posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : PETAKA PATUNG KAMASUTRA
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : PETAKA PATUNG KAMASUTRA
1
MALAM hari menjelang hujan turun lebat. Rumah yang terletak tak jauh dari Kali Progo itu tampak sunyi diselimuti kegelapan. Di dalam rumah semua orang tertidur lelap, keletihan dan kedinginan. Hanya Purnama seorang yang tidak bisa memicingkan mata. Banyak hal memenuhi dan membuncah jalan pikirannya. Pertama sakitnya Pendekar 212 Wiro Sableng. Meski kini peredaran darah Wiro sudah berhasil disembuhkan, namun penyakit yang kelak bakal menyengsarakan dirinya masih mendekam dalam tubuhnya. Apakah benar pemuda itu akan kehilangan kejantanannya seumur hidup?Gadis dari negeri 1200 tahun silam ini secara diam-diam berusaha menjajagi Kitab Seribu Pengobatan yang dihafalnya di luar kepala. Namun entah karena pikiran yang sedang kacau atau memang tidak ada cara penyembuhan penyakit seperti yang dialami Wiro dalam kitab itu, maka dia tidak mendapat petunjuk apa-apa.
Selain itu jalan pikiran Purnama juga dipenuhi dengan galau tanda tanya besar mengenai hubungannya dengan Wiro. Dia sangat mencintai pemuda itu. Apakah dia akan berhasil mendapatkan Wiro sementara diketahuinya Bidadari Angin Timur, Bunga serta Ratu Duyung juga mencintai sang pendekar. Bahkan tiga gadis itu mengenal dan mencintai Wiro jauh lebih dulu dan lebih lama dari dirinya. Disamping ketiga gadis cantik itu, Purnama juga tahu kalau masih banyak gadis lain yang telah jatuh hati terhadap Wiro. Hanya saja dia tidak tahu siapa-siapa saja mereka itu.
“Aku dan Bunga, dua gadis dari alam lain. Apakah salah satu dari kami akan bisa memiliki Wiro?” Suara hati gadis dari Latanahsilam itu bertanya. “Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur, mungkin mereka lebih beruntung…”
Saat itu Purnama duduk di lantai papan dekat pintu ruangan dimana Wiro terbaring di atas ranjang bambu, bersandar ke dinding. Gondoruwo Patah Hati tidur melunjur di sisi pintu sebelah kanan. Ratu Duyung di samping kiri si nenek, lalu Naga Kuning tidur di lantai. Ki Tambakpati dan Setan Ngompol berbaring di ruangan terbuka di bagian depan rumah panggung, tak jauh dari tangga. Dua kakek ini tidur mengeluarkan suara ngorok seperti balapan.
Tiba-tiba sudut mata Purnama melihat gerakan. Dia palingkan kepala ke arah ranjang bambu dimana Pendekar 212 terbaring. Saat itu tampak Wiro perlahan-lahan bangun dari tidurnya, duduk di tepi ranjang. Lewat cahaya temaram yang masuk melalui jendela terbuka Wiro memperhatikan satu demi satu orang-orang yang berada dalam ruangan. Semula Purnama hendak berdiri dan menghampiri Wiro. Namun dia membatalkan niat malah cepat-cepat pejamkan mata berpura-pura tidur.
Wiro berdiri dari duduknya di tepi ranjang bambu. Dengan langkah tanpa suara dia bergerak ke pintu, keluar dari ruangan. Di bagian depan rumah panggung dia berhenti sebentar memperhatikan dua kakek yang tidur mengorok. Purnama berdiri. Wiro dilihatnya menuruni tangga rumah panggung. Di halaman rumah yang becek oleh air hujan yang baru saja berhenti murid Sinto Gendeng ini diam sejenak, memandang berkeliling lalu berpaling ke arah rumah. Purnama cepat merunduk, mendekam di tempat yang gelap. Ketika dia bergerak bangun Wiro tak tampak lagi di halaman. Tidak menunggu lebih lama Purnama segera melompat ke halaman. Di arah kiri halaman rumah dia melihat bayangan Wiro yang hanya mengenakan celana panjang berkelebat di balik pepohonan. Purnama mengejar. Dia masih sempat melihat sosok pendekar itu sebelum akhirnya lenyap ditelan kegelapan.
“Heran, dia mampu berlari cepat, berkelebat dan menghilang. Apakah tenaga dalam dan ilmu kesaktiannya sudah pulih kembali?” Pikir Purnama. Walau tidak lagi dapat melihat Wiro namun gadis dari Latanahsilam ini tidak khawatir. Dia tahu di arah mana tadi Wiro menghilang berarti dia tahu harus mengejar ke jurusan mana.
Dengan ilmu yang dimilikinya dia mampu bergerak cepat, melayang di udara. Untuk itu dia harus merubah ujud, kembali ke alam gaib kehidupannya. Purnama goyangkan dua bahu. Selarik sinar biru begemerlap keluar dari tubuh dan saat itu sosok kasarnya lenyap, berubah menjadi samar. Sekali berkelebat dia telah melesat belasan langkah ke arah lenyapnya Pendekar 212.
Namun gerakan gadis berpakaian biru ini tertahan ketika di langit sebelah timur berkelebat satu bayangan putih disertai sambaran cahaya kuning. Sesaat kemudian, mengapung di udara di hadapan Purnama muncul sosok samar lelaki kurus tinggi berpakaian selempang kain putih. Dua kaki kehitaman tak berkasut. Orang ini memegang sebatang tongkat memancarkan cahaya kuning ditaburi permata berkilat aneka warna. Perlahan-lahan sosok samar ini bergerak turun ke tanah. Penuh waspada Purnama bergerak pula ke bawah.
Begitu dua kakinya menginjak tanah, wujud makhluk samar yang memegang tongkat menjadi lebih kentara, berubah membentuk sosok seorang tua berambut dan berjenggot panjang putih. Yang membuat Purnama tercekat besar adalah ketika melihat bagaimana makhluk ini sama sekali tidak mempunyai wajah. Mukanya polos tak ada mata, tak punya hidung ataupun mulut. Purnama cepat terapkan ilmu pernafasan yang disebut Nafas Sepanjang Badan. Dengan ilmu ini dia bisa mencium dan mengetahui siapa adanya makhluk yang ada dihadapannya itu. Kelopak mata Purnama bergerak-gerak, pelipis mendenyut. Hatinya membatin.
“Ternyata dia bukan makhluk alam roh. Dia seorang tua bangka manusia biasa yang memiliki kekuatan alam dahsyat. Datang dari satu tempat jauh. Benar apa yang dikatakan Bunga. Tongkat emas yang dipegannya memiliki kekuatan dahsyat. Aku harus berhati-hati…”
Gadis dari Latanahsilam ini cepat rubah ujudnya hingga terlihat jelas lalu membentak. “Makhluk tanpa wajah! Kau rupanya! Akhirnya kau berani tunjukkan diri. Tapi mengapa masih berlaku pengecut menyembunyikan wajah?”
“Aku akan perlihatkan wajah kalau kau memilih satu dari dua ketentuan!” makhluk tanpa wajah menjawab. Suaranya besar parau.
“Makhluk durjana! Kau pasti yang telah mencelakai Wiro dan punya niat jahat mencelakai diriku serta sahabat-sahabatku! Katakan siapa dirimu, mengapa berbuat jahat terhadap kami?”
“Jangan banyak bertanya. Harap kau segera memilih salah satu dari dua ketentuan. Ikut bersamaku dan tunduk pada apa yang aku katakan atau kau akan menemui kematian abadi, kembali ke alam asalmu untuk selama-lamanya!”
“Ucapan gila!” bentak Purnama. Sesaat dia merasa bimbang. Jika dia melayani terus manusia tanpa wajah ini maka dia akan kehilangan jejak Pendekar 212. Jika dia tidak melayani dan menghajar makhluk satu ini, pasti akan mendatangkan kesulitan terus menerus di kemudian hari. Dia coba menggertak. “Aku tengah mengejar seseorang. Menyingkirlah atau kubuat jadi batu dirimu saat ini juga!”
“Siapa takut ancamanmu! Dengar, orang yang kau kejar itu adalah bagianku. Aku yang akan mengurus hidup matinya. Sekarang, apakah kau sudah menentukan pilihan?!”
“Makhluk kurang ajar! Aku akan lempar kau ke tempat asalmu! Aku tahu kau
adalah manusia biasa yang bersembunyi dibalik kekuatan gaib!” teriak Purnama marah. Lalu sambil menerjang ke depan gadis ini lambaikan dua telapak tangan. Dua rangkuman cahaya biru menebar laksana jala menyelubungi sosok makhluk tanpa wajah. Bilamana cahaya biru itu sempat menyentuh tubuhnya maka makhluk tanpa wajah ini akan membatu kaku sekujur aurat tak peduli bagaimanapun hebat kesaktiannya.
“Manusia tolol! Kau tak punya daya apa-apa di hadapanku!” ucap makhluk tanpa wajah. Tongkat emas di tangan kanan disapukan ke depan.
“Wuttt!”
Selarik cahaya kuning menyilaukan berkelebat. Purnama merasa dua kakinya yang menginjak tanah bergetar hebat. Dia kerahkan tenaga dalam. Tapi hantaman cahaya kuning sungguh luar biasa. Dirinya laksana dilabrak topan prahara. Sebelum tubuhnya mencelat mental dan hancur berkeping-keping, didahului teriakan keras gadis ini tempelkan telapak tangan satu sama lain, dua tangan diangkat di atas kepala lalu sttt! Inilah ilmu kesaktian yang disebut Menyusup Bumi Menghancur Bala. Ilmu kesaktian ini selain dipergunakan untuk menyelamatkan diri dan berlindung dari serangan lawan, sekaligus juga untuk melakukan serangan balasan. Karena begitu masuk ke tanah sampai bahu tubuh akan melesat kembali ke atas, meyedot hawa kekuatan bumi hingga kekuatannya berlipat ganda untuk kemudian melancarkan serangan.
Makhluk tanpa wajah berseru kaget namun kemudian mendengus sambil tancapkan ujung tongkatnya ke tanah, dua jengkal dari tubuh Purnama yang amblas. Begitu tongkat menancap lalu diputar ke kiri, dua kali berturut-turut. Terdengar suara berderak. Tanah bergetar. Inilah gerakan mengunci membuat tubuh Purnama yang tenggelam sebatas bahu tidak bisa bergerak, tidak sanggup melesat keluar, apalagi melakukan serangan.
Sambil berkacak pinggang dan keluarkan tawa bergelak, makhluk tanpa wajah berkata, “Aku menawarkan anugrah, kau minta celaka mencari mati. Sebelum tengah hari nanti kau sudah berubah menjadi bangkai! Ha … ha… ha…!”
Makhluk tanpa wajah cabut tongkat emasnya dari tanah lalu berkelebat lenyap. Di atas sana waktu tubuhnya melayang di udara, makhluk ini terkecut ketika dapatkan salah satu bagian ujung tongkat emasnya telah gompal besar. Sementara itu dalam keadaan tubuh terpendam sebatas bahu Purnama menjerit keras. Dari mata, telinga, hidung serta mulutnya membersit lelehan darah.
“Manusia jahanam! Kau merusak tongkatku! Lebih baik kuhabisi kau sekarang juga!” makhluk tanpa wajah memaki marah. Dia segera melayang turun ke tanah kembali. Bagian tongkat yang berbentuk bulat diacungkan ke bawah, siap dikemplangkan ke batok kepala Purnama yang berada dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan. Namun makhluk ini serta merta hentikan gerakkan ketika mendadak di bawah sana terdengar suara ribut-ribut lalu dari balik kegelapan muncul dua orang kakek.
“Kurang ajar!” Bagian tengah muka makhluk tanpa wajah bergerak-gerak.
Walau tidak memiliki hidung namun dia mampu mencium sesuatu. Dia mencium bau pesing santar sekali.
“Kakek jahanan tukang kencing itu! Keparat! Dia bisa mencelakai diriku!”
Rutuk makhluk tanpa wajah. Gerakan tubuh yang melayang ke tanah ditahan lalu cepat-cepat melesat ke atas kembali.
* * *
MENDEKATI pagi Gondoruwo Patah Hati tersentak dari tidurnya lalu nenek ini membangunkan Naga Kuning.
“Hatiku merasa tidak enak,” ucap si nenek. Bersama Naga Kuning dia masuk ke dalam ruangan dimana Wiro berada. Mereka dapatkan Pendekar 212 tak ada lagi di atas ranjang bambu. Seisi rumah menjadi heboh. Ratu Duung memandang berkeliling.
“Tidak semua kita berada di tempat ini. Mana Purnama?” Ucapan gadis bermata biru itu membuat sadar semua orang kalau Purnama memang tidak ada di tempat itu.
Gondoruwo Patah Hati langsung berprasangka buruk bahwa Purnama melarikan Wiro. Sementara Naga Kuning yang mulutnya memang jahil mengatakan mungkin Wiro dibawa pergi oleh Purnama untuk diuji kejantanannya. Walau marah pada si bocah namun Gondoruwo Patah Hati diam-diam cemburu pada Purnama. Memang tidak mustahil apa yang dikatakan Naga Kuning bisa menjadi kenyataan. Ratu duyung memeriksa lewat cermin sakti. Samar-samar ia melihat bayangan Wiro di arah barat. Tidak kelihatan bayangan Purnama.
“Mungkin dia dalam perjalanan menuju Gunung Gede. Kita harus mencegahnya menjadi pertapa. Sebenarnya aku juga harus menuju ke sana karena ada pesan dari Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk menemuinya …”
Ki Tambakpati dan Setan Ngompol yang masih enak-enakan ngorok dibangunkan. Ratu Duyung mengatur rencana pengejaran.
“Kita berbagi dua…” kata gadis bermata biru itu. “Aku dan Nenek Gondoruwo Patah Hati serta Naga Kuning mengejar Wiro. Kakek Ki Tambakpati dan Setan Ngompol mencari Purnama.”
Habis berkata begitu tanpa banyak menunggu lagi Ratu Duyung melesat keluar rumah panggung diikuti Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning.
Setan Ngompol memandang ke arah Ki Tambakpati. Sambil memegang bagian bawah celananya kakek ini berkata, “Aku lagi enak-enakan bermimpi. Rasanya aku digosok-gosok Luhrembulan. Tiba-tiba gadis dari negeri Latanahsilam itu menjerit karena kantong menyanku mendadak berubah menjadi dua buah damar. Buah pantangan…”
“Sudah jangan ngacok! Kita harus mencari dimana beradanya Purnama. Kalau dia memang bersama Wiro tidak jadi persoalan. Tapi kalau sesuatu yang buruk menimpa dirinya …”
“Terus terang aku juga mengkhawatirkan diri Liris Biru. Dia mengejar pemuda jahat bernama Cakra itu ke Kuto Gede. Kalau sampai dia diapa-apakan…”
“Kita dua tua bangka yang ketiban urusan! Tapi apapun yang terjadi kita harus melakukan sesuatu! Ayo kita cari Purnama dulu. Nanti baru kau mengurus Liris Biru.
Eh….tunggu dulu!” Ki Tambakpati berhenti di depan tangga. “Kau ini merisaukan gadis bernama Liris Biru itu apa karena pernah jatuh hati pada gurunya Hantu Malam Bergigi Perak yang sudah almarhum itu atau tidak tahu diri kini naksir sama si gadis?!”
Mendengar pertanyaan sahabatnya itu Setan Ngompol tertawa mengekeh sambil pancarkan air kencing, “Mengapa hal itu dipersoalkan. Sudah anggap saja aku naksir sama keduanya. Ha…ha…ha…!”
Ki Tambakpati tarik lengan Setan Ngompol. Kedua kakek ini segera tinggalkan rumah panggung. Karena jalan yang dilalui becek bahkan ada yang tergenang air dan keadaan masih gelap keduanya berlari tidak terlalu cepat. Selain itu karena mereka juga tidak tahu harus mencari kemana, keduanya lari begitu saja ke jurusan timur. Justru mengejar asal-asalan inilah yang membawa mereka sampai ke tempat dimana Purnama terpendam di tanah sebatas bahu ke bawah. Di satu tempat Setan Ngompol berhenti. Tangan kiri menekap bagian bawah celana, tangan kanan putar-putar daun telinga sebelah kanan yang lebar dan terbalik.
“Aku mendengar suara sesuatu…” bisik Setan Ngompol dengan mata yang belok tambah dibesarkan.
“Apa….?” Tanya Ki Tambakpati.
“Suara seperti orang menangis. Eh bukan. Bukan suara orang menangis. Tapi suara orang mengerang…”
“Lelaki atau perempuan?” tanya Ki Tambakpati lagi.
“Tak begitu jelas. Tapi agaknya perempuan,” jawab setan Ngompol.
“Jangan-jangan suara demit. Aku tidak mendengar apa-apa…” kata Ki Tambakpati pula. Memang dalam soal ilmu mendengar Setan Ngompol yang punya daun kuping lebar mablang ini memiliki kelebihan.
“Sial! Kau selalu membuat aku takut! Selalu menyebut-nyebut demit!” Setan Ngompol memaki panjang pendek sambil pegangi bawah perutnya. “Ayo kau jalan duluan! Suara mengerang itu datang dari arah sana!” setan Ngompol menunjuk ke arah tempat terbuka di depan sederetan pohon besar.
Berjalan beberapa langkah tiba-tiba Ki Tambakpati berhenti. Mata melotot tubuh gemetaran.
“Astaga!” si kakek mengucap.” Apa kataku!”
“Apa, ada apa?” tanya Setan Ngompol.
Ki Tambakpati menunjuk ke depan.
“Demit perempuan mau keluar dari tanah!”
“Serrr!” Setan Ngompol langsung pancarkan air kencing.
“Hatiku merasa tidak enak,” ucap si nenek. Bersama Naga Kuning dia masuk ke dalam ruangan dimana Wiro berada. Mereka dapatkan Pendekar 212 tak ada lagi di atas ranjang bambu. Seisi rumah menjadi heboh. Ratu Duung memandang berkeliling.
“Tidak semua kita berada di tempat ini. Mana Purnama?” Ucapan gadis bermata biru itu membuat sadar semua orang kalau Purnama memang tidak ada di tempat itu.
Gondoruwo Patah Hati langsung berprasangka buruk bahwa Purnama melarikan Wiro. Sementara Naga Kuning yang mulutnya memang jahil mengatakan mungkin Wiro dibawa pergi oleh Purnama untuk diuji kejantanannya. Walau marah pada si bocah namun Gondoruwo Patah Hati diam-diam cemburu pada Purnama. Memang tidak mustahil apa yang dikatakan Naga Kuning bisa menjadi kenyataan. Ratu duyung memeriksa lewat cermin sakti. Samar-samar ia melihat bayangan Wiro di arah barat. Tidak kelihatan bayangan Purnama.
“Mungkin dia dalam perjalanan menuju Gunung Gede. Kita harus mencegahnya menjadi pertapa. Sebenarnya aku juga harus menuju ke sana karena ada pesan dari Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk menemuinya …”
Ki Tambakpati dan Setan Ngompol yang masih enak-enakan ngorok dibangunkan. Ratu Duyung mengatur rencana pengejaran.
“Kita berbagi dua…” kata gadis bermata biru itu. “Aku dan Nenek Gondoruwo Patah Hati serta Naga Kuning mengejar Wiro. Kakek Ki Tambakpati dan Setan Ngompol mencari Purnama.”
Habis berkata begitu tanpa banyak menunggu lagi Ratu Duyung melesat keluar rumah panggung diikuti Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning.
Setan Ngompol memandang ke arah Ki Tambakpati. Sambil memegang bagian bawah celananya kakek ini berkata, “Aku lagi enak-enakan bermimpi. Rasanya aku digosok-gosok Luhrembulan. Tiba-tiba gadis dari negeri Latanahsilam itu menjerit karena kantong menyanku mendadak berubah menjadi dua buah damar. Buah pantangan…”
“Sudah jangan ngacok! Kita harus mencari dimana beradanya Purnama. Kalau dia memang bersama Wiro tidak jadi persoalan. Tapi kalau sesuatu yang buruk menimpa dirinya …”
“Terus terang aku juga mengkhawatirkan diri Liris Biru. Dia mengejar pemuda jahat bernama Cakra itu ke Kuto Gede. Kalau sampai dia diapa-apakan…”
“Kita dua tua bangka yang ketiban urusan! Tapi apapun yang terjadi kita harus melakukan sesuatu! Ayo kita cari Purnama dulu. Nanti baru kau mengurus Liris Biru.
Eh….tunggu dulu!” Ki Tambakpati berhenti di depan tangga. “Kau ini merisaukan gadis bernama Liris Biru itu apa karena pernah jatuh hati pada gurunya Hantu Malam Bergigi Perak yang sudah almarhum itu atau tidak tahu diri kini naksir sama si gadis?!”
Mendengar pertanyaan sahabatnya itu Setan Ngompol tertawa mengekeh sambil pancarkan air kencing, “Mengapa hal itu dipersoalkan. Sudah anggap saja aku naksir sama keduanya. Ha…ha…ha…!”
Ki Tambakpati tarik lengan Setan Ngompol. Kedua kakek ini segera tinggalkan rumah panggung. Karena jalan yang dilalui becek bahkan ada yang tergenang air dan keadaan masih gelap keduanya berlari tidak terlalu cepat. Selain itu karena mereka juga tidak tahu harus mencari kemana, keduanya lari begitu saja ke jurusan timur. Justru mengejar asal-asalan inilah yang membawa mereka sampai ke tempat dimana Purnama terpendam di tanah sebatas bahu ke bawah. Di satu tempat Setan Ngompol berhenti. Tangan kiri menekap bagian bawah celana, tangan kanan putar-putar daun telinga sebelah kanan yang lebar dan terbalik.
“Aku mendengar suara sesuatu…” bisik Setan Ngompol dengan mata yang belok tambah dibesarkan.
“Apa….?” Tanya Ki Tambakpati.
“Suara seperti orang menangis. Eh bukan. Bukan suara orang menangis. Tapi suara orang mengerang…”
“Lelaki atau perempuan?” tanya Ki Tambakpati lagi.
“Tak begitu jelas. Tapi agaknya perempuan,” jawab setan Ngompol.
“Jangan-jangan suara demit. Aku tidak mendengar apa-apa…” kata Ki Tambakpati pula. Memang dalam soal ilmu mendengar Setan Ngompol yang punya daun kuping lebar mablang ini memiliki kelebihan.
“Sial! Kau selalu membuat aku takut! Selalu menyebut-nyebut demit!” Setan Ngompol memaki panjang pendek sambil pegangi bawah perutnya. “Ayo kau jalan duluan! Suara mengerang itu datang dari arah sana!” setan Ngompol menunjuk ke arah tempat terbuka di depan sederetan pohon besar.
Berjalan beberapa langkah tiba-tiba Ki Tambakpati berhenti. Mata melotot tubuh gemetaran.
“Astaga!” si kakek mengucap.” Apa kataku!”
“Apa, ada apa?” tanya Setan Ngompol.
Ki Tambakpati menunjuk ke depan.
“Demit perempuan mau keluar dari tanah!”
“Serrr!” Setan Ngompol langsung pancarkan air kencing.
***
2
DI TANAH becek Ki Tambakpati dan Setan Ngompol melihat satu kepala perempuan tersembul. Rambut hitam panjang awut-awutan. Dua mata setengah tertutup. Pada hidung dan mulut juga tampak ada lelehan darah. Bagaimana perempuan ini bisa berkeadaan seperti ini? Apa yang terjadi hingga tubuhnya sebelah bawah amblas terpendam ke dalam tanah? Apa benar dia demit atau seseorang korban kejahatan yang dipendam demikian rupa hingga akhirnya akan menemui ajal mengenaskan?
Selagi dua kakek dilanda keterkejutan dan juga ada rasa ngeri tiba-tiba perempuan yang terpendam di dalam tanah kembali keluarkan suara mengerang. Walau pemandangannya agak buram karena kedua mata digenangi darah sementara hari masih gelap perempuan itu samar-samar masih mampu melihat kehadiran dua orang yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.
“Tolong…..tolong….”
Ki Tambakpati tersurut.
Setan Ngompol tekap bagian bawah celananya kuat-kuat, kepala diulur mata memperhatikan. Dia membungkuk sedikit. Dengan tangan kanan gemetaran dia menyibakkan rambut panjang yang menutupi sebagian wajah. Begitu rambut tersingkap si kakek berseru kaget.
“Astaga! Ini Purnama!”
Ki Tambakpati mendekat, menggosok mata dan berbisik pada Setan Ngompol.
“Apa katamu? Kau yakin mahluk terpendam ini Purnama? Bukan demit yang menyaru?!”
“Tolong… Aku memang Purnama. Aku tidak bisa melihat jelas kalian. Tapi aku bisa mengenali dari suara. Kakek Setan Ngompol dan Ki Tambakpati…”
“Gusti Allah! Dia memang Purnama! Aku mengenali suaranya! Ki Tambak, kita harus cepat menolongnya!” kata setan Ngompol.
“Apa yang harus kita lakukan? Menggali tanah disekitarnya atau langsung menarik rambutnya…?” Ki Tambakpati tampak bingung. Dia melangkah memutari kepala Purnama.
“Kakek berdua. Lakukan apa yang aku katakan. Totok ubun-ubunku. Tubuhku akan melesat keluar dari dalam tanah…”
“Akan aku lakukan! Akan aku lakukan!” ucap Setan Ngompol pula. Dia melangkah lebih dekat. Tangan kiri mendekap bagian bawah perut. Jari telunjuk dan tengah tangan kanan dipentang lurus, ditiup kuat-kuat lalu ditotokkan ke atas batok kepala Purnama, tepat di ubun-ubun.
“Desss!”
Letupan cukup keras disertai membersitnya cahaya kuning dari kepala yang ditotok membuat dua kakek tersentak kaget dan melangkah mundur. Setan Ngompol tidak dapat menahan semburan air kencing. Belum habis kejut keduanya, tiba-tiba tanah yang mereka pijak bergetar. Dari perut bumi ada suara menderu. Lalu Wuuutt!
Bersamaan dengan lenyapnya cahaya kuning di atas kepala, sosok Purnama melesat keluar dari dalam tanah. Dari mulutnya keluar pekikan panjang. Di udara gadis ini membuat gerakan jungkir balik satu kali lalu melayang turun. Walau dia mampu tegak di atas dua kaki namun kentara tubuhnya agak huyung dan darah masih mengalir dari sela bibir.
“Purnama, kau terluka dalam!” seru Setan Ngompol. Lalu kakek ini totok urat besar di pangkal leher serta punggung si gadis. Purnama langsung semburkan darah segar. Gadis ini kerahkan tenaga dalam, alirkan hawa sakti ke dada serta kepala. Setelah menyeka mulut, mengusap mata, hidung dan telinga Purnama mengucapkan terima kasih pada dua kakek.
“Ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu. Kau pergi begitu saja. Wiro juga lenyap. Lalu kami menemukanmu terpendam di dalam tanah. Hanya kepala yang masih nongol. Untung kami lewat sini,” Kata Ki Tambakpati.
“Sekali lagi aku berterima kasih pada kakek berdua,” kata Purnama. Lalu gadis dari negeri Latanahsilam itu menuturkan mulai dari ketika dia mengikuti Pendekar 212 meninggalkan rumah panggung.
“Dinihari tadi, semua orang di dalam rumah panggung masih tidur pulas. Aku sendiri tak bisa tidur. Ketika melihat Wiro bangun dan meninggalkan rumah, diamdiam aku mengikuti. Dari larinya yang cepat serta gerakannya yang enteng aku menduga Wiro telah pulih kekuatannya. Aku berhasil mengejar namun sebelum berhasil mendekat, satu makhluk berpakaian serba putih menyerangku. Dia ternyata adalah makhluk tanpa wajah yang sebelumnya telah mengganggu kita berulangulang…..”
“Makhluk kurang ajar itu lagi!” uacap Setan Ngompol.
“Apa yang dilakukan padamu?” bertanya Ki Tambakpati.
“Dia minta aku ikut bersamanya atau aku akan dihabisi. Kami bertarung. Ilmunya tinggi sekali. Selain itu dia memiliki sebatang tongkat emas sakti. Dengan tongkat itu dia menghantamku lalu mengunci ilmu kesaktian yang kukeluarkan hingga aku terpendam di dalam tanah”
Purnama lalu mengembangkan tangan kanannya yang sejak tadi digenggam. Didalam tangan itu tampak kepingan benda bercahaya kuning.
“Benda apa itu? Kelihatannya seperti emas….” ujar Setan Ngompol.
“Ketika makhluk gaib itu menghujamkan tongkat ke tanah, sebelum dia mengunci diriku, di dalam tanah aku masih sempat menggerakkan tangan berusaha merampas tongkat. Namun aku hanya mampu membuat tongkat emas itu gompal…”
“Coba kulihat….” Kata Setan Ngompol seraya mengambil kepingan tombak.
Begitu keping gompalan tombak berada di tangan Setan Ngompol, dua hal terjadi. Pertama, Setan Ngompol merasa sekujur tubuhnya panas bergetar. Gompalan tongkat emas milik makhluk tanpa wajah itu pancarkan sinar kuning terang. Hawa panas yang menyerang si kakek datang dari kepingan tongkat itu. Karena tidak tahan oleh panas yang membuat tangan kanannya seolah mau melepuh, Setan Ngompol pindahkan kepingan emas ke tangan kirinya yang basah oleh air kencing.
“Desss!”
Kepingan emas bersinar terang berubah redup. Cahaya yang membungkus lenyap seketika. Bersamaan dengan itu hawa panas yang menyerang diri Setan Ngompol lenyap.
“Gila! Kepingannya saja hebat begini rupa apalagi tongkat aslinya! Waktu kupegang di tangan kanan kepingan emas ini menebar hawa panas,” ucap si kakek.
Lalu buru-buru dia serahkan kepingan emas pada Purnama. Ketika si gadis memegang kepingan emas itu, benda ini kembali berkilau namun tidak ada serangan hawa panas seperti yang dialami Setan Ngompol.
“Kek, aku tidak merasa apa-apa. Tidak ada serangan hawa panas.” Berkata Purnama.
“Aneh…” ucap Ki Tambakpati yang sejak tadi memperhatikan.
“Mengapa kepingan emas ini hanya menyerang diriku?” Setan Ngompol berkata sambil berfikir. “Waktu kupegang di tangan kanan tidak apa-apa. Tapi ketika aku pindah ke tangan kiri. Eh, apa benda ini tidak boleh dipegang oleh tangan kiri? Purnama coba kau pegang benda itu di tangan kiri.”
Purnama pindahkan kepingan emas tangan kiri. Tidak terjadi apa-apa. “Tidak apa-apa Kek.” Katanya. Coba kau ambil, pegang lagi dengan tangan kanan.”
“Serrr!” Setan Ngompol langsung pancarkan air kencing. “Tidak, jangan!” katanya.
Purnama perhatikan kepingan emas yang dipegangnya. Benda itu diremas-remas beberapa kali. Dia merasa ada getaran halus. Selintas pikiran muncul dalam benaknya.
Hatinya membatin. “Makhluk tanpa wajah. Gompalan tongkatmu bisa menjadi sumber petunjuk kehadiran dirimu…” Gadis dari negeri 1200 tahun silam ini simpan kepingan emas itu di dalam celana kuningnya.
Hal kedua yang terjadi ketika Setan Ngompol memegang kepingan tongkat emas di tangan kiri berlangsung di satu tempat jauh. Makhluk tanpa wajah yang memegang tongkat emas tersentak kaget sewaktu bagian tongkat yang gompal mengeluarkan asap kuning dan tongkat bergetar hebat. “Kurang ajar… Ada benda pantangan. Pasti kakek botak bermata belok berkuping lebar itu…” Makhluk ini cepat usap batang tongkat dengan tangan kirinya sambil mengeluarkan hawa sakti. Tiga cahaya begemerlap. Merah, hijau dan biru. Saat itu juga getaran pada tongkat lenyap, asap kuning ikut sirna. “Makhluk berbahaya! Aku harus menyingkirkan manusia satu ini…”
Kembali pada Setan Ngompol, Ki Tambakpati dan Purnama. Si gadis bertanya.”Kalian muncul berdua, mana para sahabat lainnya?”
“Ketika kau dan Wiro lenyap, kami langsung mencari. Aku dan Ki Tambakpati kebagian tugas mencarimu. Yang lain-lain mengejar Wiro. Menurut Ratu Duyung, berdasarkan penglihatannya melalui cermin sakti Wiro kemungkinan tengah menuju ke Gunung Gede menemui gurunya…..”
“Agaknya dia tidak bicara ngawur. Dia benar-benar mau jadi pertapa. Kakek berdua, kalian ikut aku.”
“Kemana?” tanya Setan Ngompol.
“Mengejar Wiro ke Gunung Gede.”
Setan Ngompol dan Ki Tambakpati saling pandang lalu sama-sama menggeleng.
“Kalian tidak mau? Kenapa? Tidak mau menolong sahabat sendiri?” ujar Purnama.
“Dalam keadaan seperti ini, tak mungkin aku melakukan perjalanan sejauh sampai ke Gunung Gede,” kata Ki Tambakpati. “Aku harus kembali ke gubukku di tikungan Kali Progo. Gubuk itu harus kubangun lagi. Aku harus menyiapkan segala peralatan untuk pengobatan yang telah dihancurkan orang-orang kerajaan…”
“Dan kau Kek, apa alasanmu tidak mau ikut bersamaku?” tanya Purnama pada Setan Ngompol.
“Seorang gadis bernama Liris Biru tengah terancam keselamatannya. Aku harus menolong. Gurunya menemui ajal di tangan Sinto Gendeng secara sia-sia. Lalu kakaknya dibunuh setelah lebih dahulu diperkosa oleh pemuda tak dikenal yang ciricirinya sama dengan pemuda bernama Cakra. Aku tidak mau hal yang sama terjadi dengan gadis satu ini. Mengenai wiro, bagaimanapun dia sudah selamat. Kalau dia memang memutuskan mau jadi pertapa kita tak bisa mencegah….”
“Tapi dia masih menderita satu penyakit. Dia kehilangan kejantanannya…” kata Purnama pula.
“Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kau yang telah mendalami Seribu Ilmu Pengobatan mungkin bisa melakukan sesuatu”. Berkata Ki Tambakpati.
“Aku sudah menyelami isi kitab sakti itu selagi di rumah panggung. Aku tidak menemukan cara penyembuhan penyakit yang dialami Wiro. Tapi aku tidak putus asa. Setiap ada kesempatan aku selalu meneliti isi kitab itu.”
Ki Tambakpati dan Setan Ngompol terdiam.
“Kakek berdua, aku tidak bisa menunggu. Kita berpisah di sini.” Habis berkata begitu Purnama lalu tinggalkan kedua kakek itu.
Ki Tambakpati tarik nafas panjang.” Aku kasihan pada Wiro.Tapi mau dibilang apa? Ilmu kepandaian pengobatan yang aku miliki tidak bisa menolong…”
“Menurutku Purnama punya alasan lain untuk mengejar Wiro. Dia tidak ingin pemuda itu jatuh ke tangan Ratu Duyung.”
“Purnama gadis baik,” ucap Ki Tambakpati. “Cintanya pada murid Sinto Gendeng itu mendalam sekali. Hanya sayang dia bukan manusia alam kita. Apakah mungkin dia dan Wiro…?” Si Kakek tidak melanjutkan uacapannya.
“Ki Tambak, agaknya kita juga terpaksa berpisah di sini. Kau kembali ke Kali Progo, aku ke Kuto Gede…” Dari balik jubah hijaunya Ki Tambakpati keluarkan seruling perak. “Sebelumnya Wiro menitipkan suling ini padaku. Bagaimana kalau kau saja yang menyimpannya.” Setan Ngompol berpikir sejenak lalu mengambil suling perak itu dari tangan Ki Tambakpati. Enak saja suling lalu dimasukkan di balik celananya yang basah air kencing. Sebelum berpisah dua sahabat itu saling berpelukan lalu yang satu berkelebat ke timur, satunya lari ke arah barat.
Selagi dua kakek dilanda keterkejutan dan juga ada rasa ngeri tiba-tiba perempuan yang terpendam di dalam tanah kembali keluarkan suara mengerang. Walau pemandangannya agak buram karena kedua mata digenangi darah sementara hari masih gelap perempuan itu samar-samar masih mampu melihat kehadiran dua orang yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.
“Tolong…..tolong….”
Ki Tambakpati tersurut.
Setan Ngompol tekap bagian bawah celananya kuat-kuat, kepala diulur mata memperhatikan. Dia membungkuk sedikit. Dengan tangan kanan gemetaran dia menyibakkan rambut panjang yang menutupi sebagian wajah. Begitu rambut tersingkap si kakek berseru kaget.
“Astaga! Ini Purnama!”
Ki Tambakpati mendekat, menggosok mata dan berbisik pada Setan Ngompol.
“Apa katamu? Kau yakin mahluk terpendam ini Purnama? Bukan demit yang menyaru?!”
“Tolong… Aku memang Purnama. Aku tidak bisa melihat jelas kalian. Tapi aku bisa mengenali dari suara. Kakek Setan Ngompol dan Ki Tambakpati…”
“Gusti Allah! Dia memang Purnama! Aku mengenali suaranya! Ki Tambak, kita harus cepat menolongnya!” kata setan Ngompol.
“Apa yang harus kita lakukan? Menggali tanah disekitarnya atau langsung menarik rambutnya…?” Ki Tambakpati tampak bingung. Dia melangkah memutari kepala Purnama.
“Kakek berdua. Lakukan apa yang aku katakan. Totok ubun-ubunku. Tubuhku akan melesat keluar dari dalam tanah…”
“Akan aku lakukan! Akan aku lakukan!” ucap Setan Ngompol pula. Dia melangkah lebih dekat. Tangan kiri mendekap bagian bawah perut. Jari telunjuk dan tengah tangan kanan dipentang lurus, ditiup kuat-kuat lalu ditotokkan ke atas batok kepala Purnama, tepat di ubun-ubun.
“Desss!”
Letupan cukup keras disertai membersitnya cahaya kuning dari kepala yang ditotok membuat dua kakek tersentak kaget dan melangkah mundur. Setan Ngompol tidak dapat menahan semburan air kencing. Belum habis kejut keduanya, tiba-tiba tanah yang mereka pijak bergetar. Dari perut bumi ada suara menderu. Lalu Wuuutt!
Bersamaan dengan lenyapnya cahaya kuning di atas kepala, sosok Purnama melesat keluar dari dalam tanah. Dari mulutnya keluar pekikan panjang. Di udara gadis ini membuat gerakan jungkir balik satu kali lalu melayang turun. Walau dia mampu tegak di atas dua kaki namun kentara tubuhnya agak huyung dan darah masih mengalir dari sela bibir.
“Purnama, kau terluka dalam!” seru Setan Ngompol. Lalu kakek ini totok urat besar di pangkal leher serta punggung si gadis. Purnama langsung semburkan darah segar. Gadis ini kerahkan tenaga dalam, alirkan hawa sakti ke dada serta kepala. Setelah menyeka mulut, mengusap mata, hidung dan telinga Purnama mengucapkan terima kasih pada dua kakek.
“Ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu. Kau pergi begitu saja. Wiro juga lenyap. Lalu kami menemukanmu terpendam di dalam tanah. Hanya kepala yang masih nongol. Untung kami lewat sini,” Kata Ki Tambakpati.
“Sekali lagi aku berterima kasih pada kakek berdua,” kata Purnama. Lalu gadis dari negeri Latanahsilam itu menuturkan mulai dari ketika dia mengikuti Pendekar 212 meninggalkan rumah panggung.
“Dinihari tadi, semua orang di dalam rumah panggung masih tidur pulas. Aku sendiri tak bisa tidur. Ketika melihat Wiro bangun dan meninggalkan rumah, diamdiam aku mengikuti. Dari larinya yang cepat serta gerakannya yang enteng aku menduga Wiro telah pulih kekuatannya. Aku berhasil mengejar namun sebelum berhasil mendekat, satu makhluk berpakaian serba putih menyerangku. Dia ternyata adalah makhluk tanpa wajah yang sebelumnya telah mengganggu kita berulangulang…..”
“Makhluk kurang ajar itu lagi!” uacap Setan Ngompol.
“Apa yang dilakukan padamu?” bertanya Ki Tambakpati.
“Dia minta aku ikut bersamanya atau aku akan dihabisi. Kami bertarung. Ilmunya tinggi sekali. Selain itu dia memiliki sebatang tongkat emas sakti. Dengan tongkat itu dia menghantamku lalu mengunci ilmu kesaktian yang kukeluarkan hingga aku terpendam di dalam tanah”
Purnama lalu mengembangkan tangan kanannya yang sejak tadi digenggam. Didalam tangan itu tampak kepingan benda bercahaya kuning.
“Benda apa itu? Kelihatannya seperti emas….” ujar Setan Ngompol.
“Ketika makhluk gaib itu menghujamkan tongkat ke tanah, sebelum dia mengunci diriku, di dalam tanah aku masih sempat menggerakkan tangan berusaha merampas tongkat. Namun aku hanya mampu membuat tongkat emas itu gompal…”
“Coba kulihat….” Kata Setan Ngompol seraya mengambil kepingan tombak.
Begitu keping gompalan tombak berada di tangan Setan Ngompol, dua hal terjadi. Pertama, Setan Ngompol merasa sekujur tubuhnya panas bergetar. Gompalan tongkat emas milik makhluk tanpa wajah itu pancarkan sinar kuning terang. Hawa panas yang menyerang si kakek datang dari kepingan tongkat itu. Karena tidak tahan oleh panas yang membuat tangan kanannya seolah mau melepuh, Setan Ngompol pindahkan kepingan emas ke tangan kirinya yang basah oleh air kencing.
“Desss!”
Kepingan emas bersinar terang berubah redup. Cahaya yang membungkus lenyap seketika. Bersamaan dengan itu hawa panas yang menyerang diri Setan Ngompol lenyap.
“Gila! Kepingannya saja hebat begini rupa apalagi tongkat aslinya! Waktu kupegang di tangan kanan kepingan emas ini menebar hawa panas,” ucap si kakek.
Lalu buru-buru dia serahkan kepingan emas pada Purnama. Ketika si gadis memegang kepingan emas itu, benda ini kembali berkilau namun tidak ada serangan hawa panas seperti yang dialami Setan Ngompol.
“Kek, aku tidak merasa apa-apa. Tidak ada serangan hawa panas.” Berkata Purnama.
“Aneh…” ucap Ki Tambakpati yang sejak tadi memperhatikan.
“Mengapa kepingan emas ini hanya menyerang diriku?” Setan Ngompol berkata sambil berfikir. “Waktu kupegang di tangan kanan tidak apa-apa. Tapi ketika aku pindah ke tangan kiri. Eh, apa benda ini tidak boleh dipegang oleh tangan kiri? Purnama coba kau pegang benda itu di tangan kiri.”
Purnama pindahkan kepingan emas tangan kiri. Tidak terjadi apa-apa. “Tidak apa-apa Kek.” Katanya. Coba kau ambil, pegang lagi dengan tangan kanan.”
“Serrr!” Setan Ngompol langsung pancarkan air kencing. “Tidak, jangan!” katanya.
Purnama perhatikan kepingan emas yang dipegangnya. Benda itu diremas-remas beberapa kali. Dia merasa ada getaran halus. Selintas pikiran muncul dalam benaknya.
Hatinya membatin. “Makhluk tanpa wajah. Gompalan tongkatmu bisa menjadi sumber petunjuk kehadiran dirimu…” Gadis dari negeri 1200 tahun silam ini simpan kepingan emas itu di dalam celana kuningnya.
Hal kedua yang terjadi ketika Setan Ngompol memegang kepingan tongkat emas di tangan kiri berlangsung di satu tempat jauh. Makhluk tanpa wajah yang memegang tongkat emas tersentak kaget sewaktu bagian tongkat yang gompal mengeluarkan asap kuning dan tongkat bergetar hebat. “Kurang ajar… Ada benda pantangan. Pasti kakek botak bermata belok berkuping lebar itu…” Makhluk ini cepat usap batang tongkat dengan tangan kirinya sambil mengeluarkan hawa sakti. Tiga cahaya begemerlap. Merah, hijau dan biru. Saat itu juga getaran pada tongkat lenyap, asap kuning ikut sirna. “Makhluk berbahaya! Aku harus menyingkirkan manusia satu ini…”
Kembali pada Setan Ngompol, Ki Tambakpati dan Purnama. Si gadis bertanya.”Kalian muncul berdua, mana para sahabat lainnya?”
“Ketika kau dan Wiro lenyap, kami langsung mencari. Aku dan Ki Tambakpati kebagian tugas mencarimu. Yang lain-lain mengejar Wiro. Menurut Ratu Duyung, berdasarkan penglihatannya melalui cermin sakti Wiro kemungkinan tengah menuju ke Gunung Gede menemui gurunya…..”
“Agaknya dia tidak bicara ngawur. Dia benar-benar mau jadi pertapa. Kakek berdua, kalian ikut aku.”
“Kemana?” tanya Setan Ngompol.
“Mengejar Wiro ke Gunung Gede.”
Setan Ngompol dan Ki Tambakpati saling pandang lalu sama-sama menggeleng.
“Kalian tidak mau? Kenapa? Tidak mau menolong sahabat sendiri?” ujar Purnama.
“Dalam keadaan seperti ini, tak mungkin aku melakukan perjalanan sejauh sampai ke Gunung Gede,” kata Ki Tambakpati. “Aku harus kembali ke gubukku di tikungan Kali Progo. Gubuk itu harus kubangun lagi. Aku harus menyiapkan segala peralatan untuk pengobatan yang telah dihancurkan orang-orang kerajaan…”
“Dan kau Kek, apa alasanmu tidak mau ikut bersamaku?” tanya Purnama pada Setan Ngompol.
“Seorang gadis bernama Liris Biru tengah terancam keselamatannya. Aku harus menolong. Gurunya menemui ajal di tangan Sinto Gendeng secara sia-sia. Lalu kakaknya dibunuh setelah lebih dahulu diperkosa oleh pemuda tak dikenal yang ciricirinya sama dengan pemuda bernama Cakra. Aku tidak mau hal yang sama terjadi dengan gadis satu ini. Mengenai wiro, bagaimanapun dia sudah selamat. Kalau dia memang memutuskan mau jadi pertapa kita tak bisa mencegah….”
“Tapi dia masih menderita satu penyakit. Dia kehilangan kejantanannya…” kata Purnama pula.
“Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kau yang telah mendalami Seribu Ilmu Pengobatan mungkin bisa melakukan sesuatu”. Berkata Ki Tambakpati.
“Aku sudah menyelami isi kitab sakti itu selagi di rumah panggung. Aku tidak menemukan cara penyembuhan penyakit yang dialami Wiro. Tapi aku tidak putus asa. Setiap ada kesempatan aku selalu meneliti isi kitab itu.”
Ki Tambakpati dan Setan Ngompol terdiam.
“Kakek berdua, aku tidak bisa menunggu. Kita berpisah di sini.” Habis berkata begitu Purnama lalu tinggalkan kedua kakek itu.
Ki Tambakpati tarik nafas panjang.” Aku kasihan pada Wiro.Tapi mau dibilang apa? Ilmu kepandaian pengobatan yang aku miliki tidak bisa menolong…”
“Menurutku Purnama punya alasan lain untuk mengejar Wiro. Dia tidak ingin pemuda itu jatuh ke tangan Ratu Duyung.”
“Purnama gadis baik,” ucap Ki Tambakpati. “Cintanya pada murid Sinto Gendeng itu mendalam sekali. Hanya sayang dia bukan manusia alam kita. Apakah mungkin dia dan Wiro…?” Si Kakek tidak melanjutkan uacapannya.
“Ki Tambak, agaknya kita juga terpaksa berpisah di sini. Kau kembali ke Kali Progo, aku ke Kuto Gede…” Dari balik jubah hijaunya Ki Tambakpati keluarkan seruling perak. “Sebelumnya Wiro menitipkan suling ini padaku. Bagaimana kalau kau saja yang menyimpannya.” Setan Ngompol berpikir sejenak lalu mengambil suling perak itu dari tangan Ki Tambakpati. Enak saja suling lalu dimasukkan di balik celananya yang basah air kencing. Sebelum berpisah dua sahabat itu saling berpelukan lalu yang satu berkelebat ke timur, satunya lari ke arah barat.
* * *
WALAU tak lama lagi matahari akan segera terbit kawasan bebukitan dan rimba belantara dimana Purnama berada masih diselimuti kegelapan dan hawa dingin. Disatu tempat gadis dari alam 1200 tahun silam ini hentikan langkah. Dia terapkan aji kesaktian bernama Nafas Sepanjang Badan. Kepala didongakkan ke atas, mata dipejamkan, pernafasan diatur lalu perlahanlahan dia menghirup udara. Dengan ilmu kesaktian ini dia mampu mengetahui keberadaan seseorang. Purnama pergunakan ilmu ini untuk mencari tahu dimana Pendekar 212.
Beberapa saat kemudian gadis cantik yang pakaiannya kotor berlepotan tanah ini buka sepasang mata, turunkan kepala.
“Aku tak bisa membaui sosok Wiro. Aku hanya mampu melihat satu titik putih pertanda Wiro sudah sangat jauh dari sini. Dia bergerak ke arah barat. Pasti menuju Gunung Gede. Dengan ilmu Segara Angin butuh waktu setengah hari mengejarnya. Aku juga melihat satu titik lain berwarna hitam. Datang dari arah timur. Bergerak mendekat ke arahku. Aneh, aku tidak bisa mengetahui apakah titik ini manusia atau makhluk gaib…?” setelah berpikir sejenak akhirnya Purnama memutuskan untuk melanjutkan mengejar ke arah titik putih. “Kalau titik hitam itu memang benar bergerak ke arahku, dia pasti akan bisa mengejar. Kelihatannya dia punya kekuatan luar biasa. Aku harus berlaku waspada. Mungkin ini lagi-lagi makhluk tanpa wajah yang hendak mencelakai diriku…”
Ketika matahari terbit Purnama sampai di satu anak sungai Bogowonto. Karena airnya tenang dan jernih hingga dia dapat melihat dasar kali yang dangkal, gadis ini langsung saja ceburkan diri membersihkan kepala, tubuh sekaligus pakainnya yang kotor. Mungkin dia masih akan berlama-lama berendam di dalam kali kalau saja saat itu telinganya tiba-tiba tidak mendengar suara deru aneh mencurigakan di kejauhan. Dalam keadaan rambut kuyup riap-riapan, tubuh dan pakaian biru basah, Purnama melompat ke tepi kali. Rasa curiga membuat dia segera terapkan ilmu Nafas Sepanjang Badan. Purnama terkejut ketika melihat titik hitam muncul sangat besar di puncak matanya yang terpejam. Lalu suara menderu tahu-tahu sudah ada dibelakangnya. Gadis ini cepat berpaling dan buka sepasang mata. Pekikan ngeri serta merta keluar dari mulut Purnama ketika dia melihat satu sosok entah manusia entah ular besar meluncur di tanah. Bekas luncuran tubuhnya menggurat tanah sedalam satu jengkal.
Tepat tiga langkah di hadapan Purnama sosok di tanah berhenti meluncur. Bagian depannya yang berupa kepala manusia perlahan-lahan naik ke atas. Sesaat kemudian muncul dua tangan bertopang ke tanah. Di lain kejap makhluk ini telah duduk bersila dihadapan Purnama. Makhluk ini bertubuh besar, mengenakan jubah dan sorban hitam tebal. Mukanya yang putih tertutup kumis, janggut dan cambang bawuk lebat hitam berkilat. Yang mengerikan adalah mata kanannya yang hanya merupakan rongga hitam besar dan dalam. Setelah mampu menguasai diri menekan rasa ngeri, Purnama membentak.
“Makhluk asing! Siapa kau adanya?! Kau menguntitku sejak malam menjelang pagi! Jika kau membekal niat jahat kuhancurkan dirimu sekarang juga!”
Makhluk yang duduk bersila di tanah kembangkan dua tangan lalu membungkuk tundukkan kepala. Begitu kepala diluruskan dia membuka mulut.
“Sahabat muda, jangan berprasangka buruk. Namaku Deewana Khan. Aku dari negeri yang sangat jauh membawa tugas dari seorang pimpinan. Hanya sayang tugas tidak bisa kulaksanakan sebagaimana mestinya. Malah aku sebelumnya telah menemui ajal di tangan seoarng mahkluk pengkhianat.”
“Kalau kau memang sudah mati mengapa sekarang mucul lagi?!” tanya Purnama tanpa sadar kalau dirinya sendiri sebenarnya adalah makhluk yang juga telah pernah mati.
“Dewa masih melimpahkan anugrahnya pada diriku” jawab Deewana Khan.
“Rohku diberi kekuatan agar mampu menemuimu. Aku bisa mengejarmu melalui jejak langkah yang kau buat di tanah. Itu sebabnya aku tidak berlari seperti biasa, tetapi meluncur agar aku bisa mencium jejak kakimu. Selain itu kepingan emas yang ada di dalam kantong pakaianmu menjadi petunjuk arah dimana kau berada.”
Kejut Purnama bukan alang kepalang. Dia segera meraba kantong celana birunya disebelah kanan. Kepingan emas dari gompalan tongkat insan tanpa wajah ada dalam kantong itu.
“Kau luar biasa! Mampu membuat gompal tongkat emas mahkluk tanpa wajah …”
“Bagaimana kau bisa tahu kejadian itu?” tanya Purnama.
“Dewa memberi kemampuan luar biasa padaku. Dengar, aku tak bisa bicara terlalu lama. Ada yang akan kuserahkan padamu.”
Purnama memperhatikan makhluk dihadapannya mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah dua buah kitab. Sebuah kitab berbentuk utuh sedang yang satunya dalam bentuk rusak seperti habis terbakar.
“Kitab yang terbakar ini …” kata Deewana Khan pula. “Adalah Kitab Jagad Pusaka Dewa asli. Kitab yang masih utuh adalah salinan Kitab Jagad Pusaka Dewa. Namun isi dan tulisan kitab utuh ini tidak bisa dilihat atau dibaca oleh mata biasa. Seseorang harus mengamalkan samadi selama seratus hari seratus malam untuk dapat membaca isinya. Kitab yang terbakar ada beberapa bagian halamannya yang masih utuh. Serahkan dua kitab ini pada Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng…”
“Kau kenal pendekar itu?” tanya Purnama.
“Dewa yang memberi petunjuk karena pemuda kepada siapa seharusnya kitab ini diberikan telah tersesat jatuh ke tangan insan-insan jahat yang akhir-akhir ini telah menimbulkan malapetaka bejat di negeri ini. Insan-insan jahat ini hanya bisa dibasmi berdasarkan petunjuk rahasia yang ada di dalam kitab terbakar. Agaknya Dewa mengetahui Pendekar Dua Satu Dua yang mampu membuka petunjuk rahasia dalam kitab. Dengar, waktu sudah habis. Aku harus pergi sekarang juga …”
“Tunggu!” seru Purnama. “Malapetaka bejat yang tadi kau katakan, apakah kau bisa menerangkan lebih jelas …?”
“Hal itu berhubungan dengan pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi belakangan ini. Sahabat muda, aku tak bisa berada lebih lama disini….”
Deewana Khan letakkan dua buah kitab di tanah dan membungkuk memberi hormat. Lalu dua kaki dijulurkan ke belakang. Begitu dua tangannya menyentuh tanah maka tubuh makhluk itu meluncur bersurut ke arah dari mana dia tadi datang. Hanya dalam kejapan mata sosoknya hilang dari pemandangan.
Semula Purnama berdiri dengan kebimbangan. Mata memperhatikan dua buah kitab di tanah. Apakah dia akan mengambilnya? Dia tidak kenal makhluk tadi. Dua buah kitab itu bisa saja tipu jadi-jadian yang dapat mencelakai dirinya. Setelah berpikir dan mengingat-ingat semua ucapan makhluk seram tadi akhirnya si gadis beranikan diri membungkuk mengambil dua buah kitab. Sementara memegang dua buah kitab ingatannya kembali pada Wiro. Purnama terapkan ilmu kesaktiannya. Dia masih bisa melihat putih hitam walau kini semakin kecil pertanda pendekar 212 telah bertambah jauh.
Beberapa saat kemudian gadis cantik yang pakaiannya kotor berlepotan tanah ini buka sepasang mata, turunkan kepala.
“Aku tak bisa membaui sosok Wiro. Aku hanya mampu melihat satu titik putih pertanda Wiro sudah sangat jauh dari sini. Dia bergerak ke arah barat. Pasti menuju Gunung Gede. Dengan ilmu Segara Angin butuh waktu setengah hari mengejarnya. Aku juga melihat satu titik lain berwarna hitam. Datang dari arah timur. Bergerak mendekat ke arahku. Aneh, aku tidak bisa mengetahui apakah titik ini manusia atau makhluk gaib…?” setelah berpikir sejenak akhirnya Purnama memutuskan untuk melanjutkan mengejar ke arah titik putih. “Kalau titik hitam itu memang benar bergerak ke arahku, dia pasti akan bisa mengejar. Kelihatannya dia punya kekuatan luar biasa. Aku harus berlaku waspada. Mungkin ini lagi-lagi makhluk tanpa wajah yang hendak mencelakai diriku…”
Ketika matahari terbit Purnama sampai di satu anak sungai Bogowonto. Karena airnya tenang dan jernih hingga dia dapat melihat dasar kali yang dangkal, gadis ini langsung saja ceburkan diri membersihkan kepala, tubuh sekaligus pakainnya yang kotor. Mungkin dia masih akan berlama-lama berendam di dalam kali kalau saja saat itu telinganya tiba-tiba tidak mendengar suara deru aneh mencurigakan di kejauhan. Dalam keadaan rambut kuyup riap-riapan, tubuh dan pakaian biru basah, Purnama melompat ke tepi kali. Rasa curiga membuat dia segera terapkan ilmu Nafas Sepanjang Badan. Purnama terkejut ketika melihat titik hitam muncul sangat besar di puncak matanya yang terpejam. Lalu suara menderu tahu-tahu sudah ada dibelakangnya. Gadis ini cepat berpaling dan buka sepasang mata. Pekikan ngeri serta merta keluar dari mulut Purnama ketika dia melihat satu sosok entah manusia entah ular besar meluncur di tanah. Bekas luncuran tubuhnya menggurat tanah sedalam satu jengkal.
Tepat tiga langkah di hadapan Purnama sosok di tanah berhenti meluncur. Bagian depannya yang berupa kepala manusia perlahan-lahan naik ke atas. Sesaat kemudian muncul dua tangan bertopang ke tanah. Di lain kejap makhluk ini telah duduk bersila dihadapan Purnama. Makhluk ini bertubuh besar, mengenakan jubah dan sorban hitam tebal. Mukanya yang putih tertutup kumis, janggut dan cambang bawuk lebat hitam berkilat. Yang mengerikan adalah mata kanannya yang hanya merupakan rongga hitam besar dan dalam. Setelah mampu menguasai diri menekan rasa ngeri, Purnama membentak.
“Makhluk asing! Siapa kau adanya?! Kau menguntitku sejak malam menjelang pagi! Jika kau membekal niat jahat kuhancurkan dirimu sekarang juga!”
Makhluk yang duduk bersila di tanah kembangkan dua tangan lalu membungkuk tundukkan kepala. Begitu kepala diluruskan dia membuka mulut.
“Sahabat muda, jangan berprasangka buruk. Namaku Deewana Khan. Aku dari negeri yang sangat jauh membawa tugas dari seorang pimpinan. Hanya sayang tugas tidak bisa kulaksanakan sebagaimana mestinya. Malah aku sebelumnya telah menemui ajal di tangan seoarng mahkluk pengkhianat.”
“Kalau kau memang sudah mati mengapa sekarang mucul lagi?!” tanya Purnama tanpa sadar kalau dirinya sendiri sebenarnya adalah makhluk yang juga telah pernah mati.
“Dewa masih melimpahkan anugrahnya pada diriku” jawab Deewana Khan.
“Rohku diberi kekuatan agar mampu menemuimu. Aku bisa mengejarmu melalui jejak langkah yang kau buat di tanah. Itu sebabnya aku tidak berlari seperti biasa, tetapi meluncur agar aku bisa mencium jejak kakimu. Selain itu kepingan emas yang ada di dalam kantong pakaianmu menjadi petunjuk arah dimana kau berada.”
Kejut Purnama bukan alang kepalang. Dia segera meraba kantong celana birunya disebelah kanan. Kepingan emas dari gompalan tongkat insan tanpa wajah ada dalam kantong itu.
“Kau luar biasa! Mampu membuat gompal tongkat emas mahkluk tanpa wajah …”
“Bagaimana kau bisa tahu kejadian itu?” tanya Purnama.
“Dewa memberi kemampuan luar biasa padaku. Dengar, aku tak bisa bicara terlalu lama. Ada yang akan kuserahkan padamu.”
Purnama memperhatikan makhluk dihadapannya mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah dua buah kitab. Sebuah kitab berbentuk utuh sedang yang satunya dalam bentuk rusak seperti habis terbakar.
“Kitab yang terbakar ini …” kata Deewana Khan pula. “Adalah Kitab Jagad Pusaka Dewa asli. Kitab yang masih utuh adalah salinan Kitab Jagad Pusaka Dewa. Namun isi dan tulisan kitab utuh ini tidak bisa dilihat atau dibaca oleh mata biasa. Seseorang harus mengamalkan samadi selama seratus hari seratus malam untuk dapat membaca isinya. Kitab yang terbakar ada beberapa bagian halamannya yang masih utuh. Serahkan dua kitab ini pada Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng…”
“Kau kenal pendekar itu?” tanya Purnama.
“Dewa yang memberi petunjuk karena pemuda kepada siapa seharusnya kitab ini diberikan telah tersesat jatuh ke tangan insan-insan jahat yang akhir-akhir ini telah menimbulkan malapetaka bejat di negeri ini. Insan-insan jahat ini hanya bisa dibasmi berdasarkan petunjuk rahasia yang ada di dalam kitab terbakar. Agaknya Dewa mengetahui Pendekar Dua Satu Dua yang mampu membuka petunjuk rahasia dalam kitab. Dengar, waktu sudah habis. Aku harus pergi sekarang juga …”
“Tunggu!” seru Purnama. “Malapetaka bejat yang tadi kau katakan, apakah kau bisa menerangkan lebih jelas …?”
“Hal itu berhubungan dengan pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi belakangan ini. Sahabat muda, aku tak bisa berada lebih lama disini….”
Deewana Khan letakkan dua buah kitab di tanah dan membungkuk memberi hormat. Lalu dua kaki dijulurkan ke belakang. Begitu dua tangannya menyentuh tanah maka tubuh makhluk itu meluncur bersurut ke arah dari mana dia tadi datang. Hanya dalam kejapan mata sosoknya hilang dari pemandangan.
Semula Purnama berdiri dengan kebimbangan. Mata memperhatikan dua buah kitab di tanah. Apakah dia akan mengambilnya? Dia tidak kenal makhluk tadi. Dua buah kitab itu bisa saja tipu jadi-jadian yang dapat mencelakai dirinya. Setelah berpikir dan mengingat-ingat semua ucapan makhluk seram tadi akhirnya si gadis beranikan diri membungkuk mengambil dua buah kitab. Sementara memegang dua buah kitab ingatannya kembali pada Wiro. Purnama terapkan ilmu kesaktiannya. Dia masih bisa melihat putih hitam walau kini semakin kecil pertanda pendekar 212 telah bertambah jauh.
***
3
KITA ikuti dulu apa yang terjadi dengan nenek jejadian kembar ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Seperti dituturkan dalam kisah sebelumnya nenek ini berusaha menolong Wiro yang telah diracuni oleh seorang pemuda tak dikenal yang kemudian diketahui bernama Cakra. Ketika si nenek menekan bagian tubuh Wiro di bawah pusar dimana dia memperkirakan menjadi jalan masuknya racun jahat tiba-tiba terdengar tiga letupan keras. Dari bawah pusar Pendekar 212 keluar hawa aneh, menyambar masuk ke bagian bawah perut si nenek yang mengenakan jubah kuning itu hingga dia terpental dan terkapar pingsan di tanah becek. Si nenek tidak menyadari kalau hawa aneh itu akan mendatangkan kelainan pada dirinya. Sehingga dia menjadi mahluk penuh gairah, memiliki hasrat berkobar-kobar terutama jika melihat lelaki muda dan berwajah tampan.
Tak selang berapa lama terjadi satu keanehan. Dari tubuh si nenek jejadian keluar sosok seorang gadis berwajah cantik berkulit putih. Rambut yang hitam panjang dan digerai lepas menambah kecantikannya. Tubuh yang tinggi semampai mengenakan kebaya pendek dan celana ringkas warna kuning, berpotongan ketat demikian rupa hingga tampak seperti mencetak kelok liku tubuhnya yang sintal. Kebaya kuning terbuka rendah di bagian dada menyembulkan pangkal dada yang kencang dan putih.
Sesaat gadis ini menatap ke arah sosok si nenek lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi. Walau saat itu hujan lebat namun anehnya kepala, tubuh serta pakaiannya tidak basah sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya gadis ini di kejauhan sirna pula sosok nenek jejadian yang tergeletak di tanah.
Tak selang berapa lama terjadi satu keanehan. Dari tubuh si nenek jejadian keluar sosok seorang gadis berwajah cantik berkulit putih. Rambut yang hitam panjang dan digerai lepas menambah kecantikannya. Tubuh yang tinggi semampai mengenakan kebaya pendek dan celana ringkas warna kuning, berpotongan ketat demikian rupa hingga tampak seperti mencetak kelok liku tubuhnya yang sintal. Kebaya kuning terbuka rendah di bagian dada menyembulkan pangkal dada yang kencang dan putih.
Sesaat gadis ini menatap ke arah sosok si nenek lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi. Walau saat itu hujan lebat namun anehnya kepala, tubuh serta pakaiannya tidak basah sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya gadis ini di kejauhan sirna pula sosok nenek jejadian yang tergeletak di tanah.
***
MENJELANG petang langit tampak cerah. Dari arah jalan yang menuju ke Wates seorang lelaki muda berpakaian dan berikat kepala kain merah menggebrak tunggangannya demikian rupa hingga binatang itu lari laksana dikejar setan. Di dalam sebuah kantong kain yang tergantung di depan dadanya menyembul kepala celengan tanah berbentuk ayam jantan, berwarna merah.
Di sebelah belakang, terpaut sekitar lima belas tombak mengejar lima penunggang kuda berseragam hijau. Dua diantaranya mengangkat tangan kanan mengacung-acungkan golok sambil berteriak.
“Berhenti!”
“Pencuri keparat! Kau mau kabur kemana?!”
Agak jauh di belakang lima penunggang kuda ini menyusul sebuah kereta kecil, ditarik dua ekor kuda coklat. Di atas kereta duduk seorang lelaki berusia empat puluh tahun, berkumis hitam lebat, berpakaian bagus. Di Wates orang ini dikenal sebagai Raden Mas Suryo Kenanga, seorang pedagang kaya raya. Di atas kereta Suryo Kenanga tiada hentinya berteriak-teriak.
“Maling! Pencuri! Tangkap Bunuh!” Lalu pada sais kereta dia memerintah.
“Pacu lebih cepat! Lebih cepat!”
Penunggang kuda yang membawa kantong kain di depan dadanya membelok memasuki sebuah jalan lurus sempit. Jika dia bisa mencapai ujung jalan dimana terdapat sebuah sungai dangkal berbatu-batu lalu menyelinap masuk ke dalam hutan jati di seberang sungai, maka dia pasti akan dapat meninggalkan semua pengejarnya.
Hal itu bisa dilakukannya karena dia tahu betul seluk-beluk hutan belantara itu. Tak lama kemudian begitu sampai di ujung jalan sempit, lelaki berpakaian merah yang dikejar-kejar ini hentikan kuda, melompat turun lalu menghambur memasuki sungai dangkal tapi cukup lebar. Dengan gerakan cepat dia melompat dari satu batu ke batu lain yang banyak terdapat dalam sungai. Sampai di seberang sungai dia merasa lega. Menoleh kebelakang dia melihat para pengejarnya baru sampai di ujung jalan sempit.
“Kalian tak bisa mengejarku! Kalian tak bisa menangkapku!” ucap lelaki ini lalu balikkan badan siap lari memasuki hutan jati. Namun mendadak tubuhnya membentur sosok seseorang hingga dia terpental terhuyung-huyung. Kalau tidak cepat mengimbangi diri pasti akan jatuh terguling ke tebing sungai.
Memandang ke depan dia melihat seorang gadis berpakaian kuning tegak bertolak pinggang sambil tersenyum. Rambut hitam digulung di atas kepala. Yang membuat dada lelaki ini jadi sesak bukan saja karena melihat kenyataan bahwa gadis ini berwajah cantik, namun ketika memperhatikan bagaimana kebaya kuning yang dikenakan si gadis berpotongan demikian rendah dan lebar hingga lebih dari sebagian dadanya yang putih membusung terlihat jelas.
“Orang-orang diseberang sungai mengejarmu. Dari teriakan mereka agaknya kau telah mencuri sesuatu dari mereka.”
Lelaki muda berpakaian merah terkejut.
“Kau betul! Aku memang mencuri sesuatu!” Katanya jujur. “Tapi apa sangkut pautnya dengan dirimu?”
“Memang tidak ada sangkut pautnya,” jawab si cantik berpakaian kuning. Lalu sambil tersenyum dia gerakkan tangan kiri melepas gulungan rambut hitam di atas kepala. Rambut panjang hitam berkilat kini tergerai lepas sepinggang, membuat wajahnya tampak bertambah cantik mempesona. Selagi lelaki muda tadi menikmati kagum kecantikan sang dara tiba-tiba si baju kuning goyangkan kepala.
“Wuttt!”
Rambut hitam panjang melesat ke depan, menebar bau harum menutupi wajah dan pemandangan lelaki berpakaian merah. Ketika rambut itu melewati mukanya dan lelaki ini memandang ke depan, dia keluarkan seruan tertahan karena melihat kantong kain berisi celengan tanah sebelumnya tergantung di depan dadanya kini tahu-tahu telah berada di tangan si gadis.
“Kembalikan!” teriak lelaki berpakaian merah.
“Apa?” Gadis berpakaian kuning berbuat seolah tidak mendengar ucapan orang.
Dia bungkukan tubuhnya sedikit sambil tangan kiri diletakkan di belakang telinga. Gerakan membungkuk ini membuat mata lelaki dihadapannya mendelik besar karena dia melihat bagaimana dada si gadis membuyut besar. Tubuhnya terasa panas dingin, tenggorokannya bergerak-gerak, ludah ditelan berulang kali.
“Kau lebih mementingkan celengan tanah ini dari pada selembar nyawamu?”
berucap si gadis. Dia memandang ke arah sungai. “Sebentar lagi para pengejar akan sampai di sini. Mereka akan mencincangmu sampai lumat! Kau maling cukup tampan!
Itu yang membuatku melepaskanmu. Larilah selagi ada kesempatan!” Habis berkata begitu tangan si gadis bergerak ke bawah. Dengan cepat tangan itu mengusap bagian bawah perut lelaki berpakaian merah.
“Hah!” Menerima perlakuan seperti itu walau dia merasa nikmat kejut lelaki muda berpakaian merah bukan alang kepalang. Seumur hidup baru kali ini dia bertemu gadis cantik seberani itu.
“Hai, kau ini siapa sebenarnya? Mengapa kau berani mengusap auratku?” tanya lelaki itu.
“Hemm…” si gadis bergumam sambil tersenyum. “Apa kau tidak suka? Sudah jangan banyak bertanya. Pergi sana!”
“Hai! Jika kau memang ingin menolongku, mengapa kita tidak kabur saja sama-sama? Kita masuk ke dalam hutan jati. Aku punya tempat persembunyian di sana. Sebuah goa.”
“Jangan tolol! Pergilah!” Bentak gadis berpakaian kuning.
“Kau tidak mau mengambalikan barang itu padaku?”
Si gadis menggeleng. “Celengan ini bukan milikmu.”
Berpaling ke belakang lelaki itu melihat para pengejarnya tengah bersiap-siap menuruni sungai, termasuk pedagang kaya Suryo Kenanga. Lelaki muda dihadapan si gadis cepat berkata. “Namaku Samirjan. Orang-orang menyebutku Pencuri Selusin Tangan. Jika kau tidak mau kuajak bersama cari aku di Kalibawang. Tanyakan pada siapa saja. Mereka pasti akan mengantarkanmu padaku.” Habis berkata begitu, lelaki ini yang rupanya terangsang oleh usapan tadi enak saja ulurkan tangan kanan hendak meraba dada si gadis.
“Plaakk!”
Satu tamparan melanda pipi lelaki berpakaian merah. Jelas terdengar suara tamparan keras sekali. Tetapi anehnya lelaki berpakaian merah itu tidak merasa sakit sama sekali. Terheran-heran dia melangkah mundur. Terus memandangi si gadis yang tersenyum padanya. Dia berpikir kalau gadis itu berani menyentuh auratnya mengapa tidak boleh balas meraba.
“Ingat, namaku Samirjan. Julukanku Pencuri Selusin Tangan. Cari aku di Kalibawang!” kata lelaki itu lalu membalikkan diri dan lari memasuki rimba belantara.
Tak selang berapa lama lima pengejar berseragam hijau termasuk sang juragan sampai di seberang sungai di mana si cantik masih berdiri sambil memegangi kantong kain berisi celengan tanah. Keenam lelaki ini untuk beberapa ketika tegak tertegun terpesona memandangi dara cantik jelita dengan sebagian tubuh sebelah atas menyembul menggairahkan.
Namun begitu melihat kantong kain berisi celengan tanah yang dipegang si gadis, Raden Mas Suryo Kenanga segera mendekati sambil berkata. “Benda itu milikkku. Serahkan padaku!”
Si gadis keluarkan celengan tanah dari dalam kantong kain. Diperhatikan, lalu ditimang-timang, dilemparkan ke udara beberapa kali.
“Jangan! Nanti jatuh pecah! Lekas serahkan padaku!” teriak Suryo Kenanga.
“Celengan kosong saja aku juga tidak butuh!” si gadis lalu lemparkan celengan tanah ayam-ayaman itu pada pedagang kaya raya dari Wates itu.
Suryo Kenanga cepat-cepat menangkapnya lalu mendekapkan celengan tanah itu ke dada. Dia tampak sangat lega.
“Den Ayu, aku tidak kenal siapa dirimu. Aku sangat berterima kasih kau telah merampas celengan ini dari tangan pencuri itu.”
Si gadis hanya keluarkan suara bergumam sambil pandangi lelaki berkumis tebal bertampang gagah itu.
“Namaku Suryo Kenanga, aku tinggal di Wates. Sebagai tanda terima kasih, aku ingin memberikan hadiah pada Den Ayu. Namun hadiah itu harus kuambil di rumah. Apakah Den Ayu bersedia ikut ke Wates?” Sambil bicara sepasang mata Suryo Kenanga tidak hentinya mengerling ke dada si gadis.
“Aku menolong tanpa pamrih. Tapi kebetulan aku memang bermaksud ke Wates….”
“Kalau begitu silahkan Den Ayu ikut dengan kami.” Kata Raden Mas Suryo Kenanga pula.
Di sebelah belakang, terpaut sekitar lima belas tombak mengejar lima penunggang kuda berseragam hijau. Dua diantaranya mengangkat tangan kanan mengacung-acungkan golok sambil berteriak.
“Berhenti!”
“Pencuri keparat! Kau mau kabur kemana?!”
Agak jauh di belakang lima penunggang kuda ini menyusul sebuah kereta kecil, ditarik dua ekor kuda coklat. Di atas kereta duduk seorang lelaki berusia empat puluh tahun, berkumis hitam lebat, berpakaian bagus. Di Wates orang ini dikenal sebagai Raden Mas Suryo Kenanga, seorang pedagang kaya raya. Di atas kereta Suryo Kenanga tiada hentinya berteriak-teriak.
“Maling! Pencuri! Tangkap Bunuh!” Lalu pada sais kereta dia memerintah.
“Pacu lebih cepat! Lebih cepat!”
Penunggang kuda yang membawa kantong kain di depan dadanya membelok memasuki sebuah jalan lurus sempit. Jika dia bisa mencapai ujung jalan dimana terdapat sebuah sungai dangkal berbatu-batu lalu menyelinap masuk ke dalam hutan jati di seberang sungai, maka dia pasti akan dapat meninggalkan semua pengejarnya.
Hal itu bisa dilakukannya karena dia tahu betul seluk-beluk hutan belantara itu. Tak lama kemudian begitu sampai di ujung jalan sempit, lelaki berpakaian merah yang dikejar-kejar ini hentikan kuda, melompat turun lalu menghambur memasuki sungai dangkal tapi cukup lebar. Dengan gerakan cepat dia melompat dari satu batu ke batu lain yang banyak terdapat dalam sungai. Sampai di seberang sungai dia merasa lega. Menoleh kebelakang dia melihat para pengejarnya baru sampai di ujung jalan sempit.
“Kalian tak bisa mengejarku! Kalian tak bisa menangkapku!” ucap lelaki ini lalu balikkan badan siap lari memasuki hutan jati. Namun mendadak tubuhnya membentur sosok seseorang hingga dia terpental terhuyung-huyung. Kalau tidak cepat mengimbangi diri pasti akan jatuh terguling ke tebing sungai.
Memandang ke depan dia melihat seorang gadis berpakaian kuning tegak bertolak pinggang sambil tersenyum. Rambut hitam digulung di atas kepala. Yang membuat dada lelaki ini jadi sesak bukan saja karena melihat kenyataan bahwa gadis ini berwajah cantik, namun ketika memperhatikan bagaimana kebaya kuning yang dikenakan si gadis berpotongan demikian rendah dan lebar hingga lebih dari sebagian dadanya yang putih membusung terlihat jelas.
“Orang-orang diseberang sungai mengejarmu. Dari teriakan mereka agaknya kau telah mencuri sesuatu dari mereka.”
Lelaki muda berpakaian merah terkejut.
“Kau betul! Aku memang mencuri sesuatu!” Katanya jujur. “Tapi apa sangkut pautnya dengan dirimu?”
“Memang tidak ada sangkut pautnya,” jawab si cantik berpakaian kuning. Lalu sambil tersenyum dia gerakkan tangan kiri melepas gulungan rambut hitam di atas kepala. Rambut panjang hitam berkilat kini tergerai lepas sepinggang, membuat wajahnya tampak bertambah cantik mempesona. Selagi lelaki muda tadi menikmati kagum kecantikan sang dara tiba-tiba si baju kuning goyangkan kepala.
“Wuttt!”
Rambut hitam panjang melesat ke depan, menebar bau harum menutupi wajah dan pemandangan lelaki berpakaian merah. Ketika rambut itu melewati mukanya dan lelaki ini memandang ke depan, dia keluarkan seruan tertahan karena melihat kantong kain berisi celengan tanah sebelumnya tergantung di depan dadanya kini tahu-tahu telah berada di tangan si gadis.
“Kembalikan!” teriak lelaki berpakaian merah.
“Apa?” Gadis berpakaian kuning berbuat seolah tidak mendengar ucapan orang.
Dia bungkukan tubuhnya sedikit sambil tangan kiri diletakkan di belakang telinga. Gerakan membungkuk ini membuat mata lelaki dihadapannya mendelik besar karena dia melihat bagaimana dada si gadis membuyut besar. Tubuhnya terasa panas dingin, tenggorokannya bergerak-gerak, ludah ditelan berulang kali.
“Kau lebih mementingkan celengan tanah ini dari pada selembar nyawamu?”
berucap si gadis. Dia memandang ke arah sungai. “Sebentar lagi para pengejar akan sampai di sini. Mereka akan mencincangmu sampai lumat! Kau maling cukup tampan!
Itu yang membuatku melepaskanmu. Larilah selagi ada kesempatan!” Habis berkata begitu tangan si gadis bergerak ke bawah. Dengan cepat tangan itu mengusap bagian bawah perut lelaki berpakaian merah.
“Hah!” Menerima perlakuan seperti itu walau dia merasa nikmat kejut lelaki muda berpakaian merah bukan alang kepalang. Seumur hidup baru kali ini dia bertemu gadis cantik seberani itu.
“Hai, kau ini siapa sebenarnya? Mengapa kau berani mengusap auratku?” tanya lelaki itu.
“Hemm…” si gadis bergumam sambil tersenyum. “Apa kau tidak suka? Sudah jangan banyak bertanya. Pergi sana!”
“Hai! Jika kau memang ingin menolongku, mengapa kita tidak kabur saja sama-sama? Kita masuk ke dalam hutan jati. Aku punya tempat persembunyian di sana. Sebuah goa.”
“Jangan tolol! Pergilah!” Bentak gadis berpakaian kuning.
“Kau tidak mau mengambalikan barang itu padaku?”
Si gadis menggeleng. “Celengan ini bukan milikmu.”
Berpaling ke belakang lelaki itu melihat para pengejarnya tengah bersiap-siap menuruni sungai, termasuk pedagang kaya Suryo Kenanga. Lelaki muda dihadapan si gadis cepat berkata. “Namaku Samirjan. Orang-orang menyebutku Pencuri Selusin Tangan. Jika kau tidak mau kuajak bersama cari aku di Kalibawang. Tanyakan pada siapa saja. Mereka pasti akan mengantarkanmu padaku.” Habis berkata begitu, lelaki ini yang rupanya terangsang oleh usapan tadi enak saja ulurkan tangan kanan hendak meraba dada si gadis.
“Plaakk!”
Satu tamparan melanda pipi lelaki berpakaian merah. Jelas terdengar suara tamparan keras sekali. Tetapi anehnya lelaki berpakaian merah itu tidak merasa sakit sama sekali. Terheran-heran dia melangkah mundur. Terus memandangi si gadis yang tersenyum padanya. Dia berpikir kalau gadis itu berani menyentuh auratnya mengapa tidak boleh balas meraba.
“Ingat, namaku Samirjan. Julukanku Pencuri Selusin Tangan. Cari aku di Kalibawang!” kata lelaki itu lalu membalikkan diri dan lari memasuki rimba belantara.
Tak selang berapa lama lima pengejar berseragam hijau termasuk sang juragan sampai di seberang sungai di mana si cantik masih berdiri sambil memegangi kantong kain berisi celengan tanah. Keenam lelaki ini untuk beberapa ketika tegak tertegun terpesona memandangi dara cantik jelita dengan sebagian tubuh sebelah atas menyembul menggairahkan.
Namun begitu melihat kantong kain berisi celengan tanah yang dipegang si gadis, Raden Mas Suryo Kenanga segera mendekati sambil berkata. “Benda itu milikkku. Serahkan padaku!”
Si gadis keluarkan celengan tanah dari dalam kantong kain. Diperhatikan, lalu ditimang-timang, dilemparkan ke udara beberapa kali.
“Jangan! Nanti jatuh pecah! Lekas serahkan padaku!” teriak Suryo Kenanga.
“Celengan kosong saja aku juga tidak butuh!” si gadis lalu lemparkan celengan tanah ayam-ayaman itu pada pedagang kaya raya dari Wates itu.
Suryo Kenanga cepat-cepat menangkapnya lalu mendekapkan celengan tanah itu ke dada. Dia tampak sangat lega.
“Den Ayu, aku tidak kenal siapa dirimu. Aku sangat berterima kasih kau telah merampas celengan ini dari tangan pencuri itu.”
Si gadis hanya keluarkan suara bergumam sambil pandangi lelaki berkumis tebal bertampang gagah itu.
“Namaku Suryo Kenanga, aku tinggal di Wates. Sebagai tanda terima kasih, aku ingin memberikan hadiah pada Den Ayu. Namun hadiah itu harus kuambil di rumah. Apakah Den Ayu bersedia ikut ke Wates?” Sambil bicara sepasang mata Suryo Kenanga tidak hentinya mengerling ke dada si gadis.
“Aku menolong tanpa pamrih. Tapi kebetulan aku memang bermaksud ke Wates….”
“Kalau begitu silahkan Den Ayu ikut dengan kami.” Kata Raden Mas Suryo Kenanga pula.
* * *
DI DALAM kereta yang meluncur ke Wates sambil melirik ke dada gadis yang duduk di sebelahnya, Raden Mas Suryo Kenanga bertanya.
“Kalau aku boleh bertanya, siapa nama Den Ayu? Apakah Den Ayu seorang gadis dari rimba persilatan?”
Gadis di samping pedagang kaya itu tersenyum. “Aku ingin bertanya lebih dulu. Apakah keberatan?” Sambil bertanya si gadis letakkan tangan kirinya di paha pedagang itu. Karuan saja dada Raden Mas Suryo Kenanga jadi berdebar keras dan darahnya mengalir panas.
“Den Ayu mau bertanya apa?” tanya Surya Kenanga.
“Celengan tanah kosong itu. Apakah sangat berarti hingga ada orang yang mencurinya?”
Raden Mas Suryo Kenanga tidak segera menjawab. Dia memperhatikan tangan kiri si gadis yang mulai mengusap-usap pahanya. Tidak tahan dia pegang tangan si gadis kencang-kencang.
Dengan suara berbisik dan bergetar dia berkata.
“Aku hanya memberi tahu pada Den Ayu. Celengan ini memang kosong. Kosong dalam arti kata tidak ada uangnya. Tapi aku menyembunyikan sesuatu dalam celengan ini.”
“Apa?” tanya si gadis.
“Sebuah jimat,” jawab Raden Mas Suryo Kenanga.
“Jimat? Untuk ilmu kebal atau ilmu kuat …. Hik…hik…hik.”
“Bukan, bukan untuk ilmu kebal atau ilmu kuat. Jimat itu untuk usaha dagang. Dengan jimat itu semua usahaku berjalan lancar. Buktinya sekarang aku menjadi seorang kaya raya. Terpandang dan setiap pejabat di Kadipaten dan Kerajaan punya hubungan baik denganku.”
“Luar biasa …” Kata si gadis pula sambil tersenyum dan kedip-kedipkan matanya. “Den Ayu, aku bukan lelaki nakal. Aku sudah punya istri dan tiga orang anak. Kehadiran Den Ayu membuatku merasa beruntung. Mungkin lebih memberi keberuntungan dari jimat yang ada dalam celengan ini.”
“Begitu…?” Si gadis dengan manja letakkan kepalanya di bahu Suryo Kenanga. Lelaki ini cium rambut harum si gadis.
“Den Ayu, sebelum memasuki Wates, aku memiliki sebuah rumah ditempat terpencil. Tidak ada yang tahu kecuali para pengawal. Aku lihat hari sudah rembang petang. Bagaimana kalau kita mampir dan bermalam disana.”
“Ini bukan suatu gurauan?” tanya si gadis pula.
“Tidak, ini bukan gurauan. Aku bersungguh-sungguh. Aku harus mengatakan bagaimana. Aku…aku sangat tertarik pada dirimu. Den Ayu, aku suka padamu…”
“Ah, sekarang kau sudah berubah menjadi lelaki nakal!” kata si gadis sambil tertawa cekikikan dan menjewer telinga kiri Raden Mas Suryo Kenanga. “Aku suka pada lelaki yang berterus terang. Selain itu, aku suka kumis tebalmu…”
Suryo Kenanga bahagia luar biasa. Celengan tanah diletakkannya dilantai kereta lalu dua tangannya memeluk gadis disampingnya dengan penuh nafsu. Si gadis ternyata membalas dengan rangkulan hangat.
“Kalau aku boleh bertanya, siapa nama Den Ayu? Apakah Den Ayu seorang gadis dari rimba persilatan?”
Gadis di samping pedagang kaya itu tersenyum. “Aku ingin bertanya lebih dulu. Apakah keberatan?” Sambil bertanya si gadis letakkan tangan kirinya di paha pedagang itu. Karuan saja dada Raden Mas Suryo Kenanga jadi berdebar keras dan darahnya mengalir panas.
“Den Ayu mau bertanya apa?” tanya Surya Kenanga.
“Celengan tanah kosong itu. Apakah sangat berarti hingga ada orang yang mencurinya?”
Raden Mas Suryo Kenanga tidak segera menjawab. Dia memperhatikan tangan kiri si gadis yang mulai mengusap-usap pahanya. Tidak tahan dia pegang tangan si gadis kencang-kencang.
Dengan suara berbisik dan bergetar dia berkata.
“Aku hanya memberi tahu pada Den Ayu. Celengan ini memang kosong. Kosong dalam arti kata tidak ada uangnya. Tapi aku menyembunyikan sesuatu dalam celengan ini.”
“Apa?” tanya si gadis.
“Sebuah jimat,” jawab Raden Mas Suryo Kenanga.
“Jimat? Untuk ilmu kebal atau ilmu kuat …. Hik…hik…hik.”
“Bukan, bukan untuk ilmu kebal atau ilmu kuat. Jimat itu untuk usaha dagang. Dengan jimat itu semua usahaku berjalan lancar. Buktinya sekarang aku menjadi seorang kaya raya. Terpandang dan setiap pejabat di Kadipaten dan Kerajaan punya hubungan baik denganku.”
“Luar biasa …” Kata si gadis pula sambil tersenyum dan kedip-kedipkan matanya. “Den Ayu, aku bukan lelaki nakal. Aku sudah punya istri dan tiga orang anak. Kehadiran Den Ayu membuatku merasa beruntung. Mungkin lebih memberi keberuntungan dari jimat yang ada dalam celengan ini.”
“Begitu…?” Si gadis dengan manja letakkan kepalanya di bahu Suryo Kenanga. Lelaki ini cium rambut harum si gadis.
“Den Ayu, sebelum memasuki Wates, aku memiliki sebuah rumah ditempat terpencil. Tidak ada yang tahu kecuali para pengawal. Aku lihat hari sudah rembang petang. Bagaimana kalau kita mampir dan bermalam disana.”
“Ini bukan suatu gurauan?” tanya si gadis pula.
“Tidak, ini bukan gurauan. Aku bersungguh-sungguh. Aku harus mengatakan bagaimana. Aku…aku sangat tertarik pada dirimu. Den Ayu, aku suka padamu…”
“Ah, sekarang kau sudah berubah menjadi lelaki nakal!” kata si gadis sambil tertawa cekikikan dan menjewer telinga kiri Raden Mas Suryo Kenanga. “Aku suka pada lelaki yang berterus terang. Selain itu, aku suka kumis tebalmu…”
Suryo Kenanga bahagia luar biasa. Celengan tanah diletakkannya dilantai kereta lalu dua tangannya memeluk gadis disampingnya dengan penuh nafsu. Si gadis ternyata membalas dengan rangkulan hangat.
***
MASIH cukup jauh dari kota Wates, pada saat sang surya mulai memancarkan sinar kekuningan pertanda tak lama lagi akan memasuki ufuk tenggelamnya di sebelah barat, tiba-tiba terdengar teriakan aneh dari dalam kereta.
“Itu suara Raden Mas Surya Kenanga. Teriak Ki Sawung kepala pengawal. Kusir kereta segera menghentikan kuda. Para pengawal berhamburan. Pintu kereta sebelah kanan dibuka sementara pintu sebelah kiri berada dalam keadaan terpentang lebar. Raden Mas Suryo Kenanga duduk dengan dua kaki melunjur ke lantai kereta. Keadaannya setengah bugil karena celana hitamnya melorot sampai ke lutut. Mata terpejam sedang mulut menunjukkan mimik setengah tersenyum. Gadis cantik berpakaian kuning tak ada lagi. Di bangku dan lantai kereta bertebaran pecahan celengan tanah.
“Raden, Raden Mas Suryo!” memanggil Ki Sawung. Dua mata pedagang kaya itu terbuka.
“Ada apa?” justru dia yang bertanya. “Mana gadis kekasihku itu…?
“Raden Mas, gadis itu tak ada lagi. Lenyap entah dimana. Apa yang terjadi?” tanya Ki Sawung.
“Raden Mas, celengan ayam-ayaman juga lenyap”
“Apa?!” kali ini baru Raden Mas Suryo Kenanga tersentak kaget. Cepat dia tarik celananya ke atas. Saat itulah dia melihat pecahan celengan tanah bertebaran di bangku dan lantai kereta. Setengah meratap dia berkata. “Ah, pasti gadis itu telah mencuri jimatku. Ampun, aku akan jadi miskin. Aku akan jadi kere…”
“Itu suara Raden Mas Surya Kenanga. Teriak Ki Sawung kepala pengawal. Kusir kereta segera menghentikan kuda. Para pengawal berhamburan. Pintu kereta sebelah kanan dibuka sementara pintu sebelah kiri berada dalam keadaan terpentang lebar. Raden Mas Suryo Kenanga duduk dengan dua kaki melunjur ke lantai kereta. Keadaannya setengah bugil karena celana hitamnya melorot sampai ke lutut. Mata terpejam sedang mulut menunjukkan mimik setengah tersenyum. Gadis cantik berpakaian kuning tak ada lagi. Di bangku dan lantai kereta bertebaran pecahan celengan tanah.
“Raden, Raden Mas Suryo!” memanggil Ki Sawung. Dua mata pedagang kaya itu terbuka.
“Ada apa?” justru dia yang bertanya. “Mana gadis kekasihku itu…?
“Raden Mas, gadis itu tak ada lagi. Lenyap entah dimana. Apa yang terjadi?” tanya Ki Sawung.
“Raden Mas, celengan ayam-ayaman juga lenyap”
“Apa?!” kali ini baru Raden Mas Suryo Kenanga tersentak kaget. Cepat dia tarik celananya ke atas. Saat itulah dia melihat pecahan celengan tanah bertebaran di bangku dan lantai kereta. Setengah meratap dia berkata. “Ah, pasti gadis itu telah mencuri jimatku. Ampun, aku akan jadi miskin. Aku akan jadi kere…”
***
4
DI MALAM yang sunyi dan dingin itu kepulasan tidur Pangeran Aryo Dipasena dibuai oleh mimpi yang indah. Dalam mimpi Pangeran berusia 21 tahun ini berada di puncak bukit, asyik memandang bulan purnama bulat penuh besar sekali, seolah-olah berada di atas kepalanya. Selagi dia terpesona akan keindahan sang rembulan tiba-tiba didahului satu tiupan angin lembut dari bulan yang bulat itu keluar sosok seorang perempuan muda mengenakan pakaian merah sangat tipis hingga setiap bagian dari auratnya terbayang jelas. Namun karena membelakangi cahaya rembulan wajahnya tidak terlihat. Perempuan yang keluar dari rembulan melambai-lambaikan tangan ke arah Pangeran Aryo Dipasena. Lapat-lapat terdengar suaranya berucap.
“Pangeran kekasihku, tidakkah kau ingin bermain denganku?”
Pangeran Aryo berdiri. Ketika perempuan itu memalingkan kepalanya ke kiri dan cahaya rembulan menerangi mukanya, Pangeran Aryo sempat melihat wajah perempuan itu. Darahnya berdesir, jantungnya seolah berhenti berdegup. Luar biasa!
Belum pernah dia melihat seorang gadis berwajah secantik itu! Apalagi tadi dia dipanggil dengan sebutan kekasih. Membuat hati sang pangeran jadi bergetar. Jangan-jangan yang keluar dari dalam rembulan itu adalah seorang bidadari.
“Pangeran, ulurkan tanganmu. Aku akan membawamu masuk ke dalam rembulan. Kita akan bermain-main di sana….”
“Gadis cantik, kau siapa…?” Pangeran Aryo Dipasena bertanya.
“Aku seorang yang bernasib beruntung. Ditakdirkan menjadi kekasihmu. Mari, ulurkan tanganmu…”
Dalam keterpesonaannya Pangeran Aryo ulurkan tangan kanan. Begitu tangannya bersentuhan dengan tangan si gadis dia merasa kehangatan luar biasa. Lalu tubuhnya terangkat ke udara, dibawa melayang ke arah rembulan. Mula-mula perlahan, makin lama makin cepat, makin kencang. Pangeran Aryo merasa kuduknya jadi dingin dalam kegamangan. Tiba-tiba, ketika dia memandang ke atas rembulan besar sudah berada dekat sekali di depan kepalanya. Pangeran Aryo berteriak ngeri.
Gadis yang menariknya tertawa panjang lalu melepas pegangan. Pangeran Aryo tutupi kepala dengan dua tangan. Dia kembali menjerit karena sebentar lagi kepalanya akan membentur bulan besar. Saat itulah dia tersentak bangun, terduduk di atas ranjang dengan wajah pucat dan tubuh basah oleh keringat. Setelah degup jantungnya mengendur dan aliran darah kembali teratur, Pangeran Aryo tertawa sendiri.
“Mimpi aneh,” katanya dalam hati. “Belum pernah aku melihat bulan sedekat dan sebesar itu. Belum pernah aku melihat gadis secantik yang kulihat dalam mimpi. Kalau saja gadis itu benar-benar ada di alam nyata dan aku bisa menemuinya…”
Pemuda ini geleng-gelengkan kepala lalu turun dari ranjang, meneguk air putih dalam kendi yang terletak di sebuah meja kecil di sudut kamar. Pada saat itulah dia mendengar suar kecipuk air. Perlahan-lahan agar jangan menimbulkan suara kendi diletakkan di atas meja. Dia berdiri lurus-lurus, telinga dipasang tajam-tajam. Kembali terdengar suara kecipuk air. Bahkan kini dia mendengar ada suara nyanyian halus perlahan.
“Ada orang mandi di kolam. Malam-malam begini. Siapa…?”
Aryo Dipasena bertanya-tanya dalam hati. Setengah berjingkat dia melangkah ke arah jendela yang tertutup. Jika jendela dibuka maka akan terlihat satu halaman luas berupa lereng berumput. Di sebelah tengah tedapat tangga batu lima puluh undakan. Di ujung bawah tangga terdapat sebuah kolam mandi yang sekelilingnya dihias dengan tanaman bunga mawar. Saat itu semua bunga mawar tengah berkembang hingga baunya harum semerbak menebar kemana-mana.
Meskipun merupakan seorang putera dari istri ke empat namun Pangeran Aryo sangat disayangi Sri Baginda Raja. Banyak perilaku dan budi pekertinya yang membuat Sri Baginda merasa sangat sayang dan menaruh perhatian pada puteranya yang seorang ini. Salah satu di antara perilaku pangeran Aryo adalah dia tidak mau tinggal dalam kawasan keraton. Karenanya pada Sri Baginda dia minta dibuatkan sebuah rumah kecil tapi berhalaman luas. Rumah ini ditata demikian rupa, dibuat di atas tanah agak ketinggian, dikelilingi halaman berumput dan tanaman bunga serta sebuah kolam mandi. Sifat lain Pangeran Aryo adalah tidak mau dikawal kemanapun dia pergi. Juga dia tidak mau ada prajurit yang menjaga tempat kediamannya walau Sri Baginda berulang kali mengatakan merasa khawatir akan keselamatan puteranya itu.
“Ayahanda Sri Baginda Raja. Kalau kita baik pada semua orang, semua orang akan baik kepada kita. Saya merasa aman di rumah saya yang kecil itu.” Begitu Pangeran Aryo Dipasena berkata pada Sri Baginda saat terakhir kali sang ayah mendesak agar tempat kediamannya dijaga oleh prajurit Kerajaan. Tetap khawatir akan keselamatan putera yang disayanginya itu Sri Baginda Raja akhirnya menyuruh orang membuat tembok setinggi dua tombak mengelilingi tempat kediaman Pangeran Aryo. Untuk hal ini sang putera tidak berani mencegah meskipun sebenarnya dia tidak menyukai.
Selain itu yang membuat Sri Baginda Raja senang pada Pangeran Aryo adalah karena dia merupakan satu-satunya putera yang mau mendalami ilmu bela diri. Berbagai ilmu silat dan kesaktian telah dipelajarinya dari beberapa orang tokoh terkenal yang didatangkan dari berbagai penjuru rimba persilatan. Walau usianya belum mencapai dua puluhan namun Pangeran Aryo telah tumbuh menjadi seorang pendekar, tanpa banyak orang tahu mengenai kehebatannya karena dalam kesehariharian dia selalu menunjukkan sifat polos, hormat kepada setiap orang yang lebih tua dan bersahabat pada orang sebaya serta menyayangi mereka yang kecil. Karena sifatnya yang tinggi budi rendah hati itu Pangeran Aryo banyak mempunyai teman, terutama pemuda seusianya. Dalam berteman dia tidak memilih. Karena itu banyak pemuda dari kalangan kebanyakan yang menjadi sahabatnya. Sahabatnya yang putera para pejabat Keraton boleh dikatakan bisa dihitung dengan jari. Pada saudara-saudaranya satu ayah walau menaruh hormat dan sayang, namun Pangeran Aryo selalu menjaga jarak.
Perlahan-lahan Pangeran Aryo mendorong daun jendela hingga dia bisa melihat ke bawah sana dimana terletak kolam mandi. Bola mata sang Pangeran membesar sewaktu dia melihat ada seorang perempuan duduk berjuntai di tepi kolam membelakangi rumah kecil dimana dia berada. Agaknya perempuan ini memasukkan kedua kakinya ke dalam air, digoyang-goyang menurut suara nyanyian perlahan yang keluar dari mulutnya. Goyangan dua kaki inilah yang menimbulkan air kolam mengeluarkan suara berkecipukan. Yang membuat Pangeran Aryo terpana dan tak berkesip adalah karena perempuan yang duduk di tepi kolam tidak mengenakan secarik kainpun untuk menutupi auratnya! Bahunya yang bidang bagus, punggung yang licin putih, pinggul besar mulus terlihat sampai ke bagian paling bawah. Dari bentuk dan lekuk tubuh yang kencang bagus Pangeran Aryo bisa menduga kalau perempuan itu masih muda, mungkin seorang gadis remaja. Tak jauh dari tempatnya duduk di tepi kolam, ada seperangkat pakaian kuning terlipat rapi. Pangeran Aryo merasa seolah jantungnya berhenti berdetak dan darahnya berhenti mengalir.
“Mungkinkah ini perujudan perempuan cantik yang aku lihat di dalam mimpi…?” Membatin Pangeran Aryo.
Perempuan di tepi kolam memetik setangkai bunga mawar merah lalu mencelupkannya ke dalam air kolam. Bunga mawar yang basah itu kemudian diusapkannya ke wajah, leher dada serta perutnya. Sang Pangeran menggosok mata berulang kali.
“Aku tidak salah melihat. Kali ini aku tidak bermimpi. Ini adalah kenyataan…” ucapnya berulang kali. Hasrat untuk menemui perempuan di tepi kolam menggebugebu.
Apa lagi dia hanya melihat tubuh sebelah belakang. Kalau saja dia bisa melihat tubuh bagian depan. Pangeran Aryo bukan seorang pemuda nakal. Namun apa yang disaksikannya saat itu telah menggoncang hatinya. Menggoyah sikap dan rasa hormatnya pada kaum perempuan yang tertanam dalam dirinya selama ini. Sang Pangeran memandang ke pintu. Namun akhirnya memutuskan untuk keluar lewat jendela saja dari mana dia bisa terus mengawasi perempuan yang mandi. Dia takut selagi melangkah ke pintu perempuan di pinggir kolam tahu-tahu pergi. Tanpa suara Pangeran Aryo keluar dari kamar melompati jendela. Saat itu di langit memang ada bulan sabit dan taburan bintang gumintang. Namun awan kelabu menebar menutupi hingga keadaan tidak begitu terang.
Dengan mengendap-endap Pangeran Aryo menuruni tanah lereng berumput. Dia sengaja tidak menuju kolam melalui tangga batu, takut akan ketahuan sebelum dia berhasil mendekati perempuan di tepi kolam. Tidak tahu kalau ada orang mendekati dari belakang, perempuan di tepi kolam terus saja mempermainkan kedua kakinya di dalam air dan mengusap-usapkan bunga mawar basah ke dadanya yang bagus putih. Ketika untuk kesekian kalinya dia hendak merunduk merendam air, tiba-tiba dia mendengar suara langkah perlahan. Cepat dia palingkan kepala.
Dua orang sama-sama tercekat terkejut. Perempuan di tepi kolam tidak sadar akan keadaan dirinya, bangkit setengah melompat, berdiri bingung di hadapan Pangeran Aryo. Ternyata dia adalah seorang gadis berwajah cantik. Sang Pangeran merasa seperti melihat satu benda menyilaukan. Seumur hidup baru kali itu dia melihat dan berhadap-hadapan begitu dekat dengan seorang gadis dalam keadaan tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Sementara si gadis seolah tidak sadar akan keadaan dirinya berdiri tertegun, dua tangan ditekapkan ke dada sedang di bagian bawah tersingkap polos begitu saja.
“Maafkan saya….” Kata Pangeran Aryo Dipasena sambil melangkah mundur.
“Kau mengintip diriku….” Suara si gadis halus dan merdu. Dalam ucapannya tidak ada nada marah karena dirinya dipergoki seperti itu.
“Kau mandi di kolamku.” Ucap Pangeran Aryo pula.
“Aku memang telah berbuat lancang.” Si gadis berkata sambil matanya melirik ke lipatan pakaian kuning miliknya yang tergeletak lebih dekat ke arah Pangeran Aryo. “Aku harus pergi….” Gadis itu melangkah mendekati pakaiannya. Kalau saja putera Raja ini seorang nakal tentu dia akan segera mengambil pakaian itu agar si gadis tetap dalam keadaan telanjang.
Tapi Pangeran Aryo mundur beberapa langkah. Lalu membalikkan diri seraya berkata. “Cepat kenakan pakaianmu. Kalau sudah jangan pergi. Aku ingin mengenal dirimu.”
“Dalam seribu mungkin hanya ada satu pemuda sebaik dirimu.” Si Gadis berucap.
Pangeran Aryo tidak pedulikan pujian itu. Dia bertanya. “Siapa namamu?”
Tak ada jawaban.
“Aku tidak marah kau mandi di kolamku tanpa izin. Aku hanya ingin bersahabat. Aku boleh tahu namamu?”
Tetap tak ada jawaban.
Penasaran Pangeran Aryo balikkan tubuh. Astaga! Ternyata gadis tadi tak ada lagi di tepi kolam. Pakaian kuning yang sebelumnya ada di situ juga ikut lenyap. Yang tertinggal hanya bekas jatuhan air di tubuh si gadis yang membasahi bebatuan di tepi kolam. Pangeran Aryo memandang berkeliling. Sunyi. Pemuda ini melompat ke atas tembok setinggi dua tombak yang membatasi tempat kediamannya. Di luar batas tembok keadaan malah lebih sunyi dan lebih gelap. Pangeran Aryo kecewa besar. Dia kembali ke tepi kolam. Jongkok sambil mengusap bebatuan yang basah.
“Aneh, dia datang dan mandi di kolamku. Lalu pergi begitu saja. Adakah dia manusia atau….?”
Malam itu sampai pagi Pangeran Aryo tidak tidur melainkan duduk di depan pintu rumah. Dia berharap gadis cantik tadi akan muncul lagi. Namun sampai matahari terbit, malam berganti siang apa yang diharapkannya itu tidak terjadi. Menjelang siang ketika beberapa temannya datang Pangeran Aryo tidak bisa menahan rahasia. Apa yang terjadi malam tadi diceritakannya pada teman-temannya.
“Hati-hati,” mengingatkan seorang teman. “Bisa saja gadis itu demit yang hendak memancingmu. Sekali kau tergoda maka dia akan membawamu ke alamnya. Kau tak bisa lagi kembali ke dunia ini.”
Teman yang lain berkata. “Anggap saja gadis itu manusia biasa seperti kitakita ini. Kalau kau memang penasaran, ingin melihatnya lagi, berjaga-jaga saja setiap malam. Aku yakin dia akan kembali ke tempat ini. Aku dan teman-teman bersedia menemani…”
“Aku memang penasaran,” jawab Pangeran Aryo. “Tapi sudahlah. Anggap saja kejadian itu sebagai mimpi.”
Namun lewat tengah malam, setelah semua temannya pergi, Pangeran Aryo memutuskan untuk berjaga-jaga. Siapa tahu gadis malam kemarin itu akan muncul lagi. Dari balik jendela yang direnggangkan sedikit dia mengintip ke arah halaman luas di bawah sana. Swaktu matanya mulai redup menahan kantuk, tiba-tiba dia melihat satu bayangan berkelebat dan berdiri di atas tembok sebelah timur. Pangeran Aryo tidak dapat melihat jelas apakah orang itu berpakaian kuning karena sosoknya terselubung oleh bayangan gelap pohon besar di belakang tembok. Dengan dada berdebar Pangeran Aryo membuka jendela, melesat keluar rumah, berkelebat ke arah tembok sebelah timur. Ketika dia naik ke atas tembok, sosok di dalam bayangan gelap pohon besar tidak ada lagi.
“Aku salah, terlalu terburu-buru. Seharusnya kutunggu sampai dia masuk ke halaman dan mandi di kolam.” Sang Pangeran menyesali diri sendiri lalu melompat turun dari tembok. Ketika kakinya menjejak tanah halaman berumput, kejut dan juga gembira Pangeran Aryo bukan alang kepalang. Di tepi kolam berdiri seorang gadis berpakaian kebaya dan celana panjang ringkas warna kuning.
“Dia….” Ucap Pangeran Aryo agak kaget tapi gembira sekali. Dengan cepat dia mendatangi gadis ini. “Hai, tadi kau yang berdiri di atas tembok sebelah sana? Di bawah bayangan pohon besar?”
Gadis cantik di hadapan Pangeran Aryo buka gulungan rambutnya hingga kini rambut yang hitam tergerai lepas membuat wajahnya tambah jelita. Gadis ini gelengkan kepala.
“Berarti ada orang lain yang datang ke tempat itu,” pikir sang Pangeran. Walau heran Pangeran Aryo berkata.
“Aku gembira kau mau datang. Apakah kau ingin mandi lagi di kolam?”
“Dan kau akan mengintip?” ujar si gadis sambil tertawa. “Apakah malam kemarin kau tidak puas melihat diriku?”
Wajah Pangeran Aryo menjadi merah.
“Aku tidak bermaksud nakal. Semuanya serba mendadak, serba tidak terduga….”
“Sesuatu yang tidak terduga bukankah meninggalkan kesan indah dan mendalam?” ucap si gadis.
“Ah…kau betul,” jawab Pangeran Aryo polos mengakui. “Setelah kau pergi, aku selalu ingat dirimu.“ Malam kemarin dia melihat gadis cantik itu dalam keadaan polos dadanya seperti mau meledak. Kini mengenakan kebaya kuning dengan potongan dada rendah hingga pangkal payudaranya terlihat menyembul putih dan kencang, Pangeran Aryo jadi tak karuan rasa. Memang ada kalanya melihat aurat perempuan yang setengah tersingkap dapat menimbulkan daya tarik yang lebih bergelora.
“Malam kemarin kau pergi begitu saja. Aku bertanya, kau tak sempat memberi tahu nama….”
“Apakah kau mau memberi nama padaku?” tanya si gadis sambil duduk di atas sebuah batu rata di samping sebuah arca singa. Karena dia berdiri dan keadaannya lebih tinggi, Pangeran Aryo kini dapat melihat lebih jelas bagian dada si gadis.
“Aku tidak berani memberi nama. Aku takut kesalahan….”
“Nama apa saja. Aku akan menerima…,” jawab si gadis sambil tersenyum dan permainkan bibirnya yang merah menantang. Lalu dia memetik sekuntum bunga mawar, menciumnya sambil mendongakkan kepala dan memejamkan mata. Sungguh indah dan anggun sekali sikapnya ini di mata Pangeran Aryo.
“Hem…Bagaimana kalau kau kuberi nama Dewi….,” ucap Pangeran Aryo.
“Hanya Dewi?”
Pangeran Aryo menatap ke wajah yang penuh daya tarik serta dada yang busung kencang dan putih menantang.
“Dewi…Mungkin Dewi Pikatan atau hemmm…Dewi Pemikat?”
Si gadis dongakkan kepala, memperlihatkan lehernya yang putih jenjang lalu tertawa panjang. “Dua nama yang kau berikan itu sama-sama bagus. Aku memilih yang terakhir. Terima kasih…Eh, apakah aku ini seorang gadis pemikat?”
“Aku yakin banyak pemuda yang terpikat jika melihat dirimu.”
Si gadis tersenyum. “Kau sendiri bukankah Pangeran Aryo Dipasena?”
“Aku senang kau sudah tahu siapa diriku. Tapi seperti terhadap semua temantemanku, aku bukan seorang Pangeran. Aku adalah seorang sahabat…”
“Ah, ternyata kau seorang berbudi tinggi berhati rendah. Pangeran, apakah kau senang aku datang kembali?”
“Sstt, panggil aku Aryo atau Dipasena. Jangan panggil Pangeran. Nanti semua tikus-tikus yang ada di tempat ini kabur berlarian…”
Si gadis yang diberi nama Dewi Pemikat tertawa lebar.
“Aku akan memanggilmu Dipasena. Boleh…?”
Aryo Dipasena mengangguk. Lalu berkata. “Tentu, tentu saja aku senang kau datang lagi. Tadinya aku sudah putus harapan…” berkata Aryo Dipasena.
“Tapi ada seorang tamu tak diundang yang tidak senang melihat kedatanganku ke sini. Dia datang membekal maksud jahat.”
“Siapa? Apa maksudmu?” tanya Aryo Dipasena.
“Kau tak usah berpaling. Tapi langsung menghantam ke arah tembok di sebelah timur dekat pohon besar. Keluarkan ilmu pukulan Tiga Jalur Kematian.”
Pangeran Aryo terkejut. Bagaimana gadis yang sebelumnya tak dikenalnya ini tahu kalau dia memiliki pukulan sakti tersebut. Selain itu arah yang dikatakannya adalah bagian tembok dekat pohon besar dimana tadi dia melihat ada satu sosok mendekam.
“Aku tak bisa melakukan hal itu. Pukulan Tiga Jalur Kematian bisa membunuh orang. Aku tidak pernah membunuh orang dan tidak ingin.”
“Orang bermaksud jahat padamu. Apakah kau masih menaruh budi kebaikan?”
tanya si gadis. “Aku kecewa.” Si gadis unjukkan wajah sedih. Dia membuat gerakan seperti hendak meninggalkan tempat itu.
“Tunggu, jangan pergi. Aku akan ikuti apa yang kau katakan.” Dalam bingungnya Aryo Dipasena akhirnya balikkan tubuh sambil sekaligus lepaskan pukulan tangan kanan ke arah yang dikatakan si gadis.
“Pangeran kekasihku, tidakkah kau ingin bermain denganku?”
Pangeran Aryo berdiri. Ketika perempuan itu memalingkan kepalanya ke kiri dan cahaya rembulan menerangi mukanya, Pangeran Aryo sempat melihat wajah perempuan itu. Darahnya berdesir, jantungnya seolah berhenti berdegup. Luar biasa!
Belum pernah dia melihat seorang gadis berwajah secantik itu! Apalagi tadi dia dipanggil dengan sebutan kekasih. Membuat hati sang pangeran jadi bergetar. Jangan-jangan yang keluar dari dalam rembulan itu adalah seorang bidadari.
“Pangeran, ulurkan tanganmu. Aku akan membawamu masuk ke dalam rembulan. Kita akan bermain-main di sana….”
“Gadis cantik, kau siapa…?” Pangeran Aryo Dipasena bertanya.
“Aku seorang yang bernasib beruntung. Ditakdirkan menjadi kekasihmu. Mari, ulurkan tanganmu…”
Dalam keterpesonaannya Pangeran Aryo ulurkan tangan kanan. Begitu tangannya bersentuhan dengan tangan si gadis dia merasa kehangatan luar biasa. Lalu tubuhnya terangkat ke udara, dibawa melayang ke arah rembulan. Mula-mula perlahan, makin lama makin cepat, makin kencang. Pangeran Aryo merasa kuduknya jadi dingin dalam kegamangan. Tiba-tiba, ketika dia memandang ke atas rembulan besar sudah berada dekat sekali di depan kepalanya. Pangeran Aryo berteriak ngeri.
Gadis yang menariknya tertawa panjang lalu melepas pegangan. Pangeran Aryo tutupi kepala dengan dua tangan. Dia kembali menjerit karena sebentar lagi kepalanya akan membentur bulan besar. Saat itulah dia tersentak bangun, terduduk di atas ranjang dengan wajah pucat dan tubuh basah oleh keringat. Setelah degup jantungnya mengendur dan aliran darah kembali teratur, Pangeran Aryo tertawa sendiri.
“Mimpi aneh,” katanya dalam hati. “Belum pernah aku melihat bulan sedekat dan sebesar itu. Belum pernah aku melihat gadis secantik yang kulihat dalam mimpi. Kalau saja gadis itu benar-benar ada di alam nyata dan aku bisa menemuinya…”
Pemuda ini geleng-gelengkan kepala lalu turun dari ranjang, meneguk air putih dalam kendi yang terletak di sebuah meja kecil di sudut kamar. Pada saat itulah dia mendengar suar kecipuk air. Perlahan-lahan agar jangan menimbulkan suara kendi diletakkan di atas meja. Dia berdiri lurus-lurus, telinga dipasang tajam-tajam. Kembali terdengar suara kecipuk air. Bahkan kini dia mendengar ada suara nyanyian halus perlahan.
“Ada orang mandi di kolam. Malam-malam begini. Siapa…?”
Aryo Dipasena bertanya-tanya dalam hati. Setengah berjingkat dia melangkah ke arah jendela yang tertutup. Jika jendela dibuka maka akan terlihat satu halaman luas berupa lereng berumput. Di sebelah tengah tedapat tangga batu lima puluh undakan. Di ujung bawah tangga terdapat sebuah kolam mandi yang sekelilingnya dihias dengan tanaman bunga mawar. Saat itu semua bunga mawar tengah berkembang hingga baunya harum semerbak menebar kemana-mana.
Meskipun merupakan seorang putera dari istri ke empat namun Pangeran Aryo sangat disayangi Sri Baginda Raja. Banyak perilaku dan budi pekertinya yang membuat Sri Baginda merasa sangat sayang dan menaruh perhatian pada puteranya yang seorang ini. Salah satu di antara perilaku pangeran Aryo adalah dia tidak mau tinggal dalam kawasan keraton. Karenanya pada Sri Baginda dia minta dibuatkan sebuah rumah kecil tapi berhalaman luas. Rumah ini ditata demikian rupa, dibuat di atas tanah agak ketinggian, dikelilingi halaman berumput dan tanaman bunga serta sebuah kolam mandi. Sifat lain Pangeran Aryo adalah tidak mau dikawal kemanapun dia pergi. Juga dia tidak mau ada prajurit yang menjaga tempat kediamannya walau Sri Baginda berulang kali mengatakan merasa khawatir akan keselamatan puteranya itu.
“Ayahanda Sri Baginda Raja. Kalau kita baik pada semua orang, semua orang akan baik kepada kita. Saya merasa aman di rumah saya yang kecil itu.” Begitu Pangeran Aryo Dipasena berkata pada Sri Baginda saat terakhir kali sang ayah mendesak agar tempat kediamannya dijaga oleh prajurit Kerajaan. Tetap khawatir akan keselamatan putera yang disayanginya itu Sri Baginda Raja akhirnya menyuruh orang membuat tembok setinggi dua tombak mengelilingi tempat kediaman Pangeran Aryo. Untuk hal ini sang putera tidak berani mencegah meskipun sebenarnya dia tidak menyukai.
Selain itu yang membuat Sri Baginda Raja senang pada Pangeran Aryo adalah karena dia merupakan satu-satunya putera yang mau mendalami ilmu bela diri. Berbagai ilmu silat dan kesaktian telah dipelajarinya dari beberapa orang tokoh terkenal yang didatangkan dari berbagai penjuru rimba persilatan. Walau usianya belum mencapai dua puluhan namun Pangeran Aryo telah tumbuh menjadi seorang pendekar, tanpa banyak orang tahu mengenai kehebatannya karena dalam kesehariharian dia selalu menunjukkan sifat polos, hormat kepada setiap orang yang lebih tua dan bersahabat pada orang sebaya serta menyayangi mereka yang kecil. Karena sifatnya yang tinggi budi rendah hati itu Pangeran Aryo banyak mempunyai teman, terutama pemuda seusianya. Dalam berteman dia tidak memilih. Karena itu banyak pemuda dari kalangan kebanyakan yang menjadi sahabatnya. Sahabatnya yang putera para pejabat Keraton boleh dikatakan bisa dihitung dengan jari. Pada saudara-saudaranya satu ayah walau menaruh hormat dan sayang, namun Pangeran Aryo selalu menjaga jarak.
Perlahan-lahan Pangeran Aryo mendorong daun jendela hingga dia bisa melihat ke bawah sana dimana terletak kolam mandi. Bola mata sang Pangeran membesar sewaktu dia melihat ada seorang perempuan duduk berjuntai di tepi kolam membelakangi rumah kecil dimana dia berada. Agaknya perempuan ini memasukkan kedua kakinya ke dalam air, digoyang-goyang menurut suara nyanyian perlahan yang keluar dari mulutnya. Goyangan dua kaki inilah yang menimbulkan air kolam mengeluarkan suara berkecipukan. Yang membuat Pangeran Aryo terpana dan tak berkesip adalah karena perempuan yang duduk di tepi kolam tidak mengenakan secarik kainpun untuk menutupi auratnya! Bahunya yang bidang bagus, punggung yang licin putih, pinggul besar mulus terlihat sampai ke bagian paling bawah. Dari bentuk dan lekuk tubuh yang kencang bagus Pangeran Aryo bisa menduga kalau perempuan itu masih muda, mungkin seorang gadis remaja. Tak jauh dari tempatnya duduk di tepi kolam, ada seperangkat pakaian kuning terlipat rapi. Pangeran Aryo merasa seolah jantungnya berhenti berdetak dan darahnya berhenti mengalir.
“Mungkinkah ini perujudan perempuan cantik yang aku lihat di dalam mimpi…?” Membatin Pangeran Aryo.
Perempuan di tepi kolam memetik setangkai bunga mawar merah lalu mencelupkannya ke dalam air kolam. Bunga mawar yang basah itu kemudian diusapkannya ke wajah, leher dada serta perutnya. Sang Pangeran menggosok mata berulang kali.
“Aku tidak salah melihat. Kali ini aku tidak bermimpi. Ini adalah kenyataan…” ucapnya berulang kali. Hasrat untuk menemui perempuan di tepi kolam menggebugebu.
Apa lagi dia hanya melihat tubuh sebelah belakang. Kalau saja dia bisa melihat tubuh bagian depan. Pangeran Aryo bukan seorang pemuda nakal. Namun apa yang disaksikannya saat itu telah menggoncang hatinya. Menggoyah sikap dan rasa hormatnya pada kaum perempuan yang tertanam dalam dirinya selama ini. Sang Pangeran memandang ke pintu. Namun akhirnya memutuskan untuk keluar lewat jendela saja dari mana dia bisa terus mengawasi perempuan yang mandi. Dia takut selagi melangkah ke pintu perempuan di pinggir kolam tahu-tahu pergi. Tanpa suara Pangeran Aryo keluar dari kamar melompati jendela. Saat itu di langit memang ada bulan sabit dan taburan bintang gumintang. Namun awan kelabu menebar menutupi hingga keadaan tidak begitu terang.
Dengan mengendap-endap Pangeran Aryo menuruni tanah lereng berumput. Dia sengaja tidak menuju kolam melalui tangga batu, takut akan ketahuan sebelum dia berhasil mendekati perempuan di tepi kolam. Tidak tahu kalau ada orang mendekati dari belakang, perempuan di tepi kolam terus saja mempermainkan kedua kakinya di dalam air dan mengusap-usapkan bunga mawar basah ke dadanya yang bagus putih. Ketika untuk kesekian kalinya dia hendak merunduk merendam air, tiba-tiba dia mendengar suara langkah perlahan. Cepat dia palingkan kepala.
Dua orang sama-sama tercekat terkejut. Perempuan di tepi kolam tidak sadar akan keadaan dirinya, bangkit setengah melompat, berdiri bingung di hadapan Pangeran Aryo. Ternyata dia adalah seorang gadis berwajah cantik. Sang Pangeran merasa seperti melihat satu benda menyilaukan. Seumur hidup baru kali itu dia melihat dan berhadap-hadapan begitu dekat dengan seorang gadis dalam keadaan tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Sementara si gadis seolah tidak sadar akan keadaan dirinya berdiri tertegun, dua tangan ditekapkan ke dada sedang di bagian bawah tersingkap polos begitu saja.
“Maafkan saya….” Kata Pangeran Aryo Dipasena sambil melangkah mundur.
“Kau mengintip diriku….” Suara si gadis halus dan merdu. Dalam ucapannya tidak ada nada marah karena dirinya dipergoki seperti itu.
“Kau mandi di kolamku.” Ucap Pangeran Aryo pula.
“Aku memang telah berbuat lancang.” Si gadis berkata sambil matanya melirik ke lipatan pakaian kuning miliknya yang tergeletak lebih dekat ke arah Pangeran Aryo. “Aku harus pergi….” Gadis itu melangkah mendekati pakaiannya. Kalau saja putera Raja ini seorang nakal tentu dia akan segera mengambil pakaian itu agar si gadis tetap dalam keadaan telanjang.
Tapi Pangeran Aryo mundur beberapa langkah. Lalu membalikkan diri seraya berkata. “Cepat kenakan pakaianmu. Kalau sudah jangan pergi. Aku ingin mengenal dirimu.”
“Dalam seribu mungkin hanya ada satu pemuda sebaik dirimu.” Si Gadis berucap.
Pangeran Aryo tidak pedulikan pujian itu. Dia bertanya. “Siapa namamu?”
Tak ada jawaban.
“Aku tidak marah kau mandi di kolamku tanpa izin. Aku hanya ingin bersahabat. Aku boleh tahu namamu?”
Tetap tak ada jawaban.
Penasaran Pangeran Aryo balikkan tubuh. Astaga! Ternyata gadis tadi tak ada lagi di tepi kolam. Pakaian kuning yang sebelumnya ada di situ juga ikut lenyap. Yang tertinggal hanya bekas jatuhan air di tubuh si gadis yang membasahi bebatuan di tepi kolam. Pangeran Aryo memandang berkeliling. Sunyi. Pemuda ini melompat ke atas tembok setinggi dua tombak yang membatasi tempat kediamannya. Di luar batas tembok keadaan malah lebih sunyi dan lebih gelap. Pangeran Aryo kecewa besar. Dia kembali ke tepi kolam. Jongkok sambil mengusap bebatuan yang basah.
“Aneh, dia datang dan mandi di kolamku. Lalu pergi begitu saja. Adakah dia manusia atau….?”
Malam itu sampai pagi Pangeran Aryo tidak tidur melainkan duduk di depan pintu rumah. Dia berharap gadis cantik tadi akan muncul lagi. Namun sampai matahari terbit, malam berganti siang apa yang diharapkannya itu tidak terjadi. Menjelang siang ketika beberapa temannya datang Pangeran Aryo tidak bisa menahan rahasia. Apa yang terjadi malam tadi diceritakannya pada teman-temannya.
“Hati-hati,” mengingatkan seorang teman. “Bisa saja gadis itu demit yang hendak memancingmu. Sekali kau tergoda maka dia akan membawamu ke alamnya. Kau tak bisa lagi kembali ke dunia ini.”
Teman yang lain berkata. “Anggap saja gadis itu manusia biasa seperti kitakita ini. Kalau kau memang penasaran, ingin melihatnya lagi, berjaga-jaga saja setiap malam. Aku yakin dia akan kembali ke tempat ini. Aku dan teman-teman bersedia menemani…”
“Aku memang penasaran,” jawab Pangeran Aryo. “Tapi sudahlah. Anggap saja kejadian itu sebagai mimpi.”
Namun lewat tengah malam, setelah semua temannya pergi, Pangeran Aryo memutuskan untuk berjaga-jaga. Siapa tahu gadis malam kemarin itu akan muncul lagi. Dari balik jendela yang direnggangkan sedikit dia mengintip ke arah halaman luas di bawah sana. Swaktu matanya mulai redup menahan kantuk, tiba-tiba dia melihat satu bayangan berkelebat dan berdiri di atas tembok sebelah timur. Pangeran Aryo tidak dapat melihat jelas apakah orang itu berpakaian kuning karena sosoknya terselubung oleh bayangan gelap pohon besar di belakang tembok. Dengan dada berdebar Pangeran Aryo membuka jendela, melesat keluar rumah, berkelebat ke arah tembok sebelah timur. Ketika dia naik ke atas tembok, sosok di dalam bayangan gelap pohon besar tidak ada lagi.
“Aku salah, terlalu terburu-buru. Seharusnya kutunggu sampai dia masuk ke halaman dan mandi di kolam.” Sang Pangeran menyesali diri sendiri lalu melompat turun dari tembok. Ketika kakinya menjejak tanah halaman berumput, kejut dan juga gembira Pangeran Aryo bukan alang kepalang. Di tepi kolam berdiri seorang gadis berpakaian kebaya dan celana panjang ringkas warna kuning.
“Dia….” Ucap Pangeran Aryo agak kaget tapi gembira sekali. Dengan cepat dia mendatangi gadis ini. “Hai, tadi kau yang berdiri di atas tembok sebelah sana? Di bawah bayangan pohon besar?”
Gadis cantik di hadapan Pangeran Aryo buka gulungan rambutnya hingga kini rambut yang hitam tergerai lepas membuat wajahnya tambah jelita. Gadis ini gelengkan kepala.
“Berarti ada orang lain yang datang ke tempat itu,” pikir sang Pangeran. Walau heran Pangeran Aryo berkata.
“Aku gembira kau mau datang. Apakah kau ingin mandi lagi di kolam?”
“Dan kau akan mengintip?” ujar si gadis sambil tertawa. “Apakah malam kemarin kau tidak puas melihat diriku?”
Wajah Pangeran Aryo menjadi merah.
“Aku tidak bermaksud nakal. Semuanya serba mendadak, serba tidak terduga….”
“Sesuatu yang tidak terduga bukankah meninggalkan kesan indah dan mendalam?” ucap si gadis.
“Ah…kau betul,” jawab Pangeran Aryo polos mengakui. “Setelah kau pergi, aku selalu ingat dirimu.“ Malam kemarin dia melihat gadis cantik itu dalam keadaan polos dadanya seperti mau meledak. Kini mengenakan kebaya kuning dengan potongan dada rendah hingga pangkal payudaranya terlihat menyembul putih dan kencang, Pangeran Aryo jadi tak karuan rasa. Memang ada kalanya melihat aurat perempuan yang setengah tersingkap dapat menimbulkan daya tarik yang lebih bergelora.
“Malam kemarin kau pergi begitu saja. Aku bertanya, kau tak sempat memberi tahu nama….”
“Apakah kau mau memberi nama padaku?” tanya si gadis sambil duduk di atas sebuah batu rata di samping sebuah arca singa. Karena dia berdiri dan keadaannya lebih tinggi, Pangeran Aryo kini dapat melihat lebih jelas bagian dada si gadis.
“Aku tidak berani memberi nama. Aku takut kesalahan….”
“Nama apa saja. Aku akan menerima…,” jawab si gadis sambil tersenyum dan permainkan bibirnya yang merah menantang. Lalu dia memetik sekuntum bunga mawar, menciumnya sambil mendongakkan kepala dan memejamkan mata. Sungguh indah dan anggun sekali sikapnya ini di mata Pangeran Aryo.
“Hem…Bagaimana kalau kau kuberi nama Dewi….,” ucap Pangeran Aryo.
“Hanya Dewi?”
Pangeran Aryo menatap ke wajah yang penuh daya tarik serta dada yang busung kencang dan putih menantang.
“Dewi…Mungkin Dewi Pikatan atau hemmm…Dewi Pemikat?”
Si gadis dongakkan kepala, memperlihatkan lehernya yang putih jenjang lalu tertawa panjang. “Dua nama yang kau berikan itu sama-sama bagus. Aku memilih yang terakhir. Terima kasih…Eh, apakah aku ini seorang gadis pemikat?”
“Aku yakin banyak pemuda yang terpikat jika melihat dirimu.”
Si gadis tersenyum. “Kau sendiri bukankah Pangeran Aryo Dipasena?”
“Aku senang kau sudah tahu siapa diriku. Tapi seperti terhadap semua temantemanku, aku bukan seorang Pangeran. Aku adalah seorang sahabat…”
“Ah, ternyata kau seorang berbudi tinggi berhati rendah. Pangeran, apakah kau senang aku datang kembali?”
“Sstt, panggil aku Aryo atau Dipasena. Jangan panggil Pangeran. Nanti semua tikus-tikus yang ada di tempat ini kabur berlarian…”
Si gadis yang diberi nama Dewi Pemikat tertawa lebar.
“Aku akan memanggilmu Dipasena. Boleh…?”
Aryo Dipasena mengangguk. Lalu berkata. “Tentu, tentu saja aku senang kau datang lagi. Tadinya aku sudah putus harapan…” berkata Aryo Dipasena.
“Tapi ada seorang tamu tak diundang yang tidak senang melihat kedatanganku ke sini. Dia datang membekal maksud jahat.”
“Siapa? Apa maksudmu?” tanya Aryo Dipasena.
“Kau tak usah berpaling. Tapi langsung menghantam ke arah tembok di sebelah timur dekat pohon besar. Keluarkan ilmu pukulan Tiga Jalur Kematian.”
Pangeran Aryo terkejut. Bagaimana gadis yang sebelumnya tak dikenalnya ini tahu kalau dia memiliki pukulan sakti tersebut. Selain itu arah yang dikatakannya adalah bagian tembok dekat pohon besar dimana tadi dia melihat ada satu sosok mendekam.
“Aku tak bisa melakukan hal itu. Pukulan Tiga Jalur Kematian bisa membunuh orang. Aku tidak pernah membunuh orang dan tidak ingin.”
“Orang bermaksud jahat padamu. Apakah kau masih menaruh budi kebaikan?”
tanya si gadis. “Aku kecewa.” Si gadis unjukkan wajah sedih. Dia membuat gerakan seperti hendak meninggalkan tempat itu.
“Tunggu, jangan pergi. Aku akan ikuti apa yang kau katakan.” Dalam bingungnya Aryo Dipasena akhirnya balikkan tubuh sambil sekaligus lepaskan pukulan tangan kanan ke arah yang dikatakan si gadis.
***
5
TIGA LARIK sinar hitam melesat tanpa suara ke arah tembok sebelah timur, tepat di jurusan pohon besar. Walau dalam gelap namun tiga larik sinar ini tampak berkilat. Inilah pukulan sakti bernama Tiga Jalur Kematian yang dipelajari Aryo Dipasena dari seorang sakti yang diam di ujung tanah Jawa sebelah timur. Jika pukulan sakti ini dilepas maka tiga jalur sinar hitam akan mencari sasaran sendiri. Biasanya yang di arah secara sekaligus adalah bagian kepala, dada dan kaki lawan. Selama ini kecuali dalam melatih diri Sang Pangeran tidak pernah melepaskan pukulan tersebut untuk menyerang orang. Sesaat lagi pukulan sakti akan mengenai sasaran sosok orang di atas tembok sebelah timur, tiba-tiba dari arah itu berkiblat tiga sinar. Meah, biru dan hijau!
Letusan dahsyat menggelegar tiga kali berturut-turut. Tembok di bagian timur hancur berkeping-keping. Tiga cabang pohon besar terbakar hangus. Seluruh daun pepohonan hangus lalu luruh rontok hingga pohon besar itu kini hanya tinggal cabang dan ranting. Sebelum gelegar tiga letusan satu bayangan hitam berkelebat dari atas tembok disertai terdengarnya suara orang memaki. Di tempatnya berdiri tubuh Pangeran Aryo Dipasena bergoncang keras, lutut goyah. Dia berusaha bertahan tapi tak kuasa. Sebelum jatuh di tepi kolam gadis berpakaian kuning cepat merangkul tubuhnya, mendudukkannya di lantai batu, bersandar ke arca singa. Wajahnya tampak pucat. NAmun dia segera bias menguasai diri dan berkata.
“Dewi, kau betul. Ada orang di atas tembok sana tadi. Dia melepas serangan balasan ketika pukulanku hampir mengenai dirinya. Dia memiliki tenaga luar biasa..”
“Kau juga hebat Dipa. Orang lain saat ini mungkin sudah menderita luka dalam yang amat parah….”
“Luar biasa…” kata sang pangeran sambil mengusap wajahnya yang keringatan. “Selama ini aku tidak pernah mempergunakan ilmu kesaktian. Ternyata apa yang kumiliki belum berarti apa-apa.”
“Pisau itu tajam karena diasah. Ilmu kepandaian baru ketahuan hebatnya kalau dipakai,” kata gadis yang diberi nama Dewi Pemikat.
“Kau tahu siapa orang yang katamu datang dengan membekal niat jahat terhadapku?” Bertanya Pangeran Aryo.
“Sejak beberapa hari belakangan ini ada seseorang mengikuti gerak-gerikku. Walau dia berlaku diam-diam dan sangat licin tapi aku tak bisa ditipu. Malam kemarin ketika aku datang di sini, aku rasa dia juga ada di tempat ini mengintai. Tadi ketika aku dalam perjalanan ke sini, dia mendahului mendatangi tempat ini. Dia sembunyi di atas tembok sebelah timur yang sangat gelap. Kalau tidak membekal niat jahat mengapa sembunyi?”
“Aneh, seumur hidup aku tidak punya seorang musuhpun. Bagiku satu musuh sudah terlalu banyak. Seribu sahabat masih kurang. Aku ingin sekali mengetahui siapa adanya orang itu.”
“Serahkan hal itu padaku. Aku akan menyelidiki….”
“Saudari…Dewi, kau ini siapakah sebenarnya?” bertanya Aryo Dipasena.
Tiba-tiba di luar tembok pembatas halaman kediaman Pangeran Aryo terdengar terdengar suara riuh derap kaki kuda mendatangi.
“Ada yang datang. Agaknya serombongan pasukan.” Kata Dewi Pemikat.
“Para pengawal Kerajaan. Atas perintah ayahku mereka memang pada waktuwaktu tertentu melakukan perondaan di sekitar sini. Dewi, kau pergilah masuk ke dalam rumah. Aku tak ingin mereka melihatmu.”
“Aku lebih suka menyelinap ke atas pohon sana,” jawab si gadis sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar yang tumbuh di bagian belakang rumah kecil. Sekali berkelebat gadis ini melesat ke undakan tangga batu paling atas. Lalu tubuh bagus dan harum itu melayang ke atas pohon besar, lenyap ditelan kegelapan serta kerindangan dedaunan. Pangeran Aryo sendiri cepat-cepat masuk ke dalam rumah berpura-pura tidur.
Tak lama kemudian terdengar ketukan di pintu. Aryo Dipasena tidak segera bangun. Dia menunggu sampai orang mengetuk tiga kali baru turun dari tempat tidur.
“Siapa?!” Aryo Dipasena bertanya sebelum membuka pintu.
“Gusti Pangeran Aryo, mohon maaf. Kami pengawal dari Kotaraja.”
Pintu terbuka. Lima orang berseragam prajurit Kerajaan segera membungkuk memberi hormat.
“Paman Kepala Pengawal Rorot Keminting. Ada apa datang malam-malam begini?!” bertanya Pangeran Aryo.
Prajurit bernama Rorot Keminting sekali lagi membungkuk. “Mohon maafmu Gusti Pangeran. Kami tengah meronda di pinggiran kota. Tiba-tiba kami mendengar suara letusan keras. Kami segera menyelidik. Letusan itu ternyata berasal dari sekitar tempat kediaman Gusti Pangeran. Kami barusan menemui tembok di arah timur hancur dan sebuah pohon besar hangus.”
“Ah, lelap sekali tidurku hingga tidak mendengar apa-apa. Paman Kepala Pengawal, antarkan aku ke tembok yang runtuh itu.”
Rorot Keminting berjalan di depan sekali. Di belakang menyusul Pangeran Aryo dan empat pengawal lainnya. Sampai di tembok yang runtuh, setelah memperhatikan dengan seksama Pangeran Aryo geleng-geleng kepala.
“Apa yang terjadi di tempat ini. Tembok runtuh. Pohon besar hangus, hanya tinggal cabang dan ranting. Ini pasti perbuatan seorang penjahat berilmu tinggi. Tapi apa tujuannya menghancurkan tembok menghanguskan pohon?” Pangeran Aryo usap-usap dagunya. “Paman Kepala Pengawal, pimpin anak buahmu. Lakukan penyelidikan. Kejadian ini tidak bisa didiamkan. Kerajaan tidak dalam keadaan aman. Jangan membuat rakyat susah gelisah.”
“Siap Gusti Pangeran. Kami akan melakukan penyelidikan. Tapi maaf, menurut hemat saya kalau memang ada orang jahat datang ke sini pasti Gusti Pangeran yang dituju. Saya akan kembali ke Kotaraja untuk meminta beberapa orang pandai melakukan penyelidikan. Empat anak buah saya biar tetap di sini untuk berjaga-jaga.”
“Kau akan melakukan penyelidikan, itu bagus. Kau meminta bantuan orang pandai di Kotaraja itu juga bagus. Tapi Paman Kepala Pengawal, kau tidak perlu menyuruh empat anak buahmu berjaga-jaga di tempat ini.”
“Gusti Pangeran yakin tidak akan terjadi apa-apa?” Kepala Pengawal yang punya tanggung jawab tinggi bertanya karena tetap merasa khawatir.
“Aku yakin saat ini semua aman-aman saja. Pergilah….”
Pangeran Aryo menepuk bahu Rorot Keminting lalu masuk ke dalam. Lima pengawal tinggalkan tempat itu. Setelah keluar dari kawasan kediaman sang pangeran, Rorot Keminting berkata pada anak buahnya.
“Aku melihat kejanggalan pada diri Pangeran Aryo. Katanya dia tertidur pulas.
Pakaiannya tidak lusuh. Tidak ada tanda-tanda dia habis tidur. Semua orang tahu dia punya kepandaian tinggi. Masakan letusan keras sampai tiga kali di dekat rumahnya dia tidak mendengar? Selain itu tubuhnya menebar bau harum. Setahuku pangeran tidak suka memakai wangi-wangian. Aku sangsi kalau dia benar-benar tidak tahu kejadian runtuhnya tembok dan hangusnya pohon besar. Aku harus melapor pada Sri Baginda Raja. Tapi…” Kepala Pengawal itu hentikan kudanya. Dia berpaling pada ke empat anak buahnya. “Kalian terus saja ke Kotaraja. Tunggu aku di pintu gerbang sebelah timur…”
“Lah sampeyan sendiri mau kemana?” tanya salah seorang pengawal.
“Aku akan kembali ke rumah kediaman Pangeran Aryo Dipasena. Aku akan berjaga-jaga di sana barang beberapa lama. Aku khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan dirinya…” Menerangkan Rorot Keminting.
Bau harum yang tercium Rorot Keminting di tubuh Pangeran Aryo adalah harumnya bau tubuh dan pakaian gadis berbaju kuning yang menempel di tubuh dan pakaian si pemuda. Sesudah derap suara kaki kuda lima pengawal hilang di kejauhan, Pangeran Aryo melangkah ke bawah pohon besar di belakang rumah.
“Dewi, turunlah….” Panggilnya, tak berani keras-keras. Tak ada jawaban.
“Dewi sahabatku… Para pengawal sudah pergi. Turunlah.” Tetap tak ada jawaban.
Menyangka si gadis bergurau mempermainkannya Pangeran Aryo melesat ke atas pohon besar. Namun di atas pohon dia tidak menemui gadis berpakaian kuning itu. Dengan perasaan kecewa sang pangeran turun kembali. Dia memandang ke arah halaman berumput, memperhatikan sekitar kolam mandi. Sang Dewi Pemikat tetap tidak kelihatan.
“Dia sudah pergi. Mudah-mudahan besok malam dia mau kembali lagi.”
Pemuda berusia dua puluh tahun ini masuk ke dalam rumah. Setelah meneguk air putih dari dalam sebuah gentong keramik kecil dia masuk ke dalam kamar. Di ambang pintu langkahnya tertahan ketika melihat sesosok tubuh terbaring di atas tempat tidur.
“Ah…” Pangeran Aryo melepas nafas lega. “Dewi Pemikat, kukira kau telah pergi…”
Orang di atas tempat tidur tertawa merdu.
“Kalau pergi masakan tidak memberi tahu,” katanya cepat-cepat turun dari atas tempat tidur. “Maaf, aku telah berlaku lancang berbaring di atas tempat tidurmu.”
“Kalau kau letih silahkan berbaring.” Kata Pangeran Aryo pula.
“Atau mungkin malam ini kau hendak mandi lagi di kolam?”
Dewi Pemikat tertawa. “Dan kau lantas akan mengintipku!” katanya. “Aku harus pergi…”
“Tunggu,” Pangeran Aryo melangkah ke pintu. “Aku ingin tahu siapa sebenarnya dirimu. Kau bisa datang ke sini setiap saat. Tapi jika aku perlu dirimu dimana harus kucari? Apakah kau tinggal di sekitar sini?”
“Gusti Pangeran Aryo…”
“Jangan panggil aku dengan sebutan itu.”
“Aryo Dipasena. Aku seorang pengembara. Aku tidak bertempat tinggal tidak berumah…”
“Jika kau mau kau boleh tinggal di sini. Aku bisa mencari tempat kediaman lain.”
“Lalu orang sekerjaan akan geger!” kata Dewi Pemikat. Lalu dia menatap tak berkesip dengan matanya yang bening. Hatinya berucap. “Pemuda satu ini, dia begitu baik. Polos dan bersikap apa adanya. Apakah aku akan meneruskan hasrat yang menyala dalam diriku menggodanya. Atau apakah aku harus mematikan kobaran api yang membakar darah ini dan mencelakai diri sendiri?” Saat itu gadis berbaju kuning ini merasa sekujur tubuhnya panas seperti diserang demam. Ingin dia melepas seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. “Pemuda ini terrlalu baik untuk kugoda. Aku harus menjauhinya untuk sementara. Apakah aku sanggup bertahan diri?”
“Dewi, kau tak menjawab. Berarti kau mau tinggal di sini.” Kata Pangeran Aryo.
Dewi Pemikat tersenyum, melangkah mengahampiri pemuda itu. “Aryo Dipasena,” katanya sambil menggelungkan kedua tangannya ke leher sang pangeran.
“Apapun yang kau katakan aku sangat ingin melakukan. Namun saat ini aku harus pergi. Jika kau mau bersabar aku akan kemari lagi di malam-malam mendatang.”
Lalu dengan gerakan tak terduga gadis cantik itu dekap wajah Pangeran Aryo dengan kedua tangan, kemudian mengecupkan bibirnya ke bibir pemuda itu. Sang pangeran tergagau. Seumur hidup belum pernah dia mengalami hal seperti ini. Belum pernah dia mencium seorang gadis. Kini justru seorang gadis yang menciumnya. Dan bukan hanya ciuman biasa, tapi kecupan bibir yang hangat menggetarkan disertai susupan lidah basah yang mengusap lidahnya. Saking terperangahnya, Pangeran Aryo tidak mengetahui kalau si gadis tak ada lagi di dalam kamar itu. Begitu sadar dia mengejar keluar rumah. “Dewi…?!”
Gadis cantik itu sudah lama pergi.
Letusan dahsyat menggelegar tiga kali berturut-turut. Tembok di bagian timur hancur berkeping-keping. Tiga cabang pohon besar terbakar hangus. Seluruh daun pepohonan hangus lalu luruh rontok hingga pohon besar itu kini hanya tinggal cabang dan ranting. Sebelum gelegar tiga letusan satu bayangan hitam berkelebat dari atas tembok disertai terdengarnya suara orang memaki. Di tempatnya berdiri tubuh Pangeran Aryo Dipasena bergoncang keras, lutut goyah. Dia berusaha bertahan tapi tak kuasa. Sebelum jatuh di tepi kolam gadis berpakaian kuning cepat merangkul tubuhnya, mendudukkannya di lantai batu, bersandar ke arca singa. Wajahnya tampak pucat. NAmun dia segera bias menguasai diri dan berkata.
“Dewi, kau betul. Ada orang di atas tembok sana tadi. Dia melepas serangan balasan ketika pukulanku hampir mengenai dirinya. Dia memiliki tenaga luar biasa..”
“Kau juga hebat Dipa. Orang lain saat ini mungkin sudah menderita luka dalam yang amat parah….”
“Luar biasa…” kata sang pangeran sambil mengusap wajahnya yang keringatan. “Selama ini aku tidak pernah mempergunakan ilmu kesaktian. Ternyata apa yang kumiliki belum berarti apa-apa.”
“Pisau itu tajam karena diasah. Ilmu kepandaian baru ketahuan hebatnya kalau dipakai,” kata gadis yang diberi nama Dewi Pemikat.
“Kau tahu siapa orang yang katamu datang dengan membekal niat jahat terhadapku?” Bertanya Pangeran Aryo.
“Sejak beberapa hari belakangan ini ada seseorang mengikuti gerak-gerikku. Walau dia berlaku diam-diam dan sangat licin tapi aku tak bisa ditipu. Malam kemarin ketika aku datang di sini, aku rasa dia juga ada di tempat ini mengintai. Tadi ketika aku dalam perjalanan ke sini, dia mendahului mendatangi tempat ini. Dia sembunyi di atas tembok sebelah timur yang sangat gelap. Kalau tidak membekal niat jahat mengapa sembunyi?”
“Aneh, seumur hidup aku tidak punya seorang musuhpun. Bagiku satu musuh sudah terlalu banyak. Seribu sahabat masih kurang. Aku ingin sekali mengetahui siapa adanya orang itu.”
“Serahkan hal itu padaku. Aku akan menyelidiki….”
“Saudari…Dewi, kau ini siapakah sebenarnya?” bertanya Aryo Dipasena.
Tiba-tiba di luar tembok pembatas halaman kediaman Pangeran Aryo terdengar terdengar suara riuh derap kaki kuda mendatangi.
“Ada yang datang. Agaknya serombongan pasukan.” Kata Dewi Pemikat.
“Para pengawal Kerajaan. Atas perintah ayahku mereka memang pada waktuwaktu tertentu melakukan perondaan di sekitar sini. Dewi, kau pergilah masuk ke dalam rumah. Aku tak ingin mereka melihatmu.”
“Aku lebih suka menyelinap ke atas pohon sana,” jawab si gadis sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar yang tumbuh di bagian belakang rumah kecil. Sekali berkelebat gadis ini melesat ke undakan tangga batu paling atas. Lalu tubuh bagus dan harum itu melayang ke atas pohon besar, lenyap ditelan kegelapan serta kerindangan dedaunan. Pangeran Aryo sendiri cepat-cepat masuk ke dalam rumah berpura-pura tidur.
Tak lama kemudian terdengar ketukan di pintu. Aryo Dipasena tidak segera bangun. Dia menunggu sampai orang mengetuk tiga kali baru turun dari tempat tidur.
“Siapa?!” Aryo Dipasena bertanya sebelum membuka pintu.
“Gusti Pangeran Aryo, mohon maaf. Kami pengawal dari Kotaraja.”
Pintu terbuka. Lima orang berseragam prajurit Kerajaan segera membungkuk memberi hormat.
“Paman Kepala Pengawal Rorot Keminting. Ada apa datang malam-malam begini?!” bertanya Pangeran Aryo.
Prajurit bernama Rorot Keminting sekali lagi membungkuk. “Mohon maafmu Gusti Pangeran. Kami tengah meronda di pinggiran kota. Tiba-tiba kami mendengar suara letusan keras. Kami segera menyelidik. Letusan itu ternyata berasal dari sekitar tempat kediaman Gusti Pangeran. Kami barusan menemui tembok di arah timur hancur dan sebuah pohon besar hangus.”
“Ah, lelap sekali tidurku hingga tidak mendengar apa-apa. Paman Kepala Pengawal, antarkan aku ke tembok yang runtuh itu.”
Rorot Keminting berjalan di depan sekali. Di belakang menyusul Pangeran Aryo dan empat pengawal lainnya. Sampai di tembok yang runtuh, setelah memperhatikan dengan seksama Pangeran Aryo geleng-geleng kepala.
“Apa yang terjadi di tempat ini. Tembok runtuh. Pohon besar hangus, hanya tinggal cabang dan ranting. Ini pasti perbuatan seorang penjahat berilmu tinggi. Tapi apa tujuannya menghancurkan tembok menghanguskan pohon?” Pangeran Aryo usap-usap dagunya. “Paman Kepala Pengawal, pimpin anak buahmu. Lakukan penyelidikan. Kejadian ini tidak bisa didiamkan. Kerajaan tidak dalam keadaan aman. Jangan membuat rakyat susah gelisah.”
“Siap Gusti Pangeran. Kami akan melakukan penyelidikan. Tapi maaf, menurut hemat saya kalau memang ada orang jahat datang ke sini pasti Gusti Pangeran yang dituju. Saya akan kembali ke Kotaraja untuk meminta beberapa orang pandai melakukan penyelidikan. Empat anak buah saya biar tetap di sini untuk berjaga-jaga.”
“Kau akan melakukan penyelidikan, itu bagus. Kau meminta bantuan orang pandai di Kotaraja itu juga bagus. Tapi Paman Kepala Pengawal, kau tidak perlu menyuruh empat anak buahmu berjaga-jaga di tempat ini.”
“Gusti Pangeran yakin tidak akan terjadi apa-apa?” Kepala Pengawal yang punya tanggung jawab tinggi bertanya karena tetap merasa khawatir.
“Aku yakin saat ini semua aman-aman saja. Pergilah….”
Pangeran Aryo menepuk bahu Rorot Keminting lalu masuk ke dalam. Lima pengawal tinggalkan tempat itu. Setelah keluar dari kawasan kediaman sang pangeran, Rorot Keminting berkata pada anak buahnya.
“Aku melihat kejanggalan pada diri Pangeran Aryo. Katanya dia tertidur pulas.
Pakaiannya tidak lusuh. Tidak ada tanda-tanda dia habis tidur. Semua orang tahu dia punya kepandaian tinggi. Masakan letusan keras sampai tiga kali di dekat rumahnya dia tidak mendengar? Selain itu tubuhnya menebar bau harum. Setahuku pangeran tidak suka memakai wangi-wangian. Aku sangsi kalau dia benar-benar tidak tahu kejadian runtuhnya tembok dan hangusnya pohon besar. Aku harus melapor pada Sri Baginda Raja. Tapi…” Kepala Pengawal itu hentikan kudanya. Dia berpaling pada ke empat anak buahnya. “Kalian terus saja ke Kotaraja. Tunggu aku di pintu gerbang sebelah timur…”
“Lah sampeyan sendiri mau kemana?” tanya salah seorang pengawal.
“Aku akan kembali ke rumah kediaman Pangeran Aryo Dipasena. Aku akan berjaga-jaga di sana barang beberapa lama. Aku khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan dirinya…” Menerangkan Rorot Keminting.
Bau harum yang tercium Rorot Keminting di tubuh Pangeran Aryo adalah harumnya bau tubuh dan pakaian gadis berbaju kuning yang menempel di tubuh dan pakaian si pemuda. Sesudah derap suara kaki kuda lima pengawal hilang di kejauhan, Pangeran Aryo melangkah ke bawah pohon besar di belakang rumah.
“Dewi, turunlah….” Panggilnya, tak berani keras-keras. Tak ada jawaban.
“Dewi sahabatku… Para pengawal sudah pergi. Turunlah.” Tetap tak ada jawaban.
Menyangka si gadis bergurau mempermainkannya Pangeran Aryo melesat ke atas pohon besar. Namun di atas pohon dia tidak menemui gadis berpakaian kuning itu. Dengan perasaan kecewa sang pangeran turun kembali. Dia memandang ke arah halaman berumput, memperhatikan sekitar kolam mandi. Sang Dewi Pemikat tetap tidak kelihatan.
“Dia sudah pergi. Mudah-mudahan besok malam dia mau kembali lagi.”
Pemuda berusia dua puluh tahun ini masuk ke dalam rumah. Setelah meneguk air putih dari dalam sebuah gentong keramik kecil dia masuk ke dalam kamar. Di ambang pintu langkahnya tertahan ketika melihat sesosok tubuh terbaring di atas tempat tidur.
“Ah…” Pangeran Aryo melepas nafas lega. “Dewi Pemikat, kukira kau telah pergi…”
Orang di atas tempat tidur tertawa merdu.
“Kalau pergi masakan tidak memberi tahu,” katanya cepat-cepat turun dari atas tempat tidur. “Maaf, aku telah berlaku lancang berbaring di atas tempat tidurmu.”
“Kalau kau letih silahkan berbaring.” Kata Pangeran Aryo pula.
“Atau mungkin malam ini kau hendak mandi lagi di kolam?”
Dewi Pemikat tertawa. “Dan kau lantas akan mengintipku!” katanya. “Aku harus pergi…”
“Tunggu,” Pangeran Aryo melangkah ke pintu. “Aku ingin tahu siapa sebenarnya dirimu. Kau bisa datang ke sini setiap saat. Tapi jika aku perlu dirimu dimana harus kucari? Apakah kau tinggal di sekitar sini?”
“Gusti Pangeran Aryo…”
“Jangan panggil aku dengan sebutan itu.”
“Aryo Dipasena. Aku seorang pengembara. Aku tidak bertempat tinggal tidak berumah…”
“Jika kau mau kau boleh tinggal di sini. Aku bisa mencari tempat kediaman lain.”
“Lalu orang sekerjaan akan geger!” kata Dewi Pemikat. Lalu dia menatap tak berkesip dengan matanya yang bening. Hatinya berucap. “Pemuda satu ini, dia begitu baik. Polos dan bersikap apa adanya. Apakah aku akan meneruskan hasrat yang menyala dalam diriku menggodanya. Atau apakah aku harus mematikan kobaran api yang membakar darah ini dan mencelakai diri sendiri?” Saat itu gadis berbaju kuning ini merasa sekujur tubuhnya panas seperti diserang demam. Ingin dia melepas seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. “Pemuda ini terrlalu baik untuk kugoda. Aku harus menjauhinya untuk sementara. Apakah aku sanggup bertahan diri?”
“Dewi, kau tak menjawab. Berarti kau mau tinggal di sini.” Kata Pangeran Aryo.
Dewi Pemikat tersenyum, melangkah mengahampiri pemuda itu. “Aryo Dipasena,” katanya sambil menggelungkan kedua tangannya ke leher sang pangeran.
“Apapun yang kau katakan aku sangat ingin melakukan. Namun saat ini aku harus pergi. Jika kau mau bersabar aku akan kemari lagi di malam-malam mendatang.”
Lalu dengan gerakan tak terduga gadis cantik itu dekap wajah Pangeran Aryo dengan kedua tangan, kemudian mengecupkan bibirnya ke bibir pemuda itu. Sang pangeran tergagau. Seumur hidup belum pernah dia mengalami hal seperti ini. Belum pernah dia mencium seorang gadis. Kini justru seorang gadis yang menciumnya. Dan bukan hanya ciuman biasa, tapi kecupan bibir yang hangat menggetarkan disertai susupan lidah basah yang mengusap lidahnya. Saking terperangahnya, Pangeran Aryo tidak mengetahui kalau si gadis tak ada lagi di dalam kamar itu. Begitu sadar dia mengejar keluar rumah. “Dewi…?!”
Gadis cantik itu sudah lama pergi.
***
DARI balik reruntuhan tembok halaman sepasang mata Rorot Keminting memperhatikan terus menerus rumah kecil di atas tanah lereng berumput itu. Cukup lama dia mendekam di tempat itu ketika tiba-tiba dia terkejut melihat seorang gadis berpakaian kuning keluar dari pintu depan rumah.
“Ah….selam ini Pangeran Aryo tidak pernah diketahui memilki seorang kekasih. Sekarang ternyata dia menyimpan seorang gadis di rumahnya. Siapa gadis tadi. Dari gerakannya yang enteng dan cepat agaknya dia bukan gadis sembarangan. Lalu apakah ada hubungan gadis itu dengan tembok yang hancur ini dan pohon yang hangus?”
Kepala Pengawal itu menunggu beberapa lama. Setelah dirasakannya aman maka diapun cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
“Ah….selam ini Pangeran Aryo tidak pernah diketahui memilki seorang kekasih. Sekarang ternyata dia menyimpan seorang gadis di rumahnya. Siapa gadis tadi. Dari gerakannya yang enteng dan cepat agaknya dia bukan gadis sembarangan. Lalu apakah ada hubungan gadis itu dengan tembok yang hancur ini dan pohon yang hangus?”
Kepala Pengawal itu menunggu beberapa lama. Setelah dirasakannya aman maka diapun cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
***
6
KALIBAWANG sebuah desa kecil terletak di aliran Kali Pabelan. Penduduk desa hidup dari bercocok tanam. Hampir setiap orang di desa itu memiliki sawah atau ladang. Banyak pula yang beternak. Kesuburan tanah desa dan sekitarnya membuat penduduk selalu memanen hasil tanaman berlimpah ruah. Boleh dikatakan semua orang di desa itu hidup lebih dari berkecukupan.
Di desa Kalibawang dimana rakyat hidup rukun, aman tenteram, justru di situ pula tinggal seorang pemuda bernama Samirjan yang dikenal dengan julukan Pencuri Selusin Tangan. Sesuai dengan julukannya Samirjan memang seorang pencuri. Namun dia bukan pencuri sembarangan. Dia tidak pernah mencuri apapun milik penduduk sedesa. Dia tidak pernah mengambil barang atau harta milik rakyat jelata. Kalau dia mendapat jarahan dari hasil mencuri di luar desa maka dua pertiga hasil curian itu diberikannya pada penduduk di beberapa desa tetangga yang hidup dalam kemiskinan. Mereka yang jadi korban curian Samirjan umumnya adalah orangorang kaya pelit, pedagang-pedagang yang menjual barang dengan harga menipu, para penghisap riba, atau pejabat-pejabat rakus kuasa dan rakus harta yang kerjanya hanya memeras rakyat. Selain itu Samirjan juga menerima pesanan untuk mencuri. Yaitu jika ada seseorang meminta untuk dicurikan satu barang maka dia melakukan dengan mendapat upah. Namun Samirjan lebih dulu menyelidik barang apa yang disuruh curi dan bagaimana asal-usul barang tersebut. Biasanya Samirjan hanya mau mencurikan barang yang dimiliki orang secara tidak sah. Karena sifat mencuri Samirjan yang seperti itu, walau tahu kalau si pemuda adalah seorang pencuri, Kepala Desa dan penduduk deasa Kalibawang bersikap baik terhadapnya. Samirjan bebas tinggal di desa, berbaur dengan penduduk lainnya. Bahkan ada beberapa gadis desa yang tertarik pada sang pencuri, menganggapnya sebagai seorang pemuda hebat. Selain itu Samirjan memang berpenampilan sebagai seorang pencuri berwajah ganteng.
Namun yang namanya pencuri, bagaimanapun baik budi bahasa serta sifatnya tetap saja namanya pencuri. Beberapa pejabat di Kotaraja pernah kehilangan barang berharga dan menuduh Samirjan yang mencuri. Beberapa kali desa Kalibawang didatangi pasukan Kerajaan dan Samirjan ditangkap namun kemudian dibebaskan karena tidak ada bukti-bukti. Belum lama berselang Samirjan ditangkap atas perintah seorang Tumenggung yang kehilangan sebuah guci mas antik dari Tiongkok. Kemudian ternyata guci mas itu adalah hasil rampasan dari seorang pedagang yang tidak sanggup membayar hutang karena dibebani bunga berlipat ganda oleh sang Tumenggung. Samirjan bebas lagi setelah dipenjarakan hampir tiga puluh hari. Malam hari itu desa Kalibawang diselimuti udara lebih dingin dari biasanya karena sore tadi hujan turun cukup lebat. Di dalam rumah kecil yang terletak di pinggiran desa Kalibawang Samirjan tidur sendirian, bergelung dalam kain sarung.
Tiba-tiba dia terjaga oleh suara ketukan di pintu. Pemuda berjuluk Pencuri Selusin Tangan segera bangun tapi tidak langsung membuka pintu. Bagaimanapun juga keberadaannya sebagai seorang pencuri selalu membuat dia harus berlaku waspada. Tapi kalau orang bermaksud jahat mengapa pakai mengetuk pintu segala? Ketukan terdengar lagi. Kali ini lebih keras dan diulang berkali-kali.
“Siapa?!” Tanya Samirjan sambil perlahan-lahan melangkah ke pintu dengan tangan kosong. Walau suka mencuri namun Samirjan tidak pernah memiliki senjata. Dia hanya mengandalkan kecepatan dan akal.
“Celengan ayam-ayaman.” Terdengar suara jawaban di balik pintu. Suara perempuan.
“Celengan ayam-ayaman…?” Samirjan jadi heran. “Suara perempuan….” Dia berpikir-pikir. Dalam berpikir-pikir pemuda ini mencium bau harum. Samirjan ingat bau wangi ini. Pintu rumah serta merta dibuka lebar-lebar. Di ambang pintu berdiri tersenyum seorang gadis berpakaian kuning, berambut hitam tergerai lepas. Samirjan terperangah namun kemudian tertawa lebar saking gembiranya.
“Kau… Kau mau datang. Aku benar-benar tidak menyangka.”
“Apakah kau tidak mempersilahkan aku masuk?” Gadis berpakaian kuning bertanya sambil layangkan lagi senyuman yang membuat Pencuri Selusin Tangan jadi sejuta rasa.
“Ah… masuklah. Rumahku gubuk jelek!” Kata Samirjan. Gadis berpakaian kuning yang bukan lain adalah Dewi Pemikat melangkah masuk. Samirjan menoleh ke kiri dan ke kanan, memperhatikan keadaan di luar rumah lalu cepat-cepat menutup pintu.
“Kau datang sendirian?” tanya Samirjan.
“Dengan monyet. Tapi monyetnya aku lepas di hutan.” Samirjan tertawa gelak-gelak.
“Selama jadi pencuri aku jarang tertawa. Baru sekarang bisa tertawa seperti ini. Tunggu, aku mau menyalakan lampu minyak dulu.”
“Sudah kunyalakan,” ucap Dewi Pemikat. Tangannya bergerak ke arah dinding dimana tergantung sebatang bambu bersumbu. Selarik sinar merah meluncur keluar dari ujung jari Dewi Pemikat. Sesaat kemudian lampu minyak yang terbuat dari bambu bersumbu kain itu menyala. Kini keadaan dalam rumah menjadi terang. Samirjan melotot, kagum luar biasa.
“Kau benar-benar hebat.” Memuji Samirjan. “Kalau kita bisa bekerjasama, barang apapun bisa kita dapatkan.”
Dewi Pemikat mencibir. Sambil memandang seputar rumah yang hanya merupakan satu ruangan terbuka Dewi Pemikat berkata.
“Jadi inilah rumah pencuri kondang berjuluk Pencuri Selusin Tangan. Hemm… tidak ada apa-apanya. Seharusnya kau dijuluki Pencuri Tangan Kere. Hik…hik…hik.”
Samirjan ikut tertawa. Dia masih menatap ke arah lampu minyak.
“Waktu di tepi kali itu, aku sudah menduga kau pasti seorang gadis berkepandaian tinggi…. Ah, tak ada bangku di rumah ini. Aku merasa tidak enak kalau kau terus-terusan berdiri.”
“Lalu apa kau mau memangku diriku?” tanya si gadis. “Sudah biar aku duduk di sini saja.” Dewi Pemikat lalu duduk di tepi tempat tidur kayu. Sepasang mata Samirjan tidak bisa menghindar dari dada si gadis yang tersembul dan di bawah nyala lampu minyak tampak luar biasa indah. Jantung berdebar kencang dan darahnya mengalir lebih cepat.
“Tadi kau menyebut celengan ayam-ayaman. Kau membawa celengan itu?” bertanya Samirjan.
Dewi Pemikat menggeleng. “Celengannya sudah hancur.”
“Ah…” Samirjan menghela nafas dalam dan tampak kecewa.
“Kau mencuri celengan itu dari Raden Mas Suryo Kenanga….”
“Betul. Pekerjaanku memang mencuri. Cuma…..”
“Apa untungnya mencuri celengan kosong?” Dewi Pemikat potong ucapan Samirjan.
“Celengan itu memang tidak ada uangnya. Tapi ada satu benda sangat berharga disembunyikan di dalamnya…”
“Bagaimana kau bisa tahu ada benda sangat berharga dalam celengan. Benda apa?”
“Sebenarnya aku mencuri celengan itu atas permintaan seseorang.”
“Siapa?”
Samirjan tidak menjawab.
“Aku punya perjanjian. Dengan orang itu dan dengan diriku sendiri. Aku tidak boleh memberi tahu pada orang lain siapa adanya orang yang mengupahku.”
“Begitu? Termasuk aku tidak boleh tahu?” Nada suara si gadis meninggi.
“Samirjan jadi bimbang namun akhirnya berkata. “Boleh…. Aku akan ceritakan padamu. Asal kau berjanji tidak akan menceritakan pada orang lain.”
“Baik, tapi tidak termasuk menceritakan pada setan kan?”
“Ah, kau suka bercanda. Aku merasa terhibur. Malang melintang hidup jadi maling lebih banyak susahnya dari pada sukanya.”
“Percaya, namanya saja maling alias pencuri.” Kata Dewi Pemikat pula. “Eh, kau mau bercerita duduk di sebelahku?” tanya Dewi Pemikat.
“Aku…” Samirjan diam sebentar. “Kalau aku duduk di sampingmu nanti mulutku tidak bisa cerita. Malah tanganku yang nanti merayap kemana-mana…”
“Waktu pertama kali bertemu kau begitu berangasan. Enak saja kau menyentuh dadaku. Ingat?! Sekarang sudah jadi pemuda alim rupanya.” Kata Dewi Pemikat pula. Samirjan tertawa.
“Kalau kau mau tahu, orang yang menyuruh aku mencuri celengan itu adalah Raden Mas Mangun Wiryo. Adik kandung Raden Mas Suryo Kenanga sendiri ….”
“Hemm begitu? Ini cerita bagus. Lalu?”
“Raden Mas Mangun Wiryo berkata terus terang padaku bahwa dalam celengan itu kakaknya menyembunyikan sebuah benda sangat berharga. Sebuah jimat. Yang katanya bernama Jimat Selaksa Rejeki. Menurut Raden Mas Mangun jimat ini sangat manjur untuk dipakai berdagang. Aku rasa dia tidak bohong. Buktinya sang kakak kini jadi orang kaya raya di Wates.”
“Bagus, kau tidak berdusta tentang jimat itu…”
“Apakah…. Bagaimana aku harus memanggilmu. Den Ayu…”
“Namaku Dewi.”
“Dewi, jadi kau sudah tahu kalau dalam celengan itu ada jimat?”
Dewi Pemikat memasukkan tangan kanan ke balik dada pakaiannya yang terbuka lebar, membuat Samirjan menahan nafas, lalu mengeluarkan sebuah benda tipis berbentuk empat persegi panjang kecil, terbuat dari kain hitam.
“Ini barangnya?” berkata gadis cantik itu.
“Ah….” Samirjan terbelalak. “Aku belum pernah melihat sebelumnya. Tapi aku yakin yang di tanganmu itu memang jimat yang diatakan Raden Mas Mangun Wiryo.” Samirjan ulurkan tangan hendak menyentuh benda itu tapi kecele karena Dewi Pemikat menarik tangannya.
“Lanjutkan dulu ceritamu.”
Samirjan memperhatikan jimat yang dipegang Dewi Pemikat, melirik ke arah dada si gadis, menelan ludah baru membuka mulut.
“Menurut Raden Mas Mangun Wiryo jimat itu adalah miliknya. Lima tahun yang lalu jimat dipinjamkan pada kakaknya Raden Mas Suryo Kenanga dengan perjanjian setelah tiga tahun harus dikembalikan padanya. Tapi setelah hampir lima tahun di tangannya Raden Mas Suryo Kenanga tidak mau mengembalikan walau diminta berulang kali. Malah menurut Raden Mas Mangun Wiryo kakaknya itu mengancam akan membunuhnya kalau terus-terusan memaksa meminta kembali jimat itu. Raden Mas Mangun tidak mau melakukan kekerasan. Dia menyuruh orang mencariku. Dia minta pertolonganku untuk mendapatkan jimat itu kembali.”
“Kau ternyata pencuri terkenal rupanya…”
“Aku sudah menerima setengah dari upah yang dijanjikan Raden Mas Mangun Wiryo. Tapi aku tidak berhasil mendapatkan jimat yang dimintanya.” Samirjan alias Pencuri Selusin Tangan memandang pada jimat yang ada di tangan Dewi Pemikat.
“Kau akan memberikan jimat itu padaku?”
“Akan kuberikan padamu. Tapi tidak untuk diserahkan pada Raden Mas Mangun Wiryo.”
“Lalu mau aku apakan jimat itu?” tanya Samirjan pula.
“Kau pakai sendiri.”
“Heh?! Maksudmu?”
“Kalau jimat itu memang ampuh untuk dipakai dagang mengapa tidak kau pakai sendiri? Apakah kau akan seumur-umur jadi pencuri? Kalau kau sudah kaya nanti boleh jimat itu kau kembalikan pada Raden Mas Mangun Wiryo. Jika kau jadi orang kaya, kau akan lebih banyak bisa menolong orang miskin daripada tetap jadi seorang pencuri.”
“Ah, aku tidak berani melakukan itu. Aku tidak mau mengkhianati Raden Mas Mangun. Apa lagi aku sudah menerima upah dari dia.”
“Hemm… Baru kali ini aku tahu ada pencuri jujur sepertimu. Dengar, kau tidak mengkhianati siapapun. Kau hanya meminjam jimat itu untuk beberapa lama.” Kata Dewi Pemikat pula sambil tersenyum. Lalu Jimat Selaksa Rejeki diberikan pada Samirjan. Pemuda ini ragu-ragu menerima. Dewi Pemikat melangkah mendekati Samirjan. Tangan kirinya menarik ke depan celana panjang yang dikenakan Samirjan lalu tangan kanan yang memegang jimat enak saja memasukkan jimat tersebut ke dalam celana si pemuda!
Samirjan kelagapan.
“Dewi, aku…”
“Kalau kau memang tidak mau biar kuambil lagi,” kata si gadis. Lalu kembali dia menarik celana Samirjan dan tangan kanannya siap dimasukkan ke balik celana. Kalau dua hari lalu Samirjan merasa keenakan waktu dielus bagian bawah perutnya kini pemuda itu cepat-cepat bersurut mundur. Selain ketakutan entah mengapa kini dia merasa menaruh sungkan pada gadis cantik itu.
“Baik…baik. Aku terima jimat ini. Aku ikuti apa katamu.”
“Bilang saja kau takut aku obok-obok perabotanmu! Hik…hik…hik!”
Dewi Pemikat tertawa namun tawanya serta merta terhenti ketika di luar rumah tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Samirjan, keluar dari gubukmu. Bawa serta gendakmu! Atau kalian berdua memilih mampus bersama di dalam gubuk!”
“Kurang ajar, enak saja ada orang mengatakan aku sebagai gendakmu!” ucap Dewi Pemikat.
Samirjan melangkah ke dinding lalu mengintip keluar lewat sebuah celah.
“Ada tiga orang di luar sana. Aku mengenali salah satu dari mereka…”
“Siapa?” tanya Dewi Pemikat.
“Dewi lekas keluar! Orang-orang itu melemparkan obor ke atap gubuk!” Samirjan memberi tahu.
Kalau Samirjan keluar lewawt pintu depan maka Dewi Pemikat melesat ke udara menembus atap gubuk yang terbuat dari bambu berlapis ijuk.
Di desa Kalibawang dimana rakyat hidup rukun, aman tenteram, justru di situ pula tinggal seorang pemuda bernama Samirjan yang dikenal dengan julukan Pencuri Selusin Tangan. Sesuai dengan julukannya Samirjan memang seorang pencuri. Namun dia bukan pencuri sembarangan. Dia tidak pernah mencuri apapun milik penduduk sedesa. Dia tidak pernah mengambil barang atau harta milik rakyat jelata. Kalau dia mendapat jarahan dari hasil mencuri di luar desa maka dua pertiga hasil curian itu diberikannya pada penduduk di beberapa desa tetangga yang hidup dalam kemiskinan. Mereka yang jadi korban curian Samirjan umumnya adalah orangorang kaya pelit, pedagang-pedagang yang menjual barang dengan harga menipu, para penghisap riba, atau pejabat-pejabat rakus kuasa dan rakus harta yang kerjanya hanya memeras rakyat. Selain itu Samirjan juga menerima pesanan untuk mencuri. Yaitu jika ada seseorang meminta untuk dicurikan satu barang maka dia melakukan dengan mendapat upah. Namun Samirjan lebih dulu menyelidik barang apa yang disuruh curi dan bagaimana asal-usul barang tersebut. Biasanya Samirjan hanya mau mencurikan barang yang dimiliki orang secara tidak sah. Karena sifat mencuri Samirjan yang seperti itu, walau tahu kalau si pemuda adalah seorang pencuri, Kepala Desa dan penduduk deasa Kalibawang bersikap baik terhadapnya. Samirjan bebas tinggal di desa, berbaur dengan penduduk lainnya. Bahkan ada beberapa gadis desa yang tertarik pada sang pencuri, menganggapnya sebagai seorang pemuda hebat. Selain itu Samirjan memang berpenampilan sebagai seorang pencuri berwajah ganteng.
Namun yang namanya pencuri, bagaimanapun baik budi bahasa serta sifatnya tetap saja namanya pencuri. Beberapa pejabat di Kotaraja pernah kehilangan barang berharga dan menuduh Samirjan yang mencuri. Beberapa kali desa Kalibawang didatangi pasukan Kerajaan dan Samirjan ditangkap namun kemudian dibebaskan karena tidak ada bukti-bukti. Belum lama berselang Samirjan ditangkap atas perintah seorang Tumenggung yang kehilangan sebuah guci mas antik dari Tiongkok. Kemudian ternyata guci mas itu adalah hasil rampasan dari seorang pedagang yang tidak sanggup membayar hutang karena dibebani bunga berlipat ganda oleh sang Tumenggung. Samirjan bebas lagi setelah dipenjarakan hampir tiga puluh hari. Malam hari itu desa Kalibawang diselimuti udara lebih dingin dari biasanya karena sore tadi hujan turun cukup lebat. Di dalam rumah kecil yang terletak di pinggiran desa Kalibawang Samirjan tidur sendirian, bergelung dalam kain sarung.
Tiba-tiba dia terjaga oleh suara ketukan di pintu. Pemuda berjuluk Pencuri Selusin Tangan segera bangun tapi tidak langsung membuka pintu. Bagaimanapun juga keberadaannya sebagai seorang pencuri selalu membuat dia harus berlaku waspada. Tapi kalau orang bermaksud jahat mengapa pakai mengetuk pintu segala? Ketukan terdengar lagi. Kali ini lebih keras dan diulang berkali-kali.
“Siapa?!” Tanya Samirjan sambil perlahan-lahan melangkah ke pintu dengan tangan kosong. Walau suka mencuri namun Samirjan tidak pernah memiliki senjata. Dia hanya mengandalkan kecepatan dan akal.
“Celengan ayam-ayaman.” Terdengar suara jawaban di balik pintu. Suara perempuan.
“Celengan ayam-ayaman…?” Samirjan jadi heran. “Suara perempuan….” Dia berpikir-pikir. Dalam berpikir-pikir pemuda ini mencium bau harum. Samirjan ingat bau wangi ini. Pintu rumah serta merta dibuka lebar-lebar. Di ambang pintu berdiri tersenyum seorang gadis berpakaian kuning, berambut hitam tergerai lepas. Samirjan terperangah namun kemudian tertawa lebar saking gembiranya.
“Kau… Kau mau datang. Aku benar-benar tidak menyangka.”
“Apakah kau tidak mempersilahkan aku masuk?” Gadis berpakaian kuning bertanya sambil layangkan lagi senyuman yang membuat Pencuri Selusin Tangan jadi sejuta rasa.
“Ah… masuklah. Rumahku gubuk jelek!” Kata Samirjan. Gadis berpakaian kuning yang bukan lain adalah Dewi Pemikat melangkah masuk. Samirjan menoleh ke kiri dan ke kanan, memperhatikan keadaan di luar rumah lalu cepat-cepat menutup pintu.
“Kau datang sendirian?” tanya Samirjan.
“Dengan monyet. Tapi monyetnya aku lepas di hutan.” Samirjan tertawa gelak-gelak.
“Selama jadi pencuri aku jarang tertawa. Baru sekarang bisa tertawa seperti ini. Tunggu, aku mau menyalakan lampu minyak dulu.”
“Sudah kunyalakan,” ucap Dewi Pemikat. Tangannya bergerak ke arah dinding dimana tergantung sebatang bambu bersumbu. Selarik sinar merah meluncur keluar dari ujung jari Dewi Pemikat. Sesaat kemudian lampu minyak yang terbuat dari bambu bersumbu kain itu menyala. Kini keadaan dalam rumah menjadi terang. Samirjan melotot, kagum luar biasa.
“Kau benar-benar hebat.” Memuji Samirjan. “Kalau kita bisa bekerjasama, barang apapun bisa kita dapatkan.”
Dewi Pemikat mencibir. Sambil memandang seputar rumah yang hanya merupakan satu ruangan terbuka Dewi Pemikat berkata.
“Jadi inilah rumah pencuri kondang berjuluk Pencuri Selusin Tangan. Hemm… tidak ada apa-apanya. Seharusnya kau dijuluki Pencuri Tangan Kere. Hik…hik…hik.”
Samirjan ikut tertawa. Dia masih menatap ke arah lampu minyak.
“Waktu di tepi kali itu, aku sudah menduga kau pasti seorang gadis berkepandaian tinggi…. Ah, tak ada bangku di rumah ini. Aku merasa tidak enak kalau kau terus-terusan berdiri.”
“Lalu apa kau mau memangku diriku?” tanya si gadis. “Sudah biar aku duduk di sini saja.” Dewi Pemikat lalu duduk di tepi tempat tidur kayu. Sepasang mata Samirjan tidak bisa menghindar dari dada si gadis yang tersembul dan di bawah nyala lampu minyak tampak luar biasa indah. Jantung berdebar kencang dan darahnya mengalir lebih cepat.
“Tadi kau menyebut celengan ayam-ayaman. Kau membawa celengan itu?” bertanya Samirjan.
Dewi Pemikat menggeleng. “Celengannya sudah hancur.”
“Ah…” Samirjan menghela nafas dalam dan tampak kecewa.
“Kau mencuri celengan itu dari Raden Mas Suryo Kenanga….”
“Betul. Pekerjaanku memang mencuri. Cuma…..”
“Apa untungnya mencuri celengan kosong?” Dewi Pemikat potong ucapan Samirjan.
“Celengan itu memang tidak ada uangnya. Tapi ada satu benda sangat berharga disembunyikan di dalamnya…”
“Bagaimana kau bisa tahu ada benda sangat berharga dalam celengan. Benda apa?”
“Sebenarnya aku mencuri celengan itu atas permintaan seseorang.”
“Siapa?”
Samirjan tidak menjawab.
“Aku punya perjanjian. Dengan orang itu dan dengan diriku sendiri. Aku tidak boleh memberi tahu pada orang lain siapa adanya orang yang mengupahku.”
“Begitu? Termasuk aku tidak boleh tahu?” Nada suara si gadis meninggi.
“Samirjan jadi bimbang namun akhirnya berkata. “Boleh…. Aku akan ceritakan padamu. Asal kau berjanji tidak akan menceritakan pada orang lain.”
“Baik, tapi tidak termasuk menceritakan pada setan kan?”
“Ah, kau suka bercanda. Aku merasa terhibur. Malang melintang hidup jadi maling lebih banyak susahnya dari pada sukanya.”
“Percaya, namanya saja maling alias pencuri.” Kata Dewi Pemikat pula. “Eh, kau mau bercerita duduk di sebelahku?” tanya Dewi Pemikat.
“Aku…” Samirjan diam sebentar. “Kalau aku duduk di sampingmu nanti mulutku tidak bisa cerita. Malah tanganku yang nanti merayap kemana-mana…”
“Waktu pertama kali bertemu kau begitu berangasan. Enak saja kau menyentuh dadaku. Ingat?! Sekarang sudah jadi pemuda alim rupanya.” Kata Dewi Pemikat pula. Samirjan tertawa.
“Kalau kau mau tahu, orang yang menyuruh aku mencuri celengan itu adalah Raden Mas Mangun Wiryo. Adik kandung Raden Mas Suryo Kenanga sendiri ….”
“Hemm begitu? Ini cerita bagus. Lalu?”
“Raden Mas Mangun Wiryo berkata terus terang padaku bahwa dalam celengan itu kakaknya menyembunyikan sebuah benda sangat berharga. Sebuah jimat. Yang katanya bernama Jimat Selaksa Rejeki. Menurut Raden Mas Mangun jimat ini sangat manjur untuk dipakai berdagang. Aku rasa dia tidak bohong. Buktinya sang kakak kini jadi orang kaya raya di Wates.”
“Bagus, kau tidak berdusta tentang jimat itu…”
“Apakah…. Bagaimana aku harus memanggilmu. Den Ayu…”
“Namaku Dewi.”
“Dewi, jadi kau sudah tahu kalau dalam celengan itu ada jimat?”
Dewi Pemikat memasukkan tangan kanan ke balik dada pakaiannya yang terbuka lebar, membuat Samirjan menahan nafas, lalu mengeluarkan sebuah benda tipis berbentuk empat persegi panjang kecil, terbuat dari kain hitam.
“Ini barangnya?” berkata gadis cantik itu.
“Ah….” Samirjan terbelalak. “Aku belum pernah melihat sebelumnya. Tapi aku yakin yang di tanganmu itu memang jimat yang diatakan Raden Mas Mangun Wiryo.” Samirjan ulurkan tangan hendak menyentuh benda itu tapi kecele karena Dewi Pemikat menarik tangannya.
“Lanjutkan dulu ceritamu.”
Samirjan memperhatikan jimat yang dipegang Dewi Pemikat, melirik ke arah dada si gadis, menelan ludah baru membuka mulut.
“Menurut Raden Mas Mangun Wiryo jimat itu adalah miliknya. Lima tahun yang lalu jimat dipinjamkan pada kakaknya Raden Mas Suryo Kenanga dengan perjanjian setelah tiga tahun harus dikembalikan padanya. Tapi setelah hampir lima tahun di tangannya Raden Mas Suryo Kenanga tidak mau mengembalikan walau diminta berulang kali. Malah menurut Raden Mas Mangun Wiryo kakaknya itu mengancam akan membunuhnya kalau terus-terusan memaksa meminta kembali jimat itu. Raden Mas Mangun tidak mau melakukan kekerasan. Dia menyuruh orang mencariku. Dia minta pertolonganku untuk mendapatkan jimat itu kembali.”
“Kau ternyata pencuri terkenal rupanya…”
“Aku sudah menerima setengah dari upah yang dijanjikan Raden Mas Mangun Wiryo. Tapi aku tidak berhasil mendapatkan jimat yang dimintanya.” Samirjan alias Pencuri Selusin Tangan memandang pada jimat yang ada di tangan Dewi Pemikat.
“Kau akan memberikan jimat itu padaku?”
“Akan kuberikan padamu. Tapi tidak untuk diserahkan pada Raden Mas Mangun Wiryo.”
“Lalu mau aku apakan jimat itu?” tanya Samirjan pula.
“Kau pakai sendiri.”
“Heh?! Maksudmu?”
“Kalau jimat itu memang ampuh untuk dipakai dagang mengapa tidak kau pakai sendiri? Apakah kau akan seumur-umur jadi pencuri? Kalau kau sudah kaya nanti boleh jimat itu kau kembalikan pada Raden Mas Mangun Wiryo. Jika kau jadi orang kaya, kau akan lebih banyak bisa menolong orang miskin daripada tetap jadi seorang pencuri.”
“Ah, aku tidak berani melakukan itu. Aku tidak mau mengkhianati Raden Mas Mangun. Apa lagi aku sudah menerima upah dari dia.”
“Hemm… Baru kali ini aku tahu ada pencuri jujur sepertimu. Dengar, kau tidak mengkhianati siapapun. Kau hanya meminjam jimat itu untuk beberapa lama.” Kata Dewi Pemikat pula sambil tersenyum. Lalu Jimat Selaksa Rejeki diberikan pada Samirjan. Pemuda ini ragu-ragu menerima. Dewi Pemikat melangkah mendekati Samirjan. Tangan kirinya menarik ke depan celana panjang yang dikenakan Samirjan lalu tangan kanan yang memegang jimat enak saja memasukkan jimat tersebut ke dalam celana si pemuda!
Samirjan kelagapan.
“Dewi, aku…”
“Kalau kau memang tidak mau biar kuambil lagi,” kata si gadis. Lalu kembali dia menarik celana Samirjan dan tangan kanannya siap dimasukkan ke balik celana. Kalau dua hari lalu Samirjan merasa keenakan waktu dielus bagian bawah perutnya kini pemuda itu cepat-cepat bersurut mundur. Selain ketakutan entah mengapa kini dia merasa menaruh sungkan pada gadis cantik itu.
“Baik…baik. Aku terima jimat ini. Aku ikuti apa katamu.”
“Bilang saja kau takut aku obok-obok perabotanmu! Hik…hik…hik!”
Dewi Pemikat tertawa namun tawanya serta merta terhenti ketika di luar rumah tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Samirjan, keluar dari gubukmu. Bawa serta gendakmu! Atau kalian berdua memilih mampus bersama di dalam gubuk!”
“Kurang ajar, enak saja ada orang mengatakan aku sebagai gendakmu!” ucap Dewi Pemikat.
Samirjan melangkah ke dinding lalu mengintip keluar lewat sebuah celah.
“Ada tiga orang di luar sana. Aku mengenali salah satu dari mereka…”
“Siapa?” tanya Dewi Pemikat.
“Dewi lekas keluar! Orang-orang itu melemparkan obor ke atap gubuk!” Samirjan memberi tahu.
Kalau Samirjan keluar lewawt pintu depan maka Dewi Pemikat melesat ke udara menembus atap gubuk yang terbuat dari bambu berlapis ijuk.
***
DALAM gelapnya malam, tiga buah obor menyala melesat ke atas gubuk kediaman Samirjan. Bersamaan dengan itu atap gubuk jebol dan sesosok tubuh berpakaian kuning berkelebat di kegelapan malam.
“Manusia-manusia goblok! Kalau mau membunuh orang mengapa berbanyak mulut! Biar kusumpal mulut tolol kalian!”
Tiga obor yang melayang di udara sebelum jatuh di atas atap, dua ditangkap dan satu lagi ditendang oleh si baju kuning yang bukan lain adalah Dewi Pemikat.
Lalu wuut! Wuuttt! Wuutt!
Tiga obor melesat ke arah tiga orang berpakaian hitam-hitam yang berdiri di bawah pohon besar. Ketiganya berteriak kaget lalu berhamburan selamatkan diri. Namun hanya dua orang yang mampu lolos. Salah seorang dari mereka meraung keras begitu obor yang masih menyala menghajar mata kirinya. Tubuh terpental sejauh satu tombak dan bergulingan di tanah. Dua orang temannya yang selamat berlindung di balik pohon besar. Salah seorang dari mereka berkata.
“Celaka, aku tidak mengira gadis berpakaian kuning itu memiliki kepandaian tinggi! Aku jadi ngeri. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Kau lihat apa yang terjadi dengan Karto.” Karto adalah teman mereka yang tadi kena dihantam matanya dengan obor hingga hancur dan hangus.
Teman di sebelahnya menjawab. “Kalau yang berkepandaian tinggi itu secantik bidadari apa yang harus ditakuti?!”
“Aku mencium bau harum….”
Dua orang di balik pohon terbelalak ketika melihat seseorang berpakaian serba kuning tahu-tahu telah berdiri di hadapan mereka. Namun begitu mengetahui orang itu gadis berpakaian kuning berwajah cantik yang barusan mereka bicarakan, keduanya segera saja cengar-cengir. Yang di sebelah kanan yang memelihara kumis dan janggut lebat kasar dan berkulit hitam bertanya.
“Gadis cantik, kau siapa? Mengapa tengah malam begini rupa ada di tempat ini. Apa hubunganmu dengan Samirjan pencuri keparat itu?!”
“Aku orang yang tadi kau teriaki gendaknya Samirjan!” jawab si baju kuning yang tentu saja Dewi Pemikat adanya.
Dua orang di bawah pohon tertawa gelak-gelak.
“Sungguh menyedihkan!” ucap si kumis lebat. “Gadis secantikmu mengapa mau-mauan jadi gendak pencuri busuk seperti Samirjan? Kalau aku sudah mengemplang batok kepala pencuri keparat itu, baiknya kau ikut aku! Aku bisa memberi hadiah padamu! Kita bisa bersenang-senang!”
Dewi Pemikat berpaling pada Samirjan yang saat itu sudah berdiri di sebelahnya.
“Samirjan, siapa dua kadal jelek bau comberan ini?!”
“Yang ini!” kata Samirjan sambil menunjuk pada si kumis lebat.
“Namanya Soma Keling. Dia kaki tangan Tumenggung Brojo Kumbara. Bersama dua temannya pasti mereka diperintah untuk membunuhku. Ini gara-gara aku membuka kedok jahat Tumenggung itu yang merampas guci emas milik orang lain!”
“Pencuri jahanam! Tidak malu berlindung di balik perempuan!” bentak Soma Keling si kumis dan janggut tebal.
Dimaki begitu rupa, walau hanya memiliki kepandaian silat sejurus dua jurus Samirjan jadi panas. Langsung dia melompat menerjang Soma Keling. Namun srett!
Teman Soma Keling hunus golok besar, bacokkan senjata ini ke kepala Samirjan. Sementara Soma Keling sendiri melompat coba merangkul Dewi Pemikat. Sebenarnya jika kedua orang itu menyadari bagaimana salah seorang kawan mereka telah dihajar hingga matanya hancur dan hangus, seharusnya mereka lebih baik memilih kabur. Karena bagaimanapun juga Dewi Pemikat bukanlah tandingan mereka.
“Hai! Aku pinjam tanganmu!” Dewi Pemikat berseru lalu tarik tangan kanan Soma Keling yang hendak merangkulnya dan secepat kilat dipalangkan melintang menangkis golok temannya yang menderu deras ke arah Samirjan.
“Crass!”
Raungan Soma Keling luar biasa menggidikkan ketika tangan kanannya putus dibabat golok teman sendiri. Darah mancur mengerikan. Si teman menggigil ketakutan, buang golok yang dipegangnya lalu menghambur lari. Samirjan seperti mau muntah. Soma Keling menjerit-jerit seperti orang gila lalu lari ke arah kegelapan. Namun dia tak mampu kabur jauh. Di satu tempat tubuhnya jatuh tergelimpang. Orang suruhan Tumenggung Brojo Kumbara ini akhirnya meregang nyawa karena kehabisan darah. Dewi Pemikat hampiri Samirjan.
“Pencuri kere. Setelah kejadian ini kau masih ingin tinggal di sini? Masih mau jadi pencuri? Kau sudah punya bekal hidup. Mengapa masih berpikir tolol?”
Samirjan alias Pencuri Selusin Tangan yang saat itu masih dalam keadaan terkesiap menyaksikan apa yang barusan terjadi, tersentak sadar.
“Jimat itu. Hah!” Samirjan masukkan tangan kanannya ke balik celana. Lama dia membuncah bagian bawah perutnya mencari jimat yang tadi dimasukkan Dewi Pemikat ke dalam celananya tapi tidak ditemukan. Dia memperhatikan halaman sekitarnya. Mungkin jatuh di tanah. Dewi Pemikat tertawa cekikikan.
“Manusia tolol,” katanya. “Aku tidak pernah memasukkan jimat itu ke dalam celanamu! Lihat ini….”
Dewi Pemikat kembangkan telapak tangan kirinya.
“Ah….” Samirjan gelengkan kepala ketika melihat jimat kain hitam ada di atas tangan si gadis.
“Ini ambillah. Lakukan apa yang aku katakan….”
Samirjan mengambil jimat yang diberikan.
“Terima kasih Dewi. Aku akan menuruti nasihatmu. Kurasa aku akan pergi ke utara. Aku punya seorang sahabat di Samarang.”
“Itu bagus. Kalau sampeyan sudah kaya, jangan lupa sama aku.”
“Kau… kau tidak ingin ikut bersamaku ke Samarang?” tanya Samirjan. Wajahnya penuh harap.
“Aku ikut sampai di dalam gubukmu saja…” kata Dewi Pemikat lalu menarik tangan pemuda itu, membawanya masuk ke dalam gubuk. Tak selang berapa lama terdengar suara Samirjan.
“Dewi, kau mau melakukan apa…? Wow!”
“Jangan berteriak macam orang tolol! Apa kau mau orang satu desa bangun mengintip apa yang kita lakukan?! Hik…hik…hik.”
“Aduh Dewi!”
“Sssttt. Ada apa?!”
“Jimatku kejepit!”
“Manusia-manusia goblok! Kalau mau membunuh orang mengapa berbanyak mulut! Biar kusumpal mulut tolol kalian!”
Tiga obor yang melayang di udara sebelum jatuh di atas atap, dua ditangkap dan satu lagi ditendang oleh si baju kuning yang bukan lain adalah Dewi Pemikat.
Lalu wuut! Wuuttt! Wuutt!
Tiga obor melesat ke arah tiga orang berpakaian hitam-hitam yang berdiri di bawah pohon besar. Ketiganya berteriak kaget lalu berhamburan selamatkan diri. Namun hanya dua orang yang mampu lolos. Salah seorang dari mereka meraung keras begitu obor yang masih menyala menghajar mata kirinya. Tubuh terpental sejauh satu tombak dan bergulingan di tanah. Dua orang temannya yang selamat berlindung di balik pohon besar. Salah seorang dari mereka berkata.
“Celaka, aku tidak mengira gadis berpakaian kuning itu memiliki kepandaian tinggi! Aku jadi ngeri. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Kau lihat apa yang terjadi dengan Karto.” Karto adalah teman mereka yang tadi kena dihantam matanya dengan obor hingga hancur dan hangus.
Teman di sebelahnya menjawab. “Kalau yang berkepandaian tinggi itu secantik bidadari apa yang harus ditakuti?!”
“Aku mencium bau harum….”
Dua orang di balik pohon terbelalak ketika melihat seseorang berpakaian serba kuning tahu-tahu telah berdiri di hadapan mereka. Namun begitu mengetahui orang itu gadis berpakaian kuning berwajah cantik yang barusan mereka bicarakan, keduanya segera saja cengar-cengir. Yang di sebelah kanan yang memelihara kumis dan janggut lebat kasar dan berkulit hitam bertanya.
“Gadis cantik, kau siapa? Mengapa tengah malam begini rupa ada di tempat ini. Apa hubunganmu dengan Samirjan pencuri keparat itu?!”
“Aku orang yang tadi kau teriaki gendaknya Samirjan!” jawab si baju kuning yang tentu saja Dewi Pemikat adanya.
Dua orang di bawah pohon tertawa gelak-gelak.
“Sungguh menyedihkan!” ucap si kumis lebat. “Gadis secantikmu mengapa mau-mauan jadi gendak pencuri busuk seperti Samirjan? Kalau aku sudah mengemplang batok kepala pencuri keparat itu, baiknya kau ikut aku! Aku bisa memberi hadiah padamu! Kita bisa bersenang-senang!”
Dewi Pemikat berpaling pada Samirjan yang saat itu sudah berdiri di sebelahnya.
“Samirjan, siapa dua kadal jelek bau comberan ini?!”
“Yang ini!” kata Samirjan sambil menunjuk pada si kumis lebat.
“Namanya Soma Keling. Dia kaki tangan Tumenggung Brojo Kumbara. Bersama dua temannya pasti mereka diperintah untuk membunuhku. Ini gara-gara aku membuka kedok jahat Tumenggung itu yang merampas guci emas milik orang lain!”
“Pencuri jahanam! Tidak malu berlindung di balik perempuan!” bentak Soma Keling si kumis dan janggut tebal.
Dimaki begitu rupa, walau hanya memiliki kepandaian silat sejurus dua jurus Samirjan jadi panas. Langsung dia melompat menerjang Soma Keling. Namun srett!
Teman Soma Keling hunus golok besar, bacokkan senjata ini ke kepala Samirjan. Sementara Soma Keling sendiri melompat coba merangkul Dewi Pemikat. Sebenarnya jika kedua orang itu menyadari bagaimana salah seorang kawan mereka telah dihajar hingga matanya hancur dan hangus, seharusnya mereka lebih baik memilih kabur. Karena bagaimanapun juga Dewi Pemikat bukanlah tandingan mereka.
“Hai! Aku pinjam tanganmu!” Dewi Pemikat berseru lalu tarik tangan kanan Soma Keling yang hendak merangkulnya dan secepat kilat dipalangkan melintang menangkis golok temannya yang menderu deras ke arah Samirjan.
“Crass!”
Raungan Soma Keling luar biasa menggidikkan ketika tangan kanannya putus dibabat golok teman sendiri. Darah mancur mengerikan. Si teman menggigil ketakutan, buang golok yang dipegangnya lalu menghambur lari. Samirjan seperti mau muntah. Soma Keling menjerit-jerit seperti orang gila lalu lari ke arah kegelapan. Namun dia tak mampu kabur jauh. Di satu tempat tubuhnya jatuh tergelimpang. Orang suruhan Tumenggung Brojo Kumbara ini akhirnya meregang nyawa karena kehabisan darah. Dewi Pemikat hampiri Samirjan.
“Pencuri kere. Setelah kejadian ini kau masih ingin tinggal di sini? Masih mau jadi pencuri? Kau sudah punya bekal hidup. Mengapa masih berpikir tolol?”
Samirjan alias Pencuri Selusin Tangan yang saat itu masih dalam keadaan terkesiap menyaksikan apa yang barusan terjadi, tersentak sadar.
“Jimat itu. Hah!” Samirjan masukkan tangan kanannya ke balik celana. Lama dia membuncah bagian bawah perutnya mencari jimat yang tadi dimasukkan Dewi Pemikat ke dalam celananya tapi tidak ditemukan. Dia memperhatikan halaman sekitarnya. Mungkin jatuh di tanah. Dewi Pemikat tertawa cekikikan.
“Manusia tolol,” katanya. “Aku tidak pernah memasukkan jimat itu ke dalam celanamu! Lihat ini….”
Dewi Pemikat kembangkan telapak tangan kirinya.
“Ah….” Samirjan gelengkan kepala ketika melihat jimat kain hitam ada di atas tangan si gadis.
“Ini ambillah. Lakukan apa yang aku katakan….”
Samirjan mengambil jimat yang diberikan.
“Terima kasih Dewi. Aku akan menuruti nasihatmu. Kurasa aku akan pergi ke utara. Aku punya seorang sahabat di Samarang.”
“Itu bagus. Kalau sampeyan sudah kaya, jangan lupa sama aku.”
“Kau… kau tidak ingin ikut bersamaku ke Samarang?” tanya Samirjan. Wajahnya penuh harap.
“Aku ikut sampai di dalam gubukmu saja…” kata Dewi Pemikat lalu menarik tangan pemuda itu, membawanya masuk ke dalam gubuk. Tak selang berapa lama terdengar suara Samirjan.
“Dewi, kau mau melakukan apa…? Wow!”
“Jangan berteriak macam orang tolol! Apa kau mau orang satu desa bangun mengintip apa yang kita lakukan?! Hik…hik…hik.”
“Aduh Dewi!”
“Sssttt. Ada apa?!”
“Jimatku kejepit!”
“Hik…hik…hik!”
***
7
SETAN Ngompol yang mengkhawatirkan keselamatan Liris Biru memasuki Kuto Gede sore sebelum magrib. Seperti diketahui murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak itu nekad mencari pemuda bernama Cakra pembunuh Liris Merah, kakaknya. Menurut jalan pikiran Setan Ngompol, kalau sang kakak yang berkepandaian lebih tinggi mampu dibunuh setelah lebih dulu diperkosa oleh Cakra, maka jika Liris Biru mencari si pemuda sama saja dengan mengantarkan kehormatan serta nyawanya.
Memasuki Kuto Gede dari arah tenggara Setan Ngompol terheran-heran karena malam belum tiba tapi keadaan desa pengrajin perak yang biasa ramai, saat itu tampak diselimuti kesunyian. Tidak terlihat orang lalu lalang di jalan. Semua pintu dan jendela rumah penduduk tertutup rapat. Kawasan paling ramaipun dimana biasanya banyak pedagang, warung minuman dan rumah makan kelihatan sepi. Hujan rintik-rintik. Setan Ngompol berjalan terbungkuk-bungkuk di jalan sepi.
“Aneh, aku sudah beberapa kali ke tempat ini. Ada apa? Mengapa sepi sunyi begini rupa?”
Setan Ngompol berjalan terus. Sementara hari mulai gelap. Selewatnya kelokan jalan di kejauhan tampak cahaya terang. Setan Ngompol segera menuju ke sini. Ternyata cahaya bersumber dari beberapa lampu minyak besar yang ada dalam sebuah rumah makan. Sebelum masuk Setan Ngompol memperhatikan para tamu yang ada dalam rumah makan. Semua berjumlah sekitar dua puluh orang. Tampaknya para tamu yang hadir di tempat itu bukan untuk makan atau minum. Karena sama sekali tidak ada hidangan atau minuman di atas meja. Rata-rata menunjukkan tampang tegang. Dan Setan Ngompol melihat orang-orang itu membawa berbagai macam senjata. Mulai dari golok, pentungan kayu, tombak serta celurit.
Ketika Setan Ngompol berdiri di halaman rumah makan, semua orang memandang padanya dengan penuh curiga. Malah ada yang berdiri dan mendekat sampai di tangga bangunan, memperhatikannya dengan mata mendelik mulai dari kepala sampai ke kaki. Ketika si kakek meneruskan langkah hendak masuk ke dalam rumah makan, di tangga depan seorang lelaki berkulit hitam menghadangnya. Orang ini adalah Ki Bening Surah, pemilik rumah makan. Di pinggangnya tergantung sebilah golok besar. Dia pelototi si kakek sementara hidungnya mengendus-endus. Dia mencium bau pesing santar sekali.
“Pengemis tua bau pesing, aku Ki Bening Surah pemilik rumah makan ini. Rumah makan tutup. Apa keperluanmu datang ke sini?”
“Mau beli makanan. Perutku lapar,” jawab Setan Ngompol.
“Aku sudah bilang rumah makan tutup!” Bentak pemilik rumah makan.
“Ooo begitu? Tapi perutku lapar sekali. Tolonglah, apa saja. Nasi tidak berlaukpun aku terima.”
“Apa kau punya uang?” tanya Ki Bening Surah pula dengan suara dan air muka mengejek. Sementara beberapa orang di dalam sana bangkit dari duduknya dan berdiri di samping pemilik rumah makan. Setan Ngompol menggeleng.
Ki Bening Surah dan hampir semua orang yang ada di situ tertawa gelak-gelak mencemooh Setan Ngompol.
“Kalau tak punya uang pergilah! Bau tubuh dan pakaianmu membuat semua orang di sini mau muntah!”
“Tunggu….” Setan Ngompolmerogoh kantong celananya yang kuyup air kencing. Dari dalam kantong itu dikeluarkannya sepotong perak murni seujung ibu jari tangan. “Aku tak punya uang. Tapi punya ini. Apa bisa untuk membeli makanan dan lauknya?”
“Sepasang mata Ki Bening Surah mendelik berkilat. Begitu juga mata orangorang yang berdiri di dekatnya, pada membesar. Alah seorang dari mereka menyikut lengan pemilik rumah makan memberi tanda. Ki Bening Surah tertawa lebar. Dia berubah menjadi ramah.
“Pengemis tua, kau tak usah khawatir. Dengan benda itu kau bisa mendapat sebungkus nasi ditambah sepotong tempe bongkrek!”
“Begitu?” ujar Setan Ngompol.
“Serahkan perak itu dan kau tunggu di sini. Aku akan membungkuskan makanan untukmu. Jangan berani masuk ke dalam rumah makan.”
Setan Ngompol menyeringai. Dia cibirkan bibir dan ulurkan kepingan kecil perak. Ketika pemilik kedai hendak mengambil, Setan Ngompol tarik tangannya. Pemilik rumah makan mendelik marah.
“Kau mempermainkan aku atau bagaimana?!”
“Sebelum perak ini aku berikan pada sampeyan, aku mau tanya dulu. Mengapa Kuto Gede jadi sepi begini? Hanya rumah makanmu satu-satunya yang masih buka. Semua rumah pada tutup. Semua orang di sini aku melihat membaw senjata. Kau juga membekal sebilah golok.”
“Ada kejadian edan di kota ini! Beberapa hari berturut-turut empat gadis diperkosa lalu dibunuh. Dua diantaranya kembang desa cantik jelita.”
“Di kening mereka menempel bunga tanjung?”
“Pengemis tua, bagaimana kau tahu hal itu?” tanya pemilik rumah makan.
“Ayo lekas serahkan perak itu. Sebentar lagi kami semua akan melakukan perondaan!”
“Empat gadis yang diperkosa dan dibunuh itu, apa mereka penduduk Kuto Gede?”
“Betul….” Ki Bening Surah tidak sabaran ulurkan tangan kanan hendak mengambil paksa kepingan perak dari tangan si kakek.
Diam-diam Setan Ngompol merasa lega karena berarti Liris Merah walau tidak diketahui berada dimana masih dalam keadaan selamat. Kakek ini kemudian tertawa mengekeh. “Kau mau menipuku! Dengan kepingan perak ini aku bisa membeli rumah makanmu dan seluruh isinya! Aku tidak bermaksud membeli nasi atau tempe bongkrek. Siapa bilang aku lapar! Aku hanya butuh keteranganmu tadi.…Terima kasih.” Setan Ngompol masukkan kepingan perak ke dalam kantong celananya yang basah lalu tinggalkan rumah makan.
“Gembel sinting!” Pemilik rumah makan semburkan caci maki kotor.
Kebetulan di tangga dekatnya berdiri ada sebuah mangkuk terbuat dari tanah. Tidak pikir panjang lagi mangkuk tanah itu dilempar ke arah kepala bagian belakang Setan Ngompol. Masih tertawa-tawa si kakek yang mendengar suara benda melesat di belakang kepalanya lambaikan tangan kirinya ke belakang. Gayung yang dilempar berbalik melesat dan mendarat telak di jidat Ki Bening Surah hingga benjut dan mengucurkan darah! Ki Bening Surah berteriak kesakitan, memaki tak karuan.
“Kakek itu bukan seperti pengemis. Jangan-jangan dia manusia jahatnya yang memperkosa dan membunuh empat gadis!” Seseorang berteriak.
Seorang lainnya menyahuti.
“Aku yakin dia keparat jahanamnya. Kalau tidak bagaimana dia bisa tahu soal bunga tanjung?!”
Rumah makan itu jadi ramai. Ki Bening Surah cabut goloknya.
“Kita harus mengejar tua bangka jahanam itu! Sebelum ada lagi gadis diperkosa dan dibunuh! Tangkap hidup-hidup! Kalau melawan cincang sampai lumat!”
Dua puluh orang bergemuruh meninggalkan rumah makan, mengejar Setan Ngompol. Setelah cukup jauh berlari Ki Bening Surah berhenti.
“Tadi aku masih melihat sosoknya! Bagaimana mungkin bisa menghilang seperti ditelan bumi?”
“Pukul kentongan! Kita harus menyebar!”
“Kita perlu bantuan!”
Maka tak lama kemudian di seluruh Kuto Gede terdengar suara kentongan dipukul bertalu-talu. Bukan saja penduduk, serombongan pasukan Kerajaan yang sengaja di tempatkan di pusat desa sejak dua hari lalu ikut pula melakukan pengejaran dan pencarian. Tapi si kakek pengemis tidak berhasil ditemukan.
Memasuki Kuto Gede dari arah tenggara Setan Ngompol terheran-heran karena malam belum tiba tapi keadaan desa pengrajin perak yang biasa ramai, saat itu tampak diselimuti kesunyian. Tidak terlihat orang lalu lalang di jalan. Semua pintu dan jendela rumah penduduk tertutup rapat. Kawasan paling ramaipun dimana biasanya banyak pedagang, warung minuman dan rumah makan kelihatan sepi. Hujan rintik-rintik. Setan Ngompol berjalan terbungkuk-bungkuk di jalan sepi.
“Aneh, aku sudah beberapa kali ke tempat ini. Ada apa? Mengapa sepi sunyi begini rupa?”
Setan Ngompol berjalan terus. Sementara hari mulai gelap. Selewatnya kelokan jalan di kejauhan tampak cahaya terang. Setan Ngompol segera menuju ke sini. Ternyata cahaya bersumber dari beberapa lampu minyak besar yang ada dalam sebuah rumah makan. Sebelum masuk Setan Ngompol memperhatikan para tamu yang ada dalam rumah makan. Semua berjumlah sekitar dua puluh orang. Tampaknya para tamu yang hadir di tempat itu bukan untuk makan atau minum. Karena sama sekali tidak ada hidangan atau minuman di atas meja. Rata-rata menunjukkan tampang tegang. Dan Setan Ngompol melihat orang-orang itu membawa berbagai macam senjata. Mulai dari golok, pentungan kayu, tombak serta celurit.
Ketika Setan Ngompol berdiri di halaman rumah makan, semua orang memandang padanya dengan penuh curiga. Malah ada yang berdiri dan mendekat sampai di tangga bangunan, memperhatikannya dengan mata mendelik mulai dari kepala sampai ke kaki. Ketika si kakek meneruskan langkah hendak masuk ke dalam rumah makan, di tangga depan seorang lelaki berkulit hitam menghadangnya. Orang ini adalah Ki Bening Surah, pemilik rumah makan. Di pinggangnya tergantung sebilah golok besar. Dia pelototi si kakek sementara hidungnya mengendus-endus. Dia mencium bau pesing santar sekali.
“Pengemis tua bau pesing, aku Ki Bening Surah pemilik rumah makan ini. Rumah makan tutup. Apa keperluanmu datang ke sini?”
“Mau beli makanan. Perutku lapar,” jawab Setan Ngompol.
“Aku sudah bilang rumah makan tutup!” Bentak pemilik rumah makan.
“Ooo begitu? Tapi perutku lapar sekali. Tolonglah, apa saja. Nasi tidak berlaukpun aku terima.”
“Apa kau punya uang?” tanya Ki Bening Surah pula dengan suara dan air muka mengejek. Sementara beberapa orang di dalam sana bangkit dari duduknya dan berdiri di samping pemilik rumah makan. Setan Ngompol menggeleng.
Ki Bening Surah dan hampir semua orang yang ada di situ tertawa gelak-gelak mencemooh Setan Ngompol.
“Kalau tak punya uang pergilah! Bau tubuh dan pakaianmu membuat semua orang di sini mau muntah!”
“Tunggu….” Setan Ngompolmerogoh kantong celananya yang kuyup air kencing. Dari dalam kantong itu dikeluarkannya sepotong perak murni seujung ibu jari tangan. “Aku tak punya uang. Tapi punya ini. Apa bisa untuk membeli makanan dan lauknya?”
“Sepasang mata Ki Bening Surah mendelik berkilat. Begitu juga mata orangorang yang berdiri di dekatnya, pada membesar. Alah seorang dari mereka menyikut lengan pemilik rumah makan memberi tanda. Ki Bening Surah tertawa lebar. Dia berubah menjadi ramah.
“Pengemis tua, kau tak usah khawatir. Dengan benda itu kau bisa mendapat sebungkus nasi ditambah sepotong tempe bongkrek!”
“Begitu?” ujar Setan Ngompol.
“Serahkan perak itu dan kau tunggu di sini. Aku akan membungkuskan makanan untukmu. Jangan berani masuk ke dalam rumah makan.”
Setan Ngompol menyeringai. Dia cibirkan bibir dan ulurkan kepingan kecil perak. Ketika pemilik kedai hendak mengambil, Setan Ngompol tarik tangannya. Pemilik rumah makan mendelik marah.
“Kau mempermainkan aku atau bagaimana?!”
“Sebelum perak ini aku berikan pada sampeyan, aku mau tanya dulu. Mengapa Kuto Gede jadi sepi begini? Hanya rumah makanmu satu-satunya yang masih buka. Semua rumah pada tutup. Semua orang di sini aku melihat membaw senjata. Kau juga membekal sebilah golok.”
“Ada kejadian edan di kota ini! Beberapa hari berturut-turut empat gadis diperkosa lalu dibunuh. Dua diantaranya kembang desa cantik jelita.”
“Di kening mereka menempel bunga tanjung?”
“Pengemis tua, bagaimana kau tahu hal itu?” tanya pemilik rumah makan.
“Ayo lekas serahkan perak itu. Sebentar lagi kami semua akan melakukan perondaan!”
“Empat gadis yang diperkosa dan dibunuh itu, apa mereka penduduk Kuto Gede?”
“Betul….” Ki Bening Surah tidak sabaran ulurkan tangan kanan hendak mengambil paksa kepingan perak dari tangan si kakek.
Diam-diam Setan Ngompol merasa lega karena berarti Liris Merah walau tidak diketahui berada dimana masih dalam keadaan selamat. Kakek ini kemudian tertawa mengekeh. “Kau mau menipuku! Dengan kepingan perak ini aku bisa membeli rumah makanmu dan seluruh isinya! Aku tidak bermaksud membeli nasi atau tempe bongkrek. Siapa bilang aku lapar! Aku hanya butuh keteranganmu tadi.…Terima kasih.” Setan Ngompol masukkan kepingan perak ke dalam kantong celananya yang basah lalu tinggalkan rumah makan.
“Gembel sinting!” Pemilik rumah makan semburkan caci maki kotor.
Kebetulan di tangga dekatnya berdiri ada sebuah mangkuk terbuat dari tanah. Tidak pikir panjang lagi mangkuk tanah itu dilempar ke arah kepala bagian belakang Setan Ngompol. Masih tertawa-tawa si kakek yang mendengar suara benda melesat di belakang kepalanya lambaikan tangan kirinya ke belakang. Gayung yang dilempar berbalik melesat dan mendarat telak di jidat Ki Bening Surah hingga benjut dan mengucurkan darah! Ki Bening Surah berteriak kesakitan, memaki tak karuan.
“Kakek itu bukan seperti pengemis. Jangan-jangan dia manusia jahatnya yang memperkosa dan membunuh empat gadis!” Seseorang berteriak.
Seorang lainnya menyahuti.
“Aku yakin dia keparat jahanamnya. Kalau tidak bagaimana dia bisa tahu soal bunga tanjung?!”
Rumah makan itu jadi ramai. Ki Bening Surah cabut goloknya.
“Kita harus mengejar tua bangka jahanam itu! Sebelum ada lagi gadis diperkosa dan dibunuh! Tangkap hidup-hidup! Kalau melawan cincang sampai lumat!”
Dua puluh orang bergemuruh meninggalkan rumah makan, mengejar Setan Ngompol. Setelah cukup jauh berlari Ki Bening Surah berhenti.
“Tadi aku masih melihat sosoknya! Bagaimana mungkin bisa menghilang seperti ditelan bumi?”
“Pukul kentongan! Kita harus menyebar!”
“Kita perlu bantuan!”
Maka tak lama kemudian di seluruh Kuto Gede terdengar suara kentongan dipukul bertalu-talu. Bukan saja penduduk, serombongan pasukan Kerajaan yang sengaja di tempatkan di pusat desa sejak dua hari lalu ikut pula melakukan pengejaran dan pencarian. Tapi si kakek pengemis tidak berhasil ditemukan.
***
DI ATAS sebuah pohon besar gelap dan banyak nyamuknya Setan Ngompol memaki dan terkencing-kencing setiap ada nyamuk menggigitnya.
“Nyamuk-nyamuk sialan! Kalian rupanya berkawan dengan penduduk Kuto Gede. Mau menyuruhku turun agar ditangkap dan digebuki! Silahkan kau hisap darahku! Kalian akan mampus sendiri oleh racun air kencingku!”
Setan Ngompol lalu masukkan dua tangannya ke dalam celana. Tangan yang basah pleh air kencing ini diusapkan ke muka, lengan serta kaki. Ajaib! Puluhan mungkin ratusan nyamuk yang tadi berserabutan menghisap darah si kakek kini menjauh. Yang nekad menyedot darah orang tua ini langsung jatuh menemui ajal.
“Hik…hik!” Tiba-tiba ada suara perempuan tertawa. Disusul ucapan. “Hebat juga! Mengapa tidak kau minum saja air kencingmu agar bisa kebal seumur-umur terhadap nyamuk!”
“Eh, siapa yang bicara?!” Setan Ngompol celingukan, memperhatikan setiap sudut pohon yang gelap dimana dia berada. Tidak kelihatan siapapun. Hidungnya mencium bau harum. Kuduk si kakek jadi merinding. Sambil tekap bagian bawah celananya dia berkata. “Kuntilanak atau demit perempuan. Kalau kau suka minum kencingku silahkan unjukkan diri!”
“Hik… hik… hik…” Suara tawa panjang terdengar keras dan jelas. Si kakek pancarkan air kencing. Kemudian dari sebuah pohon di samping pohon dimana dia berada melesat turun satu bayangan kuning. Walau gerakan orang itu cepat sekali namun si kakek masih sempat melihat kecantikan wajah dan ke-elokan potongan tubuhnya. Semula dia mengira Liris Biru. Tapi Liris Biru berpakaian biru sedang yang keluar dari pohon mengenakan pakaian kuning. Secepat kilat Setan Ngompol melompat turun. Namun begitu menginjakkan kaki di tanah jalanan gadis cantik berpakaian kuning telah lenyap, hanya meninggalkan bau harum yang masih menebar di tempat itu.
Setan Ngompol dongakkan kepala sambil menghirup-hirup udara. “Mungkin tadi itu Bidadari Angin Timur yang menyaru? Bau harum yang aku cium hampir sama dengan bau tubuh dan pakaiannya…”
Selagi si kakek tegak setengah bingung begitu rupa tiba-tiba dari kiri kanan jalan berlompatan sekitar dua belas orang mencekal berbagai macam senjata. Salah seorang diantaranya adalah Ki Bening Surah, pemilik rumah makan. Di ujung jalan empat penunggang kuda mendatangi. Prajurit-prajurit Kerajaan.
“Bunuh! Cincang sampai lumat!” teriak Ki Bening Surah.
“Bangsat tua ini pasti pemerkosa dan pembunuh dua gadis!”
Dua belas macam senjata berkelebat ke arah Setan Ngompol. Sambil tekap bagian bawah perutnya dengan tangan kiri si kakek melesat ke udara. Sewaktu melesat kaki kanannya bekerja. Yang diarahnya adalah Ki Bening Surah. Kalau pimpinannya dihajar dulu, biasanya anak buahnya akan menjadi kecut.
“Bukkk!”
Ki Bening Surah menjerit keras. Tubuhnya terpental. Dada seperti melesak membuat dia megap-megap susah bernafas. Mata mendelik. Pemilik rumah makan ini nyaris terbanting di tanah kalau tidak ditolong oleh dua orang. Setan Ngompol memang sengaja tidak menjatuhkan tangan jahat terhadap orang ini. Walau suara tendangannya keras namun tidak menciderai atau menimbulkan luka dalam. Hanya saja dugaan si kakek meleset. Walau Ki Bening Surah sudah dihajar begitu rupa ternyata sebelas orang lainnya terus merangsek menggempurnya dengan senjata maut. Penduduk Kuto Gede yang menganggap sebagai pemerkosa dan pembunuh memang ingin sekali mencincang diri kakek ini sampai lumat!
“Aku bukan pemerkosa! Aku bukan pembunuh! Kalian mau menghentikan serangan atau tidak?!” Setan Ngompol masih mau memberi ingat sambil berkelebat kian kemari hindari serangan. Dia tahu orang-orang yang menyerangnya itu adalah penduduk desa biasa yang boleh dikatakan tidak memiliki kemampuan silat dan tengah melakukan tugas pengamanan.
“Bunuh tua bangka keparat itu! Jangan dikasih hati!” Ki Bening Surah masih bisa berteriak.
Maka sebelas senjata kembali berkiblat. Setan Ngompol yang sudah bersiapsiap masukkan dua tangan ke dalam celana, berkelebat ke samping kiri.
“Plaakk! Plaaakk! Plaakk!” Tiga penyerang melintir kesakitan. Tamparan dengantangan basah air kencing yang dilancarkan Setan Ngompol tepat mengenai mulut dan hidung tiga penyerang hingga mengucurkan darah. Si kakek melompat ke sebelah kanan. Babatan sebilah celurit dan tusukan sebatang tombak dapat dielakkan.
Dua penyerang kemudian terkapar di tanah, roboh lagi-lagi kena tempeleng si kakek. Melihat kejadian ini beberapa orang lainnya yang belum sempat kena hajaran Setan Nompol cepat-cepat selamatkan diri dengan melompat mundur menjauhi si kakek. Ketika Setan Ngompol mendekati Ki Bening Surah yang tergeletak di tanah, dua orang yang tadi menolongnya buru-buru menghindar, takut kena tempeleng yang dibumbui air kencing!
“Ki Bening Surah, kau orang baik. Makanya sini aku berikan hadiah istimewa untukmu!” Setan Ngompol keluarkan tangan kirinya yang sejak tadi dimasukkan dalam celana lalu dipeperkan ke muka, hidung dan mulut pemilik rumah makan itu.
“Ada lagi yang mau mencicipi air kencingku?!” tanya Setan Ngompol sambil tangan kanan berkacak pinggang.
“Setan Ngompol! Kalau boleh aku minta! Aku suka! Hik..hik..hik!”
Satu suara perempuan menyahuti. Yang bicara ternyata ada di atas wuwungan sebuah bangunan. Ketika Setan Ngompol berpaling dia segera mengenali. Orang di atas atap rumah bukan lain adalah gadis berpakaian kuning yang tadi mempermainkannya.
“Gadis nakal! Kali ini kau tidak bisa kabur lagi!” Setan Ngompol segera melesat ke atas atap rumah. Selain itu dia sengaja menghindar dari empat prajurit Kerajaan yang sudah sampai di tempat itu. Gadis di atas atap sambil tertawa cekikikan melesat turun. Membuat si kakek jadi dongkol dan terpaksa melayang turun lagi ke tanah melanjutkan pengejaran.
Ditolong oleh beberapa orang Ki Bening Surah bangkit berdiri. Mulutnya berucap. “Perempuan di atas atap menyebut nama kakek itu. Setan Ngompol. Kalau aku tahu tadi-tadi kakek itu adalah Setan Ngompol aku akan benar-benar menghormatinya. Malah mungkin bisa diminta pertolongan untuk mencari pemerkosa dan pembunuh dua gadis itu.”
“Ki Bening, kau kenal kakek aneh bau pesing itu? Kulihat salah satu daun kupingnya terbalik!” bertanya seorang yang berdiri di samping Ki Bening Surah.
“Dia salah seorang tokoh rimba persilatan berkepandaian tinggi. Ah, aku telah keliru berbuat…” Ki Bening Surah merasa menyesal. “Kita mulai meronda saja. Sebagian dari kalian sebaiknya membantu prajurit Kerajaan berjaga-jaga di sekitar rumah kediaman randa Tumenggung Kalijati….”
Empat prajurit Kerajaan sampai di tempat itu. Mereka menanyakan apa yang terjadi. Ki Bening Surah tidak memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia berkata.
“Seorang tokoh rimba persilatan tadi muncul di sini. Dia akan turun tangan mencari pemerkosa dan pembunuh para gadis.”
“Ki Bening, kau kelihatannya habis dihajar orang. Jika tokoh silat itu memang punya niat menolong, mengapa dia mencideraimu….” Prajurit yang berkata perhatikan tanda telapak kaki di dada pakaian pemilik rumah makan.
“Siapa nama tokoh silat itu?” Prajurit yang lain bertanya.
“Setan Ngompol.” Jawab Ki Bening Surah.
“Apa? Setan Ngompol?!” Salah seorang prajurit berseru kaget. “Kakek sakti itu adalah sahabat Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Jika si kakek ada di sini, berarti pendekar sinting itu juga ada di Kuto Gede! Berarti pendekar buronan itulah yang telah melakukan pemerkosaan dan pembunuhan atas diri empat orang gadis!”
“Aku juga punya pikiran demikian!” ujar prajurit yang memelihara janggut lebat. “Ingat peristiwa buruk yang menimpa Raden Ayu Ambarsari di Kotaraja beberapa waktu lalu?! Kita harus memberi tahu atasan. Kita harus minta tambahan pasukan. Kalau bisa tokoh silat Keraton harus membantu turun tangan! Keadaan benar-benar berbahaya!”
Empat prajurit berkuda segera tinggalkan tempat itu. Ki Bening Surah tarik Nafas panjang sambil mengusap dada. Mulutnya berucap perlahan. “Aku tidak bisa percaya. Kalau pendekar terkenal bernama Wiro Sableng itu adalah pelaku semua kejahatan di Kuto Gede ini. Tapi…kenyataan bisa berkata lain….”
“Nyamuk-nyamuk sialan! Kalian rupanya berkawan dengan penduduk Kuto Gede. Mau menyuruhku turun agar ditangkap dan digebuki! Silahkan kau hisap darahku! Kalian akan mampus sendiri oleh racun air kencingku!”
Setan Ngompol lalu masukkan dua tangannya ke dalam celana. Tangan yang basah pleh air kencing ini diusapkan ke muka, lengan serta kaki. Ajaib! Puluhan mungkin ratusan nyamuk yang tadi berserabutan menghisap darah si kakek kini menjauh. Yang nekad menyedot darah orang tua ini langsung jatuh menemui ajal.
“Hik…hik!” Tiba-tiba ada suara perempuan tertawa. Disusul ucapan. “Hebat juga! Mengapa tidak kau minum saja air kencingmu agar bisa kebal seumur-umur terhadap nyamuk!”
“Eh, siapa yang bicara?!” Setan Ngompol celingukan, memperhatikan setiap sudut pohon yang gelap dimana dia berada. Tidak kelihatan siapapun. Hidungnya mencium bau harum. Kuduk si kakek jadi merinding. Sambil tekap bagian bawah celananya dia berkata. “Kuntilanak atau demit perempuan. Kalau kau suka minum kencingku silahkan unjukkan diri!”
“Hik… hik… hik…” Suara tawa panjang terdengar keras dan jelas. Si kakek pancarkan air kencing. Kemudian dari sebuah pohon di samping pohon dimana dia berada melesat turun satu bayangan kuning. Walau gerakan orang itu cepat sekali namun si kakek masih sempat melihat kecantikan wajah dan ke-elokan potongan tubuhnya. Semula dia mengira Liris Biru. Tapi Liris Biru berpakaian biru sedang yang keluar dari pohon mengenakan pakaian kuning. Secepat kilat Setan Ngompol melompat turun. Namun begitu menginjakkan kaki di tanah jalanan gadis cantik berpakaian kuning telah lenyap, hanya meninggalkan bau harum yang masih menebar di tempat itu.
Setan Ngompol dongakkan kepala sambil menghirup-hirup udara. “Mungkin tadi itu Bidadari Angin Timur yang menyaru? Bau harum yang aku cium hampir sama dengan bau tubuh dan pakaiannya…”
Selagi si kakek tegak setengah bingung begitu rupa tiba-tiba dari kiri kanan jalan berlompatan sekitar dua belas orang mencekal berbagai macam senjata. Salah seorang diantaranya adalah Ki Bening Surah, pemilik rumah makan. Di ujung jalan empat penunggang kuda mendatangi. Prajurit-prajurit Kerajaan.
“Bunuh! Cincang sampai lumat!” teriak Ki Bening Surah.
“Bangsat tua ini pasti pemerkosa dan pembunuh dua gadis!”
Dua belas macam senjata berkelebat ke arah Setan Ngompol. Sambil tekap bagian bawah perutnya dengan tangan kiri si kakek melesat ke udara. Sewaktu melesat kaki kanannya bekerja. Yang diarahnya adalah Ki Bening Surah. Kalau pimpinannya dihajar dulu, biasanya anak buahnya akan menjadi kecut.
“Bukkk!”
Ki Bening Surah menjerit keras. Tubuhnya terpental. Dada seperti melesak membuat dia megap-megap susah bernafas. Mata mendelik. Pemilik rumah makan ini nyaris terbanting di tanah kalau tidak ditolong oleh dua orang. Setan Ngompol memang sengaja tidak menjatuhkan tangan jahat terhadap orang ini. Walau suara tendangannya keras namun tidak menciderai atau menimbulkan luka dalam. Hanya saja dugaan si kakek meleset. Walau Ki Bening Surah sudah dihajar begitu rupa ternyata sebelas orang lainnya terus merangsek menggempurnya dengan senjata maut. Penduduk Kuto Gede yang menganggap sebagai pemerkosa dan pembunuh memang ingin sekali mencincang diri kakek ini sampai lumat!
“Aku bukan pemerkosa! Aku bukan pembunuh! Kalian mau menghentikan serangan atau tidak?!” Setan Ngompol masih mau memberi ingat sambil berkelebat kian kemari hindari serangan. Dia tahu orang-orang yang menyerangnya itu adalah penduduk desa biasa yang boleh dikatakan tidak memiliki kemampuan silat dan tengah melakukan tugas pengamanan.
“Bunuh tua bangka keparat itu! Jangan dikasih hati!” Ki Bening Surah masih bisa berteriak.
Maka sebelas senjata kembali berkiblat. Setan Ngompol yang sudah bersiapsiap masukkan dua tangan ke dalam celana, berkelebat ke samping kiri.
“Plaakk! Plaaakk! Plaakk!” Tiga penyerang melintir kesakitan. Tamparan dengantangan basah air kencing yang dilancarkan Setan Ngompol tepat mengenai mulut dan hidung tiga penyerang hingga mengucurkan darah. Si kakek melompat ke sebelah kanan. Babatan sebilah celurit dan tusukan sebatang tombak dapat dielakkan.
Dua penyerang kemudian terkapar di tanah, roboh lagi-lagi kena tempeleng si kakek. Melihat kejadian ini beberapa orang lainnya yang belum sempat kena hajaran Setan Nompol cepat-cepat selamatkan diri dengan melompat mundur menjauhi si kakek. Ketika Setan Ngompol mendekati Ki Bening Surah yang tergeletak di tanah, dua orang yang tadi menolongnya buru-buru menghindar, takut kena tempeleng yang dibumbui air kencing!
“Ki Bening Surah, kau orang baik. Makanya sini aku berikan hadiah istimewa untukmu!” Setan Ngompol keluarkan tangan kirinya yang sejak tadi dimasukkan dalam celana lalu dipeperkan ke muka, hidung dan mulut pemilik rumah makan itu.
“Ada lagi yang mau mencicipi air kencingku?!” tanya Setan Ngompol sambil tangan kanan berkacak pinggang.
“Setan Ngompol! Kalau boleh aku minta! Aku suka! Hik..hik..hik!”
Satu suara perempuan menyahuti. Yang bicara ternyata ada di atas wuwungan sebuah bangunan. Ketika Setan Ngompol berpaling dia segera mengenali. Orang di atas atap rumah bukan lain adalah gadis berpakaian kuning yang tadi mempermainkannya.
“Gadis nakal! Kali ini kau tidak bisa kabur lagi!” Setan Ngompol segera melesat ke atas atap rumah. Selain itu dia sengaja menghindar dari empat prajurit Kerajaan yang sudah sampai di tempat itu. Gadis di atas atap sambil tertawa cekikikan melesat turun. Membuat si kakek jadi dongkol dan terpaksa melayang turun lagi ke tanah melanjutkan pengejaran.
Ditolong oleh beberapa orang Ki Bening Surah bangkit berdiri. Mulutnya berucap. “Perempuan di atas atap menyebut nama kakek itu. Setan Ngompol. Kalau aku tahu tadi-tadi kakek itu adalah Setan Ngompol aku akan benar-benar menghormatinya. Malah mungkin bisa diminta pertolongan untuk mencari pemerkosa dan pembunuh dua gadis itu.”
“Ki Bening, kau kenal kakek aneh bau pesing itu? Kulihat salah satu daun kupingnya terbalik!” bertanya seorang yang berdiri di samping Ki Bening Surah.
“Dia salah seorang tokoh rimba persilatan berkepandaian tinggi. Ah, aku telah keliru berbuat…” Ki Bening Surah merasa menyesal. “Kita mulai meronda saja. Sebagian dari kalian sebaiknya membantu prajurit Kerajaan berjaga-jaga di sekitar rumah kediaman randa Tumenggung Kalijati….”
Empat prajurit Kerajaan sampai di tempat itu. Mereka menanyakan apa yang terjadi. Ki Bening Surah tidak memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia berkata.
“Seorang tokoh rimba persilatan tadi muncul di sini. Dia akan turun tangan mencari pemerkosa dan pembunuh para gadis.”
“Ki Bening, kau kelihatannya habis dihajar orang. Jika tokoh silat itu memang punya niat menolong, mengapa dia mencideraimu….” Prajurit yang berkata perhatikan tanda telapak kaki di dada pakaian pemilik rumah makan.
“Siapa nama tokoh silat itu?” Prajurit yang lain bertanya.
“Setan Ngompol.” Jawab Ki Bening Surah.
“Apa? Setan Ngompol?!” Salah seorang prajurit berseru kaget. “Kakek sakti itu adalah sahabat Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Jika si kakek ada di sini, berarti pendekar sinting itu juga ada di Kuto Gede! Berarti pendekar buronan itulah yang telah melakukan pemerkosaan dan pembunuhan atas diri empat orang gadis!”
“Aku juga punya pikiran demikian!” ujar prajurit yang memelihara janggut lebat. “Ingat peristiwa buruk yang menimpa Raden Ayu Ambarsari di Kotaraja beberapa waktu lalu?! Kita harus memberi tahu atasan. Kita harus minta tambahan pasukan. Kalau bisa tokoh silat Keraton harus membantu turun tangan! Keadaan benar-benar berbahaya!”
Empat prajurit berkuda segera tinggalkan tempat itu. Ki Bening Surah tarik Nafas panjang sambil mengusap dada. Mulutnya berucap perlahan. “Aku tidak bisa percaya. Kalau pendekar terkenal bernama Wiro Sableng itu adalah pelaku semua kejahatan di Kuto Gede ini. Tapi…kenyataan bisa berkata lain….”
***
8
KUTO GEDE bukan saja terkenal dengan berbagai hasil kerajinan tangan yang terbuat dari perak, namun juga dikenal sebagai gudangnya gadis ayu berparas jelita. Tiga diantaranya yang paling terkenal adalah Sutri, Nawangsih dan Banjaratih. Konon kecantikan tiga gadis ini telah tersebar ke berbagai penjuru negeri termasuk ke Kotaraja. Banyak pemuda yang sengaja datang ke Kuto Gede untuk melihat sendiri kecantikan tiga gadis itu. Kalau bisa tentunya sekalian berkenalan dan akhirnya mendapatkannya sebagai calon istri. Para pemuda ini mulai dari kalangan rakyat biasa sampai pada kerabat Keraton. Konon banyak pula dari golongan tua tapi merasa punya kebolehan secara diam-diam mengirimkan utusan untuk menyampaikan pinangan. Mereka boleh kecewa karena tidak satupun pinangan diterima. Di antara tiga gadis memang sulit dikatakan mana yang paling cantik. Namun ada sedikit kelebihan Banjaratih dari dua gadis lainnya. Selain cantik gadis satu ini adalah puteri seorang Tumenggung yang sudah meninggal setahun silam. Sementara Sutri, anak seorang pengrajin perak dan Nawangsih anak seorang petani.
Kegemparan melanda Kuto Gede ketika pagi dua hari lalu Sutri ditemukan telah menjadi mayat. Padahal beberapa waktu sebelumnya dua orang gadis juga telah lebih dulu menjadi korban kebejatan. Tubuh Sutri tergeletak dalam keadaan bugil di tepi anak Kali Opak. Bibir biru dan di kening menempel sekuntum bunga tanjung. Dari keadaan aurat si gadis jelas menunjukkan tanda-tanda kalau Sutri telah dirusak dulu kehormatannya sebelum dibunuh. Sama dengan yang terjadi dengan dua gadis terdahulu.
Peristiwa perkosaan dan pembunuhan gadis cantik ini serta merta tersebar luas dan dihubung-hubungkan orang dengan cerita tentang perkosaan dan pembunuhan yang menimpa belasan gadis sebelumnya di berbagai tempat. Satu diantaranya adalah Raden Ayu Ambarsari, cucu Pangeran Tua Sena Wirapala. Dalam peristiwa yang menimpa gadis Keraton ini malah Pendekar 212 Wiro Sableng yang kena getahnya, dituduh sebagai pelaku pemerkosa dan pembunuh.
Belum sirap kegegeran kematian Sutri, satu hari kemudian giliran Nawangsih menyusul menjadi korban. Gadis puteri petani yang tinggal di selatan Kuto Gede ini ditemui orang tuanya sendiri di dalam kamar tidur dalam keadaan tak bernafas lagi. Nawangsih tergeletak di atas tempat tidur tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya yang halus mulus. Sekuntum bunga tanjung menempel di keningnya. Kuto Gede yang sehari-harinya selalu berada dalam keadaan ramai sampai malam, setelah empat peristiwa pembunuhan ini serta merta menjadi sepi. Para penduduk terutama yang mempunyai anak gadis, biar cantik atau jelek sama-sama mengunci pintu rumah sebelum malam tiba.
Ni Suwita, ibu Banjaratih, janda Tumenggung Ageng Sundoro, yang turunan Bali itu dengan sendirinya merasa sangat khawatir. Tidak mustahil puterinya Banjaratih akan menjadi korban perkosaan dan pembunuhan berikutnya. Kekhawatiran itu disampaikan pada pejabat desa disertai permohonan perlindungan. Maka malam itu juga dibentuk beberapa kelompok peronda kota, satu diantaranya adalah kelompok yang dipimpin Ki Bening Surah, pemilik rumah makan. Lalu ada kelompok lain dipimpin Ki Bayu Sleman, kepala desa Kuto Gede. Selain itu dua puluh orang prajurit didatangkan dari Kotaraja. Empat orang dari mereka mengawal rumah kediaman Banjaratih, sisanya ada yang berkeliling kota, sebagian lagi berjagajaga di tempat-tempat tertentu.
Seorang guru silat terkenal di Kuto Gede bernama Ki Walang Bakar ikut berjaga-jaga di rumah si gadis. Guru silat ini berwajah hitam sebelah akibat terbakar sewaktu masih kecil. Lalu masih ada belasan pemuda yang menaruh hati terhadap si gadis bergabung pula melakukan pengawalan secara sukarela. Larut malam hujan rintik-rintik kembali turun dan tiupan angin terasa dingin. Semua orang yang berjaga-jaga di rumah kediaman Banjaratih menghilangkan rasa kantuk dengan mengobrol sambil meneguk kopi hangat yang disuguhkan pembantu rumah. Dalam kesunyian serta udara malam yang semakin dingin tiba-tiba langit di arah timur tampak terang. Asap hitam mengepul tinggi ke udara. Di kejauhan terdengar suara kentongan bertalu-talu.
“Api! Kebakaran!” teriak seorang prajurit yang berjaga di rumah Banjaratih dan pertama kali melihat nyala terang di langit. Semua orang yang ada di tempat itu tersentak, berlari ke halaman depan, memandang ke langit sebelah timur. Inilah satu kesalahan besar yang tidak mereka sadari!
“Tidak pernah kejadian kebakaran di daerah ini selama belasan tahun!” kata Kepala Desa Ki Bayu Sleman.
“Saat ini bukan musim kemarau. Malam hari pula. Bagaimana mungkin…” ucap guru silat Ki Walang Bakar.
“Ki Walang, kau tetap di sini berjaga-jaga. Aku bersama beberapa orang akan menyelidik ke sana. Tampaknya dari arah Kampung Baturejo.”
“Ki Bayu Sleman bersama dua orang prajurit, ditemani enam orang lainnya dengan menunggang kuda segera menghambur ke arah timur, menuju tempat terjadinya kebakaran.
Kegemparan melanda Kuto Gede ketika pagi dua hari lalu Sutri ditemukan telah menjadi mayat. Padahal beberapa waktu sebelumnya dua orang gadis juga telah lebih dulu menjadi korban kebejatan. Tubuh Sutri tergeletak dalam keadaan bugil di tepi anak Kali Opak. Bibir biru dan di kening menempel sekuntum bunga tanjung. Dari keadaan aurat si gadis jelas menunjukkan tanda-tanda kalau Sutri telah dirusak dulu kehormatannya sebelum dibunuh. Sama dengan yang terjadi dengan dua gadis terdahulu.
Peristiwa perkosaan dan pembunuhan gadis cantik ini serta merta tersebar luas dan dihubung-hubungkan orang dengan cerita tentang perkosaan dan pembunuhan yang menimpa belasan gadis sebelumnya di berbagai tempat. Satu diantaranya adalah Raden Ayu Ambarsari, cucu Pangeran Tua Sena Wirapala. Dalam peristiwa yang menimpa gadis Keraton ini malah Pendekar 212 Wiro Sableng yang kena getahnya, dituduh sebagai pelaku pemerkosa dan pembunuh.
Belum sirap kegegeran kematian Sutri, satu hari kemudian giliran Nawangsih menyusul menjadi korban. Gadis puteri petani yang tinggal di selatan Kuto Gede ini ditemui orang tuanya sendiri di dalam kamar tidur dalam keadaan tak bernafas lagi. Nawangsih tergeletak di atas tempat tidur tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya yang halus mulus. Sekuntum bunga tanjung menempel di keningnya. Kuto Gede yang sehari-harinya selalu berada dalam keadaan ramai sampai malam, setelah empat peristiwa pembunuhan ini serta merta menjadi sepi. Para penduduk terutama yang mempunyai anak gadis, biar cantik atau jelek sama-sama mengunci pintu rumah sebelum malam tiba.
Ni Suwita, ibu Banjaratih, janda Tumenggung Ageng Sundoro, yang turunan Bali itu dengan sendirinya merasa sangat khawatir. Tidak mustahil puterinya Banjaratih akan menjadi korban perkosaan dan pembunuhan berikutnya. Kekhawatiran itu disampaikan pada pejabat desa disertai permohonan perlindungan. Maka malam itu juga dibentuk beberapa kelompok peronda kota, satu diantaranya adalah kelompok yang dipimpin Ki Bening Surah, pemilik rumah makan. Lalu ada kelompok lain dipimpin Ki Bayu Sleman, kepala desa Kuto Gede. Selain itu dua puluh orang prajurit didatangkan dari Kotaraja. Empat orang dari mereka mengawal rumah kediaman Banjaratih, sisanya ada yang berkeliling kota, sebagian lagi berjagajaga di tempat-tempat tertentu.
Seorang guru silat terkenal di Kuto Gede bernama Ki Walang Bakar ikut berjaga-jaga di rumah si gadis. Guru silat ini berwajah hitam sebelah akibat terbakar sewaktu masih kecil. Lalu masih ada belasan pemuda yang menaruh hati terhadap si gadis bergabung pula melakukan pengawalan secara sukarela. Larut malam hujan rintik-rintik kembali turun dan tiupan angin terasa dingin. Semua orang yang berjaga-jaga di rumah kediaman Banjaratih menghilangkan rasa kantuk dengan mengobrol sambil meneguk kopi hangat yang disuguhkan pembantu rumah. Dalam kesunyian serta udara malam yang semakin dingin tiba-tiba langit di arah timur tampak terang. Asap hitam mengepul tinggi ke udara. Di kejauhan terdengar suara kentongan bertalu-talu.
“Api! Kebakaran!” teriak seorang prajurit yang berjaga di rumah Banjaratih dan pertama kali melihat nyala terang di langit. Semua orang yang ada di tempat itu tersentak, berlari ke halaman depan, memandang ke langit sebelah timur. Inilah satu kesalahan besar yang tidak mereka sadari!
“Tidak pernah kejadian kebakaran di daerah ini selama belasan tahun!” kata Kepala Desa Ki Bayu Sleman.
“Saat ini bukan musim kemarau. Malam hari pula. Bagaimana mungkin…” ucap guru silat Ki Walang Bakar.
“Ki Walang, kau tetap di sini berjaga-jaga. Aku bersama beberapa orang akan menyelidik ke sana. Tampaknya dari arah Kampung Baturejo.”
“Ki Bayu Sleman bersama dua orang prajurit, ditemani enam orang lainnya dengan menunggang kuda segera menghambur ke arah timur, menuju tempat terjadinya kebakaran.
***
SELAGI perhatian semua orang tertuju pada kebakaran yang terjadi di sebelah timur Kuto Gede, dari balik sebatang pohon besar di halaman belakang rumah kediaman Banjaratih seorang yang baru saja mendekam di sana menyeringai. Lalu tidak menunggu lebih lama dia segera berkelebat. Gerakannya enteng dan cepat sekali. Sebentar saja dia sudah berada di bagian belakang rumah besar. Tanpa kesulitan dia berhasil membuka sebuah jendela lalu menerobos masuk ke dalam rumah besar.
Suasana di dalam rumah serba gelap. Tak ada penerangan yang menyala. Walau gelap namun orang yang masuk mampu bergerak cepat. Mungkin dia sudah tahu seluk beluk rumah besar milik mendiang Tumenggung Ageng Sundoro itu atau bisa saja orang ini memang memilki ilmu kepandaian yang membuat dia mampu melihat dan bergerak di dalam gelap. Di hadapan sebuah pintu kayu orang itu berhenti. Dia memasang telinga sebentar lalu mendorong daun pintu. Daun pintu bergerak membuka. Selarik cahaya temaram lampu minyak kecil memancar dari dalam. Orang di ambang pintu merasa ada kejanggalan. Dia merasa adalah aneh, kalau kamar itu pintunya tidak dikunci dari dalam. Di luar rumah hampr dua lusin orang berjaga-jaga. Mengapa orang yang dijaga malah tidak berlaku hati-hati?
Lewat celah pintu yang terbuka orang itu melihat sesosok tubuh yang terbaring tidur menghadap ke dinding, tertutup selimut. Pintu didorong lebih lebar lalu dengan cepat dia menyelinap masuk ke dalam kamar. Tanpa suara pintu ditutup, dikunci dengan mendorong gerendel.
Orang yang masuk ke dalam kamar ternyata adalah pemuda berwajah cakap, berkumis serta janggut dan berewok tipis rapi, mengenakan pakaian hitam bersulam bunga perak dan emas. Sehelai kain merah terikat di keningnya. Cakra Mentari!
Inilah pemuda yang terjebak dalam kesesatan, penebar malapetaka yang berada dibawah kekuasaan mahluk tanpa wajah dan memiliki ilmu kesaktian bersumber dari kitab bahala bernama Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Dia diperintahkan untuk memperkosa dan membunuh 41 orang gadis dan mencelakai sebanyak mungkin para pendekar rimba persilatan. (baca serial sebelumnya berjudul “Insan Tanpa Wajah”)
Cakra Mentari perhatikan tubuh gadis yang tergolek di atas tempat tidur, menghadap ke dinding membelakanginya. Selimut menutup sampai ke punggung. Rambut hitam panjang terjulai di punggung. Perlahan-lahan pemuda itu duduk di tepi tempat tidur. Beberapa kali dibelainya rambut hitam orang yang tidur. Lalu dari salah satu kantong baju hitamnya dia mengeluarkan sebuah kantong kain berisi patung memancarkan cahaya redup kemerahan. Patung itu berbentuk sepasang leleaki dan perempuan tengah melakukan hubungan badan. Patung Kamasutra! Patung yang selama ini telah menjadi sumber malapetaka mulai dari ujung timur sampai ke pertengahan tanah Jawa.
“Banjaratih, bangunlah….” Ucap Cakra Mentari sambil mengangkat rambut hitam gadis yang tidur lalu mencium kuduk putih yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Gadis di atas tempat tidur menggeliat lalu tidur kembali. Wajahnya masih menghadap ke dinding.
“Banjaratih kekasihku, bangunlah. Aku datang membawa kebahagiaan untukmu.” Cakra Mentari tarik selimut yang menutupi tubuh si gadis. Ketika dia berusaha membalikkan tubuh yang tidur miring menghadap dinding itu, pada saat itulah tiba-tiba tubuh itu bergerak cepat, melesat bangkit. Kaki kanan menderu.
“Bukkk!”
Cakra Mentari berseru kaget dan kesakitan ketika tendangan kaki kanan mendarat di dadanya sebelah kanan. Tubuhnya terpental ke dinding kamar. Papan dinding berpecahan. Patung Kamasutra yang ada di tangan kiri sempat terlepas. Dia cepat melompat menjakau patung. Tangan kanan dipergunakan untuk menangkis jotosan berantai yang dilancarkan gadis di atas tempat tidur. Cakra Mentari memiliki ketahanan tubuh luar biasa. Kalau orang lain yang terkena tendangan tadi pasti sudah remuk berpatahan tulang dadanya. Pemuda ini hanya merasa sakit sebentar lalu lenyap. Cakra Mentari kerahkan tenaga dalam. Settt! Selarik cahaya merah muncul sepanjang lengan kanannya. Begitu lawan menyerang dan memukul lengan, si gadis langsung terpekik dan terjajar ke diniding.
“Kau bukan Banjaratih….” Cakra Mentari keluarkan ucapan. Mata mendelik tak berkesip memperhatikan gadis berpakaian biru yang masih berdiri di atas tempat tidur. Walau marah suara pemuda ini tetap lembut. Si gadis balas memandang dengan beliakan mata tak kalah besar sambil memegang lengan kanannya yang serasa mau putus akibat bentrokan pukulan tadi.
“Manusia jahanam! Laknat terkutuk! Aku memang bukan Banjaratih yang hendak kau jadikan korban kebejatanmu! Aku adalah Liris Biru! Kau telah memperkosa dan membunuh kakakku! Kau juga memperkosa dan membunuh banyak gadis di kawasan ini! Kau harus mampus saat ini juga!”
“Ah, aku ingat sekarang…” ucap Cakra Mentari.
“Jangan banyak mulut!” bentak Liris Biru.
Dengan gerakan cepat si gadis silangkan dua tangan di depan dada. Sepuluh kuku jarinya mencuat panjang, berubah menjadi hitam. Dari ujung sepuluh kuku jari mengucur cairan hitam berbau busuk serta mengepulkan asap panas. Inilah ilmu kesaktian sangat jahat bernama Limbah Neraka Menghujat Bumi. Lawan yang terkena serangan ini akan terkelupas membusuk sekujur tubuhnya.
“Tunggu! Tahan dulu seranganmu!” ucap Cakra Mentari, tetap dengan suara lembut. “Aku bersumpah tidak membunuh saudaramu. Kau salah menduga. Aku hanya memperlihatkan patung ini padanya. Kau juga boleh melihat jika kau suka…”
Cakra mentari lalu angsurkan Patung Kamasutra ke muka Liris Biru. Suara lembut. Kata-kata meyakinkan yang mengangkat sumpah serta benda di tangan kiri si pemuda membuat Liris Biru sesaat menahan gerakan, melirik ke arah Patung Kamasutra yang dipegang Cakra Mentari. Saat itu dari dalam patung keluar bayangan sosok lelaki dan satu perempuan yang makin lama makin besar dan tambah kentara. Keduanya menggeliat-geliat seperti tengah melakukan tarian aneh. Sambil menari mereka membuka pakaian masing-masing. Astaga! Liris Biru melihat sosok perempuan yang keluar dari patung adalah dirinya sendiri sedang sosok lelaki adalah pemuda berpakaian hitam.
“Liris Biru, tidakkah indah sekali apa yang kau lihat?”
Liris Biru terkesiap. Darahnya menggelora. Bagaimanapun juga rangsangan mulai menguasai dirinya.
“Dengar, kau adalah kekasihku dan aku Cakra Mentari adalah kekasihmu. Liris Biru, tanggalkan pakaianmu. Mari kita mencari kenikmatan…”
Liris Biru palingkan kepala, menatap ke arah Cakra Mentari.
“Cakra…” ucap Liris Biru perlahan.
“Ah, merdunya suaramu menyebut namaku. Tanggalkan pakaianmu. Turunlah dari atas tempat tidur…”
Dua kaki Liris Biru melangkah maju. Dua tangan membuat gerakan membuka kancing-kancing baju biru.
Suasana di dalam rumah serba gelap. Tak ada penerangan yang menyala. Walau gelap namun orang yang masuk mampu bergerak cepat. Mungkin dia sudah tahu seluk beluk rumah besar milik mendiang Tumenggung Ageng Sundoro itu atau bisa saja orang ini memang memilki ilmu kepandaian yang membuat dia mampu melihat dan bergerak di dalam gelap. Di hadapan sebuah pintu kayu orang itu berhenti. Dia memasang telinga sebentar lalu mendorong daun pintu. Daun pintu bergerak membuka. Selarik cahaya temaram lampu minyak kecil memancar dari dalam. Orang di ambang pintu merasa ada kejanggalan. Dia merasa adalah aneh, kalau kamar itu pintunya tidak dikunci dari dalam. Di luar rumah hampr dua lusin orang berjaga-jaga. Mengapa orang yang dijaga malah tidak berlaku hati-hati?
Lewat celah pintu yang terbuka orang itu melihat sesosok tubuh yang terbaring tidur menghadap ke dinding, tertutup selimut. Pintu didorong lebih lebar lalu dengan cepat dia menyelinap masuk ke dalam kamar. Tanpa suara pintu ditutup, dikunci dengan mendorong gerendel.
Orang yang masuk ke dalam kamar ternyata adalah pemuda berwajah cakap, berkumis serta janggut dan berewok tipis rapi, mengenakan pakaian hitam bersulam bunga perak dan emas. Sehelai kain merah terikat di keningnya. Cakra Mentari!
Inilah pemuda yang terjebak dalam kesesatan, penebar malapetaka yang berada dibawah kekuasaan mahluk tanpa wajah dan memiliki ilmu kesaktian bersumber dari kitab bahala bernama Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Dia diperintahkan untuk memperkosa dan membunuh 41 orang gadis dan mencelakai sebanyak mungkin para pendekar rimba persilatan. (baca serial sebelumnya berjudul “Insan Tanpa Wajah”)
Cakra Mentari perhatikan tubuh gadis yang tergolek di atas tempat tidur, menghadap ke dinding membelakanginya. Selimut menutup sampai ke punggung. Rambut hitam panjang terjulai di punggung. Perlahan-lahan pemuda itu duduk di tepi tempat tidur. Beberapa kali dibelainya rambut hitam orang yang tidur. Lalu dari salah satu kantong baju hitamnya dia mengeluarkan sebuah kantong kain berisi patung memancarkan cahaya redup kemerahan. Patung itu berbentuk sepasang leleaki dan perempuan tengah melakukan hubungan badan. Patung Kamasutra! Patung yang selama ini telah menjadi sumber malapetaka mulai dari ujung timur sampai ke pertengahan tanah Jawa.
“Banjaratih, bangunlah….” Ucap Cakra Mentari sambil mengangkat rambut hitam gadis yang tidur lalu mencium kuduk putih yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Gadis di atas tempat tidur menggeliat lalu tidur kembali. Wajahnya masih menghadap ke dinding.
“Banjaratih kekasihku, bangunlah. Aku datang membawa kebahagiaan untukmu.” Cakra Mentari tarik selimut yang menutupi tubuh si gadis. Ketika dia berusaha membalikkan tubuh yang tidur miring menghadap dinding itu, pada saat itulah tiba-tiba tubuh itu bergerak cepat, melesat bangkit. Kaki kanan menderu.
“Bukkk!”
Cakra Mentari berseru kaget dan kesakitan ketika tendangan kaki kanan mendarat di dadanya sebelah kanan. Tubuhnya terpental ke dinding kamar. Papan dinding berpecahan. Patung Kamasutra yang ada di tangan kiri sempat terlepas. Dia cepat melompat menjakau patung. Tangan kanan dipergunakan untuk menangkis jotosan berantai yang dilancarkan gadis di atas tempat tidur. Cakra Mentari memiliki ketahanan tubuh luar biasa. Kalau orang lain yang terkena tendangan tadi pasti sudah remuk berpatahan tulang dadanya. Pemuda ini hanya merasa sakit sebentar lalu lenyap. Cakra Mentari kerahkan tenaga dalam. Settt! Selarik cahaya merah muncul sepanjang lengan kanannya. Begitu lawan menyerang dan memukul lengan, si gadis langsung terpekik dan terjajar ke diniding.
“Kau bukan Banjaratih….” Cakra Mentari keluarkan ucapan. Mata mendelik tak berkesip memperhatikan gadis berpakaian biru yang masih berdiri di atas tempat tidur. Walau marah suara pemuda ini tetap lembut. Si gadis balas memandang dengan beliakan mata tak kalah besar sambil memegang lengan kanannya yang serasa mau putus akibat bentrokan pukulan tadi.
“Manusia jahanam! Laknat terkutuk! Aku memang bukan Banjaratih yang hendak kau jadikan korban kebejatanmu! Aku adalah Liris Biru! Kau telah memperkosa dan membunuh kakakku! Kau juga memperkosa dan membunuh banyak gadis di kawasan ini! Kau harus mampus saat ini juga!”
“Ah, aku ingat sekarang…” ucap Cakra Mentari.
“Jangan banyak mulut!” bentak Liris Biru.
Dengan gerakan cepat si gadis silangkan dua tangan di depan dada. Sepuluh kuku jarinya mencuat panjang, berubah menjadi hitam. Dari ujung sepuluh kuku jari mengucur cairan hitam berbau busuk serta mengepulkan asap panas. Inilah ilmu kesaktian sangat jahat bernama Limbah Neraka Menghujat Bumi. Lawan yang terkena serangan ini akan terkelupas membusuk sekujur tubuhnya.
“Tunggu! Tahan dulu seranganmu!” ucap Cakra Mentari, tetap dengan suara lembut. “Aku bersumpah tidak membunuh saudaramu. Kau salah menduga. Aku hanya memperlihatkan patung ini padanya. Kau juga boleh melihat jika kau suka…”
Cakra mentari lalu angsurkan Patung Kamasutra ke muka Liris Biru. Suara lembut. Kata-kata meyakinkan yang mengangkat sumpah serta benda di tangan kiri si pemuda membuat Liris Biru sesaat menahan gerakan, melirik ke arah Patung Kamasutra yang dipegang Cakra Mentari. Saat itu dari dalam patung keluar bayangan sosok lelaki dan satu perempuan yang makin lama makin besar dan tambah kentara. Keduanya menggeliat-geliat seperti tengah melakukan tarian aneh. Sambil menari mereka membuka pakaian masing-masing. Astaga! Liris Biru melihat sosok perempuan yang keluar dari patung adalah dirinya sendiri sedang sosok lelaki adalah pemuda berpakaian hitam.
“Liris Biru, tidakkah indah sekali apa yang kau lihat?”
Liris Biru terkesiap. Darahnya menggelora. Bagaimanapun juga rangsangan mulai menguasai dirinya.
“Dengar, kau adalah kekasihku dan aku Cakra Mentari adalah kekasihmu. Liris Biru, tanggalkan pakaianmu. Mari kita mencari kenikmatan…”
Liris Biru palingkan kepala, menatap ke arah Cakra Mentari.
“Cakra…” ucap Liris Biru perlahan.
“Ah, merdunya suaramu menyebut namaku. Tanggalkan pakaianmu. Turunlah dari atas tempat tidur…”
Dua kaki Liris Biru melangkah maju. Dua tangan membuat gerakan membuka kancing-kancing baju biru.
***
9
SAAT ITU tiba-tiba wajah kakaknya terbayang muncul di depan mata Liris Biru. Bibir membiru, sekuntum bunga tanjung di kening. Tubuh tanpa pakaian. Tibatiba didahului teriakan dahsyat murid mendiang Hantu Malam Brgigi Perak ini melompat ke arah Cakra Mentari. Dua tangan melesat. Satu menjotos, satu merobek. Cairan hitam dan kepulan asap berbau busuk keluar menderu dari ujung sepuluh jari kuku.
“Gadis cantik mengapa berlaku tolol?”
Sambil bergerak mundur Cakra mentari cepat rundukkan kepala. Jotosan Liris Biru lewat setengah jengkal di kepala kanannya sementara gerakan mencakar hanya merobek angin. Gagal dengan serangan pertama, Liris Biru lancarkan serangan kedua. Kali ini dia kerahkan seluruh tenaga dalam serta hawa sakti yang dimilikinya. Sementara di luar rumah terdengar suara orang berdatangan. Ada yang berteriak.
“Ada keributan di dalam rumah!”
Kurung rumah rapat-rapat! Beberapa orang lekas ikut aku masuk ke dalam!” Itu suara teriakan guru silat Ki Walang Bakar.
“Gadis cantik, jangan terlalu nekad. Kalau kau tidak mau menanggalkan pakaian tak jadi apa. Tapi lekas ikut aku. Kau bisa meneruskan bersenang-senang di tempat lain.”
“Dajal terkutuk! Kau bersenang-senanglah di neraka!” Teriak liris Biru. Lalu gadis ini teruskan serangannya dengan segala kedahsyatan. Air busuk bermuncratan mengotori pakaian si pemuda.
Cakra Mentari hilang kesabaran. Bagaimanapun juga serangan si gadis tidak bisa dianggap enteng. Selain itu di luar sana terdengar banyak orang lari mendatangi rumah. Sambil turunkan tangan kiri yang memegang Patung Kamasutra pemuda ini dorongkan tangan kanan.
“Wusss!!!”
Tiga larik sinar merah, hijau dan biru menyambar berbarengan.
Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib!
Liris Biru menjerit keras. Walau dia berusaha menghindar selamatkan diri tubuhnya sebalah kiri masih sempat tersambar hingga mengepulkan asap, mencelat mental menjebol dinding kamar dan akhirnya terlempar ke halaman samping. Tidak menunggu lebih lama Cakra Mentari segera melesat keluar rumah lewat dinding yang jebol. Sementara sebagian dinding rumah yang terbuat dari kayu tampak terbakar. Api merembet ke atap.
“Api! Ada api membakar rumah!” Seseorang berteriak.
“Cari air! Lekas padamkan!” seorang lain balas berteriak.
“Dajal terkutuk! Kau mau lari kemana!” teriak Liris Biru. Dalam keadaan sebelah tubuh nyaris leleh dan termiring-miring gadis ini berusaha mengejar sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong namun dia keburu roboh. Orang yang dikejar lenyap dalam kegelapan malam. Saat itu pula belasan orang telah berdiri mengelilinginya.
Ki Walang Bakar membungkuk di samping Liris Biru. Walau wajah dan tubuh sebelah kanan utuh namun guru silat ini tidak mampu menahan rasa ngerinya melihat keadaan tubuh sebelah kiri si gadis yang nyaris leleh. Dia bahkan dapat melihat tulang bahu, lengan dan sebagian tulang iganya!
“Kau siapa? Apa yang terjadi?” Bertanya Ki Walang Bakar. Dia letakkan tangan kanan di atas kening Liris Biru sambil mengerahkan hawa sakti untuk memberi kekuatan.
Seorang prajurit yang masuk memeriksa ke dalam rumah keluar lagi sambil berteriak. “Den Ayu Banjaratih dan ibunya tidak ada di dalam rumah!”
Semua orang menjadi kaget. Ki Walang Bakar segera memerintahkan beberapa orang memeriksa lagi seluruh rumah besar lalu kembali bertanya pada Liris Biru.
“Apakah kau bisa bicara?”
Liris Biru tak menjawab. Matanya nyalang tak berkesip.
“Lukanya sangat parah, biar aku menolongnya dulu!” Terdengar seseorang berucap lalu seorang kakek berkepala setengah botak, bercelana basah oleh air kencing menggendong Liris Biru, membawa dan membaringkan gadis itu di serambi depan rumah besar. Semua orang mengikuti termasuk Ki Walang bakar. Seorang prajurit bertanya dengan suara keras.
“Siapa kakek bau pesing itu?! Dia bisa berbuat apa?!”
Ki Walang Bakar berpikir keras, berusaha mengingat-ingat.
Ki Bening Surah, pemilik rumah makan yang barusan sampai ke tempat itu menjawab. “Dia bukan kakek sembarangan. Namanya Setan Ngompol. Salah seorang tokoh rimba persilatan…”
Setan Ngompol bersimpuh sambil menahan kencing di samping Liris Biru. Dia pegang lengan kanan gadis ini sembari mengalirkan tenaga dalam sementara tangan kanan ditekapkan ke ubun-ubun. Si kakek tidak kuasa menahan air mata. Dengan suara tersendat dia berkata.
“Aku sudah mengingatkan. Jangan pergi sendirian….”
“Kek.… Aku tidak menyesalkan kematian ini….” Jawab Liris Biru. Suaranya cukup keras dan lancar sehingga orang banyak bisa mendengar. Namun wajahnya yang cantik mulai pucat. “Yang aku sesalkan … aku tidak dapat membalas sakit hati kematian kakak. Aku tidak berhasil membunuh manusia terkutuk tukang perkosa dan pembunuh itu…”
“Aku menyesal datang terlambat. Kau… kau menemui pemuda bernama Cakra itu? Dia yang melakukan ini padamu?”
Liris Biru kedipkan mata.
“Dia yang melakukan Kek. Aku berhasil menjebaknya. Diam-diam, tidak ada yang tahu kalau aku mengungsikan Banjaratih dan ibunya ke kamar pelayan. Lalu aku sengaja tidur di kamar Banjaratih. Aku menunggu. Aku tahu manusia dajal itu pasti datang. Karena sebelumnya dia sudah membunuh beberapa gadis di Kuto gede ini. Dia benar-benar muncul. Namun aku tidak berdaya menghadapinya. Dia memiliki pukulan sakti memancarkan tiga cahaya. Kau harus berhati-hati jika suatu ketika berhadapan dengan dia. Beri tahu kawan-kawan.”
Semua orang yang ada di tempat itu sama-sama terkejut mendengar apa yang diucapkan Liris Biru. Terutama Ki Walang Bakar si guru silat dan Ki Bening Surah pemilik rumah makan. Mereka tidak menyangka kalau seorang gadis rimba persilatan telah menyusup ke dalam rumah almarhum Tumenggung Ageng Sundoro. Lebih dari itu kini semua orang tahu kalau pelaku pemerkosa dan pembunuhan para gadis di Kuto Gede bukanlah Pendekar 212 Wiro Sableng yang selama ini mereka tuduhkan. Bersama dua orang prajurit Ki Walang Bakar memeriksa ke kamar pelayan di bagian belakang rumah besar. Mereka memang menemukan Banjaratih bersama ibu dan seorang pelayan perempuan di dalam kamar itu. Ketiga perempuan ini tampak pucat pasi dilanda ketakutan.
Liris Biru kembali keluarkan ucapan. Kali ini suaranya mulai terdengar pelan.
“Kek, beri tahu sahabat Wiro kalau kau menyaksikan dan mengantar kematianku…”
“Serrr!” Kencing Setan Ngompol langsung muncrat.
“Liris, kau tidak akan mati. Lukamu memang hebat. Tapi kau akan sembuh. Aku akan membawamu ke tempat Ki Tambakpati. Atau mencari Purnama….” Kata Setan Ngompol pula.
Liris Biru tersenyum. Dia memberi isyarat dengan gerakan tangan kanan agar Setan Ngompol mendekat.
“Kek, ada sesuatu yang harus aku katakan padamu. Dekatkan telingamu ke mulutku. Aku tak ingin orang lain mendengar…”
Si kakek ulurkan kepala. Kuping kiri didekatkan ke mulut Liris Biru.
“Kek…. Di Dalam gua Cadas Biru, guruku menyembunyikan lima puluh kati candu. Milik pedagang Cina yang pernah dijarah oleh orang-orang Keraton Kaliningrat. Harap kau mau mengamankan dan menyimpan rahasia ini baik-baik. Kau boleh ambil candu itu asal untuk kebaikan. Atau kalau kau tak bisa menangani kau musnahkan saja agar tidak jadi perkara….”
“Aku akan lakukan apa yang kau katakan,” jawab Setan Ngompol.
“Kek, jika kau bertemu Pendekar Dua Satu Dua, sampaikan salamku. Katakan padanya bahwa dia adalah pemuda pertama yang aku cintai dalam hidupku…”
“Kau gadis baik. Wiro pasti juga mencintaimu…” Setan Ngompol coba menghibur. “Apa yang jadi pesanmu akan aku sampaikan padanya.”
“Kek…Aku ada satu permintaan…” Suara Liris Biru makin perlahan.
“Katakan, ucapkan…”
“Aku ingin dikubur di Cadas biru. Dekat makam guru dan kakakku…”
“Jangan berkata begitu. Tuhan akan memberimu umur panjang.”
Liris Biru tersenyum. Bersamaan dengan merebaknya senyum itu sepasang matanya yang bagus menutup dan nyawapun lepas meninggalkan tubuh. Setan Ngompol pegangi wajah Liris Biru dengan dua tangan, menangis terisak-isak. Dia memang syang pada gadis itu. Sayang seperti seorang kakek pada cucunya. Dia merasa menyesal tidak mampu menyelamatkan Liris Biru. Setan Ngompol gendong Liris Biru dengan kedua tangannya.
“Kek, kau mau membawa gadis itu kemana? Perbolehkan kami membantu.” Berkata guru silat Ki Walang Bakar.
“Terima kasih. Kalian sudah mendengar apa yang tadi dikatakannya. Dia ingin dikubur dekat makam guru dan saudaranya. Aku akan membawanya ke sana. Para sahabat semua kalian harus berhati-hati. Tetap waspada. Manusia jahat tukang pemerkosa dan pembunuh itu bernama Cakra. Dia mengenakan pakaian serba hitam dihias sulaman bunga tanjung. Keningnya diikat kain merah. Dia memelihara kumis, janggut dan berewok tipis. Dia masih berkeliaran di luar sana. Dia pasti akan kembali ke sini. Aku tidak bisa membantu kalian. Aku tidak memandang rendah kekuatan kalian. Tapi akan lebih aman jika kalian minta bantuan para tokoh silat istana di Kotaraja.
Pemuda dajal bernama Cakra itu memiliki kesaktian tinggi. Karenanya dalam menghadpi manusia itu selain mempergunakan ilmu kepandaian, kalian juga harus mempergunakan akal seperti yang dilakukan gadis ini.”
“Terima kasih Kek, kau telah mau memberi nasihat sangat berharga. Kami bisa menyediakan kereta dan kusir serta pengawalan untuk membawamu dan jenasah gadis itu ke Cadas Biru…” kata Kepala Desa Ki Bayu Sleman yang baru saja datang bersama rombongannya.
Setan Ngompol menatap Kepala Desa itu lalu bertanya. “Apakah kau dan orang-orangmu telah melihat kebakaran di Baturejo?”
“Yang terbakar ternyata hanya gudang padi kosong.” Menjelaskan Ki Bayu Sleman.
“Aku yakin itu pekerjaannya Cakra. Selagi perhatian semua orang tertuju pada kebakaran, dia menyusup masuk ke dalam rumah.” Setan Ngompol lantas lanjutkan kata-katnya. “Cadas Biru tidak terlalu jauh dari sini. Selain itu aku lebih suka menggendong cucuku ini. Aku ingin tetap berada di dekatnya sebelum tanah makam memisahkan kami untuk selama-lamanya…”
“Kalau begitu kami akan mengirimkan orang ke Cadas Biru untuk bantu menggali makamnya. Permintaan yang satu ini jangan kau tolak Kek,” kata Ki Walang Bakar.
“Aku sangat berterima kasih menerima bantuan itu. Aku berangkat duluan…”
Jawab Setan Ngompol. Lalu kakek ini menuruni tangga rumah besar, berkelebat di halaman dan lenyap dari pemandangan.
Sesaat setelah Setan Ngompol pergi bersama jenasah Liris Biru dalam gendongannya, Ki Walang Bakar segera memerintahkan orang menyiapkan beberapa ekor kuda. Delapan orang malam itu juga berangkat menuju Cadas Biru dipimpin oleh si guru silat. Tak lupa membawa peralatan penggali kubur. Sementara Ki Bayu Sleman pergi ke Kotaraja untuk menemui Kepala Pasukan Kerajaan guna meminta bantuan pengamanan. Ki Bening Surah dipercaya untuk mengatur persembunyian baru bagi Banjaratih dan ibunya.
“Gadis cantik mengapa berlaku tolol?”
Sambil bergerak mundur Cakra mentari cepat rundukkan kepala. Jotosan Liris Biru lewat setengah jengkal di kepala kanannya sementara gerakan mencakar hanya merobek angin. Gagal dengan serangan pertama, Liris Biru lancarkan serangan kedua. Kali ini dia kerahkan seluruh tenaga dalam serta hawa sakti yang dimilikinya. Sementara di luar rumah terdengar suara orang berdatangan. Ada yang berteriak.
“Ada keributan di dalam rumah!”
Kurung rumah rapat-rapat! Beberapa orang lekas ikut aku masuk ke dalam!” Itu suara teriakan guru silat Ki Walang Bakar.
“Gadis cantik, jangan terlalu nekad. Kalau kau tidak mau menanggalkan pakaian tak jadi apa. Tapi lekas ikut aku. Kau bisa meneruskan bersenang-senang di tempat lain.”
“Dajal terkutuk! Kau bersenang-senanglah di neraka!” Teriak liris Biru. Lalu gadis ini teruskan serangannya dengan segala kedahsyatan. Air busuk bermuncratan mengotori pakaian si pemuda.
Cakra Mentari hilang kesabaran. Bagaimanapun juga serangan si gadis tidak bisa dianggap enteng. Selain itu di luar sana terdengar banyak orang lari mendatangi rumah. Sambil turunkan tangan kiri yang memegang Patung Kamasutra pemuda ini dorongkan tangan kanan.
“Wusss!!!”
Tiga larik sinar merah, hijau dan biru menyambar berbarengan.
Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib!
Liris Biru menjerit keras. Walau dia berusaha menghindar selamatkan diri tubuhnya sebalah kiri masih sempat tersambar hingga mengepulkan asap, mencelat mental menjebol dinding kamar dan akhirnya terlempar ke halaman samping. Tidak menunggu lebih lama Cakra Mentari segera melesat keluar rumah lewat dinding yang jebol. Sementara sebagian dinding rumah yang terbuat dari kayu tampak terbakar. Api merembet ke atap.
“Api! Ada api membakar rumah!” Seseorang berteriak.
“Cari air! Lekas padamkan!” seorang lain balas berteriak.
“Dajal terkutuk! Kau mau lari kemana!” teriak Liris Biru. Dalam keadaan sebelah tubuh nyaris leleh dan termiring-miring gadis ini berusaha mengejar sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong namun dia keburu roboh. Orang yang dikejar lenyap dalam kegelapan malam. Saat itu pula belasan orang telah berdiri mengelilinginya.
Ki Walang Bakar membungkuk di samping Liris Biru. Walau wajah dan tubuh sebelah kanan utuh namun guru silat ini tidak mampu menahan rasa ngerinya melihat keadaan tubuh sebelah kiri si gadis yang nyaris leleh. Dia bahkan dapat melihat tulang bahu, lengan dan sebagian tulang iganya!
“Kau siapa? Apa yang terjadi?” Bertanya Ki Walang Bakar. Dia letakkan tangan kanan di atas kening Liris Biru sambil mengerahkan hawa sakti untuk memberi kekuatan.
Seorang prajurit yang masuk memeriksa ke dalam rumah keluar lagi sambil berteriak. “Den Ayu Banjaratih dan ibunya tidak ada di dalam rumah!”
Semua orang menjadi kaget. Ki Walang Bakar segera memerintahkan beberapa orang memeriksa lagi seluruh rumah besar lalu kembali bertanya pada Liris Biru.
“Apakah kau bisa bicara?”
Liris Biru tak menjawab. Matanya nyalang tak berkesip.
“Lukanya sangat parah, biar aku menolongnya dulu!” Terdengar seseorang berucap lalu seorang kakek berkepala setengah botak, bercelana basah oleh air kencing menggendong Liris Biru, membawa dan membaringkan gadis itu di serambi depan rumah besar. Semua orang mengikuti termasuk Ki Walang bakar. Seorang prajurit bertanya dengan suara keras.
“Siapa kakek bau pesing itu?! Dia bisa berbuat apa?!”
Ki Walang Bakar berpikir keras, berusaha mengingat-ingat.
Ki Bening Surah, pemilik rumah makan yang barusan sampai ke tempat itu menjawab. “Dia bukan kakek sembarangan. Namanya Setan Ngompol. Salah seorang tokoh rimba persilatan…”
Setan Ngompol bersimpuh sambil menahan kencing di samping Liris Biru. Dia pegang lengan kanan gadis ini sembari mengalirkan tenaga dalam sementara tangan kanan ditekapkan ke ubun-ubun. Si kakek tidak kuasa menahan air mata. Dengan suara tersendat dia berkata.
“Aku sudah mengingatkan. Jangan pergi sendirian….”
“Kek.… Aku tidak menyesalkan kematian ini….” Jawab Liris Biru. Suaranya cukup keras dan lancar sehingga orang banyak bisa mendengar. Namun wajahnya yang cantik mulai pucat. “Yang aku sesalkan … aku tidak dapat membalas sakit hati kematian kakak. Aku tidak berhasil membunuh manusia terkutuk tukang perkosa dan pembunuh itu…”
“Aku menyesal datang terlambat. Kau… kau menemui pemuda bernama Cakra itu? Dia yang melakukan ini padamu?”
Liris Biru kedipkan mata.
“Dia yang melakukan Kek. Aku berhasil menjebaknya. Diam-diam, tidak ada yang tahu kalau aku mengungsikan Banjaratih dan ibunya ke kamar pelayan. Lalu aku sengaja tidur di kamar Banjaratih. Aku menunggu. Aku tahu manusia dajal itu pasti datang. Karena sebelumnya dia sudah membunuh beberapa gadis di Kuto gede ini. Dia benar-benar muncul. Namun aku tidak berdaya menghadapinya. Dia memiliki pukulan sakti memancarkan tiga cahaya. Kau harus berhati-hati jika suatu ketika berhadapan dengan dia. Beri tahu kawan-kawan.”
Semua orang yang ada di tempat itu sama-sama terkejut mendengar apa yang diucapkan Liris Biru. Terutama Ki Walang Bakar si guru silat dan Ki Bening Surah pemilik rumah makan. Mereka tidak menyangka kalau seorang gadis rimba persilatan telah menyusup ke dalam rumah almarhum Tumenggung Ageng Sundoro. Lebih dari itu kini semua orang tahu kalau pelaku pemerkosa dan pembunuhan para gadis di Kuto Gede bukanlah Pendekar 212 Wiro Sableng yang selama ini mereka tuduhkan. Bersama dua orang prajurit Ki Walang Bakar memeriksa ke kamar pelayan di bagian belakang rumah besar. Mereka memang menemukan Banjaratih bersama ibu dan seorang pelayan perempuan di dalam kamar itu. Ketiga perempuan ini tampak pucat pasi dilanda ketakutan.
Liris Biru kembali keluarkan ucapan. Kali ini suaranya mulai terdengar pelan.
“Kek, beri tahu sahabat Wiro kalau kau menyaksikan dan mengantar kematianku…”
“Serrr!” Kencing Setan Ngompol langsung muncrat.
“Liris, kau tidak akan mati. Lukamu memang hebat. Tapi kau akan sembuh. Aku akan membawamu ke tempat Ki Tambakpati. Atau mencari Purnama….” Kata Setan Ngompol pula.
Liris Biru tersenyum. Dia memberi isyarat dengan gerakan tangan kanan agar Setan Ngompol mendekat.
“Kek, ada sesuatu yang harus aku katakan padamu. Dekatkan telingamu ke mulutku. Aku tak ingin orang lain mendengar…”
Si kakek ulurkan kepala. Kuping kiri didekatkan ke mulut Liris Biru.
“Kek…. Di Dalam gua Cadas Biru, guruku menyembunyikan lima puluh kati candu. Milik pedagang Cina yang pernah dijarah oleh orang-orang Keraton Kaliningrat. Harap kau mau mengamankan dan menyimpan rahasia ini baik-baik. Kau boleh ambil candu itu asal untuk kebaikan. Atau kalau kau tak bisa menangani kau musnahkan saja agar tidak jadi perkara….”
“Aku akan lakukan apa yang kau katakan,” jawab Setan Ngompol.
“Kek, jika kau bertemu Pendekar Dua Satu Dua, sampaikan salamku. Katakan padanya bahwa dia adalah pemuda pertama yang aku cintai dalam hidupku…”
“Kau gadis baik. Wiro pasti juga mencintaimu…” Setan Ngompol coba menghibur. “Apa yang jadi pesanmu akan aku sampaikan padanya.”
“Kek…Aku ada satu permintaan…” Suara Liris Biru makin perlahan.
“Katakan, ucapkan…”
“Aku ingin dikubur di Cadas biru. Dekat makam guru dan kakakku…”
“Jangan berkata begitu. Tuhan akan memberimu umur panjang.”
Liris Biru tersenyum. Bersamaan dengan merebaknya senyum itu sepasang matanya yang bagus menutup dan nyawapun lepas meninggalkan tubuh. Setan Ngompol pegangi wajah Liris Biru dengan dua tangan, menangis terisak-isak. Dia memang syang pada gadis itu. Sayang seperti seorang kakek pada cucunya. Dia merasa menyesal tidak mampu menyelamatkan Liris Biru. Setan Ngompol gendong Liris Biru dengan kedua tangannya.
“Kek, kau mau membawa gadis itu kemana? Perbolehkan kami membantu.” Berkata guru silat Ki Walang Bakar.
“Terima kasih. Kalian sudah mendengar apa yang tadi dikatakannya. Dia ingin dikubur dekat makam guru dan saudaranya. Aku akan membawanya ke sana. Para sahabat semua kalian harus berhati-hati. Tetap waspada. Manusia jahat tukang pemerkosa dan pembunuh itu bernama Cakra. Dia mengenakan pakaian serba hitam dihias sulaman bunga tanjung. Keningnya diikat kain merah. Dia memelihara kumis, janggut dan berewok tipis. Dia masih berkeliaran di luar sana. Dia pasti akan kembali ke sini. Aku tidak bisa membantu kalian. Aku tidak memandang rendah kekuatan kalian. Tapi akan lebih aman jika kalian minta bantuan para tokoh silat istana di Kotaraja.
Pemuda dajal bernama Cakra itu memiliki kesaktian tinggi. Karenanya dalam menghadpi manusia itu selain mempergunakan ilmu kepandaian, kalian juga harus mempergunakan akal seperti yang dilakukan gadis ini.”
“Terima kasih Kek, kau telah mau memberi nasihat sangat berharga. Kami bisa menyediakan kereta dan kusir serta pengawalan untuk membawamu dan jenasah gadis itu ke Cadas Biru…” kata Kepala Desa Ki Bayu Sleman yang baru saja datang bersama rombongannya.
Setan Ngompol menatap Kepala Desa itu lalu bertanya. “Apakah kau dan orang-orangmu telah melihat kebakaran di Baturejo?”
“Yang terbakar ternyata hanya gudang padi kosong.” Menjelaskan Ki Bayu Sleman.
“Aku yakin itu pekerjaannya Cakra. Selagi perhatian semua orang tertuju pada kebakaran, dia menyusup masuk ke dalam rumah.” Setan Ngompol lantas lanjutkan kata-katnya. “Cadas Biru tidak terlalu jauh dari sini. Selain itu aku lebih suka menggendong cucuku ini. Aku ingin tetap berada di dekatnya sebelum tanah makam memisahkan kami untuk selama-lamanya…”
“Kalau begitu kami akan mengirimkan orang ke Cadas Biru untuk bantu menggali makamnya. Permintaan yang satu ini jangan kau tolak Kek,” kata Ki Walang Bakar.
“Aku sangat berterima kasih menerima bantuan itu. Aku berangkat duluan…”
Jawab Setan Ngompol. Lalu kakek ini menuruni tangga rumah besar, berkelebat di halaman dan lenyap dari pemandangan.
Sesaat setelah Setan Ngompol pergi bersama jenasah Liris Biru dalam gendongannya, Ki Walang Bakar segera memerintahkan orang menyiapkan beberapa ekor kuda. Delapan orang malam itu juga berangkat menuju Cadas Biru dipimpin oleh si guru silat. Tak lupa membawa peralatan penggali kubur. Sementara Ki Bayu Sleman pergi ke Kotaraja untuk menemui Kepala Pasukan Kerajaan guna meminta bantuan pengamanan. Ki Bening Surah dipercaya untuk mengatur persembunyian baru bagi Banjaratih dan ibunya.
***
10
CAKRA MENTARI merasa tubuhnya panas. Beberapa kali dia hentikan lari untuk menyelidik apakah dirinya telah keracunan oleh cairan busuk dari kuku Liris Biru yang menempel di pakaian hitamnya.“Tidak ada apa-apa dengan diriku. Tapi mengapa aku merasa panas? Mungkin terlalu jengkel karena tidak berhasil mendapatkan puteri Tumenggung itu gara-gara gadis bernama Liris Biru? Aku tidak boleh berlaku bodoh! Aku pasti mendapatkan Banjaratih. Sialan cairan itu busuk sekali! Dan menempel di pakaianku! Aku harus mencuci pakaian ini.”
Pemuda itu terus lari ke arah timur. Dia tahu di satu tempat ada sebuah telaga kecil. Begitu sampai di telaga langsung saja dia menceburkan diri. Setelah membersihkan tubuh dan pakaiannya dia naik ke darat. Duduk di sebuah batu, berangin-angin di kegelapan malam memandang ke arah telaga tanpa merasa dingin.
“Aneh, aku tidak bisa melupakan gadis bernama Banjaratih itu. Padahal kecantikannya tidak terlalu melebihi Sutri dan Nawangsih. Tapi harus aku akui Banjaratih memiliki tubuh mulus, betisnya putih….”
Seolah ada orang yang mendengar ucapan hati Cakra Mentari tiba-tiba terdengar suara perempuan.
“Apakah begitu sulit melupakan gadis bernama Banjaratih itu?”
Cakra Mentari terkejut dan serta merta berdiri. Suara itu terdengar dekat sekali tapi memandang berkeliling dia tidak melihat siapa-siapa. Dia memeriksa di balik satu pohon besar, menyibak semak belukar. Tidak ada orang.
“Mungkin benar aku terlalu memikirkan gadis itu. Hingga suara hatiku sendiri terdengar seperti suara orang….” Pikir Cakra Mentari.
“Apa diriku cukup pantas menjadi pengganti dirinya?” Kembali suara perempuan tadi terdengar lagi. Cakra Mentari memperhatikan lagi berkeliling, memeriksa di sekitarnya. Pemuda ini kembali ke tempatnya semula di tepi telaga lalu tertawa gelak-gelak.
“Tawamu menunjukkan kejantanan yang menggairahkan. Tetapi apakah ada sesuatu yang lucu di malam ini? Atau mungkin diri ini memang tidak bisa menyamai Banjaratih hingga kau mentertawaiku?”
“Perempuan yang bicara. Siapa Kau? Mengapa tidak berani unjukkan diri? Aku tahu kau jelas bukan hantu telaga atau demit hutan belantara…”
“Ah, suaramu selembut pelukan angin malam. Sehangat cahaya sang surya tatkala menyembul di pagi hari. Gadis mana yang tidak akan bahagia jatuh ke dalam pangkuanmu?”
Cakra Mentari berpaling ke kiri karena suara itu datangnya dari kiri. Namun dia tidak melihat orang yang bicara.
“Dari ceria suaramu, aku tahu kau adalah seorang gadis cantik. Dari desah nafasmu aku tahu kecantikanmu melebihi Banjaratih gadis di Kuto gede itu. Kau memiliki kegairahan alami yang tidak dimiliki gadis lain.”
“Kau ternyata pandai memuji, membuat sejuk perasaan hati seorang dara. Membuat darah bergelora. Kalau ternyata aku cuma seorang gadis buruk, apakah kau akan mengejek dan menghina diriku?”
“Aku seorang yang sangat menghormati kaum perempuan…”
“Karena itu kau memperkosa lalu membunuh mereka?”
Cakra Mentari terkesiap mendengar kata-kata itu. Hatinya merasa tidak enak. Perempuan yang bicara agaknya tahu banyak tentang dirinya.
“Kau diam saja. Apakah tiba-tiba menjadi marah padaku? Mungkin kau tidak senang pada seorang gadis yang terlalu banyak bicara?”
“Aku bukan lelaki pemarah. Apa lagi aku tidak mengenal dirimu. Kalau saja kau mau memperlihatkan diri aku akan merasa sangat bahagia.” Sambil berkata Cakra Mentari memperhatikan ke atas pohon besar di samping kanannya.
“Hai, aku tidak bersembunyi di atas pohon. Sejak tadi aku berada di dekatmu. Kau saja yang tidak melihat karena hatimu terlalu risau.”
Cakra Mentari terkejut. Berpaling ke kiri dia melihat seorang gadis duduk di atas batu dimana dia tadi duduk! Gadis ini mengenakan kebaya dan celana kuning ketat. Rambut putih tergerai. Wajah luar biasa cantik. Sepasang mata si pemuda seolah tertancap ke arah dada yang tersingkap lebar putih kencang dan menantang karena potongan pakaian yang terlalu rendah. Dewi Pemikat!
“Apakah kau mengenali diriku?” bertanya si gadis.
“Tunggu…Aku ingat. Bukankah kau gadis yang beberapa malam lalu berada di rumah kediaman Pangeran Aryo Dipasena?”
“Kau mengikutiku sekitar dua hari. Kau berhasil mendekatiku di rumah Pangeran itu. Namun agaknya ada perseteruan antara kau dengan Pangeran. Kalau tidak mengapa Pangeran itu tiba-tiba melepaskan satu pukulan sakti ke arahmu?”
“Aku tidak mengerti. Aku tidak punya perseteruan apa-apa dengan Pangeran itu. Aku muncul di tempat kediamannya karena mengikutimu….”
“Begitu? Berarti Pangeran Aryo Dipasena cemburu padamu….”
“Pangeran itu lebih beruntung dariku. Bukankah dia berkesempatan melihat tubuhmu dalam keadaan tanpa pakaian di tepi kolam?”
“Ah, sekarang kau yang cemburu,” kata Dewi Pemikat. “Jadi kau juga ingin melihat aku tanpa berpakaian. Satu saat aku akan melakukannya terhadapmu. Terserah kapan kau maunya.”
“Mengapa tidak sekarang?” jawab Cakra Mentari pula.
“Aku mengerti. Kau baru saja mandi dan masih kedinginan. Kau membutuhkan kehangatan. Selain itu tadi maksudmu tidak kesampaian terhadap Banjaratih. Bukankah kau ingin mencari pelepasan yang membahagiakan…?”
Cakra Mentari terdiam. Dia tidak pernah bertemu gadis yang bicara seberani yang satu ini. Sejak beberapa lama ini dia memang mengikuti dan mengejaar gadis ini. Dan baru sekarang bisa berdekatan begitu rupa dengannya. Ternyata si gadis banyak tahu tentang gerak-geriknya. Dia mulai berpikir untuk berlaku hati-hati.
“Sahabat cantik, boleh aku tahu namamu?” Cakra bertanya.
“Kalau aku tidak bernama apakah kau mau memberikan sebuah nama?”
“Aku tidak percaya kalau gadis secantikmu tidak punya nama. Namamu pasti bagus….”
Gadis yang duduk di atas batu tersenyum lebar. “Namaku Dewi….” katanya.
“Nah, apa kataku. Dugaanku tak meleset. Namamu memang bagus.” Cakra Mentari melangkah mendekati si gadis, lalu duduk di sebuah batu rendah di sampingnya.
“Kau sendiri, siapa namamu?” tanya Dewi Pemikat pula.
“Cakra. Namaku Cakra Mentari….” Lalu sebelum si gadis sempat mengatakan sesuatu pemuda ini menyambung ucapannya. “Aku akan memperlihatkan sesuatu padamu. Ini sebuah benda langka. Tidak banyak orang beruntung melihatnya. Bagiku kau seorang sangat istimewa. Karena itu aku akan memperlihatkannya padamu….”
Cakra menggerakkan tangan kanan ke celana hitam. Maksudnya hendak mengeluarkan kantong kain berisi Patung Kamasutra yang ada di saku kanan celana.
“Hai, kau hendak memperlihatkan apamu?” tanya si gadis.
“Aku tidak bermaksud kurang ajar….”
“Kurang ajar mungkin tidak. Tapi nakal. Kau hendak meloloskan ikatan celanamu. Kau hendak memperlihatkan auratmu?”
Walau tertawa wajah Cakra Mentari menjadi merah.
“Sudahlah, kau tak usah menunjukkan apa-apa padaku. Bagaimana kalau aku yang menunjukkan sesuatu padamu?” Ucap Dewi Pemikat.
“Maksudmu?” tanya Cakra Mentari.
“Maksudku begini. Kau tetap duduk di atas batu ini. Aku pergi ke balik pohon sana…”
“Apa yang akan kau lakukan dibalik pohon itu?” tanya Cakra Mentari.
“Kau tunggu saja. Kau akan melihat sesuatu yang langka…” Sambil tersenyum Dewi Pemikat bangkit berdiri. Lalu melangkah berjingkat-jingkat ke balik pohon besar.
Tidak lama menunggu tiba-tiba dari balik pohon melayang sebuah benda dan jatuh tepat di hadapan Cakra Mentari. Ketika pemuda ini memperhatikan benda itu ternyata adalah kebaya kuning milik si gadis. Dada Cakra Mentari berdebar. Aliran darahnya menjadi cepat dan panas.
“Hai! Kau boleh mengambil dan menciumi bajuku itu!” Terdengar suara si gadis dari balik pohon disusul tawa menggairahkan. Cakra Mentari mengambil kebaya kuning itu dan seolah terkena rayuan dia benar-benar menciumi baju itu. Tak selang berapa lama dari balik pohon besar kembali melayang sebuah benda kuning dan jatuh tepat di depan kaki Cakra Mentari. Kali ini yang dilihat si pemuda adalah celana panjang kuning yang tadi dikenakan si gadis cantik. Tanpa disuruh Cakra Mentari cepat-cepat mengambil celana itu lalu menciumi sepuas hati. Sekujur tubuhnya terasa kejang dan panas. Dia berdiri dari duduknya.
“Hai! Tunggu! Jangan kesini dulu! Semuanya belum aku buka dan lemparkan padamu…” Suara Dewi Pemikat terdengar dari balik pohon.
Begitu ucapan berakhir sebuah benda putih melayang dan jatuh di atas batu di samping Cakra Mentari. Sepasang mata pemuda ini mendelik besar karena benda putih itu adalah sehelai kain penutup dada perempuan. Dari bentuk kain penutup itu jelas bahwa pemakainya memiliki sepasang payudara yang besar. Cakra Mentari menelan ludah berulang-ulang. Dia memandang ke arah pohon. Saat itu sebuah benda lagi melayang. Berwrna merah. Juga jatuh di dekat kakinya. Ketika diperhatikan bergemuruhlah sekujur tubuh Cakra Mentari. Benda merah itu adalah pakaian dalam sebelah bawah si gadis! Cakra Mentari mengambil kain penutup dada dan celana merah lalu menciuminya sejadi-jadinya. Nafasnya memburu, hidung kembang kempis. Tidak pernah dia diamuk nafsu begini rupa. Padahal telah sekian banyak gadis yang ditelanjangi dan diperkosanya!
“Hai! Sekarang kau boleh datang ke sini! Tapi dengan satu syarat! Kau harus menanggalkan seluruh pakaianmu!” Suara Dewi Pemikat menggema dari balik pohon.
“Apapun yang kau katakan akan aku lakukan Dewi!” Kata Cakra Mentari.
Pemuda ini campakkan pakaian lauar dan dalam milik Dewi Pemikat yang dipegangnya lalu dengan cepat membuka baju dan celana hitamnya, juga celana dalamnya. Dalam keadaan bugil sekali lompat saja dia sudah berada di dekat pohon besar. Ketika dia menyelinap ke balik pohon pemuda ini melengak kaget. Gadis bernama Dewi tidak ada di tempat itu! Di kejauhan terdengar suara tawa cekikikan. Cakra Mentari merasa tengkuknya dingin. Dia ingat pada pakaian hitamnya dan
Patung Kamasutra. Cepat-cepat pemuda ini kembali ke tepi telaga. Dia merasa lega pakaiannya masih lengakap ada di sana, juga Patung Kamasutra masih ada di dalam saku celana. Namun celana dalamnya tidak ada!
“Gadis itu mencuri celana dalamku!” Sesaat pemuda ini jadi gelisah. Ketika dia memperhatikan lagi keadaan di tepi telaga ternyata baju dan celana kuning serta pakaian dalam Dewi Pemikat juga tak ada lagi di tempat itu. Cakra Mentari bersandar ke batang pohon.
“Aku tidak mengerti. Gadis tadi apakah dia benar manusia atau makhluk jejadian? Gerakannya luar biasa cepat. Hingga dia bisa menipuku, muncul dan menghilang seperti kilat. Kalau saja dia berniat jahat mengambil Patung Kamasutra pasti bisa dilakukannya. Dia tidak melakukan itu. Atau dia tidak tahu mukjizat nafsu yang ada dalam patung? Atau sebenarnya dia memang tak punya niat jahat. Lalu mengapa dia berbuat seperti itu? Mengapa dia mencuri celana dalamku? Apa hubungannya dengan Pangeran Aryo Dipasena?”
Tiba-tiba di atas pohon terdengar suara tawa cekikikan. Cakra Mentari mendongak, siap hendak melompat ke atas namun membatalkan niatnya karena tibatiba dari atas melayang jatuh sebuah benda. Ketika ditangkapnya benda itu ternyata adalah celana dalam miliknya sendiri.
“Edan! Gadis itu benar-benar mempermainkan diriku…. Dewi, kemanapun kau pergi aku akan mengejarmu.”
Tiba-tiba satu suara halus mengiang di telinga kanan Cakra Mentari.
“Tugasmu jauh dari rampung. Jangan terpikat oleh pandangan mata. Jangan tergoda oleh gairah tapi penuh perdaya….”
Cakra Mentari mengusap telinga kanannya berulang kali. “Aku mengenali suara itu. Aku pernah mendengar sebelumnya. Tapi apa peduliku….” Si pemuda lantas berkelebat ke arah dimana diperkirakan perginya Dewi Pemikat.
TAMAT
Serial berikutnya :
TOPAN DI GURUN TENGGER
Serial berikutnya :
TOPAN DI GURUN TENGGER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar