posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : BADIK SUMPAH DARAH
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : BADIK SUMPAH DARAH
1
LEMBAH Welirang terletak di tenggara kawasan Bukit Menoreh, tak jauh dari sebuah desa kecil sepi penduduk bernama Imoyudan. Sepanjang pagi asap kuning yang berbaur dengan kabut menggantung di udara membuat pandangan mata kadang-kadang hanya bisa menembus jarak beberapa tombak saja. Bau belerang tercium di mana-mana. Siapa saja yang berada di sekitar lembah, apa lagi berani menuruni sampai ke bawah, akan mengalami sesak nafas bahkan bisa jatuh pingsan akibat sengatan uap belerang yang menyumbat jalan pernafasannya.Namun saat itu di bibir lembah sebelah timur kelihatan sepasang muda-mudi asyik bercakap-cakap sambil memasang mata dan telinga, seolah-olah tidak terganggu oleh asap dan kabut serta-bau belerang yang begitu santar. Kalau tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak mungkin keduanya bisa berbuat seperti itu.
Sang pemuda yang berambut gondrong berpakaian serba putih dan bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng adanya berdiri di bibir lembah, menatap ke arah danau kecil menyerupai kawah berair kuning pekat di dasar lembah. Dari danau kecil inilah berasalnya asap berbau belerang yang menyatu dengan kabut.
Beberapa saat berlalu, Wiro alihkan pandangan ke bagian lembah di atas dan seputar danau belerang yang hampir seluruhnya tertutup oleh batu-batu cadas berwarna kuning dan coklat. Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu tidak melihat dengan pandangan mata biasa karena penglihatannya di sana-sini akan terhalang kabut. Dia menerapkan llmu Menembus Pandang yang di-dapatnya dari Ratri Duyung yang saat itu berada di sampingnya. Seperti Wiro Sang Ratu juga telah mengerahkan ilmu yang sama untuk menyelidik keadaan seantero Lembah Welirang.
Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya berjudul "Meraga Sukma" kedua orang ini baru saja keluar dari dasar kawasan samudera selatan. Sesuai petunjuk Kakek Segala Tahu dengan diantar Ratu Duyung Wiro telah menemui Nyi Roro Manggut dan berhasil mendapatkan ilmu yang disebut Meraga Sukma. Konon hanya dengan ilmu inilah Pendekar 212 akan mampu menyelamatkan dan membebaskan Suci gadis alam roh yang lebih dikenal dengan nama Bunga dari sekapan guci tembaga Iblis Kepala Batu Alis Empat.
"Ratu, kau melihat sesuatu?" tanya Wiro.
Ratu Duyung yang memiliki bola mata berwarna biru gelengkan kepala lalu berkata.
"Lembah di bawah kita tidak seberapa besar. Tapi ternyata tidak mudah untuk mencari tahu dimana bagian lembah yang dijadikan sarang tempat kediaman dan persembunyian oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat."
"Kita sudah tahu, kawasan Lembah Welirang ini adalah sarang kediaman Iblis itu. Jika sulit mencari, dari pada membuang waktu lebih baik kita hancur leburkan lembah ini. Masakan makhluk jahanam itu tidak akan muncul unjukkan diri."
Ratu Duyung tersenyum mendengar ucapan Wiro. Sambil memegang mesra lengan sang pendekar dia berkata.
"Bagi kita berdua memang mungkin saja melakukan hal itu. Tapi apakah dengan cara seperti itu kita akan mampu menyelamatkan gadis alam roh itu dari dalam sekapan guci tembaga Iblis Kepala Batu?"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Kau benar juga…" kata Wiro kemudian.
Iblis Kepala Batu Alis empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh adalah dedengkot golongan hitam rimba persilatan yang pernah menjadi tokoh silat Istana. Dia telah menculik dan menyekap Bunga dalam sebuah guci kecil terbuat dari tembaga dan sampai saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng masih belum rnampu membebaskan gadis alam roh yang mencintainya itu. Harapannya kini ter-gantung pada ilmu Meraga Sukma yang telah didapatkan-nya dari Nyi Roro Manggut.
"Kita musti menuruni lembah. Tapi sebaiknya kita menunggu sampai, matahari bersinar terik, membuat asap dan kabut menipis. Walau kita menerapkan Ilmu Menembus Pandang, bisa melihat segala sesuatunya dengan cukup jelas, tetap saja berbahaya. Kita tidak melihat orang yang kita cari. Tapi saat ini mungkin dia tengah memperhatikan gerak-gerik kita. Sesuatu bahaya tak terduga bisa saja terjadi secara mendadak dan kita…"
Ucapan Ratu Duyung terputus karena tiba-tiba sekali Wiro menarik lengannya, membawanya berlindung ke balik serumpunan semak belukar setinggi dada di pinggir lembah.
"Ada apa?" bisik Ratu Duyung.
"Aku mendengar suara orang berlari," jawab murid Sinto Gendeng. Sejak dia menerima masukan hawa aneh dari Naga Biru yang diam di dasar samudera tempat kediaman Nyi Roro Manggut, pendengaran dan penglihatan Wiro menjadi lebih peka. Selain itu tubuhnya terasa lebih ringan.
Wiro menyibakkan semak belukar lalu menunjuk ke arah lembah sebelah selatan.
"Lihat, ada orang berlari di pinggiran lembah sebelah sana. Mungkin dia bergerak ke arah kita. Aku seperti mengenali…"
Ratu Duyung memandang ke arah yang ditunjuk Wiro. Memang benar. Di arah selatan bibir lembah seorang berpakaian serba hitam tengah berlari kencang. Dari rambutnya yang panjang melambai tertiup angin jelas dia adalah seorang perempuan.
"Jangan-jangan orang itu gurumu, Eyang Sinto Gendeng." kata Ratu Duyung pula.
Wiro garuk kepalanya, buru-buru menjawab.
"Tidak mungkin. Kalau orang itu Eyang Sinto Gendeng dari sini aku pasti sudah bisa mencium bau pesing tubuh dan pakaiannya. Lagi pula di atas kepalanya ada lima tusuk konde. Orang yang lari itu tidak ada tusuk kondenya tapi ada warna aneh kemerah-merahan. Apakah kau tak bisa menduga siapa dia adanya?"
"Aku akan menerapkan llmu Menembus Pandang kembali," kata Ratu Duyung pula. Sepasang matanya yang biru memandang tak berkedip, mengikuti sosok tubuh yang berlari. Ilmu Menembus Pandang yang dimiliki Sang Ratu satu tingkat berada di atas ilmu yang sama yang dimiliki Wiro.
"Ahhh…." Ratu Duyung keluarkan suara mendesah halus dan panjang. "Asap merah berbentuk kerucut terbalik di atas kepala. Siapa lagi kalau bukan orang yang kau sebut Hantu Penjunjung Roh, makhluk dari negeri seribu dua ratus tahun silam."
"Aku sudah mengira. Nenek itu adalah saudara Iblis Kepala Batu Alis Empat. Dia muncul di sini pasti menemui saudaranya itu. Mungkin mau memheritahu kalau kita akan mendatanginya di lembah ini."
"Sebelum dia menemukan saudaranya, aku akan menghajarnya lebih dulu," kata Ratu Duyung. "Ingat peristiwa di pantai waktu kita baru saja keluar dari tempat kediaman Nyi Roro Manggut? Nenek jahat itu memukulku, membuatku hampir menemui ajal."
"Ratu Duyung, kuharap kau mau bersabar. Nenek itu bisa kita jadikan penunjuk jalan. Secara tidak sadar dia akan memandu kita ke tempat kediaman Iblis Kepala Batu Alis Empat!"
Ratu Duyung terdiam lalu berkata perlahan. "Aku menurut saja apa katamu."
Saat itu orang yang lari dari arah selatan telah berada di pinggir lembah sebelah timur, tak jauh dari tempat mereka sembunyi di balik semak-semak. Ternyata dia memang Hantu Penjunjung Roh yang nama aslinya adalah Luhniknik. Di atas kepalanya asap merah berbentuk kerucut terbalik bergerak turun naik. Sepasang bola mata-nya juga berbentuk aneh yakni tidak bulat tapi menyerupai segi tiga yang bisa keluar masuk.
Si nenek tegak tak bergerak di tepi lembah. Sepasang matanya berputar liar mencari-cari. Lalu terdengar suara-nya menggerendeng.
"Gila! Bagaimana aku bisa mengetahui di mana beradanya Hantu Pemasung Roh." Hantu Pemasung Roh adalah nama panggilan saudaranya selagi masih diam di negeri 1200 silam. Di tanah Jawa dia lebih dikenal dengan julukan Iblis Kepala Batu Alis Empat atau Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Sesuai dengan julukannya dia memang memiliki ilmu kesaktian menculik dan memasung makhluk-makhluk gaib, termasuk makhluk alam roh seperti Bunga. Karena kehebatannya ini pula dia diambil oleh pihak Istana menjadi salah seorang tokoh silat Istana. Namun banyak tokoh silat golongan putih yang juga bekerja untuk Keraja-an merasa tidak suka terhadap Iblis Kepala Batu. Karena tindakan dan perbuatannya lebih sering dirasakan sebagai satu kejahatan.
Si nenek berpikir. Lalu berucap dalam hati. "Terpaksa aku mengeluarkan suitan rahasia! Dia mungkin tak suka dan marah. Apa boleh buat! Lagi pula perduli setan! Aku kakaknya!"
Si nenek mendongak ke langit pagi. Lidahnya ditekuk demikian rupa. Sesaat kemudian dari dalam mulutnya melesat keluar suitan nyaring. Dua kali berturut-turut.
Hantu Penjunjung Roh menunggu. Tak ada jawaban. Dia memperhatikan, matanya menyusuri seluruh bagian lembah. Tak ada yang kelihatan bergerak. Sebagian pandangannya tertutup oleh asap kuning dan kabut. Kembali si nenek mendongak dan keluarkan suitan. Kali ini walau cuma satu kali tapi suitannya panjang dan keras hingga menggetarkan seantero lembah.
Belum lenyap gema suitan si nenek tiba-tiba di bagian bawah sebelah barat danau kecil berair kuning pekat kelihatan satu cahaya berwarna biru menyambar. Sesaat kemudian menyusul terdengar dua kali suara suitan.
Hantu Penjunjung Roh menyeringai. Sekali berkelebat dia sudah menuruni Lembah Welirang sejauh tiga tombak. Seperti sebuah bola karet yang membal tubuhnya mem-buat gerakan melompat berulangkali ke bawah tembah. Di lain saat dia sudah berada di pinggiran danau berair kuning.
Wiro memberi isyarat pada Ratu Duyung. Kedua orang ini segera keluar dari balik semak belukar lalu dengan hati-hati tetapi cepat mengikuti Hantu Penjunjung Roh. Semakin dalam ke dasar Lembah Welirang semakin santar tebaran bau belerang. Wiro dan Ratu Duyung terpaksa mengatur cara bernafas masing-masing agar tidak sesak. Ketika mereka sampai di pinggiran danau kuning sebelah barat sosok nenek yang mereka ikuti lenyap seolah ditelan batu-batu cadas kuning coklat. Di situ udara terasa panas hingga dua orang itu kucurkan keringat. Wiro melirik pada Ratu Duyung. Dalam pakaiannya yang serba ketat dan basah oleh keringat, tubuh gadis cantik ini seolah ter-bayang tercetak, memperlihatkan liku-liku yang indah luar biasa. Sebelum hatinya tergetar murid Sinto Gendeng alihkan pandangan ke jurusan lain sambil garuk-garuk kepala.
"Kemana lenyapnya nenek itu?" ucap Wiro sesaat kemudian.
"Aku sudah melihat," jawab Ratu Duyung. Gadis ini menunjuk ke depan.
"Perhatikan batu cadas kuning yang dari sini kelihatan seperti kepala gajah dengan belalai ditekuk ke dalam. Nenek itu lenyap tepat ketika berada di samping batu itu. Pasti di situ ada celah atau terowongan batu." ‘
"Berarti kita sudah berada dekat sarang Iblis Kepala Batu Alis Empat," kata Wiro sambil kepalkan tinju. "Mari."
Kedua orang itu memutari danau kecil hingga akhirnya sampai di depan batu yang tadi mereka lihat dari seberang. Ternyata dibalik batu cadas menyerupai kepala gajah itu tidak terdapat celah atau terowongan seperti yang mereka sangkakan.
"Edan!" maki Wiro jengkel dan penasaran.
"Wiro, lihat!" Mendadak Ratu Duyung berkata sambil menunjuk ke balik sebuah gundukan batu coklat beberapa langkah di depan mereka. Nyaris terlindung di balik batu coklat itu hampir sama datar dengan tanah dan bebatuan di sekelilingnya kelihatan sebuah lobang besar. Cukup besar untuk dimasuki dua orang sekaligus.
Wiro dan Ratu Duyung segera dekati lobang. "Nenek itu pasti masuk ke sni. Aku akan masuk menyelidik. Ratu, kau menunggu di sini."
"Tidak, kita masuk sama-sama," jawab Ratu Duyung.
"Kita tidak tahu ada apa di dalam lobang itu. Bukan mustahil ada jebakan, senjata rahasia, binatang buas atau ular berbisa."
"Siapa takut? Jauh-jauh datang kesini apakah aku hanya akan jadi penonton?"
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.
"Dengar…"
"Biar aku yang masuk duluan!" kata Ratu Duyung nekad ketika melihat Wiro ragu-ragu.
"Tunggu," Wiro cepat pegang lengan Ratu Duyung.
Kedua orang itu sama-sama bergerak ke tepi lobang mereka segera menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Samar-samar mereka melihat bagian dalam lobang yang merupakan tangga batu menurun, lalu ada satu lorong panjang. Terlihat bayangan seseorang lari ke ujung lorong lalu lenyap.
Wiro memberi isyarat pada Ratu Duyung.
"Aku masuk duluan. Kau mengikuti di belakang. Hati-hati!"
Ratu Duyung mengangguk.
Dengan gerakan cepat dan enteng Pendekar 212 Wiro Sableng masuk ke dalam lobang. Ratu Duyung menyusul. Mendadak Wiro merasakan tangga batu yang dipijaknya bergetar. Lalu telinganya menangkap suara berdesing halus.
"Awas senjata rahasia!" seru Wiro.
***
2
Dengan cepat Wiro menarik tangan Ratu Duyung. Keduanya jatuhkan diri di tangga. Di sebelah atas tiga benda memancarkan cahaya merah begemerlap melesat dari dinding lobang sebelah kiri ke arah kanan. Hanya satu jengkal dari depan hidung Wiro dan serambut di depan dada Ratu Duyung!"Wutt! Wutt! Wuttt!"
"Srett!"
Ujung dada pakaian Ratu Duyung robek. Gadis ini terpekik, mukanya pucat. Untung hanya pakaiannya yang robek.
"Blaarr! Blaarr! Blaar!"
Tiga benda itu menghantam dinding batu sebelah kanan. Amblas masuk ke dalam batu. Lalu tiga ledakan inenggelegar. Asap mengepul, hancuran batu dan pasir mengguyur.sosok ke dua orang yang saat itu jatuh bergedebukan di lantai lorong gelap di depan tangga sebelah bawah.
Untuk beberapa lamanya kesunyian menggantung dalam ketegangan di lorong batu. Wiro dan Ratu Duyung keluarkan keringat dingin. Sambil menyeka pasir di wajahnya Wiro berkata perlahan.
"Ratu, sepanjang lorong ini pasti dipenuhi peralatan rahasia yang bisa membunuh kita sebelum sampai ke ujung sana. Barusan saja kita hampir tewas. Selanjutnya harus berhati-hati. Kerahkan Ilmu Menembus Pandang."
Ratu Duyung mengangguk. Kedua orang itu sama bangkit berdiri lalu sambil menerapkan Ilmu Menembus Padang mereka mulai melangkah ke arah depan.
Tiba-tiba Ratu Duyung pegang lengan Wiro dan ber-bisik.
"Bagian atas lorong batu, sekitar tujuh langkah dari sini. Coba kau perhatikan. Ada lekukan aneh. Aku rasa di situ ditanam senjata rahasia."
"Aku sudah melihat," jawab Wiro. "Senjata rahasia yang disembunyikan di tempat itu hanya akan bekerja kalau pemicunya disentuh. Berarti ada alat rahasia lain di depan kita yang berhubungan dengan senjata rahasia di atas lorong…"
Wiro dan Ratu Duyung segera menyusuri setiap jengkal lantai dan dinding lorong di depan mereka dengan pandangan mata yang dialiri ilmu Kesaktian.
"Lantai sebelah tengah, dua langkah dari hadapan kita! Gila!" Maki Pendekar 212. Kalau tadi mereka tidak berhenti untuk meneliti keadaan lebih dulu, niscaya salah satu dari mereka telah menginjak lantai lorong itu. Di bawah lapisan batu lantai samar-samar kelihatan sebuah benda berbentuk bulat, mungkin terbuat dari besi. Pada salah satu pinggiran benda bulat ini terdapat alat pengait yang berhubungan dengan tali kaku yang kemungkinan terbuat dari kawat.
"Kita harus hancurkan senjata rahasia di atas atap lorong." Bisik Ratu Duyung. "Kalou sudah hancur sekalipun alat pemicu kita injak tak akan terjadi apa-apa."
"Kalau begitu biar aku hantam," kata Wiro sambil angkat tangan kanannya.
"Biar aku saja yang melakukan," kata Ratu Duyung.
Lalu gadis ini bergerak ke samping kanan Wiro. Kepalanya didongakkan ke arah atap lorong batu yang ada lekukan aneh. Tiba-tiba Ratu Duyung sentakkan kepalanya, dua mata dikedipkan. Bersamaan dengan itu dua larik sinar biru memancar berkiblat keluar dari sepasang mata Sang Ratu. Menyambar bersilangan, menghantam bagian atas lorong batu. Itulah ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Pedang Dasar Samudera.
"Bummm!"
"Bummm!"
Dua letusan dahsyat menggoncang lorong batu. Ketika bagian atap amblas, kepingan-kepingan benda aneh jatuh ke bawah, bertaburan dengan suara berkerontangan di lantai lorong.
Wiro meniup keras ke depan. Membuat kepulan asap dan taburan batu serta pasir mencelat mental. Begitu keadaan di dalam terowongan kembali agak terang, kedua orang ini baru dapat melihat jelas benda apa yang tadi jatuh bertaburan di lantai. Ternyata di situ terlihat puluhan kepingan besi putih yang setiap pinggirannya memiliki ketajaman seperti golok yang selalu diasah setiap hari.
"Aku pernah mendengar Iblis Kepala Batu memiliki senjata rahasia berbentuk piringan baja. Pinggirannya tajam luar biasa. Jangankan leher manusia, tiang baja seatos apapun bisa dibabat putus! Yang hancur ini pasti senjata rahasia berbentuk piringan maut itu." Berkata Ratu Duyung.
"Kau hebat," memuji Wiro. "Kalau tadi kita salah melangkah, saat ini sudah jadi bangkai dengan kepala dan sekujur tubuh terkutung-kutung…"
"Jangan memuji," bisik Ratu Duyung. "Kita masih harus bergerak menuju ujung lorong di sebelah depan sana. Barusan aku sudah menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Kelihatannya tidak ada lagi peralatan rahasia sampai di ujung lorong batu ini. Tapi kita tetap harus berhati-hati…"
Wiro mengangguk. Sambil melangkah dia berkata. "Si nenek berjuluk Hantu Penjunjung Roh itu tentu sudah diberi tahu seluk beluk tempat ini. Kalau tidak pasti dia lebih dulu celaka dari kita."
"Berarti antara dua kakak adik itu ada persekutuan jahat. Jadi, walau dulu semasa berada di negeri aneh itu kau bersahabat dengan si nenek, di sini kuharap kau jangan terlalu mempercayainya. Bagaimanapun juga seorang saudara akan membela saudaranya lebih dulu dari pada menolong orang lain walau saudaranya salah. Itu hukum alam yang terkadang sulit dicerna, tetapi merupakan kenyataan yang tak japat dipungkiri."
Wiro mengamati wajah jelita Ratu Duyung dengan penuh kagum. "Aku tidak menyangka kau bisa bicara seperti seorang penyair agung. Aku berterima kasih." Sambil berkata Wiro membelai pipi Sang Ratu. Entah mengapa sejak kepergian mereka bersama ke dasar samudera pantai selalu muncul rasa sayang dalam lubuk hati Pendekar 212 terhadap gadis bermata biru itu. Mungkinkah karena dia telah menerima budi yang begitu besar?
Sentuhan jari-jari tangan Wiro pada pipinya itu mem-buat Ratu Duyung seribu bahagia. Dipegangnya tangan sang pendekar. Ditarik dan didekatkannya ke wajahnya lalu diciumnya penuh mesra. Dalam hati gadis ini berkata. "Wiro, kemanapun kau pergi, apapun yang kau lakukan, aku rela mati berdua bersamamu."
***
Kepala kerbau dan kulit tubuh yang dikeringkan merupakan tikar terhampar di tengah ruangan. Di atas kepala kerbau terletak sebuah pelita aneh. "Terbuat dari sejenis kayu berminyak yang ditancapkan dalam sebuah jambangan batu. Nyala api pelita menerangi seluruh ruangan, termasuk dua orang yang duduk berhadapan di atas tikar kulit kerbau dan sebuah guci terbuat dari tembaga yang terletak di atas sebuah meja batu di sudut ruangan.Orang pertama seorang kakek bermuka kebiruan, mengenakan sehelai celana hitam komprang. Di sebelah atas dia tidak mengenakan apa-apa. Sekujur dada sampai ke leher dan juga dua tangannya penuh ditumbuhi bulu. Di sudut bibir mencuat taring lancip. Masing-masing matanya memiliki dua alis, satu di atas satu dibawah. Kepala kakek ini berbentuk segi empat, berwarna kelabu kehitaman, sangat keras tidak beda dengan batu. Dulu di atas kepala itu ada sebuah pendupaan yang selalu menyala dan menebar bau kemenyan. Pendupaan itu salah satu kekuatan penunjang bagi si kakek. Namun beberapa waktu lalu pendupaan itu hancur dihantam pedang Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. (Baca Episode berjudul "Mayat Persembahan") Kakek angker ini bukan lain adalah Iblis Kepala Batu Alis Empat yang juga dikenal dengan nama Iblis Kepala Batu Pemasung Roh.
Di hadapan si kakek muka biru bertaring lancip dan berkepala seperti batu duduk orang kedua yakni seorang nenek berjubah gelap. Di atas kepalanya ada asap merah berbentuk kerucut terbalik. Sepasang mata si nenek yang tidak bulat tapi berbentuk segi tiga dan bisa keluar masuk, memperhatikan kakek di depannya.
"Hantu Pemasung Roh," si nenek berucap. "Jika kau tidak menuruti nasihatku, jangan salahkan diriku kalau ter-jadi apa-apa dengan dirimu, dan aku tidak bisa menolongmu."
"Luhniknik," Iblis Kepala Batu menyebut si nenek dengan nama aslinya. "Kau adalah kakakku. Kalau kau tidak mau menolong diriku sungguh keterlaluan. Tapi sudahlah, aku tidak mau lagi membicarakan hal ini. Walau kau paksa sekalipun aku tidak akan membebaskan gadis dari alam roh yang aku sekap dalam guci itu. Tekadku sudah bulat untuk menjadikannya gadis peliharaanku. Kau tahu aku hanya bisa bergairah pada makhluk seperti dia."
"Kau membuatku marah!" Kata Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh.
"Kau yang membuat aku marah!" tukas Iblis Kepala Batu. "Aku sudah mengatakan agar kau tidak perlu mencari diriku. Kau malah datang ke sini. Dan kau mengeluarkan suitan di dalam lembah! Kau mengundang perhatian orang! Aku punya firasat dirimu diikuti pemuda itu! Aku juga menaruh curiga! Jangan-jangan kau pernah menyebut tempatku ini secara sembrono! Sungguh tolol perbuatan-mu!"
"Tolol atau apapun yang hendak kau katakan, justru aku datang untuk menolongmu! Ketahuilah, Pendekar 212 memiliki satu ilmu kesaktian yang bisa membuatmu tidak berdaya dan sengsara seumur-umur."
Iblis Kepala Batu berdiri, melangkah seputar ruangan, memegang guci tembaga di atas meja batu sesaat lalu berkata. "Aku menyirap kabar, dua gadis sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng yaitu Bidadari Angin Timur dan Anggini pernah menghajarmu beberapa waktu lalu, membuatmu hampir sekarat! Heran, mengapa kau kelihatannya masih membela pemuda itu?"
"Aku tidak ada maksud membela pemuda itu. Justru aku ingin menolongmu jika kau memang mau bertobat!"
Iblis Kepala Batu tertawa bergelak.
"Tobat adalah perbuatan orang-orang tolol! Perbuatan orang-orang yang mau mampus! Aku bukan makhluk tolol! Aku belum dan tidak akan menemui kematian!"
"Kau terlalu takabur. Ketinggian ilmumu bukan segala-galanya. Diibaratkan kau seperti gunung, jangan lupa tingginya gunung masih belum apa-apa dibanding dengan tingginya langit."
"Sudah, jangan terlalu banyak mengoceh di hadapan-ku. Kau pernah menerangkan. Katamu Pendekar 212 mendapatkan ilmu bernama Membelah Bumi Menyedot Arwah dari seseorang di Negeri Latanahsilam. Apa itu yang menakutkanmu? Aku menaruh curiga, jangan-jangan di-balik semua usahamu membujuk diriku ada terselip maksud culas. Mungkin kau telah mendengar tentang harta karun yang aku pendam di satu tempat? Ha… ha… ha!"
"Segala macam harta karun apa perduliku!" jawab Hantu Penjunjung Roh dengan sorotan mata dan wajah marah. "Ketahuilah, ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah tidak seberapa hebatnya dibanding dengan ilmu yang baru saja didapatnya dari seorang sakti di dasar samudera kawasan selatan. Aku menyirap kabar bahwa Pendekar 212 kini memiliki ilmu yang disebut Meraga Sukma."
"Ilmu apa itu? Aku baru mendengar." Kata Iblis Kepala Batu acuh saja.
"Aku sendiri tidak dapat memastikan. Tapi aku yakin dengan ilmu itu dia akan mengobrak-abrik sarangmu ini. Bahkan mampu membebaskan gadis alam roh yang kau sekap dalam guci itu."
Iblis Kepala Batu tertawa bergelak.
"Pemuda itu boleh punya seribu ilmu kepandaian dan kesaktian. Tapi Iblis Kepala Batu Alis Empat bukan tandingannya! Kau akan menyaksikan sendiri bagaimana aku bakal membantainya. Sekarang keluarlah dari ruangan ini. Aku mau bersenang-senang dulu dengan gadis dari alam roh itu. Aku sudah memberi waktu memberi hati. Tapi dia masih keras kepala. Saatnya dia harus melayani diriku!"
"Apa maksudmu?" tanya Hantu Penjunjung Roh dengan mata mendelik.
Iblis Kepala batu menyeringai. "Jangan pura-pura tidak tahu. Aku mau meniduri gadis itu! Kalau kau tak mau keluar dari sini, silahkan menonton!"
Si nenek merutuk habis-habisan sedang Iblis Kepala Batu sambil tertawa bergelak melangkah mendekati meja batu di mana terletak guci tembaga tempat Bunga disekap.
Sesaat ketika Iblis Kepala Batu ulurkan tangan hendak mengambil guci tembaga tiba-tiba di luar sana terdengar letusan keras. Tiga kali berturut-turut.
Langkah Iblis Kepala Batu terhenti, gerakannya ter-tahan. Kepala diangkat, mata membeliak.
"Dugaanku tidak meleset. Tiga letusan itu adalah bekerjanya peralatan senjata rahasia pertama di lorong batu. Berarti ada orang yang masuk ke sini. Aku berharap saat ini dia sudah jadi mayat. Tapi…." Iblis Kepala Batu gelengkan kepala. Tampangnya yang kebiru-biruan men-dadak berubah. "Tiga letusan tadi bukan letusan kematian. Itu letusan hancurnya tiga senjata rahasia yang kupasang di lorong."
"Menurutmu, sejak kau memasangi tiga senjata rahasia itu tidak pernah ada satu orangpun bisa melewati dengan selamat. Sekarang ada orang mampu melewatinya. Dia pasti Pendekar 212 Wiro Sableng. Kau bisa mengukur sampai dimana kehebatan pemuda itu. Apa hal ini tidak membuatmu mau berpikir sekali lagi?"
Iblis Kepala Batu menyeringai. Belum lenyap seringai di wajahnya yang biru mendadak dua letusan menggelegar di luar sana, menggetarkan ruangan di mana mereka berada. Disusul suara benda keras jatuh berkerontangan.
Tampang Iblis Kepala Batu bukan saja berubah tapi juga menunjukkan kemarahan! Dia bangkit berdiri. Taring-nya mencuat di sudut bibir. Dia sudah maklum apa yang terjadi. Senjata rahasia kedua yang dipasangnya di dalam terowongan pasti telah dihancurkan orang. Iblis Kepala Batu melangkah ke dinding di hadapannya. Telinganya ditempelkan di dinding.
"Pemuda itu tidak sendirian. Ada seseorang bersama-nya," kata Iblis Kepala Batu memberitahu Hantu Pen-junjung Roh. "Pertama sekali aku akan melumpuhkan mereka dengan asap beracun! Setelah itu kau bisa menyaksikan bagaimana aku menyiangi tubuh mereka!"
Sambil menyeringai Iblis Kepala Batu melangkah men-dekati sudut ruangan sebelah kanan. Di situ ada sebuah tonjolan batu berwarna merah. Iblis Kepala Batu per-gunakan ibu jari tangan kanannya untuk menekan tonjolan batu. Secara aneh dinding batu itu bergeser ke bawah, membentuk satu celah yang amat kecil, kurang dari ketebalan ujung kuku. Lalu menyusul terdengar suara men-desis panjang.
Iblis Kepala Batu menyeringai, memandang pada saudaranya. Hantu Penjunjung Roh angkat kepala, coba mencium. Wajah si nenek berubah kaget.
"Kau mengeluarkan Asap Penyiksa Roh!" ucap si nenek setengah berteriak. "Gila! Makhluk alam roh saja bisa mati berkali-kali terkena asap jahat itu. Apa lagi manusia biasa! Hentikan perbuatanmu!"
Iblis Kepala Batu ganda tertawa.
"Mereka mencari mati! Aku hanya memberikan apa yang mereka minta! Ha… ha…ha!"
***
WIRO dan Ratu Duyung melangkah dengan hati-hati mendekati ujung terowongan batu. Tinggal beberapa langkah dari ujung terowongan Wiro hentikan langkah sambil mengangkat tangan memberi tanda."Ada suara orang bicara…"
Ratu Duyung angkat kepalanya sedikit, memasang telinga baik-baik lalu mengangguk.
"Ada dua orang. Aku yakin mereka adalah Iblis Kepala Batu dan saudaranya si nenek yang kepalanya ada asap merah. Tunggu apa lagi. Kita harus segera menyerbu mereka."
"Saatnya aku mengeluarkan llmu Meraga Sukma," kata Wiro pula. Dia mencari tempat yang rata lalu duduk bersila. Dua tangan dirangkapkan di depan dada. Mata dipejam-kan. Pikiran dikosongkan. Bibirnya bergetar ketika melafal-kan Basmallah tiga kali berturut-turut. Kemudian dalam hati Wiro mengucapkan Meraga Sukma. Juga sebanyak tiga kali.
Ratu Duyung memang pernah mendengar ilmu yang di-sebut Meraga Sukma itu. Namun seumur-umur dia belum pernah melihat cara atau kejadiannya seseorang menerap-kan ilmu tersebut. Gadis ini sampai tersurut dua langkah ketika melihat bagaimana dari sosok kasar Wiro yang duduk bersila tidak bergerak perlahan-lahan keluar satu sosok samar yang ujudnya menyerupai Wiro. Mula-mula ujud ini tampak bergoyang-goyang seperti asap. Namun saat demi saat berubah utuh hingga tidak beda dengan sosok Wiro yang asli. Kalau tidak menyaksikan sendiri Ratu Duyung tidak akan tahu mana Wiro yang sebenarnya dan mana Sukma yang keluar dari dalam tubuh sang pendekar. Kini ada dua Wiro. Satu yang masih tetap duduk bersila di lantai terowongan batu, satunya lagi sukmanya yang tengah melangkah menuju mulut terowongan laksana melayang.
"Luar biasa, apakah dia juga bisa bicara seperti asli-nya?" Ratu Duyung bertanya-tanya dalam hati. Ketika Wiro sampai di ujung terowongan, sesaat Ratu Duyung jadi bingung. Apakah dia akan tetap berdiri di tempat itu menunggui sosok Wiro yang asli dan masih tetap dalam keadaan duduk bersila, mata terpejam lanpa gerak sama sekali. Atau dia harus mengikuti Sukma Wiro di sebelah sana.
Selagi bimbang seperti itu Ratu Duyung melihat Wiro yang di ujung terowongan menggerakkan tangan, memberi isyarat agar mendatanginya. Tidak menunggu lebih lama Ratu Duyung melangkah cepat menghampiri.
Di ujung terowongan, seperti diduga semula, di sebelah kanan terdapat sebuah ruangan batu. Tapi ketika Sukma Wiro sampai di situ, ruangan itu ternyata kosong. Padahal tadi dia jelas mendengar ada suara dua orang ber-cakap-cakap di tempat itu. Sukma Wiro memeriksa setiap sudut ruangan batu. Mulai dari lantai, empat dinding dan langit-langit. Tak ada lobang, atau celah barang sedikitpun. Apa lagi pintu.
Ratu Duyung sampai pula di ruangan dimana Sukma Wiro berada.
"Kosong. Tak ada siapa-siapa. Aneh…" kata Ratu Duyung.
"Di belakang salah satu dinding batu pasti ada ruangan lain. Mereka berada di situ."
Sukma Wiro dan Ratu Duyung kerahkan Ilmu Menem-bus Pandang. Tapi di tempat itu ilmu tersebut ternyata tidak bekerja.
"Tidak bisa tembus…" ucap Ratu Duyung seraya me-mandang pada Sukma Wiro.
Sukma Wiro kembali perhatikan empat dinding batu di sekelilingnya. Lalu dia berkata. "Ratu, kalau tidak salah kau memiliki ilmu kesaktian yang disebut Menyirap Detak Jantung. Apakah kau bisa mengetahui di balik dinding sebelah mana mereka berada?"
"Akan kucoba," jawab Ratu Duyung. Lalu gadis ini kembangkan dua tangannya dengan telapak dibuka meng-hadap ke arah dinding batu di depannya. Sepasang mata dikecilkan setengah terpejam. Tak terjadi apa-apa. Berarti ruangan di balik dinding itu kosong. Ratu Duyung berputar, kini menghadap ke dinding sebelah kiri. Sesaat kemudian sepuluh jari tangan Ratu Duyung kelihatan bergerak-gerak. Gadis ini letakkan dua tangannya di atas dada. Sesaat kemudian dia buka lebar-lebar dua matanya yang setengah terpejam, menatap ke arah Wiro.
"Aku berhasil menyirap. Ada dua detak jantung di balik dinding batu ini."
"Pasti mereka, Iblis Kepala Batu dan Hantu Penjunjung Roh," kata Wiro. "Kita harus bisa masuk ke ruang di balik dinding itu. Bagaimanapun caranya!"
Ratu Duyung mengangguk. Sejak tadi gadis cantik bermata biru ini terkesima tapi juga merasa lega. Ternyata ujud sukma sang pendekar bisa bicara seperti ujud aslinya.
Tiba-tiba dari belakang dinding terdengar suara tawa bergelak disusul ucapan lantang keras.
"Aku mengenali! Itu suara tertawanya Iblis Kepala Batu!" kata Sukma Wiro. Lalu tangan kanannya diangkat, siap untuk dihantamkan.
"Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung!" Keluar suara dari balik dinding batu. "Kalian telah sampai di liang akhirat! Aku mengucapkan selamat jalan ke neraka! Ha… ha… ha!"
Belum lenyap gema suara ucapan, di sebelah atas ruangan terdengar suara mendesis. Sukma Wiro dan Ratu Duyung sama mengangkat kepala, memperhatikan dinding ruangan batu sebelah atas. Dari sebuah celah sangat kecil, menguak antara ujung dinding dan ujung langit-langit ruangan membersit keluar cahaya kuning yang kemudian berubah menjadi asap.
"Asap beracun!" teriak Pendekar 212 begitu dia mencium bau yang menyengat hidung. "Ratu, kembali ke terowongan!"
Kedua orang itu berkelebat ke mulut terowongan dari mana tadi mereka datang. Tapi terlambat. Sebelum mereka bisa keluar dari ruangan, satu dinding batu secara aneh bergerak bergemuruh dan braak! Lobang terowongan yang merupakan satu-satunya jalan keluar tertutup rapat.
"Kurang ajar!" Maki Sukma Wiro.
"Kita terjebak!" ujar Ratu Duyung dengan wajah berubah.
"Jangan panik," kata Sukma Wiro sambil pegang tangan si gadis.
***
3
DI SAMPING Sukma Wiro, Ratu Duyung mulai tersengal. Sesaat kemudian dadanya terasa ‘ sesak dan gadis ini mulai batuk-batuk. "Ratu bertahanlah. Jangan panik. Kita harus bisa keluar dari tempat ini!" kata Sukma Wiro sambil memegang lengan Ratu Duyung. Kedua orang itu segera menutup jalan pernafasan dan pencium-an. Tapi berapa lama mereka bisa bertahan?Wiro perhatikan dinding di atasnya. Tepat pada pertemuan langit-langit ruangan. Sepanjang dinding sebelah atas kelihatan membersit asap kuning. Berarti ada celah memanjang di atas sana.
Dia berpaling pada Ratu Duyung memberi isyarat agar gadis itu bergerak menjauh ke belakangnya. Lalu dengan cepat tangannya hendak mencabut senjata sakti Kapak Maut Naga Geni 212 yang terselip di pinggang di balik pakaian.
"Wiro, kau mau melakukan apa?" tanya Ratu Duyung.
"Aku mau menjebol dinding itu dengan kapak sakti ini."
"Tunggu, aku punya firasat. Kalau dinding ini tidak tembus llmu Menembus Pandang, berarti senjata atau pukulan sakti apapun tidak bakal sanggup menghancur-kannya…"
"Lalu apa yang harus kita lakukan? Berdiam diri saja sampai akhirnya kita mati pengap di ruangan celaka ini?!"
"Pasti ada cara! Pasti! berpikirlah Wiro! Putar otakmu!" Ratu Duyung batuk-batuk. Dia semakin sulit bernafas.
Sukma Wiro menggaruk kepalanya habis-habisan. Dia tak bisa berpikir. Dalam keadaan seperti itu otaknya tak bisa bekerja.
"Wiro, ingat Nyi Roro Manggut! Ingat Ilmu Meraga Sukma yang kau dapat dari dia. Ilmu itu… pasti… pasti kau bisa melakukan sesuatu dengan ilmu itu!" Dengan suara tersengal-sengal Ratu Duyung keluarkan ucapan.
Sukma Wiro kembali menggaruk kepala. Dia mem-bayangkan pertemuan dengan Nyi Roro Manggut beberapa waktu lalu. Dia coba mengingat setiap ucapan Nyi Roro Manggut makhluk sakti berpenampilan sebagai seorang nenek cebol berhidung pesek bermata juling. Tapi ujud sebenarnya adalah seorang perempuan muda luar biasa cantik dan bagus tubuhnya.
"Aaah…." Sukma Wiro keluarkan suara mendesah panjang.
"Wiro, kau ingat sesuatu? Kau menemukan sesuatu dalam alam pikiranmu?" Ratu Duyung bertanya sambil mengguncang bahu Sukma Wiro. .
Sukma Wiro anggukkan kepala. Di telinganya saat itu mengiang suara ucapan Nyi Roro Manggut ketika dia berada di dasar samudera, di tempat kediaman makhluk sakti itu.
"Sosok yang duduk bersila di atas batu merah panas itu adalah sosokmu yang asli. Yang berdiri di sini adalah sukmamu. Inilah yang disebut ilmu Meraga Sukma. Si pemilik bisa meninggalkan tubuh kasarnya, melanglang buana dengan sukmanya yang bisa menembus ke mana-mana, bahkan masuk ke dalam lobang semut, lolos melewati lobang jarum sekalipun."
Sukma Wiro menatap ke arah dinding di hadapannya. Dia membayangkan wajah Nyi Roro Manggut. Hatinya bimbang, dirinya diselubungi keraguan. Apakah dia memang mampu melakukan hal itu? Lalu mulutnya ber-getar mengucapkan Basmallah. Saat itu juga dalam dirinya muncul satu keyakinan dan satu kekuatan yang bersumber pada satu kekuasaan yakni kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tanpa keraguan sedikitpun dia melangkah ke arah dinding batu. Ratu Duyung menyaksikan dengan mata tak berkesip hati tercekat sementara ruangan semakin dipenuhi asap kuning.
Sukma Wiro melangkah terus ke arah dinding. Tinggal satu langkah lagi dari hadapan dinding. Lalu sosok itu siap saling berbenturan dengan dinding batu. Tapi apa yang terjadi? Dinding batu itu seolah udara kosong. Sosok Sukma Wiro melangkah menembusnya lalu lenyap dari pemandangan Ratu Duyung. Sang Ratu tercekat kaget.
"Wiro!"
Ratu Duyung mengejar. Tapi sosok Sukma Wiro telah lenyap dan Sang Ratu hanya memegang dinding batu.
***
Di dalam ruangan dimana dia berada Hantu Penjun-jung Roh keluarkan suara kaget ketika dia melihat bagaimana sosok Pendekar 212 Wiro Sableng keluar dari dalam dinding batu. Adiknya, Iblis Kepala Batu Alis Empat tak kalah terkejutnya. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi. Seseorang, sanggup masuk ke dalam ruangan dengan cara menembus dinding batu! Apakah ini yang disebut Ilmu Meraga Sukma seperti yang dikatakan kakak-nya?"Pendekar 212 Wiro Sableng! Kau bisa selamat dari pendaman liang batu. Juga bisa lolos ketika kupendam dalam liang tanah. Tapi hari ini jangan harap kau bisa selamatkan diri dari kematian. Kau datang berdua. Tapi rupanya kau lebih suka memilih mati sendiri-sendiri. Kau mampus di sini dan sahabatmu meregang nyawa di ruang sana! Ha… ha… ha!"
Sukma Wiro berdiri di tengah ruangan dengan sikap tenang. Sewaktu memasuki ruangan itu tadi dia telah sempat melihat dimana beradanya guci tembaga tempat Bunga disekap. Yakni di atas sebuah meja batu di salah satu sudut ruangan. Untuk tidak membuat orang curiga, Sukma Wiro sengaja berdiri membelakangi guci tembaga itu. Dia tahu kalau dia harus bertindak cepat. Pertama mengambil guci dan kedua demi menyelamatkan Ratu Duyung yang berada di ruangan sebelah yang disirami asap beracun.
Iblis Kepala Batu Alis Empat sudah bisa menduga apa yang ada di benak Pendekar 212 saat itu. Karenanya secepat kilat dia melesat ke arah meja batu untuk mengambil guci tembaga. Namun lebih cepat dari gerakan, sang Iblis, tubuh Sukma Wiro berkelebat laksana siuran angin. Di lain kejap Sukma Wiro telah menghadang gerakan Iblis Kepala Batu.
Iblis Kepala Batu merutuk marah. Sukma Wiro tidak mau membuang waktu. Dia langsung hantamkan pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung ke arah kepala lawan. Ketika Iblis Kepala Batu menghindar Sukma Wiro susul dengan serangan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang.
"Jahanam kurang ajar!" damprat Iblis Kepala Batu. "Aku mau tahu sampai dimana kehebatanmu!"
Lalu tanpa tedeng aling-aling Iblis Kepala Batu sengaja sambuti pukulan Sukma Wiro dengan jotosan Iblis Tunggal Menjebol Tembok Roh. Pukulan ini bisa juga dilancarkan dengan dua tangan sekaligus dan disebut Dua Iblis Menjebol Tembok Roh.
"Buukk!"
Dua pukulan mengandung kesaktian tinggi beradu keras di udara. Sosok Sukma Wiro merasakan tubuhnya terangkat ke atas. Sebelum terpental dia masih sempat keluarkan ilmu oppo yakni ilmu menghancur tulang yang didapatnya dari Nenek Neko ketika dia terpesat ke Negeri Sakura.
"Kreek… kreekkk!"
Iblis Kepala Batu terpental sampai punggungnya menghantam dinding batu lalu jatuh terduduk di lantai ruangan. Dadanya berguncang hebat, seperti melesak akibat hantaman tenaga dalam lawan yang membanjiri tubuhnya sewaktu terjadi bentrokan jotosan tadi. Sambil menahan sakit Iblis Kepala Batu membatin heran.
"Aneh, pemuda jahanam itu mengapa tenaga dalam-nya seperti berlipat ganda?"
Seperti diketahui, ketika berada di dasar samudera Wiro telah bertemu dengan naga batu yang bisa menjelma hidup dan disebut dengan nama Naga Biru. Saat itu makhluk sakti yang telah mendekam selama ratusan tahun di dasar samudera ini menelan Kapak Naga Geni 212. Ketika Wiro menyelipkan kapak sakti itu kembali dia merasa ada hawa aneh mengalir dari dalam kapak memasuki tubuhnya sehingga dia merasa tubuhnya lebih enteng dan tenaga dalamnya jauh lebih besar.
Terhuyung-huyung Iblis Kepala Batu bangkit berdiri. Matanya mendelik ketika sadar apa yang terjadi dengan tangannya. Empat dari lima jari tangannya telah hancur dimakan cengkeraman Ilmu Koppo!
"Jahanam…. " rutuk Iblis Kepala Batu. Sekali dia per-gunakan tangan kiri mengusap tangan kanan yang remuk itu maka secara aneh empat jari tangan yang hancur kembali utuh! Dengan keluarkan suara menggereng Iblis Kepala Batu Alis Empat melompat ke hadapan Wiro. Dua tangannya dipentang. Kini dia siap melancarkan pukulan Dua Iblis Menjebol Tembok Roh.
Saat itu Sukma Wiro tengah berusaha berdiri. Ketika dilihatnya lawan datang dengan menghantamkan dua tangan sekaligus Sukma Wiro cepat bergerak mundur dan menyusup masuk ke dalam dinding batu.
"Bukk! Buukkk!"
Dua jotosan maut Iblis Kepala Batu menghantam dinding ruangan. Walau tidak sampai jebol tapi dinding itu hancur dan geroak besar di dua tempat.
Selain marah besar melihat serangannya tidak mengenai sasaran, Iblis Kepala Batu kembali terheran-heran menyaksikan bagaimana lawan bisa menghindar selamatkan diri dengan menyusupkan tubuh masuk ke dalam tembok. Selagi dia terheran bingung seperti itu tiba-tiba dari dalam tembok satu tangan mencuat melancarkan serangan dahsyat. Inilah pukulan yang disebut Tangan Dewa Menghantam Matahari. Yakni pukulan pertama dari enam pukulan inti Kitab Putih Wasiat Dewa.
"Praakkk!"
Bagaimanapun atosnya kcpala Iblis Kepala Batu Alis Empat, namun dihantam jotosan yang mengandung hawa sakti serta tenaga dalam luar biasa tinggi itu tak ampun Iblis Kepala Batu terpental ke dinding, roboh ke lantai dengan kepala pecah.
Perlahan-lahan dari dalam dinding batu Sukma Wiro bergerak keluar.
Si nenek Hantu Penjunjung Roh yang sejak tadi diam saja memperhatikan jalannya perkelahian meraung keras. Dia melompat menubruk sosok Iblis Kepala Batu, meraung sekali lagi lalu berpaling pada Sukma Wiro.
"Pemuda jahat! Kau membunuh saudaraku!"
"Nek, kematian mungkin adalah penyelesaian terbaik bagi dirinya," menyahuti Sukma Wiro. Lalu dengan cepat dia melompat menyambar guci tembaga di atas meja batu. Setelah dapatkan guci ini Sukma Wiro segera hendak berkelebat menerobos dinding ke arah ruangan dimana tadi dia meninggalkan Ratu Duyung.
Tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh.
"Siapa bilang aku mati!" Satu suara berucap lantang. Itu adalah suara tawa dan ucapan Iblis Kepala Batu Alis Empat. Tubuhnya yang tadi tergeletak tak berkutik dan dalam keadaan kepala pecah kini perlahan-lahan bangkit berdiri.
Apa yang telah terjadi? Sesaat setelah kepalanya pecah dan tubuhnya tergeletak di lantai batu, sewaktu Sukma Wiro berkelebat menyambar guci tembaga, tangan kanan Iblis Kepala Batu bergerak mengusap muka dan kepalanya. Ajaib luar biasa! Begitu kepala dan wajahnya diusap, kepala yang pecah dan muka yang hancur itu kembali utuh seperti semula!
Sukma Wiro melengak kaget.
"Aneh, apakah sewaktu kepalanya pecah tadi nyawa-nya belum melayang?! Mustahil bangsat ini punya nyawa cadangan!" membatin Sukma Wiro.
Hantu Penjunjung Roh sampai ternganga. Tidak per-caya kalau saudaranya punya ilmu kesaktian seperti itu.
"Pantas… pantas dia bicara begitu sombong! Tidak takut pada siapapun. Ternyata dia memiliki ilmu aneh!"
"Pendekar 212! Aku ampuni selembar nyawamu! Tapi lekas serahkan guci itu padaku!" Tiba-tiba Iblis Kepala Batu membentak. Taringnya mencuat tajam di sudut bibir.
Sukma Wiro mendengus.
"Kau boleh punya selusin nyawa. Siapa takut dirimu!"
"Kalau begitu terima kematianmu!" Kertak Iblis Kepala Batu. Sepasang matanya dipentang nyalang. Dia maju beberapa langkah mendekati Sukma Wiro.
Hantu Penjunjung Roh tiba-tiba melompat di antara ke-dua orang itu.
"Kalian gila semua! Hentikan perkelahian ini! Pendekar 212! Kau sudah dapatkan apa yang kau inginkan! Lekas tinggalkan tempat ini! Dan kau Hantu Pemasung Roh! Bertobatlah berbuat kejahatan!"
"Perempuan celaka! Sejak semula kehadiranmu di ranah Jawa ini hanya mengacau saja! Rupanya kau ingin ikutan mati bersama pemuda jahanam itu!"
"Hantu Pemasung Roh. Dengar, kau boleh punya ilmu setinggi langit sedalam lautan! Tapi jika datang hari apesmu, kau bakal menerima kematian secara sengsara!"
"Perempuan celaka! Menyingkir dari hadapanku!" bentak Iblis Kepala Batu.
"Tidak!" jawab si nenek malah sambil bertolak ping-gang.
Sebelumnya Wiro telah beberapa kali bertempur nelawan Iblis Kepala Batu. Salah satu diantaranya ketika dia berusaha menolong Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. Waktu itu sebelum diculik dan dilarikan oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat Sutri Kaliangan sempat berteriak.
"Wiro! Alis kiri sebelah kanan bawah! Alis kiri sebelah bawah…!"
Wiro dan Naga Kuning serta nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati pernah pula membicarakan serta memecahkan apa maksud ucapan Sutri Kaliangan itu. namun mereka tidak bisa menemukan apa makna atau apa yang hendak disampaikan puteri Patih Kerajaan itu dengan ucapannya tersebut.
Kini berada di tempat itu, dalam keadaan genting tegang begitu rupa, suara teriakan Sutri Kaliangan itu seolah terngiang kembali di telinga Sukma Wiro.
Sepasang mata Iblis Kepala Batu Alis Empat meman-dang nyalang tak berkesip ke arah Hantu Penjunjung Roh, lalu ke sebelah belakang di mana Sukma Wiro berdiri. Tiba-tiba Iblis Kepala Batu meluarkan bentakan keras. Sosok-nya naik ke udara setinggi lima jengkal. Dua matanya me-mancarkan kilatan aneh. Sesaat kemudian dari sepasang mata itu menyambar keluar dua larik cahaya menyilaukan.
"Sepasang Sinar Pemasung Roh" teriak Hantu Penjunjung Roh. Dia cepat merunduk. Dua larik cahaya menyambar lewat di atas kepalanya, terus menghantam ke arah Sukma Wiro. Namun Sukma Wiro sendiri yang sudah menyadari datangnya bahaya, cepat melompat ke kiri, masuk menembus dinding batu.
"Wusss! Wusss!"
"Blummmm!"
"Blummmmm!"
***
4
DUA larik cahaya menyilaukan menghantam dinding. Dua dentuman keras mengguncang ruangan batu itu. Pecahan batu dinding berhamburan. Sesaat ruangan itu diselimuti hamburan batu, pasir dan debu. Dua larik cahaya yang menghantam dinding berbalik ke tengah ruangan. Lalu terdengar satu pekik mengenaskan!"Nek!"
Sukma Wiro berteriak. Dalam udara yang masih tertutup hamburan pasir dan debu yang berasal dari hancuran dinding, Sukma Wiro berkelebat ke arah Iblis Kepala Batu yang saat itu berdiri tertegun, serasa tidak percaya menyaksikan bagaimana kilatan cahaya panas yang keluar dari kedua matanya telah berbalik meng-hantam kakaknya sendiri yaitu Hantu Penjunjung toh.
"Iblis jahanam! Kau inginkan guci ini! Ambillah!" teriak Sukma Wiro seraya ulurkan guci tembaga di angan kirinya ke muka Iblis Kepala Batu Alis Empat.
Masih terkesiap menyaksikan apa yang terjadi lengan kakaknya, Iblis Kepala Batu secara di luar sadar ulurkan tangan kanan menyambuti guci tembaga yang diserahkan Sukma Wiro. Pada saat itulah tiba-tiba tangan kanan Sukma Wiro secepat kilat berkelebat nenyambar ke arah mata kiri Iblis Kepala Batu Alis Empat. Saat itu juga satu raungan keras keluar dari mulut Iblis ini. Matanya sebelah kiri, termasuk dua buah alis merah yang berada di sebelah atas dan bawah kini berada dalam genggaman tangan Sukma Wiro.
"Kembalikan mataku! Kembalikan alisku!" teriak. Iblis Kepala Batu. "Aku bertobat! Aku minta ampun!"
Sukma Wiro menyeringai.
"Kau inginkan mata dan sepasang alismu. Ambillah!" Kalau tadi Sukma Wiro pergunakan Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad untuk membetot lepas mata dan dua alis kiri Iblis Kepala Batu, kini dia pergunakan Ilmu Meraga Sukma untuk membenamkan mata dan dua alis itu ke dalam dinding batu!
Iblis Kepala Batu merasakan sekujur badannya lemas. Seolah tidak bertulang lagi sosoknya jatuh ke lantai. Dia berusaha bangkit, merangkak mendatang Sukma Wiro.
"Kembalikan mataku! Kembalikan alisku! Tolong Pendekar 212, aku bersumpah! Aku bertobat!"
Sukma Wiro menyeringai. Kini dia tahu apa arti ucapan Sutri Kaliangan. Alis mata kiri sebelah bawah Iblis Kepala Batu, di situlah letak kekuatan dan kekebalannya. Tanpa alis yang satu kini keadaannya tidak beda seperti seekor cacing tanah.
Sukma Wiro mendekati sosok Hantu Penjunjung Roh yang tergeletak di lantai. Sebagian tubuhnya, dari dada sampai pinggang kelihatan hancur dan bergelimang darah. Orang lain cidera parah seperti itu mungkin sudah menemui ajal. Walau masih bisa bertahan hidup namun Sukma Wiro bisa menduga umur nenek satu ini tak bakal lama lagi.
"Pendekar 212…. Aku tak ingin mati di ruangan celaka ini. Bawa aku keluar…." Suara si nenek perlahan sekali dan sepasang matanya setengah terpejam.
"Nek, aku bisa keluar menembus dinding, tapi tidak mungkin membawa tubuh kasarmu…"
Si nenek menunjuk lemah ke arah dinding di mana terdapat tonjolan batu berwarna merah.
"Tekan… tekan batu merah itu. Sebuah pintu rahasia akan terbuka di sudut kanan. Semburan Asap Penyiksa Roh akan berhenti. Pintu yang menutupi… mulut terowongan akan terbuka. Tekan cepat…"
Sukma Wiro selipkan guci tembaga di pinggang. Lalu membungkuk di samping Hantu Penjunjung Roh.
"Nek, mengingat apa yang telah kau lakukan terhadap sahabatku Ratu Duyung, rasanya tidak perlu aku bersusah payah menyelamatkan dirimu dari ruangan ini. Tapi biarlah urusan hutang piutangmu dengan gadis itu kalian selesai-kan sendiri."
Sukma Wiro lalu panggul sosok si nenek lalu melang-kah ke sudut ruangan, menekan tonjolan batu merah di dinding. Di ruang sebelah semburan asap kuning beracun serta merta berhenti. Lalu berbarengan dengan itu ter-dengar suara berdesir di dinding sebelah kanan. Sebuah pintu membuka. Tanpa tunggu lebih lama Sukma Wiro melompat keluar dari ruangan itu. tapi ada dua tangan tiba-tiba mencekal kakinya.
"Pendekar 212… Aku bertobat! Aku minta ampun! Jangan tinggalkan aku dalam ruangan ini!"
"lbiis keparat!" rutuk Sukma Wiro ketika melihat yang memegangi dua kakinya adalah Iblis Kepala Batu Alis Empat. Kaki kanannya disentakkan ke atas lalu tumitnya dihantamkan ke kening orang.
"Praakk!"
Untuk ke dua kalinya kepala Iblis Kepala Batu Alis Empat pecah. Kali ini dia tak punya kemampuan lagi untuk mengusap dan membuat utuh kepala itu. Dari mulutnya keluar suara raungan menggidikkan lalu… hekk! Suara itu terputus. Sosok Iblis Kepala Batu terkapar di lantai tak berkutik lagi. Kali ini dia benar-benar telah menemui ajal!
Sukma Wiro melompat melewati pintu di dinding batu. Dia sampai di satu ruangan yang dipenuhi asap kuning. Saat itu tak ada lagi asap yang menyembur dari celah di sebelah atas. Sukma Wiro ingat di ruangan inilah dia meninggalkan Ratu Duyung.
"Ratu! Ratu Duyung!"
Sukma Wiro memandang berkeliling mencari-cari sam-bil kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Dia bisa melihat pintu mulut terowongan yang sebelumnya tertutup kini berada dalam keadaan terbuka. Sebagian asap kuning merambat keluar lewat mulut terowongan itu.
"Ratu! Ratu Duyung!" Sukma Wiro kembali berteriak.
Lalu pandangan Sukma Wiro membentur sesosok tubuh tergeletak di lantai. Sosok Ratu Duyung. Secepat kilat Sukma Wiro menyambar tubuh Ratu Duyung, me-manggulnya di bahu kiri sementara si nenek berada di bahu kanan. Sukma Wiro lari sepanjang terowongan menuju keluar. Dia tidak sadar kalau barusan telah melewati sosok kasarnya di dekat mulut terowongan yang masih berada dalam keadaan tak bergerak, duduk, bersila, mata terpejam.
Sampai di luar, di udara terbuka di dasar Lembah Welirang Sukma Wiro baringkan dua tubuh yang, dibawanya ke tanah. Saat itu matahari hampir mencapai puncaknya. Teriknya cahaya sang surya membuat kabut dan asap kuning jauh berkurang hingga udara di tempat itu lebih bersih dibanding pagi sebelumnya.
Saat itulah Sukma Wiro baru menyaksikan dengan jelas bagaimana wajah dan kulit tubuh Ratu Duyung kelihatan berwarna kuning. Ketika kelopak mata Ratu Duyung dibalikkannya, bagian mata yang seharusnya putih juga kelihatan kuning. Sukma Wiro dekatkan telinganya ke dada si gadis. Masih ada detakan jantung pertanda gadis itu masih hidup. Sukma Wiro membuat beberapa kali totokan di bagian tubuh tertentu Ratu Duyung. Gadis ini kemudian ditengkurapkannya. Perlahan-lahan dengan mengerahkan tenaga dalam dia mengurut sekujur tubuh sebelah belakang. Beberapa saat berlalu. Dua kaki Ratu Duyung kelihatan bergerak. Sukma Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata yang bisa menyedot segala macam racun ini diusapkannya berulang kali ke seluruh tubuh Ratu Duyung sebelah depan dan belakang. Kapak yang tadinya berwarna putih dan dilingkari cahaya tipis kemerahan kini berubah kekuning-kuningan pertanda senjata sakti ini berhasil menyedot racun jahat yang ada di tubuh si gadis.
Semakin kuning warna kapak sakti semakin putih tulit wajah dan tubuh Ratu Duyung. Tiba-tiba Ratu Duyung menggeliat lalu batuk keras berulang kali. Dari mulutnya mengalir cairan kuning. Sukma Wiro kembali melakukan beberapa kali totokan. Cairan kuning semakin banyak keluar dan akhirnya terhenti sama sekali.
Sukma Wiro membuka kelopak mata Ratu Duyung. Tak ada lagi bagian mata yang berwarna kuning. Lalu ia merenggangkan bibir gadis itu. Di dalam mulut si tadis ternyata masih ada cairan berwarna kuning. Wiro buka mulut Ratu Duyung lebih lebar. Lalu dia lekatkan mulutnya ke mulut si gadis. Tanpa ragu-ragu dia kemudian menyedot cairan di dalam mulut Ratu Duyung berulang kali hingga bersih sama sekali.
Tiba-tiba tangan yang sejak tadi kaku bergerak melingkar ke leher Sukma Wiro. Satu suara halus ter-dengar.
"Wiro…. Kita berada dimana? Apa yang terjadi?"
"Ah, syukur. Kau siuman," kata Sukma Wiro lalu dengan cepat melepas totokan dan membuat totokan baru. Sosok Ratu Duyung di dudukkannya di tanah, disandarkan ke satu lamping batu.
"Ratu, aku gembira kau selamat…"
"Wiro, Iblis Kepala Batu?"
"Dia sudah mati. Mudah-mudahan mati benaran."
"Apa maksudmu mati benaran?"
"Sudah, nanti saja aku ceritakan."
"Guci tembaga?"
"Aku berhasil mendapatkan." Sukma Wiro lalu keluarkan guci tembaga dan diperlihatkannya pada Ratu Duyung.
Ratu Duyung pegang guci tembaga itu sambil ter-senyum lalu berbisik. "Simpan guci itu baik-baik. Kita harus segera mengeluarkan Bunga dari dalamnya."
"Segera, tapi tidak di tempat ini. Kita mencari tempat yang baik di luar lembah." Ratu Duyung mengangguk.
"Pendekar 212…"
Ada suara memanggil. Hantu Penjunjung Roh.
"Ratu, kau tunggu sebentar. Aku akan menolong nenek itu." kata Sukma Wiro pula. Ketika dia hendak bangkit berdiri Ratu Duyung pegang lengan sang pendekar.
"Nenek jahat itu, kau masih mau menolongnya?"
"Umurnya tak lama lagi. Aku…"
"Jangan seperti menolong anjing terjepit Wiro. Begitu dia kau bebaskan, kau akan digigitnya…"
"Aku akan berhati-hati. Kau tak usah kawatir," kata Wiro pula lalu menghampiri si nenek.
Keadaan Hantu Penjunjung Roh saat itu ternyata sudah sangat payah. Nafasnya tinggal satu-satu. Sepasang matanya yang merah seolah masuk ke dalam. Asap merah berbentuk kerucut terbalik di atas kepalanya tinggal tipis dan bergoyang-goyang.
"Pendekar 212, nyawaku tak lama lagi. Ada sesuatu ingin kukatakan padamu. Dekatkan telingamu ke mulutku."
Sukma Wiro yang merasa tidak tega melihat keadaan si nenek, tidak sampai hati kalau tidak memenuhi per-mintaannya. Sebagian tubuh Hantu Penjunjung Roh hancur laksana dipanggang. Sukma Wiro dekatkan telinga kirinya ke mulut si nenek.
"Bicaralah Nek…" bisik Sukma Wiro.
"Pemuda jahanam! Kau telah membunuh adikku! Kalau bukan karena dirimu, aku juga tidak bakal menemui ajal saat ini! Sekarang giliranmu untuk mampus, ikut kami berdua ke alam akhirat!"
Sukma Wiro tersentak kaget.
"Nek…!"
"Hekkk!"
Dua tangan Hantu Penjunjung Roh yang tadi terkulai lemas, kini laksana japitan besi mencekik batang leher Sukma Wiro.
Sebelum lidahnya terjulur Sukma Wiro cekal dua lengan si nenek. Tapi cekikan Hantu Penjunjung Roh luar biasa kuatnya. Sulit dilepaskan! Sukma Wiro mulai megap-megap. Inilah satu keanehan. Kalau Sukma Wiro bisa menembus dinding batu, mengapa melepaskan diri dari cekikan saja tidak bisa? Pasti Hantu Penjunjung Roh memiliki ilmu penangkal bekerjanya Ilmu Meraga Sukma atas dirinya.
"Nenek setan! Hutangmu padaku masih belum aku tagih! Sekarang kembali kau memperlihatkan kebejatan budi! Orang telah menolongmu! Kau malah hendak membunuhnya!" Satu suara memaki. Satu kaki bergerak menendang.
"Bukkk!"
Sosok tubuh Hantu Penjunjung Roh mencelat mental lalu byuuur! Tubuh si nenek jatuh ke dalam danau kecil berair kuning. Untuk beberapa lamanya tubuh si nenek kelihatan mengapung. Lalu terjadi satu keanehan. Laksana leleh tubuh Hantu Penjunjung Roh berubah menjadi cairan putih. Cairan ini kemudian berubah menjadi asap, naik ke udara bersama sisi kabut dan asap belerang lalu sirna dari pandangan mata.
Sukma Wiro merasa tengkuknya dingin menyaksikan kejadian itu.
"Wiro, kau tak apa-apa?" Ratu Duyung yang kini telah berlutut di samping Wiro bertanya. Gadis inilah yang tadi menendang tubuh si nenek.
Sukma Wiro usap-usap lehernya yang kelihatan merah bekas cekikan Hantu Penjunjung Roh. Sambil geleng-geleng kepala dan garuk-garuk rambut Sukma Wiro ber-kata.
"Tadinya aku kira dia minta dicium sebelum mati. Tahu-tahu…"
"Tahu-tahu hampir saja kau mencium anjing yang kau lepaskan dari jepitan!"
Ratu Duyung tertawa lebar, mengusap rambut gondrong sang pendekar sambil berkata.
"Dasar sableng! Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa bergurau!"
"Aku memang jelas sableng. Jadi harap kau jangan ikut-ikutan sableng!"
Ratu Duyung menutup mulut menahan tawa. "Sebaik-nya kita segera tinggalkan tempat ini. Mencari tempat yang baik untuk mengeluarkan Bunga." Sukma Wiro melompat ke atas batu cadas.
"Hai tunggu dulu!" Ratu Duyung berseru.
"Ada apa?" tanya Sukma Wiro.
"Aku mau tanya dulu…"
"Hemm, tanya apa?"
"Sosokmu yang sekarang ini Wiro benaran atau sukma-mu yang gentayangan dalam Ilmu Meraga Sukma?"
Sukma Wiro terkejut!
"Astaga!" ucapnya. "Untung kau mengingatkan!"
"Aku tak mau jalan bersama dengan makhluk gaib atau jejadian sepertimu!" kata Ratu Duyung pula sambil tersenyum.
Sukma Wiro garuk-garuk kepala.
"Aku harus kembali ke terowongan. Tubuh kasarku masih tertinggal di sana! Kau tunggu di sini."
"Ya… ya cepatlah. Aku kawatir sosok kasarmu yang ada di sana diboyong hantu terowongan!"
Sukma Wiro kepalkan tinjunya.
Ratu Duyung tertawa-tawa memperhatikan Sukma Wiro berlari kembali ke arah lobang jalan masuk menuju terowongan di balik batu-batu cadas.
***
5
TAK lama setelah meninggalkan Lembah Welirang, kedua orang itu sampai di satu pedataran rumput. Walau rumput yang tumbuh adalah rumput liar, diseling alang-alang namun pemandangan di tempat ini cukup indah. Jauh di bawah pedataran kelihatan sebuah sungai kecil meliuk-liuk di antara kehijauan rimba belantara.Wiro yang sudah kembali pada ujud aslinya hentikan larinya. Saat itu sang surya telah condong ke barat. Wiro duduk di batang pohon tua yang tumbang dan melintang di ujung pedataran rumput. Berdampingan dengan Ratu Duyung.
"Sejak tadi aku mendengar suara sayup-sayup. Mungkin sekali suara Bunga dari dalam guci…" kata Pendekar 212. Lalu dia keluarkan guci tembaga yang di-selipkan dibalik pinggang.
"Saatnya kita mengeluarkan dia dari dalam guci," kata Ratu Duyung pula.
Wiro anggukkan kepala. Guci tcmbaga ditimang-timang, diperhatikan beberapa sat lalu dengan jari jarinya dia mengetuk-ngetuk badan guci.
"Bunga! Aku Wiro! Aku bersama Ratu Duyung. Apakah kau bisa mendengar suaraku?"
Angin sepoi-sepoi bertiup di pedataran.
Di antara suara dedaunan yang saling bergesekan, tiba-tiba dari dalam guci terdengar suara halus.
"Wiro! Kau menunggu apa lagi? Lekas keluarkan aku dari dalam guci!"
Wiro dan Ratu Duyung tampak lega mendengar suara gadis dari alam roh itu.
Wiro letakkan guci tembaga di atas batang pohon. Sesaat diperhatikannya benda hitam yang menyumpal dan menutup mulut guci. Dengan hati-hati dia tarik benda itu. Begitu penutup guci lepas, terdengar satu letupan kecil. Lalu dari dalam guci mengepul keluar asap putih. Perlahan-lahan asap ini sirna ditiup angin pedataran rumput.
"Bunga, penutup guci sudah aku buka. Mengapa kau masih belum keluar?" Wiro bertanya setelah beberapa saat menunggu.
"Kaki dan tanganku terbelenggu ke dasar guci!"
"Apa?!"
"Dua hari lalu Iblis Kepala Batu membelenggu tangan dan kakiku ke dasar guci. Kau harus memecah guci ini untuk bisa membebaskan diriku!"
"Kurang ajar!" kata Wiro geram sekali.
Di sampingnya Ratu Duyung berkata. "Kau harus mengeluarkan Ilmu Meraga Sukma kembali untuk bisa masuk ke dalam guci itu. Jika kau belah dari luar aku khawatir Bunga akan cidera."
Wiro mengangguk. "Aku ingat ucapan Kakek Segala Tahu. Untuk bisa membebaskan Bunga, katanya aku harus jadi kentut!"
"Jadi kentut?!" Ratu Duyung bertanya heran. "Pasti kau bergurau lagi."
"Tidak. Maksud kakek itu aku harus jadi angin dan nasuk ke dalam guci." Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng duduk bersila di rumput. Dua tangan dirang-kapkan di depan dada. Mata dipejamkan. Pikiran dikosong-kan. Lalu dia mengucapkan Basmallah, dan merapal kata Meraga Sukma sebanyak tiga kali. Sesaat kemudian, seperti yang pernah disaksikan Ratu Duyung sebelumnya, dari tubuh kasar Wiro bergerak keluar satu sosok samar menyerupai asap. Asap ini bergelung ke udara membentuk sosok kecil Pendekar 212 Wiro Sableng, meliuk-liuk lalu menukik turun dan masuk ke dalam guci.
Ratu Duyung kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Tapi ilmu itu tidak bisa menembus dinding guci. Dia tidak bisa melihat apa yang terjadi. Sayup-sayup didengarnya suara orang bicara. Lalu ada suara berkerontang halus. Tak lama kemudian ada asap membubung keluar dari dalam guci. Asap membentuk dua sosok tubuh. Yang pertama sosok Wiro dalam keadaan memegang Kapak Naga Geni 212 dengan tangan kanan sementara tangan kiri memegang lengan sosok kedua yang bukan lain adalah Bunga. Dua sosok yang menyerupai asap itu perlahan-lahan berubah besar. Akhirnya membentuk ujud utuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan Bunga gadis dari alam roh, mengenakan pakaian kebaya panjang putih yang kotor dan lusuh serta berwajah sangat pucat. Rambut tergerai kusut.
Berdiri di pedataran rumput Bunga terheran-heran me-lihat ada dua sosok Wiro. Satu yang berdiri di hadapannya yaitu yang tadi masuk ke dalam guci. Satu lagi yang saat itu masih duduk dalam keadaan bersila rangkapkan tangan di depan dada. ,
"Aku tak mengerti…" bisik Bunga.
Wiro selipkan kapak saktinya ke pinggang. Lalu per-lahan-lahan dia melangkah ke sosok dirinya yang duduk bersila di atas rumput. Sosok Sukma Wiro berubah samar, kemudian masuk ke dalam sosok kasar. Tak lama kemudi-an setelah melafalkan Meraga Sukma Kembali Pulang sebanyak tiga kali, sosok Wiro yang duduk bersila perlahan-lahan membuka mata, menurunkan sepasang tangan dan bangkit berdiri menghampiri gadis alam roh.
"Ilmu aneh. Luar biasa…" kata Bunga terkagum-kagum. "Wiro, aku, aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu…"
Tidak bisa meneruskan kata-katanya, Bunga jatuhkan diri ke dada bidang Pendekar 212.
"Bunga…" Suara Pendekar 212 bergetar dan setengah tercekat. Waktu di dalam guci, ketika dia memutus belenggu besi di kaki dan tangan si gadis, dia tidak dapat melihat jelas keadaan Bunga. Kini melihat keadaan gadis itu begitu rupa hatinya terharu sekali. Ketika Bunga men-jatuhkan diri ke atas dadanya Wiro segera memeluknya.
"Tadinya aku mengira tak akan pernah keluar lagi dari dalam guci itu…" Ucap Bunga sambil memeluk Wiro erat-erat. Wiro merasakan hangatnya air mata si gadis di per-mukaan dadanya.
"Iblis Kepala Batu Alis Empat sudah menemui ajal."
"Aku tahu. Walau cuma mendengarkan suara dari dalam guci tapi aku tahu semua yang telah terjadi. Aku sangat berterima kasih padamu Wiro. Kau telah menyelamatkan diriku…"
"Pertama sekali berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih. Hanya dengan kekuasa-anNya dirimu bisa selamat…"
"Dalam alamku, aku memang sudah terlalu lama tidak mengingat Yang Satu itu. Tapi bagaimanapun juga kau adalah kepanjangan tangan Tuhan yang nenolongku…"
"Sebenarnya ada beberapa orang lain kepada siapa kau pantas berterima kasih. Bukan kepadaku…"
"Aku tahu. Aku ingin kau menyebutkan mereka satu persatu agar aku tidak salah mengenang budi dan ber-terima kasih…"
"Mulai dari Kakek Segala Tahu. Dia yang pertama kali memberi petunjuk tentang bagaimana caranya agar aku bisa menolongmu. Lalu pada Nyi Roro Manggut, seorang sakti di dasar samudera kawasan selatan. Dialah yang memberikan Ilmu Meraga Sukma padaku. Lalu pada Nyi Agung Roro Kidul, penguasa kawasan samudera selatan yang telah mengizinkan aku untuk bisa bertemu dengan Nyi Roro Manggut. Kemudian pada Ratu Duyung sahabat-ku. Kalau bukan dengan pertolongannya mustahil aku bisa masuk ke dalam laut menemui Nyi Roro Manggut."
"Ratu Duyung, aku tahu. Budinya besar sekali. Tapi di manakah dia? Bukankah tadi dia ada di sini bersamamu. Bukankah dia ada bersamamu sejak berada di sarang Iblis Kepala Batu?"
Pendekar 212 Wiro Sableng memandang berkeliling. Dia baru sadar kalau saat itu Ratu Duyung tak ada lagi di tempat itu.
Bunga menghela nafas dalam.
"Aku ingin sekali bertemu dengan dia. Tapi mungkin dia sengaja mengelak. Di masa lalu hubungan kami memang kurang baik. Mungkin aku banyak berbuat keliru."
"Bunga, harap kau mau menunggu sebentar. Aku akan mencari Ratu Duyung. Dia pasti berada di sekitar sini…"
Bunga cepat memegang lengan Wiro dan berkata.
"Tak usah pergi. Waktuku tidak banyak lagi. Aku sudah terlalu lama meninggalkan alamku. Ada satu hal yang ingin aku sampaikan selain dari ucapan terima kasih atas budi pertolonganmu. Aku tidak malu mengatakan bahwa pada pertemuan kita pertama kali dulu aku telah jatuh cinta padamu. Saat ini, sampai dalam keadaanku seperti ini sebagai makhluk yang tidak satu dunia dengan dirimu, rasa cinta itu tak pernah hilang. Malah semakin bertambah dan semakin dalarn. Namun aku mengerti siapa diriku. Alam kita berbeda. Aku tidak perlu menanyakan, apakah kau mengasihi diriku, apakah kau mencintai diriku. Kalau-pun perasaan itu ada dalam lubuk hatimu, rasa cinta dan kasih sayang kita hanya akan tetap merupakan perasaan belaka. Kita tidak mungkin bersatu. Apapun yang terjadi, sampai kapanpun kita tak mungkin…."
Wiro membelai rambut Bunga lalu memegang dua pipi-nya. Air mata masih meleleh membasahi pipi pucat gadis alam roh itu.
"Saat ini kau tidak boleh bicara segala ketidak-mungkinan. Serahkan semua pada Yang Maha Kuasa. Aku ingin kau tetap bersamaku selama beberapa hari…"
Bunga tersenyum. "Itu satu hal yang lagi-lagi tidak mungkin. Sebelum aku pergi aku ingin mengatakan se-suatu. Di luar diriku, aku tahu begitu banyak gadis men-cintai dirimu. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu ter-hadap mereka. Tetapi jika kelak dikemudian hari kau ingin memilih salah satu dari mereka sebagai teman hidupmu, jatuhkanlah pilihanmu pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik."
Wajah Pendekar 212 berubah.
"Mengapa kau berkata begitu Bunga?"
"Pertanyaanmu tidak akan kujawab. Aku ingin agar kau sendiri yang mencari tahu, yang mencari jawabannya…"
"Mungkin karena dia telah menanam budi menyela-matkan dirimu dari sekapan guci Iblis Kepala Batu?"
"Kalaupun aku harus menemui kematian ganda di dalam guci itu, aku tetap akan mengatakan agar kau me-milih dirinya sebagai teman hidupmu."
Murid Sinto Gendeng jadi terdiam.
"Saatnya aku pergi Wiro."
"Tidak. Tunggu dulu…"
Gadis dari alam roh itu tersenyum. Kini dia yang ganti mendekap wajah si pemuda dengan kedua tangannya.
"Aku pergi Wiro. Ingat selalu apa yang telah aku ucap-kan saat ini padamu. Sampaikan salam dan terima kasihku pada Ratu Duyung."
Wiro coba memeluk gadis itu. Tapi seperti angin, Bunga meliuk lepas dan melesat ke udara untuk kemudian lenyap dari pemandangan.
Lama Wiro terduduk di batang pohon kayu di ujung pe-dataran rumput. Beberapa kali dia menghela nafas dalam dan menggaruk kepala. Lalu dia bangkit berdiri.
"Ratu Duyung…" Wiro memanggil. "Ratu…" Wiro me-langkah menyusuri pinggiran pedataran. Sampai ke ujung dia kembali lagi. Ratu Duyung lenyap entah kemana. Wiro merasa berdosa seolah telah melupakan gadis itu ketika tadi dia keluar dari dalam guci bersama Bunga. Tiba-tiba dia mendengar suara isakan. Wiro memandang ke arah semak belukar rapat di ujung kanan. Dia cepat melangkah ke tempat itu. Di balik semak belukar dia menemukan Ratu Duyung duduk dengan kepala dibenamkan di atas dua lutut yang dilipat.
"Ratu…." Wiro berlutut di samping gadis itu. "Bunga ingin menemuimu. Tapi kau seperti mengelak. Mengapa? Kau tidak suka padanya?"
Perlahan-lahan Ratu Duyung angkat wajahnya. Tanpa memandang pada Wiro dia berkata.
"Kami memang pernah berseteru. Sudah lama kejadiannya dan aku sudah melupakan hal itu. Kalau aku mungkin penyebab semua itu, aku berharap mungkin sedikit budi yang aku tanamkan bisa menebus dosaku ter-hadapnya…"
"Bunga tidak pernah mengingat lagi semua kejadian di masa lalu. Dia menyampaikan pesan dan terima kasih padamu."
Ratu Duyung menyeka air matanya. "Apa lagi yang di-katakan Bunga padamu?"
"Banyak…"
"Tentang diriku?"
"Banyak sekali."
"Coba kau beritahu satu persatu."
Wiro tertawa lebar.
"Akan kuberitahu. Tapi tidak sekarang ini. Kita masih banyak urusan. Aku tidak tahu apakah para sahabat telah berhasil mendapatkan Melati Tujuh Racun untuk meng-obati Patih Kerajaan. Lalu bagaimana dengan Pedang Naga Suci 212 yang lenyap. Juga Kitab Seribu Pengobatan milik Eyang Sinto Gendeng yang dicuri orang…"
Dalam hati Ratu Duyung berkata. "Kau tidak mau memberitahu apa saja yang dikatakan Bunga padamu. Tapi tadi aku mendengar semua apa yang kalian bicarakan. Kelak aku ingin tahu, apakah kau mau berkata jujur menceritakan semua apa yang dikatakan gadis alam roh itu. Terutama mengenai hal yang satu itu…"
Wiro memegang lengan Ratu Duyung, membantu gadis ini berdiri. Saat itu ucapan Bunga seolah terngiang di te-linga sang pendekar. "Jika kelak dikemudian hari kau ingin memilih salah satu dari mereka sebagai teman hidupmu, jatuhkan pilihanmu pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik."
Wiro garuk-garuk kepala lalu tersenyum.
"Kenapa kau tersenyum?" Ratu Duyung bertanya.
"Apa aku tak boleh tersenyum?" Tanya Wiro.
"Pasti ada sesuatu. Ada sebabnya."
"Tidak, kali ini aku tersenyum tidak ada sebabnya."
"Oh begitu? Aneh…"
"Aneh bagaimana maksudmu?"
"Tidak, tidak ada maksud apa-apa," jawab Ratu Duyung.
Wiro menggaruk kepala.
"Ah, kau sengaja menggodaku. Aku ingin tahu apakah kau juga bisa tersenyum." Lalu Wiro menggelitik pinggang gadis bermata biru itu hingga Ratu Duyung terpekik ke-gelian dan lari menuruni pedataran berumput.
***
6
DI DALAM Episode sebelumnya (Melati Tujuh Racun) telah diceritakan kemunculan Hantu Jatilandak, pemuda berkulit serba kuning yang terpesat dari Negeri Latanahsilam sewaktu meledaknya Istana Kebahagiaan. Juga dikisahkan bagaimana Jatilandak menemukan bunga Melati Tujuh Racun yang menyumpal di liang telinga Setan Ngompol.Oleh Setan Ngompol bunga melati keramat yang meru-pakan satu-satunya obat penyembuh Patih Kerajaan diserahkan pada Bidadari Angin Timur yang muncul di tempat itu bersama Anggini. Bidadari Angin Timur mem-bungkus bunga melati hitam itu dalam sehelai lipatan sapu tangan.
Selagi mereka membicarakan Hantu Jatilandak yang tiba-tiba saja melenyapkan diri dari tempat itu, serta mem-perbincangkan bagaimana caranya agar bisa menemui Pendekar 212 Wiro Sableng, secara tidak terduga murid Sinto Gendeng itu justru muncul di tempat itu. Tentu saja semua orang menjadi gembira.
Tidak perlu susah-susah mencari Wiro dan perjalanan ke Kotaraja menuju Gedung Kepatihan bisa segera dilaku-kan.
Tapi kehadiran Pendekar 212 kali ini mendatangkan rasa curiga dalam diri Bidadari Angin Timur dan Anggini. Dia datang sendirian, padahal sebelumnya pergi bersama Ratu Duyung menuju Lembah Welirang.
Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan dijawab Wiro dengan sikap dan ucapan agak janggal, tidak ber-sambung. Ketika Setan Ngompol menerangkan bahwa mereka baru saja berhasil menemukan Melati Tujuh Racun, Wiro serta merta meminta bunga itu dengan sikap setengah memaksa. Karena Setan Ngompol menyuruh Bidadari Angin Timur menyerahkan bunga melati tersebut pada Wiro, mau tak mau si gadis berambut pirang ini serahkan bunga yang disimpannya dalam lipatan sapu tangan itu pada Pendekar 212.
Begitu menerima selampai berisi bunga, Pendekar 212 Wiro Sableng segera minta diri mendahului menuju Kota raja. Setelah Wiro pergi kecurigaan dalam diri dua gadis jadi bertambah-tambah. Si kakek tukang ngompol juga merasa ada yang tidak beres.
"Anak sableng itu!" kata Setan Ngompol sambil me-rapikan celananya yang basah kuyup dan kedodoran. "Dua kali aku menyebut nama Hantu Jatilandak. Kali terakhir malah aku jelaskan kalau pemuda muka kuning itulah yang telah menolong menemukan Melati Tujuh Racun. Tapi si gondrong itu tidak acuh. Seperti tidak mendengar apa yang aku katakan."
"Dia mendengar Kek, tapi sepertinya dia tidak kenal pada Hantu Jatilandak," ujar Anggini pula.
"Di situlah letak keanehannya! Seharusnya dia terkejut mendengar Hantu Jatilandak ada di Tanah Jawa ini. Sewak-tu di Negeri Latanahsilam, dia pernah menolong Hantu Jatilandak, masakan dia lupa pada pemuda itu?"
"Keanehan yang kami lihat lain lagi Kek," ucap Bidadari Angin Timur. "Pertama, dia pergi bersama Ratu Duyung. Muncul seorang diri. Kedua, jika dia memang telah mem-bebaskan Bunga, masakan mereka berpisah begitu saja di Kotaraja. Ketiga, mengapa dia memaksa pergi lebih dulu. Meninggalkan kita pergi ke Kotaraja membawa Melati Tujuh Racun. Apa salahnya kita pergi sama-sama. Ke-anehan keempat, seingatku Wiro tidak pernah memanggil kami dengan kata kawan-kawan. Biasanya dengan pang-gilan sahabat. Itupun jarang dilakukan."
"Sesuatu telah terjadi dengan anak sableng itu. Mungkin ini akibat ilmu baru yang dimilikinya. Ilmu Meraga Sukma. Ah, aku menyesal menyuruh kau memberikan bunga sakti itu padanya," kata Setan Ngompol sambil me-nahan kencing. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Aku ingin kita mengikutinya ke Kotaraja," jawab Bidadari Angin Timur yang saat itu paling jengkel dan penasaran.
"Aku setuju!" kata Setan Ngompol. "Nah, kita tunggu apa lagi?"
Sambil pegangi perutnya untuk menahan kencing kakek ini berkelebat ke arah lenyapnya Pendekar 212. Bidadari Angin Timur dan Anggini segera mengikuti.
Belum lama rombongan terdiri dari tiga orang itu me-nempuh jalan menuju Kotaraja, di satu pedataran tinggi yang banyak ditumbuhi pohon jati serta tebaran batu-batu bekas reruntuhan tembok sebuah candi yang telah rusak, terdengar suara orang saling bentak. Satu perkelahian hebat rupanya tengah berlangsung di tempat itu.
"Serrr!"
Setan Ngompol langsung kucurkan air kencing lalu hentikan larinya. Dia menunjuk ke arah pedataran tinggi yang dirapati deretan pohon-pohon jati.
"Ada orang berkelahi di atas pedataran sana. Aku ingin menyelidik."
"Perlu apa menyelidik membuang waktu Kek?" ujar Bidadari Angin Timur. "Kita punya urusan jauh lebih pen-ting."
"Aku tahu," jawab Setan Ngompol. "Kita sudah tahu ke mana perginya Wiro. Ke Kotaraja. Berarti kita sudah tahu arah yang dituju. Soal menyelidik siapa yang berkelahi itu hanya urusan sesaat saja. Aku punya firasat, apa yang ter-jadi di pedataran tinggi sana ada sangkut pautnya dengan semua keanehan, yang tadi kita bicarakan."
Setan Ngompol lalu berkelebat ke arah pedataran ting-gi. Dua gadis tak bisa berbuat lain, berlari mengikuti si kakek.
Ketika mereka melewati deretan pohon-pohon jati dan akhirnya sampai di puncak pedataran, mereka semua ke-luarkan seruan tertahan.
Di puncak pedataran mereka menyaksikan satu pe-mandangan sulit dipercaya. Dua sosok Pendekar 212 Wiro Sableng saling bertempur satu sama lain. Tak jauh dari situ Ratu Duyung kelihatan berkelahi dikeroyok dua kakek. Kakek pertama berpakaian ringkas warna biru bukan lain adalah Rana Suwarte, tokoh silat Istana yang tergila-gila pada Gondoruwo Patah Hati alias Ning Istana Lestari. Di sebelahnya, kawannya yang mengeroyok Ratu Duyung adalah seorang kakek bermuka pucat laksana mayat hidup yang sekali lihat saja segera diketahui kalau dia adalah Si Muka Bangkai, guru Pangeran Matahari. (Seperti diketahui Si Muka Bangkai yang asli telah menemui ajal di Pangan-daran, dibunuh oleh Bujang Gila Tapak Sakti sewaktu ter-jadi pertempuran hebat antara para dedengkot golongan hitam melawan para tokoh puncak golongan putih. Si Muka Bangkai yang kemudian malang melintang dalam rimba persilatan adaiah saudara kembar Si Muka Bangkai yang konon lebih ganas dari Si Muka Bangkai yang asli dan memiliki ilmu silat serta kesaktian tidak dibawah saudara kembarnya yang sudah almarhum itu)
Setan Ngompol terkencing-kencing menyaksikan per-kelahian hebat di puncak bukit jati itu. Sambil memegangi perutnya dia berkata.
"Gila! Yang mana Wiro sungguhan, yang mana yang palsu?!"
"Yang palsu adalah yang tadi kau suruh aku menyerah-kan Melati Tujuh Racun padanya!" Menjawab Bidadari Angin Timur.
"Dua gadis cantik. Salah satu dari dua orang kembar itu pasti Wiro palsu. Berjaga-jagalah. Jangan dia sampai lolos! Kalian harus dapatkan Melati Tujuh Racun itu kembali!"
"Kakek tukang kencing! Kau sendiri mau ke mana?" tanya Bidadari Angin Timur.
"Aku mau membantu sahabatku si mata biru," jawab Setan Ngompol lalu melesat ke hadapan Rana Suwarte. Sambil tertawa ha-ha he-he dan pegangi perutnya kakek yang kini berkepala botak karena harus memenuhi kaulan itu berseru pada Rana Suwarte.
"Rana Suwarte pencuri Keris Naga Kopek pusaka Kerajaan! Pembunuh gadis cilik bernama Sulantri! Sobatku Naga Kuning telah menghancurkan tangan kirimu! Kau masih malang melintang jual lagak! Apa kau kira dengan tangan hancur seperti itu Ning Intan Lestari masih mau melihat tampangmu?! Hari ini kalau tidak bisa mencekok mulutmu dengan kencingku biar aku disunat sekali lagi! Ha… ha… ha!"
Dimaki sebagai pencuri keris pusaka Kerajaan serta sebagai pembunuh Sulantri tidak membuat marah Rana Suwarte. Tapi ucapan Setan Ngompol menyebut-nyebut Ning Intan Lestari alias Gondruwo Patah Hati yang selama ini digilainya membuat Rana Suwarte jadi naik darah.
"Aku memang sudan lama mengincar nyawamu. Hari ini aku bersumpah mengorek jantungmu!"
Setan Ngompol tertawa bergelak.
"Hati-hati kalau bicara! Jaga mulut sombongmu!" kata Setan Ngompol. Lalu setengah pancarkan air kencing kakek ini melesat ke arah Rana Suwarte.
"Wuutttt!"
Dalam keadaan tubuh masih melayang di udara Setan Ngompol lancarkan serangan berupa tendangan, dalam jurus yang disebut Setan Ngompol Mengencingi Pusara.
Rana Suwarte keluarkan tawa mengejek. Dengan mudah dia bisa menghindar dari serangan Setan Ngompol. Tapi cipratan air kencing yang bertebaran bersama ten-dangan itu sempat membasahi pakaian bahkan wajahnya yang pucat. Karuan saja Rana Suwarte jadi mendidih amarahnya. Ketika lawan kembali menyerang dia segera menghadang dengan serangan balasan. Perkelahian antara dua jago tua ini berkecamuk hebat. Tapi tangan kirinya yang cidera berat dan saat itu masih dibalut merupakan kendala besar bagi Rana Suwarte dalam menghadapi kakek tukang kencing yang kelihatan konyol itu tapi sebenarnya sangat berbahaya.
Kita kembali dulu pada Ratu Duyung.
Sewaktu dikeroyok dua oleh Rana Suwarte dan Si Muka Bangkai, Ratu Duyung sempat terdesak hebat. Apa lagi dirinya masih lemas akibat pengaruh jahat Asap Penyiksa Roh. Begitu menghadapi Si Muka Bangkai satu lawan satu, semangat gadis bermata biru ini jadi berkobar. Dia keluarkan jurus-jurus aneh ilmu silat dasar samudera. Dalam waktu singkat Ratu Duyung mulai mendesak lawan-nya. Melihat bahaya mengancam Si Muka Bangkai segera keluarkan pukulan-pukulan saktinya.
Mula-mula Si Muka Bangkai bentengi diri dengan ilmu Sepuluh Tameng Kematian. Sepuluh sinar merah kuning dan hitam berselang seling menyambar membentengi tubuhnya tapi secara tak terduga bisa berubah menjadi serangan ganas. Beberapa kali Ratu Duyung coba susup-kan serangan atau tendangan namun selalu sia-sia. Dari pada kedahuluan dicelakai lawan maka Ratu Duyung segera keluarkan cermin saktinya. Kini dalam perkelahian kedua orang itu terlihat sambaran-sambaran sinar putih menyilaukan yang keluar dari permukaan cermin, meng-gempur sepuluh larik sinar sakti yang membentengi Si Muka Bangkai. Walau kakek muka mayat ini tidak gentar menghadapi Ratu Duyung dan merasa masih bisa bertahan bahkan punya niat untuk mulai mengeluarkan pukulan ganas Gerhana Matahari namun keadaan mendadak berubah ketika dua gadis yang sejak tadi rnemperhatikan jalannya perkelahian dari jauh, tibatiba melesat ke arahnya.
Sebelumnya antara Bidadari Angin Timur dan Anggini terjadi percakapan.
"Tanganku sudah gatal. Kita pilih mana? Rana Suwarte atau Si Muka Bangkai?" Bertanya Bidadari Angin Timur.
"Menurutku kakek tukang kencing itu tidak punya kesulitan menghadapi lawannya. Aku memilih si bungkuk muka pucat. Kau sendiri bukankah punya dendam kesumat terhadap guru Pangeran Matahari itu?" Yang bicara adalah Anggini.
Walau Si Muka Bangkai yang satu ini bukan sungguh-an guru Pangeran Matahari tapi Anggini langsung saja men-jawab.
"Setuju!"
"Dua gadis cantik! Kalian mencari penyakit! Mengapa tidak menunggu giliran sampai kakekmu ini melayani kalian di atas ranjang?! Ha… ha… ha!" Sebenarnya Si Muka Bangkai merasa kecut dengan turunnya dua gadis cantik itu ke gelanggang pertempuran. Dia tahu benar kehebatan Anggini dan Bidadari Angin Timur. Cuma untuk menyem-bunyikan rasa jerihnya dia sengaja keluarkan ucapan seperti itu.
"Bangkai tua bermulut kotor!" teriak Bidadari Angin Timur. "Lihat serangan!" Bidadari Angin Timur, yang dikenal memiliki gerakan luar biasa cepatnya goyangkan kepala. Bau wangi menebar, rambut pirangnya berkelebat laksana tebasan pedang. Dari sebelah kiri Anggini murid Dewa Tuak menghantam dengan jurus ganas bernama Memecah Angin Meruntuh Matahari Menghancur Rembulan!
Si Muka Bangkai membentak keras. Tubuhnya ber-kelebat sambil gerakkan tangan kiri kanan melepas pukulan Merapi Meletus. Tapi gerakan tangan Si Muka Bangkai hanya setengah jalan. Dalam satu gerakan cepat sekali, Bidadari Angin Timur berputar gesit dan tahu-tahu telah berada di belakang lawannya. Di sebelah depan cahaya yang melesat keluar dari cermin sakti Ratu Duyung menyilaukan matanya. Si Muka Bangkai tidak melihat gerakan Bidadari Angin Timur. Dia terpaksa pergunakan salah satu tangannya untuk melindungi mata yang kesilauan sambil melompat ke kanan menjauhi serangan ganas Anggini. Pada saat itulah dari belakang datang melanda jotosan Bidadari Angin Timur. Telak bersarang di punggungnya yang bungkuk!
"Bukkk!"
Sosok Si Muka Bangkai mencelat dua tombak.
Darah segar menyembur dari mulut kakek ini. Jatuh ke tanah dia masih sanggup bertahan dengan cara berlutut, tak sampai roboh atau terguling-guling.
Memandang ke depan tiga gadis dilihatnya mengurung rapat, memandang dengan wajah-wajah cantik tapi angker seolah tiga bidadari yang muncul membawa persembahan anggur kematian!
Perlahan-lahan Si Muka Bangkai bangkit berdiri. Saat itu didengarnya Ratu Duyung berseru.
"Para sahabat! Tunggu apa lagi! Ini saatnya kita berebut pahala menghabisi manusia sejuta jahat penimbul sejuta bencana!"
Tiga tubuh elok serentak berkelebat.
Tiga tangan halus menderu ke satu sasaran.
Si Muka Bangkai tiba-tiba kembangkan dua tangannya.
"Aku Si Muka Bangkai akan merasa bahagia jika dapat mati bersama kalian bertiga!"
Dari dua tangan yang mengembang itu tiba-tiba menebar bubuk berwarna biru. Bau aneh menggidikkan tercium santar.
"Awas bubuk beracun!" Teriak Anggini memperingat-kan.
Tiga gadis serta merta batalkan serangan. Malah mere-ka terpaksa bersurut mundur. Kesempatan ini tidak disia-siakan Si Muka Bangkai. Sekali dia mengenjot ke dua kakinya, tubuhnya melesat ke udara sampai dua tombak. Menembus ranting-ranting dan dedaunan lebat sebuah pohon jati. Ratu Duyung bertindak cepat. Dia sudah maklum apa yang hendak dilakukan si kakek. Cermin sakti diputar demikian rupa. Cahaya menyiaukan berkiblat.
"Wusss!"
Ranting dan daun-daun pohon jati di atas sana meranggas dilamun kobaran api. Namun sosok Si Muka Bangkai lenyap tak kelihatan lagi!
***
7
MENGETAHUI kalau Si Muka Bangkai telah kabur melarikan diri, Rana Suwarte yang saat itu berada dibawah tekanan serangan Setan Ngompol mulai leleh nyalinya. Beberapa jotosan lawan telah mendarat di tubuh dan pipi kanan hingga wajahnya kelihatan bengap merah kebiruan. Dua giginya rontok. Dalam menahan sakit Rana Suwarte juga menyumpah panjang pendek. Dia menyesali kebodohan dirinya sendiri yang berserikat dengan Pangeran Aryo Probo alias Sarontang untuk men-curi Keris Naga Kopek dari tempat penyimpanan di Istana. Ternyata Sarontang telah menipunya. Kalau keris sakti itu masih ada padanya saat itu mungkin sudah sejak tadi-tadi Setan Ngompol dihabisinya. Kini Si Muka Bangkai yang jadi andalannya telah kabur. Mau tak mau dalam otak Rana Suwarte timbul pula niat untuk melarikan diri. Maka dia segera mengatur siasat mencari kesempatan untuk melari-kan diri. Sambil terus mundur dicecar serangan gencar Setan Ngompol, Rana Suwarte coba keluarkan pisau ter-bang yang merupakan salah satu senjata andalannya. Tapi Setan Ngompol sudah bisa menduga siasatnya dan tidak memberi kesempatan pada lawan.Rana Suwarte dengan nekad keluarkan jurus-jurus simpanannya. Begitu gempuran lawan sedikit terbendung dengan cepat dia menyelinap ke balik sederetan pohon jati. Dia membuat gerakan cepat dan aneh. Lalu di lain kejap sosoknya lenyap dari pemandangan Setan Ngompol.
"Sialan! Kemana lenyapnya bangsat itu!" maki Setan Ngompol dan serrr! Kencingnya mengucur.
Rana Suwarte memang bisa membuat gerakan menipu Setan Ngompol. Tapi dia tidak bisa memperdayai pandang-an mata tiga gadis yang sejak tadi mengawasi gerak geriknya. Ketika dia berhasil menipu Setan Ngompol dan berkelebat melarikan diri, Bidadari Angin Timur yang berdiri di balik pohon palangkan kaki kanannya mengait dua kaki Rana Suwarte. Tak ampun kakek berpakaian serba biru ini jatuh tengkurap, terbanting di tanah. Sebelum dia sempat bangun dan kabur lagi, Setan Ngompol telah melompat dan menginjak jidat orang ini. Tiga gadis bertindak cepat, ber-diri mengelilingi ke dua orang itu.
"Rana Suwarte! Saat ini kau hanya tinggal memilih. Menjawab semua pertanyaanku atau kuinjak kepalamu sampai pecah!"
Rahang Rana Suwarte menggembung. Matanya men-delik. Mulutnya komat-kamit tapi tak sepotong suarapun keluar dari mulut itu. Dia merasa heran mendengar ucapan Setan Ngompol.
"Kau tak mau menjawab tidak apa-apa! Coba kau rasa-kan dulu ini!"
Setan Ngompol keraskan injakkan kaki kanannya di kening Rana Suwarte hingga orang ini merasa kepalanya seolah mau rengkah. Sakitnya bukan kepalang, sepasang matanya sampai mendelik jereng. Setan Ngompol yang jereng benaran tertawa gelak-gelak.
"Mau kuinjak lebih keras lagi?!"
"Keparat! Ucapkan apa yang hendak kau tanyakan!" Rana Suwarte akhirnya membuka mulut tapi disertai maki-an.
"Setan Ngompol!" Bidadari Angin Timur yang sudah tidak sabaran menegur. "Buat apa bicara panjang lebar dengan manusia jahat itu! Habisi saja dia sekarang juga!"
"Sobatku gadis cantik berambut pirang," jawab Setan Ngompol. "Tenang saja. Sabar barang sebentar. Lihat saja apa yang aku lakukan! Kau pasti akan merasa senang!"
"Huh!" Bidadari Angin Timur merengut. Anggini dan Ratu Duyung senyum-senyum. Mereka ingin tahu apa sebenarnya yang akan dilakukan kakek tukarrg kencing itu.
"Rana Suwarte. Pertanyaanku yang pertama. Apakah sampean pernah minum dawet?" (dawet – cendol)
Walau heran mengapa orang ajukan pertanyaan seperti itu, setelah menggerutu dalam hati Rana Suwarte menjawab juga.
"Pernah."
"Bagus!" kata Setan Ngompol pula sambil senyum dan pegangi bagian bawah perut menahan kencing. "Apakah sampean juga pernah minum wedang jahe?"
"Pernah," jawab Rana Suwarte lagi. Dalam hati dia me-maki panjang pendek.
"Aahhhh, bagus! Lalu sewaktu kerja di Istana, apakah sampean pernah meneguk tuak enak?"
"Pernah," jawab Rana Suwarte.
"Hemm, tentu enak sekali tuak di Istana itu," Setan Ngompol melirik pada tiga gadis sambil basahi bibirnya dengan ujung lidah. Kaki kanannya digeser-geser di atas jidat Rana Suwarte. "Masih sewaktu sampean di Istana. Apa pernah minum anggur wangi?"
"Pernah," sahut Rana Suwarte. "Bangsat, apa maksud-mu dengan semua pertanyaan ini?!" teriak Rana Suwarte.
"Luar biasa! Kau rupanya telah menikmati segala macam minuman enak! Pertanyaanku yang terakhir. Apakah sampean pernah merasakan nikmatnya air ken-cing?!"
Sepasang mata Rana Suwarte mendelik. Kini dia tahu apa maksud kakek bermata jereng berkuping leher tukang ngompol itu. Dari tenggorokannya keluar suara menggem-bor. Sekujur tubuhnya menggeletar. Saat itu ingin dia me-lompat dan menerkam Setan Ngompoi. Tapi injakan di atas keningnya terasa seberat batu raksasa hingga dia tak ber-daya untuk loloskan diri.
Tiga gadis yang kini sudah bisa menduga apa maksud semua pertanyaan si kakek, menutup mulut dengan tangan menahan tawa cekikikan.
"Setan Ngompol! Jangan kau berani berbuat edan ter-hadapku!" Rana Suwarte mengancam.
"Wuaallllah! Siapa yang mau berbuat edan terhadap sampean orang kepercayaan Istana. Wong aku cuma tanya apakah sampean pernah merasakan nikmatnya air kencing, aku dibilang edan. Jawab saja pertanyaanku!"
"Setan kau! Siapa manusianya yang pernah minum air kencing! Jelas tidak ada! Termasuk aku"’
"Ha… ha! Kalau begitu biar aku si orang edan ini memberikan minuman paling enak di dunia itu padamu. Katamu kau belum pernah merasakan. Hari ini, sekarang kau akan menikmatinya! Hik… hik,., hik!"
Habis berkata dan tertawa cekikikan, Sean Ngompol angkat kaki kanannya yang tadi menginjak kening orang, kini dipindah ke tenggorokan diinjak lehernya keras-keras karuan saja mulut Rana Suwarte jadi terpentang lebar. Saat itulah Setan Ngompol enak saja rorotkan celananya ke bawah. Bidadari Angin Timur, Anggini dan Ratu Duyung tersentak kaget, sama-sama terpekik dan sama-sama melompat lari dari tempat itu.
"Tua bangka sinting!" teriak Bidadari Angin Timur.
Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Dua tangan ber-tolak pinggang. Di sebelah bawah perutnya air kencing yang sejak tadi dengan susah payah ditahan-tahannya kini mancur deras. Rana Suwarte berusaha mengatupkan mulutnya. Tapi injakan keras kaki kanan Setan Ngompol membuat mulut itu tak bisa ditutup. Air kencing si kakek masuk ke dalam mulutnya dengan mengeluarkan suara seru meriah!
"Mana enak air kencingku dengan dawet?!" Setan Ngompol bertanya. Pantatnya lalu digoyang diogel-ogel.
"Hekkk!"
Tentu saja Rana Suwarte tidak bisa menjawab. Yang keluar dari tenggorokannya adalah suara tercekik. Dia berusaha untuk tidak menelan air kencing yang memenuhi mulutnya. Tapi tidak bisa.
"Mana enak lebih enak air kencingku dengan wedang jahe! Dengan tuak Istana? Dengan anggur Istana?!"
"Hekkk!"
"Ha… ha… he…"
Makin keras tawa Setan Ngompol makin deras air kencingnya mengucur. Air kencing si kakek bukan saja memenuhi mulut, menyumbat hidung Rana Suwarte tapi juga luber membasahi muka dan lehernya!
Puas mengencingi Rana Suwarte Setan Ngompol me-mandang berkeliling.
"Tiga gadis sahabatku! Di mana kalian! Keluarlah! Mengapa sembunyi segala? Mentang-mentang aku sudah tua. Anuku peot, keriput jelek! Kalian tidak mau melihat! Coba kalau aku masih muda dan anuku mengkilat. Hemm… Pasti mata kalian tidak akan berkedip! Ha… ha… ha!"
"Kakek sinting!" Teriak Bidadari Angin Timur dari balik pohon jati. "Lekas rapikan celanamu! Baru kami keluar!"
"Hai! Kau tahu celanaku masih merosot di bawah pinggul! Berarti kau mengintip!"
"Enak saja kau bicara! Siapa suka mengintip terong bonyok budukan!" Teriak Bidadari Angin Timur.
"Ha… ha… ha… ha!" Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Lalu tarik celananya tinggi-tinggi ke atas. "Sudah! Sekarang kalian boleh keluar!" kakek ini kemudian berteriak.
"Jangan keluar dulu," kata Ratu Duyung pada dua sahabatnya. "Mungkin dia mendustai kita. Mungkin saja saat ini dia berdiri menghadap ke arah pohon, memper-lihatkan terong bututnya!"
"Betul," menyahuti Anggini. "Kalau sampai kita melihat anunya, bakalan sial kita empat puluh hari empat puluh malam!"
Tiga gadis cantik itu tak dapat lagi menahan tawa. Mereka cekikikan sambil memegangi perut.
"Hai! Kenapa kalian ketawa? Apa yang lucu?!" teriak Setan Ngompol yang saat itu memang sudah merapikan celananya.
Anggini memberanikan diri mengintip dari balik pohon. Murid Dewa Tuak ini tarik nafas lega.
Dia sudah pakai celana," kata Anggini memberitahu dua sahabatnya.
Tiga gadis kemudian muncul dari balik pohon dengan wajah merah. Bidadari Angin Timur paling merah wajahnya.
"Siapa diantara kalian yang paling jago ilmu totokan-nya? Tua bangka satu ini harus dilumpuhkan! Dibawa ke Kotaraja! Biar Kerajaan yang akan menghukumnya atas dua kejahatan yang dilakukannya. Mencuri Keris Naga Kopek dan membunuh Sulantri, gadis cilik tak berdosa puteri Kepala Desa Maguwo."
Rana Suwarte semburkan air kencing yang masih ber-sisa di dalam mulutnya.
"Kakek edan! Jika kau mau membunuh aku, bunuh saja sekarang! Jangan bawa aku ke Kotaraja!"
Setan Ngompol mencibir mendengar teriakan Rana Suwarte itu. Dia memandang pada tiga gadis.
Bidadari Angin Timur berkata. "Buat apa bersusah payah membawa calon bangkai itu ke Kotaraja? Lebih baik penuhi saja permintaannya! Habisi dia sekarang juga!"
"Mati di tempat ini terlalu enak baginya. Biar dia me-rasakan sengsara jiwa bagaimana menghadapi tiang gantungan. Selain itu para penjahat dan pengkhianat Kerajaan akan bisa menyaksikan bagaimana hukum yang berlaku bagi manusia-manusia seperti tua bangka satu ini!"
Tiga gadis cantik jadi terdiam.
"Kalian tidak mau menolong aku menotok orang ini?"
Tiga gadis sama gelengkan kepala.
Setan Ngompol angkat kaki kanannya. Lalu buuuuk! Tumit kaki kanan itu dihantamkan ke pangkal leher sebelah kiri Rana Suwarte, tepat pada urat besar pem-buluh darah.
"Ngeekk!"
Tubuh Rana Suwarte menggeliat lalu diam kaku tak mampu bergerak tak bisa bersuara. Matanya membeliak seperti mau melompat dari rongganya.
"Rana Suwarte orang hebat! Kau datang dari Istana. Kembali ke Istana. Di sana akan ada sambutan meriah untukmu! Bukan dawet bukan wedang jahe. Bukan tuak juga bukan anggur. Jangan takut, juga tak ada air kencing. Yang ada hanyalah tiang gantungan!"
Selesai keluarkan ucapan Setan Ngompol berpaling ke arah pertempuran yang berlangsung hebat antara dua orang yang sama satu dengan lainnya yakni dua sosok Pendekar 212 Wiro Sableng. Salah seorang dari mereka tengah mendesak lawannya hingga sang lawan terpaksa mundur sambil berkelebat di antara pohonpohon jati. Namun di ujung pedataran tak ada lagi pohon jati yang bisa membantunya untuk menghindar dari serangan lawan. Dengan mengeluarkan bentakan keras Wiro yang terdesak tiba-tiba nekad menyerang dengan jurus-jurus luar biasa hebatnya.
Setan Ngompol memberi isyarat pada tiga gadis seraya berkata. "Kita harus mengawasi jalannya perkelahian dua orang itu. Jangan sampai Wiro palsu meloloskan diri!"
Ke empat orang itu segera berkelebat, mendekat memperhatikan jalannya pertempuran dari empat tempat dan sekaligus mengurung berjaga-jaga.
***
8
SEBELUM Si Muka Bangkai melarikan diri dan sebelum Rana Suwarte dipecundangi dan dibuat tak berdaya oleh Setan Ngompol, pertempuran antara dua sosok Wiro berlangsung seimbang, hebat dan ganas. Namun begitu Si Muka Bangkai kabur dan Rana Suwarte tergelimpang tak berdaya akibat totokan, hal ini men-datangkan pengaruh besar bagi salah seorang Wiro. Rasa kecut mempengaruhi permainan silatnya. Apa lagi ketika dia melihat bagaimana tiga gadis dan kakek botak itu telah mengelilingi kalangan pertempuran, berdiri mengurung. Karena berkelahi dengan digerayangi rasa bimbang, akibatnya Wiro yang satu ini mulai ditekan dan didesak lawan. Namun, mendadak dia bertindak nekad. Gerakan silatnya berubah. Tubuhnya berkelebat demikian rupa me-lancarkan serangan balik yang tidak terduga.Setan Ngompol, Anggini dan Ratu Duyung segera mengenali. Serangan-serangan yang dilancarkan Wiro satu ini bukanlah dalam ilmu silat warisan Sinto Gendeng. Selain itu setiap tangan kanannya hendak saling beradu dengan tangan lawan, Wiro yang satu ini selalu meng-hindar.
"Sepertinya ada cidera di tangan kanannya…" Membatin Ratu Duyung. "Dia terus-terusan menyerang dengan tangan kiri. Astaga… Serangannya itu, bukankah itu jurus-jurus Pembalik Otak Pembuta Mata? Jangan-jangan dia adalah… Jahanam! Siapa lagi manusianya yang bisa merubah-rubah ujud kalau bukan dia?!" Ratu Duyung kepalkan dua tinju. Merasa yakin Wiro yang satu itu adalah erang yang pernah mencelakainya, tanpa menunggu lebih lama didahului teriakan keras Ratu Duyung menyerbu ke dalam kalangan pertempuran. Tapi mendadak gerakannya tertahan ketika tiba-tiba sosok Wiro di sebelah kanan lancarkan satu pukulan yang memancarkan cahaya ber-kilauan disertai hantaran hawa panas luar biasa. Pukulan Sinar Matahari!
Berarti Wiro di sebelah kanan itu adalah Wiro yang asli! Wiro di sebelah kiri tidak menyangka dalam perkelahian jarak pendek begitu rupa lawan akan mengeluarkan pukulan yang sangat ditakuti di dalam rimba persilatan itu. Dia cepat melompat ke kiri. Tubuhnya bagian dada ke atas memang bisa diselamatkan, namun dari dada ke bawah telak dihantam cahaya panas menyilaukan. Satu jeritan terdengar menggidikkan mengiringi mencelatnya sosok tubuh ke udara sampai dua tombak. Waktu melayang ke bawah tubuh ini melintir beberapa kali lalu jatuh ber-gedebukan. Di balik asap yang mengepul dari tubuh bagian bawah yang seperti dipanggang, kelihatan dua kaki me-lejang. Di sebelah atas dua tangan menggeliat. Dari mulut orang ini keluar suara seperti kerbau digorok. Lalu hekk! Tak ada suara lagi yang keluar dari mulut orang itu. Tubuh-nya juga tidak bergerak lagi. Perlahan-lahan, berbarengan dengan sirnanya kepulan asap yang mencuat dari tubuh sebelah bawah, sosoknya yang tadi menyerupai sosok Pen-dekar 212 Wiro Sableng berubah, demikian juga kepala dan wajahnya. Wajah orang ini ternyata adalah wajah seorang nenek berdandan mencorong. Alis mata kereng hitam, bibir diberi gincu sangat merah, pipi tertutup bedak tebal!
Setan Ngompol keluarkan seruan tertahan dan pancar-kan air kencing ketika dia mengenali siapa adanya orang itu. Tiga gadis tak kalah kagetnya. Tapi yang paling terkejut adalah Pendekar 212 Wiro Sableng asli yang barusan melepaskan pukulan maut itu.
"Nyi Ragil Tawangalu…." desis murid Sinto Gendeng sambil garuk-garuk kepala. "Pantas tangan kanannya tidak berdaya. Dulu dihajar Eyang Sinto hingga patah dan buntung."
"Betina berjuluk Si Manis Penyebar Maut…" kata Setan Ngompol. Satu tangan mengusap kepala botaknya. Yang lain pegangi bagian bawah perut yang saat itu kembali mengucur.
"Aku sudah duga. Aku sudah duga," kata Ratu Duyung berulang kali. "Ternyata memang dia!" Hati kecil Sang Ratu merasa penasaran karena dia tidak dapat turun tangan sendiri membalaskan dendam sakit hatinya terhadap orang yang tempo hari pernah menghantamnya hingga cidera berat.
Tiba-tiba Setan Ngompol menjerit keras.
"Kek! Kau kenapa?" tanya Wiro terkejut.
"Kek, kau kesurupan?!" teriak Anggini.
"Setan apa yang masuk ke dalam tubuh tua bangka ini?!" kata Bidadari Angin Timur pula.
"Jangar-jangan dia kemasukan rohnya Nyi Ragil!" ucap Ratu Duyung.
"Serrr… serrr… serrr!"
Setan Ngompol pancarkan air kencing sarnpai tiga kali berturut-turut. Lalu tanpa perdulikan ucapan semua orang dia menubruk mayat Nyi Ragil Tawangalu. Dua tangannya meraba sekujur tubuh jenazah si nenek mulai dari atas sampai ke bawah.
"Kek! Kau melakukan apa?!" Teriak Anggini yang jadi merasa jengah.
"Benar-benar edan! Mayat saja digerayanginya. Apa lagi perempuan hidup!" Berkata Bidadari Angin Timur.
"Celaka! Celaka!" ucap Setan Ngompol berulang kali.
"Apa yang celaka Kek? Siapa?!" Bertanya Ratu Duyung.
"Dia… kalian semua!" Setan Ngompol berteriak marah. Lalu kakek ini jatuhkan diri, duduk menjelepok di tanah. Kepala mendongak ke langit tapi dua mata dipejamkan. Seperti orang terisak Setan Ngompol berkata. "Kasihan…. Aku tidak menemukan! Aku tidak menemukan! Kasihan…."
Wiro berlutut di hadapan si kakek. Anggini, Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung berdiri mengelilingi.
"Siapa yang kasihan Kek? Apa yang tidak kau temu-kan?" tanya Wiro.
Masih mendongak, Setan Ngompol menunjuk ke arah mayat Nyi Ragil. "Bunga itu… Bunga melati hitam. Melati Tujuh Racun! Aku tidak menemukan! Yang kasihan Patih Kerajaan. Dia akan sengsara sakit seumur-umur!"
Ratu Duyung dan Anggini baru sadar dan mengerti. Keduanya memandang pada Bidadari Angin Timur dengan paras pucat.
"Apa sebenarnya yang telah terjadi?" Bertanya Wiro.
Setan Ngompol buka matanya lalu menjawab.
"Perempuan keparat ini muncul, menyaru menjadi diri-mu! Kami memberitahu kalau sudah mendapatkan se-kuntum Melati Tujuh Racun. Dia meminta. Karena maksud-nya sama dengan maksud kami yakni untuk mengobati Patih Kerajaan, apa lagi dia ingin pergi mendahului agar bisa cepat sampai di Kotaraja. Aku menyuruh Bidadari Angin Timur agar memberikan Melati Tujuh Racun itu pada-nya. Siapa mengira, siapa curiga! Ternyata dia adalah Wiro palsu! Dan kini dia sudah mampus. Aku menggeledah se-kujur tubuhnya. Bunga melati hitam itu tidak bertemu. Sapu tangan pembungkusnyapun tidak ada! Pasti bunga dan saputangan sudah hangus dan ludas terkena pukulan Sinar Matahari!"
Ratu Duyung, Anggini dan Wiro Sableng hanya bisa ter-diam mendengar keterangan Setan Ngompol itu. Bidadari Angin Timur memijit-mijit kepalanya dan menghela nafas berulang kali.
"Kalau saja bunga itu bisa kuganti dengan nyawaku, aku rela mati asal Melati Tujuh Racun dapat ditemukan. Tapi apa jadinya sekarang?" Setan Ngompol bicara me-nyesali diri. "Kalau saja aku tidak menyuruh Bidadari Angin Timur menyerahkan bunga itu. Ah…!"
Setan Ngompol pukuli jidatnya sendiri. Kepala atas yang dipukuli tapi kepala bawah malah yang mengucur habis-habisan!"
"Sudahlah Kek, tak usah sedih! Buat apa menyesal memukuli kepala sendiri!" Berkata Bidadari Angin Timur. "Ini, kuganti bungamu yang hilang. Yang satu ini harap kau sendiri yang menyimpannya baik-baik."
"Gadis rambut pirang. Jangan kau bergurau! Apa mak-sudmu?" tanya Setan Ngompol. Wiro dan dua gadis lainnya sama-sama memandang pada Bidadari Angin Timur.
Tenang saja, dari balik pakaiannya Bidadari Angin Timur keluarkan sehelai sapu tangan dalarn keadaan ter-lipat rapi. Ketika lipatan sapu tangan dibuka di dalamnya kelihatan sekuntum bunga melati hitam.
"Gusti Allah!" seru Setan Ngompol. Kakek ini melompat dari duduknya. Air kencingnya langsung terpancar karena kaget luar biasa. "Bagaimana ini bisa terjadi? Apa yang kau lakukan? Kau… kau merampas sapu tangan berisi bunga itu dari Wiro palsu?"
Bidadari Angin Timur tersenyum. Dia gelengkan kepala.
"Waktu kau menyuruh aku menyerahkan Melati Tujuh Racun pada Wiro palsu, aku mengikuti saja. Tapi lipatan sapu tangan yang kuberikan pada Wiro palsu kosong, tak ada isi apa-apa. Sedang sapu tangan yang ada bunga melati hitamnya, tetap aku simpan di balik pakaian. Aku…."
Setan Ngompol tiba-tiba berteriak keras kegirangan. Dia melangkah ke hadapan Bidadari Angin Timur.
"Sobatku, kau ternyata bukan cuma cantik. Tapi juga cerdik!"
Lalu dalam girangnya si kakek melompat mendekati si gadis. Ciumannya menyambar pipi Bidadari Angin Timur. Gadis cantik berambut pirang ini tak sempat mengelak. Dia hanya bisa berteriak, "Iiihhhh!" Lalu usap-usap pipinya yang kena dicium!
***
9
DALAM episode sebelumnya (Meraga Sukma) telah diceritakan perihal Adipati Jatilegowo yang melarikan Nyi Larasati ke sebuah rumah kosong miliknya di desa Bandongan. Ternyata di tempat itu Sarontang alias Pangeran Aryo Probo telah mendahului dan menunggunya. Amarah dan dendam kesumat Sarontang terhadap Jatilegowo memang selangit tembus. Pertama, Jatilegowo sewaktu masih di tanah Makassar telah mem-bunuh pemuda kekasihnya yakni Bontolebang. Membuat pemuda itu sebagai Mayat Persembahan. Kemudian yang paling menyakitkan hati ialah Jatilegowo membawa kabur Badik Sumpah Darah yang sangat diperlukannya untuk dapat merampas tahta Kerajaan Pakubuwono.Perkelahian antara ke dua orang itu berkecamuk hebat. Sarontang keluarkan ilmu kesaktian yang bisa men-datangkan belasan makhluk aneh berbentuk kelelawar besar berkepala seperti srigala bertaring, memiliki se-pasang tangan menyerupai manusia, berkuku panjang hitam yang sanggup membongkar batang kayu merobek tembok. Namun menghadapi Badik Sumpah Darah di tangan Adipati Salatiga itu, semua makhluk peliharaan Sarontang dibuat tidak berdaya. Mereka habis dibunuhi, yang masih hidup melarikan diri. Sarontang sendiri kena dibabat putus lima kuku jari tangan kirinya oleh badik sakti beracun itu. Sebelum racun menjalar ke dalam peredaran darahnya yang bisa membuat dia menemui ajal, Sarontang terpaksa tanggalkan tangan kirinya sebatas pergelangan lalu melarikan diri.
Ketika Jatilegowo kembali ke tempat dia meninggalkan sosok Nyi Larasati, janda Adipati Temanggung itu telah lenyap dilarikan seorang penunggang kuda.
Jatilegowo berhasil rnengejar orang yang membawa kabur Nyi Larasati. Orang itu ternyata adalah Loh Gatra, pemuda cucu Ki Sarwo Ladoyo, abdi Kabupaten Temang-gung yang menemui ajal di tangan Jatilegowo. Walau Loh Gatra memiliki senjata sakti Keris Tumbal Bekisar serta mampu melukai telinga kanan Jatilegowo dengan senjata rahasia, namun dalam perkelahian yang berkecamuk hebat, pemuda itu terdesak hebat. Pada saat nyawanya ter-ancam di ujung Badik Sumpah Darah, muncul Bujang Gila Tapak Sakti menyelamatkannya. Ternyata pendekar aneh bersosok gemuk luar biasa ini juga tidak sanggup meng-hadapi kehebatan Badik Sumpah Darah.
Sewaktu Adipati Jatilegowo akan menghabisi Bujang Gila Tapak Sakti dan Loh Gatra, mendadak ada orang lain melarikan Nyi Larasati untuk ke sekian kalinya. Yang mem-bawa lari janda cantik itu kali ini adalah Sarontang yang rupanya kembali lagi untuk menyiasati Jatilegowo. Karena lebih mementingkan sang janda dari pada dua lawannya yang sudah tak berdaya itu, Jatilegowo memutuskan mengejar Sarontang. Untuk beberapa lamanya Sarontang raib, tak bisa ditemukan. Lenyapnya Sarontang ini adalah karena dia bekerja sama dengan Rana Suwarte menyusun rencana untuk mencari Keris Naga Kopek yang belum lama lenyap dan kini telah kembali serta disimpan dalam ruang penyimpanan rahasia. Menurut perhitungan Sarontang, satu-satunya senjata yang dapat diandalkan untuk dapat menghadapi Badik Sumpah Darah adalah senjata pusaka kerajaan itu yakni Keris Naga Kopek.
Kepada Rana Suwarte Sarontang bukan saja menjanji-kan imbalan berupa sejumlah uang emas dan harta per-hiasan, tetapi juga memberitahu dimana letak tumbuhnya bunga melati hitam yang disebut Melati Tujuh Racun yang menjadi satu-satunya obat penyembuh Patih Kerajaan. Rupanya Sarontang sudah mengetahui satu rencana busuk yang tengah dijalankan Rana Suwarte. Salah satu dari ren-cana Rana Suwarte itu ialah melenyapkan setiap bunga melati hitam, termasuk memusnahkan tempat di mana bunga itu tumbuh.
Atas petunjuk Sarontang Rana Suwarte kemudian me-mang menemukan tempat tumbuhnya bunga melati hitam itu yakni di salah satu pinggiran Kali Opak. Bunga itu dan seluruh tanaman yang ada di tempat itu dimusnahkannya dengan cara dibakar. .
Sebagai tokoh silat Istana, dengan bantuan seorang petugas penjaga ruangan penyimpanan senjata Rana Suwarte berhasil mendapatkan Keris Naga Kopek lalu diserahkannya pada Sarontang. Namun Sarontang menipunya. Peti yang dikatakan berisi uang emas dan harta perhiasan nyatanya berisi batu-batu kerikil. Sarontang kemudian lenyap bersama Keris Naga Kopek. (Baca Episode "Meraga Sukma" dan "Melati Tujuh Racun")
***
Dalam usaha mengejar Sarontang, di sebuah telaga Jatilegowo bertemu dengan Nyi Ragil yang saat itu tengah mengerang kesakitan karena tangannya baru saja dihantam patah dan buntung oleh Sinto Gendeng dalam satu perkelahian hebat. Si Muka Bangkai yang waktu itu melarikan diri bersamanya sempat terkena lemparan tusuk konde Sinto Gendeng. Untung cuma bahunya saja yang terserempet. Walau begitu Si Muka Bangkai cukup dibuat kalang kabut mengobati dirinya dari racun tusuk konde itu.Sebenarnya saat itu Nyi Ragil Tawangalu yang dijuluki Si Manis Penyebar Maut tidak sendirian. Dia bersama kekasihnya Si Muka Bangkai. Namun Si Muka Bangkai meninggalkannya sendirian untuk mencari obat agar luka patahan di tangan kanan Nyi Ragil bisa cepat disembuh-kan.
Selagi Nyi Ragil berada sendirian di tepi telaga itulah datang Jatilegowo. Si nenek yang memang senang pada lelaki muda ini sangat tertarik pada sang Adipati yang punya tampang jantan garang serta sosok besar kokoh. Kekasihnya Si Muka Bangkai tidak ada, maka dia per-gunakan kesempatan. Segera dia terapkan ilmu kesaktian-nya untuk merubah ujud. Saat itu sosok dan wajahnya yang tadi berupa seorang nenek-nenek berdandan menor men-colok dan buntung tangan kanannya, kini telah berubah menjadi seorang gadis cantik jelita, dua tangan sempurna, mengenakan pakaian sangat tipis hingga setiap sudut dan liku tubuhnya yang mulus terlihat jelas di mata Jatilegowo.
Walau terheran-heran melihat kejadian ini tapi sang Adipati tak urung jadi berdebar jantungnya, darah mengalir panas dalam tubuhnya. Nafsunya segera saja naik ke kepala. Apa lagi memang sudah agak lama dia tidak menyentuh perempuan. Dua istrinya di Kabupaten Salatiga boleh dikatakan tidak pernah diacuhkan karena ingatannya selalu tertuju pada Nyi Larasati.
Entah karena selalu ingat pada sang janda, wajah gadis di tepi telaga itu jadi kelihatan mirip-mirip dengan paras Nyi Larasati. Nafsu Jatilegowo semakin berkobar ketika sang dara mengajaknya duduk di sampingnya di tepi telaga. Bahkan sang dara memintanya mandi bersama. Tentu saja Jatilegowo tidak menolak.
"Orang gagah, mandi sendirian apa nikmatnya. Sung-guh bahagia kau mau menemani aku mandi. Mohon kau mau menolong membukakan pakaianku."
Darah panas dan nafsu membara semakin berkobar dalam tubuh Jatilegowo. Tidak tunggu lebih lama dia segera lakukan apa yang barusan dikatakan si gadis. Dengan cepat Jatilegowo melepas tali-tali kecil yang men-jadi kancing bagian depan pakaian tipis yang melekat di tubuh sang dara. Pada saat bagian atas pakaiannya ter-singkap, pada saat Jatilegowo terbelalak tak berkesip, kagum melihat keindahan tubuh di depannya itu. Tiba-tiba terdengar suara orang berkata.
"Nyi Ragil, Nyi Ragil. Aku pergi tidak lama. Aku pergi mencari obat untuk menyembuhkan luka tanganmu yang buntung! Tahu-tahu kau sudah bergendak dengan lelaki lain! Sungguh keterlaluan!"
Nyi Ragil terkejut. Sirapannya terhadap Jatilegowo sirna. Serta merta ujudnya kembali ke bentuk asli. Yakni seorang nenek genit berdandan mencorong, bertangan buntung.
Jatilegowo tersentak kaget. Dia ingat, nenek inilah yang tadi pertama kali dilihatnya di tepi kali. Si nenek tentu mempunyai ilmu aneh bisa merubah diri. Kalau nenek bungkuk bermuka seputih kain kafan itu tidak muncul niscaya dia akan tertipu. Bukan mustahil si nenek punya maksud jahat terhadapnya. Mungkin pula tua bangka satu ini adalah kaki tangan Sarontang yang sengaja meng-hadangnya, hingga Sarontang bisa melarikan diri.
"Srett!"
Jatilegowo cabut Badik Sumpah Darah dari sarungnya. Nyi Ragil dan juga Si Muka Bangkai terkesiap melihat cahaya redup angker yang keluar dari senjata itu. Kakek ini memperhatikan bagaimana cahaya yang keluar dari tubuh badik membuat gelombang halus air di permukaan telaga terhenti bergerak. Dia juga merasakan bagaimana cahaya senjata sakti di tangan Jatilegowo itu seolah menahan tiupan angin yang sejak tadi berhembus di sekitar telaga.
"Nyi Ragil, namamu Nyi Ragil!" Berucap Jatilegowo dengan mata besar berkilat memandang pada si nenek. "Aku hanya pernah mendengar cerita. Apa kau orangnya yang dijuluki Si Manis Penyebar Maut?!"
Nyi Ragil sunggingkan senyum, kedipkan mata penuh genit menyahuti pertanyaan orang. Sambil membungkuk dalam dia berkata.
"Matamu cukup tajam. Aku memang Nyi Ragil yang dijuluki Si Manis Penyebar Maut. Tapi julukan itu keliru. Yang lebih cocok adalah Si Manis Penyebar Kasih! Hik… hik… hik!"
"Apa hubungan kalian berdua?!" Bentak Jatilegowo. Dia berpaling pada Si Muka Bangkai. "Kakek muka pucat! Kau siapa?"
Si Muka Bangkai batuk-batuk beberapa kali baru men-jawab.
"Dalam rimba persilatan aku yang tua bangka btingkuk ini dikenal dengan panggilan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat! Aku diketahui sebagai guru seorang pendekar besar bernama Pangeran Matahari!"
Kagetlah Jatilegowo. Ternyata dia berhadapan dengan dua dedengkot rimba persilatan berkepandaian tinggi.
"Apa hubungan kalian dengan Sarontang? Jangan-jangan kalian berdua kaki tangannya!"
"Sarontang, siapa manusia satu itu? Kami tidak kenal!" ucap Nyi Ragil sambil memandang pada Si Muka Bangkai.
"Betul, kami baru sekali ini mendengar nama itu. Apa lagi melihat orangnya, belum pernah!" Kata Si Muka Bangkai pula.
"Aku tidak percaya pada kalian! Walau punya nama besar dalam rimba persilatan Tanah Jawa tapi kalian bukanlah para tokoh baik-baik!"
Si Muka Bangkai tertawa. "Begitulah takdir menentu-kan! Begitu kehendak yang berlaku! Orang gagah, harap simpan senjatamu! Mari kita bicara baik-baik." Ujar Si Muka Bangkai.
Jatilegowo gelengkan kepala.
"Nenek berdandan mencorong ini barusan menipuku. Merubah diri menjadi seorang gadis cantik. Berusaha memikatku. Pasti dia punya maksud jahat tersembunyi!"
"Tidak salah kau menduga seperti itu," kata Si Muka Bangkai pula. "Nyi Ragil memang tua bangka jorok, tidak boleh melihat lelaki gagah langsung mau mencoba ke-jantanannya. Tapi secara jujur aku bilang dia tidak punya maksud jahat tersembunyi. Dia hanya ingin menipumu untuk memuaskan nafsunya…"
"Ya… ya, memang betul begitu," kata Nyi Ragil meng-akui tanpa malu-malu.
"Mengenai orang bernama Sarontang itu, siapakah dia?" Bertanya Si Muka Bangkai.
"Dia seorang Pangeran tua dari Pakubuwon. Dia menculik seorang perempuan muda. Aku tengah mengejar-nya!" Menerangkan Jatilegowo.
"Apakah dia menunggangi kuda?" tanya Nyi Ragil.
"Benar. Kau melihatnya?"
"Apakah dia berambut biru berminyak? Ada cacat aneh memutari keningnya. Mengenakan jubah tebal. Tangan kiri buntung sebatas pergelangan…"
"Benar sekali! Bagaimana kau tahu ciri-ciri orang itu padahal kau tadi bilang tidak kenal padanya!" Jatilegowo berkata setengah berteriak lalu mendekati si nenek.
Nyi Ragil tersenyum. Dia pegang lengan Adipati Salatiga itu dengan tangan kirinya lalu usap-usap lengan yang penuh bulu itu berulang kali sambil matanya ter-pejam-pejam.
"Sebelum kau datang. Ketika aku sendirian di tepi telaga ini. Seorang penunggang kuda dengan ciri-ciri yang aku katakan tadi, lewat di tempat ini. Membawa seorang perempuan muda cantik, entah tidur entah pingsan. Perempuan itu melintang di atas pangkuannya. Dia ber-henti di sebelah sana. Lalu melemparkan sesuatu ke arahku. Yang dilemparkan ternyata sehelai daun lontar. Daun lontar jatuh tepat di depan kakiku. Aku tidak acuh, tidak memperhatikan apa lagi mengambil daun itu. Kemudian kakek berambut biru itu berkata padaku.
"Nenek berdandan seronok! Aku tahu siapa dirimu. Jika kau mau bersahabat denganku melakukan apa yang aku minta, maka benda ini akan menjadi milikmu!" Lalu kakek itu acungkan sebuah kalung mutiara dengan lilitan dan rantai dari emas. Ini barangnya." Dari balik pakaiannya Nyi Ragil keluarkan kalung mutiara yang dikatakannya itu. "Melihat kalung begitu bagus, ada mutiara ada emas, perempuan mana tidak tertarik. Aku bilang pada si rambut biru berminyak itu bahwa apa permintaannya akan aku lakukan jika sanggup. Lalu dia melemparkan kalung ini padaku. Setelah kalung berada di tanganku dia berkata. Akan lewat di tempat ini seorang penunggang kuda ber-tubuh tinggi besar, berkumis melintang, berdandan mewah. Jika dia muncul berikan daun lontar itu padanya. Agaknya kaulah yang dimaksud oleh orang tersebut."
"Mana daun lontar yang kau katakan itu!" Bertanya Adipati Jatilegowo.
Nyi Ragil Tawangalu menunjuk semak-semak di arah kiri telaga. Di antara rerantingan kelihatan terselip sehelai daun lontar.
"Setelah menerima kalung mutiara, setelah orang itu pergi, aku tidak perdulikan daun lontar itu. Daun aku ambil, aku tidak memperhatikan lalu aku buang ke semak-semak itu."
Jatilegowo melangkah cepat ke arah semak belukar lalu mengambil daun lontar kering yang terselip di antara rerantingan. Ketika daun itu diperhatikannya, ternyata di salah satu sisinya ada tulisan berbunyi.
"Jatilegowo. Jika kau masih menginginkan Nyi Larasati datanglah ke Bukit Watu Ireng. Kau akan mendapatkan perempuan yang kau sukai ini asal kau mau menyerahkan Badik Sumpah Darah padaku. Datanglah pada bulan mati malam pertama."
Bulan mati malam pert:ama berarti sekitar empat hari dari sekarang. Jatilegowo masih sempat berpikir meng-hitung hari. Bukit Watu Ireng terletak di utara Kotaraja, tak jauh dari desa kecil bernama Pakem.
Apakah dia akan mendekaim di desa itu menunggu sampai empat hari sementara dia punya kesempatan dan waktu untuk kembali dulu ke Salatiga. Akhirnya Jatilegowo memutuskan untuk ke Salatiga dulu. Lalu dia menyumpah.
"Keparat! Sarontang jahanam! Aku pasti datang untuk mengambil Nyi Larasati! Sekalian mengambil nyawamu! Bedebah!"
Jatilegowo bantingkan kaki kanannya hingga melesak ke tanah sedalam setengah jengkal. Daun lontar ditangan kanannya diremas sampai hancur. Dia hendak tinggalkan tempat itu tapi sesaat menahan langkah, berpaling pada sepasang kakek nenek di depannya.
"Nyi Ragil, bagaimanapun juga kau telah membantuku mencari petunjuk lewat daun lontar itu. Jika kau mau ber-sekutu dengan aku, mungkin aku bisa membalas budi baikmu itu."
"Bersekutu bagaimana?" tanya Nyi Ragil sambil kedap-kedipkan matanya genit.
"Kau ikut bersamaku, bantu aku menemukan Sarontang. Kalau berhasil kau akan mendapat pahala dari-ku serta berkah dari Kerajaan."
"Berkah dari Kerajaan?" ulang Si Muka Bangkai.
"Benar, karena Sarontang sebenarnya adalah seorang Pangeran bernama Aryo Probo. Dia ingin merebut tahta dari Sri Baginda Raja yang sekarang…"
"Ah…. Begitu ceritanya!" ujar Nyi Ragil. "Orang gagah, aku tidak berjanji apa kami berdua bisa membantumu. Tetapi seandainya kami mampu dan berhasil, imbalan apa yang akan kau berikan padaku?"
"Kalau Sarontang memberimu sebuah kalung, aku akan memberikan padamu dua buah cincin dua buah gelang dan sepasang giwang!"
Nyi Ragil tertawa panjang. Dia memandang ke langit di atasnya lalu berkata pada Jatilegowo. "Lupakan segala macam pemberianmu itu. Aku cuma minta satu hal. Bisakah kita melanjutkan kemesraan yang tadi tertunda gara-gara munculnya kakek bermuka mayat ini?!"
Tampang Jatilegowo jadi berubah. Si Muka Bangkai merutuk habis-habisan.
"Kalau begitu lupakan saja permintaanku!" Kata Sang Adipati. Lalu tanpa banyak bicara lagi dia segera tinggalkan tempat itu.
Nyi Ragil tertawa gelak-gelak. Si ‘Muka Bangkai masih cemberut. Apa yang kemudian terjadi Nyi Ragil tidak pernah melakukan apa yang diminta Jatilegowo. Dia malah bersekutu dengan Rana Suwarte dalam berusaha me-musnahkan bunga Melati Tujuh Racun. Untuk itulah Nyi Ragil merubah diri menjadi Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun akhirnya, seperti dituturkan dalam bagian depan buku ini, Nyi Ragil akhirnya menemui ajal oleh Pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Wiro Sableng sedang Rana Suwarte tertangkap hidup-hidup setelah sebelumnya dikerjai oleh Setan Ngompol, diguyur mulut dan mukanya dengan air kencing.
***
10
SEJAK pertemuannya dengan Wiro Sableng, Sri Kemuning, istri muda Adipati Jatilegowo yang cantik jelita itu tidak pernah melupakan sang Pendekar. Selama suaminya pergi entah kemana, setiap malam dia selalu tidur sendirian dan sulit memicingkan mata. Wajah serta senyum Wiro senantiasa terbayang di pelupuk mata-nya. Suara ucapan dan tawa pemuda itu sering seperti mengiang di telinganya.Malam itu udara di Salatiga memang panas. Sampai menjelang pagi, di atas ranjang Sri Kemuning tidak dapat memicingkan mata. Wajah Wiro lagi-lagi terbayang. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Disusul suara kaki berat me-langkah masuk. Hanya ada satu orang yang berani masuk ke dalam kamar itu tanpa mengetuk. Dia adalah Adipati Jatilegowo, suaminya.
"Siapa?!" tanya perempuan muda ini sambil me-nyingkap tirai kelambu.
Tahu-tahu sosok tinggi besar Jatilegowo telah berdiri di tepi tempat tidur. Kemuning dapat mencium bau yang tidak sedap keluar dari tubuh, pakaian dan jalan nafas lelaki itu.
"Kangmas…"
"Kau kira siapa?!" Suara Jatilegowo langsung kasar. "Pintu tidak dikunci. Sepertinya kau sengaja untuk mem-beri masuk seseorang. Siapa yang kau tunggu?!"
"Saya mohon maaf. Saya terlupa mengunci pintu. Saya tidak menunggu siapa-siapa…" jawab Kemuning ketakutan.
"Aku tahu kau dusta! Kau tengah menunggu pemuda sableng itu! Aku kira dia sudah beberapa kali menyelinap ke atas ranjang ini selama aku pergi."
"Saya berani sumpah Kangmas. Saya tidak pernah ber-buat serong seperti itu."
"Kau pernah dikecupnya hingga menimbulkan tanda di leher. Apa kau masih mau menyangkal?"
Kemuning tadi terdiam. Tiba-tiba Jatilegowo ulurkan tangannya.
"Brett!"
Pakaian tidur yang dikenakan Kemuning robek besar di bagian dada. Karena di balik pakaian itu dia tidak menge-nakan apa-apa maka dadanya yang putih dan kencang terbuka lebar. Nafas Jatilegowo menggeru, darahnya meng-alir cepat. Nafsunya naik ke kepala.
"Suruh pelayan membangunkan Sumini. Suruh perem-puan itu datang ke sini. Aku rindu pada kalian berdua!"
Sri Sumini adalah istri tua Jatlegowo yang hanya ter-paut beberapa tahun di atas usia istri mudanya.
Sebagai seorang istri kata-kata rindu sang suami se-harusnya merupakan hal yang membahagiakan bagi Sri Kemuning. Tapi sebaliknya hal ini justru membuat tengkuk sang istri muda menjadi dingin. Hatinya kecut. Dia tahu bagaimana perlakuan Jatilegowo terhadap dirinya dan Sri Sumini selama ini. Mereka diperlakukan bukan sebagai istri. Mereka disuruh melayani bukan sebagai suatu kewajiban. Tapi mereka diperlakukan sebagai budak bah-kan seperti binatang, dengan cara-cara tidak wajar.
"Kangmas, saya akan panggilkan Kakak Sumini. Tapi setahu saya dia sedang sakit. Sejak dua hari lain dia ter-serang demam panas…"
"Perduli setan dia sakit demam panas atau sakit apa! Aku bilang panggil dan suruh dia datang ke sini sekarang juga! Aku ingin dilayani saat ini juga!"
Jatilegowo membentak marah.
"Baik Kangmas, akan saya panggilkan Kakak."
Lalu dengan ketakutan Kemuning turun dari atas tempat tidur sambil merapikan dada pakaian tidurnya yang tersingkap lebar. Tak lama kemudian dia muncul kembali sambil memapah Sri Sumini, istri tua Jatilegowo. Tanpa pupur dan pemerah bibir, perempuan ini kelihatan sangat pucat dan lernah. Tubuhnya lunglai, mungkin akan sempoyongan jatuh kalau tidak dipegangi Sri Kemuning. Selain itu Sumini masih berada dalam keadaan panas.
Sebagai seorang suami, melihat keadaan istrinya se-perti itu seharusnya Jatilegowo menaruh rasa hiba. Tapi dasar manusia setengah binatang, laki-laki ini malah me-narik Sumini ke atas tempat tidur.
"Kangmas, saya sedang sakit. Saya mohon maaf. Saat ini saya tidak bisa melayani Kangmas…" Keluar ucapan perlahan dan suara bergetar dari mulut Sri Sumini.
"Siapa yang suruh kau sakit? Apa yang kau lakukan selama aku tidak ada di sini?!" Bentak Jatilegowo.
"Tak ada yang saya lakukan. Saya tidak ke mana-mana Kangmas…"
"Kalian berdua sama saja pandai berdusta!"
"Kangmas, kalau boleh biar saya saja yang melayani-mu malam ini. Kasihan Kakak Sumini. Dia benar-benar sakit…" Sri Kemuning memohon.
"Sekali lagi kau berani bicara mengatur diri dan kema-uanku, kutampar pecah mulutmu!" Hardik Jatilegowo.
Sri Kemuning tak berani lagi mengeluarkan kata. Per-lahan-lahan dia memapah madunya naik ke atas tempat tidur. Kemudian dia menyusul berbaring di samping Sri Sumini.
***
Suasana sunyi menjelang pagi di gedung Kadipaten dirobek oleh suara jeritan. Jeritan itu keluar dari kamar tidur Adipati Jatilegowo. Yang menjerit , adalah Sri Kemuning. Beberapa orang termasuk pengawal yang bertugas saat itu berhamburan menuju kamar tapi mereka tidak bisa masuk karena pintu dikunci dari dalam. Suara jeritan Sri Kemuning masih terdengar. Lalu terdengar bentakan-bentakan keras Adipati Jatilegowo."Apa yang terjadi?
Di lantai kamar Sri Kemuning menangis keras, sesekali kembali menjerit. Di hadapannya terbujur sosok Sri Sumini, pucat dingin tak bergerak. Dan hidung dan mulutnya mengucur darah. Sebelumnya dalam keadaan sakit parah bersama-sama Sri Kemuning perempuan ini telah dipaksa oleh Jatilegowo untuk melayani nafsu badaniahnya. Karena keadaan tubuhmya yang sakit dan lemah, Sri Sumini tidak mampu melayani sang suami. Akibatnya Jatilegowo menjadi marah. Setelah mendaratkan tempelengnya beberapa kali Sri Sumini diusir keluar kamar.
Terhuyung-huyung dan dengan berpakaian seadanya perempuan ini turun dari tempat tidur, melangkah menuju pintu. Namun sebelum mencapai pintu tubuhnya terjerem-bab dan jatuh terbanting ke lantai. Kepalanya bagian belakang mendarat keras di lantai kamar. Sri Sumini keluarkan keluhan pendek lalu sosoknya tak bergerak lagi. Dari hidung dan mulutnya kelihatan darah mengucur.
Melihat kejadian itu Sri Kemuning yang masih berada dalam pelukan Jatilegowo meronta lepaskan diri. Istri muda Adipati Salatiga ini langsung menjerit ketika dia dapatkan Sumini tidak bernafas lagi. Jatilegowo melompat turun dari atas tempat tidur. Memeriksa Sumini lalu membentak, Kemuning agar perempuan itu berhenti berteriak-teriak. Tapi jerit pekik Kemuning malah semakin menjadi-jadi. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya akhirnya Jatile-gowo mendaratkan tangan menempelengi Kemuning hingga perempuan muda ini babak belur. Hidung dan mulutnya mengeluarkan darah. Jatilegowo ikut berteriak-teriak. Tangannya terus bekerja memukul dan menampar Kemuning.
Saat dirinya dilanda ketakutan yang amat sangat serta rasa sakit dihajar Jatilegowo seperti itu tiba-tiba Sri Kemu-ning melihat Badik Sumpah Darah tergeletak di atas meja. Dengan cepat dia menyambar senjata sakti mandraguna ini. Tidak jelas apakah senjata itu akan ditusukkannya kepada Jatilegowo atau dipakai untuk menusuk dirinya sendiri, namun sebelum badik terhunus keluar dari dalam sarungnya Jatilegowo telah merampas senjata itu. Lalu tangan kanannya kembali mengirimkan tamparan keras ke muka Sri Kemuning hingga perempuan ini terpelanting; menjerit keras dan jatuh terrguling di lantai.
Dengan muka bengkak dan luka-luka akibat pukulan serta tamparan Jatilegowo, Sri Kemuning merangkak menuju pintu. Dia berhasil membuka pintu yang terkunci lalu tersaruk-saruk keluar dari kamar.
"Perempuan celaka! Mau kemana kau! Masuk kem-bali!" teriak Jatilegowo. Dia coba mengejar tapi Sri Kemu-ning telah berada di luar kamar. Beberapa orang menolong perempuan malang itu. Beberapa lainnya mencoba masuk ke dalam kamar namun terbirit-birit kembali keluar, keta-kutan karena dibentak dan diterjang Jatilegowo. Ketika Adipati itu keluar dari kamar Sri Kemuning tak kelihatan lagi. Dia berteriak pada para pengawal.
"Cari perempuan itu! Bawa kesini! Cepat!"
Para pengawal menjadi sibuk. Namun sampai sekian lama mereka mencari ke seluruh pelosok gedung Kadipa-ten, Sri Kemuning tak berhasil ditemukan. Apa yang ter-jadi? Kemana lenyapnya sang istri muda itu?
Bi Supi, pembantu di Kadipaten yang selalu merawat dan melayani Sri Kemuning dengan bantuan dua orang temannya membawa istri muda Adipati Jatilegowo itu ke bagian belakang gedung, menyembunyikannya di sebuah gudang yang jarang orang keluar masuk.
"Bi Supi… Saya mohon…. Tolong keluarkan saya dari gedung ini. Adipati pasti mencari saya. Dia akan membunuh saya. Tolong…."
Bi Supi dan dua temannya tentu saja menjadi bingung mendengar ucapan Sri Kemuning itu. Mereka ‘ hanya bisa menolong mengamankan Sri Kemuning di dalam gedung Kadipaten. Jika harus membawa istri Adipati itu keluar gedung, tentu saja mereka tidak mampu dan tidak berani melakukan. Terlalu berbahaya. Kalau sampai Adipati mengetahui, mereka bertiga bukan saja bakal dihajar habis-habisan tapi juga akan dipecat. Dalam bingungnya tiga pelayan itu hanya bisa menangis sambil memeluki Sri Kemuning.
Dalam keadaan seperti itu muncul Paman Rejo, lelaki berkumis yang juga bekerja di gedung Kadipaten.
Dekat dengan Bi Supi dan sangat bersahabat dengan Sri Kemuning. Bi Supi menyampaikan permintaan Sri Kemuning.
"Paman, tolong. Saya mohon. Saya tidak takut mati. Tapi kalau matipun saya tidak mau di gedung ini." Kata Sri Kemuning dengan berurai air mata.
Paman Rejo ikutan bingung. Tapi hanya sebentar.
"Jeng Ayu, tunggu di sini. Jangan keluar sampai saya datang!"
Tak lama kemudian Paman Rejo muncul bersama se-orang temannya, membawa selembar kain lebar menyerupai terpal. Sri Kemuning mereka buntal di dalam kain lebar ini, lalu digotong dan dinaikkan ke atas sebuah gerobak kuda yang biasa dipakai untuk segala macam keperluan Kadipaten. Di sebelah atas, sosok Sri Kemuning ditutupi dengan tumpukan jerami kering.
Sewaktu kawannya naik ke atas gerobak, Paman Rejo berbisik. "Bawa ke Kali Tuntang. Di bawah jembatan bambu di sebelah timur ada sebuah perahu milik seorang teman. Tunggu aku di situ."
Gerobak keluar dari gedung Kadipaten tanpa ada yang mencurigai, tanpa diperiksa oleh perajurit dan pengawal. Di dalam kamarnya Adipati Jatilegowo berteriak marah seperti orang gila ketika pengawai melaporkan Sri Kemuning tidak berhasil ditemukan.
"Kurang ajar! Pasti ada orang dalam yang menolong! Kalau kutemukan perempuan itu akan kubunuh! Juga semua orang yang menolongnya!"
Menjelang tengah hari Adipati Jatilegowo kelihatan meninggalkan gedung Kadipaten bersama dua orang pengawal. Tampangnya sangat kusam. Pakaiannya tidak diganti. Dia masih mengenakan pakaian yang dipakainya semalam. Tidak ada satu orangpun yang tahu ke mana dia pergi. Ditunggu sampai keesokan harinya dia tak kunjung muncul. Jenazah Sri Sumini terpaksa dimakamkan tanpa kehadirannya.
***
11
ROMBONGAN Pendekar 212 Wiro Sableng tengah dalam perjalanan menuju Kotaraja ketika mereka berpapasan dengan sebuah kereta terbuka ditarik dua ekor kuda.Kusir yang mengemudikan kuda kereta mengenakan pakaian bagus berwarna merah. Di sebelah bawah dia memakai sebentuk kain panjang longgar. Di pinggangnya tersisip senjata seperti sebuah pisau besar.
Di bagian belakang, di atas kursi kayu yang dipantek mati ke lantai kereta dan diberi bantalan empuk duduk se-orang kakek berjubah hitam ditaburi sulaman benang emas. Di atas kepalanya ada sebuah topi hitam berbentuk tarbus lengkap dengan jumbai-jumbainya. Di bawah tarbus menjulai rambut panjang kelabu. Janggut dan kumisnya putih seperti kapas. Kakek ini memiliki wajah sangat cekung seolah tidak berdaging. Dia duduk di atas kursi dengan sepasang mata terpejam-pejam. Kalau saja wajahnya pucat pasi maka tampang kakek ini hampir menyerupai Si Muka Mayat.
Di sebelah belakang, di kiri kanan kakek bertopi tarbus, di atas dua buah peti kayu duduk dua orang lelaki berpakaian hampir menyerupai kusir kereta. Bedanya dua orang ini membekal dua buah golok besar. Dari sikap mereka agaknya keduanya adalah pengawal kakek ber-tarbus hitam.
Agar tidak ditabrak atau diserempet oleh kereta yang berjalan kencang itu Wiro dan kawan-kawannya cepat menepi. Tepi jalan. Kereta melewati rombongan dengan cepat. Namun di depan sana atas perintah kakek ber-tarbus, kusir hentikan kereta lalu berbalik kembali ke arah rombongan Wiro. Kusir hentikan kereta di depan rombong-an yang berhenti di tepi jalan.
Kakek berjubah hitam buka dua matanya yang sejak tadi terpejam. Sepasang mata kakek ini ternyata meman-carkan cahaya berkilat aneh dan angker. Dia layangkan pandangan pada orang-orang di depannya, lalu tertawa mengekeh.
"Sekian lama aku berada di Tanah Jawa, baru hari ini aku bisa mencuci mata, menikmati wajah-wajah cantik. Sungguh besar berkah Tuhan atas diriku."
Si kakek tentu saja tujukan ucapannya pada Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini. Karena si kakek tidak bicara nakal dan memandang tidak memandang secara kurang ajar, tiga gadis mengambil sikap diam. Dari logat bicara orang, Wiro dan kawan-kawan sudah bisa men-duga bahwa si kakek di atas kereta adalah orang dari tanah seberang.
Si kakek turun dari atas kursi, tegak di lantai kereta. Ternyata kakek ini bertubuh pendek bungkuk. Tetapi ketika dia meluruskan badannya, astaga! Sosoknya menjadi sangat tinggi. Tarbusnya hampir menyondok ujung ranting sebuah pohon di tepi jalan. Si kakek membungkuk dalam-dalam pada Wiro dan rombongan.
"Para sahabat, terima salam penghormatan dariku."
Wiro menggaruk kepala lalu membungkuk membalas hormat orang. Sementara Setan Ngampol berdiri satu tangan pegangi celana yang merosot satu lagi menekap bagian bawah perutnya menahan kencing.
Di atas kereta kakek bertubuh tinggi jangkung bung-kukkan badannya hingga seperti tadi dia kembali kelihatan pendek. Matanya yang berkilat memperhatikan sosok Rana Suwarte yang melintang tak bergerak di atas seekor kuda yang dituntun Wiro.
"Hemmm…." Si kakek bergumam. "Kalau bukan manusia jahat tidak akan mengalami nasib seperti itu."
Dia lalu arahkan pandangan pada Wiro.
"Kami kehilangan jalan. Sebelum benar-benar tersesat ada baiknya kami bertanya pada para sahabat. Kami harap para sahabat mau menolong."
"Orang tua, kau datang dari mana dan tujuan ke mana?" Tanya Wiro.
