posted by: Dunia Andromeda
Sejumlah peneliti dari Korea Selatan akan datang ke kawasan penemuan
megalitikum yang berada di Lahat, Empatlawang dan Pagaralam. Mereka akan
melakukan penelitian mengenai asal muasal nenek moyang bangsa Korea.
“Mereka percaya berdasarkan penelitian mereka kalau asal usul nenek
moyang orang Korea itu berasal dari Pasemah. Jadi direncanakan mereka
datang dan lakukan penelitian,” jelas arkeolog dari Balai Arkeologi
Palembang, Retno Purwanti.
Retno menegaskan, kedatangan peneliti asal Korea Selatan tersebut
didampingi oleh Balai Arkeologi Pusat serta arkeolog Palembang. Selama
melakukan penelitian, mereka selalu didampingi peneliti dari Indonesia.
“Mereka itu melakukan penelitian sendiri, membawa alat sendiri dan
lengkap. Kita hanya berkoordinasi dengan pendampingan di lapangan. Kalau
dana dari negara asing, tidak ada,” ujarnya. Peneliti asing menurutnya,
selalu datang sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang.
Retno mengungkapkan, penemuan megalitikum di tiga wilayah tersebut,
mengindikasikan adanya Kerajaan Sriwijaya. Saat ini, pihak arkeolog
tengah melakukan penelitian pada tempat tersebut berdasarkan tema bukan
secara parsial Pasemah saja. Mereka meneliti wilayah tersebut sebelum
dan sesudah kerajaan Sriwijaya. “Boleh jadi, masyarakat di Pasemah pada
masa itu sudah memberikan kontribusi ekonomi berupa komoditi hutan dan
kebun untuk Kerajaan Sriwijaya,” jelasnya.
Menurutnya, megalitikum yang ditemukan di Pasemah, sezaman dengan
kerajaan Sriwijaya. Saat ini saja, budaya megalitikum masih cukup kental
dan menjadi tradisi masyarakat setempat.
Butuh Dana Banyaknya penemuan megalitikum di Kabupaten Lahat,
Empatlawang dan Kota Pagaralam beberapa waktu lalu perlu mendapatkan
dukungan berbagai pihak. Penggalian, penelitian dan pemeliharaan
memerlukan dana yang tidak sedikit.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang, Retno Purwanti menuturkan, dana
yang dibutuhkan dalam satu kali penelitian yakni Rp 60 juta. “Itu untuk
satu tim dalam jangka waktu 10 hari, semuanya sudah lengkap mulai dari
upah penggali dan makan. Tapi tidak untuk uang menginap,” jelasnya saat
diwawancarai Sripo. Dana tersebut juga belum termasuk untuk analisis
laboratorium memperkirakan umur penemuan. Satu kali penelitian di
laboratorium, dana yang dikeluarkan Rp 3 juta.
Oleh karena itu menurutnya, mereka bekerja sesuai dengan dana yang ada.
Tidak benar, jika mereka tidak bekerja dan tidak memberikan perhatian
pada setiap penemuan. “Sampai saat ini, kami tidak pernah menerima uang
sepeserpun dari pemerintah setempat dimana ditemukannya megalitikum.
Tidak hanya itu, Pemprov juga tidak pernah memberikan dana untuk kami,”
tegasnya.
Retno menjelaskan, seharusnya pemerintah dan instansi terkait harus
saling mendukung soal pendanaan. “Seharusnya pemerintah kabupaten dan
kota serta provinsi malu dengan Provinsi Jambi yang memiliki dana khusus
untuk penelitian, pemeliharaan dan penggalian. Di Riau serta Bangka
Belitung, pemerintahnya support sekali untuk soal pendanaan,” ujarnya.
Arkeolog ini meminta pemerintah, agar tidak hanya datang saja saat ada
penemuan baru agar diekspose di media massa. Seharusnya, mereka juga
peduli untuk menganggarkan dana untuk penggalian, penelitian dan
pemeliharaan. “Penemuan tempayan kubur itu sudah sejak dari tahun 1999
kita penelitiannya. Kenapa baru sekarang pemerintah setempat peduli,”
ungkapnya.
Kalaupun Bupati, Gubernur atau Walikotanya mau menganggarkan, belum
tentu dari DPRD Kota/Kabupaten dan Propinsi mau menyetujuinya. Anggota
dewan mungkin akan berpikir, tidak manfaatnya dengan penemuan tersebut
dan tidak bernilai ekonomis. Tidak hanya pemerinta saja yang seharusnya
wajib memberikan dana, pihak swasta juga seharusnya dapat memberikan
kontribusi.
Retno mengungkapkan, baru PT Pusri saja yang pernah
memberikan dana penelitian sebesar Rp 100 juta pada tahun 1996. Dana
tersebut digunakan untuk penelitian kerajaan dan kraton di kawasan
pabrik Pusri. “Dana tersebut cukup lumayan besar saat itu. Hasilnya
berupa buku yang cukup tebal dari penelitian yang kami dapatkan,”
ujarnya.
Balai Arkeologi (Balar) Palembang, memperkirakan jika tanah
Pasemah merupakan Komplek Megalit terbesar yang ada di Indonesia. Hal
ini dibuktikan dengan telah ditemukannya puluhan jenis peninggalan pra
sejarah di kawasan Kota Pagaralam, Kabupaten Lahat dan Kabupaten Empat
Lawang.
Hal ini diungkapkan Ketua Tim Peneliti dan Ekskapasi Balai Arkeologi
Palembang, Kristantina Indriastuti. Dari beberapa Kabupaten/Kota yang
ada di Indonesia Kawasan Pasemah paling banyak ditemukan benda-benda
purbakala yang banyak baik dari jumlahnya juga jenisnya.
Namun dari sekitar 5.000 benda purbakala peningalan zaman Megalitik ada
sekitar 1.500 situs tersebut yang sudah rusak. Kerusakan benda purbakala
ini banyak disebabkan ulah tangan manusia dan faktor alam. Ada sekitar
20 persen kerusakan akibat faktor alam sekitar, dan 10 persen rusak
akibat tangan manusia.
Bahkan ada tindakan yang lebih parah lagi di kawasan Kecamatan Jarai,
batu Megalit dihancurkan untuk dijual untuk material bangunan seperti
batu koral.
“Ada beberapa Megalit di kawasan Kecamatan Jarai yang sudah
dipecah-pecah olah masyarakat dan dijadikan bahan untuk bangunan.
Kondisi ini karena sebagain besar masyarakat tidak mengetahui apa nilai
dari batu tersebut,” katanya.
Terpisah Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota
Pagaralam, Syafrudin, mengatakan, memang saat ini sudah melakukan
pelestarian. Namun pihaknya juga mendapat kendala pembebasan lahan.
Karena sebagian besar penemuan Megalit di Pagaralam berada di tanah
warga.
Pihak Pemkot merencanakan pada tahun 2012 akan segera melakukan
pembebasan lahan dimana terdapat Megalitnya. Karena jika mengacu pada UU
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Di sana diatur untuk
pelestarian peninggalan bersejarah seperti megalitikum yang merupakan
aset negara.
“Untuk itu saat ini pihak kita masih mengajukan surat tentang status
peninggalan budaya yang ada di Pagaralam, apakah milik kabupaten kota
atau milik negera. Namun sampai saat ini pihak kita masih belum memdapat
surat balasan,” jelasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar