Sabtu, 02 Januari 2010

Wiro Sableng Episode # 39 : Kelelawar Hantu

posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito

1

PANTAI UTARA tampak tenang di penghujung sore. Di sebuah teluk yang lengang sekelompok burung-burung kelelawar terbang kian ke mari. Sebentar mereka terbang ke arah selatan, sesekali melayang ke timur atau ke barat dalam bentuk kelompok yang selalu berubah-ubah dan setiap perubahan mempunyai daya tarik tersendiri.
Angin laut bertiup menebar udara lembab mengandung garam. Seorang tua berwajah angker tampak duduk di atas sebuah batu hitam berlumut di tepi pantai. Rambutnya yang putih panjang sebahu melambai-lambai diitup angin. Kedua matanya terpejam sedang sepasang tangan dirangkap di depan dada. Setiap saat ombak memecah di pantai dan menghantam batu berlumut itu, air laut muncrat membasahi tubuh dan pakaian bahkan terkadang sampai kemukaorang tua bertampang angker ini. Namun seperti tidak merasakan atau tidak perduli dia tetap saja duduk tidak bergerak. Sepasang matanya yang terpejam juga tidak berkedip sedikit pun dan rahangnya yang tertutup cabang bawuk liar terkatup rapat.
Di udara burung-burung kelelawar masih terus terbang berputar-putar. Di atas batu hitam berlumut, orang tua yang duduk seolaholah tengah bersemadi itu perlahan-lahan membuka kedua tangannya yang dirangkapkan di depan dada. Yang sebelah kiri diletakkan di atas paha kiri sedang yang kanan diangkat ke atas dengan telapak terbuka menghadap ke langit. Bibirnya yang berwarna hitam tampak bergetar. Agaknya ada sesuatu yang dilafatkannya. Mungkin sekali suatir mantera.
Ketika pergelangan tangannya diputarputar, di udara terjadi keanehan. Burungburung kelelawar yang tadinya melayang-layang di udara tanpa suara, kini terdengar mencuitcuit riuh sekali. Binatang-binatang itu tampak terbang kian ke mari secara liar berserabutan. Sesuatu telah membuat mereka berubah ganas!
Setelah beberapa lama hal itu berlangsung, orang tua di atas batu turunkan tangan kanannya
perlahan-lahan. Namun setengah jalan digerakkan cepat sepert orang menangkap sesuatu. Lalu tangan kanan yang kini tergenggam dipukulkan ke paha kanan. Dari puluhan burung kelelawar yang terbang hiruk pikuk di udara, salah seekor di antaranya mendadak tampak menukik ke bawah seperti dibetot oleh satu kekuatan yang tak terlihat! Binatang ini jatuh tepat di pangkuan orang tua yang duduk di atas batu.
Sesaat burung ini menggelepar-gelepar seperti hendak putus nyawa lalu diam tak berkutik seperti sudah mati! Hanya sepasang matanya saja tampak membeliak menyorotkan sinar menggidikkan, berwarna hitam pekat.
Sepasang mata orang tua di atas batu perlahan-lahan tampak bergerak dan membuka. Begitu terbuka kelihatanlah dua mata berwarna merah, membersitkan sinar aneh. Dua pasang mata saling bentrokan. Dua pasang mata saling beradu pandang. Yang pertama sepasang mata binatang, satunya lagi sepasang mata manusia yang menyala seperti bara!
Sekelumit senyum muncul di wajah orang tua itu. Senyuman ini justru membuat wajahnya jadi tambah menyeramkan.
“Bagus…”, terdengar si mata merah ini keluarkan suara di antara desauan angin laut.
“Kau telah datang menghadapku, Datuk Teluk Ular! Bersiaplah menerima perubahan wujud! Bersiaplah menjalankan perintah!”
Selesai berucap orang tua yang menyebut dirinya sebagai Datuk Teluk Ular itu genggam kepala kelelawar dengan tangan kirinya. Mulutnya berkomat-kamit membaca mantera. Bersamaan dengan itu sekujur tubuhnya bergetar seperti kedinginan. Tapi anehnya dari ubun-ubun serta tangan kiri yang menggenggam kepala burung kelelawar tampak keluar mengepul asap tipis berwarna kehitaman.
Begitu mantera selesai dibaca, asap hitam mulai menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Lalu perlahan-lahan orang tua bertampang angker itu buka genggaman tangan kirinya. Terlihat kepala kelelawar telah berubah menjadi satu makhluk mengerikan. Bukan saja kepala binatang menjadi dua kali lebih besar dari semula, tetapi telinganya pun menjadi lebih panjang sedang sepasang matanya yang tadinya berwarna hitam pekat, kini telah berubah menjadi merah menyala laksana bara api! Di ujung-ujung bibirnya mencuat keluar sepasang taring panjang yang sangat runcing! Sayapnya lebih lebar dan lebih panjang!
Datuk Telur Ular menyeringai puas.
“Wujudmu telah berubah. Apakah sudah siap menjalankan perintah?!”
Seperti manusia yang mendengar dan mengerti ucapan si orang tua, burung kelelawar di atas pangkuan itu membuka mulutnya dan keluarkan suara mencuit tiga kali berturutturut.
“Bagus!” ujar Datuk Teluk Ular.
“Kesiapanmu harus kuuji! Lihat burung-burung kelelawar yang beterbangan di udara sana. Tadi mereka adalah kawan-kawanmu. Tapi sekarang tidak. Mereka adalah musuh-musuhmu! Bunuh mereka semua! Jangan biar satupun hidup! Bunuh dengan taringmu, dengan hantaman sayapmu serta dengan kuku-kukumu yang panjang!”
“Cuit…cuit… cuit!” Burung kelelawar di atas pangkuan menyahuti. Sepasang matanya tampak lebih menyala dan keseluruhan wajah binatang ini membersitkan hawa pembunuhan!
“Lakukan!” Datuk Telur Ular memerintah.
Kelelawar yang tadi rebah itu melompat bangkit, buka mulutnya memperlihatkan barisan gigi dan taring yang runcing, rentangkan sayap lalu menguik keras. Dilain kejap werrr…binatang
ini melesat ke udara seperti anak panah. Sesaat kemudian dia sudah mencapai kelompok kelelawar yang masih terbang berputar-putar di atas teluk. Dan terjadilah satu hal yang hebat. Kelelawar yang telah berubah wujud ini menyerang puluhan kelelawar yang terbang di udara. Dengan ganas dia menggigit, merobek tubuh kawan-kawannya, mencakar dan menghantam dengan sayapnya. Kelompok burung-burung kelelawar itu menjadi kacau balau. Satu demi satu mereka melayang mati jatuh ke dalam laut. Ada yang mencoba melarikan diri namun tak sempat jauh karena kelelawar yang berubah wujud itu menyergap dengan cepat dan membunuhnya.
Hanya sebatas hitungan sembilan puluh, seluruh kelelawar yang ada di teluk itu akhirnya menemui ajal. Kelelawar pembunuh sesaat terbang berputar-putar dengan mulut, sayap dan kuku berlumuran darah. Ketika di bawah sana dilihatnya Datuk Teluk Ular mengangkat tangan memberi tanda, binatang ini segera menukik turun dan hinggap kembali di atas pangkuan sang datuk.
“Kau tidak mengecewakan! Benar-benar tidak mengecewakan! Kelelawarku, ketahuilah bahwa kau kini bukan termasuk mahluk binatang, bukan pula bangsa manusia! Kau tergolong dalam kelompok mahluk halus! Segolongan dengan para jin, iblis setan dan hantu! Karena itu kau akan kuberi nama Kelelawar Hantu!”
“Cuit — cuit — cuit —!” Kelelawar di atas pangkuan menyahuti.
“Tetapi ujianmu tadi masih belum cukup! Kau telah membunuh binatang sejenismu! Namun perlu kusaksikan bagaimana kau membunuh manusia!”
Kelelawar Hantu kedip-kedipkan kedua matanya yang merah seolah-olah siap menunggu perintah. Datuk Teluk Ular memandang berkeliling. Mulutnya menyeringai.
“Kau lihat tiga orang nelayan yang baru saja naik ke atas biduk di sebelah sana…? Bunuh mereka!”
“Cuit… cuit…cuit!”
Kelelawar Hantu melesat di atas permukaan laut menuju ke sebuah perahu yang ditumpangi tiga nelayan dan baru saja meninggalkan pantai. Korban pertama adalah nelayan tua yang duduk di sebelah belakang perahu. Lehernya menyemburkan darah begitu taring runcing Kelelawar Hantu, mengorek tenggorokannya dan memutus urat besar! Orang tua ini menjerit lalu roboh!
Anak nelayan tua ini yang duduk di bagian tengah perahu berseru kaget. Siapa yang akan menduga kalau seekor kelelawar aneh seram tiba-tiba muncul dan menyerang dengan ganas.
“Binatang celaka!” teriak nelayan muda itu dengan marah. Pendayung di tangan kanannya langsung dipukulkan pada kelelawar. Sesaat lagi pendayung kayu itu akan menghantam pecah kepala kelelawar, binatang ini tiba-tiba melesat ke samping lalu dengan cepat sekali membalik menyerang nelayan muda itu dengan hantaman sayap kirinya.
Wuut…!
Sayap menderu, sama derasnya dengan sambaran kayu pendayung. Hanya bedanya, kalau waktu diserang tadi kelelawar itu mampu mengelak, sebaliknya nelayan muda tidak bisa selamatkan diri.
Pelipis kanannya tampak rengkah. Pemuda malang ini langsung ambruk, terkulai di pinggiran perahu. Dari mulutnya terdengar suara erangan, lalu diam. Tak terdengar apaapa lagi pertanda ajalnya sudah sampai.
Nelayan ketiga, yang duduk di sebelah muka menjadi pusat pasi ketakutan. Dia jatuhkan diri dan berlindung di balik gulungan jala ketika kelelawar itu terbang berputar-putar dan menyerangnya dari arah kiri.
Wuutt!
Sayap kelelawar membabat laksana sambaran pedang. Nelayan itu menjerit ketakutan.
Dirasakannya telinga kanannya perih sekali. Ketika dirabanya ternyata daun telinganya telah putus! Ketakutan setengah mati nelayan ini segera menyambar pendayung dan mengayuh perahu itu kembali ke pantai. Tetapi kelelawar Hantu datang lebih cepat, Kali ini binatang itu datang lurus-lurus dari arah depan. Sayap terpentang, moncong terbuka lebur dan suara cuit-cuit keluar tak putus-putusnya dari mulutnya yang bercelemong darah!
Ketike kelelawar mencapai jarak sepejangkauan, nelayan itu lemparkan kayu pendayungnya. Namun lemparannya meleset.
“Cuit… cuit…” Kelelawar Hantu tampak ganas. Kini kaki-kakinya terulur ke depan seperti hendak mencengkeram. Nelayan jatuhkan dirinya sama rata dengan lantai perahu. Tangan kanannya menyambar gulungan jala. Sesaat lagi kelelawar itu sampai di depannya, nelayan ini lempar dan tebar jala ikannya ke atas. Kelelawar Hantu terjerat dan tergulung dalam jala ikan!
“Cuit… cuit… cuit…!”
Kaki, sayap dan taring bergerak kian kemari. Di lain kejap jala ikan yang kokoh itu robek berputusan. Begitu keluar dari dalam jala, binatang itu langsung menyerbu dan kali ini tidak memberi ampun. Cakaran kakikakinya merobek wajah nelayan yang malang itu. Darah mengucur mengerikan. Terdengar jerit sang nelayan, panjang mengenaskan. Kedua tangannya ditekapkan ke wajahnya yang hancur. Darah mengucur. Tak dapat menahan sakit, nelayan ini berteriak keras dan menghambur ke dalam laut. Tubuhnya mengapung sesaat lalu lenyap tenggelam ke dalam laut.
“Cuit… cuit… cuit!” kelelawar Hantu keluarkan suara melengking. Berputar tiga kali di atas perahu lalu melesat ke selatan menuju batu hitam berlumut dimana Datuk Teluk Ular menunggu dengan menyeringai puas.
“Luar biasa! Kau menghabisi tiga nelayan itu lebih cepat dari yang kuharapkan!” kata Datuk Ular sambil mengusap-usap punggung kelelawar yang hinggap di pangkuannya.
“Pekerjaan kita hari ini selesai. Kau ikut aku pulang ke rumah! Kita siap menunggu para tetamu yang bakal membawa harta dan uang! Ha… ha… ha…! Rezeki besar menunggu kita Kelelawar Hantu! Ha… ha… ha…!

2

SIANG ITU udara terasa panas walau di teluk turun hujan rintik-rintik dan angin bertiup keras. Penunggang kuda berbelangkon hitam berhias bintang perak yang disematkan di sebelah depan belangkon memandang seputar teluk. Laut… pantai dan pasir, ombak yang memecah, lalu deretan pohon-pohon kelapa diseling semak belukar liar. Sama sekali dia tidak melihat bangunan di sekitar situ.
“Petunjuk mengatakan ini adalah Teluk Ular. Orang yang kucari diam di sini. Tapi di mana? Tak ada bangunan. Tak ada sepotong manusia pun!”
Orang berkuda itu mengusap tengkuk tunggangannya sementara seekor kuda cadangan yang dibawanya tegak diam di sebelah kiri, hanya telinga binatang ini saja yang tampak bergerak-gerak. “Akan kuselidiki ke arah pedalaman sana…” Penunggang kuda itu memutuskan. Lalu dia memacu kuda tunggangannya melewati pepohonan kelapa, menerjang semak belukar pendek. Sekira sepeminuman teh dia menemui sebuah kampung kecil. Pasti kampung nelayan. Namun tak seorang pun ditemuinya di sana. Melihat keadaan kampung itu, tampaknya sudah sejak lama ditinggalkan penghuninya. Beberapa buah perahu kecil yang lapuk dimakan usia menggeletak di halaman rumah-rumah yang hampir roboh.
“Ke mana penghuni kampung ini… Tak ada orang, tak ada tempat bertanya!” Baru saja penunggang kuda ini berucap dalam hati begitu rupa tiba-tiba terasa ada angin menyambar di sisi kiri. Kuda cadangan meringkik keras. Berpaling ke kiri si pemilik kuda melihat di atas punggung kuda cadangannya telah duduk seorang lelaki tua tak dikenal, berpakaian rombeng penuh tambalan, menyandang sebuah tas yang terbuat dari tikar. Sebatang rokok kawung terselip di sela bibirnya. Orang tua tak dikenal ini hembuskan asap rokok kawungnya lalu menyeringai lebar pada lelaki berbelangkon hitam.
“Anak manusia berbelangkon dan berpakaian bagus, muncul dengan membawa dua ekor kuda tegap yang dapat berlari kencang! Kelihatannya kau tengah mencari-cari sesuatu atau seseorang. Apa atau siapa yang sedang kau cari heh…?”
“Pasti inilah orang yang kucari!” pikir si penunggang kuda. Hatinya gembira karena jauh-jauh datang akhirnya berhasil menjumpai orang yang dicari. “Orang tua, kau pasti Datuk Teluk Ular…”
Si tua berbaju rombeng kembali menyeringai dan kepulkan asap rokok kawungnya. Dia tidak menjawab perkataan orang melainkan balas bertanya: “Anak manusia, siapa dirimu dan datang dari mana…?”
“Aku Lor Ametung, Kepala Desa Babakan di Tanjung Selatan. Aku datang jauh-jauh mencarimu untuk meminta pertolongan.
“Hemmm… begitu?” ujar si baju rombent.
“Tapi kau keliru anak manusia!”
“Keliru bagaimana…?”
“Aku bukan Datuk Teluk Ular yang kau cari…!”
Lor Ametung jadi kaget dan menatap lama pada si orang tua yang duduk di punggung kuda miliknya. “Gerak-geriknya aneh, sikapnya jelas menunjukkan dia menyimpan kepandaian tinggi Mungkin sekali dia sengaja hendak menutupi kalau dirinya bukan Datuk Teluk Ular…Orang sakti selalu bersikap aneh! Akan kucoba sekali lagi!” Maka Lor Ametung kembali berkata. “Aku datang dari jauh. Tidak mungkin keliru kalau ini bukanlah Teluk Ular. Juga tidak mungkin keliru kalau kau adalah Datuk Teluk Ular, orang yang memiliki peliharaan seekor kelelawar sakti!”
“Kelelawar sakti! Ah…Sudah lama aku mendengar nama binatang itu. Lebih terkenal dengan sebutan Kelelawar Hantu. Bukan begitu …?”
“Benar. Dan kau, bukankah kau pemilik dan pemeliharanya?”
“Sudah kubilang. Kau keliru anak manusia! Aku bukan Datuk Teluk Ular. Aku bukan pemelihara segala macam burung atau kelelawar!”
“Jadi siapakah kau kalau begitu?”
“Aku adalah aku!”
Mendengar jawaban itu sekali lagi Lor Ametung menatap wajah si orang tua lekatlekat. Wajahnya kemudian berubah kecewa dan juga gusar.
“Kalau kau memang bukan Datuk Teluk Ular yang kucari, biarlah aku meneruskan perjalanan. Harap kau suka turun dari kudaku itu…!”
“Astaga!” si baju rombeng seperti baru sadar. “Aku duduk di atas kudamu rupanya! Betapa lancangnya diriku…” Dengan satu gerakan enteng orang tua berpakaian seperti pengemis itu melompat turun dan duduk pada batangan pohon kelapa tumbang dan tergeletak di tanah. Sambil duduk dia mengeluarkan bungkusan daun dari dalam tas tikarnya. Ternyata sebungkus nasi putih tanpa ikan. Tanpa menawarkan dan tanpa memandang ke kanan dan ke kiri dia mulai menyantap nasi putih itu!
Lor Ametung masih memperhatikan orang tua ini beberapa saat lalu akhirnya tinggalkan tempat itu.
Semakin jauh masuk ke pedalaman teluk, semakin rapat pohon-pohon kelapa yang tumbuh dan semakin lebat semak belukar yang menghalang. Deburan ombak di tepi pantai sudah tidak terdengar lagi. Desauan angin bersatu dengan gemerisik daun-daun pohon kelapa. Lor Ametung merasakan tenggorokannya kering dan haus sekali. Dia menyesali diri yang tidak membawa perbekalan air. Maka dia mendongak ke atas untuk mencari-cari pohon kelapa yang berbuah. Saat itulah tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan aneh terbuat dari kayu kasar, terletak di atas empat buah pohon kelapa yang tumbuh berdekatan.
“Hanya orang berkepandaian tinggi mampu diam di atas pohon kelapa setinggi itu. Sama sekali tidak ada tangga! Pasti inilah tempat kediaman Datuk Teluk Ular! Ah, bagaimana aku akan menemuinya. Naik ke atas sana tentu aku tak mampu. Satu-satunya jalan adalah berteriak… Maka Lor Ametung buka mulut lebar-lebar dan berseru: “Da…”
Seruannya serta merta putus ketika entah dari mana munculrya tiba-tiba melesat seekor burung besar, menderu ke arahnya. Merasa binatang itu sengaja menyerangnya, Lor Ametung cepat melompat dari punggung kuda, berguling di tanah dan berlindung di balik pohon kelapa. Ketika memandang ke depan, yang disangkanya burung tadi ternyata adalah seekor kelelawar aneh berkepala besar bersayap lebar. Dan ternyata kelelawar itu bukan menyerang dirinya, melainkan menyerang kuda yang ditungganginya!
Lor Ametung menyaksikan hal mengerikan dan sulit dipercaya. Sayap lebar kelelawar itu menghantam kepala kuda tunggangannya dengan keras hingga kuda itu meringkik tinggi, roboh tersandar ke sebatang pohon kelapa, melosoh ke tanah dengan bagian kening remuk!
Kelelawar besar melayang berputar dan kembali menyerbu kuda yang sedang meregang nyawa. Kali ini sasarannya adalah leher kuda. Sekali mencengkeram dengan mulutnya yang bertaring panjang dan runcing, putuslah urat besar di leher kuda dan darah bersemburan! Lor Ametung merasakan tengkuknya dingin dan wajahnya pucat ketakutan ketika dilihatnya kelelawar ganas tadi hinggap di serumpun semak belukar, menatap dengan sepasang matanya yang merah, mengeluarkan suara mencuit keras lalu terbang ke arahnya!
“Matilah aku!” jerit Lor Ametung dalam hati. Di balik pohon kelapa besar dia jatuhkan diri, berlindung mencari selamat.
Di saat itulah dia seperti mendengar ada suara dari atas pohon.
“Kelelawarku, cukup kudanya saja! Kau kembali ke tempatmu, biar aku menemui tetamu dari jauh itu… ”
“Cuit… cuit… cuit…!”
Kelelawar hitam bermata merah mencuit tiga kali, melayang berputar lalu melesat ke arah bangunan kayu di atas pohon kelapa. Di saat yang sama sesosok tubuh melayang turun dari bangunan kayu itu dan tegak tepat di hadapan Lor Ametung.
Lor Ametung yang merunduk di akar pohon kelapa, merasa ada orang tegak di hadapannya pelahan-lahan angkat kepala. Dan dia jadi terhenyak di tanah saking takutnya ketika melihat wajah sosok tubuh yang tegak di hadapannya. Dia tidak tahu apakah tengah berhadapan dengan setan atau jin laut. Bahkan setan atau jin laut sekalipun tidak memiliki tampang seangker wajah yang disaksikannya saat itu!
“Berlutut di hadapanku! Jangan menjelepok tolol seperti itu!”
Manusia berwajah seram di depan Lor Ametung membentak. Dengan tubuh gemetar Lor Ametung bangkit dari duduknya lalu berlutut di hadapan si muka angker.
“Aku adalah penguasa Teluk Ular! Kau berani datang kemari apakah minta mati?!”
Meski takut setengah mati tapi diam-diam Lor Ametung merasa gembira juga karena jika si wajah angker mengatakan dirinya penguasa Teluk Ular, tidak dapat tidak dia pastilah Datuk Teluk Ular itu!
“Maafkan diriku…” kata Lor Ametung. “Aku datang dari jauh bukan untuk mengganggu ketenteramanmu, apalagi menantang kekuasaanmu. Jika kau adalah Datuk Teluk Ular, manusia sakti pemilik Kelelawar Hantu, maka aku datang padamu untuk minta tolong!”
“Katakan siapa namamu. Datang dari mana. Pertolongan macam apa yang kau minta dan apakah datang membawa bekal…?!”
“Namaku Lor Ametung. Aku Kepala Desa Babakan di selatan. Datang menemui Datuk untuk minta tolong menghapus malu dan membalaskan dendam kesumat terhadap seorang Perwira Kerajaan yang telah menipu dan mencemarkan nama keluargaku. Mengenai bekal aku memang sudah mempersiapkannya,.“
“Baik. Katakan apa bekal yang kau bawa?!”
“Seekor kuda jantan… “
“Anjing busuk! Siapa perlukan kuda!”
bentak si wajah angker bermata merah yang memang bukan lain adalah Datuk Teluk Ular.
“Harap dimaafkan. Kalau Datuk tidak berkenan akan kuda itu. aku ada membawa bekal lain. Dua macam perhiasan dan lima keping perak… “
“Itu boleh juga! Serahkan semuanya padaku! Cepat!” Datuk Ular gosok-gosok kedua telapak tangannya sedang sepasang matanya yang merah melotot berputar-putar.
Dari balik pinggang celananya Lor Ametung keluarkan sebuah kantong kain lalu menyerahkannya pada sang Datuk. Datuk Teluk Ular periksa isi kantong, menyeringai sekilas lalu masukkan kantong itu ke balik pakaiannya.
“Sekarang katakan pertolongan apa yang kau inginkan!”
Lor Ametung lalu menuturkan.
“Satu tahun silam, seorang Perwira Kerajaan secara paksa meminta agar puteri tunggalku bernama Ranawarti bersedia dijadikan calon istrinya. Aku menolak karena selain Perwira itu sudah lanjut usianya, dia juga telah memiliki dua istri. Namun diriku sekeluarga diancam. Karena tak berdaya menghadapi ancaman dan kekuasaannya, aku dan istriku terpaksa mengabulkan permintaannya.
Begitu permintaan kukabulkan, Ranawarti langsung diboyongnya ke Kotaraja. Padahal sesuai perjanjian puteriku itu akan dikawin sesuai adat dan agama. Ternyata Ranawarti hanya dijadikan peliharaan. Sama sekali tidak ada pesta perkawinan seperti yang dijanjikan. Dan lebih malangnya lagi, ketika puteriku hamil enam bulan, Ranawarti dipulangkan dan ditinggalkan begitu saja…
Perwira itu kemudian kawin dengan gadis lain yang masih keponakanku. Pesta besar perkawinan akan dilangsungkan minggu depan “Lalu apa maumu sekarang ini?” bertanya Datuk Teluk Ular,
“Aku ingin agar Perwira itu dibunuh!” jawab Lor Ametung.
“Kau mampu melakukan sendiri dengan tanganmu!”
Lor Ametung gelengkan kepala. “Saya sudah mencoba Datuk. Dengan cara kasar dan cara halus Semuanya gagal. Perwira itu memiliki dua orang pengawal berkepandaian tinggi sedang dia sendiri kabarnya menyimpan ilmu kebal! Malah aku mendengar berita, dia akan menyuruh tangkapku…”
“Nasibmu memang jelek Lor Ametung. Siapa nama Perwira yang doyan daun muda itu?”
“Namanya Haryo Tulus Neso, Datuk… “
“Bagus! Kau boleh pergi sekarang. Perwira itu akan menemui ajal pada malam perkawinannya! Di pelaminan!”
“Terima kasih Datuk… Aku mohon diri.”
“Hait! tunggu dulu!” seru Datuk Teluk Ular.
“Ada satu pertanyaan yang harus kau jawab. Kau datang kemari seorang diri atau membawa teman?!”
“ Aku datang sendirian Datuk.”
“Jangan dusta!” bentak Datuk Teluk Ular dengan mata membeliak marah dan garang.
“Aku tidak berdusta Datuk. Aku benarbenar datang sendirian…” berkata Lor Ametung.
Sang Datuk menatap lekat-lekat. Hidungnya kembang kempis. Lalu dia bertanya: “Kau suka merokok Lor Ametung?”
“Tidak,” jawab Lor Ametung seraya menggeleng.
“Kenapa pakaianmu berbau rokok…?”
Lor Ametung mendekatkan bahu kanannya ke hidung. Memang pakaian itu berbau rokok. Sesaat dia merasa heran, kemudian dia ingat.
“Aku bertemu seseorang di tengah jalan waktu menuju kemari… “
“Aku sudah menduga! Di mana orang itu sekarang?!”
“Aku tidak tahu Datuk. Waktu kutinggalkan dia asyik menyantap nasi bungkus… “
“Bagaimana ciri-ciri orang itu?!” tanya Datuk Teluk Ular.
“Seorang tua bermuka buruk keriput.
Pakaiannya rombeng dan penuh tambalan “Dia membawa tas terbuat dari tikar…?”
“Betul sekali Datuk…”
“Dan dia merokok kawung…?”
“Benar Datuk…”
Sekilas Lor Ametung melihat perubahan pada wajah Datuk yang angker itu.
“Aku boleh pergi sekarang Datuk?” bertanya Lor Ametung.
Sang Datuk hanya anggukkan kepala. Lor Ametung naik ke punggung kuda dan tinggalkan tempat itu. Untuk beberapa lamanya Datuk Teluk Ular masih tegak di situ. Derap kaki kuda tunggangan Lor Ametung makin lama makin jauh hingga akhirnya tak terdengar lagi. Datuk Teluk Ular mengusap wajahnya yang seram, memandang ke arah kejauhan. Dalam hatinya ada serangkai ucapan.
“Ah, ternyata dia masih hidup. Bagaimana hal ini bisa terjadi. Bukankah dulu jelas-jelas dia sudah mati masuk ke dalam jurang? Atau mungkin setannya yang muncul gentayangan…?”
Datuk Teluk Ular memandang berkeliling. Meneliti hampir setiap pohon dan setiap semak belukar di sekitarnya. Tak tampak seorang manusia atau seekor binatangpun, kecuali kuda milik Lor Ametung yang tadi mati dibunuh Kelelawar Hantu. Hatinya agak lega sedikit. Setelah sekali lagi memandang berkeliling. Datuk Teluk Ular melompat ke atas dan masuk ke dalam rumah kayu di puncak empat pohon kelapa.
Di balik semak belukar lebat di bawah sebatang pohon kelapa, tak tertembus oleh pandangan mata tajam Datuk Teluk Ular, sesosok tubuh berpakaian rombeng bertambaltambal duduk menjelepok di tanah seenaknya.
Sebatang rokok kawung terselip di sela bibir, tetapi sejak tadi sengaja tidak dinyalakan. “Jika kuturutkan hawa amarah, ingin aku membunuhnya detik ini juga. Tapi aku harus menunggu. Harus melihat sendiri bahwa dia memang benar-benar telah menguasai mantera jahat itu. Burung kelelawar tadi…Sulit aku mempercayainya. Aku harus menunggu dan bersembunyi sampai minggu depan. Sampai dia melaksanakan perintah untuk membunuh Haryo Tulus Reso… Mudah-mudahan saja penciumannya tidak terlalu tajam hingga tidak dapat mencium bau busuk pakaianku rombengku ini…Hik… hik…hik “ Orang tua berbaju rombeng cekikikan sendiri.

3

MALAM MINGGU Legi, udara di atas teluk nampak mendung. Meskipun rembulan memancarkan sinarnya dengan terang namun tiada artinya karena hampir setiap saat awan tebal bergerak menutupinya. Angin laut terasa menembus sangat mencucuk tulang.
Di kawasan hutan kelapa dimana terletak bangunan kayu tempat kediaman Datuk Teluk Ular, keadaan sesunyi di pekuburan. Di luar gelap sekati. Di dalam rumah yang terletak di atas empat pohon kelapa itu sebuah pelita menyala berkelap kelip. Karena bangunan kayu itu tidak seberapa besar maka nyala pelita cukup menerangi satu-satunya ruangan yang ada.
Di salah satu sudut ruangan, dimana terdapat sepotong kayu melintang, tampak Kelelawar Hantu bergantung tidak bergerak. Sayapnya kuncup ke tubuh, kepalanya tegak lurus memandang ke arah Datuk Teluk Ular yang duduk di atas sehelai tikar yang terbuat dari kulit ular. Di hadapan sang Datuk terletak sebuah pendupaan dengan bara menyala serta asap menebar bau kemenyan. Datuk Teluk Ular duduk tak bergerak, mata terpejam dan tangan di depan dada.
Setelah beberapa saat berlalu dalam kesunyian, bibir sang Datuk tampak bergerak.
“Kelelawar Hantu, apakah kau sudah siap menjalankan perintah?!”
Binatang yang tergantung di kayu kering di sudut ruangan kembangkan kedua sayapnya. Matanya tampak bersinar dan dari mulutnya terdengar suara mencuit tiga kali berturutturut. “Kalau kau sudah siap maka dengar baikbaik. Malam ini kau berangkat ke Kotaraja.
Kotaraja… Kotaraja… Kotaraja…Di sana seorang Perwira Kerajaan tengah mengadakan pesta perkawinan. Namanya Haryo Tulus Reso. Haryo Tulus Reso… Haryo Tulus Reso. Datangi pendopo Kencana Wungu. Bunuh… bunuh…bunuh Haryo Tulus Reso… Haryo Tulus Reso…Sudah kau dengar dan sudah jelas?”
“Cuit… cuit… cuit…”
“Berangkat sekarang. Kau harus kembali sebelum hitungan ketiga ribu!”
“Cuit… cuit… cuit…”
Kelelawar Hantu mengepakkan sayapnya tiga kali. Tubuhnya yang tergantung kaki ke atas kepala ke bawah melesat menembus lubang angin di dinding ruangan. Di saat itu pula pelita di dalam bangunan padam hingga keadaan di situ gelap gulita. Hanya arang menyala dalam pendupaan yang mengeluarkan cahaya redup.
Datuk Teluk Ular kembali rangkapkan kedua tangan di depan dada, pejamkan mata, membaca mantera pendek lalu menghitung mulai dari satu.
Ketika dia sampai ke hitungan yang ke empat puluh, sepasang matanya bergerak. Ada cahaya tiba-tiba menerangi ruangan itu dan menembus kelopak matanya. Perlahan-lahan Datuk Teluk Ular buka kedua matanya. Dadanya berdebar. Pandangannya terpaku pada pelita di hadapannya. Jelas tadi pelita itu padam sewaktu Kelelawar Hantu berkelebat pergi. Mengapa kini tahu-tahu pelita itu kembali menyala! Siapa yang menghidupkannya?! Di saat yang sama hidung sang Datuk mencium bau rokok kawung!
Datuk Teluk Ular hembuskan napas panjang.
“Kalau kau memang sudah hadir di sini, mengapa tidak segera masuk? Di luar gelap dan dingin…”
Baru saja sang Datuk berkata begitu, pintu bangunan yang tadi terkunci tiba-tiba tampak terbuka dengan mengeluarkan suara berkerekatan. Pintu sudah terpentang lebar. Di luar tampak kegelapan menghitam. Tapi tidak seorang pun bertindak masuk!
“Masuklah dengan aman! Tidak ada peralatan dan senjata rahasia di tempat ini!” berseru Datuk Teluk Ular.
Sesosok tubuh muncul di ambang pintu. Ada nyala api rokok kawung di sudut bibirnya. Lalu tubuh ini dengan mengeluarkan suara angin berkesiuran, berkelebat masuk ke dalam, langsung duduk di hadapan Datuk Teluk Ular.
“Tujuh tahun tidak bertemu, kau masih tetap seperti dulu-dulu juga Daeng Ponto
Jene…” berkata Datuk Teluk Ular sambil menatap tak berkesip pada orang yang duduk di hadapannya…Orang yang ditegur tertawa mengekeh dan, usap-usap wajahnya.
“Teman-teman lama bilang aku awet muda Gila! Padahal muka buruk ini sudah memiliki seribu keriput! Rambut sudah lama putih, pandangan mata sudah mulai kabur dan pendengaran sudah muhi tumpul. Aku sudah berubah sangat tua Datuk Teluk Ular. Sesuai dengan bertambah tuanya bumi Tuhan ini…”
Datuk Teluk Ular angguk-anggukkan kepala mendengar ucapan sang tamu. Tamu yang datang kembali membuka mulut.
“Jika kau hitung tambalan di bajuku yang rombeng ini, semua berjumlah tujuh puluh dua. Nah sebegitu pula banyaknya usia tubuh keropos ini. Hik… hik… hik!”
“Tujuh tahun tidak bertemu, kalau malam ini kau datang tentu banyak cerita yang hendak kita tuturken bersama. Tapi rasa-rasanya, aku mendapat firasat, kau hanya ingin membicara kan satu dua hal penting saja. Bukan begitu saudaraku Daeng Ponto Jene…?”
“Tepat sekali saudara lamaku yang kini bergelar Datuk Teluk Ular. Tepat sekali…Apakah kau punya waktu untuk itu?”
“Sampai pagi besok atau sampai pagi lusa aku bersedia berbincang-bincang denganmu.
Hanya saja untuk menghormat tetamu, aku harus memasak air, menyeduh kopi. Kopi tubruk tanpa gula aren, bukankah itu kesenanganmu Daeng…?”
“Ah, kau terlalu repot. Tapi kalau memang ada minuman tentu saja mulut ini tidak menolak. Apalagi kopi hangat buatanmu. Hik…hik… hik…”
Datuk Teluk Ular mengambil sebatang ranting kayu panjang yang terletak di sampingnya. Dengan kayu ini dikaitnya pegangan dua buah cangkir tanah lalu diletakkannya di atas pendupa-an besar. Dengan ujung kayu pula dia mengait sebuah ceret terbuat dari tanah. Dari dalam ceret dituangkannya air putih ke dalam dua cangkir tanah. Lalu sebuah kantong berisi bubuk kopi dikeluarkannya, dimasukkan ke dalam dua buah cangkir. Tak selang berapa lama air di dalam dua buah cangkir tampak mendidih. Harumnya bau kopi menebar dalam ruangan itu.
“Apakah kau masih suka makan sirih Daeng…?” bertanya Datuk Teluk Ular.
“Ah, sudah sejak beberapa tahun silam aku tidak lagi menyirih. Kini aku lebih suka merokok kawung. Menyirih kukira adalah pekerjaan orang-orang perempuan …” sahut Daeng Ponto Jene pula.
Datuk Teluk Ular tertawa hambar. “Aku tak pernah dapat melupakan sirih, tembakau campur pinang dan kapur. Kalau kau tak mau mengawani, biarlah aku makan sirih sendirian.”
Lalu Datuk itu mengambil sebuah kotak kayu berisi daun sirih lengkap dengan kapur, tembakau dan pinang. Dengan tenang dia mulai meracik sirih sementara Daeng Ponto Jene, orang tua berpakaian rombeng itu memperhatikannya dengan sabar. Setelah beberapa kali mengunyah sirihnya. Datuk Teluk Ular mempersilahkan tetamunya meneguk kopi hangat yang telah tersedia.
“Manusia cerdik, licik dan jahat!” membatin Daeng Ponto Jene. “Dikiranya aku tidak tahu kalau kopi itu berisi racun mematikan! Dia sendiri telah memagar diri dengan sirih yang dimakannya! Dasar manusia jahanam…!”
“Daeng, jangan ditunggu sampai kopinya menjadi dingin,” Datuk Teluk Ular berkata.
Karena cangkir tanah itu masih terjerang di atas pendupaan berbara merah, dengan sendirinya berada dalam keadaan panas sekali. Tetapi begitu dipersilahkan tanpa ragu-ragu Daeng Ponto Jene ulurkan tangan mengambilnya lalu mendekatkan bibir cangkir ke bibirnya. Tapi baru setengah jalan tiba-tiba cangkir tanah itu pecah dengan mengeluarkan suara keras. Kopi dan hancuran cangkir jatuh berantakan di lantai!
Berubah paras Datuk Teluk Ular tapi sebaliknya orang tua berpakaian rombeng tersenyum senyum lalu berkata: “Sungguh sial nasibku malam ini. Kalau bukan rejeki, sudah di depan mulut tak dapat kuminum!”
“Kau boleh mengambil kopi dalam cangkir satu lagi,” berkata Datuk Teluk Ular.
“Terima kasih Datuk. Aku tak mau jadi tamu yang dianggap rakus. Kau silahkan meneguk kopi bagianmu…” jawab Daeng Ponto Jene.
Dalam hatinya Datuk Teluk Ular membatin:
“Manusia satu ini rupanya tahu kalau kopi itu beracun. Karena itu dia sengaja memecah cangkir dengan tenaga dalamnya…”
“Aku tuan rumah yang tak tahu diri. Minum kopi sendirian…” ujar Datuk Teiuk Ular lalu dengan tangan kirinya dia menjangkau cangkir tanah di atas pendupaan dan cegluk… cegluk…dia meneguk kopi panas itu sampai habis. Sambil menyeringai dia letakkan cangkir kosong di lantai, lalu gosok-gosokkan kedua telapak tangannya satu sama iain.
“Sekarang Daeng, ceritakan apa maksud penting kunjunganmu kemari.”
“Maksud pertama hanya mengingatkan peristiwa tujuh tahun lalu di tanah Bugis. Waktu kau membokongku dari belakang lalu melemparkanku ke dalam jurang Patompo. Itu kau lakukan semata-mata karena kau inginkan Badik Bintang Bulan milik guru yang dipercayakan padaku. Apakah kau masih ingat peristiwa itu Datuk?”
Datuk Teluk Ular tidak segera menjawab. Daeng Ponto Jene tak hendak mendesak. Dia menunggu sampai akhirnya sang Datuk membuka mulut.
“Aku masih ingat Daeng. Dan benar-benar aku menyesal. Entah mengapa aku sampai tergoda oleh bujuk rayu setan saat itu dan tega mencelakaimu. Setelah kau kujerumuskan ke dalam jurang aku menyesal. Aku berusaha melakukan sesuatu untuk menolongmu dan menuruni jurang. Tapi sulit sekali mencapai dasar jurang. Aku menunggu sampai keesokan pagi kalau-kalau kau muncul. Tapi itu tak terjadi. Aku bersyukur kalau nyatanya kau selamat. Aku mohon maafmu atas kekhilafanku itu Daeng…”
Daeng Ponto Jene mengangguk. “Aku datang kemari bukan untuk meminta maafmu Datuk karena peristiwa itu sudah kulupakan Hanya perlu kau jawab pertanyaanku. Apakah Badik Bintang Bulan masih berada di tanganmu?”
“Senjata itu masih padaku Daeng. Kurawat baik-baik.” Menjawab Datuk Teluk Ular.
“Sebelum guru meninggal, beliau berpesan agar aku mencarimu untuk mengambil badik keramat itu, membawanya kembali ke tanah Bugis dan menguburkannya di samping makamnya. Tak satu orang pun boleh memilikinya. Tidak kau, tidak juga aku atau orang lain atau murid-muridnya yang lain…”
Datuk Telur Ular termenung.
“Kalau memang begitu pesan guru, aku tidak berani menolak,” katanya. Lalu dia bangkit berdiri dan melompat ke atas atap. Tangannya menjang kau sesuatu yang terselip di balik kayu kaso. Ketika kemudian dia turun dan meletakkan benda itu di hadapan Daeng Ponto Jene, ternyata benda itu adalah sebilah badik lengkap dengan sarungnya.
Pada hulu dan sarung senjata ini terdapat ukiran bulan bersanding dengan bintang. Daeng Ponto Jene melirik ke arah badik. Sekali lihat saja, dia sudah mengetahui kalau senjata itu adalah badik Bulan Bintang palsu!
Tapi berpura-pura tidak tahu orang tua berpakaian rombeng ini ambil senjata itu dan selipkan di pinggangnya. Ketika di pegang badik itu terasa ringan padahal yang asli berat.
“Terima kasih kau telah memelihara badik ini dengan baik dan mengembalikannya tanpa kurang suatu apa,” kata Daeng Ponto Jene.
“Sekarang aku beralih pada maksud kedatanganku yang kedua. Yang juga merupakan maksud terakhir. Sepanjang kuketahui, ternyata kau telah menguasai mantera untuk merubah wujud suatu benda hidup menurut kemauanmu, lalu menjalankan perintah menurut kehendakmu… Bukankah begitu Datuk?”
“Soal yang kedua ini aku tak bersedia menjawab. Soal mantera yang bisa dimiliki adalah rejeki masing-masing orang, masingmasing murid. Aku mendapatkannya dari guru dan kau tidak mendapatkannya. Apakah ada perasaan iri dalam sanubarimu?”
Orang tua bermuka buruk berpakaian tambalan tersenyum lebar.
“Iri adalah kawannya syirik. Sifat itu tidak melekat dalam tubuhku baik lahir maupun batin. Aku tidak akan membawa persoalan ini kalau memang mantera itu kau dapatkan dari guru atau memang diberikan guru. Tetapi sebelum meninggal, justru guru menceritakan padaku bahwa mantera itu kau curi dari sekumpulan tulisan rahasia milik guru…”
“Sayang guru telah tiada hingga dia tidak bisa membuktikan bahwa aku telah mencuri mantera itu…”
“Guru memang telah tiada Datuk. Tapi apa yang dikatakan guru semasa hidup sangat kupercayai. Tak mungkin guru berdusta…”
“Maaf bicara Daeng, mungkin kau yang ber dusta!” memotong Datuk Teluk Ular.
Daeng Ponto Jene tertawa gelak-gelak.
“Ada-ada saja kau ini Datuk! Sejak aku mengenal mana yang baik dan mana yang buruk, sampai tua bangka keropos begini, tak pernah aku ber dusta. Tidak kepadamu, tidak kepada siapapun!”
“Lalu apa maksudmu yang sebenarnya?”
“Mulai detik ini kau tidak boleh menggunakan mantera itu untuk maksud apapun! Jika Kelelawar Hantu itu kembali kau harus membunuhnya!”
“Tak mungkin aku mengikuti perintahmu Daeng!”
“Mengapa tak mungkin?!”
“Kau bukan guru yang wajib kupatuhi!”
“Justru aku memerintah sesuai dengan pesan guru!”
“Tak dapat aku mempercayai ucapanmu itu Daeng!”
“Kita saudara seperguruan. Apa katamu harus kupercaya. Sebaliknya apa yang kusampaikan harus pula kau percaya…”
Datuk Teluk Ular gelengkan kepala.
“Maafkan aku Daeng. Pembicaraan kita cukup sampai.di sini. Aku ingin istirahat. Pintu itu masih terbuka. Selamat jalan Daeng…”
Daeng Ponto Jene tertawa mengekeh.
“Hakmu menyuruh aku pergi karena ini rumahmu! Tapi hakku menjalankan pesan mendiang guru! Aku akan keluar dari rumah ini. Tapi akan menunggu di luar sana sampai kau bersumpah untuk tidak lagi mengamalkan mantera terlarang itu dengan alasan dan maksud apapun! Aku memberi waktu padamu sampai besok pagi, saat sang surya terbit!”
Orang tua berbaju rombeng bangkit dari duduknya. “Sebelum aku pergi, aku juga ingin mengembalikan badik tak berguna ini padamu!”
Dari balik pakaian bututnya Daeng Ponto Jene keluarkan Badik Bulan Bintang palsu lalu mencampakkannya ke pangkuan Datuk Teluk Ular.
“Besok pagi kutunggu sumpahmu bersama Badik Bulan Bintang yang asli! Mataku mungkin sudah lamur, tapi aku tak bisa ditipu Datuk! Aku masih dapat membedakan mana senjata yang asli dan mana yang palsu…!”
Daeng Ponto Jene tutup ucapannya dengan tawa mengekeh. Lalu tubuhnya berkelebat mundur ke arah pintu rumah kayu, lenyap di telan gelapnya malam di luar sana!

4

DATUK TELUK ULAR bantingkan badik palsu ke lantai hingga patah berantakan. Penasaran dia melompat ke pintu. Di luar gelap menghitam. Tapi dengan kepandaiannya yang tinggi orang ini langsung saja menghambur turun dari ketinggian lebih dari enam tombak itu. Begitu menjejakkan kaki di tanah, sepasang matanya yang merah serta merta memandang cepat berkeliling. Dekat serumpun semak belukar dia melihat nyala api kecil. Itulah nyala api rokok kawung Daeng Ponto Jene!
“Daeng!” berseru Datuk Telur Ulat, “Aku tidak suka kau berada di tempat ini! Kuharap kau segera pergi! Persetan dengan segala urusan besok pagi!”
“Suka atau tidak suka itu bukan urusanmu Datuk! Kau bisa mengusirku dari rumahmu di atas pohon sana! Tapi kalau aku nongkrong di sini, setan kepala tujuhpun tidak dapat mengusirku!” Daeng Ponto Jene mengekeh dalam gelap lalu hisap rokoknya dalam-dalam. Datuk Teluk Ular mendengus.
“Kau lupa Daeng! Kawasan Teluk sampai seribu tombak ke pedalaman adalah daerah kekuasaanku!”
“Itu katamu! Tapi tidak kataku! Kau pergilah naik ke atas rumahmu kembali dan tidur lelap. Waktumu masih cukup banyak sampai esok pagi!”
“Kalau kau tetap membangkang, berarti kau sengaja mencari silang sengketa!”
“Terserah kau mau mengatakan apa!” sahut Daeng Ponto Jene. “Aku kemari mencari kata bulat dan mupakat. Tapi kau inginkan lantai terjungkat! Aku tak mau bicara lagi denganmu! Aku mau tidur bersama nyamuk-nyamuk sialan di tempat ini!”
Lalu Daeng Ponto Jene rebahkan tubuhnya di atas semak belukar, seperti seorang orok dan mulai mendengkur! Tubuhnya yang berat itu seperti tergolek di atas kasur empuk, padahal hanya ditopang semak belukar belaka! Ini sudah cukup menjadi pertanda betapa tingginya tingkat keringanan tubuh orang tua berwajah buruk itu.
Jengkel dan marah Datuk Teluk Ular melangkah menghampiri semak belukar. Sekali tendang saja rambaslah semak belukar itu. Tubuh orang tua yang tidur di atas semak belukar, begitu semak belukar rambas tentunya akan jatuh ke tanah. Tapi anehnya, tubuh itu sesaat masih mengapung di udara lalu melayang ke arah semak belukar lainnya yang terdapat tidak jauh dari tempat itu. Dan kembali terdengar suara dengkurnya!
Merasa dipermainkan, dengan langkahlangkah besar Datuk Teluk Ular mendatangi semak belukar itu. Kali ini bukan semak belukar yang ditendangnya tapi langsung tubuh Daeng Ponto Jene. Tendangannya mengarah perut saudara seperguruannya itu. Suara tendangan terdengar keras menderu dalam gelapnya malam.
“Kalau tidak kuhabisi manusia keparat ini, aku bisa susah dibuatnya!” begitu Datuk Teluk Ular membatin dan dalam geramnya dia merasa pasti tendangannya akan mengenai sasaran. Tetapi alangkah terkejutnya sang datuk ketika mendadak dia merasakan ada yang mencengkeram pergelangan kaki kanannya. Sebelum dia bisa berbuat sesuatu dirasakannya tubuhnya dilemparkan ke atas. Ketika melayang turun dia hampir tak bisa mengimbangi diri karena sebuah benda kecil berapi melesat ke arah matanya. Rokok kawung Daeng Ponto Jene!
Datuk Teluk Ular jatuh punggung, terhempas ke tanah! Satu hal yang sebenarnya tidak mungkin terjadi atas diri seorang kawakan seperti dia!
Di dalam gelap terdengar suara tawa mengekeh.
“Datuk Teluk Ular! Kalau tidak mengingat kita masih saudara seperguruan, sudah kutanggalkan kaki kananmu tadi!”
“Manusia sombong!” maki Datuk Teluk Ular marah besar mendengar kata-kata Daeng Ponto Jene. “Aku mau lihat sampai dimana kepandaianmu!”
“Ha… ha! Soal kepandaian, kepandaian manusia adalah kecil dibanding dengan kepandaian dan kekuasaan Tuhan! Apa kau masih belum mau sadar?
Ucapan Daeng Ponto Jene terputus karena saat itu datang sambaran angin ganas ke arah tenggorokannya.
“Cengkeraman jari angin!” seru orang tua berpakaian rombeng ketika mengenali pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam hebat itu! Tubuhnya melesat dari atas semak belukar. Sedetik kemudian semak belukar itu musnah hampir tidak berbekas dan si baju rombeng tampak berdiri di samping sebatang pohon kelapa leletkan lidah dan golenggolengkan kepala. “Rupanya kau tidak main main Datuk…?” menegur orang tua ini.
“Aku memberi pengampunan padamu jika kau mau pergi dari sini!”
Tertawa Daeng Ponto Jene mendengar ucapan itu.
“Seharusnya aku yang akan memberi pengampunan padamu karena telah melanggar pesan guru dan mencuri Badik Bulan Bintang!”
“Kalau itu cakapmu, berarti nyawamu harus lepas malam ini juga!” kertak Datuk Teluk Ular. Lalu kedua tangannya diangkat ke atas,
mulutnya berkomat-komat. Dua tangannya tampak seperti dijalari sinar biru.
Kagetlah Daeng Ponto Jene ketika melihat hal itu.
“Astaga! Darimana dia dapatkan pukulan sepasang kelabang biru itu!” Orang tua berbaju rombeng ini cepat kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Ketika Datuk Teluk Ular menghantam dengan kedua tangannya, diapun membalas dengan pukulan tangan kanan.
Dua larik sinar biru yang tampak seperti hitam dalam gelapnya malam menyambar ke arah Daeng Ponto Jene. Sebaliknya dari tangan kanan orang tua dari tanah Bugis ini menghambur angin kencang laksana topan, tanpa sinar tanpa cahaya tetapi mengandung hawa dingin luar biasa!
Des…des…!
Daeng Ponto Jene terdengar mengeluh tinggi.
Tubuhnya terdorong empat langkah lalu jatuh duduk. Karena tak sanggup bertahan akhirnya rebah. Tangan kanannya nampak membiru sampai sebatas lengan.
Di lain tempat Datuk Telur Ular menggeletak di bawah kolong rumah kayunya, di antara empat batang pohon kelapa dengan nafas megap-megap dan tubuh menggigil seperti diselimuti es!
Menyadari dirinya terkena racun jahat, Daeng Ponto Jene segera totok urat besar di pertengahan lengan kanan. Setelah atur jalan darah dan pernafasan, orang tua ini bangkit berdiri dan melangkah menghampiri Datuk Teluk Ular. Justru saat itulah sang Datuk tampak menggerakkan tangan kanannya.
Sebuah pisau terbang melesat ke arah Daeng Ponto Jene. Yang diserang angkat tangan kirinya.
Cras!
Pisau terbang menancap pada tas daun tikar yang dijadikan tameng oleh Daeng Ponto Jene.
“Kau masih tak mau bertobat dan sadar Datuk?!”
“Manusia keparat! Hari ini putus hubungan kita sebagai saudara seperguruan! Aku bersumpah membunuhmu malam ini! Kalau tidak biar aku yang bunuh diri!”
“Sumpah manusia tolol!” tukas Daeng Ponto Jene. Dia angkat kaki kanannya. Dengan kaki ini dia mendorong dada Datuk Teluk Ular yang saat itu mencoba berdiri masih dalam keadaan menggigil. Akibat dorongan kaki ini sang Datuk kembali tergeletak di tanah. Dia mencoba bangkit kembali tapi dadanya diinjak oleh Daeng Ponto Jene.
Di malam yang gelap itu tiba-tiba terdengar suara cuit… cuit…cuit…
Sepasang mata merah Datuk Telur Ular membeliak bersinar. Mulutnya menyunggingkan seringai.
“Kau akan mampus Daeng… Akan mampus saat ini juga…!”
“Cuit…cuit… cuit…”
“Kelelawar Hantu! Bunuh orang ini. Bunuh orang ini… Orang ini… Orang ini…” Datuk Telur Ular berteriak ketika melihat binatang yang dikenalinya melayang di udara di antara batangbatang pohon kelapa.
“Cuit… Cuit… cuit…!”
Kelelawar Hantu menyambar laksana kilat. Daeng Ponto Jene tersentak kaget. Tak menyangka akan terjadi begitu cepat. Ketika dia berusaha menyelamatkan diri dengan melompat ke belakang, tak urung daun telinganya sebelah kanan kena disambar cakaran kuku Kelelawar Hantu. Orang tua ini terpekik! Daun telinganya putus dan darah mengucur!
“Binatang iblis!” teriak Daeng Ponto Jene.
Dia hantamkan tangan kirinya ke arah Kelelawar Hantu yang melayang di udara. Pukulan tangan kosong ini adalah pukulan yang tadi dihantamkannya pada Datuk Teluk Ular. Tetapi seperti tahu bahaya. Kelelawar Hantu menukik ke bawah. Angin pukulan lewat jauh di atasnya. Di lain kejap, moncongnya yang memiliki gigi serta taring-taring panjang itu siap menerkam perut Daeng Ponto Jene. Orang tua ini gerakkan tangan kirinya, kini menghantam dengan tas tikarnya. Sambil menghantam sambil mengelak ke samping.
Breet…!”
Tas yang terbuat dari tikar itu robek besar. Daeng Ponto Jene merasakan salah satu jari tangannya perih. Ketika diperhatikan ternyata tangan itu terluka.
“Bunuh… bunuh orang ini! Orang ini…!”
“Cuit…Cuit…Cuit…!”
“Ya Tuhan, aku tidak mungkin menghadapi binatang celaka ini…” mengeluh Daeng Ponto Jene. Maka sebelum burung kelelawar bermata merah itu kembali menyerangnya, orang tua ini cepat berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Kejar… Kejar orang itu! Kejar… kejar…kejar…!”
“Cuit…Cuit…Cuit!”
Kelelawar Hantu kerjakan apa yang diperintah sang Datuk. Binatang ini melesat ke jurusan lenyap.

5

PENDOPO Kencono Wungu yang terletak di pusat Kotaraja malam itu penuh kemeriahan. Di situ dilangsungkan pesta perkawinan Raden Haryo Tulus Resto, seorang Perwira Kerajaan yang sebenarnya telah punya istri. Yang “beruntung” menjadi pengantin perempuan adalah seorang dara berusia delapan belas tahun, bernama Rinusari yang masih merupakan keponakan Lor Ametung, Kepala Desa Babakan. Tamu melimpah ruah dan kebanyakan adalah tokoh-tokoh istana atau petinggi-petinggi Kerajaan. Sri Baginda memberi izin untuk dipergunakannya Pendopo Kencono Wungu sebagai tempat pesta perkawinan tapi beliau sendiri tidak hadir karena kabarnya Sri Baginda tidak begitu suka dengan perkawinan Perwiranya itu. Rupanya kabar telah sampai kepada Sri Baginda bahwa selain telah memiliki dua istri, sebelumnya Haryo Tulus Reso pernah memelihara seorang gadis bernama Ranawarti yang kemudian ditinggal begitu saja dalam keadaan hamil.
Berbagai hidangan dan minuman mahal disuguhkan. Serombongan pemain gamelan menghibur para tetamu dengan gendinggending yang asyik didengar. Sepasang pengantin duduk di pelaminan. Haryo Tulus Resto tiada henti-hentinya menyunggingkan senyum. Pada saat pesta perkawinan itu berjalan di puncak kemeriahannya mendadak dari luar melayang masuk seekor burung kelelawar besar, berkepala aneh. Sepasang telinganya lebih panjang dan lebih besar dari kelelawar biasa. Hampir menyerupai telinga kuda. Mulutnya yang senantiasa mengeluarkan suara cuit-cuit memperlihatkan gigi-gigi serta taring-taring mencuat Yang mengerikan adalah kedua matanya yang besar dan berwarna merah. Binatang ini melayang seputar pendopo. Beberapa orang segera bertindak mengusirnya. Tetapi seperti tidak takut sama sekali kelelawar itu terus berkelebat kian kemari. Ketika seorang petugas yang membawa galah datang mengusir, kelelawar itu keluarkan suara keras mencuit lalu menukik menyerang!
Petugas yang membawa galah bambu terdengar menjerit. Galah lepas dari tangannya. Kedua tangannya kini dipakai untuk menutupi mukanya. Dari sela-sela jari tangannya tampak darah mengucur. Ketika orang ini akhirnya jatuh tersungkur dan ketika semua orang menyaksikan keadaan wajahnya, suasana pesta serta merta menjadi gempar! Muka orang itu tidak seperti muka manusia lagi. Hidungnya tanggal meninggalkan lobang besar berdarah.
Pipi kanannya copot dan mata kirinya ikut terbongkar! Dan kelelawar itu masih saja melayang berputar-putar dalam ruangan besar pendopo!
Para tetamu yang ketakutan mulai berlarian meninggalkan tempat pesta. Mereka yang merasa memiliki kepandaian tetap dalam pendopo sambil bersiap-siap. Sepasang pengantin tampak gelisah. Seseorang kemudian membawa pengantin perempuan meninggalkan pelaminan sementara Haryo Tulus Reso tertegak bingung, lalu memberi isyarat pada dua orang lelaki tinggi besar yang berdiri tak berapa jauh dari tempat itu. Keduanya adalah pengawal pribadi yang telah mengabdi pada Perwira itu selama lebih dari sepuluh tahun. Dalam ilmu silat luar mereka memiliki kepandaian mengagumkan. Dalam ilmu dalam atau kesaktian. keduanya memang tidak mempunyai simpanan apa-apa.
Melihat isyarat Haryo Tulus Resp tadi, kedua pengawal itu cepat bergerak ke tengah ruangan. Salah seorang di antaranya menyambar pemukul gong yang telah ditinggalkan para pemain gamelan karena ketakutan. Dengan pukulan gong ini dia melempar kelelawar yang terbang berputarputar. Sebagai seorang ahli silat lemparannya pastilah tidak akan luput. Tetapi dia tidak mengetahui kalau binatang yang dilemparnya itu bukanlah kelelawar biasa!
Begitu pemukul gong melesat, kelelawar melesat ke kiri, berputar dan menyambar kayu pemukul gong itu dengan sayapnya dari sebelah kiri.
Praak!
Kayu pemukul gong patah berentakan. Membuat pengawal yang melempar, Haryo Tulus Reso dan semua orang yang ada di situ menjadi kaget. Kekagetan ini disusul pula dengan satu kengerian ketika kelelawar besar keluarkan suara mencuit menusuk telinga, lalu menyambar ke leher orang yang tadi melempar.
Jeritan keras memecah pendopo. Si pengawal terhuyung-huyung lalu roboh ke lantai yang bertutupkan permadani, menggelepar-gelepar sesaat, akhirnya tewas dengan mata melotot, leher luka besar!
“Ini bukan binatang biasa!” berucap Haryo Tulus Reso dalam hati. Dia segera baca aji ilmu kebal yang dimilikinya, lalu menyambar sebatang tombak yang terletak di samping pelaminan. Pengawalnya yang satu berseru agar dia tetap di tempat. Pengawal ini kemudian hunus sebilah golok bergerak ke tengah ruangan. Senjata di tangan kanannya di putar putar hingga keluarkan suara berdesing. Selangkah demi selangkah dia mulai mendekati kelelawar besar yang terbang merendah seperti siap pula untuk menghadapinya.
Merasa ditantang oleh seekor binatang, pengawal membuat lompatan setengah tombak lalu bacokkan goloknya ke arah kelelawar.
Breet…
Sayap kelelawar itu mengambang lebih panjang dan lebih lebar. Golok pengawal lewat di atas tubuhnya. Dengan mengertakkan geraham si pengawal membuat gerakan membacok dari atas ke bawah. Sekali ini bukan saja serangannya juga luput, tetapi kelelawar tiba-tiba membalik. Sayap kirinya kembali merentang, melesat laksana sebilah pedang.
Breet…!
Craaasss!
Pergelangan tangan kanan yang memegang golok putus laksana dibabat golok tajam. Darah menyembur. Si pengawal menjerit keras dan tinggalkan pendopo sambil terus melolong.
Paras Haryo Tulus Reso jadi berubah. Tapi dia tetap juga berdiri di tempatnya. Mulutnya berkomat-kamit, sepasang matanya memancarkan hawa amarah. Tangan kanannya menggenggam tombak erat-erat.
“Raden Haryo! Lekas tinggalkan pendopo!” seseorang berseru memberi ingat.
“Betul! Lekas tinggalkan pendopo! Itu bukan kelelawar biasa! Pasti kelelawar jejadian…!” Seorang lain berteriak.
“Kelelawar hantu!” teriak lainnya.
Namun Raden Haryo Tulus Reso tidak perdulikan teriakan orang. Dia memiliki kepandaian tinggi dan ilmu kebal. Mengapa harus takut pada seekor burung kelelawar yang baginya adalah seekor burung layang-layang.
Justru saat itulah dia harus memperlihatkan kehebatan dirinya sebagai Perwira Kerajaan!
Kelelawar Hantu kiriman Datuk Teluk Ular tampak menjadi garang ketika melihat Haryo Tulus Reso merupakan satu-satunya orang yang tegak di tengah pendopo luas itu. Setelah membuat dua kali putaran pendek, binatang ini lalu melesat menyerang. Yang diarahnya adalah dada di bagian jantung calon korbannya. Mulutnya terkuak lebar, taring dan gigi-giginya yang berlumur darah mencuat mengerikan.
Haryo Tulus Reso menunggu sekejap lalu lemparkan tombaknya ke arah kelelawar yang menyerang. Lemparan itu ternyata meleset, hanya menepis sedikit sayap kanan kelelawar. Binatang ini mencuit keras, mengepakkan sayap dua kali lalu menukik. Kembali kelelawar mengarahkan serangan dibagian dada Raden Haryo.
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Raden Haryo lepaskan satu pukulan tangan kosong yang mengeluarkan angin keras. Sesaat kelelawar itu seperti tergontai. Namun di lain kejap binatang ini berhasil menembus aliran tenaga dalam. Tubuhnya terus melesat dan moncongnya bersarang di dada Raden Haryo.
Breet…!
Pakaian pengantin yang dikenakan Raden Haryo robek besar. Tapi tubuhnya tidak terluka sedikitpun. Inilah kehebatan’ ilmu kebal yang dimilikinya.
Melihat hal ini orang banyak disudut-sudut pendopo jadi agak lega. Mereka berteriak-teriak memberi semangat.
“Bunuh kelelawar itu Raden Haryo! Bunuh!”
Seseorang melemparkan sebilah pedang, tapi tidak disambuti oleh Raden Haryo. Setelah mengetahui bahwa kelelawar itu tidak sanggup melukai tubuhnya. Perwira Kerajaan ini dengan penuh percaya diri kembali bersiap sedia menantikan serangan kelelawar berikutnya dengan hanya mengandalkan tangan kosong!
Kelelawar Hantu menyerbu kembali. Kali ini dengan sayap terkembang lebar dan kepala perampok lurus ke depan.
Bukk!
Duukkk!
Plaaak!
Ketika mulut kelelawar menghunjam di perutnya tanpa menimbulkan cidera. Raden Haryo hantamkan tinjunya. Tepat mengenai punggung kelelawar. Binatang ini terbanting ke bawah tapi dengan sayapnya dia menyambar kaki kanan Raden Haryo. Meskipun tidak terasa sakit atau ada yang luka namun hantaman saya sempat membuat kaki Raden Haryo terpelanting dan tubuhnya hampir roboh.
“Kelelawar iblis!” rutuk Raden Haryo. Kedua tangannya dipukulkan sekaligus ke depan.
Plaaak…plaaak!
Kelelawar melesat ke atas. Angin pukulan lewat di bawahnya. Raden Haryo menghantam lagi. Tapi dia kehilangan lawan. Saat itu kelelawar terbang berputar ke belakang. Raden Haryo membalikkan badan. Justru inilah kesalahannya. Sebelum dia sempat mengetahui di mana binatang itu berada, si kelelawar telah lebih dulu menyambar ke arah wajahnya. Raden Haryo merunduk. Tapi terlambat. Cakar kanan Kelelawar Hantu melabrak mata kirinya. Perwira Kerajaan ini menjerit keras. Seluruh isi matanya terbongkar tanggal. Dan ilmu kebalnya memang ternyata tidak melindungi matanya!
Dalam keadaan menjerit-jerit kesakitan begitu rupa, kelelawar kembali menukik dengan ganas. Perwira itu tidak kuasa mengelak atau melindungi dirinya lagi. Mata kanannya kini menjadi sasaran! Raden Haryo Tulus Reso menyeradak-nyeruduk kian ke mari. Darah berceceran di atas permadani. Tak ada seorang pun yang berani menolongnya, juga tak ada yang tahu mau berbuat apa menyaksikan keadaan Perwira Pengantin itu. Lolongan Raden Haryo makin parau, makin perlahan. Akhirnya hanya terdengar suara erangannya. Tubuhnya tergelimpang roboh menelentang. Nyawanya lepas. Kedua matanya hanya merupakan rongga mengerikan bergelimang darah!
Di dalam ruangan, burung kelelawar masih terbang berputar-putar sambil keluarkan suara men-cuit-cuit. Lalu terdengar satu cuitan sangat keras dan binatang ini kemudian melesat meninggalkan pendopo, lenyap dalam kegelapan malam ke arah timur Kotaraja.
Orang banyak walaupun masih dalam keadaan ketakutan dan penuh ngeri, perlahanlahan melangkah mendekati mayat Raden Haryo. Mereka merinding ketika melihat bagaimana keadaan wajah Perwira Kerajaan itu. Salah seorang yang ikut berkerumun di tempat itu adalah Lor Ametung, Kepala Desa Babakan, ayah Ranawarti yang ditinggal begitu saja oleh Raden Haryo dalam keadaan hamil enam bulan.
Lor Ametung sunggingkan seringai mengejek. Hatinya penuh kepuasan.
“Akhirnya mampus juga manusia keparat ini!” kata Lor Ametung dalam hati. Lalu perlahan-lahan dia melangkah tinggalkan pendopo.

6

ORANG TUA berbaju rombeng itu lari sekencang yang bisa dilakukannya dalam kegelapan malam di antara kerapatan pohonpohon kelapa. Bagaimanapun dia berusaha lari sekencangnya namun tetap saja tidak dapat memperjauh jarak-dengan mahluk pengejarnya yakni Kelelawar Hantu! Binatang ini detik demi detik bertambah dekat. Suara sayapnya menderu di antara hembusan angin malam yang datang dari teluk. Suaranya mencuit-cuit terdengar seperti tambah keras tanda tambah dekat.
Pohon-pohon kelapa semakin jarang tanda sesaat lagi dia akan mencapai pantai. Sekilas memandang ke belakang Kelelawar Hantu ternyata hanya tinggal terpisah sekitar enam sampai tujuh tombak saja!
“Celaka! Kemana aku harus pergi! Kaki ini sudah berat dibawa lari…!”
“Cuit… cuit… cuit…’!”
Di hadapan Daeng Ponto Jene kini menghampar Teluk Ular. Sunyi dan hitam dalam kepekatan malam. Dia berlari sepanjang tepi pantai. Tak ada tempat untuk berlindung, tak ada tempat untuk sembunyi sementara Kelelawar Hantu tambah dekat… tambah dekat. Satu-satunya jalan adalah menghambur masuk laut. Tapi berapa lama dia bisa menyelam untuk bersembunyi dalam air sebelum napasnya menyengat dan paru-parunya bisa pecah oleh tekanan air. Sesekali kepalanya muncul di permukaan laut untuk menghirup hawa segar, binatang celaka itu pasti akan menyambarnya. Dari pada mati menyerah seperti itu lebih baik melawan sebisa mungkin.
Si orang tua mengambil keputusan. Di hadapannya kelihatan sebuah perahu tua lapuk yang sudah hancur sebagian dindingnya.
Secepat kilat Daeng Ponto Jene menghampiri perahu itu dan menendangnya hingga hancur berkepingkeping. Dia melakukan hal itu untuk mendapatkan beberapa potong kayu perahu yang bisa dipergunakannya untuk menghajar Kelelawar Hantu. Tapi alangkah terkejutnya ketika dalam…perahu yang hancur itu melompat keluar sesosok tubuh disertai caci maki menggeledek.
“Setan alas! Siapa yang berani mengganggu orang enak-enak tidur dalam perahu!”
Orang yang memaki langsung menghampiri Daeng Ponto Jene. Semula orang tua ini menyangka itu adalah sosok tubuh Datuk Teluk Ular yang tahu-tahu telah bersembunyi dan mencegatnya di tempat itu. Tapi dia segera mengenali itu bukan suara si datuk jahanam dan memperhatikan orang yang di depannya jelas bukan sosok tubuh Datuk Ular melainkan seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong!
“Maafkan aku! Aku tidak tahu kalau ada orang dalam perahu. Aku…”
Daeng Ponto Jene tidak dapat teruskan kata-katanya karena saat itu dari belakang terdengar suara mencuit disertai deru sayap Kelelawar Hantu. Orang tua ini cepat jatuhkan diri seraya berteriak memberi ingat.
“Awas kelelawar maut! Lekas tiarap!”
Daeng Ponto Jene jatuhkan diri ke pasir, sambil berguling dia menyambar sepotong kayu sebesar lengan.
Burung kelelawar berkelebat mencuit. Gagal menyerang Daeng Ponto Jene, binatang ini berkelebat ke arah pemuda berambut gondrong yang masih berdiri dalam jengkel.
“Eit… apa ini?!” Si pemuda berseru kagat ketika dilihatnya kelelawar besar itu melesat ke arah kepalanya. Secepat kilat si pemuda tekuk lututnya. Tubuhnya turun ke bawah, tangan kanannya menjotos ke atas. Luput! Jotosannya hanya mengenai tempat kosong.
Kelelawar Hantu mencuit. Berputar lalu berkelebat. Kini kembali menyerang Daeng Ponto Jene. Orang tua ini hantamkan kayu di tangan kanannya sementara tangan kiri lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi dan menghambur angin dahsyat!
Bless!
Buk!
Praak!
Hantaman angin deras hanya mengenai tempat kosong. Kelelawar hantu berkelebat mengelak sambil hentakkan sayapnya, menyambut serangan kayu. Sekali sayap dan kayu perahu beradu keras, kayu di tangan si orang tua hancur berantakan!
Melihat kejadian ini pemuda berambut gondrong terkesiap kaget. “Bagaimana ada seekor kelelawar bisa menyerang manusia seperti ini… ”pikirnya dalam hati. Justru saat itu si kelelawar kembali membalik dan menyerangnya. “Kurang ajar!” si pemuda menyumpah. Wajahnya sesaat jadi pucat. Sayap kelelawar itu sempat membabat segumpal rambut di kepalanya. Kain putih pengikat kepalanya robek besar.
”Kalau tidak kubunuh mahluk celaka ini nyawaku bisa dirampasnya…” kertak si pemuda. Lalu dia berdiri di tengah kalangan.
Lutut sedikit menekuk, tangan kanan diangkat dan ditarik sejajar dada. Sesaat kemudian tangan itu telah berubah keputih-putihan seperti perak; Kelelawar Hantu datang menyerbu. Si pemuda hantamkan tangan kanannya.
Terdengar suara menggelegar. Sinar putih berkiblat dan hawa panas luar biasa menyungkup tempat itu.
“Cuit… cuit… cuit…!”
Kelelawar Hantu ternyata telah berada di tempat lain, selamatkan diri dari pukulan sinar matahari yang sangat ditakuti dalam dunia persilatan!
Si pemuda ternganga saking kagetnya.
“Kalau mahluk setan itu bisa mengelakkan pukulan saktiku, ah! Benar-benar celaka! Mengapa aku musti tersesat ke teluk ini!”
“Selamatkan dirimu ke dalam laut anak muda!’ Daeng Ponto Jene berseru lalu lebih duiu menceburkan diri ke dalam laut karena baginya inilah satu-satunya jalan untuk menghindari serangan Kelelawar Hantu. Pemuda berpakaian putih masih tegak tertegun. Tangan kirinya-menggaruk kepalanya yang gondrong. Matanya menyaksikan bagaimana orang tua berpakaian rombeng itu lari ke dalam laut sementara Kelelawar besar berusaha mengejarnya. Ketika binatang ini datang menyambar ke arah kepalanya Daeng Ponto Jene cepat menyilam.
Byaar…!
Air laut muncrat.
Kelelawar berkelebat ke udara. Berputar sesaat di atas air laut di tempat mana orang tua tadi lenyap menyelam. Pemuda berpakaian putih menunggu. Si baju rombeng itu pasti tak akan sanggup bertahan lama dalam air. Begitu kepalanya muncul, kelelawar akan membabat batok kepalanya atau batang lehernya!
“Kasihan kalau orang tua itu menemui
ajalnya…” begitu pemuda berambut gondrong membatin. Sesaat dia tidak tahu akan melakukan apa untuk dapat mengusir kelelawar itu. Jangan-jangan dirinya akan jadi umpan serangan seperti tadi. Padahal pukulan sakti andalan utama yang dimilikinya ternyata tadi dapat dengan mudah dielakkan oleh binatang itu.
Seperti yang diperkirakan si pemuda, orang tua berbaju rombeng hanya sanggup bertahan sampai hitungan ke seratus. Sesaat nafasnya sesak dan tekanan air membuat sekujur,tubuh serta kepalanya mendenyut sakit maka dia terpaksa munculkan kepalanya kembali dari dalam air. Saat itulah Kelelawar Hantu datang menukik!
Si orang tua cepat benamkan kepalanya kembali ke dalam air.
Tapi terlambat. Jaraknya dengan Kelelawar Hantu hanya tinggal dua jengkal saja!
Saat itulah si pemuda di tepi pantai keluarkan suara bentakan keras. Tubuhnya melesat ke jurusan tempat Daeng Ponto Jene berada di dalam air. Di tangan kanannya tergenggam sebuah senjata berupa kapak bermata dua yang memancarkan sinar berkilauan. Ketika kapak ini dihantamkan ke depan sinar menyilaukan berkiblat membuat laut sekitar situ terang benderang. Suara seperti tawon mengamuk. Hawa panas menebar sampai ke dalam air. Daeng Ponto Jene terlempar ke kiri. Kelelawar Hantu seperti menabrak satu dinding ataos yang tidak kelihatan. Binatang ini hantamkan sayapnya dua kali berturut-turut dan melesat tinggi ke udara sambil keluarkan suara cuit… cuit. Tapi sedikitpun mahluk ini tidak mengalami cidera. Malah dengan garang, setelah membuat dua kali putaran di udara, dia menukik menyerang si pemuda.
Yang diserang kembali menghantam dengan senjata mustikanya. Ternyata kali ini Kelelawar menyerbu tanpa dapat ditahan lagi. Sinar maut yang keluar dari kapak bermata dua itu sanggup dielakkannya dengan melayang rendah di atas permukaan air laut untuk kemudian melesat ke arah perut pemuda berambut gondrong!
“Celaka!” si gondrong berteriak kaget.
Kapaknya kembali diputar. Dia melompat ke udara sambil tangan kiri menghantam ke bawah. Satu gelombang angin laksana topan menggebubu. Air laut muncrat sampai tiga tombak ke udara. Sesaat pemandangan tertutup. Hantaman kapak mengeluarkan suara seperti tawon mengamuk. Namun tetap saja Kelelawar Hantu tidak mengalami cidera, apalagi melarikan diri ketakutan.
Binatang itu terbang lagi berputar-putar di atas air laut. Daeng Ponto Jene yang menyaksikan semua kejadian itu lewat kepalanya yang dimunculkan dalam air semula merasa mendapatkan tuan penolong. Tetapi ternyata semua kehebatan pemuda yang mengagumkannya itu tetap tidak berdaya menghadapi Kelelawar Hantu yang memiliki kekuatan ganas akibat mantera yang dibuat oleh Datuk Teluk Ular.
Di udara Kelelawar Hantu mencuit keras.
Gerakannya menunjukkan tanda-tanda dia bakal menyerang lagi. Dan ternyata memang benar!
“Ya Tuhan! Ya Guru…! Berikan aku petunjuk! Aku masih ingin hidup!” Si pemuda gondrong berteriak memohon dalam hati, menyebut nama Tuhan, memanggil gurunya.
Dia meraba pinggang pakaiannya di mana terdapat sebuah batu hitam, batu mustika. Jika batu itu digosokkan ke mata kapak maka akan menyemburkan api yang mungkin dapat menghancurkan kelelawar. Tapi ternyata batu itu berada dalam keadaan basah.!
“Akan kucoba dengan jarum beracun!” si pemuda membatin sementara Kelelawar Hantu telah mulai menukik untuk menyerbu ke arahnya. Pemuda ini tekan sebuah tombol pada bagian hulu kapak yang berbentuk kepala naga.
Terdengar suara berkesiuran. Selusin jarum putin mengandung racun mematikan meluncur ke udara, mencari sasaran di tubuh Kelelawar Hantu. Tapi sekali binatang ini mengepakkan kedua sayapnya kanan kiri, jarum-jarum rahasia itu mental bertaburan dan luruh masuk ke dalam air laut!
“Putus harapanku! Rupanya sudah ditakdirkan aku harus mati di tempat ini!” keluh si pemuda.
“Cuit…!” Kelelawar Hantu sudah menukik.
Si gondrong tampak seperti pasrah menunggu datangnya maut. Tiba-tiba saja dia ingat sesuatu. Gagang kapak yang berbentuk kepala naga diangkatnya ke kepalanya. Mulut kepala naga ditempelkannya ke bibirnya. Enam jari tangannya bergerak ke arah enam buah lobang di badan kapak yang berbentuk seruling. Pemuda ini salurkan tenaga dalamnya dari perut ke dada terus ke tenggorokan. Lalu dia menipu sekuat yang bisa dilakukannya.
Satu lengkingan suara yang sangat keras
seperti membelah langit di tempat itu. Air laut bergelombang. Daeng Ponto Jene merasakan seperti ada besi panas yang disodokkan ke dalam kedua liang telinganya. Orang ini cepat tusukkan dua jari tangannya untuk menutup jalan pendengaran. Dadanya bergetar keras dan matanya terasa perih. Tapi dia masih sempat melihat apa yang terjadi. Suara lengkingan seperti ribuan seruling ditiup bersama yang keluar dari kapak mustika yang dipegang si pemuda, membuat Kelelawar Hantu seperti terhentak. Kepalanya mendongak ke udara. Tubuhnya seperti kehilangan keseimbangan. Binatang ini mencuit beberapa kali,. Sesaat tubuhnya mengapung di udara. Sepasang telinganya yang berdaun lebar tampak bergetar hebat. Matanya yang berwarna merah mendadak menjadi redup dan berputar-putar.
Binatang ini mencuit sekali lagi. Dari telinga kirinya tampak ada darah yang mengucur!
Si pemuda makin keraskan tiupan seruling mautnya itu!
“Cuit…cuit… cuit…”
Kelelawar Hantu tak sanggup lagi bertahan. Setelah menggelepar beberapa kali dan hampir terjerumus jatuh ke dalam air laut binatang ini akhirnya hentakkan sayapnya dan dan terbang terhuyung-huyung ke arah pedalaman teluk.
Pemuda berambut gondong berlahan-lahan turunkan kedua tangannya yang memegang kapak. Sekujur tubuhnya meskipun berada dalam air terasa berkeringatan. Nafasnya yang tadi terasa sesak karena pengerahan tenaga dalam habis-habisan sewaktu meniup kapak, kini terasa lega kembali. Getaran tubuhnya akibat goncangan ancaman maut kini mengendur.
“Gila… benar-benar gila…” desisnya.
Dari samping kiri terdengar suara air laut bergemericik lalu suara orang tua berbaju rombeng itu bertanya.
“Anak muda… Siapa namamu?”
Si pemuda putar kepalanya sambil menyerinai. Dia menjawab. “Aku pemuda tolol bernama Wiro Sableng…”

7

“WIRO SABLENG!” Daeng Ponto Jene berseru keras. Suaranya bukan saja menunjukkan rasa kagum tapi juga bernada gembira. Mulutnya menyunggingkan senyum padahal darah masih menetes dari telinga kanannya yang sum-plung akibat cengkeraman cakaran Kelelawar Hantu.
“Bukankah kau muridnya nenek sakti dari gunung Gede bernama Sinto Gen… Gendang!”
Wiro tertawa. “Sinto Gendeng, bukan Sinto Gendang!” ujar si pemuda. “Apakah kau kenal dirinya…?”
“Kami pernah berjumpa ketika di puncak Merapi sepuluh tahun silam ada pertemuan para tokoh dan datuk dunia persilatan. Waktu itu aku bertin dak menjadi wakil dari para sahabat di tanah Bugis. Nenek tua jelek dan nyiyir itu… ah! Aku tidak bisa melupakan kelihayannya. Ilmunya segudang. Tenaga dalamnya tinggi luar biasa. Dan siapa nyana hari ini, di kala maut hendak merenggut aku bertemu dengan muridnya! Ha… ha… ha…! Dan ternyata kau menjadi tuan penolongku!”
“Untung saja kita tidak sama-sama mati jadi santapan kelelawar aneh tadi. Bagaimana kau bisa dikejar dan diserangnya?” bertanya Wiro. Lalu dia menarik tangan orang tua itu dan membawanya keluar dari air laut. Mereka kemudian duduk di atas pasir.
“Panjang ceritanya pendekar muda. Ini semua gara-gara Datuk Teluk Ular murid keparat itu…”
“Kalau ceritanya memang panjang, biar kubantu dulu mengobati telingamu yang buntung. Pasti kelelawar itu yang menggeragot…!”
Si orang tua seperti baru ingat akan luka di telinganya. Dengan tangan kanan dirabanya telinganya yang buntung. Orang tua ini menyeringai kesakitan dan menyumpahnyumpah. Selesai mengobati luka Daeng Ponto Jene dengan perbekalan obat yang selalu dibawanya, Wiro mendengarkan penuturannya.
Selesai bercerita Daeng Ponto Jene menarik nafas panjang.
“Kulihat tadi binatang celaka itu terluka di dalam oleh lengking gagang kapakmu yang berbentuk seruling! Senjata luar biasa! Tapi kalau kelelawar itu belum mampus, dunia ini kurasa tidak akan aman. Dan aku tidak mungkin mendapatkan kembali Badik Bulan Bintang sesuai dengan pesan guru…”
“Agar kau bisa tenteram, mengapa tidak kita datangi sarang sang Datuk dan membunuh kelelawar iblis dengan itu dengan tiupan sulingku…”
“Senjatamu memang ampuh. Hanya tiupan seruling itu agaknya yang bisa menghadapi Kelelawar Hantu! Tapi… bagaimanapun hebatnya terlukanya Kelelawar Hantu itu, dia tak akan bisa dibunuh sebelum Datuk Ular menemui kematiannya!”
“Wah, berabe juga urusan ini!” ujar Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Terlalu besar… Terlalu besar bencana yang timbul kalau mantera itu disalah gunakan…”
“Kalau begitu kenapa tidak kau mencari kelelawar lain atau binatang apa saja. Bacakan mantera dan suruh dia membunuh kelelawar itu…” kata Wiro pula.
Daeng Ponto Jene gelengkan kepala. “Di situ sulitnya. Selama ada satu mantera telah diucapkan untuk seekor binatang atau mahluk hidup apa saja yang bukan manusia, maka mantera kedua tidak akan makbul. Kecuali kalau binatang pertama telah menemui ajalnya lebih dulu. Dan dia tidak bisa mati selama Datuk Teluk Ular masih hidup…” Lagi pula aku tidak menguasai mantera itu.”
“Gampang, mengapa tidak kau bunuh saja Datuk celaka itu?” tanya Wiro.
“Aku hampir berhasil mengalahkannya. Tapi keburu datang Kelelawar Hantu itu. Selama binatang itu berada di dekatnya sulit bagi kita untuk melakukan hal itu…”
“Aku yakin, segala sesuatu pasti ada penangkalnya. Segala sesuatu pasti ada kelemahannya…”
“Betul. Tetapi apa…? Apa penangkal Kelelawar Hantu itu. Di mana kelemahannya…”
“Tadi mengapa telinganya bisa mengeluarkan darah? Bukankah itu berarti ada kelemahannya?”
Daeng Ponto Jene mengangguk. “Tapi begitu Datuk Ular memegang kepala binatang itu, atau meniupnya dan membacakan mantera baru. Kelelawar itu akan sembuh kembali. Dan dia akan jadi lebih ganas dari sebelumnya!”
“Menurutmu apakah Kelelawar itu akan dikirim kembali oleh Datuk Telur Ular kemari…?”
“Mungkin juga. Mengapa kau bertanya begitu anak muda…?”
“Jangan menoleh dulu. Aku mendengar suara geresek senjata dihunus dari sarungnya. Aku juga melihat ada bayangan berkelebat di balik semak belukar di ujung kiri, dekat pohon kelapa yang disambar petir…”
“Kalau begitu biar kuhantam dengan pukulan jarak jauh!” ujar Daeng Ponto Jene pula.
Tangan kanannya segera dialiri tenaga dalam. Lalu perlahan-lahan diangkat ke atas. Ketika orang ini siap untuk menghantam tibatiba terdengar bentakan lantang. Sesosok tubuh laksana bayangan berkelebat cepat sekali.
“Siapa di antara kalian Datuk Teluk Ular!”
Begitu bentakan lenyap Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan ada angin menyambar di sampingnya dan tahu-tahu ujung sebilah golok pendek telah menempel di tenggorokannya!

8

SEUMUR HIDUPNYA tak pernah murid Sinto Gendeng melihat gerakan yang begitu cepat hingga dia tidak mampu berbuat apa-apa. Kini dengan sebilah golok menusuk tenggorokannya, sepasang mata pendekar itu jadi melotot tak berkesip, tengkuknya sedingin es. Memandang ke depan Wiro menyaksikan, yang menodongnya dengan ujung golok itu ternyata adalah seorang dara berpakaian merah, berikat kepala merah, bahkan golok yang digenggamnya memancarkan sinar redup berwarna kemerahan.
“Eh…! Apa-apaan ini…?” Daeng Ponto Jene bertanya keheranan. Diam-diam diapun dibuat kaget oleh kecepatan gerakan orang. Padahal sebelum membentak orang itu masih berada sekitar empat tombak di balik semak belukar.
“Tua bangka jangan banyak mulut!” dara berbaju merah membentak kembali. Suaranya benar-benar keras dan air mukanya menyatakan bahwa dia tidak main-main. “Jika tidak lekas mengaku ujung golok ini akan memancung leher manusia gondrong ini!”
Wiro gigit-gigit bibirnya. Dia tidak berani melakukan gerakan apapun karena merasa ragu. Dia telah menyaksikan kecepatan gerak si gadis berpakaian merah. Kalau dia berusaha menghindarkan tusukan golok dan kalah cepat, bukan mustahil gadis itu benar-benar akan memancung lehernya.
“He… eh… Aku bukan Datuk Teluk Ular…”
Wiro membuka mulut. Lidahnya terasa kelu.
“Orang tua itu juga bukan… Mengapa…”
“Dusta!” menghardik si baju merah. “Salah satu di antara kalian pasti Datuk Teluk Ular Wiro telan ludahnya. Tenggorokannya turun naik.
“Apakah aku ada tampang seorang Datuk. Juga kawanku yang berpakaian rombeng itu ada potongan Datuk…?” ujar Wiro.
“Sejak empat tahun silam, teluk ini tidak berpenghuni. Kecuali didiami Datuk Teluk Ular. Aku pasti sekali salah satu dari kalian adalah Datuk Teluk Ular, manusia iblis pemelihara Kelelawar Hantu…!” Lekas mengaku agar aku tidak sampai membunuh kalian keduanya!”
“Agaknya kita berada di pihak yang sama gadis gagah…” Daeng Ponto Jene membuka mulut.
Tanpa berpaling dan tanpa mau menggeser ujung goloknya dari tenggorokan Wiro sang dara membentak: “Apa maksudmu dengan ucapan itu?…
“Dari cara dan nadamu bicara aku mencium bau dendam kesumat di hatimu. Dendam terhadap Datuk Teluk Ular…
“Kau tahu apa segala macam dendam kesumat orang tua!?”
Daeng Ponto Jene tertawa perlahan.
“Aku tahu karena akupun mengindap dendam yang sama. Kau lihat telingaku yang sumplung ini…?” Daeng Ponto Jene menunjuk ke telinga kanannya.
“Perduli apa aku dengan telingamu. Mau buntung, mau apa bukan urusanku…!”
“Kau mau telingamu buntung seperti itu…?”
Wiro tiba-tiba menyeletuk dan menyeringai ketika sang dara memandang padanya dengan melotot. Tapi pemuda ini serta merta mengeluh aduh ketika si baju merah tekankan ujung golok hingga kulit leher Wiro tergores dan berdarah. Wiro kerenyitkan kening dan gigit bibir menahan rasa perih dan sakit. Tapi kemudian dia tertawa.
“Sekali lagi kau berani membuka mulut, tembus lehermu dengan golok ini!” mengancam sang dara. “Jangan bersikap ceriwis padaku! Kau kira tampangmu jadi gagah tertawa seperti itu? Huh?!”
“Gadis gagah, turunkan tanganmu yang memegang golok itu. Tidak satupun di antara kami adalah Datuk Teluk Ular. Barusan saja kami lolos dari serangan maut Kelelawar Hantu peliharaan Datuk Keparat itu… Telingaku yang kanan ini, putus disambar cakaran binatang celaka itu…!”
Sekilas ada bayangan rasa bimbang di wajah si gadis. Tapi tangannya yang memegang golok tetap tidak mau diturunkannya.
Wiro kembali tampak senyum-senyum. Dia tahu kalau si gadis galak mulai merasa ragu. Maka dia pun berkata, “Kalau salah seorang dari kami memang benar Datuk Teluk Ular, pasti di tempat ini juga ada Kelelawar Hantu itu. Kau lihat sendiri di sini hanya ada aku seorang pemuda tolol yang tak berdaya di bawah ancaman golok, lalu orang tua berpakaian rombeng dan bau itu, dan kau seorang gadis cantik yang entah muncul dari mana tapi tahutahu membuat kami dua lelaki tua bangka dan muda geblek tak bisa berdaya. Betapa memalukan kalau sampai ada orang lain yang melihat…!”
Daeng Ponto Jene tertawa mengekeh. Lalu dia berkata: “Lebih baik kita tinggalkan tempat ini sebelum Datuk Teluk Ular dan Kelelawar Hantunya datang membawa bencana
“Jika kau takut silahkan angkat kaki. Aku tidak akan pergi sebelum mengetahui di mana beradanya Datuk biadab itu!”
“Nah… nah, kalau begitu kau kini yakin bahwa kami bukan Datuk Teluk Ular. Jadi apakah kau mengizinkan aku yang muda ini boleh, pergi…? Masa kakek-kakek itu saja yang boleh meninggalkan tempat ini. Atau mungkin kau ada maksud tersembunyi ingin berduaduaan denganku…?”
Kaki kanan dara berpakaian merah berkelebat.
Bukk!
Tubuh Wiro Sableng berdiri ke depan lalu terpental satu tombak. Tendangan si gadis tepat bersarang di pertengahan perutnya. Sesaat pemuda ini melingkar di atas pasir sambil mengeluh kesakitan. Tapi sebenarnya dia hanya berpura-pura karena sewaktu gadis itu menggerakkan kaki untuk menendang, sekali ini Wiro berhasil memperhatikan hingga dia cepat lindungi tubuhnya sebelah bawah dengan tenaga dalam.
“Rasakan! Itu bagiannya orang bermulut usil!” kata gadis baju merah pula. Goloknya kini dimelintangkan di depan dada.
Daeng Ponto Jene tertawa-tawa dan ulurkan tangannya maksudnya, hendak membantu agar Wiro bangkit berdiri kembali. Tapi murid Sinto dendeng itu keluarkan ucapan: “Kalau tidak si jelita itu yang menolong, aku lebih suka terguling di pasir ini sampai pagi…!”
“Orang konyol!” mengomel sang dara sementara Daeng Ponto Jene kembali mengekeh.
Sambil tepuk-tepuk pakaian putihnya yang penuh bercelemong pasir akhirnya Wiro berdiri juga. Dia memandang sesaat pada si baju merah lalu melirik pada si kakek.
“Orang tua, kita tinggalkan tempat ini…?” tanya Wiro.
“Ya… ya! Akupun sudah mengajak tadi!”
“Nah, kami mau pergi. Kau ikut?” Wiro bertanya pada si gadis.
“Siapa sudi ikut dengan kalian…!” jawab sang dara pula.
“Gadis gagah,” Daeng Ponto Jene berkata,
“Tidak mudah membalaskan dendam kesumat atau segala macam sakit hati terhadap Datuk Teluk Ular selama Kelelawar Hantu masih berada bersamanya. Kami berdua baru saja lolos dari lobang jarum maut, diserang habishabisan oleh Kelelawar Hantu. Kita lekas pergi dari sini dan menyusun rencana bagaimana dapat membereskan sang Datuk dan binatang celakanya itu…”
“Kalau bertemu masakan golok saktiku ini tidak dapat menghabisi keduanya?”
“Kulihat kau memang memiliki gerakan cepat luar biasa sampai sahabatku anak muda itu tidak mampu selamatkan batang lehernya tadi
“Sebetulnya aku bisa saja mengelak,” ujar Wiro. “Hanya saja tadi aku kesemsem melihat kecantikannya dan berlaku ayal!”.
Merah paras sang gadis. Pedangnya yang memancarkan sinar merah disarungkannya kembali. Lalu sambil membalikkan diri dia berkata, “Baiklah, aku akan ikut kalian”
“Eit! Tunggu dulu!” ujar Wiro. “Tidak semudah itu ikut dengan kami
“Tadi kau yang mengajak!”
“Betul! Tapi ada syaratnya
“Jangan, mempermainkan aku! Sekali lagi golok sakti bernama Ki Karangasem ini kucabut, kepalamu tak akan bersatu lagi dengan badan…”
“Ah, jangan sekejam itu sahabat! Syarat yang kukatakan tadi tidak sulit. Asal saja kau mau mengatakan siapa dirimu dan apa urusanmu dengan Datuk Teluk Ular, beres sudah. Kita bisa jalan sama-sama meninggalkan teluk ini!”
“Aku tidak akan memberitahu siapa diriku dan apa sangkut pautku dengan Datuk Teluk Ular sebelum kalian lebih dulu menerangkan diri masing-masing …”
Wiro tersenyum, berpaling pada Daeng Ponto Jene dan kedipkan matanya. Orang itu membalas dengan kedipan mata pula.
“Aku yang tua keriput dan berpakaian rombeng bau ini bernama Daeng Ponto Jene. Aku berasal dari tanah Bugis. Jauh dari sini. Kau pasti tidak tahu di maha letaknya…?” Habis berkata begitu si orang tua menjura bersikap hormat walau sebenarnya dia menggoda sang dara.
“Dan aku pemuda tolol pengangguran ini bernama Wiro Sableng. Terlahir di kaki Gunung Gede…” Lalu Wiro meniru perbuatan Daeng Ponto Jene menjura dalam-dalam. Gadis berpakaian merah maklum kalau dua orang itu menggodanya. Meski hatinya jengkel namun dia diam saja. Ketika dia hendak melangkah. Daeng Ponto Jene cepat menegur.
“Sesuai janji kau harus menerangkan siapa dirimu. Apa urusanmu denganDatuk Teluk Ular. apa kau lupa…?”
Sesaat sang dara masih diam. Namun akhirnya terdengar suaranya. ‘Perlahan tapi cukup jelas. “Lima tahun lalu Datuk Teluk Ular muncul di sini membawa malapetaka. Seluruh penduduk habis di-bunuhinya ketika dia mencobakan ilmu aneh lewat seekor kelelawar buas. Tak ada yang sanggup melawan. Yang masih hidup lari meninggalkan desa di teluk. Kedua orang tuaku ikut jadi korban. Juga tiga orang saudaraku. Kabarnya Datuk keparat itu juga menculik dua orang gadis dan menjadikan peliharaannya. Kemudian diketahui dua gadis itu menemui ajal jadi korban Kelelawarnya. Desa nelayan di teluk yang dulu tenteram ini menjadi desa hantu…”
Wiro garuk-garuk kepala sementara Daeng Ponto Jene tampak tercenung. “Bagaimana kau bisa selamat…?” bertanya orang tua itu kemudian.
“Ketika pembantaian besar-besaran itu terjadi, aku berada di desa lain jauh dari sini. Menjenguk saudara ibu yang sedang sakit. Bersama seorang paman aku mencari Datuk Teluk Ular. Pamanku tewas di tangan Kelelawar Hantu, aku masih bisa lolos diselamatkan oleh seorang nenek sakti. Nenek itu membawaku ke puncak gunung Lawu. Lima tahun aku diajarinya ilmu silat dan ilmu golok. Ketika aku bersikeras turun gunung untuk mencari Datuk Teluk Ular, dia memberikan golok Ki Karangasem padaku.”
“Nenek sakti di puncak Lawu itu, bukankah dia bernama Nyi Blorong?”
Sesaat gadis berpakaian merah terkejut mendengar kata-kata Wiro itu. “Kau kenal guruku…?” tanyanya.
“Ketika terjadi banjir besar di selatan beberapa tahun silam dia kutemui menolong banyak penduduk dari ancaman gerombolan rampok yang kelaparan serta ancaman binatang buas. Celakanya dia semula menduga aku salah seorang anggota rampok. Setelah kesalah pahaman itu dapat dijernihkan, kami samasama menghancurkan sarang perampok di Goa Maguwo. Ketika berpisah, dia menyerahkan benda ini padaku disertai pesan bahwa kelak jika aku bertemu dengan muridnya yang berjodoh dengan benda ini maka aku harus menyerahkannya. Jika dalam waktu tujuh tahun aku tidak bertemu maka benda ini boleh menjadi milikku. Ternyata sebelum tujuh tahun aku telah bertemu dengan sang murid…”
Paras sang dara kembali berubah sementara Daeng Ponto Jene terheran-heran mendengar ucapan Pendekar 212.
“Bukankah kau muridnya yang bernama Triwulan?”
Sang dara mundur satu langkan. Dadanya berdebar keras. Matanya menatap Wiro lekatlekat.
“Guru tidak pernah memberi tahu tentang pesan itu. Benda apa yang dimaksudkannya itu…?” bertanya Triwulan.
Wiro lalu keluarkan sebuah bungkusan kecil. Ketika kain pembungkus dibuka di dalamnya terlihat sebuah batu cincin berwarna hijau lumut, memancarkan sinar redup.
“Menurut gurumu, batu ini bernama Jamrut Kayangan. Khasiatnya untuk segala macam penyakit termasuk luka dan keracunan. Ini ambillah…”
Triwulan ragu-ragu mengambil batu cincin itu.
“Kalau kau tak mau, biar aku yang mengambilnya!” kata Daeng Ponto Jene sambil tersenyum.
“Hai! Mari kita buktikan kehebatan batu ini!” ujar Wiro tiba-tiba lalu melangkah mendekati si orang tua.
“Apa yang hendak kau lakukan…?!” Daeng Ponto Jene bersurut.
Wiro tangkap bahu orang itu. Batu cincin dioleskannya ke jari tangan yang terluka oleh cakaran Kelelawar Hantu Ajaib. Darah pada luka serta merta berhenti dan luka itu sendiri menutup!
“Batu mukjizat!” seru Daeng Ponto Jene.
“Kalau begitu tolong sembuhkan telinga kananku yang buntung!”
“Orang tua bodoh! Mana mungkin kuping yang sudah buntung bisa kembali! Tapi kalau hanya lukanya pasti bisa disembuhkan!” kata Wiro pula. Lalu batu hijau itu dioleskannya ke bagian telinga yang sumplung. Luka yang masih mengucurkan darah itu menjadi kering dan rasa sakit serta merta lenyap.
“Benar-benar luar biasa!” ujar Wiro. Lebih dari empat tahun dia mengantongi Jamrut Kayangan tanpa menyadari betapa hebatnya daya sembuh dan mukjizatnya. Batu itu dibersihkannya dengan ujung bajunya, dibungkusnya kembali lalu diulurkannya pada Triwulan. “Setelah melihat kehebatan batu ini, apakah kau masih menolak dan ragu menerimanya…?”
“Terima kasih…” Triwulan menyahuti dan akhirnya mengambil batu dalam bungkusan itu.
“Nah… nah, antara kita tak ada ganjalan apa-apa lagi. Segala kecurigaan berganti dengan tali persahabatan. Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus memikirkan bagaimana cara menumpas Datuk Teluk Ular dan Kelelawar Hantunya…”
Daeng Ponto lalu memegang lengan kedua orang muda itu dan ketiganya meninggalkan tapi pantai dengan cepat.

9

SEPASANG MATA MERAH Datuk Teluk Ular membeliak besar seperti menyala ketika melihat Kelelawar Hantu kembali dengan telinga mengucurkan darah. Binatang ini menjatuhkan dirinya di pangkuan sang Datuk dan mengeluarkan suara mencuit perlahan berulang kali.
“Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan ini!” kata Datuk Teluk Ular sambil menggebrak lantai rumahnya. “Tidak mungkin si tua bangka bau itu! Tidak mungkin!” Datuk Ular perhatikan kepala kelelawar terutama pada kedua telinganya. “Aneh… tak ada tanda tusukan. Tapi mengapa telinga kiri mengeluarkan darah…?”
“Cuit… cuit… cuit…”
“Tenang… tenang kelelawarku. Luka ditelingamu akan kuobati. Bila sudah sembuh kau harus mencari orang yang mencelakaimu itu dan membunuhnya. Hancurkan mukanya. Korek kedua matanya! Robek perutnya biar ususnya ber-busaian!”
“Cuit… cuit… cuit… I”
Dengan kedua telapak tangannya Datuk Teluk Ular menekap kepala burung kelelawar. Kepalanya mendongak. Matanya terpejam dan mulutnya mulai komat-kamit membaca mantera.
Beberapa saat berlalu. Perlahan-lahan Datuk Teluk Ular lepaskan tekapannya. Tampak tetasan darah di telinga kiri kelelawar mengering dan rontok ketika diusap. Kelelawar itu sendiri yang sebelumnya tampak kuyu lemas kini beruban tegar dan galak. Suara cuitannya melengking karat. Sepasang matanya yang merah menyala-nyala. Datuk Teluk Ular usap-usap punggung Kelelawar Hantu.
“Tenang kelelawarku. Tenang… Aku tahu kau sangat marah dan ingin membalas dendam pada orang yang telah mencelakaimu. Tapi jangan kesusu. Tunggu sampai pagi. Setelah kau terluka tidak boleh keluar menyerbu di malam buta begini. Musuh pasti berada di sekitar teluk. Kita akan membunuhnya besok pagi. Aku akan menyertaimu untuk menyaksikan…!”
“Cuit… cuit… cuit!”
“Bagus… bagus. Kau bisa bersabar menahan diri. Sekarang kau harus istirahat.
Besok kita kerja keras. Mungkin bukan hanya seorang yang akan kita hadapi… ”
“Cuit… cuit… cuit…”
•••
DATUK TELUK ULAR tegak bertolak pinggang di tepi pantai sesaat setelah matahari muncul di sebelah timur. Angin laut masih terasa dingin. Rambutnya yang panjang putih melambai-lambai. Sepasang matanya yang merah tidak berkesip dan tampangnya yang angker sedikitpun tidak bergeming. Namun dua mata berwarna merah itu sesaat kemudian tampak menyipit ketika di kejauhan dia melihat sesosok tubuh terbujur di atas pasir pantai. Sang Datuk memandang ke langit. Kelelawar Hantu terbang berputar-putar. Dia memalingkan lagi pandangannya ke arah sosok tubuh.
Dengan membuat enam kali lompatan saja manusia berwajah angker itu sampai di hadapan sosok tubuh yang menggeletak. Sesaat sang Datuk jadi tercekat!
Yang terbujur di atas pasir itu ternyata adalah seorang gadis berparas jelita. Rambutnya yang panjang hitam dan basah tergerai lepas. Seluruh pakaiannya yang berwarna merah basah kuyup dan seperti tercetak pada auratnya yang bagus, membuat Datuk Teluk Ular merasakan darahnya menjadi panas dan mengalir lebih cepat. Apalagi bagian dada pakaian sang dara agak tersingkap.
Salah satu tangan dara berbaju merah itu memegang sepotong papan kecil. Datuk Teluk Ular memandang ke laut. Hanya sesaat karena di lain kejap kedua matanya kembali menelusuri sosok tubuh di atas pasir, seperti hendak menelanjanginya. Sang Datuk duduk berlutut di samping sosok tubuh. Tangannya meluncur cepat ke dada yang tersingkap, lalu terdengar tawanya mengekeh.
“Masih hidup… masih hidup…”
Sosok tubuh yang terbujur itu tiba-tiba bergerak menggeliat. Serasa sesak nafas Datuk Teluk Ular ketika melihat geliatan itu menyebabkan bagian dada sang dara terbuka tambah lebar!
Sepasang mata yang tadi terpejam kini membuka perlahan. Ah mata itu bagus dan bening sekali, benar-benar mempesona sang Datuk. Ketika mata itu melihat sosok tubuh Datuk Teluk Ular yang berlutut di sampingnya, sang dara seperti ketakutan dan bangkit dengan cepat, duduk di pasir dan bersurut beberapa langkah lalu berdiri sambil pegangi keningnya. Datuk Teluk Ular ikut berdiri.
“Di mana aku… Perahuku… Mana perahuku…” Si baju merah memandang ke arah laut. Lalu seperti lemas dia terduduk ke pasir. Ketika Datuk Teluk Ular datang mendekat, gadis ini kembali tampak ketakutan.
“Jangan takut gadis cantik… Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu. Katakan siapa namamu dan mengapa pagi-pagi begini terbujur di pantai…”
“Aku… perahuku dilanda badai menjelang pagi dan karam. Aku berusaha berenang mencapai pantai. Ternyata… ternyata…”
’Ternyata kau selamat dikirimkan ombak ke pantai teluk ini…’!” menyambut Datuk Teluk Ular.
“Teluk… Apakah aku berada di teluk…”
“Betul, kau berada di teluk yang indah. Kawasan ini adalah daerah kekuasaanku!”
“Siapa kau! Wajahmu menakutkan sekali. Jangan mendekat. Aku datang dari jauh. Sengaja mengarungi laut untuk mencari Datuk Teluk Ular…”
“Hai! Kau memang berada di Teluk Ular. Dan aku adalah Datuk yang kau cari…!” kata Datuk Teluk Ular hampir berseru.
Sang dara menunjukkan wajah seperti tidak percaya.
“Dengar gadis cantik berbaju merah,” kata sang Datuk. Matanya melirik ke dada si gadis.
“Kau telah bertemu dengan orang yang kau cari. Aku kepingin tahu mengapa kau mencariku. Maksud baik atau maksud jahat…?”
“Jadi kau betul Datuk Teluk Ular? Tidak bohong?!”
“Setan sekalipun tak akan berani bohong pada gadis secantikmu ini…”
“Kalau begitu, aku harus memberi penghormatan padamu!” Lalu gadis berbaju merah itu membungkuk dalam-dalam berulang kali dan baru berhenti setelah Datuk Teluk Ular menegurnya.
“Sudah… sudah… Jangan menghormat seperti itu. Ayo katakan mengapa kau mencariku. Tapi tunggu, terangkan dulu namamu!”
“Aku Supani. Aku sengaja berlayar dari jauh mencarimu karene ingin menjadi muridmu. Sudah lama nama besar Datuk sampai di telingaku. Kehebatan Datuk, termasuk kabar bahwa Datuk memelihara seekor burung sakti, entah burung apa namanya!”
Datuk Teluk Ular tertawa gelak-gelak.
“Nama hebat memang ditiupkan angin ke mana-mana. Lihatlah ke atas. Seekor kelelawar terbang di udara berputar putar. Itulah burung yang kau maksudkan. Tapi binatang itu tidak sakti. Akulah yang memberikan kesektian padanya…”
“Luar biasa! Datuk sanggup memberikan kesaktian pada seekor burung. Tentu dapat pula memberikannya pada seorang manusia sepertiku…”
’Tentu saja! Tentu saja!” jawab Datuk Teluk Ular.
“Jadi Datuk bersedia mengambilku jadi murid…?”
“Lebih dari itu Supani! Lebih dari itu! Kau suka hidup bersamaku…?”
“Maksud… maksud Datuk…?”
“Kau akan kujadikan istri! Mau? Pasti mau!”
Dan tangan sang Datuk mencuil dagu Supani.
“Ah Datuk ini…” ujar Supani seperti malu tapi matanya mengerling membuat sang Datuk blingsatan.
“Dengar Supani! Kau kuterima jadi murid.
Sekaligus jadi istri! Jika saat ini kukatakan kau jadi istriku maka berarti kau sudah resmi jadi istriku!”
“Ah Datuk ini…”
“Sebagai murid kau tak boleh menolak perintah guru. Sebagai istri kau harus patuh pada suami! Pakaianmu yang basah perlu dikeringkan. Mari kita ke semak belukar sana. Akan ku bantu kau membuka pakaian itu dan menjemurnya"
“Tapi aku tidak memiliki pakaian pengganti Datuk…”
“Kau tidak memerlukan itu Supani,” sahut Datuk Teluk Ular. Lalu dengan gerakan cepat dia mendukung tubuh sang Dara, membawanya ke balik serumpunan semak belukar dan membaringkannya di sana.
Ketika tangan sang Datuk hendak membuka pakaiannya, Supani pegang lengan orang itu seraya bertanya: “Datuk, apakah tak ada orang lain di tempat ini. Malu sekali kalau ada yang sempat melihat…”
“Setan pun tak ada yang berani berada di daerah ini. Apalagi manusia! Semua takut padaku!”
“Tapi burung kelelawar itu Datuk. Aku merasa takut dan gelisah kalau dia terusterusan terbang di atas kita. Matanya seperti memperhatikan. Aku tak sudi Datuk membuka pakaianku kalau binatang itu masih ada di sekitar sini…”
Datuk Teluk Ular tertawa. Hidungnya kembang kempis. Dia jadi tak habis pikir mengapa mendapatkan rejeki besar pagi itu.
Maka diapun menjawab: “Tak usah kawatir. Aku akan suruh kelelawar itu pergi jauh-jauh dari sini…”
“Ya… sebaiknya begitu Datuk.
Datuk Teluk Ular lambaikan tangannya ke udara dan berseru: “Kelelawar Hantu, pergi dari sini. Jangan kembali sebelum aku memanggilmu!”
“Cuit… cuit… cuit
Kelelawar Hantu mengepakkan sayapnya dengan deras. Tubuhnya berputar ke timur. Sesaat kemudian binatang ini sudah melesat dan lenyap dari pemandangan.
“Nah, sekarang tak ada lagi yang perlu di risaukan,” kata Datuk Teluk Ular dengan nafas mendesau dan nafsu memburu. Kedua tangannya meluncur ke bawah untuk membuka pakaian merah Supani. Sang dara lagi-lagi pegangi kedua lengannya.
“Kalau Datuk suka biar aku yang membuka pakaian Datuk lebih dulu
“Ah!” Datuk Teluk Ular terperangah. Lalu tertawa mengekeh. “Ini baru kejutan. Ini baru kejutan… Lakukanlah! Kau boleh membuka pakaianku! Lebih cepat lebih nikmat! Ha. ha…ha!”

10

BATU HITAM berlumut yang telah puluhan tahun di tepi pantai teluk seperti tidak termakan usia, mendekam menantang angin dan hempasan ombak. Sama sekali tidak bergerak.
Sosok tubuh yang duduk di atasnya juga tidak bergerak. Dua tangan disilangkan di depan dada. Rambut putih berkibar-kibar ditiup angin. Ada keanehan pada raut wajahnya yang angker tertutup cambang bawuk. Kedua matanya menatap jauh ke daratan teluk yang penuh ditumbuhi pohon-ponon kelapa. Di timur sang surya baru saja menyembul naik. Udara pagi terasa segar walau tidak terlepas dari hawa yang mengandung garam.
Seperti wajahnya, juga terlihat keanehan pada kedua mata manusia tua ini. Mata itu dilingkari cairan berwarna merah hingga bentuknya seram sekali.
“Cuit… cuit… cuit…!”
Keheningan teluk, hembusan angin dan deburan ombak dipecah oleh suara mencuit keras. Dari arah barat tampak melayang seekor kelelawar besar bersayap lebar. Binatang ini melesat ke timur seolah-olah hendak mengejar matahari. Namun di pertengahan teluk kelelawar ini melayang ke atas lalu terbang berputar-putar. Sepasang matanya yang merah menatap menyorot ke arah sosok tubuh yang duduk di atas batu berlumut.
“Cuit… cuit… cuit…!”
Kelelawar mencuit lagi lalu menukik. Wajah angker bercambang bawuk nampak tegang sesaat. Kelelawar melesat ke kiri lalu terbang berputar-putar sejarak lima tombak di atas kepala berambut putih itu!
“Kelelawarku!” tiba-tiba orang di atas batu berseru keras. Suaranya membahana.
Bersamaan dengan itu tangan kanannya diangkat ke atas. “Aku Datuk Telur Ular akan memberi perintah…”
Sepasang mata yang diberi cairan merah itu melirik ke atas. Di udara burung kelelawar besar masih terus terbang berputar-putar.
“Kelelawar Hantu!” orang tua itu kembali berseru. “Apa kau tidak dengar ucapanku?!”
Kelelawar di atas sana masih terus terbang berputar. Matanya menyorot ke bawah seperti menyelidik.
“Kelelawar Hantu…!” Si muka angker di atas batu kembali berteriak.
“Cuit… cuit… cuit!”
Terdengar kelelawar besar mencuit sebagai jawaban.
“Bagus! Apakah kau siap menjalankan perintahku Datuk Teluk Ular…?”
“Cuit… cuit… cuit…!”
“Terbang ke teluk sebelah barat! Di situ kau akan melihat lelaki tua berwajah seram berambut putih dalam keadaan bugil di balik rerumpunan semak belukar. Di balik rerumpunan semak belukar! Lelaki berambut putih dan bugil… Bugil… bugil…!”
“Cuit…cuit… cuit…!”
“Bunuh orang itu. Bunuh… bunuh…bunuh…!”
“Cuit… cuit… cuit…!”
Kelelawar yang terbang di udara mencuit untuk terakhir kali sebelum melesat ke arah barat teluk. Serentak dengan itu, orang tua berwajah angker di atas batu melompat turun dan seperti terbang lari pula menuju ke barat. Di saat yang sama sesosok tubuh melompat keluar dari balik semak belukar dan berlari kencang mengikuti orang tua tadi.
Di suatu tempat, kelelawar besar keluarkan suara mencuit ganas lalu menukik tajam ke Sesuai dengan perintah yang diucapkan Datuk Teluk Ular tadi, sosok tubuh berambut putih dan dalam keadaan bugil sudah terlihat oleh sepasang matanya yang merah garang tetapi tajam sekali.
Begitu mendengar suara mencuit, sosok tubuh telanjang di balik semak belukar mendongak ke atas. Merasa terganggu, orang ini membentak marah.
“Siapa menyuruh kau kembali kemari! Lekas tinggalkan tempat ini!”
Dari balik semak belukar yang sama terdengar suara perempuan. “Biarkan saja burung itu Datuk. Kini aku tak takut lagi…”
“Ah, kalau begitu katamu tentu saja aku akan menurut. Nah, nah… nah! Kau masih belum membuka seluruh bajumu. Juga celanamu. Jangan biarkan aku terpanggang oleh nafsu birahi kekasihku cantik…” ujar orang tua yang berada dalam keadaan tanpa pakaian itu.
Gadis berpakaian merah yang terbujur di antara kedua kakinya menurut saja dan seperti mulai menanggalkan pakannya. Pada saat itu kembali terdengar suara Kelelawar Hantu mencuit. Binatang ini tiba-tiba menukik deras ke arah semak belukar.
Orang tua di bawah sana kembali mendongak. Hatinya mendadak merasa tak enak. Dan saat itu dilihatnya Kelelawar Hantu menukik ke arahnya. Sayap terkembang lebar seperti sepasang pedang yang siap memancung. Dua cakar terpentang ke depan dan mulut bertaring runcing mencuat!
“Hai! Mengapa kau menyerangku?!”
Orang tua bertelanjang berteriak kaget.
“Pergi!” teriaknya lagi.
Tapi sesuai perintah kelelawar itu terus menukik. Dia harus membunuh orang berambut putih tanpa pakaian!
“Hai…!”
Orang tua itu tak melihat jalan lain. Bahaya mengancam. Secepat kilat dia menjatuhkan diri ke samping lalu bergulingan di pasir. Ketika dia berdiri, dilihatnya Kelelawar Hantu sudah melesat ke udara, terbang berputar-putar, merendah lalu melesat ke arah tempatnya berdiri dengan suara men-cuit-cuit!
“Celaka! Apa yang terjadi!” Orang tua itu membatin. Lalu cepat membentak: “Binatang keparat! Kau berani menyerangku…”
Plaak… plaak!
Sayap lebar menerpa ganas. Orang tua yang di serang jatuhkan diri. Kelelawar Hantu melesat lewat di atas kepalanya. Salah satu sayapnya menghantam batang kelapa. Pohon ini seperti dihajar bacokan sepuluh golok tajam. Mengeluarkan suara berderak lalu tumbang dengan deras.
Orang tua berambut putih tampak pucat. Lupa akan keadaannya yang tidak berpakaian, dia melompat ke atas tumbangan pohon kelapa. Dia juga sudah melupakan gadis berbaju merah yang tadi siap untuk digagahinya. Di atas pohon kelapa tumbang dia tegak berkacak pinggang.
“Aku Datuk Teluk Ular! Dan kau berani menyerang tuanmu ini! Bersiaplah menerima mampus!” Mulutnya tampak berkomat-kamit.
Tangan kanan dan tangan kiri yang diangkat ke atas mendadak berubah biru. Ketika Kelelawar Hantu terbang merendah serta merta orang tua ini hantamkan kedua tangannya. Dua larik sinar biru yang memancarkan hawa panas dan mengandung racun jahat menderu menghantam ke arah Kelelawar Hantu.
“Cuit… cuit… cuit!”
Kelelawar Hantu mencuit keras, melesat ke udara hampir tegak lurus. Begitu dia larik sinar maut lewat di bawahnya binatang ini tiba-tiba menukik kembali, menyerang orang tua bertelanjang bulat itu.
“Aku Datuk Teluk Ular! Orang yang merubah wujudmu! Kau harus tunduk padaku!
Harus tunduk… harus tunduk!”
“Cuit… cuit… cuit…”
Kelelawar Hantu tampak membelok ke kanan, tak jadi menyerang lalu kembali berputar-putar dan memandang ke bawah seolah-olah meneliti.
“Aku Datuk Teluk Ular! Memerintahkan pergi dari sini…”
“Akulah Datuk Teluk Ular!” satu suara keras membentak keras, mengejutkan orang tua bertelanjang. “Kau Datuk palsu! Kelelawarku! Jangan sampai terkecoh manusia telanjang itu! Ingat perintahku…!”
“Bangsat haram jadah…!” Sepasang mata merah orang tua telanjang membeliak besar hampit tak percaya. Kalau terdapat perbedaan namun sepintas lalu, sosok tubuh tua bangka berambut putih berwajah angker di depannya seperti dirinya sendiri! Memandang ke kiri, lelaki telanjang yang sebenarnya memang adalah Datuk Telur Ular yang asli, melihat sosok tubuh Daeng Ponto Jene, kakek berwajah buruk berpakaian rombeng, memandang menyeringai padanya. Dan memandang lagi ke sebelah kanan si kakek, Datuk Teluk Ular saksikan gadis jelita berpakaian merah yang tadi sudah siap untuk dilahapnya berdiri tegak dengan golok merah bersilang di depan dada!
Melihat kenyataan ini Datuk Teluk Ular serta maklum apa yang terjadi dan apa yang tengah dihadapinya. Maka diapun lambaikan tangan ke arah kelelawar dan berseru:
“Kelelawarku! Bunuh ketiga manusia keparat itu!”
Kelelawar Hantu mencuit. Terbangnya merendah, berputar di atas tiga orang yang tegak di hadapan Datuk Teluk Ular.
“Kau tidak layak memperintah burungku!”
balas berteriak orang berwajah angker berambut putih yang banyak kemiripannya dengan Datuk Tetuk Ular. “Akulah Datuk Teluk Ular! Penguasa teluk dan pemilik Kelelawar Hantu! Kelelawar jalankan perintahku! Bunuh manusia telanjang itu!”
Kelelawar Hantu tampak bingung. Binatang ini mengenali suara Datuk Teluk Ular yang asli dan juga mengenali tampangnya yang angker. Tapi dia juga mengenali wajah angker lainnya yang dalam otak binatangnya menganggap adalah juga wajah Datuk Teluk Ular, lengkap dengan rambut putih dan pakaiannya!
“Bunuh…bunuh… bunuh!”
Teriak Datuk Teluk Ular palsu.
“Dia yang harus kau bunuh!” Teriak Datuk Teluk Ular asli.
Kelelawar Hantu tampak bingung. Mencuit beberapa kali. Daeng Ponto Jene, Triwulan dan Datuk Teluk Ular palsu tampak tegang.
“Kelelawar Hantu! Bunuh manusia
telanjang itu! Aku Datuk Teluk Ular memerintahkanmu!”
Manusia telanjang… manusia telanjang… „
Kata-kata itu mengiang di kedua telinga Kelelawar Hantu. Seumur hidup dia tidak pernah melihat Datuk Teluk Ular tanpa pakaian. Jadi Datuk Teluk Ular tak pernah bertelanjang. Datuk Teluk Ular yang sejati adalah si berewok bermuka angker dan berpakaian itu!
“Cuit… cuit… cuit.!”
Kelelawar Hantu menukik kencang. Datuk Teluk Ular tersentak kaget melihat dirinya kembali diserang. Dia cepat membacakan mantera. Tapi serbuan Kelelawar Hantu datang lebih cepat. Datuk Teluk Ular membuang diri ke kiri.
Ujung sayap kanan Kelelawar Hantu menepis pipi kirinya. Datuk Teluk Ular menjerit keras. Daging pipinya luka dalam seperti dirobek ujung pisau. Darah mengucur! Sekujur tubuhnya bergetar menahan sakit dan juga oleh luapan amarah. Bagaimana mungkin binatang yang selama ini berada di bawah kekuasaan dan perintahnya kini menyerangnya sendiri dengan ganas!
Dengan wajah berlumuran darah Datuk Teluk Ular kembali berteriak, masih berusaha untuk menguasai Kelelawar Hantu.
“Aku Datuk Teluk Ular! Kau dengar?! Aku Datuk Teluk Ular! Kau harus tunduk padaku! Kau harus ikut perintahku. Karena aku yang merubah wujudmu! Aku Datuk Teluk Ular! Bunuh tiga manusia itu! Bunuh… bunuh…bunuh!”
Tapi kata-kata sang Datuk tampaknya tidak berpengaruh lagi pada Kelelawar Hantu meskipun mantera pertama yang merubah wujudnya dilafalkan oleh orang tua itu. Sebagai binatang burung kelelawar itu tidak mampu membedakan mana Datuk Teluk Ular yang asli dan mana yang palsu. Otaknya bekerja lebih banyak berdasarkan penglihatan belaka. Saat itu dia memang melihat dua wajah angker Datuk Teluk Ular, yakni yang palsu dan yang asli. Tapi walaupun asli, binatang ini tidak dapat mengenali tubuh telanjang itu. Sebaliknya meskipun wajahnya hanya mirip-mirip saja, datuk yang palsu mengenakan pakaian lengkap persis seperti yang asli. Karena itulah binatang ini lebih mempercayai penglihatannya dan menganggap Datuk Teluk Ular palsu adalah kepada siapa dia tunduk!
“Kelelawar Hantu! Bunuh… bunuh cepat manusia telanjang itu!” Datuk Teluk Ular yang tegak di sebelah Daeng Ponto Jene kembali berteriak berikan perintah.
Dan perintah inilah yang didengar serta dipatuhi Kelelawar Hantu. Didahului suara mencuit-cuit binatang itu kembali menyerbu Datuk Teluk Ular.
Daeng Ponto Jene terdengar keluarkan suara tertawa panjang.
“Datuk! Dosamu terlalu berat! Selangit tembus sebumi amblas! Kalau kau masih mau bertobat, kami akan memerintahkan kelelawar itu berhenti menyerangmu!
“Ponto Jene keparat! Apa kau kira bisa hidup lebih lama dariku!”
Habis berkata begitu Datuk Teluk Ular jatuhkan diri ke tanah. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Satu sinar putih berkiblat menyilaukan laksana sambaran matahari yang memantul dipermukaan kaca!
“Badik Bulan Bintang!” seru Daeng Ponto Jene ketika kenali senjata mustika di tangan Datuk Teluk Ular.
Sang Datuk menyerbu. Sambaran dua cakar Kelelawar Hantu baru saja lewat di atasnya. Tubuhnya yang mendekam kemudian melesat ke arah Daeng Ponto Jene. Senjata di tangan kanannya kembali berkiblat.
Kakek yang diserang cepat menghindar sambil lepaskan pukulan tangan kosong. Tapi satu sambatan golok yang memancarkan cahaya merah datang dari samping lebih cepat.
“Gadis jahanam!” bentak Datuk Teluk Ular ketika melihat siapa yang menyerang. “Jadi kau berserikat dengan anjing tua ini! Kau akan menyesal sampai ke liang kubur!”
Datuk Teluk Ular angkat tangan kanannya yang memegang Badik Bulan Bintang.
Trang!
Dua senjata mustika yakni Badik Bulan Bintang dan golok Ki Karangasem bentrokan di udara, mengeluarkan suara berdentrang keras dan memercik kan bunga api.
Triwulan terpental tiga langkah. Tangan kanannya terasa ngilu sampai ke bahu. Telapak tangannya terasa panas. Golok yang digenggamnya terlepas mental. Dia berusaha untuk menjangkau golok itu sambil melompat. Ini satu kesalahan besar mengundang maut!
Baru saja Triwulan membuat setengah lompatan. Badik Bulan Bintang berkelebat membabat ke perutnya!
Daeng Ponto Jene keluarkan seruan tertahan sambil berusaha menelikung Datuk
Teluk Ular dari belakang. Namun terlambat. Sesaat lagi ujung badik akan membusai perut sang dara, dari samping menderu angin deras laksana topan prahara. Tubuh Datuk Teluk Ular bergoyang-goyang. Dia berusaha tapi akhirnya terseret angin deras dan jatuh bergulingan. Triwulan sendiri sudah lebih dulu terpental tiga tombak. Sekujur tubuhnya seperti remuk namun nyawanya selamat dari tikaman badik yang mematikan.
Daeng Ponto Jene tarik nafas lega menyaksikan pukulan tangan kosong yang dilepaskan oleh Datuk Teluk Ular palsu berhasil menyelamatkan Triwulan. Sebaliknya Datuk Teluk Ular yang asli merasakan denyutan sakit pada dadanya. Sebenarnya nyalinya saat itu sudah mulai meleleh. Bukan dalam menghadapi tiga lawan di depannya, tetapi melihat kenyataan bahwa dia tidak lagi bisa menguasai Kelelawar Hantu. Binatang ini kini menjadi musuh utama yang setiap saat akan mencelakainya, akan membunuhnya!
Percaya akan keandalan Badik Bulan Bintang, ketika Kelelawar Hantu melayang rendah dan menyambar ke arahnya, sang Datuk menyongsong dengan satu tusukan.
“Cuit… cuit… cuit!”
Sinar putih berkiblat.
Plaak! Craas!
“Cuit…’…!”
Jeritan Datuk Teluk Ular seperti menembus langit menghunjam laut di teluk. Tangan kanannya sebatas pertengahan lengan tampak melayang di udara akibat dipapak putus oleh sayap kiri Kelelawar Hantu. Dalam masih menggenggam Badik Bulan Bintang kutungan tangan itu jatuh ke tanah sementara sang Datuk sendiri tersungkur berlutut pegangi lengan kanannya yang mengucurkan darah dengan tangan kiri. Dalam keadaan seperti itu Kelelawar Hantu yang secara tidak sadar berada di bawah kekuasaan dan perintah Datuk Teluk Ular palsu kembali menyerbu. Sekali ini punggungnya yang menjadi sasaran… Datuk Teluk Ular terhempas menelungkup. Luka seperti dikoyak harimau, menganga di punggungnya, mengerikan untuk dilihat.
“Keparat… binatang keparat…” rutuk sang Datuk. Dengan tangan kirinya dia melepaskan pukulan Kelabang Biru. Namun tenaganya sudah habis. Sinar biru pukulannya hanya merupakan bayangan samar. Sebelum dia sempat menurunkan tangan kirinya. Kelelawar Hantu telah menghantam tangan itu dengan sayapnya hingga kini kedua tangan Datuv Teluk Ular menjadi buntung! Dan seperti kesetanan Kelelawar Hantu kembali membalik untuk menyerangnya.
“Tolong… Daeng… Tolong…” suara Datuk Teluk Ular hanya tinggal erangan.
Daeng Ponto Jene, si kakek berpakaian rombeng hanya bisa gelengkan kepala.
“Tidak ada yang bisa menolongmu Datuk…”
sahutnya perlahan. “Kau sendiri yang telah menentukan kematianmu begini rupa.
“Cuit… cuit… cuit…!”
Kelelawar Hantu menyambar!
Triwulan palingkan kepalanya karena ngeri.
“Cuit… cuit…cuit!”
Kelelawar Hantu melesat ke udara dengan membawa sebagian isi perut serta anggota rahasia Datuk Teluk Ular. Orang tua berwajah angker ini berkelejotan beberapa kali. Sesaat kemudian nyawanya pun lepas.
Di saat itu pula, Kelelawar Hantu yang tadi membumbung ke udara terdengar mencuit panjang, sayapnya yang panjang mendadak berubah kecil menciut. Kepalanya ikut mengecil. Matanya yang semula merah kini kembali hitam kuyu sedang taringnya yang mencuat lenyap. Lebih dari itu kekuatan yang ada ditubuhnya sirna. Seperti sebuah batu binatang ini jatuh ketanah, terguling di pasir pantai. Ombak datang menerpa lalu menyeretnya ke laut. Makin ke tengah, makin jauh, makin ke tengah akhirnya lenyap dari batas pandangan.
Daeng Ponto Jene melangkah menghampiri kutungan tangan kanan Datuk Teluk Ular untuk mengambil Badik Bulan Bintang.
Sementara itu Datuk Teluk Ular palsu terdengar mengomel panjang pendek.
“Sialan… Untung saja binatang celaka itu tolol dan kena tertipu! Kalau tidak, muka dan tubuhku yang akan dikoyak-koyaknya! Gila! Datuk palsu ini gerak-gerakkan tangan kanannya ke muka. Breet… breet! Cambang bawuk tiruan yang menutupi dagu dan pipi sampai ke pelipis tangal dan dibantingkannya ke tanah. Lalu wajahnya yang angker tapi acakacakan diusapnya berulang kali bahkan kemudian dicucinya dengan air laut Terakhir sekali rambut palsu berwarna putih yang melekat di kepalanya disentakkannya hingga kini kelihatan wajahnya yang asli.
Triwulan tertawa cekikikan melihat pemuda di hadapannya, itu. “Perananmu sebagai Datuk Teluk Ular cukup meyakinkan!” berkata sang dara.
Daeng-Ponto Jene tertawa mengekeh. Sebaliknya Wiro Sableng yang tadi didandani menjadi Datuk Teluk Ular menyeringai setengah jengkel sambil garuk-garuk kepala.
“Terus terang aku sebelumnya merasa kawatir kalau-kalau apa yang kita lakukan tadi akan gagal,” berkata si orang tua. “Tapi memang tak ada jalan lain. Lagi pula bukankah usul menipu Kelelawar Hantu dengan cara itu kau sendiri yang mengajukan…”
Wiro lagi-lagi terpaksa garuk-garuk kepala.
“Terima kasih…” katanya seraya berpaling pada Triwulan. “Kurang-kurang pandai kau mendandani mukaku dan sempat burung celaka itu mengetahui aku bukan Datuknya… puah, sudah jadi apa aku ini sekarang!”
“Anak-anak muda. Selagi masih pagi lebih baik kita segera meninggalkan teluk ini. Aku harus kembali ke seberang, perjalanan pulang teramat jauh…”
“Aku akan tetap di sini,” menyahuti Triwulan.
“Heh, apa yang akan kau lakukan? Mengubur mayat Datuk Teluk Ular…?” bertanya Wiro.
“Siapa sudi!” jawab sang dara cemberut.
“Aku akan kembali ke bekas desaku di pedalaman sana. Meski tidak ada makam atau kuburnya, menjenguk desa itu bagiku sama saja dengan menziarahi ayah ibu dan suadarasaudaraku…”
“Kalau begitu… eng…” Wiro garuk-garuk kepala.
Daeng Pnto Jene tersenyum.
“Aku tahu apa arti kalau begitu itu, anak muda”, berkata Daeng Ponto Jene, “terserah kalian berdua mau ke mana. Asal saja hati-hati. Roh jahat Datuk Teluk Ular pasti akan gentayangan di sekitar teluk ini… Kalian tidak takut?”
Triwulan tidak menjawab. Sebaliknya
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa lebar dan berkata: “Setan lelaki tak akan mengganggu orang lelaki. Yang dicarinya tentu orang perempuan, apalagi secantik sahabat baruku ini!”
Si kakek tertawa panjang. “Kalau pun dia ketakutan, pasti kau tahu bagaimana menolongnya…”
kata orang, tua itu pula seraya kedip-kedipkan matanya.
“Kalian tua bangka dan yang pemuda sama saja senang mengganggu orang!” ujar Triwulan cemberut.
Daeng Ponto Jene tertawa mengekeh. Dia mengangkat tangan kanannya sebagai tanda mengucapkan selamat tinggal lalu berkelebat pergi dari situ.
Triwulan berpaling pada Wiro.
“Kau benaran hendak ikut aku ke desa…?”
“Pasti kau tidak keberatan!”
“Asal saja kau tidak usik dan tidak berlaku kurang ajar
“Ah, aku tidak akan seusil kakek tadi. Juga tidak sekurang ajar Datuk Teluk Ular waktu bersamamu di semak belukar sana tadi. Setengah-setengah saja bagaimana…?”
“Pemuda gendeng!” dengus Triwulan lalu berlari tinggalkan tempat itu.
“Gendeng…?” Wiro usap-usap keningnya.
“Ah tak apalah dia mencapku begitu. “Gendeng dan sableng mungkin tak ada bedanya… Hai tunggu!” Wiro berkelebat pula menyusul sang dara.


TAMAT


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...