posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : TUA GILA DARI ANDALAS
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : TUA GILA DARI ANDALAS
SATU
Nenek angker yang kepalanya ditancapi lima tusuk konde perak itu lari laksana angin. Sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan gugusan bukit karang di Teluk Parangtritis. Memasuki sebuah lembah dia memperlambat larinya. Di satu tempat yang sunyi dan teduh si nenek berhenti. Sosok anak kecil berpakaian serba hitam yang sejak tadi dipanggulnya diletakkan di atas satu tonjolan tanah keras rata. Dia pandangi tubuh pingsan tak bergerak itu sambil menarik nafas berulang kali. Dalam hatinya sebenarnya nenek ini merasa sangat khawatir namun air mukanya yang angker sebaliknya malah menyorotkan hawa kemarahan.“Anak setan! Tubuhmu panas seperti dipanggang! Tangan kananmu patah! Untung kau tidak mampus dihantam pukulan sakti nenek bermuka putih itu! Kepandaian cuma sejengkal berani-beraninya kamu mempermainkan orang!”
Anak yang tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan itu adalah Naga Kuning alias Naga Cilik.
Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya (Utusan Dari Akhirat) anak itu berani melawan Sabai Nan Rancak malah mempermalukan nenek sakti itu dengan menarik tanggal jubah hitamnya di sebelah bawah. Akibatnya Sabai Nan Rancak menjadi kalap. Setelah berhasil mematahkan tangan kanannya Sabai Nan Rancak menghantamnya dengan pukulan Kipas Neraka. Walau tidak terkena telak namun pukulan Kipas Neraka membuat si anak hangus sebagian pakaiannya. Wajahnya tampak sangat merah tetapi anehnya bibirnya berwarna kebiruan.
“Mukamu merah seperti udang direbus. Bibirmu sebiru jelaga. Ada hawa jahat mendekam dalam tubuhmu. Jantungmu pasti megap-megap…. Anak setan! Kalau tidak kasihan padamu seharusnya kubiarkan saja kau mampus! Mengapa aku mau-maunya menolongmu mencari urusan! Huh!”
Nenek itu menghela nafas panjang lalu kembali mengoceh.
“Aku harus memeriksa tubuhmu. Kalau tanda merah dan biru juga ada di dadamu jangan harap aku bisa selamatkan jiwamu!”
Si nenek membungkuk. Lalu jari-jari tangannya yang kurus berkuku panjang dan hitam bergerak ke dada si anak.
“Breett!”
Baju hitam yang dikenakan bocah pingsan itu robek besar di bagian dada. Begitu dada si anak tersingkap, kagetlah si nenek. Dia tersentak bangkit lalu tersurut sampai dua langkah. Sepasang matanya mendelik memancarkan sinar aneh, menatap lekat ke arah dada si anak. Di situ, di dada itu ada gambar seekor naga besar berwarna kuning?
“Naga Kuning…” desis si nenek dengan suara bergetar.
Untuk beberapa lamanya nenek itu tegak tak bergerak, memandang melotot tak berkesip.
“Kalau anak ini memang benar…. Ah! Bagaimana aku bisa mempercayai! Satu-satunya yang tahu asal usul anak ini adalah Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi orang sakti itu kuketahui sudah lama berpulang…. Kalaupun masih hidup di mana aku harus mencari!” Si nenek menarik nafas dalam berulang kali. Dia sadar kalau saat itu sekujur tubuhnya terasa bergetar. Setelah terdiam beberapa lama akhirnya dia berkata.
“Apapun yang terjadi, aku berkewajiban menolong anak ini! Kalau dia sampai tewas di tanganku, aku bakal celaka seumur-umur! Masih untung tak ada warna merah dan biru di bagian dadanya. Berarti aku bakalan bisa menolong walau sulit setengah mati! Mudah-mudahan Gusti Allah mau menurunkan kuasa, kekuatan dan kasihNya menyelamatkan anak ini!”
Si nenek lalu cabut tiga tusuk konde yang menancap di kepalanya. Tusuk konde pertama ditusukkannya ke ubun-ubun si anak. Tusuk konde ke dua ditusukkan ke telapak kaki kanan lalu yang terakhir ditancapkan ke telapak kaki kiri. Saat itu juga tubuh Naga Kuning berguncang keras. Si nenek cepat tempelkan tangannya kiri dan kanan di kening si bocah. Lalu mulai mengerahkan tenaga dalamnya. Tubuh si anak yang tadi berguncang kini mengendur dan guncangan perlahan-lahan lenyap. Si nenek alirkan hawa sakti sejuk lewat tangan kanan sedang hawa sakti hangat melalui tangan kiri. Dari wajah si anak yang berwarna merah keluar asap tipis. Si nenek merasa agak lega. Dia lipat gandakan aliran hawa sakti. Namun jadi terperangah ketika merasakan ada kekuatan aneh menolak keluar dari kening si anak, membuat dua tangannya bergetar. Selagi si nenek terkesiap tiba-tiba di belakangnya terdengar suara berisik sekali. Liang telinganya seperti ditusuk. Itulah suara kaleng yang dikerontangkan tiada hentinya.
“Setan alas! Tua bangka sialan! Beraninya kau mengacaukan pekerjaanku!” Si nenek menyumpah.
Suara kerontangan kaleng sirna. Kini terdengar suara tawa mengekeh.
“Sinto Gendeng! Walau sudah bau tanah sifatmu masih tidak berubah! Memaki mengutuk serapah tak pernah berhenti! Sejak lama aku mencarimu! Apa kau tahu rimba persilatan tanah Jawa dan Andalas tengah dilanda malapetaka besar?!”
“Kalau tidak tahu masakan aku mau mencapaikan diri meninggalkan puncak Gunung Gede?! Bukankah kau dan aku barusan mengalami sendiri di Teluk Parangtritis?!” jawab si nenek seraya berpaling. Dia ternyata adalah Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
“Kau betul. Sebelumnya kita sama-sama berada di Teluk Parangtritis. Kini sama-sama tersesat di tempat ini…. Eh, aku merasa ada sosok lain yang bernafas tersendat-sendat di dekatmu. Apa yang kau lakukan di sini Sinto?”
“Aku tengah berusaha menolong menyelamatkan seorang bocah yang siap meregang nyawa. Mendekatlah kemari agar kau tahu siapa adanya anak ini!”
Orang yang diajak bicara melangkah mendekati si nenek. Begitu berada di dekatnya Sinto Gendeng pegang lengan kanan orang itu lalu usapkan telapak tangannya ke atas dada anak yang pingsan. Orang ini ternyata adalah seorang kakek bermata putih alias buta melek dan bukan lain adalah manusia sakti salah seorang tokoh aneh dunia persilatan yang dikenal dengan julukan Kakek Segala Tahu.
“Astaga!” berucap si kakek setengah berseru. Walau matanya buta tapi dia memiliki beberapa kehebatan. Diantaranya mengetahui sesuatu dengan jalan meraba.
“Ada gambar ular besar di dadanya. Bukankah anak ini si Naga kuning alias Naga Cilik, penjaga kawasan telaga besar Gajahmungkur?!”
“Kau memang hebat. Meski jelek dan buta tapi punya kesaktian melihat secara aneh…!”Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh dan goyangkan tangannya yang memegang kaleng rombeng.
“Apa yang terjadi dengan anak ini Sinto? Aku merasakan ada hawa aneh dan panas ketika meraba dadanya. Aliran darahnya tidak beres. Nafasnya sudah sampai ke leher!”
“Anak ini menderita cidera berat. Tangan kanannya patah. Tapi yang gawat luka dalam yang dideritanya.”
“Aku tahu. Anak ini terlibat dalam bentrokan hebat di Parangtritis….”
“Dia dihajar Sabai Nan Rancak dengan pukulan Kipas Neraka!” kata Sinto Gendeng pula.
“Kalau bukan Naga Kuning, pasti anak ini sudah menemui ajal tadi-tadi.”
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Tangan kanannya yang memegang tongkat diayun-ayunkan kian kemari. Sesaat terdengar dia bergumam. Lalu didengarnya Sinto Gendeng berucap.
“Sabai Nan Rancak. Jauh-jauh datang dari Andalas pasti punya maksud tertentu. Aku sejak lama menyirap kabar nenek satu itu sepertinya punya satu urusan besar di tanah Jawa ini. Agaknya telah terjadi sesuatu di luar pengetahuan kita. Aku lihat nenek muka putih itu muncul mengenakan Mantel Hitam sakti milik Datuk Tinggi Raja Di Langit. Aku yakin dia juga telah menguasai Mutiara Setan sang Datuk. Belakangan ini dia muncul di beberapa tempat di tanah Jawa. Tindak tanduknya aneh. Setiap dia muncul pasti terjadi sesuatu! Kau tahu atau kenal dengan nenek keparat itu?”
Kakek Segala Tahu goyangkan kaleng rombengnya dua kali.
“Apa yang aku ketahui rasanya tidak sebanyak yang kau ketahui Sinto….”
“Maksudmu?”
“Seperti kau di masa muda dulu nenek itu pernah bercinta dengan Sukat Tandika alias Tua Gila….”
“Bukan cuma bercinta. Tapi bunting dan punya anak!” ujar Sinto Gendeng.
“Ha… ha… ha…!” Kakek Segala Tahu tertawa.
“Suaramu ketus. Pertanda masih ada rasa sakit hati di dalam dirimu….”
“Aku tidak ingin membicarakan masa lalu sialan itu. Apa yang sebenarnya tengah terjadi di rimba persilatan tanah Jawa ini? Harap kau Suka menerangkan. Jangan menyembunyikan sesuatu walau barang sepotong pun!”
“Pertama kali aku bertemu dengan Sabai Nan Rancak adalah di Bukit Tegalrejo. Waktu itu dia tengah menunggu kedatangan sobatnya bernama Datuk Angek Garang. Seperti yang aku katakan padanya, sang Datuk tidak akan datang hidup-hidup.
Ternyata benar. Datuk Angek Garang muncul naik gerobak. Tapi sudah jadi mayat. Pasti Tua Gila yang membunuhnya. Karena Malin Sati, murid tunggal kakek sedeng itu mati di tangan Datuk Angek Garang. Celakanya belakangan aku mendengar kabar bahwa Sabai Nan Rancak menuduh aku yang telah membunuh Datuk Angek Garang…!” Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya lalu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia hentikan tawanya, menatap ke arah Sinto Gendeng dan berkata.
“Sinto, kalau aku terus bercerita, kapan kau akan menolong Naga Kuning?”
“Astaga!” Sinto Gendeng tersentak kaget.
“Aku sampai terlupa!”
“Aku ikut membantu!” kata si kakek pula.
“Kau tahu siapa aku! Tak perlu dibantu!” ujar Sinto Gendeng pula.
“Jangan takabur Sinto! Pukulan Kipas Neraka bukan pukulan sembarangan. Cidera yang dialami Naga Kuning parah sekali….” Si nenek mencibir.
“Dari dulu kau selalu meremehkan diriku.”
Kakek di belakang Sinto Gendeng tertawa mengekeh lalu kerontangkan kaleng rombengnya.
“Kakek Setan! Kau mau membuat aku jadi budek! Hentikan perbuatanmu atau Liang Lahat kuhancurkan kaleng jahanam itu!”
Rupanya kerontangan kaleng yang memang disertai tenaga dalam itu telah membuat sakit kedua liang telinga Sinto Gendeng maka kembali dia menyumpah dan mengancam.
“Sinto, aku Kakek Segala Tahu yang sudah jadi sahabatmu sampai karatan begini merasa wajib membantu! Terserah kau suka atau tidak! Ayo kau teruskan pekerjaanmu tadi! Obati luka dalamnya lebih dulu. Lengannya yang patah biar nanti aku yang mengurus!”
Si nenek pelototkan mata dan hendak memaki kembali. Tapi akhirnya cuma diam. Tadi sewaktu mengalirkan tenaga dalam ke tubuh si anak dia merasakan seolah ada satu kekuatan yang menolak. Sinto Gendeng berpaling pada bocah yang tergeletak di hadapannya.
Seperti tadi perlahan-lahan dia duduk berjongkok lalu mulai mengalirkan hawa sakti lewat kedua tangannya yang ditempelkan di kening Naga Kuning. Tiba-tiba si nenek merasa terganggu. Ada sebuah benda ditusukkan di pantatnya sebelah kanan.
“Jahanam! Apa yang kau lakukan?!” teriak Sinto Gendeng marah.
*
* *
* *
DUA
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh.
“Aku menempelkan ujung tongkat bututku di bokongmu,” katanya.
“Tenaga dalammu bagaimana pun hebatnya tidak cukup untuk menolong anak itu. Lewat tongkat ini aku akan mengalirkan tenaga dalamku ke dalam tubuhmu. Lalu kau tolong meneruskan ke tubuh anak itu! Gampang saja bukan?!”
“Gampang ndasmu!” maki Sinto Gendeng.
“Kalau mau menolong kenapa pakai menusuk pantatku segala?! Apa tidak ada cara lain yang tidak kurang ajar seperti ini?!”
“Soalnya hanya bokongmu itu satu-satunya yang masih ada daging tebalnya! Bagian lain tubuhmu hanya tinggal tulang keropos!” Habis berkata begitu Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. Si nenek memaki panjang pendek.
“Kalau kau tak suka aku pakai tongkat mungkin kau lebih suka aku mempergunakan tongkatku yang lain? Tapi tongkat satu ini lebih pendek dibanding yang kini aku pegang! Ha… ha… ha!”
“Setan tua! Jangan kau berani bicara kurang ajar!” hardik Sinto Gendeng.
“Sudah jangan marah! Tongkat kayu tidak suka. Tongkat yang barusan kutawarkan kau juga tidak mau. Malah tambah sewot. Baiknya aku pergunakan saja tangan. Kutempelkan di pantatmu! Begitu?!”
“Kakek kurang asem! Sudah! Tutup mulutmu!”
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh lalu tangan kirinya kembali menggoyangkan kaleng rombeng berisi batu-batu kerikil itu. Sinto Gendeng walau masih jengkel tapi terpaksa diam saja. Dia salurkan tenaga dalamnya ke dalam tubuh Naga kuning melalui ke dua tangannya. Sementara di belakangnya si kakek yang menusukkan tongkat bututnya ke tubuh bawah si nenek mulai pula mengalirkan hawa saktinya lewat tongkat. Jika ada orang lain menyaksikan kejadian itu pastilah tak bisa menahan tawa karena lucu melihat keadaan kedua orang itu. Tiba-tiba pinggul dan pantat Sinto Gendeng tampak bergoyang-goyang.
“Hai! Jangan bergerak! Salah-salah tenaga dalamku bisa masuk ke tempat lain!” Kakek Segala Tahu berseru.
“Kakek setan! Tusukan tongkatmu membuat bokongku gatal dan geli!” jawab Sinto Gendeng.
Kakek Segala Tahu tertawa cekikikan.
“Tahan saja! Pekerjaan ini tidak lama! Sebentar lagi juga selesai!” berkata si kakek.
“Jangan terlalu keras menekan bokongku!” kata Sinto Gendeng yang dijawab oleh Kakek Segala Tahu dengan tawa bergelak. Lalu ke dua orang tua itu sama-sama berdiam diri. Sama-sama mengerahkan tenaga dalam untuk menolong Naga Kuning yang terluka parah di sebelah dalam akibat hantaman pukulan sakti Kipas Neraka yang dilancarkan Sabai Nan Rancak. Dari tiga bagian tubuh di mana tiga tusuk konde ditancapkan tiba-tiba keluar cairan berwarna biru.
“Racun pukulan membuat darah anak ini berwarna biru…” kata Sinto Gendeng dalam hati sementara di belakangnya Kakek Segala Tahu yang bermata putih tampak tenang-tenang saja walau sekujur tubuhnya telah basah oleh keringat. Darah bercampur racun mengalir terus. Bersamaan dengan itu warna biru di mulut Naga Kuning perlahan-lahan berkurang. Wajahnya yang tadi merah berangsur-angsur berubah putih. Hawa panas yang menjalari tubuhnya juga mulai berkurang. Begitu warna biru di sekitar bibirnya lenyap, darah yang keluar dari tiga tempat tusukan konde berubah pula menjadi merah.
Sinto Gendeng tarik nafas lega. Kakek Segala Tahu kerenyitkan kening. Walau tidak melihat tapi kakek sakti ini bisa menduga apa yang terjadi. Maka dia segera kerontangkan kaleng rombengnya keras-keras. Membuat Sinto Gendeng tergagau kaget dan tak dapat mengunci mulut menahan makian. Sambil memaki panjang pendek Sinto Gendeng cabut tusuk konde di kepala dan dua kaki Naga Kuning. Benda ini kemudian ditancapkannya kembali ke kulit kepalanya.
Di tanah, Naga Kuning yang tadi pingsan gerakkan kaki kanannya lalu dari tenggorokannya terdengar suara menggeru. Perlahan-lahan anak ini buka kedua matanya yang sejak tadi terpejam. Begitu dia melihat wajah tua angker si nenek dan si kakek yang saat itu masih saja menusukkan tongkatnya ke pantat Sinto Gendeng, si anak usap-usap matanya sesaat lalu bertanya.
“Kalian berdua sedang melakukan apa? Satu menungging satu menusuk dari belakang! Hik… hik…!”
“Bocah keparat!” Sinto Gendeng mendamprat.
“Jangan kau berpikiran kotor! Kau kira kami ini sedang melakukan apa?!" Si nenek lalu berpaling pada Kakek Segala Tahu dan dengan tangan kirinya dia kibaskan tongkat yang masih ditusukkan ke pantatnya itu.Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh.
“Bocah ajaib! Syukur kau masih bisa bicara tanda kau masih hidup!”
“Bocah geblek! Begitu siuman kau bicara ngacok! Apa kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!”
“Maafkan saya Nek. Tentu saja saya tahu siapa kau adanya. Bukankah kau nenek sakti dari Gunung Gede bernama Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng?”
“Hemmm! Bagus kau masih mengenali diriku. Aku dan kakek ini barusan telah menolongmu dari kematian akibat pukulan Kipas Neraka Sabai Nan Rancak yang berani kau permainkan!”
”Ah!” Naga Kuning berseru tertahan.
“Saya anak yang tidak tahu diri. Melupakan pertolongan orang. Nek, saya mengucapkan terima kasih. Juga padamu Kek….”
Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. ketika dilihatnya Naga Kuning hendak bangkit duduk, si kakek tekankan ujung tongkatnya ke dada si anak hingga Naga Kuning kembali terbaring ke tanah.
“Pertolongan kami belum rampung! Tangan kananmu patah. Tiduran saja! Aku akan mengobati. Awas kalau kau berani berteriak kesakitan!”
Naga Kuning baru sadar kalau tangan kanannya patah. Dia pergunakan tangan kiri hendak menyentuh tangan kanan yang patah. Kakek Segala Tahu pukul tangan kiri bocah itu dengan ujung tongkatnya hingga Naga Kuning meringis kesakitan.
Dari dalam buntalan butut yang sejak tadi dipanggulnya Kakek Segala Tahu keluarkan sebatang rotan sepanjang dua jengkal. Secara aneh rotan ini dibelahnya dengan tongkatnya. Dua belahan rotan ditempelkannya di lengan yang patah. Satu di sebelah kiri satu di sebelah kanan. Si kakek kemudian keluarkan segulung sobekan kain dan diserahkannya pada Sinto Gendeng seraya berkata.
“Tolong kau ikat kain ini di lengannya. Tepat di sekitar dua belahan rotan!”
Dengan merengut Sinto Gendeng lakukan apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu. Selesai tangannya diikat Naga Kuning bertanya.
“Apa saya boleh bangun sekarang Kek?”
Kakek Segala Tahu tidak menjawab. Melainkan tiba-tiba ayunkan tongkatnya menggebuki lengan kanan anak itu pada bagian yang dibalut kain. Kalau tidak ingat ucapan si kakek pasti saat itu Naga Kuning sudah menjerit kesakitan digebuki begitu rupa. Dia hanya bisa berdiam diri pejamkan mata sambil menggigit bibir menahan sakit. Cukup lama baru Kakek Segala Tahu menghentikan gebukannya.
“Bocah, jangan kau berani melepaskan ikatan dan dua belahan tongkat sebelum lewat dua hari…” berkata Kakek Segala Tahu.
“Ucapanmu saya ingat baik-baik Kek. Aku berterima kasih kau menolongku walau barusan rasanya sama saja seperti kau mencincangi sekujur lengan ini!” Habis berkata begitu Naga Kuning mencoba bangkit berdiri. Namun tubuhnya terhuyung dan hampir terjerembab jatuh.
“Anak tolol! Walau kau selamat dari cidera berat, aliran darah dalam tubuhmu masih belum lancar!” kata Sinto Gendeng.
“Lekas lakukan sesuatu untuk mengatur jalan darah dan pernafasanmu!”
Mendengar ucapan itu Naga Kuning lalu cepat-cepat duduk bersila di tanah. Tangan kanan diletakkan di atas paha, tangan kiri dimelintangkan di atas dada. Sepasang mata dipejamkan. Dia atur jalan nafasnya demikian rupa sehingga aliran darahnya yang kacau perlahan-lahan teratur kembali. Begitu dirasakan keadaannya lebih baik, anak ini baru berani berdiri. Walau masih menghuyung Naga Kuning membungkuk dalam-dalam di hadapan Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu.
Kakek Segala Tahu tertawa panjang.
“Sinto Gendeng, kalau anak itu adalah orang yang kuduga, sebetulnya kau yang harus memberi penghormatan padanya. Bukankah begitu?”
Tampang nenek sakti dari Gunung Gede itu menjadi merah gelap. Melihat si nenek salah tingkah Naga Kuning segera berkata sambil goyang-goyangkan tangan kirinya.
“Melihat keadaan lahir saya ini pantas menjadi cicitmu. Jadi siapa pun diriku, mengapa kita harus memakai segala peradatan yang aneh-aneh!”
Mendengar kata-kata Naga Kuning itu Sinto Gendeng tampak menjadi lega. Sikapnya kini menjadi lunak dan nada ucapannya tidak kasar lagi.
“Naga Kuning, aku butuh beberapa keterangan darimu….”
“Anak kecil sepertiku keterangan apa yang bisa kau dapat, Nek? Bukankah lebih baik bertanya pada Kakek Segala Tahu yang ada di sampingmu?” jawab Naga Kuning lalu dia memperhatikan dada pakaiannya. Seolah baru sadar kalau baju hitamnya robek besar dan dadanya tersingkap. Cepat-cepat anak ini rapikan pakaiannya sebisanya.
“Aku sangat perlu menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apakah kau tahu di mana dia berada…?”
“Makhluk setengah manusia setengah roh itu siapa yang tahu di mana dia berada. Lebih baik kau menanyakan seratus hal yang susah, masih mungkin saya bisa menjawab,” jawab Naga Kuning.
Sinto Gendeng menggerendeng dalam hati.
“Menurut riwayat, kau adalah satu-satunya orang yang selalu dekat dengan Kiai itu….”
“Kau mendengar riwayat yang keliru, Nek….”
Sinto Gendeng berpaling pada Kakek Segala Tahu di sebelahnya. Walau tidak melihat tapi kakek sakti ini tahu kalau dirinya diperhatikan. Maka dia pun berkata setengah berbisik.
“Aku bisa tahu seribu satu hal. Tapi tentang di mana beradanya orang sakti merupakan satu dari beberapa hal yang tidak bisa kutembus dengan kesaktianku. Aku yakin anak itu tahu di mana beradanya sang Kiai. Mungkin dia sudah diperintahkan untuk tidak memberi keterangan apa-apa. Kau harus memutar otakmu Sinto….”
Sinto Gendeng kembali berpaling pada Naga Kuning.
“Kapan terakhir sekali kau berada di Telaga Gajahmungkur?”
“Saya tidak ingat Nek. Tempat itu bukan satu tempat yang indah lagi sekarang sejak orang yang menamakan dirinya Datuk Lembah Akhirat bermarkas tak jauh dari telaga itu.”
“Hemm…. Aku sudah mendengar banyak cerita tentang orang-orang Lembah Akhirat. Katakan apa saja yang kau ketahui Naga Kuning….”
“Tak ada cerita yang lebih baik daripada datang sendiri menyelidik ke sana Nek….”
Mendengar ucapan anak kecil itu tadinya Sinto Gendeng hendak meradang marah. Namun dengan suara perlahan dia berkata.
“Aku memang akan ke sana. Tapi banyak urusan yang harus kuselesaikan. Barusan saja waktu di Parangtritis aku sempat melihat muridku Wiro Sableng. Tapi dia lenyap begitu saja…. Aku harus mencari anak setan itu lebih dulu! Dia berada dalam bahaya besar….”
“Bahaya besar katamu Nek? Justru yang saya tahu muridmu itu banyak pacarnya di mana-mana. Semua cantik-cantik. Berarti hidupnya senang, bukan dalam bahaya! Hik… hik… hik!”
“Naga Kuning, kau memancing kemarahanku! Jika kau tidak punya keterangan berharga yang bisa kau berikan lebih baik kau pergi saja!”
“Nenek Sinto, jangan kau marah. Aku memang mau pergi. Agar kau bisa berdua-dua dengan kakek buta itu….”
“Anak setan!” Sinto Gendeng tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
“Kau kira kami berdua punya hubungan apa yang tidak senonoh?!” si nenek maju mendekati Naga Kuning. Ulurkan tangan hendak menjambak rambutnya yang jabrik.
Si bocah tertawa keras lalu berkelit. Sambil berlari tinggalkan tempat itu dia berteriak.
“Kakek Segala Tahu, jangan mau sama nenek itu! Dia bau pesing! Ha… ha… ha!”
Sinto Gendeng memaki panjang pendek sampai mulutnya yang peot termonyong-monyong. Hendak mengejar namun Naga Kuning sudah kabur. Kini kemarahannya ditumpahkan pada Kakek Segala Tahu.
“Anak setan itu berani mengurang ajari kita! Kau diam saja seperti tuli! Manusia macam apa kau!”
Kakek Segala Tahu goyangkan tangannya yang memegang kaleng rombeng. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Sinto Gendeng sendiri banting-banting kaki saking kesalnya.
“Sinto, ayo kita tinggalkan tempat ini. Sambil berjalan aku akan menuturkan apa saja yang aku ketahui terjadi di rimba persilatan. Hanya ada satu hal penting yang perlu buru-buru aku beritahukan. Pada bulan purnama yang akan datang aku mendapat firasat ada satu peristiwa besar akan terjadi di Telaga Gajahmungkur….”
“Hemmm….” Sinto Gendeng bergumam.
“Kalau cuma itu tanpa memakai firasat pun aku sudah tahu. Itu sebabnya aku saat ini akan menuju ke sana….”
“Lalu apa kau sudah mendengar riwayat seorang Datuk yang menguasai sebuah lembah bernama Lembah Akhirat. Letaknya tak jauh dari Gajahmungkur….”
“Itu termasuk hal yang akan kuselidiki…. Bocah nakal tadi memang benar. Aku harus datang sendiri menyelidik ke sana!”
“Kita harus berhati-hati Sinto. Banyak tokoh silat terkemuka datang ke tempat itu.
Mereka tak pernah keluar lagi. Tidak diketahui masih hidup atau sudah menemui ajal. Mayatnya pun tak pernah ditemukan. Mereka lenyap laksana ditelan bumi…. Terakhir yang kuketahui pergi ke sana adalah tokoh berjuluk Dewa Sedih. Lalu menyusul Dewa Ketawa tidak diketahui pula di mana beradanya. Paling belakangan Sika Sure Jelantik dikabarkan telah bergabung dengan orang-orang Lembah Akhirat…. Banyak urusan yang tidak karuan. Semua kabarnya berpangkal pada sebuah kitab sakti bernama Kitab Wasiat Malaikat….”
“Kitab geblek! Itu hanya cerita isapan jempol saja!” tukas Sinto Gendeng.
“Aku justru berpendapat lain. Kitab itu kemungkinan besar memang ada. Hanya saja perlu diselidiki apakah Datuk Lembah Akhirat benar-benar memilikinya. Atau kitab itu ada pada orang lain dan sang Datuk cuma mengarang cerita untuk mengeruk keuntungan tertentu. Guna menarik para tokoh untuk bergabung dengannya.”
“Kalau Dewa Sedih dan saudaranya si Dewa Ketawa benar-benar bergabung dengan Datuk Lembah Akhirat, aku akan menghajar dua tua bangka tidak tahu diuntung itu! Mengenai Sika Sure Jelantik, sejak muda aku kenal dia sebagai perempuan culas!”
“Hemmm…..Kuharap ucapanmu itu tidak karena Sika Sure Jelantik adalah juga salah satu sainganmu di masa muda dalam merebut Tua Gila….”
Paras Sinto Gendeng tampak merah mendengar ucapan Kakek Segala Tahu itu. Mulutnya termonyong-monyong. Mukanya yang keriputan kemudian kelihatan asam. Dalam hati dia memaki habis-habisan.
“Sinto, aku tahu saat ini pasti tampangmu merengut cemberut. Tapi kuharap kau mau mendengar kata-kataku. Mungkin Naga Kuning tidak mengetahui di mana beradanya Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi aku yakin anak itu tahu beberapa hai penting dalam rimba persilatan. Jadi aku usul agar kita segera mengikuti ke mana larinya….”
“Bocah itu menjengkelkanku. Ke mana dia mau pergi aku tidak perduli. Aku merasa lebih penting mencari muridku si sableng itu lebih dulu. Kau tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Keadaannya dalam bahaya besar….”
“Kalau begitu, hemmm…. Kita terpaksa meneruskan perjalanan berlainan arah. Namun ada satu hal sangat penting. Pada saat bulan purnama empat belas hari di muka, aku harap kau berada di Telaga Gajahmungkur….”
Sinto Gendeng perhatikan wajah kakek buta itu. Mendadak saja hatinya berdebar.
“Ini kali ke dua dia mengatakan hal itu. Jangan-jangan ada orang yang sudah tahu mengenai pedang itu…” katanya dalam hati. Lalu dia bertanya dengan nada tak acuh agar orang tidak curiga.
“Memangnya ada apa di sana?”
“Aku punya firasat akan terjadi satu hal besar di sana.” Lalu orang tua ini mendongak ke langit. Kaleng rombengnya digoyang beberapa kali.
“Aku melihat bulan purnama Sinto. Tapi diselimuti kegelapan….”
“Kau ngacok saja! Bulan purnama mana ada yang gelap!” potong Sinto Gendeng.
“Yang kulihat bukan kegelapan biasa Sinto. Bulan itu terselubung darah menghitam!”
Sinto Gendeng hendak mengatakan sesuatu. Tapi si kakek lebih dulu menggoyang kalengnya tiga kali berturut-turut. Membuat si nenek palingkan kepala ke jurusan lain sambil menekap telinganya. Ketika dia membalik kembali si kakek tak ada lagi di tempat itu.
Di kejauhan tampak orang tua itu sudah berada delapan tombak di depan sana. Melangkah tersaruk-saruk dengan pertolongan tongkatnya. Di lain kejap tokoh sakti yang pandai meramal dan mampu melihat banyak hal secara gaib itu lenyap dari pemandangan.
“Aku menempelkan ujung tongkat bututku di bokongmu,” katanya.
“Tenaga dalammu bagaimana pun hebatnya tidak cukup untuk menolong anak itu. Lewat tongkat ini aku akan mengalirkan tenaga dalamku ke dalam tubuhmu. Lalu kau tolong meneruskan ke tubuh anak itu! Gampang saja bukan?!”
“Gampang ndasmu!” maki Sinto Gendeng.
“Kalau mau menolong kenapa pakai menusuk pantatku segala?! Apa tidak ada cara lain yang tidak kurang ajar seperti ini?!”
“Soalnya hanya bokongmu itu satu-satunya yang masih ada daging tebalnya! Bagian lain tubuhmu hanya tinggal tulang keropos!” Habis berkata begitu Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. Si nenek memaki panjang pendek.
“Kalau kau tak suka aku pakai tongkat mungkin kau lebih suka aku mempergunakan tongkatku yang lain? Tapi tongkat satu ini lebih pendek dibanding yang kini aku pegang! Ha… ha… ha!”
“Setan tua! Jangan kau berani bicara kurang ajar!” hardik Sinto Gendeng.
“Sudah jangan marah! Tongkat kayu tidak suka. Tongkat yang barusan kutawarkan kau juga tidak mau. Malah tambah sewot. Baiknya aku pergunakan saja tangan. Kutempelkan di pantatmu! Begitu?!”
“Kakek kurang asem! Sudah! Tutup mulutmu!”
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh lalu tangan kirinya kembali menggoyangkan kaleng rombeng berisi batu-batu kerikil itu. Sinto Gendeng walau masih jengkel tapi terpaksa diam saja. Dia salurkan tenaga dalamnya ke dalam tubuh Naga kuning melalui ke dua tangannya. Sementara di belakangnya si kakek yang menusukkan tongkat bututnya ke tubuh bawah si nenek mulai pula mengalirkan hawa saktinya lewat tongkat. Jika ada orang lain menyaksikan kejadian itu pastilah tak bisa menahan tawa karena lucu melihat keadaan kedua orang itu. Tiba-tiba pinggul dan pantat Sinto Gendeng tampak bergoyang-goyang.
“Hai! Jangan bergerak! Salah-salah tenaga dalamku bisa masuk ke tempat lain!” Kakek Segala Tahu berseru.
“Kakek setan! Tusukan tongkatmu membuat bokongku gatal dan geli!” jawab Sinto Gendeng.
Kakek Segala Tahu tertawa cekikikan.
“Tahan saja! Pekerjaan ini tidak lama! Sebentar lagi juga selesai!” berkata si kakek.
“Jangan terlalu keras menekan bokongku!” kata Sinto Gendeng yang dijawab oleh Kakek Segala Tahu dengan tawa bergelak. Lalu ke dua orang tua itu sama-sama berdiam diri. Sama-sama mengerahkan tenaga dalam untuk menolong Naga Kuning yang terluka parah di sebelah dalam akibat hantaman pukulan sakti Kipas Neraka yang dilancarkan Sabai Nan Rancak. Dari tiga bagian tubuh di mana tiga tusuk konde ditancapkan tiba-tiba keluar cairan berwarna biru.
“Racun pukulan membuat darah anak ini berwarna biru…” kata Sinto Gendeng dalam hati sementara di belakangnya Kakek Segala Tahu yang bermata putih tampak tenang-tenang saja walau sekujur tubuhnya telah basah oleh keringat. Darah bercampur racun mengalir terus. Bersamaan dengan itu warna biru di mulut Naga Kuning perlahan-lahan berkurang. Wajahnya yang tadi merah berangsur-angsur berubah putih. Hawa panas yang menjalari tubuhnya juga mulai berkurang. Begitu warna biru di sekitar bibirnya lenyap, darah yang keluar dari tiga tempat tusukan konde berubah pula menjadi merah.
Sinto Gendeng tarik nafas lega. Kakek Segala Tahu kerenyitkan kening. Walau tidak melihat tapi kakek sakti ini bisa menduga apa yang terjadi. Maka dia segera kerontangkan kaleng rombengnya keras-keras. Membuat Sinto Gendeng tergagau kaget dan tak dapat mengunci mulut menahan makian. Sambil memaki panjang pendek Sinto Gendeng cabut tusuk konde di kepala dan dua kaki Naga Kuning. Benda ini kemudian ditancapkannya kembali ke kulit kepalanya.
Di tanah, Naga Kuning yang tadi pingsan gerakkan kaki kanannya lalu dari tenggorokannya terdengar suara menggeru. Perlahan-lahan anak ini buka kedua matanya yang sejak tadi terpejam. Begitu dia melihat wajah tua angker si nenek dan si kakek yang saat itu masih saja menusukkan tongkatnya ke pantat Sinto Gendeng, si anak usap-usap matanya sesaat lalu bertanya.
“Kalian berdua sedang melakukan apa? Satu menungging satu menusuk dari belakang! Hik… hik…!”
“Bocah keparat!” Sinto Gendeng mendamprat.
“Jangan kau berpikiran kotor! Kau kira kami ini sedang melakukan apa?!" Si nenek lalu berpaling pada Kakek Segala Tahu dan dengan tangan kirinya dia kibaskan tongkat yang masih ditusukkan ke pantatnya itu.Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh.
“Bocah ajaib! Syukur kau masih bisa bicara tanda kau masih hidup!”
“Bocah geblek! Begitu siuman kau bicara ngacok! Apa kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!”
“Maafkan saya Nek. Tentu saja saya tahu siapa kau adanya. Bukankah kau nenek sakti dari Gunung Gede bernama Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng?”
“Hemmm! Bagus kau masih mengenali diriku. Aku dan kakek ini barusan telah menolongmu dari kematian akibat pukulan Kipas Neraka Sabai Nan Rancak yang berani kau permainkan!”
”Ah!” Naga Kuning berseru tertahan.
“Saya anak yang tidak tahu diri. Melupakan pertolongan orang. Nek, saya mengucapkan terima kasih. Juga padamu Kek….”
Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. ketika dilihatnya Naga Kuning hendak bangkit duduk, si kakek tekankan ujung tongkatnya ke dada si anak hingga Naga Kuning kembali terbaring ke tanah.
“Pertolongan kami belum rampung! Tangan kananmu patah. Tiduran saja! Aku akan mengobati. Awas kalau kau berani berteriak kesakitan!”
Naga Kuning baru sadar kalau tangan kanannya patah. Dia pergunakan tangan kiri hendak menyentuh tangan kanan yang patah. Kakek Segala Tahu pukul tangan kiri bocah itu dengan ujung tongkatnya hingga Naga Kuning meringis kesakitan.
Dari dalam buntalan butut yang sejak tadi dipanggulnya Kakek Segala Tahu keluarkan sebatang rotan sepanjang dua jengkal. Secara aneh rotan ini dibelahnya dengan tongkatnya. Dua belahan rotan ditempelkannya di lengan yang patah. Satu di sebelah kiri satu di sebelah kanan. Si kakek kemudian keluarkan segulung sobekan kain dan diserahkannya pada Sinto Gendeng seraya berkata.
“Tolong kau ikat kain ini di lengannya. Tepat di sekitar dua belahan rotan!”
Dengan merengut Sinto Gendeng lakukan apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu. Selesai tangannya diikat Naga Kuning bertanya.
“Apa saya boleh bangun sekarang Kek?”
Kakek Segala Tahu tidak menjawab. Melainkan tiba-tiba ayunkan tongkatnya menggebuki lengan kanan anak itu pada bagian yang dibalut kain. Kalau tidak ingat ucapan si kakek pasti saat itu Naga Kuning sudah menjerit kesakitan digebuki begitu rupa. Dia hanya bisa berdiam diri pejamkan mata sambil menggigit bibir menahan sakit. Cukup lama baru Kakek Segala Tahu menghentikan gebukannya.
“Bocah, jangan kau berani melepaskan ikatan dan dua belahan tongkat sebelum lewat dua hari…” berkata Kakek Segala Tahu.
“Ucapanmu saya ingat baik-baik Kek. Aku berterima kasih kau menolongku walau barusan rasanya sama saja seperti kau mencincangi sekujur lengan ini!” Habis berkata begitu Naga Kuning mencoba bangkit berdiri. Namun tubuhnya terhuyung dan hampir terjerembab jatuh.
“Anak tolol! Walau kau selamat dari cidera berat, aliran darah dalam tubuhmu masih belum lancar!” kata Sinto Gendeng.
“Lekas lakukan sesuatu untuk mengatur jalan darah dan pernafasanmu!”
Mendengar ucapan itu Naga Kuning lalu cepat-cepat duduk bersila di tanah. Tangan kanan diletakkan di atas paha, tangan kiri dimelintangkan di atas dada. Sepasang mata dipejamkan. Dia atur jalan nafasnya demikian rupa sehingga aliran darahnya yang kacau perlahan-lahan teratur kembali. Begitu dirasakan keadaannya lebih baik, anak ini baru berani berdiri. Walau masih menghuyung Naga Kuning membungkuk dalam-dalam di hadapan Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu.
Kakek Segala Tahu tertawa panjang.
“Sinto Gendeng, kalau anak itu adalah orang yang kuduga, sebetulnya kau yang harus memberi penghormatan padanya. Bukankah begitu?”
Tampang nenek sakti dari Gunung Gede itu menjadi merah gelap. Melihat si nenek salah tingkah Naga Kuning segera berkata sambil goyang-goyangkan tangan kirinya.
“Melihat keadaan lahir saya ini pantas menjadi cicitmu. Jadi siapa pun diriku, mengapa kita harus memakai segala peradatan yang aneh-aneh!”
Mendengar kata-kata Naga Kuning itu Sinto Gendeng tampak menjadi lega. Sikapnya kini menjadi lunak dan nada ucapannya tidak kasar lagi.
“Naga Kuning, aku butuh beberapa keterangan darimu….”
“Anak kecil sepertiku keterangan apa yang bisa kau dapat, Nek? Bukankah lebih baik bertanya pada Kakek Segala Tahu yang ada di sampingmu?” jawab Naga Kuning lalu dia memperhatikan dada pakaiannya. Seolah baru sadar kalau baju hitamnya robek besar dan dadanya tersingkap. Cepat-cepat anak ini rapikan pakaiannya sebisanya.
“Aku sangat perlu menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apakah kau tahu di mana dia berada…?”
“Makhluk setengah manusia setengah roh itu siapa yang tahu di mana dia berada. Lebih baik kau menanyakan seratus hal yang susah, masih mungkin saya bisa menjawab,” jawab Naga Kuning.
Sinto Gendeng menggerendeng dalam hati.
“Menurut riwayat, kau adalah satu-satunya orang yang selalu dekat dengan Kiai itu….”
“Kau mendengar riwayat yang keliru, Nek….”
Sinto Gendeng berpaling pada Kakek Segala Tahu di sebelahnya. Walau tidak melihat tapi kakek sakti ini tahu kalau dirinya diperhatikan. Maka dia pun berkata setengah berbisik.
“Aku bisa tahu seribu satu hal. Tapi tentang di mana beradanya orang sakti merupakan satu dari beberapa hal yang tidak bisa kutembus dengan kesaktianku. Aku yakin anak itu tahu di mana beradanya sang Kiai. Mungkin dia sudah diperintahkan untuk tidak memberi keterangan apa-apa. Kau harus memutar otakmu Sinto….”
Sinto Gendeng kembali berpaling pada Naga Kuning.
“Kapan terakhir sekali kau berada di Telaga Gajahmungkur?”
“Saya tidak ingat Nek. Tempat itu bukan satu tempat yang indah lagi sekarang sejak orang yang menamakan dirinya Datuk Lembah Akhirat bermarkas tak jauh dari telaga itu.”
“Hemm…. Aku sudah mendengar banyak cerita tentang orang-orang Lembah Akhirat. Katakan apa saja yang kau ketahui Naga Kuning….”
“Tak ada cerita yang lebih baik daripada datang sendiri menyelidik ke sana Nek….”
Mendengar ucapan anak kecil itu tadinya Sinto Gendeng hendak meradang marah. Namun dengan suara perlahan dia berkata.
“Aku memang akan ke sana. Tapi banyak urusan yang harus kuselesaikan. Barusan saja waktu di Parangtritis aku sempat melihat muridku Wiro Sableng. Tapi dia lenyap begitu saja…. Aku harus mencari anak setan itu lebih dulu! Dia berada dalam bahaya besar….”
“Bahaya besar katamu Nek? Justru yang saya tahu muridmu itu banyak pacarnya di mana-mana. Semua cantik-cantik. Berarti hidupnya senang, bukan dalam bahaya! Hik… hik… hik!”
“Naga Kuning, kau memancing kemarahanku! Jika kau tidak punya keterangan berharga yang bisa kau berikan lebih baik kau pergi saja!”
“Nenek Sinto, jangan kau marah. Aku memang mau pergi. Agar kau bisa berdua-dua dengan kakek buta itu….”
“Anak setan!” Sinto Gendeng tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
“Kau kira kami berdua punya hubungan apa yang tidak senonoh?!” si nenek maju mendekati Naga Kuning. Ulurkan tangan hendak menjambak rambutnya yang jabrik.
Si bocah tertawa keras lalu berkelit. Sambil berlari tinggalkan tempat itu dia berteriak.
“Kakek Segala Tahu, jangan mau sama nenek itu! Dia bau pesing! Ha… ha… ha!”
Sinto Gendeng memaki panjang pendek sampai mulutnya yang peot termonyong-monyong. Hendak mengejar namun Naga Kuning sudah kabur. Kini kemarahannya ditumpahkan pada Kakek Segala Tahu.
“Anak setan itu berani mengurang ajari kita! Kau diam saja seperti tuli! Manusia macam apa kau!”
Kakek Segala Tahu goyangkan tangannya yang memegang kaleng rombeng. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Sinto Gendeng sendiri banting-banting kaki saking kesalnya.
“Sinto, ayo kita tinggalkan tempat ini. Sambil berjalan aku akan menuturkan apa saja yang aku ketahui terjadi di rimba persilatan. Hanya ada satu hal penting yang perlu buru-buru aku beritahukan. Pada bulan purnama yang akan datang aku mendapat firasat ada satu peristiwa besar akan terjadi di Telaga Gajahmungkur….”
“Hemmm….” Sinto Gendeng bergumam.
“Kalau cuma itu tanpa memakai firasat pun aku sudah tahu. Itu sebabnya aku saat ini akan menuju ke sana….”
“Lalu apa kau sudah mendengar riwayat seorang Datuk yang menguasai sebuah lembah bernama Lembah Akhirat. Letaknya tak jauh dari Gajahmungkur….”
“Itu termasuk hal yang akan kuselidiki…. Bocah nakal tadi memang benar. Aku harus datang sendiri menyelidik ke sana!”
“Kita harus berhati-hati Sinto. Banyak tokoh silat terkemuka datang ke tempat itu.
Mereka tak pernah keluar lagi. Tidak diketahui masih hidup atau sudah menemui ajal. Mayatnya pun tak pernah ditemukan. Mereka lenyap laksana ditelan bumi…. Terakhir yang kuketahui pergi ke sana adalah tokoh berjuluk Dewa Sedih. Lalu menyusul Dewa Ketawa tidak diketahui pula di mana beradanya. Paling belakangan Sika Sure Jelantik dikabarkan telah bergabung dengan orang-orang Lembah Akhirat…. Banyak urusan yang tidak karuan. Semua kabarnya berpangkal pada sebuah kitab sakti bernama Kitab Wasiat Malaikat….”
“Kitab geblek! Itu hanya cerita isapan jempol saja!” tukas Sinto Gendeng.
“Aku justru berpendapat lain. Kitab itu kemungkinan besar memang ada. Hanya saja perlu diselidiki apakah Datuk Lembah Akhirat benar-benar memilikinya. Atau kitab itu ada pada orang lain dan sang Datuk cuma mengarang cerita untuk mengeruk keuntungan tertentu. Guna menarik para tokoh untuk bergabung dengannya.”
“Kalau Dewa Sedih dan saudaranya si Dewa Ketawa benar-benar bergabung dengan Datuk Lembah Akhirat, aku akan menghajar dua tua bangka tidak tahu diuntung itu! Mengenai Sika Sure Jelantik, sejak muda aku kenal dia sebagai perempuan culas!”
“Hemmm…..Kuharap ucapanmu itu tidak karena Sika Sure Jelantik adalah juga salah satu sainganmu di masa muda dalam merebut Tua Gila….”
Paras Sinto Gendeng tampak merah mendengar ucapan Kakek Segala Tahu itu. Mulutnya termonyong-monyong. Mukanya yang keriputan kemudian kelihatan asam. Dalam hati dia memaki habis-habisan.
“Sinto, aku tahu saat ini pasti tampangmu merengut cemberut. Tapi kuharap kau mau mendengar kata-kataku. Mungkin Naga Kuning tidak mengetahui di mana beradanya Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi aku yakin anak itu tahu beberapa hai penting dalam rimba persilatan. Jadi aku usul agar kita segera mengikuti ke mana larinya….”
“Bocah itu menjengkelkanku. Ke mana dia mau pergi aku tidak perduli. Aku merasa lebih penting mencari muridku si sableng itu lebih dulu. Kau tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Keadaannya dalam bahaya besar….”
“Kalau begitu, hemmm…. Kita terpaksa meneruskan perjalanan berlainan arah. Namun ada satu hal sangat penting. Pada saat bulan purnama empat belas hari di muka, aku harap kau berada di Telaga Gajahmungkur….”
Sinto Gendeng perhatikan wajah kakek buta itu. Mendadak saja hatinya berdebar.
“Ini kali ke dua dia mengatakan hal itu. Jangan-jangan ada orang yang sudah tahu mengenai pedang itu…” katanya dalam hati. Lalu dia bertanya dengan nada tak acuh agar orang tidak curiga.
“Memangnya ada apa di sana?”
“Aku punya firasat akan terjadi satu hal besar di sana.” Lalu orang tua ini mendongak ke langit. Kaleng rombengnya digoyang beberapa kali.
“Aku melihat bulan purnama Sinto. Tapi diselimuti kegelapan….”
“Kau ngacok saja! Bulan purnama mana ada yang gelap!” potong Sinto Gendeng.
“Yang kulihat bukan kegelapan biasa Sinto. Bulan itu terselubung darah menghitam!”
Sinto Gendeng hendak mengatakan sesuatu. Tapi si kakek lebih dulu menggoyang kalengnya tiga kali berturut-turut. Membuat si nenek palingkan kepala ke jurusan lain sambil menekap telinganya. Ketika dia membalik kembali si kakek tak ada lagi di tempat itu.
Di kejauhan tampak orang tua itu sudah berada delapan tombak di depan sana. Melangkah tersaruk-saruk dengan pertolongan tongkatnya. Di lain kejap tokoh sakti yang pandai meramal dan mampu melihat banyak hal secara gaib itu lenyap dari pemandangan.
*
* *
* *
TIGA
Ratu Duyung tak mampu berlari kencang karena dia harus mengimbangi Pendekar 212 yang lari tertatih-tatih di belakangnya. Di satu tikungan jalan Wiro hentikan larinya. Dengan suara tersendat karena nafas sesak dia berkata.
“Aku tak sanggup lari lebih jauh. Mau copot jantungku rasanya. Kita ini mau ke mana?”
Ratu Duyung yang saat itu mengenakan pakaian serba hitam memandang berkeliling.
“Kita sudah cukup jauh meninggalkan teluk. Kuharap di sini cukup aman. Ikuti aku berlindung di balik semak belukar sana.”
Sang Ratu lalu melangkah ke balik rimbunan semak belukar. Wiro mengikuti. Saat itu Wiro ingat sesuatu. Dia meraba seputar pinggangnya.
“Astaga! Senjataku!” katanya dengan wajah berubah.
Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya (Utusan Dari Akhirat) sewaktu terjadi pertempuran di Teluk Parangtritis, Naga Kuning telah pergunakan Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro untuk menghadapi Sabai Nan Rancak. Namun si nenek sakti berhasil mematahkan tangan anak itu hingga Kapak Naga Geni 212 terlepas mental. Untungnya sebelum senjata mustika itu diambil oleh Sabai Nan Rancak, orang aneh berpakaian dan bercadar kuning mendahului mengambilnya.
“Aku harus kembali ke teluk! Kalau sampai senjata itu jatuh ke tangan orang lain, aku bisa celaka seumur-umur!”
“Wiro, tunggu!” kata Ratu Duyung seraya cepat memegang tangan sang pendekar, mencegahnya meninggalkan tempat itu.
“Ratu, antara kita memang ada satu hal besar yang perlu dijernihkan. Namun saat ini aku lebih penting mendapatkan Kapak Naga Geni 212 kembali. Harap kau suka melepaskan peganganmu….” Waktu bicara Wiro memandang ke jurusan lain seolah sengaja tidak mau menatap wajah cantik yang dihias sepasang mata berwarna biru indah itu.
“Wiro, dengar! Dalam keadaanmu seperti ini terlalu berbahaya untuk kembali ke teluk. Aku yakin Sabai Nan Rancak masih berada di sana. Lalu bagaimana kalau pemuda bernama Utusan Dari Akhirat itu mengetahui bahwa kau adalah orang yang selama ini dicarinya?”
“Jadi kau sudah tahu kalau dia juga bermaksud membunuhku?”
“Memang aku tidak dapat memastikan. Tapi jika dia memiliki pukulan sakti Gerhana Matahari pasti dia punya sangkut paut dengan Pangeran Matahari atau Si Muka Bangkai….”
“Bagaimana kau bisa tahu dia memiliki pukulan Gerhana Matahari?” tanya Wiro.
“Sudahlah, hal itu tidak perlu kita perdebatkan…”
“Yang aku heran, bukankah Pangeran Matahari dan gurunya Si Muka Bangkai itu sudah tewas di Pangandaran?”
“Mereka boleh mati tapi apakah keanehan dalam rimba persilatan ini akan terhenti hanya pada kematian mereka berdua?”
“Kau benar.,.” kata Wiro perlahan.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?”
“Kita perlu bicara Wiro. Seperti kau katakan tadi antara kita ada satu masalah besar yang perlu dijernihkan.”
“Hemmm….” Wiro bergumam sambil garuk-garuk kepala.
“Aku tak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Aku merasa seolah aku ini bukan diriku lagi….”
“Aku mengerti. Semua berpangkal pada diriku. Gurumu menuduh aku mencelakai dirimu. Aku tidak menyalahkan gurumu. Tidak bisa menyalahkan siapa pun. Aku hanya mementingkan diri sendiri. Gara-gara keinginanku lepas dari kutukan itu. Tapi sebaliknya kau yang jadi celaka. Wiro, jika saja aku tahu hal itu akan terjadi dengan dirimu, aku tidak akan mau melakukannya….”
Wiro terdiam. Dalam hati dia berkata.
“Aneh, dulu sebelum bertemu aku begitu marah padanya. Sekarang setelah berhadap-hadapan mengapa rasa marah itu menjadi lenyap. Seolah aku sudah memaafkannya sebelum dia meminta….”
“Menurut perhitunganku, hanya tinggal sekitar sepuluh hari sebelum kau kembali memiliki kesaktian dan tenaga dalam seperti dulu. Karena itu selama sisa waktu itu izinkan aku selalu mendampingimu. Kalau bahaya mengancam aku rela mengadu jiwa untuk keselamatanmu….”
Wiro menghela nafas panjang.
“Aku tidak tahu harus berkata apa. Dulu begitu sadar aku kehilangan segala-galanya sehabis kita berada di Puri itu, aku benar-benar naik pitam. Aku ingin mencarimu, ingin menghajarmu. Tapi sekarang….”
“Jika itu kehendakmu, aku siap menerima hukuman. Dulu, aku begitu ingin bebas dari kutukan jahat itu. Setelah terlepas dari kutukan aku jadi takut sendiri untuk hidup di dunia seperti duniamu. Karenanya aku sudah mengambil tekad jika semua urusan selesai aku akan kembali berkumpul bersama anak buahku dalam alam serba gaib itu….”
“Kalau begitu pengorbananmu sia-sia belaka….”
“Bukan pengorbananku Wiro. Tapi pengorbananmu. Ketahuilah tak ada pengorban-an yang sia-sia. Setiap kejadian ada hikmahnya sendiri-sendiri walau mungkin baru di kemudian hari kita rasakan. Aku minta maaf atas semua apa yang terjadi. Jika kau ingin menghukumku, aku sudah siap. Lakukanlah saat ini juga….”
Wiro garuk-garuk kepala. Wajahnya diangkat sedikit untuk melirik wajah sang Ratu. Saat itulah Wiro melihat bagaimana Ratu Duyung tegak dengan kepala tertunduk. Butiran-butiran air mata menetes jatuh membasahi kedua pipinya yang halus. Murid Sinto Gendeng jadi salah tingkah. Dia paling tidak bisa melihat orang menangis. Apalagi gadis secantik sang Ratu.
“Ratu, kurasa waktu di Puri dulu kau dan aku belum sempat melakukan apa-apa. Tapi mengapa….”
“Itu semua terjadi atas kuasaNya Yang Maha Kuasa. Aku meminta dengan hati bersih padaNya. Kau menolong dengan segala ketulusan. Sehingga sebelum itu terjadi aku telah terlepas dari kutukan. Hanya saja kau yang menanggung akibatnya….”
Wiro terdiam. Bukan saja karena mendengar ucapan Ratu Duyung tapi juga karena dia kembali ingat pada Kapak Naga Geni 212 miliknya.
“Kita sudah bicara. Segala sesuatunya serba jelas kini….”
“Jelas sudah, tapi apakah kau bisa mengerti dan mau memaafkan diriku?” tanya Ratu Duyung.
“Aku sudah memaafkan Sebelum kau meminta,” jawab murid Sinto Gendeng pula.
“Antara kita tidak ada lagi kesalahpahaman. Sekarang izinkan aku kembali ke teluk untuk mencari senjata mustikaku…”
“Jangan pergi. Baiknya aku melihat ke dalam cermin lebih dulu,” kata Ratu Duyung. Lalu dia segera keluarkan cermin bulat dari balik baju hitamnya. Ketika dia memandang ke dalam cermin sakti terkejutlah gadis cantik bermata biru itu.
“Ada apa Ratu?” tanya Wiro ketika melihat perubahan wajah sang Ratu.
“Aku melihat dua orang pemuda menuju ke tempat ini. Yang pertama pemuda bernama Utusan Dari Akhirat itu. Di belakangnya seorang pemuda berpakaian hijau. Aku rasa-rasa pernah melihatnya sebelumnya tapi lupa di mana…. Wiro, mereka segera sampai di sini. Lekas berlindung di balik pohon besar sana.”
Dada Pendekar 212 berdebar juga mendengar apa yang dikatakan Ratu Duyung itu. Tapi dia tetap tidak bergerak dari tempatnya.
“Apa pun yang terjadi kita hadapi semua urusan bersama-sama….”
Ucapan Wiro menyentuh lubuk hati sang Ratu hingga gadis ini meremas jari-jari tangan Wiro penuh perasaan haru. Niatnya untuk bersedia mati demi menyelamatkan Wiro jadi bertambah besar. Ratu Duyung simpan kacanya di balik pakaian lalu mendahului keluar dari rumpunan semak belukar. Wiro mengikuti. Belum lama mereka keluar dari balik semak-semak, seperti yang dilihat Ratu Duyung dalam cermin saktinya, dua pemuda tampak berlari cepat dari kejauhan. Wiro segera mengenali. Di sebelah depan adalah Utusan Dari Akhirat. Di belakangnya menyusui pemuda sahabatnya bernama Panji.
“Heran, bagaimana Panji bisa muncul bersama pemuda ini. Bukankah sebelumnya dia bersama Anggini dan Iblis Pemalu?” Baru saja Wiro berkata dalam hati, Utusan Dari Akhirat dan Panji telah sampai di hadapannya.
“Kau!” kata Utusan Dari Akhirat sambil menunjuk tepat-tepat ke arah Wiro yang berdiri tiga langkah di hadapannya.
“Tidak dinyana tidak diduga! Pemuda yang tadinya kuanggap bersahabat ternyata adalah orang yang harus kubunuh! Wiro Sableng, sungguh mengenaskan kau harus mati di tanganku!”
Panji yang berdiri di samping Utusan Dari Akhirat maju selangkah dan berkata.
“Saudara, aku tidak ingin kau salah menurunkan tangan. Aku memang tidak tahu nama pemuda ini. Dia kukenal dengan julukan Pendekar 212. Kalau kau mencari Wiro Sableng, orangnya adalah seorang tua renta. Bukan dia!”
Utusan Dari Akhirat tertawa lebar.
“Pendekar 212 dan Wiro Sableng adalah orang yang sama! Kita barusan saja bertemu di tengah jalan. Aku menganggapmu sebagai seorang sahabat. Pemuda beranting emas, jangan kau berani menipuku!”
“Aku bersumpah tidak menipumu!” kata Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo.
“Aku pernah bertemu sendiri dengan Wiro Sableng. Orangnya tua. Berambut dan berjanggut putih….”
Seperti diceritakan dalam Episode pertama (Tua Gila Dari Andalas) ketika berada di Kerajaan Pulau Sipatoka, Tua Gila secara main-main dan seenaknya telah memberitahu pada Raja Tua Datuk Paduko Intan dan Datuk Pangeran Rajo Mudo bahwa namanya adalah Wiro Sableng. Tentu saja dia tidak pernah menduga kalau ucapannya itu di kemudian hari akan menimbulkan masalah seperti yang kini terjadi.
Sementara Utusan Dari Akhirat dan Panji bertengkar maka Wiro sendiri dan juga Ratu Duyung merasa heran mengapa Panji mengatakan bahwa dia bukan Wiro Sableng dan Wiro Sableng adalah seorang tua renta.
“Ada yang tidak beres…” bisik Wiro pada Ratu Duyung.
“Kukira begitu. Tapi aku sudah bisa menduga jalan ceritanya. Tua Gila pernah menuturkan padaku bahwa satu ketika dia tersesat ke sebuah pulau. Mungkin sekali saat itu….”
“Kalian berdua berbisik-bisik apa?!” Utusan Dari Akhirat membentak.
“Sahabat! Pemuda ini adalah temanku! Dan dia bukan Wiro Sableng!” Lagi-lagi Panji berusaha meyakinkan.
Rahang Utusan Dari Akhirat menggembung.
“Jika kau memang sahabatnya aku persilahkan bergabung dengannya. Aku tidak segan-segan membunuh kalian berdua.”
Dalam bingungnya Panji kembali hendak berkata. Namun saat itu Wiro mengangkat tangannya. Padahal sebenarnya Ratu Duyung hendak bicara untuk membuat Utusan Dari Akhirat menjadi tambah bingung agar Wiro bisa diselamatkan.
“Utusan Dari Akhirat,” kata Pendekar 212.
“Walau cuma sebentar tapi sebelumnya kita pernah bersahabat. Namun apa artinya persahabatan itu jika kau memang mempunyai maksud membunuh seorang bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212. Karena akulah orang yang kau cari! Aku Wiro Sableng. Aku Pendekar 212!”
“Berani mati orang ini!” keluh Ratu Duyung dalam hati. Dia cepat melangkah maju dan tegak membelakangi Wiro. Sambil bertolak pinggang dia berkata pada Utusan Dari Akhirat.
“Saudara, jika hatimu meragu jangan sekali-kali menurunkan tangan jahat apalagi membunuh. Harap kau suka meninggalkan tempat ini dan jangan mengganggu sahabatku!”
Utusan Dari Akhirat tersenyum.
“Sia-sia saja kalau kau bermaksud melindunginya. Orang yang punya diri telah memberitahu siapa dirinya! Jika kau punya maksud menantang diriku, aku tidak keberatan menjadikan dirimu sebagai korban berikutnya. Berarti hari ini aku harus mencabut tiga nyawa sekaligus!”
Habis berkata begitu Utusan Dari Akhirat melompat mundur dua langkah. Sepasang lututnya ditekuk. Tubuhnya membungkuk. Tangan kanannya diangkat ke atas. Udara mendadak menjadi redup.
“Ratu Duyung! Lekas menyingkir! Dia hendak lepaskan pukulan Gerhana Matahari!” seru Wiro memperingatkan.
“Aku tak sanggup lari lebih jauh. Mau copot jantungku rasanya. Kita ini mau ke mana?”
Ratu Duyung yang saat itu mengenakan pakaian serba hitam memandang berkeliling.
“Kita sudah cukup jauh meninggalkan teluk. Kuharap di sini cukup aman. Ikuti aku berlindung di balik semak belukar sana.”
Sang Ratu lalu melangkah ke balik rimbunan semak belukar. Wiro mengikuti. Saat itu Wiro ingat sesuatu. Dia meraba seputar pinggangnya.
“Astaga! Senjataku!” katanya dengan wajah berubah.
Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya (Utusan Dari Akhirat) sewaktu terjadi pertempuran di Teluk Parangtritis, Naga Kuning telah pergunakan Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro untuk menghadapi Sabai Nan Rancak. Namun si nenek sakti berhasil mematahkan tangan anak itu hingga Kapak Naga Geni 212 terlepas mental. Untungnya sebelum senjata mustika itu diambil oleh Sabai Nan Rancak, orang aneh berpakaian dan bercadar kuning mendahului mengambilnya.
“Aku harus kembali ke teluk! Kalau sampai senjata itu jatuh ke tangan orang lain, aku bisa celaka seumur-umur!”
“Wiro, tunggu!” kata Ratu Duyung seraya cepat memegang tangan sang pendekar, mencegahnya meninggalkan tempat itu.
“Ratu, antara kita memang ada satu hal besar yang perlu dijernihkan. Namun saat ini aku lebih penting mendapatkan Kapak Naga Geni 212 kembali. Harap kau suka melepaskan peganganmu….” Waktu bicara Wiro memandang ke jurusan lain seolah sengaja tidak mau menatap wajah cantik yang dihias sepasang mata berwarna biru indah itu.
“Wiro, dengar! Dalam keadaanmu seperti ini terlalu berbahaya untuk kembali ke teluk. Aku yakin Sabai Nan Rancak masih berada di sana. Lalu bagaimana kalau pemuda bernama Utusan Dari Akhirat itu mengetahui bahwa kau adalah orang yang selama ini dicarinya?”
“Jadi kau sudah tahu kalau dia juga bermaksud membunuhku?”
“Memang aku tidak dapat memastikan. Tapi jika dia memiliki pukulan sakti Gerhana Matahari pasti dia punya sangkut paut dengan Pangeran Matahari atau Si Muka Bangkai….”
“Bagaimana kau bisa tahu dia memiliki pukulan Gerhana Matahari?” tanya Wiro.
“Sudahlah, hal itu tidak perlu kita perdebatkan…”
“Yang aku heran, bukankah Pangeran Matahari dan gurunya Si Muka Bangkai itu sudah tewas di Pangandaran?”
“Mereka boleh mati tapi apakah keanehan dalam rimba persilatan ini akan terhenti hanya pada kematian mereka berdua?”
“Kau benar.,.” kata Wiro perlahan.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?”
“Kita perlu bicara Wiro. Seperti kau katakan tadi antara kita ada satu masalah besar yang perlu dijernihkan.”
“Hemmm….” Wiro bergumam sambil garuk-garuk kepala.
“Aku tak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Aku merasa seolah aku ini bukan diriku lagi….”
“Aku mengerti. Semua berpangkal pada diriku. Gurumu menuduh aku mencelakai dirimu. Aku tidak menyalahkan gurumu. Tidak bisa menyalahkan siapa pun. Aku hanya mementingkan diri sendiri. Gara-gara keinginanku lepas dari kutukan itu. Tapi sebaliknya kau yang jadi celaka. Wiro, jika saja aku tahu hal itu akan terjadi dengan dirimu, aku tidak akan mau melakukannya….”
Wiro terdiam. Dalam hati dia berkata.
“Aneh, dulu sebelum bertemu aku begitu marah padanya. Sekarang setelah berhadap-hadapan mengapa rasa marah itu menjadi lenyap. Seolah aku sudah memaafkannya sebelum dia meminta….”
“Menurut perhitunganku, hanya tinggal sekitar sepuluh hari sebelum kau kembali memiliki kesaktian dan tenaga dalam seperti dulu. Karena itu selama sisa waktu itu izinkan aku selalu mendampingimu. Kalau bahaya mengancam aku rela mengadu jiwa untuk keselamatanmu….”
Wiro menghela nafas panjang.
“Aku tidak tahu harus berkata apa. Dulu begitu sadar aku kehilangan segala-galanya sehabis kita berada di Puri itu, aku benar-benar naik pitam. Aku ingin mencarimu, ingin menghajarmu. Tapi sekarang….”
“Jika itu kehendakmu, aku siap menerima hukuman. Dulu, aku begitu ingin bebas dari kutukan jahat itu. Setelah terlepas dari kutukan aku jadi takut sendiri untuk hidup di dunia seperti duniamu. Karenanya aku sudah mengambil tekad jika semua urusan selesai aku akan kembali berkumpul bersama anak buahku dalam alam serba gaib itu….”
“Kalau begitu pengorbananmu sia-sia belaka….”
“Bukan pengorbananku Wiro. Tapi pengorbananmu. Ketahuilah tak ada pengorban-an yang sia-sia. Setiap kejadian ada hikmahnya sendiri-sendiri walau mungkin baru di kemudian hari kita rasakan. Aku minta maaf atas semua apa yang terjadi. Jika kau ingin menghukumku, aku sudah siap. Lakukanlah saat ini juga….”
Wiro garuk-garuk kepala. Wajahnya diangkat sedikit untuk melirik wajah sang Ratu. Saat itulah Wiro melihat bagaimana Ratu Duyung tegak dengan kepala tertunduk. Butiran-butiran air mata menetes jatuh membasahi kedua pipinya yang halus. Murid Sinto Gendeng jadi salah tingkah. Dia paling tidak bisa melihat orang menangis. Apalagi gadis secantik sang Ratu.
“Ratu, kurasa waktu di Puri dulu kau dan aku belum sempat melakukan apa-apa. Tapi mengapa….”
“Itu semua terjadi atas kuasaNya Yang Maha Kuasa. Aku meminta dengan hati bersih padaNya. Kau menolong dengan segala ketulusan. Sehingga sebelum itu terjadi aku telah terlepas dari kutukan. Hanya saja kau yang menanggung akibatnya….”
Wiro terdiam. Bukan saja karena mendengar ucapan Ratu Duyung tapi juga karena dia kembali ingat pada Kapak Naga Geni 212 miliknya.
“Kita sudah bicara. Segala sesuatunya serba jelas kini….”
“Jelas sudah, tapi apakah kau bisa mengerti dan mau memaafkan diriku?” tanya Ratu Duyung.
“Aku sudah memaafkan Sebelum kau meminta,” jawab murid Sinto Gendeng pula.
“Antara kita tidak ada lagi kesalahpahaman. Sekarang izinkan aku kembali ke teluk untuk mencari senjata mustikaku…”
“Jangan pergi. Baiknya aku melihat ke dalam cermin lebih dulu,” kata Ratu Duyung. Lalu dia segera keluarkan cermin bulat dari balik baju hitamnya. Ketika dia memandang ke dalam cermin sakti terkejutlah gadis cantik bermata biru itu.
“Ada apa Ratu?” tanya Wiro ketika melihat perubahan wajah sang Ratu.
“Aku melihat dua orang pemuda menuju ke tempat ini. Yang pertama pemuda bernama Utusan Dari Akhirat itu. Di belakangnya seorang pemuda berpakaian hijau. Aku rasa-rasa pernah melihatnya sebelumnya tapi lupa di mana…. Wiro, mereka segera sampai di sini. Lekas berlindung di balik pohon besar sana.”
Dada Pendekar 212 berdebar juga mendengar apa yang dikatakan Ratu Duyung itu. Tapi dia tetap tidak bergerak dari tempatnya.
“Apa pun yang terjadi kita hadapi semua urusan bersama-sama….”
Ucapan Wiro menyentuh lubuk hati sang Ratu hingga gadis ini meremas jari-jari tangan Wiro penuh perasaan haru. Niatnya untuk bersedia mati demi menyelamatkan Wiro jadi bertambah besar. Ratu Duyung simpan kacanya di balik pakaian lalu mendahului keluar dari rumpunan semak belukar. Wiro mengikuti. Belum lama mereka keluar dari balik semak-semak, seperti yang dilihat Ratu Duyung dalam cermin saktinya, dua pemuda tampak berlari cepat dari kejauhan. Wiro segera mengenali. Di sebelah depan adalah Utusan Dari Akhirat. Di belakangnya menyusui pemuda sahabatnya bernama Panji.
“Heran, bagaimana Panji bisa muncul bersama pemuda ini. Bukankah sebelumnya dia bersama Anggini dan Iblis Pemalu?” Baru saja Wiro berkata dalam hati, Utusan Dari Akhirat dan Panji telah sampai di hadapannya.
“Kau!” kata Utusan Dari Akhirat sambil menunjuk tepat-tepat ke arah Wiro yang berdiri tiga langkah di hadapannya.
“Tidak dinyana tidak diduga! Pemuda yang tadinya kuanggap bersahabat ternyata adalah orang yang harus kubunuh! Wiro Sableng, sungguh mengenaskan kau harus mati di tanganku!”
Panji yang berdiri di samping Utusan Dari Akhirat maju selangkah dan berkata.
“Saudara, aku tidak ingin kau salah menurunkan tangan. Aku memang tidak tahu nama pemuda ini. Dia kukenal dengan julukan Pendekar 212. Kalau kau mencari Wiro Sableng, orangnya adalah seorang tua renta. Bukan dia!”
Utusan Dari Akhirat tertawa lebar.
“Pendekar 212 dan Wiro Sableng adalah orang yang sama! Kita barusan saja bertemu di tengah jalan. Aku menganggapmu sebagai seorang sahabat. Pemuda beranting emas, jangan kau berani menipuku!”
“Aku bersumpah tidak menipumu!” kata Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo.
“Aku pernah bertemu sendiri dengan Wiro Sableng. Orangnya tua. Berambut dan berjanggut putih….”
Seperti diceritakan dalam Episode pertama (Tua Gila Dari Andalas) ketika berada di Kerajaan Pulau Sipatoka, Tua Gila secara main-main dan seenaknya telah memberitahu pada Raja Tua Datuk Paduko Intan dan Datuk Pangeran Rajo Mudo bahwa namanya adalah Wiro Sableng. Tentu saja dia tidak pernah menduga kalau ucapannya itu di kemudian hari akan menimbulkan masalah seperti yang kini terjadi.
Sementara Utusan Dari Akhirat dan Panji bertengkar maka Wiro sendiri dan juga Ratu Duyung merasa heran mengapa Panji mengatakan bahwa dia bukan Wiro Sableng dan Wiro Sableng adalah seorang tua renta.
“Ada yang tidak beres…” bisik Wiro pada Ratu Duyung.
“Kukira begitu. Tapi aku sudah bisa menduga jalan ceritanya. Tua Gila pernah menuturkan padaku bahwa satu ketika dia tersesat ke sebuah pulau. Mungkin sekali saat itu….”
“Kalian berdua berbisik-bisik apa?!” Utusan Dari Akhirat membentak.
“Sahabat! Pemuda ini adalah temanku! Dan dia bukan Wiro Sableng!” Lagi-lagi Panji berusaha meyakinkan.
Rahang Utusan Dari Akhirat menggembung.
“Jika kau memang sahabatnya aku persilahkan bergabung dengannya. Aku tidak segan-segan membunuh kalian berdua.”
Dalam bingungnya Panji kembali hendak berkata. Namun saat itu Wiro mengangkat tangannya. Padahal sebenarnya Ratu Duyung hendak bicara untuk membuat Utusan Dari Akhirat menjadi tambah bingung agar Wiro bisa diselamatkan.
“Utusan Dari Akhirat,” kata Pendekar 212.
“Walau cuma sebentar tapi sebelumnya kita pernah bersahabat. Namun apa artinya persahabatan itu jika kau memang mempunyai maksud membunuh seorang bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212. Karena akulah orang yang kau cari! Aku Wiro Sableng. Aku Pendekar 212!”
“Berani mati orang ini!” keluh Ratu Duyung dalam hati. Dia cepat melangkah maju dan tegak membelakangi Wiro. Sambil bertolak pinggang dia berkata pada Utusan Dari Akhirat.
“Saudara, jika hatimu meragu jangan sekali-kali menurunkan tangan jahat apalagi membunuh. Harap kau suka meninggalkan tempat ini dan jangan mengganggu sahabatku!”
Utusan Dari Akhirat tersenyum.
“Sia-sia saja kalau kau bermaksud melindunginya. Orang yang punya diri telah memberitahu siapa dirinya! Jika kau punya maksud menantang diriku, aku tidak keberatan menjadikan dirimu sebagai korban berikutnya. Berarti hari ini aku harus mencabut tiga nyawa sekaligus!”
Habis berkata begitu Utusan Dari Akhirat melompat mundur dua langkah. Sepasang lututnya ditekuk. Tubuhnya membungkuk. Tangan kanannya diangkat ke atas. Udara mendadak menjadi redup.
“Ratu Duyung! Lekas menyingkir! Dia hendak lepaskan pukulan Gerhana Matahari!” seru Wiro memperingatkan.
*
* *
* *
EMPAT
Meski sudah diperingatkan dan juga mengetahui kedahsyatan pukulan Gerhana Matahari namun Ratu Duyung sedikit pun tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Malah dengan sikap tenang dia letakkan tangan kirinya di pinggang. Bersamaan dengan itu sepasang matanya yang bagus tampak menyorotkan sinar aneh. Sikap sang Ratu pertanda bahwa dia bersedia menghadapi tantangan atau serangan pemuda berpakaian hitam berambut gondrong di hadapannya.
“Ratu, aku melihat saputan tanda hitam di sekitar bibirmu. Pertanda sebelumnya kau pernah terluka di dalam. Jadi jangan nekad….” Wiro berbisik.
Sang Ratu tersenyum kecil. Tanpa berpaling dia menjawab.
“Ternyata kau masih bermata tajam walau dalam keadaan sakit. Tak usah khawatir. Aku sudah sembuh. Gurumu Eyang Sinto Gendeng yang mengobati!”
“Apa…?” kejut Wiro.
“Kapan kau bertemu dia? Di mana?!”
“Nanti saja aku ceritakan. Biar aku hadapi pemuda kesasar ini dulu….”
Karena merasa khawatir Pendekar 212 maju selangkah mendekati Utusan Dari Akhirat yang saat itu tegak semakin membungkuk dan tangan kanan diangkat ke atas. Sementara udara bertambah redup.
“Tahan!” tiba-tiba murid Sinto Gendeng berseru.
“Utusan Dari Akhirat! Mengapa kau punya niat jahat hendak membunuhku! Apa hubunganmu dengan Pangeran Matahari?!”
Sesaat Utusan Dari Akhirat terdiam. Namun kemudian pemuda ini menyeringai lalu tertawa bergelak.
“Pertanyaan orang yang hendak mampus memang harus dijawab agar di akhirat rohnya tidak jadi setan penasaran!”
“Jawab saja pertanyaanku! Jangan bicara tidak karuan! Kau sendiri sudah jadi setan ngacok sebelum mampus!” tukas murid Sinto Gendeng saking marahnya.
Rahang Utusan Dari Akhirat menggembung. Alisnya mencuat ke atas. Walau tampangnya tidak sama dengan Pendekar Matahari tapi Wiro melihat seolah-olah pemuda di hadapannya itu telah berubah menjadi sosok sang Pangeran. Hal ini membuat Wiro jadi bergidik karena menyadari bahwa dia tidak mampu berbuat sesuatu kecuali mengandalkan jubah sakti Kencono Geni yang melekat di tubuhnya serta ilmu silat orang tidur yang diberikan si Raja Penidur.
“Pendekar 212 Wiro Sableng!” Utusan Dari Akhirat membuka mulut.
“Agar kau puas ketahuilah bahwa aku adalah adik satu guru Pangeran Matahari, murid kakek sakti Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, kau menanggung dosa dan tanggung jawab atas kematian kedua orang itu! Apa kau sekarang sudah puas dan siap menerima kematian?!”
Sulit bagi murid Sinto Gendeng mempercayai ucapan Utusan Dari Akhirat
“Dia memang memiliki pukulan sakti Gerhana Matahari yang hanya dimiliki si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari. Tapi kedua orang Itu sudah tewas di Pangandaran. Dari mana bangsat ini mendapatkan ilmu kesakitan itu Sulit kuduga. Selain itu tak pernah aku mendengar Pangeran Matahari punya seorang adik seperguruan….” Wiro membatin.
“Kau belum memberitahu mengapa kau ingin membunuhku! Juga dua orang lainnya yaitu sahabatku Bujang Gila Tapak Sakti serta Kakek Tua Gila!”
Kembali Utusan Dari Akhirat sunggingkan seringai.
“Waktu di pantai bukankah aku sudah mengatakan padamu? Membunuhmu dan dua orang itu adalah perjanjian keramat yang menjadi tugasku! Kematian kalian adalah takdir dari Yang Diatas!”
“Jahanam!” maki murid Sinto Gendeng dalam hati.
“Katakan siapa yang menugaskanmu!”
“Roh gaib guruku Si Muka Bangkai!” jawab Utusan Dari Akhirat. Ketika dilihatnya Wiro tercengang melongo mendengar ucapannya itu pemuda ini berkata.
“Ada lagi yang ingin kau katakan atau tanyakan sebelum mampus?!”
“Ya ada! Kau tolol dan gila! Punya guru dan kakak seperguruan yang sudah jadi hantu!” jawab Wiro.
Tampang Utusan Dari Akhirat kelam membesi. Dari hidungnya keluar suara mendengus. Bersamaan dengan itu dia menghantam ke depan. Di saat yang sama Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo yang tetap yakin bahwa manusia bernama Wiro Sableng adalah orang tua yang pernah datang ke pulaunya tempo hari, berteriak seraya mendorong Utusan Dari Akhirat ke samping.
“Saudara! Pemuda itu bukan Wiro Sableng!”
Tiga larik sinar kuning, merah dan hitam berkiblat. Namun karena tubuhnya terdorong keras ke samping, serangan Gerhana Matahari yang dilepaskan Utusan Dari Akhirat meleset setengah tombak dari sasaran yang dituju yakni Sosok Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ketika melihat orang melancarkan serangan Ratu Duyung cepat mendorong tubuh Wiro ke samping hingga Serangan lawan semakin meleset jauh. Bersamaan dengan itu dari sepasang mata Ratu Duyung melesat dua sinar biru, menderu ke arah Utusan Dari Akhirat. Sang Ratu sengaja tidak menghantam langsung pemuda di hadapannya tapi hanya mengarahkan serangan setengah tombak di depan kaki lawan,
“Byurrr! Byuuuur!”
Tanah di depan Utusan Dari Akhirat muncrat ke atas. Pemuda itu berseru kaget dan melompat dua tombak ke atas seraya melotot menyaksikan bagaimana di bawah sana kini kelihatan dua lobang besar mengepulkan asap biru.
“Itu sekedar peringatan dariku! Harap kau lekas angkat kaki dari tempat ini!”
Utusan Dari Akhirat memandang dengan mata berkilat-kilat. Tampaknya dia tidak perduli dengan ucapan Ratu Duyung. Dia sama sekali tidak beranjak dari tempat itu. Malah kini dia angkat ke dua tangannya ke atas dengan telapak terkembang.
“Jahanam! Bangsat ini hendak lepaskan pukulan Telapak Matahari!” kata Wiro dengan suara bergetar dan sempat terdengar oleh Ratu Duyung yang ada di sebelahnya.
“Aku memberi peringatan! Kau tetap berkeras kepala! Kau memilih kematian di usia muda!” kata Ratu Duyung. Lalu tangan kirinya menyelinap ke balik baju hitam. Sesaat kemudian sang Ratu telah memegang cermin sakti. Cahaya menyilaukan yang keluar dari cermin dan melintas di wajah Utusan Dari Akhirat membuat pemuda ini tercekat. Dia cepat lindungi matanya dengan tangan kiri. Percaya bahwa dia memiliki kesaktian yang mampu menghadapi gadis cantik di depannya itu, si pemuda tetap tak bergeming dari tempatnya.
Dari belakang Panji yang tadi gagal mencegah serangan, untuk ke dua kalinya berusaha menarik dan mendorong tubuh Utusan Dari Akhirat. Kali ini Utusan Dari Akhirat tak tinggal diam. Begitu pinggangnya dicekal, sikutnya bergerak, menghantam ke belakang.
“Bukkk!”
Panji terpental dua tombak dan jatuh duduk di tanah. Tulang dadanya serasa melesak kena hantaman sikut Utusan Dari Akhirat. Menahan sakit dan juga terbakar oleh hawa amarah Panji bangkit berdiri. Tangan kanannya bergerak mencabut pedang lalu terdengar suara berdesing. Utusan Dari Akhirat merasa ada hawa dingin menyambar ke arah dua tangannya yang diangkat ke atas. Tanpa berpaling pemuda ini condongkan tubuh ke depan. Kaki kirinya menekan ke tanah. Bersamaan dengan itu tubuhnya diputar ke belakang dan kaki kanannya melesat.
Panji terkesiap kaget ketika melihat kaki kanan Utusan Dari Akhirat tahu-tahu melesat ke arah kepalanya. Dia cepat membungkuk sambil tusukkan pedang ke selangkangan lawan yang terbuka. Namun kaki kanan Utusan Dari Akhirat menghantam lebih dulu.
“Bukkk!”
“Breett!”
Panji mengeluh tinggi. Bahu kirinya serasa remuk. Tubuhnya terlempar dan terbanting di tanah. Dia berusaha bangkit tapi roboh kembali megap-megap. Utusan Dari Akhirat tekap paha kiri celananya yang robek besar tersambar ujung pedang lawan. Seperti diketahui walau dia memiliki pukulan sakti yang dipelajarinya dari kitab
“Matahari, Sumber Segala Kesaktian”, namun pada dasarnya pemuda yang dulu bernama Layang Kemitir ini belum memiliki dasar ilmu silat yang luar biasa. Itu sebabnya walau Panji sendiri tidak memiliki ilmu silat tingkat tinggi namun pemuda dari Pulau Kerajaan Sipatoka ini masih sempat menusukkan pedangnya merobek paha kiri celana hitam lawan.
Utusan Dari Akhirat dalam keadaan marah besar melompat ke hadapan Panji. Kaki kanannya diayunkan untuk menendang kepala orang. Baik Wiro maupun Ratu Duyung sama mengetahui kalau tendangan itu bukan sembarang tendangan. Sekali kena dihantam maka kepala pemuda berkulit sawo matang dan beranting emas itu akan hancur. Nyawanya tidak tertolong lagi. Seolah lupa akan keadaan dirinya Wiro melompat ke muka untuk berikan pertolongan. Ratu Duyung berteriak memberi ingat tapi terlambat. Pendekar 212 hantamkan tangan kanannya ke pelipis kiri Utusan Dari Akhirat. Yang diserang tidak perdulikan serangan Hu dia tetap teruskan tendangannya ke kepala Panji.
“Bukkkk!”
Jotosan Wiro mendarat di pelipis Utusan Dari Akhirat. Kepalanya hanya tersentak sedikit dan kelihatan kemerahan. Sebaliknya Wiro mengeluh kesakitan dan pegangi tangannya. Jotosan yang dilancarkan dengan seluruh kekuatan tenaga luar itu membuat dia kesakitan sendiri. Sementara usahanya untuk menolong Panji tidak berhasil. Karena tendangan kaki kanan Utusan Dari Akhirat terus menderu ke kepala Panji. Sesaat lagi kepala Panji akan dibikin pecah oleh tendangan Utusan Dari Akhirat, mendadak di udara terdengar suara orang meraung disusul dengan suara tangis yang membuat semua orang tersirap. Lalu ada sesuatu menahan kaki kanan Utusan Dari Akhirat yang membuat tendangannya bukan saja tertahan tapi tubuhnya terhuyung keras ke belakang lalu jatuh terduduk di tanah.
“Aku melihat langit! Aku melihat bumi! Aku melihat anak-anak manusia di tempat ini berlaku salah kaprah! Bukankah nyawa mereka berada di tanganku…? Hik… hik… hik!” Suara tangis aneh memenuhi tempat itu.
Semua orang tersentak kaget. Lebih-lebih Utusan Dari Akhirat yang kini terhantar di tanah. Semua kepala dipalingkan ke kiri di mana saat itu tampak tegak seorang kakek berwajah murung. Berkulit sangat hitam, mengenakan pakaian berupa selempang kain putih. Rambutnya digulung dan diikat di atas kepala. Alisnya panjang menjulai ke bawah. Tangan kirinya tiada henti mengusap sepasang matanya. Kakek ini keluarkan suara tangis berkepanjangan.
“Ratu, aku melihat saputan tanda hitam di sekitar bibirmu. Pertanda sebelumnya kau pernah terluka di dalam. Jadi jangan nekad….” Wiro berbisik.
Sang Ratu tersenyum kecil. Tanpa berpaling dia menjawab.
“Ternyata kau masih bermata tajam walau dalam keadaan sakit. Tak usah khawatir. Aku sudah sembuh. Gurumu Eyang Sinto Gendeng yang mengobati!”
“Apa…?” kejut Wiro.
“Kapan kau bertemu dia? Di mana?!”
“Nanti saja aku ceritakan. Biar aku hadapi pemuda kesasar ini dulu….”
Karena merasa khawatir Pendekar 212 maju selangkah mendekati Utusan Dari Akhirat yang saat itu tegak semakin membungkuk dan tangan kanan diangkat ke atas. Sementara udara bertambah redup.
“Tahan!” tiba-tiba murid Sinto Gendeng berseru.
“Utusan Dari Akhirat! Mengapa kau punya niat jahat hendak membunuhku! Apa hubunganmu dengan Pangeran Matahari?!”
Sesaat Utusan Dari Akhirat terdiam. Namun kemudian pemuda ini menyeringai lalu tertawa bergelak.
“Pertanyaan orang yang hendak mampus memang harus dijawab agar di akhirat rohnya tidak jadi setan penasaran!”
“Jawab saja pertanyaanku! Jangan bicara tidak karuan! Kau sendiri sudah jadi setan ngacok sebelum mampus!” tukas murid Sinto Gendeng saking marahnya.
Rahang Utusan Dari Akhirat menggembung. Alisnya mencuat ke atas. Walau tampangnya tidak sama dengan Pendekar Matahari tapi Wiro melihat seolah-olah pemuda di hadapannya itu telah berubah menjadi sosok sang Pangeran. Hal ini membuat Wiro jadi bergidik karena menyadari bahwa dia tidak mampu berbuat sesuatu kecuali mengandalkan jubah sakti Kencono Geni yang melekat di tubuhnya serta ilmu silat orang tidur yang diberikan si Raja Penidur.
“Pendekar 212 Wiro Sableng!” Utusan Dari Akhirat membuka mulut.
“Agar kau puas ketahuilah bahwa aku adalah adik satu guru Pangeran Matahari, murid kakek sakti Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, kau menanggung dosa dan tanggung jawab atas kematian kedua orang itu! Apa kau sekarang sudah puas dan siap menerima kematian?!”
Sulit bagi murid Sinto Gendeng mempercayai ucapan Utusan Dari Akhirat
“Dia memang memiliki pukulan sakti Gerhana Matahari yang hanya dimiliki si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari. Tapi kedua orang Itu sudah tewas di Pangandaran. Dari mana bangsat ini mendapatkan ilmu kesakitan itu Sulit kuduga. Selain itu tak pernah aku mendengar Pangeran Matahari punya seorang adik seperguruan….” Wiro membatin.
“Kau belum memberitahu mengapa kau ingin membunuhku! Juga dua orang lainnya yaitu sahabatku Bujang Gila Tapak Sakti serta Kakek Tua Gila!”
Kembali Utusan Dari Akhirat sunggingkan seringai.
“Waktu di pantai bukankah aku sudah mengatakan padamu? Membunuhmu dan dua orang itu adalah perjanjian keramat yang menjadi tugasku! Kematian kalian adalah takdir dari Yang Diatas!”
“Jahanam!” maki murid Sinto Gendeng dalam hati.
“Katakan siapa yang menugaskanmu!”
“Roh gaib guruku Si Muka Bangkai!” jawab Utusan Dari Akhirat. Ketika dilihatnya Wiro tercengang melongo mendengar ucapannya itu pemuda ini berkata.
“Ada lagi yang ingin kau katakan atau tanyakan sebelum mampus?!”
“Ya ada! Kau tolol dan gila! Punya guru dan kakak seperguruan yang sudah jadi hantu!” jawab Wiro.
Tampang Utusan Dari Akhirat kelam membesi. Dari hidungnya keluar suara mendengus. Bersamaan dengan itu dia menghantam ke depan. Di saat yang sama Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo yang tetap yakin bahwa manusia bernama Wiro Sableng adalah orang tua yang pernah datang ke pulaunya tempo hari, berteriak seraya mendorong Utusan Dari Akhirat ke samping.
“Saudara! Pemuda itu bukan Wiro Sableng!”
Tiga larik sinar kuning, merah dan hitam berkiblat. Namun karena tubuhnya terdorong keras ke samping, serangan Gerhana Matahari yang dilepaskan Utusan Dari Akhirat meleset setengah tombak dari sasaran yang dituju yakni Sosok Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ketika melihat orang melancarkan serangan Ratu Duyung cepat mendorong tubuh Wiro ke samping hingga Serangan lawan semakin meleset jauh. Bersamaan dengan itu dari sepasang mata Ratu Duyung melesat dua sinar biru, menderu ke arah Utusan Dari Akhirat. Sang Ratu sengaja tidak menghantam langsung pemuda di hadapannya tapi hanya mengarahkan serangan setengah tombak di depan kaki lawan,
“Byurrr! Byuuuur!”
Tanah di depan Utusan Dari Akhirat muncrat ke atas. Pemuda itu berseru kaget dan melompat dua tombak ke atas seraya melotot menyaksikan bagaimana di bawah sana kini kelihatan dua lobang besar mengepulkan asap biru.
“Itu sekedar peringatan dariku! Harap kau lekas angkat kaki dari tempat ini!”
Utusan Dari Akhirat memandang dengan mata berkilat-kilat. Tampaknya dia tidak perduli dengan ucapan Ratu Duyung. Dia sama sekali tidak beranjak dari tempat itu. Malah kini dia angkat ke dua tangannya ke atas dengan telapak terkembang.
“Jahanam! Bangsat ini hendak lepaskan pukulan Telapak Matahari!” kata Wiro dengan suara bergetar dan sempat terdengar oleh Ratu Duyung yang ada di sebelahnya.
“Aku memberi peringatan! Kau tetap berkeras kepala! Kau memilih kematian di usia muda!” kata Ratu Duyung. Lalu tangan kirinya menyelinap ke balik baju hitam. Sesaat kemudian sang Ratu telah memegang cermin sakti. Cahaya menyilaukan yang keluar dari cermin dan melintas di wajah Utusan Dari Akhirat membuat pemuda ini tercekat. Dia cepat lindungi matanya dengan tangan kiri. Percaya bahwa dia memiliki kesaktian yang mampu menghadapi gadis cantik di depannya itu, si pemuda tetap tak bergeming dari tempatnya.
Dari belakang Panji yang tadi gagal mencegah serangan, untuk ke dua kalinya berusaha menarik dan mendorong tubuh Utusan Dari Akhirat. Kali ini Utusan Dari Akhirat tak tinggal diam. Begitu pinggangnya dicekal, sikutnya bergerak, menghantam ke belakang.
“Bukkk!”
Panji terpental dua tombak dan jatuh duduk di tanah. Tulang dadanya serasa melesak kena hantaman sikut Utusan Dari Akhirat. Menahan sakit dan juga terbakar oleh hawa amarah Panji bangkit berdiri. Tangan kanannya bergerak mencabut pedang lalu terdengar suara berdesing. Utusan Dari Akhirat merasa ada hawa dingin menyambar ke arah dua tangannya yang diangkat ke atas. Tanpa berpaling pemuda ini condongkan tubuh ke depan. Kaki kirinya menekan ke tanah. Bersamaan dengan itu tubuhnya diputar ke belakang dan kaki kanannya melesat.
Panji terkesiap kaget ketika melihat kaki kanan Utusan Dari Akhirat tahu-tahu melesat ke arah kepalanya. Dia cepat membungkuk sambil tusukkan pedang ke selangkangan lawan yang terbuka. Namun kaki kanan Utusan Dari Akhirat menghantam lebih dulu.
“Bukkk!”
“Breett!”
Panji mengeluh tinggi. Bahu kirinya serasa remuk. Tubuhnya terlempar dan terbanting di tanah. Dia berusaha bangkit tapi roboh kembali megap-megap. Utusan Dari Akhirat tekap paha kiri celananya yang robek besar tersambar ujung pedang lawan. Seperti diketahui walau dia memiliki pukulan sakti yang dipelajarinya dari kitab
“Matahari, Sumber Segala Kesaktian”, namun pada dasarnya pemuda yang dulu bernama Layang Kemitir ini belum memiliki dasar ilmu silat yang luar biasa. Itu sebabnya walau Panji sendiri tidak memiliki ilmu silat tingkat tinggi namun pemuda dari Pulau Kerajaan Sipatoka ini masih sempat menusukkan pedangnya merobek paha kiri celana hitam lawan.
Utusan Dari Akhirat dalam keadaan marah besar melompat ke hadapan Panji. Kaki kanannya diayunkan untuk menendang kepala orang. Baik Wiro maupun Ratu Duyung sama mengetahui kalau tendangan itu bukan sembarang tendangan. Sekali kena dihantam maka kepala pemuda berkulit sawo matang dan beranting emas itu akan hancur. Nyawanya tidak tertolong lagi. Seolah lupa akan keadaan dirinya Wiro melompat ke muka untuk berikan pertolongan. Ratu Duyung berteriak memberi ingat tapi terlambat. Pendekar 212 hantamkan tangan kanannya ke pelipis kiri Utusan Dari Akhirat. Yang diserang tidak perdulikan serangan Hu dia tetap teruskan tendangannya ke kepala Panji.
“Bukkkk!”
Jotosan Wiro mendarat di pelipis Utusan Dari Akhirat. Kepalanya hanya tersentak sedikit dan kelihatan kemerahan. Sebaliknya Wiro mengeluh kesakitan dan pegangi tangannya. Jotosan yang dilancarkan dengan seluruh kekuatan tenaga luar itu membuat dia kesakitan sendiri. Sementara usahanya untuk menolong Panji tidak berhasil. Karena tendangan kaki kanan Utusan Dari Akhirat terus menderu ke kepala Panji. Sesaat lagi kepala Panji akan dibikin pecah oleh tendangan Utusan Dari Akhirat, mendadak di udara terdengar suara orang meraung disusul dengan suara tangis yang membuat semua orang tersirap. Lalu ada sesuatu menahan kaki kanan Utusan Dari Akhirat yang membuat tendangannya bukan saja tertahan tapi tubuhnya terhuyung keras ke belakang lalu jatuh terduduk di tanah.
“Aku melihat langit! Aku melihat bumi! Aku melihat anak-anak manusia di tempat ini berlaku salah kaprah! Bukankah nyawa mereka berada di tanganku…? Hik… hik… hik!” Suara tangis aneh memenuhi tempat itu.
Semua orang tersentak kaget. Lebih-lebih Utusan Dari Akhirat yang kini terhantar di tanah. Semua kepala dipalingkan ke kiri di mana saat itu tampak tegak seorang kakek berwajah murung. Berkulit sangat hitam, mengenakan pakaian berupa selempang kain putih. Rambutnya digulung dan diikat di atas kepala. Alisnya panjang menjulai ke bawah. Tangan kirinya tiada henti mengusap sepasang matanya. Kakek ini keluarkan suara tangis berkepanjangan.
*
* *
* *
LIMA
Sepasang mata Ratu Duyung tak berkesip memandangi sosok kakek yang tegak menangis itu. Demikian pula dengan Wiro Sableng.
“Dewa Sedih. Tokoh aneh berkepandaian tinggi. Terakhir sekali aku melihatnya di Pangandaran. Manusia satu ini memang aneh. Tapi kali ini aku merasakan ada satu keanehan lain dalam dirinya….” Membatin Ratu Duyung.
Wiro sendiri yang semula gembira melihat kemunculan orang tua ini namun menindih perasaannya ketika pandangannya membentur tangan kanan Dewa Sedih.
“Aneh…” desis Wiro dalam hati.
“Tangan kanan Dewa Sedih berwarna hitam. Padahal dulu-dulu tidak. Lalu apa maksud ucapannya tadi. Nyawa siapa yang dimaksudkannya berada di tangannya?”
“Kakek, kau telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih….” Kesunyian di tempat itu dipecahkan oleh suara Panji. Pemuda ini membuat gerakan menjura dalam keadaan berlutut lalu bangkit berdiri. Dewa Sedih menggerung keras.
“Ucapan terima kasih adalah pengantar perkabungan. Hik… hik… hik! Aku melihat langit. Aku melihat bumi. Aku melihat nyawa beterbangan dari bumi ke langit. Dari tempat ini ke atas sana….” Wiro garuk kepala melihat tindak tanduk Dewa Sedih yang tidak seperti biasanya ini. Maka dia pun memancing.
“Dewa Sedih, aku senang berjumpa lagi denganmu. Apa kau ada baik-baik saja? Apa kau tahu di mana adikmu Si Dewa Ketawa sekarang berada?” Dewa Sedih mendongak ke langit. Sepasang matanya dipejamkan. Tangisnya seolah ditahan hingga dia terseguk-seguk. Lalu perlahan-lahan dia turunkan kepalanya dan berpaling ke arah .Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu pandangannya membentur tampang murid Sinto Gendeng itu maka meraunglah si kakek. Tangan kirinya menunjuk-nunjuk ke arah Wiro.
“Anak manusia! Aku sedih. Tangis di mataku. Ratap di hatiku! Kau adalah orang yang aku cari selama ini! Kau adalah orang pertama yang nyawanya harus kupindah dari tubuh kasar ke alam barzah. Dari bumi ke langit! Hik… hik… hik…. Anak muda aku terpaksa membunuhmu saat ini juga. Betapa menyedihkan…. Hik… hik… hik! Kau mati lebih dulu. Yang lain-lain bisa menyusul kemudian!”.
Berubahlah paras Pendekar 212 mendengar ucapan Dewa Sedih. Ratu Duyung terkesiap. Tenaga dalam segera dikerahkan ke tangan kanan. Sepasang matanya memancarkan kilat. Tangan kiri menggenggam gagang cermin bulat erat-erat.
“Kalau kakek sinting ini berani melepaskan tangan jahat terhadap Wiro, aku tidak akan menyesal membunuhnya saat ini juga!” kata sang Ratu dalam hati.
“Dewa Sedih! Apa yang terjadi denganmu. Sejak lama kau menjadi sahabatku dan sahabat orang-orang rimba persilatan golongan putih. Mengapa saat ini kau muncul hendak membunuhku? Jangan-jangan ada yang telah mempengaruhimu?!” Wiro bertanya dan langsung menyatakan kecurigaannya.
Dewa Sedih menangis keras. Lalu berucap.
“Persahabatan hanya sekental embun pagi. Maksud hendak membunuh sekeras butiran logam. Siapa yang kuat itu yang menang. Mana mungkin embun lebih kuat dari logam! Anak manusia aku mengemban tugas untuk membunuhmu! Kalau aku gagal, aku akan celaka seumur-umur! Barangku tak akan kembali ke tempat asalnya. Lebih baik aku mati daripada tak punya barang! Apa gunanya hidup! Hik… hik… hik!” Habis berkata begitu Dewa Sedih lalu menangis kembali.
“Ah, dugaanku tidak meleset. Ada sesuatu yang telah mempengaruhi kakek ini!” ujar Wiro dalam hati.
“Siapa yang memberi tugas padamu?!” Tiba-tiba Ratu Duyung membuka suara. Tanpa berpaling pada sang Ratu, Dewa Sedih terus saja menangis. Begitu suara tangisnya reda dia berkata.
“Anak gadis, mungkin kau satu-satunya yang bisa kuampuni nyawanya. Tapi dengan syarat harus ikut bersamaku setelah yang lain-lain kukirim ke langit. Hik… hik…. Betapa untungnya dirimu. Betapa malangnya nasib tiga kurcaci muda yang ada di tempat ini!”
“Dewa Sedih, ada sesuatu yang tidak beres dengan dirimu! Harap kau mengingat-ingat. Kuasai hati, kuasai jalan pikiran! Jangan sampai salah menurunkan tangan!” kata Wiro.
Tangis Dewa Sedih tertahan. Suara segukan keluar dari tenggorokannya berulang kali.
“Aku tahu hatiku! Aku tahu pikiranku! Aku melihat langit! Aku melihat gantungan tempat nyawamu sebentar lagi bercokol! Jangan membuat hatiku tambah sedih anak muda!”
Dewa Sedih putar tubuhnya ke arah Wiro. Selangkah demi selangkah dia maju mendekati murid Sinto Gendeng sambil tangan kanannya yang berwarna hitam diangkat setinggi dada. Tiba-tiba Utusan Dari Akhirat melompat dan tegak menghadang langkah Dewa Sedih.
“Orang tua aneh! Aku tidak tahu siapa kau adanya! Aku tidak akan perduli siapa adanya dirimu! Ketahuilah nyawa pemuda bernama Wiro Sableng itu sudah ditakdirkan menjadi milikku! Tugasmu tidak sepenting tugasku!”
“Hik… hik…! Apakah satu nyawa bisa dibagi dua? Bagaimana cara membaginya?! Daripada membagi dua bukankah lebih baik ditambah satu nyawa lagi? Jadi ada dua nyawa yang harus kucabut secara berbarengan! Sungguh sedih….. Sungguh sedih! Hik… hik… hik!”
Tangan kanan Dewa Sedih bergerak ke arah Wiro.
“Tunggu!” Ratu Duyung berseru seraya letakkan cermin bulat di depan dada.
Dewa Sedih usap matanya yang basah.
“Apa maumu anak gadis? Ingin minta mati duluan?!”
“Kau tadi bilang membunuh Pendekar 212 karena mengemban tugas. Katakan siapa yang memberi tugas padamu!” Dewa Sedih mendongak ke atas lalu meraung keras.
“Aku melihat langit. Aku mendengar anak manusia bertanya tentang kematian. Biarlah malaikat maut saja yang nanti akan menjawab!”
“Tua bangka pengecut! Kau cuma bisa mewek menangis seperti bayi! Tapi takut memberitahu siapa tuan majikanmu! Dengar baik-baik, kau tidak akan bisa kembali menghadap dan berlutut di hadapan majikanmu! Kau akan menemui ajal lebih dulu di tempat ini!” Lalu Ratu Duyung berpaling pada Utusan Dari Akhirat.
“Kau hendak membunuh Wiro? Kau tentu tidak mau keduluan oleh kakek gila ini! Bagaimana kalau kita bersama-sama menunjukkan jalan ke neraka padanya. Aku mau tahu apa dia masih bisa menangis di akhirat!”
Utusan Dari Akhirat sesaat terkesiap mendengar ucapan Ratu Duyung itu. Tapi dalam hati dia mengakui ucapan si gadis bermata biru ada benarnya juga. Ratu Duyung berpaling ke arah Panji.
“Ambil pedangmu! Kau juga harus ikut membantu!”
Walau cidera tapi Panji jadi terbakar semangatnya. Dengan cepat dia mengambil pedang yang tergeletak di tanah. Pemuda ini menyadari bahwa saat itu dia berada di tengah orang-orang berkepandaian tinggi. Dibanding dengan dirinya maka dia bukan apa-apa. Namun rasa setia kawan yang ada dalam dirinya terhadap Wiro membuat dia tidak merasa gentar* Hanya saja sampai saat itu dia merasa bingung. Apa betul pemuda berambut gondrong berpakaian hitam itu adalah benar-benar Wiro Sableng?
“Wiro,” bisik sang Ratu kemudian pada murid Sinto Gendeng.
“Jika terjadi bentrokan pukulan sakti, harap kau lekas mencari tempat berlindung. Aku menduga keras kakek ini telah jadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat….”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Wiro.
“Lihat tangan kanannya. Berwarna hitam. Dia telah memiliki ilmu pukulan maut yang disebut Mencabut Jiwa Memusnah Raga. ilmu ini hanya dimiliki Datuk Lembah Akhirat dan kaki tangannya. Siapa yang kena hantamannya, tubuhnya akan jadi bubuk berwarna hitam!”
“Gila! Berbahaya sekali kalau begitu!” kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Apa jubah sakti yang kupakai tidak sanggup menahan kehebatan ilmu setan itu?”
“Aku tidak berani menduga-duga. Sebaiknya lekas cari selamat. Cari perlindungan….”
Wiro tak segera beranjak. Yang terpikir olehnya saat itu adalah bagaimana akibatnya kalau Dewa Sedih menemui ajal di tangan orang-orang itu. Adiknya si Dewa Ketawa pasti akan marah besar. Orang-orang golongan putih akan ikut campur. Urusan besar bakal menghadang. Ternyata Ratu Duyung bisa membaca jalan pikiran murid Sinto Gendeng. Maka cepat dia berkata dengan suara lantang agar Dewa Sedih ikut mendengar.
“Wiro! Buang kebimbangan dalam hatimu! Kakek di hadapan kita bukan manusia baik-baik yang bisa dipercaya sebagai sahabat. Walau dia bukan dari golongan hitam tapi dia juga bukan tokoh golongan putih. Seringkali dia tidak punya pendirian. Kalaupun punya maka dia berada di pihak yang sesat. Ingat peristiwa di Pengandaran tempo hari?
Kakek berhati bengkok ini sudah saatnya disingkirkan. Kalau tidak dunia persilatan akan dibikin kisruh oleh ulahnya!”
Dewa Sedih tersurat dua langkah. Matanya mendelik memandang pada Ratu Duyung. Lalu terdengar ratapnya.
“Aku dibilang bukan manusia baik-baik. Hik… hik! Aku dikatakan tidak punya pendirian! Aku dibilang berhati bengkok dan harus disingkirkan! Hik… hik… hik! Malangnya nasibku! Anak gadis bermata biru, mulutmu lancang. Hatimu pasti tidak sebagus wajahmu! Lihat ke langit! Lihat bumi! Antara keduanya itulah jalanmu ke neraka!”
Dewa Sedih keluarkan satu gerungan keras. Tangan kanannya dihantamkan ke arah Ratu Duyung. Selarik Sinar hitam menggidikkan melesat. Inilah pukulan ganas mengandung tenaga dalam tinggi bernama Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Siapa yang terkena maka tubuhnya akan dikobari api berwarna kehitaman. Lalu tubuh itu akan musnah berubah menjadi bubuk mengerikan! Dewa Sedih mendapatkan ilmu kesaktian ini langsung dari Datuk Lembah Akhirat karena tugas yang diberikan kepadanya sangat berat yakni membunuh beberapa tokoh silat tingkat tinggi. Satu diantaranya adalah Wiro Sableng!
“Dewa Sedih. Tokoh aneh berkepandaian tinggi. Terakhir sekali aku melihatnya di Pangandaran. Manusia satu ini memang aneh. Tapi kali ini aku merasakan ada satu keanehan lain dalam dirinya….” Membatin Ratu Duyung.
Wiro sendiri yang semula gembira melihat kemunculan orang tua ini namun menindih perasaannya ketika pandangannya membentur tangan kanan Dewa Sedih.
“Aneh…” desis Wiro dalam hati.
“Tangan kanan Dewa Sedih berwarna hitam. Padahal dulu-dulu tidak. Lalu apa maksud ucapannya tadi. Nyawa siapa yang dimaksudkannya berada di tangannya?”
“Kakek, kau telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih….” Kesunyian di tempat itu dipecahkan oleh suara Panji. Pemuda ini membuat gerakan menjura dalam keadaan berlutut lalu bangkit berdiri. Dewa Sedih menggerung keras.
“Ucapan terima kasih adalah pengantar perkabungan. Hik… hik… hik! Aku melihat langit. Aku melihat bumi. Aku melihat nyawa beterbangan dari bumi ke langit. Dari tempat ini ke atas sana….” Wiro garuk kepala melihat tindak tanduk Dewa Sedih yang tidak seperti biasanya ini. Maka dia pun memancing.
“Dewa Sedih, aku senang berjumpa lagi denganmu. Apa kau ada baik-baik saja? Apa kau tahu di mana adikmu Si Dewa Ketawa sekarang berada?” Dewa Sedih mendongak ke langit. Sepasang matanya dipejamkan. Tangisnya seolah ditahan hingga dia terseguk-seguk. Lalu perlahan-lahan dia turunkan kepalanya dan berpaling ke arah .Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu pandangannya membentur tampang murid Sinto Gendeng itu maka meraunglah si kakek. Tangan kirinya menunjuk-nunjuk ke arah Wiro.
“Anak manusia! Aku sedih. Tangis di mataku. Ratap di hatiku! Kau adalah orang yang aku cari selama ini! Kau adalah orang pertama yang nyawanya harus kupindah dari tubuh kasar ke alam barzah. Dari bumi ke langit! Hik… hik… hik…. Anak muda aku terpaksa membunuhmu saat ini juga. Betapa menyedihkan…. Hik… hik… hik! Kau mati lebih dulu. Yang lain-lain bisa menyusul kemudian!”.
Berubahlah paras Pendekar 212 mendengar ucapan Dewa Sedih. Ratu Duyung terkesiap. Tenaga dalam segera dikerahkan ke tangan kanan. Sepasang matanya memancarkan kilat. Tangan kiri menggenggam gagang cermin bulat erat-erat.
“Kalau kakek sinting ini berani melepaskan tangan jahat terhadap Wiro, aku tidak akan menyesal membunuhnya saat ini juga!” kata sang Ratu dalam hati.
“Dewa Sedih! Apa yang terjadi denganmu. Sejak lama kau menjadi sahabatku dan sahabat orang-orang rimba persilatan golongan putih. Mengapa saat ini kau muncul hendak membunuhku? Jangan-jangan ada yang telah mempengaruhimu?!” Wiro bertanya dan langsung menyatakan kecurigaannya.
Dewa Sedih menangis keras. Lalu berucap.
“Persahabatan hanya sekental embun pagi. Maksud hendak membunuh sekeras butiran logam. Siapa yang kuat itu yang menang. Mana mungkin embun lebih kuat dari logam! Anak manusia aku mengemban tugas untuk membunuhmu! Kalau aku gagal, aku akan celaka seumur-umur! Barangku tak akan kembali ke tempat asalnya. Lebih baik aku mati daripada tak punya barang! Apa gunanya hidup! Hik… hik… hik!” Habis berkata begitu Dewa Sedih lalu menangis kembali.
“Ah, dugaanku tidak meleset. Ada sesuatu yang telah mempengaruhi kakek ini!” ujar Wiro dalam hati.
“Siapa yang memberi tugas padamu?!” Tiba-tiba Ratu Duyung membuka suara. Tanpa berpaling pada sang Ratu, Dewa Sedih terus saja menangis. Begitu suara tangisnya reda dia berkata.
“Anak gadis, mungkin kau satu-satunya yang bisa kuampuni nyawanya. Tapi dengan syarat harus ikut bersamaku setelah yang lain-lain kukirim ke langit. Hik… hik…. Betapa untungnya dirimu. Betapa malangnya nasib tiga kurcaci muda yang ada di tempat ini!”
“Dewa Sedih, ada sesuatu yang tidak beres dengan dirimu! Harap kau mengingat-ingat. Kuasai hati, kuasai jalan pikiran! Jangan sampai salah menurunkan tangan!” kata Wiro.
Tangis Dewa Sedih tertahan. Suara segukan keluar dari tenggorokannya berulang kali.
“Aku tahu hatiku! Aku tahu pikiranku! Aku melihat langit! Aku melihat gantungan tempat nyawamu sebentar lagi bercokol! Jangan membuat hatiku tambah sedih anak muda!”
Dewa Sedih putar tubuhnya ke arah Wiro. Selangkah demi selangkah dia maju mendekati murid Sinto Gendeng sambil tangan kanannya yang berwarna hitam diangkat setinggi dada. Tiba-tiba Utusan Dari Akhirat melompat dan tegak menghadang langkah Dewa Sedih.
“Orang tua aneh! Aku tidak tahu siapa kau adanya! Aku tidak akan perduli siapa adanya dirimu! Ketahuilah nyawa pemuda bernama Wiro Sableng itu sudah ditakdirkan menjadi milikku! Tugasmu tidak sepenting tugasku!”
“Hik… hik…! Apakah satu nyawa bisa dibagi dua? Bagaimana cara membaginya?! Daripada membagi dua bukankah lebih baik ditambah satu nyawa lagi? Jadi ada dua nyawa yang harus kucabut secara berbarengan! Sungguh sedih….. Sungguh sedih! Hik… hik… hik!”
Tangan kanan Dewa Sedih bergerak ke arah Wiro.
“Tunggu!” Ratu Duyung berseru seraya letakkan cermin bulat di depan dada.
Dewa Sedih usap matanya yang basah.
“Apa maumu anak gadis? Ingin minta mati duluan?!”
“Kau tadi bilang membunuh Pendekar 212 karena mengemban tugas. Katakan siapa yang memberi tugas padamu!” Dewa Sedih mendongak ke atas lalu meraung keras.
“Aku melihat langit. Aku mendengar anak manusia bertanya tentang kematian. Biarlah malaikat maut saja yang nanti akan menjawab!”
“Tua bangka pengecut! Kau cuma bisa mewek menangis seperti bayi! Tapi takut memberitahu siapa tuan majikanmu! Dengar baik-baik, kau tidak akan bisa kembali menghadap dan berlutut di hadapan majikanmu! Kau akan menemui ajal lebih dulu di tempat ini!” Lalu Ratu Duyung berpaling pada Utusan Dari Akhirat.
“Kau hendak membunuh Wiro? Kau tentu tidak mau keduluan oleh kakek gila ini! Bagaimana kalau kita bersama-sama menunjukkan jalan ke neraka padanya. Aku mau tahu apa dia masih bisa menangis di akhirat!”
Utusan Dari Akhirat sesaat terkesiap mendengar ucapan Ratu Duyung itu. Tapi dalam hati dia mengakui ucapan si gadis bermata biru ada benarnya juga. Ratu Duyung berpaling ke arah Panji.
“Ambil pedangmu! Kau juga harus ikut membantu!”
Walau cidera tapi Panji jadi terbakar semangatnya. Dengan cepat dia mengambil pedang yang tergeletak di tanah. Pemuda ini menyadari bahwa saat itu dia berada di tengah orang-orang berkepandaian tinggi. Dibanding dengan dirinya maka dia bukan apa-apa. Namun rasa setia kawan yang ada dalam dirinya terhadap Wiro membuat dia tidak merasa gentar* Hanya saja sampai saat itu dia merasa bingung. Apa betul pemuda berambut gondrong berpakaian hitam itu adalah benar-benar Wiro Sableng?
“Wiro,” bisik sang Ratu kemudian pada murid Sinto Gendeng.
“Jika terjadi bentrokan pukulan sakti, harap kau lekas mencari tempat berlindung. Aku menduga keras kakek ini telah jadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat….”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Wiro.
“Lihat tangan kanannya. Berwarna hitam. Dia telah memiliki ilmu pukulan maut yang disebut Mencabut Jiwa Memusnah Raga. ilmu ini hanya dimiliki Datuk Lembah Akhirat dan kaki tangannya. Siapa yang kena hantamannya, tubuhnya akan jadi bubuk berwarna hitam!”
“Gila! Berbahaya sekali kalau begitu!” kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Apa jubah sakti yang kupakai tidak sanggup menahan kehebatan ilmu setan itu?”
“Aku tidak berani menduga-duga. Sebaiknya lekas cari selamat. Cari perlindungan….”
Wiro tak segera beranjak. Yang terpikir olehnya saat itu adalah bagaimana akibatnya kalau Dewa Sedih menemui ajal di tangan orang-orang itu. Adiknya si Dewa Ketawa pasti akan marah besar. Orang-orang golongan putih akan ikut campur. Urusan besar bakal menghadang. Ternyata Ratu Duyung bisa membaca jalan pikiran murid Sinto Gendeng. Maka cepat dia berkata dengan suara lantang agar Dewa Sedih ikut mendengar.
“Wiro! Buang kebimbangan dalam hatimu! Kakek di hadapan kita bukan manusia baik-baik yang bisa dipercaya sebagai sahabat. Walau dia bukan dari golongan hitam tapi dia juga bukan tokoh golongan putih. Seringkali dia tidak punya pendirian. Kalaupun punya maka dia berada di pihak yang sesat. Ingat peristiwa di Pengandaran tempo hari?
Kakek berhati bengkok ini sudah saatnya disingkirkan. Kalau tidak dunia persilatan akan dibikin kisruh oleh ulahnya!”
Dewa Sedih tersurat dua langkah. Matanya mendelik memandang pada Ratu Duyung. Lalu terdengar ratapnya.
“Aku dibilang bukan manusia baik-baik. Hik… hik! Aku dikatakan tidak punya pendirian! Aku dibilang berhati bengkok dan harus disingkirkan! Hik… hik… hik! Malangnya nasibku! Anak gadis bermata biru, mulutmu lancang. Hatimu pasti tidak sebagus wajahmu! Lihat ke langit! Lihat bumi! Antara keduanya itulah jalanmu ke neraka!”
Dewa Sedih keluarkan satu gerungan keras. Tangan kanannya dihantamkan ke arah Ratu Duyung. Selarik Sinar hitam menggidikkan melesat. Inilah pukulan ganas mengandung tenaga dalam tinggi bernama Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Siapa yang terkena maka tubuhnya akan dikobari api berwarna kehitaman. Lalu tubuh itu akan musnah berubah menjadi bubuk mengerikan! Dewa Sedih mendapatkan ilmu kesaktian ini langsung dari Datuk Lembah Akhirat karena tugas yang diberikan kepadanya sangat berat yakni membunuh beberapa tokoh silat tingkat tinggi. Satu diantaranya adalah Wiro Sableng!
Di samping itu sang Datuk merasa cukup dapat mempercayai Dewa Sedih karena sebelumnya kakek ini telah berhasil membunuh beberapa tokoh silat golongan putih. Antara lain si Janggut Biru Berhati Emas dari kawasan timur.
Ketika Dewa Sedih menggerakkan tangannya, sebelum sinar hitam berkiblat Ratu Duyung tidak tinggal diam. Gadis cantik dari alam aneh ini hentakkan kaki kanannya ke tanah. Tempat itu bergetar hebat laksana diredam gempa. Lalu tangan kirinya yang memegang cermin sakti dibabatkan ke depan. Bersamaan dengan itu dari sepasang matanya memancar dua larik sinar biru angker.
Di sebelah belakang Panji yang memegang pedang, begitu melihat tubuh Dewa Sedih bergerak dan tangannya menghantam ke depan segera melompat sambil babatkan pedang. Pendekar 212 Wiro Sableng yang tidak memiliki kemampuan untuk menyerang terpaksa melompat mencari perlindungan.
Layang Kemitir alias Utusan Dari Akhirat sesaat merasa bingung siapa yang bakal diserangnya. Dia ingin membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dengan tangannya sendiri. Jika Wiro sampai menemui ajal di tangan si kakek berarti dia tidak akan dapat melaksanakan tugas dari roh gaib Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai. Dalam keadaan seperti itu akhirnya dia membuat keputusan bahwa dia harus ikut menghantam Dewa Sedih. Maka dari samping dia lepaskan pukulan Gerhana Matahari. Sinar kuning, hitam dan merah menggemuruh ke arah si kakek.
Dewa Sedih menggerung keras. Dia tidak menyangka akan mendapat serbuan begitu hebat. Walau dia yakin pukulan maut yang dilepaskannya akan sanggup membunuh Ratu Duyung tapi di saat bersamaan dia terpaksa harus menyingkir selamatkan diri dari serangan pedang dari hantaman pukulan sakti Utusan Dari Akhirat.
“Bummm!”
“Bummm!”
“Bummm!”
Tiga letusan dahsyat menggoncang tempat Itu. Sinar hitam, merah, kuning dan biru laksana pijar letusan gunung berapi menggelegar di udara. Wiro terbanting ke tanah, terguling sejauh dua tombak lalu mengeluh keras ketika keningnya sebelah kanan menumbuk akar pohon besar yang menonjol ke tanah. Ratu Duyung terpental sampai empat tombak. Dia gulingkan diri di tanah lalu sambil berseru keras gadis ini melompat bangkit. Tubuhnya tergontai-gontai beberapa saat. Wajahnya yang cantik pucat seperti tidak berdarah. Di dadanya ada denyutan keras yang menyesakkan. Tangan kirinya yang memegang cermin bulat terasa kaku. Di bagian lain Panji terkapar tak bergerak di tanah. Dari telinga dan hidungnya mengucur darah. Dari mulutnya keluar suara erang berkepanjangan. Utusan Dari Akhirat tampak tersandar di bawah pohon tak jauh dari tempat Wiro tergeletak dengan kening benjut dan berdarah. Tangan kanannya berdenyut kesemutan. Tak bisa digerakkan seolah lumpuh. Bentrokan pukulan-pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi tadi telah membuat semua orang yang ada di tempat itu mengalami cidera. Termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng walaupun dia tidak terlibat langsung.
Dalam keadaan masing-masing menderita cidera, semua orang masih sempat menyadari kalau Dewa Sedih tidak ada lagi di tempat itu. Ke mana lenyapnya kakek yang jadi pangkal bahala itu?!
Tiba-tiba terdengar suara tangis meraung. Semua kepala sama diangkat. Semua mata memandang ke atas. Di atas pohon besar di bawah mana Utusan Dari Akhirat dan Wiro berada kelihatan sosok Dewa Sedih tegak terbungkuk-bungkuk di atas sebuah cabang. Pakaian putihnya robek dan hangus di beberapa bagian. Dia menangis dengan darah mengucur keluar dari mulutnya.
“Aku melihat langit! Aku melihat bumi! Tapi aku tidak melihat jalan kematian! Datuk Lembah Akhirat mana kedahsyatan pukulan sakti yang kau berikan padaku?!”
Sambil menangis Dewa Sedih angkat tangan kanannya. Sampai sebatas pergelangan tangannya masih tetap berwarna hitam. Namun di atas pergelangan tangan kakek ini tampak merah membengkak.
“Datuk Lembah Akhirat aku memilih mati daripada malu besar. Kepala ke bawah kaki ke atas! Kaki menjunjung langit, kepala mencium bumi! Hik… hik… hik!”
Di luar dugaan semua orang tiba-tiba Dewa Sedih jatuhkan diri dari cabang pohon. Seperti ratapannya tadi kakinya ke atas dan kepalanya ke bawah. Kakek ini benar-benar melakukan bunuh diri. Sesaat lagi kepalanya akan hancur membentur tanah tiba-tiba ada suara
“tar… tar… tar!” Menyusul suara orang tertawa membahana. Tak lama kemudian satu sosok tubuh melayang sebat lalu membuat gerakan seolah terjun ke dalam air. Dua tangan melesat ke depan dengan telapak terbuka, menahan kepala Dewa Sedih hingga tidak menghantam tanah!
Ketika Dewa Sedih menggerakkan tangannya, sebelum sinar hitam berkiblat Ratu Duyung tidak tinggal diam. Gadis cantik dari alam aneh ini hentakkan kaki kanannya ke tanah. Tempat itu bergetar hebat laksana diredam gempa. Lalu tangan kirinya yang memegang cermin sakti dibabatkan ke depan. Bersamaan dengan itu dari sepasang matanya memancar dua larik sinar biru angker.
Di sebelah belakang Panji yang memegang pedang, begitu melihat tubuh Dewa Sedih bergerak dan tangannya menghantam ke depan segera melompat sambil babatkan pedang. Pendekar 212 Wiro Sableng yang tidak memiliki kemampuan untuk menyerang terpaksa melompat mencari perlindungan.
Layang Kemitir alias Utusan Dari Akhirat sesaat merasa bingung siapa yang bakal diserangnya. Dia ingin membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dengan tangannya sendiri. Jika Wiro sampai menemui ajal di tangan si kakek berarti dia tidak akan dapat melaksanakan tugas dari roh gaib Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai. Dalam keadaan seperti itu akhirnya dia membuat keputusan bahwa dia harus ikut menghantam Dewa Sedih. Maka dari samping dia lepaskan pukulan Gerhana Matahari. Sinar kuning, hitam dan merah menggemuruh ke arah si kakek.
Dewa Sedih menggerung keras. Dia tidak menyangka akan mendapat serbuan begitu hebat. Walau dia yakin pukulan maut yang dilepaskannya akan sanggup membunuh Ratu Duyung tapi di saat bersamaan dia terpaksa harus menyingkir selamatkan diri dari serangan pedang dari hantaman pukulan sakti Utusan Dari Akhirat.
“Bummm!”
“Bummm!”
“Bummm!”
Tiga letusan dahsyat menggoncang tempat Itu. Sinar hitam, merah, kuning dan biru laksana pijar letusan gunung berapi menggelegar di udara. Wiro terbanting ke tanah, terguling sejauh dua tombak lalu mengeluh keras ketika keningnya sebelah kanan menumbuk akar pohon besar yang menonjol ke tanah. Ratu Duyung terpental sampai empat tombak. Dia gulingkan diri di tanah lalu sambil berseru keras gadis ini melompat bangkit. Tubuhnya tergontai-gontai beberapa saat. Wajahnya yang cantik pucat seperti tidak berdarah. Di dadanya ada denyutan keras yang menyesakkan. Tangan kirinya yang memegang cermin bulat terasa kaku. Di bagian lain Panji terkapar tak bergerak di tanah. Dari telinga dan hidungnya mengucur darah. Dari mulutnya keluar suara erang berkepanjangan. Utusan Dari Akhirat tampak tersandar di bawah pohon tak jauh dari tempat Wiro tergeletak dengan kening benjut dan berdarah. Tangan kanannya berdenyut kesemutan. Tak bisa digerakkan seolah lumpuh. Bentrokan pukulan-pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi tadi telah membuat semua orang yang ada di tempat itu mengalami cidera. Termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng walaupun dia tidak terlibat langsung.
Dalam keadaan masing-masing menderita cidera, semua orang masih sempat menyadari kalau Dewa Sedih tidak ada lagi di tempat itu. Ke mana lenyapnya kakek yang jadi pangkal bahala itu?!
Tiba-tiba terdengar suara tangis meraung. Semua kepala sama diangkat. Semua mata memandang ke atas. Di atas pohon besar di bawah mana Utusan Dari Akhirat dan Wiro berada kelihatan sosok Dewa Sedih tegak terbungkuk-bungkuk di atas sebuah cabang. Pakaian putihnya robek dan hangus di beberapa bagian. Dia menangis dengan darah mengucur keluar dari mulutnya.
“Aku melihat langit! Aku melihat bumi! Tapi aku tidak melihat jalan kematian! Datuk Lembah Akhirat mana kedahsyatan pukulan sakti yang kau berikan padaku?!”
Sambil menangis Dewa Sedih angkat tangan kanannya. Sampai sebatas pergelangan tangannya masih tetap berwarna hitam. Namun di atas pergelangan tangan kakek ini tampak merah membengkak.
“Datuk Lembah Akhirat aku memilih mati daripada malu besar. Kepala ke bawah kaki ke atas! Kaki menjunjung langit, kepala mencium bumi! Hik… hik… hik!”
Di luar dugaan semua orang tiba-tiba Dewa Sedih jatuhkan diri dari cabang pohon. Seperti ratapannya tadi kakinya ke atas dan kepalanya ke bawah. Kakek ini benar-benar melakukan bunuh diri. Sesaat lagi kepalanya akan hancur membentur tanah tiba-tiba ada suara
“tar… tar… tar!” Menyusul suara orang tertawa membahana. Tak lama kemudian satu sosok tubuh melayang sebat lalu membuat gerakan seolah terjun ke dalam air. Dua tangan melesat ke depan dengan telapak terbuka, menahan kepala Dewa Sedih hingga tidak menghantam tanah!
*
* *
* *
ENAM
Pemuda berkumis tipis dan berkulit halus itu duduk di atas tumbangan batang kayu, menatap ke Seantero telaga luas berair tenang membiru. Sejak tadi dia berada di tempat itu dan tampaknya seperti kebingungan.
“Kalau tidak melihat sendiri tidak pernah kuduga telaga ini begitu luas. Kedalamannya tentu sukar dijajagi. Dari sebelah mana aku harus terjun lalu menyelam…? Kalau saja tidak diperintah kakek itu dan mengingat senjata sakti itu katanya mampu mengobati Pendekar 212, tidak nanti aku mau datang jauh-jauh datang ke sini….”
Kembali si gadis yang bukan lain adalah Puti Andini alias Dewi Payung Tujuh yang sengaja menyamar berdandan seperti seorang pemuda merenung menatapi Telaga Gajahmungkur.
Tiba-tiba dari sebelah barat dia melihat seorang anak kecil berpakaian hitam berlari cepat ke arahnya. Dalam waktu singkat si anak sudah berada dekat sekali. Puti Andini segera berlindung di balik serumpunan semak belukar. Ternyata si anak adalah Naga Kuning yang sebelumnya telah ditolong dan diselamatkan oleh Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu. Puti Andini perhatikan Naga Kuning yang saat itu tegak di tepi telaga, tepat di samping pohon kelapa yang hanya tinggal batang karena bagian atasnya pupus rata dihantam petir.
“Rambutnya jabrik lucu. Keningnya benjut. Tangan kanannya dibalut. Kalau bukan murid seorang pandai tidak nanti dia mampu lari secepat yang kulihat. Hemm…. Siapa adanya anak ini. Mengapa dia berada di sini. Dia seperti memperhatikan sesuatu di tengah telaga. Kalau dia mengetahui seluk beluk telaga ini rasanya ada baiknya aku bertanya padanya….”
Puti Andini hendak beranjak keluar dari balik semak belukar. Namun niatnya serta merta dibatalkan ketika melihat apa yang dilakukan Naga Kuning. Anak ini memasukkan dua jari tangan kirinya ke dalam mulut. Saat itu juga dari mulutnya keluar suara suitan keras dan panjang, tiga kali berturut-turut.
“Dia mengeluarkan suara suitan. Memberi tanda atau memanggil seseorang…?”
Belum selesai bertanya-tanya dalam hati tiba-tiba Puti Andini melihat sebuah benda aneh berwarna kuning muncul di permukaan air telaga. Si gadis tak dapat mengenali benda apa adanya. Karena selain jauh d; tengah, benda itu muncul hanya sekejap lalu lenyap. Di saat bersamaan anak kecil berpakaian hitam yang tangan kanannya dibalut dilihatnya lari ke arah telaga.
“Ah….” Puti Andini keluarkan seruan tertahan sewaktu melihat bagaimana laksana melayang anak itu melesat di udara. Membuat gerakan berjungkir balik dua kali. Lalu dalam, keadaan tegak lurus, tangan ke bawah kaki ke atas anak itu terjun ke dalam Telaga Gajahmungkur.
Puti Andini melompat keluar dari balik semak-semak, berlari ke tepi telaga. Untuk beberapa lamanya dia menunggu sambil memandang tak berkesip ke arah air telaga yang beriak tempat Naga Kuning tadi menceburkan diri. Ditunggu sekian lama si anak tidak muncul-muncul.
“Aneh…” pikir cucu Sabai Nan Rancak ini.
“Mengapa anak itu tak muncul lagi? Tak mungkin tenggelam. Kalau dia tidak bisa berenang tidak mungkin dia menceburkan diri. Tapi dia bukan cuma sekedar pandai berenang. Dia mampu menyelam lama di dalam air….”
Puti Andini ingat pada Pedang Naga Suci 212 yang harus dicarinya di dasar telaga.
“Jangan-jangan anak itu murid seorang pandai yang mengetahui tentang adanya senjata sakti di dasar telaga. Kalau aku tidak melakukan sesuatu jangan-jangan bisa kedahuluan dan pedang sakti itu jatuh ke tangan orang lain. Tapi kalau aku ikut menyelam, apa benar aku mampu berada lama di dalam air?”
Seperti diceritakan dalam Episode ke 3 (Lembah Akhirat) Puti Andini bertemu dengan Sika Sure Jelantik. Tertipu oleh cerita yang dikarang si gadis, Sika Sure Jelantik merasa kasihan dan akhirnya suka terhadap gadis itu. Lebih dari itu si nenek lalu memberikan satu ilmu yang membuat Puti Andini mampu menyelam dan berada di dalam air dalam waktu lama. Namun sewaktu dia hendak menerjunkan diri ke dalam telaga yang luas itu si gadis tertahan sesaat. Dia merasa bimbang apakah dia benar-benar mampu bertahan di dalam air?
“Aku belum pernah mencoba sebelumnya. Kalau nenek itu menipuku seperti aku menipunya, bakalan celaka diriku. Tapi kalau tidak terjun membuktikan sendiri bagaimana mungkin aku tahu. Lagi pula tak ada jalan lain. Untuk mendapatkan pedang sakti yang dikatakan Tua Gila aku memang harus masuk ke dalam telaga, menyelam sampai ke dasarnya….”
Setelah menetapkan hati akhirnya cucu Sabai Nan Rancak itu terjun ke dalam telaga. Sesaat kemudian dia telah berada di bawah permukaan air. Selain merasakan kesejukan air telaga gadis ini juga merasakan beberapa keanehan. Di dalam air yang redup temaram itu ternyata dia mampu melihat cukup jelas sampai beberapa tombak di sekitarnya. Kemudian dia mampu bernafas melalui hidung tanpa air ikut tersedot. Pasti inilah kehebatan ilmu, yang diberikan nenek bernama Sika Sure Jelantik itu, pikir Puti Andini. Karena penglihatannya cukup terang Puti Andini masih sempat melihat bayangan anak kecil berpakaian hitam tadi berenang menukik menuju dasar telaga yang sangat dalam. Tanpa menunggu lebih lama Puti Andini segera berenang mengikuti.
“Aku pasti akan menemui kesulitan mencari Pedang Naga Suci 212 itu. Lebih baik aku mengikuti anak itu lebih dulu. Siapa tahu dia memberi petunjuk yang tidak terduga…. Aku yakin anak itu bukan manusia sembarangan. Kalau tidak mana mungkin dia mampu berenang dan menyelam sampai sedalam ini! Orang biasa akan pecah gendang-gendang telinganya, akan kacau aliran darahnya dan bisa terhenti denyutan jantungnya!”
Naga Kuning menyelam menuju dasar telaga di sebelah timur. Tempat ini dipenuhi tetumbuhan air serta batu-batu tinggi berbentuk aneh. Ikan-ikan berbagai warna dan bentuk berkeliaran di sela-sela batu dan tetumbuhan. Air telaga terasa lebih dingin dan keadaan semakin redup. Naga Kuning melesat di antara celah dua dinding batu berwarna kehijauan tertutup lumut tebal. Dia sampai ke bagian dasar telaga yang cekung sedalam satu depa, membentuk lingkaran seperti sebuah piring besar. Di pertengahan lingkaran ada sebuah batu hitam menyerupai kursi kecil. Dudukan kursi batu ini berbentuk miring hingga siapa saja yang duduk di atasnya akan mendongak ke arah sebuah goa batu berwarna putih. Ini adalah satu pemandangan luar biasa yang sulit dipercaya.
Di kedalaman hampir dua ratus tombak dari permukaan air, di dasar telaga itu berdiri sebuah goa besar putih berkilauan. Bagian tengah goa yang merupakan jalan masuk tertutup oleh satu dinding batu memancarkan hawa sangat dingin menggidikkan serta sinar merah. Pada pertengahan dinding ada tulisan besar hitam berbunyi
“Liang Akhirat”. Keanehan yang tidak dapat dipecahkan oleh otak manusia ialah adanya dua buah tiang batu setinggi bahu manusia di kiri kanan goa. Di atas masing-masing tiang terdapat sebuah pendupaan dipenuhi bara api yang menyala serta menghamparkan asap putih dan menebar harumnya bau kemenyan!
Dari balik dinding batu ini terdengar suara detakan-detakan aneh seolah detak jantung makhluk raksasa yang sukar dibayangkan apa ada dan bentuknya. Demikian hebatnya suara detakan itu hingga dasar telaga dan batu berbentuk kursi terasa bergetar terus-terusan. Selain itu pada saat-saat tertentu terdengar suara desisan keras dari balik dinding batu penutup mulut goa.
Semua keanehan di dasar telaga itu seolah biasa-biasa saja bagi Naga Kuning. Ini satu pertanda bahwa anak ini sudah sering dan terbiasa berada di tempat itu. Namun satu hal wajahnya tampak diselimuti kecemasan. Naga Kuning berenang cepat ke arah batu berbentuk kursi lalu duduk di atasnya. Dia menatap ke arah dinding merah di mulut goa. Air mukanya membayangkan rasa khawatir. Dalam keadaan seperti itu si anak perlahan-lahan pejamkan kedua matanya lalu rangkapkan dua tangan di depan dada. Sikapnya seperti orang bersamadi. Tapi yang sebenarnya tengah dilakukannya saat itu adalah mencoba mengadakan kontak atau sambung rasa dengan seseorang di mana antara mereka berdua Saling terpisah di dua alam yang berbeda. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba tampak tubuh Naga Kuning bergetar keras. Getaran ini bukan akibat getaran dasar telaga atau kursi batu yang didudukinya. Tapi satu getaran aneh yang datang dari alam gaib dan menembus masuk ke dalam tubuhnya. Naga Kuning buka ke dua matanya. Sepasang tangannya masih, diletakkan di atas dada. Dia menatap tak berkesip ke arah goa putih. Lalu tampak mulutnya terbuka menyusul terdengar suaranya berucap.
“Kiai…. Saya Naga Kuning datang menghadapmu….”
Ini satu lagi keanehan yang tak masuk akal. Seorang anak manusia bisa bicara di dalam air dan suaranya keras bergema seolah dia berada di dalam satu jurang di daratan terbuka!.
“Kalau tidak melihat sendiri tidak pernah kuduga telaga ini begitu luas. Kedalamannya tentu sukar dijajagi. Dari sebelah mana aku harus terjun lalu menyelam…? Kalau saja tidak diperintah kakek itu dan mengingat senjata sakti itu katanya mampu mengobati Pendekar 212, tidak nanti aku mau datang jauh-jauh datang ke sini….”
Kembali si gadis yang bukan lain adalah Puti Andini alias Dewi Payung Tujuh yang sengaja menyamar berdandan seperti seorang pemuda merenung menatapi Telaga Gajahmungkur.
Tiba-tiba dari sebelah barat dia melihat seorang anak kecil berpakaian hitam berlari cepat ke arahnya. Dalam waktu singkat si anak sudah berada dekat sekali. Puti Andini segera berlindung di balik serumpunan semak belukar. Ternyata si anak adalah Naga Kuning yang sebelumnya telah ditolong dan diselamatkan oleh Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu. Puti Andini perhatikan Naga Kuning yang saat itu tegak di tepi telaga, tepat di samping pohon kelapa yang hanya tinggal batang karena bagian atasnya pupus rata dihantam petir.
“Rambutnya jabrik lucu. Keningnya benjut. Tangan kanannya dibalut. Kalau bukan murid seorang pandai tidak nanti dia mampu lari secepat yang kulihat. Hemm…. Siapa adanya anak ini. Mengapa dia berada di sini. Dia seperti memperhatikan sesuatu di tengah telaga. Kalau dia mengetahui seluk beluk telaga ini rasanya ada baiknya aku bertanya padanya….”
Puti Andini hendak beranjak keluar dari balik semak belukar. Namun niatnya serta merta dibatalkan ketika melihat apa yang dilakukan Naga Kuning. Anak ini memasukkan dua jari tangan kirinya ke dalam mulut. Saat itu juga dari mulutnya keluar suara suitan keras dan panjang, tiga kali berturut-turut.
“Dia mengeluarkan suara suitan. Memberi tanda atau memanggil seseorang…?”
Belum selesai bertanya-tanya dalam hati tiba-tiba Puti Andini melihat sebuah benda aneh berwarna kuning muncul di permukaan air telaga. Si gadis tak dapat mengenali benda apa adanya. Karena selain jauh d; tengah, benda itu muncul hanya sekejap lalu lenyap. Di saat bersamaan anak kecil berpakaian hitam yang tangan kanannya dibalut dilihatnya lari ke arah telaga.
“Ah….” Puti Andini keluarkan seruan tertahan sewaktu melihat bagaimana laksana melayang anak itu melesat di udara. Membuat gerakan berjungkir balik dua kali. Lalu dalam, keadaan tegak lurus, tangan ke bawah kaki ke atas anak itu terjun ke dalam Telaga Gajahmungkur.
Puti Andini melompat keluar dari balik semak-semak, berlari ke tepi telaga. Untuk beberapa lamanya dia menunggu sambil memandang tak berkesip ke arah air telaga yang beriak tempat Naga Kuning tadi menceburkan diri. Ditunggu sekian lama si anak tidak muncul-muncul.
“Aneh…” pikir cucu Sabai Nan Rancak ini.
“Mengapa anak itu tak muncul lagi? Tak mungkin tenggelam. Kalau dia tidak bisa berenang tidak mungkin dia menceburkan diri. Tapi dia bukan cuma sekedar pandai berenang. Dia mampu menyelam lama di dalam air….”
Puti Andini ingat pada Pedang Naga Suci 212 yang harus dicarinya di dasar telaga.
“Jangan-jangan anak itu murid seorang pandai yang mengetahui tentang adanya senjata sakti di dasar telaga. Kalau aku tidak melakukan sesuatu jangan-jangan bisa kedahuluan dan pedang sakti itu jatuh ke tangan orang lain. Tapi kalau aku ikut menyelam, apa benar aku mampu berada lama di dalam air?”
Seperti diceritakan dalam Episode ke 3 (Lembah Akhirat) Puti Andini bertemu dengan Sika Sure Jelantik. Tertipu oleh cerita yang dikarang si gadis, Sika Sure Jelantik merasa kasihan dan akhirnya suka terhadap gadis itu. Lebih dari itu si nenek lalu memberikan satu ilmu yang membuat Puti Andini mampu menyelam dan berada di dalam air dalam waktu lama. Namun sewaktu dia hendak menerjunkan diri ke dalam telaga yang luas itu si gadis tertahan sesaat. Dia merasa bimbang apakah dia benar-benar mampu bertahan di dalam air?
“Aku belum pernah mencoba sebelumnya. Kalau nenek itu menipuku seperti aku menipunya, bakalan celaka diriku. Tapi kalau tidak terjun membuktikan sendiri bagaimana mungkin aku tahu. Lagi pula tak ada jalan lain. Untuk mendapatkan pedang sakti yang dikatakan Tua Gila aku memang harus masuk ke dalam telaga, menyelam sampai ke dasarnya….”
Setelah menetapkan hati akhirnya cucu Sabai Nan Rancak itu terjun ke dalam telaga. Sesaat kemudian dia telah berada di bawah permukaan air. Selain merasakan kesejukan air telaga gadis ini juga merasakan beberapa keanehan. Di dalam air yang redup temaram itu ternyata dia mampu melihat cukup jelas sampai beberapa tombak di sekitarnya. Kemudian dia mampu bernafas melalui hidung tanpa air ikut tersedot. Pasti inilah kehebatan ilmu, yang diberikan nenek bernama Sika Sure Jelantik itu, pikir Puti Andini. Karena penglihatannya cukup terang Puti Andini masih sempat melihat bayangan anak kecil berpakaian hitam tadi berenang menukik menuju dasar telaga yang sangat dalam. Tanpa menunggu lebih lama Puti Andini segera berenang mengikuti.
“Aku pasti akan menemui kesulitan mencari Pedang Naga Suci 212 itu. Lebih baik aku mengikuti anak itu lebih dulu. Siapa tahu dia memberi petunjuk yang tidak terduga…. Aku yakin anak itu bukan manusia sembarangan. Kalau tidak mana mungkin dia mampu berenang dan menyelam sampai sedalam ini! Orang biasa akan pecah gendang-gendang telinganya, akan kacau aliran darahnya dan bisa terhenti denyutan jantungnya!”
Naga Kuning menyelam menuju dasar telaga di sebelah timur. Tempat ini dipenuhi tetumbuhan air serta batu-batu tinggi berbentuk aneh. Ikan-ikan berbagai warna dan bentuk berkeliaran di sela-sela batu dan tetumbuhan. Air telaga terasa lebih dingin dan keadaan semakin redup. Naga Kuning melesat di antara celah dua dinding batu berwarna kehijauan tertutup lumut tebal. Dia sampai ke bagian dasar telaga yang cekung sedalam satu depa, membentuk lingkaran seperti sebuah piring besar. Di pertengahan lingkaran ada sebuah batu hitam menyerupai kursi kecil. Dudukan kursi batu ini berbentuk miring hingga siapa saja yang duduk di atasnya akan mendongak ke arah sebuah goa batu berwarna putih. Ini adalah satu pemandangan luar biasa yang sulit dipercaya.
Di kedalaman hampir dua ratus tombak dari permukaan air, di dasar telaga itu berdiri sebuah goa besar putih berkilauan. Bagian tengah goa yang merupakan jalan masuk tertutup oleh satu dinding batu memancarkan hawa sangat dingin menggidikkan serta sinar merah. Pada pertengahan dinding ada tulisan besar hitam berbunyi
“Liang Akhirat”. Keanehan yang tidak dapat dipecahkan oleh otak manusia ialah adanya dua buah tiang batu setinggi bahu manusia di kiri kanan goa. Di atas masing-masing tiang terdapat sebuah pendupaan dipenuhi bara api yang menyala serta menghamparkan asap putih dan menebar harumnya bau kemenyan!
Dari balik dinding batu ini terdengar suara detakan-detakan aneh seolah detak jantung makhluk raksasa yang sukar dibayangkan apa ada dan bentuknya. Demikian hebatnya suara detakan itu hingga dasar telaga dan batu berbentuk kursi terasa bergetar terus-terusan. Selain itu pada saat-saat tertentu terdengar suara desisan keras dari balik dinding batu penutup mulut goa.
Semua keanehan di dasar telaga itu seolah biasa-biasa saja bagi Naga Kuning. Ini satu pertanda bahwa anak ini sudah sering dan terbiasa berada di tempat itu. Namun satu hal wajahnya tampak diselimuti kecemasan. Naga Kuning berenang cepat ke arah batu berbentuk kursi lalu duduk di atasnya. Dia menatap ke arah dinding merah di mulut goa. Air mukanya membayangkan rasa khawatir. Dalam keadaan seperti itu si anak perlahan-lahan pejamkan kedua matanya lalu rangkapkan dua tangan di depan dada. Sikapnya seperti orang bersamadi. Tapi yang sebenarnya tengah dilakukannya saat itu adalah mencoba mengadakan kontak atau sambung rasa dengan seseorang di mana antara mereka berdua Saling terpisah di dua alam yang berbeda. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba tampak tubuh Naga Kuning bergetar keras. Getaran ini bukan akibat getaran dasar telaga atau kursi batu yang didudukinya. Tapi satu getaran aneh yang datang dari alam gaib dan menembus masuk ke dalam tubuhnya. Naga Kuning buka ke dua matanya. Sepasang tangannya masih, diletakkan di atas dada. Dia menatap tak berkesip ke arah goa putih. Lalu tampak mulutnya terbuka menyusul terdengar suaranya berucap.
“Kiai…. Saya Naga Kuning datang menghadapmu….”
Ini satu lagi keanehan yang tak masuk akal. Seorang anak manusia bisa bicara di dalam air dan suaranya keras bergema seolah dia berada di dalam satu jurang di daratan terbuka!.
*
* *
* *
TUJUH
Pada saat gema ucapan Naga Kuning sirna, dari balik dinding batu merah penutup mulut goa terdengar dua desisan panjang disertai bunyi detakan keras seolah dasar telaga itu dihantam palu godam raksasa. Di antara suara-suara mengerikan itu tiba-tiba terdengar suara lain.
“Anak manusia yang terlahir bernama Gunung, menjalani hidup sebagai Pangeran terbuang, yang oleh sementara orang disebut sebagai Kiai Paus Samudera Biru, yang oleh diriku sehari-hari dikenal dengan nama Naga Kuning alias Naga Cilik alias Naga Kecil. Ternyata kau masih punya keberanian datang menghadap. Tapi ingin aku tanyakan. Apakah kau masih punya malu untuk datang ke tempat ini?”
Getaran di tubuh Naga Kuning semakin keras hingga kepalanya bergoncang-goncang. Tangan kanannya yang patah sakit bukan main namun dia menguatkan diri untuk tidak merasakannya. Paras anak berambut lurus kaku ini tampak berubah pucat mendengar ucapan orang yang tidak kelihatan itu. Untuk beberapa lamanya dia tak kuasa membuka mulut memberikan jawaban.
“Naga Kuning! Mulutmu terkancing! Hatimu terpaku! Apa kau sudah menyadari kesalahanmu?!”
“Saya menyadari Kiai. Saya mohon maafmu dan minta ampun,” jawab Naga Kuning.
“Itu salah satu sifat buruk manusia beradab. Membuat kesalahan dengan sengaja. Lalu meminta maaf dan ampun! Coba kau katakan apa kesalahan yang telah kau perbuat!”
Tenggorokan Naga Kuning bergerak-gerak. Anak ini menelan ludahnya beberapa kali baru menjawab.
“Kesalahan saya adalah meninggalkan Telaga Gajahmungkur tanpa izin Kiai. Meninggalkan Liang Lahat ketika diperintahkan untuk berjaga-jaga.”
“Bagus! Kau tahu apa kesalahanmu! Sosokmu memang sosok anak kecil. Tapi apa kau ingat berapa usiamu sebenarnya sampai hari ini?!” Naga Kuning tercekat. Keningnya berkerut. Wajahnya yang bocah berubah jadi tua karena berusaha keras mengingat-ingat.
“Kau tidak ingat lagi ketuaan dirimu Naga Kuning?”
“Saya ingat Kiai. Usia saya saat ini tidak kurang dari seratus dua puluh tahun….”
Dari balik dinding batu merah penutup goa terdengar suara orang tertawa.
“Orang seusiamu sepantasnya berlaku bijaksana bertindak arif. Apa yang kau dapat dari ketidakpatuhanmu itu Naga Kuning?”
“Saya… saya tidak mendapatkan apa-apa Kiai.”
Kembali dari balik dinding menggema suara tawa.
“Yang kau dapat adalah kau kehilangan seruling saktimu. Yang kau dapat adalah patah tangan kananmu! Bukan begitu Naga Kuning?”
“Ya, memang begitu Kiai….”
“Dan satu lagi. Kau telah membawa seseorang muncul di tempat ini sebelum waktunya…!” Naga Kuning memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. Dibalik ketidak mengertiannya anak ini menjawab.
“Saya datang ke sini seorang diri Kiai. Saya tidak membawa siapa-siapa.”
“Kau tidak percaya pada ucapanku. Nanti akan kau lihat sendiri…. Sekarang terangkan apa saja yang kau lakukan di dunia luar sana. Siapa saja yang kau temui….”
“Saya bertemu dengan beberapa tokoh rimba persilatan ternama Kiai. Seorang pemuda mengaku bernama Utusan Dari Akhirat. Lalu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang berada dalam musibah besar. Kehilangan ilmu silat dan kesaktiannya karena dikabarkan berzinah dengan Ratu Duyung. Saya juga sempat melihat Ratu itu. Lalu ada seorang sakti yang wajahnya selalu ditutupi cadar kuning. Saya juga bertemu dan bentrokan dengan nenek sakti dari Pulau Andalas bernama Sabai Nan Rancak. Dialah yang menciderai saya hingga patah tangan dan hampir menemui ajal kalau tidak ditolong oleh Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu. Di satu tempat saya berada bersama Dewa Tuak dap Iblis Putih Ratu Pesolek. Hanya sayang saya tidak melihat keduanya secara langsung….”
“Hemmm…. Cukup banyak para tokoh yang kau temui. Tapi kau belum mengatakan anak gadis yang kau temui di atas kapal itu…. Padahal bukankah itu pangkal sebab segala ketololanmu?!” Paras Naga Kuning berubah merah.
“Saya memang bertemu dengan cucu Sri Baginda itu. Namanya Juminten….” Orang di balik dinding batu tertawa bergelak.
“Cucu Sri Baginda itu kabarnya lucu dan cantik. Dia juga menyukai dirimu. Jangan kau berbuat macam-macam Naga Kuning. Usia anak itu belum sepuluh tahun. Kau walau kelihatan masih bocah sebayanya tapi usiamu sudah seratus dua puluh tahun!”
“Saya paham Kiai. Tak mungkin saya berbuat yang bukan-bukan….” Orang yang dipanggil Kiai menghela nafas panjang.
“Naga Kuning, perbuatanmu menyalahi pesan dan perintah hampir membuat aku kebobolan. Apa kau mengenali dua mayat ini?”
Terdengar suara berdesir. Dari balik goa putih muncul sosok seekor ikan besar yang memiliki dua buah tanduk di bagian kepalanya. Di antara dua tanduk itu terbujur bertindihan dua tubuh manusia. Satu berpakaian hitam, satunya mengenakan pakaian merah. Kedua orang ini berusia lanjut dan berada dalam keadaan kaku karena telah menjadi mayat. Ikan besar yang membawa dua mayat di atas kepalanya berputar-putar di depan Naga Kuning. Anak ini memperhatikan. Dengan cepat dia segera mengenali siapa adanya ke dua orang itu.
“Saya mengenali siapa mereka Kiai. Yang baju hitam adalah Datuk Bonar. Dikenal dengan julukan Iblis Penghujat Jiwa Dari Utara. Dia adalah salah seorang kaki tangan Sutan Alam Rajo Di Bumi dari puncak Singgalang. Konon Sutan itu dicurigai sebagai orang di belakang layar penyebab pembunuhan-pembunuhan atas diri para tokoh silat belakangan ini. Kemudian mayat berbaju merah itu. Bukankah dia Nyi Ulan Si Singa Betina Pedataran Bromo?”
“Betul…. Tapi apa kau tahu siapa dia adanya?” bertanya suara di balik batu merah penutup mulut goa.
“Setahu saya dia adalah seorang nenek aneh yang selalu berpakaian seperti lelaki. Berhati culas. Karena itu dia juga dijuluki Singa Betina Muka Seribu.”
“Hanya itu yang kau ketahui…?”
“Hanya itu saja Kiai,” jawab Naga Kuning.
“Akan kukatakan padamu apa yang aku ketahui. Nyi Ulan sesungguhnya adalah kaki tangan Datuk Lembah Akhirat. Dia punya silang sengketa besar dengan Sutan Alam Rajo Di Langit. Tapi karena maksud tertentu dia bersekongkol dengan Datuk Bonar dan datang ke tempat ini. Ini satu pertanda bahwa agaknya antara orang di puncak Singgalang dan penguasa Lembah Akhirat ada satu jalinan hubungan rahasia yang pada saatnya karena pengaruh kepentingan bisa berubah menjadi bentrokan besar. Beberapa hari lalu Datuk Bonar dan Nyi Ulan muncul di sini. Mencoba masuk ke dalam Liang Lahat dengan cara membobol jalan rahasia. Mereka sempat masuk dan mencapai Tangga Akhirat. Untung Naga Kembar mengetahui, menghalangi dan mengusir mereka. Keduanya berusaha membunuh Naga Kembar. Tapi mereka dibunuh lebih dulu!”
Naga Kuning terdiam mendengar keterangan itu. Dia tahu bagaimana besar kesalahan yang telah dibuatnya. Maka dia segera berucap.
“Saya sangat menyesal Kiai. Semua Itu terjadi karena perbuatan saya meninggalkan tempat ini. Karena itu sekali lagi saya minta maaf dan mohon ampun.” Sambil berkata Naga Kuning memperhatikan ikan besar menyelinap pergi membawa dua mayat di atas kepalanya.
“Seingatku seumur hidupmu baru sekali ini kau berlaku tolol dan membuat kesalahan. Jadi pada tempatnya kalau aku masih mau memberi maaf dan ampun padamu. Di luar sana tentu dingin sekali. Apa kau ingin cepat masuk ke dalam Liang Lahat?”
“Kalau Kiai berkenan saya akan sangat berterima kasih. Saat ini saya merasa seolah dipendam dalam lobang es saking dinginnya.” Saat itu juga terdengar suara berdesing. Kursi batu yang diduduki Naga Kuning berputar laksana gasing. Lalu seperti dilontarkan, tubuh Naga Kuning melesat ke atas ke arah goa batu putih. Bersamaan dengan itu dinding batu merah yang mengeluarkan hawa aneh terbuka sedikit. Tubuh Naga Kuning melesat melewati celah sempit. Sesaat kemudian dinding batu itu menutup kembali. Naga Kuning lenyap tak kelihatan lagi.
“Anak manusia yang terlahir bernama Gunung, menjalani hidup sebagai Pangeran terbuang, yang oleh sementara orang disebut sebagai Kiai Paus Samudera Biru, yang oleh diriku sehari-hari dikenal dengan nama Naga Kuning alias Naga Cilik alias Naga Kecil. Ternyata kau masih punya keberanian datang menghadap. Tapi ingin aku tanyakan. Apakah kau masih punya malu untuk datang ke tempat ini?”
Getaran di tubuh Naga Kuning semakin keras hingga kepalanya bergoncang-goncang. Tangan kanannya yang patah sakit bukan main namun dia menguatkan diri untuk tidak merasakannya. Paras anak berambut lurus kaku ini tampak berubah pucat mendengar ucapan orang yang tidak kelihatan itu. Untuk beberapa lamanya dia tak kuasa membuka mulut memberikan jawaban.
“Naga Kuning! Mulutmu terkancing! Hatimu terpaku! Apa kau sudah menyadari kesalahanmu?!”
“Saya menyadari Kiai. Saya mohon maafmu dan minta ampun,” jawab Naga Kuning.
“Itu salah satu sifat buruk manusia beradab. Membuat kesalahan dengan sengaja. Lalu meminta maaf dan ampun! Coba kau katakan apa kesalahan yang telah kau perbuat!”
Tenggorokan Naga Kuning bergerak-gerak. Anak ini menelan ludahnya beberapa kali baru menjawab.
“Kesalahan saya adalah meninggalkan Telaga Gajahmungkur tanpa izin Kiai. Meninggalkan Liang Lahat ketika diperintahkan untuk berjaga-jaga.”
“Bagus! Kau tahu apa kesalahanmu! Sosokmu memang sosok anak kecil. Tapi apa kau ingat berapa usiamu sebenarnya sampai hari ini?!” Naga Kuning tercekat. Keningnya berkerut. Wajahnya yang bocah berubah jadi tua karena berusaha keras mengingat-ingat.
“Kau tidak ingat lagi ketuaan dirimu Naga Kuning?”
“Saya ingat Kiai. Usia saya saat ini tidak kurang dari seratus dua puluh tahun….”
Dari balik dinding batu merah penutup goa terdengar suara orang tertawa.
“Orang seusiamu sepantasnya berlaku bijaksana bertindak arif. Apa yang kau dapat dari ketidakpatuhanmu itu Naga Kuning?”
“Saya… saya tidak mendapatkan apa-apa Kiai.”
Kembali dari balik dinding menggema suara tawa.
“Yang kau dapat adalah kau kehilangan seruling saktimu. Yang kau dapat adalah patah tangan kananmu! Bukan begitu Naga Kuning?”
“Ya, memang begitu Kiai….”
“Dan satu lagi. Kau telah membawa seseorang muncul di tempat ini sebelum waktunya…!” Naga Kuning memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. Dibalik ketidak mengertiannya anak ini menjawab.
“Saya datang ke sini seorang diri Kiai. Saya tidak membawa siapa-siapa.”
“Kau tidak percaya pada ucapanku. Nanti akan kau lihat sendiri…. Sekarang terangkan apa saja yang kau lakukan di dunia luar sana. Siapa saja yang kau temui….”
“Saya bertemu dengan beberapa tokoh rimba persilatan ternama Kiai. Seorang pemuda mengaku bernama Utusan Dari Akhirat. Lalu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang berada dalam musibah besar. Kehilangan ilmu silat dan kesaktiannya karena dikabarkan berzinah dengan Ratu Duyung. Saya juga sempat melihat Ratu itu. Lalu ada seorang sakti yang wajahnya selalu ditutupi cadar kuning. Saya juga bertemu dan bentrokan dengan nenek sakti dari Pulau Andalas bernama Sabai Nan Rancak. Dialah yang menciderai saya hingga patah tangan dan hampir menemui ajal kalau tidak ditolong oleh Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu. Di satu tempat saya berada bersama Dewa Tuak dap Iblis Putih Ratu Pesolek. Hanya sayang saya tidak melihat keduanya secara langsung….”
“Hemmm…. Cukup banyak para tokoh yang kau temui. Tapi kau belum mengatakan anak gadis yang kau temui di atas kapal itu…. Padahal bukankah itu pangkal sebab segala ketololanmu?!” Paras Naga Kuning berubah merah.
“Saya memang bertemu dengan cucu Sri Baginda itu. Namanya Juminten….” Orang di balik dinding batu tertawa bergelak.
“Cucu Sri Baginda itu kabarnya lucu dan cantik. Dia juga menyukai dirimu. Jangan kau berbuat macam-macam Naga Kuning. Usia anak itu belum sepuluh tahun. Kau walau kelihatan masih bocah sebayanya tapi usiamu sudah seratus dua puluh tahun!”
“Saya paham Kiai. Tak mungkin saya berbuat yang bukan-bukan….” Orang yang dipanggil Kiai menghela nafas panjang.
“Naga Kuning, perbuatanmu menyalahi pesan dan perintah hampir membuat aku kebobolan. Apa kau mengenali dua mayat ini?”
Terdengar suara berdesir. Dari balik goa putih muncul sosok seekor ikan besar yang memiliki dua buah tanduk di bagian kepalanya. Di antara dua tanduk itu terbujur bertindihan dua tubuh manusia. Satu berpakaian hitam, satunya mengenakan pakaian merah. Kedua orang ini berusia lanjut dan berada dalam keadaan kaku karena telah menjadi mayat. Ikan besar yang membawa dua mayat di atas kepalanya berputar-putar di depan Naga Kuning. Anak ini memperhatikan. Dengan cepat dia segera mengenali siapa adanya ke dua orang itu.
“Saya mengenali siapa mereka Kiai. Yang baju hitam adalah Datuk Bonar. Dikenal dengan julukan Iblis Penghujat Jiwa Dari Utara. Dia adalah salah seorang kaki tangan Sutan Alam Rajo Di Bumi dari puncak Singgalang. Konon Sutan itu dicurigai sebagai orang di belakang layar penyebab pembunuhan-pembunuhan atas diri para tokoh silat belakangan ini. Kemudian mayat berbaju merah itu. Bukankah dia Nyi Ulan Si Singa Betina Pedataran Bromo?”
“Betul…. Tapi apa kau tahu siapa dia adanya?” bertanya suara di balik batu merah penutup mulut goa.
“Setahu saya dia adalah seorang nenek aneh yang selalu berpakaian seperti lelaki. Berhati culas. Karena itu dia juga dijuluki Singa Betina Muka Seribu.”
“Hanya itu yang kau ketahui…?”
“Hanya itu saja Kiai,” jawab Naga Kuning.
“Akan kukatakan padamu apa yang aku ketahui. Nyi Ulan sesungguhnya adalah kaki tangan Datuk Lembah Akhirat. Dia punya silang sengketa besar dengan Sutan Alam Rajo Di Langit. Tapi karena maksud tertentu dia bersekongkol dengan Datuk Bonar dan datang ke tempat ini. Ini satu pertanda bahwa agaknya antara orang di puncak Singgalang dan penguasa Lembah Akhirat ada satu jalinan hubungan rahasia yang pada saatnya karena pengaruh kepentingan bisa berubah menjadi bentrokan besar. Beberapa hari lalu Datuk Bonar dan Nyi Ulan muncul di sini. Mencoba masuk ke dalam Liang Lahat dengan cara membobol jalan rahasia. Mereka sempat masuk dan mencapai Tangga Akhirat. Untung Naga Kembar mengetahui, menghalangi dan mengusir mereka. Keduanya berusaha membunuh Naga Kembar. Tapi mereka dibunuh lebih dulu!”
Naga Kuning terdiam mendengar keterangan itu. Dia tahu bagaimana besar kesalahan yang telah dibuatnya. Maka dia segera berucap.
“Saya sangat menyesal Kiai. Semua Itu terjadi karena perbuatan saya meninggalkan tempat ini. Karena itu sekali lagi saya minta maaf dan mohon ampun.” Sambil berkata Naga Kuning memperhatikan ikan besar menyelinap pergi membawa dua mayat di atas kepalanya.
“Seingatku seumur hidupmu baru sekali ini kau berlaku tolol dan membuat kesalahan. Jadi pada tempatnya kalau aku masih mau memberi maaf dan ampun padamu. Di luar sana tentu dingin sekali. Apa kau ingin cepat masuk ke dalam Liang Lahat?”
“Kalau Kiai berkenan saya akan sangat berterima kasih. Saat ini saya merasa seolah dipendam dalam lobang es saking dinginnya.” Saat itu juga terdengar suara berdesing. Kursi batu yang diduduki Naga Kuning berputar laksana gasing. Lalu seperti dilontarkan, tubuh Naga Kuning melesat ke atas ke arah goa batu putih. Bersamaan dengan itu dinding batu merah yang mengeluarkan hawa aneh terbuka sedikit. Tubuh Naga Kuning melesat melewati celah sempit. Sesaat kemudian dinding batu itu menutup kembali. Naga Kuning lenyap tak kelihatan lagi.
*
* *
* *
DELAPAN
Puti Andini yang berusaha mengejar Naga Kuning membuat gerakan mengapung di dalam air. Dia memandang berkeliling. DI kiri kanan dan sebelah belakang tidak tampak apa-apa kecuali ikan-ikan kecil berenang kian kemari. Lalu di sebelah depan, menghalangi pengejarannya menjulang dinding batu serta tumbuhan air.
“Kemana lenyapnya anak itu?” pikir Puti Andini. Dia sengaja menunggu sambil mengawasi keadaan sekitarnya. Namun si anak tidak kunjung muncul.
“Aku sudah sampai di dasar telaga. Daripada mencari anak itu lebih baik mulai menyelidik dimana beradanya Pedang Naga Suci 212. Sampai saat ini aku tidak merasa apa-apa. Tapi bukan mustahil terjadi sesuatu yang membuat diriku tidak bisa bertahan lebih lama di dasar telaga ini….” Memikir sampai di situ maka Puti Andini segera mulai memeriksa dasar telaga di sekitarnya. Mencari sebuah benda yang belum pernah dilihatnya sebelumnya di dasar telaga yang begitu luas, dingin redup bukan satu pekerjaan mudah.
“Jangan-jangan aku harus menjelajahi dasar telaga ini sampai puluhan hari. Apa aku sanggup bertahan sekian lamanya?” pikir si gadis dengan perasaan bercampur bimbang. Walau Sika Sure Jelantik sebelumnya memberi tahu bahwa dengan ilmu yang diberikannya gadis itu sanggup berada di dalam air untuk jangka waktu 100 hari namun Puti Andini tetap saja merasa was-was. Di atas telaga sang surya mulai redup menuju ufuk tenggelamnya. Di dalam Telaga Gajahmungkur, apalagi jauh di dasarnya keadaan menjadi lebih redup. Kemana-mana memandang Puti Andini hanya melihat kegelapan.
“Pasti saat ini matahari telah tenggelam. Tak mungkin meneruskan mencari senjata sakti itu. Aku harus naik ke daratan….” Ketika dia muncul di permukaan telaga hari memang telah gelap karena sang surya telah tenggelam. Malam telah turun. Dalam keadaan pakaian basah kuyup serta tubuh terasa dingin Puti Andini duduk di tepi telaga. Tanpa diketahuinya ada dua pasang mata mengintipnya. Sepasang di sebelah timur, sepasang lagi di sebelah barat
“Pedang Naga Suci 212…” desis si gadis.
“Sebilah pedang mustika sakti walaupun berada dalam sarungnya biasanya akan memancarkan cahayanya. Kalau senjata itu benar berada di dasar telaga, dalam gelap cahayanya akan jelas terlihat. Besok akan kuteruskan lagi menyelam. Tapi sebaiknya aku membatasi diri sampai dua atau tiga hari saja. Kalau tidak bertemu juga perlu apa menghabiskan waktu? Atau sebaiknya aku menunggu saat perjanjian dengan Tua Gila?” Seperti diceritakan dalam Episode ke 3 (Lembah Akhirat) Puti Andini dan Tua Gila membuat perjanjian bahwa mereka akan bertemu di pinggiran timur Jelaga Gajahmungkur pada bulan purnama 14 hari yang akan datang.
“Hari empat belas bulan purnama hanya tinggal delapan hari dimuka. Aku bisa menunggu. Tapi aku khawatir dalam waktu itu sesuatu bisa saja terjadi. Mungkin Wiro akan menemui celaka. Mungkin juga Tua Gila marah besar padaku karena aku menantinya dan tidak berusaha mencari sendiri senjata sakti itu….”
Berbagai pikiran membuncah kepala Puti Andini. Dari telaga bertiup angin keras.
“Ah, dingin sekali udara di sini. Sebaiknya aku bersalin pakaian dulu….”
Puti Andini melangkah ke tempat di mana dia sebelumnya meninggalkan bungkusan perbekalannya. Dalam gelap dia membuka kain penutup kepalanya. Tak lupa dia menanggalkan kumis palsunya. Lalu karena menganggap tempat itu sepi tak ada orang lainnya apa lagi keadaan gelap maka enak saja gadis ini menanggalkan pakaiannya. Sewaktu dia baru saja mengenakan celana panjang ringkas warna merah sementara tubuhnya di bagian atas tidak tertutup apa-apa tiba-tiba satu tangan memegang bahunya. Puti Andini terkejut setengah mati. Lupa akan keadaannya gadis ini hendak memaki marah, membalikkan tubuh untuk menghantam orang yang berada di belakangnya. Namun satu tangan yang kokoh lebih dulu menekap mulutnya. Lalu ada satu suara berbisik.
“Jangan mengeluarkan suara. Lekas kenakan bajumu. Ada orang mengintipmu di sebelah timur sana.”
Puti Andini membuka matanya besar-besar di dalam gelap. Tadinya dia hendak menggigit tangan yang menekap mulutnya. Namun dia rasa-rasa mengenali suara orang itu. Ketika dia lebih memperhatikan baru dia mengenali siapa adanya orang yang merangkulnya saat itu.
“Panji…” bisik Puti Andini.
Tiba-tiba si gadis ingat akan keadaan tubuhnya yang polos di sebelah atas. Secepat kilat dia melompat ke balik semak belukar sambil menutupi dadanya yang putih dan kencang, wajahnya merah karena malu. Orang yang muncul di tempat itu adalah Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo. Pemuda ini membungkuk mengambil baju merah milik Puti Andini yang tergeletak di dalam bungkusan lalu dilemparkannya pada si gadis seraya membuat tanda dengan gerakan tangan agar si gadis jangan mengeluarkan suara dan cepat mengenakan baju itu. Sesaat setelah Puti Andini selesai mengenakan baju merahnya Panji segera menyelinap ke balik semak belukar.
“Kau telah berlaku kurang ajari Kau berani mengintipku!” Dampratan menyambut Panji begitu dia berada di hadapan Puti Andini.
“Jangan salah menduga,” bisik si pemuda.
“Aku tidak bermaksud kurang ajar. Aku terpaksa melakukah hal itu karena di sebelah sana ada seseorang mengintip dan mengawasi gerak gerikmu.”
“Aku tidak percaya! Kau mengarang cerita!”
“Sssttt…. Jangan bicara keras-keras. Kalau kau tidak percaya mari kita sama-sama menyelidik ke sekitar semak belukar di sebelah sana…” kata Panji pula. Lalu pemuda ini hunus pedangnya seraya memberi isyarat pada Puti Andini untuk mengikutinya. Keduanya berjalan beriringan ke arah timur tepian Telaga Gajahmungkur. Mereka melewati beberapa pohon besar lalu sampai ke balik serumpunan semak belukar di dekat sederetan pohon bambu hijau.
“Orang yang mengintai itu tadi kulihat berada di sini. Tapi sekarang tak ada lagi. Mungkin dia telah melarikan diri atau masih mendekam di sekitar sini….” Panji berkata sambil memandang berkeliling.
“Aku tidak percaya padamu! Kau lagi-lagi mengarang cerita! Kau tadi sengaja mengintipku lalu mengelak diri dengan pura-pura mengatakan ada orang lain mengintipku! Sungguh keji perbuatanmu!”
“Puti, aku bersumpah tidak berbuat keji padamu. Aku tadi benar-benar melihat ada seseorang mengendap-endap memperhatikanmu di tempat ini….”
“Dusta busuk!” maki Puti Andini seraya membalikkan tubuh.
“Tunggu.,.!” seru Panji.
“Aku mencium bau sesuatu….” Pemuda ini menghirup udara dalam-dalam. Si gadis kembali hendak mendamprat. Namun saat itu hidungnya memang membaui sesuatu. Bau wangi semerbak.
“Kau lihat…” bisik Panji.
“Di tempat ini tak ada bunga tumbuh, tak ada pohon harum. Bau harum yang kita cium adalah bau wewangian. Berarti yang barusan berada di tempat ini dan mengintipmu adalah seorang perempuan!”
“Mana ada perempuan mengintip perempuan! Kau hanya hendak membela diri saja!”
“Bisa saja. Kalau dia punya maksud sesuatu terhadapmu,” tangkis Panji.
Dalam gelap Puti Andini jadi terdiam. Sepasang matanya masih memandang besar dan galak pada pemuda di hadapannya itu. Tiba-tiba dia melihat noda darah di pakaian hijau dan pipi pemuda ini. Bagaimanapun marahnya cucu Sabai Nan Rancak ini pada si pemuda namun dia menyadari bahwa pemuda ini pernah menyelamatkan jiwanya (baca Lembah Akhirat) Lain dari itu sejak pertemuan mereka pertama kali, apapun beban pikiran dan beban hati yang dirasakannya Puti Andini selalu terkenang pada pemuda ini. Sebaliknya walau ada rasa suka dalam diri Panji terhadap Puti Andini tapi sesungguhnya hati pemuda ini sudah tertawan pada Anggini, murid Dewa Tuak.
“Aku melihat noda darah di wajah dan pakaianmu. Aku juga memperhatikan setiap kau menarik nafas kau seperti menahan sakit….”
“Ada satu peristiwa besar…” jawab Panji. Lalu diceritakannya bentrokan hebat yang terjadi antara Ratu Dayung, Utusan Dari Akhirat, Pendekar 212 Wiro Sableng serta Dewa Sedih.
“Saat itu aku berada di sana. Ikut kebagian rejeki dihantam hawa ganas letusan pukulan-pukulan sakti yang saling berbenturan satu sama lain.”
“Celaka dunia persilatan kalau Dewa Sedih telah jadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat,” kata Puti Andini pula. Lalu dia bertanya.
“Kau tahu dimana beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng sekarang?”
“Tak dapat kupastikan. Aku meninggalkannya ketika tempat itu masih dilanda pertempuran dan muncul seorang kakek gendut yang suara ketawanya seolah mau meruntuhkan langit. Entah mengapa saat itu aku teringat padamu. Lalu aku pergi begitu saja. Mungkin tidak sepantasnya aku berbuat begitu namun aku lebih mementingkan niat menolongmu mencari batu mustika yang menurutmu ada di dasar telaga ini dan sangat penting bagimu.”
Hampir tertawa si gadis mendengar ucapan Panji itu. Dia ingat dulu waktu bertemu pertama kali dengan Panji dia menceritakan bahwa dia bermaksud pergi ke Telaga Gajahmungkur untuk mencari sebuah batu mustika. Panji ingin sekali menolong karena dia mempunyai kepandaian berenang dan menyelam. Namun saat itu Puti Andini menolak untuk pergi bersama-sama. Ternyata sekarang dia bertemu lagi dengan pemuda ini.
“Apa kau telah menemukan batu yang kau cari itu?” tanya Panji.
Puti Andini menggeleng.
“Aku akan menolongmu. Besok pagi-pagi begitu matahari terbit aku akan menyelam ke dasar telaga mencari batu itu….”
“Terima kasih. Aku tidak mau merepotkanmu. Aku bisa mencarinya sendiri,” kata Puti Andini pula.
“Agaknya ada sesuatu yang membuatmu keberatan menerima pertolonganku?” tanya Panji dengan nada agak kecewa.
“Hemm…. Kalau kau memaksa baiklah. Kita tunggu saja sampai pagi….”
“Ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu Puti. Mengenai diri orang bernama Wiro Sableng. Apakah dia seorang pemuda sepertiku atau seorang kakek-kakek. Lalu apakah Wiro Sableng itu orangnya sama dengan Pendekar 212?”
“Pertanyaanmu aneh. Wiro Sableng seorang pemuda sebayamu. Pendekar 212 adalah julukannya dalam rimba persilatan. Memangnya ada apa?”
“Aneh…” ujar Panji.
“Kalau begitu siapa sebenarnya kakek yang datang ke pulau tempo hari…?”
“Kakek yang mana maksudmu?” tanya si gadis. Panji lalu menerangkan tentang ciri-ciri orang tua itu. Tak lupa dia menerangkan tentang jenazah anak kecil yang dimakamkan di pulau yaitu Malin Sati murid tunggal Tua Gila yang mati dibunuh Datuk Angek Garang.
“Kalau orang tua itu yang kau maksudkan, aku hampir pasti dia adalah Tua Gila. Kakekku sendiri!”
“Kakek bagaimana maksudmu?”
“Aku adalah cucu Tua Gila!” Terkejutlah si pemuda mendengar kata-kata Puti Andini.
“Kalau dia memang kakekmu dan kau adalah cucunya, terima hormatku untukmu…” kata Panji seraya membungkuk yang membuat Puti Andini tertawa.
“Kau tahu dimana aku bisa menemui kakekmu itu?” tanya Panji.
“Dia sulit dicari. Tapi jika kau mau bersabar menunggu sampai beberapa hari dimuka, sesuai janjinya denganku dia akan muncul di tempat ini.”
“Kalau begitu sampai kapan pun aku akan menunggu di tempat ini,” kata Panji pula. Baru saja Panji berkata begitu tiba-tiba berkelebat satu bayangan disertai menghamburnya bau wangi sekali. Panji yang hendak duduk di tepi telaga cepat bangkit berdiri seraya mencabut pedang sedang Puti Andini siapkan pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi.
“Tahan! Aku datang sebagai sahabat!” Orang yang tegak di seberang sana berseru. Ternyata suaranya menandakan dia adalah seorang perempuan.
Puti Andini yang rasa-rasa pernah mengenali orang itu bergerak maju.
“Bukankah kau gadis yang disebut dengan julukan Bidadari Angin Timur? Ingat, kita pernah bertemu di Pengandaran?”
Gadis di hadapan Puti Andini mengangguk. Gadis ini mengenakan pakaian hijau tipis, berparas cantik sekali. Tubuh dan pakaiannya menebar bau harum semerbak. Dia ternyata memang adalah Bidadari Angin Timur.
“Aku gembira kau mengenaliku. Bukankah kau gadis dari seberang bernama Puti Andini yang dijuluki Dewi Payung Tujuh yang hebat itu?”
“Ah….” Puti Andini salah tingkah karena tidak begitu senang dipuji begitu rupa.
“Tunggu!” tiba-tiba Panji maju dua langkah ke hadapan Bidadari Angin Timur.
“Aku mengenali harum wewangianmu. Bukankah kau tadi orang yang mengintip di balik semak-semak sebelah sana?” Bidadari Angin Timur tertawa. Dua lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan.
“Aku mengintip bukan apa-apa. Aku harus berhati-hati sebelum tahu apakah kalian ini kawan atau lawan. Rimba persilatan kini dilanda berbagai keanehan yang mendatangkan maut; Orang-orang Lembah Akhirat bertebaran di mana-mana. Apalagi tempat ini tidak jauh dari markas mereka. Aku ingin menanyakan seseorang pada kalian. Tadi aku sudah mendengar sesuatu dari pemuda ini. Tapi kurang jelas….”
“Hemm, siapa yang ingin kau tanyakan?”
“Pemuda bernama Wiro Sableng. Menurutmu terjadi bentrokan besar di satu tempat. Di mana kejadiannya berlangsung?”
“Di utara Teluk Parangtritis. Di satu kelokan jalan kira-kira sepenanakan nasi jauhnya dari sini…” jawab Panji mengira-ngira.
“Apa yang terjadi di sana?”
“Tiga orang berkepandaian tinggi terlibat dalam satu pertempuran. Mereka adalah Dewa Sedih, Utusan Dari Akhirat serta Ratu Dayung. Wiro sendiri tidak ikut bertempur. Tapi seperti diriku, dia juga mengalami cidera sewaktu tiga pukulan sakti beradu di udara lalu bertabur menghantam sekelilingnya….”
“Kau tidak tahu pasti apa yang terjadi dengan pemuda itu?” tanya Bidadari Angin Timur. Sejak tadi wajahnya tampak berubah pucat.
“Tidak dapat kupastikan. Aku buru-buru pergi. Aku tak bisa berbuat apa-apa menghadapi orang-orang berkepandaian tinggi itu. Aku terpaksa menyelamatkan diri dan menghindarkan keterlibatan lebih jauh. Selain itu aku harus mencari gadis sahabatku ini.”
“Hemmm….” Bidadari Angin Timur melirik ke arah Puti Andini.
“Terima kasih atas keteranganmu. Aku harus segera pergi….” Gadis cantik itu lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan.
“Agaknya ada satu hubungan akrab antara gadis tadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng…” kata Panji.
“Dia tampak sangat mencemaskan pemuda itu.”
“Dugaanmu bisa jadi betul. Tapi mungkin saja dia sengaja mencuri dengar percakapan kita tadi….”
“Untuk apa?” tanya Panji.
Puti Andini tak segera menjawab. Diam-diam dia merasa khawatir kalau Bidadari Angin Timur yang berkepandaian tinggi itu telah mengetahui adanya senjata sakti Pedang Naga Suci di tempat itu lalu berusaha menyirap kabar mencari keterangan lebih jelas.
“Aku justru melihat sesuatu yang lain.” jawab Panji.
“Gadis itu sepertinya punya satu ganjalan yang merisaukan hatinya….”
“Ah, kau bisa-bisanya ngomong!” tukas Puti Andini.
“Kalau aku melihat dan menduga gadis tadi diam-diam mencintai Pendekar 212…. Bagaimana dengan kau. Apakah kau pernah mencintai seorang gadis?” Panji terkesiap mendengar pertanyaan yang tidak terduga ini.
“Kau sendiri bagaimana?” Akhirnya Panji balik bertanya.
“Apa kau pernah jatuh cinta atau sudah pernah bercinta?” Kini Puti Andini yang menjadi bungkam dengan muka merah.
“Kemana lenyapnya anak itu?” pikir Puti Andini. Dia sengaja menunggu sambil mengawasi keadaan sekitarnya. Namun si anak tidak kunjung muncul.
“Aku sudah sampai di dasar telaga. Daripada mencari anak itu lebih baik mulai menyelidik dimana beradanya Pedang Naga Suci 212. Sampai saat ini aku tidak merasa apa-apa. Tapi bukan mustahil terjadi sesuatu yang membuat diriku tidak bisa bertahan lebih lama di dasar telaga ini….” Memikir sampai di situ maka Puti Andini segera mulai memeriksa dasar telaga di sekitarnya. Mencari sebuah benda yang belum pernah dilihatnya sebelumnya di dasar telaga yang begitu luas, dingin redup bukan satu pekerjaan mudah.
“Jangan-jangan aku harus menjelajahi dasar telaga ini sampai puluhan hari. Apa aku sanggup bertahan sekian lamanya?” pikir si gadis dengan perasaan bercampur bimbang. Walau Sika Sure Jelantik sebelumnya memberi tahu bahwa dengan ilmu yang diberikannya gadis itu sanggup berada di dalam air untuk jangka waktu 100 hari namun Puti Andini tetap saja merasa was-was. Di atas telaga sang surya mulai redup menuju ufuk tenggelamnya. Di dalam Telaga Gajahmungkur, apalagi jauh di dasarnya keadaan menjadi lebih redup. Kemana-mana memandang Puti Andini hanya melihat kegelapan.
“Pasti saat ini matahari telah tenggelam. Tak mungkin meneruskan mencari senjata sakti itu. Aku harus naik ke daratan….” Ketika dia muncul di permukaan telaga hari memang telah gelap karena sang surya telah tenggelam. Malam telah turun. Dalam keadaan pakaian basah kuyup serta tubuh terasa dingin Puti Andini duduk di tepi telaga. Tanpa diketahuinya ada dua pasang mata mengintipnya. Sepasang di sebelah timur, sepasang lagi di sebelah barat
“Pedang Naga Suci 212…” desis si gadis.
“Sebilah pedang mustika sakti walaupun berada dalam sarungnya biasanya akan memancarkan cahayanya. Kalau senjata itu benar berada di dasar telaga, dalam gelap cahayanya akan jelas terlihat. Besok akan kuteruskan lagi menyelam. Tapi sebaiknya aku membatasi diri sampai dua atau tiga hari saja. Kalau tidak bertemu juga perlu apa menghabiskan waktu? Atau sebaiknya aku menunggu saat perjanjian dengan Tua Gila?” Seperti diceritakan dalam Episode ke 3 (Lembah Akhirat) Puti Andini dan Tua Gila membuat perjanjian bahwa mereka akan bertemu di pinggiran timur Jelaga Gajahmungkur pada bulan purnama 14 hari yang akan datang.
“Hari empat belas bulan purnama hanya tinggal delapan hari dimuka. Aku bisa menunggu. Tapi aku khawatir dalam waktu itu sesuatu bisa saja terjadi. Mungkin Wiro akan menemui celaka. Mungkin juga Tua Gila marah besar padaku karena aku menantinya dan tidak berusaha mencari sendiri senjata sakti itu….”
Berbagai pikiran membuncah kepala Puti Andini. Dari telaga bertiup angin keras.
“Ah, dingin sekali udara di sini. Sebaiknya aku bersalin pakaian dulu….”
Puti Andini melangkah ke tempat di mana dia sebelumnya meninggalkan bungkusan perbekalannya. Dalam gelap dia membuka kain penutup kepalanya. Tak lupa dia menanggalkan kumis palsunya. Lalu karena menganggap tempat itu sepi tak ada orang lainnya apa lagi keadaan gelap maka enak saja gadis ini menanggalkan pakaiannya. Sewaktu dia baru saja mengenakan celana panjang ringkas warna merah sementara tubuhnya di bagian atas tidak tertutup apa-apa tiba-tiba satu tangan memegang bahunya. Puti Andini terkejut setengah mati. Lupa akan keadaannya gadis ini hendak memaki marah, membalikkan tubuh untuk menghantam orang yang berada di belakangnya. Namun satu tangan yang kokoh lebih dulu menekap mulutnya. Lalu ada satu suara berbisik.
“Jangan mengeluarkan suara. Lekas kenakan bajumu. Ada orang mengintipmu di sebelah timur sana.”
Puti Andini membuka matanya besar-besar di dalam gelap. Tadinya dia hendak menggigit tangan yang menekap mulutnya. Namun dia rasa-rasa mengenali suara orang itu. Ketika dia lebih memperhatikan baru dia mengenali siapa adanya orang yang merangkulnya saat itu.
“Panji…” bisik Puti Andini.
Tiba-tiba si gadis ingat akan keadaan tubuhnya yang polos di sebelah atas. Secepat kilat dia melompat ke balik semak belukar sambil menutupi dadanya yang putih dan kencang, wajahnya merah karena malu. Orang yang muncul di tempat itu adalah Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo. Pemuda ini membungkuk mengambil baju merah milik Puti Andini yang tergeletak di dalam bungkusan lalu dilemparkannya pada si gadis seraya membuat tanda dengan gerakan tangan agar si gadis jangan mengeluarkan suara dan cepat mengenakan baju itu. Sesaat setelah Puti Andini selesai mengenakan baju merahnya Panji segera menyelinap ke balik semak belukar.
“Kau telah berlaku kurang ajari Kau berani mengintipku!” Dampratan menyambut Panji begitu dia berada di hadapan Puti Andini.
“Jangan salah menduga,” bisik si pemuda.
“Aku tidak bermaksud kurang ajar. Aku terpaksa melakukah hal itu karena di sebelah sana ada seseorang mengintip dan mengawasi gerak gerikmu.”
“Aku tidak percaya! Kau mengarang cerita!”
“Sssttt…. Jangan bicara keras-keras. Kalau kau tidak percaya mari kita sama-sama menyelidik ke sekitar semak belukar di sebelah sana…” kata Panji pula. Lalu pemuda ini hunus pedangnya seraya memberi isyarat pada Puti Andini untuk mengikutinya. Keduanya berjalan beriringan ke arah timur tepian Telaga Gajahmungkur. Mereka melewati beberapa pohon besar lalu sampai ke balik serumpunan semak belukar di dekat sederetan pohon bambu hijau.
“Orang yang mengintai itu tadi kulihat berada di sini. Tapi sekarang tak ada lagi. Mungkin dia telah melarikan diri atau masih mendekam di sekitar sini….” Panji berkata sambil memandang berkeliling.
“Aku tidak percaya padamu! Kau lagi-lagi mengarang cerita! Kau tadi sengaja mengintipku lalu mengelak diri dengan pura-pura mengatakan ada orang lain mengintipku! Sungguh keji perbuatanmu!”
“Puti, aku bersumpah tidak berbuat keji padamu. Aku tadi benar-benar melihat ada seseorang mengendap-endap memperhatikanmu di tempat ini….”
“Dusta busuk!” maki Puti Andini seraya membalikkan tubuh.
“Tunggu.,.!” seru Panji.
“Aku mencium bau sesuatu….” Pemuda ini menghirup udara dalam-dalam. Si gadis kembali hendak mendamprat. Namun saat itu hidungnya memang membaui sesuatu. Bau wangi semerbak.
“Kau lihat…” bisik Panji.
“Di tempat ini tak ada bunga tumbuh, tak ada pohon harum. Bau harum yang kita cium adalah bau wewangian. Berarti yang barusan berada di tempat ini dan mengintipmu adalah seorang perempuan!”
“Mana ada perempuan mengintip perempuan! Kau hanya hendak membela diri saja!”
“Bisa saja. Kalau dia punya maksud sesuatu terhadapmu,” tangkis Panji.
Dalam gelap Puti Andini jadi terdiam. Sepasang matanya masih memandang besar dan galak pada pemuda di hadapannya itu. Tiba-tiba dia melihat noda darah di pakaian hijau dan pipi pemuda ini. Bagaimanapun marahnya cucu Sabai Nan Rancak ini pada si pemuda namun dia menyadari bahwa pemuda ini pernah menyelamatkan jiwanya (baca Lembah Akhirat) Lain dari itu sejak pertemuan mereka pertama kali, apapun beban pikiran dan beban hati yang dirasakannya Puti Andini selalu terkenang pada pemuda ini. Sebaliknya walau ada rasa suka dalam diri Panji terhadap Puti Andini tapi sesungguhnya hati pemuda ini sudah tertawan pada Anggini, murid Dewa Tuak.
“Aku melihat noda darah di wajah dan pakaianmu. Aku juga memperhatikan setiap kau menarik nafas kau seperti menahan sakit….”
“Ada satu peristiwa besar…” jawab Panji. Lalu diceritakannya bentrokan hebat yang terjadi antara Ratu Dayung, Utusan Dari Akhirat, Pendekar 212 Wiro Sableng serta Dewa Sedih.
“Saat itu aku berada di sana. Ikut kebagian rejeki dihantam hawa ganas letusan pukulan-pukulan sakti yang saling berbenturan satu sama lain.”
“Celaka dunia persilatan kalau Dewa Sedih telah jadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat,” kata Puti Andini pula. Lalu dia bertanya.
“Kau tahu dimana beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng sekarang?”
“Tak dapat kupastikan. Aku meninggalkannya ketika tempat itu masih dilanda pertempuran dan muncul seorang kakek gendut yang suara ketawanya seolah mau meruntuhkan langit. Entah mengapa saat itu aku teringat padamu. Lalu aku pergi begitu saja. Mungkin tidak sepantasnya aku berbuat begitu namun aku lebih mementingkan niat menolongmu mencari batu mustika yang menurutmu ada di dasar telaga ini dan sangat penting bagimu.”
Hampir tertawa si gadis mendengar ucapan Panji itu. Dia ingat dulu waktu bertemu pertama kali dengan Panji dia menceritakan bahwa dia bermaksud pergi ke Telaga Gajahmungkur untuk mencari sebuah batu mustika. Panji ingin sekali menolong karena dia mempunyai kepandaian berenang dan menyelam. Namun saat itu Puti Andini menolak untuk pergi bersama-sama. Ternyata sekarang dia bertemu lagi dengan pemuda ini.
“Apa kau telah menemukan batu yang kau cari itu?” tanya Panji.
Puti Andini menggeleng.
“Aku akan menolongmu. Besok pagi-pagi begitu matahari terbit aku akan menyelam ke dasar telaga mencari batu itu….”
“Terima kasih. Aku tidak mau merepotkanmu. Aku bisa mencarinya sendiri,” kata Puti Andini pula.
“Agaknya ada sesuatu yang membuatmu keberatan menerima pertolonganku?” tanya Panji dengan nada agak kecewa.
“Hemm…. Kalau kau memaksa baiklah. Kita tunggu saja sampai pagi….”
“Ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu Puti. Mengenai diri orang bernama Wiro Sableng. Apakah dia seorang pemuda sepertiku atau seorang kakek-kakek. Lalu apakah Wiro Sableng itu orangnya sama dengan Pendekar 212?”
“Pertanyaanmu aneh. Wiro Sableng seorang pemuda sebayamu. Pendekar 212 adalah julukannya dalam rimba persilatan. Memangnya ada apa?”
“Aneh…” ujar Panji.
“Kalau begitu siapa sebenarnya kakek yang datang ke pulau tempo hari…?”
“Kakek yang mana maksudmu?” tanya si gadis. Panji lalu menerangkan tentang ciri-ciri orang tua itu. Tak lupa dia menerangkan tentang jenazah anak kecil yang dimakamkan di pulau yaitu Malin Sati murid tunggal Tua Gila yang mati dibunuh Datuk Angek Garang.
“Kalau orang tua itu yang kau maksudkan, aku hampir pasti dia adalah Tua Gila. Kakekku sendiri!”
“Kakek bagaimana maksudmu?”
“Aku adalah cucu Tua Gila!” Terkejutlah si pemuda mendengar kata-kata Puti Andini.
“Kalau dia memang kakekmu dan kau adalah cucunya, terima hormatku untukmu…” kata Panji seraya membungkuk yang membuat Puti Andini tertawa.
“Kau tahu dimana aku bisa menemui kakekmu itu?” tanya Panji.
“Dia sulit dicari. Tapi jika kau mau bersabar menunggu sampai beberapa hari dimuka, sesuai janjinya denganku dia akan muncul di tempat ini.”
“Kalau begitu sampai kapan pun aku akan menunggu di tempat ini,” kata Panji pula. Baru saja Panji berkata begitu tiba-tiba berkelebat satu bayangan disertai menghamburnya bau wangi sekali. Panji yang hendak duduk di tepi telaga cepat bangkit berdiri seraya mencabut pedang sedang Puti Andini siapkan pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi.
“Tahan! Aku datang sebagai sahabat!” Orang yang tegak di seberang sana berseru. Ternyata suaranya menandakan dia adalah seorang perempuan.
Puti Andini yang rasa-rasa pernah mengenali orang itu bergerak maju.
“Bukankah kau gadis yang disebut dengan julukan Bidadari Angin Timur? Ingat, kita pernah bertemu di Pengandaran?”
Gadis di hadapan Puti Andini mengangguk. Gadis ini mengenakan pakaian hijau tipis, berparas cantik sekali. Tubuh dan pakaiannya menebar bau harum semerbak. Dia ternyata memang adalah Bidadari Angin Timur.
“Aku gembira kau mengenaliku. Bukankah kau gadis dari seberang bernama Puti Andini yang dijuluki Dewi Payung Tujuh yang hebat itu?”
“Ah….” Puti Andini salah tingkah karena tidak begitu senang dipuji begitu rupa.
“Tunggu!” tiba-tiba Panji maju dua langkah ke hadapan Bidadari Angin Timur.
“Aku mengenali harum wewangianmu. Bukankah kau tadi orang yang mengintip di balik semak-semak sebelah sana?” Bidadari Angin Timur tertawa. Dua lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan.
“Aku mengintip bukan apa-apa. Aku harus berhati-hati sebelum tahu apakah kalian ini kawan atau lawan. Rimba persilatan kini dilanda berbagai keanehan yang mendatangkan maut; Orang-orang Lembah Akhirat bertebaran di mana-mana. Apalagi tempat ini tidak jauh dari markas mereka. Aku ingin menanyakan seseorang pada kalian. Tadi aku sudah mendengar sesuatu dari pemuda ini. Tapi kurang jelas….”
“Hemm, siapa yang ingin kau tanyakan?”
“Pemuda bernama Wiro Sableng. Menurutmu terjadi bentrokan besar di satu tempat. Di mana kejadiannya berlangsung?”
“Di utara Teluk Parangtritis. Di satu kelokan jalan kira-kira sepenanakan nasi jauhnya dari sini…” jawab Panji mengira-ngira.
“Apa yang terjadi di sana?”
“Tiga orang berkepandaian tinggi terlibat dalam satu pertempuran. Mereka adalah Dewa Sedih, Utusan Dari Akhirat serta Ratu Dayung. Wiro sendiri tidak ikut bertempur. Tapi seperti diriku, dia juga mengalami cidera sewaktu tiga pukulan sakti beradu di udara lalu bertabur menghantam sekelilingnya….”
“Kau tidak tahu pasti apa yang terjadi dengan pemuda itu?” tanya Bidadari Angin Timur. Sejak tadi wajahnya tampak berubah pucat.
“Tidak dapat kupastikan. Aku buru-buru pergi. Aku tak bisa berbuat apa-apa menghadapi orang-orang berkepandaian tinggi itu. Aku terpaksa menyelamatkan diri dan menghindarkan keterlibatan lebih jauh. Selain itu aku harus mencari gadis sahabatku ini.”
“Hemmm….” Bidadari Angin Timur melirik ke arah Puti Andini.
“Terima kasih atas keteranganmu. Aku harus segera pergi….” Gadis cantik itu lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan.
“Agaknya ada satu hubungan akrab antara gadis tadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng…” kata Panji.
“Dia tampak sangat mencemaskan pemuda itu.”
“Dugaanmu bisa jadi betul. Tapi mungkin saja dia sengaja mencuri dengar percakapan kita tadi….”
“Untuk apa?” tanya Panji.
Puti Andini tak segera menjawab. Diam-diam dia merasa khawatir kalau Bidadari Angin Timur yang berkepandaian tinggi itu telah mengetahui adanya senjata sakti Pedang Naga Suci di tempat itu lalu berusaha menyirap kabar mencari keterangan lebih jelas.
“Aku justru melihat sesuatu yang lain.” jawab Panji.
“Gadis itu sepertinya punya satu ganjalan yang merisaukan hatinya….”
“Ah, kau bisa-bisanya ngomong!” tukas Puti Andini.
“Kalau aku melihat dan menduga gadis tadi diam-diam mencintai Pendekar 212…. Bagaimana dengan kau. Apakah kau pernah mencintai seorang gadis?” Panji terkesiap mendengar pertanyaan yang tidak terduga ini.
“Kau sendiri bagaimana?” Akhirnya Panji balik bertanya.
“Apa kau pernah jatuh cinta atau sudah pernah bercinta?” Kini Puti Andini yang menjadi bungkam dengan muka merah.
*
* *
* *
SEMBILAN
Sang Surya belum lama terbit. Di dalam telaga Gajahmungkur dua orang tampak berenang menuju dasar telaga. Keduanya adalah Puti Andini dan Panji. Si pemuda merasa kagum dan terheran-heran ketika melihat bagaimana gadis yang menyamar sebagai pemuda berkumis kecil itu memiliki kemampuan berenang dan menyelam luar biasa. Seperti diketahui selama hidup di Pulau Sipatoka berenang dan menyelam jauh ke dalam laut adalah pekerjaan yang sering dilakukannya. Sehingga dia memiliki kemampuan menyelam selain dalam juga sanggup bertahan lama. Namun sekali ini dia merasa heran ketika baru menyelam pada kedalaman lima puluh tombak ke dua telinganya mengiang sakit. Hidungnya menjadi pedas, matanya perih dan dadanya terasa mendenyut sakit. Di bawah sana Puti Andini dilihatnya menukik terus menuju dasar telaga yang masih seratus lima puluh tombak jauhnya!
“Ada yang tidak beres di telaga ini. Masakan baru menyelam sejauh ini aku merasa letih dan sekujur tubuhku mendenyut sakit…” pikir Panji. Pemuda ini menjadi malu sendiri. Sebelumnya berulang kali dia mengatakan akan menolong Puti Andini mencari batu di dasar telaga. Tapi ternyata baru menyelam seperempat bagian saja dari kedalaman telaga dia mulai megap-megap.
Panji mencoba bertahan dan berusaha mengejar Puti Andini. Dia memaksakan terus menyelam menuju dasar telaga. Tapi sia-sia belaka. Bukan saja dia tidak mampu mengejar gadis itu malah denyutan di dada dan kepalanya semakin keras. Degup jantungnya seolah mau pecah. Darah mengucur dari hidung dan pinggiran matanya. Panji menyerah. Pada kedalaman tujuh puluh tombak dia berjungkir balik dalam air laju berenang naik ke atas kembali. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan tulang-tulangnya seolah bertanggalan. Panji berenang menuju tepian telaga. Hanya sesaat lagi dia akan sampai di daratan tiba-tiba ada sebuah benda menyusup di balik punggung pakaiannya. Lalu tubuhnya terasa disentakkan. Di lain kejap pemuda ini dapatkan dirinya terlontar ke udara setinggi empat tombak lalu jatuh bergedebukan di pinggir telaga.
Untuk beberapa lamanya pemuda itu terkapar tertelungkup di tanah. Darah makin banyak mengucur dari hidungnya.
“Apa yang terjadi dengan diriku…?” Panji masih bisa berpikir lalu palingkan kepalanya ke kanan ketika didengarnya ada suara orang melangkah mendekatinya. Kalau saja saat itu malam hari niscaya Panji mengira bahwa yang mendatanginya adalah setan pelayangan atau hantu rimba belantara. Seorang nenek berjubah hitam melangkah terbungkuk-bungkuk ke arahnya. Mukanya yang keriputan kotor bukan saja berselimut debu tapi juga ada noda-noda darah yang telah mengering. Rambutnya putih panjang riap-riapan menutupi sebagian wajahnya yang bulat. Sepuluh jarinya yang tersembul dari balik lengan jubah tampak berkuku panjang dan hitam. Namun tangan kanannya berwarna merah pekat Sampai sebatas pergelangan.
Tepat di samping Panji nenek ini hentikan langkahnya. Kaki kirinya diletakkan di atas kepala Panji lalu ditekan hingga pemuda ini mengerang kesakitan.
“Pemuda banci beranting emas, apakah kita pernah bertemu…. Apakah kau kenal siapa diriku?” Kembali si nenek tekankan kakinya ke kepala si pemuda hingga erangan Panji semakin keras.
“A… aku tidak kenal siapa dirimu Nek. Rasa-rasanya…. Aduh! Aku mohon kau turunkan kakimu dari kepalaku….”
“Kalau bicara jangan diputus! Ayo katakan rasa-rasanya apa?!” Bentak si nenek. Kakinya tetap saja menekan kepala orang.
“Aku tidak kenal dirimu. Rasa-rasanya aku juga tidak pernah bertemu dirimu Nek. Aku mohon…”
“Hemmm…. Benar begitu?”
“Benar Nek,” jawab Panji menahan sakit. Tangan ..kanannya bergerak ke pinggang. Maksudnya hendak menjangkau pedangnya. Tapi gerakannya terlihat oleh si nenek.
“Teruskan gerakanmu mengambil pedang. Kakiku sudah siap menghancurkan batok kepalamu!” Mau tak mau Panji terpaksa batalkan niatnya.
“Jangan kau berani macam-macam anak muda! Siapa kau punya nama dan mengapa berada di tempat ini. Aku tahu kau barusan keluar dari dalam telaga! Apa yang kau kerjakan dalam telaga itu nah?!” Panji berlaku cerdik. Sejak pertama kali melihat dia sudah mengira nenek satu ini bukan manusia berhati baik, Maka dia tidak mau menceritakan apa yang sebenarnya dilakukan.
“Aku hanya mandi-mandi Nek. Menyegarkan diri sambil menyelam beberapa kali….”
“Jangan dusta! Aku tahu kau mencari sesuatu di dasar telaga!” bentak si nenek.
“Tidak, aku tidak mencari apa-apa. Telaga ini dalam luar biasa. Mana mungkin aku sanggup menyelam sampai ke dasar.”
“Hemm….” Si nenek memandang berkeliling.
“Kau sendirian di tempat ini?”
“Benar Nek, aku cuma sendirian….” Untung saja buntalan milik Puti Andini terletak di balik semak belukar sehingga si nenek tidak melihat.
“Kau orang aneh. Mengenakan anting tapi cuma satu. Kau ini banci atau setengah gila….”
“Anggap saja begitu. Terserah apa maumu Nek. Tapi tolong turunkan kakimu…. Kepalaku rasanya mau pecah!” Si nenek tertawa mengekeh.
“Dengar, namaku Sika Sure Jelantik. Aku datang dari Lembah Akhirat!’ Kau dengar? Lembah Akhirat!”
“Aku dengar Nek…” jawab Panji.
“Bagus! Jadi jangan berani macam-macam. Sekarang jawab pertanyaanku! Sudah berapa lama kau berada di telaga ini?!”
“Ba… baru pagi ini Nek. Aku dalam perjalanan menuju Gunung Lawu. Kemalaman di jalan lalu pagi ini mandi di telaga. Aku….”
“Jangan nyerocos terus!” bentak Sika Sure Jelantik yang kini ternyata telah menjadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat.
“Selama berada di tempat ini apa kau pernah melihat seorang gadis berpakaian merah, berkulit putih dan berparas cantik?”
“Siapa nama gadis Itu Nek?” tanya Panji.
“Ah itulah sialannya! Aku tidak tahu nama anak itu!”
“Dia menanyakan Puti Andini,” kata Panji dalam hati.
“Tidak Nek, Aku tidak melihat siapapun di tempat ini. Apa hubunganmu dengan gadis itu Nek?”
“Apa perdulimu? Dia bukan anakku, bukan cucuku. Tak ada sangkut darah. Tapi aku suka padanya!”
“Jangan-jangan kau punya cucu seorang pemuda yang ingin kau jodohkan dengan gadis cantik itu? Betul Nek?” Mula-mula Sika Sure Jelantik hendak mendamprat marah mendengar kata-kata Panji itu. Tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
“Bagaimana aku bisa punya cucu. Punya laki saja tidak pernah! Hik… hik… hik!”
“Ah melihat raut wajahmu, aku yakin di masa muda kau adalah seorang gadis cantik. Aku tidak percaya kalau tidak ada laki-laki yang jatuh hati padamu,” kata Panji pula.
Tampang si nenek bersemu merah. Entah jengah entah senang dipuji. Lalu terdengar tawanya cekikikan.
“Anak muda, aku yang sudah tua saja berani kau rayu dengan pujian. Apalagi terhadap gadis. Lagak dan sikapmu tentu sejuta puji sejuta rayuan! Dasar laki-laki! Apa kau kira aku akan melepaskan injakanku di kepalamu!” Si nenek lantas keraskan injakan kaki di muka Panji hingga kembali pemuda ini mengerang kesakitan. Sepasang mata Sika Sure Jelantik menatap ke arah pertengahan telaga seolah hendak menembus sampai di bawah permukaan air.
“Sayang aku ada tugas dan kepentingan lain. Kalau tidak rasanya aku perlu menyelidik sampai ke dasar telaga ini. Gadis yang kutemui tempo hari itu apakah dia telah mendapatkan batu hitam untuk mengobati ibunya? Jika bertemu akan kuajak dia menjadi anggota Lembah Akhirat.” Si nenek termenung sesaat. Dia memandang pada pemuda yang mukanya masih diinjaknya lalu bertanya.
“Anak mudai Kau belum memberi tahu namamu!”
“Namaku Panji Nek….”
“Panji. Panji apa? Panji Semirang, Panji Kemong atau Panji Banci…!” Si nenek cekikikan. Tanpa menunggu jawaban Panji dia lalu tinggalkan tempat itu.
Kita tinggalkan dulu Panji yang mencoba bangkit dan duduk menjelepok di tanah sambil pegang! mukanya yang sakit bekas diinjak. Mari kita ikuti Puti Andini yang menyelam ke dasar telaga Gajahmungkur. Dia meluncur ke bawah tepat di tempat kemarin dia kehilangan jejak Naga Kuning. Rencananya semula hendak menyelidik bagian dasar telaga yang lain dibatalkan karena lenyapnya si bocah menjadi satu tanda tanya besar baginya.
“Ada yang tidak beres di telaga ini. Masakan baru menyelam sejauh ini aku merasa letih dan sekujur tubuhku mendenyut sakit…” pikir Panji. Pemuda ini menjadi malu sendiri. Sebelumnya berulang kali dia mengatakan akan menolong Puti Andini mencari batu di dasar telaga. Tapi ternyata baru menyelam seperempat bagian saja dari kedalaman telaga dia mulai megap-megap.
Panji mencoba bertahan dan berusaha mengejar Puti Andini. Dia memaksakan terus menyelam menuju dasar telaga. Tapi sia-sia belaka. Bukan saja dia tidak mampu mengejar gadis itu malah denyutan di dada dan kepalanya semakin keras. Degup jantungnya seolah mau pecah. Darah mengucur dari hidung dan pinggiran matanya. Panji menyerah. Pada kedalaman tujuh puluh tombak dia berjungkir balik dalam air laju berenang naik ke atas kembali. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan tulang-tulangnya seolah bertanggalan. Panji berenang menuju tepian telaga. Hanya sesaat lagi dia akan sampai di daratan tiba-tiba ada sebuah benda menyusup di balik punggung pakaiannya. Lalu tubuhnya terasa disentakkan. Di lain kejap pemuda ini dapatkan dirinya terlontar ke udara setinggi empat tombak lalu jatuh bergedebukan di pinggir telaga.
Untuk beberapa lamanya pemuda itu terkapar tertelungkup di tanah. Darah makin banyak mengucur dari hidungnya.
“Apa yang terjadi dengan diriku…?” Panji masih bisa berpikir lalu palingkan kepalanya ke kanan ketika didengarnya ada suara orang melangkah mendekatinya. Kalau saja saat itu malam hari niscaya Panji mengira bahwa yang mendatanginya adalah setan pelayangan atau hantu rimba belantara. Seorang nenek berjubah hitam melangkah terbungkuk-bungkuk ke arahnya. Mukanya yang keriputan kotor bukan saja berselimut debu tapi juga ada noda-noda darah yang telah mengering. Rambutnya putih panjang riap-riapan menutupi sebagian wajahnya yang bulat. Sepuluh jarinya yang tersembul dari balik lengan jubah tampak berkuku panjang dan hitam. Namun tangan kanannya berwarna merah pekat Sampai sebatas pergelangan.
Tepat di samping Panji nenek ini hentikan langkahnya. Kaki kirinya diletakkan di atas kepala Panji lalu ditekan hingga pemuda ini mengerang kesakitan.
“Pemuda banci beranting emas, apakah kita pernah bertemu…. Apakah kau kenal siapa diriku?” Kembali si nenek tekankan kakinya ke kepala si pemuda hingga erangan Panji semakin keras.
“A… aku tidak kenal siapa dirimu Nek. Rasa-rasanya…. Aduh! Aku mohon kau turunkan kakimu dari kepalaku….”
“Kalau bicara jangan diputus! Ayo katakan rasa-rasanya apa?!” Bentak si nenek. Kakinya tetap saja menekan kepala orang.
“Aku tidak kenal dirimu. Rasa-rasanya aku juga tidak pernah bertemu dirimu Nek. Aku mohon…”
“Hemmm…. Benar begitu?”
“Benar Nek,” jawab Panji menahan sakit. Tangan ..kanannya bergerak ke pinggang. Maksudnya hendak menjangkau pedangnya. Tapi gerakannya terlihat oleh si nenek.
“Teruskan gerakanmu mengambil pedang. Kakiku sudah siap menghancurkan batok kepalamu!” Mau tak mau Panji terpaksa batalkan niatnya.
“Jangan kau berani macam-macam anak muda! Siapa kau punya nama dan mengapa berada di tempat ini. Aku tahu kau barusan keluar dari dalam telaga! Apa yang kau kerjakan dalam telaga itu nah?!” Panji berlaku cerdik. Sejak pertama kali melihat dia sudah mengira nenek satu ini bukan manusia berhati baik, Maka dia tidak mau menceritakan apa yang sebenarnya dilakukan.
“Aku hanya mandi-mandi Nek. Menyegarkan diri sambil menyelam beberapa kali….”
“Jangan dusta! Aku tahu kau mencari sesuatu di dasar telaga!” bentak si nenek.
“Tidak, aku tidak mencari apa-apa. Telaga ini dalam luar biasa. Mana mungkin aku sanggup menyelam sampai ke dasar.”
“Hemm….” Si nenek memandang berkeliling.
“Kau sendirian di tempat ini?”
“Benar Nek, aku cuma sendirian….” Untung saja buntalan milik Puti Andini terletak di balik semak belukar sehingga si nenek tidak melihat.
“Kau orang aneh. Mengenakan anting tapi cuma satu. Kau ini banci atau setengah gila….”
“Anggap saja begitu. Terserah apa maumu Nek. Tapi tolong turunkan kakimu…. Kepalaku rasanya mau pecah!” Si nenek tertawa mengekeh.
“Dengar, namaku Sika Sure Jelantik. Aku datang dari Lembah Akhirat!’ Kau dengar? Lembah Akhirat!”
“Aku dengar Nek…” jawab Panji.
“Bagus! Jadi jangan berani macam-macam. Sekarang jawab pertanyaanku! Sudah berapa lama kau berada di telaga ini?!”
“Ba… baru pagi ini Nek. Aku dalam perjalanan menuju Gunung Lawu. Kemalaman di jalan lalu pagi ini mandi di telaga. Aku….”
“Jangan nyerocos terus!” bentak Sika Sure Jelantik yang kini ternyata telah menjadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat.
“Selama berada di tempat ini apa kau pernah melihat seorang gadis berpakaian merah, berkulit putih dan berparas cantik?”
“Siapa nama gadis Itu Nek?” tanya Panji.
“Ah itulah sialannya! Aku tidak tahu nama anak itu!”
“Dia menanyakan Puti Andini,” kata Panji dalam hati.
“Tidak Nek, Aku tidak melihat siapapun di tempat ini. Apa hubunganmu dengan gadis itu Nek?”
“Apa perdulimu? Dia bukan anakku, bukan cucuku. Tak ada sangkut darah. Tapi aku suka padanya!”
“Jangan-jangan kau punya cucu seorang pemuda yang ingin kau jodohkan dengan gadis cantik itu? Betul Nek?” Mula-mula Sika Sure Jelantik hendak mendamprat marah mendengar kata-kata Panji itu. Tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
“Bagaimana aku bisa punya cucu. Punya laki saja tidak pernah! Hik… hik… hik!”
“Ah melihat raut wajahmu, aku yakin di masa muda kau adalah seorang gadis cantik. Aku tidak percaya kalau tidak ada laki-laki yang jatuh hati padamu,” kata Panji pula.
Tampang si nenek bersemu merah. Entah jengah entah senang dipuji. Lalu terdengar tawanya cekikikan.
“Anak muda, aku yang sudah tua saja berani kau rayu dengan pujian. Apalagi terhadap gadis. Lagak dan sikapmu tentu sejuta puji sejuta rayuan! Dasar laki-laki! Apa kau kira aku akan melepaskan injakanku di kepalamu!” Si nenek lantas keraskan injakan kaki di muka Panji hingga kembali pemuda ini mengerang kesakitan. Sepasang mata Sika Sure Jelantik menatap ke arah pertengahan telaga seolah hendak menembus sampai di bawah permukaan air.
“Sayang aku ada tugas dan kepentingan lain. Kalau tidak rasanya aku perlu menyelidik sampai ke dasar telaga ini. Gadis yang kutemui tempo hari itu apakah dia telah mendapatkan batu hitam untuk mengobati ibunya? Jika bertemu akan kuajak dia menjadi anggota Lembah Akhirat.” Si nenek termenung sesaat. Dia memandang pada pemuda yang mukanya masih diinjaknya lalu bertanya.
“Anak mudai Kau belum memberi tahu namamu!”
“Namaku Panji Nek….”
“Panji. Panji apa? Panji Semirang, Panji Kemong atau Panji Banci…!” Si nenek cekikikan. Tanpa menunggu jawaban Panji dia lalu tinggalkan tempat itu.
Kita tinggalkan dulu Panji yang mencoba bangkit dan duduk menjelepok di tanah sambil pegang! mukanya yang sakit bekas diinjak. Mari kita ikuti Puti Andini yang menyelam ke dasar telaga Gajahmungkur. Dia meluncur ke bawah tepat di tempat kemarin dia kehilangan jejak Naga Kuning. Rencananya semula hendak menyelidik bagian dasar telaga yang lain dibatalkan karena lenyapnya si bocah menjadi satu tanda tanya besar baginya.
*
* *
* *
SEPULUH
Untuk beberapa lamanya Puti Andini berenang mondar-mandir di sepanjang dinding batu berlumut di dasar Telaga Gajahmungkur.
“Anak itu lenyap ‘di sini. Hanya ada dua kemungkinan. Dia dilahap ikan atau binatang buas. Atau. menyelinap masuk ke satu tempat. Berarti ada lobang atau jalan rahasia di sekitar sini….” Kembali Puti Andini memperhatikan keadaan di sekitarnya. Serombongan ikan sebesar telapak tangan berenang di sekitar dinding batu. Lalu menyelinap di balik tumbuhan air. Ditunggu-tunggu binatang Ini tidak kunjung .muncul. Puti Andini berenang mendekati tumbuhan lebat itu. Air telaga di tempat itu dingin luar biasa. Dengan tangan gemetar Puti Andini menyibakkan tanaman tersebut. Dia berdebar ketika melihat di balik tanaman yang tersibak ada sebuah celah sepemasukan tubuh manusia.
“Mungkin anak itu lolos lewat celah batu ini,” pikir Puti Andini.
“Aneh, bagaimana pun tingginya dinding batu ini mengapa aku tidak melihat ujungnya di sebelah atas?”’ Cucu Tua Gila ini berenang mendekati celah lalu mengintai lewat celah itu ke bagian dinding di sebelah belakang. Matanya terpentang lebar ketika melihat ada cahaya putih di kejauhan.
“Aneh, cahaya apa itu?” Si gadis bertanya-tanya dalam hati. Dia mengintai sekali lagi lewat celah lalu berenang lebih ke atas. Kepalanya disorongkan. Maksudnya hendak lolos lewat celah itu tapi terhalang pada bagian bahu. Puti Andini membalikkan dan memutar tubuhnya berulang kali hingga akhirnya bahunya bisa lolos. Namun untuk kedua kalinya tubuhnya tertahan pada bagian pinggulnya yang besar. Ketika dipaksakan, pinggul celananya robek sampai ke paha. Dalam keadaan seperti itu Si gadis tidak lagi memperhatikan keadaan pakaiannya. Begitu lolos lewat celah Puti Andini tidak segera berenang menuju arah cahaya putih. Baginya sesuatu keanehan di dalam air bisa saja mengandung bahaya yang dapat mencelakakan. Gadis ini terlebih dulu memandang berkeliling. Hanya beberapa tombak di bawahnya dia melihat dasar telaga berbentuk aneh. Dasar telaga mencekung sedalam satu depa, membentuk lingkaran seperti piring besar. Di pertengahan cekungan ada sebuah kursi terbuat dari batu.
“Ada kursi, berarti ada yang pernah duduk di situ. Siapa…?” membatin Puti Andini. Diperhatikannya lagi kursi itu tanpa berani mendekati. Baru kemudian disadarinya bahwa kursi batu itu berukuran kecil. Orang dewasa bertubuh besar tak mungkin muat duduk di situ.
“Mungkin itu kursi anak yang tadi aku lihat di tepi telaga?” pikir si gadis. Kini dia memandang ke depan ke arah cahaya putih. Perlahan-lahan Puti Andini berenang mendekati cahaya itu.
Setelah berenang sejauh lima belas tombak gadis ini tercengang heran ketika melihat cahaya putih itu ternyata adalah sebuah goa batu besar yang memancarkan warna putih menyilaukan. Bagian yang seharusnya merupakan pintu atau mulut goa tertutup oleh dinding batu berwarna merah. Di sini ada sebaris tulisan. Dari arah dinding ini memancar hawa aneh disertai pantulan cahaya merah yang sangat dingin seolah menggiris tulang. Puti Andini menggigil menahan dingin. Lalu ada gelombang angin menerpa ke arahnya. Membuat Puti Andini terjungkir balik di dalam air dan kain pengikat kepalanya tanggal hingga rambutnya terlepas riap-riapan.
Puti Andini berusaha menabahkan diri walau sekujur tubuhnya saat itu terasa dingin dan bergetar. Tiba-tiba hidungnya mencium bau kemenyan santar sekali. Tengkuk si gadis jadi merinding. Dengan menguatkan hati dan beranikan diri dia berenang mendekati goa batu putih agar bisa membaca apa yang tertera di dinding batu tersebut.
“Liang Akhirat.” Mulut Puti Andini bergetar ketika membaca tulisan yang tertera di dinding merah. Lalu sepasang matanya membentur pandangan aneh lainnya. -Yakni dua buah tiang yang terletak di kiri kanan goa putih. Di atas kedua tiang itu ada dua buah pendupaan berisi bara menyala yang mengepulkan asap putih menebar bau kemenyan.
“Aneh, benar-benar aneh. Bagaimana di dalam air ada dua pendupaan dengan bara menyala. Lalu ada kepulan asap dan menebar bau kemenyan. Sampai matipun aku tak bisa percaya kalau tidak melihat sendiri. Tempat apa ini? Liang Akhirat? Ada akhirat di dasar telaga? Apa ada sangkut pautnya dengan Lembah Akhirat? Jangan-jangan aku telah kesasar ke Lembah Akhirat!”
Puti Andini memandang berkeliling. Dia kembali bertanya-tanya.
“Dimana tersembunyinya Pedang Naga Suci 212? Dimana beradanya anak berpakaian hitam kemarin?”
Tiba-tiba Puti Andini mendengar suara berdesis disertai detakan-detakan keras yang menggetarkan dasar telaga serta membuat air di sekelilingnya bergelombang. Dia tidak dapat memastikan suara apa adanya namun diketahui suara-suara itu datang dari dalam goa putih, dari balik pintu atau dinding batu merah yang menjadi penutup goa.
“Satu-satunya jawaban pertanyaan yang ada dalam diriku terdapat di balik batu merah itu. Bagaimana aku bisa menerobos masuk ke dalam goa?” Sambil berpikir Puti Andini berenang mendekati goa putih. Sesekali dia berpaling ke belakang, memandang ke arah kursi batu di legukan dasar telaga berbentuk lingkaran. Sementara itu di dalam goa sesaat setelah Puti Andini menerobos lewat celah batu terjadi percakapan antara Naga Kuning dengan suara tanpa sosok.
“Naga Kuning, sebentar lagi dari tempat ini kau akan melihat kemunculan orang yang kukatakan kemarin. Buka matamu lebar-lebar….”
Dari tempatnya duduk bersila Naga Kuning memandang tak berkesip ke arah pintu goa yang terbuat dari dinding batu berwarna merah. Secara aneh, dari tempat ini si bocah sanggup melihat ke dalam telaga menembus dinding goa batu. Kepalanya bergerak sedikit ketika apa yang dikatakan orang tadi menjadi kenyataan.
“Apa yang kau lihat Naga Kuning?”
“Ada seorang berpakaian merah menerobos masuk melewati celah di dinding batu,” jawab Naga Kuning.
“Lelaki atau perempuan….”
“Perempuan Kiai. Tapi….”
“Matamu sudah lamur hingga tidak bisa membedakan lelaki dengan perempuan?!” Suara tanpa rupa menegur.
“Melihat kepada rambut dan potongan tubuhnya orang itu jelas perempuan. Tapi mengapa dia berkumis…?”
“Lagi-lagi kau berlaku tolol Naga Kuning. Apa kau lupa pada ujar-ujar yang mengatakan: Orang cerdik tidak akan tertipu oleh pandangan matanya. Karena sesungguhnya kenyataan ada dibalik semua keanehan.”
Naga Kuning terdiam mendengar kata-kata itu. Matanya kembali memandang tak berkesip ke depan.
“Maafkan saya yang kurang teliti Kiai. Orang yang datang itu ternyata adalah seorang gadis yang menyamar Sebagai seorang pemuda.”
“Apa kau mengenal atau pernah melihatnya sebelumnya?”
“Saya kira tidak Kiai. Menurut penglihatan Kiai apakah dia orang yang kita tunggu?”
“Dia memang orang yang kita tunggu walau datangnya lebih cepat dari dugaan semula. Ini tak lain gara-gara kelakuanmu meninggalkan tempat pengawasan di Liang Lahat ini dan pergi keluyuran ke dunia luar sana….”
“Maafkan atas semua tindakan saya itu Kiai,” kata Naga Kuning pula.
“Kalau dia memang yang kita tunggu apakah dia juga berjodoh dengan senjata sakti mandraguna itu?”
“Berjodoh atau tidak adakalanya bukanlah satu takdir yang datang dari atas. Terkadang manusia membuat-buat menjadi begitu. Padahal Yang Kuasa tidak bisa ditipu. Apa yang dicari gadis itu tidak akan pernah didapatkannya kalau usahanya tidak mampu membuka kunci Liang Akhirat dan masuk ke Liang Lahat ini.”
“Hati kecil saya ingin menolongnya Kiai. Tapi terserah Kiai….” Terdengar suara tawa membahana orang yang dipanggilkan Kiai itu.
“Aku menduga jalan pikiranmu telah dirasuk oleh apa yang kau lihat. Kau tertarik pada gadis cantik itu lalu berniat ingin menolongnya. Bukan begitu Naga Kuning?”
“Kecantikan adalah bunga hidup ciptaan Gusti Allah, Kiai. Tinggal terserah kita anak manusia bagaimana melihat dan menilainya. Saya tahu siapa diri saya. Sama sekali tidak terkandung niat menolong karena tergoda pandangan alias nafsu. Saya hanya mengkhawatirkan malapetaka besar akan tambah memporak-porandakan dunia persilatan. Rasanya sudah cukup jumlah para tokoh golongan putih menemui ajal karena sandiwara busuk yang dimainkan oleh manusia-manusia keji dan kaki tangannya….”
“Lalu apa yang hendak kau lakukan Naga Kuning? Hendak memberi tahu kunci rahasia jalan masuk ke tempat ini?”
“Tanpa izin Kiai saya tidak berani melakukan hal itu Kiai.”
“Aku tidak akan memberimu izin. Biarkan gadis itu mencari jalan sendiri. Aku tahu seseorang telah menolongnya hingga dia mampu bertahan lama di dalam air. Itu sudah menjadi rezeki besar baginya. Tetapi jika hidup seseorang selalu berdasarkan pertolongan serta budi baik orang lain, apa jadinya dunia persilatan? Kuharap kau bisa memahami Naga Kuning.”
“Saya mengerti dan memahami Kiai…” jawab Naga Kuning.
“Anak itu lenyap ‘di sini. Hanya ada dua kemungkinan. Dia dilahap ikan atau binatang buas. Atau. menyelinap masuk ke satu tempat. Berarti ada lobang atau jalan rahasia di sekitar sini….” Kembali Puti Andini memperhatikan keadaan di sekitarnya. Serombongan ikan sebesar telapak tangan berenang di sekitar dinding batu. Lalu menyelinap di balik tumbuhan air. Ditunggu-tunggu binatang Ini tidak kunjung .muncul. Puti Andini berenang mendekati tumbuhan lebat itu. Air telaga di tempat itu dingin luar biasa. Dengan tangan gemetar Puti Andini menyibakkan tanaman tersebut. Dia berdebar ketika melihat di balik tanaman yang tersibak ada sebuah celah sepemasukan tubuh manusia.
“Mungkin anak itu lolos lewat celah batu ini,” pikir Puti Andini.
“Aneh, bagaimana pun tingginya dinding batu ini mengapa aku tidak melihat ujungnya di sebelah atas?”’ Cucu Tua Gila ini berenang mendekati celah lalu mengintai lewat celah itu ke bagian dinding di sebelah belakang. Matanya terpentang lebar ketika melihat ada cahaya putih di kejauhan.
“Aneh, cahaya apa itu?” Si gadis bertanya-tanya dalam hati. Dia mengintai sekali lagi lewat celah lalu berenang lebih ke atas. Kepalanya disorongkan. Maksudnya hendak lolos lewat celah itu tapi terhalang pada bagian bahu. Puti Andini membalikkan dan memutar tubuhnya berulang kali hingga akhirnya bahunya bisa lolos. Namun untuk kedua kalinya tubuhnya tertahan pada bagian pinggulnya yang besar. Ketika dipaksakan, pinggul celananya robek sampai ke paha. Dalam keadaan seperti itu Si gadis tidak lagi memperhatikan keadaan pakaiannya. Begitu lolos lewat celah Puti Andini tidak segera berenang menuju arah cahaya putih. Baginya sesuatu keanehan di dalam air bisa saja mengandung bahaya yang dapat mencelakakan. Gadis ini terlebih dulu memandang berkeliling. Hanya beberapa tombak di bawahnya dia melihat dasar telaga berbentuk aneh. Dasar telaga mencekung sedalam satu depa, membentuk lingkaran seperti piring besar. Di pertengahan cekungan ada sebuah kursi terbuat dari batu.
“Ada kursi, berarti ada yang pernah duduk di situ. Siapa…?” membatin Puti Andini. Diperhatikannya lagi kursi itu tanpa berani mendekati. Baru kemudian disadarinya bahwa kursi batu itu berukuran kecil. Orang dewasa bertubuh besar tak mungkin muat duduk di situ.
“Mungkin itu kursi anak yang tadi aku lihat di tepi telaga?” pikir si gadis. Kini dia memandang ke depan ke arah cahaya putih. Perlahan-lahan Puti Andini berenang mendekati cahaya itu.
Setelah berenang sejauh lima belas tombak gadis ini tercengang heran ketika melihat cahaya putih itu ternyata adalah sebuah goa batu besar yang memancarkan warna putih menyilaukan. Bagian yang seharusnya merupakan pintu atau mulut goa tertutup oleh dinding batu berwarna merah. Di sini ada sebaris tulisan. Dari arah dinding ini memancar hawa aneh disertai pantulan cahaya merah yang sangat dingin seolah menggiris tulang. Puti Andini menggigil menahan dingin. Lalu ada gelombang angin menerpa ke arahnya. Membuat Puti Andini terjungkir balik di dalam air dan kain pengikat kepalanya tanggal hingga rambutnya terlepas riap-riapan.
Puti Andini berusaha menabahkan diri walau sekujur tubuhnya saat itu terasa dingin dan bergetar. Tiba-tiba hidungnya mencium bau kemenyan santar sekali. Tengkuk si gadis jadi merinding. Dengan menguatkan hati dan beranikan diri dia berenang mendekati goa batu putih agar bisa membaca apa yang tertera di dinding batu tersebut.
“Liang Akhirat.” Mulut Puti Andini bergetar ketika membaca tulisan yang tertera di dinding merah. Lalu sepasang matanya membentur pandangan aneh lainnya. -Yakni dua buah tiang yang terletak di kiri kanan goa putih. Di atas kedua tiang itu ada dua buah pendupaan berisi bara menyala yang mengepulkan asap putih menebar bau kemenyan.
“Aneh, benar-benar aneh. Bagaimana di dalam air ada dua pendupaan dengan bara menyala. Lalu ada kepulan asap dan menebar bau kemenyan. Sampai matipun aku tak bisa percaya kalau tidak melihat sendiri. Tempat apa ini? Liang Akhirat? Ada akhirat di dasar telaga? Apa ada sangkut pautnya dengan Lembah Akhirat? Jangan-jangan aku telah kesasar ke Lembah Akhirat!”
Puti Andini memandang berkeliling. Dia kembali bertanya-tanya.
“Dimana tersembunyinya Pedang Naga Suci 212? Dimana beradanya anak berpakaian hitam kemarin?”
Tiba-tiba Puti Andini mendengar suara berdesis disertai detakan-detakan keras yang menggetarkan dasar telaga serta membuat air di sekelilingnya bergelombang. Dia tidak dapat memastikan suara apa adanya namun diketahui suara-suara itu datang dari dalam goa putih, dari balik pintu atau dinding batu merah yang menjadi penutup goa.
“Satu-satunya jawaban pertanyaan yang ada dalam diriku terdapat di balik batu merah itu. Bagaimana aku bisa menerobos masuk ke dalam goa?” Sambil berpikir Puti Andini berenang mendekati goa putih. Sesekali dia berpaling ke belakang, memandang ke arah kursi batu di legukan dasar telaga berbentuk lingkaran. Sementara itu di dalam goa sesaat setelah Puti Andini menerobos lewat celah batu terjadi percakapan antara Naga Kuning dengan suara tanpa sosok.
“Naga Kuning, sebentar lagi dari tempat ini kau akan melihat kemunculan orang yang kukatakan kemarin. Buka matamu lebar-lebar….”
Dari tempatnya duduk bersila Naga Kuning memandang tak berkesip ke arah pintu goa yang terbuat dari dinding batu berwarna merah. Secara aneh, dari tempat ini si bocah sanggup melihat ke dalam telaga menembus dinding goa batu. Kepalanya bergerak sedikit ketika apa yang dikatakan orang tadi menjadi kenyataan.
“Apa yang kau lihat Naga Kuning?”
“Ada seorang berpakaian merah menerobos masuk melewati celah di dinding batu,” jawab Naga Kuning.
“Lelaki atau perempuan….”
“Perempuan Kiai. Tapi….”
“Matamu sudah lamur hingga tidak bisa membedakan lelaki dengan perempuan?!” Suara tanpa rupa menegur.
“Melihat kepada rambut dan potongan tubuhnya orang itu jelas perempuan. Tapi mengapa dia berkumis…?”
“Lagi-lagi kau berlaku tolol Naga Kuning. Apa kau lupa pada ujar-ujar yang mengatakan: Orang cerdik tidak akan tertipu oleh pandangan matanya. Karena sesungguhnya kenyataan ada dibalik semua keanehan.”
Naga Kuning terdiam mendengar kata-kata itu. Matanya kembali memandang tak berkesip ke depan.
“Maafkan saya yang kurang teliti Kiai. Orang yang datang itu ternyata adalah seorang gadis yang menyamar Sebagai seorang pemuda.”
“Apa kau mengenal atau pernah melihatnya sebelumnya?”
“Saya kira tidak Kiai. Menurut penglihatan Kiai apakah dia orang yang kita tunggu?”
“Dia memang orang yang kita tunggu walau datangnya lebih cepat dari dugaan semula. Ini tak lain gara-gara kelakuanmu meninggalkan tempat pengawasan di Liang Lahat ini dan pergi keluyuran ke dunia luar sana….”
“Maafkan atas semua tindakan saya itu Kiai,” kata Naga Kuning pula.
“Kalau dia memang yang kita tunggu apakah dia juga berjodoh dengan senjata sakti mandraguna itu?”
“Berjodoh atau tidak adakalanya bukanlah satu takdir yang datang dari atas. Terkadang manusia membuat-buat menjadi begitu. Padahal Yang Kuasa tidak bisa ditipu. Apa yang dicari gadis itu tidak akan pernah didapatkannya kalau usahanya tidak mampu membuka kunci Liang Akhirat dan masuk ke Liang Lahat ini.”
“Hati kecil saya ingin menolongnya Kiai. Tapi terserah Kiai….” Terdengar suara tawa membahana orang yang dipanggilkan Kiai itu.
“Aku menduga jalan pikiranmu telah dirasuk oleh apa yang kau lihat. Kau tertarik pada gadis cantik itu lalu berniat ingin menolongnya. Bukan begitu Naga Kuning?”
“Kecantikan adalah bunga hidup ciptaan Gusti Allah, Kiai. Tinggal terserah kita anak manusia bagaimana melihat dan menilainya. Saya tahu siapa diri saya. Sama sekali tidak terkandung niat menolong karena tergoda pandangan alias nafsu. Saya hanya mengkhawatirkan malapetaka besar akan tambah memporak-porandakan dunia persilatan. Rasanya sudah cukup jumlah para tokoh golongan putih menemui ajal karena sandiwara busuk yang dimainkan oleh manusia-manusia keji dan kaki tangannya….”
“Lalu apa yang hendak kau lakukan Naga Kuning? Hendak memberi tahu kunci rahasia jalan masuk ke tempat ini?”
“Tanpa izin Kiai saya tidak berani melakukan hal itu Kiai.”
“Aku tidak akan memberimu izin. Biarkan gadis itu mencari jalan sendiri. Aku tahu seseorang telah menolongnya hingga dia mampu bertahan lama di dalam air. Itu sudah menjadi rezeki besar baginya. Tetapi jika hidup seseorang selalu berdasarkan pertolongan serta budi baik orang lain, apa jadinya dunia persilatan? Kuharap kau bisa memahami Naga Kuning.”
“Saya mengerti dan memahami Kiai…” jawab Naga Kuning.
*
* *
* *
SEBELAS
Puti Andini berlaku cerdik. Dia berenang mendekati pintu goa putih dari arah samping. Dengan demikian dia terhindar dari hawa aneh yang memancarkan sinar merah serta gelombang angin yang datang menyambar dari pintu batu. Semakin dekat ke pintu goa semakin keras terasa suara detakan-detakan dari balik pintu batu. Sesekali terdengar pula suara mendesis menggidikkan. Sekali melihat saja gadis ini bisa menduga bahwa batu merah yang menutupi mulut goa beratnya ratusan bahkan mungkin ribuan kati. Bagaimana pun hebatnya kekuatan dan kesaktian seseorang tidak mungkin akan mampu mendorong pintu batu itu.
“Pasti ada peralatan rahasia untuk membuka pintu goa ini,” pikir Puti Andini. Dia memandang berkeliling, memperhatikan dengan teliti. Mulai dari dasar telaga di depan pintu, dua buah tiang putih, dinding sekitar mulut goa, pintu batu itu sendiri bahkan sampai ke bara menyala di dua pendupaan yang mengepulkan asap berbau kemenyan. Gadis ini tidak menemukan apa-apa.
“Aneh,” katanya dalam hati. Dia mendekati tiang putih terdekat.
“Ada bara menyala, ada asap mengepul. Tapi apakah bara menyala ini api benaran….”
Puti Andini ulurkan tangannya dekat-dekat di atas bara menyala dalam pendupaan. Dia terpekik. Waktu mulutnya terbuka air telaga langsung masuk membuat hidungnya terasa pedas dan tenggorokannya panas. Dia segera menekap mulutnya dengan tangan kiri dan pandangi jari-jari tangannya yang kelihatan memerah. Ternyata bara menyala dalam pendupaan itu api benaran dan panasnya bukan main.
“Bagaimana mungkin bara bisa menyalakan api di dalam air.” Membatin sang dara.
Setelah memeriksa berulang kali dan tetap saja dia tidak menemukan sesuatu petunjuk jalan masuk ke dalam goa, cucu Sabai Nan Rancak ini memutuskan untuk menghantam pintu batu dengan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam. Maka dia berenang menjauhi pintu dan tetap menghindar dari jalur hawa serta gelombang aneh. Dari jarak tiga tombak, setelah mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan Puti Andini menghantam. Air telaga bersibak membentuk jalur seperti terowongan begitu pukulan yang dilepaskan Puti Andini melesat ke depan. Pada saat pukulan sakti itu mendarat di permukaan dinding batu merah yang bertuliskan Liang Akhirat, air laut bergulung dahsyat, muncrat laksana pijaran bunga api raksasa. Dinding batu jangankan hancur, bergeming sedikit pun tidak! Dari balik dinding itu terdengar dua desisan panjang disusul suara detak-detak yang menyentak sampai ke dasar telaga.
“Wussss!”
Pukulan yang dilepaskan Puti Andini membalik dalam bentuk satu gelombang besar, membuntal bergulung. Menyapu ke arah si gadis. Di luar sadar Puti Andini membuka mulut berteriak keras. Tapi tidak ada suara yang keluar. Malah air telaga menggemuruh masuk ke dalam mulutnya! Selagi dia megap-megap gelombang besar tadi melanda tubuhnya. Puti Andini terlempar sampai dua belas tombak. Tubuhnya laksana hancur. Tulang-tulangnya seolah tanggal. Dalam keadaan seperti lumpuh sesaat tubuhnya terapung dalam air. Lalu perlahan-lahan melayang turun ke dasar laut. Jatuhnya di dalam lingkaran cekung berbentuk piring, sekitar dua langkah dari kursi kecil yang terbuat dari batu.
“Apa yang terjadi dengan diriku…? Sudah mati atau setengah mati…?” Puti Andini berusaha bangkit. Tubuhnya seolah tidak mempunyai bobot dan terapung tak menentu. Sementara itu di sekitarnya air telaga tampak membentuk gelombang riak besar berlapis-lapis.
“Jangan-jangan Tua Gila menipuku. Dia hanya menceritakan bahwa ada pedang sakti terpendam di dasar telaga ini. Tapi dia sama sekali tidak mengatakan Segala bahaya yang ada di tempat ini.”
Puti Andini memandang ke arah kursi kecil terbuat dari batu dua langkah di sampingnya. Gelombang air membuat tubuhnya ikut bergerak tak menentu. Agar dirinya tidak terseret kian kemari Puti Andini ulurkan tangan berpegangan pada salah satu kaki kursi batu. Gadis ini tersentak kaget ketika merasakan kursi batu itu ternyata mengeluarkan hawa hangat. Hawa aneh ini menjalar di sekujur tangannya lalu masuk ke dalam tubuhnya. Sesaat kemudian rasa sakit di seluruh badannya serta merta lenyap.
“Kursi ajaib…” kata Puti Andini dalam hati. Kini dia pergunakan dua tangan sekaligus memegangi kursi batu itu. Semakin keras dia memegang semakin banyak hawa aneh masuk dan bertambah kuat terasa tubuhnya. Di balik dinding batu penutup goa Naga Kecil menatap ke luar goa tanpa berkesip, membuka mulut.
“Kiai, agaknya kita akan segera kebobolan. Kalau gadis itu sampai….” Orang yang diajak bicara memotong ucapan si anak.
“Kau tak perlu meneruskan ucapanmu Naga Kuning. Lihat! Gadis itu telah duduk di atas kursi batu. Walau hanya sebagian tubuhnya duduk di atas kursi kecil itu, tapi dia telah menemukan kunci rahasia untuk masuk ke sini!”
“Yang saya heran Kiai,” kata Naga Kuning pula.
“Kesaktian apa yang dimiliki gadis itu hingga dia mampu berada dalam air begitu lama….”
“Kita akan segera mengetahui. Kita harus dapat membongkar rahasia siapa dirinya dan siapa yang berada di belakangnya. Bukan mustahil dia disuruh dan diberi petunjuk oleh muridku si Sinto Weni alias Sinto Gendeng itu….” Di dasar telaga tiba-tiba Puti Andini merasakan kursi batu yang didudukinya bergetar keras. Dia cepat pegangi lengan kursi agar tidak terpelanting. Lalu ada suara berdesing yang hebat sekali. Di lain saat kursi batu itu berputar kencang. Di atasnya si gadis ikut berputar laksana gasing. Lalu ada satu tekanan keras menghantam tubuh Puti Andini yang membuat gadis ini melesat ke atas laksana dilontarkan oleh satu kekuatan dahsyat. Cucu Sabai Nan Rancak itu seolah kaku tegang tak bisa berbuat suatu apa. Hendak menjerit pun tidak bisa. Tubuhnya melesat kepala lebih dulu ke arah dinding batu merah yang menutupi mulut goa putih. Matanya membeliak. Sebentar lagi kepalanya pasti akan hancur luluh bertabrakan dengan dinding batu itu!
Namun sesaat lagi kepala Puti Andini akan menghantam dinding batu bertuliskan Liang Akhirat itu tiba-tiba dinding itu bergerak ke samping. Satu celah sempit terbuka. Justru lewat celah inilah kepala dan sosok tubuh Puti Andini melesat lewat dan di lain saat
“Blukkk!”
Puti Andini jatuh tertelentang di atas lantai keras yang terbuat dari batu pualam berwarna kelabu. Keadaan di sekitarnya begitu redup. Nyaris gelap hingga dia tidak bisa melihat dengan jelas. Hidungnya mencium bau harum yang aneh.
Si gadis kedap-kedipkan sepasang matanya beberapa kali. Lalu memandang berkeliling. Begitu penglihatannya mulai jelas dan dia dapat melihat keadaan di sekitarnya, pucatlah paras gadis ini dilanda kengerian. Ternyata saat itu dia tertelentang hanya tiga langkah di hadapan sebuah kuburan besar terbuat dari batu putih berkilat. Ada satu batu nisan besar di kepala makam. Namun nisan ini polos tak ada tulisan apa-apa!
“Di mana aku berada. Tak ada air di sini. Makam siapa ini…?” tanya Puti Andini dalam hati dengan dada berdebar. Perlahan-perlahan dan juga dengan sikap hati-hati gadis ini mencoba bangkit. Baru saja dia mampu duduk, kembali Puti Andini tersentak kaget. Ternyata hanya dua langkah di samping kirinya terdapat sebuah lobang besar. Di salah satu sisi lobang menjulang sebuah dinding batu hitam berbentuk setengah Ijngkaran. Pada dinding ini ada tulisan besar berbunyi
“Liang Lahat”. Lalu di bawah tulisan Liang Lahat ini ada serangkaian tulisan. Belum sempat Puti Andini membaca apa yang tertulis di situ, di atas sana, pada puncak dinding batu hitam dia melihat anak kecil berpakaian hitam duduk di atas sebuah kursi kecil dari batu yang sama bentuknya dengan kursi di cegukan dasar telaga. Anak ini memandang ke arahnya. Mulutnya ditekuk seolah mengejek.
“Aku mencarinya, ternyata anak itu ada di tempat ini…. Apa dia tinggal di sini? Siapa sebenarnya anak itu?
Untuk beberapa lamanya Puti Andini pandangi anak di puncak batu. Karena si anak tidak bergerak atau melakukan sesuatu maka Puti Andini kembali arahkan pandangannya ke dinding batu berbentuk setengah lingkaran. Dia membaca tulisan yang ada di dinding batu itu yang ternyata berupa ujar-ujar.
LIANG LAHAT“Pasti ada peralatan rahasia untuk membuka pintu goa ini,” pikir Puti Andini. Dia memandang berkeliling, memperhatikan dengan teliti. Mulai dari dasar telaga di depan pintu, dua buah tiang putih, dinding sekitar mulut goa, pintu batu itu sendiri bahkan sampai ke bara menyala di dua pendupaan yang mengepulkan asap berbau kemenyan. Gadis ini tidak menemukan apa-apa.
“Aneh,” katanya dalam hati. Dia mendekati tiang putih terdekat.
“Ada bara menyala, ada asap mengepul. Tapi apakah bara menyala ini api benaran….”
Puti Andini ulurkan tangannya dekat-dekat di atas bara menyala dalam pendupaan. Dia terpekik. Waktu mulutnya terbuka air telaga langsung masuk membuat hidungnya terasa pedas dan tenggorokannya panas. Dia segera menekap mulutnya dengan tangan kiri dan pandangi jari-jari tangannya yang kelihatan memerah. Ternyata bara menyala dalam pendupaan itu api benaran dan panasnya bukan main.
“Bagaimana mungkin bara bisa menyalakan api di dalam air.” Membatin sang dara.
Setelah memeriksa berulang kali dan tetap saja dia tidak menemukan sesuatu petunjuk jalan masuk ke dalam goa, cucu Sabai Nan Rancak ini memutuskan untuk menghantam pintu batu dengan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam. Maka dia berenang menjauhi pintu dan tetap menghindar dari jalur hawa serta gelombang aneh. Dari jarak tiga tombak, setelah mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan Puti Andini menghantam. Air telaga bersibak membentuk jalur seperti terowongan begitu pukulan yang dilepaskan Puti Andini melesat ke depan. Pada saat pukulan sakti itu mendarat di permukaan dinding batu merah yang bertuliskan Liang Akhirat, air laut bergulung dahsyat, muncrat laksana pijaran bunga api raksasa. Dinding batu jangankan hancur, bergeming sedikit pun tidak! Dari balik dinding itu terdengar dua desisan panjang disusul suara detak-detak yang menyentak sampai ke dasar telaga.
“Wussss!”
Pukulan yang dilepaskan Puti Andini membalik dalam bentuk satu gelombang besar, membuntal bergulung. Menyapu ke arah si gadis. Di luar sadar Puti Andini membuka mulut berteriak keras. Tapi tidak ada suara yang keluar. Malah air telaga menggemuruh masuk ke dalam mulutnya! Selagi dia megap-megap gelombang besar tadi melanda tubuhnya. Puti Andini terlempar sampai dua belas tombak. Tubuhnya laksana hancur. Tulang-tulangnya seolah tanggal. Dalam keadaan seperti lumpuh sesaat tubuhnya terapung dalam air. Lalu perlahan-lahan melayang turun ke dasar laut. Jatuhnya di dalam lingkaran cekung berbentuk piring, sekitar dua langkah dari kursi kecil yang terbuat dari batu.
“Apa yang terjadi dengan diriku…? Sudah mati atau setengah mati…?” Puti Andini berusaha bangkit. Tubuhnya seolah tidak mempunyai bobot dan terapung tak menentu. Sementara itu di sekitarnya air telaga tampak membentuk gelombang riak besar berlapis-lapis.
“Jangan-jangan Tua Gila menipuku. Dia hanya menceritakan bahwa ada pedang sakti terpendam di dasar telaga ini. Tapi dia sama sekali tidak mengatakan Segala bahaya yang ada di tempat ini.”
Puti Andini memandang ke arah kursi kecil terbuat dari batu dua langkah di sampingnya. Gelombang air membuat tubuhnya ikut bergerak tak menentu. Agar dirinya tidak terseret kian kemari Puti Andini ulurkan tangan berpegangan pada salah satu kaki kursi batu. Gadis ini tersentak kaget ketika merasakan kursi batu itu ternyata mengeluarkan hawa hangat. Hawa aneh ini menjalar di sekujur tangannya lalu masuk ke dalam tubuhnya. Sesaat kemudian rasa sakit di seluruh badannya serta merta lenyap.
“Kursi ajaib…” kata Puti Andini dalam hati. Kini dia pergunakan dua tangan sekaligus memegangi kursi batu itu. Semakin keras dia memegang semakin banyak hawa aneh masuk dan bertambah kuat terasa tubuhnya. Di balik dinding batu penutup goa Naga Kecil menatap ke luar goa tanpa berkesip, membuka mulut.
“Kiai, agaknya kita akan segera kebobolan. Kalau gadis itu sampai….” Orang yang diajak bicara memotong ucapan si anak.
“Kau tak perlu meneruskan ucapanmu Naga Kuning. Lihat! Gadis itu telah duduk di atas kursi batu. Walau hanya sebagian tubuhnya duduk di atas kursi kecil itu, tapi dia telah menemukan kunci rahasia untuk masuk ke sini!”
“Yang saya heran Kiai,” kata Naga Kuning pula.
“Kesaktian apa yang dimiliki gadis itu hingga dia mampu berada dalam air begitu lama….”
“Kita akan segera mengetahui. Kita harus dapat membongkar rahasia siapa dirinya dan siapa yang berada di belakangnya. Bukan mustahil dia disuruh dan diberi petunjuk oleh muridku si Sinto Weni alias Sinto Gendeng itu….” Di dasar telaga tiba-tiba Puti Andini merasakan kursi batu yang didudukinya bergetar keras. Dia cepat pegangi lengan kursi agar tidak terpelanting. Lalu ada suara berdesing yang hebat sekali. Di lain saat kursi batu itu berputar kencang. Di atasnya si gadis ikut berputar laksana gasing. Lalu ada satu tekanan keras menghantam tubuh Puti Andini yang membuat gadis ini melesat ke atas laksana dilontarkan oleh satu kekuatan dahsyat. Cucu Sabai Nan Rancak itu seolah kaku tegang tak bisa berbuat suatu apa. Hendak menjerit pun tidak bisa. Tubuhnya melesat kepala lebih dulu ke arah dinding batu merah yang menutupi mulut goa putih. Matanya membeliak. Sebentar lagi kepalanya pasti akan hancur luluh bertabrakan dengan dinding batu itu!
Namun sesaat lagi kepala Puti Andini akan menghantam dinding batu bertuliskan Liang Akhirat itu tiba-tiba dinding itu bergerak ke samping. Satu celah sempit terbuka. Justru lewat celah inilah kepala dan sosok tubuh Puti Andini melesat lewat dan di lain saat
“Blukkk!”
Puti Andini jatuh tertelentang di atas lantai keras yang terbuat dari batu pualam berwarna kelabu. Keadaan di sekitarnya begitu redup. Nyaris gelap hingga dia tidak bisa melihat dengan jelas. Hidungnya mencium bau harum yang aneh.
Si gadis kedap-kedipkan sepasang matanya beberapa kali. Lalu memandang berkeliling. Begitu penglihatannya mulai jelas dan dia dapat melihat keadaan di sekitarnya, pucatlah paras gadis ini dilanda kengerian. Ternyata saat itu dia tertelentang hanya tiga langkah di hadapan sebuah kuburan besar terbuat dari batu putih berkilat. Ada satu batu nisan besar di kepala makam. Namun nisan ini polos tak ada tulisan apa-apa!
“Di mana aku berada. Tak ada air di sini. Makam siapa ini…?” tanya Puti Andini dalam hati dengan dada berdebar. Perlahan-perlahan dan juga dengan sikap hati-hati gadis ini mencoba bangkit. Baru saja dia mampu duduk, kembali Puti Andini tersentak kaget. Ternyata hanya dua langkah di samping kirinya terdapat sebuah lobang besar. Di salah satu sisi lobang menjulang sebuah dinding batu hitam berbentuk setengah Ijngkaran. Pada dinding ini ada tulisan besar berbunyi
“Liang Lahat”. Lalu di bawah tulisan Liang Lahat ini ada serangkaian tulisan. Belum sempat Puti Andini membaca apa yang tertulis di situ, di atas sana, pada puncak dinding batu hitam dia melihat anak kecil berpakaian hitam duduk di atas sebuah kursi kecil dari batu yang sama bentuknya dengan kursi di cegukan dasar telaga. Anak ini memandang ke arahnya. Mulutnya ditekuk seolah mengejek.
“Aku mencarinya, ternyata anak itu ada di tempat ini…. Apa dia tinggal di sini? Siapa sebenarnya anak itu?
Untuk beberapa lamanya Puti Andini pandangi anak di puncak batu. Karena si anak tidak bergerak atau melakukan sesuatu maka Puti Andini kembali arahkan pandangannya ke dinding batu berbentuk setengah lingkaran. Dia membaca tulisan yang ada di dinding batu itu yang ternyata berupa ujar-ujar.
Sesungguhnya insan hidup terbuat dari tanah
Hidupnya terbatas dari tanah ke tanah
Namun mengapa manusia menjadi lupa
Bersikap sombong membusung dada
Bersikap angkuh besar kepala
Insan hidup tak ada arti di hadapan Sang Penguasa
Tapi mengapa insan berani menantang Sang Pencipta
Berani tapi putih, lembut tapi jantan, perkasa tapi jujur
Bukankah itu lebih baik daripada berani tapi hitam, lembut tapi culas, perkasa tapi serakah
Liang Lahat!
Di sini tersimpan saksi bisu dari keserakahan, saksi buta dari keculasan, saksi tuli dari ketidakjujuran
Bisakah kekuatan insan memecah kebisuan, menyalangkan kebutaan hati, mendengar desah ketidakadilan
Bisakah tongkat si buta mengetuk membuka pintu kebenaran
Yang Kuasa dan Sang Pencipta adalah tempat bertanya, tempat meminta
Adakah manusia bertanya dengan segala kebersihan hati?
Adakah ihsan meminta dengan kejujuran jiwa?
Liang Lahat, di sini kau berada.
Di sini pula mulai dan berakhirnya satu rahasia.
Puti Andini merasa sesak membaca ujar-ujar yang begitu panjang. Dia melirik ke atas. Anak kecil berpakaian hitam berambut lurus tegak itu masih duduk di atas batu. Tak bergerak tak melakukan apa-apa. Kecuali terus memandang ke arahnya tanpa berkesip.
“Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus bertanya pada anak itu…” kata Puti Andini. Lalu dia bergerak hendak bangkit berdiri. Namun mendadak ada suara bergaung. Mula-mula perlahan, makin lama makin besar. Lantai batu pualam di mana dia berada bergetar keras. Memandang ke depan terbelalaklah Puti Andini.
“Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus bertanya pada anak itu…” kata Puti Andini. Lalu dia bergerak hendak bangkit berdiri. Namun mendadak ada suara bergaung. Mula-mula perlahan, makin lama makin besar. Lantai batu pualam di mana dia berada bergetar keras. Memandang ke depan terbelalaklah Puti Andini.
*
* *
* *
DUA BELAS
Bagian atas kuburan besar yang terbuat dari batu putih bergeser ke samping kanan. Sebuah lobang berukuran lebar lima kaki dan panjang dua belas kaki menganga di hadapan Puti Andini. Si gadis tidak dapat melihat apa ada mayat atau benda lain di dalam lobang karena pemandangannya tertutup oleh semacam kabut tipis berwarna putih yang menebar hawa sejuk sekali. Semua keanehan ini semakin membuat merinding tengkuk Puti Andini. Wajahnya yang cantik memucat sedang jantungnya berdetak keras.
“Jangan-jangan liang lahat ini disediakan untuk diriku!” pikir Puti Andini.
“Aku harus mencari jalan keluar jika bahaya maut benar-benar mengancamku!” Si gadis memandang berkeliling. Pintu batu merah dari mana tadi dia melesat masuk berada dalam keadaan tertutup rapat. Dinding hitam menjulang seolah tak ada batas mengelilingi tempat itu. Sementara itu suara mendesis dan detakan-detakan aneh semakin keras, menggetarkan lantai batu pualam di mana dia terduduk. Cucu Sabai Nan Rancak ini mendongak ke atas dinding batu setengah lingkaran.
“Anak kecil berkening benjut berbaju hitam itu! Dia satu-satunya tempat aku bertanya.” Berpikir begitu si gadis segera berteriak memanggil.
“Hai…!”
Namun baru saja seruan itu keluar dari mulutnya tiba-tiba dari dalam lobang besar di samping kirinya terdengar suara mendesis sangat keras disusul oleh suara menggemuruh. Tempat itu laksana diguncang gempa. Puti Andini terbanting kian kemari. Ketika goncangan lenyap dari dalam lobang batu memancar dua larik sinar kuning. Sesaat kemudian melesat keluar dua makhluk panjang yang membuat Puti Andini tersurut menjauhkan diri dari lobang, mata membelalak, mulut terbuka lebar tapi tak kuasa untuk keluarkan jeritan.
Dua makhluk itu adalah dua ular luar biasa besar dan panjangnya. Berwarna kuning emas, memiliki sepasang mata merah menyorot. Binatang yang satu jantan satu betina ini memiliki lidah panjang terbelah yang selalu terjulur dan bergerak-gerak kian kemari. Gigi dan taring-taring mencuat di mulutnya yang terbuka membuat dua binatang ini tambah mengerikan. Pada bagian belakang kepalanya ada sebuah tanduk berwarna hijau. Lalu di bagian depan kepala ada mahkota putih bertaburan batu-batu permata memancarkan cahaya berkilauan. Dada dua binatang ini tampak bergerak-gerak. Setiap gerakan disertai suara detakan keras yang menggetarkan lantai. Suara detakan ini ternyata adalah suara denyutan keras luar biasa jantung dua ekor ular besar itu!
“Ular sungguhan atau binatang jejadian…” pikir Puti Andini dalam takut yang luar biasa.
“Apa ini yang disebut orang naga…?”
Dua ular naga yang keluar dari Liang Lahat mendesis keras. Puti Andini kerenyitkan kening dan usap wajahnya yang ketampiasan cairan yang keluar dari mulut sepasang Naga Kuning. Di atasnya kedua binatang itu menggeliat-geliat beberapa kati lalu tiba-tiba menukikkan kepala seolah hendak menerkam dan menelan bulat-bulat gadis itu. Kali ini Puti Andini tak dapat lagi menahan jeritnya. Tapi sesaat kemudian dua ekor naga menarik tubuh masing-masing, naik ke atas, menggeliat lagi beberapa kali lalu membelitkan tubuh di sepanjang dinding berbentuk lingkaran di atas mana bocah berpakaian hitam duduk tak bergerak, tenang-tenang saja. Puti Andini merasakan nyawanya seolah melayang terbang. Wajahnya sepucat kain kafan dan dadanya menggemuruh turun naik.
“Kakek Tua Gila…. Kalau begini jadinya menyesal aku menuruti perintahmu!” kata Puti Andini dalam hati menyesali kebodohan sendiri dan mengumpati kakeknya si Tua Gila. Belum reda rasa takutnya tiba-tiba Puti Andini dikejutkan lagi oleh getaran-getaran keras yang kembali melanda tempat itu. Tidak itu saja. Dari dalam lobang makam melesat keluar kilatan-kilatan panjang disertai suara menggelegar dahsyat.
“Petir…. Bagaimana mungkin ada petir menyambar keluar dari makam itu!” kejut Puti Andini seraya menutup ke dua telinganya. Dia beringsut makin jauh takut terkena sambaran petir. Dia tak bisa bergerak lebih jauh ketika punggungnya tertahan oleh dinding hitam di belakangnya. Sekali lagi tempat itu bergoncang keras. Sekali lagi kilat menyambar dari dalam makam batu. Lalu satu sosok manusia perlahan-lahan tersembul dari dalam lobang yang dipenuhi kabut putih.
“Ya Tuhan, makhluk apa lagi ini. Hantu atau manusia…?” ujar Puti Andini. Sekujur tubuhnya bergetar.
Saat Itu dari dalam lobang makam batu muncul sosok seorang tua mengenakan selempang kain putih. Kabut putih membuat wajahnya agak tersamar. Selain itu rambutnya yang putih panjang, alis, kumis serta janggut putih yang menjulai panjang ikut menyembunyikan mukanya. Orang tua ini tegak berdiri di atas lobang makam seolah-olah melayang di awan. Sepasang matanya memandang dingin dan tajam ke arah Puti Andini. Membuat gadis ini merasa seperti ditembus oleh dua sinar gaib.
“Anak manusia, kau datang ke Liang Lahat melalui Liang Akhirat tanpa seperijinan kami. Ada beberapa pertanyaan yang harus kau jawab. Tidak boleh ada kedustaan di tempat ini. Jika jawabanmu tidak masuk akal dan tidak bisa aku terima maka bagimu hanya ada satu keputusan. Keputusan yang tidak bisa diganggu gugat. Keputusan yang disebut hanya dengan satu kata. Mati!” Walau orang tua aneh itu memiliki suara halus lembut namun apa yang diucapkannya membuat Puti Andini semakin kecut dan tambah pucat wajahnya.
“Or… orang tua…. Ka… kakek….” Puti Andini bingung sendiri, harus memanggil apa terhadap orang tua aneh itu.
“Sebelum saya memberitahu siapa diri saya, bolehkah saya mengetahui lebih dulu siapa kau ini adanya dan di mana sebenarnya saat ini saya berada?” Untuk pertama kalinya Andini keluarkan suara. Dia seperti asing mendengar suaranya sendiri.
“Berjalan punya tujuan. Tujuan punya maksud. Kau pandai membaca. Kau melihat semua dengan nyata. Apa kau masih hendak bertanya? Banyak orang hiba pada manusia bodoh. Tapi sangat menyedihkan jika melihat seseorang sengaja memperbodoh dirinya sendiri. Adakah layak tuan rumah memperkenalkan diri pada seorang tamu? Bukankah tamu yang seharusnya mengucapkan salam dan memberi tahu siapa dirinya pada tuan rumah. Mengatakan apa maksud tujuannya. Hidup di dunia ada jalur aturannya. Jangan diputar balik karena semua itu bisa membawa manusia ke dalam jalan yang menyesatkan.” Merahlah paras Puti Andini mendengar kata-kata orang tua itu. Dia merasa seperti ditampar kiri kanan. Untuk beberapa lamanya gadis ini hanya bisa terduduk diam.
“Maafkan saya orang tua…” kata Puti Andini akhirnya dengan suara agak tersendat.
“Nama saya Puti Andini. Kedatangan saya ke tempat ini adalah sesuai dengan petunjuk dan perintah kakek saya….”
“Apakah kakekmu itu punya asal usul, punya nama dan punya gelar?” tanya orang tua di atas makam.
“Dia berasal dari Pulau Andalas. Namanya Sukat Tandika. Gelarnya Tua Gila. Mungkin dia punya gelar-gelar lain yang saya tidak ingat….”
Paras orang tua berselempang kain putih itu sekilas tampak berubah. Mulutnya berkomat-kamit. Setelah terdiam beberapa lamanya baru dia berkata.
“Orang yang kau sebut sebagai kakek itu apakah dia kakek yang ada pertalian darah denganmu atau hanya kakek sebagai panggilan?”
“Dia kakek kandung saya, saya cucu kandungnya…” jawab Puti Andini. Si orang tua menunjuk ke atas dinding berbentuk setengah lingkaran.
“Kau kenal dengan anak yang duduk di atas sana?” Puti Andini segera saja menggeleng.
“Naga Kuning, apa kau mengenal gadis ini?” Bocah di atas kursi batu di puncak dinding tinggi tak segera menjawab baik dengan isyarat maupun ucapan. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke arah Puti Andini yang terduduk di lantai, mengarah ke pinggul dan pangkal paha si gadis yang tersingkap putih karena pakaiannya di bagian itu robek besar akibat tersangkut sewaktu memaksa meloloskan diri lewat celah batu. Sepasang mata si orang tua memancarkan sinar aneh. Lalu suaranya berubah keras ketika dia mengetahui apa yang tengah diperhatikan anak itu.
“Naga Kuningi Mata adalah pangkal segala kebaikan dan kejahatan! Apa yang tengah kau perhatikan?! Kau tidak menjawab pertanyaanku!”
Di lantai batu pualam Puti Andini seolah baru sadar akan keadaan dirinya. Cepat-cepat dia merapikan pakaiannya yang robek agar auratnya tertutup. Bocah di atas dinding batu tersentak kaget dan senyum-senyum malu.
“Naga Kuning! Jangan bertingkah tidak karuan! Siapa yang menyuruhmu tertawa!”
“Maafkan saya Kiai. Saya tidak kenal dengan gadis itu,” jawab Naga Kuning lalu mengusap wajahnya beberapa kali. Si orang tua memandang ke arah Puti Andini kembali lalu berkata.
“Pakaianmu walaupun basah menyatakan kau adalah seorang perempuan. Rambutmu yang panjang ikut membuktikan, tetapi mengapa kau mengenakan kumis palsu? Kedustaan apa yang ada di balik penyamaranmu itu?”
“Saya…. Tidak ada kedustaan apa-apa. Saya menyamar hanya untuk menghindarkan bahaya yang tidak diinginkan. Dunia persilatan akhir-akhir ini dilanda kemelut. Pembunuhan dan kematian muncul secara aneh, cepat tidak terduga semudah orang membalikkan tangan….”
“Apakah kau banyak musuh?”
“Tidak dan saya tidak pernah ingin punya musuh. Tapi tidak semua orang berpikiran seperti saya…” jawab Puti Andini pula. Habis berkata begitu Puti Andini tanggalkan kumis palsu yang melekat di atas bibirnya. Begitu kumis palsu tanggal maka semakin jelas kecantikan aslinya sebagai seorang gadis. Di atas dinding setengah lingkaran Naga Kuning kembali terpesona. Ini jelas terlihat pada pandangan matanya. Tapi ketika dilihatnya orang tua yang dipanggilnya dengan sebutan Kiai memutar kepala dan memandang melotot ke arahnya anak ini cepat-cepat tundukkan kepala, usap wajahnya beberapa kali.
“Puti Andini, tidak semua orang sanggup berenang dan menyelam lama di dalam air. Apalagi di telaga yang sangat dalam seperti Telaga Gajahmungkur. Tekanan air, hawa dasar telaga tanpa udara bisa memecahkan jantung. Tapi kau memiliki kemampuan untuk bertahan. Bahkan akhirnya masuk ke tempat ini. Apakah kakekmu yang bernama Tua Gila itu yang mengajarkan semacam ilmu padamu hingga kau bisa berenang dan menyelam sehebat yang telah kau lakukan?”
Puti Andini tak segera menjawab.
Orang tua di atas makam besarkan matanya. Dua ekor naga yang melilit di dinding batu menggeliat dan keluarkan suara mendesis.
“Jangan-jangan liang lahat ini disediakan untuk diriku!” pikir Puti Andini.
“Aku harus mencari jalan keluar jika bahaya maut benar-benar mengancamku!” Si gadis memandang berkeliling. Pintu batu merah dari mana tadi dia melesat masuk berada dalam keadaan tertutup rapat. Dinding hitam menjulang seolah tak ada batas mengelilingi tempat itu. Sementara itu suara mendesis dan detakan-detakan aneh semakin keras, menggetarkan lantai batu pualam di mana dia terduduk. Cucu Sabai Nan Rancak ini mendongak ke atas dinding batu setengah lingkaran.
“Anak kecil berkening benjut berbaju hitam itu! Dia satu-satunya tempat aku bertanya.” Berpikir begitu si gadis segera berteriak memanggil.
“Hai…!”
Namun baru saja seruan itu keluar dari mulutnya tiba-tiba dari dalam lobang besar di samping kirinya terdengar suara mendesis sangat keras disusul oleh suara menggemuruh. Tempat itu laksana diguncang gempa. Puti Andini terbanting kian kemari. Ketika goncangan lenyap dari dalam lobang batu memancar dua larik sinar kuning. Sesaat kemudian melesat keluar dua makhluk panjang yang membuat Puti Andini tersurut menjauhkan diri dari lobang, mata membelalak, mulut terbuka lebar tapi tak kuasa untuk keluarkan jeritan.
Dua makhluk itu adalah dua ular luar biasa besar dan panjangnya. Berwarna kuning emas, memiliki sepasang mata merah menyorot. Binatang yang satu jantan satu betina ini memiliki lidah panjang terbelah yang selalu terjulur dan bergerak-gerak kian kemari. Gigi dan taring-taring mencuat di mulutnya yang terbuka membuat dua binatang ini tambah mengerikan. Pada bagian belakang kepalanya ada sebuah tanduk berwarna hijau. Lalu di bagian depan kepala ada mahkota putih bertaburan batu-batu permata memancarkan cahaya berkilauan. Dada dua binatang ini tampak bergerak-gerak. Setiap gerakan disertai suara detakan keras yang menggetarkan lantai. Suara detakan ini ternyata adalah suara denyutan keras luar biasa jantung dua ekor ular besar itu!
“Ular sungguhan atau binatang jejadian…” pikir Puti Andini dalam takut yang luar biasa.
“Apa ini yang disebut orang naga…?”
Dua ular naga yang keluar dari Liang Lahat mendesis keras. Puti Andini kerenyitkan kening dan usap wajahnya yang ketampiasan cairan yang keluar dari mulut sepasang Naga Kuning. Di atasnya kedua binatang itu menggeliat-geliat beberapa kati lalu tiba-tiba menukikkan kepala seolah hendak menerkam dan menelan bulat-bulat gadis itu. Kali ini Puti Andini tak dapat lagi menahan jeritnya. Tapi sesaat kemudian dua ekor naga menarik tubuh masing-masing, naik ke atas, menggeliat lagi beberapa kali lalu membelitkan tubuh di sepanjang dinding berbentuk lingkaran di atas mana bocah berpakaian hitam duduk tak bergerak, tenang-tenang saja. Puti Andini merasakan nyawanya seolah melayang terbang. Wajahnya sepucat kain kafan dan dadanya menggemuruh turun naik.
“Kakek Tua Gila…. Kalau begini jadinya menyesal aku menuruti perintahmu!” kata Puti Andini dalam hati menyesali kebodohan sendiri dan mengumpati kakeknya si Tua Gila. Belum reda rasa takutnya tiba-tiba Puti Andini dikejutkan lagi oleh getaran-getaran keras yang kembali melanda tempat itu. Tidak itu saja. Dari dalam lobang makam melesat keluar kilatan-kilatan panjang disertai suara menggelegar dahsyat.
“Petir…. Bagaimana mungkin ada petir menyambar keluar dari makam itu!” kejut Puti Andini seraya menutup ke dua telinganya. Dia beringsut makin jauh takut terkena sambaran petir. Dia tak bisa bergerak lebih jauh ketika punggungnya tertahan oleh dinding hitam di belakangnya. Sekali lagi tempat itu bergoncang keras. Sekali lagi kilat menyambar dari dalam makam batu. Lalu satu sosok manusia perlahan-lahan tersembul dari dalam lobang yang dipenuhi kabut putih.
“Ya Tuhan, makhluk apa lagi ini. Hantu atau manusia…?” ujar Puti Andini. Sekujur tubuhnya bergetar.
Saat Itu dari dalam lobang makam batu muncul sosok seorang tua mengenakan selempang kain putih. Kabut putih membuat wajahnya agak tersamar. Selain itu rambutnya yang putih panjang, alis, kumis serta janggut putih yang menjulai panjang ikut menyembunyikan mukanya. Orang tua ini tegak berdiri di atas lobang makam seolah-olah melayang di awan. Sepasang matanya memandang dingin dan tajam ke arah Puti Andini. Membuat gadis ini merasa seperti ditembus oleh dua sinar gaib.
“Anak manusia, kau datang ke Liang Lahat melalui Liang Akhirat tanpa seperijinan kami. Ada beberapa pertanyaan yang harus kau jawab. Tidak boleh ada kedustaan di tempat ini. Jika jawabanmu tidak masuk akal dan tidak bisa aku terima maka bagimu hanya ada satu keputusan. Keputusan yang tidak bisa diganggu gugat. Keputusan yang disebut hanya dengan satu kata. Mati!” Walau orang tua aneh itu memiliki suara halus lembut namun apa yang diucapkannya membuat Puti Andini semakin kecut dan tambah pucat wajahnya.
“Or… orang tua…. Ka… kakek….” Puti Andini bingung sendiri, harus memanggil apa terhadap orang tua aneh itu.
“Sebelum saya memberitahu siapa diri saya, bolehkah saya mengetahui lebih dulu siapa kau ini adanya dan di mana sebenarnya saat ini saya berada?” Untuk pertama kalinya Andini keluarkan suara. Dia seperti asing mendengar suaranya sendiri.
“Berjalan punya tujuan. Tujuan punya maksud. Kau pandai membaca. Kau melihat semua dengan nyata. Apa kau masih hendak bertanya? Banyak orang hiba pada manusia bodoh. Tapi sangat menyedihkan jika melihat seseorang sengaja memperbodoh dirinya sendiri. Adakah layak tuan rumah memperkenalkan diri pada seorang tamu? Bukankah tamu yang seharusnya mengucapkan salam dan memberi tahu siapa dirinya pada tuan rumah. Mengatakan apa maksud tujuannya. Hidup di dunia ada jalur aturannya. Jangan diputar balik karena semua itu bisa membawa manusia ke dalam jalan yang menyesatkan.” Merahlah paras Puti Andini mendengar kata-kata orang tua itu. Dia merasa seperti ditampar kiri kanan. Untuk beberapa lamanya gadis ini hanya bisa terduduk diam.
“Maafkan saya orang tua…” kata Puti Andini akhirnya dengan suara agak tersendat.
“Nama saya Puti Andini. Kedatangan saya ke tempat ini adalah sesuai dengan petunjuk dan perintah kakek saya….”
“Apakah kakekmu itu punya asal usul, punya nama dan punya gelar?” tanya orang tua di atas makam.
“Dia berasal dari Pulau Andalas. Namanya Sukat Tandika. Gelarnya Tua Gila. Mungkin dia punya gelar-gelar lain yang saya tidak ingat….”
Paras orang tua berselempang kain putih itu sekilas tampak berubah. Mulutnya berkomat-kamit. Setelah terdiam beberapa lamanya baru dia berkata.
“Orang yang kau sebut sebagai kakek itu apakah dia kakek yang ada pertalian darah denganmu atau hanya kakek sebagai panggilan?”
“Dia kakek kandung saya, saya cucu kandungnya…” jawab Puti Andini. Si orang tua menunjuk ke atas dinding berbentuk setengah lingkaran.
“Kau kenal dengan anak yang duduk di atas sana?” Puti Andini segera saja menggeleng.
“Naga Kuning, apa kau mengenal gadis ini?” Bocah di atas kursi batu di puncak dinding tinggi tak segera menjawab baik dengan isyarat maupun ucapan. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke arah Puti Andini yang terduduk di lantai, mengarah ke pinggul dan pangkal paha si gadis yang tersingkap putih karena pakaiannya di bagian itu robek besar akibat tersangkut sewaktu memaksa meloloskan diri lewat celah batu. Sepasang mata si orang tua memancarkan sinar aneh. Lalu suaranya berubah keras ketika dia mengetahui apa yang tengah diperhatikan anak itu.
“Naga Kuningi Mata adalah pangkal segala kebaikan dan kejahatan! Apa yang tengah kau perhatikan?! Kau tidak menjawab pertanyaanku!”
Di lantai batu pualam Puti Andini seolah baru sadar akan keadaan dirinya. Cepat-cepat dia merapikan pakaiannya yang robek agar auratnya tertutup. Bocah di atas dinding batu tersentak kaget dan senyum-senyum malu.
“Naga Kuning! Jangan bertingkah tidak karuan! Siapa yang menyuruhmu tertawa!”
“Maafkan saya Kiai. Saya tidak kenal dengan gadis itu,” jawab Naga Kuning lalu mengusap wajahnya beberapa kali. Si orang tua memandang ke arah Puti Andini kembali lalu berkata.
“Pakaianmu walaupun basah menyatakan kau adalah seorang perempuan. Rambutmu yang panjang ikut membuktikan, tetapi mengapa kau mengenakan kumis palsu? Kedustaan apa yang ada di balik penyamaranmu itu?”
“Saya…. Tidak ada kedustaan apa-apa. Saya menyamar hanya untuk menghindarkan bahaya yang tidak diinginkan. Dunia persilatan akhir-akhir ini dilanda kemelut. Pembunuhan dan kematian muncul secara aneh, cepat tidak terduga semudah orang membalikkan tangan….”
“Apakah kau banyak musuh?”
“Tidak dan saya tidak pernah ingin punya musuh. Tapi tidak semua orang berpikiran seperti saya…” jawab Puti Andini pula. Habis berkata begitu Puti Andini tanggalkan kumis palsu yang melekat di atas bibirnya. Begitu kumis palsu tanggal maka semakin jelas kecantikan aslinya sebagai seorang gadis. Di atas dinding setengah lingkaran Naga Kuning kembali terpesona. Ini jelas terlihat pada pandangan matanya. Tapi ketika dilihatnya orang tua yang dipanggilnya dengan sebutan Kiai memutar kepala dan memandang melotot ke arahnya anak ini cepat-cepat tundukkan kepala, usap wajahnya beberapa kali.
“Puti Andini, tidak semua orang sanggup berenang dan menyelam lama di dalam air. Apalagi di telaga yang sangat dalam seperti Telaga Gajahmungkur. Tekanan air, hawa dasar telaga tanpa udara bisa memecahkan jantung. Tapi kau memiliki kemampuan untuk bertahan. Bahkan akhirnya masuk ke tempat ini. Apakah kakekmu yang bernama Tua Gila itu yang mengajarkan semacam ilmu padamu hingga kau bisa berenang dan menyelam sehebat yang telah kau lakukan?”
Puti Andini tak segera menjawab.
Orang tua di atas makam besarkan matanya. Dua ekor naga yang melilit di dinding batu menggeliat dan keluarkan suara mendesis.
*
* *
* *
TIGA BELAS
Mengapa kau tidak menjawab?! tanya orang tua itu.
“Bukan kakek saya yang memberikan ilmu itu,” jawab Puti Andini.
“Lalu siapa?”
“Seorang nenek sakti….”
“Apa dia tidak punya nama?”
“Dia pasti punya nama. Tapi saya tidak sempat menanyakan…” jawab Puti Andini.
“Aneh kedengarannya. Seolah tidak berbudi. Orang memberimu ilmu kepandaian. Menanyakan namanya pun kau tidak….”
Puti Andini tidak menjawab. Seperti diketahui ilmu kepandaian yang memungkinkan gadis itu sanggup berenang dan menyelam lama di dalam air diberikan oleh Sika Sure Jelantik. Sesaat setelah ilmu itu masuk ke dalam tubuhnya Puti Andini jatuh pingsan sehingga dia tidak sempat lagi bertanya siapa adanya nenek itu. Yang diketahuinya adalah bahwa si nenek tengah mencari Tua Gila dan bermaksud hendak membunuh kakeknya itu. (Baca Episode “Lembah Akhirat”)
“Anak manusia,” orang tua yang tegak melayang di atas makam kembali membuka mulut.
“Katamu tadi kedatanganmu ke sini adalah dengan petunjuk dan perintah kakekmu yang bergelar tua Gila. Petunjuk apa? Perintah apa?”
“Saya… saya tidak bisa menceritakannya….”
“Hemm…. Kenapa?!”
“Tidak kenapa-napa. Hanya tidak bisa saja…” jawab Puti Andini.
Dua ekor naga besar mendesis keras dan membuka mulut lebar-lebar. Lidah bercabang menjulur ke bawah. Tiba-tiba binatang-binatang ini meluncurkan kepalanya ke bawah, ke arah Puti Andini. walau tak sampai menyentuh dirinya namun Puti Andini laksana copot jantungnya karena takut dan terkejut.
“Anak manusia. Aku sudah berkata tadi. Di tempat ini tidak boleh ada kedustaan atau hal yang ditutup-tutupi. Kematian sangat dekat dengan dirimu. Seperti dekatnya kedua matamu satu sama lain….” Dua ekor naga keluarkan suara mendesis. Membuat Puti Andini menjadi kecut.
“Saya kemari mencari sesuatu….” Akhirnya si gadis berkata.
“Sesuatu! Sesuatu apa? Bicara yang jelas!”
“Atas suruhan Tua Gila saya kemari mencari sebilah pedang sakti bernama Pedang Naga Suci 212.” Menerangkan Puti Andini.
Berubahlah paras si orang tua mendengar keterangan Puti Andini itu. Di atas dinding berbentuk setengah lingkaran. Naga Kuning usap wajahnya berulang kali. Di bawahnya dua ekor naga yang melilit di dinding batu keluarkan suara aneh seperti suara lolongan anjing di malam buta. Di saat bersamaan, di atas makam di sekitar tegaknya si orang tua berkiblat petir dua kali berturut-turut. Suara menggemuruh keluar dari dalam lobang bernama Liang Lahat. Beberapa saat kemudian setelah suasana reda, orang tua berselempang kain putih bertanya.
“Mengapa Tua Gila menyuruhmu mencari Pedang Naga Suci 212 itu? Apakah itu miliknya sehingga dia enak saja menyuruhmu begitu rupa?”
“Menurut penuturan kakek, senjata mustika sakti itu Sebenarnya memang bukan menjadi bagiannya. Tapi seseorang telah menukarnya dengan satu senjata lain. Bahkan kemudian juga mengambil pedang lalu menyembunyikannya di dasar Telaga Gajahmungkur….”
“Hemmm.,.. Kalau Tua Gila merasa Pedang Naga Suci 212 adalah miliknya mengapa tidak dia sendiri yang datang mencarinya ke mari?”
“Saya tidak tahu alasannya. Setahu saya dia tengah menghadapi urusan besar dalam rimba persilatan. Saya sendiri sebenarnya merasa tidak pantas mendapatkan senjata itu. Namun kakek memaksa karena dia dan saya masih ada pertalian darah. Disamping itu kalau senjata tersebut memang saya dapatkan akan saya pergunakan untuk menolong seseorang. Karena kabarnya Pedang Naga Suci 212 memiliki keampuhan daya pengobatan luar biasa….”
Orang tua di atas lobang makam untuk beberapa lamanya saling berpandangan dengan anak yang duduk di kursi batu di atas dinding tinggi setengah lingkaran. Lalu dia berpaling menatap Puti Andini dan bertanya.
“Bagaimana aku bisa mempercayai keteranganmu bahwa Tua Gila yang menyuruhmu datang ke tempat ini?” Lama Puti Andini terdiam sebelum memberikan jawaban.
“Saya memang tidak bisa membuktikan. Saya juga tidak bisa berkata lain. Saya hanya mengikuti ucapanmu tadi. Bahwa tidak boleh ada kedustaan di tempat ini….”
Paras si orang tua tampak kaku membesi mendengar ucapan Puti Andini itu.
“Kau mengatakan bahwa jika kau mendapatkan Pedang Naga Suci 212 maka senjata sakti itu akan kau .pergunakan untuk mengobati seseorang. Mengobati siapa?”
“Seorang pemuda bernama Wiro Sableng. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Setahu saya dia pernah dianggap murid oleh Tua Gila.”
“Semakin aneh jalan ceritamu. Penyakit apa yang menimpa orang itu hingga seolah hanya Pedang Naga Suci 212 yang sanggup mengobatinya?”
“Pendekar itu kehilangan ilmu kesaktian dan tenaga dalamnya karena melakukan sesuatu yang terlarang….”
“Kalau memang begitu ceritanya bukankah pantas dia menerima musibah itu? Seorang pendekar begitu mudah melanggar pantangan!”
“Saya tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan dirinya. Namun sebagai seorang yang pernah mengenalnya saya sudah menganggapnya sebagai sahabat. Itu sebabnya saya mau menolong….”
“Apa benar hanya karena perasaan bersahabat saja kau ingin menolong Pendekar 212? Bukan karena dorongan perasaan lain? Rasa sayang, cinta atau suka padanya?”
Paras Puti Andini menjadi merah mendengar ucapan si orang tua. Di atas kursi batu Naga Kuning tampak tersenyum-senyum. Si orang tua sendiri tetap dingin wajah dan sorotan sepasang matanya. Tiba-tiba dia menjentikkan ibu jari dan jari tengahnya dua kali berturut-turut.
Dua ekor naga yang bergelung di dinding tinggi menggeliat dan keluarkan suara mendesis keras. Lalu keduanya meluncur turun sepanjang dinding batu tinggi masuk ke dalam Liang Lahat hingga akhirnya lenyap dari pemandangan. Sesaat setelah lenyapnya dua binatang aneh mengerikan ini di dasar lobang terdengar suara menggemuruh. Begitu suara gemuruh lenyap keadaan di tempat itu menjadi tenang kembali. Puti Andini menarik nafas lega. Paling tidak dua makhluk yang menyeramkan yang membuatnya kecut setengah mati tak ada lagi di hadapannya. Namun kejutnya bukan alang kepalang ketika mendadak didengarnya orang tua di atas makam berseru.
“Naga Kuning! Aku merasa anak manusia satu ini tidak pantas berada di tempat ini. Semua ceritanya bohong dusta belaka! Apa dia mengira bisa menipu diriku?! Lemparkan dia ke dalam Liang Lahat!”
“Orang tua!” seru Puti Andini tercekat.
“Kiai!” Naga Kuning keluarkan seruan tertahan. Tubuhnya sampai tertegak di atas kursi yang didudukinya. Dia menatap melotot pada orang tua „di bawah sana yang balik memandang padanya dengan mata mendelik dan wajah sedingin salju!
“Naga Kuning! Kau tidak tuli! Kau mendengar apa perintahku! Lemparkan anak manusia itu ke dalam Liang Lahat!” Waktu bicara paras si orang tua tampak bertambah garang.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas…” ujar Naga kuning seolah ingin memastikan bahwa si orang tua tidak salah mengucap berikan perintah. Namun ucapannya segera dipotong.
“Jika kau tidak mau melemparkannya ke dalam Liang Lahat maka aku akan menyuruhnya melemparkan kau ke dalam lobang itu!” Berubahlah paras Naga Kuning.
“Orang tua itu tidak main-main…. Apa boleh buat. Gadis cantik, masih putih bersih begini rupa harus menerima kematian secara mengenaskan. Ah, betapa malangnya…. Tuhan, jika Kau mendengar permintaanku tolong gadis itu!”
“Naga Kuning!” suara si orang tua menggelegar.
Anak kecil di atas dinding batu sana tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia melompat dari kursi. Melayang turun ke arah Puti Andini yang saat itu masih tergeletak duduk di lantai batu pualam. Dinding batu setengah lingkaran itu terpisah belasan tombak dengan lantai batu pualam. Namun Naga Kecil menjejakkan kedua kakinya di lantai tanpa suara dan tanpa kaki bergoyang sedikit pun. Si anak memandang sedih pada gadis di hadapannya.
“Puti Andini, maafkan diriku. Aku harus melemparkan dirimu ke dalam Liang Lahat itu…” kata Naga Kuning dengari suara serak bergetar.
“Kau menurut perintahi Aku layak mempertahankan diri!” jawab Puti Andini. Dalam keadaan seperti itu hasrat untuk mempertahankan diri menimbulkan keberanian dalam diri si gadis. Dia salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Di hadapannya Naga Kuning masih diam sejenak. Tiba-tiba cepat sekali anak itu melesat ke hadapan Puti Andini.
“Bukan kakek saya yang memberikan ilmu itu,” jawab Puti Andini.
“Lalu siapa?”
“Seorang nenek sakti….”
“Apa dia tidak punya nama?”
“Dia pasti punya nama. Tapi saya tidak sempat menanyakan…” jawab Puti Andini.
“Aneh kedengarannya. Seolah tidak berbudi. Orang memberimu ilmu kepandaian. Menanyakan namanya pun kau tidak….”
Puti Andini tidak menjawab. Seperti diketahui ilmu kepandaian yang memungkinkan gadis itu sanggup berenang dan menyelam lama di dalam air diberikan oleh Sika Sure Jelantik. Sesaat setelah ilmu itu masuk ke dalam tubuhnya Puti Andini jatuh pingsan sehingga dia tidak sempat lagi bertanya siapa adanya nenek itu. Yang diketahuinya adalah bahwa si nenek tengah mencari Tua Gila dan bermaksud hendak membunuh kakeknya itu. (Baca Episode “Lembah Akhirat”)
“Anak manusia,” orang tua yang tegak melayang di atas makam kembali membuka mulut.
“Katamu tadi kedatanganmu ke sini adalah dengan petunjuk dan perintah kakekmu yang bergelar tua Gila. Petunjuk apa? Perintah apa?”
“Saya… saya tidak bisa menceritakannya….”
“Hemm…. Kenapa?!”
“Tidak kenapa-napa. Hanya tidak bisa saja…” jawab Puti Andini.
Dua ekor naga besar mendesis keras dan membuka mulut lebar-lebar. Lidah bercabang menjulur ke bawah. Tiba-tiba binatang-binatang ini meluncurkan kepalanya ke bawah, ke arah Puti Andini. walau tak sampai menyentuh dirinya namun Puti Andini laksana copot jantungnya karena takut dan terkejut.
“Anak manusia. Aku sudah berkata tadi. Di tempat ini tidak boleh ada kedustaan atau hal yang ditutup-tutupi. Kematian sangat dekat dengan dirimu. Seperti dekatnya kedua matamu satu sama lain….” Dua ekor naga keluarkan suara mendesis. Membuat Puti Andini menjadi kecut.
“Saya kemari mencari sesuatu….” Akhirnya si gadis berkata.
“Sesuatu! Sesuatu apa? Bicara yang jelas!”
“Atas suruhan Tua Gila saya kemari mencari sebilah pedang sakti bernama Pedang Naga Suci 212.” Menerangkan Puti Andini.
Berubahlah paras si orang tua mendengar keterangan Puti Andini itu. Di atas dinding berbentuk setengah lingkaran. Naga Kuning usap wajahnya berulang kali. Di bawahnya dua ekor naga yang melilit di dinding batu keluarkan suara aneh seperti suara lolongan anjing di malam buta. Di saat bersamaan, di atas makam di sekitar tegaknya si orang tua berkiblat petir dua kali berturut-turut. Suara menggemuruh keluar dari dalam lobang bernama Liang Lahat. Beberapa saat kemudian setelah suasana reda, orang tua berselempang kain putih bertanya.
“Mengapa Tua Gila menyuruhmu mencari Pedang Naga Suci 212 itu? Apakah itu miliknya sehingga dia enak saja menyuruhmu begitu rupa?”
“Menurut penuturan kakek, senjata mustika sakti itu Sebenarnya memang bukan menjadi bagiannya. Tapi seseorang telah menukarnya dengan satu senjata lain. Bahkan kemudian juga mengambil pedang lalu menyembunyikannya di dasar Telaga Gajahmungkur….”
“Hemmm.,.. Kalau Tua Gila merasa Pedang Naga Suci 212 adalah miliknya mengapa tidak dia sendiri yang datang mencarinya ke mari?”
“Saya tidak tahu alasannya. Setahu saya dia tengah menghadapi urusan besar dalam rimba persilatan. Saya sendiri sebenarnya merasa tidak pantas mendapatkan senjata itu. Namun kakek memaksa karena dia dan saya masih ada pertalian darah. Disamping itu kalau senjata tersebut memang saya dapatkan akan saya pergunakan untuk menolong seseorang. Karena kabarnya Pedang Naga Suci 212 memiliki keampuhan daya pengobatan luar biasa….”
Orang tua di atas lobang makam untuk beberapa lamanya saling berpandangan dengan anak yang duduk di kursi batu di atas dinding tinggi setengah lingkaran. Lalu dia berpaling menatap Puti Andini dan bertanya.
“Bagaimana aku bisa mempercayai keteranganmu bahwa Tua Gila yang menyuruhmu datang ke tempat ini?” Lama Puti Andini terdiam sebelum memberikan jawaban.
“Saya memang tidak bisa membuktikan. Saya juga tidak bisa berkata lain. Saya hanya mengikuti ucapanmu tadi. Bahwa tidak boleh ada kedustaan di tempat ini….”
Paras si orang tua tampak kaku membesi mendengar ucapan Puti Andini itu.
“Kau mengatakan bahwa jika kau mendapatkan Pedang Naga Suci 212 maka senjata sakti itu akan kau .pergunakan untuk mengobati seseorang. Mengobati siapa?”
“Seorang pemuda bernama Wiro Sableng. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Setahu saya dia pernah dianggap murid oleh Tua Gila.”
“Semakin aneh jalan ceritamu. Penyakit apa yang menimpa orang itu hingga seolah hanya Pedang Naga Suci 212 yang sanggup mengobatinya?”
“Pendekar itu kehilangan ilmu kesaktian dan tenaga dalamnya karena melakukan sesuatu yang terlarang….”
“Kalau memang begitu ceritanya bukankah pantas dia menerima musibah itu? Seorang pendekar begitu mudah melanggar pantangan!”
“Saya tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan dirinya. Namun sebagai seorang yang pernah mengenalnya saya sudah menganggapnya sebagai sahabat. Itu sebabnya saya mau menolong….”
“Apa benar hanya karena perasaan bersahabat saja kau ingin menolong Pendekar 212? Bukan karena dorongan perasaan lain? Rasa sayang, cinta atau suka padanya?”
Paras Puti Andini menjadi merah mendengar ucapan si orang tua. Di atas kursi batu Naga Kuning tampak tersenyum-senyum. Si orang tua sendiri tetap dingin wajah dan sorotan sepasang matanya. Tiba-tiba dia menjentikkan ibu jari dan jari tengahnya dua kali berturut-turut.
Dua ekor naga yang bergelung di dinding tinggi menggeliat dan keluarkan suara mendesis keras. Lalu keduanya meluncur turun sepanjang dinding batu tinggi masuk ke dalam Liang Lahat hingga akhirnya lenyap dari pemandangan. Sesaat setelah lenyapnya dua binatang aneh mengerikan ini di dasar lobang terdengar suara menggemuruh. Begitu suara gemuruh lenyap keadaan di tempat itu menjadi tenang kembali. Puti Andini menarik nafas lega. Paling tidak dua makhluk yang menyeramkan yang membuatnya kecut setengah mati tak ada lagi di hadapannya. Namun kejutnya bukan alang kepalang ketika mendadak didengarnya orang tua di atas makam berseru.
“Naga Kuning! Aku merasa anak manusia satu ini tidak pantas berada di tempat ini. Semua ceritanya bohong dusta belaka! Apa dia mengira bisa menipu diriku?! Lemparkan dia ke dalam Liang Lahat!”
“Orang tua!” seru Puti Andini tercekat.
“Kiai!” Naga Kuning keluarkan seruan tertahan. Tubuhnya sampai tertegak di atas kursi yang didudukinya. Dia menatap melotot pada orang tua „di bawah sana yang balik memandang padanya dengan mata mendelik dan wajah sedingin salju!
“Naga Kuning! Kau tidak tuli! Kau mendengar apa perintahku! Lemparkan anak manusia itu ke dalam Liang Lahat!” Waktu bicara paras si orang tua tampak bertambah garang.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas…” ujar Naga kuning seolah ingin memastikan bahwa si orang tua tidak salah mengucap berikan perintah. Namun ucapannya segera dipotong.
“Jika kau tidak mau melemparkannya ke dalam Liang Lahat maka aku akan menyuruhnya melemparkan kau ke dalam lobang itu!” Berubahlah paras Naga Kuning.
“Orang tua itu tidak main-main…. Apa boleh buat. Gadis cantik, masih putih bersih begini rupa harus menerima kematian secara mengenaskan. Ah, betapa malangnya…. Tuhan, jika Kau mendengar permintaanku tolong gadis itu!”
“Naga Kuning!” suara si orang tua menggelegar.
Anak kecil di atas dinding batu sana tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia melompat dari kursi. Melayang turun ke arah Puti Andini yang saat itu masih tergeletak duduk di lantai batu pualam. Dinding batu setengah lingkaran itu terpisah belasan tombak dengan lantai batu pualam. Namun Naga Kecil menjejakkan kedua kakinya di lantai tanpa suara dan tanpa kaki bergoyang sedikit pun. Si anak memandang sedih pada gadis di hadapannya.
“Puti Andini, maafkan diriku. Aku harus melemparkan dirimu ke dalam Liang Lahat itu…” kata Naga Kuning dengari suara serak bergetar.
“Kau menurut perintahi Aku layak mempertahankan diri!” jawab Puti Andini. Dalam keadaan seperti itu hasrat untuk mempertahankan diri menimbulkan keberanian dalam diri si gadis. Dia salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Di hadapannya Naga Kuning masih diam sejenak. Tiba-tiba cepat sekali anak itu melesat ke hadapan Puti Andini.
*
* *
* *
EMPAT BELAS
Kita tinggalkan dulu Puti Andini yang tengah menghadapi malapetaka besar, hendak dilemparkan ke dalam Liang Lahat oleh Naga kuning atas perintah orang tua bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas. Kita kembali dulu ke tempat terjadi bentrokan besar antara Ratu Duyung, Dewa Sedih dan Utusan Dari Akhirat. Seperti dituturkan sebelumnya karena tidak mampu membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan tidak sanggup menghadapi lawan-lawannya, ditambah dengan rasa takut terhadap hukuman yang akan dijatuhkan Datuk Lembah Akhirat, maka kakek aneh si Dewa Sedih ambil putusan gila yaitu bunuh diri. Dia menerjunkan diri dari atas pohon tinggi, kepala ke bawah kaki ke atas. Sesaat lagi kepalanya akan remuk menghantam tanah tiba-tiba terdengar suara pecut menderu di udara.
“Tar… tar… tar!” Lalu menyusul suara orang tertawa membahana. Di lain kejap satu tubuh gemuk melesat. Dua tangan diulurkan. Dua telapak tangan dikembangkan di atas tanah. Tepat di bagian mana kepala Dewa Sedih akan jatuhi
“Blukkk!”
Batok kepala Dewa Sedih mendarat di atas dua telapak tangan itu. Lalu dua tangan bergerak ke samping untuk meredam daya berat tubuh Dewa Sedih. Sesaat kemudian tampak tubuh si kakek dilemparkan ke udara setinggi empat tombak. Begitu turun dua tangan kembali menyambut. Kali ini memegang bahu Dewa Sedih lalu membantingkan orang tua ini ke tanah. Sesaat Dewa Sedih terkapar nanar. Telinganya menangkap suara orang tertawa keras sekali. Tampang Dewa Sedih langsung murung berat. Lalu terdengar suara ratapannya.
“Aku mendengar suara orang tertawa. Aku melihat langit. Aku melihat tanah. Mengapa aku tidak mati? Mengapa kepalaku tidak pecah? Hik… hik… hik!” Suara tawa membahana mendadak lenyap.
“Tua bangka gila! Hentikan tangismu! Manusia tidak tahu diri! Orang mati saja mau hidup kalau bisa! Kau yang masih bernafas ingin mampus! Apa pasal apa lantaran? Apa sudah bosan hidup? Ha… ha… ha?!
Yang tegak di tempat itu adalah seorang kakek gemuk luar biasa. Dia mengenakan celana hitam gombrong, baju putih kesempitan. Karena tidak dikancingkan maka perut dan dadanya yang gembrot berlemak kelihatan membusai bergoyang-goyang. Rambutnya yang sudah putih disanggul di atas kepala. Matanya sipit. Di sampingnya tegak seekor keledai kecil kurus. Lalu di sebelah belakang tegak seorang lelaki berpakaian serba hijau. Baik muka maupun rambutnya yang seperti sarang tawon juga berwarna hijau. Di bibirnya sebelah bawah menancap sepotong tulang. Mukanya penuh dengan benjolan-benjolan menjijikkan. Tangan kanannya tergontai-gontai. Ternyata tangan itu hancur remuk mulai sebatas pergelangan sampai ke ujung-ujung jari. Selain itu orang ini tampaknya berada dalam keadaan kaku tertotok karena dia sama sekali tidak bisa bergerak maupun bersuara. Orang ini bukan lain adalah salah seorang pembantu utama Datuk Lembah Akhirat yang dikenal dengan nama Pengiring Mayat Muka Hijau.
Sebelumnya telah diceritakan dalam Episode “Pedang Naga Suci 212” Dewa Ketawa tengah mengadakan perjalanan untuk mencari kakaknya si Dewa Sedih yang dikabarkan telah terjerat dalam perangkap Datuk Lembah Akhirat hingga masuk menjadi anggota orang-orang jahat lembah Akhirat. Di tengah jalan Dewa Ketawa bertemu dengan Pengiring Mayat Muka Hijau. Antara kedua orang ini terjadi perkelahian hebat. Pengiring Mayat Muka Hijau diketahui berkepandaian sangat tinggi dan memiliki pukulan sakti sangat berbahaya bernama Pukulan Penghancur Mayat yang juga dikenal dengan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Namun demikian Dewa ketawa adalah tokoh dunia persilatan yang dikenal sebagai dedengkot berperangai serba aneh, tak kalah aneh dengan kakaknya yaitu si Dewa Sedih walau dalam banyak hal sifat baik Dewa Ketawa lebih menonjol daripada sang kakak. Tak sampai berkelahi lima jurus Dewa Ketawa berhasil mencengkeram hancur tangan kanan Pengiring Mayat Muka Hijau yang sangat berbahaya itu. Bahkan kemudian Pengiring Mayat Muka Hijau ditotok hingga dia tidak berdaya lagi. Dalam keadaan seperti itu Dewa Ketawa menjambak rambut Pengiring Mayat Muka Hijau lalu menyeret orang itu dan melanjutkan perjalanan. Kini dengan petunjuk Pengiring Mayat Muka Hijau akan lebih mudah baginya mencari markas Datuk Lembah Akhirat. Dalam perjalanan menuju Lembah Akhirat inilah, ketika berada di sekitar Telaga Gajahmungkur Dewa Ketawa sampai di tempat kejadian di mana terjadi pertempuran hebat antara Ratu Duyung, Utusan Dari Akhirat dan kakaknya si Dewa Sedih. Sang adik datang tepat pada saat yang sangat genting ketika Dewa Sedih hendak bunuh diri dengan cara melompat terjun dari atas pohon besar. Untung si gendut ini masih sempat melakukan sesuatu menolong kakaknya. Melihat siapa yang datang Wiro Sableng menjadi lega. Dia segera keluar dari balik tempatnya berlindung. Ratu Duyung juga gembira karena sebelumnya sudah mengena! kakek gendut ini. Hanya Utusan Dari Akhirat yang tampak agak bingung karena tidak tahu siapa adanya Dewa Ketawa dan apa hubungannya dengan kakek bernama Dewa Sedih itu. Panji yang berada di tempat itu sambil usap-usap mukanya yang kotor oleh debu dan darah segera bangkit berdiri. Dewa Ketawa memandangi kakaknya sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
“Tua bangka sinting! Orang hendak membunuh aku kau masih bisa tertawa!” bentak Dewa Sedih. Lalu kakek ini menggerung keras. Tapi diam-diam dia gerakkan kedua tangannya ke dada. Ketika dua tangan itu dipukulkan ke depan terdengar suara berdentum dua kali berturut-turut. Lalu dari pinggiran ke dua tangannya meletup dua bola api yang menggelinding bergulung-gulung menyambar ke arah Ratu Duyung dan Utusan Dari Akhirat. Pukulan sakti yang mampu mengeluarkan bola-bola api itu adalah kesaktian sangat langka dan hanya dimiliki oleh Dewa Sedih.
Melihat dua bola api menerjang dahsyat ke arah mereka Ratu. Duyung segera kiblatkan cermin saktinya. Utusan Dari Akhirat langsung lepaskan pukulan Gerhana Matahari. Untuk kesekian kalinya tempat itu dilanda dentuman-dentuman keras disertai goncangan dahsyat. Dua bola api menjulang ke udara menutupi pemandangan.
“Ha… ha… hal Dewa Sedih! Kau masih saja senang bermain-main dengan bola-bola sialan ini!” Dewa Ketawa tertawa bergelak. Lalu kakek Ini kerahkan tenaga dalamnya ke mulut dan meniup keras-keras. Dalam rimba persilatan Dewa Ketawa dikenal memiliki ilmu aneh yaitu ilmu meniup. Dengan ilmunya itu dia sanggup menotok musuh, membuat lawan terpental dan cidera berat. Saat itu sampai empat kali dia meniup hingga mulut dan tenggorokannya terasa pedas. Ketika dua bola api lenyap Dewa Ketawa, Utusan Dari Akhirat dan Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terkesiap kaget. Ternyata Dewa Sedih tak ada lagi di tempat itu. Dan bukan dia saja! Pengiring Mayat Muka Hijau juga tak ada lagi di situ. Lalu Panji ikut lenyap entah ke mana. Dewa Ketawa memandang berkeliling. Lalu tertawa gelak-gelak.
“Di mana kakek sialan itu sembunyikan diri hah?! Eh, gembel muka hijau itu lari ke mana? Astaga. Keledaiku juga ikut lenyap! Siapa yang berani mencuri! Sialan betul! Ha… ha… ha! Apa-apaan ini! Ha… ha… ha…!”
Ketika pandangannya membentur Pendekar 212 Dewa Ketawa hentikan tawanya. Dia menunjuk-nunjuk dengan mulut termonyong-monyong.
“Sobatku muda!” Begitu Dewa Ketawa biasa memanggil Wiro.
“Ternyata kau berada di sini! Ha… ha… ha! Kudengar kabar kau sudah kawin dengan Ratu Duyung. Kawin benaran atau kawin-kawinan! Ha… ha… ha!”
“Sobatku gendut! Senang bertemu lagi dengan kau! Tapi jangan mulutmu nyablak asal bicara!” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng sambil tangan kirinya memberi tanda bahwa Ratu Duyung yang barusan disebutnya itu berada di samping kirinya, tegak tak bergerak dengan wajah memerah. Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak.
“Kau tak menjawab. Berarti kau tidak kawin benaran! Ha… ha… ha! Tapi hidup di dunia ini memang lebih sedap kalau cuma kawin-kawinan! Contoh saja diriku. Sudah tua bangka begini tak pernah kawin! Ha… ha… ha!” Perut dan dada Dewa Ketawa yang gembrot berguncang-guncang waktu tertawa. Lalu dia kembali menyerocos.
“Aku pernah melihat Ratu Duyung. Wajahnya cantik selangit. Bola matanya biru. Tubuhnya wangi! Kalau saja aku masih muda. Hemmm…. Ha… ha… ha!”
“Kerbau Bunting! Jaga mulutmu!” teriak Wiro sambil banting kaki dan garuk-garuk kepala.
“Ha… ha! Jangan pura-pura malu! Atau kau pura-pura alim sekarang! Hai, aku mau tanya. Ha… ha… ha! Waktu kau kawin-kawinan dengan Ratu Duyung apakah kekasihmu yang lain tidak cemburu dan marah padamu? Ha… ha… ha! Aku tahu semua nama mereka. Anggini…. Lalu gadis dari alam gaib bernama Suci itu. Kemudian si rambut pirang Bidadari Angin Timur. Rasanya masih ada beberapa lagi. Ya… ya… aku ingat. Si Pandansuri. Lalu yang terakhir namanya kalau aku tidak salah Puti Andini. Gadis seberang yang punya kepandaian memainkan tujuh payung. Mungkin ada lagi yang lain? Ha… ha… ha!”
“Gendut sialan! Mulutmu sudah keterlaluan!” bentak Wiro.
“Apa kau tidak melihat Ratu Duyung ada di sebelahmu?!” Dewa Ketawa terkejut. Dia usap mulutnya dengan belakang telapak tangan. Matanya sesaat membesar. Lalu dia kembali tertawa gelak-gelak.
“Sobatku muda, jangan kau membohongi diriku. Aku….” Seseorang berkelebat dan tegak di hadapan Dewa Ketawa.
“Aku Ratu Duyung memang ada di sini!” Melihat siapa yang berdiri di depannya kagetlah Dewa Ketawa. Si gemuk ini tersurut dua langkah. Matanya membelalak. Hidungnya bergerak-gerak dan mulutnya komat-kamit.
“Kau…. Betul kau Ratu Duyung? Pakaianmu pakaian hitam biasa. Mana mahkotamu…. Jangan-jangan bukan. Kau bukan Ratu Duyung. Tapi eh… wajahmu yang cantik memang aku kenali. Lalu sepasang matamu yang biru. Astaga! Kau betulan Ratu Duyung! Ha… ha… ha…! Aku gembira bertemu dengan kekasih sahabatku Pendekar 212!” Dewa Ketawa tertawa mengekeh.
“Orang tua, aku mendengar kau memang berwatak aneh. Tapi kalau bicara seperti tadi aku tidak bisa terima…” kata Ratu Duyung pula dengan suara keras pertanda marah.
“Gadis cantik! Kalau kau tak suka menerima jangan diterima. Ha… ha… ha! Salah bicara sudah biasa! Aku tidak akan minta maaf padamu! Aku akan tertawa saja sampai puas. Ha… ha… ha…!” Ratu Duyung berpaling pada Wiro. Dia memberi isyarat seraya berkata.
“Aku akan meninggalkan tempat ini. Kalau kau ingin menemani tua bangka gendut gila ini silahkan saja!” Murid Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala. Hendak pergi sebenarnya dia ingin bicara banyak dengan Dewa Ketawa. Kalau tetap di situ dia merasa tidak enak terhadap Ratu Duyung. Akhirnya Wiro berkata.
“Sobatku Gendut aku terpaksa pergi. Temui aku dua hari lagi di tempat ini!”
“Siapa sudi berjanji dengan kau! Lagi pula aku ingin menyelidik. Mengapa kalian hendak membunuh kakakku si Dewa Sedih….”
“Siapa yang membunuhnya! Tua bangka tolol itu mau bunuh diri sendiri!” Yang menjawab Ratu Duyung dengan suara sengit karena masih sangat marah terhadap Dewa Ketawa.
“Kakakku memang brengsek. Tapi dia tidak pernah dusta. Tadi dia mengatakan kalian hendak membunuhnya! Jadi aku harus percaya dan harus tahu apa sebabnya. Kalian orang-orang golongan putih. Mengapa berserikat hendak membunuh sesama golongan?” Bicara sampai di situ Dewa Ketawa berpaling pada Utusan Dari Akhirat.
“Kecuali pemuda ini. Aku tidak tahu siapa kau adanya. Sesama teman golongan putih?”
“Perduli dengan segala macam golongan! Kau mau menyelidik itu urusanmu! Saat ini yang ingin aku lakukan adalah membunuh pemuda gondrong bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini!”
“Oo…oo!” Dewa Ketawa pencongkan mulut lalu tertawa gelak-gelak.
“Jika dia berniat jahat terhadap saudaraku, berarti aku yang akan menghajarnya! Jangan sekali-kali kau berani memotong!”
Utusan Dari Akhirat mana perdulikan ucapan kakek gendut itu. Dia berputar ke arah Wiro lalu langsung menghantam dengan pukulan Gerhana Matahari. Dewa Ketawa tidak tinggal diam. Didahului dengan suara tawa mengekeh si gendut ini berkelebat memintas serangan Utusan Dari Akhirat. Cemeti keledai di tangan kanannya dihantamkan ke udara.
“Tar… tar… tar!”
Tiga larik sinar maut yang keluar dari tangan kanan Utusan Dari Akhirat berdentum dan bertabur di udara begitu cemeti berkiblat. Baik Dewa Ketawa maupun Utusan Dari Akhirat sama-sama berseru kaget dan tersurut ke belakang. Dewa Ketawa lemparkan cemeti keledai yang terbakar hangus dan mengepulkan asap. Dia mendelik memperhatikan tangan kanannya yang tampak merah dan bergetar. Di seberang sana Utusan Dari Akhirat terbungkuk-bungkuk menahan sakit. Mukanya pucat pasi. Lengan pakaiannya tampak hangus terkena hawa panas pukulan sakti yang dilepaskannya dan berbalik menyerang dirinya sendiri.
“Gendut jahanam! Kau berani menghalangiku!” bentak Utusan Dari Akhirat.
“Pemuda sompret! Berani kau memakiku!” balas berteriak Dewa Ketawa;
“Aku akan mengiringi kematianmu dengan tertawa!” Habis berkata begitu Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. Lalu dia meniup ke depan. Utusan Dari Akhirat merasakan ada satu gelombang angin dahsyat menghantam ke arahnya.
“Tunggu!” pemuda itu berteriak.
“Pemuda yang hendak kita bunuh tak ada lagi di sini! Jika kita meneruskan perkelahian ini pasti dia lari jauh dan sulit dikejar!”
Dewa Ketawa memandang berkeliling. Saat itu baik Wiro maupun Ratu Duyung memang tak ada lagi di tempat itu.
“Anak gila! Berani dia melarikan diri!” Memaki Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
Melihat si gendut tidak meneruskan serangannya, Utusan Dari Akhirat segera berkelebat tinggalkan tempat itu. Dewa Ketawa hentikan gelaknya. Dia kembali memandang berkeliling.
“Heh…. Pemuda sialan satu lagi itu juga lenyap. Aku tinggal sendiri! Ha… ha… ha…!” Sesaat Dewa Ketawa masih saja terus tertawa sambi! manggut-manggut Tiba-tiba suara tawanya lenyap. Dia ingat sesuatu.
“Pemuda yang aku tidak kenal tadi. Dia melepaskan pukulan Gerhana Matahari. Aku tahu betul! Aha…. Apa hubungannya dengan Pangeran Matahari yang sudah kojor itu? Adik seperguruan…. Ha… ha… ha…. Ini hal lucu yang perlu aku selidiki!”
Dewa Ketawa masukkan dua jari tangan kirinya ke dalam mulut lalu keluarkan suara bersuit dua kali. Sesaat kemudian dari balik sebatang pohon besar melangkah keluar tunggangan kesayangannya yaitu si keledai pendek kurus. Begitu binatang ini sampai di depannya Dewa Ketawa langsung naik ke atas punggungnya. Biasanya dia pergunakan cemeti untuk membedal binatang itu. Tapi karena cemetinya tadi terbakar hangus terpaksa dia pergunakan tangan untuk menepuk pinggul tunggangannya. Keledai kurus itu melenguh kesakitan lalu lari meninggalkan tempat itu. Sebentar saja keledai dan penunggangnya yang gemuk telah lenyap.
Sebenarnya Dewa Ketawa tidak betul-betul menunggangi keledai kurus kecil itu. Walau pantatnya kelihatan seperti duduk di atas punggung keledai tapi ke dua kakinya yang gemuk besar menyentuh tanah dan berlari kencang mengikuti larinya keledai. Sepasang kaki Dewa Ketawa beratnya puluhan kati. Namun demikian sama sekali tidak terdengar gedebuk suara kakinya waktu berlari.
“Tar… tar… tar!” Lalu menyusul suara orang tertawa membahana. Di lain kejap satu tubuh gemuk melesat. Dua tangan diulurkan. Dua telapak tangan dikembangkan di atas tanah. Tepat di bagian mana kepala Dewa Sedih akan jatuhi
“Blukkk!”
Batok kepala Dewa Sedih mendarat di atas dua telapak tangan itu. Lalu dua tangan bergerak ke samping untuk meredam daya berat tubuh Dewa Sedih. Sesaat kemudian tampak tubuh si kakek dilemparkan ke udara setinggi empat tombak. Begitu turun dua tangan kembali menyambut. Kali ini memegang bahu Dewa Sedih lalu membantingkan orang tua ini ke tanah. Sesaat Dewa Sedih terkapar nanar. Telinganya menangkap suara orang tertawa keras sekali. Tampang Dewa Sedih langsung murung berat. Lalu terdengar suara ratapannya.
“Aku mendengar suara orang tertawa. Aku melihat langit. Aku melihat tanah. Mengapa aku tidak mati? Mengapa kepalaku tidak pecah? Hik… hik… hik!” Suara tawa membahana mendadak lenyap.
“Tua bangka gila! Hentikan tangismu! Manusia tidak tahu diri! Orang mati saja mau hidup kalau bisa! Kau yang masih bernafas ingin mampus! Apa pasal apa lantaran? Apa sudah bosan hidup? Ha… ha… ha?!
Yang tegak di tempat itu adalah seorang kakek gemuk luar biasa. Dia mengenakan celana hitam gombrong, baju putih kesempitan. Karena tidak dikancingkan maka perut dan dadanya yang gembrot berlemak kelihatan membusai bergoyang-goyang. Rambutnya yang sudah putih disanggul di atas kepala. Matanya sipit. Di sampingnya tegak seekor keledai kecil kurus. Lalu di sebelah belakang tegak seorang lelaki berpakaian serba hijau. Baik muka maupun rambutnya yang seperti sarang tawon juga berwarna hijau. Di bibirnya sebelah bawah menancap sepotong tulang. Mukanya penuh dengan benjolan-benjolan menjijikkan. Tangan kanannya tergontai-gontai. Ternyata tangan itu hancur remuk mulai sebatas pergelangan sampai ke ujung-ujung jari. Selain itu orang ini tampaknya berada dalam keadaan kaku tertotok karena dia sama sekali tidak bisa bergerak maupun bersuara. Orang ini bukan lain adalah salah seorang pembantu utama Datuk Lembah Akhirat yang dikenal dengan nama Pengiring Mayat Muka Hijau.
Sebelumnya telah diceritakan dalam Episode “Pedang Naga Suci 212” Dewa Ketawa tengah mengadakan perjalanan untuk mencari kakaknya si Dewa Sedih yang dikabarkan telah terjerat dalam perangkap Datuk Lembah Akhirat hingga masuk menjadi anggota orang-orang jahat lembah Akhirat. Di tengah jalan Dewa Ketawa bertemu dengan Pengiring Mayat Muka Hijau. Antara kedua orang ini terjadi perkelahian hebat. Pengiring Mayat Muka Hijau diketahui berkepandaian sangat tinggi dan memiliki pukulan sakti sangat berbahaya bernama Pukulan Penghancur Mayat yang juga dikenal dengan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Namun demikian Dewa ketawa adalah tokoh dunia persilatan yang dikenal sebagai dedengkot berperangai serba aneh, tak kalah aneh dengan kakaknya yaitu si Dewa Sedih walau dalam banyak hal sifat baik Dewa Ketawa lebih menonjol daripada sang kakak. Tak sampai berkelahi lima jurus Dewa Ketawa berhasil mencengkeram hancur tangan kanan Pengiring Mayat Muka Hijau yang sangat berbahaya itu. Bahkan kemudian Pengiring Mayat Muka Hijau ditotok hingga dia tidak berdaya lagi. Dalam keadaan seperti itu Dewa Ketawa menjambak rambut Pengiring Mayat Muka Hijau lalu menyeret orang itu dan melanjutkan perjalanan. Kini dengan petunjuk Pengiring Mayat Muka Hijau akan lebih mudah baginya mencari markas Datuk Lembah Akhirat. Dalam perjalanan menuju Lembah Akhirat inilah, ketika berada di sekitar Telaga Gajahmungkur Dewa Ketawa sampai di tempat kejadian di mana terjadi pertempuran hebat antara Ratu Duyung, Utusan Dari Akhirat dan kakaknya si Dewa Sedih. Sang adik datang tepat pada saat yang sangat genting ketika Dewa Sedih hendak bunuh diri dengan cara melompat terjun dari atas pohon besar. Untung si gendut ini masih sempat melakukan sesuatu menolong kakaknya. Melihat siapa yang datang Wiro Sableng menjadi lega. Dia segera keluar dari balik tempatnya berlindung. Ratu Duyung juga gembira karena sebelumnya sudah mengena! kakek gendut ini. Hanya Utusan Dari Akhirat yang tampak agak bingung karena tidak tahu siapa adanya Dewa Ketawa dan apa hubungannya dengan kakek bernama Dewa Sedih itu. Panji yang berada di tempat itu sambil usap-usap mukanya yang kotor oleh debu dan darah segera bangkit berdiri. Dewa Ketawa memandangi kakaknya sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
“Tua bangka sinting! Orang hendak membunuh aku kau masih bisa tertawa!” bentak Dewa Sedih. Lalu kakek ini menggerung keras. Tapi diam-diam dia gerakkan kedua tangannya ke dada. Ketika dua tangan itu dipukulkan ke depan terdengar suara berdentum dua kali berturut-turut. Lalu dari pinggiran ke dua tangannya meletup dua bola api yang menggelinding bergulung-gulung menyambar ke arah Ratu Duyung dan Utusan Dari Akhirat. Pukulan sakti yang mampu mengeluarkan bola-bola api itu adalah kesaktian sangat langka dan hanya dimiliki oleh Dewa Sedih.
Melihat dua bola api menerjang dahsyat ke arah mereka Ratu. Duyung segera kiblatkan cermin saktinya. Utusan Dari Akhirat langsung lepaskan pukulan Gerhana Matahari. Untuk kesekian kalinya tempat itu dilanda dentuman-dentuman keras disertai goncangan dahsyat. Dua bola api menjulang ke udara menutupi pemandangan.
“Ha… ha… hal Dewa Sedih! Kau masih saja senang bermain-main dengan bola-bola sialan ini!” Dewa Ketawa tertawa bergelak. Lalu kakek Ini kerahkan tenaga dalamnya ke mulut dan meniup keras-keras. Dalam rimba persilatan Dewa Ketawa dikenal memiliki ilmu aneh yaitu ilmu meniup. Dengan ilmunya itu dia sanggup menotok musuh, membuat lawan terpental dan cidera berat. Saat itu sampai empat kali dia meniup hingga mulut dan tenggorokannya terasa pedas. Ketika dua bola api lenyap Dewa Ketawa, Utusan Dari Akhirat dan Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terkesiap kaget. Ternyata Dewa Sedih tak ada lagi di tempat itu. Dan bukan dia saja! Pengiring Mayat Muka Hijau juga tak ada lagi di situ. Lalu Panji ikut lenyap entah ke mana. Dewa Ketawa memandang berkeliling. Lalu tertawa gelak-gelak.
“Di mana kakek sialan itu sembunyikan diri hah?! Eh, gembel muka hijau itu lari ke mana? Astaga. Keledaiku juga ikut lenyap! Siapa yang berani mencuri! Sialan betul! Ha… ha… ha! Apa-apaan ini! Ha… ha… ha…!”
Ketika pandangannya membentur Pendekar 212 Dewa Ketawa hentikan tawanya. Dia menunjuk-nunjuk dengan mulut termonyong-monyong.
“Sobatku muda!” Begitu Dewa Ketawa biasa memanggil Wiro.
“Ternyata kau berada di sini! Ha… ha… ha! Kudengar kabar kau sudah kawin dengan Ratu Duyung. Kawin benaran atau kawin-kawinan! Ha… ha… ha!”
“Sobatku gendut! Senang bertemu lagi dengan kau! Tapi jangan mulutmu nyablak asal bicara!” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng sambil tangan kirinya memberi tanda bahwa Ratu Duyung yang barusan disebutnya itu berada di samping kirinya, tegak tak bergerak dengan wajah memerah. Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak.
“Kau tak menjawab. Berarti kau tidak kawin benaran! Ha… ha… ha! Tapi hidup di dunia ini memang lebih sedap kalau cuma kawin-kawinan! Contoh saja diriku. Sudah tua bangka begini tak pernah kawin! Ha… ha… ha!” Perut dan dada Dewa Ketawa yang gembrot berguncang-guncang waktu tertawa. Lalu dia kembali menyerocos.
“Aku pernah melihat Ratu Duyung. Wajahnya cantik selangit. Bola matanya biru. Tubuhnya wangi! Kalau saja aku masih muda. Hemmm…. Ha… ha… ha!”
“Kerbau Bunting! Jaga mulutmu!” teriak Wiro sambil banting kaki dan garuk-garuk kepala.
“Ha… ha! Jangan pura-pura malu! Atau kau pura-pura alim sekarang! Hai, aku mau tanya. Ha… ha… ha! Waktu kau kawin-kawinan dengan Ratu Duyung apakah kekasihmu yang lain tidak cemburu dan marah padamu? Ha… ha… ha! Aku tahu semua nama mereka. Anggini…. Lalu gadis dari alam gaib bernama Suci itu. Kemudian si rambut pirang Bidadari Angin Timur. Rasanya masih ada beberapa lagi. Ya… ya… aku ingat. Si Pandansuri. Lalu yang terakhir namanya kalau aku tidak salah Puti Andini. Gadis seberang yang punya kepandaian memainkan tujuh payung. Mungkin ada lagi yang lain? Ha… ha… ha!”
“Gendut sialan! Mulutmu sudah keterlaluan!” bentak Wiro.
“Apa kau tidak melihat Ratu Duyung ada di sebelahmu?!” Dewa Ketawa terkejut. Dia usap mulutnya dengan belakang telapak tangan. Matanya sesaat membesar. Lalu dia kembali tertawa gelak-gelak.
“Sobatku muda, jangan kau membohongi diriku. Aku….” Seseorang berkelebat dan tegak di hadapan Dewa Ketawa.
“Aku Ratu Duyung memang ada di sini!” Melihat siapa yang berdiri di depannya kagetlah Dewa Ketawa. Si gemuk ini tersurut dua langkah. Matanya membelalak. Hidungnya bergerak-gerak dan mulutnya komat-kamit.
“Kau…. Betul kau Ratu Duyung? Pakaianmu pakaian hitam biasa. Mana mahkotamu…. Jangan-jangan bukan. Kau bukan Ratu Duyung. Tapi eh… wajahmu yang cantik memang aku kenali. Lalu sepasang matamu yang biru. Astaga! Kau betulan Ratu Duyung! Ha… ha… ha…! Aku gembira bertemu dengan kekasih sahabatku Pendekar 212!” Dewa Ketawa tertawa mengekeh.
“Orang tua, aku mendengar kau memang berwatak aneh. Tapi kalau bicara seperti tadi aku tidak bisa terima…” kata Ratu Duyung pula dengan suara keras pertanda marah.
“Gadis cantik! Kalau kau tak suka menerima jangan diterima. Ha… ha… ha! Salah bicara sudah biasa! Aku tidak akan minta maaf padamu! Aku akan tertawa saja sampai puas. Ha… ha… ha…!” Ratu Duyung berpaling pada Wiro. Dia memberi isyarat seraya berkata.
“Aku akan meninggalkan tempat ini. Kalau kau ingin menemani tua bangka gendut gila ini silahkan saja!” Murid Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala. Hendak pergi sebenarnya dia ingin bicara banyak dengan Dewa Ketawa. Kalau tetap di situ dia merasa tidak enak terhadap Ratu Duyung. Akhirnya Wiro berkata.
“Sobatku Gendut aku terpaksa pergi. Temui aku dua hari lagi di tempat ini!”
“Siapa sudi berjanji dengan kau! Lagi pula aku ingin menyelidik. Mengapa kalian hendak membunuh kakakku si Dewa Sedih….”
“Siapa yang membunuhnya! Tua bangka tolol itu mau bunuh diri sendiri!” Yang menjawab Ratu Duyung dengan suara sengit karena masih sangat marah terhadap Dewa Ketawa.
“Kakakku memang brengsek. Tapi dia tidak pernah dusta. Tadi dia mengatakan kalian hendak membunuhnya! Jadi aku harus percaya dan harus tahu apa sebabnya. Kalian orang-orang golongan putih. Mengapa berserikat hendak membunuh sesama golongan?” Bicara sampai di situ Dewa Ketawa berpaling pada Utusan Dari Akhirat.
“Kecuali pemuda ini. Aku tidak tahu siapa kau adanya. Sesama teman golongan putih?”
“Perduli dengan segala macam golongan! Kau mau menyelidik itu urusanmu! Saat ini yang ingin aku lakukan adalah membunuh pemuda gondrong bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini!”
“Oo…oo!” Dewa Ketawa pencongkan mulut lalu tertawa gelak-gelak.
“Jika dia berniat jahat terhadap saudaraku, berarti aku yang akan menghajarnya! Jangan sekali-kali kau berani memotong!”
Utusan Dari Akhirat mana perdulikan ucapan kakek gendut itu. Dia berputar ke arah Wiro lalu langsung menghantam dengan pukulan Gerhana Matahari. Dewa Ketawa tidak tinggal diam. Didahului dengan suara tawa mengekeh si gendut ini berkelebat memintas serangan Utusan Dari Akhirat. Cemeti keledai di tangan kanannya dihantamkan ke udara.
“Tar… tar… tar!”
Tiga larik sinar maut yang keluar dari tangan kanan Utusan Dari Akhirat berdentum dan bertabur di udara begitu cemeti berkiblat. Baik Dewa Ketawa maupun Utusan Dari Akhirat sama-sama berseru kaget dan tersurut ke belakang. Dewa Ketawa lemparkan cemeti keledai yang terbakar hangus dan mengepulkan asap. Dia mendelik memperhatikan tangan kanannya yang tampak merah dan bergetar. Di seberang sana Utusan Dari Akhirat terbungkuk-bungkuk menahan sakit. Mukanya pucat pasi. Lengan pakaiannya tampak hangus terkena hawa panas pukulan sakti yang dilepaskannya dan berbalik menyerang dirinya sendiri.
“Gendut jahanam! Kau berani menghalangiku!” bentak Utusan Dari Akhirat.
“Pemuda sompret! Berani kau memakiku!” balas berteriak Dewa Ketawa;
“Aku akan mengiringi kematianmu dengan tertawa!” Habis berkata begitu Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. Lalu dia meniup ke depan. Utusan Dari Akhirat merasakan ada satu gelombang angin dahsyat menghantam ke arahnya.
“Tunggu!” pemuda itu berteriak.
“Pemuda yang hendak kita bunuh tak ada lagi di sini! Jika kita meneruskan perkelahian ini pasti dia lari jauh dan sulit dikejar!”
Dewa Ketawa memandang berkeliling. Saat itu baik Wiro maupun Ratu Duyung memang tak ada lagi di tempat itu.
“Anak gila! Berani dia melarikan diri!” Memaki Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
Melihat si gendut tidak meneruskan serangannya, Utusan Dari Akhirat segera berkelebat tinggalkan tempat itu. Dewa Ketawa hentikan gelaknya. Dia kembali memandang berkeliling.
“Heh…. Pemuda sialan satu lagi itu juga lenyap. Aku tinggal sendiri! Ha… ha… ha…!” Sesaat Dewa Ketawa masih saja terus tertawa sambi! manggut-manggut Tiba-tiba suara tawanya lenyap. Dia ingat sesuatu.
“Pemuda yang aku tidak kenal tadi. Dia melepaskan pukulan Gerhana Matahari. Aku tahu betul! Aha…. Apa hubungannya dengan Pangeran Matahari yang sudah kojor itu? Adik seperguruan…. Ha… ha… ha…. Ini hal lucu yang perlu aku selidiki!”
Dewa Ketawa masukkan dua jari tangan kirinya ke dalam mulut lalu keluarkan suara bersuit dua kali. Sesaat kemudian dari balik sebatang pohon besar melangkah keluar tunggangan kesayangannya yaitu si keledai pendek kurus. Begitu binatang ini sampai di depannya Dewa Ketawa langsung naik ke atas punggungnya. Biasanya dia pergunakan cemeti untuk membedal binatang itu. Tapi karena cemetinya tadi terbakar hangus terpaksa dia pergunakan tangan untuk menepuk pinggul tunggangannya. Keledai kurus itu melenguh kesakitan lalu lari meninggalkan tempat itu. Sebentar saja keledai dan penunggangnya yang gemuk telah lenyap.
Sebenarnya Dewa Ketawa tidak betul-betul menunggangi keledai kurus kecil itu. Walau pantatnya kelihatan seperti duduk di atas punggung keledai tapi ke dua kakinya yang gemuk besar menyentuh tanah dan berlari kencang mengikuti larinya keledai. Sepasang kaki Dewa Ketawa beratnya puluhan kati. Namun demikian sama sekali tidak terdengar gedebuk suara kakinya waktu berlari.
*
* *
* *
LIMA BELAS
Burung-burung merpati yang ratusan banyaknya berkeliaran jinak di lembah sunyi berhawa sejuk itu. Sebagian dari burung-burung itu beterbangan berputar-putar di udara. Sebagian lagi bermalas-malasan bertengger di cabang atau ranting pepohonan. Tapi yang paling banyak adalah yang bergerombol berkeliaran di tanah sambil mencari apa saja yang bisa dipatuk dan dimakan. Inilah lembah yang dikenal dengan nama Lembah Merpati. Terletak di balik bukit kecil di utara Telaga Gajahmungkur. Saat itu menjelang tengah hari. Walau sang surya bersinar terik namun keadaan di Lembah Merpati tetap sejuk. Di satu tonjolan tanah yang ditumbuhi rumput subur sesosok tubuh berpakaian sedia kuning duduk sambil mempermainkan setangkai rumput. Wajahnya tak bisa dikenali karena kepala sampai ke rambut tertutup dengan sehelai cadar kain kuning. Burung-burung merpati berkeliaran di sekelilingnya. Yang jinak-jinak bertengger di bahu dan di atas kepalanya. Ada beberapa ekor duduk seperti mengeram di atas pangkuannya. Waktu berjalan seolah merayap. Di langit sang surya telah melewati titik tertingginya. Orang bercadar mulai gelisah. Dia memandang berkeliling. Sunyi, tak ada gerakan. Sesekali kesenyapan dipecahkan oleh gelepar sayap burung-burung merpati atau suara merpati jantan menggeru-geru mendekati merpati betina. Orang bercadar kuning membelai kuduk seekor merpati yang duduk di pangkuannya. Perlahan-lahan antara terdengar dan tiada dari mulutnya terdengar suara nyanyian.
Berbiduk ke hulu
Bersampan ke muara
Dua yang ditunggu
Seorang pun tidak menunjukkan muka
Terang di hulu
Mendung di muara
Kalau tak datang yang ditunggu
Rahasia akan terpendam seumur dunia
Panas di hulu Hujan di muara
Rahasia sengsara penuh duka sembilu Akankah terkuak menjadi bahagia
Berbiduk ke hulu Bersampan ke….
Bersampan ke muara
Dua yang ditunggu
Seorang pun tidak menunjukkan muka
Terang di hulu
Mendung di muara
Kalau tak datang yang ditunggu
Rahasia akan terpendam seumur dunia
Panas di hulu Hujan di muara
Rahasia sengsara penuh duka sembilu Akankah terkuak menjadi bahagia
Berbiduk ke hulu Bersampan ke….
Suara nyanyian terputus. Orang yang menyanyi dongakkan kepala lalu memasang telinga sambil memandang ke arah timur.
“Ada yang datang….” Sinar kegembiraan menyeruak di wajahnya yang terlindung cadar kuning. Dia tidak menunggu lama. Di balik rumpunan semak belukar dan pepohonan besar dia melihat seorang berlari cepat. Burung-burung merpati yang ada di sekitar situ terkejut beterbangan. Sesaat kemudian orang ini telah berada di sebelah sana. Dia seperti tidak mau memperlihatkan diri di tempat terbuka. Sengaja berlindung di balik batang pohon besar. Kedua tangannya ditutupkan ke wajahnya.
Dia mengenakan baju hitam tanpa lengan dan bercelana panjang hitam. Orang ini bukan lain adalah tokoh baru dalam dunia persilatan yang muncul dan memperkenalkan diri dengan nama Iblis Pemalu. Termasuk sebagai salah satu tokoh aneh karena di mana pun dia berada dan apa pun yang dilakukannya paling tidak salah satu tangannya selalu menutup wajahnya.
Iblis Pemalu mendehem beberapa kali..
Lalu dari balik pohon terdengar suaranya.
“Aku malu untuk bertanya. Tapi lebih malu lagi jika tidak bertanya: Apakah kau sudah lama sampai di Lembah Merpati ini?’!
Pertanyaan itu dijawab oleh si cadar kuning dengan ucapan berpantun.
“Begitu sang surya menerangi bumi. Tubuh letih ini telah berada di sini. Letih menunggu tidak seberapa. Dibanding dengan rasa cemas membara.”
“Malu aku kalau salah menduga. Tapi apakah maksud ucapanmu tadi berarti orang yang kau tunggu belum datang?” Iblis Pemalu kembali bertanya dari balik pohon.
“Layangkan mata seputar lembah. Tukikkan pandang ke atas tanah. Meneliti ke balik semak. Mengintip ke balik pohon. Adakah sosok yang terlihat? Padahal hati ini sudah gelisah memohon….”
Iblis Pemalu keluarkan desah panjang.
“Sungguh memalukan. Kurasa aku sudah datang sangat terlambat. Nyatanya yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Aku hanya akan berada di tempat ini sampai matahari terbenam. Kalau sampai saat itu orang yang kita tunggu tidak juga muncul, aku tidak akan malu-malu untuk angkat kaki dari tempat ini!”
“Malumu malumu sendiri. Gelisahku gelisahku sendiri. Tapi ada keterkaitan di antara kita. Mengapa pergi sebelum jelas duduk cerita?”
Iblis Pemalu terdiam. Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala. Perlahan-lahan rasa galau juga muncul di lubuk hatinya. Baru saat itu dirasakan keletihan tubuhnya. Dia datang dari tempat jauh. Membutuhkah sehari suntuk untuk sampai ke lembah itu. Iblis Pemalu menghela nafas panjang. Lalu duduk menjelepok di atas tanah di bawah pohon besar itu. Berdiam diri berlama-lama membuat Iblis Pemalu menjadi tidak enak. Dia lantas berseru bertanya.
“Apa yang kita lakukan kalau dia benar-benar tidak datang?”
“Hari masih panjang. Dia belum tentu tidak datang. Kepastian memang belum menjadi kenyataan. Hanya kesabaran jadi batu ujian,” menjawab orang bercadar kuning. Setiap katanya selalu seperti orang berpantun.
“Kalau dia tidak datang!” kata Iblis Pemalu berkata dari baiik pohon.
“Aku tidak akan malu-malu mengangkat sumpah! Aku tidak akan sudi membantu lagi. Biar semua rahasia ini terpendam di perut bumi! Kalau perlu aku lanjutkan sampai di perut neraka. Aku tidak malu! Aku….”
“Ssttt…!” Tiba-tiba orang bercadar memberi tanda.
“Berhenti berbicara. Telingaku mendengar suara. Ada orang mendatangi. Melangkah secepat angin. Berlari secepat topan….”
Baru saja si cadar kuning ini berkata demikian tiba-tiba di Lembah Merpati muncul seorang nenek bertopi berbentuk tanduk kerbau. Di bawah topi rambutnya yang putih melambai-lambai ditiup angin lembah. Dia mengenakan sehelai mantel hitam. Di bahunya bertengger seekor burung Merpati. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada orang bercadar kuning yang duduk di atas rumput. Dia tidak memandang berkeliling. Tetapi dia tahu kalau di balik sebatang pohon besar di belakangnya duduk mendekam sesosok tubuh.
“Sesuai perjanjian sesuai pintamu. Aku datang memenuhi undangan!” kata nenek bermantel hitam yang bukan lain adalah Sabai Nan Rancak si nenek sakti dari puncak Gunung Singgalang. Perlahan-lahan kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
Orang berpakaian dan bercadar kuning bangkit berdiri. Merpati yang bertengger di bahu dan kepalanya terbang ke udara. Yang tadi duduk di pangkuannya menggelepar ke atas lalu hinggap di bahu kirinya. Di balik pohon perlahan-lahan Iblis Pemalu berdiri pula. Dari sela-sela jarinya dia mengintip. Namun dia hanya bisa melihat punggung Sabai nan Rancak.
“Ada yang datang….” Sinar kegembiraan menyeruak di wajahnya yang terlindung cadar kuning. Dia tidak menunggu lama. Di balik rumpunan semak belukar dan pepohonan besar dia melihat seorang berlari cepat. Burung-burung merpati yang ada di sekitar situ terkejut beterbangan. Sesaat kemudian orang ini telah berada di sebelah sana. Dia seperti tidak mau memperlihatkan diri di tempat terbuka. Sengaja berlindung di balik batang pohon besar. Kedua tangannya ditutupkan ke wajahnya.
Dia mengenakan baju hitam tanpa lengan dan bercelana panjang hitam. Orang ini bukan lain adalah tokoh baru dalam dunia persilatan yang muncul dan memperkenalkan diri dengan nama Iblis Pemalu. Termasuk sebagai salah satu tokoh aneh karena di mana pun dia berada dan apa pun yang dilakukannya paling tidak salah satu tangannya selalu menutup wajahnya.
Iblis Pemalu mendehem beberapa kali..
Lalu dari balik pohon terdengar suaranya.
“Aku malu untuk bertanya. Tapi lebih malu lagi jika tidak bertanya: Apakah kau sudah lama sampai di Lembah Merpati ini?’!
Pertanyaan itu dijawab oleh si cadar kuning dengan ucapan berpantun.
“Begitu sang surya menerangi bumi. Tubuh letih ini telah berada di sini. Letih menunggu tidak seberapa. Dibanding dengan rasa cemas membara.”
“Malu aku kalau salah menduga. Tapi apakah maksud ucapanmu tadi berarti orang yang kau tunggu belum datang?” Iblis Pemalu kembali bertanya dari balik pohon.
“Layangkan mata seputar lembah. Tukikkan pandang ke atas tanah. Meneliti ke balik semak. Mengintip ke balik pohon. Adakah sosok yang terlihat? Padahal hati ini sudah gelisah memohon….”
Iblis Pemalu keluarkan desah panjang.
“Sungguh memalukan. Kurasa aku sudah datang sangat terlambat. Nyatanya yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Aku hanya akan berada di tempat ini sampai matahari terbenam. Kalau sampai saat itu orang yang kita tunggu tidak juga muncul, aku tidak akan malu-malu untuk angkat kaki dari tempat ini!”
“Malumu malumu sendiri. Gelisahku gelisahku sendiri. Tapi ada keterkaitan di antara kita. Mengapa pergi sebelum jelas duduk cerita?”
Iblis Pemalu terdiam. Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala. Perlahan-lahan rasa galau juga muncul di lubuk hatinya. Baru saat itu dirasakan keletihan tubuhnya. Dia datang dari tempat jauh. Membutuhkah sehari suntuk untuk sampai ke lembah itu. Iblis Pemalu menghela nafas panjang. Lalu duduk menjelepok di atas tanah di bawah pohon besar itu. Berdiam diri berlama-lama membuat Iblis Pemalu menjadi tidak enak. Dia lantas berseru bertanya.
“Apa yang kita lakukan kalau dia benar-benar tidak datang?”
“Hari masih panjang. Dia belum tentu tidak datang. Kepastian memang belum menjadi kenyataan. Hanya kesabaran jadi batu ujian,” menjawab orang bercadar kuning. Setiap katanya selalu seperti orang berpantun.
“Kalau dia tidak datang!” kata Iblis Pemalu berkata dari baiik pohon.
“Aku tidak akan malu-malu mengangkat sumpah! Aku tidak akan sudi membantu lagi. Biar semua rahasia ini terpendam di perut bumi! Kalau perlu aku lanjutkan sampai di perut neraka. Aku tidak malu! Aku….”
“Ssttt…!” Tiba-tiba orang bercadar memberi tanda.
“Berhenti berbicara. Telingaku mendengar suara. Ada orang mendatangi. Melangkah secepat angin. Berlari secepat topan….”
Baru saja si cadar kuning ini berkata demikian tiba-tiba di Lembah Merpati muncul seorang nenek bertopi berbentuk tanduk kerbau. Di bawah topi rambutnya yang putih melambai-lambai ditiup angin lembah. Dia mengenakan sehelai mantel hitam. Di bahunya bertengger seekor burung Merpati. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada orang bercadar kuning yang duduk di atas rumput. Dia tidak memandang berkeliling. Tetapi dia tahu kalau di balik sebatang pohon besar di belakangnya duduk mendekam sesosok tubuh.
“Sesuai perjanjian sesuai pintamu. Aku datang memenuhi undangan!” kata nenek bermantel hitam yang bukan lain adalah Sabai Nan Rancak si nenek sakti dari puncak Gunung Singgalang. Perlahan-lahan kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
Orang berpakaian dan bercadar kuning bangkit berdiri. Merpati yang bertengger di bahu dan kepalanya terbang ke udara. Yang tadi duduk di pangkuannya menggelepar ke atas lalu hinggap di bahu kirinya. Di balik pohon perlahan-lahan Iblis Pemalu berdiri pula. Dari sela-sela jarinya dia mengintip. Namun dia hanya bisa melihat punggung Sabai nan Rancak.
*
* *
* *
TAMAT
Episode berikutnya :
RAHASIA CINTA TUA GILA
Episode berikutnya :
RAHASIA CINTA TUA GILA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar