posted by: Dunia Andromeda
Hari tanpa bayangan Matahari akan terjadi di beberapa daerah di Jawa.
Solo akan mengalaminya pada Kamis (1/3/2012), Semarang pada Jumat
(2/3/3012) dan Jepara pada (3/3/3012). Sementara, Yogyakarta telah
mengalaminya Rabu (29/2/2012). Bagaimana sebenarnya hari tanpa bayangan
Matahari?
Secara sederhana, fenomena tersebut dapat dijelaskan
dengan eksperimen jam Matahari. Caranya dengan menegakkan tongkat di
sebuah bidang datar atau tanah lapang yang disinari Matahari dan
kemudian mengamati bayangannya.
Pada pengamatan di hari biasa,
kala pagi hari, bayangan akan jatuh di sebelah barat sementara pada sore
hari akan jatuh di timur. Saat tengah hari, Matahari tepat berada di
atas kepala sehingga bayangan sangat pendek.
"Kalau kita
mengamati di hari tanpa bayangan Matahari, kira-kira saat Dzuhur
bayangan akan jatuh tepat di atas tongkat sehingga kita tidak melihat
bayangannya, " kata Mutoha Arkanuddin dari Jogja Astro Club saat
dihubungi Rabu (29/2/2012).
Meski disebut hari tanpa bayangan
Matahari, namun bayangan Matahari hanya "menghilang" saat tengah hari
saja. Kala pagi dan sore hari, bayangan tetap bisa dilihat dengan
melakukan eksperimen sederhana yang sama.
Lalu, apa sebab
terjadinya hari tanpa bayangan Matahari?
Matahari mengalami gerak
semu harian dan tahunan. Pada gerak semu harian, manusia di Bumi akan
melihat Matahari seolah-olah terbit dari timur, berada tepat di atas
kepala pada tengah hari dan akhirnya tenggelam di barat.
Pada
gerak semu tahunan, manusia yang berada di lintang nol akan melihat
Matahari bergeser ke utara antara 21 Maret - 23 September dan bergeser
ke selatan antara 23 September-21 Maret. Tepat tanggal 21 Maret dan 23
September, Matahari ada di khatulistiwa.
Gerak semu Matahari
tersebut membuat Matahari seperti singgah di tempat-tempat antara 23,5
derajat lintang utara hingga 23,5 derajat lintang selatan. Singgahnya
Matahari di sebuah tempat ini yang menyebabkan fenomena hari tanpa
bayangan Matahari.
Secara ilmiah, hari tanpa bayangan Matahari
disebut sebagai Transit Utama, yakni saat Matahari berada di titik
zenith sebuah tempat. Jadi, jika hari di di Solo terjadi hari tanpa
bayangan Matahari, maka Matahari tengah singgah tepat di titik atas
warga Solo.
Transit Utama bukan peristiwa langka sebab terjadi
secara periodik, Mutoha mengatakan, di Yogyakarta misalnya, hari tanpa
bayangan Matahari terjadi pada bulan Februari.
Sayangnya,
Matahari tak bisa bergeser ke barat atau ke timur. Jadi, kota-kota di
Indonesia lain seperti Aceh, Jakarta dan Jayapura tak bisa menikmati
transit Utama. Kota di khatulistiwa yang dapat menyaksikannya adalah
Pontianak, setiap tanggal 21 Maret.
Eksperimen Eratosthenes
Apa
keistimewaan Transit Utama?
"Transit utama 2.200 tahun lalu
dimanfaatkan oleh Eratosthenes untuk mengukur keliling Bumi," kata
Mutoha.
Eratosthenes membandingkan fenomena yang terjadi di kota
Shina (Aswan) dan Alexandria. Ia mengamati bahwa setiap tanggal 22 Juni,
sebuah sumur di kota Shina mendapatkan penyinaran menyeluruh, yang
artinya Matahari tegak lurus. Sementara itu, tugu di kota Alexandria
memperlihatkan bayangan pada tanggal yang sama.
Dari
pengamatannya, Eratosthenes percaya bahwa Bumi berbentuk bulat dan bahwa
Shina dan Alexandria terletak di Meridien yang sama. Eratosthenes
kemudian menemukan sebuah persamaan, bahwa keliling Bumi dibagi jarak
dua kota yang terletak pada meridien yang sama, sama dengan 360 derajat
dibagi sudut antara dua kota tersebut.
Untuk mengukur keliling
Bumi, Eratosthenes menghitung jarak Shina - Alexandria adalah 5000
Stadia (800 km). Pengukuran diperoleh dengan mengalikan waktu tempuh
perjalanan yang selama 50 hari dengan kereta berkecepatan 100 stadia.
Stadia adalah arena olah raga yang dipakai masyarakat Yunani, berukuran
keliling 185 meter.
Eratosthenes berteori bahwa cahaya Matahari
yang mencapai Bumi berjalan pararel. Dari hal tersebut, ia mengungkapkan
bahwa sudut antara Alexandria dan Shina adalah 1/5 sudut keliling Bumi
atau 7,12 derajat. Dengan perhitungannya, Eratosthenes mendapatkan hasil
bahwa keliling Bumi adalah 250.000 stadia atau 46.300 kilometer.
Perhitungan
Eratosthenes cukup akurat, hanya 15 persen meleset dari perhitungan
saat ini. Jarak Shina-Alexandria 729 km, bukan 800 km. Alexandria dan
Shina juga tidak terletak pada meridien yang sama, tetapi berbeda 3
derajat. Walau demikian, hasil studi Eratosthenes sangat pantas
diapresiasi.
"Biasanya, hari tanpa bayangan Matahari menjadi
kesempatan bagi kita untuk mengulang eksperimen yang sama dengan
Eratosthenes. Kala 2.200 tahun lalu dia bisa, masa kita tidak bisa,"
ujar Mutoha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar