posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Djarot Pangestu mandi sepuas hatinya di bawah pancuran. Kedua tangannya sibuk menggosok daki tebal yang menyelimuti sekujur muka dan wajahnya yang bertampang menyeramkan oleh sebuah cacat guratan bekas luka yang dalam melintang, mulai dari mata kiri turun ke bawah dekat hidung sampai bibir.
Seorang lelaki tua terbungkuk-bungkuk mendatangi membawa sebuah sarung lusuh. “Selamat bagimu Djarot!” kata orang tua itu keras-keras agar dapat meningkahi suara air pancuran yang deras.
Djarot Pangestu berpaling sedikit lalu berkata datar. “Selamat untuk apa!?”
“Bukankah siang ini kau akan keluar dari penjara? Menjadi manusia bebas kembali?!”
Djarot Pangestu menyemburkan air dari mulutnya, mengusap wajahnya yang penuh berewok dan kumis liar, lalu berkata. “Dua puluh tahun jadi bangkai hidup mendekam di penjara celaka ini ketika akhirnya dibebaskan, apakah itu satu hal yang menggembirakan?!”
Si orang tua bungkuk melemparkan kain sarung bututnya ke atas batu. Dia memandang ke arah kedua kaki Djarot Pangestu di mana seuntai rantai besi yang berat mengikat pergelangan kaki kiri dan kanan lelaki itu satu sama lain. Dua puluh tahun menjadi budak penjara.
Duapuluh tahun pula rantai besi itu telah menggantuli sepasang kaki Djarot pangestu.
“Bagaimanapun di luarsanaadalah jauh lebih baik daripada di dalam sini. Kau bisa merasa jadi manusia kembali. Dibandingkan dengan diriku, pembunuh dan pemerkosa! Seumur hidup sampai mati aku akan tetap mendekam di sini!” Orang tua itu menarik nafas panjang.
Tidak seperti Djarot, kedua kakinya tidak dirantai. Namun itu bukan berarti dia mempunyai kesempatan untuk lari. Sejak sepuluh tahun lalu, ketika badannya semakin rapuh, rantai seperti itu ditanggalkan dari kedua kakinya. Dan dengan tubuh serapuh itu mana sanggup dia melarikan diri. Hasrat untuk lari pun sudah tenggelam bersama keuzuran usianya. Lagi pula apa yang diharapkannya di luarsana? Lain dengan Djarot yang saat itu baru mencapai usia sekitar 45 tahun.
Setelah membuka bajunya, dengan celana kolor orang tua ini tegak disamping Djarot di bawah pancuran. Tubuhnya langsung menggigil oleh air gunung yang dingin itu.
Di sela deru air pancuran orang tua itu berkata lagi. “Kau akan bertemu dengan istrimu kembali. Kau akan bahagia Djarot…”
“Setelah duapuluh tahun berpisah, tak ada kabar tak ada berita, apa kau kira perempuan itu masih menungguku? Aku tak akan pulang ke rumah istriku. Percuma saja! Perempuan itu tak akan ada di situ. Kalaupun ada, dia pasti sudah kawin lagi! Selama aku di sini, tidak satu kali pun dia menjengukku! Istri macam apa itu!”
“Lalu apa yang akan kau lakukan begitu keluar dari penjara kerajaan ini, Djarot?!”
“Bapak tua, aku pernah menceritakan riwayat sampai aku dijebloskan ke tempat ini! Nah kau bisa menerka apa yang akan kulakukan!”
“Mencari Menak Srenggi, Adipati Ambarawa itu?!”
“Apa lagi kalau bukan itu pak tua!”
“Ah, dia mungkin sudah meninggal. Kalaupun masih hidup usianya paling tidak sudah mencapai tujuh puluh tahun.”
“Hidup atau mati aku tetap mencari bangsat itu. Aku memang manusia keparat di masa muda. Jadi kepala rampok, raja penyamun dan pimpinan bajak! Tapi aku tidak pernah membuat urusan dengan kerajaan! Aku tidak pernah memberontak! Dan si Menak Srenggi jahanam itu telah memfitnahku sebagai gembong pemberontak! Membuat cacat wajahku dan mengirim aku ke penjara ini untuk hidup bersama tikus tikus dan kecoak selama duapuluh tahun!”
Djarot Pangestu keluarkan suara mendengus, lalu kembali terdengar suaranya meradang.
“Menak Srenggi, aku tahu kau bukan manusia baik-baik. Hanya pangkatmu sebagai Adipati yang memberikan kekuasaan padamu untuk bertindak seenak utilmu! Tapi tunggulah, utilmu itu, perutmu itu akan kubedol sampai ususmu berbusaian! Kepalamu akan kugorok!”
“Tapi kalau dia memang sudah mati, apanya yang akan kau bedol? Usus mananya yang akan kau busai, Djarot?!” tanya si bapak tua.
“Kalaupun dia sudah jadi tanah, tentu istri atau anak cucunya masih hidup! Mereka cukup pantas untuk tempatku membalaskan dendam kesumat!”
“Ah, aku rasa itu pekerjaan salah Djarot! Kalau orang yang kau anggap sebagai musuh besarmu sudah tidak ada, mengapa anak istri bahkan cucunya yang tidak berdosa jadi ajang pembalasan dendammu? Lebih baik kau melupakan masa lalumu. Kau masih muda dan bisa memulai hidup baru kembali!”
Djarot Pangestu tertawa gelak-gelak. “Bapak tua… bapak tua. Kau tahu apa tentang hidup baru! Hidupku sudah sejak lama terkubur. Sejak duapuluh tahun lalu! Kalaupun aku masih hidup, maka hidup baru yang kau maksudkan itu adalah hidup penuh darah dan nyawa!”
Terdengar suara bergemerincing rantai berat ketika Djarot menggerakkan kedua kakinya dan melangkah turun dari batu datar di bawah air pancuran.
Desa Kaliwungu merupakan desa berhawa sejuk. Kebanyakan penduduknya hidup dari bercocok tanam. Sebagian besar sawah ladang yang ada di desa itu adalah milik Menak Srenggi, bekas Adipati Ambarawa yang kini berusia hampir tujuh puluh tahun.
Meskipun sudah lanjut usia begitu Menak Srenggi masih kelihatan gagah dan kukuh.
Tubuhnya yang tinggi tidak kelihatan bungkuk walaupun kalau berjalan dia selalu dibantu oleh sebuah tongkat berhulu gading putih kekuningan. Rambut dan kumisnya telah memutih seperti kapas.
Di samping rumah kayu besar kediaman Menak Srenggi, terdapat sebuah halaman luas di mana anak-anak tetangga sering bermain-main di tempat itu. Pagi itu enam anak perempuan rata-rata berusia sepuluh tahun tampak bermaingalah asin . Suara pekik tawa mereka terdengar sampai jauh.
Seorang penumpang kuda berpakaian seperti seragam pasukan kraton muncul dari arah timur.
Di pinggang kirinya dia membekal sebatang golok. Di hadapan rumah besar dia berhenti sejenak. Lalu membawa kudanya mendekati anak-anak perempuan yang sedang bermain.
“Anak-anak!” Orang itu berseru. Dia mengangkat tangan kirinya menunjuk ke arah rumah besar. “Apakah ini rumahnya Menak Srenggi bekas Adipati Ambarawa itu?”
Anak-anak yang tengah asyik bermain hentikan permainan mereka dan hendak menjawab mengiyakan. Namun ketika melihat wajah si penunggang kuda yang bertanya, semuanya jadi tercekat ketakutan. Ada yang tertegun, ada yang melangkah mundur.
Orang di atas kuda itu memiliki wajah menyeramkan. Adaguratan bekas luka di pipi kirinya, membelintang dari mata kiri sampai ke atas bibir. Mata kirinya agak mencuat dan berwarna merah. Kumis serta cambang bawuknya meranggas liar, ditambah dengan rambutnya yang panjang awut-awutan maka anak-anak itu melihatnya seperti melihat setan.
“Hai! Kalian tak perlu takut! Aku hanya bertanya benar ini rumah Menak Srenggi yang dulu pernah jadi Adipati Ambarawa…?” Lalu orang itu melemparkan sekeping uang ke tanah.
“Ambil uang itu untuk membeli penganan dan bagi-bagi!” katanya.
Salah seorang dari enam anak perempuan itu memungut uang yang ada di tanah lalu memberanikan diri menjawab. “Memang betul. Itu rumahnya kakek Srenggi.”
Seorang anak perempuan berambut hitam panjang tiba-tiba memotong ucapan kawannya itu.
“Kita tidak tahu siapa orang itu, mengapa kau lancang menjawab pertanyaannya?!”
“Gadis cilik berambut hitam. Siapa kau? Apa masih ada sangkut paut dengan Menak Srenggi?” orang di atas kuda bertanya.
“Dia cucu kakek Srenggi!” Lagi-lagi yang menjawab adalah anak perempuan tadi yang kini tegak sambil memegang kepingan uang.
“Kembali kau bertindak lancang, Muti!”
Anak yang disebut sebagai cucu Menak Srenggi tampak gelisah dan takut. Lebih lebih ketika dilihatnya orang berwajah seram di atas kuda memandang tak berkedip ke arahnya.
“Hemm… anak ini termasuk salah satu yang harus kusingkirkan. Tapi dia bisa kuselesaikan kemudian. Yang penting mencari jahanam Menak Srenggi itu dulu…” membatin orang di atas kuda. “Apakah kakekmu ada di rumah, anak manis?” tanyanya pada gadis cilik yang dikatakan sebagai cucu Menak Srenggi itu.
Si anak berambut panjang tidak menjawab.
Lagi-lagi temannya yang tadi malah yang membuka mulut. “Kakek Srenggi orang tua yang baik. Kami sering bermain-main dengannya. Kami suka diberi gulali. Pagi-pagi begini biasanya kakek Srenggi duduk di kursi goyang di serambi belakang rumah. Minum kopi ditemani nenek…”
“Ah! Kau anak pandai. Teruskan permainanmu dengan kawan-kawan…” kata orang di atas kuda. Dia mengerling sekilas pada cucu Menak Srenggi, lalu menyentakkan tali kekang kuda dan bergerak menuju bagian depan rumah kayu. Cucu Menak Srenggi memperhatikan orang itu beberapa lamanya. Ketika orang yang diperhatikan turun dari kudanya gadis kecil ini mendengar teman-temannya memanggil. Maka dia pun membalikkan tubuh dan bergabung kembali dengan kawan-kawannya meneruskan permainan galah asin.
Setelah main beberapa lamanya, gadis kecil ini tiba-tiba saja merasa tidak enak. Setiap saat terbayang kembali olehnya muka seram orang itu dan mengapa pagi-pagi begitu mencari kakeknya? Akhirnya gadis kecil itu keluar dari kalangan permainan dan lari ke bagian belakang rumah besar.
“Ayu! Kau curang! Sudah kalah mengapa lari?” seorang temannya berteriak memanggil.
Yang lain berseru: “Mau ke mana Ayu?!”
“Aku pulang dulu! Aku haus! Sebentar aku kembali lagi!” jawab Ayu Lestari, seraya terus lari lalu masuk ke pekarangan belakang rumah lewat sebuah pintu pagar dari bambu.
Begitu sepasang kaki kecil itu bertindak masuk ke dalam pekarangan sejauh lima langkah, langsung kaki-kaki itu berhenti laksana dipaku dan dari mulut Ayu Lestari terdengar pekik keras!
“Kakek…! Nenek…Ibu!!”
Di serambi belakang rumah itu menggeletak tiga sosok tubuh. Dua di antaranya saling tumpang tindih berangkulan. Yang pertama adalah kakek Ayu Lestari yaitu Menak Srenggi.
Orang tua ini menggeletak telentang dengan leher hampir putus sementara darah masih mengucur dari luka menganga di lehernya itu. Luka kedua mengoyak perutnya hingga tampak ususnya menyembul bergerak-gerak. Ayu Lestari masih sempat mendengar kakeknya mengerang, lalu nyawanya putus. Orang tua ini mati dengan mata melotot!
Membelintang di atas dada Menak Srenggi adalah seorang perempuan tua yang bukan lain ialah istrinya. Perempuan ini tampak melejang-lejangkan kaki kirinya beberapa kali. Tangan kirinya merangkul tubuh si kakek seolah-olah berusaha melindunginya. Sesaat kemudian nenek inipun lepas pula nyawanya. Dua bacokan, satu di punggung, satu lagi di pangkal lehernya tampak menggidikkan.
Sosok tubuh ke tiga yang membuat Ayu Lestari menjerit keras adalah sosok tubuh ibunya sendiri. Perempuan separuh baya ini tersandar di terali serambi. Mukanya tertutup gelimangan darah. Di dadanya tampak satu luka menganga.
“Gusti Allah…! Gusti Allah…!” terdengar perempuan ini menyebut nama Tuhannya beberapa kali. Lalu lehernya terkulai ke kiri. Nyawanya melayang.
Ayu Lestari kembali menjerit dan melompat langsung menubruk ibunya. Dia tidak memperhatikan lagi bagaimana muka, tubuh dan pakaiannya jadi berselomotan darah. Sama sekali tak ada rasa takut dalam diri anak ini. Dia memeluk mayat ibunya, menangis dan menjerit keras-keras.
“Ha… ha…! Ini dia! Cucu keparat Menak Srenggi ini pun harus kusingkirkan! Biar tuntas semua dendamku!” Terdengar suara mendengus lalu langkah-langkah kaki mendatangi. Ayu Lestari lepaskan rangkulan pada tubuh ibunya dan berpaling.
Beberapa langkah di sebelah kirinya tegak lelaki berwajah setan itu. Orang yang tadi datang menunggang kuda dan menanyakan padanya serta kawan-kawan mengenai kakeknya.
Pakaiannya yang seragam pasukan keraton itu penuh percikan darah. Darah juga tampak menempel pada mukanya hingga tampangnya jadi tambah mengerikan. Di tangan kanannya ada sebilah golok yang masih basah dan merah oleh darah! Si muka setan ini menyeringai.
Rahangnya terdengar bergemeletukan.
“Pembunuh! Orang jahat pembunuh!” teriak Ayu Lestari. Gadis cilik sepuluh tahun ini melompat dan melangkah mundur menuju tangga serambi.
“He…eee! Kowe mau lari ke mana monyet kecil!” kata si muka setan. Kaki kanannya bergerak menendang. Duk! Tubuh Menak Srenggi mencelat ke arah Ayu Lestari. Anak ini terpekik lalu menghambur ke arah tangga dan lari ke halaman, tepat pada saat golok besar di tangan orang itu membabat dan lewat hanya seujung jari di atas kepalanya!
“Setan alas! Kau kira bisa kabur ke mana huh?!” Orang itu mengejar. Untung bagi Ayu, orang yang hendak mengejar tergelincir kakinya ketika menginjak genangan darah di lantai.
Tubuhnya tersungkur di tangga serambi. Tapi dia segera bangkit, melompati pagar rendah halaman belakang lalu meneruskan mengejar Ayu!
“Pembunuh! Pembunuh!” teriak Ayu Lestari tiada henti sambil berlari ke arah lapangan di mana kawan-kawannya masih bermaingalah asin . Kelima gadis cilik itu tentu saja terkejut mendengar pekik Ayu. Dan lebih terkejut lagi sewaktu melihat kawan mereka itu berlari ketakutan. Baju, tangan dan wajahnya bercelemongan darah. Di belakangnya ada seorang lelaki mengejar dengan golok di tangan.
“Pembunuh! Orang jahat itu membunuh kakek nenek! Membunuh ibuku! Kawan kawan… Tolong!” teriak Ayu Lestari.
Tapi mana mungkin lima gadis cilik itu memberikan pertolongan. Mereka malah ikut menjerit ketakutan lalu lari berserabutan. Dalam takut dan bingung, salah seorang di antara mereka malah lari ke arah orang yang memegang golok. Keduanya saling bertabrakan.
“Setan alas!” Si muka setan memaki marah. Anak yang jatuh akibat tabrakan itu langsung ditendangnya di bagian dada hingga mencelat jauh. Tulang iganya patah berantakan, jantungnya berhenti berdenyut. Anak ini meregang nyawa dengan darah mengucur dari mulutnya!
Empat gadis kecil lainnya sudah lari jauh ke ujung lapangan sementara Ayu Lestari merasakan kedua kakinya seperti kejang karena ketakutan yang amat sangat. Orang berewokan yang mengejarnya tambah dekat. Akhirnya anak ini tak sanggup lagi berlari. Ayu jatuh terjerembab di tanah. Dan saat itu si pengejar sampai di tempat itu, langsung menjambak rambut Ayu Lestari. Tangan kanannya yang memegang golok membabat ke arah pinggang.
Ayu Lestari menjerit. Anak ini sudah lebih dulu pingsan sebelum golok menghantam tubuhnya!
Di saat itu tiba-tiba ada deru cahaya kekuningan berkelebat. Menyusul suara trang! Golok besar di tangan si muka setan terpental ke atas, hampir lepas dari tangannya. Salah satu bagiannya yang tajam gompal besar. Di saat yang bersamaan pula orang ini merasakan tubuhnya didorong keras hingga dia hampir terjengkang ke tanah. Tangan kirinya yang menjambak rambut Ayu Lestari terkembang dan gadis kecil itu lepas dari cengkeramannya!
“Bangsat kurang ajar! Siapa yang minta mampus berani menghalangiku membunuh bocah itu!” teriak si muka setan marah sekali. Goloknya diputar sebat.
“Wut… wut… wut…!” Dia membabat tiga kali berturut-turut, tapi hanya menghantam angin!
Orang tua ini menggeletak telentang dengan leher hampir putus sementara darah masih mengucur dari luka menganga di lehernya itu. Luka kedua mengoyak perutnya hingga tampak ususnya menyembul bergerak-gerak. Ayu Lestari masih sempat mendengar kakeknya mengerang, lalu nyawanya putus. Orang tua ini mati dengan mata melotot!
Membelintang di atas dada Menak Srenggi adalah seorang perempuan tua yang bukan lain ialah istrinya. Perempuan ini tampak melejang-lejangkan kaki kirinya beberapa kali. Tangan kirinya merangkul tubuh si kakek seolah-olah berusaha melindunginya. Sesaat kemudian nenek inipun lepas pula nyawanya. Dua bacokan, satu di punggung, satu lagi di pangkal lehernya tampak menggidikkan.
Sosok tubuh ke tiga yang membuat Ayu Lestari menjerit keras adalah sosok tubuh ibunya sendiri. Perempuan separuh baya ini tersandar di terali serambi. Mukanya tertutup gelimangan darah. Di dadanya tampak satu luka menganga.
“Gusti Allah…! Gusti Allah…!” terdengar perempuan ini menyebut nama Tuhannya beberapa kali. Lalu lehernya terkulai ke kiri. Nyawanya melayang.
Ayu Lestari kembali menjerit dan melompat langsung menubruk ibunya. Dia tidak memperhatikan lagi bagaimana muka, tubuh dan pakaiannya jadi berselomotan darah. Sama sekali tak ada rasa takut dalam diri anak ini. Dia memeluk mayat ibunya, menangis dan menjerit keras-keras.
“Ha… ha…! Ini dia! Cucu keparat Menak Srenggi ini pun harus kusingkirkan! Biar tuntas semua dendamku!” Terdengar suara mendengus lalu langkah-langkah kaki mendatangi. Ayu Lestari lepaskan rangkulan pada tubuh ibunya dan berpaling.
Beberapa langkah di sebelah kirinya tegak lelaki berwajah setan itu. Orang yang tadi datang menunggang kuda dan menanyakan padanya serta kawan-kawan mengenai kakeknya.
Pakaiannya yang seragam pasukan keraton itu penuh percikan darah. Darah juga tampak menempel pada mukanya hingga tampangnya jadi tambah mengerikan. Di tangan kanannya ada sebilah golok yang masih basah dan merah oleh darah! Si muka setan ini menyeringai.
Rahangnya terdengar bergemeletukan.
“Pembunuh! Orang jahat pembunuh!” teriak Ayu Lestari. Gadis cilik sepuluh tahun ini melompat dan melangkah mundur menuju tangga serambi.
“He…eee! Kowe mau lari ke mana monyet kecil!” kata si muka setan. Kaki kanannya bergerak menendang. Duk! Tubuh Menak Srenggi mencelat ke arah Ayu Lestari. Anak ini terpekik lalu menghambur ke arah tangga dan lari ke halaman, tepat pada saat golok besar di tangan orang itu membabat dan lewat hanya seujung jari di atas kepalanya!
“Setan alas! Kau kira bisa kabur ke mana huh?!” Orang itu mengejar. Untung bagi Ayu, orang yang hendak mengejar tergelincir kakinya ketika menginjak genangan darah di lantai.
Tubuhnya tersungkur di tangga serambi. Tapi dia segera bangkit, melompati pagar rendah halaman belakang lalu meneruskan mengejar Ayu!
“Pembunuh! Pembunuh!” teriak Ayu Lestari tiada henti sambil berlari ke arah lapangan di mana kawan-kawannya masih bermaingalah asin . Kelima gadis cilik itu tentu saja terkejut mendengar pekik Ayu. Dan lebih terkejut lagi sewaktu melihat kawan mereka itu berlari ketakutan. Baju, tangan dan wajahnya bercelemongan darah. Di belakangnya ada seorang lelaki mengejar dengan golok di tangan.
“Pembunuh! Orang jahat itu membunuh kakek nenek! Membunuh ibuku! Kawan kawan… Tolong!” teriak Ayu Lestari.
Tapi mana mungkin lima gadis cilik itu memberikan pertolongan. Mereka malah ikut menjerit ketakutan lalu lari berserabutan. Dalam takut dan bingung, salah seorang di antara mereka malah lari ke arah orang yang memegang golok. Keduanya saling bertabrakan.
“Setan alas!” Si muka setan memaki marah. Anak yang jatuh akibat tabrakan itu langsung ditendangnya di bagian dada hingga mencelat jauh. Tulang iganya patah berantakan, jantungnya berhenti berdenyut. Anak ini meregang nyawa dengan darah mengucur dari mulutnya!
Empat gadis kecil lainnya sudah lari jauh ke ujung lapangan sementara Ayu Lestari merasakan kedua kakinya seperti kejang karena ketakutan yang amat sangat. Orang berewokan yang mengejarnya tambah dekat. Akhirnya anak ini tak sanggup lagi berlari. Ayu jatuh terjerembab di tanah. Dan saat itu si pengejar sampai di tempat itu, langsung menjambak rambut Ayu Lestari. Tangan kanannya yang memegang golok membabat ke arah pinggang.
Ayu Lestari menjerit. Anak ini sudah lebih dulu pingsan sebelum golok menghantam tubuhnya!
Di saat itu tiba-tiba ada deru cahaya kekuningan berkelebat. Menyusul suara trang! Golok besar di tangan si muka setan terpental ke atas, hampir lepas dari tangannya. Salah satu bagiannya yang tajam gompal besar. Di saat yang bersamaan pula orang ini merasakan tubuhnya didorong keras hingga dia hampir terjengkang ke tanah. Tangan kirinya yang menjambak rambut Ayu Lestari terkembang dan gadis kecil itu lepas dari cengkeramannya!
“Bangsat kurang ajar! Siapa yang minta mampus berani menghalangiku membunuh bocah itu!” teriak si muka setan marah sekali. Goloknya diputar sebat.
“Wut… wut… wut…!” Dia membabat tiga kali berturut-turut, tapi hanya menghantam angin!
“Haram jadah!” si muka setan kembali memaki. Ketika dia hendak menghantamkan goloknya sekali lagi, gerakannya tertahan. Kedua matanya memandang melotot ke depan.
Enam langkah di hadapannya berdiri seorang nenek keriput tapi bersih dan kelimis. Nenek ini mendukung gadis cilik yang hendak dibunuhnya itu di tangan kiri sedang tangan kanan memegang sebatang pipa bulat terbuat dari besi kuningan. Inilah rupanya senjata si nenek yang tadi sempat menggebuk golok besarnya. Pada ujung sebelah atas, pipa kuningan itu berkeluk membentuk lingkaran besar sedikit dari kepala manusia.
Nenek itu mengenakan kebaya panjang berwarna putih. Kainnya juga terbuat dari kain putih.
Rambutnya yang putih disanggul rapi ke belakang. Di lehernya ada seuntai kalung yang terbuat dari untaian bunga melati. Bunga ini menebar bau harum semerbak ke mana-mana.
“Nenek edan! Siapa kowe?!” bentak si muka setan.
Yang dibentak malah tersenyum sambil terus mendukung Ayu Lestari di bahu kirinya yang saat itu masih berada dalam keadaan pingsan. Ketika tersenyum, meskipun sudah begitu tua, ternyata si nenek masih memiliki barisan gigi-gigi yang utuh dan putih berkilat seperti mutiara! Dia benar-benar seorang nenek cantik!
“Yang edan aku atau sampean…?!” si nenek membuka mulut sementara senyum masih mengulum di bibirnya.
“Tua bangka sinting! Kau minta mampus!” teriak si muka setan.
“Djarot Pangestu! Djarot… Djarot…! Mana ada manusia yang sengaja minta mampus di muka bumi ini. Aku sekali pun sudah tua renta begini, masih belum mau mati! Masih ingin panjang umur dan hidup lama. Hik… hik… hik…!”
Si muka setan yang memang Djarot Pangestu adanya jadi terkejut ketika mendengar orang menyebut namanya.
“Nenek sinting! Siapa kau! Bagaimana bisa tahu namaku?!” teriak Djarot Pangestu dengan keras.
“Anak manusia, aku bukan cuma tahu namamu! Tapi juga tahu asal-usulmu! Baru saja keluar dari penjara sudah berani dan tega-teganya menebar maut! Iblis pun tidak sebiadabmu! Apa dosa anak ini hingga kau hendak membunuhnya?!” Si nenek bertanya. Suaranya mendadak keras. Senyumnya lenyap dan sepasang matanya memandang tajam-tajam ke arah Djarot Pangestu hingga lelaki ini diam-diam merasa tergetar hatinya.
“Kalau kau tidak mau memberi tahu siapa dirimu, maka kau minta mampus secara percuma! Aku akan membunuhmu bersama anak itu!”
Tangan kanan Djarot Pangestu bergerak. Golok besar menderu ganas ke arah leher si nenek dan sekaligus juga leher Ayu Lestari!
Perempuan tua berpakaian serba putih itu sedikit pun tidak bergeser dari tempat tegaknya. Dia mengangkat tangan kanannya yang memegang pipa kuningan, menyambut kedatangan golok maut Djarot Pangestu.
“Trang!!!”
Terdengar suara pipa kuningan beradu keras dengan golok di tangan Djarot Pangestu. Suara berdentrang itu disertai pula oleh suara mengalun panjang, keluar dari lobang pipa kuningan sebelah bawah. Si nenek mendengar suara alunan itu seperti alunan genta yang merdu, sebaliknya Djarot Pangestu seperti mendengar suara dentuman yang meledak-ledak hingga kedua telinganya terasa sakit!
Selain rasa sakit mendenyut pada kedua liang telinganya. Djarot Pangestu juga merasakan saling bentrokan senjata tadi telah membuat tangan kanannya seperti kaku kesemutan!
Jengkel bercampur marah karena merasa si nenek mempermainkannya Djarot Pangestu maju dua langkah lalu kembali dia menghantamkan goloknya. Kali ini senjata itu dibabatkan ke arah pinggang si nenek. Ini cuma satu gerakkan tipuan karena setengah jalan tiba-tiba arah golok berubah dan kini membacok ke arah punggung Ayu Lestari.
“Jurus kilat membalik di belakang awan!” Seru si nenek sambil tersenyum lalu angkat pipa kuningnya.
Djarot Pangestu sampai batalkan serangan dan tersurut dua langkah saking kagetnya ketika mendengar si nenek menyebut jurus ilmu golok yang barusan dimainkannya.
“Tua bangka sinting ini! Bagaimana dia bisa tahu jurus ilmu golokku!” ujar Djarot dalam hati.
“Siapa dia sebenarnya…? Jangan-jangan masih ada pertalian darah dengan guruku dulu.
Tapi… Aku tidak percaya! Kalau tidak lekas dibereskan naga-naganya tua bangka ini bisa membuat aku susah!”
Didahului suara membentak Djarot Pangestu kembali menyerbu dengan goloknya. Kali ini dia mengerahkan tenaga dalamnya penuh-penuh ke tangan kanan hingga golok berdarah yang dipegangnya tampak bergetar keras dan mengeluarkan suara berkesiuran ketika dibabatkan.
Dengan tenang si nenek berwajah bersih cantik mengangkat pipa besi kuningannya. Gerakan tangannya tampak lemah dan perlahan saja. Tapi pipa kuningan itu tiba-tiba terlihat melesat seperti sebuah titiran dan,
“Trang!!Trang!!”
Golok berdarah di tangan Djarot Pangestu patah dua, mental ke udara. Pipa kuningan kembali terdengar mengeluarkan suara seperti genta mengalun sedang di telinga Djarot Pangestu seperti ada yang menusuk-nusuk! Tangan kanannya laksana berubah jadi kayu, kaku tak bisa digerakkan lagi!
Kini kecutlah nyali manusia ini. Dia benar-benar menyadari kalau si nenek tak dikenal itu, yang melayaninya sambil mendukung anak kecil, dan tanpa menggeserkan kedua kakinya sedikit pun, jelas-jelas adalah seorang berkepandaian tinggi.
Tanpa pikir panjang lagi Djarot Pangestu putar tubuhnya dan melompat ke arah kudanya, siap untuk kabur. Namun baru dua langkah bergerak tahu-tahu ujung pipa kuningan yang berbentuk bulat telah mengalung lehernya hingga dia tak bisa bergerak lagi, kecuali kalau lehernya mau terbetot patah!
“Manusia kejam! Hatimu sejahat iblis! Tapi baru begitu sudah putus nyali dan hendak melarikan diri. Hik… hik… hik!” si nenek mengejek lalu tertawa cekikikan.
“Nenek edan! Lebih baik kau bunuh diriku saat ini juga! Jangan memberi malu diriku lebih lama!” teriak Djarot Pangestu.
“Hik… hik! Tahu malu juga bergundal iblis ini!” mengejek lagi si nenek.
“Bunuh saja aku!” teriak Djarot Pangestu
“He… he… he…! Aku tidak akan membunuhmu saat ini Djarot Pangestu. Bakal ada yang melakukannya di kemudian hari. Anak perempuan dalam dukunganku inilah yang kelak akan memisahkan kepala dan badanmu…” kata si nenek pula.
“Tua bangka pengecut! Kau tak berani membunuhku! Pengecut!”
Si nenek tertawa panjang mendengar kata-kata Djarot Pangestu itu. Dia menggerakkan pipa kuningannya yang menjerat leher Djarot. Mendadak sontak Djarot merasakan tubuhnya terangkat tapi tahu-tahu kepalanya menghadap ke bawah sedang kaki ke atas! Dia dapatkan bumi ini seperti terbalik! Dia merasa seperti digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Ketika dia hendak berteriak dan memaki, tahu-tahu dia sudah diturunkan kembali dan pipa kuningan itu tidak lagi menggelung di lehernya.
“Djarot Pangestu! Lekas berlalu dari hadapanku! Tinggalkan tempat ini!”
“Nenek sinting! Kau kelak akan menyesal mengambil keputusan membebaskan diriku hari ini. Aku bersumpah akan menuntut ilmu lebih tinggi! Setelah itu kudapatkan aku akan mencarimu! Dan hari itulah penyesalanmu berakhir di ujung kematian!”
“Aku sebal melihat tampangmu Djarot! Disuruh pergi malah bersyair! Pergi sana!”
Nenek cantik itu ketukkan ujung pipa kuningannya ke tanah. Terdengar suara genta mengalun keras yang diserai sambaran angin dari ujung pipa sebelah bawah. Angin aneh ini menyambar ke arah Djarot Pangestu. Begitu sambaran angin menghantamnya, tak ampun lagi Djarot Pangestu terlempar sampai tiga tombak.
Sambil keluarkan suara cekikikan nenek itu balikkan tubuhnya. Dia menekankan ujung pipanya ke tanah. Seperti anak panah lepas dari busurnya, seperti itu pulalah tubuhnya tampak melesat dan lenyap di kejauhan bersama Ayu Lestari yang masih pingsan di bahu kirinya.
Djarot Pangestu bangkit berdiri dengan muka pucat. Terpincang-pincang dia setengah berlari mendapatkan kudanya. Sementara itu dari berbagai jurusan penduduk desa mulai berdatangan ke arah rumah Menak Srenggi.
Enam langkah di hadapannya berdiri seorang nenek keriput tapi bersih dan kelimis. Nenek ini mendukung gadis cilik yang hendak dibunuhnya itu di tangan kiri sedang tangan kanan memegang sebatang pipa bulat terbuat dari besi kuningan. Inilah rupanya senjata si nenek yang tadi sempat menggebuk golok besarnya. Pada ujung sebelah atas, pipa kuningan itu berkeluk membentuk lingkaran besar sedikit dari kepala manusia.
Nenek itu mengenakan kebaya panjang berwarna putih. Kainnya juga terbuat dari kain putih.
Rambutnya yang putih disanggul rapi ke belakang. Di lehernya ada seuntai kalung yang terbuat dari untaian bunga melati. Bunga ini menebar bau harum semerbak ke mana-mana.
“Nenek edan! Siapa kowe?!” bentak si muka setan.
Yang dibentak malah tersenyum sambil terus mendukung Ayu Lestari di bahu kirinya yang saat itu masih berada dalam keadaan pingsan. Ketika tersenyum, meskipun sudah begitu tua, ternyata si nenek masih memiliki barisan gigi-gigi yang utuh dan putih berkilat seperti mutiara! Dia benar-benar seorang nenek cantik!
“Yang edan aku atau sampean…?!” si nenek membuka mulut sementara senyum masih mengulum di bibirnya.
“Tua bangka sinting! Kau minta mampus!” teriak si muka setan.
“Djarot Pangestu! Djarot… Djarot…! Mana ada manusia yang sengaja minta mampus di muka bumi ini. Aku sekali pun sudah tua renta begini, masih belum mau mati! Masih ingin panjang umur dan hidup lama. Hik… hik… hik…!”
Si muka setan yang memang Djarot Pangestu adanya jadi terkejut ketika mendengar orang menyebut namanya.
“Nenek sinting! Siapa kau! Bagaimana bisa tahu namaku?!” teriak Djarot Pangestu dengan keras.
“Anak manusia, aku bukan cuma tahu namamu! Tapi juga tahu asal-usulmu! Baru saja keluar dari penjara sudah berani dan tega-teganya menebar maut! Iblis pun tidak sebiadabmu! Apa dosa anak ini hingga kau hendak membunuhnya?!” Si nenek bertanya. Suaranya mendadak keras. Senyumnya lenyap dan sepasang matanya memandang tajam-tajam ke arah Djarot Pangestu hingga lelaki ini diam-diam merasa tergetar hatinya.
“Kalau kau tidak mau memberi tahu siapa dirimu, maka kau minta mampus secara percuma! Aku akan membunuhmu bersama anak itu!”
Tangan kanan Djarot Pangestu bergerak. Golok besar menderu ganas ke arah leher si nenek dan sekaligus juga leher Ayu Lestari!
Perempuan tua berpakaian serba putih itu sedikit pun tidak bergeser dari tempat tegaknya. Dia mengangkat tangan kanannya yang memegang pipa kuningan, menyambut kedatangan golok maut Djarot Pangestu.
“Trang!!!”
Terdengar suara pipa kuningan beradu keras dengan golok di tangan Djarot Pangestu. Suara berdentrang itu disertai pula oleh suara mengalun panjang, keluar dari lobang pipa kuningan sebelah bawah. Si nenek mendengar suara alunan itu seperti alunan genta yang merdu, sebaliknya Djarot Pangestu seperti mendengar suara dentuman yang meledak-ledak hingga kedua telinganya terasa sakit!
Selain rasa sakit mendenyut pada kedua liang telinganya. Djarot Pangestu juga merasakan saling bentrokan senjata tadi telah membuat tangan kanannya seperti kaku kesemutan!
Jengkel bercampur marah karena merasa si nenek mempermainkannya Djarot Pangestu maju dua langkah lalu kembali dia menghantamkan goloknya. Kali ini senjata itu dibabatkan ke arah pinggang si nenek. Ini cuma satu gerakkan tipuan karena setengah jalan tiba-tiba arah golok berubah dan kini membacok ke arah punggung Ayu Lestari.
“Jurus kilat membalik di belakang awan!” Seru si nenek sambil tersenyum lalu angkat pipa kuningnya.
Djarot Pangestu sampai batalkan serangan dan tersurut dua langkah saking kagetnya ketika mendengar si nenek menyebut jurus ilmu golok yang barusan dimainkannya.
“Tua bangka sinting ini! Bagaimana dia bisa tahu jurus ilmu golokku!” ujar Djarot dalam hati.
“Siapa dia sebenarnya…? Jangan-jangan masih ada pertalian darah dengan guruku dulu.
Tapi… Aku tidak percaya! Kalau tidak lekas dibereskan naga-naganya tua bangka ini bisa membuat aku susah!”
Didahului suara membentak Djarot Pangestu kembali menyerbu dengan goloknya. Kali ini dia mengerahkan tenaga dalamnya penuh-penuh ke tangan kanan hingga golok berdarah yang dipegangnya tampak bergetar keras dan mengeluarkan suara berkesiuran ketika dibabatkan.
Dengan tenang si nenek berwajah bersih cantik mengangkat pipa besi kuningannya. Gerakan tangannya tampak lemah dan perlahan saja. Tapi pipa kuningan itu tiba-tiba terlihat melesat seperti sebuah titiran dan,
“Trang!!Trang!!”
Golok berdarah di tangan Djarot Pangestu patah dua, mental ke udara. Pipa kuningan kembali terdengar mengeluarkan suara seperti genta mengalun sedang di telinga Djarot Pangestu seperti ada yang menusuk-nusuk! Tangan kanannya laksana berubah jadi kayu, kaku tak bisa digerakkan lagi!
Kini kecutlah nyali manusia ini. Dia benar-benar menyadari kalau si nenek tak dikenal itu, yang melayaninya sambil mendukung anak kecil, dan tanpa menggeserkan kedua kakinya sedikit pun, jelas-jelas adalah seorang berkepandaian tinggi.
Tanpa pikir panjang lagi Djarot Pangestu putar tubuhnya dan melompat ke arah kudanya, siap untuk kabur. Namun baru dua langkah bergerak tahu-tahu ujung pipa kuningan yang berbentuk bulat telah mengalung lehernya hingga dia tak bisa bergerak lagi, kecuali kalau lehernya mau terbetot patah!
“Manusia kejam! Hatimu sejahat iblis! Tapi baru begitu sudah putus nyali dan hendak melarikan diri. Hik… hik… hik!” si nenek mengejek lalu tertawa cekikikan.
“Nenek edan! Lebih baik kau bunuh diriku saat ini juga! Jangan memberi malu diriku lebih lama!” teriak Djarot Pangestu.
“Hik… hik! Tahu malu juga bergundal iblis ini!” mengejek lagi si nenek.
“Bunuh saja aku!” teriak Djarot Pangestu
“He… he… he…! Aku tidak akan membunuhmu saat ini Djarot Pangestu. Bakal ada yang melakukannya di kemudian hari. Anak perempuan dalam dukunganku inilah yang kelak akan memisahkan kepala dan badanmu…” kata si nenek pula.
“Tua bangka pengecut! Kau tak berani membunuhku! Pengecut!”
Si nenek tertawa panjang mendengar kata-kata Djarot Pangestu itu. Dia menggerakkan pipa kuningannya yang menjerat leher Djarot. Mendadak sontak Djarot merasakan tubuhnya terangkat tapi tahu-tahu kepalanya menghadap ke bawah sedang kaki ke atas! Dia dapatkan bumi ini seperti terbalik! Dia merasa seperti digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Ketika dia hendak berteriak dan memaki, tahu-tahu dia sudah diturunkan kembali dan pipa kuningan itu tidak lagi menggelung di lehernya.
“Djarot Pangestu! Lekas berlalu dari hadapanku! Tinggalkan tempat ini!”
“Nenek sinting! Kau kelak akan menyesal mengambil keputusan membebaskan diriku hari ini. Aku bersumpah akan menuntut ilmu lebih tinggi! Setelah itu kudapatkan aku akan mencarimu! Dan hari itulah penyesalanmu berakhir di ujung kematian!”
“Aku sebal melihat tampangmu Djarot! Disuruh pergi malah bersyair! Pergi sana!”
Nenek cantik itu ketukkan ujung pipa kuningannya ke tanah. Terdengar suara genta mengalun keras yang diserai sambaran angin dari ujung pipa sebelah bawah. Angin aneh ini menyambar ke arah Djarot Pangestu. Begitu sambaran angin menghantamnya, tak ampun lagi Djarot Pangestu terlempar sampai tiga tombak.
Sambil keluarkan suara cekikikan nenek itu balikkan tubuhnya. Dia menekankan ujung pipanya ke tanah. Seperti anak panah lepas dari busurnya, seperti itu pulalah tubuhnya tampak melesat dan lenyap di kejauhan bersama Ayu Lestari yang masih pingsan di bahu kirinya.
Djarot Pangestu bangkit berdiri dengan muka pucat. Terpincang-pincang dia setengah berlari mendapatkan kudanya. Sementara itu dari berbagai jurusan penduduk desa mulai berdatangan ke arah rumah Menak Srenggi.
Nenek berkebaya putih itu membaringkan Ayu Lestari di atas pasir pantai yang bersih, di bawah kerindangan bayang-bayang deretan pohon kelapa. Walaupun sinar matahari cukup terik namun angin laut yang sejuk membuat udara tidak terasa panas.
Untuk beberapa lama nenek itu memandangi gadis cilik yang masih berada dalam keadaan pingsan itu lalu berlutut di sampingnya. Dia mengangkat tangan kanan Ayu Lestari lalu memperhatikan telapak tangan anak perempuan itu.
“Ahhh…!” si nenek mendesah kagum. “Apa yang dikatakan ratu benar adanya. Anak ini memiliki ruas tangan kanan bertanda silang. Menurut ratu hanya ada empat orang di jagat ini memiliki tangan seperti itu. Satu sudah meninggal seratus tahun silam. Tiga masih hidup ternyata salah satunya adalah anak ini! Ah, ternyata mereka bukan orang-orang sembarangan!”
Setelah memandangi wajah Ayu sekali lagi si nenek menepuk-nepuk pipi gadis cilik itu hingga akhirnya Ayu siuman dari pingsannya. Begitu sadar anak ini langsung menjerit. Dalam benak dan pelupuk matanya masih terbayang tiga orang yang dikasihinya itu, terutama ibunya. Juga masih terpampang wajah angker Djarot Pangestu yang hendak membunuhnya.
Ayu memejamkan matanya kembali dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Anak manis… Berhenti menjerit. Tak ada yang perlu ditakutkan…”
Ayu mendengar suara itu. Rupanya tadi dia belum melihat nenek berpakaian putih yang ada di sampingnya. Perlahan-lahan dia menurunkan kedua tangannya dan membuka sepasang matanya. Ketika dia memalingkan kepalanya ke kiri, pandangannya bertemu dengan sosok tubuh dan wajah tua tapi kelimis serta cantik itu.
“Nenek…!” Ayu memanggil, yang terbayang olehnya adalah neneknya sendiri. Namun kemudian disadarinya bahwa perempuan tua itu bukan neneknya. Lalu dilihatnya deretan pohon kelapa di atas kepalanya, langit biru, merasakan hembusan angin sejuk dan mendengar deburan ombak di pasir. Perlahan-lahan anak ini bangkit duduk, memandang berkeliling.
“Laut…” katanya heran. Sebelumnya dia pernah satu kali diajak ayahnya melihat laut. Ayu memandang pada si nenek. “Nek, kau siapa…? Mengapa Ayu berada di tepi laut ini? Ayu takut…! Orang jahat itu… Dia membunuh ibu… membunuh kakek dan nenek…” Lalu Ayu Lestari menangis keras.
“Anak, nasibmu memang malang. Ayahmu meninggal beberapa waktu lalu. Barusan saja ibu dan nenek serta kakekmu dibunuh orang. Tapi kau tak boleh menangis dan bersedih terusterusan.
Aku akan membawamu ke satu tempat yang indah. Di situ semua akan mengasihimu, akan menghormatimu. Dan kau boleh menganggap aku sebagai pengganti nenekmu yang hilang…”
Lalu si nenek menggendong Ayu Lestari di bahu kirinya. Sambil mengusut air matanya, Ayu bertanya, “Aku ingin pulang nek! Bawa aku pulang nek… Bawa Ayu pulang ke Kaliwungu…”
“Ayu, di Kaliwungu kau tak punya siapa-siapa lagi. Itulah sebabnya kau kubawa, sesuai perintah Ratu…”
“Ratu…? Hai, Ratu katamu nek?” tanya Ayu Lestari.
“Betul. Ratuku dan Ratumu juga kelak…”
“Aku tak mengerti ucapanmu nek…, ratu apa yang kau katakan itu?”
“saat ini kau memang tak perlu mengerti Ayu. Kau ikut saja bersamaku,” kata si nenek pula.
“Ikutmu? Ikut ke mana?”
“Aku akan membawamu ke satu tempat yang indah. Yang tak pernah kau lihat sebelumnya. Kerajaan Ratu Laut Utara!”
Semakin tidak mengerti Ayu Lestari akan apa yang diucapkan si nenek itu. Lalu dirasakannya si nenek mulai melangkah. Berjalan ke arah laut. Ketika sepasang kaki si nenek mulai tenggelam ke dalam air laut, lalu kainnya mulai basah, Ayu Lestari tersentak dan berseru.
“Nek! Kau salah jalan! Mengapa melangkah ke dalam. Nanti kita berdua mati tenggelam…!”
Tubuh si nenek kini tenggelam sebatas pinggang. Kedua kaki Ayu Lestari mulai masuk ke dalam air laut. “Nek!” Pekik Ayu Lestari ketakutan dan ketika air mulai sampai ke pinggangnya, anak ini meronta mencoba melepaskan diri, namun tak berhasil. Air laut kini naik sampai sebahu si nenek, membasahi punggung si gadis cilik.
“Nek!” pekik Ayu kembali. Di saat itu si nenek menekan urat besar dipunggung Ayu. Gadis ini langsung terkulai. Tubuh si nenek melangkah semakin dalam. Selangkah demi selangkah air laut naik sampai ke lehernya, lalu naik lagi sampai muka dan kepala. Rambutnya yang putih dan juga kepala Ayu Lestari lenyap di bawah air laut. Kini hanya tinggal tongkat pipa kuningannya saja yang masih kelihatan. Sesaat kemudian tongkat itu pun lenyap di bawah permukaan air laut!
Untuk beberapa lama nenek itu memandangi gadis cilik yang masih berada dalam keadaan pingsan itu lalu berlutut di sampingnya. Dia mengangkat tangan kanan Ayu Lestari lalu memperhatikan telapak tangan anak perempuan itu.
“Ahhh…!” si nenek mendesah kagum. “Apa yang dikatakan ratu benar adanya. Anak ini memiliki ruas tangan kanan bertanda silang. Menurut ratu hanya ada empat orang di jagat ini memiliki tangan seperti itu. Satu sudah meninggal seratus tahun silam. Tiga masih hidup ternyata salah satunya adalah anak ini! Ah, ternyata mereka bukan orang-orang sembarangan!”
Setelah memandangi wajah Ayu sekali lagi si nenek menepuk-nepuk pipi gadis cilik itu hingga akhirnya Ayu siuman dari pingsannya. Begitu sadar anak ini langsung menjerit. Dalam benak dan pelupuk matanya masih terbayang tiga orang yang dikasihinya itu, terutama ibunya. Juga masih terpampang wajah angker Djarot Pangestu yang hendak membunuhnya.
Ayu memejamkan matanya kembali dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Anak manis… Berhenti menjerit. Tak ada yang perlu ditakutkan…”
Ayu mendengar suara itu. Rupanya tadi dia belum melihat nenek berpakaian putih yang ada di sampingnya. Perlahan-lahan dia menurunkan kedua tangannya dan membuka sepasang matanya. Ketika dia memalingkan kepalanya ke kiri, pandangannya bertemu dengan sosok tubuh dan wajah tua tapi kelimis serta cantik itu.
“Nenek…!” Ayu memanggil, yang terbayang olehnya adalah neneknya sendiri. Namun kemudian disadarinya bahwa perempuan tua itu bukan neneknya. Lalu dilihatnya deretan pohon kelapa di atas kepalanya, langit biru, merasakan hembusan angin sejuk dan mendengar deburan ombak di pasir. Perlahan-lahan anak ini bangkit duduk, memandang berkeliling.
“Laut…” katanya heran. Sebelumnya dia pernah satu kali diajak ayahnya melihat laut. Ayu memandang pada si nenek. “Nek, kau siapa…? Mengapa Ayu berada di tepi laut ini? Ayu takut…! Orang jahat itu… Dia membunuh ibu… membunuh kakek dan nenek…” Lalu Ayu Lestari menangis keras.
“Anak, nasibmu memang malang. Ayahmu meninggal beberapa waktu lalu. Barusan saja ibu dan nenek serta kakekmu dibunuh orang. Tapi kau tak boleh menangis dan bersedih terusterusan.
Aku akan membawamu ke satu tempat yang indah. Di situ semua akan mengasihimu, akan menghormatimu. Dan kau boleh menganggap aku sebagai pengganti nenekmu yang hilang…”
Lalu si nenek menggendong Ayu Lestari di bahu kirinya. Sambil mengusut air matanya, Ayu bertanya, “Aku ingin pulang nek! Bawa aku pulang nek… Bawa Ayu pulang ke Kaliwungu…”
“Ayu, di Kaliwungu kau tak punya siapa-siapa lagi. Itulah sebabnya kau kubawa, sesuai perintah Ratu…”
“Ratu…? Hai, Ratu katamu nek?” tanya Ayu Lestari.
“Betul. Ratuku dan Ratumu juga kelak…”
“Aku tak mengerti ucapanmu nek…, ratu apa yang kau katakan itu?”
“saat ini kau memang tak perlu mengerti Ayu. Kau ikut saja bersamaku,” kata si nenek pula.
“Ikutmu? Ikut ke mana?”
“Aku akan membawamu ke satu tempat yang indah. Yang tak pernah kau lihat sebelumnya. Kerajaan Ratu Laut Utara!”
Semakin tidak mengerti Ayu Lestari akan apa yang diucapkan si nenek itu. Lalu dirasakannya si nenek mulai melangkah. Berjalan ke arah laut. Ketika sepasang kaki si nenek mulai tenggelam ke dalam air laut, lalu kainnya mulai basah, Ayu Lestari tersentak dan berseru.
“Nek! Kau salah jalan! Mengapa melangkah ke dalam. Nanti kita berdua mati tenggelam…!”
Tubuh si nenek kini tenggelam sebatas pinggang. Kedua kaki Ayu Lestari mulai masuk ke dalam air laut. “Nek!” Pekik Ayu Lestari ketakutan dan ketika air mulai sampai ke pinggangnya, anak ini meronta mencoba melepaskan diri, namun tak berhasil. Air laut kini naik sampai sebahu si nenek, membasahi punggung si gadis cilik.
“Nek!” pekik Ayu kembali. Di saat itu si nenek menekan urat besar dipunggung Ayu. Gadis ini langsung terkulai. Tubuh si nenek melangkah semakin dalam. Selangkah demi selangkah air laut naik sampai ke lehernya, lalu naik lagi sampai muka dan kepala. Rambutnya yang putih dan juga kepala Ayu Lestari lenyap di bawah air laut. Kini hanya tinggal tongkat pipa kuningannya saja yang masih kelihatan. Sesaat kemudian tongkat itu pun lenyap di bawah permukaan air laut!
Nenek berwajah cantik itu memijat urat besar di punggung Ayu Lestari. Saat itu juga anak ini sadarkan diri dan dapatkan sekujur tubuh dan pakaiannya yang basah kuyup. Dilihatnya tubuh, rambut serta pakaian putih si nenekpun basah juga. Ketika dirinya diturunkan dari dukungan, Ayu Lestari memandang berkeliling dengan terheran-heran.
“Huah nek! Berada di mana kita ini?!” seru Ayu Lestari heran dan kagum. Saat itu didapatinya dirinya berada dalam sebuah bangunan sangat besar beratap tinggi. Pada kiri kanan bangunan yang berdinding batu pualam itu berjejer masing-masing dua belas buah pilar putih berukiran indah sekali. Lalu di antara jejeran dua belas tiang ini, pada pertengahan lantai terbentang sehelai permadani tebal berwarna biru membujur dari tangga di sebelah depan bangunan dekat mana dia dan si nenek berada. Permadani ini membujur terus ke arah bagian ujung lain dari bangunan besar itu.
Di sebelah ujung sana tampak tangga terdiri dari lima undakan, dan diundakan paling atas lantainya ditutupi sehelai permadani tebal berwarna merah. Di tengah-tengah ruangan besar di atas tangga itu terdapat sebuah kursi besar berukiran kepala naga pada kedua tangannya dan ukiran kepala burung garuda pada sandarannya sebelah atas.
Di kiri kanan kursi, sebuah payung tinggi dan besar serta berjumbai-jumbai benang emas memayungi kursi besar. Di langit-langit ruangan menyala puluhan lampu kecil yang tersusun pada sebuah jambangan indah terbuat dari perak dan memancarkan sinar berkilau-kilau, tergantung tepat di atas kursi besar. Pada dinding ruangan kiri kanan tampak tiga buah pintu berwarna putih. Di atas pintu menyala lampu-lampu aneh berwarna biru, merah, kuning, hijau, abu-abu dan cokelat.
“Nek, kita ini berada di mana…?” tanya Ayu Lestari lagi, sambil memegang kebaya si nenek, dan masih memandang berkeliling terkagum-kagum. Sementara cuping hidungnya kembang kempis karena dia mencium bau yang harum semerbak di tempat itu.
“Inilah istana Ratu Laut Utara…”jawab si nenek setengah berbisik.
“Jangan-jangan aku bermimpi…,” si gadis cilik lalu tarik kuat-kuat telinganya sendiri.
“Aduh!” dia terpekik kesakitan. “Ternyata Ayu tidak bermimpi. Jadi semuanya ini benar nek…! Nek…”
“Ssst, diamlah! Sudah ada yang menjemput kita…” bisik si nenek.
Saat itu Ayu Lestari melihat pintu putih yang di atasnya ada lampu berwarna merah terbuka, lalu menyusul pintu putih di sebelah kiri yang ada lampu hijau. Dua orang gadis berparas cantik berkulit putih, satu memakai baju panjang warna hijau, satunya warna merah melangkah ke arah si nenek dan Ayu.
Pakaian yang dikenakan kedua gadis ini terbuka lebar di bagian punggung dan sangat rendah di bagian dada sehingga punggungnya yang putih tersingkap dan sebagian payu daranya tersembul di ujung atas pakaian sebelah depan. Pada pinggir kiri pakaian panjang itu terdapat belahan tinggi sampai ke pangkal paha. Karenanya, setiap langkah yang dibuat menyebabkan aurat gadis-gadis cantik ini tersingkap lebar memperlihatkan auratnya sebelah kiri, putih dan sangat mulus.
“Nek, bidadarikah yang datang ini……?” tanya Ayu Lestari. Si nenek tidak menjawab, hanya tersenyum.
Di hadapan kedua orang itu, gadis baju merah dan hijau menganggukan kepala dengan khidmat lalu yang baju merah berkata: “Ayu, mari ikut dengan saya,” lalu dipegangnya tangan Ayu Lestari.
“Nek…” Ayu memanggil.
“Ikuti saja Roro Merah itu, Ayu. Dia akan menggantikan pakaianmu yang basah dengan pakaian yang bagus,” berkata si nenek, ketika dilihatnya Ayu Lestari seperti hendak menampik. “Kau tak usah takut. Seperti yang aku bilang, semua orang di sini menghormatimu dan juga mengasihimu…”
Mendengar kata-kata si nenek itu, baru Ayu mau melangkah mengikuti dara berbaju merah.
“Nenek Cempaka, giliranmu ikut saya… Kau juga harus berganti pakaian,” terdengar suara gadis berbaju hijau. Si nenek tersenyum lalu melangkah menuju pintu berlampu hijau mengikuti gadis cantik di depannya.
Tak lama kemudian perempuan tua yang dipanggil dengan Nenek Cempaka itu tampak keluar dari pintu berwarna hijau, diiringi oleh gadis berbaju hijau tadi. Si nenek ternyata telah bersalin. Kini dia bukan saja mengenakan sehelai kebaya panjang dan kain putih, namun wajahnya juga diberi pupur, pemerah pipi, penghitam alis, serta pewarna bibir. Nenek yang dasarnya memang cantik ini jadi tampak lebih segar. Dia melangkah sambil membawa pipa kuningan di tangan kiri.
Bersama gadis berbaju hijau Nenek Cempaka duduk di atas permadani di bawah tangga, tepat di hadapan kursi besar. Tak lama kemudian terdengar suara bebunyian mengalun diiringi oleh suara seperti deburan ombak di atas pasir pantai. Tirai ungu yang tergantung di belakang kursi membuka ke samping. Di saat itulah tampak seorang gadis berpakaian biru keluar dari balik tirai. Dia melangkah mendekati Nenek Cempaka lalu berkata: “Nenek, kau dipersilahkan masuk.”
Nenek Cempaka serta merta berdiri, menaiki tangga lalu mengikuti gadis baju biru melangkah melewati tirai yang terbuka. Begitu lewat, tirai itu pun menutup kembali.
Di balik tirai ternyata ada satu ruangan besar yang luar biasa bagusnya. Seluruh dinding dilukis dengan pemandangan laut yang indah, termasuk tetumbuhan dan binatang-binatangnya.
Di salah satu sudut terletak sebuah pembaringan dan di atas pembaringan ini bergolek seorang perempuan muda berwajah sungguh rupawan.
Kulitnya kuning langsat. Dia memiliki rambut hitam berkilat. Sepasang matanya bening tapi menyorotkan pandangan tajam. Perempuan ini mengenakan pakaian ungu gelap yang tipis dan di atas kepalanya ada sebuah mahkota emas bertaburan batu-batu permata. Kedua lengannya dihiasi dengan kumpulan gelang yang berderet-deret sampai ke dekat siku.
Yang menarik ialah sebuah permata sebesar ujung ibu jari yang melekat di pertengahan keningnya, seolah-olah membenam dan jadi satu dengan kulit dan daging keningnya. Ketika melihat Nenek Cempaka masuk diiringi gadis baju biru, perempuan di atas pembaringan bangkit dan duduk bersandar pada sebuah bantal besar.
Nenek Cempaka cepat menjura penuh hormat, begitu juga gadis berpakaian biru. Setelah menghormat gadis ini tinggalkan ruangan. Kini tinggal si nenek dan perempuan di atas pembaringan di tempat itu.
“Cempaka…!” perempuan jelita bermahkota di atas pembaringan memanggil nama tanpa sebutan nenek. “Aku sudah melihat kemunculanmu tadi bersama anak itu lewat ombak sakti penyambung mata. Benar gadis cilik itu orang yang kita cari?”
“Benar Sri Ratu. Memang dia orangnya. Dia bernama Ayu Lestari…” Lalu secara singkat si nenek menuturkan peristiwa yang terjadi di tempat kediaman Ayu di Kaliwungu.
“Kasihan anak itu. Tapi yang lebih penting apakah kau sudah meneliti telapak tangan kanannya…?” tanya perempuan cantik di atas pembaringan yang dipanggil dengan sebutan Sri Ratu.
“Sudah Sri Ratu. Sesuai petunjuk Sri Ratu memang ruas telapak tangan kanan anak itu ada tanda silangnya…”
“Aku lega sekarang. Berarti kita sudah menemukan penerus dan pewaris Kerajaan Laut Utara ini. Berarti aku bisa kembali ke asalku dan beristirahat dengan tenang…”
“Tapi bukankah menurut Sri ratu kita harus menunggu tujuh tahun. Yaitu sampai anak itu berusia tujuh belas…?”
“Betul Cempaka. Tapi masa tujuh tahun tidak lama. Karena itu kita harus mempersiapkannya dengan cermat dan tepat mulai dari sekarang. Itu semua menjadi tugasmu dan enam gadis pembantuku…”
“Akan saya ingat dan perhatikan serta jalankan hal itu baik-baik Sri Ratu…”
Tirai ungu terbuka. Gadis berbaju biru masuk, membungkuk hormat lalu berkata memberi tahu, “Gadis kecil itu sudah berada di depan tahta kerajaan. Jika Sri Ratu berkenan melihat dan menemuinya…”
Sri Ratu mengangguk lalu turun dari pembaringan.
DI ruang luas yang bertiang besar sebanyak dua puluh empat buah itu, Ayu Lestari duduk di depan kursi besar, ditemani oleh Roro Merah. Gadis cilik itu kini tampak mengenakan sehelai pakaian baru yang bagus, dan sampai saat itu masih saja celingak-celinguk terkagum-kagum memperhatikan keindahan ruangan besar itu.
Sesaat kemudian dilihatnya tirai ungu terbuka dan seorang perempuan muda yang luar biasa cantiknya, mengenakan pakaian ungu tipis melangkah keluar dari balik tirai diiringi lima dara masing-masing berpakaian biru, kuning, hijau, abu-abu dan coklat. Di samping kiri tampak perempuan tua berpakaian putih itu.
“Eh… Nek…!” seru Ayu Lestari. “Kemarilah! Aih… Kau habis berdandan, rupanya!
Wajahmu jadi seperti muda dan tambah cantik!” imbuh Ayu. Si nenek hanya tersenyum sambil palangkan jari telunjuknya di depan bibir, memberi tanda agar Ayu Lestari jangan bicara terus.
Saat itu Ayu melihat perempuan muda berbaju ungu telah duduk di atas kursi besar sementara lima gadis tegak di samping kiri kanan kursi dan si nenek sendiri melangkah menuruni tangga menjemputnya. Dia memberi isyarat pada Ayu agar berdiri. Gadis kecil itu segera berdiri diikuti oleh Roro Merah.
“Nek, siapakah orang yang duduk di atas kursi besar itu…?” berbisik Ayu Lestari.
“Dialah Ratu Laut Utara… Pemimpin kita di Kerajaan bawah laut ini…”
Ayu Lestari lantas ingat ketika dia dibawa melangkah ke dalam laut. “Kerajaan bawah laut katamu nek? Apakah saat ini kita berada di bawah laut…? Ayu tidak melihat air laut sama sekali. Dan kita semua tidak tenggelam…”
“Betul, kita memang berada di dasar laut,” jawab si nenek. “Dengar, aku tidak akan menceritakan apa-apa dulu. Lekas beri penghormatan pada Sri Ratu…”
Sebagai anak desa, cara penghormatan yang diketahui Ayu bukanlah menjura atau berlutut, melainkan mencium tangan orang. Maka begitu mendengar kata-kata si nenek tadi, gadis cilik ini segera lari menaiki tangga dan begitu sampai di hadapan Sri Ratu dia menyalaminya lalu mencium tangan Sri Ratu.
Nenek Cempaka dan enam orang dara semula menjadi tercekat khawatir kalau-kalau tindakan gadis cilik itu tidak berkenan di hati Sri ratu. Namun ketika mereka melihat Sri Ratu mengulurkan tangan menyambut salam Ayu sambil tersenyum, legalah semua orang yang ada di situ.
Untuk beberapa lamanya, setelah mencium tangan Sri Ratu, Ayu masih memegangi tangan itu dan menatap wajah yang cantik jelita itu. Belum pernah dia melihat perempuan secantik itu.
Mulutnya yang polos langsung saja menyatakan kekaguman.
“Sri Ratu, wajahmu cantik sekali. Matamu bagus dan bersinar. Ayu kagum melihatmu…”
Sri Ratu tersenyum lebar. “Anak baik, kepolosanmu menyatakan kejujuranmu. Apakah kau ingin punya mata sebagusku…?”
“Tentu saja mau Sri Ratu. Tapi mana mungkin Ayu bisa punya mata sebagus dan sebening matamu…”
“Kau akan memilikinya ketika kau berusia tujuh belas tahun Ayu…”
“Ah, betulkah itu?”
Sri Ratu mengangguk. Lalu bertanya, “Apakah kau suka tinggal di sini?”
“Suka sekali Ratu. Tapi nenek itu hanya membawa Ayu sekedar melihat-lihat. Ayu harus kembali ke Kaliwungu. Ibu Ayu…”
Sampai di situ, anak ini ingat apa yang terjadi atas diri ibu, nenek dan kakek, serta salah seorang kawannya yang mati dibunuh Djarot Pangestu. Wajahnya menjadi merah dan dia berusaha menahan isakan.
“Ayu, kami semua sudah memutuskan bahwa kau tidak akan kembali ke Kaliwungu. Jangan khawatir akan jenazah orang-orang yang kau cintai itu. Mereka semua sudah ada yang mengurusnya. Kau tinggal di sini, ikuti segala petunjuk Nenek Cempaka dan enam pembantuku….”
Sri Ratu mengusap kepala Ayu Lestari dengan tangan kirinya. Tangan kanannya ditarik genggaman Ayu. Saat itulah Sri Ratu melihat sendiri ruas bersilang pada telapak tangan gadis kecil itu.
“Kalian boleh pergi sekarang…” kata Sri Ratu.
Nenek Cempaka memegang lengan Ayu Lestari. Sebelum meninggalkan tempat itu gadis kecil ini bertanya, “Sri Ratu, kapan Ayu boleh melihatmu lagi?”
“Tujuh tahun di muka Ayu,” jawab Sri Ratu.
Selagi Ayu terheran-heran mendengar jawaban itu, Sri Ratu sudah membalikkan diri dan masuk kembali ke bilik tirai ungu bersama enam gadis jelita pembantunya.
Di ujung ruangan, Ayu Lestari berhenti melangkah dan berpaling pada Nenek Cempaka.
“Nek, Ayu heran…”
“Apa yang kau herankan Ayu?”
“Menurut cerita-cerita yang pernah Ayu dengar, yang namanya kerajaan itu pasti ada pasukannya. Pasti ada prajurit pengawal dan sebagainya. Tapi Ayu tidak melihat seorang lelaki pun di sini….”
“Ah, matamu kurang mengawasi,” jawab si nenek. “Cobalah kau memandang berkeliling.
Lalu katakan apa yang kau lihat…” si nenek mengusap mukanya tiga kali.
Ayu Lestari memandang berkeliling. Dan heranlah anak ini. Di seputar ruangan dia kini melihat puluhan prajurit gagah bersenjatakan pedang dan tombak tegak dengan sikap mengawal.
“Apa yang kau lihat Ayu?” tanya si nenek.
“Ayu melihat prajurit-prajurit banyak sekali. Mereka sangat gagah, memegang tombak putih berkilat, membekal pedang di pinggang masing-masing. Tapi eh… Kini mereka semua lenyap Nek, menghilang ke mana mereka?!” seru Ayu Lestari.
Si nenek menarik tangan anak itu seraya menjawab, “Itulah salah satu keanehan dan keajaiban di Kerajaan Bawah Laut ini, Ayu. Akal manusia biasa tidak akan bisa memecahkannya.”
“Huah nek! Berada di mana kita ini?!” seru Ayu Lestari heran dan kagum. Saat itu didapatinya dirinya berada dalam sebuah bangunan sangat besar beratap tinggi. Pada kiri kanan bangunan yang berdinding batu pualam itu berjejer masing-masing dua belas buah pilar putih berukiran indah sekali. Lalu di antara jejeran dua belas tiang ini, pada pertengahan lantai terbentang sehelai permadani tebal berwarna biru membujur dari tangga di sebelah depan bangunan dekat mana dia dan si nenek berada. Permadani ini membujur terus ke arah bagian ujung lain dari bangunan besar itu.
Di sebelah ujung sana tampak tangga terdiri dari lima undakan, dan diundakan paling atas lantainya ditutupi sehelai permadani tebal berwarna merah. Di tengah-tengah ruangan besar di atas tangga itu terdapat sebuah kursi besar berukiran kepala naga pada kedua tangannya dan ukiran kepala burung garuda pada sandarannya sebelah atas.
Di kiri kanan kursi, sebuah payung tinggi dan besar serta berjumbai-jumbai benang emas memayungi kursi besar. Di langit-langit ruangan menyala puluhan lampu kecil yang tersusun pada sebuah jambangan indah terbuat dari perak dan memancarkan sinar berkilau-kilau, tergantung tepat di atas kursi besar. Pada dinding ruangan kiri kanan tampak tiga buah pintu berwarna putih. Di atas pintu menyala lampu-lampu aneh berwarna biru, merah, kuning, hijau, abu-abu dan cokelat.
“Nek, kita ini berada di mana…?” tanya Ayu Lestari lagi, sambil memegang kebaya si nenek, dan masih memandang berkeliling terkagum-kagum. Sementara cuping hidungnya kembang kempis karena dia mencium bau yang harum semerbak di tempat itu.
“Inilah istana Ratu Laut Utara…”jawab si nenek setengah berbisik.
“Jangan-jangan aku bermimpi…,” si gadis cilik lalu tarik kuat-kuat telinganya sendiri.
“Aduh!” dia terpekik kesakitan. “Ternyata Ayu tidak bermimpi. Jadi semuanya ini benar nek…! Nek…”
“Ssst, diamlah! Sudah ada yang menjemput kita…” bisik si nenek.
Saat itu Ayu Lestari melihat pintu putih yang di atasnya ada lampu berwarna merah terbuka, lalu menyusul pintu putih di sebelah kiri yang ada lampu hijau. Dua orang gadis berparas cantik berkulit putih, satu memakai baju panjang warna hijau, satunya warna merah melangkah ke arah si nenek dan Ayu.
Pakaian yang dikenakan kedua gadis ini terbuka lebar di bagian punggung dan sangat rendah di bagian dada sehingga punggungnya yang putih tersingkap dan sebagian payu daranya tersembul di ujung atas pakaian sebelah depan. Pada pinggir kiri pakaian panjang itu terdapat belahan tinggi sampai ke pangkal paha. Karenanya, setiap langkah yang dibuat menyebabkan aurat gadis-gadis cantik ini tersingkap lebar memperlihatkan auratnya sebelah kiri, putih dan sangat mulus.
“Nek, bidadarikah yang datang ini……?” tanya Ayu Lestari. Si nenek tidak menjawab, hanya tersenyum.
Di hadapan kedua orang itu, gadis baju merah dan hijau menganggukan kepala dengan khidmat lalu yang baju merah berkata: “Ayu, mari ikut dengan saya,” lalu dipegangnya tangan Ayu Lestari.
“Nek…” Ayu memanggil.
“Ikuti saja Roro Merah itu, Ayu. Dia akan menggantikan pakaianmu yang basah dengan pakaian yang bagus,” berkata si nenek, ketika dilihatnya Ayu Lestari seperti hendak menampik. “Kau tak usah takut. Seperti yang aku bilang, semua orang di sini menghormatimu dan juga mengasihimu…”
Mendengar kata-kata si nenek itu, baru Ayu mau melangkah mengikuti dara berbaju merah.
“Nenek Cempaka, giliranmu ikut saya… Kau juga harus berganti pakaian,” terdengar suara gadis berbaju hijau. Si nenek tersenyum lalu melangkah menuju pintu berlampu hijau mengikuti gadis cantik di depannya.
Tak lama kemudian perempuan tua yang dipanggil dengan Nenek Cempaka itu tampak keluar dari pintu berwarna hijau, diiringi oleh gadis berbaju hijau tadi. Si nenek ternyata telah bersalin. Kini dia bukan saja mengenakan sehelai kebaya panjang dan kain putih, namun wajahnya juga diberi pupur, pemerah pipi, penghitam alis, serta pewarna bibir. Nenek yang dasarnya memang cantik ini jadi tampak lebih segar. Dia melangkah sambil membawa pipa kuningan di tangan kiri.
Bersama gadis berbaju hijau Nenek Cempaka duduk di atas permadani di bawah tangga, tepat di hadapan kursi besar. Tak lama kemudian terdengar suara bebunyian mengalun diiringi oleh suara seperti deburan ombak di atas pasir pantai. Tirai ungu yang tergantung di belakang kursi membuka ke samping. Di saat itulah tampak seorang gadis berpakaian biru keluar dari balik tirai. Dia melangkah mendekati Nenek Cempaka lalu berkata: “Nenek, kau dipersilahkan masuk.”
Nenek Cempaka serta merta berdiri, menaiki tangga lalu mengikuti gadis baju biru melangkah melewati tirai yang terbuka. Begitu lewat, tirai itu pun menutup kembali.
Di balik tirai ternyata ada satu ruangan besar yang luar biasa bagusnya. Seluruh dinding dilukis dengan pemandangan laut yang indah, termasuk tetumbuhan dan binatang-binatangnya.
Di salah satu sudut terletak sebuah pembaringan dan di atas pembaringan ini bergolek seorang perempuan muda berwajah sungguh rupawan.
Kulitnya kuning langsat. Dia memiliki rambut hitam berkilat. Sepasang matanya bening tapi menyorotkan pandangan tajam. Perempuan ini mengenakan pakaian ungu gelap yang tipis dan di atas kepalanya ada sebuah mahkota emas bertaburan batu-batu permata. Kedua lengannya dihiasi dengan kumpulan gelang yang berderet-deret sampai ke dekat siku.
Yang menarik ialah sebuah permata sebesar ujung ibu jari yang melekat di pertengahan keningnya, seolah-olah membenam dan jadi satu dengan kulit dan daging keningnya. Ketika melihat Nenek Cempaka masuk diiringi gadis baju biru, perempuan di atas pembaringan bangkit dan duduk bersandar pada sebuah bantal besar.
Nenek Cempaka cepat menjura penuh hormat, begitu juga gadis berpakaian biru. Setelah menghormat gadis ini tinggalkan ruangan. Kini tinggal si nenek dan perempuan di atas pembaringan di tempat itu.
“Cempaka…!” perempuan jelita bermahkota di atas pembaringan memanggil nama tanpa sebutan nenek. “Aku sudah melihat kemunculanmu tadi bersama anak itu lewat ombak sakti penyambung mata. Benar gadis cilik itu orang yang kita cari?”
“Benar Sri Ratu. Memang dia orangnya. Dia bernama Ayu Lestari…” Lalu secara singkat si nenek menuturkan peristiwa yang terjadi di tempat kediaman Ayu di Kaliwungu.
“Kasihan anak itu. Tapi yang lebih penting apakah kau sudah meneliti telapak tangan kanannya…?” tanya perempuan cantik di atas pembaringan yang dipanggil dengan sebutan Sri Ratu.
“Sudah Sri Ratu. Sesuai petunjuk Sri Ratu memang ruas telapak tangan kanan anak itu ada tanda silangnya…”
“Aku lega sekarang. Berarti kita sudah menemukan penerus dan pewaris Kerajaan Laut Utara ini. Berarti aku bisa kembali ke asalku dan beristirahat dengan tenang…”
“Tapi bukankah menurut Sri ratu kita harus menunggu tujuh tahun. Yaitu sampai anak itu berusia tujuh belas…?”
“Betul Cempaka. Tapi masa tujuh tahun tidak lama. Karena itu kita harus mempersiapkannya dengan cermat dan tepat mulai dari sekarang. Itu semua menjadi tugasmu dan enam gadis pembantuku…”
“Akan saya ingat dan perhatikan serta jalankan hal itu baik-baik Sri Ratu…”
Tirai ungu terbuka. Gadis berbaju biru masuk, membungkuk hormat lalu berkata memberi tahu, “Gadis kecil itu sudah berada di depan tahta kerajaan. Jika Sri Ratu berkenan melihat dan menemuinya…”
Sri Ratu mengangguk lalu turun dari pembaringan.
DI ruang luas yang bertiang besar sebanyak dua puluh empat buah itu, Ayu Lestari duduk di depan kursi besar, ditemani oleh Roro Merah. Gadis cilik itu kini tampak mengenakan sehelai pakaian baru yang bagus, dan sampai saat itu masih saja celingak-celinguk terkagum-kagum memperhatikan keindahan ruangan besar itu.
Sesaat kemudian dilihatnya tirai ungu terbuka dan seorang perempuan muda yang luar biasa cantiknya, mengenakan pakaian ungu tipis melangkah keluar dari balik tirai diiringi lima dara masing-masing berpakaian biru, kuning, hijau, abu-abu dan coklat. Di samping kiri tampak perempuan tua berpakaian putih itu.
“Eh… Nek…!” seru Ayu Lestari. “Kemarilah! Aih… Kau habis berdandan, rupanya!
Wajahmu jadi seperti muda dan tambah cantik!” imbuh Ayu. Si nenek hanya tersenyum sambil palangkan jari telunjuknya di depan bibir, memberi tanda agar Ayu Lestari jangan bicara terus.
Saat itu Ayu melihat perempuan muda berbaju ungu telah duduk di atas kursi besar sementara lima gadis tegak di samping kiri kanan kursi dan si nenek sendiri melangkah menuruni tangga menjemputnya. Dia memberi isyarat pada Ayu agar berdiri. Gadis kecil itu segera berdiri diikuti oleh Roro Merah.
“Nek, siapakah orang yang duduk di atas kursi besar itu…?” berbisik Ayu Lestari.
“Dialah Ratu Laut Utara… Pemimpin kita di Kerajaan bawah laut ini…”
Ayu Lestari lantas ingat ketika dia dibawa melangkah ke dalam laut. “Kerajaan bawah laut katamu nek? Apakah saat ini kita berada di bawah laut…? Ayu tidak melihat air laut sama sekali. Dan kita semua tidak tenggelam…”
“Betul, kita memang berada di dasar laut,” jawab si nenek. “Dengar, aku tidak akan menceritakan apa-apa dulu. Lekas beri penghormatan pada Sri Ratu…”
Sebagai anak desa, cara penghormatan yang diketahui Ayu bukanlah menjura atau berlutut, melainkan mencium tangan orang. Maka begitu mendengar kata-kata si nenek tadi, gadis cilik ini segera lari menaiki tangga dan begitu sampai di hadapan Sri Ratu dia menyalaminya lalu mencium tangan Sri Ratu.
Nenek Cempaka dan enam orang dara semula menjadi tercekat khawatir kalau-kalau tindakan gadis cilik itu tidak berkenan di hati Sri ratu. Namun ketika mereka melihat Sri Ratu mengulurkan tangan menyambut salam Ayu sambil tersenyum, legalah semua orang yang ada di situ.
Untuk beberapa lamanya, setelah mencium tangan Sri Ratu, Ayu masih memegangi tangan itu dan menatap wajah yang cantik jelita itu. Belum pernah dia melihat perempuan secantik itu.
Mulutnya yang polos langsung saja menyatakan kekaguman.
“Sri Ratu, wajahmu cantik sekali. Matamu bagus dan bersinar. Ayu kagum melihatmu…”
Sri Ratu tersenyum lebar. “Anak baik, kepolosanmu menyatakan kejujuranmu. Apakah kau ingin punya mata sebagusku…?”
“Tentu saja mau Sri Ratu. Tapi mana mungkin Ayu bisa punya mata sebagus dan sebening matamu…”
“Kau akan memilikinya ketika kau berusia tujuh belas tahun Ayu…”
“Ah, betulkah itu?”
Sri Ratu mengangguk. Lalu bertanya, “Apakah kau suka tinggal di sini?”
“Suka sekali Ratu. Tapi nenek itu hanya membawa Ayu sekedar melihat-lihat. Ayu harus kembali ke Kaliwungu. Ibu Ayu…”
Sampai di situ, anak ini ingat apa yang terjadi atas diri ibu, nenek dan kakek, serta salah seorang kawannya yang mati dibunuh Djarot Pangestu. Wajahnya menjadi merah dan dia berusaha menahan isakan.
“Ayu, kami semua sudah memutuskan bahwa kau tidak akan kembali ke Kaliwungu. Jangan khawatir akan jenazah orang-orang yang kau cintai itu. Mereka semua sudah ada yang mengurusnya. Kau tinggal di sini, ikuti segala petunjuk Nenek Cempaka dan enam pembantuku….”
Sri Ratu mengusap kepala Ayu Lestari dengan tangan kirinya. Tangan kanannya ditarik genggaman Ayu. Saat itulah Sri Ratu melihat sendiri ruas bersilang pada telapak tangan gadis kecil itu.
“Kalian boleh pergi sekarang…” kata Sri Ratu.
Nenek Cempaka memegang lengan Ayu Lestari. Sebelum meninggalkan tempat itu gadis kecil ini bertanya, “Sri Ratu, kapan Ayu boleh melihatmu lagi?”
“Tujuh tahun di muka Ayu,” jawab Sri Ratu.
Selagi Ayu terheran-heran mendengar jawaban itu, Sri Ratu sudah membalikkan diri dan masuk kembali ke bilik tirai ungu bersama enam gadis jelita pembantunya.
Di ujung ruangan, Ayu Lestari berhenti melangkah dan berpaling pada Nenek Cempaka.
“Nek, Ayu heran…”
“Apa yang kau herankan Ayu?”
“Menurut cerita-cerita yang pernah Ayu dengar, yang namanya kerajaan itu pasti ada pasukannya. Pasti ada prajurit pengawal dan sebagainya. Tapi Ayu tidak melihat seorang lelaki pun di sini….”
“Ah, matamu kurang mengawasi,” jawab si nenek. “Cobalah kau memandang berkeliling.
Lalu katakan apa yang kau lihat…” si nenek mengusap mukanya tiga kali.
Ayu Lestari memandang berkeliling. Dan heranlah anak ini. Di seputar ruangan dia kini melihat puluhan prajurit gagah bersenjatakan pedang dan tombak tegak dengan sikap mengawal.
“Apa yang kau lihat Ayu?” tanya si nenek.
“Ayu melihat prajurit-prajurit banyak sekali. Mereka sangat gagah, memegang tombak putih berkilat, membekal pedang di pinggang masing-masing. Tapi eh… Kini mereka semua lenyap Nek, menghilang ke mana mereka?!” seru Ayu Lestari.
Si nenek menarik tangan anak itu seraya menjawab, “Itulah salah satu keanehan dan keajaiban di Kerajaan Bawah Laut ini, Ayu. Akal manusia biasa tidak akan bisa memecahkannya.”
Orang tua bertubuh tinggi kurus itu memandang ke langit. Saat itu tengah hari di mana sang surya memancarkan sinarnya dengan terik. Meski dia berada di bukit yang cukup tinggi namun kesejukan udara di situ kalah oleh panasnya cahaya matahari.
Awan berarak di sebelah tenggara. Di arah selatan rombongan burung terbang menuju ke barat. Di puncak bukit itu suasana sunyi dan panas. Lelaki tua itu masih menunggu. Tepat ketika sang surya mencapai titik tertingginya maka dia pun mematahkan sebatang cabang pohon kecil lalu laksana kilat berlari ke puncak bukit.
Di puncak bukit itu terdapat setumpuk timbunan batu-batu cadas. Dengan cabang pohon di tangan kanannya orang tua ini memukul batu-batu itu. Satu demi satu batu itu mencelat mental, ketika batu terakhir terlempar jauh, maka di tanah tampak terbujur sesosok tubuh yang hanya mengenakan sehelai celana pendek warna hitam. Sosok tubuh itu sama sekali tidak bergerak. Tak ada tampak tarikan nafas pada dada atau pun perutnya. Sekujur tubuhnya mulai dari kaki sampai ke muka tampak penuh dengan luka-luka.
“Anak manusia berhati keras! Masih hidup atau sudah matikah engkau?” Si orang tua berseru.
Tak ada jawaban. Dia lalu membungkuk mendekatkan telinga kirinya ke dada di arah jantung.
“Luar biasa! Empat puluh hari ditanam jantungnya masih berdetak!”
Orang tua itu lalu bangkit dan pandangi sosok tubuh yang tergeletak sambil geleng-gelngkan kepalanya.
“Huah!” tiba-tiba orang yang terbujur itu keluarkan suara keras. Detik itu pula tubuhnya melompat dan tahu-tahu dia sudah berdiri di hadapan lelaki tua. Orang ini berbadan tinggi tapi di hadapan si orang tua, tingginya hanya sampai ke dadanya.
“Raja Batu Di Batu!” seru orang yang barusan dikubur di bawah tumpukan puing batu “Aku berhasil!”
“Kau memang hebat Djarot Pangestu. Selama seratus limapuluh tahun usiaku, kau adalah orang kedua yang sanggup lulus dari ujian berat ini! Sekarang kau menguasai ilmu kesaktian itu. Kau telah menjadi manusia batu!”
Ternyata orang yang barusan ditimbun batu-batu itu adalah Djarot Pangestu. Manusia jahat yang begitu keluar dari penjara telah membunuh bekas Adipati Ambarawa dan istrinya, serta membunuh ibu Ayu Lestari dan juga membunuh seorang anak kecil tidak berdosa, kawan Ayu Lestari.
“Terimakasih kakek. Itu semua berkat keikhlasanmu mewariskan ilmu kesaktian itu padaku….”
“Dan kekerasan hatimu untuk membalas dendam!”
Djarot Pangestu mengangguk.
“Dan demi tugas yang aku bebankan padamu. Membunuh nenek sakti Cempaka itu!”
“Akan aku jalankan tugasmu dengan baik!” ujar Djarot Pangestu pula. “Sekarang bolehkah aku mencoba kehebatan ilmu baruku?”
“Silahkan!” jawab lelaki tua yang disebut dengan gelar Raja Batu Di Batu.
Djarot Pangestu melangkah mendekati sebuah batu besar. Kaki kanannya tiba-tiba ditendangkan.
“Braakkk!!!” Batu besar itu hancur berantakan. Dia merasa belum puas. Didekatinya sebuah batu besar lainnya. Lalu dengan tangan kirinya dihantamnya batu itu, “Braaaakk!!!” Hal yang sama terjadi. Batu itu pecah berkeping-keping. Raja Batu Di Batu tertawa mengekeh.
“Jika kau masih belum percaya, lihat ini!” kata si kakek berseru. Lalu dia menyambar sebuah potongan batu sebesar tetampah seberat hampir lima puluh kati. Batu ini dihancurkannya ke kepala Djarot Pangestu. Djarot agak kaget dan berusaha menghindar. Tapi batu menghantam kepalanya lebih cepat. Djarot tampak terhuyung-huyung dan dia menyaksikan bagaimana batu yang dihantamkan ke kepalanya pecah berantakan. Dia sendiri merasakan seperti di tepuk pada kepalanya yang dihantam batu tadi. Tidak ada luka, benjut pun tidak!
“Raja Batu Di Batu! Aku benar-benar percaya pada kesaktian yang kini aku miliki. Aku sangat berterimakasih padamu!” Habis berkata begitu Djarot Pangestu lalu berlutut di hadapan orang tua berusia 150 tahun itu.
“Setelah memiliki ilmu kesaktian itu, kau tentu ingin cepat-cepat menyeberang ke Tanah Jawa. Membalaskan sakit hatimu pada Cempaka, meneruskan dendam kesumatmu dengan menghabiskan sisa turunan Menak Srenggi yang menurutmu lolos dari kematian karena ditolong oleh si nenek yang kemudian mengalahkanmu! Kau boleh pergi sekarang juga Djarot. Tanah Bugis ini sangat jauh dari Ambarawa. Kau harus menghabiskan waktu paling tidak duapuluh hari pelayaran untuk kembali ke sana.”
“Jika Raja Batu Di Batu berkenan, aku memang akan berangkat saat ini juga…”
“Pergilah, balaskan juga sakit hati dan dendam kesumatku pada tua bangka bernama Cempaka itu…”
“Kalau aku boleh tahu Raja Batu Di Batu, dendam kesumat apakah yang ada antara kau dengan dia…?” bertanya Djarot.
Lelaki tua itu tertawa lebar. “Urusan tolol di masa muda. Aku suka dia, dia tidak suka aku. Itu hal biasa saja. Aku tidak memaksa. Kalau dia menolak wajar-wajar saja, aku tidak akan sakit hati. Tapi dia mempermalukan aku di hadapan orang banyak, di antaranya beberapa tokoh persilatan di Tanah Jawa. Kemudian dia kawin dengan pemuda lain. Dalam keadaan mata gelap, suaminya itu kubunuh di satu tempat di pantai utara Jawa. Dia membalas dendam dan membunuh istriku, padahal istriku saat itu sedang hamil muda. Nah, apakah tidak pantas kalau hubungan kita ini membuat aku memintamu mencari dan membunuhnya? Apalagi kau pun ada silang sengketa dengan dia!”
“Jangan khawatir Raja Batu Di Batu. Nenek keparat itu akan mendapatkan hukumannya… Aku pergi sekarang…!”
“Ada satu hal yang perlu aku beritahukan padamu sebelum kau pergi, Djarot,” berkata Raja Batu Di Batu. “Turut pendengaranku, tingkat kepandaian Cempaka saat ini jauh lebih tinggi dari ketika dulu dia masih muda. Namun jangan membuatmu menjadi gentar. Hanya saja ingat baik-baik bahwa sejak beberapa puluh tahun yang lalu dia telah bergabung dengan Ratu Laut Utara, yakni perempuan cantik berkepandaian tinggi yang menjadi Ratu pada Kerajaan bawah Laut. Jika kau mencarinya, berati kau harus masuk ke wilayah kekuasaan Ratu Laut Utara. Dan ini sangat berbahaya. Kau harus berhati-hati. Tingkat kepandaian sang Ratu jauh lebih tinggi dari si nenek itu!”
“Terima kasih atas pemberitahuanmu Raja Batu Di Batu.. Percayalah, kesaktian yang kau berikan tak akan kusia-siakan. Aku akan menghancurkan siapa saja yang berani menghalangi!”
“Memang ilmu kesaktian batu yang kini kau miliki membuatmu menjadi seorang manusia tanpa tandingan. Namun untuk berjaga-jaga seandainya kau sampai bentrokan dengan Ratu laut Utara, bawalah ini sebagai bekal. Kunyah dan hadapi musuhmu, pasti dia akan kewalahan dan babak belur!”
Raja Batu Di Batu lalu memberikan sebuah benda berwarna putih, ternyata adalah sebutir bawang putih. Djarot Pangestu menyimpan bawang putih itu baik baik di balik pinggang celananya lalu berlutut dan menyembah tiga kali di hadapan si kakek baru tinggalkan puncak bukit itu.
Awan berarak di sebelah tenggara. Di arah selatan rombongan burung terbang menuju ke barat. Di puncak bukit itu suasana sunyi dan panas. Lelaki tua itu masih menunggu. Tepat ketika sang surya mencapai titik tertingginya maka dia pun mematahkan sebatang cabang pohon kecil lalu laksana kilat berlari ke puncak bukit.
Di puncak bukit itu terdapat setumpuk timbunan batu-batu cadas. Dengan cabang pohon di tangan kanannya orang tua ini memukul batu-batu itu. Satu demi satu batu itu mencelat mental, ketika batu terakhir terlempar jauh, maka di tanah tampak terbujur sesosok tubuh yang hanya mengenakan sehelai celana pendek warna hitam. Sosok tubuh itu sama sekali tidak bergerak. Tak ada tampak tarikan nafas pada dada atau pun perutnya. Sekujur tubuhnya mulai dari kaki sampai ke muka tampak penuh dengan luka-luka.
“Anak manusia berhati keras! Masih hidup atau sudah matikah engkau?” Si orang tua berseru.
Tak ada jawaban. Dia lalu membungkuk mendekatkan telinga kirinya ke dada di arah jantung.
“Luar biasa! Empat puluh hari ditanam jantungnya masih berdetak!”
Orang tua itu lalu bangkit dan pandangi sosok tubuh yang tergeletak sambil geleng-gelngkan kepalanya.
“Huah!” tiba-tiba orang yang terbujur itu keluarkan suara keras. Detik itu pula tubuhnya melompat dan tahu-tahu dia sudah berdiri di hadapan lelaki tua. Orang ini berbadan tinggi tapi di hadapan si orang tua, tingginya hanya sampai ke dadanya.
“Raja Batu Di Batu!” seru orang yang barusan dikubur di bawah tumpukan puing batu “Aku berhasil!”
“Kau memang hebat Djarot Pangestu. Selama seratus limapuluh tahun usiaku, kau adalah orang kedua yang sanggup lulus dari ujian berat ini! Sekarang kau menguasai ilmu kesaktian itu. Kau telah menjadi manusia batu!”
Ternyata orang yang barusan ditimbun batu-batu itu adalah Djarot Pangestu. Manusia jahat yang begitu keluar dari penjara telah membunuh bekas Adipati Ambarawa dan istrinya, serta membunuh ibu Ayu Lestari dan juga membunuh seorang anak kecil tidak berdosa, kawan Ayu Lestari.
“Terimakasih kakek. Itu semua berkat keikhlasanmu mewariskan ilmu kesaktian itu padaku….”
“Dan kekerasan hatimu untuk membalas dendam!”
Djarot Pangestu mengangguk.
“Dan demi tugas yang aku bebankan padamu. Membunuh nenek sakti Cempaka itu!”
“Akan aku jalankan tugasmu dengan baik!” ujar Djarot Pangestu pula. “Sekarang bolehkah aku mencoba kehebatan ilmu baruku?”
“Silahkan!” jawab lelaki tua yang disebut dengan gelar Raja Batu Di Batu.
Djarot Pangestu melangkah mendekati sebuah batu besar. Kaki kanannya tiba-tiba ditendangkan.
“Braakkk!!!” Batu besar itu hancur berantakan. Dia merasa belum puas. Didekatinya sebuah batu besar lainnya. Lalu dengan tangan kirinya dihantamnya batu itu, “Braaaakk!!!” Hal yang sama terjadi. Batu itu pecah berkeping-keping. Raja Batu Di Batu tertawa mengekeh.
“Jika kau masih belum percaya, lihat ini!” kata si kakek berseru. Lalu dia menyambar sebuah potongan batu sebesar tetampah seberat hampir lima puluh kati. Batu ini dihancurkannya ke kepala Djarot Pangestu. Djarot agak kaget dan berusaha menghindar. Tapi batu menghantam kepalanya lebih cepat. Djarot tampak terhuyung-huyung dan dia menyaksikan bagaimana batu yang dihantamkan ke kepalanya pecah berantakan. Dia sendiri merasakan seperti di tepuk pada kepalanya yang dihantam batu tadi. Tidak ada luka, benjut pun tidak!
“Raja Batu Di Batu! Aku benar-benar percaya pada kesaktian yang kini aku miliki. Aku sangat berterimakasih padamu!” Habis berkata begitu Djarot Pangestu lalu berlutut di hadapan orang tua berusia 150 tahun itu.
“Setelah memiliki ilmu kesaktian itu, kau tentu ingin cepat-cepat menyeberang ke Tanah Jawa. Membalaskan sakit hatimu pada Cempaka, meneruskan dendam kesumatmu dengan menghabiskan sisa turunan Menak Srenggi yang menurutmu lolos dari kematian karena ditolong oleh si nenek yang kemudian mengalahkanmu! Kau boleh pergi sekarang juga Djarot. Tanah Bugis ini sangat jauh dari Ambarawa. Kau harus menghabiskan waktu paling tidak duapuluh hari pelayaran untuk kembali ke sana.”
“Jika Raja Batu Di Batu berkenan, aku memang akan berangkat saat ini juga…”
“Pergilah, balaskan juga sakit hati dan dendam kesumatku pada tua bangka bernama Cempaka itu…”
“Kalau aku boleh tahu Raja Batu Di Batu, dendam kesumat apakah yang ada antara kau dengan dia…?” bertanya Djarot.
Lelaki tua itu tertawa lebar. “Urusan tolol di masa muda. Aku suka dia, dia tidak suka aku. Itu hal biasa saja. Aku tidak memaksa. Kalau dia menolak wajar-wajar saja, aku tidak akan sakit hati. Tapi dia mempermalukan aku di hadapan orang banyak, di antaranya beberapa tokoh persilatan di Tanah Jawa. Kemudian dia kawin dengan pemuda lain. Dalam keadaan mata gelap, suaminya itu kubunuh di satu tempat di pantai utara Jawa. Dia membalas dendam dan membunuh istriku, padahal istriku saat itu sedang hamil muda. Nah, apakah tidak pantas kalau hubungan kita ini membuat aku memintamu mencari dan membunuhnya? Apalagi kau pun ada silang sengketa dengan dia!”
“Jangan khawatir Raja Batu Di Batu. Nenek keparat itu akan mendapatkan hukumannya… Aku pergi sekarang…!”
“Ada satu hal yang perlu aku beritahukan padamu sebelum kau pergi, Djarot,” berkata Raja Batu Di Batu. “Turut pendengaranku, tingkat kepandaian Cempaka saat ini jauh lebih tinggi dari ketika dulu dia masih muda. Namun jangan membuatmu menjadi gentar. Hanya saja ingat baik-baik bahwa sejak beberapa puluh tahun yang lalu dia telah bergabung dengan Ratu Laut Utara, yakni perempuan cantik berkepandaian tinggi yang menjadi Ratu pada Kerajaan bawah Laut. Jika kau mencarinya, berati kau harus masuk ke wilayah kekuasaan Ratu Laut Utara. Dan ini sangat berbahaya. Kau harus berhati-hati. Tingkat kepandaian sang Ratu jauh lebih tinggi dari si nenek itu!”
“Terima kasih atas pemberitahuanmu Raja Batu Di Batu.. Percayalah, kesaktian yang kau berikan tak akan kusia-siakan. Aku akan menghancurkan siapa saja yang berani menghalangi!”
“Memang ilmu kesaktian batu yang kini kau miliki membuatmu menjadi seorang manusia tanpa tandingan. Namun untuk berjaga-jaga seandainya kau sampai bentrokan dengan Ratu laut Utara, bawalah ini sebagai bekal. Kunyah dan hadapi musuhmu, pasti dia akan kewalahan dan babak belur!”
Raja Batu Di Batu lalu memberikan sebuah benda berwarna putih, ternyata adalah sebutir bawang putih. Djarot Pangestu menyimpan bawang putih itu baik baik di balik pinggang celananya lalu berlutut dan menyembah tiga kali di hadapan si kakek baru tinggalkan puncak bukit itu.
Tujuh tahun berlalu sejak kedatangan Ayu lestari yang dibawa nenek Cempaka ke Kerajaan Bawah Laut di Laut utara. Hari itu di ruangan besar terdengar suara alunan gamelan yang tidak berhenti-henti sejak di atas laut sang surya terbit. Ini satu pertanda akan ada satu kejadian besar di Kerajaan Bawah Laut walau keadaan tampak biasa-biasa saja, yakni yang terlihat oleh mata biasa hanyalah sang Sri ratu bersama enam pembantunya yang jelita, lalu nenek Cempaka dan Ayu Lestari, yang kini telah berubah menjadi gadis tujuh belas tahun bertubuh tinggi semampai dan berwajah cantik.
Seperti yang dipersiapkan sejak tujuh tahun lalu, hari ini adalah hari di mana Sri Ratu penguasa Laut Utara akan menyerahkan atau mewariskan kekuasaannya pada Ayu Lestari, gadis yang kini berusia 17 tahun dan merupakan satu-satunya yang dianggap paling tepat untuk mewariskan kekuasaan itu karena pembawaannya yang dimilikinya sejak lahir dan tidak mungkin dimiliki oleh orang lain.
Upacara penyerahan kekuasaan dan pengangkatan Ayu Lestari menjadi Sri ratu yang baru berlangsung singkat, hanya dihadiri oleh Sri ratu sendiri, lalu Ayu Lestari, kemudian enam pembantu Sri Ratu dan terakhir adalah orang kepercayaan Sri ratu yaitu nenek Cempaka.
Walaupun upacara berlangsung singkat namun sangat sakral. Pada upacara itu pula terjadi hal-hal luar biasa yang sulit dipercaya oleh akal sehat manusia biasa, termasuk Ayu Lestari.
“Ayu, hari ini aku bersyukur bahwa aku akhirnya dapat menyerahkan tahta kerajaan bawah laut padamu. Pegang dan jalankan tahta kerajaan ini dengan sebaik-baiknya. Enam Roro dan nenek Cempaka akan selalu menjadi pendampingmu yang setia sebagaimana mereka telah mendampingiku selama hampir empat ratus tahun…”
“Empat ratus tahun!” ujar Ayu dalam hati. “Apakah aku juga akan punya umur sepanjang itu. Empat ratus tahun tanpa wajah berubah menjadi keriput seperti nenek-nenek!”
Lalu terdengar kembali suara Sri Ratu. “Sesuai kehendak Sang Pencipta melalui sumpah kedua orang tuaku, maka aku akan kembali pada asal dan ujudku semula…” Sri ratu memandang sesaat pada Ayu, lalu menoleh pada Roro Cokelat, yaitu dara cantik berpakaian coklat.
Mendapat isyarat dari sang Ratu, dara ini tinggalkan tempat itu. Ketika muncul kembali dia membawa sebuah dulang emas di atas mana terdapat sebuah anglo berisi arang merah membara. Anglo ini diletakkan di depan nenek Cempaka. Si nenek lalu mengeluarkan sekeping kemenyan dari balik sabuknya dan menebarkan kemenyan ini di atas bara api. Serta merta ruangan besar itu dipenuhi bau harumnya bau kemenyan.
“Cempaka, silakan melafatkan doa…” berkata Sri Ratu dengan suara bergetar, sementara enam pembantunya secara bersamaan tundukkan kepala. Ayu juga ikut-ikutan menundukkan kepala.
Nenek Cempaka tampak mengangkat kedua tangannya ke atas. Kedua matanya dipejamkan sedangkan mulutnya melafatkan ucapan-ucapan panjang yang tidak dimengerti oleh Ayu.
Lama sekali si nenek membacakan doanya itu. Begitu doa selesai, nenek Cempaka membawa Ayu Lestari berdiri lebih dekat di hadapan Sri Ratu.
Dengan tangan kanannya Sri Ratu memegang batu permata besar yang selama ratusan tahun melekat di kulit keningnya. Perlahan-lahan batu permata yang berkilau-kilauan itu ditanggalkannya. Pada saat itu di kejauhan terdengar suara deburan ombak yang luar biasa kerasnya diserai suara tiupan angin seperti seruling.
“Pejamkan kedua matamu Ayu…,” kata Sri Ratu.
Ayu pejamkan kedua matanya. Sri Ratu meletakan batu permata itu di pertengahan kening Ayu lalu menekannya. Batu itu masuk ke dalam kulit kening Ayu. Di saat itu pula Ayu Lestari merasakan kelainan terjadi atas dirinya. Tubuhnya terasa sangat ringan.
Pendengarannya menjadi luar biasa tajam.
“Kau boleh membuka matamu sekarang Ayu,” kembali terdengar suara Sri Ratu.
Ayu Lestari membuka kedua matanya. Astaga! Pemandangannya menjadi luar biasa tajamnya. Dia kini melihat apa yang selama ini tak mungkin dilihatnya dengan mata biasa.
“Apa yang kau lihat Ayu?” tanya Sri Ratu.
“Saya…, saya melihat ratusan prajurit di luar sana. Melakukan pengawalan dengan rapi. Saya bisa melihat lautan luas di atas sana. Ada perahu-perahu nelayan. Ada pulau-pulau, ada burung-burung. Bagaimana ini bisa terjadi…?”
Sri Ratu tersenyum. “Itu semua hanya bisa terjadi karena batu permata yang melekat di keningmu dan juga karena adanya dasar kekuatan dalam dirimu.” Sri Ratu lalu memandang berkeliling. “Sejak saat ini, Ayu Lestari adalah Sri Ratu kalian yang baru. Kalian harus berbakti dan setia padanya. Sudah saatnya aku pergi dan mengucapkan selamat tinggal pada kalian…”
Nenek Cempaka dan enam gadis jelita menjura dalam pada Sri Ratu lalu juga pada Ayu Lrestari, membuat gadis ini menjadi salah tingkah. Lalu Sri Ratu melangkah mendekati nenek Cempaka, merangkul perempuan tua ini erat-erat. Di kedua mata sang Sri Ratu tampak keluar merebak air mata. Lalu dia juga memeluk dan mencium satu persatu enam gadis pembantunya. Enam gadis ini juga tampak terharu dan berusaha menahan isak, sementara nenek Cempaka tertegak tundukkan kepala.
Terakhir sekali Sri ratu memeluk dan mencium kedua pipi Ayu Lestari. “Jaga kerajaan kita baik-baik Ayu…”
“Terima kasih atas kepercayaan besar ini Sri Ratu. Jika sewaktu-waktu Ayu ingin bertemu, apakah itu bisa dilakukan?”
“Aku akan selalu muncul pada saat-saat penting. Kau bisa memberi tahu Cempaka jika kau ingin bertemu denganku. Tanpa diminta, jika kalian dalam bahaya misalnya, aku akan muncul mendampingi kalian…”
Sri Ratu melepaskan rangkulannya. Dia melangkah mundur tiga langkah lalu berkata. “Ayu, ingat dulu bagaimana kau mengatakan ingin memiliki mata sebening dan sebagus mataku? Hari ini kebeningan dan kebagusan itu telah kau miliki…”
Sebelum Ayu sempat mengatakan sesuatu Sri Ratu lama menjurai memberi penghormatan padanya, lalu Sri Ratu lama ini menjauh sampai sepuluh langkah. Sambil melangkah dia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Sesaat kemudian tampak ada asap keluar dari tubuhnya. Pakaian ungu tipis yang membungkus auratnya perlahan-lahan sirna. Tubuh tanpa pakaian itu kini perlahan-lahan berubah menjadi pucat, makin pucat dan akhirnya menjadi putih sama sekali.
Di lain kejap Ayu hampir keluarkan seruan tertahan kalau saja tidak cepat menutup mulutnya sendiri. Bagaimanakah tidak! Sosok tubuh Sri Ratu dilihatnya kini telah berubah menjadi seekor buaya putih dan perlahan-lahan meluncur turun ke bawah lalu melata di atas permadani ruangan.
Sesaat buaya putih itu memandang ke arah tujuh orang yang tegak tak bergerak itu. Lalu binatang ini meluncur melewati bagian bawah kursi besar tahta kerajaan bawah laut, menuruni lima undakan tangga, meluncur cepat di sepanjang permadani tebal berwarna biru dan akhirnya lenyap di ujung ruangan besar.
Tak lama kemudian terdengar suara seperti ada benda berat masuk ke dalam air. Ayu Lestari yang kini memiliki pandangan mata tajam luar biasa, bukan saja memiliki daya pandang jauh tapi juga punya daya tembus yang hebat, arahkan pandangannya ke depan. Gadis tujuh belas tahun yang kini menjadi Sri Ratu baru itu melihat bagaimana buaya putih tadi meluncur masuk ke dalam laut, berenang cepat ke arah utara dan akhirnya lenyap di kejauhan.
Seperti yang dipersiapkan sejak tujuh tahun lalu, hari ini adalah hari di mana Sri Ratu penguasa Laut Utara akan menyerahkan atau mewariskan kekuasaannya pada Ayu Lestari, gadis yang kini berusia 17 tahun dan merupakan satu-satunya yang dianggap paling tepat untuk mewariskan kekuasaan itu karena pembawaannya yang dimilikinya sejak lahir dan tidak mungkin dimiliki oleh orang lain.
Upacara penyerahan kekuasaan dan pengangkatan Ayu Lestari menjadi Sri ratu yang baru berlangsung singkat, hanya dihadiri oleh Sri ratu sendiri, lalu Ayu Lestari, kemudian enam pembantu Sri Ratu dan terakhir adalah orang kepercayaan Sri ratu yaitu nenek Cempaka.
Walaupun upacara berlangsung singkat namun sangat sakral. Pada upacara itu pula terjadi hal-hal luar biasa yang sulit dipercaya oleh akal sehat manusia biasa, termasuk Ayu Lestari.
“Ayu, hari ini aku bersyukur bahwa aku akhirnya dapat menyerahkan tahta kerajaan bawah laut padamu. Pegang dan jalankan tahta kerajaan ini dengan sebaik-baiknya. Enam Roro dan nenek Cempaka akan selalu menjadi pendampingmu yang setia sebagaimana mereka telah mendampingiku selama hampir empat ratus tahun…”
“Empat ratus tahun!” ujar Ayu dalam hati. “Apakah aku juga akan punya umur sepanjang itu. Empat ratus tahun tanpa wajah berubah menjadi keriput seperti nenek-nenek!”
Lalu terdengar kembali suara Sri Ratu. “Sesuai kehendak Sang Pencipta melalui sumpah kedua orang tuaku, maka aku akan kembali pada asal dan ujudku semula…” Sri ratu memandang sesaat pada Ayu, lalu menoleh pada Roro Cokelat, yaitu dara cantik berpakaian coklat.
Mendapat isyarat dari sang Ratu, dara ini tinggalkan tempat itu. Ketika muncul kembali dia membawa sebuah dulang emas di atas mana terdapat sebuah anglo berisi arang merah membara. Anglo ini diletakkan di depan nenek Cempaka. Si nenek lalu mengeluarkan sekeping kemenyan dari balik sabuknya dan menebarkan kemenyan ini di atas bara api. Serta merta ruangan besar itu dipenuhi bau harumnya bau kemenyan.
“Cempaka, silakan melafatkan doa…” berkata Sri Ratu dengan suara bergetar, sementara enam pembantunya secara bersamaan tundukkan kepala. Ayu juga ikut-ikutan menundukkan kepala.
Nenek Cempaka tampak mengangkat kedua tangannya ke atas. Kedua matanya dipejamkan sedangkan mulutnya melafatkan ucapan-ucapan panjang yang tidak dimengerti oleh Ayu.
Lama sekali si nenek membacakan doanya itu. Begitu doa selesai, nenek Cempaka membawa Ayu Lestari berdiri lebih dekat di hadapan Sri Ratu.
Dengan tangan kanannya Sri Ratu memegang batu permata besar yang selama ratusan tahun melekat di kulit keningnya. Perlahan-lahan batu permata yang berkilau-kilauan itu ditanggalkannya. Pada saat itu di kejauhan terdengar suara deburan ombak yang luar biasa kerasnya diserai suara tiupan angin seperti seruling.
“Pejamkan kedua matamu Ayu…,” kata Sri Ratu.
Ayu pejamkan kedua matanya. Sri Ratu meletakan batu permata itu di pertengahan kening Ayu lalu menekannya. Batu itu masuk ke dalam kulit kening Ayu. Di saat itu pula Ayu Lestari merasakan kelainan terjadi atas dirinya. Tubuhnya terasa sangat ringan.
Pendengarannya menjadi luar biasa tajam.
“Kau boleh membuka matamu sekarang Ayu,” kembali terdengar suara Sri Ratu.
Ayu Lestari membuka kedua matanya. Astaga! Pemandangannya menjadi luar biasa tajamnya. Dia kini melihat apa yang selama ini tak mungkin dilihatnya dengan mata biasa.
“Apa yang kau lihat Ayu?” tanya Sri Ratu.
“Saya…, saya melihat ratusan prajurit di luar sana. Melakukan pengawalan dengan rapi. Saya bisa melihat lautan luas di atas sana. Ada perahu-perahu nelayan. Ada pulau-pulau, ada burung-burung. Bagaimana ini bisa terjadi…?”
Sri Ratu tersenyum. “Itu semua hanya bisa terjadi karena batu permata yang melekat di keningmu dan juga karena adanya dasar kekuatan dalam dirimu.” Sri Ratu lalu memandang berkeliling. “Sejak saat ini, Ayu Lestari adalah Sri Ratu kalian yang baru. Kalian harus berbakti dan setia padanya. Sudah saatnya aku pergi dan mengucapkan selamat tinggal pada kalian…”
Nenek Cempaka dan enam gadis jelita menjura dalam pada Sri Ratu lalu juga pada Ayu Lrestari, membuat gadis ini menjadi salah tingkah. Lalu Sri Ratu melangkah mendekati nenek Cempaka, merangkul perempuan tua ini erat-erat. Di kedua mata sang Sri Ratu tampak keluar merebak air mata. Lalu dia juga memeluk dan mencium satu persatu enam gadis pembantunya. Enam gadis ini juga tampak terharu dan berusaha menahan isak, sementara nenek Cempaka tertegak tundukkan kepala.
Terakhir sekali Sri ratu memeluk dan mencium kedua pipi Ayu Lestari. “Jaga kerajaan kita baik-baik Ayu…”
“Terima kasih atas kepercayaan besar ini Sri Ratu. Jika sewaktu-waktu Ayu ingin bertemu, apakah itu bisa dilakukan?”
“Aku akan selalu muncul pada saat-saat penting. Kau bisa memberi tahu Cempaka jika kau ingin bertemu denganku. Tanpa diminta, jika kalian dalam bahaya misalnya, aku akan muncul mendampingi kalian…”
Sri Ratu melepaskan rangkulannya. Dia melangkah mundur tiga langkah lalu berkata. “Ayu, ingat dulu bagaimana kau mengatakan ingin memiliki mata sebening dan sebagus mataku? Hari ini kebeningan dan kebagusan itu telah kau miliki…”
Sebelum Ayu sempat mengatakan sesuatu Sri Ratu lama menjurai memberi penghormatan padanya, lalu Sri Ratu lama ini menjauh sampai sepuluh langkah. Sambil melangkah dia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Sesaat kemudian tampak ada asap keluar dari tubuhnya. Pakaian ungu tipis yang membungkus auratnya perlahan-lahan sirna. Tubuh tanpa pakaian itu kini perlahan-lahan berubah menjadi pucat, makin pucat dan akhirnya menjadi putih sama sekali.
Di lain kejap Ayu hampir keluarkan seruan tertahan kalau saja tidak cepat menutup mulutnya sendiri. Bagaimanakah tidak! Sosok tubuh Sri Ratu dilihatnya kini telah berubah menjadi seekor buaya putih dan perlahan-lahan meluncur turun ke bawah lalu melata di atas permadani ruangan.
Sesaat buaya putih itu memandang ke arah tujuh orang yang tegak tak bergerak itu. Lalu binatang ini meluncur melewati bagian bawah kursi besar tahta kerajaan bawah laut, menuruni lima undakan tangga, meluncur cepat di sepanjang permadani tebal berwarna biru dan akhirnya lenyap di ujung ruangan besar.
Tak lama kemudian terdengar suara seperti ada benda berat masuk ke dalam air. Ayu Lestari yang kini memiliki pandangan mata tajam luar biasa, bukan saja memiliki daya pandang jauh tapi juga punya daya tembus yang hebat, arahkan pandangannya ke depan. Gadis tujuh belas tahun yang kini menjadi Sri Ratu baru itu melihat bagaimana buaya putih tadi meluncur masuk ke dalam laut, berenang cepat ke arah utara dan akhirnya lenyap di kejauhan.
Sambil bersiul-siul Pendekar 212 Wiro Sableng berjalan menimang-nimang bungkusan daun berisi nasi. Sesekali nasi itu dilemparkannya ke udara lalu ditangkapnya kembali. Dia merasa adanya perbedaan udara, tanda saat itu dia semakin dekat dengan pantai utara. Udara pedalaman yang penuh kesegaran pohon-pohon menghijau kini berganti dengan udara laut yang mengandung garam. Lapat-lapat pendekar ini mulai mendengar suara deburan ombak di pasir.
“Ah, laut… laut! Sudah lama sekali aku tidak melihat laut. Aku akan makan berenak-enak di tepi pantai sambil memandang ke laut, lalu berenang sepuas-puasnya. Orang yang kutunggu paling cepat baru muncul saat matahari menggelincir ke barat…”
Akhirnya murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu sampai juga ke tepi pantai Laut Utara. Satu tangan memegang bungkusan nasi, satunya lagi menggaruk-garuk kepala, dia tegak di atas pasir, memandang ke laut yang menyajikan pemandangan indah sementara air laut dan buih ombak membasahi kedua kakinya.
Setelah puas tegak-tegak di atas pasir bermain ombak, Wiro melangkah ke arah tumbangan pohon kelapa yang tergeletak di bagian ketinggian lalu duduk di batang kelapa itu. Sambil terus menatap ke arah laut perlahan-lahan dia membuka bungkusan nasi yang sejak tadi dibawanya. Begitu daun terbuka kelihatanlah nasi putih yang masih hangat, sepotong ikan bakar lalu sambal terasi dan dua buah mentimun segar!
“Ah, di mana aku akan mencuci tangan…?” Wiro memandang berkeliling. “Dicuci dengan air laut pasti membuat tangan dan nasi ini jadi asin. Ah sudahlah. Tidak cuci tanganpun tidak apa-apa! Tidak ada yang marah! Ha…ha…ha!” Wiro lalu mulai menyantap nasi bungkusnya.
Belum lagi suap pertama sampai ke mulutnya, sepasang telinganya mendengar langkah-langkah kaki di belakangnya.
Pendekar ini cepat berpaling dan pandangannya bertemu dengan sosok tubuh seorang nenek berambut putih acak-acakan, berpakaian compang-camping. Langkahnya terseok-seok. Kalau saja dia tidak bertopang pada tongkatnya niscaya sudah beberapa kali dia jatuh tergelimpang.
Dan tongkat yang berada di tangan si nenek bermuka kotor celemongan ini sungguh aneh di mata murid Sinto Gendeng.
Seorang nenek rombeng seperti itu membawa sebatang tongkat yang ujungnya berkeluk. Tongkat ini terbuat dari pipa kuningan yang memantulkan sinar kekuning-kuningan akibat siraman sinar matahari. Walaupun dirinya jelas tidak terawat namun tampaknya si nenek telah merawat baik-baik tongkat antiknya itu.
Perempuan tua itu tegak terbungkuk-bungkuk di hadapan Wiro, bertopang pada tongkat pipa kuningannya. Dadanya turun naik dan nafasnya terdengar menyegal. Dia terbatuk-batuk beberapa kali. Wiro jadi ingat pada gurunya yaitu Eyang Sinto Gendeng.
Perempuan itu menatap sayu ke arah Wiro beberapa lamanya. Lalu kedua matanya berputar dan memandang lekat-lekat pada nasi di atas daun yang ada di tangan kiri si pemuda. Tampak dia beberapa kali menjulurkan lidah, membasahi bibir sementara tenggorokannya turun naik.
Wiro menunggu sampai si nenek mengatakan sesuatu. Tapi justru orang itu terus saja tegak berdiam diri. Dan kedua matanya masih menatap tak berkesip pada makanan di atas daun.
“Nek, apakah kau lapar…?” akhirnya Wiro yang menegur.
Sesaat perempuan tua itu masih memandangi nasi yang dipegang Wiro. Tak lama kemudian terdengar suaranya seperti orang menggigil. “Sudah dua hari aku tidak melihat nasi…”
Wiro menggaruk kepalanya. “Kalau kuberikan nasi ini padanya, alamat aku Cuma akan makan angin laut…” kata Wiro dalam hati. Kembali terbayang wajah gurunya. Akhirnya tanpa banyak pertimbangan lagi Pendekar 212 pindahkan nasi itu ke tangan kanannya lalu mengangsurkannya pada si nenek.
“Kau ambillah nasiku ini, nek. Aku sebenarnya tidak lapar,” kata Wiro.
“Kita bagi dua saja nasi itu, anak muda,” menjawab si nenek seraya maju satu langkah.
“Tidak, kau boleh ambil semua. Ini rezekimu, jangan menolak…”
Si nenek tertawa sayu. “Aku tidak suka menerima kebaikan orang tanpa membalasnya dengan kebaikan pula. Sebungkus nasimu itu akan kutukar dengan tongkat kuninganku ini! Bawa ke mari nasi itu dan kau ambil tongkat ini!”
Wiro tertawa dan gelengkan kepala. “Nasi sebungkus ini kuberikan dengan ikhlas, tidak meminta balasan apa-apa.”
“Jangan menolak. Tongkat ini adalah rezekimu!” kata si nenek pula.
“Terima kasih nek. Kau orang yang sangat memperhatikan budi. Namun aku tak berani menerima tongkatmu itu. Benda itu lebih berguna bagi dirimu terutama untuk dipakai berjalan…”
“Kalau begitu baiklah.” Si nenek lalu mengambil bungkusan nasi. Lalu tanpa sungkan-sungkan dia duduk di samping Wiro di atas batang kelapa itu. Tongkatnya dibelitkan di sampingnya dan dia mulai menyantap nasi, ikan, sambal terasi dan mentimun.
Ternyata si nenek makannya “riuh” sekali. Suara ciplakannya terdengar keras. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa melirik memperhatikan si nenek yang begitu asyik bersantap. Hanya dalam waktu singkat nasi sebungkus itu pun tandas ke dalam perut si nenek. Kini perempuan itu duduk menjulurkan kakinya. Daun pisang pembungkus nasi dirapikannya kembali lalu dia berpaling pada Wiro, dan berkata seraya menyerahkan bungkusan daun nasi yang telah kosong itu.
“Aku sudah kenyang. Sekarang giliranmu makan anak muda!” Lalu enak saja bungkusan itu diletakannya di atas pangkuan Wiro.
“Perempuan tua ini geblek atau pikun. Nasiku sudah disikatnya habis, kini bungkusan kosong itu diserahkannya padaku. Aku disuruhnya makan!” Wiro membatin.
“Hai, makanlah! Apa kau malu makan di hadapanku? Aku tadi tidak malu-malu makan di hadapanmu. Malah suara ciplakanku terdengar sampai ke dalam laut, sempat mengejutkan ikan-ikan di sana. Hik…hik…hik! Nah, selamat makan anak muda!”
“Nek, apa yang hendak kumakan? Bukankah nasi dalam daun itu sudah kau habiskan tadi…?”
“Ah, kau pasti menyesal memberikan nasi itu padaku!” si nenek tampak memancing.
“Sungguh mati aku tidak menyesal. Aku senang dan ikhlas menolongmu,” jawab Wiro pula.
“Kalau begitu kau makanlah nasi itu!”
“Nasi yang mana nek?”
“Nasi dalam bungkus daun. Yang ada di pangkuanmu itu! Apa kau melihat bungkusan nasi yang lain?!”
“Astaga nek, bungkusan ini kosong. Isinya Cuma tulang ikan. Sebaiknya kubuang saja…”
“Jangan dibuang anak muda. Kau belum membukanya. Belum melihat isinya. Bagaimana kau bisa mengatakan daun itu isinya cuma tulang ikan?”
“Aku tadi melihat kau menyantap habis nasi itu, ikannya, sambal terasi dan dua potong ketimun. Yang kau sisakan hanya tulang ikan…!”
Si nenek tertawa cekikikan.
“Eh, apa pula yang kau tertawakan, nek?” tanya Wiro.
“Anak muda, kau seolah-olah punya mata yang bisa menembus daun pisang pembungkus itu. Hingga begitu yakin isinya hanya sepotong tulang ikan! Cobalah dulu kau buka dan periksa. Apa yang kau katakan mungkin tidak demikian. Nah, apakah kau tak ingin memeriksanya?”
“kalau kau bilang begitu, baiklah…” Wiro lalu membuka bungkusan daun itu. Dan terkejutlah sang pendekar! Bungkusan yang disangkanya kosong hanya berisikan tulang belulang ikan bakar ternyata ketika dibuka yang tampak adalah nasi putih masih mengepul, sepotong ikan bakar, sambal terasi, dan dua buah ketimun segar! Persis seperti yang sebelumnya dilihat Wiro dan diserahkan pada si nenek lalu dimakan sampai habis!
Wiro tidak percaya pada matanya sendiri. Dipegangnya nasi itu. Terasa panas dan memang nasi betulan. Diangkatnya ikan bakar itu, diciumnya. Terasa harum segarnya ikan bakar.
“Itu ikan betulan anak muda! Buah mentimun itu juga buah betulan! Sambal terasi itu juga sambal betulan. Jika kau tidak percaya silahkan peperkan ke matamu! Nanti kau baru yakin akan ucapanku! Hik…hik…hik…”
“Nek, kau ini ahli sulap atau tukang sihir…?” tanya Wiro.
Si nenek tertawa panjang. “Tidak kedua-duanya, anak muda. Nah kau makanlah!” katanya.
Dengan perasaan penuh ragu Wiro menyuap nasi dan secuil ikan. Ketika dikunyah dan ditelannya memang nasi dan ikan betulan. “Lalu apa yang tadi dimakan nenek itu?!” tanya Wiro sambil mengunyah terheran-heran. Sementara si nenek sendiri duduk tenang-tenang saja memandang ke laut lepas. Selagi Wiro bersantap dan selagi si nenek duduk santai begitu rupa, tiba-tiba terdengar satu bentakan keras.
“Tua bangka keparat! Akhirnya kutemui juga kau di tempat ini! Jangan kira kau bisa menipuku dengan menyamar sebagai nenek-nenek rombeng!”
“Ah, laut… laut! Sudah lama sekali aku tidak melihat laut. Aku akan makan berenak-enak di tepi pantai sambil memandang ke laut, lalu berenang sepuas-puasnya. Orang yang kutunggu paling cepat baru muncul saat matahari menggelincir ke barat…”
Akhirnya murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu sampai juga ke tepi pantai Laut Utara. Satu tangan memegang bungkusan nasi, satunya lagi menggaruk-garuk kepala, dia tegak di atas pasir, memandang ke laut yang menyajikan pemandangan indah sementara air laut dan buih ombak membasahi kedua kakinya.
Setelah puas tegak-tegak di atas pasir bermain ombak, Wiro melangkah ke arah tumbangan pohon kelapa yang tergeletak di bagian ketinggian lalu duduk di batang kelapa itu. Sambil terus menatap ke arah laut perlahan-lahan dia membuka bungkusan nasi yang sejak tadi dibawanya. Begitu daun terbuka kelihatanlah nasi putih yang masih hangat, sepotong ikan bakar lalu sambal terasi dan dua buah mentimun segar!
“Ah, di mana aku akan mencuci tangan…?” Wiro memandang berkeliling. “Dicuci dengan air laut pasti membuat tangan dan nasi ini jadi asin. Ah sudahlah. Tidak cuci tanganpun tidak apa-apa! Tidak ada yang marah! Ha…ha…ha!” Wiro lalu mulai menyantap nasi bungkusnya.
Belum lagi suap pertama sampai ke mulutnya, sepasang telinganya mendengar langkah-langkah kaki di belakangnya.
Pendekar ini cepat berpaling dan pandangannya bertemu dengan sosok tubuh seorang nenek berambut putih acak-acakan, berpakaian compang-camping. Langkahnya terseok-seok. Kalau saja dia tidak bertopang pada tongkatnya niscaya sudah beberapa kali dia jatuh tergelimpang.
Dan tongkat yang berada di tangan si nenek bermuka kotor celemongan ini sungguh aneh di mata murid Sinto Gendeng.
Seorang nenek rombeng seperti itu membawa sebatang tongkat yang ujungnya berkeluk. Tongkat ini terbuat dari pipa kuningan yang memantulkan sinar kekuning-kuningan akibat siraman sinar matahari. Walaupun dirinya jelas tidak terawat namun tampaknya si nenek telah merawat baik-baik tongkat antiknya itu.
Perempuan tua itu tegak terbungkuk-bungkuk di hadapan Wiro, bertopang pada tongkat pipa kuningannya. Dadanya turun naik dan nafasnya terdengar menyegal. Dia terbatuk-batuk beberapa kali. Wiro jadi ingat pada gurunya yaitu Eyang Sinto Gendeng.
Perempuan itu menatap sayu ke arah Wiro beberapa lamanya. Lalu kedua matanya berputar dan memandang lekat-lekat pada nasi di atas daun yang ada di tangan kiri si pemuda. Tampak dia beberapa kali menjulurkan lidah, membasahi bibir sementara tenggorokannya turun naik.
Wiro menunggu sampai si nenek mengatakan sesuatu. Tapi justru orang itu terus saja tegak berdiam diri. Dan kedua matanya masih menatap tak berkesip pada makanan di atas daun.
“Nek, apakah kau lapar…?” akhirnya Wiro yang menegur.
Sesaat perempuan tua itu masih memandangi nasi yang dipegang Wiro. Tak lama kemudian terdengar suaranya seperti orang menggigil. “Sudah dua hari aku tidak melihat nasi…”
Wiro menggaruk kepalanya. “Kalau kuberikan nasi ini padanya, alamat aku Cuma akan makan angin laut…” kata Wiro dalam hati. Kembali terbayang wajah gurunya. Akhirnya tanpa banyak pertimbangan lagi Pendekar 212 pindahkan nasi itu ke tangan kanannya lalu mengangsurkannya pada si nenek.
“Kau ambillah nasiku ini, nek. Aku sebenarnya tidak lapar,” kata Wiro.
“Kita bagi dua saja nasi itu, anak muda,” menjawab si nenek seraya maju satu langkah.
“Tidak, kau boleh ambil semua. Ini rezekimu, jangan menolak…”
Si nenek tertawa sayu. “Aku tidak suka menerima kebaikan orang tanpa membalasnya dengan kebaikan pula. Sebungkus nasimu itu akan kutukar dengan tongkat kuninganku ini! Bawa ke mari nasi itu dan kau ambil tongkat ini!”
Wiro tertawa dan gelengkan kepala. “Nasi sebungkus ini kuberikan dengan ikhlas, tidak meminta balasan apa-apa.”
“Jangan menolak. Tongkat ini adalah rezekimu!” kata si nenek pula.
“Terima kasih nek. Kau orang yang sangat memperhatikan budi. Namun aku tak berani menerima tongkatmu itu. Benda itu lebih berguna bagi dirimu terutama untuk dipakai berjalan…”
“Kalau begitu baiklah.” Si nenek lalu mengambil bungkusan nasi. Lalu tanpa sungkan-sungkan dia duduk di samping Wiro di atas batang kelapa itu. Tongkatnya dibelitkan di sampingnya dan dia mulai menyantap nasi, ikan, sambal terasi dan mentimun.
Ternyata si nenek makannya “riuh” sekali. Suara ciplakannya terdengar keras. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa melirik memperhatikan si nenek yang begitu asyik bersantap. Hanya dalam waktu singkat nasi sebungkus itu pun tandas ke dalam perut si nenek. Kini perempuan itu duduk menjulurkan kakinya. Daun pisang pembungkus nasi dirapikannya kembali lalu dia berpaling pada Wiro, dan berkata seraya menyerahkan bungkusan daun nasi yang telah kosong itu.
“Aku sudah kenyang. Sekarang giliranmu makan anak muda!” Lalu enak saja bungkusan itu diletakannya di atas pangkuan Wiro.
“Perempuan tua ini geblek atau pikun. Nasiku sudah disikatnya habis, kini bungkusan kosong itu diserahkannya padaku. Aku disuruhnya makan!” Wiro membatin.
“Hai, makanlah! Apa kau malu makan di hadapanku? Aku tadi tidak malu-malu makan di hadapanmu. Malah suara ciplakanku terdengar sampai ke dalam laut, sempat mengejutkan ikan-ikan di sana. Hik…hik…hik! Nah, selamat makan anak muda!”
“Nek, apa yang hendak kumakan? Bukankah nasi dalam daun itu sudah kau habiskan tadi…?”
“Ah, kau pasti menyesal memberikan nasi itu padaku!” si nenek tampak memancing.
“Sungguh mati aku tidak menyesal. Aku senang dan ikhlas menolongmu,” jawab Wiro pula.
“Kalau begitu kau makanlah nasi itu!”
“Nasi yang mana nek?”
“Nasi dalam bungkus daun. Yang ada di pangkuanmu itu! Apa kau melihat bungkusan nasi yang lain?!”
“Astaga nek, bungkusan ini kosong. Isinya Cuma tulang ikan. Sebaiknya kubuang saja…”
“Jangan dibuang anak muda. Kau belum membukanya. Belum melihat isinya. Bagaimana kau bisa mengatakan daun itu isinya cuma tulang ikan?”
“Aku tadi melihat kau menyantap habis nasi itu, ikannya, sambal terasi dan dua potong ketimun. Yang kau sisakan hanya tulang ikan…!”
Si nenek tertawa cekikikan.
“Eh, apa pula yang kau tertawakan, nek?” tanya Wiro.
“Anak muda, kau seolah-olah punya mata yang bisa menembus daun pisang pembungkus itu. Hingga begitu yakin isinya hanya sepotong tulang ikan! Cobalah dulu kau buka dan periksa. Apa yang kau katakan mungkin tidak demikian. Nah, apakah kau tak ingin memeriksanya?”
“kalau kau bilang begitu, baiklah…” Wiro lalu membuka bungkusan daun itu. Dan terkejutlah sang pendekar! Bungkusan yang disangkanya kosong hanya berisikan tulang belulang ikan bakar ternyata ketika dibuka yang tampak adalah nasi putih masih mengepul, sepotong ikan bakar, sambal terasi, dan dua buah ketimun segar! Persis seperti yang sebelumnya dilihat Wiro dan diserahkan pada si nenek lalu dimakan sampai habis!
Wiro tidak percaya pada matanya sendiri. Dipegangnya nasi itu. Terasa panas dan memang nasi betulan. Diangkatnya ikan bakar itu, diciumnya. Terasa harum segarnya ikan bakar.
“Itu ikan betulan anak muda! Buah mentimun itu juga buah betulan! Sambal terasi itu juga sambal betulan. Jika kau tidak percaya silahkan peperkan ke matamu! Nanti kau baru yakin akan ucapanku! Hik…hik…hik…”
“Nek, kau ini ahli sulap atau tukang sihir…?” tanya Wiro.
Si nenek tertawa panjang. “Tidak kedua-duanya, anak muda. Nah kau makanlah!” katanya.
Dengan perasaan penuh ragu Wiro menyuap nasi dan secuil ikan. Ketika dikunyah dan ditelannya memang nasi dan ikan betulan. “Lalu apa yang tadi dimakan nenek itu?!” tanya Wiro sambil mengunyah terheran-heran. Sementara si nenek sendiri duduk tenang-tenang saja memandang ke laut lepas. Selagi Wiro bersantap dan selagi si nenek duduk santai begitu rupa, tiba-tiba terdengar satu bentakan keras.
“Tua bangka keparat! Akhirnya kutemui juga kau di tempat ini! Jangan kira kau bisa menipuku dengan menyamar sebagai nenek-nenek rombeng!”
Kalau Pendekar 212 Wiro Sableng meskipun kaget tetap duduk di atas batang kelapa, sebaliknya si nenek cepat menyambar tongkat besi kuningannya dan melompat. Wiro segera melihat perubahan gerak-gerik perempuan tua ini. Kalau tadinya tampak lamban dan lemah, kini gerakannya menunjukkan kegesitan penuh waspada.
“Setelah tujuh tahun berlalu, bangsat ini muncul kembali! Bagaimana dia tahu diriku!” si nenek membatin. Kemudian dia ingat pada tongkat pipa kuningan yang dipegangnya di tangan kanan. “Ah, pasti senjataku inilah yang dikenalinya!”
“Tua bangka buruk! Sebelum nyawamu kukirim ke akherat lekas katakan di mana cucu perempuan bekas Adipati Ambarawa Menak Sringgi itu kini berada?!”
“Djarot Pangestu…, Kau bilang aku nenek buruk, memang aku sudah tua dan jelek. Tapi dirimu kulihat lebih jelek. Tangan dan mukamu penuh cacat! Siapa yang telah menghajarmu sampai hancur-hancuran begini rupa?” Habis berkata begitu si nenek lalu tertawa cekikikan.
“Tua bangka sedeng! Lekas katakan di mana anak perempuan itu berada?!”
“Ada urusan apa kau mencarinya? Apa masih belum cukup menebar maut menumpah darah orang-orang tak berdosa?!”
“Puah! Jangan bicara tentang manusia-manusia tak berdosa! Dosa Menak Sringgi terhadapku turun temurun sampai ke anak cucunya. Adalah pantas kalau seluruh darah daging keturunannya harus kubasmi!” ujar Djarot Pangestu pula.
“Sampai ke ujung langit sekali pun kau mencari, tak bakal kau menjumpainya! Dan kalau kau berhasil menemuinya dia akan menghajarmu semudah dia membalikkan telapak tangannya!”
“Begitu…?” kata Djarot Pangestu lalu meludah ke pasir. “Biar lehermu yang kubalik lebih dahulu!” Djarot tutup ucapannya dengan menyerbu dan lancarkan pukulan tangan kosong ke arah kepala si nenek. Nenek berambut putih ini serta merta gerakkan tangan kanannya, menangkis serangan lawan dengan tongkat pipa kuningan.
Sebelumnya Djarot Pangestu sudah tahu kehebatan senjata lawan itu. Namun kini setelah menguasai ilmu kesaktian yang didapatnya dari Raja Batu Di Batu di Tanah Bugis, maka dia bermaksud untuk menjajal sampai di mana kehebatan ilmu kesaktian itu. Begitu tangannya memukul, tangan itu berubah hitam legam dan keras luar biasa seperti batu!
“Traaaang…!”
Tongkat kuningan dan tangan saling beradu, mengeluarkan suara berdentrangan yang keras.
Si nenek keluarkan seruan kaget. Bukan saja tubuhnya terhuyung keras ke belakang tapi tongkat pipa besi kuningannya tampak peyok pada bekas yang terkena hantaman tangan Djarot Pangestu. Sedang lelaki itu sendiri hanya tampak tergontai-gontai sambil menyeringai.
“Manusia satu ini pasti sudah berguru pada seorang sakti mandraguna, sesuai ancamannya tempo hari…” pikir si nenek. Walaupun darahnya terkesiap melihat kehebatan lawan namun dia menunggu dengan sikap tenang.
Ketika Djarot Pangestu menyerbu kembali, dia ketukkan tongkat pipanya ke tanah. Terdengar suara bergema laksana genta mengalun. Satu gelombang angin yang deras menghantam ke arah Djarot Pangestu. Wiro turut merasakan kehebatan angin senjata di tangan si nenek.
Tubuhnya terhuyung ke kiri. Dia cepat berguling lalu tegak melompat.
“Ilmu kesaktianmu tiada guna, nenek jelek!” ejek Djarot Pangestu. Dia dorongkan kedua tangannya. Kedua tangan itu serta merta berubah menghitam seperti batu.
“Braaak!”
Terdengar suara aneh seperti dua benda keras saling bentur ketika gelombang angin yang keluar dari ujung tombak pipa kuningan si nenek bertemu dengan dua telapak tangan Djarot Pangestu. Djarot terhempas ke belakang sebaliknya si nenek terdengar keluarkan suara mengeluh. Tanah yang dipijaknya seperti amblas. Tubuhnya terbanting jatuh sedang mukanya tampak pucat!
“Sekarang terima kematianmu tua bangka sedeng!” teriak Djarot Pangestu. Tangan kanannya laksana palu godam dihantamkan ke kepala si nenek. Dengan susah payah perempuan itu melintangkan tongkat pipa kuningannya di atas kepala guna melindungi diri.
“Traaaaang!”
Untuk kedua kalinya terdengar suara berdentrangan. Tongkat pipa kuningan itu patah dua. Si nenek terpental dua tombak, terguling di atas pasir dan diguyur oleh ombak yang memecah di pantai. Selagi dia mencoba bangkit dengan susah payah, Djarot Pangestu sudah melompat ke hadapannya.
“Setelah tujuh tahun berlalu, bangsat ini muncul kembali! Bagaimana dia tahu diriku!” si nenek membatin. Kemudian dia ingat pada tongkat pipa kuningan yang dipegangnya di tangan kanan. “Ah, pasti senjataku inilah yang dikenalinya!”
“Tua bangka buruk! Sebelum nyawamu kukirim ke akherat lekas katakan di mana cucu perempuan bekas Adipati Ambarawa Menak Sringgi itu kini berada?!”
“Djarot Pangestu…, Kau bilang aku nenek buruk, memang aku sudah tua dan jelek. Tapi dirimu kulihat lebih jelek. Tangan dan mukamu penuh cacat! Siapa yang telah menghajarmu sampai hancur-hancuran begini rupa?” Habis berkata begitu si nenek lalu tertawa cekikikan.
“Tua bangka sedeng! Lekas katakan di mana anak perempuan itu berada?!”
“Ada urusan apa kau mencarinya? Apa masih belum cukup menebar maut menumpah darah orang-orang tak berdosa?!”
“Puah! Jangan bicara tentang manusia-manusia tak berdosa! Dosa Menak Sringgi terhadapku turun temurun sampai ke anak cucunya. Adalah pantas kalau seluruh darah daging keturunannya harus kubasmi!” ujar Djarot Pangestu pula.
“Sampai ke ujung langit sekali pun kau mencari, tak bakal kau menjumpainya! Dan kalau kau berhasil menemuinya dia akan menghajarmu semudah dia membalikkan telapak tangannya!”
“Begitu…?” kata Djarot Pangestu lalu meludah ke pasir. “Biar lehermu yang kubalik lebih dahulu!” Djarot tutup ucapannya dengan menyerbu dan lancarkan pukulan tangan kosong ke arah kepala si nenek. Nenek berambut putih ini serta merta gerakkan tangan kanannya, menangkis serangan lawan dengan tongkat pipa kuningan.
Sebelumnya Djarot Pangestu sudah tahu kehebatan senjata lawan itu. Namun kini setelah menguasai ilmu kesaktian yang didapatnya dari Raja Batu Di Batu di Tanah Bugis, maka dia bermaksud untuk menjajal sampai di mana kehebatan ilmu kesaktian itu. Begitu tangannya memukul, tangan itu berubah hitam legam dan keras luar biasa seperti batu!
“Traaaang…!”
Tongkat kuningan dan tangan saling beradu, mengeluarkan suara berdentrangan yang keras.
Si nenek keluarkan seruan kaget. Bukan saja tubuhnya terhuyung keras ke belakang tapi tongkat pipa besi kuningannya tampak peyok pada bekas yang terkena hantaman tangan Djarot Pangestu. Sedang lelaki itu sendiri hanya tampak tergontai-gontai sambil menyeringai.
“Manusia satu ini pasti sudah berguru pada seorang sakti mandraguna, sesuai ancamannya tempo hari…” pikir si nenek. Walaupun darahnya terkesiap melihat kehebatan lawan namun dia menunggu dengan sikap tenang.
Ketika Djarot Pangestu menyerbu kembali, dia ketukkan tongkat pipanya ke tanah. Terdengar suara bergema laksana genta mengalun. Satu gelombang angin yang deras menghantam ke arah Djarot Pangestu. Wiro turut merasakan kehebatan angin senjata di tangan si nenek.
Tubuhnya terhuyung ke kiri. Dia cepat berguling lalu tegak melompat.
“Ilmu kesaktianmu tiada guna, nenek jelek!” ejek Djarot Pangestu. Dia dorongkan kedua tangannya. Kedua tangan itu serta merta berubah menghitam seperti batu.
“Braaak!”
Terdengar suara aneh seperti dua benda keras saling bentur ketika gelombang angin yang keluar dari ujung tombak pipa kuningan si nenek bertemu dengan dua telapak tangan Djarot Pangestu. Djarot terhempas ke belakang sebaliknya si nenek terdengar keluarkan suara mengeluh. Tanah yang dipijaknya seperti amblas. Tubuhnya terbanting jatuh sedang mukanya tampak pucat!
“Sekarang terima kematianmu tua bangka sedeng!” teriak Djarot Pangestu. Tangan kanannya laksana palu godam dihantamkan ke kepala si nenek. Dengan susah payah perempuan itu melintangkan tongkat pipa kuningannya di atas kepala guna melindungi diri.
“Traaaaang!”
Untuk kedua kalinya terdengar suara berdentrangan. Tongkat pipa kuningan itu patah dua. Si nenek terpental dua tombak, terguling di atas pasir dan diguyur oleh ombak yang memecah di pantai. Selagi dia mencoba bangkit dengan susah payah, Djarot Pangestu sudah melompat ke hadapannya.
“Pergi!” teriak si nenek sambil tusukkan jari telunjuk tangannya ke arah dada lawan.
Djarot pangestu merasa seolah-olah ada besi panas berputar menusuk tembus ke dadanya.
Jantungnya seperti dibor! Lelaki itu berteriak kesakitan, keluarkan keringat dingin. Dengan cepat dia rangkapkan dua tangan di depan dada. Sepasang matanya membeliak. Rambutnya yang awut-awutan berjingkrak ke atas seperti terpanggang. Mukanya dan sekujur tubuhnya mendadak berubah menjadi hitam aneh. Hitam mengeras seperti batu. Rahangnya menggembung dan dari mulutnya terdengar suara bergemeletakan.
“Pergi!” Teriak si nenek sekali lagi sambil lipatgandakan tenaga dalamnya. Tusukan seperti besi berputar kembali menyambar ganas bagian dada Djarot Pangestu. Tapi kini seperti mendera tembok baja, tusukan itu tak dapat terus, malah membalik pada pemiliknya.
Terdengar pekik si nenek. Tubuhnya jatuh terguling di atas pasir. Dari mulutnya tampak mengalir darah segar. Djarot Pangestu membuat langkah-langkah kaku yang aneh seolah tubuhnya benar-benar telah berubah menjadi batu. Begitu sampai di hadapan si nenek dia angkat kaki kanannya tinggi-tinggi lalu dihujamkan ke kepala perempuan tua itu!
Djarot pangestu merasa seolah-olah ada besi panas berputar menusuk tembus ke dadanya.
Jantungnya seperti dibor! Lelaki itu berteriak kesakitan, keluarkan keringat dingin. Dengan cepat dia rangkapkan dua tangan di depan dada. Sepasang matanya membeliak. Rambutnya yang awut-awutan berjingkrak ke atas seperti terpanggang. Mukanya dan sekujur tubuhnya mendadak berubah menjadi hitam aneh. Hitam mengeras seperti batu. Rahangnya menggembung dan dari mulutnya terdengar suara bergemeletakan.
“Pergi!” Teriak si nenek sekali lagi sambil lipatgandakan tenaga dalamnya. Tusukan seperti besi berputar kembali menyambar ganas bagian dada Djarot Pangestu. Tapi kini seperti mendera tembok baja, tusukan itu tak dapat terus, malah membalik pada pemiliknya.
Terdengar pekik si nenek. Tubuhnya jatuh terguling di atas pasir. Dari mulutnya tampak mengalir darah segar. Djarot Pangestu membuat langkah-langkah kaku yang aneh seolah tubuhnya benar-benar telah berubah menjadi batu. Begitu sampai di hadapan si nenek dia angkat kaki kanannya tinggi-tinggi lalu dihujamkan ke kepala perempuan tua itu!
Nenek Cempaka meskipun dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam namun masih sempat melihat datangnya hantaman kaki Djarot Pangestu yang akan menghujam kepalanya.
Dia berusaha menyingkir. Tapi seperti ada hawa aneh yang membuatnya tak mampu bergerak. Perempuan tua ini hanya pasrah menunggu datangnya maut!
Hanya sesaat lagi tapak kaki Djarot Pangestu akan menghancurkan kepala si nenek, tiba-tiba dari samping seperti ada angin puting beliung yang menyambar. Pasir terbang ke udara dan air laut muncrat tinggi. Tubuh Djarot Pangestu yang hanya bertumpu pada kaki kiri, meskipun tidak terangkat mental dan hanya terpuntir ke kiri namun ini sudah cukup menyelamatkan kepala si nenek dari hantaman kakinya. Kaki itu kini mendarat di atas pasir pantai. Untuk kedua kalinya pasir menghambur ke udara dan di tanah pantai tampak sebuah lobang besar.
Ketika berpaling ke kanan Djarot Pangestu saksikan tubuh nenek Cempaka sudah berada dalam dukungan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kau muridnya atau siapa! Lekas beri tahu!” bentak Djarot Pangestu seraya maju dua langkah. Sampai saat itu wajah dan sekujur badannya sampai ke kaki masih tampak hitam membatu.
“Aku dan nenek ini tidak punya hubungan apa-apa. Sangkut pautku dengan dirinya adalah sangkut paut kemanusiaan!” jawab Wiro. “Mengapa kau hendak membunuhnya?!”
“Mengapa aku hendak membunuhnya itu bukan urusanmu! Lemparkan tubuhnya ke pasir!” menghardik Djarot Pangestu.
“Kau sudah mengalahkannya, apa masih belum puas?!”
“Bangsat!” Djarot Pangestu jadi meledak amarahnya. “Biar kalian berdua kubunuh sekaligus!” Lalu lelaki ini dorongkan kedua tangannya keras-keras ke arah murid Sinto Gendeng yang memanggul si nenek di bahu kirinya.
Tadi untuk menyelamatkan Nenek Cempaka, Wiro telah lepaskan pukulan sakti bernama “Benteng Topan Melanda Samudra”. Sebelumnya, siapa saja yang sempat tersambar pukulan sakti itu pasti akan mencelat mental dan kalau tidak remuk sekujur tubuhnya, paling tidak akan menderita luka dalam yang parah. Namun kenyataannya Djarot Pangestu hanya terpuntir ke samping. Jelas manusia satu ini memiliki ilmu kepandaian dan kesaktian sangat tinggi.
Kini melihat Djarot hantamkan kedua tangannya ke arah dirinya yang sedang memanggul Nenek Cempaka. Pendekar 212 Wiro Sableng tanpa ayal lagi segera lepaskan Pukulan Sinar Matahari!
Sinar seputih perak dan menyilaukan serta menebar hawa panas berkiblat menghantam ke arah angin sakti yang keluar dari dua telapak tangan Djarot Pangestu. Dua kekuatan sakti tingkat tinggi saling bentrokan. Terdengar suara berdentum. Pasir pantai beterbangan ke udara. Ombak yang bergulung dan hendak memecah di pantai tersapu dan membalik kembali ke arah laut.
Pendekar 212 rasakan tubuhnya seperti dijebit oleh dinding batu dari arah depan serta kiri kanan. Kedua lututnya goyah. Dia tak sanggup bertahan akhirnya terpental dua tombak ke belakang, terhempas di atas pasir tapi masih sanggup memegang erat tubuh si nenek hingga keduanya jatuh saling tindih. Wiro cepat bangkit walau dadanya terasa sesak dan masih dalam keadaan mendukung si nenek di bahu kirinya!
Ketika pukulan sinar matahari menghantam, sesaat tubuh batu Djarot Pangestu yang berwarna kehitaman itu berubah menjadi putih dan mengepulkan asap. Kedua matanya merah membara.
Dia menjerit keras sebelum tubuhnya terhempas ke pasir lalu terguling sampai delapan langkah. Namun tampaknya orang ini tidak mengalami cedera. Meskipun terhuyung-huyung dia berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya yang memutih dan mengepulkan asap itu mengeluarkan suara bergemeretakan seperti suara batu bergeser.
“Anak muda…” Wiro mendengar si nenek berbisik padanya. “Lekas tinggalkan tempat ini.
Kau tak sanggup mengalahkan manusia itu. Aku tahu ilmu apa yang dimilikinya. Sebelum terlambat lekas turunkan diriku dan selamatkan dirimu!”
“Aku tak mungkin meninggalkan kau di sini begitu saja nek,” ujar Wiro. “Keparat itu pasti akan membunuhmu!”
“Mungkin memang sudah begitu suratan takdirku!”
“Jangan mendahului kemauan Tuhan nek! Aku masih punya ilmu simpanan. Juga senjata mustika untuk menghajarnya!”
“Jangan tolol!” mendamprat nenek Cempaka. “Sekalipun kau punya segudang kesaktian dan seribu macam senjata, dia tak akan sanggup kau kalahkan. Dia manusia batu yang kebal segala macam pukulan dan senjata. Lekas kau turunkan diriku!”
“Tidak!” jawab Wiro berkeras, sementara itu di depannya Djarot Pangestu dengan kedua tangan terpentang mulai melangkah mendekat. Kedua tangannya dirangkapkan secara aneh di depan dada. Dan tubuhnya yang tadi berwarna keputihan perlahan-lahan kini kembali menjadi hitam membatu!
“Anak muda kau tolol amat sih!” terdengar suara Nenek Cempaka kembali. “Tapi sudahlah, jika kau memang mau menolongku, cepat melangkah ke dalam laut. Aku melihat di kejauhan ada dua orang dari para sahabatku tengah melesat dari dasar laut menuju ke tempat ini. Mereka tak bisa mengalahkan lelaki itu, namun keduanya sanggup menghalangi sehingga kita sempat menyelinap masuk ke dalam laut! Ayo lekas masuk ke dalam laut!”
“Nek!” seru Wiro. “Kau memang sakit terluka di dalam. Tapi kau bukan sakit panas. Lalu mengapa kau bicara seperti orang mengigau?!”
“Mengigau macam mana maksudmu?!” Sentak si nenek. “Lekas lakukan apa yang kubilang. Waktu kita hanya sedikit!”
“Kau menyuruh aku masuk ke dalam laut! Apa itu bukan mengigau?! Lalu kau bilang melihat ada dua dara sahabatmu melesat dari dasar laut! Apa itu juga bukan mengigau? Aku tidak melihat siapa-siapa, apalagi dua dara itu….”
Wiro putuskan ucapannya ketika tiba-tiba dari bawah permukaan laut hampir tak dapat dipercayanya melesat keluar dua sosok tubuh berpakaian biru dan hijau. Dan keduanya ternyata adalah sepasang dara berparas cantik jelita, berkulit sangat putih dan seperti berkilauan ditimpa sinar matahari.
Yang membuat Wiro jadi menahan nafas adalah pakaian kedua dara ini. Sisi kiri baju panjang yang dikenakan dua dara itu terbelah tinggi sampai ke pangkal pahanya hingga sebagian auratnya kelihatan terpampang ketika angin laut menyibakkan baju mereka! Sesaat Wiro tegak tertegun sementara Djarot Pangestu yang semula melangkah mendekati Wiro
untuk beberapa saat lamanya menatap ke arah kedua gadis itu dengan tajam dan kedua kaki batunya berhenti melangkah.
Wiro tepuk pantat si nenek. “Pemuda kurang ajar! Apa-apaan kau ini?!” menghardik si nenek.
“Gadis berbaju hijau dan biru itu. Mereka yang kau katakan para sahabatmu?!”
“Betul! Tapi sekarang kita tak punya waktu banyak untuk bicara panjang lebar. Biarkan dua dara itu menghadang. Kau lekas melangkah ke dalam laut…”
“Nenek ini begitu memaksa… Aneh! Dia tidak mengigau. Kalau aku turuti perintahnya apa aku mau mati tenggelam…?!”
Selagi Wiro berpikir-pikir seperti si nenek gerak-gerakan kedua kakinya sementara tangan kanannya menekan punggung murid Sinto Gendeng. Aneh seperti di dorong oleh suatu kekuatan gaib, Pendekar 212 terdorong ke depan dan bagaimana pun dia berusaha melawan, tetap saja tubuhnya terdorong malah makin dilawan tambah keras.
Tanpa disadarinya akhirnya Wiro melangkah ke dalam laut. Makin dalam, makin dalam dan sewaktu air laut sudah sampai ke dadanya malah mulai mendekati leher, nenek itu menekan kuat-kuat salah satu urat besar di punggung Wiro. Murid Sinto Gendeng terus melangkah, masuk ke dalam laut dan lenyap dari pemandangan!
Dia berusaha menyingkir. Tapi seperti ada hawa aneh yang membuatnya tak mampu bergerak. Perempuan tua ini hanya pasrah menunggu datangnya maut!
Hanya sesaat lagi tapak kaki Djarot Pangestu akan menghancurkan kepala si nenek, tiba-tiba dari samping seperti ada angin puting beliung yang menyambar. Pasir terbang ke udara dan air laut muncrat tinggi. Tubuh Djarot Pangestu yang hanya bertumpu pada kaki kiri, meskipun tidak terangkat mental dan hanya terpuntir ke kiri namun ini sudah cukup menyelamatkan kepala si nenek dari hantaman kakinya. Kaki itu kini mendarat di atas pasir pantai. Untuk kedua kalinya pasir menghambur ke udara dan di tanah pantai tampak sebuah lobang besar.
Ketika berpaling ke kanan Djarot Pangestu saksikan tubuh nenek Cempaka sudah berada dalam dukungan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kau muridnya atau siapa! Lekas beri tahu!” bentak Djarot Pangestu seraya maju dua langkah. Sampai saat itu wajah dan sekujur badannya sampai ke kaki masih tampak hitam membatu.
“Aku dan nenek ini tidak punya hubungan apa-apa. Sangkut pautku dengan dirinya adalah sangkut paut kemanusiaan!” jawab Wiro. “Mengapa kau hendak membunuhnya?!”
“Mengapa aku hendak membunuhnya itu bukan urusanmu! Lemparkan tubuhnya ke pasir!” menghardik Djarot Pangestu.
“Kau sudah mengalahkannya, apa masih belum puas?!”
“Bangsat!” Djarot Pangestu jadi meledak amarahnya. “Biar kalian berdua kubunuh sekaligus!” Lalu lelaki ini dorongkan kedua tangannya keras-keras ke arah murid Sinto Gendeng yang memanggul si nenek di bahu kirinya.
Tadi untuk menyelamatkan Nenek Cempaka, Wiro telah lepaskan pukulan sakti bernama “Benteng Topan Melanda Samudra”. Sebelumnya, siapa saja yang sempat tersambar pukulan sakti itu pasti akan mencelat mental dan kalau tidak remuk sekujur tubuhnya, paling tidak akan menderita luka dalam yang parah. Namun kenyataannya Djarot Pangestu hanya terpuntir ke samping. Jelas manusia satu ini memiliki ilmu kepandaian dan kesaktian sangat tinggi.
Kini melihat Djarot hantamkan kedua tangannya ke arah dirinya yang sedang memanggul Nenek Cempaka. Pendekar 212 Wiro Sableng tanpa ayal lagi segera lepaskan Pukulan Sinar Matahari!
Sinar seputih perak dan menyilaukan serta menebar hawa panas berkiblat menghantam ke arah angin sakti yang keluar dari dua telapak tangan Djarot Pangestu. Dua kekuatan sakti tingkat tinggi saling bentrokan. Terdengar suara berdentum. Pasir pantai beterbangan ke udara. Ombak yang bergulung dan hendak memecah di pantai tersapu dan membalik kembali ke arah laut.
Pendekar 212 rasakan tubuhnya seperti dijebit oleh dinding batu dari arah depan serta kiri kanan. Kedua lututnya goyah. Dia tak sanggup bertahan akhirnya terpental dua tombak ke belakang, terhempas di atas pasir tapi masih sanggup memegang erat tubuh si nenek hingga keduanya jatuh saling tindih. Wiro cepat bangkit walau dadanya terasa sesak dan masih dalam keadaan mendukung si nenek di bahu kirinya!
Ketika pukulan sinar matahari menghantam, sesaat tubuh batu Djarot Pangestu yang berwarna kehitaman itu berubah menjadi putih dan mengepulkan asap. Kedua matanya merah membara.
Dia menjerit keras sebelum tubuhnya terhempas ke pasir lalu terguling sampai delapan langkah. Namun tampaknya orang ini tidak mengalami cedera. Meskipun terhuyung-huyung dia berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya yang memutih dan mengepulkan asap itu mengeluarkan suara bergemeretakan seperti suara batu bergeser.
“Anak muda…” Wiro mendengar si nenek berbisik padanya. “Lekas tinggalkan tempat ini.
Kau tak sanggup mengalahkan manusia itu. Aku tahu ilmu apa yang dimilikinya. Sebelum terlambat lekas turunkan diriku dan selamatkan dirimu!”
“Aku tak mungkin meninggalkan kau di sini begitu saja nek,” ujar Wiro. “Keparat itu pasti akan membunuhmu!”
“Mungkin memang sudah begitu suratan takdirku!”
“Jangan mendahului kemauan Tuhan nek! Aku masih punya ilmu simpanan. Juga senjata mustika untuk menghajarnya!”
“Jangan tolol!” mendamprat nenek Cempaka. “Sekalipun kau punya segudang kesaktian dan seribu macam senjata, dia tak akan sanggup kau kalahkan. Dia manusia batu yang kebal segala macam pukulan dan senjata. Lekas kau turunkan diriku!”
“Tidak!” jawab Wiro berkeras, sementara itu di depannya Djarot Pangestu dengan kedua tangan terpentang mulai melangkah mendekat. Kedua tangannya dirangkapkan secara aneh di depan dada. Dan tubuhnya yang tadi berwarna keputihan perlahan-lahan kini kembali menjadi hitam membatu!
“Anak muda kau tolol amat sih!” terdengar suara Nenek Cempaka kembali. “Tapi sudahlah, jika kau memang mau menolongku, cepat melangkah ke dalam laut. Aku melihat di kejauhan ada dua orang dari para sahabatku tengah melesat dari dasar laut menuju ke tempat ini. Mereka tak bisa mengalahkan lelaki itu, namun keduanya sanggup menghalangi sehingga kita sempat menyelinap masuk ke dalam laut! Ayo lekas masuk ke dalam laut!”
“Nek!” seru Wiro. “Kau memang sakit terluka di dalam. Tapi kau bukan sakit panas. Lalu mengapa kau bicara seperti orang mengigau?!”
“Mengigau macam mana maksudmu?!” Sentak si nenek. “Lekas lakukan apa yang kubilang. Waktu kita hanya sedikit!”
“Kau menyuruh aku masuk ke dalam laut! Apa itu bukan mengigau?! Lalu kau bilang melihat ada dua dara sahabatmu melesat dari dasar laut! Apa itu juga bukan mengigau? Aku tidak melihat siapa-siapa, apalagi dua dara itu….”
Wiro putuskan ucapannya ketika tiba-tiba dari bawah permukaan laut hampir tak dapat dipercayanya melesat keluar dua sosok tubuh berpakaian biru dan hijau. Dan keduanya ternyata adalah sepasang dara berparas cantik jelita, berkulit sangat putih dan seperti berkilauan ditimpa sinar matahari.
Yang membuat Wiro jadi menahan nafas adalah pakaian kedua dara ini. Sisi kiri baju panjang yang dikenakan dua dara itu terbelah tinggi sampai ke pangkal pahanya hingga sebagian auratnya kelihatan terpampang ketika angin laut menyibakkan baju mereka! Sesaat Wiro tegak tertegun sementara Djarot Pangestu yang semula melangkah mendekati Wiro
untuk beberapa saat lamanya menatap ke arah kedua gadis itu dengan tajam dan kedua kaki batunya berhenti melangkah.
Wiro tepuk pantat si nenek. “Pemuda kurang ajar! Apa-apaan kau ini?!” menghardik si nenek.
“Gadis berbaju hijau dan biru itu. Mereka yang kau katakan para sahabatmu?!”
“Betul! Tapi sekarang kita tak punya waktu banyak untuk bicara panjang lebar. Biarkan dua dara itu menghadang. Kau lekas melangkah ke dalam laut…”
“Nenek ini begitu memaksa… Aneh! Dia tidak mengigau. Kalau aku turuti perintahnya apa aku mau mati tenggelam…?!”
Selagi Wiro berpikir-pikir seperti si nenek gerak-gerakan kedua kakinya sementara tangan kanannya menekan punggung murid Sinto Gendeng. Aneh seperti di dorong oleh suatu kekuatan gaib, Pendekar 212 terdorong ke depan dan bagaimana pun dia berusaha melawan, tetap saja tubuhnya terdorong malah makin dilawan tambah keras.
Tanpa disadarinya akhirnya Wiro melangkah ke dalam laut. Makin dalam, makin dalam dan sewaktu air laut sudah sampai ke dadanya malah mulai mendekati leher, nenek itu menekan kuat-kuat salah satu urat besar di punggung Wiro. Murid Sinto Gendeng terus melangkah, masuk ke dalam laut dan lenyap dari pemandangan!
Murid Sinto Gendeng itu nyaris tak percaya kalau tidak dapat mengalami sendiri bagaimana dirinya bisa melangkah bahkan melayang di dalam air laut bahkan bernafas seolah-olah dia berada di udara terbuka saja!
Hanya pemandangannya saja yang mula-mula terasa agak berkabut dan matanya sedikit perih.
Namun beberapa saat kemudian dia mampu melihat seterang di luar. Hal ini tak lain karena totokan aneh yang dilakukan nenek Cempaka pada bagian punggungnya.
Wiro hendak membuka mulut menanyakan sesuatu. Tapi sadar berada di dalam laut, dan khawatir air masuk ke dalam mulutnya, maka pendekar ini kancing mulutnya rapat-rapat.
Setelah melayang beberapa lama di dalam laut, nenek yang dipanggul menunjuk jauh ke bawah, ke arah dasar laut. Wiro memandang ke arah yang ditunjuk. Dia melihat sebuah bangunan besar yang memiliki beberapa atap-atap tinggi berbentuk joglo. Si nenek terus memberi tanda agar Wiro bergerak ke arah bangunan itu.
Ketika hampir mencapai bangunan besar tersebut, dua orang tampak melesat dari depan.
Ternyata dua orang gadis masing-masing berpakaian merah dan cokelat. Sebentar saja mereka sudah sampai ke dekat Wiro. Lalu pendekar ini mendengar ada suara mengiang di telinganya.
“Ikuti kami…”
Dua gadis tadi memandang sesaat pada Wiro, lalu berbalik dan berenang mendahului menuju ke bangunan besar. Begitu sudah sampai di bawah atap bangunan, air laut serta merta lenyap dan Wiro dapatkan dirinya dalam keadaan basah kuyup berada di bagian depan bangunan besar. Memandang ke dalam dia melihat satu ruangan bertiang dua belas buah di kiri kanan, lantainya beralaskan permadani dan jauh di ujung sana ada sebuah kursi besar di bawah dua buah payung.
“Nek, segala sesuatunya serba ajaib! Aku tak habis percaya bagaimana aku bisa mampu melayang dan bernafas dalam air laut. Lalu di mana kita berada saat ini….?”
“Kita berada di Kerajaan Bawah Laut, anak muda. Hanya itu yang bisa kuterangkan saat ini…” terdengar si nenek menjawab.
Ketika Wiro hendak bertanya lagi, dara berpakaian cokelat sudah mendatangi dan berkata, “Serahkan nenek itu padaku!” Lalu tanpa menunggu dia mengambil nenek Cempaka dari bahu kiri Wiro dan memanggulnya menuju sebuah pintu yang diatasnya ada lampu cokelat.
Gadis berbaju merah memberi isyarat agar Wiro mengikutinya. Saat itu pakaian Wiro basah kuyup, begitu juga tadi si nenek. Tapi mengapa dara yang melangkah di depannya itu sama sekali tidak basah? Padahal tadi jelas dia berenang di dalam laut menyongsong kedatangannya bersama si nenek. “Jangan-jangan aku berada di sarangnya dedemit atau jin laut,” pikir Wiro.
“Di dalam kamar ada seperangkat pakaian. Ganti pakaianmu yang basah. Jika sudah selesai, keluar dari kamar ini dan duduk didepan tangga di seberang kursi besar diujung ruangan…”
“Kau sendiri tidak masuk ke dalam kamar…?”
Wajah sang dara tampak menjadi merah. “Jika Sri Ratu tidak menganggap dirimu sebagai seorang tamu yang berjasa dan terhormat, cukup alasan bagiku untuk menjatuhkan hukuman atas mulutmu yang lancang itu!” kata dara berpakaian merah yang dipanggil dengan nama Roro Merah itu.
Wiro baru sadar kalau ucapannya tadi sangat menyinggung perasaan si baju merah, padahal sebenarnya tidak ada maksud apa-apa. Cepat-cepat dia tundukkan kepala dan berkata:
“Saudari, harap maafkan. Aku …. hemm… aku tidak bermaksud yang bukan-bukan. Segala sesuatunya di tempat ini serba aneh walaupun menakjubkan. Berada seorang diri di tempat ini, maksudku di kamar itu aku khawatir melakukan kesalahan dan melanggar aturan. Tadi si nenek mengatakan aku berada di Kerajaan Bawah Laut. Apa benar begitu? Lalu siapa raja di kerajaan ini? Aku benar-benar mengalami hal-hal yang luar biasa. Bayangkan, orang tolol sepertiku ini bisa berjalan di dalam laut, bisa bernafas! Padahal, jelek-jelek begini, aku bukan turunan ikan atau kura-kura!”
Mendengar ucapan yang polos dan lucu itu Roro Merah kini tampak tersenyum. “Saudara…,” katanya. “Memang benar saat ini kau berada di Kerajaan Bawah Laut. Kami tidak punya raja tapi memiliki seorang ratu yang kami sebut dengan panggilan Sri Ratu Ayu Lestari. Kau bisa berjalan di dalam laut dan bernafas seperti di udara biasa karena nenek Cempaka menotok salah satu urat di punggungmu…”
Pendekar 212 tentu saja tercengang mendengar keterangan itu. Dia geleng-geleng kepala.
“Ilmu totokan apa yang sungguh luar biasa itu…” katanya sambil menggaruk kepala. “Ah, kalian di sini tentunya manusia-manusia sakti mandraguna. Aku benar-benar mengaguminya.
Dan mohon maaf kalau dengan sejujurnya aku harus memuji bahwa kau dan kawanmu tadi, juga dua dara yang melesat menghadang Djarot Pangestu, semuanya cantik-cantik dan memiliki sepasang mata yang luar biasa indahnya. Cuma, yang aku heran, kalau memang benar ini sebuah kerajaan, mengapa suasana sepi-sepi saja? Dan bangunan ini pasti sebuah istana. Lalu di mana para penjaga? Para pengawal…?”
“Kau melewati mereka, tapi tidak melihat mereka. Cobalah memandang berkeliling sekali lagi…” kata Roro Merah. Wiro lakukan apa yang dikatakan gadis itu.
“Astaga…!” ucapnya ketika dia menyaksikan bagaimana ruangan itu mulai dari bagian depan sampai di sekitar kursi besar di bawah payung penuh dengan pengawal bersenjata lengkap.
“Aneh, bagaimana tadi aku tidak melihat mereka semua…?” Dia memandang berkeliling sekali lagi. Mendadak saja muncul rasa kecut dalam dirinya ketika saat itu dia tidak lagi melihat para pengawal itu!
“Silakan masuk ke dalam kamar dan ganti pakaianmu lalu keluar menuju hadapan Tahta Kerajaan…” berkata Roro Merah.
Di dalam kamar yang dinding dan langit-langitnya berwarna merah dan harus semerbak Wiro dapatkan sebuah ranjang yang sangat bagus. Di atas ranjang ini ada seperangkat pakaian lelaki terdiri dari celana panjang dan baju tangan panjang berwarna merah dengan hiasan berupa sulaman dari benang emas. Di samping pakaian, terdapat pula topi tinggi berwarna merah, lalu ikat pinggang besar berbentuk rantai yang ketika ditelitinya membuat pendekar ini jadi melengak karena ikat pinggang itu terbuat dari emas!
Wiro termangu sesaat. Tak ada hal lain yang bisa dilakukannya kecuali memang mengenakan harus pakaian merah itu. Dia membuka pakaian putih dekilnya yang basah kuyup. Namun sesaat dia memandang ke pintu, khawatir ada yang masuk. Dia juga memandang ke seantero kamar, takut ada yang mengintip! Akhirnya dengan senyum-senyum Wiro tanggalkan pakaian putihnya lalu dengan cepat mengenakan baju dan celana merah, lengkap dengan ikat pinggang dan topinya. Kapak Naga Geni 212 diselipkannya di pinggang di bawah baju, begitu juga batu hitam sakti kawanan kapak mustika itu.
Di dinding sebelah kiri terdapat sebuah kaca besar. Wiro pandangi dirinya di dalam kaca itu dan menyeringai sendiri ketika menyaksikan tampangnya. “Gagah juga diriku ini! Tak kalah dari seorang pangeran! Pangeran Sableng…? Huh!?” Dia tertawa sendirian lalu melangkah ke pintu. Tapi cepat berpaling ketika ingat pakaiannya yang basah. Dan melangkah pendekar kita.
Pakaian putih basah itu tadi jelas-jelas ditanggalkannya dan diletakkannya di lantai. Tapi kini pakaian itu tak ada lagi di situ, lenyap tanpa bekas, bahkan bekas-bekas air pun tak kelihatan lagi di lantai!
Dengan tubuh agak bergetar, Pendekar 212 keluar dari dalam kamar. Begitu berada di ruangan besar, di ujung sana dilihatnya nenek Cempaka bersama Roro Merah telah duduk di hadapan kursi besar. Di atas sana tampak duduk seorang dara cantik luar biasa, mengenakan pakaian ungu yang sangat tipis. Di kepalanya ada sebuah mahkota emas bertaburkan permata, sedang di keningnya menempel sebuah batu permata besar.
Wiro ingat pesan Roro Merah tadi, lalu dia segera melangkah ke ujung ruangan. Sadar kalau dia pasti berhadapan dengan Sri Ratu penguasa Kerajaan Bawah Laut, dan khawatir berbuat kesalahan lagi maka murid Sinto Gendeng cepat menjura. Setelah itu dia melirik pada nenek Cempaka. Perempuan tua ini dilihatnya baik-baik saja, malah tersenyum tidak seperti orang yang menderita luka parah di dalam akibat hantaman Djarot Pangestu tadi.
Malah dia pun melihat si nenek telah berdandan hingga wajahnya yang tua itu tampak cantik, ditambah dengan pakaian putih yang bagus. Tidak dapat tidak, si nenek pasti sudah mendapat pengobatan yang mujarab hingga bisa sembuh secepat itu.
“Nek, kau sehat-sehat saja…” akhirnya Wiro membuka mulut. Si nenek tersenyum dan anggukkan kepala. Wiro memandang ke arah gadis di atas kursi. Ada sinar agung yang memancar dari sepasang matanya, yang membuat Wiro tak kuasa menatap lebih lama.
Inilah Sri Ratu Ayu Lestari, dara berusia tujuh belas tahun, cucu Menak Srenggi yang secara tidak diduganya sama sekali telah ditunjuk sebagai penguasa Laut Utara.
Selagi Wiro salah tingkah karena tak tahu mau berbuat atau berkata apa, terdengar Sri Ratu berkata, “Saudara, kami ingin menyampaikan rasa terima kasih karena kau telah menyelamatkan nenek Cempaka dari bahaya maut keganasan Djarot Pangestu. Sebagai balas jasa, katakanlah apa yang kau inginkan dari kami…?”
Wiro tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Sesaat dia menatap wajah Sri Ratu, tapi sekali lagi sinar yang keluar dari mata gadis muda itu membuat dia tak sanggup bertahan dan tundukkan kepala. Dalam hatinya murid Sinto Gendeng menggerendeng.
“Sialan, belum pernah aku melihat sinar mata yang begini berwibawa. Masakan aku tak sanggup memandangnya lama-lama…?!”
“Maafkan diriku Sri Ratu. Aku tidak meminta balas jasa apa-apa. Tolong menolong sesama manusia adalah hal yang lumrah. Apalagi nenek itu seorang yang baik…” berkata Wiro.
“Lagipula kalian telah berbaik hati meminjamkan seperangkat pakaian merah yang bagus ini, lengkap dengan topi dan ikat pinggangnya. Dari emas pula! Seumur hidup baru sekali ini aku mengenakan pakaian sebagus ini!”
Nenek Cempaka tersenyum, begitu juga Sri Ratu Ayu Lestari. Pada saat itulah tiba-tiba seorang dara berbaju kuning keluar dari balik tirai ungu dan berkata, “Sri Ratu, Roro hijau mengalami cedera berat. Tubuhnya tak berkutik, entah pingsan, entah tewas! Roro Biru tengah melarikannya ke mari!”
Sri Ratu, Nenek Cempaka dan Roro Merah serta merta bangkit berdiri. “Pindahkan Ombak Penyambung Mata ke ruangan ini!” berseru Sri Ratu.
Roro Kuning, dara berbaju kuning tadi, silangkan kedua lengannya di atas kepala. Mulutnya merapal sesuatu. Ketika kedua lengan itu ditarik dan dipukulkan ke samping, Wiro mendadak mendengar suara seperti ombak berdebur keras. Memandang ke arah pertengahan ruangan, dia melihat satu keanehan lagi di tempat itu!
Hanya pemandangannya saja yang mula-mula terasa agak berkabut dan matanya sedikit perih.
Namun beberapa saat kemudian dia mampu melihat seterang di luar. Hal ini tak lain karena totokan aneh yang dilakukan nenek Cempaka pada bagian punggungnya.
Wiro hendak membuka mulut menanyakan sesuatu. Tapi sadar berada di dalam laut, dan khawatir air masuk ke dalam mulutnya, maka pendekar ini kancing mulutnya rapat-rapat.
Setelah melayang beberapa lama di dalam laut, nenek yang dipanggul menunjuk jauh ke bawah, ke arah dasar laut. Wiro memandang ke arah yang ditunjuk. Dia melihat sebuah bangunan besar yang memiliki beberapa atap-atap tinggi berbentuk joglo. Si nenek terus memberi tanda agar Wiro bergerak ke arah bangunan itu.
Ketika hampir mencapai bangunan besar tersebut, dua orang tampak melesat dari depan.
Ternyata dua orang gadis masing-masing berpakaian merah dan cokelat. Sebentar saja mereka sudah sampai ke dekat Wiro. Lalu pendekar ini mendengar ada suara mengiang di telinganya.
“Ikuti kami…”
Dua gadis tadi memandang sesaat pada Wiro, lalu berbalik dan berenang mendahului menuju ke bangunan besar. Begitu sudah sampai di bawah atap bangunan, air laut serta merta lenyap dan Wiro dapatkan dirinya dalam keadaan basah kuyup berada di bagian depan bangunan besar. Memandang ke dalam dia melihat satu ruangan bertiang dua belas buah di kiri kanan, lantainya beralaskan permadani dan jauh di ujung sana ada sebuah kursi besar di bawah dua buah payung.
“Nek, segala sesuatunya serba ajaib! Aku tak habis percaya bagaimana aku bisa mampu melayang dan bernafas dalam air laut. Lalu di mana kita berada saat ini….?”
“Kita berada di Kerajaan Bawah Laut, anak muda. Hanya itu yang bisa kuterangkan saat ini…” terdengar si nenek menjawab.
Ketika Wiro hendak bertanya lagi, dara berpakaian cokelat sudah mendatangi dan berkata, “Serahkan nenek itu padaku!” Lalu tanpa menunggu dia mengambil nenek Cempaka dari bahu kiri Wiro dan memanggulnya menuju sebuah pintu yang diatasnya ada lampu cokelat.
Gadis berbaju merah memberi isyarat agar Wiro mengikutinya. Saat itu pakaian Wiro basah kuyup, begitu juga tadi si nenek. Tapi mengapa dara yang melangkah di depannya itu sama sekali tidak basah? Padahal tadi jelas dia berenang di dalam laut menyongsong kedatangannya bersama si nenek. “Jangan-jangan aku berada di sarangnya dedemit atau jin laut,” pikir Wiro.
“Di dalam kamar ada seperangkat pakaian. Ganti pakaianmu yang basah. Jika sudah selesai, keluar dari kamar ini dan duduk didepan tangga di seberang kursi besar diujung ruangan…”
“Kau sendiri tidak masuk ke dalam kamar…?”
Wajah sang dara tampak menjadi merah. “Jika Sri Ratu tidak menganggap dirimu sebagai seorang tamu yang berjasa dan terhormat, cukup alasan bagiku untuk menjatuhkan hukuman atas mulutmu yang lancang itu!” kata dara berpakaian merah yang dipanggil dengan nama Roro Merah itu.
Wiro baru sadar kalau ucapannya tadi sangat menyinggung perasaan si baju merah, padahal sebenarnya tidak ada maksud apa-apa. Cepat-cepat dia tundukkan kepala dan berkata:
“Saudari, harap maafkan. Aku …. hemm… aku tidak bermaksud yang bukan-bukan. Segala sesuatunya di tempat ini serba aneh walaupun menakjubkan. Berada seorang diri di tempat ini, maksudku di kamar itu aku khawatir melakukan kesalahan dan melanggar aturan. Tadi si nenek mengatakan aku berada di Kerajaan Bawah Laut. Apa benar begitu? Lalu siapa raja di kerajaan ini? Aku benar-benar mengalami hal-hal yang luar biasa. Bayangkan, orang tolol sepertiku ini bisa berjalan di dalam laut, bisa bernafas! Padahal, jelek-jelek begini, aku bukan turunan ikan atau kura-kura!”
Mendengar ucapan yang polos dan lucu itu Roro Merah kini tampak tersenyum. “Saudara…,” katanya. “Memang benar saat ini kau berada di Kerajaan Bawah Laut. Kami tidak punya raja tapi memiliki seorang ratu yang kami sebut dengan panggilan Sri Ratu Ayu Lestari. Kau bisa berjalan di dalam laut dan bernafas seperti di udara biasa karena nenek Cempaka menotok salah satu urat di punggungmu…”
Pendekar 212 tentu saja tercengang mendengar keterangan itu. Dia geleng-geleng kepala.
“Ilmu totokan apa yang sungguh luar biasa itu…” katanya sambil menggaruk kepala. “Ah, kalian di sini tentunya manusia-manusia sakti mandraguna. Aku benar-benar mengaguminya.
Dan mohon maaf kalau dengan sejujurnya aku harus memuji bahwa kau dan kawanmu tadi, juga dua dara yang melesat menghadang Djarot Pangestu, semuanya cantik-cantik dan memiliki sepasang mata yang luar biasa indahnya. Cuma, yang aku heran, kalau memang benar ini sebuah kerajaan, mengapa suasana sepi-sepi saja? Dan bangunan ini pasti sebuah istana. Lalu di mana para penjaga? Para pengawal…?”
“Kau melewati mereka, tapi tidak melihat mereka. Cobalah memandang berkeliling sekali lagi…” kata Roro Merah. Wiro lakukan apa yang dikatakan gadis itu.
“Astaga…!” ucapnya ketika dia menyaksikan bagaimana ruangan itu mulai dari bagian depan sampai di sekitar kursi besar di bawah payung penuh dengan pengawal bersenjata lengkap.
“Aneh, bagaimana tadi aku tidak melihat mereka semua…?” Dia memandang berkeliling sekali lagi. Mendadak saja muncul rasa kecut dalam dirinya ketika saat itu dia tidak lagi melihat para pengawal itu!
“Silakan masuk ke dalam kamar dan ganti pakaianmu lalu keluar menuju hadapan Tahta Kerajaan…” berkata Roro Merah.
Di dalam kamar yang dinding dan langit-langitnya berwarna merah dan harus semerbak Wiro dapatkan sebuah ranjang yang sangat bagus. Di atas ranjang ini ada seperangkat pakaian lelaki terdiri dari celana panjang dan baju tangan panjang berwarna merah dengan hiasan berupa sulaman dari benang emas. Di samping pakaian, terdapat pula topi tinggi berwarna merah, lalu ikat pinggang besar berbentuk rantai yang ketika ditelitinya membuat pendekar ini jadi melengak karena ikat pinggang itu terbuat dari emas!
Wiro termangu sesaat. Tak ada hal lain yang bisa dilakukannya kecuali memang mengenakan harus pakaian merah itu. Dia membuka pakaian putih dekilnya yang basah kuyup. Namun sesaat dia memandang ke pintu, khawatir ada yang masuk. Dia juga memandang ke seantero kamar, takut ada yang mengintip! Akhirnya dengan senyum-senyum Wiro tanggalkan pakaian putihnya lalu dengan cepat mengenakan baju dan celana merah, lengkap dengan ikat pinggang dan topinya. Kapak Naga Geni 212 diselipkannya di pinggang di bawah baju, begitu juga batu hitam sakti kawanan kapak mustika itu.
Di dinding sebelah kiri terdapat sebuah kaca besar. Wiro pandangi dirinya di dalam kaca itu dan menyeringai sendiri ketika menyaksikan tampangnya. “Gagah juga diriku ini! Tak kalah dari seorang pangeran! Pangeran Sableng…? Huh!?” Dia tertawa sendirian lalu melangkah ke pintu. Tapi cepat berpaling ketika ingat pakaiannya yang basah. Dan melangkah pendekar kita.
Pakaian putih basah itu tadi jelas-jelas ditanggalkannya dan diletakkannya di lantai. Tapi kini pakaian itu tak ada lagi di situ, lenyap tanpa bekas, bahkan bekas-bekas air pun tak kelihatan lagi di lantai!
Dengan tubuh agak bergetar, Pendekar 212 keluar dari dalam kamar. Begitu berada di ruangan besar, di ujung sana dilihatnya nenek Cempaka bersama Roro Merah telah duduk di hadapan kursi besar. Di atas sana tampak duduk seorang dara cantik luar biasa, mengenakan pakaian ungu yang sangat tipis. Di kepalanya ada sebuah mahkota emas bertaburkan permata, sedang di keningnya menempel sebuah batu permata besar.
Wiro ingat pesan Roro Merah tadi, lalu dia segera melangkah ke ujung ruangan. Sadar kalau dia pasti berhadapan dengan Sri Ratu penguasa Kerajaan Bawah Laut, dan khawatir berbuat kesalahan lagi maka murid Sinto Gendeng cepat menjura. Setelah itu dia melirik pada nenek Cempaka. Perempuan tua ini dilihatnya baik-baik saja, malah tersenyum tidak seperti orang yang menderita luka parah di dalam akibat hantaman Djarot Pangestu tadi.
Malah dia pun melihat si nenek telah berdandan hingga wajahnya yang tua itu tampak cantik, ditambah dengan pakaian putih yang bagus. Tidak dapat tidak, si nenek pasti sudah mendapat pengobatan yang mujarab hingga bisa sembuh secepat itu.
“Nek, kau sehat-sehat saja…” akhirnya Wiro membuka mulut. Si nenek tersenyum dan anggukkan kepala. Wiro memandang ke arah gadis di atas kursi. Ada sinar agung yang memancar dari sepasang matanya, yang membuat Wiro tak kuasa menatap lebih lama.
Inilah Sri Ratu Ayu Lestari, dara berusia tujuh belas tahun, cucu Menak Srenggi yang secara tidak diduganya sama sekali telah ditunjuk sebagai penguasa Laut Utara.
Selagi Wiro salah tingkah karena tak tahu mau berbuat atau berkata apa, terdengar Sri Ratu berkata, “Saudara, kami ingin menyampaikan rasa terima kasih karena kau telah menyelamatkan nenek Cempaka dari bahaya maut keganasan Djarot Pangestu. Sebagai balas jasa, katakanlah apa yang kau inginkan dari kami…?”
Wiro tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Sesaat dia menatap wajah Sri Ratu, tapi sekali lagi sinar yang keluar dari mata gadis muda itu membuat dia tak sanggup bertahan dan tundukkan kepala. Dalam hatinya murid Sinto Gendeng menggerendeng.
“Sialan, belum pernah aku melihat sinar mata yang begini berwibawa. Masakan aku tak sanggup memandangnya lama-lama…?!”
“Maafkan diriku Sri Ratu. Aku tidak meminta balas jasa apa-apa. Tolong menolong sesama manusia adalah hal yang lumrah. Apalagi nenek itu seorang yang baik…” berkata Wiro.
“Lagipula kalian telah berbaik hati meminjamkan seperangkat pakaian merah yang bagus ini, lengkap dengan topi dan ikat pinggangnya. Dari emas pula! Seumur hidup baru sekali ini aku mengenakan pakaian sebagus ini!”
Nenek Cempaka tersenyum, begitu juga Sri Ratu Ayu Lestari. Pada saat itulah tiba-tiba seorang dara berbaju kuning keluar dari balik tirai ungu dan berkata, “Sri Ratu, Roro hijau mengalami cedera berat. Tubuhnya tak berkutik, entah pingsan, entah tewas! Roro Biru tengah melarikannya ke mari!”
Sri Ratu, Nenek Cempaka dan Roro Merah serta merta bangkit berdiri. “Pindahkan Ombak Penyambung Mata ke ruangan ini!” berseru Sri Ratu.
Roro Kuning, dara berbaju kuning tadi, silangkan kedua lengannya di atas kepala. Mulutnya merapal sesuatu. Ketika kedua lengan itu ditarik dan dipukulkan ke samping, Wiro mendadak mendengar suara seperti ombak berdebur keras. Memandang ke arah pertengahan ruangan, dia melihat satu keanehan lagi di tempat itu!
Di tengah ruangan tiba-tiba saja terlihat satu gulungan ombak besar, membentang lebar tak bergerak laksana sebuah layar kaca. Di dalam layar ombak itu Wiro melihat bayangan seorang dara berbaju biru tengah berenang di dalam laut, memanggul tubuh kawannya yang mengenakan pakaian hijau. Dua dara ini yang sebelumnya dilihat Wiro melesat ke luar dari dalam laut.
Semua orang Kerajaan Bawah Laut yang ada di tempat itu tampak cemas. Sri Ratu Ayu Lestari berpaling pada pembantunya yang berpakaian kuning dan berkata: “Roro Kuning, cepat songsong Roro Biru dan katakan agar segera membawa Roro Hijau ke ruang pengobatan. Aku akan menyusul ke sana.”
Begitu Roro Kuning berlalu, Sri Ratu Ayu Lestari jentikkan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya. Layar ombak di tengah ruangan berdesir dan bergulung ke atas. Sesaat kemudian layar itu menyajikan pemandangan yang lain.
“Luar biasa…” ujar Wiro kagum dalam hati. Kini dia melihat pemandangan tepi pantai. Lalu tampak sosok tubuh manusia batu Djarot Pangestu tegak berkacak pinggang. Mulutnya terbuka dan kelihatannya dia seperti tengah memaki. Perlahan-lahan tubuhnya yang menghitam dan membatu itu kembali ke bentuk semula.
Sri Ratu tampak kepalkan tangan kanannya. Seolah-olah berada seorang diri dia terdengar berucap: “Wajah dan tubuh aslimu penuh dengan guratan cacat. Kau boleh berubah menjadi manusia batu. Tapi aku akan tetap mengenali Djarot Pangestu! Manusia biadab pembunuh kakek dan nenekku! Pembunuh ibu dan seorang kawanku! Hari ini kau muncul di Laut Utara! Hari ini hari pembalasan bagimu!”
Lalu sang Ratu berpaling pada pembantunya yang berpakaian merah dan berkata: “Roro merah kau awasi terus ombak penyambung mata itu. Aku dan nenek Cempaka akan naik ke darat untuk menyelesaikan perhitungan dengan Djarot Pangestu!”
Nenek Cempaka memegang lengan Sri Ratu Ayu Lestari seraya berkata: “Sri Ratu kita harus berlaku hati-hati. Djarot Pangestu bukan manusia seperti tujuh tahun lalu. Melihat ilmu yang dikeluarkannya ketika menghadapiku jelas sekarang dia menjadi manusia sangat berbahaya dan sulit ditaklukkan. Aku tahu dari siapa dia mendapatkan ilmu batu sakti itu…”
“Katakan siapa gurunya Nenek Cempaka,” ujar Sri Ratu pula.
“Dari seorang musuh besarku di masa muda. Namanya Karaeng Watuampu, seorang tokoh silat sakti mandraguna dari Tanah Bugis, bergelar Raja Batu Di Batu. Dia memiliki ilmu batu.
Tak ada ilmu lawan yang sanggup menghadapinya. Biarkan aku dan beberapa pembantumu menghadapinya lebih dulu…”
Sri Ratu Ayu Lestari walaupun masih sangat belia, namun selama tujuh tahun dia mendapat gemblengan dari Sri Ratu terdahulu dibantu oleh enam Roro dan si Nenek Cempaka sendiri.
Kecerdasan otaknya serta ketabahan dan kerajinannya mempelajari semua ilmu telah menjadikannya seorang gadis muda yang matang dalam ilmu dan pemikiran.
Sang Ratu gelengkan kepala. “Aku berterima kasih pada kesetiaan kalian membela diriku dan Kerajaan Laut Utara ini, Nek. Tapi melihat bagaimana dia sanggup mencederaimu dan juga Roro Hijau, aku merasa khawatir. Lagipula aku melihat ada sebuah titik merah pada saku pakaiannya sebelah kiri. Cobalah kau perhatikan…”
Nenek Cempaka letakkan tangan kanannya di atas kedua matanya seolah-olah seperti orang yang memandang ke arah sumber yang tersilau atau sinar matahari. Apa yang dikatakan Ratu ternyata benar. Dia kini dapat melihat ada tanda berupa titik merah di saku kiri pakaian Djarot Pangestu. Pucatlah wajah si nenek.
“Hanya ada satu benda yang bisa menimbulkan cahaya peringatan seperti itu…” desis si nenek. “Benda pantangan yang sangat berbahaya. Bawang putih…!”
“Kita harus dapat merampas bawang putih itu!” ujar Sri Ratu. “Tapi sekali kita menyentuh bawang itu, tubuh kita akan menjadi lumpuh bahkan nyawa pun tak tertolong lagi…”
“Aku akan merampasnya, Sri Ratu!” ujar Roro Merah berjibaku.
“Biar aku yang melakukannya!” satu suara terdengar dari samping. Semua orang berpaling.
Yang barusan bicara bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sri Ratu dan Nenek Cempaka saling pandang. Selagi kedua orang itu belum sempat memberikan jawaban Wiro sudah melangkah pergi. Tapi begitu sampai di tangga istana terdepan dia jadi bingung sendiri. Di hadapannya, air laut membentang laksana tembok raksasa.
“Eh, apakah totokan sakti si nenek itu masih bekerja? Kalau tidak aku bisa konyol di dalam laut sebelum mencapai permukaan!” Wiro berpaling pada si nenek. Perempuan tua itu maklum apa yang dipikirkan dan dikhawatirkan sang pendekar maka dia pun berkata, “Tak ada yang perlu kau gelisahkan anak muda. Tubuhmu masih terlindung oleh totokan itu!”
Mendengar ucapan itu Pendekar 212 tanpa ragu-ragu langsung mencebur masuk ke dalam tembok air.
Sesaat setelah Wiro Sableng meninggalkan Istana Ratu Laut Utara itu Roro Kuning datang terburu-buru dari ruangan pengobatan.
“Sri Ratu, mohon maafmu. Saya dan Roro Biru telah berusaha menolong Roro Hijau, agaknya nyawanya tidak tertolong lagi…”
Mendengar keterangan itu. Sri Ratu dan nenek Cempaka segera bergegas menuju Ruangan Pengobatan sementara Roro Merah tetap berada di tempat itu guna mengawasi ombak penyambung mata.
Di dalam Ruangan Pengobatan, Roro Biru tampak cemas tegak di samping sebuah pembaringan di mana terbujur sosok tubuh Roro Hijau. Air mata tampak berurai di pipi Roro Biru. Sri Ratu dan Nenek Cempaka cepat memeriksa keadaan tubuh Roro Hijau. Denyutan Jantungnya perlahan sekali. Wajahnya seputih kertas dan pada sela bibirnya ada darah mengering. Sri Ratu menyibakkan dada pakaian Roro Hujau. Tampaklah warna membiru di payudara Roro Hijau sebelah kiri.
Paras Sri Ratu langsung berubah. “Kita tak mungkin menyelamatkannya…” desis Sri ratu tercekat.
“Aku tahu Sri Ratu…” ujar nenek Cempaka dengan nada sedih. Pukulan ilmu batu Djarot Pangestu memang luar biasa berbahaya.
Pada saat itu terdengar suara seperti sesuatu keluar dari air. Lalu ada sesuatu yang meluncur ke lantai. Ketika semua orang berpaling, mereka langsung menjura dan tundukkan kepala seraya berseru berbarengan: “Sri Ratu! Kau datang…!”
Di lantai ruangan meluncur seekor buaya putih yang bukan lain adalah penjelmaan Sri Ratu Kerajaan Laut Utara yang terdahulu. Buaya ini naik ke atas pembaringan. Moncongnya menjulur ke arah dada Roro Hijau. Mulutnya dibuka lalu ludahnya menjulur dan menjilati payudara sebelah kiri Roro Hijau.
Selesai melakukan itu buaya putih ini turun dari pembaringan. Kepalanya ditegakkan sesaat.
Kedua matanya menatap orang-orang yang ada dalam ruangan itu. Lalu aneh, terdengar suaranya, suara manusia, suara perempuan. “Tak usah cemas dan jangan ada yang menangis. Roro Hijau akan segera sembuh…”
“Sri Ratu, kami sangat berterima kasih…” kata Sri Ratu Ayu Lestari seraya menjura dalamdalam.
Buaya putih masih menegakkan kepalanya. Kembali dia keluarkan suara: “Djarot Pangestu memang manusia sakti. Kepandaiannya setinggi langit. Tapi ketahuilah di atas langit ada langit lagi. Secepatnya pemuda itu berhasil merampas bawang putih kalian harus segera naik ke darat untuk membuat perhitungan. Sri Ratu Ayu Lestari, tangan kananmu yang berjarah menyilang merupakan satu kekuatan yang berada di atas langit. Hadapilah musuh besarmu itu dengan penuh kepercayaan. Ulurkan tangan kananmu, kembangkan telapaknya…”
Mendengar perintah sang ratu, Sri Ratu Ayu Lestari segera ulurkan telapak tangannya. Buaya putih itu lalu menjilati telapak tangan kanan Sri ratu Ayu Lestari tujuh kali pulang balik, lalu kepalanya meluncur turun. Dia mengucapkan selamat tinggal lalu meluncur keluar dari ruangan itu diikuti tundukkan kepala penuh hormat dari semua mereka yang ada disitu.
Baru saja buaya putih itu berlalu, dari arah pembaringan terdengar suara tarikan nafas. Ketika semua orang berpaling, Roro Hijau ternyata telah duduk di atas pembaringan. Wajahnya tidak seputih kertas lagi.
Semua orang Kerajaan Bawah Laut yang ada di tempat itu tampak cemas. Sri Ratu Ayu Lestari berpaling pada pembantunya yang berpakaian kuning dan berkata: “Roro Kuning, cepat songsong Roro Biru dan katakan agar segera membawa Roro Hijau ke ruang pengobatan. Aku akan menyusul ke sana.”
Begitu Roro Kuning berlalu, Sri Ratu Ayu Lestari jentikkan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya. Layar ombak di tengah ruangan berdesir dan bergulung ke atas. Sesaat kemudian layar itu menyajikan pemandangan yang lain.
“Luar biasa…” ujar Wiro kagum dalam hati. Kini dia melihat pemandangan tepi pantai. Lalu tampak sosok tubuh manusia batu Djarot Pangestu tegak berkacak pinggang. Mulutnya terbuka dan kelihatannya dia seperti tengah memaki. Perlahan-lahan tubuhnya yang menghitam dan membatu itu kembali ke bentuk semula.
Sri Ratu tampak kepalkan tangan kanannya. Seolah-olah berada seorang diri dia terdengar berucap: “Wajah dan tubuh aslimu penuh dengan guratan cacat. Kau boleh berubah menjadi manusia batu. Tapi aku akan tetap mengenali Djarot Pangestu! Manusia biadab pembunuh kakek dan nenekku! Pembunuh ibu dan seorang kawanku! Hari ini kau muncul di Laut Utara! Hari ini hari pembalasan bagimu!”
Lalu sang Ratu berpaling pada pembantunya yang berpakaian merah dan berkata: “Roro merah kau awasi terus ombak penyambung mata itu. Aku dan nenek Cempaka akan naik ke darat untuk menyelesaikan perhitungan dengan Djarot Pangestu!”
Nenek Cempaka memegang lengan Sri Ratu Ayu Lestari seraya berkata: “Sri Ratu kita harus berlaku hati-hati. Djarot Pangestu bukan manusia seperti tujuh tahun lalu. Melihat ilmu yang dikeluarkannya ketika menghadapiku jelas sekarang dia menjadi manusia sangat berbahaya dan sulit ditaklukkan. Aku tahu dari siapa dia mendapatkan ilmu batu sakti itu…”
“Katakan siapa gurunya Nenek Cempaka,” ujar Sri Ratu pula.
“Dari seorang musuh besarku di masa muda. Namanya Karaeng Watuampu, seorang tokoh silat sakti mandraguna dari Tanah Bugis, bergelar Raja Batu Di Batu. Dia memiliki ilmu batu.
Tak ada ilmu lawan yang sanggup menghadapinya. Biarkan aku dan beberapa pembantumu menghadapinya lebih dulu…”
Sri Ratu Ayu Lestari walaupun masih sangat belia, namun selama tujuh tahun dia mendapat gemblengan dari Sri Ratu terdahulu dibantu oleh enam Roro dan si Nenek Cempaka sendiri.
Kecerdasan otaknya serta ketabahan dan kerajinannya mempelajari semua ilmu telah menjadikannya seorang gadis muda yang matang dalam ilmu dan pemikiran.
Sang Ratu gelengkan kepala. “Aku berterima kasih pada kesetiaan kalian membela diriku dan Kerajaan Laut Utara ini, Nek. Tapi melihat bagaimana dia sanggup mencederaimu dan juga Roro Hijau, aku merasa khawatir. Lagipula aku melihat ada sebuah titik merah pada saku pakaiannya sebelah kiri. Cobalah kau perhatikan…”
Nenek Cempaka letakkan tangan kanannya di atas kedua matanya seolah-olah seperti orang yang memandang ke arah sumber yang tersilau atau sinar matahari. Apa yang dikatakan Ratu ternyata benar. Dia kini dapat melihat ada tanda berupa titik merah di saku kiri pakaian Djarot Pangestu. Pucatlah wajah si nenek.
“Hanya ada satu benda yang bisa menimbulkan cahaya peringatan seperti itu…” desis si nenek. “Benda pantangan yang sangat berbahaya. Bawang putih…!”
“Kita harus dapat merampas bawang putih itu!” ujar Sri Ratu. “Tapi sekali kita menyentuh bawang itu, tubuh kita akan menjadi lumpuh bahkan nyawa pun tak tertolong lagi…”
“Aku akan merampasnya, Sri Ratu!” ujar Roro Merah berjibaku.
“Biar aku yang melakukannya!” satu suara terdengar dari samping. Semua orang berpaling.
Yang barusan bicara bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sri Ratu dan Nenek Cempaka saling pandang. Selagi kedua orang itu belum sempat memberikan jawaban Wiro sudah melangkah pergi. Tapi begitu sampai di tangga istana terdepan dia jadi bingung sendiri. Di hadapannya, air laut membentang laksana tembok raksasa.
“Eh, apakah totokan sakti si nenek itu masih bekerja? Kalau tidak aku bisa konyol di dalam laut sebelum mencapai permukaan!” Wiro berpaling pada si nenek. Perempuan tua itu maklum apa yang dipikirkan dan dikhawatirkan sang pendekar maka dia pun berkata, “Tak ada yang perlu kau gelisahkan anak muda. Tubuhmu masih terlindung oleh totokan itu!”
Mendengar ucapan itu Pendekar 212 tanpa ragu-ragu langsung mencebur masuk ke dalam tembok air.
Sesaat setelah Wiro Sableng meninggalkan Istana Ratu Laut Utara itu Roro Kuning datang terburu-buru dari ruangan pengobatan.
“Sri Ratu, mohon maafmu. Saya dan Roro Biru telah berusaha menolong Roro Hijau, agaknya nyawanya tidak tertolong lagi…”
Mendengar keterangan itu. Sri Ratu dan nenek Cempaka segera bergegas menuju Ruangan Pengobatan sementara Roro Merah tetap berada di tempat itu guna mengawasi ombak penyambung mata.
Di dalam Ruangan Pengobatan, Roro Biru tampak cemas tegak di samping sebuah pembaringan di mana terbujur sosok tubuh Roro Hijau. Air mata tampak berurai di pipi Roro Biru. Sri Ratu dan Nenek Cempaka cepat memeriksa keadaan tubuh Roro Hijau. Denyutan Jantungnya perlahan sekali. Wajahnya seputih kertas dan pada sela bibirnya ada darah mengering. Sri Ratu menyibakkan dada pakaian Roro Hujau. Tampaklah warna membiru di payudara Roro Hijau sebelah kiri.
Paras Sri Ratu langsung berubah. “Kita tak mungkin menyelamatkannya…” desis Sri ratu tercekat.
“Aku tahu Sri Ratu…” ujar nenek Cempaka dengan nada sedih. Pukulan ilmu batu Djarot Pangestu memang luar biasa berbahaya.
Pada saat itu terdengar suara seperti sesuatu keluar dari air. Lalu ada sesuatu yang meluncur ke lantai. Ketika semua orang berpaling, mereka langsung menjura dan tundukkan kepala seraya berseru berbarengan: “Sri Ratu! Kau datang…!”
Di lantai ruangan meluncur seekor buaya putih yang bukan lain adalah penjelmaan Sri Ratu Kerajaan Laut Utara yang terdahulu. Buaya ini naik ke atas pembaringan. Moncongnya menjulur ke arah dada Roro Hijau. Mulutnya dibuka lalu ludahnya menjulur dan menjilati payudara sebelah kiri Roro Hijau.
Selesai melakukan itu buaya putih ini turun dari pembaringan. Kepalanya ditegakkan sesaat.
Kedua matanya menatap orang-orang yang ada dalam ruangan itu. Lalu aneh, terdengar suaranya, suara manusia, suara perempuan. “Tak usah cemas dan jangan ada yang menangis. Roro Hijau akan segera sembuh…”
“Sri Ratu, kami sangat berterima kasih…” kata Sri Ratu Ayu Lestari seraya menjura dalamdalam.
Buaya putih masih menegakkan kepalanya. Kembali dia keluarkan suara: “Djarot Pangestu memang manusia sakti. Kepandaiannya setinggi langit. Tapi ketahuilah di atas langit ada langit lagi. Secepatnya pemuda itu berhasil merampas bawang putih kalian harus segera naik ke darat untuk membuat perhitungan. Sri Ratu Ayu Lestari, tangan kananmu yang berjarah menyilang merupakan satu kekuatan yang berada di atas langit. Hadapilah musuh besarmu itu dengan penuh kepercayaan. Ulurkan tangan kananmu, kembangkan telapaknya…”
Mendengar perintah sang ratu, Sri Ratu Ayu Lestari segera ulurkan telapak tangannya. Buaya putih itu lalu menjilati telapak tangan kanan Sri ratu Ayu Lestari tujuh kali pulang balik, lalu kepalanya meluncur turun. Dia mengucapkan selamat tinggal lalu meluncur keluar dari ruangan itu diikuti tundukkan kepala penuh hormat dari semua mereka yang ada disitu.
Baru saja buaya putih itu berlalu, dari arah pembaringan terdengar suara tarikan nafas. Ketika semua orang berpaling, Roro Hijau ternyata telah duduk di atas pembaringan. Wajahnya tidak seputih kertas lagi.
Wiro melesat di dalam air dan dalam waktu sesaat saja sudah muncul di permukaan laut.
Dalam keadaan badan dan pakaian basah kuyup dia melangkah menuju pantai lalu duduk bersila di atas pasir, menghadap ke arah matahari.
Dua telapak tangan dirapatkan di depan wajahnya, kedua matanya dipejamkan. Sikapnya tidak beda seperti orang tengah bersemedi. Sang Pendekar tidak menunggu lama. Telinganya menangkap suara orang mendatangi. Djarot Pangestu!
“Manusia berpakaian merah! Kulihat kau barusan keluar dari dalam laut! Mengapa bersemedi di sini?!” Terdengar suara Djarot Pangestu. Orang ini memperhatikan tajam-tajam wajah Wiro. Sepertinya dia pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Yang bersama nenek Cempaka?
Tapi pemuda itu berpakaian putih sedang yang duduk di atas pasir ini mengenakan pakaian dan topi merah, ditambah sebuah ikat pinggang yang membuat Djarot Pangestu menjadi mendelik karena dia mengenali ikat pinggang berbentuk rantai itu adalah emas murni!
Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Kedua telapak tangan masih tetap dirapatkan di depan wajahnya untuk menutupi karena dia khawatir sebelum sempat bertindak orang sudah keburu mengetahui siapa dirinya.
Wiro perhatikan tampang Djarot Pangestu sesaat. Jelas tampak lelaki ini tengah berpikir keras, mengingat-ingat. Maka cepat ia berkata, “Aku Pangeran dari Laut Selatan. Sengaja bersemedi di sini untuk mendapat petunjuk di mana letak istana Bawah Laut Ratu Laut Utara.
Barusan aku menyelam sampai ke dasar laut namun tak berhasil menemukan istana itu. Aku akan meneruskan semadiku, jangan mengganggu…!”
“Tunggu dulu! Kenapa kau ingin mengetahui letak Istana Ratu Laut Utara itu?” bertanya Djarot Pangestu. “Aku punya dendam kesumat besar terhadap sang ratu. Dia menculik kekasihku untuk dijadikan hamba sahayanya…” jawab Wiro.
“Ah, kalau begitu kita berada dipihak yang sama!” kata Djarot Pangestu pula.
“Apa maksudmu?!” bertanya Pendekar 212.
“Aku pun punya dendam kesumat terhadap salah seorang pembantu Sri Ratu. Seorang nenek jelek bernama Cempaka. Beberapa waktu lalu aku berhasil melukainya. Seorang pemuda menyelamatkannya ke dalam laut. Eh….! Kau! Aku mengenali tampangmu kini walau kau tutupi dengan kedua tangan! Bukankah kau pemuda bersama nenek itu…?!”
“Keparat ini mengenaliku!” runtuk Wiro. Tak ada jalan lain, dia harus bertindak merampas bawang putih yang ada di saku baju sebelah kiri Djarot Pangestu sekarang juga!
Dengan satu gerakan cepat Wiro melompat. Tangan kanannya menyambar. Djarot Pangestu tersentak kaget, melompat ke samping dengan cepat.
“Breeettt!!!”
Saku pakaian kiri Djarot Pangestu robek besar. Wiro berhasil mengambil bawang putih di dalam saku itu. Namun ketika diteliti ternyata ada satu ruas bawang yang terkelupas dan lenyap dari tempatnya!
“Bangsat rendah! Kembalikan bawang putih itu!” teriak Djarot Pangestu marah sekali. Dia memeriksa saku pakaiannya yang robek. Ternyata masih ada satu ruas kecil bawang putih yang tertinggal dalam sakunya. Namun hal ini tidak membuat amarahnya jadi mereda. Serta merta dia menyerbu ke arah Wiro sambil lepaskan pukulan tangan kosong yang menderukan angin dahsyat!
Murid Sinto Gendeng sudah berhadapan dengan Djarot Pangestu sebelumnya. Pukulan sakti
“Benteng Melanda Samudera” bahkan pukulan “Sinar Matahari” tak mampu merobohkan manusia ini. Maka dia cepat menghindarkan diri dari serangan dengan melompat ke samping lalu cepat-cepat mencabut kapak Naga Geni 212 dari balik saku pakaiannya.
Sementara itu di Istana Ratu Laut Utara, Roro Merah yang terus mengawasi ombak penyambung mata melihat apa yang telah dilakukan Wiro. Dia segera memberi tahu kepada Sri ratu apa yang telah terjadi.
“Sri Ratu, pemuda itu telah berhasil mengambil bawang putih dari saku Djarot Pangestu!” Dia sama sekali tidak mengetahui kalau dalam saku pakaian Djarot Pangestu masih tertinggal seruas kecil bawang putih!
Mendengar itu Sri Ratu segera memberi isyarat pada nenek Cempaka dan Roro Merah serta Roro Biru. “Ikuti aku. Kita naik ke darat sekarang juga!”
Dalam keadaan badan dan pakaian basah kuyup dia melangkah menuju pantai lalu duduk bersila di atas pasir, menghadap ke arah matahari.
Dua telapak tangan dirapatkan di depan wajahnya, kedua matanya dipejamkan. Sikapnya tidak beda seperti orang tengah bersemedi. Sang Pendekar tidak menunggu lama. Telinganya menangkap suara orang mendatangi. Djarot Pangestu!
“Manusia berpakaian merah! Kulihat kau barusan keluar dari dalam laut! Mengapa bersemedi di sini?!” Terdengar suara Djarot Pangestu. Orang ini memperhatikan tajam-tajam wajah Wiro. Sepertinya dia pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Yang bersama nenek Cempaka?
Tapi pemuda itu berpakaian putih sedang yang duduk di atas pasir ini mengenakan pakaian dan topi merah, ditambah sebuah ikat pinggang yang membuat Djarot Pangestu menjadi mendelik karena dia mengenali ikat pinggang berbentuk rantai itu adalah emas murni!
Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Kedua telapak tangan masih tetap dirapatkan di depan wajahnya untuk menutupi karena dia khawatir sebelum sempat bertindak orang sudah keburu mengetahui siapa dirinya.
Wiro perhatikan tampang Djarot Pangestu sesaat. Jelas tampak lelaki ini tengah berpikir keras, mengingat-ingat. Maka cepat ia berkata, “Aku Pangeran dari Laut Selatan. Sengaja bersemedi di sini untuk mendapat petunjuk di mana letak istana Bawah Laut Ratu Laut Utara.
Barusan aku menyelam sampai ke dasar laut namun tak berhasil menemukan istana itu. Aku akan meneruskan semadiku, jangan mengganggu…!”
“Tunggu dulu! Kenapa kau ingin mengetahui letak Istana Ratu Laut Utara itu?” bertanya Djarot Pangestu. “Aku punya dendam kesumat besar terhadap sang ratu. Dia menculik kekasihku untuk dijadikan hamba sahayanya…” jawab Wiro.
“Ah, kalau begitu kita berada dipihak yang sama!” kata Djarot Pangestu pula.
“Apa maksudmu?!” bertanya Pendekar 212.
“Aku pun punya dendam kesumat terhadap salah seorang pembantu Sri Ratu. Seorang nenek jelek bernama Cempaka. Beberapa waktu lalu aku berhasil melukainya. Seorang pemuda menyelamatkannya ke dalam laut. Eh….! Kau! Aku mengenali tampangmu kini walau kau tutupi dengan kedua tangan! Bukankah kau pemuda bersama nenek itu…?!”
“Keparat ini mengenaliku!” runtuk Wiro. Tak ada jalan lain, dia harus bertindak merampas bawang putih yang ada di saku baju sebelah kiri Djarot Pangestu sekarang juga!
Dengan satu gerakan cepat Wiro melompat. Tangan kanannya menyambar. Djarot Pangestu tersentak kaget, melompat ke samping dengan cepat.
“Breeettt!!!”
Saku pakaian kiri Djarot Pangestu robek besar. Wiro berhasil mengambil bawang putih di dalam saku itu. Namun ketika diteliti ternyata ada satu ruas bawang yang terkelupas dan lenyap dari tempatnya!
“Bangsat rendah! Kembalikan bawang putih itu!” teriak Djarot Pangestu marah sekali. Dia memeriksa saku pakaiannya yang robek. Ternyata masih ada satu ruas kecil bawang putih yang tertinggal dalam sakunya. Namun hal ini tidak membuat amarahnya jadi mereda. Serta merta dia menyerbu ke arah Wiro sambil lepaskan pukulan tangan kosong yang menderukan angin dahsyat!
Murid Sinto Gendeng sudah berhadapan dengan Djarot Pangestu sebelumnya. Pukulan sakti
“Benteng Melanda Samudera” bahkan pukulan “Sinar Matahari” tak mampu merobohkan manusia ini. Maka dia cepat menghindarkan diri dari serangan dengan melompat ke samping lalu cepat-cepat mencabut kapak Naga Geni 212 dari balik saku pakaiannya.
Sementara itu di Istana Ratu Laut Utara, Roro Merah yang terus mengawasi ombak penyambung mata melihat apa yang telah dilakukan Wiro. Dia segera memberi tahu kepada Sri ratu apa yang telah terjadi.
“Sri Ratu, pemuda itu telah berhasil mengambil bawang putih dari saku Djarot Pangestu!” Dia sama sekali tidak mengetahui kalau dalam saku pakaian Djarot Pangestu masih tertinggal seruas kecil bawang putih!
Mendengar itu Sri Ratu segera memberi isyarat pada nenek Cempaka dan Roro Merah serta Roro Biru. “Ikuti aku. Kita naik ke darat sekarang juga!”
Kembali ke pantai…
“Pemuda keparat! Aku memang sudah menyangka kau adalah kaki tangan nenek keparat itu! Kali ini jangan harap bisa lolos dari tanganku!” Rahang Djarot pangestu mengembung, matanya membeliak merah.
Namun baru saja Djarot Pangestu berkata begitu, tiba-tiba dari bawah permukaan laut melesat empat sosok tubuh. Mereka ternyata adalah Sri Ratu Ayu Lestari dan Nenek Cempaka serta Roro Merah dan Roro Biru. Di saat yang sama puluhan prajurit bersenjatakan tombak dan pedang dalam keadaan aneh, yaitu seperti tersamar di bawah kabut tebal, tampak mengurung pantai.
“Wuuuttt!!!” Serangan ganas Djarot Pangestu lewat di samping Wiro. Murid Sinto Gendeng segera kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212. Terdengar suara seperti ribuan tawon mengamuk disertai sambaran sinar perak putih menyilaukan dan menghamparnya hawa panas luar biasa.
Sesaat Djarot Pangestu terkesiap juga melihat kehebatan senjata sakti di tangan lawan. Namun kemudian dia tampak menyeringai. Mulutnya berkomat-kamit. Tangan kananya diangkat.
Saat itu juga tangan ini telah berubah menjadi batu hitam yang atos!
Menyangka musuh hendak merampas senjatanya, Wiro Sableng tukikkan arah serangannya ke bawah untuk membacok lengan lawan.
“Traaang!!!”
Kapak dan tangan saling bentrokan. Bunga api memercik menyilaukan mata. Djarot Pangestu terjajar ke belakang tanpa cedera sedikit pun pada lengannya yang kena dihantam Kapak Naga Geni 212. Wiro sendiri terpental empat langkah. Senjata mustikanya hampir saja terpental dari gengamannya. Dadanya mendenyut sakit. Mau tak mau Wiro jadi merasakan dingin tengkuknya melihat kenyataan ini! Ketika dengan kalap dia hendak mendahului menyerbu, terdengar Sri Ratu Ayu Lestari berseru.
“Saudara, serahkan manusia pembunuh bejat itu padaku!”
Paras Pendekar 212 merah tenggelam. Dia hampir tak dapat menerima kenyataan kalau Kapak Naga Geni 212 yang sangat diandalkannya itu ternyata tidak mempan menghantam tangan batu Djarot Pangestu. Karenanya, tanpa banyak bicara murid Sinto Gendeng terpaksa melompat mundur walaupun dengan hati jengkel setengah mati!
Djarot Pangestu berpaling ke arah Sri Ratu. Matanya terpentang lebar ketika melihat aurat Sri Ratu yang terbayang di balik pakaian ungu tipis yang dikenakannya. Wajah itu cantik luar biasa dan sepasang matanya mendebarkan untuk ditatap.
“Tentunya saat ini aku berhadapan dengan Ratu Laut Utara yang kesohor itu!” berkata Djarot Pangestu. Kedua matanya menggerayangi sekujur tubuh sang ratu. Pikiran kotornya lantas muncul. Lalu dia berkata sambil menyeringai. “Dengar Ratu! Jika kau bersedia hidup bersamaku, aku akan melupakan segala dendam kesumatku terhadap nenek jelek pembantumu ini!”
“Manusia kotor! Kau tak lebih dari seekor kutu busuk! Jangan berani bicara kurang ajar terhadap ratu kami!” teriak Roro Merah.
“Ah, kau juga dara berbaju merah. Yang itu, yang berbaju biru juga boleh menjadi pendampingku di saat aku perlu belaian tangan kalian. Ternyata kalian berdua tidak kalah cantik dan berbadan mulus pula! Ha…ha…ha…! Bagaimana Ratu. Kau terima permintaanku?!”
“Djarot Pangestu! Dosamu selangit tembus terhadapku. Dendan kesumatku lebih panas dari bara neraka! Buka matamu lebar-lebar… Apa kau tidak mengenali siapa diriku?!” tanya Sri ratu Ayu Lestari.
“Yang kulihat adalah seorang gadis berkulit putih mulus, berparas cantik dan tubuhnya yang bagus terbayang indah menggiurkan di balik pakaian yang tipis!” jawab Djarot Pangestu, lalu tertawa gelak-gelak.
“Ah, ternyata kedua matamu walaupun besar tapi telah mulai lamur. Kepalamu walaupun keningnya lebar ternyata otaknya sudah mulai tumpul! Dengar baik-baik Djarot Pangestu. Aku adalah cucu Menak Srenggi yang kau bunuh tujuh tahun lalu bersama istrinya di desa Kaliwungu. Kau juga membunuh ibuku dan seorang kawanku!”
Tentu saja ucapan Sri ratu itu membuat Djarot Pangestu terkejut hampir tak percaya. “Dicaricari malah muncul sendiri! Eh, gadis cantik, siapa pun kau adanya aku tetap pada ucapanku tadi. Hidup bersamaku, akan kulupakan segala dendam kesumatku dan kuampuni selembar jiwa nenek jelek itu walau guruku Raja Batu Di Batu memerintahkan aku untuk membunuhnya.”
Nenek Cempaka jadi terkejut mendengar kata-kata Djarot Pangestu itu sementara Sri ratu Ayu Lestari cepat membuka mulut.
“Kau boleh mengatakan hal itu pada penjaga-penjaga neraka!” sahut Sri Ratu. “Bersiaplah untuk menerima kematianmu!” Lalu dengan tangan kanan terpentang Sri Ratu melangkah mendekati Djarot Pangestu.
Djarot Pangestu sendiri sesaat masih tegak seperti tertegun. Gadis cilik tujuh tahun lalu apakah benar kini menjadi Ratu Laut Utara, yang menurut gurunya Raja Batu Di Batu memiliki kesaktian luar biasa? “Saat bagiku untuk menjajalnya! Aku tidak percaya gadis semuda ini memiliki kehebatan seperti yang dikatakan guru!”
Sehabis berpikir begitu Djarot Pangestu hantamkan tangan kanannya ke arah sang ratu. Yang diincarnya adalah payu dara sebelah kanan. Dan kurang ajarnya, serangan ganas itu sebenarnya hanyalah tipuan belaka karena maksud sesungguhnya adalah hendak meremas payu dara sang ratu yang menonjol besar dan kencang! Di samping itu, karena menganggap enteng orang, Djarot Pangestu hanya andalkan tenaga luar, sama sekali tidak mempergunakan tenaga dalam atau pun keluarkan ilmu batunya.
Sesaat lagi tangan yang kurang ajar itu akan sempat menyentuh payudara Sri Ratu, tiba-tiba sang Ratu angkat tangan kanannya. Dari telapak tangan Sri ratu menyambar asap putih. Djarot Pangestu berteriak kesakitan, tarik pulang tangannya dan melompat mundur. Ketika tangan kanannya diperhatikan ternyata sebagian kulitnya telah melepuh lecet!
Berubahlah paras Djarot Pangestu. Namun bersamaan dengan itu amarahnya juga menggelegak. Mulutnya merapal jejampai. Tangan kanan itu serta merta berubah menjadi batu hitam.
“Ratu keparat! Terima kematianmu!” teriak Djarot Pangestu. Tangan kanannya berkelebat menghantam ke arah kepala.
Dengan tenang Sri ratu miringkan tubuh ke kiri lalu tangan kanannya secepat kilat melesat ke atas dan tahu-tahu pergelangan tangan Djarot pangestu sudah kena dicekal!
Djarot Pangestu merasakan tangannya seperti berada dalam timbunan bara panas. Terdengar suara berderak! Lapisan batu hitam aneh yang ada di lengannya merengkah pecah lalu berjatuhan ke pasir pantai. Djarot berteriak sekali lagi dan sentakkan cekalan sang ratu. Begitu terlepas dia segera melompat jauh.
“Ilmu kesaktianku tidak mempan…!” kata Djarot Pangestu dalam hati. Nyalinya menjadi lumer. Namun tiba-tiba saja dia ingat akan sisa bawang putih yang ada dalam saku pakaiannya. Dia juga ingat pesan gurunya Raja Batu Di Batu. Dengan cepat bawang putih seruas itu dikeluarkannya dari saku lalu diacungkannya ke arah Sri ratu. Bersamaan dengan itu jari-jari tangannya meremas hancur bawang itu hingga kini bau tajam bawang putih menghampar di tempat itu.
Sri Ratu Ayu Lestari berseru tegang, sedang nenek Cempaka tercekat sementara Roro Merah dan Roro Biru serta merta merasakan tubuhnya bergetar dari lutut menggoyah. Bau bawang putih yang merasuk ke saluran pernafasan membuat tubuh mereka menjadi panas sedang dada mendenyut sakit luar biasa. Roro Merah dan Roro Biru menjerit keras, lalu terhuyung dan jatuh tergelimpang di pasir.
Sri Ratu dan Nenek Cempaka cepat tutup penciuman mereka dan berusaha keras bertahan.
Namun terlambat! Mereka telah terlebih dahulu mencium udara yang mengandung bawang putih, benda yang merupakan pantangan mematikan bagi orang-orang Kerajaan Laut Utara.
Di sekeliling tempat itu terdengar suara hiruk pikuk. Ternyata bawang putih yang berada di tangan Djarot Pangestu telah pula membawa pengaruh pada prajurit kerajaan yang terlihat seperti bayang-bayang itu. Mereka menjerit dan berserabutan seperti terkurung dalam ruangan yang terbakar. Lalu satu demi satu sosok tubuh mereka roboh ke pantai!
“Pemuda keparat! Aku memang sudah menyangka kau adalah kaki tangan nenek keparat itu! Kali ini jangan harap bisa lolos dari tanganku!” Rahang Djarot pangestu mengembung, matanya membeliak merah.
Namun baru saja Djarot Pangestu berkata begitu, tiba-tiba dari bawah permukaan laut melesat empat sosok tubuh. Mereka ternyata adalah Sri Ratu Ayu Lestari dan Nenek Cempaka serta Roro Merah dan Roro Biru. Di saat yang sama puluhan prajurit bersenjatakan tombak dan pedang dalam keadaan aneh, yaitu seperti tersamar di bawah kabut tebal, tampak mengurung pantai.
“Wuuuttt!!!” Serangan ganas Djarot Pangestu lewat di samping Wiro. Murid Sinto Gendeng segera kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212. Terdengar suara seperti ribuan tawon mengamuk disertai sambaran sinar perak putih menyilaukan dan menghamparnya hawa panas luar biasa.
Sesaat Djarot Pangestu terkesiap juga melihat kehebatan senjata sakti di tangan lawan. Namun kemudian dia tampak menyeringai. Mulutnya berkomat-kamit. Tangan kananya diangkat.
Saat itu juga tangan ini telah berubah menjadi batu hitam yang atos!
Menyangka musuh hendak merampas senjatanya, Wiro Sableng tukikkan arah serangannya ke bawah untuk membacok lengan lawan.
“Traaang!!!”
Kapak dan tangan saling bentrokan. Bunga api memercik menyilaukan mata. Djarot Pangestu terjajar ke belakang tanpa cedera sedikit pun pada lengannya yang kena dihantam Kapak Naga Geni 212. Wiro sendiri terpental empat langkah. Senjata mustikanya hampir saja terpental dari gengamannya. Dadanya mendenyut sakit. Mau tak mau Wiro jadi merasakan dingin tengkuknya melihat kenyataan ini! Ketika dengan kalap dia hendak mendahului menyerbu, terdengar Sri Ratu Ayu Lestari berseru.
“Saudara, serahkan manusia pembunuh bejat itu padaku!”
Paras Pendekar 212 merah tenggelam. Dia hampir tak dapat menerima kenyataan kalau Kapak Naga Geni 212 yang sangat diandalkannya itu ternyata tidak mempan menghantam tangan batu Djarot Pangestu. Karenanya, tanpa banyak bicara murid Sinto Gendeng terpaksa melompat mundur walaupun dengan hati jengkel setengah mati!
Djarot Pangestu berpaling ke arah Sri Ratu. Matanya terpentang lebar ketika melihat aurat Sri Ratu yang terbayang di balik pakaian ungu tipis yang dikenakannya. Wajah itu cantik luar biasa dan sepasang matanya mendebarkan untuk ditatap.
“Tentunya saat ini aku berhadapan dengan Ratu Laut Utara yang kesohor itu!” berkata Djarot Pangestu. Kedua matanya menggerayangi sekujur tubuh sang ratu. Pikiran kotornya lantas muncul. Lalu dia berkata sambil menyeringai. “Dengar Ratu! Jika kau bersedia hidup bersamaku, aku akan melupakan segala dendam kesumatku terhadap nenek jelek pembantumu ini!”
“Manusia kotor! Kau tak lebih dari seekor kutu busuk! Jangan berani bicara kurang ajar terhadap ratu kami!” teriak Roro Merah.
“Ah, kau juga dara berbaju merah. Yang itu, yang berbaju biru juga boleh menjadi pendampingku di saat aku perlu belaian tangan kalian. Ternyata kalian berdua tidak kalah cantik dan berbadan mulus pula! Ha…ha…ha…! Bagaimana Ratu. Kau terima permintaanku?!”
“Djarot Pangestu! Dosamu selangit tembus terhadapku. Dendan kesumatku lebih panas dari bara neraka! Buka matamu lebar-lebar… Apa kau tidak mengenali siapa diriku?!” tanya Sri ratu Ayu Lestari.
“Yang kulihat adalah seorang gadis berkulit putih mulus, berparas cantik dan tubuhnya yang bagus terbayang indah menggiurkan di balik pakaian yang tipis!” jawab Djarot Pangestu, lalu tertawa gelak-gelak.
“Ah, ternyata kedua matamu walaupun besar tapi telah mulai lamur. Kepalamu walaupun keningnya lebar ternyata otaknya sudah mulai tumpul! Dengar baik-baik Djarot Pangestu. Aku adalah cucu Menak Srenggi yang kau bunuh tujuh tahun lalu bersama istrinya di desa Kaliwungu. Kau juga membunuh ibuku dan seorang kawanku!”
Tentu saja ucapan Sri ratu itu membuat Djarot Pangestu terkejut hampir tak percaya. “Dicaricari malah muncul sendiri! Eh, gadis cantik, siapa pun kau adanya aku tetap pada ucapanku tadi. Hidup bersamaku, akan kulupakan segala dendam kesumatku dan kuampuni selembar jiwa nenek jelek itu walau guruku Raja Batu Di Batu memerintahkan aku untuk membunuhnya.”
Nenek Cempaka jadi terkejut mendengar kata-kata Djarot Pangestu itu sementara Sri ratu Ayu Lestari cepat membuka mulut.
“Kau boleh mengatakan hal itu pada penjaga-penjaga neraka!” sahut Sri Ratu. “Bersiaplah untuk menerima kematianmu!” Lalu dengan tangan kanan terpentang Sri Ratu melangkah mendekati Djarot Pangestu.
Djarot Pangestu sendiri sesaat masih tegak seperti tertegun. Gadis cilik tujuh tahun lalu apakah benar kini menjadi Ratu Laut Utara, yang menurut gurunya Raja Batu Di Batu memiliki kesaktian luar biasa? “Saat bagiku untuk menjajalnya! Aku tidak percaya gadis semuda ini memiliki kehebatan seperti yang dikatakan guru!”
Sehabis berpikir begitu Djarot Pangestu hantamkan tangan kanannya ke arah sang ratu. Yang diincarnya adalah payu dara sebelah kanan. Dan kurang ajarnya, serangan ganas itu sebenarnya hanyalah tipuan belaka karena maksud sesungguhnya adalah hendak meremas payu dara sang ratu yang menonjol besar dan kencang! Di samping itu, karena menganggap enteng orang, Djarot Pangestu hanya andalkan tenaga luar, sama sekali tidak mempergunakan tenaga dalam atau pun keluarkan ilmu batunya.
Sesaat lagi tangan yang kurang ajar itu akan sempat menyentuh payudara Sri Ratu, tiba-tiba sang Ratu angkat tangan kanannya. Dari telapak tangan Sri ratu menyambar asap putih. Djarot Pangestu berteriak kesakitan, tarik pulang tangannya dan melompat mundur. Ketika tangan kanannya diperhatikan ternyata sebagian kulitnya telah melepuh lecet!
Berubahlah paras Djarot Pangestu. Namun bersamaan dengan itu amarahnya juga menggelegak. Mulutnya merapal jejampai. Tangan kanan itu serta merta berubah menjadi batu hitam.
“Ratu keparat! Terima kematianmu!” teriak Djarot Pangestu. Tangan kanannya berkelebat menghantam ke arah kepala.
Dengan tenang Sri ratu miringkan tubuh ke kiri lalu tangan kanannya secepat kilat melesat ke atas dan tahu-tahu pergelangan tangan Djarot pangestu sudah kena dicekal!
Djarot Pangestu merasakan tangannya seperti berada dalam timbunan bara panas. Terdengar suara berderak! Lapisan batu hitam aneh yang ada di lengannya merengkah pecah lalu berjatuhan ke pasir pantai. Djarot berteriak sekali lagi dan sentakkan cekalan sang ratu. Begitu terlepas dia segera melompat jauh.
“Ilmu kesaktianku tidak mempan…!” kata Djarot Pangestu dalam hati. Nyalinya menjadi lumer. Namun tiba-tiba saja dia ingat akan sisa bawang putih yang ada dalam saku pakaiannya. Dia juga ingat pesan gurunya Raja Batu Di Batu. Dengan cepat bawang putih seruas itu dikeluarkannya dari saku lalu diacungkannya ke arah Sri ratu. Bersamaan dengan itu jari-jari tangannya meremas hancur bawang itu hingga kini bau tajam bawang putih menghampar di tempat itu.
Sri Ratu Ayu Lestari berseru tegang, sedang nenek Cempaka tercekat sementara Roro Merah dan Roro Biru serta merta merasakan tubuhnya bergetar dari lutut menggoyah. Bau bawang putih yang merasuk ke saluran pernafasan membuat tubuh mereka menjadi panas sedang dada mendenyut sakit luar biasa. Roro Merah dan Roro Biru menjerit keras, lalu terhuyung dan jatuh tergelimpang di pasir.
Sri Ratu dan Nenek Cempaka cepat tutup penciuman mereka dan berusaha keras bertahan.
Namun terlambat! Mereka telah terlebih dahulu mencium udara yang mengandung bawang putih, benda yang merupakan pantangan mematikan bagi orang-orang Kerajaan Laut Utara.
Di sekeliling tempat itu terdengar suara hiruk pikuk. Ternyata bawang putih yang berada di tangan Djarot Pangestu telah pula membawa pengaruh pada prajurit kerajaan yang terlihat seperti bayang-bayang itu. Mereka menjerit dan berserabutan seperti terkurung dalam ruangan yang terbakar. Lalu satu demi satu sosok tubuh mereka roboh ke pantai!
Sri Ratu Ayu Lestari angkat tangan kanannya. Maksudnya hendak melancarkan pukulan. Tapi dia terkejut sekali ketika dapatkan tangan kanannya tak mampu digerakkan lagi. Terasa berat.
Tangan itu ternyata telah lumpuh! Sungguh dahsyat akibat dari pantangan terhadap bawang putih itu.
Nenek Cempaka sendiri tidak bisa berbuat apa-apa pula. Kedua telinganya mengiang sakit dan pemandangan matanya mulai berkunang-kunang karena kedua matanya kini mengeluarkan air dan terasa perih.
Djarot Pangestu keluarkan suara tertawa penuh kemenangan. Dia melangkah menghampiri Sri Ratu sambil berkata, “Jika kau dan anak-anak buahmu bersedia hidup bersama dan melayaniku, kalian akan kubebaskan dari siksaan bawang putih yang mematikan ini!” Lalu Djarot Pangestu acungkan tangannya yang memegang bawang putih ke arah wajah Sri ratu.
Sang ratu terpekik. Tubuhnya menjadi limbung!
Selagi Djarot Pangestu mengacungkan bawang putih begitu rupa, Wiro yang saat itu masih tegak memegang Kapak Naga Geni 212 berpikir dan berkata dalam hati. “Kapakku jelas tidak mempan terhadap tubuh manusia keparat itu. Tapi untuk memusnahkan bawang putih yang dipegangnya masakan tidak bisa?!”
Berpikir sampai di situ Wiro keluarkan teriakan keras. Selagi Djarot Pangestu terbagi perhatian. Murid Sinto Gendeng telah berkelebat. Kapak Naga Geni 212 menderu mengiblatkan hawa panas, sinar menyilaukan dan suara seperti tawon mengamuk.
Djarot Pangestu menyeringai lebar. Dia biarkan saja tangannya masih mengacung begitu rupa karena sudah tahu kalau senjata sakti sang pendekar takkan mempan terhadap tubuhnya.
Namun dia sama sekali tidak menyangka kalau hantaman hawa panas dan sinar menyilaukan Kapak Naga Geni 212 membuat hancur dan musnah potongan kecil bawang putih yang ada dalam pegangan jari-jari tangannya.
Begitu bawang putih tersingkir lenyap tanpa bekas, Sri Ratu dan Nenek Cempaka segera kuasai diri masing-masing kembali. Roro Merah dan Roro Biru yang tergelimpang perlahanlahan tampak bergerak siuman. Begitu juga puluhan prajurit Kerajaan Laut Utara yang tadi berjatuhan tumpang tindih kini bangun lagi dan segera mengurung tempat itu!
Djarot Pangestu mengerang marah. Kini seluruh kemarahannya itu ditumpahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Manusia anjing kurap! Kulumat tubuhmu!” kertaknya. Mulutnya bergerak komat-kamit. Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai kaki mendadak berubah menjadi batu. Setiap gerakan dan langkah yang dibuatnya mengeluarkan suara seperti batu berderak!
Begitu kedua tangannya bergerak, Wiro segera menyingkir. Tapi celaka! Ada hawa aneh yang membuat kedua kakinya seperti dipantek. Dan hawa aneh ini keluar dari tubuh batu Djarot Pangestu!
“Kreteeeekkkk!!!”
Dua tangan batu Djarot Pangestu melesat ke depan. Wiro berusaha setengah mati untuk menghindar tapi sia-sia saja!
“Tobat, tamat riwayatku ditangan jahanam ini!” keluh Wiro. Lalu dia hanya tertegak pasrah.
Di saat itulah dari samping Sri Ratu Ayu Lestari datang dengan cepat. Tangan kanannya dengan telapak terkembang menggebuk ke arah bahu kiri Djarot Pangestu.
Terdengar suara meletup keras disertai menggebubunya asap hitam ke udara. Berbarengan dengan itu terdengar pula jeritan Djarot Pangestu. Dia terhuyung keras ke samping kanan.
Tubuhnya yang hitam membatu terdengar berderak lalu tampak retak-retak. Retakan-retakan itu satu demi satu jatuh ke pasir. Ketika lapisan batu hitam itu tanggal keseluruhannya, tampaklah tubuhnya mengeluas merah seperti dipanggang! Orang ini menjerit lagi lalu jatuh terduduk di pasir.
Sri Ratu Ayu Lestari melangkah menghampiri. “Ini dari ibuku!” teriak sang ratu. Kaki kanannya menendang perut Djarot Pangestu. Bukan saja tubuh lelaki itu terpental sampai tiga tombak, tapi perutnya pun tampak ambrol mengerikan.
Sri Ratu mendekati lagi. “Ini dari kakek dan nenekku!” katanya. Sekali lagi kaki kanannya menendang. Terdengar suara berderak ketika tulang dada Djarot Pangestu patah dan remuk.
“Ini dari kawanku!” teriak Ratu kembali. Tendangannya yang ketiga membabat pinggang Djarot pangestu. Tubuh Djarot terlipat dan terhempas ke pasir.
“Dan ini dariku!” teriak Sri Ratu lebih keras. Tangan kanannya yang memiliki kesaktian aneh karena adanya dua ruas tangan yang saling bersilang menggebuk ke arah batok kepala Djarot Pangestu.
“Praaaakkkk!!!”
Batok kepala itu bukan saja hancur mengerikan, tapi hancurnya juga mengepulkan asap hitam menggidikkan.
Sri Ratu Ayu Lestari jatuhkan diri berlutut, tekap wajahnya dengan kedua tangan dan berusaha keras menahan tangis. Nenek Cempaka mendatangi, membantu Sri Ratu berdiri.
Setelah hening sejenak, si nenek berbisik, “Saatnya kita kembali ke dasar laut, Sri ratu…”
Sri Ratu mengangguk perlahan lalu berpaling dan memandang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Untuk sesaat, keduanya saling bertatapan. Dan untuk pertama kalinya Wiro merasakan sanggup balas memandang mata yang bagus bening dan bersinar penuh wibawa itu.
“Nenek… kita harus membawa pemuda itu ke istana kembali…” berbisik Sri Ratu.
“Maksudmu Sri Ratu…?” tanya si nenek seraya memandang sekilas pada wiro.
“Kita harus mengundangnya. Dia memberikan bantuan besar yang sangat menentukan ketika dia menghancurkan bawang putih yang dipegang Djarot Pangestu….”
“Perintahmu akan saya sampaikan padanya. Namun setelah sampai di Istana nanti layanan apa yang akan kita berikan padanya?”
Dalam hatinya Sri Ratu Ayu Lestari mengeluh. “Pembantuku yang tua ini banyak sekali tanyanya. Apa dia tidak merasakan kalau aku merasa suka terhadap pemuda itu? Kedudukanku sebagai Ratu tak memungkinkan aku mengatakan kepada siapa pun secara terbuka. Ah… kupikir jauh lebih baik jadi manusia biasa saja…”
“Sri Ratu, kami mohon petunjukmu lebih lanjut…” terdengar suara Nenek Cempaka.
Sang ratu tersadar kalau barusan dia dibawa oleh perasaannya sendiri. Pada saat itu dilihatnya Wiro melangkah mendatangi. Sesaat sang pendekar menatap wajah sang ratu, lalu katanya,
“Sri Ratu… Aku ingin memulangkan baju merah yang bagus ini padamu. Tapi aku tak punya salinan lain. Terpaksa aku harus memintanya…”
“Pakaian itu memang untukmu saudara…”
“Terima kasih. Tapi aku harus mengembalikan ikat pinggang emas ini!” ujar Wiro pula.
“Itupun untukmu juga. Tak perlu dikembalikan,” berkata sang ratu.
Wiro menggeleng. “Aku tidak berani menerimanya Sri Ratu… Ini ikat pinggang yang sangat mahal. Orang sepertiku tidak pantas memakainya, apalagi memilikinya….”
Sri Ratu tidak berikan jawaban. Dia malah memegang lengan si nenek dan menariknya melangkah menuju ke dalam laut, diikuti oleh Roro Merah dan Roro Biru.
Sesaat Wiro tegak tertegun sambil pegangi ikat pinggang emas. Ketika air laut sampai ke bahu empat orang itu, Wiro mengejar seraya berseru, “Sri Ratu, ikat pinggang emas ini. Ambil kembali! Kau baik sekali! Tapi aku tidak berani menerimanya…!”
Dikejauhan sang Ratu hanya tampak tersenyum.
“Nenek Cempaka…!” Panggil Wiro.
Si nenek berpaling. Lalu terdengar seruannya. “Anak muda! Kalau kau ingin mengembalikan ikat pinggang emas itu, silakan mengantar sendiri ke Istana Kerajaan laut Utara!”
Wiro melengak. “Mengantar sendiri…?” ujarnya. Dia jadi bingung. “Apakah totokan aneh itu masih melekat di punggungku…?” dia bertanya-tanya sendiri. Di depan sana keempat orang itu hanya kelihatan tinggal kepala saja. Ketika empat kepala itu lenyap di bawah permukaan air laut, akhirnya Wiro pun melompat menghamburkan tubuhnya ke dalam laut.
Ternyata totokan sakti Nenek Cempaka masih di punggungnya. Dan ini yang membuatnya bisa bernafas dan melihat seperti biasa di dalam laut. Serta merta Wiro melesat di dalam air menyusul keempat orang menuju istana Ratu Laut Utara.
Tangan itu ternyata telah lumpuh! Sungguh dahsyat akibat dari pantangan terhadap bawang putih itu.
Nenek Cempaka sendiri tidak bisa berbuat apa-apa pula. Kedua telinganya mengiang sakit dan pemandangan matanya mulai berkunang-kunang karena kedua matanya kini mengeluarkan air dan terasa perih.
Djarot Pangestu keluarkan suara tertawa penuh kemenangan. Dia melangkah menghampiri Sri Ratu sambil berkata, “Jika kau dan anak-anak buahmu bersedia hidup bersama dan melayaniku, kalian akan kubebaskan dari siksaan bawang putih yang mematikan ini!” Lalu Djarot Pangestu acungkan tangannya yang memegang bawang putih ke arah wajah Sri ratu.
Sang ratu terpekik. Tubuhnya menjadi limbung!
Selagi Djarot Pangestu mengacungkan bawang putih begitu rupa, Wiro yang saat itu masih tegak memegang Kapak Naga Geni 212 berpikir dan berkata dalam hati. “Kapakku jelas tidak mempan terhadap tubuh manusia keparat itu. Tapi untuk memusnahkan bawang putih yang dipegangnya masakan tidak bisa?!”
Berpikir sampai di situ Wiro keluarkan teriakan keras. Selagi Djarot Pangestu terbagi perhatian. Murid Sinto Gendeng telah berkelebat. Kapak Naga Geni 212 menderu mengiblatkan hawa panas, sinar menyilaukan dan suara seperti tawon mengamuk.
Djarot Pangestu menyeringai lebar. Dia biarkan saja tangannya masih mengacung begitu rupa karena sudah tahu kalau senjata sakti sang pendekar takkan mempan terhadap tubuhnya.
Namun dia sama sekali tidak menyangka kalau hantaman hawa panas dan sinar menyilaukan Kapak Naga Geni 212 membuat hancur dan musnah potongan kecil bawang putih yang ada dalam pegangan jari-jari tangannya.
Begitu bawang putih tersingkir lenyap tanpa bekas, Sri Ratu dan Nenek Cempaka segera kuasai diri masing-masing kembali. Roro Merah dan Roro Biru yang tergelimpang perlahanlahan tampak bergerak siuman. Begitu juga puluhan prajurit Kerajaan Laut Utara yang tadi berjatuhan tumpang tindih kini bangun lagi dan segera mengurung tempat itu!
Djarot Pangestu mengerang marah. Kini seluruh kemarahannya itu ditumpahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Manusia anjing kurap! Kulumat tubuhmu!” kertaknya. Mulutnya bergerak komat-kamit. Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai kaki mendadak berubah menjadi batu. Setiap gerakan dan langkah yang dibuatnya mengeluarkan suara seperti batu berderak!
Begitu kedua tangannya bergerak, Wiro segera menyingkir. Tapi celaka! Ada hawa aneh yang membuat kedua kakinya seperti dipantek. Dan hawa aneh ini keluar dari tubuh batu Djarot Pangestu!
“Kreteeeekkkk!!!”
Dua tangan batu Djarot Pangestu melesat ke depan. Wiro berusaha setengah mati untuk menghindar tapi sia-sia saja!
“Tobat, tamat riwayatku ditangan jahanam ini!” keluh Wiro. Lalu dia hanya tertegak pasrah.
Di saat itulah dari samping Sri Ratu Ayu Lestari datang dengan cepat. Tangan kanannya dengan telapak terkembang menggebuk ke arah bahu kiri Djarot Pangestu.
Terdengar suara meletup keras disertai menggebubunya asap hitam ke udara. Berbarengan dengan itu terdengar pula jeritan Djarot Pangestu. Dia terhuyung keras ke samping kanan.
Tubuhnya yang hitam membatu terdengar berderak lalu tampak retak-retak. Retakan-retakan itu satu demi satu jatuh ke pasir. Ketika lapisan batu hitam itu tanggal keseluruhannya, tampaklah tubuhnya mengeluas merah seperti dipanggang! Orang ini menjerit lagi lalu jatuh terduduk di pasir.
Sri Ratu Ayu Lestari melangkah menghampiri. “Ini dari ibuku!” teriak sang ratu. Kaki kanannya menendang perut Djarot Pangestu. Bukan saja tubuh lelaki itu terpental sampai tiga tombak, tapi perutnya pun tampak ambrol mengerikan.
Sri Ratu mendekati lagi. “Ini dari kakek dan nenekku!” katanya. Sekali lagi kaki kanannya menendang. Terdengar suara berderak ketika tulang dada Djarot Pangestu patah dan remuk.
“Ini dari kawanku!” teriak Ratu kembali. Tendangannya yang ketiga membabat pinggang Djarot pangestu. Tubuh Djarot terlipat dan terhempas ke pasir.
“Dan ini dariku!” teriak Sri Ratu lebih keras. Tangan kanannya yang memiliki kesaktian aneh karena adanya dua ruas tangan yang saling bersilang menggebuk ke arah batok kepala Djarot Pangestu.
“Praaaakkkk!!!”
Batok kepala itu bukan saja hancur mengerikan, tapi hancurnya juga mengepulkan asap hitam menggidikkan.
Sri Ratu Ayu Lestari jatuhkan diri berlutut, tekap wajahnya dengan kedua tangan dan berusaha keras menahan tangis. Nenek Cempaka mendatangi, membantu Sri Ratu berdiri.
Setelah hening sejenak, si nenek berbisik, “Saatnya kita kembali ke dasar laut, Sri ratu…”
Sri Ratu mengangguk perlahan lalu berpaling dan memandang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Untuk sesaat, keduanya saling bertatapan. Dan untuk pertama kalinya Wiro merasakan sanggup balas memandang mata yang bagus bening dan bersinar penuh wibawa itu.
“Nenek… kita harus membawa pemuda itu ke istana kembali…” berbisik Sri Ratu.
“Maksudmu Sri Ratu…?” tanya si nenek seraya memandang sekilas pada wiro.
“Kita harus mengundangnya. Dia memberikan bantuan besar yang sangat menentukan ketika dia menghancurkan bawang putih yang dipegang Djarot Pangestu….”
“Perintahmu akan saya sampaikan padanya. Namun setelah sampai di Istana nanti layanan apa yang akan kita berikan padanya?”
Dalam hatinya Sri Ratu Ayu Lestari mengeluh. “Pembantuku yang tua ini banyak sekali tanyanya. Apa dia tidak merasakan kalau aku merasa suka terhadap pemuda itu? Kedudukanku sebagai Ratu tak memungkinkan aku mengatakan kepada siapa pun secara terbuka. Ah… kupikir jauh lebih baik jadi manusia biasa saja…”
“Sri Ratu, kami mohon petunjukmu lebih lanjut…” terdengar suara Nenek Cempaka.
Sang ratu tersadar kalau barusan dia dibawa oleh perasaannya sendiri. Pada saat itu dilihatnya Wiro melangkah mendatangi. Sesaat sang pendekar menatap wajah sang ratu, lalu katanya,
“Sri Ratu… Aku ingin memulangkan baju merah yang bagus ini padamu. Tapi aku tak punya salinan lain. Terpaksa aku harus memintanya…”
“Pakaian itu memang untukmu saudara…”
“Terima kasih. Tapi aku harus mengembalikan ikat pinggang emas ini!” ujar Wiro pula.
“Itupun untukmu juga. Tak perlu dikembalikan,” berkata sang ratu.
Wiro menggeleng. “Aku tidak berani menerimanya Sri Ratu… Ini ikat pinggang yang sangat mahal. Orang sepertiku tidak pantas memakainya, apalagi memilikinya….”
Sri Ratu tidak berikan jawaban. Dia malah memegang lengan si nenek dan menariknya melangkah menuju ke dalam laut, diikuti oleh Roro Merah dan Roro Biru.
Sesaat Wiro tegak tertegun sambil pegangi ikat pinggang emas. Ketika air laut sampai ke bahu empat orang itu, Wiro mengejar seraya berseru, “Sri Ratu, ikat pinggang emas ini. Ambil kembali! Kau baik sekali! Tapi aku tidak berani menerimanya…!”
Dikejauhan sang Ratu hanya tampak tersenyum.
“Nenek Cempaka…!” Panggil Wiro.
Si nenek berpaling. Lalu terdengar seruannya. “Anak muda! Kalau kau ingin mengembalikan ikat pinggang emas itu, silakan mengantar sendiri ke Istana Kerajaan laut Utara!”
Wiro melengak. “Mengantar sendiri…?” ujarnya. Dia jadi bingung. “Apakah totokan aneh itu masih melekat di punggungku…?” dia bertanya-tanya sendiri. Di depan sana keempat orang itu hanya kelihatan tinggal kepala saja. Ketika empat kepala itu lenyap di bawah permukaan air laut, akhirnya Wiro pun melompat menghamburkan tubuhnya ke dalam laut.
Ternyata totokan sakti Nenek Cempaka masih di punggungnya. Dan ini yang membuatnya bisa bernafas dan melihat seperti biasa di dalam laut. Serta merta Wiro melesat di dalam air menyusul keempat orang menuju istana Ratu Laut Utara.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar