Senin, 04 Januari 2010

Wiro Sableng Episode # 55 : Misteri Dewi Bunga Mayat

posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito

SATU

DI DALAM KEDAI yang tak seberapa besar itu hawa terasa hangat dan pengap padahal di luar hujan rintik-rintik dan angin bertiup cukup keras. Pendekar 212 Wiro Sableng seharusnya sudah sejak tadi meninggalkan kedai dengan perut kenyang. Namun seorang dara berwajah manis yang setiap mata lelaki tak mau berkesip memandangnya, membuat murid Sinto Gendeng itu tak beranjak dari bangku yang didudukinya.
Si jelita itu makan dengan tenang di sudut kedai. Kepalanya hampir selalu tertunduk. Namun dari tempatnya duduk Wiro bisa melihat hampir keseluruhan wajah yang cantik itu. Sang dara mengenakan pakaian putih sebentuk kebaya panjang dengan kancing besar-besar yang tebuat dari kain putih. Dia tidak mengenakan kain panjang sebagaimana biasanya orang memakai kebaya, tetapi mengenakan sehelai celana panjang sebatas betis juga berwarna putih. Sebagian betisnya yang tersembul tampak kukuh walaupun tidak menyembunyikan kemulusan dan kelembutan serta keputihan sebagai betis seorang dara.
Di luar kedai udara malam terasa dingin dan suasana tampak tenang sunyi. Namun jika kita memalingkan kepala kea rah pohon besar di halaman sebelah kedai, tampaklah empat orang lelaki muda mendekam dalam gelap bebayangan pohon, duduk tak bergerak di atas kuda masing-masing. Seekor kuda putih tertambat tak jauh dari sana. Lalu masih ada seekor kuda lagi di samping kedai yang tidak terikat dan berjalan perlahan-lahan mencari rerumputan.
“Sudah kukatakan sebaiknya kita masuk saja ke dalam kedai itu. Kita tak tahu sampai berapa lama dia berada disana sementara kita kedinginan disini…” salah seorang pemuda penunggang kuda membuka mulut.
“Gandring! Jangan bicara tolol!” temannya membentak perlahan. “Aki Sukri pemilik kedai itu kenal kita. Apa kau mau mencari penyakit kalau kemudian dia bertindak menjadi saksi?!”
Gandring yang dibentak diam saja. Seorang kawan yang lain berkata sambil menyeringai, “Kenapa udara dingin jadi persoalan? Bukankah nanti kita semua bisa berhangat-hangat dengan si jelita itu?!”
“Sebenarnya siapakah calon korban kita kali ini?!“ bertanya lelaki ke empat yang duduk di punggung kuda sambil menghisap sebatang rokok kawung.
“Soal siapa dia atau siapa namanya kurasa tidak perlu. Yang penting, sore tadi kita sudah melihat bagaimana wajahnya secantik bidadari. Kulitnya kuning mulus seperti kulit puteri kerajaan. Lalu pinggangnya yang ramping sedang dada serta pinggulnya yang begitu besar…!” Pemuda yang bicara ini membasahi bibirnya dengan ujung lidah sementara tenggorokan tiga kawannya tampak bergerak-gerak tanda mereka sama menelan air liur. “Seperti biasa, aku pemimpin diantara kita berempat. Jadi pantas kalau nanti aku yang lebih dulu menikmatinya. Ha…ha…ha…!” Pemuda itu tertawa perlahan sementar tiga kawannya tampak merengut.
“Jumpadi… Kau selalu mementingkan diri sendiri. Dalam segala hal selalu ingin duluan, dalam pembagian selalu ingin lebih besar. Sekali-sekali kami anak buahmu pantas juga mendapat perolehan lebih besar dan tidak cuma mendapatkan bekasmu!”
Pemuda bernama Jumpadi berpaling. “Bladu…! Kau rupanya punya niat hendak mengambil kedudukan pimpinan dari tanganku?!” bertanya Jumpadi dengan mata melotot. Yang ditanya diam saja. Jumpadi meneruskan, “Aku sudah berapa kali mengatakan. Jika ada di antara kalian ingin jadi pimpinan rombongan kita silakan saja. Tapi harus melewati mayatku lebih dulu. Jika ada yang tidak suka dan ingin mengundurkan diri, juga aku persilakan. Satu pergi ada sepuluh orang yang ingin bergabung denganku!”
“Sudahlah, kenapa kalian jadi bertengkar. Lihat ke kedai. Ada orang melangkah keluar!” berkata pemuda bernama Ambalit. Mendengar ucapannya itu tiga pemuda lainnya serta merta palingkan kepala ke arah pintu kedai. Di ambang pintu yang masih terkena cahaya lampu minyak dari dalam kedai kelihatan melangkah keluar seorang berpakaian serba putih.
“Memang dia yang kita tunggu-tunggu!” kata Jumpadi. Lalu pada ketiga temannya dia berkata, “Kita tetap tenang saja. Jangan memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Tunggu sampai dia naik ke atas kudanya dan pergi. Jika aku bergerak baru kalian ikut bergerak. Awas, jangan berani mendahuluiku!”
Empat pasang mata memperhatikan dara berpakaian putih keluar dari dalam kedai, melangkah ke arah kudanya yang tertambat di halaman depan. Dia melangkah seperti tidak melihat ada empat penunggang kuda mendekam di bawah pohon besar yang gelap. Dengan tenang dia melepaskan tambatan kudanya lalu naik ke atas punggung binatang berwarna putih ini.
Sesaat setelah sang dara berlalu baru Jumpadi menarik tali kekang kuda tunggangannya. Tiga kawannya langsung membedal kuda masing-masing. Di pintu pondok Pendekar 212 Wiro Sableng sempat melihat gerakan empat penunggang kuda itu. Selain dia sendiri memang ingin mengikuti gadis berkebaya putih tadi, empat orang lelaki penuunggang kuda yang barusan berlalu membuat hatinya jadi curiga. Wiro memandang berkeliling. Celakanya dia tidak memiliki kuda. Bagaimana harus mengejar orang-orang itu? Ketika dia memandang berkeliling sekali lagi, dilihatnya ada seekor kuda di halaman samping tengah asyik merumput di kegelapan malam.
Tanpa pikir panjang lagi Wiro langsung menghampiri binatang ini, mengusap tengkuknya lalu melompat ke atas punggungnya. Di saat yang bersamaan dari pintu kedai keluar Aki Sukri pemilik kedai yang sekaligus si empunya kuda. Melihat kudanya dibedal orang diapun berteriak sambil mengejar. “Hai! Kudaku! Jangan kau larikan! Maling….! Pencuri kuda!”
“Aku tidak mencuri! Aku hanya meminjam kudamu!” teriak Wiro lalu menghambur lenyap di kegelapan malam. Aki Sukri yang sudah tua tentu saja tak mungkin mengejar. Marah dan penasaran dia mengambil batu dan melempar ke arah Wiro. Tapi yang dilempar sudah menghilang di kejauhan.
Gadis berpakaian putih itu meskipun tahu ada orang-orang mengejarnya tetap saja menunggangi kuda dengan sikap tenang bahkan seperti santai. Dalam waktu cepat empat pemuda itu berhasil mendekatinya. Saat itulah sang dara menyentakkan tali kekang tunggangannya. Kuda putih itu laksana anak panah melesat dari busurnya, melompat sebat meinggalkan para pengejar. Empat pemuda jadi penasaran. Mereka memacu kuda, meneruskan pengejaran sekencang-kencangnya. Hampir keempatnya mendekati si gadis dan mencapai kuda putih itu, tiba-tiba si gadis kembali menggebrak tunggangannya meninggalkan empat pemuda jauh di belakang.
“Kurang ajar!” maki Jumpadi. Pemuda ini kenal betul seluk beluk jalan yang ditempuhnya, termasuk daerah sekitar situ. Maka diapun berteriak pada tiga kawannya, “Gadis itu sengaja mempermainkan kita! Ambil jalan sebelah kanan. Kita pasti bisa memotong jalannya sebelum dia mencapai jembatan bambu di Kali Wates!”
Maka empat kuda itu tampak membelok ke kanan, menyusuri kaki bukit kecil terus menuju selatan. Dalam waktu singkat mereka berhasil mencapai jembatan bambu yang dikatakan Jumpadi tadi. Di sini mereka berjejer dua di sisi kiri, dua di sisi kanan. Sebentar lagi dara berbaju putih itu pasti akan muncul.
Di kejauhan memang terdengar suara kaki kuda dipacu mendatangi. Sesaat kemudian tampak penunggang berpakaian putih tapi kudanya berwarna coklat kehitaman.
“Bangsat! Bukan dara itu!” kertak Jumpadi marah. Yang muncul ternyata adalah seorang pemuda berpakaian putih, berambut gondrong dan bukan lain adalah murid Sinto Gendeng! Ketika Jumpadi hendak memaki lagi, di belakang mereka terdengar suara kuda meringkik. Heran tapi juga terkejut Jumpadi dan tiga kawannya palingkan kepala. Astaga! Apa yang mereka lihat! Di jalan di seberang jembatan bambu tampak seekor kuda putih dan penunggangnya tegak membelakangi.
“Itu dia!” seru Ambalit.
“Aneh! Bagaimana mungkin dia sampai di seberang sana lebih dulu dari kita?!” Jumpadi berkata penuh heran.
“Jumpadi, lihat! Gadis itu mengunggangi kudanya perlahanlahan. Seperti sengaja menunggu kita!” berkata Bladu.
“Dia bukan menunggu, tapi benar-benar mempermainkan kita!” ujar Gandring.
Rahang Jumpadi menggembung. “Saat ini dia bisa mempermainkan kita. Tapi lihat nanti! Nanti aku yang akan mempermainkannya sampai dia menjerit minta ampun!”
Habis berkata begitu Jumpadi menggebrak kudanya. Tiga pemuda lainnya menyusul mengejar. Dan di belakang mereka Pendekar 212 Wiro Sableng kembali mengikuti. Celakanya kuda yang ditunggangi Wiro tidak mampu berlari cepat dan dalam perjalanannya sudah beberapa kali membuang kotorannya.
“Binatang sontoloyo!” maki Wiro. “Kotoranmu saja yang banyak. Larimu seperti siput!”

* * *


DUA

KEJAR MENGEJAR ANTARA dara berbaju dan berkuda putih dengan empat pemuda itu berlansung terus hampir sepeminuman teh sementara dengan kuda bututnya Wiro masih terus mengikuti walau tertinggal jauh di belakang.
“Jumpadi, lihat!” Gandring tiba-tiba berseru. “Gadis yang kita kejar itu mengambil jalan ke kanan, mengarah ke bukit!”
“Kalau dia menuju ke sana memangnya mengapa?!” sentak Jumpadi yang saat itu tengah jengkel karena masih belum berhasil mendekati apalagi menangkap dara yang tengah mereka kejar.
“Itu jalan menuju pekuburan Batuwungkur!” menyahuti Gandring.
“Ke nerakapun aku akan tetap mengejarnya!” kata Jumpadi pula. “kalau kau dan yang lainnya merasa takut, kembali saja! Biar aku sendiri meneruskan pengejaran! Tapi awas! Jangan nanti kalian ribut-ribut karena tidak mendapat bagian!” Lalu Jumpadi menggebrak kudanya agar lari lebih kencang.
Batuwungkur memang sebuah daerah pekuburan yang terletak di sebuah bukit yang cukup tinggi. Walaupun hari malam dan hujan turun rintik-rintik saat itu, namun karena pekuburan merupakan kawasan yang terbuka, dengan jelas tampak dara berbaju putih bersama kudanya berhenti di salah satu bagian pekuburan, menghadap ke arah utara dari mana para pengejarnya akan segera muncul. Tak lama kemudian empat pemuda itu sudah kelihatan di arah masuk pekuburan. Sang dara mengelus kepala kuda putihnya beberapa kali lalu berbisik, “Kuda, kau pergilah. Aku kedatangan tamu yang harus kulayani sebaik-baiknya…”
Kuda putih itu seolah mengerti, geserkan pipinya ke tangan sang dara lalu tinggalkan tempat itu. Saat itu udara di bukit dingin sekali. Di beberapa bagian tampak kabut menutupi pemandangan. Tak lama kemudian empat pemuda pengejar sampai di pekuburan Batuwungkur. Sesaat mereka berhenti di arah jalan masuk dan memandang ke depan.
“Gadis itu jelas menuju ke pekuburan ini!” desis Jumpadi.
“Tapi aneh orang dan kudanya sama sekali tidak kelihatan…?! Tak mungkin dia bersembunyi. Sama sekali tak ada tempat untuk berlindung…”
Jumpadi memandang pada tiga temannya lalau berkata, “Ikuti aku…”
Dengan perlahan-lahan ke empat orang itu memasuk daerah pekuburan. Jumpadi di sebelah depan, tiga kawannya mengikuti dengan rasa was-was. Sampai di bagian tengah pekuburan masih belum terlihat orang yang mereka cari.
Kabut di sebelah timur bukit perlahan-lahan turun ke tanah. Saat itulah keempat pemuda tadi sama melihat dara berbaju putih itu duduk di atas sebuah batu, di bawah sebatang pohon kemboja kecil. Disampingnya ada sederetan makam. Makam yang paling dekat sudah sangat rusak kayu nisannya sehingga tak bisa terbaca siapa nama penghuninya.
“Jumpadi… Gadis itu ada di sebelah sana. Duduk di bawah pohon kemboja…” bisik Bladu.
“Aku sudah melihatnya!” jawab Jumpadi. Lalu tidak seperti kawan-kawannya yang merasa was-was, dengan hati yang sudah terbakar nafsu dia membawa kudanya ke arah gadis berbaju putih duduk di bawah pohon. Tiga pemuda lain sesaat saling pandang. Akhirnya ketiganya bergerak juga mengikuti. Pada saat itulah terdengar suara orang menyanyi. Nyanyian itu seperti datang dari kejauhan tetapi cukup jelas masuk ke dalam telinga empat pemuda tadi.
Jika hidup di dunia tidak berguna
Kematian memang lebih pantas bagi manusia
Ada yang mati karena nasib sengsara
Tapi banyak yang mati karena sengaja mencari sengsara
Jumpadi dan kawan-kawannya terhenti sesaat begitu mendengar suara nyanyian itu.
“Siapa yang menyanyi…?” bisik Ambalit.
“Itu suara perempuan. Mungkin gadis yang duduk dekat makam itu yang menyanyi…” menyahuti Bladu. Suaranya bergetar tanda ada rasa takut dalam dirinya.
“Tak ada setan di sini! Yang menyanyi jelas dara berbaju putih itu!” ujar Jumpadi lalu kembali bergerak ke arah gadis yang duduk di atas batu, tidak menmperdulikan ucapan Gandring yang mengatakan bahwa dia tidak melihat kuda putih milik gadis itu.
“Tidak disangka! Kau bukan saja cantik jelita tapi ternyata juga pandai menyanyi…” Jumpadi berucap begitu sampai di hadapan sang dara yang duduk membelakanginya. Punggung dan pinggulnya tampak lebar sementara pinggangnya begitu tamping. Rambutnya yang panjang tergerai lepas di bahu.
Tanpa berpaling terdengar si gadis bertanya, “Kau suka nyanyianku tadi rupanya…?”
“Tentu saja! Siapa orangnya yang tidak suka mendengar suara semerdu buu perindu dari seorang jelita secantik bidadari…!”
“Ah, apakah kau pernah melihat bidadari…?” bertanya si gadis masih tidak memalingkan kepala ataupun memutar duduknya.
“Belum. Tapi jika memang ada aku yakin bidadari itu secantik dirimu. Namaku Jumpadi. Siapakah namamu…?”
“Kau sudah menganggap aku bidadari. Panggil saja aku dengan nama itu. Hai… tadi kau bilang suka mendengar nyanyianku. Apa kau ingin mendengarkannya sekali lagi…?”
Jumpadi memandang pada tiga kawannya yang saat itu sudah berjejer di sampingnya. “Tentu… tentu saja aku suka mendengar nyanyianmu tadi.”
“Hanya kau sendiri? Bagaimana dengan tiga kawanmu lainnya?” Jumpadi menoleh pada tiga kawannya dan menganggukkan kepala memberi isyarat. Maka Bladu, Ambalit, dan Gandring langsung menjawab, “Kami bertiga juga ingin mendengar suara merdu nyanyianmu tadi…”
“Bagus. Jangan cuma mendengarkan saja tapi juga coba kalian resapi makna nyanyian itu…” berkata gadis baju putih. Lalu kembali dia menyanyi seperti tadi.
Jika hidup di dunia tidak berguna
Kematian memang lebih pantas bagi manusia
Ada yang mati karena nasib sengsara
Tapi banyak yang mati karena sengaja mencari sengsara
Begitu suara nyanyian sirap, tempat itu berada dalam kesunyian sebelum tiba-tiba kembali terdengar suara sang dara berkata.
“Kalian sudah mendengar nyanyianku. Sekarang katakan apa maksud kalian mengejarku dan menemuiku di tempat ini…”
“Ah…hem… Kami empat pemuda yang suka bersedekah, memberi derma pada sesama, terutama pada gadis secantikmu ini…” jawab Jumpadi sambil menyeringai.
“Maksudmu..?”
“Maksudku kami suka sekali memberi sedekah kenikmatan hidup. Itulah sebabnya kami mengejarmu…”
“Hem… begitu? Kenikmatan hidup macam apa yang kau maksudkan? Bicaralah yang jelas agar aku mengerti…”
“Aku dan kawan-kawan akan membawamu ke satu tempat yang indah…”
”Tempat yang indah? Apakah tempat ini menurut kalian tidak indah? Cobalah kalian memandang berkeliling!”
Jumpadi dan kawan-kawannya jadi tercekat mendengar katakata si gadis itu. Bladu lalu membuka mulut.
“Tempat indah yang kamu maksudkan itu bukan di sini. Tapi satu tempat dimana kita bisa bersenang-senang…” Saat itu Jumpadi sudah turun dari kudanya dan melangkah mendekati.
Tiba-tiba terdengar suara si gadis tertawa. Tawa yang membuat Jumpadi hentikan langkahnya.
“Bersenang-senang… Manusia selalu ingin bersenag-senang. Walau terkadang tidak sadar bahwa dibalik kesenangan itu bersembunyi kesengsaraan…”
“Ah, kami tidak akan menyengsarakan gadis secantikmu, bidadariku…” ujar Jumpadi pula.
Lalu dengan satu gerakan kilat dan tiba-tiba pemuda ini tusukkan dua jari tangan kanannya untuk menotok punggung sang dara. Namun mendadak Jumpadi keluarkan seruan tertahan. Satu hawa yang mengandung kekuatan aneh seperti mendorong tangan kanannya sehingga dia tidak mampu melakukan totokan. Pemuda ini tidak mampu melakukan totokan. Pemuda ini lantas kerahkan tenaga. Akibatnya kii bukan saja tangannya yang terpental tapi tubuhnya juga terdorong sampai dua langkah. Sementara sang dara sendiri kembali perdengarkan suara tertawa. Lalu perlahan-lahan dia berdiri dari batu yang didudukinya, muemutar tubuh menghadapi Jumpadi dan tiga kawannya yang masih berada di atas punggung kuda masing-masing.
Sikap sang dara yang tegak dengan kaki terkembang dan tangan diletakkan di pinggangnya, membuat empat pemuda itu tambah blingsatan. Ambalit dan dua kawannya segera melompat turun dari kuda mereka.
“Betulkah kalian hendak bersenang-senang bersamaku..?” tibatiba sang dara ajukan pertanyaan blak-blakan yang membuat pemuda itu jadi terbeliak, dan lebih terbeliak lagi ketika mereka melihat bagaimana jari-jari tangan kiri sang dara membuka dua kancing teratas kebaya putihnya. Kelihatanlah dadanya yang putih membusung. Jumpadi yang berdiri paling depan malah bisa melihat celah diantara kedua payudaranya yang ketat. Menghadapi hal yang tidak terduga yaitu bahwa ternyata sang dara mengerti maksud mereka malah kini siap membuka pakaiannya, Jumpadi memberi isyarat pada tiga kawannya.
“Kalian bertiga tunggu di tempat jauh…” Tapi tiga pemuda hanya melangkah mundur sejauh dua tombak.
Jumpadi berpaling pada sang dara kembali dan berkata, “Jika bidadariku sudah mengerti maksud kami, disinipun kita bisa bersenang-senang. Bukankah katamu tadi tempat ini juga indah…?” Sang dara tersenyum dan anggukkan kepala.
Jari tangannya membuka kancing ketiga. Jumpadi merasa seperti dipanggang nafsu. Tangannya bergerak hendak meraba dada gadis di depannya tapi si gadis mundur seraya berkata, “Tunggu… Tidakkah kau mencium bau sesuatu…?”
Jumpadi mengendus. Lalu gelengkan kepala. “Bau apa? Aku tidak mencium bau apa-apa..!” jawabnya sementara kedua matanya tidak lepas dari dada yang tersingkap.
“Cobalah mengendus lebih dalam…” bisik si gadis dengan suara lirih yang membuat Jumpadi jadi luruh tapi juga tambah bernafsu. Jumpadi mendongak ke atas lalu mencium lama-lama dan dalam-dalam. Ketika kepalanya diturunkan dia berkata, “Ya… aku mencium sesuatu. Bau… bau… bunga…”
“Ah, penciumanmu ternyata tajam. Tapi bau bunga apa? Dapatkah kau mengatakannya…?”
“Itu bau bunga… bunga kenanga!”
“Kau betul! Kau menyebutnya bunga kenanga. Aku menyebutnya bunga orang mati. Bunga mayat!”
Habis berkata begitu sang dara keluarkan tawa. Mula-mula perlahan tapi lama-lama semakin keras.
Di hadapannya, Jumpadi yang sudah kelangsangan menahan nafsu kembali mendekat dan berbisik, “Bidadariku, mari kita pindah ke bawah pohon di sebelah sana. Di situ tanahnya lebih rata…”
Sang dara tersenyum dan menggeliat. Gerakan tubuhnya ini membuat bajunya yang tidak terkancing tambah tersingkap lebar. Jumpadi tak tahan lagi. Serta merta saja tubuh gadis itu diterkamnya. Jumpadi yang dilanda nafsu sama sekali tidak melihat bagaimana wajah cantik jelita yang tadi tersenyum kini tiba-tiba berubah. Senyum lenyap dan wajah itu kini membersitkan kebengisan luar biasa! Senyum berubah dengan seringai maut!
Hampir tak kelihatan gadis itu gerakkan tangan kanannya. Sebuah benda berwarna kuning melesat. Bau bunga kenanga yang sangat tajam menebar di udara malam. Lalu terdengar pekik Jumpadi!
* * *

TIGA

PEMUDA BERNAMA JUMPADI itu roboh ke tanah dan tak berkutik lagi. Tiga kawannya berteriak kaget lalu sama-sama memburu. Dan bergidiklah mereka melihat apa yang terjadi. Jumpadi menggeletak melintang di atas makam. Dia telah jadi mayat. Mukanya berlumuran darah. Kedua matanya mencelet. Diantara lumuran darah itu tampak menancap sekuntum bunga kenanga kuning. Dan disaat itu pula udara di situ dibuncah oleh bau bunga kenanga!
Ambalit, Gandring, dan Bladu memandang melotot ke arah dara berbaju putih. Si gadis tegak dongakkan kepala. Dari sela bibirnya yang merah mendesau suara tawa. Mula-mula perlahan lalu makin keras dan panjang. Meski jelas yang berdiri di hadapan mereka adalah seorang gadis cantik jelita namun saat itu tiga pemuda tadi merasakan bulu tengkuk berdiri dan mereka seperti melihat setan kepala tujuh!
“Dewi Bunga Mayat!” teriak mereka bersamaan. Lalu serentak ketiganya melompat jauh dan putar tubuh ambil langkah seribu.
Di belakang mereka terdengar suara tertawa panjang. “Kalian hendak lari kemana? Mengapa lari…? Bukankah maksud kalian hendak bersenang-senang bersamaku malam ini? Hik…hik…hik…!”
Mendengar ucapan itu, tiga pemuda sama lari tunggang langgang. Tapi baru lari beberapa belas langkah tahu-tahu ada bayangan menyambar di hadapan mereka dan dara berbaju kebaya putih itu tiba-tiba sudah menghadang sambil terus keluarkan suara tertawa cekikikan.
“Dewi Bunga Mayat! Maafkan kami! Ampuni selembar nyawa kami!” berkata Ambalit seraya jatuhkan diri berlutut.
“Benar Dewi, ampuni dosa kami! Kami tidak tahu kalau kau adalah Dewi Bunga Mayat…” berkata pula Bladu seraya jatuhkan diri sementara Gandring ikut-ikutan berlutut tapi tak mampu keluarkan kata-kata hanya manggut-manggut dengan mata melotot.
“Ha…ha…! Kalian minta ampun setelah nama kalian tertera di pintu akhirat! Terlambat… terlambat!“ ujar dara berbaju putih yang dipanggil dengan sebutan Dewi Bunga Mayat. “Bersiaplah untuk menerima kematian!”
“Dewi, jangan!” ratap Ambalit.
Saat itu sang dewi sudah angkat tangan kanannya.
“Kawan-kawan!” tiba-tiba Gandring berkata, “daripada mati percuma lebih baik berusaha mempertahankan hidup!” Lalu pemuda ini keluarkan goloknya. Dua kawannya yang tadi sudah merasa tidak punya harapan hidup lagi, melihat apa yang dilakukan Gandring jadi muncul keberaniannya dan segera pula mencabut senjata masingmasing. Bladu menghunus sebilah keris sedang Ambalit mencabut sebatang besi yang ujungnya penuh tonjolan runcing seprti penggada.
“Ha…ha…! Kailan pemuda-pemuda pemberani! Majulah berbarengan agar cepat aku membereskan kalian!” seru Dewi Bunga Mayat.
Ambalit, Bladu dan Gandring melompat menyergap. Tiga senjata berkelebat. Saat itu justru terdengar suara orang membentak. “Manusia-manusia pengecut! Terhadap seorang dara kalian berani main keroyok!”
Satu bayangan berkelebat. Gandring terdorong hampir jatuh. Bladu terpelintir sempoyongan sedang Ambalit menggerung kesakitan sambil pegangi bibirnya yang pecah terkena jotosan keras. Lima giginya rontok!
Dewi Bunga Mayat yang barusan hendak menghantamkan tangan kanannya hentikan gerakan dan mundur dua langkah. Di hadapannya tegak seorang pemuda berambut gondrong. Pemuda inilah yang tadi membuat dua orang penyerangnya terpelanting dan seorang lagi pecah mulutnya. Dewi Bunga Mayat ingat, pemuda ini adalah yang ada dalam kedai yang selalu memperhatikanya. Dia tidak ada sangkut paut dengan pemuda itu dan merasa jengkel karena berani mencampuri urusannya. Sebelum sang dewi sempat membentak si gondrong telah lebih dulu menjura seraya berkata, “Maafkan kalau aku membuatmu marah. Aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Aku hanya tidak suka melihat tiga pengecut ini mengeroyokmu!”
“Kalaupun mereka mengeroyokku apa kau kira mereka bisa mengalahkanku?! Menyentuh tubuhku sajapun mereka tidak bakal mampu! Lalu apa pasalmu masuk dalam kalangan perkelahian?!” Wiro tak bisa menjawab dan hanya garuk-garuk kepala.
“Menyingkirlah! Atau kaupun ingin kubunuh bersama tiga pemuda laknat itu?!” sentak Dewi Bunga Mayat.
“Ah, aku bukan orang yang termasuk dalam nyanyianmu! Aku bukan manusia mencari sengsara!” jawab Wiro lalu cepat-cepat mengundurkan diri menjauh.
“Apakah kalian sudah siap untuk mampus?!” Dewi Bunga Mayat membentak.
Tiga pemuda yang sudah lumer nyalinya apalagi yang bernama Ambalit yang cidera berat mulutnya, tanpa tunggu lebih lama lagi segera putar tubuh ambil langkah seribu.
Sang dara tertawa tinggi. Ketika tawa itu lenyap dan wajahnya berubah bengis, bersamaan dengan itu Wiro melihat tangan kanannya bergerak tiga kali berturut-turut. Bau harum bunga kenanga bertebar di udara malam. Tiga benda melesat di kegelapan malam. Di depan sana tiga pemuda yang menyelamatkan diri terdengar menjerit lalu roboh malang melintang di atas tanah kuburan. Tak satupun yang berkutik dan bernafas lagi. Mereka menemui ajal dengan punggung, tengkuk, dan batok kepala ditancapi bunga kenanga alias bunga mayat!
Pendekar 212 leletkan lidah, memandang ternganga ke arah gadis berbaju putih itu. Tiba-tiba dia jadi tergagap ketika sang dara berpaling ke arahnya seraya mengangkat tangan.
“Sekarang kau juga harus bersiap menerima kematian pemuda gondrong! Susul kawan-kawanmua itu!”
“Hei! Tunggu!” seru Wiro seraya mundur dua langkah. “Aku bukan komplotan empat pemuda yang barusan kau bunuh!”
“Siapa percaya pada dirimu?!” Dewi Bunga Mayat menghardik sambil memandang melotot.
“Aku tidak suruh kau percaya! Tapi aku bicara sejujurnya!” ujar Wiro dan balas melotot. Dua pasang mata yang sama-sama melotot saling beradu pandang. Sang dewi angkat tangan kanannya.
* * *

EMPAT

WAJAH YANG CANTIK jelita itu berubah menjadi bengis. Pendekar 212 Wiro Sableng tahu apa artinya ini. Maut! Namun entah mengapa dia tidak berusaha menyelamatkan diri dengan menyingkir atau melompat. Juga sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam dan menyisipkan pukulan sakti untuk menghadapi serangan lawan yang mematikan. Murid Sinto Gendeng ini berdiri tidak bergerak seolah-olah pasrah. Hanya sepasang matanya yang membesar memandang tak berkesip tepat-tepat ke dalam mata gadis di hadapannya.
Dewi Bunga Mayat merasakan ada hawa aneh yang menyambar dari sepasang mata pemuda di hadapannya, masuk ke dalam tubuhnya lewat sepasang matanya sendiri dan membuat getarangetaran aneh di dadanya. Semakin dia memandang marah pada pemuda itu, semakin tidak keruan jantungnya.
“Aneh…! Apa yang terjadi dengan diriku?! Mengapa aku hanya mampu menunjukkan sifat keras tetapi hati kecilku sendiri tidak berkata begitu. Sepasang matanya itu… aku tak sanggup memandangnya. Siapa pemuda ini sebenarnya…!” Rentetan kata-kata itu menggema dalam lubuk hati sang dewi. Perlahan-lahan dia turunkan tangan kanannya yang tadi siap melancarkan serangan maut. Bunga kenanga kuning yang tadi ada dalam genggaman tangannya jatuh tercampak ke atas tanah pekuburan. Pendekar 22 menarik nafas lega dan tersenyum.
“Terima kasih, kau tak jadi membunuhku…” ujar Wiro.
“Saat ini tidak, tapi lain kali mungkin saja!” jawab Dewi Bunga Mayat kembali galak. “Sekarang katakan apa keperluanmu datang ke tempat ini. Kau sebelumnya kulihat ada di kedai Aki Sukri…”
“Itu betul…”
“Kau mengikutiku ke tempat ini!”
“Itu juga betul…!” jawab Wiro.
“Kalau begitu jelas kau kawan dari empat pemuda yang sudah jadi bangkai ini!”
“Itu yang tidak betul!”
Sang dara kerenyitkan kening. Dalam keadaan tidak mengerti dan tidak percaya seperti itu dimata Wiro wajahnya tampak jadi lebih cantik.
“Aku tidak percaya!”
“Aku tidak suruh kau musti percaya saudari… Eh, bagaimana aku harus memanggilmu. Aku tak tahu namamu. Kudengar orangorang itu memanggilmu dengan gelar Dewi Bunga Mayat. Apa aku harus memanggilmu begitu juga? Atau Dewi saja…? Bisa juga Bunga saja. Eh… tentu tidak dengan sebutan Mayat saja…” Wiro tertawa dan lihat wajah gadis di depannya menjadi merah.
“Maafkan aku. Aku hanya bergurau. Aku akan panggil kau dengan nama Bunga… Itu nama paling indah di dunia. Sesuai dengan kecantikan orangnya…”
Sang dara tidak memberikan reaksi apa-apa.
Wiro garuk-garuk kepala lalu bertanya, “Boleh aku tahu mengapa kau diberi gelar dan disebut sebagai Dewi Bunga Mayat? Itu bukan nama sembarangan. Dan senjatamu membunuh ke empat pemuda itu. Kuntuman bunga kenanga! Kau pasti seorang pendatang baru berkepandaian luar biasa dalam dunia persilatan…!”
“Kau sudah menjawab sendiri pertanyaanmu. Aku tidak punya waktu lama. Sekarang lekas katakan siapa dirimu!”
“Namaku Wiro Sableng. Aku orang tersesat dari Gunung Gede.”
“Hemmm… Sableng sama dengan Gendeng. Gendeng sama dengan Sinting. Sinting sama dengan Gila! Jadi pemuda macam begitulah kau rupanya!”
“Ah… kira-kira begitulah!” jawab Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Dalam hatinya Dewi Bunga Mayat membatin. “Manusia aneh yang satu ini mungkin konyol, mungkin juga memang sinting!”
Lalu sang dewi mendongak ke langit malam yang gelap. Seolaholah membaca sesuatu di atas sana mulutnya terdengar berkata,
“Namamu Wiro Sableng… kau datang dari Gunung Gede. Gurumu seorang nenek sakti mandraguna bernama Sinto Gendeng. Sahabatmu setumpuk tapi orang yang tak suka padamu bertumpuktumpuk…”
“Apakah kau…” Wiro memotong.
“Aku belum selesai membaca riwayatmu! Jangan bertanya dulu!” membentak dara itu. Lalu dia menengadah ke atas kembali.
“Sahabatmu setumpuk tapi orang yang tak suka padamu bertumpuktumpuk. Kau membekali dirimu dengan senjata semacam kapak aneh. Tubuhmu tidak mempan racun selama senjata itu menempel di badanmu. Kau tidak suka minuman keras tapi kau suka menggoda perempuan. Kau…”
Sang dewi tidak teruskan ucapannya.
“Ah.. bacaanmu sudah habis rupanya. Sekarang biar aku yang ganti membaca!” kata Wiro. Lalu pemuda ini lakukan sikap seperti sang dara, mendongak ke langit dan mulai berucap.
Langit malam gelap gulita…
Udara dibungkus kesejukan embun yang siap turun
Di tempat ini bertaburan makam anak manusia
Ada yang sudah terkubur
Tapi ada empat yang masih malang melintang
Empat yang menemui ajal karena sengaja menacari sengsara
Aku berdiri di sini
Tapi tidak sendiri
Di hadapanku tegak seorang dara…
“Kau ini melawak atau tengah membaca syair…” Dewi Bunga Mayat memotong penasaran.
“Aku belum selesai membaca! Jangan memotong dulu!” Wiro membentak, persis seperti yang tadi dilakukan oleh sang dewi. Melihat hal ini mau tak mau sang dara jadi gelengkan kepala dan diam-diam merasa geli. Senyum menyeruak di bibirnya yang merah. Wiro melanjutkan ‘bacaannya’.
Di hadapanku tegak seorang dara
Berbaju putih berwajah jelita
Saat ini dia tersenyum
Tersenyum entah untuk siapa
Mungkin untuk para penghuni makam
Mungkun juga untuk empat pemuda yang sudah putus nyawa
Syukur-syukur kalau senyum itu untukku
Si jelita tidak bernama
Yang kupanggil dengan nama Indah, Bunga
Memiliki kepandaian luar biasa
Syukur-syukur kalau aku bisa jadi sahabatnya….
Ah, bacaanku sudah selesai….
Wiro palingkan kepalanya. Dilihatnya sang dara masih tersenyum. Lalu diapun tertawa gelak-gelak.
Dewi Bunga Mayat membuka mulut, “Syairmu bagus, Cuma sayang aku tidak mau bersahabat denganmu…”
“Ah nasibku memang jelek kalau begitu. Kau tidak mau karena aku sableng, sinting… gendeng… gila…?”
Dewi Bunga Mayat tidak menjawab tapi dalam hatinya dia berkata, “Kau memang mungkin sinting. Tapi bukan itu alasanku tidak suka bersahabat denganmu. Aku tidak bisa mengatakannya…”
“Apakah kita bisa bertemu lagi, Bunga?”
Sang dara mendengar pertanyaan itu dan berpaling pada Wiro. Dia menatap wajah pemuda itu sesaat lalu menjawab, “Aku tidak tahu. Sekarang aku ingin meninggalkan tempat ini. Kau silakan pergi duluan….”
“Tidak, aku tetap disini. Kalau kau memang ingin pergi, pergilah. Aku berdiri disini memperhatikan kepergianmu… Tapi sebelum kau pergi kancingkan dulu bajumu. Salah-salah kau bisa masuk angin…”
Paras sang dara jadi merah. Seolah baru sadar akan keadaan dadanya yang sejak tadi tersingkap, cepat-cepat dia membalik dan kancingkan kebaya putihnya.
“Manusia satu ini benar-benar kurang ajar, konyol dan juga keras kepala. Bagaimana ini, bagaimana aku harus menyuruhnya pergi…?” membatin bingung sang dara dalam hati. “Hanya kabut yang bisa menolongku. Kabut… turunlah lebih banyak. Tolong aku…”
Dan terjadilah hal yang aneh. Seolah-olah ucapannya mujarab sekali saat itu tiba-tiba saja kabut turun banyak sekali. Pemandangan di pekuburan menjadi sangat terbatas. Ketika sekelompok kabut menyaputi tempat dimana mereka berdiri, meskipun hanya terpisah dekat namun Wiro mendadak tak dapat lagi melihat sosok Dewi Bunga Mayat. Lalu sesaat kemudian ketika kabut pupus, dara itu tak ada lagi ditempatnya berdiri!
Wiro terkesiap. Memandang berkeliling. Menyusuri seluruh daerah pekuburan itu dengan kedua matanya yang tajam. Tapi sang dara tetap saja tidak kelihatan lagi.
“Tidak mungkin dia bisa pergi secepat itu!” Wiro memandang lagi. “Eh, kuda putihnya yang tadi ada di ujung sana juga lenyap! Gadis aneh. Gelarnya juga aneh. Senjatanya lebih aneh… hanya sekuntum bunga kenanga. Yang juga mengherankan bagaimana dia tahu banyak tentang diriku. Apakah sewaktu mendongak ke langit dia memang benar-benar membaca seperti membaca sesuatu…? Ah tak masuk akal!”
Wiro memandang ke tanah. Bunga kenanga yang tadi hendak dilemparkan ke arahnya masih tampak tercampak di tanah. Murid Sinto Gendeng membungkuk mengambil bunga itu, menciumnya sesaat lalu memasukkannya ke dalam saku baju putihnya. Saat itu terdengar kuda meringkik membuat sang pendekar tersentak kaget dan memaki lalu tinggalkan pekuburan Batuwungkur itu.
Baru dua langkah bertindak tiba-tiba ekor mata Pendekar 212 melihat ada sesuatu bergerak di kegelapan disamping kirinya. Dia cepat berpaling. Tapi tak kelihatan apa tau siapa-siapa. Hanya kegelapan yang membungkus pekuburan itu. Makam-makam berderet-deret. Ada yang terurus baik dan utuh, ada yang sudah tak karuan lagi dan tanpa batu nisan. Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara burung malam. Angin bertiup dingin.
“Mataku mungkin bisa ditipu. Tapi perasanku tidak!” kata murid Sinto Gendeng dalam hati. “Ada orang atau makhluk disekitar pekuburan ini. Mendekam disatu tempat, bersembunyi mengintai gerak-gerikku! Lebih baik aku terus berjalan. Jika orang itu berniat jahat dia akan tahu rasa…!” Lalu Wiro kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan.
* * *

LIMA

WIRO MELANGKAH EMPAT tindak. Pada langkah ke lima, tibatiba di udara malam yang gelap dan dingin di atas pekuburan Batuwungkur itu melesat suara suitan keras dari arah samping kanan. Suara duitan ini disambut elh suara sutian lain dari arah depan. Lalu suara suitan ketiga melegkinda ri arah samping kiri. Ketika Pendekar 212 hentikan langkahnya, tiga sosok bayangan tampak berkelebat sebat dan tahu-tahu tiga sosok aneh sudah mengrungnya dari arah muka dan kiri kanan. Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini angkat tangan kanannya, siap menghantam. Tapi gerakanya serta merta tertahan ketika melihat siapa yang saat itu mengurungnya. Tiga sosok tubuh itu adalah ternyata tiga manusia katai permpuan. Pakaian dan tampang mereka serta rambut yang dikuncir membuat ketiganya tampak lucu. Tapi dibalik kelucuan itu tersembunyi satu kenagkeran yang mematikan. Wajah tiga perempuan cebol ini membekal maut. Ketika ketiganya menyeringai kelihatan bahwa mereka memiliki gigi-gigi kecil yang berwarna hitam berkilat.
“Dimana dia?!” tiba-tiba si cebol di sebelah depan membentak. Suaranya nyaring tapi kecil.
“Eh… Kaku bertanya siapa pada siapa?!” tanya Wiro.
“Kami bertanya dia padamu!”
“Dia siapa?!” tanya Wiro pula.
“Jangan berpura-pura!” seru si cebol perempuan sebelah kanan kiri menghardik. “Barusan dia ada disini. Berbincang-bincang denganmu! Dan kau berani berpura-pura tidak tahu!”
“Kawan-kawan!” membuka mulut perempuan katai di seebelah kiri. “Kalau dia jelas-jelas kawan orang yang kita cari, mengapa harus membuang waktu bertanya jawab. Kita bereskan saja dia saat ini juga!”
“Setuju!” teriak si katai di sebelah depan.
Terdengar tiga jeritan dahsyat. Tiga tubuh pendek itu laksana bola melesat ke arah Wiro Sableng. Tiga serangan maut menebar!
“Wong edan!” teriak Pendekar 212 ketika dilihatnya serangan tiga manusia katai itu benar-benar ingin membunuhnya. Mereka memegang senjata berbentuk clurit kecil di tangan kiri masingmasing. Ternyata ketiga maunia katai permpuan ini sama-sama kidal. Senjata itu berkilat-kilat dan menderu dalam gelapnya malam. Manusia katai di sebelah depan membabatkan clurit kecilnya ke arah batang leher Pendekar 212. yang di samping kiri menyapu ke perut sedang yang di sebelah kanan menghunjamkan serangan ke selangkangan pendekar ini! Tiga serangna mematikan itu disertai dengan pekik jerit memkakkan telinga. Agaknya tiga manusia katai ini sengaja berteriak begitu agar lawan terpengaruh dan lengah. Murid Eyang Sinto Gendeng angkat kedua tangannya menghantam dengan pukulan sakti bernama ‘dinding angin berhembus tindih menindih’
Terdengar suara seperti angin putting beliung di atas pekuburan itu. Tiga manusia katai yang lancarkan serangan sambil melompat tampak seperti hendak tersapu tunggang langgang. Namun sambil terus berteriak ketiganya berjungkir balik di udara lalu membalik sambil membabat kembali dengan senjata masing-masing. Tapi tampaknya mereka tidak sanggup menembus hantaman angin. Ketiganya kerahkan tenaga berusaha keras mnerobos dinding angin yang tidak kelihatan. Mereka tampak seperti mengapung di udara. Pakaian dan rambut berkibar-kibar. Mata membeliak dan mulut berteriak-teriak. Wiro terus kerahkan tenaga dalamnya. Bebrapa kali tangannya kiri kanan dihantamkan agar dapat menghempaskan tiga penyerang itu tapi tetpa saja musuh-musuh katai itu bertahan di udara. Masih untung ketiganya berada di sebelah depan. Kalau ada yang menyerang dari belakang pasti akan bobol pertahanan murid Sinto Gendeng.
Keringat bercucuran dari punggung dan wajah Wiro Sableng. Tiga perempuan katai masih terus mengapung dan mencoba menembus pertahanannya. Dan tiba-tiba setelah bertahan sekian lama. Astaga! Salah seorang dari mereka berhasil lolos menerobos dinding angin!
Breet!
Clurit kecil membabat di perut Wiro, merobek pakaian putihnya.
“Kurang ajar!” maki Pendekar 212 lalu melopat mundur dengan muka pucat.
Lompatan mundur yang dilakukannya membuat tiga pengeroyok seperti tersedot. Tiga manusia katai itu kembali menggempur. Dan kini pertahan dinding angin Pendekar 212 benarbenar jebol!
Tiga manusia katai melesat. Tiga clurit berkiblat. Wiro memukul dengan pukulan ”kunyuk melempar buah.” Tangan kanannya menghantam membentuk tinju. Begitu lengan melurus lima jari dibuka. Maka menderulah gelombang angin laksana gumpalan batu besar.
Tiga musuh katai berterak keras. Namun hanya satu yang kena dihantam. Yang satu terpental sejauh dua tombak, bergulingan di tanah lalu diam tak berkutik. Mati dengan kepala pecah!
Dua manusia katai lainnya terus merangsak masuk ke dalam pertahanan Wiro yang sudah ambruk.
“Celaka! Matilah aku!” keluh Wiro. Dalam keadaan sulit begitu rupa dia masih bisa memukul tangan si katai di sebelah kanan. Luar biasa! Tangan si katai yang kecil itu membuat Wiro terpental tiga langkah, hampir jatuh duduk. Justru di saat inilah yang secara tidak sengaja meyelamatkan nyawanya dari serangan si katai yang satu lagi. Clurit membabat di depan hidungnya sementara lawan yang tadi beradu lengan dengannya jatuh bergdebuk sambil menjerit-jerit dan berusah mencari cluritnya yang mental dalam kegelapan malam.
“Manusia-manusia katai edan! Tidak ada silang sengketa kau hendak membunuhku!” teriak Wiro.
“Kami belum membunuhmu manusia bangsat! Tapi kau telah membunuh seorang saudara kami! Dan kawanmu yang kami cari sebelumnya telah membunuh satu-satunya kakak lelaki kami!”
“Soal kematian kakak lelakimu itu aku tidak tahu, tidak ada sangkut pautnya denganku! Pergi kalian dari sini sebelum aku menciderai atau membunuhm kalian!”
“Enak benar bicaramu! Kami akan pergi kalau usus dan jantungmu sudah kami korek dari tubuhmu!”
“Makhluk-makhluk tidak tahu diri! Jangan kira aku tidak tega membedol kantong nasi kalian!” teriak Wiro lalu keluarkan senjata mustika saktinya yaitu Kapak Maut Naga Geni 212. Kilauan sepasang mata kapak yang angker ternyata tidak membuat jeri dua manusia katai itu.
Yang satu malah mengejek, “Senjata mainan! Siapa takut!”
yang bicara ini sudah menemukan cluritnya yang tadi jatuh. Lalu cepat luar biasa keduanya menyerbu. Trang… trang…!
Belum lagi Pendekar 212 sempat mengayunkan senjatanya, dua clurit kecil secara sengaja tidak terduga dan cepat sekali sudah menelikkung gagang kapak dan begitu dua manusia katai itu membetot, Wiro merasa seperti tangannya ditarik oleh dua raksasa! Kapak Naga Geni 212 terlepas dari pegangannya, langsung disambut oleh si katai di sebelah kanan. Begitu dapatkan kapak si katai ini berteriak pada yang satunya.
“Adikku! Lupakan dulu balas dendam. Kita mendapat rejeki besar. Lekas tinggalkan tempat ini!” dia tertawa cekikikan. Sang adik juga tertawa cekikikan. Lalu didahului oleh jeritan keras, keduanya membalik untuk larikan diri. Tapi baru saja mereka sempat membuat setengah gerakan berputar mendadak terdengar suara berdesing disertai harumnya bunga kenanga. Lantas dua manusia katai ini terdengar memkik keras mengerikan. Kepala masing-masing terhempas ke belakang seolah-olah dihantam tembok keras.
Dua manusia katai itu langsung roboh terjengkang. Kapak Naga Geni 212 terguling ke tanah.
“Eh, apa yang terjadi…?” tanya Wiro keheranan. Ketika dia mendekati dua mayat manusia katai itu, tertegunlah murid Sinto Gendeng ini. Dua manusia katai itu menemui ajal dengan sekuntum bunga kenanga kuning menancap di kening masing-masing!
“Bunga…” desis Wiro. “Kau ada di sini. Kau menolongku…”
Wiro menunggu kalau-kalau ada jawaban. Tapi hanya kesunyian dan siliran angin malam yang terdengar.
Wiro memandang berkeliling. Tapi dia tidak melihat dara yang berjuluk Dewi Bunga Mayat itu. Pemuda ini geleng-gelengkan kepala.
“Dara hebat. Kepandaian luar biasa! Menolong tanpa memperlihatkan diri… Aku harus berterima kasih padanya.”
Lalu pemuda ini berteriak, “Bunga, aku berterima kasih atas pertolonganmu!” Wiro seklai lagi memandang berkeliling. Ketika dia merasa tak bakal mendapat jawaban apalagi melihat Dewi Bunga Mayat kembali maka dipungutnya Kapak Naga Geni 212 yang tercampak di tanah, disimpannya di balik pakaiannya.
* * *

ENAM

PONDOK KAYU DI DASAR lembah itu tampak tidak berbeda seperti sebulan lalu ketika dia mengunjungi terakhir kali. Pintu dan satu-satunya jendela tampak tertutup. Tapi dia tahu bahwa di dalam sana ada seorang penghuni.
Perempuan muda berpakaian ringkas warna biru itu berpaling pada pemuda yang menunggang kuda disampingnya.
“Kangmas.. Kau…”
“Sudah berapa kali kukatakan. Kalau kita Cuma berdua aku tidak suak kau memanggilku dengan sebutan itu. Panggil namaku…”
“Maafkan aku kang.. Maffkan aku Sadewo..” kata perempuan berpakaian biru. “Kau tidak ingin turun ke lembah menemuinya?”
Pemuda bernama Sadewo menggeleng. “Kau saja yang pergi. Aku menunggu disini.” Lalu pemuda itu menyerahkanbungkusan kain yang dipanggulnya.
Setelah menerima dan menyandang bungkusan itu dibahunya, dara berbaju biru menarik tali kekang kudanya, lalu perlahan-lahan dia mulai menurini jalan setapak yang berbatu-batu. Di depan pondok dia turun dari kuda, menambatkan binatang itu lalu melangkah menuju pintu. Dia mengetuk dulu lalu berucap keras-keras.
“Ayah, akuk datang…”
Dengan tangan kirinya dia mendorong pintu. Terdengar suara berkereketan. Begitu pintu terbuka kelihatan seorang lelaki berambut putih, bertubuh kurus dan berwajah pucat duduk bersila di lantai pondok. Usianya berlum enampuluh tahun, tahun wajahnya kelihatan seperti wajah kakek delapan puluh tahun. Orang ini duduk bersila pejamkan mata seperti tengah bersemedi. Ketika pintu terbuka, perlahan-lahan kedua matanya juga terbuka. Dia memandang pada gadis di depan pintu lalu menganggukan kepala perlahan sekali.
Gadis itu masuk ke dalma pondok, berlutut di hadapan lelaki tua itu dan mencium keningnya. Setalh itu diletakkannya bungkusan kain yang dibawanya di lantai.
“Semua keperluan ayah ada dalam bungkusan…”
Yang dipanggil ayah kembali mengangguk.
“Apakah ayah ada baik-baik saja selama satu bulan ini?”
bertanya si gadis yang dijawab juga dengan anggukan. Sunyi sesaat.
“Suamimu mengantar…?” tiba-tiba orang tua itu bertanya.
“Ya, dia mengantar. Dia menunggu di atas lembah…”
“Terima kasih, kau sudah membawakan apa-apa yang aku perlukan. Kau boleh pergi sekarang…”
“Ayah, sudah tiga bulan kau berada di tempat ini. Memencilkan diri. Kapan semua ini akan ayah akhiri…?”
“Mungkin tak akan pernah ku akhirii Suntini. Atau mungkin hanya kematian yang mengakhiri semua ini…”
“Ayah tidak boleh berkata begitu…” suara perempuan bernama Suntini itu kini terdengar tersendat dan sepasang matanya tampak mulai berkaca-kaca. “Ayah mesti segera pulang. Rumah besar kita sepi tanpa ayah…”
“Kau boleh pergi sekarang, Suntini…”
“Jika memang itu yang ayah kehendaki….” Kata Suntini pula seraya berdiri. Dia mencium kening lelaki itu. Tetesan air matanya jatuh membasahi wajah si orang tua.
“Sebelum kau pergi, adakah sesuatu yang hendak kau katakan…?” sang ayah bertanya.
Suntini terdiam.
“Ada…?”
“Tidak ada ayah…”
“Jangna berdusta. Nada suaramu menyatakan ada sesuatu yang hendak kau katakan. Tapi kau sengaja menyembunyikannya…”
Ketika Suntini tidak juga menjawab, lelaki itu lalu ajukan pertanyaan, “Apakah dia masih sering mendatangimu…?”
Paras Suntini berubah. Perempuan muda ini tundukkan kepala lalu berkata, “Malam Jum’at Kliwon dua minggu yang lalu ayah. Dia memang muncul. Memandang padaku dengan pandangan dingin lalu pergi. Kangmas Sadewo juga melihat beberapa kali…”
“Waktu muncul dia tidak mengatakn atau mengisyaratkan sesuatu…?” bertanya sang ayah.
Suntini menggeleng.
“Anakku dengarlah baik-baik. Selama dia muncul tidak mengganggumu atau siapa saja di sekitarmu ambil sikap diam saja. Jangan mengusir, jangna mengatakan sesuatu. Ini semua kodrat Tuhan. Kita tak bisa melawan kehendakNya. Ketahuilah… Tadi malam dia juga muncul disini. Tegak di bawah pohon di luar sana, memandang ke pondok ini tapi tak berusaha masuk atau menemuiku. Kalau aku ada kesempatan menjenguk makam ibumu, aku akan berusaha untuk menlihatnya. Selam ini apakah kau dan suamimu pernah menjenguknya?”
“Aku takut ayah. Benar-benar takut melakukan hal itu…” jawab Suntini.
“aku mengerti perasaanmu. Kau boleh pergi sekarang. Lain bulan kau tak perlu datang kemari mengantarkan apa-apa. Aku bisa memenuhi kebutuhanku sendiri…”
“Berarti ayah tidak akan pulang ke rumah?”
“Aku tidak tahu anakku,” jawab orang tua yang duduk bersila itu lalu menarik nafas panjang.
Suntini berdiri, melangkah ke pintu dan lenyap dibalik daun pintu yang ditutupkan. Di dalam pondok sang ayah pejamkan kedua matanya. Namun kali ini diantara sela kelopak matanya kelihatan ada tetes air mata yang menyeruak.
Ketika Suntini samapi diatas lembah, dia terkejut dan keluarkan seruan tertahan sewaktu melihat Sadewo, suaminya, tergeletak meelungkup di tanah. Suntini melompat turun dari kuda dan cepat membalikkan tubuh Sadewo.
“Kangmas… Kau kenapa kangmas..?!” memanggil Suntini sambil mengusap wajah suaminya berulang kali. Wajah itu tampak pucat seperti baru saja mengalami suat goncangan hebat. Suntini letakkan telinganya di atas dada Sadewo. Masih terdengar suara detakan jantung. Perempuan ini merasa lega sedikit lalu dia memijat beberapa bagian tubuh suaminya. Tak selang berapa lama kedua mata Sadewo perlahan-lahan kelihatan terbuka. Begitu terbuka lelaki muda ini melompat terduduk dan memandang berkeliling dengan wajah ketakutan.
“Ada apa, Sadewo…? Siapa yang kau cari…? Kau melihat sesuatu..?” bisik Suntini dengan lebih kelu dan ikut-ikutan memandang berkeliling sementara dadanya berdebar keras.
“Dia.. dia tadi muncul di dekat batu besar sana…” terdengar Sadewo menyahut. Suaranya gemetar.
Suntini memandang ke arah batu besar yang ditunjuk suaminya. Memandang berkeliling ke tempat lain. Dia tidak melihat siapa-siapa.
“Dia… biasanya dia hanya memandang dari kejauhan. Tapi sekali ini dia melangkah mendatangiku. Dia begitu dekat denganku Suntini, membuatku ketakutan setengah mati. Dia seperti hendak membuka mulut mengatakan sesuatu. Tapi saat itu ada suara kaki kuda mendatangi. Mungkin sekali kuda tunggangmu. Lalu aku jatuh pingsan…”
“Kalau begitu kita harus meninggalkan tempat ini cepatcepat…” kata Suntini pula. Dia membantu suaminya berdiri, memapahnya ke arah kuda.
* * *

TUJUH

DUA HARI SETELAH peristiwa di bukit Batuwungkur, Pendekar 212 Wiro Sableng mengunjungi kedai Aki Sukri. Dia duduk memencil di sudut kedai sampai larut malam. Ketika pemilik kedai bersiap untuk menutup kedainya mau tak mau akhirnya pendekar itu berdiri dari bangkunya.
“Anak muda, kau seperti tengah menunggu seseorang di kedai ini…” berkata pemilik kedai ketika Wiro memberikan uang pembayaran.
“Ah, matamu tajam juga orang tua. Bagaimana kau bisa tahu?” bertanya Wiro.
“Setiap saat kau selalu memandang ke pintu. Dan kau tampak kecewa jika ada tamu masuk tetapi bukan orang yang kau nantikan. Kau berjanji dengan seseorang?”
Wiro menggeleng.
“Lalu siapa yang kau harapkan muncul di kedai ini?” tanya Aki Sukri.
“Aki , dua malam lalu aku mampir disini. Kau ingat…?”
“Aku ingat. Karena malam itu kemudai diketahui ada empat mayat menggeletak di pekuburan Batuwungkur. Mereka mati dengan kembang aneh menanca di muka dan badan…”
“Kau ingat dara jelita berpakaian putih yang juga ada di kedaimu malam itu…?’
“Aku ingat seklai!” jawab Aki Sukri.
“Kau kenal padanya? Atau mungkin tahu dimana aku bisa menemuinya?”
Pemilik kedai menatapa wajah Pendekar 212 sesaat lalu gelengkan kepala. “Wajah cantik itu memang seperti pernah kulihat sebelumnya. Tapi entah dimana dan entah kapan. Waktu dia ada disini aku tak berani bertanya. Kelihatannya dia seperti tidak mau diusik…”
“Dia memang bukan dari sembarangan…” kata Wiro pula.
“maksudmu, anak muda?” tanya Aki Sukri.
“Empat pemuda jahat yang mati di pekuburan Batuwungkur itu, dialah yang membunuhnya!”
“Apa katamu?!” dua mata Aki Sukri membelalak.
“Dia adalah Dewi Bunga Mayat!”
“Ah!” tubuh pemilik kedai tersentak dan wajahnya menjadi pucat.
“Kau seperti orang ketakutan. Ada apa…?!”
“Jadi… jadi dara itulah yang tengah kau cari?!” suara Aki Sukri bergetar. “Anak muda lekas pergi. Aku segera menutup kedai ini.
Aku… kau tahu…” suara Aki Sukri perlahan sepreti berbisik. “Kalau memang dara itu manusia yang berjuluk Dewi Bunga Mayat, hatihatilah anak muda. Dia sanggup membunuh manusai tanpa berkedip. Kepandaiannya tinggi. Kabarnya saat ini dia jadi momok nomor sati di wilayah Jawa Tengah ini!”
“Momok katamu? Gadis secantik itu kau katakan momok?!”
“Dia muncul seperti setan. Lenyap seperti setan. Membunuh disana-sini… Apa itu bukan momok?!”
Wiro tertawa bergelak. “Kepandaiannya tinggi luar biasa itu memang berul. Dia membunuh tanpa berkesip itu juga betul. Tapi dia bukan setan! Dia hanya membunuh orang-orang jahat! Kau tahu empat pemuda yang jadi korbannya itu? Apa yang hendak mereka lakukan? Hendak memperkosanya beramai-ramai…!”
“Ah, karena dia kawanmu tentu saja kau membelanya. Tapi sudahlah. Aku akan menutup kedai. Lekas pergi. Aku tak mau kau datang-datang lagi kemari, anak muda. Aku tidak mencari urusan…!”
“Justru jika kau melarang begitu berarti kau mencari urusan!”
tukas Wiro. “Jika kau tak mau kedatanganku, tutup saja kedai ini selama-lamanya!”
“Aku berjualan mencari makan. Tidak mau cari urusan…”
“Bagus kalau begitu. Katakan, apakah gadis kawanku itu sering datang kemari?”
“Tidak. Baru sekali itu dia datang kesini,” jawab Aki Sukri.
“Kalau dia muncul lagi, katakan padanya. Aku sahabatnya berama Wiro Sableng mencarinya. Kau dengar pesan itu, Aki?!”
“Aku dengar anak muda. Dan akan aku sampaikan padanya…” jawab pemilik kedai pula.
*
* *
Dari kedai Aki Sukri, Pendekar 212 dengan menunggang kuda menuju pekuburan Batuwungkur. Kesunyian dan kegelapan malam menyambut kedatangannya. Angin berhembus dingin dan dikejauhan terdengar suara burung malam bersahut-sahutan beberapa kali. Murid Sinto Gendeng duduk di batu hitam dimana dulu Bunga pernah duduk. Dia duduk seprti merenung. Entah mengapa perasaannya jadi seperti ini. Perasaan yang sebelumnya tak pernah terjadi seumur hidupnya. Dia selalu teringat padaBunga. Hampi tak sekejapanpun dia melupakan gadis itu. Dia rindu untuk bertemu tak tahu harus mencari kemana. Itulah sebabnya malam-malam begitu dia mendatangi pekuburan dengan harapan bisa bertemu lagi. Kalaupun tidak bertemu paling tidak dia telah bisa melepas kerinduannya dengan melihat tempat yang pernah didatangi sang dara. Tempat dimana mereka pernah berdua-dua. Dan dia kini duduk di batu yang pernah diduduki Bunga.
“Bunga…” bisik kalbu Pendekar 212. “Dimana kau…? Dimana aku bisa menemuimu, Bunga…?”
Wiro mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, memandang berkeliling lalu menghela nafas dalam-dalam.
“Apakan ini namanya cinta…?” bisik hati sang pemuda. “Ah… Aku tak percaya!tapi mengapa aku selalu ingat padanya. Mengapa ada persaan rindu bertumpuk dihatiku. Gila betul!”
Dalam perjalanan hidupnya tentu saja Pendekar 212 telah bertemu dengan banyak gadis berwajah cantik. Namun semua berlalu tanpa perasaan apa-apa. Berlainan sekali dengan yang satu ini. Padahal baru dua hari lalu dia melihat dan bertemu. Dan kini ada rasa rindu mencucuk hatinya.
“Gila!” kata Wiro pula sambil meukul lututnya sendiri. Kedua tangannya mengeruk ke dalam saku baju. Tangan yang kanan memegang sesuatu. Ketika dikeluarkannya ternyat itu adalah bunga kenanga senjataBunga yang dua malam lalu dipungutnya.
“Aneh..,” desis Wiro memperhatikan dan menimang bunga kenanga. “Bunga ini mengapa tidak layu…? Keharumannya tidak berbeda seperti pertama kali aku memungutnya…” lalu bunga kenanga itu dibawanya ke hidungnya, diciumnya lama-lama penuh perasaa. “Bunga… aku mencarimu. Aku ingin bertemu…” Wiro bicara sendirian.
Malam berlalu bertambah sunyi dan bertambah dingin. Tanpa disadarinya Pendekar 212 jatuh tidur dalam keadaan terduduk di atas batu.
“Wiro…”
Satu suara memanggil. Pendekar 212 kenal sekali suara itu. Suara orang yang dirinduinya, yang selama ini dicari-carinya. Begitu berpaling dilihatnya dara itu tersenyum padanya.
“Bunga…”
“Aku sudah lama menunggumu di sini, Wiro…” kata Bunga seraya melangkah mendekati.
Wiro datang menyongsong. Keduanya saling bergenggaman tangan. “Aku mencarimu setengah mati…”
“Setengah mati? Ah, masa…?”
“Setengah mati karena rindu. Kangen… Kau tidak kangen padaku, Bunga…?”
“Tidak…,” jawab sang dara lalu tertawa cekikikan. “Tentu saja aku juga kangen padamu, Wiro…”
“Berarti kau senang bersahabat denganku?!” tanya Wiro seraya menatap dalam-dalam ke sepasang mata si gadis.
Bunga mengangguk. “Aku suka bersahabat denganmu…”
“Tapi…”
“Tapi apa, Wiro…?”
“Aku tak ingin hubungan kita hanya sampai pada jalinan persahabatan saja.”
“Maksudmu Wiro….?”
“Aku… aku tidak tahu persaan apa yang ada dalam diriku sejak pertama kali aku melihatmu. Kurasa aku mencintaimu, Bunga. Ya betul. Aku mencintaimu…!”
Paras Bunga berubah. Dia seperti ketakutan. Diremasnya jarijari tangan pemuda itu tapi kemudian dilepaskannya.
“Kau mencintaiku Wiro…? Jangan… jangan mencintaiku Wiro…” Bunga melangkah mundur.
“Mengapa aku tidak boleh mencintaimu Bunga? Percayalah, aku tidak berdusta dan tidak mempermainkanmu…?”
“Demi Tuhan, jangan mencintaiku Wiro… Cinta berarti kematian bagi diriku…” Suara Bunga tersendat. Wiro melihat ada air mata menetes di kedua pipi dara itu.
“Kau menangis, Bunga…” bisik Wiro dan melangkah mendekat. Tapi yang didekati semakin menjauh. Melangkah mundur.
“Bunga, kau mau kemana…?” Wiro mengejar.
“Jangan kejar aku Wiro… jangan…”
“Bunga, jangan mundur. Ada jurang di belakangmu!” teriak Wiro.
Dara itu berpaling ke belakang. Tapi terlambat. Kaki kanannya terpeleset dan tubuhnya melayang jatuh ke dalam jurang yang dalam. Pekiknya mengumandang. Tapi teriakan Wiro lebih keras lagi.
“Bunga…!!”
Pendekar 212 tersentak dan dapatkan dirinya terduduk di atas batu hitam diantara makam di pekuburan Batuwungkur.
“Ah… bermimpi aku rupanya…” kata pemuda ini termangumangu.
Di tangan kanannya maih tergenggam bunga kenanga senjata Dewi Bunga Mayat.
“Bunga ini… Tadi aku menciumnya. Lalu jatuh tertidur dan bermimpi. Apakah… apakah hanya ini satu-satunya cara aku dapat bertemu dengan dia? Hanya dalam mimpi?”
Pendekar 212 merasa kelesuan menjalari seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan dia berdiri, memandang berkeliling. Lalu melangkah ke tempat dia menambatkan kudanya. Bunga kenanga dengan penuh hati-hati dimasukkannya ke dalam saku bajunya.
* * *

DELAPAN

SATU PEMANDANGAN ANEH jika sebuah kereta tertutup yang jelek itu dikawal oleh hampir dari dua lusin orang berkuda. Bahkan diantara mereka tampak lima orang prajurit dan seorang perwira muda. Kereta yang ditarik dua ekor kuda itu menderu kencang di jalan berdebu. Matahari sore berwarna merah kuning keemasan. Rombongan bergerak cepat menuju ke selatan yakni arah Kotaraja. Namun saat itu mereka tidak akan keburu mencapai tujuan sebelum pagi. Kotaraja masih sangat jauh dan jalan yang idtempuh bertambah sulit serta buruk.
Selain lima prajurit dan seorang perwira muda itu maka anggota rombongan lainnya adalah orang-orang berseragam pakaian dan ikat kepala merah. Semua mereka memlihara berewok dan kumis yang meranggas tidak diurus. Tampang mereka tak satupun yang lumayan. Semua menunjukkan muka galak beringas.
Di sebelah depan memacu kudanya seorang lelaki berpakaian merah dengan tubuh kurus tinggi luar biasa. Hampir mencapai satu setengah tombak. Berewok dan kumisnya yang lebat menyembunyikan wajahnya yang bopeng. Matanya besar dan merah. Dia adalah Kunto Pasirawang bergelar Datuk Hantu Merah, dikenal sebagai Ketua Komplotan Hantu Merah.
Dalam dunia persilatan komplotan yang dipimpinnya ini terkenal sebagai komplotan bayaran yang melakukan apa saja asal mendapat bayaran. Yaitu mulai dari merampok, menculik sampai membunuh. Belakangan komplotan ini dikenal pula sebagai penyedia perempuan-perempuan lacur di berbagai kota termasuk Kotaraja.
Bahkan ada selentingan Datuk Hantu Merah sengaja mengirimkan perempuan-perempuan cantik pada pejabat-pejabat tertentu di Istana. Itulah sebabnya selama sekian tahun komplotan bejatnya itu tidak pernah dikejar apalagi ditumpas. Beberapa orang Adipati diketahui tunduk dan ikut bekerjasama dengan sang datuk. Siapakah sang datuk ini sebenarnya? Menurut mereka yang tahu, konon Kunto Pasirawang dulunya adalah salah seorang kepercayaan seorang Pangeran di Keraton Timur. Kemudian ketahuan bahwa dia bersifat culas, suka menggelapkan barangbarang berharga, mencuri barang-barang pusaka. Dua kejahatan itu masih bisa dimaafkan oleh sang Pangeran, namun ketika Kunto Pasirawang diketahui pula suka mengganggu anak istri orang maka dia dipecat dari jabatannya dan di usir dari gedung sang Pangeran. Selama dua tahun Kunto Pasirawang malang melintang ditengah lautan menjadi bajak. Bosan di laut dia turun ke darat membentuk Komplotan Hantu Merah dan malang melintang menimbulkan malapetaka.
Enam orang berseragam pasukan Kerajaan itu sebenarnya adalah prajurit-prajurit dan perwira palsu. Mereka sengaja mengenakan pakaian anggota pasukan Kerajaan untuk mengelabui dan menjaga kalau sewaktu-waktu ada kesulitan dengan petugas Kadipaten atau Kerajaan. Lalu apakah isi kereta buruk yang mereka kawal begitu ketat? Uang, harta perhiasan atau senjata baru? Isi kereta itu bukan lain adalah perempuan-perempuan culikan dari beberapa daerah di selatan. Rata-rata mereka masih sangat muda. Ada yang ikut secara suka rela karena dijanjikan pekerjaan di Kotaraja. Namun banyak yang diculik dari rumah orang tua mereka!
Sinar surya semakin redup tanda akan segera masuk ke tempat tenggelamnya. Jalan yang ditempuh mulai gelap. Orang berseragam perwira muda yang sebenarnya adalah anak buah Datuk Hantu Merah memacu kudanya mendekati sang ketua lalu bicara keraskeras diantara bisingnya derap kaki kuda dan gemeletak suara roda kereta.
“Ketua, anggota rombongan kelihatan sudah pada letih! Malam ini sebaiknya kita berhenti dan istirahat di hutan Jatiroto. Besok sebelum matahari terbit baru meneruskan perjalanan ke Kotaraja. Menjelang tengah hari kita akan sampai disana…! Bagaimana pendapatmu?”
“Aku tahu apa yang sebenarnya yang ada di otakmu. Wulung Kingkit!” sahut Datuk Hantu Merah menyeringai.
“Apa maksudmu Ketua…?” tanya perwira muda palsu bernama Wulung Kingkit itu.
“Sebelum gadis-gadis itu diserahkan pada mucikari di Kotaraja, kau akan memilih salah satu diantaranya lalu bersenang-senang malam ini! Bukan begitu…?!” Wulung Kingkit hanya bisa balas menyeringai.
“Tapi jangan khawatir Wulung! Usulmu kuterima!” Datuk Hantu Merah tertawa bergelak lalu dia mendahului membelok memasuki jalan menuju hutan Jatiroto.
Di suatu tempat yang agak datar malam itu rombongan Komplotan Hantu Merah berhenti. Enam buah obor dinyalakan. Empat buah kemah besar didirikan. Setelah itu pintu belakang kereta dibuka. Dua puluh gadis keluar dengan wajah letih dan tubuh keringatan. Mereka dikumpulkan di dua tenda lalu diberi makan seadanya. Masing-masing mereka ditemani oleh anggota komplotan tanpa bisa menampik.
Banyak diantara gadis ini yang mulai curiga dan ketakutan, meminta agar boleh naik ke dalam kereta kembali. Tapi permintaan itu tidak dikabulkan, malah banyak diantara mereka mulai dijejali tuak keras.
Datuk Hantu Merah berbaring ditemani dua gadis yang ketakutan setengah mati. Salah satu diantaranya mulai menangis.
“Anak bagus! Sekarang kau menangis. Nanti kalau sudah merasa kau akan berlutut minta tambah. Ha… ha… ha..!” Sang datuk tertawa bekakakan, teguk tuaknya lalu merangkul dan menciumi dua gadis yang dikempitnya di kiri kanan. Kemudian manusia tinggi kurus bermuka bopeng dan berewokan ini mulai menunjukkan kebejatannya. Gadis disebelah kirinya dipaksanya membuka pakaian. Kesempatan ini dipergunakan oleh gadis yang tadi menangis untuk lari keluar tenda. Tapi sang datuk lebih cepat. Begitu berhasil menangkap gadis ini langsung seluruh pakaiannya dirobek-robek. Lalu gadis itu di bantingkannya ke alas tenda. Selagi berada dalam keadaan terlentang tak berdaya, Datuk Hantu Merah menindih tubuhnya. Saat itulah terdengar suara ribut-ribut di luar. Lalu ada seseorang berteriak, “Ketua! Ada yang tidak beres! Lekas keluar!”
“Bangsat rendah! Apa yang tidak beres! Apa kalian tidak bisa menyelesaikannya sendiri?! Keparat!” teriak sang datuk dari dalam tenda.
“Dua orang anggota ditemui mati!” terdengar orang di luar berteriak memberi tahu.
“Anjing betul!” menyumpah Datuk Hantu Merah. Cepat dia mengenakan celana dan pakaiannya lalu menyembul keluar tenda.
“Ada apa hah?!” sentaknya pada anggota komplotan yang tegak di depan tenda.
Yang ditanya menunjuk ke arah kiri. Saat itu tampak beberapa anggota Komplotan Hantu Merah menggotong dua orang kawan mereka yang sudah jadi mayat lalu meletakkannya di hadapan sang ketua.
Datuk Hantu Merah kerenyitkan kening ketika melihat mayat dua anak buahnya itu. Mereka mati dengan leher hampir putus.
“Apa yang terjadi? Bagaimana mereka bisa digorok begini rupa tanpa ada yang tahu?!” bertanya Datuk Hantu Merah.
“Mayatnya kami temui di dalam tenda sebelah sana ketika beberapa gadis di dalam tenda berpekikan lalu berhamburan lari keluar,” menerangkan salah seorang anggota komplotan.
“Apa ada yang melihat siapa pembunuh mereka?!” bertanya perwira muda bernama Wulung Kingkit yang juga sudah ada ditempat itu.
“Yang melihat adalah dua gadis di dalam tenda. Tapi kedua gadis itu kabur entah kemana!”
“Bangsat rendah! Pasang lebih banyak obor dan cari gadisgadis yang melarikan diri itu!” Datuk Hantu Merah berpaling pada Wulung Kingkit. “Kau dan anak buahmu segera lakukan penyelidikan! Pembunuh itu harus dicari sampai dapat!”
Belum sempat Wulung Kingkit menjawab, tiba-tiba terdengar suara dari dalam kereta.
“Kalian tidak usah susah-susah mencari, aku pembunuh dua anggota komplotan bejat itu ada di sini!”
Lalu braak!
Pintu kereta terdengar ditendang hingga mental berantakan. Dari dalam kereta keluar seorang pemuda berambut gondrong sambil bertolak pinggang. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wulung Kingkit segera hunus goloknya. Para anggota komplotan lainnya juga melakukan hal yang sama, segera mencekal senjata masing-masing. Ketika lebih dari selusin orang hendak menyerbu, Datuk Hantu Merah berseru.
“Tahan! Sebelum dia kita cincang, aku ingin tahu siapa bangsat gondrong ini adanya.” Lalu sang ketua maju empat langkah dan membentak.
“Gondrong! Katakan siapa dirimu! Mengapa berani membunuh dua anak buahku?!”
“Namaku Wiro Sableng! Aku membunuh dua anjing itu karena dia hendak memperkosa dua gadis tak berdaya! Ketahuilah, masih banyak orang-orang di sini yang bakal menemui kematian karena dosa terkutuk yang sama! Termasuk kau dedengkotnya!”
Marahlah Ketua Komplotan Hantu Merah itu mendengar dirinya disebut dedengkot. Maka, diapun berteriak memberi perintah.
“Bunuh bangsat gondrong ini! Cincang sampai lumat!” Selusin orang bergerak. Selusin senjata berkelebat.
Saat itu terlihat sinar menyilaukan menyambar dibarengi suara mengaung macam ratusan tawon mengamuk. Lalu…
Trang…!
Trang…!
Trang…!
Suara senjata beradu susul menyusul yang ditingkahi oleh suara jeritan-jeritan kematian!
Empat anggota Komplotan Hantu Merah tergelatak roboh mandi darah. Lalu menyusul dua orang lagi. Melihat ini enam orang lainnya menjadi ciut nyalinya. Hendak melompat mundur mereka takut pada sang ketua. Kalau maju terus pasti menerima nasib sama seperti enam kawan mereka itu!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar teriakan Ketua Komplotan Hantu Merah.
“Mundur semua! Biar aku yang mematahkan batang lehernya! Akan kubetot jantung dan isi perutnya!”
Dari mulut sang datuk terdengar suara berkeretekan rahang dan gerahamnya yang saling beradu. Matanya merah membara. Berewoknya dan kumis tebalnya berjingkrak. Dia melompat ke hadapan Pendekar 212 dengan tangan kosong. Melihat orang tak bersenjata murid Sinto Gendeng ini segera simpan Kapak Maut Naga Geni 212. Waktu itulah Wulung Kingkit berbisik pada ketuanya.
“Ketua, kalau aku tidak salah manusia bernama Wiro Sableng ini adalah pendekar yang menyandang gelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Aku merasa sangat pasti setelah melihat senjatanya tadi!”
“Aku tak pernah dengar nama dan gelar itu! Sekalipun setan dihadapanku aku tidak takut. Kau kepinggirlah Wulung Kingkit!”
“Jangan, Ketua. Biar aku saja yang bicara padanya. Aku akan menawarkan sesuatu padanya asal kita bias selamat…!”
“Aku baru tahu kau sepengecut itu Wulung Kingkit!” bentak Datuk Hantu Merah dengan mata melotot.
“Ketua, ini bukan soal pengecut atau apa. Manusia satu ini bukan lawan kita…!”
Datuk Hantu Merah tertawa dan usap berewoknya sesaat lalu mendorong Wulung Kingkit ke samping. Tapi saat itu Wulung Kingkit yang sudah tahu apa yang bakal terjadi cepat mendahului melompat ke hadapan Wiro Sableng.
“Pendekar 212, aku bicara membawa usul. Habisi semua perkara antara kita. Tinggalkan tempat ini dan kau boleh membawa semua gadis itu!”
Wiro keluarkan siulan keras lalu tertawa lebar.
“Usul yang menggiurkan perwira palsu!” jawab Wiro.
Wulung Kingkit terkesiap. “Bagaimana bangsat ini tahu aku perwira palsu…?” dia bertanya dalam hati.
“Pendekar, apa yang aku usulkan adalah atas nama Kerajaan… Kau boleh tidak menghormati diriku dan kami semua. Tapi kau wajib menghormati Kerajaan!” Wiro tertawa bergelak.
“Perwira tengik! Ternyata otakmu bukan cuma bisa berpikir keji, tapi juga pandai mengatur rencana licik! Kalau kau mau memberikan kepala Komplotan Hantu Merah padaku, baru aku mau membuat urusan ini selesai!”
Mendengar ucapan Wiro itu, Datuk Hantu Merah menggembor marah. Dia menerjang ke depan. Kali ini Wulung Kingkit tidak mau mencegah lagi. Dia cepat menyingkir ke samping dan diam-diam mulai berpikir untuk melarikan diri.
* * *

SEMBILAN

Tegak berhadapan-hadapan begitu rupa tinggi Pendekar 212 hanya sampai sebahu Datuk Hantu Merah. Tangan sang datuk yang panjang melesat ke arah batang leher Wiro. Pendekar 212 cepat menunduk lalu hantamkan tinjunya ke perut lawan.
Buukk!
Jotosan itu tepat mendarat di perut Datuk Hantu Merah. Mata orang ini membeliak besar dan mukanya yang bopeng mengerenyit. Tapi tubuh dan kakinya tidak bergeming sedikitpun!
Wiro memukul sekali lagi. Saat inilah tangan kiri sang datuk berkelebat laksana pentungan menabas dari kiri ke arah batang leher Wiro sementara tangan kanannya bersiap-siap untuk menggebrak yaitu jika Wiro membuat gerakan menangkis atau menghindar.
“Bangsat ini tahan pukulan rupanya. Aku mau lihat apa dia tahan yang satu ini.” Membatin Wiro lalu dia jatuhkan diri berlutut.
Tangan kiri lawan menyambar di atas kepalanya. Tangan kanan yang berusaha menggapai ke depan dipukulnya dengan tangan kiri. Dua lengan beradu keras. Tetap saja si tinggi kurus itu tidak bergeming walau mukanya jelas mengerenyit menahan sakit. Wiro pergunakan kesempatan. Tangan kanannya meluncur ke depan menarik keraskeras celana merah sang datuk yang memang tidak terkancing betul.
Lalu dengan tangan kirinya Wiro mendorong tubuh Datuk Hantu Merah. Karena kedua kakinya tertahan oleh celana yang merosot, sang datuk hilang keseimbangan lalu, Brukk! Dia jatuh terduduk di tanah!
Sesaat Wiro hendak menghantam kepala lawannya, di bagian lain terdengar jeritan-jeritan keras. Anggota Komplotan Hantu Merah Nampak lari kian kemari menyelamatkan diri. Namun banyak diantara mereka yang jatuh bergelimpangan di tanah dan menemui ajal dalam keadaan mengerikan. Ada yang perutnya jebol, ada yang mukanya hancur! Wiro mengendus dalam-dalam. Dia mencium bau sesuatu….!
“Bau itu…” desis Wiro. “Bau bunga kenanga!”
Lalu dia dikejutkan oleh satu sosok tubuh yang jatuh di sampingnya. Ternyata adalah sosok tubuh Wulung Kingkit si perwira palsu. Mukanya tampak berlumuran darah dan di mata kirinya menancap bunga kenanga!
Baik Wiro maupun Datuk Hantu Merah sama-sama mengenali bunga itu. Sang datuk yang hendak melabrak dengan satu serangan tangan kosong serta merta batalkan niatnya.
“Bunga mayat…” desis sang datuk. Dia melompat berdiri sambil tarik keatas celana merahnya dengan susah payah. “Dewi Bunga Mayat!” desisnya lagi penuh ketakutan. Dia tidak lagi perdulikan Wiro. Wiropun tidak lagi perdulikan manusia satu itu. Yang ada dalam benaknya saat itu adalah Bunga si dara jelita. Jadi dia ada disini!
“Bunga! Bunga…!” teriak Wiro berulang kali. Dalam kegelapan malam dia melihat seorang berpakaian serba putih menunggangi kuda putih. “Bunga!” memanggil Wiro. Akhirnya ditemuinya juga gadis yang dicari-carinya selama ini. Dia berlari ke arah kuda dan penunggangnya. Namun saat itu si penunggang telah menggebrak kuda putihnya mengejar Datuk Hantu Merah yang tengah melarikan diri. Begitu terkejar si penunggang jambak rambut sang datuk lalu menyeretnya beberapa belas langkah. Begitu melewati sebatang pohon besar kepala itu langsung dihantamkannya ke badan pohon. Praakkk!
Kelapa dan pohon beradu. Tak ampun kepala itu pecah dan menggeletak mengerikan ketika si penunggang kuda melemparkannya ke tanah.
“Bunga!” teriak Wiro.
Orang diatas kuda putih menoleh. Lambaikan tangan sambil tersenyum lalu membedal kudanya.
“Bunga!” teriak Wiro lagi. Kelabakan dia mencari kuda yang bisa dibedal. Begitu dapat, Wiro langsung mengejar kuda putih dan Dewi Bunga Mayat si penunggangnya!
Keluar dari hutan Jatiroto sang dewi ternyata melarikan kudanya ke daerah persawahan dan berhenti di sebuah bangunan kecil di tepi sawah tepat dekat sebuah mata air.
Wiro sampai pula di bangunan kecil itu dan dapatkan Bunga telah duduk di dalam, memandang padanya sambil tersenyum. Seperti lupa diri Wiro langsung melompat merangkul sang dara.
“Bunga… Aku mencarimu berhari-hari. Rasanya seperti mau gila tidak melihatmu….” berucap Wiro.
“Seperti mau gila berarti belum gila benaran kan?!” ujar Bunga.
“Ah, kau masih tega mempermainkanku! Kemana saja kau selama ini… Bagaimana kau tahu-tahu bisa muncul di hutan Jatiroto?”
“Eh, pertanyaanmu banyak amat! Apakah semua itu sangat penting bagimu…?”
“Tentu saja penting! Kini aku menemuimu. Jangan harap aku akan melepaskanmu Bunga. Aku akan ikut kemana kau pergi…!”
Perlahan-lahan Bunga melepaskan pelukan Wiro. Sambil menatap mata pemuda itu dia berkata, “Tidak mungkin Wiro. Tidak mungkin kau mengikuti kemana aku pergi…”
“Tidak mungkin bagaimana? Bukankah aku sudah bilang kalau aku mencintaimu. Eh…” ucapan Wiro terputus.
“Mengapa kau tidak meneruskan kata-katamu , Wiro? Apa kau menyesal telah mengakui isi hatimu…?”
“Bukan… Aku tidak menyesal. Dengar, aku pernah bermimpi diatas kuburan…” lalu Wiro menceritakan mimpinya waktu dia duduk ketiduran diatas batu hitam di pekuburan Batuwungkur.
Bunga tertawa lebar mendengar cerita itu lalu ulurkan kedua tangannya memegang jari-jari sang pendekar. Wiro angkat kedua tangan si gadis, menciumnya berulang-ulang. “Aku tak mau berpisah lagi denganmu Bunga…” bisik Wiro lalu mendekap sang dara eraterat ke dadanya. Wiro lalu merasakan Bunga membalas rangkulannya itu. Keduanya hanyut dalam perasaan yang seolaholah menjadi satu. Walau mereka berpeluk dan berciuman, namun dihati sang Pendekar 212 sama sekali tidak ada gejolak hawa nafsu. Sentuhan cinta kasih yang tulus lebih menggema di dalam tubuh dan aliran darahnya.
“Bunga..,” bisik Wiro.
“Wiro…,” balas berbisik Bunga.
“Kita tidak akan berpisah lagi bukan…?”
“Apa yang kau inginkan itu juga menjadi keinginanku, Wiro. Tapi saat ini…”
“Jangan katakan tapi, Bunga. Aku akan membawamu pada guruku di Gunung Gede. Lalu aku akan menemui orang tuamu. Aku…”
Jari-jari tangan Bunga menempel di atas mulut Pendekar 212 hingga Wiro tidak bisa meneruskan ucapannya.
“Saat ini aku harus pergi Wiro. Sebentar lagi hari akan pagi.
Ada sesuatu yang harus kulakukan…” Bunga melepaskan pelukannya. Lalu cepat sekali dia melompat ke punggung kuda putih.
“Bunga…” Wiro hendak mengejar. Lalu didengarnya gadis itu berkata, “Jika kau ingin bertemu lagi datanglah ke kedai Aki Sukri tiga malam di muka. Aku menunggumu di sana… Saat ini bagaimanapun tulusnya perasaanmu padaku, janganlah mengejar atau mengikutiku. Berjanjilah Wiro…”
“Aku berjanji Bunga. Demi cintaku padamu…”
“Dan cintaku padamu…” sahut Bunga.
“Ah! Jadi… kau juga mencintaiku Bunga…?” Tanya Wiro.
“Aku… aku tidak bisa menipu perasaanku sendiri. Aku tak mungkin melawan kodrat…” jawab sang dara lalu mengusap leher kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Wiro merasakan kesejukan dalam dirinya mendengar kata-kata itu. Dia mengikuti kepergian Bunga dengan pandangan mata dan senyuman sampai akhirnya sang dara lenyap dikejauhan dalam kegelapan malam yang menjelang pagi itu.
* * *

SEPULUH

SORE ITU SUNTINI dan suaminya duduk bersama Menak Tunggoro sang ayah sambil menikmati teh manis hangat di langkan samping rumah besar kediaman mereka.
“Ayah, kami berdua benar-benar gembira melihat ayah kembali berkumpul lagi di rumah besar ini…” berkata Suntini.
Menak Tunggoro tersenyum.
“Besar kegembiraan kalian berdua, lebih besar lagi rasa gembiraku, Suntini…”
“Lalu apakah lusa ayah akan menghadap Adipati untuk menerima jabatan yang ditawarkan beliau…?” yang bertanya adalah Sadewo, sang menantu.
“Itu yang masih jadi pikiranku. Kalau aku datang berarti setengahnya aku bisa dianggap sudah menerima jabatan itu. Padahal rasanya aku belum siap…”
“Diterima atau tidak sebaiknya ayah tetap datang. Paling tidak ayah sudah menghormati tawaran dan menghormati Adipati.”
“Ucapan Kangmas Sadewo memang betul ayah. Ayah harus ke sana menmui Adipati. Mungkin ayah perlu bertukar pikiran dengan beliau…”
Menak Tunggoro tertawa dan memegang tangan anak perempuannya itu. “Sudah maghrib…” katanya. “Aku harus sembahyang dulu…”
Orang tua ini berdiri. Sesaat dia ingat sesuatu. “Ayah melihat banyak orang berjaga-jaga di sekitar rumah kita ini. Ada apakah?” Menak Tunggoro berpaling pada menantunya.
“Tidak ada apa-apa, ayah. Sekedar untuk berjaga-jaga dari maling saja…” jawab sang menantu.
“Ah, sudah banyak maling rupanya di pinggiran kota ini!?” Menak Tunggoro mengangguk-angguk lalu masuk ke dalam.
*
* *
Udara malam itu terasa panas. Di atas ranjang di dalam kamar mereka, suami istri Suntini dan Sadewo tengah bermesraan.
“Setiap kau terlambat datang bulan, aku selalu merasa gembira karena mengira kita bakal dikaruniai anak… Ternyata sampai saat ini masih belum…” berkata Sadewo sambil mengelus perut istrinya yang putih. Suntini menggeliat kegelian. Dia merangkul tubuh suaminya erat-erat dengan tangan dan kakinya. Ketika dia menaikkan kepalanya, tak sengaja dia memandang ke arah jendela yang hordengnya tersingkap. Saat itulah dia melihat ada sosok seseorang memperhatikan ke arah dalam kamar. Langsung wajah Suntini menjadi pucat dan sekujur tubuhnya bergeletar.
Mula-mula Sadewo mengira tubuh istrinya bergeletar karena rangsangan birahi. Namun ketika dilihatnya kedua mata Suntini melotot ke arah jendela kamar dan mulutnya bergerak-gerak tapi tak ada suara yang keluar, Sadewo cepat berpaling ke arah yang dipandang istrinya.
“Dia.. dia datang lagi…” bisik Suntini. Suaranya seperti kelu.
Lelaki itu serta merta melompat dan mengenakan pakaiannya dengan cepat. Sebuah kelewang yang tergantung di dinding kamar di sambarnya. Lalu dia membuka pintu dan lari keluar.
“Mas Sadewo! Jangan tinggalkan aku mas! Aku takut!” teriak Suntini.
Tapi Sadewo terus lari keluar. Saat itu sosok yang tadi tegak di luar jendela sudah lenyap. Sadewo lari ke langkan depan rumah dimana terdapat kentongan kayu. Kentongan itu dipukulnya berulang kali sampai enam orang lelaki bertubuh tegap muncul dihadapannya.
“Lekas siapkan obor dan kuda! Makhluk itu muncul lagi! Malam ini kita harus membuatnya kapok! Membunuhnya!”
“Tapi kalau makhluk itu makhluk halus seperti katamu ‘den, bagaimana mungkin kita bisa membunuhnya?!” tanya salah seorang yang datang menghadap.
“Diam! Kau tahu apa! Turut saja perintah! Ki Dukun telah mengatur segala sesuatunya! Kita tinggal menjalankan! Lekas siapkan obor dan kuda!” teriak Sadewo marah.
Enam orang itu segera berlalu. Tak lama kemudian mereka kembali membawa tujuh ekor kuda dan tujuh buah obor menyala. Sadewo melompat ke atas salah seekor kuda, mengambil sebuah obor lalu memberi isyarat agar enam orang pembantunya mengikutinya. Sadewo memimpin rombongan berkuda itu menuju bagian pinggir selatan kota.
“Masih belum kelihatan den. Apa raden merasa pasti makhluk itu lari ke jurusan sini?”
“Ki Dukun yang berkata begitu…” sahut Sadewo. Dia memacu kudanya terus. Tak lama kemudian mereka memasuki satu jalan menurun. Di depan mereka terdapat sebuah jembatan bambu yang melintang di atas sebuah jurang dalam. Dulunya jurang itu merupakan sebuah aliran sungai. Namun karena tidak dialiri air lagi, sungai dalam itu berubah menjadi jurang.
“Raden!” tiba-tiba salah seorang dari enam pembantu berteriak seraya menunjuk ke depan. “Lihat, Raden! Makhluk itu ada di depan sana!”
Semua kepala dipalingkan ke arah yang ditunjuk. Memang benar. Di depan sana, beberapa belas tombak dari jembatan bambu tampak penunggang kuda putih tegak tak bergerak seolah-olah sengaja menunggu mereka.
“Kejar!” Perintah Sadewo. “Ingat! Begitu kalian berhasil mengejar, tusukkan obor ini ke kepala dan tubuh orang itu! Dia pasti kapok! Mati konyol dimakan api dan tidak akan mengganguku lagi! Jalan!”
Tujuh kuda melompat ke depan menuruni jalan menuju jembatan bambu. Saat itu kuda putih di depan sana tampak bergerak pula, melewati jembatan bambu dengan perlahan-lahan. Sepertinya sengaja menunggu rombongan Sadewo di sebelah belakang. Ketika melewati jembatan bambu, orang berkuda putih keluarkan sebuah benda dari sebuah kantong dekat leher kuda. Ternyata segulung tali besar yang ujungnya ada kaitan besinya. Tali ditebar dan diputarputar. Sesaat akan keluar dari jembatan bambu, tali itu melesat ke bawah dan besi pengaitnya bergelung di sebuah tiang bambu yang menjadi pusat daya tahan berat jembatan.
Di sebelah belakang tujuh penunggang kuda menderu di atas jembatan. Saat itulah penunggang kuda putih keluarkan tawa cekikikan. Dia menggebrak kuda tunggangannya. Kuda putih itu melompat kencang. Tali berkait besi tersentak dan langsung menarik tiang bambu di kolong jembatan. Begitu tiang berderak patah, tak ampun lagi goyahlah bambu-bambu penopang lainnya. Jembatan bambu itu langsung runtuh berderak. Tujuh peunggang kuda bergemuruh jatuh ke dalam jurang. Suara ringkik kuda dan suara jeritan tujuh orang itu menjadi satu merobek kesunyian malam secara teramat mengerikan.
Lalu sunyi. Penunggang kuda putih campakkan tali yang dipegangnya ke tanah. Dia berlalu sambil menabur tawa cekikikan penuh kepuasan!
* * *

SEBELAS

SORE TADI JENAZAH Raden Sadewo dan enam orang lelaki yang menjadi korban jatuh ke dalam jurang telah dimakamkan. Atas permintaan istrinya, jenazah tidak dikubur di pemakaman Batuwungkur yang terletak cukup jauh dari Sleman tempat kediaman almarhum, tapi dimakamkan di pekuburan Kebalentoro di tenggara kota.
Malam itu suasana di gedung kediaman Menak Tunggoro kelihatan sunyi senyap. Hanya sebuah lampu minyak saja yang tampak menyala di bagian belakang rumah besar. Penghuninya mungkin telah lelap keletihan karena siangnya melakukan berbagai upacara sampai saat terakhir pemakaman Raden Sadewo.
Dalam kesunyian dan kegelapan itu tiba-tiba tampak jendela bekas kamar almarhum terbuka. Lalu satu sosok menyelinap keluar, bergegas menuju halaman belakang. Disini dia masuk ke dalam kandang kuda. Tak lama kemudian orang tadi tampak keluar sambil menuntun seekor kuda. Di luar halaman rumah besar baru dia naik ke punggung kuda dan memacu binatang itu ke arah barat Sleman. Ki Dukun Sambarekso tersentak kaget dari tidurnya ketika ada yang mengetuk pintu rumahnya keras sekali. Dia terduduk di tepi ranjang dan memasang telinga. Suara ketukan itu kini dibarengi oleh suara orang memanggil.
“Ki Dukun! Lekas buka pintu! Aku perlu bicara denganmu! Ki Dukun Sambar! Buka Pintu!” Itu suara perempuan!
Orang tua hampir tujuh puluh tahun ini tapi masih bertubuh kekar bangkit dari ranjangnya, bergegas keluar kamar. Setelah menyalakan lampu minyak di ruangan depan dia langsung membuka pintu. Begitu pintu terbuka, sebatang golok tahu-tahu sudah melintang di tenggorokannya! Membuat dia melangkah mundur ketakutan dan akhirnya punggungnya tertahan dinding rumah.
“Den ayu Suntini…” desis Ki Dukun ketika dia mengenali siapa adanya yang menempelkan golok ke lehernya. “Kau datang malammalam begini dan mengancamku dengan sebilah golok, ada apakah…?!”
“Kau tahu suamiku meninggal karena kecelakaan masuk jurang?!” sentak perempuan yang memegang golok yang ternyata adalah Suntini, puteri Menak Tunggoro, bekas istri almarhum Sadewo.
“Aku tahu, den ayu…”
“Kejadian itu adalah karena kesalahamu!”
“Ke… kesalahanku? Aku tidak mengerti?!”
“Kau akan mengerti kalau lehermu sudah ku sembelih!”
“Tunggu! Jangan den ayu…! Jangan menuduhku begitu…”
“Jangan berani berdusta! Beberapa waktu lalu suamiku pernah datang padamu meminta petunjuk….”
“Betul den ayu. Itu memang betul. Dia memberi tahu adanya gangguan atas dirimu dan dirinya sejak tiga bulan terakhir ini. Aku memberi perunjuk dan sebuah jimat untuk keselamatan…”
“Dan karena petunjuk serta jimatmu itu suamiku mati masuk jurang bersama enam pembantunya! Kau harus tebus nyawa suamiku dengan nyawa tua bangkamu!” Golok ditangan Suntini menekan. Ki Dukun terpekik dan darah mengucur dari luka di lehernya.
“Den ayu… jangan… jangan bunuh diriku. Kurasa… kurasa suamimu melakukan kesalahan. Jangan-jangan dia melakukannya tidak sesuai petunjukku….”
“Tidak sesuai petunjuk bagaimana…?!” sentak Suntini.
“Waktu suami den ayu datang terakhir aku pernah memesankan, jika dia hendak menghadapi si penggangu, dia musti berada dalam keadaan suci…”
“Suci? Suci bagaimana…?”
“Dirinya harus dalam keadaan bersih. Kalau sebelumnya dia perhan berhubungan badan dengan den ayu maka dia harus mandi basah lebih dulu. Kalau tidak… itulah bahayanya…”
“Kau dusta! Kau sengaja mencari dalih agar bisa cuci tangan! Biar kubunuh kau saat ini juga!”
“Kalau kau bunuh diriku, berarti kau tak akan pernah bebas dari si pengganggu itu! Aku masih ada cara lain untuk menolongmu den ayu!” tiba-tiba Ki Dukun berkata.
Suntini yang hendak menekankan goloknya dalam-dalam ke leher si orang tua urungkan niatnya. Dengan mendelik dia membentak, “Apa yang ada dalam otakmu, Ki Dukun?!”
“Aku punya senjata rahasia bernama Pisau Daun Sirih. Dengan senjata itu kau bisa menyingkirkan si penggangu. Asal kau mau dan benar-benar mengikuti petunjukku…”
“Baik kuberi kau kesempatan sekali lagi. Jika tidak berhasil jangan harap kau bisa lolos dari kematian!” Suntini turunkan tangannya yang memegang golok. Ki Dukun merasa lega. Sepasang mata orang tua itu tiba-tiba tampak berkilat seperti memancarkan sesuatu. Pandangannya menembus ke mata Suntini.
“Ada satu syarat yang harus kau penuhi terlebih dulu den ayu…” kata Ki Dukun perlahan.
“Jangan takut, kalau berhasil pasti akan kuberi hadiah uang!”
“Tidak, bukan uang. Ku inginkan dirimu…” Dari mata Ki Dukun menyambar kembali kilatan cahaya aneh itu. Seperti orang terkena sihir Suntini hanya diam saja ketika si orang tua mulai membukai pakaiannya. Di lain saat perempuan muda ini sudah berada dalam keadaan polos dan mengikuti saja ketika Ki Dukun membimbingnya ke dalam kamar!
* * *

DUA BELAS

MATAHARI BARU SAJA tenggelam ketika Wiro masuk ke dalam kedai. Aku Sukri si pemilik kedai segera mendatanginya dan hendak mengatakan sesuatu. Tapi Wiro cepat memegang bahu Aki Sukri, menekannnya sedikit hingga pemilik kedai itu mengerenyit kesakitan.
“Aku tahu kau tidak suka melihat kedatanganku. Tapi jangan banyak bicara. Ini uang. Terima!” berkata Wiro lalu masukkan dua keping uang ke dalam saku si pemilik kedai.
Mau tak mau Aki Sukri menerima saja uang itu lalu bertanya, “Kau tidak ingin memesan makanan atau minuman?”
“Tidak, aku akan menunggu seorang sahabat! Nanti saja kalau dia sudah datang…” jawab Wiro.
“Sahabat yang kau maksudkan itu, apakah dia dara temo hari? Yang katamu bergelar Dewi Bunga Mayat?” tanya Aki Sukri dengan wajah berubah.
“Siapa dia kau tak usah tahu. Lihat saja nanti siapa yang datang!” habis berkata begitu Wiro lalu duduk di sudut kedai yang agaknya kegelapan.
Malam terasa merayap sangat perlahan. Sampai menjelang tengah malam Wiro masih duduk di tempatnya dalam keadaan terkantuk-kantuk. Dan orang yang ditunggunya masih belum muncul.
Aki Sukri mendatangi sang pendekar lalu berkata, “Maafkan, aku bukan mengusir. Tapi kedai ini sudah mau kututup, anak muda…”
“Orang yang kutunggu masih belum datang. Tunggu sebentar lagi, Aki…”
Aki Sukri keruk saku bajunya dan keluarkan dua keping uang yang tadi diberikan Wiro, lalu letakkan di atas meja.
“Ini uangmu. Ambil kembali dan pergi dari sini…”
Pendekar 212 tersenyum. Dengan tangan kirinya didorongnya pemilik kedai itu seraya berkata, “Orang yang ku nanti sudah datang. Kau tak usah menceloteh lagi, Aki. Siapkan dua kopi hangat…”
Aki Sukri berpaling ke arah pintu. Saat itu dilihatnya seorang dara berwajah cantik berpakaian putih melangkah masuk, melangkah menuju sudut dimana Wiro menunggu sambil berdiri. Pemilik kedai ini mengenali dan ingat betul, dara ini adalah dara yang tempo hari datang ke kedainya, yang menurut si anak muda bergelar Dewi Bunga Mayat! Betul dia rupanya yang datang! Penuh rasa takut Aki Sukri menyiapkan dua cangkir kopi.
“Kau pasti sudah kesal karena lama menunggu…” kata Bunga lalu duduk dekat-dekat di samping Wiro.
Pendekar 212 pegang tangan Bunga dan menjawab, “Seratus tahunpun aku bersedia menunggumu. Aku tahu kau pasti akan datang Bunga. Aku sudah memesan kopi panas untuk kita berdua…”
“Aih aku tidak pengopi. Tapi tak apa. Malam ini malam istimewa bagi kita berdua. Aku akan minum kopi hangat bersamamu…”
“Setuju! Malam ini malam istimewa bagi kita berdua. Kau mau aku memesan makanan…?”
“Tidak usah. Kopi saja sudah cukup…”
“Apakah kau baik-baik saja selama beberapa hari ini?” tanya Wiro.
“Ya… ya. Kau sendiri bagaimana?” balik bertanya Bunga.
“Ah, aku selalu ingat-ingat dirimu. Susah kalau sudah jatuh cinta begini…!”
Wiro lantas tertawa sedang wajah Bunga tampak kemerahan. Wiro angkat tangan kanan si gadis yang dipegangnya lalu diciumnya berulang kali. Saat itu terdengar suara orang berdehem.
Aki Sukri datang membawa dua cangkir kopi. Wiro tersipu malu, Bunga tundukkan kepala. Dua cangkir kopi diletakkan di atas meja.
“Bunga aku punya satu rencana besar…”
“Rencana besar apa, Wiro?”
“Rencana ini ada kaitanya dengan hubungan kita…”
“Hem… katakan maksudmu…”
“Aku akan menemui orang tuamu!”
“Eh, untuk keperluan apa?!” tanya Bunga heran.
“Aku hendak melamarmu!” jawab Pendekar 212 tanpa tedeng aling-aling.
Tentu saja Bunga jadi terkejut. Dia seperti hendak tertawa gelak-gelak, namun akhirnya gadis jelita ini tundukkan kepala.
“Aku… aku sekarang baru sadar kalau kau memang bersungguh-sungguh…” ucap Bunga perlahan.
“Astaga! Apa kau kira selama ini aku mempermainkanmu? Katakan, kapan aku bisa ketemu kedua orang tuamu. Besok…? Eh, rumahmupun aku belum tahu! Bagaimana ini?!” Wiro memandang lekat-lekat ke wajah jelita itu.
“Ibuku sudah lama meninggal Wiro….”
“Maafkan aku…” kata Wiro lalu garuk-garuk kepala. “Tapi ayahmu masih ada ‘kan?”
Bunga mengangguk.
“Kalau begitu aku akan menemuinya. Bolehkah…?”
Bunga menatap paras pemuda itu sesaat, lalu mengangguk perlahan. Wiro kembali meremas dan menciumi tangan kanan Bunga. Hatinya berbunga-bunga. Dadanya seperti mau meledak karena kegirangan.
“Sekarang katakan di mana rumahmu…” bsisk Pendekar 212.
“Kapan kau mau datang, Wiro…?”
“Makin lekas makin baik. Besok…?”
“Datanglah ke Sleman. Cari rumah Raden Menak Tunggoro. Itu ayahku…”
“Raden Menak Tunggoro. Nama hebat! Ayahmu pasti seorang yang hebat!” kata Wiro pula. “Lalu namamu sendiri siapa? Kalau aku ketemu ayahmu, aku harus bilang mau bertemu siapa…?”
Sang dara tersenyum. “Namaku Suci…” bisiknya ke telinga Wiro.
“Suci… Nama bagus. Nama indah sekali…” ujar Wiro. Lalu diciumnya kembali jari-jari tangan sang dara. “Eh, sebaiknya kita teguk kopi ini. Jangan sampai dingin…”
Suci ulurkan tangan memegang cangkir. Wiro melakukan hal yang sama. Sesaat sebelum sepasang muda mudi yang dilanda cinta ini mendekatkan cangkir ke bibir masing-masing dan meneguk kopi hangat itu, tiba-tiba mereka mendengar suara sesuatu di atap kedai.
“Aku mendengar suara sesuatu berdesing berputar-putar di atas atap…” ujar Pendekar 212 sambil turunkan cangkir dan meletakkannya di atas meja sementara Bunga masih memegangi cangkir kopinya di depan dada.
“Aku juga mendengar…” menjawab Bunga. Wajahnya jelas tampak berubah.
“Aku mencium bau seperti kemenyan terbakar…” bisik Wiro lagi.
“Aku juga mencium bau itu…” bisik Bunga. Suaranya bergetar.
Tiba-tiba suara mendesing itu terdengar tambah nyaring lalu sebuah benda menerobos atap kedai yang terbuat dari rumbia! Benda ini langsung melesat ke arah kepala Bunga yang duduk di samping Wiro.
Bunga melompat berdiri. Cangkir di tangan kanannya terlepas. Kopi hangat menyirami dada, perut dan bagian bawah kebaya putihnya. Melihat bahaya besar mengancam Bunga, Pendekar 212 cepat dorong gadis itu ke samping lalu tangan kanannya dihantamkan ke atas benda yang menukik melesat dari atas atap! Sinar putih berkiblat menyilaukan. Kedai itu seperti diamuk gempa dan hawa panas laksana membakar. Tidak tanggung-tanggung Wiro telah lepaskan pukulan ‘sinar matahari’ demi menyelamatkan orang yang dicintainya.
Atap kedai jebol dan terbakar karena hantaman sinar matahari. Benda yang tadi melesat terpental kesamping dan jatuh tergeletak di atas meja. Meskipun sanggup dibuat mental tapi ternyata benda itu tidak patah atau hancur, apalagi leleh dihantam pukulan ‘sinar matahari’. Wiro dan bunga memandang membelalak pada benda di atas meja itu. Benda ini adalah sebuah pisau aneh, badan dan matanya berbentuk daun sirih. Kelihatannya terbuat dari tembaga merah yang seluruh badannya penuh ukiran tulisan-tulisan aneh. Pada gagangnya yang juga terbuat dari tembaga terikat sehelai kain putih. Di dalam kain putih ini terdapat beberapa keping kemenyan! Inilah Pisau Daun Sirih kiriman Ki Dukun Sambarekso!
Kedua muda-mudi itu baru sadar ketika mereka mendengar pekik jerit Aki Sukri yang kalang kabut mendapatkan kedainya terbakar.
“Bunga…” Wiro pegang lengan gadis itu, “cepat keluar dari tempat ini…” Lalu dipagutnya pinggang sang dara. Sebelum lari keluar kedai, Bunga masih sempat menyambar Pisau Daun Sirih diatas meja.
Di satu tempat di halaman belakang kedai keduanya berhenti berlari dan memandang ke arah kedai Aki Sukri yang terbkaar akibat hantaman pukulan ‘sinar matahari’
“Kasihan pemilik kedai itu. Aku harus mengganti kerugiannya…” Karena tak ada jawaban dari Bunga, Wiro berpaling.
Saat itu dilihatnya si gadis berdiri tidak bergerak. Kedua matanya terpejam. Pisau Daun Sirih yang dipegangnya di tangan kanan diangkat ke depan mulutnya lalu Bunga meniup tiga kali.
“Eh, apa yang tengah kau lakukan Bunga…?” tanya Wiro.
Bunga mengangkat Pisau Daun Sirih tinggi-tinggi di atas kepalanya. Lalu terdengar dia membentak, “Pergi! Kembali ke asalmu! Minum darah asal leluhurmu!”
Habis membentak begitu, Bunga lemparkan Pisau Daun Sirih ke udara. Senjata iu melesat dan lenyap dalam kegelapan malam!
“Wiro, kita berpisah disini…” terdengar Bunga berucap.
“Eh… Aku…”
“Besok kau akan datang ke rumahku, bukan?”
“Ya, tapi malam ini…”
“Aku harus pergi Wiro,” kata Bunga pula lalu memeluk Pendekar 212. keduanya saling berangkulan seperti tidak mau dipisahkan lagi. Peluk rangkul dan kecupan saling bergantian sementara di sebelah sana Aki Sukri masih kalang kabut berusaha memadamkan api yang membakar kedainya.
*
* *
Ki Dukun Sambarekso tersentak dari samadinya. Telinganya menangkap suara mendesing dikejauhan. Makin keras, makin keras tanda tambah dekat. Sesaat dia mengenali suara desingan itu, pucatlah wajah sang dukun, dia melompat sambil berseru keras.
“Pergi! Pergi! Bukan disini sasaranmu! Bukan disini asalmu! Bukan disini leluhurmu! Pergi!”
Suara berdesing semakin keras. Lalu terdengar suara jebolnya atap bangunan disusul melesatnya sebuah benda! Benda ini langsung mengarah Ki Dukun. Si orang tua menjerit keras untuk kedua kalinya.
“Pergi!” teriaknya. “Bukan disini asalmu! Bukan disini sasaranmu. Bukan… aakhhhhh!!!”
Pisau daun sirih menancap di tenggorokan ki dukun sambarekso. Tubuhnya langsung roboh terjengkang. Kedua kakinya kelojotan beberapa kali. Lalu diam tak berkutik lagi. Orang tua tukang santet ini menemui ajal dengan mata mendelik. Darah mengucur dari tenggorokannya yang ditembus senjata rahasia miliknya sendiri. Anehnya darah ini tidak berwarna merah tetapi hitam pekat!
* * *

TIGA BELAS

SORE ITU DENGAN PAKAIAN sangat bersih dan rapi Pendekar 212 Wiro Sableng berangkat ke Sleman. Tidak sulit baginya mencari rumah kediaman Raden Menak Tunggoro. Seorang pelayan muda menemuinya dan menanyakan maksud kedatangannya.
“Namaku Wiro Sableng. Aku datang dari jauh guna menemui Raden Menak Tunggoro. Apakah beliau ada di rumah…?”
“Majikan saya memang ada di rumah. Bisakah saya menanyakan maksud kedatangan raden…?” tanya si pelayan pula.
“Aku hem… Aku datang untuk melamar anaknya,” jawab Wiro polos.
Terkejutlah si pelayan. “Melamar anaknya…?” dia mengulang.
“Betul! Melamar anaknya!”
“Ah, pemuda ini pasti gendeng. Den ayu Suntini baru kemarin ditinggal mati suaminya. Kini dia datang melamar!” berkata si pelayan dalam hatinya. Tapi dia meminta agar sang tamu menunggu. Dia akan menemui Raden Menak Tunggoro untuk memberi tahu kedatangannya.
Akan Raden Menak Tunggoro yang saat itu masih berada dalam suasana berkabung dan sangat letih tentu saja sangat terkejut mendengar penjelasan sang pelayannya.
“Orang gila dari mana yang kesasar ke rumah ini!” katanya jengkel. Tapi dia keluar juga dari kamarnya menuju ruang depan. Pendekar 212 Wiro Sableng menjura memberi hormat.
“Apakah saya berhadapan dengan Raden Menak Tunggoro?” Wiro menyapa dengan sopan.
“Betul. Siapa engkau anak muda? Pelayan mengatakan bahwa engkau datang hendak melamar anakku?!” Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepalanya.
“Memang betul begitu. Harap maafkan kalau saya berlaku lancang. Sebelumnya saya sudah bicara dengan putri bapak. Dia menyetujui agar saya datang kemari menemui bapak untuk meyampaikan lamaran…”
Raden Menak Tunggoro menatap pemuda dihadapannya lamalama lau berkata, “Putriku Suntini maksudmu…?”
Wiro menggeleng.
“Bukan, bukan yang bernama Suntini. Tapi Bunga…” kata Wiro pula.
“Bunga…? Tak ada anak gadisku yang bernama seperti itu…”
“Ah,” Wiro tepuk keningnya. “maksud saya Suci…” katanya cepat.
Berubahlah paras Menak Tunggoro. “Suci…?” desisnya mengulang. Kedua matanya kini memandangi Wiro dari kepala sampai ke kaki. “Kau tidak keliru, anak muda…?”
“Maksud bapak, tidak ada gadis yang bernama Suci disini…?”
“Anak muda, masuklah…” Menak Tunggoro memegang bahu Wiro, mengajaknya masuk ke dalam dan mempersilakannya duduk di ruangan tamu.
Wiro memandang berkeliling. Lalu berpaling pada Menak Tunggoro. “Bapak belum menjawab pertanyaan saya tadi. Betul tak ada…”
“Kapan kau bertemu dengan Suci? Katamu kau sebelumnya sudah bicara dengan dia…” Menak Tunggoro memotong ucapan Wiro.
“Malam tadi. Di kedai Aki Sukri. Apakah dia tidak
menceritakan pada bapak bagaimana dirinya hampir saja jadi korban senjata rahasia…”
“Tunggu dulu anak muda. Coba kau katakan sekali lagi! Kau bertemu dengan Suci malam tadi di kedai Aki Sukri. Betul begitu?!”
“Betul!” jawab Wiro. Dia mulai tidak mengerti ucapan-ucapan dan pertanyaan orang di hadapannya ini.
“Apakah sebelumnya… kau juga pernah bertemu dengan Suci…?”
“Beberapa kali. Dia gadis hebat. Kepandaiannya luar biasa. Dia sanggup membunuh lawan hanya dengan setangkai bunga kenanga! Itu yang membuat saya kagum. Tidak heran kalau orang-orang menyebutnya dengan gelaran Dewi Bunga Mayat…!”
“Hah!” Menak Tunggoro terlompat dari kursinya. “Suci…” desis orang tua ini. “Bagaimana mungkin…?!”
“Apa yang bagaimana mungkin, bapak?” tanya Wiro pula.
“Tidak mungkin anak muda. Tidak mungkin kau telah bertemu dengan anakku Suci. Tidak mungkin dia yang dijuluki Dewi Bunga Mayat itu…”
“Saya tidak berdusta bapak. Atau apakah saya perlu bersumpah?!” tanya Wiro lagi. “Saya benar-benar tidak mengerti semua ucapan-ucapan bapak….”
“Tentu! Pasti kau tidak mengerti anak muda. Aku juga tidak mengerti! Karena Suci anakku telah meninggal dunia tiga bulan lalu!”
“Apa?!” kini Pendekar 212 yang tersentak kaget dan terlompat dari kursinya. “Bapak bergurau agaknya…?”
Menak Tunggoro menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kepalanya degeleng-gelengkan beberapa kali.
“Aku tidak bergurau anak muda! Aku juga tidak berdusta. Ya Tuhan…. Mengapa semua ini bisa terjadi? Dosa apa yang aku buat sehingga nasib anak-anakku tidak karuan begini rupa..?!”
“Bapak…” Wiro tak bisa meneruskan kata-katanya. Dia melangkah ke pintu. “Orang tua ini mungkin saja berdalih karena tidak suka aku menjadi suami anaknya. Tapi aku melihat keanehan dibalik semua ini…”
Saat itu tiba-tiba Menak Tunggoro berdiri. “Anak muda, jika kau tidak percaya mari ikut aku. Aku akan antarkan kau ke kubur puteriku itu!”
Wiro mengerenyit. “Katakan dimana Suci dikubur kalau dia memang betul-betul sudah meninggal dunia…”
“Di pekuburan Batuwungkur!” jawab Menak Tunggoro. Wiro Sableng terbelalak.
“Kalau begitu memang perlu kita kesana sekarang juga sebelum hari malam. Kau harus membuktikan. Kau harus menunjukkan kuburnya!” Suara Wiro bergetar. Tengkuknya mendadak saja menjadi dingin dan sekujur tubuhnya keringatan. Ketika dia membalik mendahului keluar dari ruangan itu, dia melihat seorang lelaki tua melangkah terbungkuk-bungkuk menuruni tangga langkan depan rumah besar. “Orang tua itu…. Aku tahu dia sejak tadi mendengarkan pembicaraan. Siapa dia…?” bertanya Wiro dalam hati.
Selagi dia tegak dengan kepala penuh tanda tanya seperti itu, Menak Tunggoro muncul diatas kereta terbuka. Dia memberi isyarat pada Wiro agar lekas naik. Lalu setelah Wiro naik, kusir segera mencambuk kuda penarik kereta. Saat itu sang surya bersinar merah keemasan tanda tak lama lagi akan segera tenggelam.
* * *

EMPAT BELAS

Roda-roda kereta bergemeletakan ketika memasuki tanah pekuburan Batuwungkur. “Berhenti di sini!” kata Menak Tunggoro.
Lalu turun dari kereta sementara Wiro sudah melompat duluan. Dadanya berdebar keras seolah-olah ada sesuatu yang hendak meledak dari dalam!
Menak Tunggoro memberi isyarat agar mengikutinya di hadapan sebuah makam yang ditumbuhi sepokok pohon kemboja kecil orang tua ini berhenti.
Astaga! Wiro segera mengenali, itu adalah makam dimana dia pernah melihat Bunga berdiri lalu lenyap diantara bayang-bayang kabut malam. Batu hitam yang pernah didudukinya juga ada disitu. Matanya bergerak ke arah papan nisan yang mulai lapuk. Lutut Pendekar 212 goyah ketika matanya melihat tulisan hitam bertuliskan Suci di papan nisan itu!
“Bapak…” Wiro berpaling ke arah Menak Tunggoro.
“Kalau kau tanyakan bagaimana ini bisa terjadi akupun tak tahu jawabannya…”
“Tapi bagaimana saya bisa percaya kalau ini benar-benar makam Suci. Lalu siapa gadis yang saya temui selama ini…? Gadis cantik berkebaya putih…”
“Itulah pakaian yang dikenakannya ketika dia meninggal!” kata Menak Tunggoro. “Sesuai pesannya, dia minta agar dikubur dalam peti dengan kebaya putih dan celana panjang putih lalu baru digulung dengan kain kafan. Ini bukan kebiasaan menguburkan jenazah seperti itu. Tapi Suci sendiri yang berpesan begitu…”
“Bapak… Kau mengizinkan kalau makam ini dibongkar? Saya hanya ingin melihat bahwa jenazah didalamnya benar-benar Suci…”
“Aku tidak mengizinkan makam anakku dibongkar. Demi Tuhan tak ada seorangpun yang boleh melakukan hal itu!” kata Menak Tunggoro setengah berteriak.
“Kalau begitu biarlah aku pergi saja. Biar semua kejadian ini berpangkal dan berujung pada keanehan! Kenaehan yang tidak pernah terungkap…..”
Wiro berbalik dan ketika dia hendak melangkah didengarnya Menak Tunggoro berkata, “ Tunggu… Aku akan panggilkan penggalipenggali makam…!” Lalu orang tua itu berseru memanggil kusir kereta.
Tak lama kemudian tiga orang penggali makam datang ke tempat itu. Dua orang membawa pacul, datu membawa sendokan besar seperti sekop. Sementara sang surya sudah hampir masuk ke ufuk tenggelamnya. Daerah pekuburan Batauwungkur mulai temaram.
“Lekas gali sebelum malam turun!” ujar Wiro pada tiga penggali. Dengan tangannya ikut menyibakkan tanah galian. Tak!
Salah satu pacul membentur benda keras. Wiro tak tahan lagi. Dia segera terjun masuk ke dalam lobang kubur. Sekop di tangan penggali kubur diambilnya lalu dia sendiri melakukan penggalian dengan hati berdebar sampai akhirnya dia melihat kayu penutup sebuah peti mati!
Dua orang penggali makam melompat ke atas. Menyusul penggali yang ketiga. Ada satu keanehan yang membuat mereka merasa ngeri ketika melihat penutup peti mati yang ternyata masih dalam keadaan utuh, hanya rusak sedikit di beberapa sudut.
Kini tinggal Wiro sendirian dalam makam itu, dia mendongak ke atas, pada Menak tunggoro.
“Bapak, izinkan saya membuka peti mati ini?!”
Menak Tunggoro tampak tegang. Lalu orang tua ini anggukkan kepalanya.
Di dalam kubur Wiro pergunakan sekop untuk menguit tepi kiri peti mati. Karena beberapa bagian yang sudah lapuk, tidak sulit membuka penutup peti mati itu. Begitu peti terbuka menebarlah bau harum bunga kenanga! Wiro seperti terpukau. Tangannya gemetar, lututnya goyah. Dikuatkan hatinya. Dibukanya tutup peti mati itu lebih lebar, lebih lebar hingga akhirnya tersingkap keseluruhannya! Menak Tunggoro dan tiga penggali kubur sama-sama keluarkan seruan tercekat. Wiro sendiri untuk beberapa lamanya tertegun seperti patung!
Dalam peti mati yang terbuka lebar itu kini terpampang satu keanehan luar biasa yang sulit diterima akal. Sosok mayat di dalam peti mati itu tampak utuh seperti seorang yang sedang tidur. Dan sosok mayat ini adalah sosok mayat Suci! Wajahnya pucat tapi kecantikannya tetap nyata. Dia mengenakan kebaya panjang dan celana panjang putih. Disekitarnya berserakan robekan kain kafan yang sudah melapuk.
Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng terbelalak adalah ketika dia melihat bagaimana pada dada, bagian perut dan bagian sebelah bawah kebaya putih yang dikenakan mayat Suci jelas terlihat bekas tumpahan kopi! Kopi yang tertumpah ketika malam tadi terjadi serangan pisau daun sirih di kedai Aki Sukri!
“Suci…” bisik Wiro. “Keanehan atau keajaiban apa yang kau berikan padaku. Aku tak percaya bahwa kau benar-benar sudah tiada. Kalaupun itu memang kenyataan ketahuilah bahwa dirimu ada dalam hatiku….” Wiro merasakan kedua matanya menjadi panas. Kalau sebelumnya ada perasaan takut berada dalam kubur itu dan menyaksikan mayat Suci, kini semua rasa takut itu lenyap tidak berbekas. Diangkat tangannya, dipegangnya tangan Suci yang bersilang di atas perut. Lalu ditundukkannya kepalanya untuk mencium kening dan kedua pipi Suci. Terakhir sekali dikecupnya bibir mayat itu. Lalu terdengar suara isaknya. Inilah untuk pertama kali dalam hidupnya Pendekar 212 menangis, sementara empat orang di atas sana tampak bergidik melihat apa yang tadi dilakukan pemuda itu.
“Suci…” Wiro berbisik ke telinga mayat. “Aku akan pergi. Tidurlah dengan tenang. Bagiku kau tak pernah mati. Aku membawa cinta kasih kita yang berpadu rindu dalam diri ini kemanapun aku pergi. Kalau aku rindu akan kucium bunga kenanga yang ada dalam sakuku. Aku pergi Bunga… Aku pergi Suci…”
Wiro Sableng usap kedua matanya lalu tutupkan penutup peti mati. Perlahan-lahan dia naik ke atas. Ketika sampai di atas hari sudah gelap. Tiga penggali makam kembali bekerja. Kali ini untuk menimbun tanah kubur yang tadi digali. Ketika pekerjaan itu selesai, Menak Tunggoro memegang bahu sang pendekar lalu berkata.
“Sekarang kau melihat sendiri kenyataan ini, anak muda. Kenyataan yang kita semua tak akan bisa mengerti. Inilah kekuasaan Gusti Allah…” Orang tua itu diam sesaat. “Aku akan segera kembali ke Sleman. Kau ikut…?”
“Terima kasih. Saya akan tetap disini malam ini…” jawab Wiro pula.
Menak Tunggoro diikuti tiga penggali makam tinggalkan tempat itu. Kini tinggal Wiro sendirian, tegak termangu di hadapan Suci. Tiba-tiba telinganya mendengar suara bergemerisik di sebelah kiri. Sekali lompat saja murid Sinto Gendeng ini berkelebat ke arah setumpukan semak belukar.
“Ampun! Jangan pukul diriku!” terdengar suara orang berteriak. Wiro cekal leher pakaian orang itu. Ternyata dia adalah orang tua bungkuk yang dilihat Wiro di gedung kediaman Menak Tunggoro.
“Apa yang kau lakukan disini?!” bentak Wiro antara marah dan heran. “Kau sengaja memata-matai diriku! Siapa yang menyuruh?!”
“Aku… Aku tidak memata-mataimu… juga tak ada yang menyuruh…” berkata orang tua itu.
“Lalu apa maksudmu mengikut sampai kesini, sembunyi dibalik semak belukar…?”
“Aku… aku bermaksud baik, anak muda. Ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu. Aku… aku merasa kasihan padamu…”
“Tambah satu lagi keanehan di tempat ini!” ujar Wiro. “apa yang hendak kau ceritakan padaku, orang tua?”
“Tentang riwayat orang yang kau cintai itu…”
Wiro pandang wajah tua keriput itu sesaat lalu berkata, “Kalau kau memang punya cerita, ceritakanlah…”
“Aku bekerja sebagai pelayan di rumah Raden Menak Tunggoro sejak lima puluh tahun lalu. Apa yang terjadi di rumah besar itu kuketahui semuanya. Juga tentang kematian Suci tiga bulan yang lalu. Dia mati tidak wajar….”
“Tidak wajar bagaimana?”
“Suci yang malang itu mati diracun oleh Sadewo atas suruhan Suntini, adiknya sendiri…”
Tentu saja Wiro jadi terkesiap mendengar keterangan itu. Untuk beberapa lamanya dia tidak bisa berkata apa-apa sampai si orang tua bungkuk meneruskan ceritanya.
“Sebenarnya Suci bukan anak kandung Raden Menak Tunggoro. Dia adalah anak pungut karena selama enam tahun kawin Raden Menak Tunggoro tidak dapat anak dari istrinya. Tapi setelah satu tahun mengambil Suci jadi anak angkat, tahu-tahu istrinya mengandung. Lalu lahirlah Suntini. Kedua kaka beradik tiri itu samasama menjadi dewasa dengan kenyataan bahwa Suci jauh lebih cantik dari adik tirinya.”
“Sebagai remaja puteri, Suci memiliki seorang kekasih yaitu Sadewo. Celakanya, Sadewo ini dicintai setengah mati oleh Suntini. Untuk merusak hubungan Suci dengan Sadewo, Suntini lalu menceritakan siapa sebenarnya Suci. Pemuda itu ternyata menjadi bimbang dan akhirnya tenggelam dalam rayuan Suntini yang memang seorang gadis licik. Untuk menyingkirkan Suci maka Sadewo disuruhnya meracun Suci dengan janji bahwa jika mereka kawin nanti setengah dari kekayaan ayahnya akan diserahkan pada Sadewo. Dan Sadewo lalu meracun Suci. Itu terjadi tiga bulan lalu….”
“Nah, itulah yang bisa kuceritakan padamu anak muda. Apa yang terjadi selanjutnya kau sendiri sudah tahu…. Selamat tinggal anak muda. Aku harus pergi sekarang…”
“Terima kasih orang tua. Keteranganmu sangat berharga bagiku…” jawab Wiro lalu memutar tubuhnya dan duduk di atas batu hitam di samping makam.
Angin malam bertiup dingin. Kegelapan semakin memekat. Pendekar 212 duduk tak bergerak. Di telinganya terngiang kembali kata-kata balasan yang diucapkan Suci….
“Aku berjanji Bunga. Demi cintaku padamu…”
“Dan cintaku padamu…”
T A M A T


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...