Rabu, 14 Maret 2012

ETNIS CHINA DALAM PERJALANAN SEJARAH INDONESIA

posted by: Dunia Andromeda

Untuk memahami hubungan social antara etnik Cina dan etnik lainnya di Indonesia. Ada baiknya kita mengkaji masalah social kemasyarakatan dengan sedikit melihat dari pendekatan sejarah, agar kita, dalam mengisi kemerdekaan, tidak terpola dengan perilaku mental imperialism yang suka mengadu domba untuk kepentingan kelangsungan kekuasaan imperialis di Negara bekas jajahannya. Karena sejarah adalah cermin terbaik kehidupan.

Etnik Cina dan etnik lainya di Indonesia, sebenarnya memiliki hubungan idiologis, sosiologis dan histories yang kental. Pertama, nenek moyang kita berasal dari negeri yang sama, Mongolia. Kedua, Indonesia dan Cina adalah dua Negara yang dalam sejarah sama, sebagai Negara bekas jajahan. Lebih dari itu, dalam konteks sejarah Islam, Negara Cina bahkan menjadi Negara yang lebih dahulu memeluk ajaran Islam dibanding Indonesia. Islam masuk daratan Cina pada abad ke VI, sedangkan Islam masuk ke Indonesia pada abad ke VII.

Islam masuk Indonesia selain dibawa oleh Ulama Arab, Iran, Gujarat - India juga dibawa oleh Ulama, saudagar dan militer muslim dari daratan Cina / Tiongkok. Tepatnya pada jaman dinasti Tai Tsung (Tahun 627-650 M) dengan diutusnya laksamana Cheng Ho atau dikenal dengan nama Laksamana Sam Pok Kong. Banyak tokoh-tokoh Cina yang tidak kecil andilnya dalam mengukir peradaban Nusantara Pra penjajahan dan atau semasa penjajahan. Antara lain, Wali Allah Sunan Ampel atau Raden Rahmat adalah putra Waliyulloh Maulana Malik Ibrahim dari istrinya seorang muslimah Cina yang berasal dari negeri Campa, berarti keturunan Cina dari garis keturunan Ibu. Ibu angkat Sunan Giri yang bernama Nyai Gede Pinatih atau Mi na ti, seorang muslimah keturunan Shih Chin Chih. 


Panglima angkatan perang Sunan Giri yang bernama Endroseno, juga muslim keturunan Cina. Pangeran Hadiri atau Sunan Mantingan adalah seorang tokoh muslim Cina yang hidup pada jaman Sunan Giri. Guru Sunan Kudus juga seorang ulama besar keturunan Cina yang bernama Syeikh The Ling Sing. Begitu juga dengan Sunan Fatahillah, waliyulloh yang mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak, beliau putra Majapahit yang bernama Pangeran Jin Boen dari perkawinan raja Brawijaya V dengan seorang putri Cina bernama Retno Sue Ban Cie. Pangeran Jin Boen karena ketaatannya pada ajaran Islam, oleh para wali direstui menjadi sultan dengan gelar Sultan Alam Akbar Al Fatah.

Pada generasi berikutnya, banyak dikenal tokoh-tokoh muslim dari keturunan Cina, seperti Prof. Dr. Tjan Tju Siem, Prof. Dr. Tjan Tju Som (mantan Dekan Fakultas Sastra UI dan guru besar luar biasa IAIN Sunan Kalijaga). H. Abdul Karim Oey (mantan anggota parlemen Kabinet Parlementer tahun 1957-1960). H. Yunus Yahya (anggota DPR periode AA Baramuli) dan banyak lagi yang lainnya.

Begitu juga di Negara Cina, Islam berkembang pesat. Sejak revolusi Cina pada jaman generasi Chiang Kai Sek tahun 1911 M. dan jaman Deng Xio Ping tahun 1978 M. Bahkan selain agama Negara nenek moyangnya, agama Islam jauh lebih pesat perkembangannya dibanding agama lainnya. Catatan majalah Arabia The Islamic Review, “Islam di Cina sekitar 60-100 juta per 1981 atau sepuluh persen dari jumlah rakyat Cina yang satu milyar. Di Negara Cina lebih dari 13.300 Mesjid berdiri. Hal ini jauh lebih banyak dibandingkan agama Kristen yang hanya 2 - 3 persen dari jumlah rakyat Cina”.

Kehadiran etnik Cina pada masa pra penjajahan tahun 1412-1500 masehi, warga Cina datang ke Indonesia dengan damai, turut memperkaya pluralistic etnik di Nusantara. Mereka hidup harmonis dan saling melengkapi. Tidak ada konflik eksplosif, tidak ada masalah Tionghoa, masalah pembauran, masalah peranakan, masalah Pri - Non Pri. Namun setelah datang penjajah Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang, muncul konflik antar penduduk dan antar etnik dengan adanya politik Devide et Impera. Sejak itu terjadi gap sosiologis, pshychologis, politik, ekonomi dan agama. Masyarakat dipecah belah menjadi tiga kelompok; Penduduk Eropa, Penduduk Timur Asing dan Masyarakat Pribumi.

Politik pecah belah tersebut dikembangkan dalam bentuk-bentuk doktrin penjajah. Konflik agama dipertajam, penjajah menggunakan sentiment agama bagi kepentingan politik kapitalis-kolonialis. Atas nama menjaga HAM dan Perdamaian dari konflik yang diciptakannya sendiri, penjajah memperkuat hegemoni kekuasaannya.

Penjajah menjadikan agama sebagai pembeda. Penjajah menanamkan doktrin bahwa eropa lebih hebat dari bangsa pribumi. Kemudian agama dipolitisir sebagai alat pemisah dan alat pemecah belah. Bahkan agama dijadikan pasfor hijau bagi siapapun yang ingin mendapat fasilitas serta perlakuan sebagai bangsa terhormat. Dan mencap penduduk pribumi sebagai bangsa yang hina.

Begitu juga pribumi yang bersedia kerjasama dengan penjajah akan diperlakukan dengan baik dan diberi kedudukan sebagai Demang atau Penguasa Kecil di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pribumi yang mau mengikuti kemauan penjajah, akan diberi fasilitas dan dilindungi sebagai tuan tanah.

Etnik Cina yang mengikuti kemauan penjajah, baik mengikuti agama maupun aturan main, diberi hak-hak istimewa untuk memonopoli penjualan candu, perantara jual beli antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Penduduk Pribumi. Mereka yang mengikuti aturan main penjajah diperankan sebagai pelaksana, sedangkan keuntungan tetap lebih banyak mengalir ke kas Pemerintah Hindia Belanda. Sejak itu, etnik Cina yang sebelumnya mayoritas muslim dan rukun dengan etnik lainnya di Indonesia, dalam kurun waktu 350 tahun Indonesia dijajah, menjadi sebaliknya sering menjadi korban politik konflik. (Kasus Malari 15 Januari 1974 dan Kerusuhan 21 Mei 1998, sebagai contoh, dikatakan korban karena kasus Malari tujuan sebenarnya memprotes hegemoni usaha Jepang di Indonesia, Kerusuhan 21 Mei 1998 dipicu oleh dampak hegemoni Bank Dunia, IMF dan eksploitasi ekonomi Indonesia terutama pengusaan sumber daya alam Indonesia oleh perusahaan asing).

Bahkan etnik Cina dan agama Kristen yang terus dianut hingga kini, merupakan instrument yang dijadikan komponen politik pecah belah oleh penjajah. Suatu penyakit sosiologis yang terus dihidupkan oleh politik imperialisme-kapitalisme di masa modern dengan tujuan, untuk melemahkan Negara-negara bekas jajahannya. Kondisi demikian dikembangkan baik langsung atau tidak langsung oleh Demang-demang modern tentunya dengan cara yang lebih canggih.

Berdasarkan fakta sejarah di atas, etnik Cina datang dalam harmoni social yang damai. Karenanya, tidak ada alasan bagi kita untuk sentiment atau berseteru dengan etnik Cina atau dengan antar etnik yang ada di Indonesia. Yang perlu kita sikapi (Kita = Etnik Cina dan Etnik lainnya di Indonesia), bagaimana kita merajut ukhuwah social ekonomi dalam perspektif kerukunan dan kebersamaan sebagai warga Negara Indonesia.

Kerusuhan, aksi masa, pemberontakan dan bentuk-bentuk diskriminasi social politik yang ada, tidak lebih disebabkan oleh adanya ketidak adilan di berbagai asfek kehidupan. Yaitu, out put dari perilaku social politik berbangsa yang selama ini keliru dan terkontaminasi oleh faham politik imperialis-kapitalis.


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...