Jumat, 01 Januari 2010

Wiro Sableng Episode # 8 : Dewi Siluman Bukit Tunggul

posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

1

Wiro Sableng menghentikan jalannya di tikungan itu. Matanya memandang ke muka memperhatikan beberapa buah gerobak besar ditumpangi oleh perempuan-perempuan dan anakanak.
Gerobak-gerobak itu juga penuh dengan muatan berbagai macam perabotan rumah tangga.
Belasan orang laki-laki kelihatan berjalan kaki dan membawa buntalan barang-barang. Jelaslah bahwa semua mereka itu tengah melakukan pindah besar-besaran.
“Saudara, hendak pergi ke manakah rombonganmu ini?” bertanya Wiro sewaktu seorang anggota rombongan melangkah ke jurusannya.
Orang itu memandang sebentar kepadanya dengan pandangan curiga. Demikian juga anggota rombongan yang lain.
“Kami terpaksa meninggalkan kampung, pindah ke tempat lain yang jauh dari daerah ini….”
“Kenapa pindah?”
Seorang laki-laki tua yang mengemudikan gerobak, menghentikan gerobak itu dan menjawab pertanyaan Wiro Sableng.
“Kampung kami dilanda malapetaka!”
“Malapetaka apakah?”
“Kepala kampung dan lima orang pembantunya serta istrinya digantung. Beberapa orang gadis diculik! Beberapa penduduk dibunuh….”
“Siapa yang melakukannya?” tanya Wiro Sableng.
“Siapa lagi kalau bukan kaki tangannya Dewi Siluman,” menyahuti laki-laki pengemudi kereta.
Mulut Pendekar 212 tertutup rapat-rapat. Rahangnya bertonjolan lagi-lagi dia dihadapkan pada kejahatan yang dilakukan oleh orang-orangnya Dewi Siluman.
“Kalau kami tidak meninggalkan kampung, kami semua akan dibunuh!”
Anggota rombongan yang pertama tadi bertanya. “Kau sendiri mau kemanakah, Saudara…?”
“Maksudku ke arah sana. Ke kampung kalian…?”
“Sebaiknya batalkan saja niatmu,” menasehati orang itu. “Orang-orangnya Dewi Siluman pasti akan datang lagi ke kampung kami. Jika kau ditemui mereka di sana, tiada harapan bagimu untuk hidup lebih lama!”
“Terima kasih atas nasihatmu, Saudara!” jawab Wiro. “Tapi aku tetap musti menuju kesana….”
“Kau mencari mati, orang muda!” kata pengemudi gerobak. Dilecutnya punggung lembu yang menarik gerobak itu kemudian diberinya aba-aba. Rombongan itu pun bergerak kembali.

Wiro Sableng mengikuti rombongan itu dengan pandangannya sampai akhirnya mereka lenyap di kejauhan. Hatinya kasihan sekali melihat orang-orang itu, terutama laki-laki tua dan perempuan-perempuan tua serta anak-anak. Kemudian dibalikkannya badannya dan dengan cepat berlalu dari situ.
Kira-kira dua kali sepeminum teh, Wiro Sableng menemui sebuah kampung yang berada dalam keadaan porak poranda. Pastilah ini kampung rombongan yang ditemuinya di tengah jalan tadi.
Beberapa buah rumah hancur. Dua di antaranya musnah dimakan api. Empat orang laki-laki terkapar di hadapan sebuah rumah bagus sedang di langkan rumah Pendekar 212 menyaksikan enam orang tergantung berayun-ayun tiada nyawa lagi. Yang pertama adalah kepala kampung, kemudian isterinya. Selebihnya adalah pembantu-pembantu kepala kampung. Di beberapa langkan rumah lainnya, Wiro menemukan pula beberapa orang yang mengalami nasib sama seperti kepala kampung, digantung sampai mati.
Pendekar 212 menyandarkan punggungnya ke sebatang pohon dan membatin. Kesalahan apakah yang telah dibuat penduduk kampung ini sebelumnya sampai mereka dibunuh sedemikian kejamnya? Anak-anak dan perempuan-perempuan tanpa perikemanusiaan sama sekali?!
Wiro ingat pada ucapan anggota rombongan tadi. Orang-orangnya Dewi Siluman pasti akan kembali ke kampung itu. Wiro memutuskan untuk menunggu. Jika manusia-manusia jahat itu muncul, dia akan buat perhitungan dengan mereka dan sekaligus mencari keterangan di mana letak Bukit Tunggul. Manusia macam Dewi Siluman tidak layak dibiarkan hidup lebih lama. Maka Wiro pun melompat ke sebuah cabang pohon yang tinggi, duduk di situ dan memulai penungguannya.
Sampai matahari condong ke barat tak seorang pun yang muncul. Dengan hati kesal murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu turun dari atas pohon dan mengelilingi kampung.
Bukan main geramnya. Wiro sewaktu di salah satu dinding rumah penduduk ditemuinya barisanbarisan tulisan seperti yang dilihatnya sebelumnya di kampung yang terdahulu.


Delapan penjuru angin adalah daerah kami

Siapa menantang mesti diterjang

Dunia persilatan boleh geger

Tokoh-tokoh persilatan boleh turun tangan

Kalau mau mempercepat kematian.

Dan juga di bawah barian-bansan kalimat itu tertera lukisan tengkorak kecil. Geram sekali Wiro Sableng pergunakan kaki kirinya untuk menendang dinding rumah itu. Dinding rumah hancur berantakan. Ditinggalkannya tempat itu. Hatinya bimbang dan meragu apakah orang-orangnya Dewi Siluman benar-benar akan kembali ke kampung itu. Tiba-tiba Wiro tersirap kaget. Di belakang rumah sebelah kirinya terdengar suara seseorang bicara.
“Heran, kenapa Dewi Siluman berbuat kekejaman yang tiada artinya ini?”
Sebagai jawaban terdengar suara helaan napas yang disusul dengan ucapan. “Manusia punya seribu macam cara untuk cari nama di dunia persilatan!”
Ternyata ada dua orang di samping rumah sana. Yang mengherankan Wiro ialah mengapa dia sama sekali tidak mendengar sedikit pun kedatangan kedua manusia itu? Penuh rasa ingin tahu Wiro menyelinap ke bagian rumah yang lain dan melompat ke sebatang pohon berdaun rindang.
Dari sini jelas sekali dia dapat memandang ke halaman samping rumah tadi. Dua sosok tubuh manusia dilihatnya berdiri di sana. Dan untuk kedua kalinya Pendekar 212 dibuat terkejut. Salah seorang dari dua manusia itu bukan lain dari nenek-nenek sakti yang pernah baku hantam sekitar dua bulan yang lewat dengan dia di Kotaraja. Nenek-nenek sakti yang dikenal dengan gelar Si Telinga Arit Sakti.
Gerangan apakah yang membuat manusia ini berada pula di Pulau Madura? Dan siapakah manusia yang berdiri di sampingnya saat itu? Manusia ini juga seorang perempuan tua renta, bermuka keriput. Salah satu matanya hanya merupakan rongga hitam yang mengerikan. Kepalanya tidak sedikit pun ditumbuhi rambut. Dia mengenakan jubah putih yang pada bagian dadanya tergambar dua buah arit saling bersilangan! Melihat kepada umur serta ciri-ciri manusia ini Wiro menduga mungkin sekali dia adalah guru Si Telinga Arit Sakti. Sekurang-kurangnya kakak seperguruannya. Dan apakah kemunculan mereka berdua di Pulau Madura ada sangkut pautnya dengan pertempuran di Kotaraja dulu itu? Sangkut paut urusan dendam yang hendak dibalaskan?
Atau mungkin untuk satu urusan lainnya?
Wiro terus memperhatikan dari atas pohon berdaun lebat itu. Dilihatnya Si Telinga Arit Sakti memandang berkeliling.
“Tak ada tanda-tandanya bangsat yang kita kejar itu berada di sini….” Perempuan tua berjubah putih buka suara.
Si Telinga Arit Sakti memandang lagi berkeliling lalu menyahuti. “Tapi rombongan yang kita papasi di tengah jalan itu mengatakan bahwa dia memang menuju ke sini. Mungkin dia sudah berlalu ke tempat lain. Kita harus mengejarnya dengan cepat.”
“Kau hanya bikin aku repot saja Telinga Arit Sakti. Kalau tidak gara-garamu tentu sekarang ramuan obat yang kukerjakan itu sudah selesai!”
Telinga Arit Sakti perlihatkan wajah yang tidak senang. “Kalau pemuda sialan itu tidak keliwat sakti mandraguna, pastilah aku tak akan mengemis minta tolong padamu. Guru!”
Nyatalah kini bagi Wiro Sableng bahwa perempuan tua berjubah putih itu adalah guru Si Telinga Arit Sakti! Dan nyata pula bahwa kemunculan mereka di Pulau Madura saat itu adalah dalam mencari dirinya sendiri. Rupanya kekalahan di Kotaraja tempo hari sangat menggeramkan hati Si Telinga Arit Sakti hingga manusia itu mengadu kepada gurunya. Guru dan murid kemudian sama-sama mencarinya!
“Dalam berpikir-pikir apakah dia saat itu segera turun atau tetap saja diam di atas pohon maka Wiro mendengar perempuan berjubah putih berkata. “Kita teruskan pengejaran ke timur!
Kurasa orang yang kita cari masih belum berapa jauh!”
Telinga Arit Sakti mengangguk. Maka keduanya pun berkelebat hendak meninggalkan tempat itu. Tapi pada detik yang sama dari jurusan barat satu bayangan hitam laksana anak panah lepas dari busurnya datang memapas ke arah mereka. Pendatang baru ini berseru nyaring. Suaranya menggetarkan delapan penjuru angin.
“Dua perempuan tua! Harap tetap di tempat kalian!”
Guru dan murid hentikan tindakan mereka dan berpaling ke arah barat. “Bedebah! Siapa yang berani main perintah seenak cecongornya huh?!” dengus guru Si Telinga Arit Sakti dengan penuh kegusaran.
Dalam sekejap itu pula Si pendatang baru sudah sampai di hadapan mereka. Melihat siapa adanya manusia ini maka sirnalah kemarahan guru Si Telinga Arit Sakti. Malah dia menjura hormat dan lontarkan senyum.
“Ah, kiranya Sepuluh Jari Kematian! Tiada sangka akan bertemu di Pulau Madura ini!”
Manusia yang baru datang adalah seorang laki-laki berjubah hitam, berambut panjang sampai ke punggung. Sepuluh jari tangannya berwarna hitam legam. Dia berbatuk-batuk dan berkata. “Setahuku Sepasang Arit Hitam tengah sibuk membuat sejenis ramuan obat sakti di pertapaannya. Tapi kini bersama muridnya berada di sini. Urusan apakah yang telah membawa kalian ke sini…?”
Sepasang Arit Hitam rangkapkan tangan di muka dada. “Urusan biasa saja. Kami tengah mencari seekor anjing kecil yang telah membuat sedikit keonaran di kalangan kami….”
Sepuluh Jari Kematian manggut-manggut beberapa kali.
“Kalau aku boleh tahu, siapakah yang kau maksudkan dengan seekor anjing kecil itu?”
“Ah… cuma seorang pemuda sinting geblek bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212…!” jawab Sepasang Arit Hitam.
Di atas pohon Wiro Sableng memaki dalam hati. Dengan gusar dan memperhatikan terus dan mendengarkan percakapan orang-orang itu.
Pada waktu mendengar nama Wiro Sableng dan gelar Pendekar 212 tadi terkejutlah Sepuluh Jari Kematian. “Kalau begitu kita mencari bangsat yang sama!” serunya.
Wiro terkejut. Dia coba menduga siapa adanya manusia berjuluk Sepuluh Jari Kematian yang juga tengah mencari dirinya itu.
“Betul-betul tidak diduga kita punya urusan yang sama di tempat yang sama!” ujar Sepuluh Jari Kematian. “Bangsat bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212 itu telah membunuh muridku si Wirapati yang berjuluk Pendekar Pemetik Bunga beberapa bulan yang lewat! Aku terpaksa turun gunung untuk cari itu manusia. Belakangan sekali aku mendapat keterangan bahwa bangsat itu berada di ujung Jawa Timur, tengah dalam perjalanan ke Madura ini!”
Sepasang Arit Sakti Hitam hela nafas panjang. “Pertemuan memang aneh dan sukar diduga!
Karena kita sama satu tujuan satu haluan tentu kau tak keberatan kalau meneruskan pencarian atas bangsat itu secara bersama-sama….”
“Tentu saja tidak keberatan!” sahut Sepuluh Jari Kematian dengan tertawa lebar. Laki-laki berjubah hitam ini layangkan pandangannya berkeliling. “Di samping mencari pemuda keparat bernama Wiro Sableng itu, aku juga mendapat undangan dari Dewi Siluman di Bukit Tunggul. Bila ada kesempatan kurasa tak ada salahnya kalau kalian ikut berkunjung ke tempatnya.”
“Itu bisa dipikirkan nanti,” menyahuti Si Telinga Arit Sakti. “Yang penting kita harus mencari si Wiro Sableng itu dan mematahkan batang lehernya lebih dahulu!”
Sepuluh Jari Kematian tertawa mengekeh. “Kau betul!” katanya.
Wiro Sableng memperhatikan kepergian ketiga orang itu. Kehadirannya di Pulau Madura itu kini bukan saja untuk berhadapan dengan Dewi Siluman dan orang-orangnya, tapi juga untuk berhadapan dengan tiga musuh sakti. Kalau Si Telinga Arit Sakti, ilmu silat dan ilmu kesaktiannya sudah demikian tinggi, tentu gurunya Si Sepasang Arit Hitam lebih hebat lagi dari itu. Dan ditambah pula dengan Guru Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang berjuluk Sepuluh Jari Kematian itu. Benar-benar mereka merupakan lawan-lawan tangguh yang tak bisa dianggap enteng sama sekali. (Mengenai kehebatan dan kejahatan Pendekar Pemetik Bunga baca serial Wiro Sableng “Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga). Diam-diam Pendekar 212 merenung. Mungkin kehadirannya di Pulau Madura adalah benar-benar untuk mencari kematiannya sendiri.

*

* *

2

Wiro Sableng memperhatikan kesibukan-kesibukan dalam warung itu dengan sikap acuh tak acuh. Teh manisnya baru satu kali diteguknya.

“Orang muda lekaslah habiskan minumanmu. Warung ini akan segera ditutup….”
Wiro heran mendengar ucapan orang tua pemilik warung. “Siang-siang begini sudah ditutup?” tanyanya.
“Kau tak tahu apa-apa orang muda. Habiskan saja teh itu, bayar cepat dan berlalu….”
“Ada apakah sebenarnya?”
Pemilik warung tampak agak gusar. Dia menunjuk ke luar warung. “Kau lihat penduduk yang berbondong-bondong itu?”
Wiro Sableng palingkan kepala ke luar warung. Di tengah jalan dilihatnya serombongan penduduk berjalan cepat menuju ke selatan membawa berbagai macam barang rumah tangga dan binatang-binatang peliharaan seperti kambing-kambing dan beberapa ekor sapi.
“Memangnya kenapa mereka itu…?” bertanya lagi Wiro.
“Mereka mengungsi! Aku pun hendak menyertai rombongan mereka. Daerah sini sudah tidak aman! Malam kemarin seorang gadis telah diculik. Dua orang ditemui mati.”
“Siapa yang melakukannya?” tanya Wiro.
Pemilik warung itu hendak menjawab tapi tak jadi. Di wajahnya nyata sekali kelihatan rasa ketakutan. “Habiskan saja minumanmu. Aku tak bisa menunggu lebih lama,” katanya pada Wiro.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya beberapa kali lalu meneguk teh manisnya sampai habis. Dari saku pakaiannya dikeluarkannya sebuah mata uang perak. Ditimang-timangnya sebentar uang itu lalu diletakkannya di atas meja di hadapan pemilik warung. Sewaktu pemilik warung mengambil uang itu, Wiro memegang tangannya dan berkata. “Dengar orang tua. Kau tak usah kembalikan uangku asal saja kau bisa kasih keterangan di mana letaknya Bukit Tunggul tempat bersarangnya Dewi Siluman….”
Si orang tua tersentak kaget. Parasnya yang keriputan serta merta menjadi pucat pasi.
Matanya membelalak memandang Wiro.
“Justru karena dialah penduduk kampung ini terpaksa pindah mengungsi. Kini kau malah mencari penyakit bertanyakan tempat kediamannya. Apa kau sudah bosan hidup orang muda…?!”
Wiro Sableng tertawa.
“Mana ada orang yang bosan hidup,” sahutnya “Toh tidak ada salahnya kalau kau kasih sedikit keterangan di mana letak Bukit Tunggul itu….”
Si orang tua gelengkan kepala. “Aku masih ingin hidup! Sekali aku membuka mulut kasih keterangan seluruh keluargaku akan mampus! Mungkin juga semua penduduk kampung ini!”
Pemilik warung itu segera mengambil uang di atas meja dan memberikan kembalinya pada Wiro. Lalu katanya. “Nah, sekarang berlalulah.”
Wiro geleng-gelengkan kepala. Dia keluar dari warung itu. Agaknya seluruh Pulau Madura sudah digerayangi oleh rasa takut terhadap Dewi Siluman dan orang-orangnya. Tak ada satu kampung pun yang ditemuinya berada dalam keadaan tenang tenteram. Di setiap kampung mesti saja ada korban-korban yang jatuh akibat kejahatan yang dilakukan oleh orang-orangnya Dewi Siluman. Dan bukan itu saja, di setiap kampung orang-orangnya Dewi Siluman selalu menculik gadis-gadis. Entah dibawa ke mana dan entah apa, yang menimpa diri gadis-gadis itu tak bisa diduga oleh Wiro.
Dia mendongak ke langit. Sang surya tengah bersinar seterik-teriknya. Dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya, Wiro tinggalkan kampung itu. Di satu jalan kecil yang lurus pendekar ini memperlambat larinya. Di ujung sana dilihatnya seseorang duduk menjelepok di tengah jalan. Ketika dia sampai di hadapan orang itu ternyata manusia ini adalah seorang nenek tua bermuka cekung keriput. Dia duduk seenaknya di tengah jalan yang kecil itu. Di tangan kanannya ada sebatang ranting kering. Dia mengenakan jubah putih yang kotor. Dia begitu asyik mengguratgurat tanah dengan ujung ranting kering di tangannya itu.
Wiro tak dapat menduga siapa adanya nenek-nenek ini. Baginya adalah satu hal yang aneh seorang nenek-nenek berada di tengah jalan dan duduk menggurat-gurat tanah seperti dilihatnya saat itu. Karena jalan itu kecil, tak mungkin Wiro Sableng untuk lewat begitu saja tanpa membentur tubuh sang nenek. Dia bisa melompat di atas kepala si nenek tapi tentu saja ini satu kekurangajaran.
Maka Pendekar 212 pun menegurlah dengan hormat.
“Nenek harap maafkan aku mengganggumu. Sudilah memberikan sedikit jalan bagiku.”
Si nenek anehnya terus saja asyik menggurat-gurat tanah dengan ranting kering di tangan kanannya. Seakan-akan tiada didengarnya teguran Wiro tadi.
Mungkin nenek-nenek ini tuli, pikir Wiro. Tapi adalah mustahil kalau dia tidak melihat Wiro yang berdiri sedekat itu di sampingnya.
Wiro menegur lagi dengan suara lebih dikeraskan.
“Nenek, harap suka memberi sedikit jalan untukku lewat.”
Si nenek tiba-tiba angkat kepalanya. Sepasang matanya memandang Wiro dari rambut sampai kaki, penuh meneliti dan penuh gusar. Kemudian kembali dia tundukkan kepala dan menggurat-gurat tanah dengan ujung ranting.
Wiro memaki dalam hati. Kalau si nenek ini tidak sinting pastilah dia seorang aneh atau seorang yang sengaja cari sengketa, pikir Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Nenek, aku mau lewat. Kuharap kau tak keberatan memberi jalan….”
“Setan alas!” Si nenek tiba-tiba mendamprat keras dan lantang. Wiro terkejut dan usap dadanya. “Kapan aku kawin sama kakekmu kau panggil aku nenek!”
Wiro perhatikan tampang si nenek yang menjadi sangat galak. Dan Pendekar dari Gunung Gede ini tak kuasa menahan rasa gelinya sewaktu mendengar ucapan perempuan tua itu. Dia tertawa gelak-gelak sampai mukanya merah.
“Setan alas! Siapa yang suruh kau ketawa huh?!” Si nenek membentak lagi dengan suaranya yang keras.
Wiro hentikan tawanya.
“Siapa yang suruh!” sentak perempuan berjubah putih itu lagi.
“Memang tak ada yang suruh, Nek… eh… aku musti panggil apa terhadap kau…?” Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
“Kentut betul! Kalau tak ada yang suruh kenapa musti ketawa?!”
“Apakah seseorang itu baru tertawa kalau disuruh?” bertanya Pendekar 212.
“Sudah! Jangan banyak tanya! Kentutmu sebakul! Jawab kenapa kau ketawa?! Kau menertawai aku ya?! Ayo jawab!”
“Aku tidak menertawaimu Nek… eh… aku tertawa karena ucapanmu yang lucu tadi.”
“Betul-betul setan alas! Kau anggap aku ini badut yang mau melucu di hadapanmu? Makan rantingku ini!”
Habis berkata begitu si nenek hantamkan ranting kering di tangannya!
“Wutt!”
Pendekar 212 tersentak kaget dan buru-buru menghindar ke belakang. Sambaran ranting yang di tangan si nenek mengeluarkan angin dingin dan keras. Nyatanya bahwa si nenek bukan perempuan sembarangan, tapi seorang yang memiliki tenaga dalam yang tinggi. Dan ini berarti bahwa dia adalah seorang tokoh silat berkepandaian hebat.
Karena serangannya tidak mengenai sasaran, si nenek menjadi gusar sekali. Dia melompat dan ranting kering di tangannya menderu pulang balik tiada hentinya, membungkus tubuh Wiro Sableng dalam serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Pendekar 212 bersiul nyaring.
“Ah, nyatanya kau bukan nenek sembarang nenek!” seru Wiro sambil gerakkan tubuhnya dengan cepat untuk menghindar dari serangan ganas si nenek.
Mendengar ucapan itu si nenek jadi tambah buas. Serangannya tambah ganas. Meski senjatanya cuma sebuah ranting kering namun karena ranting itu mengandung aliran tenaga dalam maka bahayanya tiada beda dengan bahaya sebuah senjata tajam seperti golok atau sebilah pedang.
“Nenek!” seru Wiro Sableng. “Antara kita tak ada silang sengketa, mengapa kau menyerang aku sejahat ini?!”
“Kalau kau tak lekas berlutut dan minta ampun niscaya kau akan kukirim ke akherat!” teriak si nenek jubah putih. Serangan ranting keringnya semakin menggila. Dalam waktu lima jurus saja Pendekar 212 sudah terdesak hebat.
Sampai jurus yang kesembilan Wiro Sableng masih juga berkelebat dalam posisi bertahan, sama sekali tidak balas menyerang. Inilah yang menyebabkan dia saat demi saat semakin terdesak dan kepepet. Ruang gerak Pendekar 212 makin lama makin ciut. Ranting kering di tangan si nenek laksana ratusan buah banyaknya dan menyerangnya dari puluhan jurus.
Hampir tiada terasa lagi, saat itu mereka sudah memasuki jurus ke empat belas. Dalam jurus ini Wiro benar-benar dibikin mati kutu. Dia tak sanggup bertahan lebih lama. Dengan satu bentakan nyaring Pendekar 212 segera pergunakan kedua tangannya untuk mulai balas menyerang. Tapi justru pada jurus itu pula ranting kering di tangan si nenek membuat satu serangan yang sukar dikelit.
“Breet!”
Robeklah pakaian Pendekar 212. Dadanya tergores luka. Rasa sakit dan perih serta merta menjalari sekujur tubuhnya. Dan tubuh itu kini menjadi panas dingin. Nyatalah ranting kering di tangan si nenek bukan ranting kering biasa, melainkan sebuah senjata sakti yang mengandung racun luar biasa. Cepat-cepat Wiro ke luar dari kalangan pertempuran dan kerahkan tenaga dalamnya.
Si nenek tertawa panjang.
“Jangan harap kau bisa hidup lebih dari satu jam, pemuda keparat! Rantingku ini mengandung racun yang jahat sekali!”
Wiro tetap tenang. Dia tidak yakin racun ranting si nenek akan menamatkan riwayatnya.
Sewaktu digembleng di puncak Gunung Gede, tubuhnya telah diberi kekuatan oleh Eyang Sinto Gendeng, kekuatan yang membuat dia kebal terhadap segala racun yang bagaimanapun jahatnya.
Apalagi saat itu dia sudah kerahkan tenaga dalamnya.
Si nenek tertawa lagi.
“Selamat tinggal orang muda! Nasibmu ternyata sial di Pulau Madura ini! Nantikanlah saat kematianmu di depan mata!”
Habis berkata begini si nenek segera putar tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
“Manusia keriput! Tunggu dulu! Aku tak sudi kau pergi sebelum menerima sedikit pembalasan hormat dariku!” teriak Wiro Sableng. Sekali dia melesat maka tahu-tahu tubuhnya sudah berada dihadapan si nenek, menghalangi lari perempuan tua itu. Tentu saja kejut si nenek bukan tanggung-tanggung. Matanya melotot membeliak.
“Nyalimu keliwat besar!” teriaknya. “Apakah mau mampus saat ini juga bedebah?!”
Wiro bersiul nyaring.
“Soal nyawa jangan diributkan perempuan keriput! Terima pukulanku ini!”
Wiro Sableng hantamkan tinju kanannya ke depan. Di saat itu pula si nenek sapukan rantingnya ke muka. Maka tak ampun lagi tinju dan rantingpun beradulah.
Wiro kerenyitkan kening menahan sakit. Kulit tangannya kelihatan lecet sedang ranting di tangan si nenek mental dan patah berantakan. Si nenek beringas sekali melihat ranting keringnya dimusnahkan lawan. Dia melompat ke muka dengan sepuluh jari tangan terpantang.
“Cengkeraman Garuda Sakti” seru Pendekar 212 begitu dia mengenali jurus serangan lawan.
Sekali tubuh kena dicengkeram pastilah daging dan tulang-tulangnya akan hancur remuk. Cepatcepat Wiro menyurut mundur dan buat satu liukkan, kemudian hantamkan tangan kanan ke depan, melepaskan “Pukulan Kunyuk Melempar Buah” yang disertai hampir setengah bagian tenaga dalamnya.
Si nenek melengking penasaran sewaktu serangannya tertahan oleh satu gelombang angin yang laksana satu gumpalan batu keras. Dengan kalap dia menyeruak dari samping dan begitu pukulan Pendekar 212 lewat dengan serta merta dia lepaskan dua jotosan dan dua tendangan jarak jauh. Empat serangan ini hebatnya bukan main. Debu dan pasir jalanan menderu.
Empat angin pukulan si nenek laksana air bah merambas tubuh Pendekar 212. Murid Eyang Sinto Gendeng ini terpaksa melompat beberapa tombak ke atas. Sambil turun ke bagian yang aman Wiro lepaskan “Pukulan Angin Puyuh”.
Empat angin pukulan si nenek dan satu gelombang angin pukulan Wiro Sableng saling bentrok menimbulkan suara letusan nyaring, menggetarkan tanah tempat berpijak. Si nenek terpelanting sampai enam langkah sedang kedua kaki Wiro Sableng tenggelam ke tanah sampai sedalam tiga senti.
Bukan main geramnya si nenek. Ternyata si pemuda memiliki ilmu yang tidak rendah sebagaimana yang disangkanya. Dalam luapan amarah, nenek keriput ini segera cabut batang belimbing di tepi jalan. Dengan mempergunakan pohon itu sebagai senjata dia segera menyerang Wiro Sableng.
“Hebat!” seru Wiro sambil berkelit cepat. Pohon belimbing yang di babatkan si nenek menderu menghantam pohon lain di belakangnya, membuat pohon ini tumbang bergemuruh. Dapat dibayangkan bagaimana kalau batang pohon belimbing itu melanda tubuh Wiro Sableng.
Laksana memegang sebuah sapu lidi, demikianlah si nenek pergunakan pohon belimbing itu untuk menyapu dan membabat lawannya. Wiro Sableng geleng-geleng dan garuk-garuk kepala.
Belum pernah ia menghadapi lawan yang demikian kalapnya seperti si nenek ini sehingga mau mencabut sebatang pohon dan menyerang dengan pergunakan pohon itu sebagai senjata. Di
samping kagum, Wiro juga kepingin tahu siapa sesungguhnya manusia ini.
“Nenek, sesuai dengan peradatan dunia persilatan harap kau terangkan siapa nama atau gelarmu!” seru Wiro.
“Bakul kentut! Kau bisa tanya nanti pada cacing-cacing di liang kubur!” Dan si nenek babatkan lagi pohon belimbing di tangannya.
“Buset!”
Wiro berkelebat cepat.
Si nenek penuh penasaran memandang berkeliling. Lawannya lenyap seperti ditelan bumi.
“Setan alas kau lari ke mana hati?!” teriak nenek-nenek itu.
Di belakangnya terdengar suara tertawa.
“Nenek-nenek kurasa matamu belum begitu kabur hingga tak tahu kalau aku berada di sini!”
Begitu putar tubuh begitu si nenek hantamkan batang belimbing ke pohon di belakangnya.
Kraak!
Pohon di tepi jalan patah dan tumbang. Wiro Sableng yang tadi memang melompat dan berdiri di salah satu cabang pohon itu, berkelebat ke pohon lain dan berdiri di salah satu cabangnya sambil tertawa-tawa mengejek.
“Setan alas! Apa kau kira aku tidak sanggup mengejarmu ke atas sana?!” teriak seraya lemparkan pohon belimbing ke tepi jalan kemudian melompat sebat ke cabang pohon di mana Wiro berdiri.
Tapi kemengkalannya jadi bertambah-tambah karena begitu ia menginjak cabang pohon, Wiro Sableng sudah lenyap dari cabang itu. Dan bila dia memandang ke bawah maka dilihatnya si pemuda berdiri bertolak pinggang di jalan kecil, cengar-cengir ke arahnya.
Si nenek sampai melengking nyaring saking gemasnya. Dia keruk satu jubahnya dan berteriak. “Pemuda keparat! Terima ini!”
Selusin senjata rahasia yang berbentuk paku hitam melesat ke arah Wiro Sableng dalam bentuk lingkaran. Wiro pukulkan tangan kanannya ke atas. Enam paku mental jauh sedang enam lainnya amblas ke dalam tanah. Di saat itu pula si nenek sudah turun ke tanah kembali dan kirimkan serangan berantai ke arah Wiro.
“Nenek! Ilmumu memang tinggi. Tapi aku tak begitu suka bertempur dengan orang lain tanpa alasan! Apalagi kalau tidak tahu asal usul dan namanya!”
“Pemuda sialan, jangan jual kentut! Kau tak akan kulepaskan hidup-hidup!” hardik si nenek.
Kembali dia kirimkan selusin paku hitam dan susul dengan serangan berantai.
Pendekar 212 angkat kedua tangannya. Saat itu pertempuran sudah berjalan tiga puluh jurus lebih. Wiro kini tak mau main-main lagi. Begitu kedua tangannya dipukulkan ke muka maka gelombang angin yang laksana topan menderu. Inilah “Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera” yang kedahsyatannya bukan saja membuat selusin paku hitam itu mental tapi juga membuat si nenek terguling di tanah sampai enam tombak.
Belum lagi sempat bangun Wiro memburu tak kasih ampun. Dua tangannya melesat ke pangkal leher si nenek, siap untuk menotok. Tapi lebih cepat dari itu si nenek keluarkan sebuah benda berbentuk bola berwarna hitam. Bola hitam ini dilemparkan ke arah Wiro. Satu letusan terdengar. Dalam kejap itu pula asap hitam tebal menggebu menutup pemandangan, Wiro Sableng tak dapat melihat apa-apa dan cepat-cepat melompat ke samping. Tapi dia masih juga terkurung oleh asap hitam yang gelap itu. Dia melompat sekali lagi, dua kali lagi dan barulah bisa keluar dari kurungan asap hitam yang membutakan pemandangannya.
Beberapa saat kemudian ketika asap hitam itu sirna dengan perlahan maka si nenek sudah lenyap dari tempat itu. Dan betapa terkejutnya Pendekar 212 karena di seberangnya kini berdiri tiga manusia lain.

*

* *

3

Ketiga manusia itu bukan lain Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian. Ketiganya memandang dengan mata ganas menyorot yang membayangkan maut.

“Ini dia bangsatnya!” Si Telinga Arit Sakti buka suara.
“Apa yang dikerjakannya di sini! Bermain-main asap?!” Sepuluh Jari Kematian menimpali.
Wiro masih diam dan menyapu tampang ketiga orang itu dengan pandangan seenaknya.
“Pendekar 212!” lengking Si Telinga Arit Sakti. “Ketahuilah hari ini adalah hari kematianmu!”
Wiro Sableng senyum lalu keluarkan suara tertawa bergelak.
“Telinga Arit Sakti,” kata Pendekar 212 pula. “Bacotmu besar amat! Mentang-mentang berada sama-sama gurumu!”
“Kalau tahu aku gurunya mengapa tidak lekas berlutut dan bunuh diri?!” sentak Sepasang Arit Hitam.
Wiro tertawa lagi gelak-gelak. “Orang gila pun disuruh bunuh diri tidak bakal mau!”
“Dan kau lebih dari gila!” damprat Sepasang Arit Hitam.
Sepuluh Jari Kematian lambaikan tangannya dan berkata. “Kau tak usah bicara panjang lebar kawan-kawan. Mari kita berebut cepat memisahkan kepala dan badannya!”
“Ah… ah… ah!” Wiro rangkapkan tangan di muka dada. “Kalau tak salah penglihatanku bukankah kau yang berjuluk Sepuluh Jari Kematian, gurunya Si Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang mampus tempo hari di tanganku?!”
“Pemandanganmu memang tajam, pemuda gendeng! Muridku mati di tanganmu. Hari ini aku datang meminta jiwamu!”
Wiro geleng-gelengkan kepala.
Katanya. “Akhir ini banyak sekali manusia-manusia yang begitu inginkan jiwaku, sebutsebut segala urusan jiwa…. seakan-akan jiwanya sendiri adalah jiwa yang bersih polos!”
“Jangan pidato!” bentak Sepasang Arit Hitam.
“Siapa bilang aku pidato!” sahut Wiro ketus. “Aku cuma bicara biasa!” Kemudian Pendekar 212 berpaling pada Sepuluh Jari Kematian. “Dengar Sepuluh Jari Kematian,” katanya. “Muridmu
seorang manusia bernafsu besar doyan perempuan kelas satu! Bagaimana kalau hari ini kuberikan seorang perempuan cantik padamu, apakah kau bersedia melupakan urusan kita?!”
Merahlah paras Sepuluh Jari Kematian. Darah di kepala mendidih mendengar ejekan itu.
Dia maju satu langkah. “Kau memang tak layak hidup lebih lama!” bentaknya. Kelima jari-jari tangan kanannya dijentikkan ke muka. Lima sinar hitam yang menggidikkan melesat mengeluarkan suara menggaung. Inilah Ilmu Jari Penghancur Sukma yang dahsyat. Satu jentikkan saja ganasnya bukan main, apalagi sekaligus lima jentikan. Dan dilancarkan oleh tokoh penciptanya sendiri yang
berilmu tinggi.
Dengan cepat Pendekar 212 melompat ke udara. Empat larikan sinar hitam berhasil dihindarkannya, tapi sinar yang kelima tak sanggup dielakkan. Sinar ini menyapu kaki kiri Pendekar 212.
Wuss!
Kaki kiri itu dengan serta merta menjadi hitam. Wiro Sableng terguling di tanah, merintih kesakitan. Meski tubuhnya kebal segala macam racun namun dia masih khawatir. Begitu jatuh dengan cepat Wiro totok jalan darah dan urat-urat di siku kaki kirinya. Dengan terpincang-pincang Pendekar 212 bangkit berdiri. Di saat itu Si Telinga Arit Sakti dan Sepasang Arit Hitam memburu dengan senjata di tangan sedang Sepuluh Jari Kematian melompat sebat menjambak rambut gondrong Wiro Sableng siap untuk memuntir kepala pendekar itu.
Dengan berteriak nyaring Wiro gerakkan tangan kanan untuk cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi Si Telinga Arit Sakti yang tahu gelagat segera tendang tangan kanan Wiro Sableng.
Kraak!
Patahlah lengan Pendekar 212. Tubuhnya terhempas ke tanah. Tiga buah arit masing-masing dua di tangan sepasang Arit Hitam dan satu di tangan si Telinga Arit Sakti menderu siap untuk membuat tubuh Wiro Sableng menjadi terkutung empat sedang jambakan Sepuluh Jari Kematian akan menanggalkan kepalanya dari badan.
Wiro Sableng hendak lepaskan Pukulan Sinar Matahari. Tapi sudah terlambat, sudah tak ada kesempatan lagi.
“Tamatlah riwayatku!” keluh pendekar ini. Dipejamkannya kedua matanya menanti saat kematian itu.
Hanya beberapa detik lagi tubuh sang pendekar akan terkutung empat dibabat tiga buah arit sakti, hanya beberapa detik lagi kepalanya akan tanggal dipuntir, maka terdengarlah teriak lantang menggeledek.
“Setiap nyawa manusia di Pulau Madura ini adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak merampas jiwa pemuda itu! Kecuali kalau mau ikut-ikutan mampus!”
Terkejutlah Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian.
Empat sosok tubuh berkelebat.
Perlahan-lahan Wiro Sableng buka kedua matanya yang tadi dipejamkan! Dan hampir tak dapat dipercaya pemandangan matanya sendiri saat itu. Betapa tidak. Empat pendatang baru ini adalah gadis-gadis cantik berpakaian biru. Leher mereka digantungi tengkorak manusia yang besarnya sekepalan tangan. Meski tampang mereka cantik-cantik tapi membayangkan kebengisan.
Dugaan Wiro Sableng pastilah mereka ini orang-orangnya Dewi Siluman dari Bukit Tunggul.

*

* *

Sehabis melemparkan bola yang meletuskan asap hitam dan tebal itu si nenek keriput cepat berguling dan lari meninggalkan jalan kecil. Dimasukinya rimba belantara kemudian menyeruak di antara semak belukar lebat. Dari luar semak belukar ini tiada beda dengan semak-semak yang lebat di sekitar tempat itu. Tapi siapa nyana kalau begitu semak belukar diseruak maka muncullah sebuah lobang besar setinggi manusia. Si nenek menyelusup memasuki lobang itu dan terus berlari. Meski penerangan dalam lobang itu tidak begitu terang namun karena sudah terlalu sering melewatinya si nenek sudah sangat hafal liku-likunya maka dia lari dengan sebat tanpa kurangi kecepatannya.
Dalam waktu yang singkat dia sudah sampai di ujung lobang yang merupakan terowongan bawah tanah itu. Dia muncul di satu lamping bukit. Dari sini lari cepat ke bawah, masuk lagi ke sebuah terowongan rahasia dan akhirnya sampai di satu terowongan batu pualam. Sebelum memasuki sebuah ruangan besar si nenek gerakkan kedua tangannya ke muka. Sehelai selaput topeng yang amat tipis ditanggalkannya dari parasnya. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Dan nyatanya dia adalah seorang gadis jelita berkulit hitam manis, berhidung mancung dan berbibir tipis mungil.
Gadis ini kemudian tanggalkan jubah putihnya. Di balik jubah putih si gadis kulit hitam manis ini ternyata mengenakan pakaian ringkas biru. Gadis ini kemudian berlari ke tengah ruangan besar. Salah satu tumitnya menekan ubin yang bergambar bunga mawar merah.
Maka pada saat itu menggemalah suara bertanya dalam ruangan itu. Entah dari mana datangnya.
“Siapa yang mau masuk?!”
“Aku, Nariti hendak menghadap Dewi!” menjawab si gadis hitam manis.
“Silahkan masuk.”
Sebuah pintu besar yang tadinya hanya merupakan sebuah dinding ruangan belaka terbuka.
Nariti cepat memasuki pintu itu. Ruangan di mana dia berada adalah sebuah ruangan yang jauh lebih besar dari yang pertama tadi. Seluruh lantai ditutupi permadani. Di samping kanan terdapat sebuah taman. Di tengah taman dihiasi dengan kolam berair biru. Beberapa gadis cantik asyik mandi-mandi dalam kolam itu, bersimbur-simburan air dan bergurau sesama mereka. Beberapa lainnya duduk di tepi kolam memperhatikan. Semuanya mengenakan pakaian ringkas biru.
“Hai, itu si Nariti dari mana baru kelihatan!” seru seorang gadis baju biru.
“Nariti dari mana kau!” berseru yang lain.
Nariti hanya melambaikan tangan lalu cepat-cepat menaiki sebuah tangga yang juga beralaskan permadani. Di bagian atas terdapat tiga buah pintu yang dijaga oleh tiga orang gadis berpakaian biru.
“Kemani, aku mau bertemu dengan Dewi,” berkata Nariti pada salah seorang gadis-gadis itu.
“Ada keperluan apakah?!”
“Tak usah tanya. Katakan di mana Dewi saat ini, cepat! Ini penting sekali!”
Melihat keseriusan pada wajah Nariti maka Kemani segera menjawab. “Dewi berada di anjungan ketiga.”
Mendengar itu maka Nariti segera memasuki pintu di samping kanannya. Pintu ini membawanya ke sebuah lorong yang kemudian menghubunginya dengan sebuah pintu biru yang tertutup. Di belakang pintu itu didengarnya suara petikan-petikan kecapi yang merdu.
Nariti mengetuk daun pintu tiga kali berturut-turut lalu dua kali lagi. Suara kecapi di ruang dalam berhenti.
“Siapa?!” terdengar suara perempuan bertanya dari dalam. Suaranya halus tapi penuh wibawa dan ketegasan.
“Dewi, aku Nariti membawa laporan penting untukmu!”
“Masuklah!”
Nariti mendorong daun pintu lalu masuk dengan cepat. Kamar yang dimasukinya selain bagus juga sangat luas. Lantai tertutup permadani biru yang tebal dan lembut. Tubuh serasa di awang-awang kalau menginjak kelembutan permadani itu. Di tengah ruangan terletak sebuah tempat tidur besar berseprai sutera putih. Di atas tempat tidur ini berbaringlah bermalas-malasan seorang perempuan muda. Umurnya paling banyak dua puluh tiga tahun. Dia berpakaian sutra biru yang bagus dan menjela ke permadani. Parasnya cantik sekali. Tapi dibalik kecantikan yang mengagumkan itu nyata kelihatan bayangan kekejaman. Matanya yang berkilat menyoroti Nariti dengan teliti. Kemudian dia berpaling pada gadis tujuh belas tahun yang duduk di permadani, yang tadi memainkan kecapi menghiburnya. Gadis ini juga berparas jelita dan berkulit kuning langsat Perempuan di atas pembaringan yang bukan lain dari Dewi Siluman adanya anggukkan kepala. Maka gadis pemain kecapi yang mengerti isyarat ini segera mengambil kecapinya dari pangkuan dan meninggalkan tempat itu lewat sebuah pintu di samping kanan.
“Katakan berita apa yang kau bawa, Nariti,” ujar Dewi Siluman.
Nariti menjura dulu tiga kali baru menjawab.
“Ada beberapa pendatang baru di Pulau kita ini dewi. Semuanya dari Pulau Jawa….”
“Hemmm….” Dewi Siluman menggumam dan petik serenceng buah anggur lalu memasukkan buah itu satu demi satu ke dalam mulutnya.
“Teruskan keteranganmu!”
“Yang pertama ialah Sepuluh Jari Kematian….”
“Itu aku sudah tahu. Sepuluh Jari Kematian sobat lama yang sengaja kuundang kemari.
Siapa yang lain-lainnya?!”
“Yang lain-lainnya ialah dua orang nenek-nenek yaitu Sepasang Arit Hitam dan muridnya Si Telinga Arit Sakti….”
“Heh… perlu apa murid dan guru itu berada di Pulau ini?” Dewi Siluman memandang lewat jendela dari mana dia dapat melihat sebagian dari taman dan kolam yang tadi dilewati Nariti. Lalu tanyanya sambil mengunyah buah anggur dalam mulutnya. “Apa masih ada pendatang yang lain?”
“Ada Dewi. Seorang pemuda sakti….”
Sepasang alis mata yang hitam dan bagus dari Dewi Siluman naik ke atas.
“Gerak-geriknya yang mencurigakan membuat aku menguntitnya selama dua hari. Ternyata dia tengah mencari keterangan di mana letak tempat kita ini….”
“Begitu? Menurutmu apakah dia membawa maksud baik atau jahat?!” tanya Dewi Siluman.
“Pasti maksud jahat Dewi….”
“Kalau begitu dia mencari jalan ke akhirat!” kata Dewi Siluman pula sambil lemparkan tangkai anggur ke luar jendela. “Tapi terangkan dulu segala sesuatunya tentang dia….”
“Hampir di setiap tempat dia menanyakan pada penduduk di mana letak Bukit Tunggul, di mana letak sarang kita….”
“Kurang ajar. Istanaku disebut sarang!” maki Dewi Siluman. “Teruskan Nariti!”
“Tapi penduduk tak satu pun mau beri keterangan. Meski demikian karena jelas pemuda ini sangat berbahaya bagi kita maka dengan menyamar kunantikan dia di jalan kecil di tepi hutan.
Sengaja aku duduk di tengah jalan menghalanginya untuk mencari sengketa. Kemudian terjadi pertempuran antara kami. Tapi nyatanya dia sakti sekali dan bukan tandinganku. Aku hampir saja dimakan totokannya kalau tidak lekas melemparkan bola asap hitam!”
Dewi Siluman merenung sejenak. Nariti adalah pembantunya yang memiliki ilmu tinggi.
Kalau Nariti tiada sanggup melawan pemuda itu pastilah si pemuda memiliki ilmu yang hebat.
“Siapa nama pemuda itu?” bertanya Dewi Siluman.
“Tak berhasil kuketahui Dewi.”
“Nariti, bawa tiga orang kawanmu. Cari pemuda itu dan tamatkan riwayatnya sebelum dia bikin susah pihak kita!”
“Perintahmu aku jalankan Dewi,” sahut Nariti. Dia menjura tiga kali lalu melangkah ke pintu.
“Tunggu dulu Nariti!” berseru Dewi Siluman. Nariti hentikan langkah dan balikkan badan.
“Ya Dewi…?”
“Apakah pemuda sakti itu berparas gagah?” tanya Dewi Siluman.
Nariti memandang ke jendela lalu tundukkan kepala. Kalau dia memberikan jawaban bahwa pemuda itu memang berparas gagah dia khawatir sang Dewi akan punya persangkaan yang bukan bukan padanya. Karenanya Nariti tak berikan jawaban.
Dewi Siluman tertawa merdu laksana taburan mutiara yang jatuh berderai di atas lantai pualam. Dari kebisuan anak buahnya itu dia segera maklum bahwa si pemuda yang mendatangi Pulau Madura adalah seorang berparas cakap.
“Kalau begitu tangkap saja dia hidup-hidup, Nariti.” kata Dewi Siluman pula. “Jika parasnya betul-betul gagah dia akan menjadi budakku. Tapi kalau tampangnya buruk dia akan mati percuma!”
Nariti mengangguk. Dia menjura lagi tiga kali lalu tinggalkan kamar itu. Dewi Siluman memandang ke luar jendela memperhatikan anak buahnya bersimbur-simburan air di tengah kolam.
Di sudut bibirnya mengelumit sekuntum senyum aneh. Gadis jelita ini kemudian bertepuk tiga kali.
Inani gadis yang tadi memainkan kecapi menghibur Dewi Siluman masuk kembali ke dalam kamar itu.
“Mainkan satu lagu yang bagus untukku, Inani.”
“Lagu bagus tentang apa, Dewi?” tanya Inani.
“Apakah tentang lautan yang indah diwaktu matahari terbenam atau tentang bunga-bunga yang tengah mekar, atau tentang kebahagiaan hidup di swarga loka? Atau pula tentang pemandangan gunung yang tinggi hijau, atau tentang binatang-binatang yang bagus lucu…?”
Dewi Siluman gelengkan kepala.
“Bukan… bukan tentang laut atau bunga-bunga atau binatang-binatang, Inani. Bukan tentang semua yang kau sebutkan itu. Tapi tentang cinta….” kata Dewi Siluman pula.
Terkejutlah Inani mendengar jawaban Dewinya itu. Selama ini sang Dewi sangat membenci segala sesuatu yang berbau cinta kasih. Dewi Siluman selalu marah dan mendamprat bila dia memainkan lagu-lagu cinta, sekalipun dia memetik kecapi itu seorang diri dalam kamarnya! Dan kini adalah aneh kalau sang Dewi minta dimainkan sebuah lagu cinta. Apakah telah berubah jalan pikiran dan lubuk hati sang Dewi. Ada sesuatu yang telah terjadi dengan Dewinya itu?
Untuk lebih memastikan maka bertanyalah Inani. “Lagu cinta yang bagaimana Dewi?
Apakah cinta kasih seorang ibu terhadap anaknya? Atau cinta kasih Tuhan kepada hamba-hambaNya…?!”
“Jangan sebut-sebut Tuhan!” sentak Dewi Siluman. “Yang ada di dunia ialah kekuatan!
Siapa yang kuat dia akan berkuasa dan bisa berbuat sekehendak hatinya! Jadi Tuhan di dunia ini!”
Meski di dalam hatinya Inani membantah ucapan sang Dewi, tapi karena takut dia tak berani nyatakan pendapatnya itu.
“Kalau begitu mungkin Dewi ingin dengarkan lagu cinta antara seorang pemuda dengan seorang gadis?” tanya Inani pula.
“Ya, lagu itulah yang kuinginkan.” jawab Dewi Siluman.
Maka dengan jari-jari tangannya yang bagus runcing itu Inani mulai memetik kecapinya menyanyikan sebuah lagu cinta.

*

* *

4

Petikan kecapi yang membawakan lagu cinta itu menggema ke luar kamar, sampai ke kolam dan taman dimana anak-anak buah Dewi Siluman tengah mandi-mandi dan duduk-duduk beristirahat. Semua mereka saling berpandangan lalu memutar kepala ke arah jendela di anjungan ketiga yang tingginya empat puluh tombak lebih.

“Aneh, sejak kapankah Dewi kita menyenangi lagu cinta-cintaan?” tanya salah seorang dari mereka.
Tak ada yang memberikan jawaban. Semua mata diarahkan ke jendela anjungan. Semua telinga mendengarkan. Suara kecapi yang merdu itu memasuki liang-liang telinga para gadis, laksana air gunung yang sejuk terus mengalir ke hatinya. Betapa indahnya sesuatu yang dipengaruhi oleh cinta. Betapa indahnya bercinta. Cinta kasih antara laki-laki dan pemudi. Dan mereka semua adalah gadis-gadis yang selama ini tidak mengenal apa artinya cinta. Di dalam Istana Dewi Siluman yang terletak di bawah Bukit Tunggul, itu hidup mereka hanyalah antara sesama gadis, sesama perempuan. Dan kini mendengar lagu cinta kasih itu, hati mereka laksana berontak, darah mereka menjadi panas. Walau bagaimanapun mereka adalah manusia-manusia biasa, gadis-gadis yang membutuhkan cinta kasih sayang seorang pemuda. Gadis-gadis yang selama ini hidup di alam suasana tertekan, dipaksakan untuk tidak mengenal cinta. Tapi kali itu melalui petikan kecapi yang dimainkan oleh Inani tanpa disadari, Dewi Siluman secara tak langsung telah memberikan kenyataan pada anak-anak buahnya bahwa sesungguhnya di dunia ini memang ada cinta kasih antara laki-laki dan perempuan. Melalui petikan kecapi itu Dewi Siluman membuat anak-anak buahnya menjadi sadar bahwa mereka semua adalah makhluk-makhluk hidup, manusia-manusia, gadis-gadis yang membutuhkan kasih seorang laki-laki, membutuhkan peluk dekap dan ciuman mesra seorang pemuda.
Lagu itu belum lagi sampai ke ujungnya. Tiba-tiba saja petikan kecapi berhenti dan gadisgadis yang di kolam serta di taman melihat tubuh Dewi Siluman muncul di ambang jendela.
“Kalian mendengarkan apakah?!” bentak Dewi Siluman marah. Suaranya menggetarkan seluruh Istana. “Semua masuk ke kamar masing-masing! Jangan kalian berani memikirkan kehidupan dunia yang bukan-bukan! Siapa yang tak dengar perintah akan menerima hukuman berat!”
Penuh ketakutan maka gadis-gadis itu segera tinggalkan kolam dan taman.
Sementara itu Nariti dan tiga orang kawannya dengan cepat meninggalkan Istana Dewi Siluman. Mereka mengambil jalan memotong yaitu melewati lorong-lorong di bawah bukit dan lamping gunung. Ketika Inani dan tiga kawan-kawannya itu sampai ke jalan kecil di tempat mana dia tadi bertempur dengan Pendekar 212 Wiro Sableng maka pada saat itu mereka melihat bagaimana pemuda itu terhampar di tanah. Tiga manusia berebut cepat untuk mengirimnya ke akhirat. Yang dua membacokkan senjata berbentuk arit sedang yang ketiga hendak memuntir dan menanggalkan kepala pemuda itu dari tubuhnya.
Dengan serta merta Nariti berteriak.
“Setiap nyawa manusia di Pulau Madura ini adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak merampas jiwa pemuda itu! Kecuali kalau mau ikut-ikutan mampus!”
Terkejutlah Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian. Pada saat itu empat bayangan biru melompat ke hadapan mereka. Keempatnya ternyata gadis-gadis berparas cantik.
Wiro sendiri yang tadi pejamkan mata menunggu detik kematiannya, kali ini membuka kedua matanya itu dan menjadi heran melihat kemunculan empat gadis itu. Merekalah orangorangnya Dewi Siluman? Gadis-gadis cantik begini macam? Sungguh tak dapat dipercaya. Gadis gadis begitu jelita bisa membuat kejahatan main bunuh di mana-mana. Membunuh manusia manusia tak berdosa termasuk anak-anak dan orang-orang tua tak berdaya.
Sepuluh Jari Kematian lepaskan kepala Wiro Sableng yang barusan hendak dipuntirnya itu.
Sepasang Arit Hitam dan Si Telinga Arit Sakti batalkan bacokan arit mereka.
Dengan kertakkan rahang penuh geram Sepuluh Jari Kematian membentak.
“Gadis-gadis baju biru! Kalian siapakah yang berani lancang ikut campur urusan orang lain?!”
Nariti mendengus.
“Orang tua jelek! Jangan jual omong besar di hadapanku! Serahkan pemuda rambut gondrong itu dan kalian bertiga ikut kami!”
Sepuluh Jari Kematian tertawa dingin. “Gadis jelita, meski kau seorang bidadari dari kahyangan, jangan kira aku yang tua ini berbelas kasihan untuk tidak merusak kecantikanmu itu!”
“Jangan banyak bacot!” bentak Nariti.
Marahlah Sepuluh Jari Kematian. Tangan kanannya diangkat ke atas.
“Kau mau keluarkan Ilmu Jari Penghancur Sukma? Silahkan teruskan!” mengejek Nariti.
Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian melihat si gadis mengetahui ilmu kesaktian yang hendak dilepaskannya.
“Gadis, sebaiknya lekas beritahu siapa kalian. Kalau tidak kau berempat akan mampus percuma!”
Keempat gadis itu tertawa bergelak.
Nariti buka mulut. “Dasar orang tua pikun! Masih tak tahu siapa kami! Delapan penjuru angin dunia persilatan mulai beberapa waktu yang lalu adalah di bawah kekuasaan Dewi Siluman!”
“Oh, jadi kalian adalah orang-orangnya Dewi Siluman?” tanya Sepasang Arit Hitam.
“Sudah tahu kenapa berlagak pikun?!” sentak salah seorang kawan Nariti.
Sepuluh Jari Kematian batuk-batuk.
“Untung kalian lekas beritahu siapa kalian,” katanya. “Kalau tidak hampir saja aku salah turun tangan!”
Nariti sunggingkan senyum mengejek.
“Setelah tahu siapa kami apakah kalian bertiga tidak mau turut apa yang kami katakan…?”
Sepuluh Jari Kematian batuk-batuk lagi. “Sebetulnya kami masih belum jelas apakah yang kalian mau….” ujarnya.
Nariti menjawab. “Pemuda yang melingkar di tanah itu serahkan pada kami dan kalian bertiga ikut ke Istana Dewi Siluman!”
Sepuluh Jari Kematian hela nafas panjang. “Tak mungkin!” katanya.
“Bakul kentut! Apa yang tidak mungkin!” bentak Nariti.
Mendengar makian bakul kentut itu Wiro Sableng terkejut. Dia ingat akan pertempurannya dengan si nenek muka keriput sebelumnya. Si nenek telah memakinya dengan ucapan itu. Apakah si nenek bukannya gadis jelita ini, pikir Wiro. Sementara itu dia menunggu kesempatan yang sebaik baiknya untuk melakukan sesuatu yang dirasakannya paling baik.
“Tak mungkin!” mengulang Sepuluh Jari Kematian. “Pemuda bangsat ini punya hutang jiwa terhadapku! Dia telah membunuh muridku!”
“Di samping itu,” menimpali Si Telinga Arit Sakti. “Antara aku dan dia terdapat dendam kesumat yang belum terselesaikan!” .
“Perduli dengan hutang nyawa! Persetan dengan segala dendam kesumat! Apakah di Pulau Madura ini ada bangsa kwaci yang berani menantang perintah Dewi Siluman dari Istana Bukit Tunggul?!”
Marahlah Sepasang Arit Hitam karena dirinya dicap “bangsa kwaci” itu. Dia mendengus dan buka suara. “Kau terlalu pongah mengumbar mulut seenaknya, mencap aku dan dua kawanku manusia-manusia bangsa kwaci! Kau kira dunia persilatan ini kau dan Dewimu itukah yang menguasainya?! Apa kau yang masih pitit hijau ini masih belum pernah mendengar nama gelarku, Sepasang Arit Hitam? Belum pernah tahu gelar muridku, Si Telinga Arit Sakti?! Juga memandang rendah pada Sepuluh Jari Kematian yang merupakan tokoh ternama dirimba persilatan?!”
Nariti tertawa panjang.
“Gelar kalian memang hebat-hebat, menyeramkan! Tapi bagi kami orang-orangnya Dewi Siluman itu bukan apa-apa! Katakan saja apakah kau bertiga bersedia ikut atau mati di tempat ini sekarang juga?!”
Sepasang Arit Hitam renggangkan kedua kaki. Matanya yang cuma satu menyorot marah.
Namun dengan ilmu menyusupkan suara Sepuluh Jari Kematian segera memberi kisikan. “Jangan teruskan niatmu, Sepasang Arit Hitam. Gadis-gadis ini rata-rata berkepandaian tinggi. Meskipun kau sanggup kalahkan mereka tapi kita tak bakal bisa ke luar dari pulau ini dengan selamat!”
“Kalau kau mau dicap manusia kwaci mentah, biarlah! Jangan perduli aku!” bentak Sepasang Arit Hitam. Dia berpaling pada Nariti. “Apakah kau akan maju sendirian atau sekali berempat?!”
“Hem… jadi ini contoh manusianya yang minta cepat-cepat mampus?!” menyahuti Nariti.
“Tikus tua renta bermata picak mau jual tampang di sarang macan?!” Nariti dan ketiga kawannya tertawa gelak-gelak.
Sepasang Arit Hitam berkobar amarahnya. Dia maju dengan cepat. Tapi muridnya Si Telinga Arit Sakti mendahului.
“Guru, biar aku yang kasih pelajaran pada gadis ingusan bermulut besar ini!” kata Telinga Arit Sakti.
“Bereskan dia dalam tiga jurus!” perintah Sepasang Arit Hitam.
Si Telinga Arit Sakti keluarkan senjatanya yaitu sebilah arit. Semua orang yang ada di situ boleh dikatakan telah melupakan Wiro Sableng. Pada saat Si Telinga Arit Sakti menyerbu ke depan dengan satu sambaran dahsyat ke arah leher Nariti maka Pendekar 212 Wiro Sableng melompat dari tanah seraya berseru. “Kalian bertempurlah sampai mampus! Lain kesempatan kita bertemu lagi!”
“Kawan-kawan! Kejar pemuda itu!” teriak Nariti sambil mengelakkan serangan Telinga Arit Sakti. Tiga kawannya melompat ke muka, tapi Wiro Sableng sudah lenyap.
Kemarahan Nariti tertumpah bulat-bulat pada Telinga Arit Sakti dan Sepasang Arit Hitam.
Berserulah dia. “Kawan-kawan, tangkap hidup-hidup perempuan tua mata picak itu!”
Ketiga gadis yang tadi melompat mengejar Wiro berbalik dan kini mengurung Sepasang Arit Hitam.
“Bagus, kalian majulah sekali bertiga biar cepat kumusnahkan!” teriak Sepasang Arit Hitam.
Serentak dengan itu dia keluarkan sepasang arit hitam yang memancarkan warna menggidikkan.
Di lain pihak tiga orang anak buah Dewi Siluman keluarkan tiga buah jala berbentuk aneh.
Jala ini besarnya hanya segumpalan tangan, terbuat dari sutera halus berwarna biru. Ketiganya memencar mengurung Sepasang Arit Hitam.
Didahului dengan pekik yang dahsyat Sepasang Arit Hitam menyerbu dan bagaikan enam serangan arit kepada tiga orang lawannya. Warna hitam dari kedua senjatanya menderu mengerikan.
Memaklumi dua buah arit di tangan lawan adalah senjata-senjata mustika sakti, tiga orang anak buah Dewi Siluman tiada berani membuat jurus adu kekuatan. Mereka menyurut beberapa langkah ke belakang, begitu sepasang arit lewat maka ketiganya menyerbu ke muka. Secepat kilat tebarkan jala sutera biru.
Sepasang Arit Hitam sewaktu melihat tiga tebaran warna biru menyungkupi bagian atas tubuhnya dengan cepat merunduk dan sepasang senjatanya kini menderu ke arah lengan-lengan tiga orang anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul. Tapi serangannya yang kedua ini kembali mengenai tempat kosong karena dengan sebat tiga gadis baju biru tarik lengan serta jalanya untuk kemudian menyerang lagi dengan tebaran jala ke arah pinggang dan kaki Sepasang Arit Hitam.
Naiklah amarah Sepasang Arit Hitam. Tiga gadis anak buah Dewi Siluman itu ternyata tidak mudah baginya untuk merubuhkan. Dia melompat ke udara setinggi empat tombak dan babatkan arit di tangan kanan ke arah tiga buah jala sedang arit di tangan kiri disapukan dengan ganas pada kepala ketiga gadis yang mengeroyoknya.
Tiga gadis melengking keras. Tubuh mereka lenyap dan tahu-tahu Sepasang Arit Hitam merasakan bagaimana salah satu dari jala sutera lawan telah menjirat arit di tangan kanannya.
Betapapun dia coba untuk menariknya dengan sekuat tenaga namun tak berhasil. Dia terpaksa serahkan arit yang satu itu kepada lawan untuk menyelamatkan lengannya dari sambaran dua jala sutera lainnya.
Ketiga gadis tertawa mengejek.
Seorang di antara mereka berkata. “Inikah nenek-nenek sakti tokoh dunia persilatan terkenal yang bergelar Sepasang Arit Hitam itu? Huah! Nyatanya tak lebih dari bangsa kurcaci saja!”
Bola mata kiri Sepasang Arit Hitam kelihatan seperti berapi-api sedang mata kanannya yang berlobang besar tampak tambah cekung menggidikkan.
Perempuan tua ini pindahkan arit yang di tangan kirinya ke tangan kanan.
“Gadis-gadis keparat! Kenalkah kalian akan jurus lain?!”
Tiga orang anak buah Dewi Siluman sunggingkan senyum mengejek. Tapi karena ingin tahu mereka menunggu dan memperhatikan. Sepasang Arit Hitam berdiri dengan kaki merenggang.
Tangan kiri diangkat tinggi-tinggi agak ke belakang kepala sedang arit di tangan kanan diacungkan lurus-lurus ke muka. Kelihatannya acungan arit itu merupakan bulan-bulanan serangan yang empuk, namun jika seorang coba menyerang maka secepat kilat tangan kiri akan memukul ke muka, arit berkiblat dan kaki kiri menendang. Jika tiga serangan ini masih gagal maka dengan menjejakkan kaki kanan ke bumi, Sepasang Arit Hitam akan sanggup lancarkan serangan susulan yang lebih ganas dari yang pertama tadi.
Karena memang tidak mengenali jurus apa yang bakal dikeluarkan si nenek, namun melihat sikap dan tampang si nenek yang demikian menggidikkan, tiga gadis itu diam-diam memaklumi bahwa lawan mereka hendak mengeluarkan satu jurus serangan yang dahsyat. Karenanya ketiga gadis ini bersiap siaga. Bagi pihak mereka sendiri jika lawan mereka itu salah-salah langkah dalam lancarkan serangan akan segera pula menjadi mangsa mereka.
Sementara itu pertempuran antara Nariti dan Si Telinga Arit Sakti berjalan sangat seru.
Telinga Arit Sakti kirimkan jurus-jurus yang mematikan. Aritnya yang putih mengeluarkan sinar bergulung-gulung melanda ke arah Nariti. Namun Nariti sendiri bukanlah seorang lawan jenis murahan. Tubuhnya hampir lenyap dari pemandangan, cuma bayangan warna biru pakaiannya saja yang kelihatan berkelebat kian kemari.
Mendadak sontak terdengar pekik menggidikkan keluar dari mulut Nariti.
Belum habis pekik itu menyusul lengkingan Si Telinga Arit Sakti. Senjatanya kelihatan mental ke udara. Satu tangan menyambar senjata itu. Dan sekejap kemudian arit putih itu menderu laksana kilat ke arah batang leher pemiliknya sendiri.
“Tahan!” teriak Sepuluh Jari Kematian yang menyaksikan bagaimana Si Telinga Arit Sakti tiada sanggup mengelakkan serangan maut itu.
Tapi mana Nariti mau ambil perduli teriakan tokoh silat itu. Arit di tangannya terus menderu dan “Cras!” Putuslah leher Telinga Arit Sakti. Tubuh dan kepala terpisah. Darah menyembur mengerikan.
Sepasang Arit Hitam pelototkan mata kirinya besar-besar sewaktu di hadapannya menggelinding kepala muridnya sendiri. Dari tenggorokannya keluar suara mengaum macam harimau lapar dan sekejap kemudian tubuhnya pun berkelebat ke muka, lancarkan satu jurus
serangan yang sejak tadi disiapkannya yaitu jurus “Tiga Naga Mengamuk Di Atas Air Laut”.
Jurus ini memang bukan olah-olah dahsyat dan ganasnya. Arit di tangan kanan menderu berputar-putar macam kepala seekor naga. Tangan kiri memukul ke depan laksana kepala naga mematuk sedang kaki kiri menyapu laksana ekor naga mematil. Debu dan pasir jalanan beterbangan, daun-daun pohon bergetar dan banyak yang gugur karena untuk lancarkan jurus hebat itu Sepasang Arit Hitam kerahkan seluruh bagian tenaga dalamnya.
Tiga anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul tidak tinggal diam. Masing-masing mereka berteriak nyaring dan tangan kiri dipukulkan ke depan. Tiga larik sinar biru kelihatan dengan ganas memapas jurus “Tiga Naga Mengamuk Di Atas Air Laut” dari Sepasang Arit Sakti itu.
“Tobat! Tobat!” seru Sepuluh Jari Kematian seraya pukul-pukul keningnya sendiri. “Demi setan hentikan pertempuran ini! Kalau tidak kalian sama saja dengan bunuh diri!”
“Bakul kentut!” semprot Nariti. “Kau tak usah jual bacot! Jangan campuri urusan yang tak ada sangkut pautnya dengan dirimu!”
Rahang-rahang Sepuluh Jari Kematian kelihatan menonjol. Kedua tangannya mengepal.
“Gadis….” desisnya, “Kalau tidak memandang muka Dewimu, aku tak akan terima ucapanmu itu!”
Nariti tertawa dingin dan mengejek. “Kalau kau punya nyali, silahkan masuk ke dalam kalangan pertempuran!” kata gadis itu seraya goyangkan kepalanya ke arah pertempuran yang berlangsung.
Sepuluh Jari Kematian hendak buka mulut namun di saat itu terdengar pekikan salah seorang dari tiga gadis pengeroyok sepasang Arit Hitam. Tubuh gadis ini mental dan lengannya sebelah kanan patah di makan tendangan kaki kiri sepasang Arit Hitam. Meski dapat mencelakakan salah seorang pengeroyoknya namun nenek-nenek sakti ini tiada sanggup mengelitkan libatan jala sutera biru salah seorang lawan lainnya pada kaki kirinya yang tadi menendang. Dalam dia bergulat untuk membebaskan kaki kiri itu, jala kedua menderu melibat bagian tubuhnya mulai dari dada sampai ke kepala. Betapapun tokoh silat ini bergulat untuk membebaskan diri namun sia-sia belaka.
Jala yang terbuat dari sutera halus biru itu mempunyai kekuatan yang hebat sekali. Sepasang Arit Hitam menggerung, jatuhkan diri ke tanah dan berguling dalam masih berusaha membebaskan diri.
Gulingan tubuhnya terhenti sewaktu Nariti injakkan kaki kanannya di perut tokoh silat tua itu.
“Tak satu kekuatan pun yang sanggup melepaskan jiratan jala itu!” kata Nariti dengan nada bengis. Sekali kakinya menendang maka pingsanlah Sepasang Arit Hitam.
“Kau keterlaluan!” teriak Sepuluh Jari Kematian marah sekali.
Nariti tertawa dingin dan menjawab. “Terhadapmu aku bisa berlaku lebih keterlaluan lagi, kakek-kakek bakul kentut!”
“Tutup mulutmu setan alas!” damprat Sepuluh Jari Kematian.
Nariti mengekeh. Meski wajahnya jelita, tapi mimiknya waktu mengekeh itu menyeramkan sekali.
“Orang tua bakul kentut sialan! Kalau saja Dewi kami tidak memerintahkan membawamu hidup-hidup ke istananya niscaya tubuhmu sudah jadi bangkai saat ini!”
“Penghinaan dan kesombonganmu sudah lewat batas, gadis hijau! Di lain hari kelak kau akan rasakan akibatnya!”
Nariti tertawa gelak-gelak. Tubuh Sepasang Arit Hitam dipanggulnya di bahu kiri kemudian katanya pada Sepuluh Jari Kematian. “Ikuti kami! Sekali kau berbuat yang tidak kuinginkan, kau akan menyesal sampai ke liang kubur!”
Meski kemarahan tidak tertahan lagi oleh tokoh silat yang namanya telah menggetarkan dunia persilatan itu, namun mau tak mau, karena mengingat hubungan baiknya selama ini dengan Dewi Siluman dan kedatangannya ke Pulau Madura itu justru atas undangan Sang Dewi maka akhirnya Sepuluh Jari Kematian mengikuti juga keempat gadis itu dari belakang.

*

* *

5

Wiro Sableng si Pendekar 212 dari Gunung Gede duduk bersandar ke batang pohon yang dikelilingi oleh semak belukar. Rimba belantara dimana dia berada sunyi senyap, berudara lembab dan teduh dari teriknya sinar matahari. Rasa sakit pada tangan kanannya yang patah kini agak berkurang. Dengan susah payah dia telah mengobati sendiri tangan yang patah itu dan menopangnya dengan sebuah ranting kemudian dibubuhi dengan param yang dibuatnya dari akarakar pohon dan sejenis daun lalu dibungkusnya dengan sapu tangan. Cara mengobati seperti itu dipelajarinya dari gurunya Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede.

Dalam waktu tiga hari bisa diharapkan lengan yang patah itu akan sembuh dan tulangnya bertaut kembali.
Sambil duduk terperangah di bawah pohon besar dalam rimba belantara itu Wiro memandangi kaki kirinya yang hitam disambar pukulan Ilmu Jari Penghancur Sukma yang dilepaskan oleh Sepuluh Jari Kematian. Meski dia tahu bahwa racun pukulan tersebut tidak akan membahayakan dirinya karena tubuhnya kebal segala macam racun, namun yang mengherankan sang pendekar ialah karena sampai saat itu dia masih belum sanggup untuk melenyapkan warna hitam pada kulit kakinya itu. Dia telah menelan dua buah pil yang paling manjur khasiatnya juga berkali-kali telah mengerahkan tenaga ke telapak tangan kiri untuk mengusap kaki yang hitam itu, tapi hasilnya sia-sia belaka.
“Gila!” maki Wiro. Kalau warna hitam itu tak bisa dilenyapkan pasti dia akan cacat seumur hidup. Pendekar ini memaki lagi. Hatinya geram sekali terhadap Sepuluh Jari Kematian. Selama turun gunung, puluhan musuh telah dihadapinya, berbagai ilmu silat kelas tinggi dan kesaktiankesaktian luar biasa telah dijumpainya. Namun belum pernah dia menerima nasib sial seperti di hari itu. Kakinya hitam sedang lengannya patah. Disamping geram terhadap Sepuluh Jari Kematian, Pendekar 212 juga geram pada Si Telinga Arit Sakti. Perempuan tua itulah yang telah menendang lengan kanannya sehingga patah. Untuk kedua manusia itu Wiro Sableng bertekad akan membalaskan sakit hatinya. Wiro tidak tahu kalau sepergiannya tadi Si Telinga Arit Sakti telah tewas di tangan anak buah Dewi Siluman. Kemudian Wiro teringat pada empat orang gadis jelita berpakaian biru-biru itu. Betulkah mereka orang-orangnya Dewi Siluman? Orang-orangnya Dewi Siluman yang telah berbuat kejahatan dan kekejaman tiada tara, membunuh manusia-manusia tidak berdosa, memusnahkan kampung-kampung? Betulkah gadis-gadis cantik jelita itu yang melakukannya? Sungguh tak masuk di akal bahwa gadis-gadis semacam itu akan sanggup melakukan kejahatan tanpa perikemanusiaan demikian rupa. Hal ini membuat makin besarnya tekad Wiro Sableng untuk cepat-cepat mencari dan menemui Dewi Siluman itu. Jika anak-anak buahnya demikian kejam dan jahat, tentu Dewi Siluman sendiri jauh dan jauh lebih kejam. Tapi untuk mencari sarangnya Dewi Siluman dan membasmi kejahatannya Wiro musti menunggu sekurangkurangnya tiga hari yaitu sampai tangannya yang patah sembuh.
Dalam dia berpikir-pikir itu mendadak sontak dari atas pohon memancur air putih kekuningkuningan yang tidak enak baunya. Air itu jatuh tepat membasahi kepala Pendekar 212. Disaat itu pula di atas pohon terdengar suara tertawa cekikikkan yang menggetarkan seluruh rimba belantara.
Suara cekikikkan itu tiada ubahnya laksana ringkikkan kuda di malam buta ketika melihat setan di hadapannya!
“Bedebah!” maki Pendekar 212 seraya meloncat dan memandang ke atas pohon.
Sekelebatan dilihatnya satu bayangan putih!
Belum sempat Wiro memperhatikan siapa adanya bayangan putih itu, bahkan belum sempat dia meneliti paras makhluk itu, si bayangan putih lenyap laksana gaib. Wiro kemudian merasakan sekilas angin di mukanya. Pendekar ini pukulkan tangan kirinya ke depan. Tapi dia cuma memukul tempat kosong, sesudah itu dia tertegun sendirian dengan penuh rasa heran dan juga sedikit ngeri.
Tak dapat diyakininya siapa adanya sosok bayangan putih tadi. Apakah manusia atau setan atau dedemit penghuni rimba belantara itu. Gerakannya luar biasa cepat dan sebatnya. Begitu cepat hingga Wiro tak dapat meneliti siapa adanya bayangan putih itu. Dan cekikikkannya yang seperti kuda meringkik itu.
Kuncuran air yang tadi jatuh di atas kepalanya kini turun ke kening. Wiro menyeka kening yang basah itu dengan belakang telapak tangan. Dia memaki tiada henti. Diperhatikannya telapak tangan yang ditempeli air itu. Hidungnya menghirup bau yang tidak enak. Penasaran sekali Wiro dekatkan belakang telapak tangannya ke lobang hidung. Pendekar ini kernyitkan kening. Kemudian terdengarlah makiannya.
“Keparat sialan! Aku dikencingi!”
Wiro meludah ke tanah. Caci maki ke luar menyerapah dari mulutnya. Dengan beberapa helai daun disekanya kening dan telapak tandannya.
“Manusia apa dedemit! Perlihatkan dirimu’“ teriak Wiro. Rasa ngerinya tadi kini berubah menjadi kemarahan. Seumur hidupnya baru kali itu dia dikencingi manusia. Mungkin di dunia ini, cuma dia sendiri manusia yang dikencingi manusia. Tapi apa betul makhluk yang mengencinginya itu seorang manusia? Bukannya setan atau dedemit?
“Keparat yang mengencingiku! Perlihatkan dirimu!” teriak Wiro gemas.
Suaranya bergema dalam rimba belantara itu.
Tiba-tiba terdengar dari samping kanan suara tertawa mengikik macam tadi. Dengan serta merta Pendekar 212 memburu ke arah itu. Sekilas masih sempat dilihatnya satu sosok bayangan putih samar-samar karena bayangan itu bergerak luar biasa cepatnya. Tanpa pikir panjang Wiro Sableng gerakkan tangan kirinya lepaskan pukulan “Kunyuk Melempar Buah”.
Semak belukar berpelantingan, sebuah pohon patah dilanda pukulan itu. Tapi si bayangan putih sudah lenyap dari pemandangan.
“Sialan betul!” gerutu Wiro. Dia melompat ke arah lenyapnya bayangan itu lalu melesat ke sebuah pohon besar yang tinggi dari mana dia bisa melihat dengan jelas seantero rimba belantara.
Namun si bayangan putih tetap tiada kelihatan seakan-akan sirna ditelan bumi.
Dengan kertakkan geraham Wiro Sableng turun dari pohon itu. Mungkin sekali si bayangan putih tadi adalah Dewi Siluman. Tapi mengapa sang Dewi sengaja mempermainkan sedang dia telah mengutus empat orang anak buahnya untuk menangkapnya.
“Gila!” gerendeng Pendekar 212. Belum pernah dia berhadapan dengan peristiwa begini rupa. Kemudian bila hidungnya sudah tak sanggup lagi menghirup bau pesing kencing yang membasahi kepalanya pendekar ini segera tinggalkan tempat itu untuk mencari kali atau telaga guna mencuci kepalanya. Sewaktu dia melewati pohon besar tempat dia duduk tadi tanpa sengaja kedua matanya memperhatikan batang pohon itu. Bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu menyaksikan serentetan tulisan putih pada batang pohon besar itu.
“Ini lebih gila lagi!” kata Wiro. Dia melompat ke hadapan pohon dan meneliti apa yang tertulis di situ.

Perbuatan tangan manusia bukan suatu yang abadi.

Manusia berilmu berpikir pendek berotak dangkal.

Punya senjata dilupakan.

Bukan untuk menebang kayu atau menebas kaki.

Hanya tujuh warna pelangi yang abadi.

Wiro tak dapat memastikan dengan apa tulisan putih itu dibuat. Cuma dia yakin bahwa yang menulisnya pastilah si bayangan putih tadi. Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di hadapan pohon itu merenung dan memikirkan apa arti serta tujuan rentetan tulisan itu. Namun tiada sanggup otaknya memecahkan. Perbuatan tangan manusia bukan suatu yang abadi. Wiro tahu akan kebenaran tulisan tersebut. Lalu: Manusia berilmu berpikir pendek berotak dangkal. Siapakah manusia yang dimaksudkan dalam rentetan tulisan yang kedua ini? Apakah tulisan itu ditujukan kepadanya? Punya senjata dilupakan. Hati Pendekar 212 tercekat sedikit. Di balik pakaiannya tersembunyi Kapak Maut Naga Geni 212. Apakah senjata ini yang dimaksudkan oleh penggurat tulisan pada batang pohon itu? Senjata itu selalu ada di tubuhnya dan tak pernah dilupakannya.
Wiro membaca rentetan tulisan yang keempat: Bukan untuk menebang kayu atau menebas kaki.
Tentu saja adalah keterlaluan kalau Kapak Maut Naga Geni 212 dipakai untuk menebang kayu.
Tapi untuk menebas kaki lawan, sudah beberapa kali dilakukan Wiro dalam pertempuranpertempurannya.
Kaki siapakah yang dimaksudkan oleh tulisan itu?!
Wiro menepekur dan putar otak. Pandangannya membentur kaki kirinya. Tersentaklah pendekar ini. Mungkin kakiku yang hitam ini yang dimaksud, pikirnya. Lalu diperhatikannya rentetan tulisan yang terakhir. Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Hanya tujuh warna pelangi…
Wiro garuk-garuk kepalanya. Karena kepalanya yang basah oleh air kencing itu belum dibersihkan maka dengan sendirinya kembali tangannya menjadi basah dan bau karena menggaruk itu. Dan Wiro menyerapah lagi.
Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Wiro mengulang. Berarti selain warna pelangi, tak ada warna yang abadi. Sekali lagi Wiro memandang ke kaki kirinya berwarna hitam, dan warna hitam itu bukan warna pelangi, jadi tidak abadi. Berarti bisa sirna bisa dilenyapkan. Tapi bagaimana caranya?!
Untuk kesekian kalinya Wiro membaca lagi rentetan demi rentetan tulisan di kulit pohon.
Tiba-tiba dipukulnya keningnya sendiri.
“Memang aku yang geblek!” katanya. Lalu cepat-cepat dikeluarkannya Kapak Naga Geni 212. Ditimang-timangnya senjata itu beberapa lama. Dan Wiro menggerutu pula. Apa yang akan dilakukannya dengan senjata itu? Bukan untuk menebang kayu atau menebas kaki. Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Kini Wiro jadi bingung kembali. Buncah otaknya. Hampir sepeminum teh lamanya dia memutar otak memecahkan kalimat demi kalimat di batang pohon itu. Apa kini yang harus dilakukannya? Perlahan-lahan Wiro duduk kembali di bawah pohon itu. Kapak Naga Geni 212 diletakkannya di atas pangkuan paha kiri. Pada saat senjata itu menyentuh pahanya maka detik itu pula dirasakannya satu hawa dingin menjalar dari mata kapak ke dalam kakinya. Senjata mustika itu memberikan reaksi terhadap ketidakwajaran pada kaki sang pendekar.
“Tolol! Betul-betul aku tolol!” Wiro memaki dirinya sendiri. Diambilnya kapak itu kembali dan ditempelkannya pada kaki kiri yang berwana hitam. Hawa dingin semakin santer dan detik demi detik Wiro Sableng menyaksikan bagaimana kulit kakinya yang hitam kini berangsur-angsur kembali kewarna seperti biasanya.
Ketika keseluruhan warna hitam itu lenyap, Pendekar 212 berseru gembira dan melompat dari duduknya. Lupa dia pada kegeraman hatinya karena dikencingi tadi. Wiro memandang berkeliling dan berteriak. “Bayangan putih! Siapa pun kau adanya, aku haturkan terima kasih atas petunjukmu!”
Begitu suara Wiro lenyap maka terdengarlah suara cekikikkan macam ringkikkan kuda.
Suara itu dekat sekali di samping kanannya. Sang pendekar berpaling. Dia melompat dengan cepat sewaktu melihat kelebatan bayangan putih di balik semak belukar. Dia kecewa karena ketika sampai di rerumpunan semak-semak itu si bayangan sudah lenyap lagi.
Wiro geleng-gelengkan kepala. Betul-betul luar biasa gerakan makhluk itu. Ilmu apakah yang dimiliki si bayangan putih? Wiro tahu, seseorang yang memiliki ilmu mengentengi tubuh yang bagaimana pun tingginya seseorang yang memiliki ilmu lain yang bagaimana cepatnya, tak akan mungkin akan bisa berkelebat dan lenyap secepat itu. Cuma setan dan bangsa jin yang sanggup berbuat seperti itu.
Meski agak kecewa tak dapat mengejar si bayangan putih namun Wiro gembira juga karena warna hitam pada kaki kirinya telah lenyap. Dimasukkannya Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya kembali. Betul-betul dia telah berbuat tolol, berpikir pendek berotak dangkal, melupakan senjata itu. Padahal sewaktu di puncak Gunung Gede gurunya pernah menerangkan bahwa kapak sakti itu bukan saja bisa dipergunakan sebagai senjata hebat, tapi juga bisa mengobati dan menyedot segala macam racun jahat yang mengindap di tubuh manusia baik bagian luar maupun bagian dalam.
Wiro angsurkan kaki kirinya ke depan untuk memperhatikan kaki itu kembali. Disaat itulah matanya melihat lagi serentetan tulisan. Kali ini di tanah di hadapannya.
Kalau mau tahu tingginya langit dalamnya lautan.
Pada purnama empat belas hari
Datanglah ke Goa Belerang.

“Pastilah Si bayangan putih itu yang menulisnya,” kata Wiro dalam hati. Nyatnya dunia ini bukan saja penuh dengan kekejaman dan kejahatan, tapi juga penuh keanehan.

*

* *

6

Suara petikan kecapi terhenti sewaktu pintu kamar diketuk dari luar.

“Masuk!” kata Dewi Siluman. Kepalanya dipalingkan ke pintu yang terbuka. Nariti masuk.
Gadis ini menjura tiga kali di hadapan sang Dewi. Inani gadis pemetik kecapi berdiri dan meninggalkan kamar itu.
“Kau berhasil?” tanya Dewi Siluman begitu dia tinggalkan berdua dengan Nariti.
“Aku dan kawan-kawan mohon ampunmu, Dewi,” berkata Nariti.
“Hah?! Jadi kalian tak berhasil menangkap pemuda itu?” Dewi Siluman bangkit dari pelaminannya. Matanya membeliak besar dan memandang lekat-lekat pada Nariti.
“Sebenarnya kami akan berhasil Dewi. Tapi….”
“Tapi apa?!” sentak Dewi Siluman.
“Manusia-manusia itu mengacaukan tugas kami hingga si pemuda lolos!”
“Manusia-manusia siapa maksudmu?!” bertanya Dewi Siluman sambil sandarkan punggung ke bantal besar di belakangnya.
“Sepasang Arit Hitam dan muridnya Si Telinga Arit Sakti serta Sepuluh Jari Kematian,”
jawab Nariti. Lalu dia memberi penuturan atas apa yang telah terjadi. “Si Telinga Arit Sakti yang berani menantang kekuasaanmu, telah kami penggal batang lehernya! Sepasang Arit Hitam kami tawan hidup-hidup dan Sepuluh Jari Kematian ikut bersama kami. Mereka berdua kini berada di ruang merah.”
“Sepasang Arit Hitam pindahkan ke ruang gelap. Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang putih!”
“Baik Dewi,” Nariti hendak menjura siap untuk tinggalkan kamar itu.
“Tunggu dulu!”
Suara Dewi Siluman keras dan lantang menggetarkan hati Nariti. Dia membalik dengan kecut.
“Ternyata apa yang menjadi tugas utamamu tidak kau laksanakan dengan baik! Kau musti terima hukuman!”
Pucatlah paras Nariti.
“Tapi Dewi, aku sudah jelaskan semua pada kau. Tiga manusia itu mengacaukan tugasku dan kawan-kawan. Bahkan….”
“Aku tidak perduli!” potong Dewi Siluman. Dia bertepuk satu kali. Lima gadis berbaju biru masuk ke kamar itu melalui sebuah pintu rahasia. Kelimanya menjura.
“Siap menunggu perintahmu, Dewi.” kata gadis baju biru paling depan. Nariti memandang kepada mereka ini dan tahu bahwa mereka adalah anak-anak buah Dewi Siluman yang diberi jabatan sebagai petugas penghukum.
“Seret dia ke ruang hitam! Sekap satu hari satu malam!”
“Perintah segera dilaksanakan Dewi!” Lima gadis itu kemudian melangkah cepat ke hadapan Nariti. Menggigillah tubuh Nariti. Ruangan hitam adalah ruangan hukuman yang paling ditakuti oleh seluruh penghuni Istana Dewi Siluman. Ruangan ini khusus disediakan untuk mereka yang membuat kesalahan atau melalaikan tugas. Ruangan hitam merupakan sebuah ruangan sempit dan gelap luar biasa, tangan di depan mata pun tidak kelihatan. Seseorang yang dijebloskan di sana akan merasakan hawa panas ke luar dari empat dinding sempit di sekelilingnya sedang dari langitlangit dan lantai ruangan mendera hawa dingin luar biasa. Hawa panas membuat tubuh hangus melepuh sedang hawa dingin membuat kaki dan muka kaku tegang.
Nariti pernah menyaksikan keadaan seorang kawannya yang keluar dari ruang penyiksaan itu. Tubuhnya hitam legam, kakinya tak sanggup berdiri sedang parasnya rusak. Selama satu minggu dia diserang demam panas dingin, keadaannya antara hidup dan mati, mengigau siang malam tiada henti. Dua bulan kemudian baru penderitaan akibat hukuman itu lenyap dan parasnya berangsur-angsur baik kembali sedang kulit tubuhnya yang hitam berangsur-angsur mengelupas dan kembali kebentuk-nya semula. Betapa mengerikannya. Dan kini dia Nariti sendiri yang akan dijebloskan ke dalam ruangan hitam itu.
Beberapa pasang tangan memegang lengannya.
“Dewi….” suara Nariti seperti tercekik dan sendat.
“Seret dia lekas!” bentak Dewi Siluman.
Maka kelima petugas itu segera membawa Nariti. Meskipun rasa takut memuncak menyelubungi dirinya namun Nariti tak bisa berbuat apa-apa. Melawan berarti akan lebih celaka lagi. Di dalam hati Nariti berkobar kebencian dan dendam kesumat terhadap Wiro Sableng. Garagara Pendekar 212 itulah dia sampai mendapat hukuman.
Di dalam kamarnya Dewi Siluman memanggil Inani kembali. Kali ini tidak menyuruh gadis itu memainkan kecapi.
“Inani, kau bersama beberapa orang kawan segera pindahkan Sepasang Arit Hitam ke ruang gelap dan Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang putih.”
“Perintah segera kujalankan Dewi.” kata Inani. Gadis jelita ini menjura.
Sebelum Inani berlalu, Dewi Siluman memberi perintah lagi yaitu agar menyuruh Kemani menghadap.
Bila Kemani datang maka Dewi Siluman memberi keterangan singkat tentang pemuda yang dimaksudkan Nariti lalu memerintahkan agar Kemani bersama beberapa orang kawannya mencari si pemuda sampai dapat.
“Sebelum kau berhasil menangkap hidup-hidup pemuda itu dan membawanya ke hadapanku, jangan harap kau dan kawan-kawanmu diperbolehkan menginjak Istana ini kembali!”
Meski hati tergetar kecut namun Kemani mengangguk menjura.
Sementara itu di satu ruangan yang disebut ruangan putih….
Sepuluh Jari Kematian duduk di sebuah kursi di kepala meja. Dia memandang seputar ruangan yang keseluruhan lantai, langit-langit dan dinding serta isinya berwarna putih bersih. Lima orang gadis jelita telah membawanya ke dalam ruangan itu dan meninggalkannya seorang diri.
Kawannya yaitu Sepasang Arit Hitam entah dibawa ke mana oleh orang-orangnya Dewi Siluman.
Sambil terus memandang seantero ruangan, tokoh silat itu berpikir-pikir hal apa pula yang bakal ditemuinya di tempat itu? Meski kehadirannya di Pulau Madura adalah atas undangan Dewi Siluman, namun sesudah peristiwa pertempuran di jalan kecil tadi, bukan tidak mustahil dia akan menemui nasib buruk pula. Dicobanya mempertenang hati dan menunggu.
Telinga Sepuluh Jari Kematian yang terlatih dan tajam mendengar suara benda bergeser.
Tiba-tiba dinding di hadapannya membuka ke samping dan kelihatanlah tiga manusia berpakaian biru melangkah memasuki ruangan itu. Mereka bukan lain dari Dewi Siluman dan dua pengiringnya.
Langkah yang dibuat sang Dewi tetap berwibawa. Kepala mendongak ke atas dan air muka yang jelita itu membayangkan pula sifat kekerasan kalau tak mau dikatakan kekejaman.
Sepuluh Jari Kematian berdiri dari kursinya dan menjura dalam.
“Aku merasa bersyukur dapat memenuhi undanganmu, Dewi Siluman. Ini merupakan satu kehormatan besar darimu.”
Dewi Siluman naikkan hidung ke atas lalu menjawab. “Cuma sayang, sikap hormatku itu dibalas dengan perbuatan sembrono hingga seorang yang hendak kutangkap berhasil meloloskan diri!”
Muka Sepuluh Jari Kematian kelihatan merah. Dia berbatuk-batuk beberapa kali lalu berkata.
“Bukan maksudku untuk bertindak semborono. Anak-anak buahmu terlalu bersikap keras dan ikuti kemauan sendiri.”
Dewi Siluman tertawa.
“Adakah cara yang lebih baik dari kekerasan dan mengikuti kemauan sendiri bagi seseorang yang hendak menguasai dunia persilatan? Bagi seseorang yang hendak memegang kendali delapan penjuru angin?!”
Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian. Jadi betul rupanya dugaan-dugaan bahwa Dewi Siluman bermaksud hendak menguasai dunia persilatan dengan caranya sendiri yaitu menurut kehendak hatinya, berbuat kejam dan membunuh manusia-manusia tiada berdosa hingga namanya menjadi angker di kalangan rimba persilatan.
“Tentu saja kekerasan dan keteguhan hati sangat diperlukan Dewi!” berkata Sepuluh Jari Kematian. “Apalagi bagi seorang yang punya maksud hendak merajai dunia persilatan.”
“Bagus kalau kau berpendapat demikian. Sekarang terangkan mengapa kau dan kawan kawan tidak mau menyerahkan pemuda itu sebagaimana yang diperintah oleh anak-anak buahku?!”
Sepuluh Jari Kematian hela nafas dalam.
“Anak-anak buahmu keliwat kesusu, Dewi….”
“Hemm, begitu?! Lantas itu sebabnya kau bertindak ceroboh dan tidak memandang sebelah mata padaku?!”
“Tidak begitu. Dewi,” sahut Sepuluh Jari Kematian. “Pada saat itu aku dan kawan-kawan tengah menempur habis-habisan pemuda itu. Kami sama-sama punya dendam kesumat terhadapnya.
Dia membunuh muridku… “
“Aku sudah tahu semua!” potong Dewi Siluman. “Kau tak usah cari dalih! Sebenarnya aku punya rencana tertentu denganmu, tapi sesudah peristiwa itu terpaksa kubatalkan….”
“Harap Dewi tidak berpikir yang bukan-bukan terhadapku. Sampai saat ini aku masih merupakan sahabat baikmu seperti dimasa-masa lalu….”
“Justru karena mengingat hubungan baik masa lalu aku tak sampai menjatuhkan hukuman terhadapmu. Dalam waktu yang singkat kau akan meninggal.”
Seloki emas berisi tuak masih juga mengapung di hadapan Sepuluh Jari Kematian yang mukanya sudah menjadi merah karena jengah.
Tiba-tiba Dewi Siluman keluarkan tertawa mengekeh dan disaat itu pula seloki tuak bergerak perlahan ke muka Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat ini segera memegangnya. Ketika jari-jari tangannya menyentuh seloki itu, tuak di dalam seloki tumpah membasahi jari-jari tangan dan alas meja. Benar-benar ketinggian tenaga dalam sang Dewi tak sanggup dijajaki oleh Sepuluh Jari Kematian.
“Dalam waktu singkat pula kau harus angkat kaki dari Pulau Madura ini. Tapi sebelum pergi aku masih mau berbuat baik, menjamumu mencicipi tuak harum!”
Dewi Siluman berpaling pada gadis baju biru di samping kanannya. Gadis ini bertepuk dua kali. Dinding di belakang Dewi Siluman membuka. Seorang pelayan perempuan masuk membawa sebuah baki. Di atas baki ini terletak sebuah poci dan dua buah seloki besar yang juga terbuat dari emas. Tuak di dalam poci yang sangat harum segera dituang ke dalam kedua gelas itu. Selesai menjalankan pekerjaannya si pelayan segera berlalu.
Dewi Siluman memegang salah sebuah seloki emas itu dan mengacungkannya ke hadapan Sepuluh Jari Kematian yang duduk di kepala meja di seberangnya.
“Silahkan menikmatinya,” kata Dewi Siluman pula. Dan habis berkata begitu seloki emas itu dilepaskannya. Anehnya seloki itu tidak jatuh ke atas meja melainkan perlahan-lahan terbang ke arah Sepuluh Jari Kematian. Nyatalah bahwa sang Dewi memiliki tenaga dalam yang luar biasa hebatnya.
Sepuluh Jari Kematian tak berani menyambuti seloki berisi tuak itu secara biasa. Setelah kerahkan setengah bagian dari tenaga dalamnya ke lengan kanan sampai ke ujung-ujung jari, baru dia berani ulurkan tangan kanan untuk menyambuti seloki berisi tuak itu. Tapi sewaktu ujung-ujung jari Sepuluh Jari Kematian hampir menyentuh seloki tersebut, anehnya benda ini menjauh sehingga dia tak dapat memegangnya. Diam-diam Sepuluh Jari Kematian berjingkat sedikit dari kursi yang didudukinya. Sekali lagi dia hampir menyentuh seloki tuak itu, sang seloki menjauh kembali.
Nyatalah bahwa dengan kekuatan tenaga dalamnya Dewi Siluman telah “mempermainkan” benda itu.
Penuh penasaran Sepuluh Jari Kematian lipat gandakan tenaga dalamnya. Pertempuran tenaga dalam terjadi secara diam-diam. Dewi Siluman kelihatan duduk di kursinya dengan tenang dan sambil senyum-senyum. Sebaliknya Sepuluh Jari Kematian sudah keluarkan butir-butir keringat dingin di keningnya. Tenaga dalam tokoh silat utama ini yang sudah mencapai puncak tertinggi dan sempurna ternyata tak sanggup melayani kehebatan tenaga dalam yang luar biasa tingginya.
“Silahkan diminum tuak harum itu. Sepuluh Jari Kematian!” kata Dewi Siluman masih senyum dan sambil menangkau seloki tuak yang terletak di meja di hadapannya.
Sepuluh Jari Kematian menyeka dulu mukanya yang keringatan baru menempelkan tepi seloki ke bibirnya. Begitu seloki itu berada di bawah hidungnya, di antara keharuman bau tuak di dalam seloki dia mencium bau lain yang aneh. Hati tokoh silat ini bercuriga dan sepasang matanya memandang ke ujung meja dimana saat itu Dewi Siluman tengah mengangkat seloki tuak perlahanlahan ke bibirnya. Sepasang mata mereka berperang pandang.
Sepuluh Jari Kematian turunkan seloki yang dipegangnya.
“Ada apa, Sepuluh Jari Kematian?” tanya Dewi Siluman. Nada suaranya berubah lain.
“Dewi, aku tak dapat menerima kehormatanmu untuk minum bersama.Sebenarnya aku ada urusan lain yang sangat penting. Aku minta diri, harap dimaafkan.”
Tapi sebelum Sepuluh Jari Kematian berdiri, Dewi Siluman telah tegak lebih cepat. Kedua bola matanya membesar dan menyorot.
“Sepuluh Jari Kematian!” sentaknya. “Kau anggap aku ini siapakah?! Ini adalah satu penghinaan besar bagiku.”
“Tak ada maksudku untuk menghina demikian, Dewi….”
“Kenapa tuak itu tidak kau minum? Pasti kau mempunyai pikiran yang bukan-bukan terhadapku!”
Mulut Sepuluh Jari kematian terkunci rapat-rapat. Hatinya tergetar melihat pandangan yang mengerikan dari sang Dewi.
“Dewi Siluman, kuharap kau tidak melupakan hubungan baik kita sebagai dua sahabat sejak dulu,” berkata pada akhirnya tokoh kawakan itu.
“Justru karena mengingat hubungan baik kitalah aku mengundangmu ke sini! Dan kini kau menaruh prasangka yang bukan-bukan terhadapku. Menghinaku! Apa kau kira tuak harum itu beracun hingga kau tidak bernyali meminumnya? Jawab!”
Sepuluh Jari Kematian gelengkan kepala perlahan-lahan.
“Kalau tuak itu beracun, aku akan mati duluan!” ujar Dewi Siluman. Habis berkata begini, gadis jelita ini teguk tuak dalam seloki sampai habis. Seloki emas dibantingkannya ke atas meja.
Dia berteriak dengan suara keras marah. “Apakah kau lihat aku mati saat ini karena minum tuak itu?!”
Sepuluh Jari Kematian telan ludahnya. Perlahan-lahan seloki yang dipegangnya ditempelkannya ke bibirnya kembali. Tiga kati teguk saja lenyaplah semua tuak di dalam seloki ke dalam perutnya.
Dewi Siluman duduk kembali ke kursinya. Dia memandang dengan tersenyum aneh pada Sepuluh Jari Kematian.
“Apakah tuak itu beracun?”
Sepuluh Jari Kematian gelengkan kepala.
“Atau kau merasa ada kelainan di dirimu saat ini?”
Sepuluh Jari Kematian kembali gelengkan kepala meski saat itu sesungguhnya memang dia merasakan ada satu kelainan yang tak dimengertinya.
Dewi Siluman tertawa mengekeh. Suara tertawa mengekeh yang sesungguhnya tak pantas kalau keluar dari seorang gadis jelita macam dia. Dan suara kekehan ini bernada yang mencurigakan bagi Sepuluh Jari Kematian. Hatinya mulai dirayapi kepastian bahwa Dewi Siluman telah memasukkan racun jahat ke dalam minuman itu. Tapi yang mengherankannya Dewi Siluman sendiri juga telah minum tuak itu, malah lebih dulu dari dia.
Dewi Siluman berpaling pada pengiring di samping kanannya dan berkata. “Tambahkan tuak untuk tamu kita itu.”
“Terima kasih Dewi. Kurasa satu seloki sudah cukup,” jawab Sepuluh Jari Kematian. Saat itu semakin terasa adanya kelainan dalam tubuhnya.
“Sepuluh Jari Kematian,” berkata sang Dewi dengan nada mengandung ancaman.
“Pernahkah kau bercita-cita untuk merajai dunia persilatan?”
Sepuluh Jari Kematian memandang sebentar paras jelita di hadapannya. Setelah merenung beberapa ketika lamanya lalu anggukkan kepala dan menjawab. “Memang pernah Dewi. Tapi itu bukan satu hal yang mudah. Di dunia ini penuh dengan tokoh-tokoh silat sakti luar biasa. Kalau sekarang aku belum dapat merajai dunia persilatan, tapi delapan penjuru angin telah mengetahui siapa diriku. Dan itu merupakan hal lumayan.”
“Tepat sekali ucapanmu bahwa untuk merajai dunia persilatan bukan satu hal yang mudah.
Tapi jika tahu caranya pasti dalam waktu yang singkat cita-cita itu bisa dilaksanakan!”
Sepuluh Jari Kematian berpikir-pikir, kira-kira apakah tujuan Dewi Siluman mengajaknya bicara demikian. Dia juga memikirkan apa sebenarnya yang menjadi alasan gadis sakti itu tempo hari mengundangnya untuk datang ke Pulau Madura. Dalam dia berpikir-pikir itu Dewi Siluman berkata pula.
“Kau tentunya punya cara sendiri. Aku juga punya cara sendiri. Dan aku yakin caraku itu akan lebih berhasil dari padamu.”
Sang Dewi tertawa mengekeh.
“Ketahuilah Sepuluh Jari Kematian, mulai hari ini kau kuambil sebagai pembantuku dalam melaksanakan cita-cita untuk merajai dunia persilatan….”
Sepuluh Jari Kematian kernyitkan kening.
“Pembantu macam manakah maksudmu, Dewi?” tanya tokoh silat ini.
“Kau harus tunduk padaku dan turut perintah!”
Berubahlah paras Sepuluh Jari Kematian. Dia seorang tokoh silat terkenal dan ditakuti di ujung timur Pulau Jawa kini disuruh tunduk dan ikut perintah. Benar-benar satu penghinaan besar yang menusuk hati dan tiada memandang muka serta nama besarnya. Kalau saja bukan berhadapan dengan Dewi Siluman, pastilah saat itu tokoh silat ini sudah melabrak gadis itu.
“Mungkin ini satu hal yang tidak enak bagimu,” berkata lagi Dewi Siluman. “Tapi ini sudah menjadi takdirmu, Sepuluh Jari Kematian! Kau musti tetap di sini bersama orang-orangku dan menjalankan segala apa yang kuperintahkan! Kau dengar…?!”
Sepuluh Jari Kematian menggeram dalam hatinya.
“Terima kasih atas kepercayaanmu serta hormatmu padaku. Dewi Siluman. Namun kuharap kau bisa maklum. Manusia macamku ini tidak suka terikat, ingin hidup bebas dan malang melintang di delapan penjuru angin dunia persilatan. Kuharap kau tak usah gusar kalau aku terpaksa menolak permintaanmu itu. Apalagi aku orang buruk yang sudah tua renta ini. Tak ada guna dan untungnya mengambilku jadi pembantu….”
Dewi Siluman tertawa.
“Kau pandai sekali merendahkan diri,” katanya. “Namun rupanya tak ada jalan lain bagimu.
Kau harus tetap di sini, dan jadi pembantuku. Tenagamu sangat kuperlukan!”
“Mohon maaf Dewi. Aku tak bisa menerimanya….”
Bola-bola mata Dewi Siluman menyorot.
“Kuharap kau tahu di mana kau berada saat ini, Sepuluh Jari Kematian!”
Ucapan ini benar-benar menandakan ancaman bagi Sepuluh Jari Kematian. Dan dia mulai berpikir-pikir bahwa dalam waktu yang singkat akan terjadi perselisihan serta bentrokan antara dia dan Dewi Siluman. Melihat kenyataan tadi bahwa Dewi Siluman memiliki tenaga dalam yang luar biasa tingginya, Sepuluh Jari Kematian maklum bahwa bertempur dengan gadis itu sukar baginya untuk menang, apalagi dia saat itu berada pula di sarangnya sang Dewi, di mana terdapat belasan orang-orangnya Dewi Siluman yang berkepandaian tinggi yang kehebatan mereka telah disaksikannya sendiri tadi.
“Kalau kau suka Dewi, aku bersedia carikan tokoh silat lain untukmu….”
“Aku bisa mencarinya sendiri!” sahut Dewi Siluman pula. “Yang kuperlukan sekarang adalah kau!”
“Menyesal Dewi, aku….”
Kalimat Sepuluh Jari Kematian itu dipotong oleh ucapan keras Dewi Siluman seraya menggebrak meja.
“Jadi kau berani membangkang terhadapku?!”
Sepuluh Jari Kematian coba tertawa. Jawabnya. “Sampai saat ini aku masih tetap mengingat hubungan baik kita. Sebelum aku minta diri, aku ucapkan terima kasih atas jamuanmu ini. Di samping itu kuharap pula kau suka membebaskan kawanku Sepasang Arit Hitam yang telah ditawan oleh orang:-orangmu.”
Sepuluh Jari Kematian berdiri dari kursinya.
“Kau tetap berkeras kepala untuk menolak kemauanku?!
“Aku sama sekali tidak menolak, tapi belum bisa. Di lain hari mungkin baru aku bisa memenuhi keinginanmu….”
Berubahlah paras Dewi Siluman. Perlahan-lahan dia berdiri dari kursinya. Mukanya mengelam Senyumnya lebih tepat kalau dikatakan seringai bengis.
“Baik Sepuluh Jari Kematian, kau boleh pergi. Bahkan Sepasang Arit Hitam boleh kau bawa serta. Tapi….” Dewi Siluman tak meneruskan kata-katanya. Dia memandang tepat-tepat pada tokoh silat tua di hadapannya itu lalu pecahlah suara tertawanya di ruangan putih itu. Sepuluh Jari Kematian merasa tak enak. Kemudian cepat-cepat dia membalik dan menuju ke pintu. Sebelum pintu itu sempat dibukanya, di belakangnya didengarnya suara Dewi Siluman.
“Sebelum kau pergi masih ada satu hal yang rasanya perlu kuberitahukan, Sepuluh Jari Kematian!”
Sambil memegang daun pintu, Sepuluh Jari Kematian palingkan kepala.
“Nyawamu cuma tinggal cuma satu minggu saja Sepuluh Jari Kematian!” Dan Dewi Siluman tertawa lagi panjang-panjang seperti tadi.
“Apa maksudmu?!” tanya Sepuluh Jari Kematian dengan muka membesi.
“Apakah kau tuli kalau kukatakan bahwa nyawamu tinggal cuma satu minggu lagi?! Lewat satu minggu ususmu akan hancur, perutmu akan meloek dan seluruh isi perutmu akan berbusaian akibat racun yang telah kau teguk bersama tuak tadi!”
Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian.
“Tapi kau sendiri juga telah meminumnya” buka suara tokoh silat itu.
Dewi Siluman tertawa lagi. “Aku memang telah meminumnya. Tapi aku tak akan mampus macam kau! Dalam seloki itu, pelayanku telah memasukkan sejenis bubuk yang mematikan racun yang ada di dalam tuak!”
Maka marahlah Sepuluh Jari Kematian.
“Perempuan laknat!” teriaknya menggeledek. “Sebelum aku mampus, kau akan kubikin minggat ke neraka lebih dulu!”
Dewi Siluman tertawa mengumandang.
“Tua bangka tak tahu diri! Kau andalkan apakah berani melawan kekuasaan Dewi Siluman?!” bentak Dewi Siluman.
“Aku andalkan ini perempuan iblis!” sahut Sepuluh Jari Kematian. Dan serentak dengan itu lima jari-jari tangan kanannya dijentikkan ke muka.

*

* *

7

Begitu lima jari menjentik maka lima larik sinar hitam yang menggidikkan menderu dengan amat panasnya ke arah lima bagian tubuh Dewi Siluman.

Yang diserang keluarkan suara mendengus yang disusul dengan bentakan nyaring. “Tua bangka edan! Apakah tidak tahu tingginya gunung dalamnya lautan?!”
Tubuh Dewi Siluman kelihatan bergerak. Gerakan yang dibuatnya ini cepat luar biasa, benar-benar laksana siluman berkelebat. Detik itu pula tubuhnya lenyap dari hadapan Sepuluh Jari Kematian. Lima larik sinar hitam yang menyerangnya menderu menghantam dinding ruangan.
Ruangan itu bergoncang seperti dilanda lindu. Dinding yang putih di sebelah sana kelihatan hitam hangus dan mengeluarkan kepulan asap.
Dua orang pengiring Dewi Siluman yang ada di ruangan itu berseru nyaring dan berkelebat cepat.
“Dewi!” teriak salah seorang dari mereka. “Bangsat tua hina dina ini biar kami yang bereskan!”
“Kalian tetap di tempat!” perintah Dewi Siluman. Tubuhnya melesat laksana kilat dan tahutahu dua jari tangan kanannya menotok ke urat besar di pangkal leher sebelah kiri Sepuluh Jari Kematian. Demikian cepatnya totokan ini sehingga tokoh silat tua itu tak sempat menangkis atau pun menghindar selamatkan lehernya. Satu-satunya jalan ialah mengalirkan dengan cepat seluruh tenaga dalamnya ke bagian pangkal leher itu untuk menolak totokan. Namun karena tenaga dalam Sepuluh Jari Kematian berada jauh di bawah Dewi Siluman, maka ketika totokan itu mendarat di pangkal lehernya, dengan serta merta sekujur tubuhnya menjadi kaku tegang tak bisa lagi digerakkan. Tapi mulut Sepuluh Jari Kematian masih bisa bersuara. Maka memakilah tokoh silat kawakan ini.
“Gadis keparat! Lekas bebaskan totokan ini! Kalau tidak kau akan menyesal seumur hidup!”
Dewi Siluman tertawa mengekeh.
“Tikus tua! Sudah tak ada daya masih bisa besarkan mulut! Kau minta dilepaskan totokan?
Baik! Tapi rasakan dulu ini!”
Tangan kanan Dewi Siluman bergerak.
“Plaaak!”
Tamparan yang keras mendarat di pipi Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat itu meraung kesakitan. Dua buah giginya tanggal dan melompat dari mulutnya. Bibirnya pecah berdarah.
Pemandangannya gelap. Sesaat kemudian tubuhnya limbung dan tergelimpang ke lantai.
Dewi Siluman menyeringai. Dia berpaling pada kedua orang anak buahnya dan memerintah.
“Seret babi tua ini ke Ruang Penyiksaan!”
Dua gadis baju biru segera bergerak untuk laksanakan tugas sang Dewi. Namun belum lagi keduanya menyentuh tubuh Sepuluh Jari kematian tiba-tiba pintu Ruangan Putih terpentang lebar dan dua manusia aneh menerobos ke dalam.
Terkejutlah Dewi Siluman dan kedua anak buahnya.
Begitu sang Dewi kenali dua manusia aneh ini dia segera membentak. “Tiga Aneh Gila!
Bagaimana kalian bisa sampai ke sini?! Apakah sudah bosan hidup?!”
Kedua manusia itu saling pandang satu sama lain lalu tertawa gelak-gelak sambil melompat lompat seperti anak kecil.
“Manusia-manusia gila keblinger! Nama besarmu memang pernah kudengar! Setahuku kalian berjumlah tiga orang? Mana kambratmu yang satu lagi, biar aku sekaligus dengan lekas mengirim kalian menghadap penunggu neraka!”
Dua manusia aneh itu jingkrat-jingkratan lagi dan tertawa gelak-gelak hingga mata mereka menjadi berair. Yang satu tiba-tiba hentikan tertawanya dan menepuk bahu kawannya, lalu berkata.
“Baju Gombrong! Diamlah! Apa kau tidak dengar si jelita itu tanyakan kawan kita yang satu lagi?!”
“Ah… ah… ah!” kata manusia aneh yang dipanggilkan Baju Gombrong itu, “Biar aku panggilkan dia. Dewi Siluman, kau tunggulah sebentar, kambratku yang kau tanyakan itu ada membawa oleh-oleh untukmu!”
Habis berkata begitu Baju Gombrong keluarkan suara bersiul. Maka dari pintu yang terpentang lebar itu masuklah seorang aneh yang berpakaian cabik-cabik. Yang mengejutkan Dewi Siluman serta anak-anak buahnya ialah ketika menyaksikan bagaimana pada bahunya manusia ini membawa dua orang anak buahnya yang saat itu tidak bernyawa lagi karena leher mereka terkulai patah akibat dipelintir kepalanya.
Manusia aneh yang ketiga ini tertawa gelak-gelak sewaktu melihat Dewi Siluman.
“Dewi Siluman, rupanya kau begitu tak sabar tanyakan aku! Ini aku datang dan bawa oleh oleh buatmu!” Serentak dengan itu manusia ini gerakkan tubuhnya dengan perlahan dan tahu-tahu dua orang anak buah Dewi Siluman yang berada di bahunya berpelantingan ke kiri kanan, menghantam dinding dan mental kembali, jatuh tepat di hadapan Dewi Siluman.
Jelas terdengar suara geraham-geraham Dewi Siluman bergemelatukan karena amarah yang amat sangat.
“Dewi Cantik!” kata Baju Rombeng, “Menyesal sekali kami terpaksa lepaskan tangan jahat pada dua orang anak buahmu. Kami tengah keluyuran di kaki bukit sana, tahu-tahu mereka menyerang. Kawan-kawan, bukankah begitu ceritanya?!”
Ketiga manusia aneh itu kemudian tertawa gelak-gelak ramai sekali dan tak lupa mereka dalam tertawa itu melonjak-lonjak seperti tadi.
“Dua anak buahmu itu inginkan nyawa kami! Padahal mereka cukup pantas untuk jadi….” Si Baju Rombeng tak teruskan ucapannya karena saat itu kembali dia tertawa lagi.
“Dan sewaktu kami sampai di sini, nyatanya kejahatanmu tiada beda dengan kami….” Si Baju Rombeng memandang pada sosok tubuh Sepuluh Jari Kematian yang menggeletak pingsan, lalu geleng-gelengkan kepala. “Tamparan yang hebat,” katanya.
Dua orang anak buah Dewi Siluman yang ada di ruangan itu mula-mula terkesiap saksikan dua kawan mereka yang dilemparkan tanpa nyawa, tapi kini tak dapat lagi menahan kemarahan mereka dan melompat ke muka.
“Dewi! Izinkan kami merampas nyawa anjing-anjing buruk ini!”
“Tangkap mereka hidup-hidup! Sebelum mampus mereka musti disiksa dulu!” teriak Dewi Siluman.
Maka dua orang gadis baju biru itu segera menyerbu ke muka. Tiga manusia yang diserang anehnya melihat serangan ini malah tertawa gelak-gelak dan jingkrat-jingkratan. Dan lebih aneh lagi begitu mereka gerakkan tangan kiri mereka maka tegang kakulah kedua anak buah Dewi Siluman itu. Ternyata ketiganya telah lepaskan totokan jarak jauh yang lihai luar biasa. Dan ini membuat sang Dewi terkejut bukan main. Melihat kelihaian ketiga manusia ini Dewi Siluman tidak mau bertindak sembrono. Jika dua orang anak buahnya sanggup ditamatkan riwayat mereka dan dua orang lagi dibuat tak berdaya di muka hidungnya maka tiga manusia itu sudah tentu mengandalkan ilmu yang tinggi sekali.
Siapakah ketiga manusia itu?
Orang yang masuk pertama ke dalam Ruangan Putih itu ialah seorang yang bermata besar juling berbadan katai. Bajunya sangat besar hingga kegombrangan di badannya yang pendek kecil itu. Karena pakaiannya yang gombrong inilah maka di duia persilatan dia dikenal dengan julukan Baju Gombrong.
Yang kedua juga bertubuh kecil pendek. Kepalanya botak penuh kudis yang baunya busuk.
Pakaiannya penuh tambalan-tambalan. Karena itulah di dunia persilatan dia dikenal dengan gelar Baju Tambalan.
Manusia aneh ketiga yang masuk paling akhir dengan membawa mayat dua orang anak buah Dewi Siluman juga berbadan katai. Rambutnya yang hitam berkilat diikat kuncir ke atas. Karena seumur hidupnya dia selalu mengenakan pakaian robek-robek dan cabik tak karuan maka di rimba persilatan dia dikenal dengan julukan Baju Rombeng.
Sejak lima tahun yang lalu ketiga manusia ini telah bergabung dalam satu kelompok. Karena kesemua mereka mempunyai penyakit kurang ingatan alias gila maka kelompok mereka itu dinamakan Tiga Aneh Gila. Meski mereka gila namun hati mereka polos jujur dan suka berbuat baik di mana-mana. Ketiganya pernah melabrak beberapa tokoh-tokoh silat golongan hitam.
Dengan sendirinya dimusuhi oleh golongan hitam. Beberapa tokoh silat dan satu perguruan silat golongan hitam pernah coba membuat perhitungan dengan mereka. Namun Tiga Aneh Gila menyapu lawan-lawan mereka itu.
Satu bulan yang lewat dalam petualangan mereka ketiganya telah mendengar tentang keganasan Dewi Siluman di Pulau Madura. Sebagai tiga tokoh silat yang tak suka melihat kejahatan dan kekejaman maka Tiga Aneh Gila segera berangkat ke Pulau Madura. Dalam mencari-cari di mana letak sarangnya Dewi Siluman, dua orang anak buah Dewi Siluman memergoki mereka.
Tiga Aneh Gila mulanya menegur dengan baik-baik dan menanya di mana letak tempat Dewi Siluman pada kedua gadis itu. Anak-anak buah Dewi Siluman tentu saja merasa curiga. Tanpa banyak cerita keduanya segera menyerang Tiga Aneh Gila dengan jurus-jurus yang mematikan.
Ketiga manusia aneh itu jadi penasaran sekali. Setelah bertempur delapan jurus maka dua orang anak buah Dewi Siluman berhasil mereka tangkap hidup-hidup. Namun salah seorang dari mereka yaitu Baju Rombeng merasa kasihan dan atas perintahnya kedua gadis itu dilepaskan kembali. Tapi apa lacur, begitu dilepas segera dua orang anak buah Dewi Siluman ini menyerang lagi dengan lebih ganas. Maka Tiga Aneh Gila kali ini tak memberi hati lagi. Dalam empat jurus saja maka kedua orang anak buah Dewi Siluman terpaksa pasrahkan jiwa kepada mereka.
Dengan muka membesi menahan kegeraman. Dewi Siluman memandang ketiga manusia katai di depannya lalu buka mulut. Ucapannya setengah mendesis. “Dengan datang kemari dan pembunuhan atas kedua orang anak buahku, berarti kalian telah menentukan kematian sendiri Tiga Aneh Gila!”
Tiga Aneh Gila kembali tertawa gelak-gelak. Tidak lupa pula mereka berloncat-loncatan.
“Namun demikian,” melanjutkan Dewi Siluman. “Masih ada keampunan bagi kalian jika kalian bersedia menjadi pembantu-pembantuku dan ikut segala perintah!”
“Ah!” menyahuti Baju Gombrong.”Kedatangan kami ke sini justru untuk meminta kau menjadi pembantu kami bertiga!” Dan Baju Gombrong bersama dua kawannya kemudian tertawa kembali.
Dengan menekan kemarahannya Dewi Siluman bertanya. “Apa maksud kalian sebenarnya?!”
“Masakan kau tidak tahu,” jawab Baju Rombeng. “Kau cocok sekali untuk menjadi utusan kami ke neraka!”
“Dan sekalian tolong menyampaikan salam kami bertiga pada setan-setan neraka!”
menimpali Baju Tambalan. Tiga Aneh Gila lalu tertawa lagi.
Dewi Siluman menggerendeng. “Kalian bertiga memang pantas untuk jadi puntung neraka!”
Serentak dengan itu Dewi Siluman bersuit nyaring. Maka empat buah dinding membuka dan sepuluh gadis berbaju biru membanjiri Ruangan Putih itu.
“Tangkap tiga orang gila kesasar ini?” perintah Dewi Siluman.
Maka kesepuluh gadis baju biru itu segera keluarkan jala sutera mereka kemudian dengan serentak menyerbu Tiga Aneh Gila. Sepuluh jala mengembang mengurung mereka. Tiga Aneh Gila hentikan tertawa mereka dan ganti dengan suara berteriak-teriak tak karuan memekakkan telinga sedang tubuh mereka berlompatan kian kemari. Lompatan-lompatan ini kelihatannya juga tidak karuan, acak-acakan. Tapi anehnya gerakan mereka menimbulkan angin yang luar biasa dahsyatnya.
Demikian dahsyatnya sehingga tebaran jala sutera biru sepuluh anak buah Dewi Siluman laksana terbendung. Kesepuluh gadis itu amat terkejut. Selama ini tak pernah mereka mengeroyok sepuluh seorang atau beberapa orang lawan. Selama ini tak satu kehebatan pun yang dapat melepaskan diri dari jala-jala sutera mereka. Tapi sekali ini benar-benar mereka dibikin bingung oleh jurus-jurus aneh yang acak-acakan yang dikeluarkan tiga orang manusia katai itu. Lima jurus berlalu, sepuluh anak buah Dewi Siluman malah kini kena didesak Tiga Aneh Gila.
Melihat ini Dewi Siluman segera berseru.
“Bentuk Barisan Seratus Siluman Keluar Dari Sarangnya!”
Mendengar seruan sang Dewi, sepuluh gadis baju biru itu undurkan diri ke tepi kalangan.
Kemudian dengan tiba-tiba sekali kesepuluhnya menyerbu ke muka. Masing-masing keluarkan suara berteriak mengerikan. Jala sutera biru kini digulung dan dibuat sebagai senjata penggebuk.
Serangan mereka ini benar-benar tak ubahnya seperti seratus siluman ke luar dari sarangnya. Dalam waktu yang sangat singkat kesepuluh gadis baju biru sudah mengurung Tiga Aneh Gila dengan rapat dan dalam satu jurus di muka mereka mendesak ketiga manusia katai itu dengan hebat.
Tiga Aneh Gila yang melihat bahaya besar ini tidak tinggal diam. Mereka berkelebat cepat dan rubah permainan silat mereka. Dari mulut mereka tidak pula henti-hentinya terdengar suara teriakan yang sekali-sekali diselingi oleh tertawa haha-hihi sehingga Ruangan Putih itu menjadi hiruk pikuk dan laksana dilanda lindu.
Lima jurus berlalu. Seorang anak buah Dewi Siluman menjerit dan mental ke luar kalangan pertempuran, rubuh muntah darah. Kemudian menyusul lagi korban yang kedua. Marahlah Dewi Siluman melihat hal ini.
“Anak-anak, kalian semua mundurlah!” seru Dewi Siluman.
Maka delapan gadis baju biru segera turut perintah dan keluar dari kalangan pertempuran.
Tiga Aneh Gila tertawa gelak-gelak dan jingkrat-jingkratan.
“Kadal-kadal betina beginikah yang hendak merajai dunia persilatan?!” ejek Baju Gombrong yang bermata juling.
“Bagusnya biangnya saja yang maju!” menimpali Baju Tambalan seraya garuk-garuk kepalanya yang gatal penuh kudis busuk.
Dewi Siluman kertakkan geraham. Dia berpaling pada delapan muridnya yang masih hidup.
“Kurung yang rapat! Setan-setan buruk ini tidak boleh satu pun yang lepas!”
Tiga Aneh Gila tertawa berkakakkan.
“Siluman berteriak setan!” ujar Baju Rombeng. “Aku jadi ingat pada pencuri yang berteriak maling!”
“Cukup!” bentak Dewi Siluman menggeledek. Air mukanya yang jelita benar-benar menunjukkan kebengisan dan kekejaman yang mengerikan kini. “Kalian boleh keluarkan seluruh ilmu simpanan! Tapi dalam tiga jurus kalian akan kutangkap hidup-hidup!”
“Kecap!” teriak Baju Tambalan dan bersama dua kawannya dia tertawa kembali gelak-gelak.
Dewi Siluman loloskan kalung tengkorak kecil dari lehernya dan memegang benda itu di tangan kanan.
“Kalian lihat tengkorak ini?!”
“Kami masih belum buta!” jawab Baju Rombeng
“Tentu saja! Kalian memang belum buta! Tapi apa kalian tahu bahwa jika kalian sudah mampus, tengkorak-tengkorak kalian akan dimasukkan ke dalam dapur penggodok, dibikin kecil ciut macam begini untuk jadi kalung anak-anak buahku?!”
“Ah, hebat sekali!” seru Baju Gombrong. “Tapi apakah kau juga tahu kalau kau mampus daging tubuhmu akan kami suruh gerogoti oleh anak-anak buahmu sendiri agar kau dan mereka benar-benar jadi siluman?!”
Tiga Aneh Gila tertawa membahak.
Dewi Siluman tak dapat menahan diri lagi. Tangan kirinya menyelinap ke balik jubah untuk mengeluarkan sebuah jala biru yang terbuat dari sutera yang sangat halus laksana jaring laba-laba.
Sambil putar-putar kalung bermata tengkorak di tangan kanannya Dewi Siluman maju mendekati Tiga Aneh Gila. Tiga Aneh Gila sambil terus tertawa-tawa, secara acuh tak acuh melangkah berpencar dan diam-diam sudah mengurung sang Dewi dari tiga jurusan.

*

* *

8

Dewi Siluman perhatikan posisi ketiga lawannya sementara kalung tengkorak di tangannya menderu-deru berputar dan keluarkan angin yang mengibar-ngibarkan pakaian Tiga Aneh Gila.

Tiba-tiba dari mulut sang Dewi keluar suara seperti orang menangis.
“Eh… eh… eh!” ujar Baju Rombeng. “Siluman ini disamping teriak-teriak dan membentak rupanya pandai pula menangis!” Tiga Aneh Gila kemudian tertawa memingkal.
Namun kali ini tawa mereka terhenti dengan tiba-tiba.
Tengkorak yang berputar mendadak sontak menebarkan asap biru yang tebal sekali menutupi pemandangan Tiga Aneh Gila.
“Kawan-kawan cepat mundur!”teriak Baju Rombeng.
Dalam buta pemandangan itu ketiganya berlompatan ke belakang. Namun disaat itu pula jala sutera halus di tangan kiri Dewi Siluman menebar berputar laksana kitiran.
“Celaka!” seru Baju Tambalan. Dirasakannya sesuatu benda melibat pinggangnya kemudian sepasang lengan dan kakinya. Pastilah itu jala sutera Dewi Siluman. Dalam gelapnya kepulan asap biru Baju Tambalan coba lepaskan diri tapi tak berhasil sedang kemudian dia mendengar susul menyusul seruan kedua kawannya.
Dewi Siluman kini memutar kalung tengkoraknya pada arah yang berlawanan dari tadi.
Asap putih mendesis dari mulut tengkorak kecil itu dan dalam sekejap saja lenyaplah asap biru yang gelap. Ruangan Putih kembali berada dalam keadaan terang benderang. Dan saat itu kelihatanlah bagaimana Tiga Aneh Gila berdiri di tengah ruangan dengan sekujur badan terjirat jala biru, tak sanggup lepaskan diri.
Dewi Siluman tertawa mengekeh. Kalung tengkoraknya digantungkannya kembali ke leher.
“Nyatanya Tiga Aneh Gila hanya tokoh-tokoh silat picisan belaka!” ejek Dewi Siluman.
“Sekarang kalian akan tahu siapa Dewi Siluman! Anak-anak seret tiga puntung neraka ini dan Sepuluh Jari Kematian ke Ruang Penyiksaan! Sebelum mereka merasakan siksaan neraka ada baiknya lebih dulu harus dijebloskan ke dalam siksaan dunia!”
Maka Tiga Aneh Gila dan Sepuluh Jari Kematian segera diseret dari Ruangan Putih dimasukkan ke dalam Ruang Penyiksaan Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Kemani bersama tiga orang kawannya dalam mencari Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Mereka keluar dari terowongan di sebelah selatan Bukit Tunggul. Setengah harian menyelidik keempatnya masih belum berhasil mendapatkan jejak orang yang mereka cari.
“Sebaiknya kita memencar!” kata Kemani memberi usul pada ketiga kawannya. “Dengan memencar kita bisa bergerak lebih luas. Jika salah satu dari kita berhasil melihat manusia itu segera lepaskan tanda ke udara!”
Tiga gadis baju biru lainnya menyetujui.
“Jika sampai senja kita tak berhasil menemuinya, kita harus kembali ke tempat ini untuk berkumpul dan menentukan langkah selanjutnya.”
Maka keempat anak buah Dewi Siluman itu pun memencarlah. Hari pertama itu, sesenjasenja hari keempatnya tak berhasil menemui orang yang mereka cari. Keempatnya berkumpul di tempat yang telah ditentukan dan membuat kemah di situ. Paginya mereka meneruskan lagi pencaharian. Meskipun Madura cuma sebuah pulau namun penuh dengan rimba belantara serta bukit-bukit dan pegunungan-pegunungan liar yang jarang ditempuh manusia. Inilah yang menyukarkan bagi keempat anak buah Dewi Siluman itu untuk mencari Wiro Sableng. Dan pada hari yang kedua itu mereka masih belum berhasil. Keempatnya berkumpul di satu lamping gunung kapur. Kemana pun mereka memandang hanya warna putih yang mereka lihat. Menjelang senja seorang dari mereka melihat kelap-kelip nyala api di sebelah utara.
“Mungkin dia,” desis Kemani. Setelah berunding singkat, keempatnya segera tinggalkan lamping gunung kapur. Empat kali sepeminuman teh mereka sampai ke tempat nyala api itu.
Ternyata yang mereka lihat itu ialah nyala api unggun. Tak jauh dari api unggung ini terletak satu buntalan. Pastilah di tempat itu ada yang berkemah. Tapi tak satu orang pun yang kelihatan. Kemani dan kawan-kawan menunggu sampai dua kali sepeminuman teh. Tetap tak ada satu orang pun yang muncul. Keempatnya berunding lagi lalu dengan penuh waspada melangkah untuk mendekat dan memeriksa isi buntalan di dekat api unggun.
Baru saja keempatnya bergerak sejauh tiga langkah entah dari mana datangnya berkelebatlah satu bayangan putih. Demikian cepatnya sehingga keempat anak buah Dewi Siluman tak dapat memastikan bayangan apakah itu. Dan tahu-tahu mereka merasakan satu totokan pada pangkal leher mereka yang membuat diri mereka kaku tegang tak bisa bergerak, tak bisa buka suara.
Sekali lagi bayangan putih itu berkelebat dan sesaput angin aneh menyambar mata mereka.
Keempatnya mendadak sontak merasa berat kelopak mata masing-masing. Kantuk aneh tak tertahankan lagi sehingga dalam keadaan tubuh tertotok itu keempatnya kemudian pejamkan mata tertidur nyenyak.
Suara tertawa aneh menyeramkan macam ringkikkan kuda, menggeletar di seantero tempat.
Satu bayangan putih berkelebat lagi dan sekaligus memboyong keempat gadis berbaju biru itu.

*

* *

Dewi Siluman berdiri di belakang jendela di anjungan ketiga. Dipandangnya kolam dan taman bagus di bawah sana. Tapi pikirannya tidak tertuju pada apa yang dilihatnya melainkan pada empat orang anak buahnya yang telah dikirimnya untuk mencari dan menangkap pemuda yang tak berhasil ditawan oleh Nariti dan kawan-kawannya, sampai-sampai Nariti sendiri dihukum dan disiksa di Ruang Hitam. Dan kini sudah memasuki hari yang kelima, empat orang anak buahnya itu masih belum muncul. Mungkin keempatnya belum berhasil mencari si pemuda. Tapi mungkin juga keempatnya telah menjadi korban. Mengingat ini Dewi Siluman menjadi sedikit khawatir. Tiba-tiba pintu di belakangnya diketuk.
“Masuk!” ujar Dewi Siluman.
Pintu terbuka. Seorang gadis berkulit putih yang rambutnya disanggul ke atas menjura tiga kali di hadapan Sang Dewi.
“Ada keperluan apa kau menghadap, Sarinten?”
Gadis yang bernama Sarinten menjawab. “Ketika aku meronda tak berapa jauh dari daerah kapur, aku menemui tusuk kundai ini, Dewi.” Sarinten mengacungkan tangan kirinya yang menggenggam sebuah tusuk kundai dari perak. Lalu katanya meneruskan. “Benda ini kutemukan di satu tempat di mana ada bekas-bekas perapian. Dan Dewi, aku yakin betul ini adalah kusuk kundainya Kemani….”
Sepasang mata Dewi Siluman kelihatan mengecil.
“Aku khawatir Kemani dan kawan-kawan menemui hal-hal yang tak kita ingini,” ujar Sarinten lagi.
“Apakah ada tanda-tanda bekas perkelahian?” tanya Dewi Siluman.
“Tak bisa kupastikan Dewi.”
Dewi Siluman merenung sejenak. Kemudian.
“Baik Sarinten, kau boleh tinggalkan kamar ini. Aku akan memikirkan apa yang bakal dilakukan!”
Sarinten menjura tiga kali lalu meninggalkan anjungan itu. Dewi Siluman kembali putar badan dan memandang ke luar jendela. Ketika melihat tusuk kundai yang diacungkan oleh Sarinten tadi, sebenarnya Dewi Siluman merasa pasti bahwa telah terjadi apa-apa dengan Kemani dan kawan-kawannya. Dan kalau memang pemuda yang tengah dicari-cari itu yang punya pekerjaan, yakinlah Dewi Siluman bahwa si pemuda sungguh-sungguh berilmu tinggi. Nariti adalah anak buahnya yang berilmu tinggi sedang Kemani dua tingkat lebih tinggi dari Nariti dan tetap tugas yang mereka laksanakan tidak membawa hasil bahkan semakin menimbulkan kekhawatiran. Yang membuat Dewi Siluman tambah penasaran ialah karena sampai sebegitu jauh dia masih belum tahu siapa adanya pemuda itu. Siapa namanya, siapa juluk atau gelarannya. Tiba-tiba dia ingat pada Sepuluh Jari Kernatian yang telah dijebloskan ke dalam Ruang Penyiksaan. Mungkin dia tahu siapa pemuda itu.
Dewi Siluman tepukkan tangannya dua kali.
Pintu terbuka, seorang gadis baju biru masuk. Selagi gadis ini menjura maka sang Dewi sudah buka mulutnya.
“Apakah Sepuluh Jari Kematian masih hidup?!”
“Akan aku periksa Dewi. Kemarin dia masih bernafas satu-satu….”
“Jika dia masih hidup, lekas bawa ke Ruangan Putih. Aku menunggu di sana!”
“Baik Dewi,” dan gadis ini menjura lagi lalu keluar dengan cepat. Dia adalah anak buah Dewi Siluman yang bertugas di Ruang Penyiksaan.
Begitu gadis itu berlalu, Dewi Siluman segera tinggalkan kamar di anjungan ketiga itu.
Tak lama menunggu maka sebuah kerangkeng dari besi yang beroda didorong memasuki Ruangan Putih. Di dalamnya menggeletak Sepuluh Jari Kematian. Keadaannya seperti sudah mati dan mengerikan sekali. Dia tak mengenakan jubah hitam lagi tapi hanya bercawat kecil. Sekujur badannya penuh bengkak-bengkak hijau merah yang mengandung nanah. Di antara bengkakbengkak itu banyak yang telah pecah mengeluarkan nanah campur darah yang baunya busuk laksana merurutkan bulu hidung. Rambutnya yang panjang acak-acakan. Mukanya hampir tak bisa lagi dikenali karena penuh dengan bengkak-bengkak menggembung berselomotan nanah dan darah.
Kedua matanya kini hanya merupakan rongga-rongga besar yang menggidikkan. Penyiksaan yang dialami tokoh silat ini benar-benar luar biasa. Di dalam Ruang Penyiksaan dia mula-mula digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Satu hari berlalu maka dia dibawa ke Ruangan Putih dan dihadapkan pada Dewi Siluman. Tapi sewaktu Sepuluh Jari Kematian tetap tidak mau tunduk pada kemauan sang Dewi untuk masuk menjadi pengikutnya maka dia dijebloskan kembali ke Ruang Penyiksaan, digantung lagi kaki ke atas ke bawah. Dua hari kemudian darah mulai menggusur dari mata, telinga serta hidung dan.mulutnya sedang kepalanya saat demi saat makin gembung seperti balon.
Hari berikutnya Dewi Siluman membebaskannya dan ditanyai apakah bersedia merubah pikirannya dan masuk ke pihak Dewi Siluman. Tapi jawabannya Sepuluh Jari Kematian adalah caci maki bahkan tokoh silat itu telah meludahi muka Dewi Siluman. Kemarahan Dewi Siluman tiada terkirakan. Sepuluh Jari Kematian dijebloskan kembali ke Ruang Penyiksaan dan dimasukkan ke sebuah ruangan kaca tertutup. Ke dalam ruangan kaca ini dimasukkan puluhan binatang-binatang berbisa. Sepuluh Jari Kematian tak bisa berbuat apa-apa. Tangan dan kakinya diikat dengan benang sutera halus yang aneh dan kuat luar biasa sedang kekuatannya lumpuh karena ditotok. Dalam tempo satu hari saja maka habislah bengkak-bengkak sekujur tubuhnya disengat oleh puluhan binatang berbisa. Kedua belah matanya membusuk dan digerogoti sehingga hanya tinggal merupakan dua buah lobang yang mengerikan. Kalau saja Sepuluh Jari Kematian tidak memiliki kekuatan yang luar biasa, pastilah nyawanya sudah lepas karena siksaan yang sangat hebat itu.
Namun sampai saat itu, meskipun tak ada harapan untuk hidup, Sepuluh Jari Kematian masih bisa bernafas, sekalipun nafas itu tak lebih dari nafas-nafas terakhir yang akan mengantarkannya kepada titik kematian.
Dewi Siluman tutup indra penciumannya sewaktu bau busuk keluar dari tubuh Sepuluh Jari Kematian merambas hidungnya. Diperhatikannya tubuh tokoh silat itu seketika. Ternyata masih bernafas.
“Sepuluh Jari Kematian!” seru Dewi Siluman.
Tubuh yang menggeletak di dalam kerangkeng besi itu tiada bergerak.
“Sepuluh Jari Kematian!” seru Dewi Siluman lebih keras. Tetap tak ada reaksi apa-apa.
Dewi Siluman berpaling kepada Sarinten yang tadi mendorong kerangkeng beroda itu.
“Semprot dia dengan air biru!”
Sarinten tinggalkan Ruangan Putih. Ketika dia masuk kembali maka di tangan kanannya ada sebuah tabung kaca berbentuk kendi yang berisi sejenis cairan berwarna biru. Sarinten mendekati kerangkeng besi. Bagian atas dari tabung kaca itu ditekannya dengan ujung jari telunjuk. Terdengar suara mendesis. Dari sebuah lubang pada badan tabung menyemprotlah air biru ke sekujur tubuh Sepuluh Jari Kematian yang menggeletak di dalam kerangkeng. Bau busuk dengan serta merta lenyap. Lewat sepeminum teh, terjadilah hal yang aneh. Dari mulut Sepuluh Jari Kematian terdengar suara erangan. Kemudian tubuhnya kelihatan bergerak perlahan. Semprotan air biru tadi nyatanya bukan saja telah melepaskan Sepuluh Jari Kematian dari totokan sejak beberapa hari yang lalu, tapi sekaligus juga memberikan satu kekuatan aneh kepadanya. Namun karena sekujur tubuhnya menderita luar biasa maka tetap saja dari mulutnya keluar suara erangan kesakitan.
“Sepuluh Jari Kematian!” seru Dewi Siluman.
Erangan tokoh silat itu terhenti seketika, kepalanya bergerak. Agaknya dia tengah meneliti suara siapa yang memanggilnya.
“Sepuluh Jari Kematian, kau dengar aku bicara?!”
“Uh… uuuuu… uuh…. gadis iblis. Baiknya kau bunuh saja aku saat ini!” Rupanya Sepuluh Jari Kematian sudah mengetahui siapa yang bicara dengan dia.
“Dengar, nyawamu akan kuselamatkan jika….”
“Iblis laknat, kau bunuh aku cepat! Biar aku jadi setan dan mencekikmu…!”
Dewi Siluman tahan amarahnya yang mulai meluap.
“Kau tak akan mati Sepuluh Jari Kematian. Aku datang justru untuk selamatkan jiwamu….”
Sepuluh Jari Kematian mendengus. Dia coba untuk bangun dan duduk, tapi tak berhasil.
“Apakah kau juga bisa kembalikan dua mataku yang kini buta ini, gadis siluman laknat?!” sentak Sepuluh Jari Kematian.
“Jika kau tak mau dengar ucapanku terpaksa kau kukirim kembali ke Ruang Penyiksaan!”
“Aku tidak takut! Aku ingin lekas mampus biar cepat jadi setan dan memuntir batang lehermu!” tukas Sepuluh Jari Kematian.
Penasaran sekali Dewi Siluman memerintah pada Sarinten. “Ambil besi menyala!”
Sarinten tinggalkan Ruangan Putih dan kembali lagi dengan sepotong besi besar yang ujungnya merah menyala karena dibakar dengan api. Dewi Siluman mengambil besi itu, ujungnya kemudian didekatkan ke muka Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat golongan hitam ini tampak menyeringai kesakitan akibat panasnya besi yang terbakar itu.
“Sepuluh Jari Kematian, jangan jadi orang tolol! Bagaimanapun keadaanmu sekarang, kau tetap akan bisa selamat dan hidup terus. Lekas katakan siapa adanya pemuda yang tempo hari melarikan diri sewaktu anak-anak buahku mendatangi kau! Siapa namanya, gelar dan asal dari mana! Cepat!”
Sepuluh Jari Kematian kelihatan tercenung. Tiba-tiba dari mulutnya mengumandang rendah suara tertawa mengekeh. “Kalau aku sudah mampus dan jadi setan, baru aku kasih tahu padamu!”
jawab laki-laki itu.
Ujung besi yang merah terbakar didekatkan kembali ke muka Sepuluh Jari Kematian.
Kembali manusia ini kernyitkan muka karena hawa yang panas.
“Lekas terangkan!” sentak Dewi Siluman. Dia sudah tidak sabar sekali.
Sepuluh Jari Kematian hentikan kekehannya. “Gadis iblis, yang perlu kukatakan pada kau… ialah… kau bakal tak sanggup menghadapi pemuda itu! Ilmu silatnya lebih tinggi… dan… dan kesaktiannya lebih hebat dari kau! Kau akan mampus di tangannya…. Kau… akan….”
Ucapan Sepuluh Jari Kematian cuma sampai di situ. Dari mulutnya kini keluar lolongan yang mengerikan karena saat itu Dewi Siluman menusukkan ujung besi yang merah menyala ke pipi kanannya. Bukan saja pipi itu terpanggang hangus tapi juga menjadi bolong besar.
“Masukkan manusia tak berguna ini ke Ruang Penyiksaan kembali!” perintah Dewi Siluman.
Maka Sarinten kemudian mendorong kerangkeng besi setelah menerima besi merah menyala dari tangan sang Dewi.

*

* *

9

Tinggal sendirian di kamar pada anjungan ke tiga itu Dewi Siluman kembali memikirkan tentang keempat orang anak buahnya. Mungkin sekali mereka telah menjadi korban si pemuda sakti yang sampai saat itu tiada diketahuinya siapa adanya. Keesokan harinya tiada kabar tentang Kemani maka Dewi Siluman segera memanggil anak buahnya yang bernama Laruni. Laruni adalah anak buah Dewi Siluman yang paling tinggi ilmunya. Tiga perempat bagian ilmu silat Dewi Siluman sudah dikuasainya dengan sempurna.

Waktu Laruni datang menghadap, Dewi Siluman menunggunya bersama Sarinten, Inani dan seorang gadis lainnya bernama Wakania.
Dewi Siluman tidak membuang-buang waktu, segera dia berkata. “Laruni, aku percayakan satu tugas kepadamu yang harus kau laksanakan dengan baik. Kau tentu sudah tahu bahwa empat kawanmu di bawah pimpinan Kemani telah kuperintahkan untuk mencari seorang pemuda berkepandaian tinggi. Pemuda itu kini malang-melintang di pulau kita dan merupakan bahaya besar bagi kita serta setiap rencana kita. Keempat kawanmu itu tidak kembali sampai hari ini. Aku khawatir bahwa mereka menemui hal-hal yang tak diingini. Kuharap kau bisa menyelidiki apa yang telah terjadi dengan mereka dan paling penting ialah mencari serta menangkap hidup-hidup pemuda itu, membawanya kemari.”
“Tugasmu siap kulaksanakan Dewi.” kata Laruni menyahuti. “Apakah aku akan pergi seorang diri?!”
“Seorang diri aku percaya kau akan mampu melaksanakan tugasmu,” jawab Dewi Siluman.
“Namun kurasa akan lebih baik jika kawan-kawanmu yang tiga orang ini ikut bersamamu.” Dewi Siluman kemudian palingkan kepala pada Inani. Setelah menatap gadis jelita berkulit kuning langsat itu sejurus maka berkatalah dia.
“Inani, kau pergi bersama Laruni dan bawa kecapimu.”
Bukan saja Inani, tapi Sarinten, Laruni dan Wakania menjadi heran mendengar ucapan sang Dewi. Adakah seorang yang hendak ditugaskan mencari musuh lawan hebat disuruh membawa kecapi? Sungguh tak dapat dimengerti mengapa sang Dewi menyuruh demikian.
“Kalian mungkin heran,” ujar Dewi Siluman sambil pandangi paras keempat anak buahnya.
“Tapi justru suara petikan kecapi di rimba belantara yang sunyi atau di lamping gunung atau di tepi jurang yang curam, akan menarik perhatian setiap telinga manusia yang kebetulan mendengarnya!
Dengan kerahkan tenaga dalammu maka suara kecapi itu akan menggema jauh. Ini akan mengundang datangnya pemuda yang tengah kalian cari. Dan kalian akan mudah menangkapnya!”
Diam-diam keempat orang gadis itu memuji kecerdasan Dewi mereka. Setelah mengatur persiapan untuk perjalanan maka berangkatlah Laruni dan kawan-kawannya. Di kaki sebuah bukit, mereka mengatur rencana dan berpencaran. Laruni ke utara, Sarinten ke selatan, Wakania ke timur dan Inani ke barat.
Wiro Sableng, si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 berdiri di muka gua batu, memandang ke arah pedataran liar di bawahnya. Sinar matahari yang baru naik di ufuk timur membuat pemandangan lebih bagus dan indah. Anak sungai yang membujur di sebelah tenggara kelihatan berkilau-kilau disaputi sinar matahari itu. Batu-batu cadas hitam bergemerlap. Wiro menarik nafas dalam, menghirup udara pagi yang segar. Diperhatikannya lengan kanannya. Dia gembira sekali karena lengan yang tempo hari patah itu kini sudah sembuh. Berarti hari itu adalah hari dimana dia kembali memulai menyelidiki di mana letaknya sarang Dewi Siluman. Sebenarnya pendekar ini ingin lebih dahulu mencari Goa Belerang, yaitu goa yang diterangkan secara misterius dalam tulisan manusia aneh yang telah mengencingi kepalanya dulu itu. Namun karena waktu yang disebutkan dalam tulisan itu ialah bulan purnama empat belas hari maka dia musti menunggu, kirakira empat lima hari di muka. Wiro tak suka menunggu, untuk menghabiskan waktunya dia memutuskan mulai menyelidiki tentang Dewi Siluman.
Demikianlah, setelah menikmati pemandangan indah serta puas menghirup udara pagi yang segar maka Pendekar 212 ini segera tinggalkan gua. Suara siulannya menggema dikeheningan pagi membawakan lagu tak menentu, membuat takut binatang-binatang kecil membuat burung-burung terkejut dan menghentikan kicau lalu terbang ketakutan.
Di antara suara siulannya yang tak menentu itu mendadak lapat-lapat Wiro Sableng menangkap suara sesuatu di kejauhan. Pendekar ini hentikan langkah serta siulannya. Suara di kejauhan itu adalah suara bunyi-bunyian. Tak dapat dipastikan suara bunyi-bunyian apa.
Dipertajamnya telinganya, tapi karena suara bunyi-bunyian itu jauh sekali tetap saja sukar dikenalinya. Penuh rasa ingin tahu maka Wiro Sableng kemudian langkahkan kakinya ke arah datangnya suara tersebut. Lewat sepeminum teh suara bunyi-bunyian itu tambah jelas tapi agaknya masih jauh. Maka dari melangkah biasa, Wiro Sableng mulai berlari dengan cepat. Lewat lagi sepeminum teh, suara bunyi-bunyian itu tambah jelas tapi sumbernya masih jauh. Rasa aneh menjalari diri Pendekar 212. Jangan-jangan pendengarannya telah menipu diri sendiri. Atau mungkin suara bunyi-bunyian itu adalah suara setan atau bangsa dedemit penghuni rimba belantara?!
Kalau tidak mengapa setelah demikian lamanya sumber suara tersebut masih belum berhasil dicapainya?!
Ketika lewat lagi satu kali peminum teh maka barulah Wiro Sableng mengenali suara bunyibunyian itu. Suara petikan kecapi. Dia tak tahu lagu apa yang dibawakan, tapi suaranya demikian merdu dan menyayat hati. Mungkin itu lagu seorang gadis yang ditinggal kekasih, pikir sang Pendekar 212! Mendekati sumber bebunyian itu Wiro bertindak hati-hati. Rasa aneh yang menggerayangi tubuhnya menjadi satu peringatan baginya. Jarak antara dia pertama kali mendengar suara itu tadi jauh sekali, berkilo-kilo meter. Suara kecapi biasa tak akan mungkin bisa terdengar sampai demikian jauhnya. Kemudian siapa pulakah .yang memetik kecapi itu?
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun Wiro menyeruak semak belukar lebat. Dilewatinya segerombolan pohon-pohon yang tumbuh dengan rapat. Kemudian di sebelah depan dilihatnya sinar terang dari matahari yang menyeruak di antara kerapatan pohon-pohon dan semak belukar.
Ternyata di bagian muka sana itu adalah ujung dari sebuah lembah subur yang ditumbuhi rumput hijau. Pemandangan dari tempat ketinggian itu indah sekali karena di bawah lembah kelihatan sebuah telaga. Namun Pendekar 212 sama sekali tidak tertarik dan perhatikan keindahan pemandangan itu. Dia bergerak ke samping kiri dari mana suara kecapi terdengar santer sekali. Dia masih belum melihat manusia dan kecapi itu. Mungkin terlindung di balik semak-semak rapat di dekat pohon beringin besar. Maka Wiro dengan langkah cepat tanpa suara menuju ke balik pohon beringin. Matanya memandang tajam menembus di antara celah-celah semak belukar.
Dan terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Betapa tidak. Apa yang disaksikannya hampir tak bisa dipercayanya. Di balik semak belukar itu terhampar sebuah batu hitam besar laksana pelaminan, menghadap di lembah subur. Dan di atas batu besar hitam itu duduklah seorang dara jelita sekali, berbaju biru. Rambutnya diriap lepas, bergerai di bahu dan di punggungnya sampai ke pinggang. Sinar matahari membuat rambut yang hitam itu berkilauan. Di pangkuan sang dara terletak sebuah kecapi yang kayunya bagus diukir-ukir.
Jari-jari si gadis menari-nari dengan lincahnya di atas sinar-sinar kecapi itu. Dan dia memainkannya tanpa matanya memandang pada kecapi itu tapi memperhatikan keindahan lembah di bawahnya.
Betapa ahlinya dia memainkan kecapi itu dan betapa indahnya lagu yang dibawakannya. Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 dibikin terpesona, bukan saja oleh kepandaiannya dan keindahan permainan kecapi si dara baju biru, tapi juga oleh kejelitaan parasnya. Beberapa lama kemudian barulah Wiro Sableng menyadari bahwa cara si gadis memainkan kecapi itu bukanlah cara biasa seperti yang dimainkan oleh orang. Buktinya petikan kecapinya itu telah terdengar oleh Wiro Sableng di tempat yang sangat jauh. Pastilah si gadis baju biru memetiknya dengan disertai aliran tenaga dalam yang hebat pada jari-jari tangannya. Dan pastilah bahwa gadis jelita ini bukan gadis sembarangan.
Ketika si gadis baju biru menggeser badannya sedikit maka saat itulah Wiro dapat melihat kalung tengkorak kecil yang tergantung di lehernya. Terkesiaplah pendekar ini. Baju biru, kalung tengkorak kecil, itulah ciri-ciri dandanannya anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul. Karena memaklumi bahwa si gadis meskipun masih belia tapi berilmu tinggi dan memiliki tenaga dalam sempurna maka Wiro Sableng tak mau bertindak sembrono. Dia menunggu sampai beberapa lama, tapi si gadis agaknya masih belum mau menghentikan petikan kecapinya. Akhirnya pendekar kita putuskan untuk keluar dari balik pohon beringin tanpa menunggu sampai si baju biru itu menyudahi permainan kecapinya. Sambil mendehem maka Wiro Sableng munculkan diri.
Meskipun dia memainkan kecapi adalah sengaja untuk mengundang datangnya orang yang tengah dicari, namun suara deheman tadi membuat Inani gadis yang memainkan kecapi itu jadi terkejut juga. Belum dia berpaling, didengarnya suara laki-laki berkata.
“Petikan kecapimu sedap sekali saudari. Lagunya pun indah!”
Inani hentikan permainannya dan putar kepala dengan cepat. Di hadapannya kini berdiri seorang pemuda berambut gondrong bertampang gagah. Pakaiannya putih-putih dan tubuhnya tegap kekar. Meskipun sudah dewasa namun pandangan matanya seperti mata anak-anak, membayangkan kepolosan dan kejujuran hati.
Meski terkesiap beradu pandangan dengan Pendekar 212, namun begitu ingat tugasnya, maka membentaklah Inani.
“Siapa kau?”
Wiro Sableng sunggingkan senyum. “Ah kenapa kau hentikan permainan kecapimu, Saudari?
Rupanya aku mengganggumu saja. Harap maafkan. Aku….”
“Jangan banyak bicara! Lekas terangkan siapa kau!”
“Tadinya tengah menggembalakan kerbau di sebelah timur lembah ini. Kemudian kudengar suara petikan kecapimu lalu datang ke sini….”
“Jadi kau gembala huh?”
“Betul!” sahut Wiro.
“Jangan dusta! Kau pasti pemuda yang tempo hari larikan diri ketika mau ditangkap!”
Habis membentak begitu maka Inani segera gerakkan tangan kanannya ke balik pakaian.
Sebuah benda terbentuk bola hendak di lemparkannya ke udara. Bola ini adalah tanda yang harus dilepaskannya ke udara, untuk memberitahukan kepada kawan-kawannya bahwa dia telah berhasil menemukan orang yang mereka cari. Di udara bola itu akan pecah dan memancarkan warna merah hingga mudah dilihat. Tapi sebelum tangannya sempat melemparkan bola itu, Pendekar 212 Wiro Sableng sudah tangkap pergelangan tangan kanan Inani. Keduanya saling tarik menarik dan saling pandang menyorot. Betapa pun si gadis kerahkan tenaganya tetap saja dia tak sanggup lepaskan pegangan Wiro.
“Lepaskan tanganku!” teriak Inani. Rasa aneh menjalari dirinya. Seumur hidup itulah pertama kali seorang laki-laki menyentuh kulit tubuhnya.
“Aku akan lepaskan,” kata Wiro sambil tersenyum “Tapi benda ini harus kau berikan dulu padaku.”
“Kurang ajar. Lepaskan tanganku!” sentak Inani.
Wiro gelengkan kepala. “Berikan dulu benda ini, saudari baru kulepaskan.” katanya.
Dengan mengkal Inani lepaskan bola itu yang segera diambil dengan tangan kiri Wiro Sableng. Kemudian baru dilepaskannya lengan si gadis. Tengah Wiro meneliti benda berbentuk bola itu tiba-tiba Inani berdiri dan lemparkan kecapinya ke arah si pemuda.
Cepat-cepat Wiro Sableng berkelit. Kecapi lewat menderu di atas kepalanya. Ketika benda itu hampir menghantam pohon beringin dan pasti akan hancur, Wiro cepat melompat dan menangkap kecapi itu. Lalu sambil geleng-gelengkan kepala dia berkata. “Saudari, gerakanmu melemparkan benda ini hebat sekali. Tapi sungguh sayang kalau kecapi yang bagus ini hancur berantakan!”
Perlahan-lahan Wiro Sableng letakkan kecapi di kaki pohon beringin. Baru saja itu dilakukannya maka si gadis sudah menerjang menyerangnya. Kalau tidak lekas si pemuda menyingkir pastilah sebuah tendangan akan mendarat di perutnya.
“Eh, saudari. Apa-apaan ini! Tak ada hujan tak ada angin, tak ada pasal tak ada lantaran, kenapa kau menyerang aku?!”
Sebagai jawaban Inani keluarkan jala sutera biru. Benda ini segera diputar menderu di atas kepalanya. Didahului dengan lengkingan keras, Inani lancarkan pukulan tangan kiri dan kirimkan satu tendangan. Angin serangan ini demikian hebatnya membuat pakaian dan rambut Pendekar 212 sampai berkibaran, sementara dia mengelakkan dua serangan ini, maka jala biru berkelebat dan menebar ke arah kepalanya. Wiro cepat tundukkan kepala tapi jala sutera biru terus memapas hendak melibat pinggangnya. Sekali lagi Wiro mengelak dan sekali lagi pula jala itu, menyusup laksana kilat ke arah kedua kakinya.
“Hebat!” seru Wiro memuji seraya melompat dua tombak.
Penasaran sekali Inani kembali memburu dengan gempuran serangan yang lebih hebat tapi walau bagaimanapun Pendekar 212 bukanlah semudah yang diduganya untuk dirubuhkan. Sedang sampai saat itu Wiro sama sekali mengambil sikap mengelak, tak sekalipun balas menyerang.
“Kenapa mengelak terus, tak berani menyerang?!” bentak Inani penuh penasaran. Dia berharap-harap salah seorang kawannya muncul di situ agar bisa membekuk si pemuda.
“Hentikan seranganmu, saudari. Kita toh tidak punya permusuhan. Mari bicara dulu baikbaik.”
“Kalau kau mau bicara, bicaralah nanti di hadapan Dewi Siluman!”
“Oh, jadi kau anak buahnya Dewi Siluman? Kau tahu saudari. Dewimu itu kawan baikku!”
Karena merasa dipermainkan dengan ucapan itu maka Inani menyerang lagi dengan lebih ganas. Dia keluarkan jurus-jurus yang mengandung tipu berbahaya. Tiada terasa, dua puluh jurus telah berlalu. Jika Wiro mengadakan perlawanan pastilah tidak semudah dan sebanyak itu jurus yang bisa dilewati Inani.
“Saudari! Jika kau tak mau hentikan seranganmu terpaksa aku turunkan tangan kasar!”
memperingatkan Wiro.
“Kalau kau memang punya kepandaian silahkan balas seranganku! Kukira kau bukan pemuda banci yang cuma pandai berkelit dan mengelak saja!”
Wiro panas sekali dikatakan pemuda banci.
“Harap kau jangan menyesal, saudari!” katanya seraya pasang kuda-kuda.
Pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin keras melanda ke arah Wiro. Di saat yang sama jala sutera menderu dari atas ke bawah dalam satu gerakan yang luar bisa cepatnya.
“Gadis cantik!” seru Wiro. “Lihat baik-baik. Ini jurus Menepuk Gunung Memukul Bukit.
Pegang kuat-kuat jalamu, kalau tidak akan kurampas!” Habis berkata begitu Wiro hantamkan dengan perlahan telapak tangan kirinya ke muka sedang tangan kanan membuat gerakan cepat ke samping sesuai dengan sambaran jala. Tubuhnya sedikit menekuk.
“Pemuda sombong!” maki Inani. “Kau akan terima nasib sial di dalam jalaku!” Dan si gadis lipat gandakan tenaga dalamnya.
Tiba-tiba dia terkesiap karena pukulan tangan kosongnya dipapasi oleh satu sambaran angin deras yang ke luar dari telapak tangan kiri lawan. Belum lagi habis rasa terkesiap ini sekejap kemudian dirasakannya jala sutera birunya yang tadi telah menebar kini menciut lagi ujungnya.
Ketika kejapan berikutnya berlalu. Inani merasakan tangannya yang memegang jala laksana dipelintir dan tahu-tahu jala sutera itu terlepas dari tangannya, kena dirampas oleh Wiro Sableng.
Pendekar 212 tertawa dan main-mainkan jala sutera biru yang berhasil dirampasnya.
“Apakah kau masih belum mau menghentikan pertempuran dan bicara dulu baik-baik?” tanya Wiro pula.
Sebagai jawaban malah Inani loloskan kalung tengkorak dari lehernya. Kemudian dengan sebat menyerang ke arah sang pendekar. Di antara suara menderu kerasnya sambaran kalung tengkorak maka terdengar pula suara mendesis. Dari mata dan hidung tengkorak kecil itu mengebut asap biru yang tebal gelap dan menebarkan bau aneh menusuk hidung. Pendekar 212 terkejut bukan main. Dia masih mempermainkan jala sutera sewaktu asap biru yang sangat pekat itu telah membungkus dirinya.

*

* *

10

Pendekar 212 Wiro Sableng segera maklum bahwa asap biru pekat yang membungkus diri dan membuat matanya tak bisa melihat apapun adalah sangat berbahaya dan mengandung obat jahat yang bisa melemahkan tubuh. Dengan cepat pendekar ini tutup jalan nafas lalu melompat ke samping. Tapi anehnya lompatan itu tidak membuat dia keluar dari kurungan asap. Di sekelilingnya masih gelap gulita.

Wiro Sableng pusatkan tenaga dalamnya pada kedua kaki. Dengan membentak nyaring pendekar ini membuat gerakan yang dinamakan: Gunung Meletus Batu Melesat ke Luar Kawah.
Gerakan ini membuat tubuhnya mencelat laksana anak panah lepas dari busurnya.
Di lain pihak Inani begitu melihat lawannya terbungkus asap biru segera pergunakan tangan kiri untuk mengambil segulung benang yang sangat halus, sehalus jaring laba-laba. Sekali menyentakkan maka gulungan benang yang terbuat dari sutera itu menerobos asap biru gelap laksana seekor ular. Inani gembira sekali sewaktu benang suteranya dirasakannya melibat sasarannya di dalam asap gelap itu. Setelah yakin betul-betul bahwa Wiro Sableng tidak berdaya lagi dilibat benang sakti tersebut maka Inani semprotkan asap putih dari mulut kalung tengkorak.
Sekejapan kemudian maka sirnalah asap biru gelap dan suasana menjadi terang benderang kini.
Dan betapa terkejutnya gadis jelita berbaju biru ini. Yang dilibat oleh benang suteranya bukanlah tubuh lawannya, melainkan pohon beringin besar yang terletak kita-kira sepuluh langkah di hadapannya.
Inani memandang berkeliling dengan cepat. Di belakangnya Wiro Sableng tertawa gelakgelak.
“Sejak kapan ada manusia yang bermusuhan dengan pohon beringin?!” ejek Wiro.
Penuh geram Inani gulung dengan cepat benang suteranya. Dengan kalung tengkorak di tangan kembali dia menyerang Wiro Sableng. Sang pendekar sendiri menyambut kedatangan si gadis dengan putaran jala biru.
“Sekali-sekali kau musti merasakan juga bagaimana kalau jala ini melibat dirimu sendiri!” ujar Wiro.
Inani tidak percaya bahwa si pemuda akan sanggup gunakan jala itu karena untuk memakainya mempunyai cara tersendiri yang hanya anak-anak buah Dewi Siluman yang mengetahuinya.
Karenanya tanpa ada keraguan sedikit pun Inani sama sekali tidak batalkan serangannya.
Kalung tengkorak yang kekuatannya lebih keras dari bola baja itu menyambar ganas siap untuk menghancurkan kepala lawannya. Tapi betapa terkejutnya gadis ini sewaktu dikejap yang sama jala sutera biru di tangan lawan membuka dan menebar menyungkupi tangan kanan terus kepala dan tubuhnya.
Wiro Sableng adalah seorang yang. bermata tajam. Sewaktu Inani mengeluarkan jala biru itu dia merasa sangat tertarik dan memperhatikan dengan seksama bagaimana si gadis memainkan senjata tersebut. Sehingga pada saat jala itu berada di tangannya, dengan mudah dia bisa pula mempergunakannya.
Inani coba berontak dan lepaskan diri dari sekapan jala. Tapi sudah terlambat. Seluruh jala telah membungkus tubuhnya sampai ke lutut. Membuat dia tak bisa lepaskan diri lagi.
Wiro tertawa gelak-gelak dan berdiri tolak pinggang.
“Lepaskan jala ini!” teriak Inani.
“Enak betul,” sahut Wiro. “Kalau kulepaskan pasti kau akan serang diriku lagi!” Dan Pendekar 212 lalu melangkah ke hadapan Inani.
“Kau mau bikin apa?! Pergi!”
“Eh, aku cuma mau lihat parasmu apa tidak boleh!”
“Pergi!” teriak Inani.
Wiro Sableng menyengir. Dia melangkah lagi dan jarak mereka cuma terpisah dua jengkal saja. Inani dapat merasakan hembusan nafas pemuda itu di parasnya yang jelita. Sepasang mata mereka untuk kesekian kalinya beradu pandang.
“Pergi!”
“Saudari, kau betul-betul inginkan aku pergi? Baik! Tapi biar kutotok dirimu dulu!” Wiro lantas totok tubuh Inani sehingga si gadis kini berdiri mematung. “Aku akan pergi dan kau akan sendirian di sini untuk selama-lamanya. Kalau tidak ada binatang liar buas yang menggerogoti dirimu, kau akan mati kelaparan di sini!” Lalu Pendekar 212 balikkan badan berpura-pura hendak pergi.
Apa yang dikatakan Wiro terasa benar dan mengerikan bagi Inani. Ketika dilihatnya pemuda itu berlalu dia cepat berseru. “Saudara, tunggu dulu!”
Wiro jual mahal dan terus melangkah.
“Saudara, kembalilah!” seru Inani lagi.
Wiro berpaling, “Ada apa?”
Dengan rasa jengah dan paras merah Inani berkata. “Kembalilah dulu!”
“Lucu! Tadi kau bentak aku agar pergi! Sekarang malah menyuruh kembali!”
“Lepaskan jala ini. Juga totokanku!”
“Tidak bisa.” jawab Wiro seraya menggeleng.
Marahlah Inani.
“Kalau kawan-kawanku datang kau pasti akan mereka bekuk!”
Wiro tertawa sinis. “Kau bisa berteriak memanggil mereka,” katanya.
Inani buka mulut betul-betul hendak berteriak. Tapi entah mengapa hal ini kemudian tak jadi dilakukannya. Malah dia berkata. “Jangan kira dengan kehebatan yang kau miliki kau bisa menghadapi Dewi Siluman! Tak satu ketinggian ilmu silat, tak satu kesaktian, pun yang sanggup mengalahkan Dewi Siluman!”
“Hemm begitu…?” Wiro garuk-garuk rambutnya.
“Aku tidak mengerti, apakah Dewi Siluman itu benar-benar seorang manusia atau seorang siluman? Apakah parasnya secantik Dewi ataukah mengerikan seperti Siluman?!”
“Pemuda kurang ajar! Jangan kau berani lancang mulut menghina Dewi kami!” bentak Inani.
“Eh, siapa yang menghina? Aku cuma tanya?!”
“Lekas lepaskan kau mau berjanji memetik kecapi memainkan sebuah lagu untukku!”
Inani memaki-maki dalam hati. Rahang-rahangnya bertonjolan. Wiro Sableng dudukkan dirinya di atas batu besar. Sambil memandang ke lembah di hadapannya pendekar ini berkata.
“Dunia sungguh aneh. Siapa yang akan menyangka kalau gadis-gadis berparas cantik sanggup melakukan kejahatan luar biasa? Membunuh manusia-manusia tiada berdosa, bahkan anak-anak dan orang tua renta?”
Inani memandang tajam-tajam pada Pendekar 212.
“Aku tak pernah membunuh manusia! Jangan main tuduh sembarangan!”
Wiro palingkan kepala dan memandang dengan tersenyum pada si gadis. “Kau toh anak buahnya Dewi Siluman, biang penebar kematian dan kejahatan di Pulau Madura ini? Yang kabarnya, mau menguasai dunia persilatan di delapan penjuru angin?!”
“Tapi tidak semua anak buah Dewi Siluman yang jadi pembunuh!”
“Lantas kau jadi apa?” tanya Wiro Sableng. “Jadi tukang rias atau tukang kipasnya?!”
“Sudah! Tutup mulutmu dan lekas lepaskan jala serta totokanku ini!”
“Bersekutu dengan orang-orang jahat, menjadi anak buah orang jahat tiada beda dengan berbuat kejahatan itu sendiri! Masa muda yang begini indah, yang cuma sekali saja dalam kehidupan, dipakai untuk mengabdi pada kejahatan! Sungguh sayang. Kebahagiaan dunia tiada dapat, dan kelak di akhirat akan menerima siksaan….”
“Aku tak perlu nasihatmu!”
“Dengar saudari. Aku akan bebaskan kau kalau kau berjanji mau menunjukkan dimana sarangnya Dewimu itu.”
“Kau paksa pun aku tidak akan beritahu,” jawab Inani. “Sekalipun kau sampai ke sana, kau Cuma akan mengantar nyawa!”
Wiro tersenyum. “Kau tak akan bisa hidup dalam cara begini terus-terusan saudari. Satu hari kebenaran akan datang menumpas. Kebenaran kadangkala tidak memandang bulu. Siapa yang berserikat dengan kejahatan pasti akan ditumpas, termasuk kau! Apakah gunanya hidup begitu rupa?
Hidup percuma mati tiada harga? Padahal dunia ini begini indah dan semua keindahan itu untuk kita semua…?”
Tergetar hati Inani mendengar ucapan Pendekar 212. Mulutnya terkatup rapat-rapat. Inilah kali pertama dia bertemu dengan seorang pemuda dan ini pula pertama kali dia mendengar ucapan demikian rupa. Walau bagaimanapun Inani adalah seorang perempuan yang berperasaan halus dan lekas tersentuh lubuk hatinya. Namun demikian kehidupan di tengah-tengah anak buah Dewi Siluman telah sangat meresap dan mempengaruhi dirinya sehingga sesaat kemudian kembali gadis ini membentak agar dirinya dilepaskan.
Pendekar 212 geleng-gelengkan kepala.
“Sayang.” katanya. Dibukanya jala yang melibat tubuh Inani. Digulungnya jala sutera itu dan diletakkannya di atas bahu si gadis. “Kau akan kubebaskan, kau bisa pergi dengan aman.
Jangan kira kau kubebaskan karena takut pada Dewimu itu. Aku kasihan padamu….”
“Aku tak minta dikasihani.”
“Kuharap kau masih mau berpikir!” ujar Wiro.
Kemudian dilepaskannya totokan di tubuh Inani.
“Di lain hari kita akan bertemu lagi saudari. Saat itu mungkin dalam suasana yang lain.
Jangan menyesal jika nanti aku turun tangan jahat terhadapmu. Selagi masih ada kesempatan, tinggalkanlah pulau ini. Kau bisa memulai hidup baru yang jauh lebih baik….”
Inani tak berkata apa-apa. Dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
“Saudari tunggu dulu!” seru Wiro. “Kecapimu ketinggalan!”
Si gadis baru ingat akan kecapi itu. Dia berbalik dan cepat-cepat menyambar benda itu.
Sewaktu dia hendak berlalu kembali tiga sosok tubuh berkelebat dari arah timur.
Terdengar satu seruan nyaring. “Inani! Perjanjian apakah yang kau buat Sehingga kau hendak meninggalkan musuh besar kita begitu saja?!”
Inani terkejut sekali. Juga Wiro Sableng.
Dan sedetik kemudian tiga sosok tubuh itu sudah berada di hadapan mereka!

*

* *

11

Ketiga pendatang baru ini bukan lain daripada Sarinten, Wakania dan Laruni. Yang berseru tadi ialah Laruni. Ketiganya segera mengurung Pendekar 212. Tanpa melepaskan pandangannya yang menyorot pada Wiro Sableng Laruni bertanya pada Inani.

“Inani! Kenapa kau hendak tinggalkan manusia ini begitu saja?! Apa kau lupa tugas kita?!”
“Ilmunya tinggi sekali Laruni.” jawab Inani. “Aku tak sanggup menghadapinya.”
“Tapi kau bisa lepaskan tanda agar kami datang!” ujar Sarinten.
“Sudah kulakukan. Dia berhasil merampas bola pemberi tanda itu!”
“Lantas kau kenapa tidak berteriak….?” tanya Laruni.
“Mulutku disekapnya.” jawab Inani berdusta.
“Lalu dia biarkan kau pergi seenaknya? Sungguh lucu!” kata Wakania menyindir.
“Kau tetap di tempat Inani! Kau harus pertanggung jawabkan kesalahanmu di hadapan Dewi!” bentak Laruni.
Kecutlah hati Inani.
Sementara itu Laruni, Sarinten dan Wakania loloskan kalung tengkorak masing-masing dan juga keluarkan jala sutera biru. Wiro hela nafas dan geleng-gelengkan kepala. Ketiga gadis itu cantik-cantik, meskipun menurut pandangannya Inani adalah lebih cantik dari kesemuanya. Dan gadis-gadis cantik beginilah yang jadi anak buah Dewi Siluman. Yang harus dihadapinya. Sungguh mereka menyia-nyiakan kecantikan mereka.
“Pemuda, apakah kau sudi menyerah secara baik-baik atau terpaksa kami turun tangan?!”
Wiro Sableng keluarkan siulan mendengar ucapan Laruni itu. “Benar-benar aneh! Benar benar aneh!” kata Pendekar 212 pula. “Gadis-gadis begini cantik menjadi anak buah Dewi Siluman biang racun kejahatan kelas satu!”
“Pemuda bermulut lancang ceriwis! Kau memilih cara kasar rupanya!” Laruni memekik.
Diikuti oleh Sarinten dan Wakania maka ketiganya pun berkelebat. Tiga kalung tengkorak menyambar dari tiga jurusan. Tiga kepulan asap biru menderu mengerikan dan tiga buah jala sakti menebar sebat dari kiri kanan dan sebelah belakang.
Wiro Sableng yang sudah tahu kehebatan kalung tengkorak serta jala sutera biru tidak ayal lagi segera keluarkan jurus: Menepuk Gunung Memukul Bukit yang disusul dengan lompatan:
Gunung Meletus Batu Melesat Keluar Kawah.
Tiga gadis anak buah Dewi Siluman terkejut dan penasaran bukan main sewaktu mereka menebarkan jala biru dan ternyata mereka tiada berhasil meringkus si pemuda. Mereka menyadari dan menyaksikan sendiri sekarang bahwa lawan mereka memang bukan manusia sembarangan.
Laruni berikan isyarat kedipan mata kiri. Serentak dengan itu bersama Sarinten dan Wakania segera membentuk satu barisan aneh dan bertiga mereka lancarkan serangan yang bukan olah-olah dahsyatnya. Angin serangan membuat daun-daun berguguran, semak belukar beterbangan sedang akar gantung pohon beringin bergoyang-goyang kian ke mari.
Wiro berteriak nyaring dan berkelebat cepat. Tapi gerakan-gerakan lawan, jurus-jurus silat yang dimainkan sangat aneh baginya, sukar untuk diduga dan diikuti sehingga dalam waktu lima jurus saja Pendekar 212 mulai terdesak hebat. Untungnya Wiro memiliki ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi dari ketiga lawan itu sehingga sampai lima jurus lagi dia masih bisa bertahan dengan gigih. Di antara ketiga lawannya Wiro mulai memaklumi bahwa Laruni adalah yang paling tinggi ilmunya. Di samping itu Wiro tahu pula bahwa ketiga lawannya itu tidak benar-benar bermaksud mencelakai dirinya tapi cuma berniat meringkus hidup-hidup. Karenanya, meskipun kemudian dia kembali terdesak hebat. Wiro Sableng tak mau balas menyerang dan menurunkan tangan jahat. Dia sengaja mengambil sikap mengelak terus-terusan. Sementara itu Inani berdiri mematung di tempatnya, tak tentu apa yang dibuat selain cuma menyaksikan jalannya pertempuran yang seru itu. Dan diam-diam melihat si pemuda terdesak, hati gadis ini menjadi khawatir.
Melihat gelagat Wiro tak akan sanggup bertahan lebih dari sepuluh jurus lagi jika dia terus terusan mengambil sikap tidak mau balas menyerang itu.
Dan apa yang diduga Inani menjadi kenyataan.
Di jurus sembilan belas, dalam satu gebrakan yang luar biasa hebatnya Wiro Sableng dipaksa berkelit cepat untuk menghindarkan serangan Sarinten dan Wakania. Pada waktu gebrakan ini terjadi Wiro Sableng masih sempat memperhatikan posisi Laruni yang tengah berdiri dengan komat-kamit, entah membaca mantera apa. Karena merasa posisi Laruni tidak berbahaya maka Wiro Sableng tidak begitu ambil perhatian terhadapnya. Begitu serangan Sarinten dan Wakania lewat, Wiro segera pasang kuda-kuda baru karena di saat itu dilihatnya kedua penyerangannya tadi membalik dengan cepat. Tapi betapa terkejutnya Pendekar 212 sewaktu dari belakang terasa sambaran angin yang luar biasa dahsyatnya. Dia tak melihat kelebatan tubuh Laruni dan tahu-tahu anak buah terpandai dari Dewi Siluman ini sudah berada di belakangnya, lancarkan satu jotosan tangan kiri.
“Buk!”
Pendekar 212 mencelat limbung ke muka tak sanggup imbangi diri dan terguling di tanah.
Tulang punggungnya serasa hancur. Belum sempat dia bangun maka tiga jala sutera biru telah menebar ke arah tiga bagian tubuhnya yaitu kepala sampai ke bahu, pinggang dan kedua kaki.
“Celaka!” keluh Pendekar 212. Dia tahu bahwa dia tak punya kesempatan lagi untuk selamatkan diri. Satu-satunya jalan ialah lepaskan pukulan Sinar Matahari untuk menghancurkan jala. Guna mencabut Kapak Naga Geni 212 mungkin tidak keburu. Namun belum lagi Wiro sempat pukulkan kedua tangannya yang mulai menjadi putih memerak itu, jala lawan yang pertama turun ke bawah dan melibat ke seluruhan tangannya. Betapapun dia kerahkan tenaga dalam dan menyentakkan lengan-lengannya tetap tiada gunanya sementara jala kedua telah menyungkup kepalanya. Dan dalam sedetik lagi akan menyusul jala ketiga.
“Sialan… sialan!” maki Wiro. Dia cuma terima nasib diringkus hidup-hidup kini.
Jala kedua telah menyungkup kepalanya sampai ke bahu. Jala ketiga datang menyambar kaki. Tapi sebelum hal ini terjadi mendadak Wiro Sableng merasakan sambaran angin yang luar biasa derasnya. Matanya yang tertutup jala sutera biru samar-samar melihat kelebatan satu sosok bayangan putih. Dalam detik itu pula Pendekar 212 mendengar suara keluhan ketiga penyerangnya, disusul oleh keluhan Inani. Dia sendiri kemudian merasakan tubuhnya terseret beberapa tombak, terangkat ke atas dan ketika tiba-tiba tiga buah jala yang melibat tubuhnya putus maka tubuhnya terbanting ke tanah dengan keras, jatuh melintang di akar pohon beringin.
Perlahan-lahan Wiro Sableng merangkak bangun. Bekas pukulan pada punggungnya sakit sekali tapi tidak dirasakannya karena waktu itu dia dikesiapkan oleh rasa terkejut yang amat sangat.
Sewaktu dia memandang berkeliling dengan cepat tak seorang anak buah Dewi Siluman pun yang dilihatnya. Kemana mereka? Apa yang telah terjadi?! Satu-satunya benda yang dilihat Wiro ialah kecapi kepunyaan Inani.
Dalam dia coba memandang berkeliling sekali lagi dengan rasa penuh tak percaya tiba-tiba matanya membentur tulisan putih di batang pohon beringin. Pendekar ini coba berdiri, tapi tubuhnya terhuyung-huyung, punggungnya yang bekas dihantam jotosan Laruni kumat sakitnya, rasa sakit ini menusuk ke bagian dada. Dan sebelum dia sanggup bergerak satu langkah, lututnya menekuk, dia serasa mau batuk tapi sewaktu mulutnya dibuka darahlah yang menyembur dari tenggorokannya. Wiro mengeluh, sebelum dia jatuh pingsan Pendekar 212 ini masih sanggup dan sempat mengambil sebutir pil dari balik pakaiannya lalu menelannya dengan cepat.
Wiro Sableng tak tahu berapa lama dia tergeletak pingsan di tempat itu. Ketika dia siuman matahari telah condong ke barat. Punggung masih terasa sakit tapi kekuatannya tidak sedikit pun berkurang. Ini adalah berkat pil yang masih sempat ditelannya tadi sebelum pingsan.
Wiro bangun, duduk bersila, meramkan mata, atur jalan nafas serta aliran darah dan kerahkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang masih terasa sakit. Lima menit kemudian Pendekar ini melompat dari duduknya, tubuhnya terasa segar bugar. Begitu dia teringat pada tulisan di batang pohon beringin Wiro segera melangkah ke hadapan pohon itu. Di batang pohon besar yang angker ini tergurat tulisan.

Segala rencana tidak akan sampai,

Sebelum tahu tingginya langit dalamnya lautan.

Bulan purnama empat belas hari di Goa Belerang,

Seribu rencana akan sampai.

“Pasti manusia yang mengencingiku dulu!” kata Wiro Sableng pada dirinya sendiri. Dia tak habis mengerti, heran dan geleng-gelengkan kepala. Manusia itu gerakannya luar biasa cepatnya sehingga hanya bayangan putih pakaiannya saja yang kelihatan. Dalam satu kelebatan tadi dia telah berhasil melarikan empat anak buah Dewi Siluman dan juga dalam kecepatan yang sukar diukur, manusia itu masih sempat menggurat tulisan di batang pohon beringin. Tak sanggup Wiro mengukur kehebatan manusia itu. Jika dia betul-betul manusia, tentulah ilmunya jauh lebih tinggi dari gurunya sendiri yaitu Eyang Sinto Gendeng di Puncak Gunung Gede.
Wiro mengamati lagi tulisan di batang pohon beringin itu. Jika dihubungkannya rangkaian tulisan ini dengan tulisan yang lalu nyatalah mengandung satu keterangan dan satu nasihat, yang bagi Wiro kira-kira berarti dia harus datang ke Goa Belerang pada bulan purnama empat belas hari guna mengetahui segala maksudnya tak akan kesampaian.
“Siapa sebenarnya manusia itu?” pikir Wiro. “Mengapa dia membawa lari anak-anak buah Dewi Siluman, mengencingi kepalaku dan menuliskan keterangan serta nasihat itu…?”
Dalam pikiran yang tak kunjung mengerti dan juga didorong oleh rasa ingin tahu akhirnya Wiro memutuskan untuk mencari Goa Belerang lebih dahulu, baru kemudian mencari dimana letaknya Bukit Tunggul tempat kediaman Dewi Siluman.
Sampai senja hari, telah puluhan kilo daerah diselidiki Wiro Sableng. Dua buah goa ditemuinya tapi keduanya bukanlah Goa Belerang karena kedua goa itu kosong tiada berpenghuni.
Keesokan harinya, satu hari suntuk lagi dia menjelajahi berbagai daerah, sampai lagi senja datang, usahanya tiada berhasil. Pagi yang kedua dari penyelidikannya, dia sampai ke sebuah sungai berair kehitaman tanda sungai itu dalam sekali. Arus air sungai cepat bukan main. Setangkai ranting kering yang jatuh, dihanyutkan arus dan menghilang di kejauhan dalam waktu yang singkat. Wiro mengikuti sungai itu ke arah hilir.
Perjalanannya terhenti sewaktu sungai itu sampai di sebuah air terjun yang sangat dalam.
Air sungai yang memancur dan jatuh menimpa batu-batu besar di sebelah bawah menimbulkan suara yang menggidikkan. Tempat itu dan daerah sekitarnya berudara redup dan angker, tampaknya jarang didatangi manusia.
Lebih dari sepeminum teh Wiro berada di tempat itu. Sebelum pergi dia bermaksud mencuci mukanya yang lengket oleh debu dan keringatan lalu membasahi tenggorokannya. Dengan kedua belah telapak tangannya Wiro menciduk air sungai lalu membasahi mukanya. Sesuatu bau yang agak lain menusuk hidung sang pendekar sewaktu air sungai itu membasahi mukanya.
Wiro berpikir-pikir. Rasanya dia pernah mencium bau yang seperti itu sebelumnya.
Diciduknya kembali air sungai itu lalu didekatkannya ke hidungnya. Mendadak hatinya menciut.
Air sungai itu berbau belerang. Wiro tahu betul bau belerang karena dia pernah beberapa kali berada di sekitar kawah gunung yang mengepulkan asap belerang. Dan ketika bau belerang itu dihubungkannya dengan Goa Belerang maka berdebarlah hati Pendekar 212. Dia memandang berkeliling dengan penuh teliti. Tak ada satu bagian pun dari tempat sekitar situ yang lepas dari penelitiannya, namun sampai sebegitu jauh tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa di situ terdapat sebuah goa. Tapi air sungai yang berbau belerang?! Untuk kesekian kalinya Wiro kembali meneliti dengan pandangan mata yang tajam. Tetap tak ada tanda-tanda adanya goa.
Wiro memaki-maki dalam hatinya. Diperhatikannya batu-batu besar yang jauh di bawahnya.
Diperhatikannya air terjun yang jatuh menimpa batu-batu itu, membalik kembali ke atas sampai beberapa tombak laksana asap atau kabut tipis. Tapi. Wiro terkejut. Matanya memandang lekat lekat kepada batu-batu yang jatuh ditimpa air terjun. Apa yang dilihatnya bukan cuma air yang muncrat kembali ke atas laksana asap atau kabut, tapi di balik air yang membalik ke atas itu benar benar Wiro melihat samar-samar namun pasti adanya kepulan asap. Mulanya Wiro merasa agak bimbang mana mungkin di dasar yang penuh dengan air terdapat asap karena setiap asap pastilah bersumber pada hawa panas atau api.
Wiro gosok kedua matanya. Yang mengepul di antara muncratan air itu memang benar benar asap. Dan ketika diperhatikannya lebih seksama lagi, ketika dia berpindah tempat dan memandang ke bagian bawah air terjun dari jurusan lain, tersentaklah Wiro karena di belakang air terjun itu tampak sebuah goa. Dari mulut goa ini jelas kelihatan gelung-gelung kepulan asap. Tanpa menunggu lebih lama Wiro melompat ke sebuah batu. Dari sini dengan andalkan ilmu meringankan tubuhnya melompat lagi ke batu yang lain, yang terletak di sebelah bawah. Untuk menuju ke dasar air terjun bukan pekerjaan mudah. Kurang-kurang pandai kaki akan terpeleset dan tubuh akan terhempas ke bawah sejauh puluhan tombak, disambut oleh batu-batu besar keras. Meskipun berkepandaian tinggi serta memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna untuk sampai ke dasar air terjun Wiro membutuhkan waktu hampir tiga kali sepeminum teh.
Akhirnya pendekar ini sampai juga ke dasar air terjun. Dia berdiri di hadapan air terjun, bergerak ke bagian samping dengan sangat hati-hati. Sekali tubuhnya terserempet atau tersambar air terjun, tak perduli bagaimanapun tinggi ilmunya, pasti tubuhnya akan terhempas dan hancur ditimpa air terjun yang ribuan kilo beratnya itu.

*

* *

12

Pendekar 212 sampai di hadapan mulut goa. Asap putih menampar-nampar wajahnya dan bau belerang yang santer menusuk hidung, memerihkan mata. Setelah meneliti seperlunya maka tanpa ragu-ragu Wiro melangkah masuk. Ternyata semakin ke dalam goa itu semakin menanjak sedang bau belerang makin keras dan asap semakin banyak.

Kedua mata Wiro menjadi perih, nafasnya sesak dan dia mulai batuk-batuk. Pemuda ini tutup indera penciumannya, kerahkan tenaga dalam pada kedua matanya dan melangkah terus. Kirakira seratus langkah berlalu kepulan asap putih yang berbau belerang bertambah tebal menutup pemandangan. Meski dia sudah tutup indra penciumannya tetap saja hidungnya membaui hawa belerang itu sedang tenaga dalamnya tiada mampu menolak sambaran asap yang memerihkan mata.
Dengan kuatkan diri Wiro maju terus. Nafasnya tersengal, pemandangannya gelap tertutup asap tebal. Untuk kembali sudah kepalang tanggung. Suara batuk-batuknya menggema di sepanjang goa, membuat bulu kuduknya sendiri berdiri.
Pada langkah yang ketiga ratus duapuluh, Pendekar 212 merasa kekuatannya mulai lumer, kakinya tak sanggup lagi melangkah. Wiro jatuhkan diri dan terus memasuki goa itu dengan merangkak. Sebutir pil untuk menolak keracunan dan menjaga agar tidak pingsan dikeluarkan dan ditelannya. Dua ratus langkah di muka maka perlahan-lahan asap belerang itu mulai menipis hingga akhirnya lenyap sama sekali dan di hadapan Wiro kelihatan sebuah tangga batu pualam yang putih bersih dan berkilat.
Setelah menelan lagi sebutir pil, mengatur jalan nafas dan darah memeriksa aliran tenaga dalam dan membuang hawa jahat asap belerang yang meresap di paru-parunya maka Wiro Sableng berdiri lalu melangkah menaiki tangga batu pualam. Bagian atas tangga berhubungan dengan sebuah pintu dan pintu ini berhubungan lagi dengan sebuah ruangan empat persegi. Di dalam ruangan ini kelihatan delapan gadis berbaju biru yang bukan lain adalah anak-anak buah Dewi Siluman. Di antaranya empat orang yang sebelumnya telah baku hantam dengan Wiro di tepi lembah. Kedelapan gadis ini duduk bersila dengan mata meram di hadapan seorang berpakaian selempang putih yang duduk membelakang ini panjangnya sampai ke bahu, Wiro belum dapat memastikan apakah dia seorang perempuan atau bukan.
Tanpa menoleh ke pintu tiba-tiba manusia berambut putih panjang itu membentak dan lambaikan tangan kanannya lewat bahu.
“Pemuda tidak tahu diri! Disuruh datang bulan purnama empat belas hari berani unjuk tampang hari ini!”
Wiro terkejut sekali. Dan sewaktu dia menyadari bahwa lambaian tangan si rambut putih panjang itu menyambarkan angin yang sangat deras, maka segala sesuatunya telah kasip. Mendadak sontak detik itu juga Wiro merasakan tubuhnya menjadi kaku laksana patung batu. Dia berseru, tapi mulutnya terkunci tak bisa keluarkan suara. Karena otaknya masih tetap bisa berjalan Wiro memaklumi bahwa dirinya telah ditotok secara lihai luar biasa hingga tak bisa bicara dan bergerak.
Yang membuat Pendekar 212 menjadi penasaran sekali ialah karena sesudah menotok dirinya, si rambut panjang kemudian keluarkan suara seperti lebah membuat sarang, rupanya dia tengah membaca mantera tapi tiada jelas entah mantera apa yang dilafatkannya. Di samping itu Wiro merasa aneh pula melihat kedelapan gadis baju biru itu duduk bersila meramkan mata tiada bergerak. Apakah mereka semuanya juga kena ditotok dan apa yang tengah dilakukan si rambut putih panjang itu terhadap mereka? Wiro saat itu merasakan dirinya seperti seekor lalat yang sesudah dipukul dibiarkan tak perduli begitu saja!
Tiba-tiba si rambut putih angkat kedua tangannya. Suara lafat manteranya semakin keras.
Kedua tangan kemudian turun lagi untuk mengangkat sebuah panci tanah besar yang berisi air putih dan kembang tujuh rupa. Aneh sekali air yang di dalam baskom itu kemudian memancur delapan dan setiap pancuran jatuh ke atas kepala masing-masing gadis baju biru.
Wiro terlongong-longong saking kagumnya. Kehebatan tenaga dalam manusia rambut putih itu benar-benar luar biasa. Seorang yang tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat sempurna bisa saja membuat air di dalam panci tanah itu muncrat ke atas, tetapi untuk membaginya dalam delapan pancuran itu bukan satu hal yang mudah, tidak sembarang manusia bisa melakukannya. Eyang Sinto Gendeng sendiri mungkin belum tentu dapat.
Begitu air dalam panci tanah habis, si rambut putih turunkan panci itu. Kembali terdengar suara lafat manteranya yang seperti lebah bersarang itu. Kemudian sunyi sebentar lalu menyusul suaranya berkata dan ternyata adalah suara seorang laki-laki.
“Delapan gadis, kalian telah minum obatku, kalian telah kusiram dengan air kembang. Kini otak kalian telah bersih, hati kalian telah putih. Kalian telah bisa memulai hidup baru yang lurus dan baik. Sekarang kubukakan mata kalian kembali yang telah terpicing selama beberapa hari ini.”
Si rambut panjang putih sapukan tangan kirinya dari samping kanan ke samping kiri. Aneh sekali maka kedelapan gadis itu yang tadi pejamkan mata kini membuka mata masing-masing satu demi satu, tak ubahnya seperti barusan bangun tidur. Jelas mereka terkejut sewaktu melihat tubuh Wiro Sableng yang berdiri mematung di ambang pintu. Namun terhadap si rambut putih mereka tiada berani bertanya dan sama tundukkan kepala. Tundukkan kepala ini membuat Wiro tak mengerti. Apa hubungan kedelapan gadis itu dengan si rambut putih. Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan mereka sehingga gadis-gadis yang galak dan kejam itu kini kelihatannya seperti gadis-gadis pingitan yang paling patuh?!
“Dengar Kiai….” jawab delapan gadis bersamaan.
“Kiai!” desis Wiro Sableng dalam hati. Laki-laki berambut putih itu dipanggil dengan sebutan “Kiai” Dan Wiro heran padahal kedelapan gadis itu tadi meramkan mata seperti orang tidur, mengapa mereka menjawab bahwa mereka telah mendengar segala ucapan sang kiai?
“Sekarang kalian kuperkenankan meninggalkan tempat ini. Pergilah dan jangan kembali lagi. Dunia baru yang indah suci menyambut kalian. Menurut penglihatanku, hidup kalian semua akan menemui keberuntungan. Nah sekarang pergilah dan kuharap kalian tidak usah mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Tinggalkan Pulau Madura, jangan kembali lagi untuk selama-lamanya!”
Delapan gadis itu saling pandang satu sama lain lalu serentak mereka berdiri. Setelah menjura berulang kali di hadapan laki-laki berambut putih panjang, mengucapkan terima kasih dan berpamitan maka semuanya melangkah ke pintu dengan menundukkan kepala. Setiap mereka melirik ke samping sewaktu mereka melewati Pendekar 212 yang berdiri mematung di ambang pintu itu.
Setelah kedelapan gadis itu berlalu, laki laki berambut putih untuk pertama kalinya balikkan badan dan berdiri. Ternyata dia adalah seorang tua renta yang bermuka licin klimis. Menurut Wiro umurnya lebih tua dari Eyang Sinto Gendeng.
Langkah orang tua yang masih berbadan tegap ini begitu enteng sewaktu dia maju ke hadapan Wiro.
“Pemuda tolol!” desis sang kiai. “Belum saatmu untuk datang ke mari! Apa kau lupa bulan purnama empat belas hari?! Tolol! Kau akan kaku tegang di ambang pintu ini selama tiga hari tiga malam! Rasakan sendiri!”
Wiro menggerutu dalam hati. Orang tua di hadapannya berkelebat dan sukar sekali untuk dapat dilihat dengan jelas tahu-tahu tubuhnya sudah lenyap dari hadapan Wiro Sableng.
“Benar-benar luar biasa gerakannya,” kata Wiro dalam hati. Tapi bila dia ingat bahwa dia musti berdiri di situ dalam keadaan kaku tegang selama tiga hari tiga malam, maka kembali pendekar ini menggerutu habis-habisan.
Setelah berjam-jam berdiri di tempat itu Wiro yakin bahwa di luar goa hari telah malam.
Seumur hidupnya baru kali inilah dia ditotok orang. Meski totokan itu tidak membuat dia terluka di dalam tapi mematung demikian rupa selama tiga hari tiga malam sungguh merupakan siksaan bagi Wiro Sableng. Hatinya kembali memaki-maki sewaktu perutnya mulai mengeluarkan suara bergereokkan tanda minta diisi.
“Diamlah perut sialan!” rutuk Wiro. “Selama tiga hari tiga malam kau tak akan mendapat isi!”
Mendadak, baru saja dia habis memaki demikian sesosok bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu Inani berada di hadapan Wiro Sableng. Sang Pendekar memandang tak berkedip pada gadis jelita berkulit kuning langsat ini, dan berpikir-pikir mengapa pula gadis ini muncul di dalam goa kembali, padahal dia sudah disuruh pergi oleh laki-laki tua tadi dan tidak diizinkan kembali lagi?
“Saudara, aku akan tolong lepaskan totokanmu,” kata Inani pula setelah mereka berperang pandang beberapa ketika lamanya.
“Bagus!” ujar Wiro dalam hati. Dia gembira. Inani maju satu tindak. Tangan kanannya dengan cepat bergerak untuk membebaskan totokan di tubuh Wiro Sableng.
Tapi apa lacur. Sebelum hal itu sempat dilakukan Inani tiba-tiba di ruangan itu mengumandang suara tertawa macam ringkikkan kuda dan tahu-tahu laki-laki tua berambut putih sudah berada di hadapan mereka.
“Bagus betul perbuatanmu Inani!”
Inani berubah pucat parasnya. Kepalanya ditundukkan tak berani memandang si orang tua.
“Apa kau lupa ucapanku bahwa kau musti pergi meninggalkan Pulau Madura ini dan tidak boleh kembali kemari? Jawab!”
“Mohon maaf Kiai. Aku….”
“Kau juga tolol!” sentak sang kiai. “Apa perlu kau kembali datang kemari?! Apa perlu kau tolong pemuda ini?! Jawab!”
“Maaf Kiai….”
“Apa dia kekasihmu?!”
Merah paras Inani. Kepalanya semakin ditundukkan.
“Apa dia gendakmu?!”
Tambah merah paras gadis berbaju biru itu.
“Jawab! Kenapa kau mau membebaskan itu.”
“Aku… aku merasa berhutang budi padanya, Kiai.” sahut Inani.
“Hutang budi macam mana? Apa dia pernah menolongmu?”
Inani menggigit bibirnya. Dia kembali ke situ karena merasa kasihan melihat Wiro Sableng ditotok. Tapi apa yang menyebabkan dia kasihan pada pemuda itu dia sendiri tak bisa mengerti. Dia kembali ke Goa Belerang seperti ada yang mendorong-dorongnya.
“Gadis tolol! Kau musti terima hukuman seperti pemuda tolol ini!”
Laki-laki tua itu lambaikan tangan kirinya. Mendadak sontak maka kaku teganglah tubuh Inani. Dia berdiri mematung tepat berhadap-hadapan dan dekat sekali di muka Pendekar 212. Si orang tua sendiri begitu menotok tubuh Inani berkelebat pula lenyap dari ruangan itu.

*

* *

13

Wiro Sableng dan Inani tak tahu sudah berapa lama atau sudah berapa hari mereka berada di dalam Goa Belerang itu. Yang mereka rasakan ialah bahwa mereka seperti sudah bertahun-tahun tersekap di situ, tak bisa bicara, tak bisa gerakkan badan. Selama puluhan jam mereka berdiri berpandang-pandangan sehingga dalam hati masing-masing timbul perasaan-perasaan aneh. Meski mereka tidak bisa membuka mulut untuk bersuara dan bicara tapi pandangan mata mereka satu sama lain sudah lebih daripada ucapan yang bagaimanapun panjangnya. Sinar mata mereka sudah lebih daripada pengutaraan perasaan yang bagaimanapun mendalamnya. Berpandangan dan berpandangan hanya itulah yang bisa dilakukan kedua orang itu. Dan ini adalah satu-satunya hiburan bagi mereka selama puluhan jam berada di situ.

Kedua orang itu tiba-tiba kernyitkan mata. Lapat-lapat terdengar suara tertawa meringkik.
Dan sesaat kemudian sosok tubuh laki-laki tua yang dipanggilkan kiai itu sudah muncul di ruangan tersebut. Dia masih tertawa meringkik macam kuda begitu untuk beberapa lama sambil pandangi paras kedua orang di hadapannya. Kemudian ketika suara tertawanya berhenti mulutnya bertanya.
“Apa kalian sudah puas tegak berpandang-pandangan?”
Inani menjadi merah mukanya sedang Wiro memaki dalam hati. Apakah waktu yang tiga hari itu sudah berlalu? Apakah sekarang malam bulan purnama empat belas hari? Apakah sekarang saatnya si orang tua membebaskan totokan di tubuhnya dan di tubuh gadis yang bernama Inani itu?
Inani dan Wiro memperhatikan si orang tua duduk di tengah ruangan, di atas sebuah bantalan berumbai-umbai yang dikeluarkannya dari balik kain selempang putihnya. Setelah memandangi paras kedua orang itu beberapa lama baru si orang tua lambaikan tangannya kiri kanan.
Dua larik angin tipis menyambar ke tubuh Inani dan Wiro Sableng. Dengan serta merta lenyaplah totokan yang telah membuat kedua orang ini tak berdaya selama puluhan jam. Seorang tua tertawa mengekeh dan manggut-manggutkan kepalanya beberapa kali.
Meski selama ini Wiro di dalam hati tiada hentinya memaki serta menggerutui si orang tua, namun begitu totokannya lepas dan menyadari bahwa manusia berambut putih yang duduk di hadapannya itu bukan manusia sembarangan maka Pendekar 212 menjura memberi hormat.
“Orang tua, dunia ini banyak dengan tokoh-tokoh aneh sakti luar biasa yang aku manusia tolol ini tidak tahu siapa-siapa mereka adanya. Kuharap kau sudi memberitahu siapa kau, orang tua.”
Si orang tua mengusap rambutnya yang panjang putih beberapa kali. Setelah batuk-batuk jumawa maka menjawablah dia.
“Namaku kau tak usah tahu, orang muda. Sebaliknya aku banyak tahu tentang dirimu!”
Terkejutlah Wiro. Ditelitinya paras orang tua itu lalu sekilas mengerling pada Inani.
Si orang tua tertawa mengekeh kembali.
“Aku berasal dari Bangkalan.” Diusapnya lagi rambutnya baru meneruskan. “Sembilan puluh tahun hidup di dunia ini sudah terlalu cukup lama. Sembilan puluh tahun sudah cukup untuk menyaksikan berbagai hal dalam dunia, menyaksikan kejahatan dan kebaikan, menyaksikan kebaikan yang selalu ditentang oleh kejahatan. Pertentangan antara kebaikan dan kejahatan di jagat ini tak akan pernah habis-habisnya karena memang begitulah sifatnya alam yang dijadikan Tuhan, segala sesuatunya mempunyai lawan-lawannya, mempunyai pasang-pasangannya masing-masing.
Karena aku dan kau adalah manusia-manusia dari golongan putih, maka adalah tugas kita untuk membasmi golongan hitam. Membasmi golongan hitam tentu saja bukan hal yang mudah. Aku sendiri sebenarnya telah tertipu dalam hidupku sehingga tidak bisa berbuat banyak untuk membasmi kejahatan dari muka bumi ini….”
Kiai Bangkalan memandang jauh ke depan seperti tengah merenung masa lampaunya sedang nada suaranya tadi jelas sekali mengandung satu penjelasan yang mendalam.
“Kalian duduklah, jangan berdiri saja,” ujar Kiai Bangkalan.
Setelah Wiro Sableng dan Inani duduk di hadapan orang tua itu maka Kiai Bangkalan meneruskan bicaranya.
“Delapan penjuru angin dunia persilatan kini dibikin gempar oleh kejahatan yang bersumber di Pulau Madura ini. Sumber kejahatan itu bukan lain daripada Dewi Siluman dan anak-anak buahnya. Beberapa perguruan dan sebuah partai persilatan telah dihancurkan oleh mereka. Belasan tokoh-tokoh silat golongan putih serta beberapa lainnya yang hebat-hebat dari golongan hitam mereka bunuh. Yang tertangkap hidup-hidup mereka siksa secara buas. Ringkas kata siapa saja pihak yang tidak mau tunduk dan masuk dalam golongannya akan ditumpas musnah oleh Dewi Siluman. Dan aku yang sudah tua ini hanya bisa makan hati, tak mungkin turun tangan menumpas sumber kejahatan yang ada di puIauku ini….” Lagi-lagi nada suara Kiai Bangkalan membayangkan penjelasan.
Penuh rasa ingin tahu dan tidak mengerti maka Wiro Sableng beranikan diri bertanya.
“Mengapa tidak mungkin, Kiai Bangkalan. Mengapa tidak bisa? Menurut penglihatanku ilmumu tinggi luar biasa. Bagimu tentu mudah saja untuk menumpas Dewi Siluman dan gerombolannya.”
Kiai Bangkalan tertawa tawar.
“Banyak orang yang menduga sepertimu itu,” katanya. “Tapi di jagat yang luas ini ilmu manusia manakah yang benar-benar sempurna, yang benar-benar tinggi? Semakin tinggi ilmu seseorang semakin harus disadari bahwa di atasnya masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tinggi yang tak bakal sanggup dicapainya. Kemampuan dan pikiran manusia mempunyai titik batas. Bila dia coba untuk melampaui titik batas itu di luar kemampuannya, dirinya akan rusak, malapetaka akan datang! Dan itu kemudian akan mudah menjadi sarang atau sumbernya kejahatan! Kejahatan muncul di mana-mana akibat manusia berusaha melampaui titik batasnya, melewati garis yang telah ditentukan. Kemudian bila datang kebaikan walau bagaimanapun kuatnya kejahatan itu, di satu hari dia akan kena ditumpas juga. Aku yang sudah tua menyesalkan hidup badanku yang rongsokan ini karena di saat mau mampus begini tidak bisa berbuat banyak menumpas kejahatan Tapi aku masih bergembira sedikit. Sebelum ajal datang aku telah bertemu dengan kau, orang muda! Menurut penglihatanku, kau satu-satunya manusia saat ini yang sanggup menumpas kejahatan Dewi Siluman!
Ingat kejahatannnya, bukan orangnya!”
“Kiai Bangkalan, aku yang muda tolol ini bisa apakah?” kata Wiro Sableng pula. “Terus terang aku tak mengerti mengapa kau mengatakan tak bisa berbuat banyak menumpas kejahatan.
Bukankah ilmumu tinggi sekali. Dewi Siluman tentu akan mudah kau tumpas.”
Kiai Bangkalan hela nafas dan geleng-gelengkan kepalanya.
“Aku hanya memiliki dua macam ilmu, orang muda. Dua macam ilmu itu saja tak sanggup untuk menumpas kejahatan Dewi Siluman. Di samping itu seperti aku terangkan tadi, sebenarnya aku yang sudah tua ini telah kena tertipu….” Setelah menghela nafas dalam sekali lagi baru Kiai Bangkalan meneruskan. “Dua macam ilmu yang kumiliki ialah kecepatan bergerak dan ilmu pengobatan. Mana mungkin dua macam ilmu itu bisa diandalkan untuk menghadapi Dewi Siluman yang sakti luar biasa?!”
“Tapi kau juga memiliki ilmu totokan yang teramat lihai!” ujar Wiro.
Kiai Bangkalan tertawa. “Setiap ilmu totokan dasarnya adalah sama, sama seperti yang dimiliki oleh kau dan Inani. Cuma karena aku memiliki ilmu kecepatan bergerak maka orang tidak bisa menduga dan tak sempat berkelit ketika aku menotok tubuhnya. Itu telah kau saksikan dan rasakan sendiri!”
“Kalau kau bisa bergerak luar biasa cepatnya, tentu kau bisa menotok Dewi Siluman kemudian menjatuhkan hukuman yang setimpal terhadapnya,” kata-kata Wiro Sableng pula.
“Betul, tapi justru hal itulah yang tak bisa kulakukan,” sahut Kiai Bangkalan.
“Kenapa tidak bisa?”
“Aku telah tertipu. Ah… biarlah aku terangkan pada kalian agar jelas. Tubuh tua rongsokan ini tak guna lagi menyimpan segala rahasia hidupnya!”
Kiai Bangkalan merenung sejenak baru membuka mulut kembali. “Sesungguhnya guru dari Dewi Siluman adalah adik seperguruanku sendiri. Namanya Lara Permani. Dari guru, aku menuntut dua macam ilmu yang kusebutkan tadi yaitu ilmu pengobatan dan ilmu gerakan cepat.
Sebaliknya sebagai murid yang dikasihi oleh guru, Lara Permani diwariskan banyak ilmu yang hebat-hebat. Di antaranya Ilmu Jala Sutera Sakti, Ilmu Racun Biru dan yang paling hebat Ilmu Seribu Siluman Mengamuk. Sebegitu jauh tak ada satu ilmu di dunia ini pun yang sanggup mengalahkan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk itu. Tapi walau bagaimanapun setiap ilmu di dunia ini tak ada yang maha sempurna, selalu saja ada kelemahannya, demikian juga dengan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk….”
“Apakah kelemahannya, Kiai?” tanya Wiro.
“Itu tidak bisa kuberitahu. Aku telah bersumpah!”
Inani dan Wiro kernyitkan kening keheranan. Sebelum salah seorang dari mereka bertanya maka Kiai Bangkalan sudah berkata. “Antara aku dan Lara Permani karena demikian eratnya hubungan kami, kami saling mencinta. Namun malapetaka tiba. Lara Permani sewaktu turun ke dunia persilatan telah tergoda oleh segala macam urusan duniawi sehingga dia menempuh jalan salah. Aku yang mencintainya dengan amat sangat tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa melarangnya agar meninggalkan segala urusan kotor dunia. Malah entah bagaimana aku menjadi tolol dan suatu hari di hadapannya aku bersumpah atas nama Tuhan bahwa aku tak akan ikut campur, tak akan turun tangan terhadap segala perbuatannya, juga terhadap segala perbuatan muridnya bila kelak dia mempunyai murid! Sekarang Lara Permani sudah mati. Dan Dewi Siluman itu adalah muridnya!
Aku tak bisa berbuat apa secara langsung terhadap kejahatan Dewi Siluman karena aku terikat sumpah!”
Wiro dan Inani termangu sejurus.
Wiro kemudian berkata. “Lara Permani kini sudah tiada. Berarti sumpah yang Kiai buat terhadapnya batal, tak berlaku lagi!”
Kiai Bangkalan geleng-gelengkan kepala. “Sumpah seorang manusia terhadap manusia sekaligus terikat pada Tuhan. Meskipun salah seorang dari mereka sudah mati, tapi yang masih hidup tetap terikat pada Tuhan yang telah menyaksikan sumpahnya itu!”
“Kalau begitu kejahatan Dewi Siluman tak akan bisa dibasmi,” kata Wiro.
“Kaulah yang akan membasminya!” jawab Kiai Bangkalan.
“Tapi ilmuku sangat dangkal sekali Kiai. Kalau kau bisa memberikan sedikit petunjuk….” Kiai Bangkalan tersenyum.
“Di Goa Belerang ini telah kujanjikan padamu untuk datang mengetahui tingginya gunung dalamnya lautan. Meski aku terikat sumpah dan tak bisa turun tangan secara langsung, namun ada cara lain bagiku untuk berbuat kebaikan. Jika cara ini dianggap melanggar sumpah, biarlah badan yang tua renta ini rela menerima hukumannya!”
Dari balik pakaiannya Kiai Bangkalan mengeluarkan secarik kertas putih. Kertas itu disodorkannya ke hadapan Wiro Sableng seraya berkata. “Dengan inilah kau bakal bisa menumpas kejahatan Dewi Siluman.”
Wiro menerima kertas itu dan menelitinya. Di atas kertas putih ini ternyata ada dua bait tulisan yang berbunyi.

Ilmu Seribu Siluman Mengamuk teramat sakti.

Hanya suara yang sanggup mengalahkannya.

“Kiai, aku tak mengerti maksud tulisan ini. Mohon petunjukmu….”
Kiai Bangkalan hela nafas dan gelengkan kepala. “Tak mungkin orang muda. Aku terikat dengan sumpah. Aku tak bisa menerangkan langsung kelemahan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk kepadamu. Kau harus pecahkan sendiri rahasia yang ada di dalam dua bait tulisan itu…. Kuharap kau tak bertanya lebih jauh.”
Wiro membaca lagi dua bait tulisan itu lalu memasukkan kertas tersebut ke balik pakaiannya.
Kiai Bangkalan berpaling pada Inani. Dia tersenyum dan berkata. “Meski tempo hari aku marah sekali melihat kau datang kemari tapi sebenarnya diam-diam aku merasa gembira karena kau bisa membantuku untuk melaksanakan cita-cita baikku. Kau ingat bagaimana aku telah membersihkan otakmu serta kawan-kawanmu dengan sejenis obat?” “Ingat Kiai.”
Kiai Bangkalan keluarkan sebuah botol berisi cairan hitam. “Aku telah meramu lagi sejenis obat baru,” katanya dan meletakkan botol kecil itu di hadapannya. “Kau harus ikut bersama Wiro ke Bukit Tunggul dan menolong kawan-kawanmu yang sudah dikotori otaknya oleh Dewi Siluman.
Bagaimana caranya terserah padamu, yang penting kau harus dapat meminumkan setetes obat ini ke dalam mulut kawan-kawanmu sehingga mereka kembali menjadi bersih otaknya dan kembali ke jalan yang benar! Aku tak mengizinkan kau membunuh seorang pun dari mereka! Semua kawankawanku tersesat karena tidak sadar!”
“Tapi mana mungkin aku sanggup, Kiai? Setiap kawan-kawanku sakti semua dan jumlah mereka banyak!” kata Inani.
“Kau tak usah khawatir. Aku akan turunkan ilmu gerakan cepat padamu sehingga kau dengan mudah bisa menotok mereka lalu memasukkan setetes obat ini ke dalam mulut mereka!”
Inani gembira sekali. Buru-buru dia menjura dan mengucapkan terima kasih. Kiai Bangkalan memandang pada Wiro. “Orang muda, kuharap kau jangan kecewa karena saat ini aku tidak memberikan ilmu apa-apa padamu. Tapi di lain hari, bila tugasmu sudah selesai di Bukit Tunggul kuharap kau suka datang kemari untuk menerima pelajaran ilmu pengobatan dariku.”
Gembiralah Wiro Sableng dan buru-buru dia menjura serta mengucapkan terima kasih.
“Sebelum kalian pergi,” kata Kiai Bangkalan pula. “Ada satu hal yang harus kalian ingat, terutama kau orang muda karena kaulah yang bakal berhadapan dengan Dewi Siluman. Musti disadari bahwa sesungguhnya kejahatan yang dibuat oleh manusia itu adalah karena dipengaruhi oleh suasana sekitarnya, dipengaruhi oleh keadaan duniawi di sekelilingnya. Pada dasarnya semua, manusia adalah baik. Karena itu kuharap kau jangan menurunkan tangan maut terhadap Dewi Siluman.”
“Tapi Kiai, perempuan itu telah membuat kejahatan yang tak bisa diampunkan. Puluhan manusia tak berdosa telah dibunuhnya!” kata Wiro pula.
“Betul. Itu memang betul. Namun demikian soal nyawa manusia bukanlah urusan kita.
Nyawa orang lain bukan milik kita. Soal nyawa adalah hak dan kuasanya Tuhan kita manusia sekali-kali tidak diperbolehkan membunuh, kecuali dalam perang atau pertempuran di mana kita benar-benar sudah terdesak. Karena itu usahakanlah dulu untuk menyadari Dewi Siluman dari segala kejahatannya, bersihkanlah otaknya dengan obat ini!” Lalu Kiai Bangkalan mengeluarkan sebutir pil hitam dan diberikan kepada Wiro. “Bila nanti ternyata usahamu gagal, baru kau boleh menurunkan tangan maut. Itupun bila kau terdesak dan tak punya jalan lain lagi! Nah sekarang pergilah!”
“Terima kasih atas segala petunjukmu Kiai,” kata Wiro Sableng sambil menjura dalam.
Inani juga melakukan hal yang sama. Sewaktu mereka mengangkat kepala kembali ternyata Kiai Bangkalan telah lenyap. Bukan main terkejutnya mereka. Benar-benar luar biasa cepatnya gerakan orang tua itu. Wiro geleng-gelengkan kepala. Sementara itu Inani berdiri dengan paras berubah.
“Ada apa?” tanya Wiro.
“Waktu aku menjura tadi, kurasa ada yang menepuk bahu kananku dengan keras. Sekarang tubuhku terasa ringan sekali macam kapas!”
Wiro Sableng kerenyitkan kening. Tiba-tiba dia ingat akan ucapan Kiai Bangkalan bahwa dia hendak menurunkan ilmu kecepatan gerak pada gadis itu.
“Mungkin itulah cara dia menepati janjinya!” kata Wiro. “Coba kau berkelebat!”
Inani tekankan kedua kakinya ke lantai. Tubuhnya bergerak dan kejap itu pula lenyap dari pandangan mata Wiro Sableng, sedetik kemudian muncul lagi di hadapannya.
“Saudara! Aku benar-benar tak mengerti bagaimana gerakanku bisa sehebat ini!” seru Inani gembira.
Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala “Benar-benar aneh sekali cara Kiai Bangkalan menurunkan ilmunya kepadamu,” kata Wiro pula. “Kau beruntung Inani, eh, bukankah namamu Inani…?”
Si gadis anggukkan kepalanya malu-malu. “Kau sendiri siapa?”
“Panggil aku Wiro,” jawab Pendekar 212.
“Bagaimana kalau kita berangkat ke Bukit Tunggul sekarang?” tanya Inani.
“Memang lebih cepat lebih baik. Tapi untuk membuat urusan dengan Dewi Siluman kita tunggu sampai besok pagi. Nah, ayolah!”
Kedua orang itu pun dengan segera meninggalkan Goa Belerang. Meskipun malam itu bulan purnama bersinar terang namun dengan susah payah baru akhirnya Inani dan Wiro bisa keluar dari dasar air terjun.

14

Di ufuk timur fajar kelihatan sudah menyingsing. Sebentar lagi sang surya penerang jagat akan memunculkan diri, merenggutkan malam menggantikannya dengan pagi hari yang kemudian disusul oleh kedatangan siang. Dua titik putih dan biru kelihatan remang-remang bergerak sangat cepat dari arah tenggara. Ternyata dua titik ini adalah sosok tubuh Inani dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tengah malam tadi mereka berkemah di tepi rimba belantara dan menjelang pagi baru meneruskan perjalanan ke Bukit Tunggul. Satu keuntungan bagi Wiro karena dia bersama Inani sehingga tak usah bersusah payah mencari di mana letaknya Bukit Tunggul. Tepat pada saat matahari munculkan diri di ufuk timur maka kedua orang itu sudah berada di kaki bukit sebelah timur. Sementara keduanya mencari mulut terowongan yang akan membawa mereka ke Istana Dewi Siluman, tiga sosok bayangan biru muncul menghadang mereka.

“Hai Inani! Kau rupanya!” seru salah seorang dan ketiga gadis baju biru yang bukan lain dari anak-anak buah Dewi Siluman yang habis melakukan perondaan.
“Hai!” seru Inani sambil lambaikan tangan kanan. Dan saat itu juga ketiga gadis baju biru itu merasakan tubuh mereka kaku tegang tak sanggup lagi bergerak maupun bicara.
“Hebat sekali totokanmu, Inani!” kata Wiro memuji dengan tersenyum.
Inani cepat-cepat keluarkan botol obat hitam lalu dimasukkannya cairan itu masing-masing setetes ke dalam mulut ketiga gadis itu, kemudian bersama Wiro dia segera tinggalkan tempat itu Sementara itu di sebuah kamar yang bagus luar biasa di anjungan pertama, Dewi Siluman masih berbaring bermalas-malasan di atas pembaringan yang hangat lembut. Hari telah siang tapi malas sekali dia turun dari tempat tidur. Dia tahu bahwa anak-anak buahnya telah menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan mandi pagi, di kolam dan mereka baru akan muncul jika dia sudah memanggil.
Dewi Siluman memperhatikan tubuh dan parasnya di kaca dalam kamar itu. Kemudian dia teringat pada Inani. Jika gadis itu tidak sedang menunaikan tugas, pagi-pagi seperti itu biasanya dia telah memetik kecapi memberikan hiburan. Dewi Siluman menghitung-hitung hari. Kekhawatiran untuk kesekian kalinya menyamaki hatinya. Kepergian Inani bersama Sarinten, Wakani dan Laruni sampai pagi itu tiada kabar beritanya. Apakah telah terjadi pula hal-hal yang tak diinginkan dengan mereka? Tapi kekhawatirannya itu agak berkurang sedikit kalau dia ingat bahwa Laruni adalah anak buahnya yang paling tinggi kepandaiannya.
Akhirnya Dewi Siluman juga berbaring berlama-lama. Dia bangun dan duduk sebentar di tepi tempat tidur, memandang ke kaca, lalu sambil melangkah ke kaca besar itu ditanggalkannya pakaian tidurnya yang terbuat dari sutera biru halus berbunga-bunga hitam. Tanpa selembar benang pun menutupi badannya sang Dewi berdiri di muka kaca. Betapa indah potongan tubuhnya, betapa halus mulus kulitnya. Tapi betapa rindunya seluruh tubuh itu akan sentuhan tangan seorang laki-laki.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk orang.
Dewi Siluman memperhatikan kaca dari mana sekaligus dia dapat melihat pintu kamar itu.
Siapa pula yang mengganggunya, pikir sang Dewi. Mungkin Laruni atau seorang anak buahnya yang datang membawa kabar tentang Laruni dan kawan-kawannya. Maka Dewi Siluman mengenakan pakaian tidurnya kembali dan berkata. “Masuk!”
Pintu kamar terbuka.
Dan kagetlah Dewi Siluman. Yang masuk bukanlah Laruni, bukan pula salah seorang anak buahnya, melainkan seorang pemuda berpakaian putih-putih, berambut gondrong dan berparas gagah.
Walau bagaimana pun kejam dan jahatnya hati seorang perempuan, namun dalam hal-hal tertentu dia tak dapat menyembunyikan gerak refleks keperempuannya. Dewi Siluman segera rapatkan pakaian tidurnya yang tipis lalu membentak marah, meski tidak seratus persen marah.
“Orang muda? Siapa kau yang berani berlaku lancang masuk ke kamarku?!”
Pemuda itu sunggingkan seulas senyum.
“Apakah aku berhadapan dengan Dewi Siluman Dari Bukit Tunggul?” tanyanya.
“Betul! Lekas terangkan siapa kau! Bagaimana kau bisa masuk ke Istanaku ini?!”
“Kalau aku tidak salah, bukankah Dewi selama ini mencari-cariku…?”
Berdebarlah hati Dewi Siluman.
“Jadi kau adalah pemuda yang tempo hari melarikan diri sewaktu mau ditangkap?!”
“Betul sekali Dewi. Barangkali kau bisa menerangkan salah apa yang kubuat sampai diriku hendak ditawan oleh orang-orangmu?”
Dewi Siluman tertawa. Sungguh merdu suara tertawanya laksana taburan mutiara yang berderai di lantai batu pualam.
“Sebelum kujawab pertanyaanmu harap terangkan dulu apa yang telah kau lakukan terhadap delapan orang anak buahku hingga mereka tidak kembali sampai saat ini. Lalu bagaimana kau bisa masuk ke tempat ini!”
“Soal delapan anak buahmu itu mana aku tahu. Bagaimana aku sampai ke sini, biasa saja.
Kau mencari-cariku berarti aku sama saja diundang datang ke mari. Malah anak buahmu mengantar dan menunjukkan kamarmu ini.”
Kembali Dewi Siluman tertawa merdu.
“Orang gagah, kuharap kau tahu di mana berada dan dengan siapa kau bicara….”
Pemuda berambut gondrong yang bukan lain dari Pendekar 212 adanya angguk-anggukkan kepala. “Nama besarmu sudah lama kudengar, Dewi. Namun sayang kebesaran namamu itu bukan karena pekerjaan baik, tapi akibat kejahatan luar biasa yang tiada taranya!”
Dewi Siluman naikkan hidungnya.
“Apakah maksud kedatanganmu ke Pulau Madura ini sengaja mencari dan menantangku?!”
“Kau bisa katakan demikian….”
Dewi Siluman tertawa panjang.
“Kau andalkan apakah maka berani membuat rencana dernikian?”
Wiro menjawab dengan balas tertawa.
Di atas sebuah meja di dalam kamar itu terletak sebuah patung perempuan menjunjung kendi yang terbuat dari emas. Beratnya kira-kira tiga kilogram. Dewi Siluman menunjuk pada patung itu dan berkata. “Kau lihat patung emas itu, orang muda?! Jika kau sanggup melakukan seperti yang akan kuperbuat baru kau pantas bermulut besar di hadapanku!”
Habis berkata begitu Dewi Siluman gerakkan tangan kanannya ke atas, telapak tangan menghadap ke patung emas di atas meja. Perlahan-lahan patung di atas meja bergerak, lalu laksana ada sebuah tangan yang tiada kelihatan mengangkatnya, patung yang beratnya tiga kilo itu naik ke atas, melayang mendekati tangan Dewi Siluman, berhenti tegak di ujung jari tengah Dewi Siluman, lalu melayang lagi kembali ke tempatnya di atas meja.
Dengan senyum di bibir Dewi Siluman berpaling pada Wiro Sableng. “Bagaimana?
Sanggupkah kau melakukannya? Jika tidak sebaiknya kau lekas-lekas berlutut minta ampun kepadaku! Kau tidak terlalu buruk untuk jadi hamba sahayaku!”
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dewi Siluman tertawa melihat tingkah pemuda ini.
Diam-diam memang Wiro Sableng mengagumi sekali kehebatan tenaga dalam Dewi Siluman. Meski demikian mana Pendekar 212 mau diremehkan begitu saja.
“Memang meniru seperti yang kau lakukan itu aku tidak bisa Dewi Siluman. Tapi coba kau lihat. Kau kurang teliti hingga patung itu kembali ke tempatnya dalam keadaan terbalik!”
Dewi Siluman palingkan kepala dengan rasa tak percaya. Ketika matanya membentur patung di atas meja, terkejutlah sang Dewi. Patung perempuan menjunjung kendi memang berdiri di atas meja tapi dengan kaki ke atas dan kepala serta kendi di sebelah bawah.
Dewi Siluman putar kepalanya kembali pada Wiro Sableng. Sedikitpun dia tidak melihat pemuda itu gerakkan tangannya. Tapi bagaimana patung itu bisa terbalik demikian. Tiba-tiba sang Dewi keluarkan tertawanya yang merdu.
“Tenaga dalammu boleh juga orang muda! Ilmumu cukup tinggi! Aku ada usul bagus untukmu!” Dewi Siluman melangkah ke tempat tidur. Dalam pakaian yang tipis itu Wiro dapat melihat jelas sekali sekujur tubuh Dewi Siluman. Sang Dewi kemudian duduk di tepi tempat tidur.
“Aku yakin kau akan menyetujui usulku ini. Tapi harap kau terangkan namamu lebih dulu.”
“Apakah namaku itu perlu betul bagimu?” tanya Wiro.
“Tentu!” jawab Dewi Siluman seraya matanya memandang penuh gairah ke paras Wiro. Di mulutnya bermain seulas senyum. Dan dia menambahkan. “Seorang gagah dan berilmu sepertimu ini musti diketahui dulu namanya!”
Wiro tersenyum. “Manusia dilahirkan tidak bernama,” katanya. “Karenanya tak perlu kuterangkan siapa namaku. Kau boleh panggil aku semaumu. Sekarang coba kau terangkan usul bagus yang kau katakan itu!”
“Orang muda, kau terlalu jual mahal namamu! Tapi tak apa, aku senang pada laki-laki yang berhati keras, betul-betul bernyali jantan! Dengar orang muda, walau kau tidak mau beri tahu nama, namun aku maklum bahwa kau memiliki ilmu yang cukup diandalkan. Setiap orang berilmu tinggi mempunyai cita-cita besar. Bagaimana kalau kita berdampingan satu sama lain dalam menguasai dunia persilatan?!”
Wiro merenung macam orang tua lalu manggut-manggut. “Usulmu memang bagus…,”
katanya. Paras Dewi Siluman kelihatan gembira. “Tapi,” sambung Wiro pula yang membuat Dewi Siluman kembali berubah parasnya. “Aku datang ke sini bukan untuk menerima segala macam usul atau membuat segala macam perjanjian….”
Paras Dewi Siluman menegang. “Lalu?” sentaknya seraya berdiri dari tempat tidur.
Wiro menatap paras jelita itu beberapa lamanya. Pandangan ini membuat sang Dewi bergetar hatinya.
“Segala sesuatu di dunia ini musti ada akhirnya,” Wiro Sableng membuka pembicaraan kembali. “Diakhiri atau berakhir sendirinya. Demikian pula dengan kejahatan….”
Dewi Siluman hendak membentak memotong ucapan Wiro Sableng. Tapi di bawah sorotan mata si pemuda mulutnya tak kuasa dibukanya. Dia tegak tak bergerak di tempatnya.
“Setiap tokoh silat adalah wajar kalau mempunyai cita-cita untuk menguasai dunia persilatan. Namun caranya juga musti cara wajar. Bukan dengan kejahatan tanpa peri kemanusiaan.
Bukan dengan jalan membunuh anak-anak atau perempuan-perempuan atau manusia-manusia tak berdaya dan tak berdosa. Bukan dengan menipu tokoh-tokoh silat, mengundang mereka ke mari lalu menjebloskannya di Ruang Penyiksaan….”
Dewi Siluman terkejut amat sangat. Dari mana si pemuda tahu akan hal itu? Tapi untuk bertanya lagi-lagi mulutnya takluk membisu di bawah pandangan mata Pendekar 212.
“Bukan pula dengan menculik gadis-gadis cantik lalu, meracunnya dengan obat kesetanan!
Hendak menguasai dunia persilatan dengan cara seperti itu bukan saja tak akan berhasil, tapi akan membawa pelakunya pada satu kehancuran yang mengerikan, Kehancuran itulah suatu akhir.
Hancur sendiri atau dihancurkan. Dan kurasa kau tak mau menemui kehancuran atau dihancurkan, Dewi Siluman. Bukankah begitu…?”
Tenggorokan Dewi Siluman turun naik. Tiba-tiba meledaklah kemarahannya. “Orang muda!
Bicaramu keliwat pandai! Apakah kau juga pandai menerima pukulanku ini?!”
Laksana kilat Dewi Siluman hantamkan tangan kanannya ke arah Wiro. Satu larik sinar biru yang amat panas menderu. Di seberang sana Pendekar 212 berkelebat dan “brak!” Dinding kamar di belakangnya hancur lebur, runtuh merupakan satu lobang besar kini.
“Kau menghancurkan dirimu sendiri, Dewi Siluman,” desis Wiro Sableng disertai lontaran senyum. “Tidak sukar untuk kembali ke jalan yang baik. Di jalan yang baik itu kau akan melihat satu jalan lurus yang wajar untuk menguasai dunia persilatan ini!”
Dewi Siluman melotot besar sewaktu melihat Pendekar 212 berhasil mengelakkan diri dari serangan “Angin Biru”nya tadi.
“Orang muda, pintu masih terbuka bagimu untuk menguasai dunia persilatan ini bersamaku menurut caraku!”
“Menyesal sekali, Dewi….”
“Kau yang akan menyesal jika kau menolaknya!” tukas Dewi Siluman. “Meski ilmumu setinggi langit tapi tak satu manusia pun yang bisa menghancurkanku!”
“Bukan orang lain yang akan menghancurkanmu, tapi kau sendiri,” sahut Pendekar 212.
Dewi Siluman tertawa aneh. Dia kembali duduk di tepi tempat tidur.
“Jangan kelewat memandang sebelah mata terhadap Dewi Siluman, orang muda. Kalau aku tidak melihat bahwa kau bakal mempunyai peruntungan baik bersamaku, siang-siang aku sudah hancurkan kepalamu!” Dewi Siluman tertawa lagi lalu rebahkan dirinya perlahan-lahan di atas tempat tidur. Pakaian tidurnya tersibak dan menjulai ke lantai yang ditutupi permadani tebal. Mata Pendekar 212 mengecil, sejenak hatinya digelorai oleh darah muda.
“Orang gagah, kemarilah!” panggil Dewi Siluman. Suaranya berubah merdu tidak membentak lagi.
Wiro tetap berdiri di tempatnya.
“Kemarilah….” Dewi Siluman lambaikan tangannya.
Pendekar 212 melangkah. Dia berhenti satu tombak dari samping tempat tidur. Gelora darah mudanya semakin menyentak-nyentak.
Dewi Siluman menopang dagunya dengan telapak tangan kanan, memandang gairah pada si pemuda lalu berkata. “Seluruh isi Istana ini akan menjadi milikmu, orang muda. Dunia persilatan akan berada di tanganmu. Dan kita hidup berdua di sini. Bukankah indah sekali…?” Dewi Siluman menggerak-gerakkan kakinya.
“Kedengarannya memang begitu,” sahut Wiro. “Tapi akan lebih indah lagi bila kau mau menelan pil ini….”
Dewi Siluman kerenyitkan kening sipitkan mata dan memandang pada sebuah benda kecil hitam di tangan Wiro Sableng.
“Pil apa itu?” tanya Dewi Siluman acuh tak acuh.
“Pada dasarnya manusia itu semuanya berhati dan berpikir baik. Tapi kekotoran duniawi meracuni hati dan pikirannya. Obat ini akan sanggup membersihkan kembali racun hati dan racun pikiran yang jahat itu, Dewi Siluman!”
Dewi Siluman tertawa berderai.
“Maksudmu kau mau mengobati diriku, orang muda?”
Wiro anggukkan kepala.
Dewi Siluman tertawa lagi panjang-panjang.
“Hanya orang sakit yang minum obat. Aku tidak sakit.”
“Kau memang sakit Dewi Siluman, sudah sejak lama,” kata Wiro pula.
Dewi siluman luruskan kedua kakinya yang mulus bagus.
“Aku akan telan pil itu,” kata Dewi Siluman. “Tapi dengan satu syarat.”
“Apa?”
“Berbaringlah di sampingku.”
Bergelegar dada Pendekar 212. Darah muda di tubuhnya laksana hempasan ombak yang memukul batu karang di pantai curam.
“Kau perlu istirahat, orang gagah. Kau perlu tidur,” kata Dewi Siluman penuh genit.
Kegenitan yang mengandung racun.
“Soal tidur soal gampang Dewi,” kata Wiro dengan menahan kobaran darah mudanya.
“Kebaikan adalah yang paling dulu musti dikerjakan. Kuharap kau bersedia menelan obat ini….”
Dewi Siluman tersenyum.
“Aku ingin sekali menghiburmu, tapi sayang, gadis pemetik kecapi itu tak ada di sini….”
“Inani maksudmu? Aku telah bertemu dengan dia.”
Kagetlah Dewi Siluman.
“Dan bukan dia sendiri. Dewi, tapi juga tujuh orang lainnya….”
“Kau apakan mereka?”
“Mereka gadis-gadis cantik yang kini menjadi kawan-kawanku. Otaknya telah dicuci!”
“Kau yang melakukannya?!”
“Kiai Bangkalan!”
Membersilah paras Dewi Siluman. Dadanya menggemuruh. Tapi gelora amarah ini kemudian mengendur sedikit. Dia duduk di tepi tempat tidur kembali.
“Aku tak perduli dengan mereka. Aku bisa melupakan mereka, juga kakek-kakek keparat, bernama Kiai Bangkalan itu. Tapi kau musti menjadi milikku, orang muda, musti!” Dan habis berkata begitu Dewi Siluman buka pakaian tidurnya lalu dalam keadaan tanpa pakaian selembar benang pun dia melangkah ke hadapan Wiro Sableng.
Mulut Pendekar 212 komat-kamit. Digaruknya kepalanya. Dia bergerak ke samping sewaktu Dewi Siluman melompatinya.
“Orang muda, apakah aku tak boleh memelukmu? Apakah aku tak boleh menyentuh tubuhku pada tubuhmu…?”
“Boleh saja tapi sekarang bukan saatnya.”
“Justru sekarang inilah saatnya” dan Dewi Siluman menerjang ke muka hendak meraih tubuh Wiro Sableng. Sekali lagi Wiro berkelit.
“Kau keterlaluan orang muda! Apakah aku harus mengemis terhadapmu?! Peluk aku orang muda. Cium parasku, bibirku, dadaku… semuanya….”
“Buset!” ujar Wiro Sableng dalam hati sementara Dewi Siluman melangkah mendekatinya.
“Dengar Dewi, aku akan cium kau mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki. Tapi telan pil ini….” Wiro acungkan tangan kanannya, Tiba-tiba Dewi Siluman berseru nyaring. Tubuhnya berkelebat laksana kilat. Pendekar 212 terkejut hebat sewaktu lengannya dipukul oleh Dewi Siluman hingga pil hitam yang dipegangnya mental ke udara? Sebelum dia bisa berbuat suatu apa, pil itu sudah berada dalam genggaman Dewi Siluman. Sekali tangan itu meremas maka hancurlah pil pembersih otak dan hati itu.
“Sekarang tidak ada lagi segala macam obat terkutuk! Yang ada kau dan aku! Mari orang muda… mari…!”
Pendekar 212 mulai beringasan dan penasaran.
“Aku telah datang membawa kebaikan untukmu Dewi Siluman! Tapi kejahatan di dalam dirimu memang sudah sedalam lautan setinggi langit! Aku tunggu kau di taman Istana!”
“Kau mencari mati orang muda?!”
“Dan kau mencari mampus!”
“Bedebah!” maki Dewi Siluman. Dia tepukkan tangannya tiga kali berturut-turut dan memandang berkeliling dengan heran.
“Aha… kau memanggil anak-anak buahmu Dewi Siluman? Mereka tak akan muncul!
Semuanya telah dicekok dengan obat pembersih otak!”
Kaget Dewi Siluman bukan main.
“Manusia tolol! Diberi kesenangan malah minta mati percuma! Aku akan siksa kau di Ruang Penyiksaan! Aku akan rebus tubuhmu!”
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Ruang Penyiksaan hanya tinggal nama saja lagi!” sahutnya. “Tiga tokoh silat yang masih hidup sudah kubebaskan dan ruangan itu hanya merupakan puing-puing hancur, satu pertanda bagi kehancuranmu sendiri! Aku tunggu kau di taman! Jika otakmu masih diracuni oleh kejahatan, taman itu akan menjadi kuburmu! Dan jangan coba-coba larikan diri Dewi. Setiap jalan rahasia sudah dijaga!”
“Setan alas! Mampuslah!” teriak Dewi Siluman. Kedua tangannya dipukulkan ke muka.
“Wuss!”
Dua sinar biru menderu ganas. Tapi Wiro Sableng sudah tendang pintu dan keluar dari kamar itu.

*

* *

15

Suasana di taman Istana yang indah itu kini diselimuti kesunyian yang menggidikkan.

Pendekar 212 Wiro Sableng duduk di atas batu rata, di hadapan sebuah arca. Di setiap sudut taman berdiri berkelompok-kelompok gadis-gadis berbaju biru. Mereka adalah bekas anak buah Dewi Siluman yang telah “dibersihkan” otaknya oleh Inani dengan obat yang diberikan Kiai Bangkalan.
Kalung tengkorak yang biasanya tergantung di leher mereka kini tak kelihatan lagi.
Kesunyian itu dipecahkan oleh suara siulan yang keluar dari mulut Pendekar 212. Inani geleng-gelengkan kepala. Di saat yang penuh ketegangan itu Wiro masih bisa bersiul seperti seorang yang tengah menunggu saat gembira. Dia melangkah mendekati arca di mana Wiro duduk.
“Apakah kau sudah berhasil memecahkan rahasia kelemahan Dewi Siluman dalam dua bait tulisan yang diberikan Kiai Bangkalan?” tanya Inani.
Wiro gelengkan kepala. Dia terus juga bersiul-siul.
“Kau belum tahu rahasia kelemahannya! Dan kau telah berani menantangnya di sini!” ujar Inani dengan paras tegang.
“Semuanya telah kasip Inani. Ini adalah saat penentuan. Kalau tidak dia, aku yang. bakal meregang nyawa. Mudah-mudahan saja itu perempuan bisa menyadari kejahatannya sebelum datang ke sini dan bertobat!”
“Jangan harapkan hal itu Wiro!” desis Inani.
“Kau bersiaplah Inani. Sesuai dengan rencana kau baru turun tangan dalam jurus ketiga….
Jika aku gagal, semua kawan-kawanmu harus menyerbu!”
Inani mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi mulutnya mendadak sontak terkancing. Matanya memandang ke arah tangga batu pualam yang menghubungi langkan Istana di hadapan taman dengan anjungan pertama. Sepasang kaki yang bagus kelihatan melangkah menuruni anak tangga demi anak tangga. Orang yang melangkah ini sampai ke langkan dan dia bukan lain dari Dewi Siluman.
Dewi Siluman telah berganti pakaian. Pakaian biru ringkas yang dikenakannya dihiasi dengan manik-manik bergemerlapan. Sikapnya melangkah begitu agung dan penuh wibawa.
Hidungnya naik ke atas dan Dewi Siluman hentikan langkahnya di tepi kolam.
Wiro Sableng hentikan suara siulannya.
Kedua manusia ini beradu pandang sesaat lalu Dewi Siluman memandang berkeliling, menyapu para anak buahnya satu demi satu. Kemudian sang Dewi menengadah ke langit. Dan dari mulutnya keluarlah suara.

Langit pagi begini cerah,

Sang surya bersinar terang

Udara segera melapangkan dada,

Tapi sungguh berubah,

Semua apa yang kupandang.

Dewi Siluman turunkan kepalanya lalu kembali memandangi anak buahnya satu demi satu.
“Anak-anakku,” katanya dengan suara lantang. “Aku perintahkan kalian untuk menangkap manusia yang duduk di depan arca itu!”
Tapi tak satu orang pun yang bergerak dari tempatnya.
Paras Dewi Siluman kini berubah.
“Apa semua kalian sudah tuli atau mulutku yang tak bisa bersuara lagi…?!” Dewi Siluman memerintah lagi dengan suara menggeledek. Tapi tetap saja tak ada yang bergerak.
“Apa yang telah terjadi dengan kalian?!” teriak Dewi Siluman. Suaranya bergetar dahsyat.
“Mana kalung tengkorak kalian?!”
“Dewi, mulai saat ini kami di sini bukan lagi anak-anak buahmu!” Yang bicara adalah Inani.
Dewi Siluman palingkan kepalanya.
“Kau yang bicara Inani? Alangkah bagusnya! Hebat!” Rahang Dewi Siluman menggembung.
Mukanya bermimik bengis. “Jadi semua kalian di sini bukan lagi anak buahku?!” Dewi Siluman tertawa panjang.
“Semua kalian akan menerima hukuman! Dan kau Inani! Kau yang bakal kupancung pertama kali!”
Pendekar 212 Wiro Sableng perlahan-lahan berdiri dan bergerak sejauh tiga langkah.
Kembali antara pendekar ini dan Dewi Siluman terjadi bentrokan pandangan.
“Dewi Siluman, apakah kau masih betum melihat jalan kebaikan? Apakah hatimu begitu kotor keras laksana gumpalan batu karang? Apakah pikiranmu begitu tumpul…?!”
Dewi Siluman mendengus.
“Delapan penjuru angin dunia persilatan negeri menyebut dan mendengar namaku! Apa aku musti takut terhadap manusia macammu?!”
Wiro Sableng tertawa pelahan.
Dewi Siluman berdiri berkacak pinggang tapi diam-diam dia salurkan seluruh tenaga dalamnya pada telapak tangan kiri kanan. Tiba-tiba, didahului oleh lengkingan dahsyat laksana mau membelah langit, Dewi Siluman membungkuk dan pukulkan kedua tangannya sekaligus ke muka.
Tanah yang dipinjaknya melesak lima senti.
Wiro yang sejak tadi juga telah siap waspada tidak terkejut melihat datangnya dua gelombang angin biru yang sangat panas menyerang ke arahnya. Pendekar ini sama sekali tidak mengelak dari tempatnya berdiri malah balas memukulkan kedua tangannya ke muka lepaskan dua pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Sekaligus dia hendak menjajaki sampai di mana ketinggian tenaga dalam lawannya. Dan terkejutlah Pendekar 212.
Begitu terdengar suara menggelegar akibat beradunya pukulan yang bertenaga dalam dahsyat itu maka tubuh Wiro Sableng terhuyung keras ke belakang. Dia hampir saja jatuh duduk di tanah kalau tidak lekas mengimbangi diri. Di hadapannya Dewi Siluman keluarkan suara tertawa panjang. Ternyata tenaga dalam Pendekar 212 lebih rendah dari Dewi Siluman. Diam-diam pemuda berambut gondrong ini tergetar hatinya tapi dia tidak takut.
“Kalau kehebatanmu cuma sebegitu, tak sukar bagiku untuk meringkusmu, pemuda tolol!”
kata Dewi Siluman. Dan segera dia loloskan kalung tengkorak di lehernya sedang tangan kiri keluarkan segulung benang sutera halus berwarna biru.
“Jurus kedua ini adalah jurus terakhirmu!” kata Dewi Siluman.
Dengan ilmu menyusupkan suara, Inani peringatkan Wiro Sableng. “Cepat keluarkan senjatamu. Kau tak bakal kuat menghadapinya dengan tangan kosong! Benang sutera itu lihai sekali!”
Di saat Wiro merasa ragu-ragu untuk keluarkan senjata maka Dewi Siluman melangkah sambil acungkan kalung tengkorak.
“Kau lihat tengkorak ini? Nasib tengkorak kepalamu tidak lebih baik dari ini! Tengkorakmu cukup bagus untuk diramu sampai kecil dan dijadikan kalung!”
Lalu dengan sebuah jurus bernama “Petir Menyambar Naga Berenang” Dewi Siluman menyerbu. Kalung tengkorak di tangan kanannya laksana bola baja menyambar ganas ke kepala Wiro sedang benang sutera biru di tangan kirinya melesat ke muka untuk melihat bagian tubuh Pendekar 212 yang menjadi sasaran.
“Wiro! Keluarkan senjatamu cepat!” teriak Inani.
Tapi Wiro menyambut serangan lawan dengan Pukulan Sinar Matahari.
Kalung tengkorak di tangan Dewi Siluman hancur lebur. Suaranya laksana letusan meriam sewaktu dihajar Pukulan Sinar Matahari Pendekar 212 tapi di lain pihak sang pendekar sendiri dibikin kaget karena pada detik itu benang sutera biru lawan telah melibat pergelangan tangan kanannya sampai ke ujung-ujung jari. Wiro coba menyentakkan tapi tiada guna, libatan benang sutra semakin ketat. Pendekar 212 lepaskan Pukulan Sinar Matahari ke arah Dewi Siluman, kali ini dengan tangan kiri, tapi sebelum kesampaian sang Dewi sudah hantam lengan kiri itu dengan lengan kanannya. Masing-masing merasa sakit namun Wiro lebih menderita sedang libatan benang di tangan kanannya belum terlepas.
Inani tak menunggu lebih lama. Segera gadis ini berkelebat dan laksana kilat lepaskan totokan jarak jauh yang lihai ke arah Dewi Siluman.
Dewi Siluman yang tengah hendak melibat sekujur tubuh Wiro dengan benang suteranya ternyata betul-betul luar biasa. Dia masih sempat merasakan datangnya bahaya yang mengancam.
Padahal kecepatan gerakan Inani tadi tidak seorang pun yang melihatnya.
Sang Dewi rundukkan tubuh untuk hindarkan sambaran angin yang dirasakannya menyerang ke urat lehernya. Tapi anehnya sambaran angin itu mengikuti gerakannya. Mau tak mau Dewi Siluman terpaksa lepaskan gulungan benang dan pergunakan tangan kirinya untuk menangkis angin serangan lawan.
Bukan saja angin totokan Inani buyar berantakan, tapi pukulan Dewi Siluman terus melanda tubuhnya. Karena tenaga dalam Inani jauh lebih rendah tak ampun lagi gadis ini mencelat sampai delapan tombak, terguling di tanah, masuk ke dalam kolam. Inani kelihatan seperti hendak berenang tapi tubuhnya kemudian tenggelam sedang air kolam tampak merah oleh darah yang muntah dari mulutnya.
Melihat ini Laruni segera melompat, ceburkan diri keadaan kolam lalu menyeret Inani keluar. Tubuh Inani dibaringkannya di satu tempat yang aman dan diberi pertolongan sedapatdapatnya.
Sebenarnya Dewi Siluman merasa terkejut akan kehebatan angin pukulan aneh yang tadi dilepaskan Inani. Namun kini terdengar suara tertawanya mengekeh.
“Itu contoh pertama buat manusia-manusia murtad yang berkhianat terhadap Dewi Siluman!” berkata sang Dewi dengan seringai bengis. Dia lalu cepat-cepat palingkan kepala ke arah Wiro Sableng. Kegusarannya tiada tara sewaktu melihat Pendekar 212 berhasil melepaskan benang sutra yang melibat sebagian tangan kanannya.
“Benangmu ini cukup lihai Dewi. Aku mau lihat apakah kau sendiri sanggup menghadapinya!” kata Wiro.
Dewi Siluman ganda mendengus. Dia mundur beberapa langkah lalu berlutut di atas rumput.
Mata dipejamkan sedangkan kedua tangan bersidekap di muka dada.
“Saudara!” seru Laruni terkejut. “Hati-hati! Dia hendak keluarkan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk!”
Pendekar 212 yang memang sudah diberi tahu kehebatan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk itu segera lesatkan benang sutera biru di tangannya. Laksana seekor ular, benang itu meluncur ke arah Dewi Siluman, tapi anehnya satu tombak dari hadapan sang Dewi, benang itu tak mau lagi meluncur, melainkan membelok-belok kian ke mari menjauhi sasarannya.
“Sialan!” maki Pendekar 212. Gulungan benang di tangannya dilemparkan ke kolam.
Sementara itu dari ubun-ubun Dewi Siluman Wiro melihat asap hitam mengempul bergulungscan gulung. Waktu dia memandang berkeliling, tak seorang gadis baju biru pun dilihatnya. Pasti mereka telah sembunyikan diri karena takut akan ilmu sang Dewi.
Sepasang mata Pendekar 212 tidak berkesip dan memandang ke arah Dewi Siluman penuh waspada. Kepulan asap semakin tebal. Seluruh tubuh Wiro Sableng sudah tergetar oleh aliran tenaga dalam kedua kaki merenggang. Hatinya tegang sekali menunggu detik demi detik.
Tiba-tiba dari mulut Dewi Siluman terdengar suara seperti orang menangis. Dan suara seperti tangisan ini kemudian berganti dengan lengking-lengking jeritan yang merobek langit mengerikan. Kepulan asap sudah menebar di mana-mana. Dewi Siluman ganti suara lengkingannya dengan teriakan macam lolongan serigala lapar. Anehnya, gumpalan-gumpalan asap kini kelihatan memecah cepat dalam ratusan gumpalan kecil yang kemudian mengembang tambah besar… tambah besar. Ketika Wiro memperhatikan gumpalan-gumpalan asap hitam ini terkejutlah dia. Setiap gumpalan telah berubah menjadi sosok-sosok tubuh makluk-makhluk yang mengerikan. Tubuhnya
hanya sebatas dada ke atas dan lima kali tubuh manusia besarnya. Makhluk-makhluk aneh ini bermuka sangat mengerikan, rambutnya awut-awutan, mata merah besar, lidah menjulur lebar keluar sedang taring dan gigi-giginya menjorok besar-besar.
Dewi Siluman menjerit.
Ratusan makhluk jadi-jadian itu balas menjerit dan masing-masing angkat tangan mereka.
Ternyata masing-masing mempunyai enam pasang tangan. Dan setiap tangan berkuku hitam.
“Bunuh manusia itu!” teriak Dewi Siluman. Matanya masih meram, tangan masih mendekap dada dan tubuhnya masih berlutut di rumput.
Ratusan makhluk siluman menjerit dahsyat dan menyerbu berserabutan ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Tak ayal lagi-Pendekar 212 segera cabut Kapak Naga Geni 212. Dari mulutnya keluar bentakan keras dan sekali kapak diputar terus melanda ke arah makhluk-makhluk siluman yang datang menyerbu. Belasan makhluk yang tersambar Kapak Naga Geni 212 menjerit, darah muncrat dari tubuh masing-masing. Tapi anehnya makhluk-makhluk ini tidak musnah malah dari setiap tetes muncratan darah berubah menjadi makhluk siluman baru sehingga dalam sekejap saja jumlahnya telah bertambah ratusan bahkan mungkin sudah ribuan kini.
Sewaktu makhluk-makhluk itu dengan ganasnya menyerang kembali Wiro Sableng tak berani menghantam dengan Kapak Naga Geni. Tubuhnya berkelebat dan lenyap. Untuk beberapa lamanya dengan gesit dia berhasil mengelakkah setiap serangan yang dilancarkan oleh ratusan makhluk siluman itu. Dari samping, dari atas dan dari bawah tiada kunjung hentinya datang serangan. Sampai berapa lamakah Pendekar 212 sanggup pertahankan diri? Sementara itu dalam keadaan yang mulai terjepit itu Wiro masih juga belum berhasil memecahkan rahasia kelemahan ilmu seribu siluman mengamuk yang tersembunyi di balik dua rangka kalimat: Ilmu Seribu Siluman mengamuk teramat sakti. Hanya suara yang sanggup mengalahkannya!
Telinga Pendekar 212 mulai sakit oleh kedahsyatan luar biasa jeritan-jeritan ratusan makhluk siluman yang datang menyerangnya. Meski dia sudah tutup indera pendengarannya tetap saja suara jerit lengking yang mengerikan itu masuk menerobos liang-liang telinga dan pada jurus pertempuran kedua belas kedua telinga Pendekar 212 mulai keluarkan darah.
“Mampuslah aku!” keluh Wiro dalam hati.
Baru saja dia mengeluh demikian, satu sambaran tangan lawan tak bisa dielakkannya.
“Breet!”
Robeklah pakaian Wiro Sableng. Dadanya tergurat luka disambar kuku dari makhluk siluman dan tubuhnya dengan serta merta menjadi panas. Wiro cepat telan sebutir pil lalu melompat enam tombak dan tekan gagang Kapak Naga Geni 212 di bagian leher kepala naga-nagaan. Ratusan jarum hitam menderu ke arah makhluk-makhluk siluman. Tapi laksana seseorang menepuk air hujan, makhluk-makhluk itu sekali kebutkan enam pasang tangan maka mentallah semua senjata rahasia yang dilepaskan Wiro.
Pendekar 212 sambil melayang turun kirimkan pukulan Benteng Topan melanda Samudera sedang kapak diputar dengan gerakan Orang Gila Mengebut Lalat! Dua gelombang angin yang dahsyat luar biasa melanda tubuh makhluk-makhluk siluman. Tapi tak ada gunanya serangan itu karena makhluk-makhluk ini seperti tiada merasakan apa-apa malah dengan cepat menyerbu tambah dekat. Sewaktu Wiro dalam keadaan yang sudah kepepet lepaskan pukulan sinar matahari dengan tangan kiri, makhluk-makhluk siluman itu meniup ke muka dan menjerit-jerit lebih dahsyat.
Pukulan sinar matahari membalik menyerang Pendekar 212 sendiri. Wiro menjerit keras.
Untuk melompat kembali ke atas tidak mungkin. Terpaksa dia buang diri ke samping dan bertabrakan dengan salah satu makhluk siluman. Untung saja Wiro masih sanggup jatuhkan diri dan berguling di tanah, kalau tidak pasti tubuhnya akan dihantam empat pasang tangan makhluk siluman. Ketika dia berdiri kembali, empat makhluk siluman menerjang ke arahnya. Tak ada jalan lain daripada hantamkan Kapak Naga Geni 212 ke muka. Empat makhluk meraung keras dan mandi darah. Muncratkan darah hanya menambah banyaknya jumlah makhluk siluman itu saja. Sedang empat makhluk yang tadi disambar kapak kembali menyerbu dengan lebih buas. Pendekar 212 bersiul nyaring lalu lancarkan satu tendangan pada makhluk yang terdekat. Makhluk ini mental tiga tombak yang lainnya, disusul puluhan kawan-kawannya berhamburan ke muka. Di saaat itu Wiro Sableng terkurung di tepi kolam. Darah dari kedua liang telinganya telah membasahi pipi.
Pakaiannya robek-robek sedang kulit tubuhnya berselomotan darah bekas cakaran makhluk makhluk siluman.
Satu-satunya tempat untuk selamatkan diri ialah patung perempuan telanjang yang terdapat di tengah kolam. Tanpa menunggu lebih lama Wiro melompat ke atas kepala patung itu. Ketika puluhan makhluk siluman melayang ke arahnya maka Pendekar 212 segera keluarkan batu api dari balik pakaian. Begitu makhluk-makhluk itu. menyerbu, Wiro adu batu api dengan mata kapak. Satu gelombang angin menggebu ke arah makhluk-makhluk siluman. Gerakan puluhan siluman itu terhenti sejenak. Api menyambar tubuh mereka tapi sedikitpun tak membawa akibat apa-apa, malah bersama puluhan kawan-kawannya makhluk-makhluk yang kena disambar api ini cepat teruskan serbuan mereka.
Wiro Sableng lompat dari atas patung, melesat ke bagian lain dari kolam. Boleh dikatakan seluruh taman telah dipenuhi oleh makhluk-makhluk siluman. Sebentar saja Wiro berdiri di tepi kolam itu maka puluhan makhluk kembali menyerbunya, memaksa dia berkelebat cepat kian kemari untuk hindarkan diri “Tamatlah riwayatku!” keluh Wiro Sableng sewaktu satu tangan makhluk siluman menghantam punggungnya dengan keras, membuat dia berguling di rumput dan bangun dengan megap-megap, bergerak lagi dengan cepat untuk hindarkan serangan makhluk-makhluk siluman yang kembali datang menyerbu.
Pendekar 212 merasa tiada perlu lagi dia memegang Kapak Naga Geni 212 karena tidak bisa digunakan. Segera dia selipkan batu hitam ke balik pakaian dan hendak simpan Kapak Naga Geni 212. Tapi dia ingat bahwa masih ada satu kehebatan Kapak itu yang belum dikeluarkannya. Dengan hati meragu apakah kehebatan terakhir ini akan sanggup selamatkan dirinya Pendekar 212 balikkan senjata itu dan tempelkan mulut kepala naga-nagaan ke bibirnya. Maka terdengarlah suara tiupan seruling. Mula-mula perlahan, kemudian melengking keras, tinggi dan tajam, bergema ke setiap penjuru.
Ratusan makhluk siluman tampak tertegun. Suara jeritan-jeritan mereka mulai pelahan dan semakin tinggi nyaring suara seruling, jeritan-jeritan makhluk itu semakin berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali. Wiro kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tiupan seruling laksana deru ribuan tawon. Makhluk-makhluk siluman kelihatan bingung dan mundur, lalu menjerit dan berteriak-teriak aneh. Sekelompok demi sekelompok tubuh mereka kembali menjadi kepulan asap hitam untuk kemudian sirna tiada bekas.
Ketika keseluruhan makhluk siluman itu lenyap menjadi asap dan asap lenyap pula dari pemandangan maka kelihatan Dewi Siluman di tengah taman. Mukanya pucat pasi, dari telinga, hidung, mata serta mulut keluar darah kental. Sekujur badannya tergetar hebat.
Sewaktu Pendekar 212 tiup suling Kapak Naga Geni. Dewi Siluman tersentak kaget.
Bagaimanapun dia kerahkan tenaga dalam dan tutup pendengarannya namun suara seruling tak berhasil ditolaknya, terus menyeruak ke dalam liang telinga, mengacaukan jalan pikirannya serta menyentak-nyentak pembuluh darah, membuat aliran darahnya tidak teratur lagi.
Dewi Siluman coba bertahan dengan sekuat tenaga dan kesaktian yang dimilikinya, tapi kini dia telah ketemu batunya. Tiupan seruling Pendekar 212 yang sangat dahsyat telah membongkar kelemahan ilmu siluman yang dimilikinya. Bukan saja ilmu siluman itu musnah berantakan tapi juga tiupan seruling terus membungkus dirinya tiada sanggup ditolak lagi.
Sambil terus tiup senjatanya Wiro Sableng memaki dalam hati. Sungguh tolol sekali dia.
Kiai Bangkalan telah menuliskan dua kalimat yang bisa membongkar rahasia kehebatan ilmu Dewi Siluman tapi dia tak berhasil memecahkannya. Masih untung dalam keadaan sangat terjepit dia tiup senjata itu, padahal itu pun tadi dilakukannya dengan hati bimbang karena khawatir akan sia-sia.
Tubuh Dewi Siluman makin lemah. Darah keluar semakin banyak. Kini di bawah tiupan seruling itu tampak tubuhnya terhuyung kian kemari dan kira-kira setengah peminuman teh kemudian tubuh itu tak sanggup lagi bertahan. Dewi Siluman meraung. Raungan yang keluar disertai muntahan darah berbuku-buku. Tubuhnya rebah menelungkup ke tanah, masih bergerak gerak beberapa ketika kemudian diam untuk selama-lamanya.
Pendekar 212 masukkan Kapak Maut Naga Geni ke balik pakaiannya lalu bersila dan meramkan mata. Luka di bagian luar serta dalam tubuhnya cukup parah. Sepeminuman teh baru Pendekar ini buka kedua matanya lalu telan sebutir pil dan berdiri. Gadis-gadis berbaju biru dilihatnya bermunculan kembali di sudut-sudut taman.
Wiro melangkah ke tempat di mana Inani duduk tersandar. Dia sudah sadar dari pingsannya dan memandang kepada pemuda itu sewaktu Wiro me langkah ke hadapannya.
Wiro tersenyum dan berlutut di hadapan gadis ini. Inani membalas senyumnya. Matanya yang tadi sayu kini kelihatan bersinar.
“Kau hebat Wiro….”
“Aku manusia tolol geblek!” sahut Wiro Sableng.
“Sudah hampir mau kojor baru bisa pecahkan rahasia yang diberikan Kiai Bangkalan. Itu pun secara tak sengaja!”
Inani tersenyum.
Wiro memegang tangan gadis ini. “Kau tak apa?”
Gadis itu menggeleng.
“Terima kasih atas pertolonganmu”, bisik Wiro. Dia memandang berkeliling lalu kembali berpaling pada gadis itu dan berkata. “Sudah saatnya kita meninggalkan tempat ini, Inani!”
Inani mengangguk. Dibantu oleh Wiro gadis ini berdiri. Mereka saling pandang sejenak, sama-sama mengulas senyum dan mulai melangkah ke arah langkan istana Dewi Siluman di mana kawan-kawan Inani menunggu. Di langit sang surya bersinar cerah. Satu kejahatan telah musnah tapi Pendekar 212 WiroSableng tahu bahwa masih banyak lagi manusia-manusia jahat yang musti ditumpas.

TAMAT


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...