Selasa, 05 Januari 2010

Wiro Sableng Episode # 59 : Peti Mati Dari Jepara

posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito


DI LAUT OMBAK BERGULUNG DAHSYAT BERPACU MEMECAH MENUJU PANTAI. LANGIT MALAM TAMPAK HITAM DISAPUT AWAN GELAP DAN TEBAL. ANGIN MENDERU KENCANG MENIMBULKAN SUARA ANEH MENGGIDIKKAN.Di daratan Jepara udara malam dingin mencucuk. Kesunyian dipecah oleh suara desau daun-daun pepohonan tertiup angin yang datang dari arah laut. Hujan rintik-rintik mulai turun. Di kejauhan terdengar suara lolong anjing bersahut-sahutan. Malam itu adalah malam Jum’at Keliwon!
Di antara desau angin malam dan gemerisik suara daun-daun pepohonan yang sesekali dirobek oleh lengking lolongan anjing, dari arah timur Jepara terdengar gemeretak suara roda-roda kereta mengiringi derap kaki­kaki kuda yang menariknya.
Dalam kegelapan malam, sebuah kereta, laksana kereta hantu meluncur keluar dari sebuah lembah yang rapat oleh pohon-pohon besar dan semak belukar. Kereta terbuka ini bergerak perlahan tetapi pasti. Sais yang mengendalikan dua ekor kuda penarik kereta agaknya sengaja bergerak lambat perlahan. Orang ini mengenakan ikatan kepala tebal dari kain putih. Baju putihnya yang tidak dikancing tersibak ditiup angin malam, membuat dadanya tersingkap. Tiga deretan angka samar-samar tampak tertera di dada yang penuh otot itu. 212.
Pandangan matanya jarang berkesip. Wajahnya tampak keras menahan gejolak dendam kesumat sakit hati.
Kedua orang tuanya dulu tewas akibat kejahatan manusia-manusia durjana. Kini manusia-manusia seperti itu pula yang menghancurkan kehidupan keluarga paman­nya. Sumiati, saudara sepupunya diculik, diperkosa ber­gantian secara keji dan tidak diketahui berada di mana. Kakeknya menemui ajal di tangan seorang pengkhianat yang bersekutu dengan tiga manusia dajal: Ganco Langit, Ganco Bumi dan Ganco Laut!
Kapan kejahatan akan berakhir di dunia ini? Apakah orang-orang dunia bersilatan seperti dia yang selalu harus turun tangan sementara mereka yang berwenang dan berkuasa seolah-olah buta mata dan buta hati tidak melihat dan merasakan semua apa yang menyengsarakan rakyat? Malah secara diam-diam bersekutu dan menerima hadiah dari persekutuan jahanam itu!
Memasuki mulut jalan yang menuju kota, Pendekar 212 Wiro Sableng semakin memperlambat lari dua ekor kuda penarik kereta. Malam ini dia akan mulai melakukan satu pekerjaan besar dan berbahaya.
Di belakangnya di atas kereta yang terbuka, mendekam angker sebuah peti mati sangat besar, berwarna hitam pekat.
Pada kayu penutup peti mati kelihatan deretan angka 212, ditera besar-besar dengan cat putih. Angka-angka seperti itu juga terdapat pada tiap sisi peti mati.
Di atas peti mati hitam itu duduk Ken Cilik. Tidak seperti biasanya, saat itu binatang ini sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Dia duduk tak bergerak. Kedua matanya memandang ke depan. Seolah-olah mahluk ini paham apa yang akan dilakukan Pendekar 212 Wiro Sableng, orang yang kini dianggapnya sebagai tuannya sejak Ranalegowo tewas dibunuh orang-orang Ganco Item.
Kereta semakin jauh masuk ke dalam kota, Jepara diselimuti kesunyian. Kereta bergerak menuju pusat kota dan akhirnya berhenti di pintu gerbang sebuah bangunan besar yang tidak lain adalah gedung Kadipaten.
Saat itu Adipati Jepara sedang bertugas di selatan. Karena itu penjagaan di gedung tidak seberapa ketat. Di pintu gerbang sama sekali tidak ada pengawal. Satu­satunya pegawai tampak tidur mendengkur dekat kaki tangga gedung.
Pendekar 212 memasang telinganya. Lalu memandang berkeliling. Sepi, tak ada sesuatupun yang bergerak. Wiro tepuk pinggul dua ekor kuda penarik kereta.
Kedua binatang ini melangkah perlahan. Kereta ber­gerak melewati pintu gerbang lalu berhenti di depan tangga, tak berapa jauh dari sebuah arca.
Dari lantai kereta Wiro mengambil sebuah potongan kayu. Benda ini dilemparkannya ke arah pengawal ber­muka bopeng yang tertidur mengorok. Potongan kayu itu tepat jatuh dan masuk ke dalam mulut pengawal yang me­nganga.
Sesaat masih terdengar suara dengkur pengawal itu, lalu diam. Menyusul suara seperti tercekik. Kemudian tampak pengawal itu menggapai-gapai kelagapan. Sadar ada sesuatu di dalam mulutnya, cepat-cepat dia me­muntahkan. Potongan kayu melesat dari dalam mulutnya, jatuh ke dekat kakinya. Dengan rasa tak percaya, penuh heran pengawal ini mengambil potongan kayu itu.
"Edan!" rutuknya. "Bagaimana kayu ini bisa ada dalam mulutku…"
Justru pada saat memaki itulah pengawal ini baru menyadari kalau di depannya ada sebuah kereta di tarik dua ekor kuda besar. Di atas kereta duduk tak bergerak seorang pemuda berambut gondrong, berikat kepala kain putih. Lalu pengawal ini jadi mengkeret ketika matanya membentur peti mati besar di atas kerta. Tak pernah dia melihat peti mati sebesar dan seangker itu. Seekor monyet duduk di atas peti mati itu, memandang dengan sepasang matanya yang berkilat-kilat walaupun dalam kegelapan malam.
Si pengawal menggosok kedua matanya beberapa kali. Dia mengira tengah bermimpi. Ketika kereta dan saisnya tetap terpampang di depannya sadarlah pengawal ini kalau dia tidak bermimpi. Tiba-tiba saja dia ingat bahwa malam itu adalah malam Jum’at Kliwon!
"Kereta hantu!" itu kini yang terpikir dalam benak si pengawal. Kuduknya mendadak sontak menjadi dingin. Segenap persendiannya jadi bergetar. Dia berusaha berdiri, tapi pandangan mata sais kereta membuatnya laksana di pantek ketangga batu dimana dia duduk saat itu!
Dalam keadaan seperti itu pengawal ini coba memper­hatikan kaki-kaki dua ekor kuda penarik kereta. Semua kaki-kaki binatang itu ternyata menginjak tanah. Pertanda bahwa yang datang bukanlah setan atau hantu. Hal ini membuat keberaniannya pulih kembali.
"Orang jelek! Kau pengawal yang bertugas di gedung Kadipaten ini?!" Pendekar 212 Wiro Sableng bertanya dengan suara garang.
Dipanggil dengan sebutan orang jelek membuat penga­wal itu marah.
"Orang di atas kereta! Mulutmu kurang ajar! Apa ke­perluanmu datang ke gedung Kadipaten malam-malam. Hanya setan yang masih gentayangan malam-malam begini! Kau ini manusia atau setan?!"
"Dua-duanya!" jawab Pendekar 212 dari atas kereta. Tangan kanannya memutar-mutar cambuk panjang yang dipegangnya hingga mengeluarkan suara berdesing ber­ulang-ulang.
Mendengar jawaban Wiro sesaat pengawal itu jadi melengak. "Jangan berani main-main dengan pengawal Kadipaten!" kertaknya. Lalu dengan marah tangannya dige­rakkan ke pinggang untuk mencabut goloknya.
Cambuk di tangan Wiro melesat. Ujung cambuk ini cepat sekali telah melibat pergelangan tangan si pengawal, terangkat begitu rupa hingga dia tidak bisa menggerakkan­nya untuk menghunus senjatanya. Pengawal ini jadi ter­nganga dan berubah tampangnya.
"Kalau kau cabut golokmu, aku akan jadi setan yang akan menjirat batang lehermu!"
Wiro gerakkan tangannya. Ujung cambuk yang melibat lengan pengawal terlepas.
Ancaman Wiro tadi membuat si pengawal menjadi ragu. Tetapi begitu jiratan pada lengannya lepas, dia malah membentak.
"Setan manusia! Jangan kau berani membuat keonaran di gedung Kadipaten!"
"Siapa yang membikin onar! Bukan kau duluan yang hendak mencabut goiok menyerangku?"
"Setan manusia! Kau memasuki tempat ini tanpa izin­ku!" Wiro menyeringati.
"Setan manusia tidak perlu minta izin pada manusia jelek sepertimu!" sahut Wiro. "Aku datang mencari seorang Bintara bernama Anggoro! Aku tahu dia ada di dalam gedung. Lekas panggil ke mari!"
"Bintoro Anggoro atasanku! Keperluan apa kau mencari­nya?!"
"Tak perlu banyak tanya. Kau panggil saja Bintara itu. Cepat!"
"Bintoro Anggoro sedang tidur."
"Kalau begitu bangunkan!"
Pengawal bopeng itu terdengar menggrendeng. "Kurang ajar! Kau ini serta manusia berotak miring rupanya! Lekas minggat dari hadapanku! Atau kau akan menyesal!"
Untuk kedua kalinya pengawal ini menggerakkan tangannya ke pinggang. Sekali ini dia sempat mencabut senjatanya. Namun sebelum dia bergerak lebih jauh cambuk di tangan kanan Pendekar 212 kembali berkelebat dan tahu-tahu batang lehernya sudah terjirat kencang.
"Kau panggil Anggoro atau kuremuk batang lehermu!" mengancam Wiro.
Lidah pengawal yang lehernya terjirat cambuk itu mulai menjulur. Matanya mulai mendelik. Goloknya terlepas jatuh. Tersendat-sendat terdengar suaranya.
"Ja…jangan. Aku…aku akan panggil Bintoro Anggoro. Aduh…Lepaskan…"
Wiro lepas dan jiratan cambuk. "Katakan pada atasan­mu itu bahwa Malaikat Maut menunggunya di tempat ini!"
"Malaikat…malaikat Maut?"
"Ya, Malaikat Maut!" jawab Pendekar 212. "Lekas panggil Bintara itu!" hardiknya kemudian.
Sambil pegangi lehernya yang masih sakit akibat jeratan cambuk tadi, pengawal ini lari masuk ke dalam.
Saat itu sesosok tubuh mendatangi dari ruang dalam, langsung memapasi. "Pengawal! Ada apa kau bergegas memasuki gedung! Tugasmu berjaga-jaga di luar! Tadi kudengar kau seperti bicara dengan seseorang! Ada siapa di luar sana?!"
Ucapan dan pertanyaan yang beruntun ini membuat si pengawal jadi tergagap sesaat.
"Hai! Ada siapa di luar?" bentak orang tadi.
"Malaikat Maut!" si pengawal akhirnya menjawab.
Orang yang tadi bertanya kertakan rahang. "Malam­malam begini aku tidak suka ada orang bicara main-main denganku!"
"Maafkan aku Perwira. Tapi di luar sana memang ada seorang mengaku Malaikat Maut. Dia mencari Bintoro Anggoro."
Orang yang dipanggil Perwira itu menatap ke arah pintu depan yang terbuka. Lewat pintu dia melihat di luar sana ada dua ekor kuda, sebagian ujung kereta lalu seorang pemuda duduk di atas kereta. Dari tempatnya berdiri perwira ini tidak dapat melihat peti mati besar di bagian belakang kereta. Namun dia sempat melihat seekor monyet duduk menangkring di atas bahu kiri pemuda yang bertindak selaku sais kereta itu.
"Datang malam-malam begini, membawa seekor monyet. Tamu aneh…" kata si perwira daiam hati. Lalu dia berpaling pada pengawal tadi. "Kau teruskan memberi tahu Bintoro Anggoro. Aku akan menemui tamu tak diundang itu."
Perwira tadi lalu cepat-cepat menuju ke bagian depan gedung Kadipaten. Langkahnya serta merta terhenti begitu dia melihat apa yang ada di atas kereta, di belakang pemuda yang duduk memegang cambuk.
"Peti mati. Besar sekali…" kata perwira ini dalam hati. Lalu dia berpaling menatap heran pada pemuda di atas kereta. Beberapa saat kemudian dia menegur.
"Aku Ario Gelem, Perwira Muda Kadipaten Jepara."
Wiro angguk-anggukkan kepala. Matanya memperhati­kan Ario Gelem tapi tidak berkata apa-apa.
Sikap Pendekar 212 itu membuat sang perwira merasa tidak enak. Maka diapun melanjutkan kata-katanya.
"Saudara, kau memasuki kawasan gedung Kadipaten malam-malam begini. Membawa seekor moyet dan sebuah peti mati besar. Apa keperluanmu?!"
"Aku Malaikat Maut! Datang mencari Bintoro bernama Anggoro untuk minta pertanggungan jawab!" jawab Wiro.
Perwira muda itu terkesiap sesaat. Dia mengusap dagunya beberapa kali. Setelah bergumam dia berkata, "Aku tidak tahu apakah saat ini aku berhadapan dengan orang gila atau apa. Tapi kuharap jangan berani bicara main-main. Lekas pergi dari sini!"
"Malaikat Maut tidak ada yang gila! Ingat hal itu baik­baik Perwira!" kata Wiro pula sambil menyeringai. "Aku datang untuk minta nyawa Bintoro Anggoro!"
Ario Gelem hendak tertawa mendengar kata-kata itu. Namun ketika dilihatnya wajah Pendekar 212 memancar­kan sikap dingin dan kedua matanya memancarkan sinar maut, bahkan seringainya juga menebar hawa kematian, perwira ini jadi tercekat juga.
"Ada urusan spa kau dengan bawahanku itu?" tanya Perwira Muda Ario Gelem.
"Kau akan dengar sendiri kalau dia sudah muncul di sini!" jawab Wiro.
Dua orang melangkah keluar dari ruangan dalam. Di sebelah belakang adalah pengawal muka bopeng tadi sedang di depannya seorang lelaki muda yang hanya mengenakan sehelai pakaian tidur. Di tangan kanannya dia membawa sebilah pedang.
"Anggoro, orang ini mencarimu. Kau kenal dia?" berkata Ario Gelem.
Bintara itu memandangi wajah Wiro sesaat lalu meng­gelengkan kepala.
Saat itu Ken Cilik yang ada di bahu Pendekar 212 keluarkan suara pekikan tiada henti. Kedua matanya melotot memandang Bintoro Anggoro. Binatang ini tiba-tiba melompat menerkam kepala Bintara itu.
"Monyet sialani Kau minta kugebuk!" maki Anggoro. Tinju kanannya dihantamkan ke kepala Ken Cilik.
Diatas kereta Pendekar 212 gerakkan tangan kanannya sedikit. Serangkum angin deras menerpa ke arah dada Anggoro. Bintara ini terjajar setengah langkah. Hal ini menyebabkan jotosannya ke arah kepala Ken Cilik tak ber­hasil menemui sasaran.
"Ken Cilik! Kembali!" Wiro memanggil.
Monyet coklat itu menjerit beberapa kali, menjatuhkan diri ke lantai lalu melompat-lompat ke atas punggung salah seekor kuda penarik kereta. Dari sini Ken Cilik melompat kembali ke atas bahu Wiro. Wiro usap-usap punggung binatang ini seraya berkata, "Tenang sahabatku. Aku tahu kau sudah mengenali si pembunuh itu. Tenang…"
Ketika tadi Wiro menggerakkan tangan melepas pukul­an tangan kosong yang mengandung tenaga dalam untuk menyelamatkan Ken Cilik dari pukulan Anggoro, Perwira Muda bernama Ario Gelem itu sempat melihat gerakan ini. Dalam hati dia segera memaklumi kalau pemuda gondrong di atas kereta adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Perwira ini berpaling pada Anggoro lalu berkata.
"Dia mengaku bernama Malalkat Maut. Punya urusan denganmu!" sambung Ario Gelem.
"Orang gila! Katakan apa kepentinganmu membangun­kanku malam-malam begini?!" membentak Anggoro.
"Sekitar sepuluh hari lalu kau membunuh seorang tua bernama Kioro Mertan di sebuah hutan dekat Kudus. Benar?!"
Paras Bintoro Anggoro berubah. Sesaat dia melirik pada Perwira Muda di sampingnya lalu menghardik ke arah Wiro.
"Pertanyaan gila apa yang kau ajukan ini?!"
Paras Wiro tidak bergeming. "Aku hanya ingin men­dengar apa yang kukatakan tadi benar atau tidak!"
Anggoro tidak menyahut. Tangan kanannya meng­genggam pedangnya kuat-kuat.
"Memang benar!" tiba-tiba Anggoro menjawab. "Sepuluh hari lalu aku membunuh seorang lelaki tua bernama Kioro Mertan! Tapi dia adalah kaki tangan gerombolan Ganco Item!"
"Bintoro Anggoro! Kau bukan saja pandai membunuh dengan pedangmu tapi juga pandai bersilat lidah memutar balik kenyataan!"
"Bangsat! Apa maksudmu!"
"Orang tua korban pembunuhan kejimu itu adalah kakekku. Dia adalah juga mertua dari Rana Legowo pamanku yang menjadi kepala desa Jatingaleh. Gerom­bolan Ganco Item menyerbu desa, membakari rumah penduduk, merampok dan membunuh. Ketika Kioro Mertan melakukan pengejaran kau secara keji membunuh­nya!"
"Aku tidak segila itu membunuh orang! Kioro Mertan pantas mati karena dia memang kaki tangan gerombolan Ganco Item!"
"Bukan kakekku itu yang jadi kaki tangan gerombolan Ganco Item. Tapi kau! Kau menerima sejumlah uang untuk persekutuan bejatmu dengan manusia-manusia durjana itu!"
"Kurang ajar! Pembohong besar! Fitnah jahat!" teriak Bintoro Anggoro lalu menghunus pedangnya dan langsung menyerbu Wiro yang masih duduk di atas kereta.
Wiro putar tangannya. Cambuk panjang berkelebat di udara mengeluarkan suara keras, menghantam ke arah muka Anggoro. Bintara ini terpaksa pergunakan pedangnya yang tadi dipakai membacok untuk menangkis. Cambuk dan pedang saling beradu. Ujung cambuk dengan cepat melilit badan pedang. Tapi dengan cerdik Bintara ini tarik pedangnya kuat-kuat hingga cambuk putus menjadi be­berapa potongan.
"Kau pasti kaki tangan Ganco Item! Kau juga pantas kuhabisi saat ini!" teriak Bintoro Anggoro. Kembali dia menyerbu Wiro yang saat itu masih tetap duduk tak bergerak di bagian depan kereta sementara dua ekor kuda penarik kereta mulai gelisah sedang Ken Cilik mulai memekik-mekik.
Pedang menderu. Wiro miringkan pinggangnya yang jadi sasaran Brett! Pakaian putihnya masih sempat disambar ujung pedang. Ketika Anggoro berusaha membuat gerakan membalik untuk membacok kedua kalinya, Pendekar 212 mendahului dengan menghunjamkan kaki kanannya ke dada Bintara ini.
Anggoro memekik keras. Tubuhnya terpental empat langkah. Pedangnya lepas, mental ke udara.
Ketika jatuh kembali, Wiro sudah ulurkan tangan dan menangkap pedang itu.
"Dengan pedang ini dulu kau membunuh kakekku! Dengan pedang ini pula nyawamu akan kuhabisi!" kata Wiro masih dari atas kereta. Sementara Anggoro tampak berdiri terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dadanya yang serasa pecah. "Bintoro Anggoro! Sebelum kau mati, jawab dulu satu pertanyaanku! Gerombolan Ganco Item menculik anak gadis kepala desa Jatingaleh! Kau pasti tahu ke mana mereka membawanya! Kau hanya punya waktu satu kejapan mata!"
"Tunggu!" Tiba-tiba Perwira Muda bernama Ario Gelem berseru. Dia maju dan tegak antara kereta dengan Anggoro, "Saudara! Apapun urusanmu dengan bawahanku! Tidak berarti kau bisa bertindak seenaknya! Aku yakin Bintoro Anggoro punya cukup bukti-bukti bahwa Kioro Mertan adatah kaki tangan gerombolan Ganco Item. Dia membunuh orang tua itu dalam menjalankan tugas!"
"Tugas? Apakah kau yang memberikannya tugas itu Perwira Muda? Kau tak perlu menyebut seribu bukti. Aku tahu siapa kakekku! Tanyakan pada bawahanmu itu berapa uang yang didapatnya rnenjadi kaki tangan Ganco Item! Ada perajurit-perajurit Kadipaten yang menjadi saksi hidup! Adalah tolol kalau kau tidak mengetahui siapa sebenarnya anak buahmu yang satu ini!"
Merah padam wajah Ario Gelem.
"Siapa dia nanti bisa kuperiksa. Sekarang harap kau segera tinggalkan tempat ini!" kata Perwira Muda itu pula.
Wiro menyeringai. "Aku tidak akan meninggalkan tem-pat ini tanpa jazad kotornya!" jawab Pendekar 212. Lalu tangan kanannya menarik sebuah palang kecil di bagian kanan kereta. Terdengar suara berkereketan. Penutup peti mati hitam secara aneh bergerak membuka.
Tampang Bintoro Anggoro menjadi pucat mengkerut.
Wiro melompat turun dari atas kereta. Tapi gerakannya dihalangi oleh Ario Gelem.
"Kau membuat aku kehabisan kesabaran Perwira Muda!" ujar Wiro.
"Tinggalkan tempat ini! Itu perintahku!"
"Persetan dengan perintahmu! Aku bukan bawahanmu!"
"Kalau begitu kau minta digebuk!" mengancam Ario Gelem.
"Perwira tolol! Kau makan dulu ini!" teriak Wiro marah. Lalu tangan kanannya menyambar ke dada Ario Gelem. Perwira ini cepat menghindar sambil memukul lengan Pendekar 212 dari bawah. Lalu terdengar Ario Gelem mengeluh. Perwira ini mundur sambil pegangi lengan kanannya yang saat itu tampak bengkak kemerahan. Sam­bil menahan sakit, dengan beringas Ario Gelem kerahkan tenaga dalam lalu lepaskan satu pukulan setelah terlebih dahulu merapal satu aji kesaktian.
Biasanya dia jarang mengeluarkan ilmunya ini tetapi se­telah bentrokan tadi dan sebelumnya dia telah pula me­nyaksikan bagaimana Wiro melepaskan tenaga dalam yang dapat membuat Anggoro terjajar, maka dia lalu menghan­tam sambil kerahkan tenaga dalam.
Dua kuda penarik kereta meringkik keras. Monyet di atas bahu Wiro ikut memekik lalu melompat ke atas penutup peti mati yang telah terbuka.
Wiro merasakan ada hawa yang sangat dingin meng­hantam ke arahnya. Dia cepat menghindar sambil siapkan tangan kiri untuk menangkis serangan lawan dengan pukulan tangan kosong pula. Tapi begitu dia kerahkan tenaga dalam, hawa dingin yang datang menyerbu men­dadak berubah menjadi hawa sangat panas! Perubahan secara mendadak dari dingin ke panas ini membuat Wiro merasakan sekujur tubuhnya seperti disengat.
Jika diikutinya nafsu amarahnya saat itu ingin saja dia melepas pukulan sinar matahari. Namun karena lebih mementingkan balas dendamnya terhadap Anggoro maka Wiro cepat keluarkan ilmu silat Orang Gila yang dipelajari­nya dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya sempoyongan hebat seperti hendak roboh. Tangan kanannya yang meme­gang pedang milik Anggoro di angkat ke atas. Untuk sesaat senjata itu tampak bergoyang keras akibat terjangan angin pukulan Ario Gelem. Perwira ini sendiri tampak terkejut ketika melihat bagaimana pedang itu secara aneh bergerak kian kemari lalu tiba-tiba sekali menyusup di antara angin pukulannya dan menusuk ke arah perutnya!
Sambil berseru keras Ario Gelem terpaksa melompat mundur langsung cabut golok di pinggangnya.
Trang!
Terdengar suara berdentrangan ketika golok di tangan Ario Gelem dan pedang di tangan Wiro saling bentrokan. Wiro merasakan tangannya bergetar keras. Ario Gelem merasa bahwa dia memiliki tenaga luar dan tenaga dalam yang lebih ampuh dari lawannya. Langsung saja Perwira Muda ini hendak kirimkan satu bacokan ke bahu lawannya. Tapi alangkah kagetnya dia ketika disadarinya dia tidak lagi dapat menggerakkan tangan kanannya yang mengacung­kan golok itu.
Apa yang terjadi atas dirinya? Dicobanya mengangkat kaki kiri. Tak bisa. Kaki kanan. Juga tak bisa. Tangan kiri. Sama saja. Astaga! Ternyata dia telah berada dibawah pengaruh satu totokan yang hebat! Sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan lagi. Dia tegak seperti patung yang tengah mengacungkan senjata!
"Perwira tolol! Seharusnya kau menghukum bawahan seperti ini! Bukan malah melindunginya!"
"Kalau kau berani melakukan sesuatu terhadap Bintara itu, aku akan mencarimu sampai dapat dan menghukum­mu!"
Wiro tertawa mendengar ucapan Ario Gelem itu. "Hukum hanya berlaku untuk orang-orang tolol sepertimu!" kata Pendekar 212. Lalu dia melangkah mendekati Anggoro yang saat itu berdiri dalam keadaan ketakutan setengah mati. Ken Cilik menjerit keras. Monyet ini tiba-tiba melompat ke arah Bintara itu, mencengkeramkan kuku­kukunya di bahu lalu menghunjamkan taringnya di leher Anggoro. Bintara ini menjerit kesakitan Darah mengucur dari luka-luka kecil di bahu dan lehernya.
"Ken Cilik! Lepaskan orang itu! Dia harus mati dengan cara lain!" kata Wiro seraya angkat tangan kanannya yang memegang pedang.
Ken Cilik memekik keras lalu melompat ke atas bahu Wiro.
"Apa yang hendak kau lakukan padaku…?!" tanya Anggoro dengan suara gemetar.
"Ke mana gerombolan Ganco Item membawa anak gadis Ranalegowo?! Jawab!"
"Aku…aku tidak tahu. Tapi gerombolan itu kudengar menuju ke selatan. Mereka…mereka…"
"Mereka apa?!" bentak Wiro. Tangan kirinya menjambak rambut Anggoro.
"Mereka…mereka hendak merampok benda-benda pusaka Keraton Demak yang disimpan di Mesjid Besar…"
Wiro lepaskan jambakannya. Dia berpaling ke arah Ario Gelem. "Perwira, kau dengar sendiri ucapan itu keluar dari mulutnya. Kalau bawahanmu ini bukan kaki tangan gerombolan Ganco Item, bagaimana dia tahu apa yang akan dilakukan orang-orang itu?! Lalu apakah dia pernah melaporkan padamu gerakan dan rencana kejahatan yang hendak dilakukan gerombolan Ganco Item itu?!" Wiro menyeringai. "Aku tak perlu jawabanmu Perwira. Tapi sekarang kau punya otak untuk memikirkan siapa anak buahmu ini sebenarnya!"
Paras Ario Gelem tampak kelam membesi.
Selagi Wiro bicara kepada Perwira Muda itu, Anggoro berusaha mencari kesempatan untuk melarikan diri. Tapi Wiro bukannya tidak tahu. Baru saja orang ini sempat memutar tubuhnya, Pendekar 212 dengan cepat menusuk­kan pedang milik Anggoro yang ada di tangan kanannya.
Bintara itu terdengar menjerit keras. Ario Gelem ter­beliak menyaksikan kejadian itu. Darah tampak mengucur dari lambung yang tertembus pedang. Anggoro hanya mampu tegak sesaat Tubuhnya kemudian rebah dekat kaki tangga. Suara jeritannya makin perlahan lalu berubah jadi erangan. Ketika nyawanya putus, Wiro cabut pedang yang menancap di perut orang itu. Lalu mayat Anggoro dilempar­kannya ke dalam peti mati.
Wiro melompat ke atas kereta. Ken Cilik melompat pula ke atas punggung salah seekor kuda penarik kereta. Binatang ini memandang menyeringai ke arah Ario Gelem. Di atas kereta Wiro mengambil sebuah kantong tebal berisi bubuk berwarna abu-abu. Bubuk ini ditebarkannya di atas mayat Anggoro.
Itulah bubuk penangkal bau busuk yang didapat Wiro dari Haji Tan si penjual peti mati.
"Perwira Muda…," kata Pendekar 212 kemudian pada Ario Gelem. "Ingat baik-baik. Jika kau berusaha mengejar­ku, peti mati ini masih cukup besar untuk ketambahan mayatmu!"
Ario Gelem tidak mengeluarkan suara apa-apa. Hanya matanya saja yang memandang berapi-api pada Wiro, Pendekar 212 mendorong palang kayu di bagian kanan kereta. Terdengar suara berkereketan ketika papan penutup peti mati yang bertuliskan angka 212 itu bergerak meninggalkan halaman gedung Kadipaten.
Wiro usap kepala monyet yang kini duduk di sebelah­nya.
"Baru satu Ken Cilik. Baru satu! Masih ada tiga mayat lagi akan mengisi peti mati itu, kecuali jika ada yang mau ikutan! Mari, Ken Cilik. Kita akan mengambil mereka di selatan…"
Ken Cilik menyeringai lalu membuka mulutnya lebar­lebar. "Kwik…kwik…Kwiikkkkk!" Kera ini memekik dan melompat duduk di samping Wiro.
ANGIN BERTIUP KENCANG. HUJAN YANG TADI HANYA TURUN RINTIK-RINTIK KINI MULAI MEMBESAR LALU MENCURAH LEBAT. KERETA ITU MELUNCUR TERUS SEPERTI TIDAK PERDULI AKAN LEBATNYA HUJAN DAN PEKATNYA KEGELAPAN MALAM. BENAR-BENAR SEPERTI KERETA HANTU!

***


Kapak Maut Naga Geni 2121

PENDEKAR 212 Wiro Sableng berdiri di depan rerumpunan pohon bambu di puncak bukit.
Memandang ke depan, jauh di bawahnya terhampar pemandangan yang sangat indah berupa suatu pedataran yang dipenuhi petak-petak tanah persawahan.
Sebuah sungai kecil berair bening yang berkilauan ter­timpa sinar matahari pagi membelah pedataran persawah­an dan daerah perumahan penduduk. Sungal kecil itu se­lanjutnya mengalir ke barat, melewati tambak-tambak IKan dan akhirnya bermuara di laut biru.
Wiro memalingkan kepalanya ketika di ujung jalan kecil di bawahnya terdengar suara hiruk pikuk. Seorang lelaki tua dilihatnya berjalan terburrogkuk-bungkuk. Di tangan kanannya ada sebatang kayu kecil yang selalu dikibas­kibaskan. Sedang didepannya berjalan beriringan sambil mengeluarkan suara riuh tiada henti serombongan itik yang jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor.
Wiro segera menuruni bukit, menghampiri orang tua pengangon itik dan melangkah di sampingnya. Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangi si pemuda lalu seperti tak acuh dia terus saja berjalan.
"Bapak tua, "Wiro menegur. "Apakah yang di bawah sana itu kampung Jatingaleh?"
Yang ditanya berpaling sambii kerenyitkan kening dan kibas-kibaskan tongkat kayu di tangan kanannya.
"Kampung katamu? Dulu memang hanya sebuah kampung. Tapi kini telah berubah menjadi sebuah desa besar. Subur makmur dan tentram. Penduduknya bercocok tanam, punya tambak dan sawah ladang. Juga banyak yang jadi nelayan."
"Ah, aku tidak keliru datang ke tujuan," kata Wiro dalam hati dan penuh gembira. Desa Jatingaleh. Dulu hanya merupakan sebuah kampung. Di situ menurut gurunya dia punyai seorang paman bernarna Ranalegowo, Wiro benar­benar merasa gembira.
Sebentar lagi dia akan bertemu adik mendiang ayahnya. Mungkin juga dengan saudara-saudara sepupunya. Dia tidak tahu pamannya punya anak berapa. Selama ini dia merasa hidup sebatang kara, tidak kadang tidak saudara. Namun hari ini dia akan bertemu dengan seorang paman, lalu seorang bibi tentunya.
Wiro ingat ucapan gurunya beberapa tahun lalu. "Menurut apa yang kuketahui…," berkata Eyang Sinto Gendeng saat sebelum melepas muridnya itu pergi. "Di kampung Jatingaleh dekat Jepara kau punyai seorang paman. Namanya…nggg… kalau tak salah namanya Ranalegowo. Bila kau punyai waktu sambangi dia. Itu tandanya kita orang Jawa yang tidak lupa dan selalu menghormat pada orang tua."
"Kau bukan orang sini…" kata orang tua pengangon itik.
Wiro tersenyum. Saat itu dia sampai di sebuah telaga berair dangkai. Orang tua tadi kembali mengibas-kibaskan tongkatnya, malah kini berteriak, "Mandi, ayo mandi! Cari cacing sekenyang kalian! Hari ini kita harus pulang lebih cepat."
Puluhan itik itu tampak berserabutan hangar-bingar masuk ke dalam telaga. Ada yang berenang berputar-putar sambil mengeluarkan suara memekakan telinga. Ada yang mencelupkan kepalanya berulang kali. Tapi yang paling banyak adalah menyudu dengan paruhnya di sepanjang tepi telaga, mencari cacing-cacing besar yang memang banyak terdapat disitu.
Sambil duduk di sebatang tumbangan pohon orang tua pengangon itik mulai menggulung sebatang rokok. Wiro ikut duduk di sebelahnya.
"Saya memang bukan orang sini," kata Wiro. "Saya ke mari untuk menyambangi seorang paman. Adik ayah saya."
Orang tua itu menoleh sebentar. Dia tidak berkata apa­apa, seperti menunggu Wiro bercerita lebih lanjut.
"Saya belum pernah bertemu dengan paman saya itu. Saya tak kenal dia, dia tentu juga tidak kenal saya."
"Kau mencari seorang paman…," Pengangon itik nyalakan rokok yang barusan digulungnya. "Mengapa tidak mencari orang tuamu sendiri?"
"Kedua orang tua saya sudah sejak lama meninggal," jawab Wiro. "Mereka dimakamkan jauh di tanah barat sana."
"Siapa paman yang kau cari itu?"
"Namanya Ranalegowo."
Orang tua yang hendak menghisap rokoknya itu nampak berubah parasnya. Rokoknya tak jadi dihisapnya. "Ranalegowo katamu, anak muda?" Wiro mengangguk.
"Dia adalah kepala desa kami sejak lebih dua puluh tahun lalu."
"Kalau begitu saya beruntung punya paman seorang kepala desa. Rumahnya tentu besar, kudanya banyak, ternaknya tidak terhitung…"
Orang tua itu tertawa.
"Rumah kepala desa Jatingaleh memang besar. Tapi dia hidup sederhana. Dia tidak memiliki sawah atau ladang berpetak-petak. Dia tidak memelihara ternak berkandang­kandang. dia bekerja keras memang. Tapi bukan untuk menumpuk kekayaan. Melainkan untuk memberi hidup yang berarti bagi keluarganya serta membantu penduduk membangun desa."
Orang tua itu hisap rokoknya dalam-dalam, lalu berdiri dan memandang lekat-lekat pada Wiro. Si pemuda jadi ikut-ikutan berdiri.
"Siapa namamu anak?"
"Wiro, "jawab murid Sinto Gendeng tanpa mau menambahkan Sableng karena dia kawatir orang tua ini bisa punya pikiran macam-macam terhadapnya.
"Anak muda, tahukah kau siapa aku…?" bertanya orang tua bungkuk itu.
"Mana saya bisa menduga," jawab Wiro.
"Namaku Kioro Mertan. Aku adalah ayah mertua pamanmu! Anak perempuanku kawin dengan Ranalegowo. Mereka punya seorang anak tunggal yang kini sudah menjadi gadis jelita sebayamu. Bernama Sumiati."
Mendengar kata-kata orang tua itu Pendekar 212 Wiro Sableng segera membungkuk dalam-dalam.
"Gusti Allah memang Maha Besar!" kata Kioro Mertan sambil menepuk-nepuk bahu Wiro. "Kalau begitu kita harus pulang ke desa sekarang jugal Agar kau lekas bertemu dengan paman dan bibimu serta cucuku Sumiati itu!"
Orang tua itu memutar tubuhnya. Dengan muka penuh gembira sesaat dia berpaling ke arah kejauhan di mana terlihat desa Jatingaleh dengan hamparan sawah yang padinya mulai menguning.
Mendadak air muka Kioro Mertan berubah. "Ya Tuhan! Apa yang terjadi di desa!"
Wiro berpaling dan memandang ke jurusan desa. Dari tempat mereka berdiri di tepi telaga itu keduanya melihat asap hitam mengepul dari atap beberapa rumah. Penduduk tampak berlarian kian kemari. Di beberapa jurusan desa kelihatan penunggang-penunggang kuda bergerak dalam suasana yang onar. Sayup-sayup terdengar pekik jerit di selingi oleh suara ringkik kuda.
"Kebakaran! Desa diamuk api!" teriak Kioro Mertan.
Wiro menatap tajam lalu berkata, "Kalau ada empat lima rumah yang berjauhan dimakan api dalam waktu bersamaan, lalu penduduk tampak berlarian sambil ber­teriak-teriak, itu bukan kebakaran. Rumah-rumah itu sengaja dibakar! Lihat orang-orang yang menunggang kuda itu!"
Kioro Mertan tidak mendengar lagi apa yang dikatakan Wiro. Dia juga melupakan itik-itiknya yang ada di telaga. Orang tua ini dengan seluruh tenaga yang biasa dikumpulkannya lari menuruni bukit menuju ke desa.
Ketika Wiro dan dan orang tua itu sampai di Jatingaleh mereka hanya menemukan sisa-sisa kejahatan biadab menghampar di antara reruntuhan rumah penduduk yang masih dikobari api. Jerit tangis terdengar dimana-mana. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Ada yang sudah jadi mayat. Ada yang masih meregang nyawa dengan badan penuh luka bekas bacokan atau tusukan.
Kioro Mertan menemukan rumahnya termasuk salah satu yang musnah dimakan api. Dia berteriak-teriak seperti orang gila memanggil-manggil istrinya. Dekat sebuah lumbung padi yang telah berubah menjadi puing-puing hitam tergeletak sosok tubuh seorang perempuan tua. Ada guratan luka yang sangat dalam di pelipis dan pipi kirinya.
"Bune Wini…!" teriak Kioro Mertan begitu melihat istrinya. Dia menghambur dan jatuhkan diri, merangkul perempuan itu. "Apa yang terjadi bune. Katakan apa yang terjadi…!" Dengan bajunya Kioro Mertan menyeka darah yang membasahi wajah istrinya.
Perempuan itu mengerang panjang tak tahan rasa sakit yang dideritanya. Kedua matanya terpejam.
"Bune…! Bune…! Kau jangan mati bune! Kau tidak boleh mati!" teriak Kioro Mertan sesenggukan. Tubuh istrinya diguncang-guncangnya berulang kali. Saat itu setelah me­mandang berkeliling beberapa kali, Wiro ikut jongkok di samping kedua orang itu.
"Pake …syukur kau datang…" terdengar suara sangat perlahan keluar dari mulut perempuan tua itu. Dia bicara dengan kedua mata masih tetap memicing.
"Katakan apa yang terjadi bune. Bicara bune! Ya Tuhan!"
"Orang-orang jahat itu pakne. Gerombolan Ganco Item! Mereka menyerbu desa. Membakar… merampok… Lekas ke rumah anak kita pakne … Aku kawatir..:" Ucapan perempuan tua itu hanya sampai di situ.
Kioro Mertan meraung dan mengguncang tubuh itu.
Wiro menyaksikan kejadian itu dengan tangan terkepal.
"Masih saja ada manusia-manusia jahat biadab ber­keliaran menimbulkan malapetaka…" katanya geram.
"Bapak tua…," kata Wiro. "Mari saya bantu mendukung istrimu ke gubuk sana. Ada balai-balai di depan gubuk. Baiknya kita baringkan dia di atas balai-balai itu."
"Aku…aku masih sanggup mendukungnya sendiri," jawab Kioro Mertan. Dan orang tua bungkuk ini memang ternyata mampu mendukung lalu membaringkan jenazah istrinya di alas balai-balai.
"Bapak, tunjukkan pada saya di arah mana rumah kepala desa menantumu itu."
Kioro Mertan menyeka kedua matanya yang basah. Lalu dengan menggigit bibir diusapnya kening dan rambut putih istrinya.
Orang tua ini berpaling pada Wiro. Dengan suara ber­getar dia berkata, "Ikuti aku!"
Rumah besar di tengah desa itu tenggelam dalam korban api.
"Rana! Rawini! Sum…! Dimana kalian?!" teriak Kioro Mertan. Tak ada sahutan. Orang tua itu berteriak sekali lagi sementara Wiro melangkah cepat mengelilingi rumah yang sewaktu-waktu siap ambruk itu, dari atas sebuah pohon dekat rumah besar yang terbakar terdengar suara pekikan­pekikan aneh. Wiro berpaling. Tampak seekor monyet ber­bulu coklat melompat-lompat kian kemari sambil memekik tiada henti. Wiro alihkan pandangannya ke arah rumah yang terbakar kembali. Tiba-tiba dibalik kobaran api dia melihat ada dua sosok tubuh saling berangkulan, tersandar ke dinding bangunan.
Wiro tidak dapat memastikan apakah kedua orang yang saling berangkulan itu satu lelaki, satunya perempuan masih berada datam keadaan hidup. Sulit untuk menerobos masuk ke dalam bangunan yang tengah dilalap api itu. Namun Pendekar 212 masih dapat melihat satu celah kemungkinan. Dia siap melompat ketika tiba-tiba dilihatnya Kioro Mertan dari jurusan yang lain hendak melakukan hal yang sama. Namun orang tua ini tidak menyadari kalau bagian atap dari arah mana dia hendak melompat, akan segera roboh.
"Bapak Kioro! Jangan!" teriak Wiro memperingatkan.
Namun orang tua itu sudah nekad. Wiro terpaksa bergerak memutar lalu melompat. Dia masih sempat mencekal lengan Kioro Mertan sebelum orang tua itu melompat. Begitu tangannya memegang lengan, Wiro segera menarik kencang-kencang. Orang tua itu terseret keras. Tubuhnya dan tubuh Wiro jatuh saling tindih di tanah. Hanya sekejap setelah keduanya terhampar di tanah, atap bangunan yang dikobari api jatuh ke bawah. Api dan asap hitam menggebubu ke udara. Wiro menarik tubuh Kioro Mertan menjauhi bangunan.
Lalu ditinggalkan orang tua itu, lari ke samping kanan bangunan dan dari sini menyusup ke dalam rumah.
Dikeliiingi oleh kobaran api, tidak mudah bagi Wiro untuk mengangkat dua sosok tubuh itu. Doengan susah payah sementara ujung bajunya ada yang hangus dimakan api sedang lengan kirinya tergurat benda lancip mengucur­kan darah, Wiro akhirnya berhasil juga membawa dua sosok tubuh itu keluar dari bangunan yang terbakar. Baru saja dia membaringkan tubuh-tubuh itu di tanah terdepgar suara menggemuruh. Seluruh bangunan besar itu roboh. Api menderu ke atas beberapa tombak. Asap hitam di­barengi suara letupanletupan ikut mencuat ke udara.
"Rana! Rawini anakku!" terdengar teriakan Kioro Mertan. Orang tua ini menghambur ke tempat itu, langsung jatuhkan diri di antara dua sosok tubuh yang barusan di­baringkan Wiro di tanah.
Wiro sendiri saat itu tegak tak bergerak sambil me­nekap luka berdarah di lengan kirinya. Kedua matanya memperhatikan dua orang yang barusan ditolongnya. Yang perempuan pasti itu Rawini, anak perempuan Kioro Mertan jelas tidak tertolong lagi. Perempuan malang ini telah jadi mayat. Ada luka-luka dalam berbentuk aneh dan mengerikan di beberapa bagian tubuhnya. Luka yang sama juga kelihatan di sekujur tubuh suaminya yaitu Rana­legowo. Daging pada luka itu bukan saja kelihatan ditoreh, tetapi juga seperti dikoyak dan tercongkel ke atas. Rana­legowo ternyata masih bernafas walaupun keadaanya tak mungkin diselamatkan lagi.
Dari mulutnya terdengar suara erangan. Menyebut nama seseorang yang tidak begitu jelas terdengarnya.
"Legowo…Legowo! Mana Sumi…! Mana cucuku…?!" Kioro Mertan bertanya dengan suara keras. Orang tua ini membuka bajunya dan menutupkannya ke tubuh Rawini yang penuh luka-luka mengerikan.
"Bapak.." terdengar Ranalegowo berucap.
"Orang-orang Ganco Item menculik Sumiati. Mereka juga merampok uang lumbung desa! Tolong… Selamatkan. Jangan pikirkan saya…"
"Jahanam!" kutuk Kioro Mertan.
Wiro berlutut dekat-dekat tubuh Ranalegowo.
"Paman…" berucap Wiro Sableng dengan suara tersendat.
Paras Ranalegowo mengernyit. Entah karena menahan sakit atau terkejut oleh suara Pendekar 212 tadi. Yang jelas kedua matanya yang sejak tadi terpejam kini tampak terbuka.
Wiro melihat tak ada lagi sinar kehidupan pada kedua bola matanya itu. Wiro memegang lengan Ranalegowo.
Ranalegowo masih bisa melihat walaupun peman­dangannya tidak jelas lagi. Samar-samar dia melihat seorang pemuda berambut gondrong disampingnya.
"Siapa kau yang memanggilku… pa… paman."
"Sa… Saya Wiro Saksana." jawab Wiro menyebut nama aslinya. "Saya putera Ranawelang, kakak paman…"
Kembali wajah Ranalegowo kelihatan mengernyit. Dia coba berpikir tetapi dikala maut hendak datang merenggut jiwanya itu otaknya tak lagi bekerja.
"Rana…. welang…" desisnya.
Wiro usap-usap kepala pamannya "Betul, saya anak Ranawelang, kakak paman yang tinggal di barat." Semula Wiro hendak menotok bagian-bagian tertentu dari tubuh Ranalegowo.
Namun dilihatnya keadaan pamannya itu sulit untuk ditolong.
Maka dia hanya bisa memandangi dengan hati pedih.
Ketika hidup dia tak pernah mengenal orang ini. Namun dari air mukanya Wiro mengetahui bahwa pamannya peker­ja keras berhati baja. Seorang yang memiliki sikap jantan dan jujur. Bersedia melupakan kesulitan sendiri untuk me­nolong orang lain. "Dia seorang paman yang baik. Sayang aku hanya bisa melihatnya sesaat saja. Apakah ayahku juga memiliki ciri-ciri seperti paman?" bertanya Wiro dalam hati.
Di atas pohon kembali terdengar pekik monyet coklat tadi. Kemudian terdengar suara sesunggukan Kioro Mertan. Wiro segera tahu apa yang terjadi. Ranalegowo adik ayahnya telah menyusul istrinya.
Dari atas pohon monyet coklat tiba-tiba memekik keras lalu melompat ke tanah dan mengelilingi jenazah Rana­legowo.
"Ken Cilik hentikan jeritanmu! Aku tahu perasaanmu! Kita semua merasa sangat kehilangan…" Terdengar Kioro Mertan berkata sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.
"Ken Cilik…" kata Wiro dalam hati. "Pasti monyet coklat ini yang dimaksudkan si orang tua. Mungkin binatang ini peliharaan pamanku. Binatang terkadang memiliki perasa­an lebih tajam dan lebih halus dari manusia."
Monyet itu tiba-tiba melompat ke atas bahu kanan Kioro Mertan. Orang tua ini mengusap-usap punggungnya beberapa kali. Wiro jadi terkejut ketika Ken Cilik tiba-tiba secara tak terduga melompat ke atas bahu kirinya lalu menjerit keras membuat sakit telinga sang pendekar. Wiro tak berani bergerak, kawatir monyet itu mencakar atau menggigitnya.
"Putus telingku!" kata Pendekar 212 dalam hati. Namun setelah menjerit lagi beberapa kali monyet itu hanya bertengger diam di pundak Wiro, malah menyurukkan kepalanya ke balik rambut gondrong sang pendekar sambil mengeluskan suara seperti merintih. Walau dia jadi merinding kegelian tapi Wiro kini bisa menarik nafas lega.
Dicobanya mengusap kuduk dan punggung Ken Cilik.
Monyet ini semakin menempelkan tubuhnya ke bahu wiro. Binatang itu tampak jinak namun tetap saja Wiro merasa agak merinding.
Wiro dan Kioro Mertan melihat kini banyak orang ber­kerumun berkeliling di tempat itu. Mereka adalah pen­duduk desa yang baru saja mengalami malapetaka hebat itu. Wajah mereka masih pucat membayangkan ketakutan. Anak-anak menangis dalam dukungan ibu mereka. Semua menatap pedih pada Kioro Mertan dan sosok jenazah kepala desa mereka beserta istrinya yang ikut jadi korban.
"Orang-orang jahat itu sudah pergi. Untuk sementara tak ada yang perlu ditakutkan," Wiro coba menenteramkan.
"Bantu aku mengurus jenazah warga desa yang menjadi korban," berkata Kioro Mertan dengan hati pedih. Lalu dia ingat sesuatu. Orang tua ini memandang berkeliling. "Gerombolan rampok Ganco Item telah menculik Sumiati cucuku. Ada yang tahu ke arah mana para penjahat melarikannya?"
Dua orang menunjuk ke jurusan tenggara.
Kioro Mertan mengangguk. "Memang ada kabar-kabar bahwa mereka bermarkas di tenggara. Di sekitar hutan belantara dekat Kudus. Aku akan mengejar mereka ke sana. Bahkan sampai ke perut bumi sekalipun!"
Penduduk desa yang tewas akibat keganasan gerombol­an rampok Ganco Item berjumlah enam belas orang. Sem­bilan letaki, lima perempuan dan dua orang anak-anak. Di luar desa Jatingaleh di mana terletak daerah pekuburan kini kelihatan empat belas kubur baru. Dua anak yang jadi korban dikubur satu dengan ibu masing-masing.
Suasana hening mencekam. Di langit sang surya ber­sinar terik menyengat kulit. Tapi agaknya tak seorangpun mau beranjak sampal akhirnya Kioro Mertan, orang paling tua yang ada di tempat itu berkata.
"Kalian semua kembali ke desa. Lakukan apa saja untuk memperbaiki keadaan…"
Satu demi satu orang desa beranjak dari tempatnya.
Namun ada enam orang pemuda dan tiga orang lelaki baya tetap berada di pekuburan itu. Salah seorang dari mereka berkata.
"Bapak Kioro. Kami tadi mendengar maksudmu hendak mengejar para penjahat. Kami semua disini slap ikut ber­samamu melakukan pengejaran."
"Kalian semua orang-orang jantan yang gagah perkasa;" kata Kioro Mertan dengan hati terharu. "Tapi kalian lebih diperlukan di desa untuk membantu membangun rumah­rumah yang musnah. Biar aku sendiri yang mencari manusia-manusia puntung neraka itu!"
Sembilan lelaki itu nampak kecewa mendengar ucapan Kioro Mertan. Sementara itu Wiro sendiri dalam hati bertanya-tanya. "Orang tua bungkuk ini, dia siapakah dan bisa mengandalkan apakah hingga berkata ingin mengejar sendiri para penjahat yang telah menculik cucunya itu?"
Satu demi satu ke sembilan orang itu meninggalkan pekuburan. Ketika mereka hanya tinggal berdua, Kioro Mertan berpaling pada Wiro lalu berkata.
"Pertemuan kita hanya sampai disini. Aku harus pergi mencari manusia-manusia jahat itu. Aku akan kembali ke desa untuk mengambil kuda."
Lalu tanpa menunggu jawaban Wiro orang tua itu melangkah ke jurusan dua buah kuburan baru yaitu kubur­an anaknya dan menantunya. Wiro mengikuti dari bela­kang.
***

Kapak Maut Naga Geni 2122

DI hadapan kedua kuburan itu Kioro Mertan merenung beberapa lamanya. Wiro mengikuti dari belakang.
Di hadapan kedua kuburan itu Kioro Mertan merenung beberapa lamanya. Kemudian terdengar suara orang tua ini berkata.
"Nasibmu tidak beruntung, Wiro. Kau tak sempat mene­mui paman dan bibimu."
"Mungkin memang begitu takdir saya. Takdir kita semua."
Kioro Mertan tersenyum pedih. "Ini cobaan berat buat­ku. Terkadang kita manusia bisa salah berpikir dan men­jadi sesat dalam penderitaan. Mengapa Tuhan mengambil begitu cepat orang-orang baik seperti menantuku dan anakku, penduduk desa yang tidak berdosa. Sementara manusia-manusia jahat dibiarkan gentayangan melakukan kekejaman tiada taranya…"
"Jangan berpikir seperti itu bapak. Salah-salah kita bisa jadi kehilangan iman terhadap Gusti Allah," kata Wiro.
Kioro Mertan menarik nafas dalam.
"Selamat tinggal anak muda. Aku harus pergi."
"Bapak, tunggu dulu. Saya ingin mengatakan sesuatu," kata Wiro pula.
"Apa yang hendak kau katakan, Wiro?"
"Ranalegowo adalah pamanku. Istrinya adalah bibiku dan Sumiati putri mereka adalah saudara sepupuku. Saya merasa punya kewajiban untuk menuntut balas. Mohon dimaafkan. Mengingat usiamu yang sudah lanjut, maukah kau mewakilkan kepada saya untuk melakukan pengejar­an?"
Orang tua itu menatap Wiro lama sekali. Lalu dia ber­kata, "Kepolosan hati dan keberanianmu sama dengan menantuku. Pasti ayahmu memiliki sifat jantan seperti itu juga. Tetapi tidak anak muda. Urusan balas dendam ini adalah urusanku. Usiaku memang tua tapi untuk menuntut balas soal umur tidak meniadi masalah.
"Saya mengerti bapak tua. Namun yang kau hadapi adalah segerombolan manusia-manusia jahat. Yang tidak segan-segan membunuh orang sekalipun perempuan atau anak-anak."
"Kau betul. Siapa yang tidak kenal dengan gerombolan Ganco Item. Kejahatan dan kekejaman mereka iebih ganas dari iblis…"
"Siapa sebenarnya penjahat-penjahat itu, pak tua?" tanya Wiro.
"Mereka terdiri dari tiga orang yang memegang pucuk pimpinan. Dua di antaranya bersaudara yaitu Ganco Langit sang kakak, lalu adiknya Ganco Bumi. Yang ketiga dikenal dengan nama Ganco Laut. Ketiganya berkulit hitam legam. Itu sebabnya mereka menyebut diri Ganco Item. Mereka tidak punya tempat tetap. Tapi ada kabar bahwa mereka suka bermarkas di sebuah hutan di timur Kudus. Mereka bisa keluar masuk kota-kota di pesisir utara ini tanpa ada yang berani menganggu…"
"Termasuk pasukan atau perajurit Kadipaten?" tanya Wiro.
"Jangankan pasukan Kadipaten. Balatentara dari Kota rajapun tidak berani turun tangan…"
"Pasti ada apa-apanya."
"Itu bukan rahasia lagi. Ada kabar yang kusirap bahwa sebagian dari hasil kejahatan mereka dikirimkan sebagai upeti kepada beberapa orang Adipati di pesisir utara ini, juga dikirim pada pejabat-pejabat tertentu di Kotaraja! Lain dari itu kabarnya mereka juga bekerjasama dengan komplotan lanun Tengkorak Darah yang sering malang melintang di Laut Jawa."
"Bekerjasama bagaimana maksudmu, pak tua?"
"Bajak laut Tengkorak Darah menjual sebagian hasil bajakan mereka dengan harga murah pada komplotan Ganco Item. Ganco Item tidak membayar dengan uang, tapi menyerahkan segala kebutuhan makanan atau minuman bagi para bajak. Termasuk perempuan-perempuan!"
Sampai di situ Kioro Mertan terdiam. Dia ingat pada cucunya yang diculik.
"Sumiati…" desisnya. "Aku harus melakukan pengejaran sekarang juga!"
Lalu tanpa berkata apa-apa lagi pada Wiro orang tua ini lari ke arah desa. Sesaat Wiro perhatikan cara lari Kioro Mertan. Ada rasa heran, dalam diri Pendekar 212 kini. Orang tua bungkuk itu bukan lari seperti orang biasa. Sebentar saja dia sudah lenyap di tikungan jalan di ujung pekuburan.
"Ah, orang tua itu pasti punya ilmu kepandaian. Larinya saja sebat sekali. Aku telah menduga salah padanya. Untung dia tidak tersinggung. Namun tak bisa kupercayai dia bakal mampu menghadapi komplotan Ganco Item seorang diri. Aku harus menyertainya. Bukankah dia bisa kuanggap sebagai kakek sendiri?" Serta merta Wiro tinggal­kan pula pekuburan itu.
Tapi baru bergerak dua langkah tiba-tiba terdengar suara pekik-pekik keras. Sebuah benda melayang ke arah Wiro. Mengira ada yang hendak membokongnya Pendekar 212 segera hendak mengantam. Tapi hup!
Benda yang melayang itu hingga di bahu kirinya. Wiro berpaling. Dia melihat satu kepala kecil, sepasang mata coklat yang bersinar-sinar lalu sebuah mulut yang menyeringai memperlihatkan barisan gigi-gigi kecil putih dan runcing.
"Ken Cilik…! Kau mengejutkanku saja!" kata Wiro.
Monyet di atas bahu kiri Wiro menyeringai lalu memekik beberapa kali.
"Anak nakal! Apa kau mau ikut kemana aku hendak mencari manusia-manusia jahat itu?!"
Monyet coklat itu memekik tiga kali.
"Bagus, kau mengerti apa yang aku bilang. Kau bisa membantuku. Paling tidak mengenali tiga orang gembong Ganco Item itu."
"Kuik… kuik… kuik…" Ken Cilik kembali memekik.
***

Kapak Maut Naga Geni 2123

DI DALAM hutan belantara di sebelah timur Kudus Ganco Langit menyambut kedatangan adiknya dan Ganco Laut yang baru saja kembali dari penjarahan di Jatingaleh.
Begitu Ganco Bumi melompat turun dari kudanya, Ganco Langit memeluk adiknya ini dan menepuk-nepuk bahunya.
"Bagus! Kau ternyata mampu bergerak sendiri! Satu pertanda bahwa kita semakin kuat!" kata Ganco Langit.
Ganco Bumi tertawa sambil mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut kasar.
Ganco Langit melangkah mendekati Ganco Laut. Dia juga menepuk bahu kawannya ini seraya bertanya, "Kalian tidak menemui kesulitan?"
"Sama sekali tidak. Pasukan Kerajaan tidak kelihatan mata hidungnya. Apalagi pasukan Kadipaten." jawab Ganco Laut.
Ganco Langit tertawa gelak-gelak. "Mana mereka berani terhadap kita. Baru melihatmu saja mereka sudah ter­kencing-kencing ketakutan. Kalaupun mereka tahu kita hendak menuju satu sasaran, mereka sengaja menghindar ke jurusan lain, pura-pura tidak tahu!" Ganco Langit tertawa lagi.
"Eh… banyakkah hasil kita kali ini?" Dia memandang berkeliling.
"Rejeki kita besar sekali hari ini Langit," menjawab Ganco Bumi si adik. "Apa yang kita sangka tidak meleset.
Jatingaleh memang desa kaya. Lihat ini!"
Ganco Bumi melangkah ke kuda tunggangannya ke dekat kaki kanannya. Terdengar suara gemerincing se­waktu kantong itu jatuh di tanah.
Ganco Langit membungkuk, membetot lepas ikatan kantong kain lalu memasukkan tangannya ke dalam kantong. Ketika tangannya itu diangkat kelihatan dia menggenggam uang perak dan beberapa potong perhiasan dari emas!
Kedua mata Ganco Langit tampak berkilat-kilat.
"Kita akan rayakan peristiwa besar ini nanti malam!" kata Ganco Langit.
"Cocok!" teriak Ganco Bumi. "Tapi kau belum melihat. Ada lagi barang antik yang kudapat di Jatingaleh!" kata Ganco Bumi. Dia mengangkat tangannya, memberi tanda pada Ganco Laut.
Orang ketiga dari komplotan Ganco Item ini bertepuk dua kali, seorang anggota komplotan muncul menarik se­ekor kuda. Di punggung binatang ini membelintang se­sosok tubuh yang ditutupi dengan sehelai selimut besar.
Anggota komplotan itu membawa kuda yang ditariknya ke hadapan Ganco Langit. Ganco Bumi kemudian men­dekat dan menarik selimut yang menutupi. Begitu selimut tersingkap kelihatanlah sesosok tubuh seorang gadis, ter­geletak menelungkup di atas punggung kuda.
"Walah! Bokongnya besar amat!" kata Ganco Langit. Kedua matanya berkilat-kilat.
Ganco Laut dan Ganco Bumi sampai tertawa bergelak.
"Kau baru melihat bokongnya. Belum menyaksikan wajahnya!" kata Ganco Bumi. Lalu di baliknya tubuh yang menelungkup dan masih dalam keadaan pingsan itu. Kini kelihatan Wajah gadis yang pingsan itu. Pakaiannya di sebelah dada terbuka membuat payudaranya tersibak menggelembung padat. Rambutnya yang panjang hitam tergerai hampir menyetuh tanah.
"Wah! Betul-betul cantik!" kata Ganco Langit. "Belum pernah aku melihat perawan secantik ini! Eh, dia masih perawan?" tanya Ganco Langit seraya berpaling pada adiknya.
"Aku jamin Langit," jawab Ganco Bumi.
"Perawan tulen!" kata Ganco Laut pula.
"Anak siapa dia?"
"Ranalegowo."
"Hemmm, tidak sangka kepala desa itu menyimpan barang antik begini rupa. Berkali-kali kite meminta uang perlindungan padanya. Selalu ditolak. Kini malah dia bukan saja memberikan uang dan perhiasan, tetapi juga anak gadisnya!" Tiga pimpinan gerombolan Ganco Item tertawa mengekeh. "Jadi kita pesta malam ini?"
"Pesta semalam suntuk!" jawab Ganco Bumi. Anggota komplotan yang ada di sekitar situ dan mendengar hal itu serta merta bertempik sorak gembira.
"Karena kalian yang berbuat jasa, kuserahkan gadis ini pada kalian berdua. Kalian boleh menggarapnya ber­gantian sepuas hati. Sekali ini aku tak apa mendapat sisa. Setelah kita puas, aku akan menyerahkannya pada sese-orang. Aku ada rencana bagus!"
Ganco Bumi dan Ganco Laut sesaat saling pandang. Tidak menyangka pimpinan mereka mau mengalah seperti itu. Saking gembiranya Ganco Bumi dan Ganco Laut saling berpelukan lalu tertawa gelak-gelak.
Ganco Langit menyelinap masuk ke sebuah tenda. Di sini berbaring seorang perempuan muda berbadan gemuk tapi berdaging padat. Tubuhnya harus ditutup dengan sehelai kain, itupun hanya sebatas pusat hingga payu­daranya yang besar kelihatan putih menantang.
"Saya tadi mengintai," kata perempuan itu seraya bangkit dan duduk. Payudaranya yang besar kelihatan memberat ke bawah.
"Mengintai? Lalu ape yang kau lihat?" tanya Ganco Langit.
"Kawan-kawan Ganco Langit datang membawa seorang gadis berambut panjang. Pasti malam ini Ganco Langit akan melupakan saya dan berpuas-puas dengan gadis baru itu."
"Dia memang cantik. Tapi aku lebih suka menggeluti tubuhnya Jaminten. Gadis itu biar menjadi bagian Ganco Bumi dan Ganco Laut."
"Betul itu?" tanya perempuan itu.
"Rebahkan tubuhmu di sampingku. Akan kubuktikan bahwa aku lebih menyukai dirimu:’
Perempuan gemuk bernama Jaminten tampak ter­senyum lalu merebah dirinya di atas tikar. Kedua tangan­nya diangkat dan dijadikan bantal pengganjal kepala. Ke­dua ketiaknya yang putih tampak penuh ditumbuhi bulu­bulu hitam lebat.
Ganco Langit suka sekali pada bulu-bulu itu. Hidungnya diselusupkan ke ketiak kiri Jaminten. Perempuan itu ter­pekik kecil. Kain yang menutupi auratnya sebelah bawah ditendangnya. Kini dia menelentang terdengar memburu.
Ganco Langit membalik. Nafasnya terdengar memburu.
Orang-orang Ganco Item mempunyai kebiasaan tertentu setiap habis melakukan perampokan Mereka melarikan diri ke tempat persembunyian dengan meninggalkan paling tidak tiga orang anggota di satu tempat. Ketiga anggota komplotan penjahat itu ditugaskan untuk memantau apa­kah ada yang melakukan pengejaran. Jika ada dan jumlah mereka tidak terlalu banyak maka mereka diharuskan untuk menyerang para pengejar itu.
Sebaliknya jika kekuatan pihak pengejar jauh lebih besar maka mereka akan membuat gerakan-gerakan tipuan sehingga para pengejar memburu ke arah yang salah.
Hari itu, setelah menyerbu dan menjarah desa Jati­ngaleh Ganco Bumi menempatkan tiga orang anak buah­nya di sebuah tikungan jalan jauh dari sungai kecil yang membelah desa. Menurut perhitungan Ganco Bumi di Jati­ngaleh yang merupakan desa petani dan peternak tidak ada orangorang yang perlu ditakuti. Kepala desa yang membekal ilmu silat sudah terbunuh. Karenanya tiga orang saja sudah dirasakan cukup untuk melakukan peng­hadangan. Ketiga anggota gerombolan ini menunggangi kuda.
Sampai matahari tinggi, tiga orang penjahat itu tidak melihat adanya tanda-tanda bakal ada yang akan me­lakukan pengejaran.
"Bagaimana kalau kita segera menuju ke Kudus saja?"
Salah seorang anggota komplotan berkata.
"Pimpinan memerintahkan kita tetap berada di sekitar tempat ini sampai menjelang sore. Jika kau mau melanggar perintah dan ingin mendapatkan hajaran dari Ganco Bumi, kau boleh saja pergi ke mana kau suka."
"Tentu saja aku tak berani melanggar perintah. Cuma aku selalu sial. Mengapa aku yang selalu ditugaskan me­lakukan penghadangan setiap kita selesai merampok. Sementara yang lain-lain bersenang-senang menikmati hasil jarahan."
Dua kawanannya tidak menyahuti.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda.
"Ada orang datang. Tampaknya cuma sendirian. Kalian bersiaplah!" kata anggota komplotan
Ganco Item yang bertindak sebagai atasan dari kedua anggota lainnya itu. Mereka masuk lebih dalam ke balik tikungan jalan. Masing-masing memegang hulu senjata mereka yang berbentuk aneh yakni sebatang besi yang ujungnya melengkung seperti arit tetapi runcing dan agak pipih. Senjata ini mereka sebut Ganco. Senjata dengan bentuk yang aneh itu mempunyai kemampuan luar biasa. Selain dapat digunakan untuk membacok atau menusuk, Ganco Besi itu bisa pula mencungkil tubuh lawan hingga hatinya terbetol keluar. Dapat dibayangkan jika senjata berujung runcing berkelik itu menancap di leher atau menembus perut lawan. Isinya pasti terbongkarl Selain itu Ganco tersebut bisa diberi bertali atau rantai kecil sehingga dapat dipakai untuk menyerang lawan yang berada dalam jarak jauh.
Derap kaki kuda terdengar semakin keras. Tak lama kemudian muncul seorang penunggang kuda yang me­macu tunggangannya dengan kencang.
"Cuma seorang tua renta berambut putih!" memberi tahu salah seorang komplotan.
"Bagaimana, akan kita kerjakan?"
Yang bertindak sebagal pimpinan di tempat itu tidak menjawab. Dia tahu apa yang harus dilakukannya. Ganco besi dipinggangnya dicabut. Ternyata ganco ini telah dihubungkan dengan seutas rantai kecil sepanjang hampir dua tombak.
Ketika kuda bersama penunggangnya melewati tikung­an, ganco besi itu diputar kencang-kencang lalu di lemparkan ke depan. Besi berkait ini melesat ke arah kaki kuda yang berlari cepat.
Lalu terjadilah hal yang hebat. Ujung berkeluk ganco besi mengait kaki kanan depan kuda tunggangan orang tua berambut putih. Binatang ini meringkik keras. Bagian tajam besi menancap tepat di atas sambungan lututnya. Lalu ketika ganco itu ditotok keras, binatang yang berlari ken-, cang ini jadi hilang keseimbangannya. Kuda itu masih sempat meringkik sekali lagi sebelum jatuh tersungkur dan melemparkan penunggangnyal.
Tiga orang anggota komplotan Ganco Item sama me­mastikan bahwa orang tua berambut putih itu akan cidera berat akibat terpelanting jatuh dari kuda yang tengah berlari kencang.Tapi mereka kecele.
Si orang tua yang bukan lain adalah Kioro Mertan membuat gerakan jungkir balik, menyentuh tanah dengan kedua telapak tangannya lalu mengikuti arah mentalnya dia bergulingan di tanah. Di lain saat dia sudah melompat tegak dan sebilah parang tergenggam di tangannya. Kedua matanya tampak berkilat-kilat.
"Hemmm… Tua bangka ini boleh juga!" berkata orang yang bertindak selaku pimpinan. "Lekas kalian bereskan dia agar kita bisa bergabung dengan teman-teman!"
Dua anggota Ganco Item majukan kuda masing-masing ke arah Kioro Mertan. Yang satu mendatangi dari kanan, kawannya dari sebelah kirf. Ganco besi ditangan keduanya tampak berputarputar hingga mengeluarkan suara menderu. Di dahului satu bentakan, dua ganco itu berkelebat deras. Yang di sebelah kanan menderu ke arah leher sedang yang dari kiri menyambar ke pelipis.
***

Kapak Maut Naga Geni 2124

KIORO Mertan sabatkan parangnya ke atas untuk menangkis serangan ke arah leher. Sambil tunduk­kan kepala dia berusaha mengelakkan serangan ganco menderu ke kepalanya.
Trang!
Di atas kuda, anggota komplotan yang bentrokan senjata dengan Kioro Mertan jadi terkejut ketika merasa­kan tangannya bergetar keras. Dia cepat mundur sambil menggenggam ganconya yang hampir terlepas. Tapi Kioro Mertan memang sudah mengincar lawan yang satu ini, begitu ganco yang menyambar kepala lewat di atasnya, orang tua ini memburu ke depan.
Parangnya berkelebat.
Orang di atas kuda berteriak keras ketika parang Kioro Mertan bersarang dalam di paha kanannya. Darah mengucur deras. Sakit dan bingung orang yang cidera berat ini sentakkan kudanya menjauh tapi binatang yang sudah terlanjur ketakutan ini meringkik keras dan berputar ke kiri hingga penunggangnya terhuyung lalu jatuh ber­gedebuk ke tanah. Sebelum dia sempat bangun tendangan kaki kiri Kioro Mertan mendarat di kepalanya. Tak ampun lagi orang ini kembali roboh. Kali ini pingsan tak berkutik.
"Tua bangka jahanam!" membentak anggota Ganco Item yang bertindak sebagai pimpinan. Kalau tadi dia hanya memerintah maka kini dia sendiri turun tangan. Kudanya melompat ke depan. Ganco di tangan kanannya menyambar ke dada Kioro Mertan. Si orang tua cepat sorongkan parangnya menangkis. Tapi dari belakang satu
tendangan menghantam punggungnya.
Kioro Mertan terbanting ke depan.
Trang!
Orang tua ini masih sempat menangkis ganco yang menyambar ke dadanya. Selagi lawan di atas kuda ter­huyung dan kaget dapatkan tangannya terasa pedas orang tua itu cepat balikkan diri tepat pada saat lawan yang tadi menendangnya dari belakang hendak mengait lehernya dengan ujung besi berkeluk!
Kioro Mertan tusukkan parangnya ke perut lawan. Orang di atas kuda menjerit keras, ganconya lepas. Kedua tangannya dipakai menekap perut yang ditembus senjata Kioro Mertan. Dia menjerit sekali lagi lalu roboh dan ter­gelimpang di tanah. Sesaat orang ini tampak megap-megap dan melejang-lejangkan kedua kakinya sebelum nyawanya putus.
Satu-satunya anggota komplotan yang masih berada di atas punggung kudanya mau tak mau menjadi terkesiap melihat kejadian itu. "Orang tua ini tidak bisa dibuat main," katanya dalam hati.
Meski rasa was-was kini menyelinapi dirinya namun kematian kawannya tadi membuat darahnya mendidih.
"Orang tua! Kalau aku tidak salah menerka, bukankah kau ayah mertua Ranalegowo?"
Kioro Mertan menyeringai. "Bagus! Sebelum mampus kau sudah tahu siapa diriku! Kau dan komplotan membunuh menantu dan anak perempuanku! Kalian juga menculik Sumiati cucuku! Susul kawanmu!"
Orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Parang menderu ke arah pinggang anggota komplotan. Karena merasa tidak leluasa menghadapi lawan dari atas kuda maka anggota komplotan Ganco Item segera melompat ke tanah. Kioro Mertan tak mau memberi kesempatan. Begitu lawan menjejak tanah parangnya segera berkelebat. Serangan-serangan orang tua ini benar-benar ganas. Dalam waktu dua jurus saja lawannya segera terdesak dan anak buah Ganco Langit ini berseru tegang ketika senjata terpukul lepas. Sambil mundur dia keluarkan sebuah belati. Kalau dengan ganco yang lebih besar dan panjang dia tidak sanggup menghadapi Kioro Mertan, apalagi harya dengan mengandalkan pisau seperti itu. Beberapa kali saja menerima serangan akhirnya dia mati langkah. Dia hanya bisa keluarkan seruan pendek dan terbelalak ketika parang di tangan kanan orang tua bungkuk itu menembus perlengahan dadanya!
Anggota komplotan yang pertama kali menerima hajaran Kioro Mertan dan masih tergelimpang di tanah, sebenarnya telah siuman dari pingsannya. Luka di pahanya sakit bukan kepalang. Darah masih mengucur. Kepalanya yang tadi kena di tendang mendenyut tiada henti, mem­buat pemandangannya berkunang. Meskipun samar-samar ternyata dia sempat menyaksikan kematian kedua kawan­nya tadi. Hal ini membuat dia ingin segera lari selamatkan diri. Namun jika dia kalah cepat pasti dirinya akan jadi korban yang ke tiga. Dengan cerdik akhirnya dia me­mutuskan berpura-pura pingsan terus. Syukur-syukur kalau orang tua itu menyangkanya sudah mati.
Kioro Mertan memandang berkeliling. Seperti yang di­harapkan anggota komplotan Ganco Item yang masih hidup, dia ternyata memang menyangka orang itu sudah mati. Sambil menyarungkan parangnya, orang tua ini men­dekati salah seekor dari tiga kuda anggota penjahat lalu melompat ke atas punggung binatang ini dan tinggal-kan tempat itu.
Setelah merasa aman, penjahat yang luka pahanya ber­usaha berdiri. Dia harus segera menuju keperkemahan untuk melaporkan apa yang terjadi. Tapi orang ini serta merta jatuhkan dirinya ke tanah kembali ketika tiba-tiba dia mendengar ada suara derap kaki kuda mendatangi. Lewat matanya yang dibukanya sedikit dia melihat seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih muncul di tempat itu menunggang kuda coklat. Di atas bahu kirinya, dengan satu tangan bergelantungan ke leher pemuda itu, ada seekor monyet yang tiada hentinya mengeluarkan suara berisik memekakkan telinga.
"Tenang Ken Cilik. Jangan ribut. Kita pasti menemukan kakekmu itu…" kata pemuda di atas kuda lalu mengelus monyet di bahunya beberapa kali. Monyet ini berhenti ber­teriak, hanya kepalanya saja yang berputar-putar kian kemari tak bisa diam.
"Hemmm… Siapa yang punya pekerjaan ini?" terdengar pemuda itu kembali berkata sambil menggaruk rambutnya yang gondrong. Sesaat dia memandang berkeliling. Mem­perhatikan sosok tubuh yang bergeletakan di tanah satu persatu. Penjahat yang masih hidup merasa nafasnya seolah-olah sudah mau putus. Kedua matanya dipejamkan. Dia tak berani bergerak bahkan untuk beberapa saat dia menahan nafas sedapat-dapatnya.
Ketika didengarnya suara kaki-kaki kuda dipacu men­jauh tanda pemuda tadi sudah meninggalkan tempat itu baru anggota komplotan Ganco item yang masih hidup ini berani membuka mata dan perlahan-lahan mencoba bangkit. Dia menggigit bibir melihat luka besar di paha kanannya. Dirobeknya bajunya lalu dengan robekan baju itu dibalutnya luka yang menganga dan masih berdarah itu. Dengan terbungkuk-bungkuk dan terpincang-pincang me­nahan sakit dia melangkah lalu naik ke atas kudanya.
Jauh di sebelah depan Pendekar 212 Wiro Sableng memacu kuda coklat yang ditungganginya. Tujuannya adalah Kudus di mana didengarnya gerombolan Ganco Item berada. Dia tidak berhasil menemui Kioro Mertan, tapi dia yakin orang tua yang juga merupakan kakeknya itu telah lebih dulu menuju ke sana. Wiro tidak mengetahui apa yang diandalkannya orang tua lanjut usia dan bungkuk itu hingga nekad mengejar para penjahat. Apapun kehebat­an yang dimilikinya mendatangi markas gerombolan sama saja dengan mendatangi sarang macan. Orang tua itu harus ditolong. Ini dirasakan sebagai satu kewajiban besar bagi Pendekar 212. Apalagi cucunya yang masih ada hubungan darah sangat erat dengan Wiro telah pula diculik oleh orang-orang jahat itu.
Wiro menggebrak kuda coklatnya agar lari lebih kencang. Namun dia tidak menyadari bahwa arah yang ditempuhnya menyimpang cukup jauh dari tujuannya hingga ketika akhirnya dia sampai di markas komplotan Ganca Item malapetaka besar telah menimpa Kioro Mertan dan Sumiati.
***
Rombongan pasukan Kadipaten Jepara itu terdiri dari lima orang. Empat orang prajurit dan seorang bintara bernama Anggoro yang bertindak selaku pimpinan. Dari cara mereka memacu kuda demikian cepat agaknya pasukan ini mempunyai satu urusan penting. Saat itu mereka tengah bergerak menuju ke timur sementara sinar matahari yang menggelincir ke ufuk tenggelamnya mulai terasa meredup.
Di sebuah kali kecil rombongan berhenti untuk memberi minuman dan mengistirahatkan kuda sebentar. Ketika hendak melanjutkan perjalanan bintara yang bertindak se­bagai pimpinan mengangkat tangan memberi tanda.
"Ada orang datang!" katanya.
Empat perajurit segera letakkan tangan di hulu senjata masing-masing. Di seberang kali, dari arah mana tadi mereka datang kelihatan seorang penunggang kuda be­rambut putih. Penunggang kuda ini rupanya juga sudah melihat rombongan pasukan Kadipaten itu karena dia sengaja mengarahkan kudanya ke tempat rombongan ber­ada di tepi kali. Sebelum orang berambut putih datang dekat, baik bintara maupun empat perajurit itu segera mengenali siapa adanya orang yang datang itu.
"Bintoro Anggoro!" tiba-tiba orang berambut putih itu berseru. "Aku gembira bisa bertemu denganmu di tempat ini. Sebelumnya aku tidak sempat melapor ke Kadipaten. Tapi aku yakin saat ini sudah dilakukan pengusutan."
Anggoro memandang pada keempat bawahannya se­saat lalu berpaling pada penunggang kuda yang kini sudah sampai dan berhenti di depannya. ;
"Pak tua Kioro Mertan, aku tidak menyangka akan ber­temu kau di tempat sejauh ini! Sedang menuju ke mana­kah pak tua gerangan?"
"Jadi betul dugaanku kau dan rombongan tidak tahu apa yang telah terjadi di Jatingaleh!?"
Bintoro Anggoro menggeiengkan kepala. "Lekas katakan apa yang terjadi. Eh, kulihat ada bercak-bercak darah di pakaianmu!"
"Gerombolan Ganco Item menyerbu desa menjelang siang tadi. manusia-manusia biadab itu merampok dan membunuh. Kepala Desa dan istrinya tewas. Cucuku Sumiati diculik. Saat ini aku tengah melakukan pengejaran. Para penjahat itu membuat markas sementara di luar Kudus. Aku bersyukur menemui kalian di sini. Aku perlu bantuan kalian!" kata orang tua berambut putih yang ternyata adaiah Kioro Mertan.
"Kurang ajar! Jadi gerombolan Ganco Item sudah meng­ganas pula. Bahkan berani menyerbu Jatingaleh!" Bintara Anggoro kepalkan tinjunya. Wajahnya menunjukkan ke­marahan.
"Kita tidak punya waktu lama. Ikut aku ke Kudus. Aku perlu bantuan kaliani!" kata Kioro Mertan yang ingin segera melanjutkan pengejaran.
"Kami akan membantu!" jawab Anggoro. "Tapi kekuatan gerombolan itu cukup besar. Selain tiga pimpinan mereka yang berkepandaian sangat tinggi, gerombolan itu memiliki lebin dari dua lusin anggota."
"Kita bisa menyusun rencana seperti ini," sahut Kioro Mertan pula. "Kau dan tiga orangmu bersamaku langsung menuju tempat persembunyian para penjahat. Anak buah­mu yang keempat kau perintahkan ke Kadipaten Kudus untuk meminta bantuan. Begitu bantuan datang kita terus menyerbu."
Sesaat Anggoro tidak berkata apa-apa.
Kioro Mertan jadi jengkel dan berkata.
"Bintoro, urusan ini adalah tanggung jawabmu. Tapi jika kau merasa ragu-ragu aku tidak takut melakukan penyerbuan seorang diri. Demi darah dan nyawa anak cucuku!"
"Jangan salah menduga pak tua," kata Anggoro pula. "Aku setuju pendapatmu. Mari kita berangkat sekarang juga."
Lalu Bintara ini berkata pada salah seorang anak buah­nya. "Kau langsung menuju Kudus. Laporkan apa yang terjadi di Jatingaleh dan katakan apa rencana kita."
Prajurit itu mengangguk sambil menunjukkan sikap siap. Dia juga melihat bagaimana Bintara Anggoro atasan­nya itu mengedipkan mata kirinya ketika memberikan perintah.
***

Kapak Maut Naga Geni 2125

Hutan belantara itu terang benderang oleh cahaya obor. Makanan dan minuman berlimpah ruah. Setiap anggota gerombolan Ganco Item bisa makan dan minum sepuasnya serta bersenang-senang dengan perempuan-perempuan yang ada di situ. Kebanyakan perempuan-perempuan ini adalah perempuan-perempuan penghibur yang datang dari pantai utara. Namun ada pula diantara mereka yang diculik dan dilarikan dari desa atau kampung yang pernah diserbu oleh gerombolan Ganco Item.
Ganco Langit tegak di depan tenda sambil mengenakan baju hitamnya. Dia mengusap keringat yang membasahi dadanya lalu memandang ke jurusan di mana Ganco Bumi dan Ganco Laut duduk memperhatikannya sambil menyeringai.
Kepala gerombolan penjahat itu balas menyeringai. Ketika Ganco Bumi dan Ganco Laut mendatangi, Ganco Langit berkata setengah berbisik.
"Tidak mengecewakan. Tubuh bagus, semua serba keras. Betul-betul tidak mengecewakan walau aku cuma dapat bekas kalian! Ha…. ha… ha… ha …!"
"Seperti rencana, menjelang pagi kita segera akan meninggalkan hutan ini menuju ke selatan. Bagaimana dengan gadis itu. Kau ingin kita membawanya serta?" ber­tanya Ganco Laut.
"Aku sudah cukup puas menikmati tubuhnya tadi. Lagi pula aku masih punya Jaminten yang hebat itu. Terserah kalian. Jika kalian masih senang, kalian bisa membawanya. Saat ini kurasa dia masih setengah pingsan."
Ganco Laut yang masih dikuasai nafsu, apalagi barusan habis meneguk banyak minuman keras menyibakkan kain penutup tenda. Di dalam sana dilihatnya Sumiati tergeletak tak bergerak tanpa selembar benangpun menutupi tubuh­nya. Dari mulut gadis malang anak kepala desa Jatingaleh itu terdengar suara erangan. Manusia beradab akan luluh hati dan perasaannya melihat keadaan dan mendengar erangan yang memilukan itu. Tetapi manusia durjana seperti Ganco Laut justru merasa terbakar nafsunya.
"Puaskan dirimu Ganco Laut. Kita masih punya banyak waktu. Tapi ingat, besok kita ada pekerjaan besar di Selatan!" berkata Ganco Langit yang sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan sobatnya itu.
Ganco Laut menyeringai. Dia memegang bahu Ganco Langit lalu melangkah masuk dalam tenda.
Namun langkahnya terhenti ketika tiba-tiba ada seorang anggota komplotan muncul dan berkata.
"Ganco Langit, anggota pengintai melihat ada se­rombongan orang berkuda bergerak ke jurusan sini!"
"Sudah diketahui atau sudah diselidiki siapa mereka?" tanya Ganco Langit.
"Mereka berjumlah lima orang. Yang satu adalah Kioro Mertan, ayah kepala Desa Jatingaleh. lalu seorang bintara dari Kadipaten Jepara dan tiga orang prajurit anak buah­nya."
"Hemmm… " Ganco Langit menatap Ganco Bumi dari Ganco Lout sesaat lalu berkata, "Kioro Mertan pasti hendak membuat keonaran di sini untuk menyelamatkan cucunya. Orang tua itu ternyata punya nyali. Biarkan mereka datang ke mari! Rapatkan penjagaan di titik-titik rawan. Siapa tahu ada lagi orang-orang tak diundang berani muncul di sini!"
Dari bagian hutan yang gelap lima penunggang kuda muncul. Kioro Mertan di depan sekali. Meski sadar keadaan dirinya berada di bawah ancaman besar namun dengan berani orang tua bungkuk ini melompat dari kuda­nya dan melangkah cepat ke arah tenda. Sebilah parang tergenggam di tangan kanannya. Bintoro Anggoro memberi isyarat, mengikuti langkah Kioro dengan cepat. Dia juga telah menghunus senjatanya yakni sebatang pedang yang ujungnya berkeluk.
Diam-diam Ganco Langit dan dua pimpinan gerombolan Ganco Item lainnya jadi bertanya-tanya ketika melihat parang bernoda darah kering yang dipegang oleh Kioro Mertan.
"Apa yang telah dilakukan orang tua in!?" tanya Ganco Bumi dalam hati.
Kioro Mertan dan Bintoro Anggoro sampai di depan tenda. Sepasang mata orang tua itu berapi-api. Dia tahu tiga orang yang tegak di depannya itu pastilah para pe­mimpin gerombolan biadap Ganco Item tapi tidak tahu yang mana Ganco Langit. Maka dia pun membentak.
"Mana di antara kalian yang bernama Ganco Langit?!"
"Tua bangka buruk! Kau berani mati bicara keras dan menjual lagak di hadapan kami?!" hardik Ganco Laut lalu tangannya bergerak hendak menjambak rambut putih orang tua itu.
Ganco Langit menghalangi dan berkata, "Aku Ganco Langit! Kau punya nyali besar berani datang ke mari Bukankah kau orang tua yang bernama Kioro Mertan, ayah mantu kepala desa Jatingaleh? Apa perlumu menyasarkan diri datang kemari?!"
"Aku tidak datang menyasarkan diri. Aku sengaja mencarimu! Kau manusia iblis masih bisa bertanya apa keperluanku kemari! Bangsat! Kau membunuh anak menantuku! Kau juga membunuh lebih dari selusin pen­duduk Jatilengah. Perempuan dan anak-anak! Merampok! Menculik cucuku Sumiati!"
"Penjelasanmu cukup lengkap. Sekarang katakan saja apa maumu Kioro Mertan?!"
"Bebaskan cucuku! Jika sesuatu terjadi atas dirinya akan kugorok batang lehermu! Lihat! Darah di parang ini masih kelihatan jelas! Ini adalah darah tiga anak buahmu yang sudah kuhabisi!"
Tampang tiga pimpinan Ganco Item tampak berubah sesaat. Tanda tanya parang berdarah itu telah terjawab.
"Kalau kau datang untuk meminta cucumu, itu soal kecil. Kau bisa mendapatkannya kembali!"
"Ganco Langit…. "
Ucapan Ganco Laut tertahan. Ganco Langit memberi tanda agar dia diam lalu berpaling pada Kioro Mertan.
"Kau akan mendapatkan cucumu kembali, bapak tua."
"Mendapatkannya kembali dalam keadaan selamat. Tak kurang suatu apapuni Jika…"
"Kau akan mendapatkannya seperti kataku tadi. Hanya saja rnungkin ada yang kurang sedikit. Mungkin dia ku­kembalikan dalam keadaan tidak berpakaian lagi…" Ganco Langit lalu tertawa gelak-gelak. Ganco Bumi ikut tertawa sedang Ganco Laut hanya bisa menyeringai. Jika Ganco Langit benar-benar hendak mengembalikan gadis itu ber­arti dia tidak punyai kesempatan untuk mengulangi maksud bejatnya. Ganco Laut tak dapat menerka apa sebenarnya yang ada di benak kepalanya itu.
Ganco Langit menjetikkan jari-jari tangannya dan anggukkan kepala pada Ganco Bumi. Melihat isyarat ini Ganco Bumi segera masuk ke dalam tenda. Ketika keluar kelihatan dia memapah sesosok tubuh tanpa pakaian,
Kioro Mertan seperti disambar petir melihat pe­mandangan yang menusuk mata itu.
"Sumi!" teriak orang tua ini.
"Ka… kakek…" suara Sumiati sehalus bisikan. Gadis malang telah dirusak kehormatannya ini secara keji ber­gantian tegak terhuyung-huyung.
"Kau mau cucumu, ambillah. Lalu lekas pergi dari sini!" kata Ganco Bumi. Tubuh Sumiati didorongnya keras-keras.
Kioro Mertan cepat memeluk tubuh cucunya sebelum jatuh ke tanah. Dia menyambar kain tirai penutup pintu tenda lalu menutupi kain itu ke tubuh Sumiati yang saat itu terguling tak berdaya di tanah. Kedua matanya terbuka lebar, tapi dia seperti tidak melihat apapun kecuali bayangan-bayangan menyeramkan yang gentayangan di depannya.
Dari tenggorokan Kioro Mertan terdengar suara meng­gembor. Dari keadaan Sumiati saat itu dia sudah tahu malapetaka apa yang telah menimpa cucunya itu.
"Iblis durjana!" teriak Kioro Mertan. Dia melompat ke hadapan Ganco Langit. Parang di tangannya membabat ke arah leher kepala gerombolan itu.
Trang!
Sebilah senjata disorongan dari samping menangkis bacokan parang si orang tua.
Kioro Mertan tersentak kaget. Di mundur satu langkah dan berpaling lalu membentak keras.
"Bintoto Anggoro! Apa-apan kau ini!" Kedua mata Kioro Mertan seperti hendak melompat dari sarangnya saking marah dan kaget tak percaya. "Mengapa kau menangkis seranganku! Menolong durjana keparat ini?!"
Bintoro Anggoro menyeringai. Ganco Langit mendehem beberapa kali sementara Ganco Bumi dan Ganco Laut mulai keluarkan suara tertawa mengekeh.
Kioro Mertan memandang berkeliling. Apa yang tidak dimengertinya dia mendapatkan jawaban sesaat kemudian ketika dia mendengar ucapan Bintaro Anggoro yang mem­buatnya laksana dipanggang api amarah.
"Orang tua pikun! Kau terlalu tolol untuk mengetahui bahwa kita sebenarnya bukan di pihak sama!"
"Bangsat! Jadi maksudmu…."
"Maksudku ini!" jawab Bintoro Anggoro. Lalu tanpa terduga sama sekali bintara Kadipaten Jepara ini tusukkan pedangnya ke perut Kioro Mertan. .
Dalam keterkejutannya orang tua itu jadi berlaku lengah. Dia baru sadar ketika ujung pedang Anggoro masuk ke dalam perutnya sedalam sepertiga jengkal!
"Pengkhianat keparat!" teriak Kioro Mertan sementara darah mulai mengucur dari perutnya.
Anggoro terpaksa menarik tangan tak berani menerus­kan tusukannya karena dengan ganas, setelah keluarkan suara menggembor Kioro Mertan menghantam dengan parangnya.
Dengan perut terluka dan darah mengucur orang tua ini terus menerjang kalap. Parangnya menderu mengurung bintara Kadipaten Jepara itu. Dia tidak menyesalkan ke­matian dirinya asalkan dia dapat membunuh orang itu.
Dalam waktu singkat bintara itu terdesak hebat. Anggoro bertahan mati-matian. Selama ini dia sama sekali tidak mengetahui kalau Kioro Mertan yang dikenalnya se­bagai petani dan peternak biasa ternyata memiliki ke­pandaian tidak sembarangan. Dia bertahan mati-matian dan keluarkan jurus-jurus tipuan mematikan. Namun ter­nyata kepandaian Kioro Mertan hampir dua tingkat di atasnya. Ketika dia berhasil mengelakkan satu bacokan, dari kiri tendangan kaki orang tua bungkuk itu tak dapat dieiakkannya. Tubuhnya melintir terhuyung dan dikejapan itu pula parang lawan membabat ke lehernya!
"Tua bungkuk ini boleh juga!" kata Ganco Langit. Seperti Bintoro Anggoro dan juga dua pimpinan komplotan Ganco Item lainnya, diapun tidak menyangka kalau Kioro Mertan bukan saja punya nyali, tapi memang juga punya kepandai­an. Melihat bintara itu terancam keselamatannya, dia memberi tanda pada Ganco Laut.
Orang ketiga dalam jajaran geromboian Ganco Item ini berkelebat ke depan. Dia masuk ke kalangan perkelahian hanya dengan mengandalkan tangan kosong. Di antara ketiga pimpinan komplotan Ganco Item, Ganco Laut memang menguasai ilmu silat tangan kosong paling tinggi. Walaupun dia memiliki senjata sebuah ganco besi yang besar dan berat namun dia lebih senang membunuh lawan-lawannya dengan tangan telanjang.
Kedua tangan Ganco laut berkelebatan mengeluarkan deru angin yang keras dan dingin. Hal ini sudah cukup membuat Kioro Mertan bertaku hati-hati. Tangan kosong Ganco Lout bisa lebih berbahaya dari senjata di tangan Bintoro Anggoro.
Nasib Kioro Mertan ditentukan oleh jotosan ganco Laut pertama yang bersarang tepat diperutnya yang luka. Darah muncrat dan sempat membasahi pakaian hitam Ganco Laut. Selagi orang tua itu terhuyung-huyung kaki kanan Ganco Laut melesat ke udara, mendarat dengan tepat di rahang Kioro Mertan. Tubuh bungkuk itu terpelanting. Ber­samaan dengan itu pedang Bintoro Anggoro menetak di punggungnya. Kioro Mertan terpekik. Tubuhnya terbanting menelungkup di tanah. Ganco Langit siap untuk menginjak kepala orang tua Itu sedang Bontoro Anggoro sudah mengangkat tangan untuk meletakkan pedangnya ke batang leher lawan yang sudah tidak berdaya.
"Cukup!" tiba-tiba terdengar Ganco Langit berseru. "Tidak kalian hajarpun umurnya tak bakal lama. Seret tubuhnya dari depan tenda!"
Dua orang anggota komplotan segera menggotong tubuh Kioro Mertan yang berada dalam keadaan sekarat itu ke tepi perkemahan. Ganco Langit tengah memandangi tubuh Sumiati yang terbujur di tanah bertutupkan kain ketika Bintoro Anggoro mendatanginya.
Ganco Langit tertawa lebar dan tepuk-tepuk bahu Bintara itu.
"Aku memang sudah lama ingin bertemu denganmu sobatku. Kau datang membawa kabar apa?"
"Aku dan anak-anak memang tengah dalam perjalanan ke mari ketika di jalan bertemu dengan Kioro Mertan. Sebenarnya aku bisa membokongnya dalam perjalanan. Tapi aku Ingin kau sendiri menyaksikan bahwa kita selama ini selalu punya kerjasama yang baik."
Ganco Langit tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata Bintara Kadipaten Jepara itu.
"Sejak dulu-dulu aku memang selalu percaya padamu, Bintoro Anggoro. Nah, ada kabar apa saja yang bisa kau berikan?" tanya Ganco Langit. "Atau kau ingin kita bicara di dalam tenda sana?’
"Di sini saja tidak jadi apa. Aku tak akan lama Ganco Langit. Apa yang terjadi di Jatingaleh sudah sampal di Kadipaten Jepara. Kau tak usah kawatir terhadap Adipati Moro Gantolo. Dia sedang berada di selatan seat ini. Tapi kita harus berjaga-jaga terhadap Perwira Muda yang men­jadi tangan kanannya."
"Maksudmu Ario Gelem?"
"Betul," jawab Anggoro.
"Perwira keparat itu! Kenapa kita tidak pernah bisa menariknya agar bergabung?" Ganco Langit mengkepal­kepal tinju kanannya lalu memukulkannya berulang kali ke telapak tangan kirinya.
"Kita sudah mencoba membujuknya secara halus ber­ulang kali. Tapi hasilnya nihil. Kurasa sudah saatnya kita menyingkirkannya sebelum dia macam-macam dan bikin susah kita!" kata Ganco Bumi pula.
"Mungkin kau benar Bumi. Sudah saatnya kita menyingkirkan kutu busuk itu. Malam ini akan kita bicarakan cara yang baik untuk melakukan hal yang itu." Lalu Ganco Bumi berpaling pada Anggoro dan bertanya kalau ada hal lain yang hendak dikatakannya.
"Aku menyarankan agar saat ini juga meninggalkan tempat ini. Ario Gelem bisa melakukan hal-hal yang tidak terduga. Meskipun kekuatan yang bisa dihimpunnya tidak seberapa namun masalahnya bisa merambat. Sekali ter­siar di Kotaraja kita semua bisa celaka…"
Ganco Langit tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Kau yang bakal celaka Bintoro Anggoro! Bukan aku! Tapi nasihatnya memang perlu diperhatikan."
"Hanya itu saja yang kau katakan Bintoro?"
"Saat ini hanya itu saja Ganco Langit. Aku harus kembali ke Jepara sebelum matahari terbit.
"Baiklah," kata Ganco Langit. Dia masuk ke dalam tenda. Ketika keluar di tangannya ada sebuah kantong kecil. Kantong ini disusupkannya ke pinggang Anggoro. Bintara itu mengucapkan terima kasih berulang kali lalu kembali ke tempat dia meninggalkan kudanya. Bersama tiga orang anak buahnya dia segera berlalu dari hutan itu.
Ganco Langit berpaling pada Ganco Bumi dan Ganco Laut. "Pesta kita hentikan sampai di sini. Beri tahu anak­anak bahwa kita berangkat ke selatan sekarang juga. Tanganku sudah gatal untuk memegang barang-barang antik yang terbuat dari tempat itu!"
"Ganco Langit," Ganco Bumi berkata, "Jika kita bergerak ke selatan lebih dahulu, apakah kita masih punya waktu untuk bertemu dengan sobat kita si Tengkorak Darah di Rembang?"
"Tak usah kawatir, aku sudah mengirimkan utusan memberi tahu Tengkorak Darah. Jika satu hari setelah mendarat di pantai Rembang kita tidak muncul, pertemuan berikutnya adalah di pantai Demak. Soal makanan dari perempuan yang perlu dikirimkan padanya sudah diatur oleh orang di Tanjung Bugel."
"Kalau begitu tak ada yang dikawatirkan. Kita bisa berangkat saat ini juga," kata Ganco Langit, "Aku akan perintahkan semua anak buah agar bersiap-siap."
"Sebentar!" menyela Ganco Laut yang sejak tadi hanya berdiam diri, "Aku masih ingin mempertanyakan si cantik itu. Apakah aku bisa membawanya serta dalam rombongan kita?"
Ganco Langit tertawa lebar. "Rupanya kau masih belum melupakan kekerasan tubuh anak gadis Ranalegowo itu.
Kau bisa membawanya ke mana kau suka. Mungkin sewaktu-waktu akupun membutuhkannya. Hidup ini harus dibumbui dengan selingan. Bukankah begitu? Ha… ha… ha…"
Suara tawa Ganco Langit terhenti ketika ada satu tangan memegang dan meremas bahunya. Lalu ada suara perempuan terdengar ketus.
"Saya tidak mau lihat gadis itu berada dalam rombongan kita!"
Ganco laut gelengkan kepala. Mukanya tampak cemberut.
Ganco langit membalik dan berhadapan dengan Jaminten, perempuan gemuk yang selama ini membuatnya tergila-gila dan kadang-kadang jadi tak berkutik.
Saat itu Jaminten hanya mengenakan sehelai baju panjang yang tipis. Cahaya api obor yang menembus pakaian tipis itu membuat sekujur auratnya nyaris terlihat jelas.
Nafsu Ganco Langit jadi terbakar.
"Kau tak usah kawatir dia akan menyaingimu Jaminten," kata Ganco Langit membujuk sambil membelai pipi Jaminten.
"Gadis itu perlu dibawa bukan untuk diriku dan teman­teman, tapi ada satu rencana yang harus dijalankan."
"Siapa percaya pada dirimu. Siang tadi Ganco mengata­kan lebih suka menggeluti tubuh saya. Tapi ternyata malam ini Ganco langit menidurinya. Jangan kira saya tidak tahu!" Jaminten lalu pasang wajah cemberut.
Ganco Langit tersenyum lalu menciumi wajah Jaminten. "Seribu gadis boleh hadir, tapi kau tetap pasangan yang tak bakal kulepaskan! Mereka tidak memiliki apa yang kau miliki! Mereka dingin seperti barang pisang! Tak ada yang pandai menggigit dan menggerung sepertimu!"
Jaminten melepaskan dirinya dari pelukan Ganco langit lalu berkata. "Sebelum pergi aku ingin pergi ke kali lebih dulu."
"Ya, sebaiknya kau membersihkan diri baik-baik. Dalam perjalanan ke selatan mungkin kau tak punya kesempatan melakukan hal itu."
Jaminten melangkah pergi. Ketika lewat di depan Ganco Laut dia kedipkan matanya. Ganco Laut kemudian terdengar berkata pada Ganco Langit. "Aku akan beritahu anak buah agar segera bersiap-siap."
"Lakukan dengan cepat Laut. Bumi, siapkan seekor kuda untuk membawa gadis itu."
Tak berapa jauh dari tempat gerombolan itu berkemah terdapat sebuah kali kecil berair jernih. Jaminten me­langkah cepat-cepat menuju kali ini. Di satu tempat yang kelindungan dia berhenti tapi tidak segera masuk ke dalam air untuk mandi atau membersihkan dirinya. Dia berdiri dalam gelap seperti menunggu seseorang. Tak lama kemudian dia mendengar suara orang mendatangi.
"Kenapa lama betul! Aku sudah tidak sabaran!" kata Jaminten.
"Sstt, jangan keras-keras. Nanti terdengar orang," men­jawab lelaki yang barusan datang.
"Lekas tanggalkan pakaianmu. Kita turun ke air." Jaminten melepas baju tipisnya.
"Tidak di tebing saja?"
"Aku ingin di dalam air. Sudah lama kubayangkan. Sekalian aku bisa membersihkan diri," bisik perempuan bertubuh gemuk tapi padat itu.
"Terserah, aku hanya mengikuti apa maumu."
Tanpa pakaian kedua orang yang berlainan jenis itu turun ke dalam kali. Air kali terasa sejuk sekali. Jaminten memagut leher lelaki itu lalu menempelkan tubuhnya rapat-rapat. Mulutnya bertanya, "Kau ingin kuremas sampai pingsan?"
"Eh, apa maksudmu?"
"Kenapa kau tadi kudengar Ingin membawa gadis itu dalam rombongan?"
"Aku hanya pura-pura, agar Ganco Langit tidak curiga."
Jaminten tertawa kecil. "Kau memang cerdik."
"Pujian itu tidak cukup. Benarkah aku lebih hebat dari Ganco Langit seperti katamu tempo hari?"
"Yang satu itu memang tidak tertandingi oleh Ganco langit. Nafsunya besar tapi kekuatannya seperti lilin yang meleleh terbakar apinya sendiri." Jaminten lalu turunkan tangan-tangannya kirinya ke bawah. Tangan itu lenyap di dalam air.
Di balik serumpun semak belukar di tepi kali, pada bagian yang sangat gelap sepasang mata menyaksikan kedua orang yang bergulung-gulung dalam air itu dengan penuh geram.
"Keparat! Aku memang sudah lama mencium perbuatan mereka ini! Kalian berdua akan mati secara tersiksa. Tapi tidak cepat-cepat. Aku masih membutuhkan lelaki itu sampai urusan di selatan selesai."
Ketika orang ini hendak beranjak dari balik semak belukar tempat dia mengintai didengarnya suara Jaminten menggerung dari arah kali.
"Bangsat! Perempuan bangsat!" kutuk serapah meledak keluar dari mulut orang itu.
***
Dinginnya udara malam menambahkan siksaan bagi Kioro Mertan yang berada dalam keadaan mati dan hidup, tergeletak di antara semak belukar, dibungkus kegelapan. Di antara suara erangannya terdengar dia berulang kali memanggil nama Tuhan.
"Tuhan… kenapa tidak Kau cabut nyawaku saat ini juga!
Aku rela mati! Tapi Tuhan, aku mohon selamatkan cucuku Sumiati. Apapun nasib buruk yang telah menimpa dirinya selamatkan dia…" kata-kata itu diucapkan Kioro Mertan berulang kali dalam hatinya.
Ketika tubuhnya terasa sangat lemah dan nafasnya mulai megap-megap mendadak telinganya sayup-sayup mendengar langkah kaki kuda di kejauhan. Dengan pemandangan yang samar-samar dicobanya menembus kegelapan. Hutan belantara itu sunyi senyap sejak gerombolan Ganco Item meninggalkan tempat itu be­berapa waktu lalu. Masih ada dua buah obor yang menyala, mungkin terlupa dipadamkan.
Kioro Mertan sadar tidak ada harapan baginya untuk hidup. Darahnya terlalu banyak mengucur. Namun rasa ingin tahu siapa penunggang kuda yang datang itu mem­buat orang tua ini berusaha keras membuka kedua matanya. Dalam kegelapan kemudian dilihatnya kuda ber­sama penunggangnya, makin dekat, makin dekat. kedua matanya masih bisa mengenali orang itu. Dia membuka mulut hendak berseru memanggil, tetapi yang keluar hanya suara erangan.
Mulutnya bergerak. "Wiro…! Aku di sini! Wiro…! Aku di sini!" namun ucapan itu hanya menggema dalam hatinya. Tapi orang tua ini tidak putus asa. Dengan sisa tenaganya dia berusaha menggerakkan kaki, menggoyang semak belukar dia berusaha menggerakkan kaki, menggoyang semak belukar di hadapannya. Dia berhasil! Suara gemerisik semak belukar yang tergeser kakinya menarik perhatian Pendekar 212. Semula Wiro merasa kecewa karena dia hanya mendapat sisa-sisa bekas perkemahan. Gerombolan Ganco Item pasti telah meninggalkan tempat itu selagi dia bersesat menempun jalan.
Ken Cilik, monyet coklat yang bergelantungan di leher­nya keluarkan suara memekik tiada henti. Wiro berpaling ke arah semak belukar dalam kegelapan.
"Siapa di situ?!" Wiro membentak dan memandang tajam ke arah semak belukar yang bergoyang-goyang itu. Pukulan tangan kosong disiapkannya untuk menjaga segala kemungkinan.
***

Kapak Maut Naga Geni 2126

SEMAK belukar itu tampak bergoyang lagi. Lalu Wiro
mendengar suara erangan. Murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede ini segera melompat dari atas kuda, melangkah mendekati rumpunan semak belukar. Ketika matanya berhasil menembus kegelapan malam terkejutlah pemuda ini begitu melihat siapa yang tergeletak di balik semak belukar itu.
"Pak tua Kioro Mertan!" Wiro menyebut nama orang tua itu lalu melompat dan jatuhkan diri merangkul tubuh Kioro Merton. "Pak tua, katakan apa yang terjadi!"
Dari mulut orang tua itu hanya terdengar suara meng­erang. Wiro melihat luka besar di perut Kioro Merton. Tengkuknya bergidik. Luka itu parah sekali. Orang tua ini tak akan bertahan lama. Wiro segera mendukung Kioro Merton ke arah salah satu obor yang masih menyala. Di tanah yang agak datar dibaringkannya orang tua yang tengah sekarat ini. Lalu dia menotok tubuh Kioro Mertan di dua tempat. Orang tua in merasakan sakit pada luka di perutnya berkurang sedikit. Dfa merasa ada hawa sejuk mengalir ke keningnya ketika Wiro menekankan telapak tangannya di kepala. Perlahan-lahan orang tua ini bisa membuka kedua matanya kembaii. Dia merasa ada sedikit kekuatan yang membuatnya sanggup mengeluarkan kata­kata walaupun terputus-putus.
"Wiro… tolong… Selamatkan Sumiati. Dia… dilarikan orang-orang Ganco Item…"
"Kakek tahu kemana mereka membawa cucumu itu?"
tanya Wiro.
"Aku tidak tahu… Aku mendengar mereka me… menuju ke sela… tan. Kau… harus membalaskan sakit hati ini, Wiro…"
"Saya bersumpah, demi kakek, paman serta bibi! Demi semua penduduk Jatingaleh yang jadi korban keganasan Ganco Item…"
"Kau harus hati-hati Wiro. Ternyata gerombolan itu ti… tidak bergerak sendirian…"
Wiro diam, menunggu ucapan orang tua itu lebih lanjut. Tapi Kioro Mertan juga diam.
"Kakek apa maksudmu mereka tidak sendirian?’
Wiro cepat ajukan pertanyaan ketika dilihatnya kedua mata Kioro Mertan hendak terpejam kembali.
"Ger…. gerombolan itu dibantu oleh orangorang Kadipaten Jepara. Seorang Bintara bernama Anggoro secara khianat menusukkan pedangnya ke perutku…"
"Keparat itu tak akan kulepaskan. Begitu juga tiga pimpinan Ganco item!"
"Yang penting selamatkan Sumiati. Dari Anggoro kau bisa mengorek keterangan kemana cucuku dibawa. Hati­hati Wiro, kurasa bukan cuma orang-orang Kadipaten Jepara saja yang terlibat. Mungkin juga orang-orang besar di kotaraja. Gerombolan itu punya banyak kaki tangan. Aku…"
Terdengar suara seperti tercekik. Lalu tak terdengar lagi suara ucapan Kioro Mertan. Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tubuhnya bergelatar. Pertama paman dan bibi­nya. Kini orang tua yang dianggapnya sebagai kakek sendiri itu menemui kematian di depan matanya.
***
Sebuah papan besar tergantung di depan bangunan beratap seng yang pintu-pintunya masih tertutup. Di atas papan Itu tertera tulisan dari cat hitam berbunyi Haji Yan. Penjual Peti Mati kayu Jati Asli.
Ketika jalan mulai ramai oleh orang yang lalu lalang, tampak papan-papan depan bangunan terbuka satu persatu. Seorang lelaki berkopiah putih, berjanggut dan berkumis jarang, berkulit kuning dan bermata sangat sipit sibuk menyusun papan-papan yang dibukanya satu persatu dan menyandarkannya di sebelah luar bangunan. Kini kelihatan ruangan dalam yang penuh dengan tumpukan petipeti mati. Semuanya terbuat dari kayu jati.
Orang berkopiah putih ini adalah Tan Siu Kong, pemilik tempat penjualan peti mati itu. Kakek moyangnya sudah tinggal turun temurun di Jepara. Semua turunan mencari hidup dengan menjual peti-peti mati. Tan Siu Kong merupa­kan turunan yang keempat. Meskipun lahir dan dibesarkan di situ namun kalau bicara dialek tanah leluhurnya tak pernah berubah.
Yan Siu Kong kawin dengan seorang perempuan Jepara asli dan memeluk agama Islam. Beberapa tahun lalu dia naik haji ke Mekkah. Sejak itu pedagangan peti mati ini lebih dikenal dengan panggilan Haji Tan.
Baru saja Haji Tan selesai membuka seluruh papan di bagian depan bangunan, seorang pemuda berambut gondrong dengan seekor monyet bertengger di bahunya turun dari kuda, langsung menemui Haji Tan. Binatang di bahunya memekik tiada henti lalu melompat ke atas sebuah peti, pindah ke peti lain, begitu berulang kali.
"Hayyya…" kata Haji Tan dalam hati. "Pagi-pagi pula ada tamu aneh. Mau bikin susah atawa mau kasih untung!"
Meski hatinya agak was-was melihat potongan tamu yang datang membawa monyet ini namun sebagai pedagang yang baik haji Tan membungkuk sambil memberi salam.
"Saya mau pesan peti mati," berkata pesan tamu yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Pesan…? Buat apa pesan? Yang sudah jadi ada banyak. Situ silakan pilih…" Haji Tan menunjuk pada susunan peti-peti mati yang di ruangan itu, yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh buah.
Wiro perhatikan peti-peti itu sebentar lalu gelengkan kepala. "Peti-peti itu terlalu kecil. Aku ingin yang tiga kali lebih besar."
Tentu saja Haji Tan terheran-heran mendengar ucapan tamunya itu. "Hayya… Peti mati begitu besal buat isi apa? Manusia mati atawa kalebo?"
"Haji Tan, kau tak usaha banyak tanya. Siapkan sebuah peti mati tiga kali ukuran biasa. Aku juga membutuhkan sebuah kereka terbuka untuk mengangkut peti mati besar itu. Lengkap dengan dua ekor kuda yang kuat. Lalu bubuk penangkal bau busuk mayat. Ini bayarannya!"
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kantong kain. Kantong ini dilemparkannya ke arah Haji Tan. Pedagang peti mati ini cepat menyambutnya. Terdengar suara berdering. Haji Tan cepat membuka tali kain pengikat kanton. Tanpa menghitung, dengan hanya melihat sekilas saja pedagang ini sudah maklum berapa jumlah uang perak yang ada dalam kantong itu. Banyak sekali. Lebih dari cukup untuk bisa menyediakan semua yang di­minta tamunya itu.
Setelah berdecak beberapa kali Haji Tan berkata. "Anak muda, soal semua yang situ pesan situ tidak usah kawatil. Owe cuma ada alasan helan. Peti mati sebegitu besal…"
Wiro cepat memotong. "Haji Tan, kau siapkan saja apa yang aku pesan. Aku datang lagi tiga hari di muka untuk mengambilnya!"
"Hayya! Apa…?! Tiga Hali?! Mana wole hah? Paling tidak owe pelu sepuluh hali…"
"Lima hali. Jangan belani tawal-tawal. Atawa owe kasi batal itu pesanan!" kata Wiro dengan menirukan dialek Cinanya Tan Siu Kong, lalu dia ulurkan tangan pura-pura hendak meminta kantong uang yang dipegang pedagang peti mati itu.
"Oooo jangan kasi watal. Hayyaa… Lima hali. Owe telima!" Lalu Haji Tan cepat-cepat masukkan kantong uang ke dalam saku baju putihnya.
"Ken Cilik!" Wiro memanggil monyet yang masih enak­enak duduk di salah satu peti mati. binatang ini menyeringai. Ketika Wiro melangkah ke luar Ken Cilik cepat melompat ke bahu sang pendekar baru saja Wiro berlaku, Haji Tan berteriak memanggil istinya.
"Tumini! Tumini!"
Sang istri yang sedang menyiangi sayur lobak di dapur keluar tergopoh-gopoh. Tan Siu Kong acungkan dan goyang-goyangkan kantong uang itu di depan wajah istri­nya. Sang istri ikut goyang-goyangkan kepala menuruti ayunan kantong uang.
"Saya lagi banyak kerjaan di dapur. Pagi-pagi sudah bercanda. Apa-apaan ini?"
"Eeee, ini bukan becanda Tumini," kata Haji Tan pula. "Ada olang gila datang! Pesan peti mati, satu buah gelobak, dua ekol kuda tamba bumbu mayat! Kasih uang begini banyak! Untung besal Tumini. Kita untung wesal. Ini ambil. Simpan baik-baik!" Haji Tan serahkan kantong uang pada istrinya. Setelah memberikan beberapa pesan pedagang peti mati ini tinggalkan rumahnya. Dia berjalan sambil senyum-senyum karena memperoleh untung yang tidak terduga. Tetapi dia juga tidak habis pikir. Pemuda gondrong yang tidak dikenalnya itu, muncul menunggang kuda, mem­bawa seekor monyet dan memesan peti mati sebesar itu.
Untuk apa? Sampai saat itu dia sama sekali tidak mendengar kabar ada keluarga di Jepara yang kematian sanak keluarganya memerlukan peti mati.
***

Kapak Maut Naga Geni 2127

GUBUK itu terletak di kaki bukit tak berapa jauh dari Undaan yaitu antara Kudus dan Demak. Ganco Langit duduk bersila di hadapan Ganco Bumi dan Ganco Laut. Di salah satu sudut gubuk tergolek sosok tubuh Jaminten. Perempuan ini berbaring seenaknya se­hingga sebagian auratnya sebatas pangkal paha ke bawah tersingkap. Saat itu walau kedua matanya terpejam tapi Jaminten tidak tidur. Diam-diam dia mendengarkan pem­bicaraan tiga pucuk pimpinan gerombolan Ganco Item itu.
Perjalanan jauh sepanjang siang tadi membuat sekujur badannya terasa letih. Namun dia tak bisa memincingkan mata. Apalagi tadi Ganco Langit sudah berbisik padanya bahwa malam ini, sebelum mereka melakukan pekerjaan besar besok siang, dia ingin Jaminten melayaninya.
"Ganco Bumi, apa kau sudah siap berangkat malam ini?" terdengar suara Ganco Langit bertanya pada adiknya.
Ganco Bumi mendehem beberapa kali lalu menjawab.
"Sudah. Aku membawa serta lima orang anak buah. Sebetulnya aku lebih suka jika tugas ini dilakukan oleh Ganco Laut."
Ganco Laut yang duduk di sebelah Ganco Bumi diam saja. Hanya kedua matanya saja yang melirik ke arah Ganco Langit.
"Ganco Laut bakal dapat tugas lain.." kata Ganco Langit. "Lakukan tugasmu dengan baik. Ingat, kita bergabung di lembah sebelah timur Kuto Ulir pada tengah hari besok."
Ganco Bumi mengangguk perlahan lalu berdiri dan tinggalkan gubuk itu. Setelah mereka tinggal berdua Ganco Laut bertanya. "Kau bilang bakal ada tugas lain untukku. Tugas apa Ganco Langit?"
"Itu masih kupikirkan. Aku ingin istirahat dulu…" Jawaban Ganco Langit itu cukup membuat maklum apa yang akan dilakukan oleh Ganco Langit. Ganco Laut berdiri. Dia melirik sesaat pada tubuh Jaminten yang terbaring mengangkang kemudian keluar dari gubuk.
Ganco Langit menutup pintu gubuk lalu merebahkan diri di samping Jaminten. Perempuan itu membalik. Nafas mereka saling hembus. Lalu tangan Ganco Langit mulai bergerak. Jaminten menggeliat kegelian. Geliatan ini me­nambah rangsangan Ganco Langit. Dipeluknya tubuh gemuk itu seperti hendak melumat. Jaminten membalas seperti penuh bernafsu. Tapi dalam hatinya perempuan ini berkata, "Puaskan hatimu! Kalau barang-barang pusaka itu sudah didapat, berarti ajalmu sudah dekat Ganco Langit!"
***
Pagi-pagi sekali ketika hari masih gelap gerobak ter­tutup itu sudah masuk ke dalam halaman sebuah rumah di luar timur Demak. Rumah ini meskipun kecil tapi sangat bagus bangunannya, memiliki halaman besar dan selusin orang lelaki rata-rata bertubuh kekar tampak melakukan pengawalan.
Lima orang anggota gerombolan yang bertindak menjadi pengawal dengan tubuh letih melompat dari atas kuda masing-masing. Ganco Bumi yang duduk di depan gerobak meneguk tuak dari dalam sebuah bumbung bambu lalu melompat turun.
Dua orang berbadan kekar yang agaknya telah mengenal Ganco Bumi segera datang menyongsong.
Keduanya memberi hormat Ganco Bumi lalu salah seorang memberi tahu bahwa Adipati Demak, Bando Wiseso sudah siap menunggu kedatangannya di dalam rumah. Ganco Bumi memberi isyarat pada anak buahnya. Dua orang menyingkapkan kain penutup bagian belakang gerobak. Sesaat kemudian tampak kedua orang itu meng­gotong sebuah usungan kayu di atas mana terbaring se­sosok tubuh yang diselimutl sampal sebatas leher.
Wajah yang tersembul dari balik selimut itu adalah wajah seorang gadis. Walaupun parasnya tampak pucat dan dia seperti dalam keadaan tidur namun jelas kelihatan paras itu cantik sekali. Dia bukan lain adalah Sumiati, cucu Kioro Mertan, puteri tunggal kepala desa Jatingaleh yang telah diculik dan dirusak kehormatannya secara keji oleh Ganco Langit, Ganco Bumi dan Ganco Laut. Ada apakah kini gadis itu dibawa ke tempat tersebut? Dimana telah menunggu seorang pejabat tinggi Kerajaan yaitu Adipati Bandoro Wiseso?
***

Kapak Maut Naga Geni 2128

KEDUA lelaki berbadan kekar melangkah mendahuiui memasuki rumah, diikuti oleh due anggota gerombolan yang mengusung Sumiati lalu Ganco Bumi di sebelah belakang. Gadis malang itu diusung memasuki sebuah kamar. Disitu telah menunggu Adipati Bandoro yang hanya mengenakan pakaian tidur, bertubuh kerempeng tapi jangkung dan memelihara kumis tebal melintang yang tidak sesuai dengan tampangnya yang kecil panjang dan cekung pada kedua pipinya. Giginya yang tonggos menambah keburukan tampangnya. Dia menye­ringai ketika melihat paras gadis di atas usungan lalu berpaling pada Ganco Laut. Tubuh Sumiati diletakkan di atas pembaringan. Setelah due pengusung keluar, lelaki tinggi kurus ini melangkah mendekai Ganco Bumi dan menepuk-nepuk bahu pimpinan gerombolan itu.
"Cantik sekali. Tapi kenapa wajahnya agak pucat?"
Ganco Bumi tersenyum mendengar kata-kata orang di depannya itu. "Perjalanan jauh membuat tubuhnya sangat letih. Sebelumnya dia galak sekali, beberapa kali berusaha melarikan diri, Kami terpaksa menotoknya."
"Ah…." Bandoro Wiseso mengangguk. "Aku mengucap­kan terima kasih. Kalian selalu memberikan yang terbaik untukku. Kakakmu Ganco Langit tidak datang?"
Ganco Bumi menggeieng. "Dia menitip pesan padamu Adipati. Dia berharap Adipati bisa bersenang-senang se­panjang pagi sampal malam nanti. Lalu dia juga meminta agar tidak adas pengawal atau perajurit atau orang-orang Kadipaten bertugas di sekitar tenggara kita siang ini."
"Hemm… apakah yang hendak kalian lakukan?" tanya Adipati Demak pula.
Ganco Bumi tidak menjawab. Wajahnya menunjukkan rasa tidak senang dengan pertanyaan tadi. Adipati Bandoro Wiseso batuk-batuk beberapa kali.
"Ah, maafkan aku. Sesuai perjanjian diantara kita aku tak boleh terlalu banyak tanya dan ingin tahu. Namun se­panjang kalian tidak keterlaluan, aku tak akan pernah keberatan. Daerah tenggara memang kediaman orang-orang bangsawan dan orang-orang kaya. Itukah sasaran kalian kali ini?"
Ganco Bumi menjawab sambil tersenyum. "Dugaanmu tepat Adipati. Demak sudah dipenuhi oleh bangsawan­bangsawan kaya raya. Sementara rakyat miskin semakin banyak akibat tanahnya dirampas secara halus. Sudah saatnya kekayaan mereka itu kita ambil dan dibagi kembali kepada rakyat. Bukan begitu Adipati?"
"Betul! Betul sekali Ganco Bumi!" jawab Adipati Bandoro Wiseso. "Aku setuju agar sebagian harta kekayaan orang-orang kaya itu dibagikan pada rakyat jelata. Tapi kuharap jangan melupakan perjanjian kita, Jika kalian berbuat sesuatu di luar Demak tapi masih dalam kawasan kekuasaanku, bagianku adalah seperlima. Kalau kalian menjarah dalam kota Demak, maka bagianku adalah empat perlima. Katakan itu pada Ganco Langit!"
Ganco Bumi mengangguk. "Tak usah kawatir. Kami orang-orang Ganco Item selalu menepati perjanjian asal­kan ada bantuan timbal balik."
Dari dalam saku baju hitamnya Ganco Hitam keluarkan sebuah kantong berisi uang lalu dimasukkannya ke dalam genggaman Adipati Bandoro Wiseso.
"Itu pembagian sisa terdahulu. Sekarang saya minta diri." kata Ganco Bumi. Lalu dia menoleh ke arah sosok Sumiati di atas tempat tidur. Sebenarnya Ganco Bumi masih ingin melampiaskan nafsu bejatnya terhadap gadis itu. Tadi dia hendak melakukannya di tengah jalan. Namun rencana besar yang akan dilakukannya bersama kakaknya lebih penting. Ganco Bumi memandang pada Bandoro Wiseso kembali dan berkata. "Dia masih sangat hijau Adipati. Jangan terlalu galak. Beberapa saat lagi totokan di tubuhnya akan terlepas. Setelah itu kau bisa berbuat apa saja terhadapnya. Dua hari di muka orang-orangku akan menjemputnya."
"Dua hari katamu Ganco Bumi? Dua hari? Ah! Untuk gadis secantik ini paling tidak lima hari!" kata Bandoro Wiseso dan tenggorokannya tampak turun naik. Matanya memandang berkilat-kilat ke arah tempat tidur.
"Jika begitu maumu, kau boleh memilikinya selama satu minggu!"
"Kau benar-benar kawan yang hebat!" kata Bandoro Wiseso dengan tawa lebar. Seperti tadi kembali dia menepuk-nepuk bahu Ganco Bumi.
"Siapa nama gadis itu Ganco?"
"Sumiati."
"Sumiati… Sumiati," kata Bandoro Wiseso mengulang beberapa kali. Dia mengantarkan pimpinan gerombolan itu sampai ke pintu depan. Belum lagi Ganco Bumi dan orang­orangnya keluar dari halaman rumah, Adipati Demak ini sudah menutup pintu dan setengah berlari dia masuk kembali ke dalam kamar. Selimut yang menutupi tubuh Surniati disingkapkannya. Sepasang mata lelaki berusia enam puluh tahun ini seperti silau ketika melihat bahwa di balik selimut itu tak ada apapun yang menutupi tubuh bagus si gadis.
Meski sudah diberi tahu bahwa totokan di tubuh Sumiati akan terlempas dengan sendirinya dalam waktu tak berapa lama lagi, namun saat itu Bandoro Wiseso mana bisa sabar. Ditelitinya sekujur tubuh gadis itu. Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi Adipati ini akhirnya berhasil mengetahui di bagian mana Sumiati ditotok. Dengan mengerahkan tenaga dalam dia mengurut urat besar dekat ketiak kiri si gadis. Sesaat kemudian tubuh Sumiati tampak bergerak. Kedua matanya perlahan­lahan membuka.
Melihat tampang Adipati itu Sumiati seperti melihat setan. Mendengar suara bisikannya Sumiati seolah men­dengar suara hantu. Maka gadis ini pun menjerit keras!
***

Kapak Maut Naga Geni 2129

ADIPATI Bandoro Wiseso cepat menutup mulut Sumiati. gadis ini berusaha melompat tetapi sekujur tubuhnya lemah lunglai tak bertenaga. Dia hanya bisa menggulingkan diri ke samping kiri tempat tidur. Sementara itu Bandoro Wiseso dengan cepat menanggal­kan pakaian tidurnya. Lalu sekali lompat saja diterkamnya tubuh gadis itu.
Namun seperti mendengar suara petir begitu kagetnya sang Adipati ketika pintu kamar tiba-tiba hancur beran­takan di hantam orang dari kuar. Dan terkejut seperti melihat hantu dia membeliak sambil melangkah mundur. Di hadapannya bergerak mendekat seorang pemuda be­rambut gondrong yang tidak dikenalnya. Rahang pemuda ini mengembung. Gerahamnya terdengar bergemeletakan. Kedua tangannya terpentang seolah slap hendak men­cekiknya.
Dua belas pengawal yang bertebaran di sekitar rumah terheran-heran ketika melihat sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda memasuki halaman. Tidak kusir atau sais ada di atas kereta itu. Yang kelihatan hanya seekor monyet coklat, duduk di bagian depan kereta. Lalu ini yang membuat semua orang di situ dari heran menjadi terkejut.
Selagi perhatian semua pengawal itu tertuju pada kereta tersebut, tanpa mereka ketahui sesosok bayang putih berkelebat masuk ke dalam rumah!
Di atas kereta ada sebuah peti mati kayu jati berwarna hitam, berukuran besar luar biasa. Pada dinding-dinding peti mati itu terdapat angka 212 yang tidak mereka mengerti apa artinya.
Kayu di sebelah atas atau penutup peti mati tampak terbuka. Ketika kereta itu akhirnya berhenti di tengah halaman, kedua belas pengawal sesaat melangkah menge­lilingi kereta itu. Kemudian seperti diberi isyarat mereka sama berserabutan untuk melihat dari dekat apa isi peti mati itu. Begitu mereka mengulurkan kepala, serentak kepala masing-masing seperti disentak setan. Paras mereka menjadi berubah. Ada yang merasa jijik, tetapi lebih banyak yang merasa mengkirik!
"Ada mayat dalam peti itu…" desis salah seorang dari mereka.
"Mayat siapa…?" yang lain bertanya dengan suara agak gemetar.
Ada seorang diantara mereka yang berani dan coba melorigok kedalam peti mati kembali. Lalu kepalanya cepat-cepat dipalingkan. "Aku rasa-rasa pernah melihat mayat ini…" katanya seraya berpikir keras. Lalu dia ingat. "Astagal ini mayat Anggoro! Bintara di Kadipaten Jepara!"
"Berarti peti mati ini datang dari Jepara!"’ kata yang lain.
"Siapa yang mengirimkannya…? Tidak mungkin kereta ini bisa menempuh jarak sejauh itu tanpa ada kusirnya! Keanehan apa yang kita saksikan hari ini!" kata yang lain.
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba ada suara men­jawab dari arah rumah. "Peti mati itu memang datang dari Jepara! Aku yang membawanya kemari! Kalian tidak me­lihat keanehan hari ini! Yang kalian saksikan adalah siapa berbuat kejahatan dan kebejatan akan menerima pem­balasan setimpal!"
Serempak kedua belas orang pengawal palingkan kepala. Apa yang mereka saksikan kemudian membuat semuanya jadi melotot.
Seorang pemuda berpakaian serba putih dan berambut gondrong tegak di depan rumah sambil mendukung dua sosok tubuh. Yang pertama adalah tubuh gadis yang pagi tadi dibawa oleh Ganco Bumi dan orang-orangnya. Tubuh gadis itu berada dalam keadaan tidak bergerak di bahu kiri si pemuda, mungkin pingsan dalam keadaan tertotok. Dia mengenakan pakaian milik Adipati Bandoro Wiseso.
Sosok tubuh kedua, dan ini yang membuat dua belas pengawal itu terkejut dan terbelalak, ialah sosok tubuh Adipati mereka sendiri. Sang Adipati hanya mengenakan celana tidur. Kepalanya terkulai ke bawah. Leher itu patah! Dan dari mulut Bandoro Wiseso jelas kelihatan mengucur darah!
"Pemuda itu membunuh Adipati Bandoro!" seorang pengawal berteriak. Semuanya menjadi gempar. Lalu sadar apa yang harus mereka lakukan, kedua belasnya serentak menyerbu!
Kita kembali ke kamar di dalam rumah untuk menge­tahui apa yang terjadi sebelum Pendekar 212 keluar dengan mendukung tubuh Sumiati dan Bandoro Wiseso.
"Manusia keparat!" teriak Wiro begitu dia menerobos masuk ke dalam kamar dan mendapatkan Adipati tinggi kurus berkumis melintang dan tonggos itu berada dalam keadaan siap hendak berbuat keji terhadap Sumiati. Dia merasa bersyukur telah mengambil keputusan yang tepat. Sebelumnya dia sempat ragu untuk memilih apakah akan mencegat Ganco Bumi dan orang-orangnya yang barusan dari Demak atau langsung menuju Demak guna menye­lamatkan saudara sepupunya itu. Wiro memilih untuk mela­kukan yang kedua. Ternyata dia datang pada saat yang tepat.
"Kurang ajar! Siapa kau?!" balas membentak Adipati Bandoro Wiseso.
"Tua bangka bejat!" kembali Wiro mendamprat. "Tubuh sudah bau tanah masih saja berbuat keji!"
"Bangsat! Jawab pertanyaanku! Kau siapa yang berani masuk membobol pintu?!" bentak Bandoro Wiseso.
Si gondrong menyeringai. "Namaku Wiro Sableng! Tapi aku datang sebagai Malaikat Maut! Perbuatan kejimu selama ini menentukan bahwa sudah saatnya kau me­nerima hukuman. Hari ini adalah hari kematianmu."
"Malaikat Maut?!" belalak Bandoro Wiseso. Dia hendak tertawa bergelak namun saat itu dia baru sadar kalau dirinya sama sekali tidak mengenakan apa-apa.
Dia cepat menyambar celana tidurnya. Wiro biarkan orang itu mengenakan celananya. Selesai mengenakan celana dengan tampak beringas dia melangkah ke hadapan Wiro. Sementara itu Sumiati berusaha menutupi tubuhnya dengan kain alas tempat tidur.
"Orang gila! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!"
"Lebih dari tahu!" jawab Wiro sambil sunggingkan senyum mengejek. "Aku berhadapan dengan seorang Adipati yang seharusnya menjadi abdi rakyat. Tapi malah bersekutu dengan gerombolan penjahat untuk mencelakai rakyat! Kau makan uang sogokan! Malah sampai hati hendak merusak kehormatan gadis tidak berdaya yang diberikan oleh komplotan Ganco item!"
"Bangsat! Berani kau memfitnah diriku!"
"Manusia jahanam! Bukti di depan mata masih bisa kau bilang fitnah! Manusia bejat sepertimu pantas segera disingkirkan!" kertak Wiro.
"Pengawal!" teriak Adipati Bandoro Wiseso. Namun teriakannya hanya keluar sepotong karena saat itu Pendekar 212 sudah meiompatinya dan menghantamkan satu jotosan ke muka Adipati Demak ini.
Bandoro Wiseso berkelit ke samping. Tangan kananya susupkan satu jotosan ke perut Wiro. Bersamaan dengan itu kaki kanannya ikut menendang. Ternyata Adipati Demak ini menguasai ilmu silat yang tidak bisa dibuat main. Begitu Wiro mengelak dia kembali memburu dengan serangan bertubi-tubi. Dua jotosannya sempat melabrak perut dan dada murid Eyang Sinto Gendeng ini.
Wiro merasakan perutnya seperti pecah dan dadanya seolah melesak. Dia tidak punya banyak waktu untuk melayani manusia satu ini karena harus segera mengejar Ganco Bumi sebelum orang itu sempat bergabung kedua kambratnya.
Ketika Bandoro Wisese kembali menggempurnya dengan serangan berantai Pendekar 212 langsung me­nyongsong dengan jurus "Di balik gunung memukul halilintar!" tangan kirinya diangkat untuk menangkis. Ber­samaan dengan itu tangan kanan yang sudah dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi lepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Inilah jurus silat yang diwarisi­nya dari Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede.
Ketika ada angin yang mendahului pukulan tangan kanan lawan, Bandoro Wiseso maklum kalau Wiro hendak menghantamnya dengan pukulan maut. Maka Adipati Demak yang cukup punya pengalaman ini cepa-cepat me­lompat ke samping kiri. Lima jari tangannya membuat gerakan merenggut ke arah tenggorokan Wiro.
Serangan balasan sang Adipati ternyata mampu men­capai sasaran lebih dulu dari hantaman tangan kanan yang hendak dilepaskan Wiro. Hal ini membuat Wiro mau tak mau harus menarik serangannya seraya membuat gerakan menjatuhkan lehernya dari serangan ganas lawan. Begitu dia bisa menyelamatkan leher Wiro melompat ke atas tempat tidur. Dari sini dia molompat ke arah lawan sambil mengeluarkan jurus silat yang didapatnya dari Tua Gila di Pulau Andalas yaitu "Kilat menyambar puncak Gunung." Yang diincarnya adalah batok kepala Adipati itu.
Bandoro Wiseso tidak mengira serangan kedua ini datang begitu cepatnya. Tak ada kesempatan untuk me­nangkis, lelaki ini jatuhkan dirinya. Begitu punggungnya menyentuh lantai maka dia akan hantamkan kaki kanan­nya ke perut lawan. Tapi ternyata Pendekar 212 mengikuti arah jatuhnya ke samping kiri. Dari arah ini tebasan tangannya masih terus menderu dengan deras. Batok kepala Bandoro Wiseso memang luput dari serangannya tapi kini gantinya justru adalah batang leher Adipati itu!
Kraak!
Tulang leher Bandoro Wiseso berdetak patah!
Tubuhnya langsung terhuyung roboh. Nyawanya se­benarnya sudah putus saat Itu juga. Namun saking geram­nya, sebelum tubuh itu jatuh ke lantai, murid Eyang Sinto Gendeng ini hantamkan tumitnya ke dada Bandoro Wiseso.
Tak ampun lagi tubuh yang sudah jadi mayat itu men­celat menghantam dinding. Dari mulutnya yang terbuka kelihatan darah memuncrat!
Jika dituruti nafsu amarahnya saat itu mau rasanya Wiro menghancurluluhkan kepala dan sekujur tubuh serta semua anggota badan Adipati itu. Namun dia merasa tak ada gunanya. Mayat utuh sang Adipati lebih baik dipakai sebagai penambah isi peti matinya!
Wiro tersadar oleh suatu erangan dari arah tempat tidur. Dia berpaling. Gadis itu setengah terduduk. Wajahnya pucat. Gadis itu berusaha menutupkan kain alas tempat tidur ke tubuhnya. Wiro mendekat.
"Sumiati… Jangan takut. Aku datang menolongmu…"
"Kau…Kau siapa?" Suara gadis itu antara terdengar dan tiada. Dia berusaha beringsut menjauhkan diri. Bencana yang dialaminya membuat dia tidak bisa percaya dengan siapa lagi di dunia ini, apalagi yang namanya laki-laki.
"Aku Wiro. Aku saudara sepupumu," jawab Pendekar
212. "Sau… saudara sepupu…? Seumur hidup aku tidak per­nah punya saudara sepupu. Kau pasti salah satu dari
manusia-manusia terkutuk itu!"
Wiro mendekat sambil garuk-garuk kepala.
"Jangan sentuh tubuhku! Bunuh! Lebih baik kau bunuh diriku! Aku ingin mati! Aku ingin mati!" teriak Sumiati.
Sesaat Pendekar 212 jadi terkesiap tak tahu apa yang harus dilakukan. Namun kemudian disadarinya bahwa dia harus bertindak cepat.
"Aku tak punya waktu banyak. Nanti saja aku terang­kan." Habis berkata begitu Wiro segera menotok tubuh Sumiati. Dari dalam sebuah lemari di kamar itu dia hanya menemukan pakaian-pakaian lelaki yaitu milik Bandoro Wiseso. Bagaimanapun pakaian itu lebih baik dipakaikan ke tubuh saudara sepupunya dari pada hanya dibungkus dengan selimut atau kain alas tempat tidur.
***

Kapak Maut Naga Geni 21210

MENGHADAPI dua belas pengeroyok dengan me­mikul dua sosok t.ubuh bukan peke,jaan mudah bagi Pendekar 212 Wiro Sabieng meskipun tidak terlihat satupun dari mereka memegang senjata.
Selagi orang-orang itu menebar dan bergerak men­dekatinya Wiro gerakkan bahu kanannya dengan keras. Mayat Bandoro Wiseso yang ada di bahu kanan itu tersentak keras dan melayang di udara. Tentu saja hal ini membuat kedua belas pengawal tadi sama keluarkan seruan tertahan saking terkejutnya. Ada yang berusaha untuk menangkap tubuh Adipati mereka itu. Namun tubuh itu melayang di atas kepala mereka ke arah kereta lalu dengan suara bergedebuk keras menggidikkan jatuh masuk ke dalam peti mati yang terbuka! Ken Cilik yang ada di atas kereta memekik beberapa kali sedang dua kuda penarik kereta meringkik panjang. ,
"Kawan-kawan!" salah seorang pengawal berteriak. "Mari kita bunuh pemuda ini!"
Maka dua belas orang yang tadi terhenti gerakan mereka sesaat kini kembali menyerbu. Beberapa orang di antaranya kelihatan mencabut senjata. Mereka tampaknya tidak ragu-ragu sekaiipun serangan mereka mungkin akan mencelakai gadis yang ada di bahu kiri Wiro.
Dalam keadaan seperti ini menyerang lebih dahulu adalah lebih baik dari pada menunggu.
Pendekar 212 melompat ke kiri. Tangan kirinya me­megang pinggang Sumiati. Tangan kanan lepaskan satu jotosan. Sasarannya adalah pengawal berhidung besar di ujung kiri. Namun dari samping kawan si pengawal ini datang membabatkan goloknya. Wiro terpaksa membuat gerakan berputar. Kaki kanannya berkelebat.
Bukk!
Pengawal yang tadi hendak membacoknya terpental sambil keluarkan suara mengeluh tinggi. Rahangnya rengkah.
Tubuhnya terhempas ke tanah. Sebelas kawannya ber­teriak marah dan menyerang laksana air bah. Wiro meng­geser kedudukannya memunggungi kereta. Dengan demikian dia berusaha menghindari serangan dari belakang. Begitu mencapal kereta Wiro lepaskan pukulan "benteng topan melanda samudera". Walau pukulan ini dilepaskan dengan mengerahkan hanya sepertiga tenaga dalamnya tapi sudah cukup untuk membuat para penyerang berteriak kaget. Tiga di antara mereka terpental dan terguling-guling di tanah sementara debu dan pasir bertebaran disapu angin pukulan.
Seorang pengeroyok menyelinap ke samping kereta lalu melompat ke atas kendaraan ini. Dengan golok di tangan dia bermaksud menyerang Wiro dari belakang. Tapi begitu dia naik di atas kereta, Ken Cilik melompat ke atas bahunya, menggigit telinga kirinya kuat-kuat. Orang ini menjerit keras. Golok terlepas dari tangannya. Dia melompat ke tanah dengan darah bercucuran dari telinganya. Ketika telinga itu dirabanya ternyata daun telinganya robek besar bahkan hampir putus!
Selagi para pengeroyok tertegun melihat apa yang ter­jadi, Wiro cepat melompat ke atas kereta. Tubuh Sumiati dibaringkannya di lantai di sebelah belakang tempat duduk.
Sambil tegak bertolak pinggang di atas kereta dia ber­kata, "Jika ada yang masih punya nyali silahkan mencoba!"
Lalu sekali lagi dia lepaskan pukulan sakti tadi. Kali ini dengan mengerahkan hampir setengah tenaga dalamnya. Karena tidak berniat untuk membunuh semua pengawal yang ada disitu maka Wiro sengaja mengarahkan pukulan­nya ke tanah. Para pengawal merasa seolah-olah tempat itu dilanda angin puting beliung. Tubuh mereka bergetar keras sedang kaki masing-masing terasa goyah. Beberapa orang tampak jatuh terbanting. Debu pasir beterbangan menutupi pemandangan.
Terdengar suara cambuk dipecutkan. Lalu gemertak roda-roda kereta. Ketika debu dan pasir surut ke tanah, kereta yang ditarik dua ekor kuda itu bersama penumpang­nya sudah tak ada lagi di tempat itu. Tak ada satupun dari para pengawal itu berani bergerak untuk mengikuti apa lagi coba mengejar.
***
Meskipun rombongan Ganco Bumi meninggalkan Demak lebih dahulu, namun dengan memacu dua ekor kuda penarik kereta sekencang-kencangnya dan me­nempuh jalan memotong menyeberangi sebuah kali dangkal, di sebuah jalan tanah yang kiri kanannya sarat dengan pepohonan jati, Pendekar 212 berhasil memapaki perjalanan Ganco Bumi dan lima anak buahnya.
Ganco Bumi yang tengah memacu kudanya dengan kencang mengangkat tangan memberi tanda. Namun gerak-gerik keenam binatang ini jelas menunjukkan keresahan. Kuda-kuda itu kelihatan menggerak-gerakkan ekor mereka tiada henti. Kaki masing-masing tak bisa diam. Di antaranya ada yang meringkik seolah ketakutan.
Sesaat keenam orang itu hanya memandangi kereta yang melintang di tengah jatan itu. Orang yang menjadi kusir kereta seenaknya memandang ke arah hutan jati di depannya sambil mengusap-usap monyet yang duduk di sampingnya. Dia seolah-olah tidak melihat atau mendengar kemunculan Ganco Gumi dan anak buahnya. Padahal jelas­jelas dia memelintangkan kereta untuk mencegat rom­bongan itu.
Setelah mengalihkan pandangannya pada peti mati besar di atas kereta, Ganco Bumi yang tidak dapat lagi menahan kemarahannya karena perjalanannya sengaja diganggu pemuda tak dikenal itu menghardik dengan keras.
"Orang gila dari mana mencari mati berani menghadang perjalananku!"
Pendekar 212 terus mengusap kuduk Ken Cilik. Tanpa berpaling ke arah rombongan Ganco Bumi dia bertanya pada monyet di sampingnya.
"Ken Cilik, apakah ini salah seorang dari calon isi peti mati kita?!"
Ken Cilik putar kepalanya. Kedua matanya memandang besar-besar ke arah Ganco Bumi. Lalu binatang ini mulai berteriak-teriak sambil melompat-lompat.
Pendekar 212 manggut-manggut.
"Bagus! Jadi kau sudah mengenali salah satu dari manusia-manusia durjana itu!" ujar Wiro. Tangan kanannya diturunkan menarik sebuah palang kayu. Tangan kiri menjangkau cambuk kereta.
Terdengar suara berkereketan.
Ganco Bumi yang kembali hendak membentak jadi terkancing mulutnya. Dia mengernyit sementara lima anak buahnya terperangah ketika menyaksikan bagaimana kayu penutup peti mati terbuka perlahan-lahan dengan menge­luarkan suara menggidikkan.
Ketika penutup peti mati terpentang lebar dan Ganco Bumi serta lima anak buahnya melihat dua sosok tubuh yang tergelimpang di dalamnya, karuan saja keenam orang ini keluarkan seruan tertahan. Mereka menyaksikan dua sosok mayat di dalam peti mati itu. Mayat di samping kanan adalah mayat Adipati Demak Bandoro Wiseso.
"Demi setan! Apa yang terjadi dengan Adipati ini!" kata Ganco Bumi dengan mata mendelik. Pagi tadi dia masih menemui Adipati itu dalam keadaan hidup dan tertawa gembira karena diberi hadiah seorang gadis cantik. Kini tahu-tahu sudah jadi mayat!
Mayat kedua yang tampak mulai membusuk masih bisa dikenali oleh Ganco Bumi yaitu tidak lain dari pada mayat Bintara Anggoro, salah seorang dari sekian banyak sekutu­sekutu komplotannya.
"Ini benar-benar gila!" Ganco Bumi memaki dalam hati. "Aneh, mayat Bintara itu jelas mulai membusuk, tapi mengapa tidak menebar bau?!"
Saat itu balk Ganco Bumi maupun para anak buahnya tidak dapat melihat sosok tubuh Sumiati yang dibaringkan Wiro di sisi kereta sebelah kiri, terhalang oleh peti mati.
"Manusia berkulit hitam! Berpakaian serba hitam! Aku tahu kau adalah salah satu dari tiga anjing Ganco Item! Katakan kau ini Ganco yang mana?! Ganco Langit, Bumi atau Laut?!" Wiro bicara dengan tetap tidak bergerak di atas tempat duduk kereta dan menatap ke arah hutan jati.
Ditanya seperti itu tentu saja Ganco Bumi menjadi me­radang berang.
"Bangsat kurang ajar!" teriaknya memaki. "Aku Ganco Bumi bisa saja membungkam mulutmu dan menjebloskan­mu ke dalam peti mati itu semudah membalikkan telapak tangan! Tapi buat apa harus mengotori tangan melayani cecunguk macammu?!"
Makiannya ini dijawab oleh Ken Cilik dengan jeritan­jeritan keras.
"Anak-anak! Lekas kalian bikin lumat pemuda gila itu!" teriak Ganco Bumi.
Lima anak buah gerombolan Ganco Item turun dari kuda masing-masing, lalu sambil menghunus senjata mereka yaitu ganco besi yang ujungnya runcing mengeri­kan, kelimanya melompat ke atas kereta. Lima ganco maut berkelebat di udara!
Pendekar 212 keluarkan suara mendengus.
"Ganco Bumi! Aku telah bersumpah untuk membunuh­mu! Peti mati itu kusediakan untuk dirimu serta dua saudaramu!"
Ganco Bumi tertawa bergelak. "Sudah macam orang gila, bicarapun seperti mimpi!"
Wiro balas tertawaan orang dengan cibiran.
"Nyawamu tak bakal lolos dariku Ganco Bumi! Tapi jika kau memang mngumpan anak buahmu untuk menyem­bunyikan kepengecutanmu, lihat saja apa yang akan ter­jadi!"
Tubuh Wiro tampak berdiri tapi kedua kakinya tidak ber­geser sedikitpun. Tangan kirinya yang memegang cambuk bergerak. Terdengar suara cambuk itu berkelebat di udara laksana gelegar petir. Bersamaan dengan itu Wiro hantam­kan tangan kanannya. Lalu kaki kirinya membuat gerakan menendang.
***

Kapak Maut Naga Geni 21211

TIGA jeritan menggema sampai ke dalam hutan jati. Tiga penyerang jatuh terkapar di tanah. Satu pegangi mukanya yang mengucurkan darah. Muka itu robek akibat hantaman cambuk. Yang lain merintih di tanah sambil pegangi dada yang dilabrak jotosan. Dari mulutnya membusa ludah bercampur darah. Orang yang ketiga ter­geletak di tanah sarnbil rnelejang-lejangkan kaki lalu tidak bergeming lagi.
Mati dengan kemaluan pecah disambar tendangan Pendekar 212!
Belum habis rasa terkejut Ganco Bumi melihat apa yang terjadi, di atas kereta Wiro kembali gerakan tangan kirinya sambil membungkuk untuk menghindari ganco besi yang menyambar ke arah lehernya.
Cambuk kereta itu meletup keras. Menyusul jeritan korban yang ke empat. Seperti kawannya tadi, penyerang yang ke empat jatuh bergulingan di tanah sambil pegangi mukanya yang berlumuran darah. Hantaman cambuk mem­buat luka membelintang dalam di mukanya, mulai dari pinggiran mata kiri sampai ke dagu kanan!
Penyerang ke lima yang datang dari belakang agaknya akan berhesil manancapkan ganco besinya ke punggung Wiro. Ganco Sumi menyeringai.
"Kini baru tahu rasa pemuda gila itu." katanya dalam hati. Tapi seringai Ganco Bumi menjadi lenyap ketika tiba­tiba di atas kereta Pendekar 212 balikkan tubuhnya. Tangan kanannya dengan cepat menjambak rambut penyerangnya lalu dihempaskan ke samping. Ganco yang tadi ditikamkan lewat hanya seujung kuku di depan dada Wiro namun sempat merobek pakaian sang pendekar.
Wiro tarik kepala orang yang dijambaknya ke depan. Begitu kepala itu tertarik Wiro hantamkan keningnya ke kening lawan. Orang itu menjerit setinggi langit. Peman­dangannya gelap. Keningnya mengucurkan darah. Senjata­nya lepas dari tangan. Dengan satu sentakan saja Wiro membanting tubuh orang itu ke bawah kereta!
"Keparat! Ganco Bumi akan melomat tubuhmu!" teriak Ganco Bumi seraya menggebrak kudanya mendekati kereta. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebuah ganco besi yang memancarkan warna hitam tanda senjata itu bukan senjata sembarangan.
"Manusia durjana bernama Ganco Bumi!" teriak Wiro. "Untuk ke neraka kau tidak memerlukan kuda!" bentak Wiro. Cambuk di tangan kirinya berkelebat. Mengira dirinya yang hendak jadi sasaran, Ganco Bumi cepat miringkan tubuh ke kiri. Tapi cambuk itu ternyata menyambar ke arah kepala kuda.
Craass!
Mata kanan kuda itu pecah.
Binatang tunggangan Ganco Bumi ini meringkik keras sambil angkat ke dua kaki depannya tinggi-tinggi, me­lemparkan Ganco Bumi dari punggungnya!
"Bangsat! Makan ini!" teriak Ganco Bumi. Sambil jungkir balik di udara tangan kirinya dihantamkan ke arah Wiro. Lima buah senjata rahasia terbuat dari besi hitam ber­bentuk bintang bersudut tiga melesat ke arah Pendekar
212.
Melihat datangnya serangan ganas ini Wiro segera me­lompat dari atas kereta. Tapi begitu kedua kakinya meng­injak tanah dari samping Ganco Bumi sudah menerkam dengan ganco besinya.
Wuuut!
Ujung tajam senjata di tangan Ganco Bumi menderu menyambar ke arah tenggorokan Wiro. Serangan ini sama sekali tidak terduga dan sangat cepat.
Pendekar 212 berseru tegang. Dia melompat sambil miringkan kepala untuk selamatkan leher. Dia berhasil. Tapi lagi-lagi tidak terduga ganco besi itu menukik ke bawah, menyapu ke arah bawah perutnya!
Untuk kedua kalinya Wiro berkelit dengan melompat ke belakang. Meskipun dia sempat menyelamatkan anggota rahasianya yang hendak direnggut senjata lawan, namun Wiro tidak mampu menyelamatkan paha kanannya. Ujung tajam ganco besi merobek dan menembus paha celana Pendekar 212 lalu melukai daging pahanya.
Wiro mengerenyit. Torehan luka itu terasa seperti api membara. Murid Eyang Sinto Gendeng ini sadar kalau senjata lawan memiliki racun sangat jahat!
Di depannya Ganco Bumi tertawa bergelak.
"Pemuda gila! Ternyata hanya sebegitu saja kehebatan­mu! Kau tunggulah beberapa kejapan mata! Racun ganco besiku akan menghancurkan jantungmu! Tapi sebelum mampus harap kau beritahu mengapa kau menghadang perjalananku!"
"Manusia iblis! Jangan terlalu cepat gembira!" jawab Wiro. Meskipun Eyang Sinto Gendeng menyatakan dirinya kebal terhadap segala macam racun namun Wiro tak mau bertindak gegabah. Dia cepat menotok pahanya yang ter­luka guna mencegah menjalarnya racun ke dalam aliran darahnya.
"Aku bukan cuma menghadang jalanmu tetapi meng­hadang nyawa busukmu!"
"Setan alas! Kau masih belum menjawab pertanyaanku! Apa kau tidak tahu kalau sebentar lagi nyawamu bakalan putus?!"
Wiro sunggingkan seringai mengejek.
"Beberapa waktu lalu kau dan dua saudaramu menyer­bu desa Jatingaleh. Kalian bukan saja merampok harta benda penduduk, tapi juga membunuh dan menculiki Kepala desa dan istrinya ikut jadi korban. Anak gadis mereka kalian culik dan kalian rusak kehormatannya! Kakek gadis itu dibunuh secara keji oleh Bintoro Anggoro. Anak gadis kepala desa Jatingaleh kemudian kau berikan pada Adipati Demak sebagai hadiah dan umpan keji! Sekarang kau lihat sendiri pembalasan bagi manusia­manusia terkutuk itu! Anggoro dan Bandoro Wiseso ada dalam peti mati. Peti itu masih cukup besar untuk menyumpalkan mayatmu dan mayat dua pimpinan Ganco Item lainnya!"
Sesaat Ganco Bumi jadi terkesiap mendengar ucapan Wiro. Namun di lain kejap manusia bermuka hitam ini membentak garang.
"Bangsat! Rupanya kau bangsa manusia yang ingin jadi pahlawan! Lalu apa urusanmu sebenarnya melakukan semua ini?!"
"Ranalegowo, kepala desa Jatingaleh adalah pamanku. Istrinya adalah bibiku! Kioro Mertan adatah kakekku dan gadis yang kau culik itu adalah sepupuku! Apa perlu penjelasan lagi manusia muka pantat kuali?!"
"Hemm…. Jadi kau rupanya muncul untuk menuntut balas!" Ganco Bumi kembali tertawa gelak-gelak. "Kau tak punya waktu! Nyawamu keburu putus sebelum kau sempat menghitung sampai sepuluh!"
Ganco Bumi menunggu beberapa saat. Pada perkiraan hitungan yang kesepuluh hatinya mulai risau dan tampang­nya berubah. Pemuda di hadapannya itu masih tegak ber­diri. Sama sekali tidak menemui kematian akibat racun ganas ganco besinya!
Tak ada jalan. Dia harus benar-benar melumat tubuh pemuda itu. Maka didahulul satu bentakan keras Ganco Bumi menyerbu dengan senjata beracunnya. Serangannya sungguh luar biasa. Ganco besi di tangannya lenyap, ber­ubah menjadi lingkaran-lingkaran yang sabung menyabung mengurung Pendekar 212 dari segala penjuru.
Sebagai orang kedua dalam komplotan Ganco Item memang Ganco Bumi memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Antara dia dengan kakaknya hanya terpaut satu tingkat saja. Tetapi Ganco Langit memiliki satu kehebatan yang tidak dimiliki oleh Ganco Bumi yakni semacam ilmu kebal yang membuatnya tidak mempan pukulan maupun senjata. Tubuhnya bisa dibuat babak belur tetapi tidak mungkin untuk membunuhnya selama tidak diketahul ke­lemahannya. Ganco Bumi telah berulang kali meminta pada kakaknya itu agar dia diberi petunjuk bagaimana cara mendapatkan ilmu kebal tersebut. Namun Ganco Langit tak pernah mengabulkan permintaan adiknya itu.
Untuk beberapa lamanya Wiro merasakan dirinya ter­tekan dan seolah-olah tak bisa keluar dari buntalan serangan lawan. Hanya kecepatan geraknya saja yang mampu mengimbangi serangan Ganco Bumi. Setelah didesak terus selama empat jurus Pendekar 212 mulai berusaha mengirimkan serangan-serangan balasan. Dia mainkan jurus-jurus silat Gila Tua yang terkenal ampuh dalam bertahan. Secara bersamaan dia keluarkan jurus­jurus silat Eyang Sinto Gendeng. Tenaga dalam dialirkan pada kedua telapak tangannya.
Ternyata Ganco Bumi mengetahui apa yang dilakukan lawannya. Karenanya, sebelum Wiro mulai melancarkan serangan yang mengandung tenaga dalam, Ganco Bumi melipatgandakan kecepatan serangannya. Kini bukan saja senjatanya yang lenyap, tubuhnyapun berubah menjadi bayang-bayang.
Wiro menghantam sebat beberapa kali, tapi hanya mendapatkan pukulan-pukulannya menghantam tempat kosong. Tak ada jalan lain. Dia harus menjaga jarak ter­hadap lawan. Dengan kata lain dia harus menjauhkan diri hingga punya kesempatan untuk melancarkan serangan.
Wiro keluarkan suitan nyaring. Tubuhnya berkelebat ke arah kerapatan pohon-pohon jati. Ganco Bumi mengejar. Wiro melompat kebalik pepohonan yang lain. Begitu dilakukannya berulang kali.
"Pengecut!" teriak Ganco Bumi. Ganco di tangan kanannya menderu kian kemari. Batang-batang pohon berlubang-lubang dan terbongkar berantakan. Dapat di­bayangkan kalau senjata Itu sempat mengoyak tubuh Wiro.
Ketika Ganco Bumi mengejar terus dan jarak mereka terpisah tiga pohon, Wiro pergunakan kesempatan untuk melepaskan pukulan "segulung ombak menerpa karang".
Ganco Bumi terkesiap ketika mendengar ada deru angin laksana gemuruh badai menghantam ke arahnya. Cepat-cepat dia melompat ke balik pohon jati besar. Dua pohon jati di depannya tampak bergetar hebat, hampir ter­cabut dari akarnya.
"Keparat! Yang kuhadapi bukan manusia! Bagaimana dia bisa memiliki kekuatan sehebat itu!" berucap Ganco Bumi dalam hati. Dia segera mengeruk saku pakaiannya mengambil senjata rahasia besi bintang tiga. Selagi dia mengintai mencari kesempatan untuk melepaskan senjata rahasia itu, dari seberang sana Wiro kembali menghantam dengan pukulan sakti tadi.
Ganco Bumi memaki habis-habisan. Dia selamatkan diri dengan membuat lompatan berputar hingga akhirnya dia berada tepat di belakang Wiro.
"Sekarang tamat riwayatmu!" kertak Ganco Bumi. Di­dahului dengan melemparkan lima senjata rahasia berupa besi berbentuk bintang tiga itu,
Ganco Bumi kemudian menyerbu dengan ganco be­racun.
Saat dia melompat itulah, sebuah bends tiba-tiba melayang dari atas pohon di sampingnya. Lalu terdengar suara pekik melengking keras. Ternyata Ken Cilik telah meninggalkan kereta dan naluri binatang ini menginginkan dirinya untuk ikut membantu Wiro membunuh orang yang telah membunuh tuannya.
Ken Cilik berhasil bergayut di punggung Ganco Bumi. Kuku-kukunya mencengkeram dan taring-taringnya dihun­jamkan ke daging Ganco Bumi. Orang ini menjerit kesakitan.
"Binatang keparat!" Ganco Bumi pergunakan tangan kirinya menangkap tubuh Ken Cilik. Dia berhasil menceng­keram kuduk monyet ini lalu membantingkannya ke tanah. Ken Cilik memekik keras dan berguling-guling di tanah.
Pendekar 212 Wiro Sambleng pukulkan tangan kanan­nya. Dua senjata rahasia lawan mencelat mental. Yang tiga lainnya dihindarkan dengan menjatuhkan diri ke tanah. Selagi Wiro bergulingan Ganco Bumi cepat mendatangani sambil ayunkan ganconya ke perut Wiro.
Kaki kanan Pendekar 212 melesat ke atas lebih cepat.
Kraakkk!
Tulang sambungan siku tangan kanan Ganco Bumi hancur. Ganco yang digenggamnya terlepas mental jeritan orang ini seperti merobek langit. Dengan kalap tangan kiri­nya mengeruk saku pakaiannya untuk mengambil senjata rahasianya. Namun kembali kaki kanan Wiro bergerak. Kali ini menyapu kedua pergelangan kakinya. Tak ampun lag! Ganco Bumi terbanting terbanting tertelentang di tanah. Sewaktu dia mencoba bangun lutut kiri Wiro sudah mene­kan perutnya. Lalu terjadilah pembalasan dendam itu.
Tinju Wiro kiri kanan menderu bertubi-tubi menghantam dada dan muka Ganco Bumi. Tulang-tulang iganya ber­patahan. Tulang dada melesak remuk. Mukanya babak belur. Darah mengucur dari mulut, hidung dan kedua matanya!
Wiro tidak tahu berapa lama dia menghujani Ganco Bumi dengan hantaman-hantaman keras itu. Dia baru ber­henti ketika kedua tangannya terasa sakit. Tapi begitu mendengar suara erangan tanda orang itu masih belum mati, Wiro jambak rambut Ganco Bumi lalu menghantam­kannya ke batang pohon jati. Terdengar suara menggidik­kan ketika batok kepala Ganco Bumi beradu dengan pohon jati dan rengkah!
Ken cilik memekik panjang.
Wiro angkat tubuh Ganco Bumi yang sudah jadi mayat itu lalu melemparkannya ke dalam peti mati. Tiga mayat kihi memenuhi peti mati hitam besar itul Sesaat Pendekar 212 memandang berkeliling sambil menggaruk kepala. Pandangannya membentur salah seorang anak buah Ganco Bumi yang tadi dihantamnya dengan cambuk dan saat itu masih terkapar di tanah dengan luka panjang di wajahnya dan masih mengucurkan darah.
Wiro dekati anggota komplotan penjahat ini, cekal kerah bajunya kuat-kuat sementara tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi siap untuk menghantam muka yang cidera berat itu.
"Jangan! Ampuni selembar nyawaku!" ratap orang itu yang sebelumnya telah menyaksikan secara menggidikkan bagaimana Wiro membunuh pimpinannya dengan tangan kosong.
Wiro menyiringai.
"Kalau kau masih ingin hidup, turut apa yang aku perintahkan!" katanya. Lalu anak buah komplotan penjahat itu dilemparkannya ke bagian depan kereta.
***

Kapak Maut Naga Geni 21212

GANCO LANGIT melangkah mundar-mandir. Sebentar­sebentar tangan kanannya dipukulkan ke batang­batang pohon yang ada di dekatnya hingga kulit pohon itu melesat atau pecah terkelupas. Dia sedang kesa! dan marah.
"Keparat Ganco Bumi itu! Sudah siang begini masih belum kelihatan pangkal hidungnya!"
Jaminten yang tegak di sebelahnya berkata, "Jangan­jangan adikmu itu tidak membawa gadis itu langsung ke tujuan, tapi mampir dulu di satu tempat melampiaskan nafsunya!"
Tampang hitam Ganco Langit kelihatan membesi. "Kalau itu dilakukannya aku akan menghajarnya sampai dia tahu rasa!" Lalu pimpinan gerombolan Ganco Item ini mendongak ke atas. Sang surya tampak mulai condong ke barat. Sasuai perjanjian Ganco Bumi harus sudah berada di lembah itu paling lambat tengah hari.
"Ganco Langit," Ganco Laut buka suara. "Dari pada menunggu menghabiskan waktu, bagaimana kalau kita bergerak saja ke Demak sekarang juga. Seorang anak buah kita tinggalkan di sini. Kalau Ganco Bumi datang dia bisa memberi tahu agar menyusul kita."
Ganco Langit bimbang sesaat. Namun akhirnya dia menyetujui pendapat Ganco Laut itu. Seorang anggota gerombolan ditinggalkan di lembah guna menunggu Ganco Bumi. Tak ada seorangpun di antara mereka yang bakal menduga kalau kelak Ganco Bumi akan muncul hanya tinggal tubuh kasarnya saja dalam keadaan memar hancur.
Rombongan berkuda itu bergerak cepat menuju Demak. Di depan sekali Ganco Langit dan Ganco Laut. Disebelah belakang mengikuti sepuluh orang anak buah mereka. Lalu sebuah gerobak ditarik dua ekor kuda. Jaminten berada di atas gerobak ini, duduk di samping kusir. Setelah gerobak menyusul sepuluh orang lagi anggota gerombolan.
Tepat pada saat matahari tenggelam, setelah me­nempuh perjalanan begitu jauh rombongan akhirnya sampai di pinggir timur Demak. Dari sini mereka sengaja mengambil jalan mengitari pinggiran kota untuk sampai di sebuah tanah datar dimana terdapat sebuah Masjid Besar.
Masjid ini, memiliki halaman luas. Bangunannya pun luas sekali. Di salah satu bagian mesjid terdapat sebuah ruangan dimana secara rahasia dan hanya beberapa orang saja yang tahu, disimpan beberapa barang pusaka Keraja­an. Barang-barang Itu antara lain adalah sebuah tameng emas yang bagian tengahnya dihias dengan sebuah batu merah delima sebesar telur burung. Pada pinggirannya ditaburi dengan berbagai batu permata mutu manikam serta mutiara. Laiu ada sebuah gong yang juga terbuat dari emas, sebuah rompi emas berhiaskan berlian. Sebelah keris bernama Kiyai Plered yang juga terbuat dari emas. Kemudian ada pula seperangkat alat-alat minum dari emas yang konon kabarnya merupakan hadiah dari seorang kaisar di Tiongkok yang memerintah sekitar seratus tahun silam.
Entah bagaimana komplotan Ganco Item berhasil mengetahul tentang barang-barang pusaka berharga itu. Mereka melakukan penyelidikan. Ternyata Mesjid Besar itu hanya dijaga oleh tujuh orang perajurit yang sehari-hari selalu berpakaian santri dan seorang tua yang dipanggil dengan nama Syekh Martani. Di mata Ganco langit dan kawan-kawannya pengawalan seperti itu sama sekali tak ada artinya.
Dalam Mesjid Besar Syekh Martani tengah menjadi Imam pemimpin solat Magrib. Hanya ada dua perigawal berjaga-jaga dekat ruangan penyimpanan benda-benda pusaka. Kesempatan ini dipergunakan dengan sebaik-baik­nya oleh Ganco Langit dan kawan-kawannya. Mereka memasuki pintu halaman Mesjid Besar hampir tanpa suara. Di bawah pimpinan Ganco Langit dan Ganco Laut lima belas orang anggota gerombolan bergerak menuju ruangan tempat penyimpanan barang-barang bdrharga itu. Lima anggota lainnya dan juga Jaminten tetap berada di halaman belakang mesjid.
Dua penjaga yang ada di tempat itu disergap lalu di­habisi nyawa mereka tanpa banyak susah. Ganco Langit lalu berusaha mencari kunci pintu ruang penyimpanan barang pusaka. Beberapa orang menggeledah mayat dua penjaga. Tapi mereka tak berhasil menemukan anak kunci. Dengan tidak sabaran Ganco Langit mendobrak pintu ruangan hingga jebol. Begitu pintu terpentang Ganco Langit memberi isyarat pada tiga orang anak buahnya lalu masuk ke dalam setelah menyuruh Ganco Laut tetap di luar untuk berjaga-jaga. Ganco bumi sengaja berbuat begitu karena ada rasa kawatir kalau-kalau Ganco Laut akan berbuat curang, mencuri dan menyelinapkan barang-barang berharga yang ada di situ.
Ruangan yang dimasuki itu berada dalam keadaan gelap. Satu-satunya cahaya yang masuk adalah berkas cahaya dari ruangan sembahyang. Tapi mata manusia­manusia penjahat seperti Ganco Langit yang sudah terbiasa dengan kegelapan, tidak menemui kesulitan. Dia dan anak buahnya segera dapat melihat barang-barang berharga itu tersusun rapi di atas sebuah rak panjang.
"Cepat ambil! Masukkan ke dalam kereta!" kata Ganco Langit lalu menyambar perisai emas dan gong emas. Tiga anak buahnya cepat-cepat membenahi semua barang­
barang pusaka di atas rak.
"Cepat!" kata Ganco Langit lalu mendahului keluar.
Ketika Ganco Langit mendobrak pintu ruangan penyimpanan barang, suara jebolnya pintu terdengar sampai di ruangan sembahyang yang luas. Mau tak mau Syekh Martani dan para jamaah lainnya menjadi terganggu kekhusukan sembahyang mereka. Lima orang pengawal yang tengah solat Magrib saat itu menjadi curiga dan mereka tidak bisa menguasai diri lagi. Kelimanya lari ber­serabutan ke bagian belakang mesjid. Mereka terkejut sewaktu mendapatkan dua teman mereka terkapar di depan ruangan penyimpanan barang dalam keadaan berlurnuran darah dan tak bernyawa lagi. Kelimanya masih sempat melihat punggung beberapa orang yang melarikan diri ke halaman belakang mesjid sambil memboyong barang-barang berharga. Langsung saja para pengawal ini berteriak lalu mengejar. Namun saat itu mereks tidak membawa senjata. Enam orang anggota gerombolan yang bersenjatakan ganco besi segera menghadang dan menyerang. Hanya beberapa gebrakan saja para pengawal itu jatuh bersungkuran dengan luka-luka mengerikan di kepala, leher atau badan mereka! Mesjid Besar menjadi geger!
Syekh Martani menyelesaikan solatnya dalam keadaan sangat tidak khusuk. Begitu memberi salam orang tua ini cepat menyambar sebuah tongkat yang ujungnya ditancapi besi lancip. Sekali berkelebat dia sudah berada dihalaman belakang Mesjid Besar.
"Pencuri-pencuri terkutuk!" teriak Syekh Martani. Dia mengira yang memboyong barang-barang pusaka itu adalah pencuri-pencuri biasa.
"Ganco Laut! Bereskan orang tua itu!" berteria Ganco Langit.
Ganco Laut bukannya langsung melakukan apa yang dikatakan Ganco Langit, tapi malah menyuruh tiga orang anak buahnya untuk mencegat Syekh Martani. Dia sendiri kemudian ikut lari menuju kereta.
Ketika ada tiga orang menghadangnya lalu menyerang dengan senjata berupa ganco-ganco besi barulah Syekh Martani menyadari bahwa yang dikejarnya bukan pencuri­pencuri biasa. Orang tua ini begitu melihat senjata yang ter­genggam di tangan tiga penghadangnya serta merta merasakan darahnya berdesir.
"Gerombolan Ganco Item!" katanya dengan hati ter­getar. Sebagai penjaga keselamatan barangbarang pusaka itu tak ada jalan lain. Dia harus mengorbankan jiwa raganya untuk mendapatkannya kembali!
Syekh Martani putar tongkatnya begitu tiga lawan menyerbu.
Tiga anak buah gerombolan Ganco Item sama terkejut ketika senjata masing-masing bentrokan dengan tongkat di tangan si orang tua. Tangan mereka tergetar hebat. Dengan kertakan rahang ketiganya kembali menyerang.
***

Kapak Maut Naga Geni 21213

HAMPIR bersamaan dengan saat Syekh Martani dihadang oleh tiga orang anak buah Ganco Langit, di bawah udara yang mulai berangsur gelap, sebuah kereta ditarik dua ekor kuda memasuki pintu pagar Mesjid Besar. Kendaraan ini berhenti di pintu pagar seperti sengaja hendak menutupi jalan.
Di atas kereta, duduk sebagai kusir seorang lelaki yang ada luka melintang di Mukanya. Noda darah yang telah mengering pada muka itu membuat tampangnya menjadi seram.
Di atas kereta itu terlihat sebuah peti mati hitam dan besar. Papannya sebelah atas nampak tertutup. Di samping kanan peti mati duduk seorang gadis berwajah pucat. Rambutnya riap-riapan. Kedua matanya me­mandang lurus-lurus ke depan. Tubuhnya tidak bergerak sedikitpun. Dia duduk di lantal kereta seperti patung peri yang angker. Seekor monyet coklat duduk di pangkuannya.
Seperti gadis itu, binatang inipun memandang lurus­lurus ke depan. Dari mulutnya keluar suara mengerang halus.
Ketika dia melihat sosok Ganco Langit dan Ganco Bumi binatang ini langsung meiornpat dan berteriak-teriak.
Semua barang rampokan sudah dimaSukkan ke dalam kereta. Ganco Langit memberi tanda tinggalkan tempat itu. Namun dari terheran-heran kemudian menjadi marah ketika melihat ada sebuah kereta berhenti di pintu pagar menghalangi jalan keluar.
"Kurang ajar! Singkirkan kereta sialan itu!" teriak Ganco Langit.
Pada saat itu pula di bagian belakang Masjid Besar ter­dengar suara pekikan-pekikan. Ketika Ganco Langit, Ganco Bumi dan anggota-anggota Ganco Item lainnya berpaling, mereka bagaimana tiga orang kawan mereka satu demi satu tersungkur di tanah sambil pegangi perut dan dada yang ditembus tongkat Syekh Martani!
"Haram jadah!" maki Ganco Langit. Dia berpaling pada Ganco Laut. "Tadi aku perintahkan kau membereskan orang tua itu!" teriak Ganco Langit beringas.
"Ternyata Syekh Martani bukan orang tua sembarangan Ganco Langit," menjawab Ganco Laut.
"Perduli setan siapa dia kusuruh untuk menghabisinya saat ini juga!" bentak Ganco Langit. Dia berpaling ke arah kereta yang menutupi pintu.
Tiba-tiba gerobak yang dimuati barang-barang rampokan bergerak kencang ke arah kiri, melabrak pagar bambu dan terus menghambur dalam ke gelapan malam. Jaminten yang bertindak sebagai kusir gerobak itu mencambuki dua kuda penarik sekuat-kuatnya hingga kedua binatang itu lari seperti kesetanan.
"Hail Jaminten!" teriak Ganco Langit. Belum sempat terpikir oleh benaknya apa yang tengah berlangsung, mengapa Jaminten melarikan gerobak yang sarat dengan barang-barang berharga itu. Baru saja dia hendak berlari ke kudanya untuk mengejar tiba-tiba orang yang duduk di atas kereta melompat turun dan berteriak-teriak memanggil namanya.
"Ganco Langit! Ganco…!" Orang itu lari ke arah Ganco Langit pada saat Ganco Langit baru saja naik ke punggung kudanya. Dalam keadaan seperti itu Ganco Langit langsung saja tendang orang yang mendatangi sambil memanggilnya itu. Tendangan itu agak meleset hingga meskipun jatuh yang ditendang masih sempat bangun dan kembali
berteriak.
"Ganco Langit… Ganco Bumi mati dibunuh …!"
"Hah! Apa katamu?!" Ganco Langit tahan tali kekang kudanya dan menoleh. Baru saat Itu dia mengenali wajah yang luka mengerikan itu.
"Astaga! Bukankah kau salah seorang yang ikut bersama Ganco Bumi ke tempat kediaman Adipati Demak?! Mana adikku?!"
"D…dia…" Orang itu menunjuk ke arah kereta di pintu pagar.
"Ganco Bumi mati…mati dibunuh…"
"Bangsat! Jangan kau berani bergurau!"
"Saya tidak bergurau Ganco…lihat sendiri! Mayat Ganco Bumi ada di atas kereta itu…!"
Ganco Langit sentakan tali di ujung sana. Begitu sampai di dekat kereta, terkejutlah Ganco Langit. Perempuan yang duduk tak bergerak di atas kereta itu ternyata adalah Sumiati, anak gadis Ranalegowol Bukankah dia seharusnya berada di tempat kediaman Adipati Demak saat itu?
Monyet di atas kereta tiba-tiba menjerit-jerit dan melompat-lompat kembali. Ganco Langit merutuk. Matanya mencari-cari tapi dia tidak menemukan adiknya di situ. Dia memandang lekat-lekat pada peti mati hitam.
Tiba-tiba terdengar suara berkeretakan. Penutup peti mati perlahan-lahan terbuka. Ganco Langit mencium bau tidak enak. Bau amisnya darah! Matanya membeliak memperhatikan penutup peti
mati yang terus membuka hingga akhirnya terpentang lebar. Kedua mata Ganco Langit kini bukan cuma membeliak, tapi seperti hendak terbongkar dari rongganya!
Di dalam peti mati itu! Qia melihat sosok tubuh yang hancur memar tapi masih bisa dikenalinya. Itu adalah sosok tubuh adiknya yang sudah jadi mayat! Di sebelah mayat adiknya masih ada mayat lain, juga di sebelah bawah. Tapi dia tidak perduli pada mayat-mayat lain itu. Dia hanya perduli pada mayat adiknya.
"Ganco Bumi!" teriak Ganco Langit menggeledek. "Siapa yang membunuhmu!" Dia hendak melompat dari punggung kudanya ke atas kereta. Tapi tiba-tiba dilihatnya sosok mayat adiknya bergerak kaku ke atas! Bulu kuduk Ganco Langit merinding. Adiknya jadi mayat hidup!
***

Kapak Maut Naga Geni 21214

MENDADAK mayat Ganco Bumi disangka bergerak hidup itu jatuh terhempas ke dalam peti kembali! Bersamaan dengan itu sesosok tubuh lain menyeruak muncul dari dalam peti di iringi suara tawa bergerak!
Ganco Langit mundurkan kudanya ketika menyasikan bagaimana sesosok tubuh pemuda berpakaian putih kumal dan penuh dengan noda-noda darah bergerak tegak lalu berdiri di atas peti mati. Saat itulah Ganco Langit sempat melihat mayat Bintara Anggoro dan mayat Adipati Demak Bandoro Wiseso. Seganas-ganasnya manusia seperti Ganco Langit, mau tak mau dia jadi tercekat.
"Siapa kau?!" dia menghardik pada pemuda yang masih berdiri di dalam peti mati.
Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai.
"Aku Malaikat Maut yang telah mengambil nyawa busuk adikmu serta dua sekutumu! Sekarang giliranmu untuk kujemput!" Dosa kalian sedalam lautan setinggi langit!"
"Orang gila keparat!" maki Ganco Langit. Dia berpaling pada Ganco Laut. "Kau bereskan orang sinting ini! Aku akan mengejar perempuan gemuk yang kabur membawa barang-barang pusaka itu!"
"Kau saja yang membereskannya. Biar aku yang mengejar Jaminten!" menjawab Ganco Laut.
"Turut perintahku! Jangan berani membantah!"
"Sekali ini aku terpaksa membangkang Ganco Langit! Aku sudah memutuskan untuk tidak bergabung lagf dalam komplotan Ganco Item!"
"Keparat kau Ganco Laut!" teriak Ganco Langit. "Aku tahu apa yang.ada di benakmu!" Ganco Langit ingat pada kejadian beberapa waktu lalu. Malam-malam ketika Ganco Laut dan Jaminten diintainya mandi-mandi dan bersenang­senang di kali kecil.
Ganco Laut tak mau berdebat panjang dengan Ganco Langit. Dia menggerakkan kudanya.
"Mau kemana kau Ganco Laut? Jangan kira aku tidak tahu persekongkolan kalian! Kau dan Jaminten sama-sama pengkhianat! Jangan kau berani meninggalkan tempat ini!"
"Aku pergi!" kata Ganco Laut. Dengan cepat Ganco Laut menangkap tangan itu. Untuk sesaat keduanya saling men­cengkeram dan saling melotot satu sama lain.
"Mengingat hubungan kita dimasa lalu, aku tak suka kita saling melakukan kekerasan, Ganco Langit. Itu bukan berarti aku takut padamu. Aku tahu kau manusia kebal macam senjata dan pukulan. Tapi aku juga tahu di mana rahasia kelemahanmu! Jadi jangan coba-coba mencegah!"
"Anjing kurap! Lebih cepat kau mampus lebih baik!" teriak Ganco Langit. Lalu dia hunus ganconya. Sinar putih berkelebat dalam gelapnya malam. Ganco di tangan pimpinan penjahat itu terbust dari besi putih.
"Apa maumu akan kulayani Ganco Langit!" tukas Ganco Laut. Lalu diapun mencabut ganconya yang terbuat dari besi hitam seperti yang dimiliki Ganco Langit. Masih di atas kuda kedua pimpinan gerombolan ini mulai saling baku hantam. Sementara anak buah mereka meyaksikan dengan terheran-heran spa yang terjadi. Kebencian satu sama lain serta keserakahan telah membuat Ganco Langit dan Ganco Laut melupakan bahwa seharusnya mereka ber­gabung untuk menghadapi Wiro yang telah membunuh Ganco Bumi!
Di atas kereta Pendekar 212 Wiro Sableng meng­gerendeng. Dia tak Ingin kedua orang itu saling ber­bunuhan. Kalau mereka harus mati maka dialah yang akan membunuhnya. Demi untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat kematian kakeknya, paman, bibi serta sejuta penderitaan yang kini dirasakan Sumiati saudara sepupunya.
Wiro memegang bahu Sumiati yang sebelumnya memang sengaja didudukkan Wiro setelah ditotok lebih dahulu. Dia ingin Sumiati menyaksikan pembalasan yang akan dilakukannya terhadap dua dari tiga manusia yang telah membunuh kedua orang tuanya dan kakeknya serta merusak kehormatan gadis itu secara keji!
Ken Cilik memekik keras.
Tubuh Pendekar 212 melesat dari atas kereta.
Sesaat kemudian terdengar suara dua kuda meringkik kesakitan. Binatang-binatang ini menyentakan kaki-kaki depannya tinggi-tinggi sehingga Ganco Langit dan Ganco Laut yang menunggunya tercampak ke tanah walaupun mereka bisa jatuh dengan dengan kedua kaki dahulu. Saat itu keduanya baru sadar bahwa yang harus mereka lakukan ialah menghadapi Pendekar 212.
"Ganco Laut! Untuk sementara lupakan dulu pertikaian kita! Bantu aku menghabisi bangsat yang telah membunuh adikku ini!"
Sesaat Ganco Laut tampak agak ragu. Namun kemudian tanpa berkata apa-apa dia malah mendahului melompat menyerang Wiro.
"Tahan!" mendadak terdengar suara seruan.
Syekh Martani muncul di tempat itu. Dia memandang ke arah Ganco Langit dan Ganco Laut dengan mata berapi­api.
"Kalian merampok harta pusaka Kerajaan! Lekas kembalikan atau kalian akan kutebas seperti tiga anak buah kalian!"
"Tua bangka tak berguna!’ Kau mampuslah duluan!’ bentak Ganco Laut. Senjatanya yaitu sebuah ganco besi hitam berkelebat.
Syekh Martani tusukkan tongkat kayu yang berujung besi lancip. Tapi mendadak dia merasakan leher pakaian­nya ditarik orang ke belakang hingga baik tusukan tongkat­nya maupun hantaman ganco Ganco Laut yang hanya mengenai udara kosong.
Berpaling ke belakang Syekh Martani dapatkan bahwa pemuda berambut gondrong itulah yang barusan menarik­nya.
"Lepaskan peganganmu! Apa-apaan ini?!" teriak orang tua itu.
"Jika kau ingin dapatkan barang-barang itu kembali, cepat menuju ke timur. Kejar sebuah gerobak yang di­kendarai oleh seorang perempuan gemuk! Barang-barang itu ada dalam gerobak!" Wiro tarik lagi leher pakaian orang tua itu hingga Syekh Martani kembali terjajar ke dekat pintu pagar. Merasa apa yang dikatakan si pemuda memang betul maka orang tua ini cepat melompat ke atas punggung seekor kuda. Tapi enam orang anak buah Ganco Langit sudah mengurungnya.
"Apa kau sudah siap untuk mati, pemuda gila?" Ganco Langit bertanya dengan nada mengejek pada Pendekar
212. Dia tidak lagi memperdulikan Syekh Martani karena anak buahnya sudah mengurung orang tua itu.
Wiro tertawa kecil. "Terbalik!" katanya. "Justru akulah yang telah menyediakan peti mati bagi kalian berdua. Bersama tiga orang yang sudah ada di dalam sana kalian bisa berangkat ke neraka!"
Murid Eyang Sinto Gendeng ini lalu cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Ganco Langit dan Ganco Laut tak mau menunggu lebih lama. Ganco Langit bergerak lebih dahulu, disusul oleh Ganco Laut. Kedua orang ini baru sadar bahwa senjata di tangan lawannya bukanlah senjata sembarangan ketika Wiro mulai alirkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Kapak itu tampak mengeluarkan cahaya lebih terang dalam gelapnya malam.
Ganco Langit dan Ganco Laut keluarkan seruan ter­tahan ketika sinar menyilaukan membabat di udara diser­tai menghamparnya hawa panas menyengat ditambah menderunya suara aneh seperti ada ribuan tawon menyerbu.
Ganco Laut cepat tarik tangannya guna menghindari bentrokan senjata. Dia maklum bukan saja senjata berbentuk kapak bermata dua di tangan pemuda gondrong itu adalah sebuah senjata muslika tetapi lawan juga jelas memiliki tingkat tenaga dalam yang tinggi.
Lain halnya dengan Ganco Langit. Merasa memiliki ilmu kebal yang tidak bisa ditandingi apa Jan siapapun dia coba menggaet senjata lawan dengan ganco besi putihnya. Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Cahaya yang memancar dari Kapak Naga Geni 212 semakin menyilaukan. Dia terus membabat. Dan trang!
Ganco Laut berseru kaget sambil melompat mundur. Ganco besi putihnya kini hanya tinggal gagangnya saja yang ads dalam genggamannya. Bagian yang lain telah amblas putus di hantam senjata lawan.
Selagi Ganco Langit terkesima oleh kejadian yang tidak pernah disangkanya itu, Kapak Naga Geni 212 berbalik lalu menghantam ke arah dadanya. Ganco Langit terlambat untuk mengelak.
Bukkk!
Mata Kapak Maut naga Geni 212 melabrak dadanya dengan telak. Kepala gerombolan Ini mengeluh. Tubuhnya terjengkang di tanah. Dada baju hitamnya tampak robek dan hangus! Tapi hebatnya Ganco Langit tampak berdiri kembali meskipun agak terhuyung-huyung.
Sesaat Pendekar 212 jadi bingung menyaksikan bagai­mana senjata mustikanya tidak mempan terhadap Ganco Langit.
"Durjana ini rupanya memiliki ilmu kebal luar biasa!" membatin Wiro. "Adiknya tidak memiliki ilmu kebal. Bagaimana dengan Ganco yang satu?"
Saat itulah tiba-tiba Ganco Langit menerjang dan hantamkan tinjunya kiri-kanan bertubi-tubi. Wiro terjajar beberapa langkah akibat tinju Ganco Langit yang berhasil mendera dada dan pipi kirinya!
Dengan darah mendidih Wiro bacokkan senjatanya. Hebatnya sambil tertawa-tawa Ganco Langit seperti sengaja memasang diri. Kapak Naga Geni 212 ber­gedebukan di tubuhnya. Tubuh Ganco Langit memang terpental atau terbanting berkali-kali. Tapi jangankan luka, tergores sajapun tidak. Hanya pakaian hitam yang dikenakannya saja yang penuh robek serta hangus disana­sini.
"Puaskan hatimu sebelum kepaiamu kupuntir sebentar lagi!" kata Ganco Langit masih terus mengumbar suara tawa.
"Bangsat ini benar-benar hebat. Kalau kapakku saja sudah tidak tembus naga-naganya aku bisa celaka!" pikir Wiro. "Aku harus cari akal. Putar siasat!"
Wiro melirik ke arah Ganco Laut. "Kuharap saja bangsat satu ini tidak memiliki ilmu kebal yang sama!"
Memikir begitu Wiro iancarkan serangan ke arah Ganco Laut. Serangannya seperti orang kalap, ganas luar biasa. Ganco Laut dibuat berjingkrak-jingkrak untuk dapat meng­elakkan senjata lawan.
Ganco Langit mendatangi dari samping. Wiro maklum dia harus segera membereskan Ganco Laut lebih dahulu. Apa dia bisa menghadapiGanco Langit sesudah itu adalah urusan nanti.
Ganco Laut bukanlah seorang penjahat sembarangan. Dia memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan tenaga dalam yang ampuh. Namun diserang secara bertubi-tubi seperti itu lama-lama membuat dia kelabakan juga. Pada jurus ke sembilan, Kapak Maut Naga Geni 212 memapas bahu kirinya. Ganco Laut terpekik. Tubuhnya terasa panas dan darah mulal mengucur! Selagi dia terhuyung-huyung senjata mustika di tangan Wiro itu kembali membabat.
Untuk kedua kalinya Ganco Laut terpekik. Kali ini dada­nya yang amblas dilanda kapak. Tubuhnya terhuyung, kaku dia rubuh ke tanah, tersandar ke roda kereta.
Untuk dapat mendaratkan kapaknya ke dada Ganco Laut tadi Wiro harus membayar mahal. Tubuhnya yang tidak terlindung berhasil dijotos Ganco Langit di bagian perut. Tubuh Pendekar 212 terlipat ke depan. Ganco Langit hendak merampas Kapak Naga Deni 212 dari tangan Wiro, tapi pemuda ini dengan cepat sodokkan gagang senjatanya ke ulu hati Ganco Langit. Orang ini hanya mengeluh pendek. Setelah itu dia kembali menyerbu Wiro. Berapa kali jotosannya mampir di tubuh murid Eyang Sinto Gendeng, itu. Satu kali tendangan pada pinggangnya mem­buat Wiro terjajar dan jatuh. Selagi dia mencoba bangun satu tendangan lagi menghantam punggungnya.
Pendekar 212 semburkan darah segar dari mulutnya. Pemandangannya gelap beberapa saat. Ketika peng­lihatannya pulih kembali teryata dia terduduk di tanah dekat sosok Ganco Laut.
Ganco Laut sendiri saat itu sudah menyadari bahwa dia tak bakal hidup lama. Maksudnya untuk merampas Jaminten tak akan kesampaian. Rencananya dengan perempuan itu melarikan barang-barang rampokan memang berhasil. Tapi dia tak akan pernah merasakan hasil rampokan itu. Jaminten sendiri entah di mana sekarang. Sakit hatinya terhadap Ganco Langit yang pasti akan hidup senang bersama Jaminten apakah dapat di­balaskan?
Dia menoleh, sesaat memperhatikan Wiro yang ter­duduk di sebelahnya dalam keadaan babak belur. Tiba-tiba Ganco Laut ingat. Ada satu cara untuk dapat membalaskan sakit hatinya terhadap Ganco Laut. Kalau memang dia akan segera menemui ajal dia merasa tidak takut untuk mati. Tapi Ganco Langit juga harus ikut mati bersamanya.
"Anak muda," bisiknya pada Wiro. "Apapun yang kau lakukan, kau tak bakal dapat membunuh lawanmu itu. Dia memiliki ilmu kebal. Kecuali jika kau bisa menusuk atau menghancurkan mata kirinya dengan telak. Di situ letak kelemahannya!"
"Terima kasih…" sahut Wiro. "Tapi kau tetap menjadi penghuni peti matiku!" Siku kanannya dihantamkam ke dada kiri Ganco Laut, tepat di arah jantungnya. Tak ampun lagi orang ini langsung meregang nyawal
Ketika Wiro mencoba berdiri. Saat itu dilihatnya Ganco Langit mendatangi dengan cepat. Wiro tekan mata kepala naga Kapak Naga Geni 212. Dua lusin jarum halus berwarna putih melesat dari mulut kepala naga pada ujung gagang kapak. Meskipun Ganco Langit kebal terhadap segala macam senjata namun terperangah juga melihat datangnya serangan itu. Lalu menyeruak senyum sinis di wajahnya. Dia membiarkan saja jarum-jarum putih itu menghantam tubuhnya. Tak satupun yang bisa menancap. Semuanya kemudian luruh ke tanah.
Meskipun jarumnya tidak berhasii mencelakai lawan tapi tujuan utama Wiro adalah menipu perhatian lawan. Selagi jarum-jarum putih berluruhan dan selagi Ganco Langit tertawa mengejek Wiro lemparkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah kepala orang itu.
Pemimpin gerombolan Ganco Item ini meraung dahsyat lalu jatuh dan berguling-guling di tanah. Kapak Naga Geni 212 masih menancap di mata kirinya. Wiro bangkit berdiri. Dia melangkah mendekati Ganco Langit. Begitu sampai di hadapannya Wiro hantamkan kaki kanannya ke selang­kangan orang lain ini. Untuk kedua lalinya Ganco Langit meraung. Tubuhnya kelojotan beberapa kali lalu diam tak bergerak lagi.
Di atas kereta air mata tampak mengucur dari kedua mata Sumiati. Ken Cilik merundukan kepala seolah dapat merasakan penderitaan gadis mat!.
Satu demi satu mayat Ganco Laut dan Ganco Bumi dilemparkan Wiro ke dalam peti mati.
Di halaman kiri Mesjid Besar Syekh Martani memper­tahankan diri mati-matian dari keroyokan anak buah gerombolan. Tubuhnya luka-luka di beberapa bagian. Sebelum Wiro sempat membantu orang tua ini, tiba-tiba sebuah gerobak diiringi oleh hampir tiga puluh perajurit Kerajaan memasuki halaman melalui pagar yang telah roboh diterjang gerobak yang dilarikan Jaminten. Kini gerobak itu pulalah yang kembali.
Ario Gelem, Perwira Muda dari Kadipaten Jepara dialah yang menjadi sais gerobak. Di sampingnya Jaminten duduk tersandar dalam keadaan terikat ke tiang gerobak. Mukanya yang gemuk tampak sembab tanda habis menangis.
"Hentikan perkelahlan!" teriak Arlo Gelem. Anak buahnya segera mengurung para penjahat yang tengah mengeroyok Syekh Martani. Melihat siapa yang datang membawa pasukan begitu banyak, para penjahat seperti merasa putus asa. Apalagi tak seorang pimpinan merekapun yang masih hidup. Dengan demikian selamat­lah nyawa Syekh Martani.
Bagaimana Jaminten bisa digiring kembali ke Mesjid Besar bersama gerobak yang memuat seluruh barang­barang rampokan itu?
Sejak siang harl itu, Perwira Muda Arlo Gelem bersama serombongan pasukan yang didatangkan dari Kotaraja telah melakukan pengawasan di beberapa tempat. Mereka kemudian mendapat kabar tentang adanya rencana perampokan harta benda Kerajaan yang disimpan dalam Mesjid Besar. Karena itulah Aria Gelem kemudian memim­pin pasukan tersebut menuju Demak. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan Jaminten yang memacu sendiri gerobak yang dilarikannya. Karena curiga Ario Gelem memerintahkan Jaminten menghentikan gerobak untuk diperiksa. Mula-mula perempuan gemuk itu menolak bahkan melawan untuk diperiksa. Namun setelah benda­benda pusaka Kerajaan ditemui dalam gerobak itu, maka diapun ditangkap dan dibawa kembali ke Demak.
Pendekar 212 Wiro Sableng mengusap kepala Ken Cilik Sumiati kemudian dibaringkannya kembali di atas lantai kereta.
"Saatnya kita meninggalkan tempat ini, Ken Cilik. Peti kita sudah penuh. Manusia-manusia jahat yang kita cari sudah lengkap masuk di dalamnya."
Ken Cilik menggembor halus lalu memekik tiga kali.
Ketika kereta itu mulai bergerak untuk meninggalkan halaman Mesjid Besar tiba-tiba Perwira Muda bernama Ario Gelem mengangkat tangannya memberi tanda agar berhenti.
Wiro tahan tali kekang dua kuda penarik kereta.
"Saudara, kau terpaksa kami tangkap!" kata Ario Gelem.
Wiro menatap wajah Perwira Muda Itu sesaat lalu bertanya, "Katakan apa kesalahanku!"
"Kau melakukan pembunuhan atas diri lima orang yang kini berada dalam peti mati itu!" jawab Ario Gelem.
"Perwira Muda," kata Wiro pula. "Coba terangkan padaku siapa-siaps saja adanya ke lima orang yang ada di dalam peti mati itu."
"Aku merasa tidak wajib menjawah-pertanyaanmu."
Siapapun adanya mereka bukan dalih bagiku untuk membatalkan penangkapan!"
"Perwira, kalau kau dapat mengembalikan kedua orang tua gadis malang sepupuku ini, kalau kau bisa mengem­balikan Kioro Mertan kakek kami, kalau kau bisa mengembalikan penduduk Jatingaleh yang dibunuh oleh gerombolan Ganco item, saat ini juga aku bersedia ditangkap!"
"Kau bicara ngaco! Mana mungkin aku bisa meng­hidupkan orang yang sudah mati?!" ujar Ario Gelem pula.
Pendekar 212 tertawa lebar. "Kalau begitu menurutmu, kuharap kau tidak menjadikan hal itu sebagal persoalan lagi! Kau seorang Perwira yang baik. Untuk itu aku akan berikan satu hadiah besar padamu!"
Habis berkata begitu Wiro bergerak, ke belakang kereta. Dengan sekuat tenaga didorongnya peti mati berisi lima mayat itu hingga akhirnya jatuh ke tanah.
"Itu hadiah yang kukatakan tadi." ujar Wiro lalu tertawa gelak-gelak. Ario Gelem hanya bisa berdiri seperti patung ketika Wiro membawa kereta meninggalkan halaman Mesjid Besar. Dia tetap tak bergerak sampai gerobak dan penumpangnya itu lenyap dikejauhan dalam kegelapan malam.
TAMAT



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...