posted by: Dunia Andromeda
SETIDAKNYA, ada empat cara paham sesat syi’ah
menyerang umat Islam Indonesia. Pertama, melalui penetrasi budaya
seperti Tabot atau Tabuik. Kedua, melalui penetrasi nikah mut’ah.
Ketiga, penetrasi intelektual antara lain melalui lulusan Universitas
Qom, Iran. Keempat, melalui penyelundupan narkoba.
Penetrasi Budaya
Tabot di Bengkulu atau Tabuik di Pariaman (Sumatera Barat) lebih dikenal sebagai festival budaya lokal ketimbang sebagai ritus penghormatan atas wafatnya Husen ra di Karbala. Pada mulanya, Tabot atau Tabuik memang dijadikan media dasar untuk menyelundupkan paham sesat syi’ah yang dibawa oleh para serdadu bayaran asal India Selatan (Madras dan Bengali) yang berpaham syi’ah. Para serdadu bayaran ini, disebut sepoy atau sipahi atau sipai, yang tugas utamanya adalah melayani kepentingan bangsa Eropa (termasuk Inggris) dalam menjalankan misi kolonialisasi bangsa-bangsa lain termasuk Indonesia.
Pada tahun 1718, serdadu bayaran berpaham syi’ah ini dibawa kolonialis Inggris ke Bengkulu dengan tujuan membangun Benteng Marlborough atau Fort Marlborough. Tidak hanya serdadu bayaran dari India Selatan yang dibawa, tetapi juga sejumlah pekerja asal India Selatan yang dipekerjakan untuk mempercepat proses pembuatan Benteng Marlborough. Dan benteng ini merupakan basis serdadu bayaran (sipai) berpaham syi’ah, yang bekerja untuk mengamankan kolonialis Inggris dalam mengeruk kekayaan alam bangsa Indonesia, terutama lada.
Tradisi Tabot di Bengkulu demikian mulus disosialisasikan para serdadu bayaran karena sejak 23 tahun sebelumnya, Tabot sudah mulai dikenalkan oleh Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo pada tahun 1685. Pada tahun yang sama (1685), kolonialis Inggris membangun kota Bencoolen yang kelak menjadi ibukota Provinsi Bengkulu. Kota Bencoolen kini dalam lidah kita menjadi Bengkulu.
Anak keturunan Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo yang menikah dengan gadis Bengkulu, ditambah para keturunan serdadu bayaran yang menikah dengan perempuan lokal, begitu juga dengan para pekerja yang didatangkan dari India Selatan untuk membangun Benteng Marlbrough, kemudian membentuk komunitas khas yang diberi nama Sipai.
Khusus keturunan Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo, masyarakat juga mengenal mereka dengan sebutan khusus yaitu Keluarga Tabot. Tradisi berbasis paham sesat syi’ah ini kemudian masuk ke Pariaman pada tahun 1831, juga dibawa oleh serdadu bayaran asal India yang bekerja untuk kolonialis Inggris.
Kalau toh tradisi berbau syi’ah ini masih eksis hingga kini, itu karena faktor fulus, pemerintah daerah setempat menjadikannya objek wisata lokal, dan menyediakan anggaran miliaran rupiah. Festival Tabot 2010 di Bengkulu, menghabiskan dana Rp 1,2 milyar. Di Pariaman, pada April 2011 lalu dibangun dua unit Rumah Tabuik. Sumber dana pembuatan rumah tabuik berasal dari APBN (Rp 2,3 miliar) dan APBD Pariaman (Rp 1,71 miliar).
Dua unit rumah tabuik tersebut, masing-masing terletak di jalan Imam Bonjol. Satu unit lagi di jalan Syekh Burhanuddin, sebuah nama yang mengingatkan kita pada sosok pelopor Tabot Bengkulu pada 1685.
Kawin Kontrak
Menurut sebuah sumber, wabah kawin kontrak alias nikah mut’ah khas syi’ah sudah mulai merebak awal 1980, atau tak berapa lama pasca Revoulsi Syi’ah yang terjadi di Iran pada Januari 1978-Desember 1979.
Lokus penyebaran kawin kontrak alias nikah mut’ah ini konon bermula dari kawasan Desa Tugu, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, yang lebih populer dengan sebutan kawasan Puncak. Di kawasan ini ada sebuah pemukiman yang dinamakan Sampai, yang menjadi sentra pemasok wanita-wanita praktisi nikah mut’ah. Nama Sampai memang agak mirip dengan Sipai, nama sebuah komunitas keturunan Syi’ah di Bengkulu.
Praktik nikah mut’ah alias kawin kontrak ini, lebih sering terjadi antara warga lokal dengan pria berwajah timur tengah. Karena kawasan Puncak ini merupakan tujuan wisata, tidak hanya bagi turis lokal dari Jakarta, maka tradisi nikah mut’ah khas syi’ah yang dipraktekkan warga Sampai menjadi berbaur dengan praktik prostitusi yang dilakoni wanita-wanita dari daerah luar Sampai, bahkan ada yang dari Jakarta.
Nikah mut’ah alias kawin kontrak dan prostitusi memang ibarat saudara kembar. Mereka sukar dibedakan. Yang pasti, dalam perspektif syari’ah Islam, keduanya tergolong zina, jelas haram.
Moda (jenis, mode) kawin kontrak khas syi’ah ini kemudian juga berkembang ke kawasan Jawa Tengah, khususnya di Jepara, pusat industri mebel. Pelakunya, wanita lokal dengan pria bertampang bule. Motifnya, selain kesenangan juga untuk memuluskan bisnis. Pria bule warga negara asing tidak mendapat izin membeli sebidang tanah atau mendirikan usaha. Maka, dengan menikahi wanita lokal, pria bule ini selain bisa mendapatkan kepuasan juga bisa membeli sebidang tanah dan mendirikan perusahaan yang diatasnamakan wanita yang dinikahinya secara temporer.
Begitulah dampak kawin kontrak khas syi’ah, wanita-wanita kita dijadikan objek seks, dijadikan boneka untuk menguasai sebidang tanah, mendirikan sebuah perusahaan. Wanita-wanita kita direndahkan martabatnya. Sekaligus, mempermainkan Islam. Karena, para pria bule itu bersyahadat sekedar untuk memenuhi syarat agar bisa menjalani kawin kontrak, demi bisnis dan syahwat.
Penetrasi Intelektual
Penetrasi budaya paham sesat syi’ah melalui tabot atau tabuik, hanyalah salah satu cara saja di dalam menginjeksi racun akidah syi’ah ke dalam tubuh umat Islam Indonesia. Ada sejumlah tradisi khas syi’ah yang dipraktekkah umat Islam Indonesia, khususnya oleh komunitas praktisi bid’ah, yang kini dipimpin oleh Said Agil Siradj, salah seorang pendukung syi’ah yang konsisten. Secara kultural, praktisi bid’ah dan syi’ah memang compatible (cocok). Contohnya adalah tradisi milad dan khaul yang sering dipraktekkan komunitas penggemar bid’ah ini.
Bila penetrasi budaya terbukti berjalan lamban, maka tampaknya mereka menganggap perlu ada penetrasi yang berjalan cepat. Yaitu dengan jalan mencetak kader-kader intelektual pro syi’ah. Pasca Revolusi Syi’ah, terutama sejak 1981, deras mengalir beasiswa dari Iran bagi pemuda Indonesia yang mau bersekolah di Qum, Iran. Lulusan Qum ini kemudian mengembangkan syi’ah ke kampus-kampus dengan kedok Islamic Cultural Center (ICC).
Sebelumnya, kita hanya bisa menemukan segelintir nama populer, intelektual pro syi’ah. Misalnya, Umar Shihab (salah satu Ketua MUI Pusat), Jalaluddin Rakhmat (tokoh IJABI), Zulfan Lindani (keluaran FISIP UNAS Jakarta, mantan politisi PDI-P yang kini aktif di Nasdem), Haidar Bagir (lulusan ITB, mantan wartawan Republika, kini pemilik Penerbit Mizan).
Melalui sosok Umar Shihab, pembelaan terhadap Syi’ah sedemikian telanjang dan vulgar. Bahkan, Umar Shihab yang merupakan kakak kandung Quraish Shihab ini, berani menempuh jalan dusta untuk membela syi’ah, sebagaimana bisa dibaca melalui berbagai pemberitaan media massa. Lebih parah lagi, MUI belum berani tegas menerbitkan fatwa tentang kesesatan Syi’ah, antara lain akibat kegigihan Umar Shihab menentang terbitnya fatwa tersebut.
Dari fakta ini saja kita sudah mendapat bukti bahwa serangan syi’ah ke dalam institusi ulama sedemikian efektif. Sehingga, sekian banyak ulama yang ada di lembaga itu, meski mereka mengaku ahlussunnah dan membela akidah umat, ternyata keok hanya oleh seorang syi’ah yang sudah gaek sekalipun.
Bila Umar Shihab menyerang dari dalam MUI, dan para intelektual muda lulusan Qum menyerang dari dalam kampus, maka Jalaluddin Rakhmat menyerang dari luar melalui IJABI. Salah satu bukti keberhasilan IJABI terwakili oleh sosok Tajul Muluk yang gigih-berani mempertahankan syi’ah di tengah-tengah masyarakat Islam di Sampang, sehingga terjadi ledakan kemarahan pada 29 Desember 2011.
Masih ada satu lagi intelektual syi’ah yaitu Haidar Bagir (lulusan ITB) yang menyerang dengan pena. Haidar Bagir pemilik dan pendiri Mizan –perusahaan penerbitan yang relatif lebih muda dari, katakanlah GIP (Gema Insani Press)– ternyata mampu tumbuh sedemikian cepat menjadi salah satu penerbit papan atas, yang kini juga merambah dunia perfilman.
Nama-nama di atas adalah tokoh syi’ah yang kiprahnya kelihatan, dan berani. Masih banyak intelektual misionaris syi’ah yang belum berhasil diidentifikasi umat Islam. Mereka adalah lulusan Qum, Iran. Menurut Prof. Dr. Mohammad Baharun, M.Ag penyebaran paham sesat syi’ah utamanya memang dibawa oleh orang-orang Indonesia alumni Universitas Qum, Iran. Sehingga, tipikal syi’ah yang bergerak di Indonesia sama dengan syi’ah di Iran yakni Syi’ah ‘Istna Asyariyah yang revolusioner.
Melalui Narkoba
Bersamaan dengan gigih-beraninya para misionaris syi’ah membela eksistensi mereka di Indonesia, bersamaan dengan tumbuh pesatnya lembaga-lembaga syi’ah di Indonesia, bersamaan dengan semakin banyaknya lulusan Qum yang berkiprah di kampus-kampus, sementara itu melalui pemberitaan kita peroleh fakta bahwa para penyelundup narkoba asal Iran merupakan pemain dominan di Indonesia.
Menurut Kombespol Anjan Pramuka Putra, Direktur Narkoba Polda Metro Jaya, peredaran narkoba di Jakarta saat ini didominasi jaringan narkoba dari Iran. Salah satu sebabnya, harga narkoba di Indonesia jauh lebih mahal dibanding di Iran, bisa mencapai sepuluh hingga duapuluh kali lipat. Bila satu kilogram harga narkoba di Iran (dalam rupiah) mencapai seratus juta, maka di Indonesia bisa bernilai satu atau dua milyar rupiah.
Penyelundup narkoba asal Iran, pada umumnya berperan sebagai kurir yang bekerja untuk warga negara Iran yang sudah lebih dulu mukim di Indonesia. Upah para kurir narkoba asal Iran ini relatif lebih murah bila dibandingkan dengan kurir asal Nigeria. Misalnya, bila kurir asal Nigeria dibayar US$ 5 ribu, maka untuk kurir narkoba warga negara Iran mendapat bayaran hanya US$ 2 ribu.
Selama ini kita beranggapan bahwa maraknya warga Nigeria yang jadi kurir narkoba karena terdesak oleh kemiskinan. Karena memang demikianlah faktanya. Ternyata masih ada lagi yang lebih miskin, yaitu warga negara Iran yang dibayar lebih murah dari kurir asal Nigeria.
Salah satu contoh, warga negara Iran yang tertangkap karena menyelundupkan narkoba di dalam tabung gas untuk menyelam, namanya Sarlakian. Narkoba yang berusaha diselundupkannya berbobot 9 kilogram dengan nilai taksiran sekitar Rp 18 milyar. Sarlakian mengakui bahwa ia melakoni kegiatan haram ini dalam rangka mengumpulkan uang untuk persiapan pensiun. (detikNews Rabu, 21/09/2011 16:42 WIB)
Di negaranya, Sarlakian bekerja sebagai perawat tabung gas untuk menyelam. Berarti ia punya pekerjaan tetap dan penghasilan tetap. Namun dirasakan tidak cukup untuk menjamin hari tuanya. Oleh karena itu, untuk menjamin hari tuanya, setelah pensiun nanti, Sarlakian nekat menjadi kurir narkoba yang upahnya lebih rendah dari kurir Nigeria.
Dari kasus Sarlakian ini saja kita sudah bisa mendapat gambaran tentang tingkat kesejahteraan warga Iran di negaranya sendiri. Bisa dimaknai, Republik Syi’ah Iran ini agak miskin, sehingga rakyatnya harus jadi kurir narkoba. Kalau Iran miskin, dana dari mana untuk membiayai gerakan syi’ah di Indonesia? Jangan-jangan dari bisnis narkoba yang dilakoni warga Iran di Indonesia, yang akhir-akhir ini begitu marak. Wallahu a’lam.
Penetrasi Budaya
Tabot di Bengkulu atau Tabuik di Pariaman (Sumatera Barat) lebih dikenal sebagai festival budaya lokal ketimbang sebagai ritus penghormatan atas wafatnya Husen ra di Karbala. Pada mulanya, Tabot atau Tabuik memang dijadikan media dasar untuk menyelundupkan paham sesat syi’ah yang dibawa oleh para serdadu bayaran asal India Selatan (Madras dan Bengali) yang berpaham syi’ah. Para serdadu bayaran ini, disebut sepoy atau sipahi atau sipai, yang tugas utamanya adalah melayani kepentingan bangsa Eropa (termasuk Inggris) dalam menjalankan misi kolonialisasi bangsa-bangsa lain termasuk Indonesia.
Pada tahun 1718, serdadu bayaran berpaham syi’ah ini dibawa kolonialis Inggris ke Bengkulu dengan tujuan membangun Benteng Marlborough atau Fort Marlborough. Tidak hanya serdadu bayaran dari India Selatan yang dibawa, tetapi juga sejumlah pekerja asal India Selatan yang dipekerjakan untuk mempercepat proses pembuatan Benteng Marlborough. Dan benteng ini merupakan basis serdadu bayaran (sipai) berpaham syi’ah, yang bekerja untuk mengamankan kolonialis Inggris dalam mengeruk kekayaan alam bangsa Indonesia, terutama lada.
Tradisi Tabot di Bengkulu demikian mulus disosialisasikan para serdadu bayaran karena sejak 23 tahun sebelumnya, Tabot sudah mulai dikenalkan oleh Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo pada tahun 1685. Pada tahun yang sama (1685), kolonialis Inggris membangun kota Bencoolen yang kelak menjadi ibukota Provinsi Bengkulu. Kota Bencoolen kini dalam lidah kita menjadi Bengkulu.
Anak keturunan Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo yang menikah dengan gadis Bengkulu, ditambah para keturunan serdadu bayaran yang menikah dengan perempuan lokal, begitu juga dengan para pekerja yang didatangkan dari India Selatan untuk membangun Benteng Marlbrough, kemudian membentuk komunitas khas yang diberi nama Sipai.
Khusus keturunan Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo, masyarakat juga mengenal mereka dengan sebutan khusus yaitu Keluarga Tabot. Tradisi berbasis paham sesat syi’ah ini kemudian masuk ke Pariaman pada tahun 1831, juga dibawa oleh serdadu bayaran asal India yang bekerja untuk kolonialis Inggris.
Kalau toh tradisi berbau syi’ah ini masih eksis hingga kini, itu karena faktor fulus, pemerintah daerah setempat menjadikannya objek wisata lokal, dan menyediakan anggaran miliaran rupiah. Festival Tabot 2010 di Bengkulu, menghabiskan dana Rp 1,2 milyar. Di Pariaman, pada April 2011 lalu dibangun dua unit Rumah Tabuik. Sumber dana pembuatan rumah tabuik berasal dari APBN (Rp 2,3 miliar) dan APBD Pariaman (Rp 1,71 miliar).
Dua unit rumah tabuik tersebut, masing-masing terletak di jalan Imam Bonjol. Satu unit lagi di jalan Syekh Burhanuddin, sebuah nama yang mengingatkan kita pada sosok pelopor Tabot Bengkulu pada 1685.
Kawin Kontrak
Menurut sebuah sumber, wabah kawin kontrak alias nikah mut’ah khas syi’ah sudah mulai merebak awal 1980, atau tak berapa lama pasca Revoulsi Syi’ah yang terjadi di Iran pada Januari 1978-Desember 1979.
Lokus penyebaran kawin kontrak alias nikah mut’ah ini konon bermula dari kawasan Desa Tugu, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, yang lebih populer dengan sebutan kawasan Puncak. Di kawasan ini ada sebuah pemukiman yang dinamakan Sampai, yang menjadi sentra pemasok wanita-wanita praktisi nikah mut’ah. Nama Sampai memang agak mirip dengan Sipai, nama sebuah komunitas keturunan Syi’ah di Bengkulu.
Praktik nikah mut’ah alias kawin kontrak ini, lebih sering terjadi antara warga lokal dengan pria berwajah timur tengah. Karena kawasan Puncak ini merupakan tujuan wisata, tidak hanya bagi turis lokal dari Jakarta, maka tradisi nikah mut’ah khas syi’ah yang dipraktekkan warga Sampai menjadi berbaur dengan praktik prostitusi yang dilakoni wanita-wanita dari daerah luar Sampai, bahkan ada yang dari Jakarta.
Nikah mut’ah alias kawin kontrak dan prostitusi memang ibarat saudara kembar. Mereka sukar dibedakan. Yang pasti, dalam perspektif syari’ah Islam, keduanya tergolong zina, jelas haram.
Moda (jenis, mode) kawin kontrak khas syi’ah ini kemudian juga berkembang ke kawasan Jawa Tengah, khususnya di Jepara, pusat industri mebel. Pelakunya, wanita lokal dengan pria bertampang bule. Motifnya, selain kesenangan juga untuk memuluskan bisnis. Pria bule warga negara asing tidak mendapat izin membeli sebidang tanah atau mendirikan usaha. Maka, dengan menikahi wanita lokal, pria bule ini selain bisa mendapatkan kepuasan juga bisa membeli sebidang tanah dan mendirikan perusahaan yang diatasnamakan wanita yang dinikahinya secara temporer.
Begitulah dampak kawin kontrak khas syi’ah, wanita-wanita kita dijadikan objek seks, dijadikan boneka untuk menguasai sebidang tanah, mendirikan sebuah perusahaan. Wanita-wanita kita direndahkan martabatnya. Sekaligus, mempermainkan Islam. Karena, para pria bule itu bersyahadat sekedar untuk memenuhi syarat agar bisa menjalani kawin kontrak, demi bisnis dan syahwat.
Penetrasi Intelektual
Penetrasi budaya paham sesat syi’ah melalui tabot atau tabuik, hanyalah salah satu cara saja di dalam menginjeksi racun akidah syi’ah ke dalam tubuh umat Islam Indonesia. Ada sejumlah tradisi khas syi’ah yang dipraktekkah umat Islam Indonesia, khususnya oleh komunitas praktisi bid’ah, yang kini dipimpin oleh Said Agil Siradj, salah seorang pendukung syi’ah yang konsisten. Secara kultural, praktisi bid’ah dan syi’ah memang compatible (cocok). Contohnya adalah tradisi milad dan khaul yang sering dipraktekkan komunitas penggemar bid’ah ini.
Bila penetrasi budaya terbukti berjalan lamban, maka tampaknya mereka menganggap perlu ada penetrasi yang berjalan cepat. Yaitu dengan jalan mencetak kader-kader intelektual pro syi’ah. Pasca Revolusi Syi’ah, terutama sejak 1981, deras mengalir beasiswa dari Iran bagi pemuda Indonesia yang mau bersekolah di Qum, Iran. Lulusan Qum ini kemudian mengembangkan syi’ah ke kampus-kampus dengan kedok Islamic Cultural Center (ICC).
Sebelumnya, kita hanya bisa menemukan segelintir nama populer, intelektual pro syi’ah. Misalnya, Umar Shihab (salah satu Ketua MUI Pusat), Jalaluddin Rakhmat (tokoh IJABI), Zulfan Lindani (keluaran FISIP UNAS Jakarta, mantan politisi PDI-P yang kini aktif di Nasdem), Haidar Bagir (lulusan ITB, mantan wartawan Republika, kini pemilik Penerbit Mizan).
Melalui sosok Umar Shihab, pembelaan terhadap Syi’ah sedemikian telanjang dan vulgar. Bahkan, Umar Shihab yang merupakan kakak kandung Quraish Shihab ini, berani menempuh jalan dusta untuk membela syi’ah, sebagaimana bisa dibaca melalui berbagai pemberitaan media massa. Lebih parah lagi, MUI belum berani tegas menerbitkan fatwa tentang kesesatan Syi’ah, antara lain akibat kegigihan Umar Shihab menentang terbitnya fatwa tersebut.
Dari fakta ini saja kita sudah mendapat bukti bahwa serangan syi’ah ke dalam institusi ulama sedemikian efektif. Sehingga, sekian banyak ulama yang ada di lembaga itu, meski mereka mengaku ahlussunnah dan membela akidah umat, ternyata keok hanya oleh seorang syi’ah yang sudah gaek sekalipun.
Bila Umar Shihab menyerang dari dalam MUI, dan para intelektual muda lulusan Qum menyerang dari dalam kampus, maka Jalaluddin Rakhmat menyerang dari luar melalui IJABI. Salah satu bukti keberhasilan IJABI terwakili oleh sosok Tajul Muluk yang gigih-berani mempertahankan syi’ah di tengah-tengah masyarakat Islam di Sampang, sehingga terjadi ledakan kemarahan pada 29 Desember 2011.
Masih ada satu lagi intelektual syi’ah yaitu Haidar Bagir (lulusan ITB) yang menyerang dengan pena. Haidar Bagir pemilik dan pendiri Mizan –perusahaan penerbitan yang relatif lebih muda dari, katakanlah GIP (Gema Insani Press)– ternyata mampu tumbuh sedemikian cepat menjadi salah satu penerbit papan atas, yang kini juga merambah dunia perfilman.
Nama-nama di atas adalah tokoh syi’ah yang kiprahnya kelihatan, dan berani. Masih banyak intelektual misionaris syi’ah yang belum berhasil diidentifikasi umat Islam. Mereka adalah lulusan Qum, Iran. Menurut Prof. Dr. Mohammad Baharun, M.Ag penyebaran paham sesat syi’ah utamanya memang dibawa oleh orang-orang Indonesia alumni Universitas Qum, Iran. Sehingga, tipikal syi’ah yang bergerak di Indonesia sama dengan syi’ah di Iran yakni Syi’ah ‘Istna Asyariyah yang revolusioner.
Melalui Narkoba
Bersamaan dengan gigih-beraninya para misionaris syi’ah membela eksistensi mereka di Indonesia, bersamaan dengan tumbuh pesatnya lembaga-lembaga syi’ah di Indonesia, bersamaan dengan semakin banyaknya lulusan Qum yang berkiprah di kampus-kampus, sementara itu melalui pemberitaan kita peroleh fakta bahwa para penyelundup narkoba asal Iran merupakan pemain dominan di Indonesia.
Menurut Kombespol Anjan Pramuka Putra, Direktur Narkoba Polda Metro Jaya, peredaran narkoba di Jakarta saat ini didominasi jaringan narkoba dari Iran. Salah satu sebabnya, harga narkoba di Indonesia jauh lebih mahal dibanding di Iran, bisa mencapai sepuluh hingga duapuluh kali lipat. Bila satu kilogram harga narkoba di Iran (dalam rupiah) mencapai seratus juta, maka di Indonesia bisa bernilai satu atau dua milyar rupiah.
Penyelundup narkoba asal Iran, pada umumnya berperan sebagai kurir yang bekerja untuk warga negara Iran yang sudah lebih dulu mukim di Indonesia. Upah para kurir narkoba asal Iran ini relatif lebih murah bila dibandingkan dengan kurir asal Nigeria. Misalnya, bila kurir asal Nigeria dibayar US$ 5 ribu, maka untuk kurir narkoba warga negara Iran mendapat bayaran hanya US$ 2 ribu.
Selama ini kita beranggapan bahwa maraknya warga Nigeria yang jadi kurir narkoba karena terdesak oleh kemiskinan. Karena memang demikianlah faktanya. Ternyata masih ada lagi yang lebih miskin, yaitu warga negara Iran yang dibayar lebih murah dari kurir asal Nigeria.
Salah satu contoh, warga negara Iran yang tertangkap karena menyelundupkan narkoba di dalam tabung gas untuk menyelam, namanya Sarlakian. Narkoba yang berusaha diselundupkannya berbobot 9 kilogram dengan nilai taksiran sekitar Rp 18 milyar. Sarlakian mengakui bahwa ia melakoni kegiatan haram ini dalam rangka mengumpulkan uang untuk persiapan pensiun. (detikNews Rabu, 21/09/2011 16:42 WIB)
Di negaranya, Sarlakian bekerja sebagai perawat tabung gas untuk menyelam. Berarti ia punya pekerjaan tetap dan penghasilan tetap. Namun dirasakan tidak cukup untuk menjamin hari tuanya. Oleh karena itu, untuk menjamin hari tuanya, setelah pensiun nanti, Sarlakian nekat menjadi kurir narkoba yang upahnya lebih rendah dari kurir Nigeria.
Dari kasus Sarlakian ini saja kita sudah bisa mendapat gambaran tentang tingkat kesejahteraan warga Iran di negaranya sendiri. Bisa dimaknai, Republik Syi’ah Iran ini agak miskin, sehingga rakyatnya harus jadi kurir narkoba. Kalau Iran miskin, dana dari mana untuk membiayai gerakan syi’ah di Indonesia? Jangan-jangan dari bisnis narkoba yang dilakoni warga Iran di Indonesia, yang akhir-akhir ini begitu marak. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar