Jumat, 01 Januari 2010

Wiro Sableng Episode # 20 : Hidung Belang Berkipas Sakti

posted by: Dunia Andromeda

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito

1

Matahari bersinar terik membakar jagat. Pemuda berpakaian sederhana itu melangkah menyusuri jalan berdebu. Di hadapan sebuah pintu gerbang yang dikawal oleh dua orang prajurit bersenjatakan tombak dia berhenti. Sesaat dengan sepasang matanya yang disipitkan diperhatikannya bangunan pintu gerbang yang kokoh itu. Lalu dia berpaling pada salah seorang pengawal yang berdiri di situ.
”Apakah ini gedung kediaman Adipati Kebo Panaran?” bertanya si pemuda.
Pengawal yang ditanya tidak segera menjawab. Dia memandang penuh curiga, meneliti pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Segera dia tahu kalau Si pemuda adalah seorang desa yang baru saja turun ke kota.
Dengan sikap meremehkan pengawal itu menjawab.
“Betul. Kau ada keperluan apa orang desa?!”
“Aku ingin bertemu Adipati,” jawab si pemuda.
“Ingin bertemu dengan Adipati Kebo Panaran? Heh….” Pengawal yang satu ini berpaling pada kawannya. Lalu tertawa bergelak. “Sobat,” katanya pada kawannya. “Kau dengar ucapan pemuda ini?”
Prajurit yang satu ikut-ikutan tertawa dan berkata. “Sebelum kami muak melihatmu, sebaiknya lekas pergi dari sini!”
“Tapi… aku ingin bertemu Adipati,” sahut Si pemuda pula.
“Heh, memaksa rupanya. Apa maumu sebenarnya?!” prajurit pertama maju selangkah sambil menggenggam tombaknya.
“Mau cari pekerjaan,” jawab si pemuda tanpa ragu-ragu.
“Buset! Tak ada pekerjaan untuk manusia macammu di sini. Adipati sudah punya tukang kebun. Sudah punya penjaga kuda….”
“Bukan pekerjaan macam begitu yang aku inginkan,” memotong pemuda desa tadi.
“Ahai! Lalu pekerjaan macam apa yang kau inginkan? Jadi juru masak barangkali?!”
Sepasang mata pemuda itu semakin menyipit. Tiba-tiba dia tersenyum.
“Prajurit pengawal pintu!” kata pemuda itu dengan suara tandas. “Kau dengar baik-baik. Namaku Dipasingara. Katakan pada Adipatimu bahwa aku datang untuk mencari pekerjaan!”
“Sekalipun namamu Bapak Moyang Setan aku tidak perduli. Menyingkir dari sini atau batang tombak ini akan membuat kepalamu jadi benjol besar!”
Si pemuda masih saja tersenyum mendengar ancaman itu. Malah dia menyambuti dengan ucapan: “Rupanya suasana di kota benar-benar harus memakai segala macam kekerasan. Sobat, aku minta tolong padamu agar memberi tahu Adipati, kalau tidak..”
“Kalau tidak kau mau apa?” Si prajurit jadi berang.
“Aku terpaksa nyelonong sendiri masuk ke dalam gedung!”
“Pemuda desa kurang ajar! Kau betul-betul minta digebuk!”
Tombak besi di tangan pengawal pintu gerbang menyambar ke arah pemuda yang mengaku bernama Dipasingara itu. Sesaat lagi pastilah remuk atau paling tidak benjol besar kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat terkejut kawan prajurit yang satu ini.
Hampir sama sekali tidak kelihatan bergerak, tahu-tahu pengawal yang mengemplangkan tombak telah terpental ke atas untuk kemudian jatuh bergedebuk di tanah tanpa sadarkan diri lagi. Tombak yang tadi dipakainya untuk memukul kini berpindah tangan digenggam Dipasingara!
“Bangsat rendah! Berani kau mencelakai kawanku!” teriak pengawal yang seorang lagi marah sekali. Dia melompat dan tusukkan mata tombaknya ke dada pemuda desa itu.
Dipasingara ulurkan tangan kirinya. Tahu-tahu bagian belakang mata tombak berhasil dicekalnya lalu disentakkan kuat-kuat. Tak ampun lagi pengawal yang menyerang terbetot kencang ke depan, terguling di tanah dengan muka berkelukuran! Meski dia tidak jatuh pingsan namun luka-luka yang mengeluarkan darah memenuhi tubuhnya, sakitnya bukan kepalang. Dia terduduk di tanah tanpa bisa berbuat apa-apa selain mengerang kesakitan.
Dipasingara menimang-nimang dua batang tombak yang barusan dirampasnya. Satu demi satu tombak itu kemudian ditancapkannya di tanah tepat diantara kedua kaki prajurit Kadipaten itu. Kemudian dia melangkah ke pintu gerbang. Baru saja dia menggerakkan tangan untuk membuka pintu, Sebuah kereta yang dikawal oleh serombongan penunggang kuda yang rata-rata berbadan kekar herbenti di situ.
Penunggang kuda paling depan yang berkumis melintang membentak dari punggung kuda tunggangannya.
“Apa yang terjadi di sini?!”
Bola matanya yang besar menyorot si pemuda. Kembali dia membentak: “Siapa kowe?!”
Dengan tenang pemuda itu menjawab. “Namaku Dipasingara. Aku ingin bertemu dengan Adipati Kebo Panaran. Untuk maksud baik. Mau cari pekerjaan. Aku sudah minta izin dan tolong kedua pengawal ini. Tapi tanpa alasan mereka malah menurunkan tangan kasar terhadapku. Cuma sayang mereka terlalu kesusu!”
“Pemuda edan! Anak-anak tangkap pemuda ini!” teriak si kumis melintang. Rupanya dia yang jadi pimpinan.
Empat lelaki berpakaian seragam, bertubuh besar tegap melompat turun dari punggung kuda lalu serempak menyerbu Dipasingara untuk meringkusnya hidup-hidup.
Namun mereka cuma bisa menangkap angin. Karena pada detik itu Si pemuda telah lenyap dan tahu-tahu sudah berdiri di samping kereta.
Justru saat itu pula tirai kereta disingkapkan orang dari dalam. Sebuah kepala laki-laki kemudian muncul. Di sampingnya tampak kepala seorang perempuan muda berparas cantik luar biasa.
“Sura… ada apa ribut-ribut?” tanya lelaki dalam kereta. Suaranya besar parau, tak sedap didengar.
Suramanik, demikian nama lelaki berkumis melintang yang tadi berikan perintah untuk menangkap Dipasingara cepat menjawab:
“Tidak ada apa-apa Adipati. Tak perlu khawatir. Cuma seekor kecoak sinting kesasar kemari dan berbuat sedikit kerusuhan. Mohon maafmu. Kami akan segera mengenyahkannya dari sini!”
Dipasingara memalingkan kepalanya ke jendela kereta. Dilihatnya seorang lelaki berpakaian bagus, berkopiah tinggi, bermuka putih. Menurut taksirannya paling tidak orang ini berusia setengah abad. Di sebelahnya duduk seorang perempuan berparas rupawan yang membuat Dipasingara sejenak tertegun. Namun menyadari bahwa orang di dalam kereta itu pastilah Adipati Kebo Panaran dan istrinya maka cepat-cepat Dipasingara membuka mulut.
“Adipati Kebo Panaran. Mohon dimaafkan segala tindakanku. Semuanya terjadi karena terpaksa. Aku harus mempertahankan diri dari orang-orangmu yang menyerang secara sewenang-wenang. Aku datang dari jauh. Sengaja hendak menemuimu untuk minta pekejaan. Bolehkah aku tolong membukakan pintu gerbang agar keretamu bisa lewat…?”
Sesaat Kebo Panaran menatap tampang pemuda itu. Wajahnya cakap. Sikapnya sederhana tetapi hormat tanda dia bukan seorang pemuda gelandangan tak karuan,
“Orang muda, kau siapa?” bertanya sang Adipati.
Sepasang mata Dipasingara mengerling sekilas pada perempuan yang duduk dalam kereta di samping Adipati. Cuma sekilas, tetapi pandangan mata tajam pemuda ini membuat bergetar hati serta dada Galuh Resmi, istri Kebo Panaran.
“Namaku Dipasingara” menjawab si pemuda. “Sengaja datang dari jauh untuk cari pekerjaan.”
“Hemmm.. begitu?” ujar Kebo Panaran. Dia mengerling pada dua pengawal pintu gerbang yang terkapar di tanah.
“Apakah menghantam dua prajurit Kadipaten itu salah satu pekerjaan yang kau inginkan…?!”
“Mohon maaf Adipati. Bukan maksudku untuk berbuat kurang ajar. Tapi mana mungkin aku berdiam diri jika yang satu dari mereka hendak mengemplang kepalaku, yang satu lagi hendak menembus dadaku dengan tombak?!”
Kebo Panaran terdiam.
Sebaliknya Suramanik yang sejak tadi menahan amarah kini membentak: “Adipati, biar kuhajar pemuda hina dina ini!”
Tapi sang Adipati melambaikan tangannya. Mencegah kepala pengawalnya untuk melaksanakan maksudnya.
“Aku akan bukakan pintu gerbang untukmu,” kata Dipasingara tanpa mengacuhkan Suramanik. Lalu didorongnya daun pintu gerbang lebar-lebar.
Kusir kereta memandang pada pemuda itu dengan air muka tidak senang. Tetapi Adipati Kebo Panaran memberi isyarat agar kereta segera dimasukkan ke dalam.
Ketika Dipasingara ikut-ikutan hendak masuk ke dalam Suramanik mengusirnya dengan beringas.
“Biarkan dia masuk Sura,” terdengar suara Adipati dari dalam kereta.
Dengan amat penasaran Suramanik terpaksa membiarkan Dipasingara memasuki halaman Kadipaten.

2

Adipati dan istrinya turun dari kereta. Dipasingara berdiri dekat tangga Kadipaten. Sepasang matanya yang sipit menatap paras perempuan itu. Ketika itu Galuh Resmi mengerling pula, sesaat pandangan mata mereka saling bertemu. Galuh Resmi palingkan wajahnya dan cepat-cepat menaiki tangga lalu masuk ke dalam gedung. Bentrokan pandangan ini sama sekali tidak diketahui Adipati Kebo Panaran. Sebaliknya Suramanik sempat melihatnya sehingga semakin besar kegusarannya terhadap Dipasingara.
Kusir membawa kereta ke halaman samping. Kebo Panaran memberi isyarat pada Dipasingara untuk mengikutinya ke langkan Kadipaten, sementara Suramanik dan anak buahnya tetap berdiri di anak tangga sebelah bawah. Dua orang prajurit sebelumnya sudah disuruhnya untuk menggotong dua pengawal pintu gerbang yang cidera.
“Nah sekarang katakan pekerjaan apa yang kau inginkan,” kata Adipati. Tapi dia tak menunggu jawaban malah menambahkan: “Untuk mengurus kandang kuda aku sudah punya orang. Tukang kebun juga sudah ada. Pengawal banyak. Kau mau kujadikan sebagal perawat kuda-kuda kesayanganku?”
“Terima kasih Adipati. Terima kasih atas kepercayaanmu. Namun bukan pekerjaan macam itu yang aku inginkan.”
Di bawah langkan gedung Suramanik menggertakkan rahangnya tanda marah. Sudah diberi pekerjaan menolak pula. Dasar manusia kampung tidak tahu diri. Demikian kepala pengawal Kadipaten itu mengumpat dalam hati.
“Lantas pekerjaan yang bagaimana yang kau inginkan?” tanya Adipati pula.
“Aku ingin menjadi kepala pengawal di Kadipaten ini, Adipati!”
Kebo Panaran tersentak kaget mendengar ucapan Dipasingara. Dia mulai berpikir apakah pemuda ini sehat otaknya atau bagaimana. Suramanik sendiri sampai melotot kedua matanya. Saat itu dia adalah kepala pengawal Kadipaten. Dan justru pekerjaan itulah yang diinginkan Si pemuda sialan itu! Benar-benar membuat Suramanik menjadi panas dingin menahan amarah. Kalau saja Adipati Kebo Panaran tidak ada di situ sudah sejak tadi dilabraknya pemuda lancang mulut itu!
Kebo Panaran batuk-batuk beberapa kali. “Tentunya kau tidak bicara bertele-tele atau ngaco, orang muda. Aku sudah memiliki kepala pengawal. Tak mungkin jabatan itu kuberikan padamu.”
“Rasanya tak ada yang tak mungkin di dunia ini, Adipati,” jawab Dipasingara.
“Disamping itu untuk jadi kepala pengawal tidak sembarangan. Ada syarat-syaratnya.”
“Apakah syarat-syarat itu Adipati?”
Kebo Panaran merasa didesak dan jadi jengkel.
“Sudahlah orang muda. Aku tak punya waktu lama untuk bicara denganmu. Juga tak ada pekerjaan lowong di sini untukmu. Kecuali jika kau mau bekerja sebagai perawat kuda-kudaku. Kalau tidak silahkan pergi dan cari pekerjaan di tempat lain!”
Dipasingara terdiam sejenak. Lalu angkat bahu. Dia menjura “Jika begitu katamu baiklah Adipati. Aku minta diri….”
Pemuda itu membalikkan tubuh dan siap untuk pergi. Tapi di belakangnya terdengar Kebo Panaran berkata:
“Tunggu dulu!”
“Ada apa Adipati?” tanya Dipasingara.
Saat itu sang Adipati teringat akan dua pangawal pintu gerbang yang telah dipreteli Dipasingara. Tak dapat tidak tentu pemuda ini memiliki kepandaian silat yang diandalkan. Kalau tidak mana dia mampu dan punya keberanian untuk berbuat begitu. Dan jika dia menginginkan jabatan kepala pengawal Kadipaten pasti dia tidak main-main.
“Dengar orang muda,” kata Kebo Pananan. “Aku akan memberikan jabatan yang cukup layak untukmu. Asal saja kau mau menerangkan kepandaian apa saja yang kau miliki!”
“Maaf Adipati. Rahasia diriku tak mungkin kuberitahu. Aku hanya menginginkan jabatan kepala pengawal. Lain tidak….”
Suramanik yang sejak tadi sudah kelangsangan dilanda amarah, serasa terbakar tubuhnya. Dia merasa dihina oleh pemuda desa itu. Suramanik melompat ke langkan Kadipaten dan berkata lantang:
“Adipati, aku bersedia menyerahkan jabatanku pada pemuda kurang ajar ini jika dia sanggup menerima pukulanku satu kali saja pada dadanya!”
Suramanik memang bukan sembarang orang. Jika tidak memiliki kepandaian tinggi tentu dia tak akan menjabat kepala pengawal Kadipaten.
Kebo Panaran terkesiap mendengar ucapan kepala pengawalnya itu. Urusan jadi ruwet jika pemuda desa itu sampai kena dihantam tinju Suramanik apa jadinya? Sebaliknya dengan tenang Dipasingara menyahuti:
“Kalau aku sanggup menahan pukulanmu, kau akan kehilangan jabatanmu, kepala pengawal!”
“Mari kita buktikan!” bentak Suramanik dengan mata melotot dan amarah meluap. Dalam hatinya dia berkata: “Sekali jotosanku mendarat di dadamu kau akan terbang ke neraka!”
Dipasingara berpaling pada Adipati Kebo Panaran.
“Adipati, apakah kau izinkan kami menjalankan pertaruhan ini?”
“Itu urusan kalian. Tapi kunasihatkan agar kau jangan menantang Suramanik. Lebih bagus kau mencari selamat dan tinggalkan tempat ini!” Begitu jawaban Kebo Panaran karena dia tahu kehebatan kepala pengawalnya.
“Karena aku tetap menginginkan jabatan kepala pengawal Kadipaten, mohon maafmu Adipati kalau aku terpaksa melayani tantangannya.”
Dipasingara turun ke halaman. Di belakangnya menyusul Suramanik. Kebo Panaran yang juga ingin menyaksikan adu tanding itu ikut turun sementara beberapa prajurit berdiri membentuk lingkaran besar. Ditengah-tengah lingkaran Suramanik dan Dipasingara saling berhadap-hadapan.
Di belakang tirai jendela depan gedung Kadipaten sepasang mata mengintai dengan hati berdebar. Yang mengintip ini adalah Galuh Resmi, istri Kebo Panaran. Diam-diam dia telah mendengar percakapan orang-orang itu dan kini ingin melihat apa yang bakal terjadi.
Entah mengapa dia sangat menyesalkan ketololan pemuda bertampang gagah itu yang mau saja melayani tantangan Suramanik. Dia tahu Suramanik berilmu tinggi dan kabarnya memiliki pukulan sakti.
“Dia pasti mati begitu pukulan Suramanik menghantam dadanya!” membathin Galuh Resmi. Aneh. Perempuan ini merasa kawatir. Mengkawatirkan keselamatan pemuda yang tidak dikenalnya itu.
“Sudah siapkah kau menerima pukulanku?!” terdengar suara Suramanik. Rahang­rahangnya tampak menonjol.
“Sebentar sobat,” jawab Dipasingara. “Biar kubuka dulu bajuku agar kau bisa mencari bagian yang empuk untuk kau pukul!”
“Manusia takabur! Sebentar lagi akan kau rasakan akibat tingkahmu yang sembrono!” tukas Suramanik.
Dengan tenang Dipasingara membuka bajunya. Kini dia berdiri bertelanjang dada. Tubuhnya kelihatan bersih ramping.
“Nah kau carilah sasaran yang empuk!” kata pemuda itu pada Suramanik disertai senyum sinis.
Seorang prajurit Kadipaten memaki dalam hatinya:
“Pemuda gendeng! Sudah mau mati masih saja bicara sombong!”
Dengan menyeringai geram Suramanik mengepalkan jari-jari tangan kanannya. Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke situ. Dia sengaja mengerahkan keseluruhan kekuatannya karena ingin melihat pemuda kurang ajar itu meregang nyawa dalam sekali pukul!
Sebagai kepala pengawal Kadipaten Suramanik memiliki beberapa pukulan sakti. Yang paling hebat adalah pukulan “Wesi Ireng”. Selama lima tahun dia telah melatih diri untuk menguasai ilmu pukulan dahsyat tersebut. Dan kini pukulan itulah yang akan dihadiahkannya pada Dipasingara.
Perlahan-lahan tangan kanan Suramanik sampai sebatas pergelangannya berubah menjadi kehitaman. Semua orang termasuk Dipasingara melihat perubahan yang mengerikan itu. Adipati Kebo Panaran maklum kalau kepala pengawalnya benar-benar ingin menghabiskan riwayat pemuda desa itu dengan pukulan Wesi Ireng. Dia tahu, jangankan dada manusia, tembok tebal sekali pun akan hancur luluh dihantam pukulan itu. Dan yang mencengangkan sang Adipati ialah bahwa si pemuda itu masih saja tenang-tenang bahkan selalu menyunggingkan senyum mengejek terhadap Suramanik.
“Kasihan…” kata Kebo Panaran dalam hati. “Dia tak sadar kalau sebentar lagi akan menemui kematian!”
Suramanik mundur selangkah. Tangan kanannya diangkat sebatas kepala.
“Kau sudah siap untuk mampus orang muda?” ujar Suramanik.
“Cepatlah, aku sudah siap sejak tadi!”
“Kalau begitu kau terimalah detik kematianmu!”
Didahului satu bentakan garang Suramanik menghantamkan tinju kanannya ke dada Dipasingara.
“Buk!”
Tinju keras tepat menghantam dada Dipasingara di bagian jantung. Dan terdengarlah satu pekikan dahsyat!

3

Tubuh Dipasingara sedikit pun tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Didepannya Suramanik terbungkuk-bungkuk memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri. Belasan kerut kesakitan muncul di kulit mukanya yang beringas. Semua orang kini menyaksikan bagaimana tangan kanan Suramanik yang tadi sebatas pergelangan berwarna hitam, kini menjadi gembung lecet. Dari mulut kepala pengawal ini tiada hentinya terdengar suara rintihan.
Terkejutlah Adipati Kebo Panaran. Juga semua orang. Termasuk Galuh Resmi yang mengintip di balik tirai jendela. Semula semua orang sudah sama memastikan bagaimana pemuda itu akan terjengkang dilanda jotosan sakti Wesi Ireng, menggeletak di tanah tanpa nyawa. Apa yang kemudian terjadi hampir tak dapat mereka percaya.
Suramanik masih mengerang. Lututnya terasa goyah. Dia coba bertahan tapi tak mampu. Dia jatuh berlutut. Tangan kanannya tampak semakin merah. Dari bagian-bagian yang lecet darah mulai membersit. Kebo Panaran geleng-gelengkan kepala. Setelah menarik nafas dalam dia berkata:
“Suramanik, ternyata pemuda itu sanggup menahan pukulanmu….”
Rahang Suramanik menggembung. “Aku tahu maksud ucapanmu Adipati. Tak usah kawatir. Aku bukan bangsa manusia yang tidak memegang janji. Kau terimalah pemuda hina dina itu menjadi kepala pengawal Kadipaten!”
Habis berkata begitu Suramanik memutar tubuh untuk berlalu.
“Tunggu!” seru Dipasingara. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya satu kantong kertas kecil. Di dalam kantong ini terdapat sejenis obat mujarab.
“Taburkan obat ini di tanganmu. Lukamu pasti akan sembuh dalam waktu cepat!”
Suramanik mendengus dan menampik kantong kertas yang dilemparkan padanya.
“Aku tak butuh obatmu! Apa yang kau lakukan hari ini kelak akan kubalas berikut bunganya! Bersiaplah dari sekarang. Karena aku pasti datang menemuimu!”
Suramanik membalikkan tubuh dan berlalu cepat. Ketika dia lenyap dikejauhan semua mata kini ditujukan pada Dipasingara. Pada dasarnya prajurit-prajurit Kadipaten itu diam-diam mengagumi kehebatan si pemuda. Namun masing-masing mereka juga merasa kurang senang terhadap sikap dan tindak tanduk Dipasingara yang mereka anggap ombong.
Setelah beberapa lama kesunyian menggantung, akhirnya Kebo Panaran membuka mulut:
“Orang muda, sesuai perjanjianmu dengan Suramanik dan dengan kepergiannya dari sini maka mulai saat ini jabatan kepala pengawal menjadi hakmu. Namun sebelum jabatan itu kuberikan padamu, satu ujian lagi harus kau lewati….”
“Adipati, apa maksudmu?” tanya Dipasingara,
Sebagai jawaban Kebo Panaran melemparkan sebilah golok pada Dipasingara. Lalu pada enam orang prajurit Kadipaten dia berseru:
“Cabutlah golok kalian dan serang dia!” Pada Dipasingara Kebo Panaran menambahkan “Kau harus sanggup merobohkan mereka dalam waktu tiga jurus. Tapi ingat, tak satu pun harus terluka!”
Dipasingara menyambut golok yang dilemparkan sambil tersenyum sementara enam prajurit dengan golok terhunus menyebar berkeliling, mengurungnya!
Di belakang jendela Galuh Resmi yang masih mengintip kembali merasa cemas. Dikeroyok oleh enam prajurit-prajurit kelas satu apakah pemuda itu sanggup bertahan?
Enam golok serentak berkelebat menyerang.
Dipasingara menekuk kedua lututnya. Golok di tangan kanannya dibabatkan ke atas dalam bentuk lingkaran. “Trang… trang… trang….” Terdengar suara beradunya senjata sampai enam kali berturut-turut. Lalu suara bergedebukan dan pekik kesakitan susul menyusul.
Dengan mata kepalanya sendiri Adipati Kebo Panaran menyaksikan bagaimana setelah menangkis serangan enam golok si pemuda lantas pergunakan kaki dan tangan kirinya serta gagang golok untuk menghajar ke enam pengeroyoknya hingga tiga orang terpelanting roboh, dua kena di totok dan satu berdiri sambil pegangi hidungnya yang mengucurkan darah.
Di belakang jendela Galuh Resmi sampai ternganga takjub melihat kejadian itu.
Kebo Panaran memegang bahu Dipasingara. “Kau ternyata tidak mengecewakan. Kau memang pantas menjadi kepala pengawal Kadipaten. Mulai hari ini kau menjalankan tugas di Kadipaten Gombong!”
Dipasingara tersenyum dan menjura dalam-dalam.
“Terima kasih Adipati. Terima kasih.” Katanya seraya mengembalikan golok yang tadi diberikan Kebo Panaran.
Ketika Adipati itu berlalu Dipasingara memalingkan kepalanya ke arah jendela. Meski cuma sekilas tapi masih sempat dilihatnya wajah Galuh Resmi. Galuh Resmi merasakan wajahnya bersemu merah dan bergegas masuk ke dalam kamar. Sesaat dia tegak di depan kaca menatap wajahnya sendiri. Pemuda itu tahu kalau dia mengintip. Betapa malunya. Tetapi kenapa dia begitu merasa tertarik padanya?
Kebo Panaran, Adipati yang berusia setengah abad itu menaruh kepercayaan penuh pada kepala pengawalnya yang baru. Namun dia tidak menduga sama sekali kalau justru Dipasingara sebenarnya adalah manusia biang racun yang bakal merusak rumah tangganya.
Tanpa setahu siapa pun di gedung Kadipaten itu, diam-diam Dipasingara mulai main api dengan Galuh Resmi. Banyak hal yang membuat istri Adipati Gombong itu melayani kedipan mata, lirikan nakal dan senyum berbisa Dipasingara. Pertama Dipasingara seorang pemuda bertampang gagah. Pertemuan pertama dulu dengan ketinggian ilmunya telah mendatangkan rasa kagum dalam diri Galuh Resmi. Kedua, karena kehidupan rumah tangga perempuan itu dengan Kebo Panaran tidak berbahagia. Sebagai seorang lelaki berusia 50 tahun Kebo Panaran tidak mungkin mempunyai kesanggupan untuk menjalankan kewajiban badaniah terhadap istri yang cantik jelita dan baru berusia delapan belas tahun itu. Ketidak sanggupan ini ditambah pula dengan seringnya sang Adipati melakukan kunjungan kerja ke desa-desa. Lalu pergi menghadap pembesar-pembesar di Kotaraja untuk memberi laporan. Semua ini membuat Galuh Resmi seperti terasing jauh dalam kesunyian.
Ketika Dipasingara muncul dengan keberaniannya yang nakal berbisa Galuh Resmi tak kuasa untuk mengelak bahkan tanpa disadari dia sendiri senantiasa membalas setiap senyuman kepala pengawalnya yang gagah itu.
Meskipun tidak merupakan kebiasaan tapi pada umumnya setiap pembesar di masa itu mempunyai dua buah kamar tidur. Satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk istrinya. Demikian pula dengan Kebo Panaran. Setiap malam dia selalu tidur di kamar besar di sebelah depan gedung Kadipaten sedang istrinya di kamar lain yang bersebelahan. Antara kedua kamar itu dihubungkan dengan sebuah pintu. Dengan adanya dua kamar inilah Dipasingara mempunyal kesempatan untuk berbuat lebih berani.
Suatu malam, ketika seluruh gedung Kadipaten diselimuti kesunyisenyapan Dipasingara ke luar dari kamarnya di bagian belakang gedung Kadipaten. Malam itu dia telah menyusun rencana untuk melaksanakan niat terkutuk yang selama ini masih ditahan-tahannya. Dia yakin Galuh Resmi tidak akan menolak. Kalau pun ternyata nanti perempuan cantik itu tidak bersedia melayaninya akan dipaksanya dengan kekerasan, lalu menyingkir dari Gombong. Habis perkara! Bukankah maksudnya meminta jabatan kepala pengawal Kadipaten itu sebenarnya hanyalah kedok belaka? Karena yang diintainya bukan lain adalah istri Adipati Gombong yang muda belia dan cantik rupawan itu!
Di hadapan pintu kamar yang diketahuinya adalah kamar tidur Galuh Resmi, kepala pengawal itu berhenti, tegak sejenak memasang telinga. Semuanya serba sunyi. Dia melangkah mendekati pintu satu lagi. Di sini didengarnya suara dengkur Adipati Kebo Panaran.
Dipasingara kembali ke pintu pertama dan mulai mengetuk daun pintu perlahan-lahan. Tak selang beberapa lama didengarnya suara orang turun dari ranjang, disusul suara langkah­langkah kaki. Lalu pintu di depannya terbuka sedikit. Wajah Galuh Resmi menyeruak di celah pintu. Perempuan ini tampak agak kaget melihat Dipasingara.
“Ada apakah…?” tanya Galuh Resmi.
“Adipati telah tidur?”
“Ya, kenapa?”
“Boleh aku masuk?” tanya Dipasingara. Matanya memandang tajam. Lalu tanpa menunggu jawaban dia mendorong daun pintu dan menyelinap masuk ke dalam. Sampai di dalam daun pintu ditutupnya dengan cepat.
“Kepala pengawal, tindakanmu masuk ke dalam kamar dan malam-malam begini sangat diluar kesopanan!” Suara Galuh Resmi bergetar.
Dipasingara tersenyum.
“Kau tau mengapa aku datang kemari, Galuh?” ujar Dipasingara pula. Suaranya setengah berbisik dan senyum masih terus menyungging di bibirnya.
Galub Resmi merasakan dadanya berdebar. Pemuda yang selama ini selalu memanggilnya dengan sebutan “jeng” kini langsung menyebut namanya.
“Kau ingin bertemu dengan Adipati?”
Dipasingara menggeleng.
“Aku hanya ingin menemuimu. Bukankah pertemuan ini sudah sejak lama sama kita nantikan?”
“Kepala pengawal. Jaga mulutmu..”
“Namaku Dipasingara.”
“Jika Adipati tahu kau masuk malam-malam ke sini, kau bisa celaka!”
“Dan agar suamimu tidak tahu boleh kukunci pintu yang menghubungkan kamar ini dengan kamar sebelah?”
“Tidak! Kau harus ke luar dan sini Dipasingara. Saat ini juga!”
Kembali si pemuda tersenyum. Dia melangkah ke arah pintu penghubung lalu menguncinya.
“Kau…! Apa-apaan ini? Apa maksudmu Dipasingara?”
Kepala pengawal itu melangkah ke hadapan Galuh Resmi, membuat perempuan ini tersurut mundur.
“Kalau kau berani melakukan sesuatu terhadap ku, aku akan menjerit!” Galuh mengancam.
“Galuh, jangan tipu dirimu sendiri,” bisik Dipasingara. “Jangan tipu perasaan hati sanubarimu. Apakah layangan senyum dan lirikan mata mesramu selama ini hendak kau musnahkan dengat satu teriakan yang akan membangunkan seluruh isi gedung Kadipaten ini?”
“Tapi….”
“Aku menyukaimu. Dan kau menyukaiku. Kita sama-sama tau hal itu. Atau masihkah kau hendak berpura-pura?” “Kalau semua itu terjadi tidak kuinginkan sampai sejauh ini. Kau berani masuk ke kamarku!”
“Lagi-lagi kau menipu dirimu Galuh. Aku yakin bahwa kau sepenuhnya menyadari bahwa satu saat pertemuan seperti ini pasti akan terjadi. Aku telah masuk ke mari menemuimu, orang yang kukagumi kecantikannya, yang ku… yang kukasihi. Apakah semua itu hendak kau hancurkan…?”
Gauh Resmi tundukkan kepala. Dadanya yang kencang bergoyang turun naik.
“Masih banyak kesempatan untuk bertemu Dipa. Jika memang kau inginkan. Bukan malam­malam begini. bukan di kamar….”
“Jadi kau inginkan aku keluar dari kamar ini?” tanya Dipasingara.
Galuh Resmi tak menjawab. Disadarinya bahwa diam-diam dia memang menyukai Dipasingara pada saat pertama kali melihat pemuda ini. Tetapi tindakan Dipasingara masuk ke dalam kamar seperti itu sangat berbahaya. Namun untuk menyuruh si pemuda ke luar dari kamarnya hatinya terasa sangat berat. Sesaat dia hanya bisa berdiam diri. Kemudian dirasakannya nafas pemuda itu menghembus hangat di wajahnya. Lalu terasa pegangan jari­jari tangan Dipasingara pada kedua bahunya.
“Kau izinkan aku bersamamu malam ini di sini Galuh?”
Pemuda itu mengusap dagu Galuh Resmi. Perlahan-lahan diangkatnya hingga perempuan itu menengadah. Sepasang mata mereka saling bertatapan.
“Dipa, kau terlalu berani Dipa. Terlalu berani.” desis Galuh Resmi.
“Semuanya karena kau. Demi kau Galuh…” balas berbisik Dipasingara.
Perempuan itu menggeliat sewaktu lehernya disentuh ciuman Dipasingara. Ah, betapa tubuhnya menjadi menggigil panas dingin tetapi nikmat. Betapa darahnya menyentak-nyentak. Betapa lainnya terasa peluk dan ciuman pemuda itu dibanding dengan rangkulan suaminya yang berusia setengah abad itu!
“Jangan di sini Dipa. Jangan di sini…” kata Galuh Resmi waktu pemuda itu membimbingnya ke tempat tidur.
Tapi Dipasingara menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi pada pangkal lehernya. Membuat perempuan itu bergelinjang, menggeliat dan mengeluarkan suara lirih. Nafasnya memburu tetapi tersendat-sendat.
“Tidak di sini Dipa. Aku khawatir suamiku bangun….”
“Semua pintu telah kukunci. Tak ada yang harus kau takutkan,” kata Dipasingara. Dia membungkuk, membenamkan hidungnya di celah antara kedua buah dada Galuh Resmi, membuat perempuan itu mencengkeramkan kuku-kuku jarinya ke punggung Dipasingara. Ketika tubuhnya diangkat, Galuh menggelungkan tangannya ke leher si pemuda.
Kini dia terbaring di atas tempat tidur. Dipa yang membaringkannya. Galuh memejamkan matanya. Tak berani menatap wajah Dipasingara. Sesaat kemudian dirasakannya jari-jari tangan Dipasingara menyelinap di balik pakaiannya. Galuh Resmi tersentak, menggeliat kelangsangan. Selama ini hanya jari-jari tangan lelaki tua bernama Kebo Panaran yang menggerayangi tubuhnya. Betapa lainnya dengan rabaan seorang pemuda.
Galuh Resmi menggeliat lagi, lagi dan lagi sampai akhirnya tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan menggigit dada Dipasingara. Pemuda itu mengeluh kesakitan tapi sekaligus menimbulkan gelegak rangsangan. Tangan Dipasingara menggerayang lebih berani. Galuh Resmi merasa seperti pembuluh-pembuluh darahnya meletus sewaktu pemuda itu mulai membuka pakaiannya. Tidak berani dia membuka matanya. Tak berani dia membuka mulut. Desau nafasnya membara. Dirasakannya tubuh Dipasingara meneduhi tubuhnya. Tubuh kukuh itu dipeluk Galuh Resmi kuat-kuat.
Demikianlah malam itu telah terjadi hubungan gelap dan mesum antara Dipasingara dengan Galuh Resmi. Antara seorang kepala pengawal dengan perempuan yang menjadi istri Adipati atasannya sendiri! Apa yang terjadi malam itu baru merupakan permulaan saja dari serangkaian panjang perbuatan mesum terkutuk diantara mereka berdua.

4

Betapa pun suatu kejahatan tidak akan berlangsung selama-lamanya tanpa diketahui orang. Bagaimana pun sesuatu yang berbau busuk itu tak mungkin dibungkus disembunyikan. Lama kelamaan akan tercium dan ketahuan juga. Demikian pula dengan segala perbuatan mesum yang dilakukan Dipasingara dan Galuh Resmi.
Hanya dalam waktu dua bulan, entah bagaimana sebabnya, seisi gedung Kadipaten telah mengetahui hubungan gelap dan kotor kedua orang itu. Hanya karena takut terhadap Galuh Resmi, terlebih lagi ngeri akan tindakan yang bakal dilakukan Dipasingara yang berilmu tinggi itu, maka tak ada seorang pun yang berani menyampaikan atau mengadukan kebusukan itu pada Adipati Kebo Panaran. Namun pada akhirnya diam-diam Kebo Panaran merasakan adanya kelainan pada tindak tanduk istrinya.
Kemudian diperhatikannya pula tingkah laku Dipasingara. Sikap Galuh Resmi jika berada di dekat kepala pengawalnya itu, Pastilah ada hubungan tertentu antara kedua orang ini. Dan hubungan antara lelaki muda dengan seorang perempuan jelita apalagi kalau bukan menjurus pada hubungan hati dan badaniah? Sudah sampai sebegitu jauhkah hal itu terjadi?
Kebo Panaran berusaha mencari bukti-bukti. Tetapi gagal. Dicobanya memancing kedua orang itu dengan pura-pura pergi menjalankan tugas ke kota atau ke desa-desa. Lalu diam­diam bersama beberapa pengawal dia melakukan pengintaian. Tapi semuanya tetap tidak membawa hasil.
Suatu ketika Kebo Panaran mendapat akal. Sengaja dicarinya satu kesempatan baik. Selagi berdua-dua dengan Galuh Resmi berkatalah Adipati ini:
“Istriku Galuh, seingatku telah lebih dari tiga bulan dinda tak pernah menyambangi ibu mertuamu di Karangtretes….”
“Memang betul kanda. Sudah tiga bulan kita tak pernah ke sana.” Menyahuti Galuh Resmi.
“Aku kawatir kalau-kalau nanti mereka kecewa dalam berharap-harap. Dan menganggapmu sebagai seorang menantu yang tak punya perhatian…”
Galuh Resmi terdiam. Kebo Panaran melirik dan meneruskan:
“Bagaimana kalau besok kau berangkat ke Karangtretes?”
“Jika begitu kehendak kanda, saya akan berangkat besok. Kanda tentu akan ikut serta pula bukan?”
“Ada urusan yang perlu kuselesaikan di Kotaraja. Penting sekali. Aku tak mungkin menemanimu. Sampaikan saja salam hormatku pada orang tuaku….”
“Ah, mana enak pergi tanpa kanda. Kanda yang menyuruh saya pergi tapi kanda sendiri tidak ikut,” mengajuk Galuh Resmi membuat Kebo Panaran agak bimbang apa benar sedemikian besar perhatian serta kasih sayang istrinya.
“Lagi pula saat ini daerah yang bakal dilalui kabar-kabarnya kurang aman,” kata Galuh Resmi lebih lanjut.
“Hal itu tak usah dinda kawatirkan. Dipasingara akan mengawalmu pulang pergi bersama beberapa prajurit.”
“Meskipun demikian, jika urusan kakanda di Kotaraja cepat selesai, saya harap kanda mau menjemput ke Karangtretes dan pulang bersama-sama.”
Kebo Panaran menganggukkan kepalanya. Tak lama kemudian suami istri itu pun masuk ke kamar mereka. Di atas ranjang malam itu Galuh Resmi sangat bergairah. Ini agak mengherankan Kebo Panaran. Sebenarnya perempuan itu bergairah karena ingat saat berdua­dua dengan Dipasingara yang bakal dialaminya dalam perjalanan ke Karangtretes pulang pergi.
Karangtretes sebuah desa subur di tepi lembah yang jaraknya kira-kira satu setengah hari perjalanan dari Gombong. Jika seseorang berangkat pagi hari dengan mengendarai kuda, pada malamnya dia akan sampai di sebuah kampung pusat perdagangan yang terletak setengah hari perjalanan dari Karangtretes.
Biasanya orang akan berhenti dan menginap di sana. Keesokan hari baru melanjutkan perjalanan lagi.
Demikian pula dengan rombongan Galuh Resmi. Mereka sampai di kampung itu sewaktu siang telah berganti malam. Dipasingara yang memimpin rombongan langsung membawa rombongan ke sebuah penginapan. Di situ disewanya tiga buah kamar.
Kamar yang paling besar dan bagus serta bersih untuk Galuh Resmi. Kamar kedua yang bersebelahan dengan kamar pertama ditempati oleh kusir kereta dan prajurit-prajurit yang berjumlah tiga orang. Kamar terakhir yang terletak di sebelah kiri kamar Galuh Resmi ditempati oleh Dipasingara seorang diri.
Mengetahui bahwa yang menginap adalah rombongan istri Adipati Gombong maka pemilik dan pembantu-pembantunya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.
Karena perjalanan seharian penuh itu, sehabis makan para prajurit dan kusir kereta yang keletihan langsung masuk kamar dan tertidur pulas. Sebelumnya kepada mereka Dipasingara berkata bahwa malam itu dia sendiri yang akan berjaga-jaga. Tetapi semua orang sudah maklum kalau pimpinan mereka itu akan mempergunakan kesempatan untuk bersenang­senang berbuat mesum dengan istri Adipati. Karena mereka tidak perduli dan sudah muak maka langsung saja ke tempatnya tertidur.
Di dalam kamarnya Galuh Resmi berdiri di depan kaca, memupuri wajahnya yang halus dengan bedak harum. Di antara heningnya malam Galuh Resmi kemudian mendengar suara ketukan halus di pintu kamar. Dia tersenyum. Diletakkannya kotak bedak di atas meja lalu cepat-cepat membuka pintu.
“Aku masih belum selesai berhias, engkau sudab datang kemari,” kata Galuh Resmi dengan senyum lebar memanaskan birahi Dipasingara.
Tanpa menunggu lebih lama Dipasingara masuk dan sekaligus mengunci pintu.
“Orang secantikmu tak perlu berdandan lagi Galuh,” ujar Dipasingara.
“Seorang permaisuri raja pun tetap memerlukan berhias. Apalagi aku…” sahut Galuh Resmi.
“Soalnya mungkin permaisuri itu jelek. Dan kau secantik bidadari. Tidak pernah membosankan,…”
Tak sabar lagi Dipasingara langsung mengulurkan kedua tangannya dan memeluk Galuh Resmi kencang-kencang.
Sebelumnya mereka telah biasa berbuat kemesuman di gedung Kadipaten. Kini karena merasa lebih bebas serta aman maka masing-masing lebih terangsang oleh kobaran nafsu, lebih hebat dari yang sudah-sudah. Dalam keadaan setengah telanjang keduanya berguling­guling di atas tempat tidur. Tempat tidur besar itu kini berubah menjadi sebuah arena pertandingan. Pertandingan mesum.
“Dipa…” bisik Galuh Resmi suaranya lirih. Matanya setengah terpejam. Jari-jarinya mencengkam punggung si pemuda.
Dipasingara tahu betul apa arti bisikan itu. Satu demi satu segera ditanggalkannya pakaian yang melekat di tubuh Galuh Resmi. Ketika lelaki ini hendak melepaskan pakaian terakhir yang melekat di aurat Galuh, tiba-tiba pintu kamar ditendang dari luar hingga terpentang lebar dan hancur berantakan!
Menyusul terdengar suara bentakan menggeledek.
“Manusia-manusia dajal! Malam ini kalian berdua akan mampus dalam kemesuman!”
Galuh Resmi memekik. Dia mengenali suara itu. Juga Dipasingara.
“Wuutt!”
Satu sambaran angin keras menderu dekat kepala Dipasingara.
Pemuda ini cepat jatuhkan diri dan berpaling menghadapi. Adipati Kebo Panaran! Dia
berhadap-hadapan dengan Adipati itu! Di tangan kanan Kebo Panaran tergenggam sebilah pedanq panjang. Parasnya kelam membesi, seram menggidikkan!
“Pemuda haram jadah! Jadi inilah balas jasamu terhadapku! Mampuslah!”
Untuk kedua kalinya Kebo Panaran membabatkan pedangnya ke arah kepala Dipasingara. Untuk kedua kalinya pula kepala pengawal Kadipaten ini berhasil mengelak. Dengan kalap karena diamuk amarah Kebo Panaran memburu dan hantamkan pedangnya bertubi-tubi.
“Kanda! Kanda Kebo Panaran! Hentikan… Hentikan…!” Galuh Resmi menjerit panjang sambil menjangkau kain untuk menutupi auratnya yang polos.
“Perempuan laknat! Kau mampus duluan!”
Kebo Panaran tusukkan pedangnya ke dada telanjang istrinya.
Galuh Resmi menjerit.

5

Sebelum ujung pedang menembus dada yang putih telanjang itu, satu deru angin dahsyat datang memapas dari samping. Kebo Penaran terhuyung-huyung, bahkan hampir
terpelanting jika dia tidak lekas-lekas memperkuat kuda-kuda kakinya. Tusukan
pedangnya meleset jauh.
Ternyata Dipasingara telah lepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Hal ini membuat Adipati Gombong itu menjadi penasaran.
Sambil berbalik tangan kirinya dipukulkan ke depan.
Serangkum cahaya putih yang luar biasa panasnya berkiblat. lnilah pukulan sakti bernama “Perak Mendidih” yang merupakan pukulan paling hebat yang dimiliki oleh Adipati Gombong itu. Dia sengaja mengeluarkan pukulan sakti itu siang-siang karena ingin menamatkan riwayat Dipasingara detik itu juga.
Dipasingara kaget bukan kepalang. Tidak disangkanya Adipati tua yang kelihatannya mulai pikun itu ternyata memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang demikian hebatnya. Buru-buru dia melompat ke samping selamatkan diri. Tak urung hawa panas masih sempat menyambar pundak kirinya hingga kelihatan menjadi merah dan perih.
Pukulan “Perak Mendidih” lewat, terus melanda dinding kamar hingga hancur hangus berkeping-keping dengan suara gaduh, ini membuat terbangunnya seluruh isi penginapan.
“Bangsat!” bentak Adipati Kebo Panaran geram ketika melihat pukulannya tidak mengenai sasaran. Dia pukulkan tangan kirinya sekali lagi untuk melancarkan serangan yang sama.
Namun saat itu Dipasingara sudah bersiap sedia. Dia tak ingin berada di tempat itu lebih lama dalam keadaan hampir telanjang begitu rupa. Dari balik pakaiannya yang terletak di tepi ranjang dikeluarkan sebuah benda hitam.
“Sreett!”
Benda hitam itu terbuka. Ternyata adalah sebuah kipas hitam legam. Sekali Dipasingara menggoyangkan tangannya, bersiurlah larikan sinar hitam yang sangat menggidikkan. Pukulan “Perak Mendidih” yang siap dilancarkan Kebo Panaran musnah tertindih. Sinar hitam terus melabrak.
Kebo Panaran menjerit keras. Tubuhnya mental dan bergulingan di lantai, hangus hitam tanpa nyawa. Laksana sepotong kayu dimakan api!
Galuh Resmi memekik tiada henti.
Di luar kamar yang porak poranda itu penghuni penginapan datang berlarian
Dipasingara menggigit bibir. Cepat dia mengambil pakaiannya dan mengenakannya. Kipas hitam diselipkannya dibalik pinggang. Lalu seperti tidak terjadi apa-apa di situ pemuda ini balikan tubuh siap untuk berlalu.
“Dipa, kau mau ke mana…?” seru Galuh Resmi. Dipasingara tersenyum. Senyum aneh yang lebih merupakan seringai sadis di mata Galuh Resmi.
“Ke mana aku mau pergi itu bukan urusanmu!” Kata-kata itu terluncur dari mulut Dipasingara. Ini sangat mengejutkan Galuh Resmi.
“Jadi… jadi kau mau pergi begitu saja?!”
“Antara kita tak ada hubungan apa-apa sejak semula. Biar semua berakhir seperti itu!”
“Kau… jangan pergi Dipa! Bawa aku bersama mu!”
Kembali Dipasingara menyeringai buruk. Tiba-tiba dia tertawa mengekeh.
“Aku tidak butuh kau lagi Galuh. Aku telah mendapatkan segalanya darimu!’
“Mulutmu keji. Hatimu ternyata jahat! Kau manusia jahat!”
Dipasingara tertawa bergelak. Sekali dia berkelebat tubuhnya lenyap dari tempat itu. Hanya suara tawanya saja yang sesaat masih terdengar menggema di kejauhan di malam yang dingin.
Galuh Resmi merasakan dadanya sesak. Dia menjerit keras lalu terkulai dan jatuh pingsan di lantai kamar.
Tiga prajurit Kadipaten menghambur masuk ke dalam kamar diikuti oleh pemilik kedai dan pembantu-pembantunya. Kesemuanya langsung terpaku di lantai begitu menyaksikan sosok tubuh Adipati Kebo Panaran yang hangus hitam hampir tak dikenal menggeletak di lantai. Tak jauh dan situ terkapar istrinya dalam keadaan tanpa sehelai benangpun menutupi auratnya. Seseorang mengambil kain dan menutupi tubuh ini.
Untuk beberapa lamanya tak seorangpun melakukan sesuatu. Semuanya masih terpaku oleh rasa tak percaya tetapi juga ngeri. Tiba-tiba tubuh Galuh Resmi kelihatan bergerak. Dua prajurit segera mendekat untuk menolong. Tetapi perempuan muda ini tiba-tiba menjerit.
“Pergi! Jangan dekati aku! Jangan pegang!”
Perempuan itu melompat tegak. Dia seperti tidak menyadari kalau saat itu dia tidak berpakaian sama sekali dan tegak di hadapan banyak orang. Tiba-tiba dia menjerit keras.
“Istri Adipati ini pasti sudah jadi gila…” kata pemilik penginapan dalam hati.
Didahului oleh satu raungan panjang, tiba-tiba Galuh Resmi lari ke tempat suaminya terbujur. Tanpa ada satu orangpun yang dapat mencegah, perempuan ini mengambil pedang milik Kebo Panaran lalu berteriak:
“Kanda Kebo Panaran! Ampuni istrimu! Aku menyusulmu kanda!”
Apa yang terjadi kemudan sangat cepat. Semua orang tertegun terkesiap. Tak seorangpun sempat atau mampu mencegah tindakan Galuh Resmi. Mereka seolah-olah baru tersadar ketika Galuh Resmi sudah terkapar mandi darah di lantai. Pedang Kebo Panaran menancap di dadanya. Sungguh malang perempuan muda ini. Sisa hidupnya sejak beberapa bulan lalu penuh kekotoran bergelimang dosa mesum. Dan kini kematiannyapun dalam jalan yang sesat pula. Semua gara-gara Dipasingara. Pemuda terkutuk yang telah melarikan diri entah kemana!

6

Jika seseorang berdiri di puncak gunung Slamet, maka dia akan dapat melihat pemandangan indah terbentang di bawahnya. Di mana-mana hutan menghijau segar, di seling oleh sawah luas yang menghampar kuning laksana permadani emas. Beberapa sungai kecil yang mengalir berkilau-kilau airnya ditimpa sinar matahari, tak ubah seperti ular yang tengah melenggang lenggok.
Kita menuju ke lereng timur gunung Slamet yang menjulang tinggi itu.
Di hadapan sebuah pondok papan tampak berdiri seorang lelaki tua yang menurut taksiran paling tidak usianya telah mencapai tuluhpuluhan. Di depan orang tua ini tegak seorang pemuda bersama seorang gadis manis ayu, berkulit kuning langsat.
Setelah memandang pada pemuda yang berdiri di hadapannya itu beberapa lama maka berkatalah si orang tua:
“Walau bagaimanapun kita tidak dapat menolak kenyataan, bahwa di antara seribu satu peristiwa dalam kehidupan manusia, sepasang di antaranya adalah pertemuan dan perpisahan. Setiap ada pertemuan tentu ada pula perpisahan. Pertemuan tidak kekal karena selalu adanya perpisahan. Demikianlah sifat segala apa yang ada di alam ini. Semuanya tidak kekal. Tak ada yang abadi. Hanya satu yaitu Yang Esa sajalah yang akan tetap kekal selama-lamanya.
Hari ini kalau aku tidak salah hitung tepat sewindu lamanya kau tinggal bersamaku dan mengenyam segala macam ilmu pelajaran. Justru di hari ini pula kepadamu akan kuberikan satu tugas. Tugas ini membuat kau harus berpisah denganku. Dan lebih dari itu terpaksa berpisah dengan orang yang kau kasihi.
Tetapi aku yakin Sanjaya, perpisahan ini tentu sudah kau sadari sebelumnya. Karenanya sebagai seorang lelaki kau tentu akan menunjukkan ketabahan hati dan kebesaran jiwa. Bila nanti tugasmu telah selesai kau akan kembali kemari. Pertemuan kita nanti sekaligus akan merupakan hari paling bahagia dalam hidupmu. Yakni perkawinanmu dengan Wulandari…”
Sampai di situ orang tua itu hentikan kata-katanya.
Dilihatnya Sanjaya menunduk agak tersipu maka sedang Wulandari juga menunduk dengan wajah kemerahan.
“Sebagai seorang berilmu tinggi,” melanjutkan orang tua itu, “Harus kau sadari bahwa setiap tugas adalah mahal. Dan memang adalah menjadi satu kewajiban bagi seseorang yang telah berilmu untuk mengamalkan ilmunya itu. Ilmu yang tidak diamalkan tak ada gunanya. Tak ada manfaatnya.
Nah Sanjaya, tak banyak nasihat atau petuah yang akan kuberikan pada saat ini. Segala sesuatunya nanti akan terletak di tanganmu sendiri. Pergilah ke Kotaraja dan kembalilah bila tugasmu sudah selesai. Berikan pengabdianmu yang tulus pada kerajaan. Aku gurumu dan kekasihmu Wulandari akan menunggumu di sini”
Selesai berkata begitu si orang tua lantas mengundurkan diri masuk ke dalam pondok guna memberikan kesempatan pada sepasang muda mudi yang merupakan murid-murid kesayangannya.
Di bagian belakang pondok terdapat sebuah kebun kecil. Di ujung kebun terletak telaga buatan berair jernih karena berasal dari pancuran air gunung yang segar. Wulandari melangkah ke tepi telaga diikuti oleh Sanjaya.
Lama keduanya berdiri di tempat itu tanpa satu orangpun membuka mulut. Detik-detik perpisahan yang menggugah hati itu membuat seolah-olah lidah mereka menjadi kelu, membuat mulut masing-masing seperti terkunci, tak sanggup melafatkan kata-kata.
Namun setelah beberapa lama akhirnya Sanjaya memecah kesunyian walau suaranya agak bergetar.
“Wulan, perpisahan ini merupakan satu ujian bagi kita….”
“Aku kawatir kak,” sahut Wulandari sambil memperhatikan air pancuran yang jatuh memercik di atas batu hitam, baru mengalir ke dalam telaga.
“Apa yang kau kawatirkan?” tanya Sanjaya.
“Kotaraja ribuan lebih bagus segala-galanya dari pada di sini. Gadis-gadisnya cantik-cantik, tidak seperti gadis buruk di puncak gunung Slamet ini. Akan sanggupkah kau menghadapi ujian seperti itu?”
Sanjaya kontan tersenyum lebar. Dia maju mendekati gadis itu. Sambil memegang jari-jari Wulandari dia berkata:
“Selama rimba masih hijau dan selama air sungai masih mengalir ke lautan lepas, selama itu pulalah cintaku terhadapmu tak akan luntur. Selama itu pula aku setia pada cinta kita.”
Sunyi beberapa lamanya. Di kejauhan terdengar kicau burung-burung. Jari-jari tangan mereka saling beremasan. Wulandari kemudian melihat paras pemuda itu mendekati wajahnya. Dipejamkannya kedua matanya. Lalu dirasakannya satu ciuman lembut dan mesra pada keningnya. Dan terdengar bisikan Sanjaya:
“Wulan, aku pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik…“
“Hati-hati. Dan lekas kembali.” bisik Wulandari. Lalu dicabutnya tusuk kundai perak di rambutnya dan menyerahkannya pada Sanjaya seraya berkata:
“Bawalah ini, simpan baik-baik. Jika kau ingat aku ambil dia dan pandanglah. Mudah­mudahan rindumu akan terobat.”
“Terima kasih Wulan,” kata Sanjaya dengan terharu sambil menerima tusuk kundai perak itu. Dia berpikir-pikir benda apa yang akan diberikannya pada Wulandari sebagai balasan. Tiba­tiba dia teringat pada cincin berbatu biduri bulan di tangan kirinya. Ditanggalkannya benda itu lalu berkata: “Pakai cincin ini sebagai pengganti diriku….”
Sanjaya kemudian memasukkan cincin tersebut ke jari manis tangan kanan Wulandari. Setelah menyiapkan barang-barang yang perlu dibawa dan memasukkannya dalam sebuah buntalan, Sanjaya lalu berpamitan pada gurunya. Selesai pamit pemuda itu segera menuruni gunung Slamet. Wulandari mengantarkannya sampai di sebuah tikungan dan baru kembali ke pondok bilamana pemuda yang dicintainya itu lenyap dari pandangan di kejauhan.
“Ya Tuhan, selamatkanlah dia dalam perjalanan. Lindungi dia dalam tugas mengabdi Kerajaan. Selamatkan pula dia dalam perjalanan kembali…” demikian Wulandari berdo’a dalam hati untuk kekasihnya.
Hari itu adalah hari kedua sejak Sanjaya meninggalkan pondok gurunya di gunung Slamet. Wulandari mempersibuk diri dengan berbagai pekerjaan. Sehabis mengambil sayuran segar di ladang, ditampungnya air pancuran dalam sebuah kendi besar. Sewaktu dia membawa kendi serta sayuran itu kembali ke pondok, gadis ini dikejutkan oleh kemunculan seorang yang tak dikenal di hadapannya.
Orang ini masih muda belia, mungkin seusia Sanjaya. Pakaiannya putih sederhana. Rambutnya hitam tebal menyela bahu. Wajahnya yang cakap tampan itu memiliki sepasang mata sipit yang mempunyai pandangan tajam.
Sebagaimana terkejutnya Wulandari demikian pula tampaknya pemuda asing itu. Dalam keterkejutan untuk beberapa saat lamanya kedua orang ini saling berpandangan.
“Maaf saudari…” si pemuda akhirnya membuka mulut. Suaranya halus dan sikapnya sopan. “Kalau aku boleh bertanya, apakah di sini tempat kediaman Eyang Wulur Pamenang?”
Wulandari tak segera menjawab. Dia meneliti pemuda itu sesaat baru menganggukkan kepala.
“Apakah saat ini beliau ada di dalam?” Wulandari mengangguk lagi. “Dapatkah aku bertemu dengan beliau?” Sebelum Wulandari menjawab dari dalam pondok terdengar suara gurunya.
“Tamu yang datang, silahkan masuk ke dalam pondokku yang buruk.”
Wulandari memberi jalan. Si pemuda lalu masuk ke dalam pondok. Di bagian depan pondok pemuda itu melihat seorang tua duduk bersila di atas sehelai kulit kambing putih. Dipangkuannya ada seuntai tasbih warna kuning yang memancarkan sinar terang.
Begitu sampai di hadapan si orang tua, pemuda tadi jatuhkan diri berlutut. Eyang Wulur Pamenang adalah seorang yang paling tidak senang dihormati secara berlebihan, apalagi pakai berlutut segala. Buru-buru dia berkata:
“Duduklah di tikar. Katakan siapa kau, datang dari mana dan ada keperluan apa mencariku.”
Si pemuda duduk bersila di hadapan Eyang Wulur Pamenang. Dia tidak segera membuka mulut memberikan jawaban. Tampaknya ada sesuatu yang mengganjalnya.
“Anak muda, kau belum menjawab pertanyaanku,” menegur Wulur Pamenang.
“Eyang, saya bernama Handaka. Datang dari desa Kembiring, dua minggu perjalanan dari sini. Saya….”
Si pemuda tak bisa meneruskan kata-katanya.
“Anak muda, tenanglah hatimu. Bicaralah biasa. Tak usah ragu-ragu. Tak ada yang dikawatirkan di sini.”
“Saya, saya mencari Eyang karena malapetaka besar telah menimpa kampung saya termasuk orang tua serta saudara-saudara saya.”
“Malapetaka apakah yang telah menimpa desa serta keluargamu?”
Si pemuda lantas menerangkan. “Sehari sebelum terjadinya malapetaka itu seorang anggota gerombolan rampok yang dipimpin oleh Warok Grimbil telah kedapatan mati dalam cara amat mengerikan. Mayatnya ditemukan dalam desa kami. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki hancur lumat bekas dicincang. Tak seorangpun tahu siapa yang membunuhnya dan bagaimana bisa berada di desa kami. Kemudian datanglah malapetaka itu.
Warok Grimbil dan orang-orangnya menyangka bahwa penduduk Kembiringlah yang telah membunuh anak buah dan teman mereka itu. Malam hari, ketika penduduk sedang tidur Warok Grimbil dan anak buahnya datang menyerbu. Setiap bangunan di desa dibakar. Semua orang dibunuh. Tak perduli orang tua, perempuan ataupun anak-anak yang tidak berdosa. Setelah melakukan perbuatan biadab itu gerombolan rampok membawa harta benda dan ternak penduduk lalu melarikan diri…”
Eyang Wulur Pamenang termenung. Memang sudah sejak lama mendengar kejahatan yang dilakukan oleh gerombolan rampok pimpinan Warok Grimbil seorang jahat yang berkepandaian tinggi.
“Kau sendiri bagaimana bisa menyelamatkan diri?” bertanya Wulur pamenang.
“Sewaktu bencana itu terjadi, saya berada di desa tetangga. Melihat kepulan asap dan langit merah tanda ada kebakaran, saya cepat-cepat kembali ke Kembiring. Yang saya temui hanya kemusnahan yang memilukan dan mengerikan. Di mana-mana mayat berkaparan, Warok Grimbil dan anak buahnya telah melarikan diri di hadapan reruntuhan rumah saya, saya temui kedua orang tua saya dan semua saudara-saudara menemui ajal dengan cara yang mengerikan. Ketika saya menangis seperti orang gila, lapat-lapat saya dengar suara orang menggerang sambil memanggil nama saya. Orang itu ternyata adalah sahabat dan tetangga saya. Tubuhnya penuh luka bekas tusukan senjata tajam. Dalam keadaan sekarat Ia masih bisa menerangkan bahwa Warok Grimbil bersama anak-anak buahnyalah yang telah melakukan kebiadaban itu….”
Ketika Handaka mengakhiri ceritanya suasana dalam pondok ini menjadi sunyi sampai akhirnya Eyang Wulur Pamenang membuka mulut:
“Setelah kejadian itu, kau langsung menuju kemari?”
“Betul Eyang.”
“Tentunya dengan mengandung sesuatu maksud.”
“Benar. Tentang maksud itu saya rasa Eyang tentu sudah maklum.”
“Ah, aku yang sudah tua ini terlalu pikun untuk meraba maksud seseorang.”
“Eyang… apa yang telah terjadi dengan orang tua dan saudara-saudara saya, telah menimbulkan satu dendam kesumat yang berurat berakar dalam dada saya. Walau bagaimanapun, dan sampai di manapun saya harus membalaskan sakit hati kematian orang-orang yang saya kasihi itu. Namun saya menyadari, seorang diri tak mungkin untuk melakukan pembalasan. Apalagi mengingat saya tidak memiliki kepandaian apapun. Karena itulah saya datang kemari untuk meminta bantuan Eyang. Sudilah kiranya Eyang mengambil saya jadi murid. Perkenankan saya menerima sejurus dua jurus ilmu silat dari Eyang….”
Lama Wukir Pamenang termenung. Ada beberapa hal yang membuat dia tidak bisa memberikan jawaban dengan segera.
Kejahatan orang-orang macam Warok Grimbil sudah semestinya ditumpas. Namun menerima pemuda bernama Handaka itu untuk jadi muridnya terasa agak berat bagi orang tua ini. Dia telah mempunyai dua orang murid yaitu Sanjaya dan Wulandari. Di samping itu usianya telah terlalu tua untuk memberikan pelajaran-pelalaran dasar pada seorang murid baru. Kemudian ada satu hal yang membuat dia merasa keberatan untuk mengambil Handaka jadi muridnya. Dia melihat satu bayangan pada wajah pemuda ini.
Sepasang mata Wulur Pamenang yang tajam penuh pengalaman disertai perasaan hati yang arif melihat bahwa ada sifat-sifat buruk tertentu mengendap dalam diri pemuda itu.
Namun untuk tidak mengecewakan Handaka, Wulur Pamenang tidak mau menyatakan penolakannya secara terang-terangan. SebaliknYa dia berkata:
“Handaka, ketahuilah dari sekian banyak sifat-sifat buruk di dalam dunia ini satu di antaranya adalah dendam dan balas dendam. Dendam yang selalu dilampiaskan tak akan habis-habisnya sampai turun temurun. Warok Grimbil dan anak-anak buahnya telah membunuh orang tuamu, saudara-saudaramu serta sahabat-sahabatmu sedesa. Layak kalau rasa sakit hati dan dendam berurat berakar dalam tubuhmu. Satu-satunya tekad yang ada dalam hatimu saat ini adalah balas dendam!
Katakanlah pembalasan berhasil kau lakukan. Warok Grimbil dan anak-anak buahnya berhasil kau bunuh. Namun tanpa setahumu Warok Grimbil mungkin memiliki seorang putera yang kelak kemudian hari akan menuntut balas pula atas kematian ayahnya. Demikian seterusnya tiada henti.
Semua ini terjadi lain tidak karena manusia-manusia tidak dapat menahan nafsu untuk balas dendam melampiaskan sakit hati dan pembalasan. Lalu bagaimanakah jadinya jika hal itu berlangsung demikian rupa terus menerus? Dapat kau bayangkan sendiri Handaka.
Orang-orang yang tidak ada sangkut paut dan dosa apa-apa harus menemui kematian dengan cara mengenaskan. Kemanusiaan dan kebenaran sudah tidak dipikirkan lagi oleh manusia-manusia yang katanya beradab. Mereka berubah menjadi binatang. Malah lebih jahat dari binatang. Karenanya kuharap kau bisa menahan diri. Bersabar menghadapi musibah atau cobaan besar ini. Tidak terpengaruh untuk menempuh jalan sesaat yang akan merugikan dirimu sendiri, bahkan banyak orang!”
Setelah berdiam diri beberapa lamanya baru Handaka membuka mulut memberikan jawaban:
“Semua yang Eyang katakan itu memang benar. Tapi jika boleh saya menjawab, saya ingin mengajukan satu pertanyaan. Apakah akan dibiarkan saja manusia-manusia macam Warok Grimbil itu hidup terus malang melintang berbuat kejahatan, membunuh, merampok, memperkosa?”
Wulur Pamenang tersenyum dan menjawab:
“Betul Handaka. Betul sekali kalau kau mengajukan pertanyaan seperti itu. Sebagai jawabannya ingin kukatakan padamu bahwa di dunia ini bukan hanya manusia-manusia saja yang bisa mengambil tindakan. Lebih dari itu kekuasaan Tuhan berada di mana-mana. Kelak manusia macam Warok Grimbil dan anak-anak buahnya akan mendapat hukuman dan pembalasan dari-Nya!”
Kini Handaka yang ganti tersenyum.
“Seorang manusia yang cuma berlepas tangan menunggu pembalasan Tuhan tanpa mengadakan usaha sama sekali, sama saja dia mati dalam hidupnya. Dan apakah arti serta gunanya hidup semacam itu?”
“Kepala sama berambut Handaka, rambut sama hitam. Tapi jalan pikiran orang berbeda satu dengan lainnya…” kata Eyang Wulur Pamenang pula. Ucapan pemuda itu tadi telah membuat wajahnya yang tua jadi berubah kemerahan,
“Betul Eyang, tetapi setiap manusia yang bijaksana akan berusaha mengambil jalan ke arah yang benar. Mungkin Eyang kurang atau tidak dapat merasakan sakit hati seseorang yang mengalami musibah matapetaka seperti saya ini. Karena Eyang tidak terlibat. Karena Eyang tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana lusinan mayat manusia tak berdosa berhamburan dalam keadaan mengerikan. Mayat perempuan-perempuan tua, perempuan hamil, anak-anak bahkan bayi yang masih merahi”
Wulur Pamenang memandangi tasbih hijau di pangkuannya lalu berkata:
“Baiklah Handaka. Aku mengerti perasaan serta tekadmu. Semuanya kufahami. Namun bila kau menghendaki aku mengambilmu jadi munid, sesungguhnya kau telah datang ke tempat yang salah….”
“Salah bagaimana Eyang?” tanya Handaka tak mengerti.
“Orang tua pikun yang hampir masuk liang kubur macamku ini, ilmu kepandaian apakah yang kumiliki dan bisa kuajarkan padamu?”
“Ah, Eyang terlampau merendahkan diri. Delapan penjuru angin dunia persilatan boleh dikatakan sudah mengenal nama besar Eyang.”
“Akan lebih baik jika kau mencari guru lain yang lebih segala-galanya dariku. Hingga kelak kau benar-benar menjadi seorang pemuda yang berilmu tinggi”
“Eyang,” sahut Handaka. “Saya telah datang kemari karena tekad saya sudah bulat hanya akan berguru kepada Eyang, tidak kepada orang lain. Akan Eyang kecewakankah manusia bernasib buruk ini?”
“Aku telah mempunyai dua orang murid. Tak mungkin aku harus menerimamu pula….”
“Tak mungkin? Mengapa tidak mungkin Eyang?” tanya Handaka.
Tapi orang tua itu tidak menjawab. Setelah menunggu dan tidak kunjung ada sahutan, Handaka berkata:
“Baiklah Eyang, memaksa orang yang tidak mau adalah tidak baik. Seperti saya katakan, saya tidak berniat mencari guru lain. Jika saya turun dari puncak gunung Slamet ini, dengan ilmu yang bernama ketabahan hati dan kesabaran serta senjata sepasang tangan ini saya akan mencari Warok Grimbil. Apakah saya bakal dapat membunuhnya atau kepala saya yang bakal menggelinding lebih dulu, entahlah…”
Handaka menjura di hadapan Eyang Wulur Pamenang lalu berdiri.
“Sebelum saya pergi Eyang, pernah saya mendengar ucapan seorang tua di desa. Katanya Seorang yang berilmu tetapi tidak mau mengamalkan dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain, sama artinya dengan seorang paling tolol di dunia ini. Dan kelak orang itu akan mati dalam ketololannya. Apakah ucapan orang tua itu benar atau tidak harap Eyang sudi merenungkannya…”
Sekali lagi pemuda itu menjura lalu membalikkan tubuh. Pada saat Handaka mencapai ambang pintu dan siap untuk melangkah keluar pondok tiba-tiba didengarnya Eyang Wulur Pamenang memanggil :
“Handaka, kembalilah! Aku akan mengambilmu jadi murid!”

7

Enam bulan telah berlalu sejak kedatangan Handaka dan sejak pemuda itu diambil menjadi murid Eyang Wulur Pamenang di puncak gunung Slamet. Orang tua itu memang merasa heran melihat Handaka dapat mengikuti setiap pelajaran silat yang diberikan dengan cepat hingga hanya dalam waktu enam bulan dia benar-benar telah menguasai ilmu silat yang diturunkan kepadanya.
Pemuda ini luar biasa, demikian Wulur Pamenang berpendapat. Dia merasa tidak kecewa mendapatkan murid seperti Handaka.
Sebagai dua orang saudara seperguruan tentu saja hubungan Wulandari dengan Handaka rapat sekali. Mereka sering berlatih berdua, sering bercakap-cakap. Sedikit demi sedikit rasa sepi yang ada di hati Wulandari karena ditinggal Sanjaya menjadi berkurang bahkan akhirnya pupus sama sekali. Harus diakui bahwa Handaka bukan saja lebih gagah parasnya dari Sanjaya tetapi juga pandai bicara, suka bercerita dan sering melucu.
Pada mulanya hubungan mereka tidak lebih dari apa yang telah dilukiskan di atas. Namun lambat laun Wulandari menyadari bahwa dari pihak Handaka hubungan itu telah dipandang secara lain. Sampai pada suatu hari ketika mereka sedang berdua-dua di tepi telaga Handaka mengatakan bahwa dia mencintal gadis itu.
Wulandari bukan seorang gadis yang mudah berubah haluan. Sekali dia mencintai seseorang dia akan mencintai selama-lamanya. Akan tetapi sudah lumrah seorang gadis yang kesepian kadangkala tidak sanggup menghadapi godaan dari pemuda lain. Apalagi dari seorang pemuda setampan Handaka yang pandai bicara lihay merayu. Hubungan mereka sehari-hari yang selalu berdekatan itu lambat laun membuat Wulandari menjadi mulai tertarik pada Handaka,
Gadis ini mulai membanding-banding antara Handaka dengan Sanjaya yang jauh di Kotaraja. Dan cinta, bilamana sudah sampai pada tingkat banding membandingkan tanda umurnya tak akan lama lagi!
Demikianlah kalau dulu hampir setiap saat Wulandari tak pernah melupakan Sanjaya setiap malam hampir tak pernah dia lupa berdoa untuk keselamatan kekasihnya itu, maka kini mulai dilupakan Wulandari.
Sebagai seorang tua lanjut usia yang dalam waktu tidak lama lagi kelak bakal menutup mata, sekali seminggu Wulur Pamenang pergi ke puncak Slamet paling tinggi dan sunyi untuk bersemedi, bertafakur dalam sebuah goa.
Kesempatan-kesempatan seperti inilah yang memberikan peluang-peluang baik pada Handaka dan Wulandari. Mula-mula hanya saling pandang memandang. Kemudian meningkat saling beremesan tangan. Lalu lebih berani lagi, lebih berani lagi hingga keadaan keduanya tidak beda dengan hubungan suami istri.
Bagaimanapun juga lambat laun Wulur Pamenang akhirnya mengetahui jalinan hubungan antara kedua muridnya itu. Namun tak pernah diduganya sama sekali kalau hubungan mereka sudah demikian rapatnya, melewati batas-batas hubungan adik dengan kakak, hubungan saudara seperguruan, Wulur Pamenang memutuskan untuk menjauhkan kedua orang itu secara halus. Handaka akan disuruhnya mendirikan sebuah pondok di lereng barat gunung Slamet.
Namun sebelum hal itu dilakukannya, Wulur Pamenang keburu mengetahui bahwa satu hal luar biasa telah terjadi atas diri murid perempuannya itu. Rasa marah dan kecewa bertumpuk di hati si orang tua. Menyesal mengapa dia dulu mengambil Handaka jadi murid. Kesemuanya itu menumpuk menjadi kemarahan yang meluap.
Ketika Handaka sedang berlatih silat di tepi telaga Wulur Pamenang membawa Wulandari ke ruang dalam pondok.
“Mungkin kau sudah bisa menduga kenapa aku memanggilmu, Wulan?”
Sang murid memandang wajah gurunya sejenak. Hatinya berdebar. Ada kelainan pada wajah itu kini, juga kelainan pada nada suaranya.
“Mana mungkin saya menduganya Eyang,” kata Wulandari pula.
“Sejak beberapa lama ini aku merasa curiga melihat hubunganmu dengan Handaka.” Bicara sampai di situ Wulur Pamenang dapat melihat perubahan pada wajah muridnya. Lalu dia melanjutkan:
“Hari ini kupanggil kau karena jelas kulihat ada perubahan pada dirimu. Pada tubuh jasmanimu.”
“Pe… perubahan apa maksud Eyang….” Wulandari gugup. “Saya merasa tidak ada perubahan apa-apa….”
“Kau gugup Wulan….”
“Karena… karena saya terkejut mendengar ucapan Eyang tadi.”
Wulur Pamenang tersenyum rawan.
“Kau pandai bicara sekarang Wulan. Dan pandai serta berani pula berdusta kepadaku. Lebih dari itu kau telah menipu dirimu sendiri. Selama bertahun-tahun kau di sini tak pernah kuajarkan padamu ilmu berdusta dan menipu diri. Kenapa tahu-tahu sekarang kau bisa berbuat begitu? Apakah Handaka yang telah mengajarkannya padamu?”
Sampai di situ mulut Wulan terkancing rapat. Kepalanya ditundukkan. Sepasang matanya tidak dapat lagi menatap ke arah sang guru sedang wajahnya merah sampai ke telinga.
“Kau sudah ditunangkan dengan Sanjaya. Apa kau lupa hal itu?”
Kepala Wulandari semakin tertunduk.
“Jawab, kau lupa?”
“Tidak Eyang, saya tidak lupa….”
“Bagus. Kalau kau betul-betul tidak lupa. Lalu mengapa kau bermain api dengan pemuda lain? Mengapa kau menjalin cinta dengan Handaka?”
“Eyang, saya… saya tidak….” Wulandari tak dapat meneruskan kata-katanya. Sebagai gantinya dari mulutnya mulai terdengar isak tangis. Kedua tangannya ditutupkan ke wajah.
“Diam!” bentak Wulur Pamenang. “Aku paling benci melihat orang menangis. Terutama yang menangis karena kesalahannya sendiri!”
Wulandari menyusut air matanya. Ditahannya tangis yang hendak meledak sedapat­dapatnya.
“Sejak akhir-akhir ini kau tidak senang lagi dengan nasi dan sayuran. Kau jarang makan. Lebih banyak makan asam-asaman dan buah-buahan. Pembawaan seperti itu hanya ada pada diri perempuan yang sedang hamil! Apa kau juga hamil Wulan? Jawab pertanyaanku?“
“Eyang… saya… saya.”
“Katakan saja. Kau hamil atau tidak?!” hardik sang guru.
“Tidak Eyang… saya tidak hamil.. Hanya… hanya kurang enak badan sejak beberapa hari ini….”
“Murid penipu!” bentak Wulur Pamenang seraya berdiri dari tikar kulit kambing yang didudukinya. Dia menunjuk ke pintu. “Tidak kusangka akan sekotor itu hatimu. Tidak kusangka kau berani bicara dusta terhadap gurumu! Pondok yang kudirikan ini kau nodai dengan perbuatan mesum! Kau betul-betul terkutuk. Mulai hari ini kau tidak kusukai sebagai murid lagi! Kau kuusir dan sini! Pergi!”
“Eyang…!” Wulandari jatuhkan diri. “Ampuni muridmu ini!”
“Jangan bersujud dihadapanku. Aku bukan Tuhanmu! Jangan minta ampun padaku! Karena dosamu bukan padaku. Tapi pada Sanjaya, pada Tuhan! Aku tidak sudi melihatmu lagi! Aku tidak sudi dalam pondok kelak lahir seorang anak haram!”
Wulandari yang tidak tahan lagi mendengar kata-kata gurunya itu menggerung dan lari ke luar pondok.
Wulur Pamenang katupkan rahangnya rapat-rapat. Pelipisnya bergerak-gerak. Lalu dia melangkah ke pintu dan cepat-cepat menuju ke telaga.
Di situ Handaka tengah melatih ilmu silatnya seorang diri.
“Pemuda keparat hidung belang! Hentikan latihanmu! Mulai detik ini kau tidak kuizinkan mempergunakan ilmu silat yang kuajarkan padamu!”
Handaka tampak terkejut mendengar bentakan itu. Dihentikannya gerakannya dan berpaling dengan cepat. Dilihatnya Eyang Wulur Pamenang berdiri tolak pinggang. Mukanya merah laksana bara dan matanya berapi-api.
“Eyang, dengan siapakah Eyang bicara?” bertanya pemuda itu.
Justru pertanyaan ini membuat Wulur Pamenang tambah menggelegak amarahnya.
“Bangsat! Dengan siapa lagi kalau bukan dengan manusia dajal sepertimu!”
Sepasang mata Handaka yang sipit menjadi tambah sipit.
“Ada apakah hingga Eyang sampai marah begini rupa…?”
Wulur Pamenang mendengus.
“Kau masih bisa berpura-pura bertanya!”
“Saya tidak mengerti. Agaknya telah terjadi sesuatu…?”
“Memang telah terjadi sesuatu! Dan sesuatu itu kau yang menjadi biang keladinya! lngat sewaktu kau dulu mengemis minta aku mengambilmu jadi murid! Setelah aku berbelas kasihan mau menerimamu di sini, semua itu kini kau balas dengan noda besar! Kau main gila dengan Wulandari. Padahal kau tahu gadis itu sudah ditunangkan dengan Sanjaya! Kau rayu dia! Kau bujuk dan kau rusak kehormatannya. Kini gadis itu hamil! Kau benar-benar manusia bejat!”
“Eyang, sebaiknya kita panggil Wulandari ke sini agar kita….”
“Tak usah banyak bicara! Gadis itu sudah kuusir. Dan kaupun musti angkat kaki dari sini. Tapi sebelumnya hukuman yang setimpal akan kujatuhkan atas dirimu. Ulurkan kedua tanganmu!”
“Eyang, kau mau bikin apa…?” tanya Handaka.
“Ulurkan kedua tanganmu manusia murtad. Jangan banyak tanya!” hardik Wulur Pamenang.
Karena Handaka tidak mau mengulurkan tangannya maka naik pitamlah si orang tua. Dari hidungnya ke luar suara mendengus. Rahangnya bergemeletak. Dia melompat. Tangannya kiri kanan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya menyambar ke arah kedua tangan Handaka. Wulur Pamenang yang telah banyak pengalaman dan memiliki ilmu tinggi yakin sekali bahwa sekali bergerak dia bakal dapat meringkus murid terkutuk itu.
Namun betapa terkejutnya ketika Handaka berhasil mengelakkan serangannya. Jika saja Handaka mengandalkan kecepatan bergerak untuk mengelakkan serangan tersebut, si orang tua tak akan demikian terkejutnya. Tapi disaksikannya sendiri si pemuda mengelakkan serangannya tadi dalam gerakan ilmu silat aneh yang sama sekali tak pernah diajarkannya pada Handaka!
Heran bercampur marah Wulur Pamenang kembali menyerang si pemuda. Dan sekali inipun Handaka berhasil berkelit dengan mempergunakan gerakan ilmu silat lain!
“Murid mesum! Jadi ternyata kau memiliki ilmu silat lain?! Bagus! Akan kuberi hajaran padamu dalam dua jurus!”
Habis berkata begitu Wulur Pamenang berkelebat lenyap. Di lain detik dua buah angin pukulan tangan kosong yang dahsyat menderu ke arah dada dan perut Handaka.
Si pemuda keluarkan bentakan nyaring. Tubuhnyapun lenyap. Sesaat kemudian terdengar seruan tertahan ke luar dari mulut Eyang Wulur Pamenang.
Betapakan tidak!
Serangan yang dilancarkan tadi merupakan salah satu dari beberapa buah serangan terhebat yang dimilikinya, bernama “Dua Naga Sakti Berebut Mangsa.” Tak pernah seorang musuhpun sebelumnya sanggup mengelakkan dua jotosan itu sekaligus. Karena kedahsyatannya jarang dia mengeluarkan pukulan maut itu. Namun kini serangannya itu tidak membawa hasil apa-apa. Bahkan dia merasakan kedua tangannya bergetar sewaktu dipapasi serangan balasan yang dilancarkan Handaka! Bertambah terkejutlah orang tua ini. Mungkinkah Handaka telah memiliki ilmu silat tinggi sebelum dia mengambilnya jadi murid?
Lalu apa maksud pemuda ini sesungguhnya datang kepadanya? Siapakah dia sebenarnya? Melihat Wulur Pamenang tertegun di hadapannya, Handaka lalu keluarkan suara tertawa.
“Wulur Pamenang!” kata pemuda ini seenaknya memanggil tanpa sebutan Eyang, seolah­olah dia bicara dengan orang yang seusia dengan dirinya. “Kenapa kau tertegun? Bukankah kau sendiri yang memerintahkan agar aku tidak boleh mempergunakan ilmu silat yang kupelajari darimu? Mengapa heran kalau aku terpaksa mengeluarkan ilmu silat yang lebih hebat dan lebih berguna dari ilmu silat jenis picisan yang kau ajarkan padaku?!”
Muka Wulur Pamenang merah sampai ke telinga. Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar, pelipisnya bergerak-gerak dan sepasang matanya seperti mau melompat dari rongganya.
“Dajal bermuka manusia!” desis Wulur Pamenang. “Aku sudah berpantang dan bertobat untuk tidak membunuh! Namun hari ini biarlah aku menanggung dosa asal aku dapat mengirimmu ke dasar neraka!”
Wulur Pamenang tutup ucapannya dengan pukul kedua tangannya ke depan. Terdengar suara menderu. Bumi laksana dilanda topan. Tanah bergetar. Debu dan pasir beterbangan. Semak belukar rambas berhamburan. Daun-daun berguguran dan beberapa pohon rambas tumbang.
Dikejap itu dua larik sinar hijau berkiblat mengerikan. Apapun yang ada di depan kedua sinar itu pasti musnah!
Wulur Pamenang turunkan kedua tangannya dan memandang ke depan. Handaka tak tampak lagi dihadapannya. Tak dapat tidak pemuda itu pasti sudah menemui kematian dengan keadaan tubuh mengerikan.
Tapi laksana mendengar petir di liang telinganya, begitulah kagetnya Wulur Pamenang ketika didengarnya suara tertawa bergalak. Orang tua ini memutar tubuhnya dengan cepat. Handaka berdiri di depannya. Tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan memegang sebuah kipas hitam yang dikibas-kibaskan di depan mukanya sambil tersenyum mengejek?
Kontan air muka Wulur Pamenang berubah total ketika melihat kipas hitam di tangan Handaka itu.
“Kipas Pemusnah Raga…!” seru orang tua itu setengah tercekik. “Pemuda dajal dari mana kau dapat kipas sakti itu?!”
Handaka tertawa gelak-gelak.
“Mukamu pucat melihat kipas ini? Ha… ha…. Dari mana aku mendapatkan itu bukan urusanmu?!”
“Sret!”
Handaka menggoyangkan tangannya. Kipas hitam itu terkembang lebih lebar.
“Wulur Pamenang, karena kau benar-benar inginkan jiwaku, kalau tidak kuhabisi kau sekarang di lain hari tentu kau hanya akan membikin repotku saja! Nah, selamat jalan ke alam baka!”
Habis berkata begitu Handaka mengibaskan kipasnya ke arah Wulur Pamenang. Si orang tua yang telah maklum akan kehebatan senjata sakti di tangan lawan secepat kilat mengeluarkan senjata andalan nya yakni sebuah tasbih hijau. Ketika sinar hitam pekat yang keluar dari Kipas Pemusnah Raga berkelebat deras kearahnya, orang tua ini cepat memapaskan tasbih hijaunya dengan sebat. Sinar hijau berkelibat menangkis datangnya sambaran sinar hitam.
Sesaat kemudian terdengarkan suara menggelegar!
Tasbih di tangan Wulur Pamenang hancur bertaburan. Orang tua ini sendiri terpelanting jauh dan menyangsang di semak-semak. Sekujur tubuhnya hitam hangus seperti terpanggang.
Handaka memandang sebentar pada kedua kakinya yang amblas ke tanah sampai seperempat jengkal,
“Hebat juga tenaga dalam monyet tua itu…” katanya dalam hati. Lalu sambil kipas-kipasan senjatanya ditinggalkannya tempat itu. Dari mulutnya tiada henti keluar suara tertawa mengakak.

8

Serombongan pasukan bekuda kerajaan yang berjumlah tigapuluh orang dibawah pimpinan seorang perwira muda, kelihatan ke luar dari pintu gerbang tenggara, bergerak cepat menuju ke selatan. Perwira muda itu bukan lain adalah Sanjaya yang telah mengabdikan diri pada Kerajaan. Dia membawa pasukannya ke arah kaki gunung Slamet menuju hutan Walu dimana menurut keterangan disitulah bersarangnya gerombolan perampok jahat yang dipimpin oleh Warok Grimbil.
Karena Sanjaya mengetahui seluk-beluk daerah sekitar kaki gunung itu, maka Sri Baginda telah mempercayakannya untuk memimpin pasukan Kerajaan guna menumpas gerombolan Warok Grimbil.
Akhir-akhir ini memang kejahatan yang dilakukan oleh Warok Grimbil dan anak-anak buahnya sudah sangat di luar batas. Hampir setiap hari ada saja kampung atau desa yang menjadi korban keganasannya. Berkali-kali pasukan kerajaan mencoba melakukan penyergapan dan pengejaran, namun sampai sebegitu jauh semua usaha yang dilakukan untuk membasmi geromboan itu tak kunjung berhasil.
Kini dibawah pimpinan Sanjaya, murid Wulur Pamenang dari gunung Slamet kembali prajurit-prajurit Kerajaan turun tangan. Apakah akan berhasil atau tidak, kenyataanlah nanti yang akan menentukan.
Pada malam hari mereka berhasil mencapai tepi timur hutan Walu, Sanjaya memerintahkan pasukannya untuk berhenti dan berkemah di situ. Mereka berkemah tanpa menyalakan api unggun dan sengaja dicari tempat yang gelap pekat serta perlindungan oleh semak-belukar lebat. Karena jika mereka sampai terlihat oleh gerombolan Warok Grimbil pasti akan sia-sialah rencana pembasmian itu.
Malam itu, sebelum masuk ke dalam tendanya, lama sekali Sanjaya berdiri memandang ke sebelah utara, di mana dalam kegelapan malam, jauh di sana kelihatan menghitam lereng gunung Slamet. Telah sepuluh purnama dia meninggalkan gurunya dan tak pernah melihat kekasihnya Wulandari. Telah sekian lama dia membendung kerinduan. Dia yakin gadis itu tetap menantinya di puncak Slamet.
Masih terngiang ucapan perpisahan Wulandari sewaktu dia akan pergi dulu: “Hati-hati. Dan lekas kembali…”
Dari balik pakaiannya Sanjaya mengeluarkan tusuk kundai perak yang tempo hari diberikan oleh Wulandari. Setiap dia merindukan gadis itu, benda itu selalu dikeluarkannya, dipandang dan ditimangnya, dibelai serta diciumnya. Namun perasaan rindu tak bisa dilenyapkannya seluruhnya.
“Dua purnama lagi, bila Sri Baginda memberi izin aku akan menjengukmu Wulan…” bisik Sanjaya. Lalu perwira muda ini masuk ke dalam tendanya.
Ketika malam yang gelap sampai pada saat sedingin dan sesunyi-sunyinya, mendadak terdengar teriakan beberapa prajurit yang bertugas mengawal.
“Semua bangun Kita diserang!”
Suasana yang tadi sunyi-senyap kini menjadi hiruk pikuk kacau-balau. Beberapa buah tenda tampak terbakar. Kira-kira dua lusin manusia berseragam hitam muncul dari tempat­tempat gelap, langsung menyerbu dengan berbagai senjata tajam.
Sanjaya melompat bangun, menyambar pedang dan keluar dari tenda. Prajurit-prajurit dilihatnya tengah bertempur melawan para penyerang. Dari pakaian serta tampang-tampang mereka yang kotor tak terurus Sanjaya segera maklum bahwa penyerang adalah gerombolan jahat. Dari gerombolan mana lagi yang berada di sekitar tempat ini kalau bukan gerombolannya Warok Grimbil?
Sebuah benda melesat ke arah Sanjaya. Perwira muda itu cepat putar pedangnya. Anak panah yang hendak menghantam dadanya jatuh patah dua ke tanah. Sanjaya tak menunggu lebih lama, segera terjun ke tengah-tengah kancah pertempuran.
Pertempuran dalam gelap-gulita itu berjalan Seru. Suara beradunya senjata berselang­seling dengan suara mereka yang terpekik karena luka. Korban mulai berjatuhan di kedua belah pihak. Sanjaya mengamuk hebat. Ini membuat penyerang menjadi kacau dan mulai mundur.
“Mana pemimpin kalian?!” teriak Sanjaya.
Sebagai jawaban terdengar satu suitan keras. Para penyerang serta-merta melompat mundur dan melarikan diri ke dalam rimba belantara yang gelap.
“Jangan kejar!” seru Sanjaya ketika dilihatnya beberapa anak buahnya hendak melakukan pengejaran.
Kerugian yang diderita pihak Sanjaya cukup besar. Enam tenda musnah dimakan api. Tujuh prajurit menemui ajal. Di pihak penyerang delapan orang tewas, seorang tertangkap hidup­hidup, Namun sebelum sempat ditanyai orang ini keburu meninggal karena luka-luka parah yang dideritanya.
Pagi harinya setelah prajurit-prajurit yang gugur dikuburkan di tepi hutan Walu, Sanjaya kembali memimpin pasukannya memasuki rimba belantara itu. Mereka bergerak dengan sangat hati-hati. Meskipun hutan itu liar dan rapat namun jelas kelihatan bekas-bekas yang dilalui manusia.
Sanjaya menunggangi kudanya di depan sekali. Dengan adanya penyerbuan malam tadi jelaslah bahwa kedatangan rombongannya telah diketahui oleh Warok Grimbil. Di satu tempat Sanjaya membagi dua pasukannya. Yang pertama terdiri dari sepuluh orang langsung dibawah pimpinannya. Sisanya sebanyak dua belas orang dibawah pimpinan seorang perwira. Kelompok pertama bergerak di sebelah depan, kelompok kedua menyusul di belakang dalam jarak dua ratus langkah.
Di satu tempat kelompok terdepan membelok ke kiri sedang kelompok kedua bergerak ke jurusan kanan. Sesuai dengan rencana yang telah diatur Sanjaya dan orang-orangnya akan lebih dulu menyerbu ke sarang Warok Grimbil. Jika pertempuran sudah berkecamuk baru kelompok kedua menyerbu memberikan bantuan.
Sanjaya menghentikan kudanya dan memberi pada anak buahnva. Lima belas meter di hadapan mereka kelihatan sebuah rumah. Rumah pertama dan terdekat dari perkampungan perampok. Perwira muda ini meneliti suasana. Menurut taksirannya di perkampungan di tengah hutan itu paling tidak terdapat sekitar tujuh sampai delapan rumah. Ditambah dengan sebuah bangunan yang agak besar. Dapat dipastikan bangunan besar ini adalah tempat kediaman Warok Grimbil selaku pimpinan gerombolan. Perkampungan itu tampak sunyi, tenang.
Seorang perempuan tengah menjemur pakaian di samping sebuah rumah. Dua orang lainnya menumbuk padi di halaman. Tak seorang anggota rampokpun kelihatan. Mungkinkah Warok Grimbil dan orang-orangnya tengah pergi melakukan perampokan? Ini sama sekali tak masuk akal. Karena dengan tewasnya banyak anggotanya malam tadi serta bahaya akan diserang pagi hari tentunya Warok Grimbil tidak akan melakukan hal itu. Sanjaya menduga keras Warok Grimbil telah menyusun satu rencana jebakan. Seorang prajunit dikirim untuk menyelidiki sekeliling kampung. Tak berapa lama kemudian prajurit ini kembali.
“Tak ada tanda-tanda bahwa Warok Grimbil dan orang-orangnya sembunyi di sekitar kampung.” prajurit itu melapor.
“Aneh,” kata Sanjaya. “Kita tunggu sampai sepeminuman teh….” Sepeminuman teh lewat. Sanjaya memberi isyarat pada anak buahnya. Mereka bergerak dengan cepat ke tengah perkampungan. Orang-orang perempuan yang ada di luar tampak terkejut melihat kedatangan prajurit-prajurit kerajaan. Ketakutan dan terbirit-birit mereka masuk ke dalam rumah masing-masing.
“Kalian orang-orang perempuan tak usah takut!” seru Sanjaya dari atas kudanya. Dia memandang tajam berkeliling. Masih belum kelihatan seorang rampok pun.
“Mana orang laki-laki? Apakah mereka dan Warok Grimbil bersembunyi dalan rumah?!” berseru Sanjaya.
Tak ada yang menjawab. Setiap pintu rumah kelihatan tertutup. Sanjaya menunggu. Dia jadi kesal. Didekatinya sebuah rumah dan digedor pintunya. Pintu terbuka. Dan keluarlah perempuan yang tadi tampak menjemur pakalan.
“Lekas katakan di mana rampok-rampok yang tinggal di sini?!”
Perempuan itu menggelengkan kepalanya.
“Kau tidak tahu atau gagu?!” sentak Sanjaya.
“Warok Grimbil membawa mereka pagi-pagi tadi..” perempuan itu menerangkan.
“Semuanya?”
“Mereka menuju ke mana?” tanya Sanjaya lagi.
“Tidak tahu. Tak seorang pun diberitahu…”
Sanjaya menunjuk ke rumah paling besar di tengah kampung
“Itu rumahnya Warok Grimbil?”
“Benar.”
“Siapa yang ada di dalamnya…”
“Empat perempuan muda peliharaan Warok….” Sanjaya memberi isyarat pada anak-anak buahnya lalu bergerak ke arah rumah besar. Suasana di dalam rumah besar itu kelihatan sunyi. Sanjaya mendorong daun pintu. Ternyata tidak dikunci. Dari atas kudanya dia dapat melihat empat orang perempuan duduk berjejer di ruangan dalam. Keempatnya masih muda dan memiliki paras cantik. Yang membuat perwira muda ini jadi menahan napas ialah karena empat perempuan tersebut duduk di tempat masing-masing tanpa mengenakan pakaian! Malah ketika melihat Sanjaya dan prajurit-prajurit itu di pintu, mereka tersenyum, menggeser duduk masing-masing hingga sikap mereka benar-benar menantang dan mengundang! Prajurit­prajurit Kerajaan jadi melotot tak berkesip dan teguk air liur!
Salah seorang dari empat perempuan bertelanjang itu melambaikan tangannya dan berkata:
“Kalian petugas-petugas Kerajaan silakan masuk! Warok berpesan bahwa tamu mana saja yang datang harus disambut dengan hormat dan hangat!”
Sepasang mata Sanjaya menyipit. Dari suasana yang dihadapinya sekarang ini semakin yakin dia bahwa Warok Grimbil betul-betul tengah memasang satu jebakan berbahaya. Dia memberi tanda pada orang—orangnya agar berlaku waspada.
“Mana Warok Grimbil dan anak buahnya?” tanya Sanjaya pada perempuan di dalam rumah.
“Masuklah. Mari kita bicara di dalam sini..” menjawab perempuan di ujung kiri.
Perempuan yang di sampingnya menyambung “Jauh-jauh dari Kotaraja kau tentu haus perwira muda. Haus dan letih. Mari masuk minum anggur dan melemaskan otot-ototmu….”
Perempuan berikutnya menimpali:
“Masuklah, minum anggur dan bersenang-senang lalu tidur….”
Muka Sanjaya menjadi merah. Dia berkata “Kalian dengar baik-baik. Siapa saja yang ada di sini bisa kami tangkap. Kami berjanji akan membebaskan kalian jika kalian mau mengatakan di mana Warok Grimbil dan anak buahnya.”
Keempat perempuan itu tiba-tiba serentak berdiri. Tubuhnya yang telanjang bulat itu kelihatan jelas dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Masukah perwira, tak pantas bicara dari luar saja…” kata salah seorang dari mereka sambil membusungkan dadanya yang padat.
“Geledah rumah ini!” perintah Sanjaya.
Lima orang prajurit serentak hendak turun dari kudanya.
Justru pada saat itu entah dari mana datangnya, melayanglah sebuah anak panah dan menancap tepat di samping pintu sebelah kanan. Pada ekor anak panah terikat sehelai kertas yang ternyata sepucuk surat dan ditujukan pada pasukan Kerajaan.
Sanjaya merenggutkan surat tersebut lalu membaca isinya. Di situ hanya tertulis satu baris kalimat dengan huruf-hurufnya berbunyi:
“SELAMAT DATANG DAN SELAMAT MAMPUS!” 

9

Pada detik Sanjaya selesai membaca sebaris kalimat itu, pada saat itu pula di sekitarnya terdengar suara pekik riuh rendah. Empat perempuan telanjang di dalam rumah lenyap masuk ke dalam sebuah kamar. Seorang prajurit di samping Sanjaya mengeluarkan seruan tertahan. Sebatang anak panah menancap di dadanya. Tak ampun lagi prajurit ini meliuk dan jatuh dari punggung kuda.
Tiba batang anak panah dalam pada itu melesat ke arah Sanjaya. Murid Wulur Pamenang ini dengan cekatan pergunakan ujung tali les kudanya untuk menghantam mental ketiga anak panah itu! Ketika dia memandang berkeliling kelihatanlah sekitar dua lusin manusia berseragam hitam bertampang ganas bersenjata pedang dan golok, bahkan ada yang membawa kapak, menyerbu ke arah mereka.
Di belakang sana seorang lelaki bertubuh pendek katai berjalan lenggang kangkung seenaknya. Di tangan kirinya dia memegang sebuah bumbung berisi puluhan anak panah. Tanpa mempergunakan busur, tapi dengan jalan melemparkan anak-anak panah itu dengan tangannya, dia melakukan serangan panah tiada henti, terutama sekali ke arah Sanjaya. Hebat sekali daya lempar manusia ini. Meskipun belum pernah bertemu muka sebelumnya namun Sanjaya telah menduga bahwa manusia katai bermata liar dan bercambang bawuk ini pastilah si pemimpin rampok Warok Grimbil. Tanpa tunggu lebih lama Sanjaya segera cabut pedangnya.
Sembilan pajurit terpilih di bawah pimpinan murid Wulur Pamenang itu dengan gagah berani baku hantam menghadapi dua puluh empat rampok ganas. Hebat sekali jalannya pertempuran. Menghadapi lawan yang lebih banyak di atas kuda kurang memberikan keleluasaan, malah amat membahayakan bagi yang punya diri. Menyadari hal ini setelah bertempur dua jurus Sanjaya berteriak memberi aba-aba agar semua anak buahnya melompat turun dari kuda masing-masing.
Seorang prajurit yang kurang hati-hati waktu melompat turun kena disambar perutnya oleh ujung golok lawan hingga bobol dan ususnya membusai. Dengan demikian jumlah orang-orang Kerajaan hanya tinggal delapan orang kini, sembilan dengan Sanjaya.
Walau hati geram tetapi mereka tetap memakai perhitungan sambil menunggu datangnya bala bantuan kelompok kedua. Sanjaya mengamuk dengan pedangnya. Dua orang rampok tergelimpang roboh. Satu lagi kemudian menjenit dengan leher hampir putus. Melihat ini para perampok yang mengurung memperciut kurungannya hingga Sanjaya dan anak buahnya terjepit di tengah kalangan pertempuran. Namun mereka terus menghadapi lawan dengan semangat tinggi penuh ketabahan.
Dua prajunit Kerajaan roboh, dan ini harus diimbangi oleh empat nyawa anggota rampok. Warok Grimbil yang sejak tadi hanya tegak menyaksikan jalannya pertempuran sambil sekali­sekali melemparkan panah, kini melompat ke muka. Lima batang anak panah terakhir yang dipegangnya sekaligus dilemparkannya ke arah Sanjaya. Anak-anak panah ini melesat ke arah lima bagian tubuh Sanjaya. Empat anak panah berhasil dihantam runtuh dengan putaran pedang. Anak panah ke lima masih sempat menyerempet bahu kiri pemuda itu.
“Perwira keparat! Mari sini! Aku lawanmu!” teriak Warok Grimbil. Orangnya katai kecil. Tapi suaranya besar luar biasa. Apalagi teriakannya tadi disertai dengan tenaga dalam hingga terdengar hebat menggetarkan dada.
“Manusia kerdi!, jadi kau ini biang durjana yang bernama Warok Grimbi!?” tanya Sanjaya sambil melintangkan pedang di muka dada.
“Anjing Kerajaan! Kurobek mulutmu!” bentak Warok Grimbil marah sekali. Tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu selusin senjata rahasia berbentuk paku rebana telah melesat ke arah Sanjaya!
Murid Wulur Pamenang itu kaget bukan kepalang. Tak disangkanya kepala rampok itu memiliki kecepatan luar biasa dalam melancarkan serangan mendadak. Untung saja saat itu dia dalam sikap melintangkan pedang di depan dada. Hingga dengan sigap dia bisa pergunakan senjata itu untuk melindungi diri. Delapan paku rebana berhasil dihantam mental, tiga buah dapat dikelit tapi yang satu lainnya menancap di bahu kiri, dekat luka bekas serempetan anak panah.
Sanjaya menggigit bibir menahan sakit dan cabut senjata rahasa itu dari bahunya. Di hadapannya Warok Grimbil melompat, lima jari tangan kirinya bergerak ke mulut Sanjaya siap untuk merobek tapi dapat dikelit.
Warok Grimbil ketawa mengekeh.
“Anjing Kerajaan, nyatanya tak seberapa kehebatanmu. Kau datang hanya untuk mengantar nyawa!”
“Warok Grimbil manusia biadab! Jika kau masih ingin hidup menyerahlah. Niscaya Kerajaan akan mengurangi hukumanmu!” bentak Sanjaya.
“Hukum?” Sepasang ails mata Warok Grimbil mencuat naik. Lalu dia tertawa gelak-gelak. “Seumur hidupku aku tak pernah kenal hukum! Persetan dengan segala hukum!”
“Jika begitu kematian memang pantas untukmu. Neraka sudah lama menantimu!”
Kembali Warok Grimbil tertawa gelak-gelak.
“Justru di sinilah bangkaimu akan menggeletak dan membusuk!” tukas pemimpin rampok hutan Walu itu.
“Perlawananmu akan sia-sia! Kau dan anak buahmu sudah terkurung. Perhatikan sekelilingmu!”
Bola mata Warok Grimbil berputar liar, memandang berkeliling. Saat itu memang dilihatnya kira-kira selusin prajurit Kerajaan yang menunggang kuda dan bersenjata lengkap menyeruak dari semak belukar, bergerak dalam posisi mengurung.
Warok Grimbil tertawa mengejek.
“Siapa takut pada kacoak-kacoak Kerajaan?” katanya. Lalu mendengus dan gerakan kedua tangannya sekaligus!
Tangan pertama melepaskan satu pukulan ke arah Sanjaya, yang satu lagi ke jurusan prajurit-prajurit yang baru datang.
Sanjaya yang memang sudah bersiap-siap denqan cepat melompat selamatkan diri. Sebaliknya dua orang prajurit di muka sana, yang tidak menduga kalau bakal mendapat serangan, terjungkal dari kuda masing-masing, menggelepar-gelepar beberapa kali di tanah, lalu diam tak bergerak lagi.
“Warok Grimbil! Lihat pedang!” terdengar seruan Sanjaya. Dan sinar pedang berkiblat ke arah kepala rampok itu.
Warok Grimbil menyingkir sebat dan serentak membalas dengan pukulan tangan kosong lagi. Tapi Sanjaya tak mau memberi kesempatan, mengirimkan satu tebasan ganas ke arah tangan lawan hingga pemimpin rampok ini sambil memaki terpaksa tarik pulang tangannya.
Dalam jumlah kedua belah pihak kini tampak berimbang sehingga kecamuk pertempuran semakin menggila. Korban-korban berjatuhan hampir setiap dua jurus.
Beberapa bulan yang lalu Warok Grimbil dan anak buahnya pernah disergap pasukan Kerajaan dibawah pimpinan dua orang perwira. Bukan saja para penjahat itu berhasil menghadapi pasukan Kerajaan tapi bahkan tak seorangpun yang mereka biarkan hidup. Semula Warok Grimbil menyangka bahwa pasukan yang datang kali ini juga bakal dapat dibereskannya dalam waktu singkat. Namun hatinya jadi tergetar ketika melihat kenyataan bahwa perwira muda yang memimpin pasukan Kerajaan itu bukan orang sembarangan. Kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dua perwira yang dulu pernah dibunuhnya! karenanya sebelum mendapat celaka kepala rampok ini segera keluarkan senjata yang amat diandalkan yakni sebuah keris berwarna ungu yang ujungnya bercabang dua dan agak melengkung sedang gagangnya berukir kepala kelabang. Keris ini bernama “Kelabang Ungu”.
Dari sinar yang memancari di tubuh senjata itu Sanjaya segera maklum kalau keris lawan adalah sejenis senjata yang tidak boleh dianggap remeh. Cepat-cepat Sanjaya lancarkan serangan berantai. Warok Grimbil berkelit gesit. Tubuhnya yang katai itu lenyap dari pemandangan. Kini hanya sinar ungu kerisnya saja yang tampak bergulung-gulung, menyambar ganas kian kemari! Anginnya bersiur dan memerihkan kulit.
Meskipun keris di tangan Warok Grimbil merupakan senjata sakti berbahaya, namun menghadapi sebatang pedang d tangan Sanjaya, kepala rampok ini tidak bisa berbuat banyak. Beberapa kali sudah senjatanya bentrokan dengan pedang lawan. Kepala rampok ini diam-diam mengeluh karena setiap bentrokan yang terjadi dia segera mengetahui bahwa tenaga dalam lawannya masih muda itu berada dua atau tiga tingkat di atasnya!
Tiba-tiba dari mulut Warok Grimbil keluar satu teriakan dahsyat. Permainan silatnya mendadak sontak berubah. Senjatanya bertabur laksana curahan hujan dan membuat Sanjaya menjadi bingung.
Sebelum perwira muda ini bisa mengimbangi jurus-jurus aneh yang dimainkan lawannya itu tiba tiba dirasakannya badan pedangnya telah terjepit di atas kedua ujung bercabang keris “Kelabang Ungu”
Cepat-cepat Sanjaya hendak menarik pedangnya. Namun jepitan itu ketat luar biasa. Sekali Warok Grimbil memutar lengannya maka patahlah pedang Sanjaya.
Warok Grimbil tertawa panjang.
“Ajalmu sudah di depan mata, perwira!” seru Warok Grimbil.
Tapi kepala rampok ini terlalu cepat bergembira.
Sanjaya yang sudah memaklumi bahaya apa yang dihadapinya, begitu pedangnya patah, pada kejap itu pula dia mengirimkan satu tendangan kilat ke depan!
Warok Grimbil kaget bukan main, tapi juga penasaran. Kelabang Ungu dibabatkannya ke bawah, ke arah kaki Sanjaya. Namun apa yang dilakukannya sudah tenlambat. Kaki kanan lawan datang lebih cepat. Sedapat-dapatnya Warok Grimbil jatuhkan diri ke samping secara nekat. Kenekatannya tidak membawa hasil yang diharapkan karena kaki kanan Sanjaya masih sempat menghantam siku tangan kanannya hingga siku itu bukan saja tanggal dari persendiannya tetapi juga hancur tulangnya.
Jeritan kepala rampok itu setinggi langit. Dia tak peduli lagi ke mana mental dan jatuhnya keris Kelabang Ungu. Dia melompat dua tombak menjauhi Sanjaya. Tak mungkin lagi baginya untuk meneruskan perkelahian. Anak-anak buahnya yang melihat keadaan pemimpin mereka jadi ciut nyalinya. Hendak lari merasa takut karena belum mendapatkan perintah.
“Ringkus dia!” penintah Sanjaya.
Lima orang prajurit segera bergerak. Untuk meringkus pemimpin rampok yang tak berdaya dan kesakitan setengah mati itu.
Tapi dalam detik itu terjadilah hal yang sangat mengejutkan laksana adanya geledek di siang bolong.
“Adikku Grimbil! Siapa yang berani kurang ajar menyakitimu?!”
Satu bentakan nyaring terdengar disusul oleh jeritan-jeritan mengerikan. Lima prajurit yang tadi hendak meringkus Warok Grimbil menjerit. Kelimanya berdiri terhuyung-huyung sambil pegangi leher masing-masing. Dari leher itu menyembur darah. Ketika Sanjaya memperhatikan dengan mata membelalak ternyata leher ke lima prajurit telah ditancapi sebuah pisau kecil! Satu demi satu prajurit-prajurit yang malang ini roboh ke tanah dan tak bergerak lagi selama­lamanya.
Apakah yang telah terjadi? Siapakah yang punya perbuatan membunuh lima prajurit itu hanya dalam sekejapan mata saja?

10

Suasana sehening di pekuburan. Semua yang bertempur laksana dipukau oleh satu kekuatan gaib. Semua sama memutar kepala, berpaling ke jurusan munculnya seorang nenek-nenek aneh bertubuh kurus kering, bermuka perot. Seperti Warok Grimbil, nenek­nenek ini pun memiliki tubuh pendek katai. Dia mengenakan jubah yang amat dalam hingga menjela sampai ke tanah. Setiap langkah yang dibuatnya menyebabkan debu mengepul ke udara.
Jubah yang dikenakannya bukan jubah sembarangan jubah. Pakaian ini mulai dari atas sampai ke bawah digantungi dengan puluhan bahkan mungkin ratusan pisau-pisau kecil. Pisau­pisau seperti inilah yang telah mengakhiri nyawa lima prajurit Kerajaan tadi!
“Muning Kwengi!” seru Warok Grimbil. Suara dan wajahnya menunjukkan kegembiraan luar biasa. Semangat dan nyalinya tampak berkobar kembali ketika melihat siapa yang datang. Demikian pula anggota-anggota rampok lainnya yang sebenarnya sudah siap-siap untuk ambil langkah seribu.
“Muning! Syukur kau datang! Lekas bunuh kerak-kerak Kerajaan itu! Perwira keparat ini lebih dulu!”
Muning Kwengi, demikian nama si nenek katai ternyata adalah kakak kandung Warok Grimbil. Dia bertempat tinggal di sebuah pulau di pantai utara. Dalam dunia persilatan karena kehebatannya memainkan pisau kecil nenek ini diberi julukan “Iblis Pisau Terbang.”
Seperti juga adiknya Muning Kwengi pun bukanlah manusia baik-baik. Ilmu kepandaiannya dipergunakan untuk malang-melintang berbuat kejahatan sekehendak hatinya. Di samping itu nenek tua yang hanya tinggal beberapa meter dari liang kubur ini juga ternyata masih genit, suka daun muda alias senang pada laki-laki yang jauh lebih muda apalagi tampan. Memandang kepada adiknya dan melirik pada Sanjaya si nenek muka perot cengar-cengir lalu berkata:
“Hanya seekor kucing dapur begini kau sudah tidak mampu menghadapinya Grimbil? Huh, betul-betul membuat aku tidak punya muka menjadi kakakmu!”
Muning Kwengi memandang berkeliling. Lalu membentak pada anggota-anggota rampok yang memandang angker padanya.
“Kalian kenapa melongo?! Ayo musnahkan prajurit-prajurit Kerajaan itu! Itu urusan kalian!”
Anak-anak buah Warok Grimbil yang sudah tahu siapa adanya nenek tua tersebut, timbul kembali keberaniannya. Mereka serempak menyerbu prajurit-prajurit Kerajaan.
Muning Kwengi maju dua langkah, kedip-kedipkan mata kirinya lalu menuding dengan jari telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke arah Sanjaya yang tegak delapan langkah di hadapannya.
“Perwira, membunuhmu sama mudahnya dengan membalikkan telapak tanganku….”
“Begitu?!” tukas Sanjaya. Sejak tadi dia sudah berwaspada. Cara muncul dan gerak-gerik nenek ini cukup menyatakan bahwa dia bukan sembarangan.
Tingkat ilmunya jauh lebih hebat dari Warok Grimbil, mungkin mendekati kepandaian gurunya Eyang Wulur Pamenang.
Si nenek tertawa dan kedipkan lagi mata kirinya.
“Sangat mudah!” kata Muning Kwengi pula. “Tapi orang segagahmu terlalu sayang kalau harus mati muda mati percuma. Jika kau bersedia ikut denganku dan jadi peliharaanku selama lima tahun, akan kuampuni kau punya jiwa!”
Air muka Sanjaya menjadi gelap merah. Muning Kwengi tertawa gelak-gelak.
“Tua bangka peot! Tak tahu diburuk diri! Tak ingat liang kubur sudah menganga masih saja punya otak kotor cabul!”
“Ahai! Orang muda, jangan bicara keliwat menghina!” sahut Muning Kwengi seraya usap­usap kedua pipinya yang kempot berkerut. “Aku memang sudah tua… sudah peot! Tapi bukan tua sembarang tua. Bukan peot sembarang peot! Sekali kau merasakan kehangatan pelukanku, sekali kau tidur bersamaku, seumur hidup kau akan mengekor ke mana aku pergi! Hik… hik… hik… hik!”
Warok Grimbil yang tidak sabar melihat tingkah laku kakaknya itu berteriak “Muning! Kau tunggu apa lagi? Bunuh bangsat itu!”
“Sabar… sabar adikku! Kalau aku bisa mendapatkan keuntungan dari daun muda ini bukankah lebih baik dia dibiarkan hidup untuk sementara?!”
Warok Grimbil mengomel panjang pendek. Dia maklum tak bakal dapat memaksa kakaknya yang beradat aneh itu. Saking kesal akhirnya dia duduk menjelepok di tanah sambil coba mengobati cedera di sikunya.
“Perwira,” kembali Muning Kwengi membuka mulut sambil kedipkan mata kiri dan sunggingkan senyum di mulut yang perot. “Coba kau pikir baik-baik. Inginkan hidup berarti kau bakal mendapat banyak kenikmatan dariku. Inginkan mati maka kau bakal menemul ajal secara mengenaskan detik ini juga! Nah, pilih mana?”
“Aku lebih suka mati berkalang tanah daripada menjadi budak peliharaan manusia mesum macammu!” jawab Sanjaya.
Si nenek geleng-geleng kepala.
“Apakah musti kubuktikan sekali lagi bahwa kematianmu itu nantinya benar-benar amat mengerikan? Nah kau saksikanlah!”
Hampir tak terlihat kapan dia menggerakkan kedua tangannya tiba-tiba terdengar suara bergemerincingan. Sedetik kemudian diikuti oleh pekik susul menyusul. Sanjaya memutar tubuh ke belakang. Delapan prajurit Kerajaan yang tengah bertempur melawan anggota rampok roboh menggeletak. Di kepala masing-masing menancap pisau kecil yang telah dilemparkan Muning Kwengi!
Ketegangan yang menggantung di udara dirobek oleh suara tawa cekikikan Muning Kwengi!
“Indah atau sangat mengerikan kematian itu hai perwira muda?”
“Memang mengerikan perempuan iblis!” sahut Sanjaya dengan kertakkan rahang. “Tapi tidak lebih mengerikan dari kematian yang bakal kau terima. Lihat!”
Sanjaya pukulkan tangan kanannya ke depan. Selarik sinar yang memiliki tiga warna yaitu merah, biru dan kuning menderu ke arah Muning Kwengi.
“Pukulan Tiga Racun!” seru si nenek dan cepat-cepat menyingkir. “Ladalah! Apakah kau muridnya si Wulur Pamenang?! Jadi si tua bangka perot itu masih juga belum mampus hah?!”
“Hatimu jahat dan mulutmu kotor!” teriak Sanjaya. Pemuda itu marah sekali karena gurunya dihina dengan sebutan demikian rupa. Kali ini dia lancarkan lagi Pukulan Tiga Racun dengan tangan kiri kanan.
Muning Kwengi jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Serentak dengan itu dia cabut lima buah pisau kecil dan melemparkannya ke arah Sanjaya. Karena saat itu dia tidak bersenjata terpaksa pemuda ini jatuhkan diri ke tanah. Namun dari belakang sana Muning Kwengi kembali melemparkan lima buah pisau. Sanjaya bergulingan di tanah. Tapi tak urung salah satu pisau itu masih sempat menghantam tubuhnya, menancap di dada sebelah kanan!
Perwira muda itu mengeluh. Dengan menahan sakit dia cabut pisau tersebut langsung menyerbu ke arah si nenek. Muning Kwengi alias Iblis Pisau Terbang menyambut dengan tawa mengejek. Tubuhnya berkelebat lenyap. Dia sama sekali tidak melancarkan serangan. Agaknya sengaja memamerkan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi. Dengan berkelebat kian kemari laksana bayang-bayang semua serangan Sanjaya dielakkannya dengan gampang.
Di saat itu Sanjaya merasakan dadanya yang bekas ditancapi pisau lawan sakit sekali. Nafasnya menyesak dan kerongkongannya panas seperti tersekat. Serangannya menjadi kendor bahkan ketika pandangannya menjadi gelap pemuda ini hanya bisa berdiri terhuyung­huyung. Bumi ini laksana terbalik di matanya.
Muning Kwengi tersenyum. “Racun pisau telah bekerja… racun pisau telah bekerja,” katanya dalam hati lalu hentikan gerakannya. Dia maju beberapa langkah menghampiri Sanjaya dan berkata:
“Orang muda, sekarang maut ada di depan hidungmu. Jika kau bersedia ikut denganku, akan kuberikan obat penawar racun. Tapi jika kau tetap membandel, satu jam dimuka nyawamu tak akan tertolong lagi…!”
“Lebih baik mati. Seribu kali lebih baik mati daripada menyerahkan diri ikut dengan iblis macammu!” sahut Sanjaya. Suaranya demikian perlahan seperti berbisik. Kedua kakinya tertekuk. Tubuhnya terkulai dan jatuh ke tanah. Dari mulutnya ke luar ludah membusah. Dalam keadaan seperti itu dilihatnya Warok Grimbil memungut sebatang golok dan lari ke arahnya seraya berteriak:
“Muning Kwengi! Jika kau tidak mau membunuhnya, biar aku yang bikin mampus bangsat ini!”
Sesaat kemudian golok di tangan kiri kepala rampok itu diayunkan ke arah batok kepala Sanjaya. Si perwira muda ini tak mampu berbuat apapun selain diam menunggu kematian. Sekujur tubuhnya panas dingin akibat racun pisau. Di saat kematian datang itu terbayang olehnya wajah gurunya, wajah Wulandari. Terakhir sekali dia berseru menyebut nama Tuhan!
Selama seorang manusia tidak melupakan Tuhannya maka selama itu pula Tuhan ingat kepadanya. Begitulah yang terjadi dengan Sanjaya.
Pada detik golok di tangan Warok Grimbil akan membelah batok kepala perwira muda itu, entah dari mana datangnya, melayanglah sebuah batu sebesar kepalan. Terdengar pekik kepala rampok itu. Sikut kirinya hancur. Golok terlepas dari tangannya. Dengan demikian kedua sikut kiri kanan kepala rampok ini mengalami cedera parah.
Sebelum Sanjaya jatuh pingsan masih sempat dilihatnya kemunculan seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian serba putih, berdiri di bawah cucuran atap sebuah rumah sambil bertolak pinggang dan cengar-cengir seenaknya seperti orang kurang waras!

11

Anjing kurap! Setan alas! Siapa kau?!" bentak Muning Kwengi menggeledek dan marah sementara adiknya Warok Grimbil terkapar di tanah mengerang kesakitan. Pemuda di bawah cucuran atap kembali menyeringai dan keluarkan suara bersiul.
"Haram jadah!" maki Muning Kwengi.
Sekali tangannya bergerak lima pisau kecil terbang ke arah si pemuda. Di seberang sana pemuda berambut gondrong itu kembali keluarkan suara bersiul. Dia telah lama mendengar kehebatan nenek-nenek bertubuh katai itu. Karenanya begitu diserang segera dia pukulkan tangan kirinya. Satu gelombang angin bersiur menerpa lima pisau terbang. Senjata-senjata maut beracun itu mental dan hebatnya kini membalik menggempur pemiliknya sendiri!
Kagetnya Muning Kwengi bukan alang kepalang. Cepat dia menyingkir. Selama malang melintang memegang gelar lblis Pisau Terbang hanya ada satu tokoh silat yang pernah membendung bahkan mengembalikan serangan pisaunya. Tokoh silat itu adalah Dewi Siluman Dari Bukit Tunggul yang kini sudah mati yaitu ketika terjadi perselisihan antara sesama tokoh­tokoh golongan hitam. Dengan mata membeliak hatinya bertanya-tanya siapa gerangan adanya pemuda berambut gondrong yang memiliki kepandaian bukan sembarangan ini!
"Muning Kwengi!" Tiba-tiba si pemuda berseru, membuat kaget si nenek.
"Ladalah! Kowe kenal namaku!" tukas lblis Pisau Terbang.
Tanpa acuhkan keterkejutan orang si rambut gondrong kembali berkata: "Seminggu lalu secara biadab kau menghancurkan seluruh pesantren Bintang Hijau di lembah Beringin …."
"Oh, jadi kau anak murid pesantren Bintang Hijau yang datang untuk menuntut balas?!" sentak Muning Kwengi.
"Siapa aku, kau tak perlu tahu! Setiap orang yang berada di jalan kebenaran berhak meminta pertanggungan jawabmu atas semua kejahatan yang telah kau lakukan!"
"Hebat sekali!" sahut Muning Kwengi lalu tertawa panjang. "Enam tokoh silat kelas satu pernah mengeroyokku satu bulan lalu. Mereka juga bicara tentang segala macam kebenaran dan tanggung jawab! Dan mereka semua mampus di tanganku!"
"Memang betul! Ada kalanya kejahatan itu dapat menghancurkan kebenaran, tapi tidak selamanya…."
"Ah ucapanmu tinggi dan sombong. Melihat tampangmu yang tolol kau tentu bukan seorang terpelajar, apalagi sastrawan! Disamping itu aku tidak terlalu suka mendengar obrolan panjang lebar. Lekas terangkan siapa kau dan ilmu kepandaian apa yang hendak kau andalkan hingga berani datang untuk jual tampang di hadapanku si lblis Pisau Terbang?"
"Aku utusan kematian! Mewakili malaikat maut untuk minta roh busukmu!" sahut pemuda berambut gondrong.
Menggelegaklah kemarahan Muning Kwengi. Rahangnya bertonjolan dan matanya membeliak. Didahului oleh pekikan keras nenek-nenek ini melompat ke muka seraya lancarkan satu tendangan dan dua pukulan tangan kosong yang hebat!
"Ciat!"
Pemuda rambut gondrong membentak nyaring dan berkelebat ke samping. Tangannya yang mengepal dipukulkan ke depan. Terdengar angin bersiur. Muning Kwengi tersentak kaget ketika merasakan tubuhnya terapung di udara tak bisa maju lagi laksana ditahan oleh selapis dinding yang amat atos!
"Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih!" seru nenek katai itu begitu dia mengenali pukulan pertahanan yang dilepaskan lawan. Melihat kenyataan ini tergetarlah hatinya. Mukanya menjadi pucat. Kini dia sudah dapat memastikan siapa adanya pemuda gondrong itu!
Sebagai tokoh silat golongan yang sudah terkenal di delapan penjuru angin tentu saja Muning Kwengi tidak mau memperlihatkan kegentarannya. Setelah melompat ke samping guna menghindarkan terpaan angin pukulan lawan, secepat kilat dia lemparkan setengah lusin pisau beracun. Serangan ini masih disusul lagi dengan satu pukulan tangan kosong yang mengeluarkan sinar biru menggidikkan!
Baik pisau terbang maupun pukulan tangan kosong keduanya sama mengandung racun yang amat jahat.
Pemuda rambut gondrong melompat, dua tombak ke udara. Dari atas dia lalu melepaskan satu pukulan dahsyat yang selama ini merupakan pukulan yang telah menggetarkan dunia persilatan.
lblis Pisau Terbang berseru tegang ketika melihat sinar putih menyilaukan laksana kilat dari langit menyambar panas ke arahnya!
"Pukulan Sinar Matahari!"
Nenek-nenek itu membuang diri ke samping kiri, bergulingan di tanah untuk kemudian berdiri dengan kedua tangan dipentangkan di depan dada, menjaga segala kemungkinan sementara wajahnya yang keriput kelihatan bertambah pucat.
Pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan si pemuda yang dengan demikian menyatakan bahwa dia adalah bukan lain Wiro Sableng yang bergelar Pendekar Kapak Maut Geni 212, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede!
Seruan Muning Kwengi yang menyebut nama pukulan yang barusan dilepas lawan lenyap ditelan gelegar suara beradunya sinar pukulan itu dengan sinar biru yang dilepaskan Muning Kwengi untuk mempertahankan diri.
Dua pukulan itu laksana raksasa, berkecamuk, bergelungan, lalu memecah ke kiri untuk kemudian menyerempet sisa-sisa prajurit-prajurit dan anggota-anggota rampok yang masih bertempur. Terdengar pekik-pekik kematian. Semuanya berkaparan di tanah dengan tubuh hangus laksana dipanggang!
Muning Kwengi merasakan dadanya berdenyut-denyut. Menggempur pemuda itu sampai lima puluh atau seratus jurus sekalipun belum tentu dirinya akan sanggup mengalahkannya. Karenanya daripada membuang-buang waktu dan bukan mustahil dia bisa celaka maka nenek­nenek ini segera menyambar dan mendukung tubuh adiknya. Untuk tidak kehilangan muka dia berkata:
"Pendekar 212! Sayang aku tak punya waktu banyak. Jika nyalimu benar-benar besar aku tunggu kau! Malam bulan purnama besar di pekuburan Blumbung!"
"Nenek-nenek keriput! Kau mau ke mana?!" sentak Wiro Sableng. "Apa yang telah kau mulai hari ini, harus diselesaikan hari ini juga!"
lblis Pisau Terbang pencongkan mulut. Uengan tangan kanannya dilemparkannya tiga buah pisau ke arah Wiro Sableng. Pendekar ini cepat menghantam serangan lawan dengan pukulan tangan kosong. Namun pisau-pisau yang dilemparkan si nenek kali ini bukan sembarangan pisau. Karena begitu angin pukulan Wiro membentur badan pisau, ketiga pisau itu yang bagian dalamnya mempunyai rongga, meledak dan tiga gulungan asap hitam menggebubu menutupi pemandangan!
"Kurang ajar!" maki Wiro dan sadar kalau sudah tertipu. Tak menunggu lebih lama dia segera lepaskan dua pukulan Sinar Matahari ke jurusan di mana Muning Kwengi sebelumnya tadi berdiri. Tapi si nenek katai tidak roboh. Begitu asap bertabur dia melompat tiga tombak ke samping kiri untuk kemudian lenyap di dalam rimba belantara bersama adiknya.
Wiro Sableng garuk-garuk kepala dan memandang berkeliling. Mayat bertaburan dimana­mana. Perkampungan di tengah hutan itu sesunyi di pekuburan. Wiro melangkah mendekati sosok tubuh Sanjaya. Ditotoknya tubuh perwira yang malang itu di beberapa bagian kemudian dipanggulnya meninggalkan tempat itu.
Di barat langit telah kuning kemerahan. Sebentar lagi sang surya akan segera tenggelam. Pendekar 212 Wiro Sableng tinggalkan hutan Walu dengan berlari cepat ke jurusan selatan.
Telaga itu terletak di antara dua kaki bukit. Bulan sabit tampak menggantung tinggi di langit, sebentar-sebentar tertutup angin kelabu yang berarak ke arah timur. Sebuah api unggun menyala di salah satu tepian telaga. Tak berapa jauh dari api unggun kelihatan dua orang lelaki duduk berhadap-hadapan.
"Sebaiknya kau berbaring saja perwira. Agar kau bisa istirahat dan jalan darahmu teratur …."
"Ah, lagi-lagi kau memanggilku dengan sebutan perwira itu Wiro. Namaku Sanjaya …."
Wiro cuma menyengir. "Berbaringlah…" katanya lagi.
Sanjaya gelengkan kepala. Dia memandang pada balutan di dadanya.
"Bubuk obat yang kau berikan ternyata mujarab sekali. Aku telah berhutang nyawa terhadapmu…."
"Jangan kau sebut-sebut lagi hal itu …."
"Menyebutnya atau tidak namun itu adalah kenyataan."
Sanjaya diam seketika. Lalu: "Bagaimana kau bisa muncul di perkampungan rampok itu?" tanyanya kemudian.
"Aku memang sudah sejak lama memburu bangsat tua berjuluk lblis Pisau Terbang itu. Kejahatannya benar-benar telah lewat takaran. Terakhir sekali dia memusnahkan secara kejam pesantren Bintang Hijau di lembah Beringin. Jejaknya kuikuti sampai ke dalam rimba belantara Walu. Justru kuketahui di situ juga bersarang gerombolan rampok ganas pimpinan Warok Grimbil. Menurut keterangan yang kudapat Warok Grimbil masih bersaudara kandung dengan lblis Pisau Terbang. Kujelajahi rimba belantara dan akhirnya betul-betul bertemu dua manusia jahat itu. Tapi sayang, keduanya berhasil meloloskan diri!" Lalu Wiro menerangkan bagaimana dia telah tertipu oleh tiga pisau terbang Muning Kwengi.
Karena sudah merasa sangat dekat dengan Wiro maka tanpa ditanya Sanjaya menuturkan pula tugas yang dijalankannya atas perintah Sri Baginda yakni untuk membasmi komplotan rampok jahat Warok Grimbil, menangkap pemimpinnya hidup atau mati.
"Semua prajuritku menemui kematian," keluh Sanjaya. "Bagaimana aku bisa kembali ke Kotaraja begini rupa?!"
"Tak usah kawatir, cepat atau lambat tentu ada orang lain yang akan membekuk kedua manusia jahat itu."
"Betul, tapi aku yang ditugaskan untuk membasminya justru aku sendiri yang selamat. Tidak mustahil orang akan berprasangka buruk padaku …."
"Kalah atau menang dalam satu pertempuran adalah satu hal yang lumrah sobat," menghibur Wiro.
"Yah, kekalahan yang terlalu pahit untuk ditelan," desis Sanjaya. Dia teringat pada gurunya dan menyambung dengan suara perlahan: "Yang akan mengalami kekecewaan besar adalah Eyang Wulur Pamenang, guruku. Dia tentu malu mempunyai seorang murid yang tidak berguna macamku ini. Aku sendiri tak punya muka untuk bertemu dengan dia …."
Wiro Sableng garuk-garuk kepala dan tertawa. "Jangan putus asa Sanjaya. Kita harus ingat, betapapun tingginya ilmu seseorang kelak ada lain orang yang lebih tinggi kepandaiannya. Di luar langit ada langit lagi. Begitu orang memberi perumpamaan …."
Sanjaya menghela nafas dalam dan memandang ke utara di mana dalam gelapnya malam sepasang matanya masih mampu melihat puncak gunung Slamet menghitam di kejauhan. Berada di situ pemuda ini sama sekali tidak mengetahui malapetaka yang telah menimpa gurunya serta tunangannya dua bulan yang lewat.

12

Kedai Pak Tanu terletak di tengah pasar di pusat kota Bumiayu, merupakan kedai yang buka siang malam di kota kecil itu. Karena Bumiayu menjadi pusat persimpangan lalu­lintas dari lima jurusan maka meskipun kecil tapi sepanjang hari sampai malam kota ini senantiasa ramai.
Kedai pak Tanu terkenal sampai ke mana-mana dan selalu ramai pengunjungnya. Sebenarnya makanan yang dimasak bu Tanu tidak terlalu luar biasa. Namun orang selalu datang ke sana untuk makan atau minum karena harganya murah. Dan ada hal lain lagi yang membuat orang mengalir sepanjang hari masuk ke kedai tersebut.
Pak Tanu mempunyai dua orang anak. Satu lelaki seusia sepuluh tahun sedang satu lagi perempuan yang sudah remaja puteri, berkulit hitam manis dan berparas cantik. Hidung mancung, bibir kecil, dagu laksana lebih bergantung. Leher jenjang, alis laksana bulan sabit dan bulu mata panjang melentik. Ditambah pula dengan lenggang lenggoknya ketika berjalan serta sikapnya yang genit manja, semua itulah yang sebenarnya menjadi penyebab mengapa kedai pak Tanu terkenal dan banyak dikunjungi orang.
Selaku pemilik kedai pak Tanu agaknya memang sengaja menyuruh anak gadisnya itu duduk di kedai untuk melayani para tetamu.
Colak colek dan cubitan tangan lelaki-lelaki bagi Sri Wening -begitu nama puteri pak Tanu – sudah merupakan hal-hal yang biasa, malah tak jarang banyaklah yang tergila-gila padanya. Makin banyak yang tergila berarti tambah banyak tamu yang datang dan tambah penuh kocek pak Tanu.
Sedemikian banyak para pemuda dan para pedagang yang terpikat namun sebegitu jauh tak seorang pun yang bisa mendekatinya. Banyak yang melamar malah. Semua ditolak. Jinak­jinak merpati. Begitulah julukan yang diberikan orang pada Sri Wening.
Suatu malam hujan lebat sekali. Di kedai pak Tanu terdapat sekitar selusin tamu. Kebanyakan di antara mereka minum teh atau kopi hangat sambil merokok dan tentunya tak lupa melirik puteri pemilik kedai yang hitam manis itu. Kadang-kadang seseorang sengaja menghabiskan minumannya cepat-cepat agar bisa minta minuman baru dan dengan demikian berkesempatan untuk mengganggu, meraba atau mencolek Sri Wening yang datang melayani.
Pada saat hujan lebat berganti rintik-rintik, masuklah seorang tamu muda berpakaian sederhana. Dia memandang dulu seputar kedai, lalu memilih tempat duduk di sudut yang agak terpencil. Diusapnya wajahnya yang basah oleh air hujan. Sri Wening mendatangi dengan lenggang-lenggok dan genit.
"Hai, kau datang lagi sahabat muda," sapa Sri Wening dan tak lupa melontarkan senyum memikat.
"Ya … ya …" sahut si pemuda sambil garuk-garuk belakang kepalanya.
"Nah, kau pasti lupa apa yang kupesankan malam kemarin ketika kau datang ke mari …."
"Apa … ? Pesan apa ya?" balik bertanya sang tamu sambil coba mengingat-ingat dengan tampang yang tolol.
Sri Wening tertawa berderai hingga semua orang memandang ke jurusannya. Diam-diam banyak yang merasa iri pada tamu muda bertampang bodoh itu.
"Ah, kau seorang pelupa rupanya! Malam kemarin kupesankan padamu agar kau memotong rambutmu yang gondrong tak karuan itu! Kau ingat?!"
"Ya … ya, aku ingat sekarang. Tapi … ngg …. Aku lebih suka gondrong begini!"
"Perempuan akan jijik melihatmu!" ujar Sri Wening.
"Biar, biar semua perempuan. Asal kau sendiri tidak," sahut si pemuda.
Kembali Sri Wening tertawa panjang.
"Kau ceriwis!" Sri Wening mencubit belakang tangan sang tamu. Si pemuda tersenyum dan kedipkan matanya. "Kau genit. Ih!" Gadis itu menjauh.
"Katakan sekarang, kau mau pesan makanan apa?"
"Seperti yang semalam."
"Yang semalam?"
Sang tamu mengangguk. Sri Wening masuk ke bagian belakang kedai. Tak lama kemudian dia ke luar kembali membawa makanan dan minuman yang dipesan.
Saat itu dua orang tamu lagi datang.
"Nah, habiskan makananmu ya!" kata gadis itu lalu siap melayani dua tamu yang barusan masuk. Selesai makan pemuda berambut gondrong itu duduk mengulurkan kedua kaki seenaknya. Tangannya mengusap-usap perutnya yang kenyak gembul sedang kedua matanya setengah terpejam. Dia kelihatan agak terganggu ketika seorang yang sejak tadi duduk di dekatnya mendekati dan bertanya:
"Mengantuk?" Suara bertanya ini sember dan tak sedap didengar.
Si pemuda palingkan kepala. Yang menegurnya ternyata seorang kakek-kakek berhidung besar tapi pesek sekali. Demikian peseknya hingga hampir sama dengan pipinya yang cekung keriput. Rambut serta sepasang alis matanya berwarna putih oleh kelanjutan usia.
"Hemm …" pemuda yang ditanya menjawab dengan gumam segan-segan.
"Kau datang dari mana, rambut gondrong?" tanya si kakek.
"Desa …."
"Desa mana?"
Yang ditanya membetulkan duduknya memperhatikan si kakek dengan pandangan meneliti. Si kakek justru tertawa lebar. Waktu tertawa jelas kelihatan tak ada sepotong gigi pun yang masih tumbuh di gusi atas mau pun bawah.
"Heh, aku bukan menyelidik …" kata si kakek.
"Hanya orang-orang dengan maksud tertentu yang suka menyelidiki orang lain …."
"Betul, kau betul sekali anak muda." Kakek hidung pesek angguk-anggukkan kepalanya. Lalu dikeluarkannya sebuah dompet tikar pandan. "Kau merokok?"
Si pemuda menggeleng.
Orang tua itu mencabut sebatang rokok kawung, menyalakannya lalu duduk menyandarkan punggung ke dinding kedai, memandang ke arah pintu.
"Kau sendiri siapa, kek?" kini pemuda rambut gondrong ganti bertanya.
"Sama sepertimu. Tamu di kedai ini. Hanya aku sudah kakek keriput dan kau masih muda …."
"Tua bangka konyol …" maki si gondrong dalam hati. Sementara si kakek menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi ke udara. Sesaat kemudian dia membuka mulut kembali. "Kuperhatikan sudah empat malam ini kau datang ke mari. Apa kecantikan dan kegenitan anak gadis pemilik kedai ini telah membuatmu tergila-gila? Kulihat kau tadi bercanda dengannya. Bahkan kedipkan mata segala!"
"Ah, matamu yang tua itu ternyata belum lamur. Malah tajam sekali kek. Sudah kodrat alam jika pemuda tertarik dengan gadis cantik. Tak dapat disalahkan. Tapi kau yang sudah begini, apakah ikut tertarik dengan gadis itu kek? Kalau tak salah kaupun sudah empat malam datang kemari!"
Si kakek tertawa mengekeh hingga hidungnya yang lebar itu jadi tambah lebar dan tambah pesek.
"Sekalipun aku tergila padanya, mana mungkin dia suka padaku. Bisa aku keblinger sendiri!" Habis berkata begitu si kakek kembali tertawa lalu menyambung: “Anak muda, aku tak akan mengganggumu lagi. Aku juga mengantuk dan ingin tidur sebentar." Lalu dia kembali ke tempat duduknya semula. Hanya sebentar sudah terdengar dengkurnya yang tidak sedap.
Wiro Sableng, si pemuda berambut gondrong tadi kembali melunjurkan kakinya dan kedua matanya ditutupkan setengah terpejam. Hampir satu kaili peminuman teh berlalu ketika kedua mata murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu tampak membesar dan memandang ke arah pintu kedai.
Seorang pemuda bertampang keren masuk dengan langkah tegap. Dia langsung duduk di belakang meja. Sepasang matanya yang sipit tidak berkesip dan selalu tertuju pada Sri Wening. Si gadis yang merasa diperhatikan balas memandang dan tersenyum genit lalu mendekati pemuda itu.
"Orang gagah, kau datang dari mana?" sapa Sri Wening.
Cuping hidung tamu yang ditegur tampak bergerak-gerak, kedua matanya membesar sedikit.
"Datang dari jauh adik. Bukankah namamu Sri Wening?"
"Ah, kau sudah tahu namaku. Rupanya namaku diterbangkan angin sampai jauh …." Anak gadis pak Tanu itu kembali melayangkan senyum memikat.
"Tentu parasmu yang cantik jelita laksana harumnya bunga yang diterbangkan angin ke mana-mana!"
"Kau pandai merayu. Siapa namamu sahabat muda?" tanya Sri Wening.
"Prana."
"Hanya Prana? Tak ada sambungannya?"
Si pemuda menggeleng.
"Pendek amat namamu. Tapi bagus, sebagus orangnya. Nah sekarang katakan kau mau makan apa, mau minum apa."
Tamu itu menyebutkan makanan yang diinginkannya dan juga memesan tuak haruna satu buli-buli penuh. Sambil menunggu pesanannya dia memandang berkeliling. Tak banyak yang menarik perhatiannya dalam kedai itu. Juga terhadap Pendekar 212 yang tidur-tidur ayam serta orang tua berhidung pesek yang mendengkur tak berapa jauh dari Wiro.
"Boleh aku menemanimu makan?" tanya Sri Wening manja begitu selesai meletakkan hidangan di atas meja.
"Tentu, tentu saja," jawab Prana gembira.
Diambilnya sebuah kursi dan diletakkannya dekat-dekat ke kursinya lalu dipersilahkannya Sri Wening duduk di situ. Tangan kanan menyuap makanan sedang tangan kiri memegangi pinggul gadis pemilik kedai itu. Bagi Sri Wening yang genit hal ini belum pernah dilakukan lelaki lain sebelumnya. Memang banyak yang suka mencubit tangannya, tapi memeluk begitu benar­benar satu keberanian luar biasa. Bagi pak Tanu dan istrinya yang memang sengaja memancing para tamu dengan kecantikan anaknya, hal sejauh itu tidak diharapkannya. Tamu­tamu lain di kedai itu juga memperhatikan dengan mata melotot. Ada yang dongkol, ada yang menganggap tindakan Prana kurang ajar tapi ada juga yang iri. Hanya dua orang tamu yang sepertinya tidak perduli. Yakni Wiro Sableng dan si kakek hidung pesek.
Selesai makan Prana meneguk tuak dalam buli-buli sampai setengahnya. Wajahnya yang putih kelihatan menjadi merah.
"Masakannya enak apa tidak?” tanya Sri Wening.
Dia juga merasa risih dan hendak berdiri. Tapi pelukan tangan Prana di pinggulnya kencang sekali, membuat dia hampir tak bisa bergerak.
"Enak sekali. Pasti kau yang memasaknya bukan?"
Sri Wening mengangguk meski semua makanan yang dijual di kedai itu ibunyalah yang memasak. Dia hanya tahu bersolek dan menunggu tamu. Prana menuang lagi tuaknya. Mukanya makin merah. Tiba-tiba ditariknya kepala Sri Wening lalu diciumnya wajah gadis itu bertubi-tubi. Si gadis menggeliat dan meronta serta berseru tegang setengah marah setengah takut. Semua orang dalam kedai tampak terkejut. Pak Tanu dan istrinya terkesima saling pandang.
Tiba-tiba pak Tanu berdiri dan melangkah cepat ke meja Prana dan membentak keras:
"Manusia kurang ajar! Lekas bayar makanan dan tuak itu. Lalu angkat kakimu dari kedaiku!"
Dibentak begitu si pemuda tenang-tenang saja seperti tak mendengar. Malah tangannya merayap lebih berani. Yang satu masih melingkar di pinggang Sri Wening, satunya lagi bergerak ke dada. Pak Tanu cepat menarik anaknya dari pelukan Prana, tapi tak berhasil.
"Lepaskan anakku!" teriak pak Tanu.
Prana mengekeh.
"Bukankah kau sendiri yang sengaja menyuruh anakmu melayani tetamu, mengandalkan kecantikan dan kegenitannya supaya dapat banyak uang. Sekarang dia tengah melayaniku, kenapa kau justru jadi marah? Jangan takut aku tak akan lupa membayar harga makanan dan tuak itu. Malah akan kutambah dengan harga kehangatan tubuh anakmu!"
Marah pak Tanu tak terbendung lagi. Diambilnya buli-buli arak dari atas meja lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Jika tak kau lepaskan anakku dan segera membayar, kupecahkan kepalamu!" ancam pak Tanu.
Prana ganda tertawa. Dia sama sekali tidak perdulikan ancaman pemilik kedai malah kini dengan kurang ajar tangan kanannya menyelinap di balik dada pakaian Sri Wening.
"Manusia bejat haram jadah!" maki pak Tanu.
Tangan kanannya bergerak menghantam buli-buli tuak ke kepala Prana. Tetapi pemilik kedai ini jadi kaget ketika mendapatkan dirinya tahu-tahu sama sekali tidak dapat bergerak. Tangan dan sekujur badannya kaku.
"Hai, kenapa diam saja?" tanya Prana. "Bukankah kau hendak menghancurkan kepalaku?"
"Setan alas! Aku tak bisa menggerakkan tanganku. Aku tak bisa bergerak!" seru pak Tanu dengan mata melotot. Rasa takut lebih banyak dari pada rasa heran.
Semua orang yang menyaksikan dan mendengar ucapan pemilik kedai itu jadi melengak kaget. Pada saat itu pula Sri Wening merasakan sesuatu tusukan pada punggungnya. Setelah itu dia juga tak dapat bergerak. Dia hendak berteriak tapi mulutnya pun tak mau membuka. Lidahnya seperti kelu! Dia sama sekali tak dapat mengeluarkan suara! Dari balik pakaiannya Prana mengeluarkan beberapa keping uang dan dilemparkannya di atas meja.
"Uang ini cukup banyak untuk membayar makanan, tuak serta anak gadismu ini. Karenanya aku berhak untuk membawanya sekarang …."
Selesai berkata begitu Prana langsung berdiri dan memanggul Sri Wening di bahu kirinya.
"Kau mau bawa ke mana anakku?!" teriak bu Tanu seraya berlari mendatangi.
"Oh, kau ibunya?" ujar Prana. "Tak usah khawatir, aku akan membawa anakmu sebentar saja dan tenang sajalah!" Prana lambaikan tangannya pada ibu Sri Wening yang tengah berlari mendatangi langsung tertegun mematung tanpa bisa bergerak lagi di samping suaminya. Kedua suami istri ini berteriak-teriak minta tolong. Kedai itu jadi hingar bingar.
Beberapa orang tamu muda segera menghadang di pintu depan.
"Eh, kalian mau menghalangiku?" tegur Prana dengan pandangan angker.
"Penculik! Lepaskan gadis itu kalau mau selamat!" teriak seorang pemuda bertubuh tinggi besar.
Prana menyeringai.
"Aku muak melihat tampangmu. Pergilah!" hardik Prana seraya mendorongkan telapak tangan kanannya ke depan. Pemuda itu kontan menjerit dan tubuhnya terlempar ke luar kedai, jatuh di jalanan yang becek. Beberapa orang segera menghunus senjata dan mengurung Prana.
"Aku peringatkan pada kalian. Lebih baik menyingkir!" bentak Prana.
"Bangsat penculik! Makan pisauku ini!" Dari samping seorang menghujamkan pisau panjang ke arah lambung Prana. Yang diserang menggeser tubuhnya dengan cepat. Di lain kejap tempelengannya sudah menghantam kening penyerang. Pemegang pisau melintir dan jatuh di lantai tanpa bisa bangun lagi. Beberapa tamu lain yang juga berusaha menyerbu mengalami nasib sama, dihantam pingsan satu demi satu. Gerakan Prana cepat sekali tanda dia memiliki kepandaian silat yang tidak sembarangan.
Sampai saat itu baik Pendekar 212 Wiro Sableng maupun si kakek hidung pesek tetap saja duduk tenang-tenang di tempat masing-masing. Yang satu tidur-tidur ayam, yang lain mengorok terus. Namun ketika Prana melangkah ke arah pintu, dengkur si kakek tiba-tiba berhenti dan terdengar satu bentakan:
"Manusia bernama Prana, tunggu dulu! Jangan cepat-cepat pergi!"
Langkah si pemuda tertahan. Dia rasa-rasa sudah pernah mendengar suara mirip-mirip seperti orang yang membentak itu. Dia berpaling. Dilihatnya orang tua pesek yang tadi mendengkur berdiri dari kursi dan melangkah kehadapannya. Prana bertindak waspada. Jika si kakek mengetahui apa yang terjadi berarti tadi dia tidak sesungguhnya tertidur pulas dan mendengkur!
"Prana, kau kenal aku … ?" tanya si kakek.
"Ada untung apa aku kenal dengan kakek-kakek perot macammu! Aku tak punya banyak waktu untuk bicara!"
Prana memutar tubuh hendak berlalu. Tapi si kakek pesek memegang bahu kanannya. Pegangan ini laksana tindihan batu besar. Terkejutlah si pemuda penculik.
"Orang tua, siapa kau sebenarnya … ?" desis Prana. Sepasang matanya menyipit kejam.
"Pandanglah parasku yang buruk ini Prana. Pandang baik-baik …" berkata si kakek.
Prana menatap wajah tua itu dalam-dalam.
"Aku tidak kenal kau dan jangan ikut campur urusanku!" kata Prana akhirnya dan siap hendak berlalu.
Tiba-tiba orang tua itu menggerakkan tangan kanannya ke wajahnya. Sehelai kulit tipis yang selama ini menutupi mukanya dan merupakan topeng tipis terbuka, kini kelihatan wajahnya yang asli. Ternyata wajahnya putih bersih meskipun penuh dengan keriput ketuaan.
"Guru!" seru Prana tersentak kaget begitu dia melihat wajah asli orang dihadapannya. Demikian kagetnya pemuda itu hingga sampai mundur beberapa langkah.

13

Hemmm …" si orang tua bergumam. "Betul. Aku memang gurumu yang bernama Jagat Kawung. Rupanya kau masih bisa mengenali guru yang telah kau nodai dengan segala perbuatan-perbuatan terkutukmu selama ini. Warangas! Aku menyesal seumur-umur telah mengambilmu jadi murid. Lepaskan gadis itu dan bersiaplah untuk menerima hukuman!" "Guru, aku tak mengerti maksud ucapanmu!" tukas Prana yang oleh si kakek tadi disebut dengan nama aslinya yaitu Warangas. "Turunkan gadis itu!" bentak Jagat Kawung.
"Aku telah memutuskan untuk membawanya!" jawab Prana alias Warangas.
Sepasang mata si kakek berkilat-kilat karena kemarahan luar biasa. "Di situ jelas terlihat kebejatanmu! Dan kau masih hendak berpura-pura di hadapanku. Kepandaian yang kuberikan padamu kau pergunakan untuk berbuat kejahatan. Merusak rumah tangga orang. Mempermainkan isteri orang, menodai gadis-gadis. Kau muncul dengan berbagai nama. Sebagai Dipasingara. Sebagai Handaka. Sebagai Prana. Namun kau tetap Warangas, manusia busuk terkutuk, pemuda hidung belang bejat di atas jagat ini! Turunkan gadis itu Warangas!"
"Tidak!"
"Kau membangkang perintah gurumu?"
"Jika kau berani menghukumku, mulai detik ini aku tidak menganggapmu sebagai guru lagi!" jawab Prana alias Handaka alias Dipasingara alias Warangas.
"Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!"
Jagat Kawung mencengkeramkan tangan kirinya ke muka muridnya yang aslinya bernama Warangas itu. Tangannya yang satu lagi mencengkeram ke perut. lnilah yang disebut gerakan maut "Sepasang Cengkeraman Garuda Sakti."
Warangas cepat menyingkir. Dia tahu kehebatan gurunya. Karena begitu berhasil mengelakkan serangan tadi cepat-cepat dia menurunkan Sri Wening. Terlalu besar resikonya menghadapi sang guru dengan masih memanggul gadis itu.
"Guru, kuharap kau mau membendung kemarahan dan tidak menurunkan tangan kasar!"
"Manusia laknat. Jangan panggil aku guru! Dan tak perlu mulut busukmu banyak bicara!" Kembali Jagat Kawung berkelebat. Tapi kembali pula Warangas berhasil mengelakkan diri.
Di samping luapan amarah, Jagat Kawung juga jadi heran melihat ilmu yang dimiliki Warangas jauh lebih maju dari kepandaiannya yang pernah diturunkannya dulu. Maka tanpa membuang waktu Jagat Kawung segera keluarkan jurus-jurus serangan ampuhnya. Serangannya datang bertubi-tubi laksana hujan mencurah. Kedai itu bergetar oleh sambaran­sambaran angin kedua orang yang baku hantam.
Dalam kelebatan tubuh hanya merupakan bayang-bayang saja, tiba-tiba terdengar teriakan Jagat Kawung. Teriakan ini disertai dengan berkiblatnya sinar merah menyala laksana lidah api, menyambar ke arah tubuh Warangas. lnilah pukulan paling hebat yang dimiliki Jagat Kawung. Selama lima belas tahun meyakini ilmu kesaktian tersebut tak satu kekuatan lawanpun yang sanggup menghadapinya. Sudah dapat dibayangkan oleh orang tua itu bagaimana tubuh muridnya yang terkutuk itu akan meleleh matang dihantam pukulan sakti bernama "Pukulan Baja Merah" itu.
Namun sesaat kemudian jadi melengak sewaktu menyaksikan bagaimana dari dua telapak tangan muridnya menderu ke luar larikan-larikan sinar putih yang sanggup menahan dan menangkis pukulan Baja Merah!
Tidak dapat tidak pastilah Warangas telah berguru pada seorang sakti lainnya, pikir Jagat Kawung.
Di lain pihak meskipun Warangas kelihatan sanggup menghadapi pukulan sakti gurunya namun saat itu kedua telapak tangannya terasa panas laksana terpanggang dan berwarna merah sedang dari mulutnya ke luar darah membuih.
Warangas cepat keluarkan beberapa butir obat dan menelannya lalu kerahkan tenaga dalamnya ke bagian dada yang dirasakannya berdenyut sekali. Kedua matanya yang sipit tampak merah. Pandangan buas beringas!
"Tua renta keparat! Kau rasakan pembalasanku!" kertak Warangas. Tangannya bergerak ke balik pakaian.
"Sret!"
Sebuah benda hitam bertebar membentuk setengah lingkaran.
Paras Jagat Kawung kontan berubah melihat benda di tangan murid murtad itu. Jadi benarlah kabar yang didengarnya selama ini bahwa Warangas memiliki senjata luar biasa, sebuah kipas sakti berwarna hitam.
"Kipas Pemusnah Raga!" desis Jagat Kawung. "Murid keparat darimana kau dapatkan benda itu?!"
"Ha … ha … nada pertanyaanmu jelas bahwa nyalimu menjadi ciut! Dari mana aku dapatkan benda ini bukan urusanmu. Kalau kau tidak puas dengan jawabanku, silahkan tanya nanti pada iblis-iblis di neraka!" Warangas lalu gerakan tangan kanannya yang memegang kipas.
"Wut!"
Selarik sinar hitam pekat menggidikkan ke luar menyambar dari Kipas Pemusnah Raga. Jagat Kawung berseru keras dan angkat kedua tangannya ke atas. Dua larik pukulan Baja Merah menyembur. Orang tua ini tidak yakin bahwa ilmu kesaktiannya itu bakal dapat melindungi dirinya dari serangan kipas sakti lawan. Tapi daripada tidak berbuat apa-apa sama sekali lebih baik melepaskan pukulan itu.
Ketidak yakinan Jagat Kawung memang beralasan. Terlihat dengan nyata bagaimana sinar hitam pekat memukul dua larik sinar merah. Selanjutnya sinar hitam Kipas Pemusnah Raga terus menggempur ke arah si orang tua.
"Celaka! Matilah aku sekarang!" keluh Jagat Kawung dalam hati. Dia berusaha membuang diri ke samping namun kasip.
Di saat yang sangat kritis dari samping tiba-tiba terdengar suara menderu laksana bumi dilanda air bah. Sinar hitam tampak bergoyang-goyang lalu terdorong keras ke samping dan musnah tak berbekas.
Jagat Kawung yang merasa dirinya diselamatkan oleh gelambang angin yang datang dari samping tadi menjadi amat terkejut. Lebih-lebih Warangas yang berdiri di seberang sana. Guru dan murid serentak sama-sama berpaling. Di sudut sana Pendekar 212 Wiro Sableng perlahan­lahan bangkit berdiri dari kursinya seraya garuk-garuk kepala.
"Guru dan murid hendak saling berbunuhan! Sayang … sayang sekali. Apalagi kalau sang guru sampai celaka di tangan muridnya yang murtad. Orang tua, serahkan Warangas padaku. Aku memang sudah lama mencarinya. Dosanya sudah lewat dari takaran!"
Sebelum Jagat Kawung sempat bicara, Warangas sudah membuka mulut: "Pemuda rambut gondrong! Apa perlumu ikut campur urusan orang lain?!"
"Untuk membasmi manusia bejat macammu orang tak perlu mencari segala macam alasan," sahut Wiro.
"Kalau begitu kau mencari mati!"
Lalu Warangas alias Handaka alias Dipasingara alias Prana mengebutkan Kipas Pemusnah Raga. Sinar hitam pekat kembali berkiblat. Murid Eyang Sinto Gendeng tak tinggal diam. Untuk kedua kalinya dia lepaskan pukulan sakti "Dewa Topan Menggusur Gunung."
Ketika kedua kekuatan sakti itu saling bentrokan, kedai pak Tanu tak sanggup lagi menahan hebatnya getaran. Meja dan kursi berpelantingan. Dua buah tiang kedai patah, salah satu dinding bobol. Orang-orang yang pingsan dan bergeletak di lantai mencelat. Beberapa diantaranya putus nyawanya. Sri Wening dan kedua orangtuanya dalam keadaan tertotok juga ikut mental ke luar kedai.
Warangas merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Kipas saktinya hampir terlepas. Ketika dia memandang ke bawah, ternyata kedua kakinya telah amblas sedalam sepertiga jengkal ke lantai tanah kedai. Jagat Kawung sendiri terhuyung-huyung hampir jatuh.
"Kurang ajar! Siapa bangsat gondrong ini sebenarnya?!" maki Warangas dalam hati. Diam­diam hatinya jadi tergetar. Belum yakin kalau serangannya benar-benar bisa ditahan lawan maka dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya kembali dia kebutkan kipas sakti. Sinar hitam menggidikkan kembali menderu dan melabrak ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro melepaskan lagi pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung. Keadaan kedai pak Tanu semakin porak poranda. Warangas yang menyadari bahwa sinar hitamnya tak mampu menandingi pukulan lawan yang menggemuruh cepat melompat jauh-jauh Wiro merasakan dadanya berdenyut. Dia cepat memburu ketika di depan sana dilihatnya Warangas menangkap tubuh Sri Wening. Jagat Kawung ikut mengejar. Tubuh Warangas lenyap di luar kedai, menyelinap dalam kegelapan malam. Tapi baik mata Wiro maupun Jagat Kawung tak bisa ditipu oleh kegelapan. Dalam waktu singkat keduanya berhasil mengejar dan berada di belakang pemuda penculik itu.
"Keparat hidung belang! Tempat larimu satu-satunya adalah kematian!" tariak Wiro.
"Anjing kurap! Nyawa anjingmulah yang bakal minggat ke neraka malam ini!" Satu bentakan garang menimpali.
Wiro terkejut.
Yang membentak bukanlah Warangas tapi orang lain. Tiga sosok tubuh berkelebat di kegelapan. Pendekar 212 terpaksa hentikan pengejarannya. Demikian pula Jagat Kawung. Gerakannya tertahan oleh hadangan tiga orang tak dikenal. Ini membuat Warangas lolos dan lenyap bersama gadis boyongannya.
"Sialan! Kalian siapa?!" bentak Wiro pada tiga orang yang menghadang di hadapannya. Kegelapan malam membuatnya tak dapat mengenali wajah mereka. Sewaktu ketiga orang ini melangkah mendekati guru murid Eyang Sinto Gendeng ini mengenal mereka.
"Kerak-kerak neraka! Malam yang kalian janjikan masih dua hari dimuka! Apakah kalian datang sebelurn waktunya karena sudah tak sabar lagi untuk mampus?!"
Dua orang di depan Wiro mendengus. Yang satu lagi rangkapkan tangan di muka dada.
"Malam terang bulan terlalu indah bagi kematian Pendekar 212! Kami memutuskan untuk mengambil nyawamu pada malam mendung gelap ini. Apa kau sudah siap untuk mampus?"
"Warok Grimbil! Rupanya nyalimu telah dipompa hingga menggembung besar! Apakah kedua sikutmu sudah sembuh? Dan kau nenek kontet Muning Kwengi yang dulu melarikan diri, apakah datang kemari karena mengandalkan kambratmu yang berkepala botak itu? Apa si botak ini sobat atau gendakmu?!" Wiro menuding pada laki-laki berkepala botak yang tegak di samping Muning Kwengi hingga manusia ini kertakkan rahang menahan marah. Dia mengerling pada orang tua di samping Wiro. Si botak ini telah mendengar kehebatan Wiro dari Muning Kwengi. Tapi justru saat itu dia memandang rendah terhadap Wiro sebaliknya menganggap kakek itulah yang harus diperhatikan. Kemelesetan dugaannya inilah yang justru bakal membuat dirinya celaka.
"Jadi kalian bertiga datang kemari untuk melanjutkan perhitungan tempo hari? Bagus! Kalian maju bertiga atau sendiri-sendiri?!"
"Bedebah!" maki Warok Grimbil bekas kepala rampok hutan Walu. Dicabutnya dua golok besar dari pinggang lalu memberi isyarat pada Muning Kwengi alias lblis Pisau Terbang. Nenek katai ini ganti memberi tanda pada si botak di sampingnya. Ketiga orang ini kemudian dengan serentak menerjang ke arah Wiro.
Jagat Kawung yang merasa berhutang nyawa lantas ikut terjun dalam pertempuran seraya berkata:
"Orang muda, aku bantu kau!"
"Grimbil! Kau berdua kakakmu hadapi kakek-kakek busuk ini. Aku biar melayani pemuda sampah ini yang katamu tinggi ilmunya!"
Sebenarnya si botak merasa gentar menghadapi Jagat Kawung. Karena itu sengaja disuruhnya kedua kakak beradik itu mengeroyok si kakek. Wiro yang diduganya tidak memiliki kepandaian apa-apa akan dilayaninya seorang diri. Warok Grimbil dan Muning Kwengi yang telah pernah dihajar Pendekar 212 tentu saja merasa gembira karena dengan demikian mereka akan terhindar dari malapetaka!
"Monyet botak!" ejek Wiro. “Sebutkan dulu namamu supaya aku tidak sungkan-sungkan menghadapimu!"
"Bocah ingusan! Mulutnya sombong. Tapi biarlah nanti akan kurobek!" Sambil menuding dadanya si botak ini meneruskan: "Jika ingin tahu aku inilah manusianya yang bernama Lembu Surah bergelar Maut Tangan Delapan!"
Wiro tertawa gelak-telak.
"Bangsat kenapa kau tertawa?" bentak si botak.
"Namamu seperti nama binatang. Gelarmu tangan delapan. Tapi mengapa kulihat tanganmu Cuma dua? Kalau namamu Lembu sepantasnya gelarmu Maut Kaki Ernpat!"
Marahlah Lembu Surah diejek demikian. Seumur hidup baru sekali ini dia menerima penghinaan seperti itu. Dia menerjang ke muka. Kedua tangannya bergerak cepat dan tampaknya betul-betul seperti berubah jadi sebanyak delapan buah dan kesemuanya menyerbu ke arah Wiro Sableng. Karena tidak tahu lengan mana yang asli dan mana yang hanya bayangan belaka, Wiro tak mau bertindak gegabah.
Serangan lawan disambutnya dengan jurus "Kipas Sakti Terbuka". Kedua lengannya dipentang ke atas. Sesaat kemudian terdengar pekik si Maut Tangan Delapan. Kedua tangannya beradu keras dengan tangan Wiro. Salah satu tulang lengannya patah sedang lengan yang lain menggembung merah kulitnya. Wiro sendiri merasakan kedua lengannya panas dan perih.
Sekalipun memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah tetapi pada dasarnya si botak berjuluk Maut Tangan Delapan ini adalah jenis manusia berhati pengecut. Mendapat celaka pada jurus pertama telah membuat nyalinya lumer.
"Grimbil! Kwengi! Maaf saja! Aku masih ada urusan lain yang lebih penting untuk diselesaikan. Aku betul-betul menyesal ikut kalian kemari!"
Selesai berkata begitu Lembu Surah cepat-cepat putar tubuh dan larikan diri dari tempat itu. Wiro tak berniat mengejar karena antara dia dengan si botak itu sebenarnya tak ada silang sengketa apa-apa. Kini dia hanya berdiri memperhatikan Jagat Kawung yang dikeroyok oleh Warok Grimbil dan Muning Kwengi.
Pada saat Lembu Surah melarikan diri Warok Grimbil masih sempat melemparkan caci maki pada si botak itu. Tiga jurus pertama meskipun mengandalkan tangan kosong Jagat Kawung masih sanggup mengimbangi kedua lawan. Namun ketika Muning Kwengi mulai melancarkan serangan-serangan pisau terbang sedang Warok Grimbil menggempur dengan sepasang golok besarnya, mau tak mau orang tua itu jadi tertekan juga. Ini mernbuat Jagat Kawung jadi jengkel.
"Manusia-manusia sialan! Kalau tidak karena kalian tentu murid keparat itu tidak akan lolos!"
Warok Grimbil dan Muning Kwengi balas menjawab dengan tawa mengejek.
"Memakilah sepuasmu sebelum roh busukmu meninggalkan tubuh peotmu!" teriak Warok Grimbil.
"Sombong! Kau yang lebih dulu pergi ke neraka!" sahut Jagat Kawung lalu dari salah satu tangannya menyambar selarik sinar menyala merah.
"Grimbil awas!" teriak Muning Kwengi memperingatkan. Tapi sang adik berada dalam keadaan yang sulit untuk mengelak. Kemudian terdengar pekik Warok Grimbil. Tubuhnya yang katai terguling hangus laksana dipanggang. Tentu saja nyawanya tidak tertolong lagi!
"Bangsat! Rasakan pembalasanku!" bentak Muning Kwengi marah meluap melihat kematian adiknya mengenaskan begitu rupa. Selusin pisau terbang dilemparkan ke arah Jagat Kawung, tetapi sekali lagi sinar merah berkiblat. Selusin pisau terbang runtuh ke tanah. Ketika orang tua itu hendak susul dengan pukulan kedua Wiro Sableng cepat berseru: "Kakek, yang satu ini adalah bagianku!"
"Tahan! Jurus kematiannya harus di tanganku!" tiba-tiba terdengar suara lantang.
Sesosok tubuh melompat dari kegelapan. Terdengar deru sesiuran angin. Si katai Muning Kwengi yang bingung karena berturut-turut ada tiga manusia yang inginkan jiwanya menjadi gugup waktu mengelak. Sebilah pedang tajam berkelebat menyambar lehernya. Terdengar suara seperti kambing disembelih dari tenggorokan perempuan bergelar lblis Pisau Terbang itu. Darah menyembur dari lehernya yang hampir putus. Nenek katai ini bersungkur ke tanah, mati di situ juga tanpa mengetahui siapa manusia yang telah membunuhnya.
Seorang lelaki muda berwajah liar tetapi lusuh berdiri termangu memandangi mayat Muning Kwengi.
"Siapa dia … ?" tanya Jagat Kawung pada Wiro Sableng.
"Sanjaya, perwira muda Kerajaan. Antara mereka memang ada dendam kesumat lama. Memang pantas nenek rongsokan itu mati di tangannya. tengah menjalankan tugas Kerajaan."
Sanjaya melangkah ke arah Wiro seraya menyarungkan pedangnya.
"Kita jumpa lagi sobatku," kata perwira muda itu.
"Aku senang bertemu denganmu lagi Sanjaya." Wiro lalu memperkenalkan Sanjaya pada Jagat Kawung.
"Wajahmu kulihat mendung. Tubuhmu lebih kurus. Agaknya ada sesuatu ganjalan dalam dirimu Sanjaya?" tanya Wiro pula.
Sanjaya menghela napas panjang. Lalu mengangguk. "Kesulitan besar Wiro. Rasanya tak sanggup kupikui lebih lama …."
"Kami adalah sahabatmu," kata Jagat Kawung. "Jika kau mau mengatakan kesulitanmu itu, mungkin kami bisa membantu."
Lama Sanjaya berdiam diri, baru menjawab: "Dua minggu lalu aku kembali ke gunung Slamet. Apa yang kutemui disana benar-benar mengejutkan. Mayat guruku yang tinggal tengkorak utuh hanya digumpali daging rusak di sana-sini kutemui menggeletak di semak belukar. Tulang-tulangnya hangus hitam. Apa yang terjadi tidak kuketahui. Wulandari adik seperguruanku juga merupakan tunanganku tak ada disitu. Seluruh puncak gunung Slamet kuselidiki. Wulandari tetap tak kujumpai. Akhirnya aku turun gunung. Di satu tempat kudengar suara tangis perempuan memilukan hati. Ketika kudatangi ternyata Wulandari. Aku terkejut sekali melihat keadaannya. Pakaiannya kotor dan robek-robek. Matanya merah bengkak karena terlalu banyak menangis. Dia menjerit pada detik melihatku. Dia seperti orang yang ketakutan lalu melarikan diri. Di satu tempat aku berhasil mengejarnya dan pada saat itulah baru kulihat dengan jelas perutnya. Menggembung besar, mengandung! Tapi yang paling menyedihkan ialah ketika kuketahui bahwa Wulandari tidak lagi sehat otaknya. Kadang-kadang dia menangis. Kadang-kadang tertawa. Sulit sekali. Dia menyebut-nyebut pembunuhan atas diri Eyang Wulur Parmenang. Menyebut seseorang tak kukenal bernama Handaka. Lalu soal pengusiran dan anak haram yang dikandungnya. Aku coba mempelajari semua keterangan dari keadaan dirinya itu namun tetap sulit mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi. Kemudian Wulan berteriak­teriak dan lari. Kali ini aku tak dapat mengejarnya. Menurutku satu-satunya orang yang bisa memberi keterangan adalah yang bernama Handaka yang disebut-sebut Wulan itu. Aku berusaha melakukan penyelidikan tapi sia-sia belaka. Mau pecah rasanya kepalaku dan mau gila rasanya otak ini!"
Lama kesunyian mencekam di tempat itu setelah Sanjaya mengakhiri kisahnya. Ketika Jagat Kawung mengangkat kepala dilihatnya sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng memandang lekat-lekat kepadanya. Orang tua ini segera maklum apa arti pandangan ini.
"Wiro, kau jelaskan semuanya pada Sanjaya …" kata Jagat Kawung perlahan.
Wiro berpaling pada Sanjaya. "Ketahuilah, orang bernama Handaka itu adalah orang yang juga tengah kami kejar. Barusan saja dia berada di sini, tetapi berhasil meloloskan diri …."
"Lolos?! Ke mana dia melarikan diri. Aku harus mengejarnya dan minta keterangan!" kata Sanjaya.
"Sabar perwira, sabar …."
"Aku sudah meletakkan jabatan. Aku bukan perwira Kerajaan lagi. Jangan panggil aku dengan sebutan itu, Wiro."
Wiro manggut-manggut dan meneruskan keterangannya.
"Handaka adalah salah satu saja dari sekian banyak nama palsu yang dipakai orang itu. Nama aslinya ialah Warangas. Dia pernah memakai nama Dipasingara. Muncul dengan nama Handaka atau Prana dan sebagainya. Dia bukan manusia baik-baik. Kejahatan yang dilakukannya adalah kejahatan paling terkutuk. Merusak kehormatan setiap perempuan cantik yang ditemuinya, dengan berbagai cara dan akal. Tak perduli apakah perempuan itu istri orang, apalagi masih gadis …."
"Kalau begitu tunanganku Wulandari telah dirusak kehormatannya oleh pemuda itu. Hamil dan rusak jiwa serta pikirannya."
"Mungkin sabatku, mungkin sekali. Mungkin pula dia jugalah yang telah membunuh gurumu. Itu masih harus kita selidiki." Wiro lalu menerangkan peristiwa di kedai pak Tanu. "Dia memiliki sebuah senjata dahsyat yaitu sebuah kipas sakti berwarna hitam. Karena itu dia dijuluki Hidung Belang Berkipas Sakti." Sesaat Wiro terdiam. Lalu meneruskan: "Adalah satu kenyataan pahit dan pasti mengejutkanmu…." Wiro tak meneruskan, melirik dulu pada Jagat Kawung. Orang tua ini mengerti dan berkata: "Teruskan kalimatmu Wiro. Tak ada yang perlu dirahasiakan."
"Satu kenyataan pahit bahwa Handaka itu bukan lain adalah murid orang tua ini sendiri."
"Apa?!" Suara Sanjaya seperti geledek. Tanpa pikir panjang lagi dia segera cabut pedangnya. "Jadi dia muridmu?! Kalau begitu kau pantas kucincang lebih dulu!"
Tangan Sanjaya yang memegang pedang bergerak. Jagat Kawung hanya tundukkan kepala seolah-olah menyerah pasrah untuk dibunuh saat itu juga. Tetapi Wiro Sableng cepat memegang lengan bekas perwira Kerajaan itu dan berkata:
"Sabar sobatku. Sabar. Jangan kalap membabi buta. Jika kau punya dendam terhadap muridnya adalah tolol membalaskan sakit hati pada gurunya yang juga pernah mencari-carinya untuk menjatuhkan hukuman!"
Kata-kata Wiro itu mengendurkan kemarahan Sanjaya. Dengan tangan bergetar dan muka keringatan disarungkannya pedangnya kembali. Kemudian didengarnya Jagat Kawung berkata: "Biarkan dulu aku terus hidup untuk dapat menjatuhkan hukuman terhadap murid murtad itu. Kelak jika dia sudah kusingkirkan dari dunia ini aku pasrah menerima kematian di tanganmu! Memang terlalu memalukan untuk hidup lebih lama …."
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sanjaya kemudian.
Sunyi sejenak.
"Apa lagi selain mencari keparat bernama Warangas itu!" sahut Jagat Kawung. Di malam yang gelap ketiga orang itu segera meninggalkan tempat itu.

14

Kuda coklat itu dipacunya secepat-cepatnya menuju pantai selatan. Tiba-tiba si penunggang mendadak sontak tarik tali kekang dan berhenti memasang teiinga. Lapat­lapat dikejauhan terdengar suara orang menangis. Suara tangis perempuan. Demikian memilukan suara tangis itu hingga penunggang kuda ini turun dari kudanya dan melangkah ke jurusan datangnya suara tangis tersebut.
Tak berapa lama kemudian, dari balik semak belukar dilihatnya seorang perempuan duduk menyelepok di tanah. Pakaiannya rombeng dan kotor. Rambutnya yang panjang tergerai awut­awutan. Dia tak dapat melihat jelas wajah perempuan ini karena ditutupi dengan kedua telapak tangannya. Yang lebih menarik perhatian lelaki ini ialah kenyataan bahwa perempuan yang menangis itu berperut besar alias sedang hamil. Paling tidak hamil enam bulan.
Tiba-tiba suara tangisan itu berhenti. Perempuan itu berdiri dan mencabut sebilah pedang. Kini lelaki itu dapat melihat wajah perempuan itu. Cantik. Debu kotor tidak dapat menyembunyikan kecantikannya. Sepasang matanya tampak merah dan beringas berputar­putar. Mendadak dia menjerit keras. Pedang di tangannya disabatkan kian kemari merambas pohon-pohon dan semak belukar disekelilingnya.
"Mampus! Mampuslah kau Handaka! Mampus! Kau musti mampus!"
"Perempuan gila …" desis lelaki itu mengintip. "Bunting dan gila. Kasihan, kenapa dia jadi Begitu … ?" Sesaat kemudian dilihatnya perempuan itu lari ke arah pantai sambil terus berteriak-teriak dan menyabatkan pedangnya kian kemari. Mula-mula dikiranya perempuan itu hendak menceburkan diri ke dalam laut Tapi ternyata terus lari sepanjang tepi pasir ke arah timur. Karena jurusan larinya perempuan itu kebetulan sama dengan arah yang hendak ditujunya cepat-cepat dia kembali ke kudanya dan membuntuti dari kejauhan.
Siapakah adanya penunggang kuda yang bertubuh kekar dan berkumis melintang ini? Dia bukan lain adalah Suramanik, bekas kepala pengawal Kadipaten Gombong yang terpaksa melepaskan jabatannya secara menyakitkan hati gara-gara Dipasingara yaitu sebagaimana yang telah dituturkan pada permulaan kisah.
Sejak meninggalkan Gombong sejak itu pula tertanam dendam kesumat terhadap Dipasingara. Melakukan pembalasan berarti harus memiliki ilmu yang lebih tangguh. Ini disadari sepenuhnya oleh bekas kepala pengawal itu. Maka setelah hampir satu setengah bulan berkelana kian kemari akhirnya dia dapat juga berguru pada seorang tokoh silat tak terkenal di timur. Meski tak terkenal dalam dunia persilatan namun ilmu yang dipelajari Suramanik dari orang tersebut cukup tinggi.
Setahun lebih menuntut kepandaian maka Suramanik merasa sudah cukup dan minta diri pada gurunya guna mencari Dipasingara. Ternyata pemuda itu tidak ada lagi di Kadipaten Gombong. Peristiwa yang menimpa Adipati Kebo Panaran, yang diceritakan orang padanya benar-benar mengejutkan Suramanik. Ternyata Dipasingara adalah pendekar bejat terkutuk yang bergelar Hidung Belang Berkipas Sakti.
Dari keterangan-keterangan yang dapat dikumpulkan oleh Suramanik akhirnya dia mengetahui bahwa musuhnya itu tidak mempunyai tempat kediaman tertentu tetapi sering berada di sebuah goa di teluk yang tenang di pantai selatan. Maka Suramanik segera menuju ke tempat itu. Dalam perjalanan ke selatan inilah dia bertemu dengan perempuan gila yang sedang hamil dan bukan lain adalah Wulandari.
Selagi membuntuti Wulandari dari belakang, Suramanik melihat tiga buah titik hitam bergerak cepat di samping bukit tandus sebelah kirinya. Makin lama tiga titik itu makin besar tanda makin dekat dan menuju ke jurusannya. Ternyata tiga titik tadi adalah tiga orang yang tengah berlari cepat. Kira-kira dua puluh tombak dari Suramanik ketiga orang itu berpencar. Jelas bahwa ketiga orang tak dikenal itu sengaja mengurungnya.
"Berhenti!" satu bentakan mengumandang.
Suramanik tarik tali kekang kuda. Dia tahu kalau tiga orang itu memiliki ilmu lari cepat berarti mereka bukan orang sembarangan. Dari atas punggung kudanya diperhatikan ketiganya. Yang pertama seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong. Yang kedua seorang kakek-kakek dan yang terakhir seorang lelaki muda berwajah gagah tapi pucat. Di atas punggung kudanya Suramanik menunggu dengan sikap waspada.
"Bukan dia …" kata pemuda berambut gondrong.
"Ya, memang bukan dia," menyahuti si kakek.
"Kalian bertiga siapa dan ada keperluan apa menyuruhku berhenti?" bertanya Suramanik.
"Harap maafkan," menjawab pemuda bermuka agak pucat. Dia adalah Sanjaya. "Kami kira kau adalah orang yang tengah kami cari. Dapatkah kau menerangkan apakah Teluk Segara Anakan masih jauh dari sini?"
Suramanik memandang ke tiga orang itu ganti berganti baru menjawab. "Kira-kira sepenanakan nasi lagi. Akupun tengah menuju ke sana …."
Sanjaya berpaling pada dua kawannya yaitu Wiro Sableng dan Jagat Kawung. Lalu bertanya pada Suramanik: "Apakah kau tinggal di sana?"
Suramanik menggeleng.
"Seperti kalian akupun tengah mencari seseorang."
"Mencari seseorang? Boleh aku tanya siapa nama orang yang kau cari itu?" Yang bertanya adalah Jagat Kawung.
Sesaat Suramanik merasa bimbang. Namun akhirnya menjawab juga. "Orang itu memiliki beberapa nama. Tak tahu mana yang asli. Diantaranya yang kuketahui ialah Dipasingara dan Handaka…."
"Kalau begitu kita mencari orang yang sama!" kata Sanjaya.
"Urusan apa sampai kau mencari orang itu?" kembali Jagat Kawung ajukan pertanyaan.
"Bangsat itulah yang menyebabkan aku kehilangan jabatan sebagai kepala pengawal di kadipaten Gombong sekitar satu tahun silam. Kudapat keterangan dia melarikan istri Adipati Kebo Panaran dan membunuh Adipati itu."
Jagat Kawung menghela nafas panjang. Dia memandang ke laut dan berkata: "Mari kita cepat-cepat meneruskan perjalanan."
"Tunggu dulu," kini Suramanik yang menahan.
"Ada satu kejadian yang perlu kuterangkan pada kalian. Mungkin ada gunanya. Ketika kalian hadang aku, sebenarnya aku tengah membuntuti seorang perempuan muda berotak miring yang lari ke jurusan sana …."
Dada Sanjaya sesak. Parasnya berubah.
"Apakah… apakah perempuan itu sedang hamil…?" tanya Sanjaya.
"Ya. Bagaimana kau bisa tahu?" Suramanik agak heran.
"Pasti Wulandari, pasti!" desis Sanjaya. Tanpa tunggu lebih lama dia segera berkelebat meninggalkan tempat itu disusul oleh Jagat Kawung dan Wiro Sableng serta Suramanik yang menunggangi kuda.
Berlari selama kira-kira sepenanakan nasi sampailah ke empat orang itu ke tempat yang dituju yaitu Teluk Segara Anakan. Suasana tampak tenang. Ombak bergulung-gulung dari tengah lautan menuju pantai dan memecah teratur di pasir, di antara batu-batu karang yang banyak bertebaran di sana-sini.
"Inilah Teluk Segara Anakan. Dipasingara sering datang ke sebuah goa yang terdapat di sekitar sini …." Suramanik berkata.
"Kita cari goa itu sekarang juga," kala Sanjaya tidak sabaran.
"Tunggu dulu sobat-sobatku…” ujar Wiro sambil mengangkat tangan kanannya. “Aku mendengar suara lelaki tertawa mengekeh diseling suara jeritan-jeritan perempuan …"
Semua orang memandang pada Wiro. Tak satu pun di antara mereka mendengar suara­suara yang dikatakan Pendekar 212 itu. Ini merupakan satu pertanda bagaimana jauh lebih tajamnya pendengaran murid Eyang Sinto Gendeng itu.
Semua orang memasang telinga. Sesaat kemudian Jagat Kawung berkata. "Betul … suara itu. Aku kenal benar. Yang tertawa adalah si keparat murtad. Datangnya dari balik gundukan batu karang besar di sebelah sana! Mari!"
Keempat orang itu dengan cepat segera menuju ke jurusan batu karang yang menjulang di sebelah barat Teluk. Semakin dekat ke sana semakin jelas terdengar suara tawa mengekeh serta jeritan perempuan. "Mampus! Mampuslah kau Handaka!"
Begitu sampai di balik batu karang, keempat manusia itu disambut oleh satu pemandangan luar biasa. Seorang perempuan berambut panjang tergerai acak-acakan dan berperut besar hamil dengan pedang di tangan menempur membabi buta seorang lelaki muda. Yang perempuan ternyata adalah Wulandari, tunangan Sanjaya, sedang yang lelaki bukan lain Warangas alias Dipasingara alias Handaka alias Prana dan banyak alias-alias lainnya.
Perkelahian terjadi di depan sebuah goa. Di mulut goa tegak seorang gadis berkulit hitam manis dalam keadaan tubuh setengah telanjang, ikut menyaksikan jalannya pertempuran dengan tegang. Perempuan hitam manis ini adalah Sri Wening, anak gadis pak Tanu yang telah diculik dan disekap Warangas di goa itu sejak seminggu lalu. Ketika Wulandari sampai ke goa itu Warangas tengah menggeluti tubuh Sri Wening.
Meskipun otaknya miring namun serangan pedang Wulandari bukan serangan sembarangan dan amat berbahaya. Akan tetapi Warangas menyambuti dengan ganda tertawa dan andalkan tangan kosong. Sebentar-sebentar tangannya merobek pakaian lusuh dan kotor yang melekat di tubuh Wulandari hingga lambat laun perempuan muda yang malang ini hampir berada dalam keadaan telanjang. Perutnya yang buncit dan urat-urat membiru jelas kelihatan.
Sanjaya tidak dapat menahan luapan amarahnya lagi. Dihunusnya pedangnya lalu menghambur memasuki kalangan pertempuran.
"Manusia dajal terkutuk! Hari ini jangan harap kau bakal bisa lolos dari kematian!"
Warangas terkesiap kaget melihat kemunculan Sanjaya yang tidak dikenalnya itu. Lebih kaget lagi ketika di seberang sana dilihatnya pula Suramanik, Jagat Kawung dan Wiro Sableng.
Wulandari yang tengah mengamuk dengan pedang di tangan ketika melihat Sanjaya menjerit keras dan lari ke balik gundukan batu karang rendah. Di situ dia menangis dan berteriak-teriak tak karuan.
Karena tidak merasa punya silang sengketa dengan Sanjaya heranlah Warangas ketika Sanjaya menyerbunya dengan serangan-serangan gencar.
Dia tak punya kesempatan untuk tanya ini itu dan terpaksa harus kerahkan kepandaian untuk menghindari sambaran-sambaran pedang lawan. Dalam pada itu dilihatnya Suramanik telah turun dari kudanya dan langsung masuk ke kalangan pertempuran dengan sebilah golok besar di tangan.
"Suramanik! Biar aku sendiri yang akan mencincang rnanusia terkutuk ini!" teriak Sanjaya. Dia ingin melampiaskan dendam kesumatnya seorang diri.
"Aku juga punya hak untuk membelah batok kepalanya, Sanjaya!" tukas Suramanik.
"Akulah yang paling berhak untuk mematahkan batang lehernya!" yang berteriak kali ini adalah si kakek Jagat Kawung dan serentak dengan itu dia menyerbu dengan tangan kosong, menghantamkan pukulan Baja Merah!
Mendapat tiga serangan yang hebat luar biasa ini Warangas menyingkir satu tombak ke samping lalu melompat tinggi ke udara. Ketika masih mengapung di atas, pemuda hidung belang ini cepat keluarkan senjatanya yang amat diandalkan yakni Kipas Pemusnah Raga.
"Lekas menyingkir!" seru Wiro Sableng ketika dilihatnya kipas hitam di tangan Warangas terkembang. Wiro yang berada sekitar enam belas langkah dari kalangan pertempuran segera lepaskan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung untuk menangkis sinar hitam kipas sakti dan guna memberi kesempatan pada Jagat Kawung, Suramanik serta Sanjaya menyingkir.
"Jika kalian bertiga bertengkar untuk saling dapat membantai manusia bejat ini, biar aku saja yang mewakili kalian semua! Bagaimanapun mengeroyok adalah tindakan yang tidak terpuji!" kata Wiro sarnbil bersiap dengan pukulan berikutnya.
"Bagi manusia puntung neraka macam dia tak perlu memakai segala tata cara persilatan. Yang penting dia musti mampus!" teriak Sanjaya. Lalu pemuda ini melornpat ke udara seraya kiblatkan pedangnya.
Sinar hitarn menggebu-gebu mernaksa Sanjaya menyingkir jauh-jauh. Dari samping kiri kembali Jagat Kawung mengirimkan pukulan Baja Merah sedang Suramanik begitu dilihatnya lawan menjejakkan kaki di tanah cepat-cepat menyerbu dengan golok besarnya.
"Bangsat pengeroyok! Mampuslah semua!" teriak Warangas marah dan kalap melihat serangan yang datang tiada henti. Kipasnya dikembangkan lebih lebar lalu diputar dalam bentuk lingkaran. Sinar hitam menderu ke seluruh penjuru, menyapu dahsyat laksana topan prahara.
Di mulut goa terdengar jeritan Sri Wening ketika sinar hitam itu menyambarnya, membantingkan tubuhnya yang hangus tak bernyawa lagi ke dinding goa!
Wiro leletkan lidah. Ketika sinar hitarn itu berkelebat ke arahnya murid Sinto Gendeng ini menangkis dengan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung sedang tangan kanannya melancarkan pukulan Sinar Matahari.
Warangas merasakan tubuhnya laksana disambar angin puting beliung. Sinar hitam yang menggebu dari kipas saktinya musnah. Sebelum dia sempat mengimbangi diri dan membetulkan kuda-kuda kedua kakinya, pukulan Sinar Matahari telah menyambar kipas saktinya hingga senjata itu hancur berantakan!
Paras Warangas sepucat kain kafan. Tengkuknya sedingin salju. Tanpa senjata di tangan menghadapi empat lawan berkepandaian tinggi seperti itu membuat nyalinya meleleh. Maut telah di ambang pintu!
Tanpa tunggu lebih lama Warangas melompat tidak menduga kalau di balik batukarang itu justru ada Wulandari. Sebelum dia sempat bergerak untuk terus melarikan diri mendadak dirasakannya sambaran angin. Seolah-olah bumi yang dipijaknya roboh begitulah tubuh Warangas terbanting ke pasir ketika kedua kakinya sebatas betis buntung disambar pedang Wulandari.
Pemuda hidung belang itu menjerit setinggi langit. Tubuhnya terguling ke bawah. Dia rnenjerit lagi ketika dari kiri kanan Suramanik dan Sanjaya bersirebut cepat menghantarnkan golok dan pedang masing-masing ke tubuhnya! Pedang di tangan Sanjaya membabat robek dada Warangas sedang golok di tangan Suramanik membabat putus lengan kirinya sampai ke bahu!
"Cukup! Sekarang giliranku orang-orang muda!" Terdengar suara Jagat Kawung. Tubuhnya berkelebat cepat. Tangannya menjambak rambut Warangas. Namun sebelum dia sempat memuntir kepala muridnya yang murtad itu, satu sinar putih menderu dari samping dan cras! Kepala Warangas terpisah dari badannya. Lehernya putus dibabat pedang Wulandari. Darah rnenyernbur. Wulandari menjerit histeris dan lari ke arah laut.
"Aku terlambat … aku terlambat …" desis Jagat Kawung menyesali diri. Sekali dia meremas maka hancurlah kepala Warangas!
Ketika melihat Wulandari lari ke arah laut, Sanjaya cepat mengejar. Dia tahu apa yang bakal dilakukan, bekas tunangannya itu dan segera menyergapnya.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Biar aku terjun ke dalam laut!" teriak Wulandari.
"Tenang Wulan. Sadarlah! Kenapa kau mau mati dengan cara sesat bunuh diri?"
"Aku memang sudah sesat! Lepaskan!" teriak Wulandari. Dia coba meronta melepaskan diri tapi tak bisa. Tiba-tiba dia ingat pada pedang berdarah yang masih tergenggam di tangannya. Secepat kilat senjata itu ditusukkan ke dadanya.
"Wulan! Jangan!" jerit Sanjaya. Tapi terlambat. Pedang masuk jauh ke dada Wulandari. Tubuh perempuan itu terkulai dalam pelukan Sanjaya.
"Wulan, kenapa kau lakukan ini. Aku … aku masih mencintaimu. Kenapa kau tinggalkan aku Wulan…?" Suara Sanjaya serak menahan tangis. Air matanya membersit dan dadanya sesak.
Di saat kematian mendatang itu jalan pikiran Wulandari tampaknya kembali normal. "Semuanya telah kasip kakak. Diriku terlalu kotor untuk terus hidup di dunia ini. Ampuni dosaku kakak. Aku telah mengkhianati janji walau sebenarnya akupun tetap mencintaimu …."
"Wulan adikku … !"
Kepala Wulandari terkulai. Wulandari hanya tinggal jasad kasar belaka kini. Jasad kasar yang ditancapi pedang dan dilumuri darah. Angin dari luar bertiup lembut dan sejuk. Ombak putih bergulung teratur dan memecah di depan kaki Sanjaya. Butir-butir air mata berlelehan di pipi pemuda ini. Dia berlutut membaringkan tubuh Wulandari di pasir pantai, memeluk dan menangisinya. Dia tak tahu entah berapa lama dia berada dalam keadaan seperti itu sampai akhirnya satu tangan memegang bahunya.
"Sobatku Sanjaya, Tuhan menghendaki segala sesuatunya berakhir sampai di sini, dalam cara begini rupa. Tabahkan hatimu, kuatkan iman. Akan lebih baik jika kita mulai menggali tempat peristirahatan terakhir baik Wulandari …."
Sanjaya hanya menjawab dengan anggukan. Diangkatnya jenazah tunangannya itu. Diikuti oleh Wiro, Suramanik dan Jagat Kawung dia mendukung tubuh Wulandari ke bagian yang landai di bawah naungan batu karang. Di situ mereka mulai menggali kubur.
Bila sang surya menggelincir ke barat maka di pantai Teluk Segara Anakan kelihatan sebuah kubur. Empat orang lelaki berdiri di sekeliling kuburan itu. Tapi tanpa diketahui oleh tiga orang lainnya, salah seorang dari mereka yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng tahu-tahu sudah berkelebat lenyap dari tempat itu.


– << TAMAT >> –


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...