posted by: Dunia Andromeda
TAK sulit menemukan tempat makam malam
yang nikmat di Kyoto. Rumah makan bertebaran hampir di seluruh sudut
kota.
Di hotel-hotel berbintang, restoran pun menyajikan makanan khas Jepang yang
begitu mengesankan. Namun bagi saya, makan
malam di tepi sungai Kamo (Kamogawa) adalah yang terbaik.
Bukan sekadar menu masakan atau panorama tepi Kamogawa yang membuat
langkah kaki menuju tempat makan yang selalu ramai. Alasan besarnya
adalah maiko. Ya, restoran ini memang menyajikan pertunjukan tari
tradisional Jepang.
Maiko adalah istilah untuk penari belia (berusia sekitar 15–20
tahun). Ketika dewasa dia disebut geiko. Inilah sisi menarik lain dari
Kyoto. Hanya
di tempat ini mereka menyebut penari tradisional itu sebagai geiko.
Di wilayah lain di Jepang, penari ini disebut
geisha. Lagu ”kunang-kunang” dari sebuah lawas mengiringi gerakan
maiko. Wajahnya yang berlamur bedak nyaris tanpa ekspresi. Tatapan
matanya tajam. Pelan dia mengikuti iringan harmoni itu. Sesekali duduk,
berdiri, memutar badan, kadang menyapukan helai kimononya.
Alunan musik yang terasa cempreng itu akhirnya berhenti, tepat ketika
maiko duduk. Tepuk tangan dari pengunjung restoran menggema. Barulah
ketika itu sang maiko menunjukkan ekspresi aslinya.
Senyum manis tersungging dari bibirnya yang bergincu tebal. Ketika
pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari pengunjung restoran, dia
menjawab dengan ramah. Fukuzusu, maiko yang seorang lulusan SMP,
akhirnya menemani kami makan malam itu.
Mengapa memilih menjadi maiko (geisha kecil)? Bukankah stigma negatif
selalu melekat untuk pekerjaan itu? Fukuzusu tersenyum kecil.
”Masih
banyak orang menganggap geisha berkonotasi negatif. Sebenarnya tidak
seperti itu,” ucap dia.
Bocah asal Prefektur Yamaguchi ini menjelaskan, maiko ataupun geiko
adalah pelestari kebudayaan Jepang. Cap geisha sebagai istri simpanan
para pejabat, kata dia, terjadi pada masa lalu.
Fukuzusu mengaku sengaja mengambil risiko tidak meneruskan bersekolah
dan menjadi maiko. Mengapa?
”Awalnya saya pernah melihat pertunjukan maiko. Saya lantas tertarik dan
akhirnya benar-benar menjadi maiko,” ucapnya.
Fukuzusu mengaku menjadi penari penghibur di rumah makan bukan
pekerjaan nista. ”Ini adalah warisan kebudayaan nenek moyang,” ucapnya.
Fukuzusu tidak berlebihan. Di Kyoto sendiri, saat ini hanya terdapat
100 orang geiko (geisha).
Dari jumlah itu, hanya 10 orang yang benar-benar asli Kyoto. Tak
mudah menjadi maiko. Fukuzusu membutuhkan waktu hampir satu tahun di
asrama sebelum diperbolehkan tampil di depan banyak orang. Selama
setahun di asrama khusus, dia dan juga bocah-bocah lain diajari
kehidupan tentang maiko.
”Kami
harus bisa menari, menyanyi, juga mengenal kebudayaan dan tradisi,”
ujarnya.
Segala urusan hidup di asrama ini ditanggung sepenuhnya oleh
pengelola. Kelak ketika dewasa dan menjadi geiko, mereka harus keluar
dari asrama dan menanggung hidupnya sendiri.
Menurut Ayako Shimizu, salah satu pegawai restoran menjelaskan, maiko
atau geiko yang memutuskan menikah, berakhir pula perannya sebagai
penari.
”Dia menjadi wanita biasa,” katanya.
Fukuzusu tersenyum. Obrolan mengalir terasa begitu singkat. Sashimi
lengkap dengan wasabi yang membuat lidah bergoyang, tempura, bento, dan
ocha di meja makan telah tandas. Malam makin larut. Seteguk sake
mengakhiri makan malam di tepi sungai Kamo yang indah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar