Senin, 01 Februari 2010

Bintang Malam

posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
1
SEPULUH MATI BERBARENGAN
KETIKA Kelelawar Pemancung Roh memasuki ruang batu kembali kagetnya seperti disambar geledek. Sosok Sinto Gendeng yang sebelumnya tergeletak di atas jalur-jalur kayo besi penutup kolam tak ada lagi!
"Jahanam!" Rutuk, makhluk tinggi besar itu sambil kepalkan dua tinjunya hingga mengeluarkan suara berkeretekan. "Kemana lenyapnya tua bangka keparat itu! Dalam keadaan lumpuh mana mungkin dia bisa kabur dari tempat ini. Tak ada jalur kayu yang patah. Tak ada tulang belulang dalam kolam. Berarti Ikan Dajal tidak memangsa­nya. Lalu kemana meratnya setan tua itu?!"
Kelelawar Pemancung Roh bertepuk tiga kali. Pemuda pincang muncul. Rapatkan dua tangan di atas kepala, memberi hormat seraya bungkukkan tubuh.
"Pincang! Kau tahu nenek buruk yang sebelumnya ada di sini?!"
"Tahu sekali Sang Pemimpin." Jawab si pincang.
"Kau lihat sendiri. Dia tak ada lagi di tempat ini. Kakinya lumpuh. Dia tak mungkin kabur dari sini! Berarti ada yang membawanya keluar dari tempat ini! Jawab! Apa yang kau ketahui! Apa yang kau lihat?!"
"Mohon maafmu Sang Pemimpin. Saya tidak mengetahui juga tidak melihat apa-apa. Sejak tadi saya berada di ruang belakang."
"Kalau bukan orang luar menyelinap masuk ke tempat ini pasti ada pengkhianat di sini! Pincang! Panggil Tuyul Orok!"
"Maaf Sang Pemimpin, Tuyul Orok ada dalam kamar ketiduran ibunya. Dalam keadaan cidera. Dia tak mampu berjalan, apalagi terbang. Apakah saya harus memanggil­nya juga?"
"Kalau begitu panggil semua kelelawar bintang satu. Suruh mereka menghadapku sekarang juga!"
Si pincang keluar. Kelelawar Pemancung Roh duduk di kursi batu. Menunggu dengan penuh rasa tidak sabar. Tak lama kemudian serombongan kelelawar berwajah bayi dengan gambar sebuah bintang di kepalanya masuk ke tempat itu. Berdiri berjejer, rapatkan tangan di atas kepala dan membungkuk berikan hormat pada Sang Pemimpin. Dari atas kursi batu Kelelawar Pemancung Roh menghitung dengan cepat.
"Kalian cuma bersepuluh. Mana saudara-saudara kalian yang lain?!"
Salah seorang makhluk kelelawar kepala bayi maju satu tindak, letakkan dua tangan di atas kepala baru menjawab.
"Mohon maafmu Sang Pemimpin. Dua puluh saudara kami telah dibantai di Teluk oleh seorang pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih."
Kelelawar Pernancung Roh terlonjak di atas kursi hatu, bangkit berdiri. Matanya yang sipit membuka lebar.
"Tidak bisa kupercaya! Kesaktian apa yang dimiliki pemuda gondrong itu?!"
"Kami tidak tahu. Kami melihat dia melepaskan pukulan memancarkan cahaya putih yang panasnya sepuluh kali sinar matahari."
"Omong kosong apa ini?!" Bentak Kelelawar Pemancung Roh. "Di atas kolam itu tadi menggeletak seorang nenek. Aku pergi ke Teluk. Begitu kembali si nenek sudah lenyap!
Apa yang kalian ketahui? Kalian melihat apa?!"
Diam. Kelelawar yang tadi bicara mewakili kawan­kawannya tidak membuka suara. Beberapa diantara mereka ada yang tundukkan kepala. Sang Pemimpin segera maklum ada sesuatu yang tidak beres. Sepuluh kelelawar kepala bayi yang merupakan anak-anaknya itu menyembunyikan sesuatu.
"Semua kalian dengar baik-baik. Aku tahu kalian mengetahui sesuatu. Kalian melihat sesuatu! Lekas ada yang bicara diantara kalian. Kalau tidak semua kalian bersepuluh akan menerima hukuman sangat berat!"
Masih diam. Tak ada yang bergerak atau membuka mulut.
"Baik. Kalian memilih mati percuma!"
Sang Pemimpin turun dari kursi batu. Dua tangan perlahan-lahan diangkat ke atas. Di antara para kelelawar kepala bayi yang kepalanya ada gambar sebuah bintang terjadi saling bisik. Kelelawar yang tadi bicara akhirnya rapatkan tangan di atas kepala, membungkuk. Suaranya agak gemetar karena takut.
"Mohon maaf Sang Pemimpin. Kami bersepuluh hanya menjalankan perintah."
"Perintah? Perintah apa? Perintah siapa?!"
"Perintah Tuyul Orok."
Kelelawar Pemancung Roh kerenyitkan kening dan pandang lekat-lekat kelelawar kepala bayi yang berdiri di depannya. Pandangannya kemudian menjelajah pada sembilan kelelawar lainnya.
Sambil meraba dagunya yang ditumbuhi janggut kasar Kelelawar Pemancung Roh bergumam.
"Hemmm… Rupanya Tuyul Orok sudah jadi Raja Diraja di tempat ini!" Lalu makhluk bertubuh tinggi besar ini membentak. "Lekas terangkan apa yang terjadi!"
"Kami… kami diperintahkan membawa nenek itu ke kaki Bukit Jati."
Bukit Jati adalah satu bukit kecil terletak tak berapa jauh di utara Teluk Akhirat tempat kediaman Kelelawar Pemancung Roh. Makhluk penguasa Teluk Akhirat ini bergetar tubuhnya, mendenging telinganya mendengar disebutnya Bukit Jati.
"Di bagian kaki bukit sebelah mana tua bangka itu kalian tinggalkan?"
"Kami memasukkannya ke dalam Goa Air Biru."
"Jahanam gila! Benar-benar kurang ajar! Itu goa sumber air minumku! Kalian berani membawanya kesana!"
"Mohon maafmu Sang Pemimpin. Kami hanya menjalankan perintah."
"Kapan Tuyul Orok berikan perintah membawa nenek itu pada kalian?"
"Sewaktu dirinya dalam cidera berat, didukung oleh ibunya menuju kamar ketiduran."
Kelelawar Pemancung Roh bantingkan kaki kanannya ke lantai. Ruangan batu itu bergetar. Air di dalam kolam menyiprat ke atas. Ikan Dajal yang ada dalam kolam melompat sampai beberapa kali.
"Tuyul Orok bukan apa-apa di sini. Dia sama dengan kalian. Hanya perintahku yang wajib kalian laksanakan! Kalian tahu kalau sudah berbuat kesalahan besar?!"
"Mohon maafmu Sang Pemimpin." Sepuluh kelelawar berkepala bayi berucap berbarengan.
"Tolol! Saat ini tak ada lagi pengampunan! Kalian harus mampus semua!"
Kelelawar Pemancung Roh angkat dua tangannya ke atas. Siap mengeluarkan racun Seribu Hawa Kematian. Sepuluh kelelawar kepala bayi keluarkan suara ketakutan, saling berangkulan satu sama lain.
Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki berlari men­datangi. Sesaat kemudian delapan perempuan muda berwajah rata-rata cantik memasuki ruangan dan jatuhkan diri di depan makhluk tinggi besar. Mereka sama keluarkan ratap permohonan.
"Sang Pemimpin, jangan dibunuh anak-anak kami. Jangan dibunuh. Ampuni dosa kesalahan mereka."
Sesaat Kelelawar Pemancung Roh jadi terdiam pandangi delapan perempuan yang kesemuanya adalah istri-istri paksaannya. Lalu seringai tersungging dimukanya yang garang. Menyusul suara tawa bergelak.
"Kelihatannya semua ini seperti sudah diatur! Perempuan-perempuan goblok! Lekas tinggalkan tempat ini! Atau kalian akan ikut mampus kuhantam dengan Seribu Hawa Kematian!"
"Sang Pemimpin, kalau kau membunuh anak-anak kami, kami rela ikut mati bersama mereka." Perempuan yang berlutut paling depan berikan jawaban.
Kelelawar Pemancung Roh menggereng marah. "Baik, kalau itu mau kalian! Buka mata kalian lebar-lebar! Saksikan sendiri apa yang akan terjadi." Habis berkata begitu Kelelawar Pemancung Roh melompat ke arah sepuluh kelelawar kepala bayi. Tangan dan kakinya ber­gerak tiada henti.
"Bukkk!"
"Praaak!"
"Duuukkk!"
"Praakk!"
Sepuluh kelelawar kepala bayi berpekikan. Tubuh mereka mencelat lalu jatuh di lantai batu dalam keadaan tak bernyawa lagi. Dada amblas atau perut jebol atau kepala pecah. Delapan perempuan menjerit-jerit tiada henti. Jeritan mereka bertambah keras ketika menyaksikan bagaimana sosok sepuluh kelelawar kepala bayi yang adalah anak-anak mereka sendiri menemui kematian secara mengerikan seperti itu. Sepuluh sosok hancur tak bernyawa itu kemudian berubah menjadi asap.
"Tinggalkan tempat ini! Atau kalian mau kubuat seperti itu?!"
Delapan perempuan mudaa masih menjerit. Salah seorang diantaranya berteriak.
"Terkutuk kau Sang Pemimpin! Laknat akan jatuh atas dirimu! Kau membunuh anakmu sendiri!"
"Plaak!"
Satu tamparan kerass membuat perempuan itu melintir dan jatuh terkapar di lantai batu. Pingsan dengan mulut pecah. Tujuh perempuan lainnya telah leleh nyali masing­masing. Dengan ketakutan mereka menggotong teman mereka yang pingsan meninggalkan tempat itu.
"Setan semua! Jahanam semua!" rutuk Kelelawar Pemancung Roh. Dia hendak duduk di kursi batu tapi tidak jadi. "Tuyul Orok! Anak laknat! Kau berani melangkahi kekuasaanku! Aku juga curiga ibumu melakukan sesuatu! Dimana kalian berdua saat ini?!"
Habis memaki dan merutuk begitu makhluk ini, melangkah cepat ke dinding kiri ruangan. Di situ ada sebuah pintu batu menuju ke sebuah lorong yang berhubungan dengan satu bangunan di bawah tanah. Dimana terdapat belasan kamar.

***
2
PERKELAHIAN DI BAWAH TANAH
KELELAWAR Pemancung Roh berjalan cepat menuju bangunan di bawah tanah. Di satu tempat dia membelok memasuki jalan rahasia. Kecurigaan membuat dia tidak mau menempuh, lorong yang membawanya ke pintu depan deretan dua belas kamar tidur selusin istrinya. Apa yang menjadi kecurigaan makhluk penguasa Teluk Akhirat ini ternyata benar. Seperti diceritakan dalam buku sebelumnya (Nyawa Pinjaman), dia memergoki Pendekar 212 Wiro Sableng di dalam kamar bersama Bintang Malam, salah seorang dari dua belas istrinya. Begitu sosok Pendekar 212 muncul keluar dari pintu rahasia, Kelelawar Pe-mancung Roh langsung menggebuk dengan pukulan tangan kanan.
Jotosan yang dihantarnkan Kelelawar Pemancung Roh ke dada Pendekar 212 demikian hebatnya. Tidak beda dengan hantaman sebuah batu besar berbobot ratusan kati! Untuk beberapa saat lamanya murid Sinto Gendeng terkapar megap-megap di dalam kolam yang terdapat di kamar besar itu. Darah mengucur dari sela bibir, meleleh ke dagu. Dadanya seperti melesak. Lehernya seolah ada yang mencekik hingga dia sulit bernafas.
Selagi Wiro berusaha bangkit dan keluar dari dalam kolam Kelelawar Pemancung Roh melompat ke hadapan Bintang Malam, langsung menjambak rambut perempuan ini.
"Perempuan celaka! Pasti kau yang memberikan obat penangkal racun Seribu Hawa Kematian pada pemuda itu! Tidak ada satu manusiapun bisa bertahan terhadap racun Seribu Hawa Kematian!"
"Sang Pemimpin, mohon kau ampuni diriku. Aku tidak mengenal pemuda itu. Dia masuk…."
"Plaakk!"
Satu tamparan keras di pipi kirinya membuat Bintang Malam terpekik dan terbanting jatuh di lantai. Sudut bibir sebelah kiri pecah. Darah mengucur.
"Kau berdua-duaan di dalam kamar ini bersamanya! Ada yang melihat kau bicara dengan dia di pantai! Akui semua perbuatan yang telah kau lakukan! Atau aku bunuh makhluk tidak berguna ini!"
Sekali lompat Kelelawar Pemancung Roh telah men­cekik leher Tuyul Orok yang ada di atas tempat tidur.
Bintang Malam terpekik.
"Jangan! Jangan bunuh anakku!" teriak perempuan itu.
"Akui perbuatanmu! Kuampuni nyawa makhluk ini. Kalau tidak dia dan juga dirimu akan menerima kematian yang sama mengerikan! Akan kuhancurkan batang leher kalian!"
"Sang Pemimpin, aku, aku tidak melakukan apa-apa. Aku…."
Mata sipit Kelelawar Pemancung Roh membuka lebar. Rahangnya menggembung. Seringai setan menyungging di mulutnya. Tangan kanannya yang mencekik leher Tuyul Orok bergerak.
"Kreekkk!"
Daging dan tulang leher Tuyul Orok berderak hancur.
Bintang Malam menjerit keras.
Kelelawar Pemancung Roh keluarkan suara mendengus lalu put-ar tubuhnya ke arah Bintang Malam.
"Sekarang giliranmu!" kertak Kelelawar Pemancung Roh seraya melangkah mendekati Bintang Malam. Tangan kanan diulurkan.
"Tidak! Jangan! Ampun…." Perempuan itu hanya bisa berteriak dengan muka pucat, sepasang mata mendelik. Dua kakinya tak mampu bergerak. Tangan kanan Kelelawar Pemancung Roh berkelebat.
Sesaat lagi lima jari tangan yang kukuh akan mencengkeram leher Bintang Malam, tiba-tiba dari samping berkelebat bayangan putih dan "buukkk!"
Kelelawar Pemancung Roh melenguh pendek. Cekikannya pada leher Bintang Malam terlepas. Tubuhnya terhuyung-huyung. Tulang bahunya serasa remuk tapi tidak diperdulikan. Bayangan putih kembali berkelebat. Kelelawar Pemancung Roh putar tubuhnya sambil membabatkan lengan kiri membuat gerakan menangkis.
"Bukkk!"
Dua lengan beradu keras.
Kelelawar Pemancung Roh kembali terhuyung bahkan hampir jatuh terjungkal kalau tidak cepat mengimbangi diri. Di bagian lain Pendekar 212 yang barusan melancar­kan serangan jatuh terduduk tli lantai.
Bintang Malam kembali terpekik. Dia berusaha mendekati tempat tidur dimana mayat Tuyul Orok terkapar.
"Anakku!" ratap perempuan itu lalu ulurkan tangan hendak memegang Tuyul Orok yang telah menemui ajal dengan leher hancur, mata mendelik lidah terjulur. Namun kembali sang ibu menjerit keras. Sebelum dia sempat menyentuh tubuh anaknya, sosok Tuyul Orok mengepul, berubah jadi asap dan akhirnya lenyap dari pandangan mata. Bintang Malam memekik sekali lagi.
Kelelawar Pemancung Roh menggereng. Melangkah mendekati Bintang Malam.
"Lari! Bintang! Lari! Tinggalkan tempat ini!" Teriak Wiro.
Dalam bingungnya perempuan hamil itu masih terus menjerit.
"Tidak ada tempat lari bagimu perempuan celaka!" teriak Kelelawar Pemancung Roh. Lalu dia lepaskan satu pukulan tangan kosong yang membersitkan cahaya hitam menggidikkan. Ini adalah pukulan Seribu Palu Kematian. Pukulan ini memiliki daya jebol dan menghancur luar biasa dahsyat. Kalau tubuh Bintang Malam sampai terkena, maka tubuh perempuan malang itu akan hancur menjadi ratusan serpihan kecil!
Melihat bahaya mengancam Bintang Malam, murid Sinto Gendeng yang menderita luka dalam cukup parah akibat jotosan Kelelawar Pemancung Roh tadi segera lepaskan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.
"Wusss!"
Serangkum angin laksana satu gelombang raksasa menderu menghantam ujung sinar hitam pukulan Kelelawar Pemancung Roh yang siap menceraiberaikan tubuh Bintang Malam.
Satu letusan dahsyat menggelegar di ruang batu begitu dua pukulan sakti saling bertumbukan. Tempat itu diselimuti asap berwarna kelabu.
Bintang Malam menjerit.
Sosok tinggi besar Kelelawar Pemancung Roh terlempar ke dinding. Tangan kanannya terkulai, sakit dan untuk sesaat tak bisa digerakkan. Di bagian lain, Pendekar 212 Wiro Sableng jatuh berlutut. Tangan kiri memegangi tangan kanan yang serasa remuk. Darah makin banyak meleleh dari sela bibirnya. Dadanya kembali mendenyut sakit. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh terguling di lantai batu.
Terhuyung-huyung Kelelawar Pemancung Roh me­langkah mendekati Wiro yang tergeletak tak berdaya. Dengan mengarahkan ilmu kesaktian bernama Seribu Kati Menginjak Bumi, dia hunjamkan kaki kanannya ke kepala Wiro. Hanya sesaat lagi injakan kaki itu akan meng­hancurkan kepala murid Sinto Gendeng, tiba-tiba tubuh Wiro berputar. Kaki kanannya melesat ke atas. Kelelawar Pemancung Roh masih bisa melihat datangnya serangan kilat itu tapi tak sempat mengelak.
"Bukkk!"
"Kraaakk!"
Jeritan Kelelawar Pemancung Roh menggelegar di seantero ruangan. Tubuhnya terlempar ke dinding. Dua tulang iganya patah. Tapi anehnya dia kemudian tampak menyeringai.
"Pendekar 212! Kau boleh punya seribu pukulan, sejuta kesaktian! Seumur hidup kau tak bisa membunuhku! Sekarang terima kematianmu!"
Begitu berhasil menendang tulang rusuk Kelelawar Pemancung Roh, murid Sinto Gendeng, kumpulkan sisa tenaga yang ada lalu melompat bangkit. Pada saat itulah di depan sana dilihatnya Kelelawar Pemancung Roh berdiri bertolak pinggang. Kepala setengah didongakkan. Se­pasang matanya yang sipit dan seperti terpejam kini men­delik besar dan merah. Hidungnya tiba-tiba menghirup menyedot panjang dan dalam.
Murid Sinto Gendeng melengak kaget ketika ada satu hawa luar biasa dahsyat menyedot tubuhnya ke depan. Dia berusaha bertahan. Kerahkan seluruh tenaga yang ada. Namun dua kakinya mulai terangkat ke atas!
"Gila! Ilmu setan apa yang dimiliki bangsat ini!" Rutuk Wiro. Sedotan hawah aneh membuat dia tak bisa bernafas. Tulang-tulang kaki dan tangan, sepasang matanya, hidung dan mulut serta perut yang tersedot ke depan seperti mau bertanggalan. Jantungnya laksana mau copot! Dalam keadaan seperti itu sosoknya terhirup, ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Dinding batu di belakang Wiro bergetar hebat seolah hendak terbongkar oleh kekuatan sedotan hidung Kelelawar Pemancung Roh. Inilah ilmu yang
dinamakan Seribu Hawa Penyedot Roh.
Makhluk tinggi besar itu terus menghirup tapi dalam menghirup dia juga mampu keluarkan tawa bergelak. Dua tangannya kemudian diangkat ke atas.
"Sreekk!"
"Sreekk!"
Sepuluh jari tangan Kelelawar Pemancung Roh berubah menjadi sepuluh cakar besi, panjang runcing mengerikan karena ujung-ujungnya yang merah berlumuran cairan merah. Darah!
Di saat-saat kematian mengerikan hampir tak dapat dihindari itu Wiro berteriak keras kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada, pentang tangan kanan latu memukul ke depan! Sinar putih berkibtat. Hawa panas seperti mau membuat leleh seantero ruangan. Air kolam bergemericik seperti mendidih.
"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Kelelawar Pemancung Roh Makhluk ini cepat tekuk lutut dan rundukkan kepala.
"Wuss!"
Pukulan Sinar Matahari menyapu lewat diatas kepala­nya, membakar sebagian rambutnya yang kasar awut­awutan, lalu menghantam hancur dinding karnar di belakang sana.
"Keparat jahanam!" rutuk Kelelawar Pemancung Roh. Gerakan dua tangannya di percepat. Satu ke dada, yang lain ke perut Wiro.
"Jebol jantungku! Amblas perutku!" teriak murid Sinto Gendeng dalam hati. Tangan kirinya cepat menyelinap ke balik pinggang pakaian untuk mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Namun gerakan ini memakan waktu sementara sepuluh jari tangan lawan sudah berada dekat sekali. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Wiro menyentuh sebuah benda di balik pakaiannya. Bukan gagang kapak, bukan batu hitam sakti. Tapi satu benda lembut. Benda apa? Wiro sentakkan benda itu dari pinggangnya. Ternyata benda itu adalah kain sutera hitam ikat kepala berbatu yang pernah diberikan Pelangi Indah padanya beberapa waktu lalu.
Wiro ingat ucapan gadis-cantik Ketua Kelompok Bumi Hitam itu. "Simpanlah baik-baik. Jika kain itu kau ikatkan di kepalamu, kau bisa melihat bayangan diriku. Jika kain itu kau pergunakan sebagai senjata, mudah-mudahan bisa menjadi senjata yang bisa melindungi dirimu."
Tidak menunggu Iebih lama Wiro segera pukulkan ikat kepala yang terbuat dari kain sutera hitam di tangan kirinya ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Tujuh cahaya pelangi menderu dari batu hitam yang menempel di kain. Kelelawar Pemancung Roh bukan saja kesilauan tapi seperti ada puluhan jarum halus mencucuk matanya hingga dia keluarkan jeritan keras dan melangkah mundur. Dua tangan yang tadi hendak mencakar ganas ke dada dan perut Wiro terpaksa dipergunakan untuk melindungi sepasang matanya.
Serangan yang dihadapi Kelelawar Pemancung Roh dari ikat kepala kain sutera ternyata bukan hanya berupa sinar menyilaukan serta tusukan jarum. Didahului satu suara menggereng dahsyat dari dalam batu permata hitam tiba­tiba melesat keluar kepala seekor srigala putih bermata merah. Besar kepala binatang jejadian ini dua kali ukuran kepala srigala sungguhan. Srigala jejadian ini meraung panjang, lalu dengan mulut menganga melompat menerkam kepala Kelelawar Pemancung Roh.
Sesaat Kelelawar Pernancung Roh jadi terkesiap. Namun dilain kejap dia membentak keras.
"Makhluk jahanam! Kembali ke asalmu!"
Sambil membentak Kelelawar Pemancung Roh hantamkan kepalannya ke kepala srigala jejadian. Raungan keras menggelegar di ruangan itu. Sosok srigala jejadian ienyap. Kelelawar Pemancung Roh menjerit setinggi langit. Keningnya robek ditoreh taring srigala jejadian. Darah mengucur membasahi mukanya membuat tampangnya jadi tambah mengerikan. Terhuyung-huyung sosok tinggi besarnya berputar. Wiro cepat mengejar tapi sekali berkelebat Kelelawar Pemancung Roh telah lenyap dari tempat itu.
Wiro memandang berkeliling. Bintang Malam tak ada lagi di tempat itu.
"Celaka! Jangan-jangan dia dibawa lari makhluk jahanam itu!" pekik Wiro. Dia juga tidak melihat sosok mayat Tuyul Orok yang sebelumnya masih ada di atas tempat tidur.
Tiba-tiba Wiro ingat sesuatu. Dia angkat dan pandangi dengan mata melotot tangan kirinya.
"Astaga!" Sang pendekar terkejut besar.
Kain ikat kepala berbatu hitam yang tadi ada di tangan kirinya dan dipergunakan untuk menyerang Kelelawar Pemancung Roh tak ada lagi. Wiro meraba pinggang, selinapkan tangan mencari-cari
"Sialan! Keparat jahanam itu pasti telah merampas ikat kepala sutera hitam pemberian Pelangi Indah!" Wiro memaki panjang pendek. Memaki ketololannya sendiri. Bukan saja dia tidak berhasil membunuh Kelelawar Pemancung Roh, tapi benda sakti pemberian Ketua Kelompok Bumi Hitam itu malah disikat lawan!
Wiro melompat keluar pintu. Sesuai petunjuk yang dikatakan Bintang Malam dia membelok ke kiri lalu berjalan cepat lurus-lurus dalam terowongan bawah tanah hingga akhirnya sampai di satu ruangan yang ada kolam besarnya.
***
3
KAKEK DALAM KERANGKENG BESI
SEPERTI diceritakan dalam Bab 1 sewaktu Kelelawar Pemancung Roh memasuki ruangan yang ada kolam ikan, Sinto Gendeng tak ada lagi di tempat itu. Dalam keadaan lumpuh tidak mungkin si nenek melarikan diri. Pasti ada yang menolongnya keluar dari tempat itu. Sesuai pengakuan salah seorang kelelawar berwajah bayi yang kepalanya digambari sebuah bintang, atas perintah Tuyul Orok, bersama sembilan temannya kelelawar muka bayi tadi membawa si nenek ke Goa Air Biru.
Sinto Gendeng yang terkapar tak berdaya dan dalam keadaan tertotok di atas jalur-jalur kayu besi di perrnukaan kolam buka dua matanya yang terpejam ketika mendengar suara kepak sayap banyak sekali menderu di ruangan batu itu.
"Makhluk-makhluk jahanam," desis si nenek begitu melihat berkelebatnya sepuluh kelelawar bermuka bayi. Di ubun-ubun makhluk ini tergambar sebuah bintang hitam. "Mau apa mereka…. Mau menggerogoti tubuhku?"
Sepuluh makhluk aneh itu berdiri di atas kayu penutup kolam, mengelilingi sosok Sinto Gendeng. Untuk kesekian kalinya secara diam-diam Sinto Gendeng kerahkan tenaga dalam ke kepala. Tapi gagal. Dia telah mencoba sampai dua kali untuk mengeluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh dari sepasang matanya. Pertama ketika, berhadapan dengan Kelelawar Pemancung Roh. Kedua sewaktu dia ditinggal sendirian di tempat itu. Dia berusaha memusnah­kan Ikan Dajal di dalam kolam sebelum ikan itu nanti dipergunakan untuk membantai dirinya. Namun jangankan mampu mengeluarkan ilmu tersebut, membuat dua mata­nya bergetar saja tak bisa dilakukannya. Masih untung dia dapat memutar bola mata hingga bisa melihat ke berbagai jurusan. Kelelawar Pemancung Roh telah menotok tubuhnya. Totokan yang dilakukan agaknya bukan totokan biasa. Sinto Gendeng tidak mampu memusnahkan walau telah dicoba berulang kali. Inilah penyebab utama dia tidak bisa mengerahkan hawa sakti ke sepasang matanya hingga Sepasang Sinar Inti Roh tidak dapat dikeluarkan.
"Kalian mau apa?!" hardik Sinto Gendeng.
Tak ada satupun dari kelelawar bermuka bayi berikan jawaban. Ketika sepuluh makhluk itu menggigit dan mencengkeram pakaiannya lalu perlahan-lahan mulai mengangkat tubuhnya, setengah terseret setengah di­terbangkan, Sinto Gendeng kembali membentak.
"Makhluk celaka! Kalian mau membawa aku kemana?!"
Tetap tak ada yang menjawab.
Ketika akhirnya Sinto Gendeng berada di udara terbuka di tepi pantai, dibawa ke arah utara, nenek ini masih belum bisa menduga apakah sepuluh makhluk kelelawar bermuka bayi itu tengah menolong dirinya atau punya niat jahat untuk mencelakai.
Karena sepuluh kelelawar kepala bayi menggotongnya dengan kaki di sebelah depan maki Sinto Gendeng dapat memperhatikan kemana dirinya dibawa. Arah yang ditempuh bukan menuju pantai sebaliknya menjauhi teluk. Mereka melewati sebuah pohon kelapa buntung bekas disambar petir. Lalu menerobos semak belukar. Tak selang berapa lama Sinto Gendeng dapatkan dirinya diseret memasuki goa batu berwarna biru. Sepanjang lantai goa terdapat dua aliran air berwarna biru. Udara di tempat itu terasa sejuk. Walau masih belum dapat memastikan tapi Sinto Gendeng mulai merasa-rasa bahwa sepuluh kelelawar muka bayi itu mungkin tidak bermaksud jahat terhadapnya.
Di ujung lorong goa ada sebuah telaga. Begitu melihat telaga ini Sinto Gendeng jadi menggerendeng dalam hati.
"Sialan! Rupanya aku dibawa kesini mau diceburkan dalam telaga. Disuruh mandi!" Si neriek mendadak ter­diam. Matanya mendelik berputar. "Eh, jangan-jangan di dalam telaga itu ada makhluk celaka yang bakal mem­bantai diriku seperti Ikan Dajal di kolam batu." Si nenek langsung berteriak keras.
"Tahan! Tunggu! Turunkan aku di sini!"
Sepuluh kelelawar muka bayi tidak bersuara, apa lagi memenuhi perintah. Ternyata si nenek tidak diceburkan ke dalam telaga. Tubuhnya digotong melewati telaga lalu masuk ke dalam sebuah cegukan membentuk situ ruangan cukup besar di dinding batu.
Dua mata Sinto Gendeng terpentang lebar menyaksikan satu pemandangan luar biasa di depannya, hingga tidak menyadari kalau sepuluh kelelewar muka bayi telah meletakkan tubuhnya di lantai batu.
Di dalam cegukan besar di dinding batu, hanya dua langkah dari tubuhnya digeletakkan duduk seorang kakek berambut putih menjela bahu. Kumis dan janggutnya jadi satu, putih menyentuh dada. Dua alis putih menghias sepasang matanya yang berwarna kebiru-biruan, bening tapi tajam. Kakek ini bertubuh kurus tapi mengenakan jubah biru yang sangat besar gombrong dan menjela lantai batu. Yang luar biasanya adalah, keadaan kepala si kakek. Mulai dari bagian atas sampai ke leher, kepalanya terkurung dalam satu kerangkeng besi berbentuk bulat. Bagian atas kerangkeng besi ini ada rantai besi yang dikaitkan pada sebuah gelang besi yang menyembul di langit-langit batu. Dari panjapg dan tegangnya rantai besi jelas si kakek tidak mungkin bergerak jauh. Dia hanya dapat menjulurkan kaki, menggerakkan ke dua tangan. Leher dan kepala tak dapat digeser. Kalau hal itu dilakukan lehernya bisa putus karena bagian bawah kerangkeng besi,yang menjepit lehernya berbentuk mata gergaji, besar dan amat tajam. Pada leher si kakek kelihatan guratan­guratan luka, sebagian sudah mengering, sebagian kelihatannya masih baru.
"Gusti Allah, azab hukuman apa yang tengah dijalankan manusia satu ini?!" membatin Sinto Gendeng.
Anehnya walau berada dalam keadaan seperti itu tapi si kakek tampak tenang, malah tersenyurn kecil sewaktu melihat sosok Sinto Gendeng diletakkan di depannya.
Sepuluh kelelawar muka bayi sama letakkan tangan di atas kepala lalu berbarangan berkata. “Ki Sepuh Tumbal Buwono, terima salam hormat kami untukmu."
Kakek berjubah biru gombrong kedipkan mata. Suaranya halus perlahan tapi cukup jelas terdengar ketika dia keluarkan ucapan.
"Sepuluh kelelawar, siapakah nenek aneh yang kau antar ke hadapanku? Udara di tempat ini mendadak menebar bau tidak enak. Kaliankah yang bau pesing atau nenek ini?"
Sepuluh kelelawar muka bayi tak berani menjawab, hanya saling pandang satu sama lain.
Sinto Gendeng menahan nafas, dalam hati menggerutu mendengar ucapan si kakek. Tapi dia diam saja karena ingin mendengar apa jawab rombongan kelelawar kepala bayi.
Salah seorang dari mereka rapatkan dua tangan di atas kepala, membungkuk lalu berkata.
"Ki Sepuh Tumbal Buwono. Mohon maafmu, kami tidak tahu siapa adanya nenek ini. Kami hanya menjalankan perintah. Perintah mengatakan agar kami membawa dirinya ke sini."
"Kalau begitu siapa yang memberikan perintah?" Bertanya si kakek.
"Tuyul Orok."
"Tuyul Orok?"
"Putera Sang Pemimpin dengan seorang perempuan bernama Bintang Malam."
Orang tua bernama Ki Sepuh Tumbal Buwono terdiam sejenak, seperti tengah berpikir dan mengingat-ingat. Lalu tak sadar dia anggukkan kepala. Akibatnya lehernya kembali tergores luka oleh bagian bawah kerangkeng besi yang mencengkeram kepalanya sampai ke leher.
"O ladalah, kakek tolol, seharusnya kau tidak pakai mengangguk segala!" kata Sinto Gendeng dalam hati. "Siapa tua bangka satu ini? Siapa pula. yang mengazabnya seperti ini?! Kalau dia orang baik-baik dan keadaanku tidak seperti ini pasti akan aku hancurkan kerangkeng besi di kepalanya!"
Salah seorang dari sepuluh kelelawar muka bayi atur hormat letakkan dua tangan di atas kepala.
"Ki Sepuh Tumbal Buwono, perintah sudah kami jalan­kan. Kami mohon diri."
Sepuluh kelelawar muka bayi melangkah mundur.
"Tunggu!" Kakek rambut putih berkata sambil angkat tangan kirinya. "Sebelum pergi ada sesuatu yang harus kalian lakukan."
"Mohon Ki Sepuh memberitahu agar perintah bisa kami laksanakan," ujar kelelawar kepala bayi yang barusan minta diri.
"Ceburkan nenek bau pesing itu ke dalam telaga!"
Sepuluh kelelawar muka bayi tercengang, sama keluarkan seruan tertahan. Sinto Gendeng sendiri berseru kaget, muka tegang membesi mata mendelik marah, memandang mengancam pada sepuluh kelelawar muka bayi. Kalau saja tidak dalam keadaan tertotok saat itu mungkin Sinto Gendeng sudah melompat dan mengamuk tak karuan.
***
4
SINTO GENDENG DICEBURKAN DALAM TELAGA
KARENA tak seorangpun dari sepuluh kelelawar muka bayi bergerak lakukan perintah, Ki Sepuh Tumbal Buwono menegur.
"Sepuluh kelelawar. Kalian sudah dengar perintahku. Mengapa tidak dilaksanakan?"
"Ki Sepuh, mohon maafmu," kelelawar muka bayi yang tadi selalu bicara mewakili teman-temannya akhirnya menjawab. "Bukan kami tidak mau melaksanakan perintah. Tapi telaga adalah sumber air minum Sang Pemimpin. Jika sampai dicemari…."
Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa.
"Kalian anak buah yang baik. Sekali-sekali Sang Pemimpin perlu diberi minuman istimewa. Kini dia mendapat suguhan air kencing seorang tamu. Seharusnya dia merasa beruntung. Lekas kalian ceburkan nenek itu ke dalam telaga atau kalian yang aku ceburkan sebagai gantinya!"
Sinto Gendeng heran melihat sepuluh kelelawar muka bayi ketakutan mendengar ancaman si kakek. Padahal jangankan menceburkan, bergerak beringsut sedikit saja dari duduknya kakek itu tidak mungkin. Kecuali kalau mau lehernya putus digorok besi yang melingkari lehernya, menyerupai mata gergaji tajam luar biasa.
Nyatanya, sepuluh kelelawar muka bayi tidak banyak bicara lagi. Mereka gotong tubuh Sinto Gendeng.
"Hai! Awas kalau kalian berani…." Sinto Gendeng berteriak.
Tubuh si nenek diayun ke kiri dan ke kanan. Lalu dilempar. Byuurr!
"Kampret kurang ajar!" Maki Sinto Gendeng. Ter­telentang di dalam telaga dia menunggu. Sebentar lagi tubuhnya bakal menjadi santapan ikan buas atau binatang buas lainnya yang ada dalam telaga. Tapi apa yang ditakut­kannya tidak terjadi. "Eh…?" Sinto Gendeng putar sepasang matanya.
Telaga di dalam Goa Air Biru itu selain cukup besar memiliki kedalaman sampai sepuluh kaki. Namun inilah keanehannya. Kecuali benda mati tak bernyawa, siapa saja orang yang masuk ke dalamnya akan mengambang di permukaan telaga. Begitu juga dengan tubuh Sinto Gendeng. Walau dalam keadaan tertotok, tubuh nenek ini mengambang hingga carut marutnya akhirnya berhenti juga ditelan perasaan heran dan aneh. Tubuhnya terasa sangat sejuk dan nyaman. Matanya sampai meram melek. Sekilas dia melirik ke tepi telaga. Sepuluh kelelawar muka bayi tak ada lagi di tempat itu. Melirik ke kiri dilihatnya kakek jubah biru gombrong duduk memandang ke arahnya sambil senyum-senyum.
"Tua bangka satu ini. Dari tadi aku lihat dia senyum­senyum terus. Jangan-jangan bangsa kakek-kakek ganjen!" Ucap Sinto Gendeng dalam hati.
Di bagian dasar air telaga, ada satu lobang kecil yang menjadi tempat masuknya aliran air baru. Di sebelah atas air telaga mengalir keluar melalui dua buah saluran. Dua saluran ini bersatu lagi, di satu tempat dan seterusnya air mengalir menuju bangunan dibawah tanah tempat kediaman Kelelawar Pemancung Roh. Karena air mengalir terus, maka dengan sendirinya semua kotoran dan bau yang melekat di pakaian dan tubuh Sinto Gendeng lama-lama menjadi bersih.
Sinto Gendeng merasa sudah cukup lama dia berada dalam telaga. Keluar sendiri tentu saja tidak bisa. Dua kakinya dalam keadaan lumpuh. Di sebelah atas tubuhnya dalam keadaan tertotok. Dan si kakek berambut putih jubah biru yang duduk di dalam cegukan batu hanya senyum-senyum saja, sepertinya tidak ada niat untuk mengeluarkannya dari dalam telaga. Tentu saja kakek ini tak bisa melakukan hal itu karena lehernya terjerat kerangkeng besi. Bagaimanapun dia mengulurkan tangan, tangannya tak bakal menjangkau tubuh si nenek yang ada dalam telaga. Sinto Gendeng berusaha menyabarkan diri. Tapi ditunggu sampai sekian lama tak ada tanda-tanda dia bakal bisa dikeluarkan dari dalam telaga. Nenek ini melirik ke arah si kakek.
"Orang tua berjubah biru! Pertama kali kau telah menghinaku, dengan menceburkan diriku ke dalam telaga. Kedua kali apakah kau mau membiarkan aku jadi busuk di dalam telaga ini?”
"Ah, rupanya kau sudah merasa bosan berendam dalam air sejuk. Kau ingin naik sekarang?"
"Kalau kau sudah tahu apa perlu aku memerintahkan?" tukas Sinto Gendeng. Si nenek kemudian gigit bibirnya sendiri. Dia sadar kalau kakek itu tak mungkin beranjak untuk mengeluarkannya dari dalam telaga. "Hai dengar, kakiku sebelah bawah dalam keadaan lumpuh. Dua tanganku kaku kena totok. Apakah ada seseorang di sekitar sini yang bisa kau panggil untuk tolong mengeluarkan aku dari dalam telaga?"
Ki Sepuh Tumbal Buwono tersenyum.
"Disini hanya kita berdua. Tak ada orang lain." Menerangkan Ki Sepuh Tumbal Buwono.
"O ladalah! Mati celaka aku di tempat ini!"
"Nek, kau tak usah kawatir. Nanti bakal datang seseorang. Aku bisa minta bantuannya mengeluarkan kau dari dalam telaga."
"Siapa? Mana orangnya?!" Sinto Gendeng tidak sabaran. Tubuhnya mulai menggigil kedinginan karena terlalu lama di dalam air.
"Sabar saja. Sebentar lagi pasti muncul…"’ jawab Ki Sepuh. "Sekarang orang itu sedang kebingungan. Aku harus menolongnya. Membimbingnya dari jauh agar dia bisa cepat sampai di tempat ini dalam keadaan selamat."
"Siapa orang yang kau maksudkan itu?" Sinto Gendeng bertanya.
"Salah seorang istri Kelelawar Pemancung Roh."
"Mengapa berlaku totol menolong istri makhluk jahanam itu?!"
"Perempuan itu, seperti juga sebelas perempuan lainnya adalah korban-korban tak berdaya yang perlu ditolong."
"Hemmm begitu? Orang yang jauh kau tolong, aku yang sudah kedinginan setengah mati kau biarkan. Ki Sepuh, kau pernah mendengar ujar-ujar seperti itu. Mengharap burung di udara, burung dalam celana dilepaskan."
Ki Sepuh Tumbal Buwono tersenyum.
"Nek, kurasa kau keliru mengucapkan ujar-ujar tadi. Ujar-ujar yang aku dengar tidak begitu bunyinya."
Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Benar-benar nenek gendeng. Dalam keadaan seperti itu masih bisa tertawa.
***
BINTANG Malam lari sambil tiada hentinya menangis. Sengsara derita hidupnya selama sepuluh tahun menjadi istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh tidak terperikan. Berbagai cara telah dilaku kannya untuk dapat membebaskan diri. Namun selalu sia-sia. Hanya bunuh diri saja yang belum pernah dipikirkannya. Hari itu derita mencapai puncaknya dengan kematian anaknya. Walau Tuyul Orok berujud bukan seperti manusia, tapi bagai­manapun juga dia adalah anak darah daging yang dilahirkannya. Hari itu dia menyaksikan kematian anak yang malang itu. Dibunuh oleh ayahnya sendiri!
Dalam larinya semula Bintang Malam yang tengah hamil itu tidak tahu mau menuju kemana. Dia berlari sepanjang lorong yang akan membawanya ke tepi pantai. Biasanya begitu dia sampai di pantai puluhan bahkan ratusan kelelawar dan pluhan kelelawar kepala bayi akan terbang berputar-putar mengelilinginya. Mereka telah mendapat perintah dari Kelelawar Pemancung Roh untuk mengawasi siapa saja yang berada di pantai. Kalau sampai ada yang punya niat melarikan diri maka makhluk-makhluk itu sudah diberi wewenang untuk membunuh.
Sekali ini Bintang Malam merasa heran. Dia tahu tiga puluh kelelawar kepala bayi termasuk anaknya telah menemui ajal. Sepuluh di tangan Kelelawar Pemancung Roh, dua puluh di tangan Pendekar 212, Wiro Sableng. Lalu masih ada puluhan kelelawar anak buah Kelelawar Pemancung Roh yang juga telah menemui kematian. Namun masih ada sisa-sisa yang masih hidup sekitar seratusan. Saat itu kelelawar-kelelawar yang masih hidup itu hanya terbang kian kemari di atas pantai. Belasan ekor diantaranya bergelantungan di cabang pepohonan. Tak ada yang mendekati atau mengusik Bintang Malam. Kalau dulu makhluk ini memandang dengan mata menyorot merah dan keluarkan suara beringas, kini semua memperhatikan dengan pandangan sayu.
Bintang Malam tidak sempat memikirkan mengapa binatang-binatang itu kini berada dalam keadaan seperti itu. Dia tengah memikirkan hendak menuju kemana saat itu. Mendadak dia ingat akan ucapan anaknya ketika Tuyul Orok digendongnya, dilarikan dari pantai dibawa ke dalam kamar di dalam bangunan di bawah tanah.
"Ibu, kalau terjadi apa-apa larilah, selamatkan dirimu. Masuk ke dalam Goa Air Biru di kaki Bukit Jati. Disitu ada seseorang yang bisa menolong Ibu…." Ucapan Tuyul Orok terputus karena dadanya yang kena dipukul oleh Wiro terasa sesak dan jalan nafasnya tersendat-sendat. Bintang Malam saat itu tidak memperhatikan apa yang diucapkan anaknya. Dia lari sekencang yang bisa dilakukan, meng­gendong Tuyul Orok, berusaha sampai ke tempat kediamannya di bawah tanah. Siapa menduga kalau sang anak akhirnya justru menemui ajal di kamarnya, dibunuh oleh ayahnya sendiri!
Begitu ingat kata-kata anaknya itu, tanpa pikir panjang Bintang Malam segera lari ke arah utara, menuju Bukit Jati. Bintang Malam tahu dimana letak Bukit Jati dan juga pernah mendengar tentang Goa Air Biru. Namun dia tidak tahu dimana beradanya goa yang konon airnya merupakan satu-satunya sumber air minum Kelelawar Pemancung Roh.
Ketika sang surya condong ke barat, megap-megap kehabisan nafas Bintang Malam sampai di kaki Bukit Jati. Perempuan ini jatuhkan diri di tanah. Dua kakinya tak kuasa lagi dilangkahkan, apa lagi dibawa berlari.
"Gusti Allah…." Bintang Malam menyebut nama Tuhan. "Kalau Kau ambil nyawaku saat ini juga aku ikhlas Ya Tuhan. Tolong, kapan berakhirnya derita ini. Sepuluh tahun…."
Ucapan Bintang Malam terputus ketika tiba-tiba di telinganya mengiang satu suara.
"Perempuan malang, berdirilah. Kuatkan kakimu. Kukuhkan langkahmu. Berjalan seratus langkah ke arah kanan kaki bukit. Kau akan menemui satu pohon kelapa yang hanya, tinggal separuh karena disambar petir. Tiga langkah di belakang pohon itu ada semak belukar. Masuk ke dalam semak belukar. Berjalan lurus-lurus sampai kau menemukan mulut sebuah goa berbatu biru. Masuk ke dalam goa, ikuti jalan berbatu biru yang diapit dua jalur aliran air biru. Di ujung goa ada sebuah telaga. Kau akan menemukan diriku di seberang telaga air biru."
Bintang Malam bangkit berdiri sambil mengusap telinganya. Perempuan ini memandang berkeliling.
"Ada orang mengirimkan suara dari jauh. Setahuku hanya aku dan Kelelawar Pemancung Roh memiliki ilmu mengirimkan suara seperti itu. Orang itu menyuruhku masuk ke Goa Air Biru. Janganjangan itu suara Kelelawar Pemancung Roh. Dia pasti tengah berusaha mencariku. Lalu menjebakku masuk ke dalam goa kemudian meng­habisiku di tempat itu!"
Bintang Malam bingung, hatinya merasa ragu.
"Bintang Malam, buang semua keraguan dihatimu. Lekas berjalan kesini…." Suara mengiang kembali memasuki telinga.
"Anakku mengatakan ada orang di dalam goa yang akan menolongku.
Siapa?" Kembali Bintang Malam bertanya-tanya dalam hati. “Kalau aku menjawab dengan ilmu mengirimkan suara, kawatir orang itu benar-benar Kelelawar Pemancung Roh." Semakin bingung perempuan ini.
"Bintang Malam, cepat. Keselamatanmu lebih terancam jika berada di luar sana."
"Ya Tuhan, kalau ini memang pertolongan dariMu, selamatkan diriku sampai ke dalam goa." Setelah memohon dan berdoa seperti itu, Bintang Malam seolah mendapat kekuatan baru, langkahkan kaki menyusuri kaki Bukit Jati ke arah kanan. Di satu tempat dia menemui pohon kelapa yang disambar petir. Seperti petunjuk suara tadi, di dekat pohon kelapa ini memang ada serumpunan semak belukar lebat. Setelah ragu lagi sejenak akhirnya Bintang Malam menerobos masuk memasuki semak belukar itu. Berjalan beberapa belas langkah dia menemui mulut goa berbatu biru. Bintang Malam masuk. Di dalam goa ada satu jalan kecil dari batu biru, diapit dua aliran air berwarna biru. Bintang Malam melangkah sepanjang jalan batu ini.
Beberapa puluh langkah memasuki goa benar saja, Bintang Malam menemui sebuah telaga cukup besar. Airnya bening berwarna biru. Di seberang telaga dia melihat sosok seorang kakek berjubah biru gombrong, duduk di dalam satu cegukan besar di dinding batu. Bintang Malam membuka mulut hendak bertanya, namun mulutnya langsung terkancing ketika melihat bagaimana keadaan si kakek. Kepala berada dalam kerangkeng besi, kulit sepucat mayat, mata cekung berwarna biru. Perempuan ini letakkan dua tangan di atas dada, menahan kejut menahan takut. Lalu mulutnya keluarkan seruan tercekat sewaktu melihat dan baru menyadari bahwa di dalam telaga di depannya mengambang sesosok tubuh.
***
5
KALAJENGKING PUTIH
DI DALAM telaga Sinto Gendeng memandang tak berkesip pada perempuan yang baru masuk ke dalam goa dan berdiri di tepi telaga dengan wajah takut.
"Ki Sepuh! Apakah perempuan bunting ini orangnya yang bakal menolong diriku keluar dari dalam telaga?" Sinto Gendeng berseru.
Ki Sepuh perhatikan perut Bintang Malam yang buncit lalu angkat tangan kanannya, dilambaikan ke perempuan itu.
"Bintang Malam, kau tak usah takut. Kau berada di tempat yang aman. Kemari mendekat…."
"Orang tua, kau… kaukah yang tadi mengirimkan suara pada saya?" Bintang Malam beranikan diri bertanya.
"Benar, anakmu sering ke sini. Dia pernah bercerita tentang dirimu padaku…."
"Maksud Kakek, Tuyul Orok?"
"Ya."
"Anak itu bernasib malang. Dia telah dibunuh oleh Kelelawar Pemancung Roh, ayahnya sendiri."
Sepasang mata Ki Sepuh Tumbal Buwono terpejam. Bibirnya bergetar. "Durjana, betul-betul durjana."
Perlahan-lahan si kakek buka matanya.
"Bintang Matam, aku Ki Sepuh Tumbal Buwono. Aku akan berusaha menolongmu. Tapi sebelum kau kutolong harap kau menolong dulu nenek itu. Keluarkan dia dari dalam telaga, bawa ke sini, masukkan ke dalam jubahku sebelah belakang."
Sinto Gendeng mengerenyit mendengar kata-kata Ki Sepuh itu. Matanya yang cekung berputar melirik.
Bintang Malam perhatikan wajah dan sosok Sinto Gendeng, belum mau beranjak melakukan apa yang dikatakan Ki Sepuh.
"Kau tak usah takut. Dia cukup jinak dan tidak akan menggigit. Pegang saja kakinya, tarik ke sini." Kata-kata itu diucapkan dengan tersenyum. Walau demikian Sinto Gendeng tetap saja memaki panjang pendek.
"Kakek edan! Kau kira aku ini binatang buas! Enak saja bilang aku cukup jinak, tidak menggigit!"
Ki Sepuh tertawa. Dia memberi isyarat pada Bintang Malam untuk segera mengeluarkan Sinto Gendeng dari dalam telaga. Agak takut-takut perempuan yang tengah hamil muda itu melangkah mendekati telaga. Lalu dia pegang dua kaki Sinto Gendeng.
"Nek, maunya aku ingin menggendongmu. Tapi aku tidak kuat. Lagi pula aku dalam keadaan hamil. Aku terpaksa, menarik kakimu."
Sinto Gendeng merengut. "Sudah, jangan banyak bicara. Cepat keluarkan aku dari dalam telaga. Bagaimana caranya terserah kamu!"
Walau tubuh kurus si nenek tidak berat namun cukup susah bagi Bintang Malam menariknya, membawanya ke belakang Ki Sepuh.
"Aduh, tidak sangka. Beratnya tubuhmu Nek," kata Bintang Malam.
"Daging dan tulangnya tidak seberapa. Dosanya yang berat," ujar Ki Sepuh. Lagi-lagi sambil tersenyum dan lagi­lagi membuat Sinto Gendeng mengomel.
Sesuai yang diperintahkan, begitu sampai di belakang si kakek, Bintang Malam angkat ke atas jubah gombrong Ki Sepuh lalu masukkan sosok Sinto Gendeng ke dalam jubah.
"Hai! Kalian berdua pasti sudah edan! Apa-apaan ini! Mengapa aku dimasukkan ke dalam jubah bau apak ini!! Kakek kurang ajar! Kau pasti punya maksud tidak senonoh!" Dari dalam jubah gombrong Sinto Gendeng ber­teriak.
"Itu tempat paling aman bagimu. Agar kau selamat." Berkata Ki Sepuh.
Sinto Gendeng memaki.
“Aku tidak bermaksud jahat. Yang aku lakukan adalah menolongmu sebisaku. Aku tak punya kekuatan apa-apa. Kau dalam keadaan tidak berdaya. Bukankah lebih penting cari selamat dari pada mengomel dan memaki?!”
Sinto Gendeng terdiam mendengar ucapan Ki Sepuh Tumbal Buwono itu. Tapi sesaat kemudian terdengar ucapannya dari balik jubah. "Baik! Aku tak tahu apa arti dan maksud semua ini. Tapi aku tidak mau lama-lama disini. Dan ada satu syarat! Asal kau tidak kentut saja! Kalau sampai kau kentut amblas hidungku!”
Aku janji tidak akan kentut. Asai kau juga berjanji."
"Janji apa?" tanya Sinto Gendeng.
"Asal kau tidak kencing!" jawab si kakek.
Sinto Gendeng terdiam lalu tertawa cekikikan.
"Kau kakek-kakek lucu!"
"Kau juga nenek-nenek lucu. Siapa kau adanya?"
"Aku tak akan memberitahu sebelum tahu banyak tentang dirimu!" Jawab Sinto Gendeng.
"Begitu? Baik. Tanyakan apa yang kau mau tanya. Kau sudah tahu namaku. Jadi tak perlu ditanyakan lagi. Mungkin kau mau menanyakan apa aku punya istri?"
"Manusia edan! Siapa yang mau menanyakan hal itu padamu! Buat apa!"
Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa mengekeh. "Siapa tahu kau naksir padaku. Ingin tahu apa aku masih sendirian atau bagaimana."
"Amit-amit jabang monyet! Siapa suka padamu. Aku tidak! Walau aku tahu hatimu mungkin baik!"
"Nah tepat dugaanku!"
"Dugaan apa?" tanya Sinto Gendeng.
"Kalau seorang nenek mulai memuji seorang kakek, berarti si nenek ada hati pada si kakek. Bukan begitu? Aduh…!" Ki Sepuh terpekik. "Nenek jahil! Apa yang kau lakukan?!"
"Sekali lagi mulutmu bicara usil, akan kugigit lagi punggungmu!"
Bintang Malam walau dalam bingung mau tak mau jadi tertawa melihat kelakuan dan mendengar bicara sepasang kakek nenek itu.
"Ba… baik. Aku tidak akan usil lagi. Sekarang ayo tanyakan apa yang hendak kau ketahui."
"Kawasan Teluk Akhirat adalah sarangnya Kelelawar Pemancung Roh. Kau berada di tempat ini. Dalam keadaan di kerangkeng kepala sebelah atas! Aku tidak tahu apa kepalamu sebelah bawah juga dikerangkeng…."
"Nah Nek! Ternyata mulutmu yang bicara usil! Tapi aku tidak akan menggigit punggungmu atau pinggulmu. Ha… ha… ha!"
"Tua bangka ganjen! Katakan apa hubunganmu dengan Kelelawar Pemancung Roh!"
"Dia muridku," jawab Ki Sepuh. Suaranya perlahan saja tapi membuat kejut bukan alang kepalang pada Sinto Gendeng dan Bintang Malam. Kalau tidak dapat menahan, saat itu rasanya hampir terpancar air kencing si nenek. Jika kakek ini memang benar guru Kelelawar Pemancung Roh musuh besarnya itu, bukankah berarti saat itu sama saja dia berada dalam sarang harimau?
Bintang Malam sendiri memang pernah mendengar kabar tentang seorang penghuni aneh di Goa Air Biru. Tapi dia tidak tahu siapa adanya dan Tuyul Orok tidak pernah bicara padanya.
"Nek, kenapa kau diam? Apa pertanyaanmu cuma satu tadi itu saja?" Ki Sepuh menegur.
Dengan suara bergetar Sinto Gendeng berkata. "Ketahuilah, muridmu itulah yang telah membuat aku lumpuh begini rupa. Dia meracuni diriku dengan Seribu Hawa Kematian."
"Tidak heran." Sahut si kakek.
"Eh, apa yang tidak heran?!" tanya Sinto Gendeng.
"Aku saja diperlakukannya seperti ini. Apa lagi orang lain."
Sinto Gendeng keluarkan suara tercekat. Bintang Malam terbelalak.
"Kek, jadi Kelelawar Pemancung Roh yang membungkus kepalamu dengan kerangkeng besi ini?"
"Sejak lima tahun yang lalu. Aku benar-benar dibuatnya sengsara…."
"Mengapa dia melakukan kekejaman begini keji terhadapmu, Kek?" tanya Bintang Malam.
"Ya, ya. Mengapa?" Ikut menyambung Sinto Gendeng.
"Dia memaksaku memberikan beberapa ilmu terlarang. Aku menolak. Ketika dia memaksa sambil mengancam akhirnya aku berikan satu dari lima ilmu yang dimintanya. Yakni Ilmu Seribu Hawa Kematian. Tapi tetap saja dia minta yang empat lainnya. Ketika aku menolak, kepalaku dijebloskannya ke dalam kerangkeng besi ini. Aku menyesal seumur-umur telah memberikan ilmu itu pada­nya. Lebih baik dia membunuhku dari melihat dia men­celakai sekian banyak orang. Tapi penyesalan tak ada gunanya. Semua sudah terjadi."
"Murid terkutuk. Murid murtad!" Rutuk Sinto Gendeng.
"Selama lima tahun dikerangkeng begini, bagaimana kau makan, bagaimana kau minum Kek?" tanya Bintang Malam.
"Ya, bagaimana kau kencing, bagaimana kau berak?" Sinto Gendeng menyambung pertanyaan Bintang Malam.
"Aku tak pernah diberi makan. Kelelawar peliharaan murid terkutuk itu setiap hari dua kali datang ke sini untuk menolong memberi aku minum. Air dari telaga itu. Aku tak pernah kencing. Air yang ada dalam tubuhku keluar sebagai keringat. Aku juga tak pernah buang air besar. Kalau aku kencing dan buang air besar pasti tempat ini sudah kotor dan busuk."
"Aneh…" ucap Bintang Malam.
"Luar biasa," ujar Sinto Gendeng.
"Nek, Kelelawar Pemancung Roh meracunimu, membuat kau lumpuh tentu ada sebabnya. Silang sengketa apa yang ada diantara kalian?"
"Empat puluh tahun lalu aku bersama orang-orang Kerajaan menumpas kaum pemberontak di kawasan selatan ini. Delapan pentolan pemberontak yang ada sangkut paut darah dengan Kelelawar Pemancung Roh aku habisi. Salah seorang diantaranya adalah ayah kandungnya. Dia muncul membalaskan dendam kesumat. Kakek rambut putih, apapun yang dibuat muridmu, apapun yang jadi pangkal sebabnya, kau harus ikut bertanggung jawab. Keadaan dirinya seperti sekarang satu bukti kau tidak bisa mendidiknya!"
Ki Sepuh menarik nafas dalam. "Terima kasih untuk ucapanmu itu. Aku telah menerima hukuman atas kebodohanku sendiri."
"Kek, dengan kesaktianmu apa kau tidak bisa mem­bebaskan diri?" tanya Bintang Malam.
"Kelelawar Pemancung Roh memiliki ilmu yang membuat lawan tak berdaya secara aneh. Aku tahu nama ilmu itu tapi tidak tahu dari mana dia mendapatkan. Salah satu diantaranya adalah ilmu Iblis Menyedot Segala Daya. Dengan ilmu itu dia telah menyedot seluruh tenaga dalam, hawa sakti dan sebagian tenaga luarku. Aku hanya mem­punyai kekuatan untuk bicara, makan minum, mengangkat dua tanganku, menggeser kaki. Lain dari itu aku tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan sejak lima tahun dirangket seperti ini aku jarang sekali bisa tidur…"
"Muridmu yang jahanam itu pasti juga telah menotok jalan darahku hingga, aku tidak bisa menggerakkan dua tangan. Berulang kali aku mengerahkan tenaga dalam untuk membebaskan diri tapi selalu tak berhasil. Mungkin kau tahu caranya agar aku bisa bebas?"
"Nek, dia pasti telah menotokmu dengan ilmu totokan yang disebut Totokan Tiga Lapis Jalan Darah. Kabarnya jarang ada orang sakti yang mampu membebaskan totokan itu. Namun aku juga mendengar kabar ada beberapa senjata tertentu yang mampu memusnahkan totokan itu."
"Mungkin tusuk konde yang ada di kepalaku!" Kata Sinto Gendeng.
"Mungkin tidak. Karena kalau tusuk kondemu itu cukup sakti, pada waktu dirimu ditotok pasti sudah menolak totokan."
"Sialan!" Maki Sinto Gendeng dalam hati begitu men­dengar ucapan Ki Sepuh.
"Selain Kelelawar Pemancung Roh, hanya sengatan Kalajengking Putih yang bisa membebaskan dirimu dari totokan itu." Ki Sepuh berikan keterangan tambahan.
"Kalajengking Putih? Edan! Baru sekali ini aku mendengar ada Kalajengking berwarna putih. Dimana bisa ditemukan? Ki Sepuh, kau tahu obat atau apa saja yang bisa menyembuhkan kelumpuhanku akibat racun Seribu Hawa Kematian?"
"Kelelawar Pemancung Roh satu-satunya orang yang memiliki obat itu di muka bumi ini. Dia mencurinya dari aku."
"Obat apa? Bagaimana bentuknya? Dimana disimpannya?"
"Obatnya semacam cairan yang dibuat dari minyak bunga matahari langka. Yang tumbuh menghadap mata­hari terbit dan mekar pada tengah malam buta, waktu bulan gelap…."
"Jadi bukan waktu matahari gerhana?" potong Sinto Gendeng.
"Bukan," jawab Ki Sepuh lalu meneruskan keterangannya. "Malam gelap tanpa bulan sama saja dengan gelapnya waktu terjadi gerhana matahari."
Sepasang mata Sinto Gendeng berputar. Dia menanam­kan ucapan si kakek dalam benaknya.
"Mengenai cairan bunga matahari yang ada pada murid-mu itu. Kau tahu dimana dia menyimpannya?"
“Minyak itu disimpan dalam telur penyu yang sudah kering. Dimana murid murtad itu menyimpannya aku tidak tahu. Mungkin sekali selalu dibawanya kemana-mana”
"Ada yang mengatakan bunga matahari itu tumbuh di puncak Pegunungan Dieng…."
"Betul," membenarkan Ki Sepuh. "Tapi beberapa waktu lalu waktu musim kemarau yang sangat panjang, pernah terjadi kebakaran besar di Pegunungan Dieng. Bunga matahari yang tumbuh disana mungkin ikut musnah semuanya bersama pepohonan lain."
"O ladalah, sialnya nasibku! Naga-naganya aku tak bisa sembuh dari kelumpuhan celaka ini!" keluh Sinto Gendeng dalam hati.
"Ki Sepuh…."
"Diam, jangan keiuarkan suara." Si kakek memotong ucapan Sinto Gendeng. "Aku mendengar suara orang mendatangi tempat ini. Bintang Malam, lekas kau masuk
ke dalam jubahku di samping si nenek."
"Kek…."
"Aku sudah tahu siapa yang datang…." Ucap Sinto Gendeng.
"Jangan bicara! Bintang, masuk cepat! Mendekam di samping si nenek. Jangan ada yang bicara. Jangan ada yang bergerak. Usahakan menahan nafas!"
Mendengar ucapan Ki Sepuh Tumbal Buwono tanpa banyak membantah lagi Bintang Malam segera menyelinap masuk ke bagian belakang jubah gombrong si kakek.

TAMAT
SEGERA TERBIT :
DOSA YANG TERSEMBUNYI


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...