Rabu, 13 Januari 2010

Wiro Sableng Episode # 118 : Batu Pembalik Waktu

posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito
EP : PETUALANGAN WIRO DI LATANAHSILAM

SINOPSIS :
PAKAIAN PERI ANGSA PUTIH ROBEK DI BAGIAN PINGGANG. BATU BERWARNA TUJUH MENYEMBUL DI ATAS PERUTNYA YANG PUTIH. PERI ANGSA PUTIH TERPEKIK. BARU SADAR APA YANG TERJADI. DIA CEPAT MENGHANTAM TAPI TERLAMBAT. BATU PEMBALIK WAKTU TELAH BERADA DALAM GENGGAMAN LAMANYALA. BEGITU DAPATKAN BATU SAKTI TERSEBUT LAMANYALA SIAP BERKELEBAT KABUR. PADA SAAT ITULAH TIBA-TIBA SUARA PEREMPUAN MENGGERUNG KERAS. "LASEDAYU SUAMIKU! SIAPA YANG BERANI MENCELAKAI DIRIMU!"SATU BAYANGAN KUNING BERKELEBAT. SATU TENDANGAN KERAS MELABRAK DADA LAMANYALA HINGGA TUBUHNYA MENCELAT MENTAL SAMPAI TIGA TOMBAK DAN BATU PEMBALIK WAKTU YANG ADA DALAM GENGGAMAN TANGAN KANANNYA TERLEMPAR KE UDARA LALU JATUH KE TANAH. PERI ANGSA PUTIH CEPAT MEMBURU, GULINGKAN DIRI DI TANAH DAN MENYAMBAR BATU SAKTI ITU.

1
SATU pemandangan luar biasa terlihat di dalam rimba belantara Lasesatbuntu. Dua sosok aneh berlari cepat mengusung sebuah tandu kayu. Sosok di sebelah depan tinggi kurus hanya mengenakan sehelai cawat. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki termasuk sepasang matanya berwarna kuning. Kulitnya ditumbuhi duri-duri panjang kaku seperti bulu landak. Sambil berlari sesekali makhluk ini membuang ludah berwarna kuning. Seperti diketahui, di Negeri Latanahsilam hanya ada dua makhluk yang sekujur tubuhnya berwarna kuning. Orang pertama adalah Hantu Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut alias Luhpingitan dan diketahui sebagai istri Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu. Orang ke dua ialah makhluk yang mengusung tandu di sebelah depan tadi yang bukan lain adalah Hantu Jatilandak.
Pengusung tandu sebelah belakang tak kalah hebatnya. Seluruh permukaan tubuhnya tertutup lapisan aneh berbentuk sisik hitam. Sisik ini seolah kepingan­kepingan baja hitam yang mencuat keluar. Makhluk satu ini dikenal dengan nama Tringgiling Liang Batu. Menurut riwayat dialah yang telah memelihara dan membesarkan Hantu Jatilandak, lalu menganggap Hantu Jatilandak sebagai cucunya sendiri. (Untuk lebih jelas mengenai nwayat Hantu Jatilandak dan Tringgilng Liang Batu harap baca episode Wiro Sableng di Negeri Lanahsilam berjudul "Hantu Jatilandak")
Di atas tandu kayu yang diusung Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu, terbujur sosok seorang perempuan tua renta, berambut putih awut-awutan. Sepintas mukanya terlihat seolah tengkorak karena kulit wajahnya yang pucat memulih sangat tipis. Sepasang mata orang ini tertutup Dan mulutnya yang agak menganga tiada henti keluar suara erangan. Sesekali erangannya tersendat lalu dari sela bibirnya meleleh darah merah kehitaman. Sebilah pisau menancap di dadanya sebelah kiri. Gagang pisau maut ini terbuat dari sejenis batu berbentuk singa berkepala dua!
"Jatilandak!" tiba-tiba Tringgiling Liang Batu berseru. "Hentikan larimu. Ada yang perlu kita bicarakan!"
"Wahai! Kita tidak ada waktu lagi!" Menjawab Hantu Jatilandak. Lalu dia menyambung. "Nenek ini siap meregang nyawa! Kalau ajalnya putus sebelum kita menemui orang yang dicarinya, rahasia besar yang diketahuinya tidak pernah akan terungkap! Dan aku akan merasa berdosa seumur-umur terhadap gadis bernama Luhcinta itu!"
"Justru karena aku khawatir dia akan menemui ajal maka aku perlu bicara denganmu! Lekas kau hentikan larimu!" berteriak Tringgiling Liang Batu.
Tapi Hantu Jatilandak tidak pedulikan ucapan kakeknya. Terpaksa makhluk bersisik itu salurkan tenaga dalamnya ke kaki. Dua kakinya yang tengah berlari cepat itu tiba-tiba menjadi berat sekali. Hantu Jatilandak terkejut ketika merasakan bagaimana gerakan dua kakinya terasa sangat berat hingga dia tidak bisa lagi berlari cepat.
"Kakek ini hendak memaksaku berhenti berlari!" kata Hantu Jatilandak dalam hati. Diam-diam dia kerahkan tenaga dalam. Dua tenaga sakti tingkat tinggi saling bentrok. Akibatnya Hantu Jatilandak lari tertahan-tahan. Duri Landak di sekujur tubuhnya mencuat kaku. Di sebelah belakang dua kaki Tringgiling Liang Batu laksana dua batu besar, terseret di tanah, mengepulkan pasir dan debu. Sosok perempuan tua di atas tandu berguncang­guncang. Suara erangannya mengeras.
Hantu Jatilandak kucurkan keringat di sekujur tubuhnya ketika dia berusaha berdiri terus. Dua kakinya memang bergerak cepat, tapi gerakannya tetap disitu-situ juga! Dia tidak mampu bergerak maju barang satu jengkalpun! Akhirnya Hantu Jatilandak terpaksa hentikan larinya.
"Kek! Aku mengalah! Apa yang hendak kau bicarakan!"
"Sebelum bicara, kita turunkan dulu tandu ini." berkata makhluk bersisik kepingan baja hitam.
Tandu kayu di atas terbujur sosok perempuan tua yang dadanya ditancapi pisau perlahan-lahan diturunkan ke tanah. Hantu Jatilandak memandang pada Tringgiling Liang Batu. Menunggu apa yang hendak dikatakan kakek itu
"Jatilandak, tahukan kau di mana kita berada saat ini ‘" Trenggiling Liang Batu ajukan pertanyaan.
Walau heran mendengar pertanyaan kakeknya itu tapi Hantu Jatilandak memandang juga berkeliling. "Heh! Bukankah kila berada dalam rimba belantara Lasesat buntu?!"
"Kau betul! Kita berada di dalam rimba keramat. Penuh dengan seribu satu macam petakal Kila telah tersesat. Berarti kita harus segera mencati jalan keluar sebelum mendapat celaka’"
"Aku ingat Kek, di hutan ini konon pernah saha­batku tersesat dan mendapat malapetaka. Tapi aku tidak takut! Kalau memang harus menembus hutan ini, walau ada seribu bahaya akan tetap kulewati. Lagi pula bukankah menembus ribuan belantara ini kita bisa lebih cepat sampai di Lembah Katak Hijau tempat kediaman nenek bernama Luhmasigi itu? Atau mungkin kau merasa takut Kek?"
Tringgiling Liang Batu tertawa dicap sebagai penakut "Sejak lahir sampai kelak aku menemui kematian, aku tidak akan pernah mengenal rasa takut."
"Kalau begitu mengapa kita tidak meneruskan perjalanan?" tanya Hantu Jatilandak.
"Waktu kita sangat singkat! Lihat keadaan perempuan tua di atas tandu itu! Ajalnya tak akan lama. Jika kita dihadang marabahaya di tengah hutan berarti sebagian dari waktu kita akan habis percuma. Aku tidak yakin kita bisa menemui salah satu dari tiga orang yang dikatakannya. Apa lagi ke tiga-tiganya." Dengan suara agak perlahan makhluk bersisik ini berkata "Perempuan malang ini akan menemui Kematiannya sebelum menemui orang-orang itu!"
"Kalau begitu apa yang harus kita lakukan? Ingat Kek, sebelumnya kita telah berjanji untuk menolongnya!" kata Jatilandak pula seraya menatap pada pisau bergagang dua kepala singa yang menancap di dada perempuan tua di atas tandu.
"Aku ingat. Janji adalah satu kebajikan yang harus dipenuhi! Tapi kesia-siaan adalah satu hal yang harus dihindarkan! Kita harus bisa memaksanya bicara saat ini juga! Kalau nasibnya buruk, dia meninggal sebelum sempat menemui salah satu dari tiga orang itu, sebelum sempat mengungkap rahasia besar yang katanya telah dipendamnya selama puluhan tahun, celakalah kita berdua yang telah berusaha menolongnya!"
"Aku mengerti maksudmu Kek," menyahuti Hantu Jatilandak. "Tapi apa kau lupa? Sebelum kita mulai mengusungnya empat hari lewat, bukankah kita sudah meminta agar dia mengungkapkan saja pada kita rahasia besar yang diketahuinya. Lalu kita yang akan menyampaikan pada orang-orang itu. Tapi dia tegas­tegas menolak. Dia tetap meminta kita mengusungnya, mencari orang-orang itu. Karena katanya semua rahasia besar itu harus terungkap dari mulutnya sendiri. Harus disampaikan langsung pada salah satu dari orang-orang itu. Kalau hal itu tidak dapat dilakukannya maka dia akan menanggung satu dosa besar, Rohnya akan dikutuk para Dewa dan akan tergantung sengsara antara langit dan bumi!"
Tringgiling Liang Batu terdiam sejurus. Dia pandangi sosok perempuan tua di atas tandu. Lalu dia membungkuk di samping sosok malang yang tengah meregang nyawa itu. Mulutnya didekatkan ke telinga kiri orang.
"Luhmundinglaya, kau dapat mendengar suaraku?"
Mulut yang mengerang tidak memberikan jawaban. Mata yang terpejam tidak bergerak.
"Luhmundinglaya, kau belum mati! Kuatkan diri­mu, tabahkan hatimu! Jika kau ingin bebas dari beban dosa besar, dengar apa yang akan kutanyakan!"
Sosok perempuan tua bernama Luhmundinglaya tetap tidak bersuara dan tidak bergerak. Tringgiling Liang Batu memandang pada cucunya. "Jatilandak, bantu aku mengalirkan hawa sakti ke dalam tubuh perempuan ini. Kita harus bisa membuatnya bicara!"
Makhluk bersisik ini lalu tempelkan dua telapak tangannya ke dada. Dia memberi isyarat agar Jati­landak menempelkan tangannya di atas kening orang. Jatilandak segera melakukan. Begitu ke duanya me­ngerahkan hawa sakti dan hawa ini menerobos masuk ke dalam tubuh Luhmundinglaya lewat dada dan kening, tubuh perempuan tua itu menggeliat keras dan mengepulkan asap putih! Darah meleleh di sela bibirnya. Setelah mengerang pendek, sepasang matanya kelihatan bergerak lalu mulutnya terbuka.
"Apa yang kalian lakukan terhadapku? Mengapa berbuat jahat menambah kesengsaraanku?!"
"Luhmundinglaya, jangan kau salah paham!" berkata Tringgiling Liang Batu. "Kami tidak berbuat jahat menambah deritamu. Kami justru ingin menolongmu lepas dari azab sengsara ini! Dengar Luhmundinglaya. Kami khawatir kau tak bisa bertahan dan melepas ajal lebih dulu sebelum menemui orang-orang yang kau sebutkan empat hari lalu itu! Keadaanmu sangat gawat Luhmundinglaya…."
"Tringgiling Liang Batu, kau tua bangka buta mata buta pikiran! Ajalku bukan di tangan kalian, juga bukan dalam diriku sendiri. Ajalku berada di tangan Yang Maha Kuasa di atas sana. Aku yakin para Dewa masih melindungi diriku…."
"Nek, sebaiknya kau katakan saja rahasia apa yang hendak kau sampaikan pada orang-orang itu, kakekku tidak bicara dusta. Bukan mustahil kau keburu mati sebelum sempat menemui Luhcinta atau Luhmasigi atau Luhniknik…."
"Kalau rahasia itu memang ingin kukatakan pada kalian, mengapa tidak sejak empat hari lalu ketika pertama kali bertemu dengan kalian? Mengapa harus menyengsarakan diri dalam perjalanan panjang ini?"
"Luhmundinglaya, aku…."
"Tringgiling Liang Batu, aku mengutuk dirimu jika saat ini kau tidak segera melanjutkan perjalanan mencari orang-orang itu!"
Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu jadi terdiam dan saling pandang. Makhluk bersisik gelengkan kepala dan berkata. "Baiklah, jika memang itu maumu. Mengingat hubungan baik kita dimasa lalu aku dan cucuku akan mengusungmu sampai keujung dunia sekalipun. Tapi jika nyawamu putu;, di tengah jalan jangan salahkan aku dan cucuku!" Makhluk bersisik ini memberi isyarat pada Jatilandak. Keduanya segera hendak mengusung tandu. Namun gerakan mereka tertahan ketika tiba-tiba di tempat itu menyeruak santar sekali bau godokan rempah­rempah. Tidak menunggu lama, satu sosok besar gemuk muncul di depan Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu.
“Hantu Raja Obat!" seru kakek dan cucu itu hampir bersamaan.
Saat itu juga tempat itu dipenuhi suara gelak tawa keras. Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu merasa tanah yang mereka pijak bergetar hebat. Cepat­cepat keduanya kerahkan tenaga dalam lalu bangkit berdiri. Sambil berdiri Tringgiling Liang Batu berbisik pada cucunya. "Hati-hati terhadap makhluk satu ini. Dia bisa baik seperti Dewa. Tapi juga bisa membedol usus, mengorek jantung atau merengkah batok kepala mengambil otak kita untuk ramuan obat-obatnya!"
2
ORANG gemuk luar biasa yang tegak tertawa di hadapan Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu mengenakan jubah putih gombrang. Di atas kepalanya yang bermuka bulat dan ada tompel (tahi lalat besar berbulu) di pipi kiri, terdapat sebuah sorban besar. Di atas sorban ini terletak sebuah belanga tanah mengepulkan asap dan keluarkan suara mendidih. Dari dalam belanga itu menebar bau rempah-rempah aneh.
"Dua sahabat lama Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu! Tidak disangka kita bertemu di tempat ini. Apa yang tengah kalian lakukan di sini?!" Si gemuk Hantu Raja Obat bertanya.
"Hantu Raja Obat sobatku lama! Kau datang disaat yang tepat Kami butuh bantuanmu untuk menolong orang ini!"
Mendengar ucapan Tringgiling Liang Batu sepasang mata si gemuk bersorban itu melirik ke arah sosok Luhmundinglaya di atas tandu.
"Hemm…. Apa yang terjadi dengan perempuan ini? Kalau tidak salah mataku melihat bukankah dia yang bernama Luhmundinglaya? Sejak muda sampai tua suka bergentayangan dari satu hutan ke hutan lain?!
"Dugaanmu siapa dia memang tepai! Seperti kau lihat sendiri dia tengah meregang nyawa!"
"Wahai! Kalau soal nyawa mana ada obatnya di dunia ini!" ujar Hantu Raja Obat pula
"Kau orang pandai! Kau pasti bisa menolongnya! Paling tidak mencabut pisau di dadanya lalu mengobati lukanya!" kata Tringgiling Liang Hatu pula.
Hantu Raja Obat perhatikan pisau bergagang batu berbentuk singa berkepala dua yang menancap di dada kiri Luhmundinglaya. Lalu gelengkan kepalanya.
"Aku tak bisa menolongnya. Pisau itu bukan pisau biasa. Begitu menembus sasaran, ujungnya akan terbelah menjadi tiga membentuk cakar terbalik. Jika dicabut bagian tubuh yang tertancap akan terbongkar. Malah bisa­bisa jantungnya ikut tertarik keluar!"
"Ganas sekali! Hantu Raja Obat, apa kau tahu siapa yang mencelakai nenek ini dengan pisau itu?!"
"Tak bisa kuduga. Tak pernah kulihat senjata bergagang dua kepala singa seperti itu sebelumnya. Tapi, sejak Istana Kebahagiaan dibangun oleh Hantu Muka Dua, berbagai keanehan dan angkara murka muncul di Negeri Latanahsilam ini. Bukan mustahil ini pekerjaan Hantu Muka Dua atau orang-orangnya. Jika orang-orang Istana Kebahagiaan berlaku sekejam ini pasti ada sebab musababnya. Apa kalian tahu permu­suhan apa yang menguak antara Luhmundinglaya dan Hantu Muka Dua?"
"Wahai! Kami tidak tahu menahu. Bahkan Luh­mundinglaya tidak tahu siapa makhluk jahat yang menginginkan nyawanya. Namun saat ini perlu kau ketahui. Ada satu rahasia besar yang harus disampai­kannya pada tiga orang tertentu. Sejak empat hari lalu kami mengusungnya mencari orang-orang itu. Yang kami khawatirkan dia akan menemui ajal sebelum sempat menemui salah satu dari ke tiga orang itu."
"Rahasia besar! Rahasia apa?" tanya Hantu Raja Obat.
"Dia tidak mau mengatakan!" menjawab Hantu Jatilandak. "Katanya dia akan menanggung beban dosa teramat besar jika rahasia itu tidak disampaikannya langsung pada orang-orang itu!"
"Siapa tiga orang yang dimaksudkannya itu?" Kembali Hantu Raja Obat bertanya.
"Yang pertama seorang gadis bernama Luhcinta. Lalu seorang nenek bernama Luhmasigi dan yang ketiga seorang nenek lagi bernama Luhniknik!"
"Luhcinta!" kata Hantu Raja Obat setengah berseru. "Wahai, gadis cantik sahabatku itu. Walau banyak kabar kudengar tentang dirinya dan dia pernah menolong diriku namun entah dimana dia sekarang berada. Jika memang Luhmundinglaya punya satu rahasia besar dan harus disampaikannya langsung pada gadis itu, aku merasa punya kewajiban untuk membantu. Tapi, sayang, saat ini aku punya satu urusan sangat penting. Ada seorang sahabat yang perlu ditolong. Soal nenek-nenek bernama Luhmasigi dan Luhniknik itu aku kenal siapa mereka. Luhniknik bukan lain nenek bobrok yang biasa dipanggil dengan sebutan Hantu Penjunjung Roh. Dia adalah nenek Luhcinta. Sedang Luhmasigi lebih dikenal dengan panggilan Hantu Lembah Laekatakhi|au Dia adalah guru Luhcinta. Aku tidak begitu suka pada dua nenek itu. Tapi mengingat bi di baik Luhcinta di masa lalu biarlah aku menolongnya dengan cara lain "
Habis berkata begitu Hantu Ma|a Obat gerakkan tangan kirinya. Dia turunkan belanga besar panas yang ada di atas sorbannya. Mulut belanga didekatkannya ke bibir Luhmundinglaya yang agak terbuka. Lalu enak saja cairan panas yang ada dalam belanga itu diguyur­kannya ke dalam mulut si nenek. Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu melengak kaget. Mereka tahu cairan yang ada dalam belanga itu panasnya bukan main. Justru cairan itu diguyurkan ke dalam mulut nenek yang sedang sekarat!
"Glekk… glekkkk…! Cesss! Cesss! Cesss!"
Hantu Raja Obat tertawa gelak-gelak. Sementara Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu sama tercekat.
Dari mulut Luhmundinglaya tiba-tiba menggelegar satu jeritan dahsyat. Cairan aneh bercampur buku-buku darah menyembur. Bersamaan dengan itu sosok si nenek bangkit terduduk. Sepasang matanya membeliak kemerahan. Sesaat kemudian tubuh itu terbanting kembali ke atas tandu.
"Mati!" seru Hantu Jatilandak.
Hantu Raja Obat tertawa. "Jangan khawatir. Dia masih hidup. Mudah-mudahan para Dewa member­katinya. Kuharap obatku bisa membuatnya bertahan sampai tujuh hari dimuka. Aku harus pergi sekarang. Jika kalian bertemu dengan Luhcinta, katakan pada gadis itu. Aku tengah menuju ke satu tempat untuk menolong seorang pemuda yang dicintainya…." Hantu Raja Obat putar tubuhnya yang gemuk luar biasa.
"Tunggu dulu!" berkata Tringgiling Liang Batu.
Tubuh gemuk itu berputar kembali.
"Sahabatku Hantu Raja Obat, apakah kau telah mendengar kabar mengenai undangan dari Istana Kebahagiaan. Ada satu upacara besar di sana pada hari ke lima belas bulan dua belas. Apakah kau berniat menghadiri undangan itu?"
Hantu Raja Obat tertawa gelak-gelak. "Upacara makan minum aku tidak begitu suka. Tapi mengingat di sana bakal banyak orang pandai bermunculan, aku akan usahakan datang. Belanga obatku perlu tambahan isi perut orang-orang berkepandaian tinggi! Ha…ha… ha…!" Si gemuk berjubah putih ini berkelebat. Walau tawanya masih mengumandang di rimba be­lantara itu namun sosoknya lenyap tak berbekas!
"Makhluk luar biasa…" kata Tringgiling Liang Batu sambil gelengkan kepala. Lalu dia berpaling pada cucunya. "Jatilandak, tadi Hantu Raja Obat berkata bahwa dia tengah menuju ke satu tempat untuk me­nolong seorang pemuda yang dicintai Luhcinta. Cucu­ku, apakah kau tahu siapa gerangan pemuda itu?"
Hantu Jatilandak tak segera menjawab. Dia seperti tengah merenung. Tringgiling Liang Batu pandangi wajah cucunya yang kuning ditumbuhi duri-duri panjang. Dalam hatinya mendadak muncul satu perasaan. "Jangan-jangan cucuku ini memendam rasa menyimpan cinta terhadap gadis bernama Luhcinta itu. Kasihan dia…. Sebaiknya tadi aku tidak bertanya siapa pemuda yang dicintai gadis itu Aku telah membuat hatinya bersedih… Bukan mustahil cucuku ini hanya bertepuk sebelah tangan
Hantu Jatilandak tatap wajah kakeknya dengan sayu. Lalu dengan suara perlahan dia berkala "Wiro Sableng…. Dia sahabatku. Pemuda asing itulah yang dicintai Luhcinta. Lalu dalam bati Mandi Jatilandak ada suara lain ikut bicara. "Wiro memang lebih lantas untuk dicintai gadis itu. Dari pada aku yang buruk rupa begini…."
Sisik hitam keras di wajah Tringgiling Liang Batu bergerak naik. Sepasang matanya menatap ke arah Hantu Jatilandak tak berkedip. "Wiro Sableng? Bukankah pemuda itu yang dulu pernah menolong kita sewaktu Hantu Muka Dua hendak menghabisi kita di pulau?"
Hantu Jatilandak mengangguk.
Tringgiling Liang Batu menghela nafas dalam. Hatinya berkata. "Memang tidak mungkin gadis ber­nama Luhcinta itu mengasihi cucuku. Dibanding de­ngan pemuda asing dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang, cucuku ketinggalan segala-galanya. Bu­kan cuma ketinggalan ilmu kesaktian dan kepandaian silat, tapi dalam ujud nyata saja tak mungkin me­nandingi Wiro Sableng. Kasihan cucuku…. Semoga para Dewa menabahkan hatinya. Semoga rahmat dan berkah akan jatuh atas dirinya dalam cara yang lain."
3
NENEK berjubah coklat yang di atas kepalanya ada gulungan asap merah berbentuk kerucut hentikan larinya, berpaling ke belakang, pada nenek yang sekujur tubuhnya tertutup ratusan katak hijau.
"Luhmasigi! Kita sudah menghabiskan banyak hari secara percuma! Hanya gara-gara mengikuti kemauanmu. Menyelidik arti mimpi gilamu itu! Padahal bukankah lebih penting mencari Luhmundinglaya, orang yang konon hendak menyampaikan sesuatu berita besar pada kita?"
Nenek bernama Luhmasigi yang di Negeri Latanahsilam dikenal dengan sebutan Hantu Lembah Laekatakhijau pencongkan mulutnya lalu menjawab ucapan temannya.
"Luhniknik! Kau masih saja mengomel tak karuan! Mimpiku bukan bunga tidur! Aku yakin apa yang aku lihat dalam mimpi merupakan satu kenyataan! Apalagi jika dihubungkan dengan firasatku suatu peristiwa besar akan terjadi di Negeri ini. Ingat undangan per­temuan besar di Istana Kebahagiaan? Aku yakin dibalik undangan itu ada satu rahasia busuk!"
"Rahasia itu akan kita singkapkan! Bukankah kita sudah sama memutuskan untuk hadir di Istana itu? Jika Hantu Muka Dua punya maksud jahat hendak mencelakai kita, aku akan beset tubuhnya hingga hanya tinggal tulang belulang!" berkata nenek ber­nama Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh yang merupakan nenek kandung Luhcinta.
"Sudahlah, jangan bicara saja. Beri aku kesempatan untuk meneliti keadaan. Rasa-rasanya alam dikawasan ini menyerupai keadaan yang aku lihat di dalam mimpi!"
"Aku melihat sesuatu di sebelah sana!" Hantu Penjunjung Roh berkata lalu membuat dua kali lom­patan. Di satu tempat di bawah sebatang pohon dia membungkuk mengambil sesuatu.
"Apa yang kau temukan?" tanya Hantu Laekatakhijau yang ikut berkelebat ke tempat Hantu Penjunjung Roh berada.
Hantu Penjunjung Roh perlihatkan pada sahabatnya benda apa yang barusan dipungutnya. Ternyata seuntai rantai besi.
"Potongan rantai besi…" kata nenek yang tubuhnya dipenuhi ratusan katak hijau. "Dari mana asalnya benda ini, bagaimana bisa berada di sini? Coba kau periksa…." Ketika Luhmasigi memegang rantai besi itu dia merasakan satu hawa dingin aneh menjalar pada dua lengannya terus hinggap di kuduknya. "Aku merasa ada hawa aneh. Aku yakin rantai besi ini bukan benda sembarangan. Agaknya datang dari alam gaib…."
Mendengar ucapan sahabatnya itu Hantu Penjunjung Roh pejamkan dua matanya dan mendongak ke langit "Mungkin aku bisa menduga…" kata nenek ini dengan suara perlahan. Setelah merenung beberapa lamanya dia kembali berucap. "Menurut riwayat yang pernah kudengar menyangkut diri orang bernama Lakasipo bergelar Hantu Kaki Batu, besar dugaanku rantai besi ini adalah rantai yang dulu pernah mengikat dua kakinya. Aku…."
Belum habis Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh berucap tiba-tiba ratusan katak hijau yang menempel di kepala, muka dan sekujur tubuh kemudian keluarkan jeritan-jeritan aneh keras sekali.
"Katak celaka! Kalian mau membuat pecah gendang­gendang telingaku!" teriak Hantu Penjunjung Roh marah.
Ratusan katak hijau kembali menjerit keras membeset udara. Lalu puluhan binatang itu melesat belasan tombak ke kiri di mana terdapat satu kawasan berumput
"Tidak biasanya anak-anakku bertingkah aneh seperti ini!" kata Hantu Lembah Laekatakhijau terheran-heran. "Aku harus menyelidiki! Agaknya mereka melihat sesuatu yang tak bisa kulihat dengan mataku!" Lalu Luhmasigi nenek yang adalah guru Luhcinta ini berkelebat menyusul puluhan kataknya. Luhniknik melompat pula mengikuti.
Di satu pedataran berumput, di samping sebuah batu besar yang tertutup lumut, tergeletak tak bergerak seekor katak hijau luar biasa besarnya, hampir sebesar buah kelapa. Dua matanya yang coklat membeliak tak bergeming. Di sekitar sosok katak besar itu berkeliling puluhan katak hijau yang tadi melompat dari tubuh Hantu Laekatakhijau. Puluhan katak ini berjongkok di tanah, menatap ke arah katak besar dengan sikap seolah menghormat. Puluhan katak yang masih menempel di tubuh Luhmasigi tiba-tiba berlompatan dan bergabung bersama teman-temannya mengelilingi katak besar. Kalau sebelumnya binatang-binatang itu berteriak-teriak keras setinggi langit, kini semuanya mendekam tak bersuara dan juga tak bergerak. Malah pandangan mata mereka pun tidak berkesip!
"Yang kita temukan hanya seekor katak besar yang sudah jadi bangkai! Apa anehnya!" kata Luhniknik tak acuh lalu memandang berkeliling.
"Wahai! Justru aku melihat keanehan! Apa matamu buta tidak melihatnya?" kata Luhmasigi pula.
"Apa maksudmu?!" tanya Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh agak penasaran mendengar kata-kata Luhmasigi tadi.
"Aku sudah puluhan tahun hidup di tengah katak-katak hijau. Tapi baru sekali ini aku melihat katak sebesar ini. Katak besar itu memang sudah jadi bangkai. Tapi mengapa sosoknya tidak rusak dan mengapa tidak membusuk menebar bau busuk?! Lalu kau saksikan sendiri. Ratusan katak yang selama ini melekat di tubuhku duduk mengelilingi katak hijau besar itu. Tadinya mereka berteriak-teriak. Kini mereka semua mendekam duduk seperti menghormat!"
Hantu Penjunjung Roh hendak tertawa gelak­gelak mendengar ucapan Hantu Laekatakhijau itu. Namun niatnya dibatalkan karena khawatir sahabatnya akan tersinggung. Dalam pada itu dia sendiri diam-diam mengakui memang ada keanehan dengan katak besar yang telah mati itu seperti yang dikatakan Luhmasigi.
Saat itu Luhmasigi telah melangkah mendekati batu besar. Dia jongkok di hadapan mayat katak hijau besar. "Tak ada kulihat penyebab keanehan pada kulit tubuh binatang ini. Mungkin keanehan itu ada di se­belah dalam badannya. Kalau tidak ada satu kekuatan sakti, tidak mungkin katak ini bisa bertahan seperti ini. Katak ini menemui ajalnya pasti sudah lama sekali. Bagaimana aku memeriksa menyingkapkan keanehan ini?" Luhmasigi merenung sejenak. Dia melirik pada puluhan katak yang berada di sekelilingnya. Lalu dia bangkit berdiri.
"Anak-anak, aku perlu bantuan kalian!" Luhmasigi berucap pada katak-kataknya. "Beset tubuh katak hijau besar itu. Aku ingin melihat apa yang ada dalam perutnya!"
Luhmasigi kerenyitkan kening. Setelah ditunggu tak seekorpun dari katak-katak hijau itu melakukan apa yang tadi dikatakan si nenek. Padahal jangankan seekor katak besar, seekor kudapun jika diserbu dan dibeset oleh ratusan katak itu pasti akan berubah menjadi tulang belulang dalam waktu singkat!
"Anak-anak! Apa kalian telah jadi tuli semua hingga tidak melakakan apa yang aku perintahkan?!" Luhmasigi alias Hantu Laekatakhijau berucap dengan suara keras. Tetap saja tak ada seekor katakpun yang bergerak.
"Wahai!" Luhmasigi berseru dan delikkan matanya. "Jangan membuat aku marah! Puluhan tahun aku bersama kalian! Tak pernah ada satu perintahkupun tidak kalian laksanakan! Mengapa hari ini kalian semua diam membisu, tak bersuara tak bergerak! Tidak men­jalankan apa yang aku perintahkan?!"
"Luhmasigi, kurasa ada apa-apanya. Antara katakmu dan katak besar itu ada kaitan hubungan yang tidak kau ketahui…" berkata Hantu Penjunjung Roh.
"Lihat saja gerak gerik mereka. Semuanya mendekam dengan sikap seolah menghormati katak besar yang sudah jadi bangkai itu."
Sepasang mata Luhmasigi masih membeliak besar. Pelipisnya bergerak-gerak. "Untung saja aku tidak membawa tongkat bambu kuning lagi! Kalau tidak sudah kugebuk kalian satu persatu!"
"Luhmasigi, biar aku membantumu! Biar aku yang membongkar isi perut katak hijau itu!"
"Luhniknik! Tungggu!" Luhmasigi berkata. "Jika anak-anakku berlaku hormat pada katak besar itu, kita berdua juga harus perduli. Jangan melakukan sesuatu yang menyakitkan mata dan hati mereka…."
"Kalau begitu terserah padamu! Bagaimana kau mau melihat apa yang ada dalam perut binatang itu kalau tidak menjebol badannya?!" ujar Hantu Penjunjung Roh pula.
Hantu Laekatakhijau kembali membungkuk. Diangkatnya sosok katak hijau besar. Dengan tangan kirinya dipegangnya tinggi-tinggi dua kaki belakang binatang itu. Lalu dengan jari-jari tangan kanannya perlahan-lahan dipencetnya tubuh katak di bagian punggung dan perut. Mendadak si nenek tersentak. Kakinya tersurut dua langkah dan wajahnya berubah.
"Ada apa?" tanya Hantu Penjunjung Roh ingin tahu.
"Ada hawa aneh dingin mencucuk masuk ke dalam tubuhku," menerangkan Hantu Lembah Laekatakhijau. "Aku… aku merasakan ada sesuatu dalam perut bangkai katak ini…." Si nenek merasakan jari-jari ta­ngannya bergetar. Dia kuatkan hati, kerahkan tenaga dalam dan kembali memencet punggung serta perut katak hijau. Puluhan katak di sekitarnya keluarkan suara mendesah panjang seolah-olah mereka turut merasakan sesuatu.
Saat itu memang Hantu Lembah Laekatakhijau merasakan ada sesuatu dalam perut bangkai katak. Dia kerahkan tangan ke ujung-ujung jari. Benda di dalam perut terasa meluncur ke bawah, ke arah teng­gorokan katak hijau.
Tiba-tiba dari dalam mulut katak hijau keluar suara mendesis panjang. Menyusul memancarnya cahaya aneh tujuh warna. Lalu menyusul keluar lelehan cairan putih. Warna putih ini kemudian berubah membentuk tujuh warna. Hantu Laekatakhijau merasakan tangannya bergetar. Tengkuknya semakin dingin. Jari-jari tangannya menekan terus. Mulut katak yang sudah jadi bangkai bergerak membuka secara aneh. Sesaat kemudian dari mulut itu menyembul sebuah benda keras dibalut tujuh macam warna, makin panjang, makin panjang.
"Dess!"
Benda aneh keluar lepas dari mulut katak hijau, jatuh ke bawah. Sesaat lagi benda itu akan terhempas jatuh di tanah berumput Hantu Penjunjung Roh me­lompat ke depan, cepat menyambutnya. Ternyata benda itu sebuah batu pipih aneh sebesar batu pengasah pisau. Memiliki tujuh macam warna. Pada bagian atas berbentuk agak bulat menyerupai kepala manusia dan pada sisi kiri kanan ada bagian yang menonjol seperti telinga.
Mendadak ratusan kodok yang masih bertebaran di tanah sekeliling batu besar keluarkan teriakan­teriakan keras. Hantu Laekatakhijau merasa tidak enak. Dia melangkah mendekati sahabatnya yang tengah memperhatikan terheran-heran benda yang ada di telapak tangannya yakni yang keluar dari perut katak besar.
Pada saat itulah tiba-tiba di langit ada suara men­deru keras. Laksana sambaran kilat satu benda putih melesat rendah di udara. Pedataran berumput seolah diterpa topan. Dua nenek terjengkang di tanah! Ber­samaan dengan itu satu benda biru berkelebat dahsyat, menyambar ke tangan kanan Hantu Penjunjung Roh yang memegang benda aneh. Sebelum dua nenek itu mengetahui apa yang terjadi, benda putih yang melesat sebat dan benda biru yang barusan menyambar membumbung ke udara lalu lenyap seolah menembus langit.
"Jahanam! Ada yang merampas benda itu!" teriak Hantu Penjunjung Roh. Hantu Laekatakhijau terkejut besar. Dua nenek ini cepat melompat bangkit dan hantamkan tangan kanan masing-masing ke udara.
"Wuuuttt!"
"Wuttt!"
Dua gelombang angin melesat ke atas. Yang jadi sasaran ternyata sudah lenyap. Walau demikian ada sepotong benda putih tiba-tiba melayang jatuh dari atas langit. Hantu Penjunjung Roh dan Hantu Lembah Laekatakhijau sama-sama melompat, berebut cepat menangkap benda putih itu.
"Rontokan bulu burung…" kata si nenek seraya memperlihatkannya pada sahabatnya Hantu Laekatak­hijau.
Hantu Laekatakhijau ambil benda itu dan mem­perhatikan. "Hemmm…" si nenek bergumam. "Bulu burung tidak ada yang sebesar ini…." Dia memandang ke langit "Aku sudah bisa menduga siapa adanya makhluk yang berusaha merampas batu aneh tujuh warna itu…."
"Siapa?" bertanya Hantu Penjunjung Roh.
"Tidak akan kukatakan sekarang. Aku tak ingin pikiranmu ikut bercabang. Makhluk itu kelak akan muncul sendiri. Yang penting kita harus lebih dulu mencari nenek bernama Luhmundinglaya itu. Rahasia apa konon yang hendak disampaikannya pada kita…."
"Aku kecewa kau tak mau memberitahu siapa adanya si perampas batu berwarna tujuh itu. Apa boleh buat Aku tak mau memaksa! Tapi apa kau mau mengatakan benda apa sebenarnya yang tadi keluar dari mulut katak hijau itu?" tanya Hantu Penjunjung Roh pula.
"Tak dapat kupastikan apa adanya," jawab Hantu Laekatakhijau. Lalu dia menambahkan. "Tapi jika ada seseorang merampasnya, pasti benda itu sangat ber­harga. Jangan-jangan…." Si nenek mendadak hentikan ucapannya. Wajahnya yang keriput berubah.
"Kau tidak meneruskan ucapanmu. Wajahmu ku­lihat berubah. Apa yang ada dalam pikiranmu wahai sahabatku Luhmasigi?"
"Aku ingat pada peristiwa beberapa waktu lalu. Konon Hantu Tangan Empat pernah diutus Hantu Muka Dua pergi ke negeri seribu dua ratus tahun mendatang untuk mencari sebuah batu sakti bernama Batu Sakti Pembalik Waktu. Dengan mempergunakan ilmu itu siapapun bisa menembus perbedaan waktu dan bisa muncul datang ke negeri asing itu lalu kembali lagi ke sini setiap saat yang dikehendakinya…."
"Aku memang pernah mendengar riwayat itu," kata Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh pula. "Tetapi setahuku Hantu Tangan Empat tidak berhasil mendapatkan batu sakti itu. Lalu bagaimana batu itu bisa berada di sini, jika dugaanmu memang benar bahwa benda yang tadi dirampas orang itu adalah Batu Pembalik Waktu ? Bagaimana bisa berada di dalam perut katak hijau?"
"Memang sulit untuk dipercaya. Namun bukan mustahil batu itu tadinya dibawa oleh orang-orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu…."
"Jika pendapatmu benar, mengapa mereka tidak mempergunakan untuk kembali ke kampung halaman mereka di Tanah Jawa? Mengapa menyengsarakan diri dalam bahaya di negeri ini?"
"Aku tidak tahu mau mengatakan apa lagi," kata Luhmasigi. Si nenek garuk-garuk kepalanya yang di­tumbuhi rambut putih lalu memandang pada ratusan katak hijau yang bertebaran di tanah. "Anak-anak, kita akan segera tinggalkan tempat ini!" Mendengar ucap­an si nenek ratusan katak hijau segera berlompatan ke kepala, muka dan tubuh Hantu Laekatakhijau.
Untuk mengingatkan pembaca pada riwayat Batu Pembalik Waktu perlu kita kembali pada Episode Pertama dari petualangan Wiro di Negeri Latanahsilam berjudul "Bola Bola Iblis". Dituturkan dalam Episode tersebut secara tak sengaja Naga Kuning telah me­nekan bagian menonjol di kiri kanan batu yang ber­akibat membawa mereka melesat ke alam seribu dua ratus tahun silam dan muncul di Negeri Latanahsilam.
Secara tidak sengaja Batu Pembalik Waktu yang dibawa oleh Naga Kuning terjatuh di satu tempat dan ditemui oleh katak hijau besar yang langsung me­nelannya.
Pada saat menginjakkan kaki pertama kali di Ne­geri Latanahsilam Wiro dan dua kawannya bertemu dengan Lakasipo alias Hantu Kaki Batu. Walau tadinya Lakasipo berniat membunuh ke tiga orang itu namun persahabatan kemudian terjalin. Bahkan Lakasipo menganggap Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol sebagai saudara-saudara angkatnya. Lakasipo juga berusaha membantu mereka untuk menemukan kem­bali Batu Pembalik Waktu agar ketiganya bisa kembali ke Tanah Jawa. Namun usaha itu sia-sia belaka karena sang batu tidak dapat ditemukan.
Pada saat bersamaan sampainya Wiro dan dan kawan-kawan di Negeri Latanahsilam, muncul pula seekor katak hijau besar. Binatang inilah yang me­nemukan Batu Pembalik Waktu lalu menelannya. Ka­rena batu itu bukan benda biasa, sehari setelah me­nelan batu katak tadi menemui kematiannya. Anehnya walau telah jadi bangkai sosoknya tidak rusak atau membusuk. Apa yang terjadi selanjutnya adalah seperti yang dituturkan di atas.
4
DERU lima air terjun seolah menjadi pengantar kekhusukan samadi yang tengah dilakukan kakek berambut putih riap-riapan itu. Orang tua ini memiliki kening, hidung dan dagu sama rata dengan pipinya. Dia duduk bersila mengapung satu jengkal di atas batu rata di dalam bangunan berbentuk gapura.
Orang tua ini bukan lain adalah Hantu Tangan Empat, salah seorang tokoh rimba persilatan yang disegani di Negeri Latanahsilam. Di langit matahari mulai condong ke barat. Peri Angsa Putih sampai saat itu masih saja tetap duduk bersila di hadapan si orang tua. Sikapnya yang sepanjang hari memperlihatkan kesabaran kini mulai goyah. Peri ini mulai gelisah, apa lagi setelah melihat petang mulai merayap siap membawa sang surya ke titik tenggelamnya.
"Cucuku Peri Angsa Putih, sifat manusia luar rupanya mulai mempengaruhi dirimu. Dimana kau simpan rasa kesabaranmu selama ini?" Tiba-tiba kesunyian dan keresahan menunggu dipecahkan oleh suara aneh yang seolah datang dari empat jurusan hingga sulit mengetahui siapa adanya orang yang bicara. Mulut si kakek tidak tampak bergerak. Matanyapun masih terpejam. Itulah ilmu Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Di Negeri Latanahsilam hanya ada tiga makhluk yang memiliki ilmu kesaktian ini. Pertama Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud. Ke dua Hantu Tangan Empat dan ke tiga adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang beruntung mendapat ilmu tersebut dari Luhpingitan, istri Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir.
Peri bermata biru itu terkesiap kaget mendengar suara tadi. Dia menatap wajah Hantu Tangan Empat sesaat lalu jatuhkan diri berlutut.
"Kek, harap maafkan diriku kalau kedatanganku mengganggu semedimu…."
Dua mata Hantu Tangan Empat yang sejak tadi tertutup perlahan-lahan terbuka. Dia pandangi Peri Angsa Putih sejenak lalu berkata. "Terakhir sekali kau datang ke tempat kediamanku ini dulu lama sekali. Kau muncul membawa pemuda asing dan dua kawannya. Apakah kali ini kedatanganmu juga ada sangkut pautnya dengan diri pemuda itu?"
Peri Angsa Putih berusaha tersenyum untuk menutupi perubahan wajahnya. "Saya menemuimu karena ada satu mimpi datang berulang kali sejak beberapa hari ini…."
"Begitu?" Alis putih Hantu Tangan Empat naik ke atas. Keningnya mengerenyit. "Sebelum kau mene­rangkan mimpi apa yang kau alami, ada satu hal ingin kuketahui. Di Negeri Latanahsilam sejak belakangan ini tersiar banyak berita. Satu diantaranya menyangkut dirimu yang dihubungkan dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng itu. Konon kabar itu mengatakan bahwa kau tergila-gila pada pemuda itu dan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Aku inginkan kejujuranmu. Apakah berita itu benar adanya?"
"Kakek Hantu Tangan Empat, berbagai berita bisa saja tersebar dan tersiar kemana-mana. Namun kebe­narannya perlu diteliti dan dikaji. Seingat saya sampai saat ini saya masih bisa menjaga diri. Masih menyadari bahwa saya adalah bangsa Peri yang tidak sama dengan manusia biasa…."
"Hemmm…. Aku berharap kau tetap berada dalam keadaan seperti itu," kata Hantu Tangan Empat pula. "Namun perlu kau ketahui wahai cucuku. Pengaruh zaman mendatangkan banyak perubahan di alam kehi­dupan kita. Perubahan ini berpengaruh pula pada sifat dan sikap serta tindakan kita, termasuk kalian bangsa Peri. Perbedaaan antara kaum Peri dan makhluk biasa semakin menipis. Pengaruh dunia luar semakin terasa. Kuharap kau berlaku hati-hati…. Termasuk berhati-hati dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng itu. Aku mendengar banyak sekali kabar buruk menyangkut diri pemuda itu…."
"Semua ucapan Kakek akan saya perhatikan," kata Peri Angsa Putih pula.
"Bagus, sekarang kau boleh menceritakan padaku perihal mimpimu."
"Saya kedatangan mimpi, tiga malam berturut­turut. Dalam mimpi itu muncul seorang tua mem­perlihatkan sebuah benda berbentuk segi empat. Agaknya merupakan sebuah batu. Setiap dia hendak memberikan batu itu kepada saya, saya tersentak bangun dan mimpi saya terputus. Saya lalu merenung apa arti mimpi itu. Tidak bisa saya memecahkannya. Lalu saya ingat pada peristiwa beberapa waktu lalu. Ketika Kakek diperintahkan oleh Hantu Muka Dua untuk berangkat menembus waktu, pergi ke Tanah Jawa. Bu­kankah saat itu Kakek ditugaskan untuk mencari sebuah benda bernama Batu Sakti Pembalik Waktu?"
"Kau benar. Hantu Muka Dua memang menugas­kan diriku mencari benda itu sampai ke Negeri Seribu Dua Ratus Tahun Mendatang yang disebut Tanah Jawa. Aku terpaksa melakukannya karena dia men­culik dan menyekap istriku Luhbarini…."
"Mengenai Batu Pembalik Waktu itu, Kek. Dapat­kah kau mengatakan bagaimana bentuknya?" ber­tanya Peri Angsa Putih.
"Aku sendiri belum pernah melihatnya. Seperti kau ketahui aku tidak berhasil mendapatkan batu tersebut Hanya dari Hantu Muka Dua aku pernah diberi tahu bentuk dan ciri-cirinya."
"Coba kau katakan, mungkin sama dengan batu yang saya lihat dalam mimpi."
"Menurut Hantu Muka Dua, batu itu berbentuk empat persegi. Salah satu ujungnya agak bulat. Me­miliki tujuh warna. Apakah penjelasanku cocok de­ngan batu yang kau lihat dalam mimpimu?"
Peri Angsa Putih menggeleng. "Bentuknya mungkin sama. Tapi mengenai warnanya tidak terlalu jelas…."
Hantu Tangan Empat tatap wajah Peri Angsa Putih sejenak lalu bertanya. "Mengenai orang tua dalam mimpi itu. Yang katamu hendak menyerahkan batu tersebut padamu, apakah kau mengenali siapa dia adanya. Atau pernah melihat sebelumnya?"
"Saya tidak mengenali siapa dia. Juga belum pernah melihatnya…."
"Kalau begitu tidak banyak hal lain yang bisa kuberitahu padamu…."
"Penjelasan Kakek sudah lebih dari cukup. Saya sangat berterima kasih. Sekarang izinkan saya mohon diri berpamit pergi…."
"Sebentar lagi hari akan malam. Mengapa kau tidak menginap saja di sini? Mungkin banyak hal lain yang bisa kita bicarakan."
"Saya ingin sekali bermalam di sini. Tapi masih ada beberapa urusan penting lainnya yang harus saya lakukan. Mungkin Kakek sudah mendengar kabar bah­wa Peri Bunda tengah ditimpa musibah…."
"Aku mendengar. Aib besar bagi bangsa Peri! Lagi-lagi karena perbuatan pemuda bernama Wiro Sableng itu! Peri Bunda sampai hamil! Jika tiba saatnya pemuda itu perlu dimintai pertanggungan jawabnya. Dengan darah bahkan kalau perlu dengan nyawanya! Aku mengerti cucuku. Pergilah. Selalu berlaku hati-hati dimana kau berada, dengan siapapun kau berhadapan."
Peri Angsa Putih bersujud di hadapan Hantu Tangan Empat lalu tinggalkan bangunan berbentuk gapura itu.
Sesaat setelah Peri Angsa Putih meninggalkan tempat kediamannya, Hantu Tangan Empat usap-usap janggut putihnya, menatap ke arah pedataran berumput di seberang sana. Rumput di pedataran itu tidak berwarna hijau seberapa lazimnya warna rumput melainkan berwarna biru.
"Batu Sakti Pembalik Waktu…" desis Hantu Tangan Empat. "Batu keramat itu tidak berhasil aku dapatkan. Tidak ada yang tahu dimana beradanya. Cucuku datang membawa cerita tentang mimpi me­lihat batu sakti itu. Apakah dia berkata benar…? Bu­kankah sejak beberapa lama belakangan ini cara ber­pikir dan gerak geriknya banyak dipengaruhi oleh orang-orang dari negeri seribu dua ratus tahun men­datang itu? Aku curiga. Jangan-jangan batu itu mung-kin sudah ada padanya. Paling tidak dia mengetahui dimana beradanya. Cuma dia tidak tahu pasti bagai­mana bentuknya. Itu sebabnya dia datang ke sini mencari keterangan untuk memastikan…" Hantu Ta­ngan Empat menyeringai dan usap-usapjanggut putih­nya. "Cucuku Peri Angsa Putih. Kau sudah pandai bercerdik diri. Tapi kau tidak bisa menipu kakekmu ini!"
Hantu Tangan Empat tepukkan tangannya tiga kali berturut-turut. Saat itu juga muncullah satu makh­luk luar biasa yang sekujur sosoknya mulai dari kepala sampai ke kaki dikobari api. Selain itu bagian tubuhnya sebelah kanan sangat mengerikan untuk dipandang. Karena bagian tubuh ini hanya berbentuk satu lobang besar, menggeroak demikian rupa hingga tulang-tu­lang iga, isi dada dan isi perutnya kelihatan dengan nyata! Siapa gerangan adanya makhluk dahsyat ini?!
Sebelumnya dalam Episode berjudul "Hantu Muka Dua" telah diriwayatkan mengenai seorang Utusan atau Wakil Para Dewa bernama Lamanyala yang bertempur habis-habisan melawan Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir. Lamanyala berusaha mengambil Jimat Hati Dewa yang dilarikan Lasedayu. Tapi Lasedayu keburu menelan jimat itu hingga kesaktiannya berlipat ganda. Lamanyala tidak berdaya menghadapi Lasedayu, akhirnya melarikan diri setelah tubuhnya sebelah ka­nan dihantam hancur oleh lawan dengan pukulan sakti bernama Pukulan Tangan Dewa Warna Kuning.
Sejak peristiwa itu dengan sendirinya Lamanyala mendekam dendam kesumat besar terhadap Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir. Di dalam Episode berjudul "Hantu Langit Terjungkir" dia muncul kembali pada saat Lasedayu berusaha mengejar Hantu Kaki Batu (Lakasipo) yang diduganya adalah putera kandungnya sendiri.
Lamanyala berani menghadang Lasedayu karena dia mengetahui bahwa seluruh kesaktian yang ada pada Lasedayu telah dirampas oleh Hantu Muka Dua lewat Sendok Pemasung Nasib. Dugaan Lamanyala meleset. Karena selama berada di Lembah Seribu Kabut diam-diam Lasedayu menciptakan satu ilmu kesaktian yang didasarkan pada kekuatan alam sekitarnya. Dalam keadaan terdesak Lamanyala bermaksud hendak melarikan diri. Namun tidak terduga muncullah Hantu Lumpur Hijau membantu. Dikeroyok dua Lasedayu jadi tak berdaya. Apalagi setelah Lamanyala mengeluarkan ilmu kesaktiannya berupa kobaran api raksasa menelikung seputar Lasedayu.
Pada saat-saat dimana Lasedayu akan ditumpas habis dan menemui ajal, tiba-tiba muncullah Pendekar 212 Wiro Sableng bersama dua kawannya yakni Naga Kuning dan Setan Ngompol. Untuk menyelamatkan si kakek, Wiro keluarkan ilmu kesaktian bernama Angin Es. Kobaran api ganas Lamanyala bukan saja padam tapi kakek jahat ini bersama-sama Hantu Lumpur Hijau serta merta berubah menjadi patung es!
Penuh kagum akan kehebatan ilmu kesaktian Wiro yang sanggup membuat Lamanyala dan Hantu Lum­pur Hijau berubah menjadi patung es, Hantu Langit Terjungkir bertanya. "Berapa lama dia akan jadi patung es seperti itu?"
Wiro menjawab. "Jika mereka tetap berada di udara terbuka tapi terkena cahaya matahari, mereka baru bisa bebas sekitar tujuh hari. Jika tidak terkena matahari bisa-bisa dua puluh hari. Tapi jka mereka berada dalam air bisa-bisa empat puluh hari."
Sambil menyeringai Naga Kuning lalu menyambung ucapan Wiro itu.
"Kek, waktu kau ke sini, kami melihat ada satu comberan busuk. Dalamnya sekitar seleher. Di dalam­nya ada macam-macam kotoran, ular air, kodok dan lintah. Mengapa tidak dijebloskan saja dua kakek jahat itu ke sana?!"
Hantu Langit Terjungkir menyeringai geli. "Memang, ada baiknya aku mengikuti usulmu itu wahai sahabat kecil yang nakal! Ha… ha… ha!"
Apa yang dikatakan Naga Kuning itu kemudian benar-benar dilaksanakan. Diikuti dari belakang oleh Hantu Langit Terjungkir, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol menyeret sosok Lamanyala dan Hantu Lumpur Hijau ke sebuah kubangan busuk yang bukan saja penuh berbagai kotoran tapi juga banyak binatangnya. Dua kakek itu mereka cemplungkan ke dalam kubangan. Masih untung kepalanya sengaja dibiarkan timbul. Kalau sampai diceburkan kaki ke atas kepala ke bawah niscaya keduanya akan menemui kematian secara mengenaskan! Lamanyala dan Hantu Lumpur Hijau memaki menyumpah habis-habisan!
Seperti yang dikatakan Wiro jika mereka terpendam dalam kubangan atau comberan busuk itu maka baru empat puluh hari kemudian lapisan es aneh yang membuat tubuh mereka kaku akan mencair dan mereka bisa bebas kembali. Ternyata nasib keduanya tidak seburuk itu. Baru tiga hari mendekam dalam kubangan busuk, Hantu Tangan Empat yang kebetulan lewat di tempat itu menemukan mereka. Keduanya ditarik keluar dari dalam kubangan. Selama satu hari satu malam Hantu Tangan Empat mengerahkan kesaktiannya baru dia berhasil melelehkan lapisan es yang membungkus sosok dua kakek itu.
Setelah mengucapkan terima kasih Hantu Lumpur Hijau meninggalkan tempat itu. Sedang Lamanyala yang merasa berhutang budi dan nyawa terhadap Hantu Tangan Empat memutuskan untuk mengabdi dan mengikuti Hantu Tangan Empat kemanapun kakek itu pergi. Tapi diam-diam sebenarnya Lamanyala mem­punyai satu maksud rahasia dalam memperhambakan diri pada tokoh utama Negeri Latanahsilam itu.
*
* *
BEGITU berhadapan dengan Hantu Tangan Empat, Lamanyala segera menghormat menjura dalam. "Hantu Tangan Empat, kau memanggilku. Tentu ada urusan penting. Harap kau memberi tahu agar aku bisa segera melaksanakan."
"Lamanyala, kau tentu tahu. Barusan saja aku mendapat kunjungan cucuku makhluk Peri bernama Peri Angsa Putih. Dia datang kemari menanyakan perihal sebuah batu bernama Batu Pembalik Waktu. Kurasa kau pernah mendengar tentang batu keramat itu…."
"Sedikit banyaknya aku memang sudah pernah mendengar," jawab Lamanyala. "Apa yang harus aku lakukan wahai Hantu Tangan Empat?"
"Ikuti Peri Angsa Putih. Selidiki sampai kau me­ngetahui apakah dia memiliki batu sakti itu atau tidak. Jika benda itu memang berada di tangannya kau harus dapat merampasnya…."
"Perintahmu akan segera aku lakukan. Namun sebelum pergi aku ada dua pertanyaan …" kata Lama-nyala pula.
"Ajukan apa pertanyaanmu!"
"Pertama, apakah cucumu Peri Angsa Putih tahu kalau aku telah menjadi abdimu?"
"Tidak, Peri Angsa Putih tidak mengetahui. Juga tidak ada orang lain yang tahu. Mungkin Hantu Lumpur Hijau karena dia yang melihat kau dan aku bersama­sama terakhir sekali. Tapi itupun baru dugaan. Apa pertanyaanmu yang ke dua?"
"Jika Batu Pembalik Waktu itu ternyata memang ada di tangan Peri Angsa Putih, namun dia menolak menyerahkan padaku, apa yang harus aku lakukan?"
"Wahai, kau tahu apa yang harus kau lakukan Lamanyala! Nyawa manusia dan nyawa seorang Peri tak ada bedanya. Kuharap kau mengerti maksud ucap­anku itu…."
"Aku mengerti Hantu Tangan Empat Tapi untuk menghindarkan kesalah pahaman biar aku bertanya berterus terang. Apakah kau mengizinkan aku mem­bunuhnya?!"
Hantu Tangan Empat menatap tajam ke sepasang mata Lamanyala yang dikobari api. Lalu kakek ini tertawa gelak-gelak. "Kau sudah tahu apa yang aku inginkan, Lamanyala! Apakah aku harus bicara sejelas kilat di langit mendung?! Ha… ha… ha… ha!"
Lamanyala merenung. Lalu setelah anggukkan kepala dan menjura dalam, makhluk yang sosoknya dikobari api ini berkelebat pergi dari hadapan Hantu Tangan Empat
5
DALAM Episode sebelumnya ("Muka Tanah Liat") diceritakan bagaimana Luhcinta, mengalami bencana, dikeroyok oleh kaki tangan Hantu Muka Dua yakni Luhjahilio dan Lajahilio yang dikenal dengan julukan Sepasang Hantu Bercinta. Dalam pertempuran hebat dua kakek nenek jahat ini menyerang dengan mempergunakan sejenis bubuk beracun sehingga Luhcinta roboh pingsan tak sadarkan diri. Sebelum bencana lebih hebat menimpa gadis murid Hantu Lembah Laekatakhijau ini muncullah Si Penolong Budiman alias Latampi memberikan pertolongan. Orang yang wajahnya selama ini selalu ditutup tanah liat hitam itu kini menampakkan diri dengan wajah aslinya.
Hantu Muka Dua yang ada di tempat itu coba menghadang ketika Si Penolong Budiman menyela­matkan Luhcinta. Tapi gagal. Penguasa Istana Keba­hagiaan ini kemudian melarikan diri menghindari ben­trokan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro sen­diri yang merasa khawatir akan keselamatan Luhcinta, bersama Hantu Selaksa Angin alias Luhpingitan se­gera melakukan pengejaran sementara Naga Kuning, Setan Ngompol dan Betina Bercula menyusu! bela­kangan….
Latampi baru memperlambat larinya ketika sang surya yang condong ke barat mulai memudar sinarnya.
"Sudah cukup jauh. Pasti aman sekarang. Aku harus mencari tempat yang baik. Gadis ini harus segera diselamatkan…" Latampi perhatikan wajah Luhcinta yang pucat pasi sedang bibirnya yang selama ini merah menawan kini kelihatan kebiru-biruan per­tanda ada racun jahat merasuk dalam aliran darahnya.
Memandang berkeliling lelaki berjubah hitam itu melihat satu bukit kecil di ujung sana. Tak jauh dari kaki bukit tampak beberapa ekor belibis hutan.
"Jika ada belibis berarti ada mata air tak jauh dari tempat ini," membatin Si Penolong Budiman. Lalu dia melarikan Luhcinta ke arah bukit Benar saja. Sebelum dia mencapai kaki bukit di tengah jalan dia menemui satu telaga kecil. Belasan ekor belibis coklat berenang seputar telaga. Latampi mencari tempat yang kering dan baik lalu membaringkan Luhcinta. Dirabanya ke­ning gadis itu. Terasa panas. Lalu ditempelkannya telinganya ke dada. Dia mendengar suara detak jan­tung yang tidak teratur.
Si Penolong Budiman menarik nafas dalam. "Luh­cinta, belasan tahun mengarungi negeri, akhirnya ku­temui juga dirimu. Sayang pertemuan ini tidak dalam suasana menggembirakan…. Tidak mungkin akan menggembirakan. Karena…" Si Penolong Budiman merasakan dadanya sesak. Kemudian dia sadar. "Aku tak boleh hanyut dalam perasaan. Aku harus segera bertindak! Para Dewa, beri aku petunjuk dan kekuatan untuk menyelamatkan gadis ini!" Si Penolong Budiman berdoa. Lalu dia memijit urat besar di atas dua tumit Luhcinta. Hal yang sama dilakukannya pada urat besar dii lekukan siku serta pangkal leher. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah kantong kecil berisi bubuk berwarna biru. Bubuk ini dituangkannya ke atas daun yang dibentuk menyerupai corong. Lalu ke dalam corong daun dimasukkannya air telaga. Kemudian sedikit demi sedikit air bercampur bubuk biru itu dituangkannya sampai habis ke dalam mulut Luhcinta.
Latampi menunggu. Dia mulai khawatir ketika sosok Luhcinta masih belum bergerak dan hembusan nafasnya tidak berubah. Dipegangnya kening gadis itu. Diusapnya beberapa kali.
"Masih panas…. Kalau obat itu tidak mampu mem­buat dia memuntahkan racun jahat yang ada dalam tubuhnya, terpaksa aku mempergunakan cara lain…." Si Penolong Budiman menunggu beberapa saat lagi. Disamping tidak sabar kini dia mulai merasa cemas. "Tak ada jalan lain. Aku harus mengambil tindakan pertolongan secara langsung. Aku harus menyedot racun yang ada di dalam tubuhnya…."
Sesaat Latampi tatap wajah Luhcinta yang telah diketahuinya sebagai anak kandungnya sendiri. Se­pasang matanya berkaca-kaca. "Kalau aku tidak dapat menolong anak ini, aku rela mati bersamanya. Derita sengsaranya selama ini menjadi beban tambahan di atas derita sengsara diriku sendiri…. Wahai Para Dewa, tolong kami yang menderita ini…."
Latampi merunduk mencium kening Luhcinta. Air matanya jatuh mengucur di atas pipi si gadis. Lalu dengan memejamkan mata dia susupkan dua tangan­nya ke balik dada pakaian Luhcinta, meraba mencari letak urat besar di arah jantungnya. Perlahan-lahan dia kerahkan hawa sakti yang ada dalam tubuhnya. Begitu jari-jarinya dapat menjajagi letak urat besar itu, Latampi membungkuk, dekatkan wajahnya ke wajah Luhcinta. Bibir mereka saling bertempelan. Lalu Latampi menyedot. Sekujur tubuh lelaki ini bergetar. Mukanya merah keringatan. Tiba-tiba sosok Luhcinta menggeliat Dua matanya yang sejak tadi terpejam mendadak terpentang lebar. Dia melihat satu wajah dekat sekali di atasnya. Gadis ini menjerit keras. Ber­samaan dengan jeritannya itu menyembur cairan biru berlendir, menyusul muntahan darah kehitam-hitaman, muncrat membasahi wajah orang yang meneduhi mukanya.
"Manusia kurang ajar! Siapa kau!" Luhcinta gerakkan kaki kanannya.
"Bukkk!"
Latampi mencelat mental sampai dua tombak. Ketika dia berusaha bangkit berdiri di hadapannya tahu-tahu telah tegak dua orang yang memandang padanya dengan pandangan penuh amarah!
"Penolong Budiman! Kemesumanmu rupanya tidak berhenti pada hanya mengintip saja! Sekarang kau berani menggerayangi tubuh gadis yang sedang pingsan! Menciumnya! Manusia sepertimu tidak ada tempat di Negeri Latanahsilam ini!" Salah seorang dari yang tegak di hadapan Penolong Budiman membentak. Lalu pancarkan kentut.
"Brut prett!"
"Sobatku, aku tidak menyangka sekeji ini budi pekertimu! Menggagahi gadis yang tidak berdaya!" Orang kedua ikut membentak.
"Hantu Selaksa Angin! Wiro! Tidak! Tunggu! Biar aku…"
Bayangan kuning berkelebat Satu tendangan melabrak ke arah dada Si Penolong Budiman. Untung orang ini bertindak cepat jatuhkan diri. Dia berguling menjauh namun mendadak satu sinar kuning menyerupai tombak berkiblat, menderu ke arah batok kepala Si Penolong Budiman!
"Tahan serangan!" teriak Latampi alias Si Penolong Budiman.
Tapi tombak kuning itu terus menderu. Malah dari samping satu tangan datang melesat menjambak ram­butnya membuat Latampi tak mungkin menghindar­kan diri dari hantaman cahaya kuning berbentuk tom­bak yang adalah ilmu pukulan sakti milik Hantu Selaksa Angin bernama Tombak Kuning Pengantar Mayatl
"Wiro! Lepaskan jambakanmu!" teriak Latampi. "Kau dan nenek itu salah sangka!"
Pendekar 212 hanya menyeringai. Dia sengaja menarik rambut Latampi hingga sosok orang ini ter­betot ke arah datangnya sinar kuning!
Tak ada jalan lain bagi Si Penolong Budiman. Dari pada menemui ajal secara mengenaskan begitu rupa mau tak mau dia harus menyelamatkan diri dengan balas menghantam. Tangan kanannya bergerak.
"Wuuttt!"
Selarik sinar hitam berbentuk kipas dipenuhi cahaya­cahaya terang seperti tebaranbunga api berkiblat di udara!
"Pukulan Menebar Budi!" teriak Pendekar 212. Tahu keganasan pukulan sakti itu dia segera lepaskan jembakannya pada rambut Si Penolong Budiman. Lalu melompat satu tombak ke belakang seraya lepaskan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.
"Bummm!"
"Bummm!"
Dua letusan menggelegar di tempat itu. Air telaga muncrat setinggi tiga tombak. Belasan burung belibis menjerit keras ketakutan lalu beterbangan ke udara.
Wiro jatuh terhenyak di tanah. Mukanya pucat dan dadanya berdenyut sakit Hantu Selaksa Angin ter­sandar ke sebatang pohon. Lututnya goyah lalu nenek ini jatuh berlutut. Di bagian lain Si Penolong Budiman terpental dan terguling-guling di tanah. Mukanya me­ngelam. Sosoknya menghuyung ketika dia coba ber­diri. Di sela bibirnya tampak lelehan darah.
"Masih hidup manusia keji ini rupanya!" kertak Hantu Selaksa Angin. Dia menggebrak ke depan sam­bil kembali menghantam. Kali ini tidak kepalang tang-gung dia lepaskan pukulan Salju Putih Latinggimerul
"Nenek jubah kuning! Harap kau suka mundur! Biar aku yang menyingkirkan kekejian dari bumi Negeri Latanahsilam ini!" Satu suara membentak nyaring. Satu bayangan biru berkelebat ke arah Si Penolong Budiman. Orangnya bukan lain adalah Luhcinta!
"Butt prett!"
"Wahai! Kau yang diperlakukan keji, memang pantas kalau kau yang menghabisinya!" kata Hantu Selaksa Angin lalu menarik pulang serangannya dan menyingkir ke samping, memberi jalan pada Luhcinta.
"Luhcinta! Tahan seranganmu! Jangan teruskan! Aku harus menerangkan sesuatu padamu!" teriak Si Penolong Budiman.
"Berikan keteranganmu pada semua roh jahat yang tergantung antar langit dan bumi!" jawab Luhcinta. Lalu gadis ini hamburkan serangan berantai yang hebat sekali.
"Bukk… bukkk… bukkk!"
Si Penolong Budiman tidak berkelit tidak pula menangkis. Sepertinya dia pasrah menerima hantaman lawan.
Tiga pukulan keras melanda tubuh Si Penolong Budiman, membuatnya kembali terjengkang di tanah dan muntahkan darah segar!
Dengan muka pucat, mulut dan pakaian berselomot darah Si Penolong Budiman merangkak di tanah lalu bangkit berdiri.
"Luhcinta, kau tidak memberi kesempatan untukku bicara! Aku tidak menyesal kalau harus mati di tanganmu…. Bunuhlah, aku tidak akan melawan!
Mungkin ini satu-satunya cara untuk menebus kekeliruan dan dosa besarku di masa lalu!"
Kalau saja Luhcinta tidak sedang dilanda amarah, kata-kata Si Penolong Budiman itu pasti akan menjadi satu tanda tanya besar baginya. Namun saat itu luapan amarah tengah menyungkup dirinya. Dia melihat sen­diri, juga ada beberapa orang menyaksikan betapa tadi Si Penolong Budiman berbuat keji terhadapnya! Kata-kata yang diucapkan Si Penolong Budiman itu malah dianggap sebagai tantangan oleh Luhcinta.
"Selama ini kasih sayang adalah pegangan hidup­ku! Tapi aku tidak akan pernah menyesal membunuh makhluk keji sepertimu!"
Didahului satu pekik dahsyat Luhcinta melesat ke depan. Dua tangannya bergerak. Satu menghantam­kan pukulan Tangan Dewa Merajam Bumi, satunya lagi melepas pukulan bernama Kasih Mendorong Bumi. Sekalipun Si Penolong Budiman memiliki ilmu kesaktian setinggi langit sedalam samudera namun tidak mungkin baginya menyelamatkan diri dari dua pukulan maut itu. Apalagi saat itu dia seperti memang sengaja memasang diri, siap untuk dihabisi!
Sesaat lagi Si Penolong Budiman akan dibantai oleh dua pukulan sakti yang dilepaskan Luhcinta anak kandungnya sendiri, tiba-tiba dua bayangan berkele­bat sebat. Satu teriakan keras menggelegar di Seantero tempat!
"Luhcinta! Tahan seranganmu! Jangan bunuh orang itu! Dia Latampi! Ayahmu sendiri!"
6
SEMUA orang yang ada di tempat itu tersentak kaget! Luhcinta sendiri merasa kalau ada setan kepala tujuh menghambur keluar dari dalam tanah hendak mencekiknya, atau ada halilintar turun dari langit me­nyambar di puncak hidungnya, tidak akan seluar biasa itu kaget dirinya.
Gerakan dua tangan si gadis serta merta tertahan. Mukanya sepucat kain kafan. Dua matanya meman­dang membeliak ke arah Latampi yang dari merangkak dengan susah payah berusaha bangkit berdiri tapi hanya mampu tegak berlutut Mukanya tak kalah pucat dan pandangannya mengarah sayu pada Luhcinta.
"Luhcinta…. Kau…." Si Penolong Budiman tak Kuasa meneruskan ucapannya. Dua tangannya diulurkan ke depan. Dua lututnya beringsut di tanah. Dua matanya berkaca-kaca.
Luhcinta seperti melihat hantu. Gadis ini bersurut ke belakang. Tubuhnya huyung. Dia tak kuat lagi menahan diri. Tubuhnya tersungkur ke depan. Tiba­tiba ada sepasang tangan merangkulnya. Memandang ke samping Luhcinta melihat satu wajah dan tubuh yang dipenuhi katak-katak hijau.
"Guru…" desis Luhcinta.
"Muridku, tabahkan hatimu, kuatkan jiwamu menghadapi kenyataan ini…."
Luhcinta menarik ke samping kiri. Dia melihat sosok Hantu Penjunjung Roh memandang padanya. Nenek ini kelihatan tersenyum, tapi senyum itu begitu sayu. Sambil memegang kepala gadis itu si nenek berkata. "Cucuku, kau telah sampai diakhir perjalananmu. Rahasia besar yang selama ini menjadi beban kehidupanmu kini telah tersingkap…."
“Nek…" suara Luhcinta bergetar. "Orang itu. Dia…."
Hantu Penjunjung Roh usap kepala cucunya. Lalu ditolongnya gadis itu bangkit berdiri. "Ya, dia…. Dia adalah Latampi. Dia anak kandungku. Dia ayah yang selama ini kau cari. Aku akan memapahmu kepadanya. Bersimpuhlah di hadapannya, lalu peluk dan rangkul dia. Ayah yang kau cari selama ini kau temukan…. Berkah para Dewa telah sampai atas diri kalian berdua…." Waktu berkata itu Hantu Penjunjung Roh tidak dapat lagi menahan kucuran air matanya.
Luhcinta merasa dua kakinya seolah seberat batu raksasa. Dia tak sanggup melangkah. Bibirnya bergetar.
Sepasang matanya mulai basah. "Nek. saya…. Saya tidak bisa mempercayai semua ini…. Si muka tanah liat ini. Sebelumnya dia telah berbuat keji atas diri saya…. Tak mungkin Nek…. Tak mungkin…. Saya tidak pernah mengharapkan seorang ayah sekeji dirinya!"
"Luhcinta, aku dan gurumu Hantu Laekatakhijau sudah menyelidik, sudah mendapat bukti-bukti bahwa orang itu adalah Latampi ayah kandungmu. Jangan kau berani berkata tidak mungkin. Yang Kuasa telah memperlihatkan kebesaran dan kasih sayangNya pada kalian hingga hari ini kalian dipertemukan satu sama lain…."
Hantu Penjunjung Roh terus memapah Luhcinta. Di depan sana Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Sesaat dia tampak bingung. Lalu dia melangkah mendekati Si Penolong Budiman dan menolong orang ini berdiri. Seperti apa yang dilakukan Hantu Penjunjung Roh, Wiro kemudian membantu Si Penjunjung Roh melangkah mendekati Luhcinta.
Hantu Selaksa Angin menyaksikan apa yang ter­jadi di hadapannya itu dengan mata basah. Sejak tadi dia menahan diri agar tidak memancarkan kentut. Sementara Hantu Laekatakhijau guru Luhcinta ter­sengguk-sengguk menahan tangis.
Beberapa saat kemudian ayah dan anak itu tegak berhadap-hadapan, hanya terpisah dua langkah. Ke­duanya saling memandang berhamburan air mata.
"Anakku Luhcinta…" ucap Latampi dengan suara bergetar dan dada menggemuruh. Dua tangannya diulurkan hendak menyentuh bahu gadis itu. "Apa yang aku lakukan bukan kekejian berselubung nafsu mesum. Aku terpaksa menekan urat besar di dadamu. Aku terpaksa harus menyedot racun jahat lewat mulutmu. Hanya itu satu-satunya jalan menolong dirimu dari racun jahat yang ditebar kaki tangan Hantu Muka Dua…."
Luhcinta sendiri tegak tak bergerak. Telinganya terbuka, tapi dia seolah tidak mendengar apa yaru diucapkan Latampi. Mulutnya ikut terbuka. Bibirnya bergeletar. Ingin ia mengucapkan kata "Ayah" tetapi lidahnya serasa kelu. Tak ada ucapan, tak ada suara yang keluar. Pada saat itulah tiba-tiba sekilas bayangan hitam masa lalu terpampang di depan matanya, menghujam di dalam benak Luhcinta. Yakni berupa kenyataan bahwa ayah kandungnya itu sebenarnya adalah kakak kandung dari ibunya sendiri, sang ibu yang bernama Luhpiranti memang melahirkan dirinya, tapi dia merupakan anak yang terlahir diluar nikah. Lalu sang ayah sendiri tidak pula syah menjadi ayahnya karena dia adalah kakak kandung ibu yang melahirkannya!
Luhcinta memandang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dalam keadaan seperti itu ingin sekali dia berlari ke dalam pelukan pemuda itu. Bicara dengannya. Agaknya hanya Wirolah satu-satunya tempat dia menceritakan kemalangan hidup mengadukan nasib. Namun hatinya menjadi perih bila dia ingat bahwa Wiro telah kawin dengan Luhrembulan dan menjadi milik orang lain. Air mata semakin deras mengucur jatuh ke pipi Luhcinta. Tubuhnya bergetar hebat.
Tiba-tiba satu teriakan keras keluar dari mulutnya. ‘Tidak! Tidak!"
Seperti ada kekuatan gaib memasuki dirinya, Luhcinta meronta keras melepaskan pegangan dua nenek di kiri kanannya lalu melompat meninggalkan tempat itu.
"Luhcinta!" teriak Hantu Penjunjung Roh me manggil. Hantu Laekatakhijau coba mengejar. Pen­dekar 212 tak tinggal diam. Dia berusaha menghalangi tapi hanya sempat menyentuh punggung gadis itu. Latampi sendiri jatuh berlutut di tanah, menutupi wa­jahnya dengan dua tangan menahan gemuruh tangis yang seolah hendak meledakkan tubuhnya!
"Luhmasigi," kata Hantu Laekatakhijau pada Hantu Penjunjung Roh. "Cucumu berada dalam ke­adaan kalut kacau pikiran. Keadaannya bisa berba­haya. Kita harus mengejarnya."
Tanpa banyak bicara lagi dua nenek itu segera berkelebat ke arah lenyapnya Luhcinta.
Hantu Selaksa Angin memandang pada Wiro. "Kau tidak ikutan mengejar gadis itu?"
Wiro tak bisa menjawab. Dia memang ingin sekali mengejar Luhcinta. Bukan saja untuk menyelamatkan si gadis tapi juga untuk membicarakan masalah per­kawinannya dengan Luhrembulan.
Tanpa setahu Hantu Selaksa Angin dan Wiro ataupun Latampi yang masih berlutut menahan tangis, di balik serumpun semak belukar tiga sosok saling berdesakan bersembunyi mengintai. Mereka adalah Naga Kuning, Betina Bercula dan si kakek tukang kencing Si Setan Ngompol.
"Aneh, apa yang terjadi sebelumnya di tempat ini! Orang berjubah hitam yang berlutut di tanah seseng­gukan itu, bukankah dia Si Muka Tanah Liat yang dikenal dengan julukan Si Penolong Budiman? Setan apa yang masuk ke dalam tubuhnya hingga dia berlaku aneh seperti itu?!"
Mendengar ucapan Naga Kuning, Betina Bercula kepalkan dua tinjunya. "Memang dia! Terakhir sekali kita melihatnya waktu dia menolong Luhcinta. Waktu itu lapisan tanah liat hitam tidak lagi menutupi wajah­nya! Aku mengenali wajahnya! Ingat bagaimana dia menggebuki kita beberapa waktu lalu?!" Biar aku ganti menghajarnya saat ini juga!"
"Tunggu!" bisik Setan Ngompol sambil menahan pundak dua temannya. "Kita intip saja dulu. Agaknya telah terjadi satu peristiwa besar di tempat ini. Jika kita keluar mungkin semua keanehan ini tidak akan tersingkap…."
Saat itu si nenek muka kuning terdengar berkata.
"Wiro, kata orang gadis itu mencintaimu. Apa kau tidak mencintai dirinya? Kau harus mengejar dan menolongnya…. Aku tidak akan mengadu pada istrimu yang bernama Luhrembulan itu! Hik… hik… hik!" Hantu Selaksa Angin tertawa menggoda.
"Sstt… Nenek itu bicara tentang seorang gadis. Kau bisa menduga siapa gadis itu adanya?" Naga Kuning memandang pada Setan Ngompol. Kakek ini menggeleng. "Jangan-jangan sebelumnya Luhcinta berada di tempat ini!"
"Si nenek muka kuning tadi menyebut nama Luh­rembulan. Rupanya dia juga sudah tahu kalau Wiro sudah kawin dengan gadis itu!" kata Betina Bercula perlahan.
"Hai! Gadis itu sudah lari jauh! Kau tidak mau mengejar dan menolongnya?" Hantu Selaksa Angin kembali bertanya pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi garuk-garuk kepala berulang kali. "Dalam bingungnya gadis itu bisa saja melihat diriku seperti hantu. Tadi kita berdua telah menolongnya. Saat ini kita tidak bisa berbuat banyak. Dua nenek tadi sudah mengejar. Lagi pula aku punya kewajiban padamu untuk mencari Lasedayu. Nenek suamimu itu belum kita temukan!"
Nenek muka kuning tersenyum. "Tidak kusangka hatimu sebaik itu. Sampai-sampai mengorbankan gadis cantik yang mencintaimu demi menolong nenek keriput sepertiku!"
"Aku berbuat baik kepada siapa saja yang aku suka Nek," kata Pendekar 212 pula.
"Hemm…. Begitu? Aku suka pada orang yang mau bicara jujur sepertimu. Lalu bagaimana dengan lelaki malang itu?" tanya si nenek sambil memandang pada Latampi.
Wiro menarik nafas dalam lalu melangkah men­dekati Si Penolong Budiman. Dipandangnya pundak Latampi seraya berkata. "Sahabatku, maafkan kesalah pahaman kami berdua. Hidup ini memang penuh de­ngan hal tak terduga. Tidak semuanya sesuai dengan kehendak kita. Aku percaya, Gusti Allah Yang Maha Kuasa akan menolongmu!"
Latampi tidak dapat lagi menahan tangisnya. Tu­buhnya berguncang keras. Lelaki ini akhirnya meratap memilukan sambil bersujud di tanah. Wiro dan si nenek memperhatikan dengan perasaan sedih.
Murid Sinto Gendeng memandang dengan sangat haru. Dia lalu meraba ke balik pakaiannya dan merasa lega. "Untung obat ini masih ada padaku…." Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan satu kantong kecil. Kan-tong itu diletakkannya di tanah, di depan kepala Si Penolong Budiman.
"Sahabatku, kau tertuka parah. Dalam kantong kecil ini ada dua butir obat. Mudah-mudahan mujarab menyembuhkan lukamu. Aku tahu, luka di tubuh akan sanggup kau hadapi. Namun luka hati agaknya me­mang sulit ditahan. Kuatkan jiwamu, tabahkan hatimu sahabatku!"
Tangis Si Penolong Budiman meledak. Ratapannya menyayat hati. Karena tidak tahan melihat semua itu Wiro segera memberi isyarat pada Hantu Selaksa Angin. Keduanya lalu tinggalkan tempat itu. belum jauh berjalan si nenek berkata.
"Kau memang pantas berbuat baik pada Si Penolong Budiman itu. Siapa tahu satu hari dia kelak akan menjadi ayah mertuamu! Hik… hik… hik!"
"Butt prett!"
"Mulutmu enak saja bicara Nek!" gerutu Wiro mendengar ucapan si nenek muka kuning.
Hantu Selaksa Angin tersenyum geli. "Tadi aku dengar kau lagi-lagi menyebut nama Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Kapan kau mau menerangkan siapa adanya Gusti Allah itu. Lalu dimana aku bisa me­nemuiNya?"
Kini Wiro yang tertawa. "Nanti Nek, kalau kau sudah bertemu dengan suamimu Lasedayu, pada saat itulah kau akan merasakan kekuasaan dan kasihnya Gusti Allah…."
"Jadi aku harus bertemu dulu dengan kakek sial itu, baru bisa tahu Gusti Allah?"
Wiro tersenyum. Sulit baginya menerangkan pada Hantu Selaksa Angin. Sebaliknya karena tidak men­dapat jawab si nenek muka kuning lalu pancarkan kentutnya.
"Buttt prett!"
Habis kentut tiba-tiba si nenek berbalik.
Wiro memandang dengan heran lalu bertanya. "Ada apa Nek?"
"Bicara soal Gusti Aliahmu itu, aku jadi ingat pada perintah guruku Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud. Bukankah aku harus mewariskan semua ilmu kepan­daianku padamu? Sampai saat ini tidak satu ilmu kesaktianpun yang aku berikan. Aku takut melanggar perintah…."
"Kau tak usah keliwat memikir hal itu Nek," jawab Wiro yang sejak sebelumnya memang tidak mau mene­rima ilmu kepandaian apapun dari si nenek. "Kau sudah punya niat menjalankan perintah tapi aku ber­terima kasih dan menolak pemberian ilmu itu. Berarti kau tidak melanggar perintah, apalagi merasa ber­dosa…."
"Aku memang tidak merasa berdosa. Tapi merasa berhutang! Ini membuat aku merasa tidak tenteram. Bagiku hutang jauh lebih berat dari pada dosa! Aku tahu kau orangnya suka jahil. Jadi yang cocok untuk­mu adalah ilmu Menahan Darah Memindah Jazad."
"Nek, jangan kau bergurau. Aku sudah bilang aku ngeri dengan ilmu kepandaianmu yang satu itu."
Si nenek mendongak ke langit. "Mendung di mana­mana…." katanya. "Sebentar lagi pasti hujan akan turun! Dengar Wiro, aku akan berikan ilmu itu padamu sebelum hujan mencurah!"
"Tidak Nek, terima kasih…."
Tapi saat itu Hantu Selaksa Angin tiba-tiba sekali telah merangkul tubuh Pendekar 212. Wiro berusaha meronta lepaskan diri. Tapi anehnya semakin dia bersikeras mengeluarkan tenaga semakin dia tak bisa bergerak malah nafasnya mulai megap-megap.
"Apa yang hendak kau lakukan Nek…? Kau mau membunuh aku?!" tanya Wiro.
"Perlu apa aku membunuhmu?!"
"Kau… mungkin… mungkin kau tiba-tiba kema­sukan setan mesum. Kau hendak berbuat tidak se­nonoh padaku…?!"
"Anak gila! Kau kira aku ini nenek bejat seperti Hantu Santet Laknat hah?!"
Wiro jadi tersentak mendengar si nenek menyebut nama itu.
"Dengar Wiro. Aku akan memberikan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad sekarang juga padamu!"
"Nek! Jangan paksa diriku!"
"Kuremukkan tulang belulangmu jika kau berani membantah!" mengancam Hantu Selaksa Angin. Lalu butt prett! Nenek ini pancarkan kentutnya. Bersamaan dengan itu dia memperkencang pelukannya hingga Wiro merasa sekujur tubuhnya seperti mau remuk. "Ilmu Menahan Darah Memindah Jazad tidak susah menguasainya Kerahkan tenaga dalammu, pusatkan ke perut, tahan nafas sambil menggosokkan ibu jari tangan kiri atau tangan kananmu pada empat jari lainnya. Kalau sudah kau lakukan, bagian tubuh manu­sia yang mana saja bisa kau pindahkan kemana kau suka! Kau dengar Wiro?"
Di balik semak belukar Naga Kuning dan kawan­kawannya yang diam-diam terus menguntit Wiro dan si nenek, menggamit Si Setan Ngompol. "Kau dengar apa yang dikatakan nenek tukang kentut itu? Ternyata tidak sulit menguasai ilmu Menahan Darah Memindah Jazad itu! Aku juga pasti bisa melakukannya…."
"Kalau orang tidak memberikan ilmu langsung padamu, jangan jahil mencoba-coba. Nanti bisa kapiran salah kaprah!" kata Setan Ngompol pula.
"Ah, kau cuma iri. Kaupun sebenarnya inginkan ilmu itu!" menggoda Naga Kuning.
"Jangan kau bicara tak karuan!" bentak Setan Ngompol delikkan mata.
"Dengar Kek," Naga Kuning masih belum berhenti mengganggu orang. "Kalau aku dapatkan ilmu itu, nanti barangmu akan aku tukar dengan barang kuda. Agar kau sembuh tidak ngompol-ngompol lagi! Hik… hik… hik!"
"Setan alas kau!" rutuk Setan Ngompol.
Betina Bercula ikut-ikutan mengganggu si kakek. "Naga Kuning, kalau barangnya sudah kau tukar de­ngan-punya kuda, jangan lupa memberi tahu aku. Ingin sekali aku melihatnya! Hik… hik… hik…!"
Sementara itu murid Sinto Gendeng tidak men­jawab pertanyaan si nenek muka kuning. Saat itu dia sudah kelagapan tak bisa melepaskan diri dari pelukan kencang si nenek. Hantu Selaksa Angin kembali ke­rahkan tenaganya.
"Kreekkk!"
Tulang punggung Wiro bergemeletak. Sang pen­dekar mengeluh kesakitan.
"Sudah Nek, aku…. Terserah padamu saja! Tapi lepaskan pelukanmu! Aku tak tahan…."
"Heh, kau tak tahan? Tak tahan apa? Kau mulai terangsang rupanya dalam pelukanku? Dasar pemuda cabul!" Si nenek membentak.
"Bukan terangsang Nek. Tapi tak tahan bau ketiakmu! Hidungku mau tanggal rasanya!" jawab Wiro.
"Hii… hik… hik!" Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan mendengar kata-kata Wiro itu. "Sekarang aku akan tunjukkan bagaimana cara mengembalikan bagian tubuh atau benda apa saja kau pindahkan…."
Naga Kuning memasang telinganya tajam-tajam, berusaha mencuri dengar petunjuk apa yang hendak dikatakan si nenek pada Wiro. Tapi saat itu tiba-tiba di langit mendung berkiblat petir. Cahaya putih ber­sabung laksana merobek langit. Bersamaan dengan itu suara guntur menghunjam menggetarkan bumi memekakan telinga. Naga Kuning tidak dapat men­dengar apa yang dikatakan nenek muka kuning pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Geledek jahanam! Budek telingaku! Aku tak bisa mendengar apa yang diucapkan nenek itu!" Naga Kuning memaki marah sambil bantingkan kaki.
Setan Ngompol menyeringai. Sejak tadi kakek ini sudah jengkel pada si bocah. Sekarang dia siap mela­kukan pembalasan. Dia susupkan telapak tangan kiri­nya ke dalam celananya yang basah oleh air kencing. Lalu tangan yang berselomotan air kencing pesing itu dipeperkannya ke muka Naga Kuning seraya berkata. "Makanya, jangan suka jahil mencuri rejeki mendengar ucapan orang! Mendingan kau terima dulu hadiah dariku!"
"Kakek sialan!" rutuk Naga Kuning sambil me­ludah-ludah dan seka mukanya berulang kali.
7
SATU cahaya merah melesat dari langit, membuat Peri Angsa Putih yang tengah duduk di bawah keteduhan pohon besar di tepi kelokan sungai terkejut Cepat-cepat dia menyembunyikan benda yang sejak tadi dipegangnya ke balik pakaian putihnya. Satu sosok terbungkus gulungan kain sutera merah tahu-tahu sudah berada di hadapan Peri Angsa Putih. Bau harum mewangi memenuhi udara di tempat itu.
"Wahai, kau terkejut melihat kehadiranku yang tiba-tiba ini Peri Angsa Putih?" Satu suara parau menegur.
"Peri Sesepuh!" seru Peri Angsa Putih ketika menyadari siapa yang tegak di hadapannya. Lalu dia menjura memberi hormat.
"Keterkejutanku rasanya sangat beralasan wahai Peri Sesepuh. Aku berada di tempat terpencil begini rupa. Bagaimana kau bisa mengetahui kehadiranku di sini. Kemudian, bukankah sejak beberapa purnama ini kau diketahui mengucilkan diri menjauhi alam manusia dan alam Peri? Mengapa kini kau mendadak muncul? Apakah pengucilan dirimu telah berakhir?"
Yang tegak di hadapan Peri Angsa Putih adalah seorang perempuan luar biasa gemuk, berkulit putih. Mukanya yang bulat gembrot sungguh tidak sedap untuk dipandang. Selain hidung yang pesek lebar serta bibir tebal, pada pipi kirinya ada tahi lalat hitam sebesar telur burung dara. Makhluk ini mengenakan kain ber­warna merah tipis yang digelungkan ke sekujur tubuh­nya secara sembrono hingga beberapa bagian lekuk tubuhnya yang terlarang kadang-kadang tersingkap jelas. Ketika dia tersenyum kelihatan gigi-giginya yang besar. Ketika dia mengangkat tangan kirinya agak tinggi untuk mematik gulungan rambutnya, bulu ke­tiaknya kelihatan berserabutan seperti ijuk!
Dalam kisah di Negeri Latanahsilam si gemuk berpakaian sutera merah tipis ini dikenal sebagai Peri Sesepuh yang merupakan Peri pimpinan dari segala Peri yang ada di Negeri Atas Langit Dalam Episode berjudul "Rahasia Mawar Beracun" dikisahkan bagai­mana Peri Sesepuh terbongkar rahasianya sebagai Peri yang hendak mencelakai Pendekar 212 Wiro Sableng dengan sekuntum mawar kuning beracun. Akibat perbuatannya itu Peri Angsa Putih dan Peri Bunda, juga Luhjelita hampir terkena tuduhan sebagai pelaku. Malu karena perbuatan jahatnya diketahui, Peri Sesepuh akhirnya meninggalkan Negeri Atas Angin dan memencilkan diri di satu tempat yang tidak satu orang atau Peripun mengetahui.
"Kerabatku Peri Angsa Putih, tidak heran kalau kau sampai terkejut. Diriku ini memang sengaja mun­cul dari alam pengasingan karena beberapa hal. Aku harap kau mau membagi waktu, bersabar hati men­dengar apa yang hendak aku katakan…."
"Aku akan mendengar apa yang akan kau ucap­kan, wahai Peri Sesepuh," kata Peri Angsa Putih pula. Namun dalam hati Peri Angsa Putih merasa curiga. "Jangan-jangan dia mengetahui kalau Batu Pembalik Waktu berada di tanganku," pikir Peri Angsa Putih.
"Pertama sekali aku merasa risau mendengar apa yang terjadi dengan Peri Bunda. Sewaktu aku mening­galkan Negeri Atas Langit kepadanyalah aku perca­yakan untuk mewakili diriku selama aku bersunyi diri di tempat pengucilan. Ternyata kini satu musibah besar menimpa dirinya. Dia diketahui hamil berbadan dua. Diketahui pula bahwa pemuda asing bernama Wiro Sableng itulah yang telah melakukan perbuatan keji itu!" Peri Sesepuh terdiam sebentar lalu melan­jutkan ucapannya dengan pertanyaan. "Wahai Peri Angsa Putih, gerangan tindakan apakah yang telah atau akan dilakukan oleh kita kaum Peri?"
Peri Angsa Putih tak segera menjawab.
"Wahai, apakah ada keraguan dalam lubuk hatimu untuk melakukan sesuatu pada pemuda itu?" tanya Peri Sesepuh.
Peri Angsa Putih masih diam.
"Hemm…. Atau mungkin rasa cintamu terhadapnya semakin mendalam hingga kau…."
"Peri Sesepuh, aku sudah lama melupakan pemuda itu," kata Peri Angsa Putih pula.
"Begitu?" Peri Sesepuh menatap tajam ke dalam sepasang mata biru Peri Angsa Putih. Hatinya tak percaya akan apa yang barusan dikatakan kerabatnya itu. "Terus terang aku juga telah melupakan semua kejadian di masa lalu. Tetapi hati sanubari kita tidak terlalu jauh berbeda dengan hati nurani manusia biasa, Hal-hal yang lama tetap akan menjadi kenangan se­dang semua hal yang kita hadapi saat ini merupakan satu kenyataan. Lalu segala hal di masa mendatang merupakan satu tantangan. Kerabatku Peri Angsa Putih, saat ini aku tidak berkewenangan untuk turun tangan mengambil tindakan. Peri Bunda yang menjadi wakilku justru yang ditimpa musibah memalukan itu. Berarti hanya kau seorang kini yang bisa dipercaya untuk berbuat sesuatu…. Kau harus mencari pemuda asing itu. Kau harus meminta pertanggung jawabnya!
Kalau Peri Bunda sampai melahirkan sungguh sangat memalukan. Dan seribu kali lebih memalukan kalau tidak diketahui atau tidak dapat dipastikan siapa ayah anak yang dilahirkannya itu! Walau kemudian orang itu harus menemui kematiannya! Peri Angsa Putih, tanggung jawab besar terletak di pundakmu!"
"Aku memang sudah berniat mencari pemuda itu. Membawanya ke Puri kebahagiaan, mempertemukan­nya dengan Peri Bunda sebelum Peri Bunda me­lahirkan."
"Aku gembira mendengar kau sudah memasang niat begitu rupa," kata Peri Sesepuh sambil angguk­anggukkan kepala.
Sebenarnya Peri Angsa Putih ingin agar peri gemuk itu cepat-cepat meninggalkannya. Namun Peri Sesepuh malah kembali membuka ucapan.
"Aku pernah mengimpikan dirimu, Peri Angsa Putih. Dalam mimpi kulihat kau duduk di atas sebuah tebing tinggi di sebuah teluk. Bulan purnama empat belas hari bersinar indah di langit. Tiba-tiba bulan itu meluncur turun ke pangkuanmu. Agaknya satu berkah atau satu anugerah berupa sebuah benda sangat berharga akan jatuh ke haribaanmu. Atau mungkin benda itu sudah berada di tanganmu?"
"Benda apa maksudmu Peri Sesepuh? Bisakah kau menerangkan?" balik bertanya Peri Angsa Putih. Suaranya datar dan agak tercekat. Hal ini karena kekhawatiran yang muncul mendadak. Khawatir Peri Sesepuh benar-benar telah mengetahui kalau Batu Pembalik Waktu itu ada di tangannya.
"Wahai, benda itu bisa saja berupa sebuah logam, berbentuk sebilah senjata. Mungkin juga berupa benda yang kelihatannya tidak berharga sama sekali. Seperti sebuah batu. Padahal benda itu menyimpan satu ke­saktian maha dasyat…."
Peri Angsa Putih tersenyum. "Kalau aku memiliki benda atau senjata sakti pasti akan kuberi tahu semua sahabat para Peri dan akan kusimpan di dalam almari penyimpanan benda-benda pustaka di Negeri Atas Langit…"
"Kalau begitu mimpiku hanya merupakan bunga tidur yang tak ada artinya…" kata Peri Sesepuh pula sambil tersenyum. Di mata Peri Angsa Putih senyum peri gemuk itu seperti satu isyarat rasa tidak percaya.
"Peri Sesepuh, aku ingin pergi ke Puri Kebahagiaan tempat Peri Bunda mengasingkan diri selama kehamilannya. Maafkan kalau aku tidak bisa bicara berlama-lama…."
Peri Sesepuh mengangguk. "Kau boleh segera pergi wahai kerabatku. Namun ada satu hal lagi yang ingin kukatakan. Pada hari lima belas bulan dua belas mendatang, pergilah ke Istana Kebahagiaan. Atas undangan Hantu Muka Dua disitu akan berkumpul semua tokoh utama Negeri Latanahsilam. Tapi berhati-hatilah. Satu hal besar menurut firasatku akan terjadi di tempat itu."
"Aku memang sudah mendengar berita undangan itu. Dan aku juga sudah memutuskan untuk pergi…"
Peri Sesepuh tersenyum. "Selamat tinggal Peri Angsa Putih. Aku akan kembali ke tempat pengasing­anku. Jangan lupa kewajibanmu mencari pemuda yang telah mencemari kehidupan kita bangsa Peri. Sudah sejak lama kaum kita dipermalukan dan dipaksa ber­tekuk lutut di depan kaki laki-laki bangsa manusia. Kalau tidak diambil tindakan tegas, kejadian seperti itu akan terulang berkali-kali…."
"Aku tahu apa yang harus dilakukan," kata Peri Angsa Putih pula lalu menjura lebih dahulu sebelum Peri Sesepuh meninggalkan tempat itu. Sikap Peri Angsa Putih ini dirasakan oleh Peri Sesepuh sebagai satu cara halus sengaja menyuruhnya pergi lebih cepat
Peri Angsa Putih menghela nafas lega. "Peri Se­sepuh…" katanya dalam hati. "Apakah semua ucap­anmu itu bisa kau jamin kebenarannya. Aku tahu, sampai saat ini kau masih menaruh hati terhadap pemuda asing bernama Wiro Sableng itu. Aku sendiri selama ini selalu hidup menipu diri. Kebencian yang kuperlihatkan di depan semua orang seolah membakar diriku sendiri. Wiro…. Kalau kau tahu bagaimana sebe­narnya hati ini. Aku bahkan tidak perduli kau sekarang ini milik siapa. Aku tidak akan perduli sekalipun kau kawin sepuluh kali dalam sehari. Hatiku telah terlanjur luluh, seolah melebur masuk ke dalam aliran darahmu. Dewa manapun tak ada yang sanggup untuk menarik melepas mengeluarkannya."
Lama Peri Angsa Putih duduk termenung dalam kesendiriannya di bawah pohon di kelokan sungai itu. Begitu dia ingat akan batu sakti yang ada di balik pakaian putihnya, benda itu segera dikeluarkannya. Sambil memandangi batu berwarna tujuh itu, dalam hatinya Peri Angsa Putih berkata.
"Wiro, aku terlalu cinta padamu. Tubuh dan cinta­ku saat ini seolah terbelah dua. Belahan pertama ingin memberikan batu ini padamu. Agar kau bisa kembali ke negeri seribu dua ratus tahun mendatang, Tanah Jawa tanah kelahiranmu. Tetapi belahan kedua tidak menginginkan aku kehilangan dirimu. Wiro, maafkan diriku kalau Batu Pembalik Waktu ini tidak akan ku­berikan padamu. Apapun yang akan terjadi. Aku terlalu takut kehilanganmu…" Peri Angsa Putih cium batu sakti itu sambil pejamkan matanya penuh khidmat.
Namun dia tersentak kaget ketika mendadak di tempat itu membahana satu suara tawa bergelak.
8
SATU bayangan merah berkelebat. Udara di tikungan sungai itu mendadak menjadi panas.
Memandang ke depan terkejutlah Peri Angsa Putih. Yang tegak di depannya adalah seorang kakek dengan sekujur tubuh mulai dari kepala sampai kaki dikobari api.
"Lamanyala!" desis Peri Angsa Putih.
Angsa Putih besar yang mendekam tak jauh dari tempat itu mengeluarkan suara halus. Suara binatang tunggangannya ini merupakan satu pertanda kurang baik bagi sang Peri. Dia segera mengawasi ke depan.
Kobaran api dalam mata makhluk bernama Lama-nyala menjilat ke luar. Ketika dia membuka mulutnya, kobaran api juga melesat keluar dari mulut itu.
"Peri Angsa Putih, Peri tercantik dari Peri yang ada di Negeri Latanahsilam. Sungguh heran aku me­nemukan kau bersunyi diri di tempat seperti ini. Ge­rangan apakah yang tengah menyelimuti hatimu hing­ga bersepi-sepi seorang diri?"
Peri Angsa Putih tatap sosok makhluk yang di­kobari api itu. Dalam hati dia berkata. "Puluhan tahun diketahui makhluk ini bukan makhluk yang ramah. Puluhan tahun dikenal dirinya berhati culas. Tugasnya menyelamatkan Jimat Hati Dewa gagal. Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir berhasil merampas dan me­nelan jimat sakti itu. Tidak heran kalau para Dewa menarik kembali jabatannya sebagai wakil para Dewa di Negeri Latanahsilam. Kini dia muncul bersikap ramah setelah sekian lama tidak diketahui dimana beradanya. Keadaan dirinya sungguh mengerikan. Setahuku dia mempunyai hubungan sangat dekat dengan Hantu Muka Dua. Dia yang konon memberi ilmu kesaktian pada Hantu Muka Dua, menyuruh mem­bangun Istana Kebahagiaan dan memberikan gelar Hantu Segala Keji, Segala Tipu dan Segala Napsu pada Hantu Muka Dua. Kini tahu-tahu dia muncul di sini. Aku harus berlaku hati-hati."
"Wahai!" berucap Lamanyala. "Benar rupanya ada sesuatu menutupi hati dan mengganjal jalan pikiran­mu. Hingga aku menyapa dan bertanya tidak juga kau sahuti. Peri Angsa Putih, jika ada kesulitan harap kau suka memberi tahu padaku. Siapa menduga kalau aku bisa menolongmu…."
Peri Angsa Putih akhirnya tersenyum. "Kau sa­ngat baik, Lamanyala. Lama kita tidak bertemu. Apa kabar beritamu. Apa pula yang membuatmu tahu-tahu sampai di tempat ini?"
"Langkah orang memang tidak bisa diduga. Aku mencarimu untuk menanyakan apakah kau sudah mendengar kabar yang tersiar mengenai undangan besar di Istana Kebahagiaan pada hari lima belas bulan dua belas mendatang?"
"Aku memang sudah mendengar," jawab Peri Angsa Putih.
"Apakah kau berkehendak menghadirinya?"
"Wahai, mengapa kau bertanyakan hal itu Lama-nyala?"
"Tidak ada maksud buruk tersembunyi. Meng­ingat kini kau satu-satunya Peri yang dianggap sebagai pimpinan tertinggi di Negeri Atas Langit, maka hal itu mendorong diriku ingin mengetahui…."
"Aku memang sudah memutuskan untuk hadir. Kecuali jika terjadi sesuatu yang tidak memungkinkan kedatanganku ke sana. Bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah kau akan pergi ke sana?"
Lamanyala mengangguk. Kobaran api di atas batok kepalanya naik ke atas. Peri Angsa Putih bangkit dari duduknya. Dia menatap ke dalam sungai lalu melangkah mendekati angsa putih tunggangannya. Sambil mengusap punggung binatang itu Peri Angsa Putih berkata.
"Lamanyala, aku senang bertemu denganmu. Na­mun karena ada kepentingan lain, aku minta izin meninggalkan tempat ini lebih dulu…."
"Wahai, kau rupanya sedang terburu-buru. Agak­nya banyak hal yang harus kau lakukan sejak tanggung jawab Negeri Atas Langit berada di pundakmu. Peri Angsa Putih, aku melihat bulu angsa tungganganmu ada yang rusak. Agaknya pernah terjadi sesuatu de­ngan binatang itu beberapa waktu lalu?"
Peri Angsa Putih terkejut mendengar pertanyaan Lmanyala. Seperti diceritakan sebelumnya akibat pukulan dua nenek sakti Hantu Penjunjung Roh dan Hantu Lembah Laekatakhijau, memang ada bagian sayap angsa putih itu yang cidera. "Mata makhluk ini tajam sekali. Agaknya dia tengah menyelidiki diriku…" membatin Peri Angsa Putih. Lalu dia menjawab. "Angsa putih tungganganku tidak kurang suatu apa. Hanya memang beberapa waktu lalu bulunya sempat rusak akibat angin keras selagi terbang di udara…." Tentu saja Peri Angsa Putih tidak mau menerangkan bentrokannya dengan dua nenek sakti itu. "Selamat tinggal Lamanyala! Mudah-mudahan kita bisa bertemu di Istana Kebahagiaan pada hari lima belas bulan dua belas!"
"Peri Angsa Putih, tunggu dulu!" seru Lamanyala. Dua kali melangkah makhluk ini sudah berada di depan sang Peri. "Aku belum menjelaskan maksud pertemu­an kita ini…."
"Hemm…. Kalau begitu kau hadir karena sengaja mencari diriku…."
"Tidak salah. Tapi jangan kau menaruh curiga. Aku datang membawa maksud baik…."
"Katakanlah maksud baik yang bagaimana?"
Dari balik pakaiannya yang dikobari api Lamanyala keluarkan seuntai kalung terbuat dari butir-butir batu yang dikobari nyala api berwarna biru aneh.
Peri Angsa Putih terkejut melihat benda itu. "Kalung Api Buana Biru…" katanya menyebut nama benda itu. Setahu Peri Angsa Putih kalung itu adalah benda keramat milik para Dewa yang semasa jabatan Lamanyala sebagai Wakil Para Dewa memang pernah diberikan pada Lamanyala. Kini setelah dia tidak men­jabat sebagai Wakil Para Dewa, apakah kalung itu masih boleh berada di tangannya?
Kobaran api dalam mata Lamanyala menjilat ke­luar. "Peri Angsa Putih, melihat air mukamu, men­dengar desah ucapanmu, aku bisa membaca apa yang ada dalam hatimu dan apa yang terlintas dalam pikir­anmu. Kau tentu bertanya-tanya mengapa pusaka Para Dewa ini masih berada di tanganku. Bukankah harus kukembalikan karena aku tidak lagi menjadi Wakil Para Dewa?"
Peri Angsa Putih tidak menjawab. Dan Lamanyala menjawab sendiri ucapannya tadi. "Kalung Api Buana Biru ini masih berada di tanganku. Belum sempat aku kembalikan pada Para Dewa. Ketika aku punya niat untuk mengembalikannya, seorang utusan Dewa me­nemuiku. Dia memberi tahu agar benda sakti keramat ini diberikan padamu…."
"Aku terkejut mendengar ucapanmu itu! Aku tidak menyangka!" kata Peri Angsa Putih pula karena dia tahu kalung di tangan Lamanyala bukan benda sem­barangan.
"Aku sudah menduga kau pasti akan terkejut!" kata Lamanyala. Namun agaknya begitu garis tangan nasib peruntunganmu. Rejekimu besar sekali dan aku mana berani menahan kalung ini lebih lama. Makanya saat ini aku akan menyerahkannya padamu…."
Peri Angsa Putih menatap kalung di tangan Lama-nyala. Hatinya kembali membatin. "Setahuku telah berulang kali Para Dewa meminta makhluk ini me­ngembalikan kalung itu. Dicari-cari makhluk ini entah menyembunyikan diri dimana. Adalah aneh kalau hari ini katanya Para Dewa meminta agar kalung itu diserah­kan padaku…."
Lamanyala maju satu langkah dan mengulurkan Kalung Api Buana Biru itu pada sang Peri. Peri Angsa Putih tidak berani menyambutinya, malah ajukan per­tanyaan.
"Lamanyala, kalau aku boleh bertanya siapa ada­nya orang yang dipercaya menjadi Utusan Para Dewa yang membawa berita bahwa kalung ini harus diberi­kan padaku?"
"Wahai! Aku ingin sekali mengatakan siapa orang­nya padamu. Tapi Para Dewa berpesan agar hal itu tidak kukatakan pada siapapun, termasuk padamu…."
Perlahan-lahan Peri Angsa Putih gelengkan ke­palanya dan berkata. "Aku tidak berani menerima kalung keramat itu. Harap kau tidak memaksa…" Sang Peri lalu hendak bertindak naik ke punggung angsa putihnya.
"Peri Angsa Putih, tunggu. Jangan pergi dulu. Aku belum mengatakan keseluruhan pesan Utusan Dewa itu…" kata Lamanyala.
Peri Angsa Putih berbalik. Dia tegak tak bergerak. Menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh makhluk kobaran api.
"Agaknya Para Dewa sudah memaklumi kalau kau akan merasa tidak enak atau keberatan menerima benda begini berharga. Itu sebabnya pada sang Utus­an, Para Dewa berkata bahwa kalung ini diberikan padamu dengan syarat kau balas menyerahkan se­suatu pada para Dewa…."
Sepasang alis Peri Angsa Putih naik ke atas. "Aku harus menyerahkan sesuatu? Sesuatu apa?"
"Mohon maafkan. Utusan Para Dewa tidak me­ngatakan benda apa yang harus kau serahkan. Yang jelas sesuatu apa saja yang kau miliki…."
"Aku tidak memiliki benda berharga yang bisa dijadikan penukar kalung keramat itu. Kalaupun aku punya apa-apa tetap saja aku tidak, berani menerima kalung itu. Harap kau bisa memaklumi Lamanyala. Harap kau suka menyampaikan pada Utusan Para Dewa itu…."
"Peri Angsa Putih, aku tidak memaksa. Tapi harap kau mau berpikir sebentar. Mungkin kau terlupa. Kau pasti memiliki sesuatu yang sangat berharga…."
"Lamanyala, aku tidak ingin meneruskan pem­bicaraan ini," kata Peri Angsa Putih pula. Hatinya mulai tidak enak.
"Wahai kerabatku. Aku hanya menjalankan perin­tah. Bagaimana jadinya jika aku tidak berhasil melaku­kan tugas ini. Harap kau mau berpikir. Di dirimu pasti ada sesuatu yang sangat berharga…."
"Kau tidak meminta aku memberikan diriku atau kehormatanku, bukan?!"
Lidah api membersit dari mata dan mulut Lama-nyala. "Maafkan diriku Peri Angsa Putih. Maka aku berani berbuat dan meminta seperti itu. Terus terang, Para Dewa pasti melihat sesuatu dalam dirimu yang aku tidak dapat melihatnya. Cobalah kau memikirkan sekali lagi…."
Peri Angsa Putih terdiam dalam kejengkelan hati nya. "Jangan-jangan makhluk ini meminta Batu Pem­balik Waktu yang ada padaku sebagai penukar Kalung Api Buana Biru…" pikir Sang Peri. "Lebih baik aku tidak memperdulikan dirinya!" Peri ini lalu melompat ke atas angsa putihnya. Melihat hal ini Lamanyala cepat gerakkan tangan kirinya. Mulutnya menghem­bus ke depan.
"Bleeppp…. Wussss!"
Lingkaran api setinggi kepala mengurung Peri Angsa Putih dan angsa tunggangannya. Kejut sang Peri bukan alang kepalang.
"Lamanyala! Mengapa kau melakukan ini? Apa maumu sebenarnya?!" berseru Peri Angsa Putih.
"Wahai! Aku hanya menjalankan tugas. Kemur­kaan Para Dewa yang yang aku takutkan jika aku tidak berhasil melakukan tugas. Menyerahkan kalung ini dan meminta sesuatu darimu!"
"Kau carilah Utusan Dewa itu. Biar nanti aku yang bicara dengan dia. Saat ini aku tidak punya waktu lagi!" Peri Angsa Putih mengusap kuduk angsa tung­gangannya seraya berkata. "Naik. Melesat ke atas!"
Angsa Putih itu keluarkan suara menguik. Siap melayang naik karena memang bagian ataslah yang aman sementara kobaran api mengurung sekelilingnya.
"Wusss…. Bleepp!"
Lamanyala kembali meniup dan gerakkan tangan kirinya. Kini kobaran api menggebubu di sebelah atas kepala Peri Angsa Putih.
Marahlah Peri cantik ini. Sepasang matanya yang biru siap membersitkan dua larik cahaya biru untuk menghantam sosok Lamanyala. Tapi dia masih bisa bersabar diri. Sambil meraba ke pinggangnya dia berkata. "Padaku ada selendang biru. Kau boleh ambil benda ini. Dan kau tidak perlu menyerahkan kalung sakti itu padaku!" Peri Angsa Putih menarik gulungan selendang biru panjang yang melilit di pinggangnya.
"Ah! Hati dan pikiranmu rupanya mulai terbuka! Tapi harap maafkan diriku wahai Peri Angsa Putih. Menurut Dewa itu aku tidak boleh menerima apapun yang berbentuk kain atau pakaian darimu. Berarti kau harus menyerahkan benda lain pengganti kalung ke­ramat ini!"
"Lamanyala! Silat lidahmu hanya menghabiskan waktuku saja! Jika Utusan Dewa tidak mau menerima pemberianku berupa selendang biru ini, maka harap dia suka menerima dua bola mataku!" Habis berkata begitu Peri Angsa Putih kedipkan dia matanya dan putar kepalanya.
Begitu mata dikedipkan maka melesatlah dua larik cahaya biru. Begitu kepala diputar maka cahaya biru itu bergulung menghantam kobaran api di sekeliling dan di atas Peri Angsa Putih.
"Wuussss! Wussss!"
"Buummm! Bummm!"
Cahaya biru menyabung menyambar kobaran api. Dua letusan dahsyat menggoncang tempat itu. Air sungai memercik sampai setengah tombak. Daun­daun pohon yang kering berkobar diterjang api. Peri Angsa Putih menggebrak tunggangannya, berusaha menerobos kobaran api yang terkuak lebar di sisi sebelah kanan. Namun baru saja dia berhasil ber­kelebat keluar, selagi tunggangannya mengapung se­tinggi satu tombak di udara tiba-tiba satu benda me-nyala menghantam dari kanan. Ternyata Lamanyala telah menerjangnya dengan satu serangan dahsyat!
Mau tak mau Peri Angsa Putih terpaksa selamat­kan diri dengan melompat turun dari punggung angsa­nya. Dia tegak berkacak pinggang dengan mata mem­beliak marah pada makhluk kobaran api di depannya.
"Peri Angsa Putih. Kau sungguh bodoh. Tidak mau menerima kalung sakti ini. Berarti aku terpaksa meminta benda yang aku inginkan itu secara cuma­cuma dari dirimu!"
"Makhluk keparat! Aku sudah tahu keculasanmu! Yang aku belum tahu benda apa yang kau inginkan dariku!" Membentak Peri Angsa Putih.
Lamanyala tertawa bergelak. "Aku inginkan Batu Pembalik Waktu!"
Kaget Peri Angsa Putih bukan alang kepalang. "Bagaimana makhluk ini bisa tahu kalau Batu Pembalik Waktu ada padaku? Mungkin dia berserikat dengan Peri Sesepuh? Tapi Peri itu sendiri tidak tahu kalau batu tersebut ada padaku. Atau mungkin aku salah menduga…."
9
KAU menyebut batu apa?!" tanya Peri Angsa Putih. Lamanyala tertawa bergelak. "Kau tidak tuli.Tapi biar kuulang sekali lagi. Serahkan padaku Batu Pembalik Waktu!"
"Aku tidak mengerti! Kau meminta sesuatu yang tidak aku miliki!"
Kembali Lamanyala tertawa gelak-gelak. Kobaran api melesat dari dua mata, dua liang telinga dan mulutnya.
"Setahuku bangsa Peri tidak pernah berdusta! Entah dirimu! Ha… ha… ha…!" Lamanyala memasuk­kan kalung batu biru ke balik pakaiannya.
"Siapa berdusta!" Bentak Peri Angsa Putih.
Gelak tawa Lamanyala semakin menjadi-jadi. "Peri Angsa Putih, dengar ucapanku ini. Wajahmu cantik, tubuhmu mulus. Aku tidak ingin membuatmu menjadi seorang peri cacat… Keluarkan cepat batu sakti itu. Serahkan padaku. Aku akan tinggalkan tem-pat ini. Kau juga boleh pergi dengan aman…."
"Makhluk dajal tak tahu diuntung. Geroak di badanmu rupanya tidak cukup membuatmu ingat diri! Atau mungkin kau minta sisi tubuh kirimu aku buat berlobang besar seperti sisi sebelah kanan?!"
"Peri Angsa Putih. Kau berani mengancam. Aku jadi tidak ragu-ragu lagi menjatuhkan tangan keras terhadapmu. Cuma aku masih berbaik hati. Aku tahu Batu Pembalik Waktu itu ada padamu. Serahkan pada­ku. Apa sulitnya…."
Peri Angsa Putih mendengus. "Sekarang aku tahu. Semua yang kau ucapkan tadi hanya karanganmu belaka! Kau sebenarnya perampok yang mencoba berbasa-basi!"
"Terima kasih atas pujianmu itu! Ha… ha… ha!" Habis berkata begitu Lamanyala dorongkan dua ta­ngannya. Dua gelombang angin panas datang me­nerpa Peri Angsa Putih. Peri ini berteriak keras. Selagi dia melesat ke udara, dua gelombang api menyusul menggulung ke arahnya.
"Makhluk durjana! Kau minta barang bukan milik­mu! Biar aku memberikan ini padamu!" Peri Angsa Putih silangkan dua lengannya lalu saling digosokkan satu sama lain. Begitu kepalanya dianggukkan maka laksana air bah, melesatlah cahaya biru pekat. Me­mapas ke arah dua gelombang kobaran api!
"Pukulan Membalik Langit Menggulung Bumil" teriak Lamanyala. Makhluk kobaran api ini cepat me­lesat ke udara. Tengkuknya bergidik ketika melihat bagaimana cahaya biru dengan dahsyatnya meng­gulung dua gelombang kobaran apinya. Kobaran api ini kemudian melesat membalik menghantam ke arah dirinya sendiri!
"Wussss! Wussss!"
Untungnya Lamanyala telah lebih dulu melompat ke udara selamatkan diri. Di belakangnya rumpunan semak belukar, sebuah batu besar dan dua pohon langsung tenggelam disapu dua gelombang api, am­blas hitam menjadi arang!
Peri Angsa Putih tegak berkacak pinggang. "Kau masih bisa selamatkan diri. Jangan harap kali kedua aku menghantam kau bisa lolos dari kematian!"
"Peri sombong! Jangan kira aku takut padamu! Makan ini!" teriak Lamanyala. Lalu tangan kanannya dipukulkan ke arah sang Peri. Tak ada cahaya, tak ada sinar atau suara. Tapi Peri Angsa Putih tahu satu serangan dahsyat menghantam ke arahnya. Sambil kibaskan ujung lengan pakaian putihnya Peri ini cepat singkirkan diri ke samping kiri.
"Setttt… wuut! Blass!"
Batu setinggi pinggang di sebelah sana kelihatan bergetar sesaat lalu diam lagi. Lamanyala meniup ke arah batu itu. Batu besar langsung mengepul dan menebar menjadi debu! Itulah ilmu yang disebut Peng­hancur Karang Membentuk Debu. Ilmu kesaktian ini pernah diajarkan Lamanyala pada Hantu Muka Dua ketika Hantu Muka Dua masih bertapa di satu pulau karang. (Baca Episode berjudul "Hantu Muka Dua")
"Aku kagum melihat permainan sulapmu!" kata Peri Angsa Putih mengejek kehebatan ilmu pukulan sakti Lamanyala tadi. "Tapi sayang aku bukan anak kecil yang bisa dibuat gembira dengan ilmu murahan begitu rupa!"
Walau hatinya sakit diejek begitu rupa namun Lamanyala keluarkan suara tertawa "Jika kau tidak senang dengan ilmu sulapku, kau pasti akan senang melihat Hantu Api Menari! Peri Angsa Putih, buka matamu. Lihat baik-baik…!"
Lamanyala susun dua tangannya di atas kepala. Ketika perlahan-lahan tangan itu diturunkan, kobaran api di kepala dan sekujur tubuhnya menjadi menipis. Sosoknya yang cacat berubah menjadi sosok utuh, tapi pakaiannya lenyap entah kemana. Hingga di balik api tipis itu Lamanyala terlihat bertelanjang bulat. Dengan sepasang mata memandang galak tak ber­kesip pada Peri Angsa Putih, Lamanyala mulai meng­gerakkan dua kaki dan sepasang tangannya. Dia benar­benar menari!
Melihat keadaan tubuh lelaki yang serba bugil walau tertutup api tipis, Peri Angsa Putih menjadi merah mukanya.
"Makhluk kurang ajar! Ilmu iblis apa yang kau perlihatkan padaku!" bentak sang Peri. Justru disinilah kesalahan Peri Angsa Putih. Siapa saja yang menyak­sikan sosok Hantu Api Menari sekali-kali tidak boleh terpengaruh. Kalau sampai terpengaruh maka hawa aneh akan merasuk masuk ke dalam tubuhnya dan dalam alam diluar sadar orang itu akan ikut menari. Lebih celakanya dia akan membuka pakaiannya satu persatu agar dapat bersama bugil dengan sang hantu!
Perlahan-lahan Peri Angsa Putih mulai meng­gerakkan kaki dan sepasang tangannya menirukan gerak tari Lamanyala. Sesaat kemudian ketika Lama-nyala menari mengelilinginya Peri Angsa Putih gerak­kan dua tangannya membuka ikatan pinggang pakaian sutera putihnya. Sebagian dada dan perutnya yang putih mulus tersingkap. Pada saat itu pula sebuah benda yang sejak tadi disimpannya di balik pinggang, meluncur jatuh ke tahan. Sepasang mata Lamanyala yang telah berubah menjadi Hantu Api Menari meng­awasi. Benda yang jatuh itu ternyata adalah Batu Pembalik Waktu! Sebaliknya Peri Angsa Putih sendiri tidak menyadari apa yang terjadi. Dia terus saja menari lemah gemulai dan kini siap membuka dada pakai­annya. Hampir tubuh sebelah atas sang Peri tersingkap lebar tiba-tiba satu hawa dingin menyeruak dan seke­lompok kabut aneh berwarna kebiru-biruan memenuhi tempat itu!
Saat itu juga gerak Hantu Api Menari mendadak berubah menjadi kaku. Semakin dingin udara semakin bertahan gerakannya. Pada puncaknya sosok Lama-nyala hanya bisa tertegun. Sementara itu Peri Angsa Putih yang kembali pulih kesadarannya terpekik keras. Cepat-cepat dia menutup dadanya yang hampir ter­singkap lalu mengikat pinggang pakaiannya kembali. Tidak menunggu lebih lama Peri ini melompat ke depan, kirimkan dua pukulan keras ke kepala dan dada Lamanyala.
Lamanyala mencelat dua tombak. Terguling di tanah lalu wusss! Sosok Lamanyala kembali ke ujud­nya semula. Kobaran api besar kembali terlihat mem­bungkus tubuhnya. Dari mulutnya ada darah me­ngucur. Pipi kiri makhluk ini di bekas yang terkena jotosan Peri Angsa Putih kelihatan menggembung biru. Dua tulang iganya sebelah kiri patah remuk!
"Peri jahanam! Kau tak bakai selamat dari tanganku!" teriak Lamanyala marah. Dia menggebrak ke depan melompati lawan. Selagi Peri Angsa Putih ber­tindak mundur tiba-tiba Lamanyala berbalik dan mem­bungkuk. Apa yang dilakukannya? Tidak lain me­nyambar Batu Pembalik Waktu yang tadi jatuh dari balik pakaian Peri Angsa Putih. Namun belum sempat dia menyentuh batu sakti itu, tiba-tiba satu tangan aneh dingin mencekal pergelangan tangan kanannya yang hendak mengambil batu. Seperti diketahui se­kujur tubuh Lamanyala termasuk lengannya diselu­bungi api. Jangankan dipegang, berada dekat saja orang lain pasti sudah kepanasan. Namun nyatanya tangan yang mencekalnya itu tidak cidera. Dengan kertakkan rahang dan mata melotot Lamanyala ulurkan tangan kiri untuk mengambil Batu Pembalik Waktu. Tapi lagi-lagi sebelum dia sempat menyentuh tiba-tiba tangan kanannya dibetot keras. Sesaat kemudian tubuhnya mencelat jungkir balik di udara.
Satu tangan kurus mengambil Batu Pembalik Waktu yang tergeletak di tanah. Lalu terdengar suara orang berseru.
"Peri Angsa Putih! Cepat kau simpan benda itu baik-baik!"
Belum habis kata-kata itu terucap, Peri Angsa Putih melihat batu tujuh warna melesat ke arahnya. Dengan cepat dia segera menyambuti. Batu Pembalik Waktu kini kembali berada di tangan Peri Angsa Putih. Sebenarnya saat itu dia bisa segera meninggalkan tempat itu namun sang Peri yang merasa menerima budi orang tidak mau berlaku begitu.
Sebagai makhluk berkepandaian tinggi walau di­lempar ke udara dan terbanting ke tanah seharusnya Lamanyala masih sanggup jatuh dengan dua kaki menjejak tanah lebih dulu. Tapi anehnya saat itu dia tidak mampu berbuat begitu. Persendian tangan dan kakinya laksana kaku. Dia terkapar tertelungkup di tanah. Dadanya serasa remuk. Dengan pandangan mata keliangan, rahang menggembung dia meman­dang beringas ke depan. Dia melihat satu kepala hampir menyentuh tanah. Dia tak bisa jelas melihat wajah orang itu karena tertutup janggut, kumis dan rambut putih. Lamanyala kerahkan seluruh tenaga dalamnya hingga kobaran api di kepala dan sekujur tubuhnya mengeluarkan suara berdesir-desir.
"Makhluk aneh! Mengapa kepalanya ada di bawah! Jangan-jangan dia adalah…" Lamanyala merutuk dalam herannya. Perlahan-lahan dia berusaha bangkit berdiri. Saat itulah meledak tawa berkekehan!
Memandang ke depan Lamanyala terkesiap kaget melihat seorang kakek yang berdiri kaki ke atas kepala ke bawah. Dua tangannya dipergunakan sebagai kaki.
"Lasedayu. Hantu Langit Terjungkir! Benar dia rupanya!" Lamanyala menyebut nama itu sampai lidah apinya bergetar saking geramnya.
"Makhluk api Lamanyala! Kau beruntung. Rupanya ada orang yang menolongmu keluar dari kubangan busuk! Ha… ha… ha! Kita bertemu lagi! Hari ini hari penentuan! Kau atau aku yang bakal mampus!"
"Kakek Hantu Langit Terjungkir! Harap kau jangan mencampuri urusan kami!" Berseru Peri Angsa Putih.
"Peri cantik. Dosa makhluk api ini atas diriku setinggi langit sedalam lautan! Jadi biar aku yang memberi pelajaran padanya!" kata makhlukyang barusan muncul dan bukan lain memang Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu.
Kalau tidak merasa segan terhadap Hantu Langit Terjungkir mungkin saat itu Peri Angsa Putih tidak perdulikan ucapan si kakek dan terus saja menyerang Lamanyala. Walau demikian Peri Angsa Putih segera loloskan selendang birunya. Bagaimanapun juga dia tidak ingin Lamanyala lolos dari tangannya.
"Makhluk salah kaprah!" hardik Lamanyala. "Kau hanya bisa menghitung dosa orang! Dosamu sendiri berserabutan! Tidak heran kalau kutuk menyengsarai dirimu! Hari ini biar deritamu kuhabisi bersama nyawamu!"
Hantu Langit Terjungkir tertawa gelak-gelak. "Ujudmu lebih buruk dari setan alas. Tapi kesom­bonganmu lebih tinggi dari Gunung Latinggimeru! Sungguh kau makhluk tak tahu diri! Setelah menyik­saku dengan kutukanmu, kini kau inginkan nyawaku! Ha… ha… ha! Kau terlambat bertindak Lamanyala! Hari ini kau yang lebih dulu mendapat kesempatan me­nemui para kerabatmu di alam roh! Ha… ha… ha!"
"Makhluk salah ujud! Makhluk semacammu tidak pantas hidup di Negeri Latanahsilam ini! Kebetulan kau datang mencari mati!" kertak Lamanyala lalu dida­hului dengan melancarkan satu pukulan tangan ko­song, dia berkelebat melompati Hantu Langit Ter jungkir.
Satu gelombang api menyambar ke arah si kakek. Selagi Hantu Langit Terjungkir berusaha menghindar, Lamanyala kirim tendangan ganas ke tempat ber­bahaya di bawah perut lawan!
Dua kaki Hantu Langit Terjungkir membuat gerakan bersilang. Kabut kebiruan menebar. Lalu bukkk!
Kekuatan hawa dingin saling bentrokan dengan hawa panas lewat beradunya dua kaki.
"Cessss!"
Hantu Langit Terjungkir terbalik tunggang langgang.
Lamanyala sendiri terpental jauh. Ketika dia bangkit berdiri tubuhnya tampak miring. Kaki kanannya yang tadi beradu dengan kaki lawan kini tidak di kobari api lagi dan kelihatan bengkok hitam kebiruan. Lama-nyala tidak bisa mempercayai bagaimana musuh yang telah kehilangan seluruh ilmu kesaktiannya dan seng­sara berpuluh tahun dalam kutukannya ternyata masih memiliki ilmu kesaktian yang bisa membuat dirinya cidera begitu rupa! Sudah dua kali sebelum ini dia dipecundangi! Sekali ini dia harus bisa melumat meng­habisi musuh besarnya ini!
Lamanyala membentak keras. Dua tangannya di­gerakkan. Dua larik kobaran api bergulung di seputar tubuh Hantu Langit Terjungkir. Sekali lagi Lamanyala menggerakkan dua tangan. Seperti tadi waktu dia berhadapan dengan Peri Angsa Putih, kali ini kembali Lamanyala menutup gerak lawan dengan membuat kobaran api di atas kaki Hantu Langit Terjungkir.
"Ha… ha…! Permainan apa yang hendak kau per­lihatkan padaku Lamanyala!" berseru Hantu Langit Terjungkir.
Lamanyala kertakkan rahang. Dia membatin. "Aku harus memasukkan hawa sakti penyedot kekuatan dalam kobaran apiku. Kalau tidak pasti dia masih akan bisa menembus ilmu kesaktianku!" Diam-diam lalu Lamanyala merapal satu aji kesaktian yang selama ini jarang dipergunakannya karena belum sempurna di­kuasainya. Setelah merapal sambil menyeringai dia kembali menggerakkan dua tangannya. Kali ini gerak­an tangan itu bukan cuma menghantam lurus ke depan, tapi diputar demikian rupa sehingga dua gelombang api yang menyerbu Hantu Langit Terjungkir seperti dua buah mata bor raksasa, menderu ganas ke arah lawan. Yang dituju adalah dua tangan Hantu Langit Terjungkir yang berada di sebelah bawah diperguna­kan sebagai kaki.
Hantu Langit Terjungkir berseru kaget ketika meli­hat bagaimana tanah dekat dua tangannya berubah menjadi lobang-lobang besar, terbongkar oleh serang­an dua larik kobaran api. Kakek ini cepat mengapung naik. Namun gerakannya tertahan karena di sebelah atas telah menunggu pula dinding kobaran api dan secara perlahan-lahan kobaran api ini turun ke bawah. Sementara kobaran api yang bergulung mengelilingi­nya bergerak menciut!
"Kurang ajar! Makhluk jahanam itu hendak me­manggang tubuhku!" kertak Hantu Langit Terjungkir. Dia kerahkan tenaga dalamnya yang kini berpusat di kening. Dengan cepat dia alirkan tenaga dalam me­ngandung hawa sakti dingin ke sekujur tubuhnya. Lalu dua kakinya digerakkan seperti sepasang mata gunting. Dua larik cahaya kebiruan menggebubu menutupi tubuhnya. Dengan bertameng kabut sakti dingin ini Hantu Langit Terjungkir kemudian melesat ke udara. Tapi dia jadi kaget ketika tubuhnya mendadak terpental ke bawah, dua kakinya cidera kemerahan dijilat api!
"Celaka! Bagaimana mungkin aku tidak sanggup menembus kobaran api itu!" Si kakek menggeser tubuhnya ke kanan. Kembali dia kerahkan tenaga dalam dan kerahkan kabut biru melindungi tubuhnya lalu dia coba menerobos ke sisi kanan.
"Cesss!"
Bahu Hantu Langit Terjungkir berubah merah disambar kobaran api. Lamanyala tertawa bergelak. Merasa sudah bisa menguasai lawan, maka makhluk api ini memutuskan untuk segera menghabisi. Tangan kanannya perlahan-lahan diangkat ke atas. Di dalam kobaran api Hantu Langit Terjungkir menyumpah­nyumpah habis-habisan.
"Jahanam! Biar aku mengadu jiwa dengan bangsat itu!" Hantu Langit Terjungkir kerahkan seluruh tenaga dalamnya sampai sekujur tubuhnya mengeluarkan ca­haya kebiruan. Bahkan hawa yang membersit dari hi-dung dan mulutnyapun tampak berwarna biru. Tubuhnya bergerak naik, mengapung demikian rupa hingga tampak melayang sama rata, satu jengkal di atas tanah. Di dahului bentakan keras kakek ini kemudian pukulkan dua tangan dan hentakkan dua kakinya.
Di saat bersamaan Lamanyala sabetkan tangan kanannya ke bawah.
Dua kilatan cahaya biru bersabung dengan dua kiblatan nyala api merah. Untuk kesekian kalinya tem-pat itu digoncang dentuman keras. Hantu Langit Ter­jungkir terguling-guling beberapa kali lalu terhantar dekat pohon hangus. Tubuhnya kelihatan merah dan kulitnya mengelupas di beberapa bagian. Peri Angsa Putih tercekat kaget, cepat berlari menghampiri kakek ini. Tapi Lamanyala datang menghadang. Padahal keadaan makhluk api ini saat itu mengerikan luar biasa. Keningnya sebelah kiri kelihatan berlubang. Darah mengucur tiada henti. Ususnya merorot keluar lewat lobang di sisi kanannya. Kalau tidak terkait pada patahan salah satu tulang iganya, usus ini pasti akan jebol menjela sampai ke tanah.
"Batu Pembalik Waktu…. Lekas serahkan padaku…!" Suara Lamanyala berubah serak dan sember. Kobaran api yang biasanya menyembur keluar setiap dia bicara kini hanya bergulung-gulung di dalam mulutnya.
Untuk sesaat Peri Angsa Putih tertegun tak ber­gerak saking ngerinya melihat keadaan makhluk api bernama Lamanyala itu. Kelengahan sang Peri tidak disia-siakan oleh Lamanyala. Tadi dia sempat melihat dimana Peri Angsa Putih menyembunyikan Batu Pem­balik Waktu. Maka dengan satu gerakan kilat tangan kanannya menyambar ke pinggang.
"Brettt!"
Pakaian Peri Angsa Putih robek di bagian ping gang. Batu berwarna tujuh menyembul di atas perut­nya yang putih. Peri Angsa Putih terpekik. Baru sadar apa yang terjadi dan dilakukan orang terhadapnya. Dia cepat menghantam ke depan tapi terlambat. Batu Pembalik Waktu telah berada dalam genggaman Lama-nyala. Begitu dapatkan batu sakti tersebut tanpa me­nunggu lebih lama Lamanyala segera putar tubuh, siap berkelebat kabur. Pada saat itulah tiba-tiba ada suara perempuan menggerung keras.
"Lasedayu suamiku! Siapa yang berani mencelakai dirimu!"
Satu bayangan kuning berkelebat. Satu tendangan keras melabrak dada Lamanyala hingga tubuhnya mencelat mental sampai tiga tombak dan Batu Pem­balik Waktu yang ada dalam genggaman tangan ka­nannya terlempar ke udara lalu jatuh ke tanah. Peri Angsa Putih cepat memburu, gulingkan dirinya di tanah dan menyambar batu sakti itu dengan cepat. Dengan cepat pula benda itu disisipkannya ke balik pinggang pakaian. Ketika dia bangkit berdiri, terkejutlah sang Peri. Beberapa langkah di hadapannya tegak Pendekar 212 Wiro Sableng. Menatap ke arahnya.
"Wahai…. Apakah dia tahu… apakah tadi dia sempat melihat Batu Pembalik Waktu itu…?" pikir Peri Angsa Putih. Sang Peri tidak tahu mau berkata atau berbuat apa. Dia berpaling ke kiri. Di situ terkapar sosok Lamanyala, megap-megap seperti mau sakarat. Menoleh ke sebelah kanan dia melihat seorang nenek berjubah kuning duduk bersimpuh di tanah, terisak­isak menahan tangis sambil memangku sosok Hantu Langit Terjungkir.
Pandangan Peri Angsa Putih kembali pada Wiro. Untuk sesaat lamanya dua orang ini saling menatap tanpa ada kata yang terucap. Kemudian Wiro bergerak. Peri Angsa Putih mengira sang pendekar hendak mendatanginya. Ternyata Wiro mendekati sosok ne­nek berjubah kuning. Dalam kecewa Peri Angsa Putih merasa lega. "Dia tidak mendatangiku. Dia tidak me­ngatakan apa-apa. Berarti dia tidak melihat. Dia tidak tahu kalau Batu Pembalik Waktu ada padaku…."
10
LUHPINGITAN alias Hantu Selaksa Kentut terduduk memeluk dan menangisi sosok Hantu Langit Terjungkir yang diletakkannya di atas pangkuannya. Beberapa bagian kulit tubuh kakek ini tampak terkelupas merah. Saat itu Naga Kuning, Setan Ngompol dan Betina Bercula yang mengikuti perjalanan Wiro telah sampai pula di tempat itu. Mereka tidak tahu mau berbuat apa. Lebih­lebih ketika melihat Peri Angsa Putih. Sejak peristiwa Peri Angsa Putih menganiaya Lakasipo tempo hari, ke tiga orang itu tidak lagi menaruh hormat pada sang Peri. (Baca Episode berjudul "Rahasia Perkawinan Wiro") Akhirnya mereka bergerak mendekati nenek muka kuning yang tengah meratap.
"Puluhan tahun aku hidup tersiksa dan kau men­derita. Puluhan tahun kita berpisah. Kini setelah ber­temu dirimu hanya tinggal jazad tak bernafas lagi. Lasedayu, buka matamu, bicaralah…. Berucaplah walau hanya barang sepatah. Lasedayu kalau kau tak bisa bersuara senyumpun jadilah. Lasedayu suamiku, mengapa buruk nian nasib peruntungan kita. Empat orang anak kita lenyap tak diketahui di mana rimbanya. Kalau masih hidup berada di mana. Kalau memang sudah meninggal dimana kuburnya. Kini aku juga kehilangan dirimu selama-lamanya…."
Wiro tegak terdiam sambil sesekali menggaruk kepala. Setan Ngompol tertunduk menahan kencing. Betina Bercula usap matanya yang berkaca-kaca. Se­dang Naga Kuning sesekali melirik memperhatikan Peri Angsa Putih yang kini jadi dibencinya itu.
"Nenek, biar aku memeriksa kakek itu. Mungkin masih bisa ditolong…" Wiro berkata seraya berjongkok di samping Hantu Selaksa Angin.
"Mau ditolong bagaimana lagi? Jangankan kau. Para Dewapun tidak mungkin mengembalikan nyawa­nya!" menjawab si nenek lalu meratap tambah keras.
Wiro pegang bahu Hantu Selaksa Angin dan ber­kata. "Kalau dia memang sudah mati, memang tidak siapapun tidak bisa menolongnya. Tapi aku melihat masih ada denyut halus pada urat nadi di lehernya. Lagi pula apa kau lupa pada Gusti Allah Nek…?"
Si nenek sesaat hentikan tangisnya. Dengan mata basah dia berpaling pada Pendekar 212. "Gusti Allah temanmu itu, apakah dia bisa menolong suamiku ini?"
Wiro tersenyum. "Gusti Allah bukan temanku Nek.
Dia adalah Junjungan kita. Satu-satunya tempat kita meminta tolong. Karena dia Maha Pengasih Maha Penyayang dan Maha Kuasa…."
Hantu Selaksa Angin usap matanya yang basah. "Kalau begitu kau minta tolonglah padaNya. Hidupkan suamiku ini. Biar kami bisa menghabiskan sisa hidup di hari tua ini bersama-sama…. Mudah-mudahan dia memang belum mati…."
Nenek muka kuning itu hendak beringsut dan membaringkan Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir di tanah agar Wiro bisa memeriksanya. Namun sebelum hal itu sempat dilakukannya tiba-tiba ada suara berucap.
"Kalian tolol semua! Siapa bilang aku sudah mati!"
Hantu Selaksa Angin tersentak kaget. Dia sampai tersurut ke belakang hingga tubuh Hantu Langit Ter­jungkir terguling ke tanah. Memandangi wajah kakek itu si nenek melihat mata kiri Hantu Langit Terjungkir terbuka sedikit
"Wahai! Dia memang masih hidup. Tapi mengapa hanya satu matanya saja yang terbuka?!" Si nenek kembali terisak.
Mata kiri Hantu Langit Terjungkir yang terbuka itu mengedip tiga kali. Si nenek kembali terkejut
"Wahai! Kalau kau sudah mati jangan rohmu mempermainkan diriku Lasedayu!"
"Siapa yang sudah mati?!"
Tiba-tiba sosok Lasedayu bergerak bangkit lalu duduk di tanah! Betina Bercula terpekik dan melang­kah mundur. Hantu Selaksa Angin sendiri beringsut menjauh dengan mata pucat. Naga Kuning menyelinap ke belakang karena dia juga mengira si kakek tadinya sudah menemui ajal. Setan Ngompol mendelik mem­perhatikan sambil pegangi bagian bawah perutnya. Dari jauh Peri Angsa Putih diam-diam juga mem­perhatikan semua yang terjadi dengan perasaan heran.
"Lasedayu, suamiku. Kau ini benar-benar masih hidup atau bagaimana? Jangan berani mempermain­kan diriku! Sudah cukup aku puluhan tahun menderita sengsara. Jangan berani berlaku kurang ajar…."
Hantu Langit Terjungkir berpaling dan menatap si nenek sejurus. "Nenek muka kuning," katanya. "Kita pernah berjumpa beberapa kali. Terakhir sekali kau menolong tanganku yang patah. Walau kita mungkin bersahabat tapi jarang bicara yang bukan-bukan. Jangan berani mengada-ada. Apalagi memanggil diriku suami!"
"Kek, biar aku menerangkan…" kata Wiro.
Hantu Langit Terjungkir kini berpaling pada Pen­dekar 212. "Hemm…. Kau pasti orangnya. Aku sudah tahu perangaimu yang suka bergurau dan bercanda. Tapi jangan keterlaluan anak muda! Kau pasti yang menjadi biang keladi semua ini…."
Wiro menggaruk kepala. "Kek, ingat saat sehabis nenek ini menolong tanganmu dan kau bercakap­cakap dengan Si Penolong Budiman di tepi telaga?"
"Aku setengah-setengah ingat," jawab Hantu Langit Terjungkir. "Memangnya ada apa kau bertanya begitu?"
"Menurut apa yang didengar nenek ini, waktu itu kau berkata pada Si Penolong Budiman. Kau bersedia kawin dengannya. Ayo, kau pasti ingat. Jangan berani berdusta."
Hantu Langit Terjungkir memandang pada Hantu Selaksa Angin. "Aku tidak ingat, tapi mungkin saja saat itu aku memang bicara begitu. Karena… karena dia berbuat baik menolong tanganku yang patah. Lagi pula sudah puluhan tahun aku hidup menyendiri. Tapi aku tidak mengerti. Kalian semua tahu, aku masih belum kawin dengannya. Mengapa dia berani-beranian menyebut diriku suaminya?!"
Wiro tertawa. "Coba kau lihat wajahnya baik-baik, Kek. Apa kau tidak ingat siapa dirinya?"
Hantu Langit Terjungkir ikuti apa yang dikatakan Wiro. Setelah menatap beberapa jurus lamanya kakek ini berkata. "Aku memang mengenalinya. Dia nenek muka kuning yang menolong diriku…."
"Maksudku bukan itu Kek. Maksudku apakah wajahnya mengingatkanmu pada wajah seseorang di masa puluhan tahun silam? Maksudku ketika kau masih muda?"
"Sulit aku mengingat…."
Hantu Selaksa Angin hampir terpancar kentutnya. Sambil menahan diri nenek ini bertanya. "Waktu di telaga kau berkata pada Si Penolong Budiman bahwa kau kawin dengan aku. Apakah saat ini perasaan itu masih ada dalam hatimu…."
"Aku…. Aku tahu kau nenek baik. Aku menanam budi padamu. Tapi…."
Wajah nenek muka kuning itu mendadak jadi muram. Dia berpaling pada Wiro. Wiro lantas berkata. "Terlalu banyak orang di sini. Mungkin kakek ini malu mengatakan bahwa dia memang suka padamu…."
"Kalau suka saja tak ada artinya. Yang aku ingin­kan adalah kawin. Juga dia sendiri dulu yang jelas-jelas kudengar berkata mau kawin denganku!" si nenek merajuk.
Mendengar ucapan si nenek itu Naga Kuning dan Betina Bercula jadi tersenyum geli.
Wiro tertawa lebar. Dia memandang pada si kakek lalu berkata. "Kek, apa ikan asap atau ikan pindang mengingatkan kau pada seseorang?"
Wajah tua Hantu Langit Terjungkir langsung ber­ubah. Kakek ini usap janggutnya berulang kali dan basahi bibirnya dengan ujung lidah. "Kau membuat air liurku keluar. Itu makanan kesayanganku sejak muda. Tapi sudah puluhan tahun aku tak pernah mencicipinya…."
Nenek muka kuning memegang lengan Wiro dan berbisik. "Kau dengar sendiri. Dia hanya ingat pada ikannya. Bukan padaku…."
"Kek, kalau kau memang suka ikan pindang atau ikan asap, apa kau masih ingat siapa yang paling pandai memasakkannya untukmu?"
"Tentu saja istriku! Tapi dia entah dimana seka­rang. Puluhan tahun kami berpisah. Juga empat orang anakku…"
Mendengar ucapan si kakek Hantu Selaksa Angin jadi sesenggukan menahan tangis. Wiro pegang bahu nenek ini dan goyangkan kepalanya memberi isyarat. Si nenek ambil kantong perbekalannya. Dari kantong ini dia keluarkan satu bungkusan daun pisang dan diletakkannya di atas pangkuannya. Dengan tangan gemetaran Hantu Selaksa Angin buka bungkusan daun pisang itu. Hantu Langit Terjungkir memperhati­kan dengan mata tak berkesip dan hidungnya mem­baui sesuatu hingga tampak kembang kempis meng­endus-endus.
Ketika bungkusan daun pisang akhirnya terbuka, Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara tertahan. Tubuhnya seperti didorong ke belakang. Saat itu dia masih terduduk di tanah. Matanya berkilat-kilat. Lidah­nya terjulur tak berkeputusan. Tangannya serta merta diulurkan hendak mengambil salah satu dari dua po­tong ikan asap berbumbu cabai hijau yang ada di atas daun itu. Tapi tiba-tiba dia tarik pulang tangannya kembali. Dia memandang pada Hantu Selaksa Angin.
"Apakah kau yang membuat ikan asap ini Nek?" tanya Hantu Langit Terjungkir.
Si nenek menjawab dengan anggukkan kepala. Dua matanya kembali basah oleh air mata.
"Kau membawa dua potong ikan itu, untuk siapa…?" kembali Hantu Langit Terjungkir bertanya.
"Untuk kau, suamiku…."
"Lagi-lagi kau menyebut diriku suamimu. Siapa­kah kau sebenarnya nenek muka kuning?"
"Aku Luhpingitan. Apa kau tidak ingat lagi padaku?" jawab Hantu Selaksa Angin dengan suara bergetar dan tak kuat menahan tangis.
Sosok Hantu Langit Terjungkir meleset satu tombak ke udara lalu turun kaki ke atas kepala ke bawah.
"Jangan kau berani menyebut nama itu. Jangan kau berani mengada-ada. Kau tahu! Luhpingitan ada­lah nama orang yang pernah menjadi istriku!"
"Aku memang Luhpingitan, istrimu yang terpisah selama puluhan tahun!"
"Kau!" Hantu Selaksa Angin menatap lekat-lekat pada si nenek. Lalu dia memandang pada Wiro. Sesaat kemudian meledaklah tawanya. "Wiro, kau benar benar hebat! Pandai sekali mengatur semua ini…."
"Kek, tidak ada yang mengatur. Nenek ini memang Luhpingitan. Orang yang pernah menjadi istrimu. Dan sampai sekarang tetap menjadi istrimu…."
"Tidak mungkin, wajah dan kulit istriku tidak kuning seperti dia…."
"Lasedayu suamiku. Sejak kita terpisah puluhan tahun silam, banyak hal telah terjadi dengan diriku. Suaraku berubah. Ingatanku hilang. Aku senang pada warna kuning hingga setiap saat aku selalu melumuri wajah dan tubuhku dengan sejenis cairan. Jika kau bersedia menunggu, di dekat sini ada satu danau kecil. Aku akan membersihkan diri di sana untuk melun­turkan lapisan kuning di muka dan tubuhku ini. Nanti akan kau lihat sendiri wajahku. Akan kau saksikan apakah aku ini benar Luhpingitan atau bukan…."
Hantu Langit Terjungkir jadi ternganga mendengar kata­kata si nenek. Dia masih terpana ketika Hantu Selaksa Angin bangkit berdiri lalu meninggalkan tempat itu. Ketika dia sadar, kakek ini segera hendak mengikuti.
Tapi pinggang celananya cepat dipegang Naga Kuning. "Dilarang mengintai perempuan mandi Kek, termasuk mengintai nenek-nenek!"
"Anak lancang! Mengapa aku tidak boleh mengintai istriku sendiri?!" menyahuti Hantu Langit Terjungkir.
"Hik… hik!" Betina Bercula tertawa geli. "Kau sendiri tadi belum yakin apa nenek itu benar-benar istrimu. Jadi kau harus menunggu dulu di sini…."
"Harap bersabar sobat," kata Setan Ngompol pula. "Nenek itu mandi tidak akan lama. Paling-paling satu hari satu malam!"
"Kalian gila semua!" maki Hantu Langit Terjungkir. Lalu kakek ini melesat ke atas melewati orang-orang yang mengelilinginya.
"Hai! Dia hendak menuju ke danau!" teriak Betina Bercula.
"Sudah tidak sabaran dia rupanya!" kata Naga Kuning pula.
Semua orang yang ada di tempat itu segera me­ngejar karena ingin tahu apa yang hendak dilakukan Hantu Langit Terjungkir.
Ketika si kakek sampai di tepi danau, Hantu Selaksa Angin baru saja hendak keluar dari danau. Saat itu air masih setinggi dadanya. Mukanya yang sebelumnya kuning kini kelihatan bersih memperlihatkan wajah aslinya.
Hantu Langit Terjungkir terkesiap begitu dia melihat wajah si nenek. "Demi Para Dewa!" katanya dengan suara gemetar.
"Kek, apa nenek dalam danau itu memang Luh­pingitan, perempuan yang pernah menjadi istrimu?" Betina Bercula bertanya.
Lama Hantu Langit Terjungkir tak bisa menjawab saking terkesimanya. Sesaat kemudian meluncur ucapannya dengan suara bergetar.
"Walau wajahnya kini sudah begitu tua. Tapi aku masih bisa mengenali. Dia benar Luhpingitan. Istriku! Ibu dari anak-anakku!" Hantu Langit Terjungkir lantas lari memasuki danau, mencebur ke dalam air sambil tiada berhentinya berteriak. "Luhpingitan! Luhpingitan!"
Di dalam air Luhpingitan hentikan langkahnya menuju tepian danau. Wajahnya tersenyum walau air mata kembali membasahi pipinya. Perempuan tua ini mengembangkan dua tangannya ketika Lasedayu mendatanginya. Keduanya lalu saling berangkulan dalam air, sama-sama bertangisan.
Betina Bercula jadi ikut-ikutan menangis dan cepat-cepat mengusut air matanya sebelum ketahuan yang lain-lain. Wiro menarik nafas lega. Dia berkata pada Naga Kuning, Setan Ngompol dan Betina Bercula. "Ayo kita tinggalkan tempat ini. Biarkan sepasang kakek nenek itu melepas kerinduan hati mereka setelah puluhan tahun berpisah…."
"Betapa bahagianya mereka…" kata Betina Bercula lalu menarik nafas lega.
"Apakah kau inginkan kebahagiaan seperti itu?" Naga Kuning bertanya.
"Anak setan! Kau pasti mau menggoda diriku!" kata Betina Bercula sambil delikkan mata.
"Aku cuma bertanya," jawab Naga Kuning. "Kalau kau memang ingin merasakan bahagia seperti dia, turun saja ke danau. Kakek Setan Ngompol pasti mau menemanimu! Apalagi dia sudah seminggu tidak pernah mandi! Hik… hik… hik!"
"Anak sambal! Ucapanmu selalu tidak karuan!" mengomel Setan Ngompol. "Kau mau aku peperi lagi mukamu dengan air kencing?!"
Mendengar ancaman si kakek Naga Kuning cepat menjauhkan diri, melangkah cepat-cepat. Tiba-tiba anak ini hentikan langkahnya. Dia memandang berkeliling.
"Aku tidak melihat Peri Angsa Putih! Kemana perginya Peri itu?" berucap Naga Kuning.
"Pasti dia pergi ketika kita menuju danau tadi!" berkata Betina Bercula.
"Makhluk api Lamanyala juga tak ada lagi di tempat ini!" kata Setan Ngompol.
"Walah! Jangan-jangan dua makhluk itu sudah mencari danau lain untuk bermesraan!" menimpali Betina Bercula lalu tertawa cekikikan.
Tiba-tiba satu benda putih melesat rendah di atas rombongan orang-orang itu. Satu cahaya biru ber­kelebat. Naga Kuning dan Betina Bercula berseru kaget. Si Setan Ngompol langsung terkencing. Benda biru itu ternyata menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Sebelum murid Sinto Gendeng ini sem­pat merunduk, ujung benda biru telah menerpa urat besar di leher kirinya. Langsung Wiro menjadi kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Ternyata bukan itu saja yang terjadi. Di udara benda putih tadi bergerak berbalik. Bersamaan dengan itu benda biru ikut ber­gulung ke bawah, membuntal tubuh Wiro. Di udara terdengar suara menguik panjang. Di lain saat sosok Wiro terangkat ke atas dan lenyap dilangit tinggi.
"Angsa putih! Yang melesat itu angsa putih!" berteriak Si Setan Ngompol.
"Peri Angsa Putih melarikan Wiro!" Betina Bercula ikut berseru.
"Astaga! Mengapa Peri itu berbuat begitu?!" ujar Naga Kuning sambil kepalkan tinjunya.
Ketiga orang itu hendak mengejar. Tapi tidak tahu mau mengejar kemana.
11
KETIKA sang surya muncul di ufuk timur menerangi jagat, segala sesuatunya terlihat indah mulai dari lembah sampai ke puncak bukit di kejauhan. Namun semua keindahan itu seolah tidak tertangkap oleh sepasang mata biru bagus Peri Angsa Putih. Dia duduk di depan mulut goa kecil, merenung gundah. Hati dan pikirannya bergalau kacau. Sejak malam tadi boleh dikatakan dia tidak memicingkan mata sekejappun. Dia juga tidak berani masuk ke dalam goa dimana terbaring sosok Pendekar 212 Wiro Sableng, masih dalam keadaan kaku. Tak bisa bersuara tak dapat bergerak.
Berkali-kali Peri Angsa Putih menarik nafas dalam. Rasa bingung membuat dia tidak dapat mengambil keputusan. Matanya memandang ke arah puncak bukit di kejauhan. Di balik kerapatan pepohonan, samar­samar tampak satu bangunan putih kecil yang atapnya berbentuk rembulan setangan lingkaran. Itulah Puri Kebahagiaan, tempat dimana Peri Bunda mengasingkan diri dan dikabarkan berada dalam keadaan hamil akibat hubungan gelapnya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sampai sore kemarin tekadnya begitu kiat untuk membawa Wiro ke Puri Kebahagiaan guna meminta pertanggungan jawab pemuda itu atas apa yang telah dilakukannya terhadap Peri Bunda. Namun menjelang akan sampai ke Puri Kebahagiaan mendadak hatinya mulai kacau. Bagaimana mungkin dia akan menyerah­kan Wiro padahal dia menyadari betapa dia sangat mencintai pemuda itu?! Di dalam hati sanubari sang Peri terjadi semacam peperangan. Kalau dia tidak membawa Wiro ke Puri Kebahagiaan, maka dia akan dituduh melakukan kesalahan besar. Melanggar perintah. Apalagi sebelumnya dia sempat bertemu dengan Peri Sesepuh. Sebaliknya jika dia meneruskan membawa Wiro, maka mungkin dia akan kehilangan pemuda itu untuk selama-lamanya.
Dalam kekacauan pikiran begitu rupa, ada sekelumit bisikan agar dia menyerahkan saja Batu Pembalik Waktu pada Wiro. Hingga memungkinkan pemuda itu selamat dari tuntutan dan kembali ke Tanah Jawa bersama teman-temannya. Tetapi itu sama juga. Berarti dia tetap akan kehilangan orang yang dikasihinya itu.
Ketika sinar matahari mulai terasa menyengat kulitnya yang halus, Peri Angsa Putih baru menyadari bahwa dia tidak mungkin duduk merenung terus di depan goa itu. Apapun yang akan terjadi dia harus melakukan sesuatu. Setelah memejamkan mata dan berdoa agar para Dewa meneguhkan hatinya, Peri Angsa Putih akhirnya masuk ke dalam goa.
Di dalam goa ternyata dia tidak bisa bertindak cepat. Beberapa lamanya dia hanya berdiri tegak mem­belakangi Wiro yang terbaring di lantai. Hatinya kombali bimbang.
"Betapapun terkadang kebencian menyelinap di hati ini terhadapnya, tapi aku harus mengakui aku sangat mencintainya. Aku sangat takut kehilangan dirinya. Kalau saja aku ini tidak dilahirkan sebagai Peri, mungkin labih mudah bagiku untuk mengambil keputusan sesuai dengan suara hatiku. Sesuai dengan rasa cinta kasihku terhadapnya…."
Perlahan-lahan Peri Angsa Putih balikkan tubuh­nya. Dua matanya yang biru saling bertatapan dengan sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tak dapat bertahan lama. Dengan menundukkan kepala dan memandang ke jurusan lain Peri Angsa Putih menekan bagian leher Wiro yang kemarin di lumpuh­kannya dengan ujung selendang biru miliknya. Saat itu juga Wiro mampu bergerak dan bersuara kembali.
"Kau bebas. Kau boleh pergi…."
Murid Eyang Sinto Gendeng cepat bergerak duduk. Ketika Peri Angsa Putih hendak bangkit berdiri pula dia segera memegang bahu Peri itu seraya berkata.
"Duduklah, kita perlu bicara."
Peri Angsa Putih jadi bertambah bingung. Tapi dia tidak bisa berbuat lain. Setelah duduk berhadap­hadapan, terpisah tiga langkah, Wiro bertanya. "Peri Angsa Putih, mengapa kau lakukan hal ini?"
"Aku melakukan apa Wiro?" balik bertanya Peri Angsa Putih. Tidak seperti biasanya sekali suara sang Peri terdengar bergetar.
Pendekar 212 tersenyum. "Mungkin kau sedang bingung, kacau pikiran disebabkan banyak hal yang kau hadapi. Biar aku ulangi pertanyaanku tadi lebih jelas. Kemarin kau melumpuhkan aku di tepi danau. Aku tak tahu apa tujuanmu melakukannya. Kau mem­bawaku ke goa ini. Aku juga tidak tahu apa maksudmu. Kini kau bebaskan aku dan menyuruh pergi. Mengapa kau melakukan semua ini dan apa sebenarnya maksud tujuanmu?"
"Aku tidak bermaksud apa-apa. Mungkin ini karena kesalah pahamanku atau ketololanku sendiri."
"Tidak, jangan mendustai diri sendiri Peri Angsa Putih. Kau bukan saja Peri tercantik di Negeri Atas Langit, tapi juga seorang Peri cerdik dan tidak tolol seperti katamu."
Peri Angsa Putih menatap wajah Pendekar 212 sesaat. Ketika sepasang mata mereka saling beradu pandang sang Peri tak kuasa bertahan. Dia palingkan wajah lalu bangkit berdiri. "Ikuti aku, aku akan menun­jukkan sesuatu padamu."
Wiro berdiri, melangkah mengikuti Peri Angsa Putih keluar dari goa. Di mulut goa Peri itu hentikan langkahnya lalu menunjuk ke arah bangunan putih di puncak bukit di kejauhan.
"Kau lihat bangunan itu?" tanya Peri Angsa Putih.
Wiro memandang ke bukit lalu anggukkan kepala.
"Itu Puri Kebahagiaan…."
"Puri atau Istana Kebahagiaan?" Wiro bertanya ingin ketegasan.
"Istana Kebahagiaan adalah kediamannya Hantu Muka Dua. Yang di bukit sana adalah Puri Kebahagiaan. Tempat saat ini Peri Bunda berada…."
Wiro garuk kepalanya. "Kini aku bisa menduga apa sebenarnya yang hendak kau lakukan. Kau me­lumpuhkan aku karena ingin membawaku ke Puri itu. Bukankah dikabarkan Peri Bunda mengalami kehamilan karena melakukan hubungan denganku?"
Peri Angsa Putih tidak menyahut.
"Aku tidak melakukan hal itu Peri Angsa Putih. Aku tidak pernah berhubungan dengan Peri Bunda…."
"Ini menjadi satu tanda tanya besar bagiku. Mana mungkin seorang perempuan hamil tanpa melakukan hubungan dengan lawan jenisnya. Kau tidak mengaku melakukan hubungan dengan Peri Bunda. Sebaliknya Peri Bunda sendiri selalu menyebut namamu!"
"Aneh, aku berkata sejujurnya. Tapi terkadang kejujuran tidak ada artinya apa-apa dalam kancah fitnah. Hanya ada satu cara. Kau harus mengantarkan aku ke Puri itu. Mempertemukan aku dengan Peri Bunda."
"Tadinya itu maksudku melumpuhkanmu. Agar kau bisa kubawa ke Puri Kebahagiaan. Tapi malam tadi diriku dilanda kebimbangan. Aku memutuskan tidak akan membawamu ke Puri itu."
"Mengapa?" tanya Pendekar 212.
"Aku tak ingin terjadi sesuatu dengan dirimu," kata Peri Angsa Putih pula. Lalu dalam hati dia menam­bahkan. "Aku tak ingin kehilanganmu Wiro. Saat ini aku ingin sekali menyerahkan Batu Pembalik Waktu padamu. Tapi aku takut. Itu hanya akan mempercepat kepergian dirimu dari sisiku."
"Peri Angsa Putih, kulihat bibirmu bergerak. Tapi tak satu patahpun meluncur dari mulutmu," kata Wiro. Tangannya diulurkan memegang lengan Peri Angsa Putih. Sang Peri pandangkan jari-jari yang memegang lengannya itu. Wajahnya yang cantik kelihatan me­merah namun sepasang matanya bercahaya indah dan hatinya berbunga-bunga.
"Peri Angsa Putih, jika kau tidak mau meng­antarkan aku ke Puri sana tak jadi apa. Tapi apakah itu tidak mendatangkan kecurigaan bahwa kau ber­serikat atau membantu diriku?"
Karena ditunggu Peri Angsa Putih tidak mem­berikan jawaban Wiro akhirnya berkata. "Kalau kau tidak mau mengantar, apakah kau bersedia me­nungguku di sini? Aku akan segera ke Puri selagi hari masih pagi. Makin cepat urusan ini diselesaikan makin baik."
"Pergilah. Aku menunggumu di sini," kata Peri Angsa Putih lirih. Sesaat dipegangnya tangan Wiro yang masih menempel di lengannya.
Tak lama setelah Wiro meningggalkan dirinya ada rasa menyesal di hati Peri Angsa Putih. Mengapa tadi dia tidak pergi saja bersama pemuda itu? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Wiro. Siapa yang akan menolongnya? Dia memandang ke arah kejauhan Saat itu dilihatnya sosok Wiro telah sampai di kaki bukit, siap mendaki ke atas.
Tiba-tiba bau aneh menusuk hidung Peri Angsa Putih. Belum sempat dia memperkirakan bau apa iiu adanya atau dari mana dalang sumbernya tiba-tiba satu sosok gemuk luar biasa mengenakan jubah rum-put kering gombrong tegak di hadapannya. Orang ini mengenakan sorban dan di atas sorban dia men­junjung sebuah belanga mengepulkan asap tebal me­nebar bau aneh.
"Hantu Raja Obat…" berucap Peri Angsa Putih begitu dia mengenali siapa adanya orang gemuk di hadapannya itu.
Hantu Raja Obat yang mukanya ada tompel besar tertawa lebar. "Nasibku sedang mujur. Bertemu ke­rabat tempat bertanya. Peri Angsa Putih, aku tidak menyangka kau berada di sini. Aku mohon petunjuk. Di mana arah jalan menuju Puri Kebahagiaan?"
"Wahai, apa maksud tujuanmu mencari Puri itu?" balik bertanya Peri Angsa Putih.
"Menolong seorang sahabat yang akan mendapat celaka," jawab Hantu Raja Obat.
"Siapa orang itu?" kembali Peri Angsa Putih ber­tanya. "Pemuda katai yang dulu pernah aku tolong menjadi besar. Kau pasti kenal dirinya. Namanya Wiro Sableng. Dia berasal dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang…."
Peri Angsa Putih menunjuk ke arah bukit. "Kau lihat bangunan putih di atas bukit sana. Itulah Puri Kebahagiaan."
Hantu Raja Obat letakkan tangannya di atas mata agar tidak silau. "Hemmm…. Bangunan itu di sana rupanya. Eh, aku melihat ada seseorang berlari cepat menuju puncak bukit…."
"Itu pemuda kerabat yang hendak kau tolong. Dia barusan dari sini," menerangkan Peri Angsa Putih.
"Ah! Kuharap aku tidak terlambat…."
"Aku juga akan ke sana. Kita pergi sama-sama!" kutu Peri Angsa Putih pula.
" Terima kasih. Kau kuanggap sebagai tuan rumah. Jadi berjalanlah di sebelah depan…."
Dua orang itu lalu segera tinggalkan tempat ter­sebut. Sambil lari Peri Angsa Putih memperhatikan Hantu Raja Obat di sampingnya. Walau gemuk luar biasa orang ini cepat dan ringan gerakan larinya. bagalmanapun Peri Angsa Putih mempercepat larinya Raja Obat tetap saja berada di sebelahnya. Padahal si gemuk ini berlari seperti melangkah biasa. Hanya pakaiannya saja yang mengeluarkan suara berdesir pertanda dia sebenarnya memang berlari cepat luar Mana Di atas kepalanya belanga berisi cairan obat tidak bergerak sedikitpun!
12
PENDEKAR 212 Wiro Sableng sampai di depan bangunan putih di puncak bukit. Pintu kayu kokoh yang tertutup terbuka sendirinya begitu dia sampai di depannya. Hawa aneh menebar bau wangi keluar dari dalam bangunan.
"Tamu yang sudah lamaditunggu silakan masuk!" Satu suara menggema di sebelah dalam.
Karena merasa dirinya memang tidak bersalah, tanpa ragu murid Eyang Sinto Gendeng ini melangkah masuk. Namun baru saja dia melewati pintu kayu tiba-tiba dua orang Peri berpakaian merah muda me­nyambutnya. Bukan dengan keramahan tapi dengan todongan dua batang tombak. Tombak kedua siap menghunjam di dadanya, tepat di arah jantung.
Dua orang Peri lagi muncul di hadapan Wiro. Yang sebelah depan berkata. "Sebelum masuk kami harus menggeledehmu lebih dulu. Jika kau membawa senjata, harus diserahkan pada kami. Selain itu dua tanganmu harus kami amankan!"
Begitu selesai berucap Peri ini angkat tangan kanannya. Ternyata dia sudah menyiapkan segulung tali berwarna kuning. Tali ini kelihatannya buruk dan lapuk. Tapi begitu sang Peri mengangkat tangannya, tali kuning itu meluncur laksana kilat. Tahu-tahu dua tangan Pendekar 212 telah terikat kencang. Wiro kerah­kan tenaga dalam, coba memutus. Ternyata dia tidak mampu melakukan. Ketika Peri berikutnya mendekatinya, menggeledah dan mengambil kapaknya, Wiro jadi penasaran.
"Kalian semua dengar! Aku datang kesini membawa itikad baik. Meluruskan semua fitnah jahat. Jangan perlakukan diriku sebagai tawanan!"
"Kami menghargai jiwa besarmu datang ke sini. Kami tuan rumah di sini. Jadi kau layak harus mengikuti apa aturan kami!"
"Jaga kapak itu baik-baik. Jika sampai terjadi apa-apa aku tidak segan-segan memecahkan kepala kalian sekalipun kalian semua cantik-cantik!"
Peri yang mengikat tangan Wiro memberi isyarat agar Wiro mengikutinya. Ketika pintu ditutupkan, di luar sana ada orang menggedor disertai suara berteriak.
"Aku Peri Angsa Putih! Buka pintu kembali!"
Pintu kayu dibuka kembali. Semua Peri berpakaian merah muda menjura begitu mereka melihat kehadiran Peri Angsa Putih.
"Peri Angsa Putih, kami memang menunggu kedatanganmu!"
Peri Angsa Putih kerenyitkan kening ketika melihat dua tangan Pendekar 212 berada dalam keadaan terikat tali kuning. Lalu Kapak Naga Geni 212 dipegang oleh salah seorang Peri berpakaian merah muda.
"Mengapa kalian memperlakukan dia seperti ini?!" bertanya Peri Angsa Putih.
"Wahai, bukankah hal ini sudah pernah dibicarakan sebelumnya? Kami hanya menjalankan perintah!" jawab Peri yang mengikat tangan Wiro.
"Buka ikatannya dan kembalikan senjatanya!" Perintah Peri Angsa Putih. "Aku yang akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa!"
Peri tadi hendak menyahuti tapi segera tunduk begitu melihat Peri Angsa Putih pelototkan mata. Tali kuning yang mengikat dua tangan Wiro segera dibuka. Kapak sakti dikembalikan. Peri Angsa Putih lalu masuk ke dalam. Wiro mengikuti di belakang, diapit oleh dua Peri berpakaian merah muda. Ketika Hantu Raja Obat hendak menyusul masuk dua Peri yang tadi membawa tombak segera menahannya.
"Makhluk gemuk menjunjung belanga di atas kepala. Kau tamu tak dikenal. Kami tidak mengizinkan kau masuk!" berucap salah seorang dari Peri yang memegang tombak.
Hantu Raja Obat ganda tertawa. "Setahuku ada Peri hamil di dalam bangunan ini. Kalau aku tidak diper­bolehkan masuk bagaimana aku bisa menolongnya?!"
"Memangnya kau siapa?!" tanya Peri satunya.
"Aku dukun beranak! Aku yang akan menolong Peri itu melahirkan!" jawab Hantu Raja Obat lalu ter­senyum lebar sambil kedip-kedipkan matanya.
"Jangan berani bergurau! Kau laki-laki. Mana ada laki-laki jadi dukun beranak!" Membentak Peri di se­belah kanan. Lalu tombaknya langsung diarahkan ke leher gembrot Hantu Raja Obat.
Hantu Raja Obat kembali tertawa. "Mukaku muka laki-laki, suaraku juga suara laki-laki. Tapi apa kau yakin auratku yang lain juga adalah aurat laki-laki?"
"Jangan berani bicara kurang ajar!"
"Aku tidak kurang ajar! Apa perlu aku perlihatkan jenis diriku sebenarnya?!" tanya Hantu Raja Obat seraya berbuat seolah hendak menyingkapkan bagian bawah pakaiannya tinggi-tinggi. Peri yang ada di ha­dapannya langsung bersurut mundur dengan muka merah. Wiro tersenyum-senyum mendengar ucapan dan melihat perbuatan si Raja Obat.
Di sebelah depan Peri Angsa Putih berkata. "Biarkan orang gemuk itu ikut masuk. Aku yang membawanya kemari!"
Dengan muka ditekuk akhirnya dua Peri yang berusaha menahan Hantu Raja Obat terpaksa mem­biarkan si gemuk itu memasuki bangunan.
Peri Angsa Putih melangkah melewati dua lorong panjang dan sunyi. Saking sunyinya suara langkah­langkah kaki itu terdengar menggidikkan. Memasuki lorong ke tiga yang kiri kanannya diterangi nyala api obor yang menebar harum sebau kayu cendana, mere­ka sampai di hadapan sebuah pintu merah. Dari balik pintu terdengar suara seperti orang meratap.
Peri pengawal mendorong pintu merah, lalu mem­beri jalan pada Peri Angsa Putih. Tak satupun dari Peri pengawal itu ikut masuk ke dalam. Namun begitu sampai di dalam ternyata ada delapan Peri lainnya yang tampak berjaga-jaga di empat sudut ruangan.
Di tengah ruangan ada satu tempat tidur terbuat dari susunan empat kasur tebal. Di atas kasur ini, berselimutkan sehelai kain berwarna hijau muda ter­baring sosok Peri Bunda. Walau wajahnya agak pucat namun kelihatan lebih putih dan lebih cantik sebagai­mana biasanya keadaan perempuan yang sedang ha-mil. Bagian perutnya yang tertutup selimut hijau ke­lihatan membuncit tinggi. Peri Bunda terbaring dengan mata terpejam. Namun dari mulutnya tiada henti keluar suara seperti meratap yang membuat Pendekar 212 jadi mengkirik dingin tengkuknya.
"Wiro… Wiro…. Kenapa kau tinggalkan diriku. Jika kau tidak mengasihi diriku aku rela. Tapi jangan sia­siakan anak kita. Kasihan bayi yang akan lahir nanti kalau sampai tidak mempunyai ayah. Wiro… Wiro dimana kau berada. Sampai hati kau meninggalkan diriku. Anak kita Wiro. Hasil hubungan kasih sayang kita…."
Semua orang yang ada di ruangan itu memandang pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro sendiri tegak tertegun, memandangi Peri Bunda dengan mata besar dan garuk-garuk kepala. Dalam hati dia memaki. "Peri satu ini mungkin kesurupan atau telah berubah tidak waras pikirannya!" kata Wiro dalam hati. Lalu dia berpaling pada Peri Angsa Putih.
"Peri Angsa Putih, aku tidak mengerti…."
"Jangan bicara padaku. Bicaralah padanya. Dia sudah berada dalam keadaan begini rupa sejak seratus empat puluh hari lalu."
Wiro kembali garuk-garuk kepala. Dia memandang pada Hantu Raja Obat yang kemudian mendekatinya dan berbisik. "Kerjamu boleh juga anak muda! Menurut penglihatanku Peri ini sudah hamil empat bulan…."
"Raja Obat, kau boleh tidak percaya. Tapi aku bersumpah tidak pernah berbuat yang tidak-tidak padanya…."
"Aku tahu kau memang tidak berbuat yang tidak­tidak. Berarti kau berbuat yang iya-iya!" Hantu Raja Obat tekap mulutnya agar tawanya tidak meledak.
"Peri Bunda, pemuda bernama Wiro Sableng itu ada di sini. Dia akan bicara padamu," Peri Angsa Putih memberi tahu.
Mendengar ucapan Peri Angsa Putih itu Peri Bunda keluarkan suara terisak. Lalu seperti tadi dia kembali memanggil-manggil Wiro. Dua matanya tetap saja terpejam. Peri Angsa Putih memberi isyarat pada Wiro agar dia segera bicara dengan Peri Bunda.
Dengan kuduk masih dingin Wiro bergerak mendekati kasur ketiduran. "Peri Bunda, aku Wiro Sableng. Aku datang untuk meluruskan yang tidak benar. Antara kita sebelumnya tidak pernah melakukan hubungan apapun. Mengapa kau berucap berkepanjangan bahwa kita pernah melakukan hubungan badan. Bahwa akulah yang menghamili dirimu…."
"Wiro, aku sedih mendengar kau berucap seperti itu. Dulu berhari-hari kita berkasih sayang membagi cinta di dalam Puri ini. Ketika hubungan kita berakibat hamilnya diriku, mengapa kau tega menghindari tang-gung jawab. Sudah kukatakan Wiro. Kau boleh menyia­nyiakan diriku. Tapi kasihani anak kita yang akan lahir kelak…."
Tampang Pendekar 212 jadi pucat. Dia memegang lengan Hantu Raja Obat dan berbisik. "Harap kau segera memeriksanya. Aku yakin kalau tidak men­dadak gila, pasti ada roh jahat yang kesasar masuk ke dalam tubuhnya hingga dia meracau begitu rupa!"
"Apa yang kau katakan bisa saja terjadi. Tapi bagaimana dengan perutnya yang gendut. Apa roh jahat bisa membuat perempuan hamil?!"
Mendengar ucapan Hantu Raja Obat itu Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala.
"Kau harus melakukan sesuatu Hantu Raja Obat. Lekas kau periksa keadaannya. Aku tak pernah berbuat sekeji itu. Jadi aku tidak percaya…."
"Sudah, tenangkan saja hatimu. Tak usah takut Aku sudah melihat ada sesuatu yang tidak beres. Aku akan menolong. Tenangkan hatimu!" Habis berkata begitu Hantu Raja Obat berpaling pada Peri Angsa Putih. "Aku akan memeriksanya. Harap kau memberi izin…."
"Silakan asal kau jangan menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang terlarang!" jawab Peri Angsa Putih.
Hantu Raja Obat menyeringai. Dia berlutut di samping pembaringan. Mulutnya komat kamit entah membaca apa. Setelah pejamkan dua matanya sesaat, dia dekatkan telinga kanannya ke perut Peri Bunda. Hantu Raja Obat tersentak kaget ketika dia menangkap suara aneh di dalam perut sang Peri. Seperti ada banyak makhluk aneh di dalam perut itu, bergerak­gerak mengeluarkan suara serupa binatang digorok!
Dengan muka keringatan Hantu Raja Obat bangkit berdiri.
"Kau menemukan sesuatu?" tanya Wiro berbisik.
"Kau benar anak muda. Ada yang tidak beres. Di dalam perut Peri ini ada sesuatu. Aku tidak tahu apa adanya. Kita lihat saja nanti!"
Dengan tangan kirinya Hantu Raja Obat menurunkan belanga tanah di atas kepalanya. Ketika dia hendak menuangkan cairan panas di dalam belanga itu ke dalam mulut Peri Bunda, Peri Angsa Putih cepat mencegah.
"Peri Angsa Putih, jika kau tidak mengizinkan aku mengobati Peri Bunda, sebaiknya sejak sebelumnya kau tidak mengizinkan aku datang dan masuk ke tempat ini!"
"Cairan apa yang ada dalam belanga itu?"
"Ah! Kau keliwat curiga! Puluhan tahun aku menge­lana kian kemari membawa cairan dalam belanga ini untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit Isi belanga ini tentu saja obat! Bukannya racun! Jika kau tidak percaya kau boleh mencicipi lebih dulu. Kalau terjadi sesuatu denganmu, semua Peri anak buahmu di tempat ini boleh menggorok batang leherku!"
"Peri Angsa Putih, harap kau mau memberi izin padanya. Jika dia mencelakai Peri Bunda, aku yang pertama sekali akan membabat putus lehernya!" Habis berkata begitu Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni
212. "Ha… ha… ha! Anak muda! Kau boleh putuskan
leherku jika aku memang berniat jahat terhadap Peri ini!"
"Bagaimana Peri Angsa Putih?" tanya Wiro.
Setelah diam sejurus Peri Angsa Putih akhirnya mengangguk. "Lakukan apa yang tadi hendak kau lakukan! Tapi ingat Jika terjadi sesuatu dengan Peri Bunda, kau akan menemui kematian pertama sekali di tempat ini Hantu Raja Obat!"
"Aku bersedia menerima hukuman jika ternyata aku berniat jahat hendak mencelakai Peri Bunda. Aku hanya ingin menolong sahabat mudaku ini hingga dia lepas dari segala fitnah yang bukan-bukan!" Lalu Hantu Raja Obat kembali angkat belanga tanahnya. Dengan hati-hati cairan panas dalam belanga itu dituangkannya ke dalam mulut Peri Bunda yang menganga.
"Glukk…. Hek! Glukkk…. Hek… hek!"
Walau agak susah dan tersendat-sendat namun sedikit demi sedikit cairan panas di dalam belanga masuk juga ke dalam mulut Peri Bunda. Dari mulut itu mengepul asap kekuning-kuningan. Tiba-tiba dari dalam perut Peri Bunda keluar suara aneh, keras dan berulang-ulang. Hantu Raja Obat letakkan belanganya ke atas sorban kembali. Lalu dia buka pakaiannya sebelah atas hingga dadanya yang gembrot dan penuh bulu tersingkap sampai ke perut.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang tegak tepat di belakang Hantu Raja Obat tak sengaja memandang ke arah lengan kanan sebelah belakang si gemuk ini. Murid Sinto Gendeng terkesiap kaget ketika melihat di bagian belakang lengan sebelah atas, dekat ketiak kanan Hantu Raja Obat ada tanda menyerupai rajah menggambarkan sekuntum bunga dalam lingkaran.
"Bunga dalam lingkaran! Aku ingat cerita Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu! Jangan-jangan Hantu Raja Obat ini adalah salah seorang dari empat anaknya yang hilang! Aku harus memberi tahu Hantu Langit Terjungkir. Tapi aku harus lebih dulu bicara dengan Hantu Raja Obat ini!"
Sementara itu Hantu Raja Obat yang barusan membuka pakaiannya sebelah atas sampai ke perut tegak sambil letakkan tangan kirinya di atas perutnya sendiri. Lalu tangan kanan dengan telapak terbuka diarahkan ke perut Peri Bunda. Mulutnya kembali berkomat-kamit Suara aneh di perut Peri Bunda terde­ngar semakin keras menggidikkan. Sesaat kemudian dari telapak tangan kanan Hantu Raja Obat memancar satu sinar lembut berwarna ungu. Ketika sinar itu menyentuh dan menyapu perut buncit Peri Bunda tiba-tiba sepasang mata sang Peri terbuka membeliak besar. Dari mulutnya keluar jeritan keras. Bersamaan dengan itu tubuhnya mencelat ke atas seperti dilempar ke langit-langit ruangan. Begitu melayang ke bawah, dari mulut Peri Bunda menyembur darah hitam berbuku­buku. Lalu lebih menggidikkan dari dalam perut itu ikut berserabutan tiga belas ekor lintah hitam! Binatang­binatang yang berlumuran darah ini bergeletakan di lantai.
Peri Angsa Putih melompat jauhkan diri. Beberapa Peri pengawal terpekik. Sebelum lintah-lintah itu lari berkeliaran Hantu Raja Obat arahkan sinar yang keluar dari telapak tangannya.
"Cesss! Cesss! Cesss!"
Satu persatu ke tiga belas lintah hitam itu meng­geliat hangus lalu berubah menjadi bubuk-bubuk hitam! Peri Bunda sendiri saat itu tegak tertegun dengan muka pucat Matanya mendelik. Mulutnya masih ter nganga walau tak ada lagi darah atau lintah yang menyembur keluar. Dalam keadaan seperti itu kembali Peri Bunda keluarkan jeritan mengerikan. Lalu tubuhnya huyung. Sebelum roboh ke lantai ruangan Wiro cepat merangkul pinggang Peri ini lalu membaringkannya di atas kasur. Saat itu kelihatan jelas bagaimana perut sang Peri telah kempis hampir sama rata dengan pinggul dan dadanya!
"Peri Angsa Putih, kau dan semua yang ada disini!" Hantu Raja Obat membuka mulut. "Kalian semua menyaksikan sendiri! Yang keluar dari perut Peri Buda bukan jabang bayi. Tapi tiga belas ekor lintah jahat! Berarti kini terbukti tidak benar Peri Bunda hamil. Kalaupun sahabatku si Wiro ini berselingkuh dengan Peri Bunda, mana mungkin yang dikandungnya tiga belas ekor lintah! Berarti Peri Bunda telah menjadi korban kejahatan keji. Ada orang jahat yang telah menyantet mengguna-gunainya!"
Semua orang yang ada di tempat itu terdiam. Seantero ruangan dilanda kesunyian.
"Tugasku sudah selesai. Peri Angsa Putih, aku mohon diri sekarang…."
"Hantu Raja Obat, kami berterima kasih padamu. Jika aku boleh bertanya, apakah kau tahu siapa gerangan yang telah berbuat begitu keji terhadap Peri Bunda?"
Hantu Raja Obat tersenyum. "Aku tahu paling tidak dapat menduga. Tapi aku tidak mau mengatakan."
"Apakah Hantu Santet Laknat?" tanya Peri Angsa Putih, membuat Wiro menjadi sesak dadanya karena ingat akan Luhrembulan. Dia menjadi lega ketika me lihat Hantu Raja Obat gelengkan kepala.
"Bukan nenek satu itu. Tapi orang lain!"
Ketika Hantu Raja Obat melangkah ke pintu ruangan, Wiro segera mengikuti. Peri Angsa Putih ikut pula beranjak. Sambil berjalan Wiro berkata. "Raja Obat, aku berterima kasih padamu. Kau telah membebaskan diriku dari segala tuduh dan fitnah! Aku tidak melupakan budi baikmu ini!"
Makhluk gemuk itu tertawa lebar. "Anak muda, kau berhati-hatilah. Di negeri ini masih ada orang yang tidak menyenangi dirimu. Bukan mustahil satu ketika kelak bagian tubuh di bawah perutmu itu disantetnya hingga berubah menjadi lintah hitam seperti yang ada dalam perut Peri Bunda tadi! Ha…ha…ha!"
Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Sambil terus melangkah dia berkata. "Sekeluarnya dari tempat ini, ada satu hal yang ingin aku sampaikan padamu…."
"Hemmm, pasti soal gadis-gadis cantik. Sudah, bicara saja di sini sambil kita berjalan. Mengapa harus menunggu sampai di luar!"
"Bukan. Ini bukan menyangkut gadis-gadis cantik, Ini menyangkut tanda bunga dalam lingkaran yang ada di balik lengan kananmu sebelah atas. Dekat ketiak…."
"Eh, aku tidak tahu kalau aku punya tanda seperti itu!" kata Hantu Raja Obat pula.
"Aku tak sengaja melihat. Ketika tadi kau membuka pakaian sampai ke perut, kebetulan aku berdiri di belakangmu!" jawab Wiro.
Tak acuh Hantu Raja Obat berkata. "Manusia dilahirkan membawa berbagai macam tanda. Aku ke betulan bertanda seperti yang kau katakan tadi. Juga lihat saja tompel yang ada di wajahku. Itu juga satu tanda yang tak bisa dilenyapkan. Apa anehnya? Mengapa hal itu sengaja kau ceritakan padaku?"
"Karena ada kaitannya dengan cerita yang kudengar dari Hantu Langit Terjungkir…."
"Hemmm,… Kakek satu itu. Ada apa dengan dirinya? Cerita apa yang dikatakannya padamu?"
"Menurut kakek itu, tanda bunga dalam lingkaran adalah tanda yang dimiliki empat orang anaknya sejak dilahirkan ke dunia…."
Hantu Raja Obat hentikan langkahnya dan menatap tajam pada Wiro. Sesaat kemudian dia tertawa gelak­gelak. "Jadi kau hendak mengatakan bahwa aku ini adalah anak Hantu Langit Terjungkir! Sungguh gila!"
"Tidak, ini tidak gila. Dan bukan kau saja yang mempunyai tanda seperti itu di Negeri Latanahsilam ini. Menurut Hantu Langit Terjungkir, Lakasipo alias Hantu Kaki Batu dan Hantu Bara Kaliatus juga memiliki tanda yang sama. Tanda bunga dalam lingkaran!"
Hantu Raja Obat hentikan langkahnya. Dia menatap tajam seolah hendak menembus sampai ke dalam batok kepala Pendekar 212.
"Aku jadi haus mendengar kata-katamu sahabatku!" kata si gemuk besar itu. Lalu dia turunkan belanga tanah dari atas sorbannya. Dan gluk… glukl.. gluk. Enak saja dia meneguk cairan yang ada dalam belanga. Setelah menyeka mulutnya dengan ujung lengan jubah Hantu Raja Obat berkata.
"Kau sahabatku baik! Tapi sekali ini sulit aku mempercayai apa yang kau katakan! Selamat tinggal Wiro!"
"Hantu Raja Obat, tunggu dulu!" memanggil Pen­dekar 212. Tapi manusia gemuk besar itu telah melesat keluar pintu yang sudah dibuka untuknya oleh Peri pengawal. Murid Eyang Sinto Gendeng tak bisa berbuat apa selain garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.


TAMAT
(EPISODE TERAKHIR WIRO DI NEGERI LATANAHSILAM)
ISTANA KEBAHAGIAAN


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...