posted by: Dunia Andromeda
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
KETIKA dia memasuki Klung-kung, kota itu masih diselimuti embun pagi. Kesunyian pagi dipecah oleh derap kaki kuda yang ditungganginya. Sesampainya di depan pura besar yang terletak dipersimpangan jalan seharusnya dia membelok ke kiri. Tapi karena hari masih terlalu pagi diputuskannya untuk menghangati perutnya dengan secangkir kopi lebih dulu di kedai yang terletak tak berapa jauh dari persimpangan itu.
Meskipun hari masih pagi di dalam kedai sudah penuh oleh pengunjung. Laki-laki yang baru datang ini duduk di tempat yang masih lowong sementara pemilik kedai melayaninya. Beberapa orang tamu memandang kepadanya lalu meneruskan menyantap kue-kue atau menghirup minumannya. Beberapa diantara mereka meneruskan percakapan yang tadi terhenti karena kedatangan pengunjung baru ini.
"Semarak kota Klungkung kini semakin tambah dengan kedatangannya orang baru itu," berkata seorang laki-laki sambil memandang pada cangkir kupinya. Umurnya kira-kira lima puluhan.
"Sudah seminggu ini tentang penduduk baru itu saja yang dipercakapkan orang, termasuk kau." menyahut kawannya.
"Kalau anak-anak muda yang mempercakapkannya itu bukan soal, tapi kau yang sudah tua begini, ampun . . . " Dicabutnya rokok kaungnya dari sela bibir lalu dihembuskannya jauh-jauh.
Laki-laki yang pertama tertawa. Waktu tertawa ini kelihatan gigi-giginya yang cuma tinggal beberapa saja sedang kedua pipinya mencekung kempot. "Kau salah sahabatku. Kecantikan seorang perempuan bukan hak orang muda-muda semata untuk membicarakannya. Kita yang tua-tua inipun tak ada salahnya. Dan anak gadis I Krambangan itu benar-benar cantik luar biasa. Belum pernah aku sampai setua ini melihat yang secantik dia."
"Apakah dia secantik bidadari?"
"Ah sobat!" kata laki-laki tua itu sambil mengelus dadanya, "kau belum bertemu dengan dia. Nantilah …. kalau kau lihat anak gadisnya I Krambangan itu hem … Kau akan menyesal karena terlalu cepat dilahirkan ke dunia ini hingga ketika dia muncul di Klungkung ini kau sudah jadi seorang tua renta, kakek-kakek peot macam terong rebus!"
Beberapa orang tersenyum-senyum mendengar ucapan itu. Dan orang tua tadi meneruskan lagi kata-katanya sementara tamu yang baru datang, sambil menikmati kopi hangatnya tidak menyia-nyiakan pula untuk memasang telinga.
"Kau tanya apakah dia secantik bidadari. Sobat … meski aku belum pernah lihat bidadari, tapi aku yakin mungkin dia lebih cantik dari bidadari di kayangan! Kau tahu, kulitnya kuning langsat, potongan tubuhnya besar diatas besar di bawah dan langsing di tengah-tengah. Matanya . . . hem … pernah kau lihat bintang timur? Sepasang mata anak gadis I Krambangan itu lebih bagus dari bintang timur. Lehernya jenjang, pipinya selalu merah, apalagi kalau kena sinar matahari persis macam pauh di layang. Sepasang alisnya tebal hitam seperti semut beriring, hidungnya mancung kecil macam dasun tunggal. Dagunya seperti lebah bergantung … pokoknya segala macam oerumpamaan yang diberikan orang cocok melekat pada darinya. Dan kalau dia tersenyum sobatku, hem … rasa di awan kita melihatnya …"
"Sudahlah," memotong kawannya. "Habiskan saja kopimu. Kalau kau terus bicara tentang anak gadis I Krambangan itu mungkin lewat tengah hari baru kita sampai ke tempat pekerjaan!"
Setelah kedua orang tua itu pergi, tamu tadi berpikir-pikir. Rupanya tentang kecantikan anak gadis I Krambangan itu sudah tersebar luas sampai ke pelosok kota Klungkung. Jangankan orang-orang muda, orang-orang tua seperti yang dua tadipun masih punya minat untuk membicarakannya. Dia memandang ke luar kedai. Matahari telah agak tinggi. Dihabiskannya kopinya dan setelah membayar harga minuman serta kue yang dimakannya orang inipun keluar dari kedai itu, menunggangi kudanya dengan tidak tergesa-gesa menuju ke selatan.
Di tepi jalan seorang laki-laki separuh baya tengah mengukir sebuah patung di depan rumahnya. Penunggang kuda ini berhenti dan bertanya letak rumah yang tengah ditujunya. Setelah mendapat keterangan maka dia pun melanjutkan perjalanan. Rumah itu kecil mungil. Keseluruhan papannya baru dicat. Baru saja dia berhenti dan turun dari kudanya, pintu muka terbuka, seorang laki-laki berpakaian bersih keluar, ketika melihat orang yang turun dari kuda ini, orang itupun berseru gembira, "Made Trisna!"
"I Krambangan!"
"Sahabat lama! Kedatanganmu laksana dibawa oleh Dewa-dewa di Swargaloka! Bagaimana kau bisa tahu aku tirggal di sini?"
"Secara kebetulan saja. Aku bertemu dengan Ida Bagus Seloka di Denpasar. Dia yang menerangkan bahwa kau pindah dan menetap di sini."
"Oh!." I Krambangan manngut-marggut beberapa kali. "Mari silahkan masuk sahabat. Tadinya aku hendak ke ladang. Tapi biar kubatalkan. Seharian ini kita akan bicara panjang lebar!"
Kedua sahabat lama itupun naik kegatas rumah Setelah bicara panjang lebar ke barat-ke timur maka Made Trisna mengutarakan maksud kedatangannya yang sebenamya.
"Sahabatku I Krambangan, di samping hendak menyambangimu disini, sebenarnya maksud kedatanganku ini membawa pula satu maksud yang sangat baik."
"Gembira sekali aku mendengarnya, Made Trisna," ujar I Krambangan, "katakanlah apa maksudmu yang sangat baik itu."
Setelah batuk-batuk beberapa kali baru Made Trisna membuka mulutnya, "Kau tentu masih ingat dengan Tjokorda Gde Anyer."
"Oh, siapa yang akan lupa pada manusia pemberani itu!"
"Nah justru kedatanganku kemari ini ada sangkut paut dengan dirinya."
"Hem, begitu? Sangkut paut bagaimana, Made?"
"Dialah yang meminta aku ke sini untuk menyampaikan salam hormat."
"Ah, aku yang rendah ini mana berani menerima salamnya?" potong I Krambangan.
"Kau tahu sendiri sifat Tjokorda Gde Anyer. Baginya semua orang sama, tak ada tinggi dan rendah tak ada bangsawan dan rakyat jelata. Nah sahabatku, dia menyuruh aku kemari untuk tolong menyampaikan salam hormat di mana dia berhajat untuk meminang anakmu . . ."
"Maksudmu Ni Ayu Tantri?"
"Tentu! Kau kan tak punya anak lain dari pada si tunggal Tantri itu."
I Krambangan meneguk ludahnya. "Sungguh satu kehormatan luar biasa. Tjokorda Gde Anyer mempunyai hasrat baik untuk melamar anakku. Setahuku dia juga cuma punya seorang anak!"
"Betul namanya Tjokorda Gde Jantra. Parasnya gagah, usianya dua tahun lebih tua dari anak gadismu. Ringkas kata, kalau anakmu dijodohkan dengan dia pasti cocok sekali laksana pinang dibelah dua. Satu bulan satu mentari."
Sejak sepuluh tahun yang lalu I Krambangan tak pernah bertemu dengan Tjokorda Gde Anyer. Sewaktu anak Tjokorda Gde Anyer masih kecil dia memang pernah melihatnya dan menurut pendapatnya anak itu tidaklah gagah parasnya, mukanya senantiasa pucat macam orang sakit, tubuh kurus dan kelakuannya nakal bengal luar biasa. Tapi itu dulu selagi masih kanakkanak. Sekarang sesudah jadi pemuda mungkin sifatnya telah berubah dan parasnya menjadi gagah. Karena I Krambangan lama tak bersuara maka berkatalah Made Trisna,
"Apa lagi yang kau pikirkan, sahabatku? Terima saja lamaran itu. Tjokorda Gde Jantra pemuda gagah anak bangsawan dan kaya raya. Pasti hidup anakmu akan terjamin dan bahagia!"
"Memang betul kata-katamu itu Made," jawab I Krambangan. "Tapi justru mengingat perbedaan darah turunan antara kami dan dialah maka rasanya agak malu juga aku menerima lamarannya itu. Aku rakyat jelata mana mungkin berbesan dengan orang bangsawan, sekalipun sebelumnya sudah saling mengenal."
Made Trisna tertawa. "Sekarang bukan jamannya berpikir sekolot itu, I Krambangan. Apalagi kau ingat sifatnya Tjokorda Gde Anyer yang tak mau membeda-bedakan di antara manusia."
Kembali I Krambangan berdiam diri beberapa lamanya.
Lalu: "Anakku Ni Ayu Tantri berparas buruk. Masakan anaknya Tjokorda Gde Anyer bersedia mengambilnya jadi kawan hidup …?"
"Kau keliwat merendah, sahabat," kata Made Trisna pula seraya menggulung sebatang rokok kaung. "Kecantikan paras anak gadismu laksana bunga harum semerbak yang dihembuskan angin ke pelbagai penjuru. Pagi tadi sebeLum ke sini aku mampir di sebuah kedai. Dan kau tahu? Pagi-pagi buta begitu tamu-tamu di situ sudah bicara tentang kecantikan paras anakmu. Bayangkan!"
I Krambangan mengusap-usap dagunya, memandang ke arah jalan di mana meluncur sebuah pedati menarik tumpukan kayu-kayu bakar. Suara klenengan sapi-sapi penarik pedati itu terdengar sepanjang jalan.
"Walau bagaimanapun gunjingan orang di luaran tentang diri anakku, tapi Tjokorda Gde Jantra sendiri belum pernah bertemu muka dengan anakku. Jangan-jangan begitu lamaran kuterima, setelah bertemu tahu-tahu pemuda itu kecewa dan menyesal!"
"Kalau dia tak pernah melihat paras anakmu dengan mata kepala sendiri, masakan dia dan ayahnya sampai memaksaku agar datang kemari!" kata Made Trisna pula.
Kembali I Krambangan menelan ludahnya. Akhirnya berkata laki-laki ini. "Beri aku waktu barang seminggu dua minggu untuk merundingkan hal ini bersama istriku. Aku sendiri pada dasarnya setuju, cuma bagaimanapun aku musti minta pula pertimbangan istriku. Di samping itu yang terpenting Tantri pun harus diberi tahu."
Made Tisna manggut-manggut.
"Aku yakin istrimu serta Ni Ayu Tantri menyetujui pinangan yang kusampaikan ini. Dua minggu terlalu lama sobat, biar aku datang minggu depan kemari untuk meminta jawabanmu. Akur…"
"Baiklah Made. Karena istriku sudah menyiapkan hidangan pagi di dalam, marilah kita masuk." Kedua orang itu berdiri lalu masuk ke ruang tengah.
SEPERTI yang dikatakan Made Trisna, satu minggu kemudian dia kembali ke Klungkung menemui I Krambangan untuk meminta kabar atau jawaban mengenai pinangan yang disampaikannya tempo hari. Dia yakin betul I Krambangan akan menerima pinangan Tjokorda Gde Anyer. Begitu sampai di rumah sahabatnya itu langsung Made Krisna menanyakan persoalan.
"Minumlah dulu, Made." kata I Krambangan mempersilahkan sahabatnya. Bila Made Trisna sudah meneguk minuman yang disuguhkan maka I Krambangan baru membuka persoalan.
"Seperti yang kukatakan tempo hari, pada dasarnya aku bisa menerima lamaran Tjokorda GdeAnyer. Bukan saja menerimanya tapi malah menganggapnya itu satu penghormatan yang luar biasa mengingat dia bangsawan kaya raya mau mengulurkan tangan pada keluargaku bangsa rakyat jelata. Ketika kubicarakan pada istrikupun, dia terkejut dan hampir tak percaya. Dan seperti aku, diapun menyetujui lamaran itu. Namun setelah kuterangkan pada Tantri, kita terbentur pada satu persoalan, Made. Hal ini memang sudah kuduga dari semula, yaitu sejak kau mengemukakan lamaran satu minggu yang lalu itu."
"Persoalan apakah yang menjadi halangan itu, I Krambangan?" tanya Made Trisna pula.
"Dua tahun sebelum kami pindah kesini, sebenarnya Tantri telah mempunyai pilihan hati sendiri. Kau tentu mengerti maksud ucapanku …."
"Maksudmu Tantri telah mempunyai kekasih?"
I Krambangan mengangguk. "Mereka saling mencinta dan sudah punya rencana untuk menikah sesudah Hari Raya Galungan beberapa bulan dimuka. Meski aku orang tuanya, tapi kau tentu dapat memaklumi Made, bagaimana aku tak bisa memaksa Tantri untuk memutuskan hubungannya dengan itu pemuda yang dicintainya. Terlalu besar dosanya memutuskan tali kasih seseorang. Aku kawatir tak akan dirakhmati Dewa-dewa lagi jika aku berani memutuskan hubungan kasih anakku."
Lama Made Trisna termenung. Kemudian berkatalah laki-laki ini, "Kau terlalu banyak kawatir, sahabatku. Masakan Dewadewa di kayangan tidak akan merakhmatimu. Bukankah dengan menikahkan Tantri dengan Tjokorda Gde Jantra berarti kita membuat satu kebajikan dan pahala besar?"
"Itu betul Made. Tapi bagaimana dayaku untuk memutus hubungan Tantri dengan pemuda yang dikasihinya? Aku sebagai orang tua benar-benar tidak tega . . . "
"Apakah kau sudah terangkan padanya bahwa yang melamar adalah Tjokorda Gde Anyer? Apakah kau terangkan pula orang yang bagaimana adanya bangsawan kaya raya itu?"
"Sudah." jawab I Krambangan, "semuanya sudah. Bahkan kubujuk pula anak itu untuk mau menerima lamaran tersebut. Tapi sia-sia belaka, Made."
Untuk kedua kalinya Made Trisna termenung. Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya kemudian bertanyalah Made Trisna, "Apakah kau tak melihat cara atau jalan lain agar Tantri menyetujui perjodohannya dengan Tjokorda Gde Jantra?"
"Sudah kutempuh berbagai cara Made. Agaknya memang sukar melembutkan hati yang sudah diberikan pada seorang lain yang dikasihi. Kita harus maklum itu karena kitapun pernah muda …"’
"Sebagai orang tua, apakah kau tidak merasa itu merupakan satu keingkaran? Menyatakan bagaimana anakmu tidak berbakti padamu …?"
I Krambangan menggigit bibirnya. Pertanyaan itu merupakan satu pukulan baginya. Tapi dia tersenyum sewaktu menjawab, "Meski aku orang tuanya. Made, tapi aku juga bisa melihat sampai batas-batas mana seorang tua bisa mencampuri urusan pribadi anaknya. Penolakan yang dikemukakan Tantri bukan kuanggap sebagai satu keingkaran atau satu kenyataan bahwa dia tidak berbakti terhadapku. Kurasa siapa saja mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya mengenai. urusan pribadinya. Apalagi urusan yang menyangkut masa depan. Kukatakan aku dan istriku menyetujui lamaran Tjokorda Gde Anyer. Tapi kita musti sadar pula bahwa bukan aku atau istriku atau kau atau juga Tjokorda Gde Anyer yang akan dijodohkan dan akan menempuh hidup baru berumah tangga itu, tapi Tantri."
"Betul, betul sekali." sahut Made Trisna cepat-cepat karena kata-kata I Krambangan itu menggejolakkan hatinya. "Betul sekali apa yang kau katakan itu, sahabat. Tapi kita musti pula menyadari, dunia ini masih belum terbalik. Kita orang-orang tua mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara anak kita dan kalau sudah besar membuat dia berbakti pada kita, mengikuti apa mau kita karena niscaya orang tua itu tak ada yang berniat mencelakakan anaknya. Dunia masih belum terbalik sahabatku. Masakan kita orang-orang tua musti mengikuti maunya anak kita, justru anaklah yang harus patuh dan mengikuti kemauan orang tuanya!"
"Menyesal sekali, rupanya jalan pikiran kita sedikit berbeda Made," kata I Krambangan. "Bagaimana pun aku tak merasa dunia ini telah terbalik hanya karena aku memberikan hak untuk menentukan kehidupan masa depan pada anakku. Dan aku juga menyadari bahwa memang bukan adat atau pun kebiasaan kita untuk berlaku seperti itu. Tapi harus disadari Made, dunia kita di masa lalu tidak sama dengan dunia orang-orang sekarang. Dunia orang-orang sekarang tak sama pula dengan dunia orang-orang di masa nanti. Segala sesuatunya harus tunduk pada keadaan dan kehendaknya jaman . . . "
"Dimana orang tua-tua tidak mempunyai daya apa-apa lagi terhadap anaknya? Dimana anak-anak sanggup mengatur orang tuanya dan bukan orang tuanya yang mengatur diri mereka? Sungguh lucu jaIan pikiranmu. Jika memang itu pendirianmu, memang sungguh berbeda jalan pikiran kita sahabat. Dan adalah sangat disayangkan kalau kau sampai mau menolak lamaran Tjokorda Gde Anyer. Kau tahu, I Krambangan. Jika perjodohan ini jadi, kau sekeluarga akan dibuatkan sebuah rumah gedung dan disuruh pindah ke Denpasar. Tentang kehidupan masa tuamu tak perlu memikirkan, kau hanya ongkang-ongkang kaki saja karena semua keperluan dijamin oleh Tjokorda Gde Anyer. Tentang anakmu … dia akan hidup bahagia bersama Tjokorda Gde Djantra!"
"Memang sudah kubayangkan betapa kebahagiaan akan menyelimuti bila Tantri nikah dengan anak Tjokorda Gde Anyer. Tapi aku tak punya daya untuk memaksa Tantri."
Made Trisna menjadi putus asa dan penasaran sekali pada sahabatnya itu. "Kalau aku boleh bertanya," katanya, "siapa gerangan pemuda yang dikasihi oleh anakmu itu? Apakah dia tampan gagah, anak orang bangsawan tinggi, punya sawah ladang berhektar-hektar, punya ternak berkandang-kandang dan punya harta bergudang-gudang, hingga mata dan hati anakmu tak dapat dialihkan kepada yang lain lagi?"
"Pemuda itu bernama Nyoman Dwipa. Dia tinggal di desa Jangersari dan agaknya bagi Tantri, sawah ladang atau ternak atau harta kekayaan itu bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan nilai kasih sayang yang dipadunya dengan Nyoman Dwipa."
Rasa putus asa dan penasaran yang menggelorai hati Made Trisna lama-lama berubah menjadi kejengkelan dan rasa muak yang akhirnya berubah pula menjadi rasa benci terhadap sahabat lamanya itu. Dianggapnya I Krambangan keterlaluan tolol!
"Baiklah I Krambangan," kata Made Trisna seraya berdiri, "kalau begitu putusanmu memang tak bisa aku memaksa. Tapi terus terang kukatakan bahwa sebagai manusia hidup kau terlalu bodoh untuk tidak mau menerima lamaran Tjokorda Gde Anyer."
"Terserahlah kau mau bilang apa, sahabatku," jawab I Krambangan dengan pelahan. "Mungkin aku memang orang tolol. Tapi aku yakin dalam ketololan itu aku berpijak pada kebenaran dan hak pribadi yang tak bisa diganggu gugat!"
Made Trisna memacu kudanya dengan kencang. Hatinya mencaci maki habis-habisan I Krambangan!
***
Denpasar sebuah kota besar dan bagus di pulau Bali. Beberapa buah pura besar yang sangat indah bangunannya terdapat di sana. Di tengah-tengah kota terdapat sebuah gedung besar yang atapnya berbentuk candi. Tak ada satu orangpun di Denpasar yang tidak tahu siapa pemilik gedung bagus dan besar itu. Bahkan penduduk yang tinggal di pinggiran kotapun tahu bahwa itu adalah gedung kediaman bangsawan kaya raya Tjokorda Gde Anyer.Waktu itu hari telah rembang petang ketika Made Trisna dan kudanya sampai di pintu gerbang gedung, langsung masuk ke halaman dalam, dan menemui Tjokorda Gde Anyer. Sebelum dia membuka pembicaraan, Tjokorda Gde Djantra sudah muncul pula hingga dapatlah ia memberi keterangan sekaligus pada kedua beranak itu.
Betapa terkejutnya bangsawan dan anak tunggalnya itu tatkala mendengar penuturan Made Trisna, tatkala mengetahui bahwa lamaran mereka ditolak oleh I Krambangan. Tak perduli alasan apapun yang dikemukakan I Krambangan, yang nyata ini adalah merupakan satu penghinaan besar!
"I Krambangan manusia tak tahu diri! Tak tahu diuntung!" maki Tjokorda Gde Anyer. Lalu dia berpaling pada anaknya dan berkata, "Sudah, kau cari saja gadis lain! Di Denpasar ini, di pulau Bali ini ada ratusan gadis-gadis yang jauh lebih cantik dari anaknya si Krambangan itu, yang turunan bangsawan terpandang, kaya raya!"
Tjokorda Gde Djantra termanggu beberapa lamanya. Mukanya yang senantiasa pucat macam orang mau mati besok, saat itu kelihatan makin tambah pucat! Seperti ayahnya, pemuda inipun merasa terhina. Tapi hatinya benar-benar sudah terpaku pada gadis itu hingga tak mungkin baginya untuk mencari lain gadis seperti yang dikatakan ayahnya.
"Kita sudah diberi malu Djantra!" berkata Tjokorda Gde Anyer. "Kuharap kau jangan memberi malu yang kedua kalinya.
"Tapi ayah aku tak sanggup hidup bersama gadis lain."
"Kenapa tidak sanggup? Sepuluh gadis yang lebih cantik dari si Tantri itu bisa kau ambil jadi istri sekaligus!" Tjokorda Gde Djantra berdiri dari kursinya.
"Walau bagaimanapun aku musti dapatkan gadis itu, ayah. Tidak dengan cara baik-baik dengan jalan burukpun bisa. Rasa malu yang kita terima akan kubalas malam ini juga!" Tjokorda Gde Djantra lantas berlalu dari situ. Tjokorda Gde Anyer dan Made Trisna saling berpandangan. Kedua orang ini sudah bisa menduga apa yang bakal dilakukan oleh Tjokorda Gde Djantra. Dan berkatalah Made Trisna, "Kalau betul itu hendak dilakukan oleh Tjokorda Gde Djantra, kurasa tak ada salahnya. Itu sudah menjadi adat kebiasaan kita di sini."
HARI itu sejak petang lingkungan langit di ataskota Klungkung diselimuti kemendungan. Gumpalan awan hitam datang bergulung-gulung tiada hentinya dari arah barat. Menjelang senja angin keras mulai bertiup, menerbangkan debu di segala pelosok, membuat kota tenggelam dalam udara pengap. Tepat sewaktu sang surya lenyap di ufuk barat maka hujan deraspun turunlah. Suaranya menggemuruh ditimpal oleh deru angin. Setiap telinga yang mendengarnya merasa ngeri. Sekali-sekali menggelegar guntur, berkelebat kilat. Dalam tempo yang singkat parit dan selokan di seluruh kota telah luber oleh air hujan, sungai-sungai kecil banjir menerpa segala apa saja yang ada di sekitarnya. Kadang-kadang hujan itu mereda sebentar lalu turun lagi dengan lebih lebat. Dinginnya udara seperti merembas dan mencucuk sampal ke tulang-tulang sungsum!
Dalam lebatnya curahan hujan, dalam kerasnya deru angin dan dalam gelapnya suasana malam yang sangat dingin itu, dari jurusan timur laksana bayangan setan, kelihatanlah empat penunggang kuda memasuki Klungkung. Sesampainya di persimpangan jalan di depan pura, keempatnya membelok ke kiri tanpa mengurangi kecepatan kuda masing-masing. Air hujan dan lumpur bercipratan di belakang kaki-kaki ke empat binatang itu.
Hampir mencapai ujung jalan, salah seorang penunggang kuda menunjuk ke depan dan berkata, "Yang itu rumahnya! Pergilah, aku menunggu di sini."
Tiga penunggang kuda lainnya segera mengeluarkan sapu tangan-sapu tangan besar yang berwarna hitam dan menutupi paras mereka dengan sapu tangan itu sebatas mata ke bawah kemudian ketiganya segera bergerak ke rumah kecil yang ditunjuk tadi.
Seperti keadaan rumah-rumah di sekitarnya, rumah yang mereka tuju inipun sunyi senyap, tak satu lampupun yang menyala tanda seluruh penghuninya telah tidur nyenyak dalam kehangatan selimut masing-masing. Ketiga orang itu turun dari kuda. Setelah meneliti keadaan sekeliling mereka langsung ketiganya menuju ke pintu depan. Dengan mempergunakan sebuah alat, pintu yang terkunci berhasil dibuka. Hampir tanpa suara sedikitpun ketiga orang itu masuk ke dalam rumah. Mata mereka terpentang lebar-lebar dalam kegelapan. Selangkah demi selangkah ketiganya bergerak.
"Kurasa yang ini kamarnya," berbisik salah seorang dari yang tiga lalu mendahului kawan-kawannya maju ke pintu dan mengintai. Di dalam kamar gelapnya bukan main, tapi matanya yang tajam sanggup juga melihat sesosok tubuh yang terbaring bergelung diatas tempat tidur.
"Biar aku yang masuk," berkata laki-laki bertubuh kurus. Didorongnya daun pintu. Pintu itu mengeluarkan suara berkereketan tapi suara ini tertelan oleh suara hembusan angin deras dan hujan lebat. Dengan dua jari tangan terpentang lurus siap untuk menotok, laki-laki berbadan kurus ini melangkah mendekati tempat tidur.
Tiba-tiba orang yang tidur di atas pembaringan menbalikkan badannya, selimut yang menutupi sebagian wajahnya terbuka dan ketika dia bangun dengan cepat orang ini segera membentak, "Siapa kau?!"
"Keparat! Bukan dia!" rutuk laki-laki yang mukanya tertutup kain hitam sementara dua orang kawannya yang berdiri di ambang pintu berjaga-jaga juga terkejut sekali. Tadinya mereka menyangka orang yang tidur di atas pembaringan itu adalah Ni Ayu Tantri, gadis yang hendak mereka culik. Tapi suara bentakan itu nyata sekali suara laki-laki! Tak dapat tidak yang tidur di situ adalah ayah dari gadis itu!
"Maling rendah! Kau berani masuk ke dalam rumahku!" terdengar lagi bentakan. Itu adalah suara bentakannya I Krambangan yang menyangka manusia yang masuk ke dalam kamar itu adalah maling! Segera laki-laki itu melompat menyambar sebilah parang yang tersisip di dinding. Namun sebelum tangannya mencapai senjata itu satu pukulan menyambar dari samping!
I Krambangan dulunya adalah seorang bekas kepala prajurit kerajaan, dengan sendirinya memiliki ilmu silat yang cukup bisa diandalkan, apalagi kalau cuma menghadapi seorang maling! Mendapat serangan itu dengan cepat dia melompat ke samping, berkelit dan menyusupkan satu tendangan ke dada lawan!
Tapi yang dihadapi I Krambangan bukan "maling biasa". "Maling" itupun ternyata memiliki ilmu silat yang lihay. Dengan mudahnya dia mengelakkan serangan I Krambangan lalu berkelebat cepat dan "buk". Tahu-tahu jotosannya melanda dada I Krambangan.
Orang tua itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terhempas ke dinding. Nafasnya sesak dan dadanya sakit bukan main. Tapi karena dia tersandar ke dinding dengan sendirinya dia mempunyai kesempatan baik untuk menyambar parang. Cuma dia masih kurang cepat. Sebelum tangannya berhasil menyentuh benda itu dari kiri kanan dua pasang tangan yang kuat-kuat telah mencekal kedua lengannya. Dia coba berontak tapi tak berhasil. Sesaat kemudian satu pukulan yang amat keras mendarat di keningnya. I Krambangan coba mempertahankan diri berusaha agar tidak jatuh pingsan. Tapi pukulan itu terlalu keras. Lututnya tertekuk dan sewaktu dua orang yang mencekalnya melepaskannya, laki-laki ini terhempas ke lantai tanpa sadarkan diri!
Di kamar sebelah, mendengar suara ribut-ribut itu, dua orang terbangun dari tidur masing-masing. Mereka adalah Ni Ayu Tantri dan ibunya. Biasanya Tantri tidur sendirian di kamar depan tapi karena malam itu ibunya diserang demam panas, si gadis sengaja tidur bersama sekalian untuk menjaga perempuan itu.
"Ada apa, nak …?" bisik Ni Warda, ibunya Tantri.
"Seperti suara orang berkelahi, bu." jawab Tantri "Kudengar keluhan ayah … Biar aku lihat keluar."
Ni Warda menarik pakaian anaknya dan berkata gemetar: "Jangan, Tantri. Pasti itu orang-orang jahat. Kalau kau keluar…."
"Tapi ayah bu," ujar Ni Ayu Tantri dengan hati cemas. Dan baru saja gadis ini berkata demikian pintu kamar itu terpentang lebar oleh satu tendangan keras! Ni Warda dan Ni Ayu Trisna menjerit sewaktu melihat tiga orang laki-laki bertutupkan kain hitam paras masing-masing, menyerbu ke dalam kamar itu!
***
Baru saja matahari pagi tersembul di ufuk timur, seluruh Klungkung sudah heboh oleh berita yang disampaikan dari mulut ke mulut yaitu bahwa Ni Ayu Tantri, gadis cantik yang belum lama ini pindah bersama ayah dan ibunya telah lenyap diculik orang malam tadi! I Krambangan dan beberapa orang penduduk semalam-malaman itu telah berusaha mencari jejak si penculik, namun sia-sia belaka. Rata-rata penduduk menduga bahwa yang menculik Ni Ayu Tantri itu adalah gerombolan rampok yang bersarang di Bukit Jaratan karena rampok-rampok itu memang selalu mengenakan kain hitam penutup muka bila menjalankan kejahatannya.Tapi I Krambangan sendiri mempunyai dugaan lain. Bersama dua orang tetangga, dengan menunggangi kuda pagi itu dia berangkat menuju Denpasar. Tak sukar baginya mencari gedung kediaman Tjokorda Gde Anyer. Akan Tjokorda Gde Anyer ketika melihat kedatangan I Krambangan berubahlah parasnya. Tapi seseat kemudian bangsawan ini tertawa lebar dan berkata: "Sungguh tak disangka-sangka kedatanganmu ini, I Krambangan. Mari silahkan masuk."
"Cukup kita bicara disini saja, Tjokorda Gde Anyer. . ."
"Eh, kenapa begitu? Tak pantas sekali seorang yang bakal jadi besanku hanya berdiri …"
"Jangan bicara segala macam soal besan, Tjokorda Gde Anyer!" potong I Krambangan pula dengan suara keras. "Panggil anakmu! Aku ingin bicara dengan dia!"
Tjokorda Gde Anyer memandang tajam-tajam pada tamunya. "Sobat lama, agaknya satu kemarahan menyelimuti dirimu. Bicaralah dengan tenang tak perlu kesusu. Katakan maksud kedatanganmu, dan maksudmu hendak bertemu serta bicara dengan anakku. Dalam pada itu kuharap kau suka masuk agar kita bisa bicara baik-baik."
Seseorang keluar dari dalam gedung. Parasnya kusut mungkin kurang tidur. Orang ini bukan lain Made Trisna. Dia tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya sewaktu melihat I Krambangan. Namun seperti Tjokorda Gde Anyer tadi, diapun lantas tertawa dan menegur laki-laki itu. I Krambangan tidak perdulikan orang ini melainkan memandang menyorot pada Tjokorda Gde Anyer.
"Agaknya ada sesuatu yang tidak beres, I Krambangan?!" tanya tuan rumah.
"Ya, memang ada sesuatu yang tidak beres! Dan berat dugaanku anakmulah yang menjadi biang ketidak beresan ini!"
"I Krambangan, tuduhanmu agaknya sangat tidak beralasan! Katakan apa yang telah terjadi sampai kau bicara begini rupa!"
"Kurasa kau dan juga Made Trisna sudah tahu apa yang terjadil Aku bisa mengetahui pada pertama kali aku melihat air muka kalian! Tapi tak apa saat ini kalian berkura-kura dalam perahu! Suatu ketika aku akan tahu kedustaan kalian! Dengar, sesudah pinanganmu kutolak secara baik-baik kemarin, malam tadi tiga orang telah memasuki rumahku dan menculik Ni Ayu Trisna!"
"Oh! Lalu saat ini hendak kau tuduhkan bahwa anakkulah yang telah menculik anak gadismu? Sungguh tuduhan yang sangat rendah dan tanpa bukti sama sekali!"
"Memang tuduhanku tidak ada bukti. Tapi aku yakin bahwa anakmulah yang melakukannya! Sekarang katakan dimana anakmu itu?"
"Dia tak ada di sini, I Krambangan."
"Itu satu bukti bahwa memang anakmu ada sangkut paut dengan diculiknya Ni Ayu Trisna!"
"Jangan menuduh sembarangan!" tukas Tjokorda Gde Anyer dengan marah. "Sekalipun lamaranku ditolak apa perlunya anakku menculik anakmu? Sepuluh gadis-gadis yang lebih cantik dari anakmu bisa didapat oleh Tjokorda Gde Djantra!"
I Krambangan menyeringai. "Katakan saja di mana anakmu berada!"
"Sejak siang kemarin dia meninggalkan rumah! Kemana perginya aku tidak tahu. Kalau kau tidak percaya silahkan tanya pada Made Trisna."
"Dengar Tjokorda Gde Anyer!" kata I Krambangan dengan memandang tajam-tajam. "Jika aku mendapat bukti-bukti dan kenyataan bahwa anakmulah yang telah menculik anakku dan terjadi apa-apa dengan diri Ni Ayu Tantri, aku akan bunuh dia! Siapa saja yang berani menghalangi perbuatanku akan kusingkirkan dari muka bumi ini! Termasuk kau dan Made Trisna!"
Habis berkata begitu I Krambangan dan dua orang kawannya memutar tubuh dan segera meninggalkan gedung itu.
DALAM hujan lebat di malam buta itu empat orang penunggang kuda meninggalkan rumah I Krambangan dengan cepat. Dalam waktu yang singkat keempatnya telah meninggalkan kota Klungkung. Di satu persimpangan jalan keempatnya berhenti. Laki-laki bertopeng kain hitam yang membawa sesosok tubuh perempuan di pangkuannya berkata pada tiga orang lainnya, "Kita berpisah di sini."
"Baik Tjokorda Gde Djantra. Hati-hatilah!" sahut salah seorang dari mereka. Bersama dua orang kawannya laki-laki ini segera meninggalkan persimpangan itu sedang yang seorang tadi menyentakkan tali kekang kudanya dan menempuh jalan sebelah kanan. Dua jam lamanya laki-laki ini memacu kudanya tanpa henti. Sewaktu fajar menyingsing dia sampai di sebuah lereng bukit dan memperlambat lari kudanya. Sambil menunggangi kuda tak henti-hentinya dia menundukkan kepala memandang paras jelita dari gadis yang berada dalam keadaan pingsan di pangkuannya. Di puncak bukit laki-laki ini berhenti untuk melepaskan lelah sementara kuda tunggangannya menjilati air empun dan memakan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar sana. Tak lama kemudian orang itu meneruskan perjalanannya kembali.
Di tepi sebuah telaga berair bening yang terletak dua puluh kilo dari Klungkung dan lima belas kilo dari Denpasar terdapatlah sebuah pondok. Pondok ini buruk dan tak terurus. Tapi karena lantai, dinding dan atap dibuat dari kayu jati, meski tak terurus, keadaannya masih cukup baik untuk ditempati.
Tjokorda Gde Djantra menghentikan kudanya di tepi telaga lalu membawa perempuan yang diculiknya ke dalam pondok, membaringkannya di atas sebuah tumpukan jerami kering yang dibuat demikian rupa hingga merupakan tempat tidur yang cukup nyaman. Dibukanya kain hitam yang menutupi parasnya. Setelah memandangi wajah gadis itu beberapa lamanya dengan seringai di bibir, Tjokorda Gde Djantra keluar dari pondok dan membersihkan diri dalam telaga. Tubuhnya terasa segar bila dia keluar dari telaga. Ketika dia masuk ke dalam pondok didapatinya gadis itu telah siuman dan duduk di tepi tempat tidur jerami tengah memandang berkeliling dengan perasaan takut bercampur heran.
"Kau sudah siuman Tantri … ?"
Ni Ayu Tantri terkejut oleh suara teguran itu dan memandang ke arah pintu dengan cepat. Dia tak kenal dengan pemuda berparas pucat yang berdiri di ambang pintu itu. Tapi bila dia ingat pada peristiwa malam tadi yakinlah dia bahwa manusia ini pastilah salah seorang dari orang-orang jahat yang menculiknya! Cepat-cepat gadis ini berdiri.
"Kelihatannya kau takut sekali padaku, Tantri." berkata Tjokorda Gde Djantra.
Yang mengherankan Ni Ayu Tantri ialah karena pemuda ini mengenal namanya. Melihat kepada pakaiannya yang bagus kemungkinan dia seorang pemuda bangsawan! Tapi siapa dia dan mengapa telah melakukan penculikan benar-benar tak bisa dimengerti oleh Ni Ayu Tantri sementara rasa takutnya semakin bertambah besar detik demi detik. "
"Siapa kau? Mengapa menculik dan membawa aku kemari?!" tanya Ni Ayu Tantri.
Tjokorda Gde Djantra tersenyum. Meski suara itu bernada keras namun sedap sekali terdengar di liang telinganya.
"Kau tak usah takut Tantri," berkata si pemuda, "kau memang tak kenal aku tapi aku kenal padamu. Kurasa namaku telah pernah kau dengar dalam beberapa hari belakangan ini."
"Aku tak perduli siapa kau. Yang penting aku harus meninggalkan tempat ini dan kembali ke Klungkung dengan cepat!"
"Kau tak akan kembali ke Klungkung Tantri," kata Tjokorda Gde Djantra.
Ni Ayu Tantri terkejut. Rasa takut semakin mencekam dirinya. "Apa … Aku tak akan kembali ke Klungkung?!" tanyanya.
Tjokorda Gde Djantra tersenyum lalu menganggukkan kepalanya perlahan-lahan. "Kau akan kembali ke Denpasar.
Kerumahku. Dan kita akan tinggal bersama-sama di sana sebagai suami istri yang berbahagia!"
Pucatlah paras Ni Ayu Tantri. Kini tahulah gadis ini dengan siapa dia berhadapan. Tidak bisa tidak pastilah pemuda bermuka pucat ini Tjokorda Gde Djantra, anak bangsawan yang telah ditolak lamarannya satu hari yang lewat! Dan ketika Tantri menyadari apa maksud penculikan yang dilakukan Tjokorda Gde Djantra sesudah lamarannya ditolak itu, merindinglah bulu kuduk Ni Ayu Tantri! Gadis ini menjerit dan coba menerobos ke pintu. Tjokorda Gde Djantra memegang lengan gadis itu dan menariknya ke tengah pondok.
"Tak ada yang harus kau takutkan Tantri," kata pemuda itu. "Seharusnya kau bergembira karena kita akan hidup bahagia! "
"Lepaskan aku!" teriak Tantri seraya menyentakkan lengannya. Tapi cekalan Tjokorda Gde Djantra terlalu keras dan erat untuk bisa dilepaskannya.
"Duduklah dulu ditumpukan jerami itu, Tantri. Biar kita bisa bicara baik-baik …"
"Aku tak ingin bicara dengan kau! Perbuatan ini keji sekali! Terkutuk!" teriak Tantri.
Tjokorda Gde Djantra tertawa pelahan. "Perbuatanku ini keji dan terkutuk?" ujarnya. "Justru perbuatan pemuda-pemuda Bali yang gagah dan berhati jantan! Justru hal ini dibenarkan oleh adat kebiasaan pulau Dewata ini!"
"Lepaskan aku manusia keji! Lepaskan!" Sambil menjerit Tantri meninju dada pemuda itu berulang kali. Tjokorda Gde Djantra mendorong Tantri keras hingga terbaring di atas tempat tidur jerami lalu cepat-cepat dia menutup pintu dan memalangnya sekaligus! Perlahan-lahan dia melangkah mendekati Tantri yang menjerit-jerit dan ketakutan setengah mati.
"Aku tak mengerti," kata Tjokorda Gde Djantra seraya rangkapkan tangan dimuka dada, "tak mengerti mengapa kau sampai menolak lamaranku …"
"Manusia keji keluarkan aku dari sini!"
"Kudengar kau sudah mempunyai seorang kekasih, Betul?"
"Itu bukan urusanmu! Keluarkan aku dari sini, Keluarkan!"
"Tak ada gunanya berteriak terus-terusan. Suaramu yang bagus nanti bisa serak, Tantri."
Ni Ayu Tantri melompat ke pintu. Namun usahanya untuk melarikan diri sia-sia saja karena untuk kedua kalinya pemuda bangsawan itu berhasil mencekal lengannya dan mendorongnya kembali hingga terbanting di atas tempat tidur jerami kering.
"Nama pemuda kekasihmu itu Nyoman Dwipa bukan?"
Tantri tak menjawab melainkan menangis dan berteriak-teriak.
"Dengar Tantri," berkata lagi Tjokorda Gde Djantra. "Hidup berumah tangga bersamaku pasti kau akan bahagia dan tidak tersia-sia. Segala keperluan hidupmu kujamin penuh."
"Aku tak perlu semua itu! Tutup mulutmu manusia keji! Keluarkan aku dari sini!"
"Kadang-kadang cinta itu memang membuat seorang menjadi buta dan tolol tak bisa lagi berpikiran sehat. Kau hendak sia-siakan hidup masa depanmu di tangan seorang pemuda desa yang tak punya apa-apa? Kau hendak sia-siakan kehidupanmu yang masih panjang ini hanya karena kasih sayang gilamu …?!"
"Diam!" jerit Ni Ayu Tantri.
"Kekasihku memang tak punya apa-apal Tapi itu adalah seribu kali lebih baik dari pada kekejian yang kau lakukan ini! Menculik gadis yang tidak sudi kawin dengan kau! Cis! Kau adalah pemuda bangsawan yang paling rendah di atas dunia ini!"
"Sesudah kau kubawa kemari, sesudah kulakukan apa-apa atas dirimu, apakah masih akan menolak nanti untuk kawin denganku?" tanya Tjokorda Gde Djantra pula dengan seringai mengejek.
"Aku lebih baik bunuh diri dari pada kawin dengan kau!" jawab Ni Ayu Tantri blak-blakan!
"Tolol sekali mau mati muda begitu rupa," ejek Tjokorda Gde Djantra lalu melangkah maju.
"Pergi!" teriak Tantri!
"Tantri, kau sudah dewasa. Kenapa bertingkah macam anak kecil? Dengar … aku tak akan melakukan apa-apa atas dirimu jika kau bersedia menerima lamaranku."
"Lebih baik aku kawin dengan setan dari pada dengan manusia macammu!" jawab Tantri pula seraya mundur menjauhi pemuda itu.
Ucapan yang dilontarkan Ni Ayu Tantri adalah hinaan luar biasa yang tak pernah diterima pemuda bangsawan itu selama hidupnya. Mukanya yang senantiasa pucat pasi mendadak sontak menjadi kelam merah. Mulutnya terkatup rapat-rapat, rahangnya bergemeletukan. Tiba-tiba laksana seekor harimau yang kelaparan pemuda ini melompat ke muka. Kedua tangannya bergerak cepat. Ni Ayu Tantri Menjerit.
"Breet! Breet …!"
Suara robekan pakaian terdengar beberapa kali berturut-turut. Pekik Tantri mengumandang melengking tinggi. Kemanapun gadis ini berusaha lari dia tak dapat menyelamatkan diri dari keganasan sepasang tangan Tjokorda Gde Djantra yang merobek-robek pakaiannya itu! Dalam waktu yang singkat boleh dikatakan gadis itu sudah seperti tak berpakaian lagi.
Auratnya yang kuning langsat penuh kemulusan tersingkap di mana-mana, membuat darah di tubuh Tjokorda Gde Djantra laksana mendidih!
"Ini kemauanmu sendiri Tantri!" desisnys. "Aku telah memberi jalan baik-baik padamu!"
"Bunuh aku! Bunuh saja!" teriak Tantri. Suaranya sudah serak akibat menangis dan menjerit terus-terusan.
Tjokorda Gde Djantra menyeringai macam setan muka putih. Sekali tangan kanannya mendorong ke muka, Ni Ayu Tantri terpelanting dan jatuh di atas tempat tidur jerami!
"Terlalu gila kalau aku mau membunuhmu,Tantri!" kata pemuda itu dengan mata yang bersinar-sinar penuh nafsu. Ni Ayu Tantri tahu apa yang bakal terjadi atas dirinya. Cepat-cepat dia melompat tapi kembali tangan pemuda itu membuatnya jatuh tertelentang di atas tumpukan jerami!
"Jika kau sudah tidak perawan lagi, kau tak akan bisa menolak kawin denganku, Tantri⁄" Suara Tjokorda Gde Djantra lebih merupakan hembusan nafas panas penuh nafsu dari pada ucapan sebenarnya yang sampai ke telinga Tantri. Gadis ini coba menghantamkan salah satu lututnya ke perut si pemuda tapi Tjokorda Gde Djantra telah menghimpitnya membuat gadis itu tak punya daya apa-apa lagi selain dari pada menjerit parau dan merapatkan kedua pahanya sedapat mungkin! Namun sampai dimanakah kekuatan seorang perempuan menghadapi manusia yang laksana sudah berubah menjadi binatang buas!
Di luar pondok hujan rintik-riptik turun. Hembusan angin dingin dan sayu. Keadaan alam ciptaan Tuhan di sekitar pondok itu laksana meratap menangisi apa yang telah terjadi di dalam pondok.
Ni Ayu Tantri menggeletak di atas tumpukan jerami kering. Tubuhnya yang tak tertutup selembar benang itu tiada bergerak-gerak. Sejak kebuasan menimpa dirinya, gadis ini telah jatuh pingsan.
Di lantai pondok, di samping tumpukan jerami itu, terbaring Tjokorda Gde Djantra dengan tubuh mandi keringat, hidung kembang kempis diburu nafas panas. Perlahan-lahan diputarnya kepalanya ke arah Ni Ayu Tantri. Betapa bagusnya tubuh itu. Betapa luar biasanya kenikmatan yang bisa didapatnya dari kebagusan tubuh itu. Dengan apa yang telah diperbuatnya terhadap Ni Ayu Tantri, bagi Tjokorda Gde Djantra jelas sudah bahwa baik Tantri sendiri maupun kedua orang tuanya tak bakal bisa lagi menolak lamarannya tempo hari.
Memandangi tubuh itu, lama-lama menggejolak kembali rangsangan nafsu bejat di sekujur tubuh Tjokorda Gde Djantra. Ketika dia bangkit dengan pelahan dilihatnya tubuh itu bergerak sedikit. Sewaktu dia berdiri, kedua mata Tantri membuka. Telah sadar dia rupanya dari pingsannya. Dia bangun dengan cepat, memandang pada tubuhnya sebentar lalu ketika sepasang matanya membentur Tjokorda Gde Djantra, dari mulut Ni Ayu Tantri keluarlah pekik yang mengerikan! Tjokorda Gde Djantra sendiri sampai berdiri bulu kuduknya mendengar pekik itu. Sementara dia masih termanggu-manggu antara dipagut kengerian dan dirasuk oleh rangsangan yang mengobari sekujur tubuhnya, tiba-tiba Ni Ayu Tantri melompat ke arah dinding kayu jati.
"Tantri! Jangan!!" teriak Tjokorda Gde Djantra menggeledek. Dia melompat dengan sebat. Tapi nasib! Terlambat sudah!
Kepala Ni Ayu Tantri telah membentur dinding kayu jati itu dengan amat kerasnya. Terdengar suara pecahnya batok kepala perempuan itu. Tubuhnya terkapar ke lantai tanpa berkutik lagi. Meski bunuh diri bukanlah satu perbuatan baik, namun Ni Ayu Tantri telah memperlihatkan bahwa baginya kehormatan dan kesucian diri adalah jauh lebih berharga daripada jiwanya!
DI daerah sekitar Denpasar, Gianyar dan Klungkung tiga rombongan yang masing-masing terdiri dari sepuluh orang telah menjelajah melakukan pencarian terhadap Ni Ayu Tantri yang telah diculik itu. Rombongan pertama dipimpin oleh I Krambangan menyelidik daerah sekitar Denpasar. Rombongan kedua dipimpin oleh Nyoman Dwipa, kekasih Ni Ayu Tantri, menjelajahi daerah Gianyar dan sekitarnya. Rombongan yang terakhir dipimpin oleh Kepala Keamanan Kota Klungkung yang bernama I Gusti Wardana. Telah hampir satu minggu ketiga rombongan itu melakukan penyelidikan namun sia-sia belaka. Pada hari ke delapan I Krambangan dengan putus asa meninggalkan daerah luar kota Denpasar, kembali menuju ke Klungkung.
Dalam perjalanan pulang ini sengaja I Krambangan menempuh daerah sebelah timur laut, menyusur rimba belantara dan kaki-kaki bukit. Udara panasnya bukan main karena matahari bersinar dengan terik. Sewaktu melewati sebuah kaki bukit, I Krambangan melihat kuda tunggangannya menggerak-gerakkan sepasang telinganya. Mulutnya yang berbusah senantiasa tak bisa diam sedang cuping hidungnya bergerak-gerak. I Krambangan tahu betul jika binatang itu berada dalam keadaan seperti itu, ini merupakan suatu tanda bahwa dia tengah membaui air segar.
Mulanya I Krambangan tak mau perduli dengan binatang itu. Lebih cepat kembali ke Klungkung adalah lebih baik baginya. Siapa tahu rombongan yang dipimpin oleh Nyoman Dwipa atau I Gusti Wardana telah berhasil menemukan anak gadisnya.
"I Krambangan," tiba-tiba seorang anggota rombongan yang berada di samping I Krambangan menegur. "Bagaimana kalau kita berhenti dulu untuk istirahat barang beberapa ketika? Kalau aku tidak salah, di sebelah sana terdapat sebuah telaga berair jernih . . . "
Atas ajakan ini akhirnya I Krambangan membawa rombongan ke arah telaga yang dikatakan anggota rombongan tadi. Semakin dekat ke arah telaga, sesuatu bau yang tidak enak semakin santar menyambar hidung setiap anggota rombongan.
"Adakah kalian membaui sesuatu?" tanya I Krambangan.
"Ya. Bau busuk apa ini!" jawab seorang di belakangnya sambil memandang berkeliling. Akhirnya rombongan itu sampai di tepi telaga.
"Hai lihat!" seru seorang di antara mereka. "Ada pondok di tepi telaga sana!"
Memang benar di seberang telaga kelihatan sebuah pondok kayu. Dan dari pondok inilah agaknya santar sekali menyambarnya bau busuk itu. I Krambangan mengernyitkan keningnya. Tiba-tiba selintas pikiran timbul di benak orang tua ini. Dadanya berdebar. Disentakkannya tali kekang kudanya. I Krambangan memacu binatang itu memutari telaga hingga akhirnya sampai di depan pondok. Laki-laki ini melompat turun dari kudanya dan lari ke pintu pondok. Pintu itu tidak dikunci. Ketika didorong segera terpentang lebar dengan menimbulkan suara berkeret yang membuat suasana tambah ngeri terasanya oleh I Krambangan. Begitu pintu terbuka bau busuk menerpa hidung menyesakkan pernafasan laki-laki itu. Sambil menutup hidung I Krambangan masuk ke dalam dan langkahnya terpaku ke lantai pondok sewaktu matanya membentur sesosok tubuh perempuan yang menggeletak di atas lantai.
Hanya seketika I Krambangan terpaku ke lantai laksana patung. Bila ditelitinya paras yang rusak itu terpekiklah dia!
"Dewa Agung!"
I Krambangan melompat dan berlutut di samping sosok tubuh itu. Beberapa orang anggota rombongan kemudian memasuki pula pondok kecil itu dan semua mereka terkesiap ngeri melihat pemandangan di depan mata mereka! Sosok tubuh yang terhampar di lantai pondok bukan lain adalah sosok tubuh Ni Ayu Tantri yang telah jadi mayat. Selain tak selembar benangpun yang menutupi auratnya, tubuh itupun sangat rusak, sudah membusuk bahkan di beberapa bagian sudah ada yang dimakani ulat! Parasnya yang cantik jelita kini hanya merupakan satu benda yang mengerikan untuk dipandang. Keningnya pecah. Seluruh mukanya yang tertutup darah kental beku itu sebagiannya telah busuk. Mata kiri kanan tempat bersarangnya belatung-belatung yang berjalan kian kemari!
"Dewa Agung⁄" rintih I Krambangan yang menundukkan kepala dan mencucurkan air mata karena tak sanggup menyaksikan keadaan anak gadisnya, "dosa apakah yang aku buat, kesalahan apakah yang dilakukan anakku hingga mengalami nasib begini rupa . . ?"
Rintih atau jeritan hati itu tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Sebaliknya di lubuk hati I Krambangan seolah-olah muncul sebuah titik merah yang makin lama makin besar, makin besar … makin besar dan akhirnya berubah menjadi satu kobaran api yang membakar hati dan mendidihkan darah di sekujur tubuhnya! Kemarahan yang menyelimuti dirinya membuat tubuh laki-laki itu bergetar hebat! Rahang-rahangnya terkatup. Geraham-gerahamnya mengeluarkan suara bergemeletukan. Tibatiba berteriaklah I Krambangan laksana geledek dahsyatnya, membuat semua orang yang ada di situ menjadi kaget sekali.
"Tjokorda Gde Anyer! Ini semua gara-garamu! Ini pasti anakmu yang punya perbuatan! Demi Dewa Agung aku bersumpah untuk membunuh seluruh keluargamu! Akan kuhirup darah anakmu yang jahanam itu!"
Bersarnaan dengan berakhirnya teriakan itu, di luar pondok udara tiba-tiba menjadi gelap. Langit mendung. Angin menderu keras. Guntur menggelegar, kilat menyambar dan hujan lebatpun_ turunlah! Keadaan seperti itu seolah-olah delapan penjuru jagat dan Dewa-dewa di Kahyangan telah mendengar teriak sumpah I Krambangan tadi!
***
Saat itu memang musim hujan. Dalam keadaan basah kuyup I Krambangan memasuki Denpasar. Di belakangnya kelihatan empat orang laki-laki memacu kuda masing-masing. Sejak dari Klungkung keempat laki-laki itu telah coba menjernihkan hati serta pikiran I Krambangan yaitu agar laki-laki itu mencari penyelesaian menurut jalan wajar. Mereka telah menasihatkan agar perkara tersebut diserahkan saja pada Kepala Keamanan Kota Klungkung yaitu I Gusti Wardana yang sampai saat itu belum kembali dalam memimpin rombongan mencari Ni Ayu Tantri. Tapi dalam keadaan kalap, dalam keadaan darah mendidih amarah bergejolak mana mungkin untuk memberi nasihat pada I Krambangan yang sudah seperti manusia kemasukan setan itu!Sambil menyisipkan sebilah keris pusaka almarhum kakeknya I Krambangan berkata pada tetangga-tetangga yang ada di hadapannya, "Nyawa dan kehormatan anak gadisku harus dibayar oleh seluruh keluarga Tjokorda Gde Anyer keparat itu! Aku belum puas kalau tidak dapat menghirup darah anaknya yang durjana! Kalian tak usah ikut campur! Ini adalah urusan pribadiku!"
Semua orang segera maklum pasti akan terjadi peristiwa besar. Maka untuk berusaha agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan itu, empat orang tetangga telah berangkat pula sengaja mengikuti I Krambangan ke Denpasar. Pintu gerbang besar rumah gedung Tjokorda Gde Anyer terkunci. Tanpa turun dari kudanya I Krambangan menggedor pintu itu. Tak berapa lama kemudian pintu besarpun terbuka. Seorang pelayan laki-laki memunculkan kepalanya.
"Bangsat yang bernama Tjokorda Gde Anyer dan anaknya yang bernama keparat Tjokorda Gde Djantra itu ada di dalam?!" bentak I Krambangan.
Bentakan itu mungkin tak membuat si pelayan kaget. Tapi ucapan I Krambanganlah yang menjadi terkejut. Pelayan ini ingat pada pesan majikannya, maka diapun berkata,
"Sayang sekali, majikanku dan keluarganya pagi tadi telah berangkat ke Tabanan. Beliau berpesan kalau ada tamu agar kembali saja minggu depan."
"Hem . . . begitu pesannya?" ujar I Krambangan.
Pelayan itu menganggukkan kepalanya. Justru saat itu I Krambangan menggerakkan kaki kanannya, menendang dengan sekuat tenaga ke arah kepala pelayan itu. Didahului oleh satu jeritan kesakitan yang luar biasa, si pelayan terpelanting dan roboh tak sadarkan diri lagi! Dengan kaki kirinya I Krambangan menendang pintu hingga pintu itu terpentang lebar.
Di depan tangga langkan gedung kediaman Tjokorda Gde Anyer, laki-laki ini melompat turun. Empat orang laki-laki lainnya melakukan hal yang sama dan berdiri di belakang I Krambangan. Setelah memandang berkeliling dengan mata yang merah laksana dikobari nyala api, maka berteriaklah I Krambangan.
"Anjing busuk yang bernama Tjokorda Gde Anyer keluarlah untuk menerima mampus!"
Tak ada jawaban I Krambangan berteriak lagi, lagi dan lagi sampai berulang-ulang! Sewaktu masih tetap tak ada jawaban maka menggelegaklah kemarahan laki-laki ini. Kakinya bergerak! Pot bunga buatan Cina yang besar dan terletak di langkan itu pecah berantakan dengan mengeluarkan suara berisik. Apapun perabotan yang ada di ruangan muka itu hancur musnah dirusak I Krambangan sementara empat orang kawannya tak bisa berbuat apa-apa, apalagi melarang. Mereka hanya memperhatikan saja dengan hati cemas.
Satu-satunya benda yang masih utuh di ruang depan gedung mewah itu ialah lampu minyak besar yang tergantung di langit-langit. I Krambangan mengambil sebuah kursi yang telah patah-patah dan melemparkan ke arah lampu! Tak ampun lampu itu pecah berantakan, minyaknya tumpah ke lantai! Dan pada saat itu pulalah pintu di sudut kanan terbuka. Seseorang memunculkan diri.
Kemunculan orang ini disambut oleh dampratan I Krambangan, "Tikus kotor Made Trisna! Mana majikanmu si anjing Tjokorda Gde Anyer itu?!"
Paras Made Trisna berubah. Matanya memandang tajam-tajam lalu katanya dengan suara lunak, "Sahabatku, I Krambangan."
"Tikus kotor! Berlalu dari hadapanku, lekas panggil kau punya majikan kalau tidak ingin mampus! "
"Apa-apaan ini sebenarnya I Krambangan? Tak ada pasal lantaran kenapa kau mengamuk di rumah orang … ?!"
"Keparat laknat! Anakku diculik! Dirusak kehormatannya lalu dibunuh oleh anjing kurap bernama Tjokorda Gde Djantra! Dan kau masih bisa bilang tak ada pasal tak ada lantaran…!"
" Krambangan, kau jangan menuduh yang bukan-bukan!"
"Manusia bedebah! Kau cukup pantas untuk mampus lebih dulu!" teriak I Krambangan. Sambil melompat ke muka keris pusaka di pinggangnya dicabut. Sesaat kemudian secarik sinar putih menderul Itulah satu tusukan cepat yang dilancarkan oleh I Krambangan dengan keris peraknya ke arah leher Made Trisna!
Melihat orang benar-benar meminta nyawanya, Made Trisna cepat-cepat melompat. Serangannya yang mengenai tempat kosong membuat I Krambangan jadi tambah gelap. Cepat laksana kilat dia membalik. Sewaktu I Krambangan hendak melancarkan serangan maut untuk kedua kalinya, maka menggemalah satu teriakan lantang, "Tahan!"
I Krambangan hentikan serangannya dan berpaling dengan cepat.
"Anjing busuk! Akhirnya kau keluar juga dari persembunyianmu!" seru I Krambangan.
Paras Tjokorda Gde Anjer mengelam. "I Krambangan!" katanya menegur, "Apa yang kau perbuat di sini benar-benar membuat aku terkejut!"
I Krambangan mendengus keras.
"Apakah hati anjingmu juga terkejut sewaktu mengetahui anakmu telah menculik dan merusak kehormatan Tantri dan membuhuhnya?!"
"A … apa?!" seru Tjokorda Gde Anyer terkejut. Dan ini adalah satu kepura-puraan. Sesungguhnya dari Made Trisna dia telah tahu apa yang terjadi atas diri Tantri.
"Anjing! Kau tak perlu berpura-pura! Kalau kau tidak takut atas tanggung jawab yang harus kau pikul perlu apa kau memberikan pesan dusta pada pelayanmu yang terkapar di luar sana?!"
"Aku sedang tak enak badan. Sebab itu kuberikan pesan begitu rupa pada pe …"
"Sudahlah! Dihadapanku kau tak perlu bicara berpanjang lebar! Bicaralah nanti di liang kubur!"
Habis berkata demikian I Krambangan melompat dan keris perak untuk kesekian kalinya berkiblat mencari maut!
"I Krambangan! Lebih baik kita bicara dengan tenang dulu!" seru Tjokorda Gde Anyer.
"Aku sudah bilang bicaralah nanti di liang kubur!" jawab I Krambangan dan serangannya makin ganas. Di serang bertubitubi begitu rupa Tjokorda Gde Anyer tak bisa berdiam diri saja. Bangsawan kaya raya ini segera mencabut sebilah keris bereluk dua belas dari pinggangnya. Maka sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang seru! Baik Made Trisna maupun keempat kawan I Krambangan tak bisa mencegah atau menghentikan pertempuran itu. Akhirnya mereka cuma memperhatikan jalannya pertempuran dengan hati penuh kekawatiran. Pertempuran yang hebat itu sudah dapat dipastikan akan meminta salah satu korban jiwa!
Bagaimanapun hebatnya serangan-serangan Krambangan pada jurus-jurus permulaan pertempuran itu namun sudah dapat dipastikan bahwa Tjokorda Gde Anyer bukanlah tandingannya. Bangsawan ini sewaktu terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Bali sekitar dua puluh tahun yang lalu adalah seorang perwira Kerajaan yang memiliki kepandaian tinggi. Berkat bantuannya dan beberapa perwira lainlah kaum pemberontak berhasil ditumpas, takhta kerajaan berhasil diselamatkan. I Krambangan sendiri sewaktu pertumpahan darah itu terjadi hanya memegang jabatan sebagai Kepala Prajurit Kerajaan, hingga dengan sendirinya dari kedudukan atau pangkat itu sudah dapat ditaksir ketinggian tingkat ilmu silat masing-masing.
Lima jurus berlalu. Serangan-serangan I Krambangan yang laksana hujan mencurah itu mulai ditanan dan dibendung oleh keris bereluk dua belas di tangan Tjokorda Gde Anver vang nyatanya bukanlah keris sembarangan pula! Dengan senjata itulah dulu kabarnya Tjokorda Gde Anyer menyelamatkan Kerajaan Bali!
Pada jurus kesembilan, dalam satu serangan yang sangat kalap dan membahayakan dirinya sendiri, I Krambangan berhasil melukai bahu kiri lawannya Tjokorda Gde Anyer jadi naik pitam. Kalau tadi dia cuma bertahan dan menunggu kesempatan untuk merampas senjata lawan maka kini diapun tak mau main-main lagi. Keris ditangannya diputar demikian rupa, gerakangerakannya berubah dan dalam satu jurus saja I Krambangan menjadi dibikin sibuk! Berada dalam keadaan terdesak bukan membuat I Krambangan menjadi cemas sebaliknya makin naik darah. Dia sudah bertekad bulat untuk membunuh lawannya itu meskipun apapun yang terjadi. Maka diapun mengeluarkan segala kepandaian yang ada.
Memasuki jurus keduapuluh sembilan I Krambangan benar-benar kalang kabut. Delapan kali saling benturan senjata dengan lawan telah membuat telapak tangannya pedas dan sakit. Melihat pada keadaannya dalam satu dua jurus di muka atau paling lama tiga jurus lagi, laki-laki ini akan menemui kekalahannya!
"I Krambangan, kalau kau menyerah dengan baik-baik, aku bersedia untuk tidak memperpanjang urusan!" berseru Tjokorda Gde Anyer.
"Seluruh keluargamu mampus dulu di tanganku baru aku mau menyerah pada mayat-mayat busuk kalianl" jawab I Krambangan.
Tjokorda Gde Anyer jadi penasaran sekali. Didahului oleh satu bentakan menggeledek dia membuka jurus ketiga puluh dengan satu serangan yang hebat. Serangan ini dinamakan lengan dewa merangkul awan." Mula-mula kerisnya kelihatan menusuk tajam ke arah batok kepala lawan. Ketika lawan menangkis, mendadak lengannya bergerak menghantem ke leher dalam kecepatan yang luar biasa dan sukar diduga. Mana diduga kalau serangan senjata yang dilancarkan oleh tangan kanan, bisa berubah dengan satu pukulan tangan kosong yang lihay!
I Krambangan tau bahwa dia tak punya daya untuk menangkis, tak punya kesempatan untuk mengelak. Karenanya dengan untung-untungan laki-laki ini tusukkan kerisnya ke dada lawan. Tapi posisi Tjokorda Gde Anyer terlalu jauh untuk dicapai oleh tusukan itu! Bahkan baru saja tusukan meluncur setengah jalan, lengan kanan Tjokorda Gde Anyer membabat deras dan "krak"! Patahlah batang leher I Krambangan! Sebelum tubuhnya mencium lantai langkan, nyawanya sudah lepas!
Kalau tadi keempat orang kawan-kawan I Krambangan hanya berdiam diri menyaksikan pertempuran itu dengan kawatir, kini bagaimanapun juga rasa setia kawan membuat mereka menjadi marah sewaktu melihat I Krambangan menggeletak di lantai tanpa nyawa, Tanpa menunggu lebih lama keempatnya menghunus keris dan menyerbu!
Made Trisna tidak tinggal diam pula. Maka kini pecahlah pertempuran empat lawan dua yang teramat seru tapi yang juga berjalan duabelas jurus. Satu demi satu keempat orang itu roboh mandi darah dan mati!
DALAM melarikan kuda hitamnya laksana diburu setan itu, masih terbayang di pelupuk matanya upacara pembakaran jenazah Ni Ayu Tantri. Masih terbayang olehnya upacara pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu terbayang olehnya upacara pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu terbayang pula bagaimana Ni Warda, istri I Krambangan dengan segala ketabahan dan keberanian yang luar biasa mencebur masuk ke dalam gejolak api di mana jenazah suaminya dibakar!
Berhenti di puncak bukit itu dikeluarkannya sebuah kotak kayu jati yang berukir-ukir dari balik pakaiannya. Sebelum abu pembakaran jenazah Tantri dibuang kelaut, pemuda ini telah memisahkan sebagian abu suci itu dan menyimpannya di dalam kotak yang indah itu. Diciumnya kotak itu dan dibisikkannya kata, "Tantri, aku bersumpah untuk membalas sakit hatimu dan keluargamu! Bila manusia-manusia keji itu berhasil kutumpas, akupun rela untuk menyusulmu!"
Perlahan-lahan dimasukkannya kotak itu ke balik pakaiannya kembali. Ketika tali kekang kuda hitam hendak disentakkannya, matanya melihat seorang penunggang kuda keluar dari hutan, memasuki jalan kecil di kaki bukit lalu memacu kudanya ke arah timur. Entah karena apa timbul kesyakwasangkaan di hati pemuda di atas puncak bukit terhadap penunggang kuda di bawah sana. Dia memandang ke timur. Jika dia bergerak cepat, sekurang-kurangnya dia akan berhasil menyusul orang itu dan menunggunya di tikungan dekat jurang di sebelah timur sana! Setelah mempertimbangkan sebentar niatnya itu akhirnya diletakkannya tali kekang dan larilah kudanya menuju ke timur.
Kira-kira setengah jam kemudian pemuda berkuda hitam itu sudah berada di tikungan jalan. Tikungan itu selain patah tajam juga berbahaya karena di sebelah kirinya terdapat jurang batu yang sangat dalam. Di balik sebuah tebing batu di tepi kanan jalan pemuda ini menunggu dengan sabar sampai penunggang kuda yang tadi dilihatnya lalu.
Kira-kira lewat sepeminum teh telinga pemuda ini mulai menangkap suara derap kaki-kaki kuda di kejauhan. Makin lama suara itu makin jelas dan keras tanda kuda dan penunggangnya sudah tambah dekat. Ketika orang yang dihadangnya itu tinggal beberapa tombak saja, pemuda berkuda hitam keluar dari balik tebing batu.
Orang yang dihadang, seorang pemuda berpakaian bagus, mula-mula tidak menaruh curiga akan kemunculan seorang penunggang kuda di hadapannya. Jalan yang ditempuhnya satu-satu jalan yang menghubungkan Denpasar jengan daerah luar kota. Jadi adalah biasa saja kalau berpapasan dengan orang lain. Namun sewaktu melihat pemuda berkuda hitam itu sengaja berhenti di tengah jalan maka syak wasangkalah hatinya. Pemuda berpakaian bagus itu menghentikan kudanya dalam jarak lima belas langkah.
Keduanya saling pandang sejurus. Pemuda yang berpakaian bagus akhirnya membuka mulut, "Saudara, harap kau suka memberi jalan."
"Saudara! Apa kau tak dengar orang minta jalan!" ujar pemuda berpakaian bagus, berbadan tinggi kurus dan berwajah pucat pasi. Suaranya mulai keras tanda gusar.
"Jalan ini bukan milikku! Silahkan lewat!" kata pemuda berkuda hitam tapi dia sama sekali tidak menepikan kuda tunggangannya!
Melihat ini pemuda berpakaian bagus jadi penasaran dan membentak: "Siapa kau? Apa maksudmu menghadang perjalanan orang!!"
Satu seringai tersungging di mulut pemuda berkuda hitam. "Akui terus terang manusia muka pucat! Kau tentu bangsatnya yang bernama Tjokorda Gde Djantra dari Denpasar!"
Ucapan ini membuat pemuda berpakaian bagus menjadi kaget. Nalurinya memperingatkan agar mulai detik itu dia harus berhati-hati karena memang dia adalah Tjokorda Gde Djantra!
"Katakan dulu kau siapa, baru aku menerangkan tentang diriku!"
Sebagai jawaban pemuda berkuda hitam mencabut sebilah keris bereluk tujuh berwarna coklat tua. Sinar matahari yang terik membuat senjata ini berkilau memancarkan sinar kehitaman!
"Silahkan cabut keris di pinggangmu! Aku yakin kau adalah manusia keji yang bernama Tjokorda Gde Djantra. Aku Nyoman Dwipa kekasih Ni Ayu Tantri! Kau harus serahkan jiwamu saat ini juga sebagai pertanggungan jawab atas apa yang telah kau lakukan terhadap gadisku! Juga atas apa yang telah dialami oleh I Krambangan serta empat orang kawan-kawannya!"
Kejut Tjokorda Gde Djantra bukan alang kepalang. Tapi dia tidak gentar. Dia tertawa gelak-gelak kemudian berkata, "Jadi ini tampang manusia yang mengaku kekasih Ni Ayu Tantri? Ha . . . ha … ha! Tampangmu boleh juga sobat! Tapi kalau kau punya rencana untuk membunuhku, kau harus berpikir tiga kali sebelum melakukannyal Apakah kau punya kepandaian yang bisa diandalkan? Hidungku membauimu masih bau pupuk! Sebaiknya pulang saja kembali ke desamu, cuci kaki dan tidur! Kalau tidak pasti terlambat sobat!" Dan Tjokorda Gde Djantra tertawa lagi terbahak-bahak!
Nyoman Dwipa kertakkan rahang-rahangnya dan majukan kudanya beberapa langkah.
"Tertawalah sepuasmu manusia keji. Kalau kau sudah mampus hanya setan iblislah yang akan tertawa menyambutmu di liang kubur!"
Tjokorda Gde Djantra mendengus lalu berkata,
"Aku yakin tentu kau berpikir bahwa akulah yang telah menculik dan membunuh kekasihmu itul Semua orang berpikir begitu! Alangkah tololnya! Sungguh kurang ajar sekali menuduh orang lain berbuat jahat tanpa punya bukti-bukti kuat dan nyata!"
"Pemuda keji! Lamaranmu ditolak! Adalah cukup alasan bagimu untuk menculik Ni Ayu Tantri!"
Tjokorda Gda Djantra kembali mendengus dan menjawab,
"Kau kira cuma gadis itu saja yang ada di pulau Bali ini? Sepuluh gadis-gadis lebih cantik bisa kuambil sekaligus untuk jadi istriku, perlu apa aku sampai menculik perempuan tak berguna dan hina dina itu!"
"Jadi kau tidak mau mengaku bahwa kau manusia biang racun yang telah melakukan kejahatan kotor terkutuk itu!"
"Aku katakan padamu sobat! Jangan menuduh sembarangan!" bentak Tjokorda Gde Djantra.
Nyoman Dwipa menggerakkan tangan kirinya ke saku pakaian. Ketika tangan itu keluar lagi kelihatan memegang sebuah benda bundar yang ternyata adalah sebuah kancing baju yang terbuat dari perak.
"Manusia laknat pengecutl Kancing baju ini ditemukan di pondok di tepi telaga. Kancing ini sama bentuknya dengan kancing pakaian yang kau kenakan saat ini! Apakah mulut busukmu masih mau mungkir!’
Tjokorda Gde Djantra terdiam. Kancing perak itu memang kancing pakaiannya yang telah direnggut putus oleh Ni Ayu Tantri sewaktu dia hendak merusak kehormatan gadis itu!
"Kau terdiam dan tampangmu tambah pucatl Sekarang bersiaplah untuk mampus!" teriak Nyoman Dwipa. Tali kekang disentakkannya. Kuda melompat ke muka dan keris berluk tujuh di tangan kanannya berkelebat dengan ganas, mengirimkan satu tusukan ke arah dada kanan Tjokorda Gde Djantra!
"Trang!!!"
Terdengar suara beradunya senjata sewaktu Tjokorda Gde Djantra menangkis serangan lawan dengan keris Bradjaloka bereluk tujuh belas. Bunga api memercik. Di atas punggung kudanya Nyoman Dwipa terkejut bukan main! Daya tangkis lawan kuat luar biasa hingga bukan saja tangan kanannya tergetar hebat tapi tubuhnyapun terhuyung-huyung. Kalau saja tangan kirinya tidak berpegang pada tali kekang kuda mungkin sekali dia terpelanting jatuh! Dan yang lebih mengejutkan serta membuat pemuda ini mengeluh dalam hati ialah sewaktu melihat bagaimana bagian yang tajam dari kerisnya yang cuma bereluk tujuh telah gompal dihantam keris lawan dalam bentrokan senjata tadi!
Mengetahui sampai dimana tingkat kepandaian lawan maka tertawalah Tjokorda Gde Djantra berkakakan seraya melontarkan ejekan,
"Manusia yang ilmunya cuma sedangkal comberan hendak jual lagak besar di hadapanku!"
"Iblis bermuka manusia pucat!" jawab Nyoman Dwipa, "percuma aku menghadangmu kalau tidak dapat mencincang seluruh tubuhmu!"
Tjokorda Gde Djantra ganda tertawa. Dia hendak menangkis lagi sewaktu Nyoman untuk kedua kalinya melancarkan serangan dari depan. Tapi kali ini dia tertipu. Serangan lawannya hanya pancingan belaka. Begitu Tjokorda Gde Djantra menggerakkan tangan untuk menangkis, keris di tangan Nyoman Dwipa berkelebat turun dan membabat ke arah perut!
"Keparat!" maki Tjokorda Gde Djantra. Disentakkannya tali kekang kudanya hingga binatang itu melompat ke depan dan dengari memiringkan tubuhnya pemuda ini berhasil mengelakkan sambaran keris lawannya. Namun Nyoman Dwipa rupanya tidak kepalang tanggung. Dengan amat cepat pemuda ini susulkan satu tendangan kaki kanan!
Masih untung Tjokorda Gde Djantra sempat berkelit. Tapi kuda tunggangannya bernasib sial. Tendangan Nyoman Dwipa mendarat tepat di leher binatang itu. Kuda ini meringkik keras, mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas dan membuat penunggangnya terpelanting jatuh ke tanah!
Tjokorda Gde Djantra seorang pemuda turunan bangsawan yang telah menuntut ilmu silat dan kebatinan serta kesaktian pada seorang sakti di puncak Gunung Agung bernama Sorablungbung. Di pulau Bali pada masa itu terdapat tiga orang tokoh silat kawakan yang sangat tinggi ilmu silat dan kesaktiannya. Salah seorang di antaranya ialah Sorablungbung, kemudian Walalang Tjarda yang diam di Danau Batur. Karena dia sering mengembara maka jarang sekali dia berada di Danau tersebut.
Tokoh silat ketiga bernama Menak Putuwengi. Sejak sepuluh tahun belakangan ini dua persilatan di Pulau Bali tidak mengetahui ke mana perginya Menak Putuwengi karena tokoh silat yang berumur 70 tahun ini lenyap begitu saja dari dunia persilatan, entah mengundurkan diri entah telah menemui ajalnya. Di antara ketiga tokoh silat itu Menak Putuwengilah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Senjatanya segala benda apa saja yang berbentuk tongkat, baik beberapa helai lidi atau daun bambu ataupun ranting kering atau besi, bila berada di tangannya pasti akan menjadi senjata yang dahsyat. Karena itulah Menak Putuwengi mendapat julukan Raja Tongkat Empat Penjuru Angin. Pernah sekitar lima belas tahun yang lalu ketiga tokoh itu bertemu di puncak Gunung Tabanan untuk mengadakan pertandingan persahabatan, menguji ilmu kepandaian masing-masing. Dalam pertandingan yang sangat hebat dan dihadiri oleh tokoh-tokoh silat di Pulau Bali maka Menak Putuwengi keluar sebagai jago nomer satu setelah berturut-turut mengalahkan Sorablungbung dan Walalang Tjarda. Setelah lima belas tahun berlalu tak dapat lagi dipastikan siapa sesungguhnya yang lebih hebat karena di samping ketiga orang tokoh itu tak pernah lagi mengadakan pertandingan juga kabarnya Sorablungbung serta Walalang Tjarda telah memperdalam ilmu masingmasing hingga mencapai tingkat yang sangat tinggi. Sebaliknya Manak Putuwengi lenyap begitu saja tak diketahui kemana perginya!
Sebagai salah seorang murid Sorablungbung yang pernah digembleng selama empat tahun, dengan sendirinya Tjokorda Gde Djantra memiliki kepandaian yang tinggi. Dan dibandingkan dengan Nyoman Dwipa yang cuma berguru pada seorang pertapa yang tingkat kepandaiannya jauh berada di bawah Sorablungbung dengan sendirinya Nyoman Dwipa bukan apa-apa bagi Tjokorda Gde Djantra. Tapi karena kurang hati-hati meski tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi Tjokorda Gde Djantra kena juga dihantam lawan meski kudanya yang menjadi korban!
Tjokorda Gde Djantra terpelanting ke tanah tapi berkat ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi dia jatuh dengan kaki lebih dulu dan tetap berdiri. Kemarahan membuat darahnya seperti mendidih.
"Setan alas! Kematianmu tak dapat ditawar-tawar lagi!"
Tjokorda Gde Djantra melompat ke muka, tangan kiri kanam berkelebat cepat dalam satu jurus yang hebat! Nyoman Dwipa terkejut ketika melihat bagaimana kecepatan gerak lawannya membuat tubuh Tjokorda Gde Djantra laksana lenyap. Dia cuma merasakan sambaran angin yang deras dari kiri kanan maka cepat-cepat pemuda ini melompat turun dari kudanya.
"Breet!"
"Buuk!"
Dua suara itu terdengar hampir bersamaan. Yang pertama suara robeknya pakaian Nyoman Dwipa di sambar ujung keris Brajaloka sedang suara kedua ialah suara pukulan dahsyat yang menghantam kepala kuda hitam milik Nyoman Dwipa. Binatang ini rubuh dengan kepala pecah, melejang-lejang beberapa ketika lalu tak bergerak lagi!
"Kudamu sudah duluan, Nyoman Dwipa! Dia akan menunggumu untuk membawa tuannya ke neraka!" ejek Tjokorda Gde Djantra!
Sebenarnya sejak bentrokan senjata pertama kali tadi Nyoman Dwipa telah memaklumi bahwa tingkat kepandaian ilmu silat dan tenaga dalam Tjokorda Gde Djantra bukanlah lawannya. Tapi untuk membatalkan niatnya menuntut balas tentu saja pemuda itu tidak sudi! Lebih baik mati secara jantan dari pada lari atau menyerah secara pengecut!
Dengan mengeluarkan bentakan yang keras Tjokorda Gde Djantra berkelebat ganas. Seperti tadi kedua tangannya bergerak cepat. Nyoman Dwipa bertahan mati-matian. Dalam jurus itu dia berhasil mengelakkan seluruh serangan lawan namun pada jurus berikutnya, satu sampokan yang bertenaga besar sekali membuat dia tak dapat lagi mempertahankan kerisnya! Senjata itu terlepas mental dihantam senjata lawan!
Sambil tertawa gelak-gelak dan sambil melangkah mendekati Nyoman Dwipa yang kepepet ke tepi jurang, Tjokorda Gde Djantra berkata, "Kau akan segera mampus sobat! Dan kau tahu …? Betapa mengerikannya kematian itu! Kau lihat keris Brajaloka yang terbuat dari emas di tanganku ini? He … he..! Sebentar lagi sobat! Beberapa detik lagi kau akan segera pergi ke neraka! Ke neraka! Ha . . Ha . . ha …!"
Tjokorda Gde Djantra mengangkat tangan kanannya yang memegang keris tinggi-tinggi sementara dalam keadaan kepepet ke tepi jurang itu Nyoman Dwipa berusaha mencari jalan agar dapat menyelamatkan diri! Kalau lawan menyerang dia sudah nekat untuk menyerbu ke muka dengan tangan kosong, menarik tubuh Tjokorda Gde Djantra dan sama-sama menghambur masuk jurang! Itu adalah cara yang paling baik menurut Nyoman Dwipa asal saja dia benar-benar bisa melakukannya!
Jarak kedua orang itu semakin pendek dan kini cuma tinggal empat langkah saja lagi. Antara Nyoman dengan tepi jurang di tikungan jalan itu hanya satu setengah langkah saja. Nyoman Dwipa memutuskan untuk tidak mundur lebih jauh. Dia menunggu dengan kedua tangan terpentang dan mata memandang tajam-tajam ke muka, menunggu kesempatan yang ada!
Mendadak Tjokorda Gde Djantra hentikan langkahnya dan kembali dia tertawa gelak-gelak. Bila suara tertawa itu dihentikannya maka berkatalah dia, "Tidak! Aku tak akan membunuhmu dengan keris ini! Kau harus mati dalam kengerian yang luar biasa sobat! He … he … he, pernahkah kau memikirkan bagaimana ngerinya bila jatuh ke dalam jurang di belakangmu itu? Kematian menunggumu di batu-batu cadas di bawah sana, tapi selagi tubuhmu melayang menuju detik-detik kemampusan itu kau akan dikungkung kengerian yang luar biasa!"
Nyoman Dwipa menggeram mendengar ucapan dan maksud Tjokorda Gde Djantra yang ganas itu. Dia tak bisa
menunggu lebih lama! Saat itu juga dia harus bertindak! Harus menyerbu merangkul tubuh lawannya walau apapun yang
terjadi! Maka tanpa menunggu lebih lama Nyoman Dwipa segera melompat ke hadapan lawannya. Tjokorda Gde Djantra mendengus. Dengan seringai maut tersungging di mulutnya pemuda ini memukulkan tangan kirinya ke depan! Nyoman Dwipa merasakan satu sambaran angin yang laksana badai hebatnya! Bagaimanapun dia berusaha untuk tidak tersapu angin dahsyat itu tapi sia-sia belaka! Tubuhnya mencelat mental sampai enam tombak untuk kemudian jatuh ke dalam jurang diiringi suara kumandang tertawa Tjokorda Gde Djantra.
DALAM tubuhnya melayang jatuh ke jurang batu itu Nyoman Dwipa pada mulanya memang merasa ngeri sekali! Siapa yang tak akan ngeri menemui ajal apalagi mengetahui bahwa ajalnya akan sampai begitu tubuhnya menghantam batu-batu cadas besar di dasar jurang! Namun bila dia ingat bahwa kematian yang bakal dihadapinya itu adalah kematian secara jantan, ditabahkannya hatinya. Dia percaya pula bahwa rohnya akan berjumpa di alam akhirat dengan roh Ni Ayu Tantri. Kalau di dunia mereka tak punya kesempatan untuk hidup berdampingan, moga-moga di alam akhirat hal itu akan kesampaian.
Makin jauh ke bawah makin cepat jatuhnya tubuh pemuda itu. Di atas jurang masih mengumandang suara tertawa Tjokorda Gde Djantra. Betapapun tabahnya hati Nyoman Dwipa namun ketika sekilas matanya memandang ke bawah jurang, pada batu-batu besar yang cuma tinggal beberapa tombak lagi untuk menghancurkan kepala dan tulang-tulang ditubuhnya, Nyoman Dwipa jatuh pingsan!
Tapi dalam kehidupan ini kerap kali kita dihadapkan pada kenyataan-kenyataan bahwa sebelum ajal berpantang mati. Hal itu pulalah yang terjadi dengan diri Nyoman Dwipa.
Sewaktu tubuh pemuda itu hanya tinggal enam tombak saja lagi dari permukaan sebuah batu cadas yang sangat besar berkelebatlah satu bayangan putih yang dibarengi dengan suara seruan, "Dewa Agung!!!"
Yang berseru ini adalah seorang kakek-kakek tua renta berpakaian putih. Rambutnya yang panjang terurai macam rambut perempuan, janggutnya yang menjela dada serta kumis bahkan kedua alisnya berwarna putih bersih macam kapas. Meski umurnya sudah lebih dari 70 tahun tapi kakek-kakek ini memiliki tubuh yang masih kekar dan kegesitan yang luar biasa. Sewaktu dia melinat sesosok tubuh melayang jatuh ke dalam jurang kejutnya bukan alang kepalang. Dia tidak tahu apakah manusia yang jatuh itu masih hidup atau sudah mati. Meski demikian kakek-kakek ini segera mengangkat kedua tangannya dan mendorong ke atas!
Satu gelombang angin padat bertiup memapasi tubuh Nyoman Dwipa. Untuk beberapa detik tubuh pemuda itu tertahan di awang-awang. Untuk mengurangi kekuatan jatuh tubuh pemuda itu si orang tua menggerakkan kedua tangannya ke kanan. Tubuh Nyoman Dwipa terpelanting ke kanan lalu didorong lagi ke atas dan ketika jatuh kembali ke bawah orang tua itu menyambutnya dengan kedua tangan! Sungguh luar biasa apa yang dilakukan orang tua ini.
Tubuh Nyoman Dwipa dipanggul di atas bahu kanan dan sekali berkelebat orang tua itu sudah lenyap dari pemandangan. Si orang tua membawa Nyoman Dwipa ke dalam sebuah goa batu dan setelah diperiksa ternyata pemuda itu masih bernafas. Kakek-kakek ini mengurut dada dan kening Nyoman Dwipa beberapa kali hingga akhirnya pemuda itu sadar dari pingsannya. Setelah membuka kedua matanyaı Nyoman Dwipa kemudian memandang berkeliling. Sekelilingnya ruangan batu yang bersih. Apakah aku sudah berada di alam baka, pikir pemuda ini. Tapi bila matanya membentur tubuh dan paras seorang tua berpakaian putih-putih, berkumis dan berjanggut putih heranlah pemuda ini. Orang tua itu duduk di sebuah batu bundar di tengah ruangan. Kedua telapak tangannya saling dirapatkan di muka dada sedang kedua matanya terpejam. Nyatalah orang tua ini tengah bersemedi.
Tapi anehnya begitu Nyoman Dwipa menyalangkan mata dan memandang terheran-heran berkeliling, tanpa membuka matanya si orang tua berkata: "Orang muda, kau tak usah heran. Kau berada di tempat aman."
"Di manakah saya, bapa? Apa yang telah terjadi dan siapakah bapa ini …?" tanya Nyoman Dwipa seraya bangun dari tempat tidur yang terbuat dari batu.
Tanpa membuka kedua matanya kembali si orang tua berkata: "Kau berada di tempat yang aman orang muda. Ketika aku berada di dalam goa kudengar suara bentakan-bentakan yang diseling suara tertawa serta suara beradunya senjata di atas. Aku keluar dari goa tepat pada saat kulihat sosok tubuhmu melayang jatuh ke dasar jurang. Selanjutnya Dewa Yang Agung telah menyelamatkan kau dari kematian . . .".
Kini ingatlah Nyoman Dwipa akan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dia bertempur dengan Tjokorda Gde Djantra kemudian didorong dengan satu pukulan dahsyat hingga mencelat mental dan jatuh masuk jurang! Dari ucapan si orang tua berambut putih meski dia tadi mengatakan bahwa Dewa Yang Agunglah yang telah menyelamatkan jiwanya tapi Nyoman Dwipa sadar bahwa orang tua inilah yang telah menolongnya dari renggutan maut. Segera Nyoman Dwipa turun dari tempat tidur batu, melangkah ke hadapan kakek-kakek itu dan berlutut seraya berkata, "Orang tua, aku Nyoman Dwipa menghaturkan terima kasih yang tak terhingga atas budi pertolonganmu. Semoga aku kelak bisa membalas hutang nyawa ini dan semoga Dewa Agung merakhmatimu. Sudilah kau memberi tahu namamu agar sewaktu-waktu aku tidak sukar mencarimu."
Si orang tua tertawa dan menjawab, "Apalah artinya nama? Kita dilahirkan tanpa nama. Apa gunanya menyebut-nyebut segala hutang nyawa karena memang kita manusia ditugaskan Yang Kuasa untuk menolong sesama manusia. Orang muda, cobalah kaus terangkan apa yang telah terjadi atas dirimu hingga kau jatuh dari tepi jurang."
Nyoman Dwipa lalu menuturkan pertempurannya dengan Tjokorda Gde Djantra bahkan diterangkannya juga pangkal sebab pertempuran itu termasuk kematian I Krambangan dan empat orang penduduk Klungkung.
Si orang tua menghela nafas dalam dan untuk pertama kalinya dia membuka kedua matanya. Mata itu sipit sekali macam mata orang Tiongkok tapi menyorotkan sinar yang tajam penuh wibawa!
"Cinta itu pada dasarnya adalah sesuatu yang suci. Tapi nafsu selalu membuatnya menjadi hal yang kotor. Seringkali menusia buta karena cinta, karena kecantikan paras perempuan. Kalau sudah begitu segala sesuatunya yang keji dan kotor bisa terjadi hingga tidaklah aneh lagi kalau manusia tega membunuh manusia lain bahkan sahdara kandungnya sendiri hanya karena cinta."
Nyoman Dwipa termangu diam beberapa lamanya. Kemudian katanya: "Orang tua beritahulah namamu. Sebelum meninggalkan tempat ini kuharap kau suka memberi petunjuk-petunjuk padaku."
"Kau hendak pergi dan kemudian melampiaskan lagi sakit hati dendam kesumatmu itu, Nyoman?"
"Benar, orang tua." jawab Nyoman Dwipa terus terang.
"Kau tak akan kuat menghadapi Tjckorda Gde Djantra," kata kakek-kakek itu pula secara terus terang. "Buktinya pukulan tangan kosongnya saja sanggup mengirimkan kau ke liang maut jika saja Dewa Agung tidak menghendaki agar kau tetap hidup. Kau mungkin tidak tahu siapa adanya Tjokorda Gde Djantra. Dia salah seorang murid Sorablungbung, orang tua sakti yang diam di puncak Gunung Agung."
Terkejutlah Nyoman Dwipa mendengar keterangan itu. Pantas saja dia tak sanggup melawan Tjokorda Gde Djantra. Maka kalau diteruskannya niat untuk membalas dendam dengan tingkat kepandaian yany jauh lebih rendah pastilah akan sia-sia belaka dan diam-diam pemuda ini mengeluh dalam hati. Diangkatnya kepalanya yang ditundukkan dan berkata dengan sungguh-sungguh pada si orang tua.
"Aku yang bodoh ini mohon petunjukmu orang tua."
Kakek-kakek itu tertawa. Sampai saat itu Nyoman Dwipa tidak tahu dengan siapa sesungguhnya dia berhadapan. Kakek kakek berambut dan berjanggut putih itu bukan lain Menak Putuwengi itu tokoh silat yang paling tinggi ilmu kesaktiannya di antara tokoh-tokoh silat lainnya sekitar belasan tahun yang silam!
"Aku tak bisa memberi petunjuk apa-apa padamu Nyoman," kata Menak Putuwengi pula.
Pemuda itu merasa kecewa tapi juga heran ketika melihat dalam berkata itu si orang tua tersenyum. Dan Menak Putuwengi lantas berkata, "Aku cuma bisa mengajukan satu tawaran. Sudikah kau mempelajari permainan silat ilmu tongkat? Bukan aku sombong, dalam tempo dua-tiga bulan saja pasti kau dapat mengalahkan murid Sorablungbung itu."
Bukan alang kepalang gembiranya hati Nyoman Dwipa. Dia menjura dalam-dalam ,dan menjawab: "Tentu saja mau. Kalau kau tak keberatan mulai saat ini aku akan memanggilmu guru. Sekali lagi aku mohon agar kau sudi memberitahu namamu, orang tua…"
"Ah, soal namaku …" kata Menak Putuwengi, "Sudah sejak belasan tahun dilupakan dunia persilatan di Pulau Bali ini. Biarlah nanti saja kuberi tahu padamu. Nah sekarang mari kita berangkat …"
"Berangkat kemana guru?" tanya Nyoman tak mengerti.
"Goa ini terlalu sempit dan kurang baik untuk belajar ilmu silat. Kau lihat pedataran tinggi di sebelah, timur sana ….?" ujar Menak Putuwengi seraya menunduk keluar goa. "Disitu lebih cocok tempatnya."
"Baiklah guru", jawab Nyoman Dwipa seraya bangkit dan mengikuti gurunya keluar goa. Ternyata bagian lamping kiri dari jurang tersebut menuju ke sebuah daerah pesawangan yang banyak ditumbuhi lalang lebat. Menak Putuwengi kelihatannya berjalan lenggang kangkung seenaknya. Tapi bagaimanapun Nyoman Dwipa mengerahkan ilmu larinya, tetap saja dia ketinggalan belasan tombak di belakang!
Sesampainya di pedataran tinggi itu, Nyoman Dwipa tercengang-cengang melihat indahnya pemandangan di sekelilingnya.
"Kita mulai saja pelajaran permulaan", kata Menak Putuwengi. "Coba keluarkan dan perlihatkan padaku jurus-jurus ilmu silat yang kau miliki."
Atas perintah gurunya itu maka Nyoman Dwipa mulai bersilat sampai dua puluh jurus.
"Sudah . . . sudah cukup!" seru Menak Putuwengi. "Ilmu silatmu jauh dari pada lumayan. Tapi permulaan yang cukup baik!" Habis berkata begitu Menak Putuwengi lantas mematahkan dua buah ranting pohon. Salah satu diberikannya kepada Nyoman Dwipa seraya berkata, "Pertama kali ini kuberikan kau dasar-dasar ilmu tongkat. Kemudian kau harus melatih diri dalam tenaga dalam dan meringankan tubuh."
Demikianlah, mulai saat itu Nyoman Dwipa digembleng oleh tokoh silat klas satu Menak Putuwengi.
BERDIRI di tepi danau yang dikeiilingi pohon-pohon besar pada siang hari yang panas terik itu membuat pemuda pengelana itu ingin sekali mandi merasakan kesejukan air danau. Sambil bersiul-siul pemuda ini lalu membuka pakaiannya. Sesaat kemudian diapun sudah mencebur masuk ke dalam air danau. Sengaja dia menyelam dalam-dalam lalu muncul lagi dipermukaan air danau untuk bernafas lalu menyelam lagi. Gemikian sampai beberapa kali. Pada kali yang keenarn dia memunculkan kepala di permukaan air danau mendadak sontak berubahlah parasnya oleh rasa kaget yang bukan alang kepalang!
Dari seluruh tepi danau dilihatnya meluncur ular hitam berbelang-belang kuning sebesar betis dan rata-rata panjangnya satu sampai satu setengah meter! Binatang-binatang itu dengan sangat cepat berenang ke tengah danau di mana pemuda berada!
"Gila!" seru pemuda itu lalu kedua kakinya dihentakkan ke bawah. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat dari dalam air pemuda ini sanggup melesatkan tubuhnya sampai beberapa tombak. Ketika dia berhasil melompat ke daratan cepat-cepat dia hendak mengambil pakaiannya! Tapi untuk kedua kalinya pemuda ini menjadi melengak kaget karena dari balik semak belukar, puluhan ekor ular jenis yang sama telah menyerbunya pula hingga dia tak punya kesempatan untuk mencapai pakaiannya!
Dengan memaki dalam hati pemuda ini melompat ke sebuah pohon. Tapi au! Kakinyamenginjaksesuatu yang bulat dan licin hingga kalau saja ilmu meringankan tubuhnya tidak sempurna pastilah dia akan jatuh! Ketika dia memandang ke bawah, pemuda ini kertakkan rahang karena benda bulat licin yang tadi dipijaknya nyatanya adalah seekor ular hitam berbelang-belang kining. Dan ketika dia memandang berkeliling, seluruh pohon serta pohon-pohon di sekitar tempat itu penuh dengan ular-ular tersebut. Kemanapun dia mernandang, ke pohon-pohon, ke tanah dan ke danau seluruhnya penuh dengan ular! Betul-betul dia tak bisa mengerti dari mana datangnya puluhan bahkan ratusan binatang itu! Dari lidahnya yang bercabang dan berwarna hijau nyatalah bahwa ular-ular itu mengindap racun yang amat jahat. Meskipun dia kebal segala macam racun namun menyaksikan itu mau tak mau merinding juga bulu tengkuknya! Dan menyadari dirinya tanpa pakaian begitu rupa pemuda ini merutuk habis-habisan dalam hati.
Sementara itu dia tak dapat berdiri lebih lama di cabang pohon karena sebentar saja belasan ekor ular telah menyerbunya pula! Tak ada tempat yang kosong lagi untuk tempat berpindah! Sambil melompat turun pemuda ini pukulkan kedua tangannya ke bawah! Angin deras menderu. Puluhan ular mental dan si pemuda berhasil turun di tanah yang kini kosong dari ular-ular itu. Tapi anehnya binatang-binatang yang kena dihantam dan dibuatnya mental tadi sama sekali tidak cedera ataru mati dan dalam waktu yang singkat bersama kawan-kawannya segera menyerbu pemuda itu kembali.
Kini pemuda tersebut segera maklum bahwa binatang-binatang yang dihadapinya itu bukan ular-ular biasa. Mungkin binatang jadi-jadian. Dan binatang apapun ular itu adanya dia musti bisa menyelamatkan diri. Tiga ekor ular hitam berbelang kuning berhasil melilit kakinya. Seekor diantaranya mematuk betis pemuda itu hingga menoeluarkan darah kehitaman bercampur racun yang tertekan ke luar akibat hawa tenaga dalam yang ada di tubuh si pemudar. Sekali dia menggerakkan tubuh rnaka ketiga ular itu berpelantingan. Tapi puluhan lainnya menyerbu lagi dengan dahsyat laksana air bah! Tidak main-main lagi kini pemuda itu pergunakan ilmu pukulan sakti yang sangat diandalkannya. Sepasang tangannya kelihatan putih memerah, sepuluh kuku jarinya mengeluarkan sinar yang menyilaukan!
"Wuus! Wuuss!"
Dua larik sinar putih yang panas menderu dahsyat! Itulah pukulan sinar matahari yang hebat luar biasa! Puluhan ekor ular menemui ajalnya mati terkuntung-kuntung dalam keadaan hangus! Yang masih hidup agaknya marah sekali melihat kematian kawankawan mereka. Binatang-binatang ini dengan mengeluarkan suara mendesis menyerbu si pemuda dan si pemuda menyambutinya dengan pukulan-pukulannya yang dahsyat. Binatang-binatang yang masih hidup bukannya takut tapi malah terus menyerbu dengan kalap sehingga pemuda yang berada dalam keadaan bertelanjang bulat itu menjadi sibuk sekali! Meski suasana mengerikan sekali di tempat itu, tapi melihat si pemuda mencak-mencak telanjang begitu rupa ada juga kelucuannya!
Menurut dugaan si pemuda sudah lebih dari seratus ular yang dibunuhnya tapi yang datang menyerangnya seperti tak ada kurang-kurangnya malah makin lama makin banyak! Dalam pada itu ular-ular yang berjalaran di pohon dengan melilitkan ekorekor mereka di cabang atau di ranting-ranting pohon, bergelantungan menyambar si pemuda hingga si pemuda bukan saja diserang dari bawah tapi juga dari atas!
"Benar-benar edan!" maki pemuda itu seraya percepat melancarkan pukulan-pukulan sinar matahari ke atas dan ke bawah!
Dalam seru-serunya pertempuran antara ular lawan manusia itu tiba-tiba terdengarlah seruan, "Sobat! Bertahanlah terus! Aku akan membantu!"
Baru saja seruan itu berakhir maka disitu muncullah seorang pemuda berpakaian biru. Di tangan kanannya ads seikatan jerami tebal yang ujungnya dibakar. Kobaran api jerami ini membuat puluhan ular hitam berbelang kuning menjadi terbiritbirit ketakutan. Tapi tidak semua binatang itu lari. Puluhan lainnya menyerbu pemuda baju biru ini. Si pemuda menghadapinya dengan tenang-tenang saja. Di tangan kiri pemuda ini ada sebatang tongkat kecil terbuat dari bambu kuning.
Dengan memutar-mutar tongkat kecil itu maka setiap ular yang berani mendekatinya pasti akan mati dalam keadaan tubuh terkuntungkuntung! Hebat sekali permainan tongkat bambu kuning si pemuda hingga dalam tempo yang singkat puluhan ular hitam berhasil dimusnahkannya!
"Hebat!" kata pemuda yang pertama dalam hati lalu menyambar pakaiannya, dengan cepat mengenakannya kemudian bersama-sama pemuda baju biru terus memusnahkan ular-ular yang mengamuk itu. Lebih dari separoh ular hitam berbelang kuning yang ads di tempat itu telah musnah menemui kematiannya. Sementara itu dalam berlangsungnya pemusnahan binatang-binatang tersebut terjadilah perkenalan antara kedua pemuda.
"Namaku Nyoman Dwipa!" kata pemuda pakaian biru seraya sabatkan tongkat bambu kuningnya. Dua ekor ular rubuh dengan kepala pecah. "Darimana ular sebanyak ini! Bagaimana kau sampai diserang mereka?!"
"Aku sedang asyik-asyikan mand!" menerangkan pemuda berpakaian putih. "Ketika menyelam dan muncul di atas air danau kulihat puluhan ekor ular, entah dari mans datangnya berenang menyerangku! Sewaktu aku naik kedaratan ternyata puluhan binatang itu telah menungguku pula disana. Gila betul!"
"Hai kau belum menerangkan namamu sobat!" seru pemuda baiu biru.
"Namaku Wiro Sableng!"
"Kau bukan penduduk sini agaknya!"
"Betul" sahut pemuda baju putih yang bukan lain dari Pendekar 212 Wiro Sableng adanya! "Terima kasih atas pertolonganmu, Nyoman!"
"Ular-ular ini benar-benar gila betul!" seru Nyoman Dwipa yang melihat bagaimana binatang itu masih terus menyerbu mereka dengan beraninya! "Sebaiknya mari kita tinggalkan tempat ini!" Bagaimana Nyoman Dwipa sampai berada di tempat itu baiklah kita tuturkan sedikit.
Sebagaimana yang telah diceritakan, sewaktu jatuh ke dalam jurang Nyoman Dwipa telah diselamatkan oleh seorang kakek-kakek sakti bernama Menak Putuwengi. Orang tua ini kemudian mengambil pernuda itu menjadi muridnya. Setelah tiga bulan lebih menggembleng Nyoman Dwipa maka boleh dikatakan pemuda itu sudah menguasai pelajaran silat ilmu tongkat si kakek cuma tentu saja dia musti banyak berlatih agar mencapai tingkat kesempurnaan. Memasuki pertengahan bulan yang keempat Menak Putuwengi mengizinkan muridnya untuk pergi mencari orangorang yang bertanggung jawab atas kematian kekasihnya dan I Krambangan serta beberapa penduduk Klungkung lainnya. Menak Putuwengi juga memberi nasihet agar pemuda itu jangan terlalu mengikuti nafsu dendam kesumat dan kalau bisa jangan menurunkan tangan maut terhadap siapa pun selagi masih ada jalan penyelesaian yang baik!
Demikianlah maka Nyoman Dwipa dengan bekal ilmu kepandaian yang dipelajarinya dari Menak Putuwengi meninggalkan tempat kediaman si orang sakti yang nyatanya masih hidup, jadi tidak benar seperti yang diduga dunia luaran bahwa kakek-kakek sakti itu telah meninggal dunia. Menak Putuwengi sebenarnya sudah jemu dengan persoalan-persoalan duniawi karena itulah dia mengundurkan diri dari dunia persilatan, membersihkan diri dari dosa dan kesalahan-kesalahan di masa mudanya serta memperdalam ilmu silat, ilmu kesaktian dan kebathinan di dalam goa di dasar jurang itu.
Dalam perjalanannya menuju Denpasar pemuda itu sengaja melewati hutan belantara mengambil jalan singkat agar lebih lekas sampai ke tempat tujuan. Karena melewati rimba belantara itulah maka dia sampai bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Mulanya dia merasa heran dan kaget sewaktu menyaksikan seorang pemuda berambut gondrong basah kuyup dalam keadaan bertelanjang bulat bertempur melawan ratusan ekor ular yang sebesar-besar betis. Dilihat pada gerakan-gerakan serta pukulan-pukulan yang dilancarkannya dalam memusnahkan binatang-binatang itu nyatalah dia memiliki kepandaian tinggi. Tapi mengapa sampai bertempur telanjang bul!at begitu rupa?! Nyoman tidak tahu bahwa sewaktu diserang, Wiro tengah mandi dalam danau.
Sebenarnya Nyoman Dwipa maklum bahwa tanpa dibantupun pemuda yang bertelanjang itu pasti akan sanggup memusnahkan semua ular yang menyerbunya. Tapi bukankah lebih baik dia turun tangan menolong seraya mempraktekkan ilmu tongkat yang dipelajarinya dari Menak Putuwengi? Maka setelah mengumpulkan lalang serta jerami kering dan membakarnya dengan tongkat bambu kuning di tangan kiri Nyoman Dwipa menyerbu ke dalam pertempuran binatang lawan manusia itu!
"Wiro! Ayo kita tinggalkan tempat ini!" kata Nyoman Dwipa kembali.
"Tunggu dulu sobat!" sahut Wiro Sableng, "aku mempunyai firasat bahwa ular-ular ini bukan binatang biasa! Mungkin binatang jadi-jadian, mungkin pula ada pemiliknya. Bagaimana kalau kita selidiki sama-sama?!"
Baru saja Wiro berkata begitu maka dari dalam hutan mengumandanglah suara bentakan menggeledek!
"Manusia-manusia kotor dari mana yang berani membunuh binatang peliharaanku?!" Wiro mengeluarkan suara bersiul dan berpaling pada Nyoman Dwipa.
"Nah, apa kataku!" ujarnya.
BEGITU bentakan lenyap maka dari dalam hutan belantara keluarlah seorang laki-laki yang memiliki tampang dahsyat. Kepalanya panjang, kening menjorok ke depan sedang leher kecil singkat. Rambutnya hitam legam tapi cuma sedikit tumbuh di atas batok kepalanya. Kulit mukanya berwarna hitam dan berminyak hingga bila disorot sinar matahari mukanya itu jadi berkilat-kilatl Jika dibandingkan dengan ular, tampang manusia ini memang hampir tidak beda! Dia mengenakan pakaian berbentuk jubah yang terbuat keseluruhannya dari kulit u!ar. Yang dahsyatnya di lehernya melilit dua ekor ular besar yang sudah mati dan dikeringkan!
Begitu sampai di hadapan Wiro Sableng serta Nyoman Dwipa dan melihat puluhan ekor ular musnah berkaparan di mana-mana marahlah manusia yang punya tampang macam ular itu!
"Keparat-keparat laknat! Tentu kalian sudah bosan hidup berani membunuh binatang peliharaanku!"
Sementara Wiro dan Nyoman masih sibuk menghadapi ular-ular hitam berbelang kuning maka manusia aneh itu telah menyerbu dan membagi serangan pada kedua pemuda itu! Wiro dan Nyoman kaget bukan main karena serangan si orang aneh sebelum sampai sudah didahului oleh sambaran angin yang sekaligus mengarah dua belas jalan darah kematian di tubuh pemuda-pemuda itu! Baik Wiro maupun Nyoman Dwipa cepat-cepat melompat menyelamatkan diri!
Siapakah manusia aneh yang baru muncul dari rimba belantara dan mengaku sebagai pemelihara ular-ular yang menyerang kedua pemuda itu? Di Bali namanya belum dikenal karena dia seorang pendatang dari pulau Jawa yang diam-diam menyelusup ke pulau untuk maksud tertentu. Ki Sawer Balangnipa, demikian nama orang ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga telah memelihara tiga ratus ekor ular hitam belang-belang kuning yang sangat berbisa! Tentu saja dia menjadi marah setengah mati ketika menyaksikan bagaimana dua orang pemuda tak dikenal berani membunuh binatang-binatang
peliharaannya. Maka dengan serta merta dia melancarkan satu jurus serangan yang dahsyat yaitu yang bernama "dua raja ular menyerbu ke langit". Kehebatan jurus serangan ini sudah kita ketahui di muka yaitu sebelum pukulan sampai, sambaran angin telah mendahului menggempur dua bela: jalan darah kematian di tubuh kedua pemudal Dengan melancarkan serangan hebat itu Ki Sawer Balangnipa bermaksud untuk membuat pemuda-pemuda itu konyol sekaligus detik itu juga! Tapi betapa terkejutnya dia sewaktu menyaksikan bagaimana Wiro dan Nyoman berhasil mengelakkan dua serangannya itu!
Ki Sawer Balangnipa mengeluarkan suara suitan keras yang menyakitkan telinga! Anehnya ular-ular yang ada di situ, mendengar suara suitan itu segera berserabutan lari ke dalam hutan. Ki Sawer Balangnipa berdiri dengan bertolak pinggang!
"Kunyuk-kunyuk bermuka manusia! Nyatanya kalian memiliki ilmu yang diandalkan hingga aku tahu sampai dimana kelebatan kunyuk-kunyuk yang berasal dari Pulau Bali ini!"
Nyoman Dwipa marah sekali mendengar hinaan itu. Tapi Wiro ganda tertawa dan menjawab, "Kawanku ini memang berasal dari Pulau Bali, tapi aku bukan! Soal asal tak perlu dipidatokan di sinil Tapi kalau kau memaki kami kunyuk-kunyuk bermuka manusia, berarti kau sama saja dengan monyet-monyet bermuka setan!". Habis berkata begitu Wiro tertawa berkakan hingga menggetarkan seantero tempat! Sekaligus dia hendak memperlihatkan bahwa suitan yang menyakitkan telinga dari Ki Sawer Balangnipa itu cukup bisa ditandinginya dengan suara tertawanyal Diam-diam Ki Sewer Balangnipa sendiri terkejut melihat kehebatan tenaga dalam si pemuda, tapi dia sama sekali jauh dari gentar!
"Enam puluh tahun hidup baru hari ini ada tikus busuk yang berani menghina Ki Sawer Balangnipa!"
"Ah, nyatanya kau juga bukan orang sini!" ujar Wiro dengan menyengir seenaknya. "Sekarang kau katakan aku tikus busuk, betul-betul keterlaluan! Tapi supaya kau tahu diri memang namamu sesuai dengan tampangmu macam raja ular penyakitan!" (Sawer = ular, bhs. Jawa, pen.)
"Bangsat rendah! Kau benar-benar minta kubikin lumat!"
Tubuh Ki Sawer Balangnipa berkelebat dalam satu gerakan yang hampir tak kelihatan dan tahu-tahu sepuluh jari tangannya sudah mencengkeram ke perut dan ke muka Pendekar 212 Wiro Sableng! Ini adalah jurus serangan yang bernama "sepasang cengkeram kehancuran". Sekali cengkeram itu bersarang di muka Wiro pasti muka pemuda itu akan hancur mengerikan.
Jika perutnya kena direnggut lima jari tangan lainnya pasti akan robek dan ususnya berserabutan keluar! Begitulah kehebatan jurus "sepasang cengkeram kehancuran"!
Pendekar 212 Wino Sableng memang masih muda dalam usia tapi sudah cukup punya pengalaman dalam berbagai pertempuran menghadapi tokoh-tokoh silat kelas satu di pelbagai penjuru rimba persilatan! Sewaktu menerima serangan pertama kali dari Ki Sawer Balangnipa tadi dia sudah maklum bahwa orang tua ini bukan seorang yang bisa dibuat main. Maka dengan cepat pendekar kita berkelit ke samping seraya lancarkan satu tendangan kaki kanan ke arah rusuk lawan!
Melihat dua cengkeramannya yang hebat sanggup dikelit oleh lawan Ki Sawer Balangnipa penasaran bukan main. Di lain pihak Wiro Sableng merasakan adanya satu ancaman yang tersembunyi sewaktu menyaksikan bagaimana tendangannya yang hampir menemui sasarannya itu sama sekali tidak diperdulikan oleh lawan! Mustahil manusia itu tidak mengetahui bahaya yang mengancam dirinya!
Satu detik lagi kaki kanan Pendekar 212 akan mendarat dan menghancurkan tulang-tulang rusuk lawan, Pendekar 212 Wiro Sableng yang punya firasat tidak enak mendadak sontak segera menarik pulang kakinya dan melancarkan satu pukulan tangan kosong yang dinamakan pukulan "kunyuk melempar buah"!
Satu hal yang hebatpun terjadilah!
Adalah satu keuntungan besar bagi Wiro Sableng menarik pulang tendangannya tadi karena di saat yang hampir bersamaan Ki Sawer Balangnipa membab)atkan tepi telapak tangan kanannya ke bawah dengan deras! Bukan saja ini satu pukulan tangan yang amat dahsyat tapi juga diisi dengan kekuatan sakti yang sanggup membuat batu karang paling ataspun bisa hancur lebur! Dapat dibayangkan bagaimana kalau pukulan itu mengenai kaki kanan Wiro Sableng! Karena pukulannya mengenai tempat kosong dengan dendirinya angin pukulan itu terus melanda tanah! Pasir dan batu-batu berhamburan sampai beberapa tombak ke samping dan ke atas. Bumi bergetar dan etika Wiro memandang ke depan dilihatnya bagaimana tanah yang kena angin pukulan lawan berlobtang besar dan berwarna kehitaman! Diam-diam Pendekar 212 kaget juga karena sebelumnya tak pernah ia melihat ilmu pukulan yang begitu hebatnya! Mulai saat itu dia kerahkan tiga perempat tenaga dalamya untuk menghadapi lawan. Dari mulutnya terdegar suara suitan keras dan pada detik itu juga tubuhya lenyap!
Kalau tadi Wiro yang dibikin terkejut oleh serangan hebat lawan maka kini Ki Sawer Balangnipalah yang terkejut bukan main! Didengamya suitan pemuda itu, lalu tubuh si pemuda lenyap dari hadapannya dan sesaat kemudian dirasakannya sambaran angin serangan yang tajam dari kiri kanan!
Ki Sawer Balangnipa melompat mundur sampai lima langkah membentak keras dan maju lagi dalam satu kelebatan cepat menyambuti serangan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Nloman Dwipa yang menyaksikan pertempuran diam-diam memuji kehebatan kedua belah pihak yang bertempur. Kalau saja dia tidak mendapat gemblengan dari Menak Putuwengi pastilah matanya akan sakit dan kepalanya akan pusing melihat kelebatan-kelebatan mereka yang bertempur yang hanya merupakan bayang-bayang hitam dari jubah yang dikenakan Ki Sawer Balangnipa dan bayangan putih pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng. Kini semakin terbuka mata Nyoman Dwipa bahwa di atas jagat ini banyak sekali terdapat tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi seperti kedua orang itu! Dan diam-diam Nyoman Dwipa membathin apakah tingkat kepandaian Tjokorda Gde Djantra setingkat dengan kedua orang itu. Kalau betul tentu masih bukan suatu hal yang mudah baginya untuk bisa mengalahkan musuh besamya itu dalam tempo sepuluh sampai duapuluh jurus!
Nyoman Dwipa kembali memperhatikan kedua orang yang bertempur. Sementara itu telinganya mendengar lengking siulan yang nyaring luar biasa. Sesudah mengerahkan tenaga dalam dan menutup pendengarannya barulah rasa sakit yang menyamaki gendang-gendang telinganya akibat suara siutan aneh itu menjadi lenyap! Dan di muka sana dilihatnya bagaimana Ki Sawer Balangnipa mulai terdesak oleh serangan-serangan gencar Pendekar 212.
Dalam jurus keempat puluh Ki Sawer Balangnipa mulai menyadari bahwa jika dia terus bertahan dalam posisi demikian rupa naga-naganya paling lama sepuluh jurus lagi pasti dia akan kena dihantam lawannya! Keringat telah membasahi tubuh lakilaki ini, apalagi karena dia mengenakan jubah yang terbuat dari kulit ular yang tak tembus air!
"Pemuda gelo! Jika kau sayang nyawa cepat cabut senjatamu!" tiba-tiba Ki Sawer Balangnipa berseru dan habis berseru demikian dia lepaskan dua ekor ular yang telah dikeringkan dari lehernya! Sepasang binatang yang sudah mati itu, di tangan Ki Sawer Balangnipa tak ubahnya kembali menjadi hidup, menyambar dan meliuk, mematuk dan menjabat ke arah Pendekar 212.
Dari tubuh ular-ular yang sudah dikeringkan itu menghampar bau anyir yang menyesakkan rongga pernafasan sedang dan mulutnya yang membuka menyambar sinar hijau menggidikkan. Itulah sinar racun yang jahat sekali. Menghadapi ini Wiro segera tutup jalan pernafasannya dan berkelebat lebih cepat untuk menghindarkan serangan- serangan sepasang ular kering di tangan lawannya! Sepuluh jurus lagi berlalu. Agaknya Ki Sawer Balangnipa mulai mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat simpanannya kanena kelihatan sekali bagaimana permainan silatnya berubah. Tubuhnya bergerak gesit laksana seekor ular besar, meliuk kesana meliuk kesini!
Pendekar 212 Wiro Sableng mulai berada di bawah angin! Jurus demi jurus dia semakin terdesak ke tepi danau membuat pemuda ini memaki dalam hati.
Dia tengah berpikir-pikir untuk mulai mengeluarkan ilmu silat "orang gila" yang dipelajarinya dari Tua Gila ketika salah satu dari senjata di tangan Ki Sawer Balangnipa menghantam dadanya!
Pendekar 212 menjerit keras! Tubuhnya terjerongkang ke belakang dan kecebur masuk danau!
Dadanya sakit bukan main dan laksana hancur remuk! Pemandangannya berkunang-kunang! Untuk beberapa lamanya dia apungkan diri di permukaan air danau sambil mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian yang kena dihantam lawan!
Di lain pihak Ki Sawer Balangnipa adalah hampir tidak percaya akan apa yang disaksikannya. Seorang yang kena digebuk ular kering yang menjadi senjatanya, tak ampun lagi pasti akan menemui kematian dengan tubuh remuk! Tapi kenyataannya pemuda itu masih hidup dan mengapungkan diri di atas air danau!
"Ki Sawer Balangnipa hadapi aku!" satu suara membentak dari samping dan Nyoman Dwipa dengn tongkat bambu kuningnya sudah melompat kehadapan Ki Sawer Balangnipa!
Manusia yang punya tampang seperti ular itu menyeringai mengejek. "Bagus!" katanya, "kaupun minta digebuk! Ayo majulah!"
Nyoman Dwipa bolang-balingkan tongkat bambu kuningnya. Meski tongkat itu kecil saja tapi deru angin yang keluar akibat putarannya deras bukan main. Sinar kuning menjulang panjang hingga diam-diam Ki Sawer Balangnipa segera maklum bahwa lawannya yang kedua inipun bukan orang sembarangan pula!
"Silahkan mulai, Ki Sawer Balangnipa!" kata Nyoman Dwipa pula. Dia sudah siap dengan kuda-kuda pertahanan sambil membolang-balingkan tongkat kecilnya!
"Sialan! Disuruh mulai menyerang lebih dulu malah menantang sombong!" damprat Ki Sawer Balangnipa. Dia maju satu langkah untuk melancarkan sebuah serangan yang dahsyat.
Di saat pertempuran antara Nyoman Dwipa dan Ki Sawer Balangnipa hendak pecah tiba-tiba dari arah danau terdengar seruan keras: "Nyoman! Biar aku teruskan pertempuranku dengan manusia bermuka ular penyakitan itu!" Seruan itu disertai dengan melayangnya kira-kira selusin ular-ular yang telah mati ke arah Ki Sawer Balangnipa! Jika saja laki-laki itu tak lekas menyingkir pasti kepala dan tubuhnya akan dihantam binatang-binatang peliharaannya itu sendiri! Ki Sawer Balangnipa menjadi lupa terhadap Nyoman Dwipa dan membalikkan tubuh dengan cepat melompat ketepi danau. Tenaga dalam dikerahkan seluruhnya ke tangan kanannya dan sekali dia menyapukan ular di tangan kanannya itu, maka menderulah satu gelombang angin yang deras ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang mengapung di tengah danau! Air danau muncrat sampai setinggi delapan tombak dilanda derasnya pukulan tangan kosong tersebut tapi Wiro sendiri saat itu sudah melesatkan tubuhnya ke tepi danau sebelah kiri. Dadanya sebenamya masih sakit tapi karena-yakin bahwa dirinya tak mengalami luka di dalam maka begitu sampai di daratan pemuda itu berseru lantang, "Muka ular! Terima pukulanku ini!"
Terlalu cepat bagi Ki Balangnipa untuk bisa melihat pukulan apa yang dilepaskan lawan tahu-tahu "wuus" satu larik sinar putih yang panas dan menyilaukan matanya menerpa dahsyat ke arahnyal Manusia yang mukanya seperti ular itu berseru keras lalu melompat cepat-cepat ke samping kanan. Tapi tak urung ular kering yang ditangan kirinya masih tempat disambar pukulan sinar matahari yang dilepaskan Wiro Sableng hingga senjata itu hancur lebur dan hanya bagian ekornya saja yang masih tergenggam dalam tangan kiri Ki Sawer Balangnipa!
"Keparat rendah!" maki Ki Sawer Balangnipa marah luar biasa hingga sepasang matanya laksana api berkobar! Selagi Pendekar 212 Wiro Sableng belum menjejakkan kedua kakinya di tanah, dia segera melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebatnya!
Tangan kiri dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin menggebu laksana topan, siap untuk menyapu dan menghancur leburkan tubuh Pendekar 212. Yang dilepaskan Ki Sawer Balangnipa adalah pukulan sakti yang sangat diandalkannya dan yang jarang sekali dikeluarkannya jika tidak menghadapi lawan yang teramat tangguh! Itulah pukulan yang bernama "sejagat baju".
Jangan kata manusia, batu karangpun jika dihantam pasti akan hancur jadi debu! Serangan yang dilancarkan Ki Sawer Balangnipa tak kepalang tanggung karena sehabis memukul itu tubuhnya melesat ke depan dan menyusul serangan pertama tadi dengan serangan ular kering di tangan kanannya yang menderu ke arah batok kepala Pendekar 212 Wiro Sableng!
Pukulan "sejagat baju" membuat tubuh Wiro Sableng tak dapat melayang turun menjejak tanah Betapapun dia mengerahkan tenaga dalamnya serta memukul ke muka dengan ilmu pukulan "dinding angin berhembus tindih menindih"
tetap saja tubuhnya tersapu sampai delapan tombak! Jika dia tak cepat membuang diri ke samping dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, pastilah dia akan menghantarn pohon besar di belakang sana! Pukulan sejagat baju melanda pohon besar itu dan pohon-pohon serta semak belukar di sekitarnya, membuat semuanya itu tumbang dan tersapu sampai sepuluh tombak lebih dengan mengeluarkan suara berisik luar biasa. Air danau yang turut terserempet pukulan tersebut muncrat setinggi dua tombak!
Setelah jungkir balik dua kali berturut-turut Wiro Sableng berhasil mencapai tanah dengan kedua kaki lebih dahulu. Nafasnya sesak, tulang-tulang di sekujur tubuhnya serasa tanggal sedang dari sela bibirnya kelihatan darah kental! Pemuda ini ternyata telah terluka di dalam! Cepat-cepat Wiro menelan butir pil merah lalu duduk tak bergerak, meramkan mata mengatur jalan nafas dan tenaga dalam serta mengalirkan hawa sejuk dari pusarnya ke dada!
Ki Sawer Balangnipa tertawa gelak-gelak sambil mendekati Wiro Sableng. "Ha! ha! Sekarang kau baru tahu kehebatan Ki Sawer Balangnipa! Nah selamat jalan ke neraka, budak hina dina!"
Ki Sawer Balangnipa mengangkat tongkat ularnya tinggi-tinggi lalu dihantamkan secepat kilat ke arah batok kepala Pendekar 212 Wiro Sableng!
"Pengecut! Beraninya menyerang lawan yang sudah tak berdaya!".
Satu bentakan menggeledek dan selarik sinar kuiing menderu menangkis ular kering di tangan Ki Saver Balangnipa. Itulah tongkat bambu kuningnya Nyoman Dwipa. Pemuda ini ketika menyaksikan bagaimana Ki Sawer Balangnipa hendak menamatkan riwayat Wiro Sableng dalam keadaan pemuda itu tak berdaya, menjadi sangat geram dan menyerbu ke muka! Namun sebelum tongkat bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa saling beradu dengan ular kering di tangan kanan Ki Sawer Balangnipa, terdengar suara menggembor yang disusul dengan bentakan lantang.
"Siapa bilang aku tak berdaya, Nyoman!"
Dan "wuut"!
Selarik sinar putih yang amat menyilaukan serta panas berkelebat diiringi suara mengaung macam ratusan tawon mengamuk!
Dan "cras"!
Terdengar kemudian pekik setinggi langit keluar dari mulut Ki Sawer Balangnipa. Tangan kanannya sebatas pergelangan lengan buntung dan memuncratkan darah! Telapak dan jari-jari tangan yang masih memegang ular kering tadi, kelihatan mental ke udara lalu jatuh ke dalam danau, membuat air danau di tempat jatun berwrrna kemerah-merahan oleh darahl Apakah yang telah terjadi?
Sewaktu Ki Sawer Balangnipa siap untuk menamatkan riwayat Wiro Sableng, sebelum Nyoman Dwipa sempat menangkis senjata Ki Sawer Balangnipa maka Wiro sableng yang duduk diam mematung itu tiba-tiba membuat gerakan cepat luar biasa, mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dan membabat ke depan! Maksudnya cuma hendak menabas senjata lawan tapi tak terduga serangannya itu justru membuat buntung pergelangan Ki Sawer Balangnipa! Laki-laki ini menotok jalan darah di bahu kanan hingga darah berhenti memancur!
"Pemuda keparat! Kali ini kau menang! Tapi lain ketika jangan harap kau bisa hidup jika aku muncul kembali di depan hidungmu!" Habis berkata begitu Ki Sawer Baangnipa berkelebat dan lenyap di jurusan timur danau!
Wiro Sableng masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya lalu berdiri dengan perlahan-lahan. Nyoman Dwipa memegang bahunya.
"Kau tak apa-apa, Wiro?"
"Aku terluka di dalam," jawab Wiro mengaku terus terang, "tapi tak begitu berbahaya. Manusia itu hebat sekali ilmu pukulannya!"
"Tapi kau jauh lebih hebat!" kata Nyoman Dwipa pula. Dan dalam hati pemuda Bali ini menyadari sepenuhnya kalau saja dia yang berhadapan dengan Ki Sawer Balangnipa pasti akan lebih cepat dirobohkan, bahkan mungkin akan memenuhi ajal secara mengenaskan!
"Aku kebetulan lewat di sini dan mendengar suara ribut-ribut. Ketika kuselidiki kutemui kau mencak-mencak telanjang bulat melawan puluhan ular!"
Wiro tertawa sambil garuk-garuk kepalanya yang berambut basah. Kedua orang pemuda itu lalu menuturkan riwayat masing-masing. Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala mendengar cerita Nyoman dan berkata, "Hebat sekali riwayatmu, Nyoman. Juga menyedihkan. Manusia macam Tjokorda Gde Jantra itu memang patut dihajar Sayang aku ada urusan yang perlu diselesaikan dengan cepat Kalau tidak pasti aku akan seiring denganmu. Tapi begitu urusanku selesai aku segera akan menyusulmu, Nyoman! Ingin sekali aku melihat tampangnya itu pemuda yang bernama Tjokorda Gde Jantra!"
"Terima kasih yang kau ada perhatian terhadap urusanku, Wiro," kata Nyoman Dwipa pula.
Wiro Sableng sekali lagi mengucapkan terima kasih dan kedua sahabat baru itu saling menjura lalu berpisah.
SEPERTI telah dituturkan untuk mempercepat sampai ke Denpasar, Nyoman Dwipa sengaja menempuh rimba belantara. Menjelang tengah hari dia sampai ke kaki sebuah bukit. Bukit itu jarang didatangi manusia bahkan lewat di sanapun boleh dikatakan tak ada yang berani karena dibukit itulah bersarangnya gerombolan rampok yang dipimpin oleh seorang bernama Warok Gde Jingga. Sebenarnya nama asli orang itu adalah Warok Jingga saja. Namun kemudian ditambah di tengah-tengah dengan kata "Gde".
Bagi Nyoman Dwipa, bila dia mengelakkan bukit itu berarti memperpanjang perjalanannya selama setengah hari. Meskipun dia sendiri tahu bagaimana besarnya bahaya jika mendaki bukit tersebut namun karena ingin cepat-cepat sampai ke Denpasar dan ingin cepat-cepat melunaskan sakit hati dendam kesumat yang telah diindapnya selama beberapa bulan di lubuk hatinya, maka pemuda itu dengan tekat bulat sengaja menempuh bukit tersebut.
Beberapa jam kemudian dia sudah sampai kelereng bukit sebelah selatan. Sekurang-kurangnya menjelang magrib dia pasti sudah sampai ke kota tujuannya. Dia harus memasuki satu rimba belantara sebelum mencapai kaki bukit di mane membujur jalan yang menuju ke Denpasar. Hatinya gembira karena sampai saat itu nyatanya dia tak mengalami kesukaran apa-apa dalam menempuh Bukit Jaratan yaitu bukit tempat bersarangnya gerombolan rampok Warok Gde Jingga.
Sewaktu Nyoman Dwipa telah menempuh tiga perempat bagian dari rimba belantara itu, mendadak di sebelah muka di dengamya suara bentakan-bentakan dan suara beradunya senjata. Tak dapat tidak itu pastilah suara orang yang tengah bertempur. Pemuda ini percepat larinya. Tak diperdulikannya lagi bagaiman baju birunya dikait semak belukar. Tepat di kaki bukit, di tepi jalan besar kelihatanlah satu pemandangan yang hebat!
Empat orang laki-laki berpakaian prajurit-prajurit klas satu tengah bertempur mengeroyok seorang perempuan berpakaian dan berkerudung kain hitam. Di tepi jalan sebelah sana berdiri seorang pe-empuan tua dengan tubuh mengigil sedang dibelakangnya, di tepi jalan berhenti sebuah kereta. Di bagian depan kereta, seorang kusir tua duduk dengan paras pucat pasi!
Perempuan yang parasnya ditutup dengan kain hitam itu gerakannya gesit sekali. Pedang perak di tangan kanannya berkelebat kian kemari, menangkis serangan-serangan golok panjang ke empat pengenyok bahkan juga sekaligus balas menyerang dengan gencarnya!
Namun betapapun hebatnya ilmu pedang perempuan itu, lawan-lawan yang dihadapinya adalah prajurit-prajurit klas satu yang berkepandaian tinggi. Ketika Nyoman Dwipa datang mereka telah bertempur lebih dari sepuluh jurus dan si baju hitam berada dalam keadaan terdesak yang cukup membahayakan keselamatannya!
"Breet"!
Tiba-tiba salah satu ujung golok panjang berhasil nembabat putus buhul kain hitam yang menjadi kerudung si baju hitam! Kini kelihatanlah paras di balik kerudung itu! Jangankan Nyoman Dwipa, keempat prajurit yang bertempurpun terkesiap saking tidak menyangka kalau paras di balik kerudung itu nyatanya adalah paras seorang dara yang jelita dan paras itu kelihatan pucat akibat sambaran senajata lawan yang hampir saja membelah batok kepalanya!
Salah seorang prajurit melompat ke muka dan berseru, "Dara hina dina! Kalau kau tak segera mengembalikan patung itu, jangan harap kau akan melihat matahari tenggelam sore nanti!"
Dara jelita berpakaian hitam mendengus dan meludah ke tanah! Sebagai jawaban dia kiblatkan pedang peraknya hingga pertempuran kembali berkecamuk! Tapi kali ini seperti tadi, lagi-lagi si baju hitam berhasil di desak, bahkan kini agaknya ke empat prajurit itu tak mau memberi hati lagi sehingga nyawa sang dara benar-benar terancam!
Meski dia tak ada sangkut paut dengan pertempuran yang berkecamuk itu, tapi Nyoman Dwipa merasa kasihan dan tidak tega kalau sang dara berbaju hitam sampai mendapat celaka di ujung golok-golok ke empat lawannya. Dari balik semak-semak di mana dia bersembunyi mengintai pertempuran itu, Nyoman melompat ke tengah kalangan pertempuran seraya berseru,
"Hentikan pertempuran!"
Karena suara itu disertai aliran tenaga dalam maka kerasnya mengumandang ke seantero rimba. Keempat prajurit berpaling terkejut dan kemudian menjadi marah melihat seorang pemuda tak dikenal mengganggu serta mencampuri jalannya pertempuran!
Salah seorang dari mereka memberi isyarat agar tak usah memperdulikan Nyoman Dwipa. Maka keempatnya kemudian kembali hendak menyerbu si gadis baju hitam. Tapi betapa terkejutnya mereka ketika melihat kenyataan bahwa dara itu tak ada lagi dihadapan mereka, sudah lenyap melarikan diri tatkala perhatian mereka tertumpah pada Nyoman Dwipa! Dengan sendirinya kemarahan keempat prajurit itu tertuju pada diri Nyoman Dwipa kini! Maka langsung saja tanpa banyak bicara mereka kiblatkan golok panjang menyerang pemuda itu!
Karena sudah menyaksikan kehebatan permainan golok keempat orang prajurit itu Nyoman segera pula bertindak cepat. Golok pertama yang datang menusuk ke dadanya dikelit sigap dan tahu-tahu lima jari tangan kirinya yang dilipat sudah menyelinap ke mukal Prajurit itu berseru kesakitan! Goloknya terlepas sedang sambungan sikunya putus dihantam pukulan Nyoman Dwipa. Sementara tiga orang prajurit lainnya terkesiap melihat peristiwa itu, Nyoman Dwipa dengan cepat menyambuti golok yang jatuh. Lalu dengan golok itu Nyoman membabat golok-golok di tangan ketiga lawannya hingga satu demi satu bermentalan di udara!
Keempat prajurit itu kagetnya bukan alang kepalang! Tapi dalam hati mereka memaki habis-habisan. Bahkan salah seorang dari mereka secara blak-blakan berkata dengan suara keras penuh amarah.
"Pemuda tak tahu diri! Ada sangkut paut apakah kau dengan gadis bedebah itu hingga mencampuri urusan orang lain?!"
Prajurit yang kedua membuka mulut pula, "Tahukah kau siapa kami dan siapa gadis berbaju hitam tadi?!"
"Aku memang tak ada sangkut paut apa-apa." jawab Nyoman Dwipa tenang. "Juga tidak tahu siapa kalian, apalagi gadis yang kabur itu!"
"Tindakanmu ceroboh lancang! Tak tahu diri! Akibatnya bedebah itu berhasil merampas dan melarikan patung emas yang kami bawa!"
"Patung emas?!" ujar Nyoman.
"Ya, patung emas! Dan kau musti menggantinya! Kalau tidak kau kami tangkap dan clihadapkan pada Adipati Surabaya untuk menerima hukuman!" kata prajurit yang lain.
"Jadi kalian adalah prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya?" tanya Nyoman.
"Tak usah banyak tanya! Lekas serahkan dirimu!"
"Sobat, sebaiknya kau terangkan dulu asal musabab sampai kalian mengeroyok gadis itu. Jika memang dari keteranganmu nanti aku telah melakukan kesalahan, percayalah aku akan menebus kesalahanku itu."
Salah seorang dari keempat prajurit lalu mem berikan keterangan. Mereka adalah utusan dari Kadipaten Surabaya yang berangkat menuju ke Bali untuk melamar seorang gadis anak bangsawan yang tinggal di Denpasar. Sebagai bawaan, Adipati Surabaya telah memberikan sebuah patung emas untuk diserahkan pada keluarga si gadis sebagai tanda penghormatan. Setelah menyeberangi lautan, sesampainya di Bali mereka melanjutkan perjalanan dengan kereta. Perempuan tua yang ikut bersama keempat prajurit itu adalah orang yang bakal menyampaikan lamaran Adipati Surabaya kepada si gadis.
Sebagai orang asing tentu saja mereka tidak mengetahui bahwa bukit Jaratan dan daerah sekitarnya adalah tempat malang melintangnya gerombolan rampok yang dikepalai oleh Warok Gde Jingga. Ketika mereka lewat di kaki bukit di sepanjang tepi hutan, mereka telah dicegat oleh seorang perempuan berkerudung kain hitam. Kusir kereta yang pernah mendengar tentang ciriciri perempuan itu segera memberi tahu bahwa dia adalah Luh Bayan Sarti, adik kandung kepala rampok Warok Gde Jingga yang sangat ditakuti! Luh Bayan Sarti masih gadis. Karena memiliki ilmu silat yang tinggi maka dia selalu melakukan kejahatan seorang diri. Rupanya rampok betina ini sudah mencium bahwa rombongan utusan Adipati Surabaya itu ada membawa benda berharga. Maka begitu dia melakukan penghadangan dengan cepat dia menerobos masuk ke dalam kereta dan berhasil merampas patung emas! Keempat prajurit Kadipaten Surabaya tentu saja tidak tinggal diam. Justru mereka telah diberi kepercayaan untuk melindungi barang berharga itu. Maka tanpa banyak cerita lagi segera mereka mengeroyok Luh Bayan Sarti.
Ketika mereka sudah hampir berhasil menghajar rampok betina itu tahu-tahu muncullah Nyoman Dwipa memberikan pertolongan hingga buntut-buntutnya Luh Bayan Sarti berhasil kabur dengan membawa serta patung emas!
Kini tahulah Nyoman Dwipa akan kesalahan yang telah diperbuatnya. Tapi memang siapa yang bisa menduga kalau gadis secantik Luh Bayan Sarti itu adalah seorang perampok? Dan pemuda manakah yang tega membiarkan seorang dara jelita terancam bahaya mautl! Setelah merenung sejenak maka Nyomanpun berkata. "Memang besar salahku! Kurasa sebelum gadis itu berlalu jauh, sebaiknya kita lakukan pengejaran. Kalau perlu kita datangi sarangnya!"
Keempat prajurit Kadipaten Surabaya saling berpandangan. Kusir kereta yang sejak tadi berdiam diri karena ketakutan untuk pertama kalinya buka suara, "Mendatangi sarang Warok Gde Jingga berarti mencari mati!"
"Kalau begitu kalian tidak menginginkan patung emas itu kembali?"
"Tentu saja menginginkanl" jawab seorang prajurit. "Tapi pergi ke sarangnya gerombolan rampok itu besar sekali bahayanya. Karena itu kau yang punya gara-gara maka kau sendiri yang harus pergi ke sana. Kami menunggu di sini! Kami tak perduli apakah untuk mendapatkan patung emas itu kau harus menyerahkan kepalamu!"
"Kalau aku pergi seorang diri dan berhasil mengambil kembali patung itu, jangan harap aku akan membawanya ke sini….," kata Nyoman Dwipa dengan menyeringai.
"Kalau begitu …." kata seorang prajurit sesudah berpikir-pikir beberapa lamanya, "aku, kau dan dua orang kawanku berangkat ke sana. Yang lain tetap tinggal di sini."
Nyoman menyetujui pendapat itu, lalu tanpa menunggu lebih lama mengajak ke empat orang itu untuk segera berangkat. Kusir kereta mendadak membuka mulut, "Saudara-saudara dengar nasihatku. Adalah sia-sia kalian pergi mengambil kembali patung emas itu! Warok Gde Jingga memiliki ilmu silat tinggi sekali. Di samping itu dia memiliki anak buah yang banyak. Ditambah dengan Luh Bayan Sarti maka sekalipun kalian berjumlah lima kali lebih besar, jangan harap kalian akan berhasil. Kataku kalian cuma mengantar nyawa! Sebaiknya kembali dan seret pemuda biang runyam itu ke hadapan Adipati Surabaya!"
"Bagiku kemarahan Adipati Surabaya bukan apa-apa. Kalaupun aku dihukum, kurasa kalian semua juga tak luput dari hukuman! Kalau tak ada yang mau ikut, tak apa. Jangan menyesal kalau patung emas itu jatuh ke tanganku sedang kalian mendapat hukuman dari Adipati kalian!"
Nyoman Dwipa cepat berlalu dari situ. Tiga orang prajurit saling berpandangan. Akhirnya setelah mengambil senjata masing-masing yang tadi jatuh di tanah, ketiganya segera menyusul Nyoman Dwipa.
"Mereka akan mati percuma! Mati percuma!" desis kusir kereta sambil memperhatikan kepergian orang-orang itu.
SEORANG anggota rampok yang berada di puncak sebuah pohon tinggi telah melihat kedatangan keempat orang itu. Cepatcepat dia turun dari atas pohon dan memberikan laporan pada pemimpinnya yaitu Warok Gde Jingga. Kebetulan saat itu Luh Bayan Sarti ada pula di situ.
"Coba terangkan ciri-ciri mereka!" kata Luh Bayan Sarti.
"Yang tiga orang berpakaian seragam, seperti pakaian prajurit. Yang seorang lagi pemuda berpakaian biru."
"Hem …." gadis itu mengguman lalu berpaling pada kakaknya. "Bagaimana pendapatmu?" tanyanya.
"Biarkan saja mereka datang kemari. Tak ada tang harus ditakutkanl" sahut si kepala rampok.
"Memang pendapatkupun demikian," kata Luh Bayan Sarti lalu menganggukkan kepala pada anggota rampok yang melapor.
Setelah anggota rampok itu pergi berkatalah Warok Gde Jingga. "Kau akan berhadapan kembali dengan tuan penolongmu yang gagah itu! Bukankah itu yang kau inginkan, Sarti?"
Luh Bayan Sarti menjadi merah parasnya. "Sebaiknya kita keluar saja menyambut kedatangan mereka!"
Warok Gde Jingga tertawa lalu mengikuti diknya keluar rumah besar. Mereka menunggu di langkan.
Karena telah dipesankan agar keempat pendatang itu dibiarkan saja, maka ketika memasuki perkampungan, tak ada seorang rampokpun yang mengalangi. Nyoman Dwipa dan ketiga prajurit-prajurit kadipaten itu. Di halaman rumah besar keempatnya berhenti.
Nyoman melirik sekilas pada Luh Bayan Sarti lalu berpaling pada laki-laki bertubuh tinggi besar yang hanya mengenakan celana panjang hitam. Dadanya yang bidang tertutup oleh bulu sedang wajahnya diranggasi cambang bawuk yang lebat kaku.
"Apakah kami berhadapan dengan Warok Gde Jingga?" tanya Nyoman Dwipa sesudah terlebih dahulu menjura.
"Orang muda," kata Warok Gde Jingga "Sungguh nyalimu besar sekali untuk datang ke mari! Sesudah menolong adikku dari bahaya dikeroyok oleh prajurit-prajurit hina dina itu, apakah kedatanganmu ke sini hendak minta hadiah imbalan?!"
Nyoman Dwipa tertawa, lalu menjawab, "Jauh dari itu, Warok. Justru aku datang ke sini untuk menebus kesalahanku terhadap prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya ini. Satu-satunya jalan untuk dapat menebus kesalahanku itu ialah meminta kesudianmu untuk mau menyerahkan kembali patung emas yang telah dirampas oleh adikmu ini." Nyoman lalu menggoyangkan kepalanya ke arah Luh Bayan Sarti.
Gadis itu tertawa cekikikan. Bola matanya sejak tadi tidak lepas dari memandangi paras Nyoman Dwipa yang gagah cakap itu.
"Enak betul bicaramu. Sudah lancang dating kemari, sekarang berani bertingkah! Apakah kau bersedia menyerahkan selembar nyawamu sebagai pengganti patung emas itu?!"
Nyoman tertawa lebar. Dalam tertawa itu dia harus mengakui bahwa paras Luh Bayan Sarti sungguh jelita. Kulitnya halus mulus. Sungguh sangat disayangkan dara sejelita ini hidup menjadi perampok, berbuat kejahatan dan diam di tengah-tengah manusia-manusia kasar!
Sementara itu Warok Gde Jingga mengusap-usap dagunya yang penuh dengan berewok.
"Selembar nyawaku bukan apa-apa," terdengar suara Nyoman Dwipa menjawab pertanyaan Luh Bayan Sarti tadi. "Yang penting patung emas itu harus diserahkan pada ketiga prajurit ini."
"Kalau begitu biar kutabas dulu batang lehermu. Kalau sudah kelak patung emas itu akan kuberikan pada manusiamanusia jelek ini!"
"Serahkan dulu patung emas itu pada mereka" ujar Nyoman Dwipa.
Luh Bayan Sarti mendelikkan kedua matanya. "Sret"! Gadis ini mencabut pedang peraknya.
"Tahan dulu, Sarti!" kata Warok Gde Jingga sambil memegang bahu adiknya ketika gadis itu hendak melompat ke hadapan Nyoman Dwipa. "Sebaiknya kita atur begini saja orang muda. Karena patung emas itu boleh dibilang milik ketiga kunyuk-kunyuk Kadipaten Surabaya ini maka kupersilahkan mereka turun tangan sendiri. Jika mereka bertiga berhasil mengalahkanku, kuserahkan patung itu kembali pada mereka. Tapi kalau mereka kalah, patung emas itu tetap milikku dan mereka kubebaskan. Untuk itu kau harus mempertaruhkan batang lehermu!"
Ketiga prajurit Kadipaten Surabaya terkejut bukan main. Jangankan mereka bertiga, sepuluh orangpun mereka belum tentu sanggup mengalahkan Warok Gde Jingga yang kesaktian dan ilmu silatnya sangat tinggi itu! Nyoman Dwipa berbatuk-batuk.
"Warok Gde Jingga," kata pemuda ini, "karena aku yang punya gara-gara maka biarlah aku mewakili ketiga prajurit itu untuk memenuhi permintaanmu tadi."
Warok Gde Jingga tertawa gelak-gelak. "Kuhargakan nyalimu sobat dan kuberi kelonggaran padamu! Kau boleh maju bersama-sama prajurit-prajurit tak berguna itu!"
"Walau ilmuku sangat dangkal," sahut Nyoman Dwipa, "tapi mengingat kesalahanku biarlah aku menghadapimu seorang diri."
"Baik … baik … baik! Jika itu kehendakmu! Mari kita mulai!" kata Warok Gde Jingga seraya melompat ke halaman.
Tubuhnya yang tirrggi besar dengan berat lebih dari tujuh puluh kilo itu tak sedikitpun menimbulkan suara ketika kedua kakinya menjejak tanah halaman. Satu pertanda bahwa ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat yang tinggi! Nyoman Dwipa tak mau kalah siap! Sekali dia berkelebat maka bayangannya lenyap dan sedetik kemudian sudah berdiri enam langkah di hadapan kepala rampok itu! Warok Gde Jingga terkejut bukan main! Tiada diduganya pemuda yang dianggapnya sepele itu memiliki gerakan gesit serta ilmu meringankan tubuh yang tidak berada di bawahnya!
Melihat kedua orang itu sudah siap untuk bertempur. Luh Bayan Sarti tiba-tiba melompat dan berseru, "Kak Gde Jingga! Biar aku yang mengadapi pemuda sombong ini! Kau lihat sajalah bagaimana adikmu akan memberi pelajaran padanya!"
Tanpa menunggu jawaban kakaknya, Luh Bayan Sarti sudah menghadapi Nyoman Dwipa, tersenyum sekilas lalu berkata sambil mengerling dan mencabut pedang peraknya. "Silahkan kau mulai lebih dulu!".
"Ah, tuan rumahlah yang lebih pantas memulai," sahut Nyoman Dwipa pula. "Kuharap kau benar-benar memberi pelajaran berguna pada orang bodoh macamku ini, saudari!"
Luh Bayan Sarti tertawa kegenit-genitan. "Kau hati-hatilah orang muda karena pedangku ini tidak bermata." Ucapan itu dibarengi si gadis dengan satu serangan setengah melompat. Ketika menabas pedang peraknya hanya merupakan selarik sinar putih yang mengeluarkan suara bersiur karena saking cepatnya! Sebelumnya Nyoman Dwipa telah melihat ilmu pedang gadis itu yakni sewaktu Luh Bayan Sarti bertempur melawan prajurit-prajurit. Kadipaten Surabaya. Namun sekali ini dilihatnya si gadis mengeluarkan jurus serangan yang lain dari yang lain hingga Nyoman Dwipa tak mau bersikap memandang enteng, cepat mencabut tongkat bambu kuningnya yang kecil dan dengan gesit berkelebat mengelakkan tabasan yang mengincar pinggangnya!
Setengah jalan tiba-tiba sekali tabasan yang dilakukan Luh Bayan Sarti berubah menjadi satu tusukan tajam ke arah dada. Tusukan ini sebelum sampai memecah laksana kilat keempat bagian tubuh Nyoman Dwipa yaitu kepala, leher, dada dan perut! Ketiga prajurit Kadipaten Surabaya menahan nafas. Serangan yang dilancarkan si gadis adalah serangan hebat luar biasa.
Melihat dekatnya tusukan-tusukan pedang itu dari tubuh Nyoman Dwipa, ketiganya merasa cemas kalau-kalau si pemuda kali ini tak sanggup menvelamatkan dirinya!
"Hebat!" Justru dalam suasana yang tegang itu Nyoman Dwipa mengeluarkan seruan memuji. Tubuhnya lenyap menjadi bayang-bayang biru. Dan di antara bayangan biru itu bekelebatlah selarik sinar kuning. Itulah sinarnya bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa.
Melihat lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat maka Luh Bayan Sarti kerahkan pula ilmu meringankan tubuhnya hingga dalam jurus pertama itu keduanya sudah merupakan baying-bayang saja!
Nyoman tersenyum melihat kecerdikan si gadis. Segera pemuda ini menggerakkan bambu kuningnya dalam jurus "gendewa sakti membentur gunung". Jurus ini mengandalkan tenaga dalam yang dialirkan ke tongkat bambu kuning. Dalam jurus kedua terjadilah hal yang sangat mengejutkan Warok Gde Jingga.
Sewaktu dalam jurus kedua Luh Bayan Sarti kembali melancarkan serangan yang hebat, bambu kuning di tangan Nyoman sudah bergerak dalam jurus "gendewa sakti membentur gunung" itu.
Luh Bayan Sarti heran ketika merasakan bagaimana tetakan pedangnya yang semula meluncur pesat tahu-tahu dengan tiba-tiba sekali tersendat laksana diterpa oleh satu angin yang luar biasa dahsyatnya. Belum habis rasa herannya itu, bambu kuning di tangan Nyoman tiba-tiba dilihatnya sudah berada dekat sekali di samping pedang peraknya!
Luh Bayan Sarti seorang berpikiran cerdik. Dari gerakan bambu kuning itu dan mengetahui bahwa tenaga dalam lawan tinggi sekali, tahulah dia bahwa Nyoman Dwipa hendak memukul badan pedangnya dalam satu pukulan yang hebat dan memungkinkan pedang perak itu terlepas dari tangannya! Karenanya dengan sigap gadis ini menaikkan tangannya ke atas lalu membabat ke samping, menaebas ke arah batang leher Nyoman Dwipa!
Di lain pihak Nyoman Dwipa tidak terlalu bodoh untuk menunggu lebih lama. Kedudukan tangan dan senjata lawan yang berada lebih tinggi di atas senjatanya sendiri justru itulah yang dikehendakinya! Bambu kuning di tangan pemuda ini menerpa ke atas Dan tahu-tahu Luh Bayan Sarti merasakan tangannya yang memegang pedang menjadi kesemutan. Dia melompat mundur tapi tak bisa karena pada saat itu bambu kuning di tangan lawan laksana seekor ular seakan-akan telah membelit pedangnya. Ketika Nyoman Dwipa memutar-mutar bambu kuningnya, pedang perak di tangan gadis itupun ikut berputar melintir. Luh Bayan Sarti tak bisa mempertahankan senjata itu kecuali kalau tangannya mau ikut-ikutan terpuntir dan tanggal dari persendiannya!
Warok Gde Jingga bukan olah-olah kejutnya menyaksikan bagaimana adiknya yang berkepandaian tinggi itu hanya mampu menghadapi pemuda itu dalam tempo dua jurus saja. Bahkan dalam dua jurus itu bukan saja dia dikalahkan tapi senjatanya sekaligus kena dirampas! Luh Bayan Sarti sendiri sesudah pedangnya tertarik dan berada digenggaman Nyoman Dwipa bukan main marahnya. Tapi dia juga malu sekali. Dengan paras merah sambil banting-banting kaki gadis ini memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
"Eh, saudari tunggu dulu! Ini kukembalikan pedangmu!" seru Nyoman Dwipa.
Luh Bayan Sarti tak mau berpaling apalagi hentikan langkahnya. Dia terus nyelonong ke langkan rumah Karena orang tak mau menerima kembali senjatanya maka Nyoman Dwipa menggerakkan tangan kirinya yang memegang pedang. Senjata itu lepas dan mendesing di udara lalu menancap di tiang langkan rumah, tepat pada saat Luh Bayan Sarti berada di samping tiang itu!
Luh Bayan Sarti berbalik dan mendelikkan kedua matanya pada Nyoman Dwipa. Sebaliknya pemuda itu hanya tersenyum saja, membuat si gadis benar-benar penasaran setengah mati. Di cabutnya pedang itu dari tiang langkan lalu cepat-cepat masuk ke dalam rumah!
Nyoman berpaling pada Warok Gde Jingga dan berkata. "Adikmu telah kupercundang. Karena dia bertindak sebagai wakilmu dan dia kalah maka kau harus menepati janjimu Warok. Harap kau segera mengembalikan patung emas itu pada ketiga prajurit ini…. "
Warok Gde Jingga mengusap-usap dadanya yang berbulu lebat lalu tertawa gelak-gelak.
"Ingatanmu selalu pada patung emas itu saja. Dan kau terlalu bangga dengan kemenanganmu! Terangkan dulu namamu dan siapa kau sebenarnya …"
"Kalau sudah kuterangkan lantas kau akan mengembalikan patung itu?!"
Kembali kepala rampok itu tertawa. Dia melirik pada anak-anak buahnya yang berdiri mengeliling halaman lalu menggelengkan kepalanya. "Sesudah aku tahu nama dan siapa kau adanya, kita main-main sebentar . . . "
Nyoman tahu apa yang dimaksudkan Warok Gde Jingga dengan kata "main-main" itu. Maka dia berkata, "Dan kalau dalam main-main itu kau mengalami nasib sama dengan adikmu, apakah kau juga mencari dalih lain untuk tidak menyerahkan patung emas itu?!"
Merahlah paras Warok Gde Jingga. "Aku tidak serendah yang kau kirakan, pemuda sontoloyo!" katanya keras.
"Ah kalau begitu baiklah. Namaku Nyoman Dwipa dan aku orang kampung. Nah, apakah kini kita bisa memulai permainan yang kau maksudkan itu?!"
Warok Gde Jingga menggeram. Tangannya ditepukkan. Maka dari dalam rumah besar keluarlah seorang pelayan membawa sebuah senjata milik Warok Gde Jingga yang bentuknya aneh dan dahsyat! Belum pernah Nyoman Dwipa melihat senjata semacam itu. Anak-anak buah Warok Gde Jingga sendiri kelihatan saling berbisik karena setahu mereka, Warok Gde Jingga jarang sekali mempergunakan senjata itu kalau tidak dalam keadaan terpaksa atau ketika menqhadapi lawan yang tangguh luar biasa!
SENJATA di tangah Warok Gde Jingga adalah sebuah toya besi hitam yang pada kedua ujungnya digantungi masing-masing tiga buah kaitan besi yang juga berwarna hitam. Setiap ujung kaitan besi itu mempunyai tiga anak kaitan lagi dan masing-masing ujungnya tetah dicelup dengan racun yang amat jahat selama tiga tahun. Sekali manusia yang tidak memiliki kekebalan racun, meskipun memiliki tenaga dalam bagaimanapun tingginya pasti akan menemui kematian bila sampai kena tertusuk oleh ujungujung kaitan itu! Di samping itu kaitankaitan tersebut merupakan senjata yang berbahaya karena sanggup membetot daging atau urat seorang lawan! Menurut taksiran keseluruhan senjata itu beratnya lebih dari lima puluh kati. Tapi Warok Gde Jingga memegangnya tak ubahnya seperti memegang sebuah ranting kering belaka!
Nyoman Dwipa tahu benar kehebatan ilmu suit lawan yang dihadapannya itu. Jauh lebih tinggi dari ilmu silat Luh Bayan Sarti yang tadi telah dikalahkannya. Dan melihat kepada senjata di tangan Warok Gde Jingga, pemuda ini sudah maklum bahwa senjata itu amat berbahaya, maka tanpa menunggu lebih lama segera Nyoman Dwipa pasang kuda-kuda pertahanan yang bernama "elang menukik laut". Kedua kaki merenggang agak menekuk di bagian lutut. Tangan kiri agak mengembang ke samping sedang tangan kanan yang memegang tongkat bambu kuning dipalangkan di muka dada.
"Ayo majulah!" kata Warok Gde Jingga.
"Silahkan tuan rumah memulai lebih dulu." sahut Nyoman Dwipa.
Kepala rampok dari bukit Jaratan itu mendengus. Sementara itu anggota-anggota rampok yang mengelilingi tempat tersebut membuka mata masing-masing selebar mungkin untuk menyaksikan pertempuran yang bakal berlangsung yang tidak bisa tidak pasti sangat hebat!
"Awas perut!" teriak Warok Gde Jingga tiba-tiba. Teriakannya ini dibarengi dengan berkelebatnya tubuh pemimpin rampok itu. Ujung toya sebelah kanan menderu ke arah perut Nyoman Dwipa. Ujung-ujung kaitan berdesing siap untuk membetot dan membusaikan isi perut pemuda itu!
Nyoman Dwipa melompat ke belakang untuk mengelak. Di’saat itu pula dengan tak terduga, cepat sekali ujung toya besi yang sebelah kiri menyambar ke arah leher pemuda itu! Kejut Nyoman Dwipa bukan alang kepalang. Sambil membentak keras pemuda gemblengan Menak Putuwengi itu miringkan tubuhnya ke samping dan menggerakkan tongkat bambu kuningnya, memukul bagian tengah toya besi di tangan Gde Jingga.
Melihat lawan hendak memukul senjatanya, kepala rampok itu sengaja tidak mengelak! Dia beranggapan bahwa sekali tongkat bambu kuning itu membentur toya besinya pastilah akan patah dua! Tapi betapa terkejutnya Warok Gde Jingga sewaktu melihat bukan saja tongkat lawan tidak patah bahkan sewaktu bentrokan terjadi, toya besinya terpukul keras hampir saja terlepas dari genggamannya!
Dengan menggertakkan rahang Warok Gde Jingga menerjang ke muka. Toya besinya laksana titiran, menderu dan mengurung Nyoman Dwipa dari seluruh penjuru!
Sementara itu dari satu tempat yang terlindung di balik jendela rumah besar, sepasang mata menyaksikan pertempuran itu dengan hati cemas. Kecemasan itu tertuju pada diri Nyoman Dwipa. Kecemasan itu adalah kalau-kalau si pemuda akan menjadi korban mendapat celaka di tangan Warok Gde Jingga. Tapi cetika menyaksikan bagaimana Nyoman Dwipa dengan tenang melayani lawannya, orang yang mengntai itu merasa lega sedikit. Dan orang ini bukan ain Luh Bayan Sarti, adik Warok Gde Jingga yang telah dikalahkan oleh Nyoman Dwipa tadi!
Dua puluh jurus telah berlalu. Gerakan-gerakan Warok Gde Jingga semakin gesit dan ganas. Toyanya lenyap dalam sambaran-sambaran sinar hitam yang nengeluarkan angin dingin serta bersiutan. Debu dan pasir beterbangan di sekeliling orang-orang yang bertempur itu! Semakin bertambah jurus demi jurus, semakin meluap kemarahan Warok Gde Jingga. Sebagai kepala rampok yang ditakuti dan punya nama besar dikalangan rimba persilatan di Pulau Bali, baru kali ini dia menghadapi lawan yang demikian tanguhnya. Karena pertempuran itu disaksikan oleh anak-anak buahnya pula maka tentu saja rasa malu membuat amarahnya tambah menggelegak! Amarah yang menggelegak ini tak bisa lagi dikendalikan karena bagaimana pun dia menggempur lawan dengan toya besi serta dibarengi dengan pukulan-pukulan tangan kosong yang hebat tetap saja menemui kesia-saan! Akibatnya saat itu semua orang menyaksikan bagaimana Warok Gde Jingga bertempur macam kerbau gila atau celeng kemasukan setan, seradak sana seruduk sini, melompat sini melompat sana! Keringat membasahi tubuhnya yang tidak mengenakan pakaian. Gerakan-gerakannya yang gerabak-gerubuk itu tambah tak karuan lagi sewaktu dia dengan kalap terus menggempur marah karena ujung tongkat bambu kuning Nyoman Dwipa berhasil memukul ikatan kaitan di ujung toya sebelah kanan hingga kaitan-kaitan itu terlepas dan mental!
Tiga puluh lima jurus telah berlalu kini.
"Warok Gde Jingga apakah masih akan diteruskan pertempuran ini atau cukup sampai di sini saja?!" berseru Nyoman Dwipa.
Seruan ini membuat darah kepala rampok itu tambah mendidih. Dia balas berteriak, "Aku belum kalah! Kalau kepalamu sudah pecah terpukul toyaku baru pertempuran berhenti!"
Nyoman Dwipa tertawa kecil. Tiga perempat tenaga dalamnya dialirkan ke tongkat bambu kuning. Dan ketika tongkat itu membuat satu sambaran tajam ke bagian tengah toya besi di tangan Warok Gde Jingga, ketika benturan keras terjadi, Warok Gde Jingga merasa tangannya pedas dan sakit bukan main. Dia tak sanggup lagi mempertahankan toya itu hingga terlepas dari tangannya dan mental ke udara! Sewaktu toya itu menggeletak jatuh di tanah terbeliaklah mata Warok Gde Jingga. Badan toya yang kena dihantam bambu kuning temyata telah menjadi bengkok dan genting hampir putus!
Nyoman Dwipa tersenyum kecil lalu memasukkan tongkat bambu kuningnya ke balik pinggang kembali. "Permainan sudah selesai, Warok. Kuharap kau memenuhi janjimu, menyerahkan kembali patung emas yang telah dirampok oleh adikmu!"
Meskipun saat itu Warok Gde Jingga malu dan marah bukan main, meskipun dia seorang yang sudah terkenal kejahatannya namun dalam satu hal kepala rampok ini patut dipuji. Hal itu ialah sifatnya yang memegang teguh segala janji yang diucapkannya. Maka dia memerintah seorang anak buahnya untuk mengambil patung emas dari dalam rumah. Benda itu kemudian diserahkannya pada. Nyoman Dwipa dan Nyoman Dwipa selanjutnya menyerahkan pada prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya. Bukan main gembira prajurit-prajurit itu.
Di hadapan Warok Gde Jingga Nyoman Dwipa menjura dan berkata, "Terima kasih atas segala pelayanan yang kau berikan. Juga terima kasih yang kau sudah suka mengembalikan patung emas itu. Aku dan prajurit-prajurit ini hendak minta diri sekarang."
"Prajurit-prajurit itu boleh pergi, tapi kau tetap di sini, Nyoman!" sahut Warok Gde Jingga.
"Eh, kenapa begitu Warok?" tanya Nyoman Dwipa heran.
"Aku mau bicara denganmu," sahut kepala perampok dari bukit Jaratan itu.
Setelah berpikir dengan cepat, Nyoman Dwipa kemudian menganggukkan kepala dan berpaling pada prajurit-prajurit di sampingnya. "Kalian pergilah, biar aku tetap di sini dulu."
Setelah mengucapkan terima kasih pada si pemuda maka prajurit-prajurit itu kemudian meninggalkan sarang perampok tersebut dengan cepat. Mereka kawatir kalau-kalau mendapat kesulitan baru pula di tempat itu.
"Nah, mereka sudah pergi. Apa yang hendak kau bicarakan, Warok?" tanya Nyoman Dwipa.
"Kita bicara di dalam, Nyoman!" jawab kepala rampok itu lalu dibawanya Nyoman Dwipa masuk ke dalam rumah besar.
Sampai di dalam Nyoman dipersilahkan duduk di satu ruangan yang berperabotan serba mewah. Warok Gde Jingga memerintahkan bujang-bujangnya untuk menghidangkan makanan dan minuman yang tezat-lezat, Setelah menyantap hidangan itu barulah Warok Gde Jingga menerangkan maksudnya menahan Nyoman Dwipa.
"Ilmu silatmu tinggi sekali. Permainan tongkatmu lihay. Melihat kepada jurus dan gerak yang kau keluarkan, dan mengetahui bahwa di Pulau Bali ini cuma ada seorang tokoh sakti yang memiliki ilmu tongkat yang hebat luar biasa, apakah kau bukannya murid orang sakti itu, Nyoman?"
Nyoman Dwipa tertawa.
"Orang sakti manakah maksudmu?" tanyanya.
"Ah, kau pura-pura bertanya pula. Orang tua gagah yang bernama Menak Putuwengi itu tentunya!"
Kembali Nyoman Dwipa tertawa. "Guruku cuma guru silat biasa, Warok. Tokoh temama seperti Menak Putuwengi itu mana mau mengangkat aku jadi muridnya?"
Warok Gde Jingga meneguk tuaknya habishabis lalu berkata, "Baiklah Nyoman, soal siapa gurumu tak perlu kita bicarakan. Yang penting adalah kenyataan bahwa ilmu silatmu amat tinggi dan membuat aku benar-benar kagum. Bagaimana kalau kita bekerja sama memimpin orang-orangku yang ada di seluruh bukit Jaratan ini? Segala hasil yang kita dapat menjadi milik bersama, kita bagi dua! Bahkan harta kekayaanku yang ada sekarang akan kuberikan separohnya padamu!"
"Rupanya inilah maksud kepala rampok ini menahanku." kata Nyoman Dwipa pula dalam hati.
"Terima kasih atas tawaran dan kepercayaanmu itu. Warok. Tapi menyesal aku tak dapat menerimanya…."
"Ah! Mari, kau lihatlah dulu gudang penyimpanan harta kekayaanku. Kalau kau sudah melihat, pasti kau tak akan mau menampik lagi tawaranku." kata Warok Gde Jingga seraya hendak berbangkit dari duduknya. Nyoman melambaikan tangannya dan berkata, "Aku percaya harta kekayaanmu banyak sekali dan tak ternilai harganya,"
kata pemuda ini, "namun sebenarnya ada banyak urusan yang harus kusalesaikan. Untuk saat ini aku benar-benar tak bisa menerima tawaranmu, entah di lain ketika." Lalu pemuda inipun berdiri dari kursinya.
Warok Gde Jingga kecewa sekali. Kalau saja Nyoman Dwipa mau ikut bersamanya pasti seluruh Bali akan berada dalam genggamannya. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa memaksa. Dan pemimpin rampok inipun lantas berdiri, mengantarkan tamunya ke ujung halaman.
***
Belum lewat sepeminuman teh lamanya Nyoman Dwipa meninggalkan bukit Jaratan telinganya dan perasaannya yang tajam menyatakan bahwa seseorang saat itu tengah menguntitnya. Di satu tikungan jalan pemuda ini menghentikan larinya dan menyelinap bersembunyi di balik sebatang pohon besar yang bagian bawahnya ditumbuhi semak belukar lebat. Dia menunggu dan selang beberapa ketika lamanya penguntit itupun muncul di tikungan jalan. Betapa terkejutnya Nyoman ketika melihat bahwa orang itu ternyata bukan lain dari Luh Bayan Sarti, adik kandung Warok GdeJingga adanya! Maka dengan penuh heran pemuda inipun keluar dari persembunyiannya."Selamat berjumpa kembali saudari." kata Nyoman.
Luh Bayan Sarti terkejut. Parasnya merah seketika kemudian dicobanya tersenyum dan berkata, "Aku tengah menuju ke Denpasar. Tak diduga bertemu denganmu di sini."
Nyoman berpikir apakah ucapan gadis itu bukan kedustaan belaka?
"Aku sendiri juga tengah menuju ke sana," kata Nyoman.
"Betul? Kalau kau tak keberatan . . . . "
Nyoman Dwipa sudah tahu kelanjutan katakata gadis itu maka diapun memotong. "Tentu saja aku tak keberatan pergi sama-sama denqanmu ke Denpasar". Namun dalam hatinya Nyoman merasa menyesal mengeluarkan ucapan itu. Maksudnya ke Denpasar adalah untuk mencari musuh bebuyutannya. Dan kini dia ke sana bersama gadis itu, tentu akan mencari tambanan pekerjaan saja dan salah-salah bisa cari urusan baru! Dipandanginya paras gadis itu. Cantik memang. Dan sungguh disayangkan kalau dara secantik ini menjadi adik kandung kepala rampok dan ikut-ikutan pula menjadi perampok!
"Agaknya kau menyesal mengeluarkan ucapan tadi?" tanya Luh Bayan Sarti tiba-tiba seraya mengerling pada si pemuda.
Nyoman tertawa lebar-lebar. "Seiring dengan dara secantikmu dalam perjalanan adalah satu hal yang menyenangkan," katanya. "Apakah maksudmu pergi ke Denpasar?"
"Hendak mengunjungi seorang sahabat lama." jawab Luh Bayan Sarti.
"Kawan atau kekasih?" tanya Nyoman pula.
Paras sang dara kembali menjadi kemerah-merahan. "Aku tak punya kekasih," katanya kemudian.
"Oh….!"
"Dan kau sendiri perlu apakah ke Denpasar? Kau tinggal di situ?" ganti menanya Luh Bayan Sarti.
"Ada urusan penting," jawab Nyoman. Dia memandang ke langit lalu berkata. "Kita harus berangkat cepat-cepat. Sebelum malam musti sudah sampai di Denpasar."
MEREKA memasuki Denpasar ketika sang surya baru saja tenggelam di ufuk barat. Untuk tidak menarik perhatian orang keduanya memasuki kota dengan jalan kaki biasa.
"Aku akan mencari penginapan." kata Nyoman Dwipa. "Bagaimana dengan kau, apakah akan terus ke tempat sahabatmu itu?"
"Tubuhku letih sekali," sahut Luh Bayan Sarti. "Rumah sahabatku terletak di sebelah barat luar kota. Karena kita datang dari jurusan timur cukup jauh juga untuk mencapai tempatnya itu. Kurasa sebaiknya aku juga mencari penginapan. Besok baru meneruskan perjalanan kerumahnya."
Nyoman menganggukkan kepala. Kini semakin yakin pemuda ini bahwa kepergian Luh Bayan Sarti yang katanya hendak menguniungi sahabat lamanya itu adalah satu kedustaan belaka. Sepanjang jalan dari bukit Jaratan sampai ke Denpasar banyak sekali sikap gadis itu yang dirasakannya aneh. Berulang kali dilihatnya Luh Bayan Sarti memperhatikannya secara diam-diam. Bila sekali-sekali mereka saling berbentur pandangan, paras gadis itu berubah kemerah-merahan dan kepalanya ditundukkan atau dipalingkan kejurusan lain. Nyoman sendiri jadi merasa aneh lama-lama mempunyai perasaan lain yang membuat hatinya jadi berdebar. Tapi perasaan itu dibuangnya jauh-jauh bila dia ingat pada almarhum kekasih yang dicintainya yaitu Ni Ayu Tantri. Kepergiannya ke Denpasar justru untuk menuntut balas kematian gadis itu, juga kematian ayah dan kawan-kawannya.
Dan kini hati yang mendendam kesumat itu dibayangi oleh perasaan lain tersebut membuat Nyoman merasa bahwa seolah-olah dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Ni Ayu Tantri!
Di sebuah rumah penginapan yang torletak di pusat kota Nyoman menyewa dua buah kamar.
Satu untuknya sendiri dan yang lain untuk Luh Bayan Sarti. Kalau sang dara begitu masuk ke kamar terus berbaring dan tertidur pulas maka Nyoman Dwipa terlebih dulu pergi mandi membersihkan diri. Habis mandi rasa letihnya agak hilang berganti dengan kesegaran. Dia memanggil pelayan dan memesan dua porsi nasi. Yang satu porsi disuruhnya mengantarkan ke kamar Luh Bayan Sarti. Sambil menyantap makanannya Nyoman berpikir-pikir apakah malam itu juga akan dilakukannya penyelidikan di mana letak tempat kediaman musuh besamya yang bemama Tjokorda Gde Jantra itu dan sekaligus melakukan pembalasan melampiaskan dendam kesumat yang dipendamnya selama hampir lima bulan. Atau ditunggunya sampai besok?
Tengah dia menyantap makanan dan berpikirpikir itu mendadak pintu kamar diketuk orang. Nyoman Dwipa meletakkan piringnya di atas meja lalu membuka pintu. Pelayan penginapan berdiri di muka pintu itu dan menerangkan bahwa ketika dia mengantarkan hidangan ke kamar Luh Bayan Sarti temyata kamar itu kosong melompong, si gadis tak ada di dalamnya.
"Saya rasa terjadi hal yang tidak beres." menerangkan pelayan itu.
Mulanya Nyoman Dwipa menyangka Luh Bayan Sarti sedang pergi mandi. Tapi mendengar keterangan pelayan itu dia jadi terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu ada yang tak beres?"
"Jendela terpentang lebar, engselnya rusak!"
Tanpa menunggu lebih lama Nyoman Dwipa segera lari ke kamar Luh Bayan Sarti. Apa yang di terangkan oleh pelayan temyata betul. Kamar itu kosong, jendela terbuka lebar dan sebuah engselnya rusak. Buntalan pakaian milik Luh Bayan Sarti masih tergeletak di atas pembaringan. Tak ada tanda-tanda bekas terjadinya perkelahian di kamar itu. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi? Ke mana perginya Luh Bayan Sarti? Nyoman keluar dari rumah penginapan. Di luar hari telah malam. Udara dingin oleh hembusan angin. Gumpalan-gumpalan awan hitam menggantung di langit. Setelah melakukan penyelidikan di sekitar penginapan dan tak berhasil menemui Luh Bayan Sarti Nyoman Dwipa kembali menemui pelayan tadi dan berpesan agar tidak menerangkan peristiwa itu kepada siapapun. Lalu Nyoman sendiri kemudian meninggalkan rumah penginapan itu untuk menyelidiki ke mana lenyapnya gadis itu. Dalam hati kecilnya dia mengeluh. Jika betul terjadi apa-apa dengan gadis itu sedikit banyaknya dia harus bertanggung jawab. Ini berarti datangnya satu urusan baru padahal urusannya yang lebih penting yaitu melakukan pembalasan terhadap Tjokorda Gde Djantra sampai saat itu masih belum dilaksanakan!
Hampir dua jam lamanya Nyoman Dwipa meiakukan penye!idikan di seluruh Denpasar bahkan sampai ke-pelosokpelosok dan daerah luar kota. Penyelidikannya sia-sia belaka. Jangankan orangnya, jejak Luh Bayan Sarti-pun tak dapat dicarinyal Bayan Sarti-pun tak dapat dicarinya!
"Berabe kalau begini." keluh Nyoman Dwipa. Dengan putus asa dan juga mengkal pemuda ini kembali ke penginapan.
***
Apakah sebenarnya yang telah terjadi dengan Luh Bayan Sarti?Ketika petang itu Nyoman dan Luh Bayan Sarti memasuki Denpasar dari jurusan barat, seorang penunggang kuda yang tangan kanannya buntung memapasi mereka. Karena jalan yang ditempu memang banyak dilewati orang dan lagi pula saat itu hari sudah agak gelap maka baik Nyoman maupun Sarti sama sekali tidak memperhatikan orang-orang yang mereka papasi, termasuk penunggang kuda tadi. Namun penunggang kuda ini bukanlah orang yang lalu lalang biasa saja.
Dia bukan lain dari Ki Sawer Balangnipa, si manusia yang tampangnya macam ular yang telah pemah bertempur melawan Nyoman Dwipa dan Wiro Sableng beberapa waktu yang lalu! Karena manusia pemelihara ular ini seorang hidung belang bermata keranjang maka setiap melihat perempuan pasti tak akan luput dari pandangan matanya! Begitu juga ketika dia berpapasan dengan Luh Bayan Sarti. Melihat paras Sarti yang jetita, timbullah niat terkutuk dalam hati dan benaknya!
Namun sewaktu dia memperhatikan pemuda yang berjalan di samping sang dara, kagetlah Ki Sawer Balangnipa. Cepat dia mengenali Nyoman Dwipa sebagai pemuda yang telah bertempur dengan dia di tepi danau beberapa waktu yang lalu! Jika gadis itu ada hubungan apa-apa dengan si pemuda tentu saja dia tak punya nyali untuk melaksanakan maksud terkutuknya itu. Tapi sebagai seorang yang licik, Ki Sawer Balangnipa punya seribu satu macam akal. Sengaja dia melewati kedua orang itu sampai beberapa jauhnya kemudian berbalik kembali dan mengikuti Nyoman serta Sarti secara diam-diam. Dia sudah menyusun rencana sebagai berikut. Mula-mula akan diculiknya gadis berpakaian hitam yang sangat rnenarik hati dan merangsang nafsu bejatnya itu! Bila dia sudah dapatkan itu gadis akan dihubunginya beberapa tokoh-tokoh silat yanq berada di Denpasar lalu bersama-sama mereka akan mendatangi pemuda itu untuk rnelakukan pembalasan atas kekalahannya tempo hari dalam pertempuran di tepi danau!
Sewaktu melihat kedua orang itu memasuki sebuah penginapan, Ki Sawer Balangnipa berpendapat inilah kesempatan yang baik baginya untuk segera melaksanakan niat busuknya itu. Dengan mengandalkan kepandaiannya yang tinggi Ki Sawer Balangnipa berhasil memasuki kamar penginapan di mana Luh Bayan Sarti terbaring tidur keletihan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun! Karena gadis itu sedang tidur nyenyak mudah sekali bagi manusia yang punya tampang seperti ular itu untuk menotok urat di tubuh Luh Bayan Sarti. Dalam keadaan masih tertidur gadis itu kemudian dilarikannya keluar kota.
Kuda yang ditunggangi Ki Sawer Balangnipa laksana anak panah lepas dari busurnya dalam gelapan malam. Menjauhi kota dia berpikir-pikir ke mana akan dibawanya gadis itu. Akhirnya dia ingat sebuah kuil tua yang terletak di sebelah barat Denpasar. Kuil itu sudah sejak lama tidak dipergunakan. Orang yang lalu lintas memakainya sebagai tempat beteduh di kala hujan dan panas terik. Segera laki-laki ini memutar kudanya ke jurusan barat. Di langit buan sabit muncul setelah beberapa lamanya bersembunyi di balik awan hitam tebal. Sinar bulan sabit ini tak sanggup mengalahkan gelapnya malam di saat itu.
Selewatnya sebuah pesawangan Ki Sawer Balangnipa membelok memasuki sebuah jalan berbatu dan mendaki. Kira-kira sepeminuman teh dia sampai satu persimpangan. Ki Sawer Balangnipa menghentikan kudanya karena di antara persimpangan itulah letak kuil tua yang ditujunya. Pada siang hari dua mulut jalan yang mengapit kuil tua itu ramai dilewati orang-orang yang lalu lintas terutama para pedagang. Tapi pada malam hari suasana di situ sunyi senyap. Tak satu orangpun yang berani lewat kecuali prajurit-prajurit kerajaan yang meronda. Daerah sekitar situ sering kali menjadi tempat beroperasinya gerombolan rampok Warok Gde Jingga dari Bukit Jaratan yaitu kepala rampok yang telah dikalahkan Nyoman Dwipa beberapa hari yang lalu.
Dengan memanggul Luh Bayan Sarti laki-laki itu melangkah memasuki halaman kuil. Semula dia hendak menurunkan tubuh gadis itu di bagian depan, tapi setelah berpikir sejenak akhirnya dia masuk ke bagian dalam kuil. Di sini keadaan lebih gelap, tapi dibandingkan dengan di luar keadaan lantai jauh lebih bersih. Ki Sawer Balangnipa menyandarkan Luh Bayan Sarti di dinding kuil. Seringai setan terpampang di wajahnya yang bermuka binatang itu. Di sekanya peluh yang mencicir di kening, kemudian dua jari tangan kirinya bergerak melepaskan totokan ditubuh gadis itu.
Luh Bayan Sarti membuka kedua matanya. Kegelapan menghambar di hadapannya. Kemudian ketika sepasang matanya menjadi biasa dengan kegelapan itu heranlah gadis ini. Di manakah aku berada, pikirnya. Dia memandang sekali lagi berkeliling. Tiba-tiba tersentaklah dia karena tidak dinyananya kalau saat itu dekat sekali di hadapannya duduk mencangkung sesosok tubuh yang hitam pekat di telan kegelapan. Tak dapat dipastikan oleh gadis ini apakah yang dihadapannya itu manusia atau setan tapi yang jelas paras sosok tubuh itu mengerikan sekali, macam kepala dan paras seekor ular!
"Mungkin aku bermimpi," pikir Luh Bayan Sarti. Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dan pada saat itu makhluk di hadapannya datang mendekat, mengulurkan tangannya hendak menjamah tubuhnya. Di mulutnya tersungging seringai buruk yang menggidikkan dan dari sela bibirnya terdengar suara seperti mengekeh yang amat pelahan sedang dari hidungnya menghembus nafas panas!
"Siapa kau?!" bentak Luh Bayan Sarti seraya melompat.
Orang dihadapannya berdiri perlahan-lahan seraya keluarkan suara tertawa mengekeh.
"Jangan bertanya segalak itu, gadis cantik. Kau berhadapan dengan Ki Sawer Balangnipa!"
"Aku tak kenal kau! Lekas angkat kaki dari dapanku!" Ki Sawer Balangnipa tertawa gelak-gelak.
"Gadis galak biasanya juga galak di atas tempat tidur! Sayang di sini tak ada tempat tidur . . . "
"Bangsat rendah! Kau kira berhadapan dengan siapakah?!" bentak Luh Bayan Sarti.
"Sreett!!"
Gadis itu cabut pedangnya dari balik pakaian. Sedetik kemudian tubuhnya sudah berkelebat dan pedang di tangan kanannya menderu dalam satu bacokan yang laksana kilat cepatnya ke batok kepala Sawer Balangnipa.
"Trang!!"
Pedang Luh Bayan Sarti menghantam tembok kuil hingga hancur berguguran. Entah bagaimana mendadak sekali Ki Sawer Balangnipa tahu-tahu lenyap dari hadapan gadis itu hingga serangan Luh Bayan Sarti mengenai tempat kosong dan terus melanda tembok kuil! Gadis itu mengutuk habisibisan dalam hati. Sewaktu dirasakannya sambaran angin datang disamping kanannya, gadis ini cepat membalik seraya kiblatkan pedangnya. Tapi lagi-lagi dia menghantam tempat kosong dan sebelum dia bisa berbuat suatu apa, sebuah totokan bersarang di dadanya membuat sekujur tubuhnya mendadak sontak menjadi kaku tegang dalam keadaan masih memegangi pedang!
Didahului oleh suara tertawa mengekeh maka anusia bermuka ular itu kembali muncul di hadapan Luh Bayan Sarti dengan cengar-cengir seenaknya.
"Senjata ini tak boleh dibuat main", kata Ki iwer Balangnipa dengan tertawa-tawa lalu diambilnya pedang dari tangan gadis itu dan dilemparkannya sudut kuil.
"Bangsat kau lepaskah totokanku atau tidak." bentak Luh Bayan Sarti.
"Siapa yang mau ambil risiko, nona manis?!" sahut Ki Sawer Balangnipa. "Sudahlah, kau tak usah bicara keras-keras yang hanya mengejutkan setan-setan penghuni kuil tua ini saja! Di samping itu tak baik berdiri terus-terusan. Mari kutolong kau berbaring di lantai sini."
"Setan alas! Kau mau bikin apa?!"
"Mau bikin apa …?" Ki Sawer Balangnipa mengulang sambil tertawa mengekeh. "Kau lihat saja nanti. Yang pasti kau bakal merasakan bagaimana pandainya aku merubah malam yang dingin ini menjadi malam yang hangat bagi kita!" Habis berkata begitu dengan tangan kirinya Ki Sawer Balangnipa meraih pinggang si gadis dan membaringkannya di lantai kuil!
"Keparat kalau kau tidak lekas melepaskan aku, niscaya kau akan menyesal seumur hidup bahkan menyesal sarnpai ke hang kubur!"
"Ha …. ha, siapa yang akan menyesal merasakan kemulusan dan kepadatan tubuhmu! Siapa yang menyesal merasakan kenikmatan dirimu sebagai seorang perempuan, seorang perawan?! Ha … ha . . . ! Matipun aku tidak menyesal nonaku!"
Sehabis berkata begitu Ki Sawer Balangnipa menyelinapkan tangan kirinya ke bawah baju si gadis! Luh Bavan Sarti laksana disengat kalajengking sewaktu merasakan bagaimana jari-jari tangan laki-laki itu menyentuh buah dadanya!
"Manusia dajal! Rupanya kau belum tahu siapa aku!"
"Ah sudahlah jangan mengoceh juga," desis Ki Sawer Balangnipa. Lalu dengan penuh geram nafsu dibetotnya baju gadis itu hingga kancing-kancingnya berputusan.
"Keparat! Nyawamu tak akan berampun! Aku adalah adik Warok Gde Jingga dari Bukit Jaratan!" Ki Sawer Balangnipa terkejut juga mendengar ucapan ,gadis itu. Sesaat kemudian kemheli terdengar suara tertawanya.
"Oh, jadi kau adiknya kepala rampok hina dina itu? Siapa takutkan dia? Sepuluh manusia macam dia dijejer di hadapan Ki Sawer Balangnipa pasti akan kulabrak musnah!" Lalu tangan laki-laki itu berjerak mengelus perut Luh Bayan Sarti untuk kemudian dengan sangat terkutuknya meluncur ke bawah!
"Keparat! Kalau tidak kakakku, kawanku pasti akan datang menabas batang lehermu!"
"Hem siapakah kawanmu itu?"
"Nyoman Owipa! Dia murid Menak Putuwengi!"
"Jangan menipuku! Menak Putuwengi sudah sejak lama lenyap! Sudah mampus!" Dan gerakan tangan Ki Sawer Balangnipa yang tadi terhenti kini kembali meluncur! Namun sebelum tangan terkutuk itu dapat meluncur lebih jauh, satu bentakan menggeledek dari ruang depan.
"Terkutuk! Di tempat suci berani bikin kotor!" Terdengar satu suara siulan melengking langit dan berbarengan denjan itu selarik angin keras dan dingin menggidikkan menyambar ke arah batok kepala Ki Sawer Balangnipa!
KAGETNYA Ki Sawer Balangnipa laksana melihat dan mendengar petir menyambar di puncak hidungnya! Kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri dan bergulingan di lantai kuil pastilah kepalanya tak bisa diselamatkan dari hantaman angin dahsyat tadi! Begitu berdiri begitu dia membentak!
"Bangsat rendah yang menyerang secara gelap, coba unjukkan tampangmu!". Tiba-tiba Ki Sawer Balangnipa melengak karena baru saja dia habis membentak di belakangnya terdengar suara tertawa mengekeh.
"Silahkan putar tubuh dan kau akan melihat tampangku manusia muka ular!"
Ki Sawer Balangnipa membalikkan tubuhnya dengan cepat! Heran, hebat sekali gerakan manusia itu hingga dia tak sempat melihat bayangannyapun dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya! Ketika berhadap-hadapan dengan manusia itu mendadak menciutlah nyali Ki Sawer Balangnipa. Betapakan tidak. Orang yang kini berdiri di depannya bukan lain pemuda yang tempo hari telah membunuh puluhan ekor ularnya di tepi danau! Tapi rasa ngerinya itu tidak diperlihatkannya. Malah dia menyembunyikan dengan membentak garang!
"Kau rupanya bangsat haram jadah! Di cari-cari tak ketemu kini datang sendiri mengantar nyawa!"
Orang dihadapannya mengeluarkan suara bersiul. "Apakah tangan kananmu yang buntung sudah disambung hingga kau bernyali besar sekali?!"
Ki Sawer Balangnipa marah sekali. "Keparat! Apa yang kau lakukan tempo hari kini kau bakal terima balasannya bangsat Wiro Sableng!"
Habis berkata begitu Ki Sawer Balangnipa menggerakkan tangan kirinya dan sesaat kemudian sebuah senjata yang dibuat dari ular kering menderu ganas ke depan.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang tahu kelihayan lawan meskipun saat itu tangannya cuma tinggal satu, dengan tidak ayal segera bergerak menyelamatkan kepalanya. Dilain pihak Ki Sawer Balangnipa yang sudah pernah berhadapan dengan si pemuda dan suclah tahu betapa tingginya ilmu silat serta kesaktian Wiro Sableng, segera mengeluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya. Ular kering di tangan kirinya laksana hidup menjadi puluhan banyaknya dan menyerbu ke seluruh bagian tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng! Yang lebih hebatnya lagi karena dari mulut ular itu setiap saat menyambar racun hijau yang amat berbahaya. Meskipun kebal segala macam racun namun Wiro menutup penciumannya.
Pertempuran berjalan demikian serunya hingga Luh Bayan Sarti yang menyaksikan sampai-sampai lupa diri di mana dia berada dan apa sesungguhnya yang telah terjadi sebelumnya atas dirinya. Juga lupa nasib apa yang bakal menimpa dirinya jika pemuda berambut gondrong berpakaian putih itu tidak muncul di saat yang sangat kritis itu!
Untuk menghadapi serangan-serangan ganas yang bertubi-tubi serta jurus-jurus aneh yang dilancarkan lawan, Wiro Sableng sengaja keluarkan jurus-jurus pertahanan ilmu silat "orang gila" yang dipelajarinya dari Tua Gila. Jurus-jurus pertahanan tersebut diselingnya dengan jurus-jurus serangan warisan gurunya Eyang Sinto Gendeng. Hingga walau bagaimanapun hebatnya Ki Sawer Balangnipa, untuk merobohkan pemuda itu sampai seribu juruspun dia belum tentu bisa melakukannya. Di lain pihak WiroSablengsendiri maklum pula yang dia tidak pula akan bisa mempecundangi lawannya dengan mudah! Karena itu kedua tangannya kiri kanan mulai melancarkan pukulan-pukulan sakti yang mengandung tenaga dalam teramat tinggi! Ki Sawer Balangnipa mulai kewalahan! Jika saja gerakannya tidak gesit sudah tiga kali kepalanya hampir dilanda pukulan lawan!
Jurus kedua puluh ke atas Ki Sawer Balangnipa sudah terdesak hebat. Ketika lengan kirinya kena terpukul dan ular kering yang menjadi senjatanya mental jauh, nyali manusia ini benar-benar meleleh! Didahului dengan bentakan dahsyat laki-laki ini harttamkan tangan kirinya ke depan. Satu gelombang angin yang amat keras menderu menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Itulah pukulan sejagat bayu! Sewaktu Wiro Sableng berdiri limbung diterpa angin pukulan, kesempatan itu dipergunakan oleh Ki Sawer Balangnipa untuk melesat ke ruangan luar dan sebelum Wiro sempat mengejar, laki-laki itu sudah lenyap di kegelapan malam!
Pendekar 212 Wiro Sableng merutuk habis-habisan. Baginya manusia semacam Ki Sawer Balangnipa tukang rusak kehormatan perempuan itu tak ada pengampunan, apalagi mengingat pertempuran tempo hari di tepi danau. Tapi saat itu dia tak bisa berbuat suatu apa karena lagi-lagi Ki Sawer Balangnipa berhasil pula melarikan diri.
Wiro Sableng masuk ke dalam kuil tua kembali dan melangkah ke tempat di mana Luh Bayan Sarti terbujur dengan dada tiada tertutup dan celana panjangnya merorot turun. Meskipun keadaan dalam kuil itu gelap namun sepasang mata Pendekar 212 masih sanggup menikmati kebagusan buah dada dan keputihan perut Luh Bayan Sarti. Dengan mempergunakan jari-jari tangan kirinya Wiro kemudian melepaskan totokan di tubuh sang dara.
Begitu tubuhnya terlepas dari totokan, secepat Kilat Luh Bayan Sarti melompat, merapikan baju dan celana hitamnya.
"Pemuda tak dikenal, terima kasih atas pertolonganmu. Harap kau sudi memberi tahukan nama …" kata Luh Bayan Sarti bila pakaiannya sudah rapi.
"Aku Wiro Sableng. Kau siapa?"
"Luh Bayan Sarti," jawab si gadis memberi tahukan namanya. "Sekali lagi terima kasih". Lalu gadis itu melompat ke pintu kuil.
"Hai tunggu dulu!" seru Wiro Sableng mengejar. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan gadis itu.
"Ada apa?!" tanya Luh Bayan Sarti. "Mohon dimaafkan kalau aku tak bisa bicara lama-lama dengan kau. Itu bukan aku tidak tahu diri dan tak menghargai pertolonganmu, tapi karena aku harus cepat-cepat kembali ke kota."
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
"Waktu aku sampai ke sini tadi kudengar kau menyebut-nyebut nama Nyoman Dwipa. Apa sangkut pautmu dengan pemuda itu?"
Luh Bayan Sarti tak segera menjawab. Di tengah perjalanan ke Denpasar, Nyoman Dwipa menuturkan kepadanya tentang dendam kesumatnya terhadap seorang pemuda yang telah membunuh kekasihnya. Nyoman tidak menerangkan siapa nama pemuda itu. Tak bukan mustahil pemuda yang berdiri di hadapannya saat ini adalah musuh besar Nyoman Dwipa. Kalau tidak mengapa dia bertanya apa sangkut pautnya dengan Nyoman Dwipa?
"Katakan dulu apa hubunganmu dengan Nyoman Dwipa," ujar Luh Bayan Sarti.
Wiro kerenyitkan kening dan kembali menggaruk kepalanya. Dia tadi bertanya, tapi malah dijawab dengan balik bertanya.
"Dia sahabatku," jawab Wiro.
"Betul?! "
Wiro tertawa dan berkata, "Ada alasan yang membuat kau tak percaya ucapanku?!"
"Walau bagaimanapun baru kali ini aku kenal kau, meski kau adalah tuan penolongku!"
"Ah, jangan sebut-sebut soal pertolongan itu. Yang penting terangkan di mana Nyoman Dwipa berada saat ini. Aku ingin bertemu dengan dia."
"Kenapa ingin bertemu?"
"Eh, kau sangat curiga terhadapku! Dua sahabat ingin berternu apakah ada larangan? Kalau aku seorang gadis cukup pantas kau tidak menyukai pertemuanku dengan pemuda itu. Tapi toh aku ini laki-laki, sama seperti Nyoman?!"
"Kau tahu, sahabatku itu datang ke Denpasar untuk mencari musuh besarnya. Seorang pemuda yang telah membunuh kekasihnya . . . "
"Dan kau menduga aku orangnya yang menjadi musuh besar Nyoman Dwipa itu?!" Wiro Sableng lantas tertawa gelakgelak. Lalu diceritakannya pada Luh Bayan Sarti bagaimana pertama kali dia bertemu dengan Nyoman dan sama-sama bertempur melawan Ki Sawer Balangnipa. "Justru aku dalam perjalanan ke Denpasar mencari dia untuk menanyakan bagaimana penyelesaian persoalannya itu."
"Kalau begitu kita sama-sama saja ke Denpasar," kata Luh Bayan Sarti. Wiro menyetujui. Kedua orang itu kemudian berangkat ke Denpasar.
***
Mereka sampai di Denpasar menjelang tengah malam. Penginapan sunyi senyap, hanya dibeberapa bagian saja kelihatan lampu masih menyala. Seorang pelayan membukakan pintu depan sewaktu diketuk oleh Luh Bayan Sarti. Setengah mengantuk, pelayan itu berkata. "Semua kamar terisi. Harap cari saja penginapan lain.""Aku memang menginap di sini sebelumnya," jawab Luh Bayan Sarti. Diterangkannya bahwa dia dari luar kota menemui seorang kawan.
"Dan saudara ini …?" tanya pelayan seraya menunjuk pada Wiro Sableng.
"Dia bisa tidur sekamar dengan kawanku yang juga sama-sama menginap di sini." sahut Luh Bayan Sarti.
Pelayan penginapan kemudian membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan kedua orang itu masuk. Nyoman Dwipa saat itu belum tidur. Dia duduk di tepi pembaringan dalam kamarnya penuh gelisah memikirkan Luh Bayan Sarti yang lenyap tak tahu ke mana perginya. Dalam kegelisahan itu pemuda ini mendengar suara langkah-langkah kaki mendekati kamarnya. Dia menyangka itu adalah langkah tamu yang menginap dipenginapan itu dan hendak pergi ke belakang. Tapi dia jadi terkejut sewaktu pintu kamarnya diketuk orang dari luar. Begitu pintu dibuka kejut Nyoman Dwipa lebih lagi karena yang berdiri diambang pintu adalah Luh Bayan Sarti sendiri dan dibelakang gadis itu dilihatnya berdiri Wiro Sableng! Rasa terkejut Nyoman Dwipa sesaat kemudian berubah menjadi kegembiraan. Karena kurang baik bicara bertiga-tigaan di dalam kamar maka Nyoman mengajak kedua orang itu ke tempat penerimaan tamu dan di sini dia minta agar Luh Bayan Sarti menceritakan apa sesungguhnya yang telah terjadi.
Bukan main geram dan marahnya Nyoman Dwipa sewaktu mendengar bahwa Ki Sawer Balangnipalah yang telah membuat gara-gara, menculik Luh Bayan Sarti dan hampir berhasil merusak kehormatan gadis itu jika sekiranya Wiro Sableng tidak kebetulan lewat di depan kuil tua dalam perjalanannya ke Denpasar.
"Bangsat bermuka ular itu tidak sukar untuk mencarinya," kata Wiro. "Tapi bagaimanakah persoalanmu dengan orang yang bernama Tjokorda Gde Djantra itu … ?"
"Sebenarnya aku bermaksud mengadakan penyelidikan malam ini jika saja tidak terjadi peristiwa yang menimpa Luh Bayan Sarti. Besok pagi akan segera kucari keterangan di mana tempat kediamannya! Bagaimanapun nyawa busuk manusia yang satu itu tak bakal lepas dari kematian!"
Karena hari sudah jauh malam ketiga orang itu meninggalkan ruang tamu. Luh Bayan Sarti kembali ke kamarnya sedang Wiro menumpang tidur di kamarnya Nyoman Dwipa.
MENJELANG Dinihari hujan rintik-rintik turun membasahi Denpasar. Dinginnya udara bukan alang kepalang membuat setiap orang yang seharusnya sudah bangun saat itu, menyelimuti tubuhnya kembali dan meneruskan tidur. Beberapa saat kemudian fajarpun menyingsing. Bersamaan dengan munculnya sang surya di sebelah timur hujan rintik-rintikpun berhenti. Udara kini kelihatan cerah terang benderang. Suasana dingin diganti dengan kehangatan sinar sang surya yang segar. Di jalanjalan dalam kota Denpasar mulai kelihatan kesibukan orang-orang dan kendaraan-kendaraan yang lalu lintas.
Di bagian barat kota dua orang pemuda dan seorang gadis kelihatan melangkah cepat menuju ke pusat Denpasar yang ramai. Gadis berpakaian hitam bukan lain adalah Luh Bayan Sarti. Pemuda yang berpakaian putih ialah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kecantikan paras Luh Bayan Sarti, kecakapan wajah Nyoman Dwipa serta kegondrongan rambut yang menjela bahu dari Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi perhatian setiap orang yang memapasi mereka. Kebanyakan orang segera memaklumi bahwa ketiga orang muda itu adalah orang-orang dari dunia persilatan. Menyaksikan orang-orang persilatan di dalam kota Denpasar bukan soal baru lagi karena memang banyak dari mereka yang memasuki kota untuk mengurus keperluan. Bahkan di Denpasar sendiri terdapat beberapa perguruan silat sedang di luar kota terletak sebuah gedung besar tempat berkumpul tokohtokoh silat yang terkenal di kota itu dan dari lain-lain kota di Pulau Bali.
Nyoman Dwipa telah mendapatkan keterangan dimana letak rumah kediaman musuh besarnya yang bernama Tjokorda Gde Djantra. Kesanalah ketiga orang menuju dipagi hari itu. Pintu halaman yang merupakan sebuah pintu gerbang besar dari gedung kediaman Tjokorda Gde Djantra masih dikunci.
"Kita dobrak saja!" kata Nyoman Dwipa seraya siap hendak menendang pintu gerbang besar itu dengan kaki kanannya.
"Jangan!" kata Wiro cepat. "Itu akan menarik perhatian orang. Jangan lupa bahwa di Denpasar ini terdapat juga tokohtokoh silat klas satu …"
"Siapa takutkan mereka?!" sahut Nyoman beringas karena dia sudah tak sabaran untuk segera melampiaskan dendam kesumatnya.
"Bukan itu soalnya, Nyoman. Jika tokoh-tokoh itu ikut campur sebelum kau berhasil membalaskan sakit hatimu, berarti cukup besar juga halangan bagimu. Sebaiknya selagi tak ada orang sekitar sini kita melompat saja. Tembok itu tak seberapa tinggi."
Nyoman menyetujui pendapat Wiro. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh masing-masing ketiga orang itupun melompati tembok dan sampai di halaman dalam tanpa kaki-kaki mereka menimbulkan suara sedikitpun sewaktu menyentuh tanah.
Gedung besar tempat kediaman Tjokorda Gde Djantra berada dalam keadaan sunyi senyap. Mungkin penghuninya masih tidur. Namun saat itu pintu samping tiba-tiba terbuka dan seorang laki-laki separuh baya berpakaian bagus muncul membawa dua ekor ayam jago yang dikempit di ketiak kiri kanan. Orang ini menghentikan langkah dan memandang heran campur kaget pada Nyoman Dwipa dan dua orang lainnya. Dia mengerling sekilas pada pintu gerbang dan jelas dilihatnya pintu itu masih dipalang dari dalam. Tak dapat tidak ketiga manusia tak di kenal itu pasti memasuki halaman gedung dengan jalan melompat.
"Orang-orang muda, kalian siapa?!" orang ini bertanya.
"Katakan dulu dengan siapa kami berhadapan!" jawab Nyoman Dwipa.
"Aku Tjokorda Gde Anjer, pemilik gedung ini."
Rahang Nyoman Dwipa terkatup rapat-rapat lalu mulutnya terbuka. "Jadi kau bangsawan yang bernama Tjokorda Gde Anjer itu …?" ucapan ini disertai dengan suara mendengus.
"Harap kalian menerangkan siapa kalian adanya dan punya maksud apa memasuki rumah orang pagi-pagi begini secara tidak terhormat?!"
Nyoman Dwipa menyeringai. "Rupanya kau masih memandang tinggi nilai-nilai kehormatan, Gde Anjer!" ParasTjokorda Gde Anjer berubah.
"Apa maksudmu, orang muda?" dia bertanya.
"Masih ingat pembunuhan yang kau lakukan atas diri I Krambangan dan beberapa orang kawan-kawannya sekitar lima bulan yang lewat?!"
Tjokorda Gde Anjer terkejut. Betul-betul terkejut dia kini karena pertanyaan itu sama sekali tak diduganya. Sesudah peristiwa itu terjadi sebenarnya bangsawan ini merasa menyesal sekali. Dan hari ini muncul seorang pemuda dengan dua orang kawannya mengungkap kembali persoalan yang sebenarnya sudah dilupakannya, sekurang-kurangnya diusahakannya untuk melupakan!
"Apa sangkut pautmu dengan peristiwa itu orang muda?" tanya bangsawan tersebut. Matanya mengawasi ketiga orang itu terutama Nyoman Dwipa. "Apakah kau anaknya I Krambangan yang datang untuk menuntut balas?!"
"Jadi kau siapa?!"
"Pembalasan juga bisa dilakukan oleh apa yang dinamakan kebenaran! Kau dengar Tjokorda Gde Anjer?! Hari ini kebenaran datang untuk minta tanggung jawab atas nyawa-nyawa manusia yang pernah kau bunuh lima bulan yang lalu itu!"
"Kalau kau tak ada sangkut pautnya, dengan peristiwa itu mengapa kini kau muncul untuk minta pertanggungan jawab segala?!" ujar Tjokorda Gde Anjer.
"Setiap kebenaran selalu mempunyai sangkut paut dengan kejahatan!" jawab Nyoman Dwipa seraya melontarkan senyum mengejek.
Tjokorda Gde Anjer tertawa. Tapi tertawa pahit. Setelah menarik nafas panjang diapun berkata: "Sebenarnya aku menyesal terjadinya hal itu. Tapi keadaan memaksaku untuk berbuat begitu …"
"Penyesalan selalu datang terlambat, Tjokorda Gde Anjer. Kalau tidak terlambat namanya bukan penyesalan!" kata Nyoman Dwipa pula.
Ucapan-ucapan yang dilontarkan Nyoman Dwipa sejak tadi tak ubahnya seperti pukulan-pukulan berat yang menghunjam bathin bangsawan itu.
"Sekarang apa maumu orang muda?!"
"Apakah kau sebagai seorang laki-laki masih mempunyai hati jantan untuk bertempur sampai beberapa puluh jurus guna mempertanggungjawabkan perbuatanmu tempo hari?!" Tjokorda Gde Anjer tertawa getir.
Sebagai jawaban bangsawan itu melepaskan dua ekor ayam jantan yang sejak tadi dikempitnya. "Sebelum kita bertempur katakan dulu siapa kau adanya!"
"Namaku Nyoman Dwipa. I Krambangan adalah calon mertuaku . . . "
"Cuma baru calon?" ejek Tjokorda Gde Anjer yang membuat wajah Nyoman Dwipa menjadi merah.
"Kedatanganku ke sini juga untuk mencari anakmu yang bernama Tjokorda Gde Djantra. Karena dialah kekasihku menemui kematian setelah sebelumnya dirusak kehormatannya! Di mana anakmu itu sekarang?!"
Tjokorda Gde Anjer memutar otaknya dengan cepat lalu menjawab. "Anakku berada di Gedung Putih. Jika kau punya nyali silahkan datang kesitu. Tapi itupun jika seandainya kau masih punya nyawa setelah bertempur denganku!"
Nyoman Dwipa tertawa menggeram lalu mencabut tongkat bambu kuningnya. Tjokorda Gde Anjer sendiri segera pula mencabut senjatanya yaitu sebilah keris kuning ber-eluk duabelas.
"Apakah kau akan maju bertiga?!" tanya bangsawan itu.
"Aku tidak sepengecut yang kau kirakan, Gde Anjer. Dulu kudengar kau menghadapi I Krambangan bersama seorang kaki tanganmu. Kalau dia ada di sini cepat panggil biar dapat kubereskan sekaligus!"
"Jangan terlalu congkak orang muda! Aku sendiripun mungkin cuma sepuluh jurus bisa kau hadapi! Mulailah!"
"Kau yang hendak mampus silahkan mulai lebih dulu!" kata Nyoman Dwipa penuh penasaran karena ucapan ayah musuh besamya itu.
Senyum mengejek lenyap dari bibir Tjokorda Gde Anjer pada saat laki-laki ini menerjang kemuka. Keris di tangan kanan berkelebat dan menderu ke arah dada Nyoman Dwipa lalu membabat ketenggorokan dengan teramat cepatnya hingga hanya sinar senjata itu saja yang kelihatan! Sungguh hebat serangan yang dikeluarkan Tjokorda Gde Anjer ini. Itu adalah jurus serangan yang bernama "menusuk bukit membabat puncak gunung". Dengan mengeluarkan jurus itu dia berharap akan membuat si pemuda kepepet demikian rupa hingga dia bisa menyusul dengan serangan kedua yang mematikan!
Nyoman Dwipa meskipun muda belia dan belum punya pengalaman apa-apa dalam dunia persilatan tapi dia adalah murid gemblengan Menak Putuwengi.
Serangan dahsyat Tjokorda Gde Anjer tidak membuatnya jadi gugup apalagi kepepet! Dengan membuat langkah mengelak ke samping dia berhasil membuat serangan lawan mengenai tempat kosong.
Dan di saat itu pula dengan kecepatan yang luar biasa pemuda ini balas menyerang. Tongkat bambu kuningnya bersiuran dafr tahu-tahu ujungnya menusuk ke perut lawan.
Tjokorda Gde Anjer terkejut bukan main hingga dia terpaksa membatalkan serangan susulannya yang sudah direncanakan tadi dan meloncat mundur ke belakang seraya menyapukan kerisnya ke muka dengan sebat sengaja memapas jalannya senjata lawan dengan maksud memotongnya jadi dua!
Nyoman Dwipa tidak ragu-ragu untuk meneruskan tusukannya ke perut lawan hingga sesaat kemudian bambu dan keris itupun saling bentrokanlah!
Tangan kanan Tjokorda Gde Anjer tergetar hebat. Bukan saja kerisnya tak sanggup membabat buntung bambu kuning itu tapi senjatanya sendiri hampir terlepas mental karena licinnya bambu dan kerasnya bentrokan! Diam-diam Tjokorda Gde Anjer memercikkan keringat dingin di tengkuknya. Tiada diduganya anak muda yang menjadi lawannya memiliki tenaga dalam yang ampuh dan tidak dinyananya senjata lawan yang cuma sebilah bambu kuning itu nyatanya sebuah senjata yang tak bisa dibuat main!
Menyadari semua itu Tjokorda Gde Anjer tanpa menunggu lebih lama segera mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang terhebat. Kerisnya mencuit-cuit di udara, tubuhnya lenyap merupakan bayang-bayang. Di lain pihak dengan mengertakkan geraham Nyoman Dwipa mempercepat pula gerakannya. Dalam tempo yang singkat belasan jurus telah berlalu. Sinar bamboo kuning menderu-deru. Detik demi detik sinar itu semakin rapat mengurung tubuh Tjokorda Gde Anjer.
Pada jurus keduapuluh lima Nyoman Dwipa benar-benar sudah berada di atas angin dan merasa tak ada gunanya lagi dia bertempur lebih lama dengan lawannya itu. Diiringi oleh satu hentakan yang menggeledek dan menyirapkan darah Tjokorda Gde Anjer, bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa membuat gerakan setengah lingkaran lalu laksana kilat menusuk ke perut Tjokorda Gde Anjer!
Tjokorda Gde Anjer terpekik! Tubuhnya terhuyung ke belakang. Kerisnya lepas sedang kedua tangannya memegangi perutnya yang robek besar dan memancurkan darah. Sekali lagi bangsawan ini menjerit lalu tubuhnya tergelimpang roboh di tanah, ususnya menggelegak membusai keluar!
Di saat itu pula diambang pintu muncul sesosok tubuh. Orang ini adalah istri Tjokorda Gde Anjer. Perempuan ini menjerit lalu lari menubruk tubuh suaminya yang saat itu megap-megap menuju sakarat! Pemandangan itu benar-benar menyayat hati. Namun semua itu terpaksa dan harus terjadi karena jalinan hiduplah yang menghendakinya!
KEMANA kita sekarang?" Tanya Luh Bayan Sarti ketika mereka sudah berada jauh dari gedung kediaman Tjokorda Gde Anjer.
"Ke Gedung Putih!" sahut Nyoman Dwipa seraya mempercepat langkahnya.
"Tunggu dulu Nyoman," kata Luh Bayan Sarti seraya pegang lengan pemuda itu hingga sesuatu perasaan aneh menyamak di hati Nyoman. Karena di situ ada Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan wajah merah Nyoman lantas menarik lengannya.
"Ada apa?" tanya Nyoman Dwipa pula.
"Sebaiknya kita jangan pergi kesana, Nyoman…"
"Memangnya kenapa? Justru musuh besarku berada di sana!"
"Aku mengerti. Kita tunggu saja bila dia meninggalkan gedung itu dan baru membuat perhitungan. Pergi ke sana besar bahayanya!"
Nyoman tertawa.
"Aku memang pemah mendengar tentang Gedung Putih itu," berkata Wiro Sableng. "Di situ tempar berhimpunnya tokohtokoh silat kawakan di seluruh Bali. Jika Tjokorda Gde Djantra berada di situ pasti di sana terdapat pula beberapa tokoh silat temama lainnya . . ."
"Aku tidak takut masuk ke sana!" kata Nyoman.
"Memang, hitung-hitung untuk cari pengalaman baru." sahut Wiro lalu berpaling pada Luh Bayan Sarti.
"Aku cuma mengawatirkan kalau-kalau terjadi apa-apa dengan diri Nyoman sebelum dia sempat membalaskan sakit hatinya terhadap Tjokorda Gde Djantra …. "
Wiro tersenyum kecil. "Sepatutnya kau mengawatirkan keselamatannya, Sarti!" kata Pendekar ini sehingga baik Nyoman maupun gadis itu menjadi sama-sama kemerahan paras mereka. Tanpa banyak perdebatan lagi akhirnya ketiga orang itupun meianjutkan perjalanan. Gedung Putih adalah sebuah gedung besar yang terletak di luar kota sebelah tenggara. Seperti yang diketahui oleh Wiro Sableng, memang gedung itu manjadi pusat pertemuan tokoh-tokoh silat ternama bahkan juga menjadi tempat menguji kepandaian serta tempat memberikan latihan ilmu silat tingkat tinggi kepada orang-orang yang menjadi anggota Gedung Putih.
Salah seorang di antaranya adalah Tjokorda Gde Djantra. Meskipun pemuda ini sudah tinggi ilmu silatnya tapi dari beberapa tokoh silat lainnya dia masih memerlukan untuk menambah pelajaran silatnya hingga dibandingkan dengan waktu lima bulan yang lalu kepandaian pemuda ini sudah jauh bertambah! Sudah sejak satu minggu Tjokorda Gde Djantra berada di Gedung Putih menerima latihan-latihan dari beberapa tokoh silat dan ke sanalah Nyoman Dwipa serta kawan-kawannya menuju.
Sesungguhnya keterangan Tjokorda Gde Anjer yang mengatakan bahwa anaknya berada di Gedung Putih adalah mempunyai maksud tertentu! Sengaja hal itu dikatakannya dengan keyakinan bahwa kelak Nyoman Dwipa betul-betul akan pergi ke sana. Dan pergi ke sana berarti sama saja masuk ke dalam perangkap karena di Gedung Putih banyak sekali tokohtokoh silat klas satu yang menjadi kawan anaknya sehingga dapat dipastikan bahwa Nyoman Dwipa akan menemui kematiannya kalau berani masuk ke Gedung Putih! Di satu pendataran tinggi ketiganya berhenti.
Luh Bayan Sarti menunjuk ke bawah pedataran di mana terletak sebuah bangunan besar yang keseluruhannya berwarna putih hingga berkitau-kilau kena sorot sinar matahari.
"Itulah Gedung Putih" kata gadis itu.
Nyoman memandang dengan mata disipitkan dan tangan terkepal. "Ayo!" katanya, "makin cepat kita sampai di sana makin baik!"
Dengan mempergunakan ilmu lari cepat, ketiganya menuruni pendataran tinggi menuju ke Gedung Putih. Kira-kira setengah peminuman teh merekapun sampai di hadapan gedung besar itu. Dua orang laki-laki yang berdiri di ambang pintu gedung yang tertutup menyambut kedatangan mereka. Salah seorang di antaranya setelah melirik dulu pada Luh Bayan Sarti bertanya dengan nada keren.
"Siapa kalian dan maksudapa datang ke mari?!"
Nyoman Dwipa yang sudah berangasan segera membuka mulut tapi Pendekar 212 Wiro Sableng yang berotak cerdik cepat mendahului.
"Kami bertiga mencari sahabat lama yang bernama Tjokorda Gde Djantra."
Karena di antara mereka terdapat seorang dara berparas cantik tentu saja kedua orang penjaga pintu tidak menjadi curiga malah kini menunjukkan sikap hormat. Nyatalah bahwa Tjokorda Gde Djantra disegani di Gedung Putih itu.
"Sahabat yang kau cari memang berada di dalam. Tapi harap kau rnenunggu sampai nanti siang atau kembali saja nanti siang jika ingin bertemu dengan dia…."
"Agaknya ada pertemuan penting di dalam gedung?" tanya Wiro.
"Betul. Di dalam tengah diadakan pemilihan Ketua Gedung Putih yang baru dan Tjokorda Gde Djantra adalah Ketua Panitia Pemilihan. Pemilihan baru selesai siang nanti, jadi kalian bertiga kembali saja nanti siang kalau sekiranya tak bersedia menunggu di sini."
"Karena kami datang dari jauh, baiklah kami sedia menunggu," kata Wiro Sableng seraya menggaruk-garuk kepala dan memandang berkeliling pura-pura mencari tempat duduk. Tapi begitu kedua penjaga pintu lengah, sekali bergerak saja Wiro berhasil menotok mereka hingga kaku tegang tak bisa bersuara. Kedua orang itu kemudian dilemparkan ke balik sebuah gundukan tanah yang terdapat tak jauh dari pintu depan tersebut.
Dengan mudah pintu besar dibuka. Nyoman Dwipa masuk lebih dulu diiringi oleh Luh Bayan Sarti dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Mereka sampai di sebuah ruangan yang bagus berperabotan mewah tapi di situ sunyi senyap tak seorangpun yang kelihatan. Di ujung ruangan membentang sebuah tirai biru. Ketiganya melangkah tanpa suara ke dekat tirai ini dan Nyoman menyibakkan ujung tirai sedikit, memandang ke ruangan di balik sana. Dilihatnya sebuah tangga batu mar-mar yang menuju ke sebuah pintu kayu jati yang berukir-ukir bagus sekali. Di kiri kanan pintu itu berdiri dua orang laki-laki berpakaian putih, bersenjatakan masing-masing sebilah pedang. Di samping mereka terdapat sebuah gong besar yang terbuat dari perunggu. Sebuah pemukul tergantung di samping gong.
Wiro tengah memikirkan satu akal untuk membuat kedua orang itu tidak berdaya. Dia mempunyai pikiran bahwa gong yang terletak di samping keduanya adalah gong tanda bahaya. Namun sebelum dapat akal, Nyoman sudah menyibakkan tirai dan melangkah cepat ke hadapan kedua orang itu. Terpaksa Wiro dan Luh Bayan Sarti cepat-cepat mengikuti.
"Hai siapa kalian?!" seru salah seorang dari penjaga itu seraya tangan kanannya cepat bergerak ke hulu pedang.
"Jangan bertindak ceroboh Nyoman," bisik Wiro, "biar aku yang jawab pertanyaannya!
Wiro lantas maju ke hadapan kedua penjaga itu dan memberi hormat lalu berkata, "Dua orang kawanmu di luar sana telah mengizinkan kami untuk masuk ke dalam menemui Tjokorda Gde Djantra!"
"Tak mungkin!" kata penjaga yang seorang, "semua penjaga Gedung Putih telah diberi tahu untuk tidak memberi izin masuk siapapun …" lalu dia melangkah mendekati gong perunggu.
"Teman-temanmu juga bilang begitu," kata Wiro cepat, "tapi karena kami datang membawa gadis ini mereka telah memberi izin."
"Siapa gadis ini?!"
"Kekasih Tjokorda Gde Djantra . . . Dia ada urusan penting sekali. Jika kalian tidak memberi izin menemuinya kelak kalian berdua akan kena damprat dari Tjokorda Gde Djantra . . . "
Kedua penjaga itu saling pandang seakan-akan meminta persetujuan masing-masing apakah memberi izin masuk terhadap ketiga orang itu. Dan ini sudah cukup bagi Wiro Sableng untuk melompat ke muka dan menotok urat besar di dada kedua penjaga tersebut hingga mereka berubah laksana menjadi patung-patung batu yang kaku tegang di tempatnya masingmasing! Di ruangan di balik pintu kayu jati …
Dua puluh orang tokoh-tokoh silat di Pulau Bali duduk mengelilingi sebuah meja besar. Di ujung meja berdiri seorang pemuda yang bukan lain Tjokorda Gde Djantra adanya. Di hadapannya terdapat sebuah kotak kayu yang beriobang bagian atasnya. Ke dalam kotak itulah nanti akan dimasukkan kertas-kertas pemilih bertuliskan nama calon. Ketua Gedung Putih yang dipilih. Saat itu Tjokorda Gde Djantra baru saja hendak membuka suara ketika di ujung sama dilihatnya pintu besar terbuka dan tiga sosok tubuh masuk ke dalam. Begitu pandangan matanya membentur paras Nyornan Dwipa yang segera dikenalnya, terkaejutlah dia!
Kemunculan ketiga orang itu tentu saja bukan cuma mengejutkan Nyoman Dwipa tapi semua orang yang ada di ruangan pemilihan tersebut. Bagaimana penjaga-penjaga di luar berani-beranian mengizinkan mereka masuk? Atau mungkin ketiga orang ini telah mempreteli penjaga-penjaga Gedung Putih?! Dan melihat kepada gerak-gerik ketiganya nyatalah bahwa mereka orangorang dari dunia persilatan!
"Para hadirin yang ada di sini, mohon dimaafkan kalau kedatangan kami ini mengganggu acara di sini… "
"Kunyuk-kunyuk kotor! Siapa kalian yang berani mengacau masuk ke Gedung Putih?!" membentak seorang kakek-kakek berjubah putih bernama Prakata Gandara, Dia adalah ketua Gedung Putih yang segera akan meletakkan jabatannya bila calon Ketua baru terpilih.
Wiro berpaling dan menjura pada orang tua ini seraya sunggingkan senyum seenaknya.
"Orang tua, kedatangan kami ke sini bukan untuk mengacau. Kami tidak ada urusan buruk dengan kau orang tua maupun dengan yang lain-lainnya, kecuali kawanku ini mempunyai silang sengketa dendam kesumat dengan seorang pemuda bemama Tjokorda Gde Djantra yang katanya berada di sini!"
Semua mata memandang pada Nyoman Dwipa lalu berpaling pada Tjokorda Gde Djantra yang saat itu berdiri tak bergerak di ujung meja besar seraya matanya memandang bulat-bulat pada Nyoman Dwipa dengan penuh tanda tanya Bukankah dulu dia telah bertempur melawan pemuda ini dan telah mengirim Nyoman Dwipa ke dasar jurang?! Tapi kenapa sekarang hidup lagi dan datang bersama dua orang tak dikenal lainnya?! Benar-benar dia tak mengerti dan tak bisa percaya!.
Sementara itu Luh Bayan Sarti yang memandang berkeliling telah melihat pula Ki Sawer Balangnipa diantara para hadirin sehingga begitu Wiro berhenti bicara dia segera menyambungi, "Aku sendiri juga mempunyai seorang musuh besar pula diantara para hadirin! Itu … manusia yang punya tampang macam ular!"
Merahlah paras Ki Sawer Balangnipa mendengar ucapan itu. Dia berdiri kursinya dan membentak, "Gadis! Kau mencari mati berani masuk ke sini bersama kawan-kawanmu!"
Prakata Gandara berdiri dari kursinya dan berpaling pada Nyoman Dwipa. "Katakanlah dendam kesumat apa yang kau pendam terhadap salah seorang anggota Gedung Putih!"
"Aku tidak mendendam dia sebagai seorang anggota Gedung Putih tapi sebagai manusia busuk yang bemama Tjokorda Gde Djantra!" sahut Nyoman Dwipa pula.
"Baik, katakan urusanmu hingga kami di sini bisa memutuskan langkah selanjutnya!" ujar Prakata Gandara.
"Dia telah menculik calon istriku, merusak kehormatannya hingga gadis itu akhirnya mati bunuh diri secara penasaran!" jawab Nyoman Dwipa tanpa tedeng aling-aling.
"Betul?!" tanya Prakata Gandara pada Tjokorda Gde Djantra.
"Ketua, aku menculik anak gadis orang bukan dengan niat jahat, tapi untuk mengawininya. Dan cara itu sudah menjadi adat kebiasaan di Pulau Bali ini!" sahut Tjokorda Gde Djantra.
"Lidahmu tidak bertulang pemuda busuk hingga kau bisa mencari-cari alasan! Kalau kau bemiat baik terhadap gadis itu setelah dia bunuh diri mengapa mayatnya kau tinggalkan busuk di tepi telaga? Dan kau juga punya hutang jiwa yang belum terselesaikan terhadap diriku sendiri!" semprot Nyoman Dwipa.
"Dan kau gadis cantik, apa urusanmu dengan Ki Sawer Balangnipa hingga kau berani datang ke sini dan menghinanya di depan mata hidung kami?!"
"Menghina ular tua itu bukan berarti menghina anggota-anggota Gedung Putih yang benar-benar berjiwa satria dan berhati polos! Aku datang menginginkan jiwanya karena beberapa hari yang lalu dia menculik dan hendak memperkosaku!"
Ki Sawer Balangnipa berbatuk-batuk beberapa kali lalu berkata dengan cepat sebelum Prakata Gandara menanyainya:
"Ketua, pertama sekali ingin kuberitahukan padamu dan pada semua yang hadir di sini bahwa gadis berbaju hitam ini bukan lain Luh Bayan Sarti, adik kandung perampok ganas yang bernama Warok Gde Djingga dari Bukit Jaratan! Puluhan manusia tak berdosa telah mati di tangan rampok perempuan ini serta kakaknya. Tak terhingga banyaknya harta kekayaan Kerajaan yang dirampoknya. Kurasa sebaiknya kita cepat-cepat membekuknya dan menyerahkannya pada Kerajaan. Bukan saja berarti kita membuati pahala tapi dirinyapun bisa dipakai sebagai alat untuk membekuk batang leher kakaknya!"
"Soal mencari pahala untuk kerajaan itu baik kita bicarakan setelah urusan-urusan dendam kesumat itu selesai Ki Sawer!"
kata Wiro Sableng mengetengahi. Ki Sawer Balangnipa mengatupkan mulutnya rapat-rapat penuh geram. Dia sudah tahu kelihayan Pendekar kita, karenanya dia saat itu hanya mengutuk dalam hati habis-habisan.
Prakata Gandara berpaling pada Wiro Sableng dan bertanya, "Kau siapa pemuda rambut gondrong? Apakah juga punya urusan dendam kesumat dengan salah seorang di sini?!"
"Ah, aku orang buruk ini cuma jadi pengantar kedua orang ini," sahut Wiro Sableng.
"Kalau kau cuma kacung pengantar kau tak layak bicara!" semprot Prakata Gandara. Disemprot begitu Wiro Sableng ganda tertawa dan keluarkan suara bersiulan! Kejut Ketua Gedung Putih dan semua orang di situ bukan main karena suara siulan Wiro Sableng yang cuma terdengar pelahan itu tapi menyakitkan liang telinga mereka! Maklumlah semua orang kalau pemuda berambut gondrong bertampang tolol itu memiliki ilmu tinggi.
Prakata Gandara membuka mulut kembali. "Karena nyatanya memang ada anggota-anggota Gedung Putih yang membuat sedikit kesalahan di luaran maka biarlah aku dan para toa Gedung Putih yang akan menjatuhkan hukuman setimpal atas diri mereka!"
Nyoman tersenyum mendengar ucapan cerdik orang tua itu. "Terima kasih Ketua Gedung Putih yang mau turun tangan terhadap orang-orangmu! Tapi kedatangan kami ke sini bukan untuk memintamu untuk berbuat begitu, melainkan untuk turun tangan sendiri."
"Baiklah jika memang demikian kehendakmu," kata Ketua Gedung Putih. Tangan kanannya diangkat ke arah sebuah tirai merah di ujung ruangan. Jarak antara tirai dan tempatnya berdiri sekira dua puluh langkah tapi hebatnya dengan kekuatan tenaga dalamnya Prakata Gandara berhasil menyibakkan tirai tersebut hingga di seberang sana kelihatanlah sebuah panggung datar yang amat luas! Laki-laki ini memandang seraya tersenyum pada Nyoman Dwipa, dan berkata, "Arena telah siap menunggu. Tapi terus terang saja sebagai orang-orang Gedung Putih, semua kami di sini tentu tak akan berlepas tangan saja …"
"Kalau begitu naga-naganya," menimpati Wiro Sableng seraya garuk-garuk kepala, "sebagai kacung yang buruk tentu aku tidak pula bisa berpangku tangan!" Habis berkata begitu Pendekar ini melangkah seenaknya menuju ke arena. Dan mengikuti tindakan pemuda itu, semua orang menjadi membeliakkan mata mereka. Betapakan tidak! Setiap langkah yang dibuat Wiro, setiap kakinya menginjak batu mar-mar diruangan tersebut, lantai batu itu melesak kehitaman dalam bentuk telapak-telapak kakinya!
Wiro Sableng sampai di atas arena batu sementara Luh Bayan Sarti dan Nyoman Dwipa sudah berada pula di sampingnya. Prakata Gandara mau tak mau menjadi tercekat juga hatinya. Pemuda gondrong bertampang tolol itu saja ilmunya tinggi bukan main, apalagi yang bernama Nyoman Dwipa pikirnya. Dia tidak tahu bahwa di antara ketiga manusia yang berdiri di arena itu justru Wiro Sablenglah yang paling berbahaya!
"Bangsat yang bernama Tjokorda Gde Djantra silahkan naik ke sini agar kau bisa menyusui ayahmu lebih cepat!" seru Nyoman Dwipa.
Terkejutlah Tjokorda Gde Djantra mendengar ucapan itu. "Apa?! Apa yang telah kau perbuat terhadap ayahku?!" teriaknya.
"Bapak moyangmu itu bertanggung jawab atas kematian I Krambangan dan beberapa orang kawannya! Aku telah mewakili roh-roh mereka untuk merampas jiwa bapakmu, mengerti?!"
"Anjing kurap!" teriak Tjokorda Gde Djantra dan melompat ke atas arena. Selarik sinar kuning menderu ke arah Nyoman Dwipa. Itulah keris Bradjaloka yang ber-eluk tujuh belas di tangan Tjokorda Gde Djantra. Di saat yang hampir bersamaan, selarik sinar kuning membabat pula ke depan. Yang ini adalah sambaran tongkat bambu kuning milik Nyoman Dwipa.
Tjokorda Gde Djantra terkejut dan tak menduga bahwa lawannya telah mengalami kemajuan tinggi. Sinar kuning senjata memusnahkan tusukan kerisnya bahkan hampir saja ujung bambu kuning itu menghantam pergelangan tangannya! Segera Gde Djantra mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan kiri untuk melepaskan pukulan raja selaksa angin. Dengan pukulan itulah dia tempo hari telah melemparkan Nyoman Dwipa ke dalam jurang!
Nyoman Dwipa yang pernah di serang oleh pukulan itu segera maklum dan bersiap sedia sewaktu dilihatnya lawan menarik tangan kiri ke belakang.
Pada saat Gde Djantra memukul ke depan, Nyoman menyarnbuti dan membalas dengan hantaman tangan kiri. Terdengar suara bersiuran dan dari telapak tangan Nyoman Dwipa melesat selarik sinar putih. Itulah pukulan "selendang dewa melanglang bumi" yang dipe!ajarinya dari gurunya Menak Putuwengi. Bukan saja pukulan sakti ini memusnahkan pukulan "raja selaksa angin" tapi sinar putih terus meluncur dan melibat ke arah batang leher Tjokorda Gde Djantra! Yang diserang kaget bukan main dan cepat membuang diri ke samping, justu saat itu tongkat bambu kuning Nyoman Dwipa datang menderu ke arah kepalanya! Dalam saat yang kritis ini satu sambaran angin datang dari samping hingga tongkat Nyoman Dwipa melenting ke kiri dan selamatlah kepala Tjokorda Gde Djantra!
Berbarengan dengan itu terdengar bentakan Wiro Sableng. "Tua bangka curang! Kalau mau main kayu mari hadapi aku!"
Prakata Gandara menggeram. Parasnya merah. Memang dialah tadi yang turun tangan menyelamatkan nyawa Tjokorda Gde Djantra. Kini dimaki begitu rupa oleh Wiro marahlah dia dan dengan gerakan amat enteng melompat ke atas arena. Begitu sampai di atas arena Prakata Gandara kebutkan ujung lengan jubah putihnya. Ujung lengan jubah ini sengaja dibuat amat lebar dan merupakan senjata ampuh bagi Ketua Gedung Putih itu. Sambaran ujung lengan keras sekali dan mengarah jalan darah di dada Wiro Sableng. Sambil tertawa mengejek pendekar 212 berkelit ke sarang dan dalam gerakan yang tidak karuan tahu-tahu tangannya nyelonong ke muka! Kalau saja Prakata Gandara tidak lekas-lekas menarik tangannya pastilah ujung lengan jubahnya kena direnggut robek olen Wiro! Disamping geram orang tua itu juga kaget sekali. Serangannya tadi bukan serangan sembarangan. Angin kebutan lengan jubah saja sanggup memukul bobol tembok batu, tapi lavwannya yang bertampang tolol itu bisa mengelak bahkan balas menyerang. Tak ayal lagi Ketua Gedung Putih ini segera mencabut senjatanya yang teramat aneh yaitu sebuah lonceng perak!
Begitu lonceng tersebut berada di tangannya maka menggemalah suara berkelenengan yang memekakkan dan menyakitkan telinga. Lonceng itu sendiri yang lingkaran luarnya tajam luar biasa, berkeltbat kian kemari menggempur Wiro Sableng dari delapan jurus! Menghadapi suara lonceng yang klanang-kleneng itu Wiro merasa bagaimana satu kekuatan yang tak kelihatan menekannya membuat gerakannya tidak leluasa. Permainan silatnya menjadi kacau sedang te!inganya tambah sakit! Di situ;ah kehebatan senjata Prataka Gandara! Menanggapi kenyataan ini Wiro segera tutup jalan pendengarannya. Tapi anehnya suara klanang-kleneng lonceng perak tersebut semakin keras!
"Sialan!" maki Wiro. Dari tenggorokannya menggeledek suara bentakan membuat semua orang yang ada di situ merasakan dada, masing-masing berdebar. Begitu bentakan berakhir tubuh Wiro lenyap dan kini terdengarlah suara siulan yang amat tajam membawakan lagu hiruk pikuk tak menentu! Perang suara antara deru siulan dan gema lonceng berkecamuk hebat! Namun lambat laun kentara bagaimana suara klanang-kleneng lonceng perak di tangan Prakata Gandara menjadi sirna di telan suara siulan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di bagian yang lain pertempuran antara Nyoman Dwipa dan Tjokorda Gde Djantra berkecamuk dengan hebatnya. Murid Sorablunohling dan Menak Putuwengi saling keluarkan kepandaian untuk dapat merobohkan lawan masing-masing. Saat itu pertempuran telah berlangsung hampir lima puluh jurus. Sebenarnya nyali Tjokorda Gde Djantra telah menciut sewaktu melihat bagaimana pukulan "raja selaksa angin" tidak sanggup merobohkan lawannya padahal di samping permainan silatnya yang tinggi, pukulan itu adalah kekuatannya yang sangat diandalkan! Nyalinya tambah meleleh sewaktu jurus tiga puluh ke atas dia mulai mendapat tekanan-tekanan serangan yang hebat dari lawannya. Karena menang pengalamanlah dia masih bisa bertahan sampai jurus yang kelima puluh!
Pada jurus kelima puluh dua, Nyoman Dwipa mulai mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat "raja tongkat empat penjuru angin" yang paling hebat hingga Tjokorda Gde Djantra semakin kepepet dan musti bertahan mati-matian!
Pertempuran antara Wiro dan Prataka Gandara juga semakin hebat. Sebagai Ketua Gedung Putih, Prataka Gandara merasa telah luntur namanya karena sebegitu jauh jangankan sanggup untuk merobohkan lawannya, bahkan dirinya sendiri mulai sibuk menghadapi serangan lawannya yang sampai saat itu masih bertangan kosong!
Tiba-tiba terdenyar seruan Ki Sawer Balangnipa.
"Saudara-saudara sekalian! Ketua kita bertempur mati-matian. Masakan kita berpangku tangan saja?! Mari berebut pahala melenyapkan pengacau-pengacau ini!"
Mendengar seruan itu, semua orang yang ada di situ segera cabut senjata dan laksana air bah menyerbu ke atas arena! Sebenarnya jika bukan dalam keadaan terdesak tentu saja Prataka Gandara tidak sudi main keroyok begitu rupa. Tapi karena maklum dalam sepuluh jurus di muka belum tentu dia bisa bertahan maka serbuan orang-orang itu malah menggembirakannya!
"Bangsat rendah, berani main keroyok! Makan pedangku!" teriak Luh Bayan Sarti. Pedangnya menderu ke arah Ki Sawer Balangnipa.
"Bergundal perempuan! Sekali kau tertangkap Kerajaan akan menggantungmu di tanah lapang luas!" bentak Ki Sawer Balangnipa. Di tangan kirinya kini tergenggam sebuah ular kering yang rupanya baru saja dibuatnya. Betapapun hebatnya dan besarnya keberanian gadis itu namun tentu saja Ki Sawer Balangnipa bukan lawannya. Apalagi beberapa orang anggota Gedung Putih yang berkepandaian tinggi ikut pula membantu manusia bermuka Ular itu!
Wiro Sableng tidak mengira kalau lawan betul-betul mau main keroyok! Ketika didengarnya komando Ki Sawer Balangnipa dan dilihatnya semua orang yang ada di situ menyerbu ke atas arena, menggelegaklah amarah Pendekar 212 Wiro Sableng! Tangan kanannya bergerak kepinggang. Sesaat kemudian terdengarlah suara menggaung macam ribuan tawon mengamuk. Dua orang pengeroyok berteriak kaget dan melompat mundur. Yang satu tangannya terbabat buntung, seorang lagi memegangi dadarya yang mandi darah! Hawa panas dari luka mereka akibat disambar Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan Wiro menerobos ke jantung dan sedetik kemudian keduanya roboh di lantai arena tanpa nyawa lagi!
Kejut Prataka Gandara dan semua anggota Gedung Putih bukan kepalang. Kedua orang yang menemui kematian itu adalah anggota yang tinggi ilmu kepandaiannya! Namun dalam satu kali gebrakan saja senjata lawan telah membuat mereka meregang nyawa!
"Kurung yang rapat!" teriak Prataka Gandara seraya menghantam dengan lonceng peraknya.
"Trang!"
Ketua Gedung Putih itu menjerit. Loncengnya terbelah dua sedang tangannya berlumuran darah! Gemparlah semua orang! Celaka pikir mereka. Kalau Ketua mereka bisa mendapat cidera begitu rupa adalah gila untuk meneruskan pertempuran. Tapi untuk mengundurkan diri tentu saja mereka tidak berani.
Prataka Gandara keluar dari kalangan pertempuran dan berdiri di sudut arena sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Dia telah menelan dua butir pil namun hawa panas, yang mengalir dari luka di tangan kanannya tak kuasa dibendungnya. Akhirnya sebelum hawa maut itu mencapai bahunya, Prataka Gandara pergunakan tangan kirinya untuk membetot seluruh lengan kanannya.
"Krak"!
Tanggallah lengan kanan Ketua Gedung Putih itu.
Di atas arena Wiro Sableng mengamuk hebat. Dia tahu bahwa dia harus bergerak cepat untuk dapat melindungi kedua kawannya terutama Luh Bayan Sarti dari keroyokan orang-orang itu. Dalam tempo singkat tokoh-tokoh Gedung Putih roboh satu demi satu menemui kematiannya dalam keadaan yang mengerikan. Melihat korban pihaknya yang semakin lama semakin banyak jatuh sedang dia sendiri tak bisa berbuat apa-apa, Prataka Gandara memberi isyarat. Mereka yang melihat isyarat ini segera mengikutinya lari meninggalkan ruangan itu!
"Siapa yang mau lari silahkan!" seru Wiro. "Kecuali dua bangsat yang bernama Tjokorda Gde Djantra dan Ki Sawer Balangnipa!". Habis berseru begitu pendekar ini melompat ke ambang pintu dan menghadang hingga tak seorangpun yang berani mendekati pintu itu, termasuk Prataka Gandara! Di atas arena Tjokorda Gde Diantra sudah terdesak hebat oleh tongkat bambu kuning lawannya. Ki Sawer Balangnipa sudah melompat dan kalangan tempuran dan berdiri di belakang Ketua Gedung tih yang luka parah dengan muka pucat pasi.
Tiba-tiba terdengar jeritan Tjokorda Gde Djantra atas arena. Semua mata ditujukan ke atas sana. Kelihatan bagaimana Tjokorda Gde Djantra memegangi kepalanya dengan tubuh terhuyung-huyung. Darah mengucur dari keningnya yang pecah dihantam ujung tongkat Nyoman Dwipa. Dia menjerit lagi lalu macam orang kemasukan setan lari sana lari sini hingga akhirnya kedua kakinya menekuk dan tubuhnya roboh ke lantai, masih berkutik-kutik beberapa saat lalu diam tak bergerak lagi tanda nyawanya lepas sudah!
Suasana di ruangan itu sesunyi dipekuburan kini. Semua orang, termasuk juga Wiro, Luh Bayan Sarti dan Nyoman sendiri diam-diam merasa ngeri melihat detik-detik kematian Tjokorda Gde Djantra tadi!
Tiba-tiba Ki Sawer Balangnipa berlari dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan Wiro Sableng seraya menangis tersedusedu.
"Pendekar gagah! Aku mohon kau mengampuni selembar jiwaku!" pinta laki-laki bertampang ular itu.
"Soal ampun jangan minta padaku tapi pada gadis itu!" sahut Wiro seraya tertawa lalu dia berpaling pada Prataka Gandara dan delapan orang tokoh Gedung Putih lainnya yang masih hidup. "Kalian semua yang tak ada urusan kuharap berlalu dari sinil".
Meski marah dan penasarannya bukan main, namun Ketua Gedung Putih saat itu benar-benar mati kutu. Tanpa banyak bicara dia ajak orang-orangnya meninggalkan ruangan itu.
Sesudah semua orang pergi Ki Sawer Balangnipa masih juga berlutut dan menangis di hadapan Wiro.
"Manusia banci! Bangun! Aku muak melihat tampangmu!" bentak Wiro Sableng.
Ki Sawer Balangnipa bangun perlahan-lahan tapi masih menangis dan berkali-kali mohon ampun pada Wiro dan Luh Bayan Sarti, juga pada Nyoman.
Luh Bayan Sarti tiba-tiba maju dan berkata, "Manusia macammu tak layak hidup lebih lama. Tak ada gunanya kau meratap minta ampun!"
Ki Sawer Balangnipa menggerung lalu menjatuhkan diri di depan kaki Luh Bayan Sarti, hingga lemah juga hati gadis ini pada akhirnya.
"Kuampuni jiwamu!" katanya. "Tapi sebelum kau pergi aku musti yakin dulu bahwa kau benarbenar tidak akan berbuat kejahatan lagi!" Tangan kanan Luh Bayan Sarti bergerak kepinggang dan cras! Putuslah tangan kiri Ki Sawer Balangnipa hingga manusia itu kini tak punya sebelah tanganpun lagi! Ki Sawer Balangnipa menjerit kesakitan dan terhampar di lantai.
"Sekarang kau pergilah sebelum aku merubah putusanku!" bentak Luh Bayan Sarti.
Ki Sawer Balangnipa berdiri -dengan susah payah lalu meninggalkan ruangan itu dengan langkah huyung serta mulut tiada henti mengelurkan rintihan kesakitan!
***
Di puncak pedataran tinggi itu Wiro Sableng menghentikan larinya, berpaling pada Nyoman Dwipa dan Luh Bayan Sarti."Sahabat-sahabatku, aku tak terus ke Denpasar. Kita berpisah di sini saja."
Tentu saja ini tidak di sangka-sangka oleh kedua orang itu. "Kau mau terus ke manakah, Wiro?" tanya Nyoman Dwipa.
"Aku masih ada urusan lain. Mudah-mudahan kita bisa berjumpa lagi . . . "
"Tapi sebaiknya kita sama-sama ke Denpasar dulu," saran Luh Bayan Sarti.
Wiro tertawa dan berkata pada Nyoman. "Kurasa kau sudah menemukan ganti kekasihmu yang hilang itu, Nyoman."
"Eh, apa maksudmu?" tanya Nyoman Dwipa. Tapi parasnya berubah merah sedang Luh Bayan Sarti memandang ke jurusan lain.
Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. "Kataku kau sudah menemukan ganti kekasihmu yang hilang dulu, Nyoman. Apakah kau masih belum mengerti atau pura-pura tidak mengerti?! Nah, selamat tinggal sahabat-sahabatku . . . "
Nyoman Dwipa hendak mengatakan sesuatu tapi Pendekar 212 Wiro Sableng sudah berkelebat dan tahu-tahu sudah berada dua puluh tombak di lereng pedataran.
Nyoman menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sahabat baik seperti dia sukar dicari. Bahkan mengucapkan terima kasihpun aku sampai lupa!"
Luh Bayan Sarti menarik nafas dalam dan berkata perlahan, "Kalau tak ada dia, entah apa jadi diriku sekarang ini . . . "
Dari puncak pedataran itu keduanya memperhatikan tubuh Wiro Sableng yang lari cepat ke arah utara, makin lama makin kecil hingga akhirnya lenyap di kejauhan. Nyoman memutar kepalanya pada saat mana Luh Bayan Sarti berpaling pula kepadanya. Sepasang mata mereka saling bertemu. Dan seulas senyum sama-sama muncul di bibir mereka. Nyoman Dwipa menyadari kini betulnya ucapan Wiro Sableng. Yaitu bahwa dia telah menemukan ganti kekasihnya yang hilang itu.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar