posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : PETUALANGAN WIRO DINEGERI SAKURA/JEPANG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : PETUALANGAN WIRO DINEGERI SAKURA/JEPANG
SUARA siulan Pendekar 212 berhenti, berganti dengan decak penuh kagum. Saat itu dia berada di kaki Gunung Fuji, memandang gunung berketinggian lebih dari 11.000 kaki yang sebagian besar dikelilingi salju abadi.
Wiro rapatkan kerah baju tebalnya. Musim dingin segera berakhir namun di kaki gunung, udara seperti tidak mengalami perubahan walau matahari tampak terang benderang. Di sekelilingnya pohon-pohon Sakura bertebaran. Kebanyakan tertutup salju tipis.
Dari dalam saku baju Wiro keluarkan sebuah botol terbuat dari kaleng putih, lalu membuka tutupnya dan meneguk isinya.
Wajahnya yang tadi pucat, kini tampak kemerahan. “Kalau saja aku bisa dapatkan tuak, rasanya pasti lebih segar dari sake ini. Tapi masih untung masih ada sake dari pada tidak sama sekali, bisa mati kedinginan, Uhh…!”
Wiro masukan botol minuman ke sakunya. Ketika hendak meninggalkan tempat, langkahnya terhenti oleh suara kaki kuda. Wiro berpaling dan melihat seekor kuda coklat polos tak berapa jauh dari dirinya. Seekor binatang liar yang kesasar. Tapi ketika mendekat, ada pelana. Berarti dugaannya salah. Wiro dekati kuda coklat tadi. Langkahnya terhentak ketika melihat noda merah di pelana dan badan kuda. Ketika memperhatikan tanah, juga terdapat bercak merah. Bercak darah!
Pendekar 212 melangkah menuju arah darah di tanah. Noda itu lenyap di dekat serumpunan belukar basah. Dia kembali ke arah semula dan melacak darah dari arah kiri. Darah itu ternyata menuju ke arah Gunung Fuji yang menjadi tujuannya. Kuda itu masih menggesek-gesekan lehernya tapi tidak meringkik lagi. Wiro melangkah mendekati, usap-usap leher dan memperhatikan bercak darah di pelana. Wiro mengusap bercak di pelana lalu memperhatikan. Memang bercak darah.
Dengan dedaunan yang dipetik di sekitar situ, Wiro bersihkan noda darah, lalu dengan menepuk leher kuda, ia berujar, “Sobatku kau tentu sebelumnya membawa tuanmu yang terluka. Tapi entah di mana dia sekarang. Saat ini biar aku yang menjadi tuanmu. Antarkan aku ke Gunung Fuji,” setelah itu pendekar 212 langsung melompat ka atas pelana dan menuju ke arah timur.
Walaupun jalan mendaki dan licin, namun karena mengikuti jalan kecil yang sudah dibuat orang sebelumnya, kuda coklat itu mampu berlari cepat. Ketika matahari tepat berada di atas Wiro, ia telah berada ratusan kaki ke arah timur. Di sebuah ujung terlihat rumah kayu. Di serambinya yang luas tampak empat sosok tengah mengelilingi tubuh yang terbaring di lantai, berbantalkan kain tebal. Ketika mendengar suara kuda mendekati, keempat orang itu segera berpaling. Dua orang melompat, dan yang seorang berseru. “Pembunuh itu berani datang lagi!”
Dua orang menggerakkan tangannya ke punggung. Terdengar suara gemeresek hampir bersamaan.
Dua orang tadi sudah berada di halaman rumah yang tertutup salju tipis. Tangan keduanya sudah memegang sebilah katana (pedang panjang) yang berkemilau terkena sinar matahari.
Saat Wiro sampai di hadapan mereka, kedua orang itu sudah siap menyerang. Dua bilah pedang berkelebat. Pendekar 212 berseru lalu meloncat dari atas pelana kuda. Dua katana menderu, dan kuda coklat itu meringkik saat dua sabetan mengenai tubuh kuda. Darah mengucur dari leher dan tubuh kuda sambil terus menjauh menuju ka arah barat.
“Tunggu dulu!” seru Wiro ketika melihat dua pemuda sedang menghadang dan siap menyerangnya.
Kedua pemuda itu sesaat tampak ragu, tapi akhirnya mereka menghentikan langkah. Sesaat mereka saling berpandangan lalu memperhatikan Wiro penuh curiga. Sementara itu dari dalam rumah terdengar suara halus bergetar.
“Apa yang terjadi murid-muridku…?”
“Sensei! Kau tak boleh bicara. Kau terluka berat!” yang menjawab adalah seorang gadis berwajah bulat yang rambutnya dikuncir sebahu. Yang bertanya tadi adalah seorang tua dengan kimono biru gelap dan terbaring di lantai serambi. Bagian tubuhnya dibalut dengan kain tebal. Kain ini tampak basah oleh darah! Ternyata si orang tua sedang menderita luka cukup parah. Kedua orang yang dari tadi berada di sana sudah sadar jika yang dipanggil sensei itu sulit disembuhkan. Namun nyatanya masih bisa mengeluarkan suara.
“Aku bertanya apa yang terjadi Akiko…?”
Gadis bernama Akiko yang duduk sambil mengusapi kening gurunya yang terluka parah itu menahan nafas sesaat lalu dekatkan kepala ke telinga orang tua itu. “Salah seorang dari pembunuh itu datang lagi, sensei…”
“Pembunuh itu datang lagi katanya…? Tidak mungkin… Tidak mungkin Akiko!” Dengan mata yang masih tertutup, orang tua yang dipanggil dengan sebutan sensei ini berkata pada muridnya yang satu. “Ichiro, apa betul yang dikatakan Akiko tadi?”
Pemuda di samping kanan seorang tua memandang ke arah halaman di mana dua saudara seperguruannya dengan katana dalam genggaman dua tangan, tengah menghadapi seorang pemuda yang barusan melompat dari kuda. “Memang ada yang datang sensei. Pakaian dan kuda yang ditungganginya sama dengan salah seorang pembunuhmu. Namun aku meragukan dugaan dua saudara. Orang yang datang ini adalah Gaijin… (sebutan untuk orang asing).”
“Gaijin… Orang asing maksudmu?” Orang tua yang terbaring berbantalkan gulungan kain batuk-batuk beberapa kali. Dari sela bibirnya tampak ada darah yang keluar.
Akiko cepat menyeka darah itu dengan sehelai sapu tangan seraya berbisik. “Sensei, jangan bicara lagi…”
Tapi si orang tua tidak perdulikan. “Aku ingin melihat siapa yang datang. Aku memang tengah menunggu seseorang sejak tiga tahun lalu..”
Lalu, walaupun dengan susah payah, orang tua itu berusaha mengangkat kepalanya. Namun lehernya terkulai dan kepalanya jatuh kembali ke atas gulungan kain. “Sensei…!” Akiko terpekik.
“Anak-anak…, bawa aku ke dojo (ruangan tertutup tempat berlatih silat)… Kalau aku memang ditakdirkan harus mati, aku ingin mati di ruang latihan itu…”
“Baik sensei, kami akan lakukan apa yang kau minta…” jawab Ichiro.
Sementara itu di halaman rumah yang tertutup salju tipis, salah seorang pemuda yang memegang katana tukikkan ujung pedangnya hampir mencium panah. Dalam ilmu pedang di Jepang, ini merupakan salah satu kedudukan senjata yang sangat berbahaya. Karena ujung pedang yang kelihatannya jauh dari sasaran itu tiba-tiba bisa melesat membabat kaki, pinggang atau perut, bisa juga menebas leher atau menghantam kepala!
“Pemuda asing! Katakan siapa dirimu?! Apa keperluanmu datang ke mari?!”
“Namaku Wiro Sableng! Aku datang untuk menemui Horoto Yamazaki, seorang tua yang bergelar Pendekar Pedang Matahari!” jawab Wiro. Lalu dia melirik ke arah serambi rumah di mana dia melihat ada seorang tua terbaring didampingi seorang gadis dan seorang pemuda. Wiro menduga, orang tua itu pastilah orang yang hendak ditemuinya. Apa yang tengah terjadi di serambi sana?
Kemudian pemuda di samping si orang tua tambak berdiri dan berteriak. “Kunio! Kenichi! Bantu kami menggotong sensei ke ruang latihan!” Dua pemuda yang tengah menghadang Pendekar 212 Wiro Sableng menatap tajam ke arah Wiro lalu keduanya saling memberi isyarat. Yang satu segera berbalik dan lari ke arah serambi. Satunya lagi menyusul, namun sebelum pergi sempat berkata.
“Pemuda asing! Tetap di tempatmu! Jangan kau berani bergerak, walaupun hanya satu langkah!”
Wiro tidak menjawab, tapi dalam hati dia berkata. “Setan! Jauh-jauh aku datang ratusan ribu langkah, sampai di sini malah diperintah tidak boleh melangkah!” Ketika pemuda itu berlari ke serambi, tanpa peduli Wiro melangkah pula ke arah bangunan.
Empat orang murid menggotong sensei mereka ke dalam dojo Di sebelah dalam ternyata bangunan itu luas sekali dan memiliki tempat latihan beralaskan tatami (alas lantai berbentuk kotak-kotak).
Berbagai macam senjata terdapat di sudut-sudut dan dinding ruangan.
Sang guru dibaringkan di tengah dojo, di atas sebuah kasur jerami. Ketika itulah keempat murid menyadari bahwa ada orang lain di ruangan itu. Mereka berpaling ke arah pintu dojo dan keempatnya menjadi marah. “Gaijin kurang ajar!” membentak Kunio Ota lalu melompat ke ambang pintu di arah mana Wiro tengah melangkah masuk. Sambil menghunus pedangnya, pemuda ini kembali menghardik. “Kami tidak mengundangmu masuk! Aku malah sudah memperingatkan agar kau tidak boleh bergerak satu langkah pun!”
Wiro menyeringai dan bungkukkan badan lalu berkata, “Shitsurei shimasu, ga… (maafkan saya, tapi) di luar sana dingin sekali. Lagi pula saya datang untuk menemui tuan rumah di sini…”
Telinga orang tua yang terbaring di atas kasur jerami mendengar suara Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sebelum murid-muridnya yang marah melakukan sesuatu, orang tua ini cepat membuka mulut.
“Kunio, orang yang kau bentak itu… Apakah dia orang asing yang kau maksudkan…?”
“Betul sensei!” sahut Kunio Ota. “Dia telah berlaku lancang, masuk ke dalam ruangan ini!”
“Maafkan kalau ini tindakan yang kurang sopan!” Wiro menyahuti. “Namun saya datang dari jauh.
Dari negeri ribuan pulau di selatan untuk menemui tuan rumah! Bagaimana saya bisa menemuinya kalau bergerak satu langkah pun tidak diizinkan?!”
Tiga pemuda murid si orang tua bergumam marah. Hanya Akiko yang tampak tenang dan memandang ke arah Wiro tanpa emosi sama sekali. “Orang asing, mendekatlah ke mari…” orang tua itu tiba-tiba berkata.
Ketika Wiro melangkah, Kunio Ota masih berusaha menghalangi. Namun tubuh pemuda ini merasa ada hawa aneh keluar dari tubuh Wiro yang membuat tubuhnya terdorong dan kakinya terhuyung dua langkah. Begitu Wiro lewat, dia cepat-cepat menyusul namun tidak berani menghalangi lagi.
Wiro sampai di hadapan orang tua yang terbaring di atas kasur jerami. Merasakan orang sudah ada di dekatnya, orang tua itu membuka sepasang matanya yang sipit.
“Ah, kau memang pemuda asing Gaijin, katakan namamu! Dari mana kau datang, apa keperluanmu…?!”
“Saya Wiro Sableng. Saya datang dari Tanah Jawa, negeri seribu pulau jauh di selatan. Saya datang membawa pesan dan surat dari guru saya. Apakah saya…” Wiro untuk pertama kalinya melihat darah yang membasahi kain merah yang menutupi perut orang tua itu. “Astaga! Kau terluka parah orang tua!” seru Pendekar 212.
“Jangan perdulikan apa yang terjadi atas diriku. Teruskan ucapanmu… orang muda!” kata si tua.
“Apakah saya berhadapan dengan Yamazaki san? Seorang samurai besar dan jago pedang berjuluk Pendekar Pedang Matahari…?”
Orang tua itu tersenyum. Sepasang matanya membesar sedikit. “Samurai…” desisnya. “Pendekar Pedang Matahari…” sambungnya. “Semua itu nama besar yang tidak ada harganya lagi…”
“Sensei!” seru sang murid bernama Ichiro Loki. “Jangan berkata seperti itu!”
Hiroto Yamazaki alias Pendekar Pedang Matahari tersenyum kecut. “Hari ini aku si tua yang dulu begitu diagungkan kini sudah dikalahkan oleh dua orang lawan. Apa aku masih pantas menyandang semua nama besar itu? Pemuda asing siapa nama gurumu..?”
“Saya diutus oleh guru. Guru saya bernama Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede di Tanah Jawa sebelah barat…”
Mendengar keterangan pendekar 212 itu, untuk pertama kalinya muka pucat si tua berkimono itu tampak cerah. Dia tersenyum lebar. “Sungguh satu kehormatan sebelum mati aku bertemu dengan murid kawan lamaku. Anak muda, kalau kau benar murid Sinto Gendeng sahabatku itu, perlihatkan dulu tanda pengenalmu!”
Wiro yang sebelumnya sudah dipesan oleh guru Sinto, mendengar ucapan Yamazaki segera menyingkapkan baju tebal dan baju putih yang dikenakannya. “Ah…, inezumi (rajah atau tatto) itu 212…. aku percaya kau memang murid kawan lamaku,” kata si orang tua begitu melihat angka 212 di dada Wiro. Namun kemudian ia menyambung. “Tapi tatto seperti itu mudah dipalsukan dan ditiru orang. Perlihatkan senjatamu…” Murid Sinto Gendeng meragu. Lalu ia selinapkan juga tangannya ke balik pakaian.
Begitu tangan kanan itu keluar dari balik pakaian maka berkelibatlah sinar putih perak menyilau di ruangan latihan itu. Empat murid Hiroto Yamazaki terkesiap melihat Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada dalam genggaman Wiro. Belum pernah mereka melihat senjata mustika sedemikian mengesankan dengan sinar yang angker seperti itu.
“Kau memang murid sahabatku Sinto Gendeng…” kata Yamazaki . “Waktuku tidak lama lagi. Serahkan surat Sinto Gendeng yang kau bawa…!”
“Yamazaki-san .. surat akan saya berikan. Tapi bagaimana jika terlebih dahulu kamu mengizinkan aku memeriksa lukamu? Keselamatanmu lebih penting dari pada surat yang kubawa…”
Hiroto Yamazaki kembali sunggingkan senyum. Lalu membuka mulut. “Ada ujar-ujar yang mengatakan: Seorang kesatria baru menguasai sepenuhnya kehidupan seorang Samurai bila dia selalu siap menghadapi kematian. Karena itu kau tak usah memikirkan keselamatanku Wiro-san.
Aku justru beruntung diberi kesempatan dewa untuk bertemu denganmu. Mana surat itu…?!”
“Sensei,” tiba-tiba Kunio Ota membuka mulut. “Siapapun adanya pemuda ini saya tetap menaruh curiga. Dia muncul dengan kuda milik pembunuhmu. Saya melihat noda darah di punggung kuda. Mustahil tidak ada kaitannya dengan kedua pembunuh itu…!”
“Wiro-san… bisakah kau menjawab ucapan muridku itu?” Orang ini sebenarnya percaya penuh dengan pemuda itu, namun dia juga ingin semua muridnya mendengar penjelasan langsung dari Wiro sendiri.
“Kuda coklat itu saya temui di kaki Gunung Fuji. Binatang itu bersikap jinak dan aku tunggangi sampai kemari. Saya tidak tahu siapa pemiliknya…”
“Bukan mustahil pemuda ini kawanan pembunuh dan disuruh menyamar untuk memastikan kematian sensei atau bagaimana…” kata Ichiro Loki
“Mungkin juga ia diminta menyelidiki sesuatu di sini!” untuk pertama kalinya murid perempuan bernama Akiko Besso mengeluarkan suara.
Wiro garuk-garuk kepala. Dia menjawab. “Segala kecurigaan bisa terjadi. Saya pikir tidak perlu diperpanjang lagi. Guru kalian sedang sakit parah…” Dari balik bajunya Wiro keluarkan sebuah lipatan kertas pada Hiroto Yamazaki. “Terimalah, ini surat dari guru saya…” Yamazaki menerima dan membuka dengan tangan gemetar lalu membacanya.Sahabatku Hiroto
Aku mengharapkan kau dalam keadaan baik-baik dan sehat. Dunia ini kadang terasa sempit, kadang terasa luas dan jauh. Seperti halnya kita. Ternyata aku hanya mampu mengutus muridku untuk menemuimu di kaki Gunung Fuji yang sejuk dan indah ini. Sesuai janji kita empat puluh tahun silam, muridku memberi petunjuk mengenai Pukulan Sinar Matahari. Itu jika kau bermaksud memilikinya. Untuk keperluan itu kau tidak perlu ganti imbal apa-apa. Ini sesuai dengan kepribadian seorang samurai yang tidak kenal pamrih.
Sahabatmu
Sinto Gendeng
Hiroto Yamazaki menurunkan tangannya dan meletakkan surat Sinto di atas dadanya. “Aku bahagia… aku bisa pergi dengan tenang,” lalu dia berpaling kepada Pendekar 212 dan berkata, “Wiro-san aku tidak mungkin lagi punya waktu mempelajari Pukulan Sinar matahari yang hebat itu…, jika kamu tidak keberatan dan mereka mau, ajarkanlah pada murid-muridku. Mungkin dengan ilmu itu mereka bisa membuat perhitungan dengan pembunuhku…” lalu satu demi satu Yamazaki memperkenalkan nama muridnya itu.
Wiro membungkuk. “Akan aku lakukan apa yang kau minta Yamazaki -san.”
“Bagus… aku punya firasat hanya kau yang bisa membantu muridku menghadapi orang Lembah Hozu yang jahat dan kejam. Lebih dari itu, aku mendapatkan petunjuk seorang pendekar akan muncul di Gunung Fuji ini. Seorang yang pantas disebut dengan Pendekar Gunung Fuji. Kaulah orangnya Wiro-san…”
Wiro tak berani menjawab. Diam-diam dia melirik kepada murid Yamazaki. Kelihatan sekali dari raut muka mereka tidak senang dengan ucapan gurunya itu. Ketika Wiro menegakkan badan kembali, terdengar jeritan Akiko Besso. Tiga murid lainnya ikut berseru. Wiro menatap sosok dan wajah Yamazaki. Kedua matanya tertutup. Orang tua itu tidak bergerak dan tidak bernafas lagi.
Salju turun lagi perlahan-lahan. Pendekar 212 Wiro Sableng duduk di tangga depan rumah kediaman mendiang Hiroto Yamazaki. Di salah satu ruangan di dalam sana, empat orang murid Yamazaki tengah bersembahyang dihadapan abu sang guru yang diperabukan tiga hari lalu.
Wiro teguk sake dalam botol kaleng. Ketika baru saja dia menyimpan botol minuman itu ke dalam saku baju tebalnya, dibelakangnya dia mendengar langkah langkah kaki mendatangi. Wiro berpaling. Ichiro Loki, Kunio Ota dan Kenichi Asano melangkah dari ruangan dalam. Wiro berdiri menyambut ketiga pemuda itu. Dia belum melihat Akiko. Gadis itu mungkin masih bersembahyang di dalam.
“Gaijin!” menegur Kunio Ota, “Kami tidak suka melihat kau masih ada di tempat ini! Apakah itu belum jelas bagimu?”
“Cukup jelas Ota-san. Saya hanya menunggu keputusan dari kalian mengenai ucapan mendiang Yamazaki-san. Yaitu menyangkut ilmu Pukulan Sinar Matahari yang beliau minta untuk diajarkan pada kalian. Jika kalian suka…?”
“Kami cukup punya kepandaian. Kami sudah memutuskan bahwa kami tidak perlu segala macam pelajaran ilmu pukulan dirimu!” menukas Kunio Ota.
“Apakah Akiko Bessho berpendapat begitu juga?” Tanya Wiro. “Cukup satu saja murid Pendekar Pedang Matahari berkata. Itu berarti berlaku dan mewakili semuanya!” jawab Kunio Ota pula.
“Jika memang begitu keputusan kalian, saya tidak memaksa. Saya hanya menjalankan pesan guru saya dan pesan sensei kalian. Sekarang saya minta diri…” Wiro membungkuk. Ichiro dan Kenichi balas membungkuk. Hanya Kunio Ota yang tidak mau balas menghormat. Ketika Wiro berbalik dan hendak melangkah pergi tiba-tiba pemuda ini berkata, “Tunggu dulu!”
Wiro berpaling dan menunggu. “Kau datang dengan maksud hendak mengajarkan sesuatu pada sensei. Sebelum menghembuskan nafas, sensei meminta agar kau mengajarkan ilmu Pukulan Matahari pada kami. Tampaknya kau ini seperti seorang yang luar biasa. Memiliki kepandaian tinggi, bahkan merasa lebih tinggi dari guru kami sendiri!”
“Saya tidak mengatakan maupun merasa begitu!” jawab Wiro. “Seperti saya katakan, saya hanya menjalankan pesan. Jika kalian merasa tidak perlu atau tidak suka tidak menjadi apa.”
Kunio Ota berbisik-bisik dengan dua pemuda lainnya. Yang dua mengangguk-angguk. Lalu Kunio berkata. “Sebelum kau pergi, kami ingin melihat dulu sampai di mana kepandaianmu dalam ilmu bela diri, dan kami tidak suka sebagai orang asing kau merasa lebih hebat dari kami di negeri kami sendiri!”
“Saya tidak merasa lebih hebat. Karenanya tidak ada gunanya kalian menguji saya,” jawab Wiro.
“Kalau hanya untuk menunjukkan kebodohan, mengapa jauh-jauh datang kemari!” mengejek Kunio Ota, lalu pemuda ini tertawa diikuti oleh dua kawannya.
“Terima kasih atas tertawa kalian yang tidak sedap didengar dan dilihat!” Wiro bungkukkan diri lalu memutar langkahnya. Tahu-tahu Kunio Ota sudah menghadang di depannya. Diam-diam Wiro merasa kagum akan kecepatan gerakan orang ini dan hampir tanpa suara.
“Kami menantangmu! Kami menunggu di dojo. Jangan kau berani menolak karena itu berarti penghinaan bagi kami!”
Pendekar 212 menyeringai. “Justru bagiku yang menantang adalah pihak yang menghina!” Jawab Wiro kasar dan kini mulai jengkel. Dia melewati ketiga pemuda itu lalu sebelum mereka masuk ke dalam ruang latihan yang besar, murid Sinto Gendeng sudah lebih dulu berada di situ!
“Silakan siapa di antara kalian yang hendak menunjukkan kebolehannya lebih dulu. Aku orang bodoh hanya siap menerima petunjuk!” Lalu Wiro melompat ke tengah dojo.
Kunio Ota maju ke hadapan Wiro. “Dengan tangan kosong atau pakai senjata?” murid Hiroto Yamazaki itu bertanya.
“Aku lebih suka tangan kosong!” jawab Wiro sambil usap-usapkan telapak tangannya satu sama lain.
Baru saja Wiro menyahut demikian, Kunio Ota langsung berteriak keras dan menghantam dengan tangan kanannya ke arah muka Pendekar 212. Dari suara angin pukulan lawan, murid Sinto Gendeng segera memaklumi kalau Kunio Ota menggabungkan kekuatan tenaga dalam dan tenaga luarnya dalam melancarkan serangan. Hal semacam ini jarang dilakukan orang karena memang tidak mudah untuk menjalankannya.
Wiro angkat tangan kirinya untuk menangkis. “Bukk!” Dua lengan saling beradu. Wiro Sableng terpental hingga menghantam dinding sedang Kunio Ota jatuh duduk di atas tatami.
Murid Sinto Gendeng merasakan lengannya sakit bukan kepalang. Rasa sakit ini anehnya menjalar cepat ke sekujur tubuh hingga dia menggigil seperti orang kedinginan. Ketika diperhatikannya lengan kanannya, lengan itu tampak bengkak merah dan biru!
Wiro memaki panjang pendek dan merasa menyesal mengapa tadi dia hanya mengerahkan tenaga dalamnya sedikit saja sehingga dia kini mendapat cedera. Sebenarnya Wiro sangat menghormati keempat murid Hiroto Yamazaki itu, apalagi gurunya Eyang Sinto Gendeng telah berpesan agar mampu membawa diri sebaik-baiknya di negeri orang. Wiro sesaat tegak diam sambil usap-usap lengan kanannya yang mendenyut sakit.
Kunio Ota melompat berdiri di atas tatami. Dengan sikap dan air muka penuh mengejek dia berkata.
“Kalian lihat sendiri! Dengan kemampuan seperti itu dia menyombongkan diri hendak memberi pelajaran pukulan sakti pada kita! Kepalanya malah tambah besar karena sensei menyebutnya Pendekar Gunung Fuji! Cuah!” Kunio Ota meludah ke lantai. “Gaijin! Siapapun kau adanya kami harap kau segera meninggalkan tempat ini! Kami hendak meneruskan sembahyang menghormati arwah guru…!”
Wiro mengangguk. Dia melangkah ke hadapan meja sembahyang di mana disimpan abu Hiroto Yamazaki. Dia membungkuk dalam-dalam beberapa kali. Lalu memutar tubuh dan tinggalkan tempat itu.
Begitu Wiro lenyap, Kenichi Asano berkata. “Mari kita teruskan sembahyang. Kunio Ota, kau yang tua di antara kita. Kau yang memimpin upacara…” Lalu Kenichi, Akiko dan Ichiro memberi jalan pada Kunio untuk maju ke hadapan meja sembahyang. Tetapi orang yang diminta untuk memimpin acara sembahyang itu tetap diam saja di tempatnya.
“Apa yang terjadi?” Tanya Akiko heran, begitu juga Kenichi. Ichiro Loki memeriksa sekujur tubuh Kunio, mengangkat-angkat kedua tangannya. Setiap diangkat, kedua tangan itu kembali ke kedudukannya semula secara kaku. Kenichi dekatkan telinga kirinya ke dada Kunio. “Aku mendengar detak jantungnya! Dia masih hidup! Tapi mengapa tidak bisa bergerak tidak bisa bersuara?” ujar Kenichi sesaat kemudian, seraya memandang heran pada saudara-saudara seperguruannya.
“Aku ingat sejenis ilmu aneh yang datang dari daratan Tiongkok dan mulai dikembangkan di negeri ini…” berkata Kenichi.
“Maksudmu ilmu menotok jalan darah?” tanya Ichiro.
Kenichi mengangguk, “Kunio bukan hanya ditotok jalan darahnya sehingga kaku, tapi jalan suaranya juga terbendung hingga dia tak sanggup bicara!”
“Lalu siapa yang menotoknya?” tanya Akiko.
“Ya! Siapa…?!” ikut bertanya Ichiro.
“Siapa lagi kalau bukan si gaijin itu!” sahut Kenichi.
“Ah mana mungkin!” tukas Ichiro. “Aku tidak melihat pemuda asing itu menggerakkan tangannya atau mendekati Kunio. Dia tadi hanya melangkah ke meja sembahyang lalu meninggalkan ruangan ini… Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Atau barangkali ada hantu di tempat ini?”
“Tidak ada hantu di sini Ichiro. Aku yakin pemuda itu yang melakukannya. Dia memiliki kecepatan yang hanya bisa dilakukan oleh seorang ninja!”
“Kalau begitu dia bukan manusia sembarangan. Tapi mengapa ketika beradu pukulan dengan Kunio tadi dia terpental jauh dan lengannya tampak bengkak wajahnya memperlihatkan rasa sakit!” kata Akiko pula.
“Hemmm…” Akiko Bessho menggumam. Dia melangkah memutari tubuh Kunio Ota.
“Bagaimana kita membebaskan Kunio dari totokan ini. Kenichi…?” Kenichi Asano mendekati Kunio. Dia memeriksa beberapa tubuh pemuda itu. Ketika dia menyingkapkan kerah baju Kunio, dilihatnya ada tanda merah pada pangkal leher sebelah kiri. Kenichi kerahkan tenaga dalamnya ke ujung ibu jari tangan kanan lalu dia mulai mengurut pangkal leher Kunio. Selang beberapa ketika Kunio terdengar keluarkan suara keluhan pendek. Tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh kalau tidak dipegang oleh Ichiro.
“Kau sadar apa yang kau alami Kunio?” bertanya Akiko.
“Entahlah. Aku mendengar suara kalian. Tapi aku tak bisa bergerak, tak bisa membuka mulut…” jawab Kunio Ota.
“Gaijin itu telah menotok urat besar di pangkal lehermu!”
“Hah?” Kunio raba pangkal lehernya. “Bagaimana dia bisa melakukannya? Dia bukan orang Cina! Hanya pendekar-pendekar Cina yang punya ilmu kepandaian menotok orang!”
Kenichi menarik nafas dalam. “Ilmu menotok itu sudah ada ratusan tahun lalu. Mungkin lebih dulu dipelajari di negeri si gaijin itu dari pada di sini. Dia telah memberi pelajaran padamu dan pada kita.
Paling tidak dia kini membuat mata kita lebih terbuka. Kurasa waktu kau menjajalnya tadi dia tidak melayani sepenuh hati…”
Merahlah peras Kunio Ota. “Adik Kenichi, kau seperti mengejek aku! Aku akan cari orang itu dan mengajaknya untuk adu kekuatan sampai seratus jurus!”
Ichiro gelengkan kepala. “Aku tidak setuju. Ada hal lain yang lebih penting harus kita lakukan. Mencari dua orang pembunuh sensei!”
“Kau betul kak Ichiro,” menyatakan Akiko. “Hal itu harus kita bicarakan sekarang! Tetapi bagaimana kalau kita terlebih dahulu mengamankan barang-barang pusaka milik sensei…?”
“Ah…? Kau betul Akiko!” kata Kenichi. “Mari kita sama-sama masuk ke dalam kamar tidur sensei…” Lalu keempat orang itu tinggalkan ruangan sembahyang, menuju ke kamar tidur mendiang Hiroto Yamazaki. Hanya sesaat kemudian saja, di dalam kamar itu mendadak terjadi kegegeran!
Keempat anak murid Hiroto Yamazaki itu telah menemukan senjata-senjata pusaka milik guru mereka, yakni sebilah katana dan seperangkat busur serta anak panah. Tetapi setelah menggeledah seluruh sudut kamar, membalik kasur, membongkar lemari dan memeriksa lapisan-lapisan loteng dan dinding kamar, mereka sama sekali tidak menemui sebuah kitab kuno berisi pelajaran Kendo yang amat langka.
Keempat anak murid yang baru saja ditinggal mati guru mereka itu saling pandang. “Kitab itu sangat berharga sekali. Sensei malah menganggapnya sama berharganya dengan nyawanya sendiri.
Sensei belum sempat mengajarkan keseluruhannya pada kita. Dan kini kitab itu lenyap!” Kenichi Asano berkata sambil melangkah mundar-mandir dalam kamar.
“Aku punya dugaan keras Gaijin itulah yang telah mencurinya!” kata Kunio Ota pula seraya mengepalkan tinjunya!
“Kurang ajar! Kita harus cari dia sampai dapat!” kata Ichiro Loki. Kunio Ota cabut pedangnya dari balik punggung lalu melangkah ke hadapan meja sembahyang di mana terletak abu Hiroto Yamazaki. Sambil melintangkan katana di depan dadanya pemuda ini berkata “Sensei, aku muridmu Kunio Ota, bersumpah di hadapan abumu akan memenggal batang leher pencuri itu!” lalu pemuda ini mendahului yang lain-lainnya keluar dari ruangan sembahyang itu.
“Aku heran…” Kata Akiko pada Ichiro dan Kenichi. “Jika memang betul pemuda asing itu yang mencuri kitab tersebut, bagaimana mungkin dia mengetahui tempat sensei menyimpannya. Sejak beliau meninggal, kamar ini selalu diawasi paling tidak oleh dua orang di antara kita. Lalu jika dia memang murid sahabat guru kita, masakan begitu culas melakukan pencurian…”
“Jangan-jangan dia murid palsu yang menyamar datang kemari padahal maksud sebenarnya adalah untuk mencuri kitab itu!” ujar Ichiro pula.
“Tapi dia telah memperlihatkan bukti-bukti dirinya pada sensei. Dan guru kita mengakui kebenaran tanda-tanda yang diperlihatkannya…”
“Saat itu guru kita tengah dalam keadaan sekarat,” berkata Kenichi. “Besar kemungkinan dia tidak lagi dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu…”
“Jadi pemuda itu datang jauh-jauh hanya untuk mencuri kitab Kendo milik guru!” kata Akiko.
“Mungkin itu hanya sebagian kecil saja dari maksud kedatangannya ke negeri kita ini. Pasti dia membekal maksud lain yang lebih jahat!” berkata Ichiro.
“Kalau begitu aku setuju dengan rencana Kunio. Manusia satu itu harus dipenggal batang lehernya!” kata Kenichi pula.
“Rencana harus diatur sekarang,” kata Ichiro. “Aku dan Kenichi akan mengejar pembunuh guru. Akiko, Kunio mencari pemuda asing itu.”
“Hati-hatilah kalian berdua,” kata Akiko. “Jika dugaan kita benar bahwa pembunuh guru adalah kelompok sesat orang-orang Lembah Hozu, mereka sangat berbahaya. Mereka ahli memainkan panah beracun!” Kenichi dan Ichiro mengangguk.
Ichiro berkata, “Beritahu pada Kunio bahwa aku dan Kenichi akan berangkat besok malam agar bisa sampai Lembah Hozu dua hari kemudian. Kita bertemu lagi di sini pada Gesuyobi (hari Senin) minggu pertama bulan depan…”
“Baik! Kita bertemu lagi di sini hari Senin pertama bulan depan…” mengulang Akiko Bessho.
Malam itu udara tidak seberapa dingin. Di langit, bulan setengah lingkaran muncul tanpa tersaput awan. Dua bayangan bergerak cepat di antara kerapatan pepohonan di Lembah Hozu. Sesekali terdengar suara burung malam di kejauhan.
Orang yang lari di depan sesaat berhenti lalu berbisik kepada kawannya. “Kenichi, sebentar lagi kita akan memasuki kawasan Lembah Hozu. Periksa lapisan besi yang menutupi dada dan punggungmu…”
Kenichi lalu memeriksa baju besi tipis yang melindungi dada dan punggungnya. Ichiro melakukan hal yang sama.
“Bagaimana dengan senjata peledak?” Ichiro kembali berkata. Kenichi memeriksa lima buah benda bulat sebesar kepalan yang terbuat dari besi. Kelima benda ini tergantung di pinggangnya dan merupakan senjata peledak yang bisa menghancurkan bangunan. Ichiro juga membekal lima senjata peledak yang sama.
“Orang-orang Lembah Hozu biasanya suka minum-minum sampai larut malam. Berarti kita harus bersabar menunggu sampai menjelang pagi, pada saat mereka mulai keletihan dan setengah mabuk…” Kenichi mengangguk mendengar ucapan Ichiro itu. Keduanya kemudian bergerak kembali dalam kegelapan malam dan udara dingin.
Akhirnya kedua orang murid mendiang Hiroto Yamazaki itu sampai di bibir Lembah Hozu sebelah selatan. Jauh di bawah sana mereka melihat nyala obor banyak sekali. Di hadapan sebuah meja pendek, tampak sekitar sepuluh orang lelaki berpakaian dan berikat kepala serba putih duduk berkeliling. Setiap orang ditemani oleh seorang Geisha (wanita pelayan pada tempat-tempat tertentu). Semuanya asyik menyantap makanan dan meneguk minuman. Sesekali terdengar suara gelak tawa. Lalu ada seorang perempuan separuh baya yang duduk agak terpisah memetik Shamusen (instrumen musik dengan tiga senar).
“Setahuku kelompok mereka ada tujuh belas orang, mana tujuh lainnya…?” berbisik Ichiro. Kenichi tak menjawab, ia memandang ke arah lembah seperti tengah menghitung-hitung. “Kau membawa teropong…?” bertanya Ichiro. Kenichi lalu menyerahkan sebuah teropong kecil. Ichiro menarik habis teropong satu lensa ini lalu mengintai ke arah lembah. Satu demi satu dia mengawasi muka-muka yang ada di lembah. Dia mengenali wajah orang keempat dan kesembilan, lalu berbisik pada Kenichi. “Aku mengenali wajah dua pembunuh sensei. Mereka ada di bawah sana…”
Kenichi mengangguk. “Mereka ada di sana, aku tidak sabar lagi Ichiro. Apakah baiknya kita langsung menyerbu…?”
Baru saja Kenichi berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara suitan panjang dari arah timur lembah.
Bersamaan dengan itu, sepuluh orang yang berada di meja bawah sana serentak melompat berdiri sambil mencabut katana dari punggung masing-masing. Para Geisha berlarian ke satu arah.
Perempuan yang memainkan shamusen berhenti memainkan peralatan musik itu dan ikut lari ke arah lenyapnya para Geisha.
“Celaka!” bisik Ichiro. “Agaknya mereka telah mengetahui kedatangan kita.” Baru saja Ichiro Ioki berkata begitu, di atas mereka terdengar suara berdesing. “Awas, serangan panah!” teriak Ichiro.
Dia segera menunduk dan cabut katana-nya. Kenichi juga segera mencabut pedangnya dan melompat ke balik sebuah pohon besar. Dua buah anak panah menancap di batang pohon itu. Ichiro putar pedangnya ketika terdengar suara berdesing untuk kesekian kalinya. “Trang…! Trang…!” Dua anak panah runtuh ke bawah.
“Para pembokong itu ada di atas pohon sebelah sana!” bisik Ichiro. Dia segera mencabut senjata peledak yang ada di pinggangnya. Sebuah anak panah menghantam bahunya. Untung bagian bahu itu masih terlindung baju besi yang dipakainya hingga dia tidak cedera sedikit pun. Ichiro bergerak dua langkah ke samping kanan lalu lemparkan senjata peledak ke arah pohon besar di mana tadi dia melihat bayangan tiga orang pembokong bersenjatakan panah.
Terdengar suara berdentum. Nyala terang bola api berkilat, sesaat keadaan terang benderang. Di atas pohon besar yang hancur porak poranda, terdengar jeritan tiga orang. Ketiganya terlempar jatuh ke tanah dan telah mati lebih dahulu dalam keadaan terkutung-kutung sebelum tubuh masing-masing mencium tanah.
“Kenichi! Orang-orang di lembah berusaha mencapai tempat ini! Lekas kau cegat dengan senjata peledak!” berteriak Ichiro ketika dilihatnya di bawah sana sepuluh lelaki yang tadi duduk mengelilingi meja kini berlari sangat cepat menaiki lereng lembah menuju tempat di mana dia dan Kenichi berada.
Kenichi menyelinap di balik kerapatan pepohonan lalu loloskan sebuah senjata peledak. Tak lama kemudian terdengar suara berdentum di arah timur. Beberapa pohon dan semak belukar rambas.
Namun tidak terdengar suara jeritan. Di lain saat malah terdengar orang-orang lembah berteriak.
“Kurung yang satu ini! Tangkap hidup-hidup!”
Lalu terdengar suara senjata saling beradu disertai bentakan-bentakan. Ichiro masih sempat mendengar suara jeritan Kenichi ketika di hadapannya tiba-tiba muncul enam orang bersenjatakan pedang. Dia tidak sempat mencabut senjata peledaknya. Dengan katana , Ichiro hadapi keenam lawan yang datang. Namun saat itu sebatang anak panah beracun yang dilepaskan lawan dari tempat gelap berhasil menancap di paha kanannya.
Dengan kertakkan rahang menahan sakit, Ichiro cabut anak panah itu. Namun sebagian racun panah telah larut dalam aliran darahnya! “Manusia-manusia Lembah Hozu keparat! Kalian telah membunuh guru! Majulah untuk menerima hukuman!” teriak Ichiro. Terdengar suara tertawa bergelak dalam gelap. Lalu enam sosok tubuh melompat. Enam katana menggebrak berbarengan.
Ichiro menangkis tiga tebasan pedang. Tiga lainnya dielakkan dengan jalan melompat ke belakang.
Ketika salah seorang lawan kembali menyerbu, Ichiro keluarkan suara mengerang dan katana yang digenggam dengan kedua tangannya berkelebat ganas. Satu jeritan menggema dalam kegelapan malam. Orang di depan Ichiro menggeletak dengan perut robek. Lima kawannya berteriak marah lalu serempak menyerang.
“Kita berhasil menangkap yang satu ini!” terdengar suara orang berteriak.
“Ah! Mereka berhasil menangkap Kenichi!” keluh Ichiro, lalu putar pedangnya dengan sebat.
Terdengar suara berdentangan. Tiga sosok bayangan muncul lagi dari dalam gelap. Kini ada delapan orang yang mengeroyok Ichiro. Tak ada kemungkinan bagi pemuda ini untuk menghadapi begitu banyak lawan. Dia membuat gerakan seperti katak, melompat dan berhasil menjauhi para pengeroyok. Sebelum lawan-lawannya mengejar, dia segera loloskan sebuah senjata peledak.
“Awas bola peledak!” teriak seseorang. “Bummmm!” Ledakan keras menggema. Lidah api muncrat ke berbagai jurusan. Dua jeritan terdengar bersama rambasnya semak belukar dan tumbangnya sebatang pohon. Ichiro lari sekencang yang bisa dilakukannya sementara luka di paha kanannya terasa semakin sakit. Kaki kanannya seperti kaku. Dua anak panah melesat menghantam punggungnya, namun baju besi yang dikenakannya berhasil melindungi.
Ichiro lari terus hingga ia sampai di mana dia dan Kenichi sebelumnya meninggalkan kuda masing-masing. Ichiro cepat naik ke atas pelana dan menghambur tinggalkan tempat itu. Ketika orang-orang Lembah Hozu sampai di tempat itu, Ichiro sudah terlalu jauh, tak mungkin dikejar lagi.
Ichiro sampai di tempat kediaman gurunya sesaat sebelum matahari terbit. Dia langsung masuk ke dalam kamar dan mengambil secarik kertas serta alat penulis. Dengan tubuh panas dingin akibat racun panah yang mulai bekerja menyerang jantung dan paru-parunya, Ichiro mulai menulis. Lalu dengan membawa kertas itu dia masuk ke dalam ruangan sembahyang dan berlutut di depan abu gurunya. “Sensei, harap maafkan diriku. Sebagai murid, aku merasa tidak layak lagi hidup. Aku tidak dapat membela nama guru. Aku tidak berhasil menumpas orang-orang Lembah Hozu. Malah mereka berhasil menangkap Kenichi. Aku malu untuk hidup lebih lama. Sensei aku mohon ampunmu… Aku harus menebus kebodohanku dengan melakukan Seppuku… (bunuh diri)”
Ichiro letakkan kertas yang tadi ditulisnya di kaki meja sembahyang, lalu mencabut katana-nya siap ditikamkan ke perutnya. Tiba-tiba di saat yang tepat dua tangan kokoh menahan gerakan tangan Ichiro. Sebelum pemuda ini jatuh pingsan, dia masih sempat melihat wajah orang yang barusan mencegahnya melakukan bunuh diri itu!
Dua orang berkelebat masuk ke dalam ruangan sembahyang dan keduanya sama berseru keras ketika melihat tubuh Ichiro tergeletak menelungkup di atas tatami. Paha kanannya dibalut. Tak berapa jauh dari situ tergeletak katana milik pemuda ini. Lalu di dekat kaki meja sembahyang ada sehelai kertas bertuliskan huruf-huruf kanji.
Ternyata dua orang yang barusan datang adalah Akiko Bessho dan Kunio Ota. “Kau lekas periksa keadaannya! Aku akan membaca apa yang tertulis di kertas ini!” kata Kunio. Setelah membantu Akiko membalikkan tubuh Ichiro, Kunio mengambil kertas di kaki meja lalu membacanya.
Saudara-saudaraku seperguruan, terlalu memalukan bagiku untuk hidup. aku bukan saja gagal menuntut balas terhadap orang-orang Lembah Hozu yang telah membunuh sensei, tetapi mereka bahkan berhasil menangkap Kenichi! Maafkan diriku. Hanya ada satu jalan untuk menutup rasa malu menebus kegagalan itu, yakni dengan melakukan seppuku Ichiro Ioki
“Orang tolol!” maki Kunio sambil membanting surat itu ke lantai. Lalu dia beringsut mendekati Akiko yang bersimpuh di lantai, tengah berusaha menyadarkan Ichiro dari pingsannya. “Ichiro… Ichiro! Bangun… Ayo buka matamu!” kata Akiko berulang kali sambil menepuk-nepuk pipi saudara seperguruannya itu.
“Ada keanehan kulihat…” berkata Kunio sambil memandangi sosok Ichiro.
“Apa maksudmu,” tanya Akiko.
“Ichiro jelas hendak melakukan harakiri (bunuh diri). Karena itu dia menulis surat untuk kita.
Tetapi entah mengapa dia tidak melakukannya. Paha kanannya dibalut dan ada rembesan darah.
Mungkin sekali pahanya ditusuk panah beracun orang-orang Lembah Hozu. Kalau betul, lalu mengapa saat ini dia masih hidup? Siapa yang membalut luka beracun di pahanya?”
Terdengar keluhan pendek. “Dia siuman!” pekik Akiko gembira. Lalu kembali gadis ini menepuk-nepuk pipi Ichiro. “Sadar Ichiro… Sadar! Katakan pada kami apa yang terjadi!” kata Akiko pula.
Perlahan-lahan Ichiro membuka kedua matanya. “Dia… di mana… di…dia…?” suara itu keluar terbata-bata dari mulut Ichiro.
“Dia siapa maksudmu Ichiro?” tanya Kunio.
“Dia… dia… Gaijin itu…”
“Gaijin…?” mengulang Akiko sambil saling pandang dengan Kunio. “Maksudmu pemuda asing yang muncul membawa surat untuk sensei tempo hari…?”
“Betul…”
“Apa yang telah dilakukannya terhadapmu Ichiro? Katakan apa dia telah berlaku jahat terhadapmu…?!”
Ichiro membasahi bibirnya yang kering dan kesat lalu gelengkan kepala. Dia berusaha bangun dan duduk. Saat itulah dia melihat paha kanannya dalam keadaan dibalut. “Ah…pasti dia… Pasti dia lagi yang menolongku. Dia mencegahku melakukan bunuh diri. Lalu mengobati luka beracun di pahaku dan membalutnya… Ah…!”
“Ichiro! Jalan pikiranmu terganggu karena tekanan jiwa. Mungkin juga akibat racun panah orang-orang Lembah Hozu. Bagaimana mungkin orang yang telah kita pastikan mencuri kitab Kendo milik sensei kini kau sebut sebagai penolong!?” ujar Kunio pula.
“Sebelum pingsan, aku masih sempat melihat sekilas wajahnya… Memang dia. Pasti dia!”
“Kau harus beristirahat. Mari kupapah ke kamar tidurmu,” kata Akiko lalu membantu Ichiro berdiri.
Pada saat itulah seseorang muncul di ambang pintu. Ichiro yang pertama sekali melihatnya langsung berseru: “Gaijin…!”
Akiko dan Kunio sama palingkan kepala. Benar saja. Pemuda asing itu tampak tegak di sana. Kunio langsung membentak. “Pencuri kitab! Kau berani datang minta mati!” Tanpa memberi kesempatan, begitu membentak Kunio langsung menyerang Pendekar 212 Wiro Sableng dengan satu jotosan keras yang diarahkan ke dada kiri. Ini adalah satu serangan maut karena bisa menghancurkan jantung orang yang diserang!
“Jepang satu masih belum kapok rupanya… Apa-apaan dia memakiku pencuri kitab?!” ujar Wiro dalam hati. Sebelumnya memang Kunio telah menantang Wiro, bahkan sempat ditotok menjadi kaku dan gagu. Tapi saat itu kembali dia menghantam lebih dulu penuh kemarahan.
Murid Sinto Gendeng cepat berkelit hindarkan serangan berbahaya itu. Sadar orang mengelak, Kunio ubah pukulannya menjadi gerakan menjambret. Pendekar 212 terkejut ketika dia merasakan bagaimana jari-jari tangan kanan lawan cepat sekali telah menggenggam dada bajunya. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, Kunio telah membantingkan tubuhnya ke lantai ruangan!
“Gila! Bagaimana dia bisa membantingku secepat kilat seperti itu?” maki Wiro dalam hati sambil menahan sakit. Selagi Wiro terhenyak keliangan, kaki kanan Kunio cepat sekali telah menginjak tenggorokannya. “Di mana kau sembunyikan buku guru yang telah kau curi?!”
“Buku… buku apa?” tanya Wiro heran dan mengernyit sakit.
“Kau pandai berlagak orang asing! Tapi kepura-puraanmu tidak laku di sini! Kembalikan buku itu atau hancur lehermu saat ini juga!”
“Aku tidak tahu menahu tentang segala macam buku sialan! Bagaimana kau bisa menuduhku mencurinya?!”
“Karena hanya kau satu-satunya orang luar yang ada di tempat ini!” jawab Kunio.
“Lalu apakah pencuri itu mesti selalu orang luar?!” tanya Wiro yang membuat Kunio melengak marah.
“Ucapanmu berarti menuduh kami anak-anak murid Hiroto Yamazaki yang mencuri kitab guru! Benar-benar kurang ajar! Matilah!” Kunio hentakkan kaki kanannya kuat-kuat ke batang leher Wiro Sableng.
“Kunio! Jangan bunuh dia,” berseru Ichiro. Tapi kaki kanan Kunio terus saja bergerak.
Dalam keadaan menyangka bahwa pemuda asing itu benar-benar tidak berdaya dan siap menemui ajalnya, tiba-tiba Akiko dan Ichiro melihat bagaimana tangan Wiro yang bebas dengan sebat menghantam ke arah kaki kiri Kunio laksana pedang menebas!
Kunio Ota menjerit berjingkat-jingkat. Kesempatan ini digunakan oleh Wiro untuk membalikkan diri dan sekaligus mencengkeram kaki kanan lawan. Kini terjadi hal luar biasa yang tidak bisa dipercaya Akiko dan Ichiro. Tubuh Kunio tiba-tiba saja mencelat keatas. Kepalanya menghantam tembus langit-langit kamar yang terbuat dari kertas. Tubuh Kunio kemudian jatuh ke lantai.
Hebatnya, pemuda ini bukan saja mampu jatuh dengan kedua kaki menginjak tatami lebih dahulu, tapi seperti membal tubuhnya kemudian melesat ke arah Wiro. Kedua tinjunya menderu lebih dahulu. Dengan mudah Wiro berhasil menangkap kedua tangan lawannya dan siap untuk membantingkannya ke lantai.
Namun lagi-lagi Pendekar 212 dibikin penasaran dan kesakitan, karena tiba-tiba saja lawan membuat gerak aneh dan kini malah kedua tangannya yang kena dicengkeram. Sebelum Wiro sempat lepaskan diri, tiba-tiba tubuhnya sudah terangkat, lalu bukk! Tubuh Pendekar 212 dibanting ke lantai! Belum lagi dia sempat bangun, Kunio jatuh diri seperti berlutut lalu tinjunya kiri kanan mendera dada murid Sinto Gendeng.
Meskipun jotosan-jotosan Kunio tidak disertai kekuatan tenaga dalam, namun kekuatan tenaga luarnya saja bukan main hebatnya. Wiro merasakan ada cairan asin dan panas dimulutnya. Wiro melengak kaget ketika menyadari dirinya mengalami luka dalam!
Sebelum jotosan-jotosan lawan kembali bertubi-tubi menghantam dada dan perutnya, Pendekar 212 susupkan satu sodokan keras ke perut Kunio. Pemuda ini keluarkan suara seperti kerbau melenguh.
Di lain saat tubuhnya terjajar dan meluncur di atas tatami, dan baru berhenti begitu menabrak sebuah tiang kayu. Sebelum Kunio sempat bangun, Pendekar 212 sudah memiting lehernya dan mengangkat tubuh Kunio hampir dua jengkal dari atas lantai. “Kau hanya ada satu pilihan Kunio!” desis Wiro. “Mengaku salah dan minta ampun!”
“Aku memilih mati daripada bertindak seperti banci!” teriak Kunio. Tangannya coba menyikut, tapi Wiro semakin mengunci lehernya.
“Pemuda asing! Kalau kau bunuh dia, aku bersumpah membunuhmu saat ini juga!” tiba-tiba Ichiro berteriak. Wiro memang tidak berniat membunuh Kunio Ota. Begitu pemuda itu pingsan karena kesulitan bernafas, Wiro lantas lepaskan cekikannya. Kunio terbujur di lantai.
Tiba-tiba Wiro menangkap suara berdesing di samping kirinya disertai kilauan sesuatu yang menyambar ke arahnya. Wiro cepat jatuhkan diri dan berguling. Di ujung kamar dia cepat berdiri.
Di seberangnya, Akiko Bessho tegak memegang sebilah katana! Jadi gadis inilah barusan yang coba membabat Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sewaktu Akiko hendak menerjang, Wiro cepat menyambar pedang yang tersembul di balik punggung Kunio. Lalu, Trang…! trang…! trang…! Suara beradunya pedang memenuhi ruangan itu.
Serangan Akiko ganas sekali. Gadis ini pergunakan kedua tangannya untuk memegang hulu pedang. Dia menyerang dengan kekuatan penuh! Wiro seperti terdesak pada permulaannya. Pemuda ini harus mengakui kehebatan permainan pedang sang dara. Agar tidak sampai melukai gadis berwajah bulat ini, Wiro sengaja mainkan jurus-jurus silat pertahanan.
Namun ketika dia didesak habis-habisan, murid Sinto Gendeng ini terpaksa keluarkan jurus-jurus silat orang gila yang dipelajarinya dari Tua Gila. Gerakannya seolah-olah kacau. Namun di balik kekacauan itu tersembunyi suatu kekuatan yang hebat.
Selagi Akiko kerahkan seluruh tenaga untuk menggempur Wiro, murid Sinto Gendeng malah mempermainkannya. Dalam satu gebrakan keras, Wiro berhasil memukul lepas pedang di tangan si gadis! Akiko menjerit bukan karena cedera, tapi malu dan penasaran. Dia lari ke sudut ruangan. Di sini dia duduk bersila sambil memejamkan mata. Dia berusaha mengatur jalan darahnya yang bergejolak. Begitu merasa sudah menguasai dirinya sepenuhnya kembali, gadis ini bergulingan di lantai untuk mencapai pedangnya yang tadi terlepas mental. Lalu begitu hulu pedang tergenggam dalam kedua tangannya, gadis ini langsung menyerbu Wiro kembali.
“Tunggu dulu…!” seru Pendekar 212.
Akiko Bessho tidak peduli seruan orang. Pedang di tangannya menderu dan berkelebat laksana kilat. Di antara empat orang muridnya, mendiang Hiroto Yamazaki memang telah memberikan ilmu pedang secara khusus pada gadis ini sehingga sekali sebilah katana berada dalam genggaman dua tangannya, maka dirinya bisa berubah laksana malaikat penyebar maut! “Breettt… bretttt… bret…!”
Pendekar 212 Wiro Sableng berseru kaget dan cepat melompat mundur dengan wajah pucat. Baju putih tebal yang dikenakannya robek besar di kedua bagian. Robekan ketiga adalah pada bagian pinggang celananya. Tali celana ini putus, ketika melompat, tak ampun lagi merosot ke bawah.
Selagi Wiro menarik celananya ke atas, sambil meletakkan pedang di tangan kanannya, Akiko kembali menyerbu.
“Akiko… hentikan seranganmu,” teriak Ichiro. “Bagaimanapun aku berhutang nyawa pada gaijin itu!” Namun terikan itu tidak ada gunanya. Ujung pedang Akiko sudah merebas dan menyambar.
“Breettt!” Lengan kiri pakaian Wiro robek memanjang dan kali ini tidak hanya pakaiannya yang robek tapi juga bagian tubuhnya kena toreh. Darah langsung mengucur membasahi lengan dan lantai ruangan.
Rasa sakit dan keadaan terdesak membuat Pendekar 212 kalap. Dengan tangan kiri yang masih memegang kolor, Wiro mengangkat tangan kanan. Dia sudah siap mengerahkan semua tenaganya dengan penuh. Tapi mendadak dia terbayang wajah Hiroto Yamazaki, lalu wajah gurunya Sinto Gendeng. Wiro kendurkan tenaga dalamnya lalu menghantam.
Satu gelombang angin menghantam ke depan. Akiko merasakan tubuhnya terdorong. Semakin dicoba melawan, semakin keras tubuhnya terdorong. Gadis ini nekad melabrak. Akibatnya dia seperti berkelahi seorang diri sementara lawannya berada beberapa langkah di depannya.
Akiko Bessho berteriak marah. Dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Pedang di tangan kanannya bergetar keras dan mengeluarkan suara siur. Gadis ini sempat maju mendekati Wiro namun kemudian justru jatuh terpelanting di lantai dengan sekujur tubuh mandi keringat.
Akiko menjerit lagi dan seperti sedang putus asa, ia membanting pedangnya ke lantai. “Curang, kamu curang, menggunakan ilmu sihir. Tidak berani menghadapi ilmu pedang dengan pedang,” teriak Akiko. Wiro hanya bisa menyeringai mendengar teriakan gadis itu. Sambil pegang lengan kirinya yang terluka, dia menuju pintu. Ichiro memegang bahu Akiko dan membantu gadis itu berdiri. Lalu kepada Wiro dia berujar, “Maafkan adik seperguruanku. Aku akan meminta dia merawat lukamu…”
“Terima kasih,” jawab Wiro yang kini lenyap sudah amarahnya dan mulai kasihan melihat Akiko.
“Aku bisa merawat lukaku sendiri. Ada dua hal yang perlu aku katakan pada kalian. Pertama, aku tidak memiliki ilmu sihir. Kedua, dan ini yang penting, lekas tinggalkan tempat ini. Orang-orang Lembah Hozu pasti akan menyerbu ke mari menuntut balas kematian teman-teman mereka.”
“Jika mereka datang kami akan membunuh mereka semua!”
“Kami akan mencincang dua pimpinan mereka yang telah membunuh guru…” kata Ichiro.
“Jangan bodoh. Jumlah mereka lebih banyak dan mereka sedang menyandera Kenichi, kalian tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lebih baik mengalah sementara sambil menyusun langkah baru.”
Sehabis bicara, Wiro mengambil kotak berisi abu Hiroto.
“Hai hendak kau bawa ke mana benda itu,” teriak Akiko.
Wiro melangkah ke hadapan si gadis lalu mengulurkan kotak besi pada Akiko seraya berkata, “Ini benda berharga yang paling berharga yang harus kalian selamatkan sebelum orang Hozu menyerbu.” Lalu berpaling kepada Ichiro. “Tolong tinggalkan tempat ini, jika Kunio masih pingsan dan mereka datang ke tempat ini, maka dia akan menjadi sasaran.”
Selesai berkata, Wiro langsung meninggalkan tempat itu dan Ichiro serta Akiko seketika saling berpandangan. Akhirnya Ichiro membuka mulut, “Apa yang dikatakan pemuda asing itu benar.
Selama Kenichi berada di tangan orang Lembah Hozu, kita tidak bisa berbuat banyak! Kita musti meninggalkan tempat ini Akiko. Itu tidak bisa ditawar-tawar lagi!”
Di luar, langit tampak semakin terang dan sebentar lagi sang surya akan terbit. Dari kejauhan, dari arah tenggara terdengar suara-suara bersahut-sahutan. Sepasang mata Akiko dan Ichiro tampak
sama-sama membesar. “Mereka benar-benar datang,” desis Ichiro. Tanpa bicara lagi ia langsung memanggul Kunio Ota yang masih dalam keadaan pingsan. Ichiro memberi tanda kepada Akiko, namun ragu. Tapi tidak lama kemudian ia meloncat mengikuti kakak seperguruannya itu meninggalkan tempat.
“Kita tidak mungkin lari jauh. Sekali mereka melihat, kita akan dikejar. Sebaiknya menyelinap dan bersembunyi di Goa Wanigawa.” Akiko setuju lalu mendahului lari. Mereka menuju kerapatan pepohonan di arah timur menuju sebuah goa yang tersembunyi di balik semak belukar. Dari dalam goa bisa melihat ke arah bekas rumah Hiroto Yamazaki yang luas. Goa ini disebut Wanigawa yang berarti “Kulit Buaya” karena bagian dalamnya bergerujul seperti kulit buaya.
Baru saja mereka memasuki goa, segerombolan orang-orang Lembah Hozu yang berjumlah sekitar dua puluh orang muncul menunggang kuda. “Periksa bangunan itu!” teriak seorang pemimpin gerombolan. Lima orang turun dari kuda dan langsung memeriksa dengan pedang terhunus, sementara sepuluh orang lainnya mengelilingi bangunan dengan membawa panah beracun yang siap membidik siapa saja yang keluar dari bangunan.
Dua orang Lembah Hozu tampak kuluar dari bangunan sambil memberi isyarat bahwa rumah telah kosong, tidak orang dan benda yang bisa dijarah. “Kurang ajar, mereka pasti melarikan diri,” ujar lelaki bertubuh kurus yang menunggang kuda putih.
Kawan yang berada di sebelahnya ikut berteriak, “Bakar bangunan itu!” Maka enam orang segera melaksanakan perintah. Dalam waktu sekejap, bekas rumah Hiroto yang didiami bersama empat muridnya itu hilang dilalap api.
Di dalam goa Wanigawa, Akiko kepalkan kedua tangannya. “Aku ingin sekali membunuh keparat-keparat dari Lembah Hozu itu. Ichiro perhatikan kuda putih dan lelaki di sampingnya. Aku ingat betul dia yang mengeroyok sensei dan membunuhnya…”
“Kau betul Akiko. Yang kurus jangkung itu adalah Massashigi Sakaji. Kawannya, kalau tidak salah adalah Minoru Shirota. Mereka adalah dua dari empat pemimpin Lembah Hozu. Keduanya sudah terkenal sejak dua puluh tahun lalu.”
“Tanganku sudah gatal ingin membunuh kedua bangsat itu. Bagaimana jika aku membokong mereka dengan sumpit beracun?” Dari balik pakaiannya, Akiko keluarkan sebuah sumpitan yang terbuat dari kuningan lengkap dengan pelurunya sebesar ujung jari berbentuk bulat dan berduri-duri di beberapa bagian.
“Jangan!” cegah Ichiro. “Jarak mereka terlalu jauh. Peluru sumpit tidak bisa sampai ke sana. Di samping itu, tindakanmu sama saja dengan memberi tahu tempat persembunyian kita ini.” Akiko bantingkan kaki karena kesal. Tiba-tiba didengarnya Ichiro berseru. “Akiko! Lihat! Ada seseorang di atas atap bangunan rumah!”
Bagaimana terkejutnya Ichiro, begitu pula kagetnya Akiko. Di atas atap bangunan di bawah sana, pada bagian yang belum sempat disentuh kobaran api, di balik kepulan asap, kedua orang ini melihat sosok seorang laki-laki berpakaian dan berikat kepala putih tegak bertolak pinggang di atas wuwungan rumah.
Orang-orang Lembah Hozu yang masih ada di sekitar bangunan itu juga tampak terheran-heran melihat ada orang di atas atap bangunan yang mereka bakar. “Ichiro…” kata Akiko sambil memegang lengan pemuda itu. “Apakah kau tidak mengenali orang di atas atap itu? Bukankah dia gaijin bernama Wiro Sableng itu…?”
Ichiro Ioki usap kedua matanya berulang kali. “Astaga! Kau betul! Apa yang dilakukan pemuda asing itu di sana?! Sudah gila dia agaknya!” ujar Ichiro.
“Dia sengaja mencari mati!” kata Akiko pula. “Ninja sekalipun tidak berani melakukan hal seperti itu siang-siang begini!”
“Aku jadi tak habis pikir,” kata Ichiro pula. “Siapa sebetulnya pemuda itu. Sikapnya selalu merendah dan terkadang tampak seperti orang tolol!”
Di atas atap bangunan, orang yang berdiri di sana memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya hingga suaranya menjadi keras sekali, Wiro berteriak.
“Orang-orang Lembah Hozu! Kalian semua dengar! Jika kalian tidak segera membebaskan Kenichi dan menyerahkan dua pembunuh Yamazaki-san, maka Lembah Hozu akan menjadi lembah bangkai bagi kalian!”
Semua orang Lembah Hozu mendongak dan sama memandang ke atas atap. “Eh, manusia atau setan gunung yang ada di atas atap itu?!” berkata salah seorang pimpinan Lembah Hozu. Lalu dia berpaling pada dua kawan di sebelahnya. “Masashigi! Minoru! Orang itu menghendaki diri kalian!”
“Tak pernah kulihat tampang manusia itu sebelumnya!” berkata Masashigi Sakaji. “Ada di antara kalian yang mengenalinya?”
Semua orang menggelang.
“Wajahnya seperti bukan orang sini. Logat bicaranya aneh!” berkata Minoru Shirota. Lalu sambungnya sambil menyeringai, “Siapapun dia adanya, aku ingin melihat warna darahnya! Merah atau hitam… Ha… ha… ha…!”
“Orang-orang Lembah Hozu!” dari atas atap, Wiro kembali berteriak. “Sebelum para dewa marah, lekas tinggalkan tempat ini! Ingat ucapanku! Bebaskan Kenichi dan serahkan dua pembunuh Yamazaki-san. Aku beri waktu tujuh hari. Jika siang hari kedelapan Kenichi dan dua pembunuh itu tidak muncul di ujung lembah sebelah timur, kalian akan tahu rasa!”
Orang-orang Lembah Hozu berteriak marah mendengar seruan Wiro itu. Masashigi Sakaji balas berteriak. “Saat ini kami sudah ada di sini! Dua orang yang kau tuduh jadi pembunuh juga ada di sini! Mengapa tidak langsung menjatuhkan hukuman tapi hanya bermulut besar?!”
“Aku tidak terlalu tolol mempertaruhkan nyawa Kenichi!” sahut Wiro.
“Kalau begitu biar nyawa busukmu kami habisi lebih dulu!” teriak Minoru Shirota. “Sebelum kau mati, harap jelaskan siapa dirimu dan apa hubunganmu dengan Hiroto Yamazaki!”
“Aku penguasa Gunung Fuji!” jawab Wiro membual dengan suara keras. “Berarti tak ada seorang pun boleh melawan kehendakku, kecuali mereka yang sudah bosan hidup dan ingin jadi bangkai!” teriak Wiro seraya menunjuk tepat-tepat ke arah Minoru Shirota.
“Penguasa Gunung Fuji” teriak Minoru lalu meludah ke tanah. Orang-orang Lembah Hozu lainnya tertawa keras dan sunggingkan tampang mengejek ke arah Wiro. Masashigi Sakaji yang sudah tidak sabaran saat itu memberi isyarat kepada enam orang yang membawa busur dan panah. Keenam orang ini langsung cabut anak panah dan rentangkan tali busur. Enam panah beracun dibidikkan ke arah Pendekar 212 yang masih tegak di atas atap bangunan.
Ketika Masashigi jentikkan jari-jari tangan kanannya, enam orang yang merentang busur serta merta melepaskan panah masing-masing. Enam panah beracun melesat ke atas atap.
Di atas atap tiba-tiba tampak pemuda yang jadi sasaran telah memegang sebilah katana. Senjata ini diputar laksana titiran. Enam kali terdengar suara berdentrang dan enam anak panah luruh ke bagian bawah bangunan yang dimakan api.
Kini orang-orang Lembah Hozu baru terbuka mata mereka. Selagi mereka masih mendelik menyaksikan kejadian tadi, Wiro Sableng lemparkan senjata di tangannya ke bawah. Di lain kejap, salah seorang yang tadi memanah menjerit keras lalu roboh ke tanah dengan perut tertembus pedang.
Kini orang-orang Lembah Hozu menjadi sangat marah. Semua mereka berteriak keras. Dua orang di atas kuda bergerak mengelilingi bangunan sambil memutar-mutar tali yang di ujungnya ada pengait besi. Lima orang yang memegang panah kembali membidikkan senjatanya. Yang lain-lain mencabut pedang lalu mengurung bangunan. “Runtuhkan bangunan! Jangan sampai bangsat itu lolos!” teriak Masashigi.
Dua orang yang memegang tali berkait segera menarik tiang-tiang kayu yang masih utuh. Dua bagian bangunan langsung ambruk. Atap bangunan di mana Pendekar 212 berdiri miring ke kiri.
Selagi dia mengimbangi diri agar tak terperosok jatuh, lima anak panah beracun menderu ke arah lima bagian tubuhnya!
Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini keluarkan bentakan keras. Lalu dari tangan kanannya tampak memancar sinar berwarna perak. Ketika tangan itu dihantamkan, menghamparlah hawa panas disertai sambaran cahaya menyilaukan! Lima anak panah mental leleh! Lalu terdengar suara ledakan dahsyat! “Buummmm!”
Tanah berlapis salju di depan bangunan yang terbakar, mencuat bertaburan ke udara. Dua ekor kuda terpelanting dan menjatuhkan penunggangnya. Di bagian lain terdengar tiga jeritan lalu tiga sosok tubuh tergeletak hangus di atas salju! Masashigi dan Minoru dan yang lain-lainnya masih sempat menyingkir. Tapi muka mereka kini tampak seputih salju Gunung Fuji!
Ketika keadaan kembali tenang, semua orang lagi-lagi dibikin kaget. Kini kaget karena pemuda yang tadi berada di atas, tak tampak lagi sosoknya! Para pimpinan orang-orang Lembah Hozu memandang berkeliling. Pemuda yang mereka cari tetap tak ada lagi, laksana amblas ditelan gunung! “Tinggalkan tempat ini!” Minoru Shirota berteriak memberi perintah. Orang-orang Lembah Hozu yang saat itu memang sudah merasa ngeri karena seumur-umur belum pernah mengalami hal seperti itu, serta merta bergerak meninggalkan tempat itu dengan cepat.
Masashigi mendekatkan kudanya ke kuda Minoru lalu berkata, “Terus terang aku tidak takut kepada pemuda tadi, walau kepandaiannya setinggi langit! Tapi untuk mencegah hal-hal yang tidak diingini, kurasa kita harus menghubungi nenek sihir Arashi. Hanya dia agaknya yang bisa menghadapi kekuatan aneh yang dimiliki pemuda itu!”
“Ya… ya…!” jawab Minoru Shirota. “Nenek Arashi akan menghancur luluhkan tubuhnya sampai berbentuk sekepal daging cincang!”
Sementara itu dalam goa, Ichiro dan Akiko masih terbengong-bengong menyaksikan apa yang terjadi tadi. “Tak percaya kalau aku tidak melihat sendiri…” Ujar Ichiro.
“Pemuda asing itu…” desis Akiko. “Apa yang dikatakan sensei memang mungkin benar Ichiro….
Seorang pendekar baru telah muncul di Gunung Fuji… Hawa panasnya terasa sampai ke dalam goa ini. Kurasa itulah pukulan sinar matahari yang dikatakan guru. Luar biasa!”
“Hanya para tukang sihir pemilik ilmu hitam yang mampu melakukan hal seperti itu…” kata Ichiro.
“Tapi dia bukan tukang sihir…” bisik Akiko, masih terkagum-kagum. “Ah, ke mana kita harus mencarinya sekarang? Dia lenyap begitu saja…!”
Ichiro menatap paras adik seperguruannya sesaat. Dia tahu apa yang ada dalam benak dan hati adiknya itu. Sama seperti yang kini diinginkannya. Tapi dia malu untuk mengatakan karena sebelumnya dia dan Kunio serta Kenichi telah menganggap rendah pemuda itu.
“Jika kalian mencarinya haruslah dengan maksud yang sama seperti maksudku! Dia telah mencuri kitab guru dan mencelakai diriku! Baginya hanya ada satu hal, mati!” Ichiro dan dan Akiko sama berpaling. Saat itu Kunio Ota ternyata sudah siuman dari pingsannya dan tengah tegak bersandar ke dinding goa.
“Ah! Kunio! Kau sudah sadar…!” seru Ichiro.Lalu bersama Akiko menghampiri pemuda itu.
Rumah teh Mangetsu terletak di suatu bukit di luar Kyoto. Sepanjang hari tempat ini ramai dikunjungi orang yang ingin melepas dahaganya. Selain teh yang dihidangkan memang nikmat, pelayanan di sini pun sangat baik.
Pendekar 212 duduk di sudut ruangan dekat jendela. Seorang pelayanan perempuan datang membawakan pesanannya. Sebelum pergi pelayan itu menunjuk bangku kosong di samping Wiro dan bertanya, “Tuan, apakah ingin saya temani?” Wiro tersenyum. “Arigatoo Gozaimashita, terima kasih, Saya lebih suka duduk sendiri.” Pelayan itu lalu pergi.
Setelah memandang berkeliling, Wiro mengangkat cangkir dan meneguk tehnya. Baru saja ia meletakkan cangkir di atas meja, di pintu tampak muncul seorang, yang dari pakaian dan keranjang bututnya, jelas seorang pengemis. Wajahnya tak kelihatan karena tertutup tudung jerami lebar.
Begitu pengemis itu melangkah masuk, seorang pelayan menghadangnya. “Pengemis tidak boleh berada di rumah teh ini. Lekas keluar!”
Tenang saja pengemis itu melepaskan lipatan kecil dan menyerahkan pada si pelayan. “Maksudmu pemuda asing itu?” Si pelayan berpaling ke arah Wiro duduk. Si pengemis mengangguk lalu putar tubuh dan pergi. Pelayan lalu menghampiri Wiro lalu meletakkan lipatan kertas di atas meja.
“Pengemis tadi meminta saya menyerahkan ini kepada Tuan.” Meski heran Wiro mengambil kertas dan membuka lipatannya. Di situ tertera kalimat pendek berbunyi. Temui aku di Puri Nanzen, Penting!
“Aneh! Tak ada pengirim. Diakah yang ingin bertemu?” Murid Sinto Gendeng menggaruk kepalanya. Wiro cepat-cepat menghabiskan minumannya. Setelah membayar, ia meninggalkan rumah teh itu menuju ke bagian barat kota.
Puri Nanzen sebuah puri besar yang dibangun oleh pendeta Zen puluhan tahun lalu. Bagian luarnya dikelilingi pepohonan rimbun, berumput dengan dua telaga kecil, dan jalan setapak yang diberi batu-batuan. Untuk beberapa lamanya Wiro memperhatikan bangunan itu. Sepi. Tak tampak orang di sana. Desah angin satu-satunya yang tertangkap di telinga Wiro.
“Jangan-jangan aku jadi permainan pengemis sinting,” berkata Wiro dalam hati. Dia melangkah ke tepi telaga di sebelah kanan. Berhenti di sini, memandang sekeliling baru melangkah menuju tangga puri. Bagian luar puri merupakan serambi terbuka yang mengelilingi bangunan utama. Wiro melangkah memutari bangunan itu. Akhirnya dia kembali ke tangga sambil berpikir-pikir. Bukan mustahil ada orang yang menjebaknya. Tapi siapa? Orang-orang Lembah Hozu? Dua hari belakangan ini memang banyak kejadian yang dihubungkan dengan tindak-tanduk orang-orang Lembah Hozu.
Wiro duduk beberapa saat. Ketika tidak ada juga orang yang muncul, dengan kesal berteriak, “Pengemis bertopi jerami, di mana kau?” Tidak ada jawaban. Desau angin menambah dinginnya udara. Pendekar 212 berdiri sambil berteriak dan memaki, “Sialan! Aku benar-benar kecele!” Wiro langkahkan kakinya menuruni tangga.
Tiba-tiba dari samping terdengar suara berdesir. Wiro menoleh. Tiga buah benda bulat sebesar ibu jari melesat ke arahnya. Senjata rahasia! Sambil mengerang ia menghantam dengan satu tangan kosong. Tiga senjata rahasia mengeluarkan suara letusan dan buyar di udara. “Mengundang lalu membokong benar-benar perbuatan rendah!” teriak Wiro.
Baru saja memaki sebuah benda melesat berkilauan. Ternyata sebuah katana pendek. Pendekar 212 cepat melompat ke samping. Pedang meleset dan menancap di serambi. “Edan!” maki Wiro, lalu mencabut pedang yang menancap di tiang sambil menelitinya. Wiro tidak mengerti maksud pelempar pedang itu. Dengan kesal akhirnya dihujamkan ke lantai puri. Saat itulah dia melihat ada sesuatu melayang di atas pohon besar di samping puri. Wiro hendak menghantam tapi cepat sekali lenyap. Saat dikejar hingga di samping puri, tidak ada apa-apa lagi.
“Yang melayang tadi jelas sosok manusia. Dia tak mungkin ada bersembunyi di halaman sini…”
Wiro perhatikan pohon-pohon besar di sekelilingnya. Jangankan manusia, burung pun tak ada yang hinggap di pepohonan itu.
“Aku ada di dalam sini” terdengar suara dari dalam puri. Wiro cepat berpaling. “Siapa di dalam sana?”
“Masuklah cepat! Aku tak ingin ada orang melihatmu!” terdengar lagi suara dari dalam puri, lalu pintu dorong bangunan itu bergeser ke samping.
Wiro penasaran dan jengkel. Ia siapkan satu pukulan sakti di tangan lalu melompat memasuki puri lewat pintu yang terbuka. Begitu masuk, pintu dorong tertutup kembali. “Kau!” teriak Wiro ketika melihat sosok pengemis. “Kau mengundangku ke mari lalu hendak membunuhku secara pengecut! Membokong! Apa apaan ini!?”
“Sabar jangan cepat marah Wiro. Mari kita bicara. Ada beberapa yang perlu kita rundingkan!” jawab pengemis.
Wiro menundukkan kepala, maksudnya hendak mengintai wajah di bawah tudung itu. Namun itu tak perlu dilakukannya karena seketika si pengemis membuka tudungnya. Ketika melihat wajah pengemis itu, terkejutlah Wiro. “Akiko! Aku benar-benar tidak mengenalimu. Suaramu-pun aku tidak kukenal!”
Gadis murid mendiang Hiroto Yamazaki itu tersenyum. “Aku tadi bicara dengan suara perut. Makanya kamu tadi tidak mengenali suaraku yang seperti laki-laki… Sekarang suaraku bagaimana…?”
“Ah! Sekarang kudengar suara aslimu. Suara perempuan. Hai katakan apa-apaan yang kamu lakukan ini Akiko? Mana yang lain-lain…?!”
“Sssst… jangan bicara terlalu keras. Di jepang, dinding dan pohon bisa mendengar…” ujar Akiko Bessho. “Aku sengaja menyamar karena di luar sangat gawat. Aku melihat ada gerakan-gerakan tertentu yang dilakukan orang Lembah Hozu…”
“Kau betul. Mereka melakukan penyelidikan di mana-mana. Aku tidak mengerti ada pasukan resmi membantu mereka…”
“Berarti mereka punya hubungan dengan penguasa.”
“Betul,” kata Akiko. “Bukan itu saja. Mereka melakukan penyelidikan dengan sewenang-wenang. Beberapa orang mereka siksa, bahkan ada yang dibunuh…!”
“Apa yang mereka selidiki?” tanya Wiro.
“Apalagi kalau bukan mencari jejak kita?” jawab Akiko. “Termasuk mencarimu!” kata gadis itu kemudian. “Semua ini karena ancaman yang kau katakan sewaktu orang-orang Lembah Hozu membakar rumah sensei!”
“Astaga! Jadi aku telah melakukan kesalahan besar…?”
“Aku tidak bilang begitu. Namun itulah kenyataan yang terjadi. Kita semua harus hati-hati. Orang-orang Lembah Hozu telah membayar mata-mata untuk mencari kita… Apakah kau tidak merasa diikuti orang ketika menuju kemari…?”
“Heh?!” Wiro memandang lekat-lekat ke arah Akiko. “Aku tak tahu. Jangan-jangan kecurigaanmu beralasan!”
“Di samping itu, aku punya masalah dengan Kunio Ota…,” berkata Akiko.
“Apa masalahmu? Bagaimana keadaan pemuda pemberang itu?”
“Dia tidak setuju ketika aku mengambil keputusan mencarimu. Dia khawatir…”
“Khawatir atau cemburu…?” Wiro memotong. Paras Akiko menjadi sangat merah. Wiro tertawa perlahan.
“Kunio tetap yakin bahwa kau yang mencuri kitab pelajaran Kendo milik guru. Jika kau jujur, maukah kau mengatakan bahwa kau tidak mencari buku pelajaran ilmu pedang yang langka itu?”
“Siapa dewa yang paling kamu hormati, Akiko?” tanya Wiro.
“Dewa matahari…,” jawab sang dara.
“Nah, demi dewamu itu, aku bersumpah tidak mencuri buku atau apapun di tempat kediaman gurumu!”
“Sumpahmu tak ada harganya!” kata Akiko pula.
“Eh, kenapa begitu?” tanya Wiro heran.
“Kepercayaanmu dan kepercayaanku berlainan. Bagaimana mungkin kau mengangkat sumpah dengan kepercayaan orang lain!?”
“Ah begitu? Kau mungkin benar,” kata Wiro sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Kalau begitu aku bersumpah atas nama persahabatan kita! Bisa kau terima sumpahku sekarang?”
“Masih belum.”
“Kenapa?”
“Soalnya kita belum tentu bersahabat. Aku belum tahu siapa dirimu sebenarnya. Muncul di sini entah membawa niat jahat atau apa…”
“Ah…” Wiro geleng-geleng kepala.
“Kau keliru Akiko. Jika kau sengaja mencariku dan menginginkan pertemuan ini, berarti kau telah menunjukkan rasa persahabatan. Kalau kau tidak percaya dirimu, apa perlunya mencari diriku dan menyamar segala!”
“Aku menyamar agar tidak ketahuan orang-orang Lembah Hozu dan Kunio. Kunio mengancam membunuhku jika aku menemuimu,” Akiko menutup wajahnya seperti menahan tangis.
Wiro dekati gadis itu dan pegang bahunya. “Maafkan kalau aku membuatmu menjadi marah dan bingung. Tapi aku betul-betul tidak mencuri sesuatu pun. Justru aku ingin menyelidiki pencuri itu dan menemukannya kembali.”
Perlahan-lahan Akiko turunkan kedua tangannya. Sepasang mata bening gadis ini menatap ke bola mata pendekar 212. “Betulkah kau hendak membantu menemukan buku itu kembali?” Tanya sang dara.
Wiro mengangguk. “Tadi kau hendak merundingkan beberapa urusan. Urusan apa?”
“Urusan pertama tentang kitab yang hilang. Terima kasih kamu bersedia membantu. Yang kedua, ini yang penting. Cara menghadapi orang-orang Lembah Hozu. Kau telah mengancam dan memberi waktu tujuh hari kepada mereka. Bisa saja sesuatu terjadi kepada mereka. Bagaimana membuktikan ancamanmu? Kau tidak bisa menghadapi mereka seorang diri. Aku mendengar orang-orang Lembah Hozu meminta bantuan nenek Arashi.”
“Siapa nenek yang memiliki nama begitu hebat? Nenek Topan?” tanya Wiro.
“Seorang jago sihir kawakan. Dia bisa mencabut pohon dengan akarnya lalu melemparkan ke arahmu!” jawab Akiko.
Wiro keluarkan suara berdecak. “Belum pernah aku mendengar kehebatan seperti itu, aku ingin sekali melihatnya!”
“Jangan bicara takabur Wiro-san…”
“Hanya itulah urusan yang ingin kau bicarakan?” tanya Wiro kemudian.
“Masih ada yang lainnya.”
“Apa itu?”
“Bagaimana kita bisa menyelamatkan Kenichi?”
“Itu memang bukan urusan mudah. Orang-orang Lembah Hozu itu memang menjaga Kenichi secara ketat. Kau tak usah memikirkan….”
“Dia saudara seperguruanku. Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya?!”
“Jangan salah sangka dulu Akiko. Bicaraku tadi belum selesai. Urusan Kenichi biar aku yang mengatur asal kau mau membantu…”
“Aku sendiri hanya punya kemampuan terbatas….” kata Akiko.
“Ah, kau terlalu merendah. Buktinya kau tadi menunjukkan kehebatanmu dengan melempar senjata rahasia serta sebilah katana!”
Merahlah paras Akiko Bessho. “Yang kulakukan tadi bukan mencelakaimu. Itu untuk membuktikan bahwa kau seorang yang bisa diandalkan. Apa yang dikatakan sensei bukan cerita kosong…”
Wiro tertawa lebar, “Kau tahu Akiko, di negeriku banyak sekali orang yang pandai bicara. Tapi perempuan di sana bersikap diam. Tidak ada yang pandai bicara, apalagi berkelit lidah sepertimu saat ini… Kalau tadi pedangmu sempat menembus jantungku, tentu aku tidak akan pernah mendengar alasan yang kau katakan, iya kan?”
“Nah, sudah selesaikah urusan ini atau ada urusan lain?”
“Masih ada satu lagi. Ini yang terakhir.”
“Katakanlah!”
“Sebenarnya aku malu menyampaikannya …”
“Katakan saja Akiko,” ujar Wiro.
Akiko Bessho diam sesaat. Tampaknya seperti ragu. “Ah, baiknya kubatalkan saja mengatakannya kepadamu,” kata gadis ini.
Wiro menggeleng. “Memendam sesuatu tidak baik… Kau tidak percaya padaku. Atau malu. Bukankah kita bersahabat?” ujar Wiro seraya mengambil topi jerami lebar dari tangan Akiko lalu mengenakannya di kepalanya. “Tampangku pasti seperti pengemis beneran!” kata Wiro, yang membuat Akiko tertawa geli. “Sekarang apakah kau tidak akan mengatakannya?”
“Baiklah, aku akan terus terang saja,” jawab Akiko. “Ini menyangkut pesan gurumu dalam surat yang dulu kau bawa untuk sensei. Apakah kau masih bersedia mengajarkan ilmu pukulan sakti bernama Pukulan Sinar Matahari itu?”
“Ah..! Itu rupanya!” kata Wiro seraya tertawa lebar dan garuk-garuk kepala. “Untukmu pintu selalu terbuka, Akiko. Bagaimana dengan saudara-saudara seperguruanmu yang lain?”
“Ichiro sebenarnya ingin juga mempelajari kesaktian itu. Tetapi dia merasa malu karena sudah terlanjur mengejekmu. Kenichi tak masuk hitungan karena masih berada dalam sekapan orang-orang Lembah Hozu. Tinggal Kunio. Dia pasti akan membunuhku jika tahu aku menemuimu, apalagi sampai belajar padamu.”
“Hemmmm, begitu? Kau sungguhan ingin mempelajari Pukulan Sinar Matahari?”
Akiko mengangguk. “Aku ingin pada saat kau mendatangi Lembah Hozu pada hari kedelapan, aku sudah menguasai ilmu itu.”
“Semua itu tergantung pada tingkat tenaga dalam yang kau miliki dan kemampuanmu menghapal bacaan tertentu secara cepat…”
“Aku akan belajar sungguh-sungguh, siang malam…!”
“Bukan itu saja masalahnya Akiko. Tapi ada satu hal yang sangat berat dan kurasa tak mungkin kau lakukan…”
“Apakah itu? Apa yang harus aku lakukan?”
“Orang yang akan mempelajari pukulan sakti tersebut harus dalam keadaan tanpa pakaian…”
“Apa?!” Akiko Bessho tersentak. “Gila! Aku harus telanjang?! Ilmu macam apa itu! Persetan dengan ilmu itu! Lebih baik aku tak mendapatkannya!” sang dara tampak berang dan membalik membelakangi Wiro.
Pendekar 212 tertawa mengekeh. Akiko cepat membalik. “Mengapa kau tertawa?!” tanya Akiko gusar.
“Kau seperti anak kecil! Percaya saja apa yang kukatakan tadi!”
“Jadi… Apa maksudmu sebenarnya?”
“Untuk belajar pukulan sakti itu tidak perlu harus telanjang segala! Aku hanya bergurau! Senang melihat pipimu merah kalau marah!”
“Gaijin kurang a…” Akiko tidak teruskan ucapannya.
Di hadapannya Wiro memberi isyarat. Ketika Wiro melangkah keluar dari puri, Akiko mengikuti.
Di salah satu halaman Puri Nanzen terdapat dua buah batu yang masing-masing hampir dua kali besar kepala manusia. Wiro menunjuk pada batu sebelah kanan. “Alirkan tenaga dalammu ke tangan sebelah kanan, lalu pukul batu itu.”
“Kau hendak menguji atau bagaimana?”
“Terserah kau mau bilang apa. Tapi aku harus melihat dulu tingkat tenaga dalammu. Aku percaya kau pasti sudah memiliki tingkat yang tinggi, nah cobalah…!”
Perut Akiko tampak mengempis, bibirnya terkatup rapat. Kedua kakinya menekuk dan tubuhnya turun perlahan. Tangan kanan diangkat ke atas. Lalu terdengar bentakan keras keluar dari mulutnya.
Bersamaan dengan itu tangan kanannya memukul. “Praaakkk!” Batu hitam di sebelah kanan yang jadi sasaran hancur berantakan.
“hebat!” memuji Wiro. Dia membungkuk dan memungut serta memperhatikan pecahan-pecahan batu. “Kau mempunyai dasar tenaga dalam yang baik. Malam nanti kita mulai latihan…”
“Terima kasih,” kata Akiko, seraya menjura beberapa kali. Lalu gadis itu bertanya, “Sebagai imbalan, apakah yang harus kulakukan untukmu?”
Murid Sinto Gendeng menatap wajah bulat di depannya beberapa saat. Lalu senyum menyeruak di mulutnya. Akiko jadi curiga. Buru-buru gadis ini berkata, “Jangan kau berani meminta yang bukan-bukan…!”
“Aku ingat pada kepandaianmu mengubah suara tadi. Maukah kau mengajarkannya padaku?”
Tiba-tiba Wiro mendengar suara berucap, “Wiro-san, gurumu jelas-jelas dalam suratnya mengatakan tidak ada pamrih. Mengapa sekarang kau justru meminta imbalan…?”
“Astaga! Itu suara Hiroto Yamazaki!” ujar Wiro dalam hati. Terkesima tapi juga tampak merah mukanya, pemuda ini berpaling ke kiri dari arah mana tadi dia mendengar suara itu datang.
“Kau mencari siapa?” tanya Akiko dengan senyum di bibir.
“Aku barusan mendengar…” Wiro tak meneruskan ucapannya. Di hadapannya, Akiko tampak berusaha menahan tawa. Kini Wiro sadar apa yang telah terjadi. Akiko tadi pasti telah mempergunakan kepandaian berbicara dengan perutnya, meniru suara mendiang gurunya! Mau tak mau Wiro hanya bisa menyengir.
Sambil garuk kepala, pemuda ini serahkan topi jerami kembali pada Akiko. Belum sempat topi itu disentuh si gadis, tiba-tiba terdengar suara berdesing. Wiro berteriak memberi peringatan. Akiko melompat ke samping kanan, Wiro ke arah kiri. Dua bilah golok pendek menderu dan menancap ditopi jerami yang masih berada dalam genggaman Pendekar 212.
Pada saat itu pula lima orang berpakaian merah melayang turun dari atas dua buah pohon besar yang ada di taman Puri Nanzen. Akiko keluarkan seruan kaget. “Komplotan pembunuh bayaran Teruko!”
Lima orang berpakaian serba merah menyebar mengurung Akiko dan Wiro. Mereka terdiri dari empat orang laki-laki yang wajahnya dilumuri pupur berwarna merah sedang rambut dicukur pendek berdiri dan juga berwarna merah. Orang kelima ternyata seorang nenek berpipi cekung tetapi masih memiliki rambut hitam lebat disanggul rapi. Mukanya celemongan tidak karuan.
Meski jelas kelima orang itu tidak bermaksud baik, namun murid Sinto Gendeng masih bisa bergurau. “Kalian ini para pemain sandiwara kabuki (semacam sandiwara tradisional Jepang) mengapa bisa kesasar ke mari…?!”
“Pemuda asing gila! Apa dia tidak tahu gelagat tengah menghadapi siapa!” Akiko Bessho memaki dalam hati. Gadis ini gerakkan kedua kakinya membuat kuda-kuda. Tangan kanannya tergantung sedemikian rupa, siap untuk mencabut katana yang tersembunyi di punggung pakaiannya.
Empat lelaki berambut merah keluarkan suara mendengus marah mendengar ucapan Wiro tadi.
Sebaliknya si nenek malah keluarkan suara tertawa cekikikan! Dia mengerling genit ke arah Wiro lalu berpaling pada Akiko. “Mendiang Hiroto Yamazaki pasti tidak tenteram di akhirat melihat murid perempuannya bersuka-sukaan dengan seorang pemuda asing!”
“Tua bangka kurang ajar! Tampangmu jelek, mulutmu kotor!” teriak Akiko marah. Tangan kanannya mulai bergerak ke arah punggung.
Perempuan berwajah celemongan ganda tertawa. “Mukaku memang jelek, mulutku suka usil! Hikk… hik…hik..!” jawab si nenek. Lalu sambungnya, “Tapi banyak lelaki suka padaku, Hikk… hik…hik…!”
“Aku tidak heran!” menyahuti Akiko. “Siapa yang tidak kenal dengan nenek Teruko! Perempuan binal yang sudah jadi pelacur sejak usia empat belas tahun!”
“Anak perawan! Mulutmu sudah kelewatan! Anak-anak, bunuh dia!” perintah Teruko pada keempat anak buahnya. “Sreet…!” empat bilah katana pendek dicabut berbarengan. Empat lelaki bermuka dan berambut merah itu langsung mengurung Akiko. Si nenek sendiri sambil tertawa-tawa melangkah mendekati Wiro, kedipkan matanya dan berkata, “Pemuda asing, tampangmu cukup menawan. Jika malam ini kau mau menginap di rumahku, aku akan ampunkan kau punya nyawa. Siapa namamu sayang…?”
Sambil berkata begitu enak saja dan cepat sekali si nenek mencuil dagu Wiro. Murid Sinto Gendeng merasakan tengkuknya merinding. “Kau ini siapa? Kenal pun baru kali ini, mengapa enak saja bicara soal pengampunan nyawaku?” tanya Wiro.
Si nenek tertawa dan kedipkan lagi matanya. “Namaku Teruko. Aku ketua komplotan Teruko yang bisa disewa untuk melakukan apa saja! Saat ini aku mendapat pekerjaan untuk membunuhmu dan gadis itu! Apa kau tidak berterima kasih kalau aku kini mengampunimu?”
“Perlu apa mengampuni diriku? Apa aku punya kesalahan padamu?”
“Oooo…” Wiro ikut-ikutan runcingkan mulut. “Siapa yang menyewa kalian?”
“Itu rahasiaku! Tapi di atas ranjang malam ini mungkin aku akan mengatakannya!” jawab si nenek lalu tertawa tersipu-sipu.
“Tidak kau katakan pun aku sudah tahu. Pasti orang-orang Lembah Hozu!”
“Ah, ternyata otakmu cerdas. Aku suka pemuda-pemuda cerdas sepertimu…” kata nenek Teruko pula.
Saat itu terjadi perkelahian antara Akiko dengan empat anak buah Teruko. Seperti diketahui, Akiko adalah satu-satunya murid pewaris ilmu pedang paling pintar dari Hiroto Yamazaki. Katana yang tergenggam di kedua tangannya menderu ganas menghadapi empat pedang pendek keempat pengeroyoknya. Para pengeroyok yang tidak menyangka bakal mendapatkan perlawanan keras, sambil berteriak-teriak memperapat kurungan dan lancarkan serangan-serangan berantai.
Untuk beberapa lamanya Akiko sanggup membendung serangan empat lawannya, tetapi setelah berkelahi lebih dari sepuluh jurus, walaupun sempat melukai lengan salah seorang pengeroyok, pada akhirnya gadis ini mulai terdesak. Keselamatannya terancam.
“Hentikan serangan kalian! Jangan main keroyok!” teriak Wiro. Masih dengan memegang topi jerami yang ditancapi dua bilah golok, Wiro segera melompat ke tengah pertarungan. Namun ada seorang menarik pinggang celananya. Ketika dia berpaling, ternyata nenek Teruko yang melakukan! Nenek itu tersenyum dan lagi-lagi kedipkan mata!
“Tua bangka sialan!” maki Wiro dalam hati. Lalu dia membentak, “Perintahkan empat anak buahmu menghentikan pengeroyokan! Lalu cepat pergi dari sini!” Dalam keadaan marah Wiro hampir tidak sadar kalau tangan si nenek masih memegangi pinggang celananya. Tiba-tiba tangan itu cepat sekali menyusup ke dalam celana Wiro.
Pendekar 212 tergagap kaget. Hampir saja anggota terlarangnya disentuh jari-jari tangan kurang ajar nenek Teruko. Saking marahnya, Wiro langsung gebukkan topi jerami di tangan kanannya ke muka Teruko! Perempuan tua itu tertawa cekikikan. Dia terpaksa menarik tangan kanannya yang jahil. Sambil mundur dua langkah, dia silangkan lengan kiri untuk menangkis gebukan topi jerami.
“Braakkk!” Topi jerami milik Akiko itu hancur berantakan. Dua bilah golok yang tadi menancap di topi mencelat ke udara. Begitu senjata itu jatuh ke bawah, nenek Teruko melompat keatas. Di lain kejap, kedua golok itu sudah berada dalam genggaman si nenek! Dan hebatnya, sesaat kemudian senjata itu telah dilemparkannya ke arah Akiko Bessho, padahal saat itu si gadis berada dalam keadaan terdesak hebat!
Akiko bukannya tidak melihat kedatangan dua golok yang menyebar ke arahnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa karena saat itu empat lawan menyerbu dengan dahsyat! Kalau pedangnya dipakai untuk menangkis dua golok, tubuhnya tidak terlindung lagi dari gempuran pedang para pengeroyok!
Dalam keadaan genting seperti itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan Pendekar 212. “Akiko! Tangkis dua golok terbang!” Bersamaan dengan itu, murid Eyang Sinto Gendeng dorongkan kedua tangannya ke arah empat pengeroyok yang berpakaian dan berwajah serta berambut merah. Dua gelombang pukulan sakti bernama “Dewa Topan Menggusur Gunung” yang didapatnya dari Tua Gila, seorang sakti dari pulau Andalas, menghantam dahsyat. Empat orang murid nenek Teruko berteriak kaget saat menyadari tubuhnya laksana terseret badai. Mereka berusaha bertahan sambil mengejar Akiko dengan ujung senjata masing-masing.
Tapi, “Wusssss!” Keempat lelaki itu mencelat mental, bergulingan di tanah dan untuk beberapa saat tergeletak dengan muka merah mereka tampak babak belur! Salah seorang mencoba berdiri, tapi terhuyung-huyung dan batuk beberapa kali. Dari mulutnya meleleh darah, lalu lelaki itu roboh kembali.
“Trang… trang…!” Seperti yang diteriakkan Wiro, Akiko kini mampu mempergunakan pedangnya untuk menghantam mental dua golok pendek yang tadi dilemparkan nenek Teruko. Selamatkan gadis ini dari serangan maut. Akan halnya nenek Teruko si kepala komplotan kegetnya bukan kepalang. Dia memang gusar melihat Akiko lolos dari kematian. Namun yang membuatnya tersirap adalah pukulan sakti yang dilepaskan Pendekar 212, yang sempat membuat empat anak buahnya terpental dan babak belur terkapar di halaman puri.
“Pemuda asing ini luar biasa! Ilmu pukulannya tidak kalah dengan nenek Arashi. Ada hubungan apa pemuda ini dengan nenek sihir itu! Ah, aku benar-benar bisa jadi hitome bore (cinta pada pandangan pertama) padanya! Jika aku bisa memanfaatkan dirinya, tidak sulit menjadi orang nomor satu di negeri ini!”
Nenek Teruko maju dua langkah mendekati Pendekar 212. Tanpa pedulikan lagi empat anak buahnya yang cedera, si nenek berkata, “Anak muda, ternyata kau memiliki pukulan sakti sehebat badai. Apa sangkut pautmu dengan nenek Arashi?”
Wiro yang pernah mendengar nama nenek tukung sihir itu menjawab, “Aku tidak ada sangkut paut dengan segala macam nenek-nenek, termasuk denganmu!”
“Ah, jangan begitu anak muda. Dengar… aku bersedia menjadikan kau sebagai wakilku. Kita bekerja sama, gajimu enam tail perak sebulan! Pasti kau mau menerima!”
“Wiro-san! Jangan terpancing!” teriak Akiko.
“Pasti aku menolak!” sahut Wiro, membuat si nenek terperangah.
“Anak bodoh, setahun bekerja denganku, kau bisa membangun puri sebagus puri Nanzen ini! Apa itu tidak hebat?”
“Aku tidak suka jadi orang hebat. Nenek, aku minta kau meninggalkan tempat ini dan jangan ganggu kami lagi!” kata Wiro.
“Enak saja kau berucap begitu…!”
“Lalu maumu apa?”
“Kuberi susu kau minta jelaga. Kuberi madu kau minta racun! Sekarang bersiaplah untuk mati!” kata nenek Teruko. Lalu dari balik pakaiannya dia mengeluarkan senjata tombak aneh. Ujung satunya berupa sebilah pedang pendek, sedang ujung lainnya berbentuk bulat penuh dengan lobang kecil.
Melihat ini, Akiko segera mendekati Wiro dan berbisik. “Hati-hati dengan ujung tombak berbentuk bulat. Di dalamnya tersimpan racun yang bisa membuat mata buta serta menutup jalan nafas!”
“Terima kasih, kalau begitu lekas kita tutup jalan nafas dan kau berdiri dekat pohon sana!” kata Wiro. Sebagai pendekar yang sudah kebal terhadap segala jenis racun, sebenarnya Wiro tidak khawatir. Namun murid Sinto Gendeng tidak mau menganggap rendah orang.
“Wutttt!” Nenek Teruko kiblatkan senjatanya. Dari lobang kecil pada ujung berbentuk bola serta merta menebar benda berbentuk butir pasir halus. Begitu menyentuh udara meletus dan berubah menjadi asap hitam yang baunya busuk luar biasa, membuat jalan pernafasan sesak dan mata perih.
Selagi asap menutup pemandangan, si nenek pergunakan kesempatan tusukkan ujung pedang ke arah perut lawan!
Pendekar 212 berseru keras. Tubuhnya melesat ke udara setinggi satu setengah tombak. Dari atas dia langsung melepas pukulan kosong. Tapi cepat sekali nenek menyambar ke arah pergelangan tangannya. Selagi Wiro menarik kembali serangannya, senjata lawan sudah menyemburkan asap lagi.
Wiro merasakan jalan pernafasannya sesak. Kaki kirinya melesat mencari sasaran nenek Teruko. Si nenek cepat sekali menundukkan kepala dan tiba-tiba tombak dengan cepat menusuk ke atas selangkangan Wiro. “Nenek gila, gerakannya cepat sekali,” maki Wiro. Mau tidak mau dia membuang diri ke samping. Untuk menghindari serangan, dia langsung melepas serangan “Kunyuk Melempar Buah”.
Nenek Teruko gusar besar melihat serangannya yang susul menyusul mampu dielakkan lawan.
Asap beracunnya tidak berhasil mencelakakan pemuda itu. Dan kini dari atas kini dia merasakan ada gundukan batu raksasa yang siap menimbunnya. Sambil memutar tombaknya, nenek melompat mundur. Tangan kirinya dipukulkan ke atas. Dia memang memiliki pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi. Tapi begitu pukulannya bertemu dengan pukulan lawan, menjeritlah wanita tua bermuka celemongan ini. Tangan kirinya terkulai lemas, lalu terbanting di tanah. Dia tidak lagi bisa menggerakkannya!
“Celaka! Apa yang terjadi dengan tanganku ini!” si nenek mengeluh dalam hati. Selagi kebingungan seperti itu, tendangan Wiro sampai di badan tombak yang ada di tangan kanannya.
Tak pelak lagi, pedang itu terpental jatuh di atas rumput taman puri Nanzen dalam keadaan bengkok!
Nenek Teruko berseru tegang. Empat anak buahnya terkesiap kaget. Saat itu Pendekar 212 telah menjejakkan kedua kakinya di atas tanah kembali sambil bertolak pinggang dan berkata. “Kalau pelajaranku tadi belum membuatmu kapok, bersiaplah menerima pelajaran susulan!”
Wajah nenek Teruko membesi. Pandangan matanya garang sekali. Dia berteriak keras. Tangan kanannya sesaat kemudian bergerak ke punggung dan memegang sebilah katana. “Kalau kau mampu mengalahkanku dalam ilmu kendo, baru aku mengaku kalah! Keluarkan senjatamu!”
Wiro memberi isyarat kepada Akiko yang tegak dekat pohon. “Biar aku yang melayani nenek buruk itu” ujar sang dara sambil cabut pedangnya. “Pinjami aku katana-mu,” ujar Wiro. Meski tidak senang karena ingin sekali mencoba kehebatan nenek Teruko, akhirnya Akiko lemparkan juga pedangnya pada Wiro.
“Kau akan menerima pelajaran berikutnya dariku nenek Teruko…” kata Wiro sambil menyeringai, begitu katana ada dalam genggaman tangannya. Tidak seperti orang-orang Jepang, Wiro memegang pedang hanya dengan sebelah tangan. Si nenek balas menyeringai. Melihat Wiro hanya memegang pedang dengan sebelah tangan, perempuan tua ini merasa dihinakan sekali. Padahal Wiro memang tidak bisa memegang pedang dengan dua tangan!
Didahului jeritan keras, nenek Teruko memulai serangan. Pedangnya membabat setengah lingkaran.
Wiro menyeruduk maju. Gerakannya jelas sangat berbahaya karena senjata lawan dapat memenggal leher dan pinggang saat itu juga. Tapi saat pedang lawan hendak menyentuh tubuhnya, tiba-tiba Wiro terhuyung ke kiri dan menyeruduk ke kanan. Gerakan-gerakan itu seperti orang mabuk. Tapi anehnya, dua kali serangan nenek Teruko dapat dielakkannya! Inilah kehebatan silat yang dipelajari dari Tua Gila.
“Iblis! Aku lebih baik melakukan harakiri (bunuh diri) jika tidak bisa mencincang tubuhmu!” teriak nenek Teruko marah. Dari mulutnya keluar jeritan tinggi. Senjata di tangannya kembali membabat.
Pendekar 212 membuat gerakan aneh. Lalu tangan kanannya yang memegang pedang tampak menggebrak ke depan, memotong arah sambaran senjata lawan. Sesaat pedang akan beradu, si nenek tiba-tiba meluncurkan pedangnya ke bawah!
Wiro kaget melihat gerakan tidak terduga ini. Cepat dia melompat ke belakang. Tapi ujung pedang nenek masih sempat menyambar lengan baju sebelah kanan! “Breet!” Lengan baju itu robek besar.
Si nenek keluarkan suara tertawa nyaring. “Sekarang baru bajumu! Sebentar lagi perutmu yang robek,” kata si nenek sesumbar.
Wiro mencibir. “Lihat pedang!” teriaknya, lalu memainkan jurus-jurus langka dari ilmu silat orang gila. Sambil berkelahi dari mulutnya muncul suara siulan!
“Bagus, Menyanyilah terus! Nyanyianmu itu adalah nyanyian kematian yang mengantarkanmu ke pintu kematian,” kata nenek Teruko pula.
Tapi nenek malah keluarkan seruan keras ketika ujung pedang lawan menyambar tepat di depan hidungnya! Tengkuknya terasa dingin. Dia tahu betul, kalau mau, pemuda itu bisa membuat hidungnya sumplung! Hati nenek Teruko mulai mendua.
Dia putar katana-nya dengan sebat. Suara pedang menderu-deru laksana titiran menggempur ke arah lawan. Tiba-tiba nenek sadar bahwa gempurannya tidak akan menghasilkan apa-apa, karena lawannya sudah tidak ada lagi di depannya!
“Jangan lari!” teriak nenek Teruko.
“Siapa yang lari nek! aku di sini!”
Nenek Teruko berpaling. “Keparat!” pemuda lawannya sedang duduk enak-enakan di atas batu di taman yang berumput sambil meneguk sebotol sake!
Dengan pedang di tangan nenek Teruko melompat ke arah Wiro, sementara Wiro dengan tenang menutup kembali botol minumannya. Saat itulah pedang di tangan nenek Teruko menyambar. Wiro lemparkan botol sake ke udara. Dia jatuhkan diri ke atas batu. Begitu senjata lawan lewat, dia cepat melompat menyambut botol dan membabatkan pedangnya ke bawah.
Dari tempatnya berdiri, Akiko berdecak kagum dan geleng-geleng kepala melihat akrobat maut Wiro. Kekagumannya ternyata tidak hanya sampai di situ. Tiba-tiba, untuk pertama kalinya, Wiro benar-benar melakukan serangan. Pedang di tangan pemuda itu lenyap berubah menjadi sinar putih dan mengeluarkan suara bersiuran. Nenek Teruko mundur morat-marit.
“Wuuuut!” Pedang Wiro menyambar gulungan konde di kepala. Konde itu terlepas mental! Kini kelihatanlah rambut asli yang tadi tertutup di bawah konde itu. Ternyata rambut si nenek sudah putih semua! Wiro tertawa tergelak-gelak melihat rambut palsu nenek terpental, sementara rambut aslinya yang putih tergerai awut-awutan.
Sebaliknya wajah nenek Teruko tampak kelam membesi. Kuduknya basah oleh keringat dingin.
Sepasang matanya membara. Mimiknya seperti seekor ular yang hendak menerkam mangsanya.
Nenek Teruko maju dua langkah. Tiba-tiba nenek tua itu menjatuhkan dirinya, berlutut lalu membungkuk dalam-dalam seraya berkata, ”Aku mengaku kalah!” lalu laksana kilat kedua tangannya yang memegang pedang menghujamkan senjata itu ke perutnya!
“Trangg!” Hanya seujung kuku pedang itu akan menembus perut si nenek, Pendekar 212 lemparkan pedang di tangannya. Senjata itu berhasil menghantam lepas pedang yang hendak dipakai harakiri oleh nenek.
Nenek Teruko angkat kepalanya. Sepasang matanya memandang tidak berkedip ke arah Wiro. Jelas perempuan tua ini berusaha sekuat-kuatnya tidak mengeluarkan air mata. Perlahan-lahan dia kemudian berdiri. “Terima kasih! Aku benar-benar tidak akan melupakan pelajaran darimu!” lalu dia membungkuk dalam-dalam.
“Tunggu dulu!” seru pendekar 212 ketika si nenek meninggalkan tempat sambil mengajak anak buahnya. Nenek Teruko menghentikan langkahnya dan berpaling pada Wiro. “Aku dan Akiko tahu sesungguhnya kau bukan wanita jahat. Aku perlu bantuanmu….!”
Si nenek menjura. “Aku berhutang budi dan nyawa padamu. Bantuan apa yang kau inginkan, silakan katakan!” Wiro lalu mengajak nenek mendekat pohon tempat Akiko berdiri. Ketiga orang itu tampak membicarakan sesuatu dengan serius.
Lembah Hozu berada dalam keadaan gelap, sunyi dan dingin. Nenek Teruko mendorong tubuh Akiko yang terikat kedua tanganya dan ditekuk di belakang punggung. Di sampingnya, berjalan seorang anak buahnya yang berpakaian serba merah, muka dilumuri pupur merah sedangkan rambutnya juga berwarna merah. Di tengah lembah si nenek berhenti melangkah. Dia memandang berkeliling. Di balik kerapatan pepohonan tampak bangunan tanpa dinding. Namun dia tidak melihat seorang pun.
“Aneh…,” kata si nenek perlahan tapi cukup terdengar oleh Akiko. “Tidak ada obor, bangunan itu kosong melompong, tak satu pun kelihatan. Apa yang terjadi?!”
Akiko berpaling pada perempuan tua itu. Lalu sunggingkan senyum dan berkata, “Tidak ada yang aneh! Hari ini adalah hari kedelapan. Hari terakhir jatuhnya ancaman pemuda asing yang oleh guruku dijuluki Pendekar Gunung Fuji! Orang-orang Lembah Hozu yang membayarmu pasti sudah pagi-pagi kabur ketakutan! Ternyata mereka manusia pengecut!”
Baru saja gadis itu berkata demikian tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring disusul melayangnya beberapa sosok tubuh dari pepohonan. Dan enam orang bersenjatakan panah sudah mengepung nenek Teruko, Akiko dan anak buah nenek. Masing-masing mengarahkan sebatang anak panah beracun ke ketiga orang itu.
Lalu terdengar satu suara. “Orang-orang Lembah Hozu tidak ada yang pengecut! Lidahmu pantas dicabut nona Akiko!” Bersamaan dengan itu muncul sosok berpakaian putih berikat pinggang dan kepala kain merah. Orang ini adalah Masashigi Sakaji, salah seorang pembunuh Hiroto Yamazaki.
Begitu melihat pembunuh gurunya, Akiko berteriak marah dan dalam keadaan tangan terikat kebelakang ia berusaha mendekati Masashigi Sakaji. Tapi nenek Teruko cepat mencekal leher pakaiannya. “Manusia banci! Kau mengeroyok dan membunuh guruku! Aku menantangmu bermain pedang sampai seratus jurus! Mana kawanmu satu lagi?!”
Sakaji tertawa terkekeh. Dia mendekati si gadis lalu, “Plaaak!” Tamparannya melayang ke pipi Akiko.
Gadis itu terpekik dan dari pipinya mengucurkan darah. “Pengecut busuk!” teriak Akiko lalu meludahi muka Sakaji dengan ludah bercampur darah.
Masashigi Sakaji, orang kedua di Lembah Hozu seperti dipanggang rasa marah. Setelah membersihkan mukanya dengan lengan pakaian langsung saja dia mencabut katana.
“Tunggu!” ujar nenek Teruko seraya maju ke depan.
“Apa maumu Teruko,” sentak Masashigi. “Gadis ini berada dalam kekuasaanku. Jika kau melunasi sisa pembayaranku, silakan mau berbuat apa saja padanya!”
“Tua bangka tidak tahu diri! Datang tidak memberi laporan apa-apa sekarang minta bayaran! Apa hasilmu memata-matai murid Yamazaki dan pemuda asing itu?!”
“Tiga anak buahku tewas. Masih untung aku bisa menangkap hidup-hidup gadis ini sebagai imbalan! Sekarang kau menyerapah tidak karuan! Aku mau bicara dengan Minoru Shirota dan Sumio Matsuura! Antarkan aku kepadanya!” nenek Teruko memandang beringas kepada Masashigi Sakaji.
Ingin sekali Sakaji mengepruk kepala nenek bermuka celemongan itu. Tapi mengingat ada hubungan sangat akrab dengan orang-orang Lembah Hozu, yaitu Sumio Matsuura, lagi pula nenek menerima tugas langsung dari Sumio, maka Sakaji menahan diri. Dia menggoyangkan kepala memberi tanda. Orang yang membawa panah menurunkan busur masing-masing. Dengan muka masam Masashigi memberi isyarat nenek mengikutinya.
Dalam gelap malam, rombongan itu melangkah memasuki hutan cukup jauh, akhirnya tampak nyala lampu di sebelah depan. Lalu kelihatan beberapa buah bangunan. Sayup-sayup terdengar suara pedang beradu. Begitu mendekati bangunan di rimba pinus itu, terkejutlah Akiko melihat apa yang telah berlangsung di halaman samping salah satu bangunan. Kenichi Asano, saudara seperguruannya sedang melatih orang-orang Lembah Hozu ilmu pedang kendo yang jelas-jelas ciptaan dari Hiroto Yamazaki. Lebih mengejutkan lagi, sesekali Kenichi melihat buku yang terletak di atas batu. Lalu melanjutkan latihan lagi. Dan buku di atas batu itu adalah milik Yamazaki yang hilang! Apa sesungguhnya yang terjadi? Bukankah Kenichi menjadi tawanan orang-orang Lembah Hozu? Mengapa justru dia yang melatih dan memberikan ilmu pedang bersama-sama? Lebih dari itu bagaimana buku berharga itu bisa sampai di tempat itu?
“Kenichi!” teriak Akiko tidak tahan dan tidak sabar lagi. Kenichi yang sedang latihan pedang terkejut dan berpaling. Wajahnya mendadak berubah pucat. Suaranya bergetar.
“Akiko… apa yang terjadi atas dirimu? Bagaimana kau bisa ke tempat ini?”
Akiko menatap wajah saudara seperguruannya itu beberapa saat lalu menjawab. “Apa yang terjadi atas diriku dan bagaimana aku bisa sampai di tempat ini tidak penting Kenichi! Justru aku ingin meminta penjelasanmu! Apa yang kau lakukan di tempat ini? Bukankah kau tawanan orang-orang Lembah Hozu?! Kau juga harus menjelaskan bagaimana buku milik sensei berada di tempat ini!”
“Di sini bukan tempat dan saatnya bertutur cakap!” satu suara dari balik bangunan. Tiga orang muncul dari balik kegelapan. Di sebelah depan adalah Sumio Matsuura, pemimpin orang-orang Lembah Hozu. Di belakangnya mengikuti Minoru Shirota, orang ketiga dalam komplotan.
Di samping kiri Sumio melangkah terbungkuk-bungkuk seorang perempuan tua, jauh lebih tua dari nenek Teruko, mengenakan pakaian aneh karena diganduli tabung bambu sepanjang sejengkal.
Nenek itu juga memiliki tongkat bambu berwarna aneh, setengah biru setengah merah. Sepasang mata perempuan tua ini tidak bisa diam, selalu berputar-putar dan jelalatan ke sana ke mari. Inilah orang yang disebut nenek Arashi alias nenek Topan atau nenek Badai. Sejak bentrok dengan Pendekar 212, orang-orang Lembah Hozu meminta nenek ahli sihir itu membantu menjaga segala kemungkinan.
Sumio berpaling ke nenek Teroko dan menegur. “Sahabatku Teruko! Kau datang membawa tawanan berwajah cantik. Kalau tidak salah, bukankah dia murid perempuan satu-satunya dari Hiroto?”
“Kau betul Sumio. Untuk dapat menangkapnya harus mengorbankan tiga anak buahku!”
“Hemmmm……, begitu…?” ujar Sumio. Sepasang matanya menatap tidak bergesip ke arah anak buah nenek Teruko yang berambut dan bermuka merah. “Apa yang kau lakukan terhadap gadis ini?” tanya Sumio.
“Kalau kau membayar lunas saja bayaranku, gadis ini jadi milikmu! Terserah mau kau jadikan apa! Menjadi gundikmu atau membunuhnya!”
“Jangan melakukan hal yang bukan-bukan terhadap adik seperguruanku!” satu suara menegur dengan keras. Yang berkata ternyata Kenichi Asano.
Minoru Shirota mendehem beberapa kali. “Asano-san, sejak kau menjadi bagian dari kami, lupakan sebutan dan hubungan adik-kakak seperguruan!”
“Tapi…” memotong Kenichi.
“Tidak ada tapi-tapian! Tugasmu di sini adalah melatih ilmu pedang, tidak mencampuri dalam urusan kami lainnya!”
“Kenichi… Jadi kau…” ujar Akino tidak bisa melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba dipotong oleh Sumio.
“Dugaanmu benar nona Akiko. Saudara seperguruanmu telah menjadi saudara seperguruan kami. Dia mengajarkan ilmu pedang ciptaan gurumu!”
Mata Akiko terbelalak memandang ke arah Kenichi. Yang dipandang menoleh ke jurusan lain.
“Kenichi, jadi kau yang mencuri buku guru. Lalu bergabung dengan manusia jahat Lembah Hozu! Malah kau gunakan buku itu sebagai dasar untuk melatih! Kau benar-benar pengkhianat busuk paling keji di dunia ini! Terkutuk!”
Paras Kenichi seputih kertas. Tubuhnya bergetar. Sesaat pemuda itu tampak bimbang.
Lalu dia berkata kepada Misuo, “Saya minta kebebasan bagi Akiko. Kalau kalian mencelakainya, aku tidak akan teruskan pelajaran ilmu silatnya. Buku itu akan kubawa dan aku akan tinggalkan tempat ini!”
Baik Sumio, Minoru dan Sakaji sama-sama tertawa mendengar ucapan Kenichi. “Kami membayarmu besar untuk bergabung bersama kami dan membawa buku pedang itu. Jika kau berniat pergi silakan. Tapi terpaksa kau harus meninggalkan sesuatu di sini, nyawamu!” kata Sumio.
“Tidak ada satu orang pun di sini bisa memaksaku! Kalau kau mencelakaiku dan juga gadis itu, kalian tidak akan mendapatkan ilmu pedang ciptaan mendiang guruku itu seutuhnya!”
“Apa maksudmu?!” tanya Sumio keras. “Sebelum ke mari, aku telah merobek sebagian dari buku itu. Yang separoh bagian belakang aku sembunyikan di suatu tempat, separuhnya lagi itulah yang aku bawa ke mari!”
“Hemm… bagus sekali perbuatanmu Kenichi!” kata Sumio. Tampangnya menunjukkan kemarahan.
“Kamu mengkhianati ke kiri dan ke kanan! Silakan ambil buku itu dan minggat dari sini! Tapi seperti kataku tadi, nyawamu tinggal di sini!”
Tiba-tiba ada suara berteriak. “Ada penyusup di atap!”
Suara suitan terdengar bersahut-sahutan. Belasan orang-orang Lembah Hozu dengan berbagai macam senjata segera mengurung bangunan di sebelah kiri di mana tampak dua sosok tubuh merayap di atas atap. Minoru Shirota dan Masashigi Sakaji ikut berkelebat mendekati bangunan.
Sedang Sumio dan nenek Arashi tetap di tempat masing-masing.
Dalam gelapnya malam Akiko tidak mengenali siapa adanya kedua orang itu. Namun setelah memandang dengan seksama, kagetlah gadis ini. Dua orang di atas atap sana bukan lain Ichiro Ioki dan Kunio Ota. “Ichiro… Kunio…” desis Akiko. “Kenapa kalian senekad itu?!”
“Manusia-manusia tolol!” di samping Akiko nenek Teruko ikut menyerapah. Lalu sambungnya,
“Nona Akiko, sesuai perjanjian, tugasku hanya sampai di sini. Hidup matimu sekarang ada di tangan sendiri!”
Setelah berkata begitu nenek Teruko langsung hendak berkelebat pergi. Tapi tahu-tahu nenek Arashi sudah mencegatnya sambil tertawa mengekeh. “Mau lari ke mana kau Teruko? Sumio mungkin tidak mendengar, tapi aku tidak tuli. Ucapanmu tadi cukup jelas mampir di kedua telingaku!”
“Aku tidak mengerti maksud ucapanmu!” kata nenek Teruko, padahal wajahnya tampak berubah.
Nenek Arashi tertawa panjang. “Kau dibayar bukan untuk berkhianat! Kau layak mampus duluan Teruko!” Nenek Arashi menghembus kuat-kuat ke depan.
“Wusss!” Asap hitam mendadak menebar di tempat itu, kemudian bergulung dan sesaat kemudian berubah membentuk sepasang tangan hitam panjang yang laksana kilat menyambar ke arah batang leher nenek Teruko!
“Sepasang Tangan Iblis!” teriak nenek Teruko ketika mengenali ilmu sihir yang dikeluarkan nenek Arashi. Cepat-cepat ia jatuhkan diri ke tanah, cabut katana yang ada di balik punggungnya, lalu sambil bergulingan di tanah, perempuan tua ini sapukan pedangnya membabat sepasang kaki nenek Arashi!
“Wusss!” Untuk kedua kalinya mengebu asap dari mulutnya. Kali ini asap berwarna putih. Ketika nenek Teruko melihat ke depan, tersiraplah darah perempuan tua ini. Asap putih tadi telah berubah membentuk sosok tubuh perempuan tua yang jelas mirip sekali dengan dirinya! Jalan pikiran nenek Teruko serta merta menyangka bahwa dia tengah menyerang dirinya sendiri.
Cepat dia tahan serangan pedangnya. Justru saat itu nenek Arashi kirimkan satu tendangan ke arah kepala. Yang terakhir ini tidak punya kesempatan lagi untuk berkelit selamatkan kepalanya!
Sementara itu di atas atap, dalam keadaan gugup karena penyusupannya diketahui, Ichiro dan Kunio segera menyulut api untuk membakar bangunan. Baru saja api menyala dan mulai membakar atap, dari bawah enam anak panah beracun melesat ke atas atap. “Awas panah beracun!” teriak Ichiro yang mendengar lebih dulu suara desingan anak-anak panah itu lalu cepat-cepat jatuhkan diri sama rata dengan atap.
Akan halnya Kunio, pemuda ini juga sempat jatuhkan diri tapi kakinya terpeleset. Tak ampun lagi, Kunio menggelinding ke bagian atap sebelah bawah. Pemuda ini jungkir balik dua kali berturut-turut lalu turun di tanah dengan kaki lebih dulu. Namun begitu menginjak tanah, tiga ujung katana tiba-tiba menuding di depan hidung, pelipis kiri dan kepala bagian belakangnya!
Yang memegang pedang di sebelah depan bukan lain Masashigi. “Murid Yamazaki, aku hargai keberanianmu menyusup ke tempat kami! Tapi untuk itu kau harus membayar mahal!” Masashigi putar pergelangan tangannya.
“Craass!” Ujung katana merobek pipi kiri Kunio. Darah mengucur, tapi pemuda ini berusaha keras untuk tidak menjerit. Tangannya bergerak hendak menghunus pedangnya, namun pengurung di samping kiri babatkan senjatanya, membuat Kunio terpaksa tarik pulang tangannya kembali.
Sekarang pemuda ini sama sekali tak berdaya di bawah ancaman tiga pedang maut!
Ketika nenek Teruko hendak berkelebat pergi, Akiko Bessho cepat dan dengan mudah membuka ikatan tangannya yang memang ikatan bohongan. Dara ini langsung mencabut katana-nya dan menyerbu ke tempat di mana Kunio tegak dalam keadaan tidak berdaya.
Masashigi merasakan ada angin dingin menyambar punggungnya. Katana yang ditudingkannya di depan hidung Kunio segera diputar dengan gerakan membabat ke belakang. “Trang!” Katana milik Masashigi saling bentrokan dengan katana di tangan Akiko. Gadis ini melompat ke kiri sambil berteriak keras. Pedangnya berkiblat. Orang yang memegang pedang dan menudingkan ke bagian belakang kepala Kunio menjerit. Pinggang kirinya sampai ke perut robek besar. Orang ini langsung roboh, menggeliat beberapa kali lalu tewas!
Ilmu pedang matahari yang sudah diwarisi Akiko dari Hiroto Yamazaki memang luar biasa hebat dan ganasnya. Jika saja saat itu dia bukan berhadapan dengan tokoh-tokoh Lembah Hozu, mungkin dalam beberapa gebrakan saja dia akan berhasil membereskan lawan-lawannya.
Namun Masashigi Sakaji dan Minoru Shirota bukan orang-orang sembarangan. Walaupun dengan cara mengeroyok, kedua orang ini telah berhasil merobohkan dan menewaskan Hiroto Yamazaki yang dikenal dengan julukan Pendekar Pedang Matahari. Padahal selama bertahun-tahun Yamazaki menjadi tokoh nomor satu dalam kendo di seluruh kawasan Jepang.
Kita kembali pada perkelahian antara dua nenek, yaitu Teruko dan Arashi. Saat itu nyawa nenek Teruko terancam oleh tendangan maut yang dilancarkan nenek Arashi ke arah kepalanya tanpa dia mampu menangkis atau berkelit.
Dalam keadaan yang sangat kritis itu tiba-tiba dari samping melesat satu bayangan merah. angin deras bersiur dan tubuh nenek Arashi tergontai keras lalu terjajar ke samping. Tendangannya hanya mengapung di udara. Nenek Arashi terkejut besar ketika melihat yang barusan mendorongnya hingga terjajar begitu rupa adalah anak buah nenek Teruko yang berpakaian serba merah, bermuka serta berambut merah.
Sumio Matsuura tak kalah kagetnya menyaksikan hal ini. Dia tahu betul Teruko memiliki empat orang anak buah yang berkepandaian tinggi. Namun kepandaiannya itu tidak cukup ampuh untuk dapat membuat nenek Arashi terpelanting begitu rupa! Maka kedua orang itu pun menjadi curiga.
“Bangsat! Siapa kau sebenarnya?!” sentak Sumio Matsuura.
Sepasang mata nenek Arashi berputar-putar dan berkilat-kilat saking marahnya. “Setahuku, anak buah perempuan kampret ini mememiliki rambut merah pendek! Yang satu ini mengapa berambut gondrong!?”
Terdengar tawa nenek Teruko. Sambil bangkit berdiri perempuan tua ini berkata, “Mata kalian cukup tajam! Gaijin, perlihatkan dirimu yang asli!”
Si “anak buah” lalu buka baju dan pakaian merahnya. Di balik pakaian merah itu ternyata ada sehelai pakaian putih. Baju yang tidak terkancing memperlihatkan dada penuh otot. Di dada itu terpampang rajah tiga buah angka. Orang ini pergunakan baju merah yang barusan dibukanya untuk menyeka wajahnya yang berlumuran pupur merah dan juga membersihkan rambutnya. Kelihatan kini wajahnya, ternyata wajah seorang pemuda asing!
Walau wajah itu bersih dan kelihatan jelas kini, namun baik Sumio maupun nenek Arashi tetap tidak mengenali karena sebelumnya mereka memang belum pernah melihat orang ini. Namun sesaat kemudian nenek Arashi mulai dapat menduga-duga.
“Kau yang jadi pimpinan orang-orang Lembah Hozu?!” tiba-tiba pemuda itu maju satu langkah ke hadapan Sumio dan ajukan pertanyaan.
Meledaklah amarah Sumio Matsuura. Tangannya bergerak hendak mencabut pedang tapi nenek Arashi memberi isyarat. Perempuan ini lalu maju ke hadapan si pemuda lalu menegur, “Apakah kau orangnya yang digembar-gemborkan sebagai Penguasa Gunung Fuji?”
“Kau memang tengah berhadapan dengan Pendekar Gunung Fuji, Arashi!” yang menjawab adalah nenek Teruko.
“Bangsat tua! Diam!” hardik Arashi. “aku tidak bertanya padamu!” lalu dia berpaling pada si pemuda, “Jawab pertanyaanku!”
Yang ditanya menyeringai. “Siapapun diriku tidak perlu dipersoalkan! Jika kalian semua mau selamat, bebaskan Kenichi, serahkan dua pembunuh Hiroto Yamazaki. Setelah itu kalian boleh pergi dari sini!”
Nenek Arashi pelototkan matanya lalu tertawa bergelak. Sumio Matsuura juga ikut tertawa bekakakan. “Seekor rubah kesasar yang masih bau apak mau jual lagak di depanku!” mengejek nenek Arashi.
“Jauh-jauh kesasar ke mari hanya untuk mengantar nyawa!” menimpali Sumio.
“Perlihatkan kehebatanmu padaku!” tantang Arashi.
“Kau meminta! Aku mengabulkan!” sahut si pemuda. Laksana kilat tangannya menyelinap ke pinggang. Lalu berkilatlah sinar putih panas menyilaukan. Hanya sesaat, karena sesaat kemudian pemuda itu lenyap dari hadapan Sumio dan Arashi. Lalu terdengar suara menderu dahsyat laksana ribuan tawon mengamuk. Menyusul terdengar suara jeritan dua orang Lembah Hozu yang bersama-sama dengan Masashigi tengah mengancam Kunio Ota dengan pedang.
Kedua orang itu roboh ke tanah mandi darah, sedang Masashigi Sakaji masih untung sempat melompat. Tapi wajahnya tampak seputih kain kafan ketika melihat bagaimana pakaiannya di bagian dada robek besar disambar senjata, entah senjata apa!
Semua orang Lembah Hozu yang ada di tempat situ sama terkesiap dan ternganga. Mereka memandang pada pemuda asing berambut gondrong yang tegak sambil memegang sebilah senjata berupa kapak bermata dua! Tiba-tiba Sumio sadar. Dia tiba-tiba berteriak pada orang-orang yang ada di sana. “Jangan diam saja, cincang pemuda asing ini!”
Lalu Sumio mencabut pedangnya. Masashigi yang barusan lolos dari maut sesaat tampak ragu.
Namun kemudian segera maju mendekati si pemuda dengan pedang di tangan. Minoru Shirota datang dari jurusan lain juga membekal sebilah katana. Lalu ada enam orang lainnya yang ikut mengurung lawan tunggal itu, sementara Sumio kembali berteriak. “Kalian tunggu apa lagi, cincang dia!”
“Tunggu!” tiba-tiba nenek Arashi keluarkan suara. Tubuhnya yang bungkuk melangkah, sengaja mengelilingi pemuda di hadapannya beberapa kali. “Cuma orang begini, kenapa kalian capaikan diri turun tangan. Biar aku yang membereskannya!”
Habis berkata begitu, nenek Arashi pukulkan tongkat bambu merah biru ke arah si pemuda.
Terdengar letupan halus disertai munculnya dua sinar terang, satu biru dan lainnya merah. Dua sinar ini terpecah menjadi masing-masing selusin. Nenek Arashi kembali pukulkan tongkatnya. Duapuluh empat sinar tiba-tiba berubah jadi potongan-potongan tangan berkuku panjang yang secara serentak menyerbu si pemuda. Yang mengerikan, potongan-potongan tangan itu di bagian pergelangannya tampak seperti terpotong dan mengeluarkan darah!
“Ilmu iblis apa ini!” maki si pemuda yang tentunya Pendekar 212 Wiro Sableng adanya. Dia membabat dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar putih berkiblat. Suara seperti tawon menderu dan hawa panas menghampar! Tetapi duapuluh empat potongan tangan merah biru itu secara aneh melesat kian kemari menghindari serangan kapak. Lalu belasan di antaranya mulai berkelebat ke arah Wiro. Mencakar, membetot, menusuk ke bagian kepala, dada, perut, bahkan selangkangannya!
“Breett…breett…breett!”
Pakaian Wiro robek di tiga bagian. Pendekar ini berteriak kaget lalu cepat-cepat melompat mundur sambil kembali sapukan senjata mustikanya. Dua buah tangan sempat kena bacok tapi tidak mempan, hanya terpental beberapa jengkal! “Edan!” maki Wiro. Entah mengapa tengkuknya mulai dingin.
“Bunuh! Bunuh! Cakar! Korek matanya! Korek jantungnya! Betot hatinya! Copot kemaluannya!” terdengar suara nenek Arashi lalu perempuan tua itu tertawa mengekeh.
Seperti kesetanan, murid Sinto Gendeng ayunkan kapaknya kian kemari. Tetapi serangan tangan-tangan aneh itu tidak bisa terbendung. Malah kini satu cakaran sempat menggapai pipi kirinya.
Meskipun serangan itu tidak begitu telak, namun pipi Wiro tampak tergurat lalu mengucurkan darah!
“Iblis! Perempuan iblis!” rutuk Pendekar 212. Lalu dia ingat. Segala macam ilmu sihir tidak akan berdaya terhadap api. maka cepat-cepat Wiro keluarkan batu hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pinggangnya. Batu hitam ini diadukannya kuat-kuat ke salah satu mata kapak.
Wuusss!
Lidah api menderu, menyambar ke arah potongan-potongan tangan. Tapi ternyata semburan api itu tidak beda laksana tiupan angin saja. Tidak mampu memusnahkan duapuluh empat potongan tangan berkuku panjang! Penasaran, Pendekar 212 simpan batu apinya kembali, pindahkan kapak ke tangan kiri lalu tangan kanannya dialiri tenaga dalam penuh! Tangan itu sampai ke lengan berubah putih laksana perak. Wiro memukul. “Buummm!”
Lembah Hozu bergetar ketika pukulan sinar matahari dengan kekuatan tenaga dalam penuh melabrak ke depan. Orang-orang lembah cepat menyingkir ketika merasakan adanya hawa sangat panas menyambar dari sinar pukulan yang menyilaukan.
Tapi si nenek Arashi hanya ganda tertawa. Pukulan sinar matahari lewat lalu menghantam bangunan di belakang sana hingga hancur porak poranda. Tapi duapuluh empat potongan tangan tidak satu pun yang musnah! Malah kini mereka kembali menyerbu, memaksa Pendekar 212 mundur terus dan kucurkan keringat dingin.
“Bunuh! Bunuh! Cakar! Cakar! Korek matanya! Korek jantungnya! Betot hatinya! Copot kemaluannya!” kembali terdengar suara nenek Arashi yang disusul tawa kekehnya.
Selagi semua orang menyaksikan bagaimana nenek Arashi hendak mencelakakan Wiro dengan ilmu sihirnya, kesempatan ini dipergunakan oleh Kenichi Asano untuk mengambil buku ilmu pedang yang diletakkannya di atas batu waktu melatih tadi. Namun baru saja buku itu berada dalam genggamannya, tiba-tiba Masashigi Sakaji dan Minoru Shirota sudah melompat ke hadapannya.
Terpaksa murid Yamazaki yang culas ini cabut pedangnya.
Perkelahian dua lawan satu terjadi. Dalam beberapa kali gebrakan saja Kenichi sudah terdesak hebat! Melawan salah satu saja dari dua tokoh Lembah Hozu itu Kenichi belum tentu menang, apalagi dikeroyok dua begitu.
“Dua bangsat pembunuh guru! Serahkan batang leher kalian padaku!” satu teriakan menggeledek disertai menderunya pedang menyambar ke arah leher Minoru Shirota. Yang masuk ke arana pertempuran ternyata Akiko Bessho.
“Akiko Bessho! Jangan kira aku tidak tega mencincang tubuhmu yang bagus!” teriak Minoru marah seraya menangkis serangan si gadis. Di saat yang sama, Kunio Ota yang mukanya berlumuran darah, serta Ichiro Ioki yang baru saja melompat turun dari atas atap bangunan yang terbakar setelah lebih dahulu merobohkan seorang lawan, ikut terjun ke arena perkelahian. Kini pertarungan menjadi empat melawan dua!
Mula-mula kelompok Akiko tampak menguasai perkelahian, bahkan mendesak dua tokoh Lembah Hozu itu, Kenichi bertempur mati-matian seolah-olah ingin menebus dosanya. Namun dua lawan yang lebih banyak pengalaman itu secara perlahan tapi pasti balas mendesak. Ketika dua orang Lembah Hozu masuk membantu dan di bagian lain empat orang lagi mulai menghujani kelompok Akiko dengan panah-panah beracun, maka kacau balaulah keadaan ke empat murid Hiroto Yamazaki itu!
Kunio Ota mengeluh tinggi ketika sebatang anak panah menembus punggungnya. Ichiro Ioki terpaksa melompat mundur ketika senjata salah seorang lawan berhasil memapas bahunya dan darah membasahi pakaiannya. Sekujur badannya bergetar kesakitan!
Murid Sinto Gendeng tidak tahu apa yang harus dilakukannya lagi. Kapak Naga Geni 212 tidak mempan. Pukulan-pukulan saktinya tidak sanggup membendung serbuan duapuluh empat potongan tangan! Dalam keadaan pakaian penuh robek, wajah terluka serta dada dan bahu berkelukuran, Wiro terpaksa mundur terus. Sesekali dia harus melompat kian ke mari untuk menghindari serangan tangan-tangan sihir yang ganas itu.
“Celaka! Aku tak bisa mundur terus! Tak bisa menghindar terus!” keluh Wiro. Di depan sana, dilihatnya Akiko dan saudara-saudara seperguruannya didesak hebat oleh kelompok Sumio Matsuura. Semakin kacau pendekar ini jadinya.
Untuk kesekian kalinya baju pendekar ini robek besar disambar cakaran sebuah tangan. Kulit di bawah pakaian yang robek itu terasa perih tanda dagingnya ikut kena cakar. Masih untung kuku-kuku yang mencakar itu tidak mengandung racun. Walaupun demikian, bukan berarti dirinya akan terlepas dari cengkeraman maut!
“Gila! Apa lagi yang harus kulakukan!” Wiro hampir sampai di titik keputusasaan. Kedua matanya mencari-cari di mana beradanya nenek Arashi. Otaknya coba berpikir keras. Kalau ilmu sihirnya tidak bisa dilawan, mengapa tidak langsung menghajar sumbernya, yaitu si nenek sihir itu sendiri?
Tapi dari tempatnya berdiri, Wiro sama sekali tidak melihat perempuan tua itu. Pandangannya terhalang oleh semacam kabut tipis yang berwarna biru kemerahan! Itulah tabir sihir yang keluar dari tongkat di tangan nenek Arashi.
“Tongkat itu! Tongkat sihir itu yang harus kuhancurkan!” pikir Wiro. Namun manusia yang memegang tongkat sama sekali tidak kelihatan. Tiba-tiba Pendekar 212 ingat. “Ada satu yang belum kulakukan! Senjata dan pukulan sakti tidak bisa tembus, tapi suara sanggup menembus dinding besi dan dinding karang setebal apapun!”
Wiro melompat mundur sejauh dua tombak. Lalu tegak dengan dua kaki terkembang. Gagang Kapak Maut Naga Geni yang berbentuk kepala naga lengkap dengan mulutnya ditempelkan ke bibirnya. Jari-jari tangannya menekan pada enam lobang yang ada di gagang kapak di bawah kepala naga. Tenaga dalam dipusatkannya di perut. Lalu seperti layaknya meniup sebuah seruling, Wiro mulai meniup bagian mulut kepala naga. Meniup bukan dengan hawa yang ada dalam mulut dan tenggorokannya, tetapi dengan tenaga dalam tinggi yang dikerahkannya dari perut terus ke dada sampai ke mulut.
Serta merta Lembah Hozu dibuncah oleh lengking dahsyat yang keluar dari “seruling” yang ditiup Wiro. Nenek Arashi kernyitkan kening sewaktu gelombang suara yang dahsyat menembus asap biru merah terus mencucuk kedua liang telinganya! Mula-mula liang telinganya bergetar keras lalu menyusul rasa sakit yang amat sangat. Kedua telinganya serasa ditusuk besi panas!
Perempuan tua ini cepat tutup kedua telinganya. Di lain pihak Wiro terus semakin kuat meniup.
Jari-jari tangan si nenek ternyata tidak sanggup melindungi liang-liang telinganya! Gelombang suara yang keluar dari kapak sakti terus menerobos. Kalau tadi perhatiannya dapat dipusatkan pada ilmu sihirnya yang mampu menciptakan potongan-potongan tangan yang berwarna merah dan biru, kini perhatiannya jadi terbagi dan mengendur! Potongan-potongan tangan itu tampak bergerak tidak seganas tadi lagi. Sepertinya mengambang di udara sambil menggapai-gapai lemah. Lalu satu demi satu jatuh ke tanah lalu lenyap!
Nenek Arashi bertahan terus! Mulutnya berusaha merapal sesuatu. Tongkatnya dipukulkan ke depan. Asap ungu membersit di udara, namun segera lenyap kembali pertanda si nenek tidak bisa lagi memusatkan kekuatan ilmu sihirnya akibat suara lengking Kapak Naga Geni 212 yang ditiup Wiro. Perempuan itu malah tersentak kaget ketika dirasakannya ada cairan meleleh keluar dari kedua liang telinganya. Darah!
Nenek Arashi berseru tegang. Sepasang matanya tampak berkilat-kilat dan jelalatan kian kemari.
Dia masih sempat melihat potongan tangan terakhir ciptaan sihirnya jatuh ke tanah lalu lenyap tak berbekas. Si nenek menggeram marah. Tak ada jalan lain! Dia harus menyerang pemuda itu.
Tubuhnya yang bungkuk melompat ke depan. Tongkat merah-birunya menusuk ke arah Pendekar 212. Justru inilah kesalahan terbesar si nenek. Kemampuan ilmu sihirnya tidak sehebat ilmu silatnya.
Begitu si nenek menusuk dengan tongkatnya, Wiro berhenti meniup. Kapak Maut Naga Geni 212 dibabatkannya ke depan. Nenek Arashi terpekik ketika merasakan ada hawa panas menyambar disertai dengan berkelebatnya sinar yang menyilaukan dan suara menderu. Dia cepat berkelit ke samping. Tapi terlambat. Senjata lawan sempat menghantam tongkat bambunya hingga mental dan berantakan. Nenek Arashi merasakan tangan kanannya sakit sekali seperti ditusuk ratusan jarum panas!
Perempuan itu menggembor marah. Dia loloskan tabung-tabung bambu yang menggandul di pinggangnya. Tabung bambu yang berjumlah enam buah dan saling dihubungkan dengan ikatan tali ini berisi air keras yang sangat berbahaya. Sekali seseorang kena siramannya pasti bagian tubuhnya akan rusak hancur mengerikan!
Nenek Teruko yang sudah mengetahui isi tabung itu segera berteriak memperingatkan pada Wiro.
“Gaijin, hati-hati tabung bambu itu berisi air keras,! Wuuttt! Byaaarrr… byarrr!”
Enam tabung bambu melesat di udara lalu secara aneh menderu turun ke arah Wiro. Dua tabung dari enam tabung itu menumpahkan air keras ke arah muka dan perut Wiro. Sambil melompat menjauh, Pendekar 212 menghantamkan kapak mustikanya ke depan. Sinar menyilaukan berkiblat.
Air keras yang muncrat dari dua tabung berbalik ke arah nenek Arashi. Empat tabung lainnya hancur berantakan. Isinya muncrat-muncrat dan lagi-lagi mengarah ke tubuh dan muka nenek.
Terdengar jeritan dari nenek tukang sihir itu berulang kali. Tubuhnya yang bungkuk langsung jatuh tergelimpang di tanah menggeliat-geliat. Air keras yang mengenai tubuh dan mukanya membuat dagingnya mengkerut, mengepul dan mengeluarkan asap! Pakaiannya hangus. Sebentar saja nenek Arashi berubah menjadi mahluk mengerikan. Dia coba berdiri tapi jatuh kembali. Mencoba lagi, jatuh lagi. Kali terakhir jatuh, tubuh itu tidak bergerak lagi!
Melihat kematian nenek Arashi yang menjadi andalan mereka, Sumio Matsuura dan kawan-kawannya menjadi gentar. Terlebih ketika mendengar Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanan melangkah ke arah mereka. Sumio, Masashigi dan Minoru serta hampir duapuluh orang-orang Lembah Hozu lainnya melompat menjauhi Akiko, Ichiro yang dalam keadaan terluka serta Kenichi. Sementara Kunio Ota tergeletak di tanah dalam keadaan sekarat akibat racun panah yang menghujam di punggungnya.
Sumio Matsuura yang melihat keadaan bakal tidak menguntungkan lagi baginya dan orang-orangnya, secara tiba-tiba melompat ke arah Kenichi, orang yang paling dekat dengannya. Kenichi Asano jadi terganggu pucat ketika sebilah katana yang dipegang Sumio dari belakang tiba-tiba sudah membelintang di tenggorokannya! “Tinggalkan tempat ini atau kugorok lehernya!” yang mengancam Sumio.
Akiko dan Ichiro terkesiap. Apa yang dilakukan Sumio begitu cepat sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sebaliknya Pendekar 212 terus melangkah mendekati. “Satu langkah lagi kau berani maju, kusembelih pemuda ini!” kembali Sumio mengancam. Dia tidak main-main.
“Gaijin! Akiko! Ichiro!” tiba-tiba Kenichi berteriak. “Jangan pedulikan nyawaku! Serang mereka! Hancurkan mereka, aku rela mati menebus dosa-dosaku!” Akiko dan Ichiro saling pandang. Mereka menoleh ke arah Wiro yang masih terus melangkah mendekati Sumio.
“Berhenti!” teriak Akiko. Wiro hentikan langkahnya. Tetapi Sumio yang merasa tidak bakal bisa lolos, tiba-tiba saja dengan sadis menggerakkan tangannya yang memegang pedang. Darah langsung menyembur!
“Kenichi!” teriak Akiko dan Ichiro berbarengan. Keduanya langsung menyerbu Sumio dengan pedang di tangan. Begitu Kenichi roboh bergelimpang, dia tewas dengan tangan kanan masih memegang buku ilmu pedang milik gurunya.
“Serahkan durjana satu ini padaku! Kalian selesaikan urusan dengan Masashigi dan Minoru!” terdengar suara Wiro keras lalu pemuda ini berkelebat mendahului ke arah Sumio Matsuura.
Sebenarnya Sumio merupakan orang pertama dengan kepandaian tinggi di antara orang-orang Lembah Hozu. Namun saat itu dirinya sudah dihantui oleh rasa takut. Ketika kapak Naga Geni 212 berkelebat, dia hanya terkesiap. Lalu dengan sangat lambat dia acungkan pedangnya untuk menangkis. “Trang!”
Kapak dan pedang beradu. Sumio berseru kesakitan. Pedangnya patah jadi dua. Lalu dilihatnya senjata lawan kembali menderu. Kali ini dia sama sekali tidak punya kesempatan untuk selamatkan diri. Kapak Naga Geni 212 membalik. Sumio menjerit keras ketika salah satu ujung kapak menghujam dadanya. Kedua tangannya menggapai-gapai ke udara. Tubuhnya terbanting. Orang ini kemudian mati dengan luka di dada. Sebagian tubuhnya hangus!
Melihat kawan mereka tewas begitu rupa, nyali Masashigi Sakaji dan Minoru Shirota menjadi leleh. Terlebih anak buah mereka yang juga ada di sekitar situ. “Minoru, apa pendapatmu?” bisik Masashigi.
“Aku malu mengatakannya,” jawab Minoru. “Tapi tidak ada pilihan lain, tinggalkan tempat ini!”
Mendengar ucapan kawannya itu Masashigi segera berteriak. “Semua yang memegang panah lekas menyerbu musuh!” Saat itu ada delapan orang Lembah Hozu memegang busur panah. Mendengar perintah, mereka segera merentang busur. Di saat itu pula Masashigi Sakaji dan Minoru pergunakan waktu untuk menyelamatkan diri.
Pendekar 212 cepat mengambil tindakan. Dia berteriak pada Akiko untuk mengejar kedua orang yang berusaha kabur itu. Dia sendiri hantamkan pukulan sinar matahari dengan tangan kiri ke arah orang Lembah Hozu yang siap melancarkan serangan panah beracun. “Buummmm!”
Sinar putih menyilau menderu. Hawa panas menyengat dan di depan sinar terdengar pekikan kematian. Enam orang Lembah Hozu mencelat dengan tubuh hangus. Langsung tewas begitu tergelimpang di tanah. Empat lainnya selamat tetapi pakaian dan beberapa bagian tubuh mereka melepuh! “Kawan-kawan, pemimpin kita melarikan diri, tunggu apa lagi, segera tinggalkan tempat ini,” ujar salah seorang mereka.
Orang-orang Lembah Hozu segera berhamburan masuk ke dalam hutan. Wiro tidak mempedulikan, dia segera melesat ke kanan ke arah Akiko dan Ichiro yang berhasil mencegat Masashigi dan Minoru yang melarikan diri dan kini sedang bertarung satu lawan satu.
Dengan ilmu pedang yang dimilikinya, Akiko tidak gentar menghadapi Masashigi Sakaji. Paling tidak dia akan mempu menghadapi musuh besar yang telah membunuh gurunya. Justru dia mengkhawatirkan Ichiro yang terluka parah saat melawan Minoru. Jika tidak segera ditolong, Ichiro bisa menemui ajal di tangan Minoru. Dalam keadaan begitu, tiba-tiba nenek Teruko meloncat membantu Ichiro. Di tangan kanannya tergenggam golok pendek.
“Keparat! Masih di sini bangsat tua ini rupanya!” maki Minoru. Dia maju selangkah berusaha membereskan Ichiro lebih cepat. Tapi gebrakan yang dibuat nenek bermuka celemotan itu dapat menahan serangan. Ketika Teruko dan Ichiro maju bersamaan, Minoru malah terdesak.
Pendekar 212 yang memperhatikan setiap gerak Akiko berseru. “Nona Akiko, walau mempelajari baru beberapa hari, mengapa kau tidak pergunakan jurus sinar matahari?!”
Akiko terkesiap sesaat. Sebaliknya Masashigi diam-diam merasa terkejut. Apa benar dia menguasai pukulan yang lebih hebat dari semua ilmu sihir nenek Arashi? Dilihatnya Akiko menyilangkan pedang di depan dada. Sepasang matanya memandang tajam. Mulutnya bergerak sedang tangan kiri bergerak ke atas. Wiro melihat tangan itu berubah keputihan tapi tidak memancarkan sinar menyilaukan.
“Kerahkan seluruh tenaga dalammu!” teriak Wiro. Lengan yang memutih itu tampak laksana sinar, pertanda Akiko sedang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
“Aku harus mendahului!” kata Masashigi sambil melompat ke depan dan membabatkan pedangnya.
“Hantam!” teriak Wiro ketika melihat Akiko ragu-ragu. Mendengar teriakan itu, si gadis langsung hantamkan tangan kirinya ke arah lawan. “Wuss!”
Sinar putih melesat walau kurang putih dan kurang panas. Di depan sana Masashigi keluarkan suara keras. Tubuhnya tersapu lalu terjengkal jatuh. Pakaiannya sebelah depan hangus dan kulitnya melepuh. Namun pukulan yang dilepas Akiko yang masih dasar itu tidak mampu membunuhnya.
Penasaran, Akiko kembali hendak menghantamkan lagi tangan kirinya. Tapi saat itu tangannya tidak mengeluarkan sinar putih lagi.
Wiro cepat berteriak, “Jangan! Pergunakan pedangmu!”
“Ah!” Akiko sadar belum bisa melepaskan pukulan sinar matahari untuk kedua kalinya dalam waktu secepat itu. Maka dengan pedang di tangan dia menerjang ke Masashigi yang berusaha bangkit berdiri.
Katana di tangannya menderu, Masashigi mencoba menangkis. “Traaannng! Celaka!” keluh Masashigi ketika tangannya tergetar keras dan pedangnya terpelanting. Sebelum pedang lawan memburu, dia jatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Tapi orang ini salah arah. Dia justru bergulingan ke arah Pendekar 212.
Gulingannya terhenti ketika tubuhnya membentur kaki Wiro. Melihat itu Masashigi berteriak.
“Bangsat! Aku tidak menyesal mati jika bisa membunuhmu dulu!” Lalu Masashigi tusukkan pedangnya ke arah Wiro. Murid Sinto Gendeng itu tidak berusaha menghindar karena dia melihat Akiko lebih dahulu berkelebat dan mengayunkan pedangnya. Darah muncrat di celana putih Wiro ketika pedang Akiko menembus dalam leher Masashigi. Pembunuh Hiroto Yamasaki itu mengerang pendek menggeliat sesaat, lalu tidak berkutik lagi.
Akiko jatuhkan diri berlutut dan seperti hendak menangis. “Perempuan Jepang pantang menangis,” ujar Wiro sambil memegang bahu Akiko. “Apakah kamu tidak melihat kedua mayat yang membunuh gurumu.”
Mendengar itu Akiko menggenggam erat pedang di tangannya, berdiri dan membalik. Saat itu Ichiro seperti kesetanan dibantu nenek Teruko sedang menghujamkan pedang ke perut Minoru.
Orang ini mengeluarkan lolongan beberapa kali sebelum akhirnya roboh mati ke tanah.
Ichiro berdiri terhuyung-huyung. Luka dibahunya banyak mengeluarkan darah. Akiko menubruk saudara seperguruannya ini. Keduanya saling berpelukan dengan dada sesak menahan tangis.
Ketika selesai berpelukan mereka melihat sekeliling dan yang terlihat hanya nenek Teruko satu-satunya yang masih berada di tempat itu. Bahkan Kunio Ota juga ikut lenyap! “Eh, kemana dia?!” ujar Akiko, lalu berpaling pada nenek Teruko.
“Kau tak usah kawatir kehilangan gaijin itu. Dia sengaja meninggalkan tempat ini lebih dahulu untuk mengobati luka racun panah Kunio. Dia pesan akan menunggu kalian di lereng Gunung Fuji,” kata Teruko. “Kalau begitu kita segera menyusul setelah mengurus jenazah Kenichi dan mengamankan buku milik sensei,” kata Akiko pula.
Nenek Teruko mengangguk. “Urusanku di sini sudah selesai, aku minta undur diri…” ujarnya.
Tapi Akiko segera memegang kepala nenek itu seraya berkata, “Tidak, kau tidak boleh pergi. Antara kita sekarang ada ikatan utang budi yang kuat. Kau harus ikut kami ke lereng gunung Fuji…”
Nenek Teruko tersenyum lebar. “Mana berani aku menolak permintaanmu, nona Akiko. Aku sendiri masih ingin sekali bertemu si gaijin itu. Ilmunya banyak dan aneh-aneh. Siapa tahu aku kebagian sepertimu, selain itu, hi… hik… hikkk!” Si nenek tidak teruskan ucapannya.
“Selain itu apa…?” tanya Akiko Bessho.
“Selain itu … hemmm…, gaijin itu tampan sekali wajahnya. Hik… hik… kalau aku masih muda sepertimu, pasti akan aku ikuti ke mana dia pergi. Sayang aku sudah tua, keriputan dan jelek. Berdandan saja tidak bisa. Lihat pupurku yang celemongan, hik… hik…!”
***
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar