posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
SAMPAI menjelang tengah malam pesta perkawinan puteri Ki Lurah Rantas Madan dengan putera Ki Lurah Jambar Wulung masih kelihatan meriah. Tamu-tamu duduk di kursi masing-masing sambil menikmati hidangan dan minuman yang diantar para pelayan serta sambil menikmati permainan gamelan dan suara pesinden Nit Upit Warda yang lembut mengalun membawakan tembang “Kembang Kacang.”
Kedua mempelai yang berbahagia yaitu Ning Leswani dan Rana Wulung kelihatan duduk diantara para tamu dibarisan kursi paling depan, tepat dimuka panggung. Ki Lurah Rantas Madan duduk di samping Rana Wulung bersama istrinya sedang Ki Lurah Jambar Wulung di sebelah Ning Leswani juga bersama istrinya.
Karena masing-masing mempelai yang kawin adalah anak-anak lurah dari dua desa yang berdekatan maka dengan sendirinya suasana perkawinan meriah dan besar-besaran. Malam itu adalah malam pesta perkawinan yang pertama dan besok lusa akan dilanjutkan dengan pesta perkawinan yang kedua dan ketiga.
Pada menjelang dinihari di mana udara dinginnya mencucuk tulang-tulang sampai ke sungsum, tamu-tamu sudah banyak yang pulang.
Beberapa orang yang masih disana sudah mengantuk bahkan banyak yang tertidur seenaknya di kursi. Para pemain gamelan di bawah pimpinan Ageng Comal tak ketinggalan ketularan kantuk sehingga Ageng Comal menghentikan permainan sampai di situ.
Ki Lurah Rantas Madan dan Ki Lurah Jambar Wulung bersama istri masing-masing berdiri dari kursi mereka dan disertai beberapa orang lainnya kemudian melangkah mengiringi kedua penganten masuk ke dalam rumah besar yang tentunya terus ke dalam kamar!
Namun, belum lagi rombongan ini mencapai tangga langkan rumah, dari atas atap mendadak berkelebat satu sosok tubuh manusia, melompat ke atas panggung! Kedua kakinya menjejak taron (salah satu alat bunyi-bunyian dalam permainan gamelan) sedang kedua tangan berkacak pinggang.
Jarak atap rumah dan lantai panggung demikian tingginya tapi manusia tadi melompat ke atas taron tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Bahkan taron itu sama sekali tidak bergerak ataupun bergeser!
Orang ini masih muda belia, berbadan agak kurus dan tinggi.
Rambutnya gondrong sampai ke bahu. Pada parasnya yang gagah itu terbayang sifat buas, apalagi jika diperhatikan sepasang bola matanya hal itu akan lebih kentara lagi.
Pemuda ini mengenakan jubah hitam yang sangat panjang sehingga menjela-jela di atas taron dan lantai panggung. Jubah hitam ini disulam dengan bunga besar-besar berwarna kuning. Pada belakang kain penutup kepalanya tertancap sebuah bunga kertas yang juga berwarna kuning.
Melihat alat bunyi-bunyian diinjak seenaknya demikian rupa oleh seorang pemuda tak dikenal, tentu saja Ageng Comal menjadi marah sekali. Pemimpin kesenian gamelan ini maju melangkah sambil membentak.
“Pemuda kurang ajar! Turun dari taron itu sebelum kupatahkan batang lehermu!”
Seringai menggurat di wajah si pemuda. Dari mulutnya meledak suara tertawa yang menggetarkan dan menggidikkan serta membuat liang telinga seperti ditusuk-tusuk!
Suara tertawa itu, yang didahului oleh suara bentakan Ageng Comal tadi dengan serta merta membuat semua orang berpaling. Tamu-tamu yang duduk terhenyak tidur di kursi terbangun oleh kedahsyatan tertawa si jubah hitam dan semua mata ditujukan adanya.
Beberapa orang yang mengenali ciri-ciri pemuda di atas taron itu berseru kaget. “Pendekar Pemetik Bunga!”
Maka suasana itupun mendadak sontak menjadi gempar penuh ketegangan. Yang memiliki senjata segera menggerakkan tangan bersiap sedia menjaga segala kemungkinan.
Ki Rantas Madan berbisik pada menantunya, “Rana, bawa istrimu ke dalam, cepat!”
Sedang Ki Lurah Jambar Wulung berbisik pula pada istrinya, “Wiri, cepat masuk ke dalam. Bawa besanmu serta…”
Rana Wulung yang memang pernah mendengar dan mengetahui siapa adanya manusia bergelar “Pendekar Pemetik Bunga” itu segera memegang lengan istrinya lalu membimbing Ning Leswani. Istri Ki Lurah Jambar Wulung serta besannya mengikuti di belakang mereka.
Namun baru saja mereka bergerak satu langkah, pemuda jubah hitam di atas taron membentak garang.
“Siapa berani meninggalkan tempat ini berarti mampus!”
Semua yang melangkah jadi berhenti.
Ki Lurah Jambar Wulung hendak melangkah kea rah panggung, besannya – Rantas Madan – memegang lengannya dan berbisik, “Jangan tempuh jalan kekerasan, Ki Lurah Jambar. Manusia ini tinggi ilmunya dan berbahaya. Biar aku yang bicara…”
Habis berkata demikian Ki Lurah Rantas Madan maju ke depan panggung. Dia menegur dengan nada seramah mungkin.
“Pendekar Pemetik Bunga, kedatanganmu sungguh tak kami duga. Kalau kau ke sini hendak memberikan restu ucapan selamat kepada puteri dan menantuku, sebelumnya aku haturkan terima kasih.”
“Ah..,” Pendekar Pemetik Bunga rangkapkan tangan di muka dada kemudian tertawa bergelak-gelak. Matanya yang menyipit hampir terpejam karena tertawa itu. Dan dalam tertawa itu sesungguhnya kedua matanya memandang tajam kepada Ning Leswani yang cantik jelita. Disekanya ujung bibirnya dengan telapak tangan.
“Orang tua, kau sedikit lebih ramah dari besanmu,” kata Pendekar Pemetik Bunga pula. ”Tapi ketahuilah, aku datang ke sini bukan buat kasih ucapan selamat tapi sebaliknya.”
Pendekar Pemetik Bunga untuk kesekian kalinya tertawa lagi gelak-gelak.
“Aku datang untuk menjemput puterimu, Ki Lurah,” katanya. “Dia sudah ditakdirkan menjadi milikku!”
Berubahlah air muka orang banyak terutama Rantas Madan, Jambar Wulung, Rana Wulung dan Ning Leswani. Suasana sehening dipekuburan.
Tegang mencekam.
Ki Lurah Jambar Wulung tak dapat lagi menahan hati dan luapan amarahnya.
“Setan alas! Lekas angkat kaki dari sini kalau tidak ingin kupecahkan batok kepala sintingmu itu!”
Pendekar Pemetik Bunga mendengus.
“Mulutmu keliwat besar, Ki Lurah. Kau andalkan ilmu apakah?!” bentak Pendekar Pemetik Bunga.
Sebagai jawaban, Jambar Wulung melompat ke atas panggung. Laki-laki ini tidak memiliki ilmu kesaktian dan tak pernah menuntut ilmu kebathinan. Namun dalam ilmu silat luar dia sudah menjajakinya sampai tingkat teratas. Karenanya tidak mengherankan gerakannya melompat ke atas panggung tadi gesit dan enteng. Namun Pendekar Pemetik Bunga menyaksikan gerakan itu dengan sikap sinis dan air muka mengejek.
Matanya yang tajam dan pengalamannya yang dalam sekilas saja sudah melihat dan mengetahui bahwa Ki Lurah Jambar Wulung hanya memiliki ilmu silat luar, tak mempunyai isi apa-apa!
Di lain pihak, begitu kedua kakinya menginjak lantai panggung, begitu Jambar Wulung berkelebat mengirimkan serangan. Meski ilmu silatnya ilmu silat yang tak memiliki tenaga dalam, namun serangan yang dilancarkannya menimbulkan angin deras.
“Huh, segala silat picisan. hendak diandalkan!” ejek Pendekar Pemetik Bunga. “Makan sikutku ini, Ki Lurah!” Manusia ini kelihatan menggeserkan kaki kirinya sedikit dan tahu-tahu terdengar suara, “ngek!”
Suara itu keluar dari mulut Jambar Wulung. Tubuh Ki Lurah ini terpelanting menabrak gong besar di sudut panggung sebelah kanan, terus jatuh ke bawah panggung bersama alat bunyi-bunyian itu dengan menimbulkan suara hiruk pikuk.
Begitu terhampar di tanah Jambar Wulung tak bangun lagi alias pingsan. Dua tulang iganya telah hancur remuk di makan sikut Pendekar Pemetik Bunga!
Melihat ayahnya dibuat demikian rupa, naiklah darah Rana Wulung.
Tapi sebelum dia bergerak, mertuanya – Ki Lurah Tantas Madan – cepat memegang bahunya. Orang tua ini segera mendahului hendak melompat ke panggung tapi di atas panggung dilihatnya Ageng Comal sudah berhadap-hadapan dengan Pendekar Pemetik Bunga!
“Pemuda keparat! Biang racun pengacau! Jaga kepalamu!”
Ageng Comal dengan mempergunakan pukulan gong menyerbu ke muka. Pemuda yang diserang rundukkan kepala. Begitu pukulan gong berdesing di atasnya, cepat sekali tangan kirinya meluncur ke muka. Ageng Comal yang juga pernah mendalami ilmu silat melihat serangannya lewat serta menyaksikan serangan balasan lawan dengan sigap memiringkan tubuh ke kiri. Serentak dengan itu lutut kanannya dilipat menyongsong pukulan lawan!
Secara ilmu luar, memang walau bagaimanapun kepalan tak akan menang melawan lutut. Dan adalah sangat berbahaya bagi seorang yang menyerang dengan tinju bila dia meneruskan niatnya menyerang lutut yang keras dengan tinjunya! Namun Pendekar Pemetik Bunga sama sekali tidak menarik pulang serangannya!
“Ageng Comal!! Lekas tarik tanganmu!” teriak seorang dibawah panggung berteriak memberi peringatan.
Tapi, “Braak!”
Kasip sudah!
Pemimpin kesenian gamelan itu menjerit. Tubuhnya terguling pingsan di lantai panggung. Tulang tempurung lututnya hancur, kakinya sendiri teruntai-untai hampir putus!
Semua mata melotot. Semua muka pucat den semua mulut melongo!
Bagaimanakah tidak! Pemuda jubah hitam di atas panggung itu merobohkan lawannya tanpa bergeser satu langkahpun!
Di lain kejap seorang lain telah melompat pula ke atas panggung.
Orang itu adalah Rantas Madan yang sudah sejak tadi tak dapat lagi menahan hati panasnya.
Pendekar Pemetik Bunga lontarkan pandangan mengejek pada orang tua itu.
“Kau juga mau cari penyakit hah?!” hardiknya.
“Selagi masih ada waktu berlututlah minta ampun! Hukumanmu pasti kuperingan!,” kata Rantas Madan. Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh.
“Jangan ngaco, orang tua! Kalau mau konyol marilah!” Tentu saja ditantang demikian rupa membuat Ki Lurah Rantas Madan semakin berkobar kemarahannya. Tanpa menunggu lebih lama laki-laki ini yang pernah menuntut ilmu kesaktian di Gunung Simping menerkam ke muka.
Dalam jarak satu meter saja serangannya sudah menimbulkan angin bersiuran yang tajam dan menerpa ke arah Pendekar Pemetik Bunga.
Yang diserang maklum bahwa lawannya yang seorang ini berbeda dengan dua orang yang terdahulu. Tanpa menghentikan tertawanya tadi, Pendekar Pemetik Bunga lantas mengangkat dan melambaikan tangan kirinya ke muka. Setiap angin keras yang menggetarkan panggung bersuit memapas tubuh Ki Lurah Rantas Madan. Serangannya dengan serta merta buyar dan tubuhnya sendiri kemudian terangkat ke udara setinggi lima tombak, hampir menyundul atap panggung!
Dengan cekatan Ki Iurah Rantas Madan jungkir balik di udara kemudian dengan gerakan kilat menukik dan menghantamkan tangan kanannya ke arah lawan! inilah jurus “Walet Menukik Lembah!”
Pemuda bertampang gagah tapi buas garang itu terkejut sekali sewaktu merasakan angin panas menyerang kepalanya! Cepat-cepat dia rundukkan tubuh sebatas pinggang dan balas mengirimkan pukulan jarak jauh dengan tangan kanan.
Ki Lurah Rantas Madan terdengar menjerit. Tubuhnya mental ke atas, melabrak dan membobolkan atap panggung, lenyap dari pemandangan untuk kemudian terdengar gedebuk tubuhnya sembilan tombak di tanah di belakang panggung! Waktu jatuh kepalanya lebih dahulu, tulang lehernya patah! Nyawanya lepas. Ning Leswani dan beberapa perempuan yang ada di sana menjerit! Bersama ibunya temanten perempuan itu hendak lari memburu ayahnya namun Rana Wulung dan seorang lainnya, menahan mereka.
Rana Wulung seorang pemuda terpelajar yang tak kenal satu jurus ilmu silatpun! Namun menyaksikan kematian ayah serta mertuanya itu gelaplah pemandangannya! Keris perhiasan penganten yang tersisip di pinggang segera dicabut. Ketika melompat ke atas panggung kaki kanannya hampir terserandung!
“Ho-ho! Temanten juga mau ikut-ikutan minta digebuk?!” teriak Pendekar Pemetik Bunga.
“Kubunuh kau keparat!” bentak Rana Wulung menggeledek. Keris di tangan kanannya ditusukkan sekeras-keras dan secepat-cepatnya ke dada Pendekar Pemetik Bunga.
“Budak tolol!” maki Pendekar Pemetik Bunga.
Sekali pemuda jubah hitam itu gerakkan tangannya maka keris yang dipegang Rana Wulung sudah kena dirampas, dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya!
Suata tertawa Pendekar Pemetik Bunga kemudian terdengar mengumandang diseantero panggung. Kemarahan dan sakit hati Rana
Wulung tiada terperikan. Dengan kedua tinju terpentang dia menyerbu ke muka.
“Edan betul!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. “Masih tak melihat tingginya gunung dalamnya lautan!” Dan manusia ini segera menyongsong serangan Rana Wulung dengan tendangan maut yang mengarah lambung!
Kalau saja Rana Wulung seorang yang mengetahui sedikit ilmu silat, dalam posisinya seperti saat itu sebenarnya dia masih sanggup dan punya kesempatan untuk mengelak atau berkelit atau sekaligus melompat cepat ke samping. Tapi sayang, pemuda ini tidak tahu apa-apa tentang persilatan dan kaki maut Pendekar Pemetik Bunga sementara itu semakin dekat menyambarnya ke perut si pemuda.
Setengah kejapan lagi pasti robeklah perut Rana Wulung. Ning Leswani menjerit. Ibu Rana Wulung juga menjerit untuk kemudian jatuh pingsan sebelum sanggup menyaksikan apa yang bakal dialami anaknya!
Beberapa orang mengeluarkan seruan tertahan. Agaknya tak satupun yang bisa berbuat apa-apa! Agaknya sudah nasib Rana Wulung bakal menemui kematiannya pada hari pernikahannya itu!
DI SAAT ajal sudah di depan mata, di saat maut hendak merenggut maka tiada terduga, di saat itu pula dari bawah panggung sebelah barat melesat sebuah benda yang mengeluarkan cahaya berkilau. Benda ini melesat ke arah kaki kanan Pendekar Pemetik Bunga yang mencari maut di perut Rana Wulung!
Tentu saja Pendekar Pemetik Bunga menjadi terkejut dan terpaksa menarik pulang serangannya. Benda yang berkilau itu lewat dan menghantam taron sehingga alat bunyi-bunyian ini terbalik dan hancur berantakan! Benda apakah yang sehebat itu dan siapa gerangan yang melemparkannya? Siapa yang telah menolong Rana Wulung dari kematian?!
“Pembokong licik! Cepat unjukkan diri,” teriak Pendekar Pemetik Bunga marah sekali. Sepasang matanya yang buas menyapu ke arah barang panggung.
Di bagian barat panggung berdiri beberapa orang. Mata Pendekar Pemetik Bunga yang tajam tidak berhasil kali ini menduga siapa gerangan manusia yang telah melemparkan senjata rahasia tadi.
Dengan marah Pendekar Pemetik Bunga mengangkat tangan kanannya ke udara dan berteriak, “Kalau tidak ada yang mengunjuk diri, semua yang ada di panggung barat pasti kubikin mampus!”
Seorang laki-laki tua yang berdiri di belakang sebuah kursi di bagian barat panggung berbatuk-batuk beberapa kali. Laki-laki ini berpakaian bagus dan bertopi tinggi yang dihiasi manik-manik. Jelas ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang bangsawan atau hartawan. Dia mengangkat kursi yang di depannya ke samping dan melangkah ke muka panggung, berhenti sejarak dua tombak dari panggung.
“Cepat beri tahu siapa kau!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Tangan kanannya masih belum diturunkan dan kini telapaknya yang terbuka diarahkan pada orang tua berpakaian bogus.
“Aku hanya seorang tamu yang mengunjungi pesta perkawinan ini, orang muda….”
“Hem… cuma seorang tamu saja berani campur tangan! ilmu melemparkan senjata rahasia pengecut tadikah yang kau andalkan?!”
Orang tua itu berbatuk-batuk lagi.
“Meski cuma tamu buruk begini,” katanya, “Aku juga adalah sahabat baik dari tuan rumah dan besannya. Sungguh tidak enak sekali melihat nasib sahabat-sahabat yang nahas tanpa bersedia turun tangan!”
“Oo begitu? Bagus!” ujar Pendekar Pemetik Bunga pula.
“Sanggupkah kau menerima pukulan tangan kananku?!” Orang tua berpakaian bagus itu tertawa dingin.
“Orang muda, nyalimu memang besar sekali. Sayang kejahatanmu dan kebuasanmu jauh lebih besar lagi sehingga aku yang tua ini terpaksa tak bisa berpangku tangan…”
“Orang gendeng yang tak tahu gunung Semeru di depan hidung!
Terima pukulan Tapak Jagat ini!”
Si orang tua cepat menyingkir ke samping waktu Pendekar Pemetik Bunga menghantamkan telapak tangan kanannya kedepan.
Semua orang terkejutnya bukan olah-olah sewaktu melihat bagaimana tanah bekas tempat si orang tua berpakaian bogus tadi menjadi berlubang besar di landa ilmu pukulan ‘Tapak Jagat’ si pemuda jubah hitam. Pasir berterbangan, kursi-kursi jungkir balik berpatahan sedang bumi bergetar! Kalau saja si orang tua tidak cepat menyingkir tak dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi dengan dirinya! Namun di saat itu semua orang dan Pendekar Pemetik Bunga sendiri sama memaklumi bahwa si orang tua bukanlah orang tua sembarangan!
Tidak sembarang orang yang sanggup mengelak dari pukulan ‘Tapak Jagat” itu!
“Orang tua, apakah kau masih tetap berlaku pengecut tak mau kasih tahu nama?!”
“Ah, namaku atau siapa aku kau tak perlu tahu. Aku tanya, apakah kau sudi angkat kaki dari sini atau tidak?!”
“Sombong betul” tukas Pendekar Pemetik Bunga. “Jangan kira aku jerih terhadapmu. Silahkan naik ke atas panggung!”
Si orang tua menghela nafas panjang dan menggosok-gosok kedua tangannya. “Rupanya memang aku harus turun tangan tidak tanggung-tanggung,” katanya pelahan tapi cukup terdengar oleh semua orang.
“Betul! Memang dalam dunia persilatan tidak boleh tanggung-tanggung!” menimpali Pendekar Pemetik Bunga. “Kalau kau berani cari perkara, kau tak boleh tanggung-tanggung untuk pasrahkan jiwa!”
Dan sekejap kemudian kedua orang itupun sudah berhadap-hadapan di atas panggung, disaksikan puluhan pasang mata, disaksikan oleh Rana Wulung yang saat itu menyingkir ke sudut panggung. Rana tiada kenal siapa si orang tua. Namun dia maklum kalau orang tua ini berilmu tinggi dan Rana Wulung berharap moga-moga si orang tua benar-benar bisa menjadi tuan penolongnya.
“Apakah kau masih punya simpanan senjata rahasia tadi, orang tua?” tanya Pendekar Pemetik Bunga.
Si orang tua tertawa dan balas mengejek. “Kalau kau punya senjata keluarkalah, biar kuhadapi dengan tangan kosong!”
“Sombong betul!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Tanpa beranjak dari tempatnya dia lepaskan dua pukulan tangan kosong yang dahsyat. Panggung itu tergetar keras. Si orang tua bersuit nyaring dan melompat tiga tombak. Dari atas cepat berkelebat mencari posisi baru dan balas mengirimkan dua jotosan yang tak kalah hebatnya. Dalam sekejapan saja kedua orang itu sudah terlibat dalam pertempuran seru. Lima jurus berlalu cepat!
Pendekar Pemetik Bunga penasaran sekali melihat ketangguhan lawan. Didahului dengan bentakan nyaring dia mempercepat permainan silatnya. Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang kini dan dua jurus di muka dia sudah berhasil mendesak lawannya.
“Terima jurus kematianmu, orang tua!” seru Pendekar Pemetik Bunga. Dan kejapan itu pula pukulannya yang menyilang aneh membabat ke pinggang si orang tua. Yang diserang cepat menyingkir sewaktu melihat serangan ganas itu dan menusukkan dua jarinya ke muka, ke arah mata Pendekar Pemetik Bunga! Inilah jurus “Mencungkil Mata” yang ganas.
Pendekar Pemetik Bunga tentu saja tak mau kedua biji matanya dimakan dua jari lawan. Di lain pihak dia juga tak mau tarik pulang pukulannya yang ganas. Karenanya dengan cepat pemuda itu miringkan tubuh ke kiri. Sekaligus gerakannya Itu mempercepat perbawa serangan tengannya ke arah pinggang lawan.
Si orang tua sadar kalau tusukan jari tangannya tak bakal mancelakai lawan sebaliknya dirinya terancam bahaya besar, lekas-lekas menjejak panggung dan melompat ke atas. Begitu lolos dari gebukan lengan maut, si orang tua laksana alap-alap menukik ke bawah dan lepaskan satu tendangan dua pukulan.
Jurus “Menembus Kabut Mengintip Rembulan” yang dilancarkan si orang tua dikenal baik oleh Pendekar Pemetik Bunga. Sambil tertawa mengejek dan menyebut jurus itu, si pemuda berkelit lincah lantas kirimkan pukulan tangan kiri kanan yang mengarah empat jalan darah berbahaya dari si orang tua!
Meski masih dalam terkejut karena lawan mengetahui jurus yang dimainkannya namun si orang tua tiada ayal untuk lekas-lekas menghindar dari serangan lawan!
“Orang tua, melihat jurus Menembus Kabut Mengintip Rembulanmu tadi, ada hubungan apakah kau dengan Rah Kuntarbelong? Lekas jawab!
Apa kau muridnya, hah?!”
Si orang tua menindih rasa terkejutnya. Tak sangka kalau lawan bisa menduga nama gurunya!
Dan Pendekar Pemetik Bunga sesaat kemudian tertawa bergelak.
“Tidak menyahut berarti betul!” katanya. “Bagus sekali kalau begitu. Aku memang punya urusan yang belum diselesaikan dengan Rah Kuntarbelong!
Sebagai permulaan kurasa ada gunanya lebih dahulu bikin penyelesaian dengan muridnya!”
“Jangan banyak mulut Pendekar terkutuk!” bentak si orang tua.
”Tahu pukulan apa yang bakal kulepaskan ini?!” Pendekar Pemetik Bunga kerenyitkan kening dan memandang tajam ke muka. Si orang tua dilihatnya berdiri dengan kaki merenggang. Lengan kiri lurus ke bawah, tinju mengepal sedang tangan kanan diangkat tinggi-tinggi di atas kepala.
Lengan kanan itu kelihatan berwarna biru.
“Ah cuma pukulan Kelabang Biru…” ejek Pendekar Pemetik Bunga tapi diam-diam dia kerahkan tiga perempat bagian tenaga dalamnya ke tangan kanan karena dia sudah pernah tahu kehebatan pukulan Kelabang Biru yang mengandung racun jahat itu yakni sewaktu berhadapan di selatan tempo hari melawan Rah Kuntarbelong. “Lekaslah keluarkan supaya kau sendiri melihat bahwa ilmu pukulanmu itu tak lebih dari kentut belaka!”
Geraham si orang tua bergemeletakan diejek demikian rupa. Seluruh tenaga dalamnya sudah terpusat di lengan dan lengan sampai ke ujung ujung jari sudah berwarna sangat biru.
Tiba-tiba terdengarlah teriakan yang seperti mau merobek gendang-gendang telinga. Si orang tua kelihatan menghantamkan lengan kanannya ke depan. Selarik sinar biru dengan ganas menggebu ke arah Pendekar
Pemetik Bunga. Di saat itu pula Pendekar Pemetik Bunga sudah menggerakkan tangan kanan melepaskan pukulan “Tapak Jagat” yang diandalkan dengan tiga perempat tenaga dalamnya!
Begitu dua angin pukulan bertemu terdengarlah suara berdentum laksana gunung meletus! Tiang-tiang panggung patah, lantai dan keseluruhan panggung ambruk! Alat bunyi-bunyian yang ada di atas panggung berhamburan, Rana Wulung mental ke luar panggung dan roboh tak sadarkan diri sewaktu panggungnya menghantam batang sebuah pohon!
Kedua orang yang bertempur, sewaktu panggung roboh cepat mencelat meninggalkan panggung. Dan ketika mereka berdiri kembali berhadap-hadapan kelihatanlah bagaimana pucatnya paras si orang tua. Satu pertanda bahwa saat itu dia menderita luka di dalam yang parah sekali. Sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga berdiri sambil melontarkan senyum mengejek pada lawannya.
“Jika kau masih gila untuk menempuh jalan kekerasan, jangan harap nyawamu akan tertolong!”
Si orang tua tahu, jika dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk meneruskan pertempuran, pastilah akan mencelakai dirinya sendiri yang saat itu sudah terluka parah di bagian dalam. Tapi untuk menyerah atau meninggalkan tempat itu adalah bertentangan sekali dengan hati dan jiwa satrianya! Dicobanya mempertenang diri dan mengatur jalan nafas serta aliran darah. Tapi dia tak berhasil. Nafas dan aliran darahnya sudah tak karuan lagi!
“Budak, keluarkan kau punya senjata!” bentak si orang tua.
“Ah, kalau kau mau keluarkan senjata silahkan, tak usah memancing segala!” sahut si pemuda dengan tertawa bergelak.
Mendengar ini si orang tua tak sungkan-sungkan lagi untuk menanggalkan sabuk hitam yang ditaburi mutiara dari Pinggangnya.
“Lusinan tokoh-tokoh jahat sudah mampus dimakan sabuk mutiara ini, budak terkutuk! Kini kau adalah korban selanjutnya!”
”Tak usah bicara panjang lebar! Lekas majulah!” bentak si pemuda dan dalam hati dia berpikir-pikir sampai di mana, kehebatan sabuk mutiara itu.
Si orang tua menggeru. Dia maju dua langkah. Sabuk itu dipegangnya di tangan kiri. Nyatalah dia seorang kidal. Dia menggeru lagi untuk kedua kalinya. Dan pada kali yang ketiga sambil melompat ke muka si orang tua sapukan sabuk mutiaranya.
Kedahsyatan sabuk mutiara itu sangat mengejutkan Pendekar Pemetik Bunga! Tubuhnya laksana dilanda bertubi-tubi oleh ombak sebesar gunung. Dengan kerahkan tenaga dalam dan andalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang tinggi dia berhasil mengelak sebat.
Namun tak urung akhirnya dia kena di desak.
“Setan alas!” maki pemuda itu. Untung saja lawannya sudah terluka di dalam yang teramat parah sehingga gerakan-gerakannya agak lamban.
Melihat bahwa lawannya agak jerih dan terdesak, si orang tua mempercepat gerakannya. Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga membungkuk dan kemudian berdiri lagi dengan memegang tepi jubah hitamnya. Sekali dia mengebutkan tepi jubah hitam itu, hawa yang sangat pengap menyambar dahsyat memapaki angin pukulan yang keluar dari sabuk mutiara si orang tua! Si orang tua merasa kepengapan menyambar hidungnya. Nafasnya yang memang sudah tidak normal kini menjadi tambah tak teratur. Ternyata sabuk mutiara yang sangat diandalkannya tiada sanggup menghadapi kehebatan jubah hitam lawan! Semakin lama tubuhnya semakin lemah, dadanya sesak dan pemandangannya mengabur!
“Pemuda keparat, lihat ini!” seru si orang tua. Tangan kanannya lenyap ke dalam saku baju dan ketika ke luar lagi maka selusin senjata rahasia yang menyilaukan menyambar ke arah si pemuda.
Pendekar Pemetik Bunga tarik jubahnya ke atas tinggi-tinggi lalu mengebutkannya ke bawah dengan cepat. Angin pengap yang dahsyat menyambar. Lima senjata rahasia lawan berpelantingan. Tujuh lainnya di sapu dan membalik menyerang pemiliknya sendiri! Malangnya si orang tua tak menyangka dan tak sempat mengelak, Tubuhnya tak ampun lagi ditembusi ke tujuh senjata rahasia miliknya sendiri! Orang tua itu mengeluarkan pekikan yang menyayat hati! Tubuhnya tergelimpang di tanah. Dia mati dengan mata membeliak! Mati dengan sabuk mutiara masih di tangannya.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. Betapa menjijikkan dan mengerikan. Dia melangkah ke hadapan mayat si orang tua dan membungkuk, Sabuk mutiara direnggutkannya dari tangan kiri mayat lalu dipakainya di pinggang.
Dibalikkannya badannya. Matanya memandang sekilas pada Ning Leswani yang berdiri dengan tubuh gemeter dan muka pucat pasi.
Kemudian dia memandang berkeliling. Dan serunya . “Siapa lagi yang inginkan mampus silahkan maju dengan cepat.”
Tak satu orangpun yang bergerak dari tempatnya.
Sambil tertawa panjang Pendekar Pemetik Bunga melangkah mendekat Ning Leswani. Si gadis cepat menyurut mundur. “Gadis manis, kau tak perlu takut padaku! Kau harus tahu, kunyuk yang bernama Rana Wulung itu tidak pantas jadi suamimu. Lebih pantas jika kau ikut aku…”
“Manusia biadab! Pergi…!” teriak Ning Leswani. Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Dia maju melangkah. Ibu Ning Leswani yang coba menghalanginya sambil berteriak-teriak dengan sekali tepis saja tersungkur ke tanah.
“Pergi!” teriak Ning Leswani lagi.
“Ya, kita pergi sama-sama manisku!” sahut Pendekar Pemetik Bunga dengan mata yang memancarkan nafsu menggelora. Diulurkannya tangannya untuk meraih pinggang gadis itu. Justru pada saat itulah terdengar bentakan yang sangat nyaring.
“Pendekar terkutuk! Tarik tanganmu…!”
Tentu saja Pendekar Pemetik Bunga menjadi terkejut dan terpaksa menarik pulang serangannya. Benda yang berkilau itu lewat dan menghantam taron sehingga alat bunyi-bunyian ini terbalik dan hancur berantakan! Benda apakah yang sehebat itu dan siapa gerangan yang melemparkannya? Siapa yang telah menolong Rana Wulung dari kematian?!
“Pembokong licik! Cepat unjukkan diri,” teriak Pendekar Pemetik Bunga marah sekali. Sepasang matanya yang buas menyapu ke arah barang panggung.
Di bagian barat panggung berdiri beberapa orang. Mata Pendekar Pemetik Bunga yang tajam tidak berhasil kali ini menduga siapa gerangan manusia yang telah melemparkan senjata rahasia tadi.
Dengan marah Pendekar Pemetik Bunga mengangkat tangan kanannya ke udara dan berteriak, “Kalau tidak ada yang mengunjuk diri, semua yang ada di panggung barat pasti kubikin mampus!”
Seorang laki-laki tua yang berdiri di belakang sebuah kursi di bagian barat panggung berbatuk-batuk beberapa kali. Laki-laki ini berpakaian bagus dan bertopi tinggi yang dihiasi manik-manik. Jelas ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang bangsawan atau hartawan. Dia mengangkat kursi yang di depannya ke samping dan melangkah ke muka panggung, berhenti sejarak dua tombak dari panggung.
“Cepat beri tahu siapa kau!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Tangan kanannya masih belum diturunkan dan kini telapaknya yang terbuka diarahkan pada orang tua berpakaian bogus.
“Aku hanya seorang tamu yang mengunjungi pesta perkawinan ini, orang muda….”
“Hem… cuma seorang tamu saja berani campur tangan! ilmu melemparkan senjata rahasia pengecut tadikah yang kau andalkan?!”
Orang tua itu berbatuk-batuk lagi.
“Meski cuma tamu buruk begini,” katanya, “Aku juga adalah sahabat baik dari tuan rumah dan besannya. Sungguh tidak enak sekali melihat nasib sahabat-sahabat yang nahas tanpa bersedia turun tangan!”
“Oo begitu? Bagus!” ujar Pendekar Pemetik Bunga pula.
“Sanggupkah kau menerima pukulan tangan kananku?!” Orang tua berpakaian bagus itu tertawa dingin.
“Orang muda, nyalimu memang besar sekali. Sayang kejahatanmu dan kebuasanmu jauh lebih besar lagi sehingga aku yang tua ini terpaksa tak bisa berpangku tangan…”
“Orang gendeng yang tak tahu gunung Semeru di depan hidung!
Terima pukulan Tapak Jagat ini!”
Si orang tua cepat menyingkir ke samping waktu Pendekar Pemetik Bunga menghantamkan telapak tangan kanannya kedepan.
Semua orang terkejutnya bukan olah-olah sewaktu melihat bagaimana tanah bekas tempat si orang tua berpakaian bogus tadi menjadi berlubang besar di landa ilmu pukulan ‘Tapak Jagat’ si pemuda jubah hitam. Pasir berterbangan, kursi-kursi jungkir balik berpatahan sedang bumi bergetar! Kalau saja si orang tua tidak cepat menyingkir tak dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi dengan dirinya! Namun di saat itu semua orang dan Pendekar Pemetik Bunga sendiri sama memaklumi bahwa si orang tua bukanlah orang tua sembarangan!
Tidak sembarang orang yang sanggup mengelak dari pukulan ‘Tapak Jagat” itu!
“Orang tua, apakah kau masih tetap berlaku pengecut tak mau kasih tahu nama?!”
“Ah, namaku atau siapa aku kau tak perlu tahu. Aku tanya, apakah kau sudi angkat kaki dari sini atau tidak?!”
“Sombong betul” tukas Pendekar Pemetik Bunga. “Jangan kira aku jerih terhadapmu. Silahkan naik ke atas panggung!”
Si orang tua menghela nafas panjang dan menggosok-gosok kedua tangannya. “Rupanya memang aku harus turun tangan tidak tanggung-tanggung,” katanya pelahan tapi cukup terdengar oleh semua orang.
“Betul! Memang dalam dunia persilatan tidak boleh tanggung-tanggung!” menimpali Pendekar Pemetik Bunga. “Kalau kau berani cari perkara, kau tak boleh tanggung-tanggung untuk pasrahkan jiwa!”
Dan sekejap kemudian kedua orang itupun sudah berhadap-hadapan di atas panggung, disaksikan puluhan pasang mata, disaksikan oleh Rana Wulung yang saat itu menyingkir ke sudut panggung. Rana tiada kenal siapa si orang tua. Namun dia maklum kalau orang tua ini berilmu tinggi dan Rana Wulung berharap moga-moga si orang tua benar-benar bisa menjadi tuan penolongnya.
“Apakah kau masih punya simpanan senjata rahasia tadi, orang tua?” tanya Pendekar Pemetik Bunga.
Si orang tua tertawa dan balas mengejek. “Kalau kau punya senjata keluarkalah, biar kuhadapi dengan tangan kosong!”
“Sombong betul!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Tanpa beranjak dari tempatnya dia lepaskan dua pukulan tangan kosong yang dahsyat. Panggung itu tergetar keras. Si orang tua bersuit nyaring dan melompat tiga tombak. Dari atas cepat berkelebat mencari posisi baru dan balas mengirimkan dua jotosan yang tak kalah hebatnya. Dalam sekejapan saja kedua orang itu sudah terlibat dalam pertempuran seru. Lima jurus berlalu cepat!
Pendekar Pemetik Bunga penasaran sekali melihat ketangguhan lawan. Didahului dengan bentakan nyaring dia mempercepat permainan silatnya. Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang kini dan dua jurus di muka dia sudah berhasil mendesak lawannya.
“Terima jurus kematianmu, orang tua!” seru Pendekar Pemetik Bunga. Dan kejapan itu pula pukulannya yang menyilang aneh membabat ke pinggang si orang tua. Yang diserang cepat menyingkir sewaktu melihat serangan ganas itu dan menusukkan dua jarinya ke muka, ke arah mata Pendekar Pemetik Bunga! Inilah jurus “Mencungkil Mata” yang ganas.
Pendekar Pemetik Bunga tentu saja tak mau kedua biji matanya dimakan dua jari lawan. Di lain pihak dia juga tak mau tarik pulang pukulannya yang ganas. Karenanya dengan cepat pemuda itu miringkan tubuh ke kiri. Sekaligus gerakannya Itu mempercepat perbawa serangan tengannya ke arah pinggang lawan.
Si orang tua sadar kalau tusukan jari tangannya tak bakal mancelakai lawan sebaliknya dirinya terancam bahaya besar, lekas-lekas menjejak panggung dan melompat ke atas. Begitu lolos dari gebukan lengan maut, si orang tua laksana alap-alap menukik ke bawah dan lepaskan satu tendangan dua pukulan.
Jurus “Menembus Kabut Mengintip Rembulan” yang dilancarkan si orang tua dikenal baik oleh Pendekar Pemetik Bunga. Sambil tertawa mengejek dan menyebut jurus itu, si pemuda berkelit lincah lantas kirimkan pukulan tangan kiri kanan yang mengarah empat jalan darah berbahaya dari si orang tua!
Meski masih dalam terkejut karena lawan mengetahui jurus yang dimainkannya namun si orang tua tiada ayal untuk lekas-lekas menghindar dari serangan lawan!
“Orang tua, melihat jurus Menembus Kabut Mengintip Rembulanmu tadi, ada hubungan apakah kau dengan Rah Kuntarbelong? Lekas jawab!
Apa kau muridnya, hah?!”
Si orang tua menindih rasa terkejutnya. Tak sangka kalau lawan bisa menduga nama gurunya!
Dan Pendekar Pemetik Bunga sesaat kemudian tertawa bergelak.
“Tidak menyahut berarti betul!” katanya. “Bagus sekali kalau begitu. Aku memang punya urusan yang belum diselesaikan dengan Rah Kuntarbelong!
Sebagai permulaan kurasa ada gunanya lebih dahulu bikin penyelesaian dengan muridnya!”
“Jangan banyak mulut Pendekar terkutuk!” bentak si orang tua.
”Tahu pukulan apa yang bakal kulepaskan ini?!” Pendekar Pemetik Bunga kerenyitkan kening dan memandang tajam ke muka. Si orang tua dilihatnya berdiri dengan kaki merenggang. Lengan kiri lurus ke bawah, tinju mengepal sedang tangan kanan diangkat tinggi-tinggi di atas kepala.
Lengan kanan itu kelihatan berwarna biru.
“Ah cuma pukulan Kelabang Biru…” ejek Pendekar Pemetik Bunga tapi diam-diam dia kerahkan tiga perempat bagian tenaga dalamnya ke tangan kanan karena dia sudah pernah tahu kehebatan pukulan Kelabang Biru yang mengandung racun jahat itu yakni sewaktu berhadapan di selatan tempo hari melawan Rah Kuntarbelong. “Lekaslah keluarkan supaya kau sendiri melihat bahwa ilmu pukulanmu itu tak lebih dari kentut belaka!”
Geraham si orang tua bergemeletakan diejek demikian rupa. Seluruh tenaga dalamnya sudah terpusat di lengan dan lengan sampai ke ujung ujung jari sudah berwarna sangat biru.
Tiba-tiba terdengarlah teriakan yang seperti mau merobek gendang-gendang telinga. Si orang tua kelihatan menghantamkan lengan kanannya ke depan. Selarik sinar biru dengan ganas menggebu ke arah Pendekar
Pemetik Bunga. Di saat itu pula Pendekar Pemetik Bunga sudah menggerakkan tangan kanan melepaskan pukulan “Tapak Jagat” yang diandalkan dengan tiga perempat tenaga dalamnya!
Begitu dua angin pukulan bertemu terdengarlah suara berdentum laksana gunung meletus! Tiang-tiang panggung patah, lantai dan keseluruhan panggung ambruk! Alat bunyi-bunyian yang ada di atas panggung berhamburan, Rana Wulung mental ke luar panggung dan roboh tak sadarkan diri sewaktu panggungnya menghantam batang sebuah pohon!
Kedua orang yang bertempur, sewaktu panggung roboh cepat mencelat meninggalkan panggung. Dan ketika mereka berdiri kembali berhadap-hadapan kelihatanlah bagaimana pucatnya paras si orang tua. Satu pertanda bahwa saat itu dia menderita luka di dalam yang parah sekali. Sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga berdiri sambil melontarkan senyum mengejek pada lawannya.
“Jika kau masih gila untuk menempuh jalan kekerasan, jangan harap nyawamu akan tertolong!”
Si orang tua tahu, jika dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk meneruskan pertempuran, pastilah akan mencelakai dirinya sendiri yang saat itu sudah terluka parah di bagian dalam. Tapi untuk menyerah atau meninggalkan tempat itu adalah bertentangan sekali dengan hati dan jiwa satrianya! Dicobanya mempertenang diri dan mengatur jalan nafas serta aliran darah. Tapi dia tak berhasil. Nafas dan aliran darahnya sudah tak karuan lagi!
“Budak, keluarkan kau punya senjata!” bentak si orang tua.
“Ah, kalau kau mau keluarkan senjata silahkan, tak usah memancing segala!” sahut si pemuda dengan tertawa bergelak.
Mendengar ini si orang tua tak sungkan-sungkan lagi untuk menanggalkan sabuk hitam yang ditaburi mutiara dari Pinggangnya.
“Lusinan tokoh-tokoh jahat sudah mampus dimakan sabuk mutiara ini, budak terkutuk! Kini kau adalah korban selanjutnya!”
”Tak usah bicara panjang lebar! Lekas majulah!” bentak si pemuda dan dalam hati dia berpikir-pikir sampai di mana, kehebatan sabuk mutiara itu.
Si orang tua menggeru. Dia maju dua langkah. Sabuk itu dipegangnya di tangan kiri. Nyatalah dia seorang kidal. Dia menggeru lagi untuk kedua kalinya. Dan pada kali yang ketiga sambil melompat ke muka si orang tua sapukan sabuk mutiaranya.
Kedahsyatan sabuk mutiara itu sangat mengejutkan Pendekar Pemetik Bunga! Tubuhnya laksana dilanda bertubi-tubi oleh ombak sebesar gunung. Dengan kerahkan tenaga dalam dan andalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang tinggi dia berhasil mengelak sebat.
Namun tak urung akhirnya dia kena di desak.
“Setan alas!” maki pemuda itu. Untung saja lawannya sudah terluka di dalam yang teramat parah sehingga gerakan-gerakannya agak lamban.
Melihat bahwa lawannya agak jerih dan terdesak, si orang tua mempercepat gerakannya. Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga membungkuk dan kemudian berdiri lagi dengan memegang tepi jubah hitamnya. Sekali dia mengebutkan tepi jubah hitam itu, hawa yang sangat pengap menyambar dahsyat memapaki angin pukulan yang keluar dari sabuk mutiara si orang tua! Si orang tua merasa kepengapan menyambar hidungnya. Nafasnya yang memang sudah tidak normal kini menjadi tambah tak teratur. Ternyata sabuk mutiara yang sangat diandalkannya tiada sanggup menghadapi kehebatan jubah hitam lawan! Semakin lama tubuhnya semakin lemah, dadanya sesak dan pemandangannya mengabur!
“Pemuda keparat, lihat ini!” seru si orang tua. Tangan kanannya lenyap ke dalam saku baju dan ketika ke luar lagi maka selusin senjata rahasia yang menyilaukan menyambar ke arah si pemuda.
Pendekar Pemetik Bunga tarik jubahnya ke atas tinggi-tinggi lalu mengebutkannya ke bawah dengan cepat. Angin pengap yang dahsyat menyambar. Lima senjata rahasia lawan berpelantingan. Tujuh lainnya di sapu dan membalik menyerang pemiliknya sendiri! Malangnya si orang tua tak menyangka dan tak sempat mengelak, Tubuhnya tak ampun lagi ditembusi ke tujuh senjata rahasia miliknya sendiri! Orang tua itu mengeluarkan pekikan yang menyayat hati! Tubuhnya tergelimpang di tanah. Dia mati dengan mata membeliak! Mati dengan sabuk mutiara masih di tangannya.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. Betapa menjijikkan dan mengerikan. Dia melangkah ke hadapan mayat si orang tua dan membungkuk, Sabuk mutiara direnggutkannya dari tangan kiri mayat lalu dipakainya di pinggang.
Dibalikkannya badannya. Matanya memandang sekilas pada Ning Leswani yang berdiri dengan tubuh gemeter dan muka pucat pasi.
Kemudian dia memandang berkeliling. Dan serunya . “Siapa lagi yang inginkan mampus silahkan maju dengan cepat.”
Tak satu orangpun yang bergerak dari tempatnya.
Sambil tertawa panjang Pendekar Pemetik Bunga melangkah mendekat Ning Leswani. Si gadis cepat menyurut mundur. “Gadis manis, kau tak perlu takut padaku! Kau harus tahu, kunyuk yang bernama Rana Wulung itu tidak pantas jadi suamimu. Lebih pantas jika kau ikut aku…”
“Manusia biadab! Pergi…!” teriak Ning Leswani. Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Dia maju melangkah. Ibu Ning Leswani yang coba menghalanginya sambil berteriak-teriak dengan sekali tepis saja tersungkur ke tanah.
“Pergi!” teriak Ning Leswani lagi.
“Ya, kita pergi sama-sama manisku!” sahut Pendekar Pemetik Bunga dengan mata yang memancarkan nafsu menggelora. Diulurkannya tangannya untuk meraih pinggang gadis itu. Justru pada saat itulah terdengar bentakan yang sangat nyaring.
“Pendekar terkutuk! Tarik tanganmu…!”
PENDEKAR Terkutuk Pemetik Bunga hentikan gerakan tangannya yang hendak menjamah tubuh Ning Leswani. Kepalanya di putar.
Sepasang matanya membentur sosok tubuh seorang laki-laki tua berbadan bungkuk, berambut dan berjanggut putih. Orang tua yang berselempang kain putih ini berdiri dengan sebatang tongkat bambu kuning di tangan kanan.
“Siapa kau?” bentak Pendekar Pemetik Bunga.
Yang ditanya menyeringai dan ketuk-ketukkan tongkat bambu kuningnya ke tanah. Ketukan ini membuat semua orang merasa bagaimana tanah yang mereka pijak menjadi bergetar. Bambu kuning di tangan si orang tua pastilah satu senjata yang sangat hebat. Dan orang-orang yang masih ada di situ, yang membenci terhadap Pendekar Pemetik Bunga merasa punya harapan kembali atas kemunculan si orang tua berselempangan kain putih ini.
“Lekas jawab!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. “Kalau tidak kau akan mati percuma!”
Si janggut putih ketuk-ketukkan lagi tongkat bambu kuningnya ke arah tanah. Matanya yang kecil memandang tajam pada si pemuda jubah hitam.
“Ratusan hari turun gunung, puluhan minggu mengarungi lembah dan bukit, berbulan-bulan menyeberangi sungai memasuki hutan belantara akhirnya kau kutemui juga. Heh… he… he… he… he …!”
“Kau masih belum mau beri tahu siapa namamu, orang tua? Jangan menyesal!”
“Namaku tidak penting, manusia bejat. Yang penting ialah apa kau masih ingat kebiadaban yang kau lakukan di desa Srintil beberapa bulan yang silam…?”
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga kerutkan kening. Sepasang alis matanya menaik.
“Sembilan laki-laki tak berdosa kau bunuh. Dua diantaranya adalah muridku. Empat orang perempuan di desa itu kau bawa kabur, kau perkosa lalu kau bunuh! Kau lupa itu semua…?!”
“Hem….” Pendekar Pemetik Bunga manggut-manggut beberapa kali. “Tidak, aku tidak lupa,” katanya dengan terus terang.
“Bagus sekali kalau kau tidak lupa!” ujar si orang tua. Dan bambu di tangan kanannya di ketuk-ketukkannya lagi. Tanah kembali bergetar. “Orang-orang desa telah datang kepadaku mengadukan kebiadabanmu itu….”
“Berapa uang suap yang diberikan orang-orang desa padamu untuk mencariku orang tua?!” ejek Pendekar Pemetik Bunga.
Wajah si orang tua kelihatan menjadi merah. Dia tertawa dingin.
“Sekalipun mereka tidak datang ke puncak gunung Bromo, memang sudah sejak lama aku berniat turun tangan membekuk batang lehermu…!”
Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak, “Oh jadi kau adalah Datuk Bambu Kuning dari gunung Bromo?!”
Si orang tua kini balas tertawa panjang-panjang sambil tangan kirinya mengusap-usap janggut putihnya yang panjang menjela sampai ke dada.
“Kalau sudah tahu siapa aku, mengapa tidak lekas-lekas bertobat dan bunuh diri? Atau masih perlu aku memecahkan kepalamu dengan bambu kuning ini?!”
“Kentut!” maki Pendekar Pemetik Bunga dengan muka membesi penuh marah.
“Kalau aku kentut, kau tahinya!” kata Datuk Bambu Kuning pula dan tertawa lagi panjang-panjang seperti tadi.
Naiklah darah Pendekar Pemetik Bunga.
“Manusia tolol yang tidak tahu gunung Semeru berdiri di muka hidung, terima kematianmu dalam tiga jurus!” teriak Pendekar Pemetik
Bunga sambil menyerbu dengan sabuk mutiara milik korbannya tadi.
Datuk Bambu Kuning terkejut melihat sabuk itu. “Eh, itu adalah
senjata Kidal Boga, murid Rah Kuntarbelong. Dari mana kau dapat, manusia bejat?!”
“Tanya pada setan di neraka nanti!” sahut Pendekar Pemetik
Bunga seraya sabetkan sabuk mutiara ke arah lawan. Angin laksana gunung gelombang menerpa Datuk Bambu Kuning.
Datuk Bambu Kuning cepat menghindar. “Rupanya kau bukan saja manusia bejat tukang bunuh dan tukang perkosa tapi juga pencuri kesiangan huh!” Datuk Bambu Kuning kiblatkan tongkat bambu kuningnya. Serangkum angin yang bukan main dahsyatnya menyambar dan menahan serangan angin sabuk. Debu dan pasir beterbangan akibat angin kedua senjata sakti itu!
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga tak kurang kejutnya ketika merasakan serangan sabuknya menjadi tak berarti sewaktu tongkat bambu kuning di tangan lawan menyambuti gempurannya itu! Dengan serta merta pemuda ini percepat gerakannya. Dalam sekejap Datuk Bambu Kuning terbungkus oleh serangan sabuk mutiara.
Namun sekali si orang tua memekik keras dan sekali dia putar tongkat bambunya dalam jurus yang aneh maka keluarlah dia dari kurungan serangan senjata lawan! Kini gempuran tongkat bambu itulah yang membungkus tubuh Pendekar Pemetik Bunga!
Si pemuda tiada habisnya menggerutu dan memaki dalam hati sewaktu mendapatkan dirinya terdesak hebat oleh gempuran lawan.
Apalagi sewaktu jurus kedua berakhir dan sewaktu Datuk Bambu Kuning tertawa mengejek dan berkata. “Jurus ketiga ini adalah jurus kematianmu, manusia bejat! Bukan jurus kematianku!” Dan permainan tongkat bambu kuningnya semakin dipercepat dan semakin dahsyat. Sinar kuning bergulung-gulung menyelimuti tubuh si pemuda!
“Setan alas keparat!” maki Pendekar Pemetik Bunga. Dengan gerakan yang sulit sekali dia membungkuk. Sabuk mutiara diputar sebat melindungi tubuh sedang tangan kiri diulurkan untuk menjangkau tepi jubah hitamnya. Dengan dua senjata di tangan yaitu tepi jubah di tangan kiri dan sabuk mutiara di tangan kanan, Pendekar Pemetik Bunga berdiri kembali menghadapi lawannya. Sabuk mutiara mengeluarkan gelombang angin yang laksana gunung besarnya sedang tepi jubah hitam menghamburkan angin pengap yang sanggup menyesakkan jalan pernafasan yang menyendat tenggorokan serta liang hidung!
Dalam jurus ketiga itu kelihatanlah bagaimana gempuran Datuk Bambu Kuning menjadi lamban. Orang tua itu berteriak keras dan kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun sia-sia saja. Dirasakannya dadanya menjadi sesak, lobang-lobang hidungnya laksana tersumbat.
Sukar baginya untuk bernafas! Menanggapi hal ini si orang tua segera atur jalan darah dan tutup pemafasannya. Tubuhnya lenyap sewaktu dia mempercepat gerakannya!
Namun kedahsyatan angin pengap yang menderu dari tepi jubah memang tidak kepalang tanggung. Sebentar saja serangan-serangan bambu kuning lawan sudah dibendungnya. Gerakan Datuk Bambu Kuning kembali menjadi lamban sewaktu orang tua itu tidak bisa mempertahankan lagi menutup jalan nafasnya terus-terusan sedang sementara itu pertempuran sudah berjalan lima jurus!
Pendekar Pemetik Bunga kembali keluarkan suara tertawa sewaktu dia tahu bahwa dirinya telah berada di atas angin. “Ha…ha…! Kau disuruh turun gunung oleh penduduk desa hanya untuk mencari kematian saja Datuk Bambu Kuning!”
“Pendekar terkutuk jangan terlalu besar harapan!” kertak Datuk Bambu Kuning. Diam-diam tiga perempat dari tenaga dalamnya dikerahkan ke dada.
Tiba-tiba, “Bluuss!”
Selarik asap kuning menyembur dari mulut si orang tua! Pendekar Pemetik Bunga terkejut bukan main dan cepat tutup jalan nafasnya.
Keterkejutan dan saat menutup jalan nafas tadi membuat gerakannya mengendur. Sewaktu din menghindar ke samping sambil babatkan sabuk mutiaranya memapasi semburan asap kuning, bambu di tangan kanan lawan datang menderu!
Si pemuda kebutkan tepi jubahnya. Celaka! Asap kuning itu tak sanggup dibikin buyar oleh angin pengap tepi jubah hitamnya!
Pendekar Pemetik Bunga menjerit setinggi langit. Tubuhnya lenyap dan sesaat kemudian dia berhasil ke luar dari serangan lawan yang bukan kepalang dahsyatnya tadi. Sewaktu berdiri mengatur jalan darah dan nafasnya kembali, diam-diam pemuda ini keluarkan keringat dingin juga!
“Kau kira kau bisa lari dari sini, manusia bejat?!” hardik Datuk Bambu Kuning. Mulutnya membuka dan asap kuning menyembur lagi ke muka lawan. Pendekar Pemetik Bunga kembali tutup jalan nafasnya dan melompat ke samping. Serangan kebutan tepi jubah dan sambaran sabuk mutiara dilakukannya berbarengan sekaligus ke arah lawan. Si orang tua melompat tiga tombak ke atas dan sewaktu turun kembali menyemburkan asap kuning dari mulutnya! Pendekar Pemetik Bunga menjadi kewalahan kini. Kewalahan dan merutuk! Di samping itu tak habis heran kesaktian apakah yang dikandung oleh asap kuning yang keluar dari mulut lawannya sehingga angin pengap jubah hitam dan angin sabuk mutiara tiada sanggup membuyarkannya!
Tiba-tiba pemuda itu menggereng macam harimau. Tubuhnya melesat ke muka. Angin pengap menyerang ketenggorokan Datuk Bambu Kuning sedang sabuk mutiara menerpa dari atas ke bawah!
Si orang tua ganda tertawa menghadapi serangan ini Bambu kuningnya diputar-putar, tiba-tiba dikiblatkan demikian rupa
“Sreet!”
Sabuk mutiara di tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga kena disambar den terlepas mental dari tangan pemuda itu! Si pemuda sendiri dengan jungkir balik susah payah baru berhasil ke luar dari sambaran tongkat bambu serta semburan asap kuning yang dilepaskan lawan!
Matanya membeliak, mulutnya komat kamit. Mukanya mengelam sewaktu si orang tua melangkah perlahan mendekatinya dengan tertawa sedingin salju!
“Nyawa anjingmu hanya tinggal beberapa detik saja, pemuda terkutuk!” kata Datuk Bambu Kuning. “Sejak hari ini dunia persilatan akan bersih dari noda kekotoran manusia macam kau!”
“Aku masih belum menyerah keparat!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Mulutnya masih komat-kamit. Matanya dengan waspada memperhatikan setiap gerak yang dibuat Datuk Bambu Kuning.
“Aku memang tak suruh kau menyerah, “ sahut Datuk Bambu Kuning dengan tertawa sedingin tadi. “Aku cuma perlu nyawa anjingmu!”
“Soal nyawa soal mudah,” tukas Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga.
Diam-diam dia salurkan seluruh tenaga dalamnya ke ujung jari telunjuknya.
Sesaat kemudian ujung jari itu menjadi hitam legam dan mengeluarkan sinar menggidikkan. “Orang tua edan, kau lihat jari ini?! “
Datuk Bambu Kuning memandang dengan kerenyit kulit kening pada jari telunjuk tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga. Darahnya tersirap, mukanya berubah.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. “Kenapa mukamu menjadi pucat, kunyuk tua?!”
Datuk Bambu Kuning tidak menyahut. Mukanya bertambah pucat dan matanya melotot memandang tajam-tajam pada jari telunjuk si pemuda.
Ketika jari telunjuk itu dan ibu jari si pemuda membuat lingkaran. Datuk Bambu Kuning berseru kaget. “Ilmu Jari Penghancur Sukma!” Dengan serta merta Datuk Bambu Kuning bagi dua aliran tenaga dalamnya. Sebagian ke ujung tongkat bambu den sebagian lagi ke dada!
“Makan jariku ini, Datuk keparat!” seru Pendekar Pemetik Bunga.
Dikejap itu juga dia menjentikkan jari telunjuknya. Satu gelombang angin hitam menderu laksana topan prahara, menyereng ke arah Datuk Bambu Kuning. Di saat yang sama Datuk Bambu Kuning sapukan tongkat di tangan kanan dan semburkan asap kuning!
Datuk Bambu Kuning berteriak kaget ketika melihat angin pukulan bambu kuning dan sambaran asap kuningnya buyar berantakan dilanda angin hitam lawan. Dan angin hitam yang menggidikkan ini terus melesat ke arahnya. Datuk Bambu Kuning cepat menyingkir tapi kasip!
Orang tua itu mencelat beberapa tombak jauhnya ketika angina hitam menyambar tubuhnya. Dan terdengarlah jeritnya melengking langit!
Datuk Bambu Kuning terguling-guling di tanah. Sekujur tubuhnya hitam hangus! Nyawanya tidak ketolongan lagi, putus kejap itu juga!
Pendekar Pemetik Bunga mengatur jalan nafas dan aliran darahnya kembali. Sewaktu dia menggerakkan kakinya baru disadariya bahwa kedua kakinya itu telah tenggelam ke dalam tanah sedalam lima senti! Bila pemuda ini melangkah mendekati Ning Leswani, kembali terdengar makian gadis itu.
Makian yang kemudian disusul dengan jeritan. Tak ada satu orangpun yang berani menghalangi dan berbuat suatu apa ketika Ning Leswani dipanggul oleh Pendekar Pemetik Bunga dan dilarikan!
Sampai pagi, sampai ketika matahari muncul di utuk timur desa masih diselimuti oleh kehebohan atas apa yang telah terjadi!
Ki Lurah Rantas Madan den Rana Wulung bersama kira-kira selusin penduduk, dengan membawa berbagai senjata dan menunggangi kuda coba mencari jejak Pendekar Pemetik Bunga. Namun ke mana manusia durjana itu hendak dicari?! Menjelang tengah hari, mereka sudah berbisik-bisik sesama mereka bahwa tak mungkin mereka akan menemui Ning Leswani. Kalaupun bertemu, tentu gadis itu sudah rusak kehormatannya!
Dan seandainya pula mereka berhasil menyergap Pendekar Pemetik Bunga, belum tentu mereka sebanyak itu bisa membekuk batang lehernya!
Rantas Madan tahu suasana yang dirasakan anggota-anggota rombongannya. Dia berunding dengan Rana Wulung dan akhirnya diambil keputusan untuk pulang saja.
Terik matahari membakar kulit di siang itu. Rana Wulung dengan muka pucat menunggangi kudanya di samping Rantas Madan. Hati pemuda ini hancur sudah! Dendam kesumatnya terhadap Pendekar Pemetik Bunga tak akan pupus selama hidupnya!
Ketika rombongan melalui lereng sebuah bukit dalam perjalanan pulang itu, ada sesuatu yang menarik perhatian Rana Wulung. Dia berpaling pada Rantas Madan.
“Bapak, kau lihat burung-burung gagak yang beterbangan di puncak bukit itu.”
Ki Lurah Rantas Madan terkejut lalu memandang ke puncak bukit di atasnya. Beberapa burung gagak hitam dilihatnya terbang berputar-putar naik turun di atas puncak sana. Berdebar hati laki-laki ini. Lalu dihentikannya rombongan.
“Kita ke sana!” mengambil keputusan Rantas Madan. Masing-masing kemudian memacu kuda mereka ke puncak bukit. Rana Wulung di depan sekali. Di puncak bukit pemuda ini menghentikan kudanya dan meneliti ke mana turunnya burung-burung gagak tadi. Diikuti oleh anggota-anggota rombongan yang lain Rana Wulung bergerak ke arah serumpunan semak belukar lebat. Waktu dia mencapai semak itu, empat ekor burung gagak terbang ke udara.
Rana Wulung melompat dari kudanya dan lari ke balik semak belukar lebat.
“Tuhanku!” seru pemuda itu. Lututnya goyah. Matanya membeliak.
Tiba-tiba laksana orang kalap dia melompat ke muka sambil berseru nyaring . “Nining! Nining!”
Ning Leswani terhampar di atas rerumputan. Tak selembar benangpun yang menutupi auratnya. Tubuh yang telanjang ini sudah tiada nafas lagi dan sebagian sudah berlubang-lubang dipatuk gagak-gagak hitam pemakan bangkai! Tubuh yang malang itulah yang dipeluk Rana Wulung. Namun cuma sebentar saja. Sewaktu Rantas Madan dan rombongan lainnya sampai ke situ, Rana Wulung sudah jatuh pingsan!
Rantas Madan sendiri hampir-hampir tak kuat pula menyaksikan pemandangan itu! Hampir tak sanggup melihat anak kandung yang dikasihinya menemui kematian dalam cara yang mengenaskan begitu rupa. Mulutnya komat kamit. Tenggorokannya turun naik.
“Anakku….” desis laki-laki itu. Dia berlutut. Beberapa orang menarik Rana Wulung dari atas tubuh Ning Leswani. Rantas Madan cepat membuka bajunya dan menutupi aurat anaknya dengan baju itu. Air matanya berlinang. Dendam kesumat seperti mau memecahkan dadanya saat itu!
Sepasang matanya membentur sosok tubuh seorang laki-laki tua berbadan bungkuk, berambut dan berjanggut putih. Orang tua yang berselempang kain putih ini berdiri dengan sebatang tongkat bambu kuning di tangan kanan.
“Siapa kau?” bentak Pendekar Pemetik Bunga.
Yang ditanya menyeringai dan ketuk-ketukkan tongkat bambu kuningnya ke tanah. Ketukan ini membuat semua orang merasa bagaimana tanah yang mereka pijak menjadi bergetar. Bambu kuning di tangan si orang tua pastilah satu senjata yang sangat hebat. Dan orang-orang yang masih ada di situ, yang membenci terhadap Pendekar Pemetik Bunga merasa punya harapan kembali atas kemunculan si orang tua berselempangan kain putih ini.
“Lekas jawab!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. “Kalau tidak kau akan mati percuma!”
Si janggut putih ketuk-ketukkan lagi tongkat bambu kuningnya ke arah tanah. Matanya yang kecil memandang tajam pada si pemuda jubah hitam.
“Ratusan hari turun gunung, puluhan minggu mengarungi lembah dan bukit, berbulan-bulan menyeberangi sungai memasuki hutan belantara akhirnya kau kutemui juga. Heh… he… he… he… he …!”
“Kau masih belum mau beri tahu siapa namamu, orang tua? Jangan menyesal!”
“Namaku tidak penting, manusia bejat. Yang penting ialah apa kau masih ingat kebiadaban yang kau lakukan di desa Srintil beberapa bulan yang silam…?”
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga kerutkan kening. Sepasang alis matanya menaik.
“Sembilan laki-laki tak berdosa kau bunuh. Dua diantaranya adalah muridku. Empat orang perempuan di desa itu kau bawa kabur, kau perkosa lalu kau bunuh! Kau lupa itu semua…?!”
“Hem….” Pendekar Pemetik Bunga manggut-manggut beberapa kali. “Tidak, aku tidak lupa,” katanya dengan terus terang.
“Bagus sekali kalau kau tidak lupa!” ujar si orang tua. Dan bambu di tangan kanannya di ketuk-ketukkannya lagi. Tanah kembali bergetar. “Orang-orang desa telah datang kepadaku mengadukan kebiadabanmu itu….”
“Berapa uang suap yang diberikan orang-orang desa padamu untuk mencariku orang tua?!” ejek Pendekar Pemetik Bunga.
Wajah si orang tua kelihatan menjadi merah. Dia tertawa dingin.
“Sekalipun mereka tidak datang ke puncak gunung Bromo, memang sudah sejak lama aku berniat turun tangan membekuk batang lehermu…!”
Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak, “Oh jadi kau adalah Datuk Bambu Kuning dari gunung Bromo?!”
Si orang tua kini balas tertawa panjang-panjang sambil tangan kirinya mengusap-usap janggut putihnya yang panjang menjela sampai ke dada.
“Kalau sudah tahu siapa aku, mengapa tidak lekas-lekas bertobat dan bunuh diri? Atau masih perlu aku memecahkan kepalamu dengan bambu kuning ini?!”
“Kentut!” maki Pendekar Pemetik Bunga dengan muka membesi penuh marah.
“Kalau aku kentut, kau tahinya!” kata Datuk Bambu Kuning pula dan tertawa lagi panjang-panjang seperti tadi.
Naiklah darah Pendekar Pemetik Bunga.
“Manusia tolol yang tidak tahu gunung Semeru berdiri di muka hidung, terima kematianmu dalam tiga jurus!” teriak Pendekar Pemetik
Bunga sambil menyerbu dengan sabuk mutiara milik korbannya tadi.
Datuk Bambu Kuning terkejut melihat sabuk itu. “Eh, itu adalah
senjata Kidal Boga, murid Rah Kuntarbelong. Dari mana kau dapat, manusia bejat?!”
“Tanya pada setan di neraka nanti!” sahut Pendekar Pemetik
Bunga seraya sabetkan sabuk mutiara ke arah lawan. Angin laksana gunung gelombang menerpa Datuk Bambu Kuning.
Datuk Bambu Kuning cepat menghindar. “Rupanya kau bukan saja manusia bejat tukang bunuh dan tukang perkosa tapi juga pencuri kesiangan huh!” Datuk Bambu Kuning kiblatkan tongkat bambu kuningnya. Serangkum angin yang bukan main dahsyatnya menyambar dan menahan serangan angin sabuk. Debu dan pasir beterbangan akibat angin kedua senjata sakti itu!
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga tak kurang kejutnya ketika merasakan serangan sabuknya menjadi tak berarti sewaktu tongkat bambu kuning di tangan lawan menyambuti gempurannya itu! Dengan serta merta pemuda ini percepat gerakannya. Dalam sekejap Datuk Bambu Kuning terbungkus oleh serangan sabuk mutiara.
Namun sekali si orang tua memekik keras dan sekali dia putar tongkat bambunya dalam jurus yang aneh maka keluarlah dia dari kurungan serangan senjata lawan! Kini gempuran tongkat bambu itulah yang membungkus tubuh Pendekar Pemetik Bunga!
Si pemuda tiada habisnya menggerutu dan memaki dalam hati sewaktu mendapatkan dirinya terdesak hebat oleh gempuran lawan.
Apalagi sewaktu jurus kedua berakhir dan sewaktu Datuk Bambu Kuning tertawa mengejek dan berkata. “Jurus ketiga ini adalah jurus kematianmu, manusia bejat! Bukan jurus kematianku!” Dan permainan tongkat bambu kuningnya semakin dipercepat dan semakin dahsyat. Sinar kuning bergulung-gulung menyelimuti tubuh si pemuda!
“Setan alas keparat!” maki Pendekar Pemetik Bunga. Dengan gerakan yang sulit sekali dia membungkuk. Sabuk mutiara diputar sebat melindungi tubuh sedang tangan kiri diulurkan untuk menjangkau tepi jubah hitamnya. Dengan dua senjata di tangan yaitu tepi jubah di tangan kiri dan sabuk mutiara di tangan kanan, Pendekar Pemetik Bunga berdiri kembali menghadapi lawannya. Sabuk mutiara mengeluarkan gelombang angin yang laksana gunung besarnya sedang tepi jubah hitam menghamburkan angin pengap yang sanggup menyesakkan jalan pernafasan yang menyendat tenggorokan serta liang hidung!
Dalam jurus ketiga itu kelihatanlah bagaimana gempuran Datuk Bambu Kuning menjadi lamban. Orang tua itu berteriak keras dan kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun sia-sia saja. Dirasakannya dadanya menjadi sesak, lobang-lobang hidungnya laksana tersumbat.
Sukar baginya untuk bernafas! Menanggapi hal ini si orang tua segera atur jalan darah dan tutup pemafasannya. Tubuhnya lenyap sewaktu dia mempercepat gerakannya!
Namun kedahsyatan angin pengap yang menderu dari tepi jubah memang tidak kepalang tanggung. Sebentar saja serangan-serangan bambu kuning lawan sudah dibendungnya. Gerakan Datuk Bambu Kuning kembali menjadi lamban sewaktu orang tua itu tidak bisa mempertahankan lagi menutup jalan nafasnya terus-terusan sedang sementara itu pertempuran sudah berjalan lima jurus!
Pendekar Pemetik Bunga kembali keluarkan suara tertawa sewaktu dia tahu bahwa dirinya telah berada di atas angin. “Ha…ha…! Kau disuruh turun gunung oleh penduduk desa hanya untuk mencari kematian saja Datuk Bambu Kuning!”
“Pendekar terkutuk jangan terlalu besar harapan!” kertak Datuk Bambu Kuning. Diam-diam tiga perempat dari tenaga dalamnya dikerahkan ke dada.
Tiba-tiba, “Bluuss!”
Selarik asap kuning menyembur dari mulut si orang tua! Pendekar Pemetik Bunga terkejut bukan main dan cepat tutup jalan nafasnya.
Keterkejutan dan saat menutup jalan nafas tadi membuat gerakannya mengendur. Sewaktu din menghindar ke samping sambil babatkan sabuk mutiaranya memapasi semburan asap kuning, bambu di tangan kanan lawan datang menderu!
Si pemuda kebutkan tepi jubahnya. Celaka! Asap kuning itu tak sanggup dibikin buyar oleh angin pengap tepi jubah hitamnya!
Pendekar Pemetik Bunga menjerit setinggi langit. Tubuhnya lenyap dan sesaat kemudian dia berhasil ke luar dari serangan lawan yang bukan kepalang dahsyatnya tadi. Sewaktu berdiri mengatur jalan darah dan nafasnya kembali, diam-diam pemuda ini keluarkan keringat dingin juga!
“Kau kira kau bisa lari dari sini, manusia bejat?!” hardik Datuk Bambu Kuning. Mulutnya membuka dan asap kuning menyembur lagi ke muka lawan. Pendekar Pemetik Bunga kembali tutup jalan nafasnya dan melompat ke samping. Serangan kebutan tepi jubah dan sambaran sabuk mutiara dilakukannya berbarengan sekaligus ke arah lawan. Si orang tua melompat tiga tombak ke atas dan sewaktu turun kembali menyemburkan asap kuning dari mulutnya! Pendekar Pemetik Bunga menjadi kewalahan kini. Kewalahan dan merutuk! Di samping itu tak habis heran kesaktian apakah yang dikandung oleh asap kuning yang keluar dari mulut lawannya sehingga angin pengap jubah hitam dan angin sabuk mutiara tiada sanggup membuyarkannya!
Tiba-tiba pemuda itu menggereng macam harimau. Tubuhnya melesat ke muka. Angin pengap menyerang ketenggorokan Datuk Bambu Kuning sedang sabuk mutiara menerpa dari atas ke bawah!
Si orang tua ganda tertawa menghadapi serangan ini Bambu kuningnya diputar-putar, tiba-tiba dikiblatkan demikian rupa
“Sreet!”
Sabuk mutiara di tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga kena disambar den terlepas mental dari tangan pemuda itu! Si pemuda sendiri dengan jungkir balik susah payah baru berhasil ke luar dari sambaran tongkat bambu serta semburan asap kuning yang dilepaskan lawan!
Matanya membeliak, mulutnya komat kamit. Mukanya mengelam sewaktu si orang tua melangkah perlahan mendekatinya dengan tertawa sedingin salju!
“Nyawa anjingmu hanya tinggal beberapa detik saja, pemuda terkutuk!” kata Datuk Bambu Kuning. “Sejak hari ini dunia persilatan akan bersih dari noda kekotoran manusia macam kau!”
“Aku masih belum menyerah keparat!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Mulutnya masih komat-kamit. Matanya dengan waspada memperhatikan setiap gerak yang dibuat Datuk Bambu Kuning.
“Aku memang tak suruh kau menyerah, “ sahut Datuk Bambu Kuning dengan tertawa sedingin tadi. “Aku cuma perlu nyawa anjingmu!”
“Soal nyawa soal mudah,” tukas Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga.
Diam-diam dia salurkan seluruh tenaga dalamnya ke ujung jari telunjuknya.
Sesaat kemudian ujung jari itu menjadi hitam legam dan mengeluarkan sinar menggidikkan. “Orang tua edan, kau lihat jari ini?! “
Datuk Bambu Kuning memandang dengan kerenyit kulit kening pada jari telunjuk tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga. Darahnya tersirap, mukanya berubah.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. “Kenapa mukamu menjadi pucat, kunyuk tua?!”
Datuk Bambu Kuning tidak menyahut. Mukanya bertambah pucat dan matanya melotot memandang tajam-tajam pada jari telunjuk si pemuda.
Ketika jari telunjuk itu dan ibu jari si pemuda membuat lingkaran. Datuk Bambu Kuning berseru kaget. “Ilmu Jari Penghancur Sukma!” Dengan serta merta Datuk Bambu Kuning bagi dua aliran tenaga dalamnya. Sebagian ke ujung tongkat bambu den sebagian lagi ke dada!
“Makan jariku ini, Datuk keparat!” seru Pendekar Pemetik Bunga.
Dikejap itu juga dia menjentikkan jari telunjuknya. Satu gelombang angin hitam menderu laksana topan prahara, menyereng ke arah Datuk Bambu Kuning. Di saat yang sama Datuk Bambu Kuning sapukan tongkat di tangan kanan dan semburkan asap kuning!
Datuk Bambu Kuning berteriak kaget ketika melihat angin pukulan bambu kuning dan sambaran asap kuningnya buyar berantakan dilanda angin hitam lawan. Dan angin hitam yang menggidikkan ini terus melesat ke arahnya. Datuk Bambu Kuning cepat menyingkir tapi kasip!
Orang tua itu mencelat beberapa tombak jauhnya ketika angina hitam menyambar tubuhnya. Dan terdengarlah jeritnya melengking langit!
Datuk Bambu Kuning terguling-guling di tanah. Sekujur tubuhnya hitam hangus! Nyawanya tidak ketolongan lagi, putus kejap itu juga!
Pendekar Pemetik Bunga mengatur jalan nafas dan aliran darahnya kembali. Sewaktu dia menggerakkan kakinya baru disadariya bahwa kedua kakinya itu telah tenggelam ke dalam tanah sedalam lima senti! Bila pemuda ini melangkah mendekati Ning Leswani, kembali terdengar makian gadis itu.
Makian yang kemudian disusul dengan jeritan. Tak ada satu orangpun yang berani menghalangi dan berbuat suatu apa ketika Ning Leswani dipanggul oleh Pendekar Pemetik Bunga dan dilarikan!
Sampai pagi, sampai ketika matahari muncul di utuk timur desa masih diselimuti oleh kehebohan atas apa yang telah terjadi!
Ki Lurah Rantas Madan den Rana Wulung bersama kira-kira selusin penduduk, dengan membawa berbagai senjata dan menunggangi kuda coba mencari jejak Pendekar Pemetik Bunga. Namun ke mana manusia durjana itu hendak dicari?! Menjelang tengah hari, mereka sudah berbisik-bisik sesama mereka bahwa tak mungkin mereka akan menemui Ning Leswani. Kalaupun bertemu, tentu gadis itu sudah rusak kehormatannya!
Dan seandainya pula mereka berhasil menyergap Pendekar Pemetik Bunga, belum tentu mereka sebanyak itu bisa membekuk batang lehernya!
Rantas Madan tahu suasana yang dirasakan anggota-anggota rombongannya. Dia berunding dengan Rana Wulung dan akhirnya diambil keputusan untuk pulang saja.
Terik matahari membakar kulit di siang itu. Rana Wulung dengan muka pucat menunggangi kudanya di samping Rantas Madan. Hati pemuda ini hancur sudah! Dendam kesumatnya terhadap Pendekar Pemetik Bunga tak akan pupus selama hidupnya!
Ketika rombongan melalui lereng sebuah bukit dalam perjalanan pulang itu, ada sesuatu yang menarik perhatian Rana Wulung. Dia berpaling pada Rantas Madan.
“Bapak, kau lihat burung-burung gagak yang beterbangan di puncak bukit itu.”
Ki Lurah Rantas Madan terkejut lalu memandang ke puncak bukit di atasnya. Beberapa burung gagak hitam dilihatnya terbang berputar-putar naik turun di atas puncak sana. Berdebar hati laki-laki ini. Lalu dihentikannya rombongan.
“Kita ke sana!” mengambil keputusan Rantas Madan. Masing-masing kemudian memacu kuda mereka ke puncak bukit. Rana Wulung di depan sekali. Di puncak bukit pemuda ini menghentikan kudanya dan meneliti ke mana turunnya burung-burung gagak tadi. Diikuti oleh anggota-anggota rombongan yang lain Rana Wulung bergerak ke arah serumpunan semak belukar lebat. Waktu dia mencapai semak itu, empat ekor burung gagak terbang ke udara.
Rana Wulung melompat dari kudanya dan lari ke balik semak belukar lebat.
“Tuhanku!” seru pemuda itu. Lututnya goyah. Matanya membeliak.
Tiba-tiba laksana orang kalap dia melompat ke muka sambil berseru nyaring . “Nining! Nining!”
Ning Leswani terhampar di atas rerumputan. Tak selembar benangpun yang menutupi auratnya. Tubuh yang telanjang ini sudah tiada nafas lagi dan sebagian sudah berlubang-lubang dipatuk gagak-gagak hitam pemakan bangkai! Tubuh yang malang itulah yang dipeluk Rana Wulung. Namun cuma sebentar saja. Sewaktu Rantas Madan dan rombongan lainnya sampai ke situ, Rana Wulung sudah jatuh pingsan!
Rantas Madan sendiri hampir-hampir tak kuat pula menyaksikan pemandangan itu! Hampir tak sanggup melihat anak kandung yang dikasihinya menemui kematian dalam cara yang mengenaskan begitu rupa. Mulutnya komat kamit. Tenggorokannya turun naik.
“Anakku….” desis laki-laki itu. Dia berlutut. Beberapa orang menarik Rana Wulung dari atas tubuh Ning Leswani. Rantas Madan cepat membuka bajunya dan menutupi aurat anaknya dengan baju itu. Air matanya berlinang. Dendam kesumat seperti mau memecahkan dadanya saat itu!
MUNCULNYA Pendekar Pemetik Bunga menyebar maut, darah dan noda benar-benar menggemparkan dunia persilatan. Kekejaman dan kebejatan terkutuk yang dilakukannya selama malang melintang beberapa bulan belakangan ini benar-benar merupakan satu tantangan bagi dunia persilatan, terutama mereka dari golongan putih. Hal ini tak dapat dibiarkan lama, dan berlarut-larut. Beberapa tokoh silat utama dari golongan putih kabarnya telah turun tangan membuat perhitungan dengan Pendekar Pemetik Bunga. Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar membuat dunia persilatan tambah geger!
Bagaimanakah tidak! Semua tokoh-tokoh silat yang berani bikin perhitungan itu disikat mentah-mentah oleh Pendekar Pemetik Bunga.
“Ilmu Jari Penghancur Sukma” yang dimiliki pemuda terkutuk itu menjadi biang momok mengerikan bagi dunia persilatan, apalagi bagi orang-orang yang tidak mengerti silat sama sekali! Tiap kota dan desa, tiap kampung dan pelosok diselimuti rasa ketakutan dan cemas. Takut dan cemas kalau Pendekar Pemetik Bunga akan muncul mendadak di daerah mereka, menyebar maut dan menebar noda di kalangan penduduk yang tak berdosa!
Kejahatan, kebejatan dan seribu satu macam perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh Pendekar Pemetik Bunga itu telah sampai pula ke puncak gunung Merbabu.
Saat itu tengah hari tepat. Matahari berada dititik tertingginya.
Keterikan sinar matahari tiada terasa di atas puncak gunung yang ditutupi halimun sejuk itu. Asap belerang dari kawah gunung bergulung-gulung ke atas, bercampur jadi satu dengan halimun dan menutupi pemandangan.
Di satu bagian dari puncak gunung Merbabu, di dalam sebuah ruangan batu, diterangi oleh sebuah pelita kecil kelihatan duduk seorang laki-laki tubuhnya kurus sekali, hampir tinggal kulit pembalut tulang.
Tubuh yang kurus ini ditutupi dengan sehelai selempang kain putih. Melihat kepada air mukanya yang penuh dengan keriputan itu nyatalah bahwa manusia ini umurnya sudah lanjut sekali. Tapi anehnya, rambut dan janggutnya yang panjang sampai ke pinggang itu masih berwarna hitam legam dan berkilat-kilat ditimpa sinar pelita.
Orang tua ini adalah Begawan Citrakarsa. Saat itu dia tengah bersemedi mengheningkan cipta rasa dan menutup semua inderanya. Ketika matahari menggelincir ke titik tenggelamnya, ketika sinar kuning emas berpadu dengan sinar kemerahan menyaputi langit di ufuk barat barulah Begawan itu menyelesaikan semedinya. Dibukanya kedua matanya, dibukanya segenap inderanya. Kemudian perlahan-lahan Begawan ini berdiri dari duduknya dan melangkah ke pintu.
Dari pintu batu tempat dia berdiri itu dapat dilihatnya keseluruhan puncak Gunung Merbabu. Sebagian dari puncak Gunung Merbabu itu telah diselimuti lagi oleh kabut belerang dan halimun. Di kaki gunung menghampar sawah ladang. Jauh di sebelah selatan mengalir sebatang anak sungai. Begawan Citrakarsa menghela nafas dalam. Betapa indahnya bumi buatan Tuhan. Tapi betapa sayangnya, bumi yang indah dan suci itu telah dikotori oleh segala macam kemaksiatan, segala macam kemesuman, kejahatan, kebejatan!
Begawan Citrakarsa masuk kembali ke dalam ruangan batu. Dari dinding ruangan batu diambilnya sebilah keris lalu disisipkannya ke balik selempangan kain putih di pinggangnya. Dengan sedikit lambaian tangan Begawan Citrakarsa memadamkan pelita dalam ruangan batu itu. Dia melangkah ke pintu kembali. Di luar puntu terdapat sebuah batu besar.
Dengan mempergunakan tangan kirinya Begawan ini menggeser batu itu hingga menutupi pintu ruangan batu. Batu besar itu beratnya ratusan kati, tapi sang Begawan hanya menggesernya dengan mempergunakan tangan kiri! Sampai dimana kehebatan tenaga dalam Begawan bertubuh kurus yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sungguh tak dapat dijajaki!
Bila angin dari timur bertiup sejuk. Bila bola penerang jagat hanya seperenam bagiannya saja lagi yang kelihatan di ufuk barat sana dan bila puncak gunung Merbabu hampir keseluruhannya terselimut halimun maka Begawan itupun menggerakkan kakinya. Sepasang kaki yang kurus kering itu dengan lincah dan dengan kecepatan yang luar biasa berlari di tepi kawah dengan seenaknya. Sekali-sekali melompati jurang batu yang lebarnya sampai tiga – empat tombak. Bersamaan dengan lenyapnya sang surya ke tempat peraduannya maka bayangan Begawan Citrakarsa pun tak kelihatan lagi di puncak gunung Merbabu itu.
Bagaimanakah tidak! Semua tokoh-tokoh silat yang berani bikin perhitungan itu disikat mentah-mentah oleh Pendekar Pemetik Bunga.
“Ilmu Jari Penghancur Sukma” yang dimiliki pemuda terkutuk itu menjadi biang momok mengerikan bagi dunia persilatan, apalagi bagi orang-orang yang tidak mengerti silat sama sekali! Tiap kota dan desa, tiap kampung dan pelosok diselimuti rasa ketakutan dan cemas. Takut dan cemas kalau Pendekar Pemetik Bunga akan muncul mendadak di daerah mereka, menyebar maut dan menebar noda di kalangan penduduk yang tak berdosa!
Kejahatan, kebejatan dan seribu satu macam perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh Pendekar Pemetik Bunga itu telah sampai pula ke puncak gunung Merbabu.
Saat itu tengah hari tepat. Matahari berada dititik tertingginya.
Keterikan sinar matahari tiada terasa di atas puncak gunung yang ditutupi halimun sejuk itu. Asap belerang dari kawah gunung bergulung-gulung ke atas, bercampur jadi satu dengan halimun dan menutupi pemandangan.
Di satu bagian dari puncak gunung Merbabu, di dalam sebuah ruangan batu, diterangi oleh sebuah pelita kecil kelihatan duduk seorang laki-laki tubuhnya kurus sekali, hampir tinggal kulit pembalut tulang.
Tubuh yang kurus ini ditutupi dengan sehelai selempang kain putih. Melihat kepada air mukanya yang penuh dengan keriputan itu nyatalah bahwa manusia ini umurnya sudah lanjut sekali. Tapi anehnya, rambut dan janggutnya yang panjang sampai ke pinggang itu masih berwarna hitam legam dan berkilat-kilat ditimpa sinar pelita.
Orang tua ini adalah Begawan Citrakarsa. Saat itu dia tengah bersemedi mengheningkan cipta rasa dan menutup semua inderanya. Ketika matahari menggelincir ke titik tenggelamnya, ketika sinar kuning emas berpadu dengan sinar kemerahan menyaputi langit di ufuk barat barulah Begawan itu menyelesaikan semedinya. Dibukanya kedua matanya, dibukanya segenap inderanya. Kemudian perlahan-lahan Begawan ini berdiri dari duduknya dan melangkah ke pintu.
Dari pintu batu tempat dia berdiri itu dapat dilihatnya keseluruhan puncak Gunung Merbabu. Sebagian dari puncak Gunung Merbabu itu telah diselimuti lagi oleh kabut belerang dan halimun. Di kaki gunung menghampar sawah ladang. Jauh di sebelah selatan mengalir sebatang anak sungai. Begawan Citrakarsa menghela nafas dalam. Betapa indahnya bumi buatan Tuhan. Tapi betapa sayangnya, bumi yang indah dan suci itu telah dikotori oleh segala macam kemaksiatan, segala macam kemesuman, kejahatan, kebejatan!
Begawan Citrakarsa masuk kembali ke dalam ruangan batu. Dari dinding ruangan batu diambilnya sebilah keris lalu disisipkannya ke balik selempangan kain putih di pinggangnya. Dengan sedikit lambaian tangan Begawan Citrakarsa memadamkan pelita dalam ruangan batu itu. Dia melangkah ke pintu kembali. Di luar puntu terdapat sebuah batu besar.
Dengan mempergunakan tangan kirinya Begawan ini menggeser batu itu hingga menutupi pintu ruangan batu. Batu besar itu beratnya ratusan kati, tapi sang Begawan hanya menggesernya dengan mempergunakan tangan kiri! Sampai dimana kehebatan tenaga dalam Begawan bertubuh kurus yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sungguh tak dapat dijajaki!
Bila angin dari timur bertiup sejuk. Bila bola penerang jagat hanya seperenam bagiannya saja lagi yang kelihatan di ufuk barat sana dan bila puncak gunung Merbabu hampir keseluruhannya terselimut halimun maka Begawan itupun menggerakkan kakinya. Sepasang kaki yang kurus kering itu dengan lincah dan dengan kecepatan yang luar biasa berlari di tepi kawah dengan seenaknya. Sekali-sekali melompati jurang batu yang lebarnya sampai tiga – empat tombak. Bersamaan dengan lenyapnya sang surya ke tempat peraduannya maka bayangan Begawan Citrakarsa pun tak kelihatan lagi di puncak gunung Merbabu itu.
* * *
Tikungan jalan itu terletak di tempat yang ketinggian. Sinar matahari panasnya seperti mau memanggang kulit. Burung-burung kecil yang berlindung di balik daun-daun pepohonan berkicau tiada hentinya seakan-akan turut gelisah oleh panasnya hari sehari itu.
Pemuda berambut gondrong di atas cabang pohon duduk dengan sepasang mata yang terus menatap ke liku-liku jalan di kaki bukit. Sudah satu jam hampir dia berada di cabang pohon itu dan apa yang ditunggunya masih juga belum muncul. Kekesalan hatinya dicobanya melenyapkan dengan bersiul-siul. Ada satu keluarbiasaan, cabang pohon yang diduduki pemuda itu kecil sekali. Jangankan manusia, seekor kucingpun bila duduk di situ pastilah cabang itu akan menjulai ke bawah. Tapi anehnya, diberati oleh tubuh pemuda berambut gondrong itu, jangankan menjulai, bergerak sedikitpun cabang pohon itu tidak! Kalau si pemuda bukannya seorang sakti mandraguna yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, pastilah hal itu tak bisa kejadian.
Sepeminuman tah berlalu. Si pemuda memandang lagi ke kaki bukit, ke arah liku-liku jalan.
“Sialan, apa kunyuk-kunyuk itu tidak jadi melewati jalan ini?! Sialan be…”
Tiba-tiba pemuda itu hentikan makiannya. Bola matanya membesar dan dibibirnya menggurat seringai tajam. Jauh di bawah bukit, diantara pohon-pohon di liku-liku jalan dilihatnya sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda putih, dikawal oleh selusin penunggang kuda. Debu menggebu ke udara. Pemuda itu kini tertawa-tawa sendirian. Hatinya gembira. Yang ditunggunya telah kelihatan di bawah sana, dan pasti akan melewati tikungan jalan dimana dia menunggu saat itu.
Kira-kira dua kali peminuman teh maka terdengarlah derap kaki-kaki kuda dan gemerataknya suara roda kereta mendekati tikungan jalan.
Karena tikungan itu mendaki, maka pengemudi kereta dan penunggang penunggang kuda agak memperlambat lari kuda masing-masing.
Pada saat itulah pemuda rambut gondrong yang duduk di cabang pohon mengeluarkan suara memerintah yang menggeledek!
“Berhenti!”
Beberapa ekor kuda yang di muka sekali meringkik terkejut. Pengemudi dan pengawal kereta kagetnya bukan main. Semua anggota rombongan menghentikan kuda masing-masing. Dan melihat gelagat yang tidak baik, setiap anggota rombongan bersikap waspada.
“Semua laki-laki yang ada di sini, termasuk pengemudi kereta kuharap segera angkat kaki tinggalkan tempat ini. Berlalu dengan cepat!”
Begitu si pemuda memerintah. Dan dia masih juga duduk di cabang pohon seenaknya.
Penunggang kuda yang paling muka yang bertindak sebagai pimpinan rombongan mendongak ke atas dan bertanya dengan membentak.
“Orang asing! Kau siapa?!”
“Buset! Kau punya nyali membentak aku hah? Apa kau punya jiwa rangkap!”
Si penunggang kuda mendengus. “Caramu memerintah nyatalah bahwa kau mempunyai niat jahat!”
“Betul sekali sobat! Karenanya lekaslah tinggalkan tempat ini kalau kalian semua tidak mau cilaka!”
Penunggang kuda yang bertindak sebagai pemimpin rombongan melihat sikap dan tempat di mana pemuda rambut gondrong itu duduk sesungguhnya sudah sejak tadi mengetahui bahwa manusia asing itu seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun dengan mengandalkan jumlah yang banyak, mengandalkan kawan-kawannya yang rata-rata memiliki ilmu silat, nyalinya tidaklah menjadi kendor menghadapi si pemuda rambut gondrong!
“Kalau kau seorang perampok, cari saja orang lain untuk dirampok! Salah-salah riwayatmu bisa tamat sampai di sini, sobat”
Pemuda di atas cabang pohon tertawa gelak-gelak. Suara tertawanya menggetarkan tikungan jalan itu, juga menggetarkan hati dua belas penunggang kuda! Bahkan suara tertawa itu telah membuat satu tangan halus menyibakkan tirai kereta den memunculkan sebuah kepala perempuan muda belia berwajah cantik berkulit halus mulus.
“Manusia-manusia tolol! Orang sudah kasih ampun den kasih selamat kalian punya jiwa tapi malah berlagak jago!” bentak orang di atas cabang pohon! “Silahkan cabut senjata kalian agar kalian semua tidak mampus percuma!”
Habis berkata begitu si pemuda laksana seekor alap-alap melompat turun. Tubuhnya berkelebat cepat dan terdengadah jeritan yang menggidikkan! Tiga penunggang kuda terpelanting dari punggung kuda masing-masing. Kepala ketiganya hancur remuk dimakan tendangan kaki kanan pemuda tadi!
Yang sembilan orang lainnya, tambah satu dengan pengemudi kereta dengan serentak segera mencabut golok masing-masing. Tanpa menunggu lebih lama yang sembilan orang segera menyerbu sedang pengemudi kereta dengan golok melintang di muka dada tetap berada di atas kereta.
Sebentar saja hujan golok menyelubungi si pemuda. Pemuda itu berdiri di tengah-tengah siuran golok dengan bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa. Sekali-sekali dia membuat sedikit gerakan. Meskipun sedikit gerakan itu sekaligus berhasil mengelakkan sembilan serangan golok yang menderu-deru.
Tiba-tiba pemuda itu membentak nyaring. Tubuhnya merunduk di antara bacokan dan tebasan golok. Pekik lolong terdengar susul menyusul.
Empat pengeroyoknya berpelantingan dan bergeletakan tanpa nyawa di tengah jalan. Yang lima orang lainnya kejut serta kaget mereka bukan olah-olah.
‘Tegal Ireng!” teriak pemimpin rombongan. “Larikan kereta dari sini cepat! Aku dan yang lain-lainnya menahan bangsat ini!”
Kusir kereta tak ayal lagi segera sentakkan tali kekang. Dua ekor kuda melonjak dan melompat ke muka. Sementara itu lima golok menyerbu pemuda rambut gondrong dengan ganasnya. Tapi yang diserbu ganda tertawa. Dia membuat lompatan setinggi tiga tombak. Dua orang pengeroyoknya jungkir balik di makan tendangan. Bersamaan dengan Itu tangan kanannya dihantamkan ke arah dua ekor kuda penarik kereta yang segera hendak lari meninggalkan tempat itu. Gelombang angin yang sangat dahsyat Menghantam hancur delapan kaki binatang itu sehingga kuda dan kereta angsrok kejalanan. Ringkik kuda terdengar tiada hentinya sedang dari dalam kereta melengking jeritan perempuan!
Pemimpin rombongan, dengan sangat penasaran cabut lagi sebatang golok dari pinggangnya. Dengan sepasang golok, bersama dua orang kawannya dia menyerbu kembali!
“Kunyuk-kunyuk tolol! Nyali kalian memang patut kupuji! Tapi kalian adalah manusia-manusia tidak berguna! Karenanya pergilah ke neraka!”
Pemuda rambut gondrong kebutkan tepi jubah hitamnya. Serangkum angin pengap menyerang ke arah tenggorokan ketiga lawannya. Manusia-manusia itu mengenduskan suara seperti tercekik sewaktu tubuh mereka mental dilanda angin dahsyat. Dari mulut masing-masing menyembur darah segar. Nyawa ketiganya lepas bersamaan dengan rubuhnya tubuh mereka ke tanah!
Pemuda berambut gondrong yang mengenakan jubah hitam berbunga-bunga kuning tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dirasakannya sambaran angin di belakangnya. Dibalikkannya tubuhnya dengan cepat.
Sebatang golok laksana anak panah melesat ke arah batok kepalanya!
Pemuda berambut gondrong di atas cabang pohon duduk dengan sepasang mata yang terus menatap ke liku-liku jalan di kaki bukit. Sudah satu jam hampir dia berada di cabang pohon itu dan apa yang ditunggunya masih juga belum muncul. Kekesalan hatinya dicobanya melenyapkan dengan bersiul-siul. Ada satu keluarbiasaan, cabang pohon yang diduduki pemuda itu kecil sekali. Jangankan manusia, seekor kucingpun bila duduk di situ pastilah cabang itu akan menjulai ke bawah. Tapi anehnya, diberati oleh tubuh pemuda berambut gondrong itu, jangankan menjulai, bergerak sedikitpun cabang pohon itu tidak! Kalau si pemuda bukannya seorang sakti mandraguna yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, pastilah hal itu tak bisa kejadian.
Sepeminuman tah berlalu. Si pemuda memandang lagi ke kaki bukit, ke arah liku-liku jalan.
“Sialan, apa kunyuk-kunyuk itu tidak jadi melewati jalan ini?! Sialan be…”
Tiba-tiba pemuda itu hentikan makiannya. Bola matanya membesar dan dibibirnya menggurat seringai tajam. Jauh di bawah bukit, diantara pohon-pohon di liku-liku jalan dilihatnya sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda putih, dikawal oleh selusin penunggang kuda. Debu menggebu ke udara. Pemuda itu kini tertawa-tawa sendirian. Hatinya gembira. Yang ditunggunya telah kelihatan di bawah sana, dan pasti akan melewati tikungan jalan dimana dia menunggu saat itu.
Kira-kira dua kali peminuman teh maka terdengarlah derap kaki-kaki kuda dan gemerataknya suara roda kereta mendekati tikungan jalan.
Karena tikungan itu mendaki, maka pengemudi kereta dan penunggang penunggang kuda agak memperlambat lari kuda masing-masing.
Pada saat itulah pemuda rambut gondrong yang duduk di cabang pohon mengeluarkan suara memerintah yang menggeledek!
“Berhenti!”
Beberapa ekor kuda yang di muka sekali meringkik terkejut. Pengemudi dan pengawal kereta kagetnya bukan main. Semua anggota rombongan menghentikan kuda masing-masing. Dan melihat gelagat yang tidak baik, setiap anggota rombongan bersikap waspada.
“Semua laki-laki yang ada di sini, termasuk pengemudi kereta kuharap segera angkat kaki tinggalkan tempat ini. Berlalu dengan cepat!”
Begitu si pemuda memerintah. Dan dia masih juga duduk di cabang pohon seenaknya.
Penunggang kuda yang paling muka yang bertindak sebagai pimpinan rombongan mendongak ke atas dan bertanya dengan membentak.
“Orang asing! Kau siapa?!”
“Buset! Kau punya nyali membentak aku hah? Apa kau punya jiwa rangkap!”
Si penunggang kuda mendengus. “Caramu memerintah nyatalah bahwa kau mempunyai niat jahat!”
“Betul sekali sobat! Karenanya lekaslah tinggalkan tempat ini kalau kalian semua tidak mau cilaka!”
Penunggang kuda yang bertindak sebagai pemimpin rombongan melihat sikap dan tempat di mana pemuda rambut gondrong itu duduk sesungguhnya sudah sejak tadi mengetahui bahwa manusia asing itu seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun dengan mengandalkan jumlah yang banyak, mengandalkan kawan-kawannya yang rata-rata memiliki ilmu silat, nyalinya tidaklah menjadi kendor menghadapi si pemuda rambut gondrong!
“Kalau kau seorang perampok, cari saja orang lain untuk dirampok! Salah-salah riwayatmu bisa tamat sampai di sini, sobat”
Pemuda di atas cabang pohon tertawa gelak-gelak. Suara tertawanya menggetarkan tikungan jalan itu, juga menggetarkan hati dua belas penunggang kuda! Bahkan suara tertawa itu telah membuat satu tangan halus menyibakkan tirai kereta den memunculkan sebuah kepala perempuan muda belia berwajah cantik berkulit halus mulus.
“Manusia-manusia tolol! Orang sudah kasih ampun den kasih selamat kalian punya jiwa tapi malah berlagak jago!” bentak orang di atas cabang pohon! “Silahkan cabut senjata kalian agar kalian semua tidak mampus percuma!”
Habis berkata begitu si pemuda laksana seekor alap-alap melompat turun. Tubuhnya berkelebat cepat dan terdengadah jeritan yang menggidikkan! Tiga penunggang kuda terpelanting dari punggung kuda masing-masing. Kepala ketiganya hancur remuk dimakan tendangan kaki kanan pemuda tadi!
Yang sembilan orang lainnya, tambah satu dengan pengemudi kereta dengan serentak segera mencabut golok masing-masing. Tanpa menunggu lebih lama yang sembilan orang segera menyerbu sedang pengemudi kereta dengan golok melintang di muka dada tetap berada di atas kereta.
Sebentar saja hujan golok menyelubungi si pemuda. Pemuda itu berdiri di tengah-tengah siuran golok dengan bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa. Sekali-sekali dia membuat sedikit gerakan. Meskipun sedikit gerakan itu sekaligus berhasil mengelakkan sembilan serangan golok yang menderu-deru.
Tiba-tiba pemuda itu membentak nyaring. Tubuhnya merunduk di antara bacokan dan tebasan golok. Pekik lolong terdengar susul menyusul.
Empat pengeroyoknya berpelantingan dan bergeletakan tanpa nyawa di tengah jalan. Yang lima orang lainnya kejut serta kaget mereka bukan olah-olah.
‘Tegal Ireng!” teriak pemimpin rombongan. “Larikan kereta dari sini cepat! Aku dan yang lain-lainnya menahan bangsat ini!”
Kusir kereta tak ayal lagi segera sentakkan tali kekang. Dua ekor kuda melonjak dan melompat ke muka. Sementara itu lima golok menyerbu pemuda rambut gondrong dengan ganasnya. Tapi yang diserbu ganda tertawa. Dia membuat lompatan setinggi tiga tombak. Dua orang pengeroyoknya jungkir balik di makan tendangan. Bersamaan dengan Itu tangan kanannya dihantamkan ke arah dua ekor kuda penarik kereta yang segera hendak lari meninggalkan tempat itu. Gelombang angin yang sangat dahsyat Menghantam hancur delapan kaki binatang itu sehingga kuda dan kereta angsrok kejalanan. Ringkik kuda terdengar tiada hentinya sedang dari dalam kereta melengking jeritan perempuan!
Pemimpin rombongan, dengan sangat penasaran cabut lagi sebatang golok dari pinggangnya. Dengan sepasang golok, bersama dua orang kawannya dia menyerbu kembali!
“Kunyuk-kunyuk tolol! Nyali kalian memang patut kupuji! Tapi kalian adalah manusia-manusia tidak berguna! Karenanya pergilah ke neraka!”
Pemuda rambut gondrong kebutkan tepi jubah hitamnya. Serangkum angin pengap menyerang ke arah tenggorokan ketiga lawannya. Manusia-manusia itu mengenduskan suara seperti tercekik sewaktu tubuh mereka mental dilanda angin dahsyat. Dari mulut masing-masing menyembur darah segar. Nyawa ketiganya lepas bersamaan dengan rubuhnya tubuh mereka ke tanah!
Pemuda berambut gondrong yang mengenakan jubah hitam berbunga-bunga kuning tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dirasakannya sambaran angin di belakangnya. Dibalikkannya tubuhnya dengan cepat.
Sebatang golok laksana anak panah melesat ke arah batok kepalanya!
Kurang ajar betul!” teriak pemuda berjubah hitam. Dia gerakkan tangan kanannya. Lihai sekali golok maut itu berhasil ditangkapnya lalu dilemparkannya ke arah kereta.
Laki-laki yang menjadi kusir kereta, yang tadi melemparkan golok itu kepada si pemuda dengan serta merta melompat dari kereta yang sudah angsrok itu dan bergulingan di tanah. Golok menancap di bangku kayu pada bagian depan kereta!
Kusir kereta yang menyadari bahwa dirinya kini tinggal sendirian, melihat serangannya tidak mengenai sasaran jadi lumer nyalinya. Tanpa banyak cerita kusir ini segera ambil langkah seribu seraya berteriak. “Den Ayu Galuh Warsih lekas lari selamatkan dirimu!”
“Kunyuk tengik!” teriak pemuda berjubah hitam sambil keluarkan dengusan. “Kalau mau lari, larilah sendiri ke neraka!”
Sekali pemuda ini lambaikan tangan kanannya, kusir kereta itu mental menghantam pohon dilanda angin dahsyat yang ke luar dari telapak tangan si pemuda!
Di saat itu pintu kereta sebelah kanan terbuka lebar-lebar dan seorang gadis bertubuh ramping, berkulit hitam manis yang memiliki wajah mempesona ke luar dengan paras pucat. Lututnya gemetar. Bulu kuduknya merinding melihat sosok-sosok mayat pengawalnya yang bertebaran di mana-mana, mati dalam keadaan mengerikan!
Gadis itu menyurut beberapa langkah sewaktu pemuda berjubah hitam melangkah mendekatinya.
“Ah, dewiku, kenapa takut padaku?” ujar si pemuda dengan mengulum senyum. “Namamu Galuh Warsih bukan? Dan kau anaknya Sentot Sastra dari Kaliurang, betul?”
Galuh Warsih menyurut lagi beberapa langkah. Pada tampang yang gagah dari si pemuda, pada sunggingan senyumnya nyata kelihatan sifat kebuasan, sifat kejalangan!
Gadis ini terpekik sewaktu sekali lompat saja si pemuda sudah berada dihadapannya.
“Saudara, kau siapa? Mengapa membunuh pengawal-pengawalku?!”
Meski takutnya bukan main namun Galuh Warsih masih bernyali mengajukan pertanyaan itu.
Yang ditanya tertawa.
“Ah.., itu satu pertanyaan yang pantas dijawab,” katanya. Tangan kirinya ditopangkannya ke sanding belakang kereta. “Namaku tak seberapa perlu dewiku sayang. Aku cukup dikenal dengan gelar Pendekar Pemetik Bunga.”
Paras Galuh Warsih laksana kain kafan, putih seperti tiada berdarah. Sebaliknya pemuda yang mengaku bergelar Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak.
“Dan kalau dewiku bertanyakan mengapa aku membunuh pengawal-pengawalmu itu adalah karena mereka sedeng semua! Disuruh angkat kaki dari sini agar selamat malah minta mati!”
“Ayahku Bupati Kaliurang pasti akan menyuruh pancung kepalamu atas semua kejahatan inil”
Pendekar Pemetik Bungs tertawa mengekeh. “Sudahlah,” katanya, “di tempat bangkai-bangkai berserakan ini kita tak usah banyak bicara.
Kau ikut aku, Galuh Warsih. Kita pergi ke bukit sebelah sana…”
“Tidak!”
“Di bukit sana ada sebuah pondok!”
‘Tidak, aku tidak mau! Aku tidak sudi ikut sama kau manusia biadab!” teriak Galuh Warsih.
“Di situ, di pondok itu nanti kau akan merasakan sorga dunia yang tiada taranya dewiku manis….” Dengan tertawa gelak-gelak Pendekar Pemetik Bunga maju mendekati Galuh Warsih. Si gadis cepat menyambar kayu patahan papan kereta dan dengan kedua tangannya menghantamkan kayu itu ke kepala Pendekar Pemetik Bunga, Pemuda berhati bejat itu ganda tertawa. Dia merunduk dan begitu maju, sekaligus dia sudah merangkul pinggang Galuh Warsih.
Galuh Warsih menjerit melolong-lolong. Kedua tangannya tiada henti mendambuni punggung dan menjambaki rambut gondrong Pendekar Pemetik Bunga. Tapi pemuda itu tiada perduli. Malah dengan tertawa dan bersiul-siul gembira laksana angin cepatnya tubuh Galuh Warsih dilarikan ke puncak sebuah bukit di sebelah timur!
Hampir sepeminum teh kemudian maka pondok kayu itu sudah kelihatan dari jauh. Nafsu yang menghempas-hempas pembuluh darah dan menegangkan sekujur tubuh Pendekar Pemetik Bungs membuat manusia terkutuk itu tancap gas tambah percepat larinya agar lekas-lekas sampai ke pondok itu dan agar lekas pula melampiaskan nafsu bejat terkutuknya!
Tapi betapa terkejutnya Pendekar Pemetik Bunga sewaktu makin dekat ke pondok itu sepasang telinganya menangkap suara nyanyian.
Yang lebih mengejutkan ialah karena suara nyanyian itu keluarnya dari dalam pondok kayu dihadapannya itu!
Laki-laki yang menjadi kusir kereta, yang tadi melemparkan golok itu kepada si pemuda dengan serta merta melompat dari kereta yang sudah angsrok itu dan bergulingan di tanah. Golok menancap di bangku kayu pada bagian depan kereta!
Kusir kereta yang menyadari bahwa dirinya kini tinggal sendirian, melihat serangannya tidak mengenai sasaran jadi lumer nyalinya. Tanpa banyak cerita kusir ini segera ambil langkah seribu seraya berteriak. “Den Ayu Galuh Warsih lekas lari selamatkan dirimu!”
“Kunyuk tengik!” teriak pemuda berjubah hitam sambil keluarkan dengusan. “Kalau mau lari, larilah sendiri ke neraka!”
Sekali pemuda ini lambaikan tangan kanannya, kusir kereta itu mental menghantam pohon dilanda angin dahsyat yang ke luar dari telapak tangan si pemuda!
Di saat itu pintu kereta sebelah kanan terbuka lebar-lebar dan seorang gadis bertubuh ramping, berkulit hitam manis yang memiliki wajah mempesona ke luar dengan paras pucat. Lututnya gemetar. Bulu kuduknya merinding melihat sosok-sosok mayat pengawalnya yang bertebaran di mana-mana, mati dalam keadaan mengerikan!
Gadis itu menyurut beberapa langkah sewaktu pemuda berjubah hitam melangkah mendekatinya.
“Ah, dewiku, kenapa takut padaku?” ujar si pemuda dengan mengulum senyum. “Namamu Galuh Warsih bukan? Dan kau anaknya Sentot Sastra dari Kaliurang, betul?”
Galuh Warsih menyurut lagi beberapa langkah. Pada tampang yang gagah dari si pemuda, pada sunggingan senyumnya nyata kelihatan sifat kebuasan, sifat kejalangan!
Gadis ini terpekik sewaktu sekali lompat saja si pemuda sudah berada dihadapannya.
“Saudara, kau siapa? Mengapa membunuh pengawal-pengawalku?!”
Meski takutnya bukan main namun Galuh Warsih masih bernyali mengajukan pertanyaan itu.
Yang ditanya tertawa.
“Ah.., itu satu pertanyaan yang pantas dijawab,” katanya. Tangan kirinya ditopangkannya ke sanding belakang kereta. “Namaku tak seberapa perlu dewiku sayang. Aku cukup dikenal dengan gelar Pendekar Pemetik Bunga.”
Paras Galuh Warsih laksana kain kafan, putih seperti tiada berdarah. Sebaliknya pemuda yang mengaku bergelar Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak.
“Dan kalau dewiku bertanyakan mengapa aku membunuh pengawal-pengawalmu itu adalah karena mereka sedeng semua! Disuruh angkat kaki dari sini agar selamat malah minta mati!”
“Ayahku Bupati Kaliurang pasti akan menyuruh pancung kepalamu atas semua kejahatan inil”
Pendekar Pemetik Bungs tertawa mengekeh. “Sudahlah,” katanya, “di tempat bangkai-bangkai berserakan ini kita tak usah banyak bicara.
Kau ikut aku, Galuh Warsih. Kita pergi ke bukit sebelah sana…”
“Tidak!”
“Di bukit sana ada sebuah pondok!”
‘Tidak, aku tidak mau! Aku tidak sudi ikut sama kau manusia biadab!” teriak Galuh Warsih.
“Di situ, di pondok itu nanti kau akan merasakan sorga dunia yang tiada taranya dewiku manis….” Dengan tertawa gelak-gelak Pendekar Pemetik Bunga maju mendekati Galuh Warsih. Si gadis cepat menyambar kayu patahan papan kereta dan dengan kedua tangannya menghantamkan kayu itu ke kepala Pendekar Pemetik Bunga, Pemuda berhati bejat itu ganda tertawa. Dia merunduk dan begitu maju, sekaligus dia sudah merangkul pinggang Galuh Warsih.
Galuh Warsih menjerit melolong-lolong. Kedua tangannya tiada henti mendambuni punggung dan menjambaki rambut gondrong Pendekar Pemetik Bunga. Tapi pemuda itu tiada perduli. Malah dengan tertawa dan bersiul-siul gembira laksana angin cepatnya tubuh Galuh Warsih dilarikan ke puncak sebuah bukit di sebelah timur!
Hampir sepeminum teh kemudian maka pondok kayu itu sudah kelihatan dari jauh. Nafsu yang menghempas-hempas pembuluh darah dan menegangkan sekujur tubuh Pendekar Pemetik Bungs membuat manusia terkutuk itu tancap gas tambah percepat larinya agar lekas-lekas sampai ke pondok itu dan agar lekas pula melampiaskan nafsu bejat terkutuknya!
Tapi betapa terkejutnya Pendekar Pemetik Bunga sewaktu makin dekat ke pondok itu sepasang telinganya menangkap suara nyanyian.
Yang lebih mengejutkan ialah karena suara nyanyian itu keluarnya dari dalam pondok kayu dihadapannya itu!
Dua tahun dilepas pergi,
Dua tahun turun gunung,
Dua tahun berbuat keji,
Dua tahun tak tahu untung.
Lima tahun belajar percuma
Lima tahun dididik tiada guna
Kehancuran dimana-mana
Pembunuhan di mana-mana
Semua karena buta hati dan buta mata
Semua karena buta rasa
Percuma bagusnya gunung
Percuma tingginya gunung
Kalau meletus bencana di mana-mana
Anak manusia lupa daratan
Anak manusia membuat kebejatan
Apakah selusin nyawa di badan?
Apakah ilmu setinggi awan?
Pendekar Pemetik Bunga hentikan larinya. Galuh Warsih yang masih mendambun-dambun punggungnya, yang masih berteriak-teriak meskipun suaranya parau segera ditotoknya. Dipasangnya telinganya sedang kedua matanya memandang tajam-tajam ke arah pintu pondok yang terbuka. Tak satu sosok manusiapun yang dapat dilihatnya dari tempat dia berdiri.
Namun suara nyanyian tadi kembali terdengar. Terdengar dan keluar dari pondok itu!
Namun suara nyanyian tadi kembali terdengar. Terdengar dan keluar dari pondok itu!
Dua tahun dilepas pergi,
Dua tahun turun gunung….
Ada suatu rasa aneh menyelinapi hati Pendekar Pemetik Bunga. Rasa aneh ini bukan saja hanya sekedar menyelinap, tapi juga membuat hatinya menciut-ciut dan dadanya berdebar. Dia melangkah kembali, pelahan kini.
Mata memandang tajam, ke pintu pondok yang terbuka, sikap penuh waspada.
Lima tombak dari hadapan pondok, untuk kedua kalinya Pendekar Pemetik Bunga hentikan langkah. Bayangan seseorang dapat dilihatnya melangkah ke pintu. Dalam kejapan mata kemudiannya maka terbenturlah pandangannya pada tubuh seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering berselempang kain putih. Janggut dan rambutnya yang hitam menjelang panjang sampai ke pinggang.
“Guru!” seru Pendekar Pemetik Bunga.
Tubuh Galuh Warsih segera diturunkannya dari pundak, didudukkannya di bawah sebatang pohon lalu dia sendiri berlari dan berlutut dihadapan orang tua yang berdiri di ambang pintu pondok.
Si orang tua, yang bukan lain dari Begawan Citrakarsa adanya menyapu paras muridnya dengan pandangan mata sedingin salju setajam pisau!
“Betulkah kau ini si Wirapati?”
Masih berlutut, Pendekar Pemetik Bunga angkat kepalanya. “Betul guru. Masakan guru lupa sama murid sendiri!” Diam-diam Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati merasa bergidik jugs melihat cara memandang gurunya.
“Guru…!”
Begawan Citrakarsa tidak perdulikan seruan kaget muridnya melainkan meneruskan, “Mataku masih belum kabur, telingaku masih belum tuli. Otakku masih belum tumpul! Wirapati yang pernah kegembleng lima tahun di puncak Gunung Merbabu sudah tidak ada di atas bumi ini…”
“Guru!” seru si murid sekali lagi.
Begawan Citrakarsa tetap tak ambil perduli seorang pemuda terkutuk yang di delapan penjuru angin dikenal sebagai Pendekar Pemetik Bunga!
Berubahlah paras Pendekar Pemetik Bunga alias Wirapati. Dia membathin, rupanya apa yang telah dilakukannya sejak turun gunung dua tahun yang silam sudah diketahui oleh gurunya. Dia berpikir-pikir mencari akal, apakah yang bakal dikatakannya pada Begawan itu.
“Selama ini aku dikenal sebagai tokoh silat golongan putih yang mengutamakan ilmu untuk kebaikan, dan welas asih. Dunia persilatan menyegani dan menghormatiku! Tapi kini dari delapan penjuru angin umpat dan kutuk serapah dilontarkan kepadaku! Keningku dicoreng cemoreng oleh rasa malu yang tiada terkira! Semua itu adalah akibat perbuatan bejatmu, Wirapati! Perbuatan terkutukmu!”
“Guru,” kata Pendekar Pemetik Bunga dengan cepat. Akal busuk sudah didapatnya saat itu “Rupanya guru telah tertiup oleh segala fitnah yang dilontarkan manusia-manusia biang racun! Lima tahun murid dididik dan digembleng oleh guru masakan sesudahnya turun gunung murid mau membuat kekotoran yang mencemarkan nama guru itu?! Semua fitnah belaka, guru! Percayalah! Justru murid malang melintang di dunia persilatan untuk membasmi kaum penjahat dan golongan hitam…!”
Begawan Citrakarsa tertawa tawar. “Kaukah yang difitnah atau engkau yang memfitnah, Wirapati? Gadis yang kau sandarkan di pohon itu cukup menjadi bukti! Kalau kau mau menipu aku, tunggulah sampai mataku buta!”
Pendekar Pemetik Bunga tidak kehabisan akal. Dia segera buka mulut pula, “Guru salah duga. Gadis itu adalah anak Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang yang barusan murid tolong dan lepaskan dari tangan penculik-penculik dan perampok-perampok!”
Lagi-lagi Begawan Citrakarsa tertawa tawar.
“Lidah tidak bertulang memang bisa diputar balik!” katanya. “Tapi mataku tidak bisa diputar balik, Wirapati! Aku saksikan sendiri apa yang terjadi di tikungan jalan tadi! Masihkah kau mau berdusta di dalam kebejatanmu?!”
Kini Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga tak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutnya terkatup rapat-rapat
“Tak perlu kau berlutut dihadapanku Wirapati! Sejak arang cemar kau corengkan ke mukaku, sejak itu pula aku tak mengakuimu lagi sebagai murid!”
Rahang Pendekar Pemetik Bunga menonjol bergemeletak.
“Kejahatanmu laksana laut tidak bertepi! Dosamu sudah tak sanggup ditakar lagi! Sekarang berdirilah! Dan katakan cepat, cara mati bagaimana yang kau inginkan?!”
Kaget Pendekar Pemetik Bunga bukan alang kepalang!
Dipandangnya paras Begawan Citrakarsa. Mimik dan sorotan mata si orang tua jelas menyatakan bahwa apa yang diucapkannya itu bukan main-main!
“Guru….”
“Aku bukan gurumu!” bentak Begawan Citrakarsa.
Perlahan-lahan Pendekar Pemetik Bunga berdiri.
“Guru, kau betul-betul hendak membunuhku?” tanya pemuda itu, “atau cuma main-main saja … ?”
“Bicara soal kematian bukan bicara main-main budak terkutuk!” hardik Begawan Citrakarsa.
“Bersiaplah untuk mampus!”
Begawan itu angkat tangan kanannya. Kemudian laksana kilat dipukulkan ke muka!
“Wuss!”
Asap putih mengepul dahsyat melanda ke arah Pendekar Pemetik Bunga. Melihat gurunya mengeluarkan ilmu dahsyat yang tak pernah dikenalnya atau diajarkan kepadanya sebelumnya, yakinlah Pendekar Pemetik Bunga bahwa si orang tua betul-betul bertekat hendak menghabisi nyawanya! Tak ayal, sebelum tubuhnya diserempet asap putih yang mengandung hawa sangat panas itu, si pemuda segera melompat ke samping sampai dua tombak!
“Bagus! Kau masih bisa mengelak! Tapi nyawamu tetap harus minggat ke neraka murid laknat!” gertak Begawan Cirakarsa. Tubuhnya berkelebat. Kini kedua tangannya yang kurus memukul bersama-sama.
Sinar putih berbuntal-buntal menyambar Pendekar Pemetik Bunga!
Mata memandang tajam, ke pintu pondok yang terbuka, sikap penuh waspada.
Lima tombak dari hadapan pondok, untuk kedua kalinya Pendekar Pemetik Bunga hentikan langkah. Bayangan seseorang dapat dilihatnya melangkah ke pintu. Dalam kejapan mata kemudiannya maka terbenturlah pandangannya pada tubuh seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering berselempang kain putih. Janggut dan rambutnya yang hitam menjelang panjang sampai ke pinggang.
“Guru!” seru Pendekar Pemetik Bunga.
Tubuh Galuh Warsih segera diturunkannya dari pundak, didudukkannya di bawah sebatang pohon lalu dia sendiri berlari dan berlutut dihadapan orang tua yang berdiri di ambang pintu pondok.
Si orang tua, yang bukan lain dari Begawan Citrakarsa adanya menyapu paras muridnya dengan pandangan mata sedingin salju setajam pisau!
“Betulkah kau ini si Wirapati?”
Masih berlutut, Pendekar Pemetik Bunga angkat kepalanya. “Betul guru. Masakan guru lupa sama murid sendiri!” Diam-diam Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati merasa bergidik jugs melihat cara memandang gurunya.
“Guru…!”
Begawan Citrakarsa tidak perdulikan seruan kaget muridnya melainkan meneruskan, “Mataku masih belum kabur, telingaku masih belum tuli. Otakku masih belum tumpul! Wirapati yang pernah kegembleng lima tahun di puncak Gunung Merbabu sudah tidak ada di atas bumi ini…”
“Guru!” seru si murid sekali lagi.
Begawan Citrakarsa tetap tak ambil perduli seorang pemuda terkutuk yang di delapan penjuru angin dikenal sebagai Pendekar Pemetik Bunga!
Berubahlah paras Pendekar Pemetik Bunga alias Wirapati. Dia membathin, rupanya apa yang telah dilakukannya sejak turun gunung dua tahun yang silam sudah diketahui oleh gurunya. Dia berpikir-pikir mencari akal, apakah yang bakal dikatakannya pada Begawan itu.
“Selama ini aku dikenal sebagai tokoh silat golongan putih yang mengutamakan ilmu untuk kebaikan, dan welas asih. Dunia persilatan menyegani dan menghormatiku! Tapi kini dari delapan penjuru angin umpat dan kutuk serapah dilontarkan kepadaku! Keningku dicoreng cemoreng oleh rasa malu yang tiada terkira! Semua itu adalah akibat perbuatan bejatmu, Wirapati! Perbuatan terkutukmu!”
“Guru,” kata Pendekar Pemetik Bunga dengan cepat. Akal busuk sudah didapatnya saat itu “Rupanya guru telah tertiup oleh segala fitnah yang dilontarkan manusia-manusia biang racun! Lima tahun murid dididik dan digembleng oleh guru masakan sesudahnya turun gunung murid mau membuat kekotoran yang mencemarkan nama guru itu?! Semua fitnah belaka, guru! Percayalah! Justru murid malang melintang di dunia persilatan untuk membasmi kaum penjahat dan golongan hitam…!”
Begawan Citrakarsa tertawa tawar. “Kaukah yang difitnah atau engkau yang memfitnah, Wirapati? Gadis yang kau sandarkan di pohon itu cukup menjadi bukti! Kalau kau mau menipu aku, tunggulah sampai mataku buta!”
Pendekar Pemetik Bunga tidak kehabisan akal. Dia segera buka mulut pula, “Guru salah duga. Gadis itu adalah anak Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang yang barusan murid tolong dan lepaskan dari tangan penculik-penculik dan perampok-perampok!”
Lagi-lagi Begawan Citrakarsa tertawa tawar.
“Lidah tidak bertulang memang bisa diputar balik!” katanya. “Tapi mataku tidak bisa diputar balik, Wirapati! Aku saksikan sendiri apa yang terjadi di tikungan jalan tadi! Masihkah kau mau berdusta di dalam kebejatanmu?!”
Kini Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga tak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutnya terkatup rapat-rapat
“Tak perlu kau berlutut dihadapanku Wirapati! Sejak arang cemar kau corengkan ke mukaku, sejak itu pula aku tak mengakuimu lagi sebagai murid!”
Rahang Pendekar Pemetik Bunga menonjol bergemeletak.
“Kejahatanmu laksana laut tidak bertepi! Dosamu sudah tak sanggup ditakar lagi! Sekarang berdirilah! Dan katakan cepat, cara mati bagaimana yang kau inginkan?!”
Kaget Pendekar Pemetik Bunga bukan alang kepalang!
Dipandangnya paras Begawan Citrakarsa. Mimik dan sorotan mata si orang tua jelas menyatakan bahwa apa yang diucapkannya itu bukan main-main!
“Guru….”
“Aku bukan gurumu!” bentak Begawan Citrakarsa.
Perlahan-lahan Pendekar Pemetik Bunga berdiri.
“Guru, kau betul-betul hendak membunuhku?” tanya pemuda itu, “atau cuma main-main saja … ?”
“Bicara soal kematian bukan bicara main-main budak terkutuk!” hardik Begawan Citrakarsa.
“Bersiaplah untuk mampus!”
Begawan itu angkat tangan kanannya. Kemudian laksana kilat dipukulkan ke muka!
“Wuss!”
Asap putih mengepul dahsyat melanda ke arah Pendekar Pemetik Bunga. Melihat gurunya mengeluarkan ilmu dahsyat yang tak pernah dikenalnya atau diajarkan kepadanya sebelumnya, yakinlah Pendekar Pemetik Bunga bahwa si orang tua betul-betul bertekat hendak menghabisi nyawanya! Tak ayal, sebelum tubuhnya diserempet asap putih yang mengandung hawa sangat panas itu, si pemuda segera melompat ke samping sampai dua tombak!
“Bagus! Kau masih bisa mengelak! Tapi nyawamu tetap harus minggat ke neraka murid laknat!” gertak Begawan Cirakarsa. Tubuhnya berkelebat. Kini kedua tangannya yang kurus memukul bersama-sama.
Sinar putih berbuntal-buntal menyambar Pendekar Pemetik Bunga!
Serangan ganas ini membuat Pendekar Pemetik Bunga melompat sampai tiga tombak ke atas dan berseru nyaring, “Orang tua aku masih menaruh hormat pada kau! Hentikan seranganmu!”
“Hormat nenek moyangmu!” maki Begawan Citrakarsa beringas. Kedua tangannya kembali melesatkan buntalan sinar putih. Pendekar Pemetik Bunga cepat-cepat menukik menyelamatkan diri.
Wirapati atau Pendekar Pemetik Bunga jadi beringas pula kini.
“Begawan!” serunya lantang, “jika kau tak hentikan senuigan, terpaksa aku mengadu jiwa dengan kau! Harap jangan menyesal!”
Begawan Citrakarsa tidak perdulikan ucapan bekas muridnya.
Tubuhnya berkelebat cepat. Angin bersiuran, debu beterbangan dan atap rumbia pondok di atas bukit itu terbang bertaburan akibat keras dahsyatnya angin serangan sang Begawan!
Pendekar Pemetik Bunga penasarannya bukan main. Kutuk serapah tiada henti-hentinya dikeluarkan dalam hati. Kalau saja dia tidak memiliki tenaga dalam dan ilmu membentengi tubuh yang tinggi sempurna, pastilah dalam dua jurus saja dirinya sudah konyol mati kena digebuk salah satu lengan sang Begawan atau tersambar asap putih yang panas beracun itu!
Dalam tempo yang singkat, murid dan guru itu sudah bertempur delapan jurus. Keduanya kelihatan sama-sama gesit dan sama-sama lihai.
Namun memasuki jurus kedua belas walau bagaimanapun Pendekar Pemetik Bunga tiada sanggup lagi bertahan. Sekali tubuhnya kena dilanda jotosan Begawan Citrakarsa, tubuhnya mencelat mental membobolkan dinding kajang dan melingkar di lantai tanah dalam pondok!
Begawan Citrakarsa tidak menunggu sampai di situ saja. Mulutnya berkomat kamit. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Tangan itu berwarna merah kini.
Dan sewaktu tangan itu dipukulkan ke muka, lidah api yang dahsyat menyambar laksana topan prahara! Dalam sekejapan mata saja pondok itu tenggelam dalam kobaran api! ‘Tamatlah riwayatmu murid terkutuk!,’ Begitu Begawan Citrakarsa membatin. Tapi si orang tua menjadi kaget bukan main sewaktu matanya melihat sosok tubuh bekas muridnya itu berdiri tak jauh dari pondok yang tengah terbakar. Muka Pendekar Pemetik Bunga kelihatan agak pucat tanda jotosan Begawan Citrakarsa tadi telah menyebabkan luka yang cukup parah di bagian dalam tubuhnya!
Begawan Citrakarsa sendiri diam-diam merasa heran melihat pemuda itu masih sanggup berdiri meski dengan muka pucat pasi.
Jotosan yang dilancarkan tadi mempergunakan hampir setengah bagian tenaga dalamnya, namun pemuda itu tidak menemui ajalnya! Apakah selama turun gunung malang melintang berbuat kejahatan bekas muridnya itu juga telah memperdalam ilmu silat dan ilmu kesaktiannya?!
Begawan Citrakarsa tidak mau menunggu lebih lama. Tidak mau memberi kesempatan. Makin lekas dia berhasil membunuh muridnya itu, berarti makin cepat dia mencuci tangan dan membersihkan diri dari rasa malu yang melekat selama ini! Karenanya sang Begawan segera melompat ke muka kembali, menyerbu laksana seekor singa jalang yang kelaparan!
Dari jarak beberapa meter sebelum tubuhnya sampai kehadapan si pemuda, Begawan Citrakarsa sudah lancarkan dua pukulan dan dua tendangan jarak jauh yang hebat!
Pendekar Pemetik Bunga saat itu tengah alirkan tenaga dalam kebagian dada yang terluka dan atur jalan darah serta nafas. Melihat datangnya serangan ini dia terpaksa menghindar cepat sambil melepaskan pukulan “Tapak Jagat”.
Begawan Citrakarsa tertawa mengejek. Ilmu pukulan ‘Tapak Jagat’ itu dialah yang menciptakan dan mewariskan kepada Wirapati, masakan kini mempan dipakai untuk melawan penciptanya sendiri. Namun tawa mengejek si orang tua berubah dengan keterkejutan!
Begawan Citrakarsa sampai mengeluarkan seruan tertahan. Angin pukulan yang ditimbulkan oleh pukulan ‘Tapak Jagat” itu dahsyatnya bukan main, lebih dahsyat daripada jika dia sendiri yang melepaskannya! Padahal Wirapati saat itu diketahuinya sedang terluka akibat jotosannya tadi!
Jelaslah si pemuda benar-benar telah menuntut ilmu kesaktian pada seorang tokoh utama dunia persilatan selama dia malang melintang dua tahun belakangan ini!
Si orang tua kini tidak mau memberi ampun lagi dan tak mau memperpanjang waktu! Lengking yang menggidikkan ke luar dari tenggorokannya. Bumi laksana dilanda lindu. Telinga Pendekar Pemetik Bunga laksana ditusuk dan kepalanya berdenyut pusing! Lengkingan yang ke luar dari mulut Begawan Citrakarsa tiada kunjung henti sedang tubuh orang tua ini boleh dikatakan sama sekali tidak kelihatan lagi ujudnya, hanya bayangannya saja yang laksana angin bergulung-gulung menyelimuti tubuh Pendekar Pemetik Bunga. Dan di antara angin serangan yang bergulung-gulung itu serangan kaki tangan datang laksana hujan membadai! Inilah ilmu ciptaan Begawan Citrakarsa yang dinamakan “Seribu Angin Seribu Badai” Hebatnya memang bukan alang kepalang!
Tapi sang Begawan jadi komat kamit beringas sewaktu dua jurus berlalu dan tak satu jotosan atau hantaman lengan ataupun tendangan kakinya yang berhasil mengenai tubuh lawan. Malah tiba-tiba dirasakannya dia laksana menyerang gunung batu yang menjungkir balikkan kembali setiap serangannya sedang sambaran angin aneh terasa memengapkan liang hidung serta tenggorokannya! Orang tua ini terpaksa tutup jalan nafas dan melompat ke luar dari kalangan pertempuran.
Dilihatnya bekas muridnya itu berlutut di tanah sedang tangannya kiri kanan tiada hentinya mengebut-ngebutkan tepi jubah hitamnya. Dari tepi jubah hitam itulah ke luar angin pengap yang ganas, membuat sang Begawan tidak berani kembali menyerang atau mendekat!
Tiba-tiba Begawan ini ingat pada ilmu “Asap Putih Pencari Raga” yang dimilikinya serta diyakininya selama tujuh tahun! Cepat-cepat dia melentingkan kedua telapak tangan ke muka.
Didahului oleh teriakan menggeledek maka dua larik asap putih yang menyilaukan melesat ke muka. Setengah jalan dua larikan asap itu berpencar menjadi dua lusin dan kedua lusinnya menyerang ke arah dua puluh empat jalan darah kematian di tubuh Pendekar Pemetik Bunga!
Pendekar Pemetik Bunga kebutkan tepi jubahnya sekencang-kencangnya dan cepat bergulingan di tanah. Untung sekali dia telah berguling menjauh begitu rupa karena angin pengap yang dilepaskannya tadi kali ini tiada sanggup menahan serangan “Asap Putih Pencari Raga” yang dilepaskan Begawan Citrakarsa. Dan ketika pemuda itu berdiri lalu menoleh cepat ke tanah bekas tempat dia berada waktu diserang tadi, mau tak mau keringat dingin memercik dikuduknya! Betapakah tidak! Di tanah mata kepalanya sendiri menyaksikan 24 buah lobang sedalam setengah jengkal akibat serangan bekas gurunya tadi! Sang Begawan mengeluarkan tertawa mengekeh.
“Kematianmu sudah hampir dekat murid terkutuk!,” katanya. “Setan neraka mungkin sudah tak sabar menunggumu. Cacing-cacing kuburan tentu ingin lekas-lekas menggerogoti dagingmu…!”
“Orang tua gendeng! Jangan bermulut besar bicara ngaco! Sekali aku bilang mengadu nyawa padamu, jangan harap kau bisa membunuhku tanpa kau punya nyawa anjing juga turut minggat ke neraka jahanam!” Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga cabut bunga kuning yang terbuat dari kertas dari balik ikatan rambut di kepalanya!
“Ooo… bunga kertas buruk itukah yang kau andalkan untuk membunuhku?!” ejek Begawan Citrakarsa dengan memencongkan hidung.
“Kau boleh mengejek kunyuk keriput!” serapah Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga. “Sebentar lagi roh busukmu akan terbang dibawa bunga maut ini!”
“Cuma bunga kertas mainan bocah-bocah siapa takutkan?!” ejek Begawan Citrakarsa dan dengan serta merta dia kiblatkan kedua tangannya, kembali memancarkan serangan “Asap Putih Pencari Raga.”
Kali ini Pendekar Pemetik Bunga tidak menghindar. Dia berdiri menunggu. Pada saat asap putih hendak memancar seperti tadi, dengan cepat pemuda itu menekan tangkai bunga kertas yang dipegangnya. Serta merta bertaburanlah gulungan sinar kuning. Bila asap putih dan sinar kuning itu bertemu di udara maka terdengarlah suara berdentum yang amat dahsyat. Jagat laksana goncang. Asap putih dan sinar kuning berpalun-palun, gelung menggelung laksana beberapa ekor ular raksasa yang tengah berkelahi gigit menggigit! Asap putih lambat laun lenyap dirambas dan ditelan sinar kuning untuk kemudian terus menyerang Begawan Citrakarsa. Kejut orang tua sakti ini bukan alang kepalang. Dia melompat ke samping tapi agak terlambat karena sebagian lengan kirinya kena tersambar sinar kuning itu! Dengan serta merta lengan sang Begawan menjadi kuning pekat!
Pendekar Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak.
“Sinar kuning itu mengandung racun dahsyat! Dalam tempo satu jam nyawamu pasti konyol!”
Begawan Citrakarsa mengambil sebutir pil dan menelannya dengan cepat.
“Ha… ha, jangankan pil tahi kambing itu! Obat dari kayanganpun tak bakal sanggup memunah racun dilenganmu itu. Begawan goblok!”
Naik darah si orang tua meluap sampai ke kepala. Mukanya kelam membesi. Racun kuning ditangan kirinya dirasakannya mulai merambas mendekati pangkal bahu. Tak ayal lagi Begawan Citrakarsa pergunakan tangan kanannya memutar dan membetot lengan kirinya itu!
“Kraak!”
Sungguh menggidikkan sewaktu persendian bahu itu lepas dan daging berserabutan, urat-urat berbusaian menyemburkan darah! Pendekar Pemetik Bunga sendiri meremang bulu kuduknya melihat perbuatan sang Begawan!
“Jangan kira meski aku cuma dengan satu tangan kini kau bisa lepas dari kematian, Wirapati keparat!” kata Begawan Citrakarsa.
“Otakmu memang sudah miring, Begawan!” kata Wirapati pula. “Tak satu kekuatanpun yang sanggup menandingi bunga kertas kuning ini!” Begawan Citrakarsa tidak menjawab apa-apa melainkan tangan kanannya menyelinap ke balik selempang kain putih di pinggangnya.
Sebilah keris bereluk dua belas yang memancarkan sinar sangat merah kini tergenggam di tangan Begawan itu. lnilah keris “Pancasoka” yang mempunyai keampuhan luar biasa! Jangankan daging manusia, batu karang pun jika ditusuk pasti akan hancur lebur!
Sebagai bekas murid Begawan Citrakarsa dengan sendirinya Wirapati tahu betul kehebatan senjata ini. Dia meragu apakah kini bunga kertas kuningnya akan sanggup menghadapi keris Pancasoka itu.
Karenanya untuk menjaga segala kemungkinan Pendekar Pemetik Bunga segera membuka ikatan sabuk mutiara milik Kidal Boga yang tempo hari dibunuhnya. “Kau lihat keris ini Wirapati?!”
“Ah… tak usah banyak omong! Majulah biar kau juga dapat kehebatan sabuk mutiara ini!” tukas Wirapati!
Menggelegaklah kemarahan sang Begawan. Dia melompat ke muka.
Keris Pancasoka berkiblat kian kemari. Sinar merah laksana lidah api menyerang ganas. Setiap serangan merupakan rangkaian yang sekaligus menjurus ke arah dua belas bagian tubuh lawan! Inilah kehebatan senjata itu!
Wirapati tidak pula tinggal diam. Sabuk mutiara diputar laksana kitiran. Gelombang angin menderu-deru sedang bunga kertas ditangan kanan tiada hentinya mengeluarkan sinar kuning yang mengandung racun jahat! Namun dua senjata ditangan Wirapati hampir tiada daya menghadapi keris bereluk dua belas di tangan kanan Begawan Citrakarsa.
Ditambah lagi dengan amukan si orang tua yang dahsyatnya bukan olah-olah.
Kalau saja satu tangannya tidak cedera buntung pastilah amukannya itu tak akan tertahan-tahan oleh Wirapati.
Dengan keris ditangan kanan orang tua itu, pertempuran sudah berkecamuk selama enam puluh jurus! Daya tahan dan kegesitan Begawan Citrakarsa meski dirinya sudah terlalu parah memang patut dikagumi! Dalam pada itu dia sudah berhasil pula mendesak dan memepet lawannya sampai kedekat reruntuhan pondok yang terbakar!
Dengan kertakkan geraham kemudian membentak keras, Wirapati percepat gerakannya dan keluarkan jurus-jurus dahsyat yang mengandung tipu-tipu ganas licik mematikan! Tapi Begawan Citrakarsa yang sudah makan asam garam pertempuran yang sudah puluhan tahun punya pengalaman dalam dunia persilatan mana bisa kena ditipu!
“Setan alas!” maki Pendekar Pemetik Bunga. “Kunyuk tua haram jadah,” makinya lagi dalam hati. Dengan mempergunakan jurus “Menyapu Awan Menerjang Mega,” pemuda ini akhirnya melompat ke luar dari kalangan pertempuran!
“Pemuda terkutuk!” teriak Begawan Citrakarsa, “Kau mau lari ke mana?!”
“Aku tidak lari iblis tua!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Dia cepat-cepat tusukkan kembali bunga kertasnya ke sela rambut di kepala, sabuk mutiara tetap dipegang di tangan kiri menjaga segala kemungkinan.
Saat itu jarak antara mereka terpisah sejauh lima meter.
“Begawan keparat! Mari kita buat perjanjian!” Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga ajukan usul.
“Heh, sudah mau hampir mampus bikin segala macam usul! Apakah itu bukan cuma ulur waktu mencari kesempatan lari…?!” ejek Citrakarsa.
“Sompret tua, aku berjanji! Jika kau sanggup terima pukulanku, aku akan bunuh diri dihadapanmu!”
Begawan Citrakarsa tertawa mengekeh-ngekeh. “Bunuh diri terlalu enak buatmu, Pendekar terkutuk!”
Si pemuda penasaran bukan main. Tapi dia berkata lagi, “Kalau begitu kau terpaksa mampus percuma orang tua! Dunia persilatan akan gempar bila mengetahui, seorang tokoh silat bernama Citrakarsa dibunuh oleh muridnya sendiri…!”
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga tertawa panjang dan menggidikkan. Tangan kanannya diacungkan ke muka, mulut berkomat-kamit sedang ibu jari dan telunjuk mendadak dengan cepat berobah menjadi hitam!
Teganglah paras Begawan Citrakarsa. Selama di puncak Gunung Merbabu dia telah mendengar bahwa bekas muridnya yang murtad itu telah memiliki sejenis ilmu yang sangat sakti dan berbahaya! Apakah ini agaknya ilmu kesaktian yang hendak dilancarkannya, hendak dipakai menyerang?!
Jari tetunjuk dan ibu jari Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati semakin hitam legam dan mengeluarkan sinar mengerikan sedang paras sang Begawan semakin tegang, sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga tertawa terus tiada hentinya!
“Ilmu Jari Penghancur Sukma ini sudah menelan puluhan tokoh-tokoh silat!” kata si pemuda yang tiba-tiba hentikan tertawanya, “tokoh-tokoh silat yang tolol geblek sengaja mencari mampus!”
“Hah!” kejut Begawan Citrakarsa. “Murid murtad, dari mana kau dapat ilmu bejat itu?!”
Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga tertawa lagi panjang-panjang.
Jari telunjuk dan ibu jarinya mulai bergerak membentuk lingkaran siap untuk dijentikkan ke muka. Begawan Citrakarsa cepat-cepat alirkan seluruh tenaga dalamnya ke keris yang ditangan kanan sehingga senjata itu menyinarkan cahaya merah yang sepuluh kali menyilaukan dari semula!
Pendekar Pemetik Bunga memperlahan tertawanya. “Selusin keris Pancasoka ditanganmu, tiada nanti kau sanggup menahan serangan jariku ini, Begawan keriput!”
“Laknat terkutuk! Jiwamu atau nyawaku!” teriak Begawan Citrakarsa. Laksana anak panah tubuhnya melesat ke muka. Keris Pancasoka mengiblatkan sinar merah yang dahsyat! Pohon-pohon dan daun-daun di kiri kanan hangus berkepulan. Lidah api yang laksana naga raksasa menyambar dalam kecepatan luar biasa ke arah Pendekar Pemetik Bunga!
Yang diserang mendengus mengejek. Tubuhnya tidak sedikitpun bergerak! Kakinya tak satupun yang bergeser membuat langkah mengelak!
Sebaliknya hanya jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya saja yang tiba-tiba menjentik ke muka. Maka pada detik itu juga didahului oleh angin keras laksana topan prahara, menderulah gelombang sinar hitam, menyapu dan menerjang lidah api keris Pancasoka!
Begawan Citrakarsa yang melihat gelombang apinya membalik menyerang dirinya sendiri berteriak kaget dan melompat ke samping sejauh dua tombak. Tapi dari samping sinar hitam melanda dengan dahsyatnya! Orang tua ini terguling-guling di tanah. Tubuhnya hangus hitam dan mengepulkan bau daging yang terpanggang! Bahkan keris Pancasoka yang saat itu masih tergenggam ditangan kanannya juga hangus menjadi hitam!
Pendekar Pemetik Bunga meringkik macam kuda menjadi jalang melihat dedemit! Kemudian dia tertawa gelak-gelak menyaksikan mayat gurunya yang menggeletak tanpa nyawa beberapa tombak di hadapannya itu! Benar-benar si Wirapati ini murid murtad yang tiada tara kekejamannya!
Tiba-tiba dia memutar tubuh dan tertawa lagi gelak-gelak sewaktu melihat tubuh Galuh Warsih yang masih duduk bersandar di batang pohon, tiada bergerak karena tadi telah ditotoknya. Dia melangkah mendekati gadis itu.
“Dewiku,” katanya seraya berlutut dihadapan Galuh Warsih, “kau sudah lihat bagaimana kehebatanku bukan?”
“Pemuda keparat, pergi! Jangan dekati aku!” teriak Galuh Warsih. Meski dia ditotok dan tubuhnya tak bisa bergerak sedikitpun namun pendengarannya tetap terbuka dan mulutnya masih bisa bicara.
Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Hidungnya kembang kempis.
Nafasnya panas memburu, diburu oleh nafsu yag menggejolak!
Diulurkannya tangannya membelai pipi gadis itu dan Galuh Warsih memaki lagi, menjerit-jerit!
“Kulitmu halus sekali, Galuh.”
“Pemuda setan! Pergi, jangan sentuh tubuhku!” teriak Galuh Warsih.
“Ah… apakah tampangku betul-betul seperti setan?” tanya si pemuda dengan cengar-cengir. Dan dialusnya lagi pipi gadis itu. Galuh Warsih yang karena tidak bisa menggerakkan tangan atau kakinya, penuh kegemasan diludahinya muka pemuda itu. Pendekar Pemetik Bunga malah tertawa. Diambilnya ujung angkin Galuh Warsih, dengan angkin itu disekanya ludah yang membasahi mukanya.
“Ludahmu seharum bunga semanis madu, kenapa musti disembur ke mukaku? Bukankah lebih baik disemburkan ke dalam mulutku? Ha… ha… ha…!”
“Kulit pipimu demikian halusnya, Galuh,” kata si pemuda dan dicuilnya dagu si gadis. “Tentu kulit tubuhmu lebih mulus lagi…”
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga segera elus bahu Galuh Warsih. Berdiri bulu kuduk si gadis sebaliknya semakin menggejolak darah muda Pendekar Pemetik Bunga. Tangan yang mengelus bahu itu kini turun ke dada. Air mata berlelehan di pipi Galuh Warsih. Dia tahu, tak satupun yang bisa dilakukannya menghadapi perlakuan bejat itu. Dia sadar apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Tak sanggup lagi dia menjerit, tak kuasa lagi dia berteriak karena suaranya sudah habis ditelah keparauan!
“Gadis manis, kenapa musti menangis?” tanya Pendekar Pemetik Bunga.
“Pemuda terkutuk…,” suara Galuh Warsih antara terdengar dan tiada, “aku rela dibunuh daripada diperlakukan begini rupa…”
“Heh…?!” Pendekar Pemetik Bunga hela nafas dan kerutkan kening tanda heran. “Kau tahu manis, perempuan-perempuan yang mati gadis kalau dia bisa bicara di liang kubur, pastilah dia minta dihidupkan kembali!
Hidup kembali untuk merasakan kenikmatan hidup antara laki-laki dan perempuan! Kau yang hidup kepingin mati…? Lucu…. Mari dewiku, kini ke balik semak-semak sana! Di situ ada rumput, biar kita bisa tidur bergulung lebih nikmat…!”
“Pergi! Jangan sentuh aku!” suara Galuh Warsih mengandung keputusasaan.
“Oh, kau tak mau ke balik semak-semak itu, Galuh? Tak apa… tak apa… di sinipun aku tak keberatan!” Pendekar Pemetik Bunga ulurkan tangan kanannya kembali dan “breet!”
Kain penutup dada Galuh Warsih robek besar. Dadanya tersingkap lebar. Sepuluh jari tangan Pendekar Pemetik Bunga dengan terkutuknya laksana gila menggerayang menjamahi dada itu. meremas seakan-akan hendak menghancur luluhkannya!
“Hormat nenek moyangmu!” maki Begawan Citrakarsa beringas. Kedua tangannya kembali melesatkan buntalan sinar putih. Pendekar Pemetik Bunga cepat-cepat menukik menyelamatkan diri.
Wirapati atau Pendekar Pemetik Bunga jadi beringas pula kini.
“Begawan!” serunya lantang, “jika kau tak hentikan senuigan, terpaksa aku mengadu jiwa dengan kau! Harap jangan menyesal!”
Begawan Citrakarsa tidak perdulikan ucapan bekas muridnya.
Tubuhnya berkelebat cepat. Angin bersiuran, debu beterbangan dan atap rumbia pondok di atas bukit itu terbang bertaburan akibat keras dahsyatnya angin serangan sang Begawan!
Pendekar Pemetik Bunga penasarannya bukan main. Kutuk serapah tiada henti-hentinya dikeluarkan dalam hati. Kalau saja dia tidak memiliki tenaga dalam dan ilmu membentengi tubuh yang tinggi sempurna, pastilah dalam dua jurus saja dirinya sudah konyol mati kena digebuk salah satu lengan sang Begawan atau tersambar asap putih yang panas beracun itu!
Dalam tempo yang singkat, murid dan guru itu sudah bertempur delapan jurus. Keduanya kelihatan sama-sama gesit dan sama-sama lihai.
Namun memasuki jurus kedua belas walau bagaimanapun Pendekar Pemetik Bunga tiada sanggup lagi bertahan. Sekali tubuhnya kena dilanda jotosan Begawan Citrakarsa, tubuhnya mencelat mental membobolkan dinding kajang dan melingkar di lantai tanah dalam pondok!
Begawan Citrakarsa tidak menunggu sampai di situ saja. Mulutnya berkomat kamit. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Tangan itu berwarna merah kini.
Dan sewaktu tangan itu dipukulkan ke muka, lidah api yang dahsyat menyambar laksana topan prahara! Dalam sekejapan mata saja pondok itu tenggelam dalam kobaran api! ‘Tamatlah riwayatmu murid terkutuk!,’ Begitu Begawan Citrakarsa membatin. Tapi si orang tua menjadi kaget bukan main sewaktu matanya melihat sosok tubuh bekas muridnya itu berdiri tak jauh dari pondok yang tengah terbakar. Muka Pendekar Pemetik Bunga kelihatan agak pucat tanda jotosan Begawan Citrakarsa tadi telah menyebabkan luka yang cukup parah di bagian dalam tubuhnya!
Begawan Citrakarsa sendiri diam-diam merasa heran melihat pemuda itu masih sanggup berdiri meski dengan muka pucat pasi.
Jotosan yang dilancarkan tadi mempergunakan hampir setengah bagian tenaga dalamnya, namun pemuda itu tidak menemui ajalnya! Apakah selama turun gunung malang melintang berbuat kejahatan bekas muridnya itu juga telah memperdalam ilmu silat dan ilmu kesaktiannya?!
Begawan Citrakarsa tidak mau menunggu lebih lama. Tidak mau memberi kesempatan. Makin lekas dia berhasil membunuh muridnya itu, berarti makin cepat dia mencuci tangan dan membersihkan diri dari rasa malu yang melekat selama ini! Karenanya sang Begawan segera melompat ke muka kembali, menyerbu laksana seekor singa jalang yang kelaparan!
Dari jarak beberapa meter sebelum tubuhnya sampai kehadapan si pemuda, Begawan Citrakarsa sudah lancarkan dua pukulan dan dua tendangan jarak jauh yang hebat!
Pendekar Pemetik Bunga saat itu tengah alirkan tenaga dalam kebagian dada yang terluka dan atur jalan darah serta nafas. Melihat datangnya serangan ini dia terpaksa menghindar cepat sambil melepaskan pukulan “Tapak Jagat”.
Begawan Citrakarsa tertawa mengejek. Ilmu pukulan ‘Tapak Jagat’ itu dialah yang menciptakan dan mewariskan kepada Wirapati, masakan kini mempan dipakai untuk melawan penciptanya sendiri. Namun tawa mengejek si orang tua berubah dengan keterkejutan!
Begawan Citrakarsa sampai mengeluarkan seruan tertahan. Angin pukulan yang ditimbulkan oleh pukulan ‘Tapak Jagat” itu dahsyatnya bukan main, lebih dahsyat daripada jika dia sendiri yang melepaskannya! Padahal Wirapati saat itu diketahuinya sedang terluka akibat jotosannya tadi!
Jelaslah si pemuda benar-benar telah menuntut ilmu kesaktian pada seorang tokoh utama dunia persilatan selama dia malang melintang dua tahun belakangan ini!
Si orang tua kini tidak mau memberi ampun lagi dan tak mau memperpanjang waktu! Lengking yang menggidikkan ke luar dari tenggorokannya. Bumi laksana dilanda lindu. Telinga Pendekar Pemetik Bunga laksana ditusuk dan kepalanya berdenyut pusing! Lengkingan yang ke luar dari mulut Begawan Citrakarsa tiada kunjung henti sedang tubuh orang tua ini boleh dikatakan sama sekali tidak kelihatan lagi ujudnya, hanya bayangannya saja yang laksana angin bergulung-gulung menyelimuti tubuh Pendekar Pemetik Bunga. Dan di antara angin serangan yang bergulung-gulung itu serangan kaki tangan datang laksana hujan membadai! Inilah ilmu ciptaan Begawan Citrakarsa yang dinamakan “Seribu Angin Seribu Badai” Hebatnya memang bukan alang kepalang!
Tapi sang Begawan jadi komat kamit beringas sewaktu dua jurus berlalu dan tak satu jotosan atau hantaman lengan ataupun tendangan kakinya yang berhasil mengenai tubuh lawan. Malah tiba-tiba dirasakannya dia laksana menyerang gunung batu yang menjungkir balikkan kembali setiap serangannya sedang sambaran angin aneh terasa memengapkan liang hidung serta tenggorokannya! Orang tua ini terpaksa tutup jalan nafas dan melompat ke luar dari kalangan pertempuran.
Dilihatnya bekas muridnya itu berlutut di tanah sedang tangannya kiri kanan tiada hentinya mengebut-ngebutkan tepi jubah hitamnya. Dari tepi jubah hitam itulah ke luar angin pengap yang ganas, membuat sang Begawan tidak berani kembali menyerang atau mendekat!
Tiba-tiba Begawan ini ingat pada ilmu “Asap Putih Pencari Raga” yang dimilikinya serta diyakininya selama tujuh tahun! Cepat-cepat dia melentingkan kedua telapak tangan ke muka.
Didahului oleh teriakan menggeledek maka dua larik asap putih yang menyilaukan melesat ke muka. Setengah jalan dua larikan asap itu berpencar menjadi dua lusin dan kedua lusinnya menyerang ke arah dua puluh empat jalan darah kematian di tubuh Pendekar Pemetik Bunga!
Pendekar Pemetik Bunga kebutkan tepi jubahnya sekencang-kencangnya dan cepat bergulingan di tanah. Untung sekali dia telah berguling menjauh begitu rupa karena angin pengap yang dilepaskannya tadi kali ini tiada sanggup menahan serangan “Asap Putih Pencari Raga” yang dilepaskan Begawan Citrakarsa. Dan ketika pemuda itu berdiri lalu menoleh cepat ke tanah bekas tempat dia berada waktu diserang tadi, mau tak mau keringat dingin memercik dikuduknya! Betapakah tidak! Di tanah mata kepalanya sendiri menyaksikan 24 buah lobang sedalam setengah jengkal akibat serangan bekas gurunya tadi! Sang Begawan mengeluarkan tertawa mengekeh.
“Kematianmu sudah hampir dekat murid terkutuk!,” katanya. “Setan neraka mungkin sudah tak sabar menunggumu. Cacing-cacing kuburan tentu ingin lekas-lekas menggerogoti dagingmu…!”
“Orang tua gendeng! Jangan bermulut besar bicara ngaco! Sekali aku bilang mengadu nyawa padamu, jangan harap kau bisa membunuhku tanpa kau punya nyawa anjing juga turut minggat ke neraka jahanam!” Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga cabut bunga kuning yang terbuat dari kertas dari balik ikatan rambut di kepalanya!
“Ooo… bunga kertas buruk itukah yang kau andalkan untuk membunuhku?!” ejek Begawan Citrakarsa dengan memencongkan hidung.
“Kau boleh mengejek kunyuk keriput!” serapah Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga. “Sebentar lagi roh busukmu akan terbang dibawa bunga maut ini!”
“Cuma bunga kertas mainan bocah-bocah siapa takutkan?!” ejek Begawan Citrakarsa dan dengan serta merta dia kiblatkan kedua tangannya, kembali memancarkan serangan “Asap Putih Pencari Raga.”
Kali ini Pendekar Pemetik Bunga tidak menghindar. Dia berdiri menunggu. Pada saat asap putih hendak memancar seperti tadi, dengan cepat pemuda itu menekan tangkai bunga kertas yang dipegangnya. Serta merta bertaburanlah gulungan sinar kuning. Bila asap putih dan sinar kuning itu bertemu di udara maka terdengarlah suara berdentum yang amat dahsyat. Jagat laksana goncang. Asap putih dan sinar kuning berpalun-palun, gelung menggelung laksana beberapa ekor ular raksasa yang tengah berkelahi gigit menggigit! Asap putih lambat laun lenyap dirambas dan ditelan sinar kuning untuk kemudian terus menyerang Begawan Citrakarsa. Kejut orang tua sakti ini bukan alang kepalang. Dia melompat ke samping tapi agak terlambat karena sebagian lengan kirinya kena tersambar sinar kuning itu! Dengan serta merta lengan sang Begawan menjadi kuning pekat!
Pendekar Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak.
“Sinar kuning itu mengandung racun dahsyat! Dalam tempo satu jam nyawamu pasti konyol!”
Begawan Citrakarsa mengambil sebutir pil dan menelannya dengan cepat.
“Ha… ha, jangankan pil tahi kambing itu! Obat dari kayanganpun tak bakal sanggup memunah racun dilenganmu itu. Begawan goblok!”
Naik darah si orang tua meluap sampai ke kepala. Mukanya kelam membesi. Racun kuning ditangan kirinya dirasakannya mulai merambas mendekati pangkal bahu. Tak ayal lagi Begawan Citrakarsa pergunakan tangan kanannya memutar dan membetot lengan kirinya itu!
“Kraak!”
Sungguh menggidikkan sewaktu persendian bahu itu lepas dan daging berserabutan, urat-urat berbusaian menyemburkan darah! Pendekar Pemetik Bunga sendiri meremang bulu kuduknya melihat perbuatan sang Begawan!
“Jangan kira meski aku cuma dengan satu tangan kini kau bisa lepas dari kematian, Wirapati keparat!” kata Begawan Citrakarsa.
“Otakmu memang sudah miring, Begawan!” kata Wirapati pula. “Tak satu kekuatanpun yang sanggup menandingi bunga kertas kuning ini!” Begawan Citrakarsa tidak menjawab apa-apa melainkan tangan kanannya menyelinap ke balik selempang kain putih di pinggangnya.
Sebilah keris bereluk dua belas yang memancarkan sinar sangat merah kini tergenggam di tangan Begawan itu. lnilah keris “Pancasoka” yang mempunyai keampuhan luar biasa! Jangankan daging manusia, batu karang pun jika ditusuk pasti akan hancur lebur!
Sebagai bekas murid Begawan Citrakarsa dengan sendirinya Wirapati tahu betul kehebatan senjata ini. Dia meragu apakah kini bunga kertas kuningnya akan sanggup menghadapi keris Pancasoka itu.
Karenanya untuk menjaga segala kemungkinan Pendekar Pemetik Bunga segera membuka ikatan sabuk mutiara milik Kidal Boga yang tempo hari dibunuhnya. “Kau lihat keris ini Wirapati?!”
“Ah… tak usah banyak omong! Majulah biar kau juga dapat kehebatan sabuk mutiara ini!” tukas Wirapati!
Menggelegaklah kemarahan sang Begawan. Dia melompat ke muka.
Keris Pancasoka berkiblat kian kemari. Sinar merah laksana lidah api menyerang ganas. Setiap serangan merupakan rangkaian yang sekaligus menjurus ke arah dua belas bagian tubuh lawan! Inilah kehebatan senjata itu!
Wirapati tidak pula tinggal diam. Sabuk mutiara diputar laksana kitiran. Gelombang angin menderu-deru sedang bunga kertas ditangan kanan tiada hentinya mengeluarkan sinar kuning yang mengandung racun jahat! Namun dua senjata ditangan Wirapati hampir tiada daya menghadapi keris bereluk dua belas di tangan kanan Begawan Citrakarsa.
Ditambah lagi dengan amukan si orang tua yang dahsyatnya bukan olah-olah.
Kalau saja satu tangannya tidak cedera buntung pastilah amukannya itu tak akan tertahan-tahan oleh Wirapati.
Dengan keris ditangan kanan orang tua itu, pertempuran sudah berkecamuk selama enam puluh jurus! Daya tahan dan kegesitan Begawan Citrakarsa meski dirinya sudah terlalu parah memang patut dikagumi! Dalam pada itu dia sudah berhasil pula mendesak dan memepet lawannya sampai kedekat reruntuhan pondok yang terbakar!
Dengan kertakkan geraham kemudian membentak keras, Wirapati percepat gerakannya dan keluarkan jurus-jurus dahsyat yang mengandung tipu-tipu ganas licik mematikan! Tapi Begawan Citrakarsa yang sudah makan asam garam pertempuran yang sudah puluhan tahun punya pengalaman dalam dunia persilatan mana bisa kena ditipu!
“Setan alas!” maki Pendekar Pemetik Bunga. “Kunyuk tua haram jadah,” makinya lagi dalam hati. Dengan mempergunakan jurus “Menyapu Awan Menerjang Mega,” pemuda ini akhirnya melompat ke luar dari kalangan pertempuran!
“Pemuda terkutuk!” teriak Begawan Citrakarsa, “Kau mau lari ke mana?!”
“Aku tidak lari iblis tua!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Dia cepat-cepat tusukkan kembali bunga kertasnya ke sela rambut di kepala, sabuk mutiara tetap dipegang di tangan kiri menjaga segala kemungkinan.
Saat itu jarak antara mereka terpisah sejauh lima meter.
“Begawan keparat! Mari kita buat perjanjian!” Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga ajukan usul.
“Heh, sudah mau hampir mampus bikin segala macam usul! Apakah itu bukan cuma ulur waktu mencari kesempatan lari…?!” ejek Citrakarsa.
“Sompret tua, aku berjanji! Jika kau sanggup terima pukulanku, aku akan bunuh diri dihadapanmu!”
Begawan Citrakarsa tertawa mengekeh-ngekeh. “Bunuh diri terlalu enak buatmu, Pendekar terkutuk!”
Si pemuda penasaran bukan main. Tapi dia berkata lagi, “Kalau begitu kau terpaksa mampus percuma orang tua! Dunia persilatan akan gempar bila mengetahui, seorang tokoh silat bernama Citrakarsa dibunuh oleh muridnya sendiri…!”
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga tertawa panjang dan menggidikkan. Tangan kanannya diacungkan ke muka, mulut berkomat-kamit sedang ibu jari dan telunjuk mendadak dengan cepat berobah menjadi hitam!
Teganglah paras Begawan Citrakarsa. Selama di puncak Gunung Merbabu dia telah mendengar bahwa bekas muridnya yang murtad itu telah memiliki sejenis ilmu yang sangat sakti dan berbahaya! Apakah ini agaknya ilmu kesaktian yang hendak dilancarkannya, hendak dipakai menyerang?!
Jari tetunjuk dan ibu jari Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati semakin hitam legam dan mengeluarkan sinar mengerikan sedang paras sang Begawan semakin tegang, sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga tertawa terus tiada hentinya!
“Ilmu Jari Penghancur Sukma ini sudah menelan puluhan tokoh-tokoh silat!” kata si pemuda yang tiba-tiba hentikan tertawanya, “tokoh-tokoh silat yang tolol geblek sengaja mencari mampus!”
“Hah!” kejut Begawan Citrakarsa. “Murid murtad, dari mana kau dapat ilmu bejat itu?!”
Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga tertawa lagi panjang-panjang.
Jari telunjuk dan ibu jarinya mulai bergerak membentuk lingkaran siap untuk dijentikkan ke muka. Begawan Citrakarsa cepat-cepat alirkan seluruh tenaga dalamnya ke keris yang ditangan kanan sehingga senjata itu menyinarkan cahaya merah yang sepuluh kali menyilaukan dari semula!
Pendekar Pemetik Bunga memperlahan tertawanya. “Selusin keris Pancasoka ditanganmu, tiada nanti kau sanggup menahan serangan jariku ini, Begawan keriput!”
“Laknat terkutuk! Jiwamu atau nyawaku!” teriak Begawan Citrakarsa. Laksana anak panah tubuhnya melesat ke muka. Keris Pancasoka mengiblatkan sinar merah yang dahsyat! Pohon-pohon dan daun-daun di kiri kanan hangus berkepulan. Lidah api yang laksana naga raksasa menyambar dalam kecepatan luar biasa ke arah Pendekar Pemetik Bunga!
Yang diserang mendengus mengejek. Tubuhnya tidak sedikitpun bergerak! Kakinya tak satupun yang bergeser membuat langkah mengelak!
Sebaliknya hanya jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya saja yang tiba-tiba menjentik ke muka. Maka pada detik itu juga didahului oleh angin keras laksana topan prahara, menderulah gelombang sinar hitam, menyapu dan menerjang lidah api keris Pancasoka!
Begawan Citrakarsa yang melihat gelombang apinya membalik menyerang dirinya sendiri berteriak kaget dan melompat ke samping sejauh dua tombak. Tapi dari samping sinar hitam melanda dengan dahsyatnya! Orang tua ini terguling-guling di tanah. Tubuhnya hangus hitam dan mengepulkan bau daging yang terpanggang! Bahkan keris Pancasoka yang saat itu masih tergenggam ditangan kanannya juga hangus menjadi hitam!
Pendekar Pemetik Bunga meringkik macam kuda menjadi jalang melihat dedemit! Kemudian dia tertawa gelak-gelak menyaksikan mayat gurunya yang menggeletak tanpa nyawa beberapa tombak di hadapannya itu! Benar-benar si Wirapati ini murid murtad yang tiada tara kekejamannya!
Tiba-tiba dia memutar tubuh dan tertawa lagi gelak-gelak sewaktu melihat tubuh Galuh Warsih yang masih duduk bersandar di batang pohon, tiada bergerak karena tadi telah ditotoknya. Dia melangkah mendekati gadis itu.
“Dewiku,” katanya seraya berlutut dihadapan Galuh Warsih, “kau sudah lihat bagaimana kehebatanku bukan?”
“Pemuda keparat, pergi! Jangan dekati aku!” teriak Galuh Warsih. Meski dia ditotok dan tubuhnya tak bisa bergerak sedikitpun namun pendengarannya tetap terbuka dan mulutnya masih bisa bicara.
Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Hidungnya kembang kempis.
Nafasnya panas memburu, diburu oleh nafsu yag menggejolak!
Diulurkannya tangannya membelai pipi gadis itu dan Galuh Warsih memaki lagi, menjerit-jerit!
“Kulitmu halus sekali, Galuh.”
“Pemuda setan! Pergi, jangan sentuh tubuhku!” teriak Galuh Warsih.
“Ah… apakah tampangku betul-betul seperti setan?” tanya si pemuda dengan cengar-cengir. Dan dialusnya lagi pipi gadis itu. Galuh Warsih yang karena tidak bisa menggerakkan tangan atau kakinya, penuh kegemasan diludahinya muka pemuda itu. Pendekar Pemetik Bunga malah tertawa. Diambilnya ujung angkin Galuh Warsih, dengan angkin itu disekanya ludah yang membasahi mukanya.
“Ludahmu seharum bunga semanis madu, kenapa musti disembur ke mukaku? Bukankah lebih baik disemburkan ke dalam mulutku? Ha… ha… ha…!”
“Kulit pipimu demikian halusnya, Galuh,” kata si pemuda dan dicuilnya dagu si gadis. “Tentu kulit tubuhmu lebih mulus lagi…”
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga segera elus bahu Galuh Warsih. Berdiri bulu kuduk si gadis sebaliknya semakin menggejolak darah muda Pendekar Pemetik Bunga. Tangan yang mengelus bahu itu kini turun ke dada. Air mata berlelehan di pipi Galuh Warsih. Dia tahu, tak satupun yang bisa dilakukannya menghadapi perlakuan bejat itu. Dia sadar apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Tak sanggup lagi dia menjerit, tak kuasa lagi dia berteriak karena suaranya sudah habis ditelah keparauan!
“Gadis manis, kenapa musti menangis?” tanya Pendekar Pemetik Bunga.
“Pemuda terkutuk…,” suara Galuh Warsih antara terdengar dan tiada, “aku rela dibunuh daripada diperlakukan begini rupa…”
“Heh…?!” Pendekar Pemetik Bunga hela nafas dan kerutkan kening tanda heran. “Kau tahu manis, perempuan-perempuan yang mati gadis kalau dia bisa bicara di liang kubur, pastilah dia minta dihidupkan kembali!
Hidup kembali untuk merasakan kenikmatan hidup antara laki-laki dan perempuan! Kau yang hidup kepingin mati…? Lucu…. Mari dewiku, kini ke balik semak-semak sana! Di situ ada rumput, biar kita bisa tidur bergulung lebih nikmat…!”
“Pergi! Jangan sentuh aku!” suara Galuh Warsih mengandung keputusasaan.
“Oh, kau tak mau ke balik semak-semak itu, Galuh? Tak apa… tak apa… di sinipun aku tak keberatan!” Pendekar Pemetik Bunga ulurkan tangan kanannya kembali dan “breet!”
Kain penutup dada Galuh Warsih robek besar. Dadanya tersingkap lebar. Sepuluh jari tangan Pendekar Pemetik Bunga dengan terkutuknya laksana gila menggerayang menjamahi dada itu. meremas seakan-akan hendak menghancur luluhkannya!
Sejak kemarin senja sampai siang hari itu Kadipaten Kaliurang tampak sibuk sekali. Senja kemarin lima orang pembantu Bupati Sentot Sastra telah dikirim ke Kaliprogo wetan untuk menyelidiki kenapa Galuh Warsih sampai sesenja itu tidak kunjung muncul di Kaliurang. Pada tengah malam kelima pembantu Bupati yang menunggangi kuda itu berhenti di satu tikungan di lamping bukit. Di bawah penerangan bintang-bintang dan bulan sabit mereka menyaksikan tebaran mayat pengawal-pengawal Bupati yang adalah juga kawan-kawan mereka. Semuanya mati dalam cara yang mengenaskan dan menggidikkan. Sebagian besar hancur kepalanya atau bobol dada serta perutnya. Kereta yang menjadi tumpangan anak gadis Bupati Sentot Sastra angsrok di tengah jalan sedang dua ekor kuda penarik kereta hancur keempat kaki masing-masing! Ketika seorang diantara yang lima itu meloncat turun dan memeriksa kereta, ternyata kereta itu kosong.
“Aku tidak melihat Tegal Ireng!” kata salah seorang dari mereka.
“Aku juga! Di mana kusir kereta itu?”
“Mungkin dia satu-satunya yang selamat… “
Tapi ketika menyelidik ke tikungan yang menurun di sebelah sana mereka kemudian menemui mayat kusir kereta itu menggeletak menelungkup di tanah tanpa nyawa!
“Aku tak dapat menduga apa yang sesungguhnya terjadi di sini! Kalau rombongan Den Ayu Galuh Warsih dihadang perampok, mengapa kawan-kawan kita mati dalam keadaan demikian rupa? Dan kaki-kaki kuda yang hancur itu?!”
“Aku sendiri tak dapat membayangkan apa yang terjadi dengan Den Ayu Galuh Warsih,” menyahuti pembantu Bupati Kaliurang yarg lain, “Dia diculik, itu pasti sudah!”
“Diculik dan dirusak kehormatannya?!” menambahkan yang lain. “Kalau begitu kita harus cari jejak-jejak si penculik!”
“Di malam buta begini bukan pekerjaan mudah mencari jejak-jejak manusia! Lagi pula siapapun manusia-manusianya yang melakukan perbuatan biadab ini pastilah dia berilmu Tinggi! Orang berilmu tinggi tidak terlalu bodoh untuk mau tinggalkan jejak!”
“Lantas kita bikin apa kalau sudah begini?!”
“Kembali saja ke Kaliurang dan beri keterangan pada Bupati Sentot?”
“Kalau kau mau disemprot, kembalilah sendiri!”
Sepi beberapa lamanya. Kesepian yang membuat bulu kuduk kelima orang itu menggerinding, ditambah lagi dengan tiupan angin bukit di malam buta yang dingin itu.
“Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan ke Kaliprogo wetan,” mengusulkan seseorang.
Tapi tak ada seorangpun yang menerima dan menyetujui usul itu.
Kelimanya kemudian mencari tempat yang baik, agak jauh dari tikungan jalan, menyalakan api unggun, berkemah di situ menunggu sampai pagi.
Esok paginya, dengan sedapat-dapatnya kelima orang itu memperbaiki kereta yang rusak. Mayat kawan-kawan mereka yang berjumlah dua belas ditumpuk sebisa-bisanya di dalam dan di atas atap kereta. Dua diantara lima pembantu Bupati itu duduk di depan kereta, satu memegang kendali. Kuda keduanya dipakai sebagai kuda-kuda penarik kereta karena kuda-kuda milik kawan-kawan mereka yang menemui ajal itu tak seekorpun yang hidup dan ada sekitar situ!
Kedatangan kelima orang itu dengan membawa kereta yang ditumpuki dua belas mayat yang mengerikan tentu saja menggemparkan seisi Kadipaten, bahkan menggemparkan seluruh Kaliurang!
Wajah Bupati Sentot Sastra membeku mengelam. Kedua tangannya mengepal. Dia melangkah mundar mandir. Kepanikan yang amat sangat membuat dia tak sanggup membuka mulut! Sebaliknya di dalam kamar istrinya terdengar menangis meraung-raung.
“Mana anakku! Mana anakku!” pekik ratap perempuan itu. “Galuh! Galuh Warsih, di mana kau anak? Oh Galuh! Tuhan! Di mana anakku Tuhan”
Tenggorokan Bupati Sentot Sastra turun naik. Dadanya menggelora.
Kematian kedua belas pengawal Kadipaten itu membuat kepalanya serasa mau pecah oleh luapan darah! Di samping itu yang membuat dia tak bisa diam dan seperti mau gila ialah karena tidak mengetahui di mana anak gadisnya saat itu atau apa yang telah terjadi dengan Galuh Warsih! Melihat kepada kenyataan yang terjadi, pasti nasib Galuh Warsih tidak lebih baik dari kedua belas anak buahnya itu! Kepada siapakah kemarahan yang meluap itu hendak dilepaskannya? Hendak dilampiaskannya?!
Laki-laki ini melangkah terus mundar mandir! Setahunya sekitar perjalanan antara Kaliurang dan Kaliprogo wetan tak ada gerombolan rampok jahat! Lantas siapakah yang telah melakukan kebiadaban terkutuk itu?! Siapa yang menculik anak gadisnya? Anak tunggal satu-satunya yang menjadi kesayangan tambatan hati?! Dan sementara itu telinganya tiada henti mendengar ratap tangis istrinya yang bukan saja menyayat hati tapi juga membuat darah di dalam tubuhnya semakin bergejolak mendidih!
Di langkan kadipaten itu, pada sisi-sisi tangga sebelah atas terdapat masing-masing sebuah arca Batara Wisnu yang duduk di atas seekor burung rajawali yang tengah mengembangkan sayapnya. Mungkin karena luapan amarah yang tak terkendalikan dan tak tentu kepada siapa dilampiaskan, ditambah pula mendengar ratap tangis istrinya di dalam, maka sewaktu melawati arca itu untuk kesekian kalinya, tiba-tiba Bupati Sentot Sastra menghantamkan tinju kanannya!
“Braak!”
Arca Batara Wisnu hancur berkeping-keping! Itulah ilmu pukulan “Genta Kematian.” Kalau arca batu yang keras itu sekali pukul saja sanggup dibikin hancur berkeping-keping, maka jika dipukulkan kepada manusia tentulah tak dapat dibayangkan bagaimana akibatnya!
Sementara itu, para pembantu Sentot Sastra yang berdiri dilangkan Kadipaten itu masing-masing sama merasa takut dan cemas. Khawatir mereka kalau-kalau dalam amarah gelap mata seperti itu, diri mereka pula yang bakal ketiban pulung dihantam sang Bupati!
Tiba-tiba laksana halilintar di siang hari layaknya berteriaklah Sentot Sastra. Semua pembantu-pembantunya yang berjumlah lima belas orang diperintahkannya untuk bersiap-siap.
“Kita akan ulangi lagi penyelidikan!” teriaknya.
“Kau Darjakumara, bersama enam orang lainnya menyelidik kejurusan Kaliprogo wetan den sekitarnya. Aku dan yang lain-lain ke timur! Kalian harus berhasil mencari jejak manusia yang telah melakukan kebiadaban ini! Harus berhasil membekuk batang lehernya! Siapa yang kembali sebelum dapatkan itu manusia durjana akan kubunuh! Sekarang siapkan kudaku!”
Seorang pembantu Sentot Sastra segera berlalu untuk menyiapkan kuda sang Bupati sedang yang lain-lainnya segera pula meninggalkan langkan Kadipaten guna mengambil kuda masing-masing dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam perjalanan mencari manusia biang penimbul malapetaka itu. Mereka masing-masing menyadari bahwa pencarian itu tidak akan berhasil dalam tempo yang singkat, tapi memakan waktu berhari-hari.
Selang beberapa ketika lima belas penunggang kuda ditambah dengan Sentot Sastra sendiri sudah berkumpul di halaman Kadipaten.
Mereka siap menunggu perintah dan langkah-langkah terakhir yang harus mereka lakukan.
Bupati Sentot Sastra menyapu paras kelima belas orang anak buahnya itu lalu berkata, “Sekali lagi kalian ingat baik-baik. Kalian musti temukan bangsat itu dan seret dia hidup-hidup ke sini! Jika tak berhasil menemuinya, lebih baik tidak usah kembali! Kalian menger….”
Bupati Sentot Sastra tidak teruskan ucapannya. Sepasang matanya kini tidak lagi menyaputi paras pembantu-pembantunya satu demi satu melainkan dialihkan ke lereng bukit di sebelah selatan. Sentot Sastra seorang yang berilmu cukup tinggi sehingga meskipun jarak bukit dengan tempatnya berada saat itu terpisah hampir dua ratus tombak namun sepasang telinganya lapat-lapat mendengar suara siulan aneh yang menggelombang tiada nada dalam lagu tak menentu!
Lima belas pasang mata pembantu-pembantu Sentot Sastta sama dialihkan pula ke lereng bukit di sebelah selatan itu. Dan dikejauhan kelihatanlah sesosok tubuh laki-laki berlari sangat cepatnya laksana angin! Yang anehnya ialah pada pundak kiri laki-laki ini terpanggul sebuah peti yang melihat kepada besarnya pasti puluhan kati beratnya!
Sewaktu semua orang itu pertama kali melihat manusia yang berlari cepat tersebut, jarak mereka demikian jauhnya namun dalam beberapa kejapan mata kemudian tahu-tahu si manusia pemanggul peti sudah berada di halaman Kadipaten dihadapan Bupati Sentot Sastra dan pembantu-pembantunya!
Ternyata manusia pemanggul peti kayu itu seorang pemuda berambut gondrong, bertampang keren dan punya pandangan mata yang tajam menyorot. Peti yang dipundaknya beratnya puluhan kati tapi dia berdiri seakan-akan peti itu sama sekali tidak ada di pundaknya! Pemuda tak dikenal ini kemudian hentikan siulannya. Begitu siulan berhenti maka dari celah-celah papan peti yang tidak begitu rapat menyebarkan bau busuk yang seperti mau meranggas bulu hidung, membuat nafas sesak dan mau muntah. Lima belas pembantu Sentot Sastra yang tak tahan segera menutup hidung sedang Sentot Sastra sendiri dengan ilmunya yang sudah tinggi tutup jalan pernafasannya.
Si pemuda rambut gondrong yang tak dikenal menggaruk-garuk kepalanya beberapa kali. Sikapnya ini membuat Bupati Sentot Sastra kehilangan kesabarannya dan hendak mendamprat. Namun sebelum mulutnya terbuka si pemuda asing sudah buka suara bertanya.
“Apakah aku berhadapan dengan Bupati Kaliurang yang bernama Sentot Sastra?”
“Jawab dulu kau siapa?!” sentak sentot Sastra.
“Siapa aku tidak penting, “ katanya. “Aku datang membawa peti ini untukmu.”
“Peti apa?! Apa isi peti itu!”
Si pemuda menghela nafas dalam dan rawan. “Peti ini membawa berita buruk bagimu, Bupati.”
“Jangan bicara berbelit-belit! Turunkan peti itu, aku mau lihat isinya!”
Si pemuda garuk lagi kepalanya yang berambut gondrong lalu dengan sikap acuh tak acuh turunkan peti kayu yang berat dari pundaknya.
Bersamaan dengan itu Sentot Sastra melompat dari punggung kuda.
Dia maju mendekati peti. Sebelum melangkah lebih dekat dia tiba-tiba ajukan satu pertanyaan, “Apakah seseorang menyuruhmu mengirimkan peti ini padaku?!”
Si pemuda tertawa aneh dan angkat bahunya.
Sentot Sastra penasaran dan gusar sekali melihat sikap pemuda tak dikenal ini. Dia berpaling pada anak buahnya den memerintah, “Buka peti itu!”
Yang diperintah turun dari kudanya. Dengan masih menutup hidung karena tak tahan dilanda bau busuk yang amat sangat itu dia melangkah mendekati peti kayu lalu dengan tangan kiri yang gemetaran dibukanya kayu penutup peti! Begitu peti terbuka bau busuk yang lebih dahsyat menyambar hidung. Ketika memandang ke dalam peti kayu itu semua orang mengeluarkan seruan tertahan dan mata masing-masing melotot besar laksana mau berlompatan dari rongganya!
Di dalam peti itu terbujur sesosok tubuh manusia bertelanjang bulat. Kulitnya sudah membiru dan memar. Di beberapa bagian kelihatan bekas penganiayaan. Dan manusia yang sudah menjadi mayat busuk ini tiada lain adalah Galuh Warsih, anak kandung Bupati Sentot Sastra sendiri! Maka menggunturlah bentakan Sentot Sastra!
“Kurung dan cincang sampai lumat manusia ini!”
Begitu perintah terdengar begitu lima belas golok panjang yang berkilauan ditimpa sinar matahari dicabut dari sarungnya! Sentot Sastra sendiri sudah lebih dahulu melompat ke muka dengan senjatanya yaitu sepasang pedang ungu!
Melihat dirinya diserang mendadak begitu rupa, pemuda rambut gondrong segera berseru.
“Tunggu! Tahan dulu! Aku belum kasih keterangan!”
“Iblis bermuka manusia biadab terkutuk! Kasihlah keterangan pada hantu kuburmu nanti!” teriak Sentot Sastra! Dan sesudah itu tujuh belas senjatapun berkiblatlah menyerang kesatu sasaran yaitu tubuh pemuda berambut gondrong!
“Aku tidak melihat Tegal Ireng!” kata salah seorang dari mereka.
“Aku juga! Di mana kusir kereta itu?”
“Mungkin dia satu-satunya yang selamat… “
Tapi ketika menyelidik ke tikungan yang menurun di sebelah sana mereka kemudian menemui mayat kusir kereta itu menggeletak menelungkup di tanah tanpa nyawa!
“Aku tak dapat menduga apa yang sesungguhnya terjadi di sini! Kalau rombongan Den Ayu Galuh Warsih dihadang perampok, mengapa kawan-kawan kita mati dalam keadaan demikian rupa? Dan kaki-kaki kuda yang hancur itu?!”
“Aku sendiri tak dapat membayangkan apa yang terjadi dengan Den Ayu Galuh Warsih,” menyahuti pembantu Bupati Kaliurang yarg lain, “Dia diculik, itu pasti sudah!”
“Diculik dan dirusak kehormatannya?!” menambahkan yang lain. “Kalau begitu kita harus cari jejak-jejak si penculik!”
“Di malam buta begini bukan pekerjaan mudah mencari jejak-jejak manusia! Lagi pula siapapun manusia-manusianya yang melakukan perbuatan biadab ini pastilah dia berilmu Tinggi! Orang berilmu tinggi tidak terlalu bodoh untuk mau tinggalkan jejak!”
“Lantas kita bikin apa kalau sudah begini?!”
“Kembali saja ke Kaliurang dan beri keterangan pada Bupati Sentot?”
“Kalau kau mau disemprot, kembalilah sendiri!”
Sepi beberapa lamanya. Kesepian yang membuat bulu kuduk kelima orang itu menggerinding, ditambah lagi dengan tiupan angin bukit di malam buta yang dingin itu.
“Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan ke Kaliprogo wetan,” mengusulkan seseorang.
Tapi tak ada seorangpun yang menerima dan menyetujui usul itu.
Kelimanya kemudian mencari tempat yang baik, agak jauh dari tikungan jalan, menyalakan api unggun, berkemah di situ menunggu sampai pagi.
Esok paginya, dengan sedapat-dapatnya kelima orang itu memperbaiki kereta yang rusak. Mayat kawan-kawan mereka yang berjumlah dua belas ditumpuk sebisa-bisanya di dalam dan di atas atap kereta. Dua diantara lima pembantu Bupati itu duduk di depan kereta, satu memegang kendali. Kuda keduanya dipakai sebagai kuda-kuda penarik kereta karena kuda-kuda milik kawan-kawan mereka yang menemui ajal itu tak seekorpun yang hidup dan ada sekitar situ!
Kedatangan kelima orang itu dengan membawa kereta yang ditumpuki dua belas mayat yang mengerikan tentu saja menggemparkan seisi Kadipaten, bahkan menggemparkan seluruh Kaliurang!
Wajah Bupati Sentot Sastra membeku mengelam. Kedua tangannya mengepal. Dia melangkah mundar mandir. Kepanikan yang amat sangat membuat dia tak sanggup membuka mulut! Sebaliknya di dalam kamar istrinya terdengar menangis meraung-raung.
“Mana anakku! Mana anakku!” pekik ratap perempuan itu. “Galuh! Galuh Warsih, di mana kau anak? Oh Galuh! Tuhan! Di mana anakku Tuhan”
Tenggorokan Bupati Sentot Sastra turun naik. Dadanya menggelora.
Kematian kedua belas pengawal Kadipaten itu membuat kepalanya serasa mau pecah oleh luapan darah! Di samping itu yang membuat dia tak bisa diam dan seperti mau gila ialah karena tidak mengetahui di mana anak gadisnya saat itu atau apa yang telah terjadi dengan Galuh Warsih! Melihat kepada kenyataan yang terjadi, pasti nasib Galuh Warsih tidak lebih baik dari kedua belas anak buahnya itu! Kepada siapakah kemarahan yang meluap itu hendak dilepaskannya? Hendak dilampiaskannya?!
Laki-laki ini melangkah terus mundar mandir! Setahunya sekitar perjalanan antara Kaliurang dan Kaliprogo wetan tak ada gerombolan rampok jahat! Lantas siapakah yang telah melakukan kebiadaban terkutuk itu?! Siapa yang menculik anak gadisnya? Anak tunggal satu-satunya yang menjadi kesayangan tambatan hati?! Dan sementara itu telinganya tiada henti mendengar ratap tangis istrinya yang bukan saja menyayat hati tapi juga membuat darah di dalam tubuhnya semakin bergejolak mendidih!
Di langkan kadipaten itu, pada sisi-sisi tangga sebelah atas terdapat masing-masing sebuah arca Batara Wisnu yang duduk di atas seekor burung rajawali yang tengah mengembangkan sayapnya. Mungkin karena luapan amarah yang tak terkendalikan dan tak tentu kepada siapa dilampiaskan, ditambah pula mendengar ratap tangis istrinya di dalam, maka sewaktu melawati arca itu untuk kesekian kalinya, tiba-tiba Bupati Sentot Sastra menghantamkan tinju kanannya!
“Braak!”
Arca Batara Wisnu hancur berkeping-keping! Itulah ilmu pukulan “Genta Kematian.” Kalau arca batu yang keras itu sekali pukul saja sanggup dibikin hancur berkeping-keping, maka jika dipukulkan kepada manusia tentulah tak dapat dibayangkan bagaimana akibatnya!
Sementara itu, para pembantu Sentot Sastra yang berdiri dilangkan Kadipaten itu masing-masing sama merasa takut dan cemas. Khawatir mereka kalau-kalau dalam amarah gelap mata seperti itu, diri mereka pula yang bakal ketiban pulung dihantam sang Bupati!
Tiba-tiba laksana halilintar di siang hari layaknya berteriaklah Sentot Sastra. Semua pembantu-pembantunya yang berjumlah lima belas orang diperintahkannya untuk bersiap-siap.
“Kita akan ulangi lagi penyelidikan!” teriaknya.
“Kau Darjakumara, bersama enam orang lainnya menyelidik kejurusan Kaliprogo wetan den sekitarnya. Aku dan yang lain-lain ke timur! Kalian harus berhasil mencari jejak manusia yang telah melakukan kebiadaban ini! Harus berhasil membekuk batang lehernya! Siapa yang kembali sebelum dapatkan itu manusia durjana akan kubunuh! Sekarang siapkan kudaku!”
Seorang pembantu Sentot Sastra segera berlalu untuk menyiapkan kuda sang Bupati sedang yang lain-lainnya segera pula meninggalkan langkan Kadipaten guna mengambil kuda masing-masing dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam perjalanan mencari manusia biang penimbul malapetaka itu. Mereka masing-masing menyadari bahwa pencarian itu tidak akan berhasil dalam tempo yang singkat, tapi memakan waktu berhari-hari.
Selang beberapa ketika lima belas penunggang kuda ditambah dengan Sentot Sastra sendiri sudah berkumpul di halaman Kadipaten.
Mereka siap menunggu perintah dan langkah-langkah terakhir yang harus mereka lakukan.
Bupati Sentot Sastra menyapu paras kelima belas orang anak buahnya itu lalu berkata, “Sekali lagi kalian ingat baik-baik. Kalian musti temukan bangsat itu dan seret dia hidup-hidup ke sini! Jika tak berhasil menemuinya, lebih baik tidak usah kembali! Kalian menger….”
Bupati Sentot Sastra tidak teruskan ucapannya. Sepasang matanya kini tidak lagi menyaputi paras pembantu-pembantunya satu demi satu melainkan dialihkan ke lereng bukit di sebelah selatan. Sentot Sastra seorang yang berilmu cukup tinggi sehingga meskipun jarak bukit dengan tempatnya berada saat itu terpisah hampir dua ratus tombak namun sepasang telinganya lapat-lapat mendengar suara siulan aneh yang menggelombang tiada nada dalam lagu tak menentu!
Lima belas pasang mata pembantu-pembantu Sentot Sastta sama dialihkan pula ke lereng bukit di sebelah selatan itu. Dan dikejauhan kelihatanlah sesosok tubuh laki-laki berlari sangat cepatnya laksana angin! Yang anehnya ialah pada pundak kiri laki-laki ini terpanggul sebuah peti yang melihat kepada besarnya pasti puluhan kati beratnya!
Sewaktu semua orang itu pertama kali melihat manusia yang berlari cepat tersebut, jarak mereka demikian jauhnya namun dalam beberapa kejapan mata kemudian tahu-tahu si manusia pemanggul peti sudah berada di halaman Kadipaten dihadapan Bupati Sentot Sastra dan pembantu-pembantunya!
Ternyata manusia pemanggul peti kayu itu seorang pemuda berambut gondrong, bertampang keren dan punya pandangan mata yang tajam menyorot. Peti yang dipundaknya beratnya puluhan kati tapi dia berdiri seakan-akan peti itu sama sekali tidak ada di pundaknya! Pemuda tak dikenal ini kemudian hentikan siulannya. Begitu siulan berhenti maka dari celah-celah papan peti yang tidak begitu rapat menyebarkan bau busuk yang seperti mau meranggas bulu hidung, membuat nafas sesak dan mau muntah. Lima belas pembantu Sentot Sastra yang tak tahan segera menutup hidung sedang Sentot Sastra sendiri dengan ilmunya yang sudah tinggi tutup jalan pernafasannya.
Si pemuda rambut gondrong yang tak dikenal menggaruk-garuk kepalanya beberapa kali. Sikapnya ini membuat Bupati Sentot Sastra kehilangan kesabarannya dan hendak mendamprat. Namun sebelum mulutnya terbuka si pemuda asing sudah buka suara bertanya.
“Apakah aku berhadapan dengan Bupati Kaliurang yang bernama Sentot Sastra?”
“Jawab dulu kau siapa?!” sentak sentot Sastra.
“Siapa aku tidak penting, “ katanya. “Aku datang membawa peti ini untukmu.”
“Peti apa?! Apa isi peti itu!”
Si pemuda menghela nafas dalam dan rawan. “Peti ini membawa berita buruk bagimu, Bupati.”
“Jangan bicara berbelit-belit! Turunkan peti itu, aku mau lihat isinya!”
Si pemuda garuk lagi kepalanya yang berambut gondrong lalu dengan sikap acuh tak acuh turunkan peti kayu yang berat dari pundaknya.
Bersamaan dengan itu Sentot Sastra melompat dari punggung kuda.
Dia maju mendekati peti. Sebelum melangkah lebih dekat dia tiba-tiba ajukan satu pertanyaan, “Apakah seseorang menyuruhmu mengirimkan peti ini padaku?!”
Si pemuda tertawa aneh dan angkat bahunya.
Sentot Sastra penasaran dan gusar sekali melihat sikap pemuda tak dikenal ini. Dia berpaling pada anak buahnya den memerintah, “Buka peti itu!”
Yang diperintah turun dari kudanya. Dengan masih menutup hidung karena tak tahan dilanda bau busuk yang amat sangat itu dia melangkah mendekati peti kayu lalu dengan tangan kiri yang gemetaran dibukanya kayu penutup peti! Begitu peti terbuka bau busuk yang lebih dahsyat menyambar hidung. Ketika memandang ke dalam peti kayu itu semua orang mengeluarkan seruan tertahan dan mata masing-masing melotot besar laksana mau berlompatan dari rongganya!
Di dalam peti itu terbujur sesosok tubuh manusia bertelanjang bulat. Kulitnya sudah membiru dan memar. Di beberapa bagian kelihatan bekas penganiayaan. Dan manusia yang sudah menjadi mayat busuk ini tiada lain adalah Galuh Warsih, anak kandung Bupati Sentot Sastra sendiri! Maka menggunturlah bentakan Sentot Sastra!
“Kurung dan cincang sampai lumat manusia ini!”
Begitu perintah terdengar begitu lima belas golok panjang yang berkilauan ditimpa sinar matahari dicabut dari sarungnya! Sentot Sastra sendiri sudah lebih dahulu melompat ke muka dengan senjatanya yaitu sepasang pedang ungu!
Melihat dirinya diserang mendadak begitu rupa, pemuda rambut gondrong segera berseru.
“Tunggu! Tahan dulu! Aku belum kasih keterangan!”
“Iblis bermuka manusia biadab terkutuk! Kasihlah keterangan pada hantu kuburmu nanti!” teriak Sentot Sastra! Dan sesudah itu tujuh belas senjatapun berkiblatlah menyerang kesatu sasaran yaitu tubuh pemuda berambut gondrong!
Pemuda berambut gondrong membentak gusar.
“Manusia tolol! Geblek sedeng! Orang datang baik-baik. Malah disambut dengan ujung senjata! Gila betul!”
Makian ini tentu saja membuat Sentot Sastra dan kelima belas anak buahnya menjadi semakin ganas dan kalap. Bagi mereka tidak bisa tidak pemuda asing itulah yang telah membunuh dan merusak kehormatan Galuh Warsih!
Tujuh belas senjata berlomba-lomba, menderu dahsyat menggempur si pemuda. Pemuda itu dalam setengah jurus saja sudah terkurung rapat!
“Manusia-manusia tolol! Apakah kalian tidak mau hentikan serangan dan beri kesempatan aku kasih keterangan?!”
“Anjing kurap, mampuslah!” damprat Sentot Sastra dan sepasang pedangnya membacok dari dua jurus yang berlawanan sedang lima belas golok anak buahnya saling berlomba mencari sasaran di tubuh si pemuda!
“Manusia-manusia tak tahu diri! Jika kalian tidak mau hentikan kegilaan ini, jangan menyesal!”
Si pemuda membentak laksana geledek, keluarkan satu siulan aneh yang menusuk dan menyakitkan liang telinga. Dalam kejap itu pula tubuhnyapun lenyap dari pemandangan. Sepasang pedang Sentot Sastra dan lima belas golok anak buahnya membabat angin kosong, saling bentrokan satu sama lain dan menimbulkan suara nyaring, bunga-bunga api bergemerlapan!
Mendengar suara ributnya bentakan-bentakan, mendengar suara berkecamuknya senjata di halaman rumah, Karsih Wardah, istri Bupati Sentot Sastra terkesiap, dia hentikan tangisnya dan dengan senggak-sengguk lari ke langkan. Betapa terkejutnya sewaktu menyaksikan suaminya dan lima belas orang pembantu Kadipaten tengah mengeroyok seorang pemuda berambut gondrong tak dikenal yang hanya bertangan kosong dan terpaksa berkelebat kian kemari guna mengelakkan serangan-serangan yang sangat ganas itu!
Belum habis herannya Karsih Wardah melihat pertempuran yang berkecamuk itu, maka dua matanya yang telah sembab karena menangis membentur pada sebuah peti besar yang terletak di tanah. Sementara itu lobang hidungnya dirambas oleh bau busuk yang tak dapat dipastikan dari mana asalnya!
Sentot Sastra dan anak-anak buahnya mana mau ambil peduli peringatan si rambut gondrong malah dia memerintahkan agar menggempur pemuda rambut gondrong itu lebih hebat lagi!
“Dasar bodoh, dasar geblek buta mata!” maki si pemuda. Sambil berguling di tanah disambarnya papan besar penutup peti. “Ayo manusia-manusia keblinger, majulah!” Dan ketika Sentot Sastra bersama pembantu-pembantunya masih juga kalap menyerang maka si pemuda lemparkan penutup peti itu ke arah mereka. Sentot Sastra cepat melompat ke samping tapi tiga orang pembantunya yang tak sempat mengelak terjerongkang di tanah sewaktu dada mereka dilabrak penutup peti.
Dengan bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa si pemuda rambut gondrong berkata mengejek.
“Masih buta mata gelap pikiran, silahkan maju lagi!” Rahang Sentot Sastra bergemeletakan. Mulutnya mengeluarkan suara menggeram.
Bupati Kaliurang ini berteriak keras, “Bentuk barisan roda maut!”
Maka kedua belas orang anak buahnya segera bergerak cepat membentuk lingkaran. Sekali Bupati itu berteriak memberi isyarat maka kedua belas orang itupun bergeraklah berlari lari cepat dalam lingkaran yang makin lama makin menciut sedang senjata masing-masing membabat dari dua beias jurus, diseling dengan tikaman atau tusukan dan diperhebat oleh kiblatan sepasang pedang Bupati Sentot Sastra.
Pakaian putih dan rambut gondrong si pemuda berkibar-kibar oleh sambaran senjata. Debu dan pasir beterbangan ke udara sedang barisan roda maut semakin menciut juga!
“Orang tolol memang susah dikasih pelajaran kalau tidak digebuk!”
“Berbacotlah sepuasmu manusia laknat! Sebentar lagi tubuhmu akan berkeping cerai berai!” teriak Sentot Sastra.
Baru saja ia habis berkata begitu si pemuda bersiut nyaring.
Tubuhnya berkelebat dua kali. Suara seperti orang tercekik terdengar susul menyusul! Dan sewaktu Sentot Sastra merasa bahwa cuma dirinya saja kini yang sendirian mencak-mencak mengirimkan serangan maka laki-laki ini segera melompat ke luar dari kalangan pertempuran!
Kemudian bila dilayangkannya pandangannya berkeliling maka tiada terkirakan kagetnya!
Kedua belas pembantunya berdiri laksana patung tak bergerak-gerak karena masing-masing mereka sudah kena ditotok oleh pemuda yang sangat lihai itu!
Nyatalah bagi Sentot Sastra bahwa pemuda itu tinggi sekali ilmunya dan bukan tandingannya. Kalau saja dia ingin mencelakai diri dan orang-orangnya pastilah tidak sukar bagi pemuda itu untuk melaksanakannya!
Namun gelap mata karena menyangka keras bahwa pemuda itulah yang menjadi pembunuh anak kandungnya serta menamatkan pembantu-pembantunya di tikungan jalan antara Kaliurang dan Kaliprogo wetan, ditambah lagi saat itu istrinya Karsih Wardah dilihatnya lari menghambur den menubruk peti di mana mayat Galuh Warsih terbujur dan berteriak-teriak macam orang hilang ingatan, maka meski dua belas anak buahnya ditotok tak bergerak, meski tiga lainnya menggeletak pingsan, namun Sentot Sastra tetap membara dadanya, tetap berkobar nyalinya untuk dapat membunuh menamatkan riwayat si pemuda! Karenanya disaat pemuda itu berdiri tolak pinggang, dan tertawa-tawa, Sentot Sastra segera menyerbu kembali dengan sepasang pedang ungunya.
Permainan sepasang pedang Bupati Kaliurang itu memang patut dipuji. Apalagi kini dia mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang sangat diandalkannya. Dua gulung sinar ungu yang laksana sepasang naga membungkus sekujur tubuh pemuda rambut gondrong dari atas ke bawah!
Namun agaknya, walau bagaimanapun kehebatan ilmu pedang sang Bupati, walau bagaimanapun lihai dan sukar diduga tipu-tipu ilmu silatnya tetap saja dia tak dapat menghajar si pemuda! Jangankan menebas atau membacok tubuh lawannya, menggores atau merobek bajunya sajapun Sentot Sastra tidak sanggup!
“Bupati Sentot Sastra!” seru si pemuda. “Apakah kau masih gelap mata mau meneruskan pertempuran ini?!”
“Iblis neraka tutup mulut! Sebelum kutebas kau punya batang leher, sebelum kucungkil kau punya jantung dan hati, pertempuran ini sampai kiamatpun tak akan kuhentikan!”
“Hebat sekali nyalimu!” memuji si pemuda sejujurnya namun mimiknya melontarkan senyum sinis! “Tapi aku dan kau tiada permusuhan, mengapa musti bertempur begini rupa?!”
“Tidak ada permusuhan bapak moyang setanmu!” bentak Sentot Sastra penuh beringas!
“Anakku kau rusak kehormatannya, kau bunuh!”
“Tobat… tobat!”
Si pemuda pukul-pukul keningnya dengan telapak tangan kiri. “Justru aku datang ke sini untuk mengantar mayat anakmu yang kutemui di bukit! Eh, malah-malah aku yang dituduh jadi pembunuh! Dituduh tukang perkosa! tobat!”
“Tak usah membual atau jual mulut!”
“Siapa membual, siapa jual mulut?!”
“Sesudah melakukan perbuatan terkutuk, kau pura-pura berbuat baik dan cuci tangan huh?!”
“Buset!” Si pemuda garuk-garuk kepata dan mengomel. “Kalau tahu bakal ketiban pulung begini, tidak nanti aku mau susah-susah bawa mayat kau punya anak ke mari, Bupati!”
“Sudah! tak perlu banyak rewel! Pokoknya kau harus serahkan batang lehermu!” teriak Sentot Sastra dan serentak dengan itu kembali dia menyerbu si pemuda.
Yang diserang geleng-gelengkan kepala.
Sewaktu pedang ungu itu dengan segala kehebatannya memapas dari kiri kanan, siap membabat putus tubuh si pemuda menjadi tiga kutungan maka si pemuda geser kakinya satu langkah. Serentak dengan itu kedua tangannya bergerak cepat hampir tak kelihatan, memukul badan kedua pedang Sentot Sastra berseru keras, ia merasa terkejut sewaktu menyaksikan bagaimana sepasang pedangnya lepas dan mental dari tangannya!
Sebaliknya si pemuda tertawa gelak-gelak.
“Kalau masih punya niat main amuk-amukan, silahkan ambil kembali pedangmu, Bupati!”
Mengelam muka Sentot Sastra mendengar ejekan yang sekaligus merupakan tantangan itu. Karena malu dia tidak ambil kedua senjata itu melainkan kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan terus ke ujung-ujung jari!
“Heemm… pukulan apakah yang kau hendak lancarkan?” mencemooh si pemuda!
Sentot Sastra merutuk dalam hatinya.
“Meski kesaktianmu setinggi langit, jangan harap kau sanggup menerima pukulan Genta Kematian-ku ini!” kata Bupati Kaliurang itu pula.
Dengan menyebutkan nama ilmu pukulan yang diyakininya selama tujuh tahun itu dia berharap si pemuda akan kaget dan menciut nyalinya.
Tapi apa lacur! Malah si pemuda tertawa bekakakan ketika mendengar nama ilmu pukulannya itu!
“Setahuku genta adalah semacam klenengan yang dikalungkan di leher sapi atau kerbau! Itukah nama ilmu pukulanmu? Tentunya kau berguru pada seekor sapi? Ha… ha… ha…!”
Kekalapan Sentot Sastra bukan alang kepalang. Bentakannya mengguntur. Kedua lengannya bergetar dan terpentang. Sekejapan mata kemudian tubuhnya lenyap dalam lompatan kilat setinggi tiga tombak.
Sewaktu melewati si pemuda dia kirimkan dua tendangan sekaligus! Si pemuda merunduk dan pada waktu itulah gerakan lihai yang mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang sempurna, Sentot Sastra balikkan tubuh dan hantamkan kedua kepalannya ke kepala lawan!
Si pemuda yang merasakan angin pukulan sangat keras menerpa belakang kepalanya bersuit nyaring, rundukkan kepala dan secepat kilat putar tubuh!
Muka Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang itu mendadak sontak menjadi pucat pasi sewaktu lima jari tangan kanan pemuda lawannya laksana japitan baja, sekaligus mencekal kedua lengannya sehingga tak sedikitpun dia bisa berkutik! Dan bukan itu saja, dari jari-jari tangan itu dirasakannya aliran aneh yang sejuk dingin menjalar ke lengannya, terus ke bahu dan sekujur tubuhnya! Luapan amarah yang membakar dan menggelorai darahnya kini menggendur. Pikiran jemih kini muncul dibenaknya. Tubuhnya lemah lunglai, keringat dingin memercik dikeningnya. Akhirnya Sentot Sastra jatuh duduk menjelepok di tanah sewaktu pemuda itu lepaskan cekalan pada kedua lengannya!
“Orang muda, siapakah kau sebetulnya?” tanya Sentot Sastra. Nada suaranya kini tidak keras dan tidak bernada marah lagi seperti tadi-tadi.
Si pemuda tertawa.
“Aku datang ke sini bukan untuk mengobral nama atau kasih keterangan siapa aku, tapi untuk menolong mengantarkan mayat anakmu.”
Sentot Sastra memutar kepalanya ke arah peti. Istrinya dilihatnya terkulai pingsan di tepi peti itu, sedang dua belas pembantu-pembantunya sampai itu saat masih berdiri mematung dalam keadaan tertotok!
Sang Bupati kembali palingkan kepala pada si pemuda. Lama dia menatap paras pemuda itu. Dan pada paras yang masih muda belia itu kini dapat dilihatnya sifat kesatria gagah perkasa dan kejujuran.
“Orang muda, kau betul-betul tidak melakukan perbuatan terkutuk terhadap anakku?”
Si pemuda gelengkan kepala.
“Lantas siapa yang melakukannya?”
Si pemuda angkat bahu. “Akupun tengah mencarinya! Dunia persilatan kini dihebohkan oleh munculnya seorang pendekar terkutuk berjubah hitam dengan bunga-bunga kuning. Nama aslinya aku tidak tahu tapi dia digelari sebagai Pendekar Pemetik Bunga!”
“Pendekar Pemetik Bunga!” mengulang Sentot Sastra. “Yaaa… aku pernah dengar tentang manusia durjana itui Tapi dulu dia cuma malang melintang di barat, kini tahu-tahu muncul di sekitar sini…!”
“Kunyuk lapar perempuan begitu, di mana ada perempuan cantik pasti di situ dia muncul unjuk tampang bikin kejahatan!” menyahuti si pemuda.
Perlahan-lahan Sentot Sastra berdiri kembali. Kedua tangannya mengepal.
“Aku akan cari bangsat itu sampai dapat dan habiskan nyawanya!”
Pemuda rambut gondrong naikkan kedua alis matanya.
“Jangankan kau, gurunya sendiri yang jauh lebih sakti sanggup dibunuhnya!”
“Lantas apakah aku akan berpangku tangan melihat anakku dibunuh dan dirusak begini rupa?!” tanya Sentot Sastra hampir berteriak.
“Aku hargai keberanianmu, Bupati,” memuji si pemuda. “Tapi keberanian yang hanya mengendalikan nafsu besar kekuatan nihil, adalah keberanian buta. Kau akan mati sia-sia ditangannya!”
“Kematian bukan apa-apa bagiku! Semua manusia nantinya akan mati juga…”
“Terserah padamu, Bupati. Aku cuma kasih nasihat! Mungkin nasihatku tidak ada harganya.” Sentot Sastra termangu-mangu beberapa lamanya.
Tiba-tiba dia berseru sewaktu dilihatnya pemuda di hadapannya putar tubuh hendak berlalu.
“Orang muda, tunggu! kau mau ke mana?”
“Aku masih ada urusan lain. Sampai jumpa Bupati.”
“Kau masih belum terangkan namamu.”
Pemuda itu tertawa lagi. Begitu murah tertawa baginya. “Aku sudah bilang namaku tidak penting.”
“Tenting atau tidak penting itu bukan urusan. Tapi padaku kau tetap harus kasih tahu. Dan pembantu-pembantuku ini kau harus lepaskan totokannya kembali!”
“Pijit saja tengkuknya satu-satu, pasti totokannya lepas,” memberi tahu si pemuda.
“Sudahlah, kalau kau penasaran lihat saja bagian kepala dari peti kayu itu. Di situ tertulis namaku!” kata si pemuda pula. Cepat-cepat Sentot Sastra melangkah ke bagian kepala peti di dalam mana mayat anaknya terbujur. Yang ditemui Bupati ita di sana bukan tulisan atau huruf yang membentuk nama, melainkan pada kayu di kepala peti itu tertera tiga buah angka yaitu 212.
“Dua satu dua!” seru Sentot Sastra kaget. “Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.”
Dipalingkannya kepalanya.
Kejutnya bertambah-tambah. Pemuda tadi sudah tak ada lagi di tempat itu! Sentot Sastra geleng-gelengkan kepalanya tiada henti.
Tidak sangka dia akan berhadapan dengan pendekar bersifat kocak yang kadangkala seperti orang sinting, tapi bertampang keren dan berhati jujur, penolong manusia-manusia yang tertindas, penghancur kejahatan, momok tokoh-tokoh silat golongan hitam!
“Pantas, pantas… kiranya dia. Pantas mana aku sanggup menghadapinya!” kata Sentot Sastra pula dan dia melangkah mendapatkan istrinya yang pingsan di tepi peti.
“Manusia tolol! Geblek sedeng! Orang datang baik-baik. Malah disambut dengan ujung senjata! Gila betul!”
Makian ini tentu saja membuat Sentot Sastra dan kelima belas anak buahnya menjadi semakin ganas dan kalap. Bagi mereka tidak bisa tidak pemuda asing itulah yang telah membunuh dan merusak kehormatan Galuh Warsih!
Tujuh belas senjata berlomba-lomba, menderu dahsyat menggempur si pemuda. Pemuda itu dalam setengah jurus saja sudah terkurung rapat!
“Manusia-manusia tolol! Apakah kalian tidak mau hentikan serangan dan beri kesempatan aku kasih keterangan?!”
“Anjing kurap, mampuslah!” damprat Sentot Sastra dan sepasang pedangnya membacok dari dua jurus yang berlawanan sedang lima belas golok anak buahnya saling berlomba mencari sasaran di tubuh si pemuda!
“Manusia-manusia tak tahu diri! Jika kalian tidak mau hentikan kegilaan ini, jangan menyesal!”
Si pemuda membentak laksana geledek, keluarkan satu siulan aneh yang menusuk dan menyakitkan liang telinga. Dalam kejap itu pula tubuhnyapun lenyap dari pemandangan. Sepasang pedang Sentot Sastra dan lima belas golok anak buahnya membabat angin kosong, saling bentrokan satu sama lain dan menimbulkan suara nyaring, bunga-bunga api bergemerlapan!
Mendengar suara ributnya bentakan-bentakan, mendengar suara berkecamuknya senjata di halaman rumah, Karsih Wardah, istri Bupati Sentot Sastra terkesiap, dia hentikan tangisnya dan dengan senggak-sengguk lari ke langkan. Betapa terkejutnya sewaktu menyaksikan suaminya dan lima belas orang pembantu Kadipaten tengah mengeroyok seorang pemuda berambut gondrong tak dikenal yang hanya bertangan kosong dan terpaksa berkelebat kian kemari guna mengelakkan serangan-serangan yang sangat ganas itu!
Belum habis herannya Karsih Wardah melihat pertempuran yang berkecamuk itu, maka dua matanya yang telah sembab karena menangis membentur pada sebuah peti besar yang terletak di tanah. Sementara itu lobang hidungnya dirambas oleh bau busuk yang tak dapat dipastikan dari mana asalnya!
Sentot Sastra dan anak-anak buahnya mana mau ambil peduli peringatan si rambut gondrong malah dia memerintahkan agar menggempur pemuda rambut gondrong itu lebih hebat lagi!
“Dasar bodoh, dasar geblek buta mata!” maki si pemuda. Sambil berguling di tanah disambarnya papan besar penutup peti. “Ayo manusia-manusia keblinger, majulah!” Dan ketika Sentot Sastra bersama pembantu-pembantunya masih juga kalap menyerang maka si pemuda lemparkan penutup peti itu ke arah mereka. Sentot Sastra cepat melompat ke samping tapi tiga orang pembantunya yang tak sempat mengelak terjerongkang di tanah sewaktu dada mereka dilabrak penutup peti.
Dengan bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa si pemuda rambut gondrong berkata mengejek.
“Masih buta mata gelap pikiran, silahkan maju lagi!” Rahang Sentot Sastra bergemeletakan. Mulutnya mengeluarkan suara menggeram.
Bupati Kaliurang ini berteriak keras, “Bentuk barisan roda maut!”
Maka kedua belas orang anak buahnya segera bergerak cepat membentuk lingkaran. Sekali Bupati itu berteriak memberi isyarat maka kedua belas orang itupun bergeraklah berlari lari cepat dalam lingkaran yang makin lama makin menciut sedang senjata masing-masing membabat dari dua beias jurus, diseling dengan tikaman atau tusukan dan diperhebat oleh kiblatan sepasang pedang Bupati Sentot Sastra.
Pakaian putih dan rambut gondrong si pemuda berkibar-kibar oleh sambaran senjata. Debu dan pasir beterbangan ke udara sedang barisan roda maut semakin menciut juga!
“Orang tolol memang susah dikasih pelajaran kalau tidak digebuk!”
“Berbacotlah sepuasmu manusia laknat! Sebentar lagi tubuhmu akan berkeping cerai berai!” teriak Sentot Sastra.
Baru saja ia habis berkata begitu si pemuda bersiut nyaring.
Tubuhnya berkelebat dua kali. Suara seperti orang tercekik terdengar susul menyusul! Dan sewaktu Sentot Sastra merasa bahwa cuma dirinya saja kini yang sendirian mencak-mencak mengirimkan serangan maka laki-laki ini segera melompat ke luar dari kalangan pertempuran!
Kemudian bila dilayangkannya pandangannya berkeliling maka tiada terkirakan kagetnya!
Kedua belas pembantunya berdiri laksana patung tak bergerak-gerak karena masing-masing mereka sudah kena ditotok oleh pemuda yang sangat lihai itu!
Nyatalah bagi Sentot Sastra bahwa pemuda itu tinggi sekali ilmunya dan bukan tandingannya. Kalau saja dia ingin mencelakai diri dan orang-orangnya pastilah tidak sukar bagi pemuda itu untuk melaksanakannya!
Namun gelap mata karena menyangka keras bahwa pemuda itulah yang menjadi pembunuh anak kandungnya serta menamatkan pembantu-pembantunya di tikungan jalan antara Kaliurang dan Kaliprogo wetan, ditambah lagi saat itu istrinya Karsih Wardah dilihatnya lari menghambur den menubruk peti di mana mayat Galuh Warsih terbujur dan berteriak-teriak macam orang hilang ingatan, maka meski dua belas anak buahnya ditotok tak bergerak, meski tiga lainnya menggeletak pingsan, namun Sentot Sastra tetap membara dadanya, tetap berkobar nyalinya untuk dapat membunuh menamatkan riwayat si pemuda! Karenanya disaat pemuda itu berdiri tolak pinggang, dan tertawa-tawa, Sentot Sastra segera menyerbu kembali dengan sepasang pedang ungunya.
Permainan sepasang pedang Bupati Kaliurang itu memang patut dipuji. Apalagi kini dia mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang sangat diandalkannya. Dua gulung sinar ungu yang laksana sepasang naga membungkus sekujur tubuh pemuda rambut gondrong dari atas ke bawah!
Namun agaknya, walau bagaimanapun kehebatan ilmu pedang sang Bupati, walau bagaimanapun lihai dan sukar diduga tipu-tipu ilmu silatnya tetap saja dia tak dapat menghajar si pemuda! Jangankan menebas atau membacok tubuh lawannya, menggores atau merobek bajunya sajapun Sentot Sastra tidak sanggup!
“Bupati Sentot Sastra!” seru si pemuda. “Apakah kau masih gelap mata mau meneruskan pertempuran ini?!”
“Iblis neraka tutup mulut! Sebelum kutebas kau punya batang leher, sebelum kucungkil kau punya jantung dan hati, pertempuran ini sampai kiamatpun tak akan kuhentikan!”
“Hebat sekali nyalimu!” memuji si pemuda sejujurnya namun mimiknya melontarkan senyum sinis! “Tapi aku dan kau tiada permusuhan, mengapa musti bertempur begini rupa?!”
“Tidak ada permusuhan bapak moyang setanmu!” bentak Sentot Sastra penuh beringas!
“Anakku kau rusak kehormatannya, kau bunuh!”
“Tobat… tobat!”
Si pemuda pukul-pukul keningnya dengan telapak tangan kiri. “Justru aku datang ke sini untuk mengantar mayat anakmu yang kutemui di bukit! Eh, malah-malah aku yang dituduh jadi pembunuh! Dituduh tukang perkosa! tobat!”
“Tak usah membual atau jual mulut!”
“Siapa membual, siapa jual mulut?!”
“Sesudah melakukan perbuatan terkutuk, kau pura-pura berbuat baik dan cuci tangan huh?!”
“Buset!” Si pemuda garuk-garuk kepata dan mengomel. “Kalau tahu bakal ketiban pulung begini, tidak nanti aku mau susah-susah bawa mayat kau punya anak ke mari, Bupati!”
“Sudah! tak perlu banyak rewel! Pokoknya kau harus serahkan batang lehermu!” teriak Sentot Sastra dan serentak dengan itu kembali dia menyerbu si pemuda.
Yang diserang geleng-gelengkan kepala.
Sewaktu pedang ungu itu dengan segala kehebatannya memapas dari kiri kanan, siap membabat putus tubuh si pemuda menjadi tiga kutungan maka si pemuda geser kakinya satu langkah. Serentak dengan itu kedua tangannya bergerak cepat hampir tak kelihatan, memukul badan kedua pedang Sentot Sastra berseru keras, ia merasa terkejut sewaktu menyaksikan bagaimana sepasang pedangnya lepas dan mental dari tangannya!
Sebaliknya si pemuda tertawa gelak-gelak.
“Kalau masih punya niat main amuk-amukan, silahkan ambil kembali pedangmu, Bupati!”
Mengelam muka Sentot Sastra mendengar ejekan yang sekaligus merupakan tantangan itu. Karena malu dia tidak ambil kedua senjata itu melainkan kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan terus ke ujung-ujung jari!
“Heemm… pukulan apakah yang kau hendak lancarkan?” mencemooh si pemuda!
Sentot Sastra merutuk dalam hatinya.
“Meski kesaktianmu setinggi langit, jangan harap kau sanggup menerima pukulan Genta Kematian-ku ini!” kata Bupati Kaliurang itu pula.
Dengan menyebutkan nama ilmu pukulan yang diyakininya selama tujuh tahun itu dia berharap si pemuda akan kaget dan menciut nyalinya.
Tapi apa lacur! Malah si pemuda tertawa bekakakan ketika mendengar nama ilmu pukulannya itu!
“Setahuku genta adalah semacam klenengan yang dikalungkan di leher sapi atau kerbau! Itukah nama ilmu pukulanmu? Tentunya kau berguru pada seekor sapi? Ha… ha… ha…!”
Kekalapan Sentot Sastra bukan alang kepalang. Bentakannya mengguntur. Kedua lengannya bergetar dan terpentang. Sekejapan mata kemudian tubuhnya lenyap dalam lompatan kilat setinggi tiga tombak.
Sewaktu melewati si pemuda dia kirimkan dua tendangan sekaligus! Si pemuda merunduk dan pada waktu itulah gerakan lihai yang mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang sempurna, Sentot Sastra balikkan tubuh dan hantamkan kedua kepalannya ke kepala lawan!
Si pemuda yang merasakan angin pukulan sangat keras menerpa belakang kepalanya bersuit nyaring, rundukkan kepala dan secepat kilat putar tubuh!
Muka Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang itu mendadak sontak menjadi pucat pasi sewaktu lima jari tangan kanan pemuda lawannya laksana japitan baja, sekaligus mencekal kedua lengannya sehingga tak sedikitpun dia bisa berkutik! Dan bukan itu saja, dari jari-jari tangan itu dirasakannya aliran aneh yang sejuk dingin menjalar ke lengannya, terus ke bahu dan sekujur tubuhnya! Luapan amarah yang membakar dan menggelorai darahnya kini menggendur. Pikiran jemih kini muncul dibenaknya. Tubuhnya lemah lunglai, keringat dingin memercik dikeningnya. Akhirnya Sentot Sastra jatuh duduk menjelepok di tanah sewaktu pemuda itu lepaskan cekalan pada kedua lengannya!
“Orang muda, siapakah kau sebetulnya?” tanya Sentot Sastra. Nada suaranya kini tidak keras dan tidak bernada marah lagi seperti tadi-tadi.
Si pemuda tertawa.
“Aku datang ke sini bukan untuk mengobral nama atau kasih keterangan siapa aku, tapi untuk menolong mengantarkan mayat anakmu.”
Sentot Sastra memutar kepalanya ke arah peti. Istrinya dilihatnya terkulai pingsan di tepi peti itu, sedang dua belas pembantu-pembantunya sampai itu saat masih berdiri mematung dalam keadaan tertotok!
Sang Bupati kembali palingkan kepala pada si pemuda. Lama dia menatap paras pemuda itu. Dan pada paras yang masih muda belia itu kini dapat dilihatnya sifat kesatria gagah perkasa dan kejujuran.
“Orang muda, kau betul-betul tidak melakukan perbuatan terkutuk terhadap anakku?”
Si pemuda gelengkan kepala.
“Lantas siapa yang melakukannya?”
Si pemuda angkat bahu. “Akupun tengah mencarinya! Dunia persilatan kini dihebohkan oleh munculnya seorang pendekar terkutuk berjubah hitam dengan bunga-bunga kuning. Nama aslinya aku tidak tahu tapi dia digelari sebagai Pendekar Pemetik Bunga!”
“Pendekar Pemetik Bunga!” mengulang Sentot Sastra. “Yaaa… aku pernah dengar tentang manusia durjana itui Tapi dulu dia cuma malang melintang di barat, kini tahu-tahu muncul di sekitar sini…!”
“Kunyuk lapar perempuan begitu, di mana ada perempuan cantik pasti di situ dia muncul unjuk tampang bikin kejahatan!” menyahuti si pemuda.
Perlahan-lahan Sentot Sastra berdiri kembali. Kedua tangannya mengepal.
“Aku akan cari bangsat itu sampai dapat dan habiskan nyawanya!”
Pemuda rambut gondrong naikkan kedua alis matanya.
“Jangankan kau, gurunya sendiri yang jauh lebih sakti sanggup dibunuhnya!”
“Lantas apakah aku akan berpangku tangan melihat anakku dibunuh dan dirusak begini rupa?!” tanya Sentot Sastra hampir berteriak.
“Aku hargai keberanianmu, Bupati,” memuji si pemuda. “Tapi keberanian yang hanya mengendalikan nafsu besar kekuatan nihil, adalah keberanian buta. Kau akan mati sia-sia ditangannya!”
“Kematian bukan apa-apa bagiku! Semua manusia nantinya akan mati juga…”
“Terserah padamu, Bupati. Aku cuma kasih nasihat! Mungkin nasihatku tidak ada harganya.” Sentot Sastra termangu-mangu beberapa lamanya.
Tiba-tiba dia berseru sewaktu dilihatnya pemuda di hadapannya putar tubuh hendak berlalu.
“Orang muda, tunggu! kau mau ke mana?”
“Aku masih ada urusan lain. Sampai jumpa Bupati.”
“Kau masih belum terangkan namamu.”
Pemuda itu tertawa lagi. Begitu murah tertawa baginya. “Aku sudah bilang namaku tidak penting.”
“Tenting atau tidak penting itu bukan urusan. Tapi padaku kau tetap harus kasih tahu. Dan pembantu-pembantuku ini kau harus lepaskan totokannya kembali!”
“Pijit saja tengkuknya satu-satu, pasti totokannya lepas,” memberi tahu si pemuda.
“Sudahlah, kalau kau penasaran lihat saja bagian kepala dari peti kayu itu. Di situ tertulis namaku!” kata si pemuda pula. Cepat-cepat Sentot Sastra melangkah ke bagian kepala peti di dalam mana mayat anaknya terbujur. Yang ditemui Bupati ita di sana bukan tulisan atau huruf yang membentuk nama, melainkan pada kayu di kepala peti itu tertera tiga buah angka yaitu 212.
“Dua satu dua!” seru Sentot Sastra kaget. “Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.”
Dipalingkannya kepalanya.
Kejutnya bertambah-tambah. Pemuda tadi sudah tak ada lagi di tempat itu! Sentot Sastra geleng-gelengkan kepalanya tiada henti.
Tidak sangka dia akan berhadapan dengan pendekar bersifat kocak yang kadangkala seperti orang sinting, tapi bertampang keren dan berhati jujur, penolong manusia-manusia yang tertindas, penghancur kejahatan, momok tokoh-tokoh silat golongan hitam!
“Pantas, pantas… kiranya dia. Pantas mana aku sanggup menghadapinya!” kata Sentot Sastra pula dan dia melangkah mendapatkan istrinya yang pingsan di tepi peti.
Dua puluh tahun yang silam….
Tak berapa jauh dari kaki Welangmanuk terdapat sebuah pedataran tinggi yang subur. Kebun sayur mayur terbentang menghijau di mana-mana.
Bila seseorang berdiri di atas pedataran tinggi ini dan memandang ke bawah maka tampaklah pemandangan yang sangat indah dari lembah Manukwilis. Di atas pedataran tinggi itu terletaklah sebuah bangunan dari tembok yang selain besar juga sangat bagus bentuknya. Keseluruhan bangunan ini dicat putih dan dipagari dengan tembok setinggi lima tombak. Untuk masuk ke halaman dalam bangunan cuma ada sebuah pintu. Pintu ini juga terbuat dari batu yang hanya bisa dibuka secara rahasia. Kalau bukan orang yang berilmu sangat tinggi jangan harap bisa masuk ke dalam halaman bangunan karena di atas tombak yang tingginya lima tombak itu masih ditancapi lagi dengan besi-besi runcing berduri-duri panjang setinggi tiga tombak!
Bangunan atau gedung apakah sesungguhnya yang terdapat di belakang tembok itu dan siapakah pemiliknya? Konon kabarnya gedung itu adalah sebuah biara. Biara itu kini diketuai oleh seorang Biarawati bernama Wilarani. Biarawati ini sudah lanjut usianya, hampir mencapai enam puluh tahun. Dulunya semasa muda dia merupakan seorang gadis cantik yang tersiar harum ke mana-mana kecantikannya itu. Kebahagiaan hidup muda remajanya hancur luluh sewaktu kekasih yang dicintainya lari meninggalkannya dan kawin dengan seorang anak bangsawan kaya raya sedangkan Wilarani sendiri adalah anak petani miskin.
Keputusasaan karena patah hati itu membawa akibat yang mendalam bagi Wilarani. Orang tuanya berusaha mencarikan jodoh lain untuknya, namun kegetiran percintaan yang telah dialami oleh Wilarani, yang membawa dirinya masuk kedalam lembah makan hati dan kesengsaraan bathin tak dapat lagi ditawar-tawar dengan obat apapun, sekalipun dengan pemuda-pemuda gagah lainnya, sekalipun puluhan pemuda-pemuda sekitar tempat kediamannya dan dari jauh-jauh datang melamar serta tergila-gila kepadanya!
Bagi Wilarani dunia ini sudah bukan apa-apa lagi. Di matanya cinta murni itu, cinta suci sejati hanya ada dalam mulut, tidak dalam kenyataan! Dalam keputusasaan karena patah hati, dalam kehancuran bathin dan kegelapan pemandangan, apalagi sewaktu kedua orang tuanya meninggal dunia, maka Wilarani yang saat itu sudah berumur hampir tiga puluh dan pemuda-pemuda yang dulu menggilainya tapi tak kesampaian memetik bunga harum sekuntum itu telah mulai menyiarkan ejekan-ejekan bahwa dia kini sudah menjadi “perawan tua”, akhirnya Wilarani mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman tempat kelahirannya.
Dia pergi tanpa tujuan. Hampir satu tahun dia malang melintang tiada karuan. Keadaannya sudah demikian menyedihkan, pakaian compang-camping dan tubuh kurus sakit-sakitan. Hanya satu bukti kehidupan masa mudanya yang sampai saat itu masih dimilikinya, yaitu parasnya yang cantik. Paras itu masih belum pupus kejelitaannya meski pada tepi-tepi matanya telah timbul garis-garis ketuaan dan pada pipi yang agak cekung mulai membayang kerenyut-kerenyut.
Dan kecantikan yang masih belum pupus inilah yang membuatnya suatu ketika dihadang oleh segerombolan rampok-rampok buas di tengah rimba belantara. Dia diseret kesarang rampok. Pimpinan rampok memerintahkan pembantu-pembantunya yaitu beberapa orang perempuan untuk memandikan dan membersihkan tubuh Wllarani, memberinya pakaian yang bagus dan harum-haruman. Wilarani tahu apa arti itu semua, namun daya apa yang akan dibuatnya untuk mempertahankan diri serta kehormatannya?! Dia dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang sangat bagus dan tak lama kemudian pemimpin rampok bertampang buruk buas bercambang bawuk menjijikkan masuk ke dalam kamar itu!
Si kepala rampok bersinar-sinar sepasang bola matanya.
Dibasahinya bibirnya dengan ujung lidah dan berkata disertai seringai buruk dan hidung kembang kempis.
“Ternyata kau seorang perempuan jelita! Ahh… kecantikanmu tidak kalah dengan gundik-gundikku yang paling cantik disini!”
Kepala rampok itu melangkah mendekati Wilarani yang berdiri dengan lutut gemetar serta muka pucat pasi di sudut kamar.
“He… he… kenapa menyudut ketakutan? Aku bukan macan yang mau menelanmu bulat-bulat! Tap! laki-laki kuat yang akan merangkulmu penuh nikmat! Ha… ha… ha…!”
Kemudian peluk dan ciumanpun datang bertubi-tubi atas diri Wilarani. Perempuan itu menjeri-jerit tiada hentinya dan mendorong si kepala rampok hingga terjerongkang ke tepi tempat tidur!
Kepala rampok itu duduk di tepi tempat tidur dan tertawa cengar-cengir. Wilarani lari ke pintu tapi pintu itu dikunci!
“Perempuan,” kata si kepala rampok. “Parasmu cantik, tubuhmu halus mulus. Aku tak mau gunakan kekerasan padamu. Karenanya turut saja apa mauku! Ayo buka pakaianmu biar aku bisa lekas-lekas lihat keindahan tubuhmu!”
“Laki-laki durjana! Lepaskan aku! Keluarkan aku dad sini!”
Si kepala rampok tertawa gelak-gelak.
Dia bangkit dari tempat tidur.
“Kalau tak mau buka baju sendiri berarti terpaksa aku yang telanjangi kau!” katanya.
Diterkamnya Wilarani. Jari-jari tangannya yang besar-besar bergerak kian kemari merobeki seluruh pakaian yang melekat ditubuh Wilarani! Perempuan itu menjerit! Menjerit dan menjerit!
Mendadak di luar terdengar pula suara jeritan. Terdengar lagi susul menyusul tiada henti dan dibarengi dengan suara beradunya senjata!
Belum habis kejut si kepala rampok tahu-tahu pintu kamar di dalam mana dia berada bersama Wilarani untuk melampiaskan nafsu terkutuknya ditendang bobol dari luar dan sesaat kemudian sesosok tubuh menerobos masuk ke dalam!
Yang masuk ternyata seorang nenek-nenek tua berkepala botak berjubah putih. Di tangannya sebelah kanan tergenggam seikat sapu lidi!
“Iblis tua dari manakah yang berani membuat kekacauan di sini?!” bentak si kepala rampok dengan beringas!
Si nenek tertawa melengking-lengking.
“Iblis tua dari neraka, kunyuk berewok!” balasnya membentak. “Aku diutus oleh setan-setan neraka untuk minta kau punya jiwa!”
Dan habis berkata begini si nenek sapukan sapu lidi di tangan kanannya! Kepala rampok terkejut sekali! Dia tak menyangka kalau sapu lidi itu adalah satu senjata ampuh yang dapat melepaskan angin pukulan laksana badai hebatnya!
Sambil membentak garang laki-laki itu segera cabut goloknya yang mempunyai panjang satu setengah meter dan lebar hampir satu jengkal!
Si nenek ganda tertawa melihat senjata lawannya. Dan sewaktu kepala rampok itu menerjang dengan satu tebasan lihai mematikan, si nenek kepala botak melengking-lengking lagi, berkelebat cepat dan tebasan golok kepala rampok hanya melanda angin kosong!
Kejut si kepala rampok bukan olah-olah. Jurus yang dilancarkannya tadi adalah jurus “Ekor Naga Menebas Gunung!” Selama ini tak satupun manusia yang selamat dad serangaonya yang dahsyat itu. Tapi si nenek kepala botak mengelakkannya dengan mudah dan sambil tertawa melengking-lengking!
Belum lagi habis kejut kepala rampok ini tahu-tahu ujung sapu lidi si nenek menusuk laksana kilat ke mukanya. Kepala rampok berseru kaget dan mundur cepat ke belakang. Tapi punggungnya tertahan tembok kamar! Dan sementara itu ujung sapu lawan memburu terus ke mukanya!
Terdengar jeritan laki-laki itu!
Seluruh mukanya hancur berlubang-lubang laksana dipantek ratusan paku. Matanya telah buta dan darah membanjir membasahi mukanya yang mengerikan itu! Dia melolong laksana srigala haus darah.
Kedua telapak tangan menekap muka. Tubuhnya kemudian jatuh terjerembab ke lantai, menggelepar-gelepar beberapa kali lalu menggeletak tiada nyawa lagi!
“Perempuan kau lekas ikut!” berseru si nenek kepala botak pada Wilarani.
Wilarani yang masih dikungkung rasa terkejut dan ngeri tidak segera bergerak mengikuti kata-kata si nenek! Sementara itu di luar terdengar suara puluhan kaki datang berlari mendekati kamar itu!
“Ayo lekas!” teriak si nenek. “Nenek, kau siapakah? A… aaaku….”
“Perempuan geblek! Sekarang bukan saatnya bertanya!” Si nenek kepala botak segera sambar tubuh Wilarani, memondangnya dibahu kiri lalu lari ke pintu dengan cepat.
Tapi begitu dia sampai di ambang pintu, kira-kira dua puluh orang anak buah rampok sudah menghadang dengan berbagai senjata di tangan!
“Ini dia kunyuk tua berkepala botak yang telah membunuh sebelas orang kawan-kawan kita!” teriak rampok yang terdepan!
Beberapa orang dibarisan terdepan itu yang telah memandang ke dalam kamar sama berteriak kaget! “Anjing tua ini juga telah bunuh pemimpin kita!”
“Serbu!”
“Kalau mau mampus cepatlah maju!” teriak si nenek. Dibarengi dengan suara tertawanya yang melengking-lengking maka sapu lidi di tangan kanannya disapukan ke muka! Lima rampok dibarisan terdepan terpekik! Tubuhnya rebah dengan muka berlumuran darah! Kawan-kawannya yang lain menjadi tambah kalap dan laksana air bah menyerbu menerobos ambang pintu, dengan serentak kiblatkan senjata masing-masing ke arah si nenek yang sampai saat itu masih memondong tubuh Wilarani di atas pundak kirinya. Wilarani sendiri saat itu sudah tidak sadarkan diri alias pingsan!
“Rampok-rampok bejat! Kalian memang tak perlu dikasih hidup!” seru si nenek! Didahului dengan tendangan kaki kanan yang mengeluarkan angin dahsyat si nenek putar sapunya sekeliling tubuh!
Maka susul menyusullah suara pekik kematian belasan rampok! Yang masih hidup tidak punya nyali lagi meneruskan mengeroyok si nenek yang mereka anggap bukannya manusia tapi benar-benar iblis! Mereka yang masih hidup ini segera ambil langkah seribu. Tapi si nenek mana mau kasih ampun! Meski rampok-rampok itu sudah lari beberapa jauhnya, dengan kebutan sapu lidinya yang sakti itu semua perampok yang larikan diri jungkir balik berpelantingan den menemui kematiannya!
Sewaktu Wilarani siuman didapatinya dirinya berada dalam sebuah kamar yang bagus dan si nenek kepala botak berjubah putih dilihatnya duduk di sebuah kursi goyang, duduk asyik menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil tertawa-tawa dan makan sepotong roti.
Wilarani bangkit dari pembaringan di mana dia ditidurkan. Sewaktu dia meneliti dirinya ternyata dia telah mengenakan baju jubah putih yang bagus berenda-renda setiap tepinya.
Si nenek terus juga bergoyang-goyang di kursi itu terus juga memakan rotinya.
“Nenek…”
“Akh… kau sudah siuman Wilarani? Bagus-bagus!”
Wilarani terkejut sewaktu si nenek menyebut namanya. Darimana perempuan tua ini tahu dirinya. Sedangkan dia sendiri baru kali ini bertemu muka.
“Kau tidak perlu heran bila aku mengenal namamu,” bicara lagi si nenek. Lalu dicampakkannya tepi roti yang keras lewat jendela kamar.
Wilarani memandang sekilas lewat jendela itu. Di luar dilihatnya tembok putih yang sangat tinggi menghalangi pemandangan. Pada bagian atas tembok terdapat besi-besi berduri setinggi beberapa tombak. Kemudian perempuan ini alihkan kembali pandangannya pada si nenek yang duduk di kursi goyang, lalu berdiri dan melangkah kehadapan si nenek.
Dihadapan nenek kepala botak ini Wilarani menjura hormat dan berkata.
“Nenek, meski aku tidak kenal kau tapi kau telah selamatkan aku dari perbuatan terkutuk dan kebejatan! Aku yang buruk ini haturkan terima kasih sedalam-dalamnya…”
Si nenek tertawa gelak-gelak. Dari atas meja disampingnya diambil lagi sepotong roti yang terletak di dalam piring. Wilarani menyadari betapa perutnya sangat lapar sewaktu dilihatnya roti yang di atas meja itu. Tapi si nenek tidak menawarkan kepadanya.
“Kau duduk saja kembali ke pembaringan itu,” memerintah si nenek.
Wilarani menurut dan duduk di tepi tempat tidur.
Karena si nenek tidak berkata-kata dan asyik terus menggerogoti rotinya maka bertanyalah Wilarani. “Nenek, apakah aku yang rendah ini boleh tahu siapa kau adanya dan di mana aku berada saat ini?!”
Si nenek habiskan dulu rotinya baru menjawab.
“Siapa aku?! He, itulah yang aku sendiri tidak tahu!” Lalu nenek itu tertawa terlengking-lengking.
Wilarani tak habis heran. Nenek kepala botak ini agaknya seorang sakti yang aneh misterius.
Dalam pada itu si nenek membuka lagi mulutnya, berkata. “Orang-orang juga sering bertanya seperti kau. Siapa aku?! siapa aku?! Dan aku selalu bilang pada mereka aku sendiri tidak tahu! Kadang-kadang ada yang keliwatan mendesak, tanya terus, tanya terus! Lalu aku jawab aku adalah seorang nenek-nenek buruk berkepala botak!” Kembali si nenek tertawa melengking-lengking!
Mau tak mau Wilarani ikut pula tertawal “Ha…,” si nenek hela nafas. “Kau bisa juga tertawa ya? Kata orang kalau banyak tertawa bisa awet muda! tapi aku yang sudah tua semakin banyak tertawa semakin keriputan! Semakin jelek!”
Wilarani tertawa cekikikan. Tapi tertawanya itu ditahan-tahan karena khawatir si nenek akan marah! Terhadap orang bersifat aneh musti berlaku hati-hati, demikian membathin Wilarani.
“Wilarani!” berkata si nenek sesudah roti kedua dihabiskannya. “Di mana kau berada saat ini pun, kau tak perlu tahu! Yang penting yang musti kau ketahui ialah bahwa kau harus diam di sini bersamaku selama dua puluh tahun!”
Kagetlah Wilarani.
“Nenek, apa maksudmu…?!” tanya Wilarani.
Lama si nenek berdiam diri, memandang lurus-lurus ke tembok kamar dihadapannya seakan-akan pandangannya itu hendak menembus ketebalan tembok itu.
“Selama dua puluh tahun itu kau sama sekali tidak boleh meninggalkan tembok ini, tidak boleh keluar dari tembok yang membatasi gedung ini! Jika kau melanggar pantangan itu, hukuman yang berat akan jatuh atas dirimu dan kau akan disekap selama empat puluh tahun dipenjara di bawah tanah yang gelap gulita!”
Berubahlah paras Wilarani mendengar ucapan si nenek. Dia membathin jika si nenek membawanya ke sini dengan maksud jahat mengapa dia telah ditolong dari tangen perampok-peramok itu? Tapi kini sesudah ditolong kenapa pula dia musti tinggal selama dua puluh tahun dalam gedung itu tak boleh keluar dan jika melanggar pantangan akan disekap dipenjara bawah tanah selama empat puluh tahun?! Sungguh aneh! Aneh tapi diam-diam juga menggidikkan Wilarani! Kalau dia mengikuti kehendak si nenek, berarti dua puluh tahun kemudian dia sudah menjadi nenek-nenek pula dan dalam keadaan masih perawan, perawan tua! Sebaliknya bila dia membantah, dia akan disekap empat puluh tahun dalam penjara bawah tanah, ini berarti pada saat dia dibebaskan nanti usianya sudah mencapai tujuh puluh tahun!
“Aku tahu apa yang kau pikirkan dalam benakmu!” berkata tiba-tiba si nenek. “Dan kau juga musti tahu banyak hal tentang dunia luar, tentang dunia persilatan! Apa yang kau ketahui tentang dunia luar, tentang dunia persilatan?!”
“Banyak nenek….”
“Coba sebutkan!”
Wilarani bungkam. Dia memang banyak mengetahui seluk beluk dunia luar semenjak pengembaraannya meninggalkan kampung halaman dan tahu pula bahwa dunia luaran itu penuh dengan tokoh-tokoh persilatan kalangan hitam serta putih meskipun dia bukanlah seorang yang telah mencemplungkan diri dalam dunia persilatan.
Si nenek menyeringai.
“Kau bilang tahu banyak! Tapi kau tidak dapat menuturkannya!” kata si nenek kepala botak yang sampai saat ini masih belum diketahui namanya oleh Wilarani.
“Kau tahu Wilarani, dunia yang sekarang ini tidak sama dengan sewaktu mula-mula Gusti Allah menjadikannya! Dulu dunia ini begitu suci! Tapi kini keindahan itu telah lenyap tak digubris manusia-manusia bertangan kotor berhati jahat! Kekotoran terjadi dimana-mana, kejahatan terjadi di mana-mana, kemesuman, ketidakadilan, penindasan, pembunuhan. Dunia kacau! Apalagi dalam kalangan persilatan. Dunia persilatan telah terpecah dua menjadi dua golongan. Golongan putih atau golongan yang mengutamakan kebaikan serta membantu sesama manusia, golongan yang bercita-cita luhur demi menenteramkan bumi Tuhan ini! Sebaliknya golongan hitam mempunyai tindakan dan cita-cita yang berlawanan dengan golongan putih! Mereka membuat kejahatan, kemaksiatan, kemesuman, penindasan sampai kepada pembunuhan. Semakin hari semakin banyak juga jumlah golongan hitam ini balk yang menjadi perampok, maupun yang menjadi bergundal-bergundal kaum bangsawan atau kerajaan, atau yang bertindak malang melintang seenaknya sendiri saja melakukan kejahatan tanpa pertanggungan jawab!
Demikian banyaknya penganut golongan hitam hingga golongan putih menjadi terdesak dan kewalahan bahkan boleh dikatakan kini menjadi banyak yang tidak berdaya menghadapi bergajul-bergajul golongan hitam itu. Dan hampir keseluruhan tokoh-tokoh silat golongan hitam atau putih itu adalah laki-laki! Kaum laki-laki telah mencoba untuk menentramkan dunia ini tapi tidak berhasil. Golongan hitam telah membuat keonaran di mana-mana. Membuat ribuan manusia rakyat jelata hidup dalam kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi hari besok dan besoknya lagi! Kaum laki-laki telah tidak berhasil menciptakan apapun di dunia ini demi keselamatan hidup bersama. Ketidakadilan, kekacauan, segala macam kejahatan, pokoknya seribu satu macam kegagalan telah dibuat kaum laki-laki!
Melihat kepada kenyataan itu semua maka aku yang sudah pikun ini yang sudah tak selembar rambutpun tumbuh di batok kepalaku ini, merasa bahwa kini sudahlah saatnya bagi kaum perempuan untuk bangun, untuk bangkit menggantikan kedudukan kaum laki-laki yang telah menemui kegagalan itu! Kaum perempuan harus bangun sebagai penegak keadilan, pembasmi kejahatan dan musti bisa menciptakan satu dunia yang aman tenteram dan damai!”
Lama si nenek terdiam, lama pula Wilarani termangu merenungkan ucapan-ucapan si nenek.
“Tapi nenek,” berkata Wilarani, “apakah cita-cita luhur itu mungkin berhasil..?”
Si nenek tertawa gelak-gelak dan menggoyang-goyangkan kursi yang didudukinya.
“Kenapa tidak mungkin katamu?! Apa selama ini cuma kaum laki-laki yang bisa menjagoi dunia persilatan? Apa cuma orang laki-laki yang bisa main silat dan memiliki ilmu kesaktian?! Apa cuma orang laki-laki yang becus mainkan pedang atau keris atau golok?! Kentut semua kalau orang berpikir begitu! Justru orang laki-laki kalau tidak dibrojotkan sama perempuan pasti tidak ada di dunia ini. Bukan begitu…?!” Si nenek tertawa melengking-lengking.
Wilarani tak dapat pula menahan rasa gelinya lalu tertawa cekikikan.
“Memang… memang untuk melaksanakan dan mewujudkan cita-cita itu tidak mudah, memakan waktu lama dan penuh pengorbanan! Kita haruslah menghubungi tokoh-tokoh silat wanita golongan putih yang masih hidup saat ini. Mereka pasti mau diajak bersama. Seperti si Sinto Weni yang diam di puncak Gunung Gede. Dulu dia menjagoi dunia persilatan selama puluhan tahun, ilmunya tinggi, dihormati kawan dan ditakuti lawan! Kabarnya kini dia sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan dan membersihkan diri di puncak gunung itu. Namun jika aku menyambanginya dan tuturkan cita-citaku, pasti dia mau bergabung.
Sifatnya sangat aneh, macam orang gila! Karena itu di dunia persilatan dia dikasih gelar si Sinto Gendeng! Nah, kalau kita punya tokoh-tokoh wanita macam Sinto Gendeng itu, masakan aku tak sanggup mewujudkan cita-citaku?!”
Si nenek kepala botak memalingkan kepalanya pada Wilarani.
“Bagaimana? Kau pilih dua puluh tahun tinggal di sini dan ikut bersamaku atau di sekap empat puluh tahun di bawah tanah?!”
Wilarani merenung lama sekali.
Hidupnya di dunia luar sana sejak ditinggal kekasihnya memang sudah tak punya arti apa-apa. Di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Orang tua sudah meninggal, sanak saudara tidak punya. Dunia penuh dengan kekalutan dan kejahatan yang selalu memburu manusia-manusia tak berdosa! Lagi pula sejak kekasihnya lari kawin itu keputusasaan yang mendalam membuat Wilarani kehilangan kepercayaan pada laki-laki!
Baginya laki-laki tiada lain seorang penipu yang bercinta dengan mulut dan kemudian melarikan diri bila menemui perempuan lain yang lebih cantik! Yang keturunan orang baik-baik, bangsawan kaya raya!
Diingatnya pula pertolongan serta jasa besar yang telah diberikan si nenek kepadanya! Setelah merenung lagi beberapa lama maka akhirnya Wilarani membuka mulut bersuara.
“Baiklah nenek tua, aku akan tinggal bersamamu di sini selama dua puluh tahun!”
“Bagus!” Si nenek kepala botak tertawa dengan gembiranya. Dia bergoyang-goyang beberapa lamanya di atas kursi goyangnya kemudian berkata. “Besok pagi kau akan kumandikan dengan air kembang dua puluh rupa! Dan mulai besok kau ku angkat menjadi muridku! Ku akan didik kau selama dua puluh tahun! Bila otakmu cerdas dan rajin, punya kemauan, kau kelak kuangkat jadi murid kepala, mengepalai lima puluh janda-janda dan gadis-gadis yang sudah kukumpulkan di sini.”
Wilarani berdiri dari pembaringan dan menjura dihadapan si nenek kepala botak.
“Nenek, aku haturkan terima kasih karena menaruh kepercayaan padaku dan telah sudi mengambil aku jadi muridmu.”
Nenek itu manggut-manggut di kursi goyangnya.
Dia bertepuk tiga kali.
Pintu kamar terbuka. Seorang perempuan muda berparas ayu, berjubah dan bertutup (berkerudung) kain putih masuk ke dalam kamar itu, menjura di hadapan si orang tua.
“Biarawati Sembilan belas siap menunggu perintah,” kata perempuan ini.
“Umumkan pada seisi Biara Pensuci Jagat bahwa besok akan ada upacara pemandian biarawati baru yang akan kuangkat menjadi muridku secara resmi!”
“Baik Eyang,” menjura perempuan berjubah dan berkerudung kepala kain putih kemudian berlalu.
Si nenek yang dipanggil Eyang oleh Biarawati Sembilanbelas tadi menepuk tangannya dua kali. Pintu terbuka lagi. Seorang perempuan muda yang berparas cantik dan juga mengenakan jubah serta kerudung kepala kain putih memasuki ruangan.
Seperti Biarawati Sembilanbelas dia menjura dan berkata,
“Biarawati Tigapuluhdua siap menunggu perintah.”
Dan si nenek berkata, “Perintahkan biarawati-biarawati di bagian dapur menyediakan makanan untuk kawanmu yang baru ini!”
Biarawati Tigapuluhdua mengerling pada Wilarani sebentar kemudian mengangguk. Setelah menjura dia segera pula meninggalkan kamar itu.
Tak berapa jauh dari kaki Welangmanuk terdapat sebuah pedataran tinggi yang subur. Kebun sayur mayur terbentang menghijau di mana-mana.
Bila seseorang berdiri di atas pedataran tinggi ini dan memandang ke bawah maka tampaklah pemandangan yang sangat indah dari lembah Manukwilis. Di atas pedataran tinggi itu terletaklah sebuah bangunan dari tembok yang selain besar juga sangat bagus bentuknya. Keseluruhan bangunan ini dicat putih dan dipagari dengan tembok setinggi lima tombak. Untuk masuk ke halaman dalam bangunan cuma ada sebuah pintu. Pintu ini juga terbuat dari batu yang hanya bisa dibuka secara rahasia. Kalau bukan orang yang berilmu sangat tinggi jangan harap bisa masuk ke dalam halaman bangunan karena di atas tombak yang tingginya lima tombak itu masih ditancapi lagi dengan besi-besi runcing berduri-duri panjang setinggi tiga tombak!
Bangunan atau gedung apakah sesungguhnya yang terdapat di belakang tembok itu dan siapakah pemiliknya? Konon kabarnya gedung itu adalah sebuah biara. Biara itu kini diketuai oleh seorang Biarawati bernama Wilarani. Biarawati ini sudah lanjut usianya, hampir mencapai enam puluh tahun. Dulunya semasa muda dia merupakan seorang gadis cantik yang tersiar harum ke mana-mana kecantikannya itu. Kebahagiaan hidup muda remajanya hancur luluh sewaktu kekasih yang dicintainya lari meninggalkannya dan kawin dengan seorang anak bangsawan kaya raya sedangkan Wilarani sendiri adalah anak petani miskin.
Keputusasaan karena patah hati itu membawa akibat yang mendalam bagi Wilarani. Orang tuanya berusaha mencarikan jodoh lain untuknya, namun kegetiran percintaan yang telah dialami oleh Wilarani, yang membawa dirinya masuk kedalam lembah makan hati dan kesengsaraan bathin tak dapat lagi ditawar-tawar dengan obat apapun, sekalipun dengan pemuda-pemuda gagah lainnya, sekalipun puluhan pemuda-pemuda sekitar tempat kediamannya dan dari jauh-jauh datang melamar serta tergila-gila kepadanya!
Bagi Wilarani dunia ini sudah bukan apa-apa lagi. Di matanya cinta murni itu, cinta suci sejati hanya ada dalam mulut, tidak dalam kenyataan! Dalam keputusasaan karena patah hati, dalam kehancuran bathin dan kegelapan pemandangan, apalagi sewaktu kedua orang tuanya meninggal dunia, maka Wilarani yang saat itu sudah berumur hampir tiga puluh dan pemuda-pemuda yang dulu menggilainya tapi tak kesampaian memetik bunga harum sekuntum itu telah mulai menyiarkan ejekan-ejekan bahwa dia kini sudah menjadi “perawan tua”, akhirnya Wilarani mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman tempat kelahirannya.
Dia pergi tanpa tujuan. Hampir satu tahun dia malang melintang tiada karuan. Keadaannya sudah demikian menyedihkan, pakaian compang-camping dan tubuh kurus sakit-sakitan. Hanya satu bukti kehidupan masa mudanya yang sampai saat itu masih dimilikinya, yaitu parasnya yang cantik. Paras itu masih belum pupus kejelitaannya meski pada tepi-tepi matanya telah timbul garis-garis ketuaan dan pada pipi yang agak cekung mulai membayang kerenyut-kerenyut.
Dan kecantikan yang masih belum pupus inilah yang membuatnya suatu ketika dihadang oleh segerombolan rampok-rampok buas di tengah rimba belantara. Dia diseret kesarang rampok. Pimpinan rampok memerintahkan pembantu-pembantunya yaitu beberapa orang perempuan untuk memandikan dan membersihkan tubuh Wllarani, memberinya pakaian yang bagus dan harum-haruman. Wilarani tahu apa arti itu semua, namun daya apa yang akan dibuatnya untuk mempertahankan diri serta kehormatannya?! Dia dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang sangat bagus dan tak lama kemudian pemimpin rampok bertampang buruk buas bercambang bawuk menjijikkan masuk ke dalam kamar itu!
Si kepala rampok bersinar-sinar sepasang bola matanya.
Dibasahinya bibirnya dengan ujung lidah dan berkata disertai seringai buruk dan hidung kembang kempis.
“Ternyata kau seorang perempuan jelita! Ahh… kecantikanmu tidak kalah dengan gundik-gundikku yang paling cantik disini!”
Kepala rampok itu melangkah mendekati Wilarani yang berdiri dengan lutut gemetar serta muka pucat pasi di sudut kamar.
“He… he… kenapa menyudut ketakutan? Aku bukan macan yang mau menelanmu bulat-bulat! Tap! laki-laki kuat yang akan merangkulmu penuh nikmat! Ha… ha… ha…!”
Kemudian peluk dan ciumanpun datang bertubi-tubi atas diri Wilarani. Perempuan itu menjeri-jerit tiada hentinya dan mendorong si kepala rampok hingga terjerongkang ke tepi tempat tidur!
Kepala rampok itu duduk di tepi tempat tidur dan tertawa cengar-cengir. Wilarani lari ke pintu tapi pintu itu dikunci!
“Perempuan,” kata si kepala rampok. “Parasmu cantik, tubuhmu halus mulus. Aku tak mau gunakan kekerasan padamu. Karenanya turut saja apa mauku! Ayo buka pakaianmu biar aku bisa lekas-lekas lihat keindahan tubuhmu!”
“Laki-laki durjana! Lepaskan aku! Keluarkan aku dad sini!”
Si kepala rampok tertawa gelak-gelak.
Dia bangkit dari tempat tidur.
“Kalau tak mau buka baju sendiri berarti terpaksa aku yang telanjangi kau!” katanya.
Diterkamnya Wilarani. Jari-jari tangannya yang besar-besar bergerak kian kemari merobeki seluruh pakaian yang melekat ditubuh Wilarani! Perempuan itu menjerit! Menjerit dan menjerit!
Mendadak di luar terdengar pula suara jeritan. Terdengar lagi susul menyusul tiada henti dan dibarengi dengan suara beradunya senjata!
Belum habis kejut si kepala rampok tahu-tahu pintu kamar di dalam mana dia berada bersama Wilarani untuk melampiaskan nafsu terkutuknya ditendang bobol dari luar dan sesaat kemudian sesosok tubuh menerobos masuk ke dalam!
Yang masuk ternyata seorang nenek-nenek tua berkepala botak berjubah putih. Di tangannya sebelah kanan tergenggam seikat sapu lidi!
“Iblis tua dari manakah yang berani membuat kekacauan di sini?!” bentak si kepala rampok dengan beringas!
Si nenek tertawa melengking-lengking.
“Iblis tua dari neraka, kunyuk berewok!” balasnya membentak. “Aku diutus oleh setan-setan neraka untuk minta kau punya jiwa!”
Dan habis berkata begini si nenek sapukan sapu lidi di tangan kanannya! Kepala rampok terkejut sekali! Dia tak menyangka kalau sapu lidi itu adalah satu senjata ampuh yang dapat melepaskan angin pukulan laksana badai hebatnya!
Sambil membentak garang laki-laki itu segera cabut goloknya yang mempunyai panjang satu setengah meter dan lebar hampir satu jengkal!
Si nenek ganda tertawa melihat senjata lawannya. Dan sewaktu kepala rampok itu menerjang dengan satu tebasan lihai mematikan, si nenek kepala botak melengking-lengking lagi, berkelebat cepat dan tebasan golok kepala rampok hanya melanda angin kosong!
Kejut si kepala rampok bukan olah-olah. Jurus yang dilancarkannya tadi adalah jurus “Ekor Naga Menebas Gunung!” Selama ini tak satupun manusia yang selamat dad serangaonya yang dahsyat itu. Tapi si nenek kepala botak mengelakkannya dengan mudah dan sambil tertawa melengking-lengking!
Belum lagi habis kejut kepala rampok ini tahu-tahu ujung sapu lidi si nenek menusuk laksana kilat ke mukanya. Kepala rampok berseru kaget dan mundur cepat ke belakang. Tapi punggungnya tertahan tembok kamar! Dan sementara itu ujung sapu lawan memburu terus ke mukanya!
Terdengar jeritan laki-laki itu!
Seluruh mukanya hancur berlubang-lubang laksana dipantek ratusan paku. Matanya telah buta dan darah membanjir membasahi mukanya yang mengerikan itu! Dia melolong laksana srigala haus darah.
Kedua telapak tangan menekap muka. Tubuhnya kemudian jatuh terjerembab ke lantai, menggelepar-gelepar beberapa kali lalu menggeletak tiada nyawa lagi!
“Perempuan kau lekas ikut!” berseru si nenek kepala botak pada Wilarani.
Wilarani yang masih dikungkung rasa terkejut dan ngeri tidak segera bergerak mengikuti kata-kata si nenek! Sementara itu di luar terdengar suara puluhan kaki datang berlari mendekati kamar itu!
“Ayo lekas!” teriak si nenek. “Nenek, kau siapakah? A… aaaku….”
“Perempuan geblek! Sekarang bukan saatnya bertanya!” Si nenek kepala botak segera sambar tubuh Wilarani, memondangnya dibahu kiri lalu lari ke pintu dengan cepat.
Tapi begitu dia sampai di ambang pintu, kira-kira dua puluh orang anak buah rampok sudah menghadang dengan berbagai senjata di tangan!
“Ini dia kunyuk tua berkepala botak yang telah membunuh sebelas orang kawan-kawan kita!” teriak rampok yang terdepan!
Beberapa orang dibarisan terdepan itu yang telah memandang ke dalam kamar sama berteriak kaget! “Anjing tua ini juga telah bunuh pemimpin kita!”
“Serbu!”
“Kalau mau mampus cepatlah maju!” teriak si nenek. Dibarengi dengan suara tertawanya yang melengking-lengking maka sapu lidi di tangan kanannya disapukan ke muka! Lima rampok dibarisan terdepan terpekik! Tubuhnya rebah dengan muka berlumuran darah! Kawan-kawannya yang lain menjadi tambah kalap dan laksana air bah menyerbu menerobos ambang pintu, dengan serentak kiblatkan senjata masing-masing ke arah si nenek yang sampai saat itu masih memondong tubuh Wilarani di atas pundak kirinya. Wilarani sendiri saat itu sudah tidak sadarkan diri alias pingsan!
“Rampok-rampok bejat! Kalian memang tak perlu dikasih hidup!” seru si nenek! Didahului dengan tendangan kaki kanan yang mengeluarkan angin dahsyat si nenek putar sapunya sekeliling tubuh!
Maka susul menyusullah suara pekik kematian belasan rampok! Yang masih hidup tidak punya nyali lagi meneruskan mengeroyok si nenek yang mereka anggap bukannya manusia tapi benar-benar iblis! Mereka yang masih hidup ini segera ambil langkah seribu. Tapi si nenek mana mau kasih ampun! Meski rampok-rampok itu sudah lari beberapa jauhnya, dengan kebutan sapu lidinya yang sakti itu semua perampok yang larikan diri jungkir balik berpelantingan den menemui kematiannya!
Sewaktu Wilarani siuman didapatinya dirinya berada dalam sebuah kamar yang bagus dan si nenek kepala botak berjubah putih dilihatnya duduk di sebuah kursi goyang, duduk asyik menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil tertawa-tawa dan makan sepotong roti.
Wilarani bangkit dari pembaringan di mana dia ditidurkan. Sewaktu dia meneliti dirinya ternyata dia telah mengenakan baju jubah putih yang bagus berenda-renda setiap tepinya.
Si nenek terus juga bergoyang-goyang di kursi itu terus juga memakan rotinya.
“Nenek…”
“Akh… kau sudah siuman Wilarani? Bagus-bagus!”
Wilarani terkejut sewaktu si nenek menyebut namanya. Darimana perempuan tua ini tahu dirinya. Sedangkan dia sendiri baru kali ini bertemu muka.
“Kau tidak perlu heran bila aku mengenal namamu,” bicara lagi si nenek. Lalu dicampakkannya tepi roti yang keras lewat jendela kamar.
Wilarani memandang sekilas lewat jendela itu. Di luar dilihatnya tembok putih yang sangat tinggi menghalangi pemandangan. Pada bagian atas tembok terdapat besi-besi berduri setinggi beberapa tombak. Kemudian perempuan ini alihkan kembali pandangannya pada si nenek yang duduk di kursi goyang, lalu berdiri dan melangkah kehadapan si nenek.
Dihadapan nenek kepala botak ini Wilarani menjura hormat dan berkata.
“Nenek, meski aku tidak kenal kau tapi kau telah selamatkan aku dari perbuatan terkutuk dan kebejatan! Aku yang buruk ini haturkan terima kasih sedalam-dalamnya…”
Si nenek tertawa gelak-gelak. Dari atas meja disampingnya diambil lagi sepotong roti yang terletak di dalam piring. Wilarani menyadari betapa perutnya sangat lapar sewaktu dilihatnya roti yang di atas meja itu. Tapi si nenek tidak menawarkan kepadanya.
“Kau duduk saja kembali ke pembaringan itu,” memerintah si nenek.
Wilarani menurut dan duduk di tepi tempat tidur.
Karena si nenek tidak berkata-kata dan asyik terus menggerogoti rotinya maka bertanyalah Wilarani. “Nenek, apakah aku yang rendah ini boleh tahu siapa kau adanya dan di mana aku berada saat ini?!”
Si nenek habiskan dulu rotinya baru menjawab.
“Siapa aku?! He, itulah yang aku sendiri tidak tahu!” Lalu nenek itu tertawa terlengking-lengking.
Wilarani tak habis heran. Nenek kepala botak ini agaknya seorang sakti yang aneh misterius.
Dalam pada itu si nenek membuka lagi mulutnya, berkata. “Orang-orang juga sering bertanya seperti kau. Siapa aku?! siapa aku?! Dan aku selalu bilang pada mereka aku sendiri tidak tahu! Kadang-kadang ada yang keliwatan mendesak, tanya terus, tanya terus! Lalu aku jawab aku adalah seorang nenek-nenek buruk berkepala botak!” Kembali si nenek tertawa melengking-lengking!
Mau tak mau Wilarani ikut pula tertawal “Ha…,” si nenek hela nafas. “Kau bisa juga tertawa ya? Kata orang kalau banyak tertawa bisa awet muda! tapi aku yang sudah tua semakin banyak tertawa semakin keriputan! Semakin jelek!”
Wilarani tertawa cekikikan. Tapi tertawanya itu ditahan-tahan karena khawatir si nenek akan marah! Terhadap orang bersifat aneh musti berlaku hati-hati, demikian membathin Wilarani.
“Wilarani!” berkata si nenek sesudah roti kedua dihabiskannya. “Di mana kau berada saat ini pun, kau tak perlu tahu! Yang penting yang musti kau ketahui ialah bahwa kau harus diam di sini bersamaku selama dua puluh tahun!”
Kagetlah Wilarani.
“Nenek, apa maksudmu…?!” tanya Wilarani.
Lama si nenek berdiam diri, memandang lurus-lurus ke tembok kamar dihadapannya seakan-akan pandangannya itu hendak menembus ketebalan tembok itu.
“Selama dua puluh tahun itu kau sama sekali tidak boleh meninggalkan tembok ini, tidak boleh keluar dari tembok yang membatasi gedung ini! Jika kau melanggar pantangan itu, hukuman yang berat akan jatuh atas dirimu dan kau akan disekap selama empat puluh tahun dipenjara di bawah tanah yang gelap gulita!”
Berubahlah paras Wilarani mendengar ucapan si nenek. Dia membathin jika si nenek membawanya ke sini dengan maksud jahat mengapa dia telah ditolong dari tangen perampok-peramok itu? Tapi kini sesudah ditolong kenapa pula dia musti tinggal selama dua puluh tahun dalam gedung itu tak boleh keluar dan jika melanggar pantangan akan disekap dipenjara bawah tanah selama empat puluh tahun?! Sungguh aneh! Aneh tapi diam-diam juga menggidikkan Wilarani! Kalau dia mengikuti kehendak si nenek, berarti dua puluh tahun kemudian dia sudah menjadi nenek-nenek pula dan dalam keadaan masih perawan, perawan tua! Sebaliknya bila dia membantah, dia akan disekap empat puluh tahun dalam penjara bawah tanah, ini berarti pada saat dia dibebaskan nanti usianya sudah mencapai tujuh puluh tahun!
“Aku tahu apa yang kau pikirkan dalam benakmu!” berkata tiba-tiba si nenek. “Dan kau juga musti tahu banyak hal tentang dunia luar, tentang dunia persilatan! Apa yang kau ketahui tentang dunia luar, tentang dunia persilatan?!”
“Banyak nenek….”
“Coba sebutkan!”
Wilarani bungkam. Dia memang banyak mengetahui seluk beluk dunia luar semenjak pengembaraannya meninggalkan kampung halaman dan tahu pula bahwa dunia luaran itu penuh dengan tokoh-tokoh persilatan kalangan hitam serta putih meskipun dia bukanlah seorang yang telah mencemplungkan diri dalam dunia persilatan.
Si nenek menyeringai.
“Kau bilang tahu banyak! Tapi kau tidak dapat menuturkannya!” kata si nenek kepala botak yang sampai saat ini masih belum diketahui namanya oleh Wilarani.
“Kau tahu Wilarani, dunia yang sekarang ini tidak sama dengan sewaktu mula-mula Gusti Allah menjadikannya! Dulu dunia ini begitu suci! Tapi kini keindahan itu telah lenyap tak digubris manusia-manusia bertangan kotor berhati jahat! Kekotoran terjadi dimana-mana, kejahatan terjadi di mana-mana, kemesuman, ketidakadilan, penindasan, pembunuhan. Dunia kacau! Apalagi dalam kalangan persilatan. Dunia persilatan telah terpecah dua menjadi dua golongan. Golongan putih atau golongan yang mengutamakan kebaikan serta membantu sesama manusia, golongan yang bercita-cita luhur demi menenteramkan bumi Tuhan ini! Sebaliknya golongan hitam mempunyai tindakan dan cita-cita yang berlawanan dengan golongan putih! Mereka membuat kejahatan, kemaksiatan, kemesuman, penindasan sampai kepada pembunuhan. Semakin hari semakin banyak juga jumlah golongan hitam ini balk yang menjadi perampok, maupun yang menjadi bergundal-bergundal kaum bangsawan atau kerajaan, atau yang bertindak malang melintang seenaknya sendiri saja melakukan kejahatan tanpa pertanggungan jawab!
Demikian banyaknya penganut golongan hitam hingga golongan putih menjadi terdesak dan kewalahan bahkan boleh dikatakan kini menjadi banyak yang tidak berdaya menghadapi bergajul-bergajul golongan hitam itu. Dan hampir keseluruhan tokoh-tokoh silat golongan hitam atau putih itu adalah laki-laki! Kaum laki-laki telah mencoba untuk menentramkan dunia ini tapi tidak berhasil. Golongan hitam telah membuat keonaran di mana-mana. Membuat ribuan manusia rakyat jelata hidup dalam kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi hari besok dan besoknya lagi! Kaum laki-laki telah tidak berhasil menciptakan apapun di dunia ini demi keselamatan hidup bersama. Ketidakadilan, kekacauan, segala macam kejahatan, pokoknya seribu satu macam kegagalan telah dibuat kaum laki-laki!
Melihat kepada kenyataan itu semua maka aku yang sudah pikun ini yang sudah tak selembar rambutpun tumbuh di batok kepalaku ini, merasa bahwa kini sudahlah saatnya bagi kaum perempuan untuk bangun, untuk bangkit menggantikan kedudukan kaum laki-laki yang telah menemui kegagalan itu! Kaum perempuan harus bangun sebagai penegak keadilan, pembasmi kejahatan dan musti bisa menciptakan satu dunia yang aman tenteram dan damai!”
Lama si nenek terdiam, lama pula Wilarani termangu merenungkan ucapan-ucapan si nenek.
“Tapi nenek,” berkata Wilarani, “apakah cita-cita luhur itu mungkin berhasil..?”
Si nenek tertawa gelak-gelak dan menggoyang-goyangkan kursi yang didudukinya.
“Kenapa tidak mungkin katamu?! Apa selama ini cuma kaum laki-laki yang bisa menjagoi dunia persilatan? Apa cuma orang laki-laki yang bisa main silat dan memiliki ilmu kesaktian?! Apa cuma orang laki-laki yang becus mainkan pedang atau keris atau golok?! Kentut semua kalau orang berpikir begitu! Justru orang laki-laki kalau tidak dibrojotkan sama perempuan pasti tidak ada di dunia ini. Bukan begitu…?!” Si nenek tertawa melengking-lengking.
Wilarani tak dapat pula menahan rasa gelinya lalu tertawa cekikikan.
“Memang… memang untuk melaksanakan dan mewujudkan cita-cita itu tidak mudah, memakan waktu lama dan penuh pengorbanan! Kita haruslah menghubungi tokoh-tokoh silat wanita golongan putih yang masih hidup saat ini. Mereka pasti mau diajak bersama. Seperti si Sinto Weni yang diam di puncak Gunung Gede. Dulu dia menjagoi dunia persilatan selama puluhan tahun, ilmunya tinggi, dihormati kawan dan ditakuti lawan! Kabarnya kini dia sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan dan membersihkan diri di puncak gunung itu. Namun jika aku menyambanginya dan tuturkan cita-citaku, pasti dia mau bergabung.
Sifatnya sangat aneh, macam orang gila! Karena itu di dunia persilatan dia dikasih gelar si Sinto Gendeng! Nah, kalau kita punya tokoh-tokoh wanita macam Sinto Gendeng itu, masakan aku tak sanggup mewujudkan cita-citaku?!”
Si nenek kepala botak memalingkan kepalanya pada Wilarani.
“Bagaimana? Kau pilih dua puluh tahun tinggal di sini dan ikut bersamaku atau di sekap empat puluh tahun di bawah tanah?!”
Wilarani merenung lama sekali.
Hidupnya di dunia luar sana sejak ditinggal kekasihnya memang sudah tak punya arti apa-apa. Di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Orang tua sudah meninggal, sanak saudara tidak punya. Dunia penuh dengan kekalutan dan kejahatan yang selalu memburu manusia-manusia tak berdosa! Lagi pula sejak kekasihnya lari kawin itu keputusasaan yang mendalam membuat Wilarani kehilangan kepercayaan pada laki-laki!
Baginya laki-laki tiada lain seorang penipu yang bercinta dengan mulut dan kemudian melarikan diri bila menemui perempuan lain yang lebih cantik! Yang keturunan orang baik-baik, bangsawan kaya raya!
Diingatnya pula pertolongan serta jasa besar yang telah diberikan si nenek kepadanya! Setelah merenung lagi beberapa lama maka akhirnya Wilarani membuka mulut bersuara.
“Baiklah nenek tua, aku akan tinggal bersamamu di sini selama dua puluh tahun!”
“Bagus!” Si nenek kepala botak tertawa dengan gembiranya. Dia bergoyang-goyang beberapa lamanya di atas kursi goyangnya kemudian berkata. “Besok pagi kau akan kumandikan dengan air kembang dua puluh rupa! Dan mulai besok kau ku angkat menjadi muridku! Ku akan didik kau selama dua puluh tahun! Bila otakmu cerdas dan rajin, punya kemauan, kau kelak kuangkat jadi murid kepala, mengepalai lima puluh janda-janda dan gadis-gadis yang sudah kukumpulkan di sini.”
Wilarani berdiri dari pembaringan dan menjura dihadapan si nenek kepala botak.
“Nenek, aku haturkan terima kasih karena menaruh kepercayaan padaku dan telah sudi mengambil aku jadi muridmu.”
Nenek itu manggut-manggut di kursi goyangnya.
Dia bertepuk tiga kali.
Pintu kamar terbuka. Seorang perempuan muda berparas ayu, berjubah dan bertutup (berkerudung) kain putih masuk ke dalam kamar itu, menjura di hadapan si orang tua.
“Biarawati Sembilan belas siap menunggu perintah,” kata perempuan ini.
“Umumkan pada seisi Biara Pensuci Jagat bahwa besok akan ada upacara pemandian biarawati baru yang akan kuangkat menjadi muridku secara resmi!”
“Baik Eyang,” menjura perempuan berjubah dan berkerudung kepala kain putih kemudian berlalu.
Si nenek yang dipanggil Eyang oleh Biarawati Sembilanbelas tadi menepuk tangannya dua kali. Pintu terbuka lagi. Seorang perempuan muda yang berparas cantik dan juga mengenakan jubah serta kerudung kepala kain putih memasuki ruangan.
Seperti Biarawati Sembilanbelas dia menjura dan berkata,
“Biarawati Tigapuluhdua siap menunggu perintah.”
Dan si nenek berkata, “Perintahkan biarawati-biarawati di bagian dapur menyediakan makanan untuk kawanmu yang baru ini!”
Biarawati Tigapuluhdua mengerling pada Wilarani sebentar kemudian mengangguk. Setelah menjura dia segera pula meninggalkan kamar itu.
Dua puluh tahun sesudah Wilarani dating pertama kali di Biara Pensuci Jagat…
Kamar itu diselimuti kesunyian. Hampir tak ada perbedaan dengan masa-masa di duapuluh tahun yang silam. Hanya dua manusia yang ada di dalam kamar itulah yang kelihatan banyak berubah.
Nenek kepala botak kelihatan semakin tua. Kedua mata serta pipinya mencekung, keriput-keriput ketuaan sukar untuk dihitung berapa banyak menggores di mukanya. Umurnya sudah lebih dari sembilan puluh tahun. Namun suara dan tutur katanya tetap keras dan tegas dan pandangan matanya setajam ujung pedang! Dihadapan nenek tua kepala botak ini duduk seorang permpuan berusia setengah abad. Rambutnya hampir putih semuanya. Pada parasnya juga jelas kelihatan gurat-gurat ketuaan. Namun gurat-gurat ketuaan ini tiada sanggup memupus kecantikan yang dimilikinya sejak masa mudanya.
“Muridku Wilarani,” berkata si nenek. “Dua puluh tahun sudah berlalu, dua puluh tahun sudah lewat. Rasanya cepat sekali. Kalau tidak melihat kepada tampang-tampang dan perubahan yang terjadi di diri kita rasanya masa dua puluh tahun itu seperti hari kemarin saja. Dua puluh tahun mendidikmu dan memberi banyak tugas padamu tidak mengecewakanku! Sebagian besar dari cita-cita yang kita rintis sudah kelihatan buahnya. Telah banyak tokoh-tokoh golongan hitam dan rampok-rampok rimba hijau yang kita musnahkan. Cuma sayang beberapa tokoh silat perempuan golongan putih yang kita harapkan bantuannya hilang lenyap tiada kuketahui. Entah mati, entah sembunyi atau bertapa mempersuci diri! Eyang Sinto Gendeng, itu jago perempuan yang memiliki kesaktian luar biasa ketika kusambangi ke Gunung Gede, tak ada di pertapaannya! Tapi kita jangan kecewa. Cita-cita kita untuk meneteramkan dunia ini, untuk mensucikan jagat milik Tuhan ini agar kembali pada keadaan sewaktu semulanya dulu, harus kita laksanakan!
Beberapa tokoh silat perempuan sudah sepakat dengan kita untuk mengambil alih penenteram dunia ini dari tangan laki-laki. Mereka diantaranya Dewi Kerudung Biru dan Dewi Lembah Bulan Sabit.
Sekalipun aku tak ada nanti usaha dan cita-cita kita musti terus dijalankan karena selama dunia ini berputar, selama itu pula kejahatan dan kekacaubalauan berlangsung! Sekarang jumlah biarawati yang ada di dalam Biara Pensuci jagat ini sudah berjumlah seratus orang. Seratus satu dengan kau dan seratus dua dengan aku. Lima puluh dari biarawatibiarawati itu adalah angkatan tua yang seangkatan dengan kau tapi dibandingkan dengan kau, ilmumu jauh lebih tinggi. Kau sudah mewariskan seluruh ilmuku, Wilarani. Yang lima puluh lainnya adalah biarawati dari golongan baru, yang masih muda-muda. Kau dan kawan-kawanmu harus ajarkan ilmu kesaktian aku pernah ajarkan pada mereka.
Bila tiba saatnya mereka harus disebar di seluruh pelosok guna menjalankan tugas yang dibebankan oleh cita-cita kita bersama!”
Si nenek kepala botak memandang ke langit-langit kamar. Ketika kepalanya diturunkan kembali dia bicara lagi maka suaranya bernada rawan.
“Wilarani, hari ini sudah tiba saatnya bagiku untuk menerangkan siapa namaku.”
Wilarani memandang serius pada gurunya.
“Selama ini kau memanggil aku dengan sebutan nenek. Biarawati-biarawati lainnya memanggilku dengan sebutan Eyang, namun siapa aku tetap tak satupun dari kalian yang tahu!” nenek ini terbatuk-batuk beberapa kali baru meneruskan.
“Namaku Supit Jagat. Nama Supit Jagat ini bukan ibu atau bapakku yang memberikannya tapi guruku sendiri jadi, nenek guru bagimu! Guruku itu sendiri namanya adalah Supit Jagat pula! Ketika dia mau meninggal dunia dia memberi pesan agar namanya itu kuambil sebagai nama..! sebelumnya aku tiada bernama dan beliau cuma memanggilku dengan sebutan “upik.” Dan beliau juga berpesan agar jika aku mempunyai murid nanti, maka murid itu harus menukar namanya dengan Supit Jagat! Di samping aku, Biara Pensuci Jagat ini ada seratus orang muridku. Aku tidak membedakan mereka dengan kau! Tapi dari kenyataan kau adalah murid yang paling cerdas, rajin, patuh serta yang paling tinggi ilmunya! Karena itulah nama Supit Jagat kuwariskan kepadamu dan musti kau pakai mulai detik ini juga. Kau mengerti?”
Wilarani mengangguk.
Supit jagat atau nenek berkepala botak itu berdiri dan melangkah ke dinding di mana tergantung sapu lidi yang merupakan senjatanya yang sangat sakti. Diambilnya sapu itu lalu dia melangkah ke hadapan Wilarani.
“Muridku, seikat sapu lidi ini bernama Sapu Jagat. Ini merupakan senjata sakti yang merupakan salah satu senjata utama diantara senjata yang termashyur di dunia persilatan! Senjata ini kuwarisi dari guruku dan hari ini kuwariskan kepadamu!”
Tentu saja Wilarani hampir tak percaya mendengar ucapan gurunya itu.
“Ayo, terimalah!,” kata Supit Jagat yang berkepala botak.
Dan Supit Jagat yang berambut putih (Wilarani) ulurkan kedua tangannya menerima seikat sapu lidi itu. Sewaktu telapak tangannya menyentuh sapu lidi itu Wilarani merasakan adanya satu keanehan. Pada kedua telapak tangannya menjalar hawa yang sangat sejuk, terus ke lengan, terus menjalar ke seluruh kakinya. Dan pada detik itu pula tubuhnya terasa ringan laksana mengapung di awan! Sapu Jagat ternyata telah memberikan satu kekuatan baru yang hebat pada Wilarani sewaktu kedua tangannya menyentuh senjata itu!
“Terima kasih, guru,” kata Wilarani dengan penuh khidmat dan menjura sampai beberapa kali.
Si nenek tertawa perlahan. Ada kelainan pada tertawanya kali ini.
Paras yang tua keriput dimakan umur sembilan puluh tahun itu kelihatan rawan, sepasang mata yang biasanya menyorot tajam kini kelihatan sedikit redup.
Tiba-tiba Eyang Supit Jagat membentak.
“Sekarang tutup kedua matamu rapat-rapat, Supit!”
Supit Jagat atau Wilarani segera menutup kedua matanya sebagaimana yang diperintahkan. Dalam dia berpikir-pikir apa yang hendak dilakukan gurunya tiba-tiba laksana petir menyambar, satu tamparan keras melanda pipinya sebelah kiri! Tak ampun lagi Wilarani rebah ke lantai tiada sadarkan diri!
Sewaktu dia sadarkan diri dan mengucek-ngucek kedua matanya, Wilarani terkejut bikan main. Eyang Supit Jagat dilihatnya menggeletak di lantai. Kedua matanya terpejam dan nafasnya tiada lagi!
“Guru!” pekik Wilarani.
Tapi mana sang guru bisa mendengar karena memang nyawanya sudah putus. Dan membuat Wilarani atau Supit Jagat baru ini lebih heran ialah ketika merasakan tubuhnya enteng luar biasa dan tenaga dalamnya berlipat ganda sampai beberapa kali! Urat-urat di dalam tubuhnya laksana kawat dan pemandangan serta pendengarannya menjadi tajam sekali!
Ingatlah Wilarani kejadian sewaktu gurunya menyuruh dia memejamkan mata! Sang guru diam-diam melakukan satu tamparan dahsyat dan disertai dengan tamparan itu sekaligus dia telah menyalurkan seluruh tenaga dalam ke tubuhnya untuk kemudian dia sendiri menghembuskan nafas penghabisan, meninggal dunia!
Supit Jagat mendukung tubuh Eyang Supit Jagat ke atas pembaringan. Pada waktu itulah di lantai dilihatnya segulung kertas. Supit Jagat mengambil gulungan kertas itu. Di situ ada sebarisan kalimat yang berbunyi, “Surat ini baru boleh dibuka besok siang tengah hari tepat.”
Esok harinya tepat di tengah hari ketika sang surya bersinar terik di titik kulminasinya maka di dalam Biara Pensuci Jagat seratus satu biarawati berkumpul di ruangan besar.
Sebelumnya pada pagi hari jenazah guru mereka telah dikuburkan di taman di bagian muka gedung Biara.
Suasana sunyi sepi dalam ruangan besar itu. Sunyi sepi serta masih diselimuti rasa duka cita karena berpulangnya guru mereka yang juga merupakan Ketua Biarawati.
Wilarani yang kini sudah mewariskan nama Supit Jagat tapi belum diketahui oleh biarawati-biarawati di situ berdiri dari kursinya.
“Biarawati Satu,” katanya, “Harap datang ke sini dan bacakan surat yang ditinggalkan oleh Ketua kita.”
Biarawati Satu, seorang yang sudah lanjut usianya berdiri. Dari Wilarani diterima segulung kertas. Dia melangkah ke mimbar dan membuka gulungan kertas itu. Kemudian terdengarlah suaranya membacakan isi surat yang dibuat Eyang Supit Jagat sebelum matinya.
Kamar itu diselimuti kesunyian. Hampir tak ada perbedaan dengan masa-masa di duapuluh tahun yang silam. Hanya dua manusia yang ada di dalam kamar itulah yang kelihatan banyak berubah.
Nenek kepala botak kelihatan semakin tua. Kedua mata serta pipinya mencekung, keriput-keriput ketuaan sukar untuk dihitung berapa banyak menggores di mukanya. Umurnya sudah lebih dari sembilan puluh tahun. Namun suara dan tutur katanya tetap keras dan tegas dan pandangan matanya setajam ujung pedang! Dihadapan nenek tua kepala botak ini duduk seorang permpuan berusia setengah abad. Rambutnya hampir putih semuanya. Pada parasnya juga jelas kelihatan gurat-gurat ketuaan. Namun gurat-gurat ketuaan ini tiada sanggup memupus kecantikan yang dimilikinya sejak masa mudanya.
“Muridku Wilarani,” berkata si nenek. “Dua puluh tahun sudah berlalu, dua puluh tahun sudah lewat. Rasanya cepat sekali. Kalau tidak melihat kepada tampang-tampang dan perubahan yang terjadi di diri kita rasanya masa dua puluh tahun itu seperti hari kemarin saja. Dua puluh tahun mendidikmu dan memberi banyak tugas padamu tidak mengecewakanku! Sebagian besar dari cita-cita yang kita rintis sudah kelihatan buahnya. Telah banyak tokoh-tokoh golongan hitam dan rampok-rampok rimba hijau yang kita musnahkan. Cuma sayang beberapa tokoh silat perempuan golongan putih yang kita harapkan bantuannya hilang lenyap tiada kuketahui. Entah mati, entah sembunyi atau bertapa mempersuci diri! Eyang Sinto Gendeng, itu jago perempuan yang memiliki kesaktian luar biasa ketika kusambangi ke Gunung Gede, tak ada di pertapaannya! Tapi kita jangan kecewa. Cita-cita kita untuk meneteramkan dunia ini, untuk mensucikan jagat milik Tuhan ini agar kembali pada keadaan sewaktu semulanya dulu, harus kita laksanakan!
Beberapa tokoh silat perempuan sudah sepakat dengan kita untuk mengambil alih penenteram dunia ini dari tangan laki-laki. Mereka diantaranya Dewi Kerudung Biru dan Dewi Lembah Bulan Sabit.
Sekalipun aku tak ada nanti usaha dan cita-cita kita musti terus dijalankan karena selama dunia ini berputar, selama itu pula kejahatan dan kekacaubalauan berlangsung! Sekarang jumlah biarawati yang ada di dalam Biara Pensuci jagat ini sudah berjumlah seratus orang. Seratus satu dengan kau dan seratus dua dengan aku. Lima puluh dari biarawatibiarawati itu adalah angkatan tua yang seangkatan dengan kau tapi dibandingkan dengan kau, ilmumu jauh lebih tinggi. Kau sudah mewariskan seluruh ilmuku, Wilarani. Yang lima puluh lainnya adalah biarawati dari golongan baru, yang masih muda-muda. Kau dan kawan-kawanmu harus ajarkan ilmu kesaktian aku pernah ajarkan pada mereka.
Bila tiba saatnya mereka harus disebar di seluruh pelosok guna menjalankan tugas yang dibebankan oleh cita-cita kita bersama!”
Si nenek kepala botak memandang ke langit-langit kamar. Ketika kepalanya diturunkan kembali dia bicara lagi maka suaranya bernada rawan.
“Wilarani, hari ini sudah tiba saatnya bagiku untuk menerangkan siapa namaku.”
Wilarani memandang serius pada gurunya.
“Selama ini kau memanggil aku dengan sebutan nenek. Biarawati-biarawati lainnya memanggilku dengan sebutan Eyang, namun siapa aku tetap tak satupun dari kalian yang tahu!” nenek ini terbatuk-batuk beberapa kali baru meneruskan.
“Namaku Supit Jagat. Nama Supit Jagat ini bukan ibu atau bapakku yang memberikannya tapi guruku sendiri jadi, nenek guru bagimu! Guruku itu sendiri namanya adalah Supit Jagat pula! Ketika dia mau meninggal dunia dia memberi pesan agar namanya itu kuambil sebagai nama..! sebelumnya aku tiada bernama dan beliau cuma memanggilku dengan sebutan “upik.” Dan beliau juga berpesan agar jika aku mempunyai murid nanti, maka murid itu harus menukar namanya dengan Supit Jagat! Di samping aku, Biara Pensuci Jagat ini ada seratus orang muridku. Aku tidak membedakan mereka dengan kau! Tapi dari kenyataan kau adalah murid yang paling cerdas, rajin, patuh serta yang paling tinggi ilmunya! Karena itulah nama Supit Jagat kuwariskan kepadamu dan musti kau pakai mulai detik ini juga. Kau mengerti?”
Wilarani mengangguk.
Supit jagat atau nenek berkepala botak itu berdiri dan melangkah ke dinding di mana tergantung sapu lidi yang merupakan senjatanya yang sangat sakti. Diambilnya sapu itu lalu dia melangkah ke hadapan Wilarani.
“Muridku, seikat sapu lidi ini bernama Sapu Jagat. Ini merupakan senjata sakti yang merupakan salah satu senjata utama diantara senjata yang termashyur di dunia persilatan! Senjata ini kuwarisi dari guruku dan hari ini kuwariskan kepadamu!”
Tentu saja Wilarani hampir tak percaya mendengar ucapan gurunya itu.
“Ayo, terimalah!,” kata Supit Jagat yang berkepala botak.
Dan Supit Jagat yang berambut putih (Wilarani) ulurkan kedua tangannya menerima seikat sapu lidi itu. Sewaktu telapak tangannya menyentuh sapu lidi itu Wilarani merasakan adanya satu keanehan. Pada kedua telapak tangannya menjalar hawa yang sangat sejuk, terus ke lengan, terus menjalar ke seluruh kakinya. Dan pada detik itu pula tubuhnya terasa ringan laksana mengapung di awan! Sapu Jagat ternyata telah memberikan satu kekuatan baru yang hebat pada Wilarani sewaktu kedua tangannya menyentuh senjata itu!
“Terima kasih, guru,” kata Wilarani dengan penuh khidmat dan menjura sampai beberapa kali.
Si nenek tertawa perlahan. Ada kelainan pada tertawanya kali ini.
Paras yang tua keriput dimakan umur sembilan puluh tahun itu kelihatan rawan, sepasang mata yang biasanya menyorot tajam kini kelihatan sedikit redup.
Tiba-tiba Eyang Supit Jagat membentak.
“Sekarang tutup kedua matamu rapat-rapat, Supit!”
Supit Jagat atau Wilarani segera menutup kedua matanya sebagaimana yang diperintahkan. Dalam dia berpikir-pikir apa yang hendak dilakukan gurunya tiba-tiba laksana petir menyambar, satu tamparan keras melanda pipinya sebelah kiri! Tak ampun lagi Wilarani rebah ke lantai tiada sadarkan diri!
Sewaktu dia sadarkan diri dan mengucek-ngucek kedua matanya, Wilarani terkejut bikan main. Eyang Supit Jagat dilihatnya menggeletak di lantai. Kedua matanya terpejam dan nafasnya tiada lagi!
“Guru!” pekik Wilarani.
Tapi mana sang guru bisa mendengar karena memang nyawanya sudah putus. Dan membuat Wilarani atau Supit Jagat baru ini lebih heran ialah ketika merasakan tubuhnya enteng luar biasa dan tenaga dalamnya berlipat ganda sampai beberapa kali! Urat-urat di dalam tubuhnya laksana kawat dan pemandangan serta pendengarannya menjadi tajam sekali!
Ingatlah Wilarani kejadian sewaktu gurunya menyuruh dia memejamkan mata! Sang guru diam-diam melakukan satu tamparan dahsyat dan disertai dengan tamparan itu sekaligus dia telah menyalurkan seluruh tenaga dalam ke tubuhnya untuk kemudian dia sendiri menghembuskan nafas penghabisan, meninggal dunia!
Supit Jagat mendukung tubuh Eyang Supit Jagat ke atas pembaringan. Pada waktu itulah di lantai dilihatnya segulung kertas. Supit Jagat mengambil gulungan kertas itu. Di situ ada sebarisan kalimat yang berbunyi, “Surat ini baru boleh dibuka besok siang tengah hari tepat.”
Esok harinya tepat di tengah hari ketika sang surya bersinar terik di titik kulminasinya maka di dalam Biara Pensuci Jagat seratus satu biarawati berkumpul di ruangan besar.
Sebelumnya pada pagi hari jenazah guru mereka telah dikuburkan di taman di bagian muka gedung Biara.
Suasana sunyi sepi dalam ruangan besar itu. Sunyi sepi serta masih diselimuti rasa duka cita karena berpulangnya guru mereka yang juga merupakan Ketua Biarawati.
Wilarani yang kini sudah mewariskan nama Supit Jagat tapi belum diketahui oleh biarawati-biarawati di situ berdiri dari kursinya.
“Biarawati Satu,” katanya, “Harap datang ke sini dan bacakan surat yang ditinggalkan oleh Ketua kita.”
Biarawati Satu, seorang yang sudah lanjut usianya berdiri. Dari Wilarani diterima segulung kertas. Dia melangkah ke mimbar dan membuka gulungan kertas itu. Kemudian terdengarlah suaranya membacakan isi surat yang dibuat Eyang Supit Jagat sebelum matinya.
Muridku sekalian,
Jika kalian membaca suratku ini maka aku sudah tidak ada, sudah dikubur di dalam tanah, kembali pada Tuhan yang menciptakanku dan kalian semua!
Meski kini cuma kuburku yang kalian lihat, meskipun aku tidak berada lagi diantara kalian namun cita-cita kita yang luhur untuk menenteramkan dunia ini dari segala malapetaka dan kegagalan yang dibuat oleh kaum lakl-laki, harus tetap kalian lanjutkan!
Selama aku hidup diantara kalian, kita semua berada dalam keadaan rukun tenteram penuh persatuan. Bila kini aku sudah tidak ada, kerukunan dan ketenteraman serta persatuan itu harus kalian pupuk terus. Jika kalian pecah dan berselisih, berarti hancurnya cita-cita yang hendak kita laksanakan dan dalam kuburku aku akan mengutuk kalian sebagai murid-murid murtad!
Suratku ini juga kutulis untuk menerangkan sedikit tentang diriku. Selama ini kalian memanggilku dengan sebutan Eyang atau guru atau nenek. Puluhan tahun hidup bersamaku kalian tidak tahu siapa namaku.
Namaku adalah Supit Jagat.
Pada hari ini namaku itu kuwariskan kepada Biarawati Wilarani. Untuk selanjutnya dia berhak memakai nama itu dan di hari ini pula kuresmikan dia sebagai Ketua kalian yang baru!
Kepadanya telah kuwariskan senjata sakti bernama Sapu Jagat!
Siapa-siapa diantara kalian yang kecewa dengan keputusanku ini, siapa-siapa diantara kalian yang tidak senang, sebelum kalian menjadi pengkhianat-pengkhianat, lebih baik kalian angkat kaki tinggalkan Biara Pensuci Jagat ini atau rohku akan ke luar dari liang kubur untuk mencekik kalian semua!
Jika kalian membaca suratku ini maka aku sudah tidak ada, sudah dikubur di dalam tanah, kembali pada Tuhan yang menciptakanku dan kalian semua!
Meski kini cuma kuburku yang kalian lihat, meskipun aku tidak berada lagi diantara kalian namun cita-cita kita yang luhur untuk menenteramkan dunia ini dari segala malapetaka dan kegagalan yang dibuat oleh kaum lakl-laki, harus tetap kalian lanjutkan!
Selama aku hidup diantara kalian, kita semua berada dalam keadaan rukun tenteram penuh persatuan. Bila kini aku sudah tidak ada, kerukunan dan ketenteraman serta persatuan itu harus kalian pupuk terus. Jika kalian pecah dan berselisih, berarti hancurnya cita-cita yang hendak kita laksanakan dan dalam kuburku aku akan mengutuk kalian sebagai murid-murid murtad!
Suratku ini juga kutulis untuk menerangkan sedikit tentang diriku. Selama ini kalian memanggilku dengan sebutan Eyang atau guru atau nenek. Puluhan tahun hidup bersamaku kalian tidak tahu siapa namaku.
Namaku adalah Supit Jagat.
Pada hari ini namaku itu kuwariskan kepada Biarawati Wilarani. Untuk selanjutnya dia berhak memakai nama itu dan di hari ini pula kuresmikan dia sebagai Ketua kalian yang baru!
Kepadanya telah kuwariskan senjata sakti bernama Sapu Jagat!
Siapa-siapa diantara kalian yang kecewa dengan keputusanku ini, siapa-siapa diantara kalian yang tidak senang, sebelum kalian menjadi pengkhianat-pengkhianat, lebih baik kalian angkat kaki tinggalkan Biara Pensuci Jagat ini atau rohku akan ke luar dari liang kubur untuk mencekik kalian semua!
Surat itu selesai dibaca oleh Biarawati Satu kemudian diserahkan kembali kepada Wilarani atau yang kini bernama Supit Jagat dan menjadi Ketua Biara Pensuci Jagat!
Supit Jagat menggulung surat itu baik-baik. Dia berdiri di mimbar, memandang berkeliling kemudian berkata, “Mungkin ada diantara saudara-saudaraku yang ingin bicara atau mengeluarkan pendapatnya?”
Tak ada satu orangpun yang menjawab. Tapi diantara para biarawati-biarawati itu terdengar suara saling berbisik-bisik. Supit Jagat bertanya sekali lagi. “Tidak ada yang mau bicara dan keluarkan pendapat? Terutama mengenai pengangkatanku oleh mendiang guru kita sebagai Ketua Biara?”
“Boleh aku bicara?”
Tiba-tiba terdengar suara dari balik gang besar yang menjadi salah satu ruangan luas itu. Semua biarawati termasuk Supit Jagat terkejutnya bukan main, karena suara itu adalah suara Iaki-laki! Dan seperti diketahui dalam Biara Pensuci Jagat itu, tak ada satu orang laki-lakipun yang ada atau diam di sana! Semua mata dengan serta merta merta diarahkan ke belakang tiang besar. Dan seorang laki-laki melangkah seenaknya menuju ke mimbar!
Supit Jagat menggulung surat itu baik-baik. Dia berdiri di mimbar, memandang berkeliling kemudian berkata, “Mungkin ada diantara saudara-saudaraku yang ingin bicara atau mengeluarkan pendapatnya?”
Tak ada satu orangpun yang menjawab. Tapi diantara para biarawati-biarawati itu terdengar suara saling berbisik-bisik. Supit Jagat bertanya sekali lagi. “Tidak ada yang mau bicara dan keluarkan pendapat? Terutama mengenai pengangkatanku oleh mendiang guru kita sebagai Ketua Biara?”
“Boleh aku bicara?”
Tiba-tiba terdengar suara dari balik gang besar yang menjadi salah satu ruangan luas itu. Semua biarawati termasuk Supit Jagat terkejutnya bukan main, karena suara itu adalah suara Iaki-laki! Dan seperti diketahui dalam Biara Pensuci Jagat itu, tak ada satu orang laki-lakipun yang ada atau diam di sana! Semua mata dengan serta merta merta diarahkan ke belakang tiang besar. Dan seorang laki-laki melangkah seenaknya menuju ke mimbar!
LAKI-LAKI ini masih muda belia. Rambutnya gondrong menjela-jela sampai ke bahu. Parasnya gagah, sikapnya waktu melangkah meski acuh tak acuh dan seenaknya namun mengandung kewibawaan dan keperkasaan. Enam langkah dari mimbar dia berhenti dan menjura pada Supit Jagat kemudian melayangkan senyuman pada puluhan biarawati-biarawati yang duduk di ruangan itu.
Semua orang membathin siapakah adanya pemuda ini dan cara bagaimanakah dia bisa masuk ke dalam gedung Biara Pensuci Jagat?
Pintu gerbang dikunci, seseorang yang tak tahu rahasia membuka pintu itu, meski bagaimanapun hebat serta tinggi ilmunya niscaya dia tak sanggup membukanya! Melompati tembok juga mustahil. Tembok halaman saja tingginya lima tombak dan ditambah besi-besi panjang berduri setinggi tiga tombak! Di samping itu apakah kedatangan pemuda asing tak dikenal ini membawa maksud baik atau niat jahat?!
Akan tetapi Supit Jagat meski keterkejutannya serta rasa tidak enak menyelinapi hatinya, namun melihat si pemuda menjura hormat kepadanya dia balas menganggukkan kepala, tapi tetap tutup mulut menunggu sampai si pemuda bicara duluan.
“Apakah saat ini aku berhadapan dengan Ketua Biara Pensuci Jagat?!” tanya pemuda itu.
Melihat pada pertanyaan yang diajukan ini Supit Jagat segera mengetahui bahwa pemuda itu belum berada lama di ruangan tersebut.
Paling lama sejak ketika Biarawati Satu membaca bagian terakhir dari surat mendiang Ketua Biara yang lama.
“Betul orang muda, kau memang berhadapan dengan Ketua Biara Pensuci Jagat,” menjawab Supit Jagat.
“Ah… syukur. Syukur kalau begitu….’ Si pemuda garuk kepalanya dua kali.
“Orang muda harap terangkan siapa kau. Bagaimana caramu bisa masuk ke gedung ini dan apakah membawa niat baik atau buruk?” tanya Supit Jagat.
Pemuda itu tertawa malu macam anak kecil. “Namaku buruk,” katanya, “jadi tak usahlah aku beri tahu pada Ketua Biara Pensuci Jagat. Mohon maaf. Apalagi aku orang tolol dan banyak mencap aku ini berotak miring…. “
Biarawati Lima, seorang nenek-nenek berbadan sangat gemuk yang punya penyakit darah tinggi lekas naik darah, berdiri dari kursinya dan membentak.
“Pemuda sedeng! Di sini bukan tempat melawak! Lekas katakan apa maksudmu menyelinap ke sini. Jika kau membawa niat jahat kupatahkan batang lehermu dan kulemparkan mayatmu ke luar tembok!”
Si pemuda naikkan kedua alis matanya.
“Galak betul! Galak betul!” katanya. “Aku datang ke sini bukan untuk melawak. Kau lihat sendiri ibu tua, tak ada satu hal lucupun yang aku buat. Tak ada satu orang disini yang tertawa! Bagaimana kau bisa bilang aku melawak?!”
Beberapa arang Biarawati tertawa sembunyi-sembunyi. Biarawati Lima merah mukanya lalu berseru pada Supit Jagat, “ketua, harap izinkan aku menghajar pemuda edan ini!” Ketua Biara Pensuci Jagat lambaikan tangan memberi isyarat agar mempersabar diri. Dia maklum kalau si pemuda bisa menyelinap masuk ke dalam gedung, pastilah dia bukan sembarang orang!
“Orang muda, kuharap kau bisa bicara seperlunya mengingat di mana kau berada saat ini dan mengingat pula kau adalah tamu yang tidak diundang,” berkata Supit Jagat.
“Sekarang harap terangkan apa maksud kedatanganmu ke sini.”
“Aku datang membawa maksud baik dan persahabatan,” kata si pemuda.
“Hem, begitu? maksud baik dan persahabatan macam manakah kiranya?” tanya Ketua Biara Pensuci Jagat pula.
Si pemuda memandang dulu berkeliling lalu kembali palingkan kepala pada Supit Jagat. “Ketua”, katanya, “kau saksikan sendiri, sebagian besar dari biarawati-biarawati di sini adalah perempuan-perempuan muda dan cantik-cantik….”
“Pemuda kurang ajar! Mulutmu pantas untuk disumpal dengan ujung pedangku!” bentak seorang biarawati. Tapi Ketua Biara Pensuci Jagat kembali lambaikan tangan memberi isyarat agar anak buahnya itu tidak bertindak kesusu dan duduk kembali ke kursinya.
Kepada si pemuda sang Ketua berkata, “Teruskan ucapanmu!”
Setelah terbatuk-batuk beberapa kali baru si pemuda membuka mulutnya kembali. “Kerbau sekandang bisa dikurung! Harimau berlusin-lusin bisa disekap! Tapi kecantikan perempuan tak bisa dikurung, tak bisa disembunyikan, tak bisa disekap! Betul atau tidak…?!”
Diam-diam Ketua Biara yang baru ini menjadi gemas juga dalam hatinya. “Orang muda, ucapanmu terlalu berbelit-belit! Bicara saja secara singkat tapi jelas!”
Si pemuda hela nafas dan garuk kepala beberapa kali. Beberapa orang biarawati dari golongan tua berdiri dari kursi dan berseru, “Ketua, kehadiran pemuda ini lebih lama tidak menyenangkan kami! Harap beri izin kami untuk mengusirnya!”
Pemuda itu memandang pada beberapa orang biarawati itu. “Kalian punya hak untuk mengusirku! Tapi alangkah memalukan bila nanti kalian tahu kedatanganku secara baik-baik ini disambut dengan pengusiran!”
“Baik atau jahat maksud kedatanganmu, kami tidak suka kau hadir di sini.”
“Eh, apakah kau yang menjadi Ketua di sini?” ejek si pemuda.
Merahlah muka si biarawati.
Dia segera hunus pedangnya dan melompat mengirimkan satu serangan ganas. Si pemuda sedikit pun tidak bergerak! Malahan dengan sikap acuh tak acuh dia berpaling pada Ketua Biara Pensuci Jagat.
Sementara tebasan pedang datang menyerangnya dia berseru, “Ketua! Sungguh penyambutan yang memalukan. Bukannya aku disuguhi minuman malah dikasih tebasan pedang!”
Angin pedang menyambar tanda senjata maut sudah berkelebat dekat sekali! Tapi si pemuda masih juga memandang pada Ketua Biara Pensuci Jagat seakan-akan tak perduli atau tak tahu apa-apa kalau dirinya diserang!
Namun!
Seruan tertahan bahkan kaget memenuhi ruangan itu. Seratus pasang mata melotot. Biarawati yang menyerang si pemuda kelihatan berdiri terhuyung-huyung sedang pedang yang tadi dipakainya untuk menyerang kini kelihatan berada dalam tangan si pemuda! Jurus yang dimainkan Biarawati Tujuhbelas tadi adalah jurus yang cukup lihai dalam ilmu pedang Biara Pensuci Jagat. Tapi si pemuda menghancur leburkannya dalam satu gebrakan saja dan dengan sikap acuh tak acuh, sambil bicara dengan Ketua mereka! Betul-betul hebat!
Biarawati golongan muda yang sejak tadi tertarik akan kecakapan tampang si pemuda kin! semakin tertarik melihat ketinggian ilmu pemuda itu. Dan dalam hati masing-masing mereka membathin siapakah gerangan pemuda ini?!
“Ketua Biara Pensuci Jagat,” kata si pemuda, “kedatanganku ke sini dengan maksud baik dan bersahabat, tapi orangmu telah menyerangku!
Orang lain mungkin sudah kalap dan tak terima perlakuan ini! Tapi aku orang tolol dan rendah, tak apa-apa. Ini soal biasa! Perempuan kalau sudah beringas memang suka menyerang duluan!”
Dengan tertawa-tawa pemuda itu memutar tubuhnya dan melangkah kehadapan biarawati yang tadi menyerangnya. Dia membungkuk sedikit lalu mengangsurkan senjata itu seraya berkata.
“Harap kau suka terima pedangmu kembali dan maaf kalau aku bikin kau jadi kalap. “
Biarawati itu tak berkata apa-apa. Diambilnya pedangnya kemudian berlalu dengan cepat.
“Orang muda, jika kau betul-betul datang dengan niat baik dan bersahabat, bicaralah seringkas mungkin!”
Pemuda itu mengangguk.
‘Tadi aku sudah bilang bahwa kecantikan itu tak bisa disembunyi-sembunyikan, tak bisa dibendung dengan tembok setinggi apapun!
Kecantikan sebagian besar biarawati biarawati di sini telah diketahui oleh dunia luar dan tokoh-tokoh persilatan! Telah sampai ke telinga seorang tokoh golongan hitam bergelar Pendekar Pemetik Bunga…. “
Si pemuda tak bisa teruskan keterangannya karena sampai di situ suasana di ruangan tersebut menjadi ribut! Terpaksa Ketua Biara memberi tanda untuk menenangkan suasana.
Dan si pemuda meneruskan keterangannya pula.
“Jika kalian di sini pada gaduh mendengar nama Pendekar Pemetik Bunga berarti kalian sudah tahu manusia macam apa dia adanya!”
Pemuda itu palingkan kepalanya pada Supit Jagat. “Ketua Biara,” dia berkata lagi, “aku mendapat kabar bahwa manusia terkutuk itu berada di sekitar sini akhir-akhir ini. Dan kabarnya lagi, dia akan mendatangi Biara ini untuk melaksanakan perbuatan-perubatan mesumnya selama ini!”
Suasana tegang dan sunyi laksana dipekuburan mencekam ruangan besar itu.
Di dalam kesunyian yang tegang itu, diam-diam Biarawati Satu berkata kepada Ketua Biara Biara Pensuci Jagat dengan ilmu menyusupkan suara.
“Ketua, hatiku tetap bercuriga pada pemuda ini. Aku yakin dia datang bukan dengan maksud baik. Apa yang diucapkannya cuma omong kosong belaka.”
“Yang aku herankan ialah bagaimana dia bisa masuk kesini,” menyahuti Supit Jagat. “Meski ilmu tinggi tapi selama puluhan tahun tak ada satu tokoh silatpun yang sanggup masuk ke Biara ini, apalagi tanpa setahu kita!”
Biarawati satu bertanya, “Apa perlu aku suruh beberapa orang-orang kita untuk menyelidik sekeliling tembok dan pintu gerbang?!”
“Lakukanlah!” kata Supit Jagat pula.
Maka sepuluh orang biarawati angkatan muda segera keluar meninggalkan ruangan itu. Pemuda rambut gondrong tersenyum. Matanya tidak buta. Dia telah melihat tadi mulut Biarawati Satu dan Ketua Biara Pensuci Jagat bergerak-gerak. Pasti ada yang dibicarakan kedua orang itu, dan pasti menyangkut dirinya.
“Ketua Biara Pensuci Jagat,” kata sipemuda seraya rangkapkan kedua tangan di muka dada. “Rupanya kau dan biarawati-biarawati di sini sangat bercuriga padaku.”
“Tentu saja,” sahut Supit Jagat. “Kau datang tanpa diundang, masuk dan bicara seenaknya, tidak mau terangkan diri!”
“Apakah kau tidak percaya kalau Pendekar Pemetik Bunga akan mendatangi tempatmu ini…?”
“Dia boleh datang dengan maksud jahat. Tapi dia musti tinggalkan kepala di sini!”
Sipemuda tertawa bergelak.
“Nama Biara Pensuci Jagat memang sudah lama dikenal dalam dunia persilatan. Ketuanya Supit Jagat memang sakti luar biasa. Tapi jangankan kau, gurumu sendiripun tiada sanggup menghadapi Pendekar Pemetik Bunga!”
“Kau menghina guru dan Ketua kami!” teriak beberapa Biarawati. Mereka menyerbu si pemuda. “
Supit Jagat tidak berusaha menahan. Dia ingin lihat sampai dimana kehebatan pemuda berambut gondrong itu. Sepuluh pedang menyambar dengan mengeluarkan suara angin bersiuran. Karena yang menyerang itu adalah biarawati-biarawati dari golongan tua yang ilmunya sudah sempurna maka kehebatan serangan itu tidak terkirakan dahsyatnya.
Dalam sekejapan mata tidak bisa tidak tubuh si pemuda akan tersatai!
Atau akan terputus berkeping-keping!
“Sungguh memalukan!” seru si pemuda. “Di sarang sendiri biarawati-biarawati yang katanya mau mensucikan dunia ini dari segala kekotoran, menyerang main keroyok!”
“Bagi manusia-manusia edan tak tahu peradatan dan kurang ajar, tak perlu merasa malu!” sentak salah seorang dari biarawati yang menyerang.
Sekejap kemudian ruangan besar itu bergemuruh oleh suara beradunya sepuluh badan pedang yang menimbulkan bunga api yang terang sekali!
Semua orang berseru kaget. Ketua Biara Pensuci Jagat membuka matanya lebar-lebar. Tapi si pemuda yang tadi hendak dikermus lenyap dari pemandangan, entah kemana!
Tiba-tiba terdengar suara salah seorang biarawati. “Hei! Lihat! Manusia itu sudah bergantung pada kawat lampu!”
Semua kepalapun mendongak ke langit-langit di atas ruangan! Ternyata betul. Pemuda berambut gondrong itu bergantung di langit-langit ruangan dengan tangan kirinya memegangi kawat kecil lampu yang menerangi ruangan besar itu! Kalau dia tidak memiliki ilmu mengentengi tubuh yang tinggi luar biasa, pastilah kawat itu akan putus!
“Pemuda edan!” pekik seorang biarawati, “jangan kira aku dan kawan-kawan tidak sanggup mengejar kau ke atas sana!”
Sepuluh tubuh berjubah putih laksana anak-anak panah melesat ke atas dan serentak itu pula kirimkan serangan pedang yang lebih ganas yaitu jurus “Menabas Gunung Menusuk Rembulan”
Terdengar suara bersiut-siut dan sedetik kemudian disusul oleh suara jatuhnya lampu minyak besar yang tergantung di langit-langit ruangan! Kacanya dan semprongnya pecah bertebaran, minyak tumpah membasahi lantai! Sepuluh pedang biarawati-biarawati tadi nyatanya telah menabas putus kawat lampu hingga jatuh pecah berantakan ke lantai.
Dan hebatnya lagi saat itu si pemuda sudah berdiri lagi di tempatnya semula sebelum diserang pertama kali tadi. Berdiri diantara pecahan kaca dan minyak lampu sambil tertawa-tawa rangkapkan tangan di muka dada!
Penasaran sekali sepuluh biarawati segera menukik dan hendak lancarkan serangan untuk ketiga kalinya!
Tapi kali ini Ketua Biara Pensuci Jagat cepat berseru. “Tahan!”
Meski hati gusar tapi sepuluh biarawati hentikan serangan namun ketika turun kelantai kembali tetap membentuk posisi mengurung si pemuda!
“Para biarawati harap kembali ke tempat,” perintah Ketua Biara Pensuci Jagat. Sepuluh biarawati turun perintah itu. Mereka sarungkan pedang masing-masing dan duduk kembali ke tempat semula.
Disaat itu pula sepuluh biarawati yang tadi disuruh menyelidik keluar gedung kembali memasuki ruangan.
Dengan ilmu menyusupkan suara Ketua Biara Pensuci Jagat hendak bertanya pada biarawati-biarawati itu, tapi mendadak si pemuda sudah mendahului!
“Bagaimana?” tanyanya. “Apa kalian menemui tembok pagar yang bobol atau pintu gerbang yang rusak?!”
Sepuluh biarawati itu tiada perdulikan pertanyaan si pemuda melainkan melangkah ke hadapan Ketua mereka dan melaporkan bahwa tidak ada satu tanda yang mencurigakanpun di luar sana. Semuanya beres dan rapi! Ketua Biara Pensuci Jagat anggukkan kepala dan suruh sepuluh biarawati itu kembali ke tempat masing-masing.
“Pemuda,” berkata sang Ketua. “Ilmu yang barusan kau pamerkan…”
“Ah…!” memotong pemuda itu. “Siapa yang pamerkan ilmu!” tanyanya. “Orang diserang toh musti mengelak? Siapa sih orangnya yang mau ditusuk-tusuk dengan pedang? Yang mau dicincang? Kucing budukpun pasti larikan diri atau mengelak!”
Tenggorokan Supit Jagat turun naik beberapa kali. Kemudian dia berkata lagi. “Meski ilmumu setinggi gunung sedalam lautan, meski pengalamanmu saluas bumi, tapi jika kau datang ke sini dengan membawa niat jahat, jangan harap kau bisa keluar hidup-hidup dari sini!”
Si pemuda menghela nafas.
“Apakah kalian di sini tuli semua? Apa aku sejak tadi cuma bicara dengan tonggak-tonggak mati?!” katanya. Lalu dia meneruskan. “Pertama datang aku sudah bilang bahwa maksudku ke sini adalah membawa niat baik dan bersahabat! Bahkan aku kasih keterangan pada kalian di sini bahwa Biara ini dan kalian semua sedang terancam bahaya! Bahaya itu datangnya belum tentu tapi pasti datang! Bahaya Pendekar Pemetik Bunga! Tapi kalian bukannya percaya, malah bercuriga padaku! Malah menyerang aku! Aku yang edan apa kalian yang keblinger!”
“Kalau kau datang betul membawa niat baik dan bersahabat, mengapa datang tidak memberi tahu lebih dulu? Mengapa lancang masuk dengan diam-diam ke tempat orang?!” Si pemuda tertawa.
“Kalian sedang rapat! Sedang adakan pertemuan! Kalau aku datang dengan mengetuk pintu gerbang sana atau berteriak-teriak memberi salam, pastilah akan mengganggu rapat kalian.”
“Kau memang sudah mengganggu kami!” semprot Biarawati Lima yang memang sejak tadi belum habis rasa penasarannya.
Si pemuda angkat bahu.
Dipalingkannya tubuhnya pada Ketua Biara Pensuci Jagat, dan berkata.
“Ketua, jika kau dan semua orang di sini menganggap aku telah mengganggu kalian dan mengacaukan suasana pertemuan ini mohon dimaafkan. Aku tak akan mengganggu lebih lama.”
Pemuda itu menjura dua kali di hadapan Supit Jagat. “Cuma jangan menyesal kalau keteranganku nanti terbukti benar!”
Pemuda ini menjura satu kali pada barisan biarawati-biarawati yang duduk berjejer-jejer di kursi lalu segera hendak putar badan tinggalkan ruangan itu!
Mendadak biarawati gemuk tadi berteriak.
“Ketua! Bukan mustahil pemuda ini sendiri Pendekar Pemetik Bunga itu!”
Supit Jagat tercekat hatinya. “Ya, bukan tak mungkin,” katanya membathin. Cepat-cepat dia bertepuk tiga kali dan keseluruhan biarawati yang duduk di kursi berdiri cepat, menyebar di seluruh tepi ruangan, menjaga jendela-jendela dan menjaga pintu-pintu! Tak mungkinlah bagi si pemuda untuk meninggalkan tempat itu kini!
Lebih-lebih ketika terdengar suara. “Sret… sret…, sret…!” Suara pedang yang dicabut dari sarungnya! Seratus pedang kini melintang di tangan!
Semua orang membathin siapakah adanya pemuda ini dan cara bagaimanakah dia bisa masuk ke dalam gedung Biara Pensuci Jagat?
Pintu gerbang dikunci, seseorang yang tak tahu rahasia membuka pintu itu, meski bagaimanapun hebat serta tinggi ilmunya niscaya dia tak sanggup membukanya! Melompati tembok juga mustahil. Tembok halaman saja tingginya lima tombak dan ditambah besi-besi panjang berduri setinggi tiga tombak! Di samping itu apakah kedatangan pemuda asing tak dikenal ini membawa maksud baik atau niat jahat?!
Akan tetapi Supit Jagat meski keterkejutannya serta rasa tidak enak menyelinapi hatinya, namun melihat si pemuda menjura hormat kepadanya dia balas menganggukkan kepala, tapi tetap tutup mulut menunggu sampai si pemuda bicara duluan.
“Apakah saat ini aku berhadapan dengan Ketua Biara Pensuci Jagat?!” tanya pemuda itu.
Melihat pada pertanyaan yang diajukan ini Supit Jagat segera mengetahui bahwa pemuda itu belum berada lama di ruangan tersebut.
Paling lama sejak ketika Biarawati Satu membaca bagian terakhir dari surat mendiang Ketua Biara yang lama.
“Betul orang muda, kau memang berhadapan dengan Ketua Biara Pensuci Jagat,” menjawab Supit Jagat.
“Ah… syukur. Syukur kalau begitu….’ Si pemuda garuk kepalanya dua kali.
“Orang muda harap terangkan siapa kau. Bagaimana caramu bisa masuk ke gedung ini dan apakah membawa niat baik atau buruk?” tanya Supit Jagat.
Pemuda itu tertawa malu macam anak kecil. “Namaku buruk,” katanya, “jadi tak usahlah aku beri tahu pada Ketua Biara Pensuci Jagat. Mohon maaf. Apalagi aku orang tolol dan banyak mencap aku ini berotak miring…. “
Biarawati Lima, seorang nenek-nenek berbadan sangat gemuk yang punya penyakit darah tinggi lekas naik darah, berdiri dari kursinya dan membentak.
“Pemuda sedeng! Di sini bukan tempat melawak! Lekas katakan apa maksudmu menyelinap ke sini. Jika kau membawa niat jahat kupatahkan batang lehermu dan kulemparkan mayatmu ke luar tembok!”
Si pemuda naikkan kedua alis matanya.
“Galak betul! Galak betul!” katanya. “Aku datang ke sini bukan untuk melawak. Kau lihat sendiri ibu tua, tak ada satu hal lucupun yang aku buat. Tak ada satu orang disini yang tertawa! Bagaimana kau bisa bilang aku melawak?!”
Beberapa arang Biarawati tertawa sembunyi-sembunyi. Biarawati Lima merah mukanya lalu berseru pada Supit Jagat, “ketua, harap izinkan aku menghajar pemuda edan ini!” Ketua Biara Pensuci Jagat lambaikan tangan memberi isyarat agar mempersabar diri. Dia maklum kalau si pemuda bisa menyelinap masuk ke dalam gedung, pastilah dia bukan sembarang orang!
“Orang muda, kuharap kau bisa bicara seperlunya mengingat di mana kau berada saat ini dan mengingat pula kau adalah tamu yang tidak diundang,” berkata Supit Jagat.
“Sekarang harap terangkan apa maksud kedatanganmu ke sini.”
“Aku datang membawa maksud baik dan persahabatan,” kata si pemuda.
“Hem, begitu? maksud baik dan persahabatan macam manakah kiranya?” tanya Ketua Biara Pensuci Jagat pula.
Si pemuda memandang dulu berkeliling lalu kembali palingkan kepala pada Supit Jagat. “Ketua”, katanya, “kau saksikan sendiri, sebagian besar dari biarawati-biarawati di sini adalah perempuan-perempuan muda dan cantik-cantik….”
“Pemuda kurang ajar! Mulutmu pantas untuk disumpal dengan ujung pedangku!” bentak seorang biarawati. Tapi Ketua Biara Pensuci Jagat kembali lambaikan tangan memberi isyarat agar anak buahnya itu tidak bertindak kesusu dan duduk kembali ke kursinya.
Kepada si pemuda sang Ketua berkata, “Teruskan ucapanmu!”
Setelah terbatuk-batuk beberapa kali baru si pemuda membuka mulutnya kembali. “Kerbau sekandang bisa dikurung! Harimau berlusin-lusin bisa disekap! Tapi kecantikan perempuan tak bisa dikurung, tak bisa disembunyikan, tak bisa disekap! Betul atau tidak…?!”
Diam-diam Ketua Biara yang baru ini menjadi gemas juga dalam hatinya. “Orang muda, ucapanmu terlalu berbelit-belit! Bicara saja secara singkat tapi jelas!”
Si pemuda hela nafas dan garuk kepala beberapa kali. Beberapa orang biarawati dari golongan tua berdiri dari kursi dan berseru, “Ketua, kehadiran pemuda ini lebih lama tidak menyenangkan kami! Harap beri izin kami untuk mengusirnya!”
Pemuda itu memandang pada beberapa orang biarawati itu. “Kalian punya hak untuk mengusirku! Tapi alangkah memalukan bila nanti kalian tahu kedatanganku secara baik-baik ini disambut dengan pengusiran!”
“Baik atau jahat maksud kedatanganmu, kami tidak suka kau hadir di sini.”
“Eh, apakah kau yang menjadi Ketua di sini?” ejek si pemuda.
Merahlah muka si biarawati.
Dia segera hunus pedangnya dan melompat mengirimkan satu serangan ganas. Si pemuda sedikit pun tidak bergerak! Malahan dengan sikap acuh tak acuh dia berpaling pada Ketua Biara Pensuci Jagat.
Sementara tebasan pedang datang menyerangnya dia berseru, “Ketua! Sungguh penyambutan yang memalukan. Bukannya aku disuguhi minuman malah dikasih tebasan pedang!”
Angin pedang menyambar tanda senjata maut sudah berkelebat dekat sekali! Tapi si pemuda masih juga memandang pada Ketua Biara Pensuci Jagat seakan-akan tak perduli atau tak tahu apa-apa kalau dirinya diserang!
Namun!
Seruan tertahan bahkan kaget memenuhi ruangan itu. Seratus pasang mata melotot. Biarawati yang menyerang si pemuda kelihatan berdiri terhuyung-huyung sedang pedang yang tadi dipakainya untuk menyerang kini kelihatan berada dalam tangan si pemuda! Jurus yang dimainkan Biarawati Tujuhbelas tadi adalah jurus yang cukup lihai dalam ilmu pedang Biara Pensuci Jagat. Tapi si pemuda menghancur leburkannya dalam satu gebrakan saja dan dengan sikap acuh tak acuh, sambil bicara dengan Ketua mereka! Betul-betul hebat!
Biarawati golongan muda yang sejak tadi tertarik akan kecakapan tampang si pemuda kin! semakin tertarik melihat ketinggian ilmu pemuda itu. Dan dalam hati masing-masing mereka membathin siapakah gerangan pemuda ini?!
“Ketua Biara Pensuci Jagat,” kata si pemuda, “kedatanganku ke sini dengan maksud baik dan bersahabat, tapi orangmu telah menyerangku!
Orang lain mungkin sudah kalap dan tak terima perlakuan ini! Tapi aku orang tolol dan rendah, tak apa-apa. Ini soal biasa! Perempuan kalau sudah beringas memang suka menyerang duluan!”
Dengan tertawa-tawa pemuda itu memutar tubuhnya dan melangkah kehadapan biarawati yang tadi menyerangnya. Dia membungkuk sedikit lalu mengangsurkan senjata itu seraya berkata.
“Harap kau suka terima pedangmu kembali dan maaf kalau aku bikin kau jadi kalap. “
Biarawati itu tak berkata apa-apa. Diambilnya pedangnya kemudian berlalu dengan cepat.
“Orang muda, jika kau betul-betul datang dengan niat baik dan bersahabat, bicaralah seringkas mungkin!”
Pemuda itu mengangguk.
‘Tadi aku sudah bilang bahwa kecantikan itu tak bisa disembunyi-sembunyikan, tak bisa dibendung dengan tembok setinggi apapun!
Kecantikan sebagian besar biarawati biarawati di sini telah diketahui oleh dunia luar dan tokoh-tokoh persilatan! Telah sampai ke telinga seorang tokoh golongan hitam bergelar Pendekar Pemetik Bunga…. “
Si pemuda tak bisa teruskan keterangannya karena sampai di situ suasana di ruangan tersebut menjadi ribut! Terpaksa Ketua Biara memberi tanda untuk menenangkan suasana.
Dan si pemuda meneruskan keterangannya pula.
“Jika kalian di sini pada gaduh mendengar nama Pendekar Pemetik Bunga berarti kalian sudah tahu manusia macam apa dia adanya!”
Pemuda itu palingkan kepalanya pada Supit Jagat. “Ketua Biara,” dia berkata lagi, “aku mendapat kabar bahwa manusia terkutuk itu berada di sekitar sini akhir-akhir ini. Dan kabarnya lagi, dia akan mendatangi Biara ini untuk melaksanakan perbuatan-perubatan mesumnya selama ini!”
Suasana tegang dan sunyi laksana dipekuburan mencekam ruangan besar itu.
Di dalam kesunyian yang tegang itu, diam-diam Biarawati Satu berkata kepada Ketua Biara Biara Pensuci Jagat dengan ilmu menyusupkan suara.
“Ketua, hatiku tetap bercuriga pada pemuda ini. Aku yakin dia datang bukan dengan maksud baik. Apa yang diucapkannya cuma omong kosong belaka.”
“Yang aku herankan ialah bagaimana dia bisa masuk kesini,” menyahuti Supit Jagat. “Meski ilmu tinggi tapi selama puluhan tahun tak ada satu tokoh silatpun yang sanggup masuk ke Biara ini, apalagi tanpa setahu kita!”
Biarawati satu bertanya, “Apa perlu aku suruh beberapa orang-orang kita untuk menyelidik sekeliling tembok dan pintu gerbang?!”
“Lakukanlah!” kata Supit Jagat pula.
Maka sepuluh orang biarawati angkatan muda segera keluar meninggalkan ruangan itu. Pemuda rambut gondrong tersenyum. Matanya tidak buta. Dia telah melihat tadi mulut Biarawati Satu dan Ketua Biara Pensuci Jagat bergerak-gerak. Pasti ada yang dibicarakan kedua orang itu, dan pasti menyangkut dirinya.
“Ketua Biara Pensuci Jagat,” kata sipemuda seraya rangkapkan kedua tangan di muka dada. “Rupanya kau dan biarawati-biarawati di sini sangat bercuriga padaku.”
“Tentu saja,” sahut Supit Jagat. “Kau datang tanpa diundang, masuk dan bicara seenaknya, tidak mau terangkan diri!”
“Apakah kau tidak percaya kalau Pendekar Pemetik Bunga akan mendatangi tempatmu ini…?”
“Dia boleh datang dengan maksud jahat. Tapi dia musti tinggalkan kepala di sini!”
Sipemuda tertawa bergelak.
“Nama Biara Pensuci Jagat memang sudah lama dikenal dalam dunia persilatan. Ketuanya Supit Jagat memang sakti luar biasa. Tapi jangankan kau, gurumu sendiripun tiada sanggup menghadapi Pendekar Pemetik Bunga!”
“Kau menghina guru dan Ketua kami!” teriak beberapa Biarawati. Mereka menyerbu si pemuda. “
Supit Jagat tidak berusaha menahan. Dia ingin lihat sampai dimana kehebatan pemuda berambut gondrong itu. Sepuluh pedang menyambar dengan mengeluarkan suara angin bersiuran. Karena yang menyerang itu adalah biarawati-biarawati dari golongan tua yang ilmunya sudah sempurna maka kehebatan serangan itu tidak terkirakan dahsyatnya.
Dalam sekejapan mata tidak bisa tidak tubuh si pemuda akan tersatai!
Atau akan terputus berkeping-keping!
“Sungguh memalukan!” seru si pemuda. “Di sarang sendiri biarawati-biarawati yang katanya mau mensucikan dunia ini dari segala kekotoran, menyerang main keroyok!”
“Bagi manusia-manusia edan tak tahu peradatan dan kurang ajar, tak perlu merasa malu!” sentak salah seorang dari biarawati yang menyerang.
Sekejap kemudian ruangan besar itu bergemuruh oleh suara beradunya sepuluh badan pedang yang menimbulkan bunga api yang terang sekali!
Semua orang berseru kaget. Ketua Biara Pensuci Jagat membuka matanya lebar-lebar. Tapi si pemuda yang tadi hendak dikermus lenyap dari pemandangan, entah kemana!
Tiba-tiba terdengar suara salah seorang biarawati. “Hei! Lihat! Manusia itu sudah bergantung pada kawat lampu!”
Semua kepalapun mendongak ke langit-langit di atas ruangan! Ternyata betul. Pemuda berambut gondrong itu bergantung di langit-langit ruangan dengan tangan kirinya memegangi kawat kecil lampu yang menerangi ruangan besar itu! Kalau dia tidak memiliki ilmu mengentengi tubuh yang tinggi luar biasa, pastilah kawat itu akan putus!
“Pemuda edan!” pekik seorang biarawati, “jangan kira aku dan kawan-kawan tidak sanggup mengejar kau ke atas sana!”
Sepuluh tubuh berjubah putih laksana anak-anak panah melesat ke atas dan serentak itu pula kirimkan serangan pedang yang lebih ganas yaitu jurus “Menabas Gunung Menusuk Rembulan”
Terdengar suara bersiut-siut dan sedetik kemudian disusul oleh suara jatuhnya lampu minyak besar yang tergantung di langit-langit ruangan! Kacanya dan semprongnya pecah bertebaran, minyak tumpah membasahi lantai! Sepuluh pedang biarawati-biarawati tadi nyatanya telah menabas putus kawat lampu hingga jatuh pecah berantakan ke lantai.
Dan hebatnya lagi saat itu si pemuda sudah berdiri lagi di tempatnya semula sebelum diserang pertama kali tadi. Berdiri diantara pecahan kaca dan minyak lampu sambil tertawa-tawa rangkapkan tangan di muka dada!
Penasaran sekali sepuluh biarawati segera menukik dan hendak lancarkan serangan untuk ketiga kalinya!
Tapi kali ini Ketua Biara Pensuci Jagat cepat berseru. “Tahan!”
Meski hati gusar tapi sepuluh biarawati hentikan serangan namun ketika turun kelantai kembali tetap membentuk posisi mengurung si pemuda!
“Para biarawati harap kembali ke tempat,” perintah Ketua Biara Pensuci Jagat. Sepuluh biarawati turun perintah itu. Mereka sarungkan pedang masing-masing dan duduk kembali ke tempat semula.
Disaat itu pula sepuluh biarawati yang tadi disuruh menyelidik keluar gedung kembali memasuki ruangan.
Dengan ilmu menyusupkan suara Ketua Biara Pensuci Jagat hendak bertanya pada biarawati-biarawati itu, tapi mendadak si pemuda sudah mendahului!
“Bagaimana?” tanyanya. “Apa kalian menemui tembok pagar yang bobol atau pintu gerbang yang rusak?!”
Sepuluh biarawati itu tiada perdulikan pertanyaan si pemuda melainkan melangkah ke hadapan Ketua mereka dan melaporkan bahwa tidak ada satu tanda yang mencurigakanpun di luar sana. Semuanya beres dan rapi! Ketua Biara Pensuci Jagat anggukkan kepala dan suruh sepuluh biarawati itu kembali ke tempat masing-masing.
“Pemuda,” berkata sang Ketua. “Ilmu yang barusan kau pamerkan…”
“Ah…!” memotong pemuda itu. “Siapa yang pamerkan ilmu!” tanyanya. “Orang diserang toh musti mengelak? Siapa sih orangnya yang mau ditusuk-tusuk dengan pedang? Yang mau dicincang? Kucing budukpun pasti larikan diri atau mengelak!”
Tenggorokan Supit Jagat turun naik beberapa kali. Kemudian dia berkata lagi. “Meski ilmumu setinggi gunung sedalam lautan, meski pengalamanmu saluas bumi, tapi jika kau datang ke sini dengan membawa niat jahat, jangan harap kau bisa keluar hidup-hidup dari sini!”
Si pemuda menghela nafas.
“Apakah kalian di sini tuli semua? Apa aku sejak tadi cuma bicara dengan tonggak-tonggak mati?!” katanya. Lalu dia meneruskan. “Pertama datang aku sudah bilang bahwa maksudku ke sini adalah membawa niat baik dan bersahabat! Bahkan aku kasih keterangan pada kalian di sini bahwa Biara ini dan kalian semua sedang terancam bahaya! Bahaya itu datangnya belum tentu tapi pasti datang! Bahaya Pendekar Pemetik Bunga! Tapi kalian bukannya percaya, malah bercuriga padaku! Malah menyerang aku! Aku yang edan apa kalian yang keblinger!”
“Kalau kau datang betul membawa niat baik dan bersahabat, mengapa datang tidak memberi tahu lebih dulu? Mengapa lancang masuk dengan diam-diam ke tempat orang?!” Si pemuda tertawa.
“Kalian sedang rapat! Sedang adakan pertemuan! Kalau aku datang dengan mengetuk pintu gerbang sana atau berteriak-teriak memberi salam, pastilah akan mengganggu rapat kalian.”
“Kau memang sudah mengganggu kami!” semprot Biarawati Lima yang memang sejak tadi belum habis rasa penasarannya.
Si pemuda angkat bahu.
Dipalingkannya tubuhnya pada Ketua Biara Pensuci Jagat, dan berkata.
“Ketua, jika kau dan semua orang di sini menganggap aku telah mengganggu kalian dan mengacaukan suasana pertemuan ini mohon dimaafkan. Aku tak akan mengganggu lebih lama.”
Pemuda itu menjura dua kali di hadapan Supit Jagat. “Cuma jangan menyesal kalau keteranganku nanti terbukti benar!”
Pemuda ini menjura satu kali pada barisan biarawati-biarawati yang duduk berjejer-jejer di kursi lalu segera hendak putar badan tinggalkan ruangan itu!
Mendadak biarawati gemuk tadi berteriak.
“Ketua! Bukan mustahil pemuda ini sendiri Pendekar Pemetik Bunga itu!”
Supit Jagat tercekat hatinya. “Ya, bukan tak mungkin,” katanya membathin. Cepat-cepat dia bertepuk tiga kali dan keseluruhan biarawati yang duduk di kursi berdiri cepat, menyebar di seluruh tepi ruangan, menjaga jendela-jendela dan menjaga pintu-pintu! Tak mungkinlah bagi si pemuda untuk meninggalkan tempat itu kini!
Lebih-lebih ketika terdengar suara. “Sret… sret…, sret…!” Suara pedang yang dicabut dari sarungnya! Seratus pedang kini melintang di tangan!
Si pemuda memandang berkeliling ruangan dengan kerenyitkan kulit kening.
“Apa-apaan ini?!” tanyanya membentak.
“Jika kau tidak mengaku bahwa kau adalah Pendekar Pemetik Bunga sendiri, jangan harap kau bisa keluar hidup-hidup dari sini!” hardik Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Eeeeee… kenapa memaksa aku yang bukan-bukan?!”
“Jangan banyak bacot! Mengaku atau mampus?!” Yang membentak kali ini adalah Biarawati Lima.
Si pemuda geleng-geleng kepala. “Tidak sangka biarawati-biarawati yang berhati suci jujur bisa bicara membentak dan galak, serta agak kotor!”
Biarawati Lima melompat ke muka. Pedangnya diacungkan tepat-tepat ke arah hidung si pemuda. Dia berpaling pada Supit Jagat. “Ketua, tunggu apa lagi?!”
“Pemuda, kau sungguh tidak mau mengaku diri?!” bertanya Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Kalau aku tidak mengaku, aku mau dibikin mampus! Kalau aku mengaku bahwa aku Pendekar Pemetik Bunga, seribu kali lebih mampus! Kuharap kalian semua suka berpikir pakai otak dan jangan galak-galakan! Tak ada perlunya! Kalau aku Pendekar Pemetik Bunga sudah sejak tadi terjadi kemesuman di ruangan ini!”
Ketua Biara Pensuci Jagat menimbang ucapan si pemuda. Memang betul juga, kalau pemuda ini adalah Pendekar Pemetik Bunga tentu sudah sejak tadi terjadi hal-hal yang mengerikan!
“Sekarang, apakah kalian mau memberi jalan padaku untuk keluar dari sini?!” terdengar si pemuda bertanya.
“Sebelum kau terangkan siapa kau punya nama, berasal dari mana dan juga terangkan gelarmu, baru kami akan izinkan kau berlalu dari sini!” kata Supit Jagat pula.
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. Tiba-tiba meledaklah tertawanya! Lantai, dinding, langit-langit den tiang ruangan bergetar oleh kumandang tertawanya yang panjang ini. Setiap hati manusia yang ada di situ, termasuk Ketua Biara Pensuci Jagat sendiri ikut tergetar oleh kehebatan suara tertawa si pemuda!
“Kenapa kau tertawa?!” bentak Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Siapa yang tidak bakal geli dan ketawa!” menyahut si pemuda.
“Mula-mula kalian tanya siapa aku? Siapa namaku. Siapa gelarku dan sekarang tanya aku berasal dari mana atau tinggal di mana?! Persis pertanyaan-pertanyaan begitu macam muda mudi yang sedang pacar-pacaran!”
Merahlah paras Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Tak dapat dihindarkan lagi bahwa lantai ruangan ini akan basah oleh darahmu, pemuda bermulut kurang ajar!” teriak sang Ketua. Dia gerakan tangan memberi isyarat. Dan selangkah demi selangkah, seratus biarawati dari angkatan tua dan muda, dengan pedang ditangan masing-masing, maju mendekati si pemuda!
Gilanya pemuda itu masih juga berdiri tertawa-tawa di tengah ruangan, memandang berkeliling dan garuk-garuk rambutnya yang gondrong!
Tiba-tiba seratus pekikkan laksana guntur yang hendak meruntuhkan gedung biara itu berkumandang! Seratus pedang berkiblat!
“Buset!” Si pemuda membentak tak kalah nyaring. Diiringi dengan suitan yang memekakkan telinga dia melompat tinggi-tinggi ke atas, kepalanya hampir menyundul langit-langit. Dalam tubuh mengapung begitu rupa pemuda ini berseru, “Ketua, harap kau sudi hentikan serangan ini dulu!”
“Serang terus!” sebaliknya Ketua Biara Pensuci Jagat berteriak.
“Aku tak mau kesalahan. tangan dan cari permusuhan dengan kalian! Kita adalah sama-sama satu golongan!”
“Jangan ngaco!” tukas Biarawati Lima.
“Ketua Biara, aku betul-betul tidak mau bikin cilaka orang-orangmu!” berseru lagi si pemuda.
Tapi sang Ketua Biara tak mau ambil perduli malah membentak lebih keras agar orang-orangnya menggempur pemuda itu. Puluhan biarawati melesat ke atas, puluhan pedang berkelebat!
Pemuda itu menggerendeng dalam hatinya. Kedua telapak tangannya dikembangkan dengan cepat kemudian dipukulkan ke bawah!
Maka angin dahsyat laksana topan menderu ke bawah memapasi serangan-serangan lawan. Betapapun puluhan biarawati-biarawati itu bersikeras menyerbu ke atas dan kerahkan tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh mereka namun tiada berhasil. Mereka laksana tertahan oleh satu dinding baja yang tak kelihatan. setiap mereka melesat ke atas, tubuh mereka kembali mental ke bawah berpelantingan, banyak yang mendeprok jatuh duduk!
Heranlah sang Ketua Biara Pensuci Jagat menyaksikan hal ini. Ilmu apakah gerangan yang dimiliki pemuda itu, demikian dia membathin.
Melihat betapa orang-orangnya mengalami kesia-siaan, tiada hasil melakukan serangan mereka maka Supit Jagat sendiri segera turun dari mimbar dan berseru, “Pemuda, turunlah! Hadapi aku!”
“Ah… Ketua Biara, sungguh satu kehormatan yang kau sendiri juga mau turun tangan pada budak hina ini,” dan sementara itu sepasang mata si pemuda melirik ke pintu di ujung kanan yang kini tiada terjaga lagi karena keseluruhan biara di ruangan itu ambil bagian menyerangnya.
“Tapi,” melanjutkan si pemuda sementara kedua telapak tangannya masih terus juga dipukulkan berkali-kali ke bawah memapasi serangan-serangan lawan, “harap maaf, saat ini aku tidak punya kesempatan untuk main-main dengan kau! Lagi pula aku anggap kita semua ini adalah orang satu golongan! Sampai jumpa Ketua Biara!”
Pemuda itu melompat ke samping lalu menukik ke arah pintu. Penasaran sekali Ketua Biara Pensuci Jagat lepaskan satu pukulan jarak jauh yang dahsyat!
“Braak!”
Sebagian tiang pintu yang besarnya lebih dari sepemeluk tangan hancur lebur.
Tapi si pemuda sudah lenyap!
“Kejar!” teriak Supit Jagat. “Kita musti tangkap manusia itu hidup atau mati!”
Maka ruangan besar itupun kosong melomponglah kini. Semua biarawati termasuk Supit Jagat rnenghambur ke luar. Seluruh halaman diperiksa. Pintu gerbang dibuka dan belasan biarawati mengejar keluar dan belasan lainnya melompat ke atas atap, namun si pemuda lenyap tiada bekas!
Supit Jagat memerintahkan orang-orangnya untuk kembali masuk ke dalam Biara. Dan waktu mereka memasuki ruangan pertemuan tadi, semuanyapun terkejutlah!
Di lantai ruangan, dikursi-kursi dan di beberapa bagian dinding ruangan sebelah bawah bertebaran puluhan deretan angka 212.
“Dua satu. Dua!” desis Supit Jagat. Ketua Biara Pensuci Jagat ini memandang biarawati-biarawati angkatan tua. Ya, hanya mereka yang seumur dengan dialah yang mengerti apa arti angka 212 itu sedang biarawati-biarawati angkatan muda hanya melongo tak mengerti!
Ketua Biara Pensuci Jagat memberi isyarat pada kira-kira sepuluh orang biarawati angkatan tua agar mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar.
Ketua Biara ini duduk di kursi goyang yang dulu menjadi kursi kesayangan Ketua mereka yang telah meninggal dunia. “Sekarang kita sudah tahu siapa adanya pemuda itu,” berkata Supit Jagat. “Dia bukan lain dari Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, murid Eyang Sinto Gendeng dipuncak gunung Gede yang menurut guru kita tempo hari merupakan kawan baiknya!”
“Kalau begitu,” menyela Biarawati Lima yang bertubuh gemuk pendek dan yang tadi paling gemas terhadap pemuda itu, “keterangan yang diberikannya bukan omong kosong belaka!”
“Betul!” Supit Jagat anggukkan kepala.
“Kalau dia memang golongan kita sendiri, sama-sama golongan putih,” kata Biarawati Sembilan. “Kenapa tidak siang-siang dia terangkan diri…?!”
“Pemuda itu memang aneh,” menyahut Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Kadang-kadang orang menganggapnya pemuda gila, edan kurang ingatan! Kalau kalian kenal pada gurunya, gurunya Eyang Sinto Gendeng itu lebih gila lagi! Gila dan edan, bicara seenaknya! Bahkan dalam bertempur menyabung nyawapun dia tertawa-tawa atau bersiul-siul seperti yang kalian lihat tadi! Sinto Gendeng ataupun muridnya yang tadi memang bukan orang-orang yang suka agul-agulkan nama atau obral gelar di mana-mana.
Kurasa itulah sebabnya pemuda tadi tidak mau kasih keterangan siapa dia sebenarnya!”
Sunyi beberapa lamanya.
“Ketua, bagusnya kita segera bersiap-siap menjaga segala kemungkinan atas datangnya Pendekar Pemetik Bunga itu!”
“Ya. Biarawati Satu, kau atur semuanya. Perketat penjagaan! Tambah alat-alat rahasia di sekitar tembok dan pintu gerbang!”
“Perintah akan kami jalankan, Ketua,” sahut Biarawati Satu, lalu bersama kawan-kawannya yang lain segera meninggalkan tempat itu setelah terlebih dahulu menjura memberi hormat.
Sementara itu dua orang biarawati muda yang kelelahan mencari-cari Wiro Sableng di luar tembok halaman dan yang bekerja di bagian dapur biara segera langsung menuju ke bagian dapur itu. Sesudah minum melepaskan dahaga mereka bermaksud akan meneruskan pekerjaan mereka sehari-hari di dapur. Namun betapa terkejutnya kedua biarawati sewaktu masuk ke dalam dapur, mereka mendapatkan seorang pemuda yang bukan lain Wiro Sableng Pendekar Maut Naga Geni 212 tengah duduk di sebuah kursi dengan angkat kaki dan melahap nasi! Asyik makan dan menggeragoti paha ayam goreng sisa malam tadi!
Segera keduanya hendak berteriak. “Ssst…” .
Wiro Sableng letakkan jari telunjuknya di atas kedua bibirnya sedang mulutnya saat itu menggembung penuh nasi. Tapi mana dua biarawati tak mau berdiam diri. Keduanya sama hendak berteriak lagi dan menghambur dari dapur. Wiro tak dapat berbuat lain. Dia hantamkan dua jari tangan kanannya ke muka! Dengan serta merta tubuh kedua biarawati itu berhenti mematung, mulut mereka yang tadi hendak berteriak terbuka lebar-lebar tapi tak satu suarapun yang keluar!
Itulah ilmu totokan jarak jauh yang lihay sekali telah dilepaskan oleh murid Eyang Sinto Gendeng! Dan selanjutnya seperti tak ada kejadian apa-apa, seperti dirumahnya sendiri Wiro Sableng meneruskan melahap makanannya! Selesai makan dan meneguk air, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini segera tinggalkan dapur itu.
Sewaktu empat orang biarawati yang juga bekerja di dapur memasuki dapur, keempatnya terkejut mendapatkan dua kawan mereka berdiri tak bergerak sedang mulut menganga. Nyatalah mereka telah ditotok. Segera totokan itu dilepaskan.
“Siapa yang menotok kalian?!”
“Pemuda itu!”
“Maksudmu Wiro Sableng?! Pendekar 212?!”
“Ya!” sahut yang seorang.
Yang seorang lagi memberi keterangan, “Kami haus dan mau minum lalu melanjutkan tugas sehari-hari. Tahu-tahu pemuda itu sudah nongkrong di kursi sana, melahap nasi dan makan daging ayam!”
“Pantas dicari-cari di luar gedung tidak ada! tak tahunya nongkrong di dapur! Pemuda lapar!”
Ketika hal itu dilaporkan kepada Ketua Biara Pensuci Jagat mula-mula dalam terkejutnya Supit Jagat setengah tak percaya.
Namun kemudian tiba-tiba meledaklah suara tertawanya. Biarawati-biarawati yang datang melapor itupun akhirnya ikut-ikutan pula tertawa!
“Apa-apaan ini?!” tanyanya membentak.
“Jika kau tidak mengaku bahwa kau adalah Pendekar Pemetik Bunga sendiri, jangan harap kau bisa keluar hidup-hidup dari sini!” hardik Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Eeeeee… kenapa memaksa aku yang bukan-bukan?!”
“Jangan banyak bacot! Mengaku atau mampus?!” Yang membentak kali ini adalah Biarawati Lima.
Si pemuda geleng-geleng kepala. “Tidak sangka biarawati-biarawati yang berhati suci jujur bisa bicara membentak dan galak, serta agak kotor!”
Biarawati Lima melompat ke muka. Pedangnya diacungkan tepat-tepat ke arah hidung si pemuda. Dia berpaling pada Supit Jagat. “Ketua, tunggu apa lagi?!”
“Pemuda, kau sungguh tidak mau mengaku diri?!” bertanya Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Kalau aku tidak mengaku, aku mau dibikin mampus! Kalau aku mengaku bahwa aku Pendekar Pemetik Bunga, seribu kali lebih mampus! Kuharap kalian semua suka berpikir pakai otak dan jangan galak-galakan! Tak ada perlunya! Kalau aku Pendekar Pemetik Bunga sudah sejak tadi terjadi kemesuman di ruangan ini!”
Ketua Biara Pensuci Jagat menimbang ucapan si pemuda. Memang betul juga, kalau pemuda ini adalah Pendekar Pemetik Bunga tentu sudah sejak tadi terjadi hal-hal yang mengerikan!
“Sekarang, apakah kalian mau memberi jalan padaku untuk keluar dari sini?!” terdengar si pemuda bertanya.
“Sebelum kau terangkan siapa kau punya nama, berasal dari mana dan juga terangkan gelarmu, baru kami akan izinkan kau berlalu dari sini!” kata Supit Jagat pula.
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. Tiba-tiba meledaklah tertawanya! Lantai, dinding, langit-langit den tiang ruangan bergetar oleh kumandang tertawanya yang panjang ini. Setiap hati manusia yang ada di situ, termasuk Ketua Biara Pensuci Jagat sendiri ikut tergetar oleh kehebatan suara tertawa si pemuda!
“Kenapa kau tertawa?!” bentak Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Siapa yang tidak bakal geli dan ketawa!” menyahut si pemuda.
“Mula-mula kalian tanya siapa aku? Siapa namaku. Siapa gelarku dan sekarang tanya aku berasal dari mana atau tinggal di mana?! Persis pertanyaan-pertanyaan begitu macam muda mudi yang sedang pacar-pacaran!”
Merahlah paras Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Tak dapat dihindarkan lagi bahwa lantai ruangan ini akan basah oleh darahmu, pemuda bermulut kurang ajar!” teriak sang Ketua. Dia gerakan tangan memberi isyarat. Dan selangkah demi selangkah, seratus biarawati dari angkatan tua dan muda, dengan pedang ditangan masing-masing, maju mendekati si pemuda!
Gilanya pemuda itu masih juga berdiri tertawa-tawa di tengah ruangan, memandang berkeliling dan garuk-garuk rambutnya yang gondrong!
Tiba-tiba seratus pekikkan laksana guntur yang hendak meruntuhkan gedung biara itu berkumandang! Seratus pedang berkiblat!
“Buset!” Si pemuda membentak tak kalah nyaring. Diiringi dengan suitan yang memekakkan telinga dia melompat tinggi-tinggi ke atas, kepalanya hampir menyundul langit-langit. Dalam tubuh mengapung begitu rupa pemuda ini berseru, “Ketua, harap kau sudi hentikan serangan ini dulu!”
“Serang terus!” sebaliknya Ketua Biara Pensuci Jagat berteriak.
“Aku tak mau kesalahan. tangan dan cari permusuhan dengan kalian! Kita adalah sama-sama satu golongan!”
“Jangan ngaco!” tukas Biarawati Lima.
“Ketua Biara, aku betul-betul tidak mau bikin cilaka orang-orangmu!” berseru lagi si pemuda.
Tapi sang Ketua Biara tak mau ambil perduli malah membentak lebih keras agar orang-orangnya menggempur pemuda itu. Puluhan biarawati melesat ke atas, puluhan pedang berkelebat!
Pemuda itu menggerendeng dalam hatinya. Kedua telapak tangannya dikembangkan dengan cepat kemudian dipukulkan ke bawah!
Maka angin dahsyat laksana topan menderu ke bawah memapasi serangan-serangan lawan. Betapapun puluhan biarawati-biarawati itu bersikeras menyerbu ke atas dan kerahkan tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh mereka namun tiada berhasil. Mereka laksana tertahan oleh satu dinding baja yang tak kelihatan. setiap mereka melesat ke atas, tubuh mereka kembali mental ke bawah berpelantingan, banyak yang mendeprok jatuh duduk!
Heranlah sang Ketua Biara Pensuci Jagat menyaksikan hal ini. Ilmu apakah gerangan yang dimiliki pemuda itu, demikian dia membathin.
Melihat betapa orang-orangnya mengalami kesia-siaan, tiada hasil melakukan serangan mereka maka Supit Jagat sendiri segera turun dari mimbar dan berseru, “Pemuda, turunlah! Hadapi aku!”
“Ah… Ketua Biara, sungguh satu kehormatan yang kau sendiri juga mau turun tangan pada budak hina ini,” dan sementara itu sepasang mata si pemuda melirik ke pintu di ujung kanan yang kini tiada terjaga lagi karena keseluruhan biara di ruangan itu ambil bagian menyerangnya.
“Tapi,” melanjutkan si pemuda sementara kedua telapak tangannya masih terus juga dipukulkan berkali-kali ke bawah memapasi serangan-serangan lawan, “harap maaf, saat ini aku tidak punya kesempatan untuk main-main dengan kau! Lagi pula aku anggap kita semua ini adalah orang satu golongan! Sampai jumpa Ketua Biara!”
Pemuda itu melompat ke samping lalu menukik ke arah pintu. Penasaran sekali Ketua Biara Pensuci Jagat lepaskan satu pukulan jarak jauh yang dahsyat!
“Braak!”
Sebagian tiang pintu yang besarnya lebih dari sepemeluk tangan hancur lebur.
Tapi si pemuda sudah lenyap!
“Kejar!” teriak Supit Jagat. “Kita musti tangkap manusia itu hidup atau mati!”
Maka ruangan besar itupun kosong melomponglah kini. Semua biarawati termasuk Supit Jagat rnenghambur ke luar. Seluruh halaman diperiksa. Pintu gerbang dibuka dan belasan biarawati mengejar keluar dan belasan lainnya melompat ke atas atap, namun si pemuda lenyap tiada bekas!
Supit Jagat memerintahkan orang-orangnya untuk kembali masuk ke dalam Biara. Dan waktu mereka memasuki ruangan pertemuan tadi, semuanyapun terkejutlah!
Di lantai ruangan, dikursi-kursi dan di beberapa bagian dinding ruangan sebelah bawah bertebaran puluhan deretan angka 212.
“Dua satu. Dua!” desis Supit Jagat. Ketua Biara Pensuci Jagat ini memandang biarawati-biarawati angkatan tua. Ya, hanya mereka yang seumur dengan dialah yang mengerti apa arti angka 212 itu sedang biarawati-biarawati angkatan muda hanya melongo tak mengerti!
Ketua Biara Pensuci Jagat memberi isyarat pada kira-kira sepuluh orang biarawati angkatan tua agar mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar.
Ketua Biara ini duduk di kursi goyang yang dulu menjadi kursi kesayangan Ketua mereka yang telah meninggal dunia. “Sekarang kita sudah tahu siapa adanya pemuda itu,” berkata Supit Jagat. “Dia bukan lain dari Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, murid Eyang Sinto Gendeng dipuncak gunung Gede yang menurut guru kita tempo hari merupakan kawan baiknya!”
“Kalau begitu,” menyela Biarawati Lima yang bertubuh gemuk pendek dan yang tadi paling gemas terhadap pemuda itu, “keterangan yang diberikannya bukan omong kosong belaka!”
“Betul!” Supit Jagat anggukkan kepala.
“Kalau dia memang golongan kita sendiri, sama-sama golongan putih,” kata Biarawati Sembilan. “Kenapa tidak siang-siang dia terangkan diri…?!”
“Pemuda itu memang aneh,” menyahut Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Kadang-kadang orang menganggapnya pemuda gila, edan kurang ingatan! Kalau kalian kenal pada gurunya, gurunya Eyang Sinto Gendeng itu lebih gila lagi! Gila dan edan, bicara seenaknya! Bahkan dalam bertempur menyabung nyawapun dia tertawa-tawa atau bersiul-siul seperti yang kalian lihat tadi! Sinto Gendeng ataupun muridnya yang tadi memang bukan orang-orang yang suka agul-agulkan nama atau obral gelar di mana-mana.
Kurasa itulah sebabnya pemuda tadi tidak mau kasih keterangan siapa dia sebenarnya!”
Sunyi beberapa lamanya.
“Ketua, bagusnya kita segera bersiap-siap menjaga segala kemungkinan atas datangnya Pendekar Pemetik Bunga itu!”
“Ya. Biarawati Satu, kau atur semuanya. Perketat penjagaan! Tambah alat-alat rahasia di sekitar tembok dan pintu gerbang!”
“Perintah akan kami jalankan, Ketua,” sahut Biarawati Satu, lalu bersama kawan-kawannya yang lain segera meninggalkan tempat itu setelah terlebih dahulu menjura memberi hormat.
Sementara itu dua orang biarawati muda yang kelelahan mencari-cari Wiro Sableng di luar tembok halaman dan yang bekerja di bagian dapur biara segera langsung menuju ke bagian dapur itu. Sesudah minum melepaskan dahaga mereka bermaksud akan meneruskan pekerjaan mereka sehari-hari di dapur. Namun betapa terkejutnya kedua biarawati sewaktu masuk ke dalam dapur, mereka mendapatkan seorang pemuda yang bukan lain Wiro Sableng Pendekar Maut Naga Geni 212 tengah duduk di sebuah kursi dengan angkat kaki dan melahap nasi! Asyik makan dan menggeragoti paha ayam goreng sisa malam tadi!
Segera keduanya hendak berteriak. “Ssst…” .
Wiro Sableng letakkan jari telunjuknya di atas kedua bibirnya sedang mulutnya saat itu menggembung penuh nasi. Tapi mana dua biarawati tak mau berdiam diri. Keduanya sama hendak berteriak lagi dan menghambur dari dapur. Wiro tak dapat berbuat lain. Dia hantamkan dua jari tangan kanannya ke muka! Dengan serta merta tubuh kedua biarawati itu berhenti mematung, mulut mereka yang tadi hendak berteriak terbuka lebar-lebar tapi tak satu suarapun yang keluar!
Itulah ilmu totokan jarak jauh yang lihay sekali telah dilepaskan oleh murid Eyang Sinto Gendeng! Dan selanjutnya seperti tak ada kejadian apa-apa, seperti dirumahnya sendiri Wiro Sableng meneruskan melahap makanannya! Selesai makan dan meneguk air, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini segera tinggalkan dapur itu.
Sewaktu empat orang biarawati yang juga bekerja di dapur memasuki dapur, keempatnya terkejut mendapatkan dua kawan mereka berdiri tak bergerak sedang mulut menganga. Nyatalah mereka telah ditotok. Segera totokan itu dilepaskan.
“Siapa yang menotok kalian?!”
“Pemuda itu!”
“Maksudmu Wiro Sableng?! Pendekar 212?!”
“Ya!” sahut yang seorang.
Yang seorang lagi memberi keterangan, “Kami haus dan mau minum lalu melanjutkan tugas sehari-hari. Tahu-tahu pemuda itu sudah nongkrong di kursi sana, melahap nasi dan makan daging ayam!”
“Pantas dicari-cari di luar gedung tidak ada! tak tahunya nongkrong di dapur! Pemuda lapar!”
Ketika hal itu dilaporkan kepada Ketua Biara Pensuci Jagat mula-mula dalam terkejutnya Supit Jagat setengah tak percaya.
Namun kemudian tiba-tiba meledaklah suara tertawanya. Biarawati-biarawati yang datang melapor itupun akhirnya ikut-ikutan pula tertawa!
Gadis berbaju kuning ringkas itu menghentikan larinya di tepi kali berair jernih dengan batu-batu besar di tengah-tengahnya bertebaran laksana pulau-pulau kecil. Disibakkannya rambutnya yang mengurai di kening dan disekanya keringat yang membasahi kuduknya. Dihelanya nafas dalam, nafas yang ditarik dengan disertai rasa keputusasaan dan kegemasan!
Dua hari yang lalu dia sudah berhasil menemui jejak manusia yang dicarinya. Kemarin dia bahkan telah menguntit manusia itu tapi hari ini sesampainya di tepi kali itu, bayangan manusia yang dikejarnya kembali lenyap laksana ditelan bumi, laksana amblas masuk ke dalam kali!
Penuh letih akhirnya gadis ini dudukkan diri di tepi kali, di atas sebuah batu hitam. Dia memandang ke hulu sungai. Satu pemandangan yang indah untuk disaksikan. Sementara itu angin bertiup pula sepoi-sepoi basah. Di luar sepengetahuan gadis berbaju kuning ini, menyelam antara kelihatan dan tidak, berenang seekor ular kali sebesar lengan. Kaki-kaki si gadis yang berkulit putih mulus dan bagus, yang sebagiannya masuk ke dalam air, itulah yang telah menarik perhatian sang ular dan membuatnya segera berenang ke arah mangsanya ini!
Setengah langkah ular itu berada dari kedua kakinya, barulah si gadis sadar. Cepat dia tarik kedua kaki dari dalam air. Sang ular dengan ganas terus mengejar naik ke atas batu. Tapi nasibnya malang. Kali ini gadis baju kuning pergunakan kaki kirinya untuk menendang!
Binatang itu mencelat mental. Kepalanya hancur. Tubuhnya menggelepar-gelepar seketika lalu mati dan dihanyutkan arus sungai.
Gadis baju kuning itu berumur sekitar 19 tahun. Sepasang matanya bening dan jeli. Parasnya bujur telur dan ayu, tak membosankan untuk dipandang. Di atas sepasang matanya yang bening jeli itu berpeta dua buah alis laksana bulan sabit bagusnya!
Namun di balik keayunan paras itu, di belakang kejelitaan wajah itu samar-samar kelihatan satu rasa duka derita yang berpaut dengan rasa dendam kesumat!
Lima hari yang lalu dia masih berada di Goa Blabakan. Dan hari itu dia berhadap-hadapan dengan gurunya. “Empu, murid minta diizinkan untuk meninggalkan pertapaan untuk beberapa waktu…”
Empu Tumapel memandangi paras muridnya beberapa lama.
“Pelajaran yang kuberikan padamu masih belum selesai, Sekar,” berkata sang guru, “Kau ingat bahwa lima tahun lagi baru kau boleh meninggalkan Goa Blabakan ini?”
“Murid ingat, guru. Murid tidak lupa,” sahut Sekar. “Tapi kabar yang murid terima dari orang desa yang datang kemarin siang…. Guru tentu dapat memakluminya.”
Dan gadis itu menyeka air mata yang meleleh dipipinya. “Aku tidak mengajarkan kau menangis, Sekar! Aku mengajarkan kau ilmu silat, Ilmu kesaktian, ilmu bathin, Ilmu menguatkan jiwa, lahir dan bathin! Bukan Ilmu menangis!” Sekar seka lagi sisa-sisa air matanya dan hentikan tangis.
“Murid tahu, guru. Tapi guru juga musti maklum. Ayahku dibunuh. Ibuku dan adik perempuanku diperkosa lalu dibunuh! Dapatkah hati seorang perempuan menghadapi semua ini tanpa air mata? Dan karena peristiwa itulah murid minta izin kepada guru untuk meninggalkan pertapaan ini beberapa lamanya guna mencari manusia terkutuk itu!”
Empu Tumapel merenung dan setelah menghela nafas dalam diapun berkata, “Sekalipun kuizinkan padamu pergi, sekalipun kau bertemu dengan manusia itu, belum tentu kau berhasil menghadapinya Sekar. Belum tentu kau dapat membalaskan sakit hati dan dendam kesumatmu!”
‘°Murid tahu, manusia itu sakti luar biasa! Tapi demi menuntut kebenaran, demi arwah orang tua dan adikku, dengan doa restu guru serta pertolongan Tuhan, murid yakin murid akan sanggup menghadapinya! Tapi guru, apakah ilmu meskipun sakti luar biasa jika dipergunakan untuk kejahatan akan sanggup menghadapi kebenaran dan kekuatannya Tuhan?!”
Empu Tumapel yang berumur enam puluh tahun terdiam oleh ucapan muridnya itu.
“Kau akan mati percuma di tangan manusia itu, Sekar,” katanya setelah berdiam diri beberapa lama.
“Tidak, guru. Sekalipun aku mati, aku akan mati dengan puas. Puas karena aku telah membela keadilan, menghancurkan kejahatan. Aku akan mati syahid guru!”
“Baik… baiklah muridku,” kata Empu Tumapel. Dibelainya kepala muridnya itu. Dan dalam jubahnya dikeluarkan seuntai rantai baja yang panjangnya dua meter. Pada ujung rantai baja ini terdapat sebuah bola baja berduri. Keseluruhan senjata ini memancarkan sinar putih dan hawa dingin tanda senjata itu bukan senjata sembarangan.
“Kuizinkan kua pergi, Sekar. Dan bawalah senjata Rantai Petaka Bumi ini. Mudah-mudahan kau berhasil…”
Sekar berlutut di hadapan gurunya.
“Terima kasih guru… Terima kasih guru juga mempercayakan dan meminjamkan senjata ini padaku….”
Lamunan tentang saat lima hari itu serta merta buyar sewaktu dari hulu sungai Sekar, si gadis berbaju kuning, melihat sesosok bayangan putih berlari cepat di atas kali, hanya sekali-sekali kakinya menjejak batu-batu yang banyak bertebaran di atas kali.
Cepat Sekar berdiri dan menunggu penuh waspada. Orang yang berlari hentikan larinya dan berdiri di atas sebuah batu besar sejarak satu-dua meter di hadapan gadis itu.
“Eh, saudari, kau berada sendiri di tepi kali ini, ada apakah?!” Sekar menatap paras pemuda yang tampan itu. Sewaktu dia memperhatikan rambut gondrong yang menjela sampai ke bahu si pemuda, berdetak hatinya! Bukan tidak mustahil manusia ini adalah Pendekar Pemetik Bunga yang tengah dicarinya dan kini telah bertukar pakaian. Dia sendiri memang tidak pernah melihat jelas tampang Pendekar Terkutuk itu!
Menimbang begini. Sekar segera keluarkan “Rantai Petaka Bum!” dari balik pakaiannya, terus menyerang dengan ganas! Si pemuda terkejut!
“Gila betul! Ditanya baik-baik dijawab dengan serangan!” Cepat-cepat dia menghindar. Angin dingin menyambar tubuhnya sewaktu Rantai Petaka Bumi lewat di depan dadanya!
“Saudari, itu senjata sakti! Jangan dibuat main-main!”
“Tutup mulut! Justru dengan senjata inilah akan kuhancurkan kepalamu pemuda bejat!”
Si pemuda keluarkan siulan dan tertawa gelak-gelak. Inilah ciri-ciri khas dari pendekar yang tak asing lagi yaitu Wiro Sableng si Pendekar 212!
“Kenal belum, ketemupun baru kali ini sudah bisa menyumpahiku pemuda bejat! Kau mimpi atau apa?!”
“Keparat, terima kematianmu dalam tiga jurus!”
Sekar menyerang dengan dahsyat. Rantai Petaka Bumi menyapu dengan mengeluarkan suara dahsyat laksana halilintar, menebarkan angin laksana topan hingga air kali bermuncratan dan batu-batu kali yang tersambar bola baja berduri itu hancur berantakan!
“Saudari!” seru Wiro Sableng. “Kau ini main-main atau bagaimana?” Pemuda ini terpaksa jungkir balik di atas kali menghindari serangan senjata lawan yang dahsyat. Dan sebelum kedua kakinya menjejak disalah satu batu kali. Rantai Petaka Bumi itu sudah menyapu lagi ke arah kakinya!
“Hebat!” seru Wiro Sableng benar-benar kagum.
“Ya, hebat! Memang hebat! Sebentar lagi kepalamu akan dibikin hebat oleh bola baja berduri ini!” tukas Sekar.
Wiro Sableng terpaksa jungkir balik sekali lagi. Seorang yang memiliki ilmu mengentengi tubuh sempurna biasa saja pasti tak akan sanggup melakukan dua kali jungkir balik itu. Tapi Pendekar 212 ilmu mengentengi tubuhnya sudah lebih tinggi dari kesempurnaan!
Si gadis melihat serangannya melanda angin kosong jadi penasaran sekali. Saat itu jurus kedua. Tanpa tedeng aling-aling dia melompat ke muka lebih dekat pada si pemuda dan putar Rantai Petaka Bumi dengan jurus “Bumi Dilanda Lindu!”
Jurus ini memang hebat luar biasa, padahal si gadis baru mewarisi setengahnya saja dari gurunya! Karena tak ingin melawan dan karena tak mau membuat si gadis cilaka, lagi pula merasa tidak ada permusuhan apa-apa, maka Wiro Sableng sejak tadi hanya mengelak, sekalipun tak balas menyerang. Gesit sekali Pendekar dari Gunung Gede ini melompat ke tepi kali.
“Saudari harap tahan dulu seranganmu!”
“Jangan banyak rewel Pendekar Terkutuk Pemetik Bungai Kau tetap musti kubunuh! Arwah orang tua dan adikku tak akan tenang di alam baka sebelum nyawa anjingmu kurenggut dari tubuh keparatmu!” Lantas si gadis melompat pula ke tepi kali.
“Hai! Kalau begitu kau salah duga, gadis baju kuning!” kata Wiro Sableng pula. “Aku bukannya Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga!”
“Tak perlu dusta! Kau kira bisa selamat dengan jual mutut begitu rupa?!”
“Aku tidak dusta! Apa kau pernah lihat aku memetik bunga dan bunga apa? Bunga matahari atau bunga mawar atau….”
“Bunga bola baja kematianmu ini, laknat!” sentak Sekar. Dan kembali dia menyerang secara ganas.
Pendekar kita terpaksa mengelak lagi dan lompat ke cabang sebatang pohon.
“Kalau keliwat kesusu bisa tidak beres saudari. Aku masih belum habis bicara! Kuharap kau suka simpan itu senjata dan mari kita bicara baik-baik…”
Bukannya si gadis baju kuning simpan senjata meiainkan bola baja berduri itu diluncurkannya ke batang pohon di atas mana Wiro Sableng berada.
“Kraak!”
Batang pohon hancur dan tumbang. Pendekar 212 sendiri sudah lompat ke pohon yang lain!
Gemas sekali Sekar segera melompat ke pohon itu! Dan di atas cabang pohon yang tak seberapa besar itu maka kini terjadilah pertempuran yang seru! Namun Wiro Sableng tetap tidak mengadakan perlawanan atau balas menyerang. Ini membuat si gadis jadi penasaran.
“Ayo, pemuda keparat! Kenapa diam saja?! Apa nyalimu sudah lumer?! Keluarkan senjatamu!”
Lama-lama diserang gencar demikian rupa Wiro Sableng kewalahan juga. Dia Iompat ke bawah. Sekar sebatkan rantai baja ke pinggang si pemuda. Dengan gesit Wiro Sabieng mengelak kesamping lalu gerakkan tangan kanannya!
Sekar terpelanting dari cabang pohon akibat betotan Wiro Sableng pada rantai bajanya. Ketika dia turun ke tanah dengan jungkir balik, Rantai Petaka Bumi sudah berada di tangan Wiro Sableng!
“Kembalikan senjataku!” teriak Sekar.
Wiro Sableng tertawa dan bersiul-siul. Rantai baja yang panjangnya dua meter itu dililitkannya di pinggangnya. Lalu dengan bertolak pinggang dia berkata. “Silahkan ambil sendiri, nona manis!”
Tiada terkirakan geramnya murid Empu Tumapel itu. Tapi dasar bernyali besar, dengan tangan kosong dis menerkam ke muka dan lancarkan satu jurus aneh bernama “Kabut Pagi Menelan Embun.”
Jurus ini dilakukan dengan gerakan yang sangat cepat hingga waktu menyerang itu tubuh Sekar lenyap laksana kabut tipis! Tapi mata Pendekar Sakti 212 tak dapat ditipu. Betapapun cepatnya gerakan lawan namun dalam kelebatan itu masih sanggup dilihatnya bagaimana kedua tangan lawan terkembang hendak mencengkeram muka sedang sepasang kaki menendang ke dada dan ke selangkangan!
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu dengan gerakan kilat miringkan tubuhnya ke samping. Sewaktu tumit lawan masih akan menyerempet pinggulnya dengan cepat di tangkapnya ujung kaki si gadis dan dibantingkan ke atas! Sekar jungkir balik di udara! tapi jatuhnya tetap berdiri! Hidung gadis ini kembang kempis. Mukanya merah kelam karena marah! Hatinya geram karena sadar tiada akan sanggup menghadapi pemuda yang sangat tinggi ilmu silatnya itu!
“Kau letih eh?!”
“Diam!” lengking Sekar.
“Saudari, dalam hidup ini, dalam segala hal manusia itu tidak boleh serba kesusu….”
“Jangan jual kentut!”
“Juga jangan suka lekas marah penasaran….”
“Diam!” teriak Sekar hingga suaranya menggema diseantero kali.
Si pemuda tertawa dan geleng-gelengkan kepala. Dia berpikir bagaimana caranya menghadapi gadis galak macam yang satu ini.
Tiba-tiba dia dapat akal.
“Saudari, kalau kau tetap keras kepala tak bisa bicara baik-baik aku akan pergi dari sini dan larikan senjatamu!”
“Ke ujung bumipun kau lari aku akan kejar!”
Wiro Sableng angkat bahu dan garuk-garuk kepala!
“Tak pernah aku ketemu gadis yang keras kepala dan tak mau mengerti macammu ini, saudari!”
“Kembalikan senjataku”
“Aku akan kembalikan. Tapi kalau kau pergunakan lagi untuk menyerangku…?”
“Kau tahu itu senjata milik, siapa?”
“Aku tidak tanya!”
Sekar memaki-maki!
“Kalau guruku Empu Tumapel tahu senjatanya dibuat main dan dihina, pasti nyawamu yang cuma selembar tak akan aman’“
“Heh… jadi kau muridnya Empu Tumapel?! Akh… orang tua itu adalah kawan main kelerengku sewaktu masih kecil. Dan kau tahu, dia suka main curang. He…. He… he…!”
Marahlah Sekar. Dia menyerbu dengan kerahkan seluruh bagian tenaga dalamnya ke lengan. Tapi kali ini Wiro Sableng tidak tinggal diam. Lebih cepat dari serangan si gadis baju kuning, lebih cepat pula sepasang jari telunjuknya menotok jalan darah di tubuh si gadis! Maka mematunglah Sekar, tapi telinga masih bisa mendengar dan mulut masih bisa bicara! Wiro Sablang tertawa cengar cengir.
“Sebetulnya aku tidak punya waktu banyak, tapi kau bikin perjalananku terhalang! Menyerang membabi buta tanpa alasan….”
“Diam! Lekas lepaskan totokan ini!”
“Sabar gadis manis! Kalau kau marah dan membentak begitu parasmu makin cantik, tahu…?!”
Wajah Sekar bersemu merah.
“Kau menyangka bahkan menuduh aku tetah membunuh orang tua serta adikmu! Apakah kau punya alasan? Punya bukti!”
Sekar diam.
“Kau bilang aku Pendekar Pemetik Bunga! Kau yakin betul?!”
Sekar tetap diam Wiro Sableng tertawa.
“Dengar saudari, semua tuduhanmu salah belaka! Justru aku tengah dalam perjalanan mencari manusia yang bergelar Pendekar Pemetik Bunga itu.”
“Kau dusta!” tukas Sekar.
“Terserah. Tapi aku tak punya waktu lama melayanimu! Pertumpahan darah akan segera terjadi di Biara Pensuci Jagat! Aku tak boleh terlambat!”
“Kembalikan dulu senjataku dan lepaskan totokan ini!” Wiro Sableng buka lilitan Rentai Petaka Bumi dari pinggangnya. Dilepaskannya totokan di tubuh Sekar lalu diserahkan rantai baja itu kepada si gadis kemudian segera balikkan tubuh.
“Tunggu!” seru Sekar.
Wiro Sableng hentikan langkah.
“Tadi kau bilang bahwa kau dalam perjalanan mencari Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga. Apa kau tahu di mana manusia itu berada…?”
“Tahu atau tidak tahu memangnya kenapa?!”
“Aku juga punya urusan yang harus diselesaikan dengan manusia bejat itu….”
“Ya, kau sudah bilang tadi. Jadi maksudmu mau sama-sama seperjalanan dengan aku heh?!”
Untuk kesekian kalinya paras si gadis jadi bersemu merah. “Kuharap kau jangan bicara keliwat kurang ajar, saudara!” bentak Sekar.
“Sudahlah, kita tak banyak waktu! Kalau mau sama-sama memburu itu manusia biang racun penimbul bahala, lekaslah!”
“Kau jalan duluan,” kata Sekar yang hatinya masih bimbang dan bercuriga terhadap si pemuda. Dia khawatir kalau Wiro Sableng adalah benar-benar Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang hendak menipunya.
“Tak perlu tanya! Jalanlah!”
Pendekar 212 bersiul dan pencongkan hidungnya. Sekali dia berkelebat maka tubuhnya sudah melompat lima tombak ke muka. Sekar tidak tinggal diam, segera pula dia kerahkan ilmu larinya untuk mengikuti Wiro Sableng.
Dua hari yang lalu dia sudah berhasil menemui jejak manusia yang dicarinya. Kemarin dia bahkan telah menguntit manusia itu tapi hari ini sesampainya di tepi kali itu, bayangan manusia yang dikejarnya kembali lenyap laksana ditelan bumi, laksana amblas masuk ke dalam kali!
Penuh letih akhirnya gadis ini dudukkan diri di tepi kali, di atas sebuah batu hitam. Dia memandang ke hulu sungai. Satu pemandangan yang indah untuk disaksikan. Sementara itu angin bertiup pula sepoi-sepoi basah. Di luar sepengetahuan gadis berbaju kuning ini, menyelam antara kelihatan dan tidak, berenang seekor ular kali sebesar lengan. Kaki-kaki si gadis yang berkulit putih mulus dan bagus, yang sebagiannya masuk ke dalam air, itulah yang telah menarik perhatian sang ular dan membuatnya segera berenang ke arah mangsanya ini!
Setengah langkah ular itu berada dari kedua kakinya, barulah si gadis sadar. Cepat dia tarik kedua kaki dari dalam air. Sang ular dengan ganas terus mengejar naik ke atas batu. Tapi nasibnya malang. Kali ini gadis baju kuning pergunakan kaki kirinya untuk menendang!
Binatang itu mencelat mental. Kepalanya hancur. Tubuhnya menggelepar-gelepar seketika lalu mati dan dihanyutkan arus sungai.
Gadis baju kuning itu berumur sekitar 19 tahun. Sepasang matanya bening dan jeli. Parasnya bujur telur dan ayu, tak membosankan untuk dipandang. Di atas sepasang matanya yang bening jeli itu berpeta dua buah alis laksana bulan sabit bagusnya!
Namun di balik keayunan paras itu, di belakang kejelitaan wajah itu samar-samar kelihatan satu rasa duka derita yang berpaut dengan rasa dendam kesumat!
Lima hari yang lalu dia masih berada di Goa Blabakan. Dan hari itu dia berhadap-hadapan dengan gurunya. “Empu, murid minta diizinkan untuk meninggalkan pertapaan untuk beberapa waktu…”
Empu Tumapel memandangi paras muridnya beberapa lama.
“Pelajaran yang kuberikan padamu masih belum selesai, Sekar,” berkata sang guru, “Kau ingat bahwa lima tahun lagi baru kau boleh meninggalkan Goa Blabakan ini?”
“Murid ingat, guru. Murid tidak lupa,” sahut Sekar. “Tapi kabar yang murid terima dari orang desa yang datang kemarin siang…. Guru tentu dapat memakluminya.”
Dan gadis itu menyeka air mata yang meleleh dipipinya. “Aku tidak mengajarkan kau menangis, Sekar! Aku mengajarkan kau ilmu silat, Ilmu kesaktian, ilmu bathin, Ilmu menguatkan jiwa, lahir dan bathin! Bukan Ilmu menangis!” Sekar seka lagi sisa-sisa air matanya dan hentikan tangis.
“Murid tahu, guru. Tapi guru juga musti maklum. Ayahku dibunuh. Ibuku dan adik perempuanku diperkosa lalu dibunuh! Dapatkah hati seorang perempuan menghadapi semua ini tanpa air mata? Dan karena peristiwa itulah murid minta izin kepada guru untuk meninggalkan pertapaan ini beberapa lamanya guna mencari manusia terkutuk itu!”
Empu Tumapel merenung dan setelah menghela nafas dalam diapun berkata, “Sekalipun kuizinkan padamu pergi, sekalipun kau bertemu dengan manusia itu, belum tentu kau berhasil menghadapinya Sekar. Belum tentu kau dapat membalaskan sakit hati dan dendam kesumatmu!”
‘°Murid tahu, manusia itu sakti luar biasa! Tapi demi menuntut kebenaran, demi arwah orang tua dan adikku, dengan doa restu guru serta pertolongan Tuhan, murid yakin murid akan sanggup menghadapinya! Tapi guru, apakah ilmu meskipun sakti luar biasa jika dipergunakan untuk kejahatan akan sanggup menghadapi kebenaran dan kekuatannya Tuhan?!”
Empu Tumapel yang berumur enam puluh tahun terdiam oleh ucapan muridnya itu.
“Kau akan mati percuma di tangan manusia itu, Sekar,” katanya setelah berdiam diri beberapa lama.
“Tidak, guru. Sekalipun aku mati, aku akan mati dengan puas. Puas karena aku telah membela keadilan, menghancurkan kejahatan. Aku akan mati syahid guru!”
“Baik… baiklah muridku,” kata Empu Tumapel. Dibelainya kepala muridnya itu. Dan dalam jubahnya dikeluarkan seuntai rantai baja yang panjangnya dua meter. Pada ujung rantai baja ini terdapat sebuah bola baja berduri. Keseluruhan senjata ini memancarkan sinar putih dan hawa dingin tanda senjata itu bukan senjata sembarangan.
“Kuizinkan kua pergi, Sekar. Dan bawalah senjata Rantai Petaka Bumi ini. Mudah-mudahan kau berhasil…”
Sekar berlutut di hadapan gurunya.
“Terima kasih guru… Terima kasih guru juga mempercayakan dan meminjamkan senjata ini padaku….”
Lamunan tentang saat lima hari itu serta merta buyar sewaktu dari hulu sungai Sekar, si gadis berbaju kuning, melihat sesosok bayangan putih berlari cepat di atas kali, hanya sekali-sekali kakinya menjejak batu-batu yang banyak bertebaran di atas kali.
Cepat Sekar berdiri dan menunggu penuh waspada. Orang yang berlari hentikan larinya dan berdiri di atas sebuah batu besar sejarak satu-dua meter di hadapan gadis itu.
“Eh, saudari, kau berada sendiri di tepi kali ini, ada apakah?!” Sekar menatap paras pemuda yang tampan itu. Sewaktu dia memperhatikan rambut gondrong yang menjela sampai ke bahu si pemuda, berdetak hatinya! Bukan tidak mustahil manusia ini adalah Pendekar Pemetik Bunga yang tengah dicarinya dan kini telah bertukar pakaian. Dia sendiri memang tidak pernah melihat jelas tampang Pendekar Terkutuk itu!
Menimbang begini. Sekar segera keluarkan “Rantai Petaka Bum!” dari balik pakaiannya, terus menyerang dengan ganas! Si pemuda terkejut!
“Gila betul! Ditanya baik-baik dijawab dengan serangan!” Cepat-cepat dia menghindar. Angin dingin menyambar tubuhnya sewaktu Rantai Petaka Bumi lewat di depan dadanya!
“Saudari, itu senjata sakti! Jangan dibuat main-main!”
“Tutup mulut! Justru dengan senjata inilah akan kuhancurkan kepalamu pemuda bejat!”
Si pemuda keluarkan siulan dan tertawa gelak-gelak. Inilah ciri-ciri khas dari pendekar yang tak asing lagi yaitu Wiro Sableng si Pendekar 212!
“Kenal belum, ketemupun baru kali ini sudah bisa menyumpahiku pemuda bejat! Kau mimpi atau apa?!”
“Keparat, terima kematianmu dalam tiga jurus!”
Sekar menyerang dengan dahsyat. Rantai Petaka Bumi menyapu dengan mengeluarkan suara dahsyat laksana halilintar, menebarkan angin laksana topan hingga air kali bermuncratan dan batu-batu kali yang tersambar bola baja berduri itu hancur berantakan!
“Saudari!” seru Wiro Sableng. “Kau ini main-main atau bagaimana?” Pemuda ini terpaksa jungkir balik di atas kali menghindari serangan senjata lawan yang dahsyat. Dan sebelum kedua kakinya menjejak disalah satu batu kali. Rantai Petaka Bumi itu sudah menyapu lagi ke arah kakinya!
“Hebat!” seru Wiro Sableng benar-benar kagum.
“Ya, hebat! Memang hebat! Sebentar lagi kepalamu akan dibikin hebat oleh bola baja berduri ini!” tukas Sekar.
Wiro Sableng terpaksa jungkir balik sekali lagi. Seorang yang memiliki ilmu mengentengi tubuh sempurna biasa saja pasti tak akan sanggup melakukan dua kali jungkir balik itu. Tapi Pendekar 212 ilmu mengentengi tubuhnya sudah lebih tinggi dari kesempurnaan!
Si gadis melihat serangannya melanda angin kosong jadi penasaran sekali. Saat itu jurus kedua. Tanpa tedeng aling-aling dia melompat ke muka lebih dekat pada si pemuda dan putar Rantai Petaka Bumi dengan jurus “Bumi Dilanda Lindu!”
Jurus ini memang hebat luar biasa, padahal si gadis baru mewarisi setengahnya saja dari gurunya! Karena tak ingin melawan dan karena tak mau membuat si gadis cilaka, lagi pula merasa tidak ada permusuhan apa-apa, maka Wiro Sableng sejak tadi hanya mengelak, sekalipun tak balas menyerang. Gesit sekali Pendekar dari Gunung Gede ini melompat ke tepi kali.
“Saudari harap tahan dulu seranganmu!”
“Jangan banyak rewel Pendekar Terkutuk Pemetik Bungai Kau tetap musti kubunuh! Arwah orang tua dan adikku tak akan tenang di alam baka sebelum nyawa anjingmu kurenggut dari tubuh keparatmu!” Lantas si gadis melompat pula ke tepi kali.
“Hai! Kalau begitu kau salah duga, gadis baju kuning!” kata Wiro Sableng pula. “Aku bukannya Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga!”
“Tak perlu dusta! Kau kira bisa selamat dengan jual mutut begitu rupa?!”
“Aku tidak dusta! Apa kau pernah lihat aku memetik bunga dan bunga apa? Bunga matahari atau bunga mawar atau….”
“Bunga bola baja kematianmu ini, laknat!” sentak Sekar. Dan kembali dia menyerang secara ganas.
Pendekar kita terpaksa mengelak lagi dan lompat ke cabang sebatang pohon.
“Kalau keliwat kesusu bisa tidak beres saudari. Aku masih belum habis bicara! Kuharap kau suka simpan itu senjata dan mari kita bicara baik-baik…”
Bukannya si gadis baju kuning simpan senjata meiainkan bola baja berduri itu diluncurkannya ke batang pohon di atas mana Wiro Sableng berada.
“Kraak!”
Batang pohon hancur dan tumbang. Pendekar 212 sendiri sudah lompat ke pohon yang lain!
Gemas sekali Sekar segera melompat ke pohon itu! Dan di atas cabang pohon yang tak seberapa besar itu maka kini terjadilah pertempuran yang seru! Namun Wiro Sableng tetap tidak mengadakan perlawanan atau balas menyerang. Ini membuat si gadis jadi penasaran.
“Ayo, pemuda keparat! Kenapa diam saja?! Apa nyalimu sudah lumer?! Keluarkan senjatamu!”
Lama-lama diserang gencar demikian rupa Wiro Sableng kewalahan juga. Dia Iompat ke bawah. Sekar sebatkan rantai baja ke pinggang si pemuda. Dengan gesit Wiro Sabieng mengelak kesamping lalu gerakkan tangan kanannya!
Sekar terpelanting dari cabang pohon akibat betotan Wiro Sableng pada rantai bajanya. Ketika dia turun ke tanah dengan jungkir balik, Rantai Petaka Bumi sudah berada di tangan Wiro Sableng!
“Kembalikan senjataku!” teriak Sekar.
Wiro Sableng tertawa dan bersiul-siul. Rantai baja yang panjangnya dua meter itu dililitkannya di pinggangnya. Lalu dengan bertolak pinggang dia berkata. “Silahkan ambil sendiri, nona manis!”
Tiada terkirakan geramnya murid Empu Tumapel itu. Tapi dasar bernyali besar, dengan tangan kosong dis menerkam ke muka dan lancarkan satu jurus aneh bernama “Kabut Pagi Menelan Embun.”
Jurus ini dilakukan dengan gerakan yang sangat cepat hingga waktu menyerang itu tubuh Sekar lenyap laksana kabut tipis! Tapi mata Pendekar Sakti 212 tak dapat ditipu. Betapapun cepatnya gerakan lawan namun dalam kelebatan itu masih sanggup dilihatnya bagaimana kedua tangan lawan terkembang hendak mencengkeram muka sedang sepasang kaki menendang ke dada dan ke selangkangan!
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu dengan gerakan kilat miringkan tubuhnya ke samping. Sewaktu tumit lawan masih akan menyerempet pinggulnya dengan cepat di tangkapnya ujung kaki si gadis dan dibantingkan ke atas! Sekar jungkir balik di udara! tapi jatuhnya tetap berdiri! Hidung gadis ini kembang kempis. Mukanya merah kelam karena marah! Hatinya geram karena sadar tiada akan sanggup menghadapi pemuda yang sangat tinggi ilmu silatnya itu!
“Kau letih eh?!”
“Diam!” lengking Sekar.
“Saudari, dalam hidup ini, dalam segala hal manusia itu tidak boleh serba kesusu….”
“Jangan jual kentut!”
“Juga jangan suka lekas marah penasaran….”
“Diam!” teriak Sekar hingga suaranya menggema diseantero kali.
Si pemuda tertawa dan geleng-gelengkan kepala. Dia berpikir bagaimana caranya menghadapi gadis galak macam yang satu ini.
Tiba-tiba dia dapat akal.
“Saudari, kalau kau tetap keras kepala tak bisa bicara baik-baik aku akan pergi dari sini dan larikan senjatamu!”
“Ke ujung bumipun kau lari aku akan kejar!”
Wiro Sableng angkat bahu dan garuk-garuk kepala!
“Tak pernah aku ketemu gadis yang keras kepala dan tak mau mengerti macammu ini, saudari!”
“Kembalikan senjataku”
“Aku akan kembalikan. Tapi kalau kau pergunakan lagi untuk menyerangku…?”
“Kau tahu itu senjata milik, siapa?”
“Aku tidak tanya!”
Sekar memaki-maki!
“Kalau guruku Empu Tumapel tahu senjatanya dibuat main dan dihina, pasti nyawamu yang cuma selembar tak akan aman’“
“Heh… jadi kau muridnya Empu Tumapel?! Akh… orang tua itu adalah kawan main kelerengku sewaktu masih kecil. Dan kau tahu, dia suka main curang. He…. He… he…!”
Marahlah Sekar. Dia menyerbu dengan kerahkan seluruh bagian tenaga dalamnya ke lengan. Tapi kali ini Wiro Sableng tidak tinggal diam. Lebih cepat dari serangan si gadis baju kuning, lebih cepat pula sepasang jari telunjuknya menotok jalan darah di tubuh si gadis! Maka mematunglah Sekar, tapi telinga masih bisa mendengar dan mulut masih bisa bicara! Wiro Sablang tertawa cengar cengir.
“Sebetulnya aku tidak punya waktu banyak, tapi kau bikin perjalananku terhalang! Menyerang membabi buta tanpa alasan….”
“Diam! Lekas lepaskan totokan ini!”
“Sabar gadis manis! Kalau kau marah dan membentak begitu parasmu makin cantik, tahu…?!”
Wajah Sekar bersemu merah.
“Kau menyangka bahkan menuduh aku tetah membunuh orang tua serta adikmu! Apakah kau punya alasan? Punya bukti!”
Sekar diam.
“Kau bilang aku Pendekar Pemetik Bunga! Kau yakin betul?!”
Sekar tetap diam Wiro Sableng tertawa.
“Dengar saudari, semua tuduhanmu salah belaka! Justru aku tengah dalam perjalanan mencari manusia yang bergelar Pendekar Pemetik Bunga itu.”
“Kau dusta!” tukas Sekar.
“Terserah. Tapi aku tak punya waktu lama melayanimu! Pertumpahan darah akan segera terjadi di Biara Pensuci Jagat! Aku tak boleh terlambat!”
“Kembalikan dulu senjataku dan lepaskan totokan ini!” Wiro Sableng buka lilitan Rentai Petaka Bumi dari pinggangnya. Dilepaskannya totokan di tubuh Sekar lalu diserahkan rantai baja itu kepada si gadis kemudian segera balikkan tubuh.
“Tunggu!” seru Sekar.
Wiro Sableng hentikan langkah.
“Tadi kau bilang bahwa kau dalam perjalanan mencari Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga. Apa kau tahu di mana manusia itu berada…?”
“Tahu atau tidak tahu memangnya kenapa?!”
“Aku juga punya urusan yang harus diselesaikan dengan manusia bejat itu….”
“Ya, kau sudah bilang tadi. Jadi maksudmu mau sama-sama seperjalanan dengan aku heh?!”
Untuk kesekian kalinya paras si gadis jadi bersemu merah. “Kuharap kau jangan bicara keliwat kurang ajar, saudara!” bentak Sekar.
“Sudahlah, kita tak banyak waktu! Kalau mau sama-sama memburu itu manusia biang racun penimbul bahala, lekaslah!”
“Kau jalan duluan,” kata Sekar yang hatinya masih bimbang dan bercuriga terhadap si pemuda. Dia khawatir kalau Wiro Sableng adalah benar-benar Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang hendak menipunya.
“Tak perlu tanya! Jalanlah!”
Pendekar 212 bersiul dan pencongkan hidungnya. Sekali dia berkelebat maka tubuhnya sudah melompat lima tombak ke muka. Sekar tidak tinggal diam, segera pula dia kerahkan ilmu larinya untuk mengikuti Wiro Sableng.
Ketua Biara Pensuci Jagat terkejut ketika melihat jarum alat rahasia di dalam kamarnya bergerak-gerak! Segera ditekankannya sebuah tombol di tepi tempat tidur. Dua buah pintu rahasia terbuka dan delapan orang biarawati muncul. Kedelapannya menjura lalu berpaling ke arah alat rahasia yang dituding oleh Ketua mereka.
“Atur pengurungan!” kata Ketua Biara itu pula. “Lima puluh di dalam, lima puluh di luar! Yang datang ini mungkin orang yang kita tunggu-tunggu!”
Delapan biarawati menjura lagi lalu meninggalkan kamar Ketua mereka. Supit Jagat, Ketua Biara memandang lagi ke jarum alat rahasia.
Jarum itu kini kelihatan diam tak bergerak-gerak, tapi sesaat kemudian kelihatan bergerak lagi.
Kali ini ketua Biara itu segera membentak, “Tamu di atas atap, silahkan turun unjukkan diri!”
Baru saja Supit Jagat berkata begini maka terdengarlah suara menggemuruh! Atap dan langit-langit kamar amblas roboh! Diiringi oleh suara tertawa bekakakan sesosok tubuh berjubah hitam melompat turun dalam gerakan yang sangat enteng! Yang datang ternyata betul Pendekar Pemetik Bunga!
“Ha… he… sungguh satu kehormatan dapat berkunjung ke Biaramu ini, Supit Jagat!” .
Baru saja Pendekar Pemetik Bunga berkata demikian empat dinding kamar amblas ke dalam lantai dan kini terbukalah satu ruangan besar.
Disetiap tepi ruangan berbaris dua lapis biarawati-biarawati angkatan tua dan angkatan muda berseling-seling! Kesemuanya dengan pedang di tangan!
“Hem…” Pendekar Pemetik Bunga memandang berkeliling. Tidak ada bayangan rasa terkejut pada parasnya. “Rupanya sudah ada persiapan untuk menyambut kedatanganku!” katanya.
Ketua Biara Pensuci Jagat tertawa mengekeh.
“Nama kotormu sudah lama kami dengar. Noda busuk yang kau tebar di mana-mana sudah sejak lama hendak kami putus! Nyawa bejatmu sudah sejak lama ingin kami kirim ke neraka jahanam! Tapi hari ini agaknya kami tak perlu susah-susah turun tangan ke luar Biara! Malaekat maut rupanya telah membawamu ke sin!!”
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga rangkapkan tangan di muka dada.
“Betapa indahnya susunan kata-katamu. Supit Jagat!” berkata Pendekar Pemetik Bunga. “Tapi ketahuilah, aku datang ke sini bukan dibawa oleh malaekat maut, sebaliknya justru mengantarkan malaekat maut yang ingin cepat-cepat naerenggut nyawa kalian! Dan….” Pendekar bertampang buas ini batuk-batuk beberapa kali. “Dan menyedihkan sekali, rupanya hanya kroco-kroco tua macammu yang ditakdirkan mampus!
Biarawati-biarawati muda belia musti dihadiahkan untukku!”
“Kurasa matamu belum buta Pendekar Terkutuk!” sahut Supit Jagat.
“Belum buta untuk melihat orang-orangku yang berdiri, dalam satu barisan maut, belum buta untuk melihat pedang-pedang yang melintang!”
“Aku memang tidak buta!” Pendekar Pemetik Bunga memandang lagi berkeliling. “Tapi sebaiknya biarawati-biarawati muda itu tak usahlah ikutikutan bertempur! Mereka akan mati percuma sebelum merasakan betapa nikmatnya hidup di dunia ini! Betapa nikmatnya berada dalam pelukanku! Betapa nikmatnya tidur bersa….”
Sebilah pedang meluncur tepat di depan hidung Pendekar Pemetik Bunga, membuat pemuda ini tersurut satu langkah dan terputus kata-katanya!
“Apakah lidahmu kelu hingga tak bisa teruskan buka mulut?” ejek Supit Jagat.
“Ketua Biara Pensuci Jagat! Kau adalah manusia yang musti mati pertama kali di dalam gedung ini! Darahmu akan mensucikan lantai biara ini!”
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga buka gulungan sabuk mutiara di pinggangnya sedang tenaga dalam dialirkan tiga perempat bagiannya ke tangan kanan! Dua tangaa itupun kemudian bergerak dengan serentak!
Pukulan”Tapak Jagat” menggebu dahsyat di barengi oleh gelombang angin yang keluar dari sabuk mutiara! Gedung bergoncang, bumi laksana dilanda lindu! Tapi disaat itu Ketua Biara Pensuci Jagat sudah berpindah tempat dan dengan satu lengkingan keras dia memberi isyarat agar lima puluh biarawati yang ada di ruangan itu segera menyerang!
Maka berkecamuklah pertempuran yang bukan olah-olah dahsyatnya! Lima puluh pedang menderu! Satu-satunya lawan yang diserang berkelebat ganas balas menyerang! Dan dalam setiap kelebatan musti ada jatuh korban di pihak biarawati. Yang menemui ajalnya ini justru biarawati-biarawati angkatan tua yang sudah berumur! Rupanya Pendekar Pemetik Bunga benar-benar hanya akan menumpas biarawati-biarawati tua sebaliknya membiarkan hidup biarawati-biarawati muda belia untuk kemudian akan dilalap dirusak kehormatannya!
Ketika hampir separoh dari biarawati angkatan tua menemui ajalnya, ketika lantai diruangan terbuka itu sudah licin dan amis oleh baunya darah maka Supit Jagat segera membentak. Dia tak mau lebih banyak jatuh korban dipihaknya! “Semuanya mundur!”
Perintah yang laksana geledek ini dipatuhi oleh setiap biarawati.
Semuanya mundur ke tepi dan di tengah ruangan besar itu kini hanya Ketua Biara serta Pendekar Pemetik Bunga saja yang berdiri berhadap-hadapan dalam jarak delapan tombak. Di lantai bertebaran belasan tubuh biarawati-biarawati tua yang telah menemui ajalnya!
“Kebinatanganmu sudah lebih dari binatang! Kebejatanmu sudah melewati batas! Kebiadabanmu seluas luatan! Dosamu setinggi gunung!
Segera keluarkan senjatamu, manusia terkutuk!”
Pendekar Pemetik Bunga menyeringai.
“Rupanya Ketua Biara sendiri yang hendak turun tangan?! Bagus!” ujar Pendekar Pemetik Bunga. “Tapi kalau tadi aku dikeroyok puluhan bergundal-bergundalmu aku hanya bertangan kosong, masakan menghadapi kau seorang diri musti pakai senjata segala?!”
“Kau akan binasa bersama kecongkakanmu manusia dajal!” Marah sekali Ketua Biara Pensuci Jagat itu. Maka pada saat itu juga dikeluarkannya senjatanya yaitu seikat sapu lidi yang bernama Sapu Jagat, warisan dari Ketua Biara yang terdahulu!
Melihat senjata yang dikeluarkan lawannya adalah seikat sapu lidi maka Pendekar pemetik Bunga tertawa memingkal!
“Nenek Ketua, kau mau menyapu atau bertempur? Sapu lidi buruk itukah senjatamu?! Lucu sekali… betul-betul lucu!” Supit Jagat maju tiga langkah.
Tiba-tiba dia sapukan sapu lidinya ke arah lawan! Pendekar Pemetik Bunga berseru kaget. Berubahlah parasnya! Angin yang ke luar dari sapu lidi itu dahsyatnya laksana badai prahara, seperti menghancur leburkan sekujur tubuhnya! Secepat kitat dia segera melompat ke samping sampai empat tombak! Tapi Ketua Biara tidak kasih kesempatan, segera pula dia memapas dengan senjatanya!
Ketika lima belas jurus dia terkurung rapat oleh sambaran Sapu Jagat yang dahsyat itu, menggeramlah Pendekar Pemetik Bunga. Pukulanpukulan
“Tapak Jagat” dan kebutan “Angin Pengap” tepi jubahnya sama sekali tidak mempan menerobos gulungan angin sapu lidi lawan!
Pada jurus kedua puluh satu Pendekar Pemetik Bunga memekik tertahan sewaktu ujung sapu menyerempet dadanya dan membuat jubah hitamnya robek besar!
Tidak tunggu lebih lama Pendekar Pemetik Bunga segera cabut kembang kertas kuning yang menancap di kepalanya. “Semua tutup jalan nafas atau ke luar dari sini!” teriak Supit Jagat karena dia maklum bahwa kembang kertas itu mengandung racun yang sangat dahsyat! Biarawati-biarawati angkatan muda segera tinggalkan ruangan sedang biarawati-biarawati angkatan tua tetap di tempat.
Pertempuran kini telah berjalan tiga puluh empat jurus dan yang memengkalkan Pendekar Pemetik Bunga ialah racun kuning yang setiap detik menggebu ke luar dari bunga kertasnya sama sekali tidak sanggup menerobos angin sapu lidi sang ketua Biara malahan kalau dia tidak berhati-hati, racun bunga kertas itu sering kali dihantam membalik ke dirinya sendiri!
Di saat pertempuran berjalan semakin dahsyat, di saat tubuh kedua orang itu hanya merupakan bayang-bayang yang dibungkus oleh sinar kuning serta lingkaran-lingkaran angin Sapu Jagat maka tiba-tiba terdengarlah suara siulan siulan nyaring yang tak menentu yang kemudian disusul oleh suara nyanyian seseorang!
Hanya biarawati-biarawati di tepi kalangan pertempuran yang berani mendongak ke atas, ke arah datangnya suara nyanyian itu sedang mereka yang bertempur meskipun hati masing-masing tercekat mendengar nyanyian ini namun tiada berani palingkan muka!
“Atur pengurungan!” kata Ketua Biara itu pula. “Lima puluh di dalam, lima puluh di luar! Yang datang ini mungkin orang yang kita tunggu-tunggu!”
Delapan biarawati menjura lagi lalu meninggalkan kamar Ketua mereka. Supit Jagat, Ketua Biara memandang lagi ke jarum alat rahasia.
Jarum itu kini kelihatan diam tak bergerak-gerak, tapi sesaat kemudian kelihatan bergerak lagi.
Kali ini ketua Biara itu segera membentak, “Tamu di atas atap, silahkan turun unjukkan diri!”
Baru saja Supit Jagat berkata begini maka terdengarlah suara menggemuruh! Atap dan langit-langit kamar amblas roboh! Diiringi oleh suara tertawa bekakakan sesosok tubuh berjubah hitam melompat turun dalam gerakan yang sangat enteng! Yang datang ternyata betul Pendekar Pemetik Bunga!
“Ha… he… sungguh satu kehormatan dapat berkunjung ke Biaramu ini, Supit Jagat!” .
Baru saja Pendekar Pemetik Bunga berkata demikian empat dinding kamar amblas ke dalam lantai dan kini terbukalah satu ruangan besar.
Disetiap tepi ruangan berbaris dua lapis biarawati-biarawati angkatan tua dan angkatan muda berseling-seling! Kesemuanya dengan pedang di tangan!
“Hem…” Pendekar Pemetik Bunga memandang berkeliling. Tidak ada bayangan rasa terkejut pada parasnya. “Rupanya sudah ada persiapan untuk menyambut kedatanganku!” katanya.
Ketua Biara Pensuci Jagat tertawa mengekeh.
“Nama kotormu sudah lama kami dengar. Noda busuk yang kau tebar di mana-mana sudah sejak lama hendak kami putus! Nyawa bejatmu sudah sejak lama ingin kami kirim ke neraka jahanam! Tapi hari ini agaknya kami tak perlu susah-susah turun tangan ke luar Biara! Malaekat maut rupanya telah membawamu ke sin!!”
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga rangkapkan tangan di muka dada.
“Betapa indahnya susunan kata-katamu. Supit Jagat!” berkata Pendekar Pemetik Bunga. “Tapi ketahuilah, aku datang ke sini bukan dibawa oleh malaekat maut, sebaliknya justru mengantarkan malaekat maut yang ingin cepat-cepat naerenggut nyawa kalian! Dan….” Pendekar bertampang buas ini batuk-batuk beberapa kali. “Dan menyedihkan sekali, rupanya hanya kroco-kroco tua macammu yang ditakdirkan mampus!
Biarawati-biarawati muda belia musti dihadiahkan untukku!”
“Kurasa matamu belum buta Pendekar Terkutuk!” sahut Supit Jagat.
“Belum buta untuk melihat orang-orangku yang berdiri, dalam satu barisan maut, belum buta untuk melihat pedang-pedang yang melintang!”
“Aku memang tidak buta!” Pendekar Pemetik Bunga memandang lagi berkeliling. “Tapi sebaiknya biarawati-biarawati muda itu tak usahlah ikutikutan bertempur! Mereka akan mati percuma sebelum merasakan betapa nikmatnya hidup di dunia ini! Betapa nikmatnya berada dalam pelukanku! Betapa nikmatnya tidur bersa….”
Sebilah pedang meluncur tepat di depan hidung Pendekar Pemetik Bunga, membuat pemuda ini tersurut satu langkah dan terputus kata-katanya!
“Apakah lidahmu kelu hingga tak bisa teruskan buka mulut?” ejek Supit Jagat.
“Ketua Biara Pensuci Jagat! Kau adalah manusia yang musti mati pertama kali di dalam gedung ini! Darahmu akan mensucikan lantai biara ini!”
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga buka gulungan sabuk mutiara di pinggangnya sedang tenaga dalam dialirkan tiga perempat bagiannya ke tangan kanan! Dua tangaa itupun kemudian bergerak dengan serentak!
Pukulan”Tapak Jagat” menggebu dahsyat di barengi oleh gelombang angin yang keluar dari sabuk mutiara! Gedung bergoncang, bumi laksana dilanda lindu! Tapi disaat itu Ketua Biara Pensuci Jagat sudah berpindah tempat dan dengan satu lengkingan keras dia memberi isyarat agar lima puluh biarawati yang ada di ruangan itu segera menyerang!
Maka berkecamuklah pertempuran yang bukan olah-olah dahsyatnya! Lima puluh pedang menderu! Satu-satunya lawan yang diserang berkelebat ganas balas menyerang! Dan dalam setiap kelebatan musti ada jatuh korban di pihak biarawati. Yang menemui ajalnya ini justru biarawati-biarawati angkatan tua yang sudah berumur! Rupanya Pendekar Pemetik Bunga benar-benar hanya akan menumpas biarawati-biarawati tua sebaliknya membiarkan hidup biarawati-biarawati muda belia untuk kemudian akan dilalap dirusak kehormatannya!
Ketika hampir separoh dari biarawati angkatan tua menemui ajalnya, ketika lantai diruangan terbuka itu sudah licin dan amis oleh baunya darah maka Supit Jagat segera membentak. Dia tak mau lebih banyak jatuh korban dipihaknya! “Semuanya mundur!”
Perintah yang laksana geledek ini dipatuhi oleh setiap biarawati.
Semuanya mundur ke tepi dan di tengah ruangan besar itu kini hanya Ketua Biara serta Pendekar Pemetik Bunga saja yang berdiri berhadap-hadapan dalam jarak delapan tombak. Di lantai bertebaran belasan tubuh biarawati-biarawati tua yang telah menemui ajalnya!
“Kebinatanganmu sudah lebih dari binatang! Kebejatanmu sudah melewati batas! Kebiadabanmu seluas luatan! Dosamu setinggi gunung!
Segera keluarkan senjatamu, manusia terkutuk!”
Pendekar Pemetik Bunga menyeringai.
“Rupanya Ketua Biara sendiri yang hendak turun tangan?! Bagus!” ujar Pendekar Pemetik Bunga. “Tapi kalau tadi aku dikeroyok puluhan bergundal-bergundalmu aku hanya bertangan kosong, masakan menghadapi kau seorang diri musti pakai senjata segala?!”
“Kau akan binasa bersama kecongkakanmu manusia dajal!” Marah sekali Ketua Biara Pensuci Jagat itu. Maka pada saat itu juga dikeluarkannya senjatanya yaitu seikat sapu lidi yang bernama Sapu Jagat, warisan dari Ketua Biara yang terdahulu!
Melihat senjata yang dikeluarkan lawannya adalah seikat sapu lidi maka Pendekar pemetik Bunga tertawa memingkal!
“Nenek Ketua, kau mau menyapu atau bertempur? Sapu lidi buruk itukah senjatamu?! Lucu sekali… betul-betul lucu!” Supit Jagat maju tiga langkah.
Tiba-tiba dia sapukan sapu lidinya ke arah lawan! Pendekar Pemetik Bunga berseru kaget. Berubahlah parasnya! Angin yang ke luar dari sapu lidi itu dahsyatnya laksana badai prahara, seperti menghancur leburkan sekujur tubuhnya! Secepat kitat dia segera melompat ke samping sampai empat tombak! Tapi Ketua Biara tidak kasih kesempatan, segera pula dia memapas dengan senjatanya!
Ketika lima belas jurus dia terkurung rapat oleh sambaran Sapu Jagat yang dahsyat itu, menggeramlah Pendekar Pemetik Bunga. Pukulanpukulan
“Tapak Jagat” dan kebutan “Angin Pengap” tepi jubahnya sama sekali tidak mempan menerobos gulungan angin sapu lidi lawan!
Pada jurus kedua puluh satu Pendekar Pemetik Bunga memekik tertahan sewaktu ujung sapu menyerempet dadanya dan membuat jubah hitamnya robek besar!
Tidak tunggu lebih lama Pendekar Pemetik Bunga segera cabut kembang kertas kuning yang menancap di kepalanya. “Semua tutup jalan nafas atau ke luar dari sini!” teriak Supit Jagat karena dia maklum bahwa kembang kertas itu mengandung racun yang sangat dahsyat! Biarawati-biarawati angkatan muda segera tinggalkan ruangan sedang biarawati-biarawati angkatan tua tetap di tempat.
Pertempuran kini telah berjalan tiga puluh empat jurus dan yang memengkalkan Pendekar Pemetik Bunga ialah racun kuning yang setiap detik menggebu ke luar dari bunga kertasnya sama sekali tidak sanggup menerobos angin sapu lidi sang ketua Biara malahan kalau dia tidak berhati-hati, racun bunga kertas itu sering kali dihantam membalik ke dirinya sendiri!
Di saat pertempuran berjalan semakin dahsyat, di saat tubuh kedua orang itu hanya merupakan bayang-bayang yang dibungkus oleh sinar kuning serta lingkaran-lingkaran angin Sapu Jagat maka tiba-tiba terdengarlah suara siulan siulan nyaring yang tak menentu yang kemudian disusul oleh suara nyanyian seseorang!
Hanya biarawati-biarawati di tepi kalangan pertempuran yang berani mendongak ke atas, ke arah datangnya suara nyanyian itu sedang mereka yang bertempur meskipun hati masing-masing tercekat mendengar nyanyian ini namun tiada berani palingkan muka!
Anak laki-laki hamil dalam perut perempuan
Itu namanya anugerah Tuhan
Anak laki-laki lahir dari rahim perempuan
Itu namanya kuasa Tuhan
Anak laki-laki dibesarkan perempuan
Itu namanya kasih sayang
Laki membunuh perempuan
Itu namanya dosa besar
Laki-laki memperkosa perempuan
Itu namanya terkutuk
Menuntut ilmu buat kebaikan
Itu namanya bijaksana
Menuntut ilmu buat kejahatan
Itu namanya kesetanan
Dua tahun turun gunung
Malang melintang kelantang keluntung
Di timur membunuh
Di barat memperkosa
Di selatan membunuh dan memperkosa
Di utara memperkosa dan membunuh
Dosa setinggi gunung
Dosa di mana-mana
Kejahatan sedalam lautan
Kejahatan dimana-mana
Guru sendiri turun gunung
Dibunuh dengan kepala dingin
Itu namanya laknat kualat
Pendekar Pemetik Bunga yang merasa bahwa nyanyian itu ditujukan kepadanya mengerling sekilas dan di atas loteng yang bobol dari mana dia menerobos masuk tadi dilihatnya dua orang duduk berjuntai di atas tiang palang. Yang seorang laki-laki berpakaian putih, dialah yang menyanyi tadi.
Yang seorang lagi gadis cantik berpakaian kuning!
Biarawati-biarawati yang ada di tepi ruangan yang juga melihat ke atas loteng segera mengenali pemuda yang bernyanyi itu yakni bukan lain daripada Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Karenanya mereka tidak ambil perduli. Sementara itu dari kalangan pertempuran terdengar lagi pekik Pendekar Pemetik Bunga. Ujung Sapu Jagat telah melanda untuk kedua kalinya bagian dada, sehingga jubah yang sudah robek kini robek tambah besar. Kulit dada pemuda itu sendiri kelihatan tergurat merah, sakitnya bukan main!
Di atas loteng Sekar yang sudah sejak tadi tak dapat menahan melompat turun, tapi lengannya dicekal erat-erat oleh Wiro Sableng.
“Jangan bodoh! Jika kau mengetengahi pertempuran itu salah-salah kau bisa kena gebuk sapu Ketua Biara atau kena tersambar racun jahat bunga kertas Pendekar Pemetik Bunga!”
“Aku tidak takut mati! Biar mati asalkan pemuda terkutuk itu mampus ditanganku!”
Sekar hendak melompat lagi tapi lengannya tetap dicekal Pendekar 212 dan Wiro tak perdulikan rutukan yang dikeluarkan gadis itu.
“Lihat saja dulu, Sekar! Sekarang belum saatnya kita turun tangan!”
“Tapi kalau bangsat itu mampus di tangan Ketua Biara. Aku akan menyesal percuma seumur hidup!”
Wiro tertawa.
“Pendekar Terkutuk itu belum keluarkan ilmu simpanannya, jangankan si Ketua, guru Ketua Biara itupun tak bakal sanggup menghadapinya!”
Sekar ingat akan ucapan Empu Tumapel yaitu tentang ilmu “Jari Penghancur Sukma” yang dimiliki Pendekar Pemetik Bunga! Karenanya dia terpaksa ikuti nasihat Wiro dan tetap duduk di samping pemuda itu di atas loteng.
Pertempuran di bawah sana sudah berkecamuk enam puluh empat jurus!
“Crass!”
Pendekar Pemetik Bunga lompat ke luar dari kalangan pertempuran sewaktu sapu lidi senjata lawan membabat putus tangkai bunga kertas sedang bunganya sendiri robek-robek bertaburan!
“He… he… he… bersiaplah untuk menghadap setan kuburan pemuda terkutuk!” kata Ketua Biara Pensuci Jagat pula. Pendekar Pemetik Bunga, yang biasanya menyahuti setiap ejekan lawannya dengan beringas kini bungkam seribu bahasa. Bola matanya bersinar tapi kelopak matanya kelihatan menyipit dan mencekung sedang tampangnya buas dan mulutnya berkemik! Dia berdiri di tengah ruangan dengan sepasang kaki merenggang.
Tiba-tiba kelihatanlah ibu jari dan jari telunjuk tangan kanannya memancarkan sinar hitam! Pendekar 212 yang berada di atas loteng tersentak kaget dan berseru keras.
“Ketua Biara Pensuci Jagat! Lekas menghindar! Kau tak bakal sanggup menghadapi ilmu Jari Penghancur Sukma itu!” Tapi Supit Jagat tidak ambil peduli. Malah dengan tubuh laksana gunung karang dia tetap berdiri di tempat dan kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke sapu lidi di tangan kanan!
Ibu jari dan jari telunjuk Pendekar Pemetik Bunga mulai membentuk lingkaran. Sinar hitam jari-jari itu menggidikkan.
“Ketua Biara, lekas menghindar!” seru Wiro sekali lagi. Namun tetap Supit Jagat tidak bergerak dan hadapi lawannya dengan penuh ketabahan!
“Edan betul!” teriak Wiro Sableng!
Pendekar 212 bersuit nyaring. Tak seorangpun yang melihat kalau tangannya sebelah kanan saat itu sudah berubah menjadi putih laksana perak menyilaukan!
Di lain kejap Pendekar Pcmetik Bunga jentikkan jari telunjuknya.
Dihadapannya Supit Jagat hantamkan pula sapu lidinya dalam satu jurus tusukan yang dahsyat!
Larikan sinar hitam yang dahsyat menggidikkan menggebu ke arah Supit Jagat. Sinar hitam ini dipapasi oleh angin membadai yang berwarna putih agak kelabu dari sapu sang Ketua Biara! Hebatnya, sebelum dua sinar maut itu sama-sama berbenturan, dari atas loteng satu sinar putih yang panas dan sangat menyilaukan memapak di tengah-tengah kedua sinar tadi!
Itulah Pukulan Sinar Matahari yang telah dilancarkan oleh pendekar 212 dari atas loteng!
Tiga dentuman yang berkumandang secara serentak menggetarkan bumi. Dunia laksana mau kiamat! Dinding-dinding ruangan pecah-pecah, banyak yang ambruk! Tiang-tiang gedung biara beberapa diantaranya runtuh bergemuruh! Loteng amblas! Biarawati-biarawati yang ada di dalam gedung segera berlompatan ke luar termasuk Pendekar Pemetik Bunga dan Supit Jagat, Wiro Sableng sendiri sabelumnya telah melesat meninggalkan loteng bersama Sekar. Sewaktu kedua orang ini sampai di halaman muka, keduanya mendapatkan Ketua Biara dan Pendekar Pemetik Bungs telah berhadap-hadapan kembali!
Diam-diam Pendekar 212 berunding dengan Sekar. Kemudian Wiro berseru, “Ketua Biara, harap kau suka memberi kesempatan padaku untuk turun tangan menjajal pemuda yang katanya berilmu setinggi gunung sedalam lautan dan congkak ini!”
Supit Jagat setelah melihat kehebatan ilmu Jari Penghancur Sukma lawannya menyadari bahwa dia tak akan sanggup menghadapi Pendekar Pemetik Bunga! Seruan Pendekar 212 tadi adalah kesempatan yang paling baik baginya untuk mengundurkan diri tanpa kehilangan muka.
“Pendekar 212, jika kau memang punya urusan tertentu dengan manusia keparat ini silahkan maju!”
“Licik!” teriak Pendekar Pemetik Bunga. Matanya beringas memandangi Wiro Sableng.
Pendekar 212 sebaliknya tertawa mengejek!
“Dalam kamus kehidupanmu, rupanya kau masih kenal arti kata licik heh? Apakah kau juga tahu apa artinya kebejatan? Apa arti terkutuk dan apa arti kualat serta dosa?!”
Merah padam paras Pendekar Pemetik Bunga!
“Kunyuk bermuka manusia, kau siapa? Apa kepentinganmu mencampuri urusan orang lain?!”
“Apa kepentinganku? Banyak… banyak sekali sobat! Kau bisa tanya nanti pada iblis-iblis penjaga kubur atau setan-setan di neraka…” Habis berkata begini Wiro Sableng tertawa bekekekan.
“Anjing kurap yang tak tahu diri, makan jariku ini!” Sinar hitam berkiblat melanda Wiro Sableng!
Pendekar 212 yang sudah punya rencana tersendiri tidak memapasi serangan lawan dengan seluruh tenaga dalamnya. Dia tak ingin manusia terkutuk itu mati dalam tempo singkat!
Sambil lancarkan pukulan sinar matahari dia melompat setinggi enam tombak. Dari bawah Pendekar Pemetik Bunga kebutkan lengan jubahnya!
Dua lusin bola-bola hitam menderu ke arah Wiro Sableng. Yang diserang menyambut dengan pukulan “Benteng Topan Melanda Samudera.” Dua puluh empat bola-bola hitam itu meledak dan udara tertutup kabut hitam!
Pendekar 212 yang tahu maksud licik lawannya, begitu kabut hitam menutupi pemandangan segera jungkir balik dua kali berturut-turut. Bila dalam sekejapan mata kemudian dia sudah ke luar dari kabut hitam itu maka kelihatanlah Pendekar Pemetik Bunga melarikan diri ke arah pintu gerbang biara. Lima orang biarawati yang menjaga pintu itu sekali jentikan jari saja segera dibikin meregang nyawa oleh Pendekar Pemetik Bunga.
Pemuda ini kemudian bergerak cepat menekan tombol rahasia pembuka pintu. Tapi Pendekar 212 tahu-tahu menghadang dihadapannya!
“Mau lari ke mana sobat?!” bentak Wiro Sableng.
Sebenarnya Pendekar Pemetik Bunga bukanlah seorang pengecut.
Namun melihat ilmu “Jari Penghancur Sukma” yang dilancarkan terhadap Wiro Sableng tiada mempan sama sekali maka lumerlah nyalinya!
Kegusaran membuat Pendekar Pemetik Bunga menjadi kalap, apalagi dalam keadaan kepepet begitu rupa. Dia menyerbu membabi buta! Tangan kiri mengebutkan sabuk mutiara sedang tangan kanan kembali lancarkan ilmu “Jari Penghancur Sukma”
Wiro tetap tak mau sambuti serangan dahsyat itu dengan kekerasan.
Dia jatuhkan diri ke tanah, bergulingling cepat mendekati lawan sebelum larikan sinar hitam menyerempet tubuhnya untuk kemudian tahu-tahu dia sudah berada di belakang Pendekar Pemetik Bunga!
Pendekar Pemetik Bunga membalikkan badan secepat kilat. Tapi begitu tubuhnya berbalik, begitu dua ujung jari melanda urat besar dipangkal lehernya! Tak ampun lagi pemuda terkutuk ini menjadi kaku tegang tubuhnya!
“He… he…. Apakah kini kau bisa jual tampang pamerkan segala ilmu silat dan kesaktianmu, manusia terkutuk?!” ejek Wiro Sableng.
“Bangsat rendah! Kelak kau akan rasakan pembalasanku…!”
Sementara itu Sekar yang melihat musuh besarnya berada dalam keadaan tertotok segera datang berlari dan keluarkan Rantai Petaka Bumi.
“Manusia bermuka iblis! Hari ini lunaslah hutang jiwa orang tua dan adikku!”
“Wuut!”
Rantai baja dengan bola baja berduri menderu ke arah kepala Pendekar Pemetik Bunga! Pendekar ini membeliak besar kedua matanya, keringat dingin berbutir-butir di keningnya! Dari mulutnya ke luar jerit ketakutan setinggi langit!
Sesaat lagi bola berduri itu akan menghantam hancur remukan kepala Pendekar Pemetik Bunga, satu tangan memukul ke depan dan bola berduri lewat setengah jengkal di alas kepala si pemuda yang sudah ketakutan setengah mati.
“Wiro! Apa-apan kau?!” sentak Sekar karena Wiro-lah yang membuat serangan mautnya tak mengenai sasaran!
“Jangan bodoh, Sekar! Mati dalam tempo yang singkat terlalu enak buat manusia macam dia!” Wiro berpaling pada Ketua Biara Pensuci Jagat dan beberapa biarawati yang ada di situ. “Bukankah demikian?” ujarnya.
Supit Jagat tertawa mengekeh.
“Kita jebloskan saja dia ke dalam sumur binatang berbisa!”, mengusulkan Supit Jagat.
Wiro tertawa dan gelengkan kepala.
Dipegangnya dagu Pendekar Pemetik Bunga lalu tanyanya, “Sobat, apakah kau pernah memikirkan bagaimana sakitnya sekujur tubuhmu bila jalan darahmu menyungsang terbalik?!”
Pucat pasilah muka Pendekar Pemetik Bunga.
“Demi Tuhan, aku minta agar dibebaskan! Aku bertobat. Betul-betul tobat…! Aku betul-betul tobat…! Aku mohon keadilan!” kata Pendekar Pemetik Bunga. Kepalanya dipalingkan pada Supit Jagat, mohon belas kasihan. Dan saat itu dia mulai menangis merengek-rengek macam anak kecil!
“Kau mohon keadilan dan mohon pengampunan?” tanya Supit Jagat dengan tertawa-tawa.
“Ya, dan aku akan bertobat,” sahut Pendekar Pemetik Bunga.
“Baik, kami akan ampuni kau punya jiwa. Tapi ada syaratnya!”
“Apapun syaratnya akan aku terima,” kata Pendekar Pemetik Bunga tanpa ragu-ragu.
Ketua Biara Pensuci Jagat tertawa, “Syaratnya mudah saja. Cungkil sendiri kau punya jantung dan serahkan padaku!” Pendekar Pemetik Bunga menangis meraung-raung minta diampuni. Matanya menjadi bengkak dan merah.
“Pendekar 212, sebaiknya lekas saja dimulai penjatuhan hukuman atas dirinya!” kata Supit Jagat.
“Betul, makin cepat makin baik!”
Wiro membelai-belai rambut Pendekar Pemetik Bunga dengan senyum-senyum. “Kasihan.., kasihan….” katanya. Kemudian dua jari tangannya bergerak melakukan totokan di beberapa bagian tubuh Pendekar Pemetik Bunga.
Semua orang menunggu apa yang bakal terjadi. Pendekar Pemetik Bunga sudah seputih kain kafan tampangnya, keringat mengucur mulai dari kulit kepala sampai ke kaki! Mula-mula dia tak merasakan apa-apa. Tapi kemudian kepalanya terasa sampai sakit.
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh! Peredaran darah dalam tubuhnya tidak normal lagi. Berdenyut membalik! Dan lolongan-lolongan yang mengerikan ke luar tiada hentinya dari mulut laki-laki itu. Beberapa saat kemudian Wiro lepaskan totokan di tubuh pemuda terkutuk itu. Kini rasa sakit semakin menjadi-jadi. Dunia ini seperti menyungsang di mata Pendekar Pemetik Bunga. Dia lari sana lari sini, berteriak tak karuan, mencak-mencak, berguling di tanah! Beberapa menit berlalu darah mulai mengucur dari kedua lobang hidung, mata serta telinganya!
Wiro berpaling pada gadis baju kuning di sebelahnya “Sekar, jika kau mau turun tangan inilah saatnya. Tapi jangan bunuh dia sekaligus!”
Rahang-rahang Sekar bergemeletakkan. Dia maju satu langkah. Rantai Petaka Bumi diputar-putar. Melihat ini Pendekar Pemetik Bunga lari jauhkan diri.
Tapi “wuutt!”
Bola baja berduri menderu.
Pendekar Pemetik Bunga berteriak. Kupingnya yang sebelah kanan putus! Darah mengucur lebih banyak. Sekali lagi bola baja itu berdesing dan kali yang kedua ini sasarannya adalah telinga sebelah kiri Pendekar Pemetik Bunga! Keganasan dendam Sekar tidak sampai di situ saja, bola bajanya menderu lagi menghantam hidung si pemuda hingga hidung itu hancur melesak dan tampang Pendekar Pemetik Bunga sungguh mengerikan untuk dipandang!
“Sudah cukup, Sekar?!” tanya Wiro Sableng.
“Belum!” jawab gadis itu pendek dan beringas. Sementara itu Pendekar Pemetik Bunga sudah terhampar di tanah dekat tembok, megap-megap dan masih menjerit-jerit! Di antara jeritan itu terdengar lagi deru bola baja berduri dua kali berturut-turut! Yang pertama menghantam tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga, tangan yang telah puluhan kali melakukan kejahatan membunuh manusia-manusia tak berdosa! Hantaman yang kedua melanda tepat pada anggota rahasia di antara selangkangan Pendekar Pemetik Bunga yang selama dua tahun telah puluhan kali merusak kehormatan perempuan terutama gadis-gadis berparas cantik!
Tubuh Pendekar Pemetik Bunga mengegelepar-gelepar. Nyawanya masih belum putus, hampir diambang sekarat!
“Ketua Biara Pensuci Jagat, bagaimana dengan kau?,” tanya Wiro.
Supit Jagat tertawa sedingin salju. Ingat dia pada orang-orangnya yang telah menemui ajal di tangan pemuda itu. Dia maju selangkah.“Pendekar terkutuk! Apakah kau masih bias mendengar suaraku?!”
“Uh…uh..”
“Hem bagus… Meski matamu tak dapat melihat karena genangan darah tapi dengarlah aku akan lukis parasmu seindah mungkin dengan sapu lidiku ini!”
Habis berkata demikian, Supit Jagat tusukkan ujung sapu lidinya ke muka Pendekar Pemetik Bunga! Jeritan pemuda itu terdengar lagi, tapi tidak sekeras tadi. Suaranya sudah sember dan mukanya mengerikan lebih kini! Tusukan Sapu Jagat membuat mukanya itu laksana dipanteki dengan ratusan paku!
Pendekar Pemetik Bunga menggelepar-gelepar. Berguling ke kiri dan ke kanan, bergelimang darah serta debu. Kematiannya sungguh mengerikan. Namun mungkin itu belum seimbang dengan kejahatan-kejahatan yang paling terkutuk yang pernah dilakukannya selama dua tahun.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar