Sabtu, 16 Januari 2010

Wiro Sableng Episode # 137 : Aksara Batu Bernyawa

posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito
EP : 113 LORONG KEMATIAN
1

PANTAI Selatan. Arah timur Parangteritis. Menjelang tengah malam. Langit kelihatan hitam diselimuti awan tebal yang telah menggantung sejak senja berlalu. Tiupan angin keras dan dingin terasa menusuk sangat. Kalau saja tidak ada suara debur gulungan ombak yang kemudian memecah di pasir, kawasan pantai selatan itu niscaya diselimuti kesunyian berkepanjangan.
Di balik sederetan semak belukar liar, dua sosok berpakaian dan berdestar hitam mendekam tak bergerak laksana batu. Mata masing-masing yang nyaris hanya sesekali berkedip memandang lekat ke tengah lautan. Ketika salah seorang diantara mereka keluarkan ucapan memaki, hanya mulut saja yang bergerak. Kepala dan tubuh tetap diam.
"Sialan!" Orang yang memaki ini memiliki kepala besar. Sepasang alis kelihatan aneh karena yang kiri hitam lebat sebaliknya alis sebelah kanan berwarna putih rimbun. Hidung besar tapi kelihatan seperti penyok. Pada kening dan pipi ada bentol-bentol hitam. Wajah manusia satu ini sungguh sangat tidak sedap untuk dipandang.
“Apa yang sialan Putu Arka?" tanya kawan si alis aneh yang duduk mencangkung di sebelah. Orang ini bernama Wayan Japa, berwajah panjang lancip. Kalau Putu Arka memiliki keanehan pada sepasang alis maka Wayan Japa punya keanehan pada mata kiri. Mata ini putih semua seolah tidak ada bola mata, tapi anehnya mampu melihat seperti mata kanan yang terlihat jelas bola matanya.
“Langit itu!" Jawab Putu Arka sambil tudingkan telunjuk tangan kanan ke atas.
“Langit?" Teman yang bertanya mendongak ke atas, menatap ke arah langit. "Ada apa dengan langit?"
"Apa matamu buta?!" Suara Putu Arka menyentak tapi perlahan. Kedua orang ini sengaja tak mau bicara keras-keras. Kawatir ada orang lain yang tak mereka ketahui mendekam di sekitar tempat itu dan mendengar percakapan mereka.
"Belum, mataku belum buta. Memangnya kenapa?" sahut Wayan Japa yang disusul dengan pertanyaan.
"Langit ditelan kegelapan. Aku tidak bisa melihat bintang satupun! Aku tidak bisa menentukan saat ini apakah menjelang atau sudah tengah malam atau sudah lewat tengah malam! Waktu sangat penting bagi pekerjaan ini. Meleset sedikit kita tidak akan mendapatkan benda itu. Percuma jauh-jauh dari Buleleng datang ke sini. Kalau kita gagal, apa kata guru. Sekarang apa kau mengerti mengapa aku tadi memaki Wayan?" Wayan Japa anggukkan kepala. "Cuaca memang tidak membantu. Sebentar lagi mungkin akan turun hujan lebat. Jadi sebaiknya kita teruskan memperhatikan kearah laut. Aku menduga saat ini baru menjelang tengah malam. Seandainya.."
Putu Arka pegang lengan kawannya.
"Ada apa?" tanya Wayan.
"Hidungmu belum rusak?"
"Maksudmu?" Wayan Japa bertanya heran.
"Tadi langit, sekarang hidungku."
"Apa kau tidak mencium bau sesuatu?" Putu Arka bertanya sambil pelototkan mata.
Wayan Japa tinggikan hidung lalu menghirup udara dalam-dalam.
"Astaga!"
"Sekarang kau tahu! Kau mencium bau apa?!" Tukas Putu Arka.
"Menyan, bau menyan…" jawab Wayan Japa.
"Di tempat sesunyi ini, malam buta begini menurutmu apakah ada orang gi!a yang datang ke sini untuk membakar menyan?"
Wayan Japa gelengkan kepala. "Tentu saja tidak. Tapi…tapi ini bukan bau menyan sungguhan. Ini bau rokok. Rokok klobot…"
"Bagus, kau sadar sekarang, ucap Putu Arka.
"Nyoman Carik! Pasti dia! Siapa lagi!"
"Hebat!" Putu Arka menyeringai. Tampangnya tambah buruk. "Kau tetap di sini. Aku akan memberi pelajaran pada manusia satu itu. Ini urusan besar. Urusan nyawa. Enak saja dia membuat ulah yang bisa mengundang datangnya maut!"
Wayan Japa melihat kilatan menggidikkan di sepasang mata Putu Arka dan cepat berbisik.
“Putu, jangan kau bunuh sahabat kita itu."
Putu Arka menyeringai. "Aku akan pertimbangkan nasihatmu itu. Tetap memperhatikan ke arah laut."
Wayan Japa mengangguk. Hatinya terasa tidak enak. Putu Arka perlahan-lahan baringkan tubuh, menelentang di tanah. Dua kaki dilunjur lurus, dua tangan disilangkan di atas dada. Tiba-tiba tubuh itu bergerak ke samping. Laksana batang kayu berguling menggelinding, membuat pasir beterbangan ke udara. Belum sempat Wayan Japa kedipkan mata sosok Putu Arka telah lenyap.
Di balik serumpunan semak belukar sekitar dua belas tombak di arah belakang tempat Putu Arka dan Wayan Japa berada. Seorang lelaki yang juga berdestar dan berpakaian serba hitam duduk menjelepok di pasir asyik menikmati sebatang rokok yang asapnya menebar bau kemenyan. Orang bertubuh tinggi kurus ini jadi terganggu ketika tiba-tiba ada suara bersiur. Sebuah benda menggelinding di tanah dan di lain kejap benda itu berubah menjadi sosok manusia yang setengah berjongkok memandang garang ke arahnya.
"Putu Arka, ada apa…?"
"Bangsat jahanam tolol! Kau masih bisa bertanya ada apa?!" bentak Putu Arka. "Apa kau masih tidak sadar apa yang tengah kau lakukan?!"
"Aku….Memangnya….Bukankah kau menyuruh aku sembunyi di tempat ini. Mengawasi kalau-kalau ada orang lain yang datang, jika ada orang muncul aku harus membunuhnya. Jika mereka lebih dari
satu aku harus memberi tanda dengan bunyi suara burung…"
Darah Putu Arka seolah mau muncrat dari ubun-ubun. Tangan kirinya bergerak mencabut rokok yang terselip di bibir Nyoman Carik. Rokok dibanting hingga amblas lenyap masuk ke dalam tanah!
"Kita tengah menghadapi pekerjaan besar. Rahasia besar! Tanggung jawab besar! Kau beraninya bertindak ceroboh! Merokok! Nyala api rokok dimalam gelap akan mudah dilihat orang! Bau kemenyan yang menyebar akan mudah tercium! Sungguh sembrono perbuatanmu, Nyoman Carik!"
"Ah…." Nyoman Carik luruskan tubuhnya yang kurus. Dua kaki yang dilipat dibuka sedikit. Orang ini membungkuk seraya berucap. "Mohon maafmu Putu Arka."
"Aku maafkan dirimu! Tapi sesuai pesan guru setiap kesalahan besar mati hukumannya!"
Tangan kanan Putu Arka bergerak ke atas.
Nyoman Carik melihat kilatan maut di kedua mata Putu Arka.
"Putu, jangan…."
Tangan kanan Putu Arka menghantam laksana palu godam.
"Praakk!"
Sosok malang Nyoman Carik terbanting ke kiri. Sebelum tubuh itu terkapar di tanah Putu Arka telah berkelebat tinggalkan tempat itu. Sesaat kemudian dia sudah berada di samping Wayan Japa kembali, di belakang semak belukar.
“Sudah…." jawab Putu Arka pendek. Wajahnya yang buruk diarahkan ke laut. Lalu dia menatap ke langit. Masih geiap, tak kelihatan satu bintangpun.
"Apa yang sudah?" Wayan Japa bertanya. Hatinya syak tidak enak.
Aku sudah memberi pelajaran pada sahabat kita satu itu.’ Menerangkan Putu Arka.
"Maksudmu, kan telah membunuh Nyoman Carik?"
"Kira-kira begitu." Putu Arka menyeringai,
“Gila kau! Jahat sekali membunuh teman sendiri!"
"Teman tidak iagi teman namanya kalau berlaku sembrono yang bisa membuat kematian diriku. Juga
kematian bagi dirimu!"
"Hanya karena merokok?"
"Itu cuma penyebab."
Wayan Japa pegang lengan temannya. "Aku tidak percaya kau telah membunuh Nyoman Carik."
"Sahabat, kau membuatku jadi kesal. Kalau tidak percaya pergi saja ke balik semak belukar sana. Periksa sendiri apakah Nyoman Carik masih hidup! Kurasa saat ini dia sudah jadi bangkai tak berguna!"
Wayan Japa terdiam. Dia palingkan kepala ke arah semak belukar di kejauhan. Gelap. Tengkuknya terasa dingin. Hatinya menduga-duga keculasan sudah mulai muncul diantara mereka. Putu Arka telah membunuh Nyoman Carik. Kini nanya tinggal mereka berdua. Dalam hati Wayan Japa membatin. "Setelah dapatkan barang itu pasti dia juga akan membunuh diriku. Aku harus berlaku waspada. Aku harus mendahuluinya." “Putu, bagaimana kita mempertanggung jawabkan komatian Nyoman Carik pada guru?"
“Soal nyawa Nyoman Carik guru tidak akan mau tahu. Kepadanya kita hanya mempertanggung jawabkan keberhasilan kita mendapatkan barang itu!
Kembali Wayan Japa terdiam. Lalu didengarnya suara Putu Arka berkata.
"Ketololan Nyoman Carik telah mengundang orang lain ke tempat ini! Kita berada dalam pengintaian musuh yang juga menginginkan barang itu! Mereka tahu kita berada di sini!"
Wayan Japa terkejut. Membuka mata lebar­lebar, memasang telinga. Memandang berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa selain semak belukar dan pepohonan dalam kegelapan. Dia juga tidak mendengar suara lain kecuali tiupan angin dan deburan ombak di pasir pantai.
"Ketika aku berguling di tanah tadi, aku sempat melihat bayangan manusia di atas pohon sana. Sewaktu kembali ke sini sekali lagi aku melihat. Ada dua orang di atas pohon. Mungkin lebih tapi yang kulihat jelas hanya dua orang."
Wayan Japa segera hendak palingkan kepala ke arah pohon yang dimaksudkan temannya tapi Putu Arka cepat berkata. "Jangan menoleh! Jangan memandang ke arah pohon! Mereka tengah mengawasi gerak-gerik kita. Pandanganmu ke arah pohon hanya akan memberi tanda bahwa kita sudah mengetahui kehadiran mereka. Kita pura-pura tidak tahu tapi harus waspada! Jangan berbuat tolol seperti Nyoman Carik!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan?"
"Apa yang ada di benakmu?" balik bertanya Putu Arka.
"Sebelum makhluk pembawa barang muncul, bagaimana kalau kita habisi dulu kedua orang itu. Hingga tidak perlu repot-repot belakangan."
"Itu namanya perbuatan sangat tolol! Menghabiskan tenaga sebelum pekerjaan selesai!" jawab Putu Arka pula. Setelah diam sebentar Putu Arka berkata. "Wayan, kau mengambil
alih tugas Nyoman Carik. Begitu makhluk pembawa barang muncul aku akan merampas barang dan kau menghadang dua masuh di atas pohon."
"Baik Putu," jawab Wayan Japa namun hati kecilnya kemudian berkata. "Setelah kau dapatkan barang itu hanya ada dua kemungkinan. Kau akan kabur, atau kau lebih dulu membunuhku."

TAK jauh dari rumpunan semak belukar tempat beradanya Putu Arka dan Wayan Japa. Di atas sebatang pohon besar berdaun lebat mendekam dua sosok berdandanan aneh. Muka tua tertutup celemongan entah dipoles dengan apa. Mungkin cat atau kapur. Rambut sama putih, awut-awutan menjela punggung. Pakaian compang camping penuh tambalan. Dari jarak sepuluh langkah seseorang bisa mencium bagaimana tubuh maupun pakaian kedua orang ini menebar bau apek tidak enak. Di atas pohon keduanya memperhatikan keadaan sekitar pantai. Rupanya sejak lama mereka sudah melihat gerak gerik Putu Arka dan Wayan Japa. Mereka juga telah mengetahui keberadaan Nyoman Carik yang sembunyi beberapa tombak di belakang sana.
Orang tua pertama berbisik pada kawannya.
"Kita kedahuluan, tapi belum terlambat. Aku tidak dapat memastikan siapa tiga cecunguk itu. Tapi hembusan asap rokok yang menebar bau kemenyan salah seorang dari mereka mengingatkan aku pada tiga tokoh dari Bali. Mereka berasal dari Buleleng. Kalau tidak salah mereka dijuluki Tiga Hantu Buleleng."
"Sakra Kalianget, mereka boleh datang duluan. Tapi barang itu tak bakal menjadi milik mereka."
Orang tua bernama Sakra Kalianget menyeringai lalu usap mukanya yang celemongan.
"Jangan keliwat takabur sobatku Bayusongko. Tiga Hantu Buleleng sudah punya nama di rimba persilatan kawasan timur."
"Aku tidak takabur. Apa lagi aku pernah dengar, walau terikat dalam satu kelompok, namun setiap mereka memiliki hati culas. Lebih suka mementingkan diri sendiri. Lihat saja nanti, kalau salah seorang dari mereka dapatkan barang itu, ketiganya akan tega saling berbunuhan untuk
dapat menguasai."
"Kabarnya barang itu memang tidak bisa dimiliki lebih dari satu orang," ucap orang tua berpakaian rombeng bernama Sakra Kalianget,
Bayusongko menatap tajam-tajam ke mata sahabat yang duduK di cabang pohon di atasnya.
"Maksudmu, kaiau barang itu jatuh ke tangan kita, salah seorang dari kita harus mati? Kau mau membunuhku? Begitu?"
Sakta Kalianget tutup mulutnya dengan telapak tangan kiri. Di balik telapak dia tertawa mengekeh tanpa suara.
"Kita berdua bukan orang-orang sinting! Hal itu tidak akan terjadi…"
"Sukra…." Bayusongko pegang kaki temannya.
"Pasang telingamu. Aku dengar sayup-sayup suara dua orang di depan tengah bicara. Seperti bertengkar. Hai, lihat…."
Sakra Kalianget sibakkan pohon yang menghalangi pemandangannya lalu menunjuk ke arah rerumpunan semak belukar. Di bawah sana, di balik semak belukar saat itu Putu Arka tampak membaringkan badan ke tanah.
Apa yang dilakukan manusia itu? Tidur? Gila betul!" ucap Bayusongko. Lalu dia keluarkan suara terkejut. "Astaga, lihat…"
Sosok Putu Arka berguling di tanah. Pasir beterbangan. Cepat sekali gerakan tubuh yang menggelinding itu lewat di bawah pohon lalu sampai di balik serumpunan semak belukar dimana Nyoman Carik tengah sembunyi sambil asyik-asyikan merokok.
"Manusia tolol! Sengaja menggelinding di tanah agar tidak terlihat orang! Padahal keberadaan dia dan kawan-kawan sudah kita ketahui!"
Diam Bayu! ujar Sakra Kalianget sambil menampar perlahan kepala teman yang berada di cabang pohon di sebelah bawah. "Aku mendengar benda berderak pecah. Lalu suara tubuh jatuh ke tanah…"
Dari tempatnya berada di atas pohon, meski lebih rendah dari kedudukan Sakra Kalianget namun Bayusongko bisa melihat lebih jelas apa yang terjadi. Dia keluarkan suara seperti mau muntah.
"Kenapa kamu?" tanya Sakra Kalianget.
"Yang kau dengar adalah suara kepala pecah! Orang yang menggelinding tadi membunuh kawannya sendiri. Orang yang merokok! Gila!"
"Gila tapi bagus! Berarti kekuatan mereka kini tinggal dua orang! Lebih mudah bagi kita untuk merampas barang itu kalau sudah ada di tangan mereka."
"Rupanya benar kabar yang tersiar. Tiga Hantu Buleleng itu masing-masing berhati culas. Apapun alasannya orang satu itu membunuh temannya. aku yakin tujuan hati busuknya adalah untuk mengurangi persaingan. Kelak dia bakal membunuh temannya yang satu lagi…"
‘Bisa begitu Bayu, bisa begitu…" ucap Sakra Kalianget pula.
"Sakra, apa kita tetap pada siasat semula? Membiarkan mereka mendapatkan barang itu lebih dulu baru merampasnya?"
"Siasat tidak berubah. Kita, siapapun, sekalipun memiliki kepandaian setinggi langit sedalam lautan, tidak bakal dapat merampas barang itu. Tiga Hantu Buleleng mampu melakukan karena mereka punya penangkal, tahu rahasia kelemahan makhluk yang membawa barang."
Bayusongko mengangguk-angguk, usap-usap dagunya yang celemongan lalu alihkan pandangan mata ke tengah laut. Dalam hati dia bertanya-tanya. Bagaimana bentuk makhluk yang akan muncul membawa barang itu? Lebih dari itu bagaimana pula ujud barang yang akan mereka rampas lalu diserahkan pada guru mereka di Danau Buyan di Buleleng?
2
ANGIN dari arah laut bertiup dingin mengandung garam. Sementara langit semakin hitam tanpa bintang. Laut selatan diselimuti udara gelap gulita. Gemuruh suara ombak yang bergulung untuk kemudian memecah di pasir pantai terdengar tidak berkeputusan. Tiba-tiba di ufuk tenggara menyambar kilat, seolah muncul dari dalam samudera, melesat ke angkasa membuat guratan seperti membelah langit. Untuk sesaat kawasan pantai selatan terang benderang oleh sambaran cahaya kilat. Di lain kejap kegelapan kembali membungkus.
Di balik semak belukar Putu Arka mengusap wajah, membuka mata lebar-lebar memandang ke tengah laut. Dia mendongak ke langit, coba mencari bintang pertanda. Tak kelihatan satu bintangpun. Tapi dalam hatinya tokoh silat dari Buleleng ini punya dugaan keras. Saat menjelang tepat tengah malam telah tiba. Makhluk pembawa barang akan segera muncul. Dan hujan rintik­rintik mulai turun.
Sekali lagi kilat berkiblat. Kali ini di arah barat. Begitu cahaya terang sirna dan kegelapan kembali muncul, mendadak di tengah laut tampak satu cahaya kehijauan, seolah keluar dari dasar samudera. Secara aneh, entah apa yang terjadi, entah kekuatan dari mana yang turun ke bumi. tiba-tiba ombak di laut berhenti bergulung. Air laut diam tak bergerak seperti berubah menjadi hamparan rumput luar biasa luas. Tak ada lagi ombak yang bergulung dan memecah di pasir pantai. Anginpun berhenti bertiup dan hujan rintik­rintik lenyap. Seantero kawasan pantai selatan gelap pekat dan sunyi senyap.
“Saatnya….saatnya sudah tiba," kata Putu Arka dalam hati. Dadanya berdebar, wajah buruknya tampak tegang, mata terpentang lebar, menatap tak berkesip ke arah laut. Di belakang sana Wayan Japa merasa tegang. Sekilas dia memandang ke arah laut. Lalu kembali berpaling ke jurusan semula. Sesuai tugas, dia harus mengawasi kemunculan mendadak orang-orang yang tidak diingini. Saat itu sepasang matanya tidak lepas dari memperhatikan pohon besar dimana menurut Putu Arka bersembunyi dua orang tak dikenal.
Keheningan yang muncul mendadak membuat semua orang yang ada di tempat itu jadi tercekat bergidik.
"Keanehan apa ini?! Mengapa mendadak sunyi seperti di liang kubur! Ombak berhenti bergulung, angin tidak bertiup dan hujan yang barusan turun juga berhenti! Apa yang terjadi?!" Berucap Bayusongko yang berada di atas pohon besar.
"Saat yang ditunggu sudah tiba! Kita berada di tepat tengah malam. Ini saat munculnya makhluk yang membawa benda mustika itu. Menurut petunjuk dia akan keluar dari…." Ucapan Sakra Kalianget terputus. Dia meraba daun telinga sebelah kiri. "Ada suara kuda berlari dari arah timur. Menuju ke sini. Tapi….Mengapa tiba-tiba lenyap?"
Ada orang lain yang tahu urusan besar ini. Kita harus lebih waspada," bisik Bayusongko.
Di balik semak belukar Putu Arka yang memperhatikan ke tengah laut tanpa berkesip mendadak melihat cahaya hijau yang sejak tadi diawasinya berubah tambah panjang dan tambah terang. Tiba-tiba cahaya itu melesat ke atas. Air laut laksana terbelah. Cahaya hijau keluar dari dalam laut mengeluarkan suara bergemuruh. Kawasan pantai bergetar, pepohonan bergoyang. Di tepi pantai pasir berhamburan sampai setinggi dan sejauh dua tombak. Saat itu pula air laut kembali, bergerak. Ombak menderu bergulung ke pantai. Angin kembali bertiup kencang dan dingin. Lalu hujan rintik-rintik kembali turun dan dengan cepat berubah deras.
Putu Arka tudungi kedua matanya dengan tangan kiri. Tak tahan silau cahaya hijau yang keluar dari laut. Ketika dia dapat melihat dengan jelas, kejut tokoh silat dan Bali ini bukan alang kepalang. Yang barusan melesat keluar dari dalam laut disertai pancaran cahaya hijau menyilaukan ternyata adalah sosok seekor ular besar dan panjang berkulit hijau. Sebagian tubuhnya masih berada didalam air laut. Luar biasanya sosok ular ini memiliki kepala seorang nenek berambut hijau, punya sepasang tanduk hijau serta dua mata yang juga hijau. Dua tangannya memegang sebuah peti kayu hitam yang diikat dengan akar tumbuhan laut berwarna hijau. Di atas kepalanya ada sebentuk mahkota terbuat dari batu hijau. Keseluruhan sosok nenek ular ini, mulai dari kepala sampai ke bawah memancarkan cahaya hijau menyilaukan. Orang pertama dari Tiga Hantu Buleleng ini tidak pernah menduga kalau inilah makhluk yang akan ditemuinya.
Dalam kejut dan ketersiapannya Putu Arka perhatikan peti kayu hitam yang dipegang nenek ular. "Peti itu…." katanya dalam hati. "Itu, yang harus aku dapatkan. Makhluk itu pasti tak akan mau menyerahkan secara suka rela. Aku harus merampasnya. Di dalam peti pasti tersimpan barang yang dicari. Mustika pembawa nyawa, pemberi kehidupan baru!"
Putu Arka usap wajah buruknya yang basah oleh air hujan lalu bergeser ke kanan. Saatnya dia keluar dari balik semak belukar. Gerakannya terhenti sebentar ketika dilihatnya manusia ular rundukkan tubuh bagian atas lalu meluncur di atas air menuju pasir pantai. Begitu makhluk aneh mengerikan itu sampai di atas pasir, Putu Arka tidak menunggu lebih lama. Dia segera melompat keluar dari balik semak belukar lalu melesat ke tepi pasir.
"Makhluk ular kepala manusia! Serahkan peti yang kau bawa padaku!"
Putu Arka berteriak keras. Suaranya menggelegar di bawah deru hujan. Tokoh silat dari Bali ini tentu saja menyertai teriakannya tadi dengan kekuatan tenaga dalam. Nenek ular serta merta angkat kepala. Sepasang matanya yang hijau memandang menyorot ke arah orang yang barusan membentak. Tiba-tiba si nenek keluarkan suara tertawa aneh. Ketika mulutnya terbuka kelihatan lidah berwarna hijau, menjulur terbelah di sebelah ujung. Makhluk bertubuh ular berkepala manusia ini bersurut setengah tombak. Ekornya melesat ke atas, menekuk di udara. Seperti buntut kalajengking yang siap menyengat, membuat Putu Arka harus berlaku hati-hati.
"Anak manusia, siapapun kau adanya pasti sudah lama menunggu di tempat ini. Kau begitu sabar menantikan kematianmu. Apakah kau sendirian atau punya teman. Suruh mereka segera keluar agar aku tidak terlalu banyak mengha­biskan waktu dan tenaga untuk menyingkirkan kalian!"
Putu Arka mengeram marah.
"Aku meminta untuk kali kedua. Itu merupakan kali yang terakhir! Serahkan peti kayu padaku!"
"Kau meminta barang yang bukan hakmu! Kau ini bangsa maling, begal atau rampok?!" Nenek ular sehabis berucap kembali tertawa aneh.
"Makhluk tolol! Kau lebih sayang peti itu dari nyawamu! Lihat, apa yang ada di tanganku!"
Dua tangan Putu Arka yang sejak tadi dimasukkan ke balik baju hitam yang basah kuyup melesat keluar. Dia kembangkan telapak tangan. Di atas telapak tangan kiri terdapat sehelai daun sirih. Di telapak tangan kanan kelihatan sebuah Bawang putih tunggal.
Tampang nenek ular serta merta berubah begitu melihat sirih dan bawang putih tunggal Tubuh ularnya mengkeret dan bersurut sampai satu tombak.
"Manusia beralis hitam putih! Katakan siapa Kau sebenarnya?!"
Putu Arka menyeringai. Maklum makhluk tubuh ular kepala manusia itu kini merasa jerih terhadapnya.
"Aku tidak suruh kau bertanya. Aku perintahkan agar kau segera menyerahkan peti kayu!" Habis berkata begitu Putu Arka lalu remas daun sirih di tangan kiri dan bawang putih tunggal di tangan kanan. Daun sirih dan bawang putih yang sudah hancur kemudian dimasukkannya ke dalam mulut, dikunyah lumat-lumat.
"Manusia ini tahu kelemahanku’ Aku harus membunuhnya sebelum dia menyemburkan kunyahan daun sirih dan bawang putih." Nenek ular berkata daiam hati. Lalu sambi! surutkan tubuh ularnya dan rundukkan kepala dia keluarkan ucapan.
‘Aku menaruh hormat dan tunduk padamu. Mungkin kau memang orangnya kepada siapa aku harus menyerahkan peti kayu ini. Maafkan kelancanganku. Harap kau sudi menerima." Nenek ular rundukkan kepala lebih ke bawah. Dua tangan yang memegang peti kayu diulurkan ke depan kearah orang yang meminta. Putu Arka tokoh silat berpengalaman. Dia tidak bodoh. Dia mencium gelagat yang tidak baik. Tipu daya! Dan ternyata betul. Hanya seuluran tangan peti kayu berada di depan Putu Arka, tiba-tiba ekor nenek ular yang ditarik tadi menekuk di udara menghantam kearah kepala Putu Arka. Cahaya hijau berkiblat menyertai serangan maut itu!
Didahului bentakan keras Putu Arka melompat ke samping. Ekor ular menderu dahsyat, membongkar tanah. Pasir pantai berhamburan ke udara di tempat itu kelihatan lobang besar sedalam hampir setengah tombak. Dapat dibayangkan kalau hantaman ekor ular mengenai kepala Putu Arka.
Begitu ioios dari serangan maut Putu Arka cepat melesat ke udara. Pada saat kepalanya sejajar dengan kepala nenek ular dia semburkan selengah dari kunyahan daun sirih dan bawang putih yang ada dalam mulut. Hampir bersamaan dengan itu nenek ular sentakkan kepala.
"Wuss! Wusss!"
Dari sepasang mata nenek ular melesat dua sinar hijau menggidikkan. Tapi dua larik sinar maut itu serta merta menghambur berantakan begitu terkena semburan kunyahan daun sirih dan bawang putih tunggal. Nenek ular keluarkan suara meraung panjang aneh menggidikkan. Suara ini seperti raungan anjing namun pada ujung raungan berubah seperti ringkikan kuda. Kepala nenek ular terbanting ke belakang. Sekujur tubuh ularnya bergoncang keras. Dalam keadaan menghuyung makhluk ini buka mulutnya. Lidah hijau terbelah dijulurkan. Memancarkan cahaya hijau menyeramkan.
Putu Arka yang maklum kalau lawan kembali hendak menyerang. Dengan cepat jungkir balik di udara. Sambil menukik dia semburkan sisa kunyahan daun sirih dan bawang putih ke arah kepala nenek ular. Makhluk yang belum sempat menyemburkan racun maut dari mulutnya kembali meraung keras. Semburan kunyahan daun sirih dan bawang putih tepat mengenai wajahnya. Saat itu juga kepala nenek ular kelihatan berpijar hebat, mengepulkan asap hijau lalu seperti lilin terbakar kepala itu leleh, berubah menjadi cairan hijau. Luar biasa mengerikan. Dua tangan si nenek terpentang ke udara. Menggapai-gapai. Peti kayu yang sejak tadi dipegangnya terlepas jatuh.
Perlahan-lahan sosok ular si nenek tersurut dan tenggelam ke dalam laut. Putu Arka bertindak cepat. Dua kaki dijejakkan ke pasir. Tubuhnya melesat ke udara, menyambar kayu hitam yang siap jatuh ke dalam laut.
"Dapat!" Di balik semak belukar Wayan Japa berucap gembira sambil kepalkan tangan ketika melihat sobatnya Putu Arka berhasil menangkap dan mendapatkan peti kayu yang terlepas jatuh dari pegangan makhluk ular kepala manusia.
Namun pada saat yang sama, di arah belakangnya terdengar sambaran angin. Dua makhluk aneh, berwajah celemongan melesat turun dari pohon besar. Musuh yang ditunggu-tunggu telah keluar unjukkan diri. Sesuai yang sudah diatur, Wayan Japa segera keluarkan suara siulan menyerupai suara burung malam. !ni adalah tanda yang harus diberikannya pada Putu Arka.
Putu Arka sempat mendengar suara siulan pertanda yang diberikan Wayan Japa. Tapi seperti yang sudah diduga, keculasan pada masing­masing Tiga Hantu Buleleng ini menjadi kenyataan. Bukannya datang untuk membantu sahabatnya, malah sambil menyeringai Putu Arka berbalik kabur ke arah barat membawa peti kayu. Dia tidak menyadari justru pada saat yang hampir bersamaan dari arah berlawanan terdengar derap kaki kuda mendatangi.
SEBELUM turun dari atas pohon besar, Sakra Kalianget berkata pada temannya. ‘Bayusongko, kau serang si penghadang. Aku mengejar orang yang melarikan peti kayu!"
Dua tokoh silat dari Madura itu segera berkelebat turun dari atas pohon sambil hunus senjata masing-masing yakni sebilah clurit terbuat dari besi biru dilapisi emas. Sakra Kalianget langsung mengejar Putu Arka sedang Bayusongko menyerbu ke arah Wayan Japa yang memang bertindak sebagai penghadang.
Begitu saling berhadapan Bayusongko tenang­tenang saja melintangkan clurit emas di depan dada. Sementara Wayan Japa tidak dapat menyembunyikan rasa kaget ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya dan siap menyerbu. Namun dia cepat menguasai diri dan merubah sikap.
"Owalah!" ucap Wayan Japa. "Lihat siapa yang jual tampang di hadapanku! Muka celemongan, pakaian rombeng penuh tambalan, menebar bau busuk. Bersenjata clurit emas! Siapa lagi kalau bukan tua bangka berjuluk Pengemis Clurit Emas dari Madura!"
Disapa orang begitu rupa Bayusongko tertawa mengekeh.
"Malam begini gelap, hujan pula! Tidak sangka orang masih mengenali diriku! Rupanya aku memang sudah jadi tokoh kesohor! Ha…ha…ha!"
"Tunggu! Jangan buru-buru berucap sombong!" Hardik Wayan Japa. "Biasanya Pengemis Clurit Emas selalu muncul berdua. Mana temanmu? Apa lagi mengemis di tempat lain? Ha…ha…ha!"
"Apa perduiimu dimana temanku!’ jawab Bayusongko lalu keluarkan suara mendengus.
Wayan Japa maklum kalau ejekannya membuat lawan mulai marah. Maka dia kembali keluarkan ucapan.
"Malam-malam buta begini. Di tempat sepi. Ketika cuaca begini buruk! Aneh kalau kau muncul untuk mengemis! Sendirian pula!"
Bayusongko menahan amarahnya. Batuk-batuk lalu tertawa gelak-gelak.
Kalau mengemis nyawa manusia waktunya tidak perlu diatur, Malam-malam seperti ini memang paling tepat untuk minta nyawa orang. Berbarangan dengan kehadiran setan laut yang pasti banyak gentayangan di sekitar sini! Ha…ha. .ha!"
"Tolol sekali!" tukas Wayan Japa. "Senjata saja terbuat dari emas. Masih mau mengemis! Jua! saja cluritmu kalau tidak punya uang! Aku sering mendengar kabar. Banyak pengemis yang sebenarnya kaya raya. Di kampung punya tiga rumah dan tiga istri! Kau pasti termasuk pengemis macam begituan!"
"Ah, rupanya Pengemis Clurit Emas memang sudah tersohor. Sampai-sampai kau tahu keadaan diriku! Hai, kalau aku mau menjual clurit ini, apa kau mau membeli?!"
"Siapa sudi!" jawab Wayan Japa lalu meludah ke tanah.
"Kalau begitu biar clurit ini aku berikan cuma­cuma padamu!" kata Bayusongko pula lalu menerjang ke depan sambil babatkan senjatanya. Sinar terang kuning berkiblat dalam gelapnya udara dan curahan hujan lebat.
Wayan Japa cepat menyingkir selamatkan diri. Sinar kuning clurit emas membabat udara kosong. Curahan air hujan seolah tertahan. Dari sambaran angin yang menggetarkan pakaian dan tubuhnya Wayan Japa maklum, bukan saja senjata di tangan lawan merupakan senjata berbahaya tapi yang melancarkan serangan juga memiliki tenaga dalam tinggi.
Sambil melompat mundur mengelak serangan orang Wayan Japa cepat loloskan destar hitam di kepala. Destar yang basah oleh air hujan diperas dulu, lalu ditarik, direntang dan diurut-urut. Sesaat saja destar hitam itu telah berubah menjadi keras dan lurus. Destar dibolang baling mengeluarkan suara bersiuran. Luar biasa, destar yang terbuat dari kain itu kini berubah menjadi sebatang tongkat sepanjang lima jengkal.
Bayusongko tertawa bergelak.
"Hantu Dari Buleleng yang katanya punya nama besar di rimba persilatan ternyata cuma punya senjata butut! Kau akan mampus lebih cepat kalau hanya mengandalkan destar bau tengik itu!" ejek Bayusongko.
"Jangan banyak mulut! Terima kematianmu!" kertak Wayan Japa. Lalu orang kedua dari Tiga Hantu Buleleng ini menerjang lancarkan erangan dalam jurus bernama Tongkat Hantu menghidang Iblis.
Seolah mengejek dan memandang rendah lawan, Bayusongko sengaja tegak diam menung­gu datangnya serangan Wayan Japa.
3
SIKAP memandang enteng senjata dan serangan lawan serta merta berubah jadi keterkejutan besar. Malah Bayusongko sampai-sampai keluarkan seruan tertahan. Destar hitam di tangan Wayan Japa laksana seekor ular bisa berubah lentur. Laksana seekor ular mematuk kian kemari, menyerang tiga bagian tubuh Bayusongko dalam satu gebrakan! Untuk mengelakkan hantaman ujung destar yang mengarah ke bagian dada, perut dan betisnya Bayusongko dipaksa berkelebat dan berjingkrak kian kemari. Untung saja orang tokoh silat dari Madura ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Dia mampu selamatkan diri dari tiga kali hantaman senjata lawan.
Bayusongko menggeram dalam hati. Baru jurus pertama lawan mampu membuatnya kelabakan begitu rupa. Hatinya jadi panas ketika Wayan Japa keluarkan ucapan.
"Ha…ha! Aku tidak sangka pengemis bisa berubah jadi monyet! Jingkrak sana jingkrak sini!"
"Umur tinggal sejengkal! Masih mau bicara sombong!" hardik Bayusongko pula. "Lihat clurit!"
Bayusongko membuat satu terjangan. Dua kaki melesat di atas tanah. Tubuh meliuk aneh. Clurit emas diputar di atas kepala, lalu menukik dalam bentuk serangan ke arah pinggang lawan. Ketika Wayan Japa mundur dua langkah untuk elakkan sambaran clurit, tubuh Bayusongko yang masih mengapung di udara kembali membuat liukan aneh dan settt! Clurit emas tahu-tahu membabat ke arah leher Wayan Japa!
Sambil surutkan kaki kiri ke belakang dan kepala dirundukkan, Wayan Japa sambut serangan orang dengan jurus Tongkat Hantu Menutup Pintu Akhirat. Destar hitam berkelebat searah perut lawan yang tidak terjaga,, membuat kakek bernama Bayusongko terpaksa lentingkan tubuh ke belakang dan begitu berhasil selamatkan perutnya dari sambaran destar dia teruskan babatan clurit ke arah leher lawan.
Jurus Tongkat Hantu Menutup Pintu Akhirat yang dimainkan orang kedua dari Tiga Hantu Buleleng ini bukan satu jurus kosong. Ujung destar yang telah berubah menjadi sebatang tongkat luar biasa ampuhnya, berkelebat di udara. Ujung atas melintang di depan leher, ujung bawah menohok ke arah perut lawan!
"Trangg!"
Tongkat destar beradu dengan clurit emas, mengeluarkan suara berkerontangan seolah dua logam atos saling bentrokan di udara! Bunga api memercik. Destar mengeluarkan cahaya hitam sedang clurit menebar percikan cahaya kuning benderang.
Bentrokan senjata membuat tangan pengemis tua Bayusongko yang memegang clurit tergetar keras. Ini sudah cukup membuat tokoh silat dari Madura ini jadi terkejut. Dia tidak menyangka lawan memiliki kekuatan tenaga begitu besar serta senjata aneh yang tak bisa dianggap enteng. Dan belum habis kejutnya tiba-tiba bagian bawah tongkat lawan menderu ke arah perutnya!
"Bukkk!"
"Hueekk!"
Bayusongko mengeluh tinggi dan muntahkan darah segar. Tubuhnya terlipat ke depan. Tangan kiri meraba perut karena mengira perut itu sudah jebol dihantam tongkat yang terbuat dari destar tapi kerasnya tidak beda dengan pentungan besi! Ketika dia hendak mengusap darah yang membasahi mulutnya, tiba-tiba tongkat di tangan Wayan Japa kembali menderu. Kali ini dalam gerakan mengemplang ke arah batok kepala si pengemis yang berdiri setengah terbungkuk karena menahan sakit pada perutnya dan tengah menyeka darah di mulut.
Untungnya Bayusongko masih sempat melihat serangan maut itu. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah. Sambil berguling dia babatkan clurit emas ke arah dua kaki Wayan Japa. Tanpa menggeser kedudukan kedua kakinya, Wayan Japa tusukkan tongkat ke bawah. Senjata itu menancap di tanah tepat pada saat clurit emas datang membabat.
Untuk kedua kalinya dua senjata saling bentrokan dan untuk kedua kalinya pula bunga api hitam dan kuning memercik di udara gelap. Wayan Japa cepat tarik tongkat tapi alangkah terkejutnya anggota Tiga Hantu Buleleng ini ketika dapatkan walau telah mengerahkan tenaga sekuat apapun, malah mempergunakan dua tangan sekaligus, dia tidak mampu mencabut tongkat yang menancap di tanah itu!
"Celaka! Apa yang terjadi?!" Sepasang mata Wayan Japa mendelik besar. Clurit emas senjata lawan dilihatnya melingkar pada badan tongkat. Ujungnya yang tajam dan bagian gagang tidak kelihatan karena terpendam ke dalam tanah! "Clurit…clurit itu mengunci senjataku!" Wayan Japa pentang matanya ke arah Bayusongko yang saat itu telah tegak berdiri. Mukanya yang celemongan tambak tak karuan oleh darah yang membasahi mulut dan dagunya.
Kakek bermuka celemongan itu berdiri itu sambil tertawa mengekeh dan usap-usap dua tangannya satu sama lain. Tiba-tiba entah dari mana munculnya tahu-tahu dalam dua tangan Bayusongko telah tergenggam dua buah clurit kecil. Dua senjata ini kelihatan aneh karena hanya gagangnya yang tampak jelas sedang bagian yang tajam dan runcing hampir tidak membekas di dalam kegelapan.
"Clurit Hantu!"
Wayan Japa keluarkan seruan tertahan.
Tampangnya berubah. Jelas ketakutan amat Hangat.
Si pengemis tua Bayusongko tertawa mengekeh.
"Bagus sekali! Kau mengenali sepasang clurit gaib ini! Pertanda kau sadar bahwa kematian sudah di depan hidung! Ha…ha…ha!" Pengemis tua itu tertawa bergelak. Begitu tawa lenyap dua tangan yang memegang clurit kecil yang disebutnya sebagai clurit goib bergerak berputar.
"Seettt!"
"Seettt!"
Dua clurit aneh yang hanya kelihatan gagangnya saja melesat ke arah Wayan Japa. Tokoh dari Bali ini hanya sempat melihat clurit hantu yang menyerang ke arah lehernya. Dia cepat menyingkir ke kiri sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong berkekuatan tenaga dalam penuh. Meskipun Wayan Japa berhasil memukul mental clurit pertama namun dia tidak mampu melihat kelebatan datangnya clurit hantu kedua.
Raungan menggelegar dari mulut orang kedua Tiga Hantu Buleleng ini ketika clurit hantu kedua menancap tepat di mata kirinya. Sosok Wayan Japa terhuyung ke belakang. Tangan kiri menggapai udara kosong. Tangan kanan bergerak ke arah mata, berusaha mencabut clurit hantu yang menancap di mata itu. Tapi belum sempat menyentuh, mendadak sekujur tubuh Wayan Japa berubah dingin dan kaku. Dia hanya sempat keluarkan keluhan pendek lalu sosoknya terbanting ke tanah tak bergerak lagi. Dalam gelap sekujur kulit tubuhnya kelihatan membiru. Itulah akibat racun sangat jahat yang ada pada clurit hantu. Jangankan manusia, makhluk sebesar gajahpun mampu terbunuh oleh racun ini dalam sekejapan mata! Ternyata Hantu Buleleng tidak sanggup menghadapi clurit hantu alias clurit goib!
Pengemis muka celemongan Bayusongko menyeringai sambil usap-usap dua tangan. Secara aneh, dua clurit hantu telah berada dalam tangannya kembali. Orang tua ini masih terbungkuk menahan sakit pada perutnya kemudian melangkah mendekati tongkat milik Wayan Japa yang kini telah berubah ke bentuknya semula yaitu selembar kain ikat kepala dan melingkar di tanah. Bayusongko cabut clurit emas miliknya yang terpendam di tanah di samping destar hitam. Kepala pengemis tua muka celemongan ini terdongak ketika dari arah pantai terdengar suara jeritan orang. Dia mengenali. Itu adalah suara jeritan sahabatnya, Sakra Kalianget, orang pertama dari Pengemis Clurit Emas.
KEMBALI kepada Putu Arka. Seperti dituturkan sebelumnya orang pertama dari Tiga Hantu Buleleng ini berhasil menghancurkan makhluk ular berkepala manusia yang keluar dari dalam lautan membawa sebuah peti kayu berwarna hitam. Begitu peti berada di tangannya Putu Arka segera kabur ke arah barat. Dia tidak perdulikan suara suitan tanda yang diberikan sahabatnya Wayan Japa. Dia seperti tidak mendengar suara derap kaki kuda banyak sekali datang dari arah timur. Yang penting dia sudah dapatkan peti berisi benda maha sakti tiada duanya di dunia dan harus menyelamatkannya.
Namun belum sampai berlari dua puluh langkah, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat di depan Putu Arka. Cepat Putu Arka tahan lari kemana gerakan orang jelas menghadang dirinya. Memandang ke depan, Putu Arka jadi melengak. Lnam langkah di hadapannya tegak bertolak pinggang seorang kakek bermuka celemongan, rambut putih panjang awut-awutan. Berpakaian rombeng penuh tambalan. Dari keadaan serta pakaian orang, Putu Arka segera maklum, dengan siapa dia berhadapan saat itu.
Sakra Kalianget! Orang pertama Pengemis Clurit Emas. Gerangan apa kau muncul di malam
buta sepertinya sengaja menghadang jalanku?!" “Putu Arka, jangan pura-pura berbasa-basi. Serahkan peti yang kau pegang padaku! Sekarang! Cepat!" “Ah” Putu Arka mundur satu langkah. "Aku memang barusan merampas barang ini dari orang lain. Tapi aku tahu betul peti dan benda isi di dalamnya bukanlah milikmu! Mengapa aku merasa perlu menyerahkan kepadamu!" Sakra Kalianget tertawa bergelak. Rangkapkan dua tangan diatas baju rombengnya lalu berkata.
“Kali pertama aku hanya meminta peti itu. Kali kedua aku meminta berikut nyawamu! Terserah kau mau memberikan yang mana!"
Sesaal Putu Arka terdiam. Otaknya bekerja. Dia cukup tahu riwayat kakek muka angker celemongan bernama Sakra Kalianget ini. Bersama seorang kakek lainnya bernama Bayusongko di rimba persilatan tanah Jawa kawasan timur dia dikenal dengan julukan Pengemis Clurit Emas. Mereka selalu muncul berdua. Mana yang satunya? Tadi dia mendengar jerit raungan Wayan Japa. Dia tidak perlu menyelidik. Saat ini Wayan Japa pasti sudah menemui ajal. Pembunuhnya? Besar dugaan si pembunuh adalah Pengemis Clurit Emas yang bernama Bayusongko. Menghadapi manusia satu ini saja cukup sulit. Apa lagi kalau sampai temannya muncul membantu.
"Sakra Kalianget, aku tidak mau membuang­buang waktu berurusan dengan manusia pengemis sepertimu. Tunggu saja sampai siang. Pergi ke pasar dan mengemis di sana! Jangan mencampuri urusan orang!"
Sakra Kalianget kembali tertawa.
"Urusan yang kau hadapi bukan urusan dirimu sendiri. Tapi adalah urusan para tokoh rimba persilatan!" Ucap jago tua dari Madura itu.
Dengar, aku akan mengampuni selembar nyawamu, kalau kau tidak terlalu bodoh mau menyerahkan peti kayu hitam padaku!"
"Jahanam!" maki Putu Arka dalam hati. "Mati hidup peti ini akan aku pertahankan!" Lalu dia keluarkan ucapan. "Pengemis kesasar! Kalau kau inginkan peti ini silahkan mengambil sendiri!"
"Bodoh sekali! Berani menantang Pengemis Clurit Emas dari Madura!" kata Sakra Kalianget sambil menyeringai. Begitu selesai bicara kakek pengemis ini keluarkan clurit emasnya dan langsung menyerang Putu Arka. Perkelahian hobat segera pecah. Putu Arka segera terdesak begitu memasuki jurus kedua. Sebabnya dia terpaksa berkelahi sambil satu tangan memegang peti kayu. Seperti Wayan Japa tadi dia loloskan destar hitam yang terikat di kepala. Kalau Wayan Japa terlebih dulu harus menarik dan mengurut­urut destar itu, lain halnya dengan Putu Arka. Karena kesaktiannya jauh lebih tinggi dari Wayan Japa, maka sekali kain hitam itu disentakkan, serta merta berubah menjadi sebatang tongkat seatos besi!
Ternyata ilmu silat yang dimiliki Putu Arka setingkat lebih tinggi dari Sakra Kalianget. Walau di awal jurus perkelahian dia kena didesak, namun setelah keluarkan jurus-jurus andalannya, Putu Arka berhasil mengimbangi serangan lawan malah sesekali membuat serangan balasan yang mematikan.
Kesal karena tidak bisa menembus pertahanan lawan Sakra Kalianget dengan cerdik alihkan sasaran serangannya. Kini cluritnya dipakai untuk menghantam ke arah peti hitam yang dikepit Putu Arka di tangan kiri. Satu kali clurit emas berhasil membabat sudut kiri atas peti kayu hingga gompal. Untung peti itu cukup tebal hingga isi di dalamnya masih terlindung. Namun keberhasilan merusak peti harus ditebus cukup mahal oleh Sakra Kalianget. Karena di saat pertahanan Sakra terbuka. Putu Arka berhasil susupkan tongkatnya ke dada kiri lawan.
"Kraakk!"
Salah satu tulang iga Sakra Kalianget berderak patah. Orang ini menjerit kesakitan. Jeritan inilah yang kemudian didengar oleh pengemis Bayusongko yang baru saja berhasil membunuh Wayan Japa.
"Jahanam Putu Arka! Kau memang minta mampus! Sekarang tidak ada lagi pengampunan bagi dirimu!" Sakra Kalianget lemparkan clurit emas di tangan kanan ke arah Putu Arka.
Demikian cepatnya lemparan ini, Putu Arka hanya mampu pergunakan peti kayu untuk melindungi diri. Clurit emas menancap di peti. Putu Arka tidak perdulikan. Dia lebih memperhatikan keadaan lawan. Sementara Sakra Kalianget kesakitan, Putu Arka melihat kesempatan untuk menghabisinya. Dengan satu lompatan kilat Putu Arka kirimkan serangan tongkat dalam jurus Tongkat Hantu Memburu Iblis.
Tongkat yang terbuat dari kain ikat kepala itu, yang kemudian berubah sekeras besi, kini berubah lagi laksana sebilah pedang tipis, bergetar keras memancarkan cahaya hitam.
Orang lain mungkin segera menangkis atau bergerak cari selamat. Senjata di tangan lawan bergetar demikian rupa hingga sulit diduga arah mana yang dituju sebagai sasaran. Tapi luar biasanya Sakra Kalianget tegak tenang-tenang saja. Pasti ada yang diandalkannya. Memang benar, ternyata dia berdiri sambil mengusap dua tangan satu sama lain. Di lain kejap dua tangan itu telah menggenggam dua bilah clurit yang dalam gelap hanya terlihat gagangnya. Clurit hantu alias Clurit goib!
Gerakan Putu Arka sesaat jadi tertahan begitu matanya memperhatikan benda apa yang ada dalam pegangan tangan kiri kanan lawan. Dia belum pernah melihat senjata angker itu, hanya banyak mendengar cerita,keganasannya saja. Tapi dia maklum yang tengah dipegang Sakra Kalianget adalah sepasang clurit hantu yang telah banyak membuat geger rimba persilatan tanah Jawa bagian timur.
"Jadi benar berita yang tersiar. Bangsat ini memang punya sepasang clurit hantu! Aku harus cepat membentengi diri dan kabur dari tempat ini!" Didahului bentakan keras, sosok Putu Arka berputar seperti gasing dan melesat ke udara. Di saat yang sama Sakra Kalianget gerakkan dua tangan yang memegang clurit hantu. Tapi belum sempat dua senjata maut itu lepas dari tangannya tiba-tiba di arah kiri belakang terdengar orang berseru.
"Sakra! Biar aku yang menghabisi bangsat itu! Kau cepat menangkap peti begitu lepas dari tangannya!"
Sakra Kalianget kenali suara orang yang berteriak. Suara Bayusongko sahabatnya. Selagi dia meragu apakah akan meneruskan melemparkan clurit hantu ke arah Putu Arka, dari tempat gelap si kakek Bayusongko muncul dan langsung saja melemparkan dua clurit hantu yang telah tergenggam di tangannya kiri kanan.
"Bettt!"
"Bettt!"
Putu Arka yang tadinya bersiap untuk selamatkan diri dari clurit hantu yang hendak dilemparkan Sakra Kalianget tentu saja jadi terkejut besar dan tidak menduga kalau bakalan ada serangan yang sama dari arah lain. Apa lagi saat itu dia tengah bergerak untuk mengeluarkan sebuah benda yang jika dipecahkan akan sanggup membentengi dirinya dari serangan lawan. Namun sebelum sempat benda itu diambilnya, apa lagi saat itu dia masih memegang tongkat, tahu-tahu sebuah benda menancap di bahu kirinya.
"Clurit Hantu!" seru Putu Arka. Sekujur tubuhnya mendadak sontak menjadi dingin. Tidak pikir lebih lama, begitu dua kakinya menjejak tanah, Putu Arka segera buang tongkat di tangan kanan. Lalu dengan tangan itu dia membetot kuat-kuat lengan kirinya.
Terjadilah hal yang mengerikan!
Putu Arka menarik tanggal tangan kirinya yang ditancapi clurit hantu pada bagian bahu. Tangan ini tanggal mulai sebatas persendian bahu ke bawah! Memang hanya inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari kematian akibat racun clurit hantu atau clurit goib yang luar biasa ganasnya. Sehabis menarik tanggal tangannya sendiri, Putu Arka jatuh terjengkang di tanah. Peti kayu hitam telah lebih dulu lepas dari kepitan dan jatuh. Putu Arka gulingkan diri, masih berusaha untuk menjangkau peti itu dengan tangan kanan. Namun dia kalah cepat. Seseorang berkelebat mengambil peti!
Bukan Putu Arka saja yang terkejut atas serangan yang dilancarkan secara mendadak oleh pengemis Bayusongko. Sakra Kalianget juga ikutan kaget malah sampai keluarkan seruan keras. Salah satu dari dua clurit hantu yang dilemparkan Bayusongko menancap di lehernya. Sakra Kalianget keluarkan suara seperti orang digorok. Rasa terkejut luar biasa dan disusul dengan, kemarahan besar membuat dia lupa bertindak. Clurit hantu dibiarkan menancap di leher sementara mulutnya keluarkan sumpah serapah. Sebenarnya memang tak ada yang bisa dilakukan Sakra Kalianget. Dia tidak mungkin menanggalkan lehernya seperti yang dilakukan Putu Arka menanggalkan tangan kirinya.
"Jahanam Bayusongko! Kau sengaja membunuhku! Kau inginkan peti itu untuk dirimu sendiri! Jahanam laknat! Terkutuk kau!"
Si tua muka celemongan Bayusongko batuk-batuk. Seka darah yang meleleh di bibirnya dan menjawab ucapan orang.
"Kau telah lebih dulu mengkhianati kelompok kita! Pertama kau meyingkirkan Nyoman Carik dongan alasan yang dicari-cari. Tadi waktu dapatkan peti ini kau langsung bertindak kabur! Untung masih tertahan oleh hadangan Putu Arka! Bukan begitu ceritanya?!"
"Jahanam keparat! Serahkan peti itu padaku!" teriak Sakra Kalianget seraya melotot memandang ke arah peti kayu hitam yang kini dipegang oleh Bayusongko. Namun heekkk! Dari tenggorokan Sakra Kalianget terdengar suara tersedak. Itulah suara tarikan nafasnya yang terakhir kali.
Sosoknya mendadak dingin lalu terjungkal di tanah. Sekujur kulit tubuhnya berubah kebiru-biru akibat racun ganas clurit hantu.
Bayusongko tertawa mengekeh. Dia kepit peti kayu di tangan kiri. Dua tangan diusap-usapkan. Dua clurit hantu yang tadi dipakainya untuk menyerang orang pertama Tiga Hantu Buleleng dan kawannya sendiri yaitu Sakra Kalianget, secara aneh berada kembali dalam genggamannya.
"Pengemis culas! Kembalikan peti itu padaku! Itu milikku!"
Bayusongko putar tubuh. Memperhatikan orang yang barusan memakinya. Orang itu adalah Putu Arka yang masih terguling di tanah, berusaha duduk.
"Aha! Orang pertama Tiga Hantu Buleleng! Belum mati kau! Kau benar-benar inginkan peti ini rupanya! Aku tidak tega melihat keadaanmu. Biar kuberikan padamu! Ambillah!"
Bayusongko melangkah mendekati Putu Arka. Tersenyum dan membungkuk. Ulurkan dua tangan yang memegang peti seolah benar-benar hendak menyerahkan. Tapi begitu Putu Arka duduk dan ulurkan tangan untuk mengambil peti tiba-tiba Bayusongko tendangkan kaki kanannya.
"Bukkk!"
Darah menyembur dari mulut Putu Arka bersama jerit kesakitan. Tubuhnya mencelat mental, terkapar tak berkutik di tepi pasir. Entah mati entah pingsan.
"Manusia tolol!" ucap pengemis Bayusongko. Lalu putar tubuh, hendak tinggalkan tempat itu sambil menyeringai dan kempit erat-erat peti kayu hitam di tangan kanan. Namun gerak berputar kakek pengemis ini serta merta tertahan, seringai di wajahnya yang celemongan mendadak lenyap seperti direnggut setan ketika tiba-tiba tempat itu telah dikurung oleh enam orang penunggang kuda. Salah seorang dari mereka berseru.
"Atas nama Kerajaan harap peti kayu hitam diserahkan kepada kami!"
4
BAYUSOKO sejenak jadi tertegun dalam keterkejutan. Namun kakek pengemis ini dengan cepat membaca keadaan. Sorotan matanya memandang tajam pada enam orang berkuda yang mengurung. Dia juga memperhatikan binatang tunggangan ke enam orang itu.
"Kuda mereka besar-besar. Pelana bagus. Hiasan di leher kuda dan bentuk tapal kuda menunjukkan tunggangan mereka memang kuda­kuda Kerajaan. Lalu pakaian yang mereka kenakan. Dua berpakaian sebagai Perwira Tinggi. Tiga orang mungkin pengawal. Orang keenam berpakaian paling bagus. Jabatannya pasti lebih tinggi dari dua perwira. Tapi mengapa mereka semua menutupi wajah masing-masing dengan sehelai kain hitam?"
"Pengemis tua! Apa kau tuli tidak mendengar perintah kami?!" Salah satu dari dua orang berpakaian Perwira Tinggi menghardik.
Bayusongko merasa tanah yang dipijaknya bergetar. Pertanda sang perwira memiliki tenaga cukup hebat.
"Kami orang-orang Kerajaan! Lekas serahkan peti kayu itu pada kami!" Perwira Tinggi kedua ikut membentak malah majukan kuda dua langkah.
Bayusongko perkencang kepitan peti kayu di tangan kiri lalu cepat-cepat membungkuk. Mulut­nya berucap hormat.
"Harap maafkan kalau aku, si tua bangka ini tidak segera menunjukkan sikap hormat. Aku kaget…"
"Sekarang kagetmu sudah lenyap. Lekas serahkan peti itu!" Perwira kedua kembali majukan kudanya mendekati Bayusongko.
Si kakek lagi-lagi membungkuk hormat. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. "Hormatku
untuk kalian berenam yang mengaku orang-orang Kerajaan. Kalau boleh bertanya mengapa kalian semua menutupi wajah dengan cadar hitam?"
"Angin malam begini dingin. Banyak nyamuk. Apa tidak boleh kami melindungi wajah?" Perwira Tinggi pertama yang menjawab.
Bayusongko tersenyum. Angguk-anggukkan kepala. Peti kayu yang masih ditancapi clurit emas milik Sakra Kalianget ditimang-timangnya beberapa kali.
"Aku percaya, aku percaya…" kata si kakek pula. "Kalian orang-orang Kerajaan memang harus menjaga kesehatan. Di perjalanan bukan cuma nyamuk dan dinginnya udara yang bisa dltemui. Bisa juga bertemu harimau buas yang siap menggerogot leher kalian. Atau ular yang mematuk pantat kalian? Ha…ha…ha! Aneh, kalau orang-orang Kerajaan yang katanya terkenal hal Ilmu kepandaian tinggi takut pada angin dan nyamuk! Seorang tua puteri saja kalaupun berada itt tumpat ini kurasa tidak akan menutupi wajahnya dengan cadar. Kecuali wajah itu penyok hidungnya, alis cuma sebelah, mata picek, kuping mamplung atau bopengan…"
"Pengemis tua ini terlalu banyak mulut!" Untuk pertama kalinya penunggang kuda berpakaian paling bagus keluarkan ucapan. Lalu memerintah.
Bunuh dia! Ambil peti kayu hitam!"
Tiga penumpang kuda berpakaian seperti pengawal segera melompat dari kuda masing­masing. Tiga pedang dihunus keluar dari sarungnya. Di lain kejap tiga senjata maut membabat ke arah kepala, dada dan pinggang si kakek pengemis bermuka cemong. Rombongan orangorang yang mengaku dari Kerajaan itu tidak begitu mengetahui siapa adanya Bayusongko. Mereka menganggap si kakek seorang tua renta yang punya sedikit ilmu dan merampok peti yang mereka juga inginkan. Namun semuanya jadi tersentak ketika Bayusongko cabut clurit emas yang menancap di peti kayu hitam. Lalu menghamburlah cahaya kuning di kegelapan malam.
Tiga kali terdengar suara bedentrangan disertai percikan bunga api. Dua orang penyerang Bayusongko roboh ke tanah dengan leher dan dada muncratkan dada segar akibat dimakan ujung clurit emas. Pengawal ke tiga masih berdiri tegak, tapi kemudian menjerit keras ketika melihat dan sadar bagaimana tangan kanannya telah buntung di pergelangan dan darah menyembur deras! kakek pengemis telah keluarkan jurus Memapas Rembulan Membelah Matahari untuk menyikat tiga penyerang.
Diam-diam dua orang berpakaian sebagai Perwira Tinggi Kerajaan leletkan lidah. Mereka kini sadar kalau yang dihadapi bukanlah pengemis tua renta biasa. Tapi seorang berkepandaian tinggi. Karena tiga teman mereka yang barusan tewas rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Dan si orang tua hanya butuhkan satu jurus saja untuk merobohkan mereka.
Kalian berdua! Tunggu apa! Lekas bunuh pengemis jahanam itu!" Penunggang kuda berpakaian bagus berteriak marah. Tidak menunggu lebih lama dua penunggang kuda segera melayang turun dari kuda masing-masing dan menyerbu Bayusongko dengan hanya mengandalkan tangan kosong.
Walau tidak bersenjata apa-apa tapi ilmu silat dua perwira yang bercadar itu ternyata sangat tinggi. Dalam beberapa gebrakan saja Bayusongko segera terdesak. Perwira Tinggi pertama menggempur kakek itu dari segala jurusan sementara kawannya lebih memusatkan pada upaya untuk merampas peti.
Kakek pengemis muka celemongan dari Madura menggeram dalam hati. Kalau terus seperti itu, satu kali hantaman tangan dua lawan pasti akan sempat menghajarnya atau peti kayu hitam akan kena dirampas orang. Dia putar clurit emas di tangan kanan dengan sebat. Bukan saja senjata itu lenyap berubah jadi cahaya kuning. Tapi cahaya kuning itu juga membuat tubuhnya lenyap seolah terbungkus. Dua Perwira Tinggi Kerajaan untuk beberapa ketika jadi bingung. Melihat hal ini, orang berpakaian bagus yang masih duduk di atas pelana kuda berteriak.
"Serang dengan jurus Barat Timur -Utara Selatan Membongkar Nyawa!"
Begitu mendengar teriakan, dua Perwira Tinggi yang mengeroyok si kakek pengemis sama-sama keluarkan seruan keras. Lalu tubuh mereka seperti lenyap. Si kakek hanya melihat bayang-bayang berputar cepat disusul dengan datangnya hantaman bertubi-tubi dari depan, belakang, samping kiri dan samping kanan. Badai serangan itu mendera terus sampai tiga jurus dimuka. Jurus berikutnya satu jotosan keras mendarat di dada kiri si kakek. Membuat orang tua ini melintir. Sakit yang dideritanya bukan alang kepalang. Separuh tubuhnya sebelah atas laksana hancur. Namun dia masih bisa mempertahankan peti kayu hitam di kepitan tangan kiri. Dalam keadaan terpuntir seperti itu Perwira Tinggi yang ada di sebelah kiri sempat pula melancarkan serangan yang menghantam perut Bayusongko, tepat di bagian mana sebelumnya kena disodok tongkat destar Wayan Japa. Luka dalam yang masih terkuak membuat darah kembali menyembur dari mulut si kakek.
"Kalau tidak segera kubunuh, aku bisa celaka!" Si kakek maklum keadaannya mulai gawat. Didahului teriakan keras membahana Bayusongko melesat ke udara. Dua lawan cepat mengikuti gerakannya. Namun inilah kesalahan besar yang harus dibayar mahal. Ketika dua Perwira Tinggi terpancing ikut melesat ke udara, si kakek tidak sia-siakan peluang. Peti kayu dipindah, dijepit di antara kedua paha. Lalu dua tangan diusapkan satu sama lain. Sepasang clurit hantu serta merta berada dalam genggamannya.
"Clurit hantu! Awas!" Salah seorang Perwira Tinggi yang kebetulan melihat dua senjata aneh yang ada di tangan lawan kiri kanan segera berteriak memberi ingat. Dia kini sudah bisa menerka siapa adanya lawan tua muka celemongan itu. Namun teriak peringatan itu terlambat, Clurit hantu pertama berkelebat. Menancap di pipi kiri Perwira Tinggi sahabatnya.
Dia sendiri masih bisa berusaha melancarkan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun clurit hantu kedua tetap saja berhasil menembus. Padahal seandainya dua buah batang kelapa dihantamkan dan ditangkis dengan pukulan tangan kosong itu niscaya dua batang kelapa terpental hancur! Clurit hantu menancap tepat dipertengahan kening. Sepasang mata Perwira Tinggi ini langsung terbeliak. Tubuh rubuh ke tanah, menindih sosok Perwira Tinggi kawannya yang telah lebih dulu menemui ajal. Sekujur kulit tubuh mereka kelihatan membiru.
Sesaat setelah kakek pengemis melemparkan dua clurit hantu yang membunuh dua orang berpakaian Perwira Tingi Kerajaan, sosok orang berpakaian paling bagus di atas kuda mendadak lenyap dalam satu gerakan luar biasa cepatnya. Kakek pengemis yang belum sempat memperhatikan musuh terakhirnya itu tiba-tiba terpental laksana dihantam dahsyatnya angin topan. Pahanya yang menjepit peti kayu hitam terkembang. Penunggang kuda ke enam telah menghantam si kakek dengan satu tendangan luar biasa cepat dan keras. Sebelum kakek pengemis terkapar di tanah, peti kayu yang melayang jatuh telah berpindah ke tangan orang bercadar berpakaian bagus.
Bayusongko megap-megap sulit bernafas. Dia tak mampu menggerakkan tubuh. Hanya sepasang matanya saja memandang penuh dendam dan kebencian ke arah orang bercadar hitam yang kini menguasai peti kayu.
"Jurus tendangan Memendam Bumi Menjarah Nyawa…." Ucap kakek pengemis yang mengenali jurus tendangan maut yang barusan dilancarkan musuh bercadar. Sudak sejak lama dia mengetahui bahwa jurus Memendam Bumi Menjarah Nyawa itu adalah jurus ilmu silat yang hanya dimiliki oleh sekelompok tokoh silat Kerajaan.
"Kalian memang orang-orang Kerajaan. Tapi mengapa berlaku pengecut! Beraninya main keroyok! Kau akan menerima laknat benda yang ada dalam peti itu!"
Orang berpakaian bagus tertawa dibalik cadar.
"Kau minta mati! Apa salahnya kami memberikan?!" ucap orang ini.
Pengemis tua Bayusongko berusaha menyatukan dua tangan untuk diusapkan satu sama lain. Ingin sekali dia menghajar manusia satu itu dengan clurit hantu. Namun nyawanya keburu lepas. Setelah muntahkan darah segar kakek ini akhirnya tergeletak tak berkutik lagi.
Orang bercadar dan berpakaian bagus memandang berkeliling. Datang berenam kini hanya tinggal dia sendirian. Dua Perwira Tinggi menemui ajal. Begitu juga dua pengawal. Pengawal ke tiga, dalam keadaan buntung lengan kanan telah menghambur lari entah kemana sejak tadi-tadi. Sambil menimang-nimang peti kayu dia melangkah ke arah kuda tunggangannya. "Aku harus segera tinggalkan tempat ini. Agar sebelum fajar menyingsing sudah berada di Kotaraja."
Peti kayu di masukkan ke dalam kantong perbekalan yang digantung di leher kuda. Orang bercadar ini baru saja mengangkat kaki untuk menjejak besi di sisi kiri kuda ketika tiba-tiba satu suara suitan menggelegar dalam kegelapan.
Di lain saat kuda yang hendak dinaiki meringkik keras. Dua kaki depan diangkat ke atas lalu binatang ini tergelimpang di tanah. Di mulutnya ludah putih membusah. Mata mendelik pertanda nyawanya sudah lepas. Orang bercadar meneliti. Kuda tunggangannya menemui ajal dengan sebuah anak panah hitam menancap tepat pada urat besar jalan darah di leher kanan, tembus ke leher kiri!.
"Jahanam! Siapa yang punya perbuatan!" Rutuk orang bercadar. Dia mencium adanya kesulitan, bahkan bahaya besar. Cepat dia membungkuk mengambil peti kayu di kantong perbekalan. Namun belum sempat dia mengeluarkan peti itu tiba-tiba ada suara menegur.
"Pangeran Haryo, setelah mendapat rejeki besar tidak salah kalau kau buru-buru ingin kembali ke Kotaraja. Tapi karena aku ada di sini, mengapa kita tidak berbagi sedekah?!"
Kejut orang berpakaian bagus bukan alang kepalang. Dia bagai mendengar suara setan. Bagaimana dia tidak bisa mengetahui kalau di tempat itu ada orang lain? Kecuali orang yang barusan menegur itu memiliki ilmu kesaktian luar biasa tinggi hingga kehadirannya seperti bertiupnya angin malam.
5
ORANG bercadar cepat berbalik memutar tubuh. Pandangannya langsung membentur sosok seorang kakek berkepala gundul, duduk mencakung di tanah. Di paha kiri melintang sebuah gendewa atau busur, di tangan kanan dia memegang sebilah anak panah berwarna hitam. Di punggung ada satu kantong dipenuhi dua lusin anak panah berwarna hitam. Kakek berwajah bulat ini tiada henti tersenyum seolah ada hal lucu yang menggembirakan hatinya. Pakaiannya berupa sehelai jubah hijau panjang menjela tanah. Mata menatap tak berkedip ke arah lelaki bercadar hitam dan sesekali melirik ke arah kantong perbekalan di leher kuda yang sudah jadi bangkai.
Orang bercadar yang disapa dengan nama pangeran Haryo kalau tadi terkejut dengan teguran serta kehadiran orang lain yang tidak terduga di tempat ini, kini malah tambah-tambah kagetnya ketika melihat siapa yang duduk berjongkok delapan langkah di depan sana.
"Dia selalu muncul berdua bersama gendaknya. Sembunyi dimana perempuan mesum itu?"
Baru saja dia membatin, tiba-tiba dari samping kiri terdengar suara perempuan tertawa cekikikan!
Lelaki bercadar hitam berpaling ke arah
datangnya suara tertawa. Orang yang barusan dipertanyakannya dalam hati ternyata terlihat enak-enakan duduk di atas rumpunan semak belukar tanpa semak belukar itu merunduk meliuk apalagi roboh.
Orang yang duduk di atas rumpunan semak belukar seperti si kakek kepalanya juga botak dan sama mengenakan jubah hijau panjang. Di punggungnya ada sekantong anak panah berwarna putih. Tangan kiri dimelintangkan di dada, memegang sebuah busur sementara tangan knnan memutar-mutar sebuah anak panah berwarna putih. Seperti si kakek botak dia juga senyum-senyum tiada henti. Kalau saja orang ini tidak mengenakan anting besar pada kedua telinganya, sulit diduga mana yang perempuan dan mana yang lelaki diantara mereka berdua.
"Pangeran Haryo, kau mendadak jadi bisu atau tuli atau bagaimana? Mungkin terkejut karena kehadiran kami yang tidak terduga di tempat ini? Atau karena sudah lama tidak berjumpa membuat kau jadi pangling terhadap kami berdua."
Orang bercadar melengak. Lalu membentak.
"Monyet tua botak buruk rupa! Siapa bilang Pangeran Haryo!"
Si kakek senyum-senyum terus. "Kau boleh sembunyikan wajah. Tapi raut sosok tubuhmu, pakaian dan blangkon yang kau kenakan. Lalu barusan suaramu, bukankah semua memberi petunjuk bahwa kau adalah Pangeran Haryo dari Kotaraja! Aku mengenalmu bertahun-tahun. Aku tidak akan bisa ditipu walau kau menutupi wajah dengan cadar hitam!"
"Setan alas! Kau dan gendakmu tidak disukai di Keraton. Itu sebabnya kau tersingkir sebagai tokoh silat Istana! Di tempat inipun tidak ada yang suka padamu!"
"Ah, mulutmu usil amat." Jawab kakek botak sambil bolang balingkan panah hitam di tangan kanan. "Lihat nenek cantik di atas semak sana? Dia kekasihku! Dia sangat menyukai diriku! Jangan kau mengada-ada tidak ada orang yang menyukai diriku! Ha…ha…ha…ha!"
"Kau benar sekali kekasihku! Benar sekali!’ menyahuti nenek botak yang duduk enak-enakan di atas semak belukar. "Aku menyukaimu. Dari dulu sampai sekarang. Sampai nanti!
Hik…hik…hik! Kau pandai bercinta denganku. Membuat aku selalu tergila-gila mabuk kepayang!"
"Dasar perempuan lacur! Bicara kotor seenaknya saja!" rutuk orang bercadar.
"Nah-nah kau dengar sendiri!" kata kakek botak. "Sekarang kalau aku boleh bertanya apa ada orang yang menyukai dirimu di tempat ini? Aku pasti tidak!"
"Aku juga tidak!" jawab si nenek di atas semak belukar lalu tertawa cekikikan.
"Tak ada manfaatnya bicara dengan orang-orang sinting sepertimu! Aku bukan Pangeran Haryo! Dengar itu baik-baik!"
"Kalau begitu harap singkirkan cadar hitam penutup wajahmu!" tantang kakek botak pula.
"Orang sinting sepertimu mana layak memerintah diriku!"
"Amboi!" seru si nenek botak.
Orang bercadar mengambil peti hitam di dalam kantong perbekalan. Lalu dia melompat ke arah kuda milik salah seorang perwira yang tewas. Kakek botak lirikkan mata ke arah nenek botak di atas semak belukar. Perempuan tua ini senyum­senyum. Anak panah diselipkan di tali busur. Lalu panah putih direntang. Semua itu dilakukan dalam gerakan sangat cepat. Anak panah putih kemudian melesat membelah kegelapan udara malam. Lalu di depan sana kuda yang hendak dipakai sebagai tunggangan meringkik keras. Huyung sesaat lalu roboh ke tanah. Sebuah anak panah berwarna putih menancap di kening, tepat di antara dua mata terus menembus ke otak!
"Sepasang Setan Tersenyum!" orang bercadar membentak. "Apa mau kalian sebenarnya?
Kakek botak dan nenek botak saling pandang lalu sama-sama tertawa.
"Akhirnya kau sebut juga nama julukan kami! Pertanda kau tidak pernah lupa siapa kami berdua Ha…ha…ha! Seperti kataku tadi aku ingin kita berbagi sedekah!"
"Berbagi sedekah? Sedekah apa?!" Bentak orang bercadar walau dalam hati dia sudah bisa menduga kemana melencengnya tujuan ucapan kekek botak yang juga dikenal dengan julukan Raja Setan Tersenyum sementara kekasihnya dikenal dongan panggilan Ratu Setan Tersenyum.
Dengan anak panah hitam di tangan kanan Raja Selan Tersenyum menunjuk ke arah peti yang dipegang orang bercadar hitam di tangan kiri. "Kami ingin kau membagi peti itu."
"Maksudmu?" tukas orang bercadar.
"Kau boleh ambil petinya. Isi serahkan pada kami berdua!"
Habis berkata begitu si kakek botak tertawa gelak-gelak. Si nenek tertawa cekikikan.
"Enak saja mulutmu bicara!" hardik orang bercadar. "Tiga puluh enam rembulan aku menunggu kesempatan, mencari benda di dalam peti ini. Korbankan tenaga, uang, waktu bahkan darah dan nyawa orang-orangku! Sesudah dapat alangkah enaknya kau meminta! Persetan dengan kalian!"
Orang bercadar langsung melompat ke atas kuda perwira kedua. Namun belum sempat menggebrak binatang itu lari, sebuah panah hitam melesat dalam kegelapan malam dan menancap tepat di kaki kiri depan kuda. Binatang ini tersungkur lalu menghambur lari. Meninggalkan orang bercadar jatuh tergelimpang di tanah!
Raja dan Ratu Setan Tersenyum tertawa gelak­gelak.
"Kuda mana lagi yang akan kau pilih untuk kabur?" bertanya si nenek. Lalu dia membuat gerakan cepat tiga kali berturut-turut. Tiga ekor kuda yang ada di tempat itu langsung meringkik roboh.
"Ha…ha…ha!" tawa kakek botak. "Kekasihku membuat kau tidak punya seekor kudapun lagi untuk dipakai kabur!" "Jahanam keparat!" rutuk orang bercadar. Dia cepat berdiri. Si nenek membuka mulut. "Pangeran Haryo…" Nenek setan! Aku bukan Pangeran Haryo! Apn kau tuli?!" "Terserah siapa kau adanya." Sahut Ratu Betan Tersenyum. "Aku hanya ingin membantu agar kau bisa pulang ke Kotaraja tidak kurang suatu apa. Dengar, jika kau serahkan peti itu pada kekasihku,
segala dosamu di masa lalu tidak akan kami ungkit-ungkit!"
"Keparat rendah! Apa dosaku terhadap kalian!" hardik orang bercadar.
Kakek nenek botak saling melirik lalu tertawa gelak-gelak. Lalu si kakek berkata. "Sudah lama kau diketahui sebagai pangeran temahak, rakus dan pandai memfitnah orang-orang yang tidak Behaluan denganmu. Ketika kau dan konco­koncomu menyusun rencana untuk menggulingkan tahta Sri Baginda dan kami menolak ikut, kau dan teman-teman menjatuhkan fitnah bahwa kami berdualah yang jadi dedengkot biang kejahatan Itu. Kami berdua siap digantung. Untung masih ada teman-teman yang menolong hingga bisa kabur selamatkan diri…"
"Kalian mengakui kalau kalian berdua sebenarnya adalah manusia-manusia buronan! Kalian berdua harus ditangkap! Menyerahlah!"
"Hik…hiik…hik!" Si nenek tertawa cekikikan. "Kami dalang kesini bukan bicara soal tangkap menangkap. Tapi minta agar kau menyerahkan bulat-bulat peti itu kepada kami! Mengerti? Dengar? Atau kupingmu torek?!"
‘Tidak ada jalan lain. Pemberontak-pemberontak busuk macam kalian berdua memang harus disingkirkan!"
Habis berkata begitu orang bercadar lemparkan peti kayu ke atas pohon di dekatnya. Peti melesat di udara dan jatuh tepat dilekuk cabang pohon besar. Maksudnya berbuat begitu adalah agar dia lebih leluasa menghadapi dua lawan berat si nenek dan kakek kepala botak. Namun dia tidak sadar kalau di tempat itu telah muncul orang lain. Hanya sesaat setelah peti bertengger di cabang pohon tiba-tiba satu bayangan putih melesat dari tempat gelap. Berkelebat ke arah peti di atas pohon.
"Jahanam! Ada pengacau baru!" Maki orang bercadar. Dia segera hendak lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga sakti ke arah orang yang bermaksud mengambil peti" itu namun tiba-tiba dari jurusan lain berkiblat tiga cahaya terang.
"Wuss!"
Orang berpakaian putih yang tengah melesat untuk mengambil peti kayu di cabang pohon menjerit keras. Tubuhnya berubah menjadi kobaran api. Ketika tubuh itu tercampak jatuh ke tanah keadaannya mengerikan sekali. Sekujur badan mulai dari kepala sampai kaki hanya tinggal tulang-belulang gosong menghitam! Tak mungkin untuk mengenali siapa adanya manusia malang satu ini!
SEWAKTU orang tinggi besar yang mendekam di balik semak belukar pertama kali sampai di tempat itu sebenarnya sudah ada orang lain berpakaian serba putih sembunyi di satu tempat. Orang ini rupanya datang untuk tujuan yang sama yaitu mendapatkan peti kayu hitam. Melihat kenyataan bahwa orang bercadar mungkin benar Pangeran Haryo adanya, orang yang mendekam di balik semak-semak tidak mau bertindak gegabah. Nama Pangeran Haryo cukup dikenal di kalangan Keraton di Kotaraja. Seorang lelaki berusia setengah abad memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Selain itu di tempat tersebut dia Juga melihat Sepasang Setan Tersenyum yang merupakan tokoh-tokoh silat yang tak bisa dipandang enteng. Mereka memang sangat cekatan dalam memainkan panah. Tapi panah dan busur itu juga bisa berubah menjadi pedang, golok, pentungan atau tombak.
Begitu orang bercadar hitam lemparkan peti kayu ke cabang pohon dan siap menghadapi Sepasang Setan Tersenyum, orang berpakaian putih melihat kesempatan baik. Secepat kilat dia melesat ke cabang pohon. Namun sebelum berhasil menyentuh peti kayu hitam tiba-tiba or ang tinggi besar yang mendekam di belakang semak belukar hantamkan tangan kanannya. Sinar terang berkiblat. Tak ampun lagi orang berpakaian serba putih menemui ajal dengan tubuh terbakar gosong.
***
ORANG yang diduga sebagai Pangeran Haryo sesaat terdiam. Matanya cepat mengawasi keadaan. Kalau ada orang lain yang barusan membunuh orang berpakaian serba putih itu, apakah orang ini bertindak sebagai teman atau bagaimana. Dia melirik ke atas cabang pohon. Peti kayu hitam masih ada di situ. Dia perhatikan Sepasang Setan Tersenyum. Dia tahu kakek nenek ini tidak bermaksud untuk segera mengambil peti karena terlalu besar bahayanya. Untuk sementara peti kayu aman di atas cabang pohon.
Orang bercadar hitam manfaatkan situasi yang mencekam. Dia menyeringai, menatap ke arah Sepasang Setan Tersenyum.
"Kalian saksikan sendiri! Siapa saja yang inginkan peti kayu hitam itu, pasti akan tewas di tangan anak buahku!"
Ratu Setan Tersenyum hampir termakan ucapan orang. Tapi si kakek kekasihnya cepat mendekati dan berisik.
"Dia mau menipu kita. Yang membunuh orang berpakaian serba putih tadi bukan anak buah atau temannya. Dengar…aku akan melompat mengambil peti di atas pohon…"
"Kau gila!" sahut Ratu Setan Tersenyum.
"Selagi kau melayang ke atas dirimu tidak terlindung. Nasibmu bisa sama dengan bangkai gosong itu!"
"Kekasihku," ujar Raja Setan. "Percuma kau ada di sini kalau tidak bisa membantu. Dengar, waktu aku melesat ke udara berondong dengan panah orang yang mendekam di balik semak belukar. Aku akan menghujani Pangeran Haryo dengan panah. Aku tidak akan mempergunakan gendewa. Tapi lebih dulu akan pergunakan Asap Setan untuk mengecoh Pangeran itu."
"Terserah jika itu maumu."
"Kau siap Ratuku?"
"Tentu saja!" jawab Ratu Setan Tersenyum. Lalu tangan kanannya berkelebat ke punggung mengambil setengah lusin anak panah sekaligus. Cepat sekali dia merentang gendewa dan menghantam orang yang bersembunyi dibalik semak belukar dengan enam anak panah, lalu menyusul enam anak panah lagi. Orang di balik semak belukar memaki habis-habisan namun dengan gerakan cepat luar biasa dia mampu lolos dari serangan dua belas anak panah.
Begitu kekasihnya mulai menghujani orang yang sembunyi dibalik semak-semak dengan serangan panah, dari dalam kantong jubah Raja Setan Tersenyum keluarkan sebuah benda bulat berwarna hijau. Ketika dilempar ke udara benda bulat itu meletus pecah dan menghamburkan asap tebal berwarna hijau, menutupi seantero tempat terutama sekitar pohon besar dimana beradanya, peti kayu hitam.
Dalam pandangan mata yang terhalang orang bercadar hitam hantamkan tangan kiri ke udara untuk menangkis serangan anak panah.
Sementara tangan kanan mengeluarkan sehelai tambang hitam yang ujungnya ada besi berkait. Peti kayu hitam serta merta terikat oleh tambang yang ada pengaitnya itu. Sekali tarik, sambil melayang ke jurusan yang tidak terduga, lelaki bercadar berhasil mendapatkan peti kayu. Lalu dia meniup ke depan. Asap hijau secara aneh membuntal lebih lebar, menutupi pandangan mata lebih luas. Raja Setan Tersenyum terkurung oleh asap buatannya sendiri. Bersamaan dengan meniup orang bercadar jatuhkan diri lalu gelindingkan diri di tanah, ke balik deretan semak belukar gelap.
"Kurang ajar! Bangsat itu menipu kita!" teriak Ratu Setan Tersenyum yang terbungkus dalam kepekatan asap hijau. Justru inilah kesalahan besar yang harus dibayar mahal. Dari suara ucapannya orang tinggi besar yang mendekam
dalam gelap segera mengetahui dimana beradanya si nenek. Sekali tangannya menghantam, satu gelombang angin laksana sebuah batu raksasa menderu. Ratu Setan Tersenyum sempat mendengar deru dahsyat tapi tidak bisa
selamatkan diri. Di dalam buntalan asap terdengar jeritnya setinggi langit. Tubuhnya terpental, jatuh di atas pasir pantai dalam keadaan hancur memar mulai dari kepala sampai ke kaki.
Raja Setan Tersenyum berteriak keras. Dia sambitkan delapan anak panah ke arah orang bercadar hitam. Tapi orang ini telah lebih dulu Jatuhkan diri ke tanah.
"Ratu! Kekasihku!" teriak Raja Setan Tersenyum kalang kabut. Seperti gila dia menghantam kian kemari. Dua pohon besar tumbang dihantam gendewa. Tiga semak belukar lebat berserabutan ke udara. Dia baru berhenti ketika ingat akan sosok kekasihnya si nenek botak menggeletak di tanah.
"Hancur…" ucap Raja Setan Tersenyum dengan suara bergetar dada membara. "Pangeran Haryo tidak punya ilmu pukulan yang bisa membunuh seperti ini. Jahanam mana yang punya pekerjaan?" Raja Setan Tersenyum pandangi monyet kekasihnya dengan mata melotot. Lalu seperti orang kemasukan setan, kepalanya dibentur-benturkan ke tanah.
"Kekasihku….kekasihku…" kata si kakek berulang kali sambil memeluk tubuh hancur Ratu Setan Tersenyum. Tiba-tiba dia angkat kepala. Tampangnya angker luar biasa seperti setan sungguhan.
"Pangeran keparat! Kau mau kabur kemana!" teriak Raja Setan Tersenyum. Lalu secepat kilat kakek botak ini berkelebat ke jurusan dimana tadi dia sempat melihat bayangan orang bercadar melesat kabur.
6
ORANG bercadar hitam memang memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Namun dalam ilmu lari kemampuannya masih satu tingkat dibawah orang yang mengejar yaitu kakek botak berjuluk Raja Setan Tersenyum. Saat demi saat jarak mereka semakin terpaut dekat. Sementara itu Raja Setan Tersenyum yang melakukan pengejaran mendadak dibayangi rasa was-was karena menyadari kalau di sebelah belakang ada orang lain menguntit mengejarnya.
"Jahanam! Dia pasti pembunuh orang berpakaian putih. Pasti dia juga yang membunuh kekasihku!"
Raja Setan Tersenyum kertakkan rahang. Di depan sana sosok lelaki bercadar tiba-tiba lenyap. Kakek botak hentikan lari. Mata mengawasi ke arah kegelapan di sebelah depan. Pada saat itulah dari balik sebatang pohon besar sekonyong­konyong menderu selarik angin luar biasa dingin memancarkan sinar biru. Raja Setan Tersenyum cepat melompat ke kiri selamatkan diri. Walau tidak sempat dihantam serangan namun dia merasakan sekujur tubuh seperti beku. Cepat dia kerahkan hawa sakti ke pembuluh darah.
"Pukulan Kutub Es!" SI kakek kenali pukulan Itu. "Hanya beberapa orang saja yang memiliki Ilmu kesaktian itu! Satu diantaranya Pangeran Haryo! Tidak salah lagi, bangsat itu memang Pangeran Haryo adanya!"
Begitu Raja Setan Tersenyum berhasil memus­nahkan hawa dingin yang membuat tubuhnya kaku, kakek ini kembali melakukan pengejaran. Di depan sana orang bercadar merutuk habis­habisan karena tidak mampu loloskan diri. Saat demi saat jarak keduanya semakin dekat. Di satu tempat sambil terus memburu, Raja Setan Tersenyum mulai lemparkan panah hitam, membuat orang bercadar jadi tak karuan larinya karena berulang kali harus melompat kian kemari selamatkan diri dari hantaman panah yang datang dari belakang. Sesekali orang bercadar pukulkan tangan kanan ke belakang. Beberapa anak panah yang dilemparkan Raja Setan Tersenyum mencelat mental dan hancur. Beberapa lainnya malah terpental berbalik menyerang si kakek, membuat orang tua ini ganti kalang kabut selamatkan diri.
"Manusia-manusia tolol! Aku bosan mengikuti permainan kalian!"
Mendadak ada suara orang berteriak di belakang sana. Belum lenyap gema teriakan itu menyusul berkiblatnya cahaya terang. Raja Setan Tersenyum menoleh lalu berseru keras. Dia kenali cahaya itu. Secepat kilat si kakek jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Tubuhnya laksana terpanggang ketika cahaya terang menggebu melewati punggung. Lalu dia mendengar suara jeritan di depan sana.
Sosok orang bercadar kelihatan mencelat ke udara. Sisi kanan tubuhnya dikobari api. Raja Setan Tersenyum berusaha bangkit untuk melihat lebih jelas apa yang telah terjadi. Namun tubuhnya jatuh terbanting menelungkup di tanah ketika satu kaki dengan kekuatan puluhan kati menindih punggungnya.
Raja Setan Tersenyum hantamkan gendewa di tangan kiri untuk memukul orang yang menginjaknya.
"Kraaakkk!"
Gendewa patah dua, terlepas mental dari tangan si kakek. Si kakek sendiri mengeluh kesakitan karena tangan kirinya serasa tanggal.
"Raja Setan, cukup sampai disini kau ikut bermain. Benda sakti mandraguna yang kau kejar­kejar itu tidak berjodoh dengan dirimu!"
Orang yang menginjak punggung si kakek keluarkan ucapan.
"Jahanam! Kau pasti orang yang membunuh kekasihku! Siapa kau!"
Kaki yang menginjak bergerak. Dengan kaki yang sama tubuh Raja Setan Tersenyum dibalikkan hingga tertelentang. Kini ganti bagian dada yang dipijak.
Orang tinggi besar yang menginjak dada Raja Setan menyeringai.
"Apakah kau mengenali diriku?"
Sepasang mata Raja Setan Tersenyum mendelik. Bukan saja untuk melihat lekat-lekat wajah orang yang menginjaknya tapi juga karena kesakitan akibat injakan. Si kakek melihat satu wajah buruk.
"Kau…." Raja Setan Tersenyum tidak dapat memastikan apakah dia mengenali orang itu. Namun rasa-rasanya memang dia pernah melihat wajah itu. Tapi sekarang mengapa berubah bentuk begini rupa?
"Kau tidak mengenali diriku?" si tinggi besar menyeringai.
"Setan keparat! Aku tidak perduli siapa kau adanya! Yang jelas kau adalah pembunuh kekasihku! Kau harus mampus di tanganku!" Bentak si kakek lalu dua panah hitam yang ada di tangan kanannya dilemparkan ke arah si tinggi besar. Hanya dengan menggerakkan tangan kiri sedikit, si tinggi besar berhasil memukul mental dua anak panah.
"Kakek botak, seharusnya aku juga sudah membunuhmu saat ini. Namun mengingat kau banyak berlaku baik di masa kanak-kanakku, aku mengampuni selembar nyawamu. Cukup adil bukan?"
"Apa katamu…?" Dua mata Raja Setan Tersenyum tambah membeliak. Otaknya bekerja koras mengingat-ingat. Matanya menatap tajam ke wajah orang tinggi besar. "Kalau…kalau begitu kau adalah putera….Kau adalah…."
Belum sempat menyebut nama satu totokan mendarat di leher si kakek. Saat itu juga sekujur tubuhnya menjadi kaku. tak bisa bergerak tak mampu bersuara.
***
SOSOK tua kurus kering itu terbaring hampir sama rata dengan balai-balai kayu. Mata terpejam, tak ada gerakan pada perut ataupun dada seolah keadaannya sudah tidak bernafas lagi. Di dalam kamar yang diterangi lampu templok, seorang anak lelaki seusia dua belas tahun duduk di samping tempat tidur. Anak ini duduk dengan menahan kantuk yang amat sangat. Sesekali bila kepalanya terdohok kemuka, cepat-cepat dia mengusap muka, menarik nafas panjang dan duduk diam pandangi sosok kakeknya yang terbaring sakit di atas balai-balai kayu. Namun segera saja kepalanya kembali tertunduk diserang kantuk.
"Jantra cucuku….’
Anak lelaki yang duduk di samping tempat tidur angkat kepala, buka mata. Serasa tidak percaya dia mendengar orang tua itu bicara memanggil namanya.
"Kek…."
‘Kau tidak tidur?"
"Belum Kek. Saya menjaga Kakek."
"Tidurlah. Sudah larut malam. Mungkin menjelang pagi. Nanti kau sakit….
"Saya belum mengantuk Kek,” jawab si anak,
"Kakek mau minum?" Lalu anak ini ambil kendi tanah berisi air putih sejuk di kaki tempat tidur. Sedikit demi sedikit air putih itu di­tuangkannya di atas bibir si kakek. Dia baru berhenti ketika orang tua itu tersedak dan batuk­batuk. "Kek, besok pagi saya akan ke hutan mencari daun obat. Kalau minum obat Kakek pasti cepat sembuh…"
‘Kau cucu baik. Sekarang turuti kataku. Tidurlah…"
"Baik Kek," si bocah akhirnya mengalah. Dia mengambil sehelai tikar yang tergulung di sudut pondok kajang itu. Baru setengah tikar sempat digelar di lantai tanah, tiba-tiba braaakk!
Pintu pondok jebol. Jantra menjerit kaget. Si kakek di atas balai-balai buka sepasang mata. Seorang yang mukanya ditutupi kain hitam terkapar di lantai pondok. Tubuh sebelah kanan hancur hangus mengerikan. Di tangan kiri dia mengepit sebuah peti kayu berwarna hitam.
Mengira yang muncul adalah setan atau hantu, mungkin juga orang jahat Jantra ketakutan setengah mati. Dia sampai melompat naik ke atas balai-balai.
"Bocah, jangan takut," orang bercadar berkata. Nafasnya megap-megap. Aku Pangeran Haryo dari Kotaraja. Aku butuh pertolonganmu. Ambil peti ini. Tinggalkan pondok. Lari sejauh bisa kau lakukan. Sembunyikan peti di satu tempat. Jangan kembali ke pondok. Tunggu sampai dua hari. Kalau keadaan sudah aman pergi ke Kotaraja. Temui seorang bernama Abdi Tunggul di Keraton. Serahkan peti ini padanya."
Si bocah hanya melongo lalu geleng-gelengkan kepala berulang kali.
"Ambil cepat! Pergilah. Hidupku tak lama lagi." Kakek di atas balai-balai angkat kepalanya sedikit, menatap pada orang bercadar lalu berkata. "Cucuku, jika memang Pangeran Haryo dari Kotaraja yang minta tolong lekas lakukan apa yang dikatakannya."
"Tapi Kek…"
"Bocah, lekas! Kita tak punya waktu banyak! Sebentar lagi akan ada orang jahat datang ke sini untuk merampas peti itu! Ayo ambil cepat!"
Jantra memandang pada kakeknya. Orang tua ini gerakkan kepala sedikit lalu berkata. "Ambil peti itu. Pergilah…"
"Tapi kau sakit Kek, aku harus menjagamu…"
"Aku akan segera sembuh."
Meski agak ragu Jantra akhirnya, mengambil peti lalu melompat ke pintu.
"Jangan lewat situ!" orang bercadar mem­beritahu. Dengan tangan kiri dijebolnya dinding pondok sebelah belakang. "Lewat sini!" Jantra loloskan diri lewat lobang di dinding. Di luar pondok bocah ini lari tanpa arah, sekencang yang bisa dilakukannya. Sesekali dia berhenti dan berpaling ke belakang, ke arah pondok.
Begitu Jantra keluar dari dalam pondok, orang bercadar mendekati si kakek yang terbaring di atas balai-balai.
"Orang tua, aku terpaksa melakukan ini! Satu­satunya jalan untuk menjaga kerahasiaan benda mustika itu."
Si kakek melihat orang ulurkan tangan kiri. Matanya mendelik.
"A…aku dan cucuku telah menolongmu. Mengapa
kau masih berhati jahat mau membunuhku…?"
"Kreeek!"
Ucapan si kakek terputus. Tulang leher remuk. Nyawanya lepas saat itu juga. Sehabis membunuh si kakek, orang bercadar kepalkan tinju kiri lalu hantam kepalanya sendiri.
"Praaaak!"
ORANG bertubuh tinggi besar sesaat tegak tak bergerak di depan pintu pondok. Rahangnya menggembung. Pelipis bergerak-gerak. Mata memandang dingin pada mayat kakek dan orang bercadar. Kemudian dia memperhatikan berkeliling.
Mencari-cari. Kurang puas dia menggeledah mengobrak-abrik isi pondok. Benda yang dicari tidak ditemukan. Lalu dia perhatikan dinding pondok yang jebol.
"Kurang ajar! Pasti ada orang ke tiga sebelumnya di tempat ini!" Orang ini menggeram. Otaknya bekerja. "Kakek ini pasti dihabisi bangsat bercadar. Lalu dia bunuh diri. Lalu orang ke tiga yang sangat pasti melarikan peti, siapa dia…?"
Sambil kembali meneliti seisi pondok karena masih berharap peti kayu hitam ada di tempat itu, si tinggi besar melangkah mendekati sosok orang bercadar yang tergelimpang di lantai. Dengan tangan kirinya dia tarik cadar hitam yang menutupi wajah orang.
Hemmm….Pangeran Haryo. Jadi memang kau rupanya." Orang tinggi besar merenung sesaat. "Mungkin pondok ini merupakan tempat pertemuan rahasia antara Pangeran Haryo dengan orang ke tiga. Untuk mengetahui siapa adanya orang ke tiga, aku harus mencari tahu dulu siapa adanya kakek yang mati dicekik ini."
Orang tinggi besar tinggalkan pondok. Malam itu juga dia berusaha mencari keterangan dari penduduk sekitar situ. Tidak mudah untuk mendapatkan keterangan. Selain rumah penduduk berada jauh, juga tak ada orang yang mau membuka pintu di malam buta untuk tamu yang tidak dikenal. Tidak putus asa, menjelang fajar akhirnya orang itu berhasil mendapat keterangan dari penduduk yang tinggal di kaki bukit. Kakek yang tewas dibunuh diketahui bernama Ma­ngunsuarso. Dia tinggal di pondok hanya berdua dengan cucunya, seorang anak lelaki berusia dua belas tahun bernama Jantra. Si tinggi besar tidak pernah menduga kalau orang ketiga yang tengah dilacaknya adalah seorang bocah.
"Kalau anak-anak, pasti dia belum lari terlalu jauh. Aku pasti menemukannya." Kata si tinggi besar dalam hati.
7
KELETIHAN karena berlari hampir sepertiga malam membuat Jantra tidur cukup nyenyak walau beratap langit, berkasur tanah dan berselimut embun. Ketika sapuan mentari pagi membangunkannya, yang pertama sekali dilihatnya adalah langit luas kebiruan. Lalu dia ingat kakeknya. Anak ini bangkit dari tidurnya, duduk, menggosok mata dan memandang berkeliling. Dia menduga-duga kira-kira sejauh mana dia dari pondok saat itu. Kemudian pandangannya ditujukan pada peti kayu yang terletak di tanah di ujung kakinya.
‘Orang bercadar mengaku Pangeran Haryo itu….’ Jantra ingat peristiwa malam tadi.
"Mengapa dia menyuruh aku melarikan peti sejauh mungkin. Menyembunyikan di satu tempat. Harus menunggu sampai dua hari. Lalu pergi ke Kotaraja. Menyerahkan peti pada seorang bernama Abdi Tunggul di Keraton. Apa yang ada dalam peti ini? Emas? Harta karun? Barang pusaka? Kalau memang emas atau harta karun perlu apa aku susah-susah mengantar ke Kotaraja. Ambil saja, serahkan pada kakek. Kami akan jadi kaya raya." Jantra permainkan peti kayu dengan ujung kaki. Dia berada dalam kebimbangan. Melaksanakan pesan orang bercadar atau mengikuti suara hatinya.
Jantra memandang berkeliling. Tak jauh dari tempatnya duduk ada satu lobang besar bekas bongkaran akar pohon kelapa yang telah tumbang. Sesuai pesan Pangeran Haryo, peti itu bisa dikubur disembunyikannya di lobang itu.
Namun suara hati dan rasa ingin tahu si bocah ternyata lebih keras. Jantra beringsut. Peti kayu hitam diperhatikan dengan seksama. Penutup peti hanya dikunci dengan sebuah pasak kayu. Berarti tidak susah membuka peti. Maka bocah itu ulurkan tangan menarik pasak. Ternyata tidak semudah yang diduga Pasak itu sangat kuat. Jantra harus mengetuk bagian bawah pasak dengan sebuah batu berulang kali, baru pasak bergerak ke atas. Sekali tarik pasak kayupun akhirnya lepas.
"Kek, kita akan jadi orang kaya," kata bocah usia dua belas tahun itu karena yakin peti kayu berisi emas atau barang berharga. Penutup peti diangkat. Begitu penutup peti terbuka bau busuk membersit keluar. Jantra seperti mau muntah. Walau tak tahan oleh bau busuk itu, Jantra masih berusaha memperhatikan, memandang ke dalam peti. Saat itu juga si bocah keluarkan jeritan keras. Muka pucat ketakutan. Seperti disengat kalajengking anak ini melompat lalu lari tunggang langgang tinggalkan tempat itu sambil terus menjerit.
Di dalam peti yang diharapkan berisi emas atau harta karun itu ternyata ada satu kutungan kepala manusia. Kutungan kepala ini memiliki rambut putih yang berubah kaku merah oleh darah yang telah mengering. Dua mata mencelet menggidikkan. Darah kering menutupi hampir keseluruhan wajah. Pada pertengahan kening yang terbelah, menancap satu benda hitam. Benda ini adalah sebuah batu tipis berukuran satu jengkal persegi.
Jantra tidak perduli kemana arah larinya. Yang penting menjauhkan diri dari peti mengerikan itu. Selagi dia lari sambil menjerit begitu rupa tiba­tiba satu tangan kukuh memagut pinggang si bocah.
"Tidak! Jangan! Lepaskan!" teriak Jantra sambil memukuli dada orang yang memegangnya.
"Bocah, tak usah takut! Aku akan melindungimu. Apapun bahaya yang mengancam." Jantra mendengar suara, merasakan punggungnya dielus-elus. Jantra menarik nafas panjang lalu menangis. Orang tinggi besar usap-usap kepala Jantra, menunggu sampai anak itu tenang dan berhenti menangis.
"Sahabatku kecil, aku tahu namamu Jantra. Benar?"
Anak ini anggukkan kepala walau merasa heran bagaimana orang tahu namanya. Untuk pertama kali dia angkat kepala guna melihat wajah orang. Si bocah langsung mengkeret ketakutan. Dia melihat satu wajah dengan beberapa cacat menyeramkan! Cepat-cepat Jantra tundukkan kepala.
"Tampangku memang angker. Tapi terhadapmu hatiku baik." Berkata orang tinggi besar. "Sekarang katakan. Apa yang terjadi. Apa yang membuatmu lari dan menjerit."
Jantra tak bisa segera menjawab.
Sesenggukan masih memenuhi mulut dan tenggorokannya. Selain itu rasa takut terhadap orang tak dikenalnya ini masih belum lenyap. Orang tinggi besar kembali mengusap kepala anak itu. Berucap dengan suara lembut membujuk.
"Ceritakan apa yang terjadi. Apa yang membuatmu ketakutan…"
"Di… didalam peti…" Jantra coba menerangkan. Tapi masih tersendat.
"Di dalam peti. Peti apa? Dimana?"
"Ada…ada potongan kepala manusia di dalam peti. Kening terbelah. Ditancapi batu…."
Wajah si tinggi besar berubah. Rahang mengembung, sepasang alis berjingkrak. "Peti itu, dimana?" Tunjukkan padaku."
Jantra menunjuk ke arah kejauhan. Lalu berkata. "Aku tidak mau kesana. Aku takut…"
"Kita sama-sama kesana. Biar kudukung agar cepat."
Jantra didudukkan di bahu kiri lalu orang tinggi besar membawa anak ini lari ke arah dari mana tadi Jantra datang.
"Disana, dekat lobang besar. Itu petinya…" ucap Jantra sambil menunjuk.
Si tinggi besar telah melihat peti kayu hitam itu. Tergeletak di tanah dalam keadaan terbuka. Jantra cepat diturunkan ke tanah. Anak ini tak berani memandang ke arah peti. Si tinggi besar membungkuk, memperhatikan isi peti. Mula-mula kening mengerenyit, lalu mata terbelalak. Dada berdebar panas.
"Bocah! Kau bilang ada batu menancap di kening orang. Mana?!" Si tinggi besar tarik tubuh Jantra lalu diputar ke arah peti. Jantra yang ketakutan, pejamkan mata tak berani melihat.
"Bocah setan! Kau menipuku!" Si tinggi besar jambak rambut Jantra.
"Di kening itu. Ada batu….Hitam…"
"Buka matamu! Libat sendiri!" bentak si tinggi besar.
Jantra menggeleng. Tak berani buka mata.
"Kalau kau tidak mau buka mata, biar kukorek!"
Ketakutan setengah mati matanya mau dikorek, Jantra akhirnya buka kedua mata. Di kening kutungan kepala di daiam peti ternyata memang tidak ada lagi batu hitam itu.
"Tadi batu itu ada di situ. Menancap di kening." Ucap Jantra.
"Kau yakin?"
Jantra mengangguk.
"Kau tidak mendustai diriku atau salah lihat?"
Si bocah menggeleng.
Si tinggi besar seperti kehilangan tenaga. Dia dudukkan diri menjelepok di tanah. Dalam hati mengeluh geram. "Puluhan minggu bekerja keras. Peti kayu berhasil ditemukan. Tapi Batu Bernyawa yang ada di dalamnya lenyap dijarah orang! Kurang ajar!" Saking geramnya si tinggi besar tendang peti kayu hitam hingga peti dan isinya mencelat mental ke udara sampai setinggi lima tombak.
Setelah amarahnya agak mengendur si tinggi besar menatap Jantra dan berkata dalam hati.
"Anak ini memang tidak berdusta. Tapi bagaimana batu bisa lenyap dalam waktu begitu singkat? Ada seseorang muncul di tempat ini? Siapa? Orang yang tidak tahu menahu perihal batu mustika itu pasti akan pergi begitu saja. Atau mungkin salah seorang kepercayaan penguasa pantai selatan muncul menyelamatkan batu mustika itu setelah kena dirampas dari tangan nenek ular?"
"Jantra," kata si tinggi besar. "Kau menemukan peti di tempat ini. Bagaimana ceritanya?"
"Bukan, bukan menemukan. Aku yang membawa peti itu kesini…" menjelaskan si bocah.
"Hemmm….Ka!au begitu bagaimana kejadiannya? Sehabis kau menjelaskan, aku akan beri hadiah dan antar kau ke pondok kakekmu."
Jantra lalu menuturkan apayang terjadi malam tadi sampai saat dia lari melalui dinding kajang yang dijebol, anak ini tidak tahu peristiwa selanjutnya yaitu kematian kakeknya serta bunuh dirinya orang bercadar. Setelah mendengar cerita si bocah orang tinggi besar memutar otak, berpikir-pikir.
"Jantra, kau tunggu di sini. Kalau aku tidak menemuimu sampai tengah hari, tinggalkan tempat ini. Jangan kembali ke pondok." Dari dalam saku pakaiannya orang tinggi besar keluarkan kepingan emas. Logam sangat berharga ini digenggamkannya ke tangan kanan si bocah seraya berkata. "Ingat, kau tak usah kembali ke rumah kakekmu. Kalau kakekmu punya saudara temui dia. Tinggal bersamanya. Emas itu cukup untuk bekal masa depanmu."
Habis berkata begitu orang tinggi besar usap kepala si bocah lalu berkelebat pergi. Berada sendirian Jantra merasa heran. Dia pandangi potongan emas di telapak tangan kanan.
"Mukanya seram. Anehnya hatinya baik. Aku diberi emas. Tapi tidak boleh kembali ke rumah. Mungkin dia tidak tahu kalau kakekku sedang sakit."
Laksana kilat orang tinggi besar lari ke tempat dimana malam tadi dia meninggalkan Raja Setan Tersenyum dalam keadaan tertotok. Ternyata kakek kepala botak itu tak ada lagi di situ.
"Secepat itukah dia mampu memusnahkan totokanku? Kurang ajar! Seharusnya kubunuh saja dia malam tadi!" Si tinggi besar melangkah bulak balik dengan tangan terkepal.
"Jantra menyebut nama Abdi Tunggul. Aku pernah mendengar nama orang itu. Kalau tidak salah dia adalah seorang Tumenggung. Kalau Pangeran Haryo menyuruh Jantra menyerahkan Batu Bernyawa pada Abdi Tunggul, berarti Tumenggung itu tahu seluk beluk batu sakti. Berarti Raja Setan Tersenyum akan menemuinya. Atau mungkin, jangan-jangan rahasia besar itu sudah bocor? Apa yang harus aku lakukan? Mengejar Raja Setan Tersenyum? Dia pasti dalam perjalanan ke Kotaraja. Atau aku harus mengamankan Dewa Sedih lebih dulu?" Cukup lama orang ini berpikir. Akhirnya dia keluarkan secarik robekan kertas yang sudah sangat lusuh. Disitu tertera tulisan yang tinggal samar-samar. Pada saat seseorang berhasil mengetahui keberadaan Batu Bernyawa, sebelum batu sakti berubah menjadi Aksara Batu Bernyawa, orang itu berpantang membunuh, satu nyawa sebelumnya dan satu nyawa sesudahnya.
"Walau dia telah melihat wajahku, berarti aku tidak boleh membunuh bocah itu. Juga tidak boleh membunuh Abdi Tunggul atau Raja Setan Tersenyum. Lalu setelah dapatkan batu, aku tidak boleh membunuh kakek berjuluk Dewa Sedih…" Setelah berpikir dan menimbang-nimbang cukup lama orang tinggi besar itu akhirnya memutuskan untuk segera ke Kotaraja. Sambil berlari dia mengusap muka berulang kali. Lalu dari balik pakaian dia keluarkan sebuah topeng karet tipis dan segera dilekatkan ke wajahnya.
RAJA Setan Tersenyum menunggu cukup lama sebelum Tumenggung Abdi Tunggul datang menemuinya di salah satu ruang sunyi di bagian belakang Keraton. Walau hatinya agak kesal namun wajahnya tetap saja senyum-senyum. Tak lama kemudian tirai tebal tersibak. Seorang kakek berambut, berjanggut dan berkumis putih keluar. Sesaat Raja Setan pandangi orang yang tegak di depannya.
"Ada keanehan pada tua bangka satu ini. Usia lanjut tapi tubuh kekar tegap." kata raja Setan dalam hati. Dia coba perhatikan tangan dan kaki orang. Namun tak berhasil karena orang itu mengenakan jubah gombrong menutupi kedua tangan serta kaki. "Sudah tahunan aku tidak datang ke sini, agaknya banyak tokoh baru yang aku tidak kenal. Terhadap yang satu ini aku harus berlaku waspada." Setelah sunggingkan senyum, kakek kepala botak ini berkata.
"Sayang sahabat lama Keraton. Saya ingin menemui Tumenggung Abdi Tunggul…."
"Aha, siapa yang tidak kenal Raja Setan Tersenyum. Aku mewakili Tumenggung, memberi tahu bahwa beliau masih tidur. Pagi ini Tumenggung agak kurang sehat….’
"Dia tahu siapa diriku. Aku tidak kenal dia. Semakin aneh!" Membatin Raja Setan.
"Saya sudah meminta seorang pengawal untuk memberi tahu."
"Pengawal sudah menjalankan tugas. Aku mewakili Tumenggung menerima kehadiranmu. Jika ada urusan harap diberitahu padaku."
"Ada urusan penting. Sangat penting. Aku hanya akan bicara pada Tumenggung." Jawab Raja Setan sambil tersenyum.
"Kalau begitu silakan menunggu. Tapi kurasa kau akan membuang wantu sia-sia. Kalau Tumenggung bangun lalu menolak bertemu denganmu…"
"Jika beliau tahu siapa yang datang. Tumenggung tidak akan menolak." Jawab Raja Setan Tersenyum.
Kakek rambut putih angguk-anggukkan kepala.
"Aku ada keperluan lain. Tak bisa menemanimu.
Pengawal nanti akan memberitahu kalau Tumenggung siap menemuimu."
"Kalau boleh bertanya, saya berhadapan dengan siapa?" tanya Raja Setan Tersenyum.
"Aku hanya tua renta pembantu Keraton. Namaku tak enak didengar. Lagi pula tak akan ada arti apa-apa bagimu…"
Lalu kakek rambut putih itu acuh saja melangkah melewati kursi yang diduduki Raja Setan, berjalan menuju pintu. Raja Setan memperhatikan. Ketika melangkah kaki orang itu tidak mengeluarkan suara. Demikian juga ujung pakaian gombrong yang dikenakan, padahal jelas pakaian itu menjela dan bergeser dengan lantai. Raja Setan semakin berlaku waspada.
Kecurigaannya ternyata betul.
Begitu satu langkah berada di belakang Raja Setan Tersenyum tiba-tiba kakek rambut putih berbalik. Dua jari tangan kiri laksana kilat menusuk ke arah leher Raja Setan Tersenyum.
Raja Setan Tersenyum yang memang sudah curiga dan berjaga-jaga melompat dari kursi. Tusukan yang berupa totokan dahsyat melesat mengenai sandaran kursi hingga sandaran kursi itu hancur berantakan. Raja Setan membentak marah, cepat berbalik dan hantamkan satu tendangan. Serangan kaki diikuti dengan lemparan sebatang panah hitam mengarah ke tenggorokan. Dengan melompat ke belakang kakek rambut putih berhasil hindari tendangan lawan. Sementara dengan mengibaskan tangan kirinya, anak panah yang menderu ke arah dada dibuat terpental. Perkelahian hebat segera berlangsung. Tapi cuma tiga jurus. Yang dihadapi Raja Setan Tersenyum bukan lawan sembarangan karena gerakan, daya hantam dan kepandaian silatnya tinggi sekali. Selain itu Raja Setan mulai menyadari bahwa lawannya sebenarnya bukanlah seorang kakek seusianya. Si rambut putih berpakaian gombrong itu mungkin puluhan tahun jauh dibawah umurnya. Semua penampilannya jelas-jelas hanya merupakan satu penyamaran!
Memasuki jurus keempat dengan mainkan jurus Tangan Setan Menyusup Langit Raja Setan Tersenyum berhasil menggebuk dada lawan. Kakek rambut putih hanya bergoncang sedikit, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit. Padahal orang lain yang kena hantaman itu paling tidak akan terpental dan cidera berat! Malah dalam jurus ke empat inilah Raja Setan mengalami nasib sial. Selagi dia setengah bengong melihat pukulannya tidak menimbulkan akibat apa-apa pada diri lawan tahu-tahu kakek rambut putih kirimkan satu jotosan yang menjelang akan sampai ke sasaran berubah menjadi satu sodokan siku. Serangan ini mendarat di pinggang Raja Setan, membuat si kakek melintir. Belum sempat mengimbangi diri, satu totokan melanda pangkal lehernya.
"Jahanam! Siapa kau sebenarnya!" hardik Raja Setan.
Orang yang dihardik ambil sebuah patung kecil terbuat dari kayu yang terletak di atas meja lalu disumpalkan ke dalam mulut Raja Setan hingga kakek botak ini kini hanya bisa keluarkan suara ha-ha-hu-hu.
Dengan cepat kakek rambut putih geledah pakaian Raja Setan. Benda yang dicarinya sebuah batu hitam tipis empat persegi ditemukan di dalam sebuah kantong di balik jubah hijau Raja Setan.
"Batu Bernyawa."
Suara kakek rambut putih bergetar ketika menyebut nama batu itu. Takut tertipu kakek rambut putih teliti batu dengan seksama. Dadanya berdebar, sesaat nafasnya tertahan ketika melihat bagaimana batu itu mengeluarkan gerakan­gerakan halus dan jari-jari tangannya merasakan ada denyutan aneh seolah batu itu makhluk bernyawa, bukan benda mati. Batu dimasukkan ke balik pakaian gombrong. Lalu sekali bergerak tubuhnya melesat ke atas dan lenyap dari pemandangan.
Melihat gerak dan cara orang melenyapkan diri Raja Setan jadi terkesima. Dia melirik ke atas. Astaga! Baru saat itu dia melihat Ternyata ada satu lobang besar di langit-langit ruangan. Raja Setan kerahkan tenaga dalam lalu meniup keras­keras. Beberapa kali dicoba baru patung kayu yang menyumpal mulutnya melesat mental.
"Jahanam!" Maki raja Setan. "Bangsat itu! Aku kini ingat. Aku rasa-rasa pernah mendengar suaranya sebelumnya! Kurang ajar! Dia adalah orang yang menotokku malam tadi! Dia juga yang telah membunuh kekasihku Ratu Setan!" Untuk beberapa lamanya sekujur tubuh Raja Setan bergetar hebat dan keluarkan lelehan keringat. "Batu sakti itu. Tobat! Agaknya memang bukan milikku! Bukan jodohku!" Raja Setan kerahkan tenaga dalam untuk lepaskan totokan. Tapi tak berhasil. Akhirnya dia berteriak memanggil pengawal.
Ketika pengawal datang disusul kemudian dengan kemunculan Tumenggung Abdi Tunggul, kakek rambut putih berjubah gombrong telah melompat melewati tembok Keraton sebelah timur. Dengan cepat dia melesat memasuki satu hutan kecil. Di dalam hutan dia tanggalkan pakaian gombrangnya, copot rambut, kumis, dan janggut putih. Dugaan Raja Setan Tersenyum tidak meleset. Orang ini ternyata telah melakukan penyamaran. Kini kelihatan wajahnya yang asli serta sosoknya yang tinggi besar. Sambil tertawa gelak-gelak dia pegang Batu Bernyawa di tangan kiri dan percepat larinya.
"Raja Setan. Kau boleh merasa sebagai tokoh silat berkepandaian tinggi! Tapi kau tidak pernah menyadari kau adalah tokoh silat paling tolol di dunia ini! Ha…ha…ha!"
Dua ratus tombak memasuki hutan kecil, orang itu membelok ke utara.
"Aku harus cepat. Sebelum mentari tenggelam sudah tiba di tempat perjanjian. Kalau kakek itu
nekad sampai bunuh diri, sia-sialah semua rencana."
8
DI SATU tikungan berbentuk hampir menyerupai tapal kuda, sungai berair bening itu bertemu dengan aliran sungai lain yang bersumber dari sebuah gunung didaerah utara. Kawasan ini penuh dengan batu-batu besar berbentuk aneh betebaran dimana-mana. Ada yang bulat besar seperti bola raksasa. Ada tegak lurus menyerupai tiang setinggi dada manusia. Banyak pula menyerupai bukit-bukit kecil. Lalu ada beberapa berbentuk rata seperti ranjang tidur atau meja besar.
Sejak alam diciptakan, kawasan berhawa sejuk itu boleh dikatakan selalu diselimuti kesunyian abadi. Bahkan kicau burung atau deru aliran suara air sungai tidak terdengar. Suara desau angin tak pernah mampir ke telinga siapa saja yang berada di tempat itu. Tapi saat itu, entah sejak kapan kejadiannya ada satu suara aneh. Suara aneh yang terdengar di tempat itu, tatkala sang surya akan segera tenggelam beberapa saat lagi adalah suara isak tangis. Siapa pula makhluk yang susah­susah datang ke tempat terpencil itu hanya untuk menangis? Benar manusiakah atau hantu yang tersesat ketika gentayangan, tak mampu mencari jalan pulang sebelum malam datang?
Di atas sebuah batu besar berbentuk panjang rata, menggeletak satu sosok tua renta berkulit hitam berpakaian selempang kain putih. Rambut yang semula di gelung di atas kepala kini menjulai lepas di atas batu. Kalau rambutnya putih hampir seperti kapas, sepasang alisnya masih hitam, tebal menjulai. Orang tua ini terbujur diatas batu rata demikian rupa sementara dua kaki terjulur kebawah, masuk kedalam air sungai sebatas betis. Dua kaki itu tak bisa diam. Sebentar dikuakkan lebar-lebar hingga membersitkan deru angin luar biasa deras. Sesekali ditendangkan ke udara hingga ranting-ranting dan daun pepohonan di sekitar tempat itu luruh berguguran. Sering pula dua kaki itu yaitu ketika rasa sakit tidak tertahankan dihunjamkan ke dalam air membuat air sungai muncrat setinggi beberapa tombak, jatuh ke bawah mengguyur kuyup sosok si kakek. Kalau sudah begitu si kakek aneh semakin keras tangisnya, semakin menyayat hati suara ratapannya.
Dalam keadaan terlentang dan menangis kakek berkulit hitam pergunakan tangan kiri untuk mengangkat tinggi-tinggi bagian bawah kain putih sementara tangan kanan yang memegang setangkai daun keladi hutan besar tiada hentinya mengipas-ngipas bagian bawah auratnya yang tersingkap lebar.
"Wutt…wuuuuttt…wuutttt."
"Werrr…weerrr….weerrrrr."
"Kroooookkkk…kroooookkkk….kroookkkkk."
Sambil berkipas-kipas dari mulut si kakek tiada henti terdengar suara isak tangis sedih berhiba­hiba disertai ratapan tidak berkeputusan. Suara tangisan itu ditimpai suara aneh "krockk……. krooookkkk… krookkkk…" yang keluar dari balik kain putih yang tersingkap lebar. Seolah ada seekor kodok besar mendekam di bawah perut si kakek dan keluarkan suara mengorek terus­terusan. Kaiau saja ada orang lain di tempat itu dan berani mengintip bagian bawah kain putih yang tersingkap lebar maka dia akan melengak besar. Takut, ngeri. Tidak percaya. Betapa tidak, sepasang buah sakti si kakek yang wajarnya hanya sebesar biji salak kini kelihatan meng­gembung raksasa .sebesar buah kelapa. Setiap saat seolah hidup, dua buah sakti itu mengembung kembang kempis dan mengeluarkan suara seperti kodok mengorek.
Krokkkk:..krooook… krokkkkk!
"Kantong menyanku sialan. Hik…hik." Si kakek meratap. "Aku rela kalau kalian pecah saja! Biar terbebas aku dari azab celaka ini. Hik…hik."
Suara tangis dan ratapan si kakek terhenti sebentar lalu bersambung kembali. "Hik…. enggg… hik…hik. Oala, apa dosaku hingga ketiban malapetaka begini rupa. Hik…hik…hik. Diseduh air cabe rasanya mungkin tidak sepanas ini! Ditemploki bara menyalapun mungkin tidak sesakit ini! Hik…hik…hik. Enggg…enggg… Direndam dalam air sungai, ademnya cuma sebentar. Lama-lama malah tambah panas! Oala… Tobat aku. Bagusnya mati saja saat ini! Tapi manusia yang punya perjanjian itu. Apa aku harus menunggunya atau aku bunuh diri saja? Enggg…Hik…hik…hik."
Tak tahan oleh sengatan rasa sakit si kakek hunjamkan kedua kakinya ke dalam air. Air sungai muncrat ke udara setinggi dua tombak, lalu jatuh mengguyur sekujur tubuh si kakek.
Dari keadaan si kakek, jika ada orang lain melihat, selain menduga kakek itu adalah seorang berkepandaian dan punya kesaktian tinggi, orang itu juga akan mengira, akibat tidak tahan oleh penyakit aneh yang dideritanya, si kakek telah berubah ingatan. Menjadi gila! Sebenarnya kakek ini tidak gila. Sejak dulu dia memang berperangai dan bertingkah laku aneh. Hanya saja rasa sakit yang diderita akibat membengkaknya sepasang buah zakar memang luar biasa dan menambah aneh perbuatan serta ucapannya.
Dalam rimba persilatan tanah Jawa kakek berkulit hitam mengenakan pakaian selempang kain putih yang sudah kuyup ini dikenal dengan julukan Dewa Sedih. Selain ilmu kesaktiannya yang tinggi, dia juga memiliki keanehan tersendiri. Mukanya yang hitam dengan alis panjang menjulai selalu menunjukkan wajah sedih. Sekalipun tertawa tampangnya tetap saja sedih. Apa lagi kalau penyakit menangisnya kambuh. Apapun yang dirasa, atau dilihat, apapun yang didengarnya
bisa menjadi sumber tangis tiada henti. Walau banyak yang menganggap kakek ini kurang waras namun tidak ada orang berani main-main padanya.
Diketahui pula bahwa Dewa Sedih punya seorang adik yang dikenal dengan julukan Dewa Ketawa. Bertolak belakang dengan keadaan diri dan sifat Dewa Sedih, sang adik selalu unjukkan wajah ceria, sedikit bicara banyak ketawa. Melihat sesuatu saja bisa jadi bahan ledakan tawa. Sekali tertawa suaranya membahana, menggetarkan tanah dan seperti mau memecah gendang­gendang telinga. (Mengenai dua kakak beradik aneh berjuluk Dewa Sedih dan Dewa Katawa bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul "Halilintar Di Singosari" dan pasangannya berjudul "Pelangi Di Majapahit.")
Setelah menangis sesengguk isak-isakan Dewa Sedih kembali meratap.
"Mana orang itu! Ini adalah hari terakhir saat perjanjian. Apa dia jadi datang atau dia hanya menipu diriku. Kalau matahari tenggelam, tenggelam pula diriku! Hik.. hik. Kantong menyanku akan besar seperti kelapa selama­lamanya. Hik…hik…hik. Bagaimana aku bisa berjalan! Perempuan mana lagi yang akan sudi mengusap anuku ini kalau melihat saja sudah menakutkan. Hik .hiik…hik. Oala… lebih baik aku gebuk saja biar pecah! Tak tahan sakitnya. Panas sampai ke ubun-ubun. Sakit sampai ke jempol kaki. Hik..hik…hik. Eh, apa aku masih punya jempol kaki? Oala, aku tidak bisa melihat. Tiga hari menunggu aku tidak makan. Aku tidak sengsara! Tapi tiga hari kantong menyan membengkak kembang-kempis enyut-enyutan rasanya seperti di neraka! Bunyi lagi!
Hik..hik…hik." Si kakek lalu menangis panjang­panjang. Tangan kanannya kembali sibuk mengipas-ngipas auratnya yang salah kaprah itu dengan daun keladi hutan. "Lumayan, lumayan adem. Hik…hik. Seharusnya ada perempuan mengipasi anuku ini. Tidak usah perempuan beneran. Dedemit atau setan jejadianpun tak jadi apa. Malah-malah yang namanya bancipun tidak aku tolak. Tapi mengapa tidak seorangpun yang datang? Engg…hik…hik."
Sambil menangis berkipas-kipas kakek di atas batu melirik kelangit. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Tangisnya semakin menjadi-jadi.
"Oala, matilah diriku! Ini semua gara-gara selembar kain bersurat itu. Kalau saja aku menolak menerimanya, tidak akan kejadian celaka yang seperti ini. Sebentar lagi tamatlah riwayatku. Mati di tempat sunyi seperti ini. Hik…hik…hik. Tidak ada sanak tidak ada kadang tidak ada sahabat yang melihat. Adikku Dewa Ketawa, aku banyak dosa kesalahan padamu. Kita jarang bertemu. Tapi kalau bertemu kau tertawa aku menangis. Kita lebih banyak bertengkar. Kau memaki, aku menyumpahimu. Kalau memang aku mati duluan, maafkan diriku ya? Hik…hik…hik."
Selagi menangis meratap-ratap begitu rupa tiba-tiba di bawah kemerahan langit oleh saputan cahaya sang surya yang hendak tenggelam berkelebat satu bayangan. Orang ini datang berlari dari arah timur. Untuk memintas jalan agar lebih cepat, kawasan sungai dilewati dengan cara melompat dari satu batu ke batu lain. Bebatuan yang telah ratusan tahun berada di tempat itu sangat licin karena ditebali lumut. Jarak batu satu dengan lainnya paling dekat dua atau tiga tombak. Tapi orang ini mampu melompat sambil berlari seperti bocah tengah bermain dampu.
"Dewa Sedih! Aku datang!"
Suara gelegar teriakan orang membuat Dewa Sedih tergagap, lalu hentikan tangisnya. Namun hanya sebentar. Dilain saat dia kembali meratap. "Dia datang… Orang itu datang. Aku tahu dia menipuku! Aku tahu semua ini pekerjaannya. Hik…hik…hik. Asal dia memang bisa mengobati kantong menyanku! Asal saja dia bisa mengembalikan ke bentuk semula, tidak ada yang mencong, tidak ada yang penyok atau berubah burik, hik…hik…hik. Akan lupakan semua derita sengsara ini. Ini sudah suratan nasib, sudah takdir. Engg…hik…hik…hik."
Suara ratap Dewa Sedih berhenti. Gema suara orang masih menggetari seantero tempat. Tahu­tahu seorang bertubuh tinggi besar telah berdiri di atas batu kali rata, di samping sosok Dewa Sedih. Orang ini perhatikan keadaan. Dewa Sedih mulai dari kepala sampai kaki. Si kakek pelototkan mata balas menatap, lalu sesenggukan dan akhirnya menangis keras-keras.
"Dewa Sedih, hentikan tangismu! Kau masih mengenali diriku?"
"Ya… yang Enggg….hik…hik…hik. Aku kenali tampangmu. Hampir tiga penyakit celaka yang bersarang di bawah perutku! Aku tahu semua ini ulah buatanmu sendiri. Kau memanfaatkan diriku karena aku memiliki…."
"Kalau mau sembuh kau tidak perlu bicara panjang lebar!" bentak si tinggi besar. "Ingin sembuh dengar apa kataku!"
"Engg…hik…hik…hik." Si kakek kembali menangis.
"Keluarkan Kain Bersurat. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Saatnya kita mulai bekerja."
Dewa Sedih tidak lakukan apa yang diminta orang, malah balik bertanya. "Apakah kau berhasil mendapatkan Baru Bernyawa.?"
9
SEBAGAI jawaban orang tinggi besar keluarkan sebuah benda hitam tipis berukuran satu jengkal persegi. Inilah batu mustika sakti yang pertama kali muncul dibawa oleh makhluk ular berkepala nenek, di dalam peti yang ada kutungan kepala manusia. Peti itu kemudian dirampas oleh Putu Arka orang pertama dari Tiga Hantu Buleleng. Batu tersebut yang masih berada di dalam peti kayu hitam kemudian direbut dan dilarikan oleh Pangeran Haryo. Namun Pangeran Haryo sendiri menemui ajal. Batu sakti berpindah tangan pada Raja Setan Tersenyum. Seperti dituturkan sebelumnya, selanjutnya batu itu dibawa Raja Setan Tersenyum ke Keraton untuk diserahkan pada Tumenggung Abdi Tunggul. Tapi sebelum hal itu sempat dilaksanakan, batu mustika dirampas oleh seorang yang menyamar sebagai kakek rambut putih. Si kakek ini adalah kini orang tinggi besar yang menemui Dewa Sedih di kawasan tempat bertemunya dua sungai.
Si tinggi besar perlihatkan batu hitam tipis dan dekatkan ke muka Dewa Sedih. Si kakek menatap, kerenyutkan alis, lalu menangis se­senggukkan.
"Hik…hik… tunggu, aku harus memastikan batu itu asli atau tidak."
"Dewa Sedih, aku melihat batu ini bergerak. Aku merasakan ada denyutan seperti tarikan nafas. Ini pasti batu asli. Mengapa kau harus menyelidik menghabiskan waktu saja. Bagaimana caranya?!" Orang tinggi besar mulai jengkel. Apalagi saat itu waktu hanya tinggal sedikit sebelum sang surya tenggelam.
"Hik…hik… Enggg… Orang yang aku kenal muka tapi tidak kenal nama, kau tenang saja. Turuti apa yang aku katakan, salah sedikit saja akan celaka seumur-umur. Hik…hik…"
Si tinggi besar menggeram menahan marah. "Kalau begitu lekas lakukan apa yang mau kau kerjakan!" ucapannya setengah membentak.
"Jangan bicara membentak. Aku jadi sedih…" Dewa Sedih terisak-isak lalu menangis.
"Sial!" maki si tinggi besar dalam hati. "Mengapa tua bangka keparat ini yang memiliki Kain Bersurat itu. Mengapa bukan orang lain yang tidak banyak cingcong!" Kalau tidak punya kepentingan luar biasa, mungkin sudah sejak tadi kakek satu ini digebuknya sampai ambruk.
Sambil sesenggukan Dewa Sedih tatap sesaat batu hitam yang dipegang orang tinggi besar. Lalu diangkat tangan kiri, telapak dikembangkan lebar-lebar. Setelah merenung sesaat, pada telapak tangannya itu Dewa Sedih melihat bayangan jelas sebuah benda yang bukan lain adalah Batu Bernyawa. Si kakek letakkan telapak tangan di atas kening, pejamkan mata lalu sesenggukan kembali dan menangis panjang.
Tidak sabaran orang tinggi besar bertanya.
"Kek, apa yang kau lihat? Bagaimana keadaan batu ini?"
"Hik…hiik. Aku melihat… Kau … kau beruntung. Batu ini memang batu mustika asli. Berasal dari dasar ke tujuh samudera pantai selatan. Tapi dibalik keberuntungan itu aku hik..hik.. aku melihat juga ada petaka besar menunggu dikejauhan…."
"Aku tidak perduli hal lain yang kau lihat. Sekarang lekas keluarkan Kain Bersurat…."
"Hik…. hik…Enggg…. Kau sudah membawa paku berujung emas?" tanya si kakek.
"Semua sudah kusiapkan. Kau saja yang banyak tanya ini itu. Menangis tidak karuan. Aku mulai tidak sabaran…."
"Hik…hik…hik. Jangan bicara begitu. Aku jadi sedih. Kalau kau tidak sabar kau tidak bakal mendapatkan apa yang kau ingin…." jawab Dewa Sedih lalu usap air matanya.
"Mana Kain Bersurat itu?!" hardik si tinggi besar.
"Serahkan dulu paku berujung emas," jawab si kakek lalu menangis panjang.
Meski kesal si tinggi besar keluarkan sebuah benda yakni sebatang paku panjang sejengkal. Ujung lancipnya berkilau kuning karena dilapisi emas murni.
"Ambil paku ini! Lekas kerjakan apa yang menjadi tugasmu sesuai perjanjian. Jika Kau menipu kau akan kondor sampai mati! Setiap hari barangmu akan tambah besar tambah berat!"
Dewa Sedih menggerung. "Jangan mengancam menakuti aku seperti itu. Aku sedih. Hik…hik…hik." Si kakek ambil paku berujung emas. Lalu paku dimasukkan ke liang telinga sebelah kiri. Perlahan­lahan tapi sedikit demi sedikit paku lenyap masuk ke dalam liang telinganya. Bersamaan dengan lenyapnya paku di dalam telinga kiri, dari telinga kanan si kakek menyembul keluar sebuah benda yang ternyata adalah segulung kecil kain berwarna hitam. Si tinggi besar memperhatikan semua apa yang terjadi dengan mata tak berkesip.
Dewa Sedih gerakkan tangan kiri kanan. Yang kiri mencabut paku di telinga kiri. Paku lalu diselipkan disudut mulut. Tangan kanan menarik keluar gulungan kain hitam yang menyembul di telinga kanan. Perlahan-lahan gulungan kain dibuka. Ternyata pada kain hitam itu tertera sederetan tulisan panjang, dibuat dengan tinta berwarna kuning emas. Tulisan itu berbunyi :
Aksara Batu Bernyawa
Mula kehidupan anak manusia adalah dari setetes air mani yang tenggelam ke dalam rahim ibunya dan berubah menjadi jabang bayi
Di dalam rahim sang ibu tali pusar menjadi sumber kehidupan
Jika seorang yang sakarat inginkan kehidupan
Jika seorang telah menghembuskan nafas lalu terkubur sampai sebelum sang surya tenggelam
Dan mereka inginkan kehidupan duniawi kembali
Bagi mereka yang beruntung dan berjodoh akan didapat nyawa kedua
Asalkan dilakukan semua syarat yang diminta
Pertama, upacara mendapatkan nyawa kedua harus dilakukan pada menjelang tengah malam ditempat terbuka dan dibawah cahaya bulan sabit hari ketiga
Kedua, insan tersebut sebelumnya harus dimandikan dengan kembang tujuh rupa
Ketiga, yang memandikan haruslah kaum sejenisnya :
Lelaki dimandikan oleh lelaki, perempuan dimandikan oleh perempuan
Keempat, yang hadir dalam upacara mendapatkan nyawa kedua tidak boleh lebih dari dua orang
Kelima, letakkan tali pusar bayi yang baru dilahirkan diatas pusar insan yang bakal mendapatkan nyawa kedua
Keenam, kucurkan darah suci bayi yang baru lahir di atas tubuh insan, mulai dari ujung kaki sampai kepala dan rambut
Ketujuh, sabarlah menunggu sampai kicau burung atau kokok ayam pertama terdengar sebelum fajar menyingsing
Jika itu terjadi maka nyawa kedua telah tersimpan di dalam tubuh insan
Dia akan bernyawa, akan hidup seperti manusia adanya, namun akan ditemui beberapa kelainan
Insan nyawa kedua tidak akan mengenal siapa diri sendiri dan orang-orang disekitarnya.
Insan nyawa kedua akan memiliki satu kekuatan luar biasa
Insan nyawa kedua berada dibawah kekuasaan dan hanya tunduk pada orang yang memberikan kehidupan kedua padanya
Karenanya syarat kedelapan adalah, insan nyawa kedua harus ditempatkan secara baik-baik di satu tempat dimana mulai kehidupan kedua datang padanya, tidak satu dosa kejahatanpun baik berupa niat maupun tindakan boleh terjadi di tempat tersebut.
Syarat ke sembilan dan terakhir, setiap bulan sabit malam ketiga, insan nyawa kedua harus diusap ubun-ubunnya dengan darah segar bayi yang baru dilahirkan
Bilamana syarat ke delapan dan kesembilan itu dilanggar maka insan nyawa kedua akan kembali ke asalnya semula
Dan yang berbuat dosa kejahatan akan kejatuhan bencana malapetaka
.
"Hik…hik…. Letakkan tanganmu yang memegang batu tujuh jengkal di atas perutku.!.." Dewa Sedih keluarkan ucapan.
Orang tinggi besar lakukan apa yang dikatakan si kakek.
"Pegang terus sampai aku memberi perintah selanjutnya," kata Dewa Sedih sambil terisak­isak. Kain bersurat dikembangkan di tangan kanan, dihadapkan ke arah batu yang dipegang di atas perut. Perlahan-lahan si kakek angkat tangan kirinya. Lama tak terjadi apa-apa. Mendadak tangan kiri itu memancarkan cahaya merah. Cahaya merah keluar dari tangan, membuntal di udara membentuk sebuah bola besar. Bola merah ini kemudian bergerak menyelubungi batu hitam yang dipegang orang tinggi besar.
"Lepaskan batu!" Dewa Sedih memerintah. Lalu tenggorokannya sesenggukan. Dari mulutnya keluar suara meratap panjang.
Agak ragu-ragu orang tinggi besar lepaskan tangannya yang memegang batu. Luar biasa! Batu yang tidak dipegang itu kini mengapung di udara, masih dalam buntalan cahaya merah. Si kakek angkat tangan kirinya yang memegang paku berujung emas. Paku diusap-usapkan diatas Kain Bersurat tujuh kali berturut-turut. Selesai mengusap kaki yang ke tujuh paku dilepas. Seperti batu, paku ini juga tidak jatuh, mengapung di udara. Malah kini paku bergerak melayang ke arah batu dalam buntalan cahaya merah. Lalu terdengar suara greet-greet…greet berkepanjangan.
Ujung paku yang lancip dan berlapis emas bergerak ke bagian kiri atas batu. Lalu bergerak menggurat dari kiri ke kanan, pindah ke bawah, kembali dari kiri ke kanan demikian seterusnya. Dalam waktu singkat, apa yang tertulis di atas Kain Bersurat kini telah pindah dan tertera di atas Batu Bernyawa. Begitu semua tertulis lengkap, tulisan yang ada di atas kain hitam Kain Bersurat lenyap secara aneh. Bedanya kalau tulisan di atas Kain Bersurat berwarna kuning emas, maka tulisan yang tergurat di atas Batu Bernyawa berwarna putih terang.
Dewa Sedih menangis panjang.
"Pegang batu," katanya.
Orang tinggi besar cepat ulurkan tangan memegang batu. Cahaya berbentuk buntalan merah bergerak menjauhi batu, melayang dan masuk kembali ke tangan kiri Dewa Sedih. Lapisan emas yang menutupi ujung paku lenyap. Paku ini kini tiada beda bentuknya dengan paku hitam besi biasa. Paku besi jatuh berdentringan di atas batu tempat si kakek terbaring, terpental masuk ke dalam air sungai.
"Enggg….hik….hikkkkk." Dewa Sedih kembali menangis. "Pekerjaanku telah selesai…. Batu ini kini bertukar nama. Dari Batu Bernyawa menjadi Aksara Batu Bernyawa. Hik…hik…hik. Orang yang aku kenal tampang tapi tidak kenal nama, sekarang giliranmu. Kau harus memberi kesembuhan yang kau janjikan padaku!"
Si tinggi besar menyeringai.
"Bagaimana kalau aku tidak menepati janji." "Apa….?" Dewa Sedih meraung keras lalu menangis sejadi-jadinya. "Kau akan kualat. Apa yang menjadi segala rencanamu akan menemui kegagalan. Malapetaka besar akan menimpamu. Hik…hik…hik. Kalau kau memang mau ingkar janji aku minta kau membunuhku saat ini juga. Sesudah itu akan kau lihat, penyakitku akan pindah ke dirimu! Kantong menyanmu akan bengkak besar lalu meledak. Enggg…Hik…hik…hik."
Si tinggi besar tertawa gelak-gelak. Dia alihkan pandangan ke arah batu yang dipegang.
Mendadak tawanya lenyap.
"Tua bangka jahanam! Kau menipuku!"
"Hik…hik, memangnya ada apa?" Dewa Sedih kaget lalu menangis.
"Tulisan di atas batu lenyap!"
Dewa sedih tersenyum. Ini pertama kali si tinggi besar melihat orang tua itu tersenyum. Tapi begitu senyum lenyap tangisnya muncul kembali.
"Tulisan tidak hilang. Masih ada diatas batu. Hanya mata biasa tidak bisa melihat. Pada saat kau akan melakukan upacara nyawa kedua, kau harus lebih dulu mencelup batu itu dalam darah segar bayi yang baru lahir. Tulisan di atas batu akan muncul kembali…."
"Kalau kau menipuku, aku akan mencarimu sampai diujung neraka sekalipun…."
Si kakek hanya bisa manggut-manggut sambil kucurkan air mata.
"Sekarang kau tunggu apa lagi? Kempeskan kantong menyanku! Tapi awas, jangan sampai ada yang salah bentuk, ukuran dan mengkilapnya.
Hik…hik,..hik."
Si Tinggi besar menyeringai. Dia bungkukkan tubuh, tarik ujung selempang kain putih pakaian si kakek disebelah bawah, lalu susupkan tangan yang memegang Aksara Batu Bernyawa. Batu itu ditempelkan di atas kantong menyan si kakek beberapa lamanya.
"Hik…hik….." Si kakek masih menangis tapi matanya kini kelihatan meram melek. "Adem…. hik…hik. Enaknya… aduh hik…hik. Sedap sekali.
Asyikkk… Hemmmm….Hik…hiik." Si kakek leletkan lidah berulang kali. Dalam tangisnya dia kelihatan senyum-senyum. "Enteng…hik…hik.. tubuhku sebelah bawah jadi enteng. Engg… sudah sembuhkah diriku?"
"Silahkan kau lihat sendiri Kek…" jawab si tinggi besar.
Kalau selama ini dia sulit baginya untuk bergerak, tapi kini Dewa Sedih dengan mudah bisa bangkit dan duduk sambil buka dua kaki di atas batu. Kain putih ditarik tinggi-tinggi ke atas. Dia memandang ke bawah. Mata mendelik berkilat. Ratapan panjang keluar dari mulutnya. "Aku sembuh! Bijiku yang bengkak sebesar kelapa sudah kempes. Kantong menyanku sudah ciut bagus. Oala…" Dengan dua tangannya Dewa Sedih usap-usap auratnya di sebelah bawah perut itu. Lalu tangan yang mengusap disekakannya ke sekujur muka. Setelah itu kembali dia mengusap bagian bawah perutnya, ganti mengusap wajah. Demikian sampai berulang kali.
"Dewa Sedih" si tinggi besar berkata. "Aku akan tinggalkan tempat ini. Dengar baik-baik beberapa hal penting yang akan aku beritahu…."
"Kau ,yang harus lebih dulu mendengarkan ucapanku!" memotong Dewa Sedih. Wajahnya tampak serius tapi hanya sebentar lalu kembali berubah sedih.
"Apa yang hendak kau katakan?" tanya orang tinggi besar.
"Hik…hik. Petunjuk yang tertulis di atas Aksara Batu Bernyawa tidak keseluruhannya lengkap. Kelak akan ada makhluk gaib mendatangimu, mungkin menampakkan diri, mungkin hanya suara. Makhluk itu kelak akan muncul menyam­paikan beberapa petunjuk penting berkaitan dengan batu mustika pemberi kehidupan itu."
Orang tinggi besar usap-usap dagunya. Dia menatap ke arah langit yang tadi merah kini mulai dibayangi kegelapan. Dia merasa lega, semua berjalan sesuai rencana dan sesuai waktu.
"Sekarang giliranku bicara."
"Hik…hik…" Si kakek mendengar tanpa angkat kepala.
"Ada beberapa hal penting. Kau tidak pernah melihat diriku, tidak pernah mengenali tampangku!"
Dewa Sedih anggukkan kepala. Sesenggukan.
"Kejadian hari-hari dulu dan hari-hari ini tidak pernah ada!"
"Dewa sedih anggukkan kepala sambil terisak.
"Kau tidak pernah tahu tentang Batu Bernyawa. Juga tidak pernah tahu atau pernah melihat tentang Aksara Batu Bernyawa."
"Ya, ya. Hik…hik…hik. Dewa Sedih masih tundukkan kepala. Sibuk mainkan kantong
menyannya.
Dalam hati si tinggi besar berkata.
"Kalau saja tidak ada pantangan membunuh satu kali sebelum dan satu kali sesudah mendapatkan Aksara Batu Bernyawa, pasti sudah dari tadi-tadi kuhabisi tua bangka sinting ini."
Baru saja orang tinggi besar membatin begitu, Dewa Sedih langsung meratap panjang.
"Ada orang mau membunuhku. Apa salahku, apa dosaku? Engg…hik…hik…hik."
Orang tinggi besar terkesiap mendengar ucapan si kakek. "Manusia satu ini apa dia punya kesaktian mendengar suara hati orang?" Tidak menunggu lebih lama orang ini segera tinggalkan tempat itu.
Ketika akhirnya Dewa Sedih angkat kepala orang tinggi besar tak ada lagi di tempat itu. Si kakek langsung meratap.
"Teganya dia meninggalkan diriku.
Hik…hik…hik." Lalu kembali dua tangannya sibuk mengusapi perabotan di bawah perutnya sambil sepasang mata terpejam-pejam meram melek. Dengan suara sesenggukan dia berucap. "Untung masih utuh. Untung masih mengkilap. Tidak ada bagian yang penyok, tidak ada yang bentol-bentol, tak ada yang burik. Hik…hik…hik."
10
DALAM akhir Episode sebelumnya (Bendera Darah) diceritakan perkelahian hebat yang terjadi antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Adipati Sidik Mangkurat dari Magetan.
Murid Sinto Gendeng tidak berdaya menghadapi Adipati yang bersenjatakan Pecut Sewu Geni, sebuah cambuk sakti yang mampu menyem­burkan puluhan lidah api. Sebelumnya Loh Gatra telah cidera terkena hantaman cambuk itu. Kini Wiro siap menerima giliran mendapat celaka dipanggang hidup-hidup.
Puluhan lidah api menyambar ke arah Pendekar 212. Pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan dan Topan Melanda Samudera yang dilepaskan Wiro untuk membentengi diri sekaligus melancarkan serangan balasan ternyata tidak berdaya menghadapi puluhan lidah api yang menyembur dari Pecut Sewu Geni. Empat belas lidah api berkiblat dan berhasil tembus, siap menggulung hangus sosok sang pendekar.
Pada saat yang sangat menentukan itu dalam kegelapan malam mendadak muncul seorang kakek berjubah dan bersorban putih berkilat. Wajahnya dihiasi janggut dan kumis putih lebat terpelihara rapi. Laksana seekor elang orang tua ini menukik kearah Sidik Mangkurat. Dua lengan jubah dikebutkan. Dua gelombang cahaya berwarna biru disertai hamparan angin luar biasa dinginnya menerpa hebat. Puluhan kobaran lidah api serta merta padam. Wiro lolos dari malapetaka dahsyat yang bisa membuat dirinya tinggal tulang belulang gosong hitam.
Dalam keadaan terpental, Sidik Mangkurat terkejut besar karena dapatkan pecut sakti tak ada lagi di tangan kanannya. Siapa yang telah merampas? Ketika dia mendongak, memandang ke atas sebuah pohon, dia melihat sosok seorang kakek berjubah dan bersorban putih berkilat. Pecut Sewu Geni berada pada si kakek, digulung sepanjang lengan kanannya. Orang tua ini sendiri saat itu tahu-tahu telah berdiri enak-enakan di atas cabang pohon yang besarnya hanya sepergelangan tangan. Cukup membuktikan bahwa dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.
Adipati Sidik Mangkurat berteriak marah. Minta agar si orang tua yang tak dikenal mengembalikan pecut sakti. Tapi sambil tertawa orang tua itu malah membuka kedok Sidik Mangkurat. Ternyata pecut itu adalah milik seseorang di negeri seberang dan selama lima puluh dua purnama sang Adipati telah menguasai senjata itu secara tidak syah. Terjadi perang mulut. Si orang tua menantang. Kalau Sidik Mangkurat memang inginkan Pecut Sewu Geni maka dia dipersilahkan mengambil sendiri ke atas pohon.
Dalam keadaan marah besar dan ditantang begitu rupa di hadapan sekian banyak anak buahnya Sidik Mangkurat jadi nekad. Dia melesat ke atas pohon. Namun sekali si orang tua mengibaskan tangan, sosok Sidik Mangkurat terpental keras lalu jatuh bergedebuk di tanah. Sadar kalau dia tidak bakal mampu menghadapi lawan yang begitu tangguh, apa lagi mengha­rapkan dapat merebut Pecut Sewu Geni kembali, terbungkuk-bungkuk menahan sakit, Sidik Mang­kurat bersama anak buahnya segera tinggalkan tempat itu.
Sebelum pergi kakek berjubah dan bersorban putih berkilat sempatkan diri menolong Loh Gatra yang mengalami luka bakar di sekujur tubuh akibat hantaman cambuk sakti. Pecut Sewu Geni digantung di depan tubuh Loh Gatra. Lalu si kakek meniup. Saat itu juga seluruh luka bakar lenyap. Tubuh Loh Gatra kelihatan seperti tidak pernah mengalami apa-apa!
"Luar biasa! Kek, kau hebat sekali!" Wiro memuji sambil garuk-garuk kepala dan menatap si orang tua.
Yang ditatap balas memandang, sunggingkan senyum dan kedipkan mata kiri pada murid Sinto Gendeng. Di lain kejap sekali berkelebat sosoknya lenyap dalam kegelapan malam.
Wiro leletkan lidah, geleng-gelengkan kepala.
"Aku tak kenai siapa adanya kakek hebat itu.:"
"Aku malah tak sempat mengucapkan terima kasih…." Ucap Loh Gatra sambil usap-usap wajahnya yang kembali mulus setengah tidak percaya.
Kegembiraan dua pendekar itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda berjubah bertutup kepala putih. Luar biasanya sosok putih di atas kuda itu sebentar kelihatan sebentar lenyap. Wulan Srindi yang ada di tempat itu berteriak kaget.
"Manusia pocong!"
Sosok manusia pocong lenyap. Ketika Wulan Srindi berpaling ke kiri, gadis ini kembali berteriak.
"Awas serangan membokong! Wiro!"
Wiro berbalik, putar tubuh dengan cepat.
Tapi terlambat Pendekar 212 Wiro Sableng hanya sempat melihat sebuah benda melesat di kegelapan malam disertai cipratan cairan. Lalu dia mengerang pendek, merasakan perih amat sangat di bagian dada. Ketika dia memperhatikan ternyata di dadanya telah menancap sebuah bendera aneh.’Berbentuk segi tiga, basah oleh cairan berwarna merah.
"Bendera Darah…" desis Wulan Srindi dengan suara bergetar.
Wiro menggigit bibir menahan sakit.
"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan…."
"Pasti makhluk serba putih tadi. Manusia pocong! Tetap disini. Aku akan mengejar bangsat itu!" Kata Loh Gatra.
"Tunggu, jangan kemana-mana. Aku curiga serangan membokong ini hanya jebakan belaka." Ujar Wiro lalu pejamkan mata, menjajaki mencari tahu apakah tangkai bendera yang menancap di badannya mengandung racun atau tidak. Tidak ada hawa panas, tidak ada kekacauan dalam aliran darah. Berarti tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kayu bendera mengandung racun. Kalaupun ada mungkin kesaktian Kapak Naga Geni 212 yang tersisip di pinggangnya telah memusnahkan racun itu.
Wiro perhatikan Bendera Darah yang menancap di dadanya. Sambil keluarkan suara mengeram murid Sinto Gendeng gerakkan tangan hendak mencabut gagang bendera. Saat itu mendadak ada orang berseru.
"Jangan dicabut! Berbahaya!"
Wulan Srindi, Loh Gatra dan lebih-lebih Wiro tentu saja tersentak kaget.
Di lain kejap, dari kegelapan malam muncullah seorang pemuda berpakaian coklat, berkepala gundul, berwajah dan berkulit tubuh kuning. Dia adalah pemuda dari Negeri Latanahsilam yang dikenal dengan nama Jatilandak.
Wiro mendengus, tidak perdulikan kehadiran pemuda itu. Hatinya masih sangat terluka atas kejadian beberapa waktu lalu. Dia menyaksikan Jatilandak bermesraan dengan Bidadari Angin Timur. Kini dia merasa benci sekali melihat pemuda dari Negeri Latanahsilam ini.
Wulan Srindi menatap Jatilandak sesaat lalu memandang berkeliling. Sebelumnya pemuda muka kuning itu bersama-sama dengan Bidadari Angin Timur. Si pemuda datang sendirian, lalu dimana si gadis?
"Hemm… mungkin dia sengaja sembunyikan diri." kata Wulan Srindi dalam hati. "Lihat saja, akan aku kerjain lagi si pencemburu ini!"
Jatilandak melangkah mendekati Wiro dan mengulangi lagi peringatannya tadi agar Wiro jangan mencabut gagang bendera yang menancap di dadanya.
Tanpa memandang pada pemuda bermuka kuning itu Wiro bertanya. "Kalau dicabut memangnya kenapa?" Wiro bertanya acuh sambil arahkan pandangan keberbagai sudut gelap, mencari-cari. Namun dia tidak melihat sosok Bidadari Angin Timur. Padahal sebelumnya dia tahu betul kalau gadis itu berdua-duaan dengan Jatilandak. Apakah mereka berpisah di tengah jalan atau mungkin si gadis bersembunyi di satu tempat?
"Aku pernah.melihat bendera ini sebelumnya," menerangkan Jatilandak. "Ujung lancip yang menancap di dalam daging tubuhmu berbentuk gerigi runcing menghadap keluar. Jika gagang bendera dicabut, daging sekitarnya akan ikut terbongkar. Bisa sebesar ini." Jatilandak membuat lingkaran dengan dua ibu jari dan dua jari tengah tangan kiri kanan.
"Gila! Sialan!" Maki Wiro. "Aku tidak percaya. Kalau tidak dicabut, biar aku patahkan saja!"
Nekad Wiro kembali gerakkan tangan hendak mematahkan gagang Bendera Darah. Tapi satu tangan halus cepat memegang lengannya, mencegah.
"Orang sudah memberi nasihat, mengapa berbuat nekad?!"
Wiro putar kepala, menatap wajah cantik gadis berkulit hitam manis.
"Kau yang tadi mengaku murid Dewa Tuak, siapa kau sebenarnya?!" tanya Pendekar 212.
"Tadi waktu Adipati itu masih di sini aku sudah menjelaskan. Apa kau tidak mendengar? Namaku Wulan Srindi. Aku murid Dewa Tuak. Kau tahu, selama ini aku mencarimu…."
"Aku tidak percaya kau murid Dewa Tuak. Perlu apa kau mencariku?"
"Tidak heran kalau kau tidak percaya. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Kau akan lebih heran lagi kalau aku katakan bahwa menurut guru, aku berjodoh dengan dirimu."
"Eee…apa?!" Wiro sampai tersentak dan rasa sakit di dadanya terasa berlipat ganda.
Wulan Srindi tersenyum.
"Nanti saja kita bicarakan hal yang satu itu. Tak jauh dari sini ada tempat yang baik. Kau bisa berbaring di sana sementara kami-kami berusaha membantu mengeluarkan Bendera Darah dari tubuhmu."
Baru saja Wulan Srindi selesai berucap tiba­tiba dikejauhan ada orang berteriak.
"Pendekar 212 Wiro Sableng! Jika ingin selamat dari Bendera Darah, jika kau masih punya nyali silahkan datang ke Seratus Tiga belas Lorong Kematian!"
"Manusia pocong! Pasti itu manusia pocong yang mencelakaiku! Jahanam!" Wiro segera angkat tangan kanannya. Begitu tangan berubah putih seperti perak mulai dari siku sampai ujung jari dia langsung menghantam.
"Wusss!"
Selarik cahaya putih panas menyilaukan berkiblat dalam gelapnya malam. Menghantam ke arah datangnya suara orang berteriak tadi. Pohon­pohon yang terkena sambaran Pukulan Sinar Matahari berderak patah, mental dalam keadaan hangus. Kobaran api bertebaran di beberapa tempat. Suasana di tempat itu menjadi terang untuk beberapa lamanya. Namun manusia pocong yang jadi sasaran pukulan tidak kelihatan. Tidak ada suara jeritan atau ringkik kuda pertanda makhluk tersebut berhasil lolos dan tinggalkan tempat itu.
Murid Sinto Gendeng menggeram marah, kepalkan jari-jari tangan kanan. "Manusia pocong jahanam! Saat ini kau bisa lolos. Aku bersumpah akan mengejarmu sekalipun sampai ke neraka!"
Sementara itu di satu tempat gelap dibalik sebatang pohon besar, seseorang yang sejak tadi mendekam menyembunyikan diri mengeluarkan umpatan. Walau diucapkan perlahan tapi karena tempat itu sunyi, jika ada orang lain di dekat situ, suaranya cukup jelas terdengar.
"Gadis tak tahu diri. Tak tahu diuntung!
Beraninya mengaku murid Dewa Tuak. Beraninya mengatakan berjodoh dengan Wiro. Aku tahu kau berdusta! Huh! Lihat saja, aku bersumpah satu saat akan menampar mulutmu!"
Tidak dinyana, tiba-tiba satu suara bertanya.
"Sahabat lama, siapa orang malang yang hendak kau jadikan sasaran tamparanmu?
Mudah-mudahan bukan diriku. Aduh, bisa-bisa kencingku muncrat semua. Saat ini saja belum apa-apa sudah mau luber rasanya. Hik…hik…hik."
Orang yang sembunyi dibalik pohon tersentak kaget. Dia mencium bau pesing. Hatinya membatin. "Seingatku hanya ada satu manusia yang tubuh dan pakaiannya melebar bau pesing.
Nenek itu… Tapi yang barusan bicara suara laki­laki. Dia mengaku sahabat lama." Orang dibalik pohon cepat palingkan kepala sambil tangan kanan berlaku waspada siap melancarkan pukulan. Sepasang mata membesar.
Pandangannya membentur satu kepala botak yang baru ditumbuhi rambut, dua telinga berdaun lebar yang salah satunya terbalik. Lalu ada sepasang mata belok balas menatap ke arahnya sambil dikedap-kedipkan.
"Kau! Menjauh! Jangan dekat-dekat. Aku tak mau celanamu yang basah penuh air kencing menyentuh pakaian, apa lagi tubuhku!"
Orang yang dibentak cuma senyum-senyum. "Aku tahu diri. Aku juga takut bersentuhan denganmu. Bisa-bisa bukan air kencing yang keluar tapi air yang lain. Hik…hik…hik!"
"Tua bangka sinting kurang ajar! Jangan kau berani bicara jorok padaku! Saat ini aku sedang kesal! Jangan salahkan kalau aku sampai merobek mulutmu!"
"Serrrr!"
"Nah, nah! Ancamanmu menakutkan sekali. Membuat aku tidak dapat menahan beser!"
"Sudah! Jangan banyak mulut! Pergi sana!" "Amboi, gerangan apa yang membuat dirimu kesal? Putus bercinta, ditinggal kekasih atau…."
"Kakek brengsek! Sudah! Tutup mulutmu! Buka matamu yang belok! Lihat ke depan sana.!"
Kakek berkuping lebar bermata belok putar kepala ke arah yang dikatakan orang. Mulutnya terbuka melongo.
"Astaga! Yang satu itu bukankah dia si anak setan murid Sinto Gendeng! Eh, anak sableng itu dia memakai hiasan apa di dadanya?"
"Bukan memakai hiasan apa! Dia barusan dibokong orang dengan Bendera Darah.
"Astaga!" si kakek kembali mengucap. "Siapa yang membokongnya?"
"Manusia pocong!"
"Serrr!"
Mendengar disebutnya nama itu kakek yang celananya kuyup bau pesing yang bukan lain adalah kakek konyol Setan Ngompol adanya, untuk kedua kalinya langsung kucurkan air kencing.
"Makhluk jahanam itu, rupanya benar-benar sudah gentayangan kemana-mana. Biasanya muncul menculik perempuan bunting. Kini mengapa mencelakai sahabatku si anak sableng itu?"
"Huh! Kau tahu apa tentang manusia pocong?"
"Bidadari Angin Timur," Setan Ngompol sebut nama si gadis. "Aku pernah hendak dibunuh orang gara-gara mengenakan jubah putih milik seorang manusia pocong yang sengaja ditinggalkan di sebuah rumah untuk menjebakku."
"Bagaimana ceritanya?" bertanya gadis cantik yang memang Bidadari Angin Timur adanya.
"Panjang. Nanti saja kalau ada kesempatan akan aku ceritakan padamu."
"Hemmm… Baiklah. Sekarang jelaskan bagaimana kau bisa berada di tempat ini. Ingat, seusai perjanjian kau menemui aku dan dua gadis lain di gedung kepatihan. Kau tidak datang, tahu­tahu sekarang muncul disini! Celana kuyup air kencing, bau pesing!"
Setan Ngompol tertawa lebar, usap-usap kepalanya yang baru ditumbuhi sedikit rambut. "Kalau celana tidak kuyup air kencing namaku bukan Setan Ngompol. Ha…ha…ha!"
"Husss!" Tertawa seenaknya! Kau kira tempat apa ini!"
Setan Ngompol tekap mulutnya dengan tangan kiri.
"Ayo bilang mengapa kau tidak memenuhi janji pertemuan di gedung Kepatihan."
Setan Ngompol usap-usap kepalanya. "Waktu itu aku melantur sedikit. Ada janda montok di Bantul yang membuat aku tergila-gila. Tapi gara-gara urusan itu aku hampir dibunuh orang…."
"Kapok! Biar tahu rasa!" tukas Bidadari Angin Timur.
"Saat itu aku memang kapok. Tapi sekarang, apalagi malam-malam dingin begini, kalau ingat sang janda, rasanya aku mau buru-buru balik ke Bantul lagi menemui…."
"Ssssttt!" Bidadari Angin Timur memberi isyarat. Jari telunjuk tangan kanan dipalangkan diatas bibir. "Lihat, ada orang datang!" Bisik gadis berambut pirang panjang ini.
Setan Ngompol ikut-ikutan letakkan jari telunjuk tangan kanan di atas bibir, pelototkan mata lalu berpaling ke depan sana.
"Astaga!" Si kakek terkejut dan serr! Dia kucurkan air kencing. "Nenek gendeng itu! Setiap muncul selalu bikin geger. Pasti sebentar lagi akan heboh tempat ini!" Setan Ngompol berpaling lalu bertanya. "Menurutmu apa kita keluar saja dan bergabung dengan mereka?"
"Kau barusan bilang sebentar lagi tempat ini bakalan heboh. Kalau kau mau ikutan heboh silahkan saja bergabung sendiri. Aku tetap di sini, jadi penonton saja. Mentang-mentang kalian sama bau pesingnya. Eh, jangan-jangan kau sudah lama gatal sama nenek itu. Naksir…?"
Si kakek pencongkan mulut, lalu cepat-cepat tekap mulutnya agar tawanya tidak meledak. "Bercinta dengan perempuan yang sama bau pesingnya apa enaknya? Tidak ada penghijauan dan penyegaran bebauan. Hik…hik…hik."
"Sudah! Pergi sana. Temui nenek itu."
Setan Ngompol usap-usap kepala. "Aku ikut kamu. Kita sama-sama jadi penonton saja. Lagi pula lama-lama bersamamu kurasa hidungmu sudah jadi terbiasa dengan bau pesingku. Bagaimana, sedap juga ‘kan? He…he…he."
"Kakek geblek!" maki Bidadari Angin Timur.
Di depan sana, diantara Loh Gatra, Wulan Srindi, Wiro Sableng dan Jatilandak tegak agak terbungkuk seorang nenek tinggi, kurus kering, berkulit hitam. Di kepalanya menancap lima tusuk konde perak. Di tangan kiri ada sebuah tongkat kayu butut. Tubuhnya, terutama kain yang dikenakannya menebar bau pesing. .Sepasang matanya yang seperti ada apinya memandang berputar liar. Nenek angker ini bukan lain adalah dedengkot rimba persilatan tanah Jawa, guru Pendekar 212 Wiro Sableng. Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede.
Melihat siapa yang berdiri di depannya Wiro cepat mendatangi lalu membungkuk hormat. "Nek, salam hormat dari muridmu" sapa sang pendekar pada sang guru.
Sinto Gendeng hanya melirik sekilas, lalu memandang berkeliling ke arah Jatilandak, Loh Gatra, dan Wulan Srindi.
Melihat si nenek memandang ke arahnya dan tadi dia mendengar Wiro menyebut guru pada sisi nenek, Wulan Srindi buru-buru mendatangi si nenek. Jatuhkan diri berlutut seraya berkata.
"Nenek Sinto, terima salam hormat dariku. Wulan Srindi. Calon menantumu…"
Sepasang mata Sinto Gendeng seperti terpacak pada wajah gadis cantik hitam manis yang berlutut di depannya. Lima tusuk konde di kulit kepalanya seperti berpijar dan bergoyang­goyang. Di dalam hati gadis ini jadi punya rasa takut kalau-kalau akan disemprot si nenek angker. Namun diam-diam dia juga merasa lega. Jika Bidadari Angin Timur ada disitu pasti dia mendengar ucapannya tadi."
Rasakan, biar terbakar telinga, hangus dadanya mendengar kata-kataku! Lain dari itu aku juga untung-untungan. Siapa tahu benaran diterima jadi menantu!" Wulan Srindi senyum­senyum sendiri.
Sinto Gendeng mendongak ke langit. Lalu nenek ini tertawa cekikikan.
"Tidak disangka banyak orang gila ditempat ini! Hik…hik…hik.!"
11
DI BALIK semak belukar Setan Ngompol ingin ikut-ikutan tertawa. Karena ditahan­tahan akhirnya dia jadi terkencing sendiri. Sebaliknya Bidadari Angin Timur berkata.
"Dasar gadis lancang! Berani-beraninya mengaku calon menantu pada nenek itu…."
"Nah, nah. Sekarang aku tahu mengapa kau kesal. Pada siapa kau kesal. Kau kesal pada gadis hitam manis mengaku bernama Wulan Srindi itu. Kau kesal karena dia mengaku calon menantu si nenek. Berarti calon suami Wiro si anak sableng."
"Kau percaya ucapan gadis itu?"
"Tentu saja tidak."
"Alasanmu?"
"Seingatku Wiro cuma suka pada gadis cantik berkulit putih dan mulus. Seperti…."
"Seperti apa?"
"Sepertimu inilah," jawab Setan Ngompol.
"Banyak gadis lain yang juga berkulit putih…."
"Tapi dia tidak memiliki rambut pirang yang
menakjubkan sepertimu."
"Memangnya rambutku bagus?"
"Buaguss uaammmmaaattt…" jawab Setan Ngompol lalu tertawa sendiri dan ngompol sendiri.
Kata-kata Setan Ngompol itu bagaimanapun juga sedikit menghibur hati Bidadari Angin Timur yang sejak beberapa waktu belakangan ini selalu kesal.
Di depan sana Sinto Gendeng hentikan tawa, ketuk-ketukkan tongkat lalu membuka mulutnya yang perot.
"Orang gila pertama adalah kau!" Si nenek tudingkan ujung tongkatnya ke jidat Wiro Sableng.
"Dandanan gila apa yang kau pakai ini? Menancapkan bendera basah bau amis di dada! Uuahhh!" Si nenek semburkan ludah merah ke tanah. Merah karena di mulutnya dia selalu membekal susur yaitu tembako, daun sirih dan pinang yang dikunyah-kunyah.
"Nek, ini bukan dandanan. Aku dibokong orang…." Menjelaskan Pendekar 212.
"Apa? Kau dibokong orang? Astaga naga. Untung bukan bokongmu yang dibokong!
Hik…hik…hik… Untung bukan anumu yang ditancapi! Hik…hik’…hik…." Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Seorang anggota komplotan Barisan Manusia Pocong muncul. Melakukan serangan dari tempat gelap ketika kami tengah bicara di tempat ini."
Wulan Srindi ikut memberi keterangan seraya bangkit berdir’.
"Aku sempat menghantamnya dengan pukulan Sinar Matahari. Tapi dia berhasil lolos." Menambahkan Wiro.
"Manusia pocong? Makhluk apa itu? Kalau manusia ya manusia. Kalau pocong ya pocong Mana bisa jadi satu. Atau mungkin ada manusia sungguhan yang kawin sama pocong. Bunting, anaknya mbrojol lalu disebut manusia pocong. Begitu?"
"Bukan Nek," Yang menyahuti adalah Loh Gatra. "Manusia Pocong itu adalah kelompok orang-orang jahat penculik perempuan-perempuan hamil. Salah satu korbannya adalah istri saya sendiri."
Sinto Gendeng pencongkan mulut. Goleng­goleng kepala.
"Nek," kembali Wulan Srindi membuka mulut. "Markas komplotan Manusia Pocong itu tidak jauh dari sini. Di sebelah utara sana. Mereka diam di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Kami tengah berunding untuk menyerbu markas itu. Lorong itu bukan lorong sembarangan. Siapa berani masuk akan tersesat, tak bisa keluar lagi dan akan melepas nyawa di tempat itu!"
"Manusia Pocong, Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Aneh-aneh saja. Tapi aku belum selesai dengan urusan manusia-manusia gila yang ada di tempat ini. Kau!" kata si nenek pula sambil ketukkan tongkatnya ke kepala Wiro. "Kalau kau benar dibokong dengan benda itu. Lalu mengapa bendera itu tidak kau cabut?"
"Kalau dicabut daging dada Wiro akan ikut terbongkar. Gagang bendera berbentuk gerigi lancip menghadap keluar…."
Sinto Gendeng melirik ke arah Jatilandak yang barusan bicara. Lalu dia tertawa panjang. "Kau orang gila kedua di tempat ini. Kulit kuning, kepala botak kuning, mata kuning, gigi pasti kuning. Yang tidak kuning pada dirimu apa? Kotoranmu?!"
Wulan Srindi senyum-senyum. Wiro mesem­mesem. Loh Gatra palingkan muka sembunyikan tawa. Jatilandak sendiri hanya diam dan komat­kamitkan mulut. Dia sudah mendengar sifat nenek satu ini.
"Orang gila ke tiga! Jangan kau senyum­senyum! Kau yang kumaksud orang gila ke tiga!" Tongkat di tangan kiri Sinto Gendeng bergerak, kini menuding ke arah Wulan Srindi.
Si gadis kaget bukan main.
Di balik semak Bidadari Angin Timur berbisik.
"Nah sekarang rasakan. Kena batunya gadis gatal itu!"
Sesaat kaget, Wulan Srindi kembali senyum.
"Aku orang gila ketiga di tempat ini?
Memangnya aku gila bagaimana Nek?
Dandananku apik dan rapi. Rasanya otakku biasa-biasa saja." Wulan Srindi bicara sambil usap-usap wajah dan rambutnya.
"Kau gila karena mengaku-aku sebagai calon menantuku! Kenal baru hari ini. Melihat jidatmu baru sekarang! Bagaimana kau bisa bilang calon menantuku?!" Sinto gendeng melirik ke arah muridnya. Lalu menatap kembali pada Wulan Srindi. "Atau memang tanpa setahuku kalian berdua memang sudah sejak lama bercinta? Hemmmm…" Mata si nenek menatap tajam ke perut Wulan Srindi yang sedikit agak gemuk. "Eh, jangan-jangan kau bunting ya?"
"Astaga, kau yang gila Nek!" ucap Wulan Srindi tanpa takut. "Berpegangan tangan saja belum, bagaimana aku bisa bunting? Memangnya muridmu punya kesaktian yang bisa membuat gadis bunting dari jarak jauh? Wow! Oala! Hebat sekali dia!"
Wiro melengak kaget mendengar ucapan Wulan Srindi yang begitu berani. Yang lain-lain juga terkesima. Dibalik semak belukar Bidadari Angin Timur kembali keluarkan ucapan. "Belum jadi menantu sudah berani memaki si nenek. Uh…. gadis edan! Kurang ajar!"
Semua orang mengira si nenek angker akan mendamprat Wulan Srindi. Tapi justru terjadi sebaliknya. Setelah menatap wajah si gadis sesaat, nenek ini dongakkan kepala lalu tertawa panjang. Yang lain-lain merasa lega. Si nenek gendeng itu ternyata tidak marah. Wulan Srindi juga merasa lega. Dia sadar telah keterlepasan bicara.
"Ilmu kesaktian yang bisa membuat gadis bunting dari jarak jauh! Hik…hik…hik."
Setelah puas tertawa Sinto Gendeng memandang berkeliling. Pandangannya’ berakhir kearah muridnya sendiri.
"Anak Setan! Memalukan jadi muridku kalau bendera itu tak sanggup kau cabut! Mungkin kau terlalu banyak main perempuan, hingga lupa kemampuan sendiri! Mendekat ke sini!"
Wiro melangkah mendekat. Agak takut-takut. Jatilandak dan Wulan Srindi serta Loh Gatra ikutan cemas. Kalau si nenek nekad mencabut bendera yang menancap di dada Wiro, bisa celaka pendekar itu.
Begitu Wiro berada dekat di depannya, sinenek bertanya.
"Kapak Naga Geni 212 masih ada padamu? Atau sudah kau jual?" Kau gadaikan mungkin? Atau kau berikan pada seorang gadis cantik….?"
"Nek, kapak itu masih ada padaku," jawab Wiro.
"Keluarkan, berikan padaku!"
Wiro ambil kapak Maut Naga Geni 212 yang terselip di pinggang dibalik pakaian putihnya lalu diserahkan pada si nenek. Sinto Gendeng timang­timang benda itu beberapa lama. Sepasang matanya yang angker kelihatan berkilat-kilat.
"Nenek bau pesing itu, apakah dia akan memenggal leher muridnya sendiri?" tanya Setan Ngompol di balik semak belukar lalu seerrr. Dia kucurkan air kencing.
Perlahan-lahan Sinto Gendeng arahkan pertengahan mata kapak sakti ke ujung gagang Bendera Darah yang menancap di dada muridnya. Kapak menempel dengan ujung kayu bendera. Sinto Gendeng kerahkan tenaga dalam hawa sakti. Mata kapak sakti serta merta memancarkan sinar terang benderang.
Kain bendera yang basah oleh darah terbakai Gagang bendera kelihatan membara. Lalu ada suara letupan kecil.
"Dessss!"
Asap mengepul.
Wiro menjerit keras, tubuhnya terpental jatuh terlentang di tanah. Bendera Darah dan gagangnya tidak kelihatan lagi. Dibagian dada yang sebelumnya ditancapi gagang bendera, kini kelihatan satu lubang kecil hitam, mengucurkan darah.
"Nek…."
Wiro berusaha bangkit berdiri. Dadanya seperti ditempeli bara menyala. Tapi si nenek membentak.
"Jangan bergerak!"
Lalu Sinto Gendeng dekati muridnya,
membungkuk. Dia singsingkan ujung kainnya yang basah oleh air kencing. Wiro tutup jalan pernafasan. Tak tahan santarnya bau air kencing ditubuh dan pakaian si nenek. Sinto Gendeng peras ujung kainnya. Air kencing jatuh menetes tepat di arah lubang kecil didada sang murid.
"Ces…ces…ces!"
Terdengar suara seperti air jatuh di atas bara api. Wiro mengerenyit menahan sakit.
"Cukup tiga tetes!" Kata si nenek pula. Lalu dengan tangan kirinya dia usap dada Wiro. Tanda hitam lenyap. Lubang kecil juga lenyap. Lelehan darah tak kelihatan lagi. Tak ada cacat bekas luka. Dada itu mulus seperti tidak pernah ditancapi apa-apa.
"Nek, kau punya ilmu baru!" Ujar Pendekar 212 sambil pandangi dadanya, kagum akan kehebatan sang guru.
"Hemmmm…." Si nenek bergumam. "Namanya Ilmu Pengobatan Kencing Sakti. Sekarang biar penyakitmu tuntas air kencing akan aku peraskan ke dalam mulutmu. Siapa tahu gagang bendera itu ada racunnya. Ayo ngangakan mulutmu!"
Wiro tersentak kaget.
"Tidak Nek, ampun! Aku sudah sembuh! Terima kasih Nek, terima kasih!" Wiro tekap mulutnya, buru-buru berdiri dan menjauh dari si nenek.

Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Seperti anak kecil saja.. Belum dicekoki obat sudah mewek, mau kabur! Hik…hik…hik."

TAMAT
Segera Terbit Episode berikutnya :
PERNIKAHAN DENGAN MAYAT


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...