posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : DADU SETAN
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : DADU SETAN
SATU
DI UFUK barat cahaya sang surya mulai memudar. Warnanya yang putih benderang perlahan-lahan berubah kuning kemerahan pertanda tak selang berapa lama lagi akan memasuki titik tenggelam. Cahaya kuning ini menyaput sebuah bukit batu di selatan Losari yang puncaknya berbentuk aneh yaitu merupakan dua buah dinding tinggi pipih dan saling terpisah hanya sejarak satu jari. Jika angin bertiup melewati celah maka akan terdengar suara seperti tiupan seruling. Penduduk desa sekitar kaki bukit menganggap bukit itu angker. Boleh dikatakan tak ada seorangpun yang berani menginjakkan kaki di sekitar kaki bukit dan mereka memberi nama bukit itu Bukit Batu Bersuling.Pada petang menjelang senja itu empat orang kelihatan berkelebat dari arah timur. Gerakan mereka luar biasa cepat dan nyaris tanpa suara. Pertanda mereka adalah orang-orang rimba persilatan berkepandaian tinggi. Di depan sekali Rayi Jantra, bertindak sebagai penunjuk jalan. Lelaki muda yang masih menjabat Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini berkat pengobatan yang diberikan Purnama, dalam waktu dua hari mengalami kesembuhan dari cidera yang dialaminya.
Di belakang Rayi Jantra berlari kakek berkepala botak plontos berpakaian compang-camping, menggantung empat buah batok kelapa di leher. Kakek ini adalah Pengemis Empat Mata Angin yang telah menyelamatkan Rayi Jantra ketika dibuang di jurang oleh orang-orang Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.
Sambil berlari sebentar-sebentar si kakek menoleh ke belakang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Hai gondrong! Kapan kau akan memperbaiki letak anuku…” Si kakek bertanya.
“Sssshhh. Sepanjang jalan kau mungkin sudah bertanya seratus kali! Tenang saja Kek….” jawab Wiro.
“Siapa bisa tenang! Kalau aku kencing mancurnya ke atas, bukan ke bawah!” Pengemis Empat Mata Angin meradang. Seperti diceritakan dalam episode sebelumnya (Misteri Pedang Naga Merah) karena kejahilan Pengemis Empat Mata Angin, dengan mempergunakan Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad yang didapatnya dari Luhkentut yaitu seorang nenek sakti di negeri Latanahsilam, Wiro mempermainkan si kakek dengan cara menanggalkan anggota rahasianya. Ketika dipasang kembali Wiro sengaja memasang terbalik. Ini yang membuat Pengemis Empat Mata Angin menjadi khawatir uring-uringan dan terus-terusan mendesak bertanya.
“Kek, kita tengah menghadapi urusan besar. Nanti kalau sudah beres pasti anumu itu aku perbaiki
letaknya!” Pengemis Empat Mata Angin hanya bisa menggerutu panjang pendek mendengar ucapan Wiro. Orang ke empat dalam rombongan adalah Purnama, gadis jelita dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam.
Dia berlari di samping Wiro dan senyum-senyum melihat Pengemis Empat Mata Angin yang berlari sambil mengomel. “Aku mendengar suara tiupan suling…” Wiro keluarkan ucapan.
“Kita hampir sampai,” menyahuti Rayi Jantra. Dia menunjuk ke arah utara. Di kejauhan di atas pepohonan rimba belantara tampak tersembul menjulang Bukit Batu Bersuling. “Jika angin bertiup melewati celah dua lamping bukit akan mengeluarkan suara seperti suara seruling.” Menerangkan Rayi Jantra. Lalu dia menyambung ucapannya. “Di sekitar sini biasanya banyak berkeliaran para pengawal Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Hati-hati, setiap saat serangan bisa muncul membawa maut.”
“Aku tidak sudi mati dengan anuku terbalik!” Kata Pengemis Empat Mata Angin pula masih kesal.
Rayi Jantra menyelinap ke balik kerapatan pepohonan, berlari cepat di satu jalan setapak yang mendaki. Begitu jalan berubah menurun, di bawah sana kelihatan satu bangunan besar beratap rumbia tanpa dinding. Rayi Jantra hentikan lari, memandang tajam-tajam ke arah bangungan, pasang telinga.
“Aneh, mengapa sepi-sepi saja? Menurut perhitunganku malam ini akan ada pertemuan. Ternyata tak ada seekor kudapun dalam bangunan itu. Tak ada tamu yang datang.”
“Jangan-jangan kedatangan kita ke sini ada yang membocorkan,” ucap Purnama.
“Siapa?” tanya Rayi Jantra. Tak ada yang memberikan jawaban.
“Mana bangunan yang dinamai Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga?” tanya Wiro sambil membuka caping bambu pemberian Eyang Sinto Gendeng.
“Ikuti aku,” jawab Rayi Jantra.
Angin menjelang senja semakin kencang. Suara seperti tiupan seruling terdengar bertambah keras. Rayi Jantra dan tiga orang lainnya lewati bangungan beratap rumbia, berlari memasuki sebuah jalan kecil diapit deretan batu hitam setinggi dua tombak. Jalan kecil itu tertutup batu-batu bulat pipih. Namun keempat orang itu berlari di atasnya tanpa batu bergesek atau mengeluarkan suara. Mereka sampai di sebuah rumah panggung yang keadaannya kotor sekali.
“Jadi ini istana yang kau katakan itu…?” tanya Wiro.
Rayi Jantra cepat menjawab dengan goyangkan tangan lalu berbisik. “Aku melihat semakin banyak keanehan. Pertama keadaan yang sepi. Kedua, rumah panggung ini setahuku selalu dijaga oleh beberapa pengawal bercelana dan berdestar hitam, bertelanjang dada membekal golok. Ilmu golok mereka tidak bisa dianggap enteng. Saat ini tak seorangpun dari mereka tampak mata hidungnya.”
“Aku malah mencium adanya jebakan…” ucap Wiro pula sambil menggaruk kepala dan memandang berkeliling.
“Kita turun ke bawah,” kata Rayi Jantra. “Istana bejat itu ada di kolong bangunan ini. Aku bimbang apakah kita bisa memasuki. Setahuku pintu masuk hanya lewat satu pintu rahasia. Hanya orang-orang tertentu yang bisa membukanya.”
Keempat orang itu segera menuruni tangga. Di sebelah bawah mereka menemui sebuah dinding batu warna merah. Pada bagian tengah dinding terdapat sebuah pintu dalam keadaan terbuka.
“Pintu rahasia itu…” ucap Rayi Jantra perlahan sambil memperhatikan ke depan setengah tidak percaya. “Lagi-lagi aneh. Biasanya pintu rahasia itu selalu dalam keadaan tertutup.”
“Agaknya orang memberikan sambutan istimewa bagi kita. Ah pasti banyak sedekahan di dalam sana,” ucap Pengemis Empat Mata Angin sambil usap kepalanya yang botak plontos. “Aku kepingin tahu sorga apa yang ada dalam istana itu. Ha… ha… ha…”
Rayi Jantra, Wiro dan Purnama memperhatikan ke dalam bangunan lewat pintu batu yang terbuka. Gelap. Wiro kerahkan Ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung untuk melihat dan memeriksa keadaan dalam bangunan yang gelap itu. Namun tak berhasil. “Aneh, sudah beberapa kali aku mencoba tapi Ilmu Menembus Pandang tidak bekerja. Apakah ada orang sakti yang mampu menolak di dalam bangunan gelap itu? Atau ada yang tidak beres dengan diriku.” Wiro bertanya-tanya dalam hati.
“Kita masuk…” bisik Rayi Jantra.
“Hati-hati senjata rahasia,” kata Purnama. “Biar aku yang masuk duluan.” Lalu si cantik dari negeri 1200 tahun silam ini melesat ke dalam bangunan batu lewat pintu di dinding merah yang terbuka. Ketika melewati ambang pintu sosoknya berubah samar. Sampai di dalam bangunan tubuhnya kembali nyata seperti semula. Tidak terjadi apa-apa. Wiro, Rayi Jantra dan Pengemis Empat Mata Angin tidak menunggu lama langsung menerobos masuk. Di dalam gelap empat orang yang barusan masuk itu serta merta bisa mengetahui kalau di ruangan batu itu bukan hanya mereka yang ada.
“Anak-anak! Ada rombongan tamu besar datang mengapa ruangan dibiarkan dalam keadaan gelap?! Sungguh tidak sopan!” Tiba-tiba satu suara membahana di dalam ruangan batu. Wiro dan kawan-kawan merasakan ada getaran di dinding dan lantai batu yang mereka pijak.
Saat itu juga ruangan yang tadi gelap mendadak menjadi terang benderang. Delapan buah obor besar tiba-tiba menyala di delapan tempat Wiro dan kawan-kawan cepat memperhatikan keadaan. Belum selesai meneliti kembali suara tadi berucap menggetarkan ruangan.
“Di luar angin agak kencang dan udara mulai dingin. Sebaiknya pintu ruangan ditutup saja!”
Ada suara berkesiur halus lalu pintu batu dinding merah yang tadi terbuka bergeser menutup.
“Ada rencana jahat!” bisik Purnama.
Wiro pegang lengan gadis itu, memberi tanda kalau dia juga sudah tahu. Rayi Jantra serta Pengemis Empat Mata Angin juga sudah menyadari hal ini.
Di ujung ruangan, di dinding kiri kanan, terpisah sejarak dua belas kaki berdiri masing-masing empat orang lelaki rata-rata bertubuh tinggi besar, mengenakan celana hitam dan bertelanjang dada. Kepala diikat sehelai destar hitam. Di pinggang tergantung melintang sebilah golok besar.
Di antara ke delapan orang ini tegak seorang kakek berjubah biru. Mata kanan yang cacat ditutup potongan kulit warna hitam. Kaki yang tersembul di ujung jubah berbentuk sepasang kaki kuda lengkap dengan ladam besinya. Mata kiri memandang tak berkesip pada Rayi Jantra. Sebaliknya Rayi Jantra menatap dengan pandangan penuh dengan dendam kesumat. Rahang menggembung pelipis bergerak-gerak.
“Ki Sentot Balangnipa! Bergundal Istana bejat! Kau yang menyuruh melempar tubuhku ke dalam jurang! Hari ini aku bersumpah membalas kebiadabanmu!” Rayi Jantra ucapkan kata-kata itu dalam hati dengan tubuh bergetar karena berusaha menahan diri.
Sementara Rayi Jantra dipanggang amarah dendam kesumat, Pendekar 212 Wiro Sableng memikirkan kenyataan yang dilihatnya. Ki Sentot Balangnipa ada di tempat itu. Berarti dia ada sangkut pautnya dengan Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Lalu ketika dia menyerbu gedung kediaman Adipati Brebes untuk menyelamatkan Loan Nio Nikouw dari kebejatan Adipati Karta Suminta, Ki Sentot Balangnipa juga ada di gedung itu. Malah mereka sempat bentrokan dimana saat itu Ki Sentot menyerangnya dengan Pedang Naga Merah mirip sang paderi. Berarti Adipati Brebes yang dibunuhnya itu mungkin punya hubungan dengan Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Mungkin dia pemilik bangunan yang disebut istana yang tak lain dari sebuah rumah judi dan tempat mesum. Berarti kalau dua dadu setan itu memang ada, maka dialah pemiliknya. Murid Sinto Gendeng ini tak sempat meneruskan jalan pikirannya karena saat itu antara Rayi Jantra dan Ki Sentot Balangnipa terjadi perang mulut.
Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis cukup terkesiap besar ketika melihat salah satu dari empat orang yang berada dalam ruangan ternyata adalah Rayi Jantra. Kepala Pasukan Kadipaten Losari yang disangkanya telah tamat riwayatnya di dalam jurang tapi ternyata masih hidup.
“Ki Sentot! Bergundal Istana mesum! Kau terkejut melihat diriku?! Apa pandanganmu masih cukup jelas melihat hanya dengan satu mata?!” Rayi Jantra keluarkan ucapan lantang.
Ki Sentot Balangnipa dongakkan kepala. Amarah membuat kepalanya untuk sesaat berubah menjadi kepala kuda benaran, keluarkan ringkikan keras lalu jawab ucapan orang sambil wajah sunggingkan seringai mengejek.
“Manusia malang, aku hanya bertanya-tanya. Yang ada di tempat ini apa Rayi Jantra benaran atau rohnya yang gentayangan jadi setan penasaran!”
“Mahluk setengah manusia setengah binatang! Kasihan sekali! Ternyata penglihatanmu benar-benar sudah tidak karuan! Dari pada picak memang bagusnya kubuat dua matamu buta kiri kanan!”
Ki Sentot Balangnipa tahan amarah dengan keluarkan tawa meringkik. Dia melirik ke samping kiri Rayi Jantra dimana berdiri Purnama. Dia tidak mengetahui siapa adanya gadis ini namun mengenali Pengemis Empat Mata Angin. Si kakek lalu alihkan pandangan pada Pendekar 212 yang mengenakan caping. Sepasang mata membesar, mulut kembali sunggingkan seringai.
“Kau!” sentak Ki Sentot Balangnipa sambil tudingkan jari telunjuk ke arah Wiro. “Kau boleh sembunyikan kepala dan tampangmu dibalik caping! Tapi jangan menyangka aku tidak tahu siapa kau! Kau Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng pembunuh Adipati Karta Suminta dari Brebes!”
Wiro keluarkan suara bersiul, buka capingnya, lalu membungkuk seolah memberi penghormatan pada Ki Sentot Balangnipa.
“Kakek muka kuda, aku kepingin tahu apa kemaluanmu juga menyerupai kemaluan kuda!” Habis berkata begitu Wira tertawa gelak-gelak. Rayi Jantra dan Pengemis Empat Mata Angin juga ikutan terbahak-bahak. Tampang Ki Sentot Balangnipa merah mengelam seperti saga. Rahang menggembung. Wiro lanjutkan ucapannya. “Kurasa kau lebih pantas memakai caping ini untuk menutupi matamu yang picak! Ini pakailah!”
Habis berkata begitu wuuttt! Wiro lemparkan caping bambu ke arah si kakek. Lemparan ini bukan lemparan biasa karena disertai aliran tenaga dalam. Caping melesat mengeluarkan suara menderu. Ki Sentot Balangnipa memaki dan cepat rundukkan kepala. Dia tahu betul, walau hanya sebuah caping dari bambu namun kalau sampai membabat batang lehernya pasti amblas putus!
Caping melesat hanya sejarak satu kuku di atas kepala Ki Sentot Balangnipa alias si Kuda Iblis. Pinggiran caping menancap di dinding batu sedalam setengah jengkal. Untuk sesaat tampang Ki Sentot tampak pucat.
“Ck… ck… ck!” Yang mengeluarkan suara berdecak adalah seorang kakek pendek mengenakan pakaian selempang hitam dan sejak tadi berdiri di sudut ruangan sambil dua tangan dirangkap di atas dada. Manusia satu ini memiliki keanehan menggidikkan. Selain rambutnya yang berwarna kuning dan dua bola mata berwarna putih berkiblar seperti perak, kulit muka dan tubuh setiap saat berganti warna yaitu merah, lalu biru kemudian berubah lagi menjadi hijau. Begitu terus-terusan. Setiap dia melepas nafas dari hidungnya keluar kepulan asap warna ungu. Setelah menatap Wiro sesaat kakek ini berkata. “Caping buntut itu tidak pantas menjadi penghias dinding ruangan!” Lalu dia meniup. Selarik cahaya ungu menyambar caping yang menancap di dinding. Saat itu juga caping bambu berubah menjadi bubuk dan melayang jatuh ke lantai batu!
“Ck… ck… ck.” Suara berdecak kali ini bukan dibuat oleh kakek rambut kuning tapi oleh Purnama. Dia arahkan tangan kirinya ke tumpukan bubuk caping di lantai batu. Selarik sinar biru begermerlap berkelebat. Di lain kejap gadis jelita ini sudah memegang caping milik Wiro di tangan kiri dalam keadaan utuh.
*****
DUA
WALAU tersentak kaget melihat kehebatan ilmu gadis jelita berpakaian biru itu namun kakek pendek rambut kuning cepat sembunyikan keterkejutannya dengan keluarkan tawa bergelak lalu berkata. “Ki Sentot hari ini aku benar-benar gembira. Kita kedatangan para tamu berkepandaian tinggi. Tapi ilmu sihir kampungan apa perlunya dikagumi! Ha… ha… ha!”Wiro dekati Rayi Jantra lalu berbisik.
“Rayi. kau pernah menghajar Ki Sentot Balangnipa sampai mata kanannya buta. Aku pernah menggebuknya. Jika sekarang dia unjukkan nyali besar pasti dia mengandalkan tua bangka yang kulitnya bisa berubah warna seperti bengkarung itu. Kau tahu siapa adanya kakek itu?”
“Aku tidak tahu pasti.” Jawab Rayi Jantra. “Aku hanya pernah mendengar cerita. Mungkin dia adalah orang yang dijuluki Raja Racun Bumi Langit. Dia punya hubungan dekat dengan para pejabat di kerajaan barat dan timur. Sifatnya sangat culas hingga dia juga dijuluki Ular Kepala Sepuluh! Aku…”
Rayi Jantra tidak sempat lanjutkan kata-katanya karena saat itu si kakek aneh keluarkan ucapan. Suaranya menggetarkan seantero ruangan batu.
“Ki Santot, kalau ini manusianya yang bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Dua Satu Dua, bukankah kepalanya dihadiahi lima ringgit emas oleh Adipati Losari?”
“Betul sekali Raja Racun Bumi Langit,” sahut Ki Sentot Balangnipa. Ternyata kakek pendek berambut kuning itu memang Raja Racun Bumi Langit seperti yang diduga Rayi Jantra. “Dia memang bergundal penjahat yang membunuh Adipati Brebes Karta Suminta. Aku menyaksikan sendiri peristiwanya.”
“Berarti kita tidak perlu susah-susah mencari. Dia datang sendiri. Kita tinggal memotes kepalanya. Dan dapat hadiah lima ringgit emas!” Raja Racun Bumi Langit tertawa bergelak. Asap ungu mengepul keluar dari hidung dan mulutnya.
Murid Sinto Gendeng menyeringai. Orang mempermainkan dan menganggap enteng dirinya. Biar dia memberi sedikit pelajaran.
“Kakek pendek rambut kuning. Jika kau memang inginkan kepalaku dan mau dapatkan lima ringgit emas, kau tak perlu susah-susah turun tangan. Biar aku sendiri menyerahkan padamu!”
Wiro kerahkan Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad. Dipadu dengan Ilmu Meraga Sukma yang didapatnya dari Nyi Roro Manggut, seorang nenek sakti yang jadi salah satu orang kepercayaan Ratu Penguasa samudera selatan Nyai Roro Kidul. (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Meraga Sukma”) Wiro cengkeramkan tangan kanan ke dagu dan rahang. Tangan kiri menekan batok kepala. Dua tangan bergerak serentak ke arah yang berlawanan.
“Kreek!”
Kepala Pendekar 212 Wiro Sableng tanggal dari leher.
Raja Racun, Ki Sentot dan delapan lelaki bercelana hitam melengak kaget luar biasa. Purnama dan Rayi Jantra serta Pengemis Empat Mata Angin ternganga bergidik.
“Wiro, apa yang kau lakukan?!” ujar Purnama penuh khawatir. Dia hendak mendekat Wiro tapi lengannya cepat dipegang Pengemis Empat Mata Angin. Si kakek berbisik. “Ilmu gila itu yang dipakainya mencopot anuku. Jangan diganggu. Kalau sampai jalan pikirannya kacau bisa berbahaya.”
Pendekar 212 melangkah ke arah Raja Racun Bumi Langit membawa kepalanya sendiri.
“Kau inginkan kepalaku! Ambillah!” Kutungan kepala keluarkan ucapan dan Wiro angsurkan kepalanya dekat-dekat ke muka si kakek. Mata dipelototkan, lidah dijulur. Karuan saja Raja Racun Bumi Langit jadi bergidik dan menyingkir mundur. Rambut kuning berjingkrak saking kaget dan ngeri. Kulit muka yang berubah-ubah warna berhenti pada warna hijau. Nyalinya bergetar, tengkuk terasa dingin.
Karena orang tidak menyambuti kepalanya Wiro melangkah mundur. Kepala ditempelkan kembali ke kutungan leher. Sebenarnya hati sang pendekar merasa kebat-kebit khawatir kalau kepalanya tidak tersambung kembali. Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad selama ini hanya dipergunakan terhadap lawan atau orang lain. Belum pernah dipergunakan untuk diri sendiri. Apalagi dipadu dengan Ilmu Meraga Sukma. Tapi untung kepala itu menempel seperti semula. Wiro merasa lega.
“Manusia kulit bengkarung. Ternyata nyalimu cuma sampai di pantat!” Wiro mengejek.
Meski marah dimaki begitu rupa tapi Raja Racun Bumi Langit masih mampu kendalikan diri. Dia tidak mau bertindak salah sebelum rencana utamanya dilaksanakan. Dia tidak menyangka akan berhadapan dengan orang-orang yang ilmu kesaktiannya begitu hebat. Maka kakek ini segera berbisik pada Ki Sentot.
“Kita harus bertindak cepat. Kalau tidak urusan bisa jadi kapiran!”
Ki Sentot Balangnipa maklum kalau Raja Racun ingin segera melaksanakan rencana besarnya, maka dia maju selangkah.
“Kalian tamu. Kami tuan rumah. Walau kalian datang menyusup pertanda punya niat buruk, kami masih punya sopan santun untuk bertanya. Ada keperluan apa kalian datang ke sini?!”
“Kami ingin memastikan bahwa tempat ini adalah apa yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Sarang judi dan tempat mesum terkutuk! Kami ingin tahu siapa penguasa atau pimpinan di sini!” Yang bicara adalah Rayi Jantra.
“Kami mengetahui ada dua buah dadu disebut dadu setan. Dipergunakan sebagai alat judi, alat menipu dan menguras siapa saja yang ikut bermain! Kami ingin kalian menyerahkan dua buah dadu itu!” Wiro kini yang keluarkan ucapan.
Pengemis Empat Penjuru Angin ikut membuka mulut.
“Tadinya aku mengira bisa mencari rejeki sedekahan besar di tempat sini. Ternyata yang ada ruang kosong melompong serta manusia-manusia jejadian. Satu mahluk setengah manusia setengah kuda. Satu lagi setengah manusia setengah kadal! Kuda dan kadal mana bisa memberi sedekah! Ha… ha…. ha.”
Raja Racun Bumi Langit ikutan tertawa. Begitu hentikan tawa dia menatap ke arah Purnama.
“Gadis jelita! Dibalik keharuman tubuhmu aku mencium kalau kau sebenarnya adalah mahluk dari alam lain. Apakah kau juga mau ikutan bicara?”
Diam-diam Purnama merasa kagum akan ketinggian ilmu kakek rambut kuning yang mampu mengetahui siapa dirinya.
“Aku menyirap kabar kalau yang namanya Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga itu selain dijadikan tempat perjudian dan tempat mesum, juga dijadikan tempat pertemuan para tokoh tertentu yang hendak menghancurkan kerajaan di barat!”
Raja Racun Bumi Langit tersenyum. Dia memandang pada Ki Sentot Balangnipa lalu dua kakek ini tertawa
gelak-gelak. Ki Sentot berkata. “Kalian semua tidak buta! Apa tempat ini pantas disebut istana?!” “Memang tidak!” jawab Rayi Jantra. “Kalian telah lebih dulu merubahnya!” Ki Sentot Balangnipa mendengus. Wiro sambung ucapan Rayi Jantra. “Kalau ini bukan bangunan penting dan rahasia lalu apa perlunya
kehadiran kalian di sini! Untuk menjaga kecoak dan tikus?!”
“Dengar,” kata Raja Racun pula. “Aku ingin bertanya. Siapa yang memperdayai dan memperbodoh kalian untuk menyelidik istana yang tak pernah ada itu. Siapa pula yang membuat kalian jadi orang-orang tolol dan mempercayai keberadaan dua buah dadu setan! Orang-orang di kerajaan barat atau seorang paderi perempuan berasal dari Tiongkok?”
“Kami tidak ada sangkut paut dengan siapapun!” Jawab Rayi Jantara.
Wiro maju selangkah hingga dia kini berhadap-hadapan dengan Ki Sentot Balangnipa. Dia tiup muka si kakek. Saking geramnya dia langsung hantamkan satu jotosan ke muka Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat tangkap tinju kanan si kakek. Dua tangan bergetar. Aliran tenaga dalam sama-sama dikerahkan. Ki Sentot Balangnipa merasa tangannya panas pertanda tenaga dalamnya masih berada dibawah lawan. Dengan satu sentakan keras dia cepat-cepat menarik tangan kanannya. Kakek ini beruntung karena kalau terlambat pasti tangan kanannya itu akan hancur karena saat itu Wiro sudah mengerahkan ilmu Koppo yaitu ilmu mematahkan tulang yang didapatnya dari Nenek Neko di Negeri Sakura. Ki Sentot Balangnipa bersurut dua langkah penuh geram sambil usap-usap tangan kanannya dengan tangan kiri.
“Aku mau balik bertanya! Siapa yang memperbodoh dan membayar kalian untuk jual tampang di tempat ini!” Hardik Pendekar212.
Raja Racun tersenyum. “Berdebat tak akan ada habisnya. Bagaimana kalau aku mengajukan satu tawaran bagus. Bagaimana kalau kalian berempat bekerja dan jadi anak buahku saja! Kalian akan mendapat bayaran besar. Dalam waktu enam bulan dari hasil bayaran itu kalian bisa membangun rumah sebagus istana!”
Wiro menggaruk kepala lalu tertawa, diikuti oleh Purnama, kakek pengemis dan Rayi Jantra.
Pengemis Empat Mata Angin angsurkan tangan kanannya yang memegang batok. “Aku mau bukti dulu.
Aku minta sedekah!” Setelah menunggu sesaat dan Raja Racun Bumi Langit hanya diam saja kakek pengemis tertawa mengekeh. “Memberi sedekah saja kau tidak mampu! Bagaimana mau membayar kami berempat dengan bayaran yang
bisa membuat istana?! Ha… ha… ha!”
“Manusia rambut kuning. Tawaranmu menarik juga,” kata Wiro sambil garuk kepala. “Sebelum kami setuju menerima, kami perlu tahu siapa pimpinan kalian dan kami orang-orang tolol ini tetap minta kalian menyerahkan, paling tidak memberi tahu dimana beradanya dua dadu setan.”
Raja Racun Bumi Langit goleng-goleng kepala.
“Aku jarang memberi tawaran bagus. Kalian malah menyia-nyiakan kesempatan.” Kakek rambut kuning ini dekati Ki Sentot Balangnipa lalu berkata. “Ki Sentot, seperti dugaanku semula, orang-orang itu memang tak bisa dibujuk. Saatnya kita menyelesaikan pekerjaan. Aku tak mau urusan jadi bertele-tele. Lakukan sekarang!”
Mendengar ucapan kakek rambut kuning Ki Sentot Balangnipa menatap ke arah Wiro dan kawan-kawan.
“Diberi berkah malah minta sengsara!” ucapnya. Lalu dia berpaling pada delapan lelaki bercelana hitam dan berteriak berikan perintah.
“Cincang mereka semua!”
“Srett!”
Delapan golok besar berkiblat dicabut dari sarungnya lalu berdesing di udara menyerbu ke arah Wiro dan kawan-kawan.
Delapan lelaki bercelana hitam bertelanjang dada yang menyerang itu rata-rata memiliki ilmu golok tingkat tinggi. Selain ganas, gerakan mereka cepat luar biasa dan kesiuran senjata yang mereka pegang mengeluarkan hawa dingin. Wiro yang berada paling depan dibuat kaget ketika ujung golok salah seorang lawan menderu di depan hidungnya sementara dari samping kiri lawan kedua membabatkan golok ke pinggang.
Pendekar 212 cepat melompat mundur. Hidungnya terasa dingin sewaktu ujung golok menyapu lewat hanya sepertiga jengkal.
“Brettt!”
Baju putih Wiro robek besar di pinggang. Lelaki yang menyerang cepat berbalik begitu serangannya tidak mampu melukai lawan. Dia menerjang sambil bacokkan golok. Namun jotosan Wiro menghantam mukanya lebih dulu. Hidung hancur, gigi rontok, tubuh tergelimpang di lantai. Kawannya yang tadi hampir memapas buntung hidung sang pendekar menerima nasib lebih jelek. Tendangan kaki kanan Wiro mendarat telak di dadanya. Tubuhnya mencelat terbanting ke dinding, muntah darah lalu melosoh jatuh tak berkutik lagi.
Di bagian lain ketika dua orang menyerbu ke arahnya, Rayi Jantra membuat gsrakan melompat setinggi setengah tombak. Dia berhasil menjambak rambut penyerang paling dekat. Sekali sentak saja lawan dibuat jungkir balik menghantam lantai batu, menemui ajal dengan kepala pecah. Goloknya yang terpelanting di udara cepat disambar Rayi Jantra lalu trang! Rayi Jantra pergunakan golok untuk menangkis serangan lawan kedua.
Bentrokan senjata membuat penyerang terjajar ke belakang. Selagi dia coba imbangi diri Rayi Jantra lemparkan golok di tangan kanannya. Senjata ini menancap telak di pertengahan dada lawan.
“Kek, biar aku yang melayani empat ekor monyet ini. Kau tenang sajalah!” kata Purnama pada Pengemis Empat Mata Angin ketika empat orang lelaki bertelanjang dada dengan golok di tangan menyerbu ke arah mereka.
“Aku mau cari sedekahan!” jawab si kakek sambil dua tangannya yang memegang batok kelapa berkelebat ke depan.
Namun Purnama sudah mendahului. Caping di tangan kiri dicampakkan lalu dua tangan dia angkat ke depan. Dua larik angin halus bersiur dan empat penyerang tahu-tahu tertegun kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Saking penasaran karena kedahuluan Purnama, Pengemis Empat Mata Angin kemplangi kepala ke empat orang itu dengan batok kelapanya hingga benjut dan kucurkan darah. Lalu kakek ini menggeledahi celana keempat orang itu dan berhasil menemukan beberapa keping uang tembaga.
“Lumayan… lumayan!” katanya sambil tertawa mengekeh lalu masukkan uang logam itu ke dalam kantong kain buntut yang tergantung di dada.
Ternyata serangan yang dilakukan delapan lelaki bercelana hitam bersenjata golok tadi hanyalah satu umpan atau tipuan saja sesuai rencana Raja Racun Bumi Langit. Karena begitu perkelahian terjadi Raja Racun cepat hentakkan kaki kanannya ke salah satu bagian di lantai batu. Ternyata di situ ada bagian lantai yang berhubungan dengan alat rahasia. Saat itu juga lantai bergeser membentuk lobang empat persegi. Tidak menunggu lebih lama Raja Racun melompat masuk ke dalam lobang sambil mulut meniupkan asap ungu dan dua tangan bergerak melempar empat buah benda berbentuk bola berwarna perak.
Ki Sentot Balangnipa terkejut. Apa yang dilakukan Raja Racun tidak sesuai dengan yang diatur sebelumnya. Mereka akan keluar dari ruangan itu lewat lobang rahasia di lantai secara bersama-sama.
“Raja Racun! Tunggu!”
Di dalam lobang terdengar suara tawa Raja Racun Bumi Langit.
“Ki Sentot! Aku sudah lama tidak senang dirimu! Kau layak mampus bersama manusia-manusia tolol itu! Selamat menikmati Racun Inti Bumi. Ha… ha… ha!”
“Jahanam kurang ajar! Manusia culas!” Kejut Ki Sentot Balangnipa. Racun Inti bumi adalah racun paling jahat yang dimiliki Raja Racun Bumi Langit. Racun ini terdiri dari empat unsur yaitu Racun Tanah, Racun Air, Racun Api dan Racun Udara. Tidak ada satu orangpun yang bisa lolos dari kematian jika menghisapnya.
Sosok Raja Racun tak kelihatan lagi di dalam lobang. Pada saat lantai menutup kembali sampai setengahnya, dengan nekad Ki Sentot Balangnipa terjunkan diri ke dalam lobang. Namun hanya bagian dada ka bawah yang lolos. Lobang batu keburu menutup.
Kraakkk!
Tubuh Ki Sentot Balangnipa terjepit. Dada hancur putus. Sebelum menemui ajal kakek ini keluarkan suara meringkik. Kepala berubah jadi kepala kuda. Setelah itu ujudnya kembali ke bentuk semula. Potongan tubuhnya tergeletak menelungkup di lantai batu hanya bagian dada sampai kepala.
Sementara itu di empat sudut ruangan mengepul dahsyat empat asap berwarna merah, hijau, kuning dan biru. Udara terasa pengap dan panas. Lantai yang kering seperti ada basahan air. Hawa panas laksana ada kobaran api besar.
“Awas racun jahat! Tutup jalan parnafasan!” teriak Rayi Jantra.
Purnama gerakkan bahu. Cahaya biru begemerlap keluar dari tubuh, melindungi diri serta tiga orang lainnya. Namun cahaya sakti biru ini hanya mampu menahan sedikit keganasan racun yang memenuhi ruangan batu, tak mampu melindungi jalan pernafasan. Wiro sadar apa yang terjadi. Jika tidak cepat meloloskan diri mereka semua akan menemui ajal di ruangan itu. Dia lepaskan pukulan Sinar Matahari, menghantam ke arah salah satu dinding batu. Ruangan batu tergoncang dahsyat. Namun apakah pukulan sakti itu tidak mampu menjebol dinding. Sementara kepulan asap empat warna mulai bersatu bergulung-gulung di udara membentuk racun luar biasa jahat yang dinamakan Racun Inti Bumi.
Ke empat orang itu merasakan dada menyesak dan lutut gontai. Pemandangan mendadak gelap dan tubuh menjadi lemas. Rayi Jantra jatuh duluan, terguling di lantai batu. Mulutnya keluarkan busa. Menyusul Pengemis Empat Mata Angin. Wiro berusaha keluarkan Kapak Naga Geni 212 untuk dipakai menghancurkan dinding. Namun keadaannya sudah sangat lemah. Purnama satu-satunya yang masih mampu berdiri tegak berusaha kerahkan hawa sakti yang ada dalam tubuh. Dua bahu digoyang. Cahaya gemerlap memancarkan ribuan percikan bunga api berwarna biru melesat di udara. Cepat sekali ribuan percikan cahaya warna biru ini menyatu membentuk sebuah bola besar lalu melesat ke arah pintu rahasia di mana sebelumnya Wiro dan kawan-kawan masuk.
“Bummm!”
Ruangan batu laksana dihantam gempa. Langit-langit ruangan mau runtuh. Dinding seolah mau jebol dan lantai laksana amblas. Tujuh dari delapan obor besar padam. Ilmu kesaktian Purnama yang disebut Menggusur Gunung Menjungkir Langit ternyata tidak sanggup menjebol pintu rahasia. Malah kini dia dan Wiro serta Rayi Jantra dan Pengemis Empat Mata Angin tergeletak megap-megap di lantai ruangan yang keadaannya berubah redup karena tinggal satu obor yang menyala. Dari hidung dan telinga ketiga orang itu keluar cairan berwarna hijau.
Sementara itu delapan lelaki bercelana hitam berkaparan dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi. Sebagian menemui ajal akibat racun yang menembus jalan pernafasan. Muka dan sekujur kulit tubuh mereka berwarna belang-belang merah, biru dan kuning.
“Purnama….” Wiro berbisik sambil berusaha menggapai dan memegang tangan Purnama. “Kau punya kemampuan untuk keluar dari sini. Kembali ke sosok aslimu. Pergilah….”
“Tidak….” jawab Purnama perlahan lirih. “Apapun yang terjadi aku akan bersamamu di tempat ini.” Lalu gadis dari masa 1200 tahun silam ini kumpulkan tenaga dan berusaha menggulingkan diri hingga berhasil mendekati Wiro. Begitu tubuh mereka bersentuhan Purnama berusaha memeluk sang pendekar. Wajahnya didekatkan ke muka Wiro. Mulutnya masih sanggup membisikkan kata-kata. “Kalau memang ada kematian kedua bagiku, aku ingin dan rela mati bersamamu di tempat ini dalam pelukanmu….”
Pendekar 212 gerakkan tangan untuk merangkul punggung Purnama. Namun dua tangan itu terjatuh lemas ke lantai. Wiro dan Purnama terkulai tak berkutik.
Ruang batu tenggelam dalam kesunyian sementara kepulan asap racun makin membuntal ganas. Tiba-tiba kesunyian itu terusik lapat-lapat oleh satu suara aneh. Suara menderu tak berkeputusan. Datangnya dari arah dinding merah, arah letak pintu rahasia dimana tadi Wiro dan kawan-kawan masuk.
*****
TIGA
KAWASAN samudera selatan, yang dikenal sebagai daerah luas kekuasaan Nyi Roro Kidul. Petang itu laut tampak tenang. Cahaya sang surya yang tak selang berapa lama akan segera tenggelam membuat sebagian permukaan laut berwarna merah kekuning-kuningan. Di dasar laut dalam sebuah bangunan besar bagus memiliki tiga buah menara, seorang nenek cebol berambut putih panjang yang dikenal dengan panggilan Nyi Roro Manggut duduk di tepi kasur tebal memegang dan menatap sehelai sapu tangan biru muda bernoda darah yang telah mengering. Ingatannya kembali pada satu peristiwa di masa waktu lalu. Ketika dia mempergunakan sapu tangan biru muda itu untuk menyeka noda darah yang ada di wajah seorang pemuda gagah bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar 212.“Aneh, mengapa aku tiba-tiba ingat pada pemuda yang aku sebut bocah ingusan itu,” ucap si nenek perlahan. Matanya yang juling bergerak-gerak, kepala manggut-manggut. “Perasaanku tak enak. Dadaku berdebar. Sesuatu terjadi dengan dirinya. Mungkin sekali dia berada dalam bahaya besar. Nyawanya terancam. Tidak pernah kejadian hal seperti ini. Aku harus menyelidik….”
Si nenek duduk bersila, letakkan sapu tangan biru muda di atas pangkuan, tubuh tak bergerak lalu pejamkan mata. Hanya sesaat, tiba-tiba tubuhnya bergetar dan ada cahaya merah berkelebat memasuki ruang penglihatannya. Dalam pandangan sepasang mata si nenek yang terpejam, dia melihat langit berwarna aneh. Seorang pemuda berpakaian putih berlari menjauhi langit merah darah yang hendak menggulungnya. Namun dua kakinya goyah, tubuh tersungkur jatuh. Sekilas pada keningnya tampak kilatan satu cahaya hijau.
Nenek cebol buka kedua matanya kembali, menarik nafas dalam beberapa kali lalu bergerak bangkit. Tangan kiri mengusap wajah keriput yang basah oleh keringat. “Memang dia! Wiro dalam bahaya. Ada tanda hijau di keningnya. Pertanda dia telah menyalah gunakan cara pemakaian ilmu yang aku berikan. Aku harus menemui Junjungan Agung sekarang juga!”
Nyi Roro manggut tinggalkan bangunan tiga menara, melesat di dasar laut menuju ke satu bangunan luar biasa indahnya, berwarna dan bercahaya kuning karena hampir seluruh dindingnya dilapisi emas murni. Di atas bangunan terdapat satu menara besar dikelilingi delapan menara kecil yang juga dilapisi emas.
Beberapa penjaga disetiap pintu yang dilalui si nenek tidak berani menghalangi. Dan semua pintu bangunan emas itu terbuka dengan sendirinya begitu si nenek berada tujuh langkah di depannya.
Tak tana kemudian Nyi Roro Manggut sampai di sebuah ruang terbuka yang amat bagus. Pada dua sudut ruangan terdapat pendupaan besar mengepulkan asap kekuningan menebar bau harum kayu cendana. Tiga buah dinding seolah terbuat dari kaca hingga apa yang ada di luar, yakni pemandangan laut yang luar biasa indahnya kelihatan nyata serasa bisa digapai tangan. Ratusan macam ikan laut berbagai warna dan ukuran berenang kian kemari diantara terumbu karang dan tetumbuhan laut. Di kejauhan sayup-sayup terdengar gema alunan gamelan.
Dinding ke empat yaitu dinding yang ada di hadapan Nyi Roro Manggut tertutup hiasan tujuh lapis tirai tipis tujuh warna dan dari balik tirai menebar bau harum mewangi yang menindih harum kayu cendana dari dua pendupaan. Si nenek berlutut rapatkan dua tangan lalu diangkat di atas kepala.
“Junjungan Agung Nyi Roro Kidul, saya Nyi Roro Manggut mohon ijinmu untuk meninggalkan kawasan istana. Ada seorang kerabat membutuhkan pertolongan di dunia luar sana.”
“Nyi Roro Manggut, aku sudah mengetahui. Orang itu memang perlu segera diselamatkan. Karena jika terjadi apa-apa dengan dirinya rimba persilatan akan mengalami goncangan hebat. Kawasan samudera selatan dimana kita berada akan terkena imbasnya. Selain itu orang-orang kawasan laut utara akan merasa lebih leluasa bertindak jahat terhadap kita. Pergilah sekarang juga karena waktumu sangat sedikit. Aku khawatir kau tak punya kesempatan. Aku mengijinkan kau mempergunakan Batu Mustika Angin agar kau bisa segera sampai di tempat orang yang membutuhkan pertolongan.” Satu suara halus lembut menjawab dari balik tujuh lapis tirai.
“Terima kasih atas perhatian dan ijin Junjungan Agung. Selain itu ada satu hal yang perlu saya tanyakan. Orang yang hendak saya tolong ini pernah saya berikan Ilmu Meraga Sukma. Saya mendapat pertanda bahwa dia telah memadu ilmu itu dengan ilmu lain. Saya mohon petunjuk Junjungan Agung apakah setelah menyelamatkan dirinya saya perlu menjatuhkan hukuman, mengambil ilmu itu kembali atau bagaimana?”
“Ilmu dari alam kita selama ini memang tidak boleh digabung atau dipadu dengan ilmu dari alam lain. Namun keadaan sudah banyak berubah. Jika maksudnya baik dan hasil paduan itu lebih banyak manfaatnya mengapa tidak? Bahkan boleh jadi kita bisa saja mempelajari apa yang telah dilakukan orang itu.”
Nyi Roro Manggut membungkuk dalam.
“Terima kasih atas petunjuk Junjungan Agung. Saya mohon diri sekarang. Atas ijin Nyi Roro Kidul saya akan mengambil Batu Mustika Angin di ruang penyimpanan benda pusaka.”
“Pergilah dan tetap ingat keterbatasan waktumu berada di dunia luar sana. Selesai menolong orang segera kembali ke sini.”
“Perintah Junjungan Agung akan saya perhatikan. Saya pergi sekarang.”
Setelah membungkuk sekali lagi dengan langkah bersurut mundur Nyi Roro Manggut tinggalkan ruangan besar yang sangat indah itu.
Diantar dua orang pengawal si nenek mengambil sebuah batu sakti yang disebut Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang disimpan di sebuah ruangan sangat rahasia. Pintu ruangan hanya bisa dibuka dan ditutup oleh Nyi Roro Kidul dan dengan kesaktiannya hal ini mampu dilakukan dari kejauhan.
Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru berbentuk bulat lonjong hampir menyerupai telur ayam dan memancarkan cahaya kebiru-biruan. Begitu memegang batu dan melafalkan satu mantera dalam hati, sosok Nyi Roro Manggut lenyap, seolah berubah menjadi angin. Dengan kecepatan laksana angin pula dia melesat keluar dari samudera selatan, menembus udara petang dikala sang surya tengah menggelincir masuk ke titik tenggelamnya.
Ketika Nyi Roro Manggut laksana terbang keluar menembus melewati Tembok Karang Abadi yang merupakan batas kawasan kediaman Nyi Roro Kidul dan langsung menembus permukaan laut, di pantai sebelah timur seorang gadis berpakaian hitam dihias manik-manik putih dan hijau hentikan larinya. Rambut hitam tergerai panjang disibak ke belakang. Dua orang gadis jelita yang jadi pengiringnya berhenti pula berlari, salah seorang dari mereka bertanya.
“Ada apa, Ratu?”
“Kalian lihat ke arah utara sana. Ada cahaya kebiruan. Ada kerabat penting meninggalkan kawasan kediaman Ratu Nyi Roro Kidul….” Orang yang dipanggil dengan sebutan Ratu menjawab. Dua pengiring memandang ke arah utara. Namun mereka tidak melihat apa-apa. Si cantik berambut panjang dan mengenakan pakaian hitam bertabur manik-manik putih serta hijau keluarkan sesuatu yang ternyata adalah sebuah cermin bulat. Setelah menatap sesaat ke dalam cermin, dia lalu berkata.
“Nyi Roro Manggut…. Ah, dia membekal Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Pertanda dia tengah melakukan satu perjalanan jauh dan cepat serta sangat penting. Kemana…?”
Si gadis cantik bukan lain adalah Ratu Duyung gerak-gerakkan cermin sakti di tangannya. Samar-samar dia melihat satu bukit batu, lalu sosok tubuh manusia yang bergelimpangan di tanah. Hatinya mendadak berdebar. “Terlalu samar. Satu tempat sangat jauh. Mungkinkah dia….? Tak mungkin aku menyusul. Bagaimana baiknya? Apakah aku harus menemui sang Ratu untuk menanyakan? Belum lama aku mendatanginya. Aku khawatir Sang Ratu merasa terganggu….” Setelah merenung sejenak walau hatinya merasa tidak enak akhirnya Ratu Duyung memutuskan untuk menunggu di tempat itu sampai Nyi Roro Manggut kembali. Dua pengiring diminta untuk meninggalkannya sendirian di tempat itu.
EMPAT orang tak berdaya, tergeletak siap meregang nyawa di dalam ruangan batu yang sebelumnya memang merupakan Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Mereka tidak dapat mendengar suara menderu di luar bangunan dimana mereka terperangkap Racun Inti Bumi. Dinding batu merah bergetar hebat. Suara menderu terdengar semakin kencang. Sesekali diseling suara benda keras jebol dan pecah serta suara aneh seperti kerbau melenguh.
“Kraakk! Dess!”
Tiba-tiba salah satu bagian pintu batu merah berderak hancur. Sebuah lobang besar menguak. Tekanan tinggi yang ada di dalam ruangan batu menghambur keluar, membersitkan Racun Inti Bumi dalam bentuk kepulan asap biru, merah, kuning dan hijau luar biasa dahsyat. Satu mahluk aneh berduri sebesar anak kerbau yang ada di depan lobang terpental, keluarkan jeritan melenguh lalu terkapar tak bergerak lagi. Mahluk ini ternyata adalah seekor landak raksasa. Duri lebat coklat yang menutupi badannya banyak yang patah. Darah menggelimangi muka dan hampir seluruh sosok tubuh binatang ini. Cairan hijau meleleh dari mulut.
“Gusti Allah! Tolong! Mudah-mudahan aku tidak terlambat!”
Mendadak ada orang berseru. Lalu satu bayangan hijau berkelebat, menerobos masuk ke dalam bangunan batu melalui lobang di dinding pintu merah. Begitu berada di dalam, orang ini yang bukan lain adalah Nyi Roro Manggut keluarkan seruan kaget.
“Racun jahat! Luar biasa jahat!” Si nenek cepat tutup jalan penciuman begitu dadanya terasa sesak setelah sempat menghirup sisa-sisa Racun Inti Bumi yang masih ada di dalam bangunan bekas Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.Memandang berkeliling dia melihat sosok seorang gadis tertelungkup di atas tubuh Pendekar
212. Lalu di sebelah sana berguling seorang kakek botak dan seorang lelaki muda.
Nyi Roro Manggut angkat tangan kanan ke atas. Mulut merapal mantera. Lima kuku jari mengeluarkan cahaya biru. Cahaya menjalar hingga sekejapan tubuhnya tampak berwarna biru. Ketika cahaya biru lenyap sosok si nenek telah berubah. Tingginya menjadi dua kali dan besarnya hampir tiga kali dari semula. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Menggunung Raga Melaut Tenaga. Dengan gerakan cepat Nyi Roro Manggut
mengangkat Purnama dan Rayi Jantra lalu ditumpuk letakkan di atas bahu kiri Wiro dan Pengemis Empat Mata
Angin dipanggul di bahu kanan. Lalu sekali berkelebat nenek ini melesai keluar dari bangunan batu,
menerobos lewat lobang besar di dinding merah.
Di luar goa keadaan mulai gelap karena sang surya telah tenggelam. Di udara terdengar suara aneh seperti suara tiupan seruling. Walau heran tapi si nenek tidak perdulikan suara itu. Nyi Roro Manggut baringkan ke empat orang yang barusan diselamatkannya di tanah. Sosoknya yang tinggi besar pancarkan cahaya biru dan ujudnya kembali ke bentuk semula, seorang nenek cebol.
Ketika memperhatikan sosok empat orang yang tadi dilemparkannya keluar bangunan beracun, kejut Nyi Roro Manggut bukan kepalang. Sekujur kulit orang-orang itu, mulai dari muka sampai ke kaki kelihatan belang empat warna yaitu merah, hijau, kuning dan biru. Si nenek segera mengenali.
“Racun inti Bumi. Racun paling jahat kedua setelah Racun Inti Neraka!”
Cepat si nenek telungkupkan tubuh keempat orang itu. Satu demi satu dia totok dua urat besar di pangkal leher mereka. Setelah menunggu beberapa lama tidak terjadi apa-apa tidak ada sosok yang bersuara apa lagi bergerak. Si nenek jadi cemas. Nyi Roro Manggut balikkan kembali tubuh keempat orang itu hingga terbaring menelentang lalu tangan kiri ditempelkan di dada mereka.
“Masih hidup…,” ucap si nenek begitu dia merasa ada suara degup jantung di dada Wiro walau sangat halus. “Aku harus menyedot keluar racun yang ada dalam tubuhnya. Apakah masih keburu?” Nyi Roro Manggut cengkeramkan sepuluh jari tangannya ke kening dan batok kepala Wiro lalu kerahkan tenaga sakti untuk menyedot. Si nenek tiba-tiba mengeluh pendek. Dada terasa sakit dan jalan nafas seperti terkancing. Ketika dia memaksa tubuh cebolnya terpental tiga langkah.
Hal yang sama dialami Nyi Roro Manggut ketika dia berusaha menyedot racun jahat dari dalam tubuh Rayi Jantra. Si nenek kecewa. Dia tidak mengira ilmu kepandaian yang dimilikinya selama ini ternyata tidak mampu menyelamatkan kedua orang itu. Ketika memeriksa Pengemis Empat Mata Angin, si nenek dapatkan kakek kepala botak itu telah menemui ajal.
Nyi Roro Manggut dekati sosok landak raksasa. Dia memperhatikan. Pada tubuh binatang itu hanya terdapat dua warna racun yaitu hijau dan merah. “Binatang jejadian. Bukan mahluk alam sini.” Nyi Roro Manggut membungkuk. Seperti yang dilakukannya pada Wiro dan Rayi Jantra dia lalu cengkeramkan sepuluh jari tangan di kepala landak besar itu. Begitu dia mengerahkan tenaga dalam, binatang itu melenguh keras. Tubuhnya melesat setinggi satu tombak ke udara lalu ketika terbanting jatuh di tanah keadaannya berubah menjadi sosok seorang pemuda berpakaian kelabu dengan kulit berwarna merah dan hijau. Wajah dan tangan penuh luka bercelemong darah. Ketika diperiksa oleh Nyi Roro Manggut ternyata pemuda ini masih bernafas. Keadaannya tidak separah yang dialami orang-orang lainnya. “Hemmm…. Dia punya kesaktian dari alam lain.” Si nenek membatin lalu berpaling ke arah Purnama. Lewat sepasang mata dia mengerahkan hawa sakti yang dimilikinya. Dia melihat satu cahaya aneh membungkus tubuh gadis jelita itu. Sambil usap dagu Nyi Roro Manggut berkata perlahan. “Kau juga bukan mahluk alam sini. Kau punya kesaktian lebih hebat dari pemuda itu. Seharusnya kau mampu menolak racun jahat itu.”
Nyi Roro Manggut letakkah tangan kiri di atas dada Purnama. Tidak terasa suara detak jantung. Dia pegang urat besar di pangkal kiri leher si gadis. Tidak ada getaran denyut aliran darah. “Tak ada detak jantung. Tak ada aliran darah. Tapi aku tahu kau masih hidup. Mungkin kau punya nyawa lebih dari satu!” Nyi Roro Manggut
cengkeramkan sepuluh jari tangan ke kepala Purnama.
“Desss!” .
Si nenek keluarkan pekik terkejut ketika sosok gadis yang ditolongnya tiba-tiba lenyap dan berubah jadi kepulan asap biru. Lalu terlihat sosok samar yang perlahan-lahan kembali berubah menjadi sosok utuh seperti semula. Sosok ini coba berdiri. Namun seperti tidak punya kekuatan roboh jatuh dan terguling di tanah.
“Mati?” pikir Nyi Roro Manggut lalu memeriksa.
*****
EMPAT
TIBA-TIBA sepasang mata Purnama terbuka. Mata itu berputar bergerak, memandang ke arah Wiro, Rayi Jantra dan Pengemis Empat Mata Angin. Ketika pandangannya membentur sosok Jatilandak, detak jantungnya seolah berhenti sesaat“Anakku, bagaimana kau bisa berada di tempat ini? Apakah kau masih hidup….”
Purnama perhatikan keadaan dirinya sendiri. Ketika melihat tangan kirinya gadis ini jadi tercekat “Racun empat warna….” ucapnya dalam hati. Jalan pikirannya ternyata masih cukup jernih. Bibir bergetar. Dia berpaling menatap si nenek kembali.
“Nek, pasti kau yang telah menyelamatkan diriku dan para sahabat. Aku sangat berterima kasih. Namun nyawa kami masih terancam. Aku tahu kau bukan orang sembarangan. Saat ini aku tak punya daya tak punya tenaga. Pinjamkan seluruh tenaga dalam dan hawa saktimu padaku. Hanya itu satu-satunya cara untuk bisa menyelamatkan nyawa orang-orang itu dan diriku sendiri.”
“Heh?” Nyi Roro Manggut tercekat mendengar ucapan Purnama. “Tidak mungkin… tidak mungkin aku melakukan itu.”
“Di alammu dan di alamku banyak hal yang tidak mungkin. Tapi di alam sini segalanya serba mungkin. Ulurkan tanganmu tekankan telapak tangan kiri di tumit kananku, telapak tangan kanan ke tumit kiri. Cepat lakukan. Waktu kita tidak banyak. Jika kau ingin menyelamatkan Wiro lakukan sekarang juga. Demi Tuhan lakukanlah!”
Wajah si nenek tampak berubah. “Kau menyebut nama Tuhan. Padahal kau mahluk alam lain. Apa di alammu ada Tuhan? Apa kau mengenal Tuhan?”
Purnama menarik nafas dalam. “Nek, kau hanya membuang waktu saja. Tapi biar kujawab pertanyaanmu. Alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan. Kau dan aku ada di dalam alam yang sama. Apa itu bukan berarti kita mempunyai Tuhan yang sama. Apakah untuk menolong kami….”
Nyi Roro Manggut angkat tangan kirinya. “Sudah… sudah.” Si nenek lalu menatap ke arah Pendekar 212. “Ah, bocah ingusan itu. Pesan Junjungan Agung. Aku harus menolongnya. Tapi bagaimana kalau gadis alam gaib ini menipuku? Bagaimana kalau setelah tenaga dalam dan hawa sakti aku berikan, dia tidak mengembalikan?”
“Nek! Waktu kita tidak lama!” Berseru Purnama.
Setelah tetapkan hatinya Nyi Roro Manggut akhirnya lakukan apa yang dikatakan Purnama. Telapak tangan kiri ditekankan ke tumit kanan dan telapak tangan kanan ditekankan di tumit kiri Purnama.
“Desss!”
“Desss!”
Nenek cebol menjerit keras ketika tubuhnya terpental dua tombak lalu berguling lemas. Dia coba bangkit tapi terhuyung lalu jatuh terlentang. Tubuhnya seolah tidak memiliki tulanglagi.
“Gusti Allah, apa yang terjadi dengan diriku! Gadis itu menguras seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang aku miliki!”
Kalau si nenek terpental dan terbanting di tanah maka Purnama mencelat ke udara, lalu melayang turun dalam ujud utuh. Begitu menginjak tanah dia cepat mendekati Wiro. Mulutnya berucap. “Kitab Seribu Pengobatan. Halaman seratus tiga puluh. Pengobatan ke lima ratus dua puluh enam. Dengan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh agar kami semua mendapat kesembuhan.”
Habis keluarkan ucapan sesuai dengan apa yang dibaca dan diingatnya dalam Kitab Seribu Pengobatan Purnama pentang empat jari tangan kanan yaitu ibu jari, jari telunjuk, jari tengah dan jari manis. Keempat jari yang seolah berubah menjadi empat potongan besi itu kemudian drtotokkan ke keningnya sendiri!
“Craass! Kraaakkk!”
Empat jari menembus daging dan tulang kening hingga di kening itu kini kelihatan empat buah lobang. Begitu lobang terkuak maka mengucur empat cairan masing-masing berwarna merah, hijau, kuning dan biru. Dalam keadaan seperti itu, agak terhuyung-huyung Purnama mendekati Wiro dan Rayi Jantra. Dengan empat jarinya dia menotok kening ke dua orang itu hingga berlobang empat dan mengucurkan cairan empat warna. Dia lalu memeriksa sosok Pengemis Empat Mata Angin dan hanya bisa merasa sedih mengetahui si kakek sudah tidak bernyawa lagi. Purnama kemudian berpindah pada sosok puteranya. Terhadap Jatilandak Purnama hanya pergunakan dua jari untuk menotok kening yaitu sesuai dengan dua warna yang terlihat di kulit tubuh, merah dan hijau. Begitu dua buah lobang muncul di kening, cairan merah dan hijau langsung mengucur.
Selesai melakukan semua pekerjaan itu Purnama cepat menghampiri Nyi Roro Manggut yang terlentang di
tanah dalam keadaan lemas tak mampu bergerak sedikitpun. “Hah, apa yang hendak dilakukannya. Jangan-jangan dia hendak membunuhku!” pikir si nenek. “Nek, aku akan kembalikan tenaga dalam dan hawa sakti yang tadi aku pinjam. Maaf kalau aku harus
menginjak tanganmu.” Gadis dari negeri 1200 tahun silam itu kemudian injak telapak tangan kiri kanan si nenek hingga Nyi Roro
Manggut berteriak kesakitan. “Dess!” “Dess!” Purnama dan Nyi Roro Manggut sama-sama keluarkan jeritan keras. Kalau Purnama kemudian terpental
hampir sepuluh langkah lalu jatuh terguling di tanah maka si nenek mencelat ke udara dan walau mampu jatuh dengan dua kaki menginjak tanah lebih dulu namun sempat terkencing-kencing!
“Wong edan! Baru sekali ini aku sampai mengalami ngompol seperti ini. Memalukan! Aku terpaksa harus mandi kembang tujuh rupa sebelum masuk ke laut selatan!” Nyi Roro Manggut lalu melangkah menghampiri Purnama yang tergeletak di tanah sementara cairan empat warna masih mengucur dari empat buah lobang di keningnya. “Mahluk hebat!” puji si nenek. “Aku telah menyangka buruk. Tadinya aku mengira kau tidak akan mengembalikan tenaga dalam dan hawa saktiku.”
Purnama tersenyum. “Kau yang hebat Nek. Aku berterima kasih kau telah sudi menolong.”
“Gadis cantik, aku tahu sedikit mengenai Racun Inti Bumi yang mencelakaimu dan kawan-kawan. Warna yang ada di kulit kalian akan hilang satu hari satu warna. Berarti untuk pulih kembali sudah membutuhkan empat hari….”
“Tidak jadi apa Nek. Yang penting kami semua sudah selamat, hanya tinggal menunggu kesembuhan….” Sebenarnya ihwal ini sudah diketahui Purnama dari Kitab Seribu Pengobatan. “Eh, kalau boleh aku bertanya dari mana kau mendapatkan ilmu cara pengobatan seperti yang kau lakukan tadi?” bertanya Nyi Roro Manggut. “Aku mendapat petunjuk dari sebuah kitab kuno bernama Kitab Seribu Pengobatan,” jawab Purnama. Dia ingat sampai saat itu masih tidak diketahui siapa pencuri dan dimana keberadaan kitab tersebut.
“Aaaah…. Aku pernah mendengar riwayat kitab itu. Sungguh luar biasai!” Nyi Roro Manggut manggut-manggut beberapa kali. “Sekarang apa yang bisa aku lakukan? Cairan empat warna masih mengalir dari empat buah lobang di kening kalian. Bagaimana cara menghentikannya?”
“Tak usah khawatir Nek, jika nanti angin dari laut mulai bertiup agak kencang dan kepala kami menjadi dingin, cairan berwarna itu akan berhenti mengucur…” “Lalu empat buah lobang menganga yang ada di keningmu, juga di kening dua orang lain itu? Apa kalian akan hidup dengan kening bolong seumur-umur?”
Purnama terdiam. Setelah menarik nafas dalam dia lalu berkata. “Ini yang agak merisaukan aku Nek. Menurut petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan untuk menghilangkan lobang yang ada di kening, kepala kami harus disiram air laut. Kami harus mandi dan mencelupkan kepala di laut….”
“Laut, apakah laut jauh dari sini?” tanya Nyi Roro Manggut
“Tidak seberapa jauh. Ada sebuah teluk di sebelah utara. Aku dan puteraku….”
“Eh, siapa yang kau maksud puteramu itu?” Nyi Roro Manggut bertanya memotong ucapan Purnama.
“Pemuda berpakaian kelabu yang masih pingsan di sebelah sana,” jawab Purnama pula.
Si nenek memandang ke arah Jatllandak. Dia ingat, sebelumnya sosok pemuda itu adalah seekor landak raksasa. Bagaimana ceritanya seorang cantik dan masih gadis seperti itu punya seorang putera yang ujud aslinya adalah seekor landak. Ingin dia bertanya namun akhirnya membatalkan niat.
“Nek, setelah kucuran cairan berwarna berhenti, tenaga dalam dan semua kesaktianku, juga puteraku belum akan kembali. Dengan mengandalkan tenaga luar kami mungkin mampu pergi sendiri ke teluk. Tapi bagaimana dengan Wiro dan Rayi Jantra. Walau kucuran cairan racun empat warna berhenti, namun mereka masih belum punya tenaga untuk pergi ke laut. Berjalanpun mereka tidak akan mampu.”
“Kalau begitu aku yang akan membawa kailan masuk semua ke teluk. Tapi….”
“Tapi apa Nek?” Selain bingung apakah nenek cebol itu mampu membawa mereka berempat ke teluk, Purnama juga merasa cemas ada sesuatu yang menjadi ganjalan si nenek. “Apakah aku punya waktu?” “Maksudmu Nek?” “Sepertimu, aku berasal dari alam lain. Tanpa ijin dari pimpinanku Junjungan Agung tidak mungkin bisa
berada lama di alam sini….” “Kalau aku boleh tahu siapa gerangan Junjungan Agung itu, Nek?” tanya Purnama. “Nyi Roro Kidul, pemimpin, penguasa dan pemelihara kedamaian laut selatan.” “Ah… aku pernah mendengar riwayatnya. Aku sangat mengagumi Ratu-mu itu Nek.” “Dengar… Eh, siapa namamu? Apa kau punya nama?”
Purnama tertawa. “Pendekar Dua Satu Dua memberi aku nama Purnama.”
“Begitu?” Si nenek manggut-manggut beberapa kali dan ikutan tertawa. Dia memandang ke arah sosok Wiro yang tergeletak di tanah. Dalam hati berkata. “Bocah ingusan, kau tentu memberi nama itu tidak cuma-cuma! Paling tidak kau sudah pemah memeluk atau mencium gadis ini!”
“Nek, ada apa kau senyum-senyum?” tanya Purnama.
Nyi Roro Manggut angkat kedua bahunya lalu gelengkan kepala.
“Nek, kalau waktumu memang terbatas dan kau memang bisa menolong, setelah cairan berwarna berhenti mengucur….”
“Sudah kau tak usah kawatir. Urusan dengan Junjungan Agung biar aku yang nanti bertanggung jawab. Aku akan membawa kalian sekarang juga ke teluk….”
“Nek, bagaimana dengan jenasah Pengemis Empat Mata Angin,” bertanya Purnama.
Saat itu Wiro dan Rayi Jantra telah mulai siuman dari pingsannya. Sebagian pembicaraan Nyi Roro Manggut dan Purnama sempat mereka dengar. Rayi Jantra merasa sangat sedih mengetahui kalau Pengemis Empat Mata Angin telah tewas. “Aku belum sempat membalas budi, kakek itu sudah pergi duluan. Kalau bukan dia yang menolongku di jurang, aku sudah lama jadi bangkai.” Ucap Rayi Jantra dalam hati. Lalu Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini kumpulkan tenaga untuk bisa sekedar keluarkan ucapan. “Nek, sebelum pergi aku mohon, tolong jenasah kakek itu diurus. Dikubur. Jangan ditinggal tergeletak begitu saja.”
“Urusan kecil!” jawab Nyi Roro Manggut. Nenek ini hantamkan tangan kanannya ke bawah. Tanah bermuncratan membentuk sebuah lobang besar.
“Kalian tengah melakukan apa?” Pendekar 212 Wiro Sableng bertanya perlahan dari tempatnya tergeletak. Dia merasa heran ketika tubuh dan mukanya kejatuhan muncratan tanah.
“Kami hendak mengubur jenasah kakek Pengemis Empat Mata Angin.” Menerangkan Purnama.
“Kasihan kakek itu….” ucap Wiro. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. “Tunggu! Jangan dikubur dulu!”
“Memangnya kenapa?” tanya Purnama.
“Ingat apa yang telah aku lakukan terhadapnya? Rohnya tidak akan tenteram di alam akhirat kalau letak…. letak… anunya itu masih terbalik.”
Wajah Purnama tampak berubah. Gadis ini ingat kalau anggota rahasia Pengemis Empat Mata Angin yang pernah ditanggalkan Wiro dengan ilmu Menahan Darah Memindah Jasad masih dalam keadaan terbalik. (Kisah lucu sampai Wiro menanggalkan anggota rahasia Pengemis Empat Mata Angin dan kemudian memasangnya kembali sengaja terbalik dapat dibaca dalam Episode sebelumnya berjudul “Misteri Pedang Naga Merah”).
“Kau mau melakukan apa?”
“Aku akan coba memperbaiki letaknya kembali.”
“Dalam keadaan seperti ini apa kau sanggup melakukan?” tanya Purnama.
Saat itu Nyi Roro Manggut datang mendekati dan bertanya. “Kalian bicara apa? Ada apa sebenarnya ini? Mengapa jenasah kakek botak itu tak segera dikubur?”
Purnama tak bisa menjawab. Akhirnya Wiro yang bicara.
“Nek, aku butuh pertolonganmu. Tolong tarik aku ke dekat jenasah kakek botak itu.”
“Eh, kau mau melakukan apa?”
“Sudah, lakukan saja Nek,” ucap Wiro.
Karena Nyi Roro Manggut tidak mau melakukan apa yang dikatakan Wiro maka Purnama lalu cekal pergelangan kaki sang pendekar dan menariknya hingga berada di samping jenasah kakek pengemis. Nyi Roro Manggut mengikuti langkah Purnama dan berdiri di samping jenasah Pengemis Empat Mata Angin.
“Nek, kalau tidak aku terangkan kau tidak akan mengerti.” Dengan suara perlahan karena tubuhnya nyaris tiada daya Wiro lalu menerangkan apa yang telah dilakukannya pada Pengemis Empat Mata Angin. “Kakek itu pernah bilang, kalau dia mati, dia tidak akan tenteram jika anunya itu masih dalam keadaan terbalik. Sekarang agar rohnya tenteram aku harus membalikkan kembali letak anunya kakek itu.”
“Oala! Bocah ingusan! Dari dulu kau memang selalu jahil. Kini orang lain kau bikin susah termasuk aku!” si nenek cebol berkata setengah mengomel.
“Nek, tolong kau tarik ke bawah celana panjang kakek botak itu.”
“Apa?!” Nyi Roro Manggut tersentak kaget dan delikkan mata.
“Aku tak mungkin memperbaiki letak anggota rahasianya kalau celananya tidak dibuka,” ucap Wiro pula.
“Kau gila!”
“Nek, kalau nanti roh kakek itu gentayangan, bukan aku yang dicarinya tapi dirimu. Karena kau tidak mau menolong!”
“Perduli setan!” jawab si nenek.
“Terserahmu Nek, aku hanya mengingatkan.”
“Nek, tolong. Lakukan apa yang dikatakan sahabatku itu….” Rayi Jantra berucap.
Diam-diam Nyi Roro Manggut jadi mengkirik juga kuduknya mendengar ucapan Wiro tadi. Dia tidak mau mendapat susah. Apalagi kalau sampai terhalang kembali pulang ke laut selatan. Akhirnya dia membungkuk dan tarik celana Pengemis Empat Mata Angin hingga anggota rahasianya tersingkap. Purnama cepat-cepat balikkan diri. Walau sudah melengos tak sengaja si nenek sempat melihat aurat terlarang itu dan mulutnya langsung ketelepasan bicara.
“Weh, kok jelek amat!”
“Nek, memangnya kau pernah melihat anu yang lain yang lebih bagus?” Wiro ketelepasan bicara pula, bertanya seenaknya.
“Bocah ingusan geblek! Sudah mau mati masih saja bicara ngelantur!” damprat Nyi Roro Manggut lalu palingkan wajahnya yang tersipu malu.
“Nek, tolong angkat tangan kananku. Letakkan di atas anunya si kakek.”
“Edan! Kau benar-benar keterlaluan!”
“Nek…”
Dengan lebih dulu melengos si nenek lakukan juga apa yang dikatakan Wiro.
Setelah tangan kanannya berada di bagian bawah perut Pengemis Empat Mata Angin, Wiro masih memerlukan pertolongan si nenek.
“Satu permintaan lagi, Nek…”
“Edan! Apa lagi?”
“Alirkan tenaga dalammu ke tangan kananku,” jawab Wiro.
Nyi Roro Manggut menarik nafas panjang, menoleh pada Purnama. Ketika gadis dari negeri 1200 tahun silam ini anggukkan kepala si nenek letakkan tangan kanannya di atas bahu kanan Wiro lalu alirkan tenaga dalam. Dengan kekuatan tenaga yang diberikan Nyi Roro Manggut murid Sinto Gendeng mampu mengerahkan ilmu Menahan Darah Memindah Jasad dan berhasil memindah serta memperbaiki letak anggota rahasia Pengemis Empat Mata Angin yang tadinya terbalik.
“Sudah Nek,” ucapWiro.
“Apanya yang sudah?” tanya Nyi Roro Manggut.
“Anunya si kakek sudah aku putar.”
“Lalu?!”
“Tolong kau lihat, apa letaknya sudah bagus, sudah lempang.”
“Setan alas!” Nyi Roro Manggut memaki jengkel dan marah. Dia lalu gulingkan tubuh Wiro ke samping dan siap untuk memasukkan jenasah Pengemis Empat Mata Angin ke dalam lobang. “Tunggu Nek! Celananya belum dinaikkan! Anunya belum tertutup!” ucap Wiro. “Perduli setan aku!” kata si nenek. Lalu dia dorong tubuh Pengemis Empat Mata Angin ke dalam lobang. “Celaka Nek! Bagaimana kalau di alam roh burungnya kakek itu nanti terbang kelayapan karena celananya
tidak ditutup. Pasti kau yang dicari dan dipatuknya!”
“Perduli setan!” Ucap Nyi Roro Manggut hampir berteriak sementara Purnama hanya bisa tersenyum geli dan geleng-gelengkan kepala. Dia sudah banyak mendengar dan melihat keusilan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun yang sekali ini benar-benar edan. Padahal keadaan Wiro saat itu masih belum terlepas penuh dari ancaman bahaya Racun Inti Bumi.
*****
LIMA
DENGAN mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru dan Ilmu Menggunung Raga Melaut Tenaga Nyi Roro Manggut yang memanggul Wiro, Rayi Jantra, Purnama dan Jatilandak di bahu kiri kanan, dalam bilangan kejapan mata saja telah berada di Teluk Losari. Angin mengandung garam bertiup dingin. Di langit bulan sabit tampak samar tertutup saputan awan tipis. Deburan ombak menderu tak berkeputusan. Tak jauh di tengah laut, beberapa buah pulau kelihatan menghitam seperti gundukan batu dalam gelapnya malam.“Purnama… Kau bisa mendengar suaraku?” Nyi Roro Manggut keluarkan ucapan.
Sunyi tak ada jawaban. Sesaat kemudian baru terdengar suara gadis dari negeri Latanahsilam itu. “Aku mendengar Nek. Aku mendengar suara debur ombak. Kita….”
“Kita sudah sampai di teluk. Apa yang harus aku lakukan. Melemparkan kalian semua ke dalam laut?” bertanya Nyi Roro Manggut.
“Baringkan kami di atas pasir. Kalau ombak datang kepala kami akan terguyur air laut. Lobang-lobang di kening kami akan lenyap. Dengan ijin Tuhan kami semua akan terbebas dari racun jahat Inti Bumi. Tenaga dalam serta semua kesaktian yang kami miliki akan pulih kembali. Begitu petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan….”
Saat itu si nenek masih memanggul keempat orang tersebut di bahu kiri kanan, Entah mengapa hatinya mendadak terasa tidak enak. Setelah berpikir sejenak dia berkata.
“Sudah, aku akan bawa kalian ke dalam laut. Biar aku ikut mandi sekalian. Hik… hik… hik….”
Lalu, tidak menunggu lebih lama nenek sakti dari laut selatan itu berlari merancah laut menerobos ombak. Baru air laut mencapai sebetis dan tubuh keempat orang yang dipanggulnya masih belum terkena air laut, entah dari mana datangnya tiba-tiba muncul dua buah perahu meluncur cepat ke arah teluk. Diantara deru ombak ada orang berseru keras.
“Siapa yang berani mengotori laut kawasan kakuasaan Ratu Laut Utara malam-malam buta begini!”
Dua perahu semakin dekat. Di atas perahu sebelah kanan berdiri seorang kakek berambut kelabu riap-riapan, mengenakan jubah kuning. Pada pertengahan kening, melintang sampai ke pipi kiri ada cacat bekas luka yang membuat mata kirinya agak terpuruk hingga wajahnya tampak angker seram. Dua tangan dirangkap di atas dada. Kaki kiri dicelup ke dalam air laut, dijadikan pendayung dan membuat perahu melesat pesat di atas air. Kakek inilah yang barusan keluarkan saruan.
Di atas perahu kedua tampak seorang kakek berjubah biru, berkepala botak dan memiliki wajah berwarna merah. Walau sudah tua namun sosoknya yang tinggi besar dan buncit tampak masih kukuh tegap. Di tangan kiri dia memegang sebuah dayung kayu besar yang dicelupkan ke dalam air laut. Setiap kali dia mengayuh, perahu melesat cepat dipermukaan air laut. Siapa gerangan dua orang tua berkepandaian tinggi ini?
Sewaktu terdengar suara seruan tadi, empat orang di atas bahu kiri kanan Nyi Roro Manggutcoba bergerak mengangkat kepala untuk melihat ke depan,
“Nek, aku mencium bahaya. Lekas lemparkan kami ke dalam laut!” Purnama keluarkan ucapan.
Wiro sendiri saat itu ketika melihat kakek berjubah biru bermuka merah terkesiap. “Kakek muka merah di atas perahu. Aku pernah melihat orang ini sebelumnya. Dimana… kapan?”
Sebelum ingatan Pendekar 212 pulih, tubuhnya sudah dilempar Nyi Roro Manggut ke dalam laut bersama tiga orang lainnya. Si nenek sendiri kemudian mundur tiga langkah, sosok kembali ke ujud semula pendek cebol, mata menatap tak berkesip ke arah dua perahu. Ketika perahu mendekat dia segera mengenali kakek berjubah kuning namun tidak tahu siapa adanya kakek bermuka merah berkepala botak di atas perahu satunya.
Begitu Wiro, Purnama, Rayi Jantra dan Jatilandak masuk ke dalam air laut, kepala mereka terasa dingin. Dari lobang-lobang di kening menyembur hawa panas yang membuat air laut berbusah empat warna. Saat itu juga terjadi satu keanehan. Secara bersamaan empat lobang di kening Wiro, Purnama, Rayi Jantra serta dua lobang di kening Jatilandak lenyap. Kekuatan luar, tenaga dalam serta kesaktian yang mereka miliki serta merta pulih walau kulit mereka masih belang-belang. Keempat orang munculkan diri ke permukaan air laut, berseru keras, lalu serentak melesat ke udara dan berdiri berjejer tegak di pasir pantai. Mereka kemudian sama-sama mendekati Nyi Roro Manggut. Wiro mencari-cari, memandang seputar laut. Dia tidak melihat lagi kakek muka merah kepala botak tadi. Orang tua itu lenyap bersama perahunya. Mendadak Wiro ingat. Kakek botak muka merah itu adalah kakek yang dilihatnya di luar tembok halaman gedung Kadipaten Losari. Kakek yang membunuh perajurit Jumena.
“Mungkin dia mengenali diriku,” pikir Wiro. Lalu bertanya pada Nyi Roro Manggut “Nek, kau melihat kemana lenyapnya kakek muka merah di atas perahu satunya?”
Sebelum si nenek sempat menjawab, di depan sana, di atas perahu yang sudah berhenti, kakek berjubah kuning yang mukanya ada parut memanjang cacat bekas luka sudah lebih dulu membuka mulut, keluarkan suara lantang.
“Nyi Roro Manggut! Sahabat lama! Jauh-jauh dari selatan, ada apa gerangan muncul di laut utara?!”
Si nenek pandang sesaat kakek di atas perahu, mendongak ke langit seolah menatap bulan sabit lalu tertawa panjang. Dalam tertawa dia sengaja kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti hingga permukaan laut bergetar dan perahu di depan sana bergoyang oleng. Kakek jubah kuning jadi terkesiap. Dia cepat kerahkan tenaga dalam. Dua kaki laksana dipancang di atas lantai perahu. Hawa sakti menembus sampai ke permukaan air laut. Namun goncangan perahu di atas mana dia berada hanya berkurang sedikit pertanda tenaga dalam kakek ini masih berada jauh di bawah Nyi Roro Manggut.
Setelah puas tertawa nenek sakti dari kawasan laut selatan, pembantu utama Nyi Roro Kidul turunkan pandangan, berpaling ke arah kakek berjubah kuning lalu berucap. “Pengging Kuntala! Kau rupanya. Belasan tahun tidak bertemu, kurasa kau sudah jadi tulang-belulang, bersatu dengan dasar laut utara!”
“Nyi Roro Manggut! Kau masih seperti dulu saja! Sikap pongah bicara sombong! Tidak tahu diburuk rupa! Ha… ha… ha! Apa kau tidak sadar kalau telah mengotori kawasan laut Utara. Kau kencing dimana, mengapa berani cebok di sini?!”
Nyi Roro Manggut angguk-anggukan kepala beberapa kali. Lalu menjawab. “Baru air kencing saja kau sudah kalang kabut! Kau ingin aku berak di sini saat ini juga?! Hik… hik… hik!” . “Nenek buruk jahanam! Berani kau…”
“Kakek jubah kuning!” tiba-tiba Wiro membentak memotong bentakan Pengging Kuntala. “Jangan berani bicara kurang ajar pada nenek ini kalau tidak mau kutambah cacat di mukamu! Jawab pertanyaanku! Tadi kau muncul bersama seorang kakek botak muka merah! Kemana lenyapnya sobatmu itu?! Katakan siapa dia adanya dan dimana aku bisa menemui!”
Si kakek di atas perahu yang bernama Pengging Kuntala berpaling ke arah orang yang barusan bertanya padanya. Seperti melihat orang di kejauhan, dia tudungkan telapak tangan kiri di atas mata. “Malam boleh gelap, tampangmu boleh belang-belang. Tapi aku masih bisa mengenalimu. Bukankah kau pemuda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Dua Satu Dua?”
Wiro heran bagaimana kakek yang baru sekali itu dijumpainya bisa mengetahui siapa dirinya. Apalagi wajahnya masih tertutup empat warna Racun Inti Bumi. Pasti kakek botak muka merah tadi yang memberi tahu. Lalu bagaimana si muka merah itu mengenal dirinya kalau bukan karena pertemuan pada malam Kematian Jumena?!
Pengging Kuntala berpaling pada Rayi Jantra seolah tidak acuhkan pertanyaan Wiro. “Dan kau, bukankah kau Rayi Jantra, Kepala Pasukan Kadipaten Losari? Mengapa ikutan berada di sini?” Tanpa menunggu jawaban orang kakek berjubah kuning ini kemudian memandang ke arah Purnama dan Jatilandak. “Kalian berdua aku tidak kenal. Tapi kalian tetap akan mendapat hukuman karena ikutan mengotori kawasan laut utara!”
Mendengar ucapan si kakek Wiro jadi kesal.
“Tua bangka muka parut! Kau belum menjawab pertanyaanku!”
“Kalau aku tak mau menjawab?” sahut Pengging Kuntala pula menantang.
Wiro menyeringai. “Kalau kau tak mau menjawab, biar aku tamb kotoran di laut utara ini!” Selesai keluarkan ucapan, Wiro miringkan tubuhnya sedikit lalu enak saja dia rorotkan celana ke bawah dan serr! Air kencingnya mengucur ke dalam air laut. Dia ingat pada sobat tuanya Setan Ngompol. Kalau kakek tukang beser itu ada di situ pasti keadaannya jadi bertambah seru!
“Manusia kurang ajar! Kau mencari mati!” teriak Pengging Kuntala marah dan merasa sangat dihina. Dari atas perahu dia hantamkan tangan kanan ke arah Wiro.
“Wuuss!”
Selarik sinar kuning menyambar Pendekar 212 disertai suara gemuruh seperti topan melabrak. Inilah pukulan sakti yang disebut Badai Laut Utara Mengamuk.
“Pengging Kuntala! Jangan cuma berani pada bocah ingusan! Aku lawanmu! Bukankah sejak kau diusir dari laut selatan sudah lama kita tidak pernah saling jajal ilmu kepandaian?!”
“Nenek buruk sombong! Jika itu maumu aku tidak menolak!” Jawab Pengging Kuntala. Kakek ini lipat gandakan hawa sakti dan tenaga dalamnya. Serangan yang tadi ditujukan pada Wiro kini diarahkan pada si nenek.
“Wusss!”
Teluk Losari kuning terang benderang oleh sinar pukulan sakti yang dilepaskan Pengging Kuntala disertai deru dahsyat laksana badai mengamuk. Air laut muncrat setinggi dua tombak. Kalau sampai Nyi Roro Manggut terkena hantaman pukulan sakti itu, tubuhnya akan hancur berkeping-keping dan kepingan tubuh itu kemudian akan leleh mengerikan.
“Hebat!” si nenek berteriak seolah memuji. Namun kemudian dia tertawa mengekeh seperti melecehkan. Dia tahu serangan pukulan apa yang dilancarkan Pengging Kuntala.
“Pukulan lama ilmu butut! Apa kau tidak punya ilmu baru sejak minggat belasan tahun?”
Nyi Roro Manggut cepat angkat kedua tangannya.
Pengging Kuntala menggembor marah. Pukulan yang memang sudah dimiliki sejak puluhan tahun lalu. Dulu ketika masih mengabdi pada Nyai Roro Kidul pukulan itu diberi nama Badai Laut Selatan. Setelah dia minggat ke utara dan menjadi orang krpercayaan Ratu Laut Utara nama pukulan tersebut diganti menjadi Badai Laut Utara Mengamuk. Ilmu pukulan sakti yang telah dimilikinya sejak puluhan tahun itu kini kehebatannya telah berlipat janda. Kakek ini yakin dengan sekali hantam saja si nenek cebol akan hancur luluh sekujur tubuhnya.
“Terima kasih untuk seranganmu! Biar aku kembalikan dengan segala kerendahan hati!” Nyi Roro Manggut gerakkan dua tangannya. Dua larik cahaya biru berkiblat.
“Desss! Desss!”
Di atas perahu Pengging Kuntala berseru kaget ketika tubuhya terdorong dan perahu menjadi oleng. Sebelum dia bisa mengimbangi diri tiba-tiba cahaya kuning pukulan saktinya menghantam balik ke arah dirinya. Akibat bentrokan dengan dua larik sinar biru tangkisan Nyi Roro Manggut, cahaya kuning berubah menjadi kobaran api luar biasa dahsyat. Si kakek menjerit keras sewaktu jubah kuningnya meletup dan nyala api membakar sekujur tubuhnya! Setelah menjerit sekati lagi Pengging Kuntala ceburkan diri ke dalam laut. Kini hanya kelihatan perahu yang tadi ditumpanginya dilamun kobaran api. Untuk beberapa saat lamanya nyala api mengambang di permukaan laut seolah ada lapisan minyak yang terbakar.
Nyi Roro Manggut berpaling pada empat orang di sampingnya. “Kakek sialan itu sudah kabur. Dia pasti mengadu pada pimpinannya. Ratu kurang ajar yang katanya menjadi penguasa kawasan laut utara.”
“Nek, siapa adanya kakek berjubah kuning tadi?” tanya Wiro.
“Dulu dia adalah salah seorang yang ditugaskan Nyi Roro Kidul untuk menjaga tembok batas kawasan pantai selatan. Mungkin merasa dirinya lebih hebat dari hanya seorang penjaga tembok batas Kerajaan bawah laut, sekitar dua puluh tahun silam dia minggat tanpa pamit. Kemudian belum lama ini diketahui dia telah menjadi orang kepercayaan perempuan jalang yang menamakan diri Ratu Laut Utara, penguasa laut utara. Orang-orang laut utara punya sikap bermusuhan dengan kami orang-orang dari laut selatan. Mereka selalu berusaha membuat kekacauan. Selain itu juga coba membujuk orang-orang kepercayaan Nyi Roro Kidul untuk bergabung dengan mereka.”
“Nek, kalau Ratu Laut Utara aku pernah kenal. Orangnya baik,” kata Wiro pula. “Namanya Ayu Lestari. Dia mendapat warisan keratuan dari Ratu yang asli…”
“Ayu Lestari yang kau kenal itu sekarang sudah jadi orang sekapan. Dipendam oleh Ratu palsu berhati jahat di dasar laut. Kakek tadi menjadi salah satu orang kepercayaan si ratu jahat!” (Mengenai Kisah Ayu Lestari yang jadi Ratu Laut Utara harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Pembalasan Ratu Laut Utara”).
“Lalu kakek botak muka merah tadi? Apa kau kenal dia?” tanya Wiro lagi.
“Aku tak kenal si botak itu. Dia kabur dengan perahunya ketika aku melemparkan kalian ke dalam laut.” Jawab Nyi Roro Manggut. “Ah, aku lihat kalian sudah pulih semua. Tidak ada lagi lobang di kening…”
“Semua berkat pertolonganmu Nek. Kami sangat berterima kasih…”
Nyi Roro Manggut goyangkan kepalanya ke arah Jatilandak. “Jangan berterima kasih pada aku saja. Ingat Gusti Allah yang menolong kalian. Selain itu, pemuda ini ikut membantu menyelamatkan kailan. Dengan ujudnya yang seperti landak dia membobol dasar tembok batu dimana kalian terkurung.”
Wiro dan Rayi Jantra langsung membungkuk seraya mengucapkan terima kasih pada Jatilandak yang disambut putera Purnama ini dengan sikap rikuh.
“Aku sampai di sini secara kebetulan belaka,” menjelaskan Jatilandak. “Aku diam-diam mengikuti perjalanan ibu karena katanya ada mahluk alam gaib yang selalu menjahili dirinya.”
“Kau anak baik,” kata Nyi Roro Manggut pula. “Urusanku sudah selesai. Aku harus kembali ke selatan.”
“Tunggu, jangan pergi dulu Nek,” Wiro cepat pegang tangan si nenek:.
“Apa maumu bocah ingusan?” Mendadak si nenek ingat sesuatu. “Eh, apa kipas kayu cendana yang aku titipkan padamu sudah kau serahkan pada kakek itu?” Nyi Roro Manggut bertanya.
“Maksudmu Kakek Segala Tahu, Nek?”
“Memangnya kau berikan pada siapa kipas itu?”
“Sudah Nek, jangan khawatir. Kakek Segala Tahu sangat senang. Walau dia tidak mengatakan tapi aku tahu dia akan berusaha mencari dan menemuimu.”
Nyi Roro Manggut tersenyum.
“Nah, kalian baik-baik saja. Aku harus pergi sekarang.”
“Nyi Roro, aku berterima kasih atas pertolonganmu. Aku masih menyimpan baik-baik sapu tangan pemberianmu. Kalau kau memang mau pergi, bolehkan aku menitipkan pesan untuk seseorang?”
“Pasti titipan untuk seorang gadis!” ucap si nenek pula.
Wiro tertawa. “Ada pesan untuk Ratu Duyung dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dia diminta datang bersamaku menemui orang tua itu. Aku akan menunggunya di tepi telaga di puncak timur Gunung Gede pada saat rembulan empat belas hari bulan di muka.”
Nyi Roro Manggut melirik sekilas pada Purnama lalu berkata. “Anu… hemm, baik, akan aku sampaikan pada gadis bermata biru itu. Jika kau bertemu lagi dengan Kakek Segala Tahu, katakan aku menunggunya di Istana Tiga Menara di dasar samudera selatan.”
“Pasti aku sampaikan Nek,” jawab Wiro. Lalu buru-buru dia ambil tangan kanan si nenek dan menciumnya. “Sekali lagi terima kasih Nek.”
Nyi Roro Manggut pegang bahu sang pendekar dan berkata perlahan. “Kalau saja tidak ada orang-orang itu kau pasti bukan mencium tanganku. Tapi mencium pipiku.”
“Kalau kau memang suka aku akan melakukannya sekarang juga, Nek!” jawab Wiro.
Lalu cuupp… cuupp! Enak saja Wiro cium pipi si nenek kiri kanan! Nyi Roro Manggut terpekik. Orang-orang yang menyaksikan terkesiap kaget melihat kejadian itu. Lalu sama-sama tertawa.
“Bocah ingusan konyol!” Nyi Roro Manggut tarik telinga kiri Pendekar 212 sambil tertawa panjang. Belum habis gema tawanya, sosok si nenek sudah lenyap di kegelapan malam.
“Sebaiknya kita segera pergi saja dari teluk ini,” berkata Wiro. “Kalau kakek bermuka cacat tadi adalah kaki tangan Ratu Laut Utara yang jahat, bukan mustahil dia akan muncul kembali membawa kawan-kawan. Melayani mereka berarti menghambat urusan kita.”
Namun sebelum sempat beranjak dari tempat itu tiba-tiba dari arah pantai sebelah timur terlihat dua penunggang kuda memacu tunggangan masing-masing ke arah mereka. Dua orang ini membawa serta seekor kuda cadangan. Sampai di hadapan keempat orang itu mereka segera melompat turun dan memberi salam. Wiro dan kawan-kawan membalas salam. Yang datang ternyata seorang pemuda gagah dan seorang gadis jelita. Wiro segera mengenali sang pemuda sedang si gadis cantik dia menduga-duga apa pernah bertemu sebelumnya.
*****
ENAM
“SAHABAT Panjirama, sungguh tidak disangka kita bisa bertemu lagi…” Wiro menyapa. Pemuda gagah yang disebut dengan nama Panjirama menatap Pendekar 212 sesaat. Lalu berkata. “Wajahmu yang tertutup empat warna aneh membuat aku agak sulit mengenali dirimu. Tapi aku masih bisa mengenali suaramu. Bukankah kau sahabat yang tak mau memperkenalkan nama dan telah menolong kami di sebuah candi ketika kami berkelahi melawan Pengemis Mata Putih dan anak buahnya.” (Mengenai perkenalan Wiro dengan Panjirama harap baca serial sebelumnya berjudul “Dadu Setan”).“Kau keliwat merendah. Padahal kau dan kawanmu saat itu yang telah menolongku,” jawab Wiro pula. Dia melirik pada gadis jelita di samping Panjirama lalu bertanya. “Panji, mana adikmu Ariadarma?”
Ditanya begitu Panjirama tersenyum. Akhirnya pemuda ini berkata. “Sekarang aku terpaksa berterus terang. Ariadarma memang adikku. Tapi sebenarnya dia adik perempuan yang saat bertemu denganmu dalam penyamaran sebagai seorang pemuda berkumis. Dialah orangnya.” Panjirama berpaling pada gadis cantik di sebelahnya.
Wiro menggaruk kepala. Dalam hati murid Sinto Gendeng berkata. Ah, jadi benar apa yang aku lihat saat itu melalui ilmu Menembus Pandang. Pemuda berkumis kecil bernama Ariadarma itu ternyata memang seorang perempuan. Seorang gadis cantik.”
“Kalau begitu siapa sahabat berdua ini sebenarnya?” tanya Wiro.
“Saat ini agaknya kami tidak perlu lagi menyembunyikan siapa kami adanya. Sahabat, aku adalah Walang Sungsang bergelar Pangeran Cakrabuana. Dan ini adikku Nyai Rara Sintang. Kami kakak beradik berasal dari Kerajaan Pajajaran. Kami putera-puteri Prabu Siliwangi.”
Mendengar ucapan pemuda yang dikenalnya dengan nama Panjirama itu, Pendekar 212 segera bungkukan badan memberi penghormatan. Hal yang sama juga dilakukan olah Rayi Jantra, Purnama dan Jatilandak.
“Ah, tak perlu memakai segala peradatan,” ucap Panjirama alias Walang Sungsang alias Pangeran Cakrabuana seraya menepuk bahu Pendekar 212.
Wiro kemudian memperkenalkan ketiga sahabatnya ini pada Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang. Ketika memperkenalkan diri Rayi Jantra membungkuk seraya berkata. “Saya Rayi Jantra, kita pernah bertemu. Apakah Pangeran Cakrabuana masih ingat?”
Pemuda di hadapan Rayi Jantra memperhatikan wajah Rayi Jantra yang berbelang-belang itu beberapa lamanya. Kemudian dia berseru dan melangkah mendekat lalu merangkul Kepala Pasukan Kadipaten Losari itu.
“Benar-benar pertemuan tidak disangka. Kami berdua punya pesanan dari Ayahanada Prabu Silrwangi untuk mencari sahabat, untuk menyerahkan satu barang titipan. Nanti akan aku serahkan padamu. Biar aku bicara dulu dengan sahabatmu si gondrong ini.”
Sambil menggaruk kepala Wiro berkata. “Ketika berada di candi, aku sama sekali tidak mengetahui siapa adanya sahabat berdua. Waktu itu aku…” Wiro tidak meneruskan ucapannya melainkan memandang pada Nyai Rara Santang.
Puteri Kerajaan Pajajaran itu tersenyum. “Aku tahu…” katanya. “Kau mempergunakan ilmu kepandaian untuk mengetahui siapa diriku sebenarnya.” “Aku mengaku bersalah. Aku memang manusia jahil. Dan aku minta maaf,” ucap Wiro polos. “Kau sudah dimaafkan,” kata Nyai Rara Santang pula. “Kau mungkin tidak menyadari. Karena perbuatan
jahilmu itu kau tidak mampu lagi mengerahkan ilmu kesaktian untuk melihat di luar batas kemampuan manusia biasa. Tapi sekarang karena sudah kumaafkan, kurasa ilmu itu sudah kembali.”
Karuan saja murid Sinto Gendeng jadi terperangah dan garuk-garuk kepala. Dia kini ingat. Sebelumnya beberapa kali dia pernah mengerahkan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu Duyung itu. Namun selalu gagal. Wiro tidak menyangka kalau Nyai Rara Santang punya kemampuan menjajagi ilmu kepandaiannya. Dia merasa lega dan membungkuk. “Sekali lagi aku mohon maaf.” Lalu Wiro bertanya. “Sahabat berdua, apakah mempunyai hubungan dengan seorang nenek sakti yang sudah tewas berjuluk Eyang Sepuh Kembar Tilu?”
Dua kakak beradik itu tampak terkejut.
“Kami memang punya hubungan dengan Eyang Sepuh Kembar Tilu. Tapi kami tidak tahu kalau beliau sudah tewas. Siapa yang membunuhnya?” bertanya Pangeran Cakrabuana. “Kami justru tengah menyelidiki siapa pembunuh nenek itu,” jawab Wiro. “Mengapa sahabat menanyakan perihal hubungan kami?” Nyai Rara Santang bertanya. “Sebelum menghembuskan nafas nenek sakti itu berpesan agar aku menemui Nyai Rara Santang dan
mencari pembunuhnya.”
Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang saling pandang. Sang adik kemudian berkata. “Kami memberikan pesan itu pada Eyang Sepuh Kembar Tilu untuk disampaikan hanya pada satu orang tertentu. Dan ini merupakan satu hal yang rahasia.”
“Kalau boleh tahu, siapa orang itu?” tanya Wiro pula. “Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede.” Nyai Rara Santang hentikan ucapan dan menatap wajah belang pemuda di hadapannya. “Apakah kau….”
“Mohon dimaafkan. Akulah si sableng murid Eyang Sinto Gendeng itu.” Kata Wiro pula sambil membungkuk. Setelah meluruskan tubuh dia bertanya. “Kalau boleh aku tahu, mengapa Nyai Rara Santang memberikan pesan itu pada Eyang Sepuh Kembar Tilu?”
Nyai Rara Santang memandang pada kakaknya. Pangran Cakrabuana memberi isyarat anggukan kepala. Lalu Nyai Rara memberi keterangan. “Sebenarnya ini merupakan hal yang ssangat rahasia. Tapi kami percaya padamu dan juga pada para sahabat lain yang ada di sini. Kami tidak begitu berhasrat menjadi pewaris tahta Kerajaan Pajajaran yang sekarang berada di tangan ayahanda Prabu Siliwangi. Kami dalamsatu usaha hendak mendirikan sebuah kerajaan di wilayah Cirebon. Ini satu pekerjaan yang tidak mudah. Banyak pihak yang berusaha menghalangi. Terutama dari para pejabat Kerajaan di timur dan kaki tangannya para tokoh rimba persilatan. Selain itu mereka juga berusaha membujuk para pejabat dari beberapa kerajaan di barat termasuk Pajajaran. Mereka memiliki kekuatan serta dana besar. Kami tidak tahu, hanya bisa mengira-ngira dari mana mereka mendapat dana tersebut. Kami membutuhkan banyak bantuan dari orang-orang yang bisa diandalkan dan dapat dipercaya. Baik semasa dalam usaha mendirikan maupun setelah Kerajaan Cirebon nanti berdiri.
Salah seorang yang sangat kami percayai adalah sahabat kami sendiri. Kami punya rencana untuk meminta kesudian sahabat untuk kelak menjabat Panglima Balatentara Kerajaan Cirebon.”
Wiro menggaruk kepala dan tadinya hendak tertawa. Namun melihat kesungguhan pada wajah dua kakak adik dihadapannya maka diapun berkata. “Sungguh luar biasa. Hari ini aku menerima kepercayaan besar. Nyai Rara Santang, Pangeran Cakrabuana aku sangat berterima kasih dan sangat menghormati apa yang menjadi rencana para sahabat berdua. Namun ijinkan aku untuk mempertimbangkan permintaan itu. Mungkin aku juga perlu nasihat kawan-kawan yang lain…”
“Kami dapat memaklumi,” kata Pangeran Cakrabuana. “Kalau kami boleh bertanya apa yang membuat pendekar dan tiga sahabat berada di Teluk Losari malam-malam begini. Lalu mengapa kulit wajah serta tangan kalian berwarna hijau, merah, kuning dan biru?”
Wiro lalu menuturkan riwayat bagaimana mereka sampai berada di teluk itu. Mendengar penjelasan sang pendekar Nyai Rara Santang berkata. “Sepanjang yang kami ketahui Raja Racun Bumi Langit adalah salah seorang kaki tangan orang-orang yang tidak menyukai berdirinya Kerajaan Cirebon.” Puteri Kerajaan Pajajaran ini kemudian berpaling pada kakaknya. “Kanda Walang Sungsang, kita datang terlambat. Tapi itu ada baiknya. Secara tidak langsung kita sudah melihat keculasan orang-orang laut utara.”
Tanpa diminta kemudian Pangeran Cakrabuana menceritakan bahwa kedatangannya ke Teluk Losari malam itu adalah untuk bertemu dengan Pengging Kuntala selaku wakil Ratu Laut Utara.
“Kami bermaksud melakukan perundingan dengan Pengging Kuntala. Meminta agar pimpinannya yaitu Ratu Laut Utara tidak mencampuri apa lagi menghalangi maksud kami mendirikan Kerajaan Cirebon. Selama ini kami tahu sang Ratu berada di belakang layar. Memerintahkan orang-orangnya untuk menghancurkan kami. Kami juga punya dugaan keras Ratu Laut Utara bekerjasama dengan para pejabat Kerajaan di timur serta musuh dalam selimut dari Kerajaan di barat”
“Karena telah terjadi bentrokan antara para sahabat dengan Pengging Kuntala dan kami menduga kakek itiu mungkin sudah tewas, paling tidak luka parah maka kami rasa kami akan terus melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati Kami berharap sahabat Wiro mau memenuhi harapan kami ini.”
Wiro anggukkan kepala. Sambil menggaruk-garuk dia kemudian bertanya. “Apakah sahabat berdua tidak merasa perlu menghubungi Adipati Losari? Dia salah seorang pejabat tinggi di wilayah barat yang besar kuasa dan pengaruhnya,”
“Begitu besar kuasa dan pengaruhnya hingga dia telah memerintahkan menangkap sahabat hidup atau mati dengan imbalan lima ringgit emas?” ujar Pangeran Cakrabuana pula sambil tersenyum.
Wiro tertawa. “Adipati itu hanya tahu aku sebagai pembunuh Adipati Brebes. Tapi tidak mau tahu kejahatan apa yang telah dilakukan Adipati Brebes hingga aku membunuhnya.”
“Kami berdua tahu sedikit banyak tentang keburukan perilaku Karta Suminta Adipati Brebes. Kami yakin sahabat punya atasan kuat untuk membunuhnya.” Ucap Pangeran Cakrabuana pula. “Mengenai Adipati Losari, dia pejabat yang baik. Kami bersahabat dengan Adipati Raden Seda Wiralaga. Dia sangat mendukung usaha kami untuk mendirikan Kerajaan Cirebon. Sepulang dari Gunung Jati kami akan menyambanginya.” Menjelaskan Pangeran Cakrabuana.
Nyai Rara Santang berpaling pada Jatilandak lalu berkata. “Sementara sahabat Wiro mempertimbangkan permintaan kami, tidak ada salahnya kami juga menawarkan satu jabatan tinggi lainnya pada sahabat. Jika berkenan sahabat bisa ikut bersama kami saat ini juga. Jika perlu waktu untuk berpikir temui kami di mesjid besar Gunung Jati. Kami akan berada di sana selama dua minggu.”
“Saya merasa mendapat penghargaan sangat besar. Saya mengucapkan terima kasih. Saya tidak punya kemampuan apa-apa. Tapi saya punya keinginan untuk membantu apa saja yang bisa saya lakukan….” jawab Jatilandak sambil membungkuk hormat. “Namun saat ini saya perlu tetap bersama teman-teman. Kami tengah menghadapi satu urusan besar…”
“Jatilandak,” berucap Purnama pada puteranya “Untuk melakukan suatu perbuatan baik serta pengabdian luhur rasanya tak ada di antara kami yang keberatan kalau kau ikut bersama dua sahabat ini.”
Sebenarnya Jatilandak merasa tertarik dengan ajakan Nyai Rara Santang itu. Ada beberapa hal yang mendorongnya. Pertama mencari pengalaman baru. Kedua dia masih merasa kurang enak melakukan perjalanan bersama-sama Wiro sejak peristiwa hubungannya dengan Bidadari Angin Timur tempo hari (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Bendera Darah”). Hal ketiga dia merasa ibunya akan menjadi rikuh didampingin terus-menerus karena dia tahu sang ibu tengah jatuh cinta pada pendekar 212 Wiro Sableng. Tidak mustahil tadi ibunya sengaja memberikan semangat agar dia mau mengikuti dua muda-mudi dari Kerajaan Pajajaran itu karena merasa kurang enak jika dia hadir terus di tengah perjalanan bersama Wiro.
Melihat Jatilandak bimbang, Pangeran Cakrabuana berkata. “Kebetulan kami membawa kuda cadangan. Kita bisa pergi bersama-sama saat ini juga.”
Wiro pegang bahu Jatilandak. “Tak usah khawatir dengan segala yang tengah kami hadapi. Tawaran baik dari dua sahabat ini jangan sampai ditolak.”
Jatilandak menatap ke arah ibunya. Purnama tersenyum dan angggukan kepala.
“Mungkin sudah jadi perlangkahan saya. Mengabdi pada sahabat berdua….”
“Tidak, kau tidak mengabdi pada kami. Tapi menjadi sahabat kami…” kata Rara Santang pula. Lalu gadis ini ambil ujung tali kekang kuda cadangan dan menyerahkannya pada Jatilandak. Pemuda dari negeri Latanahsilam ini tak bisa menolak lagi.
Pangeran Cakrabuana mendekati Rayi Jantra. Dari dalam kantong kain yang dibawanya dia mengeluarkan sebilah kujang dibungkus sarung yang masih baru. Melihat senjata itu, hati Rayi Jantra berdetak. Walau masih terbungkus sarung namun dia punya perasaan bahwa senjata itu adalah miliknya yang sirna dan kembali ke tempat asalnya. Kujang dicabut keluar dari sarung. Cahaya kuning memancar menerangi tempat itu. Sebilah kujang berbentuk kepala burung bermata lima terbuat dari emas mumi dipadu batu keramat dari Gunung Salak dan baja putih dari tanah Banten.
Rayi Jantra merasa gembira ketika mengenali senjata itu memang adalah kujang sakti miliknya yang dulu diberikan sendiri oleh Pangeran Cakrabuana kepadanya.
“Rayi Jantra, kau mau menceritakan bagaimana senjata sakti Kujang Emas Kiai Pasundan ini kembali padaku?”
“Pangeran, saya mohon maaf. Senjata itu terpaksa saya pergunakan ketika bertempur melawan Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis, salah seorang bergundal yang jadi pengawal apa yang dinamakan Istana Seribu
Rejeki Seribu Sorga. Saya berhasil menusuk mata kanan Ki Sentot Balangnipa. Sebelum saya pingsan Kujang Emas Kiai Pasundan melesat dan kembali pada Pangeran.” (Kisah kujang ini dapat dibaca dalam serial sebelumnya berjudul “Dadu Setan”)
Pangeran Cakrabuana mengangguk-angguk. Kujang disarungkan kembali lalu diserahkan pada Rayi Jantra. “Terimalah kembali. Jaga baik-baik senjata bertuah ini.”
Rayi Jantra ambil senjata sakti itu. Letakkan di atas kepala lalu bungkukkan badan seraya berkata. “Terima kasih Pangeran.” Rayi Jantra selipkan senjata sakti itu di balik pakaian di pinggang kiri.
“Pangeran dan Nyai Rara,” Wiro berkata. “Sebelum pergi aku ingin bertanya. Apakah pernah mendengar tentang dua buah benda yang disebut dadu setan?”
“Kami pernah menyirap kabar tentang seorang paderi dari Tiongkok yang datang kesini dan konon tengah mencari dua buah dadu itu,” kata Nyai Rara Santang pula.
Pangeran Cakrabuana melanjutkan ucapan adiknya. “Kami juga mendengar kabar bahwa selain merupakan senjata sakti dua buah dadu itu telah dipergunakan sebagai alat judi untuk mengeruk kekayaan menghimpun dana besar. Dana besar ini konon sebahagian dipergunakan untuk membiayai penumpasan usaha kami mendirikan Kerajaan Cirebon. Kami berusaha mencari tahu siapa yang menjadi dalangnya. Namun sampai saat ini belum berhasil. Salah satu tujuan kami untuk nanti menemui Adipati Losari Seda Wiralaga adalah menanyai perihal dua buah dadu itu.”
“Apakah sebelumnya Pangeran dan Nyai Rara Santang berdua pernah mendengar satu tempat yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga?” bertanya Rayi Jantra.
“Kami sering mendengar. Kalau Istana itu benar-benar ada, besar kemungkinan itulah tempat para musuh kami menggarap kekayaan untuk mendanai penumpasan usaha mendirikan Kerajaan Cirebon. Konon tempat itu tak jauh dari teluk ini. Di arah selatan…”
“Kami sudah mendatangi tempat itu. Letaknya di kaki sebuah bukit batu. Ternyata tempat itu kosong. Di situ kami hampir menemui ajal dijebak Raja Racun Bumi Langit.”
“Tabir asap tambah terkuak.” Kata Pangeran Cakrabuana pula. “Kalau diusut dan dicari tahu untuk siapa Ki Sentot Balangnipa dan Raja Racun Bumi Langit bekerja, akan ketahui siapa dalang dibalik Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Kami punya rencana untuk menyelidik. Namun masih ada satu urusan penting yang harus kami lakukan di Gunung Jati…”
“Sahabat berdua, untuk sementara biar kami yang mewakili mencari dadu setan itu. Banyak sahabat kami serta orang-orang tak berdosa yang telah tewas gara-gara benda celaka itu.” Kata Pendekar 212 pula.
“Kami berdua sangat berterima kasih jika pendekar mau melakukan hal itu,” ucap Pangeran Cakrabuana.
“Saya ada satu pertanyaan, jika dua sahabat tidak berkeberatan.” Purnama yang sejak tadi diam membuka mulut.
“Silahkan, sahabat yang cantik hendak bertanya apa?” ujar Nyai Rara Santang pula. Sepasang matanya memperhatikan dan mulutnya tersenyum. Saat itu dia sudah bisa merasakan bahwa Purnama bukanlah gadis biasa dan memiliki ilmu kesaktian yang sulit dijajaki ketinggiannya. Kalau saja dia bisa mengajak gadis ini.
“Pangeran, Nyai Rara, apa pernah mendengar nama atau kenal dengan Pangeran Kumbara Ajiwinata?”
“Dia salah seorang keponakan Ayahanda kami Prabu Siliwangi.” Jawab Pangeran Cakrabuana. “Ada apakah sahabat menamakan dianya?”
“Ada seorang bernama Danang Seta. Dia salah seorang yang mengetahui tempat rahasia bernama istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Namun dia keburu tewas di hadapan makam kekasihnya, seorang gadis bernama Ningrum. Sebelum terbunuh pemuda itu memperlihatkan sebilah keris kecil yang dipakai orang untuk membunuh kekasihnya. Menurut Danang Seta keris itu adalah milik Pangeran Kumbara Ajiwinata…”
Untuk beberapa saat lamanya Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang sama-sama terdiam. Kemudian sang Pangeran berkata. “Aku tidak menaruh sangka kalau Pangeran Kumbara ikut terlibat menjadi kaki tangan orang-orang yang hendak menghambat berdirinya Kerajaan Cirebon…”
“Menurut Danang Seta sebelum mati. keris itu adalah buatan seorang empu di Karang ampel, bernama Empu Barada.” Purnama menambahkan keterangannya. Lalu dari balik pakaiannya gadis dari alam 1200 tahun silam ini mengeluarkan sebilah keris. Ujung senjata ini ada noda darah yang telah mengering dan pada dua belah gagangnya ada hiasan sebutir intan.
Melihat senjata itu Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang serta merta mengenali.
“Keris Gunung Intan.” Ucap dua kakak beradik itu hampir bersamaan. Lalu sang kakak menambahkan. “Kami tidak mengarang cerita. Tapi kami tahu betul bahwa sejak dua tahun silam senjata ini telah diberikan kepada seorang sahabatnya oleh Pangeran Kumbara.”
“Apakah Pangeran tahu siapa nama sahabat itu?” tanya Rayi Jantra.
“Kalau aku tidak salah namanya Bayumurti. Kabarnya dia sekarang menjadi Adipati Brebes pengganti Adipati Karta Suminta.” ucapnya. “Sulit dipercaya kalau Bayumurti ikut terlibat dalam hal yang berbau kejahatan. Tapi ada baiknya para sahabat melakukan penyelidikan. Banyak hal yang membuat seseorang bisa berubah. Uang, jabatan….”
“Dan perempuan…” sambung Pendekar 212 sambil tersenyum. Lalu dia berkata. “Petunjuk Pangeran akan kami ikuti. Kami akan menemui Adipati Brebes yang baru itu.”
“Agar tidak mendapat kesulitan, jika berhadapan dengan Bayumurti katakan padanya bahwa kami berdua yang mengutus para sahabat untuk melakukan penyelidikan.” Berkata Nyai Rara Santang.
Pangeran Cakrabuana menyambung ucapan adiknya. “Malam sudah jauh larut. Ijinkan kami melanjutkan perjalanan dan membawa serta sahabat Jatilandak.”
Jatilandak mendatangi ibunya.
“Ibu, saya mohon diri.”
Jatilandak yang sekarang berpenampilan sebagai seorang pemuda gagah telah disembuhkan oleh sang ibu berkat petunjuk Kitab Seribu Pengobatan mencium tangan Purnama. Sambil mengusap kepala puteranya Purnama berkata. “Pergilah, kau tak usah merisaukan diriku. Aku akan selalu memperhatikan dirimu dari jauh…”
Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang memperhatikan sementara dalam hati masing-masing bertanya-tanya bagaimana seorang gadis cantik seperti Purnama bisa punya seorang putera yang sudah pemuda begitu rupa.
Jatilandak kemudian memberikan penghormatan dengan membungkukkan diri pada Wiro dan Rayi Jantra lalu melompat ke atas punggung kuda, memacu tunggangannya mengikuti Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang yang telah lebih dulu membedal kuda masing-masing.
Setelah tiga orang itu lenyap dalam kegelapan malam wiro bertanya pada Purnama. “Kau tidak pernah bercerita tidak pernah mengatakan kalau keris kecil itu ada padamu.”
“Kejadiannya sewaktu kau meminta aku memata-matai paderi perempuan dari Tiongkok itu. Senjata itu aku ambil setelah Danang Seta tewas. Sayang aku tidak melihat siapa pembunuhnya.” Menerangkan Purnama lalu keris Gunung Intan yang sejak tadi dipegangnya diserahkan pada Pendekar 212.
*****
TUJUH
DALAM perjalanan menuju Brebes untuk menemui Adipati Bayumurti, Rayi Jantra, Wiro dan Purnama mampir di sebuah kedai minuman. Menyantap ubi dan pisang rebus ditemani secangkir teh manis hangat pagi hari itu sungguh sedap rasanya. Pengunjung kedai cukup ramai. Semua orang yang ada di kedai merasa heran melihat ada tiga orang tamu yang kulit wajah serta tangan dan kakinya berbelang empat warna. Namun mereka tidak berani memperhatikan secara berlebihan apa lagi mempergunjingkan karena maklum tiga tamu itu pasti orang dari rimba hijau dunia persilatan.Wiro dan kawan-kawan melihat pada salah satu dinding papan kedai minuman menempel sehelai kertas bergambar wajahnya. Pada kertas selebaran itu tertulis kata-kata dirinya sebagai buronan pembunuh dan siapa mampu menangkap hidup atau mati akan mendapat hadiah lima ringgit emas. Selebaran itu ditandatangani oleh Seda Wiralaga, Adipati Losari. Sebetulnya Wiro telah melihat dan membaca selebaran itu yakni yang dibawa oleh Eyang Sinto Gendeng ketika bertemu beberapa waktu lalu.
“Untung Raja Racun Bumi Langit membuat mukaku belang-belang. Hingga tak ada satu orangpun di kedai ini yang tahu kalau akulah buronan sialan itu,” kata Wiro sambil tersenyum dan menggaruk kepala.
Selesai membayar, ketika Wiro dan kawan-kawan siap hendak meninggalkan kedai, di halaman rumah minuman itu berhenti sebuah gerobak. Di samping kusir gerobak duduk seorang lelaki separuh baya berwajah klimis, bertubuh kurus tinggi. Di dalam gerobak terdapat tumpukan peti barang serta keranjang. Rayi Jantra dan Purnama sudah berdiri, namun Wiro memberi isyarat dan tetap saja duduk di bangku kayu. Matanya memperhatikan tak berkesip lelaki tinggi kurus yang turun dari gerobak dan melangkah masuk ke dalam kedai, duduk di salah satu sudut.
“Orang yang barusan masuk…” bisik Wiro pada Rayi Jantra dan Purnama. “Dia mengenakan jas tutup kebesaran. Lihat kancing ke dua dari atas. Bentuk dan warnanya agak berbeda dari empat kancing lainnya.”
“Tampaknya dia seorang pedagang.” Kata Rayi Jantra sambil memperlihatkan si tinggi kurus lalu memandang ke arah gerobak yang penuh dengan barang di halaman kedai.
Dari dalam saku pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kancing baju yang dulu diberikan Eyang Sepuh Kembar tilu padanya sebelum menemui ajal. Setelah diperhatikan ternyata kancing baju yang terbuat dari kayu keras itu sama bentuk dan warnanya dengan empat kancing jas tutup yang dikenakan lelaki tinggi kurus itu.
“Mari kita temui orang itu,” kata Wiro pula.
Belum lagi sempat mengupas pisang rebus di atas meja, lelaki klimis tinggi kurus merasa heran dan terganggu ketika dua orang pemuda dan seorang gadis berwajah belang-belang mendatangi lalu langsung duduk di hadapannya.
“Ada apa, kalian siapa? Pemain sandiwara topeng?” Orang itu bertanya.
Wiro tersenyum, cepat menjawab. “Bapak, mohon maaf. Kami tidak bermaksud mengganggu. Jas tutup yang Bapak kenakan. Kami sangat tertarik. Potongannya bagus dan bahannya pasti mahal.”
“Lalu kenapa?” tanya orang di hadapan Wiro sambil mengusap-usap dada pakaiannya yang barusan dipuji Wiro.
Wiro memegang bahu Rayi Jantra. “Sahabat saya ini sangat tertarik pada jas tutup yang Bapak kenakan. Kami tahu Bapak seorang pedagang. Tentu punya banyak uang. Tapi kalau Bapak tidak keberatan, kami ingin membeli jas tutup Bapak. Maaf kalau kami dianggap lancang.” Selesai bicara Wiro lalu meletakkan sekeping perak murni di atas meja.
Sepasang mata lelaki baya yang mengenakan jas tutup membesar. Dongan sekeping perak itu dia bisa membuat atau membeli dua bahkan mungkin tiga helai jas tutup baru.
“Pemuda gondrong muka belang, kau bicara tidak main-main?”
“Tentu saja tidak,” jawab Wiro. “Hanya saja kami mohon maaf. Kalau Bapak sudi menjual jas itu, Bapak harus menyerahkannya sekarang juga.”
“Eh, gila kau gondrongi!” Si tinggi kurus tampak seperti marah. Tapi kemudian tanpa banyak bicara lagi orang ini ambil kepingan perak murni dan segera dimasukkan ke dalam saku celana. Lalu dia membuka jas tutup yang dikenakannya, dilipat baik-baik dan diletakkan di atas meja.
“Terima kasih, bolehkan kami mengetahui siapa nama Bapak?” tanya Pendekar 212.
“Namaku Bentar Jagung. Aku pedagang. Semua orang di daerah ini tahu diriku.”
“Ah, Bapak orang terkenal rupanya….”
Dipuji begitu rupa pedagang bernama Bentar Jagung itu berkata. “Jika kalian juga butuh celanaku, aku bersedia menjualnya. Tidak mengapa pulang ke rumah cuma pakal kolor. Ha…ha…ha.”
“Terima kasih. Sahabat saya ini hanya ingin membeli jas tutup.” Wiro mengambil jas di atas meja, pura-pura memperhatikan dengan penuh kagum. Lalu berkata “Bagus sekali. Jarang orang yang punya jas tutup seperti ini. Boleh kami tahu dimana Bapak menjahitnya? Atau mungkin membelinya sudah dalam keadaan jadi?”
“Jas tutup itu aku dapat dari seorang sahabat. Namanya Dali Rumpun. Seseorang memberikan jas ini padanya dengan perintah agar jas tutup itu dibakar. Dia tidak membakar, malah menjualnya padaku.”
“Aneh, ada orang menyuruh bakar pakaian sebagus dan semahal ini. Bapak Bentar Jegung, apa Bapak tahu siapa orang yang menyuruh bakar jas tutup itu?”
Si pedagang bermuka klimis gelengkan kepala.
Wiro tahu orang ini berdusta.
“Kita sudah bersahabat. Mengapa Bapak tidak mau menerangkan…”
“Aku tak mau mengatakan.” Jawab si pedagang memotong ucapan Wiro.
Wiro meletakkan lagi sekeping perak di atas meja. Agak lebih kecil dari kepingan perak yang tadi.
“Itu untuk pembayar harga celanaku?” tanya Bentar Jegung. Lalu dia berdiri. Kedua tangannya siap hendak menanggalkan celana panjang lurik hitam yang dikenakannya.
“Tidak,” jawab Wiro. “Itu hadiah kalau Bapak mau memberitahu orang yang memberikan jas tutup itu pada Dali Rumpun.”
Bentar Jegung mengusap-usap dagunya beberapa lama. Bibir bawah digigit-gigit. Sambil berpikir-pikir dia memandang seputar kedai. Akhirnya dia memandang pada Wiro kembali dan berkata.
“Baik, akan kukatakan padamu. Tapi hanya kau sendiri yang tahu. Jangan diberi tahu pada orang lain. Termasuk dua temanmu ini.”
“Tentu! Tak akan saya beri tahu pada orang lain,” kata murid Sinto Gendeng pula sambil senyum-senyum. “Kita sudah bersahabat. Jadi harus saling percaya. Bukan begitu?”
Bentar Jegung merunduk, dekatkan mulutnya ke telinga kiri Wiro lalu membisikkan sebuah nama. Sepasang alis mata Pendekar 212 berjingkat ke atas, mata membesar lalu mulut tersenyum.
“Terima kasih Bapak. Terima kasih… Kami berangkat duluan.”
“Ya… ya.” Sahut Bentar Jogung sambil mengusap-usap kepingan perak dalam saku celana panjang yang kini jadi dua.
Wiro serahkan jas tutup pada Rayi Jantra. Lalu ketiga orang itu segera tinggalkan kedai minuman.
Setelah meninggalkan kedai minuman cukup jauh Purnama berkata. “Kita ke timur, mencari Adipati Brebes. Semua pekerjaan ini menyangkut dadu setan. Bagaimana dengan Pedang Naga Merah. Bukankah kau juga harus mendapatkan senjata sakti itu?”
“Pedang Naga Merah sampai saat ini masih berada di tangan Nio Nio Nikouw. Aku tidak begitu berkhawatir. Cepat atau lambat paderl perempuan itu akan muncul sendiri.” Jawab Wiro.
“Aku masih sangat penasaran dengan lenyapnya Kitab Seribu Pengobatan. Gara-gara kelalaianku hal itu terjadi….”
“Semua urusan kita hadapi satu persatu. Mudah-mudahan kitab itu bisa kita temukan.” Wiro pegang lengan Purnama. Lalu keduanya lari mengejar Rayi Jantra yang berada di sebelah depan.
“Wiro, nama siapa yang tadi dibisikkan Bentar Jegung padamu waktu di kedai?” bertanya Purnama.
“Kau tak bakalan percaya.” Ucap Wiro.
“Siapa?”
“Bayumurti. Adipati Brebes yang hendak kita temui.”
“Berarti, jangan-jangan dialah dalang semua pembunuhan sekaligus jadi pengelola Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.”
“Kita lihat saja nanti…,” jawab Pendekar 212.
*****
KEMBALI ke kedai minuman. Hanya sesaat setelah Wiro dan kawan-kawan meninggalkan tempat itu pedagang bernama Bentar Jegung dengan cepat keluar dari kedai. Dia mengambil sehelai pakaian hitam dari atas gerobak lalu menyelinap ke balik sebuah pohon besar. Di balik pohon itu tertambat seekor kuda coklat. Bentar Jegung lepaskan tali tambatan kuda lalu melompat ke punggung binatang itu. Gerobak dan kusir ditinggal begitu saja. Kuda tunggangannya dipacu ke arah timur melewati jalan pintas yang tak banyak diketahui orang.
*****
KETIKA Wiro dan kawan-kawan sampai di Gedung Kadipaten Brebes, matahari telah tenggelam dan keadaan mulai gelap. Tidak seperti biasanya, di depan pintu gerbang tampak banyak sekali para pengawal. Di tembok halaman kiri kanan kelihatan sekitar empat puluh perajurit berjaga-jaga.“Aku punya firasat, Adipati Brebes sudah tahu kedatangan kita.” Ucap Wiro. Dia lebih dulu sampai di depan pintu gerbang. Pengawal Kepala cepat mendatangi dan menegur galak. Orangnya bermuka hitam bopengan.
“Kalian manusia-manusia muka belang. Ada keperluan apa? Lekas menyingkir dari sini kalau tidak mau kugebuk kepala kalian dengan tombak ini!” Kepala Pengawal Pintu Gerbang melintangkan tombak besi di depan dada.
Wiro tersenyum dan garuk kepala.
“Kau perajurit hebat. Kedatangan kami bertiga untuk menghadap Adipati Bayumurti.”
Kepala Pengawal perhatikan ke tiga orang itu beberapa ketika lalu bertanya pada Pendekar 212. “Kau siapa?!”
“Namaku Wiro. Ditambah Sableng. Jadi Wiro Sableng,” jawab murid Sinto Gendeng.
“Hah!” Kepala Pengawal unjukkan wajah kaget. Dia tidak menyangka pendekar terkenal ini mukanya belang-belang dan datang lebih cepat dari yang diduga. “Adipati memang menunggu kedatanganmu! Yang aku dengar Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng mukanya tidak belang-belang….”
“Soal tampangku mengapa dipermasalahkan. Kami bertiga tengah mempelajari ilmu bengkarung.” Jawab Wiro pula.
“Hmmm, begitu?” ujar si muka bopeng percaya saja. ‘Tapi, hanya kau seorang yang diperkenankan masuk!”
“Kami datang bertiga dan ingin masuk bertiga.”
“Tidak bisa! Kalau kau membangkang silahkan minggat dari sini!”
Wiro garuk kepala.
“Kami diutus oleh Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang dari Pajajaran.”
Mendengar keterangan Wiro, Kepala Pengawal Pintu Gerbang lantas berkata. “Kalian tunggu disini. Jangan berani bergerak barang sejengkalpun! Aku akan melapor dulu pada Adipati.” Orang ini masuk ke dalam. Tak lama kemudian muncul lagi. Dia membuka pintu gerbang lebih lebar dan memberi isyarat agar ke tiga orang itu masuk. Dalam perjalanan dari pintu gerbang menuju gedung Kadipaten sekitar dua puluh perajurit mengawal di sisi kiri kanan.
“Lihat sikap para pengawal itu…” bisik Wiro pada Rayi Jantra. “Ada yang tidak beres.”
Purnama mendekati Wiro. Lalu ganti berbisik. “Kalau benar Bayumurti menjadi dalang semua kejadian ini, rasanya dia tidak akan bertindak seperti ini. Pasti dia sudah memerintahkan para pengawal untuk meringkus kita.”
“Bayumurti tahu kita bukan tikus yang mudah diringkus. Pasti dia telah merencanakan satu jebakan untuk kita.” Ucap Rayi Jantra.
“Ada apa bicara berbisik-bisik?!” bentak Kepala Pengawal bermuka bopeng, “Jalan terus!”
Wiro dan kawan-kawan dibawa dan disuruh menunggu di pendopo gedung Kadipaten. Kepala Pengawal masuk ke dalam gedung memberi tahu atasannya. Tak lama kemudian Adipati Bayumurti keluar menemui tamunya. Berdiri di hadapan ketiga orang itu sang Adipati tampak heran. Seumur hidup dia belum pernah melihat orang bermuka belang empat warna. Yang mana Pendekar 212 Wiro Sableng? Pemuda gondrong di hadapannya.
“Apa benar kalian datang diutus oleh putera-puteri Prabu Siliwangi dari Pajajaran?” Bayumurti bertanya.
“Benar sekali Adipati.” Jawab Wiro. Murid Sinto Gendeng merasa heran. Adipati ini tidak menanyakan perihal mukanya dan muka Rayi Jantra serta Purnama yang belang-belang. Apakah dia sudah dilapori oleh pengawal muka bopeng sebelumnya? Atau sudah lebih dulu mengetahui keadaan diri mereka. Tapi bagaimana dan siapa yang memberi tahu?
Bayumurti menatap Rayi Jantra sejurus lalu bertanya. “Apakah aku mengenal dirimu?”
“Aku Rayi Jantra.”
“Rayi Jantra! Kepala Pasukan Kadipaten Losari!”
“Betul sekali Adipati.”
“Mengapa keadaanmu seperti ini. Bukankah seharusnya kau berada di Losari?” Bayumurti perhatikan jas tutup yang ada di kepitan Rayi Jantra. Melirik ke arah Purnama lalu karena Rayi Jantra tak menjawab pertanyaannya, Adipati Brebes ini berpaling pada pemuda gondrong dihadapannya. “Kau pasti pendekar terkenal Wiro Sableng. Pendekar Dua Satu Dua….”
“Betul sekali Adipati. Maaf kalau kedatangan kami mengganggumu. Tapi kami tidak akan lama. Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang ingin mengetahui bagaimana ceritanya keris yang pernah diberikan oleh Pangeran Kumbara Ajiwinata pada Adipati bisa berada diluaran dan sempat membunuh seseorang di Losari?”
Wiro lantas keluarkan Keris Gunung Intan tak bersarung. Adipati Bayumurti tekap mulut dan dagunya dengan tangan kanan, berusaha menindih keterkejutannya.
“Aku sendiri tidak mengerti bagaimana senjata pemberian Pangeran Kumbara itu berada diluaran….”
“Bagaimana mungkin Adipati bisa berkata begitu?” tanya Rayi Jantra. “Bukankah seharusnya senjata ini disimpan di satu tempat yang terjaga baik?”
“Keris itu….” Bayumurti gelengkan kepala dan tidak meneruskan ucapannya.”
“Adipati, kami tidak memaksa kalau kau tidak mau memberi tahu.” Kata Wiro pula. Lalu dia mengambil jas tutup yang ada dalam kepitan Rayi Jantra. Sambil membentangkan pakaian itu Wiro berkata. “Jas ini kami dapat dari seseorang. Orang itu mengatakan jas tutup ini adalah milik Adipati. Kami punya dugaan pemilik jas tutup ini adalah pembunuh seorang sahabat kami seorang nenek bernama Eyang Sepuh Kembar Tilu. Sebelum dibunuh rupanya nenek itu masih sempat menyambar salah satu kancing jas tutup. Namun kami tidak percaya dan tak mungkin mau menduga kalau Adipatilah pembunuh nenek itu.” Wiro ambil kancing kayu yang ada dalam saku celananya, lalu ditunjukkan pada Bayumurti. Kancing kayu itu sangat sama dengan empat kancing yang melekat di jas tutup.
Setelah memperhatikan sebentar, Bayumurti bertanya.
“Siapa orang yang memberikan jas tutup dan mengatakan kalau jas tutup itu adalah milikku?”
“Namanya Bentar Jegung. Katanya dia seorang pedagang terkenal.”
“Begitu?” Bayumurti tersenyum.
Tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat dan seorang lelaki tinggi kurus berpakaian serba hitam tahu-tahu sudah berdiri di tempat itu. Bentar Jegung! Karuan saja Wiro, Rayi Jantra dan Purnama jadi heran melihat bagaimana pedagang tinggi kurus yang menjual jas tutup di kedai minuman tadi pagi tahu-tahu kini berada di Gedung Kadipaten! Ketiga orang ini serta merta bersikap penuh waspada.
Masih tersenyum Bayumurti bertanya pada Wiro. “Pendekar, ini orang yang kau maksudkan?”
“Benar sekali Adipati.” Jawab Wiro dan agar orang tidak merasa di atas angin dia sengaja tidak bertanya mengapa orang itu kini berada di tempat itu atau apa hubungannya dengan sang Adipati.
Lelaki tinggi kurus membuka mulut “Namaku bukan Bentar Jegung. Tapi Ki Surat Balangnipa. Aku adalah adik dari Ki Sentot Balangnipa!”
Kejut Wiro dan kawan-kawan terutama Rayi Jantra bukan alang kepalang. Tapi mereka masih bisa bersikap tenang. Kejutan terjadi lagi ketika Adipati Bayumurti berkata.
“Dia adalah orang kepercayaan yang bekerja sebagai mata-mata.”
Keadaan di pendopo untuk beberapa lamanya hening seperti dikuburan. Keheningan itu tiba-tiba dipecahkan oleh gelak tawa Adipati Bayumurti.
“Kalian tak perlu terkejut, tak usah takut! Kita adalah orang-orang di pihak yang sama. Aku tahu kalian tengah menyelidik soal apa. Aku akan memberi tahu siapa yang jadi biang racun semua kejadian ini. Namun sehabis berjalan jauh| kalian tentu letih, haus dan lapar. Sementara menunggu makan malam disiapkan, silahkan mencicipi teh hangat lebih dulu.”
‘“Adipati, kau baik sekali. Tak usah repot-repot. Mungkin kau bisa menerangkan apa maksud ucapanmu bahwa kita adalah orang-orang dipihak yang sama?” bertanya Wiro.
“Sahabat, tunda dulu pertanyaanmu itu. Mari kita mereguk minuman lebih dulu.” Jawab Adipati Bayumurti sambil memegang pundak kiri Pendekar 212 dengan tangan kiri. Sembari memegang Adipati ini kerahkan tenaga dalam hingga murid Sinto Gendeng merasa bahunya laksana ditindih batu besar ratusan kati. Orang yang tak punya kemampuan apa-apa saat itu juga pasti jatuh ambruk bahkan tulang pundaknya bisa patah!
Sadar orang hendak menjajal kekuatan dirinya, Wiro segera kerahkan hawa sakti ke pundak kiri. Diam-diam Adipati Bayumurti merasa kaget ketika ada satu kekuatan dahsyat menerpa tangan kirinya. Sebelum tangan kiri terpental dia cepat menarik. Memandang ke bawah Bayumurti melihat ada kepulan asap tipis keluar dari lantai batu yang berada di bawah kedua injakan kakinya. Adipati yang masih muda belia ini maklum kalau mau pemuda gondrong bermuka belang di hadapannya itu bisa membuatnya mati konyol, paling tidak luka di dalam saat itu juga. Ternyata nama besar Pendekar 212 yang dikenal di delapan penjuru angin bukan nama kosong belaka.
“Aku terpaksa merubah rencana semula. Aku tak mungkin menangani sendiri manusia satu ini. Apalagi dia membawa dua teman yang pasti tingkat kepandaiannya tidak rendah.” Membatin Bayumurti lalu untuk menutupi keterkejutannya dia sengaja sunggingkan senyum. Apa yang terjadi tidak luput dari penglihatan Ki Surat Balangnipa. Diam-diam nyali orang ini mulai bergetar.
Saat itu seorang pelayan perempuan keluar membawa nampan besar berisi lima cangkir teh manis hangat dicampur jahe. Setelah masing-masing mengambil satu cangkir, Adipati Bayumurti segera mempersilahkan ketiga tamunya meneguk minuman.
Karena memang haus Rayi Jantra segera saja hendak meneguk minumannya. Tapi Wiro yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dan bersikap waspada saat itu juga entah mengapa menaruh curiga dan menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Dia melihat ada selarik genangan cairan biru di dalam teh. Murid Sinto Gendeng serta merta berteriak.
“Jangan diminum! Teh itu ada racunnya!”
Wiro lemparkan cangkir tanah yang dipegangnya hingga menghantam cangkir yang ada di depan mulut Rayi Jantra. Duah buah cangkir pecah berantakan. Begitu cairan dalam cangkir menyentuh lantai, sekilas terlihat asap kebiruan mengepul.
“Bayumurti, kami datang tidak bermaksud jahat! Mengapa kau ingin membunuh kami dengan racun yang dimasukkan dalam minuman?!”
Pemuda yang belum satu minggu menjabat sebagai Adipati Brebes itu ganda tertawa.
“Siapa bilang kedatangan kalian tidak dibekali niat jahat! Pendekar Dua Satu Dua, aku bersedia melepaskan dua temanmu jika kau mau menyerahkan diri. Kau aku tangkap karena telah melakukan pembunuhan atas diri Adipati Brebes yang lama!”
“Ah! Rupanya kau sudah jadi kaki tangan Adipati Losari!”
“Hukum berlaku dimana-mana!” jawab Bayumurti. “Apakah kau mau menyerah secara baik-baik atau aku harus mematahkan batang lehermu lebih dulu?!”
Pendekar 212 tertawa lebar. Dari bentrokan tenaga dalam tadi dia sudah tahu sampai dimana tingkat kehebatan sang Adipati. Sambil garuk-garuk kepala dia berkata. “Belum satu minggu jadi Adipati sifatmu sudah sombong sekali. Sayang sekali. Jabatanmu sekarang punya masa depan cemerlang. Tapi agaknya kau sengaja menghancurkan diri sendiri. Siapa yang membujuk dan menipumu, Bayumurti?”
Rahang Bayumurti menggembung. Sepuluh jari tangan diremas hingga mengeluarkan suara berkeretekan. Dia seperti hendak menelan dan melumat Wiro. Namun sampai saat itu dia tidak membuat gerakan atau tanda-tanda hendak menyerang.
Tanpa banyak bicara Wiro segera melesat menerjang Bayumurti. Dia membuka serangan dengan jurus Kepala Naga Menyusup Awan. Tangan kanan melesat ke arah kepala Bayumurti. Lawan yang diserang yang sadar bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh di bawah Pendekar 212 berlaku cerdik. Setelah melompat mundur dia berteriak.
“Ki Surat! Ringkus pembunuh ini!”
Si tinggi kurus berpakaian serba hitam menyeringai. Didahului bentakan keras dia melesat ke arah Wiro. Sementara tubuhnya melayang di udara dua tangannya mendadak berubah panjang. Sepuluh ujung kuku mencuat menyerupai tali temali. Bersilang berwarna merah dan mengepulkan asap. Inilah yang disebut Ilmu Jaring Api. Sudah banyak musuh yang kena diringkus Ki Surat Balangnipa. Selain jarang yang bisa meloloskan diri, sekali masuk dalam libatan jaring, musuh akan menemui ajal dengan tubuh hangus tercabik-cabik.
“Ki Surat Balangnipa! Aku lawanmu!” Tiba-tiba Rayi Jantra berteriak lantang. Masih mengempit jas tutup di ketiak kiri dia menghadang gerakan orang.
Ki Surat Balangnipa tertawa mengejek. “Rupanya kau sudah kepingin mati lebih dulu. Majulah! Biar aku balaskan dendam kesumat kakakku!”
“Sett… settt!”
Sepuluh tali temali merah menderu, melibas ke arah Rayi Jantra. Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini dorongkan dua tangannya. Dua larik cahaya putih berkilau berkiblat.
“Dess! Taarr…tarrr!”
Ki Surat Balangnipa tersentak kaget ketika melihat sepuluh tali temali merah yang siap hendak menggulung Rayi Jantra terdorong ke belakang. Orang ini segera kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya.
“Wusss!”
Sepuluh tali temali merah menggebubu dahsyat. Saat itu juga terdengar seruan Rayi Jantra. Sekujur tubuhnya terlibat oleh sepuluh tali temali merah. Pakaian kepulkan asap, termasuk jas tutup yang dikepit di ketiak kiri. Daging tubuh luka. Ki Surat Balangnipa silangkan dua lengan. Sekali dia menarik kedua lengan itu maka hangus dan hancurlah tubuh Rayi Jantra. Namun sebelum ajal berpantang mati! Dari samping kiri berkelebat bayangan biru Purnama. Bersamaan dengan itu melesat cahaya biru begemerlap ke arah Ki Surat Balangnipa.
*****
DELAPAN
GADIS CANTIK dari Latanahsilam itu melepas Ilmu Menahan Raga Menyerap Tenaga, membuat Ki Surat Balangnipa berseru kaget. Kakek ini tidak mampu gerakkan dua tangan yang bersilang hingga dia tak bisa meringkus Rayi Jantra dengan Ilmu Jaring api. Malah bukan cuma tangan, kedua kakinyapun kini terasa lemas tak mampu digerakkan.“Perempuan jahanam! Apa yang kau lakukan pada diriku!” teriak Ki Surat Balangnipa pada Purnama. Walau anggota badan tak berdaya namun Ki Surat bisa bersuara. Satu jotosan keras tiba-tiba menghantam wajahnya, membuat hidungnya remuk, bibir pecah, darah mengucur. Dalam kalapnya Rayi Jantra siap menghabisi lawan yang tidak berdaya ini dengan pukulan tepi telapak tangan ke batok kepala. Purnama cepat menahan bahu pemuda itu seraya berkata. “Jangan dibunuh. Kita perlu dia hidup-hidup untuk dimintai keterangan. Tuan besarnya sudah tak ada lagi di tempat ini.”
Saat itu baru Rayi Jantra dan Wiro menyadari kalau Adipati Bayumurti tidak ada lagi di tempat itu. Sementara di luar sana puluhan perajurit pengawal Gedung Kadipaten datang menyerbu dengan berbagai senjata di tangan. Wiro cepat panggul tubuh Ki Surat Balangnipa. Beberapa perajurit menghamburkan panah. Namun sasaran telah lenyap dalam kegelapan malam.
“Kalian mau membawa aku kemana?!” Ki Surat Balangnipa berteriak.
“Huss! Tenang sajalah! Kita jalan-jalan sebentar!” jawab Pendekar 212 sambil mengeplak kepala Bentar Jegung alias Ki Surat Balangnipa.
Wiro membawa mata-mata kaki tangan Adipati Brebes itu ke sebuah parit busuk di pinggiran kota. Di tepi parit dia lebih dulu menggeledah celana Ki Surat Balangnipa dan menemukan dua keping perak yang tadi pagi diberikannya di kedai minuman.
“Bangsat pencuri! Perak itu sudah jadi milikku! Kembalikan!” teriak Ki Surat Balangnipa marah.
“Kau mendapatkannya karena menipuku!” jawab Wiro lalu masukkan dua keping perak ke kantong celananya. Tanpa perdulikan kutuk serapah orang Wiro kemudian ceburkan Ki Surat Balangnipa ke dalam kubangan hingga hanya tinggal kepala saja yang muncul di permukaan air berlumpur kotor dan busuk itu.
“Bentar Jegung! Ki Surat Balangnipa! Siapapun namamu! Katakan siapa sebenarnya pemilik jas tutup yang kau jual padaku itu!”
“Di warung minuman pagi tadi aku sudah menerangkan! Pakaian itu milik Adipati Bayumurti. Dia memberikan pada sahabatku Dali Rumpun. Dali disuruh membakar pakaian itu tapi dia menjualnya padaku.”
“Kau berdusta!” kata Wiro pula dan kembali tangannya mengeplak batok kepala Ki Surat Balangnipa. “Aku tahu Bayumurti yang memerintahmu mengarang cerita untuk menjebakku! Apa perlunya bagimu pakaian yang kebesaran ini. Dari potongan jas tutup itu aku juga tahu pemiliknya adalah seorang berperut gendut buncit. Ayo katakan siapa orangnya?!”
“Aku tidak tahu!”
“Pendusta sialan!” Kini Wiro jitak kening Ki Surat Balangnipa. Karena bukan jitakan biasa maka kening itu jadi benjol bengkak. Ki Surat Balangnipa gembungkan rahang menahan sakit.
“Kau pernah dengar Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga?” Wiro kembali ajukan pertanyaan.
Ki Surat Balangnipa gelengkan kepala.
“Plaaak!” Wiro keplak jidat Ki Surat Balangnipa di bagian yang benjol hingga orang ini menjerit kesakitan. “Kalau kakakmu Ki Sentot Balangnipa adalah kaki tangan Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga, sedikit banyak paling tidak kau juga ikut jadi cecunguknya!”
“Aku tak mau bicara! Kau mau bunuh aku silahkan saja! Apa kau kira aku takut mati?.’“
Wiro tertawa gelak-gelak mendengar ucapan orang. “Nyalimu hebat juga! Kau pasti punya nyawa cadangan hingga sesumbar tidak takut mati!” Wiro usap-usap belakang kepala Ki Surat Balangnipa lalu bertanya. “Katakan kemana kaburnya Adipati Bayumurti.”
“Aku tidak tahu.”
“Kau pasti tahu!” bentak Rayi Jantra. Tidak dapat menahan jengkel dia hantamkan satu jotosan ke mata kiri Ki Surat Balangnipa. Kalau jotosan ini mengenai sasarannya pasti mata kiri Ki Surat akan hancur. Wiro cepat pegang lengan Rayi Jantra seraya berkata.
“Sebelum kita hajar, ada baiknya kita beri makan dulu sampai kenyang cecunguk pendusta ini!” Melirik ke kiri Wiro melihat seekor kodok buduk coklat sejak tadi ada di atas sebuah batu. Wiro cepat tangkap binatang ini lalu bertanya lagi pada Ki Surat kemana perginya Bayumurti. Yang ditanya tetap menjawab tidak tahu. “Agar kau lebih lancar bicara dusta biar aku berikan makanan enak untukmu! Kata orang kodok goreng enak sekali! Kurasa kodok mentah jauh lebih sedap! Nah, makanlah!” Habis berkata begitu dengan tangan kirinya Wiro pencet pipi Ki Surat Balangnipa. Begitu mulut terbuka tangan kanan Wiro sumpalkan kodok hidup ke dalam mulut itu.
“Huk… huk… huk!” Ki Surat Balangnipa berusaha semburkan kodok buduk hidup yang mencuit dan melejang-lejang di dalam mulut tapi tidak bisa karena Wiro dengan cepat menyumpalkan lumpur busuk ke dalam mulut itu. Ki Surat megap-megap, mata terbeliak, tenggorokan turun naik.
“Kata orang makanan tanpa bumbu penyedap tidak enak. Ki Surat ini aku berikan bumbu penyedap padamu!” Sambil tertawa-tawa dari pingggir parit Wiro sunggingkan pantat tepat ke muka Ki Surat. Lalu buutt! Wiro pancarkan kentut keras dan panjang dan tentu saja bau!
“Huk… huk… huk!”
“Aku akan keluarkan kodok itu dari dalam mulutmu. Kau mau bicara?!” Wiro bertanya.
Ki Surat Balangnipa dalam keadaan megap-megap masih nekad gelengkan kepala. “Sialan!” maki murid Sinto Gendeng.
“Biar kupecahkan saja kepalanya sekarang juga!” kata Rayi Jantra. “Habis makan enak dia perlu diberi minuman lezat!” Lalu Wiro benamkan kepala Ki Surat berulang kali ke dalam parit busuk. Terakhir sekali kepala itu muncul di permukaan parit, Ki Surat Balangnipa sudah tidak sadarkan diri lagi.
“Manusia-manusia pengecut! Beraninya menganiaya orang yang tidak berdaya!” Satu bentakan tiba-tiba terdengar disusul suara berkesiuran.
“Sett…sett… settt!”
“Awas senjata rahasia!” teriak Wiro seraya pukulkan tangan kiri ke depan. Sebuah benda hitam panjang sejengkal terpental di hantam angin pukulan. Rayi Jantra dan Purnama sama-sama jatuhkan diri ke tanah ketika dua benda yang sama melesat dan lewat di atas punggung mereka. Salah satu dari senjata rahasia itu menancap pada batang pohon di samping kiri Purnama. Wiro cepat mencabut dan memperhatikan.
“Paku berduri…” ucap Wiro.
“Aku pernah melihat senjata rahasia ini sebelumnya. Sewaktu menguntit paderi perempuan dari Tiongkok itu di satu pekuburan di Losari.” Berkata Purnama.
“Aku tahu siapa pemilik senjata ini,” kata Rayi Jantra sambil perhatikan paku berduri yang dipegang Wiro.
“Siapa?” tanya Wiro pula.
“Bayumurti.”
“Kurang ajar! Jangan-jangan dia dalang semua kekacauan ini.” Kata Wiro lalu dia masukkan paku berduri ke dalam kantong celananya. Pada saat itulah entah dari mana datangnya tiba-tiba bergelimpangan dua sosok tubuh berpakaian jubah kuning. Satu tergeletak kaku tak bergerak, satunya menangis ha-hu ha-hu! Yang menangis ini adalah seorang kakek muka merah berkepala botak. Kaget Wiro dan kawan-kawan bukan kepalang. Terlebih dia mengenali kakek muka merah ini adalah orang yang dilihatnya pada malam tewasnya Jumena. Orang ini kemudian muncul di teluk Losari bersama Pengging Kuntala mengenakan jubah biru. Orang kedua yang tergeletak kaku ternyata adalah seorang nenek rambut kelabu. Mata merah mendelik tak berkesip. Telinga dicanteli anting terbuat dari tulang jari manusia. Di lehernya menancap sebuah benda hijau tipis, yang ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah sehelai daun mengkudu. Dari sudut bibir si nenek meleleh darah kental.
“Aneh, mengapa nenek kembar jejadian Eyang Sepuh Kembar tilu bisa bersama-sama dengan kakek muka merah?” pikir Wiro.
Tiba-tiba kakek kepala botak gerakkan dua tangan ke atas kepala. Ketika tangan itu menarik bagian kepala botak sebelah atas, muncullah satu kepala nenek rambut kelabu.
“Kalian berdua rupanya!” seru Pendekar 212. Kedua nenek ini bukan lain adalah kembaran jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu.
“Apa yang terjadi?” tanya Rayi Jantra.
“Ha-hu ha-hu…”
Wiro jadi curiga dan cekal bahu nenek yang tadi pakai topeng kakek muka merah kepala botak. “Nek, jadi kau orang yang menyaru memakai topeng kakek muka merah. Membunuh Jumena dan muncul di Teluk Losari bersama kaki tangan Ratu Laut Utara! Ternyata kau musuh dalam selimut!”
“Ha-hu ha-hu!” Si nenek gelengkan kepala dan goyangkan tangan kiri berulang kali. Dia menunjuk-nunjuk pada kembarannya yang tergeletak tak bergerak lalu membanting-banting topeng kakek muka merah seraya tangan kiri menunjuk ke arah kejauhan. Purnama jatuhkan diri di samping nenek yang tergeletak di tanah. Setelah memeriksa, gadis dari alam 1200 tahun silam ini gelengkan kepala. “Tak mungkin ditolong. Ajalnya sudah di depan mata. Dia tewas akibat daun pantangan yang menancap di leher. Lagi pula dia bukan mahluk biasa….”
Mendengar ucapan Purnama, nenek satunya menggerung keras. Dia nekad hendak mencabut daun mengkudu di leher saudara kembarnya namun cepat dicegah oleh Wiro.
“Jangan sentuh daun itu! Kau bisa celaka!” Wiro berpaling pada Purnama. “Mungkin bisa dicoba penyembuhan dengan petunjuk Kitab Seribu Pengobatan…?”
Purnama pejamkan mata. Sesaat kemudian mata dibuka. “Aku hanya bisa berusaha…” Lalu gadis dari Latanahsilam ini sambung ucapannya. “Kitab Seribu Pengobatan. Halaman seratus sembilan puluh enam. Pengobatan ke…”
Belum sempat Purnama menyelesaikan ucapan yang dilafalkan berdasarkan apa yang telah diserapnya dari Kitab Seribu Pengobatan tiba-tiba nenek yang tergeletak di tanah keluarkan suara mengorok keras lalu hek! Nyawanya putus.
Bersamaan dengan itu sosoknya mengepulkan asap kelabu, membumbung ke udara dan akhirnya lenyap dalam kegelapan malam. Yang masih tertinggal di tanah adalah daun mengkudu yang tadi menancap di lehernya. Nenek satunya langsung menjerit Rayi Jantra dan Wiro berusaha menenangkan.
“Nek, kau harus menceritakan pada kami apa yang terjadi dengan saudaramu sebelumnya. Kau juga harus memberi tahu dari mana kau mendapatkan topeng kakek muka merah itu.”
“Ha-hu ha-hu…” Si nenek gulingkan diri di tanah, meraung meratapi kematian saudara kembarnya yang kemudian secara aneh jasadnya lenyap ke alam gaib.
Sementara menunggu sampai si nenek tenang Wiro, Purnama dan Rayi Jantra dapatkan belang empat warna yang ada pada wajah dan tubuh mereka kini tinggal tiga yakni merah, biru dan kuning. Warna hijau telah lenyap. Ini sesuai dengan petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan bahwa empat warna itu akan hilang satu persatu selama empat hari.
Setelah nenek rambut kelabu tampak agak tenang Wiro dan Purnama serta Rayi Jantra berusaha mendapat keterangan. Setiap ditanya nenek gagu ini selalu menunjuk ke arah kejauhan. Setiap kali keluarkan suara ha-hu-ha-hu dia selalu membanting topeng kakek muka merah ke tanah. Wiro ambil topeng kakek muka merah dari tangan si nenek. Wiro ingat sebelumnya dia telah meminta tolong pada dua nenek kembar untuk menyelidik dan mencari siapa adanya kakek muka merah berkepala botak. Ternyata salah seorang dari kembar muncul membawa sebuah topeng kakek muka merah botak dan sekaligus membawa saudaranya yang tengah sekarat. Berarti manusia dengan ujud seorang kakek muka merah kepala botak itu sebenarnya tak pernah ada. Keberadaannya hanyalah seseorang yang mengenakan topeng untuk menutupi jati dirinya. Wiro juga ingat Eyang Sepuh Kembar Tilu menemui ajal akibat daun mengkudu, sama dengan daun yang menancap di leher nenek kembar yang barusan menemui ajal dan lenyap ke alam gaib. Pembunuh kedua nenek itu tidak dapat tidak adalah orang yang sama. Siapa?
“Bayumurti… Agaknya dia manusia biang racun dibalik semua kejadian ini. Jangan-jangan dadu setan itu ada padanya.” Wiro pegang bahu nenek rambut kelabu. “Nek, kau selalu menunjuk ke barat. Antarkan kami ke arah yang kau tunjuk!”
“Ha-hu ha-hu…” Si nenek mengangguk. Lalu dia menunjuk ke wajah Wiro, Rayi Jantra dan Purnama yang belang-belang. “Ha-hu ha-hu.” Si nenek rupanya ingin bertanya apa yang terjadi.
“Ada kakek jahil meracuni kami. Namanya Raja Racun Bumi Langit. Aku punya dugaan kita akan segera bertemu setan alas itu!” jawab Wiro. “Ha-hu ha-hu.”
*****
SEMBILAN
KOKOK ayam terdengar di kejauhan. Di arah timur kaki langit tampak memancar cahaya terang kemerahan pertanda tak lama lagi pagi segera datang dan malam akan berganti siang. Di ujung sebuah alun-alun, nenek rambut kelabu jubah kuning hentikan lari.“Ha-hu ha-hu…” Si nenek menunjuk ke arah seberang alun-alun dimana terlihat sebuah bangunan besar bertembok setinggi kepala. Wiro berpaling pada Rayi Jantra.
“Rayi, kau datang ke rumah sendiri.”
Rayi Jantra tersenyum kecut. “Gedung Kadipaten Losari…,” ucapnya perlahan sambil menatap ke depan. “Aku melihat keanehan. Tidak ada perajurit, tidak tampak pengawal. Pintu gerbang depan terpentang lebar. Tak ada satu oborpun yang menyala!”
Wiro tersenyum. “Sekarang minyak mahal, Gedung Kadipaten berhemat diri, sengaja mematikan obor menjelang pagi. Ha… ha! Ayo Rayi. Apa kau tidak senang akan bertemu lagi dengan atasanmu Adipati Losari Raden Seda Wiralaga.”
Tiba-tiba terdengar suara suitan keras. Pendekar 212 menyeringai. “Kawan-kawan, kedatangan kita sudah diketahui penghuni gedung.”
“Ha-hu ha-hu…” Nenek jubah kuning menunjuk-nunjuk ke arah gedung dengan tangan kiri sedang tangan kanan mengangkat-angkat topeng wajah kakek muka merah kepala botak.
“Nek, kau hendak memberi tahu kalau kau menemukan topeng ini di dalam gedung sana. Lalu orang yang membunuh saudara kembarmu juga berada di dalam gedung itu.” Purnama sambil pegang bahu nenek rambut kelabu.
“Ha-hu ha-hu! Ha-hu ha-hu!” Si nenek menyahuti sambil anggukkan kepala berulang kali.
Wiro ambil topeng kakek muka merah dari tangan nenek rambut kelabu sementara Rayi Jantra masih memegang jas tutup yang bagian lengan serta bahunya hangus ketika dia diserang oleh Ki Surat Balangnipa dengan Ilmu Jaring Api. Lelaki yang sebenarnya adalah Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini mendahului berjalan ke arah pintu gerbang. Wiro, Purnama dan si nenek segera mengikuti. Namun sampai di pintu gerbang si nenek tidak terus masuk.
“Ha-hu ha-hu!” Si nenek menunjuk ke halaman gedung lalu ke arah pinggiran tembok. Ternyata di halaman gedung Kadipaten bertebaran banyak sekali daun mengkudu. Sementara sepanjang sisi dalam tembok gedung berderet-deret pohon mengkudu setinggi pinggang. Agaknya pohon ini bukan ditanam tapi hasil tebangan lalu ditancap ke tanah begitu saja. Penghuni gedung rupanya telah berjaga-jaga dari bahaya yang bisa ditimbulkan oleh mahluk jejadian kembaran Eyang Sepuh Kembar Tilu yang kini hanya tinggal seorang.
“Ha-hu ha-hu.” Nenek rambut kelabu geleng-geleng kepala.
“Nek, agar aman bagimu biar tempat ini kubersihkan lebih dulu dari daun-daun celaka itu!” Wiro berkata lalu angkat kedua tangan ke atas. Tangan kanan melepas pukulan Angin Puyuh sementara tangan kiri yang diputar-putar lancarkan pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Seluruh daun mengkudu yang ada di halaman Gedung Kadipaten beterbangan ke udara, melesat ke langit dan lenyap dari pemandangan.
Ketika murid Sinto Gedeng arahkan dua tangannya ke sepanjang sisi tembok gedung yang penuh ditancapi pohon mengkudu, serta merta pohon-pohon itu tercabut dari tanah, mental ke udara. Malah tembok di bagian timur yang terkena sapuan angin pukulan roboh bergemuruh. Pada saat itulah dari bagian belakang gedung bermunculan puluhan perajurit Kadipaten. Mereka menebar di sepanjang sisi tembok kiri kanan gedung.
Keadaan mulai terang-terang tanah ketika Pendekar 212 Wiro Sableng bersama tiga orang lainnya memasuki pintu gerbang dan melangkah cepat di halaman depan Gedung Kadipaten. Sebelum mencapai pertengahan halaman dimana terdapat dua buah arca besar berupa singa bersayap, tiba-tiba dari dalam gedung melesat keluar tiga orang. Mereka kemudian tegak berjajar menghadang jalan.
“Braakk!”
Ada suara keras di sebelah belakang. Ketika Wiro dan kawan-kawan menoleh ternyata pintu gerbang telah ditutup. Di depan pintu berdiri sepuluh orang perajurit bersenjata tombak. Pada setiap ujung tombak menancap tiga helai daun mengkudu.
“Ha-hu ha-hu!” Nenek rambut kelabu tampak pucat. Dia angkat tangan kanan, siap untuk menghantam sepuluh perajurit yang membawa daun pantangan di ujung tombak masing-masing.
“Nek,” bisik Purnama. “Tahan dulu serangan. Aku akan melindungimu jika pasukan bertombak itu menyerbumu.”
“Ha-hu ha-hu!”
Sepuluh perajurit bersenjata tombak hanya tegak di depan pintu gerbang yang sudah tertutup, tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang si nenek.
Orang pertama yang menghadang langkah Wiro dan kawan-kawan dan kini berdiri di ujung kanan ternyata adalah Adipati Brebes Bayumurti. Jelas sudah kalau Adipati ini telah berserikat dan jadi kambrat Adipati Losari Seda Wiralaga. Di pinggangnya tergantung sebilah golok besar.
Orang kedua yang tegak di samping kanan Bayumurti adalah seorang kakek berjubah kuning. Muka dan sebagian tangannya tampak hitam gosong. Mata kiri terpuruk dan dikening sampai ke pipi kiri ada cacat bekas luka. Rambut warna kelabu sulah sebelah akibat terbakar. Manusia ini ternyata adalah Pengging Kuntala, orang kepercayaan Ratu Laut Utara. Satu malam lalu dia dibuat cidera hebat oleh Nyi Roro Manggut sewaktu terjadi perkelahian di Teluk Losari. Sungguh luar biasa dia bisa sembuh secepat itu.
Orang ketiga nenek kurus kerempeng berambut awut-awutan. Perempuan tua ini hanya mengenakan sehelai kain panjang hitam, sama sekali tidak memadai baju hingga tubuh atasnya terbuka telanjang memperlihatkan dada tipis penuh tulang serta dua payudara ceper kisut. Si nenek tidak hentinya tersenyum sementara dengan kepala mendongak dan mata meram melek dua tangannya mempermainkan puting susunya yang besar hitam. Sesekali dari mulutnya keluar suara mendesah lirih. Nenek ini dikenal dengan nama Ni Lawang Soka, berasal dari laut utara, merupakan salah seorang dari sekian banyak orang kepercayaan Ratu Laut Utara dan dia adalah orang bawaan Pengging Kuntala. Ilmu kesaktiannya dua tingkat di atas kakek muka gosong itu.
Di bagian depan gedung, tepatnya di kiri kanan serambi yang berhubungan dengan tangga batu tujuh undak, terdapat masing-masing sebuah jendela besar. Di jendela sebelah kanan duduk seorang kakek bertubuh pendek, berpakaian selempang kain hitam, berambut kuning. Sepasang mata putih berkilat seperti perak. Kulit mukanya berubah berganti-ganti merah, hijau dan biru. Dia duduk bersila dan dipangkuannya ada satu pendupaan berisi bara menyala. Sikapnya seperti tidak acuh akan apa yang terjadi saat itu di halaman gedung. Sambil duduk dia tidak henti meniup bara pendupaan. Tiupan serta hawa yang keluar dari hidungnya memancarkan asap berwarna ungu.
“Raja Racun Bumi Langit musuh besar kita juga ada di tempat ini,” bisik Wiro pada Rayi Jantra.
“Dia tengah meramu racun jahat!” jawab Rayi Jantra.
Di sebelah belakang Purnama mendadak merasa tidak enak. Matanya tak berkesip menatap ke arah Raja Racun yang duduk di jendela. “Kakek itu tengah menyiapkan sesuatu. Aku punya dugaan apa yang dikerjakannya ditujukan untuk menangkal diriku!” Membatin gadis dari negeri Latanahsilam itu. “Aku harus menghancurkan pendupaan yang ada dipangkuannya.”
Di atas jendela Raja Racun Bumi Langit keluarkan tiga buah benda bulat hitam. Sekali meremas, tiga benda itu serta merta hancur luluh. Hancuran ditebar di atas bara menyala dalam pendupaan. Asap mengepul dan bau sangit aneh serta merta menebar di Seantero tempat.
“Buah damar!” ucap Purnama dengan suara bergetar. “Kakek itu menebar hancuran buah damar ke atas bara pendupaan. Buah damar merupakan buah pantangan bagi diriku. Aneh, bagaimana Raja Racun Bumi Langit tahu buah pantangan itu.”
Tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara halus tawa perempuan. Lalu ada suara terpaan angin. Suara tawa kemudian lenyap dikejauhan.
“Siapa yang tertawa?” tanya Wiro pada Purnama.
“Perempuan jahanam itu! Aku mengenali suaranya!” ucap Purnama
“Siapa?” tanya Wiro lagi.
“Perempuan celaka dari Latanahsilam. Ingat sewaktu aku bertempur melawan mahluk samar. Kau muncul menyelamatkan diriku. Nah, mahluk samar itulah yang barusan berada di sini. Aku yakin, dia yang membuka rahasia pantangan buah damar itu. Sampai saat ini masih sulit bagiku untuk mengetahui siapa dia adanya. Barusan dia telah kabur dari sini karena kalau sampai mencium atau tersapu asap damar diapun akan celaka.”
“Purnama, kau lekas pergi dari sini. Mungkin kau bisa menghindar dulu ke atas wuwungan gedung. Tapi jika kau terancam bahaya cepat tinggalkan tempat ini. Nanti aku akan menemuimu di tempat kediamanmu di bukit batu Teluk Losari.”
Purnama pegang lengan sang pendekar sesaat lalu melesat ke atap Gedung Kadipaten.
“Gadis alam gaib! Kau mau kabur kemana?!” Raja Racun Bumi Langit berteriak. Sambil memegang pendupaan di tangan kanan dia melesat dari jendela gedung. Mulut menggembung. Begitu meniup, dari mulut ini melesat dua buah benda bulat hitam, menyambar ke arah sosok Purnama yang tengah melayang di udara menuju ke atas atap Gedung Kadipaten.
Purnama berseru kaget ketika mengetahui dua benda yang melesat ke arahnya adalah dua buah damar. Dengan membuat gerakan jungkir balik di udara gadis dari negeri 1200 tahun silam ini berhasil selamatkan diri dari serangan dua buah damar. Dia cepat berkelebat ke atas atap gedung. Namun baru saja injakkan kaki di genteng bangunan tahu-tahu Raja Racun Bumi Langit sudah berdiri di hadapannya, hanya terpisah sejarak lima langkah.
Didahului tawa bergelak pendek rambut kuning itu tiup asap pendupaan ke arah Purnama tanpa gadis ini punya kesempatan untuk selamatkan diri. Sesaat lagi asap damar akan menyentuh tubuh dan masuk ke dalam penciuman Purnama tiba-tiba satu bayangan hitam berkilau berkelebat. Purnama dapatkan dirinya didorong orang hingga dia jatuh terguling di atas atap. Bersamaan dengan itu terdengar suara genta. Atap Gedung Kadipaten bergoyang keras. Puluhan genteng merosot. Selarik sinar biru berbentuk kipas terbuka menebar memapas buyar asap damar lalu menghantam sosok Raja Racun Bumi Langit. Serangkum asap damar yang bergerak liar sempat terhirup oleh Purnama hingga gadis ini batuk-batuk. Dalam keadaan megap-megap dia jatuhkan diri tertelungkup di genteng bangunan. Purnama cepat kerahkan hawa sakti dan meniup lewat mulut, menghembus melalui hidung. Untuk beberapa saat pemandangan berkunang-kunang. Dua matanya terasa seperti terselubung uap panas.
Pendupaan di tangan kanan kakek pendek rambut kuning hancur. Kepingan pendupaan dan bara api bertebaran kemana-mana. Raja Racun meraung marah.
“Raja Racun Bumi Langit, aku membawa pesan dari Ratu penguasa laut selatan. Jika kau mau bertobat atas semua perbuatan jahatmu selama ini dan hidup sebagai orang baik-baik, maka selembar nyawamu akan diampuni.” Satu suara perempuan berkumandang di atas atap.
“Aku tidak punya urusan dengan Ratu-mu!” teriak Raja Racun Bumi Langit marah sekali karena merasa terhina. “Biar rohmu yang kembali menghadap Ratu-mu guna memberi laporan!”
Raja Racun hantamkan tangan kanan ke arah bayangan hitam begemerlap sementara tangan kiri menebar sejenis racun berwarna merah. Dari mulut dan hidungnya mengepul asap ungu yang juga mengandung racun jahat.
Sekali lagi terdengar suara genta aneh di atas Gedung Kadipaten. Kali ini lebih dahsyat dari yang pertama tadi dan membuat runtuh atap bangunan sebelah barat. Raja Racun terjengkang di atas atap. Di depan mata dia melihat cahaya biru bersilang beberapa kali lalu bett! Cahaya biru itu menghantam ke arah tubuhnya. Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Genta Biru Menatap Langit. Raja Racun menjerit keras dan muntahkan darah segar.
Di atap gedung, dalam keadaan tertelungkup di atas genteng, sepasang mata Purnama terbuka lebar menatap ke arah sosok elok tertutup pakaian hitam bertabur manik-manik putih perak dan merah.
“Wajah cantik. Sepasang mata biru. Aku pernah mendengar cerita tentang diri penolongku ini. Apakah dia orangnya…?” ucap Purnama dalam hati.
Kita kembali ke halaman Gedung Kadipaten Losari.
Hanya selang seketika setelah Bayumurti, Pengging Kuntala dan Ni Lawang soka tegak berjajar di halaman, dari dalam gedung berjalan keluar seorang lelaki tinggi besar berperut buncit. Dia masih mengenakan baju tidur putih dan celana putih. Wajah berminyak agak pucat, dihias janggut dan kumis tipis. Sepasang mata tampak merah. Di tangan kanan orang ini memegang sebatang ranting kecil daun mengkudu. Sambil melangkah dia tepuk-tepukkan daun mengkudu ke telapak tangan kiri. Agaknya dia sengaja memegang ranting dan daun pohon mengkudu ini untuk berjaga-jaga dari nenek kembar berambut kelabu. Inilah Seda Wiralaga, Adipati Losari.
Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng dan kawan-kawan jadi terkesima adalah ketika melihat orang yang melangkah di samping sang Adipati. Orang ini bukan lain adalah Kiang Loan Nio Nikouw. Sang paderi, sebagaimana biasa mengenakan pakaian merah. Pakaian ini tampak kurang rapi, berkerimuk seperti baru dipakai tidur. Kali ini dia tanpa tutup muka dan kepala hingga kelihatan wajahnya yang cantik serta kepala yang botak polos. Di tangan kiri Loan Nio Nikouw memegang Pedang Naga Merah, yang sesuai dengan perintah Eyang Sinto Gendeng harus diambil dan didapatkan Wiro.
Pendekar212 tak habis pikir. Bagaimana paderi perempuan ini berada di Gedung Kadipaten. Kalau terkait hubungan dengan Bayumurti yang merupakan sahabatnya di masa kecil, mengapa sikapnya terhadap Adipati Brebes tampak begitu akrab? Malah keduanya keluar berbarengan dari dalam gedung dengan keadaan pakaian serta raut wajah seperti orang yang baru bangun tidur.
“Ha-hu ha-hu!” nenek kembar jejadian di samping Purnama keluarkan suara. Tangan kiri menepuk-nepuk topeng kakek botak muka merah yang dipegang Wiro, tangan kanan menunjuk-nunjuk ke arah Adipati Seda Wiralaga. Lalu tangan kanan dituding-tuding ke leher sendiri dan mata dipelototkan.
Wiro segera mengerti apa yang hendak dikatakan si nenek. Dia berucap cukup keras sehingga semua orang mendengar.
“Nek, kau hendak mengatakan kalau lelaki berperut buncit itu adalah pemilik topeng kakek botak muka merah!”
“Ha-hu ha-hu!” si nenek mengangguk berulang kali.
“Kau juga memberi tahu bahwa orang itulah yang membubuh saudara kembarmu dengan lemparan daun mengkudu,” ucap Wiro.
“Ha-hu ha-hu!” Nenek rambut kelabu kembalimengangguk.
Di depan tangga gedung, Adipati Seda Wiralaga menatap tajam ke halaman. Dia hanya melihat Wiro, Rayi Jantra dan nenek rambut kelabu. Menurut keterangan Bayumurti ada seorang gadis cantik yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi dan sangat berbahaya. Untuk menghadapi orang ini Raja Racun Bumi Langit sudah menyiapkan kekuatan penangkal sesuai petunjuk seorang perempuan aneh bertubuh samar yang datang tadi.
“Loan Nio, aku tidak melihat gadis yang dikatakan Bayumurti itu,” kata Adipati Seda Wiralaga. Dari caranya menyebut nama sang paderi kentara bahwa mereka punya hubungan sangat akrab walau belum lama saling mengenal. Apa yang telah terjadi dalam hubungan yang sangat singkat itu?
“Aku juga tidak melihat Raja Racun Bumi Langit,” jawab Loan Nio Nikouw.
Pada saat itulah terdengar suara bentakan-bentakan di atas atap disertai suara genta aneh sebanyak dua kali. Pada suara genta kali kedua disusul suara gemuruh runtuhnya atap gedung sebelah barat. Adipati Seda Wiralaga cepat memerintahkan Bayumurti untuk naik ke atas atap guna menyelidiki apa yang terjadi. Namun belum sempat Adipati Brebes itu bergerak, tiba-tiba dari atas wuwungan melayang tiga sosok tubuh. Sosok pertama langsung terkapar. Karena kepalanya yang menyungsap lebih dulu maka tak ampun lagi kepala itu pecah mengerikan. Adipati Seda Wiralaga dan semua orang yang berada di pihaknya terkejut besar kalau tak mau dikatakan geger. Tampang mereka tampak berkerut. Karena sosok yang melayang jatuh dan kini tak bernyawa lagi itu adalah sosok Raja Racun Bumi Langit. Sang Adipati sulit mempercayai orang yang sangat diandalkannya itu kini menemui kematian dalam cara mengerikan begitu rupa. Tidak sembarang orang bisa membunuh kakek satu ini. Jangankan pendekar sehebat Wiro Sableng, gurunya saja yaitu Sinto Gendeng akan sulit mampecundangi Raja Racun. Lalu siapa orang hebat yang telah membunuh kakek itu?
Sementara itu dua sosok lain yang melayang turun adatab Purnama dan seorang gadis jelita bermata biru, rambut hitam tergerai panjang, mengenakan pakaian hitam ketat bertabur manik-manik dengan potongan sangat rendah di bagan dada serta belahan tinggi di kedua sisi. Purnama berdiri di samping kiri Wiro, si cantik bermata biru tegak satu langkah di sebelah kanan sang pendekar. Adipati Seda Wiralaga sampai tak berkesip memandang keelokan tubuh dan kecantikan paras si gadis.
“Ratu Duyung!” ucap Pendekar 212.
*****
SEPULUH
RATU DUYUNG berpaling sekilas ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng lalu gadis jelita bermata biru maju dua langkah ke arah Seda Wiralaga.“Adipati Seda Wiralaga, perkenalkan aku adalah Ratu Duyung dari Laut Selatan. Mohon dimaafkan kalau kedatanganku mengganggu ketenteraman di tempat ini. Aku datang ke sini atas perintah Ratu Laut Selatan Nyi Roro Kidul untuk menjemput kakek bernama Pengging Kuntala dan nenek bernama Ni Lawang Soka.”
Kalau kakek berjubah kuning muka gosong Pengging Kuntala tersurut mundur satu langkah dan pencongkan mulut mendengar ucapan Ratu Duyung maka nenek bernama Ni Lawang Soka hamburkan tawa bergelak. Sambil terus dongakkan kepala dan permainkan dua punting susunya yang besar hitam dengan jari-jari tangan dia kemudian berkata.
“Siapapun kau adanya katakan pada Ratumu. Dia kelewat sombong dan gila kuasa! Apa tidak cukup punya kekuasaan di laut selatan dan kini mau menguasai kami orang-orang di laut utara? Sekarang kau silahkan pergi atau aku akan membuat wajahmu yang cantik menjadi rusak dan kau akan menyesal seumur-umur!”
“Ni Lawang Soka, ilmu kesaktianmu mungkin jauh di atas ilmu yang aku miliki. Tapi aku datang membekal Batu Mustika Alas Samudera Atap Langit. Ini satu pertanda bahwa Ratu Nyi Roro Kidul tidak main-main dalam memberikan tugas padaku.”
Perlahan-lahan Ni Lawang Soka turunkan kepala yang sejak tadi mendongak memandang ke langit yang kini telah terang karena pagi telah datang. Sepasang matanya diarahkan ka tubuh Ratu Duyung. Samar-samar di balik pakaian si gadis bermata biru sebalah kanan dia melihat sebuah benda bulat memancarkan cahaya berwarna hijau. Lalu pada dada sebelah kiri ada benda yang berwarna kebiru-biruan. Si nenek segera mengetahui, selain membekal Batu Mustika Alas Samudara Atap Langit, Ratu Duyung juga membawa Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru, batu sakti yang mampu membuat seseorang dapat berada di satu tempat yang jauh dalam kecepatan kilat kejapan mata. Seperti diketahui sebelumnya batu mustika sakti itu telah dipinjamkan kepada Nyi Roro Manggut sewaktu menolong Pendekar 212 Wiro Sableng dan kawan-kawan di Teluk Losari.
“Pasti gadis jahanam ini yang telah membunuh Raja Racun Bumi Langit,” pikir si nenek. Hal yang sama juga monjadi dugaan Adipati Seda Wiralaga dan Bayumurti. Walau sudah melihat kenyataan namun Nli Lawang Soka tampaknya tidak merasa jerih. Si nenek kembali umbar tawa panjang. “Jika kau merasa mampu meringkus diriku dan Pengging Kuntala, mengapa tidak segera melakukan?!” Si nenek malah menantang. Dua tangannya yang mompermainkan puting susu kini bergerak turun mengusap-usap bagian bawah payudaranya yang kisut. Tiba-tiba nenek itu pencet kedua payu daranya. Dua puting susu berjingkrak kencang dan terjadilah satu hal yang luar biasa. Dari dua puting ausu besar hitam itu melesat keluar semburan cairan berwarna putih.
“Wuuss! Wuuss!” Dua larik semburan air kemudian berubah menjadi api merah kebiruan. Ilmu Susu Neraka! Dua puting susu si nenek memang merupakan sumber ilmu kesaktian andalannya.
Ratu Duyung berseru kaget, secepat Kilat dia melompat; ke samping. Itupun masih kurang cepat karena ujung rambutnya sempat tersambar salah satu semburan api merah biru. Ketika Ni Lawang Soka hendak melancarkan serangan susulan. Pendekar 212 Wiro Sableng cepat menghadang.
“Nek, dari tadi aku ingin sekali meraba dua payudaramu! Ah. aku benar-benar terangsang melihat kebagusan dadamu. Terutama sepasang pentil yang besar hitam itu….” Wiro keluarkan ucapan dengan mata setengah dipejam dan mulut diruncing-runcingkan sambil sesekali lidah dijulur. Seumur hidup belum pernah ada orang apalagi seorang pemuda yang berkata seperti itu. Mau tak mau Ni Lawang Soka jadi terkesiap dan tahan gerakan. Kesempatan ini dipergunakan Wiro. Secepat kilat dua tangannya berkelebat ke depan membentot payudara si nenek. Sepasang payudara kempes yang mulur panjang itu kemudian diikat di buhulnya satu sama lain. Ni Lawang Soka menjerit keras. Kesakitan setengah mati. Memang dua payudara yang kempes bergelayutan itu merupakan pusat kekuatan ilmu kesaktiannya. Tapi sebagai seorang perempuan dua payudara itu merupakan titik kelemahan. Si nenek berusaha melepaskan payudaranya yang terikat. Namun semakin dicoba ikatan itu semakin keras mengancing dan rasa sakit semakin tidak tertahankan. Dari puting susu si nenek keluar cairan putih muncrat-muncrat. Sebagian berubah warna menjadi api merah kebiruan. Ni Lawang Soka melompat nekad ke arah Wiro, berusaha merangkul sang pendekar. Rupanya dia bermaksud bunuh diri. Mati bersama. Wiro cepat menghindar. Namun muncratan cairan putih yang berubah jadi api ada yang berhasil menyerempet bahu kirinya. Bukan saja bahu pakaian sang pendekar yang terbakar hangus, daging bahunya ikut terluka. Wiro jatuh terduduk di tanah. Seku|ur tubuhnya terasa panas dingin. Tangan kiri sulit digerakkan. Didahului teriakan dahsyat Ni Lawang Soka melompat. Kaki kanannya menderu ke arah kepala Wiro. Kaki itu bukan hanya menendang. Tapi dari lima kuku jari si nenek yang hitam bersamaan dengan tandangan melesat pula lima larik cahaya hitam.
Wiro jatuhkan diri ke tanah. Tendangan si nenek memang berhasil dielakkan namun larik sinar hitam terus mengikuti dan menyambar ke arah lima bagian tubuh mulai dari kepala sampai ke kaki.
Rayi Jantra berteriak sambil babatkan Kujang Kiai Pasundan. Purnama gerakkan dua bahu, lesatkan cahaya biru bergemerlap. Mereka berusaha menyelamatkan Pendekar212 Wiro Sableng. Namun mendahului gerakan kedua orang itu, dari dada kanan Ratu Duyung tiba-tiba Batu Mustika Alas Samudera Atap Langit milik Nyai Roro Kidul pancarkan cahaya hijau pekat.
“Wusss!”
Ni Lawang Soka menjerit keras. Tubuhnya terpental sampai ke depan tangga Gedung Kadipaten. Begitu ambruk di tanah tubuh ini tak berbentuk lagi. Hanya tinggal menyerupai bubuk hijau mengepulkan asap.
Melihat sobatnya menemui ajal dengan cara luar biasa mengerikan begitu rupa, putuslah nyali Pengging Kuntala. Tanpa menunggu lebih lama dia segera putar tubuh dan berkelebat kabur.
Untuk kedua kalinya Batu Mustika Alas Samudera Atap Langit pancarkan cahaya terang hijau pekat. Sesaat kemudian di depan sana Pengging Kuntala menjerit keras. Kakek satu ini menemui ajal tidak berbeda jauh dengan yang dialami Ni Lawang Soka.
Ratu Duyung tegak setengah tertegun. Dia sama sekali tidak melakukan apa-apa. Batu Mustika sakti yang melekat padanya yang telah bertindak sendiri menyelamatkan Wiro, membunuh Ni Lawang Soka dan Pengging Kuntala. Seantero tempat diselimuti kesunyian. Purnama dan Rayi Jantra cepat mendatangi Wiro.
Rayi Jantra totok beberapa urat utama di tubuh Wiro sementara alirkan hawa sakti ke dalam badan sang pendekar melalui punggung. Sesaat kemudian walau luka di bahu kiri masih meninggalkan rasa perih namun Wiro sudah mampu menggerakkan tangan dan rasa panas dingin di sekujur tubuh lenyap. Dia cepat berdiri. Pada saat itulah Adipati Bayumurti tiba-tiba melompat ke depan. Golok besar di tangan kanannya menyambar ke arah Rayi Jantra. Diserang begitu rupa Rayi Jantra yang sejak tadi sudah gatal tangan, segera hunus Kujang Kiai Pasundan. Tiba tiba Adipati Losari Seda Wiralaga berteriak keras.
“Hentikan perkelahian! Aku mau bicara!”
Semua orang hentikan gerakan.
“Rayi Jantra!” Adipati Seda Wiralaga menuding dengan telunjuk tangan kiri ke arah Rayi Jantra. ”Saat ini kau bukan lagi Kepala Pasukan Kadipaten.”
“Apa perduliku! Kau punya urusan besar denganku! Kau yang memberi perintah membunuhku di kaki Bukit Batu Bersuling!”
“Dengar Rayi Jantra! Kau bisa dapatkan jabatan itu kembali jika bersatu dengan pihak kami!” kata Seda Wiralaga pula.
“Dua manusia dajal yang jadi andalanmu sudah mampus. Rupanya kau mulai ketakutan Adipati…,” Rayi Jantra mengejek. Lalu lemparkan jas tutup ke hadapan Seda Wiralaga. “Pakaian itu milikmu. Pakaian itu yang kau kenakan sewaktu membunuh Eyang Sepuh Kembar Tilu dan merampas dua buah dadu dari Tionggoan yang ada padanya!”
Sebelum Seda Wiralaga sempat mengatakan sesuatu Wiro menyambung ucapan Rayi Jantra. “Kancing ke dua dari atas berbeda dengan empat kancing lainnya. Karena kancing ke dua itu sempat direnggut Eyang Sepuh Kembar Tilu sebelum kau membunuhnya. Bukan begitu ceritanya?” Wiro keluarkan kancing kayu yang ada di saku pakaiannya lalu dilempar di depan kaki Adipati Seda Wiralaga. Sang Adipati memperhatikan kancing kayu itu dengan mata mendelik lalu menghardik.
“Orang-orang gila muka belang! Kalian bukan saja bicara gila tapi memfitnah diriku! Pendekar gondrong muka belang, pembunuh Adipati Karta Suminta! Aku sendiri yang akan menarik tali gantunganmu!”
Wiro tersenyum. “Kau kemudian mengatur jebakan untukku. Jas tutup kau berikan pada Bayumurti. Lalu kaki tanganmu yang bernama Ki Surat Balangnipa kalian suruh memakai jas tutup itu.”
“Bangsat sableng, kau pandai mengarang cerita!”
“Begitu?” Wiro garuk-garuk kepala. “Tapi ceritaku belum selesai.” Lalu Wiro lemparkan topeng kakek botak muka merah ke hadapan Adipati Losari. “Kau mengenakan topeng ini ketika membunuh Jumena setelah terlebih dulu mengalihkan perhatian dengan meledakkan rumah jaga. Kau juga muncul di teluk Losari bersama tua bangka bernama Pengging Kuntala mengenakan topeng ini.”
“Anjing bermulut busuk!” maki Seda Wiralaga.
Dimaki seperti itu murid Sinto Gendeng cuma menyeringai. Dia teruskan ucapannya. “Dua nenek kembar sahabatku menyelidik ke gedung ini. Mereka berhasil menemukan topeng kakek muka merah itu. Kau tak bisa mengelak. Kau berusaha membunuh mereka dengan daun pantangan. Namun salah seorang dari mereka berhasil lolos membawa topeng itu sebagai barang bukti!”
“Ha-hu ha-hu!” nenek rambut kelabu jubah kuning keluarkan suara seolah membenarkan semua apa yang dikatakan Wiro.
“Hebat sekali cerita dustamu!” teriak Seda Wiralaga.
“Masih ada yang lebih hebat!” tukas Pendekar 212 Wiro Sableng. “Setelah berhasil merampas dua buah dadu setan yang berasal dari perut Nyi Inten Kameswari dari tangan Eyang Sepuh Kembar Tilu kau membunuh beberapa orang untuk menghilangkan jejak. Manusia-manusia malang yang jadi korbanmu adalah Anom Miharja, suami Nyi Inten Kameswari. Lalu seorang gadis bernama Ningrum. Gadis itu menemui ajal dengan sebilah keris kecil menancap di lehernya setelah lebih dulu kau tiduri! Ini kerisnya!” Wiro keluarkan keris Gunung Intan yang didapatnya dari Purnama. ‘“Menurut cerita keris ini sudah menjadi milik Adipati Bayumurti. diberikan kepadanya oleh salah seorang Pangeran. Lewat keris ini aku bisa mencium bau busuk hubunganmu dengan Bayumurti. Tapi aku tidak tahu hadiah apa yang sudah janjikan pada Adipati bau kencur ini hingga dia mau berserikat dalam kejahatan bersamamu!”
“Manusia buronan! Jangan berani menghina dan memfitnah diriku!” teriak Bayumurti marah.
“Kalau kau tidak mau dihina, tidak mau difitnah. apakah kau mau memberi keterangan bagaimana keris yang katanya ada padamu ini bisa menancap di leher gadis bernama Ningrum? Apa kau mau mengakui bahwa kau sebenarnya yang membunuh Ningrum untuk melindungi tuan besarmu ini?!” Tukas Pendekar 212 yang membuat Bayumurti jadi sengit, muka mengelam merah, dua tangan dikepal. “Lalu apakah kau juga bisa menerangkan paku berduri yang merupakan senjata rahasia milikmu ini. Bagaimana bisa menancap di jidat seseorang yang telah membunuh Danang Seta? Kau sengaja membunuh orang itu untuk melenyapkan jejak. Tapi dasar tolol kau meninggalkan jejak berupa senjata rahasia ini. Lalu apa kau juga bisa menerangkan bagaimana ceritanya malam tadi ada tiga paku berduri yang sama menyerang kami di tepi telaga?”
“Aku tidak suka melihat kalian menyiksa Ki Surat Balangnipa yang tidak berdaya!” jawab Bayumurti dengan mata menyala.
“Oo… begitu?” Wiro garuk-garuk kepala lalu tertawa gelak-gelak. “Ada dua hal yang perlu aku katakan. Pertama kami tidak menyiksa orang bernama Ki Surat Balangnipa itu. Kami hanya memandikannya di parit karena menurut penglihatan kami dia sudah lama tidak mandi. Bau badannya menyengat hidung. Apa salah kalau kami memandikannya? Ha… h a…ha!” Wiro tertawa gelak-gelak lalu sambung ucapannya. “Hal kedua. Dengan kau mengeluarkan ucapan bahwa kau tidak suka melihat kami memandikan Ki Surat Balangnipa, secara tidak sadar kau telah mengakui bahwa kau membokong kami secara pengecut malam tadi dan senjata rahasia berbentuk paku berduri ini memang adalah milikmu!”
Tubuh Bayumurti bergetar panas mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. Tapi dia tak bisa keluarkan suara. Wiro lanjutkan ucapan. “Adipati Seda Wiralaga, aku tahu dua buah dadu dari Tiongkok itu ada padamu. Hal itu membuat kami menduga keras bahwa kaulah yang menjadi bandar judi dan bandar rumah mesum yang di sebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Kami berhasil menemukan bangunan celaka itu. Namun dalam keadaan kosong, ditunggui oleh Ki Sentot Balangnipa dan dajal yang sudah mampus Raja Racun Bumi Langit. Aku punya dugaan berat kau adalah bandar besar tempat judi dan tempat mesum itu. Apakah kau mau memberi tahu dimana letak Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang baru? Aku dan kawan-kawan ingin sekali melihatnya.”
“Pemuda sinting! Apakah bicaramu sudah selesai?!” bentak Adipati Seda Wiralaga.
“Aku punya satu pertanyaan. Mungkin dua buah dadu itu sudah kau berikan pada paderi perempuan yang berdiri di sebelahmu karena katanya dia diutus oleh sebuah perguruan di Tiongkok sana untuk mencari dan mendapatkan dua buah dadu itu.”
“Sudah! Cukup kau bicara ngaco!” teriak Adipati Seda Wiralaga. “Adipati Bayumurti, pimpin semua orang untuk menangkap si gondrong itu hidup atau mati! Siapa coba menghalangi atau membantu, bunuh mereka semua!”
Ratu Duyung dekati Pendekar 212. Begitu berada di samping Wiro dia berbisik, “Aku barusan menerapkan ilmu Menembus Pandang pada paderi botak itu. Aku melihat di balik pakaiannya, dalam sebuah kantong kain ada dua buah dadu.”
“Berarti Seda Wiralaga telah memberikan dadu setan itu pada si paderi,” ujar Wiro.
“Belum tentu. Seda Wiralaga tidak tolol. Coba kau periksa sosok Adipati buncit itu dengan Ilmu Menembus Pandang.”
Wiro lakukan apa yang dikatakan Ratu Duyung, Dia tersentak sewaktu melihat di pinggang sang Adipati ada sebuah kantong putih berisi dua buah dadu. “Ah…!” Wiro keluarkan seruan tertahan.
“Kau melihat dua dadu itu?” tanya Ratu Duyung.
“Aku melihat dua dadu lain. Edan, besar sekali seperti anak kucing.”
“Jangan bergurau!” Ratu Duyung jengkel sekali. Mukanya bersemu merah.
“Ya, ya… Aku sudah melihat. Ada dua dadu di balik pinggang pakaian Adipati itu. Dalam satu kantong kain putih. Berarti ada dua pasang dadu. Yang mana yang asli?”
“Pasti yang ada pada Adipati itu!” jawab Ratu Duyung.
Pembicaraan kedua orang itu terputus sampai di situ. Bayumurti serta puluhan perajurit termasuk sepuluh orang bersenjatakan tombak yang ditancapi daun mengkudu datang menyerbu. Perajurit yang sepuluh ini sesuai perintah, mereka mengarahkan serangan pada nenek rambut kelabu. Adipati Seda Wiralaga sendiri bersama Loan Nio Nikouw saat itu juga sama-sama balikkan diri lalu dengan cepat berkelebat pergi tinggalkan halaman, masuk dan lenyap di dalam gedung.
“Adipati keparat! Kau mau kabur kemana?” teriak Wiro. Setelah meminta Purnama agar melindungi nenek rambut kelabu Wiro melesat masuk ke dalam gedung Kadipaten.
Di dalam gedung Kadipaten yang besar keadaannya ternyata sepi tapi mencekam. Adipati Seda Wiralaga dan Paderi Loan Nio lenyap tak berbekas.
“Kalau aku tidak segera menemukan kedua orang itu, akan kuhancurkan seluruh bangunan ini!” Wiro mengancam dalam hati.
Tiba-tiba ada suara berkesiur. Empat buah senjata rahasia berbentuk pisau terbang tanpa gagang melesat dari empat jurusan menyerang Wiro dengan arah sasaran kepala, dada dan punggung serta perut. Dia cepat jatuhkan diri seraya melepas satu pukulan, membuat mental pisau terbang yang mengarah perutnya sementara tiga pisau lainnya menghantam tempat kosong lalu satu menancap di lantai batu, dua menembus dinding ruangan.
Wiro cepat bergerak bangun. Namun belum sempat berdiri, masih dalam keadaan setengah membungkuk, tiba-tiba langit-langit ruangan terbuka dan saat itu juga dua belas tombak melesat ke bawah.
“Kurang ajar!” Wiro memaki. Dia berguling di lantai sambil hantamkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera dengan dua tangan sekaligus.
*****
SEBELAS
PUKULAN dahsyat yang dihantamkan Wiro bukan saja membuat selusin tombak patah, tetapi langit-langit ruangan juga runtuh, terus menembus menghancurkan atap!“Adipati keparat! Pengecut! Kau sembunyi dimana atau sudah kabur?!” Teriak murid Sinto Gendeng. Dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang berusaha menjajaki dimana sembunyinya Seda Wiralaga. Ketika matanya tak sengaja memandang ke lantai, sang pendekar jadi terkejut. Di bawah lantai gedung dia melihat satu ruangan besar, dikelilingi sepuluh buah kamar tidur. Di tengah ruangan ada satu meja besar empat persegi warna hijau, bergaris membentuk kotak bertuliskan angka 1 sampai 12.
“Meja judi. Judi dadu. Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga ternyata dipindah dan ada di bawah Gedung Kadipaten! Siapa yang akan mengira! Kurang ajar!” Baru saja Pendekar 212 memaki tiba-tiba dari balik sebuah tiang besar berkiblat satu cahaya merah disertai menyambarnya angin panas, tepat di depan hidungnya! Wiro cepat melompat mundur. Craass! Tak urung ada ujung rambutnya di atas kening yang terbabat putus. Selain itu Wiro merasa ada satu kekuatan dahsyat memukul tubuhnya hingga dia terjajar ke belakang. Dada berdenyut sakit Ketika Wiro meraba sudut bibirnya dia terkejut. Jari-jari tangannya merah oleh lelehan darahnya sendiri. Sang pendekar mengalami luka dalam.
Wiro membentak marah tapi jadi terkesima ketika orang yang barusan menyerang ternyata adalah Kiang Loan Nio Nikouw. Saat itu Wiro melihat sang paderi terpental tiga langkah, hampir jatuh duduk di lantai kalau dia tidak bertopang pada Pedang Naga Merah yang ada di tangan kanannya. Seperti yang dialami Wiro paderi ini juga merasa dadanya laksana ditindih batu besar dan nafas menjadi sesak. Wajah yang cantik berubah pucat dan di sudut bibirnya juga mengucur lelehan darah.
“Nio Nio….” ucap Wiro. “Tadi aku heran melihat kau bersama Adipati Seda Wiralaga. Kini tambah heran lagi mengapa kau menyerangku!”
“Pemuda bejat! Aku bukan cuma menyerangmu! Tapi aku bersumpah membunuhmu!” Menyahut paderi perempuan itu dengan suara setengah berteriak dan wajah cantik berubah garang luar biasa.
“Nio Nio, apa yang terjadi dengan dirimu?!” Tanya Wiro. Ketika dilihatnya sang paderi kembali hendak menyerang dengan Pedang Naga Merah Wiro cepat berteriak. “Jangan! Tahan serangan! Kita berdua bisa celaka!”
“Persetan! Aku tidak takut mati!” jawab Loan Nio Nikouw.
Wiro cepat melompat menjauh. “Nio Nio, aku tahu kau sudah dapatkan dua buah dadu itu! Mengapa tidak segera kembali ke Tionggoan?”
“Aku tidak akan meninggalkan tanah Jawa ini sebelum membunuhmu!”
“Apa salahku?!” tanya Wiro.
Sang paderi tertawa panjang. “Manusia bejat! Kau pandai berpura-pura! Dosa kesalahanmu sedalam laut setinggi langit! Kau telah memperkosaku!”
“Hah! Apa?! Lagi-lagi tuduhan gila itu!”
“Kau melakukannya di dalam goa!”
“Pasti pemuda geblek bernama Liok Ong Cun itu yang bicara bohong padamu! Dia punya dendam besar padaku! Dia sengaja memfitnah diriku!”
“Kali ini dia tidak bohong! Tidak memfitnah! Justru dia yang menemukan diriku di dalam goa setelah kau gagahi!”
“Nio Nio. Aku tidak akan pernah berlaku sekeji itu terhadap perempuan manapun! Apa lagi terhadap dirimu yang telah beberapa kali menyelamatkan jiwaku!”
“Loan Nio, aku datang! Pemuda terkutuk ini memang harus segera dibunuh! Aku akan membantumu agar kali ini dia tidak bisa lolos lagi!” Seseorang berteriak dalam bahasa Cina. Satu bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu di tempat itu telah berdiri seorang muda mengenakan topeng tengkorak. Rambut dikepang ke belakang, tangan kanan menempel di gagang sebilah pedang yang dipegang di tangan kiri. Liok Ong Cun!
“Loan Nio, aku bersumpah! Pemuda bejat ini yang telah merusak kehormatanmu di goa itu! Aku melihat sendiri ketika dia melarikan diri keluar goa!” Sepasang mata Liok Ong Cun memandang laksana dikobari api ke arah Wiro.
“Nio Nio, dulu pemuda sialan ini mulutnya pernah aku kencingi! Ternyata sekarang dia jadi bisa bicara lancar sekali! Aku yakin barusan dia bicara dusta! Seperti kataku tadi aku tidak mungkin mencelakai orang yang telah beberapa kali menyelamatkan jiwaku!”
“Itulah kebusukanmu! Air susu kau balas dengan air tuba!” tukas Loan Nio Nikouw.
“Hik… hik!” Mendadak ada suara orang tertawa cekikan. Suara anak-anak. “Pendekar sableng, apa benar kau pernah minum air susu gadis cantik kepala botak ini?! Hik… hik… hik. Aku juga mau! Hik… hik… hik!”
“Jahanam kurang ajar! Siapa yang bicara?!” teriak Liok Ong Cun marah besar walau tidak mengerti apa yang diucapkan orang. Dia berpaling ke arah suara orang yang barusan tertawa dan berucap. Wiro dan Loan Nio Nikouw juga ikut menoleh. Di depan tiang sana, terpisah sejarak tujuh langkah berdiri seorang anak lelaki berpakaian serba hitam berambut jabrik! Di sampingnya tegak senyum-senyum seorang nenek berwajah angker seperti setan, berjubah biru. Sepuluh kuku tangan panjang hitam. Tampang Liok Ong Cun jadi berubah ketika dia mengenali kedua orang ini yang bukan lain adalah bocah jahil Naga Kuning dan si nenek sakti berjuluk Gondoruwo Patah Hati.
“Kalian berdua! Lekas menyingkir dari sini! Kalau tidak kutebas batang leher kalian!” Liok Ong Cun membentak sambil hunus Pedang Ular Hijau.
“Hik… hik! Dia bicara apa? Belum kapok dia rupanya sehabis kuhajar dengan Ilmu Kuku Api!” kata Gondoruwo Patah Hati pula.
“Dia takut rahasianya kita buka,” jawab Naga Kuning.
“Kalian berdua,” kata Wiro. “Kalau mengetahui sesuatu lekas bicara!”
Naga Kuning melirik ke arah Loan Nio Nikouw baru berkata. “Beberapa waktu lalu kami terpesat di satu rimba belantara. Tiba-tiba kami melihat pemuda muka tengkorak ini keluar dari goa. Di luar goa dia tampak seperti orang bingung. Lalu dia berteriak-teriak dalam bahasa yang kami tidak mengerti. Tapi jelas sekali dia menyebut-nyebut nama Loan Nio. Kemudian dia masuk ke dalam goa. Keluar-keluar memapah gadis botak ini…”
Merasa orang tengah membicarakan perihal dirinya Liok Ong Cun cabut pedang dan melompat ke hadapan Naga Kuning serta Gondoruwo Patah Hati. “Pergi!” teriaknya. Pedang di tangan diangkat tinggi-tinggi lalu dibacokkan ke arah Naga Kuning.
“Traangg!”
Liok Ong Cun tersentak kaget ketika melihat bagaimana Pedang Naga Merah alias Ang Liong Kiam di tangan Loan Nio Nikouw menangkis Pedang Ular Hijau miliknya.
“Loan Nio. Apa-apaan kau inil”
“Ong Cun,” ucap Loan Nio Nikouw. “Dari apa yang dijelaskan anak itu aku kini tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kau lagi-lagi berdusta. Kau pandai mengarang cerita membuat siasat lalu memfitnah orang, padahal kau sendiri yang jadi dajalnya. Teganya kau melakukan perbuatan bejat itu terhadapku!”
“Aku bersumpah tidak merusak kehormatanmu!” teriak Liok Ong Cun.
“Matilah bersama sumpahmu!” Tanpa banyak bicara lagi Loan Nio Nikouw lantas menyerbu Liok Ong Cun dengan Pedang Naga Merah. Karena kecintaannya terhadap Loan Nio mula-mula pemuda bertopeng muka tengkorak itu tak mau melawan. Namun setelah terdesak dan dia sadar sang paderi tidak main-main, Liok Ong Cun terpaksa pergunakan Pedang Ular Hijau atau Ceng Coa Kiam untuk membela selamatkan diri. Dua anak murid perguruan Siauw Lim terlibat dalam perkelahian luar biasa hebat. Walaupun usia lebih muda dan adalah adik seperguruan, namun Loan Nio Nikouw punya pengalaman lebih banyak serta tenaga dalam lebih tinggi. Selain itu kecepatan ilmu pedangnya sulit ditandingi. Ditambah pedang yang ada di ditangannya bukanlah senjata sembarangan, setelah bertempur lebih sepuluh jurus Liok Ong Cun mulai terdesak. Pada jurus kedua belas Liok Ong Cun pergunakan jurus Jay Hong Toh Te atau Pelangi Melengkung Ke Bumi untuk menangkis serangan Pedang Naga Merah dalam jurus Naga Merah Membela Bumi yang dilancarkan Loan Nio Nikouw.
“Traangg!”
Dua pedang sakti beradu di udara. Bunga api memercik. Liok Ong Cun kalah tenaga. Pedang Ular Hijau terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai bersamaan dengan lepasnya sarung pedang yang dipegang di tangan kiri. Pedang Naga Merah menderu deras. Liok Ong Cun menjerit sewaktu ujung pedang menggurat robek topeng tengkoraknya mulai dari kening terus melintang di pipi kiri melompat melabrak sebuah jendela kayu dan kabur meninggalkan Gedung Kadipaten. Darahnya bececeran di lantai.
Selagi Loan Nio Nikouw tertegun, menyesali diri sendiri dan berkata dalam hati. “Mengapa aku hanya menggurat mukanya, tidak menabas batang lehernya…” tiba-tiba dua orang melesat masuk ke dalam ruangan besar. Lalu terdengar seruan.
“Aku dapat pedangnya!”
“Aku mengambil sarungnya!”
Loan Nio Nikouw tersentak kaget Dia perhatikan kedua tangannya. Astaga! Ternyata Pedang Naga Merah yang tergenggam di tangan kanan dan sarung pedang yang tadi dipegang di tangan kiri sudah lenyap! Apa yang terjadi? Loan Nio Nikouw menatap ke depan. Sang paderi keluarkan seruari tertahan sementara Wiro sendiri selain kaget juga merasa gembira.
Di dekat tiang besar berdiri sepasang kakek nenek sambil tertawa-tawa. Si nenek yang berdandan menor dan mengenakan jubah serta celana panjang hitam bukan lain adalah Eyang Sinto Gendeng. Di tangan kanannya dia memegang Pedang Naga Merah. Di samping Sinto Gendeng berdiri seorang kakek berpakaian selempang kain putih berambut dan berjanggut putih, kulit muka tipis, sepasang mata cekung. Kakek ini memegang sarung Pedang Naga Merah. “Dugaanku terjawab sudah. Si nenek berbaju bagus, berdandan mencorong. Ternyata dia menemui kekasih lama…,” kata Wiro dalam hati.
Wiro cepat membungkuk memberi penghormatan. “Eyang Sinto, Kakek Tua Gila….” Diam-diam Wiro merasa lega kakek nenek itu berhasil mengambil Pedang Naga Merah berikut sarungnya dari tangan Loan Nio Nikouw. Kalau dia yang melakukan pasti akan terjadi perkelahian hebat yang bisa mencelakakan mereka berdua.
“Tua bangka pencuri! Kembalikan pedangku!” Teriak Loan Nio Nikouw lalu menerjang ke arah Sinto Gendeng. Tangan kanan berusaha merampas pedang sementara tangan kiri memukul ke arah kepala si nenek. Sambil tertawa cekikikan Sinto Gendeng elakkan serangan lalu melesat ke arah jendela diikuti Tua Gila. Loan Nio Nikouw langsung mengejar sambil lepaskan satu pukulan sakti. Jendela dan sebagian dinding ruangan hancur dilanda pukulan sang paderi. Namun sepasang kakek nenek sudah lenyap. Diluar terdengar seruan si nenek. “Anak setan! Jangan lupa kau harus menghadap Kiai Gede Tapa Pamungkas bersama Ratu Duyung!”
Setelah kakek nenek itu lenyap kini kemarahan Loan Nio ditumpahkan pada Pendekar 212. “Kau kenal dua tua bangka itu! Katakan siapa mereka. Dimana aku bisa mencari keduanya!” Sambil bertanya berteriak sang paderi menyerang Wiro habis-habisan.
“Nio Nio. Tahan serangan. Pedang Naga Merah itu memang pantas diambil kakek nenek tadi.”
“Apa katamu?! Jadi kalian berkomplot!”
Wiro melompat menjauh. “Dengar dulu keteranganku. Nenek jubah hitam itu adalah guruku. Si kakek sahabatnya. Menurut riwayat, bukankah pedang itu kau dapat dari Bayumurti semasa kanak-kanakmu di Semarang?”
“Apa perdulimu!”
“Dengar dulu. Aku belum habis bicara. Pedang itu sebenarnya adalah milik dan merupakan putera sepasang muda-mudi, perwujudan hasil perkawaninan sebilah kapak dan sebilah pedang. Kakek nenek tadi mengambil pedang bukan untuk mencuri. Tapi mengembalikan pada pemiliknya. Jika pedang masih berada di tanganmu kau akan mengalami malapetaka. Apa kau tidak menyadari ada rasa sakit di dada setiap kau menyerangku dengan pedang itu? Kalau pedang berada di luaran, rimba persilatan akan dilanda marabahaya.”
“Dusta besar! Pedang itu sama nilainya dengan nyawaku! Kau harus memberi tahu kemana perginya dua tua bangka itu! Atau aku akan membunuhmu saat ini juga!”
“Nio Nio, dari pada meributkan soal pedang yang memang bukan milikmu, lebih baik kau membantuku mencari kemana kaburnya Adipati Seda Wiralaga!”
“Kau boleh mencarinya sampai ke neraka!” teriak Loan Nio llikouw lalu didahului jeritan keras dia menyerang Wiro. Serangan sang paderi luar biasa ganas. Wiro sempat kena gebuk di bagian dada dan perut.
“Nio Nio. Kalau kau tidak segera menemukan Adipati itu, kau tidak akan mendapatkan dua buah dadu yang kau cari untuk selama-lamanya!”
Sang paderi hentikan serangan. “Apa maksudmu? Kau bicara apa?! Aku tak perlu Adipati itu. Aku sudah dapatkan dua buah dadu yang kucari!”
“Aku tahu Adipati itu telah memberikan dua buah dadu padamu. Tapi apakah kau sudah meneliti? Dua buah dadu yang ada padamu adalah dadu-dadu palsu!”
Wajah Loan Nio Nikouw berubah. “Bagaimana kau bisa tahu dua dadu itu palsu! Kau berusaha menipuku!”
“Keluarkanlah dan periksa!” ucap Wiro pula.
Antara percaya dan tidak yang membuatnya bingung, sang paderi akhirnya keluarkan sebuah kantong kain hitam dari balik pakaian merahnya. Dari dalam kantong dia gelindingkan dua buah dadu ke telapak tangan kiri. Sepasang matanya memperhatikan lekat-lekat. Wajah cantik sang paderi kemudian tampak berkerut dua mata membesar, sepasang alis berjingkrak lalu mulut berteriak.
“Adipati jahanam! Manusia terkutuk! Kau membujukku akan memberikan dua buah dadu jika bersedia membantu menghadapi Pendekar Dua Satu Dua dan kawan-kawan. Ternyata kau menipuku! Kau memberikan dadu-dadu palsu! Aku akan cincang tubuhmu sampai lumat!” Loan Nio Nikouw berteriak keras lalu berkelebat ke bagian belakang gedung. Dia tahu satu kamar rahasia dimana dia menduga Seda Wiralaga berada di tempat itu. Wiro mengikuti. Ternyata sang paderi dan Wiro tidak perlu mencari jauh. Ketika sampai di halaman belakang mereka melihat Adipati Seda Wiralaga tengah bertempur melawan Rayi Jantra disaksikan oleh Ratu Duyung, Purnama, nenek rambut kelabu, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. Sampai saat itu sang Adipati yang bersenjatakan sebilah keris pusaka masih memegang ranting daun mengkudu di tangan kirinya. Rupanya dia tetap merasa khawatir nenek kembar jejadian akan menyerang dirinya.
Sebenarnya Adipati Seda Wiralaga bertempur dalam keadaan hati kecut nyali nyaris leleh. Dia tahu, walau dia bisa mengalahkan Rayi Jantra dia tidak akan mampu lolos dari begitu banyak tokoh silat yang mengelilinginya. Dalam keadaan seperti itu akhirnya sang Adipati berubah nekad.
Walau membekal Kujang Kiai Pasundan yang sakti mandraguna, ternyata tidak mudah bagi Rayi Jantra untuk menghadapi Seda Wiralaga. Gerakan sang Adipati juga memiliki tenaga luar dalam yang lebih tinggi. Dalam satu gebrakan hebat di jurus ke sembilan belas dua senjata beradu keras. Bunga api memercik. Adipati Seda Wiralaga tergoncang sedikit sebaliknya Kujang Kiai Pasundan di tangan Rayi Jantra terlepas mental dan Rayi Jantra sendiri terjajar tiga langkah ke belakang.
Pada saat itulah satu bayangan merah berkelebat menyambar kujang lalu terdengar suara bentakan.
“Adipati keparat! Kau merayu lalu menipuku! Kau memberikan dua dadu palsu! Berikan dua dadu yang asli bersama nyawamu!”
Adipati Seda Wiralaga terkejut. “Loan Nio, tahan serangan! Kau pasti telah diperdayai pendekar jahanam itu!”
Tanpa perduli ucapan orang Kujang Kiai Pasundan di tangan Loan Nio Nikouw berkelebat ganas dan luar biasa cepat dalam jurus-jurus mematikan. Cahaya kuning menggidikkan berkiblat tiada henti. Keris dan kujang beradu beberapa kali. Dalam satu gebrakan hebat Loan Nio lemparkan dua buah dadu seraya berteriak.
“Makan dadu palsu ini!”
Adipati Seda Wiralaga cepat mengelak dari dua buah dadu yang melesat ke arah kepalanya. Dia bisa selamatkan diri. Namun dikejap yang sama Kujang Kiai Pasundan di tangan kanan Loan Nio Nikouw berkelebat dalam jurus Menusuk Matahari Membelah Rembulan.
“Brettt!”
Bukan cuma pakaian putih sang Adipati yang robek, tapi perut buncitnya ikut amblas dimakan ujung kujang. Darah menyembur, usus besar memberojol keluar. Keris di tangan kanan terlepas. Ranting daun mengkudu di tangan kiri ikut jatuh ke tanah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh nenek rambut kelabu kembaran jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu. Tubuhnya melesat ke udara. Kaki kanan menghajar kepala Seda Wiralaga hingga pecah bersamaan dengan menancapnya Kujang Kiai Pasundan di dada kiri, langsung menembus jantung. Loan Nio Nikouw jatuhkan diri di tanah, menekap wajah menahan tangis.
“Ha-hu ha-hu… hekkk!” Bersamaan dengan putusnya ajal Adipati Seda Wiralaga, penyakit gagu yang diindap nenek rambut kelabu serta merta lenyap. Si nenek sesenggukan sesaat lalu berucap. “Eyang Sepuh, kami sudah membalaskan sakit hati dendam kesumat kematianmu. Semoga kau kini bisa tenteram di alam akhirat. Eyang, sekarang aku sudah tidak gagu lagi.”
Tiba-tiba Loan Nio Nikouw ingat sesuatu. Dia melompat dari duduknya, buru-buru menghampiri mayat Seda Wiralaga. Tanpa rasa ngeri dia memeriksa tubuh Adipati itu. Tapi dia tidak menemukan benda yang dicarinya.
“Pemuda gondrong itu pasti menipuku. Atau Adipati keparat ini telah menyembunyikan dua dadu itu di satu tempat?” membatin sang paderi.
“Nio Nio, apakah kau mencari benda ini?”
Loan Nio Nikouw palingkan kepala. Pendekar 212 tersenyum lalu keluarkan sesuatu dari dalam sebuah kantong kain putih yang tadi telah lebih dulu diambilnya dari balik pakaian Adipati Seda Wiralaga yaitu ketika sang paderi terduduk di tanah sambil menekan muka sementara Rayi mencabut kujang miliknya dari dada Adipati Losari itu.
Dari dalam kantong kain meluncur keluar dua buah dadu yang segera ditampung Wiro ditelapak tangan kiri.
“Ini dadu-dadu yang asli.” Ucap Wiro sambil menimang-nimang dua buah dadu.
“Berikan padaku!” kata Loan Nio Nikouw seraya melangkah cepat ke arah Wiro.
Wiro masukkan kembali dua buah dadu ke dalam kantong kain putih. Tapi tidak menyerahkannya pada sang paderi melainkan berkata. “Aku tidak akan memberikan dua buah dadu ini padamu. Kecuali kau mengembalikan padaku Kitab Seribu Pengobatan yang kau curi waktu peristiwa penyerangan Walang Gambir alias Kobra Biru di dangau tempo hari.”
Loan Nio Nikouw ternganga. Lalu paderi ini tersenyum. “Bagaimana kau bisa tahu kalau aku yang mencuri kitab itu?”
“Di tempat kejadian tak ada orang lain kecuali kau dan Bunga, sahabatku dari alam roh. Bunga tak mungkin mencuri karena dia tak bisa membawa benda asing ke alamnya. Tinggal kau. Lagi pula aku pernah menerapkan satu ilmu untuk memeriksa dirimu. Dan aku melihat kitab itu memang ada di tubuhmu.”
“Kau memang lelaki kurang ajar!” ucap sang paderi tapi dengan wajah tersenyum. Di balik punggungnya dia membuka ikatan tali halus lalu mengeluarkan sebuah kitab tebal terbuat dari daun lontar. “Aku sebenarnya tak pernah bermaksud sungguhan mencuri kitab ini. Aku hanya berjaga-jaga. Kalau kau duluan menemukan
dua buah dadu dan tak mau memberikan padaku, maka kitab ini akan kujadikan alat pemaksa. Ambillah.” “Kau cerdik, juga baik hati.” Kata Wiro pula sambil menyambut kitab yang diserahkan. Naga Kuning mendekati Loan Nio Nikouw. “Kurasa sekarang kita sudah jadi sahabat. Karena itu aku akan
menyerahkan padamu benda ini.” Dari balik pinggangnya Naga Kuning keluarkan sebuah seruling perak. Loan Nio Nikouw sampai berseru girang melihat suling miliknya itu. “Bagaimana ceritanya sampai suling ini ada padamu?” “Suling itu terjatuh dari pinggangmu ketika orang muka tengkorak mendukungmu keluar goa.”
Menerangkan Naga Kuning. “Aku sangat berterima kasih,” kata Loan Nio Nikouw sambil pegang bahu si bocah. “Kau lucu. Baru sekali ini aku melihat perempuan kepalanya botak. Apakah aku boleh mencium
kepalamu?”
Permintaan si bocah membuat Loan Nio tertawa. Tapi dia menjawab juga. “Kalau kau suka silahkan saja,” lalu sang paderi merunduk sedikit Naga Kuning majukan hidungnya. Kepala botak sang paderi tercium harum. Namun sebelum hidung si bocah dan kepala botak bersentuhan, Gondoruwo Patah Hati segera jewer dan tarik telinga kiri Naga Kuning.
“Gunung, jangan macam-macam! Orang mengira kau masih anak-anak. Padahal kau sudah kakek tua bangka!” Naga Kuning terpekik kesakitan namun tak berani membantah ketika dia ditarik si nenek meninggalkan tempat itu. Wiro tertawa gelak-gelak sementara Loan Nio Nikouw senyum-senyum. Setelah kedua orang itu pergi baru Wiro menyadari kalau Ratu Duyung dan Purnama tak ada lagi di tempat itu. “Mereka pasti saling cemburu…,” pikir Wiro lalu berpaling pada Rayi Jantra. Rayi hanya bisa angkat bahu dan berkata. “Aku ke halaman depan dulu. Banyak mayat bergelimpangan di sana. Termasuk Bayumurti….”
“Siapa yang membunuh Bayumurti?” tanya Wiro.
“Purnama “ Jawab Rayi Jantra lalu melangkah pergi.
“Saudara Wie…” Loan Nio Nikouw menyapa Pendekar 212 dengan sebutan yang sudah lama tak pernah diucapkannya. Wiro tersenyum. “Malam nanti kebetulan ada kapal dari Tionggoan yang datang ke Teluk Losari menjemputku. Sebenarnya aku ingin berada lebih lama di sini…” “Aku mengerti. Tugasmu belum selesai sebelum dua buah dadu kau serahkan pada pimpinanmu. Aku hanya bisa berharap, satu ketika kau akan kembali lagi ke tanah Jawa ini.”
Loan Nio Nikouw anggukkan kepala. Dalam hati dia berkata. “Aku pasti kembali. Mencari manusia bejat muka tengkorak itu!” Paderi cantik ini lalu tundukkan kepala berusaha menyembunyikan linangan air mata. Dia melirik ke samping, ke arah nenek rambut kelabu. Si nenek pura-pura melihat ke jurusan lain.
“Wiro…” ucap Loan Nio Nikouw perlahan sekali, setengah berbisik. “Sebenarnya aku malu mengatakan hal ini. Apa iagi diriku tidak lagi sesuci sebagaimana aku datang pertama kali. Tapi jika aku tidak mengatakan tidak ada kelegaan di hatiku seumur-umur. Jauh di lubuk hatiku, aku… aku sebenarnya telah jatuh cinta padamu sejak pertama kali aku melihatmu. Jalan nasib membawa diriku ke dalam keadaan seperti ini. Aku mohon kau memaafkan segala sikap dan perbuatanku yang buruk, mungkin juga jahat..”
“Kau gadis baik. Aku tidak akan melupakanmu, Nio Nio,” ucap Wiro. Lalu dipeluknya Loan Nio Nikouw. Sang paderi membalas pelukan itu dengan rangkulan kencang sementara air mata jatuh berderai membasahi pipinya.
“Aku pergi Wiro. Aku….”
“Tenangkan dan tabahkan hatimu, Nio Nio. Aku berdoa untuk semua kebaikan bagimu.”
“Terima kasih,” ucap Loan Nio Nikouw lalu lepaskan pelukannya. Belum sepuluh langkah paderi dari Tionggoan itu berjalan tiba-tiba nenek rambut kelabu mengejar.
“Ada apa?” tanya Loan Nio Nikouw sementara Wiro memperhatikan agak merasa heran.
“Sahabat muda, aku tahu kau tengah mengalami kesulitan. Kalau aku boleh menolong dan kau memang tidak mau melahirkan seorang bayi tanpa ayah, aku punya obat peluntur.”
“Obat peluntur, obat apa itu?” tanya sang paderi.
“Obat untuk menggugurkan kandunganmu,” jawab si nenek dengan suara sengaja dipelankan.
Loan Nio Nikouw tercengang dan tidak dapat menyembunyikan perubahan raut wajahnya. “Bagaimana kau tahu keberadaanku…”
Si nenek tersenyum. Dia mengambil satu kantong kecil dan hitam dan menyerahkannya pada Loan Nio Nikouw. “Di dalam kantong ini ada bubuk obat. Campur dengan air panas. Minum setiap malam tiga hari berturut-turut…”
“Nek, aku…” Loan Nio Nikouw pandangi kantong hitam di tangan si nenek dengan rasa tak percaya. Perlahan-lahan dia ulurkan tangan mengambil kantong kain itu lalu memeluk si nenek. Air matanya kembali berlinangan. “Nek, kau menghindarkan diriku dari malu besar yang sulit bagiku mengatakan bagaimana menanggungnya.”
“Selamat jalan sahabat muda. Kalau aku mendengar kabar tentang dirimu kelak, aku hanya ingin mendengar kabar yang baik-baik…”
Loan Nio Nikouw tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia cium pipi si nenek kiri kanan. Lalu mencabut seruling perak yang terselip di pinggangnya.
“Ini untukmu Nek. Aku hanya bisa memberikan suling ini sebagai tanda terima kasih. Ambillah.”Nenek rambut kelabu semula hendak menolak pemberian itu. Namun melihat wajah tersenyum tapi berurai air mata sang paderi akhirnya dia ambil juga suling itu lalu memeluk dan balas mencium.
Setelah Loan Nio Nikouw pergi jauh si nenek hampiri Wiro. Sang pendekar menegur bercanda. “Wah, kau diberi suling. Aku mengapa tidak diberi…?”
“Jangan serakah. Kau sejak lahir sudah punya suling!” jawab nenek rambut kelabu. Wiro tertawa gelak-gelak lalutampar pantat si nenek. Seperti yang sudah-sudah begitu mendapat tamparan di bagian tubuh sebelah bawah ujud si nenek langsung berubah menjadi seorang perempuan muda berwajah jelita.
“Hemm… Kau sengaja bersalin rupa. Kau hendak merayuku? Aku kasih suling baru kau tahu rasa!”
“Kalau kau berani keluarkan suling, aku ketok sulingmu dengan suling perak ini!” Perempuan muda mengancam.
“Aku mau lihat bagaimana kau melakukannya!” kata wiro pula sambil tertawa-tawa.
Perempuan muda cantik itu tertawa cekikikan lalu lari menjauh ketika Wiro mendatanginya.
*****
Satu bulan setelah tewasnya Adipati Seda Wiralaga, Rayi Jantra diangkat menjadi Adipati Losari. Pedang Ular hijau atau Ceng Coa Kiam milik Liok Ong Cun yang ditinggal begitu saja oleh pemiliknya diambil dan disimpan oleh Rayi Jantra. Kelak dikemudian hari pedang ini akan menjadi masalah besar karena Liok Ong Cun kini bermuka cacat masih berkeliaran di tanah Jawa.Setelah Adipati Seda Wiralaga tewas dan Istana Seribu Rejeki Seribu Mesum dihancurkan oleh Rayi Jantra, Kerajaan Cirebon berdiri. Jatilandak, putera Luhmintari yang bernama Purnama telah diangkat menjadi salah seorang Kepala Pasukan Kerajaan oleh Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang. Namanya diganti menjadi Tubagus Kesumaputra. Sementara itu sesampainya di Tionggoan, setelah menyerahkan dua buah dadu pada Wakil Ketua perguruan Siauw Lim, Loan Nio Nikouw memencilkan diri di satu puncak gunung. Dia berubah pikiran untuk menggugurkan kandungannya dengan obat yang diberikan nenek jejadian kembaran Eyang Sepuh Kembar Tilu. Sang paderi punya rencana dahsyat. Bilamana si anak yang akan dilahirkannya sudah besar kelak, anak itu akan disuruhnya mencari dan membunuh Liok Ong Cun. Kepada si anak akan ditanamkannya cerita yaitu bahwa Liok Ong Cun adalah orang yang telah membunuh ayah kandungnya. Jadi adalah kewajiban si anak membalas dendam kematian sang ayah.
*****
TAMAT
Episode berikutnya berjudul:
“PETAKA PATUNG KAMASUTRA”
Episode berikutnya berjudul:
“PETAKA PATUNG KAMASUTRA”
Sebuah patung kuno dalam ujud dua insan sedang melakukan sanggama dan sangat rahasia keberadaannya telah lenyap dari tempat penyimpanannya selama 2800 tahun di sebuah goa yang terletak di gurun pasir Thar, India. Ketika patung itu muncul di tanah Jawa, malapetaka dahsyat tak dapat dihindarkan lagi. Banyak korban jatuh akibat kekuatan jahat yang ada pada patung ini. Kebanyakan dari mereka adalah para gadis yang melakukan bunuh diri karena tidak tahan lagi menanggung aib besar akibat perbuatan terkutuk yang mereka lakukan diluar sadar. Bahaya keberadaan sang patung semakin merajalela ketika kemesuman itu mampu menembus tembok Keraton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar