posted by: Dunia Andromeda
Liang Liji menelusuri hubungan
Tiongkok-Nusantara berdasarkan kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno.
SEJARAH kuno Indonesia tak bisa dilepaskan dari
sumber-sumber Tiongkok. Selama ini, sejarah ditulis berdasarkan sumber
Tiongkok yang dihimpun oleh W.P. Groeneveldt dalam Notes on Two
Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Resources (1880),
yang baru-baru ini diterjemahkan menjadi Nusantara dalam Catatan
Tionghoa. Berdasarkan buku ini pula disusunlah buku babon Sejarah
Nasional Indonesia II: Zaman Kuno (1975 dan 1984). Dibanding karya
Groeneveldt, buku karya Prof Liang Liji ini, menggunakan sumber-sumber
primer yang lebih kaya, yaitu kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno.
Liang Liji lahir di Bandung pada 1927. Dia dibesarkan dalam dua etos
kebudayaan, Tionghoa dan Indonesia. Dia mengalami masa pendudukan
Belanda, Jepang, revolusi, dan awal kemerdekaan. Lulus dari jurusan
bahasa Indonesia Fakultas Bahasa Timur Universitas Peking pada 1954, dia
lalu mengabdi di universitas tersebut selama setengah abad lebih. Dia
juga pernah menjadi anggota tim penerjemah Presiden Sukarno saat melawat
ke Tiongkok pada 1956.
Menurut Liji, sumber-sumber sejarah yang kaya dan otentik dari
kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno masih belum digali dan dikenal di
Indonesia dalam pengkajian sejarah hubungan kedua negara. Padahal
Tiongkok memiliki keunggulan dalam tradisi penulisan sejarah. Bahkan
sejak zaman Xia (2140-1711 SM), Tiongkok sudah memiliki suatu sistem
penulisan sejarah, yang kemudian terus mengalami penyempurnaan.
Sejak dua ribu tahun lalu, di masa Dinasti Han (206 SM-220 M), sejumlah
kitab mencatat hubungan resmi antara Tiongkok dan Nusantara. Liji
mengawali pembahasan buku ini dengan membahas kitab-kitab tersebut,
yakni Han Shu Di Li Zhi (Kepustakaan Dinasti Han-Catatan
Geografi) dan Hou Han Shu (Kepustakaan Dinasti Han
Lanjutan).
Dalam kitab Hou Han Shu disebutkan, Ye Diao adalah negara di
Asia Tenggara yang mengirim utusan dan mempersembahkan upeti kepada Wu
Di, Kaisar Dinasti Han. Ye Diao adalah tiruan bunyi dari kata Sanskrit,
Javadvipa, untuk menyebut Jawa atau Sumatra. Ada ahli yang menganggap
bahwa Ye Diao adalah kerajaan yang didirikan di Banten pada 65 SM. Nama
rajanya, yang disebut dengan nama Diao Bian, juga salinan bunyi dari
kata Sanskrit, Devavarman.
Selain kitab-kitab sejarah yang ditulis pejabat istana, juga bermunculan
buku catatan perjalanan dari utusan kaisar dan pendeta Budha Tiongkok
yang pernah berkunjung ke Nusantara. Ini dimulai pada zaman Samkok atau
Tiga Kerajaan (220-280) –akibat perpecahan Dinasti Han. Di antaranya Zhu
Ying dan Kang Tai yang untuk kali pertama memperkenalkan keadaan
sosial-budaya dan adat istiadat Nusantara.
Hubungan Tiongkok-Nusantara mencapai puncaknya pada masa Dinasti Ming
dengan tujuh kali muhibah Laksamana Cheng Ho. Para cendekiawan Tiongkok
yang mendampingi Cheng Ho membuat catatan perjalanan; umumnya
menggambarkan keadaan sosial-budaya di Nusantara. Tak heran jika di masa
inilah terdapat bahan sejarah paling kaya dan lengkap mengenai hubungan
kedua bangsa. Di antaranya Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) dan
Ming Shu Lu (Catatan Kejadian Aktual Dinasti Ming) yang
merupakan koleksi terbesar dengan 2.965 jilid dan 16 juta karakter
Tionghoa. Yang menarik, Dinasti Ming sampai membuat kamus bahasa
Melayu-Tionghoa yang disebut Man La Jia Yi Yu (Kumpulan
Kata-kata Negeri Malaka).
Berdasarkan pembacaan Liji atas kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno,
Tiongkok menganggap wilayahnya sebagai “negara suzerin” atau “negara
atasan”, sedangkan daerah-daerah lain di sekitarnya termasuk Nusantara
sebagai “negara vasal” atau “negara bawahan” yang harus memberikan upeti
kepada negara suzerin. Upeti tersebut bisa diartikan sebagai tanda
pengakuan, kesetaraan, hubungan diplomatik, atau pembukaan hubungan
dagang.
Buku Liji ini juga menjangkau periode sejarah modern, yang ditandai
dengan masuknya kolonialisme dan berimbas pada porakporandanya hubungan
Tiongkok-Nusantara. Untunglah hubungan ekonomi dan kebudayan tak ikut
terputus karena adanya perantau Tionghoa yang menetap di Nusantara.
Mereka mulai melepaskan pandangan tradisionalnya “daun gugur kembali ke
akarnya” menjadi pandangan baru yang lebih realistis: “bibit jatuh
berakar di buminya”. Pandangan inilah yang mendorong mereka ikut dalam
arus gerakan kemerdekaan.
Liji menyebut beberapa etnis Tionghoa yang terlibat dalam pergerakan
nasional Indonesia. Ada Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjian
Hok, dan Tjio Djien Kwie yang ikut dalam Sumpah Pemuda. Ada Liem Koen
Hian, pendiri Partij Tionghoa Indonesia pada 1932. Ada juga Oei Tjong
Hauw, Oei Tiang Tjoei, Tan Eng Hoa, dan Liem Koen Hian yang menjadi
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Setelah kemerdekaan, hubungan Tiongkok-Indonesia mengalami pasang-surut.
Sejumlah peristiwa sempat meretakkan hubungan kedua negara itu: dari
masalah dwikewarganegaraan, PP 10 tahun 1959 yang mengakibatkan puluhan
ribu etnis Tionghoa terusir dari daerah-daerah pedalaman, hingga
pembekuan hubungan pada 30 Oktober 1967.
Sejak rezim orde baru tumbang, dan
Indonesia memasuki era reformasi dan demokrasi, Indonesia dan Tiongkok
menjalin kemitraan strategis. [HENDRI F. ISNAENI]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar