posted by: Dunia Andromeda
Pertanyaan:
Apakah wajib hukumnya bagi orang yang mengutip artikel, video, atau rekaman mp3 dari website orang lain untuk menyebutkan sumber? Apakah penulis artikel, pembuat video, dan rekaman mp3 berkecil hati manakala dia melihat artikelnya tersebar di suatu situs tanpa menyebutkan namanya?
Sebenarnya aku adalah orang yang sangat bersemangat untuk berdakwah melalui tulisan, meng-up load video dan rekaman mp3 dakwah. Aku jumpai berkali-kali sebagian orang mengambil jerih payahku tanpa menyebutkan namaku, bahkan mereka terkadang menambahkan atau membuang sebagian isinya tanpa izin dariku. Boleh jadi mereka melakukan hal tersebut karena motivasi dakwah dan menyebarluaskan kebaikan, akan tetapi seharusnya bukan dengan cara semacam ini. Di antara hal yang menunjukkan bahwa sebenarnya niat mereka itu baik adalah mereka tidak menyebutkan nama mereka pada hasil karyaku yang mereka kutip. Jika mereka mengganti namaku dengan namanya tentu saja ini tergolong tindakan yang lebih tragis lagi.
Jawaban:
Kami berharap agar Anda jangan terlalu bersedih hati. Selama Anda ingin berbagi ilmu dan Anda saksikan bahwa hasil jerih payah Anda tersebar di berbagai situs dan forum internet, maka hal ini seharusnya mendorong Anda untuk gembira dan bahagia bukan malah bersedih. Imam Syafii mengatakan suatu perkataan yang sangat baik, yang berkaitan dengan keadaan Anda, beliau mengatakan,
وددتُ أن الخلْق تعلموا منِّي هذا العلمِ على أن لا ينسب إليَّ حرف منه
“Aku berharap agar banyak orang mendapatkan ilmu agama melalui diriku dan mereka tidak menisbatkannya kepadaku meski hanya satu huruf saja.”
Banyak ilmu yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i karena beliau secara langsung mengajarkan ilmu kepada banyak orang. Sebagian orang tidak mau mengambil ilmu dari orang yang tidak mereka ketahui, maka Imam Syafii menuliskan namanya di buku-buku karya beliau (bukan untuk berbangga pen.). Jika seorang itu menyebarkan hasil jerih payahnya tanpa menyebutkan nama sebenarnya, maka dia bisa mewujudkan angan-angan Imam Syafii.
Merupakan hak Anda ketika orang lain mengutip berbagai pendapat dan hasil jerih payah Anda untuk mencantumkan nama Anda. Orang lain tidak boleh menyebarluaskan hasil jerih payah Anda tanpa menyebutkan sumber. Anda memiliki hak untuk menegur orang yang tidak melakukan kewajibanya tersebut.
Ada usulan bagus bagi Anda, cobalah membuat situs pribadi yang berisikan semua jerih payah intelektual Anda sehingga orang lain bisa dengan mudah mengutip dan menyebutkan sumbernya. Karena banyak orang tidak mengetahui bahwa yang mereka kutip adalah jerih payah Anda. Oleh karena itu, mereka tidak menisbatkannya kepada Anda.
Orang yang menisbatkan hasil karya orang lain pada dirinya tanpa menyebutkan sumber adalah orang yang terjerumus dalam banyak bahaya. Hendaknya dia menyadari hal ini dan tidak terus menerus melakukan hal tersebut yang menyebabkan dia tidak mendapatkan pahala karenanya. Di antara sisi buruk yang terjadi karena perbuatan ini adalah:
Pertama, tidak ikhlas dalam beramal.
Seorang muslim diperintahkan untuk ikhlas dalam semua amal ketaatan dan amal ibadah yang dia lakukan.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dalam kondisi memurnikan ibadahnya hanya untuk-Nya dan menjadi orang yang cenderung kepada tauhid” (QS. Al-Bayinah: 5).
Perbuatan mengambil hasil jerih payah orang lain untuk disebarluaskan atas nama dirinya adalah tindakan yang bertolak belakang dengan ikhlas. Karena dengan tindakannya itu berarti dia adalah orang yang menginginkan popularitas dan namanya disebut-sebut oleh banyak orang serta ingin berbangga-bangga dengan sesuatu yang bukan jerih payahnya. Andai dia adalah seorang yang menginginkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala akhirat, niscaya dia menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu tidak menerima amal yang diklaim sebagai jerih payah sendiri padahal sebenarnya bukan. Jika dia menyadari hal ini, tentu saja dia akan segera menghentikan perbuatannya dan menisbatkan hasil jerih payah seseorang kepada pemiliknya. Jika dia mau melakukan hal ini maka dia akan mendapatkan pahala mengajarkan dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain secara utuh tanpa dikurangi sedikitpun. Ingatlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amalan kecuali yang baik.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لا يَقْبَلُ إِلا طَيِّباً .
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia sesungguhnya Allah itu maha baik dan Dia tidaklah menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim no.1015).
Kedua dan ketiga, dusta dan membangga-banggakan diri dengan suatu hal yang tidak benar.
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُور
Dari Asma, Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang membangga-banggakan diri dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya itu bagaikan seorang yang menutupi seluruh badannya dengan dua kain kepalsuan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyampaikan bahwa Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam menggunakan ungkapan ‘dua kain’ sebagai isyarat bahwa orang tersebut melakukan dua kebohongan, membohongi diri sendiri dan membohongi orang lain. Demikian pula saksi palsu. Dia melakukan dua kezaliman, zalim kepada diri sendiri dan zalim kepada orang yang dirugikan gara-gara persaksian palsunya.” (Fathul Bari, 9:318).
Syaikh Muhammad Jamaluddin al Qasimi mengatakan, “Di antara hal yang sangat jelas bahwa termasuk hal penting dalam karya tulis adalah menisbatkan penjelasan bermanfaat tentang suatu hal, suatu permasalahan, dan keterangan menarik kepada orang yang mengatakannya agar kita termasuk melakukan pemalsuan dan menjaga diri agar tidak tergolong orang yang memakai dua kain kepalsuan. Oleh karena itu, semua permasalahan yang ada dalam kitab ini disandarkan kepada orang yang mengucapkan tanpa mengadakan perubahan sama sekali. Inilah prinsip kami dalam semua keterangan yang kami kumpulkan.” (Qawaid at Tahdits min Funun Mushtholah Hadis, hal. 40).
Keempat, tergolong tindakan pencurian
Isham Al-Hadi mengatakan, “Tatkala banyak komentar tentang kelakuan sebagian orang yang menukil suatu perkataan tanpa menyebutkan siapa yang mengucapkannya, kutanyakan hal ini kepada guruku, Al-Albani, apakah tindakan tersebut tergolong pencurian ataukah bukan?
Jawaban beliau, “Betul, itu tergolong pencurian dan tentu saja tidak diperbolehkan oleh syariat karena itu termasuk berbangga dengan sesuatu yang tidak dimiliki, tadlis alias manipulasi dan membuat sangkaan bahwa perkataan tersebut atau simpulan pembahasan tersebut adalah buah karyanya.”
Lantas kukatakan, “Sebagian orang beralasan dengan perbuatan ulama terdahulu yang menukil ucapan orang lain tanpa menyebutkan siapa yang mengatakan.”
Jawaban Al-Albani, “Apakah ulama dahulu membanggakan diri dengan kutipan tersebut? Tidak pantas bagi seorang penuntut ilmu untuk membanggakan kutipan perkataan orang lain. Wahai ustadz, ketahuilah bahwa mengutip perkataan orang lain itu ada dua macam.
Pertama, nukilan yang semua orang tahu bahwa nukilan tersebut bukanlah ucapannya semisal ucapanku atau selain diriku, “Fulan lemah atau tsiqah.” Semua orang yang membacanya tahu bahwa nukilan tersebut bukanlah murni ucapanku. Hal semacam ini tidaklah mengapa kita mengutipnya tanpa menyebutkan siapa yang mengatakannya.
Kedua, perkataan yang merupakan hasil telaah dan kajian yang mendalam tidak boleh dikutip tanpa menyebutkan siapa yang mengatakannya, siapa pun yang melakukannya (tidak boleh pen.).” (Al-Albani Kama ‘Araftuhu, karya Isham Musa Hadi hal. 74-75).
Kelima dan keenam, dicabutnya keberkahan ilmu dan tidak syukur atas nikmat ilmu
Ketika menjelaskan hadis ‘Agama itu nasihat (menghendaki kebaikan untuk pihak lain), An-Nawawi mengatakan, “Di antara bentuk menghendaki kebaikan untuk orang lain adalah menisbatkan keterangan yang menarik kepada yang mengatakannya. Siapa saja yang melakukan hal itu maka ilmu dan keadaannya akan diberkahi. Sedangkan orang yang membuat image bahwa ucapan orang lain yang dia kutip seakan-akan adalah kata-katanya itu sangat layak ilmunya tidak bisa diambil manfaatnya dan keadaannya tidak mendapatkan limpahan berkah. Adalah di antara tradisi keilmuan para ulama adalah menisbatkan keterangan ilmiah yang menarik kepada orang yang pertama kali mengucapkannya.” (Bustanul ‘Arifin, hal. 4, Syamilah).
Suyuthi mengatakan, “Di antara tanda keberkahan ilmu dan wujud syukur atas nikmat ilmu adalah menisbatkan ilmu kepada yang mengucapkannya. Abu Abdillah Ash-Shuri mengatakan, Abdul Ghani bin Said bercerita kepadaku, “Ketika buku karyaku sampai ke tangan Abdullah Al-Hakim dia mengucapkan terima kasih atas pemberian buku tersebut dan dia bercerita bahwa dia mendiktekan buku tersebut kepada banyak orang. Di antara isi surat terima kasihnya kepadaku adalah pengakuan bahwa dia mendapatkan banyak tambahan ilmu dengan sebab buku tersebut dan setiap tambahan ilmu yang dia dapatkan dia selalu sampaikan bahwa dia mendapatkannya dariku.”
Al-Abbas bin Muhammad Ad-Duri mengatakan bahwa beliau mendengar Abu Ubaid mengatakan, “Di antara wujud syukur karena mendapatkan tambahan ilmu adalah mengatakan dulu aku tidak mengetahui hal ini dan itu. Aku tidak punya ilmu tentangnya sampai akhirnya fulan memberi penjelasan demikian dan demikian kepadaku.” Inilah bentuk syukur atas nikmat ilmu. Kukatakan (yaitu Suyuthi) ‘Oleh karena itu, tidaklah aku mengutip ucapan orang dalam buku-buku karyaku kecuali kesebutkan ulama yang pertama kali mengucapkannya plus buku yang menyebutkannya.” (Al-Muzhir fi Ulum Al-Lughah, 2:273).
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha menyebutkan adanya kejahatan dan dosa yang banyak yang dilakukan oleh orang yang mencuri hasil jerih payah orang lain, lalu diklaim sebagai jerih payahnya sendiri. Menurut beliau, tindakan ini adalah pencurian yang lebih jelek dari pada pencurian harta.
Beliau mengatakan, “Kami sudah berulang kali memberikan kritikan kepada berbagai koran yang mengutip ucapan orang lain tanpa menisbatkannya kepada yang mengucapkannya. Boleh jadi sebagian orang melakukan hal ini dengan sengaja. Jika demikian, ini merupakan pencurian yang lebih jelek dari pada pencurian harta. Mencuri harta berarti melakukan satu dosa. Sedangkan mencuri ucapan seseorang itu memuat beberapa dosa:
Pertama, melanggar hak orang lain lalu menisbatkan hak tersebut sebagai haknya. Inilah sebab mengapa perbuatan ini disebut pencurian.
Kedua, khianat dalam dunia ilmu. Padahal seorang itu tidak akan sukses dalam ilmu melainkan dengan amanah dan amanah dalam hal ini adalah penisbatkan setiap ucapan dan pendapat kepada yang mengatakannya.
Ketiga, merupakan kedustaan dan ini adalah suatu hal yang jelas.
Keempat, membanggakan diri dengan sesuatu yang sebenarnya tidak ada pada dirinya. Dalam hadis yang sahih dikatakan bahwa orang yang membanggakan diri dengan sesuatu yang tidak nyata itu bagaikan orang yang menutupi seluruh badannya dengan dua kain kepalsuan.
kelima, menipu. Sebagian orang jika mengetahui bahwa perkataan ini adalah perkataan milik si A maka dia akan menerima dan mengikutinya karena taklid itu dibangun di atas kepercayaan kepada person tertentu. Ketika kata-kata tersebut tidak dinisbatkan kepada orang yang benar, maka sebagian orang tidak mau menerimanya. Andai dia mengetahui orang yang sebenarnya mengucapkannya maka dia akan menerimanya karena dia sangat percaya dengan pengucap yang asli dan tidak percaya dengan pengucap yang palsu. Orang yang percaya berat dengan pengucap yang palsu akan menerima kata-kata tersebut dengan anggapan bahwa itu adalah kata-katanya padahal sebenarnya bukan.
Keenam, kejahatan terhadap sejarah. Sejarahlah yang menjelaskan tingkatan dan kedudukan manusia dalam masalah ilmu. Tidak diragukan, bahwa para pakar hadis menilai orang semacam ini sebagai pemalsu dan pembuat kebohongan yang riwayatnya tidak diterima dan demikianlah sikap yang seharusnya diberikan kepada mereka.” (Majalah Al-Manar, 3:569).
Setelah melihat betapa jahatnya dan berapa buruknya orang yang mengaku-aku hasil jerih payah orang lain sebagai jerih payahnya sendiri, maka hendaknya para penulis di dunia maya atau pun selainnya hendaknya menghentikannya yang mempermainkan hasil jerih payah orang lain, jujur dalam berkarya, dan berupaya untuk selalu amanah. Mudah-mudahan Allah akan berikan kepada mereka pahala menebarkan kebaikan yang sempurna pada hari Kiamat nanti jika mereka amanah dalam menulis.
Kami berharap agar Anda jangan terlalu bersedih hati. Selama Anda ingin berbagi ilmu dan Anda saksikan bahwa hasil jerih payah Anda tersebar di berbagai situs dan forum internet, maka hal ini seharusnya mendorong Anda untuk gembira dan bahagia bukan malah bersedih. Imam Syafii mengatakan suatu perkataan yang sangat baik, yang berkaitan dengan keadaan Anda, beliau mengatakan,
وددتُ أن الخلْق تعلموا منِّي هذا العلمِ على أن لا ينسب إليَّ حرف منه
“Aku berharap agar banyak orang mendapatkan ilmu agama melalui diriku dan mereka tidak menisbatkannya kepadaku meski hanya satu huruf saja.”
Banyak ilmu yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i karena beliau secara langsung mengajarkan ilmu kepada banyak orang. Sebagian orang tidak mau mengambil ilmu dari orang yang tidak mereka ketahui, maka Imam Syafii menuliskan namanya di buku-buku karya beliau (bukan untuk berbangga pen.). Jika seorang itu menyebarkan hasil jerih payahnya tanpa menyebutkan nama sebenarnya, maka dia bisa mewujudkan angan-angan Imam Syafii.
Merupakan hak Anda ketika orang lain mengutip berbagai pendapat dan hasil jerih payah Anda untuk mencantumkan nama Anda. Orang lain tidak boleh menyebarluaskan hasil jerih payah Anda tanpa menyebutkan sumber. Anda memiliki hak untuk menegur orang yang tidak melakukan kewajibanya tersebut.
Ada usulan bagus bagi Anda, cobalah membuat situs pribadi yang berisikan semua jerih payah intelektual Anda sehingga orang lain bisa dengan mudah mengutip dan menyebutkan sumbernya. Karena banyak orang tidak mengetahui bahwa yang mereka kutip adalah jerih payah Anda. Oleh karena itu, mereka tidak menisbatkannya kepada Anda.
Orang yang menisbatkan hasil karya orang lain pada dirinya tanpa menyebutkan sumber adalah orang yang terjerumus dalam banyak bahaya. Hendaknya dia menyadari hal ini dan tidak terus menerus melakukan hal tersebut yang menyebabkan dia tidak mendapatkan pahala karenanya. Di antara sisi buruk yang terjadi karena perbuatan ini adalah:
Pertama, tidak ikhlas dalam beramal.
Seorang muslim diperintahkan untuk ikhlas dalam semua amal ketaatan dan amal ibadah yang dia lakukan.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dalam kondisi memurnikan ibadahnya hanya untuk-Nya dan menjadi orang yang cenderung kepada tauhid” (QS. Al-Bayinah: 5).
Perbuatan mengambil hasil jerih payah orang lain untuk disebarluaskan atas nama dirinya adalah tindakan yang bertolak belakang dengan ikhlas. Karena dengan tindakannya itu berarti dia adalah orang yang menginginkan popularitas dan namanya disebut-sebut oleh banyak orang serta ingin berbangga-bangga dengan sesuatu yang bukan jerih payahnya. Andai dia adalah seorang yang menginginkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala akhirat, niscaya dia menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu tidak menerima amal yang diklaim sebagai jerih payah sendiri padahal sebenarnya bukan. Jika dia menyadari hal ini, tentu saja dia akan segera menghentikan perbuatannya dan menisbatkan hasil jerih payah seseorang kepada pemiliknya. Jika dia mau melakukan hal ini maka dia akan mendapatkan pahala mengajarkan dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain secara utuh tanpa dikurangi sedikitpun. Ingatlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amalan kecuali yang baik.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لا يَقْبَلُ إِلا طَيِّباً .
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia sesungguhnya Allah itu maha baik dan Dia tidaklah menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim no.1015).
Kedua dan ketiga, dusta dan membangga-banggakan diri dengan suatu hal yang tidak benar.
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُور
Dari Asma, Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang membangga-banggakan diri dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya itu bagaikan seorang yang menutupi seluruh badannya dengan dua kain kepalsuan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyampaikan bahwa Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam menggunakan ungkapan ‘dua kain’ sebagai isyarat bahwa orang tersebut melakukan dua kebohongan, membohongi diri sendiri dan membohongi orang lain. Demikian pula saksi palsu. Dia melakukan dua kezaliman, zalim kepada diri sendiri dan zalim kepada orang yang dirugikan gara-gara persaksian palsunya.” (Fathul Bari, 9:318).
Syaikh Muhammad Jamaluddin al Qasimi mengatakan, “Di antara hal yang sangat jelas bahwa termasuk hal penting dalam karya tulis adalah menisbatkan penjelasan bermanfaat tentang suatu hal, suatu permasalahan, dan keterangan menarik kepada orang yang mengatakannya agar kita termasuk melakukan pemalsuan dan menjaga diri agar tidak tergolong orang yang memakai dua kain kepalsuan. Oleh karena itu, semua permasalahan yang ada dalam kitab ini disandarkan kepada orang yang mengucapkan tanpa mengadakan perubahan sama sekali. Inilah prinsip kami dalam semua keterangan yang kami kumpulkan.” (Qawaid at Tahdits min Funun Mushtholah Hadis, hal. 40).
Keempat, tergolong tindakan pencurian
Isham Al-Hadi mengatakan, “Tatkala banyak komentar tentang kelakuan sebagian orang yang menukil suatu perkataan tanpa menyebutkan siapa yang mengucapkannya, kutanyakan hal ini kepada guruku, Al-Albani, apakah tindakan tersebut tergolong pencurian ataukah bukan?
Jawaban beliau, “Betul, itu tergolong pencurian dan tentu saja tidak diperbolehkan oleh syariat karena itu termasuk berbangga dengan sesuatu yang tidak dimiliki, tadlis alias manipulasi dan membuat sangkaan bahwa perkataan tersebut atau simpulan pembahasan tersebut adalah buah karyanya.”
Lantas kukatakan, “Sebagian orang beralasan dengan perbuatan ulama terdahulu yang menukil ucapan orang lain tanpa menyebutkan siapa yang mengatakan.”
Jawaban Al-Albani, “Apakah ulama dahulu membanggakan diri dengan kutipan tersebut? Tidak pantas bagi seorang penuntut ilmu untuk membanggakan kutipan perkataan orang lain. Wahai ustadz, ketahuilah bahwa mengutip perkataan orang lain itu ada dua macam.
Pertama, nukilan yang semua orang tahu bahwa nukilan tersebut bukanlah ucapannya semisal ucapanku atau selain diriku, “Fulan lemah atau tsiqah.” Semua orang yang membacanya tahu bahwa nukilan tersebut bukanlah murni ucapanku. Hal semacam ini tidaklah mengapa kita mengutipnya tanpa menyebutkan siapa yang mengatakannya.
Kedua, perkataan yang merupakan hasil telaah dan kajian yang mendalam tidak boleh dikutip tanpa menyebutkan siapa yang mengatakannya, siapa pun yang melakukannya (tidak boleh pen.).” (Al-Albani Kama ‘Araftuhu, karya Isham Musa Hadi hal. 74-75).
Kelima dan keenam, dicabutnya keberkahan ilmu dan tidak syukur atas nikmat ilmu
Ketika menjelaskan hadis ‘Agama itu nasihat (menghendaki kebaikan untuk pihak lain), An-Nawawi mengatakan, “Di antara bentuk menghendaki kebaikan untuk orang lain adalah menisbatkan keterangan yang menarik kepada yang mengatakannya. Siapa saja yang melakukan hal itu maka ilmu dan keadaannya akan diberkahi. Sedangkan orang yang membuat image bahwa ucapan orang lain yang dia kutip seakan-akan adalah kata-katanya itu sangat layak ilmunya tidak bisa diambil manfaatnya dan keadaannya tidak mendapatkan limpahan berkah. Adalah di antara tradisi keilmuan para ulama adalah menisbatkan keterangan ilmiah yang menarik kepada orang yang pertama kali mengucapkannya.” (Bustanul ‘Arifin, hal. 4, Syamilah).
Suyuthi mengatakan, “Di antara tanda keberkahan ilmu dan wujud syukur atas nikmat ilmu adalah menisbatkan ilmu kepada yang mengucapkannya. Abu Abdillah Ash-Shuri mengatakan, Abdul Ghani bin Said bercerita kepadaku, “Ketika buku karyaku sampai ke tangan Abdullah Al-Hakim dia mengucapkan terima kasih atas pemberian buku tersebut dan dia bercerita bahwa dia mendiktekan buku tersebut kepada banyak orang. Di antara isi surat terima kasihnya kepadaku adalah pengakuan bahwa dia mendapatkan banyak tambahan ilmu dengan sebab buku tersebut dan setiap tambahan ilmu yang dia dapatkan dia selalu sampaikan bahwa dia mendapatkannya dariku.”
Al-Abbas bin Muhammad Ad-Duri mengatakan bahwa beliau mendengar Abu Ubaid mengatakan, “Di antara wujud syukur karena mendapatkan tambahan ilmu adalah mengatakan dulu aku tidak mengetahui hal ini dan itu. Aku tidak punya ilmu tentangnya sampai akhirnya fulan memberi penjelasan demikian dan demikian kepadaku.” Inilah bentuk syukur atas nikmat ilmu. Kukatakan (yaitu Suyuthi) ‘Oleh karena itu, tidaklah aku mengutip ucapan orang dalam buku-buku karyaku kecuali kesebutkan ulama yang pertama kali mengucapkannya plus buku yang menyebutkannya.” (Al-Muzhir fi Ulum Al-Lughah, 2:273).
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha menyebutkan adanya kejahatan dan dosa yang banyak yang dilakukan oleh orang yang mencuri hasil jerih payah orang lain, lalu diklaim sebagai jerih payahnya sendiri. Menurut beliau, tindakan ini adalah pencurian yang lebih jelek dari pada pencurian harta.
Beliau mengatakan, “Kami sudah berulang kali memberikan kritikan kepada berbagai koran yang mengutip ucapan orang lain tanpa menisbatkannya kepada yang mengucapkannya. Boleh jadi sebagian orang melakukan hal ini dengan sengaja. Jika demikian, ini merupakan pencurian yang lebih jelek dari pada pencurian harta. Mencuri harta berarti melakukan satu dosa. Sedangkan mencuri ucapan seseorang itu memuat beberapa dosa:
Pertama, melanggar hak orang lain lalu menisbatkan hak tersebut sebagai haknya. Inilah sebab mengapa perbuatan ini disebut pencurian.
Kedua, khianat dalam dunia ilmu. Padahal seorang itu tidak akan sukses dalam ilmu melainkan dengan amanah dan amanah dalam hal ini adalah penisbatkan setiap ucapan dan pendapat kepada yang mengatakannya.
Ketiga, merupakan kedustaan dan ini adalah suatu hal yang jelas.
Keempat, membanggakan diri dengan sesuatu yang sebenarnya tidak ada pada dirinya. Dalam hadis yang sahih dikatakan bahwa orang yang membanggakan diri dengan sesuatu yang tidak nyata itu bagaikan orang yang menutupi seluruh badannya dengan dua kain kepalsuan.
kelima, menipu. Sebagian orang jika mengetahui bahwa perkataan ini adalah perkataan milik si A maka dia akan menerima dan mengikutinya karena taklid itu dibangun di atas kepercayaan kepada person tertentu. Ketika kata-kata tersebut tidak dinisbatkan kepada orang yang benar, maka sebagian orang tidak mau menerimanya. Andai dia mengetahui orang yang sebenarnya mengucapkannya maka dia akan menerimanya karena dia sangat percaya dengan pengucap yang asli dan tidak percaya dengan pengucap yang palsu. Orang yang percaya berat dengan pengucap yang palsu akan menerima kata-kata tersebut dengan anggapan bahwa itu adalah kata-katanya padahal sebenarnya bukan.
Keenam, kejahatan terhadap sejarah. Sejarahlah yang menjelaskan tingkatan dan kedudukan manusia dalam masalah ilmu. Tidak diragukan, bahwa para pakar hadis menilai orang semacam ini sebagai pemalsu dan pembuat kebohongan yang riwayatnya tidak diterima dan demikianlah sikap yang seharusnya diberikan kepada mereka.” (Majalah Al-Manar, 3:569).
Setelah melihat betapa jahatnya dan berapa buruknya orang yang mengaku-aku hasil jerih payah orang lain sebagai jerih payahnya sendiri, maka hendaknya para penulis di dunia maya atau pun selainnya hendaknya menghentikannya yang mempermainkan hasil jerih payah orang lain, jujur dalam berkarya, dan berupaya untuk selalu amanah. Mudah-mudahan Allah akan berikan kepada mereka pahala menebarkan kebaikan yang sempurna pada hari Kiamat nanti jika mereka amanah dalam menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar