posted by: Dunia Andromeda
Tahukah Anda! Sekitar 7000 orang Indonesia yang berbahasa Perancis
saat ini tinggal di suatu tempat, tepatnya di New Caledonia (Kaledonia
Baru) dan mereka merupakan bagian sejarah Indonesia yang kurang begitu
terkenal.
Adalah Djintar Tambunan – berumur 65 dan masih bekerja sebagai seorang
insinyur di Noumea, ibukota Kaledonia Baru, merupakan anggota dari
sebuah minoritas yang tidak biasa. Dia salah satu dari orang Indonesia
yang sangat sedikit di Kaledonia Baru yang masih fasih berbahasa
Indonesia. Istrinya Soetina yang orang Jawa tidak, demikian pula dengan
ke dua anaknya yang sudah dewasa. Seperti kebanyakan teman-teman
Indonesia mereka, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Perancis.
Lahir di Belige, di tepi Danau Toba, Sumatera Utara, pada tahun 1945,
Tambunan (begitu dia lebih suka dipanggil) dipindahkan ke Pulau Pasifik
Kaledonia Baru selama
booming pertambangan di tahun 1970. Dia
datang untuk bekerja di perusahaan konstruksi besar Citra yang masih ada
hingga sekarang. Dia menggambarkan dirinya sebagai bagian dari ‘gelombang
ketiga‘ dari emigran Indonesia.
Lalu siapa kemudian yang disebut sebagai
‘gelombang pertama’ dan
‘gelombang kedua‘ dari emigran Indonesia, dan apa yang mereka
lakukan di Kaledonia Baru?
Menurut Djintar Tambunan, dari 7000 atau lebih orang Indonesia yang saat
ini tinggal di sana, merupakan bagian dari sebuah ‘bab’ yang relatif
kurang dikenal dalam sejarah Indonesia. Seperti sejarah orang Jawa di
Suriname – Amerika Selatan dan juga orang Melayu di Cape Malays – Afrika
Selatan, ini adalah kisah menarik dari ketegangan yang terjadi ketika
terjadi perpindahan populasi ke sebuah lingkungan baru.
Sebuah etnis pertambangan awak-multi
yang terdiri dari Vietnam, Melanesia dan Jawa
(Gambar milik Asosiasi Pur La Sauvegarde du Patrimoine Minier historique et du Nord Caledonien)
(Gambar milik Asosiasi Pur La Sauvegarde du Patrimoine Minier historique et du Nord Caledonien)
Gelombang pertama
emigran Jawa terdiri dari 170 orang buruh kontrak, yang tiba di Noumea
pada tahun 1896. Empat puluh dua tahun sebelumnya, Napoleon III telah
mendirikan koloni hukuman milik Perancis di Kaledonia Baru. Sebagian
besar narapidana yang dikirim ke sini adalah tahanan politik dari Komune
Paris. Pada tahun 1894, Gubernur Kaledonia Baru Perancis, Paulus
Feillet, menghapuskan imigrasi dan menggantikan tenaga pidana penjara
dengan tenaga kerja imigran Asia, terutama dari Jepang, Jawa (Indonesia)
dan Vietnam, yang datang untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan.
Awalnya dikirim untuk bekerja di bidang pertanian, pada tahun 1899 orang
Jawa mulai bekerja di industri pertambangan, yang menawarkan upah yang
lebih baik namun kondisi lebih sulit. Setelah masa kontrak mereka
berakhir, beberapa dari mereka kembali ke Jawa. Tetapi banyak yang tetap
di New Caledonia, sebuah pilihan yang memaksa hak mereka untuk
repatriasi.
Itu juga pilihan yang mengharuskan mereka mencari pekerjaan baru.
Tunggu sebentar! Tahukah Anda di mana letak New Caledonia. Lihat peta di
bawah ini. New Caledonia adalah negara kepulauan yang terletak ‘di
bawah kanan’ Indonesia dan ‘di sebelah kanan’ Australia nun jauh di
Lautan Teduh.
Gelombang kedua
imigrasi dari Jawa terjadi pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II
ketika ekonomi New Caledonian menghadapi kekurangan tenaga kerja kronis
bersamaan dengan ledakan di produksi nikel dan kopi. Antara tahun 1933
dan 1939 lebih dari 7800 orang Jawa meninggalkan Jawa untuk Noumea.
Banyak dari mereka telah menandatangani kontrak lima tahun dengan agen
mereka.
Ketika tiba mereka menemukan pekerjaan di bidang pertanian dan
pertambangan, serta tenaga kerja domestik. Relik kontemporer yang paling
menarik dari gelombang pertama dan kedua di New Caledonia Indonesia
adalah Tiebaghi, yaitu pemukiman pertambangan di wilayah pegunungan
terpencil dekat Koumac di sebelah utara. Ini adalah tujuan bagi banyak
buruh kontrak Indonesia (baik pendatang baru dan kelahiran setempat)
antara tahun 1896 dan 1949. Di Tiebaghi, orang Jawa bekerja di tambang
krom
bawah tanah bersama Vietnam dan Jepang. Mungkin karena
berperawakan kecil, maka dianggap ‘mudah’ bagi mereka untuk memasuki
terowongan bawah tanah. Sekarang lokasi tambang dan peninggalan desa
pertambangan ini sedang dipulihkan oleh Asosiasi untuk Perlindungan
Pertambangan dan Warisan Caledonian Utara.
Gelombang ketiga
emigrasi, dimana Djintar Tambunan termasuk di
dalamnya, terdiri dari sekitar 600 warga Indonesia yang datang ke New
Kaledonia selama booming nikel antara 1967 dan 1972, untuk
bekerja pada kontrak tahunan terbarukan, terutama dalam industri
konstruksi. Di Kaledonia Baru, orang Jawa (Indonesia) meraih reputasi
sebagai pekerja yang rajin.
Menurut Tambunan, hanya beberapa dari mereka migran gelombang ketiga
tetap di New Kaledonia, sebagian besar pindah kembali ke Indonesia dan
beberapa telah meninggal dunia. Mereka yang tinggal di New Kaledonia
bekerja – dan dalam beberapa kasus terus bekerja – dalam berbagai
industri termasuk teknik, transportasi dan pembangunan infrastruktur.
Selain tiga gelombang migrasi, ada ‘kategori’ lainnya migran. Suminah
(yang menyebut dirinya Evelyne saat di Perancis) adalah contoh dari
baleh
wong – orang Indonesia yang lahir di New Kaledonia. Kemudian ada
Shirly Timan contoh dari jukuan wong, atau seseorang yang lahir
di Indonesia, tetapi dibawa ke Kaledonia Baru oleh orang Indonesia
setempat. Sering kali ini terjadi karena pernikahan.
Secara individu pencapaian ‘tertinggi’ karir orang Indonesia di
Kaledonia Baru adalah keberhasilan Anggota Parlemen
Rusmaeni
Sanmohamat yang terpilih sebagai Wakil Presiden keenam Kaledonia
Baru.
Disarikan dan disadur bebas dari tulisan Pam Allen (Pam.Allen @
utas.edu.au) mengajar Bahasa Indonesia dan budaya di University of
Tasmania di Hobart.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar