan tawanya. Dua matanya menatap garang ke arah si gemuk pendek bermuka merah.
“Kau kasihan?! Ingin menolong?! Mau mengurusi?!
Hik… hik… hik! Manusia bermuka wajar saja hatinya bisa sejahat setan! Apalagi kau yang punya muka setan! Hatimu pasti sejahat iblis!”
“Cah Ayu! Ucapanmu membuat aku tersinggung. Cukup aku melihatmu sampai di sini!” Orang itu ambil satu kendi yang tergantung di pinggang. Minum bergelegukan. Masih tinggal setengah kendi dibanting ke lantai. Lalu dia melangkah ke pintu.
“Hik… hik! Setan bisa juga ngambek!”
Ucapan Wulan Srindi membuat si gemuk hentikan langkah dan berpaling. Lalu tertawa gelak-gelak. Si muka merah ini rupanya punya sifat lekas marah tapi cepat pula baik.
“Manusia muka kepiting rebus. Kau ini siapa sebenarnya?” bertanya Wulan Srindi.
“Aku manusia gelandangan! Tukang mabuk!”
“Sebelumnya kau bilang dirimu adalah iblis!” kata Wulan Srindi pula.
“Kau boleh menyebut aku apa saja! Asal jangan menuduh aku yang bukan-bukan!”
“Hik… hik… Dirimu mengingatkan aku pada guruku!”
“Siapa gurumu? Kau sendiri…”
“Kau akan terkejut kalau tahu siapa guruku. Apalagi tahu siapa diriku!”
“Cah Ayu, seumur hidup tidak ada satu manusia yang bisa membuat aku terkejut! Hanya satu hal yang bisa membuat aku terkejut!”
“Hik… hik! Apa?!” tanya Wulan Srindi pula.
“Kalau minuman keras sari ketan kedoyananku tak ada lagi di dunia! Ha… ha… ha!” Si gemuk ini hendak mengambil satu kendi yang masih penuh berisi minuman keras namun tak jadi. “Eh, kau belum menerangkan siapa gurumu, siapa dirimu.”
“Aku adalah murid kakek sakti berjuluk Dewa Tuak!”
Wajah merah si gemuk pendek kelihatan tambah merah.
“Nah, sekarang kau ternyata bisa kubuat terkejut! Hik… hik… hik!”
“Siapa bilang aku terkejut?!” jawab orang di hadapan Wulan Srindi lalu sambung ucapannya. “Aku tahu kau dusta. Karena rimba persilatan tahu kalau manusia berjuluk Dewa Tuak cuma punya seorang murid. Kalau tak salah bernama Anggini. Padahal, tidak banyak diketahui orang, sebenarnya selain Anggini kakek itu juga punya murid lain. Perempuan, aku lupa namanya. Tapi yang jelas bukan kau!”
“Kau bisa saja mengarang cerita. Yang jelas banyak peristiwa terjadi dalam rimba persilatan. Selama ini rupanya kau tidak pernah menyimak kabar. Kau mungkin hanya sibuk dengan kendi hitammu itu. Kau pasti terkejut kalau aku katakan diriku adalah jodoh dunia akhirat Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede!”
“Jodoh dunia akhirat Pendekar 212 Wiro Sableng!”
mengulang si muka seram berkulit merah dengan kening mengerenyit lalu tertawa mengekeh. Ternyata manusia satu ini memang sulit dibikin terkejut. “Ngacok! Kau bicara apa Cah Ayu! Semua orang tahu kalau pendekar yang kau sebutkan sudah dijodohkan dengan Anggini. Hanya saja perjodohan itu memang tidak ketahuan juntrungannya sampai saat ini…”
“Karena tidak ketahuan juntrungan itulah maka Sinto Gendeng memutuskan aku pengganti Anggini untuk jodoh muridnya,” potong Wulan Srindi dengan wajah senyumsenyum.
“Cah Ayu, jangan kau menganggap aku ini makhluk tolol. Jangan kau kira aku tidak kenal dengan Pendekar 212!”
“Kalau begitu kelak kau bisa kujadikan saksi pernikahanku. Hik… hik… hik! Kau bersedia bukan?”
“Ngacok! Lebih baik kau ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu.”
“Apa yang terjadi dengan diriku?” Wulan Srindi terdiam.
Lalu butir-butir air mata perlahan-lahan meluncur turun ke pipinya.
“Oala, kok malah mewek, nangis?”
“Aku tidak bisa menceritakan apa yang terjadi. Terlalu keji, terlalu memalukan.”
“Kalau kau mau cerita siapa tahu aku bisa menolong.”
“Aku tidak butuh pertolonganmu…”
“Kau sudah menerima sebagian dari pertolonganku,” kata si muka merah sambil senyum-senyum.
“Kau mau minta imbalan?!”
“Jangan bicara ngacok lagi, Cah Ayu.”
“Aku korban kebejatan dua manusia biadab…” Wulan Srindi ingin menekap wajahnya dengan kedua tangan.
Namun karena masih dalam keadaan tertotok hal itu tak bisa dilakukan. Gadis malang ini akhirnya hanya bisa berteriak, lalu menggerung menangis. Setelah tangisnya reda dan terus dibujuk oleh si gemuk pendek bermuka seram merah akhirnya Wulan menuturkan apa yang telah dialaminya beberapa waktu lalu.
Beberapa saat setelah Wulan Srindi menceritakan nasib malangnya, si gemuk pendek bertanya. “Dua orang yang merusak kehormatanmu itu, kau tahu namanya?”
“Tidak.”
“Menurutku keduanya berseragam pakaian hitam. Pada dada kiri baju mereka ada sulaman benang kuning rumah joglo serta dua keris saling bersilang.”
“Benar.” jawab Wulan Srindi. “Kau mengenal siapa mereka?”
“Keraton Kaliningrat. Mereka adalah orang-orang dari Keraton Kaliningrat.” Menerangkan si gemuk pendek muka seram merah.
“Aku belum pernah mendengar nama keraton itu. Di mana letaknya?” tanya Wulan Srindi pula.
“Yang disebut Keraton Kaliningrat hanyalah nama saja. Keraton yang berbentuk gedung tak pernah ada. Keraton itu bisa saja ada di kawasan utara atau muncul di barat. Bisa di selatan atau di timur. Tergantung di mana para tokoh dan anggotanya saat itu berada. Biasanya hanya untuk beberapa lama lalu berpindah lagi ke tempat lain…”
“Manusia-manusia Keraton Kaliningrat apakah mereka itu merupakan manusia-manusia jahanam jahat atau…”
“Setahuku mereka adalah kaum pemberontak. Beberapa orang rimba persilatan berkepandaian tinggi ikut bergabung dengan mereka. Kebanyakan dari mereka hanya berkepandaian biasa-biasa saja. Namun mereka memiliki ilmu kebal, tahan pukulan tak mempan senjata tajam.”
“Kau tahu kelemahan ilmu mereka?”
Si gemuk pendek tertawa lebar. “Aku tahu maksud pertanyaanmu. Kau punya niat untuk balas dendam.”
“Sampai jadi bangkai dan mendekam di liang kubur pun aku tetap akan membalaskan dendam kesumat sakit hati.”
Si gemuk ambil sebuah kendi, meneguk isinya sampai mukanya tambah merah. “Jika bertemu lagi dengan kedua orang pemerkosa itu, kau masih mengenali tampang mereka?”
“Pasti. Salah satu dari mereka sempat aku gigit dagunya. Gigitan itu pasti meninggalkan cacat di wajahnya.”
“Cah Ayu, kalau kau ingin balas dendam biar aku memoles dirimu lebih dulu. Aku butuh seratus hari untuk melakukannya…”
“Apa maksudmu?” tanya Wulan Srindi curiga.
Yang ditanya cuma tertawa, teguk lagi minuman keras dalam kendi. Tiba-tiba cairan dalam mulut disemburkan ke wajah dan tubuh Wulan Srindi. Si gadis menjerit. Wajah dan sebagian tubuhnya terasa panas seperti terbakar. Si gemuk menyembur sekali lagi. Aneh, kalau tadi terasa panas kini Wulan Srindi merasa wajah dan badannya menjadi dingin sejuk. Namun gadis itu belum menyadari kalau saat itu kulit wajah, tangan dan dua kakinya telah berubah putih.

12

JALAN tanah yang melewati rimba belantara Ngluwer, merupakan jalan pintas terdekat yang menghubungi daerah selatan dengan kawasan utara sampai ke Mungkid dan Magel sudah lama tidak dilewati orang.
Terutama para pedagang. Mereka lebih suka memilih jalan berputar di sebelah timur melewati kaki Gunung Merapi.
Walau lebih jauh setengah hari perjalanan namun lebih aman. Belakangan ini hutan Ngluwer telah menjadi sarang sekelompok perampok jahat. Mereka bukan saja membegal harta benda orang yang lewat di situ, tapi juga tak segan-segan membunuh para korban.
Siang itu di pinggiran hutan sebelah barat ada serombongan orang berkuda terdiri dari sembilan orang. Delapan orang berkulit kuning, bermata sipit, mengenakan topi merah dan pakaian berbentuk jubah bagus berkilat juga berwarna merah. Beberapa di antara mereka memelihara kumis panjang menjulai. Selain itu kedelapan orang ini membekal sebatang tombak yang ujungnya berbentuk pisau besar, tergantung di depan pelana. Orang kesembilan seorang penduduk asli, agaknya bertindak sebagai penunjuk jalan.
Ada satu keanehan pada rombongan delapan orang asing ini. Empat orang membawa tambur, empat orang lagi membawa terompet. Setiap menempuh jalan sejarak tiga ratus tombak mereka berhenti. Yang membawa tambur segera memukul tambur. Yang membawa terompet segera pula meniup terompet masing-masing. Setelah cukup lama memainkan peralatan bebunyian itu rombongan melanjutkan perjalanan. Sekitar tigaratus tombak di muka mereka berhenti lagi lalu melakukan hal yang sama, memukul tambur meniup terompet.
Siapakah sebenarnya rombongan aneh ini? Terutama delapan orang asing itu? Mereka adalah awak kapal milik seorang pedagang dari daratan Cina yang beberapa waktu lalu dijarah barang bawaannya ketika diduga merapat di Tuban, ternyata kemudian diketahui berlabuh di Morodemak. Dari sekian banyak barang yang dirampas, satu di antaranya adalah yang sangat berharga yaitu sebuah kantong kulit berisi candu dan madat. Penjarahan kapal dagang itu agaknya telah disiapkan dan diatur sedemikian rupa. Tujuan utama para perampok sebenarnya memang adalah madat seberat lebih dari 50 kati. Dua orang perampok yang menyamar sebagai perajurit Kerajaan yaitu Surojantra dan Jaliteng berhasil melarikan kantong kulit berisi madat itu. Kedua perampok ini sebenarnya adalah kaki tangan kaum pemberontak yang tengah mencari dana dan dikenal dengan sebutan orang-orang Keraton Kaliningrat.
Seperti diceritakan dalam episode sebelumnya, Kitab Seribu Pengobatan, Surojantra dan Jaliteng menemui ajal di tangan Pangeran Matahari. Madat satu kantong kemudian jatuh ke tangan Rakadanu dan Galirenik yang punya tugas untuk mendapatkan madat tersebut. Mereka adalah orang-orang Keraton Kaliningrat. Namun sebelum sempat kembali ke markas, keduanya menemui ajal di tangan murid kembar Hantu Malam Bergigi Perak. Madat satu kantong besar kini berada di tangan si nenek sakti bermuka angker itu. Sementara dua orang dari Keraton Kaliningrat lainnya, Kuntorandu dan Pekik Ireng, yang diperintahkan untuk mengamankan madat, tidak berhasil menemui dua temannya. Malah kemudian mereka bertemu Wulan Srindi dan memperkosa gadis itu.
Rombongan delapan awak kapal dagang Cina yang berlabuh di Morodemak mendapat perintah untuk mencari dan menemukan kembali madat yang telah dijarah. Di bawah pimpinan nakhoda Long Cie mereka membawa seorang penunjuk jalan sekaligus juru bahasa. Sang penunjuk jalan yang bernama Amangrejo mengetahui kalau sejak beberapa lama rimba belantara Ngluwer telah menjadi sarang perampok ganas. Dengan dugaan bahwa para perampok hutan inilah yang telah merampas kantong berisi madat, maka Amangrejo membawa rombongan awak kapal Cina ke kawasan itu. Karena tidak tahu pasti di mana letak sarang para penjahat maka mereka pergunakan siasat untuk memancing dan menarik perhatian. Yaitu mereka sengaja menabuh tambur dan meniup terompet.
Setelah hampir setengah harian mundar-mandir di pinggiran rimba belantara Ngluwer pancingan mereka akhirnya berhasil juga.
Di satu tempat selain kerasnya rombongan memukul tambur dan meniup terompet, tiba-tiba dari dalam hutan terdengar suara suitan-suitan nyaring saling berbalasan dari beberapa penjuru. Tak berselang berapa lama muncul duabelas orang berpakaian dan berikat kepala kuning pekat. Tampang garang, rata-rata memelihara cambang bawuk liar. Sekali bergerak keduabelas orang ini telah mengurung rombongan orang asing penabuh tambur peniup terompet.
Amangrejo segera turun dari kudanya. Sementara delapan awak kapal dari Cina tetap di atas kuda masingmasing.
Amangrejo membungkuk beberapa kali lalu keluarkan ucapan. Penunjuk jalan ini sadar sekali kalau saat itu dia tengah berhadapan dengan kelompok perampok yang bisa menilai nyawa manusia tidak lebih berharga dari seekor kodok dalam comberan.
“Salam hormat dan persahabatan untuk para kerabat dari hutan Ngluwer. Mohon tanya siapakah yang bertindak sebagai pimpinan dari para kerabat di sini?!”
Duabelas orang yang mengurung rombongan berkuda hampir semua bertubuh tinggi besar dan galak. Namun yang maju ke arah Amangrejo justru adalah seorang bertubuh pendek, berkumis dan bercambang bawuk lebat tapi berkepala botak plontos. Sepasang mata berwarna merah namun juling. Hingga walau tampak galak tapi ada lucunya juga. Amangrejo agak bingung. Jelas orang melangkah ke hadapannya namun pandangan matanya tertuju ke jurusan lain!
“Kami adalah orang-orang hutan Ngluwer tidak butuh penghormatan kalian. Kami tidak merasa ada persahabatan antara kita!” Si pendek bermata juling keluarkan ucapan. Walau pendek namun suaranya besar serak. Dia bicara sambil dua tangan diletakkan di pinggang dan sepasang mata juling memandang berputar.
Mendengar ucapan orang yang tidak bersahabat Amangrejo cepat-cepat membungkuk. “Ah, harap maafkan kalau kedatangan kami mengganggu ketenangan para sahabat.”
Si pendek bermata juling goyangkan kepala ke arah depan penunggang kuda di belakang Amangrejo.
“Siapa delapan monyet bermata sipit berdandan bagus ini?! Apakah rombongan pengamen dari negeri seberang, membawa tambur dan terompet segala?!”
“Mereka adalah awak kapal dagang dari Tiongkok.
Mereka ingin mencari keterangan tentang satu kantong candu yang lenyap dijarah di pelabuhan Morodemak…”
“Mencari keterangan atau ingin menuduh kami yang merampok candu itu? Bicara yang jelas!” Bentak si juling pendek.
“Dengar, kami datang hanya untuk mencari keterangan.
Kalau para sahabat tahu, orang-orang ini bersedia menebus candu itu dengan barang-barang perhiasan senilai satu setengah kali harga candu.”
Si pendek juling pencongkan mulut. Dia memandang berkeliling pada sebelas temannya. Keduabelas orang itu kemudian tertawa tergelak-gelak.
“Kau yang jadi kacung orang asing!” si jereng menuding pada Amangrejo. “Siapa namamu?!”
“Nama saya Amangrejo.”
“Amangrejo! Kalau dirimu cuma seorang kacung penunjuk jalan, kami tidak heran kau berlaku tolol! Tapi jangan berani membagi ketololan pada kami orang-orang hutan Ngluwer! Kalau kalian membawa perhiasan yang harganya satu setengah kali nilai candu, coba katakan apakah ada manusia yang lebih tolol dari kalian di kolong langit ini?!”
Ucapan si pendek berkepala botak itu disambut gelak tawa kawan-kawannya yang sebelas orang.
“Amangrejo, kami masih mau berbaik-baik denganmu.
Coba perlihatkan dulu barang-barang perhiasan yang kalian bawa.”
Amangrejo berpaling pada rombongan orang-orang berjubah merah lalu bicara dalam bahasa Cina. Salah satu dari delapan orang asing yang menunggang kuda dan memelihara kumis panjang menjulai yang bukan lain adalah nakhoda Long Cie menyahuti. Amangrejo lalu berpaling kembali ke arah si pendek botak.
“Menurut nakhoda Long Cie, pimpinan awak kapal, dia akan memperlihatkan perhiasan itu, bahkan akan memberikan pada kerabat setelah dia melihat dan menerima candu.”
Tampang si botak tampak menggembung merah.
“Katakan pada keparat mata sipit itu! Aku Surah Nenggolo pimpinan orang-orang hutan Ngluwer di tempat ini! Di sini berlaku peraturan kami. Mulutku hukumku! Jika dia tidak suka dan tidak mau ikut aturan kami silahkan pergi. Tapi dia tetap harus menyerahkan semua barang perhiasan yang dibawa. Atau mereka semua menukar dengan meninggalkan nyawa!”
Amangrejo menyampaikan apa yang dikatakan si botak pendek. Waktu bicara mata kirinya dikedipkan. Long Cie mengangguk lalu bicara pada dua temannya. Dua orang itu mengeluarkan masing-masing satu peti kayu dari kantong pelana masing-masing lalu turun dari kuda dan meletakkan dua peti di tanah, beberapa langkah di hadapan Surah Nenggolo.
“Bagus,” kata si gemuk botak pula. “Sekarang suruh semua orang itu turun dari kuda mereka.” Permintaan itu diteruskan Amangrejo pada Long Cie.
Bagi nakhoda kapal, ini adalah suatu permintaan aneh. Dia memutuskan untuk tetap berada di atas kuda namun menyuruh turun lima anak buah kapal yang masih duduk di atas kuda. Kelima orang ini gantungkan tambur dan terompet mereka di leher kuda masing-masing lalu turun ke tanah.
Surah Nenggolo perhatikan Long Cie beberapa lama lalu mendekati seorang anak buahnya dan berbisik. “Sipit satu itu agaknya punya otak cerdik pandangan tajam. Jika terjadi keributan kau harus membunuhnya lebih dulu.”
Setelah itu Surah Nenggolo menyuruh dua orang anak buahnya yang lain membuka penutup peti kayu yang tergeletak di tanah.
Begitu tutup dua peti terbuka menghamburlah delapan ekor ular kobra dan langsung menyerang ke arah para perampok. Surah Nenggolo dan sebelas anak buahnya jadi kalang kabut. Dua orang kena dipatuk ular kobra menjerit keras, roboh ke tanah, kelojotan beberapa ketika lalu kaku tak bergerak lagi.
Surah Nenggolo berteriak seperti anjing melolong. Seperti kesurupan dia berkelebat kian kemari, menabas, membacok dengan golok besarnya ke arah ular-ular kobra besar. Beberapa anak buahnya datang membantu. Sebentar saja delapan ular kobra bergeletakan mati di tempat itu.
Kini perhatian Surah Nenggolo dan sisa sembilan anak buahnya tertuju pada rombongan awak kapal dagang Cina.
“Jahanam keparat! Kucincang kalian semua!” teriak Surah Nenggolo. Tubuhnya berkelebat enteng. Delapan dari sembilan anak buahnya ikut menghambur. Golok besar di tangan kanan diputar sebat menghadapi tujuh orang awak kapal yang telah turun ke tanah dan menyerbu dengan bersenjatakan golok panjang. Amangrejo sendiri kabur berlindung di tempat yang aman.
Pertempuran berlangsung hebat tapi cepat. Setelah membuat beberapa kali gebrakan enam orang awak kapal dagang Cina yang bersenjatakan golok berseru kaget ketika tusukan dan bacokan senjata mereka sama sekali tidak mempan terhadap tubuh lawan. Senjata masingmasing seperti membal malah ada yang sampai terlepas mental. Selagi mereka terkejut dan takut Surah Nenggolo dan anak buahnya dengan cepat membalas serangan.
Kurang dari dua jurus, keenam orang awak kapal dagang itu berkaparan di tanah. Darah mengucur dari luka-luka mengerikan yang menguak di kepala, dada dan perut!
Sementara itu anak buah yang tadi dibisiki Surah Nenggolo dengan golok di tangan melesat ke arah nakhoda Long Cie yang saat itu masih duduk di atas kuda. Goloknya berkelebat ke perut Long Cie. Awak kapal ini sentakkan tali kekang kuda, berkelit ke kiri. Ketika lawan menyerang kembali Long Cie sudah memegang sebatang tombak.
Traangg!
Tombak dan golok beradu di udara. Anak buah Surah Nenggolo berseru kaget ketika dapatkan senjatanya terlepas mental dari genggaman. Selagi tubuhnya melayang ke tanah, tombak di tangan Long Cie menusuk deras ke depan.
Craass!
Tombak bermata seperti pisau besar itu menembus dada anak buah Surah Nenggolo. Orang ini hanya bisa keluarkan keluhan pendek. Mulut menganga mata mendelik. Long Cie lepas tombaknya. Tubuh yang sekarat di ujung tombak jatuh terbanting ke tanah.
Surah Nenggolo menggembor marah. Bersama beberapa anak buahnya dia segera mengejar Long Cie yang tengah memutar tunggangannya.
“Serang kudanya!” Teriak Surah Nenggolo.
Tiga golok besar melesat di udara. Satu menyambar ke arah kepala kuda, satu ke kaki, satu lagi ke jurusan perut.
Dengan sigap Long Cie cabut golok panjang di balik punggung. Senjata itu diputar untuk melindungi diri dan kuda tunggangannya.
Traang! Traang! Traang!
Terdengar tiga kali suara berdentrangan. Tiga golok yang dilemparkan anak buah Surah Nenggolo mental, satu di antaranya patah dua. Surah Nenggolo nekad memburu.
Dia sama sekali tidak menyerang nakhoda itu tapi berusaha membabat salah satu kaki kuda. Namun Long Cie lebih cepat. Sambil membungkuk dia babatkan golok besar di tangan kanannya dengan deras ke dada pemimpin rampok hutan Ngluwer ini.
Breett!
Dada pakaian Surah Nenggolo robek besar. Manusia botak pendek ini cepat jatuhkan diri ke tanah. Sesaat mukanya tampak pucat ketika dilihatnya nakhoda kapal dagang Cina itu memutar kuda. Surah Nenggolo cepat lemparkan golok besarnya ke arah Long Cie. Namun satusatunya awak kapal dagang yang hidup ini masih bisa selamatkan diri dengan menjatuhkan diri sama rata di punggung kuda. Golok yang dilempar Surah Nenggolo melesat hanya seujung kuku di atas punggung Long Cie.
Selain mempunyai jabatan sebagai nakhoda kapal dagang rupanya Long Cie juga mempunyai kepandaian silat lumayan.
“Keparat jahanam! Aku bersumpah akan mencarimu di Morodemak!” teriak Surah Nenggolo marah besar. Si botak usap mukanya beberapa kali. “Bangsat satu itu tidak mau turun dari kudanya. Apakah dia…” Tiba-tiba sudut mata Surah Nenggolo melihat semak belukar di depan sana bergerak. Dia segera hantamkan pukulan tangan kosong.
Angin deras menderu.
Braaakk!
Semak belukar terbongkar hancur. Satu jeritan terdengar. Ketika Surah Nenggolo melompat dan menyelidik ke balik semak belukar dia menemukan Amangrejo sudah jadi mayat dengan darah masih mengucur dari mulut.
“Keparat pengkhianat! Mau-mauan jadi kaki tangan orang asing! Sekarang rasakan sendiri!” Si botak ludahi mayat Amangrejo lalu pergi menemui anak buahnya yang kini tinggal sembilan orang.
“Kita harus menemui pimpinan. Orang Cina sudah tahu kalau kelompok kita yang menjarah candu. Padahal candu celaka itu entah berada di mana sekarang! Aku akan berangkat duluan. Siapa di antara kalian yang bisa menunggang cepat memilih kuda yang ditinggalkan orang Cina itu. Ikut aku!”
Surah Nenggolo melompat ke atas seekor kuda besar.
Ketika dia hendak menggebrak binatang itu tiba-tiba seorang anak buahnya berteriak. “Surah! Lihat! Di atas pohon!”
13
SURAH Nenggolo mendongak, memandang ke atas pohon yang ditunjuk anak buahnya. Di atas dahan paling tinggi, duduk berjuntai seorang perempuan berpakaian biru berwajah putih. Pinggangnya dililit satu ikat pinggang kulit besar. Pada ikat pinggang ini tergantung lima buah kendi kecil berwarna hitam. Kendi keenam berada di tangan kiri. Sambil duduk ongkang-ongkang kaki perempuan berpakaian biru teguk minuman keras yang ada dalam kendi hitam hingga wajahnya berubah kemerahan. Sesekali dia sunggingkan seringai ke arah orang-orang di bawah pohon.
“Hanya seorang perempuan muda kurang ingatan, perlu apa diurusi!” seorang anak buah Surah Nenggolo bernama Jantring keluarkan ucapan.
“Kau hanya melihat dengan mata, tidak pakai otak!” damprat Surah Nenggolo. “Dia bukan gadis sinting biasa.
Dia punya kepandaian. Kalau tidak bagaimana bisa berada di atas pohon, menenggak minuman dalam kendi. Kita harus menyelidik. Jangan-jangan dia mata-mata Kerajaan.
Jantring, coba kau naik ke atas pohon. Paksa perempuan itu turun ke tanah!”
Jantring merasa menyesal keluarkan ucapan. Namun karena ini adalah perintah atasan maka segera saja dia jejakkan kaki ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas pohon.
“Ooo… ooo! Siapa yang mengundangmu naik ke atas pohon?!” Perempuan yang duduk di cabang pohon teguk cairan dalam kendi. Ketika Jantring hampir mencapai dahan pohon di mana dia berada tiba-tiba si muka putih ini semburkan cairan dalam mulutnya.
Wusss!!!
Jantring tidak menduga akan mendapat serangan seperti itu. Dia coba menggapai cabang pohon di sebelah kiri sekaligus berusaha melindungi muka dengan tangan yang lain dari semburan cairan berbau sangat menyengat.
Tapi gagal. Semburan cairan mengenai mukanya. Rampok hutan Ngluwer ini terpental dan menjerit setinggi langit.
Suara jeritan itu tersentak putus ketika tubuhnya jatuh bergedebuk di tanah. Surah Nenggolo dan anak buahnya cepat mendatangi. Semua mengerenyit ngeri ketika melihat bagaimana wajah Jantring nyaris tak bisa dikenali lagi. Hancur hangus penuh lubang.
Di atas pohon, perempuan berwajah putih tertawa panjang cekikikan.
Amarah si botak bermata juling Surah Nenggolo meledak melihat kematian Jantring. Didahului satu teriakan dahsyat dia hendak melesat menyerbu ke atas pohon.
Namun salah seorang anak buahnya cepat menahan, memegang lengannya lalu berbisik.
“Perempuan aneh itu berada di atas pohon. Kalau diserang… lihat apa yang terjadi pada Jantring.” Ucapan si anak buah membuat Surah Nenggolo sadar akan sesuatu.
Dengan mata berkilat dia ambil golok yang ada di tangan dua orang anak buahnya. Lalu dua senjata ini dilemparkan ke atas pohon. Tapi orang yang jadi sasaran serangan ternyata tidak ada lagi di dahan tempat tadi dia duduk. Dua golok menembus dedaunan, melesat di udara kosong.
Suara cekikikan kembali menggema di dalam rimba belantara. Mau tak mau selain terperangah Surah Nenggolo dan anak buahnya jadi merinding juga.
“Botak pendek! Apa matamu sudah buta?! Aku berada di sini! Mengapa menyerang tempat kosong?! Hik… hik… hik!”
Para perampok hutan Ngluwer jadi terkejut geger ketika mereka melihat perempuan yang tadi diserang dengan golok ternyata memang telah berpindah ke pohon lain dan duduk tertawa-tawa di salah satu cabang pohon.
“Kalian sungguh tidak berbudi! Aku mau mengundang minum. Kalian malah menyerang!”
“Perempuan muka putih! Setan atau apapun kau adanya! Jangan jual lagak di atas pohon! Turun ke sini!” teriak Surah Nenggolo sambil menjambak sendiri cambang bawuknya saking kesal.
Orang yang diteriaki tertawa panjang.
“Apakah aku cantik hingga kau menganggap aku jual lagak?!” Perempuan di atas pohon liukkan badan hingga sebagian pinggang dan perutnya tersingkap menggairahkan. Dia kemudian menatap ke arah Surah Nenggolo lalu meneguk minuman keras dalam kendi hitam. Setelah usap lelehan cairan di sekitar bibirnya dia berkata dengan suara keras. “Botak pendek! Kau minta aku turun ke tanah! Aku malah mau mengundangmu naik ke atas pohon biar aku suguhi minuman sedap yang membuat badan jadi segar, mata nyalang, pikiran lepas, dada lapang! Hik… hik… hik!
Apa kau dan anak buahmu malu-malu menerima undanganku?! Apakah aku tidak cukup cantik dan menggiurkan untuk duduk berhangat-hangat berdampingan dengan kalian di atas pohon ini? Hik… hik… hik!”
Mendengar ucapan orang yang menyuruh mereka naik ke atas pohon Surah Nenggolo dan anak buahnya yang kini tinggal delapan orang saling pandang. Salah seorang dari mereka membisiki. “Surah, jangan-jangan perempuan di atas pohon itu tahu…”
“Kita harus menyelidik siapa dia adanya. Lalu membunuhnya!” Surah Nenggolo potong ucapan anak buahnya.
Dia memandang ke atas pohon lalu berkata dengan suara keras. “Perempuan muda…”
“Perempuan muda!” orang di atas pohon mengulang ucapan Surah Nenggolo dengan suara keras lantang. “Kau memanggil aku perempuan muda. Apakah menurutmu aku ini tidak gadis lagi?! Kurang ajar! Jangan kau berani menghina!” Habis berteriak perempuan ini keluarkan suara menggerung seperti menangis.
Melihat orang bersikap aneh, Surah Nenggolo cepat berkata. “Gadis cantik di atas pohon, harap maafkan kalau aku salah memanggil dirimu. Juga terima kasih atas undangan minum. Namun aku rasa dahan pohon itu terlalu sempit untuk kami sembilan orang! Bagaimana kalau kau saja yang turun ke sini! Mari kita bicara. Siapa tahu aku bisa melupakan kematian tiga anak buahku dan kita bisa bersahabat!”
Perempuan muka putih berpakaian biru gelap di atas pohon tertawa panjang. Agaknya dia senang dipanggil gadis cantik. Dia tutup tawanya dengan berkata. “Bagus juga. Ternyata kau bukan manusia bangsa pendendam.
Aku pikir mungkin kita memang bisa bersahabat! Aku penuhi permintaanmu. Aku segera turun!” Habis keluarkan ucapan perempuan itu gerakkan tangan kirinya.
Kraakk!
Dahan pohon sebesar paha manusia patah, melayang jatuh ke tanah. Perempuan muka putih menyusul turun.
Ketika dia sampai di bawah kakinya tidak langsung menginjak tanah, tapi bertumpu pada patahan dahan pohon. Tubuhnya tegak tak bisa diam. Bergoyang huyung ke kiri ke kanan, sesekali oleng ke depan atau ke belakang. Keadaannya tidak beda orang mabok.
Melihat orang berdiri tidak menginjak tanah, Surah Nenggolo dan semua anak buahnya saling pandang.
“Hai! Sesuai permintaan aku sudah turun. Sekarang kenapa kalian kelihatan seperti bengong?! Mari kita minum-minum…” Perempuan muka putih angkat tangannya yang memegang kendi hitam.
Surah Nenggolo maju dua langkah. Dia tidak berani terlalu dekat dengan perempuan yang berdiri di atas dahan pohon. Sebaliknya orang yang didatangi memandang lekatlekat.
Pertama ke arah dada pakaian kuning Surah Nenggolo yang robek besar akibat sambaran pedang Long Cie tadi. Dia melihat di balik pakaian kuning di sebelah luar, di bagian dalam kepala rampok ini mengenakan pakaian lain berwarna hitam. Pandangan kedua diarahkan pada wajah Surah Nenggolo.
“Tampangmu lucu! Ternyata matamu jereng! Hik… hik… hik! Pantas tadi kau keliru melakukan serangan! Hai aku bisa mengobati mata julingmu. Dicongkel yang kiri dipindah ke kanan, yang kanan dipindah ke kiri. Mau?”
Rahang Surah Nenggolo menggembung. Walau marah dan jengkel namun dia jawabi ucapan orang dengan tenang.
“Sekarang kita telah menjadi sahabat. Boleh-boleh saja kita bicara lucu-lucuan. Apakah kami boleh tahu siapa gerangan nama sahabat, apakah juga punya gelar atau julukan gagah dalam rimba persilatan? Selama ini kami terlalu lama mendekam dalam hutan hingga tidak tahu kalau ada tokoh-tokoh baru rimba persilatan yang bermunculan. Harap sahabat kami gadis cantik sudi memberi tahu.”
Perempuan muka putih mendongak lalu tertawa panjang. “Yang namanya rampok itu tentu saja selalu mendekam dalam hutan. Kalau ada mangsa, baru muncul seperti tadi kau dan anak buahmu membantai orang-orang Cina.”
Tampang Surah Nenggolo tampak merah mendengar ucapan yang mengejek itu.
“Eh, tadi kau tanya nama dan gelarku. Menurutmu apa nama yang bagus dan gelar yang pantas untukku?”
Mendengar pertanyaan orang Surah Nenggolo jadi kesal. Namun dia berlaku cerdik dan alihkan pembicaraan.
“Sahabat, aku lihat sedari tadi kau hanya berdiri di atas dahan pohon. Mengapa tidak turun ke tanah agar kita bisa segera menikmati minuman yang kau tawarkan?”
“Hai, apa kau tidak melihat kasut kakiku masih baru?
Aku tidak mau mengotori alas kaki baru ini!” jawab perempuan muka putih sambil angkat salah satu kakinya.
Ternyata dia memang mengenakan kasut yang masih baru sebagai alas kedua kakinya.
“Kau juga tetap tidak mau memberi tahu siapa dirimu pada kami kawan-kawan barumu?”
“Tidak ada perlunya. Kalian mau ikutan minum atau tidak?”
“Sahabat, jika kau menyembunyikan siapa dirimu, kami menaruh curiga. Jangan-jangan kau adalah mata-mata yang dikirim Kerajaan!” Kata Surah Nenggolo pula.
“Ah, kalau kau punya kecurigaan seperti itu berarti kau tidak sebenarnya jujur ingin bersahabat denganku!
Manusia jereng atau juling sepertimu ini tidak bisa dipercaya! Hik… hik! Sekarang terpaksa aku membatalkan niat mengundang kalian minum. Lebih baik aku minum sendiri!”
Gluk… gluk… gluk.
Selagi si gadis asyik meneguk minuman keras dalam kendi Surah Nenggolo memberi tanda pada delapan anak buahnya. Pada tiga anak buah yang terdekat dia berkata. “Serang sampai dia turun dari atas dahan. Jaga jarak. Hatihati semburan minuman keras. Jangan sampai kena digebuk.” Tanpa banyak menunggu delapan orang anak buah Surah Nenggolo, empat bersenjata golok, empat mengandalkan tangan kosong segera menyerbu.
“Kurang ajar! Benar-benar tidak berbudi! Mula-mula katanya bersahabat. Lalu menaruh curiga. Sekarang malah menyerang!” Si muka putih berteriak marah. Satu sambaran golok yang mengarah kepalanya ditangkis dengan kendi di tangan kiri. Kendi hancur berantakan.
Orang yang menyerang terpekik ketika satu tendangan menghantam dan membobol perutnya. Darah menyembur dari mulut, sebagian memercik mengotori kaki kanan perempuan muka putih. Perempuan ini berteriak marah.
“Jahanam kurang ajar! Kau memecahkan kendiku! Kau mengotori kasut baruku! Mampus semua!” Dalam kemarahannya perempuan itu melesat setinggi satu tombak ke udara. Korban kedua jatuh ketika lagi-lagi kaki si muka putih berkelebat kirimkan tendangan yang membuat pecahnya kepala salah seorang anggota rampok hutan Ngluwer.
Pada waktu perempuan itu melesat ke arah Surah Nenggolo cepat pergunakan kesempatan menendang dahan kayu yang tergeletak di tanah hingga terpental jauh.
Ketika lawan melayang turun dan jejakkan kaki di tanah, Surah Nenggolo berteriak. “Sekarang!” Dengan sebilah golok di tangan bersama anak buahnya yang kini bersisa enam orang Surah Nenggolo menyerbu perempuan muka putih. Serangan dari tujuh penjuru ini yang disebut jurus Menjepit Bumi Membantai Gunung sungguh ganas luar biasa. Sasaran serangan tak mungkin selamatkan diri.
Namun apa yang terjadi? Ketika tujuh lawan menyerbu secepat kilat perempuan muka putih luncurkan tubuh ke bawah. Dia menyelinap di antara kaki-kaki lawannya sambil pukulkan tangan kiri kanan.
Bukkk! Buukkk!
Dua anggota rampok terpental dan jatuh terbanting ke tanah. Namun cepat bangkit kembali.
“Bangsat perempuan! Jangan kabur!” teriak Surah Nenggolo.
“Siapa kabur! Aku di sini! Hik… nik… hik!”
Terdengar jawaban disusul tawa cekikikan.
Gluk… gluk… gluk!
Semua kepala dipalingkan. Surah Nenggolo melihat perempuan muka putih itu ternyata berdiri dengan tangan kiri di pinggang, mulut meneguk minuman keras dalam kendi hitam sementara sepasang mata mengawasi dua orang anggota rampok yang tadi berhasil digebuknya.
Hebatnya perempuan ini tidak langsung berdiri di tanah tapi tegak di atas mayat salah seorang awak kapal dagang Cina! Seperti tadi tubuhnya tampak terhuyung-huyung kian kemari.

14

MELIHAT semua yang terjadi, salah seorang anak buah Surah Nenggolo dekati pimpinannya dan berbisik, “Surah, lebih baik kita menghindar saja. Melawan perempuan sinting tapi berkepandaian tinggi kita bisa habis semua.”
“Tutup mulutmu! Aku yang mengatur perintah! Bukan kau!” semprot Surah Nenggolo. “Aku masih penasaran.
Kita serang sekali lagi dengan jurus Langit Terang Memancung Rembulan. Cari senjata! Apa saja!”
Semua anggota rampok segera mengambil tombak dan golok yang bergeletakan banyak di tanah. Masing-masing kini memegang dua senjata termasuk sang pemimpin.
Sementara perempuan muka putih masih asyik-asyikan meneguk minuman keras dalam kendi hitam. Didahului teriakan keras dari Surah Nenggolo, tujuh pasang tangan bergerak. Empatbelas senjata melesat ke udara, mengarah sasaran, mulai dari kepala sampai ke betis perempuan muka putih.
Tiba-tiba dalam satu kecepatan sulit dibayangkan, orang yang diserang seperti tumbang jatuh punggung ke tanah. Sementara lebih dari selusin senjata menyambar ganas kurang setengah jengkal dari atas tubuhnya, si muka putih gulingkan diri di tanah. Sambil berguling tangan kiri lepaskan satu pukulan tangan kosong, mulut semburkan minuman keras. Dua orang anak buah Surah Nenggolo menjerit. Kedua–nya roboh ke tanah, melejang-lejang kelojotan. Empat kawan mereka diam terpaku, kaget dan mulai leleh nyali masing-masing.
“Jahanam kurang ajar! Aku mengadu jiwa denganmu!”
teriak Surah Nenggolo marah besar. Tubuhnya melesat mengejar perempuan muka putih yang masih bergulingan di tanah. Tangan kanan menghantam dua kali berturut turut ke arah punggung.
“Mati kau!” teriak Surah Nenggolo.
Buumm! Bumm! Byaarr! Byaarr!
Dua letusan keras menggelegar. Di tanah kelihatan dua lobang besar. Asap hitam mengepul. Di balik asap terdengar tawa cekikikan. Tiba-tiba sebuah kendi hitam melayang ke arah kepala Surah Nenggolo. Kepala rampok ini menangkis dengan pukulan tangan kiri. Kendi hancur berantakan. Kendi itu ternyata kosong.
“Botak jereng! Aku di sini!”
Surah Nenggolo berpaling ke belakang. Saat itu juga satu pukulan keras menghantam dadanya. Manusia bertubuh pendek ini terpental sampai dua tombak, tapi segera bangun tanpa cidera sedikitpun.
“Hemmm… aku sudah menduga,” ucap perempuan muka putih sambil menyeringai. Dia maju selangkah. Kaki kiri diselipkan ke punggung mayat awak kapal dagang Cina yang tergeletak di tanah. Begitu kaki itu digerakkan ke atas dan sosok mayat melesat di udara ke arah Surah Nenggolo dan anak buahnya berdiri, perempuan muka putih cepat melompat. Sesaat kemudian dia telah berdiri di atas mayat awak kapal dagang yang meluncur di udara.
Dalam kagum dan juga rasa kecut yang mulai membayangi dirinya, Surah Nenggolo berikan perintah pada anak buahnya. “Kalian serang mayatnya. Perempuan keparat itu serahkan padaku!”
Empat anggota rampok yang sebenarnya sudah ciut nyalinya namun takut pada pimpinan mereka terpaksa menghambur maju dan lancarkan serangan ke arah mayat yang dipakai tumpangan untuk meluncur. Sementara Surah Nenggolo angkat tangan kanan. Tangan itu tampak bergetar hebat dan berubah warna menjadi kehitaman.
Kepala perampok ini memang punya satu pukulan sakti disebut Wesi Kala Item. Pukulan sakti ini mengandung racun sangat jahat. Lawan yang hanya terkena sapuan anginnya saja pasti akan cidera kulitnya dan cacat sengsara seumur hidup.
Empat pukulan keras menghantam mayat awak kapal hingga dagingnya remuk dan tulang-tulang berderak patah.
Tubuh perempuan yang berada di atas sosok mayat kelihatan oleng seperti mau jatuh ke tanah.
“Hai, aku pinjam kepalamu!” teriak si muka putih lalu blek! Enak saja kaki kirinya hinggap di kepala salah seorang rampok. Bersamaan dengan itu dia tarik lepas sebuah kendi. Sambil meneguk minuman keras dalam kendi kaki kanannya mencari sasaran kepala perampok yang berdiri paling dekat. Tak ampun lagi rampok ini terpental melintir dan terkapar di tanah dengan rahang rengkah.
Wuss!
Cahaya hitam berkiblat dari tangan Surah Nenggolo yang melepas pukulan Wesi Kala Item. Perempuan muka putih bergumam. Mulutnya terbuka menyembur minuman keras.
Dess! Dess! Buum!
Satu letupan keras menggema di tempat itu, meng goncang rimba belantara Ngluwer. Surah Nenggolo tutupi muka dengan kedua tangan. Mulut berteriak keras. Tubuh terjengkang di tanah. Dua tangannya tampak hangus dan ada bercak-bercak hitam.
“Celaka!” ucap kepala rampok ini dengan muka pucat.
Racun Wesi Kala Item yang dilepas, akibat semburan minuman keras lawan ternyata berbalik mengenai kedua tangannya sendiri.
Tawa cekikikan mengumbar di udara. Putuslah nyali kepala rampok hutan Ngluwer ini walau di depan sana dilihatnya perempuan muka putih terhuyung-huyung lalu jatuh berlutut di tanah akibat letupan keras tadi.
Ketika Surah Nenggolo menghambur kabur tinggalkan tempat itu, tiga orang anak buahnya yang masih hidup telah minggat lebih dulu. Dua orang yang hancur kakinya hanya bisa mengerang merasakan sakit amat sangat.
“Hik… hik! Botak mata jereng! Enak saja mau kabur! Tunggu dulu! Ada yang akan aku tanyakan padamu!”
Surah Nenggolo percepat lari, masuk ke dalam hutan.
Namun kakinya seperti dipantek ketika mendadak di depan sana sosok perempuan muka putih tahu-tahu muncul menghadang. Tubuh terhuyung-huyung, mulut menyeringai. Kepala rampok ini segera memutar arah lari.
Lagi-lagi dia terperangah karena perempuan tadi sudah ada di hadapannya dan sekali tangannya bergerak baju kuning yang dikenakannya robek besar. Seperti tadi yang dilihat dan diduga perempuan muka putih ternyata di balik baju kuning, kepala rampok ini mengenakan sehelai pakaian hitam. Pada dada kiri ada sulaman benang kuning rumah joglo dan sepasang keris bersilang. Melihat sulaman ini perempuan muka putih berteriak keras, mata mendelik seperti memandang setan!
“Benar dugaanku! Kau orang Keraton Kaliningrat.”
Secepat kilat jari telunjuk tangan kanan perempuan muka putih menusuk kelopak mata kanan Surah Nenggolo.
“Dengar, matamu akan aku cungkil jika kau tidak menjawab apa yang aku tanyakan!”
“Jangan! Ampuni selembar jiwaku! Aku akan jawab apa saja yang kau tanyakan!” Kepala rampok itu tampak sangat ketakutan. Tubuh menggigil, wajah seputih kertas.
“Di mana sarangmu! Di mana Keraton Kaliningrat?!”
“Aku… sarang kami di dalam rimba belantara. Selalu berpindah-pindah. Sejak beberapa lama ini kami menjadikan hutan Ngluwer sebagai markas…”
“Bagus! Sekarang katakan di mana letak Keraton Kaliningrat. Apa letaknya sama dengan sarangmu?”
“Yang namanya Keraton Kaliningrat tak ada ujud tak ada bentuk. Letaknya bisa di mana saja!”
“Bangsat juling! Siapa percaya ucapanmu!” Tusukan jari di kelopak mata kanan semakin dalam, menembus kulit hingga darah mulai mengucur. Surah Nenggolo menahan sakit setengah mati. Dia merasa bola matanya seperti mau melompat keluar.
“Aku tidak berdusta. Kau boleh mencungkil mataku!
Kau boleh membunuhku tapi kau tidak akan mendapat jawaban lain.”
“Begitu?” si muka putih menyeringai. “Kalau begitu antarkan aku ke tempat di mana terakhir kali beradanya Keraton Kaliningrat!”
“Percuma saja. Kau tidak akan menemukan siapa-siapa di tempat itu.”
“Hemmm…” Si muka putih bergumam, berpikir-pikir.
“Gadis cantik, aku mohon kau mengampuni selembar jiwaku. Aku bersumpah benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai Keraton Kaliningrat. Dalam jajaran mereka aku tak lebih dari seorang kacung.”
“Kau seorang kacung? Kasihan sekali. Hik… hik. Baiklah, aku akan mengampuni selembar nyawamu. Jika kau bertemu dengan orang-orang Keraton Kaliningrat katakan bahwa kita bersahabat. Sekarang ulurkan tangan kananmu. Aku ingin berjabatan tangan denganmu!”
“Ah, kau baik sekali. Terima kasih…” Surah Nenggolo jatuhkan diri berlutut dan membungkuk berulang kali. Lalu dia angkat tangan kanan, siap untuk menyalami.
Tiba-tiba sebuah kendi hitam berkelebat, lalu praakkk!
Surah Nenggolo menjerit setinggi langit. Tangan kanannya mulai dari jari sampai ke pergelangan hancur!
Si muka putih tertawa bergelak lalu dorong dada Surah Nenggolo dengan kaki kiri hingga orang ini terguling jatuh.
“Tangan yang memiliki ilmu setan harus dihancurkan. Sekarang pergilah, aku tidak suka melihat tampangmu!”
Susah payah Surah Nenggolo berdiri, terbungkukbungkuk menahan sakit lalu lari masuk ke dalam hutan Ngluwer secepat yang bisa dilakukannya. Perempuan muka putih tersenyum. Dia menunggu sebentar lalu melesat ke atas sebatang pohon besar.
***
Hutan Ngluwer ternyata luas sekali. Setelah matahari menggelincir ke barat Surah Nenggolo baru sampai ke tempat yang ditujunya. Tempat itu adalah sebuah danau kecil, dikelilingi pohon-pohon besar. Sosok dan dedaunan pohon yang berbagai ragam membuat air danau seperti berwarna ketika sinar matahari memantul ke permukaan air.
Di pinggir danau ada beberapa tanah yang agak terbuka. Di sini berdiri tiga buah bangunan beratap rumbia.
Dua agak kecil dan berdinding, satunya besar tapi tanpa dinding. Di bangunan besar tampak banyak orang duduk mengelilingi sebuah meja panjang terbuat dari bambu.
Di kepala meja sebelah kanan duduk seorang lelaki berusia sekitar empatpuluh tahun, berwajah cakap, memiliki kening tinggi dan alis tebal. Rambut tebal panjang sebahu. Dibanding semua orang yang ada di tempat itu dia satu-satunya yang berpakaian bagus dan mewah. Di kiri kanan meja duduk duabelas orang yang rata-rata telah berusia lebih dari setengah abad. Di antara mereka, raut wajah serta pakaian jelas menunjukkan sebagai orang rimba persilatan. Satu-satunya perempuan yang hadir di tempat itu adalah seorang nenek berhidung seperti paruh burung kakak tua, bermata dingin berwarna kelabu. Di sebelah luar sekitar empatpuluh orang bertubuh tegap, berpakaian dan ikat kepala hitam tegak berjaga-jaga. Di dada kiri baju yang mereka kenakan tertera sulaman kuning rumah joglo dan dua keris bersilang.
Lelaki di kepala meja sebelah kanan berkeliling lalu bertanya. “Keluarga seperjuangan yang hadir, apakah pertemuan bisa dimulai?”
Ada yang menganggukkan kepala, banyak yang berkata mengiyakan.
“Terima kasih. Terima kasih saudara-saudara seperjuangan bisa hadir dalam pertemuan Keraton Kaliningrat yang ke sembilanbelas ini. Seperti yang sudah-sudah Ayahanda Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata meminta saya mewakili diri beliau.”
“Pangeran Muda, apakah Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata berada dalam keadaan baik?” seorang peserta pertemuan bertanya.
“Tentu saja.” Lelaki yang dipanggil Pangeran Muda menjawab sambil anggukkan kepala. “Ayahanda berkirim salam untuk semua saudara seperjuangan. Ada beberapa hal penting yang akan kita bicarakan. Pertama perihal madat asal kapal dagang Cina yang sampai saat ini tidak diketahui di mana beradanya. Dua orang kerabat kita tewas. Dua orang lagi kembali dengan tangan hampa. malah membawa musibah. Hal kedua…”
Belum sempat Pangeran Muda meneruskan ucapannya tiba-tiba di kejauhan terdengar satu jeritan keras. Lalu suara orang berlari. Tak lama kemudian muncullah satu sosok pendek seorang lelaki berkepala botak, bercambang bawuk lebat. Dia langsung masuk ke dalam bangunan pertemuan. Nafas mengengah, dada turun naik. Muka sepucat kain kafan. Ada luka di mata kanan yang membuat bola matanya seperti hendak meloncat keluar. Tangan kanannya yang hancur dan berlumuran darah setengah kering diletakkan di atas meja. Tubuh terhuyung-huyung.
Kalau tidak lekas dipegang orang niscaya akan jatuh terkapar di tanah. Pertemuan menjadi geger. Seorang cepat mendekati si botak, mengurut beberapa bagian tubuhnya sambil alirkan hawa sakti dan tenaga dalam, memberi kekuatan. Si botak ini lalu didudukkan di sebuah kursi.
“Surah Nenggolo! Apa yang terjadi dengan dirimu?!
Mana anak buahmu?!” Lelaki di kepala meja kanan bertanya. Suara bergetar menahan perasaan.
“Delapan orang menemui ajal. Tiga kabur entah ke mana. Saya mohon maafmu…”
“Jangan dulu bicara soal maaf! Cepat jelaskan apa yang terjadi!” Pangeran Muda di ujung meja membentak.
Ketakutan sekali Surah Nenggolo yang kepala rampok hutan Ngluwer itu menuturkan apa yang terjadi.
“Seorang perempuan muda berotak miring! Membawa minuman keras! Dia yang punya pekerjaan. Dan kau tidak tahu siapa dia adanya! Keterlaluan! Memalukan.”
Pangeran Muda marah sekali. Dia bicara sampai terlonjak berdiri dari kursinya. Lelaki ini kemudian berpaling pada nenek berhidung seperti burung kakak tua. Walau dia satusatunya perempuan di tempat itu, agaknya dia memiliki wibawa cukup tinggi hingga dijadikan tempat bertanya.
“Ni Serdang Besakih, saya ingin mengirimkan orang kita ke perbatasan. Mungkin perempuan sinting itu masih berada di sekitar sana. Namun saya perlu pendapatmu lebih dulu.”
“Pangeran Muda, kelihatannya kita menemui seekor ikan besar. Aku setuju kita mengirimkan orang. Jika boleh aku yang pergi mencari bersama beberapa orang saudara seperjuangan. Saudara-saudara yang berpakaian seragam boleh menyusul untuk mengawasi keadaan. Bagaimana pendapatmu?”
“Pendapatku Nek, kau tak perlu susah-susah mencari. Aku sudah ada di sini!”
Tiba-tiba satu suara terdengar.
Semua orang dalam bangunan sama mendongak ke atas atap karena suara orang yang bicara datang dari arah sana. Bersamaan dengan itu mendadak atap bangunan yang terbuat dari rumbia jebol. Satu sosok berpakaian biru disertai suara tawa mengikik melayang turun ke bawah, berdiri di atas meja! Bau minuman keras mengampar menusuk hidung.
“Dia orangnya!” teriak Surah Nenggolo sambil menunjuk dengan tangan kiri. Semua orang yang ada di tempat itu menjadi geger! Lalu suasana berubah hening seperti di pekuburan.

TAMAT
Episode Berikutnya:
NYI BODONG


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...