posted by: Dunia Andromeda
La
Galigo
La Galigo adalah sebuah karya sastra yang terbentang sepanjang
zaman. Epos yang panjangnya melebihi Mahabharata ini berisi kisah di
abad lalu, yang sempat menjadi kepercayaan di antara masyarakat Bugis di
Sulawesi Selatan. Sayangnya, gerakan pemurnian ajaran agama, prasangka
dan pula modernisasi telah bersekutu menggempur “kesaktian” warisan
budaya ini. Akibatnya, karya sastra ini kini hanya dikenal di kalangan
akademisi. Padahal, La Galigo memiliki kekuatan yang mengejutkan. Sebuah
hajat besar bulan Maret lalu digelar di Kabupaten Barru untuk
menghidupkan kembali roh Sureq Galigo. Ikuti laporan wartawan TEMPO Yusi
A. Pareanom langsung dari Bumi Celebes untuk menjejaki keajaiban
Sawerigading.
Syahdan, pada abad ke-15, dunia telah mengenal La Galigo. Bahkan 300
ribu larik epik itu konon sudah lahir ketika abad Masehi baru mencium
bumi. Sungguh tua, sungguh panjang usia kisah yang pernah menjadi bagian
dalam kehidupan suku Bugis ini. Inilah epos yang konon terpanjang di
seluruh dunia. Jumlah ini jauh lebih gemuk ketimbang epos agung Mahabharata, yang terdiri dari 150 ribu-200 ribu baris,
atau Iliad dan Odyssey yang “hanya” terdiri dari 16 ribu baris. Karena
itulah, bulan Maret silam, puluhan peneliti dan pakar internasional
bertemu di Barru, Sulawesi Selatan, untuk mendiskusikan karya sastra
mahapanjang yang istimewa ini.
Di Barru, tempat waktu berjalan merayap, Sureq Galigo diperkenalkan
kembali pada publik. Istilah pengenalan kembali memang ironis. Sureq
Galigo yang usianya sudah berabad-abad itu di masa lalu adalah bagian
tak terpisahkan dalam kehidupan rakyat Sulawesi Selatan, khususnya suku
Bugis. Namun, fakta di lapangan, karya sastra ini sudah mulai dilupakan.
Maka, selama Festival La Galigo itu, Desa Pancana sejenak berubah
wajah. Desa yang terletak di pinggir pantai Kabupaten Barru, Sulawesi
Selatan, yang biasa disiram aroma amis ikan laut, pada Maret silam
dikunjungi ribuan orang dari berbagai kawasan yang memenuhi
lorong-lorong kampung. Jalan masuk yang membelah tambak di desa itu
malah macet gara-gara banyaknya mobil yang parkir. Hiburan macam ini
memang jarang ditemui.
Tapi tidak semuanya senang dengan hiruk-pikuk ini. Hajjah Siti Ara,
42 tahun, pedagang obat di Pasar Sentral Barru, terang-terangan mengaku
kecewa. Ia datang ke festival dengan harapan bisa menyimak Masureq,
pembacaan La Galigo atau Sureq Galigo (penamaan ini untuk membedakan
dengan nama tokoh I La Galigo) yang khidmat da menghanyutkan. Harapannya
meleset karena situasi festival mirip pasar malam yang sesak dengan
pedagang. Siti, yang semasa sekolah menengah pernah main drama dengan
tema La Galigo, juga menyesalkan banyaknya atraksi kesenian yang tak ada
hubungan dengan tema festival.
Jadi, apa sesungguhnya yang membuat La Galigo begitu istimewa? Dan,
bagaimana karya itu bisa sedemikian panjang? Ia membentangkan dongeng
tentang tujuh generasi. Ini berbeda dengan cerita rakyat dari daerah
lain di Indonesia, yang umumnya berbentuk banjaran (kisah satu tokoh
dari lahir sampai meninggal). Cerita kolosal ini juga terlihat dengan
1.000 tokoh penting yang menghuni episode-episodenya. Christian Pelras,
ilmuwan asal Prancis, sempat membuat 672 kartu nama tokoh-tokoh Sureq
Galigo.
Tentu, bukan ini saja yang menjadikan Galigo unik. Campbell
Macknight, guru besar emeritus antropologi di Universitas Nasional
Australia di Canberra, menyebut Galigo adalah pencapaian kultural yang
signifikan. Faktanya, materi teks Galigo paling banyak dielaborasi dalam
pelbagai versi dalam bahasa Bugis.
La Galigo menyebar dengan dua cara: tradisi lisan dan tulis. Tradisi
pertama dikenal oleh hampir semua etnik di Sulawesi, bahkan sebagian
Kalimantan dan Semenanjung Melayu. Adapun yang kedua praktis hanya
dilakukan oleh masyarakat Bugis. Sebagai satu karya, La Galigo punya
konvensi bahasa (yaitu bahasa Galigo yang untuk mudahnya bisa disebut
juga bahasa Bugis Kuno), sastra, metrum (guru lagu dan guru wilangan),
dan alur. Misalnya, satu bait pasti terdiri dari lima baris dan nama
tokohnya pasti terdiri dari lima suku kata: Sawerigading, I La Galigo, I
We Cudaiq, dan seterusnya.
Galigo diperkirakan lahir pada abad-abad awal Masehi. Sampai abad
ke-15, penyebarannya masih lisan, dengan bahasa yang masuk rumpun
Austronesia (yang digunakan hingga Kepulauan Fiji). Bukti yang mendukung
adalah kemiripan sistem hierarki sosial yang digunakan etnik-etnik
Pasifik yang masuk rumpun ini. Tradisi tulis diduga baru dimulai pada
abad ke-15. Sejak naskah ini didokumentasi, Galigo sudah mengembara ke
negara-negara jauh, terutama Belanda. Yang masuk sampai ke perpustakaan
negara Amerika Serikat di Washington, DC, pada abad ke-19 adalah buah
tangan Husin bin Ismail, seorang munsyi Bugis kelahiran Wajo yang
tinggal di Singapura.
Struktur Galigo bisa dibagi dalam dua bagian besar, kisah awal yang
bersifat kosmologi yang
menceritakan asal-usul kehadiran manusia di bumi. Bagian kedua yang
menceritakan sistem status yang sangat penting sebagai pegangan dalam
kehidupan sosial Bugis. Menurut Fachruddin Ambo Enre, guru besar sastra
di Universitas Negeri Makassar, bagian yang menceritakan manusia pertama
alias nenek moyang raja-raja Bugis, terutama orang Luwu, dianggap
sakral. Naskah ini tidak boleh dibaca sembarangan. Bahkan judul sureq
ini sengaja menggunakan nama Galigo, bukannya Sawerigading. Padahal
Sawerigading adalah peran utama. Namun, alasan tak menggunakan nama
Sawerigading sebagai judul karena nama itu tak boleh diucapkan
sembarangan.
Bagian penciptaan alam semesta malah didudukkan lebih wingit lagi
sehingga betul-betul dirahasiakan untuk kalangan terbatas. Tak semua
bangsawan Bugis yang masih menyimpan naskah periode ini sudi membagi
pengetahuannya pada orang lain. Colliq Pujié Arung Pancana Toa,
perempuan bangsawan Bugis yang menghimpun kisah Galigo untuk peneliti
Belanda Dr. B.F. Mathhes pada 1852, misalnya, memulai penulisan lontaraq
dengan adegan musyawarah para dewa untuk menurunkan Batara Guru sebagai
cikal bakal manusia di bumi.
Alhasil, siklus kisah Galigo sebelum manusia lahir–yang dianggap
sebagai periode “keramat”–masih diketahui sekelumit belaka. Salah
satunya adalah naskah Mula rilingé Sangiang Serrí (Mulai Diciptakannya
Sangiang Serrí). Naskah ini diperoleh Christian Pelras, peneliti dari
Prancis, dari seorang bangsawan Bugis. Naskah ini bercerita tentang Wé
Oddang Nriwú, anak bungsu pasangan Dewa Langit Datu Patotoe dan Datu
Palinge. Wé Oddang, adik Batara Guru, dikisahkan memiliki kecantikan
yang sanggup membuat para lelaki yang melihatnya gila (kecantikan
perempuan macam ini sepertinya mirip Remedios The Beauty,
tokoh dalam novel One Hundred Years of Solitude
karya Gabriel Garcia Marquez). Agar tidak menimbulkan malapetaka di
mana-mana, Wé Oddang akhirnya diubah bentuknya menjadi tanaman padi
dengan nama baru Sangiang Serrí. Dengan begini, ia tetap dicintai banyak
orang dan sekaligus tak mengundang marabahaya. Cerita Sangiang Serrí
inilah yang melahirkan tradisi upacara persembahan para petani sebelum
memulai musim tanam.
Bagian utama dari La Galigo tak lain adalah kehidupan Sawerigading.
Cerita cucu Batara Guru ini sedemikian memikat, sehingga rakyat Sulawesi
Selatan menganggap sosok ini nyata. Artinya, Galigo diperlakukan
sebagai sumber sejarah untuk periode zaman tembaga-besi akhir
(prasejarah). Bisakah? Ian Caldwell, dosen sejarah di Universitas Hull,
Inggris, yang melakukan penelitian arkeologis sealama tiga tahun di Luwu
dan sekitarnya, menampiknya. Alasannya, anakronisme (penempatan
kejadian pada waktu yang salah) yang bertaburan di dalam naskah La
Galigo. Misalnya, gambaran Kerajaan Luwu dan Cina raja adalah cerminan
keadaan politik dan demografis pada abad ke-15 sampai 17. Padahal, dari
pemakaian bahasa Galigo yang arkaik (tidak lazim dipakai), terlihat
bahwa Galigo lahir pada masa yang jauh lebih kuno.
Kisah pengembaraan Sawerigading dengan kapal La Welérénngé ke
pelbagai negeri jauh, bila dilihat dengan kacamata ilmu pelayaran yang
sebenarnya, terlihat ganjil. Waktu tempuh untuk daerah yang secara
geografis sangat dekat bisa memakan waktu berbulan-bulan, sedangkan
untuk daerah yang lebih jauh malah ditempuh dengan waktu singkat saja.
Karena itu, Horst H. Liebner, ilmuwan asal Jerman yang bertahun-tahun
mempelajari seluk-beluk perahu tradisional Sulawesi Selatan, menilai
bahwa perjalanan Sawerigading adalah perjalanan mimpi. Alhasil, toponomi
sebagian Nusantara menurut
Galigo—dengan Luwu sebagai “pusat dunia”–menurut Liebner tak lebih dari
upaya mengagung-agungkan kejayaan Bugis tanpa melihat kenyataan dunia
riil. “Kaum ningrat Bugis masa itu ingin dielu-elukan sebagai penguasa
jagat raya,” kata Liebner.
Menilik bertaburnya “kesembronoan” data tersebut, diduga perawi
Galigo adalah para perempuan bangsawan Bugis yang tak akrab dengan dunia
pelayaran ataupun geografi. Indikasi yang menunjukkan identitas
pengarang adalah penggambaran pernik upacara serta aktivitas bissu yang
demikian detail. Hal ini lebih banyak diketahui golongan wanita ningrat.
Genangan fantasi dalam Galigo memang jadi mencemaskan bila naskah
tersebut dipakai sebagai rujukan sejarah. Di sisi lain, hal ini dinilai
Nirwan Ahmad Arsuka, kurator Bentara Budaya, justru menunjukkan kekuatan
sastra Galigo. Ia memuji daya imajinasi para pengarangnya. Namun yang
paling memikat hati Nirwan dari Galigo adalah petingkah tokoh-tokoh
utamanya. Ia menilai Galigo berlari jauh melampau zamannya.
“Penggambaran yang begitu transparan sangat dekat dengan kecenderungan
sastra mutakhir dunia yang sudah melampaui romantisme dan siap berdamai
dengan sosok-sosok anti-hero,” kata Nirwan yang berdarah Bugis ini.
Uraian kecerdasan para perawi Galigo bisa lebih panjang lagi
dituliskan. Namun hal ini tak akan bisa menutupi fakta bahwa sureq ini
kini kian pudar pesonanya. Banyak faktor yang membuat Galigo surut.
Gempuran awal pada Galigo dimulai ketika Islam masuk ke Sulawesi pada
abad ke-14. Awalnya, masih terjadi sinkretisme yang memberi ruang hidup
ajaran Galigo. Misalnya, para dewata dalam epos ini digolongkan kelompok
jin yang baik, sementara Sangiang Serrí tidak lagi disebut dewi padi
tapi jiwa padi. Namun, sejak akhir abad ke-18, di Sulawesi Selatan mulai
berkembang ajaran yang menginginkan ajaran agama Islam dilaksanakan
secara murni. Puncaknya adalah periode 1950-1965, masa ketika Darul
Islam memberontak.
Bissu, sebagai salah satu pewaris utama ajaran Galigo, menjadi korban yang paling mengenaskan. Bissu yang tersisa juga tak bisa berkiprah lebih banyak karena pamor bangsawan Bugis yang jadi pengayom mereka juga ikut redup. Faktor lain yang menenggelamkan kesaktian Galigo adalah modernisasi. Epos yang dulu memiliki fungsi menghibur jadi tak laku bila dibandingkan dengan acara televisi. Para petani pun lebih percaya pada pupuk dan benih unggul ketimbang memberi sesajian pada Sangiang Serrí.
Bissu, sebagai salah satu pewaris utama ajaran Galigo, menjadi korban yang paling mengenaskan. Bissu yang tersisa juga tak bisa berkiprah lebih banyak karena pamor bangsawan Bugis yang jadi pengayom mereka juga ikut redup. Faktor lain yang menenggelamkan kesaktian Galigo adalah modernisasi. Epos yang dulu memiliki fungsi menghibur jadi tak laku bila dibandingkan dengan acara televisi. Para petani pun lebih percaya pada pupuk dan benih unggul ketimbang memberi sesajian pada Sangiang Serrí.
Namun Fachruddin melihat nasib buruk ini tidak dialami Galigo saja,
tetapi juga karya sastra tradisional lainnya di Sulawesi Selatan. Ia
melihat generasi yang lebih muda tak tertarik karena orang tua mereka
sudah tak menaruh perhatian. Perkecualian tentu ada. Maqbul Halim, 29
tahun, penggiat sebuah lembaga swadaya masyarakat di bidang media massa
yang tinggal di Makassar, mengaku masih membaca La Galigo. “Sewaktu
kecil, di kampung saya di Wajo, dari orang tua dan kakek-nenek saya,
saya sering mendengar penggalan cerita tentang kehidupan jawara atau
jagoan bangsawan Bugis yang ternyata adalah bagian dari Galigo.” Pemuda
ini terlihat fasih berbicara tentang naskah ini. Tapi orang seperti
Maqbul sangat sedikit.
Upaya untuk mengembalikan Galigo pada publiknya sebetulnya sudah
dimulai cukup lama oleh kalangan akademisi. Namun jalannya sampai saat
ini masih tersaruk. Fachruddin mencontohkan beratnya langkah penerbitan
12 jilid naskah Galigo (yang pekerjaan transliterasi dan penerjemahannya
dalam bahasa Indonesia sudah dirampungkan Muhammad Salim dalam kurun
waktu 5 tahun 3 bulan). “Yang siap memberikan suntikan dana justru
pemerintah Belanda, ironis, padahal untuk dua jilid hanya butuh sekitar
Rp 100 juta,” kata Fachruddin.
Dalam seminar di Barru, banyak usul untuk menghidupkan kembali La
Galigo secara populer: pembuatan sinetron, komik, ataupun penulisan
ulang dalam bentuk novel. Yang sudah dimulai–sekalipun baru tahap
praproduksi–adalah pembuatan film La Galigo. Penggagasnya adalah
koreografer dan penari Restu Iman Sari dan sutradara pemenang Emmy Award
asal Amerika Serikat, Rhoda Grauer. Awalnya, duet ini berniat membuat
film dokumenter tentang perahu tradisional Bugis. Ternyata mereka malah
“tersesat’ membikin film tentang bissu. Dari produksi ini, mereka
mengenal epos Galigo dan tak punya pilihan lain kecuali terpikat. “Sulit
dipercaya ada hal sepenting Galigo di bumi ini yang tidak dikenal
secara global,” kata Grauer.
Pertanda baik dari kerja Restu dan Grauer–yang kini senang dipanggil
dengan nama Makkarodda (seperti salah satu tokoh dalam Galigo)– adalah
kesediaan Robert Wilson menjadi sutradara pementasan La Galigo. Wilson
adalah sutradara panggung yang sangat terkemuka di Amerika. Salah satu
kerjanya yang paling kondang adalah Einstein on the Beach (1976), yang
disebut-sebut sebagai pendekatan yang sepenuhnya baru untuk teater
musikal. Film yang dijadwalkan kelar tahun 2004 kelak diharapkan bisa
membuka mata banyak pihak. Sesungguhnya, keindahan La Galigo memang
bukan cuma warisan untuk suku Bugis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar