Senin, 01 Februari 2010

Teluk Akhirat

posted by: Dunia Andromeda
Wiro Sableng
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya : bastian Tito

I
TANTANGAN DI KAMAR 
PENDEKAR 211 Wiro Sableng garuk-garuk kepala, memandang wajah cantik Pelangi Indah yang du- duk di tepi pembaringan besar. Di dalam kamar itu hanya mereka berdua. Sosok Pelangi Indah, pimpinan kelompok para gadis cantik yang disebut Bumi Hitam mengenakan sehelai jubah hitam terbuat dari sutra. Walau kamar besar itu hanya diterangi lilin kecil namun ketipisan pakaian yang berlaku Pelangi Indah membuat Wiro dapat melihat jelas setiap lekuk tubuh si gadis. Wiro ingat kembali ucapan Eyang sinto Gen- deng ketika dia memaksa mendapatkan ilmu kesaktian bernama Sepasang Inti Roh. Si nenek berkata, bahwa selama dirinya masih suka pada wajah cantik, senang melihat keindahan tubuh mulus perempuan, maka dia harus menunggu 49 tahun untuk mendapatkan ilmu Kesaktian Sepasang Inti Roh itu. Kini bukan saja dia tengah ditantang dalam satu tes sangat besar, tetapi juga berada dalam kondisi bingung karena tidak mengetahui dimana berada Eyang sinto Gendeng dan apa yang terjadi dengan Sang guru. Wiro kembali memperhatikan wajah cantik dan sosok Pelangi Indah yang menggairahkan. 
Dalam hati dia membatin. "Kalau aku berlama-lama dalam kamar ini, bisa-bisa lupa diri dan melakukan apa saja yang diinginkan gadis cantik ini. 
Budi pertolonganku menemukan kalung kepala srigala itu bisa di salah artikan. 
Jan- gankan tubuhnya, jiwanya mungkin diserahkan pada- ku ". 
Wiro menghela napas dalam. 
"Wiro, apa yang ada dalam pikiranmu?" Tiba- tiba Pelangi Indah bertanya. 
"Maafkan aku Pelangi. Aku tak mungkin mengabulkan permintaanmu ... " 
"Aku mengajukan beberapa permintaan pada-mu. Permintaanku yang mana yang tidak mungkin kau kabulkan? "kembali si gadis bertanya.
 "Aku tak mungkin berada di kamar ini sampai pagi. Aku harus segera pergi. Aku harus berterima kasih padamu dan semua gadis di sini. Karena telah menyelamatkan diriku dari pukulan beracun Ki Tawang Alu. Aku berutang budi dan nyawa .... " Diantara kita tidak ada hutang budi dan nyawa. Kau menolongku, aku menolongmu. Memang begitu harkat hidup manusia ... 
Mengapa kau tidak bersedia menghabiskan malam ini bersamaku Wiro? Kau harus segera pergi. Pergi ke mana.? Wiro menggaruk kepalanya kembali. 
"Pelangi Indah sebenarnya aku ingin sekali berlama-lama di tempat ini. Namun aku sangat mengkhawatirkan keselamatan guruku Eyang sinto Gendeng. Nenek sakti itu lenyap entah kemana. Tapi aku sudah tahu siapa yang punya pekerjaan. Kakek muka putih yang bernama Tawang Alu itu ..! 
Pelangi Indah menatap dalam-dalam ke mata pendekar 212. Di bibirnya menyeruak senyum tipis. 
"Aku tahu dia memang mengkhawatirkan keamanan gurunya. Tapi satu hal yang tidak kuduga ternyata pendekar ini tidak seperti yang diceritakan orang. Dia bukan pemuda hidung belang. Dia berlindung dibalik rasa khawatir terhadap keselamatan gurunya. Padahal dia ingin menghindari ajakan untuk memenuhi kobaran hasrat pada diriku. Ternyata Pendekar 212 orang pemuda beriman teguh. Sayang nasib malang ku ru- panya bakal berkepanjangan. Cepat atau lambat kutukan itu pasti akan datang lagi. Semoga kalung kepala srigala tetap aman di tanganku. " 
"Wiro, apakah kau menolak bermalam di sini karena kau tak ingin mengkhianati Anggini? " Murid sinto Gendeng terkejut mendengar uca- pan Pelangi Indah itu. 
"Kau kau kenal dengan gadis itu? " Pelangi Indah menggeleng. 
"Melihatnya-pun aku belum pernah. Tapi aku yakin dia tentu seorang gadis sangat cantik ... " "Jika tidak kenal, belum pernah melihatnya lalu bagaimana ..? 
"Beberapa waktu itu dedengkot rimba persila- ton yang berjuluk Dewa Tuak pernah datang ke sini. Dia memberi tahu perihal perjodohanmu dengan mu- ridnya yang bernama Anggini. Dia menghabiskan ba- nyak waktu untuk mencarimu ... " 
"Kakek satu itu! Dia kakek yang paling baik di dunia ini. Aku tidak mengerti mengapa dia terlalu ber- harap pada diriku. Mulutnya memang sering berucap, tapi siapa yang percaya. Soal perjodohan ku dengan muridnya yang bernama Anggini itu, suka-sukanya sendiri. Aku tidak merasa di perjodohkan. " 
"Pelangi Indah terdiam sesaat. Bibirnya kembali menyeruakkan senyum. Di lubuk hatinya muncul se- kelumit harapan. Lalu gadis ini bertanya. 
"Wiro apakah kau juga menolak permintaanku untuk menduduki jabatan yang ditinggalkan Ki Ta- uang Alu? " 
"Kau memberikan satu kehormatan dan keper- cayaan sangat besar kepadaku, Pelangi Indah. Demi- kian besarnya sampai aku tidak berani menerima per- mintaanmu ... " Bayangkan rasa kecewa tampak di wajah can- tik Pelangi Indah. 
"Ketahuilah, permintaan yang satu itu bukan cuma datang dariku. Tapi juga merupakan permintaan semua gadis di Bumi Hitam ini. Mereka sekarang berada di luar. Menunggu jawabanmu. Mere- ka akan sangat kecewa jika kau menolak. Harapan me- reka setinggi langit sedalam lautan ... " 
"Aku mohon maaf. Mungkin ... Mungkin kita bisa bertemu dan bicara lagi setelah aku menemukan Eyang sinto Gendeng. Sekarang aku mohon diri ...
 " Pelangi Indah bangkit dari tepian ranjang. Kini dia tegak berhadap-hadapan dengan Pendekar 212. Diam sesaat lalu seperti tidak ingin dinas selamanya dipeluknya sang pendekar. Kepalanya disandarkan ke dada bidang Wiro. Murid sinto Gen- deng merasa betapa hangatnya tubuh gadis itu. Jan- tung mereka seolah berdetak menjadi satu. "Maafkan aku Pelangi. Aku berjanji akan da- tang menyambangimu lagi di puncak Merapi ini ... "Wi- ro membelai punggung si gadis lalu mencium kening- nya.
 "Aku tahu, aku tidak bisa menahanmu, apalagi punya perasaan ingin memiliki mu, "kata Pelangi Indah tapi hanya terucap di dalam hati. 
Pelangi memeluk tubuh Pendekar 212 erat-erat. Lalu perlahan-lahan dinas rangkulannya. Dua tangannya bergerak ke belakang kepala, menyelinap di balik rambut yang panjang hitam. Jari-jarinya melepas ikat kepala sutra hitam yang bertempelkan sebuah mutiara hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata.
 "Terimalah ikat kepala ini sebagai pengiring se- Lamat jalan. Jika batu permata di permukaan kain kau usap, maka akan ada satu getaran gelombang sam- bung rasa antara kau dan aku. Dan aku akan tahu bahwa kau tengah mengingat diriku, ingin bertemu dengan diriku. Mudah-mudahan aku bisa muncul di depan mu ... "
 Pendekar 212 merasa heran mendengar ucapan itu. 
"Apakah gadis ini memiliki kekuatan gaib yang bi- sa memunculkan dirinya di hadapanku dengan cara mengusap batu hitam di atas kain ikat kepala? 
"Wiro hendak bertanya. Tapi Pelangi Indah memasukkan ikat kepala itu ke dalam genggaman Wiro seraya berkata. 
"Simpanlah baik-baik. Jika kain itu kau ikatkan di kepalamu, kau bisa melihat bayangan diri- ku. Jika kain itu kau pergunakan sebagai senjata, mu- dah-mudahan dia bisa menjadi senjata yang bisa me- lindungi dirimu ...  "Aku ... Ini benda sangat berharga. Aku tidak bisa menerimanya Pelangi. Ikat kepala ini pasti sangat berguna untuk dirimu ... " 
"Juga untuk dirimu," bisik Pelangi Indah.
 Wiro terpaksa menyimpan ikat kepala sutra hitam itu di balik pakaiannya.

***

II
MISTERI NYAWA KELELAWAR PEMANCUNG ROH
SETELAH melihat Wiro menyimpan kain sutra ikat kepalanya, Pelangi Indah berkata. "Dari para gadis aku mendapat kabar bahwa gurumu Eyang sinto Gendeng berada dalam kondisi lumpuh akibat terkena Seribu Hawa Kematian. Dan kau tengah berusaha mencari mahluk bernama Kelelawar Pemancung Roh ...
" Wiro mengangguk. "Mahluk itu memiliki kesak- tian luar biasa. 
Para gadis anak buahmu memberikan beberapa petunjuk. Mungkin kau bisa menambahkan apa yang harus aku lakukan jika berhadapan dengan mahluk itu. Mungkin kau tahu kelemahannya! " 
"Mahluk apa itu bisa dikatakan tidak mem- nyai kelemahan. Karena nyawanya tidak ada di dalam tubuhnya. Di apakan-pun dia tidak bakal bisa mene- mui kematian. Konon nyawanya ada pada satu mahluk lain yang tidak pernah menginjakkan kakinya di ta- nah ... " 
"Mahluk apa itu? Setan, Jin ...?" tanya Wiro.
 "Sulit diduga. Rahasianya tidak mungkin dis- ingkapkan kalau tidak mendatangi sarangnya di Teluk Akhirat. Tapi pergi ke Teluk Akhirat sama saja dengan mengantar nyawa mencari kematian ... " 
"Kau tahu dimana letak Teluk Akhirat?" 
"Pergilah ke selatan. Ikuti aliran Kali Opak sampai kau sampai di muaranya. Di situ ada sebuah desa bernama Kretak. Lanjutkan perjalanan ke arah matahari terbit. Sebelum kau sampai di Parangtritis, kau akan menemukan satu teluk kecil dipenuhi ratu- san bahkan mungkin ribuan kelelawar. Itulah Teluk Akhirat. Tempat kediaman iblis bernama Ke- lelawar Pemancung Roh. Walau teluk itu kecil saja tapi tidak mudah menemukan Kelelawar Pemancung Roh. Satu hal harus kau ingat baik-baik Wiro. Semua kelelawar yang ada di teluk itu bukan kelelawar biasa. Mereka adalah binatang peliharaan Kelelawar Pemancung Roh. Yang bisa diperintahkan untuk membunuh dan men- guliti siapa saja. Jangankan manusia, seekor gajahpun bisa menjadi tinggal tulang belulang hanya dalam be- berapa kejapan mata. Kau benar-benar harus berhati- hati ... " 
"Terima kasih," kata Wiro sambil memegang lengan Pelangi Indah, membuat si gadis menjadi terge- tar dadanya. 
"Para gadis sudah lama menunggu di luar. Jika tidak ada hal lain yang ingin kau tanyakan kuharap kau mau bilang sendiri pada mereka. Bahwa kau tidak bersedia bergabung dengan kami ... 
" Wiro coba tersenyum. Dipeluknya tubuh si ga- dis erat-erat lalu diciumnya ke dua pipi dan kening Pe- langi Indah. Ketika Wiro mencium sepasang mata si gadis terasa ada perasaan. Dia melangkah ke pintu. Di halaman depan rumah panggung besar, be- lasan gadis cantik anggota Kelompok Bumi Hitam yang sebelumnya duduk di bangku panjang terbuat dari ba- tang kelapa segera bangkit berdiri ketika melihat Wiro menuruni tangga rumah, diiringi pimpinan mere- ka. Di depan sekali terlihat Mentari Pagi dan Rembu- lan. Di sebelah kiri mereka berdiri fajar menyingsing dan Embun Pagi, dua gadis dalam kelompok Mentari Pagi dan Rembulan yang pertama sekali bertemu den- gan Wiro dan secara "keroyokan" pernah mencium Pendekar 212. Semua mereka tidak satupun yang mengenakan kerudung hitam sampai wajah mereka yang cantik terlihat jelas. 
"Agaknya pimpinan kita tidak berhasil mena- han Pendekar 212 ... "berbisik Rembulan. 
"Aku sudah menduga," jawab Mentari Pagi. 
"Kau kecewa? Mungkin lebih berat dari kecewanya Pe- langi Indah? " 
Sekilas tingkat Rembulan terlihat kemerahan. Gadis satu ini sejak pertemuan pertama dengan Pen- dekar 212 memang telah jatuh hati. Tidak bisa dis- alahkan karena bukan cuma Rembulan, diam-diam semua gadis anggota kelompok Bumi Hitam, termasuk Mentari Pagi dan sang pimpinan mereka sendiri telah menaruh hati pada sang pendekar. 
"Aku tidak munafik mengakui padamu bahwa aku menyukai pemuda itu. Tapi siapa diantara kita yang tidak menaruh hati padanya? Termasuk kau bahkan pemimpin kita Pelangi Indah. " 
Kini tingkat Mentari Pagi yang terlihat keme- rah-merahan mendengar kata-kata Rembulan itu. Se- benarnya Mentari Pagi memang telah pula tertambat hatinya pada murid sinto Gendeng itu. Tetapi dia terla- lu sombong untuk mau mengakui. Wiro perhatikan wajah-wajah cantik di hada- pannya. Ketika dia memandang pada Pelangi Indah, gadis ini anggukkan kepala memberi sinyal. Wiro ga- ruk kepala, disambut senyum oleh semua gadis. "Aku, aku sebenarnya ingin bicara banyak. Tapi menghadapi kalian yang cantik-cantik semua aku jadi kikuk, susah bicara ... " 
Para gadis anggota Bumi Hitam tertawa riuh. Salah seorang di belakang sana bernama Lembayung berkata. "Sudah, kau tak usah bicara. Tegak saja ber- diam diri. Biar kami memandangi! Biar kau tambah kikuk! " 
Gelak tawa memenuhi halaman rumah besar. Membuat murid sinto Gendeng kembali garuk-garuk kepala. 
"Pemimpin kalian, dan juga kalian semua telah menolongku, menyelamatkan jiwaku dari pukulan be- racun Ki Tawang Alu. Aku sangat berterima kasih dan tidak bakal melupakan budi baik kalian ... " 
Lembayung yang tadi bicara kembali membuka mulut. 
"Kami tidak mau dengar ucapan itu. Yang kami ingin tahu adalah apakah kau menerima permintaan pemimpin kami menjadi pengganti Ki Tawang Alu, menjadi Wakil Ketua Kelompok Bumi Hitam?! " 
"Permintaan kalian sudah disampaikan oleh Pe- langi Indah. Aku sangat berterima kasih atas kehorma- ton dan kepercayaan itu. Tapi para sahabatku, saat ini aku tidak bisa membuat keputusan. Kalian semua ta- hu. Guruku Eyang sinto Gendeng diculik oleh Ki Ta- uang Alu. Dirinya dalam bahaya. Aku harus mencari dan nenek itu ... " "Kami semua akan membantu!" gadis di sebelah belakang kembali membuka mulut. "Terima kasih. Apapun yang terjadi dengan Eyang sinto Gendeng, aku muridnya memiliki ke- wajiban dan tanggung jawab seluruh tangan mencari dan menyelamatkan. Kalian tidak perlu merepotkan di- ri ... " 
"Kami justru senang dibikin repot olehmu! Hik ... hik! "Kembali Lembayung berucap. Kembali pula tempat itu dipenuhi gelak tawa para gadis. Kembali tempat itu dipenuhi gelak tawa para gadis. "Pimpinan," Rembulan maju dua langkah ke depan Pelangi Indah. 
"Jika benar Ki Tawang Alu yang menculik guru Pendekar 212, besar kemungkinan dia menyekap nenek itu di Lembah Belibis. " Pelangi Indah mengangguk walau diam-diam dia merasa tidak enak dengan perbuatan dan ucapan Rembulan yang dirasakannya mendahului dirinya. Se- benarnya pimpinan para gadis cantik Kelompok Bumi Hitam ini sudah menduga begitu, namun karena su- dah punya rencana sendiri dia tidak mau mengung- kapkan. Kini terlanjur anak buahnya telah memberi tahu maka Pelangi Indah terpaksa anggukkan kepala. 
"Mohon aku diberi tahu dimana letak Lembah Belibis itu, 
"Wiro berkata seraya memandang pada Rembulan. Sadar kalau tadi dia merasa bicara mendahului pimpinannya, kali ini Rembulan tidak berani menja- wab pertanyaan Pendekar 212. 
"Beritahukan padanya Rembulan," tiba-tiba Pe- langi Indah berkata. Sedikit kikuk Rembulan akhirnya menerang- kan. 
"Di kaki tenggara Gunung Merapi ada satu kali kecil. Ikuti pula itu, kau akan sampai ke sebuah lem- bah. Itulah Lembah Belibis. Mudah menemukannya karena di situ banyak burung-burung belibis. " 
"Terima kasih. Aku akan segera menuju ke sa- na ... " 
Tiba-tiba Lembayung kembali bersuara. 
"Pen- dekar 212! Bagaimana kalau ternyata Tawang Alu menculik gurumu bukan untuk maksud jahat? " 
Sepasang mata Wiro Sableng membesar semen- tara dua alis Pelangi Indah naik ke atas, matanya me- mandang tajam ke arah Lembayung.
 "Apa maksudmu Lembayung?" tanya Pelangi Indah. 
"Mati aku, aku tadi cuma mau bercanda!" kata Lembayung dalam hati. 
"Lembayung?!" suara Pelangi Indah mengeras. 
"Maafkan saya pimpinan. Maafkan diriku Pen- dekar 212. Maksudku, siapa tahu Tawang Alu bukan bermaksud jahat. Dia menculik gurumu karena dia suka pada Eyang sinto Gendeng ... " 
Sunyi, tak ada suara. Hanya semua mata me- mandang pada Lembayung yang diam-diam jadi keta- kutan karena dipelototi oleh sekian banyak pasang mata, termasuk mata Pendekar 212 dan Pelangi Indah. 
Wiro garuk-garuk kepala. Senyum di bibirnya. Lalu mulutnya terbuka. Bibirnya bergetar. Suara tawa keluar dari mulut itu. Pertama pelan, lalu makin keras. Semua yang ada di situ, termasuk Pelangi indah sendiri tidak dapat menahan diri. Gelak tawa un- tuk kesekian kalinya terdengar riuh. Lembayung tersenyum lega. Tapi satu tangan tahu-tahu menyusup menjewer telinganya. 
"Lembayung. Lembayung! Dari dulu mulutmu selalu usil! Dasar gadis nakal! "

 ***

III
GOA KEMATIAN 
SEPERTI yang dijelaskan Rembulan, di kaki gunung sebelah tenggara Wiro menemukan satu kali kecil. Saat itu sang surya belum lama terbit. Setengah harian dia mengikuti kali itu ke arah hulu. Di satu tempat dia mulai melihat burung-burung belibis beter- bangan rendah. Wiro berjalan terus, bahkan kini mulai berlari. Tak lama kemudian di satu tempat ketinggian dia hentikan larinya. Di balik tanah tinggi itu terben- tang sebuah lembah yang hanya ditumbuhi satu jenis pohon aneh berdaun kemerah-merahan. Batu-batu be- sar bertebaran dimana-mana. Burung-burung belibis beterbangan di udara namun banyak pula yang hanya bertengger di cabang pohon, mendekam di atas beba- tuan atau berjalan berombongan di tanah. 
"Lembah Belibis. Lembah aneh ..." membatin Pendekar 212 sambil memandang berkeliling. 
"Dimana aku menemukan kakek jahanam bernama Tawang Alu itu?! " Wiro kembali memperhatikan kondisi sekitar lembah. Selain burung-burung belibis, bebatuan dan pohon-pohon berdaun merah, tak ada benda lain yang dilihatnya.
 "Aku harus berteriak memanggil jahanam itu!" pikir Wiro. Maka dia kerahkan tenaga dalam lalu berte- riak. 
"Tawang Alu! Dimana kau?! Jangan sembunyi! Perlihatkan dirimu! " Suara teriakan Wiro mengumandang di seante- ro lembah, bergaung panjang. Cukup lama baru le- nyap. Tak ada jawaban, tak ada gerakan. Wiro kembali berteriak. Sampai tiga kali. Dia jadi kesal sendiri. 
"Ja- hanam! Agaknya aku harus memeriksa setiap sudut lembah ini! "Wiro memaki. Dia melompat ke satu mil besar. Dari pada batu dia memandang berkeliling. Tiba- tiba bola matanya membesar. Di kejauhan di sebelah timur sana dia melihat kelompok batu-batu bersusun membentuk dinding, panjang tiga tombak tinggi dua tombak. Dari sela-sela batu terlihat asap mengepul tipis. 
"Ada asap berarti ada api. Ada api berarti ada manusia di tempat itu! 
"Tanpa tunggu lebih lama Wiro segera lari ke arah susunan bebatuan. Dia sengaja melompat dari satu batu ke batu lain. Di depan dinding susunan batu Wiro berhenti. Memperhatikan setiap sudut sambil kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia harus berlaku waspada. Bukan mustahil tiba-tiba saja dia dibokong orang. Asap ternyata berasal dari balik susu- nan batu. 
"Aku harus menyelidik ke belakang dinding batu ini! "Wiro melompat ke kiri, ke arah susunan batu paling rendah. Dari sini dia naik ke urutan batu yang lebih tinggi-Di tempat paling tinggi, ketika dia me- mandang ke bawah, terlihat sebuah goa batu. Ter- sebenarnya asap yang menembus susunan dinding batu be- rasal dan keluar dari dalam goa ini. "Pasti bangsat itu berada di sana! Mudah- mudahan aku tidak terlambat! Kalau Eyang sinto Gendeng sampai dibunuhnya akan ku kuliti jahanam bernama Tawang Alu itu! " 
Wiro menuruni gundukan susunan batu, lang- sung ke arah mulut goa. Baru saja dia berkelebat tu- run dan sampai di depan mulut goa tiba-tiba satu sua- ra bergelak mengumandang di tempat itu. Kembali Wiro menyangka suara tertawa itu keluar dari dalam goa. Ternyata ketika dia menoleh ke belakang tahu-tahu sosok kakek berjubah hitam bermuka putih Ki Tawang Alu berada di belakangnya, tegak bersandar ke dinding batu. 
"Setan alas! Sembunyi dimana tadi jahanam ini. Mengapa aku tidak melihatnya! "Memaki Pendekar 212 Wiro Sableng lalu tangan kanannya mulai dari siku sampai ke ujung jari mendadak berubah putih seperti perak, berkilauan terkena sorotan sang surya. Ki Tawang Alu tertawa panjang. Mendongak ke langit. Tangan kanannya yang hancur diremukkan Wi- ro tampak dibalut. Sementara lengan kiri jubahnya ke- lihatan bergontai-gontai dan masih basah oleh darah. Dalam perkelahian sebelumnya tangan kiri itu telah dibikin buntung oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. 
"Dua tangannya cidera, tak mungkin dipergu- nakan. Tapi dia masih bisa petatang-peteteng unjuk- kan sikap tidak takut padaku. Pasti ada sesuatu yang diandalkan. Lebih baik aku hantam dia sekarang juga! " 
Wiro gerakkan tangan kanannya. Ki Tawang Alu kembali tertawa panjang. Tan- gan kanannya yang dibalut diangkat ke atas. 
"Pukulan Sinar Matahari! Kau ingin menye- rangku dengan pukulan itu! Ha ... ha ... ha! Aku siap me- nerima! Aku tidak akan menghindar! Tapi jangan lupa! Kematian diriku tidak akan menyelamatkan gurumu dari renggutan maut! Ha ... ha ... ha! " 
"Tawang Alu keparat! Dimana kau sekap guru- ku?! "teriak Wiro. 
"Kau murid baik! Jadi kau ingin melihat dan membantu gurumu? Ha ... ha ... ha! ikuti aku anak muda! Ikuti aku! Ha ... ha ... ha! " 
Sambil terus tertawa Ki Tawang Alu berkelebat ke arah mulut goa yang dari dalam keluar berge- lung asap putih. Di mulut goa kakek muka putih ini berhenti sejenak, memandang ke arah Wiro, menunggu untuk melihat apakah Wiro mengikutinya atau tidak. Ternyata Pendekar 212 hanya tegak di depan mulut goa, memandang padanya dengan tampang geram. 
"Ikuti aku anak muda! Kau akan bertemu gu- rumu! Tapi apakah kau bakal bisa menyelamatkannya itu hal lain! Ha ... ha ... ha! " 
Ki Tawang Alu melangkah masuk ke dalam goa. Mau tak mau Wiro terpaksa mengikuti. Ternyata goa itu hanya memiliki kedalaman sejauh lima tombak. Tapi langit-langitnya tinggi sekali dan di sebelah ujung bagian atasnya agaknya terbuka karena ada cahaya te- rang merambat ke bawah. Lalu ada udara panas menerpa. Wiro memandang ke depan. "
Ada tungku perapian raksasa di ujung goa ...
" Wiro hentikan langkah. Udara kobaran api yang me- nyala terasa panas bukan kepalang, membuat Wiro seperti dipanggang. Di sebelah depan Ki Tawang Alu menoleh. 
"Mengapa berhenti anak muda Ha ... ha ... ha!? Kau takut pada panasnya apt? Ha ... ha ... ha! Lanjutkan langkahmu. Bukankah kau ingin melihat gurumu?! " 
"Jahanam!" rutuk Wiro. 
"Aku mencium sesuatu. Bau pesing! Eyang sinto Gendeng pasti disekap di goa celaka ini! "

 ***

IV
SINTO GENDENG DIGANTUNG 
Tawang ALU melanjutkan langkahnya lalu berhenti satu setengah tombak dari depan tungku api raksasa. Dia memandang pada Wiro sambil menyerin- gai. 
"Kau ingin melihat gurumu atau tidak?!" 
Wiro menggeram. Dia langkahkan kakinya. Ti- ba-tiba dia merasa lantai goa yang diinjaknya ber- goyang bergetar. Bersamaan dengan itu terdengar sua- ra benda berputar di barangi sesuatu bergesek. Dari langit-langit di ujung goa ada sebuah benda. bergerak turun ke bawah, berhenti satu tombak di atas tungku raksasa! Ketika melihat benda yang tergantung itu, Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak marah. Benda itu bukan lain sosok Eyang sinto Gendeng, digantung ke atas kepala ke bawah dengan seuntai besi karatan. Sosok si nenek tidak bergerak, hanya sepasang ma- tanya saja tampak berputar liar pertanda nenek ini masih hidup tetapi berada dalam kondisi sangat mengenaskan. Wiro saran gurunya berada dalam satu toto- kan yang membuat orang tua itu tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Wiro berteriak dahsyat hingga seantero goa ber- getar hebat. Dia ingin melompat menyerang Ki Ta- uang Alu tapi kakek muka putih itu ganda tertawa. 
"Jangan kesusu ingin menyerang atau membu- nuh aku, Pendekar 212. Perhatikan tempat dua kaki- mu berpijak. Kau berada dalam kotak kematian. Sedi- kit saja kau menggerakkan kaki atau bagian tubuhmu, batu yang kau pijak akan bergerak. Gerakan batu akan menurunkan secara cepat sosok gurumu yang tergantung. Kalau kau tidak percaya silahkan kau co- ba. Geser sedikit salah satu kakimu atau gerakkan tanganmu. Kau akan melihat apa yang terjadi! " 
"Jahanam! Jangan berani menipu!" bentak Wi- ro. 
"Siapa menipu! Lakukan saja apa yang aku ka- takan! " 
"Jahanam!" Wiro memaki. Dia geserkan kaki ki- rinya. Gerakannya ini menggetarkan lantai goa yang dipijaknya. Bersamaan dengan itu rantai berkarat yang mengikat dua kaki sinto Gendeng bergeser turun. So- sok si nenek bergerak ke bawah sejauh dua jengkal! Sepasang mata sinto Gendeng mendelik. Panasnya api di tungku raksasa seperti mau melelehkan batok kepa- lanya. Kalau saja jalan suaranya tidak terkunci pasti si nenek ini sudah menjerit setinggi langit, memaki ha- bis-habisan. 
Kau lihat? Ha ... ha ... ha! Masih tak percaya, anak muda? Silahkan pindahkan tanganmu. Tak usah banyak-banyak. Sedikit saja. Nanti kau lihat apa yang terjadi ... " Penasaran Wiro Sableng gerakkan tangan ka- nannya, seolah hendak mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di pinggang. Tapi begitu tangannya bergerak, lantai goa kembali bergetar dan di depan sa- na rantai besi turun lagi sejauh dua jengkal. Sosok Sinto Gendeng ikut melorot ke bawah! 
"Celaka! Aku tak mungkin menolong Eyang guru ... " 
Ki Tawang Alu tertawa mengekeh. 
"Eyang! Kerahkan tenaga dalammu! Kau pasti bisa memusnahkan totokan yang menguasai dirimu! " 
Ki Tawang Alu tertawa bergelak mendengar se- ruan Wiro itu. 
"Pendekar 212! Gurumu bisa punya kesaktian dan tenaga dalam setinggi Gunung Merapi, bahkan setinggi langit! Tapi yang namanya Totokan Seribu Syaraf tidak bisa dipunahkan oleh siapapun! " 
"Tawang Alu keparat! Aku bersumpah membu- nuhmu! "teriak Wiro.
 "Seribu sumpah bisa saja kau ucapkan! Tapi kau dan gurumu tidak bisa melakukan apa-apa. Nya- wa sinto Gendeng justru ada di tanganmu, muridnya sendiri! Ha ... ha ... ha! " 
"Tua bangka jahanam! 
Lepaskan guruku! Aku bersedia melakukan apa saja yang kau minta! " 
Sepasang mata sinto Gendeng melotot dan berputar liar mendengar ucapan muridnya itu. Seba- liknya Tawang Alu tertawa gelak-gelak. 
"Begitu?! Kau memang murid baik! Sangat ber- bakti pada sang guru! Kau mau melakukan apa untuk menyelamatkan gurumu?! " 
"Kau bisa ambil nyawaku asal kau bersumpah membebaskan guruku! " 
Kembali dua bola mata sinto Gendeng membe- sar dan berputar. Ki Tawang Alu tertawa lagi. 
"Hebat! Kau murid hebat! Luar biasa! Tapi aku tidak buru-buru meminta nyawamu anak muda! Terlalu enak jika kau kubunuh begitu saja! Ha ... ha ... ha! " 
"Jahanam! Apa yang kau inginkan? Ingin men- cungkil mataku? Ingin mengorek jantungku? Laku- kan! "Teriak Wiro. 
Ki Tawang Alu menyeringai dan geleng-geleng kepala. 
"Aku bukan manusia serakah!" katanya. Lalu kakek muka putih ini angkat tangannya kiri kanan. 
"Kau telah menghancurkan tangan kananku! Kau juga membuntungi tangan kiriku! Aku akan menuntut ba- las sesuai dengan apa yang telah kau lakukan! Aku minta tanganmu kiri kanan! Itu saja! Ha ... ha ... ha! " 
Saking geramnya Pendekar 212 acungkan dua tangannya ke depan. 
"Kau inginkan dua tanganku! Ambillah! " 
Gerakan yang dilakukan Wiro menyebabkan lantai yang dipijaknya bergoyang. Alat rahasia yang menghu- bungkan bagian bawah lantai dengan roda pemutar rantai bekerja. Rantai besi bergerak turun dan sosok Sinto Gendeng tambah ke bawah mendekati tungku api raksasa! 
"Tenang Pendekar 212! Kau tak usah bersusah payah mengulurkan tangan segala. Biar semua aku yang melakukan! 
Dengar, aku akan mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaianmu. Dengan senjata itu aku akan membabat putus tanganmu kiri kanan! Pembalasan sangat adil bukan? Ha ... ha ... ha! " 
Sepasang mata sinto Gendeng terlihat berki- lat memancarkan udara kemarahan. Melihat hal ini Wiro tiba-tiba ingat. "Eyang! Keluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh! "Wiro berteriak. 
"Manusia tolol!" bentak Tawang Alu. "Apa kau masih tidak yakin gurumu tidak punya daya apa-apa? Dia bukan cuma tak bisa bergerak dan bersuara. Tapi juga tidak mampu mengerahkan udara sakti atau tena- ga dalam! " 
"Jahanam! Kau benar-benar jahanam!" rutuk Wiro. 
Kalau saja sinto Gendeng telah mewariskan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu, pasti Tawang Alu sudah di habisinya sejak tadi-tadi. Wiro diam-diam menyesali mengapa sang guru tidak mengajarkan ilmu itu pa- danya. Malah menyuruhnya menunggu sampai 49 ta- hun hanya gara-gara dia tidak bisa menahan nafsu terhadap wajah cantik dan tubuh mulus. Padahal ka- lau saja si nenek tahu bagaimana dia sanggup meng- hadapi tantangan Pelangi Indah pasti sinto Gendeng akan berubah pikiran. Wiro menghela napas dalam. Matanya menatap ke depan, memperhatikan letak tungku api raksasa serta ketinggian sosok gurunya yang tergantung. 
"Aku tahu apa yang ada di otakmu Pendekar 212. Kau ingin menghancurkan tungku api ini dengan pukulan sakti. Bersamaan dengan itu kau melompat untuk menyambuti tubuh gurumu! Silahkan mencoba! Jika kau membuat kelalaian seperseratus kejapan ma- ta, kau dan gurumu bakal mampus gratis! Kalau- pun kau masih hidup, kau akan menyesal seumur- umur! " 
"Kalau begitu lekas kau lakukan niat kejimu! Aku siap untuk di buntungi ke dua tanganku! Tapi awas kalau kau berani menipu! " 
"Aku juga memperingatkan, awas kalau kau be- rani memperdayaiku! 
"balas mengancam Ki lawang Alu. Lalu dia melangkah mendekati, berhenti sejarak dua langkah dari hadapan si pemuda. Wiro memperha- tikan ke bawah. Ternyata pada lantai yang dipijaknya ada garis berbentuk bujur sangkar. Mungkin ini yang disebut Kotak Kematian. Dia berada di dalam kotak itu sedang Tawang Alu di sebelah luar. Dengan gerakan hati-hati Ki Tawang Alu ulur- kan tangan kanannya yang dibalut. Seperti diketahui Wiro telah mematahkan tulang telapak tangan kakek muka putih ini. Saat ini meskipun dibalut keadaannya masih parah. Bukan satu hal yang mudah untuk Tawang Alu menggerakkan tangannya, apalagi untuk mengamBIL Kapak Naga Geni 212 yang tersisip di pinggang Wiro. 
Namun dendam kesumat sakit hati membuat dia melupakan semua kesulitan dan rasa sakit. Jari- jarinya yang tersembul dari balik balutan bergerak ka- ku, menggapai ke balik pinggang pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng. Di atas sana, dalam kondisi tergantung kaki ke atas kepala ke bawah, sinto Gendeng memaki ha- bis-habisan. "Anak setan! Kenapa dia jadi tolol begitu rupa! Apa dengan menyerahkan dua tangannya di buntungi oleh laknat muka putih itu dia bisa menyelamatkan di- riku? Jahanam itu pasti cuma menipu! Aku pasti akan dibunuhnya dan anak setan itu sendiri akan menemui ajal dimakan racun kapak! Kalaupun dia mampu ber- terus apa. artinya hidup dengan dua tangan bun- tung?! Tolol! benar-benar tolol! " 
Dengan susah payah Tawang Alu berhasil men- cekal hulu Kapak Maut Naga Geni 212 lalu ditariknya. Cahaya berkilauan memancar dari mata kapak. Kakek ini menyeringai. Mukanya yang putih laksana muka ib- lis. Cahaya pada dua mata kapak sakti semakin terang pertanda Tawang Alu telah mengerahkan tenaga dalam. Tiba-tiba tangan kanan kakek ini bergerak. Walau tangannya cidera parah, namun dengan mengandalkan ilmu kesaktian yang disebut Secepat Kilat Membalik Tangan kakek ini mampu memegang dan memba- batkan senjata milik lawannya. Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat ke arah tangan kanan Wiro, memancar- kan cahaya berkilauan disertai suara bergaung dan hamparan udara panas. Melihat bahaya mengancam muridnya sepasang mata sinto Gendeng menyorotkan sinar angker. Na- mun tidak ada kekuatan atau udara sakti yang bisa di- kerahkannya. Dia tidak mampu berbuat apa kecuali merutuk dalam hati. 
"Anak setan itu mengapa dia berlaku setolol itu! Dia menduga bisa menolongku! Padahal dia akan mati gratis! Bahkan nyawaku sendiri belum tentu bi- sa diselamatkan! "

***

V
TOTOKAN SERIBU SYARAF 
HANYA sekejapan lagi tangan kiri Wiro Sab- leng akan dibabat putus oleh kapak sakti miliknya sendiri, tiba-tiba dari mulut goa melesat masuk dua bayangan hitam. Apa yang terjadi kemudian berlang- sung serba tidak terduga dan sangat cepat. Ki Tawang Alu keluarkan jeritan keras. Satu ge- lombang angin dahsyat membuat dia terhempas tiga langkah ke belakang. Bersamaan dengan itu darah muncrat dari urat besar yang putus di pergelangan tangannya. Sebuah benda menancap di pergelangan itu. Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari gengga- mannya, jatuh berkerontang di lantai goa. Tidak sadar Wiro membungkuk untuk mengambil senjata itu. Lan- tai yang dipijaknya bergoyang, menggetarkan alat ra- hasia yang berhubungan dengan rantai besi dimana Sinto Gendeng tergantung. Tak ampun lagi rantai itu bergerak turun ke bawah. Sosok si nenek dengan ke- pala lebih dulu, menghunjam turun ke arah tungku api raksasa! "Celaka!" Wiro sadar. 
Tapi sudah terlam- bat! Muka putih Ki Tawang Alu semakin putih. Da- rahnya tersirap besar dan nyawanya serasa terbang ketika dia melihat benda apa yang menancap di perge- langan tangannya. Lebih dari itu lututnya goyah geme- tar ketika melihat ada sosok berjubah dan berkeru- dung hitam tegak berkacak pinggang di depannya. Si kakek jatuhkan diri berlutut di lantai goa. Benda yang menancap di pergelangan tangannya ter- sebenarnya adalah pisau hitam bergagang berbentuk kepala srigala terbuat dari perak. 
"Racun srigala ...... Nyawaku tidak tertolong! Kecuali jika ada yang memberikan obat pena- war ... "
Ki Tawang Alu merasa lehernya kaku ketika dia mencoba mengangkat kepala, memandang ke atas ke arah kepala orang berkerudung. 
"Ampuni selembar nyawaku! Mohon diberikan obat penawar racun srigala!" Ki Tawang Alu meminta setengah meratap. 
Dari balik kerudung terdengar suara menden- gus. Lalu suara orang berucap. Dari suaranya jelas di- ketahui bahwa orang berkerudung ini bukan lain ada- lah Pelangi Indah, Ketua Kelompok Bumi Hitam dari Gunung Merapi. 
"Ki Tawang Alu! Dosa dan kesalahanmu susah dijajagi. Lebih tinggi dari langit, melebihi dalamnya da- sar lautan! Masih ada sedikit kesempatan untuk ber- tobat sebelum maut datang merenggut! Mengapa tidak dipergunakan?!" 
"Ketua!" 
Suara Ki Tawang Alu terce- kat. Dia jatuhkan keningnya ke lantai goa. Bersujud. 
"Aku mohon belas kasihanmu. Berikan obat penawar racun srigala. Aku bersumpah menjadi orang baik- baik, menempuh jalan kebenaran!" 
"Sudah terlambat Tawang Alu! Kau memang pantas mati dimakan racun srigala!" Jawab Pelangi In- dah.
Saat itu tiba-tiba satu bayangan putih melom- pat ke hadapan Ki Tawang Alu. 
"Ada cara mati lain yang lebih pantas untuk tua bangka keparat ini!" 
Satu tangan yang kokoh menjambak rambut putih Ki Tawang Alu hingga kakek ini meraung kesaki- tan. 
"Ampun! Jangan! Tobat! Pendekar 212, jangan!" teriak Ki Tawang Alu. 
Dia coba lepaskan diri. Menjerit, memukul dan menendang. Tapi sia-sia saja. Wiro sen- takkan kepala kakek itu hingga tubuhnya terangkat ke atas. Selagi Tawang Alu melejang-lejang dan menjerit- jerit Wiro lemparkan sosoknya ke arah tungku raksa- sa. "Wuuttt! Bluusss!" Jeritan Ki Tawang Alu terputus. Berganti den- gan suara masuknya tubuh ke dalam tungku api. Lidah api berhamburan ke udara. Lalu terdengar suara seperti benda meledak. Semua orang merasa ngeri. Itu adalah suara meledaknya tubuh Ki Tawang Alu yang di tambus api tungku raksasa. Bersamaan dengan suara ledakan itu menyusul berlesatan ke udara beberapa bagian tubuhnya. Bau daging terbakar memenuhi seantero goa. Kita kembali dulu pada saat sewaktu Wiro sa- lah bergerak, hendak mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tergeletak di lantai. Saat itu juga rantai besi melorot ke bawah dan sosok Sinto Gendeng yang tergantung kaki ke atas kepala ke bawah melayang tu- run dengan deras. Sesaat lagi nenek itu pasti akan tenggelam amblas dalam tungku api raksasa sementa- ra Wiro sudah mati langkah, tak mungkin berbuat sua- tu apa untuk menolong gurunya. Saat itulah bayangan hitam kedua yang melesat dari mulut goa berkelebat cepat, menangkap tubuh Sinto Gendeng lalu memba- wanya melayang turun ke sudut aman menjauhi tung- ku maut! Ketika Wiro mendatangi si nenek, orang berju- bah dan berkerudung hitam tengah membuka jepitan besi di ujung rantai besi yang mengikat dua kaki kurus Sinto Gendeng. 
"Nek, kau tidak apa-apa?" Wiro menegur seraya berjongkok di samping Sinto Gendeng. Sekilas dia me- lirik pada orang berjubah di sebelahnya. Dia tidak tahu siapa adanya orang ini. Mungkin Rembulan, mungkin juga Mentari Pagi. Sinto Gendeng tidak menjawab. Dua matanya mendelik berputar memandang ke arah Wiro. Mukanya yang cekung tinggal kulit pembalut tulang unjukkan tampang asam. Wiro sadar kalau saat itu gurunya masih bera- da dalam pengaruh totokan, tak bisa bicara tak bisa bergerak. Maka dia segera pergunakan kepandaian un- tuk melepas totokan itu. Yang pertama sekali adalah membuka jalan suara si nenek agar bisa bicara. Wiro menotok urat besar di leher kiri kanan Sinto Gendeng. Memang di situ tempat untuk memusnahkan totokan jalan suara. Dan nyatanya Sinto Gendeng kini memang bisa membuka mulut keluarkan suara. Tapi bicaranya aneh. Ucapannya tidak jelas. Suara si nenek melengk- ing aneh, cepat sekali. sulit dimengerti. 
"Wau! Hikkk! Haauuuuuw! Ngik...! Ngik...! Wauu! Kik...kik...kik!" 
"Astaga! nek, kenapa suaramu jadi begini?" Wi- ro tersentak kaget.
" Kau bicara apa?! Suaramu seperti monyet terbakar buntut!" Wiro kelabakan. Dia me- mandang ke arah Pelangi Indah dan Rembulan. Dibalik kerudung dua gadis cantik ini hanya senyum-senyum. Wiro jadi tambah bingung. Karena dua gadis seper- tinya tidak berniat menolong, Wiro kembali berusaha membuka jalan suara si nenek. Dia menotok lagi di beberapa bagian tubuh gurunya. Suara aneh si nenek memang lenyap. Tapi kini yang melesat keluar dari mulut Sinto Gendeng adalah suara seperti kerbau melenguh! Wiro sampai jatuh ter- duduk saking kagetnya. 
"Eyang! Kau kesambet atau kemasukan atau bagaimana?!" seru Pendekar 212 dan garuk kepalanya habis-habisan. Dalam bingungnya Wiro kembali menotok. 
Ti- ba-tiba ser.... Dari bawah perut Sinto Gendeng mengu- cur cairan yang menebar bau pesing. Di lantai goa ke- lihatan tergenang cairan kekuning-kuningan! Maksud baik Wiro untuk menolong gurunya malah salah ka- prah. Si nenek ditotok hingga mengucurkan air kenc- ing habis-habisan! 
"O walahh! Mengapa jadi begini?!" Wiro tersurut mundur. Tangan kiri memencet cuping hidung mena- han sambaran bau pesing, tangan kanan menggaruk kepala pulang balik! 
"Kau kelewatan nek. Ditolong ma- lah kencing seenaknya!"

* * *

VI
BEKAS CUPANGAN DI LEHER 
SAMBIL menahan tawa Pelangi Indah menda- tangi. 
"Wiro, Totokan Seribu Syaraf bukan totokan sembarangan. Kau tidak bisa memusnahkannya den- gan ilmu pembuka totokan biasa. Orang yang ditotok juga tidak mampu membebaskan diri sekalipun dia memiliki hawa sakti dan tenaga dalam luar biasa ting- gi..." 
"Lalu bagaimana guruku? Dia musti ditolong. Kau lihat sendiri. Barusan dia kencing. nanti jangan- jangan dia berak! Aku..." 
Pelangi Indah dan gadis berkerudung di samp- ing si nenek berusaha menahan tawa. "Jangan khawatir Wiro. Kami membebaskan gurumu dari totokan itu," jawab Pelangi Indah. Lalu gadis Ketua Kelompok Bumi Hitam ini anggukkan ke- palanya ke arah orang berjubah yang berjongkok di samping kiri Sinto Gendeng. 
"Rembulan, musnahkan totokannya. Buka jalan suara dan kembalikan kelentu- ran tubuhnya!" Ternyata yang menolong Sinto Gendeng tadi adalah Rembulan, gadis tercantik dalam jajaran anggo- ta Kelompok Bumi Hitam, yang diam-diam telah jatuh hati pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Mendengar ucapan pimpinannya Rembulan se- gera mengangkat sosok Sinto Gendeng. Dari belakang, kepala si nenek di naikkannya demikian rupa. Jari te- lunjuk tangan kanan dimasukkan ke dalam mulut. Mata sesaat dipejamkan. Dia seperti merapal sesuatu dalam hati. Jari dikeluarkan dari dalam mulut lalu di- tusukkan ke leher belakang Sinto Gendeng, di sebelah atas, dekat rambut. Mulut Sinto Gendeng terbuka. Sa- tu kepulan asap berwarna hitam membersit keluar dari mulut itu. Sesaat kemudian si nenek tampak mengge- liatkan ke dua tangannya. Bersamaan dengan itu jalan suaranya terbuka. Sinto Gendeng balikkan tubuh, memandang melotot ke arah muridnya. Lalu mulutnya yang kini bi- sa bicara mulai merocos. 
"Anak setan! Kau sengaja mempermainkan aku ya?!" 
"Nek, aku justru..." 
"Diam! Tutup mulutmu! 
Kau sebut aku monyet terbakar buntut! Kau bilang aku kencing seenaknya. Kau bilang aku mau berak..." 
"Eyang, aku minta maaf. Maksudku..." 
"Sudah! Tutup mulutmu! Jangan sampai aku tampar!" 
"Eyang, kau boleh marah besar padaku! Tapi harap sedikit hormat pada dua gadis cantik yang telah menyelamatkan dirimu dan juga diriku..." 
"Huh! Dua gadis cantik? Aku tidak melihat apa- apa. Yang aku lihat cuma dua sosok berjubah hitam. Kepala mereka ditutup kerudung hitam. Kalau mereka memang cantik mengapa sembunyikan wajah dibalik kerudung? Jangan-jangan yang satu sumbing bibir- nya, yang satu lagi picak matanya! Hik...hik..hik!" 
"Nek, jaga mulutmu! Jangan membuat malu!" Wiro benar-benar merasa jengkel. Dia takut dua gadis itu tersinggung. Tapi Pelangi Indah dan Rembulan te- nang-tenang saja. Malah kedua gadis ini senyum- senyum melihat pertengkaran antara guru dan murid itu. 
"Pelangi Indah, Rembulan, kalau kau tidak keberatan harap suka membuka kerudung. Perlihatkan pada guruku siapa adanya kalian..." 
Sesaat Pelangi Indah dan Rembulan merasa bimbang mendengar permintaan Pendekar 212 itu. 
"Apa kataku! Muka mereka pasti jelek! Buk- tinya mereka tidak mau unjukkan wajah!" kata Sinto Gendeng pula. 
"Wajahku walau sudah tua begini, mungkin lebih cantik dari mereka! Hik...hik..hik!" "Nenek edan!" maki Wiro dalam hati. Saat itu Pelangi Indah dan Rembulan sama- sama menggerakkan tangan membuka kerudung yang menutupi kepala mereka. Begitu wajah mereka ter- singkap, Sinto Gendeng jadi terkesiap. Namun nenek ini cepat menguasai diri. Walau sebenarnya dia kagum melihat kecantikan dua gadis itu namun dasar gen- deng, enak saja dia bicara. 
"Wallah... Kalian memang cantik semua. Tapi ketika aku masih muda, kecantikanku jauh melebihi kalian..." 
"Nek!" saking kesalnya Wiro memotong ucapan sang guru. 
"Masa mudamu sudah lama lewat. Perlu apa disebut-sebut. Saat ini kau menghadapi kenya- taan. Apa kau tidak mau mengucapkan terima kasih pada Pelangi Indah dan Rembulan?" 
"Hai! Kau sudah tahu nama mereka rupanya!" 
Sinto Gendeng berucap setengah berseru. Lalu sepa- sang matanya mendelik berkilat-kilat memandang pa- da Wiro. 
"Apa kataku! Terbukti kau nyatanya masih suka melihat wajah cantik, dada kencang tubuh mu- lus! Bagaimana mungkin aku memberikan ilmu Sepa- sang Sinar Inti Roh padamu!"
 "Eyang, soal ilmu itu aku sudah melupakannya. Kau mau memberi atau tidak aku tidak perduli. Saat ini kita berdua harus mengucapkan terima kasih pada dua gadis ini. Mereka telah menyelamatkan jiwa kita..." 
Lalu tanpa menunggu gurunya Wiro bungkuk- kan dada, menghormat pada Rembulan dan Pelangi Indah seraya berkata. 
"Pada kalian berdua, aku men- gucapkan terima kasih. Untuk kesekian kalinya kalian telah menyelamatkan jiwaku..." 
"Wiro, sudahlah. Tak perlu memakai segala ma- cam peradatan. Kami senang bisa menolong mu. Lebih baik kau perhatikan keadaan gurumu. Kami masih ada kepentingan lain. Kami minta diri..." 
Pelangi Indah melangkah ke mulut goa. Rembulan mengikuti.
 "Tunggu!" 
Sinto Gendeng tiba-tiba berseru. Dua gadis cantik hentikan langkah, memandang ke arah si nenek, menunggu apa kelanjutan ucapannya. 
"Aku tua bangka ini tidak mau dikatakan tidak tahu peradatan dan sopan santun. Aku Sinto Gendeng menghaturkan banyak terima kasih karena kalian te- lah menyelamatkan jiwa kami guru dan murid. Budi kalian setinggi langit, sulit bagiku untuk mengukur membalasnya." Pelangi Indah tersenyum. Dia membungkuk la- lu berkata. 
"Kami sendiri merasa senang dapat berte- mu denganmu, Nek. Mengingat nama besarmu dalam rimba persilatan tanah Jawa, bisa bertemu denganmu sudah merupakan satu kehormatan besar. Izinkan kami meminta diri untuk pergi lebih dulu..." 
Sinto Gendeng menarik nafas panjang. Tiba- tiba tangan kirinya diulurkan memegang salah satu ujung pakaian Pelangi Indah. Gadis ini tahu apa yang hendak dilakukan si nenek. Dia kerahkan tenaga da- lam. Gerakan si nenek hendak menarik tertahan. Na- mun sesaat kemudian dirasakannya dua kakinya ber- geser. Sepertinya dia berada di lantai yang licin. 
"Luar biasa tenaga dalam nenek ini. Kalau aku terus bertahan pakaianku bisa robek! Lebih baik aku mengalah," kata Pelangi Indah dalam hati. 
Gerakan tangan Sinto Gendeng bukan saja membuat Pelangi Indah tertarik, tapi kepalanya me- runduk ke bawah mendekati wajah si nenek. 
"Gadis cantik, apa yang telah kau perbuat ber- sama muridku, si anak setan itu?!" Pelangi Indah terkejut sekali, tidak menduga si nenek akan mengajukan pertanyaan seperti itu walau diucapkan secara berbisik. 
"Apa maksudmu, Nek?"" Si gadis balik ber- tanya, juga dengan berbisik. 
"Jangan berpura-pura. Gadis cantik dan pemu- da lajang, bisa saja lupa diri..."
 "Aku... kami tidak berbuat apa-apa..." 
"Jangan berdusta!" 
"Sumpah nek. Muridmu bukan pemuda hidung belang yang mempergunakan kesempatan sekalipun diberi jalan. Imannya sekokoh batu karang di pantai selatan!" Sepasang mata Sinto Gendeng kelihatan berca- haya. Lalu nenek ini tertawa lebar. "Kau boleh pergi..." katanya. Tapi baru saja Pelangi Indah dan Rembulan bergerak dua langkah ke mulut goa, tiba-tiba Sinto Gendeng berseru lagi. 
"Hai! Tunggu!"
 Walau agak kesal dua gadis itu hentikan lang- kah, memandang pada si nenek.
 "Ya, ada apa Nek?" tanya Pelangi Indah.
 "Sebelum kalian pergi, ada satu hal ingin aku tanyakan." Pelangi Indah dan Rembulan tetap diam di tempat. Keduanya sekilas melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. "Hal apa yang ingin kau tanyakan Eyang Sin- to?" tanya Pelangi Indah. 
Sesaat si nenek pandangi dua wajah yang masih belum ditutupi kerudung itu.
 "Kalian memang cantik-cantik. Diantara kalian berdua, yang mana yang telah jatuh hati pada murid- ku si anak setan ini?!" 
"Guru, kau ini! Mengapa bertanya yang bukan- bukan?!" Wiro berseru. Tapi si nenek cuma menyengir. Wajah Pelangi Indah dan Rembulan serta merta menjadi merah. Pelangi Indah geleng-gelengkan kepala. Rembulan menggigit bibir. Dua gadis itu kemudian tu- tup wajah mereka kembali dengan kerudung lalu sa- ma-sama melangkah cepat ke pintu goa. Ketika mele- wati Wiro Pelangi Indah berhenti sesaat lalu setengah berbisik dia berkata. 
"Wiro, gurumu benar-benar hebat! Waktu muda pasti dia merupakan seorang gadis genit centil!" Wiro diam saja. 
Rembulan menyambungi. 
"Belum pernah aku menemui nenek-nenek se usil gurumu..." 
Pendekar 212 tidak tahu mau berkata apa. Dia cuma bisa menggaruk kepala. Sesaat setelah dua gadis cantik itu meninggal- kan goa, Sinto Gendeng mengangkat kepala, lalu ter- tawa panjang.
 "Tua bangka edan! Apa yang di tertawakan- nya..." maki Wiro dalam hati.
 "Nek, memangnya ada yang lucu?!" tanya Wiro.
 "Aku belum edan! Kalau tidak ada yang lucu masakan aku tertawa!" 
"Coba kau katakan apa yang lucu!" ujar Wiro pula. 
"Dua gadis tadi! Mereka tidak bisa menjawab pertanyaanku! Mereka tidak mau mengatakan siapa diantara mereka yang telah jatuh hati padamu. Berar- ti......Berarti... Hik...hik..hik!" 
"Berarti apa Nek?" tanya Wiro. 
"Berarti dua-duanya telah jatuh cinta padamu! Kau dengar apa yang aku ucapkan anak setan?! Dua gadis itu telah jatuh cinta padamu! Hik...hik..hik!" 
Wiro tak menjawab. Sang pendekar melangkah ke pintu goa.
 "Eh, kau mau kemana anak setan? Mau me- nyusul dua gadis yang mencintaimu itu?!" Sinto Gen- deng menegur lalu tertawa lagi. 
"Goa ini pengap Nek. Bau pesing dimana- mana!" jawab Wiro.
 "Brengsek! Aku tidak mencium bau apa-apa!" tukas Sinto Gendeng. 
"Jangan kau berani meninggal- kan aku! Kau tahu saat ini tugasmu harus segera kau mulai!" Wiro hentikan langkah. 
"Tugas apa Nek?" "Jangan pura-pura tidak tahu! Gendong aku! Kita segera menuju Teluk Akhirat!" jawab Sinto Gen- deng. 
Mendengar ucapan gurunya itu Pendekar 212 Wiro Sableng jadi lemas. Tapi tak ada hal lain yang bi- sa diperbuatnya selain mematuhi ucapan si nenek yang tidak lebih dari satu perintah. Sambil garuk- garuk kepala Wiro melangkah mendekati Sinto Gen- deng. Lalu seperti yang sudah-sudah tubuh lumpuh si nenek digendongnya di atas pundak. Sambil melang- kah, untuk menghilangkan kekesalannya Wiro bersiul- siul seenaknya. 
"Hemm, hatimu rupanya sedang senang. Aku ada satu pertanyaan untukmu, anak setan!"
 "Dari tadi kau rupanya lagi senang bertanya! 
Ucapkan saja Nek! "Nek."
 "Diantara dua gadis cantik tadi, yang mana yang kau sukai?" 
"Waktu kau tadi menanyakan siapa diantara mereka yang jatuh hati padaku, tak ada yang menja- wab. Lalu apa perlunya aku menjawab pertanyaan- mu?" ujar Wiro pula. Sinto Gendeng tertawa mengekeh. 
"Mereka ti- dak mau menjawab. Mereka mendustai diri sendiri. Aku punya bukti salah satu dari gadis itu sudah men- dapat tempat di hati mu. Malah sudah kau layani. Be- tul, hik...hik...hik?!" 
"Apa maksudmu Nek?" Si nenek usapkan jari-jari tangannya ke pang- kal leher Pendekar 212 Wiro Sableng sebelah kanan.
 "Ada tanda bekas cupangan, bekas gigitan di lehermu ini. Siapa yang menggigit? Jelas bukan kodok kan? Setan atau jin juga tidak pernah menggigit ma- nusia seperti ini! Hik...hik...hik..." 
Wiro meraba lehernya. Dia tidak bisa melihat. Dia juga tidak tahu kalau pada lehernya memang ada bekas gigitan. Jangan-jangan nenek brengsek ini hanya menipuku. Tapi kalau benar, siapa yang mela- kukan? Pelangi Indah? Waktu dia berada berdua-dua di kamar dengan gadis itu? Wiro menggaruk kepa- lanya!

* * *

VII
MAUT MENANTI DI TELUK AKHIRAT 
PAGI ITU angin teluk bertiup agak keras. Di laut gelombang bergulung deras, menghampar me- mecah di kawasan pasir dengan suara menggemuruh. Di udara yang tidak begitu cerah, ratusan kelelawar melayang beterbangan di permukaan teluk. Sesekali suara gelepar sayap mereka terdengar aneh mengge- tarkan. Sesekali binatang itu keluarkan suara me- lengking bukan saja menyakitkan telinga tapi juga menggidikkan. Sekelompok kelelawar sekitar tiga pu- luh ekor tiba-tiba muncul melayang dari arah timur. Dari jurusan berlawanan sepasang elang besar terbang dipermukaan laut lalu membumbung ke angkasa, me- layang ke arah pantai. Puluhan kelelawar keluarkan suara melengking keras. Gerakan mereka berubah be- ringas. Seolah ada satu ketentuan yang tak bisa dita- war, di Teluk Akhirat tidak ada mahluk lain boleh hi- dup, kecuali kelelawar! Kelelawar-kelelawar ini membuat gerakan ber- putar di udara, lalu dengan sangat tiba-tiba menukik ke bawah ke arah dua ekor elang besar. 
Dua elang besar rupanya sudah melihat keda- tangan rombongan kelelawar yang hendak menyerang. Dua elang ini menyambut dengan lengkingan suara tak kalah galaknya. Perkelahian aneh, yang jarang dis- aksikan manusia serta merta terjadi di udara terbuka. Tiga puluh ekor kelelawar mengeroyok dua ekor elang besar. Semuanya berlangsung sebentar saja. Dua elang besar keluarkan suara menguik keras. Tubuh mereka hancur dicabik-cabik kelelawar. Bulu beterbangan, ja- tuh melayang ke atas permukaan air laut. Tiga puluh ekor kelelawar membuat putaran lalu melesat ke arah pantai. Sebelum lenyap di arah teluk, salah seekor dari kelelawar itu memisahkan diri, melayang merendah dan berkelebat diantara kerapatan pohon-pohon kela- pa. Di dalam sebuah gubuk tanpa dinding, berlantai tanah keras, satu Sosok tinggi besar duduk di atas sebuah batu hitam. Batu hitam ini berbentuk aneh. Bagian bawah merupakan tempat duduk yang kokoh, lalu di sebelah belakang batu ini membentuk sandaran tinggi. Di sebelah atas sandaran, seperti di ukir, mem- bentuk sosok seekor kelelawar yang tengah meren- tangkan kedua sayapnya. Orang di atas batu memiliki daun telinga men- cuat lancip ke atas. Sepasang tangan panjang luar bi- asa ditumbuhi bulu hitam lebat. Dua matanya sangat sipit, sepintas seolah terpejam. Inilah mahluk yang disebut Kelelawar Pemancung Roh, yang telah mence- lakai Sinto Gendeng hingga nenek sakti itu menderita lumpuh dari pinggang ke bawah. Saat itu Kelelawar Pemancung Roh tengah du- duk rangkapkan dua tangan di depan dada, mata ter- picing mulut terkancing. Sosoknya tidak bergerak se- dikitpun. Keadaannya seolah menjadi satu dengan ba- tu yang didudukinya. Beku mati. 
Tiba-tiba seekor kelelawar melesat ke arah gu- buk, bergelantung pada palang di bawah atap. Terjadi satu hal aneh. Binatang ini perlahan-lahan membesar, bentuk kepalanya berubah menjadi seperti kepala seo- rang bayi. Tapi ketika menyeringai kelihatan barisan gigi-giginya yang besar lancip serta lidah merah seperti ada cairan darah memenuhi mulutnya. Selain itu pada ubun-ubunnya ada gambar dua buah bintang berwar- na hitam. Dua telinga mencuat lancip. Mahluk kelelawar berkepala bayi ini melayang turun ke dalam gubuk, kepakkan sayapnya dua kali lalu duduk bersila di hadapan Kelelawar Pemancung Roh, menunggu. Tak lama berselang Kelelawar Pemancung Roh buka dua matanya yang sejak tadi dipicingkan, dua tangan yang panjang diletakkan di atas lutut dan memandang sipit pada mahluk di hadapannya.
 "Tuyul Orok! Apakah kau datang membawa ka- bar yang aku harapkan?" 
Mahluk bertubuh kelelawar berkepala bayi kembangkan dua sayapnya ke samping lalu letakkan kening di lantai gubuk di depan kaki Kelelawar Peman- cung Roh. Walau sosoknya kecil, tapi suaranya besar sember ketika bicara. 
"Orang yang kita tunggu sudah kelihatan di ujung teluk. Mereka muncul berdua..." "Apakah mereka menunggang kuda?"
 "Tidak. Mereka berjalan kaki. Yang satu men- dukung lainnya di pundak!" 
Kening Kelelawar Pemancung Roh mengerenyit.
 "Yang satu mendukung yang lainnya di pundak. Aneh. Siapa mereka. Jangan-jangan bukan orang yang kita tunggu. Jelaskan ciri-ciri keduanya."
 "Yang mendukung seorang pemuda berpakaian serba putih. Rambutnya gondrong. Sekelebatan aku melihat ada jarahan tiga angka di dadanya. Angka 212......" "Pendekar 212 Wiro Sableng!" Saat itu Kelela- war Pemancung Roh berucap, mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut-janggut kasar, berpikir mengingat- ingat.
 "Kalau tidak salah aku menduga, pemuda itu adalah murid Sinto Gendeng! Hemmm." Kelelawar Pe- mancung Roh menyeringai.
 "Lanjutkan keteranganmu. bagaimana ciri-ciri orang yang didukung?"
 "Seorang nenek berpakaian hitam dan kain panjang butut... Di mulutnya selalu menyumpal susur. Sosoknya menebar bau pesing. Mukanya seperti teng- korak. Di atas kepalanya menancap lima tusuk konde dari perak..." 
Mahluk bernama Kelelawar Pemancung Roh terlonjak dari duduknya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Kepalanya hampir menyondak atap gubuk. "Tuyul orok, apakah kau tidak salah melihat?"
 "Aku melihat dengan mata setajam pisau. Tidak mungkin setelah melihat aku mengatakan yang salah." 
"Tuyul orok, ini adalah aneh...!"
 "Pemimpin, maafkan diriku kalau aku lancang bertanya. Apakah yang aneh?"
 "Ciri-ciri orang yang kau katakan itu jelas dia adalah nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Tetapi..." 
"Tetapi apa pemimpin?"
 "Nenek itu sudah mampus beberapa waktu yang lalu!"
 "Mampus?!" Mahluk bernama Tuyul Orok berdi- ri tegak, kembangkan sayap ke samping. Ternyata tingginya hanya se pusar Kelelawar Pemancung Roh yang duduk di batu. "Aku sendiri yang membunuhnya. Dengan ra- cun Seribu Hawa Kematian. Dia mampus tumpang tindih dengan kakek bernama Suro Ageng, bekas ke- kasihnya di masa muda. Aku yang melakukan, aku yang menyaksikan! Sekarang kau membawa berita bahwa nenek jahanam itu masih hidup! Muncul didu- kung oleh muridnya sendiri. tengah menuju ke Teluk Akhirat ini!"
 "Demi segala setan dan jin penghuni Teluk Akhirat, aku tidak berdusta. Aku mengatakan ciri-ciri si nenek sesuai apa yang aku lihat. Apakah dia Sinto Gendeng, apakah dia sudah mampus kemudian hidup kembali, atau rohnya yang gentayangan, mohon maafmu, aku tidak tahu menahu..." Kelelawar Pemancung Roh menyeringai, Usap- usap dua telapak tangannya satu sama lain, tampang- nya yang angker tampak menggelap. Matanya dipe- jamkan. Dadanya turun naik dan nafasnya memburu. "Sinto Gendeng..." Mahluk di atas batu itu be- rucap dengan suara bergetar.
"Empat puluh tahun lalu kau membantai delapan orang saudaraku! Hari ini pembalasan akan menimpa dirimu! Kau akan ku siksa habis-habisan sebelum nyawamu kurenggut dari tu- buh busukmu!" 
Dengan kedua tangannya Kelelawar Pemancung Roh menekan ke bawah sayap kelelawar batu sanda- ran tempat duduknya. Terdengar suara berdesir halus. Secara aneh lantai di bawah batu yang merupakan ta- nah keras bergerak membuka. Bersamaan dengan itu kursi batu yang diduduki Kelelawar Pemancung Roh amblas ke bawah. Lenyap tanpa bekas. Yang tinggal kini hanya gubuk sepi yang sesekali mengeluarkan su- ara berderik ketika disapu hembusan keras angin dari teluk.

 * * *

VII
SINTO GENDENG LENYAP LAGI 
PENDEKAR 212 Wiro Sableng melangkah di atas pasir pantai. Di atas pundaknya Sinto Gendeng duduk terpejam-pejam disapu angin laut. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. 
"Nek, sebenarnya apa yang terjadi dengan diri- mu waktu berada di telaga?" Wiro bertanya sambil te- rus berjalan.
 "Aku kembali ke telaga. Kau tidak ada. Di sebuah batu aku lihat menancap sebuah benda. Kuki- ra tusuk sate. Tak tahunya konde perakmu!"
 "Anak setan sialan!" maki Sinto Gendeng men- dengar tusuk kondenya disamakan dengan tusuk sate. 
"Kau melihat tusuk konde ku! Apa yang kau lakukan?! Ayo! Pasti kau sembunyikan! Lekas serahkan padaku atau ku jewer daun telingamu sampai copot dua- duanya!" Jari-jari tangan si nenek langsung hinggap di daun telinga kiri kanan Pendekar 212 Wiro Sableng. 
"Aduh suaakit! Jangan Nek," teriak Wiro. 
"Geblek! Ku pelintir-pun belum! Sudah menjerit setinggi langit! Mana tusuk konde ku?!" "Ada Nek... ada!" Dari balik pakaian putihnya Wiro keluarkan sebuah benda. Benda itu diacungkan ke atas. Dua mata Sinto Gendeng mendelik. 
"Kurang ajar! Mengapa jadi bengkok?!"
 "Tentu saja bengkok Nek! Yang kau hantam ba- tu besar di tepi telaga. Coba kalau pantatnya Ki Ta- wang Alu! Pasti tidak bengkok! Malah patah!" Wiro ter- tawa gelak-gelak. 
"Anak setan sialan!" rutuk Sinto Gendeng lalu cepat-cepat mengambil tusuk konde yang dipegang Wi- ro. Setelah diluruskan tusuk konde itu langsung dis- isipkannya di atas kepala. Bukan disisipkan di antara rambutnya yang putih jarang, tapi disisipkan di kulit kepalanya! 
"Aku sudah mengembalikan tusuk konde mu! Sekarang apa kau masih tidak mau bercerita keja- diannya hingga kau bisa dikerjai oleh kakek muka pu- tih bernama Tawang Alu itu?"
 "Apa kejadiannya! Kau masih bertanya. Padahal aku yakin kau sudah tahu! Jelas aku diculik setan muka putih yang sekarang sudah jadi debu di tungku api itu!" 
"Aku merasa aneh Nek. Kalau aku pikir-pikir ilmu kepandaianmu jauh berada di atas kakek itu. Tapi mengapa dia bisa menculik mu? Jangan-jangan kau yang sengaja minta diculik... 
Aduh!" Wiro menjerit ke- tika telinga kiri kanan dipelintir si nenek. 
"Jangankan aku! Orang gila-pun tidak ada yang minta diculik! Apa lagi oleh kakek jelek bermuka putih pucat seperti kain kafan itu!"
 "Muka atasnya memang pucat jelek Nek. Tapi belum tentu muka bawahnya! Mungkin merah mengki- lap. Hua...ha..." 
Tawa Pendekar 212 tertahan lenyap lalu ber- ganti dengan jerit kesakitan karena kembali si nenek memelintir dua daun telinganya. 
"Ampun Nek, kau memang diculik, bukan min- ta diculik!" kata Wiro pula sambil tangannya kiri kanan bergantian mengusap telinganya yang perih pedas. 
"Aku tanya lagi Nek. Boleh...?" Sinto Gendeng diam. Wiro menyeringai. 
"Kau diam. Berarti boleh!" Sang murid enak saja mengambil kesimpulan. 
"Waktu kau diculik, apa kau masih berbugil-bugil di dalam te- laga?" 
"Benar-benar anak setan!" maki Sinto Gendeng.
"Bukankah kau menurunkan aku di tempat yang dangkal? Aku berendam, sesekali menyelam. Ketika aku selesai mandi, baru saja selesai berpakaian dan hendak berteriak memanggilmu tiba-tiba kakek itu muncul. Membokongku dari belakang. Aku mencabut tusuk konde ku lalu menghantamnya dengan benda itu. Tapi meleset. Walau sudah berada di pinggir telaga tapi aku tak bisa berbuat banyak karena dua kakiku lumpuh. Kakek jahanam itu berhasil membokongku dari belakang dengan Totokan Seribu Syaraf! Begitu kejadiannya kalau kau mau tahu! Dia sengaja mencu- lik ku untuk memaksa agar kau menyerahkan kalung kepala srigala perak!"
"Oh begitu kejadiannya," kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala. 
Pantai yang ditelusuri Wiro membentuk satu lekukan dalam di depan sana. Kecuali suara deburan ombak, keadaan di tempat itu tenang-tenang saja. An- gin bertiup sejuk. 
"Aneh, di pantai seperti ini biasanya banyak pe- rahu mangkal. Di laut perahu nelayan bertebaran dan di pantai banyak rumah penduduk. Aku tidak melihat semua itu..." Selagi Wiro membatin bertanya-tanya dalam hati, di atas pundaknya Sinto Gendeng berucap seperti orang membaca syair. 
"Udara segar, angin sejuk, pemandangan indah. Sungguh sedap dipandang mata. Betapa bahagia ra- sanya hidup ini..." 
"Dasar nenek gendeng," kata Wiro dalam hati. Dua kakinya lumpuh, masih bisa bilang betapa baha- gianya hidup ini. Aku tersiksa mendukungnya kema- na-mana, dikencingi! Dan dia masih bisa bilang betapa bahagia rasanya hidup ini! Tua bangka geblek!" 
"Anak setan! Aku merasa pasti ada sesuatu yang kau ucapkan dalam hati!" Sinto Gendeng tiba-tiba menegur. 
"Nek, kau tadi enak saja bicara. Lihat ke depan. Laut dan daratan membentuk teluk. Kita sudah berada di kawasan Teluk Akhirat, sarang mahluk jahanam yang telah mencelakai dirimu. Membuatmu lumpuh dan menyebabkan aku kebagian pekerjaan tidak enak, mendukungmu kemana-mana! Dari pada berucap yang aneh-aneh lebih baik mulai berlaku waspada!" Sinto Gendeng tertawa pendek. Tanpa perduli- kan ucapan muridnya nenek kembali membuka mulut. 
"Udara segar, angin sejuk, pemandangan indah. Sungguh sedap dipandang mata. Betapa bahagia rasanya hidup ini. Tetapi... tetapi mengapa mendadak hidungku mencium bau amis. Amisnya darah! Ih!"
 "Nek, kencing mu yang menempel di tengkuk ku sudah cukup membuat aku merinding. Jangan tambah dengan omongan yang membuat aku tambah bergidik..." Sinto Gendeng masih tidak perdulikan ucapan muridnya. 
"Kata orang Teluk Akhirat banyak kelelawar- nya. Kelelawar yang bisa menggerogoti tubuh manusia hingga berubah menjadi jerangkong putih! Hik...hik! Tapi aku masih belum melihat binatang-binatang itu. Jangankan kelelawar, lalatpun tak ada di teluk ini. Jangan-jangan kita datang ke tempat yang salah, Wiro. Ini bukan Teluk Akhirat tapi Teluk Sorga! Hik...hik...hik!" 
Belum habis tawa si nenek tiba-tiba langit di sebelah timur kelihatan gelap. Si nenek tenang-tenang saja. Wiro mendongak, memandang ke atas. Dia meli- hat puluhan burung aneh melayang di udara, melesat ke arah teluk. Deru sayapnya menggemuruh, menindih suara deburan ombak. 
"Astaga, itu bukan burung! Tapi kelelawar! Nek! Ada ratusan kelelawar terbang menuju ke sini!"
 "Aku sudah melihat! Mengapa musti terkejut! Binatang itu yang menebar bau amis yang tadi aku cium!"
 "Nek, lihat! Ratusan kelelawar itu menukik ke arah kita!" Wiro berteriak. 
"Aku sudah melihat! Kau berteriak seperti orang ketakutan!" ujar Sinto Gendeng sambil pindah- kan susur dari samping kiri ke kanan mulutnya. 
"Kelelawar itu bukan kelelawar biasa! Besar- besar! Mereka menukik menyerang kita!" teriak Wiro lagi. Puluhan kelelawar semakin dekat, melayang dengan suara bergemuruh, jelas-jelas melesat ke arah Wiro dan Sinto Gendeng yang berada di pantai teluk, di tempat terbuka.
 "Binatang itu pasti peliharaan Kelelawar Pemancung Roh! Pasti mahluk itu yang menyuruh mere- ka menyerbu kita!" 
"Anak setan! Kalau kau sudah tahu diri mau diserang, mengapa cuma omong melulu! Lakukan se- suatu!" Sinto Gendeng membentak.
 "Kau yang harus melakukan sesuatu Nek! Bu- kan aku! Karena kau berada lebih tinggi! Kau yang bakal di geragot lebih dulu!" teriak Wiro saking jeng- kelnya.
 Walau bicara seperti itu tapi dia mulai berusa- ha mencari selamat yakni lari ke arah deretan rapat pohon-pohon kelapa di tepi pantai. Pohon-pohon itu bisa dijadikan sebagai perlin- dungan dari serbuan kelelawar. Suara kepak puluhan kelelawar, suara aneh yang melesat keluar dari mulut binatang-binatang itu benar-benar menggidikkan. Wiro berhasil mencapai deretan pohon-pohon kelapa terdepan. Dia jatuhkan diri ke tanah, tidak per- duli bagaimana akibatnya dengan guru yang berada di pundaknya. Si nenek terhempas jatuh, terguling berke- lukuran. Keningnya membentur salah satu tiang gu- buk hingga benjut dan tiang itu sendiri patah! Sinto Gendeng menyumpah panjang pendek! Dia menggapai beringsut ke depan lalu jatuhkan diri menelungkup di atas tanah keras lantai gubuk. Sementara itu pada saat yang sama puluhan kelelawar datang melabrak. Wiro menelungkup sama rata dengan tanah. Puluhan kelelawar lewat di atasnya. Pasir beterbangan. Rerumputan liar terbongkar. 
"Plaakkk! Plaakkk! Braaakkk!" Kulit keras batang pohon kelapa hancur ber- keping-keping dihantam sayap kelelawar. Binatang- binatang ini menguik keras karena tak berhasil meng- hantam Wiro. Mereka melesat berputar di sela-sela po- hon kelapa lalu membalik, melancarkan serangan un- tuk kedua kalinya. Yang diserbu hanya Wiro sementa- ra Sinto Gendeng masih melingkar di bawah atap gu- buk, kembali terdengar memaki pendek. Pada serangan kedua kelelawar-kelelawar itu melayang sangat rendah. Hanya setengah jengkal dari permukaan tanah. Wiro tidak mungkin menghindar la- gi. Tak ada jalan lain. Murid Sinto Gendeng hantam- kan kedua tangannya. Tangan kiri melepas pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Ini merupakan sa- tu pukulan sakti untuk membentengi diri dari seran- gan, sekaligus merupakan serangan untuk menghan- tam lawan. Dengan tangan kanannya Wiro melepas pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung. Ratusan kelelawar mengeluarkan suara men- guik dahsyat. Tubuh mereka terpental jauh, ada yang melesat sampai melebihi tingginya pohon kelapa. Pu- luhan terlempar dan jatuh bergedebukan di tanah. Ada pula yang terpental menghantam pohon-pohon kelapa. Beberapa pohon kelapa menderak patah lalu tumbang dengan suara menggemuruh. Tetapi aneh dan luar bi- asanya, tidak satupun dari kelelawar-kelelawar itu yang cidera! Bahkan setelah kena dihantam dua puku- lan dahsyat begitu rupa, puluhan kelelawar keluarkan suara menggembor, kepakkan sayap. melesat ke udara lalu menyambar kembali ke arah Pendekar 212! 
"Gila! Bagaimana mungkin binatang celaka itu tidak satupun hancur dihantam pukulan sakti ku!" 
Wi- ro terbeliak kaget! Rasa heran sekaligus kecut ngeri Pendekar 212 memang beralasan. Pohon kelapa saja patah bertumbangan kena sambaran dua pukulan sakti yang tadi dilepaskannya. Tetapi kelelawar- kelelawar itu tidak satupun yang cidera, malah kini kembali siap melancarkan serangan! 
"Gila! Binatang jahanam itu hendak menyerang kembali! Mengapa cuma aku yang diserang, guruku ti- dak? Apa kelelawar itu jijik pada tubuhnya yang jelek dan bau pesing?!"
 "Berrr..... berrrr!" Ratusan kelelawar kembali menyerbu. Suara kepak sayap mengerikan, serta menguik aneh yang ke- luar dari mulut mereka pekak menggidikkan. Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya di- angkat, berubah memutih laksana perak. Puluhan kelelawar datang bergemuruh. Cela- kanya kini mereka tidak datang dari arah; yang sama, tapi menyambar bersilangan dari berbagai jurusan! Wiro gerakkan tangan kanan dua kali berturut- turut.
 "Wussss!" "Wussss!" Dua larik sinar putih panas menyilaukan ber- kiblat. Puluhan kelelawar menguik dahsyat. Tubuh mereka mencelat cerai berai dalam keadaan hangus, menebar bau menegakkan bulu roma! 
"Brettt!" "Craaaass!" Wiro mengeluh kesakitan. Ketika dia meneliti pakaiannya robek besar di sebelah dada sementara bahu kirinya mengucurkan darah dari luka terkena sambaran sayap kelelawar. Puluhan kelelawar yang masih hidup untuk be- berapa lamanya hanya berkelebat di antara pohon- pohon kelapa. Mungkin juga binatang-binatang itu ngeri melihat apa yang terjadi dengan puluhan kawan- kawan mereka. Tapi sebenarnya tidak. Binatang- binatang ini tidak mempunyai rasa takut. Mereka ten- gah menunggu sesuatu! Tiba-tiba terdengar suara suitan keras tiga kali berturut-turut. Puluhan kelelawar yang beterbangan liar di atas kepala Pendekar 212 keluarkan suara men- guik seolah membalas suara suitan tadi. Lalu bina- tang-binatang itu berkelebat ke atas, bergelantungan di pelepah pohon-pohon kelapa. Diam tak bergerak, hanya mata mereka yang coklat gelap kelihatan me- mandang menyorot ke arah Pendekar 212. Sikap me- reka jelas mengurung sambil menunggu sesuatu. Tak selang beberapa lama dari arah teluk keli- hatan sekelompok benda aneh melayang cepat ke arah kawasan pohon-pohon kelapa. Sebentar saja mereka sudah ikut bergelantungan di dahan-dahan pohon ke- lapa. Jumlah mereka sekitar tiga puluhan. Ketika Wiro memperhatikan, berubahlah wajah sang pendekar. Da- rahnya tersirap. Mahluk-mahluk yang barusan muncul ini memiliki sayap coklat kehitaman seperti kelelawar. Tetapi kepala mereka berbentuk kepala bayi. Luar bi- asa dan mengerikan, ketika menyeringai kelihatan mu- lut berlidah basah berwarna sangat merah. Lalu bari- san gigi-gigi merupakan taring lancip mencuat keluar. Lima diantara sekian banyak mahluk aneh ini memiliki kepala dihias sebuah gambar bintang hitam d ubun- ubun. Hanya satu memiliki sekaligus gambar dua bin- tang di batok kepalanya. Yang lain-lain memiliki kepala licin botak plontos! 
Wiro berusaha menindih rasa bergidiknya. Di melirik ke samping ke arah gubuk tanpa dinding dan jadi terkejut ketika dapatkan Eyang Sinto Gendeng tak ada lagi di tempatnya semula. 
"Eyang! kau dimana?! Eyang Sinto!" teriak Wiro memanggil. Tiba-tiba ada suara tertawa bergelak. Seekor kelelawar kepala bayi, yang ubun-ubunnya ada gam- bar dua buah bintang berkelebat. Sesaat kemudian mahluk ini sudah tegak di depan Wiro. Lidahnya yang merah basah terjulur-julur, taringnya mencuat. 
"Kau mencari nenek jelek itu? Ha...ha...ha! Mahluk bertubuh kelelawar berkepala seperti bayi yang adalah si Tuyul Orok mengumbar tawa.
 "Mahluk jahanam! Guruku memang jelek. Tapi jangan berani menghina!" Wiro hantamkan kaki ka- nannya, menendang Tuyul Orok. Tendangan ini bukan sembarangan karena disertai tenaga dalam. Jangan- kan sosok mahluk sebesar Tuyul Orok, batupun bisa hancur. Tapi dengan gesit dan cepat Tuyul Orok berke- lebat ke kiri lalu plaakk.... Sayapnya menyambar ke depan. 
Wiro terpekik Memandang ke bawah dilihatnya celananya robek besar. Kakinya sebelah kanan mengu- curkan darah. Tulang keringnya kelihatan tersembul memutih. Tuyul Orok kembali tertawa gelak-gelak. Begitu suara tawanya berhenti dia keluarkan suara bersuit panjang. Puluhan kelelawar kepala bayi yang bergelan- tungan di pohon kelapa balas bersuit. 
"Kawan-kawan! Kita sudah lama tidak menik- mati daging manusia! Santapan sudah tersedia! Tung- gu apa lagi?!" Puluhan kelelawar kepala bayi julurkan lidah hingga cairan merah berlelehan ke dagu. Lalu didahu- lui suara menguik dahsyat binatang-binatang itu ke- pakkan sayap, berkelebat ke bawah, menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng! 

TAMAT 
Segera terbit : NYAWA PINJAMAN


Artikel Terkait:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...