posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
HARI itu tanggal tiga bulan ke lima. Sebuah bukit yang selama bertahun-tahun sunyi senyap, terletak di antara kaki Gunung Merapi dan Gunung Raung kini banyak didatangi oleh orang-orang yang muncul dari berbagai penjuru. Melihat gerak-gerik orang-orang itu dan memperhatikan cara mereka berlari menuju puncak bukit, dapatlah diduga bahwa orang-orang itu, siapapun mereka adanya, adalah orang-orang dari dunia persilatan.
Ada kepentingan apakah orang-orang persilatan berdatangan di puncak bukit itu? Ternyata hal ini ada kaitannya dengan rencana peresmian dan pengenalan sebuah partai persilatan baru yang diberi nama Partai Bintang Blambangan. Partai silat ini diketuai oleh Gandring Wikoro, seorang kakek berusia 70 tahun. Lebih dari separuh masa hidupnya telah dihabiskan dengan pengabdian pada Keraton Sala. Di usia menjelang menutup mata, Gandring Wikoro yang tidak bisa melupakan masa muda dan asal-usulnya, setelah berunding dengan anak-istri serta para sahabat, akhirnya memutuskan untuk membentuk sebuah partai silat. Konon Gandring Wikoro memiliki darah keturunan ketiga dari Raja Blambangan. Semula dia hanya bermaksud mendirikan sebuah perguruan silat. Namun atas dorongan anak-anak dan sahabat-sahabatnya, dan mengingat nama Blambangan adalah satu nama besar di masa silam, maka disetujui merubah perguruan menjadi sebuah partai.
Selama pengabdiannya di Keraton Sala, Gandring Wikoro dikenal dengan gelar kehormatan “Raja Panah Delapan Penjuru Angin.” Memang selain memiliki ilmu silat tangan kosong yang tinggi serta andal dalam ilmu golok, Gandring Wikoro juga menguasai ilmu panah secara luar biasa. Demikian hebatnya ilmu kepandaiannya, dia sanggup membidikkan tiga panah sekaligus pada tiga sasaran yang berlainan. Dia juga mampu membidik burung yang terbang di udara dengan mata tertutup! Dan kabarnya dia telah pula menciptakan beberapa jurus ilmu silat di mana orang yang memainkannya memegang busur di tangan kiri dan anak panah di tangan kanan. Busur dipakai
sebagai pelindung, tidak beda dengan tameng sedang anak panah dijadikan senjata seperti golok atau pedang. Siapa saja yang sudah menguasai ilmu silat Panah dan Busur itu, lima orang bersenjata tidak akan mampu merobohkannya!
Memandang kepada nama besar Gandring Wikoro itulah maka banyak tokoh silat yang punya nama besar tidak segan-segan datang ke puncak bukit tempat akan diresmikannya Partai Bintang Blambangan itu.
Di puncak bukit yang sejuk itu dibangun sebuah panggung setinggi satu tombak dan luas sepuluh kali lima belas tombak. Di belakang panggung ini terdapat sebuah panggung lagi yang agak lebih tinggi. Di sini duduklah Raja Panah Delapan Penjuru Angin didampingi oleh istrinya, seorang perempuan ramping berambut putih. Di sebelah sang istri duduk seorang pemuda berbadan tegap berparas gagah. Pemuda ini bernama Bimo Argomulyo, putera dan anak tunggal pasangan suami-istri Gandring Wikoro.
Menurut orang-orang yang tahu, di usianya yang baru 26 tahun Bimo Argomulyo kabarnya sudah mewarisi seluruh kepandaian ilmu silat dan kesaktian yang dimiliki ayahnya, kecuali ilmu silat Panah dan Busur.
Di samping Bimo Argomulyo tampak duduk seorang pemuda berbadan tinggi semampai berkulit putih yang adalah keponakan Gandring Wikoro atau sepupu Bimo bernama Sarwo Bayu. Sejak masih kecil, yakni sejak kedua orang tuanya meninggal, Sarwo Bayu dipelihara oleh Gandring Wikoro. Karenanya sudah dianggap sebagai anak sendiri. Dalam hal umur Sarwo satu tahun lebih muda dari Bimo Argomulyo.
Dalam pelajaran ilmu silat boleh dikatakan Gandring Wikoro tidak membeda-bedakan anak dan keponakannya. Keduanya diberi pelajaran ilmu yang sama. Dalam ilmu silat tangan kosong ternyata Bimo lebih cepat dan lebih banyak menguasai. Sebaliknya dalam ilmu silat Panah dan Busur, ternyata sang keponakan lebih menguasai dari anaknya sendiri.
Di belakang deretan kursi keluarga ketua partai, duduk dengan rapi dan gagah 30 orang anggota partai yang terdiri dari anak-anak muda rata-rata berbadan tegap. Memang Gandring Wikoro sengaja mengambil anggota partai dari murid-muridnya sendiri, orang-orang yang masih muda dan bersih, belum tercemar segala macam keburukan dunia.
Dia berharap dari orang-orang muda yang bersih dan berjiwa satria itulah kelak Partai Bintang Blambangan bisa berkembang menjadi partai besar, sebesar dan seharum Kerajaan Blambangan di masa lampau.
Di depan panggung besar berderet-deret kursi yang diduduki oleh para tetamu. Masing-masing deretan diseling oleh sebuah meja panjang. Di atas meja ini terletak berbagai macam minuman dan makanan yang lezat-lezat. Di antara para tamu yang hadir, kelihatan seorang gadis berparas cantik, berambut panjang sebahu. Dia mengenakan pakaian berbunga-bunga warna-warni dan duduk di deretan kursi ke tiga. Sejak tadi keluarga Ketua Partai telah melihat gadis ini dan masing-masing bertanyatanya siapa gerangan adanya si jelita ini.
Di antara para tetamupun banyak yang mengagumi kecantikannya. Mereka juga menduga-duga siapa dara ini yang tampaknya datang sendirian ke tempat itu.
Selesai para tamu mencicipi hidangan, Gandring Wikoro berdiri dari kursinya untuk memberikan kata-kata sambutan disertai penjelasan asal muasalnya Partai Bintang Blambangan didirikan. Sekadar basa-basi, tak lupa Gandring Wikoro mengajak para tetamu yang bersedia, bergabung dalam partainya.
Setelah beberapa tokoh silat yang diundang turut memberikan sambutan, termasuk seorang utusan Keraton Sala, maka para tamu kembali dipersilahkan mencicipi hidangan. Kini makanan yang lezat-lezat itu ditambah pula dengan sepuluh nampan nasi tumpeng. Sambil bersantap para tetamu disuguhi pertunjukan silat oleh anggota atau murid partai.
Selesai pertunjukan itu, di antara sorak-sorai dan tepuk tangan, terdengar seseorang berseru agar ketua partai memperlihatkan kebolehannya barang sejurus dua jurus. Karena tak bisa mengelak, dan sesuai dengan adat-istiadat dunia persilatan, maka Gandring Wikoro berdiri kembali, menjura beberapa kali lalu berkata, “Sebagai tuan rumah aku wajib memenuhi permintaan para sahabat sekalian. Namun harap jangan ditertawakan kalau aku hanya akan memperlihatkan ketololan belaka!”
Ketua Partai baru itu mengangkat tangan kirinya ke atas. Melihat tanda ini, seorang anak murid partai segera maju membawa sebuah busur dan kantong panjang terbuat dari kulit kerbau kering, berisi selusin anak panah. Gandring Wikoro menjura sekali lagi di hadapan para tetamu. Lalu orang tua yang memiliki tubuh sangat lentur ini melompat ke kiri. Begitu kakinya menginjak lantai panggung kembali, entah kapan dia melakukannya, kantong anak panah tahu-tahu sudah tersandang di bahu kanannya. Dengan sikap gagah dia cabut sebatang anak panah sementara busur di pegang di tangan kiri. Lalu mulailah orang tua ini menunjukkan kebolehannya, mainkan jurus-jurus ilmu silat ciptaannya. Busur di tangan kiri diputar-putar hingga mengeluarkan suara menderu.
Hiasan janur yang tergantung tiga tombak di atas panggung tambah bergoyang-goyang. Di bawah panggung, para tetamu yang duduk di deretan kursi ke satu sampai ke tiga ikut merasakan bagaimana kerasnya sambaran angin yang menerpa keluar dari busur itu. Sementara busur diputar terus, tangan kanan Gandring Wikoro tidak tinggal diam, membuat gerakan-gerakan menusuk, membabat dan membacok. Anak panah sepanjang tiga jengkal itu seolaholah lenyap dari pemandangan. Yang tampak hanya bayang-bayangan lurus disertai suara menderu. Para hadirin bertepuk tangan menyatakan kekaguman. Di atas panggung, Ketua Partai Blambangan itu membuat gerakan berputar, sengaja membelakangi deretan para tetamu. Di tangan kanannya kini terlihat ada tiga anak panah. Suasana mendadak sontak menjadi sunyi senyap. Semua orang memandang tak berkesip, apa yang akan mereka saksikan, apa yang akan dilakukan oleh Gandring Wikoro. Tiba-tiba orang tua ini balikkan tubuhnya.
Bersamaan dengan itu busur ditarik. Des… des… des! Tiga anak panah melesat ke bawah panggung secara bersamaan. Yang paling kanan menancap pada sosok ayam panggang yang terletak dekat nasi tumpeng pada meja paling depan. Anak panah kedua menancap pada sebutir buah kelapa yang juga berada di meja terdepan. Sedang anak panah ke tiga menancap tepat pada belahan buah nangka yang ada di atas meja deretan kedua!
Terdengar suara menggemuruh tepuk tangan, suitan dan pujian kagum para hadirin. Ketua Partai Bintang Blambangan menjura berulang kali.
“Maafkan atas semua ketololanku!” Lalu dia berbalik dan melangkah ke arah kursinya.
Baru menindak dua langkah tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak, disusul seruan keras, “Orang tolol bernama Gandring Wikoro! Sebelas tahun mencarimu, akhirnya ketemu juga! Hari ini kau meresmikan partaimu! Hari ini pula hari kematianmu!”
SEMUA orang yang ada di atas dan di bawah panggung sama terkejut mendengar seruan itu, terlebih lagi Gandring Wikoro selaku Ketua Partai Bintang Blambangan yang baru saja diresmikan. Ketika satu bayangan berkelebat ke atas panggung, semua mata serta merta tertuju padanya.
Paras sang ketua tampak berubah ketika dia melihat siapa adanya orang yang tegak beberapa langkah di depannya. Orang ini adalah seorang kakek-kakek berkulit hitam legam, mengenakan pakaian rombeng dekil dan bau. Wajahnya cekung dan rambutnya kotor awut-awutan. Sepasang mata Gandring Wikoro sesaat memperhatikan kedua tangan orang di hadapannya yang berwarna kebiru-biruan. “Dulu tangan itu biasa saja. Tidak berwarna biru seperti itu…” berkata Gandring Wikoro dalam hati. Lalu dia membuka mulut menegur seramah mungkin, “Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng! Kau rupanya! Aku turut bergembira kau datang kemari menghadiri peresmian partaiku! Harap dimaafkan kalau penyambutan kami kurang memuaskan hatimu!”
Orang banyak jadi terkejut ketika mendengar nama dan alias yang diucapkan Gandring Wikoro. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu nama dan alias itu merupakan satu momok yang menakutkan. Jangankan melihat orangnya, mendengar namanya sajapun orang sudah pada mengkerut. Pada waktu itu Suto Rawit menjadi raja diraja rampok yang malang melintang antara perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan anak buahnya tersebar sampai ke Pulau Madura. Beberapa kali para penguasa mengirimkan pasukan untuk menggerebek dan menghancurkannya, namun dia selalu berhasil lolos bahkan tak jarang pasukan yang datang menumpas tak pernah kembali lagi, hancur ditumpas habis oleh Warok Gajah Ireng.
Ketika bergundal rampok itu berkomplot dengan beberapa adipati dengan rencana merebut tahta Kerajaan Sala, Sultan tak mau bertindak ayal lagi. Raja Panah Delapan Penjuru Angin dikirim ke sarang Warok Gajah Ireng. Setelah dikepung selama tiga hari tiga malam akhirnya Suto Rawit mengirim utusan untuk berunding. Gandring Wikoro tidak bodoh. Dia tahu bahwa permintaan berunding itu adalah tipu muslihat belaka. Maka dia mengatakan bersedia melakukan perundingan asalkan dia yang menentukan tempat dan saatnya serta hanya mereka berdua saja yang boleh hadir.
Pertemuan kemudian diadakan di sebuah lembah. Pada kedua bibir lembah, balatentara kerajaan dan pasukan rampok menunggu hasil perundingan itu. Ternyata Suto Rawit memang berlaku curang. Diam-diam dia sudah mengirimkan ke lembah dua orang tangan kanannya dan seorang tokoh silat golongan hitam yang berhasil ditariknya. Begitu Gandring Wikoro muncul mereka langsung menyerbu!
Sebagai seorang yang penuh pengalaman Gandring Wikoro dengan segala kewaspadaan dan kesigapan yang ada segera mencabut anak panah dan merentang busur. Dua orang tangan kanan Suto Rawit langsung menemui ajal ditancapi dua anak panah. Meskipun kemudian dia hanya menghadapi Suto Rawit dan tokoh silat golongan hitam itu, namun tidak mudah bagi Raja Panah Delapan Penjuru Angin untuk menghadapi mereka. Perkelahian dua lawan satu itu berlangsung di dasar lembah yang gelap, sama sekali tidak diketahui oleh pasukan kedua belah pihak.
Dalam keadaan tubuh luka-luka cukup parah, Gandring Wikoro berhasil merobohkan si tokoh golongan hitam dan menotok Suto Rawit. Sebelum ditangkap dan dibawa ke kotaraja Suto Rawit masih sempat membujuk Gandring Wikoro dengan imbalan separuh dari seluruh harta kekayaan yang dimilikinya asal dirinya dilepaskan. Gandring Wikoro saat itu tersenyum lalu lepaskan totokan di tubuh sang raja rampok. Menyangka Gandring Wikoro menyetujui bujukannya maka kesempatan ini tidak disiasiakan Suto Rawit. Secepat kilat dia lari meninggalkan dasar lembah. Namun baru lari sejauh sepuluh tombak, dua anak panah melesat dalam kegelapan malam dan menancap di betisnya kiri kanan! Suto Rawit terpekik. Tubuhnya terguling roboh. Pasukan kerajaan kemudian datang menangkapnya.
Suto dibawa ke kotaraja. Seharusnya orang ini langsung dihukum mati. Tapi entah mengapa dia hanya dijatuhkan hukuman penjara selama sepuluh tahun. Dan kini tahutahu dia sudah muncul di tempat itu dengan sepasang tangan berwarna kebiruan, tanda dia memiliki satu ilmu baru.
Kakek berbaju rombeng sesaat angguk-anggukkan kepalanya lalu kembali perdengarkan suara tawa bekakakan.
“Bagus! Kau tidak lupakan diriku,” katanya. “Kau gembira melihatku, namun sebentar lagi akan terjadi kesedihan di tempat ini…”
“Apa maksudmu Suto Rawit?” tanya Gandring Wikoro.
“Jangan berpura-pura tidak tahu! Selama lima tahun pertama mendekam dalam penjara aku mengalami kelumpuhan akibat dua anak panah yang kau tancapkan pada kedua betisku…”
“Ah… Kalau itu yang jadi persoalan ketahuilah bahwa saat itu aku menjalankan tugas sebagai abdi kerajaan. Sekarang kau sudah bebas, mengapa masih menyimpan dendam kesumat?” ujar Gandring Wikoro pula.
Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng meludah ke lantai panggung. “Dendam kesumat bukan dendam kesumat namanya kalau tidak dibalaskan! Kau dengar kata-kataku itu Gandring?!”
“Suto Rawit. Segala persoalan masa lalu sudah kukubur dalam-dalam. Kita sudah pada tua bangka seperti ini, mengapa masih meributkan masa lalu…?”
“Kau bisa mengatakan begitu, karena kau tidak merasakan siksaan sepuluh tahun dalam penjara! Kau tolol karena tidak membunuhku saat itu!”
“Kalau kau memang hendak membicarakan urusan masa lampau itu, boleh-boleh saja Suto. Namun saat ini biar kau kupersilakan makan dan minum dulu, biarkan para tamuku pulang, setelah itu baru kita bicara!”
“Waktuku tidak lama. Aku membutuhkan hampir sebelas tahun untuk mencari jejakmu! Dan tak perlu menunggu sampai tamu-tamu itu pergi. Biar mereka menyaksikan sendiri ganasnya pembalasan yang akan aku lakukan…”
Tiba-tiba Bimo Argomulyo putera tunggal Ketua Partai Bintang Blambangan bangkit dari kursinya dan melangkah ke tengah panggung. “Ayah, jika kau ingin aku melemparkan kakek budukan ini ke kaki bukit, aku akan melakukannya sebelum mulutnya yang bau menceloteh terlalu banyak…”
“Anak muda!” sentak Suto Rawit dengan muka hitam membesi. “Katakan siapa kau ini!?”
“Aku Bimo Argomulyo, putera Ketua Partai Bintang Blambangan!”
“Ooo, begitu…? Kau ternyata seorang anak yang berani. Tidak sepengecut ayahnya!” ujar Suto Rawit lalu untuk ke sekian kalinya dia tertawa gelak-gelak.
“Bimo… Kembali ke tempatmu. Biar aku yang menyelesaikan urusan dengan orang gila ini…” kata Gandring Wikoro pada anak laki-lakinya itu.
“Orang gila… Kau menyebutku orang gila! Apa kau tahu kalau di neraka ada ribuan orang gila yang sedang bersiapsiap menunggu kedatangan roh busukmu…? Ha… Ha… Ha…!”
Merah padam wajah Gandring Wikoro. Ketika kakek berbaju rombeng itu melompat menyerangnya, maka diapun tak tinggal diam, balas menghantam. Akibatnya dua tangan saling beradu keras. Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng terhuyung-huyung tiga langkah. Wajahnya biasa-biasa saja. Sebaliknya Ketua Partai Bintang Blambangan terpental satu tombak lalu jatuh terduduk. Mukanya mengerenyit kemerahan. Ketika dia mencoba bangkit kelihatan lengannya yang tadi beradu dengan lengan lawan menjadi biru.
Satu bayangan melesat ke atas panggung. “Ketua, kau keracunan! Lekas telan obat ini!” kata orang yang barusan melompat ke atas panggung. Lalu sang ketua merasakan sebuah benda dimasukkan ke dalam genggamannya. Ketika melihat siapa yang memberi dan menyadari memang ada kelainan dengan lengan serta aliran darah dan detak jantungnya, Gandring Wikoro cepat telan obat yang diberikan lalu atur jalan darahnya.
Paras sang ketua tampak berubah ketika dia melihat siapa adanya orang yang tegak beberapa langkah di depannya. Orang ini adalah seorang kakek-kakek berkulit hitam legam, mengenakan pakaian rombeng dekil dan bau. Wajahnya cekung dan rambutnya kotor awut-awutan. Sepasang mata Gandring Wikoro sesaat memperhatikan kedua tangan orang di hadapannya yang berwarna kebiru-biruan. “Dulu tangan itu biasa saja. Tidak berwarna biru seperti itu…” berkata Gandring Wikoro dalam hati. Lalu dia membuka mulut menegur seramah mungkin, “Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng! Kau rupanya! Aku turut bergembira kau datang kemari menghadiri peresmian partaiku! Harap dimaafkan kalau penyambutan kami kurang memuaskan hatimu!”
Orang banyak jadi terkejut ketika mendengar nama dan alias yang diucapkan Gandring Wikoro. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu nama dan alias itu merupakan satu momok yang menakutkan. Jangankan melihat orangnya, mendengar namanya sajapun orang sudah pada mengkerut. Pada waktu itu Suto Rawit menjadi raja diraja rampok yang malang melintang antara perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan anak buahnya tersebar sampai ke Pulau Madura. Beberapa kali para penguasa mengirimkan pasukan untuk menggerebek dan menghancurkannya, namun dia selalu berhasil lolos bahkan tak jarang pasukan yang datang menumpas tak pernah kembali lagi, hancur ditumpas habis oleh Warok Gajah Ireng.
Ketika bergundal rampok itu berkomplot dengan beberapa adipati dengan rencana merebut tahta Kerajaan Sala, Sultan tak mau bertindak ayal lagi. Raja Panah Delapan Penjuru Angin dikirim ke sarang Warok Gajah Ireng. Setelah dikepung selama tiga hari tiga malam akhirnya Suto Rawit mengirim utusan untuk berunding. Gandring Wikoro tidak bodoh. Dia tahu bahwa permintaan berunding itu adalah tipu muslihat belaka. Maka dia mengatakan bersedia melakukan perundingan asalkan dia yang menentukan tempat dan saatnya serta hanya mereka berdua saja yang boleh hadir.
Pertemuan kemudian diadakan di sebuah lembah. Pada kedua bibir lembah, balatentara kerajaan dan pasukan rampok menunggu hasil perundingan itu. Ternyata Suto Rawit memang berlaku curang. Diam-diam dia sudah mengirimkan ke lembah dua orang tangan kanannya dan seorang tokoh silat golongan hitam yang berhasil ditariknya. Begitu Gandring Wikoro muncul mereka langsung menyerbu!
Sebagai seorang yang penuh pengalaman Gandring Wikoro dengan segala kewaspadaan dan kesigapan yang ada segera mencabut anak panah dan merentang busur. Dua orang tangan kanan Suto Rawit langsung menemui ajal ditancapi dua anak panah. Meskipun kemudian dia hanya menghadapi Suto Rawit dan tokoh silat golongan hitam itu, namun tidak mudah bagi Raja Panah Delapan Penjuru Angin untuk menghadapi mereka. Perkelahian dua lawan satu itu berlangsung di dasar lembah yang gelap, sama sekali tidak diketahui oleh pasukan kedua belah pihak.
Dalam keadaan tubuh luka-luka cukup parah, Gandring Wikoro berhasil merobohkan si tokoh golongan hitam dan menotok Suto Rawit. Sebelum ditangkap dan dibawa ke kotaraja Suto Rawit masih sempat membujuk Gandring Wikoro dengan imbalan separuh dari seluruh harta kekayaan yang dimilikinya asal dirinya dilepaskan. Gandring Wikoro saat itu tersenyum lalu lepaskan totokan di tubuh sang raja rampok. Menyangka Gandring Wikoro menyetujui bujukannya maka kesempatan ini tidak disiasiakan Suto Rawit. Secepat kilat dia lari meninggalkan dasar lembah. Namun baru lari sejauh sepuluh tombak, dua anak panah melesat dalam kegelapan malam dan menancap di betisnya kiri kanan! Suto Rawit terpekik. Tubuhnya terguling roboh. Pasukan kerajaan kemudian datang menangkapnya.
Suto dibawa ke kotaraja. Seharusnya orang ini langsung dihukum mati. Tapi entah mengapa dia hanya dijatuhkan hukuman penjara selama sepuluh tahun. Dan kini tahutahu dia sudah muncul di tempat itu dengan sepasang tangan berwarna kebiruan, tanda dia memiliki satu ilmu baru.
Kakek berbaju rombeng sesaat angguk-anggukkan kepalanya lalu kembali perdengarkan suara tawa bekakakan.
“Bagus! Kau tidak lupakan diriku,” katanya. “Kau gembira melihatku, namun sebentar lagi akan terjadi kesedihan di tempat ini…”
“Apa maksudmu Suto Rawit?” tanya Gandring Wikoro.
“Jangan berpura-pura tidak tahu! Selama lima tahun pertama mendekam dalam penjara aku mengalami kelumpuhan akibat dua anak panah yang kau tancapkan pada kedua betisku…”
“Ah… Kalau itu yang jadi persoalan ketahuilah bahwa saat itu aku menjalankan tugas sebagai abdi kerajaan. Sekarang kau sudah bebas, mengapa masih menyimpan dendam kesumat?” ujar Gandring Wikoro pula.
Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng meludah ke lantai panggung. “Dendam kesumat bukan dendam kesumat namanya kalau tidak dibalaskan! Kau dengar kata-kataku itu Gandring?!”
“Suto Rawit. Segala persoalan masa lalu sudah kukubur dalam-dalam. Kita sudah pada tua bangka seperti ini, mengapa masih meributkan masa lalu…?”
“Kau bisa mengatakan begitu, karena kau tidak merasakan siksaan sepuluh tahun dalam penjara! Kau tolol karena tidak membunuhku saat itu!”
“Kalau kau memang hendak membicarakan urusan masa lampau itu, boleh-boleh saja Suto. Namun saat ini biar kau kupersilakan makan dan minum dulu, biarkan para tamuku pulang, setelah itu baru kita bicara!”
“Waktuku tidak lama. Aku membutuhkan hampir sebelas tahun untuk mencari jejakmu! Dan tak perlu menunggu sampai tamu-tamu itu pergi. Biar mereka menyaksikan sendiri ganasnya pembalasan yang akan aku lakukan…”
Tiba-tiba Bimo Argomulyo putera tunggal Ketua Partai Bintang Blambangan bangkit dari kursinya dan melangkah ke tengah panggung. “Ayah, jika kau ingin aku melemparkan kakek budukan ini ke kaki bukit, aku akan melakukannya sebelum mulutnya yang bau menceloteh terlalu banyak…”
“Anak muda!” sentak Suto Rawit dengan muka hitam membesi. “Katakan siapa kau ini!?”
“Aku Bimo Argomulyo, putera Ketua Partai Bintang Blambangan!”
“Ooo, begitu…? Kau ternyata seorang anak yang berani. Tidak sepengecut ayahnya!” ujar Suto Rawit lalu untuk ke sekian kalinya dia tertawa gelak-gelak.
“Bimo… Kembali ke tempatmu. Biar aku yang menyelesaikan urusan dengan orang gila ini…” kata Gandring Wikoro pada anak laki-lakinya itu.
“Orang gila… Kau menyebutku orang gila! Apa kau tahu kalau di neraka ada ribuan orang gila yang sedang bersiapsiap menunggu kedatangan roh busukmu…? Ha… Ha… Ha…!”
Merah padam wajah Gandring Wikoro. Ketika kakek berbaju rombeng itu melompat menyerangnya, maka diapun tak tinggal diam, balas menghantam. Akibatnya dua tangan saling beradu keras. Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng terhuyung-huyung tiga langkah. Wajahnya biasa-biasa saja. Sebaliknya Ketua Partai Bintang Blambangan terpental satu tombak lalu jatuh terduduk. Mukanya mengerenyit kemerahan. Ketika dia mencoba bangkit kelihatan lengannya yang tadi beradu dengan lengan lawan menjadi biru.
Satu bayangan melesat ke atas panggung. “Ketua, kau keracunan! Lekas telan obat ini!” kata orang yang barusan melompat ke atas panggung. Lalu sang ketua merasakan sebuah benda dimasukkan ke dalam genggamannya. Ketika melihat siapa yang memberi dan menyadari memang ada kelainan dengan lengan serta aliran darah dan detak jantungnya, Gandring Wikoro cepat telan obat yang diberikan lalu atur jalan darahnya.
ORANG yang memberikan obat kepada Ketua Partai Bintang Blambangan ternyata memiliki kulit yang tak kalah hitamnya dengan Warok Gajah Ireng alias Suto Rawit. Dia mengenakan baju putih yang terbuat dari kain sangat kasar dan gombrang dua kali melebihi besar tubuhnya. Di punggungnya dia menyandang sebuah tabung bambu yang memiliki dua buah tutup tanda tabung itu mempunyai dua ruangan. Ruangan pertama dari mana tadi dia mengeluarkan obat adalah Tabung Segala Macam Obat. Sedang bagian tabung yang satunya disebut Tabung Segala Macam Racun! Siapakah adanya manusia berbaju gombrang yang telah menolong Ketua Partai Bintang Blambangan itu?
Dalam kalangan Keraton Sala dia dikenal sebagai juru obat. Dengan bekal puluhan butir obat yang selalu dibawanya ke mana-mana, dia sanggup menyembuhkan berbagai macam penyakit. Namun orang ini sekaligus juga dikenal sebagai tukang racun. Manusia atau binatang kalau sempat termakan racunnya, jangan harap bisa hidup dari seratus hitungan. Jangan pula diharap ada yang bakal bisa menyembuhkan kecuali dia. Dan racun-racun ganas itu selalu dibawanya ke mana-mana dalam tabung bambu di sebelah tempat dia menyimpan butir-butir obat!
“Jembar Keling!” Suto Rawit yang rupanya mengenali siapa adanya orang itu menyebut namanya dengan suara keras. “Sebagai tetamu, lancang amat kau mencampuri urusanku dengan tuan rumah…”
Si baju gombrang yang bernama Jembar Keling cibirkan bibir dan menyahuti, “Aku masih bisa bangga karena merupakan tamu yang diundang. Kau sendiri muncul di sini siapa yang mengundang? Jin gunung atau setan hutan?
Sudah muncul jangan kira semua orang di sini senang melihat tampangmu! Sepuluh tahun dijebloskan dalam penjara rupanya tidak membuatmu kapok! Lekas turun dari panggung. Jangan ganggu sahabatku. Minggat dari tempat ini. Atau kau mau kusuguhi racun…?!”
“Mulutmu pandai juga bicara! Tapi cukup cuma sampai hari ini! Selanjutnya kau bisa menyambung bicara di liang kubur!” Habis berkata begitu Warok Gajah Ireng langsung menyerang Jembar Keling. Dua manusia hitam itupun saling baku hantam.
“Kau menyerang, aku bertahan!” si hitam yang diserang berseru. Kedua tangannya diangkat ke atas. Begitu dua tangan itu menyembul keluar dari lengan baju yang gombrong kelihatanlah kuku-kuku jarinya yang hitam dan panjang runcing!
Suto Rawit terkesiap juga melihat keangkeran sepuluh jari tangan lawan. Dia sudah tahu betul kehebatan dan keganasan kuku-kuku maut itu. Namun penuh percaya diri dia teruskan serangannya. Dirinya sepuluh tahun silam tidak sama dengan yang sekarang. Ketika lawan membuat gerakan mencakar ke arah kedua tangannya, Suto Rawit sengaja pentang lengannya kiri kanan yang berwarna biru. Sepuluh kuku hitam beracun menyambar. Tapi kuku-kuku itu seperti mencakar di atas batu yang sangat licin. Jangankan bisa mencengkeram, mengguratnya sajapun tidak mampu!
Penasaran dan tidak percaya, Jembar Keling kembali mencengkeram sambil kerahkan tenaga dalam. Tapi saat itu lawannya tak mau memberi kesempatan lagi. Dengan satu gerakan aneh Suto Rawit menghantam.
Bukkk!
Tubuh Jembar Keling terlipat ketika jotosan Suto Rawit mendarat di perutnya. Bagian perut itu langsung menjadi biru tanda racun di lengan lawan sudah mendekam di tubuhnya. Tapi Jembar Keling tidak merasa khawatr. Obat penawar yang memang sudah disiapkannya segera ditelannya. Tiga butir sekaligus!
“Racunku tak bakal membuat mampus bangsat satu ini!” memaki Suto Rawit. “Berarti kepalanya harus kupecahkan atau kubetot lepas jantungnya!” Setelah membatin begitu, Suto Rawit keluarkan satu pekik keras yang membuat sakit telinga. Tubuhnya berkelebat lenyap berubah jadi bayang-bayang. Bau badan dan pakaiannya yang busuk menyebar di seantero panggung. Jembar Keling berkelebat kian kemari. Tangan kanannya menyambar di sebelah depan menyebar serangan, sedang tangan kiri menyambar di belakang tangan kanan sebagai tameng jika sewaktu-waktu ada serangan lawan yang masuk.
Dua manusia sama-sama hitam ini berkelahi ganas dan mati-matian. Jurus demi jurus berlalu sangat cepat. Pada jurus ke sembilan, Suto Rawit kembali membuat gerakan aneh. Tubuhnya seperti mengapung ke atas. Bagian perut dan dadanya sama sekali tidak terlindung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Jembar Keling untuk menyerbu sasaran yang terbuka itu.
“Jebol perutmu! Ambrol ususmu!” teriak Jembar Keling.
Praakk!
Suara Jembar Keling tak terdengar lagi. Tanpa jeritan ataupun erangan, tubuhnya terbanting ke lantai panggung. Kepalanya rengkah. Darah dan cairan otak menggenangi lantai. Si hitam satu ini telah berubah menjadi mayat membiru begitu cepatnya! Kematiannya disaksikan dengan pandangan mata menyatakan kengerian dari semua orang. Jembar Keling bukan seorang yang berkepandaian rendah. Namun jika lawan bisa membereskannya di bawah sepuluh jurus berarti ilmu kepandaian bekas kepala rampok itu berada pada tingkat yang sungguh sangat tinggi. Suasana di tempat itu untuk beberapa lamanya menjadi sunyi sepi dan kemudian dipecahkan oleh suara Suto Rawit.
“Ada lagi di antara para tetamu yang hendak coba-coba berbakti menyelamatkan ketua partai baru ini…?!” Tak ada yang menjawab.
Saat itu sang ketua sudah duduk kembali di tempatnya di atas panggung tinggi.
“Kami yang akan menyelamatkan Ketua Partai dan melempar mayatmu ke bawah bukit!” Satu suara mengumandang tapi ada dua orang yang bergerak maju mendekati Suto Rawit. Ternyata mereka adalah dua orang pemuda yang bukan lain Bimo Argomulyo, putera sang ketua, serta Sarwo Bayu saudara sepupu Bimo. Melihat dua pemuda itu bergerak, Gandring Wikoro segera bangkit dari kursinya.
“Aku tidak mengizinkan kalian bertindak! Aku yang akan menyelesaikan semua urusan dengan pembunuh ini. Singkirkan dan urus jenazah sahabatku Jembar Keling.”
Walaupun hati dan darah muda mereka meradang, namun Bimo serta Sarwo harus taati perintah sang ketua. Mereka menggotong jenazah Jembar Keling. Di ujung panggung beberapa anak murid partai lalu mengambil alih jenazah itu.
Untuk kedua kalinya Ketua Partai Bintang Blambangan saling berhadap-hadapan dengan Warok Gajah Ireng alias Suto Rawit.
“Kali ini kau tak bakal lolos dari kematian, Gandring Wikoro. Kau dengar itu… Jika kau punya senjata keluarkanlah. Bukankah kau jagoan memanah? Mana busur dan panahmu…?”
Mendengar ucapan itu, walau di luar wajahnya tampak tenang namun di dalam hatinya jadi panas juga. “Apa maumu akan kulayani Suto Rawit. Aku merasa tak perlu sungkan-sungkan terhadap rampok tua yang masih haus darah macammu ini!”
Lalu Ketua Partai Bintang Blambangan itu mengangkat tangan kiri memberi tanda. Seorang anak murid partai segera berlari mendatangi sambil membawa sebuah busur dan sebatang anak panah. Di lain saat dua orang itu sudah berhadap-hadapan satu sama lain.
“Keluarkan senjatamu! Mari kita berkelahi sampai salah satu dari kita menemui kematian!”
Suto Rawit tertawa sinis mendengar kata-kata Ketua Partai Bintang Blambangan itu lalu sambil mengangkat kedua tangannya ke atas dia berkata, “Senjataku hanya sepasang tangan berwarna biru ini! Kau tak perlu banyak bicara. Silakan menyerang duluan!”
Gandring Wikoro kertakkan rahang. Busur di tangan kirinya tiba-tiba lenyap, berubah seperti menjadi sebuah kitiran, menderu dengan deras. Suto Rawit merasakan seperti ada jarum-jarum kecil yang menembusi kulitnya ketika sambaran busur itu menerpa tubuhnya. Dengan cepat orang ini melompat menjauhi namun dia sempat keluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba sosok tubuh lawan entah bagaimana sudah berkelebat dari samping sambil menghunjamkan anak panah di tangan kanan ke arah batang leher Suto Rawit.
“Serangan hebat!” memuji Suto Rawit namun setelah itu dia mengejek, “Ilmu silat rendahan ini tak ada gunanya bagiku Gandring! Lihat…!”
Begitu seruan Suto Rawit berakhir, Gandring Wikoro merasakan ada satu gelombang angin melandanya hingga dia terjajar ke belakang. Cepat Ketua Partai ini babatkan busurnya. Serentak dengan itu tangan kanan yang memegang panah mencuat kian kemari, mengarah bagianbagian yang berbahaya dari tubuh Suto Rawit.
Bekas kepala rampok besar itu hanya sunggingkan senyum. Malah keluarkan suara mendengus. Dua tangannya dipalangkan ke depan.
Begitu busur di tangan kiri Gandring Wikoro menyambar, terdengar suara kraak! Ketua Partai Bintang Blambangan itu berseru kaget. Dia batalkan maksud menusuk dengan anak panah di tangan kanannya dan teliti busur di tangan kiri. Ternyata busur itu telah patah sewaktu menghantam lengan lawan yang berwarna biru!
Marahlah Gandring Wikoro. Busur yang dijadikannya senjata itu bukan saja patah tapi tangan kirinyapun terasa mendenyut sakit.
“Kurang ajar! Kau patahkan busurku! Berarti akan kupatahkan batang lehermu!” teriak Gandring Wikoro marah sekali. Didahului oleh suara menggereng orang ini kembali menyerbu. Anak panah di tangan kanannya berkelebat kian kemari. Tubuhnya sendiri hanya tinggal merupakan bayang-bayang. Sang ketua melakukan gempuran dengan jurus-jurus silat simpanannya. Dalam waktu singkat Suto Rawit kena didesak hebat. Bekas kepala rampok ini berusaha menggebuk lawan dan senjata anak panah itu. Namun gerakan Gandring Wikoro cepat dan penuh tak terduga. Selain itu Gandring Wikoro selalu berjaga-jaga agar jangan ada bagian tubuh ataupun anak panahnya sampai beradu dengan salah satu lengah yang sangat berbahaya itu.
Karena terdesak terus, Suto Rawit menjadi naik darah. Dia segera merubah gerakan-gerakan ilmu silatnya. Gerakan ilmu silat orang ini ternyata memang aneh dan membuat Gandring Wikoro semakin lama semakin sulit melancarkan serangan-serangan baru. Pada puncak kesulitannya dia merasakan tangan kanannya pedas. Ketika dia meneliti ternyata anak panah yang dijadikannya senjata telah tercabut lepas dari genggamannya. Dan telapak tangannya tampak lecet! Senjatanya kini berada di tangan lawan!
Berusaha memperhatikan diri sendiri tanpa menjauhi lawan adalah satu kesalahan besar yang sebenarnya tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang tokoh silat kawakan seperti Gandring Wikoro alias Raja Panah Delapan Penjuru Angin itu! Namun justru itulah yang terjadi. Selagi Ketua Partai Bintang Blambangan ini lengah, anak panah miliknya sendiri menghujam deras di lehernya. Gandring Wikoro mengeluarkan suara seperti orang tercekik. Belasan mulut keluarkan seruan tertahan. Tak percaya akan apa yang mereka saksikan. Senjata makan tuan!
Ketika Suto Rawit melepaskan ekor anak panah yang dipegangnya, tubuh Gandring Wikoro pun roboh ke panggung, kelojotan sebentar lalu diam tak berkutik lagi!
Belasan orang berlompatan dari panggung tinggi. Paling depan adalah Bimo dan Sarwo, lalu istri Gandring Wikoro, diikuti oleh anggota dan anak murid Partai!
Di bawah panggung puluhan tetamu sampai tersentak berdiri menyaksikan kematian Ketua Partai yang sangat cepat dan tak terduga. Tapi sang dara jelita berpakaian berbunga-bunga tampak tetap duduk di kursinya seolaholah tidak ada kejadian apa-apa. Sikapnya biasa-biasa saja, wajahnya dingin.
“Manusia keparat! Kucincang tubuhmu!” teriak Bimo Argomulyo lalu cabut sebilah pedang putih dari belakang punggungnya. Lain halnya dengan Sarwo Bayu. Pemuda satu ini, setelah menyadari bahwa Gandring Wikoro tak bernyawa lagi, dengan darah mendidih dia sudah langsung menyerbu Suto Rawit!
“Anak-anak muda! Aku hargai keberanian kalian! Tapi jika mau mendengar nasihatku, kalian akan selamat. Lekas minggat dari hadapanku!”
“Keparat! Rohmu yang akan kubikin minggat!” teriak Bimo. Lalu menyusul adik sepupunya dia pun melompat ke dalam kalangan pertempuran.
“Tahan dulu! Dengar ucapanku!” Suto Rawit berteriak keras. Pengaruh teriakan dahsyat yang disertai tenaga dalam itu sesaat membuat Bimo dan Sarwo Bayu hentikan gerakan.
“Mulai saat ini jabatan Ketua Partai Bintang Blambangan aku ambil alih! Semua anak murid partai termasuk kalian berdua harus taat perintah! Mundur!”
“Manusia keparat!”
“Bangsat terkutuk!”
Siapa yang mau mendengar ucapan Warok Gajah Ireng itu. Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu kembali menyerbu.
Dalam kalangan Keraton Sala dia dikenal sebagai juru obat. Dengan bekal puluhan butir obat yang selalu dibawanya ke mana-mana, dia sanggup menyembuhkan berbagai macam penyakit. Namun orang ini sekaligus juga dikenal sebagai tukang racun. Manusia atau binatang kalau sempat termakan racunnya, jangan harap bisa hidup dari seratus hitungan. Jangan pula diharap ada yang bakal bisa menyembuhkan kecuali dia. Dan racun-racun ganas itu selalu dibawanya ke mana-mana dalam tabung bambu di sebelah tempat dia menyimpan butir-butir obat!
“Jembar Keling!” Suto Rawit yang rupanya mengenali siapa adanya orang itu menyebut namanya dengan suara keras. “Sebagai tetamu, lancang amat kau mencampuri urusanku dengan tuan rumah…”
Si baju gombrang yang bernama Jembar Keling cibirkan bibir dan menyahuti, “Aku masih bisa bangga karena merupakan tamu yang diundang. Kau sendiri muncul di sini siapa yang mengundang? Jin gunung atau setan hutan?
Sudah muncul jangan kira semua orang di sini senang melihat tampangmu! Sepuluh tahun dijebloskan dalam penjara rupanya tidak membuatmu kapok! Lekas turun dari panggung. Jangan ganggu sahabatku. Minggat dari tempat ini. Atau kau mau kusuguhi racun…?!”
“Mulutmu pandai juga bicara! Tapi cukup cuma sampai hari ini! Selanjutnya kau bisa menyambung bicara di liang kubur!” Habis berkata begitu Warok Gajah Ireng langsung menyerang Jembar Keling. Dua manusia hitam itupun saling baku hantam.
“Kau menyerang, aku bertahan!” si hitam yang diserang berseru. Kedua tangannya diangkat ke atas. Begitu dua tangan itu menyembul keluar dari lengan baju yang gombrong kelihatanlah kuku-kuku jarinya yang hitam dan panjang runcing!
Suto Rawit terkesiap juga melihat keangkeran sepuluh jari tangan lawan. Dia sudah tahu betul kehebatan dan keganasan kuku-kuku maut itu. Namun penuh percaya diri dia teruskan serangannya. Dirinya sepuluh tahun silam tidak sama dengan yang sekarang. Ketika lawan membuat gerakan mencakar ke arah kedua tangannya, Suto Rawit sengaja pentang lengannya kiri kanan yang berwarna biru. Sepuluh kuku hitam beracun menyambar. Tapi kuku-kuku itu seperti mencakar di atas batu yang sangat licin. Jangankan bisa mencengkeram, mengguratnya sajapun tidak mampu!
Penasaran dan tidak percaya, Jembar Keling kembali mencengkeram sambil kerahkan tenaga dalam. Tapi saat itu lawannya tak mau memberi kesempatan lagi. Dengan satu gerakan aneh Suto Rawit menghantam.
Bukkk!
Tubuh Jembar Keling terlipat ketika jotosan Suto Rawit mendarat di perutnya. Bagian perut itu langsung menjadi biru tanda racun di lengan lawan sudah mendekam di tubuhnya. Tapi Jembar Keling tidak merasa khawatr. Obat penawar yang memang sudah disiapkannya segera ditelannya. Tiga butir sekaligus!
“Racunku tak bakal membuat mampus bangsat satu ini!” memaki Suto Rawit. “Berarti kepalanya harus kupecahkan atau kubetot lepas jantungnya!” Setelah membatin begitu, Suto Rawit keluarkan satu pekik keras yang membuat sakit telinga. Tubuhnya berkelebat lenyap berubah jadi bayang-bayang. Bau badan dan pakaiannya yang busuk menyebar di seantero panggung. Jembar Keling berkelebat kian kemari. Tangan kanannya menyambar di sebelah depan menyebar serangan, sedang tangan kiri menyambar di belakang tangan kanan sebagai tameng jika sewaktu-waktu ada serangan lawan yang masuk.
Dua manusia sama-sama hitam ini berkelahi ganas dan mati-matian. Jurus demi jurus berlalu sangat cepat. Pada jurus ke sembilan, Suto Rawit kembali membuat gerakan aneh. Tubuhnya seperti mengapung ke atas. Bagian perut dan dadanya sama sekali tidak terlindung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Jembar Keling untuk menyerbu sasaran yang terbuka itu.
“Jebol perutmu! Ambrol ususmu!” teriak Jembar Keling.
Praakk!
Suara Jembar Keling tak terdengar lagi. Tanpa jeritan ataupun erangan, tubuhnya terbanting ke lantai panggung. Kepalanya rengkah. Darah dan cairan otak menggenangi lantai. Si hitam satu ini telah berubah menjadi mayat membiru begitu cepatnya! Kematiannya disaksikan dengan pandangan mata menyatakan kengerian dari semua orang. Jembar Keling bukan seorang yang berkepandaian rendah. Namun jika lawan bisa membereskannya di bawah sepuluh jurus berarti ilmu kepandaian bekas kepala rampok itu berada pada tingkat yang sungguh sangat tinggi. Suasana di tempat itu untuk beberapa lamanya menjadi sunyi sepi dan kemudian dipecahkan oleh suara Suto Rawit.
“Ada lagi di antara para tetamu yang hendak coba-coba berbakti menyelamatkan ketua partai baru ini…?!” Tak ada yang menjawab.
Saat itu sang ketua sudah duduk kembali di tempatnya di atas panggung tinggi.
“Kami yang akan menyelamatkan Ketua Partai dan melempar mayatmu ke bawah bukit!” Satu suara mengumandang tapi ada dua orang yang bergerak maju mendekati Suto Rawit. Ternyata mereka adalah dua orang pemuda yang bukan lain Bimo Argomulyo, putera sang ketua, serta Sarwo Bayu saudara sepupu Bimo. Melihat dua pemuda itu bergerak, Gandring Wikoro segera bangkit dari kursinya.
“Aku tidak mengizinkan kalian bertindak! Aku yang akan menyelesaikan semua urusan dengan pembunuh ini. Singkirkan dan urus jenazah sahabatku Jembar Keling.”
Walaupun hati dan darah muda mereka meradang, namun Bimo serta Sarwo harus taati perintah sang ketua. Mereka menggotong jenazah Jembar Keling. Di ujung panggung beberapa anak murid partai lalu mengambil alih jenazah itu.
Untuk kedua kalinya Ketua Partai Bintang Blambangan saling berhadap-hadapan dengan Warok Gajah Ireng alias Suto Rawit.
“Kali ini kau tak bakal lolos dari kematian, Gandring Wikoro. Kau dengar itu… Jika kau punya senjata keluarkanlah. Bukankah kau jagoan memanah? Mana busur dan panahmu…?”
Mendengar ucapan itu, walau di luar wajahnya tampak tenang namun di dalam hatinya jadi panas juga. “Apa maumu akan kulayani Suto Rawit. Aku merasa tak perlu sungkan-sungkan terhadap rampok tua yang masih haus darah macammu ini!”
Lalu Ketua Partai Bintang Blambangan itu mengangkat tangan kiri memberi tanda. Seorang anak murid partai segera berlari mendatangi sambil membawa sebuah busur dan sebatang anak panah. Di lain saat dua orang itu sudah berhadap-hadapan satu sama lain.
“Keluarkan senjatamu! Mari kita berkelahi sampai salah satu dari kita menemui kematian!”
Suto Rawit tertawa sinis mendengar kata-kata Ketua Partai Bintang Blambangan itu lalu sambil mengangkat kedua tangannya ke atas dia berkata, “Senjataku hanya sepasang tangan berwarna biru ini! Kau tak perlu banyak bicara. Silakan menyerang duluan!”
Gandring Wikoro kertakkan rahang. Busur di tangan kirinya tiba-tiba lenyap, berubah seperti menjadi sebuah kitiran, menderu dengan deras. Suto Rawit merasakan seperti ada jarum-jarum kecil yang menembusi kulitnya ketika sambaran busur itu menerpa tubuhnya. Dengan cepat orang ini melompat menjauhi namun dia sempat keluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba sosok tubuh lawan entah bagaimana sudah berkelebat dari samping sambil menghunjamkan anak panah di tangan kanan ke arah batang leher Suto Rawit.
“Serangan hebat!” memuji Suto Rawit namun setelah itu dia mengejek, “Ilmu silat rendahan ini tak ada gunanya bagiku Gandring! Lihat…!”
Begitu seruan Suto Rawit berakhir, Gandring Wikoro merasakan ada satu gelombang angin melandanya hingga dia terjajar ke belakang. Cepat Ketua Partai ini babatkan busurnya. Serentak dengan itu tangan kanan yang memegang panah mencuat kian kemari, mengarah bagianbagian yang berbahaya dari tubuh Suto Rawit.
Bekas kepala rampok besar itu hanya sunggingkan senyum. Malah keluarkan suara mendengus. Dua tangannya dipalangkan ke depan.
Begitu busur di tangan kiri Gandring Wikoro menyambar, terdengar suara kraak! Ketua Partai Bintang Blambangan itu berseru kaget. Dia batalkan maksud menusuk dengan anak panah di tangan kanannya dan teliti busur di tangan kiri. Ternyata busur itu telah patah sewaktu menghantam lengan lawan yang berwarna biru!
Marahlah Gandring Wikoro. Busur yang dijadikannya senjata itu bukan saja patah tapi tangan kirinyapun terasa mendenyut sakit.
“Kurang ajar! Kau patahkan busurku! Berarti akan kupatahkan batang lehermu!” teriak Gandring Wikoro marah sekali. Didahului oleh suara menggereng orang ini kembali menyerbu. Anak panah di tangan kanannya berkelebat kian kemari. Tubuhnya sendiri hanya tinggal merupakan bayang-bayang. Sang ketua melakukan gempuran dengan jurus-jurus silat simpanannya. Dalam waktu singkat Suto Rawit kena didesak hebat. Bekas kepala rampok ini berusaha menggebuk lawan dan senjata anak panah itu. Namun gerakan Gandring Wikoro cepat dan penuh tak terduga. Selain itu Gandring Wikoro selalu berjaga-jaga agar jangan ada bagian tubuh ataupun anak panahnya sampai beradu dengan salah satu lengah yang sangat berbahaya itu.
Karena terdesak terus, Suto Rawit menjadi naik darah. Dia segera merubah gerakan-gerakan ilmu silatnya. Gerakan ilmu silat orang ini ternyata memang aneh dan membuat Gandring Wikoro semakin lama semakin sulit melancarkan serangan-serangan baru. Pada puncak kesulitannya dia merasakan tangan kanannya pedas. Ketika dia meneliti ternyata anak panah yang dijadikannya senjata telah tercabut lepas dari genggamannya. Dan telapak tangannya tampak lecet! Senjatanya kini berada di tangan lawan!
Berusaha memperhatikan diri sendiri tanpa menjauhi lawan adalah satu kesalahan besar yang sebenarnya tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang tokoh silat kawakan seperti Gandring Wikoro alias Raja Panah Delapan Penjuru Angin itu! Namun justru itulah yang terjadi. Selagi Ketua Partai Bintang Blambangan ini lengah, anak panah miliknya sendiri menghujam deras di lehernya. Gandring Wikoro mengeluarkan suara seperti orang tercekik. Belasan mulut keluarkan seruan tertahan. Tak percaya akan apa yang mereka saksikan. Senjata makan tuan!
Ketika Suto Rawit melepaskan ekor anak panah yang dipegangnya, tubuh Gandring Wikoro pun roboh ke panggung, kelojotan sebentar lalu diam tak berkutik lagi!
Belasan orang berlompatan dari panggung tinggi. Paling depan adalah Bimo dan Sarwo, lalu istri Gandring Wikoro, diikuti oleh anggota dan anak murid Partai!
Di bawah panggung puluhan tetamu sampai tersentak berdiri menyaksikan kematian Ketua Partai yang sangat cepat dan tak terduga. Tapi sang dara jelita berpakaian berbunga-bunga tampak tetap duduk di kursinya seolaholah tidak ada kejadian apa-apa. Sikapnya biasa-biasa saja, wajahnya dingin.
“Manusia keparat! Kucincang tubuhmu!” teriak Bimo Argomulyo lalu cabut sebilah pedang putih dari belakang punggungnya. Lain halnya dengan Sarwo Bayu. Pemuda satu ini, setelah menyadari bahwa Gandring Wikoro tak bernyawa lagi, dengan darah mendidih dia sudah langsung menyerbu Suto Rawit!
“Anak-anak muda! Aku hargai keberanian kalian! Tapi jika mau mendengar nasihatku, kalian akan selamat. Lekas minggat dari hadapanku!”
“Keparat! Rohmu yang akan kubikin minggat!” teriak Bimo. Lalu menyusul adik sepupunya dia pun melompat ke dalam kalangan pertempuran.
“Tahan dulu! Dengar ucapanku!” Suto Rawit berteriak keras. Pengaruh teriakan dahsyat yang disertai tenaga dalam itu sesaat membuat Bimo dan Sarwo Bayu hentikan gerakan.
“Mulai saat ini jabatan Ketua Partai Bintang Blambangan aku ambil alih! Semua anak murid partai termasuk kalian berdua harus taat perintah! Mundur!”
“Manusia keparat!”
“Bangsat terkutuk!”
Siapa yang mau mendengar ucapan Warok Gajah Ireng itu. Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu kembali menyerbu.
WAROK Gajah Ireng tertawa mengekeh. Matanya yang cekung berputar liar. Bimo Aryo dengan pedang putih di tangan berada di depan sebelah kanan. Sarwo Bayu di sebelah kiri, tampaknya pemuda ini akan mengandalkan tangan kosong, namun kemudian sang warok melihat Bayu menyelinapkan tangan ke balik pakaian dan kini tampak dia menggenggam sebatang anak panah berwarna putih berkilat, terbuat dari baja putih. Anak panah ini berbentuk aneh. Selain ukurannya lebih besar, di bagian kepala memiliki tiga kepala sekaligus. Berarti jika sampai senjata itu menancap di sasaran, tidak mungkin mencabutnya tanpa sasaran mengalami kehancuran total!
Selain Bimo dan Sarwo, panggung ternyata telah dikurung oleh lebih dari dua puluh anak murid dan anggota partai.
“Jadi begini rupanya sifat orang-orang Bintang Blambangan! Mengandalkan pengeroyokan di sarang sendiri!” terdengar sang warok alias Suto Rawit keluarkan kata-kata ejekan.
“Manusia jahanam sepertimu memang pantas dikeroyok dan dicincang!” menyahuti Bimo Argomulyo. Dia memberi isyarat pada sepupunya, juga pada murid-murid partai. Serentak dengan itu dua puluh pengurung merangsak maju sambil loloskan senjata mereka yakni busur di tangan kiri dan anak panah di tangan kanan!
Di bawah panggung para tetamu banyak yang menarik nafas menyesalkan apa yang terjadi. Tetapi sebagian besar merasa memang manusia seperti Warok Gajah Ireng harus disingkirkan dari muka bumi untuk selama-lamanya. Lain halnya dengan dara berbaju kembang-kembang. Dalam hatinya dia membatin, “Ilmu silat busur dan panah memang bukan sembarangan. Apalagi dua pemuda itu akan bertempur berbarengan. Tapi… rasanya mereka akan mengalami malapetaka. Suto Rawit tetap bukan tandingan mereka. Aku harus mencegah.”
Bimo Argomulyo tiba-tiba keluarkan teriakan keras, inilah tanda terakhir. Semua orang menyerbu ke arah Suto Rawit.
Pada saat itulah melesat satu bayangan ke atas panggung. Angin sangat deras menyambar. Suto Rawit merasakan kedua kakinya menjadi goyah dan tubuhnya terhuyung-huyung. Rambutnya yang panjang awut-awutan berkibar-kibar. Bimo dan Sarwo merasakan hal yang sama, malah kedua pemuda itu terjajar sampai tiga langkah. Dua puluh anak murid partai banyak yang roboh berpelantingan sampai ke bawah panggung. Apakah yang terjadi?
Di saat ketika angin menyambar terdengar suara orang berseru, “Semua orang Partai Bintang Blambangan harap mundur! Biar aku yang mewakili kalian membalaskan sakit hati kematian Ketua Partai!”
Tentu saja semua kejadian ini membuat orang terkejut. Dan jadi tercengang tak percaya ketika mengetahui bahwa yang melakukan hal itu adalah sang dara jelita berpakaian warna-warni yang tadi duduk di antara para tetamu pada deretan kursi ke tiga. Masih begitu muda tapi memiliki hawa tenaga dalam yang sanggup membuat para jago di atas panggung sempoyongan!
Bimo Argomulyo dan Sarwo hendak mendamprat marah karena ada yang berani mencampuri urusan balas dendam mereka. Namun dua pemuda ini jadi terkesima ketika melihat yang tegak di atas panggung saat itu bukan lain adalah gadis cantik yang sejak sebelumnya sudah membuat mereka kagum.
“Saudari… Kami menghargai kegagahanmu. Namun biarlah kami orang-orang partai menyelesaikan urusan ini. Terima kasih…”
“Betul saudari, sebaiknya kau kembali ke tempat dudukmu di antara para tamu,” menyambung Sarwo Bayu atas kata-kata Bimo tadi.
Sang dara gelengkan kepala dan tersenyum.
“Si baju rombeng bau yang tegak di depan kalian ini bukan manusia. Tapi iblis laknat yang harus cepat-cepat disingkirkan. Dia bukan lawan kalian. Jangan mengira aku sombong. Tapi hanya aku yang memiliki senjata untuk dapat menumpasnya!”
Habis berkata begitu sang dara layangkan pandangannya. Meskipun sepasang mata itu bening bagus, tapi ada satu kekuatan aneh yang membuat semua orang Partai Bintang Blambangan menjadi terhening dan ketika Bimo Argomulyo melangkah mundur, adik sepupunya pun mengikuti. Kepada para murid partai Bimo memberi isyarat agar tetap melakukan pengepungan di empat sudut panggung.
“Anak manis yang masih bau kencur! Apa sangkut pautmu dengan orang-orang Bintang Blambangan hingga mau-mauan turun tangan mencampuri urusan?!” Warok Gajah Ireng alias Suto Rawit menegur. Kedua matanya yang cekung memandang tak berkesip pada wajah cantik dan tubuh padat mulus itu.
Yang ditanya menyeringai penuh ejek. “Usia hampir seabad. Badan sudah bau tanah! Hidup masih saja mengumbar kejahatan!”
“Aku tidak minta keterangan atas diriku sendiri, gadis centil! Aku tahu, jangan-jangan salah satu dari dua pemuda itu adalah kekasihmu! Ah sungguh beruntung dirinya.
Mengapa bukan aku yang kau jadikan kekasih…? Sehari pun aku kau jadikan kekasih bagiku sudah luar biasa…!” Suto Rawit lalu tertawa mengekeh.
“Ternyata mulutmu sebusuk dan sekotor hatimu! Kau akan menerima kematian dalam tiga jurus!”
Suto Rawit yang menganggap enteng sang dara kembali tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya berhenti dan tubuhnya berkelebat. Kedua tangannya melesat ke depan. Satu berusaha menotok urat besar di leher sang dara, yang satunya lagi secara kurang ajar diulurkan sengaja untuk menjamah payudara gadis itu.
“Jurus pertama!” teriak si gadis berbaju kembang warna-warni. Tubuhnya dimiringkan ke kiri. Dua tangan lawan hanya mencapai tempat kosong. Di saat itu kaki kanan si gadis terangkat ke atas, membabat ke arah perut Suto Rawit. Terkejutlah bekas raja diraja rampok ini. Kalau tidak lekas dia melompat ke belakang, pasti perutnya sudah kena hantam tendangan si gadis! Kini dia tidak mau menganggap rendah lagi. Dengan pelipis bergerak-gerak tanda amarahnya mulai mendidih, Suto Rawit maju dua langkah. Kedua lututnya tiba-tiba menekuk, tubuhnya setengah merunduk. Tenaga dalam terpusat di tangan kanan. Dan ketika tangan kanan ini melepaskan satu pukulan sakti, tampak sinar biru menderu, menyambar ke arah sang dara.
“Jurus kedua!” seru sang dara. Tangannya menyelinap ke balik pakaian. Sinar merah seperti besi membara mencuat di udara.
Bummm!
Sinar biru warna pukulan sakti Suto Rawit terpental ke udara lalu lenyap pupus meninggalkan asap meliuk-liuk.
Suto Rawit tercampak ke belakang. Untung dia bersikap waspada hingga tak sampai jatuh duduk atau terbanting punggung ke lantai panggung. Namun wajahnya jelas pucat. Keningnya tampak mengerenyit ketika dia coba luruskan badan. Matanya berkilat-kilat memandang pada sebuah senjata berbentuk tombak kecil, berwarna sangat merah laksana habis diganggang di atas api!
“Dewi Tombak Api!” terdengar seseorang berseru di bawah panggung. Rupanya ada yang mengenali siapa adanya sang dara.
Sementara itu Suto Rawit yang tak pernah mendengar nama atau gelar gadis berbaju kembang-kembang di hadapannya itu berteriak marah. “Dewi atau iblis! Kau akan menemui ajal dengan tubuh tercerai berai!” Lalu dia angkat kedua tangannya. Sepasang lengan sampai ke kuku dan ujung jari memancarkan warna biru pekat, itu pertanda bahwa orang ini tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya yang ada. Lalu dengan keluarkan suara meraung seperti srigala, Suto Rawit melompat. Lima jari tangannya kiri kanan menjentik. Sepuluh larik sinar biru yang mengerikan dan menebar bau busuk angker berkiblat, menderu ke arah sepuluh sasaran di tubuh sang dara. Semua orang yang menyaksikan itu keluarkan seruan tertahan. Sepuluh bagian tubuh terserang pukulan beracun yang mematikan. Betapapun hebatnya gadis itu, tak mungkin dia akan mampu mengelak atau menghindarkan diri dari serangan maut yang dilepas Suto Rawit!
Selain Bimo dan Sarwo, panggung ternyata telah dikurung oleh lebih dari dua puluh anak murid dan anggota partai.
“Jadi begini rupanya sifat orang-orang Bintang Blambangan! Mengandalkan pengeroyokan di sarang sendiri!” terdengar sang warok alias Suto Rawit keluarkan kata-kata ejekan.
“Manusia jahanam sepertimu memang pantas dikeroyok dan dicincang!” menyahuti Bimo Argomulyo. Dia memberi isyarat pada sepupunya, juga pada murid-murid partai. Serentak dengan itu dua puluh pengurung merangsak maju sambil loloskan senjata mereka yakni busur di tangan kiri dan anak panah di tangan kanan!
Di bawah panggung para tetamu banyak yang menarik nafas menyesalkan apa yang terjadi. Tetapi sebagian besar merasa memang manusia seperti Warok Gajah Ireng harus disingkirkan dari muka bumi untuk selama-lamanya. Lain halnya dengan dara berbaju kembang-kembang. Dalam hatinya dia membatin, “Ilmu silat busur dan panah memang bukan sembarangan. Apalagi dua pemuda itu akan bertempur berbarengan. Tapi… rasanya mereka akan mengalami malapetaka. Suto Rawit tetap bukan tandingan mereka. Aku harus mencegah.”
Bimo Argomulyo tiba-tiba keluarkan teriakan keras, inilah tanda terakhir. Semua orang menyerbu ke arah Suto Rawit.
Pada saat itulah melesat satu bayangan ke atas panggung. Angin sangat deras menyambar. Suto Rawit merasakan kedua kakinya menjadi goyah dan tubuhnya terhuyung-huyung. Rambutnya yang panjang awut-awutan berkibar-kibar. Bimo dan Sarwo merasakan hal yang sama, malah kedua pemuda itu terjajar sampai tiga langkah. Dua puluh anak murid partai banyak yang roboh berpelantingan sampai ke bawah panggung. Apakah yang terjadi?
Di saat ketika angin menyambar terdengar suara orang berseru, “Semua orang Partai Bintang Blambangan harap mundur! Biar aku yang mewakili kalian membalaskan sakit hati kematian Ketua Partai!”
Tentu saja semua kejadian ini membuat orang terkejut. Dan jadi tercengang tak percaya ketika mengetahui bahwa yang melakukan hal itu adalah sang dara jelita berpakaian warna-warni yang tadi duduk di antara para tetamu pada deretan kursi ke tiga. Masih begitu muda tapi memiliki hawa tenaga dalam yang sanggup membuat para jago di atas panggung sempoyongan!
Bimo Argomulyo dan Sarwo hendak mendamprat marah karena ada yang berani mencampuri urusan balas dendam mereka. Namun dua pemuda ini jadi terkesima ketika melihat yang tegak di atas panggung saat itu bukan lain adalah gadis cantik yang sejak sebelumnya sudah membuat mereka kagum.
“Saudari… Kami menghargai kegagahanmu. Namun biarlah kami orang-orang partai menyelesaikan urusan ini. Terima kasih…”
“Betul saudari, sebaiknya kau kembali ke tempat dudukmu di antara para tamu,” menyambung Sarwo Bayu atas kata-kata Bimo tadi.
Sang dara gelengkan kepala dan tersenyum.
“Si baju rombeng bau yang tegak di depan kalian ini bukan manusia. Tapi iblis laknat yang harus cepat-cepat disingkirkan. Dia bukan lawan kalian. Jangan mengira aku sombong. Tapi hanya aku yang memiliki senjata untuk dapat menumpasnya!”
Habis berkata begitu sang dara layangkan pandangannya. Meskipun sepasang mata itu bening bagus, tapi ada satu kekuatan aneh yang membuat semua orang Partai Bintang Blambangan menjadi terhening dan ketika Bimo Argomulyo melangkah mundur, adik sepupunya pun mengikuti. Kepada para murid partai Bimo memberi isyarat agar tetap melakukan pengepungan di empat sudut panggung.
“Anak manis yang masih bau kencur! Apa sangkut pautmu dengan orang-orang Bintang Blambangan hingga mau-mauan turun tangan mencampuri urusan?!” Warok Gajah Ireng alias Suto Rawit menegur. Kedua matanya yang cekung memandang tak berkesip pada wajah cantik dan tubuh padat mulus itu.
Yang ditanya menyeringai penuh ejek. “Usia hampir seabad. Badan sudah bau tanah! Hidup masih saja mengumbar kejahatan!”
“Aku tidak minta keterangan atas diriku sendiri, gadis centil! Aku tahu, jangan-jangan salah satu dari dua pemuda itu adalah kekasihmu! Ah sungguh beruntung dirinya.
Mengapa bukan aku yang kau jadikan kekasih…? Sehari pun aku kau jadikan kekasih bagiku sudah luar biasa…!” Suto Rawit lalu tertawa mengekeh.
“Ternyata mulutmu sebusuk dan sekotor hatimu! Kau akan menerima kematian dalam tiga jurus!”
Suto Rawit yang menganggap enteng sang dara kembali tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya berhenti dan tubuhnya berkelebat. Kedua tangannya melesat ke depan. Satu berusaha menotok urat besar di leher sang dara, yang satunya lagi secara kurang ajar diulurkan sengaja untuk menjamah payudara gadis itu.
“Jurus pertama!” teriak si gadis berbaju kembang warna-warni. Tubuhnya dimiringkan ke kiri. Dua tangan lawan hanya mencapai tempat kosong. Di saat itu kaki kanan si gadis terangkat ke atas, membabat ke arah perut Suto Rawit. Terkejutlah bekas raja diraja rampok ini. Kalau tidak lekas dia melompat ke belakang, pasti perutnya sudah kena hantam tendangan si gadis! Kini dia tidak mau menganggap rendah lagi. Dengan pelipis bergerak-gerak tanda amarahnya mulai mendidih, Suto Rawit maju dua langkah. Kedua lututnya tiba-tiba menekuk, tubuhnya setengah merunduk. Tenaga dalam terpusat di tangan kanan. Dan ketika tangan kanan ini melepaskan satu pukulan sakti, tampak sinar biru menderu, menyambar ke arah sang dara.
“Jurus kedua!” seru sang dara. Tangannya menyelinap ke balik pakaian. Sinar merah seperti besi membara mencuat di udara.
Bummm!
Sinar biru warna pukulan sakti Suto Rawit terpental ke udara lalu lenyap pupus meninggalkan asap meliuk-liuk.
Suto Rawit tercampak ke belakang. Untung dia bersikap waspada hingga tak sampai jatuh duduk atau terbanting punggung ke lantai panggung. Namun wajahnya jelas pucat. Keningnya tampak mengerenyit ketika dia coba luruskan badan. Matanya berkilat-kilat memandang pada sebuah senjata berbentuk tombak kecil, berwarna sangat merah laksana habis diganggang di atas api!
“Dewi Tombak Api!” terdengar seseorang berseru di bawah panggung. Rupanya ada yang mengenali siapa adanya sang dara.
Sementara itu Suto Rawit yang tak pernah mendengar nama atau gelar gadis berbaju kembang-kembang di hadapannya itu berteriak marah. “Dewi atau iblis! Kau akan menemui ajal dengan tubuh tercerai berai!” Lalu dia angkat kedua tangannya. Sepasang lengan sampai ke kuku dan ujung jari memancarkan warna biru pekat, itu pertanda bahwa orang ini tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya yang ada. Lalu dengan keluarkan suara meraung seperti srigala, Suto Rawit melompat. Lima jari tangannya kiri kanan menjentik. Sepuluh larik sinar biru yang mengerikan dan menebar bau busuk angker berkiblat, menderu ke arah sepuluh sasaran di tubuh sang dara. Semua orang yang menyaksikan itu keluarkan seruan tertahan. Sepuluh bagian tubuh terserang pukulan beracun yang mematikan. Betapapun hebatnya gadis itu, tak mungkin dia akan mampu mengelak atau menghindarkan diri dari serangan maut yang dilepas Suto Rawit!
SELAGI semua orang menahan nafas, sang dara justru tampak tenang-tenang saja. Dan apa yang terjadi kemudian sungguh membuat semua orang membeliak. Begitu sepuluh larik sinar maut berwarna biru menerpa ke arahnya, sang dara yang dipanggil dengan gelar Dewi Tombak Api berseru keras, “Jurus ke tiga!” Lalu gadis ini membuat gerakan mengemplang dengan tombaknya yang seperti menyala itu.
Pada saat tombak menggebrak, terdengar suara wuuss!
Dan sebuah lidah api yang lebar dan panjang menjilat ke depan. Sepuluh larik sinar biru langsung ambalas ditelan lidah api itu.
Di lain kejap terdengar jerit Suto Rawit. Dan semua orang yang berada di tempat itu sama menyaksikan bagaimana lidah api yang keluar dari tombak membara di tangan sang dara membuntal tubuh Suto Rawit hingga orang ini berteriak-teriak kalang kabut, melompat turun ke bawah panggung sambil berusaha memadamkan api yang membakar sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki. Bekas kepala rampok ini coba bergulingan di tanah. Sia-sia saja. Kobaran api membuat tubuhnya laksana kambing panggang, menebar sangitnya bau daging terbakar. Dia tersungkur di samping deretan meja tamu ke empat, menggeliat-geliat beberapa ketika. Suara jeritannya makin lama makin perlahan. Akhirnya nyawanyapun lepas tak tertolong lagi!
Di atas panggung Dewi Tombak Api nampak tegak tak bergerak. Wajahnya kelihatan memucat putih, dadanya turun naik. Pandangan matanya aneh. Lalu semua orang menyaksikan bagaimana tubuh itu menggigil beberapa ketika. Sewaktu gigilan berhenti si gadis melemparkan pandangan aneh pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu. Pada saat itu dua pemuda ini justru melangkah mendatangi dan menjura di hadapannya.
“Saudari, siapa pun kau adanya kami menghaturkan terima kasih karena kau telah membalaskan sakit hati kematian ayah kami. Lebih dari itu kami orang-orang Partai Bintang Blambangan telah kau selamatkan dari kehancuran… Kami mengundangmu untuk duduk di antara keluarga partai sebagai tamu kehormatan yang telah berjasa besar!”
Saat itu semua orang kembali memperhatikan bagaimana sang dara tubuhnya tampak seperti menggigil, pandangan matanya memberingas sedang wajahnya kelihatan seperti tak berdarah. Lalu perlahan-lahan wajah itu menjadi kemerahan.
“Saudari… ada apa? Apakah kau mendadak sakit…?” tanya Bimo Argomulyo ketika melihat sang dara seperti menggigil kedinginan dan wajahnya memucat.
“Aku tak apa-apa. Harap kalian memaafkan. Aku tak bisa duduk di antara keluarga partai. Aku harus pergi sekarang juga dan kalian berdua harus ikut bersamaku!”
Tentu saja ucapan sang dara mengejutkan semua orang, terutama Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Saudari, maksudmu bagaimana?” tanya Bimo Argumulyo.
Sementara Sarwo Bayu untuk pertama kalinya sadar bahwa jenazah ayah angkatnya yaitu Ketua Partai Bintang Blambangan masih menggeletak di ujung panggung. Dia cepat bertindak, melangkah ke arah jenazah, namun langkahnya tertahan ketika dia mendengar ucapan terakhir dara yang barusan membakar mati Suto Rawit dengan tombak apinya. Dia berpaling pada si gadis dan pandangan mereka saling bertemu.
“Saudari, kami harus ikut bersamamu katamu…?” tanya Sarwo Bayu. Saat itu dia merasakan ada getaran aneh memancar dari kedua mata Dewi Tombak Api yang masuk menembus kedua matanya sendiri lalu menggeletari jalan darah di sekujur tubuhnya. Dia melangkah mendekati kakak sepupunya dan berbisik, “Kangmas Bimo, perasaanku mendadak aneh. Aku merasa seperti ingin ikut saja dengan gadis ini…”
“Ada yang tidak beres adikku. Hati-hati. Jangan pandang kedua matanya…”
Tapi terlambat. Saat itu apa yang dialami Sarwo Bayu juga mulai dirasakan oleh Bimo Argomulyo. Dua pemuda ini memandang lekat-lekat pada sang dara seolah-olah dipantek. Mereka melihat dara itu menganggukkan kepalanya lalu berkelebat turun dari panggung dan lari ke arah timur. Bimo dan Sarwo sesaat saling pandang lalu tidak terduga, keduanyapun melompat dari atas panggung, berlari ke jurusan timur menyusul Dewi Tombak Api.
“Bimo! Sarwo! Kalian mau ke mana? Kembali…!”
berteriak istri Ketua Partai Bintang Blambangan. Tapi kedua pemuda itu telah lenyap di lereng bukit sebelah timur. Kembali tempat itu dilanda kegegeran. Kali ini kegegeran yang disertai tanda tanya tak terjawab. Apa sebenarnya yang terjadi? Para tetamu kemudian ingat pada orang yang tadi berseru menyebut nama atau gelar dara jelita itu. Mereka mencari-cari. Orang itu ditemui. Tetapi astaga! Dia sudah menjadi mayat dengan leher membiru seperti dicekik!
Pada saat tombak menggebrak, terdengar suara wuuss!
Dan sebuah lidah api yang lebar dan panjang menjilat ke depan. Sepuluh larik sinar biru langsung ambalas ditelan lidah api itu.
Di lain kejap terdengar jerit Suto Rawit. Dan semua orang yang berada di tempat itu sama menyaksikan bagaimana lidah api yang keluar dari tombak membara di tangan sang dara membuntal tubuh Suto Rawit hingga orang ini berteriak-teriak kalang kabut, melompat turun ke bawah panggung sambil berusaha memadamkan api yang membakar sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki. Bekas kepala rampok ini coba bergulingan di tanah. Sia-sia saja. Kobaran api membuat tubuhnya laksana kambing panggang, menebar sangitnya bau daging terbakar. Dia tersungkur di samping deretan meja tamu ke empat, menggeliat-geliat beberapa ketika. Suara jeritannya makin lama makin perlahan. Akhirnya nyawanyapun lepas tak tertolong lagi!
Di atas panggung Dewi Tombak Api nampak tegak tak bergerak. Wajahnya kelihatan memucat putih, dadanya turun naik. Pandangan matanya aneh. Lalu semua orang menyaksikan bagaimana tubuh itu menggigil beberapa ketika. Sewaktu gigilan berhenti si gadis melemparkan pandangan aneh pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu. Pada saat itu dua pemuda ini justru melangkah mendatangi dan menjura di hadapannya.
“Saudari, siapa pun kau adanya kami menghaturkan terima kasih karena kau telah membalaskan sakit hati kematian ayah kami. Lebih dari itu kami orang-orang Partai Bintang Blambangan telah kau selamatkan dari kehancuran… Kami mengundangmu untuk duduk di antara keluarga partai sebagai tamu kehormatan yang telah berjasa besar!”
Saat itu semua orang kembali memperhatikan bagaimana sang dara tubuhnya tampak seperti menggigil, pandangan matanya memberingas sedang wajahnya kelihatan seperti tak berdarah. Lalu perlahan-lahan wajah itu menjadi kemerahan.
“Saudari… ada apa? Apakah kau mendadak sakit…?” tanya Bimo Argomulyo ketika melihat sang dara seperti menggigil kedinginan dan wajahnya memucat.
“Aku tak apa-apa. Harap kalian memaafkan. Aku tak bisa duduk di antara keluarga partai. Aku harus pergi sekarang juga dan kalian berdua harus ikut bersamaku!”
Tentu saja ucapan sang dara mengejutkan semua orang, terutama Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Saudari, maksudmu bagaimana?” tanya Bimo Argumulyo.
Sementara Sarwo Bayu untuk pertama kalinya sadar bahwa jenazah ayah angkatnya yaitu Ketua Partai Bintang Blambangan masih menggeletak di ujung panggung. Dia cepat bertindak, melangkah ke arah jenazah, namun langkahnya tertahan ketika dia mendengar ucapan terakhir dara yang barusan membakar mati Suto Rawit dengan tombak apinya. Dia berpaling pada si gadis dan pandangan mereka saling bertemu.
“Saudari, kami harus ikut bersamamu katamu…?” tanya Sarwo Bayu. Saat itu dia merasakan ada getaran aneh memancar dari kedua mata Dewi Tombak Api yang masuk menembus kedua matanya sendiri lalu menggeletari jalan darah di sekujur tubuhnya. Dia melangkah mendekati kakak sepupunya dan berbisik, “Kangmas Bimo, perasaanku mendadak aneh. Aku merasa seperti ingin ikut saja dengan gadis ini…”
“Ada yang tidak beres adikku. Hati-hati. Jangan pandang kedua matanya…”
Tapi terlambat. Saat itu apa yang dialami Sarwo Bayu juga mulai dirasakan oleh Bimo Argomulyo. Dua pemuda ini memandang lekat-lekat pada sang dara seolah-olah dipantek. Mereka melihat dara itu menganggukkan kepalanya lalu berkelebat turun dari panggung dan lari ke arah timur. Bimo dan Sarwo sesaat saling pandang lalu tidak terduga, keduanyapun melompat dari atas panggung, berlari ke jurusan timur menyusul Dewi Tombak Api.
“Bimo! Sarwo! Kalian mau ke mana? Kembali…!”
berteriak istri Ketua Partai Bintang Blambangan. Tapi kedua pemuda itu telah lenyap di lereng bukit sebelah timur. Kembali tempat itu dilanda kegegeran. Kali ini kegegeran yang disertai tanda tanya tak terjawab. Apa sebenarnya yang terjadi? Para tetamu kemudian ingat pada orang yang tadi berseru menyebut nama atau gelar dara jelita itu. Mereka mencari-cari. Orang itu ditemui. Tetapi astaga! Dia sudah menjadi mayat dengan leher membiru seperti dicekik!
DARI dalam rumah yang terletak di lembah sunyi itu terdengar suara erangan-erangan halus di antara deru nafas yang memburu dan sesekali ditingkah oleh suara tawa gelak perempuan. “Kalian berdua memiliki tubuh kuat, masih muda-muda tapi tak dapat mengalahkanku! Hik… hik… hik…” terdengar suara perempuan berkata lalu disusul suara kecupan beberapa kali.
“Terus terang kami tidak pernah berbuat begini sebelumnya…” Ada suara lelaki menjawab.
“Betul. Baru sekali ini kami melakukan. Belum berpengalaman…” Satu suara lelaki lagi menimpali.
Lalu kembali terdengar suara tawa perempuan. “Kalau begitu kalian harus kuajari ini-itu… Hik… hik…” Lalu terdengar lagi beberapa kali suara kecupan dan ranjang yang berderik-derik.
Tapi tiba-tiba terdengar si perempuan berbisik, “Ada orang mengintai di atas atap…” Lalu perempuan itu membentak, “Manusia minta mati! Berani mengintip urusan orang!”
Satu gelombang angin menderu. Atap rumah yang terbuat dari papan kayu besi hancur jebol berantakan. Bersamaan dengan itu terdengar pekikan kecil disertai berkelebatnya satu bayangan biru, melompat dari atas atap, turun ke tanah di halaman kiri rumah.
Di dalam rumah, perempuan yang tadi membentak dan melancarkan pukulan tangan kosong yang dahsyat cepat menyambar pakaiannya sambil memberi isyarat pada dua orang pemuda yang ada di atas ranjang agar cepat-cepat mengenakan pakaian. Begitu selesai berpakaian perempuan itu menghambur ke pintu, melesat ke luar rumah diikuti dua pemuda yang bukan lain adalah Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Hah! Lagi-lagi kau rupanya”! membentak perempuan yang keluar dari dalam rumah, “kali ini jangan harap aku memberi ampunan padamu Simanti!”
“Kakak Sumitri. Apakah kau tidak mau insaf dan bertobat? Jika kau mau kembali menghadap guru dan menyerahkan senjata pangkal bahala itu maka kau dan kita semua akan hidup tenteram…”
“Hidup tenteram… Aku tak percaya kata-kata itu. Aku juga tak percaya kalau Tombak Api milikku merupakan senjata pangkal bahala dalam kehidupanku! Guru menginginkan senjata mustika itu untuk kepentingannya sendiri karena dia memang suka mengumpulkan senjata antik dan sakti…”
“Kakak Sumitri, percayalah. Bukan itu tujuan guru. Selama kau memiliki senjata itu dirimu akan selalu berada di bawah pengaruh nafsu bejat! Apakah kau tidak juga mengerti… Apakah kau tidak sadar apa yang barusan kau lakukan bersama dua pemuda dari Partai Bintang Blambangan itu…?”
“Apa yang kulakukan tidak ada sangkut pautnya dengan Tombak Api…!”
“Apa yang kami lakukan adalah atas dasar suka sama suka…!” tiba-tiba menyeletuk Bimo Argomulyo.
Gadis bernama Simanti, seorang dara berparas tak kalah jelita dengan Sumitri alias Dewi Tombak Api berpaling pada Bimo Argomulyo dan berkata sinis, “Sebagai manusia biasa aku tidak menyalahkan kalau kau dan saudaramu itu sampai tergoda. Tapi sebagai tokoh partai dan seorang pendekar sungguh memalukan kalau kalian berdua sampai ikut-ikutan sesat… Apa kalian tidak sadar telah jadi budak nafsu Dewi Tombak Api?!”
“Simanti! Jaga mulutmu! Lekas pergi dari sini selagi aku masih mau memandangmu sebagai adik…” Dewi Tombak Api membentak.
“Tidak kakak Sumitri. Sekali ini apapun yang terjadi aku harus membawamu pulang menghadap guru…”
“Hemm… begitu…? Kepandaian apa yang kau miliki hingga berani bicara sesombong itu?!”
“Dewi… Jika kau memang tak suka si lancang ini berada lebih lama dari sini biar aku yang memberi pelajaran padanya…” berkata Bimo Argomulyo.
“Terima kasih kalau kau memang ingin bertindak. Hanya saja kuharap kau maju bersama saudaramu itu…”
jawab Dewi Tombak Api pula karena dia sudah bisa menjajagi, seorang diri Bimo Argomulyo tak akan sanggup menghadapi Simanti yang memiliki kepandaian hanya satu tingkat saja darinya.
“Kalau Dewi berkata begitu, biar kami berdua berebut pahala untuk mengusirnya!” kata Sarwo Bayu pula. Lalu dia menganggukkan kepala ke arah Bimo Argomulyo. Kedua orang ini serentak menggebrak ke arah dara berbaju biru. Bimo berusaha merangkul pinggang sang dara sedang Bayu coba menangkap kedua tangannya untuk diringkus. Tepat seperti dugaan Dewi Tombak Api ternyata tidak semudah itu untuk meringkus Simanti. Begitu dua pemuda bergerak, dia sudah lebih dahulu memapaki. Tangannya kiri kanan dihantamkan ke depan. Dua angin deras menderu membuat dua pemuda terkejut lalu sama menyingkir ke samping dan dari samping kembali menyerbu.
Bukk!
Dukk!
Empat lengan saling beradu keras hingga mengeluarkan suara bergedebukan. Simanti terpental tiga langkah dan jatuh duduk di tanah. Sebaliknya Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu jatuh terguling-guling. Ketika mencoba bangkit jelas wajah keduanya kelihatan mengerenyit sakit dan pucat sedang lengan kanan masingmasing tampak bengkak membiru!
Dua pemuda itu tidak mengira mereka bisa dipecundangi begitu rupa. Keduanya yang kini dipengaruhi oleh amarah segera mengurung Simanti.
Sarwo Bayu sempat ajukan pertanyaan. “Dewi Tombak Api, apakah kau perkenankan kami membunuh saja gadis pengacau ini?!”
“Lakukan apa yang kalian suka terhadapnya!” jawab Sumitri atau Dewi Tombak Api.
Maka dari balik pakaiannya Sarwo Bayu keluarkan dua buah anak panah yang terbuat dari baja putih. Yang satu dilemparkannya pada Bimo Argomulyo. Lalu tanpa banyak bicara lagi dua pemuda itu langsung menyerbu Simanti.
Dua anak panah berkiblat mengeluarkan suara menderu dan cahaya berkilauan.
Seperti diketahui, Bimo Argomulyo memiliki ilmu silat tangan kosong yang tinggi. Dengan memegang senjata berupa anak panah seperti itu gerakan-gerakannya benarbenar berbahaya. Di lain pihak Sarwo Bayu sudah mendalami ilmu silat panah dan busur yang diwarisinya dari almarhum Ketua Partai Bintang Blambangan. Maka dalam waktu sekejapan saja Simanti telah menjadi bulanbulanan serangan kedua pemuda itu.
Menyerang terus menerus selama lima jurus tanpa hasil membuat Bimo dan Sarwo menjadi meradang. Keduanya percepat gerakan masing-masing, keluarkan jurus-jurus penuh tipuan. Namun lagi-lagi lima jurus berlalu tanpa mereka mampu menyentuh tubuh atau pakaian Simanti.
“Ah, anak itu maju jauh sekali tingkat kepandaiannya dari satu tahun lalu. Pasti guru telah membekalinya dengan jurus-jurus silat khusus…” Meskipun menyadari kehebatan ilmu silat adik seperguruannya itu namun Dewi Tombak Api tidak merasa jerih.
“Pemuda-pemuda sesat jaga perut kalian!” terdengar Simanti berseru. Lalu dua tangannya membagi serangan berupa jotosan kuat ke arah perut Bimo dan Sarwo. Terpengaruh oleh ucapan lawan serta terjebak oleh apa yang mereka saksikan, dua pemuda Partai Bintang Blambangan itu sapukan panah masing-masing ke arah perut untuk menangkis sekaligus menghantam tangan lawan. Tapi justru di kejap itu pula dua tangan sang dara yang tadi menjotos ke arah perut tiba-tiba kini melesat ke atas. Jari tengah dan jari telunjuk lurus membaja ke arah pangkal leher Bimo serta Sarwo.
Tuk… tuk…!
Dua pemuda itu merasakan tubuh mereka menjadi kaku tegang, tak bisa bergerak lagi begitu totokan kilat bersarang di leher masing-masing. Melihat kejadian ini Dewi Tombak Api tak bisa berdiam diri lagi. Sebelum melompati Simanti, dari samping dia sudah lepaskan satu pukulan tangan kosong.
Wuss!
Simanti terkejut dan cepat menyingkir ketika ada angin kencang disertai hawa panas menyambar ke arahnya. Dia balas menghantam dengan tangan kanan. Angin pukulan Sumitri memang sempat ditabraknya hingga buyar tapi diam-diam dia merasakan tangan kanannya seperti tertimbun dalam bara panas dan mau tak mau dia jadi keluarkan pekik kecil.
Di hadapannya Sumitri alias Dewi Tombak Api tertawa mengejek. “Kalau ilmu baru sejengkal, jangan berani jual lagak di hadapanku!”
“Kakak Sumitri. Kau harus sadar! Kau harus berusaha menjadi sadar! Kita harus segara menghadap guru!” berkata Simanti.
“Jika kakek buntung itu yang memerlukan diriku, mengapa tidak dia sendiri yang keluar dari sarangnya menemuiku?!” tukas Sumitri.
“Kakak, jangan kau bicara menghina guru seperti itu!”
Simanti tampak marah sekali mendengar kata-kata kakak seperguruannya itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya gadis ini lancarkan serangan-serangan balasan. Perkelahian seru berlangsung dan sepuluh jurus berlalu dengan cepat.
Diam-diam Sumitri mulai berpikir-pikir apakah sebaiknya dia keluarkan saja senjata mustikanya yaitu Tombak Api saat itu dan langsung membunuh si adik. Namun bagaimanapun juga masih ada secuil rasa tidak tega jika dia sampai membunuh adik seperguruan yang selama lebih dari lima belas tahun hidup bersamanya, satu ketiduran dan sepermainan.
Setelah dua jurus lagi berlalu Dewi Tombak Api rubah permainan silatnya. Jurus-jurus yang dikeluarkannya kelihatan seperti lamban namun sekejapan bisa berubah cepat dan ganas. Simanti kini merasakan adanya tekanantekanan serangan yang berbahaya. Gadis ini segera pula merubah permainan silatnya. Tapi tetap saja dia berada dalam kungkungan serangan lawan dan semakin lama semakin sulit baginya untuk melepaskan diri apalagi melancarkan serangan balik.
Pada jurus ke dua puluh Dewi Tombak Api tampak seperti terhuyung. Tubuhnya berputar membelakangi Simanti. Ketika Simanti masuk menyerbu tiba-tiba sikut kanan Dewi Tombak Api menghantam ke belakang. Simanti tak dapat mengelakan serangan yang tidak terduga ini.
Bukkk!
Simanti mengeluh tinggi. Dari sela bibirnya tampak ada darah mengucur. Wajahnya mengelam sedang sepasang matanya setengah tertutup. Tubuhnya terpental hampir satu tombak dan pasti terbanting jatuh punggung ke tanah kalau tidak tiba-tiba saja dia merasakan ada seseorang yang memegang tubuhnya dari belakang dan dia jatuh dalam pelukan orang itu!
“Terus terang kami tidak pernah berbuat begini sebelumnya…” Ada suara lelaki menjawab.
“Betul. Baru sekali ini kami melakukan. Belum berpengalaman…” Satu suara lelaki lagi menimpali.
Lalu kembali terdengar suara tawa perempuan. “Kalau begitu kalian harus kuajari ini-itu… Hik… hik…” Lalu terdengar lagi beberapa kali suara kecupan dan ranjang yang berderik-derik.
Tapi tiba-tiba terdengar si perempuan berbisik, “Ada orang mengintai di atas atap…” Lalu perempuan itu membentak, “Manusia minta mati! Berani mengintip urusan orang!”
Satu gelombang angin menderu. Atap rumah yang terbuat dari papan kayu besi hancur jebol berantakan. Bersamaan dengan itu terdengar pekikan kecil disertai berkelebatnya satu bayangan biru, melompat dari atas atap, turun ke tanah di halaman kiri rumah.
Di dalam rumah, perempuan yang tadi membentak dan melancarkan pukulan tangan kosong yang dahsyat cepat menyambar pakaiannya sambil memberi isyarat pada dua orang pemuda yang ada di atas ranjang agar cepat-cepat mengenakan pakaian. Begitu selesai berpakaian perempuan itu menghambur ke pintu, melesat ke luar rumah diikuti dua pemuda yang bukan lain adalah Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Hah! Lagi-lagi kau rupanya”! membentak perempuan yang keluar dari dalam rumah, “kali ini jangan harap aku memberi ampunan padamu Simanti!”
“Kakak Sumitri. Apakah kau tidak mau insaf dan bertobat? Jika kau mau kembali menghadap guru dan menyerahkan senjata pangkal bahala itu maka kau dan kita semua akan hidup tenteram…”
“Hidup tenteram… Aku tak percaya kata-kata itu. Aku juga tak percaya kalau Tombak Api milikku merupakan senjata pangkal bahala dalam kehidupanku! Guru menginginkan senjata mustika itu untuk kepentingannya sendiri karena dia memang suka mengumpulkan senjata antik dan sakti…”
“Kakak Sumitri, percayalah. Bukan itu tujuan guru. Selama kau memiliki senjata itu dirimu akan selalu berada di bawah pengaruh nafsu bejat! Apakah kau tidak juga mengerti… Apakah kau tidak sadar apa yang barusan kau lakukan bersama dua pemuda dari Partai Bintang Blambangan itu…?”
“Apa yang kulakukan tidak ada sangkut pautnya dengan Tombak Api…!”
“Apa yang kami lakukan adalah atas dasar suka sama suka…!” tiba-tiba menyeletuk Bimo Argomulyo.
Gadis bernama Simanti, seorang dara berparas tak kalah jelita dengan Sumitri alias Dewi Tombak Api berpaling pada Bimo Argomulyo dan berkata sinis, “Sebagai manusia biasa aku tidak menyalahkan kalau kau dan saudaramu itu sampai tergoda. Tapi sebagai tokoh partai dan seorang pendekar sungguh memalukan kalau kalian berdua sampai ikut-ikutan sesat… Apa kalian tidak sadar telah jadi budak nafsu Dewi Tombak Api?!”
“Simanti! Jaga mulutmu! Lekas pergi dari sini selagi aku masih mau memandangmu sebagai adik…” Dewi Tombak Api membentak.
“Tidak kakak Sumitri. Sekali ini apapun yang terjadi aku harus membawamu pulang menghadap guru…”
“Hemm… begitu…? Kepandaian apa yang kau miliki hingga berani bicara sesombong itu?!”
“Dewi… Jika kau memang tak suka si lancang ini berada lebih lama dari sini biar aku yang memberi pelajaran padanya…” berkata Bimo Argomulyo.
“Terima kasih kalau kau memang ingin bertindak. Hanya saja kuharap kau maju bersama saudaramu itu…”
jawab Dewi Tombak Api pula karena dia sudah bisa menjajagi, seorang diri Bimo Argomulyo tak akan sanggup menghadapi Simanti yang memiliki kepandaian hanya satu tingkat saja darinya.
“Kalau Dewi berkata begitu, biar kami berdua berebut pahala untuk mengusirnya!” kata Sarwo Bayu pula. Lalu dia menganggukkan kepala ke arah Bimo Argomulyo. Kedua orang ini serentak menggebrak ke arah dara berbaju biru. Bimo berusaha merangkul pinggang sang dara sedang Bayu coba menangkap kedua tangannya untuk diringkus. Tepat seperti dugaan Dewi Tombak Api ternyata tidak semudah itu untuk meringkus Simanti. Begitu dua pemuda bergerak, dia sudah lebih dahulu memapaki. Tangannya kiri kanan dihantamkan ke depan. Dua angin deras menderu membuat dua pemuda terkejut lalu sama menyingkir ke samping dan dari samping kembali menyerbu.
Bukk!
Dukk!
Empat lengan saling beradu keras hingga mengeluarkan suara bergedebukan. Simanti terpental tiga langkah dan jatuh duduk di tanah. Sebaliknya Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu jatuh terguling-guling. Ketika mencoba bangkit jelas wajah keduanya kelihatan mengerenyit sakit dan pucat sedang lengan kanan masingmasing tampak bengkak membiru!
Dua pemuda itu tidak mengira mereka bisa dipecundangi begitu rupa. Keduanya yang kini dipengaruhi oleh amarah segera mengurung Simanti.
Sarwo Bayu sempat ajukan pertanyaan. “Dewi Tombak Api, apakah kau perkenankan kami membunuh saja gadis pengacau ini?!”
“Lakukan apa yang kalian suka terhadapnya!” jawab Sumitri atau Dewi Tombak Api.
Maka dari balik pakaiannya Sarwo Bayu keluarkan dua buah anak panah yang terbuat dari baja putih. Yang satu dilemparkannya pada Bimo Argomulyo. Lalu tanpa banyak bicara lagi dua pemuda itu langsung menyerbu Simanti.
Dua anak panah berkiblat mengeluarkan suara menderu dan cahaya berkilauan.
Seperti diketahui, Bimo Argomulyo memiliki ilmu silat tangan kosong yang tinggi. Dengan memegang senjata berupa anak panah seperti itu gerakan-gerakannya benarbenar berbahaya. Di lain pihak Sarwo Bayu sudah mendalami ilmu silat panah dan busur yang diwarisinya dari almarhum Ketua Partai Bintang Blambangan. Maka dalam waktu sekejapan saja Simanti telah menjadi bulanbulanan serangan kedua pemuda itu.
Menyerang terus menerus selama lima jurus tanpa hasil membuat Bimo dan Sarwo menjadi meradang. Keduanya percepat gerakan masing-masing, keluarkan jurus-jurus penuh tipuan. Namun lagi-lagi lima jurus berlalu tanpa mereka mampu menyentuh tubuh atau pakaian Simanti.
“Ah, anak itu maju jauh sekali tingkat kepandaiannya dari satu tahun lalu. Pasti guru telah membekalinya dengan jurus-jurus silat khusus…” Meskipun menyadari kehebatan ilmu silat adik seperguruannya itu namun Dewi Tombak Api tidak merasa jerih.
“Pemuda-pemuda sesat jaga perut kalian!” terdengar Simanti berseru. Lalu dua tangannya membagi serangan berupa jotosan kuat ke arah perut Bimo dan Sarwo. Terpengaruh oleh ucapan lawan serta terjebak oleh apa yang mereka saksikan, dua pemuda Partai Bintang Blambangan itu sapukan panah masing-masing ke arah perut untuk menangkis sekaligus menghantam tangan lawan. Tapi justru di kejap itu pula dua tangan sang dara yang tadi menjotos ke arah perut tiba-tiba kini melesat ke atas. Jari tengah dan jari telunjuk lurus membaja ke arah pangkal leher Bimo serta Sarwo.
Tuk… tuk…!
Dua pemuda itu merasakan tubuh mereka menjadi kaku tegang, tak bisa bergerak lagi begitu totokan kilat bersarang di leher masing-masing. Melihat kejadian ini Dewi Tombak Api tak bisa berdiam diri lagi. Sebelum melompati Simanti, dari samping dia sudah lepaskan satu pukulan tangan kosong.
Wuss!
Simanti terkejut dan cepat menyingkir ketika ada angin kencang disertai hawa panas menyambar ke arahnya. Dia balas menghantam dengan tangan kanan. Angin pukulan Sumitri memang sempat ditabraknya hingga buyar tapi diam-diam dia merasakan tangan kanannya seperti tertimbun dalam bara panas dan mau tak mau dia jadi keluarkan pekik kecil.
Di hadapannya Sumitri alias Dewi Tombak Api tertawa mengejek. “Kalau ilmu baru sejengkal, jangan berani jual lagak di hadapanku!”
“Kakak Sumitri. Kau harus sadar! Kau harus berusaha menjadi sadar! Kita harus segara menghadap guru!” berkata Simanti.
“Jika kakek buntung itu yang memerlukan diriku, mengapa tidak dia sendiri yang keluar dari sarangnya menemuiku?!” tukas Sumitri.
“Kakak, jangan kau bicara menghina guru seperti itu!”
Simanti tampak marah sekali mendengar kata-kata kakak seperguruannya itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya gadis ini lancarkan serangan-serangan balasan. Perkelahian seru berlangsung dan sepuluh jurus berlalu dengan cepat.
Diam-diam Sumitri mulai berpikir-pikir apakah sebaiknya dia keluarkan saja senjata mustikanya yaitu Tombak Api saat itu dan langsung membunuh si adik. Namun bagaimanapun juga masih ada secuil rasa tidak tega jika dia sampai membunuh adik seperguruan yang selama lebih dari lima belas tahun hidup bersamanya, satu ketiduran dan sepermainan.
Setelah dua jurus lagi berlalu Dewi Tombak Api rubah permainan silatnya. Jurus-jurus yang dikeluarkannya kelihatan seperti lamban namun sekejapan bisa berubah cepat dan ganas. Simanti kini merasakan adanya tekanantekanan serangan yang berbahaya. Gadis ini segera pula merubah permainan silatnya. Tapi tetap saja dia berada dalam kungkungan serangan lawan dan semakin lama semakin sulit baginya untuk melepaskan diri apalagi melancarkan serangan balik.
Pada jurus ke dua puluh Dewi Tombak Api tampak seperti terhuyung. Tubuhnya berputar membelakangi Simanti. Ketika Simanti masuk menyerbu tiba-tiba sikut kanan Dewi Tombak Api menghantam ke belakang. Simanti tak dapat mengelakan serangan yang tidak terduga ini.
Bukkk!
Simanti mengeluh tinggi. Dari sela bibirnya tampak ada darah mengucur. Wajahnya mengelam sedang sepasang matanya setengah tertutup. Tubuhnya terpental hampir satu tombak dan pasti terbanting jatuh punggung ke tanah kalau tidak tiba-tiba saja dia merasakan ada seseorang yang memegang tubuhnya dari belakang dan dia jatuh dalam pelukan orang itu!
SEPASANG mata Dewi Tombak Api memandang membeliak pada pemuda berambut gondrong yang memeluk tubuh adiknya. “Pemuda kurang ajar!
Berani kau memeluk tubuh adikku!” bentak Dewi Tombak Api seraya maju satu langkah dan siap menghantam dengan pukulan tangan kosong.
“Walah! Aku memeluknya agar jangan tubuh bagus dan wajah cantik ini jatuh ke tanah! Masakan itu kau anggap kurang ajar! Kau sendiri tadi malah hendak membunuhnya. Itu lebih dari kurang ajar, Dewi Tombak Api!”
“Antara aku dan dia ada urusan! Sebaliknya kau dengan dia tak ada sangkut paut apa-apa…!” sahut Dewi Tombak Api.
“Dengar. Namaku Wiro Sableng…”
“Setan alas! Aku tidak tanya namamu! Perduli setan apakah namamu si Sableng atau si Gendeng atau si Gila!
Lepaskan tubuh adikku! Jangan kau berani memeluknya lebih lama…”
Pemuda berambut gondrong yang memeluk tubuh Simanti tertawa lebar. Dia memandang ke wajah jelita yang ada di dadanya. Ternyata Simanti saat itu telah jatuh pingsan. Wiro mendukungnya dan membaringkan gadis ini di dekat serumpunan semak belukar.
“Nah, sekarang aku sudah tidak memeluk tubuh adikmu itu. Apa perintahmu selanjutnya Dewi Tombak Api…?” tanya Pendekar 212 Wiro Sableng seraya bertolak pinggang.
“Lekas minggat dari hadapanku! Aku muak melihat tampangmu yang cengar-cengir macam monyet liar…!”
Wiro Sableng tertawa bergelak, garuk-garuk kepalanya lalu menjawab, “Ah, tampangku memang jelek. Tapi dibandingkan dengan dua pemuda yang barusan kau garap di dalam rumah sana, kurasa tampangku tidak kalah keren! Ha… ha… ha…!”
Merah pada wajah Sumitri. “Rupanya pemuda ini sudah berada lama di sekitar sini,” katanya dalam hati. “Janganjangan dia ada hubungan apa-apa dengan Simanti atau guru…”
“Hai! Gondrong! Apa hubunganmu dengan adikku itu?”
“Aih, kau cemburu rupanya! Padahal aku tak ada hubungan apa-apa dengan dirinya!” jawab Wiro lalu kembali tertawa bergelak sementara Sumitri kembali tampak menjadi merah wajahnya.
“Lalu apa hubunganmu dengan Resi Tambak Kebo Kenanga?!” kembali Dewi Tombak Api ajukan pertanyaan.
“Aku pernah dengar nama Resi sakti itu. Tapi terus terang aku tidak ada hubungan dengan segala kerbo atau kerbauuu…!”
“Kalau begitu lekas kau pergi dari tempat ini!”
“Eh, ada hak dan kuasa apa kau mengusirku? Tanah ini bukan milikmu! Lembah ini bukan punyamu! Rumah di sebelah sana memang rumahmu. Tapi bisa juga jadi rumahku atau rumah kita berdua…!”
“Pemuda sableng bermulut lancang! Apa maksudmu?!”
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Maksudku begini Dewi. Rumah itu bisa jadi milikku kalau kau memberikannya padaku. Betul kan? Tapi bisa jadi milik kita berdua kalau kita tinggal berdua-dua di dalamnya!”
“Manusia gendeng! Mulutmu kotor amat! Biar kurobek agar kau tahu rasa!”
“Hai! tunggu dulu!” seru Wiro ketika dilihatnya Dewi Tombak Api hendak menyerangnya. “Mulutku memang kadang-kadang kotor. Tapi hatiku tidak! Kau bisa memaki orang kotor. Tapi kelakuanmu kotor selangit tembus! Apa kau tidak ingat kalau barusan saja berbuat mesum dengan dua pemuda itu?!”
“Aku tidak merasa berbuat mesum!” jawab Dewi Tombak Api marah sekali.
“Ah, otakmu tidak beres agaknya!” Wiro berpaling pada Bimo Argomulyo dan mendekati pemuda ini. “Berbuat apa kau dan saudaramu ini dalam rumah itu beberapa waktu lalu…?”
Meskipun tubuhnya tertotok kaku tapi Bimo maupun Sarwo masih bisa bicara. Hanya saja saat itu Bimo sama sekali tak mau menjawab.
“Baiklah, aku akan coba mencari jawaban sendiri!” Lalu Wiro tarik pinggang celana Bimo Argomulyo dan melongok ke balik celana itu. “Nah, betul kan kataku! Kau kelupaan pakai celana dalammu! Ha… ha… ha…!”
Merah pada wajah Bimo Argomulyo. Sementara itu dari samping Dewi Tombak Api terdengar membentak keras lalu menyerang Pendekar 212 dengan satu serangan ganas berupa satu cakaran ke arah mulut sang pendekar. Dia ingin melampiaskan amarahnya dengan merobek mulut si pemuda.
“Hai! Kau hendak merobek mulutku!” seru Wiro.
“Silakan saja kalau mau…!” Lalu Wiro sengaja buka mulutnya lebar-lebar. Lima jari tangan Dewi Tombak Api menyambar. Tapi dia hanya mencakar angin. Wiro sudah miringkan kepalanya ke samping sambil mencibirkan lidahnya panjang-panjang dan jerengkan kedua matanya.
“Ih tidak kena…! Ayo robek lagi…” Wiro buka kembali mulutnya lebar-lebar.
Amarah Dewi Tombak Api bukan alang kepalang. Seluruh tenaga dalamnya dihimpun ke tangan kanan. Lalu dia menghantam dengan dahsyat. Terdengar suara menggemuruh. Wiro tersentak kaget ketika ada gelombang angin laksana topan prahara menabrak ke arahnya. Cepat murid Eyang sinto Gendeng ini dorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan lawan dengan pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Dua tenaga dalam tingkat tinggi saling baku hantam. Debu pasir dan kerikil beterbangan ke udara. Semak belukar rambas sedang pohon-pohon di sekitar situ berderak-derik. Beberapa cabang dan ranting-rantingnya luruh berpatahan. Wiro dapatkan dirinya terangkat ke udara sampai satu setengah tombak.
“Gila!” maki Pendekar 212. Seumur hidupnya baru sekali ini ada lawan yang sanggup berbuat seperti itu terhadapnya. Jatuh tidak mental pun tidak tapi tubuh terangkat ke atas laksana dijunjung makhluk yang tidak kelihatan! Semakin dia berusaha membalas dengan pukulan sakti, semakin ke atas tubuhnya terangkat!
“Benar-benar edan! Masa kan pukulanku tadi tak sanggup menghadapi serangan lawan!” Kembali murid Sinto Gendeng memaki. Ketika tubuhnya terangkat semakin tinggi, kini sampai empat tombak di udara, tibatiba di depan sana Dewi Tombak Api putar kedua tangannya di udara lalu kedua tangan itu dibantingkan ke bawah laksana menancapkan sesuatu!
Sejalan dengan gerakan kedua tangan Dewi Tombak Api, Wiro mendadak merasakan kekuatan yang tadi mengangkat tubuhnya ke atas lenyap secara tiba-tiba. Dirinya seperti dibantingkan ke bawah dan dijungkir balik demikian rupa hingga jika dia tak dapat menguasai diri atau melakukan sesuatu, kepalanya akan menghunjam tanah lembah itu lebih dahulu!
Sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng tampak kelabakan. Satu tombak lagi kepalanya akan mencium tanah dia berteriak keras seraya lepaskan pukulan Sinar Matahari dengan tangan kanan.
Bummm!
Letusan keras menggocangkan lembah. Tubuh Wiro terhempas ke tanah tapi dia sempat menguasai diri hingga bukan kepala tapi punggungnya yang terhempas ke tanah. Di udara sinar putih perak menyilaukan berkiblat disertai menghamparnya hawa panas. Di seberang sana Dewi Tombak Api tampak tegak tergontai-gontai dengan muka seputih kertas lalu perlahan-lahan jatuh duduk di tanah. Bajunya sebelah kiri hangus disambar angin panas pukulan Sinar Matahari. Tapi hebatnya, kulit tubuhnya tidak sedikit pun yang hangus padahal di sebelah dalam akibat pukulan sakti lawan tadi dia merasakan isi tubuhnya laksana dibetot dan diremas. Lalu beberapa tetes darah mengucur dari sela bibirnya!
“Pemuda satu ini, luar biasa. Aku merasa takluk. Aku harus keluarkan Tombak Api. Tapi… ah! Jika itu kulakukan, aku…!” Sesaat Sumitri merasa bimbang. Namun akhirnya tangannya bergerak juga ke balik punggung, di mana dia menyimpan Tombak Api. Namun sebelum dia sempat menyentuh senjata itu, di kejauhan dia melihat berkelebatnya satu sosok tubuh berpakaian serba hitam.
“Ah, dia datang! Aku tidak takut padanya. Tapi lebih baik menghindar. Salah-salah aku bisa membunuhnya!”
Dewi Tombak Api berkelebat tinggalkan tempat itu dengan cepat sementara Wiro bangkit berdiri sambil tepuktepuk pakaian putihnya yang kotor oleh tanah.
“Dewi! Jangan pergi! Tolong kami dulu!” Bimo Argomulyo berteriak.
“Dewi! Lepaskan totokan di tubuh kami! Tolong!”
Tapi sang Dewi sudah lenyap di belakang rumah dan kabur ke arah selatan lembah.
“Gadis hebat!” Wiro memuji sendirian. “Tapi mengapa budi pekertinya begitu kotor dan jahat…” Lalu dia teringat pada Simanti yang terbujur di bawah pohon. “Gadis itu! Kalau tak lekas diobati nyawanya bisa-bisa tak tertolong.”
Lalu dia pun menghampiri Simanti, berlutut di samping tubuh si gadis. Dia melihat ada bagian dada yang bengkak membiru, yaitu tepat pada bekas sikutan Dewi Tombak Api tadi. Gadis itu terluka di dalam. Dan memang harus lekas ditolong. Tanpa ragu-ragu Wiro segera sibakkan dada pakaian Simanti. Serangan Dewi Tombak Api tepat bersarang antara kedua payudara si gadis. Wiro letakkan telapak tangannya di celah payudara itu. Lalu mulai alirkan tenaga dalam. Mula-mula dia alirkan tenaga dalam mengandung hawa dingin. Perlahan-lahan hawa dingin diganti dengan hawa hangat. Sekujur tubuh Pendekar 212 telah mandi keringat. Simanti tampak bukakan kedua matanya tanda siuman. Namun dirinya belum terlepas dari bahaya maut.
Wiro kerahkan lagi tenaga dalamnya. Kini kedua telapak tangannya ditempelkan di dada Simanti. Pada saat itulah terdengar suara membentak garang.
“Bangsat kurang ajar! Siapa yang berani berbuat tidak senonoh terhadap muridku?!”
Berani kau memeluk tubuh adikku!” bentak Dewi Tombak Api seraya maju satu langkah dan siap menghantam dengan pukulan tangan kosong.
“Walah! Aku memeluknya agar jangan tubuh bagus dan wajah cantik ini jatuh ke tanah! Masakan itu kau anggap kurang ajar! Kau sendiri tadi malah hendak membunuhnya. Itu lebih dari kurang ajar, Dewi Tombak Api!”
“Antara aku dan dia ada urusan! Sebaliknya kau dengan dia tak ada sangkut paut apa-apa…!” sahut Dewi Tombak Api.
“Dengar. Namaku Wiro Sableng…”
“Setan alas! Aku tidak tanya namamu! Perduli setan apakah namamu si Sableng atau si Gendeng atau si Gila!
Lepaskan tubuh adikku! Jangan kau berani memeluknya lebih lama…”
Pemuda berambut gondrong yang memeluk tubuh Simanti tertawa lebar. Dia memandang ke wajah jelita yang ada di dadanya. Ternyata Simanti saat itu telah jatuh pingsan. Wiro mendukungnya dan membaringkan gadis ini di dekat serumpunan semak belukar.
“Nah, sekarang aku sudah tidak memeluk tubuh adikmu itu. Apa perintahmu selanjutnya Dewi Tombak Api…?” tanya Pendekar 212 Wiro Sableng seraya bertolak pinggang.
“Lekas minggat dari hadapanku! Aku muak melihat tampangmu yang cengar-cengir macam monyet liar…!”
Wiro Sableng tertawa bergelak, garuk-garuk kepalanya lalu menjawab, “Ah, tampangku memang jelek. Tapi dibandingkan dengan dua pemuda yang barusan kau garap di dalam rumah sana, kurasa tampangku tidak kalah keren! Ha… ha… ha…!”
Merah pada wajah Sumitri. “Rupanya pemuda ini sudah berada lama di sekitar sini,” katanya dalam hati. “Janganjangan dia ada hubungan apa-apa dengan Simanti atau guru…”
“Hai! Gondrong! Apa hubunganmu dengan adikku itu?”
“Aih, kau cemburu rupanya! Padahal aku tak ada hubungan apa-apa dengan dirinya!” jawab Wiro lalu kembali tertawa bergelak sementara Sumitri kembali tampak menjadi merah wajahnya.
“Lalu apa hubunganmu dengan Resi Tambak Kebo Kenanga?!” kembali Dewi Tombak Api ajukan pertanyaan.
“Aku pernah dengar nama Resi sakti itu. Tapi terus terang aku tidak ada hubungan dengan segala kerbo atau kerbauuu…!”
“Kalau begitu lekas kau pergi dari tempat ini!”
“Eh, ada hak dan kuasa apa kau mengusirku? Tanah ini bukan milikmu! Lembah ini bukan punyamu! Rumah di sebelah sana memang rumahmu. Tapi bisa juga jadi rumahku atau rumah kita berdua…!”
“Pemuda sableng bermulut lancang! Apa maksudmu?!”
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Maksudku begini Dewi. Rumah itu bisa jadi milikku kalau kau memberikannya padaku. Betul kan? Tapi bisa jadi milik kita berdua kalau kita tinggal berdua-dua di dalamnya!”
“Manusia gendeng! Mulutmu kotor amat! Biar kurobek agar kau tahu rasa!”
“Hai! tunggu dulu!” seru Wiro ketika dilihatnya Dewi Tombak Api hendak menyerangnya. “Mulutku memang kadang-kadang kotor. Tapi hatiku tidak! Kau bisa memaki orang kotor. Tapi kelakuanmu kotor selangit tembus! Apa kau tidak ingat kalau barusan saja berbuat mesum dengan dua pemuda itu?!”
“Aku tidak merasa berbuat mesum!” jawab Dewi Tombak Api marah sekali.
“Ah, otakmu tidak beres agaknya!” Wiro berpaling pada Bimo Argomulyo dan mendekati pemuda ini. “Berbuat apa kau dan saudaramu ini dalam rumah itu beberapa waktu lalu…?”
Meskipun tubuhnya tertotok kaku tapi Bimo maupun Sarwo masih bisa bicara. Hanya saja saat itu Bimo sama sekali tak mau menjawab.
“Baiklah, aku akan coba mencari jawaban sendiri!” Lalu Wiro tarik pinggang celana Bimo Argomulyo dan melongok ke balik celana itu. “Nah, betul kan kataku! Kau kelupaan pakai celana dalammu! Ha… ha… ha…!”
Merah pada wajah Bimo Argomulyo. Sementara itu dari samping Dewi Tombak Api terdengar membentak keras lalu menyerang Pendekar 212 dengan satu serangan ganas berupa satu cakaran ke arah mulut sang pendekar. Dia ingin melampiaskan amarahnya dengan merobek mulut si pemuda.
“Hai! Kau hendak merobek mulutku!” seru Wiro.
“Silakan saja kalau mau…!” Lalu Wiro sengaja buka mulutnya lebar-lebar. Lima jari tangan Dewi Tombak Api menyambar. Tapi dia hanya mencakar angin. Wiro sudah miringkan kepalanya ke samping sambil mencibirkan lidahnya panjang-panjang dan jerengkan kedua matanya.
“Ih tidak kena…! Ayo robek lagi…” Wiro buka kembali mulutnya lebar-lebar.
Amarah Dewi Tombak Api bukan alang kepalang. Seluruh tenaga dalamnya dihimpun ke tangan kanan. Lalu dia menghantam dengan dahsyat. Terdengar suara menggemuruh. Wiro tersentak kaget ketika ada gelombang angin laksana topan prahara menabrak ke arahnya. Cepat murid Eyang sinto Gendeng ini dorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan lawan dengan pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Dua tenaga dalam tingkat tinggi saling baku hantam. Debu pasir dan kerikil beterbangan ke udara. Semak belukar rambas sedang pohon-pohon di sekitar situ berderak-derik. Beberapa cabang dan ranting-rantingnya luruh berpatahan. Wiro dapatkan dirinya terangkat ke udara sampai satu setengah tombak.
“Gila!” maki Pendekar 212. Seumur hidupnya baru sekali ini ada lawan yang sanggup berbuat seperti itu terhadapnya. Jatuh tidak mental pun tidak tapi tubuh terangkat ke atas laksana dijunjung makhluk yang tidak kelihatan! Semakin dia berusaha membalas dengan pukulan sakti, semakin ke atas tubuhnya terangkat!
“Benar-benar edan! Masa kan pukulanku tadi tak sanggup menghadapi serangan lawan!” Kembali murid Sinto Gendeng memaki. Ketika tubuhnya terangkat semakin tinggi, kini sampai empat tombak di udara, tibatiba di depan sana Dewi Tombak Api putar kedua tangannya di udara lalu kedua tangan itu dibantingkan ke bawah laksana menancapkan sesuatu!
Sejalan dengan gerakan kedua tangan Dewi Tombak Api, Wiro mendadak merasakan kekuatan yang tadi mengangkat tubuhnya ke atas lenyap secara tiba-tiba. Dirinya seperti dibantingkan ke bawah dan dijungkir balik demikian rupa hingga jika dia tak dapat menguasai diri atau melakukan sesuatu, kepalanya akan menghunjam tanah lembah itu lebih dahulu!
Sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng tampak kelabakan. Satu tombak lagi kepalanya akan mencium tanah dia berteriak keras seraya lepaskan pukulan Sinar Matahari dengan tangan kanan.
Bummm!
Letusan keras menggocangkan lembah. Tubuh Wiro terhempas ke tanah tapi dia sempat menguasai diri hingga bukan kepala tapi punggungnya yang terhempas ke tanah. Di udara sinar putih perak menyilaukan berkiblat disertai menghamparnya hawa panas. Di seberang sana Dewi Tombak Api tampak tegak tergontai-gontai dengan muka seputih kertas lalu perlahan-lahan jatuh duduk di tanah. Bajunya sebelah kiri hangus disambar angin panas pukulan Sinar Matahari. Tapi hebatnya, kulit tubuhnya tidak sedikit pun yang hangus padahal di sebelah dalam akibat pukulan sakti lawan tadi dia merasakan isi tubuhnya laksana dibetot dan diremas. Lalu beberapa tetes darah mengucur dari sela bibirnya!
“Pemuda satu ini, luar biasa. Aku merasa takluk. Aku harus keluarkan Tombak Api. Tapi… ah! Jika itu kulakukan, aku…!” Sesaat Sumitri merasa bimbang. Namun akhirnya tangannya bergerak juga ke balik punggung, di mana dia menyimpan Tombak Api. Namun sebelum dia sempat menyentuh senjata itu, di kejauhan dia melihat berkelebatnya satu sosok tubuh berpakaian serba hitam.
“Ah, dia datang! Aku tidak takut padanya. Tapi lebih baik menghindar. Salah-salah aku bisa membunuhnya!”
Dewi Tombak Api berkelebat tinggalkan tempat itu dengan cepat sementara Wiro bangkit berdiri sambil tepuktepuk pakaian putihnya yang kotor oleh tanah.
“Dewi! Jangan pergi! Tolong kami dulu!” Bimo Argomulyo berteriak.
“Dewi! Lepaskan totokan di tubuh kami! Tolong!”
Tapi sang Dewi sudah lenyap di belakang rumah dan kabur ke arah selatan lembah.
“Gadis hebat!” Wiro memuji sendirian. “Tapi mengapa budi pekertinya begitu kotor dan jahat…” Lalu dia teringat pada Simanti yang terbujur di bawah pohon. “Gadis itu! Kalau tak lekas diobati nyawanya bisa-bisa tak tertolong.”
Lalu dia pun menghampiri Simanti, berlutut di samping tubuh si gadis. Dia melihat ada bagian dada yang bengkak membiru, yaitu tepat pada bekas sikutan Dewi Tombak Api tadi. Gadis itu terluka di dalam. Dan memang harus lekas ditolong. Tanpa ragu-ragu Wiro segera sibakkan dada pakaian Simanti. Serangan Dewi Tombak Api tepat bersarang antara kedua payudara si gadis. Wiro letakkan telapak tangannya di celah payudara itu. Lalu mulai alirkan tenaga dalam. Mula-mula dia alirkan tenaga dalam mengandung hawa dingin. Perlahan-lahan hawa dingin diganti dengan hawa hangat. Sekujur tubuh Pendekar 212 telah mandi keringat. Simanti tampak bukakan kedua matanya tanda siuman. Namun dirinya belum terlepas dari bahaya maut.
Wiro kerahkan lagi tenaga dalamnya. Kini kedua telapak tangannya ditempelkan di dada Simanti. Pada saat itulah terdengar suara membentak garang.
“Bangsat kurang ajar! Siapa yang berani berbuat tidak senonoh terhadap muridku?!”
BELUM sempat Wiro berpaling tahu-tahu sebuah benda berbentuk tongkat menyambar ke arah kepalanya. Karena tak tahu benda apa yang menyerang, murid Sinto Gendeng tak berani pergunakan tangan untuk menangkis. Dia terpaksa jatuhkan diri di atas tubuh Simanti lalu berguling ke kiri sambil dorongkan tangan kiri melepas pukulan Kunyuk Melempar Buah. Segulung angin menerpa tapi betapa kagetnya Pendekar 212 ketika tahu-tahu ada kekuatan yang lebih kuat balas mendorong hingga pukulannya sendiri ikut berbalik menghantamnya!
Memaki panjang pendek Wiro kembali lepaskan pukulan sakti. Kali ini yang dilepaskan adalah pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Tenaga dalamnya dikerahkan dua kali lebih besar. Tempat itu laksana dilanda angin puting beliung. Terdengar suara orang berseru kaget. Sosok tubuh yang tadi menyerang lenyap berlindung di balik sebatang pohon besar. Begitu deru angin sirna, dari balik pohon melesat lima batang senjata rahasia berbentuk paku besar terbuat dari perak!
Lima bagian tubuh Pendekar 212 menjadi sasaran lima paku perak itu. Wiro melompat dua tombak sambil hantamkan tangan kanan ke bawah. Dua paku berhasil dielakkan, dua lainnya dibuat mental. Tapi yang kelima masih sempat merobek kaki celana dan menyerempet betis kanannya!
Menyeringai kesakitan dan menggerendeng marah dalam hati Wiro melayang turun ke tanah. Tangan kanannya telah berubah menjadi berkilauan. Namun dia tidak jadi melepas pukulan Sinar Matahari yang sudah disiapkannya itu ketika melihat siapa yang tegak di seberang sana.
Orang itu adalah seorang kakek berdandanan sebagai seorang Resi. Kaki kirinya buntung. Tubuhnya disanggah oleh sebuah tongkat yang dikempit di bawah ketiak.
“Kakinya saja buntung. Tapi ilmu silat dan tenaga dalamnya sungguh luar biasa. Tongkat penyanggah kakinya itu pastilah tadi yang dikeprukkannya ke kepalaku!” begitu Wiro membatin.
“Resi berbaju hitam, mengapa kau menyerangku membabi buta?!” bertanya Wiro Sableng.
“Karena kau memang seekor babi buta!” jawab Resi itu dengan mata berkilat-kilat.
“Eh, enak saja mulutmu bicara! Apa maksudmu?!”
“Apa maksudku! Masih berani bertanya! Kau kutangkap basah menggerayangi tubuh muridku Simanti. Kalau aku tidak segera muncul di sini pasti kau sudah menggagahinya!”
“Buset! Benar-benar buset!” teriak Wiro lalu gelenggelengkan kepala. “Kek, matamu nyala tapi buta. Otakmu cerdik tapi tolol! Kalau aku hendak memperkosa gadis ini, mengapa kulakukan di tanah yang kotor begini rupa? Di sana ada rumah dan ranjang! Bukankah lebih baik kubawa dia ke sana? Lalu masakan aku setolol itu melakukannya di hadapan dua kampret yang berada dalam keadaan tertotok itu?!”
“Eh, siapa yang kau maksud dengan kampret!” tanya sang Resi.
Wiro menuding pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Siapa mereka? Mengapa keduanya tertotok?” bertanya sang Resi.
“Mengenai dua kampret itu biar nanti saja diurus.
Sekarang aku beritahu padamu bahwa aku bukan menggerayangi tubuh muridmu! Dia menderita luka di dalam cukup parah terkena hantaman kakak seperguruannya yang bernama Sumitri bergelar Dewi Tombak Api…!”
Terkejutlah si kakek. “Ah, murid sesat itu! Mana dia!”
“Dia sudah kabur, yang penting kau harus menolong muridmu ini dulu!” ujar Wiro pula.
Kakek berpakaian hitam itu berpaling pada Simanti yang masih terbujur. Lalu memandang lekat-lekat pada Wiro. Pendekar 212 sendiri balas memperhatikan orang tua itu. “Pasti tongkat penyanggah itu senjatanya. Dan juga dari badan tombak itu tadi dia melesatkan lima paku perak. Kulihat ada alat rahasia di pertengahan tongkat.”
“Anak muda kalau aku memang sudah salah menduga, harap dimaafkan. Katakan siapa kau adanya?” kata si kakek.
“Namaku Wiro Sableng…”
Terkejutlah si kakek begitu mendengar Wiro sebutkan namanya. “Namamu Wiro Sableng…? Kau murid si nenek centil Sinto Gendeng dari gunung Gede?!”
Wiro menyengir mendengar gurunya disebut si nenek centil ini berarti kakek itu cukup kenal baik dengan gurunya.
“Puluhan tahun tak pernah bertemu lagi dengan Sinto Gendeng. Kini justru ketemu murid tunggalnya yang namanya menjulang setinggi langit. Ditakuti lawan disegani kawan…”
“Kek, jangan keliwat memuji. Aku ini tak ada apaapanya. Aku cuma seorang pemuda gunung yang tolol dan pengangguran!”
Resi Tambak Kebo Kenanga tertawa panjang mendengar kata-kata Wiro itu. “Kau tak usah merendah anak muda. Semua orang tahu siapa Sinto Gendeng. Dan dunia persilatan juga tahu siapa Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…”
“Kek, kalau kita mengobrol saja dan membiarkan gadis itu, beberapa saat lagi pasti nyawanya tidak tertolong!”
Wiro mengingatkan sekaligus mengalihkan pembicaraan. Resi Tambak Kebo Kenanga melangkah mendekati tubuh muridnya, memandanginya beberapa saat lalu berpaling pada Wiro. “Kau tadi telah berusaha mengobatinya. Harap kau saja yang meneruskan. Aku menyarankan agar kau menotok beberapa urat ke arah jantung dan paru-paru…” Habis berkata begitu sang Resi melangkah ke arah sebuah gundukan batu dan duduk di sana. Dia seperti melamun dan wajahnya nampak suram. Dia seperti tidak begitu memperdulikan keadaan muridnya Simanti namun ada sesuatu yang menancapi pikirannya saat itu, yakni masalah muridnya yang bernama Sumitri dan bergelar Dewi Tombak Api.
Wiro sendiri setelah mendengar ucapan Resi Tambak Kebo Kenanga tadi, pergi duduk bersila di samping tubuh Simanti. Sang dara memandang kepadanya dengan mata sayu.
“Saudari, tak usah takut. Nyawamu pasti tertolong. Kalau kau mendengar kata-kataku harap kedipkan mata dua kali…”
Simanti kedipkan matanya dua kali berturut-turut. Wiro merasa lega. Sesuai petunjuk Resi Tambak Kebo Kenanga dia menotok beberapa urat besar di tubuh Simanti lalu dekapkan kedua tangannya ke dada gadis itu dan secara perlahan-lahan mengalirkan tenaga dalam berhawa dingin dan panas secara bergantian. Beberapa saat kemudian setelah merasa cukup Wiro hentikan pengaliran tenaga dalam. Dia menyeka darah yang membasahi sudut-sudut bibir gadis itu lalu menelankan sebutir obat ke dalam mulutnya.
“Pejamkan matamu kembali. Kau boleh istirahat beberapa saat. Kalau denyutan jantungmu mulai tenang, gerakkan tangan dan kakimu, jika itu mampu kau lakukan tandanya kau selamat dari bahaya dan boleh duduk. Atur jalan nafas dan peredaran darahmu. Alirkan tenaga dalam ke bagian yang masih terasa sakit. Setelah itu kau boleh berdiri…”
“Aku merasa sudah sembuh. Tak perlu mengikuti sepenuhnya apa yang kau katakan. Yang penting hanya mengatur jalan darah dan pernafasan. Terima kasih Saudara. Kau telah menyelamatkanku…” Terdengar Simanti berucap yang membuat Pendekar 212 tercengang.
“Kalau dia tidak memiliki kekuatan tubuh luar biasa, tak mungkin dia sembuh secepat ini!” kata Wiro dalam hati. Selagi Simanti duduk bersila mengatur jalan darah dan pernafasan, Wiro melangkah mendapatkan Resi Tambak Kebo Kenanga.
“Kakek, wajahmu kelihatan susah. Apa yang menjadi ganjalan?” bertanya Wiro.
Sesaat sang Resi diam saja. Kemudian dia berpaling pandangi wajah Wiro lalu berkata. “Aku memikirkan anak itu…”
“Anak itu yang mana kek?”
“Muridku Sumitri, kakak Simanti. Hidupku sejak satu tahun belakangan ini tidak tenteram gara-gara dia. Hendak kubunuh dirinya, dia murid sendiri. Tidak kubunuh dia terus-terusan membuatku malu, terus-terusan berbuat mesum. Dulu-dulu sudah kuingatkan untuk tidak berbuat macam-macam mencari segala macam ilmu sundal. Tapi dia terpengaruh oleh ketamakannya sendiri. Ingin lebih banyak ilmu, ternyata salah langkah…”
“Terus terang aku hanya mendengar sedikit tentang muridmu itu, Kek. Apa sebenarnya yang terjadi dengan diri Sumitri?” bertanya Wiro.
Resi Tambak Kebo Kenanga menghela nafas panjang beberapa kali, baru menjawab, “Sekitar enam belas bulan yang lalu aku melepas Sumitri setelah hampir lima belas tahun berada dalam gemblenganku bersama-sama Simanti. Sebelum pergi gadis itu pernah mengemukakan niatnya untuk mencari seorang sakti bernama Ki Kamandoko untuk mendapatkan sebuah senjata mustika yang akan dijadikan pegangannya dalam petualangan sebagai seorang pendekar baru. Memang ketika kulepas aku tidak mempunyai senjata sakti apapun yang bisa kuwariskan padanya. Aku tidak keberatan dia mencari dan menemukan sendiri segala macam senjata sakti. Asalkan jangan menghubungi Ki Kamandoko. Orang-orang persilatan tahu betul kalau orang sakti yang satu ini berhati culas, memiliki seribu satu tipu muslihat. Yang paling terkutuk adalah bahwa hatinya busuk dan mesum. Namun ternyata peringatanku tidak diperhatikan oleh Sumitri. Dia tetap pergi mencari Ki Kamandoko. Dari Ki Kamandoko muridku memang mendapatkan sebilah senjata mustika bernama Tombak Api. Tapi untuk itu dia harus membayar mahal. Dia harus menyerahkan kehormatannya. Bahkan sampai saat ini pun muridku itu terus-terusan berada di bawah pengaruh senjata keparat itu yang selalu merangsangnya untuk berbuat zinah!”
Wiro garuk-garuk kepala. “Aku masih kurang paham kek. Bagaimana senjata itu bisa merangsang seseorang berbuat mesum seperti katamu…”
“Sebelum menyerahkan senjata itu kepada seseorang, yaitu seorang perempuan seperti Sumitri misalnya, Ki Kamandoko telah mengisi senjata itu dengan semacam guna-guna. Siapa saja yang kemudian memegang senjata tersebut, mempergunakannya dengan pengerahan tenaga dalam, maka nafsu birahinya untuk melakukan hubungan kelamin akan terangsang. Jika dia seorang perempuan maka nafsunya bangkit setiap melihat lawan jenisnya, tak perduli orang itu sudah tua bangka. Jika dia seorang lelaki, maka hal yang sama akan dialaminya. Nafsu bejatnya muncul. Dia akan meniduri perempuan mana saja termasuk seorang nenek sekalipun! itu yang terjadi dengan muridku sejak dia pertama kali menyentuh senjata itu. Ketika dia mulai berlatih memainkan Tombak Api yang diberikan oleh Ki Kamandoko, setiap dia mengerahkan tenaga dalam setiap kali itu pula dirinya terangsang. Ki Kamandoko keparat itu lalu menggaulinya selama beberapa bulan. Setelah puas Sumitri baru diizinkannya pergi. Namun muridku tidak terlepas dari hal-hal terkutuk itu. Setiap dia bertempur dengan mempergunakan Tombak Api, lawannya pasti akan menemui ajal. Tapi dirinya tidak luput dari rangsangan terkutuk. Dia akan mengajak siapa saja yang ada di dekatnya untuk berbuat mesum!”
“Setahuku segala macam guna-guna hanya mempan selama empat puluh hari…” ujar Wiro pula.
“Tidak dengan guna-guna yang diciptakan Ki Kamandoko. Guna-gunanya itu telah ditanamkannya dalam senjata yang diberikannya pada muridku. Guna-guna itu kemudian bersatu dengan darah dan pernafasan Sumitri setiap gadis itu memegangnya, mempergunakannya dan mengerahkan tenaga dalamnya!”
“Kalau begitu, satu-satunya jalan untuk membebaskan muridmu adalah dengan melenyapkan Ki Kamandoko!”
“Kau betul Pendekar 212. Aku sudah menyebar kabar dan minta bantuan orang-orang persilatan. Mencari tahu di mana sarangnya manusia laknat itu. Ternyata dia tidak punya tempat kediaman tetap. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Karena itu untuk sementara aku terpaksa melupakan bangsat itu. Yang kucari saat ini adalah muridku sendiri. Aku berusaha merampas senjata terkutuk dari tangannya. Menurut kabar, bukan saja dia sudah berbuat cabul dengan belasan lelaki. Tapi juga belasan orang-orang terkemuka telah menjadi korban senjatanya itu! Aku sendiri, jika kelak berhadapan dengan dirinya mungkin tidak akan sanggup menghadapi senjata saktinya itu. Namun aku lebih baik mati daripada hidup dengan menanggung malu besar!”
“Sebelum kau muncul di sini, aku sempat bentrokan dengan Sumitri. Ternyata dia memiliki tingkat tenaga dalam yang sangat tinggi. Entah mengapa dia tidak mengeluarkan Tombak Apinya. Dia kemudian melarikan diri begitu saja. Aku yakin dia pergi bukan karena takut terhadapku. Mungkin sekali dia telah sempat melihat dirimu muncul di kejauhan…”
“Mungkin begitu… Mungkin begitu…” kata Resi Tambak Kebo Kenanga lalu mengusap wajahnya berulang-ulang. Untuk sesaat Wiro tinggalkan guru tua yang malang itu. Dia melangkah ke tempat Simanti yang masih duduk bersila pejamkan mata mengatur jalan darah dan pernafasan. Tak lama kemudian sang dara buka kedua matanya. Pandangannya beradu dengan sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng. Wajahnya yang tadi pucat kini tampak mulai berdarah kembali. Bengkak membiru yang ada di dadanya kelihatan tidak separah sebelumnya. Wiro ulurkan tangannya untuk merapatkan celah pakaian yang tersingkap. Simanti pegang tangan pemuda itu seraya berbisik, “Terima kasih… Kau menyelamatkan nyawaku…”
Wiro tersenyum. “Bukan aku yang menolongmu Simanti. Tapi Yang di Atas sana. Kau tak akan mati kalau Dia belum menghendaki…” Lalu Wiro membantu gadis itu bangkit berdiri. Ketika keduanya berpaling ke jurusan gundukan batu di mana Resi Tambak Kebo Kenanga berada tadi, tempat itu telah kosong. Sang Resi sudah lenyap.
“Guru pasti mengejar kakak seperguruanku. Aku mengawatirkan keselamatannya. Aku harus menyusul…!”
“Aku ikut bersamamu!” kata Wiro pula.
Mendengar itu Simanti yang kini bukan saja menganggap Wiro sebagai tuan penolongnya tapi sekaligus sudah menganggapnya sebagai kakak sendiri, pegang lengan pemuda itu, merendengnya pergi dari situ. Baru saja mereka bergerak tiga langkah terdengar suara orang berseru, “Hai! Saudara! Tunggu! Jangan pergi dulu! Bebaskan kami dari totokan ini!”
Wiro dan Simanti hentikan langkah. “Aku pikir-pikir memang kasihan kedua pemuda itu. Apa yang terjadi bukan mau mereka. Biar aku lepaskan totokan mereka.”
Lalu Wiro hampiri Bimo Argomulyo terlebih dahulu dan melepaskan totokan di leher pemuda itu. Tapi alangkah terkejutnya Pendekar 212 ketika begitu terlepas totokannya Bimo Argomulyo langsung menyerang dirinya.
Anak panah yang sejak tadi tergenggam di tangan kanannya ditusukkannya ke mata kiri Wiro Sableng. Kalau saja murid Sinto Gendeng tak lekas rundukkan kepala, mata kirinya pasti sudah kena disate anak panah yang terbuat dari baja itu!
“Heh! Kenapa kau menyerangku seganas itu?!” tanya Wiro.
“Kau lupa kalau tadi kau menghina aku dan saudaraku sebagai dua ekor kampret?! Pantas kalau saat ini aku memberi pelajaran padamu!” sahut Bimo Argomulyo.
Wiro menggaruk kepalanya sambil menyeringai. “Sama saja aku seperti melepas anjing kejepit. Begitu dilepas menggonggong dan malah menggigitku!”
“Bangsat! Tadi kau sebut aku kampret! Sekarang kau samakan diriku dengan anjing! Makan panahku ini!” Bimo Argomulyo tusukkan panahnya ke mulut Wiro.
“Manusia tak berbudi! Ditolong malah menggonggong. Bagusnya kau kembali pada keadaanmu semula!”
Pendekar 212 berkelebat lalu, tuk! Satu totokan melanda pangkal leher putera Ketua Partai Bintang Blambangan itu. Tak ampun lagi Bimo Argomulyo menjadi kaku tegang seperti tadi, malah kini totokan lihay itupun membuat mulutnya menjadi gagu tak bisa bicara! Sambil tertawatawa Wiro tinggalkan pemuda itu sementara Sarwo Bayu hanya bisa memandangi dan tak berani keluarkan ucapan apa-apa meskipun mulutnya masih bisa bicara. Diam-diam dia menyesali saudaranya yang terlalu cepat naik darah hingga bukan kebebasan yang mereka dapat malah kembali ditotok seperti sebelumnya. Dia tidak tahu berapa lama totokan itu akan lepas dengan sendirinya. Mungkin setengah harian, mungkin satu sampai dua hari. Dan saat itu sore telah menggelincir tanda malam akan segera tiba. Urusan partai belum selesai dan kini mereka berdua berada dalam keadaan seperti itu!
Memaki panjang pendek Wiro kembali lepaskan pukulan sakti. Kali ini yang dilepaskan adalah pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Tenaga dalamnya dikerahkan dua kali lebih besar. Tempat itu laksana dilanda angin puting beliung. Terdengar suara orang berseru kaget. Sosok tubuh yang tadi menyerang lenyap berlindung di balik sebatang pohon besar. Begitu deru angin sirna, dari balik pohon melesat lima batang senjata rahasia berbentuk paku besar terbuat dari perak!
Lima bagian tubuh Pendekar 212 menjadi sasaran lima paku perak itu. Wiro melompat dua tombak sambil hantamkan tangan kanan ke bawah. Dua paku berhasil dielakkan, dua lainnya dibuat mental. Tapi yang kelima masih sempat merobek kaki celana dan menyerempet betis kanannya!
Menyeringai kesakitan dan menggerendeng marah dalam hati Wiro melayang turun ke tanah. Tangan kanannya telah berubah menjadi berkilauan. Namun dia tidak jadi melepas pukulan Sinar Matahari yang sudah disiapkannya itu ketika melihat siapa yang tegak di seberang sana.
Orang itu adalah seorang kakek berdandanan sebagai seorang Resi. Kaki kirinya buntung. Tubuhnya disanggah oleh sebuah tongkat yang dikempit di bawah ketiak.
“Kakinya saja buntung. Tapi ilmu silat dan tenaga dalamnya sungguh luar biasa. Tongkat penyanggah kakinya itu pastilah tadi yang dikeprukkannya ke kepalaku!” begitu Wiro membatin.
“Resi berbaju hitam, mengapa kau menyerangku membabi buta?!” bertanya Wiro Sableng.
“Karena kau memang seekor babi buta!” jawab Resi itu dengan mata berkilat-kilat.
“Eh, enak saja mulutmu bicara! Apa maksudmu?!”
“Apa maksudku! Masih berani bertanya! Kau kutangkap basah menggerayangi tubuh muridku Simanti. Kalau aku tidak segera muncul di sini pasti kau sudah menggagahinya!”
“Buset! Benar-benar buset!” teriak Wiro lalu gelenggelengkan kepala. “Kek, matamu nyala tapi buta. Otakmu cerdik tapi tolol! Kalau aku hendak memperkosa gadis ini, mengapa kulakukan di tanah yang kotor begini rupa? Di sana ada rumah dan ranjang! Bukankah lebih baik kubawa dia ke sana? Lalu masakan aku setolol itu melakukannya di hadapan dua kampret yang berada dalam keadaan tertotok itu?!”
“Eh, siapa yang kau maksud dengan kampret!” tanya sang Resi.
Wiro menuding pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Siapa mereka? Mengapa keduanya tertotok?” bertanya sang Resi.
“Mengenai dua kampret itu biar nanti saja diurus.
Sekarang aku beritahu padamu bahwa aku bukan menggerayangi tubuh muridmu! Dia menderita luka di dalam cukup parah terkena hantaman kakak seperguruannya yang bernama Sumitri bergelar Dewi Tombak Api…!”
Terkejutlah si kakek. “Ah, murid sesat itu! Mana dia!”
“Dia sudah kabur, yang penting kau harus menolong muridmu ini dulu!” ujar Wiro pula.
Kakek berpakaian hitam itu berpaling pada Simanti yang masih terbujur. Lalu memandang lekat-lekat pada Wiro. Pendekar 212 sendiri balas memperhatikan orang tua itu. “Pasti tongkat penyanggah itu senjatanya. Dan juga dari badan tombak itu tadi dia melesatkan lima paku perak. Kulihat ada alat rahasia di pertengahan tongkat.”
“Anak muda kalau aku memang sudah salah menduga, harap dimaafkan. Katakan siapa kau adanya?” kata si kakek.
“Namaku Wiro Sableng…”
Terkejutlah si kakek begitu mendengar Wiro sebutkan namanya. “Namamu Wiro Sableng…? Kau murid si nenek centil Sinto Gendeng dari gunung Gede?!”
Wiro menyengir mendengar gurunya disebut si nenek centil ini berarti kakek itu cukup kenal baik dengan gurunya.
“Puluhan tahun tak pernah bertemu lagi dengan Sinto Gendeng. Kini justru ketemu murid tunggalnya yang namanya menjulang setinggi langit. Ditakuti lawan disegani kawan…”
“Kek, jangan keliwat memuji. Aku ini tak ada apaapanya. Aku cuma seorang pemuda gunung yang tolol dan pengangguran!”
Resi Tambak Kebo Kenanga tertawa panjang mendengar kata-kata Wiro itu. “Kau tak usah merendah anak muda. Semua orang tahu siapa Sinto Gendeng. Dan dunia persilatan juga tahu siapa Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…”
“Kek, kalau kita mengobrol saja dan membiarkan gadis itu, beberapa saat lagi pasti nyawanya tidak tertolong!”
Wiro mengingatkan sekaligus mengalihkan pembicaraan. Resi Tambak Kebo Kenanga melangkah mendekati tubuh muridnya, memandanginya beberapa saat lalu berpaling pada Wiro. “Kau tadi telah berusaha mengobatinya. Harap kau saja yang meneruskan. Aku menyarankan agar kau menotok beberapa urat ke arah jantung dan paru-paru…” Habis berkata begitu sang Resi melangkah ke arah sebuah gundukan batu dan duduk di sana. Dia seperti melamun dan wajahnya nampak suram. Dia seperti tidak begitu memperdulikan keadaan muridnya Simanti namun ada sesuatu yang menancapi pikirannya saat itu, yakni masalah muridnya yang bernama Sumitri dan bergelar Dewi Tombak Api.
Wiro sendiri setelah mendengar ucapan Resi Tambak Kebo Kenanga tadi, pergi duduk bersila di samping tubuh Simanti. Sang dara memandang kepadanya dengan mata sayu.
“Saudari, tak usah takut. Nyawamu pasti tertolong. Kalau kau mendengar kata-kataku harap kedipkan mata dua kali…”
Simanti kedipkan matanya dua kali berturut-turut. Wiro merasa lega. Sesuai petunjuk Resi Tambak Kebo Kenanga dia menotok beberapa urat besar di tubuh Simanti lalu dekapkan kedua tangannya ke dada gadis itu dan secara perlahan-lahan mengalirkan tenaga dalam berhawa dingin dan panas secara bergantian. Beberapa saat kemudian setelah merasa cukup Wiro hentikan pengaliran tenaga dalam. Dia menyeka darah yang membasahi sudut-sudut bibir gadis itu lalu menelankan sebutir obat ke dalam mulutnya.
“Pejamkan matamu kembali. Kau boleh istirahat beberapa saat. Kalau denyutan jantungmu mulai tenang, gerakkan tangan dan kakimu, jika itu mampu kau lakukan tandanya kau selamat dari bahaya dan boleh duduk. Atur jalan nafas dan peredaran darahmu. Alirkan tenaga dalam ke bagian yang masih terasa sakit. Setelah itu kau boleh berdiri…”
“Aku merasa sudah sembuh. Tak perlu mengikuti sepenuhnya apa yang kau katakan. Yang penting hanya mengatur jalan darah dan pernafasan. Terima kasih Saudara. Kau telah menyelamatkanku…” Terdengar Simanti berucap yang membuat Pendekar 212 tercengang.
“Kalau dia tidak memiliki kekuatan tubuh luar biasa, tak mungkin dia sembuh secepat ini!” kata Wiro dalam hati. Selagi Simanti duduk bersila mengatur jalan darah dan pernafasan, Wiro melangkah mendapatkan Resi Tambak Kebo Kenanga.
“Kakek, wajahmu kelihatan susah. Apa yang menjadi ganjalan?” bertanya Wiro.
Sesaat sang Resi diam saja. Kemudian dia berpaling pandangi wajah Wiro lalu berkata. “Aku memikirkan anak itu…”
“Anak itu yang mana kek?”
“Muridku Sumitri, kakak Simanti. Hidupku sejak satu tahun belakangan ini tidak tenteram gara-gara dia. Hendak kubunuh dirinya, dia murid sendiri. Tidak kubunuh dia terus-terusan membuatku malu, terus-terusan berbuat mesum. Dulu-dulu sudah kuingatkan untuk tidak berbuat macam-macam mencari segala macam ilmu sundal. Tapi dia terpengaruh oleh ketamakannya sendiri. Ingin lebih banyak ilmu, ternyata salah langkah…”
“Terus terang aku hanya mendengar sedikit tentang muridmu itu, Kek. Apa sebenarnya yang terjadi dengan diri Sumitri?” bertanya Wiro.
Resi Tambak Kebo Kenanga menghela nafas panjang beberapa kali, baru menjawab, “Sekitar enam belas bulan yang lalu aku melepas Sumitri setelah hampir lima belas tahun berada dalam gemblenganku bersama-sama Simanti. Sebelum pergi gadis itu pernah mengemukakan niatnya untuk mencari seorang sakti bernama Ki Kamandoko untuk mendapatkan sebuah senjata mustika yang akan dijadikan pegangannya dalam petualangan sebagai seorang pendekar baru. Memang ketika kulepas aku tidak mempunyai senjata sakti apapun yang bisa kuwariskan padanya. Aku tidak keberatan dia mencari dan menemukan sendiri segala macam senjata sakti. Asalkan jangan menghubungi Ki Kamandoko. Orang-orang persilatan tahu betul kalau orang sakti yang satu ini berhati culas, memiliki seribu satu tipu muslihat. Yang paling terkutuk adalah bahwa hatinya busuk dan mesum. Namun ternyata peringatanku tidak diperhatikan oleh Sumitri. Dia tetap pergi mencari Ki Kamandoko. Dari Ki Kamandoko muridku memang mendapatkan sebilah senjata mustika bernama Tombak Api. Tapi untuk itu dia harus membayar mahal. Dia harus menyerahkan kehormatannya. Bahkan sampai saat ini pun muridku itu terus-terusan berada di bawah pengaruh senjata keparat itu yang selalu merangsangnya untuk berbuat zinah!”
Wiro garuk-garuk kepala. “Aku masih kurang paham kek. Bagaimana senjata itu bisa merangsang seseorang berbuat mesum seperti katamu…”
“Sebelum menyerahkan senjata itu kepada seseorang, yaitu seorang perempuan seperti Sumitri misalnya, Ki Kamandoko telah mengisi senjata itu dengan semacam guna-guna. Siapa saja yang kemudian memegang senjata tersebut, mempergunakannya dengan pengerahan tenaga dalam, maka nafsu birahinya untuk melakukan hubungan kelamin akan terangsang. Jika dia seorang perempuan maka nafsunya bangkit setiap melihat lawan jenisnya, tak perduli orang itu sudah tua bangka. Jika dia seorang lelaki, maka hal yang sama akan dialaminya. Nafsu bejatnya muncul. Dia akan meniduri perempuan mana saja termasuk seorang nenek sekalipun! itu yang terjadi dengan muridku sejak dia pertama kali menyentuh senjata itu. Ketika dia mulai berlatih memainkan Tombak Api yang diberikan oleh Ki Kamandoko, setiap dia mengerahkan tenaga dalam setiap kali itu pula dirinya terangsang. Ki Kamandoko keparat itu lalu menggaulinya selama beberapa bulan. Setelah puas Sumitri baru diizinkannya pergi. Namun muridku tidak terlepas dari hal-hal terkutuk itu. Setiap dia bertempur dengan mempergunakan Tombak Api, lawannya pasti akan menemui ajal. Tapi dirinya tidak luput dari rangsangan terkutuk. Dia akan mengajak siapa saja yang ada di dekatnya untuk berbuat mesum!”
“Setahuku segala macam guna-guna hanya mempan selama empat puluh hari…” ujar Wiro pula.
“Tidak dengan guna-guna yang diciptakan Ki Kamandoko. Guna-gunanya itu telah ditanamkannya dalam senjata yang diberikannya pada muridku. Guna-guna itu kemudian bersatu dengan darah dan pernafasan Sumitri setiap gadis itu memegangnya, mempergunakannya dan mengerahkan tenaga dalamnya!”
“Kalau begitu, satu-satunya jalan untuk membebaskan muridmu adalah dengan melenyapkan Ki Kamandoko!”
“Kau betul Pendekar 212. Aku sudah menyebar kabar dan minta bantuan orang-orang persilatan. Mencari tahu di mana sarangnya manusia laknat itu. Ternyata dia tidak punya tempat kediaman tetap. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Karena itu untuk sementara aku terpaksa melupakan bangsat itu. Yang kucari saat ini adalah muridku sendiri. Aku berusaha merampas senjata terkutuk dari tangannya. Menurut kabar, bukan saja dia sudah berbuat cabul dengan belasan lelaki. Tapi juga belasan orang-orang terkemuka telah menjadi korban senjatanya itu! Aku sendiri, jika kelak berhadapan dengan dirinya mungkin tidak akan sanggup menghadapi senjata saktinya itu. Namun aku lebih baik mati daripada hidup dengan menanggung malu besar!”
“Sebelum kau muncul di sini, aku sempat bentrokan dengan Sumitri. Ternyata dia memiliki tingkat tenaga dalam yang sangat tinggi. Entah mengapa dia tidak mengeluarkan Tombak Apinya. Dia kemudian melarikan diri begitu saja. Aku yakin dia pergi bukan karena takut terhadapku. Mungkin sekali dia telah sempat melihat dirimu muncul di kejauhan…”
“Mungkin begitu… Mungkin begitu…” kata Resi Tambak Kebo Kenanga lalu mengusap wajahnya berulang-ulang. Untuk sesaat Wiro tinggalkan guru tua yang malang itu. Dia melangkah ke tempat Simanti yang masih duduk bersila pejamkan mata mengatur jalan darah dan pernafasan. Tak lama kemudian sang dara buka kedua matanya. Pandangannya beradu dengan sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng. Wajahnya yang tadi pucat kini tampak mulai berdarah kembali. Bengkak membiru yang ada di dadanya kelihatan tidak separah sebelumnya. Wiro ulurkan tangannya untuk merapatkan celah pakaian yang tersingkap. Simanti pegang tangan pemuda itu seraya berbisik, “Terima kasih… Kau menyelamatkan nyawaku…”
Wiro tersenyum. “Bukan aku yang menolongmu Simanti. Tapi Yang di Atas sana. Kau tak akan mati kalau Dia belum menghendaki…” Lalu Wiro membantu gadis itu bangkit berdiri. Ketika keduanya berpaling ke jurusan gundukan batu di mana Resi Tambak Kebo Kenanga berada tadi, tempat itu telah kosong. Sang Resi sudah lenyap.
“Guru pasti mengejar kakak seperguruanku. Aku mengawatirkan keselamatannya. Aku harus menyusul…!”
“Aku ikut bersamamu!” kata Wiro pula.
Mendengar itu Simanti yang kini bukan saja menganggap Wiro sebagai tuan penolongnya tapi sekaligus sudah menganggapnya sebagai kakak sendiri, pegang lengan pemuda itu, merendengnya pergi dari situ. Baru saja mereka bergerak tiga langkah terdengar suara orang berseru, “Hai! Saudara! Tunggu! Jangan pergi dulu! Bebaskan kami dari totokan ini!”
Wiro dan Simanti hentikan langkah. “Aku pikir-pikir memang kasihan kedua pemuda itu. Apa yang terjadi bukan mau mereka. Biar aku lepaskan totokan mereka.”
Lalu Wiro hampiri Bimo Argomulyo terlebih dahulu dan melepaskan totokan di leher pemuda itu. Tapi alangkah terkejutnya Pendekar 212 ketika begitu terlepas totokannya Bimo Argomulyo langsung menyerang dirinya.
Anak panah yang sejak tadi tergenggam di tangan kanannya ditusukkannya ke mata kiri Wiro Sableng. Kalau saja murid Sinto Gendeng tak lekas rundukkan kepala, mata kirinya pasti sudah kena disate anak panah yang terbuat dari baja itu!
“Heh! Kenapa kau menyerangku seganas itu?!” tanya Wiro.
“Kau lupa kalau tadi kau menghina aku dan saudaraku sebagai dua ekor kampret?! Pantas kalau saat ini aku memberi pelajaran padamu!” sahut Bimo Argomulyo.
Wiro menggaruk kepalanya sambil menyeringai. “Sama saja aku seperti melepas anjing kejepit. Begitu dilepas menggonggong dan malah menggigitku!”
“Bangsat! Tadi kau sebut aku kampret! Sekarang kau samakan diriku dengan anjing! Makan panahku ini!” Bimo Argomulyo tusukkan panahnya ke mulut Wiro.
“Manusia tak berbudi! Ditolong malah menggonggong. Bagusnya kau kembali pada keadaanmu semula!”
Pendekar 212 berkelebat lalu, tuk! Satu totokan melanda pangkal leher putera Ketua Partai Bintang Blambangan itu. Tak ampun lagi Bimo Argomulyo menjadi kaku tegang seperti tadi, malah kini totokan lihay itupun membuat mulutnya menjadi gagu tak bisa bicara! Sambil tertawatawa Wiro tinggalkan pemuda itu sementara Sarwo Bayu hanya bisa memandangi dan tak berani keluarkan ucapan apa-apa meskipun mulutnya masih bisa bicara. Diam-diam dia menyesali saudaranya yang terlalu cepat naik darah hingga bukan kebebasan yang mereka dapat malah kembali ditotok seperti sebelumnya. Dia tidak tahu berapa lama totokan itu akan lepas dengan sendirinya. Mungkin setengah harian, mungkin satu sampai dua hari. Dan saat itu sore telah menggelincir tanda malam akan segera tiba. Urusan partai belum selesai dan kini mereka berdua berada dalam keadaan seperti itu!
DEWI Tombak Api alias Sumitri menggolekkan badannya yang bagus di lantai reruntuhan candi. Saat itu sang surya mulai menggelincir ke arah ufuk tenggelamnya. Langit yang kebiruan kini seperti disaput oleh warna kuning keemasan. Serombongan burung pipit terbang di udara melintas candi menuju ke selatan. Sumitri bangkit dan duduk termenung. Dalam hatinya timbul pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawabnya. Mengapa dirinya kini berada dalam keadaan diburu-buru demikian rupa. Bukan hanya oleh guru dan adik seperguruannya saja tapi oleh banyak tokoh silat dan pimpinan perguruan. Apa yang telah merasuk dalam hati dan jalan darahnya hingga dia melakukan perbuatanperbuatan mesum terkutuk. Mengapa dia tidak sanggup menolak semua rangsangan itu bahkan menambah dosanya dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan!
Dia tahu juga bahwa ada sementara tokoh-tokoh silat yang menghormati dan merasa berhutang budi padanya karena dia telah membunuh tokoh-tokoh silat golongan hitam musuh mereka. Tapi dibanding dengan segala dosa yang dibuatnya, semua kebaikan dan pahala yang dilakukannya seolah-olah hanya seperti tetesan-tetesan air yang tidak berbekas di atas pasir panas.
Gadis ini mengusap mukanya, merapikan pakaiannya lalu bangkit berdiri. Dia tak ingin bermalam di reruntuhan candi itu. Karenanya dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan saat itu juga. Tapi belum sempat melangkah tiba-tiba berkelebat dua bayangan dan tahu-tahu di hadapannya telah berdiri sepasang kakek nenek berpakaian kuning-kuning. Wajah keduanya seperti pakaian yang mereka kenakan juga berwarna kuning karena dipupuri bedak tebal berwarna kuning.
“Siapa kalian?” bentak Dewi Tombak Api yang melihat gelagat tidak baik.
Dua kakek itu memandang dengan bengis. Mereka tidak menjawab malah gerakkan tangan menghunus sebilah kelewang yang sebelumnya diselipkan di pinggang. “Tua bangka muka kuning! Kalian tidak tuli. Lekas terangkan siapa kalian dan punya maksud apa menghunus senjata di depanku!”
Si kakek menggereng. Dia berpaling pada si nenek lalu berkata, “Aku pantang bicara dengan perempuan bejat seperti dia! Kau saja yang bicara!”
Si nenek juga keluarkan suara menggereng lalu membuka mulut, “Kami Sepasang Macan Kuning dari Merapi. Empat bulan lalu kau bentrokan dengan dua orang murid perempuan kami lalu menculik seorang pemuda yang juga murid kami. Pemuda itu kemudian ditemui dalam keadaan sekarat di tepi sungai. Sebelum meregang nyawa dia masih sempat menerangkan bahwa kau telah menyekapnya selama satu minggu di suatu tempat. Setelah kau memuaskan nafsu bejatmu kau lalu membunuhnya. Tapi ternyata dia masih sempat kami temui dalam keadaan hidup…”
Dewi Tombak Api terdiam mendengar ucapan si nenek.
“Gadis sundal! Kau tak perlu mengaku atau berdalih. Kami sudah tahu memang kau pelakunya. Saat ini bersiaplah untuk mampus!” kata si nenek pula.
“Aku tidak takut mati. Tapi ketahuilah bahwa aku memang menyesal membunuh muridmu itu…”
Si nenek pelototkan matanya. “Penyesalan selalu datang belakangan itu tak ada gunanya!” Nenek ini berteriak keras lalu bersama-sama dengan si kakek dia menyerbu. Dua kelewang berkiblat di bawah sinar kuning matahari sore. Satu menyambar ke arah kepala, satu lagi membabat ke arah perut.
Dewi Tombak Api terkejut ketika dapatkan bagaimana dua serangan itu bukan saja sangat cepat dan ganas tapi disertai hawa dingin yang membuat tulang-tulang Dewi Tombak Api merasa ngilu.
Dengan cepat Dewi Tombak Api membuang diri ke belakang. Bersamaan dengan itu dia dorongkan kedua tangannya. Dua gelombang angin menerpa deras ke arah kakek nenek itu. Seperti yang sudah-sudah serangan seperti itu pasti akan membuat lawan terpelanting, paling tidak terdorong jauh. Tapi kenyataannya Sepasang Macan Kuning dari Merapi itu terus merangsak maju, membuat Dewi Tombak Api mau tak mau kembali melompat ke belakang, menjauhi kedua lawan.
Begitu dia lolos dari dua sambaran kelewang, Dewi Tombak Api berkelebat kirimkan hantaman tangan kanan ke arah si nenek dan disusul tendangan ke arah si kakek. Tapi yang diserang tidak kalah sebat. Kelewang di tangan masing-masing diputar demikian rupa hingga memapaki lengan dan betis Dewi Tombak Api. Kalau dia meneruskan serangannya ini mungkin dia masih sempat menghantam lawan, tapi lengan dan kakinya tak akan lolos dari sambaran kelewang Sepasang Macan Kuning dari Merapi. Sambil memaki dalam hati Dewi Tombak Api lagi-lagi terpaksa cari selamat dengan melompat dan tarik jotosan serta tendangannya. Tapi tak terduga si kakek memburu maju dan srett! Baju warna-warni Dewi Tombak Api di bagian perut robek besar!
“Dua tua bangka ini benar-benar berbahaya! Kalau tidak kudahului membunuh mereka, bisa-bisa aku yang dibuat meregang nyawa!”
Dewi Tombak Api gerakkan tangan kanan ke balik punggung. Sesaat kemudian sinar merah menyala berkiblat di udara.
“Tombak api!” seru si kakek dan si nenek berbarengan. Masing-masing membuka mata lebar-lebar. Selama ini mereka cuma mendengar cerita saja. Sekarang mereka menyaksikan sendiri bentuk senjata berbentuk tombak pendek yang menyala laksana baja menyala.
Bagaimanapun angkernya senjata itu namun Sepasang Macan Kuning dari Merapi tidak merasa jerih. Mereka sudah bertekad bulat untuk membalaskan dendam sekalipun harus mengorbankan nyawa sendiri. Maka tanpa banyak bicara kakek dan nenek itu kembali merangsak maju.
Dewi Tombak Api yang memang sudah tak sabaran segera pukulkan tombaknya ke arah si kakek. Wuuusss!
Lidah api menyambar. Si kakek kiblatkan kelewangnya sedang tangan kiri ikut melepas pukulan tangan kosong. Si nenekpun tidak tinggal diam. Dari tempatnya tegak dia lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Tapi Tombak Api memang luar biasa. Hawa panas yang menyambar di tempat itu membuat si nenek cepat bersurut mundur selamatkan diri dari sambaran lidah api. Si kakek yang juga sudah melihat bahaya ketika kelewang serta pukulan saktinya tak bisa berbuat apa-apa dengan cepat melompat ke samping. Namun terlambat. Lidah api sudah keburu membuntal sekujur badannya. Tubuh dan pakaiannya serta-merta dilamun api. Orang tua ini menjerit, jatuhkan diri dan bergulingan di lantai candi berusaha memadamkan api. Tapi sia-sia saja. Dia akhirnya menemui ajal dengan tubuh hangus terpanggang!
Melihat kawannya mati begitu rupa si nenek meraung keras. Dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya melesat laksana terbang. Dari udara dia lemparkan kelewangnya. Dewi Tombak Api menyambut dengan senjatanya. Traang!
Tombak dan kelewang beradu keras. Kelewang terpental lalu tercampak di tanah. Ketika si nenek memperhatikan ternyata kelewang itu telah penyok-penyok dan leleh! Sedang tangan kanannya sendiri kelihatan hangus menghitam.
“Gadis iblis ini bukan tandinganku! Aku tak mau mati percuma. Suatu waktu aku harus membalaskan sakit hati dendam kesumat ini!” Begitu si nenek membatin. Maka ketika kedua kakinya menginjak lantai candi, tanpa tunggu lebih lama lagi perempuan tua itu berkelebat ke kiri.
Dewi Tombak Api pukulkan senjatanya. Wusss! Lidah api menyambar. Si nenek selamat karena lidah api terhalang oleh sebuah arca. Kini arca itulah yang jadi korban. Tenggelam dalam kobaran api!
Dewi Tombak Api merasakan darahnya mengalir lebih cepat. Tubuhnya terasa panas. Cuping hidungnya kembang kempis dan dadanya turun naik. Lalu sekujur tubuhnya mulai menggigil.
“Perasaan itu muncul lagi… Ah… aku tak tahan… Aku tak tahan…!” Dewi tombak Api sisipkan kembali senjatanya di balik punggung pakaian. Kedua lututnya terlipat dan perlahan-lahan dia jatuh berlutut. Rangsangan yang melanda tubuhnya semakin menggelora, semakin membakar. Kedua matanya memandang berkeliling. Nafasnya memburu. Ada seperti yang meledak-ledak di dalam dada dan di seluruh pembuluh darahnya. Dalam keadaan seperti itu Dewi Tombak Api gulingkan diri di lantai candi. Kedua kakinya melejang-lejang sedang tangan mencakar-cakar lantai batu. Dari mulutnya keluar suara erangan. Lalu gadis ini mulai merobek-robek pakaiannya. Mula-mula di bagian dada. Lalu di bagian perut yang memang sudah robek besar disambar kelewang. Sesaat kemudian gadis itu nyaris telanjang. Dalam keadaan seperti ini tiba-tiba dia melompat bangkit. Rahangnya menggembung. Gerahamnya bergemeletakan dan sepasang matanya berputar liar. Tiba-tiba dilihatnya arca batu itu. Dia menggerung halus. Lalu melompat ke hadapan arca, memeluk menciuminya, menggesergeserkan badannya ke badan arca!
“Muridku Sumitri! Perbuatan apa yang tengah kau lakukan ini! Sadar Sumitri! Sadarlah!”
Satu suara terdengar. Suara laki-laki! Inilah yang dicaricarinya. Masih merangkul arca batu itu, Sumitri alias Dewi Tombak Api palingkan kepala. Dan dilihatnya kakek buntung berpakaian hitam itu! Tapi dia melihatnya bukan sebagai guru. Melainkan sebagai seorang lelaki. Lelaki yang harus siap melayaninya. Kalau tidak dia bisa mati berdiri ditambus bara nafsu!
“Kebo Kenanga…” desis Sumitri menyebut nama gurunya. Pelukannya pada arca batu dilepaskan. Lalu dia melangkah setindak demi setindak mendekati Resi Tambak Kebo Kenanga. Orang tua berkaki buntung itu pejamkan kedua matanya. Tak sanggup dia melihat keadaan muridnya yang nyaris telanjang itu. Justru inilah kesalahan sang Resi, begitu matanya dipejamkan, Dewi Tombak Api telah menerkamnya, memagut dan menciumi tubuhnya.
“Sumitri! Ingat! Aku ini gurumu!” teriak Resi Tambak Kebo Kenanga.
Sang murid seperti tuli. Malah tubuh kakek itu dipagutnya kuat-kuat lalu ditariknya ke bawah hingga keduanya jatuh terhampar di lantai candi. Waktu jatuh sang guru tertindih oleh tubuh muridnya sendiri.
“Murid sesat dan mesum! Pergi!” teriak sang Resi. Lalu lutut dan tangan kanannya bergerak.
Terdengar raungan Dewi Tombak Api. Tubuhnya mencelat ke atas lalu jatuh dan tersandar ke reruntuhan dinding candi. Tapi dia segera berdiri lagi, ulurkan kedua tangan sambil melangkah ke arah gurunya.
“Aku ingin kau melayaniku. Beri kesenangan padaku. Kalau tidak lebih baik kau bunuh aku. Tolong… Jangan biarkan aku terbakar oleh derita ini…”
Resi Tambak Kebo Kenanga cepat bersurut mundur. Tongkat penyanggah yang dikepitnya di ketiak kiri tiba-tiba membabat ke depan, tepat menghantam pinggul muridnya. Sumitri kembali meraung. Hantaman tongkat membuat tubuhnya terbanting ke kiri. Tapi daging atau tulang tubuhnya tak ada yang cidera. Padahal selama ini kalau sempat tongkat penyanggah ini menghantam tubuh manusia, dagingnya pasti luka besar dan tulangnya paling tidak akan remuk! Kalau sudah begini Resi Tambak Kebo Kenanga tidak melihat cara lain. “Aku harus bisa menotoknya. Kalau tak ada jalan lain mau tak mau aku harus membunuhnya. Ah, kasihan dirimu Sumitri. Tapi aku terpaksa melakukannya…”
Kakek berkaki buntung ini berkelebat ke depan. Tangan kanannya menyambar sedang tongkatnya menusuk ke arah bahu. Di saat yang sama sang murid yang seperti kesetanan itu gerakkan tangan kanannya.
Traak!
Tongkat penyanggah milik sang Resi patah berantakan. Karena kehilangan keseimbangan, orang tua ini jatuh ke lantai candi. Dan pada saat itu pula sang murid jatuhkan diri berusaha menghimpitnya. Tapi kaki kanan sang Resi melesat tidak terduga. Menghantam perut Sumitri dengan keras.
Gadis itu terpekik. Tubuhnya tercampak ke-samping, jatuh menubruk arca!
“Bangsat! Laki-laki bangsat! Kuberi madu malah mengasih racun! Mampus! Kau harus mampus!” teriak Dewi Tombak Api. Lalu dia cabut senjata pembawa bahala itu dan pukulkan ke arah gurunya.
Wusss!
Lidah api menggebubu. Resi Tambak Kebo Kenanga yang masih tertelentang di lantai candi cepat gulingkan diri. Namun terlambat. Lidah api itu lebih dulu melamun sekujur tubuhnya! Kakek ini hanya bisa keluarkan jeritan-jeritan mengerikan. Lalu tubuhnya yang terpanggang dan menebar bau yang mengerikan itu diam tak berkutik lagi!
Pengerahan tenaga dalam dan penggunaan Tombak Api untuk kedua kalinya membuat rangsangan di tubuh Dewi Tombak Api jadi berlipat ganda kini. Gadis ini menjerit, menggulingkan diri di lantai, memeluki arca dan
pergunakan tangan sendiri untuk mencari kenikmatan. Selagi dia berada dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada suara disertai berkelebatnya sesosok bayangan.
“Kekasihku Sumitri! Berbulan-bulan aku mencarimu. Akhirnya kutemui juga! Dan kau sepertinya sudah siap menungguku!”
Sumitri kenal betul suara itu. Dia palingkan tubuh, menjerit kegirangan lalu rangkul tubuh orang tua yang barusan datang sambil menggolekkan dirinya di atas lantai. “Anak manis… Sekali ini aku tidak akan membiarkan kau meninggalkanku lagi. Ke mana kau pergi aku akan selalu mendampingimu!”
“Seharusnya memang begitu! Sekarang loloskan pakaianmu. Aku sudah tak tahan! Lekasss…!”
Dia tahu juga bahwa ada sementara tokoh-tokoh silat yang menghormati dan merasa berhutang budi padanya karena dia telah membunuh tokoh-tokoh silat golongan hitam musuh mereka. Tapi dibanding dengan segala dosa yang dibuatnya, semua kebaikan dan pahala yang dilakukannya seolah-olah hanya seperti tetesan-tetesan air yang tidak berbekas di atas pasir panas.
Gadis ini mengusap mukanya, merapikan pakaiannya lalu bangkit berdiri. Dia tak ingin bermalam di reruntuhan candi itu. Karenanya dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan saat itu juga. Tapi belum sempat melangkah tiba-tiba berkelebat dua bayangan dan tahu-tahu di hadapannya telah berdiri sepasang kakek nenek berpakaian kuning-kuning. Wajah keduanya seperti pakaian yang mereka kenakan juga berwarna kuning karena dipupuri bedak tebal berwarna kuning.
“Siapa kalian?” bentak Dewi Tombak Api yang melihat gelagat tidak baik.
Dua kakek itu memandang dengan bengis. Mereka tidak menjawab malah gerakkan tangan menghunus sebilah kelewang yang sebelumnya diselipkan di pinggang. “Tua bangka muka kuning! Kalian tidak tuli. Lekas terangkan siapa kalian dan punya maksud apa menghunus senjata di depanku!”
Si kakek menggereng. Dia berpaling pada si nenek lalu berkata, “Aku pantang bicara dengan perempuan bejat seperti dia! Kau saja yang bicara!”
Si nenek juga keluarkan suara menggereng lalu membuka mulut, “Kami Sepasang Macan Kuning dari Merapi. Empat bulan lalu kau bentrokan dengan dua orang murid perempuan kami lalu menculik seorang pemuda yang juga murid kami. Pemuda itu kemudian ditemui dalam keadaan sekarat di tepi sungai. Sebelum meregang nyawa dia masih sempat menerangkan bahwa kau telah menyekapnya selama satu minggu di suatu tempat. Setelah kau memuaskan nafsu bejatmu kau lalu membunuhnya. Tapi ternyata dia masih sempat kami temui dalam keadaan hidup…”
Dewi Tombak Api terdiam mendengar ucapan si nenek.
“Gadis sundal! Kau tak perlu mengaku atau berdalih. Kami sudah tahu memang kau pelakunya. Saat ini bersiaplah untuk mampus!” kata si nenek pula.
“Aku tidak takut mati. Tapi ketahuilah bahwa aku memang menyesal membunuh muridmu itu…”
Si nenek pelototkan matanya. “Penyesalan selalu datang belakangan itu tak ada gunanya!” Nenek ini berteriak keras lalu bersama-sama dengan si kakek dia menyerbu. Dua kelewang berkiblat di bawah sinar kuning matahari sore. Satu menyambar ke arah kepala, satu lagi membabat ke arah perut.
Dewi Tombak Api terkejut ketika dapatkan bagaimana dua serangan itu bukan saja sangat cepat dan ganas tapi disertai hawa dingin yang membuat tulang-tulang Dewi Tombak Api merasa ngilu.
Dengan cepat Dewi Tombak Api membuang diri ke belakang. Bersamaan dengan itu dia dorongkan kedua tangannya. Dua gelombang angin menerpa deras ke arah kakek nenek itu. Seperti yang sudah-sudah serangan seperti itu pasti akan membuat lawan terpelanting, paling tidak terdorong jauh. Tapi kenyataannya Sepasang Macan Kuning dari Merapi itu terus merangsak maju, membuat Dewi Tombak Api mau tak mau kembali melompat ke belakang, menjauhi kedua lawan.
Begitu dia lolos dari dua sambaran kelewang, Dewi Tombak Api berkelebat kirimkan hantaman tangan kanan ke arah si nenek dan disusul tendangan ke arah si kakek. Tapi yang diserang tidak kalah sebat. Kelewang di tangan masing-masing diputar demikian rupa hingga memapaki lengan dan betis Dewi Tombak Api. Kalau dia meneruskan serangannya ini mungkin dia masih sempat menghantam lawan, tapi lengan dan kakinya tak akan lolos dari sambaran kelewang Sepasang Macan Kuning dari Merapi. Sambil memaki dalam hati Dewi Tombak Api lagi-lagi terpaksa cari selamat dengan melompat dan tarik jotosan serta tendangannya. Tapi tak terduga si kakek memburu maju dan srett! Baju warna-warni Dewi Tombak Api di bagian perut robek besar!
“Dua tua bangka ini benar-benar berbahaya! Kalau tidak kudahului membunuh mereka, bisa-bisa aku yang dibuat meregang nyawa!”
Dewi Tombak Api gerakkan tangan kanan ke balik punggung. Sesaat kemudian sinar merah menyala berkiblat di udara.
“Tombak api!” seru si kakek dan si nenek berbarengan. Masing-masing membuka mata lebar-lebar. Selama ini mereka cuma mendengar cerita saja. Sekarang mereka menyaksikan sendiri bentuk senjata berbentuk tombak pendek yang menyala laksana baja menyala.
Bagaimanapun angkernya senjata itu namun Sepasang Macan Kuning dari Merapi tidak merasa jerih. Mereka sudah bertekad bulat untuk membalaskan dendam sekalipun harus mengorbankan nyawa sendiri. Maka tanpa banyak bicara kakek dan nenek itu kembali merangsak maju.
Dewi Tombak Api yang memang sudah tak sabaran segera pukulkan tombaknya ke arah si kakek. Wuuusss!
Lidah api menyambar. Si kakek kiblatkan kelewangnya sedang tangan kiri ikut melepas pukulan tangan kosong. Si nenekpun tidak tinggal diam. Dari tempatnya tegak dia lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Tapi Tombak Api memang luar biasa. Hawa panas yang menyambar di tempat itu membuat si nenek cepat bersurut mundur selamatkan diri dari sambaran lidah api. Si kakek yang juga sudah melihat bahaya ketika kelewang serta pukulan saktinya tak bisa berbuat apa-apa dengan cepat melompat ke samping. Namun terlambat. Lidah api sudah keburu membuntal sekujur badannya. Tubuh dan pakaiannya serta-merta dilamun api. Orang tua ini menjerit, jatuhkan diri dan bergulingan di lantai candi berusaha memadamkan api. Tapi sia-sia saja. Dia akhirnya menemui ajal dengan tubuh hangus terpanggang!
Melihat kawannya mati begitu rupa si nenek meraung keras. Dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya melesat laksana terbang. Dari udara dia lemparkan kelewangnya. Dewi Tombak Api menyambut dengan senjatanya. Traang!
Tombak dan kelewang beradu keras. Kelewang terpental lalu tercampak di tanah. Ketika si nenek memperhatikan ternyata kelewang itu telah penyok-penyok dan leleh! Sedang tangan kanannya sendiri kelihatan hangus menghitam.
“Gadis iblis ini bukan tandinganku! Aku tak mau mati percuma. Suatu waktu aku harus membalaskan sakit hati dendam kesumat ini!” Begitu si nenek membatin. Maka ketika kedua kakinya menginjak lantai candi, tanpa tunggu lebih lama lagi perempuan tua itu berkelebat ke kiri.
Dewi Tombak Api pukulkan senjatanya. Wusss! Lidah api menyambar. Si nenek selamat karena lidah api terhalang oleh sebuah arca. Kini arca itulah yang jadi korban. Tenggelam dalam kobaran api!
Dewi Tombak Api merasakan darahnya mengalir lebih cepat. Tubuhnya terasa panas. Cuping hidungnya kembang kempis dan dadanya turun naik. Lalu sekujur tubuhnya mulai menggigil.
“Perasaan itu muncul lagi… Ah… aku tak tahan… Aku tak tahan…!” Dewi tombak Api sisipkan kembali senjatanya di balik punggung pakaian. Kedua lututnya terlipat dan perlahan-lahan dia jatuh berlutut. Rangsangan yang melanda tubuhnya semakin menggelora, semakin membakar. Kedua matanya memandang berkeliling. Nafasnya memburu. Ada seperti yang meledak-ledak di dalam dada dan di seluruh pembuluh darahnya. Dalam keadaan seperti itu Dewi Tombak Api gulingkan diri di lantai candi. Kedua kakinya melejang-lejang sedang tangan mencakar-cakar lantai batu. Dari mulutnya keluar suara erangan. Lalu gadis ini mulai merobek-robek pakaiannya. Mula-mula di bagian dada. Lalu di bagian perut yang memang sudah robek besar disambar kelewang. Sesaat kemudian gadis itu nyaris telanjang. Dalam keadaan seperti ini tiba-tiba dia melompat bangkit. Rahangnya menggembung. Gerahamnya bergemeletakan dan sepasang matanya berputar liar. Tiba-tiba dilihatnya arca batu itu. Dia menggerung halus. Lalu melompat ke hadapan arca, memeluk menciuminya, menggesergeserkan badannya ke badan arca!
“Muridku Sumitri! Perbuatan apa yang tengah kau lakukan ini! Sadar Sumitri! Sadarlah!”
Satu suara terdengar. Suara laki-laki! Inilah yang dicaricarinya. Masih merangkul arca batu itu, Sumitri alias Dewi Tombak Api palingkan kepala. Dan dilihatnya kakek buntung berpakaian hitam itu! Tapi dia melihatnya bukan sebagai guru. Melainkan sebagai seorang lelaki. Lelaki yang harus siap melayaninya. Kalau tidak dia bisa mati berdiri ditambus bara nafsu!
“Kebo Kenanga…” desis Sumitri menyebut nama gurunya. Pelukannya pada arca batu dilepaskan. Lalu dia melangkah setindak demi setindak mendekati Resi Tambak Kebo Kenanga. Orang tua berkaki buntung itu pejamkan kedua matanya. Tak sanggup dia melihat keadaan muridnya yang nyaris telanjang itu. Justru inilah kesalahan sang Resi, begitu matanya dipejamkan, Dewi Tombak Api telah menerkamnya, memagut dan menciumi tubuhnya.
“Sumitri! Ingat! Aku ini gurumu!” teriak Resi Tambak Kebo Kenanga.
Sang murid seperti tuli. Malah tubuh kakek itu dipagutnya kuat-kuat lalu ditariknya ke bawah hingga keduanya jatuh terhampar di lantai candi. Waktu jatuh sang guru tertindih oleh tubuh muridnya sendiri.
“Murid sesat dan mesum! Pergi!” teriak sang Resi. Lalu lutut dan tangan kanannya bergerak.
Terdengar raungan Dewi Tombak Api. Tubuhnya mencelat ke atas lalu jatuh dan tersandar ke reruntuhan dinding candi. Tapi dia segera berdiri lagi, ulurkan kedua tangan sambil melangkah ke arah gurunya.
“Aku ingin kau melayaniku. Beri kesenangan padaku. Kalau tidak lebih baik kau bunuh aku. Tolong… Jangan biarkan aku terbakar oleh derita ini…”
Resi Tambak Kebo Kenanga cepat bersurut mundur. Tongkat penyanggah yang dikepitnya di ketiak kiri tiba-tiba membabat ke depan, tepat menghantam pinggul muridnya. Sumitri kembali meraung. Hantaman tongkat membuat tubuhnya terbanting ke kiri. Tapi daging atau tulang tubuhnya tak ada yang cidera. Padahal selama ini kalau sempat tongkat penyanggah ini menghantam tubuh manusia, dagingnya pasti luka besar dan tulangnya paling tidak akan remuk! Kalau sudah begini Resi Tambak Kebo Kenanga tidak melihat cara lain. “Aku harus bisa menotoknya. Kalau tak ada jalan lain mau tak mau aku harus membunuhnya. Ah, kasihan dirimu Sumitri. Tapi aku terpaksa melakukannya…”
Kakek berkaki buntung ini berkelebat ke depan. Tangan kanannya menyambar sedang tongkatnya menusuk ke arah bahu. Di saat yang sama sang murid yang seperti kesetanan itu gerakkan tangan kanannya.
Traak!
Tongkat penyanggah milik sang Resi patah berantakan. Karena kehilangan keseimbangan, orang tua ini jatuh ke lantai candi. Dan pada saat itu pula sang murid jatuhkan diri berusaha menghimpitnya. Tapi kaki kanan sang Resi melesat tidak terduga. Menghantam perut Sumitri dengan keras.
Gadis itu terpekik. Tubuhnya tercampak ke-samping, jatuh menubruk arca!
“Bangsat! Laki-laki bangsat! Kuberi madu malah mengasih racun! Mampus! Kau harus mampus!” teriak Dewi Tombak Api. Lalu dia cabut senjata pembawa bahala itu dan pukulkan ke arah gurunya.
Wusss!
Lidah api menggebubu. Resi Tambak Kebo Kenanga yang masih tertelentang di lantai candi cepat gulingkan diri. Namun terlambat. Lidah api itu lebih dulu melamun sekujur tubuhnya! Kakek ini hanya bisa keluarkan jeritan-jeritan mengerikan. Lalu tubuhnya yang terpanggang dan menebar bau yang mengerikan itu diam tak berkutik lagi!
Pengerahan tenaga dalam dan penggunaan Tombak Api untuk kedua kalinya membuat rangsangan di tubuh Dewi Tombak Api jadi berlipat ganda kini. Gadis ini menjerit, menggulingkan diri di lantai, memeluki arca dan
pergunakan tangan sendiri untuk mencari kenikmatan. Selagi dia berada dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada suara disertai berkelebatnya sesosok bayangan.
“Kekasihku Sumitri! Berbulan-bulan aku mencarimu. Akhirnya kutemui juga! Dan kau sepertinya sudah siap menungguku!”
Sumitri kenal betul suara itu. Dia palingkan tubuh, menjerit kegirangan lalu rangkul tubuh orang tua yang barusan datang sambil menggolekkan dirinya di atas lantai. “Anak manis… Sekali ini aku tidak akan membiarkan kau meninggalkanku lagi. Ke mana kau pergi aku akan selalu mendampingimu!”
“Seharusnya memang begitu! Sekarang loloskan pakaianmu. Aku sudah tak tahan! Lekasss…!”
DUA MANUSIA itu benar-benar telah dirasuk setan laknat terkutuk. Lelaki yang bergegas membuka pakaiannya bukan lain adalah Ki Kamandoko, orang sakti yang lebih tepat disebut sebagai juru guna-guna. Dialah yang telah memberikan Tombak Api kepada Sumitri setelah terlebih dahulu diisi dengan guna-guna yang membuat gadis itu lupa diri dalam rangsangan nafsu bejat setiap dia mempergunakan Tombak Api dengan pengerahan tenaga dalam.
Ki Kamandoko bertubuh kurus, berkepala lonjong dan sulah. Usianya hampir mencapai enam puluh tahunan. Untuk menutupi kesalahannya itu dia memakai rambut palsu berwarna hitam campur kelabu. Manusia cabul ini sudah siap menanggalkan celana hitamnya ketika tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat di belakangnya dan, buk! Satu tendangan keras menghantam pinggulnya. Orang ini menjerit keras dan mencelat mental. Di saat yang sama terdengar pekik perempuan.
“Guru!”
Seseorang jatuhkan diri menubruk mayat hangus Resi Tambak Kebo Kenanga. Menyusul terdengar suara isak tangis. Tangis Simanti.
Sementara Ki Kamandoko berusaha bangkit dengan kesakitan karena pinggulnya memar dan ada bagian tulang yang remuk, Dewi Tombak Api sudah melompat tegak dan memandang berkeliling dengan beringas. Sepasang matanya berkilat-kilat memandang ke arah Wiro Sableng yang tegak berkacak pinggang. Dialah tadi yang menendang Ki Kamandoko.
“Kau…,” seru Sumitri alias Dewi Tombak Api. Suaranya keras tapi tak ada perasaan marah. “Kau… kau datang tepat pada waktu aku membutuhkan seorang lelaki. Dibandingkan dengan kambing tua itu, aku memilih dirimu. Aku masih ingat, namamu Wiro Sableng bukan? Wiro bawa aku, dukung dan peluk diriku…” Lalu Dewi Tombak Api melangkah cepat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng seraya ulurkan tangan hendak merangkul sang pendekar.
“Dewiku kekasihku… Jangan kau lupakan diriku!” terdengar suara Ki Kamandoko. “Aku satu-satunya kekasihmu untuk bersenang-senang!”
Dewi Tombak Api berpaling sesaat pada lelaki berkepala sulah itu lalu mendengus. “Kambing botak tak tahu diri! Kalau ada yang lebih muda masakan aku memilih dirimu! Lekas minggat dari sini! Jangan ganggu kesenanganku!”
Dihina dan dilecehkan begitu rupa membuat Ki Kamandoko menjadi marah. “Kau yang tak tahu diri Sumitri!” bentaknya. “Kau akan menyesal berani memperlakukan aku seperti itu! Lihat padaku!”
“Siapa sudi melihat tampangmu!” teriak Sumitri. Tapi tak sengaja kedua matanya sempat beradu pandang dengan juru guna-guna itu.
“Jangan lihat matanya!” berteriak Wiro. Namun terlambat!
Satu kilapan cahaya memantul di kedua bola mata Ki Kamandoko. Pantulan ini jatuh di atas kedua mata Sumitri. Dan yang kini dilihat Sumitri bukan lagi seorang lelaki tua berambut palsu dan bertubuh kerempeng, melainkan seorang pemuda berparas cakap dan berpakaian seperti pangeran.
“Kau… kau! Belum pernah aku melihat pemuda segagahmu. Aku menyerahkan diriku padamu…”
Begitu Sumitri melangkah mendekati Ki Kamandoko, Pendekar 212 cepat melompat dan menghalangi jalannya.
“Pemuda jembel! Apa yang hendak kau lakukan? Mencari mati berani menghalangiku?!” bentak Dewi Tombak Api.
Wiro menjawab dengan satu gerakan kilat. Menotok tubuh Dewi Tombak Api di bagian leher. Ditotok begitu rupa si gadis malah tertawa panjang. Di belakangnya Wiro mendengar Ki Kamandoko berkata, “Tak ada satu totokan pun di dunia ini yang mampu membuatnya tak berdaya!”
Wiro mendengar suara berdesir di belakangnya. Dia tahu kalau Ki Kamandoko menyerangnya. Dengan cepat Pendekar 212 berkelebat ke kiri lalu membalik sambil menghantam dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Satu gelombang angin laksana gundukan batu besar menggelinding menghantam ke arah Ki Kamandoko. Juru guna-guna ini menjadi kaget dan cepat menyingkir. Namun pada saat itu dari samping sesosok tubuh melompat sambil menghantam. Yang menyerbu adalah Simanti, adik seperguruan Dewi Tombak Api.
Ki Kamandoko memang memiliki ilmu gaib yang mendekati ilmu sihir dan pandai mengguna-guna. Sebaliknya dalam ilmu silat kemampuannya sangat rendah. Itu sebabnya tadi dengan mudah Wiro berhasil menendangnya. Ketika Simanti menghantam dari samping sementara dari depan sambaran angin pukulan Wiro membuat tubuhnya bergoncang keras, Ki Kamandoko tibatiba berteriak, “Masa kan kau hendak membunuh guru sendiri!”
Wiro tercengang heran sedang Simanti tersentak kaget ketika dilihatnya di hadapannya kini bukan Ki Kamandoko yang diserangnya melainkan gurunya sendiri, Resi Tambak Kebo Kenanga. Bukankah orang tua itu tadi memang telah mati? Dibunuh oleh Sumitri alias Dewi Tombak Api?
“Ilmu tenung keparat!” teriak Pendekar 212 yang segera menyadari apa yang terjadi. Dia kirimkan satu tendangan ke arah Resi Tambak Kebo Kenanga palsu itu. Namun dari samping ada lima jari tangan yang mencakar ke arah wajahnya. Mau tak mau Wiro batalkan serangannya terhadap Resi jejadian itu dan menghantam ke atas dengan tangan kanannya.
Bukk!
Lengan kanan Wiro beradu dengan lengan kanan Dewi Tombak Api. Sang Dewi terpekik seraya melompat mundur. Sebaliknya murid Sinto Gendeng terpelanting jatuh ke dinding candi.
“Astaga! Tenaga dalamnya tidak berada di bawahku!” ujar Wiro dalam hati. “Kalau aku tidak segera menghantam dengan pukulan Sinar Matahari urusan bisa berabe!”
Maka Pendekar 212 segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dalam waktu sekejapan tangan itu berubah menjadi seputih perak dan menyala berkilauan. Hawa panas terasa menghampar di tempat itu!
Ketika melihat perubahan warna lengan kanan Wiro Sableng, Dewi Tombak Api yang sebelumnya sudah merasakan kehebatan pukulan sakti itu bahkan sampai terluka di sebelah dalam, tanpa menunggu lebih lama segera keluarkan senjata andalannya yaitu Tombak Api yang memancarkan warna merah membara!
Di bagian lain Simanti yang telah sadar siapa sebenarnya yang tengah dihadapinya menempur habishabisan Ki Kamandoko yang saat itu masih merupakan dirinya sebagai Resi Tambak Kebo Kenanga. Karena ilmu silatnya memang rendah maka dua jurus saja manusia bejat ini telah terdesak hebat. Tapi dasar manusia licik, di saat nyawanya terancam begitu rupa dia segera merapal jampi-jampi lalu meniup ke depan.
Simanti mendadak mencium bau harum semerbak. Memandang berkeliling didapatinya dirinya berada di sebuah taman pada suatu lereng bukit yang indah pemandangannya. Seorang pemuda berwajah cakap dilihatnya duduk di atas punggung seekor kuda putih dan melambai ke arahnya. Simanti tidak pernah melihat pemuda itu sebelumnya. Tapi wajah yang memikat dan lambaian tangan yang memanggil membuatnya melangkah mendekati. Inilah bahaya besar yang tidak disadari oleh Simanti sementara Pendekar 212 Wiro Sableng tengah menghadapi Sumitri dengan Tombak Apinya.
Simanti maju satu langkah, dua langkah… semakin dekat dengan pemuda di atas kuda itu. Ketika hanya tinggal dua langkah saja lagi, pemuda di atas kuda ulurkan kedua tangannya. Sikapnya seperti hendak membantu Simanti naik ke atas kuda. Tapi tahu-tahu dua tangan itu bergerak mencekik ke arah leher. Justru di saat itu pulalah si gadis tersadar.
“Taman yang indah, lereng bukit yang permai… Kuda putih dan pemuda yang gagah. Eh… Bermimpi atau bagaimanakah aku ini…?” Simanti gigit bibirnya sendiri sampai berdarah dan serta merta sadar pada saat sepuluh jari tangan mencengkeram batang lehernya dan pemuda di atas kuda itu dilihatnya mendadak berubah ke bentuk asalnya, menjadi Ki Kamandoko!
“Bangsat! Kau hendak menipuku dengan ilmu busukmu!” teriak Simanti. Dua tangannya segera menangkap lengan Ki Kamandoko. Sekali dia menarik maka tertariklah tubuh Ki Kamandoko. Begitu orang tua itu terangkat dari atas punggung kuda, Simanti membantingkannya keras-keras ke arca besar di sudut reruntuhan candi!
Ki Kamandoko menjerit setinggi langit. Bahu kanannya yang beradu dengan arca batu remuk dan sakitnya bukan kepalang. Begitu tubuhnya melosoh ke bawah, dari sebuah kantong dia mengeluarkan sejenis bubuk dan menebarkannya di hadapan Simanti sementara mulutnya berkomat-kamit.
Murid almarhum Resi Tambak Kebo Kenanga itu merasakan satu keanehan terjadi atas dirinya. Kepalanya terasa seperti membesar dan tubuhnya seperti mengapung naik ke udara. Di depannya dilihatnya Ki Kamandoko berusaha tegak sambil bersandar pada arca lalu mengangkat tangannya dan berseru! “Katakan namamu!”
“Namaku Simanti…” Sang dara yang sudah berada dalam kekuasaan tenung Ki Kamandoko menjawab. “Bagus! Sekarang cekik lehermu sendiri! Lakukan!”
Simanti angkat kedua tangannya. Lima jarinya mencengkeram di tenggorokannya. Dia mulai mencekik lehernya sendiri! Gila!
“Cekik lebih keras! Lebih kencang!” teriak Ki Kamandoko. Dan Simanti melakukan apa yang diperintahkan orang itu. Jari-jarinya mencekik makin kencang, makin keras. Lidahnya mulai terjulur dan kedua matanya membeliak.
“Terus… Cekik terus!” teriak Ki Kamandoko.
Nafas Simanti menyengal. Dadanya sesak seperti mau pecah. Sesaat lagi cekikannya sendiri akan menamatkan riwayatnya tiba-tiba terdengar suara letusan keras. Di udara berkiblat sinar putih menyilaukan, baku hantam dengan lidah api yang menjilat menggebu. Dua kekuatan sakti yang sama-sama bersumber pada hawa panas saling labrak. Bumi laksana kiamat. Empat sosok tubuh berpelantingan. Sebatang pohon tenggelam dalam kobaran api. Dua lainnya hangus bersama semak belukar yang ada di sekitarnya. Di tanah ada sebuah lobang besar berwarna hitam!
Dari dalam lobang Dewi Tombak Api merangkak keluar. Tubuhnya yang nyaris tanpa pakaian itu terlihat lecet di beberapa bagian. Senjatanya, Tombak Api itu, tampak masih tergenggam di tangan kanannya. Dalam tubuhnya telah menggunung nafsu kotor yang menggelegak seolah membakar tubuhnya dan harus segera dilampiaskan. Keadaannya benar-benar parah yang tak dapat dikendalikan lagi akibat telah beberapa kali setelah dia mengerahkan tenaga dalam menghantam dengan senjata pangkal bahala yang diisi dengan guna-guna itu. Dia merangkak dan mengerang, bergerak ke arah sosok tubuh Pendekar 212 yang saat itu terkapar di depan tangga candi. Sebagian dari baju putihnya tampak hangus terbakar akibat sambaran lidah api yang mencuat keluar dari Tombak Api. Lengan kanan dan bahu serta sebagian sisinya tampak merah terkelupas.
Ternyata pukulan Sinar Matahari tidak sanggup menangkis hantaman lidah api senjata Sumitri. Wiro juga keluarkan suara mengerang.
Seumur hidupnya baru kali itu dia mengalami cidera begitu rupa. Tubuhnya terasa panas seperti dipanggang. Ketika dilihatnya Dewi Tombak Api melangkah ke arahnya, dia gerakkan tangan kanan untuk mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi astaga! Tangan itu terasa berat, sulit untuk digerakkan, apalagi mencabut senjatanya.
“Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Senjata gadis iblis itu benar-benar luar biasa…!”
Wiro lalu buru-buru pergunakan tangan kiri untuk mencabut senjata mustikanya. Gila!
Tangan yang satu ini pun terasa berat. Dia kerahkan seluruh tenaga, menghimpun tenaga dalam. Perlahan sekali tangan kiri itu berhasil digerakkannya. Namun sebelum dia sempat menyentuh Kapak Naga Geni 212, Dewi Tombak Api sampai di tempatnya menggeletak dan langsung menindihnya!
Ki Kamandoko bertubuh kurus, berkepala lonjong dan sulah. Usianya hampir mencapai enam puluh tahunan. Untuk menutupi kesalahannya itu dia memakai rambut palsu berwarna hitam campur kelabu. Manusia cabul ini sudah siap menanggalkan celana hitamnya ketika tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat di belakangnya dan, buk! Satu tendangan keras menghantam pinggulnya. Orang ini menjerit keras dan mencelat mental. Di saat yang sama terdengar pekik perempuan.
“Guru!”
Seseorang jatuhkan diri menubruk mayat hangus Resi Tambak Kebo Kenanga. Menyusul terdengar suara isak tangis. Tangis Simanti.
Sementara Ki Kamandoko berusaha bangkit dengan kesakitan karena pinggulnya memar dan ada bagian tulang yang remuk, Dewi Tombak Api sudah melompat tegak dan memandang berkeliling dengan beringas. Sepasang matanya berkilat-kilat memandang ke arah Wiro Sableng yang tegak berkacak pinggang. Dialah tadi yang menendang Ki Kamandoko.
“Kau…,” seru Sumitri alias Dewi Tombak Api. Suaranya keras tapi tak ada perasaan marah. “Kau… kau datang tepat pada waktu aku membutuhkan seorang lelaki. Dibandingkan dengan kambing tua itu, aku memilih dirimu. Aku masih ingat, namamu Wiro Sableng bukan? Wiro bawa aku, dukung dan peluk diriku…” Lalu Dewi Tombak Api melangkah cepat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng seraya ulurkan tangan hendak merangkul sang pendekar.
“Dewiku kekasihku… Jangan kau lupakan diriku!” terdengar suara Ki Kamandoko. “Aku satu-satunya kekasihmu untuk bersenang-senang!”
Dewi Tombak Api berpaling sesaat pada lelaki berkepala sulah itu lalu mendengus. “Kambing botak tak tahu diri! Kalau ada yang lebih muda masakan aku memilih dirimu! Lekas minggat dari sini! Jangan ganggu kesenanganku!”
Dihina dan dilecehkan begitu rupa membuat Ki Kamandoko menjadi marah. “Kau yang tak tahu diri Sumitri!” bentaknya. “Kau akan menyesal berani memperlakukan aku seperti itu! Lihat padaku!”
“Siapa sudi melihat tampangmu!” teriak Sumitri. Tapi tak sengaja kedua matanya sempat beradu pandang dengan juru guna-guna itu.
“Jangan lihat matanya!” berteriak Wiro. Namun terlambat!
Satu kilapan cahaya memantul di kedua bola mata Ki Kamandoko. Pantulan ini jatuh di atas kedua mata Sumitri. Dan yang kini dilihat Sumitri bukan lagi seorang lelaki tua berambut palsu dan bertubuh kerempeng, melainkan seorang pemuda berparas cakap dan berpakaian seperti pangeran.
“Kau… kau! Belum pernah aku melihat pemuda segagahmu. Aku menyerahkan diriku padamu…”
Begitu Sumitri melangkah mendekati Ki Kamandoko, Pendekar 212 cepat melompat dan menghalangi jalannya.
“Pemuda jembel! Apa yang hendak kau lakukan? Mencari mati berani menghalangiku?!” bentak Dewi Tombak Api.
Wiro menjawab dengan satu gerakan kilat. Menotok tubuh Dewi Tombak Api di bagian leher. Ditotok begitu rupa si gadis malah tertawa panjang. Di belakangnya Wiro mendengar Ki Kamandoko berkata, “Tak ada satu totokan pun di dunia ini yang mampu membuatnya tak berdaya!”
Wiro mendengar suara berdesir di belakangnya. Dia tahu kalau Ki Kamandoko menyerangnya. Dengan cepat Pendekar 212 berkelebat ke kiri lalu membalik sambil menghantam dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Satu gelombang angin laksana gundukan batu besar menggelinding menghantam ke arah Ki Kamandoko. Juru guna-guna ini menjadi kaget dan cepat menyingkir. Namun pada saat itu dari samping sesosok tubuh melompat sambil menghantam. Yang menyerbu adalah Simanti, adik seperguruan Dewi Tombak Api.
Ki Kamandoko memang memiliki ilmu gaib yang mendekati ilmu sihir dan pandai mengguna-guna. Sebaliknya dalam ilmu silat kemampuannya sangat rendah. Itu sebabnya tadi dengan mudah Wiro berhasil menendangnya. Ketika Simanti menghantam dari samping sementara dari depan sambaran angin pukulan Wiro membuat tubuhnya bergoncang keras, Ki Kamandoko tibatiba berteriak, “Masa kan kau hendak membunuh guru sendiri!”
Wiro tercengang heran sedang Simanti tersentak kaget ketika dilihatnya di hadapannya kini bukan Ki Kamandoko yang diserangnya melainkan gurunya sendiri, Resi Tambak Kebo Kenanga. Bukankah orang tua itu tadi memang telah mati? Dibunuh oleh Sumitri alias Dewi Tombak Api?
“Ilmu tenung keparat!” teriak Pendekar 212 yang segera menyadari apa yang terjadi. Dia kirimkan satu tendangan ke arah Resi Tambak Kebo Kenanga palsu itu. Namun dari samping ada lima jari tangan yang mencakar ke arah wajahnya. Mau tak mau Wiro batalkan serangannya terhadap Resi jejadian itu dan menghantam ke atas dengan tangan kanannya.
Bukk!
Lengan kanan Wiro beradu dengan lengan kanan Dewi Tombak Api. Sang Dewi terpekik seraya melompat mundur. Sebaliknya murid Sinto Gendeng terpelanting jatuh ke dinding candi.
“Astaga! Tenaga dalamnya tidak berada di bawahku!” ujar Wiro dalam hati. “Kalau aku tidak segera menghantam dengan pukulan Sinar Matahari urusan bisa berabe!”
Maka Pendekar 212 segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dalam waktu sekejapan tangan itu berubah menjadi seputih perak dan menyala berkilauan. Hawa panas terasa menghampar di tempat itu!
Ketika melihat perubahan warna lengan kanan Wiro Sableng, Dewi Tombak Api yang sebelumnya sudah merasakan kehebatan pukulan sakti itu bahkan sampai terluka di sebelah dalam, tanpa menunggu lebih lama segera keluarkan senjata andalannya yaitu Tombak Api yang memancarkan warna merah membara!
Di bagian lain Simanti yang telah sadar siapa sebenarnya yang tengah dihadapinya menempur habishabisan Ki Kamandoko yang saat itu masih merupakan dirinya sebagai Resi Tambak Kebo Kenanga. Karena ilmu silatnya memang rendah maka dua jurus saja manusia bejat ini telah terdesak hebat. Tapi dasar manusia licik, di saat nyawanya terancam begitu rupa dia segera merapal jampi-jampi lalu meniup ke depan.
Simanti mendadak mencium bau harum semerbak. Memandang berkeliling didapatinya dirinya berada di sebuah taman pada suatu lereng bukit yang indah pemandangannya. Seorang pemuda berwajah cakap dilihatnya duduk di atas punggung seekor kuda putih dan melambai ke arahnya. Simanti tidak pernah melihat pemuda itu sebelumnya. Tapi wajah yang memikat dan lambaian tangan yang memanggil membuatnya melangkah mendekati. Inilah bahaya besar yang tidak disadari oleh Simanti sementara Pendekar 212 Wiro Sableng tengah menghadapi Sumitri dengan Tombak Apinya.
Simanti maju satu langkah, dua langkah… semakin dekat dengan pemuda di atas kuda itu. Ketika hanya tinggal dua langkah saja lagi, pemuda di atas kuda ulurkan kedua tangannya. Sikapnya seperti hendak membantu Simanti naik ke atas kuda. Tapi tahu-tahu dua tangan itu bergerak mencekik ke arah leher. Justru di saat itu pulalah si gadis tersadar.
“Taman yang indah, lereng bukit yang permai… Kuda putih dan pemuda yang gagah. Eh… Bermimpi atau bagaimanakah aku ini…?” Simanti gigit bibirnya sendiri sampai berdarah dan serta merta sadar pada saat sepuluh jari tangan mencengkeram batang lehernya dan pemuda di atas kuda itu dilihatnya mendadak berubah ke bentuk asalnya, menjadi Ki Kamandoko!
“Bangsat! Kau hendak menipuku dengan ilmu busukmu!” teriak Simanti. Dua tangannya segera menangkap lengan Ki Kamandoko. Sekali dia menarik maka tertariklah tubuh Ki Kamandoko. Begitu orang tua itu terangkat dari atas punggung kuda, Simanti membantingkannya keras-keras ke arca besar di sudut reruntuhan candi!
Ki Kamandoko menjerit setinggi langit. Bahu kanannya yang beradu dengan arca batu remuk dan sakitnya bukan kepalang. Begitu tubuhnya melosoh ke bawah, dari sebuah kantong dia mengeluarkan sejenis bubuk dan menebarkannya di hadapan Simanti sementara mulutnya berkomat-kamit.
Murid almarhum Resi Tambak Kebo Kenanga itu merasakan satu keanehan terjadi atas dirinya. Kepalanya terasa seperti membesar dan tubuhnya seperti mengapung naik ke udara. Di depannya dilihatnya Ki Kamandoko berusaha tegak sambil bersandar pada arca lalu mengangkat tangannya dan berseru! “Katakan namamu!”
“Namaku Simanti…” Sang dara yang sudah berada dalam kekuasaan tenung Ki Kamandoko menjawab. “Bagus! Sekarang cekik lehermu sendiri! Lakukan!”
Simanti angkat kedua tangannya. Lima jarinya mencengkeram di tenggorokannya. Dia mulai mencekik lehernya sendiri! Gila!
“Cekik lebih keras! Lebih kencang!” teriak Ki Kamandoko. Dan Simanti melakukan apa yang diperintahkan orang itu. Jari-jarinya mencekik makin kencang, makin keras. Lidahnya mulai terjulur dan kedua matanya membeliak.
“Terus… Cekik terus!” teriak Ki Kamandoko.
Nafas Simanti menyengal. Dadanya sesak seperti mau pecah. Sesaat lagi cekikannya sendiri akan menamatkan riwayatnya tiba-tiba terdengar suara letusan keras. Di udara berkiblat sinar putih menyilaukan, baku hantam dengan lidah api yang menjilat menggebu. Dua kekuatan sakti yang sama-sama bersumber pada hawa panas saling labrak. Bumi laksana kiamat. Empat sosok tubuh berpelantingan. Sebatang pohon tenggelam dalam kobaran api. Dua lainnya hangus bersama semak belukar yang ada di sekitarnya. Di tanah ada sebuah lobang besar berwarna hitam!
Dari dalam lobang Dewi Tombak Api merangkak keluar. Tubuhnya yang nyaris tanpa pakaian itu terlihat lecet di beberapa bagian. Senjatanya, Tombak Api itu, tampak masih tergenggam di tangan kanannya. Dalam tubuhnya telah menggunung nafsu kotor yang menggelegak seolah membakar tubuhnya dan harus segera dilampiaskan. Keadaannya benar-benar parah yang tak dapat dikendalikan lagi akibat telah beberapa kali setelah dia mengerahkan tenaga dalam menghantam dengan senjata pangkal bahala yang diisi dengan guna-guna itu. Dia merangkak dan mengerang, bergerak ke arah sosok tubuh Pendekar 212 yang saat itu terkapar di depan tangga candi. Sebagian dari baju putihnya tampak hangus terbakar akibat sambaran lidah api yang mencuat keluar dari Tombak Api. Lengan kanan dan bahu serta sebagian sisinya tampak merah terkelupas.
Ternyata pukulan Sinar Matahari tidak sanggup menangkis hantaman lidah api senjata Sumitri. Wiro juga keluarkan suara mengerang.
Seumur hidupnya baru kali itu dia mengalami cidera begitu rupa. Tubuhnya terasa panas seperti dipanggang. Ketika dilihatnya Dewi Tombak Api melangkah ke arahnya, dia gerakkan tangan kanan untuk mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi astaga! Tangan itu terasa berat, sulit untuk digerakkan, apalagi mencabut senjatanya.
“Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Senjata gadis iblis itu benar-benar luar biasa…!”
Wiro lalu buru-buru pergunakan tangan kiri untuk mencabut senjata mustikanya. Gila!
Tangan yang satu ini pun terasa berat. Dia kerahkan seluruh tenaga, menghimpun tenaga dalam. Perlahan sekali tangan kiri itu berhasil digerakkannya. Namun sebelum dia sempat menyentuh Kapak Naga Geni 212, Dewi Tombak Api sampai di tempatnya menggeletak dan langsung menindihnya!
KITA tinggalkan dulu Pendekar 212 dan Dewi Tombak Api. Mari kita lihat apa yang terjadi dengan Simanti serta Ki Kamandoko. Ketika pukulan Sinar Matahari dan lidah api Tombak Api saling beradu dahsyat, Simanti yang tengah mencekik dirinya sendiri di luar sadar akibat tenung Ki Kamandoko, terlempar tiga tombak dan terguling sampai di halaman reruntuhan candi. Kepalanya menghantam akar sebatang pohon dan saat itu tenung yang menguasai dirinya buyar. Dengan terhuyung-huyung gadis ini coba berdiri. Matanya memandang liar. Yang pertama sekali dicarinya adalah lelaki tua berkepala sulah itu.
Saat itu Ki Kamandoko sendiri berada dalam keadaan hancur-hancuran. Pinggulnya remuk dihantam tendangan Wiro sedang bahu kanannya hancur. Ledakan keras membuat tubuhnya terlempar ke udara dan ketika jatuh tubuhnya jatuh melintang di atas tembok pagar candi. Rambut palsunya mental entah ke mana. Dia tak kuasa berbuat apa-apa karena tulang punggungnya patah. Sakitnya bukan kepalang. Saat itu dilihatnya Simanti melangkah mendekati dengan kedua tangan terkepal. Ki Kamandoko segera merajai jampi-jampi. Namun rasa sakit yang tidak tertahankan membuat bacaannya menjadi kacau! Apa yang diharapkannya dari jampi tenungan itu tidak kesampaian.
Simanti tarik leher baju Ki Kamandoko. “Manusia terkutuk! Lekas kau berikan obat pemunah nafsu bejat! Kau harus menyembuhkan kakak seperguruanku! Kalau tidak kupecahkan batok kepalamu!”
Simanti angkat tinju kanannya tinggi-tinggi, siap mengepruk batok kepala Ki Kamandoko yang botak.
“Aku tidak takut mati…,” jawab Ki Kamadoko. “Tapi nafsu zinah yang ada dalam tubuh gadis itu tak ada pemunahnya, tak ada penangkalnya!”
“Jangan dusta!” kertak Simanti. Lalu tangan kanannya menghantam dada Ki Kamandoko. Orang tua ini mengeluarkan suara seperti muntah. Dua tulang iganya patah.
“Kau mau memberikan obat itu atau tidak!” kembali Simanti mengancam sambil angkat lagi tangan kanannya.
“Sumpah! Aku tidak dusta! Nafsu itu tidak akan muncul kalau Tombak api dijauhkan dari dirinya…”
“Tapi saat ini kakakku itu tengah tersiksa oleh dorongan nafsu keji akibat guna-gunamu!”
“Rangsangan yang ada dalam dirinya akan lenyap sendiri setelah tiga hari…”
“Tiga hari katamu?! Gila!”
Plaaak! Plaak!
Tamparan Simanti melayang pulang balik. Ki Kamandoko hanya bisa menggereng. Dua giginya rontok dan bibirnya pecah akibat tamparan tadi.
“Kau telah menghancurkan hidupnya! Kau harus kuhajar sampai mati! Karena ulahmu juga guru menemui ajal di tangan murid sendiri!” Sambil menjerit panjang dan keras Simanti hantamkan jotosan kiri kanan ke kepala, muka dan dada serta perut Ki Kamandoko. Ki Kamandoko hanya sempat menyerit satu kali ketika jotosan pertama Simanti menghancurkan mata kirinya. Pukulan kedua bersarang tepat di dada kiri, membuat pecah jantungnya. Pukulan-pukulan berikutnya tak pernah dirasakan Ki Kamandoko karena ketika jantungnya pecah, nyawanya melayang sudah! Simanti menghujani tubuh tak bernyawa itu dengan segala dendam kebencian. Dia baru berhenti ketika kedua tangannya terasa kaku dan lututnya goyah, ketika tembok di mana mayat Ki Kamandoko terbadai runtuh. Perlahan-lahan Simanti jatuh berlutut lalu terduduk bersimpuh dan mulai menangis.
Kita kembali pada Dewi Tombak Api. Dengan merangkak dia berhasil keluar dari lobang, lalu bergerak mendekati sosok tubuh Pendekar 212 yang saat itu penuh lecet dan luka akibat jilatan lidah api yang menyambar dari Tombak Api dan berada dalam keadaan tak berdaya karena anggota tubuhnya yaitu tangan dan kaki sulit untuk digerakkan.
Dalam keadaan seperti itulah Wiro kemudian dapatkan dirinya telah ditindih oleh tubuh Dewi Tombak Api.
“Apa yang ingin kau lakukan…?” desis Wiro. Dadanya menggemuruh berusaha menahan rangsangan yang bagaimanapun sebagai manusia normal tak bisa dihindarinya. Dewi Tombak Api angkat tangan kanannya yang memegang Tombak Api. Wiro kumpulkan tenaga untuk dapat bergerak karena dia merasa pasti si gadis akan membunuhnya dengan senjata dahsyat di tangannya itu!
Saat itu Ki Kamandoko sendiri berada dalam keadaan hancur-hancuran. Pinggulnya remuk dihantam tendangan Wiro sedang bahu kanannya hancur. Ledakan keras membuat tubuhnya terlempar ke udara dan ketika jatuh tubuhnya jatuh melintang di atas tembok pagar candi. Rambut palsunya mental entah ke mana. Dia tak kuasa berbuat apa-apa karena tulang punggungnya patah. Sakitnya bukan kepalang. Saat itu dilihatnya Simanti melangkah mendekati dengan kedua tangan terkepal. Ki Kamandoko segera merajai jampi-jampi. Namun rasa sakit yang tidak tertahankan membuat bacaannya menjadi kacau! Apa yang diharapkannya dari jampi tenungan itu tidak kesampaian.
Simanti tarik leher baju Ki Kamandoko. “Manusia terkutuk! Lekas kau berikan obat pemunah nafsu bejat! Kau harus menyembuhkan kakak seperguruanku! Kalau tidak kupecahkan batok kepalamu!”
Simanti angkat tinju kanannya tinggi-tinggi, siap mengepruk batok kepala Ki Kamandoko yang botak.
“Aku tidak takut mati…,” jawab Ki Kamadoko. “Tapi nafsu zinah yang ada dalam tubuh gadis itu tak ada pemunahnya, tak ada penangkalnya!”
“Jangan dusta!” kertak Simanti. Lalu tangan kanannya menghantam dada Ki Kamandoko. Orang tua ini mengeluarkan suara seperti muntah. Dua tulang iganya patah.
“Kau mau memberikan obat itu atau tidak!” kembali Simanti mengancam sambil angkat lagi tangan kanannya.
“Sumpah! Aku tidak dusta! Nafsu itu tidak akan muncul kalau Tombak api dijauhkan dari dirinya…”
“Tapi saat ini kakakku itu tengah tersiksa oleh dorongan nafsu keji akibat guna-gunamu!”
“Rangsangan yang ada dalam dirinya akan lenyap sendiri setelah tiga hari…”
“Tiga hari katamu?! Gila!”
Plaaak! Plaak!
Tamparan Simanti melayang pulang balik. Ki Kamandoko hanya bisa menggereng. Dua giginya rontok dan bibirnya pecah akibat tamparan tadi.
“Kau telah menghancurkan hidupnya! Kau harus kuhajar sampai mati! Karena ulahmu juga guru menemui ajal di tangan murid sendiri!” Sambil menjerit panjang dan keras Simanti hantamkan jotosan kiri kanan ke kepala, muka dan dada serta perut Ki Kamandoko. Ki Kamandoko hanya sempat menyerit satu kali ketika jotosan pertama Simanti menghancurkan mata kirinya. Pukulan kedua bersarang tepat di dada kiri, membuat pecah jantungnya. Pukulan-pukulan berikutnya tak pernah dirasakan Ki Kamandoko karena ketika jantungnya pecah, nyawanya melayang sudah! Simanti menghujani tubuh tak bernyawa itu dengan segala dendam kebencian. Dia baru berhenti ketika kedua tangannya terasa kaku dan lututnya goyah, ketika tembok di mana mayat Ki Kamandoko terbadai runtuh. Perlahan-lahan Simanti jatuh berlutut lalu terduduk bersimpuh dan mulai menangis.
Kita kembali pada Dewi Tombak Api. Dengan merangkak dia berhasil keluar dari lobang, lalu bergerak mendekati sosok tubuh Pendekar 212 yang saat itu penuh lecet dan luka akibat jilatan lidah api yang menyambar dari Tombak Api dan berada dalam keadaan tak berdaya karena anggota tubuhnya yaitu tangan dan kaki sulit untuk digerakkan.
Dalam keadaan seperti itulah Wiro kemudian dapatkan dirinya telah ditindih oleh tubuh Dewi Tombak Api.
“Apa yang ingin kau lakukan…?” desis Wiro. Dadanya menggemuruh berusaha menahan rangsangan yang bagaimanapun sebagai manusia normal tak bisa dihindarinya. Dewi Tombak Api angkat tangan kanannya yang memegang Tombak Api. Wiro kumpulkan tenaga untuk dapat bergerak karena dia merasa pasti si gadis akan membunuhnya dengan senjata dahsyat di tangannya itu!
TAPI hal itu ternyata tidak terjadi. Dewi Tombak Api tidak pergunakan senjatanya untuk menusuk dan membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng. Nafasnya yang memburu dan hangat menerpa wajah Pendekar 212. Sepasang matanya yang berkilat-kilat liar mendadak menjadi sayu, menatap lurus-lurus ke dalam mata Wiro.
“Apa yang kau tunggu! Kenapa tidak lekas-lekas membunuhku…?” tanya Wiro.
“Aku akan mati… Kau akan mati… Kita akan samasama mati, Wiro…” bisik Dewi Tombak Api. “Selagi masih bisa bernafas mengapa kita tidak memilih mati dalam kenikmatan…?” Lalu wajahnya ditempelkan ke wajah Pendekar 212. Hidungnya menciumi kening, mata dan pipi pemuda itu. Bibirnya dikecupkan ke bibir Wiro dan Wiro dapat merasakan bahwa ludah Dewi Tombak Api telah bercampur darah tanda lukanya di sebelah dalam semakin parah.
“Kau tak mau memelukku Wiro… Kau tak mau merangkul dan menciumku…? Ah… Aku tahu, tangan dan kakimu tak bisa kau gerakkan. Aku akan tolong kau Wiro. Akan kupulihkan kekuatanmu asalkan kau mau berjanji…”
“Berjanji apa?”
Dewi Tombak Api tersenyum mesra. Kembali dia menciumi seluruh wajah Wiro. Perlahan-lahan Tombak Api ditempelkannya ke tangan kanan Wiro, lalu perlahan-lahan pula senjata itu diusapkannya mulai dari telapak tangan, terus ke lengan sampai ke bahu. Aneh! Begitu diusapkan Wiro kini bisa menggerakkan tangan kanan itu. Dewi Tombak Api terus saja tersenyum.
Kini tangan kiri Wiro yang diusapnya dengan Tombak Api. Hal yang sama terjadi seperti tangan kanan. Tangan kiri itu kini bisa digerakkan.
“Kakimu sekarang… Kakimu akan kubebaskan. Setelah itu berjanjilah kita akan bersenang-senang…” bisik Dewi Tombak Api.
Sewaktu kedua kakinya bebas dan bisa digerakkan kembali, niat semula hendak melemparkan tubuh Dewi Tombak Api mendadak sontak lenyap. Kebencian apapun yang ada dalam diri Pendekar 212 terhadap gadis itu sirna dan berganti dengan perasaan lain. Darahnya mengalir lebih cepat. Tubuhnya diserang oleh rangsangan aneh yang membuat Wiro merangkul dan balas mencium gadis yang ada di atasnya itu. Ketika Wiro hendak membalikkan tubuh Dewi Tombak Api tiba-tiba ada bayangan kuning berkelebat. Tombak Api yang ada di tangan kanan Dewi Tombak Api terbetot lepas. Terdengar seruan kaget sang dara lalu disusul oleh jeritannya yang keras. Lalu mengumandang suara tawa mengekeh.
Wiro yang ikut kaget segera gulingkan diri. Ada percikan darah membasahi pakaian putihnya!
“Puas…! Aku puas! Kematian sahabatku terbalas sudah! Mampus kau gadis cabul!” Wiro cepat berdiri dan berbalik.
Empat langkah di hadapannya tegak seorang nenek berpakaian serba kuning dan berwajah juga kuning. Dia bukan lain adalah salah seorang dari Sepasang Macan Kuning dari Merapi. Kawannya si kakek muka kuning menemui ajal di tangan Dewi Tombak Api beberapa waktu lalu.
Hanya satu langkah di hadapan si nenek tergeletak tubuh Dewi Tombak Api dalam keadaan tertelungkup. Tombak Api miliknya, yang selama ini menjadi senjata penimbul bala menancap di punggung kirinya. Si neneklah yang telah merampas senjata itu dari tangan Dewi Tombak Api lalu menusukkannya ke punggung si gadis sampai menembus jantung! Untuk beberapa lamanya nenek berwajah kuning ini masih tegak di tempat itu sambil mengekeh puas, tapi sepasang matanya kelihatan berkacakaca tanda dia ingat akan kematian sahabatnya.
“Aku puas… Aku puas…!” ujar si nenek berulang kali.
Lalu dia balikkan tubuh dan tinggalkan tempat itu. Wiropun beranjak dari tempatnya berdiri. Sesaat dipandanginya mayat Dewi Tombak Api. “Kasihan, kekejaman dunia merenggut nyawanya seperti ini…” kata Wiro dalam hati. Lalu dia ingat pada Simanti yang masih duduk bersimpuh dan menangis.
“Simanti…” bisik Wiro seraya membelai rambut gadis itu, “Sebentar lagi malam akan turun. Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini…”
Simanti usut air matanya, mengusap wajahnya beberapa kali lalu memandang pada Wiro dan perlahanlahan anggukkan kepala. Wiro membantu gadis ini berdiri. Sepasang mata Simanti menatap ke arah jenazah kakak seperguruannya. “Bagaimanapun jahatnya dirinya, dia tetap kakak seperguruanku. Jenazahnya harus aku urus. Juga jenazah guru. Dan Tombak Api yang menancap di tubuhnya itu… Kukira untuk beberapa lamanya masih diresapi kekuatan guna-guna terkutuk itu. Kita harus mengamankan senjata itu Wiro… Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Kalau sampai ada yang menemukan dan mempergunakannya, apa yang dialami Sumitri akan terulang kembali!”
Wiro mengangguk dan berkata, “Kita kuburkan saja dia bersama senjata itu. Di dekat sini pasti ada kampung atau desa. Kita minta bantuan penduduk setempat untuk menggali dua lobang lahat. Satu untuk gurumu, satu lagi untuk Sumitri…”
Simanti tak menjawab. Ketika Wiro menarik lengannya dia melangkah mengikuti. Di sebelah barat sang surya telah masuk ke titik tenggelamnya. Langit yang baru disaput cahaya merah kekuningan kini berangsur-angsur menjadi gelap menghitam. Daerah sekitar reruntuhan candi itu tenggelam dalam kesunyian. Lapat-lapat mulai terdengar suara burung hantu di kejauhan.
Kedua orang itu melangkah melewati reruntuhan tembok candi di mana terkapar mayat Ki Kamandoko. Ketika berlalu satu langkah tiba-tiba sosok tubuh yang sudah jadi mayat itu bergerak bangkit! Satu hal yang tak dapat dipercaya. Ternyata sewaktu sosok tubuh Ki Kamandoko jatuh terbanting di atas tembok, manusia ini telah lebih dahulu melakukan tenung. Sosok tubuh yang ada di atas tembok hanya sosok jejadian belaka sedang dirinya yang sebenarnya berada beberapa langkah dari situ! Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Simanti, apalagi oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dengan susah payah Ki Kamandoko berlari ke arah mayat Sumitri lalu mencabut Tombak Api yang menancap di tubuh gadis itu. Begitu senjata tersebut berada dalam genggamanya dengan cepat dihantamkannya ke arah Pendekar 212 dan Simanti yang tengah berjalan membelakangi.
Namun telinga Pendekar 212 tak dapat ditipu. Ketika Ki Kamandoko berlari ke arah mayat Sumitri, Wiro telah menangkap suara langkah-langkah juru tenung dan ahli guna-guna itu. Dia membalikkan tubuh tepat pada saat Tombak Api mencuatkan lidah api mengerikan ke arahnya. Simanti terpekik. Wiro tersentak kaget tapi masih bisa menguasai diri dan cabut Kapak Maut Naga Geni 212.
Wusss!
Lidah api menderu. Kapak Naga Geni 212 membabat di udara. Suara seperti ribuan tawon mengamuk menggelegar dan sinar putih panas menyilaukan berkiblat. Sinar putih yang keluar dari kapak sakti serta sinar merah lidah api yang keluar dari Tombak Api saling tabrak. Dentuman dahsyat menggoncangkan tanah seperti membelah langit. Lidah api tampak buyar bermuncratan begitu dihantam sinar Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro dan Simanti terbanting roboh ke tanah. Ketika lidah api dan sinar putih lenyap, sepuluh langkah di hadapan Wiro dan Simanti tampak menggeletak sosok tubuh Ki Kamandoko hangus menghitam, termasuk Tombak Api yang masih tergenggam di tangan kanannya.
“Wiro… Aku takut…,” bisik Simanti di antara isakan.
“Semua sudah berakhir kini.” balas berbisik Wiro. Dia berdiri diikuti oleh Simanti.
Tiba-tiba gadis ini menjerit.
“Wiro! Lihat!”
Wiro memandang ke tiga arah yang ditunjuk Simanti. Di situ dilihatnya sosok tubuh Resi Tambak Kebo Kenanga dan Dewi Tombak Api alias Sumitri juga telah berubah menjadi mayat hangus akibat terkena hantaman sinar Kapak Maut Naga Geni 212 dan lidah api yang saling bertabrakan di udara.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar