Jumat, 01 Januari 2010

Wiro Sableng Episode # 10 : Banjir Darah Di Tambun Tulang

posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito
1
Kiai Bangkalan menggeletak di lantai batu dalam Goa Belerang. Sedikit pun tubuh itu tidak bergerak lagi karena nafasnya sudah sejak lama meninggalkan tubuh!
Orang tua itu menggeletak menelentang. Dua buah keris kecil yang panjangnya hanya tiga perempat jengkal berhulu gading menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Darah bercucuran menutupi seluruh wajahnya.
Dalam jari-jari tangan kiri Kiat Bangkalan tergenggam secarik kertas tebal empat persegi. Sedang tepat di ujung jari telunjuk tangan kanannya, yaitu pada lantai batu tergurat tulisan:

TAMBUN TULANG
Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri di dekat tubuh tak bernyawa Kiai Bangkalan tidak mengetahui apa arti dua buah kata itu. Apakah nama seseorang yaitu manusia yang telah membunuh orang tua itu, ataukah nama sebuah tempat. Yang diketahuinya ialah bahwa si orang tua telah menuliskan dua buah kata itu pada saat-saat menjelang detik kematiannya karena ujung jari tangan yang dipakai menulis masih terletak kaku di atas huruf terakhir kata yang kedua.
Diam-diam Wiro Sableng memaki dirinya sendiri. Seharusnya dia datang lebih cepat ke Goa Belerang itu sehingga nasib malang begitu tidak terjadi atas diri si orang tua. Kiai Bangkalan tempo hari telah menyuruhnya datang dan menjanjikan akan memberi pelajaran tentang ilmu pengobatan. Kini dia datang terlambat Kiai Bangkalan hanya tinggal tubuh kasarnya saja lagi!

Perlahan-lahan pendekar muda ini berlutut di samping tubuh Kiai Bangkalan. Diperhatikannya kertas tebal empat persegi yang tergenggam di tangan kiri Kiai Bangkalan. Ternyata kertas tebal ini adalah robekan kulit sebuah buku. Dan pada kertas itu tertulis:

SERIBU MACAM ILMU PENGOBATAN
Wiro Sableng tarik nafas panjang yang mengandung penyesalan. Satu kesimpulan lagi dapat ditarik oleh pendekar ini. Yaitu bahwa Kiai Bangkalan menemui kematiannya dalam mempertahankan sebuah buku ciptaannya. Buku tentang pengobatan itu tentulah sebuah buku yang sangat berguna bagi dunia persilatan hingga seseorang telah mengambilnya dengan jalan kekerasan. Dan Wiro lalu ingat kembali janji Kiai Bangkalan yang hendak mengajarkan ilmu pengobatan kepadanya. Rupanya orang tua itu telah membukukan seluruh macam cara pengobatan yang diketahuinya.
Sepasang mata Wiro Sableng kemudian berputar memperhatikan dua buah keris kecil yang menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Menurutnya kedua keris itu pasti mengandung racun jahat karena seseorang yang ditusuk bahkan yang dicungkil kedua matanya belum tentu, menemui kematian. Tak pernah dia sebelumnya melihat keris semacam itu. Kiai Bangkalan bukan seorang berilmu rendah dan melihat pada keanehan bentuk senjata yang menancap itu Wiro sudah dapat menduga, siapapun pembunuh Kiai Bangkalan adanya, manusianya pastilah bukan orang sembarangan! Dan siapakah kira-kira yang telah melakukan perbuatan terkutuk ini?
Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 masih berlutut di situ. Akhirnya dia sadar bahwa dia harus menguburkan jenazah Kiai Bangkalan: Didukungnya tubuh tiada bernyawa itu dan melangkah menuju ke pintu. Untuk terakhir kalinya, sebelum meninggalkan ruangan itu, Wiro memandang berkeliling. Dan saat itulah sepasang matanya membentur sebuah benda. Benda itu tadi tidak kelihatan karena tertindih oleh tubuh Kiai Bangkalan yang menggeletak di lantai. Wiro melangkah mendekatinya. Benda yang mulanya disangkanya cabikan pakaian ternyata adalah kulit harimau. Bulunya bagus berkilat, kuning berbelang-belang hitam. Apakah Kiai Bangkalan telah bertempur melawan harimau? Mana mungkin seekor harimau bisa menancapkan dua buah keris aneh di mata orang tua itu? Atau mungkin harimau siluman? Kulit Itu kering dan bersih. Ini membawa pertanda,bahwa itu bukan kulit harimau hidup! Pendekar 212 Wiro Sableng masukkan robekan kulit harimau, itu ke dalam saku pakaian lalu meninggalkan ruangan batu tersebut dengan cepat.
Langit di ufuk timur mulai terang disorot sinar merah kekuningan sang matahari yang hendak ke luar dari peraduannya Katulistiwa detik demi detik kelihatan dengan jelas. Di bawah sorotan sinar matahari air laut laksana hamparan permadani yang indah sekali. Kemudian mataharipun ke luarlah tersembul di ufuk timur itu merupakan sebuah bola raksasa seolah-olah muncul dari dalam lautan luasi
Sepasang mata Pendekar 212 tiada berkedip me­mandang ke arah timur itu. Telah lima kali dia melihat ke­munculan sang surya di lengah lautan. Betapa indahnya. Sukar dilukiskan dengan kata-kata. Dan setiap dia mem­perhatikan keindahan alam ciptaan Yang Maha Kuasa itu, teringatlah dia pada Si Pelukis Aneh. Dengan keahli­annya melukis, tentu orang tua itu akan sanggup me­nuang segala keindahan yang ada di depan mata itu ke atas kain lukisannya.
Perahu besar itu meluncur laju di lautan yang tenang, dihembus angin barat. Ke manapun mata memandang hanya air laut yang kelihatan. Itulah batas kemampuan penglihatan manusia yang menandakan bahwa sesungguhnya dia hanyalah makhluk lemah belaka dibandingkan dengan kehebatan alarn!
Angin dari barat bertiup lagi dengan keras. Layar pe­rahu besar menggembung dan perahu meluncur lebih pesat. Di.kejauhan kelihatan serombongan burung terbang di udara. Ini satu pertanda bahwa terdapat daratan di sekitar situ. Namun demikian daratan itu agaknya masih terlalu jauh hingga pandangan mata tak kuasa menangkapnya. Puas memandangi keindahan laut di waktu pagi itu maka Wiro Sableng memutar tubuh. Dia melangkah ke buritan. Seorang laki-laki berbaju hitam berdiri di buritan itu dan memandang tajam-tajam ke arah langit di sebelah tenggara, Wiro tak tahu apa yang tengah diper­hatikan laki-laki pemilik perahu ini.
”Ada apakah, bapak?" tanya Wiro.
Tanpa alihkan pandangan matanya pemilik perahu menjawab. "Orang muda, perhatikan baik-baik. Adakah terlihat olehmu sekumpulan awan kelabu dr kejauhan sana…?"
"Awan semacam itu biasanya membawa pertanda tidak baik."
"Tidak baik bagaimana?" tanya Wiro yang tak tahu apa-apa segala soal pelayaran ataupun keadaan di laut.
"Akan timbul angin ribut," kata pemilik perahu pula. Latu dia pergi kehaluan dan menyuruh anak buahnya merubah arah menjauhi awan kelabu itu.
Wiro Sableng angkat bahu. Awan kelabu itu sangat jauh sekali. Udara sekitar mereka bagus dan indah. Perlu apa dikhawatirkan awan kelabu itu? Kalaupun terjadi angin ribut, tentu terjadinya di sebelah tenggara itu! . Maka karena, segala sesuatunya dianggap tak perlu di­khawatirkan oleh Wiro, diapun duduk di buritan itu sambil bersiul-siul. Tapi menjelang tengah hari kecemasan mulai membayangi hati pemuda ini.
Di sebetah tenggara, awan yang tadinya kelabu kini kelihatan menjadi hitam dan bergerak cepat sekali ke arah perahu. Dan awan itu bukan hanya satu kelompok saja lagi melainkan berkelompok-kelompok dan menyebar di mana­mana. Pemandangan yang serba indah kini menjadi diselimuti kemendungan. Angin pun bertiup keras dan tak tentu arahnya. Kelompok awan hitam semakin banyak dan semakin lebaL Cuaca semakin buruk. Air laut bergelombang dan berputar-putar tak menentu. Jalannya perahu tersendat­sendat. Kemudian hujan rintik-rintik mulai turun.
"Arahkan perahu ke pulau itu!" teriak pemilik perahu pada pemegang kemudi.
Jauh di sebelah barat kelihatan sebuah titik hitam. Kemudi diputar. Perahu menjurus ke barat, ke arah titik hitam itu. Didahului oleh sabungan kilat, yang disusul oleh gelegar guntur maka hujan yang tadinya rintik-rintik kini berubah menjadi hujan lebat yang mendera seluruh perahu! Angin seperti suara ribuan seruling yang ditiup bersama karena derasnya, laut marah menyabung ge­lombang, menghempaskan perahu kian ke mari semen­tara udara telah berubah laksana malam hari, gelap pe­kat! Sekali-sekali kilat menyambar menerangi perahu. Tapi ini hanya menambah rasa ketakutan orang-orang yang ada di dalam perahu itu.
"Gulung layar besar!" teriak pemimpin perahu.
Namun baru saja perintahnya itu diucapkan satu angin dahsyat menerpa,perahu.,
"Kraak!" ,
Tiang layar utama perahu patah. Perahu condong tajam mengikuti arah tumbangnya bagian atas tiang layar. Dalam pada itu dari samping datang pula satu gelombang yang luar biasa besarnya. Perahu yang tidak berdaya itupun ditelan bulat-bulat. Di antara deru angin dan deru hujan, di antara sambaran kilat dan di antara menggeledeknya suara guntur, di antara semua itu maka terdengarlah suara jerit pekik manusia yang mengerikan. Tapi suara jerit pekik itu hanya sebentar saja karena sedetik kemudian perahu itu telah amblas digulung gelombang!
Sewaktu perahu itu muncul kembali maka keadaannya hanya merupakan hancuran dan kepingan-kepingan papan dan balok-balok belaka yang tersebar kiah ke mari untuk kemudian dipermainkan gelombang lagi secara ganas.
Setiap manusia yang ada dalam perahu itu, dengan segala, daya yang ada berusaha menyelamatkan diri. Tapi apakah daya manusia dalam melawan keganasan alam yang maha dahsyat itu?!
Pendekar 212 Wiro Sableng bergulat sekuat tenaga untuk ke iuar dari bencana maut yang mengerikan itu. Dia berusaha berenang mencapai kayu pecahan-pecahan perahu namun mana mungkin berenang dalam gelombang yang menggila seperti itu. Baru saja kepalanya muncul telah disapu kembali oleh air laut!
Wiro mulai megap-megap kehabisan nafas sewaktu dia melihat sebuah papan besar kira-kira dua belas tombak dihadapannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang terakhir pemuda ini berusaha berenang mencapai benda itu. Baru saja satu tombak, sebuah gelombang mendera tubuhnya. Pendekar itu amblas lagi masuk ke dalam laut.
Sewaktu kepalanya muncul lagi papan besar tadi telah lenyap!
"Celaka! Tamatlah riwayatku!" kata Pendekar 212 dalam hati. Baru saja dia mengeluh begitu sebuah gelombang datang dengan ganas dari muka. Dia menyelam dengan cepat untuk menghindarkan pukulan gelombang. Namun tetap saja tubuhnya diterpa sampai puluhan tombak membuat pemandangannya menjadi gelap!
Ketika dia memunculkan kepalanya kembali di permukaan air laut dalam keadaan setengah hidup setengah mati, sesuatu melanda keningnya dengan’keras. Kulit keningnya robek dan mengucurkan darah! Wiro tak tahu benda apa yang telah menghajar keningnya itu karena dia tak bisa membuka kedua matanya. Namun demikian otaknya masih terang untuk berpikir. Apapun benda itu adanya mungkin bisa dipakai untuk menyelamatkan jiwanya! Maka dalam mata terpejam dan muka berlumuran darah dengan membabi buta Wiro Sableng gerakkan tangannya untuk menangkap benda itu. Pertama kali dia cuma menangkap angin. Yang kedua kali dia cuma menampar air laut di sampingnya. Ketiga kalinya juga tak berhasil apa-apa namun kali yang keempat baru dia berhasil menangkap benda itu dan dipegangnya erat-erat.
Beberapa saat kemudian ketika kedua matanya sudah bisa dibuka ternyata benda itu adalah sebuah balok pendek yang terpaku pada sepotong papan yang lumayan besarnya.
Wiro Sableng bersyukur. Dengan benda itu dia bisa mempertahankan diri agar tidak tenggelam untuk kemudian berusaha berenang mencari daratan. Belum lama pemuda ini berpegang pada papan itu, terombang ambing dipermainkan ombak, satu benda meluncur dihadapannya, sebentar timbul sebentar tenggelam. Ketika diperhatikan ternyata tubuh seorang anak kecil. Wiro tahu betul anak kecil itu adalah anak laki-laki yang dibawa oleh seorang penumpang perahu, Ditangkapnya tangannya. Sewaktu diperiksa ternyata anak itu dalam keadaan pingsan, perutnya gembung.
Wiro Sableng menyadari bahwa papan yang di dapatnya tidak cukup besar untuk menolong mereka berdua sekaligus! Berarti kalau dia mau selamat terus, dia musti meninggalkan anak kecil itu! Pertentangan terjadi di lubuk hati Pendekar 212. Akhirnya pemuda itu membuka bajunya. Dengan baju itu diikatnya anak yang pingsan pada papan lalu didorongnya ke tempat yang agak tenang.
"Mudah-mudahan kau selamat anak," kata Wiro dalam hati.
Dia memandang berkeliling. Tak sepotong papan atau balokpun yang kelihatan. Laut yang tadi menggila kini mulai tenang sedikit. Wiro mengeluh dalam hati. Rupanya sudah ditakdirkan bahwa dia harus mati hari itu, di tengah lautan! Berdiri bulu kuduknya! Inilah untuk pertama kalinya dia merasa ngeri! Ngeri menghadapi kematiannya sendiri! Ingin dia memekik, berteriak setinggi langit. Namun siapa yang akan mendengar? Siapa yang akan menolongnya? Lagi pula mulutnya serasa terkancing. Dicobanya berenang. Namun kekuatannya sudah sampai ke batas terakhir. Kaki dan tangannya kaku tak sanggup digerakkan lagi. Sedikit demi sedikit, perlahan-lahan tetapi pasti, tubuhnya mulai tenggelam. Sebelum kepalanya lenyap ditelan air laut pemuda ini merasa seperti melihat sesuatu jauh dihadapannya, meluncur di atas air laut menuju ke arahnya. Dia tak tahu benda apa itu. Kelihatannya seorang, manusia berjubah putih, tapi mungkin juga malaekat maut yang hendak mencabut nyawanya! Pada detik dia menyebut nama Tuhan dan memanggil nama gurunya pada detik itupula tubuh pendekar 212 lenyap keseluruhannya dari permukaan air laut.
2
Ketika dia siuman tubuhnya terasa panas. Kepalanya berdenyut sakit. Matanya berat sekali untuk dapat dibuka. Di manakah aku sekarang, apakah sudah berada di alam akhirat, berada di neraka?!
Wiro Sableng membuka kedua matanya dengan perlahan, Yang pertama sekali dilihatnya ialah atap rumbia. Dia berusaha memutar bola matanya dan memandang berkeliling. Sesungguhnya sudah mati atau masih hidup aku ini, pikir Wiro. Ingatannya merayap pada saat dia berada di atas perahu tengah menyeberangi Selat Sunda, meninggalkan Pulau Jawa menuju ke Pulau Andalas! Kemudian datang angin topan dan hujan lebat. Perahunya amblas ditelan gelombang. Lalu setelah mengikatkan seorang anak laki-laki pada sebuah papan, tubuhnya tenggelam di dalam laut dan tak tahu apa-apa lagi!
Tapi kini dilihatnya atap rumbia itu. Dilihatnya dinding kayu, dilihatnya isi pondok kecil itu, bermimpikah dia?! Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Tidak, dia tidak bermimpi! Tapi sukar untuk bisa menerima kenyataan yang ada dihadapannya saat itu. Untuk memastikan dicobanya bangun dan duduk di tepi balai-balai kayu dimana dia terbaring. Tapi tubuhnya yang lemah tiada berdaya itu terhempas kembali ke atas balai-balai. Wiro mengeluh kesakitan: Dan dia pingsan lagi.
Kedua kali dia sadarkan diri, hawa panas dari demam yang menyerangnya telah berkurang tapi tubuhnya masih lemas, tenggorokannya kering dan sendat. Lapat-lapat didengarnya suara anak kecil. Tapi mungkin itu cuma desau angin yang meniup telinganya. Rasa haus menyerarig tenggorokannya. Tapi kepada siapa dia minta air, sedang untuk mengeluarkan suarapun dia tiada sanggup?
Didengarnya suara berkeretekan di belakang kepalanya. Dia lak bisa berpaling. Dia tak tahu suara apa itu. Namun kemudian seorang laki-laki tua berpakaian putih tahu-tahu sudah berdiri di samping balai-balai. Rambutnya jarang sekali hingga kulit kepalanya kelihatan jelas. Orang tua ini memelihara kumis dan janggut. Baik rambut maupun kumis serta janggutnya, seluruhnya berwarna putih. Yang membuat Wiro jadi menahan nafas ialah sewaktu menyaksikan keangkeran muka orang tua tak dikenal ini!
Manusia ini berpipi dan bermata yang sangat lebar dan cekung. Mukanya tiada beda dengan tengkorak karena tiada berdaging. Hanya selembar kulit pucat saja yang menutupi parasnya. Hidungnya kecil, panjang dan bengkok seperti paruh burung kakak tua. Dia tersenyum, tapi senyumnya ini justru lebih menambah keangkeran pada parasnya. Diam-diam Wiro Sableng merasa bulu kuduknya berdiri. Manusia atau setankah yang berdiri dihadapannya itu? Kalau manusia, tak pernah dia menyaksikan yang seseram ini tampangnya. Si orang tua mengedipkan matanya yang lebar luar biasa dan menyeringai.
"Sudah sadar hah?!" bentaknya menggeledek. Wiro terkejut. Dirasakannya balai-balai di mana dia terbaring bergetar hebat dan pondok itu mengeluarkan suara berkereketan.
"Empat hari empat malam mendengkur terus-terusan. Enak betul!" orang tua bermuka angker itu berkata lagi.
Wiro membuka mulut hendak berkata. Tapi tak sedikit suarapun yang sanggup dikeluarkannya. Dalam kengerian melihat orang tua itu dia masih terus berpikir siapa adanya manusia ini. Dilihatnya timbul kepastian bahwa orang tua itu adalah orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Tapi setelah menolong mengapa sikapnya demikian keras serta menunjukkan hati jahat?!
"Apa yang kau pikirkan!" tiba-tiba orang tua itu membentak lagi. Balai-balai serta pondok kembali bergetar. Hebat sekali tenaga dalam orang tua ini.
Wiro buka lagi mulutnya. Kali ini dia bisa bersuara meskipun perlahan; "Air…"
"Apa?!"
"Air.:." desis Wiro.
"Air?! Kau minta air?! Kau kira aku ini pelayanmukah?! Sialan betul!" Kedua mata si orang kelihatan tambah lebar.
Wiro terkesiap mendengar jawaban,orang tua bertampang angker itu. Diam-diam dia menggerutu dalam hati. Dicobanya meminta air kembali. Dan kembali si orang tua mendampratnya.
Tiba-tiba seorang anak kecil masuk ke dalam pondok itu.
"Ah… anakku!" kata si orang tua seraya mendukung anak yang baru masuk. Wiro terkejut. Anak yang dalam dukungan orang tua itu bukan lain daripada anak kecil yang tempo hari ditolongnya di tengah laut sewaktu badai mengamuk. Semakin jelas bahwa orang tua itulah yang telah menolongnya dan juga menolong anak laki-laki itu. Tapi mengapa sikapnya demikian aneh dan galak?
"Anakku, apakah kau dengar si tukang tidur ini minta air…? Gila betul dia! Disangkanya bapakmu ini budaknya!" Habis berkata begitu si orang tua tertawa gelak-gelak. Tiba­tiba dia hentikan tawanya dan membentak si anak: "Hai! Kau dengar apa tidak?!"
Dibentak keras begitu, si anak berumur dua tahun menangis dan meluncur turun dari dukungan si orang tua, lalu meninggalkan tempat itu. Si orang tua kembali tertawa gelak-gelak. "Orang gila," katanya kemudian pada Wiro. "Kalau kau mau minum, itu di atas meja ada kendi berisi air. Ambil sendiri. Aku bukan pelayanmu! Bukan budak, bukan kacung!" Lalu dia ke luar dari pondok. !
"Edan!" desis Wiro.
"Eh, apa?! Kau memakiku edan?! Kau yang edan!" Tiba-tiba si orang tua bertampang angker masuk kembali. Meskipun cuma mendesis tapi ucapan Wiro tadi telah didengarnya.
"Braak!"
Orang tua aneh itu tendang kaki balai-balai yang ditiduri Wiro Sableng. Tak ampun lagi balai-balai itu roboh dan Wiro terguling ke lantai, lalu pingsan lagi! Si orang tua tertawa gelak-gelak, lalu mendengus dan tinggalkan pondok itu.
Pagi itu Wiro merasakan badannya berangsur baik dan segar. Sesudah duduk bersila mengatur jalan nafas serta darah dan mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian-bagian tubuh yang perlu maka dia turun dari balai-balai. Di atas meja reyot di sudut pondok ada sebuah kendi berisi air putih. Diteguknya air ini beberapa kali. Terasa dingin dan segar. Dengan air itu juga dicucinya mukanya. Kemudian sewaktu.rnelihat sepiring ubi rebus di atas meja, tanpa pikir lagi Wiro segera menyambarnya.
Mendadak di luar didengarnya suara si orang tua.
"Ah… salah! Salah! Kaki kananmu majukan lagi..: nah. Eee… itu tangan kananmu musti begini. Bagus…. Sekarang coba memukul ke muka… ah salah! Salah! Dasar bocah geblek!"
Sedang mengapa orang tua itu, pikir Wiro Sableng. Dia bergerak ke pintu pondok. Langkahnya berat dan pe­mandangannya berkunang waktu dibawa berjalan itu. Di pintu pondok dia berdiri dengan bersandar dan meman­dang ke halaman. Orang tua berwajah angker itu dilihatnya tengah berjongkok di hadapan anak laki-laki yang berumur dua tahun. Dari gerak gerik dan apa-apa yang dikatakannya nyatalah bahwa dia tengah mengajarkan ilmu pukulan tangan kosong pada anak itu. Wiro Sableng tertawa geli. Mana mungkin anak sekecil itu diajar ilmu silat langsung disuruh memukul! Dan si anak sendiri kelihatannya tidak senang dipaksa-paksa seperti itu. Kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa?!" bentak si orang tua, "Kau tak mau diajar silat?! Bocah geblek! Kalau besar kau mau jadi apa?! Mau jadi laki-laki banci pengecut?!"
Si anak menangis. Dan Wiro bukan cuma sekali itu mendengar anak itu menangis. Sebaliknya melihat anak tersebut menangis si orang tua menjadi marah dan memaki-maki. Tapi kemudian dia sendiri ikut-ikutan nangis!
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Aneh sekali orang tua ini," katanya dalam hati. "Mungkin otaknya kurang waras. Tapi agaknya kepandaiannya tinggi sekali. Dan Wiro lantas ingat pada gurunya yaitu Eyang Sinto Gendeng. Sifatnya hampir sama dengan orang tua ini.
"Bocah tolol! Kalau kau tak mau belajar silat pergilah sana main-main! Nanti kalau ada yang mengatakan kau laki-laki pengecut jangan salahkan aku!" Habis berkata demikian si orang tua pukul-pukul keningnya sendiri sambil membalikkan badan dan melangkah ke pondok.
Mendadak dia hentikan langkahnya dan memandang mendelik ke pintu pondok.
"Orang edan! Siapa yang suruh kau bangun dan berdiri di situ?!" bentak si orang tua begitu melihat Wiro Sableng. Dia marah sekali dan banting-banting kedua kakinya di tanah. Dan bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu melihat bagaimana tanah yang kena bantingan kaki orang tua itu amblas sampai setengah jengkal!
Tiba-tiba Wiro ingat bahwa siapapun adanya orang tua bertampang angker itu dia adalah orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Maka dengan segera Pendekar 212 menjura dalam-dalam.
"Betut-betut kau sudah gila!" sentak si orang tua.
"Apa-apaan menjura segala?!"
"Orang tua aku berhutang nyawa padamu, juga berhutang budi. Aku…."
"Hutang nyawa?! Hutang budi…?! Kau gila!"
"Bukankah kau yang telah menolongku sewaktu perahu yang kutumpangi tenggelam di tautan? Kemudian merawatku di sini?!"
Orang tua itu urut-urut keningnya. Mimiknya seperti seorang yang tengah berpikir-pikir atau mengingat-ingat.
"Tidak!" katanya kemudian dengan keras. "Aku tak pernah menolong orang gila macam kau!"
Meski Wiro menjadi gusar karena dimaki orang gila namun dia bertanya juga: "Lantas bagaimana aku bisa berada di tempatmu ini?"
"Maha aku tahu! Tanya dirimu sendiri!" menyahuti orang tua bertampang angKer.
"Meski kau tak mau mengakui terus terang tapi aku yakin bahwa engkaulah yang telah menyelamatkan diriku, juga anak kecil tadi. Aku mengucapkan terima kasih. Di lain waktu kuharap akan bisa membalas hutang jiwa dan budi kebaikan itu. Sudilah kau memberitahukan namamu, orang tua…."
"Buat apa?!"
"Agar dapat kuingat selama hidupku," jawab Wiro pula.
"Hanya sekedar diingat?" tukas orang tua itu.
Wiro tak tahu harus berkata apa. Orang tua itu ke­mudian dilihatnya duduk di bawah sebuah pohon kelapa dan bernyanyi. Wiro tak tahu apa yang dinyanyikannya, bahasanya sama sekali tidak dimengerti. Bahkan suara menyanyinya itu tak ubahnya seperti suara orang mengigau!
Tiba-tiba orang tua itu hentikan nyanyiannya dan pukulkan tangan kanan ke atas pohon kelapa. Terdengar suara berkeresek lalu suara benda meluncur. Ternyata pukulan tadi telah menjatuhkan sebuah kelapa muda. Dua tombak lagi kelapa itu akan jatuh menimpa tubuh si orang tua, tiba-tiba orang tua ini ambil sebutir kerikil dan melemparkannya ke arah kelapa yang melayang turun! Buah kelapa itu berlubang dan dari lubang itu memancurlah airnya. Si orang tua buka mulutnya. Air kelapa memancur masuk ke mulut orang tua sampai akhirnya habis!
Wiro sampai ternganga dan, melotot melihat hal ini. Luar biasa hebatnya apa yang disaksikannya itu. Gurunya sendiri belum tentu sanggup berbuat seperti itu. Dan sementara itu buah kelapa yang airnya sudah habis itu terkatung-katung di udara seperti ada tangan yang tak terlihat memegangnya!
Orang tua itu gerakkan tangan kanannya.
"Wuuut!"
Kelapa itu tiba-tiba sekali melesat ke arah pintu pondok dalam kecepatan yang luar biasa! Wiro melompat ke samping. Tubuhnya hampir tersungkur karena masih lemah.
Dan di dalam pondok didengarnya suara pecah berantakan. Buah kelapa telah menghantam kendi air terus membobolkan dinding pondok!
Wiro memaki dalam hati habis-habisan.
Sebaliknya orang tua itu malah tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata!
"Orang gila! Kemari kau!" Orang tua itu memanggil Wiro. Dia melototkan mata sewaktu Wiro dilihatnya tak bergerak di tempatnya. Sebaliknya Wiro juga memandang tak berkedip pada orang tu.a itu. Maka menggeramlah si tampang angker ini. "Bah, kau berani menantangku nah?!" Dari balik pakaiannya orang tua ini mengambil sesuatu. Saking cepatnya Wiro tak mengetahui benda apa itu dan tiba-tiba benda itu sudah dilemparkan ke, arahnya. Untuk kedua kalinya Pendekar 212 dipaksa melompat dalam keadaan tubuh, lemah demikian rupa. Kali ini dia tak sanggup lagi mengimbangi dirinya. Meski benda yang dilemparkan itu lewat di atas kepalanya namun tubuhnya tersungkur di tanah dan keningnya yang baru saja sembuh lukanya kini berdarah kembali!
Pendekar 212 kaget sekali karena sewaktu dia berpaling ternyata benda yang dilemparkan orang tua tadi adalah senjata miliknya sendiri yaitu Kapak Maut Naga Geni 212! Pantas saja anginnya membuat tubuhnya laksana dilanda badai! Senjata itu menancap di tiang pondok sebelah kiri.
Sambil menyeka darah yang mengalir turun ke dekat alisnya Wiro berdiri. Dia melangkah untuk mengambil Kapak Naga Geni, tapi baru saja tangan kanannya diulurkan dari samping datang serangkum angin halus. Ketika dia berpaling dilihatnya sebuah benang aneh berwarna putih dan berkilauan melayang ke arah tangannya. Wiro cepat­cepat tarik tangan kanannya tapi terlambat. Benang putih itu telah melibat! lengannya!
Si orang tua tertawa gelak-gelak. Sekali dia menyentakkan benang tersebut maka Wiro tertarik keras ke arahnya. Wiro merasakan tangannya seperti mau copot! Dia memaki lagi. Kalau saja tidak mengingat bahwa orang tua itu telah menyelamatkan jiwanya maulah dia mengirimkan sebuah serangan biar si orang tua tahu rasa!
"Ha… ha! Orang, gila macam begini yang hendak membangkang kepadaku?!" ejek orang tua itu begitu Wiro sampai dihadapannya. Wiro coba lepaskan lipatan benang tapi sukar sekali.
"Orang gila siapa namamu?!"
"Orang tua, kuharap kau jangan panggil aku orang gila terus-terusan!" kata Wiro dengan kesal.
"Ah… kau memang gila!" tukas si muka angker.
"Ayo katakan siapa namamu!"
"Wiro," sahut Pendekar 212 meskipun dengan hati agak gusar.
"Wiro apa?!" bertanya lagi si muka angker.
Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat menahan kesal.
"Hai! Apa kau tuli?! Wiro apa?!"
"Wiro Sableng," menyahuti juga pemuda itu akhirnya.
"Wiro Sableng?! Nah… itu buktinya kau memang orang gila. Kalau bukan orang gila mana ada manusia yang memakai nama Sableng! Sableng sama saja artinya dengan edan alias gila!"
"Tapi itu bukan mauku memakai nama demikian…."
"Aku tahu, orang tuamu yang memberikan nama itu padamu…."
"Bukan, tapi guruku!" potong Wiro Sableng.
"Ah… kalau begitu berarti gurumu juga Sableng alias keblinger!"
Marahlah Pendekar 212. Dia melangkah kehadapan si muka angker dan menghardik: "Orang tua, jangan hina guruku!" Wiro kerahkan tenaga dalamnya dan menyentak dengan keras. Selain tubuhnya masih lemah, benang aneh yang melibat lengannya kuat sekali hingga tak sanggup diputuskan oleh sentakan itu!
Si muka angker sebaliknya tertawa mefihat perbuatan Wiro dan berkata: "Jangankan kau! Gurumu dan nenek gurumu sekalipun belum tentu sanggup memutuskan benang kayangan ini! Eh orang gila! Aku sudah tahu namamu, sekarang lekas beri tahu kau punya gelar!"
“Aku tak punya gelar apa-apa," jawab Wiro. Tangannya yang tadi disentakkan untuk melepaskan libatan benang kayangan terasa sakit dan pedas.
"Jangan berani dusta terhadapku orang gila! Sekali kusentakkan benang ini dalam Jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung pasti lenganmu akan putus!"
"Kalau hatimu memang jahat begitu rupa mengapa tidak segera dilaksanakan?!" tukas Wiro Sableng menantang.
Orang tua itu mendelikkan matanya sehingga kelo­paknya yang merah membuka lebar dan tampangnya jadi tambah mengerikan! Tiba-tiba dia tertawa gelak-gelak.
"Orang gila! Kau memang pandai bicara! Pertanyaanku tadi anggap saja-tidak ada. Tapi sebagai gantinya lekas kau beri tahu nama gurumu!"
"Aku bukan seorang yang suka agul-agulkan nama guru.,"
"Jadi kau tidak mau beri tahu?!"
"Tidak," jawab Wiro Sableng tegas.
Si muka angker mendelik, "Hidup delapan puluh tahun, kau adalah orang yang kedua yang pernah membangkang terhadap perintah si Tua Gila ini!"
Habis berkata begitu si muka angker yang menyebut dirinya Tua Gila itu goyangkan benang kayangan yang dipegangnya. Pendekar 212 menjerit kesakitan dan tubuhnya mencelat ke atas sampai beberapa tombak!
3
Tua Gila tertawa gelak-gelak dah diam-diam perhatikan gerakan jungkir balik yang dibuat Wiro Sableng sewaktu melayang turun dan menjejakkan kedua kakinya di tanah.
"Ah gerakan kincir padi memutar yang belum sempurna hendak dipamerkan di depan hidungku!" ejek Tua Gila lalu tertawa lagi gelak-gelak.
Wiro Sableng terkesiap kaget. Baru hari itulah seseorang mengenali gerakan yang dibuatnya. Memang sewaktu dia jungkir balik tadi dia telah mengeluarkan gerakan yang dinamakan kincir padi memutar yaitu yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede. Sebenarnya gerakan tersebut sudah dikuasai Wiro dengan sempurna namun karena gugup, terkejut dan ditambah dalam keadaan tubuh lemah maka gerakannya itu menjadi tidak sempurna. Jika sekiranya Tua Gila menyusul dengan satu serangan lagi pastilah Pendekar 212 Wiro Sableng akan mendapat celaka. Untung saja si muka angker itu hanya terus duduk dan tertawa gelak­gelak.
Wiro berdjri dengan nafas sesak dan muka pucat. Matanya tiada berkesip memandang si Orang tua. Jika dia diperlakukan begitu terus-terusan, dicaci maki, diserang dan ditertawakan, sampai berapa lama dia akan sanggup menahan kesabarannya? Sampai berapa lama dia akan menghormati orang tua itu sebagai tuan penolongnya? Kepada siapa dia telah berhutang budi dan nyawa?!
"Kau masih mau membangkang?!"
Wiro tak menjawab.
Tua Gila berkata: "Mengingat bahwa kau telah me­nyelamatkan seorang anak laki-laki yang bakal kuambil jadi muridku maka kuampuni jiwamu, orang gila."
"Orang tua, aku tak bisa menerima perlakuanmu yang keterlaluan…."
"Perlakuanku apa yang keterlaluan?!" bentak Tua Gila marah sekali. "Manusia tidak tahu diri! Sudah diampuni jiwanya malah mengomel! Ayo lekas katakan siapa nama gurumu!"
"Kau buhuhpun aku tak akan memberi tahu!"
"Apa kau tidak takut mati?!"
"Kenapa musti takut?!" jawab Wiro pula.
Tua Gila tertawa pendek dan berkata: "Apa di dunia ini betul-betul ada manusia yang tidak takut mati?!"
"Semua manusia akan mati, orang tua. Juga kau!"
Tua Gila tersentak oleh ucapan Wiro Sableng itu. Selama puluhan tahun hidup tak pernah dia ingat tentang kematian sekalipun sudah berpuluh kali melihat manusia-manusia lain menemui ke matian. Ucapan Wiro tadi menyentakkan hati dan mengingatkan pikirannya pada hal kematian itu. Betapa mengerikannya kematian itu dan tiada terasa dua butir air mata menuruni kelopak matanya yang lebar, turun menetes pipinya yang cekung!
Wiro Sableng merasa heran melihaPhal ini! Si orang, tua yang begitu keras adat, galak, tertawa tak karuan dan aneh itu nyatanya juga bisa menangis keluarkan air mata. Suasana menjadi sunyi untuk beberapa lamanya.
Tiba-tiba Tua Gila acungkan telunjuk tangan kirinya
ke dada kanan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Apa arti angka 212 di dadamu itu?!" ‘
Wiro baru sadar bahwa waktu itu dia cuma mengenakan celana panjang saja sedang tubuhnya bagian atas tiada berbaju karena sewaktu peristiwa perahu terbalik dia telah mempergunakan bajunya untuk mengikat anak laki-laki yang ditolongnya.
"Guruku yang menuliskannya," kata Wiro.
"Dasar tolol! Aku tanya apa,arti angka itu! Bukan siapa yang menulisnya. Sekalipun,setan atau jin yang menulisnya aku tak perduli!"
"Tak bisa kuterangkan orang tua," jawab Wiro.
Paras Tua Gila tampak kembali menjadi marah.
"Pembangkanganmu sudah keterlaluan! Kau betul-betul tidak memandang sebelah mata terhadapku! Kau akan kubunuh saat ini juga." Lalu Tua Gila tarik benang yang dipegangnya, ffiro tersentak ke muka. "Bersiaplah untuk mati, orang gila!"
Dan Tua Gila lalu angkat tangan kirinya. Begitu tangan hendak dipukulkan, tiba-tiba djtariknya kembali. Dia menyeringai. "Ah… sebetulnya aku sudah muak melihat kematian! Orang gila, jika kau bisa menjawab sebuah pertanyaanku aku akan ampunkan jiwamu. Tapi kalau kau tak bisa menjawabnya, terpaksa kau kubunuh juga!"
Wiro Sableng kertakkan rahang.
Dan Tua Gila-lanfas ajukan pertanyaan"
"Menurutmu oang tua manakah yang paling celaka hidupnya di dunia ini?!"
Wiro terkesiap dan merenung. Pertanyaan aneh yang sukar dijawab kata hati pendekar ini. Ditatapnya wajah angker orang tua itu. ,
"Kalau kau tak bisa menjawab kau akan kubunuh!" Tua Gila menyeringai. Dia lalu menunjuk ke atas pohon kelapa dan berkata: "Aku akan jatuhkan sebuah kelapa. Sebelum buah itu mencapai tanah kau musti sudah bisa menjawab pertanyaanku tadi!"
Tua Gila memukul ke atas.
Wiro kerutkan kening.
Terdengar suara berkeresekan dan sebuah kelapa lepas dari tangkainya lalu melayang turun dengan cepat!
"Bumm!"
Buah kelapa jatuh dan pecah di atas tanah!
Tua Gila menghela nafas panjang dan tertawa rawan. "Jiwamu kuampuni, orang gila," katanya. "Jawabanmu memang betul." Kemudian dari balik pakaian putihnya Tua Gila mengeluarkah sebuah benda dan diacungkannya dihadapan Wiro. ”Benda ini kutemui di dalam saku pakaianmu yang dibuat pengikat anak laki-laki yang kau tolong itu. Dari mana kau dapatkan benda ini?!"
Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah potongan kulit harimau yang tempo hari ditemui Wiro di Goa Belerang di mana Kiai Bangkalan menemui ajalnya dibunuh. Saat itu ternyatalah di hati Wiro untuk meminta beberapa keterangan kepada Tua Gila. Maka diapun menuturkan riwayat Kiai Bangkalan sampai peristiwa terbunuhnya orang lua itu.
"Jadi perjalananmu itu adalah untuk mencari buku Seribu Macam Pengobatan Ha?"
Wiro mengangguk.
"Kalau kau berhasil menemuinya apakah buku itu akan kau ambil sebagai milikmu?! Berarti kau maling besar karena Kiai Bangkalan tak pernah mengatakan bahwa buku itu akan diwariskannya kepadamu!"
"Aku tidak mengatakan hendak mengambil atau memiliki buku itu. Tapi aku merasa punya kewajiban untuk mencarinya dan merampasnya kembali dari manusia yang telah mencuri buku itu"
"Kau tak punya hak melakukan itu, orang gila. Kau bukan muridnya Kiai Bangkalan!"
"Sekalipun demikian buku itu tidak layak berada di tangan orang yang bukan pemiliknya."
"Lalu kalau sudah kau temui kau mau bikin apa dengan buku itu?"
"Aku akan pelajart isinya,…",
"Berarti kau mencuri ilmu kepandaian orang lain!"
potong Tua Gila.
"Mana mungkin! Kiai Bangkalan pernah mengatakan bahwa dia akan mengajarkan ilmu pengobatan padaku. Kini dia sudah tiada dan kalau aku mempelajari ilmu pengobatan itu dari bukunya bukan berarti aku mencuri kepandaian orang lain!"
Tua Gila tertawa.
"Apapun alasannya, mempelajari ilmu orang lain dari buku tulisannya, tanpa izin orang itu sama saja dengan mencuriKiai Bangkalan berkata akan memberikan pelajaran ilmu pengobatan padamu. Langsung dari dia sendiri, bukan dari bukunya. Jangan mengada-ada, orang gila!"
Wiro Sableng menjadi penasaran sekali.
Dalam pada itu Tua Gila berkata lagi: "Karenanya kau lak usah teruskan perjalananmu mencari buku itu. Pulang saja. Kau akan sia-sia mengerjakan apa-apa yang bukan jadi hakmu!"
"Apakah menjadi hakmu melarang aku?!" tukas Wiro.
Tua Gila usut-usut janggutnya yang putih dan panjang.
"Perjalananku semata-mata bukan cuma untuk mencari buku itu. Tapi juga sekaligus mencari manusia yang telah membunuh Kiai Bangkalan!"
"Kau bukan muridnya. Kau tak berhak menuntut balas! Kau dengar orang gila?!"
"Tapi aku berhutang budi yang besar padanya. Hutang budi itu tak akan lunas sebelum aku berhasil membekuk si pencuri dan si pembunuh!"
"Kau mau membunuh orang yang telah membunuh Kiai Bangkalan…?" ejek Tua Gila. ‘
"Kalau keadaan memaksa," sahut Wiro. Tapi di hatinya dia yakin bahwa dia kelak betul-betul akan membunuh manusia itu.
"Dasar gila! Apa kau kira nyawa orang lain itu milikmu hingga kau bisa main bunuh seenaknya?!"
Wiro sunggingkan senyum sinis dan. menjawab:
"Tadi kaupun berniat membunuhku. Apa nyawaku milik­mu?!"
Tua Gila tertegun. Lalu tertawa membahak. "Kau meskipun gila nyatanya pintar bicara! Sekarang kau kembalilah masuk ke dalam pondok. Lama-lama aku jadi muak melihat tampangmu!"
Wiro mehggerendeng.
Tua Gila gerakkan tangan kanannya. Dan hebat sekali, satu aliran angin aneh menjalar di benang yang mengikat lengan Wiro terus memukul tubuhnya dengan hebat! Laksana sebuah bola yang diikat dan dilemparkan, tubuh Pendekar 212 mencelat masuk ke dalam pondok!
4
Dari Tua Gila, Wiro berusaha mendapat keterangan di mana letaknya bukit Tambun Tulang. Dulu sewaktu berangkat meninggalkan Pulau Jawa, dari seorang pelaut dia mendapat tahu bahwa Tambun Tulang adalah nama sebuah bukit yang terletak di Pulau Andalas.
Namun Tua Gila mengejeknya, malah mendamprat dan memaki-makinya.
"Orang gila! Bagusnya kau tak usah pergi ke situ. Kalaupun kau berhasil sampai ke sana, kau cuma datang mengantar nyawa…."
"Setiap bahaya maut adalah tantangan hidup yang harus kita hadapi," kata Wiro pula.
Tua Gila tertawa sinis. "Jangan bicara sombong. Orang gila, apa kau tahu artinya Tambun Tulang? Kalau aku kasih tahu baru bulu kudukmu merinding. Kalau tidak pingsan pasti kau terkencing-kencing karena ketakutan.
"Kalau aku begitu pengecutnya masakan aku berani ambil keputusan untuk mengadakan perjalanan," sahut Wiro karena merasa dihina sekali.
Tua Gila membelai janggutnya sebentar lalu berkata: "Nyalimu memangbesar, orang gila. Tapi percuma Saja keberanian yang luar biasa kalau kau tidak punya ilmu yang diandalkanl"
Wiro Sableng tertawa. Untuk kesekian kalinya, meskipun Tua Gila marah-marah dan mendampratnya, namun Wiro mengucapkan terima kasih kepada orang tua aneh berwajah angker itu dan minta diri.
"Apa?! Kau mau pergi?! Tidak bisa! Kau tetap berada dipulau ini sampai kau ada kemampuan untuk membuat urusan di Tambun Tulang."
Dua hal membuat Wiro Sableng terkejut.
Yang pertama ucapan Tua Gila yang mengatakan bahwa dia tak boleh meninggalkan pulau itu. Selama ber­hari-hari bersama si orang tua aneh, baru hari itu dia tahu kalau dia berada di sebuah pulau. Pantas saja seringkali didengarnya suara menderu seperti ombak sedang angin keras sekali. Hal kedua yang mengejutkan Pendekar 212 ialah bahwa dia musti tinggal di pulau itu sampai dia ada kemampuan untuk ini, berarti bahwa Tua Gila si orang aneh bertampang angker itu hendak memberinya pelajaran ilmu silat? Melihat sikap dan ucapan-ucapannya agaknya Tua Gila mengetahui banyak hal tentang Tambun Tulang!
Tengah Pendekar 212 Wiro Sableng berpikir-pikir begitu rupa tiba-tiba Tua Gila membentaknya: "Coba perlihatkan beberapa jurus ilmu silatmu yang kau anggap paling hebat!"
"Apa maksudmu sebenarnya, orang tua?" tanya Wiro Sableng dengan hati meragu.
“Tak usah banyak tanya! Lekas perlihatkan!" bentak Tua Gila.
Wiro Sableng yang saat itu sudah sembuh dan berada dalam keadaan normal seperti sedia kala segera maklum bahwa orang tua aneh itu mempunyai maksud tertentu terhadapnya. Maka dia segera mainkan beberapa jurus ilmu silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng!
Mula-mula dikeluarkannya jurus yang dinamakan "Segulung Ombak Menerpa Karang", menyusul "Ular Naga Menggelung Bukit", lalu Wiro balikkan badan dan lancarkan jurus "Dibalik Gunung Memukul Halilintar" dan yang keempat kalinya jurus yang dinamai "Membuka Jendela Memanah Rembulan". Semua gerakan itu dilakukannya dengan cepat hingga dalam sesaat saja dia sudah menyelesaikannya.
Tua Gila tertawa gelak-gelak. Sambil batuk-batuk kemudian dia berkata: "Coba kau ulangi lagi keempat jurus itu." Lalu dia mematahkan sebatang ranting dan berdiri empat langkah dihadapan Wiro Sableng.
Tahu kalau dirinya hendak diuji maka sewaktu bergerak kembali Wiro Sableng sengaja lipat gandakan tenaga dalam dan berkelebat dengan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaannya! Tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng lenyap ditelan oleh gerakannya sendiri yang berkelebat merupakan bayang-bayang!
Pada waktu Wiro Sableng mengeluarkan jurus "Segulung Ombak Menerpa Karang" maka kedua tangannya kiri kanan memukul sebat sampai mengeluarkan suara angin yang deras,, betul-betul laksana ombak dahsyat memukul karang. Debu dan pasir serta batu-batu kerikil beterbangan. Semak belukar bergoyang-goyang!
Anehnya Si Tua Gila menyerangnya, Wiro Sableng lipat gandakan daya gerakannya. Jurus yang dinamai “Segulung Ombak Menerpa Karang" itu mengeluarkan angin pukulan yang laksana ganas mencari sasaran di kepala dan dada Tua Gila.
Tua Gila mendengus. Ranting di tangan kanannya lenyap dan gerakan memutar sedang tubuhnya sendiri jingkrak­jingkrakkan tak menentu macam monyet terbakar ekor! Anehnya meski gerakan si orang tua bertampang angker jingkrak-jingkrakkan tak karuan dan dilakukan sambil cengar-cengir mengejek namun jurus "Segulung Ombak Menerpa Karang" secara aneh dapat dielakkannya dengan mudah!
Wiro Sableng penasaran sekali. Tak pernah selama ini jurus yang dikeluarkannya itu sanggup dielakkan lawan demikian mudahnya! Karena dengan satu bentakan keras Wiro susul dengan jurus "Ular Naga Menggelung Bukit". Jurus ini didahului oleh satu tendangan dahsyat ke arah bawah perut. Namun ini hanyalah gerak tipu belaka. Bila lawan menangkis atau mengelak akan menyusul sambaran sepasang lengan ke al-ah leher atau pinggang. Sekali leher atau pinggang kena digelung oleh lengan yang berisi kekuatan tenaga dalam luar biasa itu, tak ampun lagi pasti akan putus dan orangnya akan konyol!
Dengan gerakan gerabak-gerubuk Tua Gila hindarkan tendangan,ke arah bawah perutnya. Juga dengan gerakan aneh macam begitu dia berhasil pula mengelakkan gelungan tangan lawan yang mengincar leher lalu turun ke arah pinggang!
"Edan!" maki Pendekar 212. Dalam lain kejap dia sudah melompat ke muka dan lancarkan jurus "Membuka Jendela Memanah Rembulan".
Tapi dia cuma menyerang tempat kosong karena si orang tua sudah lenyap dihadapannya dan terdengar suara dengus mengejeknya di belakang!
Wiro bersuit nyaring. Balikkan badan dengan cepat sambil lancarkan serangan dalam jurus "Dibalik Gunung Memukul Halilintar!"
Tapi lagi-lagi dengan gerakan aneh gerabak-gerubuk macam monyet mabuk si orang tua berhasil mengelakkan jurus serangan terakhir yang dilancarkan Wiro Sableng itu!
Wiro melompat mundur.
"Orang tua, aku mengaku kalah!" kata Wiro sejujurnya. Dia kagum sekali melihat kelihayan orang tua ini.
Tua Gila tertawa mengekeh dan sambit membuang ranting kering yang ditangannya dia berkata: "Aku tidak memikirkan soal menang atau kalah! Hanya tukang­tukang judilah yang memikirkan kalah menang!"
Kemudian dia duduk di bawah pohon kelapa dengan masih tertawa mengekeh. "Dengan ilmu silat picisan itu kau mau pergi ke Tambun Tulang…? He… he… he… he…. Belum sampai mungkin kau sudah kojor!"
Wiro Sableng panas sekali hatinya. Ilmu silat warisan Eyang Sinto Gendeng yang selama ini dianggapnya hebat dan lihay kini dikatakan sebagai ilmu silat picisan! Betul­betul Pendekar 212 jadi mengenas hatinya. Namun demikian adalah satu kenyataan bahwa dia tak sanggup menghadapi si orang tua dalam keempat jurus tadi! Ini membuktikan bahwa sepandai-pandainya manusia, masih ada manusia lain yang lebih pandai dari dia. Bahwa di luar langit ada langit lagi! Diam-diam Wiro menggerendeng sambil tundukkan kepala. Tapi ketika kepalanya ditundukkan, astaga, membeliaklah matanya karena terkejut!
Betapakah tidak! Baju putih yang dikenakannya ternyata robek besar diempat bagian! Wiro angkat kepala dan memandang tak berkesip pada si orang tua! Kalau saja benda di tangan Tua Gila tadi adalah sebatang pedang dan benar-benar dipakai untuk mencelakai dirinya, pastilah sudah sejak tadi nyawanya melayang ke akhirat! Betul-betul bahwa di luar langit ada langit lagi!
Tua Gila sementara itu tertawa terkekeh-kekeh sambil usap-usap janggutnya yang putih panjang.
"Sia-sia orang gila! Sia-sia kalau dengan ilmu yang kau miliki sekarang iri i kau hendak pergi ke Tambun Tulang! Kau akan mampus percuma!"
"Kalau begitu aku mohon petunjukmu, orang tua,"
kata Wiro Sableng pula.
"Apa? Siapa sudi kasih petunjuk pada orang gila macam kau!" damprat Tua Gila membuat Wiro untuk kesekian kalinya memaki dalam hati!
"Aku sudah lihat jurus-jurus silatmu yang tak berguna itu!" bicara lagi Tua Gila. "Sekarang coba keluarkan ilmu­ilmu pukulan saktimu! Aku mau lihat apakah juga tak ada artinya?!"
Penasaran sekali Wira menyurut mundur delapan langkah. Kedua kakinya direnggangkan. Tenaga dalam segera dialirkan ke lengan kanan.
"Orang tua! Berdirilah)" seru Wiro Sableng ketika dilihatnya Tua Gila masih duduk di bawah pohon kelapa sambil cengar cengir seenaknya.
"Ah, untuk menerima.pukulanmu yang tak berguna kenapa musti berdiri segala?! Silahkan memukul, orang gila!"
Wiro kertakkan rahang dan lipat gandakan tenaga dalamnya. "Kalau kau mendapat celaka, jangan salahkan aku!" gerendeng Wiro. Tangan kanannya diangkat tinggi­tinggi ke atas. Begitu tinju dihantamkan ke muka maka kelima jari membuka dan satu gumpalan angin keras menderu ke arah Tua Gila yang masih saja duduk tertawa­tawa.
"Ah! Cuma pukulan kunyuk melempar buah! Tak ada gunanya bagiku!" ejek tua Gila. Tangan kirinya dilambaikan ke arah gumpalan angin yang hendak melabraknya. Terdengar suara berdentum, Wiro tersurut. tiga langkah ke belakang! Ketika dia memandang ke muka, si orang tua dilihatnya tertawa mengekeh dan masih tetap duduk di bawah pohon kelapa itu! .
Wiro merutuk setengah mati.
Kedua tangan diangkat ke atas.
"Tua Gila! Terima pukulanku yang kedua ini!" Kemudian tanpa tunggu lebih lama Wiro putar-putarkan kedua tangannya di udara. Gelombang angin yang tiada tara dahsyatnya menderu. Debu dan pasir beterbangan. Batu­batu kerikil mental. Semak belukar luruh, daun-daun pohon berguguran bahkan banyak cabang-cabang dan rantingnya yang patah! Pakaian, rambut dan janggut Tua Gila kelihatan berkibar-kibar! Tapi anehnya dia tetap saja duduk di tempatnya, malah berkata’ "Ah, sejuknya pukulan angin puyuh ini. Mataku sampai-sampai mengantuk!" Dia menguap lalu letakkan kepalanya di atas lutut seperti sikap orang yang hendak tidur mencangkung!
"Edan!" maki Wiro Sableng. Pukulan angin puyuh segera diganti dengan pukulan angin es. Udara di atas pulau itu mendadak sontak menjadi dingin tiada terperikan. Binatang-binatang kecil seperti burung, jatuh menggelepar kaku. Sebaliknya si orang tua mendongak ke langit dan berkata seakan-akan pada dirinya sendiri; "Ah, panas sekali hari ini!.Tubuhku sampai keringatan!" Lalu Tua Gila kibas­kibaskan pakaian putihnya. Dengan serta merta lenyaplah pengaruh pukulan angin es yang telah dilepaskan oleh Wiro Sableng!
"Orang gila! Apakah kau masih punya ilmu simpanan yang lain?!" seru Tua Gila dengan nada mengejek!
Wiro jambak-jambak rambutnya saking gemas.
"Ayo! Pukulan sinar matahari belum kau keluarkan! Sudah lama aku tidak melihat pukulan itu!"
Sebenarnya susah sejak tadi Wiro Sableng terkejut karena Tua Gila mengetahui setiap jurus pukulan yang hendak dilepaskannya. Bahkan kini kejutnya itu bertambah lagi sewaktu Tua Gila menyuruhnya mengeluarkan pukulan sinar matahari!1 Siapa sesungguhnya orang tua aneh ini, pikir Wiro tiada henti!
"Ayo! Kenapa jadi macam orang pikun?! Keluarkan pukulan sinar matahari!" berseru lagi Tua Gila.
Penasaran sekati Wiro alirkan seluruh tenga dalamnya ke tangan kanan. Mulutnya komat-kamit. Sekejap kemudian tangannya itu mulai dari siku sampai ke ujung-ujung jari berubah menjadi putih sekali! Lima kuku-kuku jarinya memijar menyilaukan laksana perak ditimpa sinar matahari!
Tua Gila untuk pertama kalinya berdiri dengan cepat. Matanya yang lebar memandang ke muka tak berkedip. Tubuhnya sedikit dibungkukkan dan pada saat dilihatnya Wiro memukulkan tangan kanan ke muka, orang tua ini dorongkah telapak tangan kanannya ke depan!
Dari tangan Wiro Sableng menderu satu larik besar sinar putih yang tiada terkirakan panasnya! Sebaliknya dari tangan Tua Gila berkiblat tujuh sinar pelangi yang menderu ganas-dan memapasi sinar putih berkilau!
Terdengar suara berdentum yang teramat dahsyat!
Langit laksana robek!
Pulau itu laksana tenggelam ke dasar laut!
Dunia seperti mau kiamat!
Wiro Sableng mencelat sampai tiga tombak. Ketika dia berdiri mengimbangi badan, dadanya terasa sakit. Tenggorokannya gatal. Dia terbatuk lapi darah yang menyembur! Cepat-cepat Wiro telan sebutir pil! Lalu atur jalan darah dan nafasnya! Di seberangnya dilihat se­pasang kaki Tua Gila amblas ke dalam tanah sedalam betis! Sambil batuk-batuk dan tertawa-tawa, orang tua itu cabut kedua kakinya.
"Ah… baru pukulanmu yang satu itu yang agak berguna dimataku!" kata Tua Gila. Perlahan-lahan dia duduk kembali di bawah pohon kelapa. Tiba-tiba dia berpaling ke kiri dan mendamprat keras: "Bocah sialan! Kau berani mengintai urusan orang! Pergi!"
Ternyata yang dibentak dan diusirnya itu adalah anak kecil yang tempo hari ditolong oleh Wiro di tengah lautan. Si anak dengari takut segera lari meninggalkan tempat itu.
Tua Gila mendongak ke langit. Saat itu sang surya telah menggelincir ke arah barat.
"Hem… sudah rembang pelang. Tentu pasang sudah naik”
Dia berpaling pada Wiro dan berdiri. Lalu katanya:
"Mari ikut aku ke pantai!"
Mula-mula Wiro merasa bimbang dan tetap berdiri di tempatnya. Tapi ketika Tua Gila membentaknya dengan mata melotot marah, maka dengan rasa ingin tahu apa yang hendak diperbuat orarig tua aneh itu akhirnya Wiro mengikut juga!
5
Seperti yang dikatakan Tua Gila tadi ternyata memang kini mereka sampai di tepi pantai. Orang tua itu melangkah sepanjang tepi pasir menuju ke sebuah teluk sempit yang penuh dengan batu-batu karang serta batu-batu cadas hitam. Wiro memperhatikan bagaimana Tua Gila melangkah seenaknya di atas pasir yang basah tanpa meninggalkan sedikit jejak pun! Se-baliknya ketika dia memandang ke belakang, meski tak begitu kentara namun tetap saja matanya bisa melihat bekas-bekas telapak kedua kakinya! Bagaimana dia bisa menganggap ilmunya sudah tinggi dan sempurna? Wiro garuk-garuk kepalanya. Dalam bati dia- merasa malu sendiri!
Di teluk sempit itu terdapat dua buah batu karang yang menonjol tinggi. Lebih tinggi dari batu-batu di sekelilingnya. Jika pasang naik meskipun kedua batu karang itu tidak terendam air laut namun hampir setiap saat ombak yang sebesar-besar rumah menderanya dengan dahsyat! Setiap pasang naik, setiap hari, entah sudah berapa ratus tahun, entah sudah berapa juta kali ombak mendera kedua batu karang itu! Namun sampai saat itu keduanya masih tetap berdiri dengan kukuh dan megah laksana dua raksasa yang tiada terkalahkan sepanjang masa!
Dengan gesit dan sambil menyanyi-menyanyi membawa­kan lagu tak menentu Tua Gila melompat-lompat di atas batu-batu cadas, sampai akhirnya dia berada di puncak salah satu batu karang yang tinggi itu. Dia memandang ke bawah dan berteriak pada Wiro: "Kau melompatlah ke batu karang yang di sebelah sana!"
"Kau gila!" teriak Wiro. "Kalau ombak dalang kau pasti dihantam dan terpelanting ke batu-batu karang yang runcing menonjol itu. Kira-kira dua puluh tombak!"
Dan baru saja Wiro habis berteriak begitu sebuah ombak sebesar rumah bergulung dan menerpa ke arah puncak batu karang!
Wiro berseru memberi Ingat agar Tua Gila lekas melompat turun! Tapi gilanya, malah Tua Gila memutar tubuh menghadapi datangnya ombak. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi dan dia berjingkrak-jingkrak di atas puncak karang itu seperti seorang anak yang gembira sekail di kala ke luar rumah mandi hujan! Begitu ombak mendera begitu si orang tua dorongkan kedua tangannya menyongsong ke muka!
"Byuur!"
Ombak menerpa, Batu karang bergoyang keras. Tapi Tua Gila masin berdiri di atas puncak karang itu, Bajunya basah kuyup. Dan dia berteriak-teriak gembira; "Ayo ombak! Ayo ombak datanglah lagi! Datanglah lagi lebih besari"
"Manusia aneh gili" desis Wiro. tapi diam-diam dia kagum sekali! Sedangkan batu karang itu waktu dilanda ombak kelihatan jelas bergoyang hebat! Sebaliknya seorang manusia yang berada di puncaknya tiada sanggup disapu oleh ombak! Benar-benar tak bisa dipercaya kalau dia tak menyaksikannya sendiri.
"Hai! Melompatlah. Kau tunggu apa lagi?!" teriak Tua Gila sewaktu dilihatnya Wiro Sableng masih berdiri bengong melompong di bawah sana.
"Tobat! Aku masih mau hidup orang tua!" sahut Wiro.
Tua Gila memaki lalu gerakkan tangan kanannya.
Wiro tak tahu apa yang dikerjakan orang tua itu tahu tahu sebuah benda halus putih yang berkilauan telah melibat pinggangnya. Benang kayangan! Belum sempat Wiro berbuat suatu apa tahu-tahu tubuhnya sudah tersentak dan melesat ke atas puncak karang yang kedua.
Dengan kerahkan ilmu meringankan tubuh Wiro menjejakkan kedua kakinya di atas puncak karang yang sempit runcing, serta licnin berlumut itu!
Bila dia memandang ke muka, Wiro terkejut. Segulung ombak sebesar rumah menderu ke arah kedua puncak batu karang di mana dia berada bersama Tua Gila.
"Bagi dua tenaga dalammu ke kaki dan tangani" teriak Tua Gila. "Begitu ombak datang songsong dengan pukulan kedua telapak tangan!"
Karena khawatir tubuhnya akan disapu dan dihempas­kan ombak ke batu-batu cadas di teluk yang sempit itu, dengan sedapat-dapatnya Wiro mengikuti ucapan Tua Gila! Tapi percuma saja! Begitu ombak menyapu begitu tubuhnya mencelat mental!
"Tobat! Tamatlah riwayatku!" keluh Wiro Sableng. Satu tombak lagi tubuhnya akan menghantam sebuah batu cadas Tiba-tiba dirasakannya badannya tersentak membal dan mencelat lagi ke udara! Kiranya Tua Gila telah menyentakkan benang kayangan yang menjerat pinggangnya. Untuk kedua kalinya Wiro berdiri lagi di puncak batu karang itu!
"Ayo orang gila! Jangan takut!" seru Tua Gila sambil tertawa gelak-gelak. "Nah ini ombak besar datang lagi! Ayo, sambutlah!"
”Byuuur!"
Ombak menggulung menerpa bagian atas puncak­puncak karang. Untuk kedua kalinya tubuh Wiro Sableng mencelat mental. Seperti tadi, sebelum jatuh ke atas batu­batu cadas, kembali Tua Gila menariknya dan melemparkannya ke puncak karang! Berkali-kali hal itu terjadi hingga Wiro merasakan sekujur tubuhnya laksana tiada bertulang lagi, laksana hancur lebur dan orang tua gila itu masih juga melemparkannya ke atas batu karang setiap ombak menerjangnya jatuh!
Tiada terasa senjapun datang. Senja segera pula berganti dengan malam. Entah sudah berapa puluh kali Wiro disapu ombak dan "dipermainkan" oleh Tua Gila. ‘ Lambat laut timbullah rasa penasaran di hati Wiro Sableng, Dengan menguatkan diri dap menabahkan hati, ketika untuk kesekian kalinya ombak dalang lagi menderu maka pemuda ini coba berbuat seperti yang dilakukan Tua Gila. Sebagian tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian lain ke tangan. Begitu ombak datang tubuhnya dibungkukkan sedikit dan kedua telapak tangan didorongkan ke muka!
"Byuur!"
Wiro mencelat mental. Tapi kali ini tidak sejauh seperti sebelumnya. Dan bila hal itu dicobanya lagi berulang-ulang, maka menjelang tengah malam akhirnya Wiro sanggup juga beberapa kali tetap berdiri di puncak batu karang itu meskipun tubuhnya tergoyang gontai dengan hebat! Namun karena kekuatannya telah habis, akhirnya pemuda ini roboh pingsan! Dari mata, telinga, hidung dan mulut ke luar darah. Ini adalah akibat tubuh lemah yang dipaksakan mengerahkan tenaga untuk melakukan pekerjaan yang tak pernah dilakukan sebelumnya! Sebaliknya. Tua Gila tertawa gelak-gelak penuh gembira. Ditariknya benang sakti di tangannya. Sekali menyentakkan kemudian tubuh Wiro Sableng sudah berada di atas bahu kirinya.
Tua Gila mendongak ke langit, memandang ke arah bulan sabit. Sambil melompat turun dan tertawa-tawa dia berkata: "Tidak percuma… tidak percuma Si Sinto Gendeng itu punya murid macam ini! Tidak percuma!"
Kalau saja Wiro Sableng tidak pingsan, kalau saja Wiro Sableng mendengar ucapan Tuan Gila itu, pastilah dia akan heran dan terkejut sekali. Karena Eyang Sinto Gendeng adalah guru Wiro Sableng yang telah menggembleng pemuda ini selama tujuh belas tahun di puncak Gunung Gede!
Ternyata Tua Gila dengan mengajak Wiro Sableng ke puncak batu karang di teluk sempit itu, telah mengajarkan sebuah ilmu pukulan yang amat hebat kepada si pemuda. Wiro sendiri begitu menyadari bahwa Tua Gila memberikan pelajaran ilmu pukulan sakti kepadanya segera hendak berlutut mengucapkan terima kasih. Tapi dengan tertawa­tawa Tua Gila berkata:
"Meski kau kuberi pelajaran satu ilmu pukulan yang hebat, tapi jangan sangka bahwa aku telah jadi guru dan kau telah jadi murid antara kita tak ada hubungan apa­apa…!"
"Terima kasih orang tua! Terima kasih!" kata Wiro, "Tapi mengapakah kau sampai demikian bermurah hati mengajarkan ilmu pukulan itu?"
Tua Gila tertawa gelak-gelak.
"Pertama sebagai ucapan terima kasihku karena di tengah laut kau telah menyelamatkan seorang anak yang bakal menjadi muridku! Kedua karena mengingat… ah…. Agaknya tak perlu kuteruskan…."
Wiro Sableng merasa tak enak.
"Karena mengingat apa, orang tua…?"
"Sudah! Tak usah banyak tanya!" kata Tua Gila tak senang. "Ilmu pukulan yang telah kau pelajar! itu bernama "Dewa Topan Menggusur Gunung". Merupakan satu diantara tujuh pukulan hebat yang ada di dunia persilatan! Sekarang, untuk menambah bekalmu ke Tambun Tulang, aku akan ajarkan padamu beberapa jurus silat ciptaanku yang bernama Ilmu Silat Orang Gila"
"Nah sekarang kau seranglah aku selama tiga jurus," kata Tua Gila.
Wiro segera menyerang orang tua itu dengan gencar! Bagaimanapun hebat dan cepat gerakannya tetap saja dia tak bisa menyentuh tubuh Tua Gila. Sebaliknya dia kena didesak dan akhirnya dipaksa "makan" sebuah jotosan pada dadanya! Padahal ilmu silat yang dimainkan oleh Tua Gila kelihatannya gerabak-gerubuk tidak teratur! Tapi justru disitulah letak kehebatan ilmu silat orang gila yang diciptakan oleh Tua Gila! Dalam waktu yang singkat Wiro Sableng telah dapat meyakinkan jurus-jurus silat itu.
Meskipun belum sempurna, tapi bila dia terus melatih diri, pastilah kepandaiannya akan mencapai tingkat kesempurnaan.
Di pagi hari keesokannya setelah bersemedi hampir setengah malam Tua Gila memanggil Wiro Sableng.
"Hari ini adalah hari yang paling memuakkan bagiku untuk melihat tampangmu!" kata si orang tua. Wiro terkejut. Belum sempat dia bertanya Tua Gila sudah menyambung: "Karenanya hari ini pula kau harus angkat kaki! Nah berlalulah sebelum aku betul-betul muntah melihatmu!"
Wiro berpikir sejenak lalu dengan tertawa lebar dia duduk dihadapan Tua Gila. Dia tahu orang tua ini bersifat aneh. Karenanya meski disuruh pergi dia tak mau angkat kaki dari situ.
"Sebelum pergi, pertama sekali aku akan mengucapkan terima kasih sekali lagi, Terima-kasih karena kau juga telah mewariskan ilmu pukulan sakti dan menurunkan ilmu silat yang hebat padaku…."
"Lalu apa lagi?" tanya Tua Gila. "Ah, sudahlah! Perutku sudah mual melihatmu! Ayo berlalu cepat!" Tua Gila lambaikan tangannya. Angin yang hebat mendorong Wiro hingga terjajar beberapa langkah ke pintu pondok.
"Aku butuh beberapa petunjuk darimu, Tua Gila," kata Wiro.
"Eh, petunjuk apa?!"
"Kau sudah tahu bahwa aku akan pergi ke Tambun Tulang."
"Dan aku sudah berikan beberapa ilmu sebagai bekalmu. Apa itu masih belum cukup?!"
"Maksudku bukan minta ilmu lagi, tapi beberapa keterangan."
"Keterangan apa?!" tanya Tua Gila cepat seperti orang yang tidak sabar.
"Aku tak tahu banyak tentang letak dan apa artinya Tambun Tulang itu…."
"Dan juga tidak tahu bahwa ajal mungkin menantimu di situ?!" Tua Gila tertawa mengekeh.
"Ajal menunggu manusia di mana-mana, orang tua," sahut Wiro.
"Betul! Sedang tidurpun bisa mampus! Tapi mati yang paling mengenaskan dan mengecewakan ialah mati percuma dalam tak berhasil melakukan sesuatu yang kita rasakan sebagai kewajiban!" Orang tua itu tertawa lagi seperti sebelumnya. Setelah memijit-mijit kedua pipinya yang cekung. Tua Gila membuka mulut lagi:
"Tempat tujuanmu itu terletak di sebelah utara, kira-kira diperlengahan Pulau Andalas. Cukup jauh dari sini! Tapi kau pasti bisa sampai di situ karena bukankah kuburmu memang terletak di sana?" Tua Gila tertawa kembali. Lalu meneruskan lagi: ‘Tambun Tulang artinya Timbunan Tulang. Bukan timbunan tulang binatang tapi timbunan tulang ratusan, mungkin ribuan manusia! Demikian banyak hingga merupakan sebuah bukit yang kelihatan putih dari jauh! Bila didekati, pemandangan di sana mengerikan sekali! Bukit Tambun Tulang daerah kekuasaannya Datuk Sipatoka, seorang jago silat dan sakti mandraguna. Dia memiliki anak buah dan pembantu-pembantu yang lihay. Di samping itu memelihara puluhan harimau! Sekali kau masuk ke daerahnya itu, tipis harapan kau bakal keluar hidup-hidup, orang gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau membatalkan saja niatmu pergi ke situ?!"
Wiro gelengkan kepalanya.
"Kau masih muda, orang gila. Mati muda mati yang sia­sia!" kata Tua Gila pula.
Wiro tak menghiraukan ucapan orang tua itu, Malah dia bertanya: "Menurutmu, apakah mungkin manusia bernama Sipatoka itu yang telah membunuh Kiat Bangkalan dan mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan?"
"Dasar orang gila! Masakan hal itu kau tanyakan padaku! Aku tidak tahu dan kalaupun tahu belum tentu kuberi tahu padamu!"
"Wiro mendumel dalam hati”.
"Orang bernama Sipatoka itu, apakah dia termasuk tokoh silat golongan hitam?"
"Itu urusanmu untuk menyelidikinya!" jawab Tua Gila
"Mengenai bukit tulang manusia itu… apakah itu manusia-manusia korban keganasan Datuk Sipatoka dan
orang-orangnya?" tanya Wiro lagi.
Tua Gi|a tertawa dingin. "Kau akan melihat dan me­ngetahuinya sendiri nanti, orang gila! Kalau nasibmu baik, kau akan mati berkubur! Tapi kalau tidak, tulang-tulangmu akan turut menambah tingginya bukit Tambun Tulang Ku! Nah sekarang kau tunggu apa lagi! Cepat angkat kaki!"
Sekali lagi Wiro Sableng ucapkan terima kasih lalu setelah menjura berulang kali pendekar ini melangkah dengan cepat ke pintu.
"Orang gila! Tunggu dulu!" seru Tua Gila memanggil.
Wiro Sableng membalikkan badan.
"Sampai hari ini, sudah sejak beberapa lamakah kau turun meninggalkan puncak Gunung Gede?!"
Kagetlah Wiro Sableng mendengar pertanyaan orang tua itu. Bagaimana si Tua Gila tahu kalau dia berasal dari Gunung Gede?!
"Jawab sejujurnya orang gila! Aku tahu banyak tentang kau tapi tidak tentang orang lain itu!"
"Orang lain siapa, Tua Gila?" tanya Wiro.
"Gurumu si Sinto Gendeng! Lebih empat puluh tahun aku tak mendengar kabar beritanya!"
Keterkejutan Wiro Sableng makin bertambah-tambah.
"Kau… kau kenal dengan guruku?!"
"Jawab dulu sudah berapa lama kau turun gunung?!"
Wiro berpikir-pikir. "Kurasa ada satu tahun," sahutnya. "Ada apakah orang tua?"
"Sejak satu tahun itu tak pernah ketemu-ketemu dengan si Sinto Gendeng?!"
Melihat Tua Gila menyebut nama gurunya dengan "Si Sinto Gendeng" nyatalah bahwa Tua Gila mempunyai hubungan akrab. Atau mungkin sebaliknya?!
"Tidak," Wiro menjawab pertanyaan Tua Gjla tadi. "Sebetulnya ada hubungan apakah kau dengan guruku, Tua Gila?"
Orang tua itu tertawa rawan. Dia memandang jauh-jauh ke muka seakan-akan sesuatu di masa lampau kini terbayang di ruang matanya.
Tiba-tiba Wiro Sableng melihat butiran-butiran air mata menetes dan turun ke pipi cekung si orang tua. Aneh, pikir Wiro.
Lalu tiba-tiba lagi sambil seka air mata itu tua Gila tertawa gelak-gelak. "Kadang-kadang orang yang sudah tua berlaku seperti anak kecil. Menangis macam anak kecil!" Tua Gila kemudian hela nafas panjang. "Sebenarnya aku dan gurumu itu adalah saudara satu guru…."
Tentu saja ini tak diduga sama sekali oleh Wiro Sableng! Kagetnya bukan olah-olah! Tapi begitu sadar cepat-cepat dia menjura dalam-dalam dihadapan Tua Gila.
"Betul-betul aku tidak menduga kalau kau adalah saudara seperguruan dari Eyang Sinto Gendeng. Ah… pantas saja kau sakti dan lihay sekali!"
Kembali Tua Gila tertawa rawan.
"Aku lima tahun lebih tua dari dia, orang gila….". Dan dia memandang lagi jauh-jauh ke muka. "Gurumu itu sekarang tentu sudah tua renta, bungkuk dan buruk keriputan! Tapi dulu dia seorang dara yang cantik sekali! Dan aku yang kini begini buruk macam mayat hidup dulupun punya tampang keren, tegap gagah! Tapi itu dulu…! Semua yang dulu-dulu itu tak bakal kembali lagi!"
Untuk kedua kalirjya Jua Gila menghela nafas dalam. Lalu meneruskan, penuturannya. "Orang gila, aku naksir pada gurumu di masa kami muda-muda dulu. Dia juga senang padaku. Kami saling mencintai! Bahkan sewaktu turun gunung, guru kami merestui kalau benar-benar kami hendak bergabung dalam satu perkawinan! Tapi celakanya sesudah turun gunung aku tertipu oleh kecantikan dunia luar! Aku terjebak dan mati kutu di tangan seorang janda muda anak seorang Adipati di Plered! Aku kawin dengan janda Itu dan meninggalkan gurumu! Gila! Betul-betul gila perbuatanku!" Dan Tua Gila memukul-mukul keningnya sendiri! "Ketika janda itu sakit dan mati, baru aku sadar! Aku cari gurumu dan bertemu. Tapi dia tak sudi lagi padaku! Sekalipun aku menangis air mata darah, dia tak bersedia menerimaku dan hidup bersama! Gurumu patah hati, orang gila! Memang aku yang salah! Gila! Aku jadi putus asa lalu bertualang dan membuat keonaran di mana­mana! Seluruh tokoh-tokoh, silat di Pulau Jawa tunduk dan takut padaku! Dua puluh tahun lebih aku merajai dunia persilatan! Orang-orang menjulukiku berbagai rupa. Ada yang memberi gelar "Pendekar Gila Patah Hati". Ada pula yang menjuluki "Iblis Gila Pencabut Jiwa"! Banyak lagi gelar-gelar yang lain, tapi persetan dengan semua gelaran itu! Di akhir hayatku ini aku memakai gelar yang kuciptakan sendiri yaitu Tua Gila! Orang tua yang gila! Kurasa itu cocok bagiku! Dan selama bertualang membuat keonaran itu tahukah kau sudah berapa manusia yang menjadi korban di tanganku?"
Wiro angkat bahu.
Tua Gila hela nafas lagi. "Tiga ratus lebih," katanya men­desis. ‘Tiga ratus lebih nyawa manusia yang harus kuper­tanggung jawabkan di akhirat nanti! Betul-betul gila! Tapi semua mati dalam pertempuran yang jujur! Meski demikian kurasa jtu tetap gila! Dan di hari tua ini datanglah penyesalan. Tapi,apa gunanya lagi? Sudah nasib!"
”Apakah selama bertualang itu kau tak pernah bertemu dengan guruku?" tanya Wiro ingin tahu..
"Pernah… memang pernah, orang gila! Waktu itu keadaan diriku menyedihkan sekali. Pakaian compang­camping penuh tambalan. Rambut gondrong, lebih gondrong darimu dan acak-acakan. Badanku kurus kering, muka tak terpelihara dan kalau aku tak salah, waktu itu aku tak pernah mandi-mandi! Dan waktu itu kami berumur kira-kira empat puluh tahunan! Rupanya gurumu kasihan juga melihat aku! Lalu dia berkata kalau aku menghentikan membuat keonaran, kembali ke jalan yang benar, maka kelak di tiga puluh tahun mendatang dia bersedia untuk kawin denganku! Gila tidak?! Di tiga puluh tahun men­datang aku dan dia sudah jadi kakek nenek tua renta keriputan! Dan kawin di umur setua macam begini, betul­betul gila dan tak pantas sekali! Atau menurutmu pantas­kah orang setuaku dan setua gurumu itu, melangsungkan perkawinan?!".
Wiro Sableng garuk-garuk’kepala. Hatinya geli sekali.
"Aku tak tahu, Tua Gila. Kalau suka sama suka kurasa tak ada halangannya…”
Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata. "Memang tak ada halangan dan tak ada yang melarangl Tapi semua orang tentu akan mentertawai dan meng­anggap kami berdua pada gila dan memang aku dan gurumu itu memang sudah gila! Sesudah bertemu dengan gurumu lantas aku mengundurkan diri dari dunia persilatan dan tinggal di sini selama tiga puluh tahun lebih, men­dalami ilmu silat ciplaanku dan memperyakin beberapa ilmu pukulan sakti sambil berharap-harap sebelum mampus bisa mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya harapanku terkabul! Kau orang gila telah menyelamatkan seorang anak yang telah kuambil jadi murid!"
Lama kedua orang itu sama berdiam diri. "Kalau kelak kau mengunjungi gurumu, jangan lupa sampaikan salamku padanya," kata Tua Gila. Wiro mengangguk."Tapi kurasa lebih baik lagi bila kau sendiri yang datang menyambanginya…." "Ah… hatiku memang rindu! Tapi aku malu sekali! Kau tahu orang gila, rasa malu lebih kukuh dari dinding baja!" "Liku hidup ini banyak ragam dan keanehannya," kata Wiro.
Dan Tua Gila menyambungi: "Segala liku keanehan itu akan berakhir pada satu hal yakni kematian…. Nah, Wiro sekarang kau pergilah! Jangan tunggu sampai aku muntah!"
Wiro Sableng tertawa dan berkata: "Aku tetap berharap kau sudi menyambangi guruku di puncak Gunung Gede!"
Paras tua itu kelihatan memerah. Tua Gila membentak: "Sialan! Aku tak butuh nasihatmu! Ayo pergi!"
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul. Setelah menjura cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Di tepi pantai pulau ditemuinya dua buah perahu lengkap dengan kayu pen­dayungnya. Tanpa pikir panjang Wiro masuk ke dalam salah satu perahu itu dan mulai mendayung menuju ke utara!
6
Di tengah pasar yang ramai itu kelihatanlah banyak orang berkerumun dalam bentuk lingkaran. Dalam lingkaran berdiri dua orang, yang pertama seorang laki-laki separuh baya berpakaian dan berdestar hitam. Tampangnya gagah dan senyum senantiasa terbayang di bibirnya. Orang kedua seorang dara yang juga berbaju dan berikat kepala hitam. Kulitnya putih rambutnya menjulai panjang di punggung dan parasnya jelita. Seperti laki-laki tadi, dibibirnya yang segar juga selalu mengulum senyum yang diberikan pada orang ramai di sekelilingnya.
Laki-laki berpakaian hitam, melangkah ke tengah lingkaran, memandang berkeliling lalu menjura ke segala penjuru. Suaranya keras dan enak didengar ketika dia bicara.
"Saudara-saudara sekalian! Banyak terima kasih yang saudara-saudara sudah, sudi berkumpul di sini. Kita bukanlah orang-orang yang baru berjumpa kali ini. Sudah seringkali aku dan anakku berkunjung ke pasar ini sekedar memberi hiburan tak berguna untuk mencari uang. Hari ini kita berjumpa lagi. Kuharap saja saudara­saudara tidak bosan melihat pertunjukan kami! Juga tidak keberatan bermurah hati memberi beberapa ketip sebagai sumbangan. Kami ayah dan anak mengucapkan terima kasih…."
Sampai di situ ucapan laki-laki ini terhenti sejenak. Yang menghentikannya ialah karena dua buah matanya melihat kedatangan seorang penunggang kuda bertubuh tegap, berkumis melintang, berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Dibagian dada pakaiannya kelihatan lukisan kepala harimau berwarna kuning! Penunggang kuda itu berhenti dan ikut bergerombol di belakang orang banyak. Laki-laki separuh baya yang ada di lengah lingkaran merasa tak enak. Demikian juga anaknya kelihatan berubah air mukanya sewaktu melihat kemunculan si penunggang kuda berkumis melintang. Sedang orang banyak yang berjubalan, begitu mengetahui kedatangan penunggang kuda ini segera bersibak menjauh dengan muka yang membayangkan ketakutan. Banyak diantara mereka yang tak punya minat lagi untuk meneruskan melihat pertunjukan kedua beranak itu dan berlalu dengan cepat!
Laki-laki separuh baya meskipun dengan hati tidak enak kembali meneruskan ucapannya.
"Saudara-saudara sekalian. Maksud kami melakukan pertunjukan ini bukan untuk memamerkan ilmu kepandaian kami yang tak seberapa tapi semata-mata hanyalah untuk mencari Uang guna membeli sesuap nasi. Kami tahu pula, diantara saudara-saudara yang hadir disini tentu ada yang memiliki kepandaian dan kesaktian yang jauh lebih tinggi, karenanya kami minta maaf terlebih dahulu dan sudilah untuk tidak berlaku keras terhadap kami dan menahan pertunjukan kami nanti. Sekali lagi maaf. Sekarang kami akan mulai…."
Laki-laki itu mencabut sebilah keris dari pinggang-nya. Senjata itu dibawanya berkeliling, diperlihatkannya dekat­dekat pada penonton. Lalu diambilnya sepotong kayu jati dan kayu itu ditusuknya dengan keris! Kayu itupun berlubanglah! Ini untuk menunjukkan bahwa keris itu betul­betul senjata tajam bukan keris palsu yang terbuat dari kayu atau kertas tebali
Kemudian laki-laki ini menganggukkan kepalanya pada si dara jelita. Anak gadis itu mengambjl sebuah gendang dan mulai memukulnya. Ayahnya membuka baju. Kelihatanlah dadanya yang bidang dan berbulu. Kemudian mengikuti irama pukulan gendang, laki-laki ini menari sambil menghunjam-hunjamkan keris di tangan kanannya ke dada! Jelas sekali kelihatan ujung senjata itu menusuk kulit daging tubuhnya, namun kulit itu jangankan luka, tergorespun tidak! Semakin cepat irama pukulan gendang semakin cepat tar ia n yang dimainkannya dan semakin gencar pula tusukan-tusukan ujung keris ke dadanya!
Lewat sepeminum teh maka irama gendang kembali perlahan dan akhirnya berhenti. Laki-laki itu hentikan pula "permainannya lalu menjura kepada orang banyak yang disambut dengan tepuk sorak yang riuh!
"Saudara-saudara sekalian, pertunjukan, berikutnya dilakukan oleh seorang yang bukan lain adalah anak saya sendiri." Sementara itu ayahnya mengeluarkan sebatang golok tajam, putih berkilat ditimpa sinar matahari. Untuk membuktikan bahwa benda itu sebenarnya golok maka diambilnya kayu jati tadi lalu dibacoknya. Kayu jati terbelah dua!
Gendang mulai dipalu. Dengan langkah ringan si dara baju hitam menuju tengah lingkaran. Dia tersenyum berkeliling lalu mulai menari mengikuti irama gendang. Tariannya bagus sekali dan lemah gemulai membuat, se­mua orang terpesona. Ketika ayah sang dara melangkah mendekati anaknya dengan golok terhunus semua orang merasa ngeri meskipun pertunjukkan demikian sudah sering mereka saksikan. Laki-laki itu mulai pula menari mengelilingi anaknya. Kemudian "wuut," golok­nya dibacokkan ke punggung si gadis. Terdengar suara "buuk!" Gadis itu tersenyum! Aneh! Hantaman mata golok yang tajam bukan saja tidak melukai punggung sang dara tapi bahkan juga tidak merobek pakaiannya! Dan dengan senyum simpul si gadis terus menari seakan-akan tak ada terjadi apa-apa sementara golok menderu bertubi-tubi membacok bagian atas tubuhnya dan suara "Buuk… buuk… buuk." Terdengar tak kunjung henti! Ke­ngerian orang banyak berubah menjadi tempik sorak kagum!
Lewat sepeminum teh pula maka pertunjukan yang kedua itupun berakhirlah! Orang banyak bertepuk riuh dan bersorak gembira. Beberapa diantara mereka ada yang melemparkan uang logam ke tengah lingkaran yang segera dikumpulkan oleh anak laki-laki lalu di­masukkan ke dalam kotak.
"Sekarang pertunjukan yang ketiga, saudara-saudara," kata laki-laki berpakaian hitam. Dia melirik sekilas pada penumpang kuda berkumis melintang yang sampai saat itu masih berada di situ dan menyaksikan peri tinjukan.
"Saudara-saudara sekalian," kata laki-laki itu selanjutnya. "Saudara lihat kuati besardibela kang itu? Kuali
itu berisi air yang dijerang hingga mendidih! Saudara­saudara akan melihat bagaimana saya akan masuk ke dalamnya dan mandi!"
Lalu laki-laki itu melangkah mendekati sebuah kuali yang besar sekali. Bagian bawah kuali yang ditopang oleh tiga buah batu besar itu berkobar api besar. Air yang ada di dalam kuali berbunyi mendidih dan mengepulkan asap panas.
"Tapi!" berkata laki-laki tadi seraya palingkan muka ke segala penjuru. "Mungkin saudara-saudara mengira air yang mendidih dan api yang berkobar ini hanyalah tipuan belaka! Aku akan buktikan bahwa aku Pagar Alam bukanlah seorang penipu!"
Dari dalam sebuah kolak laki-laki yang mengaku bernama Pagar Alam itu mengeluarkan seekor tikus. Tikus Hu kemudian dimasukkannya ke dalam api! Binatang itu mencicil dan meregang nyawa di situ juga. Bau dagingnya yang terbakar meranggas hidung! ", Pagar Alam mengeluarkan seekor tikus lagi lalu di­cemplungkannya ke dalam air yang mendidih. Tikus itu mencicil sebentar dan menggelepar-gelepar lalu mati matang! Setelah mengeluarkan tikus Hu dari dalam kuali Pagar Alam berkata:."Sekarang saudara-saudara saksi­kan sendiri bahwa aku tidak menipu kalian! Nah, aku akan masuk ke dalam kuali ini!"
Semua penonton menahan nafas penuh tegang se­baliknya disudut bibir-penunggang kuda berkumis me­lintang tersungging senyum penuh arti!
Pagar Alam mencelupkan kaki kanannya ke dalam air mendidih di kuali. Lalu kaki kirinya. Dan kini dia ber­diri di atas kuali berair mendidih yang dibawahnya ber­kobar api besar! Hebat dan aneh, kakinya tidak melepuh, seakan-akan air di dalam kuali itu adalah air dingin biasa! Bahkan laki-laki ini memutar tubuhnya berkeliling sam­bil tersenyum! Orang banyak bertepuk riuh rendah!
"Saudara saudara sekarang aku akan duduk dalam kuali Ini dan akan mandi! Sudah lama badan buruk ini tak pernah mandi-mandi. Daki telah tebal di sekujur tubuhku!"
Semua orang tertawa gelak-gelak. Mata masing­masing dibentangkan lebih lebar.
Kemudian Pagar Alam membungkuk, siap untuk duduk di dasar kuali. Tapi baru saja dia bergerak sedikit tiba-tiba laki­laki ini menjerit keras dan melompat ke luar dari kuali. Tubuhnya terguling di tanah. Kedua kakinya sebatas lutut kelihatan putih matang laksana daging direbus! Semua orang menjerit dan terbeliak kaget! Anak gadis Pagar Alam memburu dengan cepat. Dari balik baju hitamnya dikeluarkannya sejenis bubuk lalu ditebarkannya dikedua kaki ayahnya yang merintih kesakitan di tanah! Rupanya seseorang berilmu lebih tinggi diam-diam telah "menahan" dan "memunah" ilmu yang dimiliki Pagar Alam dan akibatnya kedua kaki itu terebus matang!
Setelah mengobati kaki ayahnya, sang dara berdiri dan memandang beringas ke segala penjuru.
"Saudara-saudara siapakah diantara kalian yang begitu tega mencelakai ayahku? Ayah tiada punya permusuhan dengan siapapun di sini. Pertunjukan ini bukan untuk jual lagak atau memamerkan kepandaian, tapi hanyalah untuk mencari makan! Sungguh keterlaluan kalau ada yang demikian jahatnya mencelakai ayahku!"
Sekali lagi gadis itu memandang beringas berkeliling.
Sepasang matanya-beradu pandang dengan penunggang kuda berkumis melintang! Hatinya berdetak! Kemudian dengan suara lantang sambil memandang berkeliling gadis, ini berteriak keras: "Siapa yang telah mencelakai ayah silahkan maju kehadapanku! Siapapun dia adanya aku tidak takut! Aku Mayang akan mengadu jiwa padanya!"
Orang banyak memandang pula berkeliling. Dan rata-rata pandangan mereka tertuju pada satu sasaran yaitu laki-laki berpakaian hitam yang duduk di atas punggung kuda!
"Bangsat yang telah mencelakai ayahku tapi tak berani unjuk muka adalah pengecut terkutuk!" teriak Mayang lantang!
Sementara itu dengan merintih kesakitan Pagar Alam coba duduk dan bersandar ke sebuah peti. Sepasang matanya menyorot penuh amarah, memandang berkeliling. Bila matanya itu menyapu paras laki-laki yang duduk di atas kuda maka Pagar Alam pun membuka mulut dengan suara bergetar:
"Gempar Bumi, kaukah yang melakukan kejahatan ini?!"
Si penunggang kuda tertawa bergumam. Sekali dia gerakkan badan maka .tubuhnya ringan sekalj melesat dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Pagar Alam yang duduk di tanah bersandar ke peti!
Dengan bertolak pinggang laki-laki bernama Gempar Bumi ini berkata: "Sudah berulang kali kuperingatkan bahwa kau tidak boleh mengadakan pertunjukan dan minta sumbangan rakyat dengan seenaknya! Tapi itu tidak kau pedulikan! Dan pajak yang musti kau berikan pada atasanku penguasa negeri ini tak pernah kau serahkan!"
"Penghasilan kami tak ada artinya!" teriak Mayang.
"Dan pajak yang kau minta melewati batas besarnya!
Lagi pula hak apakah atasanmu memungut pajak dari kami? Semua rakyat bebas mencari penghasilan’. Rakyat tidak merasa atasanmu itu sebagai pemimpin dan pe­nguasa negeri ini!" "Aha…. Mayang. Cakapmu terlalu berani. Kalau Datuk mendengarnya pasti kau akan celaka!" Mayang meludah ke tanah. "Aku tidak takut pada Datukmu itu!"
Gempar Bumi menyeringaijdan puntir-puntir kumisnya.
"Aku tahu Gempar Bumi!" tiba-tiba Pagar Alam berkata. "Kau mencelakai diriku bukan karena soal pajak ataupun soal yang lain! Tapi karena aku dan anakku telah menolak lamaranmu dua minggu yang lalu!"
Gempar Bumi tertawa dingin.
"Di negeri ini rupanya mulai ada keledai-keledai tolol yang hendak coba-coba menentang kekuasaan Datuk dan pembantu-pembantunya! Dan ketika dia diberi babaran baru menyesal!"
"Aku tidak menyesal telah menolak lamaran manusia macammu!" sentak Pagar Alam. Kalau saja dia bisa berdiri mungkin sudah diserangnya laki-laki itu!
Gempar Bumi memandang berkeliling dan berkata dengan suara nyaring. "Siapa-siapa yang coba menantang kekuasaan Datuk dan menghina pembantu-pembantunya sama saja dengan mencari mati!"
"Bangsal terkutuk!" damprat Mayang. "Aku lebih baik mampus daripada jadi isirimu. Aku lebih baik mati berkalang tanah daripada tunduk kepada Datuk keparatmu!" Habis berteriak begitu anak gadis Pagar Alam ini menyambar sebilah golok dan menyerang Gempar Bumi!
7
Suasana di pasar itu pun hebohlah! Golok di tangan Mayang berkiblat kian kemari dengan suara menderu. Dalam tempo yang singkat kelihatanlah bagaimana Gempar Bumi terbungkus sambaran golok yang menyerangnya ke seluruh bagian tubuhl Gempar Bumi sendiri tiada menyangka kalau si gadis memiliki kehebatan begitu rupa. Tapi dia tidak jerih. Dengan senyum mengejek Gempar Bumi menghadapi si gadis dengan tangan kosong dan buka jurus pertahanan. Senjata lawan lewat di depan pinggangnya. Jurus pertahanan diganti kini dengan jurus serangan. Tangan kanan dengan cepat menyelusup ke dada mayang, siap untuk menjamah buah dadanya yang padat montok!
"Wuuut!"
Tersirap darah Gempar Bumi sewaktu golok di tangan sang dara membatik laksana kilat! Kalau saja dia tidak cepat-cepat menarik pulang tangannya, pastilah akan terbabat putus!
Mayang sendiri dengan gigih terus menyerbu. Sambaran­sambaran goloknya laksana hujan mencurah! Gempar Alam tidak mau main-main lagi. Hatinya heran dari mana si gadis memiliki ilmu kepandaian begini rupa! Jika ditinjau jelas sekali ilmu silatnya lebih tinggi satu dua tingkat dari ayahnya sendiri! Tentu dia telah berguru pada seorang jago silat, pikir Gempar Bumi.
Dalam waktu singkat sepuluh jurus telah berlalu dan Gempar Bumi masih berada di bawah angin. Laki-laki ini mengomel dalam hati. Dia membentak keras dan sekejap saja berubahlah jurus-jurus ilmu silatnya. Tubuhnya ber­kelebat kian ke mari membuat bayang-bayang hitam. Satu jurus kemudian terdengar pekik Mayang.
Lengan kanannya kena dipukul oleh lawan. Golok terlepas mental dan di saat itu pula, dara ini merasakan tubuhnya kaku tegang tak kuasa digerakkan. Ternyata sewaktu memukul lengan kanan lawan, sekaligus Gempar Bumi menotok dada Mayang dengan jari-jari tangan kirinya!
"Manusia haram jadah! Beranimu hanya sama perempuan!" bentak Pagar Alam yang tergeletak duduk di tanah bersandar ke peti.
Gempar Bumi tertawa mengekeh!
"Anakmu hebat juga, Pagar Alam! Walau kau menolak lamaranku tempo hari, tapi saat ini terpaksa kau harus menyerahkan Mayang bulat-bulat ke tanganku!" Laki-laki berpakaian hitam ini tertawa lagi
"Keparat! Kau mau bikin apa?!" hardik Pagar Alam seraya hendak berdiri. Tapi tubuhnya terduduk kembali. Sepasang kakinya yang terebus matang tak kuasa untuk ditegakkan! Darah laki-laki ini bergejolak marah. Pelipisnya mengembung!
"Bikin apa lagi kalau bukan mau membawanya ketempatku!" jawab. Gempar Bumi seraya melangkah ke arah Mayang.
"Anjing baju hitami Kalau kau berani menjamah tubuhnya kupecahkan kepalamu!"
Gempar Bumi menyeringai!
"Berdiripun kau tak mampu! Bagaimana mau membunuh aku?!" Dan dia melangkah lagi mendekati Mayang.
Tapi begitu tangannya diulurkan untuk meraih pinggang sang dara tiba-tiba "buuk!" Punggungnya dihantam orang dari belakang yang kerasnya cukup membuat Gempar Bumi mengerenyitkan kulit kening kesakitan! Dia berpaling dengan cepat dan berkeretekanlah geraham-gerahamnya! Ternyata yang meninju punggungnya tadi bukan lain anak laki-laki kecil adik Mayang!
"Buyung! Berlalulah dari hadapanku kalau tak ingin kena tempelak!" bentak Gempar Bumi. "Orang jahat! Kalau kau berani membawa lari kakakku, aku akan…." "Akan apa?!" tanya Gempar Bumi seraya bertolak pinggang.
Si anak menjawab dengan menyerang marah. Tinjunya yang kecil tapi cukup keras dihantamkan ke perut Gempar Bumi. Tapi tentu saja Gempar Bumi bukan tandingan si buyung kecil ini. Ditangkapnya lengan anak itu lalu dipuntirnya ke belakang hingga si anak menjerit-jerit kesakitan dan coba menendang paha Gempar Bumi dengan tumitnya! Gempar Bumi mendorongnya ke muka hingga hampir saja dia jatuh menyungkur tanah!
Tiba-tiba si anak melihat golok yang dipakai kakaknya untuk menyerang Gempar Bumi. Dengan cepat dia membungkuk dan mengambil senjata itu lalu membalik menyerang Gempar Bumi kembali!
"Tikus cilik tak tahu diunlung!" maki Gempar Bumi dan sebelum senjata itu sampai ke dekat tubuhnya, tangan kanannya sudah bergerak.
"Plaak!
Si anak terpekik.
Bibirnya pecah dan berdarah. Dua buah giginya mencelat mental Tubuhnya terpelanting satu tombak dan menggelusur di tanah tanpa sadarkan diri!
"Bangsat rendah! Terima ini!" teriak Pagar Alam dengan amarah mendidih. Dijangkaunya keris yang terletak di atas peti lalu dilemparkannya ke arah Gempar Bumi. Senjata itu melesat mencari sasaran di batang leher Gempar Bumi!
Yang diserang ganda tertawa. Setengah jengkal lagi ujung keris akan menembus tenggorokannya, laki-laki ini gerakkan tangan kanannya! Dan sesaat kemudian kelihatanlah bagaimana dengan mudahnya senjata itu dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk! Itulah ilmu menjepit senjata yang lihay! Semua orang yang menyaksikan hal ini sama leletkan lidah kagum, tapi bila mereka ingat siapa Gempar Bumi adanya, maka kekaguman itu mendadak sontak berubah menjadi kebencian!
Gempar Bumi timang-timang beberapa kali keris itu. Tiba-tiba tangannya itu digerakkan dan "cup!" Senjata itu menancap di peti di mana Pagar Alam duduk bersandar, hanya setengah senti dari telinga kirinya!
Gempar Bumi tertawa gelak-gelak!
"Jika tidak mengingat kau bapaknya Mayang pasti sudah kutembus keningmu dengan senjata itu!" katanya. Lalu dia menambahkan: "Tapi dilain hari jika kau masih tidak tahu tingginya Gunung Merapi dan dalamnya Ngarai Sianok, aku tak akan ampuni jiwamu!"
Habis berkala demikian Gempar Bumi melompat ke­hadapan Mayang. Dan kini tak satu orangpun yang bisa atau berani menolong gadis yang hendak dilarikan itu!
Tangan kanan bergerak meraih pinggang Mayang dengan ketat! Tapi mendadak raihan itu terlepas kembali. Dari balik gerombol orang banyak di tepi jalan melesat sebuah benda kecil menghantam sambungan siku Gempar Bumi. Kulit di lengan siku itu lecet. Sekujur lengan kanan Gempar Bumi tergetar dan rasa sakit membuat dia melepaskan raihannya! Tak seorangpun agaknya yang mengetahui kejadian itu selain Gempar Bumi sendiri! Laki laki ini memandang berkeliling dengan geram, mencari-cari siapakah manusia yang telah melemparkan benda itu! Tapi siapa yang hendak diduga diantara orang sebanyak itu?! Dan ketika ditelitinya ternyata benda kecil yang dipakai untuk menghantam tangannya itu adalah hanya sebutir kerikil yang besarnya tak sampai seujung jari kelingking! Nyatalah ada seorang pandai yang telah turun tangan.
Sementara itu semua orang, termasuk Pagar Alam dan Mayang sendiri merasa heran kenapa Gempar Bumi tak jadi meneruskan niatnya melarikan dara itu! Gempar bumi berdiri bimbang seketika. Tiba-tiba laksana kilat tubuh Mayang sudah disambarnya dan dengan cepat membawa gadis itu ke atas kuda! Dengan tangan kiri Gempar Bumi menepuk pinggul binatang itu. Rasanya
sekali tepuk saja kuda itu akan segera melompat dan lari! Tapi kali ini kuda itu jangankan melompat dan lari, bergerakpun tidak!
Gempar Bumi menepuk sekali lagi lebih keras.
"Ayo! Larilah!"
Tapi binatang itu tetap berdiri di tempatnya. Keempat kakinya tak bergeser sedikitpun! Hanya kepala dan lehernya saja yang digerak-gerakkan. Kemudian binatang ini meringkik beberapa kali!
"Ayo lari!" bentak Gempar Bumi.
Tetap saja kuda itu tegak di tempatnya! Di samping rasa heran dan penasaran kekejutan juga timbul di hati Gempar Bumi Ketika diperiksanya dengan cepat ternyata keempat kaki kudanya telah ditotok! Dan empat butir kerikil kelihatan tak jauh dari kaki-kaki binatang Ini! Tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi melompat dari punggung kuda terus lari. Namun sekali inipun dia tak mampu lari jauh karena sebutir kerikil lagi menyelusup menembus kaki pakaiannya terus menghantam belakang lutut kaki kanannya! Dengan serta meria kaki kanan itu ke semutan dan lemas sukar digerakkan!
Gempar Bumi yang tahu gelagat bahwa dia benar benar berhadapan dengan seorang lihay yang tersem bunyi di antara manusia banyak di tengah pasar itu perlahan-lahan turunkan tubuh Mayang. Orang ramai masih tak tahu apa yang telah terjadi. Sementara itu sepasang mata Mayang memandang ke tanah. Dilihatnya sebutir kerikil dekat kaki kanan Gempar Bumi. Gadis bermata tajam dan memiliki ilmu yang cukup tinggi ini untuk pertama kalinya mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan bila dia memandang paras laki-laki itu sangat berubah!
Gempar Bumi menyadari kalau diteruskannya niat untuk melarikan Mayang, pasti orang pandai yang ter sembunyi diantara manusia banyak dipasar itu akan turun tangan dan lebih mencelakainya lagi! Lemparan lemparan batu kerikil tadi bukan lain merupakan peringatan keras terhadapnya!
Perlahan-lahan Gempar Bumi berpaling pada Pagar Alam dan berkata dengan suara lantang: "Pagar Alam, biarlah hari ini aku berlaku baik hati padamu! Anakmu
kubebaskan! Tapi ingat, aku akan datang kembali untuk mengambilnya!"
Gempar Bumi lepaskan totokan pada keempat kaki kudanya lalu naik ke punggung binatang itu. Sebelum berlalu dilepaskannya totokan di dada Mayang kemudian cepat-cepat menghilang dari tempat itu.
Di jalan yang buruk penuh dengan lobang-lobang demikian rupa bendi itu tak dapat berjalan cepat. Apalagi barang-barang. Ketiga penumpang itu bukan lain daripada Pagar Alam, Mayang dan adik gadis ini. Mereka dalam perjalanan pulang. Karena nasib buruk yang menimpa Pagar Alam, orang-orang di pasar telah bermurah hati memberi, sumbangan uang lebih banyak kepadanya hingga pendapatannya hari itu tiga kali lipat lebih besar dari biasanya! Namun uang yang sedemikian banyak tidak menggembirakan hati Pagar Alam. Pikirannya risau bila dia ingat si Gempar Bumi keparat itu. Cepat atau lambat pasti dia akan datang kembali untuk mengambil Mayang dengan paksa lalu melarikannya! Dimakluminya bahwa Gempar Bumi bukan tandingannya, juga bukan lawan anaknya. Sekalipun mereka mengeroyok laki-kaki itu tetap saja mereka tak akan mampu mengalahkannya! Ini hal pertama yang merisaukan hati Pagar Alam. Hal kedua ialah keadaan kakinya itu. Meski sudah diobati oleh anak gadisnya tapi dalam seminggu dua minggu pasti tak akan sembuh! Sementara itu bendi yang mereka tumpangi berjalan juga menempuh jalan buruk dan sunyi Kedua tepi jalan ditumbuhi semak belukar lebat dan di belakang semak belukar itu berderetan pohon-pohon besar tinggi.
Bendi bergerak terus dan mereka bicara-bicara juga. Kusir bendi sudah sejak lama tak mencampuri lagi pembicaraan kedua beranak itu. Tali kekang kuda dipe­gangnya dengan terkantuk-kantuk. Hembusan angin yang sejuk ditengah hari itu memang menimbulkan rasa kantuk. Tiba-tiba Pagar Alam dan Mayang hentikan pembicaraan mereka.
Di kejauhan terdengar derap kaki kuda, makin lama makin keras. Dari balik tikungan dihadapan mereka muncul seorang penunggang kuda berpakaian serba hitam. Pada bagian dada bajunya terpampang lukisan kepala harimau berwarna kuning. Ketika penunggang kuda itu tambah dekat, berubahlah paras seisi bendi itu! Pagar Alam meraba hulu keris yang tersisip di pinggangnya.
Mayang mengeluarkan golok dari dalam peti sedang kusir bendi bersiap-siap dengan sebatang besi yang tergeletak di lantai bendi dekat kakinya! Si penunggang kuda bukan lain dari Gempar Bumi adanya!
Gempar Bumi hentikan kudanya. Kusir bendi pun telah pula menghentikan kendaraannya.
"Sekarang kuharap kau tak usah banyak rewel Pagar Alam!" kata Gempar Bumi dengan nada keren.
"Anakmu akan kuambil!"
"Kau manusia yang paling tidak bermalu di dunia ini. Gempar Bumi! Pinanganmu ditolak! Aku kau celakai dan kini kembali kau memaksa untuk melarikan anakku!"
Gempar Bumi tertawa sinis. "Mulutmu masih tetap besar! Aku hargai nyalimu! Tapi agar tidak lebih celaka kuharap kau serahkan anakmu secara baik-baik! Kalau tidak terpaksa aku memberi hajaran yang lebih keras padamu!"
"Kau boleh bawa anakku, Gempar Bumi," desis Pagar Alam. "Tapi… langkahi dulu mayatku!" Dan Pagar Alam menghunus kerisnya!
Gempar Bumi tertawa bergelak dan menyentakkan tali kekang kudanya. Sesaat kemudian kuda dan bendipun telah bersisi-sisian.
"Turun dari bendi itu Mayang!" perintah Gempar Bumi.
Pagar Alam beringsut ke samping kereta sebelah kanan. Dalam jarak yang cukup dekat itu tanpa banyak bicara lagi keris di tangan kanannya dihunjamkan cepat cepat ke muka Gempar Bumi!
"Manusia tolol!" maki Gempar Bumi. Sekali dia gerakkan tangan kanan memukul lengan Pagar Alam, mentallah keris laki-laki itu sedang lengan yang kena dipukul kelihatan bengkak matang biru! Pagar Alam merintih kesakitan.
Dalam pada itu dari samping menderu satu sambaran golok ke arah batok kepala Gempar Bumi. Ternyata Mayang telah melancarkan serangan yang pertama sambil melompat dari bendi. Adiknya juga tak tinggal diam. Dengan sebatang kayu anak laki-laki ini mengemplang ke arah bahu kanan Gempar Bumi sementara Pagar Alam mengambil sebuah lembing dari dalam peti. Si Malin kusir bendi meski tak ada sangkut paut dalam urusan itu, tapi memang sudah sejak lama membenci ter­hadap Gempar Bumi tak ayal lagi segera mengambil batang besi dari lantai bendi dan menyerang Gempar Bumi dari belakang!
Diserang begitu rupa Gempar Bumi marah bukan main! Dia berteriak: "Jangan menyesal kalau kalian kuhajar babak belur!" Lalu dia melompat dengan cepat dan gerakkan kedua tangannya.
Dua orang terpekik! Yang pertama anak laki-laki Pagar Alam. Kayu di tangan anak itu mental. Tangannya yang kecil laksana tanggal dan persendiannya. Tubuhnya mencelat dan terguling di tanah, kepalanya terbentur roda kereta terus pingsan!
Orang kedua yang terpekik ialah Malin si kusir bendi. Gempar Bumi yang merasakan sambaran angin di belakangnya sudah maklum kalau dia mendapat serangan dari arah itu. Karenanya begitu melompat dari punggung kuda Gempar Bumi laksana kilat hantamkan sikut kanannya ke belakang!
"Kraak!"
Suara "Kraak" itu hampir tak kedengaran karena pekik
setinggi langit yang ke luar dari tenggorokan Malin! Tulang iganya sebetah kanan patah dua buah. Tubuhnya mental sampai satu tombak. Begitu jatuh dia sudah tak sadarkan diri lagi! Pertempuran kini berjalan jauh dari kereta. Meskipun Pagar Alam memegang sebuah lem­ bing namun dia tak bisa berbuat suatu apa karena dia tak bisa berdiri apalagi berjalan dan turun dari kereta. Otomatis pertempuran itu kini hanya berjalan satu lawan satu yaitu Gempar Bumi menghadapi Mayang. Tingkat kepandaian Mayang jauh lebih rendah dari lawannya. Maka dalam setengah jurus saja gadis berparas jelita yang telah membuat Gempar Bumi tergila-gila itu ter­desak hebat.
"Gadis cantik!" kata Gempar Bumi dengan senyum mengejek. "Kalau saja kau serahkan dirimu secara baik­baik, pastilah…."
"Wuuut!"
Gempar Bumi tak bisa melanjutkan ucapannya. Se­buah benda panjang berdesing ke arahnya. Ternyata lembing yang dilemparkan dengan sebat oleh Pagar Alam dari atas bendi! Gempar Bumi rundukkan kepala.
Lembing itu lewat di alas kepalanya. Pada saat yang sama kaki kanan Mayang menderu ke arah dadanya.
"Mayang! Terpaksa kuakhiri segala kehebatannya ini!” kata Gempar Bumi. Ditangkapnya kaki kanan dara itu. Dengan kalap Mayting membacok ke bawah. Gempar Bumi angkat kaki sang dara. Akibatnya Mayang terpaksa tarik pulang bacokan goloknya karena kalau diteruskan pasti akan membabat kaki kanannya sendiri! Begitu se­rangan ditarik, begitu Gempar Bumi gerakkan tangan kiri. Maka terampaslah golok di tangan Mayang. Gempar Bumi lepaskan kaki kanan lawan. Dengan tangan itu dia segera hendak menotok tubuh Mayang. Tapi secepat kilat si gadis jatuhkan diri di tanah lalu berguling. Ketika bangun lagi di tangannya sudah tergenggam lembing yang tadi dilemparkan ayahnya!
"Batang lehermu dulu kutambus baru aku larikan diri!" jawab Mayang lalu kirimkan satu tusukan kilat ke leher lawannya!
Gempar Bumi bergerak untuk merampas senjata itu tapi tusukan lembing kini berubah menjadi satu kem­plangan yang ganas ke arah batok kepalanya! Penasaran Gempar Bumi sambut hantaman lembing dengan pukulan lengan kiri. Lembing patah dua! Bagian yang runcing mental ke udara sedang yang lainnya masih tergenggam di tangan Mayang dan dengan patahan lembing itu si gadis bertahan mati-matian. Tapi sampai beberapa lamakah dia dapat mempertahankan diri?!
8
Wiro Sableng Si Pendekar 212 murid Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede tengah menempuh rimba belantara, mengambil jalan memotong agar lebih lekas sampai di tempat tujuan yaitu antara Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Lapat-lapat didengarinya suara orang membentak beberapa kali yang diselingi suara seseorang yang tertawa gelak-gelak. Wiro yang sudah banyak pengalaman segera mengetahui bahwa biasanya bentakan-bentakan itu ke luar dari mulut seseorang yang marah dan geram. Sebaliknya tertawa mengekeh ke luar dari mulut orang yang mengejek kemarahan dan kegeraman orang pertama tadi. Dan suasana seperti itu hanya ditemui dalam satu perselisihan yang kemudiannya akan berkelanjutan dengan perkelahian atau pertempuran!
Karena pohon-pohon sangat rapat, semak belukar sangat lebat, agak sukar bagi Wiro untuk bergerak. Dalam pada itu didengarnya dua jeritan sekaligus! Wiro mempercepat langkahnya dan tak perduli lagi pakaian­nya yang cabik robek dikait ranting semak belukar! Dia yakin bahwa di tempat yang hendak didatanginya itu telah terjadi perkelahian. Yang mengherankannya ialah karena satu dari dua jeritan itu kedengarannya seperti jeritan anak kecil!
Ketika dia sampai di satu tepi jalan kecil yang sangat buruk terkejutlah pendekar ini menyaksikan peman­dangan yang terbentang di depan matanya. Adalah tidak dinyananya kalau yang bertempur adalah seorang laki­laki tegap melawan seorang dara jelita. Keduanya sama berpakaian hitam cuma pada bagian dada baju laki-laki terpampang gambar kepala harimau warna kuning! Yang lebih mengejutkan Wiro Sableng ialah karena laki-laki ftu bukan lain manusia berkumis melintang yang tadi di pasar hendak melarikan gadis itu. Dan si gadis sendiri adalah orang yang telah ditolongnya secara diam-diam ketika mau dilarikan! Rupanya si kumis melintang yang bernama Gempar Bumi flu sudah nefcad untuk membawa lari si jelita hingga dalam perjalanan pulang, si gadis telah dihadang!
Di tengah jalan kecil berhenti sebuah bendi. Seorang anak kecil menggeletak dekat roda bendi Kemudian seorang lainnya tak berapa jauh dari situ, agaknya dia adalah kusir bendi. Dan di atas bendi tampak duduk laki­laki bernama Pagar Alam. Mukanya pucat dan cemas sekali! Betapa kan tidak, anak gadisnya tengah bertempur mati-matian mempertahankan diri dari tangan laki-laki yang hendak melarikannya, sedang dia sendiri Pagar Alam -tak dapat berbuat suatu apa! Diatas bendi tak ada lagi benda­benda yang bisa dijadikan senjata untuk dilemparkan kepada Gempar Bumi. Dalam kecemasan yang memuncak melihat anaknya terdesak hebat itu dan tak ada harapan lagi untuk menyelamatkan diri maka tiba-tiba dia melihat sesosok tubuh menyeruak dari semak-semak. Ternyata yang muncul adalah se-orang pemuda bertubuh tegap, bertampang seperti anak-anak dan berambut gondrong!
"Hentikan pertempuran!" teriak Wiro Sableng.
Suara teriakannya yang menggeledek mengiang anak telinga mengejutkan orang-orang yang ada di situ, terutama mereka yang sedang bertempur! Pagar Alam merasakan dadanya bergetar karena kerasnya teriakan itu. Kalau tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi pasti hal itu tak mungkin terjadi, pikir Pagar Alam seraya mene­nangkan dirinya kembali. Kemunculan pemuda ini mem­berikan sekelumit harapan padanya. Tapi apakah pemu­da ini bukan seorang bangsa jahat terkutuk pula?; Melihat kepada potongan pakaian dan ciri-cirinya nyata sekali dia bukan penduduk setempat!
Akan Gempar Bumi begitu mendengar bentakan yang menggeledek tadi dengan cepat melompat mundur padahal saat itu dia sudah hampir dapat meringkus Mayang. Ketika dia berpaling di depan semak belukar di­lihatnya seorang pemuda tak dikenal berdiri dengan ber­tolak pinggang!
"Orang sinting! Siapa kau?!" hardik Gempar Bumi.
"Siapa aku tak kau usah perduli! Lekas angkat kaki dari sini atau kutekuk batang lehermu!"
Paras Gempar. Bumi membesi. Pelipisnya mengembung.
"Sepuluh tahun malang melintang di Pulau Andalas baru hari ini ada bangsa kucing dapur yang bicara hendak menekuk batang leherku!"
Mengetahui bahwa si pemuda menunjukkan sikap demikian maka legalah sedikit hati Pagar Alam dan Mayang. Jika berani membentak demikian berarti dia memiliki ilmu yang diandalkan. Namun Gempar Bumi seorang yang berilmu sangat tinggi, akan sanggupkah pemuda belia yang bertampang tolol itu menghadapinya?! Diam-diam kedua ayah dan anak itu jadi gelisah harap-harap cemas!
"Manusia kumis melintang! Aku tidak main-main. Lekas angkat kaki dari sini! Syukur aku bersedia meng­ampuni kekejianmu! Lekas pergi sebelum aku berubah pikiran!"
Gempar Bumi bertolak pinggang. Matanya melotot meneliti Wiro Sableng dari kepala sampai ke kaki. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
"Kucing dapur, apakah kau lihat gambar kepala harimau yang ada di dada bajuku ini?!"
"Itu bukan gambar kepala harimau!" sahut Wiro. Gempar Bumi beliakkan mata. Dan Wiro menyambung : "Kalau kau mau tahu, itulah gambar kepala kucing dapur!" Lalu Pendekar 212 tertawa gelak-gelak.
Marahlah Gempar Bumi. Seumur hidup baru hari itu dia mendapat hinaan dan ejekan demikian rupa!
"Anak setan! Tidak tahukah kau dengan siapa ber­hadapan?”
"Buset kau bisa memaki aku anak setani" jawab Wiro dengan sunggingkan senyum,, "Kalau aku anak setan, apakah kau lantas merasa jadi bapak moyangnya setan?!"
Mayang dan Pagar Alam meski geli mendengar ucapan itu namun terheran-heran melihat sikap dan tindak tanduk si pemuda yang agak anehi Bicaranya seperti orang main­mainan saja!
Sebaliknya dengan nada mendesis karena mendidih
hawa amarah yang menggejolakkan darahnya Gempar .Bumi berkata: "Melihat kepada tampangmu agaknya kau bukah orang sini! Pantas kau tak dapat membedakan mana tikus dan mana singa jantan…."
"Oh… jadi kau adalah seekor singa jantan? Pantas!
Pantas! Kau memang punya tampang seperti singa jantan!" kata Wiro pula memotong ucapan Gempar Bumi lalu tertawa gelak-gelak!
Kemarahan Gempar Bumi tak dapat dikendalikan lagi. Dia melompat kehadapan Wiro dan hantamkan tinju kanannya ke kepala pemuda itu! Sekali menghantam dia berharap akan menghancurkan kepala si pemudal Karena itu sengaja dikeluarkannya jurus ilmu silatnya yang hebat yang bernama "Palu Sakti Memukul Genta"! Tapi tidak semudah itu untuk menghancurkan kepala Pendekar 212 Pada saat serangan lawan baru bergerak setengah jalan dia sudah menyingkir ke samping dan dari samping kirimkan satu tempelak untuk menanggalkan sambungan sikut lawan!
Terkejutlah Gempar Bumi. Serangannya yang hebat itu bukan saja dapat dielakkan lawan tapi malah kebalikannya, kini dia sendiri yang kena diserang! Kedua kakinya dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas membuat tempelakan Wiro Sableng lewat. Dengan cepat kemudian Gempar Bumi kirimkan satu tendangan ke perut lawan sedang tangan kanan untuk kedua kalinya turun menghantam batok kepala Wiro Sableng!
Pendekar 212 bersiul! Meskipun gerakan ilmu silat Gempar Bumi agak aneh lapi dasarnya tiada beda dengan ilmu silat yang dimainkan tokoh-tokoh silat di Pulau Jawa! Begitu bersiul Wiro kelebatkan badannya! Untuk kedua kalinya Gempar Bumi dibikin kaget. Dia tak mengerti bagaimana pemuda bertampang tolol, sanggup mengelakkan sekaligus kedua serangannya. Sedangkan dalam pada saat itu tahu-tahu tangan kirinya sudah menyelinap menampar ke arah dada dalam satu gerakan kilat yang mendatangkan angin keras!
Penuh penasaran Gempar Bumi pergunakan lengan kanannya untuk memapasi serangan lawan. Kalau ilmu silat lawan boleh diandalkan, dalam tenaga dalam tentu si pemuda tak akan menang, begitulah pikiran Gempar Bumi!
Wiro sendiri yang melihat datangnya serangan memapas ini, meski tamparannya pada dada tadi pasti akan mengenai sasarannya, tapi karena ingin menjajaki tenaga dalam lawan sengaja melintangkan tangan kirinya!
"Buuk!" Maka beradulah kedua lengan itu!
Gempar Bumi keluarkan seruan tertahan! Tubuhnya terjajar sampai tujuh langkah ke belakang sedang le­ngannya yang beradu dengan lengan lawan bukan saja tergetar hebat tapi juga sakit bukan main! Ketika di­telitinya lengan itu tampak kemerah-merahan! Menciut­lah hati laki-laki berkumis melintang ini. Nyatanya tena­ga dalam si pemuda tidak berada di bawahnya! Menurut taksiran Gempar Bumi tenaga dalam lawan berada dua atau tiga tingkat di atasnya! Sebenarnya dugaan Gempar Bumi ini meleset Kalau waktu bentrokan lengan tadi dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya maka Wiro Sa­bleng cuma mengandalkan tiga perlima bagian saja dari tenaga dalamnya! Lengannya pedas kesemutan sedang tubuhnya tergontai nanar beberapa detik lamanya.
Menyadari bahwa lawan lebih unggul dalam tenaga dalam maka Gempar Bumi segera mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang paling diandalkan, yang telah diyakininya selama, delapan tahun yaitu "Ilmu Silat Harimau", Kedua kakinya menjejak bumi laksana batu karang. Tubuhnya setengah merunduk sedang, kedua tangan terpentang ke muka dengan jari-jari membuka. Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan bahwa ke sepuluh kuku jari laki-laki itu panjang-panjang. Tubuh Gempar Bumi semakin merunduk sedang dari mulutnya ke luar suara menggerang macam harimau hendak me­nerkam mangsanya dan kedua matanya menyorot ganas! Keseluruhan paras manusia ini membayangkan maut!
Tiba-tiba gerangan dimulutnya berubah keras menyeramkan! Dan dikejap itu pula tubuhnya melesat ke muka persis seperti seekor harimau lapar menerkam mangsanya! Dua tangan yang tadi terpentang berkelebat tak kelihatan saking cepatnya. Hanya suara siurannya yang terdengar menyambar!
Wiro dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya bergerak ke muka menyambut dengan Jurus "Segulung Ombak Menerpa Karang". Jurus ini mengeluarkan sambaran angin laksana topan prahara. Kedua lengan Wiro menghantam ke depan sekaligus!
Melihat lawan memapaki serangannya dengan cara begitu rupa dan Sudah tahu kalau Wiro memiliki tenaga dalam yang lebih tinggi, maka Gempar Bumi tak berani bentrokan untuk kedua kalinya! Dengan cepat dia mem­buyarkan Jurus serangannya tadi dan laksana kilat pula menyerbu kembali dalam jurus yang dinamakan "Harimau Sakti Melompati Gunung Menukik Ngarai"! Tubuhnya mencelat ke udara. Kedua kaki mencari sasaran di perut dan dada lawan. Namun ini hanya serangan sambilan saja karena begitu Wiro mengelak dan begitu Gempar Bumi berada dua tombak di udara tiba-tiba dia menukik ke bawah dengan kedua tangan diacungkan siap untuk mencengkeram kepala Wiro Sableng!
Wiro bersiul nyaring. Setengah merunduk dia lepaskan pukulan Kunyuk Melehipar Buah ke arah lawan diatasnya! Laksana berpegang pada sebuah tiang yang tak kelihaian Gempar Bumi berkelit ke samping. Angin pukulan Kunyuk Melempar Buah lewat di sebelahnya dan sedetik kemudian tubuhnya meliuk lalu berputar dengan kedua kaki meluncur deras ke dada serta kepala Wiro Sableng!
"Gerakanmu hebat juga, Gempar Bumi!" seru Wiro. Sesaat kedua kaki lawan akan mendarat di dada dan kepalanya, Pendekar 212 membentak keras. Tangan kanannya didorongkan ke atas!
Angin sedahsyat badai mengamuk menggebu! Inilah pukulan "Benteng Topan Melanda Samudera" yang dilancarkan dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalami Mula-mula Gempar Bumi merasakan se­rangannya laksana ditahan oleh tembok baja yang tak kelihatan. Dia terkejut sekali dan belum habis kejutnya ini mendadak tubuhnya terdorong keras ke udara, men­celat sampai beberapa tombak! Sambil jungkir batik tiga kali berturut-turut Gempar Bumi keruk saku pakaiannya. Sebelum kedua kakinya menginjak tanah maka dari ta­ngan kanannya melesat puluhan benda hitam yang ber­desing mendenging seperti suara nyamuk! Benda ini bukan lain senjata rahasia jarum hitam yang direndam dalam racun jahat! Sekali seseorang kena dihantam sebuah saja dari jarum ini, pasti dalam tempo dua puluh empat jam nyawanya akan lepas ke akhirat!
Oari bunyi yang mendesing dan warna jarum-jarum Wiro sudah maklum kalau itu adalah senjata rahasia yang ampuh sekali! Tanpa menunggu lebih lama dia pukulkan tangan kanannya ke depan yang disusul dengan pukulan tangan kiri. Dua angin deras menderu susul menyusul. Inilah yang dinamakan ilmu pukulan "Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih"! Bukan saja puluhan jarum-jarum itu mental dan luruh ke tanah tapi beberapa diantaranya kembali melesat menyerang tuannya sendiri! Dengan kertakkan rahang Gempar Bumi kebutkan lengan baju hitamnya! Jarum-jarum yang menyerangnya luruh ke tanah! Dan kedua lawan itu saling pandang memandang. Yang satu dengan mata membeliak beringas sedang yang lain dengan cengar cengir seenaknya!
"Orang muda!" kata Gempar Bumi. "Antara aku dan kau tidak saling mengenal! Urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu! Mengapa kau mau mencampurinya?”
Wiro tertawa dingin.
"Bagiku terhadap manusia jahat semacam kau tentu ada urusan yang musti diperhitungkan! Kecuali kalau kau mau angkat kaki dari sini sekarang juga!"
Gempar Bumi mendengus.
"Apakah bukan lebih baik kau saja yang cepat-cepat berlalu dari hadapanku sebelum aku betul-betul meng­hajarmu? Ilmumu boleh juga! Percuma kalau kau mampus dalam usia muda begini rupa!"
Wiro keluarkan satu siulan.
"Terima kasih atas nasihatmu, Gempar Bumi! Nah, kau pergilah!"
Sikap tenang Gempar Bumi tadi kini menjadi marah yang mendidihkan darahnya. "Kau orang rantau, sungguh mengenaskan mampus di negeri orang! Belum tentu pula angin akan membawa pulang namamu ke kampung halaman!"
"Ah, jangan bersajak sobat!" tukas Wiro Sableng.
"Aku tidak bersajak!" sahut Gempar Bumi."Aku hanya akan mengukir nyawamu di pintu akhirat!" Lalu laki-laki ini cabut sebilah keris dari pinggangnya! Senjata itu berhulu gading, bereluk dua belas dan berwarna sangat hitami Sinar yang memancar dari keris ini menggidikkan sekalil’
"Manusia yang akan mampus! Keris ini bernama Keris Si Penyingkir Jiwa! Delapan puluh dua jiwa telah musnah ditelannya! Apakah kau berniat untuk menjadi korban yang ke delapan puluh tiga…?!"
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Apapun nama keris di tanganmu itu aku tidak perduli! Juga berapa korban yang dimakannya aku tidak tanya! Sebaliknya bagaimana kalau keris Hu kurebut, lantas kupergunakan untuk membuat konyol kau sendiri…?!"
"Boleh, boleh kau coba untuk merebutnya!" jawab Gempar Bumi dengan hati geram. "Nah ini, kau rebutlah!" Secepat kilat Gempar Bumi tusukkan senjata itu ke dada Wiro Sableng. Sinar hitam terasa dingin menyambar dada sang pendekar.
"Awas orang muda!" seru Pagar Alam dari atas kereta. "Keris itu mengandung racun jahat!" Diam-diam laki laki ini merasa cemas. Jika Gempar Bumi sudah me­ngeluarkan senjata itu, biasanya lawan tak akan sanggup bertahan lama Sekali saja tergores kulit, dalam tempo dua puluh empat jam pasti menemui kematian.
"Terima kasih atas nasihatmu, bapak!" kata Wiro sambit cepat-cepat berkelit. Ketika kelihatannya serangan Gempar Bumi hanya mengenai tempat kosong tiba-tiba Keris Si Penyingkir Jiwa membelok ke iga kanan, hampir-hampir akan melanda iga meliuk pula ke perut dan tiba-tiba haik laksana kilat, menusuk ke arah lekuk dagu dekat ujung leher! Di samping itu angin yang keluar dari Keris Si Penyingkir Jiwa dinginnya menyembilui tulang-tulang sumsum, membuat darah Pendekar 212 laksana beku dan berhenti mengaliri Untuk mencegah agar dirinya tidak terpengaruh oleh hawa jahat senjata lawan cepat-cepat Wiro Sableng alirkan hawa panas dari pusarnya ke seluruh bagian tubuh! Sesudah itu diapun menghadapi serangan lawan tanpa main-main lagi.
Tiga jurus yang berlalu Wiro tak bisa berbuat apa-apa selain bertahan dengan gigih. Keris di tangan lawan laksana curahan hujan dan berubah jadi puluhan banyaknya. Menusuk, menyambar dan memapak ke pelba­gai bagian tubuh Wiro Sableng. Jurus ke empat dan ke lima Sampai seterusnya keadaan Wiro semakin buruk. Bagaimanapun dia berkelebat cepat tapi sia-sia saja! Sinar hitam senjata lawan laksana Jaring atos yang tak sanggup ditembusnya!
Pagar Alam yang menyaksikan pertempuran Hu menjadi pusing karena tak dapat lagi menyaksikan gerakan-gerakan mereka yang bertempur saking cepat­nya! Mayang sendiri yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya mengedipkan matanya beberapa kali! Diam-diam gadis ini leletkan lidah melihat hebatnya pertempuran yang berjalan! Siapakah pemuda berambut gondrong yang bersedia mengorbankan keselamatan dan Jiwanya itu untuk menolong dia bersama ayahnya?! Ilmunya tinggi, tapi apakah sanggup bertahan menghadapi Gempar Bumi yang ganas dari bertubi-tubi itu? Setahunya tak satu orang pun yang sanggup menghadapi Gempar Bumi bila Keris Si Penyingkir Jiwa itu sudah berada da­lam tangannya! Dan melihat kenyataan bagaimana si pe­muda terdesak hebat maka mengeluhlah sang dara. Pagar Alam sendiri kembali menjadi cemas!
"Saudara! Ambil golok ini sebagai senjatamu!" seru Mayang sambil melemparkan goloknya yang tadi telah dirampas oleh Gempar Bumi tapi kemudian oleh Gempar Bumi dibuang begitu saja ke tanah.
"Terima kasih saudari, aku tak perlu senjata meng­hadapi tikus berkumis melintang ini!" jawab Wiro.
"Tapi kau terdesak saudara!! seru Pagar Alam dari atas kereta.
"Dan pertempuran ini tidak adil!" menyambungi Mayang. "Dia pakai senjata, kau bertangan kosong!" Maka meski Wiro tidak mau diberikan senjata namun sang dara melemparkan juga golok itu kepadanya. Wiro Sableng mau tak mau segera menyambut senjata itu.
Tapi: "Traang!"
Keris Si Penyingkir Jiwa lebih cepat. Golok yang di­lemparkan mental ke udara dalam keadaan patah dua!
"Sialan!" maki Wiro. Kalau tidak cepat-cepat dia me­narik tangannya pasti senjata lawan menyambar tangan itu! Sesaat kemudian terjadi lagi pertempuran seru dan Wiro makin kepepet!
Tiba-tiba Pendekar 212 bersuit nyaring! Tubuhnya lenyap dalam satu kelebatan yang sukar dilihat mata. Dengan merobah jurus-jurus ilmu silatnya maka dia mulai membuka serangan. Dari sela bibirnya terus menerus melesat suara siulan yang nyaring tak menentu dan menyakitkan telinga! Permainan silat Gempar Bumi agak mengendur sedikit akibat pengaruh siulan Pendekar
212. Tapi begitu dia tutup jalan pendengarannya maka pengaruh yang mengacaukan itupun lenyap dan kembali dengan gencar laki-laki ini mendesak lawannya!
Di samping memaki habis-habisan Wiro juga mengagumi keampuhan senjata sakti di tangan lawan. Setiap serangannya selalu kandas laksana menghadang tembok kukuh yang tak kelihatan! Tubuh lawan seperti terbungkus oleh satu kekuatan yang tidak nampak! Dan Pendekar 212 dalam keadaan kepepet itu mulai pikir­pikir untuk keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212!
Tapi sebelum maksudnya itu kesampaian tiba-tiba dia ingat! Bagaimana kalau dia mengeluarkan jurus­jurus silat yang diajarkan Tua Gila kepadanya?! Ah, benar-benar tolol sekali dia! Mengapa tidak dari tadi dia mengeluarkan "Ilmu Silat Orang Gila" dan sekaligus un­tuk menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu silat yang diajarkan oleh Tua Gila itu?!
Pendekar 212 membentak nyaring. Tubuhnya lenyap.
Gempar bumi mengiringi gerakan lawan itu dengan tawa mengejek. "Keluarkan seluruh ilmu kepandaianmu! Dalam tiga jurus di muka nyawamu tak bisa diselamatkan lagi tikus busuk!" Dan sebelum Wiro bergerak dia telah menyerang lebih dulu dengan satu tusukan yang ganas cepat!
Wiro Sableng gerakan kedua kakinya dalam gerakan yang aneh dan tak teratur kelihatannya. Tubuhnya diliukkan ke samping laksana batang padi dihembus angin sedang kedua tangan bergerak ke kiri ke kanan juga dalam gerakan yang tak teratur! Tapi justru gerakan yang acak­acakan ini berhasil melewatkan tusukan senjata lawan! Dengan gemas Gempar Bumi kirimkan lagi satu serangan yang lebih cepat dan lebih ganas! Suara keris menderu. Sinar hitam berkiblat! Wiro mencak-mencak kian ke mari! Wuut! Ujung keris di tangan Gempar Bumi menderu ke muka pemuda itu dan kelihatannya dalam kejap itu juga akan menghunjam di wajahnya!
Pagar Alam mengeluarkan seruan tertahan.
Mayang menutup wajahnya, tak berani menyaksikan bagaimana keris itu akan menancap di muka pemuda yang diharapkan bakal menolong dirinya!
Tapi aneh!
Sedetik lagi ujung senjata Gempar Bumi akan menemui sasarannya, dalam satu gerakan tak menentu kelihatan kepala Pendekar 212 seperti disentakkan oleh satu tenaga besar ke belakang. Dan ini membuat tusukan keris Gempar Bumi hanya menghantam tempat kosong!
Gempar Bumi kertakkan rahang. Segera dia lipat gandakan tenaga dalam serta keluarkan seluruh tipu-tipu serangan ilmu silatnya! Wiro bergerak cepat. Jingkrak kiri lompat kanan. Mundur terhuyung-huyung dan maju laksana babi celeng! Tangan dan kaki menyambar tiada menentu dan tiada terduga! Bagaimanapun Gempar Bomi percepat serangan dan keluarkan segala jurus yang terlihay dari ilmu silatnya, tetap saja dia tak sanggup mendesak lawan seperti yang sudah-sudah. Beberapa kali dia menusuk dengan seluruh tenaga tapi Cuma menghantam tempat kosong hingga tubuhnya tersaruk ke muka dan beberapa kali hampir membuatnya kena dihantam kaki dan tangan tawan!
Diam-diam sambil mundur Gempar Bumi perhatikan ilmu silat aneh yang dimainkan si pemuda.
"Buuk!"
Gempar Bumi tertatih-tatih sampai sembilan langkah ke belakang diusapnya dadanya yang kena dipukul lawan dengan tangan kiri dan pada sela bibirnya kelihatan darah kental berlelehan! Gempar Bumi seka darah itu dengan ujung lengan baju. Nafasnya sesak, cepat-cepat diaturnya jalan darah dan pernafasan. Kedua matanya menyorot ganas.
“Tikus busuk! Kalau aku tidak salah lihat kau telah memainkan jurus-jurus silat orang gila. Apakah kau muridnya Tua Gila!"
"Kau tak ada hak bertanya, monyet berkumis!" jawab Wiro Sableng!"
"Keparat! kau dengarlah! Hari ini kuampuni jiwamu! Tapi jika kau berani muncul lagi di depan hidungku jangan harap ada ampunan yang kedua kalinya!"
Wiro tertawa mengejek.
Gempar Bumi berpaling pada Pagar Alam dan berkata:
"Pada tanggal tiga bulan mendatang kudengar kau akan meresmikan berdirinya perguruan Kejora! Hari itu aku akan datang Untuk mengambil anakmu! Dan jangan harap belas kasihan dariku kalau kau berani berlaku seperti yang sudah-sudah! Niscaya kau akan mampus berdarah!"
"Manusia anjing tidak bermaki! Apakah hajaran yang kau terima hari ini tidak membuat kau insyaf?!’ hardik Pagar Alam.
Gempar Bumi tidak menyahuti hardikan itu tapi ber­paling pada Wiro Sableng dan berkata: "Apa yang kuterima hari ini kelak akan kubayar berikut bunganya dalam waktu singkat! Sekarang katakan kau punya nama agar tidak susah aku mencarimu!"
"Mau tahu namaku? Baiklah. Ini…’ Tiba-tiba Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke muka.
Karena tiada menduga. Gempar Bumi tak sempat berkelit Tapi anehnya pukulan jarak jauh lawan itu tidak mencelakakannya sekalipun dirasakannya angin itu me­nyambar dadanya. Tapi sewaktu dia memandang ke dadanya terkejutlah laki-laki ini. Pada dada kiri baju hitamnya terpampang tiga buah angka. Angka : 212!
Gempar Bumi tidak tahu apa artinya tiga deretan angka tersebut. Namun kepandaian untuk membuat angka­angka seperti itu dalam jarak jauh demikian rupa bukan kepandaian sembarangen. Nyali Gempar Bumi menciut lumer. Tanpa banyak bicara lagi dia segera berkelebat meninggalkan tempat itu!
9
Begitu Gempar Bumi lenyap maka Mayang segera menjura di hadapan Wiro Sableng dan mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Wiro senyum-senyum malu kemudian menganggukkan kepala pada Pagar Alam.
"Orang muda," kata Pagar Alam, "Pertolonganmu sangat besar terhadap kami ayah dan anak! Kami meng­ucapkan terima kasih. Boleh aku tahu nama dan dari mana kau datang?"
"Namaku Wiro. Aku datang dari Pulau Jawa."
"Ah… ternyata kau orang perantauan. Pantas permainan silatmu hebat! Tapi melihat kau tadi mengeluarkan ilmu silat orang gila aku jadi heran. Setahuku pencinta ilmu silat itu adalah seorang tua aneh yang diam di satu pulau di sebelah barat Pulau Andalas ini, jadi bukan dari Pulau Jawa."
Wiro Sableng menuturkan riwayat perjalanannya secara singkat.
Pagar Alam angguk-anggukkan kepala.
"Kau beruntung, Wiro. Tak sembarang orang diberi anugerah ilmu kepandaian seperti itu oleh Tua Gila si orang aneh. Bahkan jarang sekali dia memperlihatkan diri, dicaripun sukar!"
Wiro Sableng memandang ke kaki Pagar Alam yang terebus air mendidih sewaktu mengadakan pertunjukan mencari uang di pasar tadi. Lalu dikeluarkannya sebutir pil dan diberikannya pada laki-laki itu.
"Telanlah, mungkin bisa menolong lukamu itu."
Pagar Alam menerima pil itu, menelitinya sebentar lalu menelannya tanpa ragu-ragu. Setengah menit kemudian rasa sakit pada kedua kakinya lenyap sama sekali, meskipun keadaan kedua kaki itu diluarnya tidak ada perubahan apa-apa.
"Terima kasih Wiro," kata Pagar Alam sementara Mayang mengangkat adiknya yang mulai siuman ke atas kereta. Malin si Kusir bendi juga sudah sadarkan diri dan duduk menjelepok di tanah sambil mengurut-urut tulang iganya yang patah dan merintih kesakitan. Wiro memeriksa keadaan kusir bendi ini, mengurut dadanya di beberapa bagian lalu memberikan sebutir pil. Kalau saja dia dulu sudah mempelajari ilmu pengobatan pada Kiai Bangkalan pastilah dalam waktu yang singkat dia sanggup mengobati penderitaan Pagar Alam dan si kusir bendi.
‘Kalau aku boleh tanya, urusan apakah yang telah membuatmu sampai menginjakkan kaki di Pulau Andalas ini?" tanya Pagar Alam.
"Hanya sekedar ingin berkelana saja," jawab Wiro tak mau menerangkan maksud perjalanannya. Tapi kemudian dia ingat tanpa mencari keterangan dan penduduk setempat tak mungkin perjalanannya mencari pembunuh Kiai Bangkalan akan mudah dilakukan. Maka bertanyalah Pendekar 212: "Aku berniat pergi ke bukit Tambun Tulang. Mungkin kau bisa memberi petunjuk jalan mana yang musti kutempuh agar bisa lekas sampai disitu?!"
Pagar Alam, Mayang dan si kusir bendi sama-sama terkejut.
"Kau mau pergi ke Tambun Tulang, Wiro…?"
"Ya. Menurut si Tua Gila, orang yang tengah kucari mungkin berada di situ…" tanpa disadari oleh Wiro walau tadi dia menyembunyikan maksud perjalanannya tapi kini diungkapkannya sendiri.
"Siapakah orang yang kau cari itu?" tanya Pagar Alam.
"Aku sendiri tak tahu siapa orangnya. Tapi dia telah membunuh seseorang dan mencuri sebuah kitab penting!"
"Tambun Tulang adalah bukit maut bagi penduduk sekitar sini," kata Malin.
Dan Pagar Alam menyambungi: "Tak ada seorangpun yang berani berada dekat-dekat ke bukit itu. Bukit Tambun Tulang dan daerah sekitarnya di bawah kekuasaan Datuk Sipatoka. Seorang manusia bermuka setan berhati iblis! Sejak usia belasan tahun dia telah menebar kejahatan dan membunuh ratusan manusia tanpa dosa! Setiap manusia yang jadi korbannya atau anak-anak buahnya dikumpulkan di satu tempat hingga lambat laun, bertahun-tahun kemudian tempat itu telah menjadi sebuah bukit putih yang terdiri dari timbunan tulang belulang manusia!"
“Tua Gila ada menerangkan hal itu padaku," ujar Wiro.
"Dan manusia yang kau hajar tadi adalah tangan kanan pembantu utama Datuk Sipatoka. Di samping dia Datuk Sipatoka masih mempunyai beberapa pembantu ber­kepandaian tinggi, memiliki beberapa puluh anak buah yang kerja mereka bukan lain daripada merampok dan memeras penduduk, melarikan perempuan-perempuan desa tak perduli apakah istri orang, apalagi anak-anak gadis! Kemudian dari itu Datuk Sipatoka memelihara pula puluhan ekor harimau yang taat dan tunduk pada segala perintahnya! Beberapa tokoh dunia persilatan pernah turun tangan dan datang ke sana. Sampai saat ini mereka tidak kembali. Kabar beritapun tidak diketahui. Apalagi kalau bukan meregang nyawa di bukit Tambun Tulang? Dua buah partai silat belum tiga bulan yang lalu, secara serempak menyerbu ke Tambun Tulang. Hasilnya? Ratusan manusia mati percuma di sana! Kau saksikan sendiri kehebatan keparat bernama Gempar Bumi itu! Dan Datuk Sipatoka mungkin sepuluh kali dari itu tinggi ilmunya! Kejahatan Datuk Sipatoka dan orang-orangnya sudah lewat batas, tak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Tapi siapa manusianya yang sanggup menghadapi dia dan anak­anak buah serta harimau-harimau peliharaannya itu?! Kehidupan penduduk sekitar sini selalu dicekam rasa ketakutan setiap hari!"
Wiro Sableng menghela nafas dalam. Kalau kejahatan di atas dunia sudah demikian besarnya, mengapa tokoh utama seperti Tua Gila tidak mau turun tangan atau mungkin pernah tapi tidak membawa hasil?
Tengah Wiro berpikir-pikir begitu Pagar Alam berkata: "Kurasa memang ada kemungkinan bahwa Datuk Sipatoka pembunuh dan pencuri yang kau maksudkan. Dan sesudah kau tahu siapa dia, apakah kau masih hendak meneruskan niat pergi ke Tambun Tulang?".
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
"Sekali pergi pantang bagiku untuk kembali pulang."
Pagar Alam mengagumi keberanian pemuda ini.
"Kami hendak meneruskan perjalanan. Kuharap kau sudi ikut sama-sama dan mampir di rumahku. Kita bisa bicara banyak hal dan siapa tahu aku dapat membantumu dalam usahamu pergi ke Tambun Tulang."
Wiro menimbang sebentar. Kemudian dia ingat akan ucapan Gempar Bumi sebelum pergi tadi yaitu bahwa laki-laki itu akan kembali pada tanggal tiga bulan di muka pada hari peresmian berdirinya Perguruan Kejora. Maka diapun menerima permintaan Pagar Alam lalu naik ke atas bendi. Karena Maljn masih sakit, terpaksa Wiro yang pegang tali kekang kuda penarik bendi. Seumur hidupnya baru kafi itulah Pendekar 212 menjadi kusir bendi!
Ketika hari menjelang pelang, Wiro minta diri pada Pagar Alam dan keluarganya untuk meneruskan per­jalanan. Sebenarnya Pagar Alam ingin menahan pemuda ini sampai tanggal tiga bulan di muka yaitu pada hari dia meresmikan berdirinya Perguruan Kejora yang dipimpinnya. Namun sebagai seorang laki-laki berhati jantan yang tidak ingin memaksakan diri untuk mengandalkan orang lain, Pagar Alam membatalkan niatnya itu.
Pendekar 212 pun meneruskan perjalanan. Belum lagi seratusan meter dia meninggalkan rumah Pagar Alam, disadarinya bahwa dia tidak sendirian. Telinganya yang tajam telah sejak lama mendengar suara orang mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi. Karena khawatir orang itu adalah Gempar Bumi yang berniat hendak membokongnya maka Wiro pun berhenti dan memutar tubuh seraya berseru: "Manusia tukang kuntit, tak usah sembunyi! Segera perlihatkan tampangmu!"
Suara Pendekar 212 bergema di seanfero rimba be­lantara. Tapi tak satu orang pun yang muncul! Wiro jadi penasaran. Sekali meneliti saja dia sudah tahu di mana si penguntit berada yaitu di belakang sebatang pohon jati yang besarnya tiga pemeluk tangan.
"Ayo lekas keluar! Kalau tidak jangan menyesali"
Tetap saja orang yang sembunyi di balik pohon tidak mau keluar.
Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera hantamkan tangan kanannya ke pohon jati itu. Satu gelombang angin besar menderu laksana topan"
"Kraak!"
Batang jati yang besarnya tiga pelukan tangan manusia itu patah lalu tumbang dengan mengeluarkan suara dahsyat ribut! Dan pada kejap patahnya pohon itu sesosok tubuh melompat sebat!
"Ah… kau!" seru Wiro ketika dia melihat siapa adanya orang itu. "Untung saja kau tidak kena celaka!"
Nyatanya dia bukan lain dari Mayang, anak gadis Pagar Alam.
"Kenapa kau ikuti aku?!" tanya Wiro.
Paras sang dara memerah jengah.
"Aku tidak mengikutimu, saudara Wiro " kata Mayang.
"Lalu?!" tanya Wiro dan dia tahu kalau si gadis berdusta “Aku ingin balas dendam pada si keparat Gempar Bumi!"
Wiro angguk-anggukkan kepala macam orang tua.
"Kau memang seorang gadis berhati jantan! Kupuji keberanianmu! Tapi kau pergi dalam keadaan ayahmu masih sakit begitu rupa…?"
"Ibu bisa merawat ayah sendirian. Lagi pula lukanya tidak berat…" , ‘
"Soalnya bukan adanya ibumu atau luka ayahmu yang tidak berat itu. Tapi apa kau lupa bahwa walau ba­gaimanapun ilmu kepandaianmu tak sebanding dengan Gempar Bumi? Sekali kau mencarinya bukankah itu sama saja dengan sengaja mengantarkan diri?! Apalagi se: minggu dimuka ayahmu akan meresmikan Perguruan Kejora! Kau tentu sangat dibutuhkannya…!"
"Tapi… tapi…."
Wiro tertawa dan melangkah ke hadapan gadis itu
"Kembalilah pulang…."
"Tapi apakah… apakah kau tidak akan kembali lagi… maksudku tidak akan mampir lagi ke rumah?"
Wiro kembali tertawa.
"Tentu aku akan mampir lagi," sahut Wiro. Dia maklum akan perasaan gadis ini. Dan gadis yang diamuk perasaan seperti Mayang bukan baru sekali ini ditemui oleh Pendekar
212. Soalnya apakah dia bersedia melayani dan menurutkan kata hatinya. Diam-diam Wiro Sableng ingat pada Permani. Mayang tidak kalah kecantikannya dengan Permani, dan juga telah banyak Pendekar 212 menemui gadis-gadis cantik tapi entah mengapa dia tak bisa melupakan Permani!
"Aku berjanji akan kembali," kata Wiro meyakinkan Mayang. Tapi dara itu tak beranjak dari hadapannya. Wiro mengeluh dalam hati. Kalau lama-lama berdiri ber­hadap-hadapan seperti ini bisa celaka pikirnya. Ditepuknya bahu Mayang seraya berkata: "Pulanglah. Di lain hari aku akan mampir menyambangimu." Habis berkala be­gitu Wiro berkelebat dan lenyap dari hadapan Mayang. Sang dara hela nafas panjang. Gemuruh hatinya kini ber­ubah menjadi satu kekecewaan, namun juga satu harapan
10
Mulutnya terkatup rapat-rapat sehingga kedua rahangnya menonjol dan pelipisnya menggembung. Sepasang matanya memandang menyorot tak ber­kedip ke bawah bukit kecil, ke arah sebuah kampung yang kini hanya tinggal musnahannya saja berupa rerun­tuhan rumah-rumah yang telah jadi debu! Jelas dilihat­nya mayat-mayat yang bergelimpangan di sana sini, mayat-mayat manusia dan binatang-binatang yang mati tertambus hidup-hidup di dalam api! Dan yang paling menusuk matanya ialah mayat anak-anak yang menemui kematian mereka secara mengenaskan dalam pelukan ibu mereka!
Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan dalam landasan kemusnahan itu! Kemusnahan yang telah dilakukan oleh manusia-manusia jahat tanpa rasa belas kasihan sama sekali!
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng ingat akan kampung-kampung yang dimusnahkan Dewi Siluman di Pulau Madura tempo hari. Dan kemusnahan kampung yang hari ini disaksikannya tidak ada beda, malah lebih membuat luapan amarah menggejolak, darahnya laksana api disiram dengan minyak!
"Siapakah manusia-manusia keparat yang mem­buat kebiadaban begini rupa?!" tanya Wiro Sableng padadirinya sendiri. Untuk menjawab pertanyaan itu, pe­muda ini segera menuruni bukit dan memasuki kampung yang telah musnah itu. Penyelidikannya tak membawa ‘ hasil apa-apa. Dan hati kemanusiaannya memaksa dia untuk menggali beberapa buah lubang lalu menguburkan mayat-mayat yang bergeletakan di sana sini. Rata­rata semua menemui kematian akibat tusukan atau bacokan senjata tajam!
Wiro melanjutkan perjalanan sewaktu matahari tergelincir ke Barat. Kalau daerah sekitar situ berada di bawah kekuasaan Datuk Sipatoka, pastilah yang berbuat ganas itu Datuk Sipatoka atau anak-anak buahnya! Dan ini mendorong Wiro Sableng untuk mempercepat perjalanannya Menjelang senja dia berhenti di sebuah anak sungai dangkal berair jernih. Wiro membuka pakaian dan langsung masuk ke dalam sungai. Betapa sejuknya air sungai itu. Tengah dia asyik-asyik mandi mendadak sepasang telinganya mendengar suara hiruk pikuk pekik manusia banyak sekali di kejauhan! Ketika dia memandang ke arah datangnya suara itu maka tampaklah langit di arah itu kemerahan-merahan!
"Kebakaran," pikir Wiro. Disudahinya mandinya lalu naik ke darat dan berpakaian dengan cepat. Sesaat kemudian dia sudah berlari sekencang angin ke jurusan langit malam yang merah menyala!
Ketika Pendekar 212 sampai ke tempat kejadian itu, yang dilihatnya bukan cuma kebakaran! Beberapa orang berpakaian hitam bertempur melawan penduduk kampung. Perempuan dan anak-anak berpekikkan dan lari menyelamatkan diri. Kira-kira setengah lusin mayat telah bergelimpangan di tanah! Wiro segera maklum apa yang terjadi. Kebakaran itu adalah kebakaran yang disengaja dan pelakunya adalah manusia-manusia berseragam hitam. Mereka bukan saja membakar rumah-rumah penduduk dan membunuh sewenang-wenang tetapi juga merampok! Dan ketika Wiro memandang berkeliling, dari dalam sebuah rumah yang telah setengahnya dimakan api kelihatan seorang laki-laki berpakaian hitam tengah menyeret seorang perempuan muda yang meronta dan menjerit-jerit!
Mendidihlah amarah Pendekar 212!
"Keparat betul!" bentak Wiro. Dia melompat dan menghantam dengan tinju kanan!
Laki-lakt berpakian hitam yang tengah menyeret perempuan muda tiada menyangka akan mendapat serangan begitu rupa! Karenanya dia tak sanggup mengelak, sama sekali! Tubuhnya mencelat! Pekiknya setinggi tangit! Begitu jatuh di tanah dia tak berkutik lagi sebab.
kepalanya yang kena hantam rengkah bermandikan darah dan air otak!
Wiro menyerbu ke tengah-tengah manusia-manusia berseragam pakaian hitam lainnya yang tengah menempur habis-habisan penduduk yang coba mempertahankan hak dan harta serta nyawa dan keselamatan pribadi serta keluarga mereka! Dua orang tergelimpang dihantam tendangan dan tinju kirinya. Yang lima orang lainnya terkejut!
"Bedebah! Siapa kau?!" teriak salah seorang dari! mereka.
Begitu habis berteriak orang ini melihat sesuatu menyambar di hadapannya.
"Awas!" teriak kawan-kawannya.
Tapi orang itu tak keburu berkelit ataupun menang­kis. Yang dilihatnya berkelebat ialah pukulan tangan kanan Wiro Sableng yang melayang tepat-tepat ke keningnya!
"Praak!"
Orang itu menjerit!
Keningnya pecah! Nyawanya lepas!
Bukan saja empat kawannya menjadi kaget tapi juga tergetar hati masing-masing! Setelah memberi tanda se­rempak mereka menyerbu! Pendekar 212 Wiro Sableng diserang dari empat penjuru!
"Setan-setan kesasar! Keganasan kalian cukup sampai hari ini! Makan ini!"
Wiro kirimkan dua pukulan dua tendangan!
"Wutt… wutt… wutt… wutt!" Keempat serangannya hanya mengenai tempat kosong! Wiro terkejut! "Bangsat, apakah mereka ini punya ilmu melenyapkan diri?!" maki Wiro dan memandang berkeliling! Dalam pada itulah empat angin pukulan tahu-tahu melanda ke arahnya dengan ganas!
Pendekar 212 menggereng macam harimau lapar!
Kedua tangannya kiri kanan menghantam berkeliling! Dua gelombang angin pukulan yang dahsyat membadai berputar! Dua orang pengeroyok terpekik! Tubuh mereka berpelantingan. Satu menghantam pohon, pinggangnya patah, nyawanya lepas! Yang satu lagi begitu jatuh di tanah coba berdiri tapi terus muntah darah dan kojor di situ juga! Dua orang lainnya seputih kertas pucat paras mereka. Yang satu tanpa pikir panjang segera ambil langkah seribu. Kawannya melompat ke balik sebatang pohon dan keluarkan satu suitan nyaringi
"Monyet hitam! Tempat larimu adalah ke akhirat!" teriak Wiro seraya hantamkan tangan kanannya ke arah laki-laki yang ambil langkah seribu!
Belum lagi angin pukulan Wiro sampai orang itu telah memekik macam dihadang setan! Kemudian pekiknya lenyap dan tubuhnya mencelat beberapa tombak. Terguling di tanah tanpa nyawa lagi!
Wiro Sableng segera pula hendak kirimkan pukulan maut ke arah laki-laki yang bersembunyi di balik pohon. Sekaligus dia hendak hantam pohon dan orangnya! Tapi baru tangan kanan diangkat, tahu-tahu empat bayangan hitam melompat di hadapannya dan serentak meng­urungnya.
Wiro memandang berkeliling dengan cepat. Ke­empat manusia berpakaian dan berdestar serba hitam itu rata-rata berbadan tegap dan bertampang ganas. Ke­empatnya memelihara kumis melintang. Dan pada dada pakaian masing-masing terpampang gambar kepala ha­rimau warna kuningi Wiro teringat pada .manusia ber­nama Gempar Bumi, pembantu utama Datuk Sipatoka. Ada perbedaan gambar harimau yang terpampang di dada pakaian keempat orang ini dengan yang dilihatnya pada dada pakaian yang dikenakan Gampar Bumi. Per­bedaannya ialah pada besar kecilnya. Gambar kepala harimau di pakaian Gempar Bumi besar sedang pada ke­empat manusia ini agak kecil! Ini mungkin berarti bahwa keempatnya adalah pembantu-pembantu Datuk Sipato­ka juga tapi dari tingkat yang lebih rendah dari Gempar Bumi!
”Pemuda keparat! Melihat tampangmu nyata kau bu-kan penduduk sini! Lekas katakan siapa kau?!" membentak salah seorang dari empat manusia berkumis melintang.
Wiro mendengus.
"Kau tak layak bertanya! Lebih bagus kau tanyakan bagaimana caranya cepat-cepat pergi ke neraka!" Dan habis berkata begitu Wiro pukulkan tangan kanannya dalam jurus serangan Kunyuk Melempar Buah yang diperbawa dua perlima tenaga dalamnya!
Yang diserang terkejut melihat datangnya angin keras ke arahnya dan dengan serta merta pukulkan pula tangan kanannya ke depan memapasi serangan lawan!
Dalam pada itu ketiga kawannya tidak tinggal diam.
Serentak ketiganya menyerbu Pendekar 212 dari tiga jurusan! Seorang diantaranya mencengkeram dengan kedua tangan dari belakang!
Sekali melihat bagaimana pukulan kunyuk melempar buahnya sanggup dipapasi lawan dan melihat pula gerakan tiga orang lainnya dalam melancarkan serangan itu Wiro segera maklum bahwa keempatnya berkepandaian tinggi yang tak bisa dianggap remeh! Kalau dinilai masing-masing setiap dua manusia yang mengeroyoknya itu sebanding dengan kepandaian Gempar Bumi. Dengan kata lain saat itu dia menghadapi dua. lawan berkepandaian setinggi Gempar Bumi.
Pertempuran hebat berkecamuk!
Wiro andalkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengelit serangan-serangan lawan yang sangat ganas dan bertubi-tubi. Tubuhnya merupakan bayangan-bayang putih yang coba didesak oleh keempat manusia berpakaian hitam-hitam itu! Karena telah pernah bertempur melawan Gempar Bumi maka sedikit banyaknya Wiro mengerti, gerakan-gerakan lawan! Dan ini banyak menolongnya Meski pada empat jurus pertamanya dia kena didesak namun jurus-jurus selanjutnya dia mulai berada di atas angin. Serangan-serangannya membuat keempat pengeroyok mundur terus-terusan dan dalam jurus ke delapan salah seorang dari mereka terjungkal ke luar kalangan pertempuran dengan tulang dada dan beberapa tulang iga ringsek dilanda tendangan kaki kanan Wiro Sableng! Nafasnya sesak, mulutnya megap-megap. Dari kerongkongannya terdengar suara seperti orang tercekik dan sesaat kemudian tubuhnya tak bergerak lagi!
Kematian seorang kawan mereka membuat tiga manusia baju hitam lainnya menjadi tergetar. Apalagi sesudah dalam jurus-jurus selanjutnya mereka dipaksa bertahan mati­matian dalam desakan hebat serangan berantai Pendekar 212!
Salah seorang berseru memberi tanda. Wiro me­nyangka mereka hendak melarikan diri maka dia siapkan pukulan jarak jauh untuk melabrak ketiganya bila me­reka benar-benar hendak kabur! Tapi dugaannya mele­set! Ketiga anak buah Datuk Sipatoka itu dalam gerakan yang aneh yaitu lompatan-lompatan macam katak me­nyerbunya dari tiga jurusan! Wiro pukulan kedua tangan­nya berkeliling! Tiga lawan gerakkan kedua kaki dan da­lam keadaan tubuh melayang di udara mereka membuat satu lompatan lagi, begitu-Wiro hendak menghantam ke atas, ketiganya tahu-tahu sudah melesat ke bawah dan entah kapan mereka menggerakkan tangan mereka tahu­tahu tiga bilah keris hitam menderu ke arahnya! Satu me­nusuk ke kepala, yang dua lainnya membabat dari dua jurusan yang berlawanan!
Wiro terkesiap kaget melihat serangan yang hebat ini! Dengan cepat segera dia keluarkan jurus pertahanan yang terlihay dari "Ilmu Silat Orang Gila" yaitu yang di­namakan jurus "Orang Gila Melenggang ke Awan!"
Kedua tangannya dikembangkan ke atas sedang ke­dua kakinya menjejak ke tanah mengandalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh! Laksana panah lepas dari busurnya, tubuh Wiro Sableng melesat melenggang lenggok ke atas dua kembangan tangan yang mendatangkan angin bukan saja sanggup menangkis tusuk­an keris yang datang dari atas tapi sekaligus membuat lawan terpelanting laksana daun kering dihembus angin!
Meskipun tubuhnya selamat namun tak urung pa­kaiannya masih sempat dirobek oleh ujung keris salah seorang lawan yang menyerang dari samping!
"Edan!" maki Wiro. Segera dia siapkan jurus serang­an Kunyuk Melempar Buah yang mengandalkan sete-, ngah bagian tenaga dalamnya!
Sementara itu salah seorang dari lawan-lawannya yang bermata awas berseru: "Kawan-kawan! Kulihat bangsat Ini mengeluarkan Jurus ilmu Silat Orang Gila! Pastilah dia muridnya Si Tua Gila! Ingat bahwa Datuk kita punya dendam kesumat terhadap Tua Gila pada empat puluh tabun yang lalu?! Kalau kita musnahkan muridnya ini pasti kita mendapat pahala besar dari Datuk! Mari!"
Serentak dengan itu dan diikuti oleh kedua kawan­nya maka menyeranglah dia! Tapi kali ini ketiganya di­bikin terkejut. Karena begitu mereka bergerak Wiro han­tamkan tangan kanannya ke depan! Dua orang berseru keras dan melompat ke samping! Yang seorang lagi ter­lambat untuk selamatkan diri. Kedua tangannya ditelak­kan ke muka dada laksana seorang yang berusaha me­nahan tindihan benda berat yang tak kelihatan di depan dadanyal Wiroputar sedikit telapak tangannya! Laki-laki di depan sana menjerit keras! Tubuhnya mental dan ke­tika menggeletak di tanah kelihatan bagaimana seluruh tubuh laki-laki ini terutama dari bagian dada ke atas han­cur memar laksana buah pepaya dibantingkan ke batu!
Pucat pasilah wajah dua anak buah Datuk Sipatoka lainnya! Mereka saling memberi isyarat. Lalu mengeruk satu. pakaian masing-masing dan sedetik kemudian enam puluh batang jarum hitam yang mengandung bisa jahat beterbangan ke arah Pendekar 212! Jarum-jarum ini bentuknya sama dengan senjata rahasia milik Gem-par Bumi. .Wiro gerakkan tangan kanannya! Sebagian dari jarum-jarum itu mental yang sebagian lagi berbalik ke arah pemiliknya! Salah seorang dari mereka tiada menduga hal ini hingga terlambat untuk selamatkan diri!
"Akhhh…." Jerit maut ke luar dari mulutnya. Belasan jarum menembus tubuh dan jantungnya. Nyawanya le-pas saat itu juga! Yang seorang lagi masih untung! Be­gitu lolos dari bahaya maut segera putar tubuh untuk ambil langkah seribu! Tapi perbuatannya ini sia-sia saja ka­rena lebih cepat dari itu satu totokan telah menyambar punggungnya, membuat dirinya tegak kaku kejap itu juga!
"Monyet hitam, sekarang kau akan jadi penunjuk Jalanku! Kau musti antarkan aku ke sarang majikanmu yang bernama Datuk Sipatoka Itu!"
Mendadak terdengar jerHan perempuan yang di­susul oleh teriakan seorang laki-laki. "Tolong! Anakku… anakku!"
Wiro berpaling cepat! Masih sempat dilihatnya se­sosok bayangan hitam memboyong lari seorang gadis dan lenyap dikegelapan malam!
Wiro kerenyitkan kening, gigit bibir. Hatinya me­maki. Dia berpaling pada laki-laki. di hadapannya dan berkata: "Monyet hitam! Keadaan memaksaku membuat nasibmu lebih baik dari kambrat-kambratmu yang lain! Kau kulepaskan hidup-hidup! Tapi jangan lupa sampai­kan pesanku pada Datukmu bahwa disatu hari dalam waktu yang singkat aku akan membuat perhitungan de­ngan dia! Bila dia menanyakan siapa aku, ini kutuliskan namaku di keningmu!" Kemudian dengan ujung jarinya Wiro menggurat angka 212 di kuIH kening laki-laki itu! Lalu tanpa tunggu lebih lama dia berkelebat ke jurusan lenyapnya laki-laki yang memboyong gadis tadi!
Namun satu teriakan memanggil membuat dia hentikan lari!
“Wiro!"
11
Wiro Sableng membalik dengan cepat. Terkejutlah dia! Yang berseru memanggil namanya bukan lain daripada Pagar Alam. Laki-laki ini berdiri terhu­yung-huyung dengan sebatang pedang pendek menan­cap di dadanya! Wiro melompat dan dengan cepat mem­bopong tubuh laki-laki itu ke langkan sebuah rumah. Darah membasahi pakaian hitam Pagar Alam dan me­nodai pakaian Wiro sendiri!
Melihat kepada keadaannya tak mungkin tertolong lagi. Nafas Pagar Alam tinggal satu-satu. Parasnya pucat tanpa darah. Sedang kedua matanya mulai mengabur.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini, bapak??" tanya Wiro. Kemudian pendekar ini mengutuki dirinya sendiri. Dalam keadaan begitu masakan dia ajukan pertanyaan demikian rupa.
"Wiro, tolonglah selamatkan anakku…. Mayang dilarikan oleh…. Gempar Bu… mi…."
"Bedebah itu lagi!" desis Wiro dengan geraham-geraham bergemeletukan!
"Kej… kejar dia, Wiro…."
"Tapi kau sendiri, pak…."
Pagar Alam kumpulkan sisa-sisa tenaganya yang ada untuk dapat membuka mulut dan mengeluarkan suara.
"Diriku tak… usah kau pikirkan nak. Tak ada harap­an…. Yang perlu Mayang. Nasib dan… dan dirinya ku­serahkan padamu. Kuharap kalian…."’
Pagar Alam tak dapat meneruskan kata-katanya. Ke­palanya terkulai. Kedua matanya terbalik dan nafasnya lepas meninggalkan tubuh. Perlahan-lahan Wiro mem­baringkan jenazah Pagar Alam di langkan rumah. Dipan­danginya tubuh tanpa nafas itu beberapa ketika. "Nasib dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap kalian…." Meski Pagar Alam tak sempat menyelesaikan ucapan­nya, tapi Wiro tahu apa kelanjutan kata-kata yang hendak disampaikan laki-laki itu. Tanpa menunggu lebih lama pemuda ini segera meninggalkan tempat itu dengan ce­pat, lenyap di jurusan perginya manusia yang telah melarikan Mayang!
Hampir satu jam lamanya Wiro melakukan pengejaran. Tapi sia-sia belaka. Di malam gelap begitu rupa mana mungkin mencari dan mengejar seseorang yang tak di­ketahui ke mana perginya! Akhirnya di satu pesawangan yang gelap gulita Wiro menghentikan larinya. Di sekitarnya hanya suara jangkrik yang kedengaran, yang sekali-sekali ditimpali oleh suara ketekung kodok. Lapat-lapat terdengar pula suara burung hantu mengerikan semen­tara angin malam bertiup dingin mencucuk sampai ke tulang-tulang sumsum.
Wiro Sableng garuk-garuk kepala, menghela nafas kesal. Ke-mana dia harus meneruskan pengejaran? Jika menunggu sampai siang pasti Mayang sudah tertimpa celaka dan tak ada artinya menyelamatkan dara itu! Mungkin Gempar Bumi melarikan Mayang langsung ke Tambun Tulang? Ini berarti dia musti lekas-lekas me­lakukan pengejaran ke sana. Dan sekaligus untuk mem­buat perhitungan dengan Datuk Sipatoka. Tapi bagai­mana kalau Gempar Bumi tidak membawa gadis itu ke sana? Dan merusak kehormatan Mayang di tengah jalan?! Pendekar 212 banting-banting kaki karena gemas! Gemas karena tak bisa berbuat apa-apa, sedangkan dia tahu gadis itu pasti akan mendapat celaka malam ini juga! Dirusak kehormatannya oleh Gempar Bumi! Pan apakah lagi yang lebih berharga bagi seorang gadis kalau bukan kehormatannya?!
Wiro Sableng memandang ke langit di atasnya yang hitam gelap. Tak ada bulan, tak ada satu bintang pun yang kelihatan. Dan tubuh pemuda ini bergetar bila dia membayangkan apa yang bakal dilakukan oleh Gempar’ Bumi terhadap Mayang. Atau apakah kebejatan itu telah dilakukan oleh Gempar Bumi?!
"Kalau betul-betul Hu dilakukannya, akari kupatahkan batang lehernya! Akan ku patah k ani" kata Wiro dengan hati menggeram! Dihantamkan tinjunya dan "Brak!" sebatang pohon yang tak punya dosa apa-apa patah tumbang ke bumi!
Di malam sunyi dan gelap itu sesosok tubuh berlari laksana angin kencangnya. Di bahu kanannya terpang­gul seorang dara berpakaian hitam dalam keadaan tak berdaya. Dara ini bukan lain Mayang. Dan laki-laki yang tengah memboyongnya lari itu adalah Gempar Bumi!
Beberapa jam berlari, menjelang tengah malam baru dia berhenti hanya sekedar untuk beristirahat kemudian dia lari lagi hingga akhirnya memasuki sebuah lembah yang dialiri sebatang anak sungai. Sepanjang anak su­ngai ini penuh dengan pohon tembakau. Di salah satu bagian tepinya kelihatan sebuah pondok. Setengah dari dasar pondok ini berada di tebing sungai, setengahnya lagi di atas sungai, ditopang oleh dua buah tiang yang terbuat dari kayu yang tahan air. Gempar Bumi mem­bawa Mayang ke pondok ini. Dua puluh tombak dia akan mencapai pondok, pintu pondok tiba-tiba terbuka. Dan diterangi oleh sinar pelita yang ada di dalam pondok, kelihatan sesosok tubuh berpakaian hitam berdiri di am-bang pintu dengan rangkapkan kedua tangan di muka dada. Ketika melihat orang yang datang dengan mem­bawa sesosok tubuh pada bahunya, laki-laki ini kerenyitkan kening.
"Gempar Bumi, siapakah yang kau bawa ini?!" orang itu bertanya begitu Gempar Bumi sampai di hadapannya.
Gempar Bumi menyeringai.
"Sati! Malam ini biarlah aku yang menghuni pondokmu!"
Ketika mengetahui yang dipanggul Gempar Bumi adalah tubuh seorang dara berparas jelita, laki-laki ber­nama Sati menelan ludahnya.
”Dari mana kau dapat, Gempar Bumi?" tanya Sati dan matanya meneliti tubuh dan paras Mayang penuh arti.
"Semprul! Dari mana aku dapat bukan urusanmu! Lekas pergi!"
Mata Satj tidak berpindah dari paras Mayang. Perintah Gempar Bumi tidak diperdulikannya malah dia melangkah lebih dekat kemudian membisikkan sesuatu ke
telinga Gempar B,umi,
Marahlah Gempar Bumi mendengar bisikan Sati.
"Kalau kau tak lekas berlalu dari hadapanku, kupatahkan batang lehermu!"
Sati menjadi takut. Dengan langkah berat akhirnya ditinggalkannya tempat itu.
Gempar Bumi masuk ke dalam pondok yang berlantai papan. Sebagian dari lantai ditutup dengan tikar pandan. Mayang dibaringkannya di atas tikar. Setelah menutup pintu dan memeriksa isi pondok. Gempar Bumi duduk di hadapan Mayang lalu membuka jalan suara gadis ini. Begitu jalan suaranya dibuka maka mendampratlah Mayang.
"Manusia keparat! Lepaskan totokan ku…!"
"Ah, kau masih saja bersikap galak," kata Gempar Bumi.
"Bedebah! Lepaskan totokan ku!"
"Kalau kau masih keras kepala terpaksa kutotok jalan suaramu kembali!" mengancam Gempar Bumi dan diulurkannya tangan kanannya.
"Jangan sentuh!" teriak Mayang.
Gempar Bumi ganda tertawa Dibelainya pipi gadis itu. Mayang memaki habis-habisan sampai suaranya serak. "Dengar Mayang, kalau kau mau bersikap lunak aku akan kawini kati secara baik-baik, tapi…’ "Siapa sudi kawin dengan manusia anjing macammu!" potong Mayang. "Tapi kalau kau berkeras kepala macam ini jangan menyesal akan kuperlakukan Secara kasar!" "Manusia anjing, lebih bagus kau bunuh aku siang siang! Saat ini juga…."
"Eh, apakah kau tidak takut mati?!"
"Lebih baik mati daripada jadi korban kebejatanmu!"
Gempar Bumi tertawa mengekeh.
"Mati muda adalah mati yang paling rugi! Kalau kau inginkan mati biarlah nanti terserah pada putusan Tuhan! Yang penting kau harus hidup dulu bersama-samaku…. Kau akan merasakan betapa indahnya hidup ini nanti. Betapa nikmatnya… betapa…."
"Tutup mulutmu bedebah! Bila kau menyentuh tubuhku lalu membiarkan aku hidup, niscaya sampai kelautan api pun akan kucari kau! Akan kupenggal batang lehermu!"
Gempar Bumi tertawa gelak-gelak.
"Kurasa nanti itu kau mencariku bukan untuk mem­bunuh tapi untuk mengajak kembali menikmati segala keindahan hidup itu! Ha… ha… ha… ha!"
"Keparat! Kalau aku betul-betul panjang umur akan kupancung lehermu! Akan kucincang seluruh tubuhmu sampai lumat!"
"Ilmu silatmu ilmu silat kampungan!" ejek Gempar Bumi: "Menghadapiku beberapa jurus saja sudah tak sang­gup, bagaimana mungkin kau hendak mencincangku?!"
"Kalau tidak aku ada orang lain yang akan me­lenyapkanmu dari muka bumi ini!"
"Aha… siapa kira-kira orangnya?!" tanya Gempar Bumi sambil puntir-puntir ujung kumisnya yang tebal melintang.
"Guruku!"
"Gurumu?!" Gempar Bumi tertawa membabak. "Pe­rempuan tua renta yang bernama Inyak Nini itu? Kepandaiannya cuma lima enam kali saja lebih tinggi dari kau! Dalam sepuluh jurus, mungkin kurang, pasti sudah jadi mayat dia kalau berani berhadapan denganku!"
Mayang mendengus.
"Kalaupun guruku kalah masih banyak orang-orang. sakti berilmu tinggi yang sewaktu-waktu sanggup mem­bunuhmu! Juga melabrak majikanmu yang bernama Datuk Sipatoka itu!"
"Begitu? Aku ingin tahu siapa saja orang-orang sakti itu?!" ujar Gempar Bumi.
"Di antaranya pemuda berambut gondrong yang mempecundangimu tempo hari!" sahut Mayang.
Berubahlah paras Gempar Bumi. Dia memang tak pernah melupakan pemuda itu. Selama menjadi pembantu utama Datuk Sipatoka yang ditakuti di delapan penjuru angin Pulau Andalas belum pernah dia menghadapi lawan yang setangguh itu, bahkan memaksa dia untuk mengundurkan diri dengan muka tebal karena malu.
"Ah, kalau cuma bangsat muda itu siapa takutkan dia? Tempo hari aku sengaja menghentikan pertempuran karena ada urusan yang lebih penting! Kalau diteruskan niscaya tidak kuampunkan jiwanya…."
"Justru pemuda itulah yang masih memberi kelonggaran padamu untuk ambil langkah seribu!"
Gempar Bumi menggeram dalam hati. Tiba-tiba ta­ngannya diulurkan kembali dan kali ini dengan cepat me­nyelusup ke balik baju hitam yang dikenakan Mayang! Gadis ini berteriak dan memaki! Sebaliknya dengan se­ringai nafsu yang mengembang kempiskan cuping hi­dungnya, jari-jari tangan Gempar Bumi menggila di atas dada sang dara!
Bagaimana Mayang dan ayahnya sampai di kampung yang tengah dimusnahkan anak-anak buah Datuk Sipatoka itu? Dan sampai Gempar Bumi berhasil me­laksanakan niatnya melarikan si gadis?
Seperti telah diceritakan sebelumnya. Pagar Alam hendak meresmikan berdirinya satu perguruan yang di­namakannya Perguruan Kejora, Tapi karena adanya maksud Gempar Bumi untuk datang pada hari peresmian itu dan mengadakan kekacauan serta terutama sekali hendak melarikan Mayang, mau tak mau Pagar Alam mengundurkan peresmian berdirinya Perguruan Kejora. Dia harus mencari seorang yang dapat diandalkan yang sanggup menghadapi Gempar Bumi dan kawan-kawan­nya. Karena itu sesudah luka pada kedua kakinya sembuh bersama Mayang laki-laki ini dengan mengendarai dua ekor kuda berangkat ke Danau Maninjau, tempat kediaman Inyak Ninik, guru Mayang.
Di tengah jalan mereka berhenti dan menginap di se­buah kampung. Justru pada malam itu pula anak-anak buah Datuk Sipatoka di bawah pimpinan Gempar Bumi mendatangi kampung itu, merampok dan membakar serta melarikan gadis-gadis dan istri penduduk kam pung! Gempar Bumi tidak menduga kalau di kampung itu terdapat pula Mayang dan Pagar Alam di tengah-tengah penduduk. Tentu saja ini sangat menggembirakan Gempar Bumi. Gadis itu berada di depan matanya kini, tak perlu dia menunggu berlama-lama! Ketika dia hendak menyergap Mayang mendadak didengarnya suara suitan nyaring di sebelah Barat kampung! Gempar Bumi kaget, demikian juga empat anak buahnya! Suitan itu adalah tanda bahaya! Bersama keempat orang itu Gempar Bumi cepat menuju ke Barat kampung. Mayang bisa diringkusnya nanti. Itu soal mudah. Dia ingin tahu bahaya apakah yang tengah dihadapi anak-anak buahnya di bagian Barat sana! Dan sewaktu dia sampai di bagian Barat kampung, berubahlah parasnya. Untung saja malam itu gelap hingga keempat anak buahnya tak dapat melihat perobahan parasnya itu!
Seorang pemuda berpakaian putih, berambut gondrong tengah mengamuk dengan hebat. Dan pemuda ini bukan lain pemuda yang telah mempecundanginya tempo hari! Meski dia membawa anak-anak buah yang berkepandaian tinggi namun untuk menghadapi Wiro Sableng saat itu Gempar Bumi tidak mempunyai nyali! Dilain hal kalau dia melibatkan diri menempur si pemuda, mungkin tak akan kesampaian lagi sekali ini niatnya untuk melarikan Mayang.
Maka tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi segera perintahkan keempat anak buahnya untuk menyerang Wiro Sableng.
"Bunuh bangsat itu!" demikian dia memerintah! Dan dari tempat gelap dia memperhatikan jalannya pertem­puran. Dan bukan main terkejutnya Gempar Bumi ketika dalam tempo yang singkat Wiro berhasil mempereteli anak-anak buahnya satu demi satu! Padahal keempat anak buahnya itu berkepandaian hanya dua tingkat saja di bawah kepandaiannya! Nyali Gempar Bumijadi tam­bah mencair! Ketika anak buahnya yang ketiga jatuh menjadi korban Wiro Sableng tidak tunggu lebih lama saat itu juga Gempar Bumi segera tinggalkan tempat itu.
Mayang dan ayahnya ditemuinya tengah bertempur melawan beberapa anak buahnya dari tingkatan yang lebih rendah. Akan Pagar Alam, begitu melihat kemun­culan Gempar Bumi, tersiraplah darahnya! Dia tahu apa artinya ini, maka segera saja dengan sebilah pedang pendek laki-laki ini melompat ke hadapan Gempar Bumi dan menyerangnya dengan satu tebasan yang dahsyat!
Walau bagaimanapun Gempar Bumi bukan tandingan Pagar Alam, meski dia bersenjata golok dan lawan bertangan kosong namun Pagar Alam dalam dua jurus saja sudah kena didesak oleh Gempar Bumi. Melihat ayahnya terdesak. Mayang segera memberikan bantuan! Tetapi saja pertempuran tidak berjalan seimbang. Gem-par Bumi berhasil merampas pedang di tangan Pagar Alam dan dengan senjata itu dia mendesak kedua ber­anak!
Dalam satu gebrakan yang hebat Gempar Bumi ber­hasil menyelundupkan pedangnya dan menancap de­ngan tepat di dada Pagar Alam. Sesaat kemudian Ma­yang berhasil ditotoknya hingga tak bisa bersuara tak bisa bergerak. Dengan memboyong Mayang. Gempar Bumi kemudian meninggalkan tempat itu. Pagar Alam dalam keadaan tak berdaya dan bergumul dengan maut hanya bisa berteriak minta tolong! Dan teriakannya ini terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng yang ke­mudian segera melakukan pengejaran….
Darah di tubuh Gempar Bumi laksana air mendidih bergejolak. Tangannya menggerayang di sekujur tubuh Mayang yang tak bisa berbuat suatu apa selain berteriak dan menangis.
Sementara itu Sati yang disuruh meninggalkan pon­doknya berlari di kegelapan malam tanpa tujuan. Ingat­annya masih tertuju pada gadis itu. Tak dapat dilupakan­nya parasnya yang jelita, kulitnya yang mulus kuning langsat dan potongan tubuhnya yang montok padati Ingatan kepada Mayang membuat larinya kadang-kadang tertegun-tegun. Hatinya mendorong-dorong agar kem­bali ke pondok itu. Siapa tahu Gempar Bumi berubah haluan dan berbaik hati mau memberikan sedikit bagian kepadanya! Kalaupun tak dapat bagian mengintip pun jadilah. Dan semakin besar rasa yang mendorong-dorong di hati Satt, Akhirnya laki-laki ini memutar tubuhnya, dan kembali lari menyusuri jalan yang sebelumnya telah di­tempuhnya. Kembali ke pondok di tepi sungai itu!
Ketika sampai di pondok itu segera Sati mencari se­buah lobang tempat mengintip dengan hati-hati sekali.
Sekujur tubuhnya menggigil, lututnya goyah, darahnya memanas dan seperti menyungsang mengalirnya ketika dari lobang di dinding pondok dia menyaksikan peman­dangan yang terpampang di depan matanya, di bawah penerangan pelita.
Gadis itu terhampar di atas tikar, menangis serak. Sebagian tubuhnya tak kelihatan, tertutup oleh tubuh Gempar Bumi yang mandi keringat! Dan keduanya tanpa selembar pakaianpunl Berkali-kali Sati meneguk ludahnya. Seperti hendak diterjangnya saja dinding pondok di hadapannya dan menerobos masuk ke dalam, meng­gulung tubuh gadis itu.
"Ah, tentu dia sudah tidak gadis lagi!" desis Sati. "Keparat betul si Gempar Bumi ini!"
Mendadak Gempar Bumi menghentikan segala gerak yang dibuatnya laki membalik dengan cepat Sepasang matanya memandang liar berkeliling dan tiba-tiba tangan kanannya dipukulkan ke dinding pondok sebelah kanan.
"Braakl"
Dinding itu berlobang besar.
Di luar pondok seseorang terdengar berteriak: "Ke­terlaluan kau Gempar Bumi! Kawan sendiri diserang!"
"Sati keparat! Kau berani kembali dan mengintip? Kau akan terima hukuman berat dariku!" teriak Gempar Bumi marah sekali. Dengan cepat dia mengenakan pa­kaian hitamnya lalu melompat ke pintu. Namun sebelum pintu itu sempat dibukanya, di atasnya terdengar suara sesuatu yang ambruk dan ketika Gempar Bumi meman­dang ke atap pondok, sesosok tubuh melayang turun dan satu sinar putih berkiblat melanda ke arahnya!
12
Terkejut Gempar Bumi bukan alang kepalang! Dihadapannya berdiri seorang perempuan tua renta berpakaian putih. Tubuhnya sangat bongkok sedang di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang yang terbuat dari perak dan berkilauan ditimpa sinar pelita.
Begitu melihat perempuan ini, Mayang berseru:
"Guru!"
Si perempuan tua lemparkan sebuah mantel untuk menutupi tubuh Mayang.
Mendengar seruan Mayang tadi Gempar Bumi maklum kini bahwa perempuan tua di hadapannya bukan lain Inyak Nini, guru gadis yang barusan saja dirusak kehor­matannya! Nama Inyak Nini sudah sering didengarnya, tapi baru kali ini dia berhadapan. Tak bisa dia menduga sampai di mana kehebatan perempuan ini walau se­belumnya di hadapan Mayang dia telah menganggap Inyak Nini seorang lawan enteng yang bisa dirobohkan­nya di bawah sepuluh jurus!
"Manusia bejat!" suara Inyak Nini bergelar.
"Kau harus bayar dengan kau punya jiwa atas per­buatan yang kau telah lakukan terhadap muridku!"
Gempar Bumi tertawa sedingin angin malam.
"Apa kau masih belum tahu berhadapan dengan siapa, nenek-nenek bongkok?!"
Inyak Nini meludah ke lantai. Ludahnya merah ka­rena susur yang senantiasa menyumpal di mulutnya.
"Nama Gempar Bumi terlalu sering kudengar! Ter­lalu memuakkan untuk didengar! Dan malam ini aku akan menumpas segala kemuakan itu!"
Tanpa banyak cakap lagi, Inyak Nini melompat ke muka. Pedang perak di tangan kanannya berkiblat. Angin tebasan menderu! Gempar Bumi mengelak de­ngan sebat lalu selipkan satu serangan balasan, tapi senjata lawan membalik ganas membuat dia melompat mundur dan memasang kuda-kuda baru! Ternyata Inyak Nini bukan lawan yang bisa dibuat main-main.
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam muncul di ambang pintu.
"Gempar Bumi, biaraku yang hadapi setan tua ini!" kata orang yang di ambang pintu. Dia bukan lain dari­pada Sati.
"Sati keparat!" bentak Gempar Bumi- "Kau tetap di tempatmu dan awas kalau berani lari! Kau akan terima hukuman dariku!"
Menciut hati Sati. Maksudnya hendak menghadapi Inyak Nini adalah sebagai penebus kesalahannya. Ter­nyata Gempar Bumi tidak mau ambil perduli dan tetap akan menjatuhkan hukuman terhadapnya. Dia berpikir­pikir untuk Jari tapi itu tentu membuat Gempar Bumi akan bertambah-tambah kemarahannya! Karenanya Sati ber­diri di ambang pintu itu dengan hati yang tidak enak dan serba salah!,
Pondok itu tidak seberapa besar karenanya tanpa senjata agak sukar juga bagi Gempar Bumi menghadapi amukan Inyak Nini. Pedang perak bersiuran kian kemari, memapas dan membacok, sedang tusukan-tusukan ga­nas meluncur berulang kali! Namun mata Gempar Bumi yang tajam segera melihat kelemahan-kelemahan jurus ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya. Segera dia menggempur tempat-tempat pertahanan yang lemah ini hingga pertempuran berjalan berimbang beberapa lama­nya!
"Tua renta sialan! Makan ini!" teriak Gempar Bumi. Tangannya mengetuk saku, sedelik kemudian puluhan jarum mendengung laksana tawon, menyambar ke arah Inyak Nini! Inyak Nini terkejut! Serta merta dia putar per dangnya. Belasan jarum hitam mental dan luruh ke lantai. Tapi beberapa di antaranya tak sanggup dipapasinya dengan pedang, dan terus menembus dagingnya!
Inyak Nini menggerung macam serigala dan me­nyerbu dengan dahsyat! Dia sudah tahu keganasan ra­cun yang terendam di jarum hitam itu. Meski dia telah ke­rahkan tenaga dalamnya untuk menutup beberapa jalan darah yang penting agar racun jahat itu tidak merambas ke jantungnya namun tetap saja rangsangan jarum ber­membobolkan jalan darah, terus mengalir menuju jantung! Inyak Nini sadar bahaya besar yang mengidap dalam dirinya. Dalam tempo dua puluh empat jam jika tidak terdapat pertolongan pasti jiwanya melayang!
Gempar Bg#i tertawa sewaktu mengetahui senjata rahasianya berbasil menemui sasaran di beberapa bagi­an tubuh lawan.
"Perempuan tua! Lebih baik kau bunuh diri sebelum racun jarum itu menghancurkan kau punya jantung!"
"Manusia dajal kau musti menyertaiku ke akhirat!" teriak Inyak Nini lalu menggembor dan menyerang dengan dahsyat.
"Braak!"
Sambaran pedang Inyak Nini mengenai tempat ko­song dan menghantam dinding pondok hingga hancur bobol! Gempar- Bumi pergunakan kesempatan ini untuk menyerang dari samping! Tapi "Buuk!" Tahu-tahu ten­dangan kaki kanan Inyak Nini bersarang di bahunya! Tu­buhnya terhuyung-huyung beberapa langkah dan bahu­nya sakit bukan main!
"Perempuan bedebah!" maki Gempar Bumi. Mulutnya komat kamit, tubuhnya membungkuk hampir sebungkuk Inyak Nini sedang kedua tangan terkembang kemuka dengan sepuluh jari-jari menekuk!
Inyak Nini maklum kalau lawan hendak keluarkan jurus ilmu silat yang hebat. Maka tidak menunggu lebih lama dia mendahului menyerang dengan pedang di ta­ngan! Dalam detik itu pula Gempar Bumi keluarkan suara keras macam harimau meraung dan tubuhnya berke­lebat ke depan! Gerakan kedua tangannya asing seka» bagi Inyak Nini, suara seperti harimau meraung yang ke luar dari mulut Gempar Bumi membuat perempuan tua itu terkesiap dan bergidik!
Kemudian terdengarlah pekik perempuan tua itu!
Dan menyusul pula pekik Mayang yang melihat paras gurunya berlumuran darah mengerikan!
Inyak Nini terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Kulit mukanya terkelupas dalam lima guratan yang dahsyat, parasnya berselomotan darah sedang pedang perak di tangan kanannya sudah berpindah ke dalam tangan kanan Gempar Bumi! Sungguh dahsyat jurus "Mencakar Kepala Ular Naga, Merampas Busur Pe­manah", yang telah dilancarkan Gempar Bumi tadi. Jurus itu adalah salah satu jurus terhebat dari "Ilmu Silat Harimau".
"Apakah masih belum mau bunuh diri?!" ejek Gem-par Bumi.
Inyak Nini tidak menjawab. Lututnya menekuk dan tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah macam orang hendak roboh. Tapi mendadak diiringi satu lengkingan dahsyat perempuan ini melompat ke muka, hantamkan kedua tinju kiri kanan dan lancarkan dua tendangan susul menyusul! Ini adalah satu serangan percuma saja. Rasa marah, dendam kebencian yang bertumpuk di hati Inyak Nini membuat dia lupa memperhitungkan bahwa lawannya tidak lagi bertangan kosong saat itu, tapi menggenggam pedang perak miliknya sendiri!
Sekali Gempar Bumi memutar pedang, maka terde­ngarlah raungan Inyak Nini. Kedua lengannya terbabat putus, salah satu kakinya luka parah!
Mayang menjerit lalu menangis tersedu-sedu!
Inyak Nini terhampar di lantai pondok. Tubuhnya berkelojotan beberapa detik kemudian diam tak berkutik lagi
Gempar Bumi melangkah cepat-cepat ke hadapan tubuh Mayang dan memanggul gadis yang telah hilang keperawanannya itu.
"Bunuh aku! Bunuh aku keparat!"
"Kau terlalu banyak rewel!" hardik Gempar Bumi dan menotok jalan darah di leher Mayang hingga Mayang di samping, kaku tak bisa bergerak kini juga tak dapat ke­luarkan suara!
Di ambang pintu Gempar Bumi hentikan langkahnya dan memandang dengan sorot mata melotot pada Sati yang berdiri dengan paras pucat.
"Kesalahanmu terlalu besar Sati…!"
Sati menjatuhkan dirinya dan menangis macam anak kecil. "Harap kau sudi mengampuni aku. Gempar Bumi," pintanya.
"Aku ampuni jiwamu! Tapi lekas korek salah satu matamu yang suka mengintip itu! Lekas!"
"Gempar Bumi!" Sati menggerung dan bersujud.
"Keparat! Lekas korek matamu," bentak Gempar Bumi. "Atau aku sendiri yang akan mengorek kedua­duanya sekaligus?!"
Sati maklum tak ada lagi keringanan baginya. Dari­pada hilang dua mata atau hilang jiwa lebih baik dia cepat-cepat mengorek salah satu matanya! Dengan jari­jari tangan kanan Sati kemudian menusuk mata kirinya.
"Craas!"
Biji mata itu mencelat ke luar bersama busaian da­rah. Sati terduduk di ambang pintu; merintih-rintih me­nahan sakit yang tiada taranya!
"Itu lebih bagus bagimu daripada mampus!" kata Gempar Bumi pula. Lalu dengan tubuh Mayang di bahu­nya dia segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun langkahnya terhenti. Kedua kakinya laksana dipakukan ke tanah! Di Timur pondok terdengar suara orang mem­bentak. "Manusia jahanam! Berani bergerak satu langkah saja kupecahkan batok kepalamu!"
Waktu suara teriakan orang di malam buta itu belum habis gemanya ketika tahu-tahu sesosok tubuh sudah berdiri tujuh langkah di hadapan Gempar Bumi!
Paras Gempar Bumi mendadak sontak berubah pucat putih laksana kain kafan! Mayang dengan susah payah coba putar mata memandang ke muka! Satu harapan muncul di hatinya sewaktu melihat bahwa yang datang itu benarlah orang yang diduganya. Kalau saja mulutnya sanggup bersuara pastilah dia akan berseru memanggil nama orang itu!
"Turunkan gadis itu…! Cepat!"
"Bangsat! Dia milikku! Kalau kau inginkan dia silah­kan ambil sendiri!" jawab Gempar Bumi. Lalu tak ayal lagi segera dia cabut Keris "Si Penyingkir Jiwa".
"Dajal bermuka manusia, kali ini jangan harap ada
ampun bagimu!" Orang ini hantamkan tangan kanannya ke arah kaki Gempar Bumi. Satu gumpalan angin yang bertenaga tiga perempat tenaga dalam menyambarde­ ngan cepat! Gempar Bumi buru-buru melompat. Teng­kuknya terasa dingin ketika memandang ke bawah dan melihat bekas angin pukulan lawan! Tanah dan pasir ber­ muncratan. Sebuah lobang besar kelihatan di tanah! Itu­ lah akibat pukulan "Kunyuk Melempar Buah" yang telah dilepaskan oleh si pendatang tadi yang bukan lain Pen­dekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng adanya!
Menghadapi lawan tangguh berkepandaian tinggi dengan memanggul tubuh Mayang tentu saja sangat ber­bahaya bagi Gempar Bumi. Maka sebelam Wiro kembali lancarkan serangan. Gempar Bumi sudah meletakkan tubuh Mayang di tanah.
Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang hebat! Kalau dalam pertempuran pertama dulu kelihatannya agak seimbang itu adalah karena Wiro masih memberi hati terhadap Gempar Bumi. Tapi hati ini tak ada lagi segala macam belas kasihan di hati Pendekar 212 Wiro Sableng. Melihat tubuh Mayang yang hanya tertutup sehelai mantel dia sudah tahu apa yang dilakukan Gempar Bumi terhadap gadis itu!
Sebenarnya, di satu tempat pada malam itu Wiro sudah berniat menghentikan pengejarannya terhadap Gempar Bumi. Sementara dia mencari tempat yang baik untuk tidur tapi lapat-lapat didengarnya suara teriakan, suara pekik raungan. Suara itu didengarnya sampai berulang kali dan dari arah yang sama! Penuh curiga, Wiro laksana terbang segera lari ke jurusan sumber suara. Dia berada beberapa puluh tombak, di satu pedataran tinggi sewaktu di ambang pintu sebuah pondok yang diterangi oleh pelita dilihatnya berdiri seorang laki-laki berpakaian hitam, memanggul sesosok tubuh! Meski dalam jarak se­jauh itu Wiro tak dapat melihat jelas tampang manusia itu namun dia yakin, orang ini pastilah Gempar Bumi!
Keris hitam di tangan Gempar Bumi laksana puluhan buah banyaknya. Serangannya mencurah seperti hujan deras! Tak jarang sekaligus dia mengirimkan beberapa buah tusukan dalam satu jurus serangan! Betapapun hebatnya Gempar Bumi, namun segala kehebatannya Hu hanya sepuluh jurus saja sanggup diperlihatkannya. Jurus­jurus berikutnya dia telah kena didesak hebat oleh permainan silat "Orang Gila" yang mulai dikembangkan Wiro. Dalam keadaan terdesak Gempar Bumi lepaskan… senjata rahasianya. Tapi tiada guna Sekali Wiro hantamkan telapak tangan kirinya ke muka jarum-jarum hitam itu bermentalan kian ke mari!
"Aku minta tangan kirimu dulu, Gempar bumi!" kata Wiro. Tubuhnya maju cepat ke muka dalam gerakan yang terhuyung-huyung. Gerakan ini bagi Gempar Bumi me­rupakan suatu gerakan yang sangat mudah untuk di­serang! Segera dia tusukkan Keris Penyingkir Jiwa ke dada lalu setengah jalan robah menusuk ke kepala! Namun dalam gerakan yang tak teratur Wiro berhasil mengelit tusukan itu.
Dan Gempar Bumi memekik keras sewaktu tahu­tahu tangan lawan telah mencengkeram lengan kirinya!
Gempar Bumi menusuk lagi dengan kalap. Tapi tubuhnya terbanting ke kanan dan "Kraak!"
"Suara "kraak" itu disusul dengan suara pekikan se­tinggi langit dari mulut Gempar Bumi! Lengan kirinya se­batang bahu tanggal, daging dan urat-urat berbusaian! Darah memancur! Laki-laki ini menjerit-jerit kesakitan!
"Berteriaklah memanggil majikanmu Datuk Sipa­toka!" ejek Wiro. Tiga jari tangan kirinya menyusup ke depan.
"Kraak!"
Untuk kedua kalinya terdengar lagi pekik Gempar Bumi. Dua buah tulang iganya yang sebelah kanan patah!
"Kau akan mampus dengan menderita lebih dulu, Gempar Bumi keparat! Kau akan terima imbalan atas dosa-dosa kejimu!" Kembali dengan mengeluarkan jurus-jurus silat Orang Gila yang dipelajarinya dari Tua Gila, Wiro tusukkan lagi dua jari tangan kanannya.
"Craas!"
, Gempar Bumi melolong.
Biji matanya yang sebelah kanan berbusaian keluar. Tubuhnya terhuyung nanar.
"Sati! Bantu aku!" teriak Gempar Bumi.
Tapi Sati sudah sejak lama terhampar di muka pintu pondok dalam keadaan pingsan!
"Kenapa tidak minta bantuan pada setan-setan penghuni sekitar tempat ini?! Bukankah kau manusia tu­runan iblis juga hah?!" bentak Wiro dan melangkah men­dekati Gempar Bumi.
Gempar Bumi mundur terus. Tiba-tiba kakinya meng­injak sesuatu dan tak ani pun lagi tubuhnya tergelimpang jatuh punggung menimpa sesosok tubuh. Muianya di­sangkanya, tubuh yang terhimpit badannya itu adalah tu­buh Sati tapi ketika ditolehnya ternyata tubuh Mayang. Satu pikiran terlintas di kepala Gempar Bumi. Meski bagaimanapun dia tak ada harapan untuk hidup!
"Pemuda keparat! Kau inginkan perempuan ini! Ambillah!" teriak Gempar Bumi dan serentak dengan itu di­hunjamkannya Keris Si Penyingkir Jiwa ke dada Mayang!
Laksana orang kemasukan setan Wiro Sableng me­raung! Seantero bergetar! Sinar putih melesat menyam­bar ke arah Gempar Bumi! Laki-laki ini coba membuang diri ke samping untuk menghindarkan Pukulan Sinar Ma­tahari itu tapi sia-sia saja! Sebagian dari tubuhnya kena tersambar dan hangus hitam! Gempar Bumi menjerit. Terguling di tanah sampai enam tombak dan mengerang kesakitan. Meski dalam beberapa kejap mata lagi Gem-par Bumi akan segera menghembuskan nafas peng­habisan namun Wiro masih belum puas. Dia melompat ke muka, mencengkeram rambut dan dada Gempar Bumi. Terdengar suara patahnya tulang leher manusia terkutuk itu! Tamatlah riwayat kedurjanaan Gempar Bumi!
Wiro Sableng lari menghampiri Mayang. Dipangku­nya gadis ini. Darah telah membasahi dada yang tiada tertutup apa-apa. Wiro tak mem perduIikan darah yang membasahi pula pakaiannya.
"Mayang…" bisiknya.
"Mayang," panggil Wiro lebih keras. Diusapnya ke­ning dan rambut perempuan itu. Sepasang mata Mayang membuka sedikit. Yang kelihatan lebih banyak putihnya daripada hitamnya.
"Wi… ro…." Mata yang sudah mengabur itu masih sanggup juga mengenali wajah di depannya. "Sakit sekali rasa… nya…."
"Kau… kau akan kuobati. Kau akan sembuh," kata Pendekar 212 tersendat-sendat karena dia tahu kata­katanya itu tak bakal menjadi kenyataan.
Mayang juga tahu ajalnya akan sampai. Seulas senyum muncul di bibirnya. Dan pada kejap matanya di­tutupkan, nafasnya berhenti. Malaekat maut telah meng­ambil nyawanya. Dia mati dengan senyum masih mem­bayang di bibirnya yang mungil dan agak membuka se­dikit. Wiro tak tahu entah sudah berapa lama dia merang­kuli tubuh yang tidak bernafas dan mulai mendingin itu. Dia baru sadar ketika di ufuk Timur kelihatan sinar te­rang. Ternyata fajar telah menyingsing. Dipandanginya lagi wajah Mayang dikeheningan pagi yang segar. Per­lahan-lahan ditundukkannya kepalanya dan diciumnya bibir yang membuka itu dengan segala rasa kasih dan mesra. Kemudian diangkatnya tubuh Mayang, dibawa­nya ke pondok. Di pintu pondok tergelimpang tubuh Sati yang masih dalam keadaan pingsan. Wiro gerakkan kaki kanannya. Tubuh Sati mencelat mental, dadanya remuk. Dan kalau tadi tubuhnya tak bergerak karena pingsan maka kali ini tubuh itu tak berkutik lagi tanpa nafas!
Di dalam pondok Wiro menemui mayat seorang pe­rempuan tua: Dia tak tahu siapa perempuan tua ini ada­nya tapi sepintas lalu saja Wiro sudah maklum bahwa pe­rempuan tua itu seorang yang berilmu tinggi dan dari go-longan putih. Karenanya sesudah menggali kubur untuk Mayang, digalinya lagi sebuah kubur lain untuk perem­puan tua itu. Dan bila sang surya muncul menerangi ja­gad raya maka di muka pondok di tepi sungai itu kelihatanlah dua buah kuburan saling berdampingan….
13
Matahari berada di titik tertingginya tanda saat itu tengah hari tepat. Angin dari barat bertiup keras, menggoyang dan melambai-lambaikan segala daun-daun pepohonan hingga menimbulkan suara gemerisik yang keras. Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri di satu pedataran tinggi. Tak d i perdu I ikannya keterjkan sinar matahari. Tak diacuhkannya butir­butir keringat yang turun mendekati alis matanya yang tebal. Juga tak di perdulikannya hembusan angin yang keras. Seperti tak terdengar di telinganya suara gemerisik daun-daun pepohonan. .
Sepasang mata dan perhatian Pendekar 212 tertuju lurus-lurus ke muka. Jauh di hadapannya menjulang sebuah bukit putih. Oi sebelah Timur kaki bukit putih tampak sebuah bangunan besar yang juga berwarna putih, dikelilingi oleh pagar tinggi putih. Wiro memandang lagi ke bukit putih itu. Dia tahu bukit itu kalau didekati bukan lain dari tumpukan tulang belulang dan tengkorak manusia yang jadi korban Datuk Sipatoka dan anak buahnya! Berapa ribukah manusia yang telah menjadi korban keganasan itu?! Berapa ribukah tulang belulang dan tengkorak manusia ditumpuk demikian rupa hingga kemudian menjadi sebuah bukit yang mengerikan? Bukit Tambun Tulang?!
Wiro memperhatikan baik-baik rumah besar dan se­kitarnya. Rumah besar ini beratap seperti tanduk kerbau. Pada masing-masing ujung terdapat sebuah tangga se­dang di bagian samping terdapat lagi empat buah tangga yang menghubungkan tanah dengan pintu rumah besar.
Yang membuat Wiro Sableng merasa aneh ialah ka­rena matanya tidak melihat seorang manusia pun baik di dalam atau di luar pagar putih yang tinggi itu! Kenapa suasana begini tenangnya di tempat yang dikabarkan paling mengerikan dan membawa maut?! Atau mungkin itu bukan bukit Tambun Tulang yang di hadapannya?!
Wiro tak mau membuang waktu lebih lama untuk tenggelam dalam Segala macam pikiran begitu rupa. Di­perbaikinya letak Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersisip di pingang di balik baju putihnya. Kemudian diambil­nya buntalan yaag terletak dekat kakinya dan sekali ber­kelebat dia sudah melompat sejauh delapan tombak, te­rus lari laksana tiupan angia menuruni lereng pedataran tinggi.
Ketika dia sampai ke pagar putih itu suasana masih tenang-tenang saja seperti sediakala. Dan waktu me­mandang ke muka terkejutlah Wiro. Ternyata pagar putih itu terbuat dari susunan tulang belulang dan tengkorak manusia! Wiro tekaakaa telapak tangan kirinya ke pagar tulang belulang dan «jeodareng. Astaga! Pagar itu ko­koh luar biasa! Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya! Tetap saja pagar itu tak bergerak apalagi bobol!
Wiro memandang berkeliling lalu mendongak ke atas. Menurut taksirannya pagar itu setinggi dua puluh tombak lebih. Bagian atasnya rata oleh susunan teng­korak kepala manusia. Wiro melompat ke cabang sebuah pohon besar. Dia melompat-lompat di atas cabang itu beberapa kali untuk menambah daya lenting cabang lalu dengah satu gerakan yang lebih keras maka tubuh­nya terlempar melesat ke atas susunan tengkorak. Setelah meneliti beberapa saat lamanya baru Wiro me­layang turun ke halaman dalam Begitu kakinya menginjak tanah kembali dia meneliti keadaan sekitarnya. Rasa ngeri menyelinap di hati pendekar ini sewaktu mengetahui bahwa rumah besar yang terletak tiga puluh tombak di hadapannya ternyata dari tiang-tiang sampai ke atapnya terbuat dari tulang belulang dan tengkorak manusia!
Belum lagi Pendekar 212 sempat menindas rasa ngeri ini mendadak semua pintu dan jendela-jendela ru­mah besar terpentang lebar! Terdengar suara mengaum dahsyat laksana halilintar! Tanah yang dipijak Wiro Sa­bleng bergetar hebat! Sekejap kemudian dari pintu-pintu dan jendela-jendela rumah besar berserabutan ke luar puluhan ekor harimau besar, mengaum memperlihatkan taringnya yang besar runcing lalu serempak menyerbu ke arah Wiro Sableng!
Wiro sadar kalau dia lelah masuk ke dalam perang­kap kematian! Segera dia songsong serangan harimau itu sekaligus! dengan dua pukulan "Kunyuk Melempar Buah!" Belasan harimau terdorong dan terpelanting tapi sesaat kemudian dengan serempak mereka telah menyerang kembali! Dan sewaktu sekilas Wiro memandang berkeliling kejutnya bukan olah-olah! Seluruh halaman itu telah penuh dengan harimau! Dia merasa laksana ber­ada di tengah lautan harimau! Dan kesemua binatang itu sama-sama menyerbu, bersirebut Cepat untuk merobek atau menerkam tubuhnya!
Melihat gelagat maut ini Wiro segera cabut Kapak Naga Geni 212. Kapak di tangan kanan dan Pukulan Sinar Matahari siap di tangan kiri maka Wiro Sableng mulai bergerak menghadapi puluhan harimau!
Melihat kilauan dan angin deras ganas yang keluar dari Kapak Naga Geni 212, binatang-binatang itu tampak tertegun dan bersurut mundur. Tapi cuma beberapa ke­tika saja. Sesaat kemudian mereka sudah menggerung dan menyerbu kembali. Wiro kiblatkan Kapak Naga Geni 212 dan hantamkan tangan kiri! Lima ekor harimau me­ngaum dahsyat dan rebah bermandikan darah kena di-sambar Kapak Naga Geni 212. Kira-kira selusin lainnya mati hangus dilanda Pukulan Sinar Matahari! Jika dia menghadapi seorang manusia mungkin dia sudah ber­tempur seratus jurus lebih! Puluhan ekor harimau telah dttewaskannya! Namun yang masih tinggal menyerang lebih ganas lagi laksana kemasukan roh gaib karena melihat genangan darah kawan-kawan mereka!
Wiro putar terus Kapak Naga Geni 212 dan tangan kirinya tiada henti memukul ke depan atau ke belakang. Akhirnya lima belas ekor harimau yang masih hidup yang menjadi ngeri melihat amukan pemuda ini bersurut mundur. Setelah sama-sama menggerung kesemuanya melompat masuk ke dalam rumah besar dan di saat itu pula semua jendela serta pintu tertutup kembali! Melihat ini Wiro segera tahu bahwa seseorang telah menggerak­kan alat rahasia untuk membuka dan menutup pintu!
Tapi di mana orangnya sembunyi dia tidak tahu. Dan agaknya Wiro tidak memperdulikan lagi hal itu. Tubuh­nya terasa letih! Keringat membasahi pakaiannya. Tu­lang-tulangnya laksana bertanggalan dari persendian. Kejurusan mana saja dia memandang hanya bangkai­bangkai harimau yang kelihatan. Dan suasana yang di­liputi kesunyian itu membuat Wiro benar-benar jadi ber­gidik! Keletihan membuat dia duduk terhenyak di tanah. Sambil mengatur jalan nafas dan darah serta mengem­balikan tenaganya kedua matanya senantiasa berlaku awas. Entah perangkap apa lagi yang bakal menghadangnya!
Bila dirasakannya kekuatannya sudah putih maka Wiro segera menyelidiki keadaan rumah besar tempat sarang harimau-harimau itu. Tak kelihatan tanda-tanda adanya manusia di situ tapi Wiro yakin bahwa setiap gerak pasti tengah diawasi orang dari tempat yang ter­sembunyi! Sementara itu kedua kakinya telah kotor oleh genangan darah harimau dan tanah yang sudah menjadi lumpur akibat darah binatang-binatang itu!
Wiro Sableng akhirnya hentikan penyelidikan. Dia mendongak ke atas, dengan kerahkan tenaga dalam dia berteriak:
"Datuk Sipatoka! Beginikah caranya kau menyambut tamu yang datang untuk menyelesaikan urusan? Harap ke luar perlihatkan dirimu…!"
Baru saja Wiro berteriak begitu tiba-tiba dirasakannya tanah berlumpur yang dipijaknya bergetar. Kedua kakinya laksana disedot! Wiro melompat ke salah sebuah tangga rumah besar yang terbuat dari tulang! Kejutnya bukan alang kepalang. Halaman di mana bergelimpangan puluhan harimau itu kelihatan mencekung memanjang dari Utara ke Selatan dan pada pusatnya membentuk sebuah lobang besar. Telinganya menangkap suara berkereketan. Astaga rumah besar di mana dia berada sedikit demi sedikit amblas sedang bangkai-bangkai harimau bergelindingan ke pusat cekungan.
"Gendeng betul!" maki Wiro. Cepat-cepat dia melompat ke atas atap rumah yang berbentuk tanduk ker bau dan dari sini melompat lagi ke puncak pagar tengkorak! Sewaktu dia sampai di atas puncak pagar da memandang ke bawah, seperti mimpi dia rasanya. Rumah besar dan bangkai­bangkai harimaa lenyap! Yang kelihatan kini ialah sebuah halaman rata yang tertutup rumput hijau! Wiro menggosok matanya Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dia tidak bermimpi! Tapi bagaimana keanehan ini bisa terjadi?!
Dalam selubungan rasa heran dan terkejut itu tiba-tiba dia melihat sebuah pintu di kaki pagar sebelah Timur. Tadi sama sekali tidak dilihatnya pintu itu, kini kenapa tahu-tahu sudah terpampang begitu rupa! Lagi-lagi, keanehan yang tak bisa dimengerti oleh Wiro. Dan mendadak pintu itu terbuka. Wira cepat raba Kapak Naga Geni 212-nya. Ampun! Yang muncal bukan bahaya yang dikhawatirkannya tapi dua orang gadis jelita berpakaian kuning bergemerlapan ditimpa sinar matahari. Keduanya melangkah di halaman berumput dan berhenti cepat di tengah-tengah. Mereka mendongak ke arah ujung pagar tempat Wiro berdirj dengan bantalan di tangan kiri lalu salah seorang di antaranya berseru.
‘Tamu berpakaian putih-putih silahkan turun!"
"Kalian siapa?!" tanya Wiro.
"Kami adalah pesuruh-pesuruh Datuk Sipatoka!"
"Kalau begitu katakah padanya bahwa aku hendak
bertemu dengan dia."
‘Turunlah! Kami antarkan kau padanya!"
Wiro berpikir sejenak. Seruan dara jelita itu kerasnya bukan main, menggetarkan pagar tulang belulang di mana dia berada. Bukan mastahil dengan mengandalkan kedua dara berbaju kuning ini musuh hendak memasang perangkap baru baginya!
"Suruh saja Datuk Sipatoka datang ke sini!" ujar Wiro. Jelas kelihatan pembahan pada wajah kedua dara berpakaian kuning. "Nyalimu besar sekali! Tapi mengapa disuruh turun untuk diantar menghadap Batak Sipatoka kau tak mempunyai keberanian sama sekali?!"
"Sialan! Kalau aku tak punya keberanian masakan mau datang kemari?! Lekas panggil Datukmu! Katakan aku membawa oleh-oleh bagus untuknya!"
Kedua dara berpakaian kuning kerutkan kening. Yang seorang, yang sejak tadi berdiam diri saja tiba-tiba buka mulut keluarkan suara:
"Sekali kau bisa datang ke sini jangan kira sanggup ke luar hidup-hidup!"
Wiro Sableng tertawa. "Setiap ada datang musti ada pergi! Setiap ada masuk musti ada keluar!"
Si dara baju kuning mendengus.
"Apa matamu buta, tidak melihat keadaan sekitarmu?!"
Wiro tersentak dan memandang berkeliling. Tak ada hal-hal yang mencurigakan yang dilihatnya. Tapi hidungnya mencium hawa aneh yang membuat sendi-sendi di sekujur tubuhnya menjadi linu kesemutan dan jantungnya bergetar. Ditelitinya lagi keadaan sekelilingnya. Dan kali ini terkejutlah dia! Sekeliling pagar tinggi itu terselimut semacam asap tipis yang tak akan kelihatan bila tidak diperlihatkan sungguh-sungguh. Asap tipis aneh inilah yang mengeluarkan hawa yang tercium oleh Wiro.
Di bawahnya terdengar suara bergelak sang dara baju kuning.
"Sekali kau berani melompat coba menerobos Asap Seribu Tulang itu, kau akan lumpuh cacat seumur hidup! Lekas turun!"
Wiro tahu bahwa ucapan itu bukan sekedar untuk menakut-nakutinya. Dia telah rasakan sendiri kehebatan asap itu. Pemandangannya agak berkunang-kunang se­dang debaran jantungnya bertambah keras! Heran, pa­dahal dia telah digembleng demikian rupa hingga kebal terhadap segala macam racun tapi mengapa asap seribu tulang itu masih sanggup mempengaruhinya?!
Dengan kertakkan rahang Wiro Sableng melompat turun. Untuk beberapa detik lamanya dia saling pandang memandang dengan kedua dara baju kuning. Dan dalam hatinya Wiro berkata: "Buset, gadis-gadis begini cantik jadi pesuruh Datuk Sipatoka! Geblek betul!" Agaknya ke­dua gadis pun lelah terpesona melihat kegagahan tam-pang Pendekar 212. Namun yang seorang segera mem­bentak:
"Lekas ikut kami!"
"Awas! Kalau kalian menjebakku, kalian akan mam­pus percuma!" peringatkan Wiro.
Kedua gadis tak berkata apa-apa dan melangkah menuju pintu di sebelah Umur, Wiro mengikuti di be­lakang penuh waspada. Tangan kanannya senantiasa siap dekat hulu Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga se-gala kemungkinan yang ada! Mereka memasuki pintu di sebelah Timur pagar tulang belulang. Begitu masuk be­gitu pintu tertutup dengan sendirinya. Wiro melipat gan­dakan kewaspadaannya. Sepuluh langkah meninggal­kan pintu terdapat tangga tulang yang menurun ke ba­wah, disusul oleh sebuah lorong sepanjang dua puluh tombak. Lorong itu kemudian bercabang dua. Kedua dara baju kuning membelok ke kiri. Wiro mengikuti. Tengkuknya terasa dingin sewaktu memasuki lorong ini. Lorong ini baik bagian lantai maupun atas serta samping dilapisi dengan tulang-tulang manusia, dihias dengan beberapa tengkorak kepala yang dibuat sedemikian rupa hingga seperti bunga!
Lewat sepeminum teh Wiro merasa tambah tidak enak.
"Ini ke mana?!" tanyanya.
"Jangan banyak tanya! Ikut sajalah!" sentak dara baju kuning paling muka.
Tak lama kemudian lorong Hu sampai juga ke ujungnya. Sebuah pintu gerbang kelihatan di depan, dikawal oleh dua orang dara berbaju kuning dan dua ekor harimau yang luar biasa besarnya, jauh lebih besar dari harimau-harimau yang telah dihadapi Wiro sebelumnya! Ketika Wiro memandang ke bagian atas pintu gerbang tulang belulang ilu, di situ terdapat rentetan huruf-huruf yang terbuat dari tulang­tulang iga manusia yang berbunyi : ISTANA SIPATOKA.
Pintu gerbang Hu diberi hiasa gaba-gaba untaian tulang-tulang manusia. Kedua gadis menyibakkan gaba­gaba ini laju memberi jalan pada Wiro Sableng.
Pendekar 212 tak segera masuk. Dia memandang ke dalam dengan mata menyelidik dan terkesiap. Di hadapan pintu gerbang itu terhampar sebuah halaman berumput yang dihias arca-arca besar yang terbuat dari tulang belulang! Di seberang halaman berumput kelihatan bagian depan sebuah bangunan yang sangat indah yang atapnya berbentuk tanduk kerbau. Seluruh bangunan terbuat dari tulang putih, diukir-ukir. Meskipun indah tapi keindahan itu dibayangi kengerian bagi Pendekar 212.
"Ayo masuk!" seru dara baju kuning.
Wiro menggigit bibir. Meski hatinya bimbang untuk masuk tapi sudah terlambat untuk kembali. Dengan kuat­kan hati besarkan nyali tapi juga penuh waspada Pendekar 212 memasuki pintu gerbang Istana Sipatoka.
14
Sampai di hadapan tangga gedung besar dari tulang belulang kedua gadis baju kuning hentikan langkahnya.
‘Terus masuk ke ruang tengah. Datuk Sipatoka telah menanti kedatanganmu!" kata salah seorang dari dara­dara baju kuning.
"Kalian sendiri mau ke mana?"
"Apa urusanmu?!"
Wiro memaki dalam hati. Sepasang matanya meneliti suasana sebentar lalu menaiki tangga. Dilewatinya ruangan muka dan sesaat kemudian dia sudah berada di satu ruangan tengah yang amat luas. Kira-kira dua puluh orang kelihatan duduk di ujung dalam ruangan, di atas kursi-kursi yang terbuat dari tulang-tulang kaki, tulang iga dan tulang punggung manusia! Semuanya berpakaian hitam, hanya seorang yang berpakaian lain dari yang lain.
Orang yang berpakaian lain dari yang lain ini duduk di deretan terdepan sebelah tengah. Tubuhnya cebol se­kali, demikian cebolnya hingga kedua kakinya tidak mencapai lantai ruangan! Tidak berpadanan dengan tu­buhnya yang cebol itu, kepalanya amat besar sekali, de­mikian juga telinganya. Rambutnya panjang menjulai bahu, kumis tebal melintang dan janggut macam janggut kambing! Sepasang matanya yang merah menyorot ta­jam, keseluruhan air muka manusia ini membayangkan kebengisan!
Inikah Datuk Sipatoka? Pikir Wiro. Kalau betul maka melesetlah dugaannya. Sebelumnya dia menduga ma­nusia bernama Datuk Sipatoka itu bertubuh tinggi kekar, tapi nyatanya cebol begitu rupa.
Di samping potongan tubuh dan raut wajahnya yang bengis itu ada beberapa hal yang menjadi perhatian Wiro Sableng. Yang pertama ialah pakaian manusia cebol ini. Dia mengenakan jubah pendek macam rok bertangan panjang yang terbuat dari kulit harimau, kuning berbelang hitam. Di seluruh pakaiannya ini bergantungan puluhan keris-keris emas berhulu gading, tanpa sarung dan panjangnya kira-kira tiga perempat jengkal! Itulah hal kedua yang menarik perhatian Wiro. Hal ketiga ialah kedua tangan manusia ini yang berwarna hitam legam tanda dia memiliki semacam ilmu pukulan yang hebat dan mengandung racun jahat!
Wiro berdiri di tengah ruangan besar itu, sejauh dua puluh tombak dari deretan kursi terdepan. Suasana sesunyi di pekuburan. Tak ada yang bergerak, tak ada yang buka suara. Hanya pandangan-pandangan mata yang saling bentrokan dengan pandangan mata Wiro Sableng! Ketika hampir setengah peminum teh suasana masih sunyi juga, Wiro akhirnya berkata:
"Apakah aku berhadapan dengan Datuk Sipatoka dari Tambun Tulang?!"
Si tubuh cebol kepala besar memandang lekat-lekat pada Wiro lalu tengadahkan kepala dan tertawa gelak­gelak! Suara tertawanya demikian dahsyat hingga meng­getarkan sekujur tubuh Wiro Sableng dan menyendat­nyendat jalan darahnya. Buntalan di tangan kirinya kalau saja tidak dipegangnya erat-erat pastilah akan terlepas!
Wiro kaget bukan main! Cepat-cepat dia kuasai jalan darah dan kerahkan tenaga dalam untuk menolak gempuran suara tawa yang dahsyat itu.
"Istana Sipatoka di bawah bukit Tambun Tulang! Siapa datang jangan harap bisa pulang!" si cebol kepala besar tiba-tiba keluarkan suara. Kata demi kata yang di­ucapkannya itu laksana genta yang memukul jalan pen­dengaran Wiro Sableng hingga kembali pendekar ini me­rasa tergetar sekujur tubuhnya. Cepat-cepat pula Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya kembali.
Dan di hadapan sana Datuk Sipatoka kembali buka suara. Ucapan-ucapannya laksana bait-bait pantun.
"Delapan puluh lima harimau pengawal Istana Sipatoka telah musnah! Halaman luar banjir darah! Entah apa pangkal sebabnya. Hingga tamu tak dikenal berbuat demikian rupa?!"
Wiro kerenyitkan kening mendengar ucapan-ucapan berpantun ini. Setelah merenung sejenak maka dia pun menjawab dengan ucapan berpantun pula!
"Jauh berjalan menyeberangi samudera. Mengarung maut mengadu jiwa. Kalau tidak ada pangkal sebabnya. Masakan mau berbuat sedemikian rupa?"
Semua orang kelihatan saling berpandangan sedang Datuk Sipatoka sendiri naikkan sepasang alis matanya. Dan saat itu Wiro berkata pula:
"Delapan puluh lima harimau mati percuma! Pemiliknya bertanya berpura-pura. Kenapa tamu tak dikenal berbuat begitu rupa? Padahal dia yang memulai silang sengketa?!"
Datuk Sipatoka berbatuk-batuk lalu menjawab:
"Silang sengketa apa gerangan adanya! Berhadapan pun baru hari ini! Kalau sudah bosan hidup katakan saja! Mengapa datang sengaja mencari mati?!"
Wiro tertawa mengekeh.
"Datuk Sipatoka! Aku muak bicara berpantun-pantun macam orang main sandiwara tapi untuk mengusut urusan yang telah kau buat di Pulau Madura!"
"Urusan apa, hai orang gila?!" tanya Datuk Sipatoka yang saat itu masih merah mukanya karena ucapan Wiro tadi.
"Di Pulau Madura kau telah membunuh seorang bernama Kiai Bangkalan dan mencuri sebuah kitab miliknya!"
Paras Datuk Sipatoka berubah. Lalu dia tertawa gelak-gelak untuk melenyapkan perubahan paras itu!
"Jangan bicara tak karuan di sini! Apa kau punya bukti atas tuduhanmu itu?!"
"Dua buah keris yang menancap di mata Kiai Bangkalan sama dengan keris-keris yang bergelantungan dipakaianmu!" sahut Wiro Sableng.
"Ocehanmu bagus sekali!" tukas Datuk Sipatoka.
Wiro menyeringai.
"Kita akan lihat aku yang mengoceh atau kau yang berkicau macam burung kehilangan sarang!" Habis ber­kata begitu Wiro keruk saku bajunya dengan tangan ka­nan dan melemparkan sebuah benda ke hadapan kaki Datuk Sipatoka. Benda itu adalah robekan kulit harimau yang ditemui Wiro dipertapaannya Kiai Bangkalan di Pulau Madura tempo hari.
"Itu adalah robekan pakaianmu yang kutemui di tempat Kiai Bangkalan! Apakah kau masih mau mungkir? Terlalu pengecut seorang sepertimu mencoba untuk mungkir!"
Air muka Datuk Sipatoka membesi.
"Katakan siapa namamu dan apa sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan?!"
"Namaku telah kusampaikan beberapa hari yang lalu lewat seorang anak buahmu," sahut Wiro seraya memandang berkeliling lalu menunjuk pada seorang laki­laki yang di keningnya tertera tiga buah angka 212. Laki­laki inilah yang memiliki pondok di tepi sungai yang telah dipergunakan Gempar Bumi untuk memperkosa Mayang."
Datuk Sipatoka tidak palingkan kepala. Dia memang telah mendapat laporan dari anak buahnya itu tapi tidak menyangka kalau inilah pemudanya yang telah "mengukir" tiga buah huruf itu di kening anak buahnya!
"Dan tentang sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan, bukan urusanmu untuk menanyakan!"
"Pemuda nyalimu setinggi gunung! Kau toh tidak mempunyai tiga kepala enam tangan?! Mungkin hendak mengandalkan ilmu silat dan kesaktian? Jauh-jauh datang ke mari hanya untuk mencari mati!"
Wiro tertawa dingin.
Ini membuat Datuk Sipatoka menjadi naik darah. Dia memandang berkeliling. Namun sebelum dia memerintah anak buahnya untuk turun tangan Wiro Sableng memotong:
"Datang jauh-jauh aku tidak bertangan kosong, Datuk. Sengaja aku membawa oleh-oleh untukmu!"
Setelah berkata begitu Wiro lemparkan buntalan yang sejak tadi dipegangnya di tangan kiri.
"Apa ini?!".sentak Datuk Sipatoka.
"Silahkan buka sendiri!" jawab Wiro seenaknya.
Meski hatinya teramat geram namun Datuk Sipatoka berikan isyarat pada seorang anak buahnya. Anak buahnya ini segera berdiri dari kursi, melangkah dan membungkuk membuka ikatan buntalan yang terletak dihadapan kaki Datuk Sipatoka.
Begitu buntalan terbuka maka gemparlah seisi ruangan!
Yang terbungkus dalam buntalan itu ternyata adalah kepala manusia! Matanya sebelah kanan hanya merupa­kan rongga besar yang tergenang darah beku dan serabutan urat-urat. Seluruh muka berselimutkan darah yang mengering! Meski kepala itu sudah demikian rusak dan busuk namun tak ada satu orang pun di ruangan ter­sebut yang tak mengenalinya! Kepala itu adalah kepala Gempar Bumi! Pembantu utama Datuk Sipatoka!
Datuk Sipatoka dikungkung pelbagai macam rasa. Marah, heran, dan entah apa lagi! Mungkin juga dirinya dirayapi rasa ketakutan! Gempar Bumi adalah pembantu utamanya yang berkepandaian sangat tinggi di antara anak buahnya! Tapi tokh dia mati demikian rupa! Dan siapa lagi kalau bukan pemuda di hadapannya itu yang telah membunuh Gempar Bumi!
"Bedebah bernama 212! Tak ada jalan lain! Kematianmu terpaksa kupercepat!" Datuk Sipatoka memandang berkeliling lalu memerintah dengan suara menggeledek: "Semua yang ada di sini serbu bedebah itu! Hancur lumatkan tubuhnya hingga jadi debu!"
Maka dua puluh orang laki-laki berseragam hitam berlompatan dari kursi masing-masing. Enam orang di antaranya adalah pembantu-pembantu kelas satu de­ngan gambar kepala harimau kuning besar di dada pa­kaiannya. Selebihnya pembantu-pembantu biasa tetapi yang tingkat kepandaiannya tak bisa dianggap sepele!
Ketika menyerbu pembantu-pembantu biasa dan pembantu-pembantu kelas dua langsung mencabut keris. Pembantu-pembantu kelas satu hanya mengandalkan tangan kosong!
Melihat serbuan yang laksana air bah ini Wiro Sableng bersuit nyaring dan cabut Kapak Naga Geni 212 sedang tangan kiri sudah memutih laksana perak oleh aji Pukulan Sinar Matahari!
Begitu tawan menyerbu Wiro segera bergerak.
Terdengar suara pekikan! Dua orang pembantu kelas satu terhuyung-huyung, muntah darah dan rubuh! Tiga orang pembantu kelas dua terduduk di lantai dan rebah tak berkutik lagi. Empat orang pembantu-pembantu biasa mencelat mental dan jatuh bergelimpangan di lantai tanpa nafas!
Datuk Sipatoka kaget luar biasa. Anak-anak buahnya demikian juga bahkan Pendekar 212 Wiro Sableng ikut terkejut!
Waktu lawan-lawan menyerbu, Wiro memang sudah gerakkan kedua tangan tapi sama sekali belum meng­hantam! Dirasakannya satu sambaran angin luar biasa dahsyatnya di atas kepalanya lalu beberapa penyerangnya roboh!
Datuk Sipatoka keluarkan sebuah lonceng kecil dan menggoyang-goyang nya beberapa kali. Empat puluh dara­dara jelita berseragam kuning muncul dengan pedang di tangan. Mereka adalah pesuruh-pesuruh istana tapi yang sekaligus merangkap peliharaan Datuk Sipatoka!
"Lepaskan asap seribu tulang! Tutup semua jalan keluar!" perinlah Datuk Sipatoka pada dara-dara itu. Begitu perintah dikatakan begitu keempat puluh gadis itu lenyap dari pemandangan Wiro Sableng.
Datuk Sipatoka memandang ke langit-langit ruangan di belakang Wiro lalu membentak: "Orang yang sembunyi di atas loteng silahkan turun perlihatkan diri!"
Wiro Sableng kerenyitkan kening sewaktu dari atas loteng terdengar suara tertawa bergelak. Dia rasa-rasa pernah mendengar tawa macam begitu tapi tak bisa men­duga dengan pasti siapa orangnya!
"Sipatoka, kau belum layak melihat diriku!" kata orang yang di atas loteng.
Datuk Sipatoka mendelik. Dia berpaling pada keempat jago kelas satu dan memberi isyarat! Keempat anak buahnya ini segera melompat ke langit-langit. Tangan kanan memegang keris sedang tangan kiri menghantam. Empat larik angin pukulan yang dahsyat menderu ke atas! Langit-langit yang terbuat dari tulang bobol hancur berantakan! Tapi bersamaan dengan jatuhnya hancuran tulang-tulang itu, keempat jago kelas satu itupun terhempas ke lantai, mengeluh panjang laki muntah darah dan konyol!
Geraham-geraham Datuk Sipatoka bergeme Makan. Anak-anak buahnya saling pandang dengan muka pu­cat! Dan di loteng tepat di atas Kepala Datuk Sipatoka kembali terdengar suara tertawa bergelak!
"Kurang ajar!" geram Datuk Sipatoka. Tangan ka­nannya bergerak mencabut sepuluh keris emas kecil yang bergantungan di jubah kulit harimaunya! Sekejap kemudian senjata-senjata Hu laksana kilat melesat ke loteng di atas kepalanya!
15
Tapi betapa terkejutnya Datuk Sipatoka. Masih setengah jalan tahu-tahu laksana ranting-ranting kering dilanda angin puting beliung ke sepuluh keris itu berpelantingan ke bawah. Dua buah melesat ke arah Datuk Sipatoka, selebihnya bermentalan ke arah pembantu-pembantunya yang duduk di kursi! Sekali mengebut kan jubah kulit harimaunya maka mentallah kedua keris yang menyerang Datuk Sipatoka. Tapi tidak demikian dengan pembantu­pembantunya! Suara pekik melengking raungan laksana hendak meruntuhkan langit-langit. Delapan orang terkulai di kursi masing-masing tanpa bisa bergerak lagi. Mereka adalah dua orang pembantu kelas satu, empat orang pembantu kelas dua dan dua orang pembantu biasa! Tubuh­tubuh mereka ditancapi keris kuning milik Datuk mereka sendiri! Ada yang menancap tepat di ubun-ubun, ada yang di muka, di dada dan di perut!
Paras Datuk Sipatoka kelam membesi. Mulutnya berkomat kamit. Janggut dan kumisnya laksana kawat meranggas karena amarah! Kedua tangannya yang hitam saling digosok-gosokkan satu sama lain. Sedetik kemudian dari kedua tangannya itu mengepullah asap hitam yang berbau busuk!
"Manusia di atas loteng tahukah kau pukulan apa yang sebentar lagi hendak kulepaskan jika kau tetap berkeras kepala tidak mau unjukkan diri?!"
Orang di atas loteng tertawa gelak-gelak.
"Dari tempatku ini aku dapat melihat jelas, Sipatoka! Cuma Ilmu Pukulan Hawa Neraka siapa yang takutkan? Sayang ilmu itu adalah ilmu kesaktian paling hebat yang terakhir kau miliki Sayang…" dan orang itu tertawa lagi gelak-gelak lalu menyambungi: “Tapi jika kau mau meng­adakan perjanjian aku bersedia muncul unjukkan diri!"
"Perjanjian macam mana?!" tanya Datuk Sipatoka seraya hentikan menggosok-gosok kedua telapak ta­ngannya. Sampai saat itu dia masih tetap duduk di kursi kebesarannya!
"Kau bertempur sampai seratus jurus melawan pemuda pakaian putih rambut gondrong itu…!"
Wiro Sableng tersentak kaget.
"Lalu?!" bentak Datuk Sipatoka.
"Jika pemuda itu menang, kau harus bunuh diri! Sebelum bunuh diri kau harus pesankan pada anak-anak buahmu, pada seluruh isi Istana Sipatoka ini untuk memusnahkan semua bangunan yang ada di sini dan agar mereka semua kembali ke jalan yang benar!"
"Jika dia yang kalah apa imbalannya?" tanya Datuk Sipatoka.
"Pertama kau boleh bunuh pemuda itu, juga boleh tamatkan riwayatku. Kedua buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan yang kini ada padaku silahkan kau miliki untuk selama-lamanya!"
Berubahlah paras Datuk Sipatoka. Dia tidak terkejut pada syarat-syarat perjanjian yang dikatakan. Tapi be­gitu mengetahui bahwa buku Seribu Macam Ilmu Peng­obatan berada di tangan orang yang di atas loteng itu kagetlah dia! Wiro Sableng sendiri terkesiap karena justru kedatangannya ke Tambun Tulang adalah untuk mencari buku itu!
"Kurang ajar!" terdengar makian Datuk Sipatoka menggeledek. "Darimana kau ambil buku itu?!"
"Dari dalam kamarmu tentu!" sahut orang di atas loteng dan tertawa mengekeh. "Bagaimana?!"
Dalam hati Datuk Sipatoka mengutuk habis-habisan. Jika orang itu dapat masuk ke dalam Istana Sipatoka dan mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan dari dalam kamarnya, nyatalah kepandaiannya luar biasa sekali dan dia telah saksikan sendiri tadi! Menurut pandangan Datuk Sipatoka kalau bertempur melawannya belum tentu dia bisa dikalahkan oleh orang sakti itu. Tapi untuk mengalahkan lawan bukan hal yang mudah pula bagi Datuk Sipatoka. Dan karena menganggap Wiro Sableng seorang pemuda yang tak perlu begitu ditakutkan maka dia pun mendongak ke loteng dan berseru:
"Aku terima perjanjianmu!"
"Bagus! Tapi harap kau sampaikan dulu pesanmu pada seluruh isi istana ini!" sahut orang yang masih ber­sembunyi di balik loteng.
"Kentut apa kati kira pemuda tengik itu pasti akan mengalahkah aku?!" teriak Datuk Sipatoka marah.
"Belum tentu memang! Tapi kalau kau tak bersedia menerima persyaratan berarti perjanjian balai. Dan ter­paksa buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan kubawa pergi!"
"Kurang ajar!" maki Patuk Sipatoka geram. Tapi dia kerahkan juga tenaga dalam dan berteriak hingga me­ngumandang ke seluruh pelosok Istana Sipatoka.
"Seluruh isi Istana Sipatoka. kalian dengarlah pesan Datukmu ini! Aku akan bertempur melawan seorang pe­muda tengik yang kesasar datang ke tempat kita! Jika aku kalah maka kalian harus memusnahkan segala apa yang ada di sini dan kalian kembali ke dunia luar, ke dalam jalan yang benar. Sekian!" Datuk Sipatoka me­mandang ke atas dan berseru: "Nah orang di atas loteng, puaskah kati sekarang?!"
"Puas… puasi" sahut orang itu. Sekejap kemudian diiringi dengan suara tertawa gelak-gelak maka bobollah langit­langit ruangan dan sesosok tubuh berpakaian putih berkelebat dan hampir tak dapat disaksikan oleh mata saking cepatnya tahu-tahu orang ini sudah duduk menje­lepok seenaknya di sudut ruangan! Di pangkuannya ada sebuah kitab. Seisi ruangan terkejut. Wiro sampai ternganga dan garuk-garuk kepala:
"Tua Gila-.." desis Pendekar 212 laki cepat-cepat menjura hormat.
"Ah! Kau masih saja pakai segala macam peradatan yang membikin muak perutku!" kata orang yang duduk di sudut ruangan yang memang Tua Gila adanya!
"Hadapi si cebol itu! Kalau nasibmu baik kau menang tapi kalau tidak kau akan mampus, aku akan konyol!" Sehabis berkata keras begitu Tua Gila pergunakan ilmu menyusupkan suara memberi bisikan pada Wiro. "Kapak di tangan kanan. Pukulan Sinar Matahari di tangan kiri! Sekali­kali jangan pukul bagian tubuhnya! Jika dia pergunakan Ilmu Pukulan Hawa Neraka, tangkis dengan Pukulan Sinar Matahari dan hantam dengan Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang kuajarkan padamu!"
"Ayo Sipatoka kau tunggu apa lagi?!" Tua Gila membentak.
Dan Datuk Sipatoka melompat turun dari kursinya.
Gerakannya seringan kapas! Setelah meneliti Wiro sejenak dia bertanya: "Maumu dengan tangan kosong atau pakai senjata?!"
Wiro ingat nasihat Tua Gila. Maka dia pun menjawab: "Kalau kau punya senjata silahkan dikeluarkan!"
Datuk Sipatoka tertawa sinis dan cabut sebilah keris hitam yang bercabang tiga! Sinar senjata ini hitam menggidikkan!
"Mulailah!" kata Datuk Sipatoka.
Wiro tertawa. "Kau tuan rumah silahkan mulai lebih dulu!" Lalu Wiro cabut Kapak Naga Geni 212.
Datuk Sipatoka sunggingkan seringai mengejek. Meski dia belum bisa mengukur ketinggian ilmu lawannya namun dia merasa yakin akan membereskan si pemuda di bawah dua puluh jurus! Tubuhnya dibungkukkan hingga makin tambah cebol kelihatannya. Dari mulutnya terdengar suara menggoreng macam suara harimau. Mula-mula perlahan lalu mendadak sontak keras menggedetek, menggetarkan seantero ruangan! Baiknya Wiro Sableng sudah kerahkan tiga perempat dari tenaga dalamnya hingga suara bentakan dahsyat itu tidak mempengaruhinya!
Tiba-tiba tubuh Datuk Sipatoka berkelebat lenyap! Tahu­tahu keris hitam bercabang tiga sudah berkelebat hanya tinggal satu jengkal dari muka Wiro Sableng!
Wiro terkejut lekas-lekas melompat ke samping. Meski tangan kirinya mempunyai kesempatan leluasa menjotos tubuh lawan tapi karena ingat akan ucapan Tua Gila tadi maka hal itu tidak dilakukannya!
Hampir keris bercabang tiga itu lewat di sampingnya tiba-tiba dengan sebal Datuk Sipatoka menusuk ke perut sedang tangan kiri lepaskan satu pukulan yang hebat! Wiro geser kaki kanan. Sambit miringkan badan Kapak Naga Geni 212 dibabatkan ke bawah! Meski senjatanya adalah senjata mustika sakti namun melihat Kapak lawan yang agaknya bukan sembarang senjata pula maka Datuk Sipatoka tak berani ambil keputusan untuk adu senjata! Tarik pulang tangan kanan Datuk Sipatoka lipat gandakan pukulan tangan kirinya hingga angin pukulan yang ke luar laksana topan prahara! Di lain pihak Wiropun sudah menangkis dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah yang mengandalkan seluruh bagian tenaga dalamnya!
Terdengar suara seperti letusan sewaktu kedua angin pukulan itu saling beradu dengan segala kehebatannya. Istana Sipatoka bergetar. Wiro Sableng terhuyung-huyung sampai tujuh langkah. Datuk Sipatoka jika tidak lekas-lekas pergunakan ilmu mengentengi tubuhnya, meski dia tak sempat terhuyung ke belakang namun mungkin akan terhenyak jatuh duduk di lantai tulang!
Terkejutlah manusia cebol ini. Tidak disangkanya tenaga dalam lawan begitu hebat, lebih tinggi sekitar satu dua tingkat dari tenaga dalamnya sendiri! Dan diam-diam dia mulai menyangsikan apakah dia akan sanggup mengalahkan pemuda itu di bawah dua puluh jurus sebagaimana yang dipastikan semula!
Jurus kedua dibuka kembali oleh Datuk Sipatoka dengan serangan yang lebih ganas dari pertama tadi. Dia meraung macam harimau ketika serangannya yang sekali ini pun berhasil dielakkan lawan. Jurus ketiga, Datuk Sipatoka keluarkan ilmu silat yang pating diandaikannya yaitu ilmu Silat Harimau! Wiro telah pernah menghadapi ilmu Silat Harimau yang dimainkan Gempar Bumi. Waktu itu kalau dia tidak mengeluarkan ilmu Silat Orang Gila yang diajarkan Tua Gila pastilah dia kena dicelakai. Dan kini Datuk Sipatoka memainkan Ilmu Silat Harimau yang jurus­jurusnya aneh berbahaya dan lima kali lebih hebat dari yang dimainkan Gempar Bumi!
Dan dari mulut Pendekar 212 Wiro Sableng keluar suara suitan keras yang disusul dengan siulan tinggi tak menentu luar biasa Wiro mulai keluarkah jurus-jurus pertahanan dari ilmu Silat Orang Gila! Dalam tempo yang singkat lima belas jurus sudah berlalu. Datuk Sipatoka merutuk dalam hati dan perhebat serangannya!
Tiba-tiba mengiang suara halus laksana suara nyamuk di telinga Wiro Sableng.
"Goblok! Mengapa cuma bertahan? Apa tidak mampu menyerang?!" Itulah dampratan yang dilontarkan Tua Gila yang duduk enak-enak di sudut ruangan.
Wiro juga sadar. Meski dia bisa bertahan tapi kalau tak membalas serangan tawan lama-lama dirinya bisa dicelakai juga. Dia pegang hulu Kapak Naga Geni 212 di tangan kanan lebih erat. Lalu memasuki jurus ke enam belas untuk pertama kalinya dia menyerang dengan mempergunakan Jurus Kepala Naga Menyusup Awan.
Kapak Naga Geni 212 mendengus laksana suara ribuan tawon. Sinar pulih berkiblat. Kepala kapak menderu ke bawah lalu laksana seekor naga yang memunculkan kepalanya dari dalam lautan sen jala itu melesat ke arah batang leher Datuk Sipatoka!
Sang Datuk sengaja tidak berkelit. Keris cabang tiga ditusukkannya ke depan, ke arah bawah ketiak tawan karena dia berkeyakinan bahwa tusukan senjatanya akan lebih cepat menemui sasarannya daripada senjata lawan!
Pendekar 212 tidak bodoh. Dia sudah memperhitungkan kerugian posisinya bila dia meneruskan serangannya. Karenanya dengan cepat Wiro geser kedua kaki dan berkelit. Begitu berkelit begitu dia susul dengan jurus serangan baru yang dinamakan Kincir Padi Memutari Kapak Naga Geni 212 mengaung dahsyat dan berkiblat dalam bentuk putaran yang sangat kecil!
Datuk Sipatoka berseru keras dan tundukkan kepala untuk menghindarkan diri dari sambaran senjata lawan. Tapi sedetik kemudian mata kapak telah menyambar ke bahu kirinya! Sang Datuk melompat ke kanan dan dia memaki keras sewaktu sesaat kemudian senjata lawan telah memapas ke pinggul terus ke arah kedua kakinya! Satu-satunya jalan untuk mengelakkan serangan yang berputar itu ialah melompat ke luar dari kalangan per­tempuran. Meskipun ini akan memberi pandangan pada orang-orangnya bahwa dia mulai kewalahan menghadapi si pemuda berambut gondrong tapi Datuk Sipatoka terpaksa melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Bila dia sudah lepas dari serangan yang berputar itu dia akan segera balas menyerang. Tapi kejutnya bukan alang kepalang karena ketika baru saja dia keluar dari kalangan pertempuran tahu-tahu senjata lawan memburu dalam jarak yang sangat dekat dan sangat cepat. Mengelak pasti kasip! Tiada jalan lain daripada menangkis. Datuk Sipatoka palangkan keris mustikanya
‘Traang!"
Bunga api memercik.
Datuk Sipatoka tersurut tiga langkah. Salah satu cabang kerisnya patah dan mental! Tangannya tergelar hebat! Wiro sendiri merasakan tangan kanannya yang memegang gagang Kapak Naga Geni 212 menjadi pedal sakti. Dia tidak perduli, malah dengan mempergunakan tiga perempat tenaga dalamnya dia lepaskan Pukulan Sinar Matahari!
Beberapa orang anak buah Datuk Sipatoka menyingkir seketika melihat selarik sinar pulih yang silau dan luar biasa panasnya menderu di depan mereka!
Meski dalam keadaan kepepet, Datuk Sipatoka tidak kehilangan akal! Serta merta dia jatuhkan diri sama rata dengan lantai dan berbarengan dengan itu tangan kirinya cabut sepuluh keris-keris emas yang; bergantungan di pakaiannya lalu dilemparkan ke muka!
Pukulan Sinar Matahari menyambar ke atas tubuh Datuk Sipatoka. Keris emas melesat di bawah sinar pukulan yang dilepaskan Wiro lalu menyambar dengan ganas ke arah sepuluh bagian tubuh Pendekar 212.
Wiro Sableng kiblatkan Kapak Naga Geni 212 dalam Jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan.
"Trang… trang… trang!"
Suara itu terdengar berturut-turut sampai sepuluh kali. Dan ke sepuluh senjata mustika yang dilemparkan Datuk Sipatoka mental patah tersambar Kapak Naga Geni 212! Oikejap yang hampir bersamaan Pukulan Sinar Matahari yang tak berhasil menerpa tubuh Datuk Sipatoka terus melanda dinding Istana Sipatoka. Dinding yang terbuat dari tulang yang kokoh itu bobol berkepingkeping. Atap istana turun ke bawah hampir runtuh!
"Kurang ajar!" rutuk Datuk Sipatoka seraya melompat bangun. Seluruh ilmu simpanannya telah dikeluarkannya. Mereka telah bertempur hampir enam puluh jurus dan ternyala dia tak sanggup menumbangkan lawannya malah nyawanya hampir saja dilalap mentah-mentah!
"Kematianmu dalam saat ini juga, keparat!" desis Datuk Sipatoka. Kerisnya dimasukkan ke balik pinggang. Kedua tandannya yang hitam digosok-gosokkan satu sama lain. Sedetik kemudian asap hitam mengepul dari kedua tangan itu. Asap hitam yang berbau busuknya bangkai manusia! Wiro tutup indera penciumannya. Sesuai dengan ucapan Datuk Sipatoka. Kapak Naga Geni 212 dimasukkan kembali ke dalam pakaiannya. Pukulan Sinar Matahari disiapkan di tangan kiri sedang telapak tangan kanan sudah terisi aji pukulan "Dewa Topan Menggusur Gunung".
Kepulan asap hitam yang busuk luar biasa itu semakin banyak memenuhi ruangan. Anak-anak buah Datuk Sipatoka yang ada di tempat itu sudah sejak tadi menyingkir karena mereka maklum akan kedahsyatan Pukulan Hawa Neraka yang hendak dilepaskan pemimpin mereka. Kalaupun lawan tak sampai mati oleh pukulan itu tapi tubuhnya akan berbau busuk seumur hidup!
"Orang muda, sekalipun kau punya seribu macam ilmu kesaktian, jangan harap kali ini kau bisa larikan diri dari liang neraka!"
"Wiro berdiri dengan siap saja. Meski kewaspadaan penuh tapi suara siulan tak teratur dari sela bibirnya sampai saat itu masih mengumandang, membuat Datuk Sipaloka merasa dirinya dianggap sepi saja!
Suasana sehening di pekuburan sewaktu perlahan­lahan Datuk Sipatoka angkat kedua tangannya ke atasi Kemudian suara menggeledek keluar dari mulutnya. Se­rentak dengan itu kedua tangan dipukulkan ke muka, dua larik sinar hitam pekat yang busuk, menggidikkan me­nyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!
Sewaktu Datuk Sipatoka memukul ke depan, Wiro juga telah memukulkan tangan kirinya ke muka. Sinar putih menyilaukan melesat ke depan, sekaligus mema­pasi dua sinar hitam. Terdengar letupan yang dahsyat!
Masing-masing pihak tersurut lima langkah ke belakang. Sinar putih dan sinar hitam masih kelihatan di udara ka­rena kedua orang yang bertempur masih belum turunkan tangan masing-masing. Tiga sinar itu laksana tiga ekor naga yang berpalun-paiun, berkelahi dan saling gempur dengan dahsyat! Masing-masing sudah keluarkan keringat dingin dan urat-uraft leher menegang biru!
Wiro membentak dam dorongkan lagi tangan kirinya. Tubuh Datuk Sipatoka tergontai-gontai. Wiro membentak lagi sampai beberapa kali. Datuk Sipatoka laksana ditekan dinding baja. Dia mundur terus menerus dan bertahan dengan sekuat tenaga. Ketika untuk ke lima kalinya Wiro membentak lagi dan dorongkan kembali tangan kirinya Datuk Sipatoka tak sanggup bertahan lebih lama. Tubuhnya terhampar jatuh duduk di lantai. Ilmu Pukulan Hawa Nerakanya buyar dan lenyap sedang Pukulan Sinar Matahari Wiro terus menyerampang salah satu kakinya! Datuk Sipaloka meraung terguling-guling. Wiro tidak memberi hati. Tangan kanan didorongkan kini. Dan satu gelombang angin yang luar biasa hebatnya menyapu tubuh Datuk Sipatoka membuat tubuh itu terguling-guling di halaman berumput Istana Sipatoka. Tangan dan kaki tanggal dari persendiannya sedang kepala hancur memar! Itulah kehebatan ilmu Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang telah dilepaskan Wiro Sableng tadi!
Suasana yang hening menggidikkan itu dirobek oleh suara tertawa Tua Gila. Orang tua ini berdiri dari duduknya dan berkata: "Pertempuran hebat! Luar biasa sekali untuk disaksikan!" Kemudian Tua Gila memandang berkeliling dan berseru: "Empat puluh perempuan-perempuan muda yang ada di luar Istana harap segera masuk!"
Sesaat kemudian ke empat puluh, pesuruh Datuk Sipatoka yang terdiri dari perempuan-perempuan muda belia itu masuk ke dalam, istana. Melihat kolega-kolega mereka yang ada di dalam istana, yaitu sisa-sisa pembantu Datuk Sipatoka pada berlutut di lantai maka ke empat puluh perempuan-perempuan ini pun berlutut pula di hadapan Tua Gila dan Wiro Sableng.
"Berdiri semua!" bentak Tua Gila.
Serempak semua orang itu berdiri.
“Kalian semua sudah dengar pesan perjanjian Datuk keparat itu, . ?
Semua orang mengiyakan.
"Begitu kami pergi, kalian segera memusnahkan istana bejat ini. Hancurkan semua yang ada rata dengan tanah..Lalu tinggalkan tempat ini dan pergi ke mana kalian rnau asal saja menempuh jalan kehidupan yang benar! Kalau kelak kutemui atau kudengar ada di antara kalian. Yang coba-coba untuk kembali jadi orang jahat atau memperhamba diri pada orang jahat, pasti tak ada ampunan bagi kalian!"
Tua Gila berpaling pada Pendekar 212 dan menyodorkan buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan, yang kulitnya sudah robek.
"Ambillah. Kau rupanya memang berjodoh dengan kitab ini,..”
Wiro menerima kitab itu lalu menjura sambil berkata "Banyak terima kasih atas segala, bantuan mu, Tua Gila?’ Kemudian ketika dia angkat kepalanya ternyata si orang tua sudah lenyap dari hadapannya! Hanya kumadang suara tertawapya yang terdenga di kejauhan! Wiro Sableng, hela nafas dalam dan garuk-garuk kepala.

TAMAT


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...