"Kami datang dari seberang. Dari tanah Makassar. Jauh-jauh ke sini mengejar seseorang. Satu minggu lalu orang yang kami kejar lenyap. Kemudian kami mendapat kabar bahwa orang itu akan berada di Bukit Watu Ireng. Itulah tempat yang kami tuju. Tapi kami tidak paham jalan. Harap para sahabat sudi memberitahu mana arah dan jalan yang harus kami tempuh."
"Kek, bukit yang kau tuju terletak di sebelah utara sana." Wiro berikan penjelasan. "Kau bisa mengikuti jalan ini. Jika bertemu simpangan membelok ke kanan. Terus saja. Kira-kira menjelang sore kau akan sampai di kawasan kaki bukit."
"Ah…." Si kakek luruskan tubuhnya hingga dia kembali kelihatan tinggi. "Kami sangat berterima kasih padamu, anak muda. Tuhan akan memberkatimu!"
Wiro anggukkan kepala lalu ajukan pertanyaan.
"Kakek dari tanah seberang. Tadi kau mengatakan tengah mengejar seseorang. Orang yang kau kejar lenyap di tengah jalan. Kalau kami boleh bertanya siapakah orang yang kau cari. Apakah dia punya nama?"
"Tentu, tentu saja kau boleh bertanya. Siapa tahu penjelasan kami bisa mendatangkan berkah bagi kita semua. Orang yang aku cari itu di tanah Jawa bernama Aryo Probo. Konon dia adalah seorang Pangeran. Entah benar entah tidak kami tidak perduli. Tapi sewaktu dia berada di tanah seberang, aku memberi nama baru padanya. Sarontang."
"Aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu," bisik Ratu Duyung pada dua gadis sahabatnya. "Mungkin juga salah satu diantara kita ada yang pernah melihat. Biar aku tanyakan mengapa dia mencari orang itu." Lalu Ratu Duyung ajukan pertanyaan pada si kakek.
"Mengapa aku mencari orang itu?" Kakek yang ditanya mengulang lalu tertawa mengekeh. Dia susutkan tubuhnya lalu duduk kembali ke atas kursi. Setelah duduk baru dia keluarkan jawaban yang mengejutkan. "Aku ingin dia mem-bunuhku!"
Wiro dan teman-temannya tentu saja jadi terkesiap mendengar jawaban si kakek. Setan Ngompol tak usah ditanya lagi. Saat itu kakek yang kepalanya plontos ini langsung kucurkan air kencing.
"Aneh, baru hari ini kami menemui orang yang ingin mati dengan cara meminta dirinya dibunuh. Apa kau tidak salah bicara Kek?" Tanya Wiro.
Si kakek di atas kursi gelengkan kepalanya yang me-makai tarbus hitam.
"Aku sudah hidup seratus dua puluh tahun lebih. Aku sudah bosan melihat dunia ini. Orang juga sudah bosan melihat diriku. Jadi bukankah lebih pantas aku mati saja? Tapi celakanya aku tidak mati-mati. Entah mengapa Malaikat Maut masih belum mau datang mengunjungiku. Padahal makin panjang umurku bisa saja makin tambah dosaku! Aku ingin mati, malah sudah mencobanya be-berapa kali. Tapi tak ada senjata yang bisa membunuhku. Kecuali satu senjata sakti yang ada di tangan Sarontang. Dulu dia berjanji akan membunuhku di Gunung Lompo-batang tempat kediamanku. Namun entah mengapa dia kabur begitu saja ke Tanah Jawa ini. Aku terpaksa mengejarnya untuk minta dibunuh. Untuk minta mati!"
Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Tiga gadis kembali berbisik-bisik. Setan Ngompol cepat pegangi bagian bawah perutnya.
"Kalian pasti tidak percaya ucapanku! Biar aku bukti-kan!"
Si kakek tanggalkan topi hitamnya. Lalu. "Klik!"
Si kakek gesekkan jari tengah tangan kanannya dengan ibu jari hingga mengeluarkan suara keras. Melihat isyarat ini pengawal yang duduk di peti sebelah kanan cabut golok besar di pinggangnya. Lalu tanpa banyak bicara dia bacokkan senjata itu ke kepala, bahu, serta punggung si kakek. Tak satu bacokanpun mempan melukai orang tua itu, apa lagi membunuhnya. Suara ber-dentrangan terdengar berulang kali setiap golok besar beradu dengan kepala atau bagian tubuh si kakek. Si pengawal terus saja membacokkan goloknya. Dia baru berhenti ketika senjata itu akhirnya terlepas dari tangannya yang menjadi licin oleh keringat, lalu jatuh berdentrangan di atas lantai kereta!
Setan Ngompol terkencing-kencing melihat kejadian itu. Wiro dan tiga gadis sama terkesima kagum.
"Sekarang apa kalian mau percaya? Atau masih belum?" Si kakek bertanya. Dia memandang pada Anggini. "Gadis cantik berpakaian ungu. Aku mengira ada se-kantung senjata rahasia berbentuk paku terbuat dari perak di balik pakaianmu yang bagus. Jika salah dugaanku harap maafkan. Tapi jika benar mohon kau mau menyerangku dengan senjata rahasia itu."
Wiro dan yang lain-lainnya jadi melengak kaget. Yang paling hebat kagetnya tentu Anggini sendiri.
Di sebelahnya Ratu Duyung berbisik.
"Aneh, apa sepasang mata kakek itu bisa menembus pakaianmu hingga dia bisa tahu dan melihat senjata rahasia Paku Perak Pemburu Nyawa milikmu? Jika mata-nya tembus pandang kita bisa celaka. Jangan-jangan dia sudah menggerayangi sekujur tubuh kita dengan matanya!"
"Anak gadis berpakaian ungu, kau mau menolongku membuktikan bahwa aku yang kepingin mati ini memang benar-benar belum bisa menemui ajal?" Si kakek berkata sambil menatap pada Anggini.
"Baiklah, aku akan mencoba. Harap maafkan kalau aku sampai kesalahan tangan." Kata Anggini murid Dewa Tuak. Dengan cepat dia mengeluarkan lima buah paku perak yang menjadi senjata rahasia andalannya. Sekali tangannya bergerak lima paku itu melesat laksana kilat. Dua menyambar ke arah mata, satu mencari sasaran di tenggorokan, satu menghantam ke dada kiri tepat di arah jantung dan yang kelima melesat ke arah kening si kakek.
Di atas kursi si kakek duduk tenang-tenang, tidak bergerak malah sambil tersenyum. Lima paku perak menghantam sasarannya dengan tepat. Terdengar suara lima dentringan. Lima paku itu mental ke udara, jatuh ke tanah. Kening, dua mata, leher dan dada yang kena hantaman paku sedikitpun tidak luka atau berbekas!
"Kuharap sekarang kalian mau percaya," ujar si kakek sambil kenakan kembali topi tarbusnya. "Atau mungkin masih ada yang merasa penasaran dan mengira aku bermain sulap?" Si kakek menatap ke arah Wiro, memperhatikan pinggang sang pendekar di mana di balik pakaian putihnya terselip Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro tahu apa yang ada di benak orang tua ini. Dia hendak menjajal kehebatan Kapak Naga Geni 212. Sebelum si kakek bicara Wiro cepat membuka mulut.
"Terima kasih Kek. Aku sungguh kagum. Kau luar biasa sekali. Kalau boleh aku hanya ingin bertanya. Senjata apakah yang berada di tangan orang bernama Sarontang. Yang menurutmu merupakan satu-satunya senjata yang bisa mengakhiri hidupmu."
"Senjata itu berupa sebilah badik. Bernama Badik Sumpah Darah."
"Badik Sumpah Darah…" Mengulang Wiro. Dia meman-dang pada kawan-kawannya. Lalu dengan suara perlahan sekali hingga tidak terdengar oleh si kakek dia berkata "Menurut kabar yang aku dengar, bukankah senjata itu berada di tangan Adipati Jatilegowo?" Wiro memandang pada kakek di atas kereta. "Kek, kalau kami boleh ber-tanya, siapakah dirimu ini sebenarnya?"
Yang ditanya tersenyum, usap-usap janggutnya lalu berkata. "Namaku Pattirobajo. Di tanah Makassar dan tanah Bugis aku dijuluki Iblis Seribu Nyawa. Julukan gila! Itu yang membuat tambah berat beban diriku. Aku seolah punya seribu nyawa. Saat ini tidak tahu tinggal berapa nyawa. Mungkin seratus, dua ratus… Ha… ha… ha!" Puas tertawa dari atas kursi si kakek menjura. "Para sahabat, kami sangat berterima kasih pada kalian! Doakan agar aku lekas mati!"
Tiga gadis menutup mulut menahan tawa. Wiro garuk-garuk kepala. Setan Ngompol manggut-manggut lalu kucurkan air kencing.
"Gila!" kata murid Sinto Gendeng. "Orang hidup bisanya minta didoakan agar panjang umur. Kakek itu malah minta didoakan agar lekas mati!" Sang pendekar menatap ke arah kereta di kejauhan. Setan Ngompol mendekatinya.
"Apa yang ada di benakmu, anak sableng?" Setan Ngompol bertanya.
Wiro memandang si kakek. Dua-duanya sama tertawa.
"Aku tahu, pikiran kita sama. Kalau Sarontang ada di Bukit Watu Ireng, manusia jahat Adipati Jatilegowo pasti juga bakalan ada di sana…"
"Mungkin begitu. Tapi…." Wiro tidak teruskan ucapan-nya. Di ujung jalan muncul seorang penunggang kuda. Begitu melihat rombongan Wiro orang ini segera hentikan kudanya secara mendadak hingga binatang itu meringkik keras dan angkat dua kakinya ke atas. Untung saja si penunggang cukup cekatan hingga dia tidak sampai dilemparkan tunggangannya. Malah orang ini membuat gerakan melenting ke udara, jungkir balik lalu mendarat turun di hadapan Wiro dan kawan. Setan Ngompol terkencing dan pelototkan mata.
"Loh Gatra!" seru Pendekar 212 begitu mengenali orang yang berdiri di hadapannya. Ternyata penunggang kuda itu adalah Loh Gatra, cucu mendiang Ki Sarwo Ladoyo, sesepuh Kadipaten Temanggung yang mati di-bunuh Jatilegowo.
"Tuhan Maha Besar! Beruntung aku menemui para sahabat di sini."
"Sobatku, kau dari mana dan mau menuju ke mana?" tanya Wiro.
"Saya memang tengah mencari kalian. Dua peristiwa besar terjadi di Temanggung dan Salatiga. Di Temanggung Jeng Ayu Nyi Larasati diungsikan ke luar kota. Tapi Jatilegowo berhasil mengetahui rumah persembunyiannya lalu menculik Nyi Lara. Saya dan sahabat Bujang Gila Tapak Sakti berhasil memergoki Adipati itu. Namun kami tidak berdaya menghadapinya.
Dia memiliki sebilah senjata luar biasa sakti mandraguna…"
"Pasti Badik Sumpah Darah," kata Wiro. "Loh Gatra, teruskan ceritamu."
"Ketika saya dan Bujang Gila Tapak Sakti berkelahi melawan Adipati Jatilegowo, ada orang lain muncul menculik Nyi Lara. Di mana Nyi Lara berada sekarang dan bagaimana keadaannya tidak diketahui."
"Apa yang terjadi di Salatiga?" tanya Pendekar 212.
"Adipati Jatilegowo membunuh istri tuanya, Sri Sumini. Dia juga hendak membunuh Kemuning istri mudanya. Tapi perempuan itu berhasil lari diselamatkan oleh para sahabat abdi Gedung Kadipaten. Seorang bernama Paman Rejo menyerahkan Kemuning pada saya di tepi Kali Opak dua hari lalu untuk diungsikan ke tempat yang lebih aman. Kemuning minta saya mencarimu. Katanya ada satu hal penting yang hendak disampaikannya."
"Di mana Kemuning saat ini berada?" Tanya Pendekar 212 pula.
"Di sebuah rumah kenalan saya. Di desa Klingkit, tak jauh dari sini." Menerangkan Loh Gatra.
Wiro menggaruk kepala. Otaknya bekerja. Lalu keluar ucapannya.
"Kalau Jatilegowo kembali ke Salatiga seorang diri, membunuh istri tuanya, bahkan juga hendak membunuh istri mudanya, lalu keterangan Loh Gatra barusan bahwa ada orang lain menculik Nyi Lara, berarti Nyi Lara memang benar-benar tidak berada di tangan Jatilegowo. Loh Gatra, kau tahu dimana Jatilegowo berada sekarang?"
"Setelah membunuh Sri Sumini, Jatilegowo meninggalkan Kadipaten Salatiga. Dua orang pengawal ikut bersamanya. Sebelum pergi salah satu dari Pengawal itu sempat bicara dengan temannya. Katanya Adipati minta dikawal ke Bukit Watu Ireng…"
"Tidak meleset dugaanku!" Ucap Wiro. "Berarti besar kemungkinan Nyi Lara juga ada di situ. Janganjangan Sarontang yang telah menculik Nyi Lara. Berarti Jatilegowo pasti berada di tempat itu. Nyawa Nyi Lara sangat terancam. Kalau dia tidak celaka di tangan Sarontang, pasti akan binasa di tangan Jatilegowo." Wiro menggaruk kepalanya. Lalu berkata pada Loh Gatra. "Sahabat, aku dan kawan-kawan tadinya akan ke Kotaraja. Tapi mendengar keterangan darimu aku memutuskan akan segera menuju Bukit Watu lreng saat ini juga."
"Bagaimana dengan pesan Kemuning? Dia ingin menemuimu. Ada satu pesan penting yang harus disampai-kannya padamu. Tidak boleh melalui perantara sekalipun diriku."
Wiro garuk-garuk kepala. Setan Ngompol usap kepala botaknya. Lalu kakek ini berkata. "Begini saja. Kami tetap akan berangkat menuju Bukit Watu Ireng. Kau jemput Kemuning. Bawa ke Watu Ireng. Kami menunggu di sana. Ini pekerjaan berbahaya. Tapi tak ada cara lain. Dan satu hal! Dandani Kemuning seperti lelaki!"
Loh Gatra hanya bisa mengangguk-angguk. Dia men-jura pada orang-orang itu lalu melompat naik ke atas kudanya.
Setan Ngompol berpaling pada Wiro. Lalu memandang pada tiga gadis cantik. Seperti tahu membaca pikiran si kakek, tiga gadis ini berbarengan keluarkan ucapan.
"Kami ikut ke Bukit Watu Ireng."
"Lalu bagaimana dengan manusia bernama Rana Suwarte ini?" tanya Wiro.
"Mudah saja," jawab Setan Ngompol. "Tambah totokan di tubuhnya agar tahan beberapa hari. Lalu kita titipkan dia di rumah salah seorang penduduk desa yang tadi kita lewati."
"Kau memang cerdik kek," puji Wiro.
"Siapa dulu! Setan Ngompol!" kata si kakek memuji diri sendiri.
"Tukang kencing…" Menimpali Bidadari Angin Timur lalu tertawa cekikikan.
Ketika berjalan agak terpisah dari tiga gadis itu, Wiro berbisik pada Setan Ngompol.
"Kek, sebenarnya aku ingin tiga gadis itu membawa Rana Suwarte ke Kotaraja. Kita titipkan bunga Melati Tujuh Racun pada mereka…"
"Mana bisa begitu?" ujar Setan Ngompol pula.
"Mengapa tidak bisa?" tukas Wiro.
"Anak sableng! Apa kau kira mereka tidak pernah menyirap kabar apa yang terjadi antara kau dengan Sri Kemuning setelah peristiwa kau menyelamatkan gadis itu dari perampok di Kali Tuntang. Jangan-jangan mereka juga tahu kalau kau pernah mengecup leher gadis itu sampai meninggal bekas cupangan!"
"Edan, aku mengecupnya bukan untuk membuat cupang. Tapi melepaskan totokan di lehernya! Karena aku tidak boleh menyentuhnya mempergunakan tangan!"
Setan Ngompol tertawa lebar. Sambil pegangi bagian bawah perutnya dia berkata. "Seumur hidup baru aku mendengar kalau ada orang melepaskan totokan dengan kecupan. Ilmu dari mana itu. Gila kali."
Wiro jadi diam. Garuk-garuk kepala. Lalu tertawa.
Setan Ngompol pegang lengan Wiro. "Eh, kau tahu mengapa tiga gadis itu ingin ikut?"
Wiro menggeleng.
"Jangan pura-pura tolol. Mereka pasti pada cemburu. Takut kau bakal keplingsut pada istri muda yang cantik jelita itu. Kalau sampai kejadian bisa-bisa kau membuat cupang baru. Kali ini bukan di leher tapi di bawah pusarnya! Ha… ha… ha!"
"Tua bangka jorok!" Maki Wiro. Lalu ikutan tertawa.
***
12
BUKIT Watu Ireng merupakan gugusan tanah tinggi ditumbuhi pohon-pohon raksasa tak jauh dari Pakem. Di sela-sela pepohonan kelihatan batu-batu aneh berwarna sangat hitam, menyerupai tiang berujung lancip dengan ketinggian antara satu sampai tiga tombak.Ketika terjadi musim kemarau panjang beberapa tahun lalu, kawasan itu dilanda kebakaran hebat. Semua pohon besar habis dilalap api. Begitu kebakaran reda dan api padam, yang kelihatan kini adalah batangbatang kayu hitam gosong serta batu-batu hangus. Debu yang berasal dari bakaran daun, ranting dan cabang pohon mengendap di permukaan pedataran lambat laun berubah keras, hitam membatu menjadi satu dengan permukaan pedataran.
Pada malam hari kawasan itu tampak seram sekali. Selama bertahun-tahun tak ada orang yang naik ke bukit ini. Mereka lewat di kaki bukit yang tidak terlalu tinggi itu, melintas cepat-cepat. Ada perasaan angker kalau berada di sekitar tempat itu.
Malam itu langit hitam pekat tanpa sebuah bintangpun kelihatan. Saat itu adalah bulan mati hari ke empat. Kawasan Bukit Watu Ireng dibungkus kegelapan menggidikkan. Di kejauhan terdengar suara raungan anjing hutan menambah seramnya suasana.
Sesekali ada suara aneh datang dari puncak bukit. Suara sesuatu yang bergerak dalam air. Sejak sore tadi Wiro dan Ratu Duyung secara bergantian menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Namun mereka tidak melihat apa-apa kecuali batu dan pepohonan dalam kepekatan malam.
"Para sahabat," kata Setan Ngompol yang duduk di tanah bersandar ke batu besar di belakangnya. "Jangan-jangan kita datang ke tempat yang salah. Mana Adipati Jatilegowo. Mana manusia bernama Sarontang! Tak ada siapa-siapa di sini! Juga kakek aneh yang tubuhnya bisa ciut bisa molor mengaku berjuluk Iblis Seribu Nyawa itu! Katanya dia mau menuju ke sini untuk minta mati! Tapi mata hidungnya tidak kelihatan!"
"Kek, jangan mengomel dulu. Nanti kau beser lagi. Tenang, sabar. Aku punya firasat satu peristiwa besar akan terjadi di tempat ini." Berkata Wiro sambil memegang kepala botak Setan Ngompol. "Aku yakin di puncak bukit batu sana, diantara tiga buah tiang batu itu ada benda hidup. Aku mendengar suara sesuatu bergerak di dalam air. Berarti di atas sana ada kolam atau telaga, ada makhluk hidup di dalamnya."
"Aku tidak mendengar apa-apa," kata Setan Ngompol. Tiga gadis juga tidak mendengar suara seperti yang dikatakan Wiro. Hal ini memang tidak aneh. Karena sejak masuk ke dasar samudera, diberi kekuatan hawa murni secara aneh oleh Naga Biru, pendengaran Wiro menjadi jauh lebih tajam.
"Ratu," bisik Wiro. "Coba kau terapkan Ilmu Menyerap Detak Jantung. Selidiki apa ada orang sembunyi di atas bukit sana."
Ratu Duyung lakukan apa yang dikatakan Wiro. Dua tangan diangkat, telapak dikembangkan dan diarahkan ke puncak bukit. Sesaat kemudian sepuluh jari tangan gadis cantik bermata biru ini kelihatan bergetar. Ratu Duyung pejamkan mata, letakkan dua tangan di atas dada lalu berkata.
"Ada dua makhluk hidup di atas bukit. Tapi bukan manusia."
"Serrr!" Setan Ngompol langsung kencing.
"Kalau bukan makhluk hidup lalu apa? Setan? Jin? Mungkin dedemit?" Ujar Wiro.
"Tidak bisa kupastikan. Mungkin sekali binatang bersosok besar. Ada dua ekor. Tadi aku mendengar suara sesuatu dalam air. Dua binatang itu memang berada dalam air…"
Pendekar 212 angkat tangan kanan memberi tanda. Ratu Duyung hentikan ucapannya.
"Aku melihat sesuatu bergerak di atas bukit."
Semua pandangan serta merta diarahkan ke atas bukit. Memang benar. Saat itu di sela-sela deretan pohon dan batu-batu hitam kelihatan seseorang berjalan sambil memanggul sosok tubuh manusia di bahu kirinya. Dari rambutnya yang tergerai panjang ke bawah jelas sosok yang dipanggul itu adalah seorang perempuan.
"Aku yakin, perempuan yang dipanggul itu adalah Nyi Larasati," kata Wiro. "Tapi siapa orang yang memanggul dan membawanya ke atas bukit batu itu?!"
Di atas bukit, si pemanggul menurunkan dan mem-baringkan sosok perempuan di atas sebuah batu datar. Lalu dia duduk bersila di pinggiran batu. Tangan kiri terkulai buntung di atas paha, tangan kanan melintang di dada, memegang sebuah benda memancarkan cahaya kuning terang.
Wiro dan Ratu Duyung kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Keduanya sama-sama terkejut.
"Perempuan di atas batu memang Nyi Larasati!" kata Ratu Duyung.
"Benda bersinar kuning sudah dapat kupastikan Keris Kiai Naga Kopek!" Wiro menyambungi ucapan Ratu Duyung.
Semua orang sama terkejut.
"Dulu senjata itu berada di tangan Rana Suwarte. Rana Suwarte sudah kita bekuk. Apakah Rana Suwarte menye-rahkan keris tersebut pada orang itu? Lalu siapa orang yang kini memegang senjata pusaka Kerajaan itu?"
"Aku yakin dialah manusianya yang bernama Saron-tang," kata Bidadari Angin Timur pula.
"Sosok Nyi Lara tidak bergerak tidak bersuara. Mung-kin pingsan, mungkin ditotok. Tapi mungkin juga sudah dibunuh oleh Sarontang. Kita harus bergerak sekarang juga!" Kata Wiro pula.
Mendadak dari atas bukit batu orang yang memegang benda bercahaya kuning terang keluarkan suara nyanyian.
Ketika bintang dan bulan sembunyi mendekam
Sewaktu angin malam bertiup bersama hembusan nafas para arwah
Kutukan jatuh atas manusia sejagat salah sejagat dosa
Malam bulan mati hari ke empat
Aku duduk bersila di tempat ini
Menunggu saat bertuah
Tubuh hidup ditukar dengan benda mati.
Sosok bernyawa ditukar dengan senjata sakti.
"Orang gila kesasar dari mana dia! Malam-malam begini menyanyi di tempat begini rupa…" Baru saja Setan Ngompol keluarkan gerendengan, tiba-tiba dari arah timur kaki bukit terdengar derap kaki-kaki kuda. "Ada tiga penunggang Ruda bergerak ke arah bukit," kata Ratu Duyung.
Semua mata dipalingkan ke arah timur. Walau malam gelap pekat namun orang-orang itu bisa mengenali. Penunggang kuda paling depan bertubuh tinggi besar bukan lain adalah Adipati Salatiga Jatilegowo. Sekali bergerak Adipati ini melesat dari kudanya, lalu melompat menaiki bukit. Ketika dia mencapai pertengahan bukit, diikuti dua pengawalnya, di atas sana orang yang memegang senjata bercahaya kuning berdiri dari duduknya.
"Cukup sampai disitu Jatilegowo! Kalau kau berani naik lebih tinggi, kematian akan lebih cepat menjamah janda yang kau sukai ini!"
Habis keluarkan ancaman orang di atas bukit injakkan kakinya pada sebuah batu. Tiba-tiba ujung batu di bagian kepala diatas mana terbaring sosok perempuan yang memang Nyi Larasati adanya, bergerak ke atas.
"Jatilegowo! Dengar baik-baik! Di bawah batu, satu tombak di ujung kaki Nyi Lara ada sebuah liang berair dihuni dua ekor buaya hitam yang selama bertahun-tahun tidak bisa keluar dan tidak pernah mendapat makanan! Sekali aku menggerakkan kaki, batu tempat Nyi Lara terbaring akan terangkat tegak lurus dan perempuan itu akan meluncur masuk ke dalam telaga maut, menjadi santapan sepasang buaya lapar!"
"Sarontang bangsat keparat! Jangan berdusta menakuti diriku! Aku bukan anak kecil! Mana ada buaya di bukit ini! Kau yang akan kubantai lebih dulu!" Teriak Jatilegowo marah. Tangannya bergerak mencabut Badik Sumpah Darah dari pinggang. Begitu senjata sakti tersebut ketuar dari sarungnya, satu cahaya hitam angker menebar di lereng Bukit Batu Ireng, membuat pudar terangnya cahaya Keris Naga Kopek di tangan Sarontang. Dari bentrokan dua cahaya sakti ini sudah terlihat bahwa badik di tangan Jatilegowo memiliki pamor atau kekuatan lebih hebat, setingkat lebih tinggi dari Keris Kiai Naga Kopek.
Saat itu antara Jatilegowo dan Sarontang terpisah sekitar tiga tombak. Ketika Jatilegowo membuat gerakan hendak melompat ke atas bukit, Sarontang segera tekankan kaki kanannya ke batu yang dipijaknya. Batu hitam tempat Nyi Lara terbujur bergerak di atas, lebih tinggi. Tubuh Nyi Lara meluncur turun. Di ujung batu sebelah bawah, dari dalam sebuah hang berair, terdengar suara-suara menyeramkan disertai muncratan air. Jatile-gowo tercekat dan terpaksa hentikan gerakannya. Di bawah bukit Wiro dan para sahabat terkesiap. Sarontang, orang di atas bukit batu tertawa mengekeh. Gerakan batu ditahannya hingga sosok Nyi Larasati berhenti meluncur.
Jatilegowo berpaling pada pengawal di sebelah kanan-nya. "Naik ke bukit, selidiki apa yang ada di atas sana!"
Meski ragu tapi karena harus menjalankan perintah sang pengawal berlari naik ke atas bukit. Sarontang segera menghadang.
"Kau mau apa?!" bentak si kakek berambut biru berminyak. "Mau menyelidik?! Biar majikanmu percaya aku akan memperlihatkan sesuatu padanya!"
Ketika Sarontang mendekat, pengawal ini segera menghunus pedangnya. Walau bersenjata dia bukan tandingan Sarontang. Sambil berkelit Sarontang menen-dang selangkangannya. Pengawal ini keluarkan jeritan dahsyat. Tubuhnya mencelat ke bawah. Setengah tombak akan mencapai bebatuan, tiba-tiba ada suara meng-gemuruh disertai muncratan air dan melesatnya dua sosok buaya hitam dari liang batu berair! Untuk kedua kalinya pengawal itu keluarkan jeritan keras. Lalu suara jeritannya lenyap. Berganti dengan suara gaduh dua ekor buaya hitam mencabik-cabik dan melahap tubuh pengawal malang itu. Kalau saja hal itu terjadi pada siang hari, maka akan terlihat bagaimana air hitam di dalam liang batu telah berubah menjadi merah pekat!
Wiro, Setan Ngompol dan tiga gadis terkesiap ngeri. Jatilegowo dan pengawal satunya terbeliak kaget. Semen-tara Sarontang enak saja umbar tawa bergelak. Begitu hentikan tawa, dia tudingkan Keris Naga Kiai Kopek kepada Jatilegowo.
"Adipati, kau saksikan sendiri! Setiap saat bisa terjadi kematian mengerikan di atas bukit ini. Sekarang saatnya kita berjual beli. Saatnya tubuh hidup ditukar dengan benda mati. Saatnya sosok bernyawa ditukar dengan senjata sakti! Serahkan Badik Sumpah Darah padaku! Letakkan di atas tiang batu setinggi lutut di depanmu. Lalu turun jauh-jauh ke bukit. Aku akan mengambil badik. Meninggalkan tempat ini! Kau akan mendapatkan Nyi Lara dalam keadaan selamat!"
Jatilegowo mendelik besar. Dua matanya laksana di-kobari api. Tiba-tiba dia keluarkan tertawa bergelak lalu meludah ke tanah.
"Aku bisa nekad Sarontang! Aku tidak akan memberi-kan Badik Sumpah Darah ini padamu!"
Sarontang tertawa mengekeh. "Aku juga bisa nekad! Aku tidak mendapatkan badik, kau tidak akan men-dapatkan janda idamanmu ini!"
"Perduli setan! Kau mau berbuat apa, kau mau mem-bunuh Nyi Lara silahkan! Aku masih bisa mendapatkan perempuan lain. Tapi nyawamu cuma satu! Aku merasa lebih puas jika bisa membunuhmu!" Dengan badik diacung-kan ke atas, Adipati Jatilegowo menerjang ke arah Sarontang.
"Ha… ha! Secepat itukah hati dan pikiranmu berubah?!"
Sarontang yang tidak mengira Jatilegowo akan berbuat senekad itu cepat kiblatkan Keris Naga Kopek menahan sambaran Badik Sumpah Darah. Bersamaan dengan itu kaki kanannya menginjak kuat-kuat batu penggerak batu besar di atas mana Nyi Lara terbaring.
"Saatnya kita bergerak! Ingat apa yang barusan sudah kita atur!" Dibawah bukit Wiro berteriak. Lima sosok ber-kelebat ke atas bukit. Bidadari Angin Tirnur melesat ke arah batu di mana Nyi Lara terbujur. Ratu Duyung berlari sambil keluarkan cermin sakti. Setan Ngompol terkencing-kencing membuat dua lompatan. Anggini melesat sambil mengeruk tiga paku perak senjata rahasia.
Saat itulah tiba-tiba dua penunggang kuda mendatangi cepat dari arah barat.
"Wiro! Tunggu!" Seorang berteriak.
Pendekar 212 yang telah melesat ke atas bukit terpaksa hentikan gerakan. Walau lama tidak pernah bertemu tapi dia mengenali suara itu. Wiro berpaling ke bawah bukit. Dua orang pemuda dilihatnya lari ke arahnya. Di sebelah depan dikenalinya sebagai Loh Gatra. Satunya, jauh tertinggal di sebelah belakang seorang pemuda berkulit halus, berwajah cakap memakai daster. ltulah Sri Kemuning yang diberi dandanan laki-laki. Wiro ingat ucapan Loh Gatra tentang pesan penting yang hendak disampaikan istri muda Jatilegowo itu padanya. Dengan cepat Wiro melompat ke bawah. Loh Gatra sambil lari ke atas bukit perhatikan suasana. Dia melihat Setan Ngompol dan tiga gadis berkelebat menyerbu ke arah Jatilegowo. Dia melihat batu di atas mana Nyi Larasati terbujur bergerak ke atas, membuat tubuh perempuan muda itu meluncur ke bawah, siap jatuh ke dalam lobang dimana terdapat dua ekor buaya hitam ganas. Tidak tunggu lebih lama pemuda ini melesat ke arah batu itu.
"Wiro!" Begitu sampai di hadapan Wiro Kemuning jatuhkan diri dalam pelukan sang pendekar. Nafasnya megap-megap karena berlari mendaki bukit. Dadanya turun naik.
"Jeng Ayu Kemuning, kata Loh Gatra ada satu pesan penting hendak Jeng Ayu kau sampaikan padaku. Pesan apa? Katakan cepat!"
"Jangan panggil saya Jeng Ayu!"
"Baik, baik…. Sekarang katakan apa pesan yang hendak kau sampaikan."
"Jatilegowo!" Ucap Kemuning. "Dia memiliki kekebalan bersumber dari kesaktian Badik Sumpah Darah. Tidak ada pukulan atau senjata yang sanggup membunuhnya! Kecuali jika kau menghantam kelemahannya…"
"Apa?! Bagaimana Jeng Ayu… kau bisa tahu? Di mana letak kelemahannya?"
Belum sempat Sri Kemuning menjawab, di atas bukit sana terdengar suara letusan-letusan keras dibarengi kiblatan cahaya hitam kuning serta jerit pekik dahsyat! Wiro palingkan kepala, memandang ke atas bukit.
***
13
MELIHAT Jatilegowo melompat ke arahnya dan melancarkan serangan dengan Badik Sumpah Darah, Sarontang segera injak keras-keras batu dibawah kaki kanannya. Batu besar di atas mana sosok Nyi Larasati terbujur tanpa bisa bergerak dan bersuara meluncur ke bawah, ditunggu dua ekor buaya ganas dalam liang batu berair. Sesaat kemudian kakek bertangan kanan buntung ini menerjang ke depan, sambuti sambaran senjata lawan dengan Keris Kiai Naga kopek. Sarontang begitu percaya bahwa keris pusaka Kerajaan itu akan sanggup menghadapi badik di tangan lawan."Traangg!" Dua senjata sakti beradu di udara. Bunga api memercik di kegelapan malam disusul dengan bentrokan sinar kuning dan hitam hingga mengeluarkan suara gelegar letusan keras.
Sarontang menjerit. Keris Kiai Naga Kopek terlepas dari genggaman tangan kanannya. Jatuh berkerontangan di atas tanah membatu. Tubuhnya sendiri mencelat dua tombak, terpental ke arah liang batu. Dia membuat gerakan jungkir balik, berusaha menghindari agar tidak jatuh ke dalam liang maut itu. Namun saat itu Jatilegowo telah melancarkan serangan susulan dengan membabat-kan secara ganas Badik Sumpah Darah ke arah leher Sarontang.
"Crasss!"
Sarontang keluarkan jeritan pendek. Darah menyem-bur dari pangkal lehernya yang terkena sambaran Badik Sumpah Darah. Saat itu juga leher, muka dan bagian atas dadanya berubah hitam oleh ganasnya racun Seratus Pohon Tuba. Tubuhnya yang berjungkir balik tak ampun lagi melayang jatuh ke dalam liang batu. Sarontang menjerit keras. Suara jeritannya lenyap begitu dua ekor buaya menyergap dan melahap tubuhnya!
Jatuhnya Sarontang ke dalam liang batu justru menyelamatkan Nyi Larasati. Sosoknya yang meluncur deras ke bawah dan seharusnya masuk amblas ke dalam liang maut, untuk sesaat tertahan oleh tubuh Sarontang yang telah lebih dulu jatuh ke dalam liang. Hal ini memberi kesempatan pada Bidadari Angin Timur untuk menyelamat-kan janda mendiang Adipati Temanggung itu. Bidadari Angin Timur yang punya kemampuan bergerak cepat luar biasa, laksana kilat menyambar tubuh Nyi Larasati, tapi gerakannya terhalang karena Jatilegowo secara tidak ter-duga membabatkan badiknya ke arah sang d.ara.
Sesaat setelah Jatilegowo membabat leher Sarontang, Setan Ngompol, Anggini dan Ratu Duyung menghantam, dengan tiga serangan. Cahaya putih yang melesat dari cermin sakti Ratu Duyung menyambar ke arah kepala Jatilegowo, membuat lelaki ini meraung marah kesilauan. Dari samping kiri Setan Ngompol lancarkan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Dari sebelah kanan tiga paku perak yang dilemparkan Anggini menyambar ke arah kepala dan dada!
Jatilegowo menggembor marah. Dia tidak begitu mengenali siapa orang-orang yang menyerbunya.
"Keparat! Siapa kalian! Kalau minta mati akan kuberi-kan saat ini juga!"
"Wuuuuttt!"
Sinar hitam angker menderu di kegelapan malam. Setan Ngompol berteriak kaget ketika sinar hitam yang keluar dari Badik Sumpah Darah laksana badai meng-hantam dirinya hingga dia terpental dan jatuh terjengkang terkencing-kencing. Sekujur tubuhnya terasa remuk. Ketika dia mencoba bangun, tubuhnya terseok rubuh!
Tiga suara berdentringan terdengar begitu pakupaku perak yang dilemparkan Anggini disapu Badik Sumpah Darah, mental hancur berkeping-keping. Anggini sendiri tergontai-gontai hampir jatuh berlutut di tanah.
Di bagian lain Ratu Duyung terpekik sewaktu cahaya putih panas yang keluar dari cermin saktinya berbalik ke arahnya begitu kena diterpa sinar hitam yang melesat keluar dari badan senjata di tangan lawan. Kalau tidak lekas melompat menjauh, cermin saktinya akan terlepas mental, mungkin bisa pecah bertaburan.
Pendekar 212 yang masih berada di lereng bukit sebelah bawah menyaksikan semua kejadian itu hampir tak percaya. Belum pernah dia melihat senjata begitu luar biasa seperti Badik Sumpah Darah. Angin dan cahayanya saja bisa membuat lawan celaka. Wiro sadar, dia harus segera turun ke gelanggang pertempuran menolong para sahabat.
"Kemuning, lekas katakan dimana letak kelemahan Jatilegowo! Aku harus segera menolong teman-temanku di atas bukit sana."
"Bagian bawah perut, antara ke dua pangkal paha," jawab Kemuning.
Pendekar 212 merasa bimbang mendengar ket-erangan itu. "Bagaimana kau bisa tahu? Siapa yang mengatakan padamu?"
"Saya kedatangan seorang tua aneh dalam mimpi…"
"Mimpi? Jadi kau mengetahui kelemahan Jatilegowo dalam mimpi? Ah…" Wiro jadi garuk-garuk kepala.
"Kau boleh percaya atau tidak. Saya bermimpi sampai tiga kali. Seorang tua berjubah merah muncul. Dia mengaku bernama Daeng Wattansopeng. Katanya dia yang membuat Badik Sumpah Darah. Kutuk akan segera jatuh atas diri Jatilegowo."
Wiro memandang ke arah bukit. Saat itu dilihatnya Setan Ngompol masih terduduk di tanah. Ratu Duyung walau mengeroyok Jatilegowo bersama Anggini dan Bidadari Angin Timur namun berada dalam keadaan terdesak hebat. Setiap saat salah seorang dari mereka bisa celaka.
Sebelumnya, sewaktu Bidadari Angin Timur gagal menyelamatkan Nyi Larasati yang siap jatuh masuk ke dalam liang batu berisi sepasang buaya, Loh Gatra yang datang kemudian berhasil bertindak cepat, merangkul pinggang Nyi Larasati. Janda muda itu selamat tapi Loh Gatra justru dilanda bencana. Dalam satu pertempuran beberapa waktu lalu Loh Gatra berhasil melukai salah satu telinga Jatilegowo dengan senjata rahasia berbentuk bintang (Baca Episode "Meraga Sukma") Kini melihat pemuda itu muncul dan berusaha menyelamatkan Nyi Lara, dendam amarah Jatilegowo jadi berkobar. Didahului makian kotor dia tusukkan Badik Sumpah Darah ke arah dada Loh Gatra. Pemuda ini masih sanggup menghindar dengan jatuhkan diri sambil terus memeluk tubuh Nyi Lara. Namun ketika kaki kiri Jatilegowo bergerak menghantam-kan tendangan, Loh Gatra tak dapat lagi mengelak. Tulang pinggulnya remuk. Tubuhnya terpental sejauh dua tombak. Terguling-guling ke bawah. Dalam keadaan seperti itu tubuh Nyi Larasati tidak dilepaskannya, terus saja dipeluk sampai akhirnya keduanya terkapar di kaki bukit batu.
Wiro cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Dia sampai di atas bukit tepat ketika Badik Sumpah Darah di tangan Jatilegowo membabat deras ke arah kepala Bidadari Angin Timur. Untung saja gadis ini memiliki kecepatan luar biasa dalam bergerak. Namun walau dia berhasil menyelamatkan kepala, tak urung sebagian rambutnya yang pirang dan bagus masih kena dibabat putus dan mengepulkan asap. Bidadari Angin Timur berseru tegang, melompat mundur. Wajahnya yang jelita tampak pucat sekali. Dalam keadaan terkesima kaget dan kecut seperti itu, lawan pergunakan kesempatan untuk menyerbu kembali. Satu tusukan dihunjamkannya ke dada Bidadari Angin Timur.
"Adipati jahanan! Aku lawanmu!"
Satu bentakan menggeledek disusul berkeiebatnya satu bayangan putih, memotong gerakan Jatilegowo. Lalu ada suara menderu laksana ratusan tawon mengamuk. Sinar putih berselubung cahaya kemerahan disertai hawa panas berkiblat dafam kegelapan. Sang Adipati tidak melihat jelas benda atau senjata apa yang melabrak ke arahnya. Percaya akan kekuatan dan kesaktian Badik Sumpah Darah Jatilegowo belokkan tusukan senjatanya, memburu ke arah benda yang menyambar.
"’Traang!"
Bunga api memercik hebat. Dua orang sama-sama berseru kaget. Wiro terpental dua langkah, lututnya goyah. Tangan kanan terasa panas dan perih. Dia genggam gagang kapak erat-erat agar tidak lepas.
Namun dia tidak mampu menjaga keseimbangan tubuh. Murid Sinto Gendeng ini akhirnya jatuh bertutut. Di hadapannya Jatilegowo terjengkang di tanah. Dadanya mendenyut sakit seperti ada ratusan jarum menusuki.
Mukanya yang garang kelihatan pucat. Mata mendelik merah. Ketika dia mengenali siapa orang di depannya segera dia melompat.
"Pendekar jahanam! Kau rupanya!" Teriak Jatilegowo memaki. "Aku memang sudah lama mencarimu! Sekarang kau datang sendiri mengantar nyawa!"
Wiro cepat melompat bangun. Kapak Naga Geni 212 diputar sebat demikian rupa hingga puncak Bukit Watu Ireng laksana dilanda topan. Namun Badik Sumpah Darah sungguh luar biasa. Cahaya hitam senjata beberapa kali menembus iingkaran sinar putih Kapak Naga Geni 212. Tahu kehebatan badik lawan Wiro tidak berani bentrokan senjata. Sambil terus memutar kapak di tangan kanan, tangan kiri ikut melancarkan pukulan-pukulan inti Kitab Putih Wasiat Dewa. Dua kali pukulan sakti yang dihantam-kan Wiro mengenai sasaran di dada dan perut lawan. Pertama pukufan bernama Tangan Dewa Menghantam Air Bah. yang kedua pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Jangankan tubuh manusia, batang pohon atau tembok pasti hancur dan jebol jika kena dihantam dua pukulan itu. Wafau tubuhnya terpental dan kelihatan menahan sakit, tapi begitu Badik Sumpah Darah diusapkannya ke bagian tubuh yang terpukul, rasa sakit dan cidera serta merta lenyap! Malah ketika dengan nekad Wiro menyerbu tak mau memberi kesempatan pada lawan, Jatilegowo berhasil menyusupkan satu jotosan ke dada Wiro, membuat murid Sinto Gendeng ini terpental satu tombak dan muntah darah.
Tiga gadis sama terpekik menyaksikan kejadian itu. Sri Kemuning yang tak mau diam di lereng bukit dan naik ke puncak terisak pejarnkan mata, tidak tega melihat sang pendekar terluka parah seperti itu. Setan Ngompol kucurkan air kencing.
Jatilegowo menyeringai. Sekali lompat dia sudah berada di hadapan Wiro.
"Pendekar keparat! Terima kematianmu!" Badik Sumpah Darah dihunjamkan ke batok kepala Wiro.
Setengah jengkal lagi senjata sakti mandraguna itu akan menancap di kepala Wiro, tiba-tiba sang pendekar rebahkan tubuh ke belakang, kaki kanan menderu ke atas menendang perut lawan. Jatilegowo berteriak kaget, dia tarik tusukan badik ke kepala. Senjata itu kini dibabatkan ke kaki lawan. Tapi saat itu Wiro sudah membuat gerakan meliuk. Masih setengah berputar di tanah tubuhnya melompat ke atas. Wiro ingat pesan yang disampaikan Sri Kemuning. Namun kedudukan dirinya tidak memungkinkan untuk menendang atau membacok bagian bawah perut lawan. Maka murid Sinto Gendeng ini keluarkan jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung. Kapak Maut Naga Geni 212 menderu. Yang jadi sasaran adalah batang leher lawan dan kena!
"Deesss! Craassss!"
Leher Jatilegowo putus! Kepalanya menggelinding di tanah keras membatu. Badannya terkapar menelungkup. Para gadis terpekik ngeri. Setan Ngompol terkencing habis-habisan. Semua orany merasa lega. Tapi hanya sesaat. Tiba-tiba tangan kanan Jatilegowo yang masih memegang badik bergerak ke arah leher yang buntung dan masih mengucurkan darah. Badik bergerak mengusap bagian atas kutungan leher. Dan terjadilah satu peristiwa yang sulit dipercaya.
Kepala Jatilegowo yang tadi putus dan menggelinding jauh tiba-tiba melesat dan menempel kembali ke leher.
Semua orang menjadi geger! Setan Ngompol menenga-dah ke langit, pejamkan mata. Dua tangan menekap bagian bawah perut kencang-kencang.
Sambil keluarkan tawa bergelak perlahan-lahan sosok Jatilegowo bangkit berdiri. Wiro memperhatikan dengan mata mendelik besar. Dia memutar otak.
"Ilmu jahanam apa yang dimiliki keparat ini! Kepala jelas-jelas putus. Darah menyembur. Tapi bisa menclok kembali ke leher. Dan hidup! Gila!"
Ketika Jatilegowo melangkah ke arahnya, Wiro bergerak mendahului. Kapak Maut Naga Geni 212 dibabatkan ke bawah perut, yang menurut Sri Kemuning adalah titik kelemahan sang Adipati. Tapi lebih cepat sang Adipati melesat ke udara hingga serangan Wiro hanya mengenai tempat kosong. Penasaran Wiro mengejar dengan membuat lompatan yang lebih tinggi. Kapak Naga Geni 212 kembali menderu. Jatilegowo gerakkan tangan kanan, sengaja hendak menangkis dengan badik karena dia tahu bahwa senjatanya memiliki kehebatan jauh di atas senjata lawan. Namun kali ini dia kecele. Wiro bukan saja menghindari bentrokan senjata, tapi dengan memutar kapak demikian rupa dia berhasil membabat pergelangan tangan lawan.
Tangan yang putus dan masih memegang Badik Sumpah Darah melayang ke udara. Saat itulah tiba-tiba dari balik tiang batu besar setinggi dua tombak, melesat sosok seorang berjubah hitam, mengenakan tarbus hitam berjumbai. Sekali tangannya bergerak memukul, jari-jari potongan tangan Jatilegowo yang memegang Badik Sumpah Darah terpentang membuka. Senjata sakti itu melayang jatuh, langsung disambuti oleh si iubah hitam yang ternyata adalah kakek dari tanah seberang yang sebelumnya memperkenalkan diri dengan nama Pattiro-bajo.
"lblis Seribu Nyawa!" seru Wiro dan Ratu Duyung berbarengan.
Sambil berdiri acungkan Badik Sumpah Darah tinggi-tinggi ke atas, si kakek tertawa mengekeh.
"Badik sakti badik kematian! Akhirnya aku dapatkan dirimu! Semua roh di langit dan di bumi! Saksikan! Inilah akhir hidup seratus dua puluh tahun Pattirobajo, berjuluk iblis Seribu Nyawa!" Si kakek palingkan kepalanya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia menyeringai dan kedipkan mata. "Anak muda, aku berterima kasih padamu! Kau telah menolong aku mendapatkan senjata pengakhir hayat ini!" Habis berkata begitu Pattirobajo pegang gagang badik dengan dua tangan sekaligus. Tubuhnya yang pendek diluruskan hingga kelihatan tinggi sekali. Lalu kembali dia mengumbar tawa panjang, Tiba-tiba suara tawanya berhenti. Badik Sumpah Darah ditusukkannya ke dada kirinya hingga menancap dalam, menembus sampai ke jantung!
Kakek berjubah hitam itu keluarkan suara mengerang panjang. Perlahan-lahan tubuhnya menyusut pendek kembali lalu jatuh punggung di tanah. Dua matanya menatap langit gelap. Sesaat dua tangan masih memegangi gagang badik yang menancap di dada. Lalu dua tangan itu terkulai jatuh ke sisi. Perlahan-lahan kulit tubuhnya berubah hitam. Satu senyum menyeruak di mulut si kakek. Bersamaan dengan itu nyawanya melayang.
Dari tenggorokan Jatilegowo keluar suara meng-gembor. Dia melangkah mendekati mayat Pattirobajo untuk mengambil Badik Sumpah Darah. Namun sebelum tangannya sempat menyentuh gagang senjata yang ber-lumuran darah itu, tiba-tiba terjadi lagi satu peristiwa aneh. Dari sosok mayat Pattirobajo keluar kepulan asap yang dengan cepat membentuk sosok seorang kakek berjubah merah, berambut, berkumis dan berjanggut putih.
Jatilegowo melengak kaget. Langkahnya terhenti. Mulutnya bergetar ketika berucap. "Kakek… Kakek Daeng Wattansopeng…"
"Wiro!" Seru Sri Kemuning. "Kakek itu yang mendatangi diriku dalam mimpi!"
Wiro terkejut. Semua orang memandang sesaat pada Sri Kemuning yang saat itu telah membuang dasternya dan membiarkan rambutnya yang panjang hitam tergerai lepas.
Di depan sana, sosok kakek berjubah yang keluar dari mayat Pattirobajo membungkuk mencabut Badik Sumpah Darah yang menancap di dada Iblis Seribu Nyawa. Dia memandang ke arah Jatilegowo. Sambil melangkah men-dekati Adipati itu dia berkata.
"Jatilegowo, matamu masih terang bisa mengenali diriku. Mulutmu masih fasih menyebut namaku. Allah Maha Besar, Maha Adil dan Maha Mengetahui. Dia telah berlaku seribu benar. Ketika kau membunuhku dengan badik ini, aku belum menyempurnakan usapan kekebalan di seluruh tubuhmu. Ada satu bagian yang masih tersisa. Di tempat itulah terletak titik kelemahanmu!"
Habis berkata begitu sosok kakek berjubah merah, entah makhluk apa sebenarnya dirinya, menggerakkan sepasang kaki dan tahu-tahu dia sudah berada di hadapan Jatilegowo. Badik di tangan kanan dihunjamkan ke bawah perut Adipati itu, tepat di antara dua pangkal paha. Mulut Jatilegowo terbuka lebar, tenganga tapi tidak keluarkan suara. Matanya membeliak besar tapi tidak melihat apa-apa. Ketika Badik dicabut tubuhnya sesaat masih tertegak.
Kakek berjubah merah gerakkan tangan kanan yang memegang badik, membuat tanda silang di depan wajah Jatilegowo lalu keluarkan ucapan.
"Sampai hari Kiamat rohmu akan tergantung antara langit dan bumi! Semoga ummat terbebas dari kejahatan yang bersumber dari dirimu."
Begitu selesai ucapannya sosok orang tua inipun berubah menjadi asap tipis dan akhirnya sirna. Sementara itu sosok Jatilegowo yang tadi masih berdiri, perlahan-lahan jatuh tersungkur. Sekujur kulit tubuhnya berubah menjadi hitam mengepulkan asap. Inilah akhir kehidupan jahat dan keji seorang Adipati.
Dikisahkan kemudian bahwa Keris Kiai Naga Kopek dikembalikan ke Istana. Jenazah Jatilegowo dibawa ke Salatiga oleh satu-satunya pengawal yang masih hidup. Mayat Pattirobajo dikubur di kaki bukit oleh tiga orang pengiringnya. Nyi Larasati yang ternyata telah ditotok oleh Sarontang dan pernah mempunyai kaul akan mengawini orang yang menolong dirinya, akhirnya melangsungkan perkawinan dengan Loh Gatra. Pemuda ini memang pantas menerima bahagia besar itu karena dia sejak lama mencintai Nyi Larasati dan telah beberapa kali mengorban-kan diri untuk menyelamatkan sang janda. Patih Kerajaan berhasil disembuhkan dengan minuman air godokan bunga Melati Tujuh Racun. Sang Patih menawarkan jabatan Panglima Kerajaan pada Pendekar 212 Wiro Sableng, namun murid Sinto Gendeng ini lebih suka meneruskan perjalanan bersama para sahabatnya. Apa lagi dia masih punya beberapa tugas berat. Antara lain menemukan Pedang Naga Suci212 dan mencari Kitab Seribu Pengobatan milik gurunya yang lenyap dicuri orang. Rana Suwarte yang dititipkan di rumah penduduk desa, entah bagaimana berhasil melarikan diri hingga selamat dari hukuman Kerajaan.
TAMAT
SEGERA TERBIT EPISODE PERTAMA DARI RANGKAIAN SERIAL WIRO SABLENG BERIKUTNYA :
113 LORONG KEMATIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar