posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : DENDAM MANUSIA PAKU
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : DENDAM MANUSIA PAKU
“Kuda jahanam! Aku memang ingin cepat sampai! Tapi tidak mau celaka!” teriak lelaki bermata satu. Kembali dia tarik tali kekang. Kepala kuda penarik gerobak tersentak ke belakang. Dari hidungnya dan mulutnya keluar cairan berbusa. Binatang ini meringkik keras.
Tapi sama sekali tidak berhenti.
Di balik tikungan, jalan semakin menurun, tambah sempit dan batu-batu besar bergelimpangan menyembul ke permukaan tanah. Beberapa puluh tombak di bawah tampak Waduk Selorejo. Dalam musim kemarau panjang. Dalam musim kemarau panjang waduk itu tak lebih dari sebuah lembah dalam berlumpur ditumbuhi semak belukar dan pepohonan liar serta tebing batu.
“Binatang jahannam ini benar-benar tidak mau berhenti! Sebentar lagi gerobak pasti meluncur ke lembah. Aku tidak mau celaka, edan!”
Lelaki di atas gerobak pergunakan tangan kiri membuka tali yang mengikat sebuah peti besi ke tiang gerobak. Hanya sesaat lagi gerobak itu akan mencebur ke dalam waduk, dia menyambar peti besi lalu melompat dari atas gerobak. Peti besi yang dipegang dengan tangan kirinya cukup berat. Tapi hebatnya, begitu melompat ke udara dia mampu membuat gerakan jungkir balik dan ketika turun kedua kakinya tepat menjejak sebuah batu besar di bibir waduk.
Dari atas batu itu dia melihat kuda dan gerobak menghambur masuk ke waduk. Salah satu rodanya mental, meloncat ke udara di hantam batu besar. Kuda besar itu meringkik keras beberapa kali lalu amblas ke dalam lumpur di dasar lembah. Hanya sesaat kakinya tersembul melejang-lejang, sebelum akhirnya lenyap dari pandangan!
Lelaki brewokan yang mata kirinya picak itu geleng-geleng kepala. Setelah menarik nafas panjang peti besi diletakannya di batu lalu dia duduk di atas peti itu.
“Pemandangan hebat!” tiba-tiba ada orang berucap di belakang si brewok. Lalu terdengar tawa mengekeh. Dia cepat berpaling dan cepat melengak kaget. Dia memiliki kepandaian luar biasa tinggi, bagaimana mungkin dia tidak mengetahui kemunculan orang ini? Jawabnya hanya satu. Orang itu pasti memiliki kepandaian lebih tinggi! Lelaki bertelanjang dada ini segera berdiri.
“Aku sudah menunggu lama! Kukira kau tidak muncul! Turunlah dari atas batu! Aku tidak suka berbicara mendongak terus-terusan. Lama-lama leherku bisa salah urat nanti!” orang
yang bicara kembali tertawa mengekeh. Dia adalah kakek bermata juling yang selalu berputar liar kian kemari. Tubuhnya pendek dan pada punggung dekat leher ada sebuah punuk. Kakek ini mengenakan jubah merah menjela tanah. Rambut kumis dan janggutnya putih awutawutan. Pada keningnya terikat secarik kain merah. Di tangan kirinya dia memegang sebuah kantong kain tebal yang isinya cukup berat karena kantong itu tampak membuyut ke bawah.
Lelaki di atas batu melompat turun, tapi dia tidak mau terlalu jauh dari peti besi yang diletakkan di atas batu itu. “Apakah aku berhadapan dengan kakek sakti penguasa tunggal kawasan timur yang biasa disebut dengan panggilan Yang Mulia Datuk Bululawang dari Gunung Welirang?”
Si kekek mata juling menyeringai. “Kalau sudah tahu kenapa tidak segera memberikan penghormatan pada Yang Mulia?” ujarnya.
“Ah!” lelaki bertelanjang dada menyeringai. Dia usap berewoknya lalu memberikan penghormatan.
Kakek yang dipanggil Yang Mulia Datuk Bululawang itu tertawa panjang. Mata julingnya berputar-putar. “Aku sendiri apakah sedang berhadapan dengan raja diraja rampok besar kawasan utara selatan bergelar Warok Patiraja Penguasa Rimba Belantara Utara Selatan?!”
Lelaki mata picak menyerangai. “Nama yang barusan kau sebut itu memang aku orangnya yang Mulia!”
“Ah! Akhirnya kita bertemu juga. Kabarnya matamu yang tinggal satu punya kesaktian yang tiada tandingan. Mampu melelehkan besi dan menghancurkan batu! Apakah kau bisa mempertunjukkan kehebatanmu di hadapanku?!”
“Yang Mulia Datuk Bululawang, waktu kita sempit sekali, Mengapa membuang percuma dengan segala pertunjukan yang tidak-tidak?!”
“Kau betul Warok Patiraja! Tapi bagaimana aku bisa tahu bahwa yang dihadapanku ini benar-benar adalah Warok Patiraja, orang yang membuat perjanjian denganku akan menyerahkan sejumlah batang emas untuk sesuatu yang aku miliki dan tengah menjadi incaran puluhan tokoh dunia persilatan!?” Pada akhir ucapannya, si kakek gerakkan sedikit tangan kirinya yang memegang kantong tebal.
Si mata picak menggerendeng dalam hati. Tapi memang si kakek itu betul. Maka diapun berkata. “Kalau itu maumu, harap lihat batu di seberang sana…” katanya sambil menunjuk ke arah sebuah batu besar di pinggiran waduk sebelah kiri. Batu itu terletak sekitar tiga tombak dari tempat mereka berdiri.
Kakek bermata juling putar kepalanya ke arah batu besar. Perlahan-lahan lelaki bertelanjang dada arahkan pandangan mata kanannya pada batu besar itu. Bibirnya tampak bergetar. Mata kanan itu keluarkan suatu kilauan aneh. Terdengar suara “Wusss” disertai membersitnya sebuah sinar berwarna hitam. “Kraaakk! Byaaarr!”
Batu besar di sebelah sana retak di sembilan tempat lalu hancur berkeping-keping. “Luar biasa! Benar-benar luar biasa! Tak percuma kau jadi raja diraja rampok utara selatan!” si kakek memuji sambil geleng-geleng kepala.
“Sekarang giliranku. Buktikan bahwa kau memang Yang Mulia Datuk Bululawang. Manusia sakti yang mampu menjebol tembok batu dengan tangan kosong!”
Si kakek tertawa panjang mendengar kata-kata Warok Patiraja itu. “Rupanya kau masih kurang percaya kalau aku memang Yang Mulia Datuk Bululawang!” katanya. Lalu terbungkuk-bungkuk
tubuh pendek berpunuk itu melangkah mendekati sebuah batu besar yang tingginya hampir sama dengan tinggi kepalanya.
“Perhatikan baik-baik apa yang akan aku lakukan!” kata si kakek. “aku tidak akan mengulang kedua kali. Apapun yang akan aku lakukan ini jarang kuperbuat dan berlangsung hanya sekejapan mata!” Habis berkata begitu sampai di depan batu tinggi, si kakek gerakkan tangan kanannya. Terdengar suara “rrrrtttt.” Tangan kanan kanan si kakek amblas masuk ke dalam batu. Ketika tangan itu ditarik kembali pada batu tinggi kelihatan lobang besar yang tembus dari satu sisi ke sisi lainnya!
“Hebat sekali!” memuji Warok Patiraja. Dia lalu menunjuk pada peti besi di atas batu di sampingnya. “Sesuai perjanjian, aku sudah membawa barang untukmu. Apakah isi kantong itu barang untukku?!”
Datuk Bululawang telan ludahnya lalu mengangguk. “Boleh aku melihat isi peti ini?” tanya si kakek.
Warok Patiraja cepat membuka dua buah grendel besar pengunci peti. Begitu pintu besi dibuka, membersitlah sinar kekuningan dari batangan-batangan emas yang ada di dalam peti.
“Semua berjumlah duapuluh batang…” berkata Warok Patiraja. Datuk Bululawang menyeringai. Mata julingnya memandang sekilas ke dalam peti. Lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi bibir.
Warok Patiraja tutup peti dan memasang grendelnya kembali. “Boleh aku melihat isi kantong itu?” tanyanya.
“Silahkan lihat sendiri!” ujar si kakek. Kantong kain tebal di tangan kirinya dilemparkannya pada Warok. Lelaki itu cepat menyambuti lalu membuka ikatan tali yang melilit kantong.
Begitu kantong dibuka, dia melihat setumpuk paku besar panjang lebih dari setengah sejengkal. Paku-paku ini terbuat dari baja yang mengeluarkan sinar putih benderang. “ada tiga puluh paku didalam kantong itu. Kau sudah melihat. Apakah kau kini percaya dan puas ?!” tanya Datuk Bululawang seraya melangkah mendekati.
Warok Patiraja mengangguk. “Aku ambil paku-paku ini, kau boleh ambil emas dalam peti!” katanya.
Si kakek mengangguk. “Sekarang kau baru jadi raja diraja rampok utara selatan. Kelak jika kau sudah menjadi raja diraja rimba persilatan, kuharap saja kau tidak lupa padaku!”
katanya sambil menyeringai dan mata julingnya berputar-putar. “Sekarang bantu aku menurunkan peti itu. Kau meletakkannya terlalu tinggi di atas batu!”
Warok Patiraja ikat tali penutup kantong berisi paku lalu mengikatkan benda itu ke sabuk besar di pinggangnya. Dengan dua tangannya yang kukuh, ditariknya peti besi berisi duapuluh batangan emas. Untuk menarik peti, Warok terpaksa membelakangi si kakek. Pada saat itulah tiba-tiba tangan kanan Datuk Bululawang melesat ke pinggangnya.
Warok Patiraja menjerit dahsyat ketika tangan kanan Datuk Bululawang menghancurkan tulang pinggangnya terus menembus perut. Ketika tangan itu ditarik, sebagian usus besar Warok ikut terbetot dan menyembul di bagian belakang tubuhnya bersamaan dengan kucuran darah!
Si kakek tertawa tinggi. “Manusia tidak tahu diuntung! Manusia jelek sepertimu bercita-cita gila hendak jadi raja diraja dunia persilatan! Huh!” Dia meludah ke tanah, lalu sekali renggut saja dia rampas kantong berisi paku yang tergantung di sabuk Warok. Benda ini cepat disimpannya di balik jubah merahnya. Kemudian sekali berkelebat dia sudah berada di atas batu. Peti besi yang berat itu, seperti menjinjing keranjang kosong dengan mudah ditentengnya. Sebelum melompat turun, dia berpaling pada Warok dan mengumbar tawa mengekeh.
“Dasar tolol! Mana ada rampok yang menjadi penguasa tunggal dunia persilatan! Ha… ha… ha…! Selamat tinggal Patiraja! Selamat menghadap penguasa akhirat! Mungkin di situ kau
bisa jadi raja diraja akhirat! Ha… ha… ha…!”
Saat itu Warok berada dalam keadaan sekarat. Tubuhnya bersimbah darah dan isi perutnya semakin banyak membusai lewat lobang besar di pinggang dan di perutnya. Tersandar pada sebuah batu di belakangnya, dia masih bisa keluarkan ucapan. “Datuk keparat… Kau kira kau bisa kabur begitu saja…”
Mata kanan Warok Patiraja keluarkan kilauan aneh. Mata itu memandang lurus-lurus ke arah sosok Datuk Bululawang yang meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sang datuk rupanya tidak bodoh. Dia sengaja mengambil jalan lari begitu rupa hingga satu garis lurus dengan batu-batu besar yang ada di tempat itu. Dengan demikian tubuhnya terhalang dari pandangan mata Warok yang berbahaya itu. Akan tetapi di satu tempat Warok masih sempat melihat sosok kiri si kakek keluar dari garis lurus yang menghalangi dirinya dari batu-batu besar.
Bibirnya bergetar. “Wusss!” sinar hitam melesat.
Di depan sana terdengar jeritan Datuk Bululawang. Bahu kirinya hancur disambar sinar sakti yang keluar dari mata kanan Warok. Tangan kirinya putus dan hancur berantakan di udara.
Kakek ini jatuhkan diri ke tanah, mengerang kesakitan, sementara darah mulai membasahi jubah merahnya. Sekujur tubuhnya mengginggil dan mulai terasa panas. Dengan dua jari tangan kanannya, Datuk Bululawang cepat menotok dada kirinya. Lalu terseok-seok dia tinggalkan tempat itu. Peti besi dijinjingnya erat-erat di tangan kanan. Nafasnya tak karuan.
Di tepi waduk, Warok Patiraja berusaha mencari sosok si kakek dengan pandangan mata kanannya. Dia maju beberapa langkah, namun tak bisa berbuat banyak. Di satu tempat lututnya menekuk. Tubuhnya ambruk ke bawah lalu tergelimpang di tebing waduk Selorejo.
Gadis berpakaian ringkas warna ungu itu memacu kudanya sepanjang pesisir selatan lalu membelok tajam memasuki kawasan luas ditumbuhi pohon kelapa. Pita ungu di atas kepala dan selendang ungu yang melingkar di lehernya melambai-lambai ditiup angin. Jauh didepannya membujur deretan bukit-bukit. Tujuannya adalah salah satu dari puncak bukit itu.
Agaknya dia tidak akan sampai ke tujuan dalam waktu dekat. Kuda tunggangannya sudah terkuras seluruh tenaganya karena dipacu sejak pagi buta tadi.
Semakin jauh dia masuk ke pedalaman semakin tak terdengar deru ombak yang memecah di pantai. Udara pesisir yang tadinya panas menyengat kini mulai menyejuk karena hembusan angin dari bebukitan. Semakin dekat ke arah bukit-bukit itu, udara terasa lebih sejuk.
Menjelang rembang petang, kuda dan penunggangnya akhirnya sampai juga di kaki bebukitan. Namun justru di situlah kuda itu melepas sisa tenaganya yang terakhir. Dia tak sanggup lagi berlari. Langkah keempat kakinya gemetaran. Sebelum binatang itu tersungkur, gadis berbaju ungu melompat. Dia cepat pegang leher kuda agar tidak terjerembab keras.
“Binatang hebat! Aku tak akan memaksamu naik ke atas puncak bukit sana. Aku terpaksa meninggalkanmu di tempat ini. Aku dikejar waktu…” si gadis memandang berkeliling.
Hatinya merasa lega ketika dia melihat tak jauh dari sana ada sebuah telaga. Walau airnya tidak terlalu bening, namun cukup menolong kuda yang sudah setengah mati kepayahan itu.
Dipetiknya beberapa helai daun, dengan cepat dibentuknya seperti panci kecil. Lalu dengan benda itu diciduknya air telaga dan disiramkannya ke mulut serta kepala kuda yang terbujur di tanah. Sampai delapan kali memberi minum baru si gadis berhenti.
“Aku harus pergi sekarang… Kuharap kau mau menunggu di sini barang satu malaman…”
setelah mengusap leher dan kepala binatang itu beberapa kali, gadis berpakaian serba ungu ini segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
Tepat pada saat matahari tenggelam, gadis ini sampai di puncak bukit. Dalam keremangan, dia berlari menuju bagian timur hingga akhirnya tiba di sebuah bangunan batu yang pintunya tertutup oleh sejenis pohon merambat. Si gadis tak berani menyibakkan daun-daun pepohonan itu, apalagi masuk ke dalam. Setelah menarik nafas panjang, dia berseru. “Guru, saya datang! ”
Tak ada sahutan. “Guru, saya Anggini muridmu datang sesuai pesan!” ia berseru lebih keras.
Dari dalam bangunan batu terdengar suara batuk-batuk beberapa kali. “Jangan-jangan orang tua itu sedang sakit,” pikir si gadis. Dia beranikan diri melangkah mendekati pintu bangunan.
Tiba-tiba ada suara seperti orang menyembur dari dalam bangunan. Bersamaan dengan itu menebar bau tuak harum sekali. Gadis baju ungu hentikan langkahnya.
“Ah, dia ada di dalam rupanya,” kata si gadis lega, dan kini tampak tersenyum. Kembali dia melangkah maju. Mendadak, “Wusss!” Ada kilatan api. Lalu daun-daun pohon jalar yang
bergelantungan menutupi pintu bangunan batu tenggelam dalam kobaran api. “Muridku, masuklah! Aku memang sudah lama dan penat menunggumu! ”
Anggini sang murid tentu saja jadi terkesiap. Bagaimana dia bisa masuk dalam bangunan sementara satu-satunya jalan masuk tertutup oleh kobaran api? “Hai! Apakah kau sudah tuli anggini?! Tak kau dengar aku menyuruhmu masuk?!” terdengar suara orang di dalam bangunan agak gusar.
“Guru…”
“Jangan bicara saja, masuklah!” orang di dalam bangunan batu akhirnya membentak hilang kesabaran. Sesaat si gadis masih terkesima. Namun di lain kejap dia gerakkan tangan ke leher membuka gelungan selendang ungu lalu melompat ke arah pintu seraya mengibaskan selendang tiga kali berturut-turut.
Tiga gelombang angin menderu dahsyat, menerbangkan pasir dan batu-batu kecil. Melabrak daun-daun pohon jalar yang dikobari api. Api yang membakar pohon serta merta padam
sementara pohonnya sendiri tidak patah atau remuk dihantam tiga gelombang angin tadi.
Ketika sang dara melompat masuk ke dalam, selendang ungunya sudah melingkar kembali di lehernya.
Di dalam bangunan kini terdengar suara tawa bergelak. Lalu, “gluk-gluk-gluk” menyusul suara seperti seseorang tengah meneguk minuman dengan lahap. Di dalam bangunan, Anggini sempat terkesiap. “Ah, belum berubah juga dia rupanya…” lalu gadis ini cepat-cepat menjura lalu duduk bersimpuh di lantai.
“Hebat…! Jurus Selendang Dewa Memagut Naga Membungkam Matahari yang kau mainkan tadi sungguh sempurna! Kalau tidak kubegitukan tadi, mana kau mau memperlihatkan kepandaianmu! Ha…ha…ha…!”
“Guru, harap maafkan murid. Saya tak tahu kalau guru bermaksud menjajal kepandaian saya yang rendah!”
Orang di hadapan si gadis tertawa mengekeh. Lalu, “gluk-gluk-gluk” enak saja dia meneguk sejenis minuman keras yang harum dari bibir sebuah tabung bambu. Orang ini adalah seorang tua berambut putih yang janggutnya menjulai sampai ke dada. Pakaiannya selempang kain biru. Saat itu dia duduk di atas sebuah bumbung bambu yang ditegakkan di lantai sambil uncang-uncang kaki. Di pangkuannya melintang sebuah tabung bambu lagi. Bumbung ini berisi tuak murni luar biasa harumnya yang disebut dengan Tuak Kayangan. Dan si orang tua ini tak lain adalah Dewa Tuak, salah seorang dedengkot rimba persilatan di masa itu!
“Guru, apakah kau selama ini sehat-sehat dan baik-baik saja?” Anggini bertanya.
“Ya.. ya Aku selalu sehat dan baik-baik saja. Berkat ini!” jawab Dewa Tuak sambil menepuk bumbung-bumbung bambu di pangkuannya.
“Saya gembira mendengar hal itu….” kata sang murid. Dia diam sesaat lalu baru meneruskan ucapannya. “Sesuai pesan yang saya terima, saya sudah datang dan berada di hadapan guru.
Gerangan apakah guru memanggil saya?”
“Ah, kau rupanya tak mau berbasa-basi. Ingin langsung pada tujuan.” Dewa Tuak tersenyum lebar. Dia usap-usap janggut putihnya beberapa kali baru teruskan ucapan.
“Baiklah, aku memang perlu bicara padamu. Anggini muridku, ketahuilah dunia persilatan dalam waktu dekat ini akan dilanda malapetaka besar kalau orang-orang tua buruk sepertiku ini tidak lekas-lekas mengambil tindak pencegahan… ”
“Rupanya ada tokoh-tokoh sesat golongan hitam hendak berbuat ulah?” tanya Anggini.
“Bisa dikatakan begitu. Tapi pangkal bahayanya adalah seperti yang akan aku tuturkan padamu… ”
Puncak Gunung Kelud. Langit tampak mendung sejak pagi. Sang surya sama sekali tidak kelihatan menyembul. Keadaan saat itu seolah menjelang malam hari. Sementara hujan turun
rintik-rintik dan udara terasa sangat dingin.
Di tempat persemadiannya Eyang Gusti Kelud Agung duduk bersila di lantai, hanya beralaskan sehelai kulit kambing. Kedua tangannya diletakkan di atas paha. Mata terpejam, tubuh tak bergerak barang sedikit pun. Kalau saja tidak ada hembusan nafas yang menimbulkan asap tipis akibat dinginnya udara, orang tua berusia hampir seratus tahun ini tidak beda seperti sebuah patung. Walau usia sudah lanjut begitu rupa, tapi dia masih memiliki tubuh tegap dan wajah segar. Semua ini akibat latihan jasmani dan kekuatan rohani serta hawa sakti yang sudah mencapai tingkat tinggi dan jarang orang menguasainya.
Di hadapan Eyang Gusti Kelud saat itu duduk seorang lelaki berusia 30 tahun. Dia hanya mengenakan sehelai cawat sehingga kelihatan tubuhnya yang kukuh penuh otot. Pada leher dan dadanya terdapat banyak tanda-tanda kemerahan seolah bekas gigitan. Lelaki muda ini tidak hitam ataupun coklat tetapi berwarna kehijau hijauan membersitkan sinar aneh kalau tak dikatakan menggidikkan. Lelaki ini menatap pada kakek yang ada di hadapannya. Dia sudah berada di tempat itu sejak malam tadi. Dan Eyang Gusti Kelud masih saja bersemadi. Sampai kapan dia harus menunggu? Kalau dengan orang lain mungkin dia berani mengganggu semadi itu atau meninggalkan si kakek begitu saja. Tapi terhadap sang guru tentu saja dia tak berani berbuat begitu.
Waktu berjalan terus. Siang pun datang. Udara terang sedikit tetapi sang surya masih belum kelihatan. Sepasang mata hijau lelaki muda itu melihat gerakan pada urat nadi di leher Eyang Gusti Kelud Agung. Hatinya menjadi lega. Ini satu pertanda bahwa si kakek akan mengakhiri semadinya. Benar saja. Tak lama kemudian terlihat getaran-getaran teratur pada bagian dada orang tua itu. Setelah itu kepalanya bergerak sedikit. Menyusul dengan terbukanya kedua matanya sedikit demi sedikit.
Begitu melihat mata sang guru membuka, pemuda tadi segera membungkuk dalam-dalam.
Kepalanya hampir menyentuh kaki si kakek. Dan dia tetap dalam keadaan seperti itu sampai dia mendengar suara Eyang Gusti Kelud Agung berkata. “Sandaka Arto Gampito, kau boleh mengangkat tubuhmu.”
Lelaki muda itu cepat angkat tubuhnya, duduk dengan sikap tegak dan memandang pada orang tua di hadapannya. Dua mata bening Eyang Gusti Kelud Agung serta merta melihat perubahan besar telah terjadi dengan diri muridnya. Hatinya memelas sedih.
“Dua puluh tahun lebih aku mendidiknya untuk menjadi manusia berbudi pendekar sejati.
Ternyata semua itu sia-sia belaka. Ya Tuhan, apa dosaku pada-Mu hingga kau turunkan malapetaka ini pada muridku? Jika dia yang berdosa biar aku yang menampung semua dosanya. Jangan dia. Diriku akan segera datang menghadap-Mu, tapi dia masih muda, jalan hidupnya masih panjang. Ya Tuhan, aku mohon petunjuk-Mu…”
“Eyang, saya datang menghadap Eyang. Semoga kedatangan saya berkenan di hati Eyang…”
“Sandaka, aku senang melihat kau datang. Tapi hatiku juga sangat sedih melihat keadaanmu seperti ini…” berucap Eyang Gusti Kelud Agung dengan suara tersendat.
“Saya tahu bagaimana perasaan Eyang, namun mungkin semua ini sudah jalan nasib saya.
Semua yang terjadi adalah kelalaian dan kesalahan saya. Biarlah kelak saya yang menanggung hukuman atas segala dosa…”
“Sandaka, apa yang sudah terjadi memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Mungkin suatu ketika ada suatu kekuatan atau mukjizat yang bisa mengembalikan dirimu seperti dulu lagi.
Namun yang sangat aku sesalkan adalah karena kau tidak mendengarkan nasihatku. Ketika kau kulepas tahun lalu aku sudah berpesan, jangan sekali-sekali kau dekati apalagi berhubungan dengan Kunti Ambiri perempuan jahat bergelar Dewi Ular itu. Sejak kau berada di sini, aku tahu secara diam-diam dia datang mengintai dan memperhatikan dirimu.
Dia terpikat pada dirimu. Ternyata kau bukan saja masuk pada perangkapnya tapi juga jatuh cinta padanya…!”
“Eyang, saya tahu dosa dan kesalahan saya. Ketika Eyang melepas saya setahun lalu walau memiliki kepandaian tinggi tapi saya masih buta pengalaman. Dunia luar serba asing bagi saya. Sampai akhirnya saya masuk dalam perangkap Dewi Ular… Saya tidak mampu mencegahnya. Saya berada di bawah kekuasaannya, tak mampu keluar dari genggamannya…”
Orang tua di hadapan Sandaka menarik nafas panjang. “Jangankan kau, orang yang berkepandaian tinggi seratus kali darimu pun sekali melakukan hubungan badan dengan Dewi Ular, seumur hidup tak akan sanggup membebaskan diri dari cengkeramannya. Seumur hidup akan jadi budak nafsunya. Cairan dalam tubuh Dewi Ular telah mengalir dalam darahmu. Tak mungkin dibersihkan lagi…!”
Lama Sandaka termenung mendengar kata-kata gurunya itu. Apa yang diucapkan orang tua itu memang benar adanya. Sejak dia terpikat dengan Dewi Ular dan melakukan hubungan badan sampai beberapa kali, sejak itu pula dia tak mampu membebaskan diri dari kekuasaan perempuan itu. Dia melakukan apa saja yang diperintahkan tanpa berpikir apakah hal itu baik atau buruk.
“Eyang, kalau memang begini keadaan saya, saya bersedia menerima hukuman apa pun. ”
“Hukuman bisa saja dilakukan atas dirimu. Tidak olehku, mungkin oleh orang lain. Mungkin juga oleh dirimu sendiri… ”
“Maksud Eyang, saya sebaiknya bunuh diri saja?” tanya Sandaka.
Orang tua itu tersenyum pahit. Dia melihat ada kilatan aneh pada sepasang mata muridnya.
“Aku tidak menganjurkan kau melakukan bunuh diri. Ketahuilah, tidak suatu kekuatan pun di dunia ini yang sanggup membunuhmu! Kecuali kekuatan Tuhan atau atas petunjuk dari-Nya.
Cuma, aku melihat masih ada satu jalan. Ada penyakit dalam tubuhmu. Untuk mengobatinya, harus melenyapkan sumbernya… ”
“Maksud Eyang? ”
“Sanggupkah kau membunuh Dewi Ular? ”
Paras Sandaka Arto Gampito tidak berubah. Tapi sang guru lagi-lagi melihat ada kilatan cahaya menggidikkan di kedua mata muridnya. “Sandaka, coba kau perhatikan dirimu.
Pakaianmu hanya selembar cawat seolah kau hidup di zaman manusia tidak beradab.
Pengaruh cairan tubuh beracun Dewi Ular membuatmu hanya bisa tidur satu tahun sekali.
Itu pun tidak bisa lama dan tak diketahui kapan kau bisa tidur. Dua bola matamu hijau juga akibat pengaruh cairan dari tubuh Dewi Ular. Di situ kekuatanmu terpusat. Kau dijadikan hamba sahayanya bukan cuma sebagai pemuas nafsu tapi juga untuk melakukan apa saja yang dimintanya. Coba kau ingat, sudah berapa banyak orang-orang persilatan yang menjadi korbanmu atas perintah Dewi Ular… ”
Eyang Gusti Kelud Agung hentikan ucapannya. Dia melihat tubuh muridnya bergetar lalu kulit tubuh sampai ke leher terus ke muka perlahan-lahan berubah kehijau-hijauan. Di dalam diri Sandaka, tiba-tiba saja ada suara iblis menggelegar. “Orang tua ini harus kubunuh!
Harus kubunuh! Tapi dia guruku! Dia guruku! Persetan siapapun dia adanya! Harus kubunuh sekarang juga! ”
Sandaka berdiri. “Kau mau ke mana muridku?” Tanya Eyang Gusti Kelud Agung.
“Saya terpaksa harus mem…” Sandaka tidak teruskan ucapannya, agaknya dia masih bisa menguasai diri. “Saya harus pergi sekarang juga Eyang” Dia putar tubuhnya cepat-cepat.
“Tunggu dulu Sandaka. Masih ada satu hal yang mau aku bicarakan. Ini sangat penting karena masih menyangkut kehidupan masa depanmu… ”
“Saya sudah tidak punya masa depan Eyang….” Sandaka segera hendak beranjak pergi.
“Dengarkan dulu apa yang akan kukatakan, baru kau boleh pergi… ”
“Jika Eyang memaksa, saya terpaksa… ”
“Membunuhku?” ujar si orang tua dengan senyum kecut. “Kau boleh membunuhku setelah mendengar penuturanku… ”
Warna kulit dan bola mata Sandaka semakin menghijau. Badannya menggeletar tanda dia berusaha keras menahan gejolak keinginan untuk membunuh yang membakar dirinya. “Kalau begitu katakan saja cepat Eyang apa yang mau kau bilang…!”
“Sembilan puluh tahun yang lalu ketika aku masih kecil, guruku pernah bercerita tentang tigapuluh buah paku sakti terbuat dari baja murni. Paku ini dibuat oleh seorang syekh sakti yang bermukim di daratan Tiongkok selatan. Konon paku ini punya kekuatan daya penyembuhan luar biasa. Aku mempunyai firasat paku sakti itulah yang sanggup membersihkan darah dalam tubuhmu. Caranya, tigapuluh buah paku itu harus dipantekkan ke tubuhmu. Mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki. Namun ada satu akibat yang tidak dapat dielakkan. Walau pengaruh Dewi Ular akan pupus dari dirimu, tetapi kau kelak akan berada di bawah kekuasaan baru yang mungkin lebih dahsyat…”
Ucapan Eyang Gusti Kelud Agung terhenti ketika tiba-tiba ruangan semadi itu bergetar oleh berkelebatnya suatu bayangan hijau yang mengeluarkan angin mengandung hawa aneh. Lalu terdengar suara orang berkata. “Sandaka! Lama aku mencarimu! Tak tahunya kau berada di sini, bicara segala isapan jempol pepesan kosong!”
Seorang perempuan muda berwajah cantik luar biasa, mengenakan pakaian panjang terbuat dari sutera halus berwarna hijau, tiba-tiba tegak di samping Eyang Gusti Kelud Agung. Bau tubuhnya yang harum, menebar di ruangan itu. Di atas kepala yang rambutnya di konde besar di sebelah belakang ada sebuah mahkota kecil berbentuk kepala ular terbuat dari emas, memiliki sepasang mata terbuat dari permata berwarna hijau.
“Dewi…!” seru Sandaka lalu cepat bangkit mendatangi perempuan itu.
“Kekasihku…!” jawab Dewi Ular seraya mengembangkan kedua tangannya. Begitu Sandaka sampai di hadapannya, langsung dirangkulnya. Sandaka membalas penuh nafsu. Dewi Ular julurkan lidahnya. Sandaka hisap lidah itu sampai mengeluarkan suara keras. Tidak hanya sampai di situ. Seolah mereka hanya berdua saja yang ada di situ, keduanya baringkan diri di lantai, berguling-guling sambil terus berpelukan dan berciuman.
Wajah Eyang Gusti Kelud Agung tampak merah mengelam. Dia membentak marah.
“Manusia-manusia kotor! Keluar kalian dari tempat ini! Jangan kalian berani lagi menginjak puncak Gunung Kelud ini! ”
Dewi Ular tertawa tinggi. Digigitnya leher Sandaka penuh nafsu hingga meninggalkan tanda merah. Lalu dia melompat bangkit, Sandaka ikut berdiri. Sambil merangkul lengan lelaki itu, Dewi Ular berkata. “Sandaka kekasihku, kau tadi mendengar segala macam ucapannya! Betul…? ”
“Aku memang mendengar Dewi, tapi aku tidak peduli! ”
Dewi Ular kembali tertawa panjang. “Kurasa tua bangka ini hanya satu rongsokan tak berguna. Apa pendapatmu Sandaka? ”
“Memang aku juga merasa begitu…” jawab Sandaka.
Wajah Eyang Gusti Kelud Agung kaku membesi. “Sandaka! Sebut nama Tuhanmu!
Bebaskan dirimu dari pengaruh jahat perempuan iblis ini! ”
Dewi Ular cuma ganda tertawa mendengar ucapan orang tua itu. “Apa tindakan kita terhadap manusia-manusia tidak berguna di atas dunia ini Sandaka?” Dewi Ular kembali berucap.
“Harus dibasmi. Harus disingkirkan karena Bumi tidak layak dihuni oleh orang-orang semacam dia! ”
“Sandaka!” seru Eyang Gusti Kelud Agung.
“Kekasihku, aku senang mendengar ucapanmu! Sekarang lakukan apa yang harus kau lakukan! Bunuh tua bangka tak berguna itu! ”
Eyang Gusti Kelud Agung cepat berdiri ketika dilihatnya Sandaka Arto Gampito maju dua langkah mendekatinya. Dua bola matanya menjadi sangat hijau. Ketika lelaki ini mengedipkan kedua matanya itu, dua larik sinar hijau menderu menyambar ke arah kepala dan dada sang guru.
Orang tua itu membentak keras. Sambil menyingkir ke samping, dia cepat membentengi diri dengan dua buah pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti. Angin yang keluar dari dua telapak tangan Eyang Gusti Kelud Agung itu laksana deru topan dan mengeluarkan sinar kelabu. “Bummmmmm!Bummmmm!”
Dua ledakan menggelegar. Asap kelabu dan hijau menutupi pemandangan. Atap dan dinding ruangan runtuh. Lantai mencuat hancur berantakan. Sandaka dan Dewi Ular terlempar jauh, lalu jatuh di tanah saling menindih. Ketika asap hijau dan kelabu pupus, kelihatanlah tubuh Eyang Gusti Kelud Agung terkapar di antara reruntuhan bangunan. Kepalanya hancur dan sekujur badannya remuk. Seluruh sosoknya kelihatan hijau gelap.
Sandaka merasakan dadanya mendenyut sakit. Nafasnya memburu. “Kau tak apa-apa…? ” bisik Dewi Ular.
“Hanya merasa sesak sedikit…” jawab Sandaka. Dia memandang ke arah mayat gurunya, lalu berkata, “Guruku… dia tewas… ”
“Orang tua itu bukan gurumu!” tukas Dewi Ular. “Dia tak lebih dari seorang tua bangka tolol! Tak ada gunanya! Kau telah melakukan sesuatu yang betul. Membunuhnya! Aku bangga punya kekasih sepertimu!” Dewi Ular lalu merangkul dan menciumi Sandaka.
Keduanya berguling-guling di tanah. “Tempat ini terlalu dingin…” bisik Dewi Ular. “Dalam perjalanan ke sini aku melihat ada sebuah pondok kayu… ”
“Kalau begitu, kita segera menuju ke sana…” jawab Sandaka.
“Ya… memang itu mauku. Tapi apakah kau tidak mau menggeluti dadaku terlebih dulu? ”
Habis berkata begitu, Dewi Ular buka lebar-lebar baju suteranya hingga payudaranya yang besar dan putih menyembul menantang, membuat Sandaka seperti mau gila dan langsung saja mendekapkan kepalanya ke dada perempuan itu.
Selagi Anggini masih termangu mendengarkan penuturan gurunya, Dewa Tuak kembali teguk dengan lahap tuak dalam bumbung bambu sampai mulut dan dagunya berselomotan. “Apa yang ada dalam benakmu Anggini? ”
“Penuturanmu mengerikan sekali guru,” jawab Anggini. “Kalau Sandaka bisa membunuh gurunya sendiri semudah membalik telapak tangan, apa lagi membunuh orang lain! ”
“Justru itulah yang ditakutkan orang rimba persilatan. Belasan tokoh tingkat tinggi dalam dunia persilatan telah dihabisinya. Pada saatnya mungkin aku juga akan menjadi korbannya… Aku dan kawan-kawan sudah siap menjaga segala kemungkinan. Di luar terdengar kabar bahwa paku baja putih dikuasai seorang kakek sakti yang terkenal dengan nama Yang Mulia Datuk Bululawang. Orang ini kabarnya diam di Gunung Welirang.
Celakanya kakek Bululawang mencari kesempatan dalam kesulitan. Dia gunakan paku-paku itu untuk kepentingannya sendiri. Kenyataannya dia telah berhasil mengumpulkan sebagian besar harta kekayaan dan membunuh tokoh yang menginginkan paku itu. Di luaran tersiar kabar bahwa siapa pun yang berhasil menguasai Sandaka Arto Gampito maka ia akan menguasai rimba persilatan… ”
“Berarti kejahatan akan berlangsung terus… ”
“Mungkin begitu muridku. Namun siapa pun yang menguasai Sandaka akan lebih baik dari pada saat ini dia dikuasai Dewi Ular. Lagi pula orang lain itu mungkin lebih bisa ditumpas dari pada Dewi Ular. ”
“Saya teringat pada senjata rahasia yang dulu guru berikan,” kata Anggini sambil meraba pinggang pakaiannya di mana tergantung sebuah kantong berisi senjata rahasia berbetuk paku terbuat dari perak. “Justru benda itu yang menjadi salah satu alasan aku memanggilmu ke mari. Ada selentingan bahwa beberapa tokoh silat menganggap paku itu adalah paku sakti keramat yang bisa melumpuhkan Sandaka lalu menguasainya. Berarti kau harus hati-hati Anggini. Salah duga bisa menjadi malapetaka bagimu. ”
Ucapan Dewa Tuak membuat Anggini merasa tidak enak. “Lalu apa yang harus diperbuat guru?” tanya gadis itu.
“Aku minta kau segera mencari pendekar 212 Wiro Sableng…” Dewa Tuak menghentikan katra-katanya ketika dilihatnya wajah sang murid tiba-tiba memerah.
“Eh, ada sesuatu dalam benakmu? ”
“Dewa Tuak, saya lebih suka kau menyuruh aku lakukan sesuatu yang lain dari pada mencari pemuda itu…”
“Hem… aku tahu mengapa kau bicara begitu,” kata Dewa Tuak sambil tertawa-tawa gelakgelak. “Kau kecewa padanya karena baik dia maupun gurunya belum selesai membahas soal perjodohan kalian.”
“Saya tidak pernah kecewa!” jawab Anggini tegas walau diam-diam hati sanubarinya memelas. “Saya hanya ingin mengatakan ini kepadamu guru. Jika orang tidak suka, mengapa harus memaksa?”
“Hemm…” Dewa Tuak bergumam sambil mengelus-elus bumbung di pangkuannya. “Tidak ada yang tidak suka. Tidak ada yang memaksa. Tapi… sudahlah. Urusan perjodohanmu sudah kubicarakan lagi dengan Sinto Gendeng beberapa waktu lalu sewaktu aku menyambanginya di puncak Gunung Gede. Urusan sekarang yang lebih penting adalah soal Sandaka. Sudah diketahui bahwa hanya paku baja putih itu yang sanggup melumpuhkannya.
Di tangan siapa paku itu sekarang juga sudah diketahui. Yang belum diketahui adalah kapan Sandaka tidur. Dia hanya mampu ditundukkan pada saat tidur. Dalam setahun tidurnya hanya sekali. Itupun tidak lama. Jadi kau harus mencari tahu kapan dan di mana tidurnya.
Kau juga harus mendapatkan paku sakti itu agar tidak ke jatuh ke tangan orang yang sama brengseknya seperti Dewi Ular…”
“Saya seperti mencari sebutir kelapa di tengah samudera luas…” Dewa Tuak tertawa mendengar jawaban muridnya. “Itu sebabnya aku minta kau segera mencari Pendekar 212.
Kalau sudah ketemu, segera hubungi Kakek Segala Tahu, pasti orang tua itu bisa menjelaskan yang kau perlukan.”
“Kalau begitu pesan guru segera saya lakukan. Bolehkah saya minta diri sekarang?”
“Tentu saja, tapi tidak perlu buru-buru. Kita masih ada sedikit waktu untuk berbincangbincang. Apa kau tidak ingin menikmati tuak kayangan ini beberapa teguk?”
Si kakek tutup ucapannya dengan melemparkan bumbung bambu ke arah muridnya.
Lemparan itu bukan sembarang lemparan karena ujung bumbung bambu melesat menyambar ke arah dada Anggini. Maklum sang guru lagi-lagi sedang menjajaki kemampuan Anggini.
Anggini cepat menggeser kaki, dan tubuhnya dimiringkan ke kanan, tangan kirinya diangkat sedikit. Dan di lain kejap, bumbung yang dilempar Dewa Mabuk sudah di tangan kirinya!
***
Sosok dalam gelap itu menyelinap mendekati pintu bangunan di puncak bukit. Tanpa suara seperti setan bergerak. Sesaat dia berhenti. Ada keraguan dalam hatinya. “Jangan-jangan dia tidak berada di sini. Bagaimana aku harus menyampaikan pesan? Di tengah jalan ada seekor kuda hampir mati kecapaian. Pasti ada orang yang baru datang berkunjung sebelum aku ke tempat ini. Berarti ada satu atau dua orang dalam bangunan batu itu. Tapi mengapa keadaan sunyi? Tak ada lampu menyala. Aku tahu betul kebiasaan orang tua itu. Tidak bisa tidur kalau tidak ada lampu…”Baru saja orang di depan pintu bangunan batu membatin seperti itu, tiba-tiba ada suara menegur. “Hanya manusia jahat biasanya menyelinap ke tempat orang!” Lalu, “Wutt!!”
orang di depan pintu merasakan sambaran angin di bagian belakang kepalanya.
“Hemm… hanya manusia licik yang menyerang dari belakang!” Orang ini membalik dengan cepat seraya angkat tangannya melidungi kepala. “Bukk” Dua lengan beradu keras dalam kegelapan. Si penyerang terpental sampai tiga langkah dan keluarkan pekikan keras. Yang menangkis terjajar satu langkah.
“Aku seperti mengenali suara itu!” kata penangkis sambil menahan bahu kanannya yang terasa mendenyut. Dia besarkan kedua matanya. Tapi malam begitu gelap. Dia tidak bisa mengenali wajah itu. Yang jelas suaranya adalah suara perempuan. Dia tidak bisa berpikir panjang-panjang karena sosok di depannya kembali menyerang dengan cepat.
“Gila! jurus-jurus serangannya ganas dan menyerang bagian yang mematikan!” membatin yang diserang. Karena mengalah dan hanya mengambil sikap bertahan, beberapa serangan lawan berhasil mendarat di tubuh dan lengannya. Dari pada lebih celaka orang ini berseru.
“Hentikan serangan. Antara kita mungkin sudah saling kenal! ”
“Seorang kenalan tidak akan menyusup seperti seorang pencuri! ”
“Hai aku bukan pencuri! ”
“Kalau begitu maling! ”
“Juga bukan. Aku ke mari mencari seseorang! ”
“Lalu kau siapa? ”
“Katakan dulu siapa kau? ”
“Kurang ajar!” si perempuan memaki lalu kembali hendak menyerbu. Kali ini dia melepaskan benda di leher yang sejak tadi melilitnya. Hal ini dilihat orang di hadapannya.
Sehelai selendang!
“Astaga! Benar dugaanku! Kau pasti Anggini! Murid tokoh silat Dewa Tuak yang aku segani!” Si penyerang terkesiap. Bukan saja menghentikan serangan tapi malah mundur beberapa langkah sambil memandang dengan mata dibesarkan, berusaha mengenal orang di depannya.
“Wiro…! ”
“Anggini..! ”
Dari dalam bangunan terdengar suara tawa mengekeh disusul… “gluk… gluk…gluk” suara orang minum dengan lahap. Tidak lama kemudian keluarlah sosok tubuh orang tua berjanggut putih. “Dewa Tuak…” Orang di depan Anggini memanggil lalu memberi hormat.
Dewa Tuak tertwa tergelak-gelak sambil bolang-balingkan bumbung bambu berisi tuak di depan dadanya, sementara Anggini tegak tidak bergerak dengan hati diliputi berbagai rasa.
“Pendekar 212 sableng! Kau datang pada saat yang tepat! Hingga muridku tidak susah mencarimu!” kata Dewa Tuak sambil berpaling kepada muridnya lalu berkata. “Aneh, kenapa kau seperti patung dan gagu? Apakah kau tidak gembira ketemu dengan kakakmu ini, Anggini? ”
Kalau saja tidak gelap, Wiro dan kakek Dewa Tuak niscaya melihat pipi Anggini yang bersemu merah karena jengah.
“Tentu… tentu saja kami bergembira guru. Lama sekali kami tidak bertemu….” ujar Anggini.
“Betul…,”sahut murid Eyang Sinto Gendeng. “Kalau tidak salah hampir tiga tahunan…. ”
“Rejeki…, pertemuan, maut dan langkah, memang bukan maunya manusia. Itu semua kekuasaan Gusti Allah. Tapi kalau aku boleh nanya, gerangan apa yang membawamu ke mari Wiro?” habis bertanya, kakek mendekatkan bibir ke bumbung dan mendongak.
“Gluk… Gluk… Gluk…!” Lahap sekali dia meneguk tuak kayangan yang beraroma harum itu.
“Saya diminta Eyang Sinto menemuimu. ”
“Hemmm, pesan apa yang kau bawa anak muda? ”
“Menyangkut masalah besar yang kini tengah berlangsung di rimba persilatan di tanah Jawa ini… Munculnya pemuda berkesaktian luar biasa bernama Sandaka Arto Gampito, hamba
sahaya dan budak nafsu Dewi Ular. ”
“Apa saja yang diketahui gurumu tentang orang itu? ”
“Dewi Ular akan mempergunakan Sandaka untuk menguasai rimba persilatan. Beberapa tokoh silat tingkat tinggi telah dihabisinya secara keji. Di puncak Merapi beberapa waktu lalu pendekar silat dari timur bergabung dengan jago dari selatan. Mereka berjumlah empat belas orang. Mereka berhasil menjebak dan mengurung Sandaka di sebuah lereng. Namun semua disapu habis! Sulit dipercaya ada orang memiliki kepandaian seperti itu…. ”
“Sandaka bukanlah manusia lagi,” kata Dewa Tuak. “Dia berubah menjadi mahluk setengah iblis setengah dewa! Sulit mengalahkannya. Pengaruh cairan Dewi Ular yang mengalir dalam tubuhnya begitu hebat hingga tidak mempan pukulan maupun senjata tajam. Selama tidak bisa dibersihkan dari pengaruh cairan itu, selama itu pula dia akan merajalela menuruti perintah Dewi Ular….”
“Saya dengar dia bahkan sudah membunuh gurunya sendiri Eyang Gusti Kelud Agung…”
Dewa Tuak mengangguk membenarkan ucapan Pendekar 212 itu. “Siang tadi aku baru menceritakannya kepada Anggini. Rimba persilatan benar-benar dalam cengkeraman mengerikan. Kau tahu apa yang dilakukan pemuda sesat itu di puncak Gunung Kelud setelah membunuh gurunya sendiri? Dia berzina dengan Dewi Ular di hadapan mayat gurunya!”
Sesaat tempat dekat bangunan itu dalam kesunyian itu lalu terdengar suara Wiro bertanya.
“Menurutmu kek, apakah ada satu cara menghentikan malapetaka besar ini? ”
“Saat ini aku hanya mengetahui satu cara. Sandaka bisa dilumpuhkan dengan jalan memantek tubuhnya dengan 30 paku sakti terbuat dari baja putih murni. Benda itu kini justru menjadi rebutan di kalangan persilatan. Yang bisa memaku Sandaka akan menguasai dirinya. Kalau dia dari golongan hitam, kejadian buruk akan terulang. Seperti Dewi Ular, orang itu akan menguasai Sandaka untuk berbuat apa saja. Hanya saja Sandaka tidak akan sehebat berada dibawah pengaruh cairan Dewi Ular… ”
“Berabe juga urusannya,” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Kek apakah sudah diketahui siapa pemilik paku sakti itu atau di mana beradanya? ”
“Tiga puluh paku baja putih murni itu berada di tangan seorang pendekar yang berjuluk Yang Mulia Datuk Bululawang dari gunung Welirang… ”
“Datuk Bululawang?” mengulang Wiro.
“Ya, kau kenal dia? ”
“Siapa tidak kenal dia. Datuk cabul yang suka melakukan hubungan tidak senonoh dengan sesama jenisnya!” sahut Wiro.
Dewa Tuak tertawa terkekeh. “Sulit aku bayangkan apa yang sebenarnya terjadi dalam rimba persilatan ini,” kata kakek tua sambil menggelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, sang Datuk harus dikuasai lebih dahulu, dirampas paku sakti itu dari tangannya…” berkata Anggini.
Dewa Tuak mengangguk-angguk. “Itu benar. Caranya memang musti ke situ. Tapi tentu saja tidak mudah menyiasati Datuk Bululawang. Di samping puluhan orang lain juga menghendaki paku itu, sudah belasan orang mati sebelum maksud mereka kesampaian.
Kalaupun paku bisa dikuasai, tidak gampang memantek tubuh Sandaka. Ada kabar pemuda itu tidur hanya sekali dalam setahun. Pada saat itulah pemantekan bisa dilakukan. Tapi gilanya, siapa yang tahu kapan dan di mana dia tidur? ”
“Memang banyak sekali sulit dan bahayanya. Itu sebabnya Eyang Sinto berpesan, sehabis dari sini harus mencari Kakek Segala Tahu… ”
“Ah, tua bangka sahabatku itu! Lama aku tidak mendengar ihwalnya, apakah dia masih hidup atau bagaimana? Kalian harus mencarinya. ”
Wiro melirik ke Anggini. “Apakah yang dimaksud kakek dengan kalian adalah aku dan Anggini? ”
“Ya betul, kau dan Anggini harus segera pergi mencari tua bangka satu itu. Harus cepat agar tidak terlambat! ”
“Aku sih mau-mau saja…,” kata Wiro dalam hati. “Tapi aku lihat gadis itu biasa-biasa saja dan sikapnya acuh tak acuh. Tadi dia bilang senang bertemu denganku. Mulutnya bilang begitu, hatinya dia mendekam satu ganjalan. Dia seperti benci kepadaku…. ”
“Hai,” seru Dewa Tuak. “Kalian berdua mengapa berdiam saja? Tidak dengar aku bilang apa? ”
“Saya dengar kek, dan saya akan lakukan pesanmu itu,” kata Wiro.
“Anggini?!” ujar si kakek tanpa berpaling pada muridnya.
“Saya juga dengar guru, saya juga akan lakukan pesanmu! ”
“aku gembira mendengar ucapan kalian berdua. Nah sekarang kalian tunggu apa lagi? ”
“Maksud kakek?” tanya Wiro dan Anggini.
“Kalian berdua sama tololnya! Cepat tinggalkan tempat ini dan cari si tua bangka Segala Tahu itu! ”
Anggini melengak tapi tidak berani buka mulut. Sebaliknya Wiro langsung berkata. “Pergi malam-malam begini kek? ”
“Lalu apa menunggu pagi baru berangkat?” sentak Dewa Tuak.
“Maksud saya mungkin kau masih kangen dengan muridmu dan ingin ngobrol… ”
“Obrolanku sudah habis. Sekarang kalian saja yang ngobrol satu sama lain dalam perjalanan. Lagian kalian kan sudah lama tidak bertemu. Tentu banyak yang harus kalian bicarakan. Aku mau tidur…” Dewa Tuak teguk lagi minuman dalam bumbung bambu itu lalu tanpa peduli lagi dia berpaling lalu melangkah menuju pintu bangunan batu.
“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Wiro pada Anggini.
“Kalau guruku sudah bilang begitu, tidak satu pun yang bisa berubah! Dia suka kita segera pergi! ”
Wiro garuk kepala. “Mungkin ucapan gurumu benar. Dia menyuruh kita segera pergi dan ngobrol dalam perjalanan… ”
Maksud Dewa Tuak meminta kedua muda mudi itu lekas pergi dan melakukan perjalanan bersama, selain memang untuk mencari kakek Segala Tahu, sebenarnya ada tujuan tersembunyi dari si orang tua. Seperti diketahui, sejak lama Dewa Tuak ingin menjodohkan Anggini dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Malah sudah beberapa kali permintaan itu sudah disampaikan kepada Eyang Sinto Gendeng.
Namun baik guru sang pendekar maupun Wiro sendiri tidak terlalu tertarik. Sinto Gendeng pernah bilang biar urusan jodoh itu anak-anak sendiri yang mengatur. Jika mereka suka sama suka tentu ikatan jodoh itu akan terjalin dengan sendirinya.
Di pihak Anggini memang diam-diam mencintai Wiro, namun sebaliknya si Wiro lebih menganggap si gadis sebagai adiknya sendiri, walau terus terang dia sangat mengagumi kebaikan perilaku dan hati si gadis, di samping wajahnya yang cantik.
Tidak seperti yang diinginkan Dewa Tuak ataupun dua muda mudi itu, ternyata dalam perjalanan menuruni bukit mereka lebih suka diam membisu. Wiro yang lama-lama salah tingkah akhirnya membuka pembicaraan. “Lama kita tidak bertemu. Apakah kau selama ini baik-baik saja Anggini?”
“Yah, mau dibilang baik kenyataannya semua kesulitan kuhadapi, walau semua bisa kulalui.
Yang jelas aku bisa melihat dunia ini apa adanya dan tambah pengalaman. Kau sendiri bagaimana?” balik bertanya sang dara.
“Tidak beda dengan kau. Kesulitan dan bahaya menghadang di mana-mana. Buktinya sekarang ini kita menghadapi kesulitan besar. Selain kita mencari Kakek Segala Tahu, menurutmu apa yang harus kita lakukan?”
“Kau lebih berpengalaman dan pandai. Ilmumu lebih tinggi dariku. Seharusnya kau yang mencari jalan,” jawab Anggini.
“Aku rasa kita perlu membagi pekerjaan… waktu kita sempit sekali.”
“Hemm… membagi pekerjaan bagaimana?” tanya Anggini.
“Kau mencari tahu di mana sarangnya Dewi Ular. Jika kau merasa sanggup menghadapi sendiri lakukanlah, kalau tidak, minta bantuan sahabat dari golongan putih. Apapun yang kau lakukan, paling tidak sudah diketahui keberadaan perempuan itu…”
“Lalu kau sendiri melakukan apa?”
“Aku akan mencari Datuk Bululawang, berusaha merampas paku sakti itu dari tangannya.
Aku juga mencari Kakek Segala Tahu…”
Anggini yang berjalan cepat di samping Wiro berpikir sejenak. Kemudian dia berkata.
“Bagaimana kalau diatur begini. Aku yang mencari kakek Segala Tahu dan Datuk Bululawang, kau yang mencari Dewi Ular…”
“Heh!” Wiro agak tercekat mendengar ucapan Anggini. Dia berjalan lebih cepat hingga selangkah di depan Anggini. Dia berpaling dan perhatikan wajah gadis itu. Dilihatnya sang dara tersenyum. Senyum yang sulit diartikan Wiro.
“Setahuku Datuk Bululawang memiliki kemampuan tinggi dan berhati sejahat iblis. Aku tidak merendahkan kepandaianmu sendiri, namun rasanya lebih baik… ”
“Rupanya kau takut bertemu dan menghadapi Dewi Ular?” memotong Anggini lalu tertawa lebar. “Dia hanya seorang perempuan cantik, apa yang ditakutkan? Lagi pula, siapapun dia, aku yakin tidak akan bisa mengalahkanmu. ”
“Ah, dia memojokkanku..” ujar Wiro dalam hati. “Atau sengaja menjebakku. Tapi kenapa?
Karena aku tidak pernah memberikan jawaban atas perjodohan itu?” dia melangkah terus.
“Bagaimana?” Anggini bertanya. “Jadi betul kau mau mencari Kakek Segala Tahu dan Datuk Bululawang karena takut menghindari pertemuan dengan si cantik Dewi Ular itu? ”
“Siapa takut padanya!” Wiro jengkel dan menjawab agak keras.
“Bagus! Pekerjaan sudah dibagi, di kaki bukit kita berpisah. Kau mencari Dewi Ular, aku mencari Kakek Segala Tahu dan Datuk Bululawang… ”
“Hemmm..” Wiro garuk-garuk kepala. “Kalau begitu maumu aku terpaksa mengikut saja… ”
“Jangan bilang terpaksa. Katakan iya atau tidak. Itu saja! ”
Dalam gelap, sambil berjalan cepat, Pendekar 212 palingkan kepala menatap wajah Anggini.
Gadis itu balas memandang. “Ucapannya tegas dan air mukanya keras. Ada apa sebenarnya dengan gadis ini?” dalam hati Wiro bertanya. “Anggini kau tidak suka padaku…” Wiro akhirnya bertanya.
Si gadis tertawa kecil. “Kenapa kau bertanya begitu?” Wiro lagi-lagi terpojok. Tapi karena hatinya mulai panas, maka dia bicara apa adanya saja. “Mungkin soal perjodohan itu…?”
Anggini mendongak ke atas. Rambutnya tergerai panjang ke bahu. Dalam bayangan kegelapan malam, wajahnya tampak anggun sekali. “Apa perlunya menyebut dan menghubung-hubungkan hal itu. Kalau tidak suka, siapa yang bisa memaksa!”
Mendengar kata-kata itu Wiro hentikan langkahnya sementara sang dara berjalan terus.
“Anggini tunggu! Mungkin kau salah menduga….” Gadis itu berjalan terus. Wiro cepat menyusul dan memegang lengannya. “Anggini kita perlu bicara agar tidak ada lagi ganjalan di hati kita masing-masing… ”
Tapi gadis itu menarik tangannya kuat-kuat hingga terlepas dari pegangan Wiro. “Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas. Para guru kita juga sama tahu. Ada ganjalan atau tidak, bagiku tidak ada masalah. ”
“Dengar Anggini, kita harus bicara dulu dengan tenang,” Wiro berusaha membujuk sambil memegang bahu setengah memeluk.
Anggini mendorong tubuhnya dengan halus. “Ingat kita sedang menghadapi urusan besar!
Jangan habiskan waktu dengan pembicaraan yang tidak ada artinya…. ”
“Katamu tidak ada artinya. Bagiku sangat berarti!”jawab Wiro.
“Kalau bagimu sangat berarti, apa saja yang sudah kau lakukan pada diriku? Adakah kau memberi sedikit saja kejelasan pada guru ataupun padaku? ”
“Ah, kau memang mempersoalkan masalah jodoh itu. Aku minta maaf. Mungkin aku dan guruku Eyang Sinto Gendeng berlaku alpa dan buta… ”
“Kalian orang-orang pandai yang tidak pernah alpa dan buta. Bukankah begitu? Sebaliknya aku dan guruku adalah manusia biasa yang alpa dan buta! Tidak tahu diri! Tidak tahu malu!” tukas Anggini.
Wiro merasa dadanya mendenyut seperti tertusuk mendengar ucapan murid Dewa Tuak.
“Anggini.. masalah ini bisa kita selesaikan secara baik… ”
“Jadi benar kataku tidak perlu dibicarakan saat ini! ”
Langkah Wiro kembali terhenti. Anggini berjalan terus. Pendekar 212 menarik nafas panjang.
Dadanya teras bergolak. Dia melompat mengejar, sampai di hadapan gadis itu dia berkata.
“Kau kubebaskan dari segala urusan. Biar aku sendiri yang mencari Kakek Segala Tahu, Datuk dan Dewi Ular!” kata Wiro dengan suara keras.
Tak kalah lantangnya Anggini menyahut. “Baik, lakukan semua itu olehmu karena kau seorang pendekar hebat! Aku akan mencari Arto Gempito!” habis berkata begitu Anggini memutar tubuhnya dan berkelebat pergi.
Wiro jadi terkesima. “Gila! Kenapa urusan jadi kapiran begini?!” ujarnya. Dia bantingkan kaki kanannya ke tanah, lalu berkelabat ke jurusan lain. Tapi setelah beberapa lama berlalu dia hentikan langkahnya, berputar ke arah tadi dia datang. “Gadis itu, ah, bagaimana ini?
Biar kubujuk dia sekali lagi. Kalau tidak mau, ya sudah!” Wiro segera mengejar ke jurusan perginya Anggini.
Setelah lari dalam gelap menuruni lereng bukit beberapa waktu lamanya, selintas pikiran muncul dalam benak gadis itu. Hatinya ikut berkata-kata. “Hampir tiga tahun aku tidak melihatnya. Setelah bertemu, mengapa aku bersikap begitu kasar padanya? Aku telah berlaku bodoh. Memojokkannya soal perjodohan itu. Mungkin semua itu bukan salahnya! Kini dia memikul beban berat mencari Datuk Bululawang, Kakek Segala Tahu dan Dewi Ular.
Bagaimana kalau dia juga sampai jatuh ke tangan perempuan iblis itu?”
Karena pikirannya kacau balau, Anggini hentikan larinya. Sesaat dia tegak terdiam termangumangu. Di depannya ada sebuah pohon besar dengan beberapa cabang menjulur kokoh.
“Sebaiknya aku duduk saja dulu di atas pohon sana, menunggu sampai hari pagi. Tiba-tiba saja tubuhku terasa letih, aku perlu istirahat. Mungkin tidur beberapa saat.”
Berpikir sampai di situ, murid Dewa Tuak itu segera melesat ke atas pohon. Dia merebahkan tubuhnya di atas salah satu cabang besar. Tapi sulit baginya untuk segera memicingkan mata.
Ingatannya masih tertuju pada Pendekar 212. Lalu dia sadar akan apa yang dikatakannya pada pemuda itu, bahwa dia akan mencari Sandaka Arto Gampito. “sungguh aku telah berlaku tolol!” katanya dalam hati. “Kalau guru tahu apa yang terjadi ini, pasti dia akan marah besar, Uh…!”
Selagi gadis ini berpikir dan berkata-kata dalam hati seperti itu, telingan tiba-tiba menangkap suara sesuatu di bawah pohon. Suara langkah-langkah kaki yang sangat perlahan. “Wiro…?”
ujar Anggini lalu memandang ke bawah.
Pada saat yang sama, dua bayangan berkelebat dalam kegelapan. Di lain kejap dua sosok tubuh melayang ke atas pohon. Yang pertama langsung tegak di atas cabang tempat dia berbaring. Satunya berdiri di cabang sebelah atas. Meski di atas pohon begitu gelap, tapi karena sangat dekat, Anggini masih dapat melihat siapa adanya dua orang itu.
Yang berdiri di atas cabang pohon tempatnya berbaring adalah seorang kakek berpakaian rombeng bermuka aneh celemongan belang belentong. Entah dibedaki entah dicat. Wajah keriputan itu tertutup oleh warna merah, hitam, putih dan kuning. Di ketiak kirinya, si kakek mengepit sebuah tongkat aneh yang ketika diperhatikan ternyata adalah seekor ular kuning hitam yang telah dikeringkan. Kakek aneh ini memandang kepadanya sambil tiada hentinya tersenyum-senyum.
Anggini melirik ke atas. Pada cabang di atas kepalanya duduk berjuntai seorang pemuda.
Seperti si kakek, dia juga mengenakan pakaian rombeng penuh tambalan. Wajahnya bulat dan mulutnya tiada henti menyunggingkan tawa. Murid Dewa Tuak mencium bahaya. Dengan cepat dia bangkit dan tegak di atas cabang pohon.
“Kalian siapa?!” Anggini bertanya. Sepasang alis si kakek naik ke atas. Alis ini sebelah kiri dicat putih sedang sebelah kanan berwarna kuning. “Mangar!” si kakek membuka mulut sambil melambaikan tangannya pada pemuda ynag duduk menjuntai di cabang pohon sebelah atas. “Dia bisa bicara! Kau dengar tidak?!”
Pemuda di atas pohon tertawa lebar lalu menjawab. “Tentu saja aku dengar kek! Suaranya merdu! Ha… ha… ha!”
“Suara merdu, paras cantik! Apa lagi?!” si pemuda lalu uncang-uncangkan kedua kakinya.
“Dua orang gila rupanya! Kakek dan cucunya!” ujar Anggini dalam hati.
“Kau tak salah memilihkan jodoh untukku, Kek!” kata si pemuda lagi. Si orang tua tertawa mengekeh, sementara Anggini seperti disentakkan mendengar ucapan pemuda itu.
“Kalian ini siapa dan bicara apa?!” bentak Anggini. “Jangan membuat aku jadi marah! ”
“Aih! Gadis cantik rupanya bisa juga marah! Coba marah! Aku mau lihat!” berkata si kakek.
“Pasti tambah cantik,” ujar si anak muda pula.
Anggini hilang sabarnya. “Manusia-manusia edan! Lekas turun dari atas pohon ini! Kalau tidak jangan salahkan kau aku gebuk! ”
“Aduh, tidak sangka calon istrimu ini galak juga rupanya Mangar!” kata si kakek sanbil geleng-geleng kepala dan tertawa-tawa.
“Kurang ajar!” teriak Anggini marah. Dia loloskan selendang sutera ungu yang melilit di lehernya.
Melihat ini, kakek bermuka celemongan cepat angkat kedua tangannya seraya berkata.
“Tunggu, sabar dulu anak gadis. Aku kenal kau sejak lama. Namamu Anggini dan kau adalah muridnya kakek sakti bergelar Dewa Tuak, betul kan…?”
Diam-diam Anggini jadi heran bagaimana orang tua tidak dikenal ini tahu akan dirinya.
“Orang tua muka belang! Kalau kau tidak segera memberi tahu siapa dirimu dan mengatakan apa keperluanmu, aku benar-benar akan menghajarmu!”
“Kau mengancam! Baiklah aku jelaskan. Namaku tidak perlu kau tahu. Aku bergelar Pemgemis Sinting Muka Belang. Pemuda itu bernama Mangar, dia muridku dan belum punya gelar. Ha… ha …ha..! Ketahuilah, aku mencarimu dan sengaja membawa serta muridku karena aku ingin menjodohkan kau dengan dia…!”
“Gila! Kalian berdua benar-benar sinting!”
“Boleh-boleh saja kau berkata begitu adikku cantik!” pemuda bernama Mangar menyeletuk.
“Sikap dan tutur bicaramu membuat aku ingin segera menikahimu! Kek, bagaimana ini? Aku sudah tidak tahan mau cepat-cepat kawin dan tidur dengan calon istriku ini!”
“Kurang ajar!” teriak Anggini marah. Selendang ungu di tangan kanannya berkelebat ke atas. “Wuttt!” “Kraak!”
Cabang pohon tempat pemuda berpakaian rombeng tambalan itu patah. Tubuhnya tak ampun lagi melayang jatuh ke bawah. Tapi setengah jalan dia berjungkir balik lalu melesat dan tahutahu dia sudah duduk di atas bahu kakek bergelar Pengemis Sinting Muka Belang yang saat itu masih berdiri di atas cabang pohon di hadapan Anggini. Dua orang gila ini lalu tertawa tergelak-gelak.
“Gadis cantik, jangan kesusu marah. Dengar dulu lanjutan ucapanku. Aku sudah berniat dan memutuskan kau harus jadi suami muridku!”
“Gila! Siapa sudi!” teriak Anggini.
“Sudi atau tidak itu urusan nanti! Yang jelas aku saat ini juga akan melamarmu agar suka jadi istri Mangar. Dan untuk mas kawinnya bukan kami yang bayar, tapi kau! Ha… ha…ha!”
“Benar-benar edan!” teriak murid Dewa Tuak. Selendang ungu yang memang menjadi senjata andalannya kembali dihantamkan ke depan. Ujung selendang menyambar ke arah muka belang si kakek. Walau cupa selendang terbuat dari sutera halus, namun di tangan Anggini benda itu telah berubah menjadi sekeras pentungan besi. Sesaat lagi ujung selendang siap menghancurkan muka Pengemis Sinting Muka Belang, tiba-tiba pemuda yang duduk di atas bahu si kakek gerakkan kaki kanannya.
“Wuttt!” Satu gelombang angin dengan deras menerpa ke arah Anggini. Murid Dewa Tuak ini terkejut ketika dia merasakan laksana didorong sebuah tembok yang tidak kelihatan.
Bukan saja ujung selendangnya terhempas ke samping, tapi tubuhnya ikut bergoyang keras hingga kedua kakinya bergetar.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, gadis ini cepat mengimbangi diri dan balas menghantam dengan tangan kanan.
Serangkum angin panas menderu ke arah dada Pengemis Sinting Muka Belang. Setengah jalan, Anggini jentikkan telunjuk dan ibu jari tangan kanannya. Angin serangannya secara aneh mendadak sontak memecah dua. Satu menyambar ke perut si kakek muka belang, dan satunya lagi menghantam ke arah tenggorokan pemuda bernama Mangar! Inilah jurus serangan sakti yang disebut Memecah Angin Meruntuh Mentari Menghancurkan Bulan.
Kini dua lawan ganti terkejut. Anggini menyeringai. “Rasakan oleh kalian. Masakan salah satu seranganku tak akan mengena!” kata gadis ini dalam hati. Namun apa yang dilihatnya kemudian membuat dia tercekat. Sesaat lagi serangannya akan menghantam dada si kakek, orang tua ini tiba-tiba jatuhkan dirinya ke kiri. Tubuh sang cucu yang ada di atas bahunya ikut miring ke kiri. Dua sosok tubuh mendadak kaku seolah berubah jadi kayu. Kakek muka
belang gelungkan kedua kakinya pada cabang pohon tempat dia berdiri. Sesaat kemudian seolah berubah menjadi titiran, dua sosok tubuh kaku itu berputar dengan deras hingga mengeluarkan deru angin yang keras.
Selagi Anggini terkesiap melihat apa yang dilakukan orang, tiba-tiba tubuh-tubuh yang berputar kencang berpisah. Satu melesat ke kiri, satu lagi ke kanan. Sebelum tahu apa yang terjadi Anggini merasakan tangan kiri dan kanannya dicekal orang. Dia berusaha meronta lepaskan diri tapi lengannya seolah dibelenggu dua japitan besi.
“Kena Kek!” terdengar suara pemuda bermuka bulat berseru.
“Betul!” si kakek menjawab. “Ayo kita bawa dia ke bawah!” Anggini merasakan tubuhnya dibawa melayang ke tanah tanpa dia sanggup berbuat sesuatu apa. Dua tangannya yang dicekal kini terasa kaku tak bisa digerakkan. Selendangnya jatuh entah ke mana!
Satu sosok bayangan berkelebat cepat di bawah pohon. Tanpa melihat, telinga dan nalurinya mengetahui kalau di atas pohon ada tiga orang berkelahi. Bayangan ini berlari terus namun mendadak berhenti ketika menyadari ada sebuah benda bergelung di lehernya. Di ambilnya benda itu. “Sehelai selendang ungu…” Orang ini berucap perlahan sambil memainkan selendang sutera yang lembut itu dalam genggamannya. “Ada bau harumnya, pertanda milik seorang perempuan… Mungkin salah satu dari mereka yang tengah bergulat di atas pohon?!”
Diperhatikannya lagi selendang itu. Pada salah satu ujungnya tertera tiga buah angka, 212.
Lalu dia berpaling ke jurusan dari mana tadi dia datang. Di kejauhan dia mendengar suara dua orang tertawa tergelak-gelak, lalu suara ketiga suara perempuan memaki marah. “Kek, aku ingin menelanjanginya saat ini juga! Aku sudah tidak tahan! Persetan dengan segala upacara perkawinan! ”
“Boleh saja! Kau mau melakukan apa padanya aku mana mau peduli Mangar! Tapi yang penting cari dulu benda sakti itu. Aku yakin dia selalu membawa ke mana dia pergi! ”
“Bangsat kurang ajar! Angkat tanganmu dari tubuhku! ”
“Waw! Waw! Tubuh begini mulus! Bukan main! ”
“Bedebah jahanam! Aku bersumpah akan mematahkan lehermu! ”
“Ohoi! Aku rela mati di tanganmu asal sudah bisa melihat kebagusan tubuhmu dan menikmatinya! Ha… ha… ha…! ”
Diam sejenak. Lalu, “Kek! Aku menemukan benda itu! ”
“Bagus! Lekas serahkan padaku dan tinggalkan tempat ini! ”
“Apa!? Bukankah… ”
“Ya… ya! Terserah padamu kau mau berbuat apa! Aku sudah dapat paku sakti ini! Aku pergi duluan! ”
“Aku tak bakal lama Kek! Apa kau tak mau menunggu dulu! Mungkin juga mau melihat bagaimana aku bersenang-senang dengan gadis cantik jelita ini?! ”
“Aku sudah lebih dari puas mendapatkan benda ini! Kau boleh mengurusi gadis itu sesukamu. Tapi ingat, dua malam di muka, kau menemuiku di tempat yang sudah ditentukan!” Yang bicara ini, Pengemis Sinting Muka Belang, balikkan tubuhnya dan berkelebat pergi membawa kantong kain milik Anggini yang di dalamnya tersimpan lebih dari tiga lusin senjata rahasia berupa paku perak.
Mangar putar tubuhnya lalu melangkah mendekati Anggini yang saat itu tertegak kaku dengan kedua tangan terentang ke samping. “Pemuda keparat! Apa yang hendak kau lakukan! Berani kau menyentuh tubuhku…!”
“Mengapa aku tidak berani!” jawab Mangar lalu tangan kanannya bergerak menarik robek dada pakaian ungu Anggini. Gadis ini terpekik. Mangar keluarkan suara menggeru melihat dada yang tersingkap polos itu. Kedua tangannya meremas penuh nafsu.
Namun dia tak bisa menikmati apa yang dilakukannya itu lebih lama. Dua larik cahaya hijau menyambar ke arah kepala Mangar. Cucu yang juga murid Pengemis Sinting Muka Belang ini tak terdengar menjerit dan tak sempat mengetahui apa yang membunuhnya. Kepalanya hancur berkeping-keping! Darah dan kepingan tulang serta daging muncrat. Sebagian mengenai wajah dan pakaian Anggini, membuat gadis ini menjerit ngeri setengah mati.
Mangar yang kini tanpa kepala mengepulkan asap di bagaian lehernya yang putus. Tubuh yang kini menjadi kehijauan itu jatuh tergelimpang. Dalam keadaan kesakitan dan muka masih pucat seperti mayat, tiba-tiba Anggini melihat sosok seorang pemuda hanya mengenakan selembar cawat berdiri di hadapannya. Memandang tepat ke arahnya dengan sepasang matanya yang hijau menggidikkan. Ada kilatan cahaya aneh dalam dua mata itu, yang kemudian perlahan-lahan meredup lalu lenyap.
“Kau… kau tak apa-apa…?” pemuda bercawat bertanya. Suaranya serak bergetar. Sepertinya dia tengah menahan gejolak yang ada dalam tubuhnya.
“Kau…” Anggini merasa lidahnya kelu. “Kau menolongku, terima kasih…” Gadis ini diam sebentar, berpikir. “Ciri-ciri manusia ini sepertinya…”
“Apa yang ada dalam benakmu?” tiba-tiba pemuda itu bertanya. “Kau… kau… Bukankah kau pemuda bernama Sandaka itu…?” Kilatan sinar aneh kembali membersit di sepasang mata hijau si pemuda. “Kita tidak pernah kenal. Tidak pernah bertemu sebelumnya. Mengapa kau bisa tahu namaku…?”
“Orang-orang rimba persilatan banyak membicarakan dirimu…”
“Aku sudah tahu hal itu…” kata pemuda bercawat yang memang adalah Sandaka Arto Gampito, pemuda yang menjadi budak nafsu Dewi Ular itu. “Ini punyamu…?” Sandaka ulurkan selendang ungu yang dipegangnya.
Anggini mengangguk. Dia tak bisa menggerakkan tangan untuk mengambil selendang itu.
Sandaka ulurkan tangannya lalu lingkarkan selendang ungu itu di leher Anggini. Sepasang mata hijau si pemuda tiba-tiba menatap ke arah dada yang tersingkap. Dua bola mata menyorotkan sinar aneh, membuat Anggini jadi bergeming. Tiba-tiba dua tangan Sandaka bergerak ke arah dada gadis itu. Anggini semula hendak berteriak mengancam. Namun ketika dilihatnya Sandaka hanya menarik ujung bajunya dan merapatkannya hingga dadanya tertutup, diam-diam gadis ini menjadi lega. “Aneh, dia tidak sejahat yang dipergunjingkan orang…”
“Apa yang ada dalam benakmu?” Sandaka bertanya yang membuat Anggini jadi tercekat.
“Tidak… tidak ada apa-apa…”
“Aku tahu kau memikirkan sesuatu…” kata si pemuda. Lalu dia berpaling pada mayat tanpa kepala yang tergeketak di tanah. “Siapa manusia itu? Kenapa dia hendak berlaku jahat padamu?”
“Namanya Mangar. Dia cucu seorang kakek muka belang mengaku berjuluk Pengemis Sinting Muka Belang. Dia merampas barang milikku… Kini sudah dilarikan kakeknya.”
“Barang apa?”
“Senjata rahasiaku. Sekantung paku…”
Sandaka bersurut dua langkah. Sepasang matanya kelihatan menyala hijau. Tampangnya jadi sangat seram yang membuat Anggini kembali bergidik. “Paku terbuat dari baja murni?!”
Murid Dewa Tuak menggeleng. “Paku itu terbuat dari perak putih… ”
Wajah Sandaka perlahan-lahan tampak berubah tenang. “Mengapa mereka merampas benda itu darimu? ”
“Aku tak tahu… Mungkin ada sangkut pautnya dengan dirimu… ”
“Kau tahu banyak tentang keadaanku! Siapa namamu? ”
“Anggini… ”
“Kurasa aku bisa berteman denganmu. Jadi kau harus ikut kau…” Anggini menggeleng dan cepat berkata. “Kau telah menolongku. Aku berterima kasih. Itu sudah cukup. Jangan kau bawa diriku… ”
“Kau takut padaku? ”
“Kau… kau mungkin orang baik. Tapi kau berada di bawah suatu kekuatan jahat… ”
Dua bola mata Sandaka membesar. “Maksudmu Dewi Ular…” tanyanya dengan suara bergetar. Anggini tak menjawab “Aku perlu teman untuk tukar pikiran. Kurasa kau orangnya.
Kau harus ikut aku Anggini! ”
“Tidak, kau pergi sajalah! ”
Sandaka membuka mulutnya lebar-lebar. “Kau menguap!” ujar Anggini.
“Sudah setahun aku tak pernah tidur. Kurasa waktunya sudah hampir tiba. Mungkin satu atau dua hari di muka. Jika aku tidur, harus ada seseorang menjaga diriku… ”
“Dewi Ularmu bisa melakukan itu…” kata Anggini pula.
“Ada sesuatu yang tidak beres dalam diriku. Setiap kali aku menyadari hal ini, timbul dendam besar terhadap perempuan itu… ”
“Di hadapanku kau berkata begitu. Aku mencium maksud jahat tersembunyi terhadap diriku dalam otakmu… Bukankah kau kekasih Kunti Arimbi alias Dewi Ular? ”
“Dia suka padaku. Aku memang tergila-gila padanya. Tetapi tetap saja aku merasa ada yang tidak beres. Belum selang berapa lama aku bahkan telah membunuh guruku sendiri atas perintahnya… ”
“Berarti kau juga bisa membunuh siapa saja atas kemauan perempuan itu, termasuk diriku! ”
Sandaka menyeringai. “Kalau itu memang terjadi, angap saja itu sudah suratan takdirmu! ”
“Gila!” teriak Anggini. Sandaka kembali menyeringai. Dia rundukkan tubuhnya sedikit. Di lain saat Anggini sudah berada di atas panggulan bahu kirinya. “Turunkan! Lepaskan diriku! ”
teriak Anggini. Sandaka tertawa lebar. Ketika dia hendak berkelebat meninggalkan tempat itu, tiba-tiba satu bayangan berkelebat menghadangnya disusul suara membentak keras.
“Turunkan gadis itu!”
Anggini kenali suara orang yang membentak. Dia segera berseru, “Wiro!” Dua bola mata hijau Sandaka memandang ke depan. Enam langkah di depannya berdiri seorang pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih. “Lepaskan gadis itu!” murid Sinto Gendeng kembali membentak.
Sandaka menyeringai. “Kalau kau merasa sanggup mengambilnya, silakan coba!” Sepasang mata pemuda ini mengeluarkan kilauan aneh. Dua mata itu mengedip. “Wussss! Wussss!”
Dua sinar hijau menyambar dengan dahsyat ke arah Wiro. Pendekar 212 berseru kaget. Dia cepat menyingkir seraya menangkis dengan menghantamkan tangan kanan ke depan. Sinar putih menyilaukan merambas menghantam dua larik sinar hijau maut yang keluar dari sepasang mata Sandaka. “Bummmmm!”
Wiro terbanting ke tanah. Sekujur tubuhnya seperti kaku dan panas. Terhuyung-huyung dia berdiri. Dadanya berdenyut sakit. Kepalanya seperti ditusuk-tusuk. Sandaka dan Anggini tak kelihatan lagi bayangannya. Tengkuknya merinding ketika melihat bagaimana pakaian putihnya telah berubah menjadi kehijau-hijauan! Dia memandang berkeliling. Dan lebih merinding lagi melihat bagaimana beberapa pohon di sekitarnya hancur rambas mengepulkan asap kehijauan!
“Celaka… mengapa jalan nafasku mendadak menjadi sesak…?” Wiro pegang dadanya. Dia cepat kerahkan tenaga dalam. Tapi terlambat. Dia mengeluh tinggi ketika kepalanya serasa dipalu. Lalu perlahan-lahan pemandangannya menjadi gelap. Bersamaan dengan itu mukanya jadi kehijauan.
Sesaat lagi dia akan roboh tak sadarkan diri ketika tiba-tiba ada suara berkerontang mengiang di dua liang telinganya. Dia mengenali suara itu tapi hanya bisa berdesah. “Ah Kek… aku yang muda terpaksa mendahuluimu…”
Murid Sinto Gendeng keluarkan suara mengerang panjang. Sebelum tubuhnya tersungkur ke tanah, tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat. bersamaan dengan itu ujung sebuah tongkat butut menotok dengan telak urat besar di lehernya sebelah kanan. Lalu ada suara orang menarik nafas panjang. “Sekejapan saja aku terlambat menotok jalan darahnya, nyawa anak edan ini pasti tak akan ketolongan!” Lalu di tempat itu kembali menggema suara kerontang
kaleng.
Sinar terang sang surya yang baru terbit membuat kelopak mata yang tertutup itu bergerakgerak lalu perlahan membuka. “Anak setan! Kau sudah siuman rupanya!” Itu suara pertama yang ditangkap Wiro sebelum dia mendengar suara kerontangan kaleng yang seperti hendak merobek-robek gendang telinganya. Dia topangkan kedua sikunya ke tanah. Dengan susah payah dia mencoba bangkit sambil buka mata. Di hadapannya terpampang wajah keriputan di bawah caping lebar menyeringai padanya.
“Bersyukur pada Gusti Allah! Kau tak sampai mampus oleh racun mata Sandaka…” Agak lama murid Sinto Gendeng memahami ucapan orang tua di hadapannya. Lalu dia ingat apa yang terjadi. Sebelum dia jatuh pingsan, ada totokan melanda urat besar di lehernya. Totokan itulah yang menolongnya.
“Tuhan memang Maha Besar dan Maha Penolong! Tapi kalau kau tidak muncul tepat pada saatnya dan menotok jalan darahku, mana mungkin saat ini aku masih bisa bernafas! Aku berterima kasih padamu Kek…!”
“Kau berterima kasih padaku puah! Apa kau kira Dewa Tuak akan berterima kasih padamu anak tolol?!” ujar orang tua bercaping berpakaian rombeng penuh tambalan. Dia mengepit tongkat butut di ketiak kanan sedang di tangan kiri ada sebuah kaleng butut yang selalu mengeluarkan suara berisik setiap dikerontangkan.
“Eh, apa maksudmu Kek?” tanya Pendekar 212 sambil garuk-garuk kepala. Tiba-tiba ingatannya pulih menyeluruh. “Astaga! Anggini!” katanya setengah berseru dengan wajah berubah. “Pemuda bercawat itu! Sandaka! Dia menculik Anggini!”
Si kakek gelengkan kepalanya dengan wajah rawan. “Bebanmu jadi tambah berat, aku tak tahu kenapa sampai jadi begini. Tapi aku melihat ada satu ganjalan antara kau dan gadis itu…”
Wiro tarik nafas dalam. “Aku merasa bersalah. Aku minta petunjukmu Kek, apa yang harus aku lakukan?”
“Menurut penglihatanku, untuk beberapa waktu gadis itu cukup aman…”
“Cukup aman katamu Kek? Apa kau sudah sin…” Wiro tak teruskan ucapannya. “Kau tahu sendiri siapa Sandaka. Pembunuh edan tak pandang bulu! Aku bukan saja mengkhawatirkan nyawa gadis itu, tapi juga kehormatannya…!”
“Menurut apa yang aku tahu, ada hari-hari di mana Sandaka berada di luar pengaruh bejat Dewi Ular. Mudah-mudahan saja saat ini dia dalam keadaan seperti itu. Ini bukan berarti kita hanya berlepas tangan. Gadis itu biar aku yang mencarinya, kau tetap saja pada apa yang menjadi tugasmu…”
“Aku tahu tugasku. Mencari Dewi Ular dan Datuk Bululawang. Tetapi sesuatu terjadi sebelum Sandaka melarikan Anggini. Ada orang yang melarikan diri dari tempat ini, meninggalkan satu sosok mayat tanpa kepala itu…” Wiro menunjuk pada mayat Mangar.
Kakek Segala Tahu goyang-goyangkan kaleng rombengnya. “Kau bisa melihat siapa orang itu Kek?” tanya Wiro.
Kakek Segala TAhu kembali kerontangkan kalengnya beberapa kali lalu berkata, “Tak dapat kupastikan siapa orangnya. Kawannya yang satu ini tak punya kepala. Mana mungkin aku mengenalinya. Tapi turut penglihatanku, orang yang kabur itu telah mencuri sesuatu dari murid Dewa TUak… Mungkin kau bisa menduga-duga? ”
“Maksudmu ada hubungannya dengan kejadian besar dalam rimba persilatan saat ini? ”
“Tentu, ada kaitannya dengan Sandaka dan Dewi Ular… ”
Wiro termenung. Garuk-garuk kepala. Dia hampir menyerah ketika tiba-tiba dia ingat pembicaraan di tempat kediaman Dewa Tuak di puncak bukit. “Kuharap saja dugaanku tak meleset. Orang itu merampas paku perak yang menjadi senjata rahasia Anggini.”
“Kau betul anak edan. Tapi mengapa dia merampasnya?” tanya Kakek Segala Tahu pula.
“Mudah saja jawabnya Kek. Dia mengira paku itu adalah paku baja putih murni yang bisa melumpuhkan Sandaka!”
Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya. “Kita tak punya waktu banyak. Aku akan mengejar pemuda itu. Tugasmu mencari Dewi Ular dan Datuk Bululawang. Sang datuk yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia memiliki paku baja murni itu. Menurut penglihatanku, dia memang mempunyai keinginan menguasai rimba persilatan. Tapi karena temahak, dia juga ingin mencari untung sendiri. Berpura-pura menjual atau menukarkan paku sakti itu dengan benda-benda berharga. Pada gilirannya baru dia akan melumpuhkan dan menguasai Sandaka. Hanya satu yang belum aku tahu, kapan pemuda itu akan tidur. Datuk Bululawang pasti tahu kira-kiranya…”
“Aku tak akan membuang waktu Kek. Aku akan segera mencari sang datuk dan Dewi Ular…”
“Baik, kita berpisah di sini!” kata si kakek, lalu kerontangkan kaleng bututnya. Baru saja dia hendak putar langkah, tiba-tiba terdengar suara tawa melengking tinggi dan panjang di kecerahan pagi. Kakek Segala Tahu tercekat, Pendekar 212 lekas bangkit berdiri.
“Aku mencium bahaya besar!” ujar si kakek. Lalu dia mengambil sebuah benda di bawah caping bambunya. Secepat kilat benda itu dilemparkannya ke dalam mulut Wiro seraya berbisik, “Lekas kau telan benda dalam mulutmu itu!”
“Kek…”
“Anak edan tolol! Telan saja benda yang dalam mulutmu itu kalau tidak mau celaka!” sentak Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan kalengnya.
Meski tidak mengerti, namun Wiro akhirnya cepat menelan benda yang ada dalam mulutnya.
Mulut, lidah dan tenggorokannya terasa pahit. Dia hampir muntah tapi cepat ditahan. Saat itu suara tawa terputus dan kini di hadapan Wiro dan Kakek Segala Tahu berdiri seorang perempuan muda cantik luar biasa.
Perempuan ini tegak di atas gundukan tanah yang agak ketinggian. Angin pagi meniup pakaian hijau tipis yang membungkus tubuhnya. Dari tempatnya berdiri, Pendekar 212 dapat melihat sosok tubuh perempuan itu dengan jelas. Dadanya berdebar, darahnya terasa mengalir lebih cepat dan wajahnya menjadi hangat. Terlebih lagi ketika angin pagi menghembuskan bau harum yang keluar dari tubuh perempuan itu. Di atas kepalanya perempuan ini memakau sebuah mahkota berbentuk kepala ular. Sepasang mata ular ini terbuat dari sepasang permata berwarna hijau memancarkan sinar berkilauan.
“Anak tolol, apa kau sudah tahu saat ini siapa yang berdiri di hadapan kita…?” Kakek Segala Tahu berbisik. Meski terangsang melihat kecantikan dan aurat di balik pakaian hijau tipis itu, namun ditanya seperti itu mau tak mau murid Sinto Gendeng jadi bergetar juga hatinya. Dia mengangguk dan dengan lidah agak kelu serta suara tersendat dia menjawab, “Aku sudah tahu Kek, aku…”
Ucapan Wiro terputus. Perempuan cantik bermahkota di hadapan mereka membuka mulut.
“Pemuda gagah berambut gondrong. Kudengar tadi kau berucap hendak mencariku.
Peruntunganmu lagi mujur rupanya. Kau usah susah-susah mencari. Aku Dewi Ular sudah muncul di hadapanmu…”
Wiro berdehem beberapa kali sementara Kakek Segala Tahu mendongak memandang ke langit. “Ada keperluan apa kau mencariku? Maksud buruk atau baik?! ”
“Hmmm…” Wiro bergumam. “Bisa buruk bisa baik,” jawabnya kemudian.
“Katakan dulu yang baiknya…” ujar Dewi Ular sambil tersenyum.
“Aku sudah lama mendengar nama besarmu. Selain sebagai orang berkepandaian tinggi dengan julukan angker, kabarnya kau juga cantik jelita. Ternyata kabar itu tidak bohong. Aku merasa untung bisa bertemu denganmu saat ini.”
Kunti Arimbi alias Dewi Ular tersenyum. “Lalu apa buruknya? ”
“Nama besar dan tindakanmu telah menggegerkan rimba persilatan Tanah Jawa. Kau melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dengan meminjam tangan seorang pemuda yang masuk ke dalam perangkapmu… Ini membuat repot dan marah semua orang… ”
“Hmmm… apa kau juga ikut-ikutan repot?” tanya Dewi Ular sambil menatap tajam pada Wiro namun bibirnya tersenyum.
Murid Sinto Gendeng tertawa. Di sebelahnya Kakek Segala Tahu memaki. “Anak tolol!
Mengapa pakai tertawa segala bicara dengan iblis perempuan itu! ”
“Dewi Ular, aku menyirap kabar bahwa kau ingin menguasai rimba persilatan. Tapi cara yang kau lakukan sesat dan keji… Semua orang menentang perbuatanmu itu, termasuk aku… ”
“Kalau aku menguasai dunia persilatan secara baik-baik, apakah kau mau membantu? ”
Pertanyaan ini membuat mulut Pendekar 212 terkancing sesaat. “Mungkin saja… Hanya sayang kau telah terlanjur masuk ke jalan sesat. Tak mungkin keluar lagi…” Dewi Ular angkat kepalanya. Lehernya tampak jenjang dan putih. Dia tertawa perlahan lalu memandang pada Wiro sambil mengedipkan matanya dua kali.
“Anak muda, buruk dan baik, kebajikan dan kekejian di masa sekarang ini tergantung dari mana orang memandang. Kalaupun pandangannya benar maka batas antara keduanya setipis kabut pagi yang akan lenyap begitu sang surya menampakkan diri. Agar kau lebih mengenal diriku dan apa yang akan aku kerjakan, kuanggap kau perlu ikut denganku… ”
“Ikut denganmu? Ke mana?” tanya Wiro berlagak bodoh.
Dewi Ular tertawa. “Banyak yang bisa kita kerjakan berdua… Kalau dunia persilatan bisa kukuasai, apa kau tidak merasa senang berada di sampingku, jadi orang kepercayaanku? ”
“Ah, tidak sangka kau baik sekali. Tapi aku khawatir di balik kebaikan itu ada maksud terselubung. Lagi pula bukankah kau sudah punya pemuda gagah bernama Sandaka Arto Gampito itu? ”
“Hai, tidak sangka ternyata kau merasa cemburu pada pemuda satu itu. Hik… hik… hik! ”
Tampang Wiro jadi bersemu merah. “Siapa cemburu padanya? Dia siapa, kau siapa dan aku ini siapa?! ”
Dewi Ular kembali tertawa. “Anak muda aku akan tetap membawamu. Suka atau tidak suka.
Kalau kau berlaku baik aku pasti baik padamu. Imbalan yang bakal kau dapat berlipat ganda… Jangan kau andalkan kepandaian yang kau miliki untuk melawanku… Aku butuh bantuanmu untuk menyingkirkan beberapa tokoh silat kawakan. ”
“Coba kau tanyakan siapa saja tokoh yang dimaksudkannya itu…” bisik kakek Segala Tahu.
“Eh, siapa si tua bangka berbisik-bisik di sampingmu itu…?” tanya Dewi Ular seolah baru melihat kehadiran Kakek Segala Tahu di tempat itu.
“Tidak usah pedulikan dia. Aku hanya ingin tahu siapa-siapa tokoh silat yang hendak kau singkirkan itu? ”
“Aku tidak keberatan mengatakannya,” jawab Dewi Ular sambil tersenyum. “Pertama kita berdua akan mencari Datuk Bululawang. Bukankah kau mengincar manusia satu itu? Kau membantuku dan aku membantumu… ”
“Tapi kita punya alasan berbeda!” jawab Wiro.
“Kau cukup cerdik!” puji Dewi Ular sambil kerdipkan mata kirinya. “Jelas alasan kita berbeda tapi tujuan kita sama. Mengapa perlu diributkan? ”
Di sampingnya, Kakek Segala Tahu berbisik. “Jangan berdebat dengan perempuan iblis itu.
Kau punya kesempatan merampas paku baja putih dari Datuk Bululawang… ”
“Siapa korbanmu selanjutnya?” Wiro bertanya.
“Seorang dedengkot rimba persilatan. Berbobot lebih dari 160 kati. Tukang ngorok namanya si Raja Penidur… ”
“Kurang ajar, dia sahabatku dan sudah kuanggap sebagai guru atau kakek sendiri!” teriak Wiro.
Dewi Ular tertawa panjang. “Itu anggapanmu. Tapi menurut anggapanku dia adalah penghalang besar untuk mencapai cita-citaku! ”
“Benar-benar perempuan Iblis,” teriak Wiro dalam hati. “Siapa lagi korbanmu selanjutnya, ” murid Sinto Gendeng bertanya.
“Seorang nenek jelek bernama Sinto Gendeng! ”
“Perempuan iblis, Sinto Gendeng adalah guruku!” teriak Wiro.
“Kalau gurumu memangnya kenapa? Apa dia tidak boleh mati?” tukas Dewi Ular sambil tertawa cekikikan.
“Jahanam!” Pendekar 212 tidak dapt lagi menahan kesabarannya. Dia hendak melompati perempuan di hadapannya, tapi kakek Segala Tahu mengulurkan tongkatnya menahan. “Aku sudah lama tidak bergerak badan!” katanya. “Biar aku meluruskan tulang reotku dan mengendurkan urat-urat yang sudah kaku! ”
Abis berkata begitu, Kakek Segala Tahu kiblatkan tongkat butut di tangan kirinya. Benda ini bergetar keras dan memijarkan cahaya redup. Bersamaan dengan itu tangan kanannya kerontangkan kaleng rombeng. Suara berisik menggelegar di tempat itu.
“Tua bangka tidak tahu diri! Kau hanya merusak pemandangan dan pendengaranku saja!” hardik Dewi Ular. Dia angkat tangan kanannya. Telapak dibuka dan dihadapkan ke arah ujung tongkat yang datang menusuk ke bagian kepalanya.
“Crasss!” Tongkat itu jelas menembus telapak tangan Dewi Ular disertai suara menggidikkan. Tapi tidak ada darah mengucur. Tapak tangan sama sekali tidak terluka apa lagi berlubang.
“Ilmu Sihir” desis Wiro dalam hati sementara Kakek Segala Tahu tetap tenang saja. Sambil kerontongkan kaleng di tangan kanannya tongkat di tangan kiri kembali berkelebat. Tapi kali ini tongkat tidak dipakai untuk menyerang lawan, malah ditusukkan ke perut sendiri.
“Crasss!” Tongkat menembus perut. Perut jebol berlubang. Tapi tidak ada darah. Malah ketika ditarik ususnya muncrat! Wiro kernyitkan kening sedang Dewi Ular sempat tergagau melihat apa yang terjadi.
“Kek!” seru Wiro.
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. “Ayo serang lagi! Aku pasti bisa menirukan apa yang kau lakukan!” kata Kakek Segala Tahu.
“Tua bangka sombong! Lihat seranganku!” teriak Dewi Ular merasa direndahkan. Dua tanganya disorongkan ke depan.
“Wutt! Wutt!!”
“Sett! Sett!”
Sepasang tangan yang dipukulkan lurus ke depan itu berubah menjadi dua ekor ular. Yang di kiri berwarna hijau pekat sedang yang kanan berwarna coklat kemerahan!
“Wuttt! Bettt! Bettt!” Tongkat kayu di tangan kiri Kakek Segala Tahu membabat di udara.
“Dess! Dess! ”
“Traakkk! ”
Bagian belakang kepala ular jadi-jadian hancur dan putus dihantam tongkat. Sebaliknya tongkat kayu Kakek Segala Tahu patah dua.
Selagi Kakek Segala Tahu terkejut melihat kejadian itu, tiba-tiba dua kepala ular yang buntung dan jatuh ke tanah melesat ke atas, menancap di leher kiri kanan.
Wiro berteriak kaget. Kakek Segala Tahu pergunakan tangan kiri dan kanan untuk membetot lepas kepala ular itu dari lehernya lalu meremasnya sampai hancur! Sadar bahaya besar mengancam jiwa, kakek ini segera ambil dua butir obat dari balik capingnya dan cepat menelannya. Tiba-tiba dia meraung. Dadanya seperti ditusuk besi panas. Dari mulutnya keluar busa darah.
“Kek!” teriak Wiro seraya bergerak hendak merangkul orang tua itu. Namun dari samping Dewi Ular kebutkan pakaian hijaunya. Selarik cahaya hijau menyambar membuat Pendekar 212 terpaksa menyingkir dan melompat mundur.
“Perempuan iblis! Kau membunuh kakekku,” teriak Wiro menggeledek.
“Oo, jadi dia kakekmu! Kenapa tidak bilang dari tadi? Tadi kau bilang tak usah pedulikan.
Kasihan ajalnya sudah di depan mata!”
“Perempuan jahanam! Rasakan ini” dalam marahnya, murid Sinto Gendeng mengerahkan semua tenaga dalamnya ke tangan kanan. Serta merta lengan sebatas siku ke bawah menjadi putih perak menyilaukan. Tangan itu kemudian dihantamkan ke arah Dewi Ular. Pukulan Sinar Matahari!
Cahaya putih yang sangat panas menyambar ke arah Dewi Ular. Perempuan itu hanya tercekat sesaat. Kedua lututnya menekuk. Di lain kejap tubuhnya melesat ke atas. Gerakan perempuan ini luar biasa cepatnya. Pukulan Sinar Matahari lewat di bawah kedua kakinya. Dari atas Dewi Ular kebutkan lengan baju hijaunya. Dua larik sinar hijau yang membawa angin sederas topan prahara menyambar Pendekar 212. Pukulan Sinar Matahari menghantam amblas beberapa pohon dan semak belukar yang serta merta kemudian dikobari api.
Sebaliknya, dua larik pukulan yang dilepaskan Dewi Ular membuat Pendekar 212 seperti ditindih gunung. Dia berusaha bertahan sambil berusaha membalas pukulan “Tameng Sakti Menerpa Hujan” dan “Benteng Topan Melanda Samudra.”
Akibat yang terjadi luar biasa. Di udara kelihatan dua sinar hijau mencelat ke atas berbuntalbuntal disertai letusan-letusan keras. Kelihatannya dua pukulan sakti yang dilepaskan Wiro mampu memusnahkan serangan lawan. Nyatanya tidak, karena dikejapan berikutnya ketika tubuhnya masih melayang di udara, Dewi Ular dorongkan dua telapak tangannya ke bawah.
Dua pukulan sakti yang dilepaskan Wiro berbalik menyerang dirinya sendiri.
“Celaka! Jahanam ini ternyata luar biasa ilmu dan tenaga dalamnya!” keluh Wiro sambil menjauh cari selamat.
“Bummmm! Bummm!”
Serangan Dewi Ular menghantam. Tanah, pasir dan batu-batuan muncrat beterbangan. Di tanah kelihatan dua buah lobang sedalam dua jengkal.
Wiro merasa kedua lututnya goyah ketika dia berusaha bangkit. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah keluar. Baru sempat berdiri lurus tiba-tiba Dewi Ular sudah berada dua langkah di depannya. Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi Dewi Ular bergerak mendahului. Kedua tangannya dipergunakan untuk menyingkap pakaian hijaunya di bagian tengah. Perut Dewi Ular tersingkap polos dan putih. Pusarnya menyembul. Wajahnya kelihatan menjadi kaku, pandangan matanya menyorot mengidikkan.
Tiba-tiba dari pusar perempuan itu melesat sebuah benda yang ternyata adalah seekor ular hitam berkepala putih. Binatang ini melesat ke arah Wiro langsung mematuk bagian dadanya.
Murid Sinto Gendeng mengeluh tinggi. Dada pakaiannya yang robek tampak basah oleh darah. Kepalanya pening. Tubunya mendadak terasa sangat dingin hingga dia menggigil dan akhirnya roboh tak sadarkan diri.
Letih berteriak minta diturunkan dan dilepaskan, akhirnya Anggini hanya bisa berdiam diri.
Dalam kegelapan malam menjelang pagi, Sandaka melarikannya laksana terbang. Anggini sendiri memiliki ilmu lari cepat dan dia pernah melihat beberapa orang tokoh silat berlari sangat cepat, namun belum pernah ia melihat ilmu lari sehebat yang dimiliki Sandaka. Lamalama tanpa disadarinya akhirnya gadis itu tertidur. Pemuda bercawat itu memanggul dan melarikannya ke arah Barat.
Ketika Anggini terbangun dari tidurnya hari telah siang dan Sandaka masih terus membawanya lari. Dalam hati murid Dewa Tuak ini membatin. “Luar biasa! Sejak malam sampai siang begini dia masih terus lari. Tidak kelihatan lelah bahkan kecepatannya pun tak berkurang. Apa dia tidak haus dan lapar? Apa dia tidak akan berhenti untuk istirahat?
Anehnya lagi, sekujur tubuhnya sama sekali tidak mengeluarkan keringat… ”
“Apa yang ada dalam benakmu?!” tiba-tiba Sandaka bertanya membuat Anggini terkejut.
“Dia mempunyai kepandaian membaca pikiran orang. Sudah berapa kali kejadian setiap aku berpikir dan membatin dia lantas bertanya.” Lalu gadis itu berkata. “Kau lari secepat setan.
Hendak kau bawa ke mana aku ini? Apa kau tidak mau melepasku? ”
“Sekarang ini apapun yang terjadi aku tidak akan melepaskanmu. Sudah aku katakan aku perlu teman untuk bicara, untuk tukar pikiran. Harap kau diam saja. Jangan banyak bicara agar kita lekas sampai. ”
“Sampai ke mana?” tanya Anggini.
“Lihat saja nanti. Perjalanan masih cukup jauh, mungkin malam hari kita baru sampai. ”
Anggini terdiam. Dalam benaknya muncul berbagai pikiran. Dari yang dilihatnya pemuda bernama Sandaka itu tak sejahat seperti kata orang. Walau dia tidak tahu mau dibawa ke mana tapi entah mengapa dia merasa aman. Lalu tiba-tiba muncul wajah Wiro di pelupuk matanya.
Bagaimana keadaan pemuda itu sekarang? Terakhir sekali dilihatnya pemuda itu terbanting ke tanah akibat bentrokan pukulan sakti dengan Sandaka.
“Siapa yang sedang kau pikirkan?” pertanyaan Sandaka mengejutkan Anggini.
“Lagi-lagi dia tahu aku sedang memikirkan sesuatu,” kata gadis itu dalam hati.
“Aku tahu kau pasti memikirkan pemuda itu. Aku dengar kau menyebut namanya Wiro… ”
“Kau telah mencelakainya! ”
“Dia mencari penyakit. Memerintahkan melepaskanmu. Apa kau ini miliknya?! ”
“Aku bukan miliknya, Juga bukan milikmu!” jawab Anggini.
Sandaka menyeringai dan terus berlari. “Dia memiliki pukulan sakti yang hebat. Kalau aku lambat bertindak, bisa celaka… Sudahlah. Aku tak suka membicarakan pemuda itu. Lebih baik kau tidak banyak bicara. Tidurlah kembali.”
Dalam hati Anggini mengumpat. Namun saat itu dia memang tidak punya daya. Kedua tangannya masih meregang kaku. Dia coba menggerakkan kaki. Tapi Sandaka tahu gelagat cepat mengancam. “Kalau kau berani pergunakan kaki untuk menghantamku, jangan kira aku tidak tega mematahkan tulang keringmu! ”
Dalam kesal dan tak bisa berbuat apa-apa akhirnya Anggini memilih tidur saja. Kedua matanya dipejamkan. Untuk kedua kalinya gadis ini tertidur di atas bahu Sandaka. Sewaktu dia bangun, didapatinya sekelilingnya dalam keadaan gelap. “Lama sekali aku tertidur. Di mana aku berada saat ini?” Anggini berpikir-pikir sambil memandang berkeliling. Gelap. Di kejauhan terdengar suara jangkrik dan binatang malam lainnya.
“Pemuda itu, di mana dia…?” Anggini bertanya-tanya dalam hati. Dia memandang lagi berkeliling dan didapatinya dirinya terbaring di satu tempat. KemudiaN disadarinya kedua tangannya tidak meregang kaku lagi. Segera dia bangkit berdiri. Ketika diperhatikan lebih seksama tempat dia berbaring tadi, ternyata sebuah gundukan tanah ditumbuhi rumput liar.
Dia memperhatikan lebih seksama lagi. Astaga! Gundukan tanah itu adalah sebuah makam!
Kuburan! Dia keluarkan pekik kecil. Dengan rasa tegang dia dekati salah satu ujung gundukan di mana terpancang sebuah papan nisan yang sudah lapuk. Di situ tertera sebaris tulisan. Selain keadaan yang gelap, tulisan itu juga sudah tidak kentara lagi. Anggini membungkuk mencoba membaca nama yang tertera di papan nisan itu.
Tiba-tiba satu tangan dingin memegang bahunya. Si gadis terlompat dan berseru kaget.
“Namanya Mantili…” terdengar satu suara berkata di belakangnya. Anggini putar tubuh dengan cepat.
“Ah, dia rupanya..” desis murid Dewa Tuak ini sedikit lega. “Si… siapa orang yang bernama Mantili yang barusan kau sebutkan itu? ”
“Kau ingin tahu nama di papan nisan itu bukan? Orang yang dikubur di sini seorang gadis bernama Mantili. ”
“Apa maksudmu membawa aku ke tempat ini? Kau sengaja membaringkan aku di atas kuburan! Siapa gadis bernama Mantili itu? ”
“Pertanyaanmu banyak sekali. Akan kujawab satu per satu!” sahut Sandaka. “Pertama, maksudku membawamu ke mari karena kurasa inilah satu-satunya tempat yang paling aman di dunia. Kedua, aku sengaja membaringkan kau di atas kubur agar kau menyadari bahwa sebenarnya hidup manusia itu dekat sekali dengan liar kubur alias kematian! ”
“Jangan-jangan dia hendak membunuhku…” pikir Anggini.
“Katakan apa yang ada dalam benakmu!” Sandaka bertanya dengan pandangan mata tak berkedip.
“Tidak, aku tidak memikirkan apa-apa. Hanya ingin tahu siapa gadis bernama Mantili itu… ”
Sepasang mata Sandaka kelihatan hijau berkilat. Ketika sinar hijau meredup, wajah pemuda ini kelihatan sedih, lalu terdengar suaranya perlahan. “Gadis itu kekasihku. Kami sudah merencanakan kawin. Tapi dia keburu menemui ajal. Mati dibunuh orang!” wajah Sandaka berubah tegang membesi. Dua bola matanya memancarkan kilatan sinar hijau.
“Siapa yang membunuhnya?” tanya Anggini ingin tahu.
“Aku!” jawab Sandaka keras tapi wajahnya biasa saja.
Anggini memandang membeliak pada pemuda bercawat itu. “Katamu gadis bernama Mantili ini kekasihmu. Bahkan kau akan kawin dengan dia. Lalu mengapa kau membunuhnya? Apa dia mengkhianatimu?”
Sandaka menggeleng. “Aku membunuhnya karena diperintah Dewi Ular!”
Kini bukan saja dua mata Anggini yang membeliak, tapi mulutnya juga terbuka lebar mendengar ucapan Sandaka. “Gila! Kau membunuh gadis yang kau cintai hanya karena diperintah Dewi Ular! Aku tidak mengerti manusia macam apa kau ini adanya!”
Sandaka menatap Anggini dengan pandangan angker. Kilatan sinar hijau di kedua mata pemuda ini menggidikkan membuat si gadis tersurut dua langkah. “aku tidak gila! Aku hanya tidak bisa melepaskan diri dari kekuasaan Dewi Ular… ”
“Apa kau tidak punya niat untuk membunuh perempuan itu hingga kau terlepas dari kekuasaannya yang keji? ”
“Aku tidak melakukannya. Aku tidak mampu. Hanya hati kecilku menimbun dendam terhadapnya! Dendam tapi juga suka! ”
“Aneh! ”
“Apa yang aneh?!” tanya Sandaka dengan suara bergetar.
“Kini otakmu kelihatannya seperti waras. Ucapanmu menyatakan bahwa kau menyadari membunuh kekasihmu itu… ”
“Sejak beberapa waktu lalu memang ada kelainan dalam diriku. Otakku sepertinya berubah jernih walau sangat perlahan… ”
“Mungkin pengaruh jahat Dewi Ular atas dirimu mulai lenyap… ”
“Itu tidak mungkin. Tidak ada yang bisa membebaskan diriku sepenuhnya dari perempuan itu. Aku menyukainya. Dia membuat diriku benar-benar jadi lelaki perkasa… ”
“Tadi kau bilang ada kelainan dalam dirimu. Apa saja yang kau rasakan saat ini…?” tanya Anggini.
“Hmmmm… Tidak ada hal lain. Kecuali aku mulai mengantuk. Ingin tidur tapi belum bisa.
Kalau aku tidur, kau harus menjagaku… ”
Murid Dewa Tuak terdiam. Dia berpikir. “Kalau dia benar-benar tidur, berarti ini kesempatan baik bagiku untuk melumpuhkannya… ”
“Apa yang ada di benakmu? Kau merancang sesuatu yang licik?!” tanya Sandaka curiga.
Anggini cepat gelengkan kepala. “Aku tidak keberatan menjagamu. Tapi aku tidak tahu berapa lama kau tidur. Satu hari, satu minggu atau satu bulan? ”
“Sekalipun aku tidur satu tahun, kau tetap harus menjagaku! Awas jika kau berani membantah! Tanganku sudah agak lama tidak memecahkan batok kepala manusia! ”
“Manusia edan!” maki Anggini dalam hati. “Bagaimana ada manusia berkeadaan seperti dia di dunia ini?! ”
“Aku tahu kau memaki dalam hatimu!” terdengar Sandak berucap. Mulutnya dibuka lebarlebar. Dia menguap. “Mungkin saatnya aku mulai mencoba tidur… ”
Lalu dia melangkah mendekati makam kekasihnya. Sesaat dia memandang pada Anggini.
Setelah itu direbahkannya tubuhnya di atas kuburan itu. “Tolong jaga diriku. Tempat ini paling aman namun jika ada orang yang muncul dan bermaksud jahat, kau tahu apa kewajibanmu! ”
“Kewajiban apa?! ”
“Membunuh orang itu! ”
“Gila! ”
Sandaka menyeringai. Sambil pejamkan kedua matanya, pemuda ini berkata. “Jangan coba melarikan diri dari sini. Jangan coba berbuat sesuatu terhadapku. Kau akan menyesal! ”
Sandaka menguap lebar-lebar. Matanya tiba-tiba terbuka. Setengah bangkit dia lalu memandang pada gadis di dekatnya lalu berkata. “Kau tahu namaku, aku belum tahu namamu… ”
“Aku sudah mengatakannya padamu. Namaku Anggini…! ”
“Anggini… Oh ya… Anggini …” Sandaka merebahkan dirinya kembali di atas makam kekasihnya itu.
Dalam hati Anggini menduga-duga pemuda ini mulai linglung entah diserang kantuk atau memang otaknya lagi tidak karuan. Dia palingkan kepala ketika dia dengar Sandaka mendengkur. “Ngorok… berarti dia sudah mulai pulas…” membatin Anggini. Dia berpikir keras tindakan apa yang harus dilakukannya. “Sebaiknya kulumpuhkan dulu dirinya dengan totokan. Kalau dia sudah tidak berdaya, baru aku pikirkan apa yang selanjutnya akan kulakukan. Membawanya ke tempat guru bukan pekerjaan mudah. Yang paling mudah menghabisinya di tempat ini juga! Pekerjaan selesai dengan cepat dan dunia persilatan terbebas dari malapetaka besar. ”
Memikir sampai di situ Anggini melangkah dengan hati-hati. Tanpa suara mendekati Sandaka. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya diluruskan. dipentang sedemikian rupa hingga memiliki kekuatan seperti dua potong besi. Sebagai murid Dewa Tuak yang merupakan salah seorang dedengkot rimba persialatan, gadis ini membekal ilmu totokan tingkat tinggi yang sulit dicari tandingannya karena sanggup melumpuhkan, jangankan manusia biasa, seekor gajah pun bisa kaku tegang dibuatnya.
Sandaka ngorok terus. Anggini mendekat cepat tanpa suara. Tangan kanannya berkelebat cepat ke arah dada kiri pemuda yang tidur nyenyak di atas kubur kekasihnya. Anggini sengaja melakukan totokan ke urat besar yang berada di dekat jantung pemuda itu. Ini memang satu totokan dahsyat dan sangat berbahaya. Sekali seseorang kena ditotok di bagian ini, pasti sekujur tubuhnya akan lumpuh dan gagu. Namun jika meleset dari titik kelumpuhan itu, maka orang yang ditotok bisa meregang nyawa karena totokan akan membuat jantungnya pecah!
Inilah totokan yang oleh Dewa Tuak dinamakan “Seribu Lumpuh Seribu Ajal”.
Hanya seujung kuku totokan dahsyat Anggini akan mendarat di dada kiri Sandaka ketika tibatiba satu cahaya hijau pekat menyambar keluar dari dada pemuda itu.
Anggini keluarkan seruan tertahan sewaktu kedua tangan kanannya mulai dari ujung jari sampai ke lengan terus menjalar ke siku terasa seperti disengat hawa sangat panas.
Gerakannya menotok tertahan seolah dia menusuk tembok baja. Ketika dia mengerahkan tenaga dalam penuh untuk melawan hawa panas sinar hijau dan halangan yang tidak terlihat, tubuhnya terpental sampai tiga langkah. Kalau dia tidak cepat mengimbangi diri, gadis ini pasti akan jatuh terbanting ke tanah! Sesaat dia tertegun pandangi Sandaka yang tampak masih terbaring pulas dan terus mengorok, sementara dia sendiri pergunakan tangan kiri untuk mengusap-usap tangan kanannya yang sakit.
Cahaya hijau di atas dada Sandaka tampak meredup lalu senyap seolah amblas masuk ke dalam dada pemuda itu. “Sulit kupercaya dalam keadaan tidur seperti itu dia bisa melindungi diri bahkan menghantamku…” membatin Anggini. Dia berpikir sejenak. Lalu perlahan-lahan dia tanggalkan selendang sutera ungu di lehernya. Benda ini adalah senjata andalan murid Dewa Tuak. Pada salah satu ujungnya tertera angka 212. Angka itu dibuat Wiro dengan ujung jarinya beberapa tahun lalu, pada suatu malam sehabis mereka memadu cinta. Mau tak mau Anggini sekilas teringat apa yang terjadi di antara dia dengan Pendekar 212 malam itu.
Mukanya berubah merah dan terasa panas.
“Gila! Mengapa dalam keadaan seperti ini aku mengingat dirinya dan kejadian malam itu?!”
Anggini memaki sendiri dalam hati. (Untuk membaca hubungan apa yang terjadi antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan gadis murid Dewa Tuak itu, harap baca serial Wiro Sableng berjudul Maut Bernyanyi di Pajajaran)
“Aku tidak suka melakukan ini. Tapi agaknya tak ada jalan lain. Tak mungkin dilumpuhkan.
Terpaksa aku harus membunuhnya!” Anggini segera alirkan tenaga dalamnya ke selendang yang dipegangnya. Walau masih kelihatan lembut, tapi sebenarnya selendang itu telah berubah menjadi satu senjata sekeras dan sekuat besi!
Selangkah demi selangkah gadis itu mendekati sosok Sandaka yang mendengkur. Tangan kanannya diangkat ke atas. Dalam jarak yang sangat dekat, Anggini lalu hantamkan selendang suteranya ke arah kepala Sandaka.
“Wutttt!”
Sinar ungu berkelebat. Ujung selendang sekeras besi menderu ke arah kening Sandaka.
Jangankan kepala manusia, batu pun pasti akan hancur berantakan dihantam selendang tersebut. Namun itu tidak terjadi. Dari kepala Sandaka yang menjadi sasaran, keluar cahaya hijau terang sekali, menghantam ke atas.
Anggini terpekik. Tubuhnya mencelat. Selendang di tangannya terlepas. Bobot berat dan kerasnya lenyap. Selendang ini melayang lembut di udara lalu jatuh ke tanah, robek besar di ujungnya yang tadi dipakai menghantam kepala Sandaka. Anggini sendiri saat itu tergeletak di tanah. Tangan kanannya tampak berwarna kehijauan, mendenyut sakit bukan kepalang dan hampir tidak bisa digerakkan lagi.
Di hadapannya, di atas kuburan itu sosok Sandaka sama sekali tidak bergerak. Suara dengkurannya menggema dalam kegelapan malam. Walau menahan sakit yang amat sangat, saat itu mau tak mau Anggini merasa kagum akan kesaktian Sandaka meski dia maklum kehebatan pemuda itu banyak ditentukan oleh Dewi Ular yang menguasainya. Terhuyunghuyung Anggini bangkit. Pada saat itulah dia mendengar suara orang tertawa mengekeh disusul berkelebatnya satu sosok berjubah merah.
Seorang kakek bermata juling tegak di depan Anggini, di seberang kuburan di mana Sandaka masih enak-enakan tidur mendengkur. Orang tua ini bertubuh pendek dan di punggungnya ada punuk besar. Di keningnya terikat sehelai kain merah. Tangan kirinya buntung sebatas bahu. Di bagian ini, jubahnya tampak seperti hangus dan ada noda darah mengering. Yang hebatnya di atas kepalanya manusia ini menjunjung sebuah peti besi. Kedua matanya yang juling bergerak-gerak kian ke mari, menatap pulang balik dari Anggini kepada sosok Sandaka.
Murid Dewa Tuak yang tadinya hendak memungut selendang ungunya batalkan niat dan perhatikan orang tua di depannya dengan penuh waspada, sambil menduga-duga siapa adanya orang tua berpunuk, bertubuh pendek dan mengenakan jubah robek berwarna merah menyala di seberang kuburan itu.
Orang tua pendek goyangkan kepalanya sedikit. Peti besi yang ada di kepalanya melayang ke bawah. Peti ini disambutnya dengan kaki kiri lalu dengan perlahan-lahan peti diletakkannya di atas tanah. “Aku tidak yakin tua bangka itu pemain akrobat!” kata Anggini dalam hati. Lalu dia ajukan pertanyaan. “Kek! siapa kau?”
Mata juling orang yang ditanya berputar cepat. Dari mulutnya keluar ledakan tawa. “Gadis cantik tapi tolol! Seharusnya aku yang bertanya kepadamu siapa dirimu! Bukan kau yang punya hak menyelidiki diriku! Kau untung bertemu dengan diriku. Kalau dengan tua bangka lain, gadis secantik kamu bisa jadi lalapannya! Ayo bilang, siapa dirimu! Apa sangkut pautmu dengan pemuda yang sedang ngorok di atas makam sana?”
Waktu memaki dan berucap, si kakek tidak memandang ke Anggini tapi tetap memandang ke arah Sandaka denga mata berlikat-kilat. Beberapa kali dia leletkan lidah basahi bibir. Dalam hati dia berkata. “Luar biasa! Belum pernah aku melihat tubuh muda sekokoh ini! Ah, bagaimana ini? Apa aku kerjai atau urusan besar ini aku selesaikan lebih dahulu?” Si kakek buntung melirik ke arah Anggini lalu berkata. “Aku tidak suka kau berada di sini. Kau
kubebaskan pergi. Lekas sebelum aku berubah pikiran!”
“Kau tidak punya hak mengusirku. Lagi pula aku sudah membuat perjanjian dengan pemuda itu untuk menjaganya selama dia tidur!”
Kakek berpunuk tertawa mengekeh. “Hemmm… benar dugaanku. Jadi kau ada hubungan apa-apa dengan pemuda di atas makam. Dengar gadis tolol! Aku tidak hanya berhak mengusirmu tapi juga membunuhmu pun aku punya seribu hak! Sekarang terserah kepadamu.
Mau mencari selamat dan pergi cepat-cepat atau memang minta mampus dan berkubur di tempat ini!?”
“Manusia buntung!” tiba-tiba ada suara membentak. “Gadis cantik itu biar aku yang mengurus! Kau tua bangka buruk kenapa tidak lekas minggat dari sini sebelum dia marah dan mematahkan batang lehermu?!”
“Kurang ajar!” teriak kakek berpunuk. “Siapa berani menghina cari perkara!” Dia memutar tubuhnya lalu kebutkan lengan jubah tangan kanannya ke arah datangnya suara.
“Wuttt! Wusss!”
Satu sinar merah menderu. Sosok yang baru saja muncul bergerak cepat menghindari serangan kakek berpunuk mata juling. Sambaran merah menghantam batang pohon kamboja besar hingga patah-patah dan roboh.
Di hadapan Anggini dan kakek berpunuk, tegak seorang tua bermuka belang celemongan mengempit sebatang tongkat terbuat dari seekor ular kuning hitam dikeringkan. Dia mengenakan pakaian rombengan penuh tambalan. Di tanan kirinya dia memegang sebuah kantong ungu. Mulutnya senyum tiada henti. Sikapnya menunjukkan dia berotak kurang waras. Anggini segera kenali si kakek. Lagi pula kantong ungu adalah miliknya yang berisi senjata rahasia paku perak.
“Pengemis sinting Muka Belang!” teriak Anggini. “Pencuri keparat! Lekas kau kembalikan kantong itu padaku!”
Si kekek tua belang tertawa lebar. “Gadis cantik, gara-gara dirimu cucuku menemui ajal di tangan pemuda itu! Kau minta kantong berisi paku ini? Baik! Aku pasti mengembalikan, malah dengan tambahan satu paku sorga yang berada di bawah perutku! Ha.. ha.. ha!”
“Dajal bermulut kotor!” teriak Anggini marah sekali. Sekali dia berkelebat serangannya berupa tendangan mencuat deras ke kepala Pengemis Sinting Muka Belang. Di tua menunggu sesaat lalu tangannya bergerak mencabut tongkat ular dari kepitannya. Ketika tongkat itu dikiblatkan sinar kuning hitam mencuat menyongsong serangan Anggini. Sebelum kedua sinar menghantam kaki gadis itu dari samping selarik angin deras disertai sinar merah menyambar.
Pengemis Sinting Muka Belang, keluarkan seruan tertahan dan cepat melompat mundur ketika dirasakannya kepala tongkat ularnya bergetar keras. Dengan wajah berubah dipandangnya kakek berpundak punuk sambil bertanya siapa gerangan adanya orang itu.
Selama ini hampir tidak ada orang yang bisa menandingi kehebatan tongkat ular. Maka dia pun membentak.
“Tua bangka buntung berpunuk! Siapa kau?” Yang ditanya ganda tertawa, lalu mendongak seraya berkata. “Sejak tangan kiriku buntung, banyak cecunguk dan segala macam kecoa tidak lagi mengenali diriku. Namun aku tetap aku. Kau pernah mendengar seorang tokoh yang dipanggil Yang Mulia?” Kakek buntung turunkan kepalanya, menatap tajam pada Pengemis Sinting Muka Belang. Karuan saja kelihatan wajah Pengemis Sinting Muka Belang jadi berubah. “Kau… jadi kau Datuk Bululawang dari gunung Welirang?!” Si Buntung tertawa panjang.
Pengemis Sinting Muka Belang jadi tegetar hatinya. Lalu didengarlah orang di hadapannya berkata. “Kau datang membawa sebuah kantong. Apa isi kantong itu?” Pengemis Sinting Muka Belang tidak menjawab.
“Tidak menjawab pun aku sudah tahu isinya. Bukankah dalam kantung ada sejumlah paku?
Yang menurutmu bakal bisa melumpuhkan lalu bisa menguasai pemuda yang tidur di atas makam itu?”
“Keparat! Bagaimana dia bisa tahu…!” menyumpah Pengemis Sinting Muka Belang. Yang mulia Datuk Bululwang keluarkan kantong dari balik jubah merahnya. Benda ini ditimangtimangnya sebentar lalu berkta. ”Paku yang kau bawa itu tidak ada apa-apanya, ini paku yang asli!”
“Hah!?” Pengemis Sinting Muka Belang keluarkan seruan tertahan. Dia berpaling pada Anggini. Gadis ini tercekat dalam keadaan tegak. “Kakek sinting, jangan bermimpi kau akan jadi raja di raja rimba persilatan! Aku muak melihat kau berada di tempat ini lebih lama.
Jika paku dalam kantong itu memang milik gadis ini, lekas kau kembalikan padanya lalu cepat minggat dari sini!”
Pengemis Sinting Muka Belang mendengus. Walau hatinya mulai mendua namun dia tidak mau kalah sebelum bertanding. “Datuk Bululawang, siapa tidak kenal padamu. Tapi jangan terlalu mengagungkan diri. Dalam rimba persilatan kau dikenal sebagai momok yang doyan menyetubuhi sesama jenis! Apa kehebatan itu yang kau banggakan di hadapanku! Puah!”
Pengemis Sinting Muka Belang lalu meludah ke tanah.
Paras Datuk Bululawang berubah sangat merah. Kerut-kerut di wajahnya meregang sekeras batu karang. “Penghinaan sudah terucap! Kau telah memanggil malaikat maut pemcabut nyawamu sendiri!” Sang Datuk simpan kantong kain yang dipegangnya. Di lain kejap tubuhnya melesat ke depan. Anggini hanya sempat melihat bayangan merah berkelebat di depannya.
Sesaat kemudian terjadilah perkelahian tingkat tinggi yang menegangkan. Pengimis Sinting Muka Belang kiblatkan tongkat ularnya dalam jurus-jurus serangan mematikan. Sinar hitam kuning berbuntal-buntal mengepung kakek berpunuk. Sesekali terdengar suara mendesis dan dari mulut tongkat ular keluar asap biru mengandung racun jahat.
Datuk Bululawang cepat tutup jalan pernafasannya untuk mematahkan serangan racun tongkat ular di tangan lawan. Dua jurus pertama dia layani semua gempuran Pengimis Sinting Muka Belang dengan tenang. Gerakannya pelan saja dan hampir tanpa suara. Memasuki jurus ketiga gerakan sang datuk berubah ganas. Jubahnya berkibar-kibar mengeluarkan deru angin deras. Tangannya yang cuma satu berkelebat ke sana kemari. Setiap gerakan tangan mengeluarkan deru angin dahsyat yang menebar hawa dingin. Jurus kelima dia mulai membuka serangan. Pengemis Sinting Muka Belang jadi tercekat. Tangan kanan yang menyerangnya mendadak dilihatnya berubah panjang dan membentuk bayang-bayang lebih dari satu.
“Celaka! Aku tidak dapat mengetahui mana tangan yang asli!” keluh Pengemis Sinting Muka Belang. Di mulai gugup menghadapi lawan. Karenanya dia mulai mengeluarkan jurusjurus mautnya.
Sambil menghantam dengan tongkat ularnya dari mulutnya keluar jerit pekik teriakan aneh yang bukan saja menyakitkan telinga tepi bisa membuat kacau serangan musuh.
Namun Datuk Bululawang yang sudah sarat pengalaman itu cuma ganda tertawa.
“Orang lain bisa kacau balau oleh pekik gilamu itu! Tapi aku Yang Mulia Datuk Bululawang mana bisa tertipu! Ha… ha… ha…! Lihat serangan!” teriak Datuk Bululawang. Tangan kanannya untuk kesekian kalinya berubah panjang dan kelihatan berjumlah tiga buah. Tangan pertama melesat ke bawah perut menyambar ke arah anggota rahasianya. Tangan kedua berkelebat ke leher, laksana sebuah tali besar siap membelit tenggorokannya.
“Pesssttt!”
Pengemis Sinting Muka Belang semburkan racun dari mulut tongkat ularnya. Bersamaan dengan itu dia melompat ke kiri sambil tangan kirinya menghantam lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung kesaktian dan tenaga dalam tinggi.
Saat itu mendadak dengkur Sandaka terputus. Lalu terdengar pemuda itu terbatuk-batuk beberapa kali. “Celaka kalau dia sempat bangun kacau semua urusanku!” kata Datuk Bululawang penuh khawatir. “Aku harus bergerak cepat!”
Tetapi sesaat kemudian dia jadi lega karena dengkur Sandaka terdengar lagi. Namun dia tidak mau lagi membuang-buang waktu.
“Wuttt! Bettt!”
“Krakkk!”
Pengemis Sinting Muka Belang menjerit keras. Tubuhnya terpental. Tongkat ularnya terlepas.
Ujung tongkat itu masih dalam genggaman tangan tapi tangan itu sudah menjadi kutungan patah akibat hantaman keras Datuk Bululawang. Lalu terjadilah hal mengerikan. Selagi Pengemis Sinting Muka Belang menggigil dan mengerang kesakitan, sang datuk mendatanginya. Tangan kanannya melesat ke depan.
“Crasss! Krakkk!”
Perut Pengemis Sinting Muka Belang jebol. Tulang-tulang iganya berpatahan. Ketika tangan itu ditarik, isi perut Pengemis Sinting Muka Belang ikut merojol keluar. Ia menjerit setinggi langit. Datuk tertawa terkekeh. Tangannya yang berlumuran darah diusapkannya ke muka Pengemis Sinting Muka Belang hingga muka belang empat warna itu kini tampak mengerikan.
Anggini sampai mengernyitkan wajahnya, merinding melihat hal itu. Dia memandang ke jurusan lain ketika tubuh Pengemis Sinting Muka Belang jatuh berdebam ke tanah, menggelepar beberapa kali lalu tidak bergerak lagi. Ketika gadis itu berpaling kembali, Datuk tengah melangkah mengelilingi makam di mana Sandaka berbaring tertidur. Dari mulutnya terdengar suara merapal seperti tengah membaca mantera.
“Apa yang tengah dilakukan orang ini…?” Bertanya Anggini dalam hati. Dia memungut selendangnya yang tercampak di tanah lalu cepat-cepat mendekati mayat Pengemis Sinting Muka Belang. Dari balik pakaian orang ini ditemukan kantong berisi paku perak yang merupakan senjata rahasianya. Sambil menimang kantong itu dia memandang ke arah sosok Sandaka di atas kuburan. Gadis ini berpikir cepat lalu dia bergerak mendekati makam. Dari dalam kantong dikeluarkannya tujuh buah paku perak.
Melihat yang dilakukan Anggini, Datuk menghentikan langkahnya. Mulutnya berhenti membaca mantera lalu berkata. “Kau hendak melumpuhkan pemuda itu dengan pakupakumu? Jangan mimpi. Aku sudah bilang agar cepat kau lekas pergi dari sini! Atau kau akan menyesal sendiri!”
Dihina senjata rahasianya sebagai paku butut dan dicap mimpi, murid Dewa Tuak jadi marah.
Dengan kertakkan rahang dia kerahkan tenaga dalam pada tangan yang memegang paku lalu paku itu bergerak. Terdengaar suara berdesing di udara malam. Tujuh perak melesat hampir tidak kelihatan. Tujuh bagian tubuh Sandaka menjadi sasaran mulai dari batok kepalanya sampai pergelangan kaki.
Sesaat lagi tujuh buah paku perak itu akan menancap di kepala dan sekujur tubuh Sandaka tiba-tiba dari dalam tubuh pemuda itu memacar cahaya hijau. Begitu ujung paku mencapai ujung cahaya semuanya mencelat mental, ada yang menancap di pohon atau menyangkut di semak belukar. Anggini terkejut bukan kepalang. Dia dekati paku yang mental lalu jatuh ke tanah. Ternyata senjata rahasianya itu telah bengkok dan leleh mengepulkan asap.
Datuk Bululawang tertawa mengekeh. “Apa kataku! Senjata rahasiamu tidak lebih dari paku butut! Kalau kurang puas, apa kau mau coba lagi?” Meski marah tapi Anggini tutup mulut.
Dilihatnya sosok Datuk Bululawang melangkah mengelilingi sosok Sandaka di atas makam sambil mulutnya meracau entah merapal apa. Dia hentikan langkah ketika kaki kirinya menginjak sebuah benda keras. Mulut manusia berpunuk itu menyeringai. Dengan ibu jari kaki kirinya dicongkelnya benda itu. Ternyata sebuah batu hitam sebesar dua kali kepalan.
“Paku sudah di tangan, palu sudah ditemukan! Tiga puluh titik kematian sudah aku ketahui!
Apa lagi yang aku tunggu?!”
Datuk Bululawang keluarkan kantong berisi paku baja putih murni dari balik jubah merahnya.
Lalu diambilnya batu hitam yang barusan dicongkel dari dalam tanah. Setelah itu dia bergerak mendekati sosok Sandaka di arah kepala.
Anggini maklum apa yang akan terjadi. Datuk Bululawang hendak melumpuhkan Sandaka lalu menguasai pemuda itu! “Aku harus cegah yang akan dilakukannya! Dunia persilatan tidak akan lolos dari malapetaka kalau mahluk berpunuk itu menguasai pemuda itu!” Tanpa berpikir panjang lagi murid Dewa Tuak itu langsung berkelebat, menyerang Datuk Bululawang dari arah samping kanan. Dia kerahkan jurus “Bumbung Sakti Membelah Akhirat!”
Karena tangan kanannya masih sakit, dia pergunakan tangan kiri untuk menyerang. Tangan kiri itu diangkat tinggi ke atas untuk menyerang ke batok kepala Datuk Bululawang. Serangan angin dasyat ini segera terasakan oleh Datuk Bululawang.
“Gadis kurang ajar!” gertak si kakek. Tangan kanannya yang memegang batu dan kantong kain berisi paku digoyangkan. Ujung jubahnya mengebut. “Wusss!” Angin dasyat menyambar.
Anggini terpekik. Sesaat tubuhnya seperti mengapung di udara.
Ketika Datuk Bululawang putar tangan kanannya, tak ampun lagi gadis ini menelungkup di tanah. Dia mengerang sebentar lalu tidak bergerak dan tidak bersuara lagi. Entah pingsan atau mati.
Datuk Bululawang menyeringai buruk. Kantong paku dibukanya. Sinar terang putih memancar keluar. Ia tuang tiga puluh paku di tanah. Paku-paku itu seperti menyala dalam kegelapan malam. Diam-diam tengkuknya terasa dingin dan agak bergeming juga ketika paku pertama ditancapkannya di pertengahan kening Sandaka. Lalu dengan mempergunakan batu, dipantekkannya paku sampai masuk setengah di kening pemuda itu.
Kepala dan tubuh Sandaka kelihatan bergerak sedikit. Bahkan matanya seperti membuka.
Dengkurannya terhenti. Namun kemudian tubuh itu diam lagi, suara mendengkur terdengar kembali dan dua buah mata si pemuda berlahan-lahan terkatup lagi. Sementara darah kelihatan mengucur dari kening yang dipaku itu!
Datuk Bululawang cepat mengambil paku kedua. “Aku pasti berhasil! Pasti!” Paku kedua dipantekkan tepat di ubun-ubun Sandaka. Sepasang kaki Sandaka tersentak lalu diam. Paku ketiga sampai ketujuh dipantekkan dengan cepat di seluruh kepala pemuda itu. Darah mengucur. Kepala dan wajah Sandaka bergelimang darah kelihatan sangat mengerikan.
Terlebih ketika empat lagi paku dipantekkan di wajah Sandaka. Sisa paku baja putih murni dipantekkan di dada, perut dan kaki sandaka.
Ketika paku terakhir dihujamkan di kaki kanan Sandaka, mendadak dari mulut pemuda itu keluar suara mengerang panjang. Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan berdiri tepat di depan Datuk Bululawang. Orang tua berpunuk ini sampai melompat mundur tiga langkah saking kaget dan ngerinya melihat pekerjaannya sendiri. Kepala, wajah dan sekujur tubuh Sandaka sampai ke kaki basah oleh darah. Sepasang matanya memancarkan cahaya hijau. Memandang berkilat-kilat kepada Datuk Bululawang.
Betapapun hebatnya sang datuk diam-diam hatinya bergetar juga. “Tiga puluh paku sudah kupantek! Apakah dia sekarang berada dalam kekuasaanku? Pandangan matanya yang hijau sangat buas. Seperti mau menelanku. Aku harus waspada dan segera menguji. Kalau tiga puluh paku itu tidak bisa melumpuhkannya dan tunduk kepadaku, celaka diriku!”
Datuk Bululawang angkat tangan kanannya. “Anak muda! Katakan siapa namamu!” orang tua bertangan buntung itu ajukan pertanyaan untuk menguji. Yang ditanya diam saja. Malah kilatan cahaya yang keluar dari matanya semakin tajam menyorot. “Kau punya telinga tidak mendengar aku bertanya? Kau punya mulut mengapa kau tidak menjawab?! Kau berada dalam kekuasaanku! Kau harus tunduk atas segala perintah dan ucapanku! Tidak ada siapa pun kecuali diriku! Lupakan segala masa lalumu! Aku Yang Mula Datuk Bululawang yang menentukan masa depanmu! Jadi kau harus tunduk dan patuh terhadap perintahku! Kau dengar?!”
Mulut Sandaka masih tidak bergerak. Namun pelan-pelan kepalanya bergerak membuat gerakan mengangguk. Datuk Bululawang menyeringai. Hatinya seribu lega. “Katakan siapa namamu?”
“Aku Sandaka…”
“Bagus!” ujar Datuk Bululawang penuh girang. “Katakan kepada siapa kau harus tunduk dan patuh!”
“Hanya kepadamu…”
“Siapa diriku? Siapa namaku?”
“Kau… kau adalah Yang Mulia Datuk Bululawang…!”
Datuk Bululawang tertawa mengekeh. “Ternyata semua berjalan sesuai aku harapkan. Tapi aku harus mengujinya sekali lagi…” kata Datuk Bululawang dalam hati. Lalu dia menunjuk pada sosok Anggini yang menelungkup di atas tanah. “Kau kenal siapa gadis itu?”
“Aku tidak mengenal Datuk…”
“Berarti jalan pikirannya tidak bisa berjalan ke masa lampau,” kata Datuk dalam hati.
“Kalau aku perintahkan kau membunuh gadis itu apa jawabmu?!”
“Aku akan melakukan perintahmu sekarang juga!” jawab Sandaka.
Dua matanya seperti menyala. Lalu kakinya hendak melangkah mendekati sosok Anggini.
Datuk Bululawang angkat tangan kananya, “Tak usah sekarang!” katanya. Sandaka berhenti melangkah. Kini sang Datuk yang mendatangi. Kalau tadi sosok pemuda itu sangat mengerikan baginya, kini tiba-tiba ada perubahan aneh. Tubuh berlumuran darah itu justru membuatnya merangsang. Nafasnya memburu. Darahnya mengalir cepat dan panas. Sesaat setelah memandangi sosok Sandaka, Datuk Bululawang mengulurkan tangannya meraba dada dan perut Sandaka. Lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi bibir. Mata julingya bergerak liar dan tenggorokannya turun naik.
“Tanggalkan cawatmu!” perintah Datuk Bululawang. Kali ini suaranya tidak lagi membentak tapi berubah lembut. Sandaka lakukan apa saja yang diperintahkan kakek berpunuk itu. Datuk Bululawang seperti terbakar oleh rangsangan nafsu aneh yang menggelegak dalam tubuhnya melihat sosok telanjang Sandaka. “Berbaringlah di tanah…” bisiknya.
Sandaka kembali lakukan apa yang diperintahkan. Dia berbaring menelentang di tanah. Datuk Bululawang menyeringai. Tangan kanannya menyeringai membuka jubah merahnya. Lalu dia berbaring di samping tubuh Sandaka. “Kita akan bersenang-senang Sandaka. Kau harus melayaniku… kau suka…?” bisik Datuk Bululawang.
“Apa yang Datuk Bululawang suka, aku juga suka…” jawab si pemuda.
Tua bangka perpunuk itu tertawa perlahan. Tangan kanannya mulai meraba sekujur tubuh Sandaka. Keringat seperti membakar Datuk Bululawang. Nafasnya memburu. “Kau hebat Sandaka. Kau akan menjadi pendamping abadiku! Kita akan segera menguasai dunia persilatan…” bisik Datuk Bululawang sambil membelai tubuh Sandaka.
Baru saja tua bangka yang mempunyai kelainan seksual itu selesai membisikkan sesuatu tibatiba terdengar suara pekikan keras perempuan merobek kesunyian malam. “Terlambat!
Celaka aku datang terlambat!” Bersamaan dengan itu satu larik sinar hijau panas menghantam ke arah Datuk Bululawang.
Secepat kilat orang tua itu melompat. “Jahanam! Siapa yang berani menyerang diriku!”
teriak Datuk Bululawang marah sekali. “Sandaka! Bersiaplah membunuh korban pertamamu!”
Ketika siuman, Wiro mendapatkan dirinya berbaring di atas sebuah tempat tidur berkasur empuk dilapisi kain penutup indah berbunga-bunga. Dia mengenakan sehelai jubah terbuat dari kain hijau. “Siapa yang memberi aku pakaian ini…?” pikir Pendekar 212 seraya memandang berkeliling. Dia berada dalam sebuah kamar bagus sekali. Udara sekelilingnya menebar bau harum semerbak menyegarkan.
“Aneh…” Kata Wiro dalam hati. “Kamar sebagus ini tetapi mengapa sama sekali tidak ada jendela dan pintunya?” Lalu dia berpikir lagi. “Berapa lama aku berada di tempat ini?
Mungkin belum lama. Buktinya perutku tidak terasa lapar dan aku tidak kehausan…”
Wiro bangkit. Sesaat dia duduk di tepi tempat tidur. Otaknya mulai bekerja. Dia ingat apa yang telah dialaminya. Dia dan Kakek Segala Tahu berkelahi melawan Dewi Ular. Si kakek roboh akibat racun dua ekor ular iblis peliharaan Dewi Ular. Entah bagaimana keadaan orang tua itu sekarang. Jangan-jangan sudah menemui ajalnya. Dia sendiri juga jatuh ke tangan Dewi Ular setelah dipatuk oleh ular hitam kepala putih yang keluar dari pusar perempuan itu.
Ingat sampai di situ, Wiro singkap jubahnya di bagian dada, tempat ular mematuknya.
“Aneh, tak ada tanda apa-apa. Tubuhku malah sehat-sehat saja, malah segar bugar. Siapa yang mengobati diriku… Siapa yang membawaku ke mari? Tak pelak lagi, pasti perempuan iblis itu!” Wiro memandang seputar kamar. Pada empat sudut kamar terdapat masing-masing sebuah tiang besar dari kayu jati berukir sangat indah. Kebanyakan dari ukiran-ukiran itu menampilkan sosok ular berbagai rupa, mulai dari yang kecil sampai besar.
“Dewi Ular membawaku ke tempat ini. Pasti dia mengandung maksud jahat seperti yang dikatakannya padaku. Dia ingin mempergunakan diriku untuk membunuh beberapa tokoh silat. Si Raja Penidur, bahkan guruku Eyang Sinto Gendeng! Gila! Aku harus mencari jalan keluar dari sini! Tapi kamar celaka ini sama sekali tak berpintu tak berjendela!” Pendekar 212 memperhatikan lagi seputar kamar sambil garuk-garuk kepala. “Agaknya aku harus menjebol dinding ruangan dengan pukulan sakti!” Maka Wiro segera salurkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Pada saat itulah tiba-tiba ada suara halus merdu menegur. “Kekasihku Pendekar 212, rupanya kau sudah sadar? Aku gembira melihat kau segar bugar…”
Wiro melengak. Dia membuka mata lebar-lebar sambil memandang sekeliling ruangan. Sama sekali dia tidak melihat sosok orang yang berbicara itu. “Eh, siapa yang barusan bicara menyebutku sebagai kekasih?!” ujar Wiro dengan suara dikeraskan. “Kalau bangsa manusia, terus terang aku tidak punya kekasih. Kalau bangsa makhluk halus jejadian apalagi!”
Terdengar suara tawa merdu. “Akan kita lihat apakah kau menolak jadi kekasihku setelah aku unjukkan diri…” Sepasang telinga Wiro menangkap ada suara desiran halus, seperti sesuatu meluncur. Dia berpaling ke belakang. Astaga! Kejut murid Sinto Gendeng bukan kepalang.
Tadi dia tidak melihat binatang itu di sana. Kini mengapa tahu-tahu ada di situ?
Di salah satu tiang kayu besar meluncur turun seekor ular hijau besar dan panjang luar biasa.
Bersamaan dengan itu bau harum semerbak semakin santar. Sampai di lantai ruangan binatang ini menggelungkan tubuhnya. Lalu perlahan-lahan ular hijau ini naikkan kepala hingga mencapai ketinggian kepala manusia. Wiro tegak di sudut kamar dengan dada berdebar dan siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 seandainya ular raksasa itu menyerangnya.
Malah tiba-tiba secara anehnya wujudnya yang berbentuk ular perlahan-lahan sirna membentuk bayang-bayang. Bayang-bayang ini kemudian menjelma menjadi sosok tubuh seorang perempuan mengenakan pakaian hijau, tegak membelakangi Wiro. Pakaian hijau yang melekat di tubuhnya demikian tipisnya, hingga auratnya sebelah belakang kelihatan seperti bugil. Perlahan-lahan tubuh yang membelakangi itu berputar.
Wiro merasakan jantungnya seperti mau copot. Perempuan di hadapannya ternyata memiliki wajah cantik luar biasa. Di kepalanya yang rambutnya dikonde, ada sebuah mahkota kecil berbentuk kepala ular. “Dewi Ular…” desis Wiro tercekat. Matanya hampir tak berkesip melihat tubuh yang hanya tertutup kain sutera hijau yang sangat tipis.
“Kau mengenaliku, aku senang sekali. Akulah kekasihmu dan kau kekasihku. Apa kau tidak merasa bahagia?”
Wiro terdiam sesaat. Lalu dia berkata. “Kau membunuh kakekku, orang tua bergelar Kakek Segala Tahu itu…”
“Ah, rupanya pikiranmu masih pada jembel tua itu! Tak perlu kau merisaukannya. Racunracun ularku tidak sampai membuatnya mati…”
“Kau merencanakan menguasai dunia persilatan secara keji! Kau memperbudak manusia bernama Sandaka itu. Kau hendak memanfaatkan diriku untuk membunuh tokoh silat Si Raja Penidur dan guruku sendiri Eyang Sinto Gendeng…!”
Dewi Ular tertawa perlahan Dia goyangkan kepalanya. Rambutnya yang bergulung dalam bentuk konde terbuka jatuh menjulai, tergelai di punggungnya. “Aku tidak membantah bahwa aku memang ingin menguasai dunia persilatan dan merencanakan pembunuhan atas diri beberapa tokoh silat, termasuk gurumu sendiri! Aku juga tidak menyangkal dan memperbudak dan memperalat pemuda bernama Sandaka itu. Aku juga tidak menolak tuduhanmu bahwa aku akan memanfaatkan dirimu. Sebagai sepasang kekasih, saling bantu adalah lumrah saja. Bukankah begitu?”
“Siapa bilang aku kekasihmu? Aku justru punya tugas untuk melenyapkanmu dari muka Bumi ini!”
Dewi Ular tertawa panjang. Bahunya digoyangkan, menyusul pinggulnya. Murid Sinto Gendeng merasa lututnya goyah dan jantungnya berdegup keras ketika melihat bagaimana Dewi Ular kini tak mengenakan apa-apa lagi. Gerakan bahu dan pinggulnya tadi telah membuat pakaian sutera tipisnya merosot dan jatuh ke lantai kamar.
Dua kaki melangkah perlahan mendekati Wiro. Dua buah paha mulus bergerak menggoyang pinggul dan pinggang langsing. Di sebelah atas, dua buah payudara yang kencang bergoyang menantang. Lalu tiba-tiba saja tubuh telanjang Dewi Ular sudah merangkul Wiro Sableng.
“Wiro, banyak orang lelaki membenci diriku karena tidak tahu apa yang aku bisa berikan pada mereka. Kau salah satu di antaranya. Tapi itu tidak akan lama. Sebentar lagi kita akan lihat bahwa kau kekasihku yang lebih hebat dari Sandaka…”
Perlahan-lahan Dewi Ular tanggalkan jubah yang melekat di tubuh Wiro. Pendekar 212 merasakan tubuhnya laksana terbakar. Darahnya menggelegak. Nafsunya berkobar. Entah sadar entah tidak, akhirnya dia membalas rangkulan Dewi Ular. Sesaat kemudian keduanya sudah bergulung-gulung di atas tempat tidur. Nafas Dewi Ular panas memburu. Wiro merasa tubuhnya seperti meledak-ledak oleh guncangan nafsu. Namun ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya, yang membuat Dewi Ular jadi sangat kecewa dan marah dalam gejolak birahinya.
“Manusia tidak berguna! Tubuhmu saja yang tampak kukuh! Tapi kejantananmu mati!”
Murid Sinto Gendeng menggeram. Dia memandang ke bagian bawah tubuhnya. Mukanya tampak merah. “aneh… Nafsuku menggelegak tapi mengapa…”
“Manusia tidak berguna! Rupanya kau hanya pantas menjadi santapan ular-ularku di Sumur Seratus Ular!”
Dewi Ular melompat turun dari atas ranjang. Tubuhnya yang harum basah oleh keringat.
Tiba-tiba di salah satu dinding ruangan kamar muncul cahaya kehijauan yang secara perlahan berubah menjadi kemerahan lalu membentuk lingkaran yang berkelip-kelip. Paras Dewi Ular tampak berubah ketika melihat lingkaran merah itu. Dia menyambar pakaian hijaunya, mengenakannya dengan cepat. Lalu mendekati salah satu tiang kayu jati dalam kamar.
Sepasang tangan dan kedua kakinya digelungkan pada tiang itu. Perlahan-lahan tubuhnya menjadi samar lalu berubah menjadi ular besar hijau. Binatang ini menjalar cepat ke atas langit-langit kamar lalu menghilang dari pemandangan.
Begitu sosok ular lenyap, terdengar suara. “Manusia tak berguna! Kau beruntung umurmu masih kuperpanjang beberapa waktu. Kalau tidak ada urusan mendesak niscaya saat ini sudah kucemplungkan kau ke Sumur Seratus Ular.”
Wiro hantamkan tangan kanannya ke arah tiang di mana tadi sosok Dewi Ular berubah jadi ular hijau dan lenyap. Suara angin laksana topan prahara melanda kamar itu. Tempat tidur dan semua benda yang ada dalam kamar hancur berantakan. Tapi tiang kayu dan dinding kamar serta atap ruangan sama sekali tak lecet sedikitpun! Wiro sendiri jatuh jungkir balik di lantai akibat terpaan angin pukulan yang berbalik menghantamnya. Kepalanya terasa pening dan pemandangannya berkunang-kunang.
“Keparat! Bagaimana aku bisa keluar dari ruangan celaka ini?!” keluh Pendekar 212. “Apa yang terjadi hingga perempuan iblis itu tiba-tiba meninggalkan tempat ini?!” Wiro duduk terkulai di lantai, tak tahu apa lagi yang akan dikerjakannya. Kalau dia menghantam lagi ruangan dengan pukulan sakti lainnya, bukan mustahil dia sendiri bisa celaka bahkan mati konyol di tempat itu.
Selagi dia berpikir-pikir seperti itu, sekilas dia teringat apa yang barusan dialaminya. “Aneh, aku begitu bernafsu pada perempuan itu. Tapi kenapa aku jadi tiba-tiba tidak mampu?
Hilang kejantanan? Aneh… Benar-benar aneh!” Wiro garuk-garuk kepala sambil memandang ke bawah. “Jangan-jangan… Eh, jangan-jangan ini perbuatan Kakek Segala Tahu yang memberikan obat pahit itu padaku. Kejantananku lenyap hingga aku tak sanggup melakukan hubungan badan dengan Dewi Ular. Berarti aku diselamatkan dari cairan tubuh perempuan terkutuk itu! Kalau tidak, nasibku akan sama dengan Sandaka! Tapi… Ya Tuhan!
Gila! Sampai berapa lama aku kehilangan kejantanan seperti ini? Seumur hidupku?! Celaka!
Benar-benar celaka! Aku harus mencari Kakek Segala Tahu. Kuharap saja dia benar-benar belum menemui ajal. Tapi bagaimana mungkin! Keluar dari tempat ini saja aku tidak mampu! ”
Selagi dia terhenyak duduk tak berdaya seperti itu, tiba-tiba terdengar suara halus entah datang dari mana. “Anak setan! Kalau kau ingin keluar dari dalam ruangan terkutuk itu, lekas keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya. Hantam salah satu tiang kamar dengan api sakti! Dinding dan atap ruangan serta kayu-kayu penyanggahnya rapuh terhadap api! Aku akan membantumu dari luar sini! ”
Wiro berdiri. “Eh, siapa yang barusan bicara?!” dia berseru.
“Setan! Turut saja apa yang aku bilang! Kalau kau buang waktu, semua urusan bisa jadi kapiran! Dunia persilatan tak bakal bisa diselamatkan!” kembali terdengar suara halus.
Wiro garuk-garuk kepala. “Eh yang bicara ini apakah… Guru!
Eyang! Engkaukah itu?! ”
“Budak tolol! Lekas kau lakukan apa yang aku perintah! ”
Pendekar 212 tertawa lega. “Pasti itu Eyang Sinto Gendeng…” serunya. Lalu segera saja dia keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti. Sekali mata kapak dan batu hitam diadu satu sama lain, satu lidah api menyembur ke arah tiang besar di sebelah kiri.
Sesaat kemudian kamar itu sudah dibuncah api. Terdengar suara berkereketan. “Celaka! Aku bisa terpanggang hidup-hidup di tempat ini!” teriak Wiro.
Tiba-tiba di atas kepalanya terdengar suara berdentum. Atap ruangan hancur berantakan. Ada angin merambas masuk. Di sebelah atas Wiro dapat melihat langit malam. Lalu muncul sosok kurus kering bungkuk bermuka reot menyeramkan. Di kepalanya ada lima buah tusuk konde berwarna perak. “Guru! Benar kau rupanya!” seru Wiro seraya hendak menjura memberi hormat.
“Anak tolol! Bukan saatnya memakai segala peradatan! Lekas melompat keluar dari dalam kamar itu! Atau kau memang sudah kepingin mampus ditembus api?! ”
“Eyang! Terima kasih kau telah menolongku!” seru Pendekar 212 lalu sekali dia menggenjot tubuhnya melayang ke atas.
Begitu dia menginjakkan kaki di tanah. Eyang Sinto Gendeng sudah tegak di hadapannya.
“Kita harus segera mengejar ke arah lenyapnya Dewi Ular. Dan ini!” Eyang Sinto unjukkan dua buah benda yang dipegangnya di ujung-ujung jari tangan kirinya. Benda itu berwarna kuning seperti terbuat dari emas.
“Benda apa itu Eyang?” tanya Wiro.
“Dua buah paku emas! ”
“Paku emas?! ”
“Ya, ini satu-satunya benda yang mampu menolong pemuda bernama Sandaka itu untuk lepas dari kekuatan jahat yang menguasai dirinya. Paku ini pula yang sanggup membunuh Dewi Ular, makhluk setengah manusia setengah ular iblis itu. Paku ini hanya ada dua di dunia. Kalau salah atau meleset memakainya, maka akan celaka umat Tanah Jawa ini.
Memakainya juga tidak bisa sembarangan. Untuk melumpuhkan Sandaka, paku harus menancap di kepala anggota rahasianya… ”
“Gila! Bagaimana aku bisa melakukannya?! ”
“Aku tidak mau susah payah memikirkan. Itu tugasmu melakukannya!” bentak Eyang Sinto Gendeng.
“Lalu bagaimana cara menggunakan paku satunya terhadap Dewi Ular?” tanya Wiro pula.
“Perempuan itu jelas tidak punya kemaluan seperti Sandaka! ”
“Anak setan sialan!” maki Eyang Sinto Gendeng. “Tentu saja mana ada perempuan yang anggota rahasianya seperti laki-laki! Edan kau! Paku emas harus ditancapkan tepat di pusar perempuan durjana itu! Jangan tanya bagaimana melakukannya! Itu juga tugasmu! ”
Wiro terdiam. Sebetulnya dia mau bertanya lagi tapi tak berani. Eyang Sinto Gendeng hendak susupkan dua paku emas itu ke tubuh Wiro, tapi seolah baru melihat kalau sang murid saat itu tidak berpakaian sama sekali. “Murid jahanam kurang ajar! Lekas kau cari pakaian. Aku tunggu di sini! Kita tak punya waktu banyak! ”
Wiro segera bergerak. “Tunggu!” seru Eyang Sinto Gendeng. Dia mengeluarkan sebuah benda bulat hitam seujung kelingking. “Lekas kau telan ini! ”
“Apa itu Nek?” tanya Wiro.
“Sebelumnya aku telah berjumpa dengan Kakek Segala Tahu… ”
“Ah, bagaimana keadaan orang tua itu. Dewi Ular telah… ”
“Dia tak kurang suatu apa. Untung keburu kutemui, dan sebelumnya dia juga telah menjaga diri dengan obat penolak racun. Dia kutinggal di sebuah pondok di tengah hutan. Saat ini mungkin masih ngorok…” menerangkan Sinto Gendeng. “Aku mendapat penjelasan darinya bahwa kau diberikan obat penangkal nafsu hingga burungmu itu hanya bisa manggutmanggut… Kalau tidak, darah di tubuhmu masti sudah dirusak dan diracuni cairan tubuh Dewi Ular… ”
“Astaga!” kejut Wiro dengan muka berubah. “Jadi itu rupanya kekuatan obat yang disuruhnya telan. Pantas burungku tidak bisa mengepakkan sayap…” Wiro garuk-garuk kepala.
“Nah ini! Lekas telan obat ini!” Sinto Gendeng serahkan obat hitam bulat itu pada Wiro.
Tanpa ragu sang murid segera menelannya. Lalu dia bertanya. “Nek, obat yang barusan aku telan ini untuk apa? Mau membuat burungku jadi lebih rapuh? ”
Si nenek gelengkan kepala. “Obatku ini justru untuk menyembuhkan burungmu agar kau nanti bisa meyakinkan Dewi Ular bahwa kau benar-benar seorang lelaki jantan! ”
“Jadi… jadi Eyang sengaja hendak menyuruhku tidur dengan perempuan itu lalu dia mencelekai diriku? ”
“Kau mau tidur dengan dia sampai tujuh hari tujuh malam siapa mau yang melarang?! Tapi ingat, kau harus punya kemampuan untuk menahan diri. Bukan mempergunakan burungmu, tapi menusukkan paku emas itu ke pusar Dewi Ular… ”
“Wah berat Nek! Kalau akau tak sanggup menahan diri bagaimana?” tanya Wiro.
“Kalau begitu lebih bagus kau bunuh diri saja sekarang-sekarang ini!” sahut Eyang Sinto Gendeng. Lalu tanpa banyak bicara lagi dia berkelebat pergi.
Begitu orang yang memekik menampakkan diri, Sandaka segera melompat ke hadapannya.
Ternyata yang muncul adalah Dewi Ular. “Sandaka! Apa yang terjadi dengan dirimu!
Celaka!” Dewi Ular berteriak keras dan tersurut beberapa langkah ketika melihat keadaan Sandaka yang ditancapi paku baja putih murni mulai dari kepala sampai ke kaki serta penuh gelimangan darah.
“Kekasihku…” ujar Dewi Ular seraya mendekati Sandaka sambil membuat gerakan hendak merangkul pemuda itu. “Kau dalam bahaya. Lekas ikuti aku. Tinggalkan tempat ini… ”
“Sandaka!” Datuk Bululawang berteriak. “Lekas bunuh perempuan di hadapanmu! Jangan biarkan dia memelukmu! ”
“Sandaka!” balas berteriak Dewi Ular. “Jangan dengarkan ucapannya! Kau adalah kekasihku! Kau harus tunduk dan patuh padaku! Ayo lekas pergi! ”
Dewi Ular yang hendak memeluk si pemuda tertahan gerakannya ketika melihat bagaimana sepasang mata Sandaka memancarkan sinar hijau berkilat. Wajah dan tubuhnya yang berpaku-paku dan tertutup darah ikut memancarkan sinar kehijauan. Itulah hawa dan tanda pembunuhan!
“Celaka! Paku-paku keparat itu benar-benar telah melumpuhkan otaknya! Kini dia hanya mengikut pada perintah dajal bertangan buntung ini! Sebaiknya kuhabisi dulu tua bangka keparat ini!” Dewi Ular kebutkan lengan baju hijaunya. Dua gelombang angin sedahsyat topan prahara menderu ke arah Datuk Bululawang. Sang datuk cepat menyingkir. Namun lawan menyusul pukulan tangan kosong dengan satu hantaman jarak pendek. Baru saja dia mampu menghindar, tiba-tiba Dewi Ular sudah berada di sampingnya melancarkan jotosan ke pelipis kirinya.
Datuk Bululawang umbar tawa mengekeh . Berkelahi jarak dekat, justru ini maunya. Dia seperti membiarkan kepalanya dihantam pukulan lawan. Namun diam-diam tangan kanannya melesat ke perut Dewi Ular , siap menjebol dan membetot isi perut perempuan ini.
Dewi Ular yang sudah tahu keganasan ilmu Datuk Bululawang tidak berlaku ayal. Dia tekankan kedua tumitnya ke tanah. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke atas. Dari rongga bawah pakaian hijaunya melesat keluar dua ekor ular hijau. Dua binatang jejadian ini langsung melesat ke arah Datuk Bululawang.
“Desss! Prakkk!”
Kepala ular hijau sebelah kanan hancur dihantam tangan sakti Datuk Bululawang. Namun dia tidak mampu menghantam ular kedua ataupun menghindar. Binatang ini mematuk ke arah matanya. Sesaat lagi mata kiri orang tua bertubuh pendek dan berpunuk ini akan hancur menjadi satu lobang yang mengerikan, tiba-tiba dari samping ada dua larik sinar hijau menyambar. Ular hijau yang hendak mematuk mata sang datuk hancur berkeping-keping.
Dewi Ular terpekik dan cepat bertindak mundur. Dadanya mendenyut sekali. Dia memandang ke kiri di mana Sandaka tegak dengan pandangan mata angker. Dewi Ular tahu pemuda itulah yang barusan menyelamatkan Datuk Bululawang dengan semburan cahaya hijau sakti dari kedua matanya.
“Sialan! Aku tak mungkin bisa melawannya. Apalagi ada datuk keparat itu di sini. Hari ini aku terpaksa mengalah. AKu terpaksa menyingkir! Jahanam betul! ”
“Sandaka! Lekas kau habisi perempuan itu!” teriak Datuk Bululawang ketika dilihatnya gelagat Dewi Ular hendak melarikan diri.
Manusia paku yang kini berada di bawah pengaruh dan kekuasaan Datuk Bululawang menggereng keras. Dengan satu kali lompatan saja dia sudah berada di hadapan Dewi Ular.
Dia kedipkan kedua matanya. Dua larik sinar hijau menyambar. Dewi Ular melompat ke balik sebatang pohon seraya menghantam dengan tangan kanan.
“Wusss!”
“Braaak!”
Batang pohon besar hancur berantakan. Pohon tumbang dengan suara bergemuruh. Seluruh kulit sampai ke ranting serta daun-daunnya berubah hijau kehitaman. “Kejar dia Sandaka!
Jangan sampai lari! Dia harus mati di tanganmu!” teriak Datuk Bululawang.
Di balik pohon yang tumbang, Dewi Ular robek pakaiannya di bagian perut. Pusarnya menyembul di antara keputihan perutnya. Ketika Sandaka muncul di depan sana untuk mengejarnya, Dewi Ular gerakkan perutnya. Seekor ular hitam berkepala putih melesat keluar dari pusar perempuan itu. Binatang jejadian ini kelihatannya memiliki panjang yang tidak terbatas karena tubuhnya terus memanjang sampai akhirnya mencapai tempat Sandaka berada, sementara ekornya masih berada dalam perut Dewi Ular!
“Wuuuuutttt!”
Kepala ular putih menyambar. Mulutnya mematuk ke muka Sandaka. Pemuda ini cepat merunduk lalu membalik. Tangan kanannya berhasil menyambar tubuh hitam ular jejadian itu dan langsung dicengkeram. Ular hitam kepala putih menggeliat dan membalikkan kepala.
Saat itulah Sandaka kedipkan kedua matanya.
“Wusss! Wussss!” Dua larik sinar hijau berkiblat.
Dewi Ular menjerit panjang ketika melihat ular hitam kepala putihnya hancur lebur. Perutnya terasa panas. Cepat dia pegang perutnya di bagian pusar. Sebelum Sandaka datang mengejar, perempuan ini berkelebat lenyap tinggalkan tempat itu.
“Kejar dia Sandaka! Cepat! Jangan biarkan lolos!” teriak Datuk Bululawang. Sandaka segera berkelebat. Namun saat itu ada dua bayangan menghadangnya. Satu seorang nenek tua berbadan bongkok bermuka perot dan berkulit sangat hitam. Satunya lagi seorang pemuda gendeng aneh mengenakan pakaian seperti pakaian perempuan. Kedua orang ini bukan lain adalah guru dan murid Eyang Sinto Gendeng si nenek sakti dari Gunung Gede, dan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Datuk! Ada yang coba menghadangku!” kata Sandaka. Datuk Bululawang telah melihat kehadiran kedua orang itu. Dia segera mengenali si nenek, tapi tak mampu mengenali Wiro.
Tanpa pikir panjang dia berteriak beri perintah. “Singkirkan mereka Sandaka! Bunuh! ” Sandaka menggerang.
“Wiro! lekas kau hantam dia dengan salah satu dari dua paku emas itu!” eyang Sinto Gendeng berbisik.
“Aku memang sudah siap melakukannya Eyang! Tapi kau lihat sendiri. Dia mengenakan cawat. Mana aku bisa menduga yang mana kepala anggota rahasianya!” menyahuti Wiro sementara paku emas sudah berada dlaam genggamannya.
“Sialan! Yang menonjol itu pasti kepalanya!” kata si nenek setengah berteriak.
“Mungkin benar. Tapi kalau bukan bagaimana? Kita bisa celaka semua! Nek, aku minta kau menyerang kakek buntung yang menguasai pemuda itu. Sandaka pasti bertindak menolongnya. Aku akan cari kesempatan untuk menanggalkan atau merorotkan cawatnya…”
“Anak setan! Akalmu kuterima!” jawab Eyang Sinto Gendeng sambil tertawa cekikikan lalu dengan tongkat butut di tangannya dia menyerbu Datuk Bululawang.
“Tua bangka tolol! Jauh-jauh dari Gunung Gede kau datang hanya mencari mampus!” teriak Datuk Bululawang seraya kebutkan lengan jubah kanannya. Ujung tongkat butut di tangan si nenek bergetar keras ketika dihantam angin tangkisan lawan. Sinto Gendeng ganda tertawa.
Dia sengaja lepaskan tongkatnya. Selagi tongkat ini melayang ke atas, dia cabut dua buah tusuk kondenya yang terbuat dari perak dan merupakan senjata ampuh.
“Wutttt! Wuuuuut!”
Dua tusuk konde melesat ke arah Datuk Bululawang. Dari samping, Sandaka berkelebat menghadang serangan Sinto Gendeng. Dengan tangan kirinya, tusuk konde yang pertama dihantamnya sampai mental. Tusuk konde kedua dengan tenang diterimanya dengan tubuhnya. Tusuk konde itu menancap dalam di dada kanan Sandaka. Sambil menyeringai, Sandaka cabut tusuk konde itu lalu meremasnya hingga hancur.
Saat itu tongkat yang melayang ke atas telah turun dan cepat ditangkap oleh Sinto Gendeng.
Begitu tongkat berada dalam genggamannya, dia kembali menyerbu sang datuk. Sekali ini si nenek menyerang bukan hanya dengan tongkat. Tangan kirinya ikut bergerak dan menghantam dengan “Pukulan Sinar Matahari” yang dahsyat.
Lima jari tangannya didorongkan sambil membuat gerakan mencengkeraman. Biasanya sekali jari-jari tangannya menyentuh bagian tubuh lawan, pasti langsung bisa dibuat jebol lalu disentakkan kembali. Tapi sekali ini bagaimanapun dia kerahkan tenaga luar dan dalam, jari tangannya tidak mampu menjebol. Padahal tubuh nenek kurus kering itu tinggal kulit pembalut tulang. Keringat dingin mengucur dan kedua matanya yang juling berputar-putar.
Sinto Gendeng tertawa berlagak. “Bagaimana Datuk…? Kau tak sanggup menjebol tubuhku?
Mustahil!! Kau manusia sakti luar biasa. Tangan saktimu ditakuti rimba persilatan. Masak menjebol perut tipis peot begini saja kau tidak sanggup?!”
“Jahanam!” maki Datuk Bululawang. Mulutnya komat-kamit seperti merapal sesuatu. Sinto yang memiliki wajah seperti tengkorak tertawa.
“Ilmu siluman apa yang hendak kau keluarkan Datuk busuk?” ejek Sinto. Dia menahan nafas. Tangan Datuk Bululawang lengket dan disedot. Bagaimanapun sang Datuk Bululawang kerahkan tenaga berkutat untuk melepaskan tangan itu namun sia-sia saja. Malah rasa panas tiba-tiba menjalar dari perut si nenek, terus mengalir ke tangan, lengan dan sekujur tubuhnya.
“Datuk Bululawang! Saat kematianmu sudah dekat. Kau memang sial tidak kesampaian menjadi raja diraja rimba persilatan. Namun di masa lalu kebejatanmu sudah terkenal. Kau merusak anak-anak muda dengan nafsu bejatmu! Kau membunuh orang-orang persilatan tanpa sebab! Lihatlah ke atas. Malaikat maut sudah turun mendatangimu!”
“Dajal tua! Aku memilih mati bersama!” teriak Datuk Bululawang. Mulutnya didekatkan ke leher Sinto Gendeng. Maksudnya dia hendak menggigit putus urat leher si nenek. Tapi lebih cepat dari gerakan kakek berpunuk ini, dua tangan Sinto Gendeng berkelebat ke atas kepalanya mencabut dua buah tusuk konde perak. Lalu secepat kilat tusuk konde itu ditancapkan ke mata kiri dan kanan Datuk Bululawang.
“Crass!”
“Crass!”
Dua bola mata Datuk Bululawang pecah. Darah muncrat. Datuk Bululawang menjerit setinggi langit! “Sialan!” maki Sinto Gendeng ketika muncratan darah membasahi muka tengkoraknya. Tangan kanannya dikemplangkan ke batok kepala Datuk Bululawang. Saat itu
Sandaka meloncat dan berseru. “Jangan bunuh! Beri aku kesempatan balas dendam kesumat sakit hati!”
Sinto Gendeng hentikan gerakannya. Dia menatap wajah dan tubuh telanjang berpaku-paku pemuda lalu menyeringai. “Manusia paku aku luluskan permintaanmu! Silahkan lakukan apa yang kau mau!” kata nenek sambil tetap saja merekatkan tangan Datuk Bululawang ke perutnya. Sandaka mendekat. Semula Sinto mengira Sandaka akan memukul hancur kepala atau mematahkan batang leher Datuk Bululawang. Ternyata tangan kanannya menyelinap ke bawah jubah Datuk Bululawang. Terdengar sesuatu hancur dalam remasan Sandaka. Datuk Bululawang kembali menjerit setinggi langit ketika anggota rahasianya diremas hancur oleh Sandaka.
Sinto Gendeng merinding mendengar suara berderak hancur anggota rahasia Datuk Bululawang. Segera ia lepaskan tangan Datuk Bululawang dari sedotan perutnya. Dalam keadaan limbung Datuk Bululawang akhirnya jatuh terkapar di tanah, menjerit dan melejanglejang tiada henti.
“Kau tidak membunuhnya?” tanya nenek dengan mulut dimencongkan.
“Kematian terlalu enak bagi dia. Biarkan dia hidup seperti itu. Lebih hina seperti binatang,” jawab Sandaka.
Tempat itu sunyi beberapa ketika. Sinto Gendeng bangkit dari peti yang didudukinya. Dia berpaling kepada muridnya. “Anak setan, kurasa tugasku sudah selesai. Selanjutnya kuserahkan kepadamu. Dewi Ular masih hidup. Kau tahu apa yang harus dilakukan…”
Dengan ujung tongkat, nenek ketuk-ketuk peti besi di dekatnya. “Aku yakin ada sesuatu yang sangat berharga dalam peti ini. Kalau kau tidak berkesempatan mengurusnya, serahkan kepada murid Dewa Tuak untuk membantu!” Lalu Sinto berpaling kepada Anggini.
“Sampaikan salam hormatku kepada gurumu. Katakan aku tidak dapat menyambanginya. Aku harus cepat-cepat kembali ke puncak Gunung Gede. Dunia luar ini menyesakkan nafas dan dadaku karena sudah terlalu kotor!”
Anggini hanya menunduk tidak berani menatap wajah nenek dan menjawab dengan anggukan kepala. “Aku pergi sekarang…”
“Eyang! Ada yang hendak saya tanyakan…” Wiro cepat berkata. Anggini ikut menimpali.
“Benar, saya pun ada sesuatu yang ingin dipertanyakan. Sekalian menyampaikan pesan guru saya….”
Sinto Gendeng seperti sudah maklum apa yang akan ditanyakan oleh kedua pemuda pemudi ini, yakni menyangkut perjodohan mereka yang terkatung-katung sejak lama. Setelah batuk beberapa kali Sinto berkata. “Kalian semua dengarlah. Aku sudah maklum dengan apa yang hendak kalian sampaikan. Saat ini sebaiknya menyelesaikan urusan besar daripada membicarakan masalah ini. Biar aku sendiri yang akan menemui Dewa Tuak untuk menuntaskan persoalan!” Habis berkata begitu nenek berkelebat pergi.
Anggini berpaling pada Wiro dan berkata. “Kau dengar, dia akan menemui guruku untuk membicarakan kita? Aku yakin sampai sepuluh tahun ke depan tidak akan melakukannya.
Kalaupun berjumpa guru pasti ada saja alasannya untuk tidak membicarakannya!”
Wiro tegak garuk-garuk kepala, tidak bisa memberi jawaban apa-apa. Kemudian baik Anggini dan Wiro sama-sama menyadari Sandaka tidak ada lagi di tempat itu.
“Ke mana dia? ”
“Kurasa mengejar Dewi Ular,” jawab Anggini.
“Bagaimana kau bisa tahu? ”
“Dendam kesumatnya kepada perempuan iblis itu setinggi langit sedalam lautan. Dia membunuh kekasih calon istrinya sendiri akibat pengaruh jahat Dewi Ular. Yang di sana itu makamnya…. ”
“Dia pantas membalas dendam, tapi aku rasa ilmu kesaktiannya tidak sehebat dulu lagi. Dia akan dibunuh oleh Dewi Ular semudah membalik telapak tangan. Aku harus mengejar dan menolongnya, tapi ke mana? ”
“Ke tempat kamu pernah disekap dulu,” ujar Anggini.
“Tempat itu sudah hancur porak poranda…. ”
Anggini berpikir sebentar. “Sandaka pernah bercerita bahwa Dewi Ular punya tempat di sebuah pegunungan Batu Pualam di Laut Selatan. Tempatnya tidak jauh dari Candi Lor Ampenan…. ”
“Candi Lor Ampenan, aku tahu tempatnya. Tempat itu sering digunakan manusia-manusia aneh yang berpesta sambil berhubungan badan di tempat terbuka… ”
“Ah, pengalamanmu sungguh luas rupanya,” ujar Anggini, membuat wajah Wiro memerah.
“Aku akan mengejar ke sana!” Wiro mengambil keputusan.
“Tunggu dulu! Bagaimana dengan peti itu?” tanya Anggini.
“Peti itu? Eh, itu menjadi urusanmu!” jawab Wiro.
“Enak saja! Dari pada berat-berat membawanya lebih baik ditinggal saja… ”
Wiro memandang peti itu sambil garuk-garuk kepala. Dia lalu melangkah mendekati peti itu.
Dengan sebuah batu gerendel pengunci peti dibukanya. Ketika tutup peti terbuka, terlihat tumpukan batangan emas memancarkan sinar kuning benderang. “Setelah tahu isinya, kau masih mau meninggalkan peti besi ini di sini?” tanya Wiro sambil tertawa, lalu tanpa menunggu jawaban si gadis dia berkelebat cepat ke arah barat.
Meski berhasil mencapai Candi Lor Ampenan yang terletak tak jauh dari bebukitan mengandung batu pualam di pantai selatan, namun sampai pagi muncul dan matahari naik, Pendekar 212 Wiro Sableng tak juga menemukan tempat kediaman Dewi Ular. Apalagi tidak diketahui jelas apa tempat kediaman itu berupa sebuah bangunan atau goa.
Dengan perasaan jengkel murid Sinto Gendeng kembali ke Candi Lor Ampenan. “Apa yang harus aku lakukan?” pikir sang pendekar sambil duduk di tangga batu, bersandar pada tubuh sebuah stupa berbentuk naga. Melihat bentuk stupa ini murid Sinto Gendeng ingat pada senjata saktinya yang juga berbentuk berbentuk kepala dan tubuh naga. Disibakkannya pakaiannya. Baru dia sadar bahwa sampai saat itu dia masih mengenakan pakaian perempuan.
Pakaian ini ditemukannya direruntuhan kediaman Dewi Ular di mana dia disekap. Daripada telanjang lebih baik dia kenakan pakaian itu walau kelihatan lucu.
Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Sesaat kapak itu hanya diletakkan di pangkuan sambil diusap-usap. Kemudian dia ingat kalau senjata ini juga merupakan suling keramat. Wiro angkat kapak sakti dan mendekatkan mulut kapak ke bibirnya lalu mulai meniup.
Dia tidak tahu lagu apa yang dimainkan dan berapa lama dia bersuling ketika tiba-tiba hidungnya mencium bau harum semerbak. “Dia datang…” suara hati Wiro bergetar. “Dari jurusan kiriku….” Seolah tidak mengetahui murid Sinto Gendeng terus meniup sulingnya.
Dia tidak menunggu lama. Satu bayangan hijau berkelebat. Di lain kejab Dewi Ular telah berdiri di hadapannya. Wajahnya yang cantik tampak seperti tidak berdarah dan tatapannya penuh selidik. “Kau sengaja muncul di sini mencariku! Apa kau kira aku akan menerima seperti dulu? Kau tidak sadar kalau dirimu hanya bangkai hidup tidak berguna?”
Wiro berhenti meniup sulingnya. Dewi Ular jadi mengkelap. Namun sebelum amarahnya meledak dia ajukan pertanyaan. “Bagaimana kau bisa lolos dari tempat itu? Bagaimana kau dapatkan pakaian itu? Kau tahu itu pakaian perempuan. Apa otakmu sudah miring? ”
Wiro turunkan Kapak Naga Geni 212 dan meletakkan di atas pangkuannya. Seperti baru menyadari, Dewi Ular perhatikan senjata itu dengan seksama. “Waktu di kamar aku terlalubodoh tidak mengamankan senjata itu…. ”
“Dewi, nenek sakti yang jadi guruku menolongku dari sekapanmu di kamarmu yang indah.
Lalu karena pakaianku lenyap akibat ledakan dan kobaran api dan hanya mendapatkan pakaian ini, ya aku gunakan seadanya. Lalu mengenai otakku, kalau kau nanya apakah otakku sudah miring, kurasa belum… ”
“Kenapa kau datang ke tempat ini?! Sengaja mencariku dengan maksud jahat?! ”
“Kau betul. Aku kemari memang sengaja mencarimu. Untuk membuktikan aku sebenarnya bukan lelaki banci. Bukan pemuda yang sudah kehilangan kejantanannya… ”
“Eh, apa maksudmu..?! ”
“Kalau Dewi Ular masih bermaksud menjadikanku sebagai pendamping dan kekasih, aku akan buktikan bahwa aku bisa memuaskan Dewi Ular lahir batin… ”
Paras Dewi Ular berubah kemerahan. Kedua matanya memandang bagian bawah pemuda itu seolah mau menembusnya. “Pendekar 212, waktu aku menarik diri dari perkelahian dengan Sandaka dan Datuk Bululawang jangan kira aku kehilangan keberanian dan kesaktian. Aku masih bisa pecahkan kepalamu dengan satu jentikan saja! Jadi jika kau bermaksud menipuku, sekarang nyawamu sudah dalam genggamanku!”
“Dewi, aku berkata apa adanya. Aku meminta sesuai dengan permintaanmu. Jika kau tidak berkenan lagi melihatku, izinkan aku pergi…” Wiro membuat suaranya seperti orang sedih, lalu perlahan-lahan dia berdiri dan melangkah pergi. Dari belakang Dewi Ular memperhatikan Wiro yang mengenakan pakaian perempuan itu sambil menahan tawa.
“Wiro! Tunggu!” Dewi Ular berseru. “Bagaimana kalau kau kembali mengecewakan diriku!
Ternyata kau bukan seorang jantan yang aku idamkan?! ”
“Aku rela kau bunuh menurut sukamu. Dicincang, dibakar, diapakan saja! ”
Dewi Ular tersenyum. Dia melangkah mendekati pemuda itu lalu merapatkan tubuhnya lekatlekat dan merangkul Wiro kencang-kencang.
“Dia menguji kelakianku…” membatin murid Sinto Gendeng. Dia segera simpan Kapak Naga Geni 212 lalu balas merangkul Dewi Ular, malah sambil tangannya disusupkan ke balik pakaian hijau tipis perempuan cantik itu.
Dewi Ular merasa badannya menggeletar ketika diam-diam dia merasakan memang ada kelainan pada diri Wiro. Digigitnya dada Wiro dengan beringas hingga Wiro kesakitan.
“Tempatku tidak jauh dari sini, ikuti aku…” kata Dewi Ular sambil melihat ke arah bagian bawah tubuh Wiro.
Tempat yang dikatakan Dewi Ular itu adalah sebuah bangunan terbuat dari Batu pualam beratap ijuk, terletak di lereng bebukitan batu. Tepat di depan bangunan ada sebuah jurang sedalam hampir enam puluh kaki. Bagian depan bangunan terbuka sehingga dapat melihat bebas ke pemandangan yang menawan. Dewi Ular bersandar ke dinding batu pualam, menghadap ke bagian depan bangunan. Dia sengaja duduk dengan dua kaki di buka untuk memancing. Murid Sinto Gendeng beringsut mendekat. Dalam hati membatin. “Kalau aku tidak kuat menahan mungkin nasibku tidak berbeda dengan Sandaka. Dan mungkin aku sendiri yang akan membunuh Raja Penidur dan Eyang Sinto Gendeng… ”
“Tempat ini agak panas… aku mulai keringatan. Dewi, apakah aku boleh membuka pakaian?” Dewi Ular tersenyum lalu tertawa merdu. “Seharusnya dari tadi kau buka pakaian itu. Setelah itu tolong kau bukakan pakaianku.. ”
Tubuh Wiro menggelora menahan rangsangan yang membuat nafasnya memburu dan panas.
Selesai membuka pakaiannya, dia melakukan apa yang dikatakan Dewi Ular, yaitu membuka kain sutera hijau itu.
Selagi Wiro menanggalkan pakaiannya, sepasang mata wanita itu tidak lepas-lepasnya menatap ke bagian bawah tubuh Wiro. Sambil berbisik dia berkata. “Kau tidak berdusta, sekarang aku melihat sendiri kau benar-benar seorang lelaki…. ”
Dewi Ular menggayutkan kedua tangannya ke leher Wiro. Lalu dengan penuh nafsu wanita itu mendorong tubuh Wiro ke lantai dan menindihnya. “Aku tidak menyesal kehilangan Sandaka. Kau pengganti yang lebih hebat… ”
“Kita belum melakukannya Dewi. Aku belum membuktikan…” bisik Wiro yang membuat Dewi Ular mengerang lirih lalu menindih pemuda itu kuat-kuat.
“Kalau begini terus aku tidak punya kesempatan melakukan hal itu…” Wiro membatin.
Lalu pura-pura seperti orang yang dirangsang nafsunya membolak-balik tubuhnya.
Bersamaan dengan itu tangannya mengambil paku emas yang diikatkan di balik rambutnya yang gondrong.
“Dewi, aku akan melakukannya.. ”
“Lakukan cepat Wiro! Tubuhku seperti kau panggang…”
Tangan Wiro meluncur ke bawah. Dewi Ular menggelinjang kegelian ketika tangan itu mengusap perutnya. Wiro memegang paku emas erat-erat. Usapannya sampai ke pusar Dewi Ular. “Wiro, aku merasa ada sebuah benda di tanganmu. Kau…” Ucapan Dewi Ular hanya sampai di situ. Paku emas di tangan Wiro menusuk deras dan amblas ke dalam pusarnya.
Dewi Ular menjerit keras. Dia memandang ke bawah ke arah pusarnya. “Paku emas!!” teriak Dewi Ular dengan muka pucat. “Manusia keparat!” sepasang mata Dewi Ular menyorong garang. Sinar hijau berkilauan, tapi serta merta lenyap. Dia kedipkan matanya, tidak ada sinar maut yang keluar. Dia coba mencengkeramkan kedua tangannya ke leher pemuda itu untuk mencekik. Tapi dengan mudah Wiro menepis hingga Dewi Ular terpekik kesakitan.
Darah mengucur dari pusar Dewi Ular yang berlubang. Di antara kucuran darah kelihatan kepulan asap hitam berbau busuk. Wiro cepat bangkit dan cepat jambak rambut perempuan itu lalu menyandarkan tubuhnya ke dinding batu. Mahkota kepala ularnya menggelinding jatuh ke lantai batu.
“Bangsat penipu…!” kutuk Dewi Ular. Dia mengumpulkan sisa kekuatannya. Didahului satu jeritan dia lancarkan tendangan ke arah perut Pendekar 212 dan mendarat cukup telak sehingga murid Sinto Gendeng itu terlempar dan terkapar di lantai. Dewi Ular cepat bangkit.
Dia menyambar Kapak Naga Geni 212 yang diletakkan Wiro di bagian depan bangunan.
Wiro tak mau berlaku ayal. Dia cepat melompati perempuan itu dan hantamkan tangan kanan memukul lengannya. Dewi Ular menjerit kesakitan. Senjata mustika yang sempat dipegangnya terpaksa dilepaskan dan jatuh berkerontang di lantai pualam. Sambil menahan sakit Dewi Ular berusaha berdiri. Darah berbau busuk semakin banyak mengucur dari pusarnya yang ditancapi paku emas.
“Pendekar 212…” desis Dewi Ular. Dia bersandar ke dinding sambil sedikit demi sedikit bergeser menuju bagian depan bangunan. “Aku rela mati di tanganmu. Tapi sebelum mati, penuhi dulu satu permintaanku…” Dia bergerak lagi menuju bagian depan bangunan.
“Katakan apa permintaanmu!” ujar Wiro.
“Tiduri diriku. Di sana, dekat jurang sana. Kalau sudah kau lakukan, kau boleh membunuhku dan membuang mayatku ke dalam jurang!”
Pendekar 212 kernyitkan kening.
“Jangan takut… Aku tidak akan meracuni tubuhmu seperti kulakukan terhadap Sandaka. Saat ini aku…” Ucapan Dewi Ular putus sampai di situ. Dengan satu gerakan kilat, perempuan ini jatuhkan diri meluncur di atas lantai batu pualam yang licin menuju bagian depan bangunan di mana Kapak Maut Naga Geni 212 tergeletak.
“Sial! Mengapa aku tidak cepat mengamankan senjata itu!” rutuk Wiro menyesali kebodohannya sendiri. Dia berusaha mengejar. Namun gagang kapak telah keburu dipegang oleh Dewi Ular. Begitu dia hendak mengangkat senjata sakti ini, tiba-tiba sebuah kaki yang ditancapi paku dan bergelimang darah menginjak badan kapak.
Dewi Ular terpekik dan melompat menjauhi diri. Sosok tubuh yang menginjak kapak membungkuk mengambil senjata itu. Sandaka! Wiro hendak berteriak agar Sandaka segera menyerahkan senjata itu padanya. Namun sesaat dia jadi bimbang. Kemudian dilihatnya Sandaka melangkah mendekati perempuan itu sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 didepan dada. Mukanya yang bergelimang darah dan dipantek lima buah paku itu kelihatan luar biasa mengerikan.
“Kekasihku…. Jangan….! Apa yang hendak kau lakukan?!” seru Dewi Ular. Sandaka tidak menjawab. Mukanya semakin angker.
“Sandaka kekasihku… Dengar… Kita bisa hidup seperti dulu lagi… ”
“Perempuan iblis! Tutup mulutmu!” bentak Sandaka menggeledek. “Kau tipu diriku dengan kecantikan dan tubuhmu. Kau racuni badan dan otakku lalu kau kuasai.! Di bawah pengaruh jahatmu kau perintahkan aku membunuh orang-orang tak berdosa. Kekasihku Mantili.
Guruku Eyang Gusti Kelud Agung… ”
“Kau salah sangka Sandaka. Semua itu aku lakukan demi masa depan kita. Bukankah kita ingin sama-sama menguasai dunia persilatan? ”
“Perempuan durjana! Kau tak akan pernah menguasai dunia persilatan. Aku akan mengirimmu ke liang akhirat lebih dulu! ”
Kapak sakti di tangan Sandaka menderu. Sinar terang memancar dan suara seperti ratusan tawon mengamuk memenuhi tempat itu.
“Sandaka! Jangan…!” teriak Dewi Ular.
Mata kapak berkiblat menghantam bahu kiri Dewi Ular. Perempuan ini menjerit keras. Darah berwarna kehitaman mancur dari luka besar di bahunya yang mengepulkan asap.
“Sandaka… jangan bunuh diriku…” Dewi Ular memohon sambil meratap.
Kapak di tangan Sandaka berkelebat lagi. “Crasss! ”
Senjata itu menghujam telak di dada Dewi Ular. Kembali terdengar jeritan mengerikan di tempat itu. Tubuh Dewi Ular bergulingan di lantai, menggelinding ke tanah lalu berhenti dekat pinggiran jurang. Megap-megap dalam tubuh bergelimang darah, Dewi Ular mencoba bangkit dan mengangkat tangan kanannya ke arah Sandaka.
“Ampun Sandaka! Jangan bunuh diriku…!”
Sandaka melompat turun dari bangunan batu. Dewi Ular berpaling pada Pendekar 212.
“Tolong…!” jeritnya memelas.
Sandaka sampai di hadapannya. Kaki kanan manusia paku ini berkelebat. “Bukkk! ”
Tendangan yang keras menghantam tepat bagian dada Dewi Ular yang robek besar. Tak ampun lagi, tubuhnya mencelat mental dan masuk kedalam jurang. Suara jeritannya menggema sampai ke dasar jurang batu itu.
Untuk beberapa lamanya Sandaka masih tegak di tepi jurang. Kemudian perlahan-lahan tubuhnya membalik. Kapak Naga Geni 212 dipegangnya erat-erat. Dia melangkah ke hadapan Wiro mengulurkan tangan menyerahkan senjata sakti itu. Wiro cepat mengambilnya. Tanpa berkata apa-apa, Sandaka putar kembali tubuhnya. Dia melangkah lagi ke tepi jurang.
“Apa yang ada di benak manusia ini?!” pikir Wiro. Tiba-tiba dia berteriak keras. “Sandaka!
Jangan!” Wiro berusaha mengejar. Tapi sia-sia saja. Sandaka keburu menjatuhkan dirinya ke dalam jurang batu.
Murid Sinto Gendeng baru memalingkan kepalanya dari memandangi jurang sedalam enam puluh kaki itu ketika telinganya menangkap derap kaki kuda mendatangi. Si penunggang kuda ternyata gadis berpakaian ungu yang bukan lain adalah Anggini.
“Apa yang terjadi di sini…?” tanya Anggini begitu melihat darah berceceran di mana-mana.
Dia bertanya dengan muka dipalingkan ke jurusan lain.
Astaga! Wiro baru sadar kalau saat itu dia sama sekali tidak berpakaian. Dia segera menghambur masuk ke dalam bangunan dan mengenakan kembali pakaian perempuan itu.
Keluar dari bangunan, dia baru menceritakan apa yang terjadi pada Anggini. Gadis ini hanya bisa menarik nafas dalam.
“Satu malapetaka besar telah lewat. Apalagi yang akan terjadi di hari-hari mendatang…? ” kata Anggini perlahan.
“Peti berisi batangan-batangan emas itu,” ujar Wiro. “Kau tinggalkan di mana? ”
“Jangan khawatir. Kutanam di makam Mantili, kekasih Sandaka…” jawab Anggini. Gadis ini memandang ke langit yang tiba-tiba saja berubah mendung. “Sebentar lagi akan turun hujan agaknya. Kita harus segera meninggalkan tempat ini Wiro… ”
“Kau pergilah duluan. Di kaki bukit batu ini tak jauh dari ujung jalan ada sebuah dangau. Tunggu aku di sana. ”
“Kuda ini cukup kuat untuk kita tunggangi berdua… ”
Wiro tersenyum. “Badan dan pakaianku kotor. Kau berangkat saja duluan… ”
“Kau betul. Badan dan pakaianmu kotor. Apalagi pakaianmu pun kulihat aneh sekali. Namun satu hal aku tahu. Hatimu bersih… ”
Wiro gigit bibirnya. “Untuk pujian itu aku akan pergi bersamamu sampai di mana pun juga!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar